7
TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge Dalam terminologi lansekap ekologi edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan
patch ataupun matriks yang berbeda. Thomas et. Al (1979),
mendefinisikan edge (daerah tepi) sebagai tempat pertemuan dua komunitas tumbuhan yang berbeda. Forest egde merupakan ciri-ciri struktural yang penting dari sebuah lansekap (Leopod 1933; Harris 1988; Murcia 1995). Sebagai batas antara hutan dan komunitas lainnya, edge merupakan titik pertemuan pertama dari aliran organisme, materi, dan energi antar kedua habitat tersebut (Wiens 1992; Forman 1995). Aliran tersebut dapat mempengaruhi dinamika hutan. Jika edge mempengaruhi besarnya atau arah dari aliran diantara dua habitat, maka kemudian edge mungkin akan mempengaruhi dinamika dari forest intrerior (Angelstam 1992: Wiens et al 1993; Pickett & Cadenasso 1995). Selanjutnya Thomas menyatakan bahwa dilihat dari struktur lansekapnya, edge dapat dibedakan menjadi (a). Inheren egde yaitu edge yang terbentuk dari pertemuan dua komunitas yang berbeda tingkat suksesinya; (b) Induced edge; edge yang terbentuk karena adanya disturbance, misalnya penggembalaan, logging, kebakaran. Pengaruh edge telah menjadi topik utama bagi studi pola dan proses-proses lansekap yang diasosiakan dengan pembentukan edge dan fragmentasi selama beberapa akhir dekade ini. Penelitian pada forest edge yang dimulai Leopold (1993) mengenalkan bahwa habitat edge mendukung kelimpahan jenis dan keanekaragaman yang tinggi. Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi. Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intentsitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis. (Kapos 1989); Bierregaard dkk. 1992). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 meter ke dalam hutan (Laurance 1991).
Oleh karena
spesies
tumbuhan dan hewan
biasanya
beradaptasi untuk suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan.
8
Tingkat keanekaragaman hayati pada setiap edge juga berbeda dengan di tengah hutan.
Edge dipandang sebagai
suatu ekosistem tersendiri yang
diakibatkan oleh pertemuan dua tipe ekosistem.
Keanekaragaman pada edge
lebih tinggi dari pada patchnya. Thomas et al (1979), menemukan bahwa edge mempunyai kelimpahan jenis dan spesies yang besar, karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch/matriks yang berbeda.
Bentuk, luas, dan
konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Bentuk, luas dan konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak edge. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen dan kompak, menjadi matriks yang heterogen dan terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terfragmentasi ini akan berbeda dengan matriks awal dalam hal: (a) matriks yang terfragmen akan mempunyai area edge yang lebih luas, (b) jarak pusat matriks dengan edge menjadi lebih dekat (c) core area menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi/biodiversitasnya. Karakteristik spasial fragmen banyak dipengaruhi oleh fenomena edge. Fenomena edge biasanya terjadi pada hutan-hutan yang telah mengalami pemusnahan vegetasi (penebangan) sehingga merubah struktur dominan vertikal. Tanaman di daerah edge mendapat cahaya lebih banyak dibandingkan di interior dari sebuah fragmen. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya temperatur dan menurunkan kelembaban, selain itu kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan dengan hutan
interior. Penggabungan perubahan pada cahaya, temperatur,
kelembaban dan kondisi angin di hutan edge mengubah struktur dan komposisi komunitas yang ada. Sebagai contoh, pacth-pacth deciduous di sebelah tenggara Wisconsin, tipikal hutan edge mengandung lebih banyak spesies pioner dan tanaman xeric daripada interior. Kerapatannya lebih tinggi pada semak belukar dan vegetasi herba penutup tanah sampai beberapa meter ke dalam hutan. Tingginya kekayaan jenis di daerah tepi hutan dimungkinkan adanya invasi spesies exotic.
