II TINJAUAN PUSTAKA
1. Fitoplankton Plankton merupakan organisme yang berukuran sangat renik yang hidup melayang-layang dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang sangat lemah sehingga perpindahannya sangat dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Plankton yang berukuran mikroskopis meliputi tumbuhan dan hewan. Golongan dari tumbuhan disebut fitoplankton dan dari hewan disebut zooplankton (Odum 1971; Sverdrup et al. 1972; Nybakken 1992; Parsons et al. 1984). Pengelompokan plankton biasanya didasarkan pada ukuran (net dan non-net plankton), habitat (haliplankton dan limnoplankton) dan daur hidup (holoplankton dan meroplankton). Berdasarkan ukurannya, Levinton (1982) dan Nybakken (1992) mengelompokkan plankton atas ultraplankton (< 2 μm), nanoplankton (2-20 μm), mikroplankton (20-200 μm), makroplankton (0,22 mm), dan megaplankton (>2 mm). Kilham dan Hecky (1988) menyatakan bahwa fitoplankton lautan didominasi oleh sejumlah jenis Chrysophyta yaitu diatom, cocolithophore, dan silicoflagelata, serta Pyrrhophyta (dinoflagellata). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa, beberapa kelompok lain dari fitoplankton ada yang kadang-kadang melimpah, tetapi mereka diwakili oleh jenis yang sangat sedikit. Ini meliputi Cyanophyta (cyanobacteria; sebagai contoh jenis-jenis dengan ukuran sel yang sangat kecil dari Synechococcus atau berkas-berkas besar dari filamen Oscillatoria [Trichodesmium]).
Anggota lain dari fitoplankton lautan adalah
Halosphaera (divisi Chlorophyta, class Prasinophyceae) yang memiliki sel-sel hijau berbentuk bola. Berdasarkan Levinton (1982), komponen-komponen fitoplankton terutama terdiri dari Diatom (kelas Bacillariophyceae), Dinoflagellata, Cocolithophore dan alga coklat-emas lainnya (kelas Haptophyceae), Blue green alga (kelas Cyanophyceae disebut juga Cyanobacteria), Green alga (kelas Chlorophyceae), dan Flagellata Cryptomonas (kelas Cryptophyceae). Masing-masing komponen tersebut memiliki ukuran tubuh serta bentuk-bentuk sel yang berbeda dan
6 menyumbangkan komposisi yang bervariasi pula terhadap struktur komunitas fitoplankton, serta kehadirannya dapat mencirikan kondisi lingkungan tertentu. Sebaran fitoplankton di laut dipengaruhi oleh banyak faktor baik fisika, kimia, maupun biologi. Penelitian dan tulisan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran fitoplankton di laut telah banyak dilakukan oleh para ahli. Parsons et al. (1984) menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, suhu, salinitas, nutrien, dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan perairan. Cebrian dan Valiela (1999) menunjukkan pada ekosistem pantai tertutup dan terbuka di daerah temperate bagian utara, terdapat dua pola puncak biomassa fitoplankton, yaitu pada akhir musim dingin dan gugur di perairan ekosistem pantai tertutup, sedangkan pada perairan ekosistem pantai terbuka umumnya mencapai puncak dalam musim semi dan akhir musim panas. Interaksi antara kedalaman terbatas atau pencampuran pasang surut dengan variasi musiman cahaya di ekosistem pantai tertutup cenderung bertanggunjawab terhadap perbedaan tersebut. Selain itu ditunjang pula oleh tingginya konsentrasi nutrien di kolom air. Penelitian yang dilakukan oleh Chang dan Gall (1998) di daerah Subtropical Convergence (STC) pada tiga lokasi mendapatkan bahwa, komposisi jenis dan standing stok/biomassa fitoplankton berbeda secara regional dan musiman (musim semi dan musim dingin). Pada kedua musim tersebut, diatom berukuran besar mendominasi pada lokasi frontal dari STC baik musim dingin maupun semi, dan terutama pada musim semi menyebabkan pengurangan dissolved reactive silicate (DRSi) dan NO3-. Hal yang sama ditemukan pula pada lokasi kedua, yaitu di pertengahan daerah subtropik antara pantai Timur dan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jenis berukuran besar di kedua lokasi tersebut dibatasi oleh kedua unsur tersebut. Pada lokasi di sub antartik atau daerah dengan nutrien tinggi rendah klorofil (Hight Nutrients Chlorophyll Low) jenis berukuran kecil lebih mendominasi, ini memberikan indikasi bahwa biomassa dan kelompok fitoplankton kelihatannya dibatasi oleh konsentrasi Fe (iron).
