Bab II
Tinjauan Pustaka
Pada bab 2 ini akan diuraikan beberapa hal penting yang menjadi tinjauan pustaka dalam penyusunan tesis ini. Pertama, pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam tesis ini. Kedua, tulisan dari beberapa sumber yang akan digunakan penulis sebagai referensi. Ketiga, pengamatan terhadap kebijakan penggunaan internet di beberapa institusi baik dalam maupun luar negeri. Beberapa pengertian digunakan untuk memudahkan pemahaman penulis sehingga diharapkan tidak menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasikan makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan. Tulisan dari berbagai sumber membantu penulis dalam mendapatkan dukungan informasi dan sebagai referensi yang terkait dengan tulisan yang dikaji. Sedangkan pengamatan terhadap kebijakan penggunaan internet di beberapa institusi lain digunakan sebagai tinjauan luar dan bahan perbandingan sehingga dapat memberikan dukungan terhadap kebijakan yang dikaji.
II. 1 Pengertian-pengertian Beberapa pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini diacu dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari pusatbahasa.diknas.go.id serta Wikipedia dari berbagai sumber. Istilah-istilah yang diuraikan pengertiannya di antaranya adalah kebijakan, internet, web, hukum, moral, nilai, dan etika. Sedangkan beberapa pengertian lainnya penulis ambil dari beberapa referensi lain. II. 1. 1 Kebijakan Istilah kebijakan umumnya digambarkan sebagai suatu rencana kegiatan yang sengaja dibuat untuk memandu suatu keputusan dan untuk mencapai outcome yang rasional. Kebijakan juga dapat digunakan untuk menyatakan hal yang benarbenar sudah dilaksanakan, meskipun hal tersebut tidak direncanakan.
8
Kebijakan atau studi kebijakan dapat mengacu pada proses pembuatan keputusan organisasional yang penting, meliputi pengidentifikasian berbagai alternatif yang berbeda seperti halnya program atau prioritas pembelanjaan, dan memilih di antaranya atas dasar dampak yang akan mereka dapatkan. Kebijakan dapat dipahami sebagai mekanisme politik, manajemen, keuangan, dan administratif yang diarahkan untuk mencapai tujuan eksplisit. (Wikipedia, dari berbagai sumber) Adapun kebijakan yang dimaksud dalam tema tesis ini merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam mengatur kegiatan penggunaan internet di lingkungan ITB (Lampiran A). II. 1. 2 Internet dan Web
Banyak orang percaya bahwa Web bersinonim dengan Internet, tetapi bukan itu sebenarnya. Internet berfungsi sebagai mekanisme transportasi, sedangkan Web merupakan sebuah aplikasi yang menggunakan fungsi transportasi tersebut. Aplikasi lain juga berjalan di internet, seperti fasilitas e-mail yang banyak digunakan saat ini. Web adalah sistem dengan standar yang diterima secara universal untuk menyimpan, mengambil, memformat, dan menampilkan informasi melalui arsitektur client / server. Web menangani semua tipe informasi digital, meliputi text, hypermedia, grafik, dan suara yang menggunakan antarmuka pengguna grafis, sehingga sangat mudah digunakan. (Turban, 2006). II. 1. 3 Hukum (1) Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai
peristiwa
(alam
dan
sebaginya)
yang
tertentu; (4) Keputusan
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis. [KBBI].
9
Hukum merupakan suatu sistem aturan yang biasanya dipaksakan oleh suatu institusi. Hukum muncul dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial dalam sejumlah cara dan bertindak sebagai mediator sosial di antara hubungan orangorang. [Wikipedia] II. 1. 4 Moral Kata benda, yang merupakan ajaran tentang baik atau buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. [KBBI]. Moral merupakan pesan yang disampaikan atau pelajaran yang dapat di pelajari dari suatu kisah atau kejadian. Moral bisa jadi ditujukan untuk para pendengar, pembaca, atau penonton untuk ditentukan bagi dirinya sendiri, atau secara eksplisit terkandung dalam suatu peribahasa. [Wikipedia]. II. 1. 5 Nilai Nilai mengandung pengertian sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. [KBBI]. Nilai merupakan properti dari suatu obyek, meliputi obyek fisik maupun obyek abstrak yang merepresentasikan tingkat penting obyek tersebut. [Wikipedia]. II. 1. 6 Etika Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). [KBBI]. Etika merupakan cabang utama dari filosofi yang meliputi perilaku dalam kehidupan yang tepat dan baik. Etika memiliki makna yang lebih luas daripada konsep umumnya yang meliputi analisis tentang benar dan salah. Aspek mendasar dari etika adalah “hidup yang baik”, yang oleh banyak filosof dianggap lebih penting dari pada perilaku moral. [Wikipedia].
10
II. 1. 7 Perbedaan Etika dan Moral Menurut Soegarda Poerbakawatja, “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan”. Sedangkan menurut Gering Supriadi, etika berkaitan dengan nilainilai hidup yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya serta hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia (Nitaenviro, 2008). Moral diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957). Sedangkan menurut Dorothy Emmet (1979), kemoralan merupakan sesuatu yang berkait dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu. Etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia yang ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Sedangkan yang membedaannya adalah kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat, (Wizanies, 2009).
II. 2 Framework Kebijakan Teknologi Informasi Sebagai tinjauan pustaka, penulis menggunakan berbagai paper sebagai referensi. Dikarenakan terlalu banyak kajian yang dibahas dalam tulisan-tulisan tersebut, resume yang dilakukan diambil hanya pada beberapa bagian penting saja. Dalam tulisannya yang berjudul “A Framework for IT Policy Development”, Rodney J. Petersen memberikan paparan bahwa perguruan tinggi / universitas sering kali terlibat dalam pengembangan kebijakan regulasi atau hukum pemerintah baik pusat maupun daerah. Meskipun kadangkala kebijakan suatu institusi dikeluarkan karena adanya kebutuhan internal. Salah satu kebijakan yang
11
ditelaah dalam kasus ini adalah kebijakan terkait penggunaan teknologi informasi, khususnya penggunaan internet. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.1, dalam mengeluarkan kebijakan penggunaan layanan teknologi informasi perguruan tinggi / universitas perlu mengadopsi
suatu
framework
yang
holistik
(menyeluruh)
yang
mempertimbangkan aspek hukum, nilai, etika, dan moral. Keempat aspek tersebut diuraikan sebagai berikut: II. 2. 1 Hukum Suatu kewajiban dapat muncul karena tidak adanya kebijakan atau prosedur yang terkait dengan suatu hal atau karena kegagalan untuk mematuhi kebijakan dan bertahan pada standar yang diperlukan. Beberapa isu terkait dengan hukum seperti pencegahan pelanggaran hak cipta, informasi perlindungan kesehatan, dan perlindungan informasi keuangan seharusnya sudah diterapkan perguruan tinggi. Meskipun tanpa menjadi kebutuhan untuk dilakukan oleh hukum atau regulasi pemerintah. II. 2. 2 Nilai Perguruan tinggi / universitas mengadopsi suatu nilai yang penting bagi akademik. Semua keputusan yang berpengaruh pada tata kelola dan operasi institusional harus dikendalikan oleh nilai-nilai tersebut. Institusi perguruan tinggi dicirikan dengan komitmennya terhadap berbagi ketatakelolaan, kebebasan akademik, keamanan dan perlindungan anggota komunitas, serta penghargaan terhadap privasi. II. 2. 3 Etika Etika dapat menjadi pemandu saat hukum menjadi bungkam terhadap suatu permasalahan atau ketika pertimbangan lain diijinkan. Etika terutama sekali bermanfaat pada bidang teknologi informasi karena hukum belum tentu mengikat atau cukup matang dalam menanggapi semua hal. Keputusan etika biasanya bukan untuk kepentingan individual melainkan berdasarkan apa yang terbaik bagi
12
masyarakat. Kebijakan yang ditanamkan dalam prinsip-prinsip etika membantu mahasiswa dan pegawai untuk menjadi warga negara yang baik. II. 2. 4 Moral Sejumlah perguruan tinggi dan universitas memiliki ikatan religius atau tradisi. Oleh karena itu, beberapa keputusan yang terkait kebijakan institusional dapat memiliki dimensi moral. Meskipun etika kadangkala digambarkan sebagai “filosofi moral”, secara moral mengembangkan konsep untuk memasukkan penilaian kebaikan atau keburukan dari aksi atau karakter manusia.