9
Penyebab efek edge pada habitat khusus merupakan jarak yang konstan dari border (tepi) ke poros (pusat) dari fragmen habitat, fragmen-fragmen yang lebih kecil akan mengandung proporsi yang lebih tinggi pada habitat edge dibanding fragmen-fragmen yang lebih besar. Sebagai contoh, pada hutan remnant deciduous dari 1 ha dimana 100% habitat edge akan tidak mempunyai habitat interior, 10 ha fragmen mempunyai 5,3 ha edge (53%) dan 4,7 ha interior (47%), sedangkan hutan remnant yang 100 ha mempunyai 19 ha edge (19%) dan 81 ha interior (81%). Selanjutnya banyak penelitian yang menghubungkan ukuran habitat fragmen dengan jumlah spesies tanaman atau hewan. Salah satunya adalah penelitian burung di daerah temperate dan tropika menunjukkan bahwa menurunnya hutan fragmen yang teriosolasi akan menurunkan jumlah spesies burung dan akan meningkatkan kepunahan lokal. Sebagai contoh, dalam komunitas burung padang rumput diperkirakan spesies yang akan datang sebesar 79% pada 1000 ha fragmen padang rumput dan sebesar 31% spesies burung pada 10 ha fragmen padang rumput. Namun adapula spesies yang toleran terhadap penurunan ukuran fragmen. Sebagai contoh, spesies primata dengan jelajah khusus yang luas dari 10-100 ha pada hutan-hutan tropika yang terisolasi. Penurunan populasi akibat penurunan fragmen memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung dari hilangnya suatu habitat. Peningkatan kejadian pemangsa burung dan parasit anak-anak burung pada fragmen
kecil telah
menyebabkan penurunan populasi pada burung ”pengicau” yang disebabkan oleh meningkatnya
parasit arthopoda. Fragmentasi yang kecil juga menyebabkan
berjangkitnya serangga pemangsa karena rendahnya efisiensi pencarian oleh predator. Pada akhirnya, rendahnya kunjungan para penyerbuk pada habitat fragmen akan menghasilkan penurunan produksi biji pada spesies-spesies tanaman tersebut. Edge yang terbentuk mungkin merupakan hasil dari perubahan yang secara mendadak dari perbedaan jenis-jenis tanah, topografi, geomophic dan iklim mikro karena pertemuan vegetasi ditentukan oleh kejadian alam jangka panjang.
10
Forest edge dicirikan dengan kondisi biofisik yang berbeda dengan ekosistem hutan dalam interior pacth (Chen et al, 1992; Hobbs and Humphries, 1995). Dari perspektif konservasi sangatlah penting bahwa forest edge jarang sekali ditemukan pada hutan-hutan yang tidak terganggu tetapi sangat umum terdapat pada lansekap yang diubah secara artificial (Franklin & Forman, 1987; Noss & Cooperrier, 1994). Keanekaragaman Jenis Konsep keanekaragaman jenis (spesies diversity) berawal dari apa yang disebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan
keragaman kehidupan dalam semua
bentuk dan tingkatan organisme (Hunter, 1990), termasuk struktur, fungsi dan proses-proses ekologi di semua tingkatan (Society of American Forester (1991) dalam Kissinger (2001). Sebagai suata usaha dalam memberikan definisi yang lebih operasional, Crow et al. (1994) telah mengidentifikasi keanekaragaman menjadi tiga tipe atau sub kelompok keanekaragaman, yakni: komposisi, struktural dan fungsional. Keanekaragaman
komposisi adalah
keanekaragaman sesuatu
wilayah , seperti jenis dalam suatu tegakan hutan.
dalam suatu
Keanekaragaman struktur
dapat dicirikan dengan distribusi vertikal dan horizontal dari tumbuhan, ukuran tumbuhan, atau distribusi umur. Sedangkan keanekaragaman fungsional dicirikan dengan proses-proses ekologi, aliran energi, dan hubungan trophic level. Pada tipe-tipe tersebut keanekaragaman dapat dilihat dari berbagai tingkatan organisasi biologi, misalnya dari tingkatan genetik, jenis atau ekosistem (Probst and Crow, 1991). Tiap tipe dan tingkatan keanekaragaman mengekspresikan berbagai skala spasial, dari lokal sampai global. Memperhatikan skala relevansi dalam manajemen, strategi yang baik pada tingkat lokal mungkin menurun untuk keanekaragaman tingkat regional Magurran (1998) menyatakan keanekaragaman, yakni :
(Crow, 1990).
Whitaker (1977) dalam
tentang skala pengukuran dalam inventarisasi
11
a.
Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur.
b.
Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yakni nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (kumpulan atau gabungan keanekaragaman titik).
c.
Keanekaragaman gamma ( gamma diversity), yaitu keanekaragmagan suatu pulau atau landscape (kumpulan atau gabungan keanekaragaman alpha).
d.
Keanekaragaman total (total diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (kumpulan dari keanekaragaman gamma). Robert (1995) mengusulkan penyederhanaan agar menggunakan tiga skala
spasial
yakni (1). Bagian dari areal tegakan yang dicirikan dengan suatu
kerusakan atau ciri tertentu sebagai akibat perlakuan yang berbeda terhadap lahan, komposisi, atau strukturnya (diistilahkan dengan “patch’), (2) Tegakan yakni suatu kumpulan pohon-pohon dan asosiasi vegetasi dari struktur yang serupa yang tumbuh pada kondisi lahan yang serupa, (3) Lanscape yakni beragam kawasan lahan dengan komposisi berbeda dalam suatu interaksi ekosistem. Selain skala keruangan, tipe maupun tingkatan keanekaragaman tersebut terjadi
pula
dalam
skala
waktu.
Untuk
itulah
sebelum
menentukan
keanekaragaman terlebih dahulu harus ditentukan tipe, tingkatan organisasi, dan skala spasial maupun temporal. Berdasarkan keanekaragaman
tingkatan
organisasi
biologi
dalam
suatu
ukuran
dan dengan pertimbangan kemudahan serta untuk lebih
membatasi cakupan permasalahan atau lingkup perhatian, keanekaragaman jenis adalah ukuran keanekaragaman yang sering dipergunakan (Robert, 1995). Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya dapat disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah jenis dalam suatu areal, yang mana para ahli ekologi menyatakannya sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen kedua adalah species evennes atau kemerataan. Selanjutnya dikembangkan lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasi antara kekayaan jenis dan kemerataan ke dalam satu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks heterogenitas (kelimpahan jenis).
12
Kekayaan jenis. Kekayaan jenis pertama kali dikemukan oleh McIntossh tahun 1967. Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah
jumlah
jenis/spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) Metode rarefaction yang pertama kali dikemukan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Maguran, 1988). (2) indeks kekayaan jenis Margalef, (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis Jackknife. Kemerataan jenis Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah : (1) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shanon-Wiener, (3) indeks kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs (1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill’s evenness number. Kelimpahan jenis Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan oleh Good (1953) dalam Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan jenis atau species abundance (Magurran, 1988). Seperti dikemukan semula bahwa konsep ini merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Diantara sekian banyak indeks heterogenitas, ada tiga indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yakni : indeks Simpson, indeks Shanon-Wiener dan indeks Brillouin (Poole, 197; Krebs, 1989).
13
Dalam hubungannnya dengan komunitas hutan, keanekaragaman jenis akan bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya.
Bruenig (1995)
mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari kandungan humus podsol yang dalam, medium, dan dangkal sesuai kajiannya pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran-kerangas perbukitan-hutan kerapah) di Serawak, Brunai dan Cina Selatan, serta Bana daerah Amazon. Disimpulkannya bahwa kekayaan jenis berhubungan dan dibatasi kondisi tanah dimana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Struktur Tegakan Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah, yaitu:
struktur tegakan
vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1996) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan Husch et al (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan. Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan dua sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki ukuran lebar 7,5 meter dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umunya pohon dengan tinggi 5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam gambaran. Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986). Daniel et al. (1987) mengemukan bahwa struktur tegakan menunjukkan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan dimiliki oleh tegakan semua umur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk J terbalik. Oliver dan Larson (1990) menjelaskan
bahwa struktur tegakan adalah
sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (1) jenis pohon, (2) bentuk ruang
14
horisontal dan vertikal (3). Besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun, dan lain-lain
(4) umur pohon, (5) kombinasi dari
kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosunarto, 1981). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih mengarah ke struktur tegakan horizontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar, frekwensi dan kerapatan pohon.