7 Laju pertumbuhan fitoplankton di perairan estuari maupun perairan pantai menunjukan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi bio-fisika-kimia. Kondisi biogeokimia dimaksud antara lain berupa; flushing (Ferreira et al. 2005), toleransi salinitas (Ferreira et al. 2005; Caraco et al. 1987), cahaya, unsur hara, (Ferreira et al. 2005; Smith 1984; Hecky & Kilham 1988; Howarth 1988; CulvinAralar et al. 2004) maupun pemangsaan (Ferreira et al. 2005; Levinton 1982). Dengan begitu penyebaran fitoplankton di peraiaran estuari dan pantai, akan mengikuti distribusi dari kondisi bio-fisika-kimia tersebut. Zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak ialah nitrogen dan fosfor. Disamping itu, silikat juga merupakan salah satu hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan organisme laut (Nybakken 1988). Kelimpahan komunitas fitoplankton di laut sangat berhubungan dengan kandungan nutrien seperti fosfat, nitrat, silikat, dan hara lainnya. Kandungan nutrien dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya fitoplankton yang padat dapat menurunkan kandungan nutrien dalam air. Perubahan komposisi fitoplankton selanjutnya dapat mempengaruhi komposisi zooplankton dan komunitas plankton secara keseluruhan dalam suatu ekosistem (Prescott 1963). Komunitas fitoplankton akan mengalami suatu suksesi dominasi jenis secara terus menerus. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi dominasi dan suksesi jenis meliputi cahaya, konsentrasi dan rasio unsur hara, dan bentukbentuk kimia unsur hara (Goldman & Carpenter 1974). Peningkatan unsur hara yang terus menerus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan struktur komunitas fitoplankton, bahkan pada estuari yang kaya nutrien. Karena jenis fitoplankton memperlihatkan perbedaan kebutuhan untuk berbagai nutrien, perubahan pada struktur komunitas terjadi karena perubahan fluks dan konsentrasi relatif unsur hara (Sanders at al. 1987). Kebutuhan fitoplankton akan unsur hara dapat dibedakan atas unsur hara makro, mikro yaitu sejumlah unsur kelumit berupa trace elemen, dan nutrien organik. Unsur hara makro meliputi karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potasium, dan kalsium. Unsur mikro atau trace elemen meliputi Fe, Cu, dan vanadium, sedangkan nutrien organik berupa vitamin (Valiela 1982).
