TINJAUAN PUSTAKA
Fitoplankton dan Klorofil-a Fitoplankton adalah organisme laut yang melayang dan hanyut dalam air serta mampu berfotosintesis (Nybakken 1992). Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil-a, mampu melakukan reaksi fotosintesis, dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar matahari dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat (Nontji 2002). Oleh karena itu, fitoplankton disebut sebagai produsen primer karena memiliki kemampuan untuk membentuk zat organik dari zat anorganik. Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intesitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis (Nontji 2002). Energi yang digunakan dalam proses fotosintesis adalah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh pigmen hijau (klorofil-a). Deflin (1969) menjelaskan bahwa klorofil adalah pigmen hijau dari tumbuhan yang merupakan pigmen aktif yang paling penting dalam proses fotosintesis. Saat ini sedikitnya ada delapan tipe klorofil yang telah diketahui: klorofil-a, b, c, d dan e; bakterioklorofil a; bakterioklorofil b; dan clorobium chlorophyll/bakteriofiridin. Klorofil-a dan b lebih dikenal dan terdapat dalam jumlah yang banyak, sedangkan klorofil-c, d dan e hanya ditemukan dalam alga dan dengan kombinasi klorofil-a. Pada sebagian besar grup tumbuhan laut terdapat pigmen-pigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorbsi cahaya. Fungsi pigmen-pigmen ini menangkap dan mengumpulkan energi cahaya dengan kisaran panjang gelombang yang luas kemudian memindahkan energi tersebut ke klorofila untuk mengintroduksinya kedalam “reaksi sinar”. Pigmen-pigmen tambahan ini mampu mengabsorbsi sinar-sinar dalam spektral yang oleh klorofil-a tak mampu menyadapnya. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya secara maksimal pada panjang gelombang 430 nm dan 660 nm. Pigmen-pigmen pelengkap mempunyai kemampuan mengabsorbsi cahaya secara maksimal pada panjang gelombang yang berbeda-beda. Pigmen-pigmen tersebut antara lain: klorofil-b, -karoten, Xanthophyll, Fikoeritrin dan Fikosianin.
Namun demikian, hanya klorofil-a yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofila mampu mengubah sinar matahari menjadi energi kimiawi sehingga fotosintesis menghasilkan bahan organik. Sedangkan pigmen pelengkap, meskipun mampu menangkap sinar matahari, namun energi tersebut harus ditransfer terlebih dahulu ke klorofil-a, dan barulah energi tersebut dirubah oleh klorofil-a menjadi energi kimiawi sehingga berguna bagi fotosintesis (Basmi 1999). Dalam proses fotosintesis terjadi 2 rekasi utama yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Reaksi terang sangat bergantung kepada ketersediaan sinar matahari. Reaksi terang merupakan penggerak bagi reaksi pengikatan CO2 dari udara. Reaksi ini melibatkan beberapa kompleks protein dari membran tilakoid yang terdiri dari sistem cahaya (fotosistem I dan II), sistem pembawa elektron, dan komplek protein pembentuk ATP (enzim ATP sintase). Reaksi terang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, juga menghasilkan oksigen dan mengubah ADP dan NADP+ menjadi energi pembawa ATP dan NADPH. Reaksi gelap merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesis. Reaksi ini tidak membutuhkan cahaya. Bahan reaksi gelap adalah ATP dan NADPH, yang dihasilkan dari reaksi terang, dan CO2, yang berasal dari udara bebas. Dari reaksi gelap ini, dihasilkan glukosa (C6H12O6), yang sangat diperlukan bagi reaksi katabolisme. Klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan dan merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Pigmen-pigmen lainnya pada tumbuhan laut digunakan oleh klorofil-a untuk membantu mengabsorbsi cahaya yang tidak tertangkap secara maksimal oleh klorofil-a. Fungsi pigmen-pigmen ini menangkap dan mengumpulkan energi cahaya dengan kisaran panjang gelombang yang luas, kemudian memindahkan energi tersebut ke klorofil-a (Sumich 1992). Menurut Arinardi et al. (1997), perairan Indonesia yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran sungai (Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Selatan dan Papua) serta
berlangsungnya proses penaikan massa air lapisan dalam ke permukaan (Laut Banda, Laut Arafura, Selat Bali dan Selatan Jawa).
