CSIS WORKING PAPER SERIES
WPE 072
Reformasi Kebijakan dan Fragmentasi Politik Arya B. Gaduh dan Raymond Atje Januari 2004 Economics Working Paper Series http://www.csis.or.id/papers/wpe072
Tulisan ini akan diterbitkan di dalam Soesastro, Kristiadi dan Priyadi (ed.), 2004, Budi dan Nalar.
The CSIS Working Paper Series is a means by which members of the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) research community can quickly disseminate their research findings and encourage exchanges of ideas. The author(s) welcome comments on the present form of this Working Paper. The views expressed here are those of the author(s) and should not be attributed to CSIS Jakarta. © 2003 Centre for Strategic and International Studies, Jakarta
Reformasi Kebijakan dan Fragmentasi Politik
Arya B. Gaduh dan Raymond Atje CSIS Working Paper Series WPE 72 Januari 2004 ABSTRACT Tulisan ini menggunakan kerangka analisis ekonomi-politik untuk menjelaskan proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Argumen tulisan ini adalah bahwa laju implementasi reformasi kebijakan (dan pemulihan ekonomi) ditentukan pengelolaan fragmentasi atau keberagaman politik yang ada. Dalam rezim otoriter Orde Baru, isu ini tidak relevan dalam implementasi kebijakan. Namun, transisi demokratis menyebabkan isu ini menjadi sangat relevan. Yang menyebabkan pemulihan menjadi lambat adalah karena fragmentasi yang tiba-tiba mencuat menyulitkan implementasi kebijakan reformasi. Diterimanya IMF sebagai de facto pengawal implementasi kebijakan ekonomi membantu meredam dampak fragmentasi ini, meskipun hanya sebagian dan dalam waktu sementara. Selain itu, komitmen elit politik pada persatuan juga telah membantu proses pemulihan ekonomi, dengan mencegah terjadinya polarisasi yang dapat berakibat buruk bagi pemulihan ekonomi.
Keywords: Indonesia, political economy, heterogeneity, economic recovery, decentralisation
Arya B. Gaduh
[email protected] Departemen Ekonomi CSIS Jakarta
Raymond Atje
[email protected] Departemen Ekonomi CSIS Jakarta
Reformasi kebijakan dan fragmentasi politik Sebuah hipotesis tentang pemulihan ekonomi Indonesia Arya Gaduh dan Raymond Atje
Pendahuluan Lambatnya pemulihan ekonomi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Asia menjadi sebuah teka-teki. Pemerintah silih berganti, namun pertumbuhan tak jauh beranjak dari tingkat 4 persen. Pemulihan yang lambat ini tidak lepas dari tersendatnya reformasi struktural ekonomi. Walau mudah melimpahkan kesalahan pada kompetensi pimpinan eksekutif, penjelasan ini tidak sepenuhnya memuaskan. Pada kenyataannya, semua pihak – mulai dari legislatif, kelompok kepentingan (ekonomi dan politik) maupun eksekutif pusat dan daerah – ikut andil menghambat reformasi struktural. Mengapa demikian? Penyebab utama terlambatnya ekonomi Indonesia pulih dari krisis dibandingkan, misalnya, Thailand dan Korea adalah karena Indonesia mengalami krisis kembar. Krisis yang diawali tahun 1997 bukan hanya mengguncang sendi-sendi perekonomian, tetapi pula perpolitikan Indonesia. Loncatan dari sistem politik otoriter ke demokrasi inilah akar lambatnya pemulihan ekonomi. Tulisan ini menggunakan kerangka analisis ekonomi-politik untuk menjelaskan proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Terdapat dua sisi dari pemulihan ekonomi. Di satu pihak, seperti yang dikeluhkan banyak analis, pemulihan ekonomi berjalan lambat. Namun, ada sisi lainnya, yakni bahwa Indonesia berhasil menghindari keruntuhan sistem ekonomi-politik di tengah krisis kembarnya. Krisis kembar di Rusia (dahulu Uni Sovyet), misalnya, berakhir dengan ambruknya sistem ekonomi selama lebih dari satu dekade. Berbeda dengan Rusia, tiga tahun tahun setelah krisis, stabilisasi ekonomi makro di Indonesia telah tercapai. Tentunya krisis kembar di Rusia berbeda dengan di Indonesia: Setidaknya, tidak seperti Rusia, Indonesia telah memiliki institusi yang dibutuhkan sistem ekonomi pasar. Namun, kenyataan bahwa transisi demokratis di tengah krisis tidak menjadi anarki tetap menarik untuk dikaji. Argumen tulisan ini adalah bahwa laju implementasi reformasi kebijakan (dan pemulihan ekonomi) ditentukan pengelolaan fragmentasi atau keberagaman politik yang ada. Dalam rezim otoriter Orde Baru, isu ini tidak relevan dalam implementasi kebijakan. Namun, transisi demokratis menyebabkan isu ini menjadi sangat relevan. Yang menyebabkan pemulihan menjadi lambat adalah karena fragmentasi yang tiba-tiba mencuat menyulitkan implementasi kebijakan
1
reformasi. Diterimanya IMF sebagai de facto pengawal implementasi kebijakan ekonomi membantu meredam dampak fragmentasi ini, meskipun hanya sebagian dan dalam waktu sementara. Selain itu, komitmen elit politik pada persatuan juga telah membantu proses pemulihan ekonomi, dengan mencegah terjadinya polarisasi yang dapat berakibat buruk bagi pemulihan ekonomi.
