Ferry Ferdiansyah. Kajian Yuridis Perjanjian Antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh ...
KAJIAN YURIDIS PERJANJIAN ANTARA PENGUSAHA DENGAN PEKERJA/BURUH TERKAIT KESEPAKATAN PENGUPAHAN DI BAWAH KETENTUAN UPAH MINIMUM (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012) Ferry Ferdiansyah Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected] Abstract An issue related to the minimum wage has emerged of cases brought to the realm of law, in which the case has been decided by the Supreme Court and declared the businessman guilty. At the beginning of the case at the district court level, employers found not guilty on the grounds that the wage agreement under the provisions of the minimum wage has been agreed upon by the workers / laborers. This research is normative juridical kind, aims to examine the validity of the wage agreement under the provisions of the minimum wage. The study concluded that a wage agreement under the provisions of the minimum wage is an agreement null and void. Keyword: the minimum wage police, agreement, null and void Abstrak Kebijakan upah minimum menjadi permasalahan yang penting dalam bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Terkait permasalahan upah minimum telah muncul kasus yang dibawa kepada ranah hukum, yang mana kasus tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung dan menyatakan pihak pengusaha bersalah. Pada awal kasus tersebut di tingkat Pengadilan Negeri, pengusaha dinyatakan tidak bersalah dengan alasan bahwa perjanjian pengupahan di bawah ketentuan upah minimum tersebut telah disepakati oleh pekerja/buruh. Penelitian ini jenisnya adalah yuridis normatif, bertujuan untuk meneliti keabsahan perjanjian pengupahan di bawah ketentuan upah minimum. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perjanjian pengupahan di bawah ketentuan upah minimum adalah perjanjian yang batal demi hukum. Kata Kunci: Kebijakan Upah Minimum, perjanjian, batal demi hukum
A. Pendahuluan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat tinggi yaitu sekitar 1,2% (satu koma dua persen) per tahun. Hal ini menyebabkan kecenderungan penambahan penduduk termasuk yang tertinggi di dunia, termasuk 5 (lima) besar dunia yaitu China, India, Amerika Serikat, Indonesia dan Rusia. Jumlah penduduk yang sangat
besar ini merupakan modal dasar dalam dinamisator pembangunan, akan tetapi juga bisa menjadi beban pembangunan yang menimbulkan masalah. Terutama di bidang ketenagakerjaan sehingga memerlukan perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai kalangan (Basani Situmorang, et al., 2010 : 1). Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang 65
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dengan demikian mendapat pekerjaan adalah hak bagi setiap warga negara. Jadi setiap warga negara dapat menuntut pemerintah untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak (Basani Situmorang, et al., 2010: 7). Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi (Basani Situmorang, et al., 2010: 20). Hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah didasari oleh suatu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, baik secara lisan maupun tertulis. Setiap hubungan kerja pasti mengandung unsur pekerjaan, upah dan perintah. Salah satu hal penting dalam perjanjian kerja yang sering menjadi masalah adalah mengenai nilai upah. Dalam UndangUndang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan upah sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 30 adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Perjanjian kerja termasuk didalamnya perjanjian mengenai upah, di dalam Pasal 52 Undang-Undang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa perjanjian kerja tersebut wajib dibuat dengan dasar: kesepakatan kedua belah pihak; kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; adanya 66
pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan. Sumarsono (seperti dikutip Devanto Shasta Pratomo dan Putu Mahardika Adi Saputra, Journal of Indonesian Applied Economics, Vol. 5 No. 2 Oktober 2011: 271), mengemukakan pula bahwa upah merupakan sumber utama penghasilan seorang pekerja, sehingga upah harus cukup memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dengan wajar. Batas kewajaran tersebut dalam kebijakan upah minimum di Indonesia dapat dinilai dan diukur dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau seringkali saat ini disebut dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pemikiran dasar penetapan upah minimum adalah bahwa upah minimum merupakan langkah untuk menuju dicapainya penghasilan yang layak untuk mencapai kesejahteraan pekerja untuk memperhatikan aspek produktivitas dan kemajuan perusahaan (Anik Widiastuti, 2013 : 88). Kebijakan upah minimum saat ini telah menjadi isu yang penting dalam masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Perdebatan tentang besaran nilai upah minimum yang disepakati antara pengusaha dengan pekerja/ buruh seperti tidak ada habisnya, hal itu bisa kita saksikan bersama dari aksi-aksi demonstrasi buruh pada waktu peringatan hari buruh atau pada waktu akhir tahun menjelang penetapan besaran upah minimum baru untuk tahun berikutnya. Di satu sisi, buruh beranggapan bahwa upah minimum yang mereka terima, tidak mencukupi untuk memenuhi kehidupan yang layak, sedangkan dari sisi pengusaha, persoalan meliputi keberatan pengusaha terhadap kenaikan tahunan upah minimum yang dianggap sebagai beban dan muncul juga beberapa permasalahan terkait tidak patuhnya pengusaha terhadap ketentuan upah minimum. (Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati, 2009 : 32).