II. 3 Proses Pengembangan Kebijakan Selain dari pendapat Petersen di atas, juga terdapat The Association of College & University Policy Administrators (ACUPA). ACUPA merupakan sebuah perkumpulan informal dari para profesional yang membentuk suatu jaringan untuk mendiskusikan permasalahan seputar kebijakan universitas atau perguruan tinggi. Perkumpulan ini beranggotakan beberapa perguruan tinggi dari berbagai negara. ACUPA telah mengembangkan suatu Policy Development Process with Best Practices. Di mana dalam proses ini terdapat tiga tahap utama, yaitu tahap pra pengembangan, tahap pengembangan, dan tahap perawatan. Berikut ini gambaran proses pengembangan kebijakan menurut ACUPA:
Gambar II.1 Proses Pengembangan Kebijakan (Sumber: ACUPA)
13
II. 3. 1 Tahap Pra Pengembangan 1.
Sikap proaktif dalam mendefinisikan permasalahan Biasanya lebih baik mengantisipasi dari pada harus dikejutkan oleh masalah. Semakin banyak dalam mengidentifikasi masalah yang dapat mempengaruhi institusi, semakin kecil waktu yang akan dihabiskan untuk hal-hal yang bersifat darurat.
2.
Pengidentifikasian pemilik setiap kebijakan Suatu bagian perlu memiliki tanggung jawab akan isi dan keakuratan informasi suatu kebijakan. Bagian yang berbeda dapat memiliki kebijakan atau prosedur sendiri-sendiri, tetapi tiap bagian harus ditunjuk dengan tanggung jawab menyeluruh untuk membuat dan merawat informasi tersebut.
3.
Penentuan jalur kebijakan terbaik Biasanya, menentukan pemilik dari kebijakan akan mendikte jalur pengembangan dari suatu kebijakan-kebijakan institusional dalam arti luas dapat dibentuk dengan banyak otorisasi berbeda yang meliputi bagian legislatif, pengawas, petugas senior, fakultas, atau departemen. Dalam menentukan level terbaik dapat menjadi bersifat lebih seni ketimbang bersifat sains.
4.
Penyusunan tim untuk pengembangan kebijakan Kebijakan dan prosedur akan seringkali digunakan sejumlah besar kelompok / bagian yang bervariasi. Untuk mengembangkan keakuratan dan kelengkapan dokumen, pertimbangan para ahli dibutuhkan untuk mengembangkan kebijakan informasi yang baik. Dalam hal ini, pertimbangan tersebut melibatkan staf, fakultas dan pelajar dari sumber daya manusia, keuangan, tata kelola, peng-audit, teknologi informasi dan lainnya.
II. 3. 2 Tahap Pengembangan 5.
Penyetujuan definisi dan terminologi umum Ini merupakan hal sederhana namun penting. Tidak setiap orang akan setuju dengan kebijakan atau prosedur dari pimpinan. Hal ini bukanlah merupakan hal mudah, tetapi akan menyajikan sebagian besar kejelasan selama proses kebijakan berlangsung.
14
6.
Penggunaan sebuah format umum Pengembangan
kebijakan
dalam
format
umum
dapat
mempercepat
pengembangan tersebut dan akan seringkali memacu pertanyaan untuk dijawab yang biasanya tidak muncul. Format tersebut juga dapat membantu mengubah kebijakan menjadi bentuk yang dapat dicerna. 7.
Pemerolehan persetujuan dari pemilik dan para senior Sepanjang proses seharusnya terdapat suatu tinjauan ulang dan persetujuan secara berkala dari petugas yang pada akhirnya harus menyetujui kebijakan baru. Sebelum proses berlangsung, harus terdapat kesepakatan dalam keseluruhan tujuan dan dampaknya.
8.
Perencanaan komunikasi, publisitas, dan pendidikan Ketika suatu kebijakan disetujui, hasilnya dikomunikasikan kepada mereka yang membutuhkan informasi. Hal ini dapat bertukar secara luas. Disarankan untuk menentukan kelompok inti yang berminat dan opsi komunikasi praktis. Meliputi informasi kebijakan baru atau yang telah direvisi dalam publikasi yang ada. Beberapa isu mungkin memerlukan korespondensi khusus dan atau usaha-usaha pelatihan.
9.
Penginformasian secara online yang dapat diakses dari satu tempat Memiliki informasi online merupakan cara paling efektif dalam menyediakan informasi. Meletakkan seluruh informasi kebijakan dalam satu tempat mungkin merupakan hal yang sulit. Kantor yang berbeda sering kali memiliki kebijakan dan prosedur sendiri-sendiri. Koordinasi di antara bagian tersebut merupakan hal penting untuk mendapatkan kemudahan akses bagi pengguna. Membuat satu lokasi gabungan juga dapat meyakinkan komunitas bahwa daftar kebijakan sudah lengkap. Pengaturan informasi dalam basis data dapat dipertimbangkan untuk memfasilitasi kemampuan pencarian dan pengurutan.