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi dan Distribusi Klorofil-a Klorofil-a merupakan pigmen hijau yang terdapat pada fitoplankton dan tumbuhan lain pada umumnya. Kemampuan fitoplankton untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik tidak lepas dari keberadaan cahaya matahari dan pigmen fotosintesis. Dilihat dari segi fisiologis, spektrum cahaya terpenting untuk fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton adalah cahaya biru. Absorbsi cahaya biru oleh fitoplankton lebih efektif dibandingkan cahaya hijau, oleh karena itu rata-rata kecepatan proses fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton lebih tinggi pada spektrum cahaya tersebut (Wallen and Geenn 1971, diacu dalam Yentsch 1974). Beberapa parameter fisika-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi nilai konsentrasi klorofil-a adalah nutrien, cahaya, suhu dan salinitas (Parson 1984). Dalam kondisi sangat baik, produksi fitoplankton sangat besar walaupun tiap unitnya kecil. Suhu, salinitas dan suplai nutrien sangat diperlukan untuk pertumbuhan (King 1963). Menurut Weyl (1970), kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh unsur hara seperti fosfat, nitrat dan silikat. Mann dan Lazier (1991) menambahkan bahwa fitoplankton dipengaruhi oleh keadaan fisik lautan seperti cahaya matahari, angin dan gelombang. Suhu Suhu merupakan parameter yang penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di laut. Berpengaruh secara langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu sampai mencapai batas tertentu antara 25 – 40 0C (Reynold 1984) dan peningkatan suhu sebesar 10 0
C (misalnya dari 10 0C ke 20 0C) akan meningkatkan laju fotosintesis maksimum
menjadi 2 kali lipat. Pengaruh suhu secara tidak langsung pada kehidupan di laut
adalah suhu mempengaruhi daya larut gas karbondioksida (CO2) dalam air laut. Daya larut CO2 dalam air laut berkurang bila suhu air laut naik dan akan bertambah dengan adanya penurunan suhu. Suhu juga menentukan struktur hidrologis perairan dalam hal kerapatan air (water density). Semakin dalam perairan, suhu akan semakin rendah dan kerapatan air meningkat sehingga menyebabkan laju penenggelaman fitoplakton berkurang (Raymont 1981). Menurut Nontji (2002), suhu air permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari. Oleh karena itu maka suhu permukaan akan mengikuti pola musim. Setiap jenis fitoplankton memiliki suhu optimal sendiri, kondisi ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang sampai pada perairan. Kisaran suhu yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20 – 30 0C (Effendi dan Susilo 1998). Suhu lautan bervariasi sesuai kedalaman. Suhu air permukaan di daerah tropik berkisar antara 20 – 30 0C karena terjadi pemanasan sepanjang tahun. Di bawah air permukaan yang hangat, suhu mulai menurun dengan cepat pada kisaran kedalaman yang sempit yaitu antara 50 – 300 m. Zona ini disebut zona termoklin. Di bawah termoklin, suhu terus turun dengan bertambahnya kedalaman tetapi penurunannya lebih lambat, sehingga massa air di bawah lapisan termoklin hampir isothermal sampai dasar permukaan. Air di lapisan bawah mempunyai suhu rendah dibandingkan suhu air permukaan. Di daerah tropis, suhu mempunyai variasi yang lebih kecil dibandingkan daerah subtropis yang mempunyai perbedaan suhu mencapai 3 – 5 0
C. Keadaan tersebut disebabkan oleh angin yang hampir selalu mengaduk lapisan
permukaan laut, sehingga di daerah tropis umumnya termoklin dijumpai lebih dalam dibandingkan daerah subtropis, sehingga perbedaan suhu lapisan di bawahnya kurang terlihat nyata. Penurunan suhu permukaan laut dapat terjadi pula setelah suatu perairan dilewati taifun (Pariwono et al. 1988). Suhu Permukaan Laut (SPL) Indonesia secara umum berkisar antara 26 – 29 0
C. Karena perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin musim, maka sebaran
SPLnya pun mengikuti perubahan musim. Menurut Effendi dan Susilo (1998),
pengaruh suhu sebagai pembatas terjadinya fotosintesis akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. Menurut Wyrtky (1961), susunan stratifikasi suhu massa air di perairan Indonesia memiliki 3 lapisan air. Susunan tersebut terdiri dari lapisan tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dingin. Pada lapisan tercampur, suhu berkisar antara 28 – 31 0C. Lapisan termoklin menunjukan penurunan suhu dengan cepat (dari 28 menjadi 9 0C) terhadap kedalaman. Sedang pada lapisan dingin suhu berkisar antara 2 – 9 0C. Suhu air permukaan merupakan lapisan yang hangat karena mendapat radiasi sinar matahari pada siang hari. Karena faktor angin, maka lapisan atas sampai kedalaman 50 -70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat yang homogen. Adanya pengaruh arus dan pasang surut, menyebabkan lapisan ini dapat menjadi lebih tebal dan di perairan dangkal lapisan homogen bahkan bisa sampai dasar perairan. Suhu di lapisan termoklin sudah tidak terpengaruh oleh kondisi meteorologi, tetapi ditentukan oleh kedalaman ambang (sill depth) dan sirkulasi di lapisan dalam (Nontji 1984). Transmisi Cahaya Tubalawony (2000) mengungkapkan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan kandungan klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya untuk proses fotosintesis, sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan tercampur atau bagian atas lapisan termoklin jika dibandingkan dengan lapisan pertengahan atau bagian bahwah termoklin. Menurut Parsons et al. (1984), transmisi cahaya (kecerahan perairan) adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami transmisi cahaya sangat penting karena berkaitan dengan aktivitas fotosintesis fitoplankton. Transmisi cahaya erat kaitannya dengan partikel-partikel tersuspensi di dalam air yang akhirnya mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya. Semakin tinggi kecerahan, semakin dalam penetrasi cahaya ke dalam kolom air. Terbatasnya penetrasi cahaya tersebut berpengaruh terhadap efektivitas fotosinesis fitoplakton (Basmi et al. 1995).
