II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Kemiskinan Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang, sejumlah atau segolongan orang yang berada dalam tingkatan kekurangan dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang layak berlaku di masyarakat. Standar kehidupan yang rendah ini langsung berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral dan harga diri mereka sebagai orang miskin. Seseorang dimasukan ke dalam golongan miskin apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Menurut Darwis (2004), kebutuhan dasar itu sendiri dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu 1) Kebutuhan fisik primer yang merupakan kebutuhan gizi, perumahan, kesehatan; 2) Kebutuhan kultural yang terdiri dari pendidikan, rekreasi dan ketenangan hidup; 3) Kebutuhan lainnya yang lebih tinggi jika kebutuhan primer dan kultural sudah terpenuhi dan ada kelebihan pendapatan. Pengertian kebutuhan dasar menurut ILO (International Labour Organization) membagi kebutuhan dasar ke dalam dua unsur, yaitu 1) Kebutuhan meliputi tuntutan minimum tertentu suatu keluarga sebagai konsumsi pribadi seperti makanan, perumahan, pakaian, peralatan dan perlengkapan rumah tangga; dan 2) Kebutuhan yang meliputi pelayanan sosial yang diberikan oleh dan untuk masyarakat seperti minum, angkutan umum, kesehatan, pendidikan, dan fasilitas kebudayaan. Kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan sangat berkaitan erat dengan faktor-faktor tertentu misalnya pendapatan, pendidikan, kesehatan, akses terhadap barang dan jasa, dan kondisi lingkungan. Menurut Ritonga (2003), miskin adalah kondisi kehidupan masyarakat yang sangat serba kekurangan yang dialami seseorang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimalnya (kebutuhan dasarnya). Menurut Sumodiningrat (1999), kemiskinan bila ditinjau dari penyebabnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan Struktural terjadi disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor yang berada di luar jangkauan individu, secara kongkrit faktor ini merupakan hambatan
7 kelembagaan atau struktur yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Artinya, bukan karena seseorang tidak mau bekerja tetapi struktur yang ada menjadi hambatan. Kemiskinan kultural timbul disebabkan karena faktor internal yang berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya sebagai akibat nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut sekelompok masyarakat. Kemiskinan sesungguhnya merupakan masalah multidimensi yang erat kaitannya dengan kesejahteraan, dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial sehingga jika seseorang dianggap miskin biasanya cenderung tidak sejahtera. Banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau Well Being, misalnya dikatakan bahwa kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum. Seseorang dikatakan mampu jika dia memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki (kekayaan) atau secara paralel dapat dianalogikan tentang kemampuan seseorang untuk memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk berperan dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1999) atau lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan iklim. Jadi dalam konteks ini, kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum yaitu keterbatasan terhadap kelompok pilihan komoditas (Watts, 1968) atau jenis konsumsi tertentu, misalnya terlalu sedikit mengkonsumsi makanan yang dirasa sangat esensial atau perlu untuk memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti kurangnya kemampuan untuk berperan dalam masyarakat. Kemiskinan memiliki konsep yang sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Berdasarkan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak hal inilah yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin,
8 tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena 1) Tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; 2) Dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; 3) Tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif. BAPPENAS (2004), mendifiniskan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan (sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar). Berdasarkan indikator internasional seperti terdefinisi miskin dalam kategori MDGs (Millenium Development Goals) adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar US$ 2 perkapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp. 540.000 per bulan. Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi pada seseorang, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi karena antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat
9 anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin. Sajogyo (1987), mengungkapkan kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sajogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun. Beberapa konsep dasar mengenai kemiskinan diatas merupakan konsep yang berkembang di masyarakat, masih banyak konsep lain mengenai kemiskinan yang dapat kita pelajari sebagai definisi kemiskinan, tetapi pada intinya hampir semua sumber sepakat bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kehidupan sehari-hari.
2.2 Indikator Kemiskinan Banyak indikator tentang kemiskinan yang di tuliskan oleh para ahli dan institusi
yang
bergerak
dibidangnya.
Hendrakusumaatmaja
(2002),
mengungkapkan bahwa kemiskinan dicirikan oleh tiga hal, yaitu pertama rendahnya penguasaan asset dimana skala usaha tidak efisien dan mengakibatkan produktivitas menjadi rendah; kedua rendahnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kepemilikan atau penguasaan akan asset; ketiga rendahnya kemampuan dalam mengelola asset. Menurut BKKBN indikator kemiskinan disebut sebagai keluarga pra sejahtera yang dikeluarkan secara nasional adalah seluruh anggota keluarga yang mampu untuk makan dua kali sehari atau lebih, seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan bepergian, bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah dan apabila anak atau anggota keluarga lainnya sakit dapat di bawa ke sarana/ petugas kesehatan, kemudian pasangan usia subur (PUS) ingin berkeluarga berencana (KB) dibawa ke sarana atau petugas kesehatan dan diberi obat dengan cara KB Modern.