10. Penyajian kemampuan dalam pencarian Orang-orang menggunakan cara yang berbeda-beda dalam mencari informasi. Seseorang akan mengingatnya sebagai kebijakan SDM sementara yang lain mengingatnya
menggunakan
judul
atau
nomornya.
Lainnya
masih
menggunakan kata kunci atau nomor form yang berhubungan dengan kebijakan. Alat bantu pencarian seharusnya menyediakan sebanyak mungkin
15
pilihan. Ketika pengguna dapat melakukan pencarian full text dalam keseluruhan kebijakan dan prosedur, akan dapat diketahui akses kebijakan mana yang memiliki tingkat tertinggi. II. 3. 3 Tahap Perawatan 11. Pengembangan rencana untuk perencanaan dan review aktif Pemilik kebijakan bisa jadi tidak memiliki waktu atau cenderung menyimpan arus informasi. Suatu metodologi atau proses pelatihan dibutuhkan untuk memandu mereka. Pengembangan baru dalam perangkat lunak manajemen dokumen
dapat
membantu
masalah
ini.
Audit
seringkali
dapat
mengidentifikasi informasi yang perlu di-update. 12. Pendorongan pengguna untuk mendapatkan umpan balik Orang-orang yang menggunakan kebijakan membantu kebijakan tersebut tetap akurat. Pengguna juga seringkali yang pertama kali tahu bahwa suatu kebijakan sudah tidak berlaku lagi. Kemudahan dalam mendapatkan umpan balik tersebut membantu dalam merawat kebijakan. 13. Penyimpanan perubahan dan tanggal release terbaru sebagai “tanggal yang efektif” Anggota kelompok lain juga perlu mengetahui apa yang telah terjadi belakangan ini. Suatu kebijakan juga perlu dicatat waktu perubahannya, apa perubahannya, siapa yang melakukan perubahan tersebut, dan sebagainya. 14. Pengukuran dampak dengan monitor atau pengujian Terdapat banyak faktor yang mendorong orang untuk menggunakan suatu kebijakan seperti halnya pelatihan tepat dan menjadikannya mudah untuk dibaca, ditemukan, dan dipahami. Meyakinkan bahwa suatu kebijakan tersebut akurat dan up-to-date akan meningkatkan kepercayaan dan penggunaan. Oleh karena itu, pertimbangan dalam menggunakan pengukuran dapat dikembangkan untuk mengukur tingkat efektifitas dari suatu kebijakan, misalnya dengan menghitung banyaknya hit pada website dan sebagainya.
16
II. 4 Beberapa Studi Terkait II. 4. 1 Studi dari Stuart Nagel tentang Hal-hal yang Mendorong Munculnya Kreatifitas dan Kebijakan Stuart Nagel dalam papernya yang berjudul “Creativity and Policy Studies” mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kebijakan publik dengan kreatifitas. Terdapat dua hal mendasar dalam hubungan ini, yaitu bagaimana suatu kebijakan dapat membantu menstimulasi kreatifitas serta bagaimana kreatifitas dapat membantu meningkatkan kebijakan publik. Kebijakan publik yang mendorong kreatifitas di antaranya adalah hal-hal yang berhubungan dengan: 1.
Kompetisi politik
2.
Metode analisis kebijakan dan institusi yang lebih baik
3.
Kompetisi bisnis
4.
Pajak dan subsidi
5.
Meningkatnya produktifitas
6.
Masa kanak-kanak yang mendorong kreatifitas
7.
Pengambilan resiko yang inovatif
8.
Kepekaan terhadap biaya
9.
Kombinasi dari pesimis dan optimis
10. Pencapaian tujuan yang lebih tinggi Beberapa dari stimulan di atas merupakan bagian dari budaya, bukan hanya bentuk dari kebijakan publik baik resmi maupun tidak resmi. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong peningkatan inovatif dalam kebijakan publik meliputi: 1.
Faktor pendorong, yang meliputi orang lain dan komitmen
2.
Fasilitator, meliputi literatur, gaya kerja, dan pembuatan keputusan multikriteria
3.