Spesies Indikator Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator. Spesies indikator juga mempunyai arti sebagai spesies yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan suatu tempat. Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator adalah: a) Mudah diidentifikasi b) Tersebar secara kosmopolit c) Kelimpahan dapat dihitung d) Variabilitas ekologi dan genetik rendah e) Ukuran tubuh relatif besar f) Mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama g) Karakteristik ekologi diketahui dengan baik h) Terintegrasi dengan kondisi lingkungan i) Cocok untuk digunakan pada studi laboratorium
Kegunaan Spesies Indikator Dalam penilaian cepat skala besar keragaman jenis dan potensi regenerasi hutan, salah satu pendekatan yang digunakan untuk menduga karakteristik
15
hutan dengan mudah dan cepat adalah dengan mengukur parameter-parameter hutan tersebut. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan kehadiran spesies indikator pada hutan yang telah terganggu (Person, 1995; World Bank, 1998; Lindermayer et al., 2000) Hutan sekunder memainkan peranan penting dalam konservasi keragaman jenis pohon di Asia Tenggara karena terus meningkatnya fragmentasi dan berkurangnya luas hutan-hutan tidak terganggu di wilayah ini. Suatu metode pengujian cepat dibuat untuk memfasilitasi penetapan kesempurnaan hutan-hutan sekunder dalam istilah struktur hutan dan komposisi jenis, dengan menggunakan jenis tumbuhan indikator dari marga Macaranga dan Mallotus (Euphorbiaceae) (Slik, 2003). Kerusakan hutan dan jenis-jenis tumbuhan perintis Salah satu dari perubahan-perubahan yang jelas terlihat setelah kerusakan di hutan-hutan tropis adalah kemunculan jenis tumbuhan perintis secara tiba-tiba. Meningkatnya jenis-jenis perintis di habitat-habitat yang terganggu berkaitan erat dengan meningkatnya kadar cahaya di lapisan bawah hutan. Karena adanya peningkatan jumlah jenis-jenis perintis setelah kerusakan, maka jenis-jenis perintis tersebut pada prinsipnya cocok untuk mendeteksi dan mengukur kerusakan hutan tropis. Disini fokusnya adalah pada dua marga yang berhubungan erat, mudah untuk dikenali, marga yang kaya jenis di Asia Tenggara, yaitu Macaranga dan Mallotus. Banyak jenis dari kedua marga ini dapat diklasifikasikan sebagai ciri khas jenis-jenis perintis dan kelimpahannya berkaitan erat dengan tingkat umum kerusakan di hutan-hutan yang diteliti jangka waktu setelah kerusakan terjadi, dan jumlah kerusakan. Mengukur tingkat kerusakan di hutan terbakar dan bekas pembalakan didapat dari kelimpahan jenis pohon perintis marga Macaranga dan Mallotus, serta dari komposisi komposisi komunitas burung dan kupu-kupu. Umumnya genus Macaranga cepat tumbuh, pohon juga dapat mencapai ketinggian 20 m. Beberapa spesies Macaranga dikaitkan dengan semut untuk memproduksi nutrisi dan bersarang dalam pergantian ruang bagi perlindungan herbivora (Feldhaar et al. 2000). Beberapa spesies digunakan sebagai spesies indikator bagi tingkat
16
gangguan terhadap sebuah kawasan hutan (Slik et al. 2003). Sangat menarik untuk dikaji bahwa distribusi populasi masing-masing berbeda dari satu spesies Macaranga terhadap spesiea Macaranga lainnya, yang mana didasarkan pada kondisi habitatnya masing-masing. Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi. Hal ini merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970). Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu: a.
Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air)
b.
Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
c.
Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi)
d.
Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor diatas. Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random, (2)
mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1971; Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton & Wolf, 1990). Pola acak terbentuk akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1971; Ludwig and Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif. Rosalina (1996) menyatakan bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola sebarannya umumnya acak.
Bruenig (1995) dalam Kissinger (2002)
mengemukakan bahwa terbentuknya pola acak suatu jenis disebabkan jenis tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan berlangsung relatif baik tanpa persyaratan khusus dalam cahaya dan hara.
17
Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran yang tidak acak biasanya ditemui akibat adanya keteraturan sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentu terhadap lingkungan (Rosalina, 1996). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain didekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok (McNaughton & Wolf, 1990). Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon.
Manokaran
(1992) mengungkapkan berdasarkan penelitian mengenai pola spasial yang terjadi pada spesies pohon Hutan Cadangan Pasoh Peninsular Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada topografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi.