SIS L M OU
L IS N G IK U NAA G A LNL
Menakar Ulang Fragmentasi Kelas Buruh B .
H A R I
J U L I A W A N
Mungkin tidak banyak mata kuliah di suatu perguruan tinggi yang banyak menimbulkan kontroversi seperti halnya “Filsafat Sosial Jerman Abad ke-19” di STF Driyarkara. Di balik judulnya yang lugas, mata kuliah ini berisi antara lain pemikiran Karl Marx dan persis di sinilah letak kontroversi itu. Rezim Orde Baru mati-matian melarang penyebarluasan pemikiran dan ajaran Marxisme-Leninisme atas nama bahaya laten komunisme.1 dok archetho.wordpress.com
NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
13
S
O
S
Hanya lingkungan dan konteks akademis diperbolehkan untuk mendiskusikannya, itu pun lama-kelamaan makin terbatas dan tertutup. Sekitar akhir tahun 1980-an, beberapa aktivis pro-demokrasi di Jogjakarta ditangkap karena menyebarluaskan diktat ini di luar lingkungan STF bersama beberapa buku kiri lainnya.2 Justru karena kontroversi itulah, mata kuliah ini punya daya tarik tersendiri bagi mahasiswa STF angkatan kami. Saya pribadi berutang pada mata kuliah ini untuk tumbuhnya minat saya terhadap studi tentang kelas buruh di Indonesia. Status heroik kelas ini sebagai agen perubahan sejarah telah banyak memberi inspirasi dan mengundang perdebatan yang panjang di kalangan akademis maupun pelaku gerakan buruh. Di Indonesia, pasca 1998, satu tema utama yang kerap muncul dalam literatur tentang gerakan buruh adalah tentang fragmentasi di kalangan kelas heroik tersebut. Sepuluh tahun lebih setelah dimulainya era kebebasan berserikat, gerakan buruh Indonesia sering dilukiskan sebagai gerakan yang tercerai-berai dan tidak mampu menggunakan kebebasannya untuk membangun kekuatan politik yang diperhitungkan. Salah satu indikasi penting fragmentasi ini tampil dalam bentuk kompetisi dan konflik di antara organisasi serikat buruh yang bermunculan dalam sepuluh tahun terakhir. Kebanyakan ahli, pengamat, dan pengurus serikat buruh sendiri menilai bahwa menjamurnya organisasi serikat buruh memang mengarah pada perpecahan dan niscaya menumpulkan kekuatan politik kelas buruh. Saya meragukan penilaian ini. Saya tidak mem14
I
A
L
dok blogajibandung
bantah bahwa telah terjadi perpecahan. Pada hemat saya, para ahli tersebut cenderung melebih-lebihkan realitas perpecahan di antara serikat buruh dan menggambarkan persoalan perpecahan tersebut secara kurang hati-hati. Yang akan saya lakukan di sini adalah menakar ulang situasi serikat buruh di Indonesia dengan meletakkan persoalan perpecahan gerakan buruh pada proporsinya. Analisis ini diilhami oleh pembacaan Teitelbaum NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
S
O
S
(2008) terhadap situasi gerakan buruh di India yang kerap pula dituding lemah, tercerai-berai, dan terkooptasi.3
Benarkah buruh lemah? Keraguan saya pada penilaian para ahli itu timbul ketika membaca kembali pernak-pernik gerakan buruh di Indonesia selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir. Sejak berakhirnya rezim Orde Baru dan lahirnya kebebasan berserikat, orangorang dihinggapi harapan besar akan melihat bangkitnya satu kekuatan politik buruh yang berpengaruh. Namun setelah beberapa saat, harapan itu mulai pupus karena yang ditunggutunggu tidak kunjung muncul. Indikasi yang sering dilihat adalah lemahnya partai-partai yang memakai nama buruh dalam Pemilu 1999, 2004, dan yang terakhir 2009 ini. Pada Pemilu 1999, empat partai bernama buruh atau pekerja memperoleh suara bersama-sama hanya sebesar 0,37 persen dari total jumlah suara sah. Pemilu 2004 diikuti hanya oleh satu partai bernama buruh yang memperoleh suara sebesar 0,56 persen.4 Partai yang sama, dengan berganti nama, kembali mengikuti Pemilu 2009 dan hanya memperoleh 0,3 persen suara. Tak satu pun kursi DPR mereka peroleh dalam tiga kali gelaran pesta demokrasi itu. Di luar pemilu, para ahli juga sering kecewa karena tidak melihat keterlibatan buruh dalam gerakan pro-demokrasi pada masa-masa awal reformasi. Buruh tidak mampu memanfaatkan ruang gerak yang lebih luas dan peluang-peluang politik yang terbuka untuk melakukan konsolidasi dan menjadi kekuatan politik yang disegani.5 Semua ini benar, tetapi para ahli melewatkan beberapa peristiwa yang sebenarnya bisa dibaca sebagai indikasi kekuatan kelas buruh yang sedang membangun diri. Lihat saja, pada Mei dan Juni 2001 terjadi mobilisasi buruh yang berhasil membatalkan keputusan pemerintah untuk mengganti Kepmenakertrans No. 150/2000 tentang PHK dan pesangon yang dianggap menguntungkan buruh. Lagi, pada April dan Mei 2006, kali ini lebih
I
A
L
besar, buruh, serentak di berbagai kota di Indonesia menentang rencana pemerintah untuk merevisi UU No. 13/2003 yang bila dilaksanakan dipercaya akan lebih merugikan buruh. Seperti kita ketahui, rencana revisi ini kemudian dibiarkan mengambang hingga hari ini. Di penghujung 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama Empat Menteri tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang intinya hendak menghadang laju kenaikan upah minimum. Gerilya buruh di daerah dan protes terang-terangan telah berhasil membuat peraturan ini tak bergigi. Di banyak daerah memang buruh menggeliat dengan melakukan advokasi untuk macam-macam persoalan (Tabel 1) terutama untuk penetapan upah minimum baik lewat negosiasi di dewan pengupahan daerah maupun lewat aksi unjuk rasa jalanan. Sedemikian merepotkannya aksi-aksi ini hingga para pengusaha mengeluh dan mengusulkan agar pengupahan dikembalikan kepada otoritas nasional.6 Memang, mungkin gerakan buruh pasca-1998 baru pada tahap “mengganggu” kekuatan-kekuatan yang mencoba mengerdilkan mereka. Namun menyebut gerakan ini tercerai-berai atau tidak diperhitungkan sama dengan mengabaikan satu gejala penting dalam dinamika pertarungan kekuasaan dalam masyarakat.
Pertumbuhan cepat Deskripsi fragmentasi gerakan buruh Indonesia dibangun berdasar dua argumen pokok. Pertama, fakta pertumbuhan numerik organisasi serikat buruh setelah 1998, dan yang kedua merujuk pada tren perpecahan dan konflik antarserikat buruh yang mengiringi pertumbuhan jumlah organisasi tersebut. Saya akan memeriksa kedua argumen ini satu per satu. Pertambahan jumlah organisasi buruh di Indonesia memang mencengangkan. Pada Januari 2008 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mencatat lebih dari 11.000
Tabel 1 Jumlah dan Kelompok Aksi Unjuk Rasa di Tangerang 1999-2000
PELAKU
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Buruh
395
538
412
560
420
252
64
140
89
61
91
67
79
70
27
33
44
14
Mahasiswa / Pelajar
5
0
6
5
10
3
2
7
1
Sopir
9
26
37
47
42
19
25
12
6
12
1
0
0
11
8
0
0
0
Masyarakat / LSM
Partai Politik Sumber: Polres Kota Tangerang
NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
15
S
O
S
I
A
L
Tabel 2 Jumlah Serikat Buruh Indonesia (per Januari 2008)
Kategori
Federasi
Serikat tingkat perusahaan
Anggota
1. KSPSI (konfederasi)
18
6.122
1.657.244
2. KSPI (konfederasi)
10
1.121
793.874
3. KSBSI (konfederasi)
11
1.307
227.806
51
1.680
403.714
-
1.237
305.959
90
11.464
3.374.953
4. Federasi yang tidak bergabung dengan konfederasi 5. Serikat tanpa afiliasi Total Sumber: Depnakertrans
serikat buruh tingkat pabrik, 90 federasi, dan tiga konfederasi nasional (Tabel 2). Jelas, angka-angka ini mengoreksi realitas organisasi buruh tunggal SPSI di bawah pemerintahan Orde Baru. Pertumbuhan jumlah serikat buruh bermula segera setelah Orde Baru tumbang. Kemudian, jumlah ini melonjak naik seiring dengan karakter liberal UU No. 21/2000 tentang kebebasan berserikat. Hanya ada syarat minimum untuk mendaftarkan serikat buruh baru yaitu mendaftarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi ke Disnakertrans setempat. Bila syarat ini terpenuhi, pemerintah daerah wajib mengakui keberadaan organisasi baru ini.8 Undang-undang ini mengizinkan paling sedikit sepuluh orang untuk mendirikan serikat buruh di tingkat pabrik. Lima serikat buruh boleh membentuk satu federasi, dan tiga federasi berhak mendirikan satu konfederasi. Peraturan ini juga membolehkan adanya lebih dari satu serikat buruh, baik di tingkat pabrik maupun di tingkat sektoral. Sekalipun tampak riuh, jumlah anggota serikat buruh di Indonesia hanyalah sebagian kecil dari jumlah angkatan kerja. Menurut statistik resmi, pada tahun 2007 dari total jumlah angkatan kerja sebanyak 99,9 juta, sekitar 28 juta orang bekerja di sektor formal. Di antara yang bekerja di sektor formal ini, hanya 3,3 juta orang yang bergabung menjadi anggota serikat buruh. Artinya, tingkat kerapatan atau penetrasi serikat buruh (union density) ke dalam angkatan kerja masih sangat rendah, hanya sekitar 12 persen dari pekerja formal, atau kurang dari 3 persen dari total jumlah angkatan kerja. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur, tingkat kerapatan serikat buruh di Indonesia selalu terhitung lebih rendah, hanya lebih tinggi dibanding Thailand, tapi jauh lebih rendah dibandingkan Singapura, Taiwan, Malaysia, dan Filipina.9 Bahkan, di era dominasi SPSI yang didukung rezim, tingkat kerapatan 16
serikat buruh tidak pernah lebih dari 6 persen.10 Meskipun SPSI disponsori oleh negara, organisasi ini difungsikan lebih sebagai instrumen penjinakan politik kelas buruh dan tidak pernah dimaksudkan sebagai organisasi massa yang serius. Maka tidak mengherankan bahwa tingkat penetrasinya dikendalikan serendah mungkin. Statistik ketenagakerjaan di Indonesia perlu diperlakukan dengan sangat hati-hati. Angka yang menunjukkan keanggotaan serikat buruh berikut turunannya seperti tingkat kerapatan serikat, adalah angka yang paling tidak dapat dipercaya karena lemahnya verifikasi. Meskipun peraturan tentang kebebasan berserikat sudah diundangkan sejak tahun 2000, peraturan tentang prosedur verifikasi keanggotan serikat buruh baru dibuat lima tahun sesudahnya.11 Konsekuensinya, angka keanggotaan serikat buruh sebelum peraturan ini dibuat diperoleh dengan agak sembarangan, tanpa kesamaan prosedur sehingga tidak bisa digabung dan dibandingkan. Sebagai contoh betapa verifikasi itu berjalan tanpa prosedur pasti, pada tahun 2002 serikat buruh diminta untuk melakukan “verifikasi sendiri” terhadap anggotanya, dan hasilnya mereka menuliskan jumlah total anggota sebanyak lebih dari 8 juta orang. Setahun sebelumnya, Depnakertrans bahkan mencatat angka yang lebih spektakuler yaitu 18 juta anggota.12 Seandainya angka ini akurat, tingkat kerapatan serikat buruh akan mencapai 30 persen dari pekerja formal, angka yang fantastis untuk Indonesia.13 Diterbitkannya peraturan tentang verifikasi juga tidak menjamin pelaksanaan yang ketat apalagi sejak desentralisasi melepaskan dinas-dinas dari tanggung jawab terhadap departemen di Jakarta. Alasan ketiadaan tenaga dan dana sampai kurangnya minat pemerintah daerah terhadap masalah ketenagakerjaan sering menjadi dalih lemahnya pelaksanaan verifikasi. Pada pelaksanaannya, verifikasi dibuat kebanyakan hanya dengan NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
S
O
S
mengirimkan surat dan formulir kepada setiap serikat buruh yang terdaftar di Disnaker. Serikat buruh mengisi sendiri formulir tersebut berdasarkan Kartu Tanda Anggota, dan godaannya besar bagi pengurus serikat untuk menggelembungkan jumlah anggotanya. Sistem hubungan industrial yang baru berdiri atas dasar prinsip perwakilan; semakin banyak anggotanya, semakin besar peluang untuk duduk di lembaga-lembaga tripartit.14 Jumlah serikat buruh inilah yang sering dikutip baik oleh publikasi ilmiah maupun tulisan populer untuk menunjukkan cepatnya pertumbuhan jumlah serikat buruh. Marilah kita timbang dengan lebih hati-hati. Pertama-tama, cepatnya pertumbuhan jumlah serikat buruh di era kebebasan berserikat bukanNOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
I
A
L
lah hal yang luar biasa atau mengejutkan. Sesudah Suharto turun, kebebasan berserikat merupakan salah satu hak politik yang pertama kali dipulihkan dan para aktivis buruh bergegas mendirikan serikat buruh. Pola yang sama terjadi di banyak negara yang baru saja membebaskan diri dari rezim diktator, kecuali di negara-negara eks blok komunis yang memandang serikat buruh sebagai bagian dari instrumen penindasan masa lalu. Di Korea Selatan, jumlah serikat buruh tingkat perusahaan antara 1986 dan 1989 melejit dari 2.658 menjadi 7.883 yang dibarengi dengan tingkat kerapatan serikat yang naik dari 12,3 persen menjadi 18,6 persen.15 Di Filipina, pada tahun 2002 terdapat sekitar 8.000 serikat buruh yang terbagi-bagi dalam 173 federasi.16 Kedua, cara para ahli memakai statistik ketenagakerjaan tersebut memberi kesan adanya persoalan yang sangat gawat dengan pertambahan jumlah serikat buruh. Fokus perhatian mereka kebanyakan dicurahkan untuk jumlah serikat buruh di tingkat perusahaan yang berjumlah ribuan. Jumlah ini dibandingkan dengan “model serikat buruh tunggal buatan Orde Baru”,17 yang kemudian mengarah kepada kesimpulan bahwa “terjadi ledakan jumlah serikat buruh di Indonesia”18 atau bahwa serikat buruh bermunculan “bagaikan jamur di musim penghujan”.19 Akan tetapi, jumlah serikat buruh yang terdaftar tidak mencerminkan jumlah organisasi yang sebenarnya, apalagi organisasi yang berfungdok ricecooker.kerbau.com si penuh. Karena kelemahan proses verifikasi seperti yang saya katakan tadi, pemerintah daerah sulit menengarai serikat buruh yang sebenarnya sudah tidak berfungsi atau malah sudah mati. Data cacat dari daerah kemudian dikumpulkan di tingkat nasional menjadi seperti yang kita lihat di Tabel 2. Kita perlu ingat bahwa prosedur pendaftaran serikat buruh baru terbilang sangat mudah dan pengurus serta anggota serikat baru sangat antusias untuk mendaftarkan organisasinya supaya mendapatkan pengakuan pemerintah. Namun demikian, bila serikatnya tidak lagi berfungsi, tidak ada antusiasme yang sepadan untuk menghapusnya dari daftar Disnaker itu, apalagi proses verifikasinya bermasalah. Kalau begitu, daftar serikat buruh yang kita punyai sekarang ini hanya akan bertambah panjang dan tidak pernah dikoreksi. 17
S
O
S
Ketiga, sejauh kita bisa mempercayai statistik ketenagakerjaan dari pemerintah dengan segala catatannya, kita sebenarnya akan memperoleh gambaran yang berbeda bila perhatian kita alihkan kepada jumlah federasi dan konfederasi. Di akhir 2001, ada 61 federasi dan satu konfederasi. Pada Januari 2008, jumlahnya naik menjadi 90 federasi dan tiga konfederasi. Kenaikan ini masih terhitung tinggi (sekitar 50 persen untuk federasi dan 200 persen untuk konfederasi) namun tidak sedramatis kenaikan jumlah serikat buruh di tingkat perusahaan yang sebesar “3.900 persen” seperti ditulis oleh Feulner (2001:17). Argumen tentang cepatnya pertambahan jumlah serikat buruh juga menyimpan kekhawatiran tentang hadirnya serikat buruh ganda atau multiunionisme di satu perusahaan, dan ini membawa kita kepada catatan yang keempat. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak beralasan. Memang belum ada data yang komprehensif, namun indikasi yang tersedia tidak memperlihatkan gejala ini. Setahun setelah pemberlakuan UU No. 21/2000, survei SMERU hanya menemukan tiga dari 47 perusahaan yang memiliki serikat lebih dari satu. Tiga perusahaan ini pun mengaku tidak mempunyai masalah serius dengan serikat-serikat di lingkungan mereka. Penelitian Rokhani di Tangerang pada 2005 menyatakan bahwa “di kebanyakan perusahaan, hanya ada satu serikat buruh”.20 Hanya sembilan perusahaan di kawasan Tangerang yang mempunyai serikat lebih dari satu. Data resmi di kota Semarang per Juli 2009 menyebutkan hanya sepuluh perusahaan dengan serikat ganda.21 Meski demikian, masih ada suara-suara yang terus mendengungkan kekhawatiran tersebut. Kekhawatiran pengusaha berhubungan dengan soal perjanjian kerja bersama dan produktivitas.22 Siapa yang bakal menjadi mitra perjanjian itu dari pihak buruh? Selain itu, pengusaha mengira buruh bakal sibuk mendirikan serikat dan bersaing di antara mereka sendiri sehingga mengurangi produktivitas. Serikat buruh yang telah mapan di satu perusahaan juga menyuarakan kegelisahan yang sama. Mereka meributkan persoalan representasi; siapa yang akan mewakili buruh di perusahaan tersebut? Kekhawatiran ini mudah saja dikubur. Perwakilan buruh dalam perjanjian kerja bersama diatur secara sangat jelas dalam UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan.23 Oleh karena itu, sepertinya kekhawatiran terhadap multiunionisme lebih mencerminkan kepentingan sesungguhnya dari pengusaha untuk menundukkan buruh sepenuhnya daripada sekadar persoalan hubungan industrial. Serikat buruh mapan juga punya kepentingan mempertahankan dominasinya sehingga mencurigai setiap usaha membuat serikat buruh lain di perusahaan yang sama.
Konflik dan perpecahan Argumen kedua tentang fragmentasi gerakan buruh 18
I
A
L
berbicara tentang gejala merebaknya konflik antarserikat buruh yang sering berujung perpecahan. Memang tidak bisa disangkal bahwa antagonisme dan perpecahan di antara serikat buruh mengiringi runtuhnya monopoli SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Pada Agustus 1998, hanya dua bulan sesudah mundurnya Suharto, 13 serikat anggota federasi SPSI memisahkan diri dan bersiap-siap membentuk federasi sendiri.24 Oktober tahun itu juga, serikat-serikat ini membentuk FSPSI-Reformasi.25 Tahun berikutnya, dua serikat buruh lain juga mundur dari keanggotaan di FSPSI dan masing-masing mendirikan organisasi baru. SPMI (Serikat Pekerja Metal Indonesia) mengadakan kongres yang pertama pada Februari 1999 yang menandai kelahirannya sebagai serikat terpisah dan kemudian menjadi federasi pada 2001. Serikat buruh sektor tekstil, sepatu dan kulit mendirikan federasi sendiri yang disebut FSPTSK (Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sepatu dan Kulit). Jadi, pada awal 2002 SPSI, yang berubah menjadi konfederasi pada 2001, telah terurai menjadi empat organisasi yang berbeda: KSPSI, FSPSIReformasi, FSPMI, dan FSPTSK. Pada Oktober 2003, dalam kesempatan kongresnya yang keempat, satu faksi besar dalam FSPTSK memisahkan diri dan mendirikan SPN (Serikat Pekerja Nasional) karena mereka ingin memperluas konstituennya di luar tiga sektor tradisionalnya.26 Faksi yang lain tetap mempertahankan sektor-sektor tradisional tersebut dan nama FSPTSK. Kebebasan berserikat merupakan faktor kunci yang memungkinkan perpecahan tersebut. Para pengurus dan aktivis buruh yang gelisah dengan masa lalu SPSI sebagai perpanjangan tangan rezim otoriter melihat jalan untuk mendirikan organisasi baru. Meskipun demikian, kebebasan berserikat bukan satusatunya faktor. Aktor-aktor eksternal juga memfasilitasi pendirian organisasi-organisasi baru itu. Misalnya, ACILS (American Center for International Labor Solidarity) membantu pemisahan dan pendirian FSPSI-Reformasi.27 Lembaga yang sama juga berusaha menjadi sponsor untuk pembentukan beberapa bakal federasi atau konfederasi namun tak satu pun berhasil. Di daerah, terjadi juga pola perpecahan yang serupa. Misalnya, SBJ (Serikat Buruh Jabotabek) di Jakarta dan Tangerang pecah dua kali pada 2003 dan 2006, dan setiap kali menghasilkan satu organisasi baru. Di Semarang, ketua FSBI (Federasi Serikat Buruh Independen) keluar dari serikatnya setelah ada tuduhan penyalahgunaan uang dan mendirikan dua organisasi buruh baru. Gambaran ini sepintas mendukung argumen tentang perpecahan dan konflik dalam organisasi serikat buruh. Hadiz (1998) sejak awal masa reformasi melihat bahwa yang terjadi di dalam gerakan buruh sebenarnya adalah “proliferasi dan bukan konsolidasi”. Sebagian ahli menyalahkan kebebasan berserikat yang telah mendorong “ekspansi yang memecah-belah”28 atau NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
S
O
S
telah “memfasilitasi fragmentasi yang ekstrem”.29 Syarat mudah untuk mendirikan serikat merangsang faksi-faksi bertikai di dalam serikat untuk memilih keluar. Jika mereka bisa mempunyai 10 orang pengikut saja dan menulis anggaran dasar dan rumah tangga, satu serikat baru siap bertarung di gelanggang. Meskipun terlihat antagonistik, gambaran ini hanyalah separuh cerita tentang serikat buruh pasca-1998. Saya tidak menyangkal fakta konflik dan perpecahan tersebut, namun separuh cerita yang lainnya tidak bisa diabaikan begitu saja yaitu cerita tentang kerja sama dan pembentukan aliansi antarserikat buruh. Pada tingkat nasional, di samping sejarah konflik dan perpecahan di antara organisasi turunan SPSI, serikat-serikat ini kebanyakan berkumpul di bawah konfederasi yang sama yaitu KSPI. Meskipun tetap mempertahankan organisasinya, serikatserikat buruh sekarang kelihatan lebih mudah membentuk aliansi dan berjejaring. Di daerah, kecenderungan ini sangat menonjol. Beraliansi dan berjejaring merupakan strategi yang rasional, terutama bagi serikat buruh kecil, untuk mempertebal rasa percaya diri di gelanggang kompetisi dengan serikat-serikat buruh besar dan mapan, dan untuk menaikkan daya tawarnya di hadapan modal. Serikatserikat kecil ini bekerja sama dengan serikat-serikat kecil lainnya atau beraliansi dan berafiliasi dengan serikat-serikat buruh nasional. Di Tangerang misalnya, FSBKU (Federasi Serikat Buruh Karya Utama) yang beranggotakan sekitar 25 serikat buruh lokal menjadi anggota KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), sebuah konfederasi serikat buruh alternatif yang muncul untuk menandingi tiga konfederasi nasional yang mapan. KASBI sendiri berjejaring dengan banyak organisasi buruh lain dalam wadah ABM (Aliansi Buruh Menggugat). Di tingkat lokal Tangerang, FSBKU sangat aktif dalam KBC (Koalisi Buruh Cisadane) yang beranggotakan enam organisasi buruh setempat. Contoh lainnya, di Semarang, pada 2001 berbagai organisasi buruh mendirikan suatu forum bagi serikat buruh di luar SPSI yang disebut FOKUS. Forum ini bermula dari protes yang berlangsung hampir sepanjang satu minggu terhadap keputusan gubernur tentang upah minimum. Forum ini berantakan menjelang Pemilu 2004 karena sebagian aktivisnya sibuk terlibat dalam partai-partai politik yang berbeda. Di tahun 2006, organisasi ini bangkit kembali dengan nama Dewan Pekerja dan Buruh Semarang dan kali ini melibatkan SPSI.