10 Menurut Sumardjo (2004), ciri masyarakat miskin yang diambil dari berbagai sumber rujukan (Patnership GRI, Cresescent dan IPB, 2003) adalah : 1) Secara politik tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka; 2) Secara sosial tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada; 3) Secara ekonomi rendahnya SDM termasuk kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berdampak pada penghasilan; 4) Secara budaya dan tata nilai, terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti rendahnya etos kerja, berfikir pendek dan fatalisme; 5) Secara lingkungan hidup rendahnya pemilikan asset fisik termasuk asset lingkungan seperti air bersih dan penerangan. Menurut Salim (1980), ada lima yang termasuk ciri-ciri orang miskin, yaitu: 1) Umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal atau keterampilan. 2) Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri 3) Tingkat pendidikan yang rendah, tidak tamat sekolah dasar 4) Sebagian besar tinggal diperdesaan,umumnya menjadi buruh tani atau pekerja kasar diluar pertanian 5) Kebanyakan yang hidup dikota dan masih berusia muda yang tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan. Badan Pusat Statistik (2004), telah menetapkan empat belas kriteria keluarga miskin seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, bahwa rumah tangga yang tergolong kedalam rumah tangga miskin yaitu : 1.
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.
Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan.
3.
Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ kayu/ rumbia berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.
4.
Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
11 5.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6.
Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
8.
Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu.
9.
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan satu atau dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000 per bulan 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (Bappenas, 2004). Dimensi utama kemiskinan adalah politik, sosial budaya, dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci atau membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak memiliki biaya untuk berobat. Orang miskin pada umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit akibat kekurangan air bersih, kemiskinan adalah ketidak berdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas.
12 2.3 Pembangunan Ekonomi dalam Penanggulangan Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama dalam persoalan pembangunan. Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutuskan mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan sumberdaya manusianya, penambahan modal investasi dan mengembangkan teknologi melalui berbagai suntikan pendanaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas. Menurut Suharto (2003), untuk mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm). Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neo klasik dan model yang berpusat pada produksi. Pembangunan sering kali dianggap sebagai suatu obat terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, khususnya pada negara yang sedang berkembang.
Permulaan
implementasi
pendekatan
pembangunan
ketika
dikemukakannya teori pertumbuhan oleh kelompok ekonom ortodok. Teori ini menjelaskan bahwa pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan. Penggunaan GNP sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, tetapi jika di perhatikan lebih jauh ternyata pertumbuhan yang ada hampir tidak bermakna bagi masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan, karena GNP tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Trolleer (1978), ada beberapa pendekatan pembangunan, antara lain : pendekatan pertumbuhan, pertumbuhan dan pemerataan, ketergantungan, tata ekonomi baru, kebutuhan pokok. Menurut Rostow (1980), dalam teori pendekatan pembangunan yang menggambarkan tahapan dalam pembangunan yang pada intinya terkait investasi “modal besar”
atau mengenai “suntikan investasi yang padat modal untuk
mendongkrak sumberdaya dan potensi yang ada pada masyarakat”. Pendekatan yang dianggap mujarab untuk negara-negara kaya di utara ini dicangkokkan dan diterapkan guna mengobati negara-negara selatan. Dalam penerapannya, strategi untuk
melakukan
pembangunan
dilakukan
dengan
memperhatikan
laju
13 pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki sebagai indikator utamanya. Dengan menggunakan teori tersebut, sebagai negara dunia ke tiga mengerahkan para teknokrat dan pakarnya untuk melaksanakan “strategi pembangunan” yang dirancang dengan sasaran tunggal yaitu bagaimana untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu yang singkat. Untuk memenuhi hal tersebut, sangat diperlukan modal investasi dalam jumlah yang besar, yang tentunya tidak dimiliki oleh negara-negara dunia ke tiga, dan sebagai jalan pintas dibukalah pintu lebar-lebar untuk investasi modal asing beserta teknologi untuk masuk kenegara tersebut. Asumsi teori ini adalah bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai konsekuensinya akan terjadi “tetesan rejeki kebawah” (trickle down effect). Tetesan rejeki kebawah ini diharapkan juga akan mencapai kelompok masyarakat di lapisan bawah. Kenyataannya, hasil pembangunan yang terjadi memicu permasalahan lain, seperti : bertambahnya angka pengangguran pada angkatan kerja, bertambahnya kejahatan, tingkat migrasi dari desa ke kota, dan ketimpangan pada negara dunia ke tiga. Pembangunan dalam kerangka otonomi daerah harus berdasarkan teori/ konsep yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan. Terdapat teori-teori yang masih relevan untuk diterapkan sebagai suatu pola dalam mengembangkan pembangunan. Konsep pembangunan menurut Malthus tidak menganggap proses pembangunan ekonomi terjadi dengan sendirinya, malahan proses pembangunan ekonomi memerlukan berbagai usaha yang konsisten di pihak rakyat. Proses tersebut memberikan gambaran adanya gerakan menuju keadaan
stasioner
tetapi
menekankan
bahwa
perekonomian
mengalami
kemerosotan beberapa kali sebelum mencapai tingkat tertinggi dari pembangunan. Jadi menurut Malthus proses pembangunan adalah suatu proses naik turunnya aktivitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar atau tidaknya aktivitas ekonomi (Jhingan, 2003). Teori ini menitikberatkan perhatian pada perkembangan kesejahteraan suatu negara, yaitu pembangunan ekonomi yang dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan suatu negara sebagian tergantung pada kuantitas
14 produk yang dihasilkan oleh tenaga kerjanya, dan sebagian lagi pada nilai atas produk tersebut. Pembangunan dan tujuannya memiliki pengertian ataupun persepsi baik secara individual maupun sebagai kelompok yang tentu menaruh harapan yang besar pada pembangunan, bahwa keadaan masyarakat akan menjadi lebih baik melalui pembangunan. Pembangunan sering menjadi perdebatan akademik dan perdebatan ideologi. Negara yang semula dibawah penjajahan kolonial, setelah merdeka hanya melihat pembangunan sebagai salah satu cara untuk survive dan sekaligus
untuk
mengejar
ketertinggalan.
Rusli
(2004),
memberi
arti
pembangunan ekonomi dengan membedakan antara pertumbuhan (Growth) dan perkembangan (development) pertumbuhan dan perkembangan terjadi bersamasama, tetapi pertumbuhan dapat terjadi tanpa perkembangan. Sebenarnya pembangunan atau perkembangan dapat diberikan makna lebih luas sebagai contoh pemberian makna dalam arti lebih luas dimana pembangunan mengandung tiga nilai inti, yaitu : dapat mempertahankan hidup (life sustainance), mempunyai harga diri (self esteem), dan kebebasan (freedom) Todaro (2000). Pendapat ini berasumsi suatu komunitas atau masyarakat mempunyai kemampuan atau kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan selalu berpegang kepada harga diri dan martabat ataupun kepribadian.
2.4 Pengembangan Komoditas Unggulan dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga Tani Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 4,69% diperoleh dari sektor pertanian. Walapun lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor yang lain terutama sektor industri yang mencapai 64,30% dan sektor perdagangan yang mencapai 15,48%, namun PDRB sektor pertanian dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Artinya sektor pertanian menjadi sektor potensial dalam menambah nilai pendapatan daerah dari tahun ke tahun walaupun secara jumlah menjadi sektor penyumbang ke-tiga terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Menurut Adiwijoyo (2005), apabila petani di daerah mau dan mampu merubah keadaan bertani dari pola bertani secara konvensional, dengan sistem
15 olah tanah menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia ke pola bertani organik terpadu, ada langkah-langkah yang dapat dilakukan : Pertama model pertanian lahan basah yang dikembangkan saat ini harus ditinggalkan, karena akan mengeksploitasi habis-habisan unsur hara yang sangat di butuhkan oleh tanaman padi, sehingga sawah semakin lama akan semakin banyak memerlukan pupuk dan obat-obatan anti hama tanaman yang dibutuhkan. Kedua model pertanian lahan kering, pertanian ini merupakan sumber bahan pangan yang sangat potensial, sehingga untuk meningkatkan jumlah hasil panen secara massal dikembangkan secara konvensional, secara monokultur dan dimekanisasi. Model ini adalah model pertanian organik terpadu dan tanpa olah tanah (TOT), yaitu dengan menanam berbagai tanaman musiman (heterokultur) secara tumpang sari dan tumpang gilir tanpa olah tanah, memadukan dengan usaha peternakan. Pembangunan
ekonomi
perdesaan
sebagai
satu
kesatuan
antara
pembangunan sektor pertanian dan industri. Arah dari pembangunan tersebut terdapat pada upaya pemberdayaan agro industri. Pengembangan agro industri ini, sekaligus dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa yang sejalan dengan berkembangnya kegiatan di dalam sektor pertanian (on farm) dan di luar pertanian (off farm) melalui proses pengolahan, serta kegiatan jasa perdagangan komoditas primer. Berkembangnya kegiatan tersebut akan dapat meningkatkan nilai tambah di perdesaan, diversifikasi produksi perdesaan, pendapatan petani dan akan mempercepat akumulasi kapital perdesaan, Sandra (2002). Menurut Kurniawati (2002), program yang perlu dikembangkan di perdesaan untuk sektor pertanian dan industri kecil adalah komoditas yang berpotensi meningkatkan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transfortasi dan distribusi produk, serta pengembangan kemitraan dan restrukturisasi sistem kelembagaan pertanian dan agroindustri.
2.5 Kelembagaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan Pengembangan masyarakat tidak terlepas dari pengertian pembentukan modal manusia. Jhingan (2003) menyatakan bahwa pembentukan modal manusia
16 adalah proses memperoleh dan meningkatkan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan dan pengalaman yang menentukan bagi pembangunan ekonomi dan politik suatu negara. Pembentukan modal manusia karenanya dikaitkan dengan investasi pada manusia tersebut dan pengembangan menuju kearah yang kreatif dan produktif. Jhingan
(2003),
menyatakan
terdapat
lima
cara
pengembangan
sumberdaya manusia, antara lain dengan memberikan: 1) Fasilitas dan pelayanan kesehatan, pada umumnya mencakup semua pengeluaran yang mempengaruhi harapan hidup, kekuatan dan stamina, tenaga serta vitalitas rakyat; 2) Latihan jabatan, termasuk jenis pelatihan pengembangan SDM yang diorganisasikan oleh perusahaan; 3) Pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar, menengah dan tinggi; 4) Pelatihan bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan oleh perusahaan, termasuk program penyuluhan khususnya pada pertanian; 5) Rotasi jabatan kepemimpinan perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan kesempatan kerja yang selalu berubah. Sumardjo (2004), menyatakan bahwa seseorang akan berpartisipasi dalam masyarakat apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi sebagai berikut : 1) Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa seseorang berpeluang untuk berpartisipasi; 2) Kemauan, adanya suatu yang menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut; dan 3) Kemampuan, adanya kesadaran dan keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, dapat berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan material lainnya. Apabila salah satu saja dari ketiga prasyarat diatas itu tidak dapat dilaksanakan maka partisipasi yang sebenarnya dalam pembangunan tidak akan pernah terjadi.
2.6 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Hakikat
pembangunan
pertanian
diarahkan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat petani. Namun, seringkali kronologi yang diterapkan tidak netral terhadap initial endowment petani, maka tidak semua petani dapat langsung memanfaatkan atau terlibat dalam program-program pembangunan
17 pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, program pembangunan pertanian yang langsung
terkait
dengan
penanggulangan
kemiskinan
yang
perlu
diimplementasikan adalah berupa pembagian benih atau bibit tanaman dan hewan bagi pengembangan di daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus seperti daerah lahan kering marjinal, daerah transmigrasi dan daerah pantai, Kasryno dan Suryana, (1987). Badan Pusat Statistik (2005), menjelaskan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi masalah kemiskinan, diantaranya adalah melalui kebijakan makro ekonomi, pendekatan kewilayahan, dan pendekatan pemenuhan hak-hak dasar kebutuhan manusia. Kebijakan makro ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pendekatan kewilayahan yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan percepatan pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir, dan percepatan pembangunan di daerah tertinggal. Strategi penanngulangan kemiskinan yang dilakukan melalui pendekatan pemenuhan hak-hak dasar adalah dengan melakukan pemenuhan hak atas pangan, sandang, pendidikan, kesehatan, akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan air bersih dan rasa aman. Menurut Saharia (2003), paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan yaitu melakukan pembangunan perdesaan, dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan dan hasil yang memadai. Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah perdesaan (sekitar 75%) dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumber daya manusianya dan potensi sumberdaya alamnya. Dalam PP No 13 tahun 2009 tentang koordinasi penanggulangan kemiskinan, terdapat 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan diantaranya yaitu : 1) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta
18 perbaikan
kualitas
hidup
masyarakat
miskin;
2)
Kelompok
program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat; 3) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil terdiri atas program-program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil.
2.7 Paradigma Pembangunan Pertanian Paradigama pembangunan pertanian dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi objek diposisikan menjadi subjek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan di sektor pertanian. Menurut Saharia (2003), dalam menyikapi perubahan paradigma pembangunan di perdesaan, ada beberapa langkah yang harus dipertimbangkan yaitu : 1) Menghubungi para tokoh masyarakat dan tokoh petani 2) Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari program pertanian yang akan diterapkan 3) Menumbuhkan motivasi pada diri para tokoh masyarakat dan tokoh petani agar program yang akan diterapkan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dengan jalan mendiskusikan bersama apa alasan-alasan dan tujuan dari pelaksanaan program tersebut. Ada
beberapa
pendekatan
yang
dapat
dilakukan
dalam
upaya
mengentaskan kemiskinan di perdesaan melalui pengembangan komoditas pertanian, diantaranya ialah seperti yang disampaikan oleh Wahab (2004), bahwa kemiskinan petani disebabkan oleh beberapa permasalahan pokok. Pertama, pendidikan petani yang rendah sehingga mempunyai kemampuan terbatas untuk mengikuti perkembangan dunia agribisnis yang berkembang cepat seperti teknologi, selera konsumen, pemilihan jenis komoditi yang menguntungkan. Kedua, akibat terbatasnya akses terhadap petani sehingga petani mendapatkan kesulitan untuk mengakses sarana produksi, teknologi dan informasi yang mereka
19 butuhkan dengan harga yang wajar. Ketiga, letak lahan pertanian yang dikelola petani tersebar diberbagai tempat dengan luasan masing-masing yang sempit dan pengelolaannya belum mengarah pada usaha yang intensif. Keempat, lemah dan rendahnya teknologi, produktivitas, tenaga kerja, SDM dan modal menyebabkan rendahnya volume dan kualitas produksi serta mengakibatkan naiknya biaya produksi. Kelima, kelembagaan sosial dan ekonomi ditingkat petani belum mampu mendukung kegiatan usaha tani, distribusi dan pemasaran serta informasi dan ahli teknologi. Keenam, harga jual hasil produksi berfluktuasi sebagai akibat dari supply yang fluktuatif, mutu yang rendah, serta lemahnya sistem distribusi, pemasaran dan posisi tawar petani. Solusi dari enam permasalahan yang dapat menjadikan kemiskinan petani ialah melalui pembanguan ekonomi petani perdesaan sebagai satu kesatuan antara pembangunan sektor pertanian dan industri kecil. Kurniawati (2002), menjelaskan bahwa program yang perlu dikembangkan di perdesaan untuk membangun dan mengembangkan sektor pertanian dan industri kecil adalah dengan mengembangkan komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transportasi dan distribusi produk, pengembangan kemitraan dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri.
2.8 Penelitian sebelumnya mengenai Strategi Penanggulangan Kemiskinan Penelitian mengenai strategi penanggulangan kemiskinan di berbagai kabupaten di wilayah Indonesia sudah banyak dilakukan, hal ini terlihat dari beberapa penelitian kemiskinan yang sudah dilakukan oleh Hidayad (2009), Nugroho (2009) dan Firdaus (2006). Hidayad
(2009),
melakukan
penelitian
dengan
judul
strategi
penanggulangan kemiskinan di tingkat petani melalui pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Muna, Nugroho (2009) melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Lampung Barat (studi kasus di Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat), dan Firdaus (2006) melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan komoditas pertanian potensial di Kabupaten Kuantan Singingi.
