1
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN KESELAMATAN KERJA DALAM UNIT PENJAHITAN DI PT X SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA/BURUH Eka Sakti Sirait dan Melania Kiswandari Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia ABSTRAK Kegiatan bekerja memiliki banyak dimensi, antara lain terkait kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan di sisi lain bagi kelangsungan serta kemajuan usaha. Kesejahteraan bagi pekerja/buruh
tidak
hanya
mencakup
aspek
pengupahan
melainkan
juga
aspek
ketenangan/kenyamanan/keamanan bekerja sehingga kelangsungan pekerjaan dapat terjamin. Pada saat yang bersamaan, terpenuhinya hak-hak dan perlindungan dasar bagi keselamatan pekerja/buruh juga akan mewujudkan kondisi yang kondusif bagi kelangsungan serta kemajuan dunia usaha. Skripsi ini memaparkan pelaksanaan keselamatan kerja sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh yang difokuskan dalam unit penjahitan yang rentan terhadap kecelakaan kerja di PT X yang merupakan perusahaan yang bergerak di industri garmen. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode yuridis-normatif dalam bentuk deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan keselamatan kerja di unit penjahitan PT X telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan mengalami peningkatan dengan berfungsinya Departemen Compliance. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pelaksanaan keselamatan kerja harus terus ditingkatkan sesuai kebutuhan dan kondisi lapangan sebagai bentuk pemenuhan aspek keselamatan kerja agar pekerja/buruh dapat bekerja dengan aman untuk peningkatan kesejahteraan hidup. Kata kunci: hak pekerja/buruh; industri garmen; keselamatan kerja; perlindungan pekerja/buruh; unit penjahitan. ABSTRACT Working activities have many dimensions which are for the welfare of workers/labourers and also for the progress of business. Welfare of workers/labourers are not only related to wages matter, but also includes the aspects of the convenient/safety of workers/labourers, so that the working activities can be secured. The fulfillment of the safety of workers/labourers will create conducive conditions for the survival and progress of the business. This thesis
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
2
describes the implementation of safety work as a form of protection for workers/labourers focussed in sewing unit where the place is vulnerable to experience working accident at PT X which engaged in garment industry. This research was conducted by applying normative juridical method in a form of descriptive analytic design. The result showed that the implementation of safety work in sewing unit at PT X has been according to the regulations in the manpower area and it has been increasing as the Compliance Department function actively. The result also showed that the implementation of safety work should be increased by adjusting to the needs and condition in practice as a form of fulfilling the safety work aspect so the workers/labourers can work safely in order to increase the welfare of life. Keyword(s): garment industry; rights of workers/labourers; safety work; sewing unit; the protection of workers/labourers. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Pasal 27 ayat (2) memberikan jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai bentuk perlindungan bagi warga negara agar dapat menyelenggarakan kehidupannya dengan baik dan sejahtera.1 Jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak tersebut mencakup mulai dari aspek pengupahan hingga aspek ketenangan/kenyamanan/keamanan bekerja sehingga kelangsungan pekerjaan dapat terjamin. Pada saat yang bersamaan, terpenuhinya hak-hak dan perlindungan dasar bagi pekerja/buruh juga akan mewujudkan kondisi yang kondusif bagi kelangsungan serta kemajuan dunia usaha.2 Oleh sebab itu, perlindungan bagi pekerja/buruh dalam pelaksanaan pekerjaan mereka dipandang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya terkait perlindungan bagi mereka agar dapat bekerja dengan aman. 1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Pasal 27 ayat (2) telah memberikan jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai bentuk perlindungan bagi warga negara agar dapat menyelenggarakan kehidupannya dengan baik dan sejahtera. Hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak juga merupakan aplikasi dari pemenuhan hak ekonomi dan sosial sebagai wujud dari pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM). Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural/ICESCR berlaku mulai 1976) mengukuhkan adanya kewajiban Negara untuk memajukan, menegakkan dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, budaya, antara lain hak atas pekerjaan, hak atas upah yang adil, hak atas kebebasan berserikat dan mogok, dan lain-lain. Lihat dalam Revrisond Baswir sebagaimana dikutip dalam Agusmidah, Dinamika & Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 62. 2
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2004), hlm. 1.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
3
Pada kenyataannya, permasalahan dalam penyelenggaraan kondisi kerja yang layak masih menjadi salah satu permasalahan dalam pemberian perlindungan terhadap pekerja/buruh, yaitu permasalahan terhadap keselamatan kerja dimana banyak kecelakaan dan penyakit akibat hubungan kerja yang terjadi dan menimpa para pekerja/buruh apapun jenis pekerjaan mereka. Riset yang dilakukan badan dunia ILO (International Labour Organization/Organisasi Perburuhan Internasional) menghasilkan kesimpulan bahwa setiap hari rata-rata 6000 orang meninggal yang mana hal tersebut setara dengan satu orang setiap 15 detik atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.3 ILO sendiri mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan kecelakaan kerja yang tinggi.4 ILO menyatakan tingkat keparahan dari kecelakaan kerja di Indonesia cukup tinggi karena setiap 100.000 orang pekerja yang mengalami kecelakaan ternyata ada sekitar 20 orang kondisinyza yang fatal.5 Atas hal tersebut, perlindungan keselamatan kerja sebagai bentuk upaya preventif kecelakaan kerja perlu diupayakan agar setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien sesuai dengan definisi tentang kecelakaan yang dianut dalam teori keselamatan kerja bahwa tidak harus terdapat korban jiwa (injury accident) dan pemahaman bahwa setiap gangguan terhadap sumber produksi akan mengganggu proses produksi dan mengganggu produktivitas yang direncanakan.6 Perlindungan terhadap keselamatan kerja tentunya bermanfaat bagi para pekerja/buruh maupun bagi para pengusaha dimana maju mundurnya suatu industri sangat ditunjang oleh peranan pekerja/buruh, sehingga aspek keselamatan kerja perlu diperhatikan demi terjaminnya perlindungan bagi para pekerja/buruh serta terselenggaranya produktivitas bagi pengusaha. Perlindungan bagi para pekerja/buruh di Indonesia khususnya di sektor industri menjadi sangat penting dimana Indonesia merupakan negara yang menjadikan sektor industri menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduknya.7 Bidang industri merupakan salah satu lahan 3
Rudi Suardi, Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja, (Jakarta: Penerbit PPM, 2007), hlm
1. 4
Jurnas.com, “Muhaimin: Indonesia Masuk Daftar Negara Rawan Kecelakaan Kerja,” http://www.jurnas.com/news/55929/Muhaimin:_Indonesia_Masuk_Daftar_Negara_Rawan_Kecelakaan_Kerja/1/ Ekonomi/Ekonomi, diunduh pada 8 Februari 2013. 5
Bisnis.com, “Kecelakaan Kerja: ILO Laporkan Kasus di RI Terbilang http://www.bisnis.com/articles/kecelakaan-kerja-ilo-laporkan-kasus-di-ri-terbilang-tinggi, diunduh Februari 2013.