Menurut Nontji dan Illahude (1975), banyak faktor yang mempengaruhi kecerahan perairan. Kecerahan perairan tidak hanya bergantung pada kedudukan matahari dan cuaca tetapi dapat disebabkan oleh benda-benda yang terdapat di dalam air, baik yang terlarut maupun partikel-partikel yang melayang di dalamnya. Partikel-partikel yang melayang ini biasanya terdiri dari plankton, detritus dan benda-benda lainnya. Intensitas Cahaya Klorofil menyerap cahaya yang dibutuhkan oleh fotosintesis. Sebagai akibat dari penyerapan cahaya oleh klorofil, maka air dan karbondioksida menjadi gula dan oksigen dengan persamaan reaksi: Cahaya 6CO2 + 6H2O
C6H12O6 + 6O2 Klorofil-a
Intensitas cahaya adalah kuantitas energi yang diterima di permukaan bumi pada waktu dan wilayah tertentu. Jumlah energi yang diterima perairan bergantung pada kualitas, kuantitas dan lamanya penyinaran pada permukaan perairan yang tidak tertembus secara sempurna ke dalam kolom perairan, sebagian diabsorbsi dan sebagian dipantulkan kembali. Cahaya yang jatuh pada permukaan perairan umumnya terdiri dari cahaya langsung (direct) yang berasal dari cahaya matahari dan cahaya yang disebarkan (difusi) terutama dari awan (Cole 1988). Air mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap cahaya yang menembusnya. Karena air menyerap cahaya, semakin dalam kita berada di dalam suatu perairan semakin kecil energi cahaya yang tersedia, dan pada suatu kedalaman tertentu tidak ada cahaya sama sekali. Bagi tumbuhan akuatik hal ini berarti bahwa kedalaman tertentu energi cahaya hanya cukup untuk mengikat energi dengan laju yang sama dengan laju pemanfaatan energi dalam prosesproses metabolik. Dengan kata lain, pada suatu kedalaman tertentu penggunaan energi untuk respirasi sama dengan kemampuan mekanisme fotosintetik untuk menghasilkan energi. Bila kemudian tumbuhan tenggelam lebih dalam, laju kebutuhan energi untuk respirasi akan tetap sama, tetapi intensitas cahaya yang
menurun tidak cukup bagi proses fotosintetik untuk menghasilkan laju energi yang sama dengan laju kebutuhan energi untuk respirasi. Dengan kata lain, tumbuhan akan kekurangan energi. Kedalaman dimana laju respirasi tumbuhan tepat sama dengan laju fotosintesis dinamakan kedalaman kompensasi. Di atas kedalaman kompensasi laju fotosintesis lebih besar dari pada laju respirasi, sehingga di sini ada kelebihan produksi karbon (C), atau suatu produksi primer bersih dapat berlangsung di sini (Nybakken 1992). Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan dipengaruhi oleh keawanan, posisi geografi dan musim. Dalam kondisi normal radiasi langsung hanya 47% sampai ke permukaan bumi, sedangkan selebihnya merupakan radiasi yang dikembalikan ke atmosfer (Ruttner 1973). Adanya
cahaya
matahari
pada
suatu
kedalaman
perairan
akan
mempengaruhi komposisi fitoplankton. Dalam hal ini fitoplankton memanfaatkan cahaya sebagai sumber energi untuk melangsungkan forosintesis, sehingga cahaya berperan dalam produktivitas primer (Basmi 1999). Aksi pertama pada proses fotosintesis adalah mengabsorbsi cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada tanaman yang berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400 – 720 nm yang diabsorbsi dan digunakan untuk fotosintesis (Govindjee dan Braun 1974; Nybakkken 1992). Menurut Parson et al. (1984), energi cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis terbatas pada panjang gelombang 300 – 720 nm. Radiasi total pada panjang gelombang ini disebut Photosynthetically Available Radiation (PAR atau PhaR). Definisi ini tidak memperhitungkan berapa energi cahaya yang benar-benar digunakan pada proses fotosinstesis.
Arus Air Laut Fitoplankton
memiliki
kemampuan
gerak
yang terbatas, sehingga
fitoplankton selalu terbawa oleh arus. Arus merupakan pergerakan secara vertikal atau horizontal massa air karena adanya tiupan angin, perbedaan densitas air dan pasang surut (Nontji 1984).
Pengaruh dari arus terlihat dari penyebaran
organisme laut. Arus permukaaan laut akan membawa fitoplankton dan nutrien lain mengikuti kecepatan dan pola dari arus (Nybakken 1992).
Kondisi arus permukaan di perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin. Pada wilayah Indonesia angin yang paling utama berhembus adalah angin musim (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua pembalikan arah yang disebut angin musim barat dan angin musim timur (Nontji 1984). Musim barat terjadi pada sekitar bulan Desember sampai Pebruari, yang umumnya angin bertiup sangat kencang dan curah hujan tinggi. Pada musim pancaroba awal tahun (April sampai dengan Mei) sisa arus dari musim barat mulai melemah dan bahkan arah arus tidak menentu hingga di beberapa tempat terjadi olakan-olakan (eddies). Pada bulan Juni sampai Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat; yang akhirnya menuju Laut Cina Selatan. Pada musim pancaroba akhir tahun, sekitar Oktober sampai dengan Nopember pola arus berubah lagi dan arah tidak menentu, tapi mulai bergerak dari arah timur ke barat (Wyrtki 1961). Menurut Arinardi et al. (1997), pada musin barat angin selama tiga bulan bertiup terus menerus dalam satu arah (kecepatan angin sekitar 30 – 45 Km/jam). Letak garis Laut Cina, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Bali, Laut Flores, Laut Banda Selatan dan Laut Arafura ternyata hampir berhimpit dengan sumbu bertiupnya angin. Oleh sebab itu pada musim barat laut, arus musim dari Laut Cina Selatan masuk Laut Jawa terus ke Laut Bali, Laut Flores, Laut Banda Selatan, Laut Arafura, dan sebagai arus kompensasi ada dua yaitu satu menuju ke Samudera Pasifik dan satunya lagi menuju ke Samudra Hindia.