I
A
L
Di kota yang sama, GERBANG (Gerakan Buruh Semarang) berdiri pada 2004 dengan anggota sekitar 20 serikat buruh tingkat perusahaan yang berlokasi di sepanjang Jalan Raya Purwodadi. Memang, ramainya berbagai bentuk aliansi, koalisi, forum atau dewan berikut konstituennya yang tumpang tindih itu kelihatan membingungkan bagi orang luar. Yang menyatukan mereka adalah kesamaan persoalan dan kepentingan. Hal ini menjadi modal awal bagi mereka untuk berkumpul dan bekerja sama. Seringnya para pengurus serikat-serikat itu bertemu untuk advokasi kasus atau pelatihan memudahkan koordinasi dan komunikasi di antara mereka. Aliansi-aliansi ini sedemikian dinamis dan sering kali bersifat ad hoc tergantung kasus atau isu yang diusung meskipun akhir-akhir ini ada indikasi untuk menjadi lebih permanen. Isu yang rutin seperti penetapan upah minimum di daerah telah berhasil dipakai sebagai titik temu banyak serikat buruh, bahkan dijadikan momentum rutinisasi mobilisasi bersama. Ringkasnya, di banyak kota industri di Indonesia dengan mudah kita jumpai macammacam serikat buruh yang berkumpul hanya dalam dua atau tiga aliansi besar. Pola kerja sama semacam ini mengatasi atau membatalkan sebagian efek negatif yang timbul dari perpecahan. Untuk masa yang akan datang, perbanyakan organisasi serikat buruh masih akan berlangsung, namun ini tidak berarti kegagalan untuk berjejaring dan bekerja sama di antara mereka.
Kesamaan nasib sebagai orang upahan akan membangkitkan identitas dan kepentingan yang sama sebagai satu kelas yang berbeda dari kelas pemilik modal.
NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
Fragmentasi dan “kesadaran kelas” Kedua argumen tentang fragmentasi gerakan buruh di Indonesia sudah kita periksa, dan kita memperoleh gambaran situasi yang lebih realistis, atau setidaknya tidak sedramatis pelukisan gerakan buruh yang sering dipublikasikan. Lagi pula, arus dasar kedua argumen ini sebenarnya dituntun oleh asumsi yang secara analitis lemah. Fragmentasi organisasi serikat buruh dianggap niscaya melemahkan militansi gerakan buruh sehingga gejala perpecahan dibaca sebagai kegagalan gerakan buruh secara keseluruhan. Padahal, perpecahan pada derajat yang moderat mungkin saja menyuburkan kompetisi yang sehat di antara serikat-serikat buruh. Mereka bersaing untuk mendapatkan anggota dan merebut loyalitasnya. Pada derajat tertentu, persaingan ini mencegah para 19
S
O
S
elite serikat buruh untuk berlaku dan membuat keputusan seenaknya tanpa mempertimbangkan reaksi anggota, terutama bila perilaku dan kebijakan itu bisa merugikan anggota.30 Dengan kata lain, kompetisi moderat menawarkan exit option bagi anggota. Bahkan bila anggota atau pengurus lain tetap ingin berada di dalam organisasi yang sama, rivalitas antarserikat buruh bisa dijadikan dasar untuk menantang elite pengurus yang seenaknya tadi. Di balik diskusi tentang fragmentasi gerakan buruh itu sebenarnya terdapat asumsi teoretis yang lebih mendasar lagi dan ini terkait dengan tradisi berpikir Marxis yang perlu dikoreksi. Fragmentasi gerakan buruh dipersoalkan bila orang berpikir bahwa semestinya kelas buruh dalam dirinya sendiri mempunyai keterarahan untuk kohesif, untuk bersatu. Industrialisasi yang agresif dan konsentrasi massa buruh di kantongkantong industri mestinya menghasilkan kesamaan kepentingan dan membangkitkan kesadaran kolektif akan kepentingan yang sama itu. Dalam istilah Marx, “kelas pada dirinya sendiri” niscaya akan berkembang menjadi “kelas bagi dirinya sendiri”.31 Kesamaan nasib sebagai orang upahan akan membangkitkan identitas dan kepentingan yang sama sebagai satu kelas yang berbeda dari kelas pemilik modal. Bila perlu, menurut Lenin, evolusi kesadaran kelas itu diserahkan saja kepada kelompok intelektual sosialis revolusioner yang akan menanamkan kesadaran sosial-demokratis dalam kelas buruh.32 Apa pun namanya, tradisi berpikir ini