Tinggi,” pada 8
6
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Materi 1 Evaluasi dan Penunjukan Calon Ahli K3, (s.l: s.n, s.a), hlm. 6. 7
Khairunnisa Fathin, “Sektor Industri,” http://khairunnisafathin.wordpress.com/2 011/03/31/sektorindustri/, diunduh pada 7 Februari 2013.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
4
bekerja yang berkembang di Indonesia, mulai dari industri pertanian, perdagangan, pengolahan, tekstil, garmen, maupun industri-industri kecil yang dibentuk masyarakat, dimana dalam melaksanakan pekerjaan di bidang industri, kecelakaan kerja kerap kali mengancam nyawa para pekerja/buruh. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pembinaan dan Pengawas Ketenagakerjaan (Ditjen PPK), tipe kecelakaan yang paling sering terjadi/rentan terjadi di Indonesia adalah tipe kecelakaan A, yaitu kecelakaan akibat adanya kontak atau persinggungan dengan benda tajam yang menyebabkan tergores, terpotong, tertusuk, dan lain-lain. Tabel 1.1 berikut memuat data mengenai tipe kecelakaan kerja di Pulau Jawa berdasarkan tipe kecelakaan kerja pada triwulan II – tahun 2012: Tabel 1.1 Tipe Kecelakaan Kerja di Provinsi Jawa Triwulan II – Tahun 2012 Provinsi
Kecelakaan
Korban
Tipe Kecelakaan
8
(orang) A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
DKI Jakarta
253
150
31
10
2
29
28
15
-
1
27
31
Jawa Barat
2825
2409
1194
117
176
55
14
59
75
87
51
920
Jawa Tengah
1428
1145
486
104
108
24
16
43
14
26
6
355
Yogyakarta
105
104
21
3
4
3
2
-
3
1
-
49
Jawa Timur
2345
1995
612
220
178
67
53
44
47
154
24
696
Banten
209
103
41
18
29
4
6
2
9
10
5
11
Sumber: Ditjen PPK, diolah oleh Pusdatinaker, Tahun 2012.9
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diidentifikasi bahwa tipe kecelakaan A merupakan tipe kecelakaan yang paling sering terjadi di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Barat, Pulau Jawa dimana salah satu sektor yang termasuk dalam data tersebut adalah industri garmen/produksi pakaian jadi. Industri garmen merupakan salah satu industri yang menyerap banyak pekerja/buruh. Banyaknya pekerja/buruh yang diserap oleh industri garmen tersebut tentunya perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah, termasuk di dalamnya terkait keselamatan 8
Tipe kecelakaan: A.terbentur yang pada umumnya menunjukkan kontak atau persinggungan dengan benda tajam atau benda keras yang menyebabkan tergores, terpotong, tertusuk, dll, B. terpukul (pada umumnya karena terjatuh, meluncur, melayang, dll). C. Tertangkap pada dalam dan diantara benda (terjeoit, tenggelam, dll). D. Jatuh karena ketinggian yang sama. E. Jatuh karena ketinggian yang berbeda. F Tergelincir. G. Terpapar (pada umumnya tergantung pada temperatur, radiasi, cahaya, dll). H. Penghisapan, penyerapan (adanya proses masuk bahan atau zat berbahaya ke dalam tubuh yang pada umumnya berakibat sesak napas, keracunan, mati lemas, dll). I. Tersentuh aliran listrik. J. Dan lain-lain. 9
“Tipe Kecelakaan Kerja di Provinsi Jawa Triwulan II–Tahun 2012,” http://pusdatinaker. balitfo.depnakertrans.go.id, diunduh pada 10 Maret 2013.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
5
pekerja/buruh. Dalam melaksanakan pekerjaan di industri garmen, nyatanya bahaya kecelakaan kerja sangat rentan terhadap para pekerja/buruh. Hal ini disebabkan karena dalam melaksanakan proses produksi di industri garmen, pekerja/buruh banyak berinteraksi dengan benda tajam seperti jarum, gunting, dan pisau potong serta mesin-mesin produksi lainnya yang dapat membayakan keselamatan pekerja/buruh. Peralatan-peralatan yang digunakan dalam industri garmen juga merupakan peralatan-peralatan yang perlu diperhatikan karena rentan untuk terjadinya kecelakaan kerja. Interaksi antara pekerja/buruh dan benda-benda tersebut juga dilakukan dengan tingkat pengulangan kerja secara terus-menerus (tingkat pengulangan kerja yang tinggi) sehingga makin memungkinkan terjadi bahaya kecelakaan kerja dalam industri garmen. Atas hal ini, sekecil apapun kecelakaan kerja yang dialami oleh pekerja/buruh tentu berdampak negatif baik terhadap keadaan pekerja/buruh maupun pengusaha. Kecelakaan yang umumnya terjadi tersebut tentunya dapat dicegah apabila perusahaan mampu memberikan perlindungan dan pencerdasan yang baik kepada para pekerjanya sehingga para pekerja/buruh dapat bekerja dengan aman dari bahaya sekecil apapun. Oleh sebab itu, Penulis tertarik untuk membahas mengenai perlindungan keselamatan kerja di Indonesia sebagai upaya preventif terjadinya kecelakaan kerja ditinjau dari segi yuridis dalam upaya memberikan perlindungan bagi para pekerja/buruh, yaitu dengan mengkaji dari segi-segi yuridis upaya melindungi keselamatan pekerja/buruh dengan menganalisis hal tersebut dalam PT X yang bergerak di industri garmen dengan memfokuskan penerapan perlindungan keselamatan kerja dalam unit penjahitan yang rentan terhadap kecelakaan kerja di industri garmen. POKOK PERMASALAHAN 1.