Arus yang
menuju Samudra Pasifik berasal dari Laut Flores lewat Laut Banda Utara, Laut Seram dan Laut Halmahera, sedang arus yang menuju ke Samudra Hindia berasal dari Laut Banda Selatan lewat Laut Timor. Arus kompensasi lainnya berasal dari dari arus Katulistiwa Pasifik Utara (North Pasific Equatorial Current) yang lewat Laut Sulawesi, Selat Makasar dan Sumatera yang mengalir ke selatan Pantai Jawa dan dinamai Arus Pantai Jawa sedang yang terdapat di utara Irian Jaya dinamai Arus Pantai Irian (Wyrtki 1961). Pada musim timur terjadi keadaan yang sebaliknya Arus dari Laut Banda dan Laut Arafura masuk ke Laut Flores terus ke Laut Bali, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Arus ini diperkuat oleh arus kompensasi yang datang dari Samudra Pasifik yaitu satu melalui Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda Utara;
lainnya melewati Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Arus Pantai Jawa dan Arus Pantai Irian pada musim ini masing-masing diganti oleh pelebaran arus Katulistiwa Selatan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Wyrtki 1961). Penelitian tentang pengaruh gerakan air yang disebabkan oleh angin terhadap sebaran biomassa fitoplankton telah dilakukan selama bulan Mei – Juli tahun 1994 oleh Kaswadji (1995) di perairan Teluk Pelabuhan Ratu. Hasilnya, akibat tiupan angin menyebabkan lapisan tercampur paling tidak sedalam lima meter. Pada permukaan maupun di kedalaman lima meter biomassa fitoplankton menyebar mengikuti arus, dimana pengaruh arus akibat angin lebih dominan dibandingkan dengan arus pasang. Percampuran vertikal bukan saja menaikkan zat hara mendekati permukaan air, tetapi juga mengangkut sel-sel fitoplankton ke bawah menjauhi permukaan air. Apabila percampuran vertikal mengikutsertakan pula massa-massa air di bawah zona eufotik, ada kemungkinan sel-sel fitoplankton terseret ke bawah kedalaman kompensasi. Bila percampuran vertikal seperti ini berlangsung sangat intensif, sel-sel fitoplankton mungkin akan tinggal lebih lama di bawah kedalaman kompensasi. Pengaruh turbulensi ini menghasilkan konsep kedalaman kritis. Kedalaman kritis ialah kedalaman dimana fotosintesis total dalam kolom air sama dengan respiasi total. Letak kedalaman kritis selalu lebih dalam daripada kedalaman kompensasi karena berhubungan dengan suatu proses percampuran vertikal dimana populasi fitoplankton suatu saat ada di zona eufotik dan pada saat lain ada di bawahnya. Apabila fitoplankton ada di zona eufotik, laju fotosintesis melebihi laju respirasi dan fitoplankton menimbun bahan organik. Bila percampuran berlangsung hingga kedalaman yang dalam, hal ini berarti bahwa fitoplankton akan tinggal lama di bawah daerah eufotik. Akibatnya jumlah bahan organik yang digunakan fitoplankton untuk respirasi di bawah zona eufotik melebihi jumlah bahan organik yang dibentuk pada saat fitoplankton dalam zona eufotik. Tetapi bila percampuran vertikal oleh hembusan angin ini tidak melebihi kedalaman kritis, laju fotositesis melebihi laju respirasi dan terjadilah suatu kelebihan bahan organik dalam fitoplankton (Nybakken 1992).
Nutrien Nilai klorofil-a di lautan akan lebih tinggi nilai konsentrasinya pada daerah pantai dan pesisir, namun rendah di perairan laut lepas. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a diperairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya pasokan suplai nutrien melalui run-off sungai dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung (Nybakken 1992). Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela 1984). Dalam pertumbuhannya, fitoplankton membutuhkan beberapa unsur. Beberapa unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar yang disebut dengan hara makro (Macro-nutrien) misalnya : C, H, O, N, P, Si, S, Mg, K dan Ca, sedangkan yang masuk dalam kelompok mikronutrien adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Cl, Co dan Na (Odum 1971). Diantara unsur-unsur tersebut, unsur N, P dan Si adalah yang sering dijumpai sebagai faktor pembatas pertumbuhan algae. Unsur N dan P diperlukan oleh semua jenis algae, sedangkan Si terutama dibutuhkan oleh jenis-jenis yang dinding selnya mengandung kerangka silikat (Nybakken 1992). Pertumbuhan dan produksi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, tanpa unsur hara sel tidak dapat membelah, dan ketika unsur hara tersedia populasi sel mulai meningkat. Setiap spesies mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan konsentrasi unsur hara. Beberapa jenis dapat memanfaatkan unsur hara dari konsentrasi yang rendah sementara sebagian yang lain tumbuh dengan subur apabila unsur hara tersedia berlimpah (Mann 1982). Ketersediaan unsur-unsur nutrient dalam suatu perairan sangat tergantung dari masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi serta dari sistem pembentukan yang langsung di badan air itu sendiri (Parsons et al. 1984). Fluktuasi ketersediaan unsur hara ini dipengaruhi oleh
faktor sumber dari mana beban masukan hara itu berasal (Blackburn and Sorensen 1988). Di antara berbagai nutrien yang dapat berada dalam jumlah terbatas di laut, nitrat (NO3+), fosfat (PO4+) dan silikon terlarut (Si(OH)4) adalah yang paling sering dijumpai dalam konsentrasi sangat rendah (di bawah nilai setengah jenuh) yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton yang maksimum.
Fosfor Unsur fosfor yang terdapat dalam bentuk fosfat maupun zat hara anorganik, merupakan unsur utama yang diperlukan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak (Nybakken 1992). Fosfor merupakan elemen penting dalam aktivitas biologi. Konsentrasi fosfat ditentukan oleh sintesa metabolisme, proses dekomposisi, proses pencucian fosfat, pelapukan batuan, buangan domestik, detergen. Senyawa fosfat organik yang terkandung dalam air laut umumnya berada dalam bentuk ion (orto) asam fosfat, H2PO4. Pada penambahan senyawa nitrogen dan silikon, fosfat dapat menjadi salah satu substansi yang menjadi faktor pembatas bagi kehidupan tanaman. Fosfor berkurang dari lapisan permukaan sebagian besar disebabkan oleh fitoplakton dan meningkat kembali karena kematian dan dekomposisi organisme (Sverdup et al. 1942).
Silikat Silikat dalam air laut ditemukan dalam bentuk larutan seperti ion-ion silikat dan dalam bentuk tersuspensi seperti silikondioksida. ion silikat dan silikondioksida terdapat dalam air laut, daa tubuh diatom, dan organisme hidup lainnya dan dalam mineral-mineral tanah liat (Amstrong 1959, diacu dalam Riley dan Skirrow 1965). Di laut silikat merupakan salah satu zat hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme laut dalam. Diatom-diatom laut merupakan komponen terpenting dari flora laut. Seperti kebanyakan algae, jenis ini pada umumnya selain membutuhkan fosfat dan nitrat, juga membutuhkan silikat dalam jumlah yang
besar untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Lund 1950; Jorgensen 1953; Presscot 1969, diacu dalam Prisetiahadi 1994). Keberadaan silikat dalam suatu perairan erat kaitannya dengan kehadiran fitoplankton. Fitoplakton dari kelas diatom sangat membutuhkan kehadiran unsur ini, karena unsur ini dibutuhkan dalam pembentukan cangkang tubuh diatom. Perairan yang kaya silikat sangat disukai dan baik untuk kehidupan diatom (Prisetiahadi 1994).
Nitrogen Dibandingkan dengan silikon dan fosfor, pendauran nitrogen merupakan proses yang lebih kompleks. Siklus nitrogen di laut sangat kompleks karena nitrogen di laut berada dalam berbagai bentuk yang tidak mudah diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Bentuk-bentuk tersebut meliputi molekul nitrogen terlarut (N2) dan bentuk ion ammonia (NH4+), nitrit (NO2+), dan nitrat (NO3+), seperti juga senyawa organik seperti urea (CO(NH2)2). Bentuk dominan dari nitrogen di laut adalah ion nitrat, bentuk ini yang sering diserap oleh fitoplankton meskipun banyak spesies lain juga dapat memanfaatkan nitrit atau ammonia. Ada beberapa spesies fitoplankton yang juga dapat menyerap molekul-molekul kecil nitrogen organik, seperti asam amino dan urea. Laju penyediaan nitrogen dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton dapat membatasi produktivitas primer di perairan oligotrofik sepanjang tahun dan di perairan temperate selama musim panas (Blackburn and Sorensen 1985). Adanya beban masukan berupa bahan organik ke perairan dengan berbagai unsur haranya akan diregenerasi menjadi bahan anorganik oleh berbagai aktifitas bakteri melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi di kolom air. Nitrogen organik terlarut (Dissolved Organic Nitrogen, DON) dan nitrogen organik partikulat (Particulate Organic Nitrogen, PON) keduanya berlaku sebagai nutrien bagi pertumbuhan bakteri.
Bakteri memecah protein menjadi asam amino dan
ammonia, dan yang terakhir ini dioksidasi di dalam proses nitnifikasi. Nitrogen anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Nitrogen, DIN) kemudian dilepaskan membuat bentuk-bentuk ini tersedia kembali untuk diserap/dimanfaatkan oleh fitoplankton (Blackburn and Sorensen 1985; Wotton 1994).
Distribusi Vertikal Klorofil-a pada Daerah yang Berbeda Di laut tropis, massa air dekat permukaan cukup menerima cahaya sepanjang tahun, karena ketinggian matahari di atas cakrawala tidak banyak berubah sepanjang tahun. Dengan demikian diperoleh kondisi cahaya yang cukup bagi produksi fitoplankton.
Tetapi, karena matahari juga menciptakan suatu
stratifikasi termal yang mencegah terjadinya percampuran vertikal dan pengangkutan zat hara ke atas, tingkat produktivitas laut tropik rendah namun konstan sepanjang tahun. Laut-laut tropik sangat cerah dan kedalaman kompensasinya adalah yang terdalam, tetapi keadaan seperti ini disebabkan oleh kecilnya kelimpahan fitoplankton dalam air akibat rendahnya kadar zat hara (Gambar 1). Pada laut daerah beriklim sedang atau subtropis, intensitas cahaya bervariasi menurut musim. Akibatnya, besarnya energi matahari yang masuk ke dalam laut juga bervariasi dan selanjutnya akan menimbulkan perubahan pada suhu air lapisan-lapisan atas. Jadi stratifikasi termal kolom air berubah secara musiman. Pada musim panas posisi matahari tinggi di atas cakrawala, siang hari panjang dan lapisan-lapisan air di dekat permukaan meningkat suhunya dan kerapatan lapisanlapisan air menjadi lebih kecil dari pada kerapatan air lapisan-lapisan di bawahnya. Dengan kata lain terbentuklah stratifikasi termal dalam kolom air dan percampuran air tidak terjadi. Dalam musim gugur, besarnya energi matahari yang masuk ke dalam laut berkurang dan siang hari menjadi lebih pendek. Akibatnya, lapisan-lapisan air permukaan menjadi dingin dan stratifikasi termal berkurang. Akhirnya, tercapailah suatu keadaan dimana suhu lapisan-lapisan air permukaan sedemikian rendahnya sehingga tidak banyak berbeda dengan suhu air lapisan-lapisan di bawahnya. Pada saat ini mulailah terjadi percampuran bila angin cukup kuat berhembus. Dalam musim dingin, yang biasanya merupakan musim badai di daerah beriklim sedang posisi matahari terendah di atas cakrawala, masukan energi matahari ke dalam laut minimal, stratifikasi termal sangat lemah atau tidak ada dan terjadilah percampuran. Dengan bermulanya musim semi, siang hari makin panjang, energi matahari yang masuk ke dalam air meningkat, dan suhu air lapisan-lapisan permukaan pun meningkat. Tampak bahwa perairan sedang membentuk kembali statifikasi termal (Gambar 1).