8
2. Produktivitas Primer Selain berperan dalam perikanan, produktivitas primer juga penting dalam kaitan dengan lingkungan. Produktivitas perairan dapat digunakan untuk menduga produksi ikan atau potensi sumberdaya perikanan dengan mengetahui faktor efisiensi ekologi dalam rantai makanan (Kaswadji et al. 1993). Pada pendekatan tropo dinamik dalam ekosistem, diusahakan untuk diukur produksi pada setiap tingkat. Produksi adalah penyatuan materi organik baru ke dalam jaringan hidup, yang berarti pertambahan biomassa. Untuk tumbuhan dilakukan melalui proses fotosintesis, disebut juga produktivitas primer (Miller 2004; Siege 2004; Valiela 1995; Lederman 1988). Secara umum dianggap bahwa produktivitas primer di laut adalah fotosintesis dari senyawa-senyawa karbon organik oleh fitoplankton, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetis (Lederman 1988; Nybakken 1988). Unsurunsur lingkungan yang penting untuk reaksi fotokimia ini adalah energi matahari, CO2, air, dan nutrien, sedangkan laju fotosintesis di laut biasanya dikontrol oleh ketersediaan cahaya matahari dan nutrien. Kirk (1994) mengemukakan bahwa proses fotosintesis dapat dibagi atas dua bagian, reaksi terang dan reaksi gelap. Secara ringkas dijelaskan bahwa, pada reaksi terang akan dibebaskan oksigen yang bersumber dari air serta dihasilkan energi bebas yang bersumber dari serangkaian perubahan ADP (Adenosine diphosphate) dan fosfat inorganik menjadi ATP (Adenosine triphosphate). Sedangkan pada reaksi gelap, akan dihasilkan karbohidrat yang direduksi dari karbondioksida dan menghasilkan sejumlah energi bebas, yang sumbernya berasal dari degradasi (decay) ATP yang telah dibentuk selama reaksi terang. Energi yang terikat oleh fotosintesis tersedia untuk sintesis biomassa baru, namun pada saat yang sama beberapa dari energi itu digunakan untuk pengaturan (maintanance) biomassa yang ada. Proses pengaturan ini disebut respirasi dan secara efektif berlawanan dengan proses fotosintesis, respirasi pada akhirnya merubah energi kimia yang terikat menjadi energi radiasi yang dibaurkan sebagai panas. Produksi primer kotor adalah fotosintesis total yang dihasilkan, sedangkan produksi primer bersih adalah produksi primer kotor dikurangi respirasi. Produksi
9 primer bersih adalah yang tersedia untuk herbivora (Miller 2004; Siege 2004; Valiela 1995; Lederman 1988). Jadi besarnya energi dari biomassa tumbuhan adalah hasil dari keseimbangan antara fotosintesis dan respirasi, dan laju fotosintesis yang teramati adalah hasil bersih dari dua proses tersebut, sementara respirasi biasanya dianggap : (1) terkait dengan biomassa dan konstant sepanjang waktu percobaan, dan (2) sebanding dengan kehilangan energi yang terikat yang akan berlangsung pada reaksi gelap pada suhu yang sama (Kirk 1994). Faktor-faktor yang membatasi produktivitas primer fitoplankton di perairan di antaranya adalah intensitas cahaya matahari, suhu, unsur hara, dan biomassa fitoplankton (Siege 2004; Valiela 1995; Parsons et al. 1984). Penyebaran produktivitas primer fitoplankton bervariasi secara luas. Variasi tersebut berkaitan dengan lintang geografis dan musim. Di daerah temperate pada musim dingin, cahaya seringkali membatasi nilai produktivitas primer (Holm-Hansen et al. 2004; Diaz at el. 2002; Malone et al. 1988; Gibss & Vant 1997), sedangkan di daerah tropis ketersediaan nutrien sering menjadi faktor pembatas produktivitas primer fitoplankton (Miller 2004; Burnes & Hughes 1999; Valilela 1995). Selain musim fraksi ukuran dari fitoplankton juga memperlihatkan laju produktivitas primer dan biomassa fitoplankton yang berbeda (Vant & Safi, 1996). Pada daerah di sekitar Kutub Utara produktivitas dan biomassa fitoplankton juga dipengaruhi oleh konsentrasi Fe, sementara konsentrasi Fe dipengaruhi oleh pencampuran massa air yang berbeda (Holm-Hansen et al. 2004).