Bagaimana pengaturan keselamatan kerja sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh?
2.
Bagaimana pelaksanaan mengenai keselamatan kerja dalam unit penjahitan di PT X berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan kerja?
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari dilaksanakannya penelitian terhadap rumusan masalah di atas dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meninjau secara komprehensif perlindungan di bidang keselamatan kerja melalui suatu analisis yang dikhususkan pada pelaksanaan keselamatan kerja dalam unit penjahitan di PT X. Bentuk perlindungan diberikan kepada para pekerja/buruh secara terfokus dalam unit yang rentan kejadian kecelakaan kerja di perusahaan
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
6
terkait. Diharapkan melalui penelitian ini, Penulis dapat memberikan saran-saran kepada PT X dalam rangka peningkatan keselamatan kerja bagi pekerja/buruh di PT X tersebut. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1.
Menguraikan pengaturan-pengaturan mengenai keselamatan kerja sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh.
2.
Menganalisis kesesuaian pelaksanaan keselamatan kerja di PT X yang dikhususkan dalam unit penjahitan dengan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan kerja.
TINJAUAN TEORITIS Perlindungan pekerja/buruh merupakan hakekat hukum perburuhan itu sendiri (sifat dari hukum perburuhan) dimana hal tersebut dikemukakan oleh Iman Soepomo yang kemudian dijadikan sebagai acuan terkait pembahasan mengenai pekerja/buruh.10 Iman Soepomo membagi hukum perburuhan ke dalam 5 (lima) bidang yang didasari pada materi peraturan perundang-undangan perburuhan, yang disebut sebagai sistematika panca-warna sebagai berikut:11 1. Bidang pengerahan dan penempatan tenaga kerja; 2. Bidang hubungan kerja; 3. Bidang kesehatan kerja (gezondheid/health); 4. Bidang keselamatan/keamanan kerja (veiligheid/safety); 5. Bidang jaminan sosial. Bidang hukum perburuhan tersebut diliputi oleh maksud dan tujuan untuk melindungi pekerja/buruh, yaitu pihak yang lebih lemah ekonominya terhadap majikan yang ekonominya lebih kuat. Keadaan tersebut berkaitan dengan Teori Ketidakseimbangan Kompensasi oleh MG Rood yang bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja (pengusaha) dengan penerima kerja (pekerja/buruh) secara sosial ekonomi tidak sama kedudukannya, dimana pekerja/buruh sangat tergantung pada pengusaha. Jika hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka ada kemungkinan bahwa pihak pengusaha selaku pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak 10
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 67. 11
Helena Poerwanto dan Syaifullah, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 18-19.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
7
pekerja/buruh yang berada pada posisi lemah. Oleh sebab itu, diperlukan peran penguasa (dalam hal ini adalah pembentuk undang-undang) untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh melalui perundang-undangan untuk melindungi salah satu pihak terlemah dalam hubungan kerja, yaitu pihak yang menjalankan pekerjaan. Perlindungan dalam hubungan hukum ini bertujuan untuk memberikan kompensasi ketidakseimbangan yang terjadi melalui pembatasan-pembatasan dan akan memberikan hak yang lebih banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak yang kuat. Teori ketidakseimbangan kompensasi ini dapat ditemukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tujuannya adalah untuk mengimbangi ketidaksamaan kedudukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dimana tindakan dari pembentuk undang-undang dapat berupa pembagian hak-hak yang tidak sama antar masing-masing pihak sehingga terdapat suatu keseimbangan yang sesuai. Salah satu bentuk perlindungan pekerja/buruh tersebut adalah pengaturan terhadap perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja/buruh dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan sehingga mereka dapat bekerja dengan aman.12 Perlindungan teknis tersebut berkaitan dengan norma keselamatan kerja yang meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan. Adapun sejarah perlindungan terhadap keselamatan kerja juga tidak terlepas dari masa revolusi industri yang menimbulkan banyak korban dari kecelakaan kerja karena penggunaan mesin-mesin baru serta adanya cara-cara produksi yang baru. Revolusi industri telah menimbulkan bentuk-bentuk kecelakaan kerja yang baru karena penggantian batu bara oleh minyak, munculnya penggunaan sumber-sumber bahaya baru akibat pemakaian tenaga uap, tenaga listrik dalam mekanisasi dan elektrifikasi pada industri, dan penggunaan bermacam-macam bahan kimia untuk keperluan industri sehingga kecelakaan kerja menjadi sangat rentan bagi manusia dalam bekerja.13 Selain itu, adanya pengaturan terhadap keselamatan kerja juga berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan keselamatan pekerja/buruh berdasarkan adanya prinsip reasonable care, yaitu pengusaha telah melakukan/memenuhi syarat-syarat kerja agar pekerja/buruh dapat bekerja dengan aman untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Secara konkrit, bentuk tanggung 12
H. Zainal Asikin, et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993),
hlm. 61. 13
Vida Hasna Farida dan Euis Honiatri, Mengikuti Prosedur Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja, (Bandung: CV. Armico, 2005), hlm. 15.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
8
jawab pengusaha dalam perlindungan pekerja/buruh tersebut dapat dilihat dalam ketentuan KUH Perdata yang menyatakan: “Si majikan diwajibkan untuk mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, piranti-piranti atau perkakas-perkakas dalam mana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan...”14