Pada daerah kutub, zat hara tidak pernah menjadi faktor pembatas dan kolom air pun tidak pernah berstratifikasi secara nyata. Intensitas cahaya juga tidak cukup besar untuk mengakibatkan suatu ledakan populasi fitoplankton dalam musim gugur, dan selama musim dingin yang panjang, tidak ada cahaya sama sekali atau cahaya tidak dapat mencapai kolom air karena adanya lapisan salju di atas onggokan es (Gambar 1). Hangat
Kedalaman (m)
Termoklin sangat kuat, percampuran 100 tidak terjadi
Hangat
Hangat
Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi
Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi
Hangat Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi
200
Lautan Tropis
Kedalaman (m)
Dingin, berangin keras
100
Hangat, kekuatan angin berkurang
Percampuran baik, tidak ada termoklin
Lebih hangat, kekuatan angin rendah
Percampuran berkurang, termoklin mulai terbentuk
200
Sejuk, kekuatan angin meningkat
Termoklin pembusukan, percampuran mulai terjadi
Percampuran tidak terjadi, termoklin sangat kuat
Lautan SubTropis
Kedalaman (m)
Dingin, berangin keras, salju
Lebih hangat
Dingin
Sejuk
100
200
0 Musim
Tidak ada termoklin, percampuran baik
15 30 Dingin
0
15 30 Semi
Tidak ada termoklin, percampuran baik
Sedikit termoklin, percampuran terjadi
Tidak ada termoklin, percampuran baik
0
15 30 Panas
0
15 30 Gugur
Suhu 0C Lautan Kutub
Gambar 1. Struktur Termal dan Taraf Percampuran dalam Laut-laut Daerah beriklim Sedang, Tropik dan Kutub selama Empat Musim dalam Setahun (Nybakken 1992)
Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar dari pada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung kepada beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim. Pada tingkat-tingkat intensitas cahaya yang sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air dekat permukaan air di mana intensitas cahaya tinggi, kebanyakan spesies fitoplankton menunjukkan bahwa fotosintesis dipertahankan pada suatu tingkat tertentu atau bahkan fotosintesis malah akan menurun (Gambar 2). Hal ini mungkin disebabkan oleh hambatan dari intensitas cahaya yang tinggi atau jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi
0
100% 50%
20 33% 20%
Kedalaman (m)
40
10% 60
80 100
Produksi Kotor
Intensitas Cahaya (% dari nilai intensitas permukaan)
(Nybakken 1992).
1%
Gambar 2. Struktur Vertikal Klorofil-a pada Lapisan Permukaan dan pada Tiap Tingkatan Kolom Air yang Berbeda (Nybakken 1992)
Pengembangan distribusi vertikal klorofil-a dari fungsi Gauss dapat digunakan untuk mengetahui dan menghitung nilai konsentrasi klorofil-a secara vertikal dengan menggunakan data klorofil-a permukaan sebagai salah satu inputnya. Distribusi Gauss Distribusi normal, disebut pula distribusi Gauss, adalah distribusi probabilitas yang paling banyak digunakan dalam berbagai analisis statistika. Distribusi normal memodelkan fenomena kuantitatif pada ilmu alam maupun ilmu sosial serta banyak digunakan dalam berbagai bidang statistika, misalnya distribusi sampling rata-rata akan mendekati normal, meski distribusi populasi yang diambil tidak berdistribusi normal. Distribusi normal juga banyak digunakan dalam berbagai distribusi dalam statistika, dan kebanyakan pengujian hipotesis mengasumsikan normalitas suatu data. Kurva distribusi normal berbentuk genta atau lonceng yang simetris dan mempunyai karakteristik: 1. Kurva berbentuk genta atau lonceng dan memiliki satu puncak yang terletak di tengah. Nilai rata-rata hitung sama dengan median dan modus. 2. Distribusi probabilitas dan kurva normal berbentuk kurva simetris dengan rata-rata hitungnya. 3. Kurva ini menurun di kedua arah yaitu ke kanan untuk nilai positif tak terhingga dan ke kiri untuk nilai negatif tak terhingga. 4. Luas daerah yang terletak di bawah kurva normal tetapi di atas sumbu mendatar sama dengan 1.
Untuk menduga distribusi vertikal klorofil-a, Platt et al. (1988) mengusulkan menggunakan model persamaan Gauss, yang merepresentasikan distribusi vertikal klorofil-a dengan 4 parameter, sebagai solusi. Persaman Gauss dapat dilihat pada persamaan 1, sedangkan gambar distribusi pergeseran Gauss untuk klorofil-a, ditampilkan pada Gambar 3.
…………………………… (1) Keterangan: chl(z) : Konsentrasi klorofil-a (mg.m-3) pada tiap kedalaman Z(m) B0
: Konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (mg.m-3)
h
: Total konsentrasi klorofil-a di puncak (mg.m-2)
: Standard deviasi distribusi Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a (m)
Zm : Kedalaman klorofil-a maksimum (m) 3
chl(z) (mg Chl-a/m )
Z (m)
h/(δ√2π)
4
Zm
B0
Gambar 3. Distribusi Pergeseran Gauss untuk [Chl-a] (Osawa et al. 2005)
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) Jaringan merupakan salah satu cara yang efisien untuk memetakan dan memberikan solusi atas masalah yang kompleks. Terdapat berbagai tipe jaringan yang dapat dibangun namun pada dasarnya semua jaringan terdiri atas dua komponen yaitu set node dan hubungan antara node-node tersebut (connections). Salah satu tipe jaringan melihat node ini sebagai “sel syaraf buatan” (artificial neurons). Jaringan ini disebut dengan jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network).
ANN merupakan suatu model komputasi dan representasi buatan dari jaringan syaraf biologis (otak). Jaringan ini
berusaha untuk mensimulasikan
proses pembelajaran pada jaringan syaraf biologis. Istilah buatan digunakan karena jaringan syaraf ini diimplementasikan dengan menggunakan program komputer yang mampu menyelesaikan sejumlah proses perhitungan selama proses pembelajaran.
ANN telah banyak digunakan secara luas di berbagai bidang
seperti teknik, kedokteran dan keuangan. Jaringan syaraf biologis terdiri atas berjuta-juta sel syaraf yang bertugas mengolah informasi. Sel syaraf akan menerima sinyal/informasi melalui synapses yang terletak di dendrit atau membran sel syaraf (neuron). Informasi yang diterima yang memenuhi batasan tertentu (threshold) akan mengaktivasi (activation) neuron dan mengirimkan respon melalui axon. Seperti halnya jaringan syaraf biologis, ANN juga terdiri dari beberapa neuron yang disebut dengan node dan terdapat hubungan antara node-node tersebut. Node-node tersebut akan mentransformasikan informasi yang diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron lain. Pada ANN, hubungan ini dikenal dengan nama bobot. Dengan kata lain, bobot memiliki fungsi yang sama seperti dendrit atau akson pada jaringan syaraf biologis. Informasi yang merupakan input akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot dan akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap node. Apabila input tersebut melewati threshold maka node tersebut akan diaktifkan dan akan mengirimkan output ke semua node yang berhubungan dengannya. Pada ANN, node-node tersebut akan dikumpulkan dalam lapisan-lapisan (layer) yang disebut dengan lapisan node (node layers). Informasi yang diberikan pada ANN akan dirambatkan lapisan ke lapisan, mulai dari lapisan input sampai ke lapisan output melalui lapisan yang lainnya yang dikenal dengan nama lapisan tersembunyi (hidden layer). Proses perambatan dapat berupa perambatan secara mundur atau maju dan proses ini tergantung pada algoritma pembelajaran yang digunakan pada jaringan. Sebagaimana telah disebutkan bahwa node-node dikelompokkan dalam lapisan-lapisan sehingga terdapat berbagai tipe-tipe arsitektur jaringan yang dapat
dibangun untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan banyaknya lapisan tersebut. Ada beberapa tipe arsitektur ANN, antara lain: a. Jaringan dengan lapisan tunggal (single layer net) Jaringan ini hanya terdiri dari satu lapis node input dan satu lapis node output yang dihubungkan oleh pembobot tanpa ada lapis tersembunyi (hidden layer) di antaranya. Informasi yang masuk node input langsung diolah sehingga diperoleh suatu nilai output. b. Jaringan dengan banyak lapisan (multilayer net) Jaringan ini terdiri satu lapis node input dan satu lapis node output diantara keduanya terdapat satu atau lebih lapisan tersembunyi. Lapisan-lapisan ini dihubungkan oleh pembobot. Penggunaan jaringan dengan banyak lapisan ini lebih baik daripada dengan lapisan tunggal khususnya untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Hal ini tentu memerlukan proses pembelajaran yang lebih rumit. Sebagaimana diketahui, jaringan syaraf biologis (otak) mampu mempelajari suatu informasi yang diterima untuk kemudian diproses dan memberikan respon terhadap informasi tersebut. Hal ini dapat pula dilakukan oleh ANN. Komponenkomponen ANN yang memiliki fungsi sama dengan jaringan syaraf biologis (otak) membuat ANN mampu pula untuk melakukan proses pembelajaran. ANN akan mencoba untuk mensimulasikan kemampuan otak dalam belajar melalui suatu proses pembelajaran. Secara umum, metode pembelajaran yang digunakan dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu pembelajaran terawasi (supervised training) dan pembelajaran tak terawasi (unsupervised training). Perbedaan keduanya terletak pada ada tidaknya nilai output yang diberikan pada jaringan. Pada metode pembelajaran terawasi output yang diharapkan telah diketahui sebelumnya dan diberikan pada jaringan selama pembelajaran sementara pada pembelajaran tak terawasi output tidak diberikan. Pada proses pembelajaran dengan metode terawasi, nilai atau informasi yang masuk lapisan input akan dirambatkan melalui jaringan sampai lapisan output. Nilai output yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai output target yang diharapkan. Jika terdapat perbedaan antara nilai output yang diperoleh
dengan nilai output yang diharapkan maka akan muncul error. Jika error yang dihasilkan cukup besar maka perlu dilakukan proses pembelajaran kembali hingga diperoleh suatu nilai output dengan nilai error tertentu yang diinginkan. Sementara pada pembelajaran tak terawasi, output target tidak diberikan pada saat pembelajaran. Oleh karena itu pada metode ini tidak dapat dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkan oleh jaringan tersebut. Pada prinsipnya selama proses pembelajaran, jaringan akan berusaha mengelompokkan unit-unit yang memiliki pola yang sama atau hampir sama sehingga metode pembelajaran ini cocok untuk penyelesaian masalah pengelompokan atau pengklasifikasian. Beberapa metode pembelajaran yang saat ini dikenal antara lain hebb rule, perceptron, delta rule dan backpropagation. Di antara berbagai metode pembelajaran tersebut, backpropagation merupakan metode pembelajaran yang paling umum digunakan. Proses pembelajaran ini termasuk dalam metode pembelajaran terawasi. Proses pembelajaran dengan backpropagation terdiri dari dua tahap yaitu tahap perambatan ke depan (forward propagation) dan tahap perambatan ke belakang (backward propagation). Pada tahap perambatan ke depan nilai atau informasi yang masuk lapisan input akan dirambatkan melalui jaringan sampai lapisan output. Nilai output yang dihasilkan dibandingkan degan nilai output yang diharapkan sehingga diperoleh nilai error. Nilai error ini kemudian digunakan untuk memperbaiki pembobot-pembobot yang ada pada tahap perambatan ke belakang. Proses ini akan terus berulang sampai suatu kondisi tertentu yang menjadi kondisi pemberhentian proses pembelajaran. Kondisi ini dapat berupa suatu nilai error atau jumlah iterasi tertentu yang jika telah tercapai berarti proses pembelajaran telah selesai. Penggunaan Artifcial Neural Network di Perairan Sub Tropis Penduga konsentrasi klorofil-a secara vertikal dengan menggunakan neural network pernah dilakukan oleh Osawa et al. (2005) di Perairan Jepang. Dalam penelitian tersebut digunakan 6 masukan sebagai data input dan 4 masukan sebagai data output. Enam masukan data input yaitu kedalaman lapisan tercampur (mixed layer depth), suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a ([Chl-a]) pada permukaan laut, lintang, bujur dan Julian days. Empat masukan data outputnya
merupakan parameter-parameter Gauss yaitu konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (B0), total konsentrasi klorofil-a di puncak (h), standard deviasi distribusi Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a (), dan kedalaman konsentrasi klorofil-a maximum (Zm). Pada Gambar 4 ditampilkan konsentrasi klorofil-a di Perairan Jepang secara vertikal pada musim yang berbeda.
a
b
c
d
Gambar 4. Profile [Chl-a] secara Vertikal pada Musim (a) Dingin, (b) Semi, (c) Panas dan (d) Gugur (Osawa et al. 2005)
Penelitian tersebut menggunakan banyak sekali set data sehingga bisa mencakup hampir seluruh Perairan Jepang. Total set data yang digunakan yaitu sebanyak 8694 data yang kemudian dibagi menjadi 2 set data. Dua set data digunakan dalam proses pengolahan dengan menggunakan ANN. yaitu 6983 untuk data training dan 729 untuk data validasi.
Setiap set data kemudian diaplikasikan dengan menggunakan Stuttgart Neural Network Simulator (SNNS versi 4.2) yang telah dikembangkan di Jerman. Spesifikasi SNNS yang digunakan yaitu: ANN Model : Back Propagation; Learning rate : 0.2; Weigth initialization : -1.0 to 1.0; Input layer size : 6; Hidden layer 1 size : 50; Output layer size : 4 Penelitian lain yang menggunakan ANN dalam menduga [Chl-a] juga pernah dilakukan oleh Musavi et al. (2002). Penelitian tersebut menggunakan 919 data dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0.019 dan 32.79 g/l. Model feed-forward dengan 10 nodes pada hidden layer telah dibangun untuk memperkirakan konsentrasi klorofil-a. Bentuk reflektansi remote sensing dari lima panjang gelombang SeaWiFS digunakan sebagai data input. ANN telah ditraining dengan menggunakan algoritma Levenberg-Marquardt. ANN memberikan peluang dalam memilih data input dan toleran terhadap noise. Hal ini membuat ANN menjadi alat yang ideal untuk menduga konsentrasi klorofil-a di perairan pantai, dimana dengan adanya endapan, detritus, dan za-zat organik terlarut membuat keadaan yang optically complex. Dengan menggunakan model ANN dan memasukkan beberapa parameter optik sebagai data input tambahan untuk perhitungan fenomena
scattering
dan absorbsi,
model dapat
diperluas
penggunaannya untuk menduga [Chl-a] di perairan pantai. Keiner (1999) juga melakukan penelitian dengan menggunakan ANN untuk menduga [Chl-a] di laut lepas. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa algoritma ANN telah dibangun untuk menduga [Chl-a] di laut lepas dengan menggunakan data SeaWiFS. Algoritma tersebut ditraining dan divalidasi dengan menggunakan sampel data yang ada di The SeaWiFS Bio-optical Algorithm MiniWorkshop. Dengan menggunakan 5 visible band SeaWiFS sebagai data input dan 10 nodes pada hiden layer untuk dapat menduga [Chl-a] secara efisien dan akurat, fungsi non-linear antara [Chl-a] permukaan dan data reflektansi dari remote sensing diperoleh hasil yang lebih akurat dari pada menggunakan metode regresi.