Faktor penarik, seperti reward (penghargaan)
4.
Konsultan sebagai sumber dari tujuan kebijakan dan alternatifnya
17
5.
Observasi statistik
6.
Pengambilan keputusan
7.
Analisis kepekaan atau eksperimen
8.
Intuisi
II. 4. 2
Paper dari Busono Soerowirdjo, M. Akbar Marwan, dan M. Faisal Adi S tentang Pemantauan Jaringan Komputer di Perguruan Tinggi
Busono Soerowirdjo, M. Akbar Marwan, dan M. Faisal dalam tulisannya “Pemonitoran Trafic pada Jaringan Komputer Universitas Gunadarma” menjelaskan bahwa mereka telah melakukan observasi penggunaan internet selama satu bulan. Observasi ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi yang bernama Agile Internet Advisor WAN. Berikut ini adalah grafik hasil pengamatan tersebut:
Gambar II.2 Grafik pemantauan jaringan komputer Universitas Gunadarma (Sumber: Soerowirdjo, 2004) Gambar di atas memperlihatkan grafik dari hasil pemonitoran jaringan komputer di Universitas Gunadarma. Sisi Line merupakan traffic bandwidth dari internet menuju jaringan komputer Universitas Gunadarma, sedangkan sisi Equipment merupakan traffic bandwidth dari jaringan komputer Universitas Gunadarma menuju internet.
18
Tingginya traffic bandwidth menunjukkan padatnya pada sisi Line. Pemakaian rata-rata berkisar antara 38,22 % - 98,63 % dengan throughput rata-rata sebesar 391 kbps – 1009 kbps. Sedangkan traffic bandwidth pada sisi Equipment bisa dikatakan tidak terlalu padat. Pemakaian rata-rata berkisar antara 8,70 % - 23,67 % dengan throughput rata-rata sebesar 89 kbps – 242 kbps. Hal lain yang ditunjukkan pada grafik tesebut adalah bahwa pada umumnya traffic padat antara pukul 10:00 sampai pukul 17:00, yang berkisar antara 90 % - 99 %. Traffic yang terpadat terjadi antara pukul 10:00 sampai pukul 12:00 dan antara pukul 15:00 sampai pukul 17:00, yang mencapai 99 % dari kapasitas saluran sebesar 1 MB.
II. 5 Pengamatan Kebijakan Penggunaan Internet di Beberapa Institusi Sebagai bahan perbandingan pada kajian penggunaan kebijakan terhadap pengamatan teknologi informasi di ITB, penulis mengamati berbagai institusi pengguna kebijakan ini baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun beberapa universitas yang menjadi obyek pengamatan penulis di antaranya sebagai berikut: 1.
Cornell University (New York, USA)
2.
Curtin University of Technology (Perth, Western Australia)
3.
University of Melbourne (Victoria, Australia)
4.
University of Michigan (Michigan, USA)
5.
North-West University (South Africa)
6.
Nanyang Technological University (Singapore)
7.
Northwest Christian University (Oregon, USA)
8.
Furman University (South Carolina, USA)
9.
University of Winnipeg (Manitoba, Canada)
10. Idaho State University (Idaho, USA) 11. Notre Dame University (New South Wales, Australia) 12. Australian Catholic University (Australia)
19
13. Monash University (Australia, Malaysia, Eropa, Africa) 14. Massachusetts Institute of Technology (Massachusetts, USA) 15. Malaysia University of Science and Technology (Malaysia) 16. Universitas Indonesia (Indonesia) 17. Griffith University (New South Wales, Australia) 18. University of South Africa 19. University of Cape Town (South Africa) 20. European University Institute (Italia) Pengamatan tersebut dilakukan dengan penelusuran portal beberapa perguruan tinggi, yaitu universitas yang mem-publish-kan kebijakan penggunaan teknologi informasinya melalui website-nya, baik melalui halaman web maupun berupa dokumen yang dapat di-download. Adapun ringkasan dari pengamatan di tiap-tiap perguruan tinggi di atas akan dipaparkan pada bab selanjutnya. Penulis berharap keduapuluh perguruan tinggi yang dipilih di atas telah mewakili lima benua di dunia, yang berarti dapat mewakili lima budaya, letak geografis, maupun teknologi yang berbeda pula. Selain itu, perguruan tinggi tersebut terpilih karena memiliki kebijakan penggunaan internet yang di-publish-kan melalui website mereka.
20