Adanya tanggung jawab tersebut nyatanya juga tidak terlepas dari adanya kewajiban pemberian ganti kerugian yang wajib diberikan pengusaha apabila dapat dibuktikan ia lalai dalam memenuhi kewajibannya tersebut. Pada intinya, tanggung jawab terhadap perlindungan pekerja/buruh, khususnya terhadap bidang Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) merupakan tanggung jawab pengusaha selaku pihak yang memiliki ekonomi lebih kuat dibandingkan pekerja/buruh. Selain itu, penyelenggaraan perlindungan pekerja/buruh juga merupakan tanggung jawab daripada pekerja/buruh itu sendiri serta tanggung jawab dari pemerintah. Segala upaya yang telah diupayakan oleh pengusaha untuk memberikan perlindungan bagi pekerjanya tentunya memerlukan pelaksanaan yang baik pula oleh pekerja/buruhnya sehingga perlindungan pekerja/buruh dapat benar-benar terlaksana, sedangkan tanggung jawab pemerintah berkaitan dengan prinsip campur tangan pemerintah (government interference) dalam manajemen hubungan kerja yang merupakan dasar dari peran serta pemerintah dalam penyelenggaraan perlindungan pekerja/buruh. Campur tangan pemerintah juga terkait erat dengan teori ketidakseimbangan kompensasi yang telah diuraikan sebelumnya dimana pemerintah berusaha menyeimbangkan kedudukan antara pekerja/buruh (pihak yang lemah) dengan pengusaha (pihak yang kuat), salah satunya melalui pembentukan perundangundangan yang melindungi pekerja/buruh sebagai pembatasan yang bersifat memaksa terhadap asas kebebasan berkontrak antara pengusaha dengan pekerja/buruh.15 Adapun pembentukan peraturan mengenai keselamatan kerja juga merupakan bentuk aplikasi dari pemenuhan hak ekonomi dan sosial sebagai wujud dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang oleh Negara Indonesia diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mengenai jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dimana salah satu perwujudan dari kelayakan tersebut adalah dengan terselenggaranya pekerjaan yang aman.
14
Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), Pasal 1602w. 15
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Op. Cit., hlm. 74.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
9
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.16 Dalam penelitian ini, Penulis akan membahas keselamatan kerja sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh yang dikhususkan pada unit penjahitan di PT X dengan menekankan pembahasan dengan menggunakan data-data sekunder, khususnya dari segi-segi yuridis yaitu dengan menggunakan sumber-sumber hukum tertulis yang terkait sebagai dasar dalam analisis penelitian serta bahan pustaka pendukung lainnya. Tipologi penelitian yang digunakan adalah bentuk deskriptif analitis dimana Penulis berusaha mendeskripsikan/memberikan gambaran mengenai keselamatan kerja sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh beserta pelaksanaan perlindungan untuk menjamin keselamatan pekerja dan melakukan suatu analisis terhadap fakta yang diperoleh di tempat pelaksanaan penelitian terkait keselamatan kerja di PT X yang dikhususkan dalam unit penjahitan agar keselamatan para pekerja/buruh terjamin dalam melaksanakan pekerjaannya. Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, baik berupa bahan-bahan kepustakaan dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukkan Ahli Keselamatan Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Perjanjian Kerja Bersama antara PT X dengan pekerja/buruh Periode 2013-2015, serta peraturan internal terkait penyelenggaraan keselamatan kerja yang berlaku di PT X. 16
Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
10
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri dari buku, laporan penelitian, tesis, publikasi internet, dan literatur lainnya yang dianggap mendukung penulisan ini. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Bahan Hukum tersier terdiri dari kamus, abstraksi, dan lain-lain yang berkaitan dengan penulisan ini. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi studi dokumen maupun wawancara kepada pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. Studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan keselamatan kerja dan perlindungan pekerja/buruh khususnya yang berkaitan dengan apek-aspek hukum yang ada, sedangkan wawancara dilakukan kepada pihak-pihak tertentu sebagai bahan pelengkap serta untuk mendapatkan informasi lebih jelas dalam rangka pemenuhan data-data dalam penulisan ini.
HASIL PENELITIAN Pelaksanaan keselamatan kerja yang difokuskan dalam unit penjahitan di PT X telah dilaksanakan dengan lebih baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang keselamatan kerja dengan berfungsinya Departemen Compliance setelah tahun 2008. Keadaan tersebut dapat diidentifikasi dengan telah terdapatnya prosedur pelaksanaan K3 di PT X sebagai pedoman operasional pelaksanaan K3 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3); berfungsinya Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja dan menjadi unit operasional Departemen Compliance di PT X; upaya pencegahan kecelakaan kerja yang lebih terkoordinir dalam unit penjahitan, seperti penyediaan Alat Perlindungan Diri (APD), maupun pencegahan melalui pendekatan teknis yang diselenggarakan dengan lebih baik melalui koordinasi antara tim mekanik dalam unit penjahitan dengan Departemen Compliance sebagai bentuk tanggung jawab pengusaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1602w KUH Perdata; pelaksanaan pembinaan pekerja/buruh sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; dan upaya penanggulangan kecelakaan kerja berupa pertolongan pertama yang lebih terkoordinir, upaya penyelidikan kecelakaan
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
11
kerja maupun evaluasi yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan K3 sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3 yang merupakan peraturan penyelenggaraan keselamatan kerja berupa sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Oleh sebab itu dapat diidentifikasi bahwa pelaksanaan keselamatan kerja di PT X yang difokuskan dalam unit penjahitan telah berpedoman pada SMK3 sejak Departemen Compliance aktif berfungsi (setelah tahun 2008) dan mengalami perbaikan dibandingkan sebelum Departemen Compliance berfungsi aktif (sebelum tahun 2008) dimana pelaksanaan keselamatan kerja masih sebatas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan belum optimal. PEMBAHASAN Pelaksanaan keselamatan kerja disusun penjabarannya dalam peraturan perundangundangan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan keselamatan kerja dan merupakan bentuk jaminan pekerjaan yang layak dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan mengenai keselamatan kerja diatur dengan relatif teknis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang mendasari berbagai pengaturan di bidang keselamatan kerja, baik secara sektoral maupun bidang teknis, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan perlindungan bagi pekerja/buruh di Indonesia. Perlindungan bagi pekerja/buruh tersebut dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur hak pekerja/buruh atas perlindungan keselamatan kerjanya dalam Pasal 86 dan Pasal 87. Selain itu, Undang-undang Ketenagakerjaan juga menegaskan sistem manajemen K3 yang pelaksanaan terkininya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3, ditujukan bagi perusahaan yang mempekerjakan paling sedikit 100 (seratus) orang/lebih atau mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.17 Peraturan perundangundangan yang diatur oleh pemerintah tersebut mengandung prinsip atau dasar dalam setiap pengaturannya untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh, yaitu adanya prinsip jaminan hak pekerja/buruh untuk mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam bekerja, prinsip tanggung jawab pengusaha dalam menyelenggaraan keselamatan kerja yang merupakan prinsip dalam perlindungan pekerja/buruh, prinsip distribusi kewajiban antara pengusaha dengan pekerja/buruh, dan 3 (tiga) prinsip lain yang merupakan sebuah kesatuan dalam pelaksanaannya yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai 17
SMK3 telah diatur sebelumnya melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
12
keselamatan kerja, yaitu perlindungan yang bersifat preventif untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, prinsip minimalisasi risiko, dan prinsip minimalisasi dampak dari kecelakaan kerja. Apabila dikaitkan pada pelaksanaan keselamatan kerja dalam unit penjahitan di PT X, pelaksanaan tersebut dapat diidentifikasi dengan berfungsinya Departemen Compliance18 yang membawa pada upaya perlindungan yang lebih optimal bagi keselamatan pekerja/buruh di PT X, yaitu melalui pembentukan prosedur-prosedur terkait pelaksanaan K3 di PT X19 dan P2K3 yang berfungsi dan terkoordinir sebagai unit operasional pelaksanaan tugas Departemen Compliance.20 Selanjutnya, apabila difokuskan dalam unit penjahitan, kesesuaian pelaksanaan keselamatan kerja saat ini dapat diidentifikasi dari: 1.
Penyediaan APD Penyediaan APD merupakan salah satu syarat keselamatan kerja yang wajib dilaksanakan oleh pengusaha dimana hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f jo 14 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.21 Saat ini, PT X telah
18
Departemen Compliance merupakan departemen yang baru berfungsi di PT X setelah tahun 2008 setelah sebelumnya dibentuk sejak tahun 2001. Tugas pokok dan fungsi daripada Departemen Compliance adalah melaksanakan program-program Compliance (ketenagakerjaan dan Health, Safety, Environment), melakukan pengawasan (monitoring), dan mengkoordinir seluruh departemen maupun unit dalam PT X untuk dapat melakukan seluruh program kebijakan dan aturan-aturan yang berkaitan dengan program kerja Compliance di PT X agar berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Departemen Compliance terdiri dari seorang Compliance Manager, seorang Compliance Coordinator, dan 3 (tiga) orang Safety Officer yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen Compliance memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda setiap anggotanya. 19
Prosedur pelaksanaan K3, seperti prosedur penyediaan APD, penanganan, dan penyelidikan kecelakaan kerja, berlaku di seluruh unit produksi di PT X. Keberadaan prosedur terkait keselamatan kerja tersebut berkaitan dengan komitmen dan kebijakan K3 sebagai bentuk pengaturan operasional dari peraturan perundang-undangan terkait K3 di lapangan dan sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3. 20
Pembentukan P2K3 sebagai salah satu perangkat kelembagaan di perusahaan yang bertujuan untuk membangun kerjasama antara pengusaha dengan pekerja/buruh dalam penyelenggaraan K3 menjadi suatu kewajiban bagi pengusaha berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukkan Ahli Keselamatan Kerja yang berbunyi: “1. Setiap tempat kerja dengan kriteria tertentu pengusaha atau pengurus wajib membentuk P2K3. 2. Tempat kerja dimaksud ayat (1) ialah: a. Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan 100 orang atau lebih; b. Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan kurang dari 100 orang, akan tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai risiko yang besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan, dan penyinaran radioaktif.” Apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, maka pengusaha yang bersangkutan dapat diancam dengan sanksi berdasarkan Pasal 14 peraturan tersebut yang berbunyi: “Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,- (seratur ribu rupiah) sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.” 21
Pasal 3 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menyebutkan bahwa:
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
13
memberikan APD di unit penjahitan berupa masker, needle guard, pulley guard, dan eye guard berdasarkan pada penilaian risiko yang dilakukan oleh Departemen Compliance dan beberapa pihak lain yang terlibat di dalamnya. Pada pelaksanaannya, diperlukan peningkatan standar atas APD yang telah diberikan melalui pengembangan dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap keefektifan penggunaan APD. Selain itu, hal lain yang juga perlu diperhatikan terkait penyediaan APD adalah kewajiban pekerja/buruh untuk menggunakan APD yang telah diberikan tersebut.22 Pada pelaksanaannya, kesadaran pekerja/buruh untuk menggunakan APD dalam unit penjahitan di PT X juga menjadi masalah dalam pelaksanaan keselamatan kerja di tempat tersebut karena masih rendahnya tingkat kesadaran pekerja/buruh untuk menggunakan APD sehingga perlu adanya pengawasan dan evaluasi terhadap kenyamanan penggunaan APD agar pekerja/buruh menggunakannya sebagai bentuk dukungan pelaksanaan keselamatan kerja untuk peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh maupun produktivitas perusahaan. 2.
Pembinaan Pembinaan, khususnya terhadap pekerja/buruh baru, merupakan kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan keselamatan kerja yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.23 Setelah tahun 2008, Departemen Compliance bersama tim P2K3 memberikan pembinaan berupa pelatihan bagi pekerja/buruh baru sebagai operator di unit penjahitan, meliputi pengetahuan dasar mengenai mesin-mesin yang akan dioperasikan, tata cara mengenali kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja saat pengoperasian mesin, serta memberikan petunjuk mengenai APD di unit penjahitan. Pembinaan lain yang diberikan adalah berupa pelatihan khusus melalui praktik langsung di line pekerja/buruh tersebut ditempatkan
“Dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk: memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.” Pasal 14 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menyebutkan bahwa: “Pengurus diwajibkan menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.” 22
Kewajiban untuk menggunakan APD yang telah diberikan diatur dalam Pasal 12 huruf b UndangUndang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. 23
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mengatur bahwa:
“Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang: a. kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya; b. semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat kerjanya; c. alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan; d. cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.”
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
14
oleh supervisor line yang bersangkutan, pelatihan pemadam kebakaran bagi seluruh pekerja/buruh di PT X, serta pembinaan kepada calon dan/atau supervisor/leader di unit produksi PT X. 3.
Pemeliharaan/Perawatan mesin/pendekatan teknis Pemeliharaan/perawatan mesin serta termasuk di dalamnya pengawasan terhadap mesinmesin yang digunakan merupakan bentuk pendekatan teknis yang menjadi kewajiban pengusaha dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan kerja.24 Setelah tahun 2008, pendekatan teknis dalam unit penjahitan dilaksanakan melalui penambahan jumlah tim mekanik yang cukup besar untuk melakukan pengawasan terhadap mesin-mesin di unit penjahitan dan terdapatnya koordinasi dengan Departemen Compliance untuk dalam perkembangan melaksanakan perawatan terhadap mesin-mesin di unit penjahitan. Dalam perkembangannya, permasalahan kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh kerusakan mesin berhasil dikurangi oleh Departemen Compliance.25 Kecelakaan kerja yang terjadi sebelum tahun 2008 umumnya disebabkan oleh mesin yang mengalami kerusakan, sedangkan kecelakaan kerja yang terjadi setelah tahun 2008 tidak lagi disebabkan oleh hal tersebut, melainkan penyebab yang dominan adalah faktor manusia, yaitu human errror.
4.
Pertolongan pertama dan Pelaporan kecelakaan kerja Pertolongan pertama terhadap terjadinya kecelakaan kerja dilaksanakan berdasarkan prosedur penanganan kecelakaan kerja yang konsisten dilaksanakan oleh masing-masing pihak yang berperan di dalamnya, yaitu petugas P3K, tim P2K3, dan supervisor line yang bersangkutan. Adapun saat ini pelaporan kecelakaan kerja dilakukan dalam bentuk pendokumentasian kecelakaan kerja kepada Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Purwakarta secara berkala.
5.
Penyelidikan dan evaluasi/pengkajian kecelakaan kerja Tahap penyelidikan dan evaluasi/pengkajian kecelakaan kerja merupakan tahap yang esensial dalam penanggulangan kecelakaan kerja yang terjadi, khususnya untuk
24
K3 merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap pekerja/buruh dari risiko kecelakaan kerja yang mencakup pengamanan aset perusahaan yang berupa peralatan, mesin, pesawat, instalasi, bahan produksi dan kemungkinan kerusakan dan kerugian akibat bahaya peledakan, kebakaran atau terganggunya proses produksi. Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op. Cit., hlm. 225. 25
Dalam pelaksanaannya, bentuk pengawasan yang dilakukan tim mekanik adalah dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap mesin-mesin jahit secara teratur dengan memperhatikan checklist yang digantung di setiap mesin jahit. Terhadap pelaksanaan tersebut, Departemen Compliance melakukan pengawasan terhadap checklist yang diisi oleh tim mekanik. Wawancara dengan Yuliawati, Compliance Coordinator PT X, Purwakarta, 29 April 2013.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
15
meminimalisir kcelakaan kerja yang disebabkan oleh alasan serupa dikemudian hari. Secara lebih lanjut, tahap ini merupakan bagian dari pelaksanaan SMK3 yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK326 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3.27 Setelah tahun 2008, penyelidikan dan evaluasi terhadap kecelakaan kerja yang terjadi dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak terkait dalam rangka melaksanakan upaya penanggulangan kecelakaan kerja untuk meminimalisasi risiko serta dampak yang muncul yang dilaksanakan oleh Departemen Compliance bersama dengan tim P2K3 beserta Production Supervisor line yang bersangkutan. Hasil penyelidikan tersebut kemudian didokumentasikan oleh Departemen Compliance dan digunakan sebagai salah satu sumber penilaian risiko kerja sehingga dapat dibentuk standar prosedur terhadap bahaya yang ada, khususnya di unit penjahitan, agar kemudian dilakukan pengontrolan dan pengawasan terhadap bahaya-bahaya tersebut. 6.
Evaluasi Evaluasi merupakan tahap untuk meninjau pelaksanaan K3 secara keseluruhan dalam suatu perusahaan. Tahap ini juga berkaitan dengan adanya audit yang dilakukan di perusahaan terhadap pelaksanaan SMK328 dimana secara teknis pelaksanaan evaluasi ini juga berkaitan dengan tahap pengendalian risiko yang diatur dalam Peraturan Menteri
26
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3 mengatur bahwa penyelidikan insiden merupakan bagian daripada tindakan pengendalian risiko yang merupakan salah satu bentuk penerapan SMK3 di perusahaan. 27
Sama dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3, lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 memberikan pedoman-pedoman mengenai pelaksanaan SMK3, yaitu salah satunya mengenai adanya tindakan pengendalian terhadap risiko kcelakaan kerja yang dilaksanakan melalui penyelidikan insiden. Lampiran II Peraturan Pemerintah ini juga menguraikan lebih lanjut bahwa pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan kerja sebagai bagian daripada penyelidikan insiden dilakukan oleh petugas atau Ahli K3 atau pihak lain yang berkompeten dan berwenang. 28
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3, terdapat 2 (dua) macam audit yang dilaksanakan di perusahaan, yaitu audit internal (dilakukan oleh perusahaan) dan audit eksternal (dilakukan oleh suatu badan independen). Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3, audit eksternal bersifat fakultatif dimana Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3 menyatakan bahwa untuk pembuktian penerapan SMK3, perusahaan dapat melakukan audit melalui badan audit yang ditunjuk oleh menteri. Adapun Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.19/M/BW/97 tentang Pelaksanaan Audit SMK3 menetapkan bahwa perusahaan yang diaudit adalah perusahaan tingkat risiko bahayanya tinggi atau mempunyai tenaga kerja 100 (seratus) orang atau lebih, atau atas dasar pertimbangan lainnya dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat. Selanjutnya, Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 menyatakan bahwa audit eksternal (atau yang oleh peraturan ini disebut penilaian penerapan SMK3) menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan yang memiliki potensi bahaya tinggi (penjelasan Pasal 16 ayat (2) menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki potensi bahaya tinggi antara lain perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, minyak, dan gas bumi). Atas hal tersebut, PT X tidak melaksanakan audit eksternal untuk mendapatkan sertifikat SMK3 baik sebelum maupun setelah tahun 2008 dimana PT X tidak termasuk ke dalam kriteria perusahaan dengan potensi bahaya tinggi.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
16
Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK329, yaitu untuk mengukur, memantau, dan mengevaluasi kinerja SMK3 (yang dalam hal ini pelaksanaannya difokuskan pada unit penjahitan) di perusahaan agar dapat dilakukan perbaikan dan peningkatan terhadap pelaksanaannya. Setelah tahun 2008, pelaksanaan audit internal dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996 tentang SMK3 dimana PT X telah menggunakan SMK3 sebagai pedoman dalam pelaksanaan K3 di perusahaan. Departemen Compliance selaku divisi yang diberi kewenangan dan tanggung jawab sebagai koordinator atas pelaksanaan Health, Safety, and Environment (HSE) dan Custom Trade Partnership Against Terorism (CTPAT) di PT X berwenang untuk melaksanakan audit internal di PT X, yaitu untuk memastikan agar semua kegiatan yang berhubungan dengan K3 telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan peraturan serta hukum yang berlaku.30 Pelaksanaan audit internal tersebut dilaksanakan sekali dalam 3 (tiga) bulan secara teratur, namun pelaksanaan tersebut terkendala pada minimnya anggota Departemen Compliance, yaitu hanya terdiri dari 5 (lima) orang untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan K3 di seluruh unit PT X, sedangkan tingkat produktivitas pabrik tinggi sehingga urusan pengawasan atas keselamatan kerja sulit untuk dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak.31 Proses audit internal dilaksanakan secara menyeluruh di semua unit produksi di PT X, khususnya di unit penjahitan dengan melibatkan Chief di unit tersebut. Adapun hal-hal yang menjadi fokus penilaian dalam pelaksanaan audit internal di unit penjahitan adalah mengenai keberadaan jalur-jalur evakuasi darurat yang aman dan tidak terhalang, jalur evakuasi dari kebakaran yang mudah diakses dan aman, tidak adanya kabel yang terbuka, semua panel listrik tertutup, ketersediaan APD maupun pengaman mesin (khususnya needle guards, eye guards, pulley guards, dan snap button machine), catatan patahan jarum yang disimpan pada tempatnya, serta tidak adanya jarum di bagian produksi selain yang dipakai oleh mesin. Hasil daripada audit internal secara keseluruhan tersebut digunakan untuk tindakan perbaikan dan pencegahan berikutnya untuk peningkatan K3 di perusahaan, khususnya difokuskan pada pengembangan SMK3 sebagai teknis 29
Pelaksanaan audit ini kemudian diatur secara lebih khusus melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per.18/MEN/XI/2008 tentang Penyelenggara Audit SMK3. 30
Dalam pelaksanaannya, disamping pelaksanaan audit internal tersebut, pelaksanaan audit juga dilaksanakan oleh pihak-pihak luar, yaitu oleh pembeli untuk meninjau pelaksanaan keselamatan kerja di PT X sebelum dan/atau saat melakukan pemesanan dengan PT X yang dilakukan baik terhadap dokumen maupun inspeksi langsung di masing-masing unit produksi PT X khususnya di unit penjahitan yang merupakan unit inti produksi di PT X. Wawancara dengan Yuliawati, Compliance Coordinator PT X, Purwakarta, 11 Juni 2013. 31
Wawancara dengan Yuliawati, Compliance Coordinator PT X, Purwakarta, 29 April 2013.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
17
pelaksanaan K3 yang menyeluruh di perusahaan, yaitu dalam hal ini berupa rekomendasirekomendasi yang diberikan kepada top managemen perusahaan agar dapat dilakukan peningkatan yang berkesinambungan atas program-program K3 perusahaan serta dilakukannya revisi terhadap prosedur maupun dokumen K3 lainnya yang berlaku di PT X. SIMPULAN 1. Pengaturan mengenai keselamatan kerja merupakan bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh
sebagai
perwujudan
norma
keselamatan
kerja
dalam
hukum
ketenagakerjaan, khususnya norma yang bersifat teknis dalam pelaksanaan pekerjaan. Perlindungan tersebut disusun penjabarannya dalam bentuk peraturan perundangundangan ketenagakerjaan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan keselamatan kerja dan aplikasi dari adanya jaminan untuk bekerja dengan aman sebagai bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagi pengusaha, pengaturan tersebut bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan berusaha, sedangkan bagi pekerja/buruh bertujuan untuk menjaga keamanan dan kelangsungan pekerjaan. Pengaturan mengenai keselamatan kerja diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang mendasari berbagai pengaturan di bidang keselamatan kerja, baik secara sektoral maupun bidang teknis, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan perlindungan bagi pekerja/buruh di Indonesia. Terdapat beberapa peraturan pelaksana atas undang-undang keselamatan kerja, seperti Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja; Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per.05/MEN/1996 tentang SMK3; Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 19/M/BW/97 tetang Pelaksanaan Audit SMK3 sebagai bentuk pengawasan eksternal atas pelaksanaan SMK3; Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan; serta berbagai peraturan pelaksana lainnya yang dikhususkan di berbagai sektor atau pembidangan teknis tertentu yang membutuhkan pengaturan secara khusus terkait pelaksanaan keselamatan kerja. Perlindungan bagi pekerja/buruh semakin dipertegas melalui UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur hak pekerja/buruh atas perlindungan keselamatan kerjanya dalam Pasal 86 dan Pasal 87. Undang-undang Ketenagakerjaan juga menegaskan sistem manajemen K3 yang
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
18
pelaksanaan terkininya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3. 2. Pelaksanaan keselamatan kerja dalam unit penjahitan di PT X telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan kerja dan secara teknis mengalami perbaikan dengan berfungsinya Departemen Compliance di PT X setelah tahun 2008. Hal tersebut diidentifikasikan melalui hal-hal berikut: penyediaan APD bagi pekerja/buruh khususnya di unit penjahitan; terlaksananya pembinaan bagi para pekerja/buruh maupun para supervisor/leader terkait; terjalinnya fungsi koordinasi yang baik antara Departemen Compliance
dengan
tim
mekanik
dalam
pemeliharaan/perawatan
mesin;
dan
terlaksananya penanganan berikut penyelidikan atas setiap kecelakaan kerja yang terjadi dengan melibatkan tim P2K3 selaku unit operasional Departemen Compliance. Keselamatan kerja dalam unit penjahitan PT X juga telah dilaksanakan sesuai dengan pedoman SMK3 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1996
tentang
SMK3
yang
merupakan
peraturan
teknis
dalam
penyelenggaraan K3 di perusahaan.
SARAN Berdasarkan pembahasan dan simpulan sebelumnya, maka saran yang dapat penulis berikan adalah: 1.
Standar-standar pelaksanaan keselamatan kerja yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan kerja perlu senantiasa ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan lapangannya serta perkembangan penerapan teknologi yang terjadi. Selain itu, kerangka pengembangan saat ini dapat mengacu pada SMK3 yang meliputi tahap komitmen, perencanaan, penerapan, serta pengukuran dan evaluasi. Oleh sebab itu, seyogyanya perusahaan menerapkan SMK3 tersebut secara komprehensif dan melaksanakan pengembangan secara berkesinambungan berdasarkan permasalahan yang muncul dalam pelaksanaannya, mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi terhadap penerapannya secara berkala dan berkesinambungan sehingga dapat efektif dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja, baik dari segi jumlah maupun kerugian akibat kecelakaan tersebut.
2.
Pelaksanaan keselamatan kerja di unit penjahitan PT X perlu dipertahankan dan senantiasa ditingkatkan melalui pemberdayaan fungsi-fungsi Departemen Compliance, khususnya dalam proses penjahitan, yang meskipun tidak memiliki indikasi risiko
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
19
kematian, namun tingkat keparahan cidera dan jumlah kejadian kecelakaan kerja secara rata-rata cukup tinggi dibandingkan dengan unit lainnya. Perlindungan secara komprehensif seharusnya merupakan kesadaran dan komitmen penuh perusahaan secara berkesinambungan, bukan hanya merupakan permintaan pembeli yang bersifat insidental. Peran serta masing-masing pihak akan menentukan keberhasilan dari pelaksanaan keselamatan kerja sebagai bentuk perlindungan pekerja/buruh. Lebih lanjut, pengusaha diharapkan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dalam menjamin hak pekerja/buruh agar dapat bekerja dengan layak, sedangkan pekerja/buruh diharapkan dapat mendukung upaya-upaya keselamatan kerja yang dilakukan oleh pengusaha melalui berbagai pengaturan maupun SOP dan prosedur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Buku Agusmidah. Dinamika & Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010. Asikin, H. Zainal, Et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Materi 1 Evaluasi dan Penunjukan Calon Ahli K3. s.l.: s.n, s.a. Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Sri Mamudji, Et. al.. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Suardi, Rudi. Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja. Jakarta: Penerbit PPM 2007. Syamsuddin, Mohd. Syaufii. Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial. Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2004. Tim Pengajar Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007. Artikel Adriono, Gitalisa Andayani (Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia). “Kecacatan Akibat Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja Pada Mata.” http://www.jamsostek.co.id/content_file/mata.pdf. Diunduh pada 27 Mei 2013. Bisnis.com. “Kecelakaan Kerja: ILO Laporkan Kasus di RI Terbilang Tinggi.” http://www.bisnis.com/articles/kecelakaan-kerja-ilo-laporkan-kasus-di-ri-terbilangtinggi. Diunduh pada 8 Februari 2013. Fathin, Khairunnisa. “Sektor Industri.” http://khairunnisafathin.wordpress.com/2 011/03/31/sektor-industri/. Diunduh pada 7 Februari 2013. Jurnas.com. “Muhaimin: Indonesia Masuk Daftar Negara Rawan Kecelakaan Kerja.” http://www.jurnas.com/news/55929/Muhaimin:_Indonesia_ Masuk
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.
20
_Daftar_Negara_Rawan_Kecelakaan_Kerja/1/Ekonomi/Ekonomi. Diunduh pada 8 Februari 2013. “Tipe Kecelakaan Kerja di Provinsi Jawa Triwulan II–Tahun 2012,” http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id. Diunduh pada 10 Maret 2013. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1945. ________. Undang-Undang tentang Keselamatan Kerja. UU No. 1 Tahun 1970. LN No. 1 Tahun 1970. TLN No. 2918. ________. Peraturan Pemerintah tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. PP No. 50 Tahun 2012. Kementerian Tenaga Kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukkan Ahli Keselamatan Kerja. Permen Tenaga No. 04/MEN/1987. ______________________. Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Permenaker No. Per.05/Men/1996. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Penyelenggara Audit SMK3. Permenakertrans No. Per.18/MEN/XI/2008. _____________________________________. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Alat Pelindung Diri. Permenakertrans No. Per. 08/MEN/VII/2010. Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996. Perjanjian Kerja Bersama Periode 2013 – 2015 antara PT X dengan Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja/Serikat Buruh PT X. Lainnya Wawancara dengan Yuliawati. Compliance Coordinator PT X. Purwakarta, 29 April 2013 dan 11 Juni 2013.
Tinjauan yuridis..., Eka Sakti Sirait, FH UI, 2013.