Ferry Ferdiansyah. Kajian Yuridis Perjanjian Antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh ...
Terkait permasalahan perjanjian kerja khususnya permasalahan upah minimum, telah muncul kasus yang dibawa ke ranah hukum bahkan sampai tingkat kasasi. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 687 K/ Pid.Sus/2012, tertanggal 5 Desember 2012. Kasus pengusaha Tjioe Christina Chandra, dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana membayar upah lebih rendah dari upah minimum berdasarkan pada wilayah kota atau propinsi, dengan dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebanyak seratus juta rupiah subsidair pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Tjioe Christina Chandra adalah pemilik dari “UD. Terang Suara”, yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang peralatan listrik, beralamat di Jalan Kalianyar Nomor 17C Surabaya. Pengusaha yang memiliki 53 karyawan ini memberikan upah kepada pekerjanya di bawah Upah Minimum Regional. Pada tahun 2009, Tjioe Christina Chandra memberikan upah sebesar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) kepada pekerjanya, padalah upah minimum Kota Surabaya pada waktu itu adalah sebesar Rp. 948.500,- (sembilan ratus ribu, empat puluh delapan ribu, lima ratus rupiah). Meskipun pada tingkat kasasi diputus bersalah, akan tetapi pada awal kasus ini, oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan putusan Nomor 1397/Pid.B/2010/PN.Sby, tertanggal 31 Januari 2011, Tjioe Christina Chandra dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas. Salah satu alasan yang digunakan sebagai dasar untuk membebaskan Tjioe Christina Chandra oleh Pengadilan Negeri Surabaya adalah bahwa upah yang diterima pekerja dengan nilai di bawah ketentuan Upah Minimum Kota Surabaya, telah disepakati/ disetujui oleh pekerja berdasarkan perjanjian antara Pekerja/buruh dengan pengusaha yang dibuat secara lisan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menulis artikel yang membahas mengenai keabsahan perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang memuat klausul kesepakatan pemberian upah di bawah ketentuan upah minimum. Artikel ini berdasarkan pada Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012.
B. Tinjauan Tentang Perjanjian Tentang perjanjian pada umumnya, diatur dalam Bab II, sedangkan ketentuan khusus diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII, ditambah Bab VII A Burgelijk Wetboek / KUH Perdata (selanjutnya disingkat BW). Dalam Pasal 1313 BW dijelaskan mengenai pengertian perjanjian yaitu suatu perbuatan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Setiono (2012 : 70), menjelaskan bahwa, perjanjian selalu merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak, dimana untuk itu diperlukan pernyataan kehendak yang bertemu satu dengan yang lain. Tetapi perlu diperhatikan ada perbuatan yang bersegi banyak bukan merupakan perjanjian, misalnya pemilihan umum. Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 B.W. adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan yang disebut perjanjian obligasi, yaitu perjanjian memberi hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, sehingga tidak berlaku bagi perjanjian jenis lain, misal perjanjian dalam hukum keluarga (perkawinan), dimana perkawinan adalah mengenai saling setia saling membantu antara suami istri. Juga tidak berlaku dalam perjanjian kebendaan yaitu perjanjian mengenai penyerahan benda, timbulnya hak kebendaan, perubahannya dan batalnya perjanjian yang demikian ini tidak menjadi sumber perikatan. Menurut Niewenhuis (seperti dikutip Agus Yudha Hernoko, 2010 : 18), perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Pengertian kontrak 67
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
atau perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 BW, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dengan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang mengalami perubahan dalam Nieuw Burgelijk Wetboek (NBW), sebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6 : 213, yaitu : “a contract in the sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an obligation towards one or more other parties”. Menurut Nieuw Burgelijk Wetboek (NBW), kontrak merupakan perbuatan hukum yang bertimbal balik, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 18-19). Apapun kontrak yang dibuat, dapat dikatakan bahwa kesepakatan bersama merupakan prinsip dasar yang menentukan keabsahan kontrak. Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi sebelum suatu kontrak dapat dinyatakan mengikat secara hukum, yaitu : kontrak harus dibuat beranjak dari kehendak bebas para pihak; pihak yang membuat kontrak harus memiliki kecakapan hukum untuk bertindak; kontrak harus mengenai hal tertentu; dan apa yang diperjanjikan tidak boleh sesuatu yang melawan hukum. Menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW, seketika syarat-syarat keabsahan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW terpenuhi, maka kontrak demikian mengikat dan berlaku sebagai hukum bagi para pihak. Burgelijk Wetboek (BW) yang berlaku di Indonesia, menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. Untuk menjamin adanya itikad baik demikian, maka hakim pengadilan perdata memiliki kewenangan diskresioner untuk mengawasi pelaksanaan suatu kontrak dan menjamin adanya itikad baik demikian dengan
68
menggunakan prinsip keadilan dan kemasukakalan (Rosa Agustina, et al., 2012 : 81). Dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak atau biasa juga disebut dengan istilah “freedom of contract” atau “liberty of contract” atau “party autonomy”, yaitu kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut tanpa campur tangan pihak lain (Sutan Remy Sjahdeini, 2009 : dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasik-nya mendasarkan pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianism. Utilitarianism dan teori klasik laissez faire atau persaingan bebas, dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal individualistis, keduanya percaya individualisme sebagai nilai dan mekanisme sosial; dan kebebasan berkontrak dianggap sebagai suatu prinsip yang umum. Dalam perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan se-optimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sering tidak terjadi demikian, sehingga negara menganggap perlu untuk campur tangan melindungi yang lemah (Sutan Remy Sjahdeini, 2009 : 21). Pada dasarnya suatu kontrak atau perjanjian berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi, yang m erupakan upaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan melalui proses tawar menawar.
Ferry Ferdiansyah. Kajian Yuridis Perjanjian Antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh ...
Kebebasan berkontrak yang merupakan ‘roh’ dan ‘napas’ sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang, dan dengan demikian, diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang pula bagi para pihak. Namun demikian di dalam praktik masih banyak ditemukan perjanjian yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil. Kontrak yang tidak seimbang sering kali diibaratkan dengan pertarungan antara “David versus Goliath”. Pihak yang mempunyai bargaining position kuat, yang diposisikan sebagai Goliath (baik karena penguasaan modal/dana, teknologi, maupun skill), dengan pihak yang lemah bargaining position-nya, yang diposisikan sebagai David ( Agus Yudha Hernoko, 2010 : 1-2).
C. Perjanjian Kesepakatan Pengupahan Di Bawah Ketentuan Upah Minimum Adalah Batal Demi Hukum. Dalam praktek terkadang ditemukan suatu bentuk perjanjian yang berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil. Seperti halnya dalam kasus yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini, mengenai kontrak atau perjanjian yang memuat kesepakatan pengupahan di bawah ketentuan upah minimum, Pihak Pengusaha dalam hal ini Tjioe Christina Chandra, diposisikan sebagai pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat, yaitu posisi yang karena hal-hal tertentu, dalam hal ini adalah sebagai pemilik perusahaan, pemilik modal serta pemilik lapangan pekerjaan dapat memaksakan kehendaknya kepada pekerja/buruh yang membutuhkan pekerjaan tersebut, untuk menerima klausul-klausul yang diinginkan pengusaha. Dalam posisi berbeda yaitu pekerja/buruh yang lemah bargaining position-nya, hanya sekedar
menerima segala isi kontrak dengan terpaksa (taken for granted), sebab apabila ia mencoba menawar dengan alternatif lain kemungkinan besar akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkannya, yaitu lapangan pekerjaan dan tentu saja upah untuk mencukupi kebutuhannya. Jadi tidak ada banyak opsi untuk pekerja/buruh, yang ada hanya 2 (dua) alternatif, yaitu untuk menerima atau menolak (take it or leave it). Dengan kondisi yang tidak memenuhi rasa keadilan tersebut sehingga negara menganggap perlu untuk campur tangan melindungi yang lemah melalui peraturan perundang-undangan dan campur tangan pengadilan melalui putusanputusan-nya. Mengenai perjanjian pengupahan di bawah ketentuan upah minimum, walaupun telah disepakati bersama antara pekerja/ buruh dengan pengusaha, secara normatif hal tersebut menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti kita ketahui bersama bahwa syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW, adalah sebagai berikut : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Sepakat maksudnya adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju, atau sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara bertimbal balik (Setiono, 2012 : 79). 2) Kecakapan untuk membuat perikatan; Orang yang membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Pasal 1330 BW menyebutkan siapa-siapa yang tidak boleh membuat perjanjian yaitu: orang belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; serta orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang dan pada 69
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Pada prinsipnya, orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Termasuk di dalam syarat kecakapan adalah mengenai kewenangan untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum. S.F. Marbun (seperti dikutip Totok Soeprijanto, http://www.bppk.depkeu. go.id , diakses pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015, jam 20.27 WIB), menjelaskan bahwa wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubunganhubungan hukum. 3) Suatu hal tertentu; Pasal 1320 BW menentukan bahwa syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ialah harus ada suatu hal yang tertentu atau objek yang tertentu, syarat ini adalah perlu untuk dapat menetapkan kewajiban dari debitur jika ada yang berselisih. Mengenai syarat ketiga, yaitu bahwa perjanjian itu harus ada hal yang tertentu, dipertegas kembali pada Pasal 1333 ayat (1) BW yaitu bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa tidaklah menjadi halangan (sahnya perjanjian) apabila jumlah barang tidak tentu (belum ditentukan), asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya
70
berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (Retna Gumanti, http://portalgaruda.org., diakses pada hari Selasa, tanggal 26 Mei 2015, jam 19.45 WIB). 4) Suatu sebab yang halal. Syarat keempat unt uk sahnya perjanjian adalah harus ada sebab yang halal. Mengenai sebab yang halal ini dirinci dalam Pasal 1337 BW, yang menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila : dilarang oleh undangundang; atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dari pengertian Pasal 1337 BW tersebut, maka secara a contrario, dapat diketahui sebab yang halal yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum ( H. Setiono, 2012 : 86). Dalam kasus perjanjian pengupahan di bawah ketentuan upah minimum yang dilakukan oleh Tjioe Christina Chandra dengan pekerjanya, apabila dikaitkan dengan syarat pertama sahnya perjanjian yaitu sepakat antara para pihak, ada kemungkinan bahwa pernyataan sepakat dari buruh/pekerja itu tidak mendukung kehendaknya. Sangat dimungkinkan bahwa sebenarnya pekerja/ buruh tidak menyetujui besar upah yang diberikan, akan tetapi karena tidak ada alternatif pilihan lain, akhirnya mereka menerima. Untuk menentukan telah terjadinya perjanjian sehubungan dengan ada kemungkinan bahwa pernyataan itu tidak selalu sesuai dengan kehendaknya, R. Setiawan (seperti dikutip Setiono, 2012 : 80-81), menjelaskan bahwa ada beberapa teori untuk menentukannya, yaitu :
Ferry Ferdiansyah. Kajian Yuridis Perjanjian Antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh ...
a. Teori kehendak (wilstheorie), menjelaskan bahwa suatu perjanjian antara kedua belah pihak pada pokoknya adalah kemauan sejati dari kedua belah pihak. Jadi jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut. b. Teori pernyataan (verklaringstheorie), teori ini muncul karena teori kehendak sebagaimana tersebut di atas tidak m e m u a s k a n . Te o r i p e r n y a t a a n menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita harus berpegang kepada pernyataan, sehingga jika seseorang salah bicara maka orang itu harus memikul risikonya. c. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie), yang menjelaskan bahwa kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. Terkait kasus Tjioe Christina Chandra, apabila dilihat dari kacamata teori pernyataan (verklaringstheorie), mungkin dia sudah merasa benar karena dalam perjanjian yang dibuat dengan pekerja, telah disetujui besaran upahnya walaupun di bawah ketentuan upah minimum. Kehendak pekerja tidak diperhatikan, yang penting dalam fakta riilnya telah memberikan persetujuannya atau menyepakati melalui pernyataan. Dilihat dari syarat kedua tentang sahnya perjanjian yaitu mengenai kecakapan, yang dalam kasus ini tepatnya adalah kewenangan. Tentang penentuan upah minimum, yang berwenang m enent ukan besar an-nya adalah pemerintah (gubernur), sedangkan pengusaha atau pekerja tidak mempunyai wewenang tentang pengaturan ini. Jadi dalam kasus ini, perjanjian pengupahan yang menentukan besaran upah di bawah ketentuan upah minimum, sudah melanggar syarat sahnya perjanjian mengenai kecakapan untuk bertindak. Pasal 89 ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa Upah Minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi dan/atau Bupati/Walikota. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 11 ayat (1) juga menegaskan bahwa yang berwenang menentukan besaran upah minimum adalah Gubernur. Isi dari pasal-pasal tersebut sangat jelas, bahwa yang berwenang menentukan batasan upah minimum hanya pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur, tidak ada pihak lain yang berwenang, apalagi pengusaha. Jadi pengusaha tidak bisa menentukan sendiri besaran upah yang nilainya di bawah batas upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur. Pada faktanya, ada kalanya suatu usaha mengalami kondisi sulit, akan tetapi pemerintah telah mengantisipasi kemungkinankemungkinan seperti ini. Apabila pengusaha ternyata tidak atau belum mampu membayar upah sesuai ketentuan Upah Minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka dapat memohon penangguhan yang tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Berdasarkan Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per-01/Men/I/2006, yang menerangkan bahwa apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum dan telah ada kesepakatan untuk membayar menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum, maka kesepakatan tersebut (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang berwenang (dalam hal ini Gubernur setempat). Dengan kata lain, walau telah ada kesepakatan, apabila tidak/ 71
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
belum mendapat persetujuan (penangguhan) tidak dapat diterapkan. Pengusaha tidaklah berwenang membuat aturan penangguhan atau menyimpang dari batasan upah minimu tanpa persetujuan dari pemerintah, walaupun dengan alasan misalnya kondisi usaha yang sedang menurun atau kondisi usaha belum berkembang, dan sebagainya. Mengenai syarat keempat sahnya perjanjian yaitu suatu sebab yang halal, yang mana dalam Pasal 1337 BW disebutkan bahwa sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak melanggar ketertiban, dan tidak melanggar kepatutan/ kesusilaan. Perjanjian antara pengusaha Tjioe Christina Chandra dengan pekerjanya, mengenai pengupahan di bawah ketentuan upah minimum apabila kita kaitkan dengan syarat keempat sahnya perjanjian tersebut, maka perjanjian tersebut adalah melanggar undang-undang. Pasal 90 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 89 ayat (1), yaitu upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi. Perjanjian yang dibuat oleh Tjioe Christina Chandra dengan pekerjanya adalah melanggar hukum, bukan hanya dalam aspek perdata, akan tetapi juga masuk kepada ranah hukum pidana. Kesepakatan (antara pekerja/ buruh dengan pengusaha) untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 Undang-Undang Ketenagakerjaan, merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta
72
rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,(empat ratus juta rupiah). Dua syarat sahnya perjanjian yang pertama yaitu kata sepakat dan cakap, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjek mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang kedua yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat-syarat objektif, karena mengenai perjanjian sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Menurut Gunawan Wijaya (seperti dikutip oleh Retna Gumanti, http://download.portalgaruda.org, diakses pada hari Selasa, tanggal 26 Mei 2015, jam 19.45 WIB), bahwa pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. Kasus perjanjian antara Tjioe Christina Chandra sebagai pengusaha pemilik “UD. Terang Suara” dengan pekerjanya, mengenai kesepakatan pengupahan di bawah ketentuan upah minimum adalah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian tersebut melanggar syarat objektif sahnya perjanjian yaitu mengenai suatu sebab atau kausa yang halal. Jadi perjanjian pengupahan tersebut sudah batal sejak awal dan dianggap tidak pernah ada. Perjanjian itu tidak bisa dijadikan dasar untuk perbuatan hukum apapun karena tidak menimbulkan hak dan kewajiban.
Ferry Ferdiansyah. Kajian Yuridis Perjanjian Antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh ...
D. Penutup Perjanjian pengupahan di bawah ketentuan upah minimum, walaupun telah disepakati antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah batal demi hukum (null and void) dan dianggap tidak pernah ada karena melanggar syarat keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu sebab yang halal, bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh melanggar undangundang. Perjanjian tersebut telah melanggar ketentuan upah minimum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012 yang menghukum pengusaha Tjioe Christina Chandra, dan menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Nomor 1397/Pid.B/2010/PN.Sby yang semula memberikan vonis bebas adalah sudah tepat. Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan tersangka dengan dasar pertimbangan bahwa pengupahan di bawah ketentuan upah minimum tersebut telah disepakati atau telah ada perjanjian antara pekerja dengan pengusaha, padahal perjanjian tersebut melanggar syarat objektif dan akibatnya batal demi hukum. Pihak pengusaha tidak bisa menggunakan perjanjian yang batal demi hukum tersebut sebagai dasar pembuktian, karena perjanjian itu tidak melahirkan hak dan kewajiban.
Yogyakart a: Universi tas Negeri Yogyakarta Basani Situmorang, et al. 2010. Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun Dan Menget ahui Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-Sumber Hukum Mengenai Ketenagakerjaan. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM Devanto Shasta Pratomo dan Putu Mahardika Adi Saputra. 2011. Kebijakan Upah Mi ni mum Unt uk P ere konom ian Yang Berkeadilan : Tinjauan UUD 1945, Journal of Indonesian Applied Economics, Vol. 5 No. 2 Oktober 2011 H. Setiono. 2012. Hukum Perikatan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Surakarta : UNS Press Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati. 2009. Menuju Upah Layak, Survei Upah Buruh Tekstil Dan Garmen Di Indonesia. Bandung : AKATIGA Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian. http://download.portalgaruda.org, diakses pada hari Selasa, tanggal 26 Mei 2015, jam 19.45 WIB)
Daftar Pustaka
Rosa Agustina, et al. 2012. Hukum Perikatan (Law Of Obligations). Denpasar-Bali : Pustaka Larasan
Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian, Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup
Sutan Remy Sjahdeini. 2009. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Anik Widiastuti. 2013. Problematika Ket enagakerj aan Di I ndones ia .
To t o k S u p r i y a n t o . S u m b e r - S u m b e r Kewenangan. http://www.bppk.depkeu. go.id, diakses pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015, jam 20.27 WIB
73