percaya pada keutuhan kelas buruh, pada bulatnya kepentingan bersama, dan identitas buruh sebagai kelas revolusioner yang mengemban tugas historis menghapus hak milik pribadi dan menumbangkan kapitalisme. Atas dasar asumsi teoretis ini, orang bertanya-tanya ketika menjumpai realitas kelas buruh yang terpecah-belah dan penuh konflik. Mereka bertanya dan berusaha mencari penjelasan mengapa perpecahan itu terus menghantui kelas pekerja dan mengapa buruh gagal melihat kesamaan kepentingannya. Dalam konteks Indonesia, Hadiz (1998) menyalahkan otoritarianisme rezim Orde Baru yang menghancurkan kemampuan masyarakat untuk berorganisasi. Caraway (2006) menuding karakter liberal paket undang-undang perburuhan terutama UU No. 21/2000 seperti saya singgung sebelumnya. Elmhirst (2004) melihat peran loyalitas etnis dan tokoh-tokoh informal sebagai katup pencegah militansi buruh. Warouw (2005) menengarai jerat konsumerisme yang menyekap para buruh, sementara Tornquist (2004) menuduh aktivis-aktivis buruh terlalu sibuk dengan isu-isu sektoral saja. Lain halnya bila kita berpikir bahwa persaingan dan perseteruan merupakan gejala yang jamak bahkan tak terelakkan
20
I
A
L
dalam proses pembentukan angkatan kerja industrial seperti yang memang terjadi di Indonesia. Industrialisasi yang ekspansif membagi buruh ke dalam berbagai sektor industri. Perbedaan asal-usul geografis pasti juga berpengaruh pada loyalitas sosial dan politik, belum lagi latar belakang sosial dan religius mereka. Para buruh juga membawa berbagai muatan ideologis dan beban sejarah personal ketika bergabung dengan angkatan kerja di kota. Politik perburuhan, pada dasarnya, merupakan arena yang penuh intrik dan pertengkaran. Dengan bekal asumsi ini, gejala fragmentasi tidak perlu membuat bingung dan menguras energi. Justru per tanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya, di tengah-tengah labirin pertarungan kekuasaan dan fragmentasi, serikat buruh masih mampu melakukan pengorganisasian dan perlawanan? Faktor apa yang membuat buruh masih mampu melakukan perlawanan tersebut? Apa yang dapat disarikan dari gerakan buruh Indonesia untuk mengoreksi konsep “kelas”? Apakah konsep “kelas” masih memiliki kekuatan analitis yang bisa membantu kita meneropong gerakan buruh? STF Driyarkara, di ulangtahunnya ke-40 ditantang untuk tetap relevan dengan persoalan-persoalan kekinian. Dengan segala hormat pada alma mater saya, STF Driyarkara, saat ini saya tidak melihat minat empiris maupun teoretis terhadap masalahmasalah perburuhan. Mata kuliah tentang Marxisme mungkin tidak lagi mengobarkan heroisme naif yang membakar jiwa muda sebagaimana dahulu. Namun, jangan sampai filsafat lupa mendedah gejala-gejala dalam arena keras kehidupan masyarakat kelas bawah. Ia mungkin akan padam sebagai api dan berhenti menjadi sekadar hobi atau klangenan.z
CATATAN KAKI 1 Tap MPRS no. 25/1966. 2 Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho ditangkap dan divonis penjara antara 7 hingga 8 tahun. Ketika sebagian dari diktat ini kemudian muncul dalam bentuk buku Pemikiran Karl Marx (1999) di era reformasi, sebagian orang masih menanggapinya dengan kemarahan dan kebencian terhadap hantu Marxisme-Leninisme yang dipelihara oleh rezim Orde Baru. Beberapa kelompok masyarakat melakukan sweeping dan pembakaran buku ini. Lihat “Sweeping buku berbau kiri tetap akan berlanjut” Kompas 8/5/2001. 3 Penelitian untuk tulisan ini dibuat di Semarang dan Tangerang antara MaretMei 2008. 4 Ford 2005. 5 Tornquist 2004. 6 Lihat misalnya “Apindo wants wage system changed” Jakarta Post 29/11/ 2006. 7 Data ini berasal dari rekapitulasi surat pemberitahuan aksi unjuk rasa yang ditujukan kepada polisi dan dilengkapi hasil pantauan intelijen polisi sendiri. Mulai 2005 data ini hanya mencakup wilayah kota Tangerang karena Polres kota Tangerang dan Polres kabupaten Tangerang berpisah. 8 UU no. 21/2000 pasal 22.
NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
S
O
S
Kuruvilla dan Erickson 2002. Gall 1998: 365. 11 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 6/MEN/IV/2005. 12 SMERU 2002. 13 Quinn 2003. 14 Lembaga tripartit adalah wadah bersama serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah untuk membicarakan dan memutuskan perkara-perkara ketenagakerjaan. 15 Chang 2002: 18. 16 Kuruvilla dan Erickson 2002: 445. 17 Ford 2000: 3. 18 SMERU 2002: vi. 19 Kata-kata yang ditulis oleh Indrasari Tjandraningsih ini ada dalam bagian pengantar sebuah direktori serikat buruh di Indonesia yang diterbitkan 2007 oleh Akatiga, Bandung. Saya membaca versi online-nya yang bisa dilihat di http://indoprogress.blogspot.com/2007/08/serikat-buruh-serikat-pekerjadi.html (diunduh pada 2/3/2009). 9
10
DAFTAR PUSTAKA Buchanan, P. G. & Nicholls, K. 2003. “Labour Politics and Democratic Transition in South Korea and Taiwan.” Government and Opposition 38 (2): 203-237. Caraway, T. L. 2005. “Can the Leopard Change Its Spots? Legacy Unions in New Democracies.” Annual Meeting of the American Political Science Association. Marriott Wardman Park, Omni Shoreham, Washington Hilton, Washington, DC. Caraway, T. L. 2006. “Freedom of Association: Battering Ram or Trojan Horse?” Review of International Political Economy 13 (2): 210-232. Chang, D. 2002. “Korean Labour Relations in Transition: Authoritarian Flexibility?” Labour, Capital, and Society 35 (1): 10-40. Elmhirst, R. 2004. “Labour Politics in Migrant Communities: Ethnicity and Women’s Activism in Tangerang, Indonesia.” dlm. Elmhirst, R. & Saptari, R. (eds.) Labour in Southeast Asia: Local Processes in a Globalised World. Abingdon: Routledge Curzon. Feulner, F. 2001. “Consolidating Democracy in Indonesia: Contributions of Civil Society and State.” UNSFIR Working Paper. Jakarta: UNSFIR. Ford, M. 2003. NGO as Outside Intellectual: A History of Non-Governmental Organisations’ Role in the Indonesian Labour Movement. Tesis doktoral, tidak dipublikasikan, Universitas Wollongong. Ford, M. 2005. “Economic Unionism and Labour Poor Performance in Indonesia’s 1999 and 2004 Elections.” Makalah yang dipresentasikan pada Konferensi AIRAANZ di Sydney, 9-11 Februari 2005. Ford, M. 2006. “Labour NGOs: An Alternative Form of Labour Organising in Indonesia 1991-1998.” Asia Pacific Business Review 12 (2): 175-191. Gall, G. 1998. “The Development of the Indonesian Labour Movement.” The International Journal of Human Resource Management 9: 359-376. Hadiz, V. R. 1998. “Reformasi Total? Labor after Suharto.” Indonesia 66: 109-124. ILO. 2004. Working Out of Poverty: ILO Contribution to Indonesia’s Poverty Reduction Strategy. Jakarta: ILO. Kuruvilla, S. & Erickson, C. L. 2002. “Change and Transformation in Asian Industrial Relations.” Industrial Relations 41 (2): 171-228. Lenin, V. I. 1961. “What is to be Done?” dlm. Lenin’s Collected Works Vol. 5. Foreign Languages Publishing House Vol. 5.
NOMOR 09–10, TAHUN KE-58, SEPTEMBER – OKTOBER 2009
I
A
L
Rokhani 2008: 3. Menariknya, artikel ini sebenarnya persis meneliti konflik antarserikat buruh dalam satu perusahaan yang sama. 21 Data Disnaker kota Semarang. 22 Wawancara dengan Djimanto, sekretaris jendral APINDO, pada 4/8/2006. 23 UU No. 13/2003 pasal 116 ayat 1, pasal 120 ayat 2, dan pasal 119 ayat 2. 24 Quinn 1999. 25 Lihat Caraway (2005) yang mencatat banyak detil lahirnya FSPSIReformasi. 26 “Tak sesuai aturan, delapan DPC tolak kongres SPN” Kompas 13/10/2003. Para pengurus SPN sendiri menyebut diri mereka sebagai penerus FSPTSK yang asli. 27 Ford 2006. 28 Tornquist 2004: 388. 29 Caraway 2006: 222. 30 Pendapat ini juga disampaikan oleh Tafel dan Boniface (2003) dan Teitelbaum (2008). 31 Marx dan Engels 1969: 479. 32 Lenin 1961. 20
Magnis-Suseno, F. 1999. Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Marx, K. & Engels, F. 1969.) Marx and Engels, Selected Works. Quinn, P. (2003). “Freedom of Association and Collective Bargaining: a Study of Indonesian Experience 1998-2003.” Working Paper of Infocus Programme on the Promotion of the Declaration. Geneva: ILO. Rokhani, E. 2008. “Inter-union Conflict in Three Indonesian Factories.” Labour and Management in Development 9: 1-10. SMERU. 2002. “Industrial Relation in Jabotabek, Bandung, and Surabaya during the Freedom to Organize Era.” Smeru Research Report. Jakarta: Smeru. Tafel, H. L. & Boniface, D. S. 2003. “Old Carrots, New Sticks: Explaining Labor Strategies toward Economic Reform in Eastern Europe and Latin America.” Comparative Politics 35 (3): 313-333. Teitelbaum, E. 2006. “Was the Indian Labor Movement Ever Co-opted?” Critical Asian Studies 38 (4): 389 - 417. Tornquist, O. 2004. “Labour and Democracy? Reflections on the Indonesian Impasse.” Journal of Contemporary Asia 34 (3): 377-399. Warouw, N. 2005. “Pekerja Industri Indonesia, Gerakan Buruh, dan New Social Movement: Merajut Sebuah Kemungkinan.” Jurnal Analisis Sosial 10 (2): 1-18.
B. Hari Juliawan, kandidat doktor bidang Studi Pembangunan, Universitas Oxford.
21