Menurut
Raymont (1980) ada suatu hubungan yang positif antara
kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer, yaitu jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi, maka perairan tersebut cederung mempunyai produktivitas primer yang tinggi pula. Hubungan produksi fotosintesis dengan laju suplai energi cahaya (diukur sebagai irradiance atau intensitas, dalam watt per unit area) berlangsung dalam bentuk yang umumnya membentuk kurva linier maksimum. Umumnya akan terbagai dalam tiga fase yang berbeda yaitu; a). Peningkatan dibatasi cahaya, b). Cahaya jenuh dan c). Penurunan karena dihambat cahaya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dengan peningkatan cahaya dari nol, fotosintesis awalnya akan meningkat secara perlahan, kemudian seiring dengan bertambahnya intensitas
10 cahaya nilai fotosintesis akan meningkat dengan cepat (secara proporsional) hingga mencapai jenuh atau mencapai titik plateu. Pada titik ini peningkatan cahaya tidak diikuti oleh peningkatan fotosintesis (nilai fotosintesis cenderung tetap)
dengan
kata
lain
intensitas
cahaya
menghambat
fotosintesis
(photoinhibiton). Di atas intensitas cahaya jenuh, peningkatan intensitas cahaya akan mengakibatkan penurunan dalam nilai fotosintesis (Barnes & Huges 1999; Kirk 1994; Valiela 1995; Miller 2004; Levinton 1982; Sigee 2004). Distribusi fotosintesis dengan kedalaman perairan juga memperlihatkan fenomena yang umum. Pada permukaan perairan niliainya cenderung rendah, kemudian meningkat secara perlahan dengan bertambahnya kedalaman sampai mencapai maksimum, kemudian menurun lagi hingga mencapai nilai nol. Hal ini terjadi, berkaitan dengan penyebaran intensitas cahaya matahari di perairan secara vertikal. Ada dua teknik standar untuk mengukur fotosintesis yaitu metode penyerapan 14C dan metode perubahan oksigen. Kedua metode mengukur secara langsung perubahan terus menerus dari substrat atau hasil fotosintesis dan masingmasing memiliki kekurangan dan kelebihan.
3. Cahaya Menurut Kirk (1994), intensitas dan distribusi spektrum radiasi matahari yang diterima oleh bumi adalah fungsi dari karakteristik emisi dan jarak dari matahari. Flux radiasi matahari yang menimpa permukaan bumi adalah sekitar 1,775 x 1014W, dan total energi radiasi yang diterima bumi dari matahari setiap tahun adalah sekitar 5,53 x 1024 J. Selanjutnya dikatakan pula, meskipun kondisi langit jernih, intenitas seberkas cahaya matahari secara nyata berkurang selama melewati seluruh atmosfir. Pengurangan intensitas ini, sebagian karena scatering oleh molekul-molekul udara dan partikel-partikel debu dan sebagain karena penyerapan oleh uap air, oksigen, ozon, dan karbon dioksida di atmosfer. Pada saat posisi matahari tegak lurus di atas kepala, total radiasi matahari pada suatu permukaan laut horizontal berkurang sekitar 14% karena penguapan, dan sekitar 40% karena kelembaban serta debu di atmosfer, dibandingkan terhadap nilai di
11 atas atmosfer. Ketinggian cahaya matahari di atmosfer juga berpengaruh terhadap radiasi cahaya matahari yang mencapai bumi. Menurut Levinton (1982), energi dari sumber cahaya matahari dapat disimbolkan dalam bentuk-bentuk unit energi, seperti Langley per menit (gcalm-2min-1). Sudut datang sinar matahari yang berbeda-beda dalam sehari, lintang, dan faktor-faktor lainnya berperan terhadap distribusi spektrum cahaya yang menimpa permukaan laut dan sejumlah tertentu akan dibaurkan balik. Distribusi spektrum cahaya yang menimpa permukaan laut tersebut, meliputi suatu bagian besar dari spektrum infra merah hingga ultraviolet, tetapi hanya bagian spektrum cahaya tampak yang berpenetrasi ke bagian yang lebih dalam. Cahaya berkurang dalam kolom air melalui penyerapan dan pembauran. Pembauran dapat dilakukan oleh molekul-molekul air, materi organik terlarut, materi inorganik dan organik pertikulat, dan plankton hidup itu sendiri. Cahaya matahari yang menembus permukaan laut akan mengalami dua perubahan penting. Pertama, energinya akan semakin berkurang secara eksponensial dan kedua, lebar spektrumnya semakin menyempit. Di perairan samudra, gelombang cahaya biru (475 nm) yang paling dalam dapat menembus laut, sedangkan di perairan pantai bergeser ke gelombang yang lebih panjang (hijau sampai kuning). Secara esensial semua serapan cahaya yang berlangsung di perairan alami disebabkan karena empat komponen dalam ekosistem perairan tersebut: air itu sendiri, pigmen-pigmen kuning (substansi humic) yang terlarut, biota fotosintesis, dan materi-materi partikulat yang mati (Kirk 1994). Menurut Levinton (1982), intensitas cahaya umumnya sangat tinggi dekat permukaan sehingga fotosintesis dapat terhambat melalui pemutihan (bleaching) pigmen fotosintesis seperti klorofil-a, atau produksi pigmen penangkap sinar matahari lainnya. Fotosintesis fitoplankton menggunakan klorofil-a, b, c, dan berbagai variasi accessory pigmen seperti fucoxantin dan peridinin, untuk menggunakan secara maksimal semua radiasi cahaya dalam spektrum cahaya tampak. Dalam penggunaan panjang gelombang 400-700 nm, cahaya yang diserap oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi atas (a) cahaya dengan panjang gelombang lebih besar dari 600 nm, diserap terutama oleh klorofil, dan (b) panjang gelombang cahaya kurang dari 600 nm, diserap terutama oleh accessory pigmen.
12 Kelompok-kelompok fitoplankton akan berespon secara berbeda terhadap jumlah intensitas cahaya matahari yang tiba. Respon ini kemudian menghasilkan fitoplankton yang senang cahaya sun type dan yang kurang senang dengan cahaya shade type. Tipe sun akan memiliki nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya yang juga tinggi. Yang tergolong tipe shade, akan beradaptasi dengan baik pada intensitas cahaya rendah, dan menghasilkan nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya rendah (Parsons et al. 1984).
4. Unsur hara Unsur hara merupakan faktor penting dalam proses produksi fitoplankton. Unsur hara ini ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak, ada pula yang sedikit. Parsons et al. (1984) membagi nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton menjadi dua bagian yaitu : (1) nutrien makro, dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, dan (2) nutrien mikro, dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Elemen-elemen yang termasuk nutrien makro antara lain C, H, N, P, Mg, dan Ca, sedangkan yang dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil termasuk nutrien mikro antara lain Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mo, Cl, V, dan Co Menurut Hecky dan Kilham (1988) tiga unsur nutrien utama yang dibutuhkan fitoplankton adalah
P (fosfat), N (nitrogen), dan Si (silikat).
Kebutuhan akan nutrien sangat berbeda antara fitoplankton yang hidup di perairan tawar maupun perairan laut.
Howarth (1988) menyatakan bahwa umumnya
komposisi unsur-unsur C:N:P pada fitoplankton laut mengikuti raio Redfield yaitu 106:16:1, atau sedikit di bawah ratio tersebut. Tumbuhan memanfaatkan nitrogen dalam bentuk senyawa anorganik. seperti NO3-N dan NH3-N. Nitrogen diserap oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Fitoplankton lebih menyukai menyerap ammonia daripada nitrat karena lebih banyak dijumpai baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch 1980). Selain itu, ammonia dapat secara langsung digunakan untuk sintesis asam amino tanpa merubah fase oksidasi (Levinton 1982). Menurut Effendi (2000), senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen
13 berubah menjadi amonia dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat. Fosfor tersedia di laut dalam bentuk fosfat (PO43-) terikat dalam berbagai molekul biologi seperti asam-asam amino, ADP, dan ATP (Miller 2004). Menurut Goldman dan Horne (1983) fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat (PO4) untuk pertumbuhan. Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa fosfor di air laut berada dalam tiga bentuk utama yaitu fosfor anorganik terlarut, fosfor organik terlarut, dan fosfor partikulat. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Konsentrasi fosfor di perairan umumnya berkisar dari 0.001 sampai 0.005 ppm (Boyd 1981). Silikon merupakan unsur kedua setelah oksigen yang cukup melimpah di alam (25,75%), yang terutama bersumber dari batuan granit. Batuan ini menyebar di sekitar teluk dan mencapai pula sungai. Secara alami, pencucian silikon batuan akan menjadi sumber penting silikon di laut, yang dibawah oleh aliran sungai ke dalam teluk, dan menyebabkan konsentrasi silikat meningkat di perairan pantai dan estuari (Yang et al. 2005). Ditambahakan bahwa, hanya diatom dan beberapa flagellata dari Chrysophyceae yang membutuhkan sejumlah besar silikon. Silikat diserap oleh fitoplankton dalam bentuk SiO2.nH2O. Kebanyakan dari senyawa ini digunakan untuk membangun dinding sel fitoplankton dan sisanya untuk mengatur biosintesis dalam fitoplankton. Asam silika adalah suatu unsur air laut penting untuk dinding sel diatom. Berkurangnya silika menghasilkan terhambatnya pembelahan sel dan dapat menekan aktivitas metabolisme sel. Di perairan alami, pengurangan silika dapat membatasi populasi fitoplankton dan dapat pula menyebabkan suksesi fitoplankton dari diatom ke fitoplankton yang tidak membutuhkan silika (Levinton 1982). Respon komunitas fitoplankton terhadap peningkatan konsentrasi unsur hara di ekosistem perairan pantai memiliki hubungan penting dalam ekologi laut dan memiliki implikasi yang luas dalam bentuk kualitas air maupun perikanan. Siklus tahunan produktivitas fitoplankton diatur oleh PAR (Photosynthetically Available Radiation), suhu, dan regenerasi nitrogen.
Variasi antar tahunan dan variasi
musiman dalam biomassa fitoplankton terjadi karena berkaitan dengan responnya
14 terhadap variasi dalam masukan air tawar dan dengan variasi masukan nitrat (Malone et al.1988). Umumnya unsur hara yang paling membatasi pertumbuhan fitoplankton di air tawar adalah fosfor dan di laut adalah nitrogen.
Pada zona eufotik dari
kebanyakan perairan, penyerapan fitoplankton mengurangi unsur-unsur tersebut ke konsentrasi yang sangat rendah. Rasio atom dari ketersediaan N:P dalam sistem air tawar secara umum lebih besar dari 15:1, rasio yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton. Di perairan laut, rasio ketersediaan N:P cenderung sama atau lebih rendah dari rasio Redfield 16:1. Rasio N:P yang lebih tinggi di perairan tawar mengindikasikan bahwa P merupakan unsur pembatas di perairan tawar. Di sisi lain, pada perairan pantai N biasanya merupakan nutrien pembatas. Hasil ini sesuai dengan rasio N:P yang relatif rendah yang dijumpai pada sistem perairan laut (Caraco et al. 1987). Bukti yang mendukung nitrogen sebagai nutrien pembatas di perairan laut dikemukkan pula oleh Gibbs dan Vant (1997) bahwa di perairan laut terdapat kekurangan NH4 dan NO3, sedangkan PO4 terdapat dalam jumlah yang melimpah dan tidak pernah berkurang sepanjang periode studi tersebut. Hasil ini didukung pula oleh percobaan pengayaan nutriennya, yang menunjukkan bahwa penambahan NH4 meningkatkan laju pertumbuhan fitoplankton hingga 15 kali lipat, sedangkan penambahan PO4 memperlihatkan perbedaan yang kecil dengan kontrol. Smith (2006) menyatakan bahwa di kebanyakan perairan pantai yang memiliki sensitifitas terhadap nutrien, eutrofikasi dapat menyebabkan peningkatan laju produktivitas primer, perubahan biomassa alga dan tumbuhan makro, pergantian dalam komposisi jenis alga dan tumbuhan makro, pengurangan populasi ikan dan kerang-kerangan, pengurangan kecerahan, kehilangan keanekaragaman habitat perairan yang cocok, dan penurunan oksigen di peraian dasar. Selanjutnya dikatakan bahwa, rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan estuari sangat tergantung pada konsentrasi rata-rata dari total nitrogen dan fosfor pada kolom air tersebut. Lebih jauh, rasio TN:TP di kolom air dapat dijadikan indikator terhadap unsur hara yang potensial membatasi pertumbuhan fitoplankton.
15
5. Suhu Suhu air adalah salah
satu sifat fisika perairan yang secara langsung
dipengaruhi oleh adanya radiasi atau perambatan cahaya ke dalam perairan. Suhu air merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme perairan. Di perairan suhu air dapat mempengaruhi produktivitas primer baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh suhu air secara langsung yaitu dengan meningkatnya suhu yang masih pada kisaran toleransi organisme nabati, akan meningkatkan laju metabolisme dan aktivitas fitoplankton yang ada di dalamnya. Suhu air juga mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan maupun penurunan populasi fitoplankton. Setiap jenis fitoplankton mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhannya, tetapi dengan berbagai jenis yang bercampur di dalam perairan alami dengan suhu dari 0 sampai 30 °C terjadi kenaikan laju pertumbuhan pada seluruh komunitas yang sesuai dengan kenaikan suhu (Welch 1980). Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi suhu. Peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum. Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi, yaitu antara 25 sampai 40 °C. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk komunitas fitoplankton (Harper 1992). Suhu dan salinitas mempengaruhi densitas air. Semakin dalam perairan, suhunya semakin rendah dan salinitas semakin meningkat, hingga rapat air juga meningkat yang selanjutnya membentuk stratifikasi yang kuat, dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam yang akan sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1980). Suhu di lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah tropis panas sepanjang tahun, yaitu 20-30°C. Di bawah air permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat pada kisaran kedalaman yang lebih dari 50-300 m (Nybakken 1988).
16
6. Kekeruhan Kekeruhan (turbiditas) adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut (APHA 1989). Padatan terlarut dan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kekeruhan sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Kekeruhan di perairan disebabkan oleh bahan organik tersuspensi, seperti liat, lempung, partikel karbonat, partikel organik halus, plankton, dan organisme renik lainnya. Bahan tersuspensi menyebabkan cahaya menjadi lebih tersebar dan diserap daripada ditransmisi. Ukuran dan karakteristik refraksi bahan partikel, secara optik penting untuk menunjang hubungan langsung dengan gravitasi spesifik dan konsentrasi suspensi. Pengukuran parameter ini sangat berguna untuk mengevaluasi stratifikasi secara mikro dari organisme-organisme antar lapisan perairan (Stewart et al. 1965, diacu dalam Wetzel dan Linkens 1979). Perairan yang mempunyai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air, sehingga membatasi proses fotosintesis. Produktivitas perairan dapat berkurang apabila dalam perairan terjadi kekeruhan tinggi yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi.
7. Salinitas Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuari khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil atau stenohaline (Kaswadji et al. 1993). Nontji (1984) menyatakan bahwa meskipun salinitas mempengaruhi produktivitas individu fitoplankton namun umumnya peranannya tidak begitu besar, sedang Chua (1970), diacu dalam Nontji (1984) mengatakan di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi jenis dari pada produktivitas secara keseluruhan. Karena salinitas bersama-sama dengan
17 suhu menentukan densitas air, maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan atau penenggelaman fitoplankton. Salinitas yang sesuai bagi fitoplankton adalah seperti yang dikemukakan oleh Sachlan (1982), yaitu di atas 20 promil biasanya ditemukan plankton laut. Salinitas seperti itu memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri di samping aktif melaksanakan proses fotosintesis.