20 Hidayad (2009), dalam penelitiannya membahas kemiskinan dilihat dari sisi produktivitas lahan perkebunan yang dimiliki oleh petani di Kabupaten Muna kemudian diarahkan strategi penanggulangannya pada pengembangan komoditas perkebunan yang dianggap unggulan. Komoditas unggulan perkebunan yang di bahas dalam penelitian tersebut yaitu komoditas Jambu mete. Hasil penelitian dari Hidayad (2009) hanya membahas secara umum tentang kemiskinan di Kabupaten Muna dilihat dari sisi produktivitas lahan perkebunan yang dimiliki oleh petani dengan melihat komoditas unggulan dan karakteristik masyarakat secara umum pada wilayah satu kabupaten. Bedanya dengan penelitiaan penulis adalah pembahasan mengenai kemiskinan tidak hanya pada karakteristik rumah tangga miskin dan komoditas unggulan yang ada, tetapi pada penelitian ini dilihat juga hubungan antara karakteristik RTM dengan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, faktor yang dilihat tidak hanya dari sisi produktivitas lahan tetapi juga dari sisi pendapatan, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan usaha sampingan masyarakat. Hidayad (2009) memilih wilayah kabupaten sebagai unit penelitian, pada penelitian ini unit penelitian hanya terbatas pada zona pengembangan pertanian dan strategi yang digunakan lebih akurat dengan menggunakan analisis SWOT dan QSPM jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayad (2009) yang hanya menggunakan
metode
analisis
deskriptif
pada
perancangan
program
penanggulangan kemiskinan. Nugroho (2009), dalam penelitiannya membahas kemiskinan dari sisi faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi miskin. Adapun faktorfaktor tersebut adalah pendapatan, lamanya tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan yang dikelola, ada atau tidaknya pekerjaan tambahan, serta beberapa program penanggulangan kemiskinan yang sudah dijalankan oleh pemerintah yang terdiri dari Bantuan Tunai Langsung (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM), dan Program Gerakan Pembangunan Beguai Jejama Sai Betik (BJSB). Hasil penelitian Nugroho (2009) hanya membahas secara umum mengenai kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan jenis-jenis
21 program yang sudah dijalankan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa luas lahan dan pekerjaan tambahan adalah faktor yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan seseorang untuk menjadi miskin. Pemerintah daerah diharapkan dapat menyusun strategi penanggulangan kemiskinan yang di fokuskan pada pengembangan dan optimalisasi luas lahan yang ada dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009) dengan penelitian ini terletak pada strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan. Pada penelitian Nugroho (2009), strategi penanggulangan kemiskinan masih terlihat global hanya terdapat pada pengembangan hutan dan sumberdaya alam sebagai basis untuk penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Balik Bakit Kabupaten Lampung Barat, sementara pada penelitian yang dilakukan penulis strategi penanggulangan kemiskinan lebih spesifik yaitu melalui pengembangan pertanian berbasis komoditas unggulan dan tidak hanya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan tetapi juga menganalisis karakteristik rumah tangga miskin yang ada di wilayah penelitian. Firdaus (2006), dalam penelitiannya membahas mengenai fenomena kemiskinan yang terjadi di masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Fenomena kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh sulitnya petani untuk mengembangkan usaha karena rendahnya pendapatan rata-rata petani. Kondisi ini disebabkan oleh komunitas petani miskin tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, tatanan kelembagaan yang tidak berfungsi, sehingga menyebabkan mereka tetap miskin. Penelitian Firdaus (2006) juga membahas permasalahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan menganalisis program-program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Firdaus ini berbasis pada potensi pertanian dengan subsektor perkebunan sebagai komoditas yang perlu dikembangkan untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan Singingi. Komoditas lokal yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah pohon kelapa sawit, karet dan kelapa hibrida. Hasil penelitian Firdaus (2006) merekomendasikan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan
22 Singingi harus berbasis pada sub sektor perkebunan. Perbedaannya dengan penelitian penulis yaitu terletak pada wilayah sasaran, penelitian Firdaus (2006) sasaran penelitian dilakukan untuk sebuah wilayah kabupaten sementara penelitian yang penulis lakukan merupakan studi kasus dari dua kecamatan yang ada pada satu wilayah kabupaten sehingga dapat lebih fokus, kemudian perbedaan juga terletak pada basis komoditas yang akan dikembangkan, dalam penelitian Firdaus (2006) menekankan pada pengembangan sub sektor perkebunan yaitu komoditas kelapa sawit, karet dan kelapa hibrida untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan Singingi, sementara pada penelitian penulis penanggulangan kemiskinan terletak pada pengembangan komoditas unggulan pertanian yaitu komoditas ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya jelas terlihat baik dari segi metode yang digunakan, unit analisis, faktor yang dianalisis, dan komoditas yang dijadikan sebagai basis pengembangan ekonomi yang harus dilakukan pada daerah penelitian. Penelitian sebelumnya menggunakan metode analisis deskriptif sementara penelitian penulis menggunakan SWOT dan QSPM sehingga dapat lebih akurat, unit analisis pada penelitian sebelumnya wilayah kabupaten, sementara pada penelitian penulis wilayah kecamatan, faktor yang dianalisis pada penelitian sebelumnya tidak ada faktor pakaian dan jumlah tanggungan, dan komoditasnya berbeda sesuai dengan potensi daerah yang diteliti.