Transisi demokrasi dan fragmentasi politik Mundurnya Presiden Suharto mengubah konstelasi politik Indonesia secara drastis. Tidak seperti proses pengalihan kekuasaan yang relatif mulus di Malaysia, kemunduran Suharto terjadi akibat tekanan krisis. Akibatnya, pengalihan kekuasaan terjadi lebih karena paksaan daripada bagian dari rencana suksesi. Proses suksesi yang tidak mulus ini membuka peluang terjadinya fragmentasi politik karena tokoh pengganti waktu itu, Habibie, bukanlah orang yang diterima mutlak oleh para pendukung Suharto. Maka, dapat dikatakan bahwa fait accomplis krisis terhadap mulusnya rencana suksesi Suharto telah memulai proses demokratisasi di Indonesia. Namun, di lain pihak, proses yang mendadak ini secara signifikan melemahkan pemerintah pusat. Kalau sebelumnya tidak ada aktor politik ataupun ekonomi yang berani menentang kebijakan pemerintah pusat, maka setelah mundurnya Suharto, hampir semua pihak unjuk gigi untuk membela kepentingan diri masing-masing.1 Fragmentasi politik ini, apalagi dalam masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, menimbulkan masalah bagi kebijakan. Problem ekonomi politik yang dihadapi pengambil kebijakan adalah untuk mendapatkan ‘dukungan politik yang dibutuhkan pada tahap-tahap keputusan yang penting’.2 Pada zaman Orde Baru, ini semata-mata berarti mendapatkan dukungan Suharto. Namun, dengan fragmentasi politik dan desentralisasi kekuasaan pasca-Suharto, dukungan politik yang dibutuhkan menjadi jauh lebih beragam. Sejalan dengan meningkatnya keberagaman, proses implementasi kebijakan akan melambat. Selain itu, dengan belum siapnya institusi demokratis di Indonesia, risiko kegagalan kebijakan reformasi, seberapapun baiknya, akan meningkat. Dalam lingkungan politik yang serba baru inilah reformasi ekonomi harus berjalan. Tanpa kepemimpinan ekonomi yang kuat (dan hampir mutlak), maka tak pelak setiap kebijakan ekonomi pun harus melalui proses yang lambat dan
1
Fragmentasi ini tercermin antara lain dari hasil pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 yang tanpa partai dengan dukungan mayoritas mutlak. Selain itu, fragmentasi juga sempat memunculkan pelbagai konflik etunis dan keagamaan di berbagai tempat seperti Maluku, Poso dan Sampit. 2 Drazen (2000): 624.
2
kebijakan reformasi dapat lebih mudah dikooptasi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki modal (ekonomi dan politik) yang kuat. Salah satu alasan utama ambruknya sistem ekonomi di Rusia adalah karena ketidakmampuan pemerintah menghadapi tekanan kelompok-kelompok kepentingan.3 Menyusul jatuhnya rezim Orde Baru, otoritas, kredibilitas serta kepemimpinan ekonomi yang kuat ini tidak dimiliki pemerintah. Alih-alih, pemerintah harus ‘meminjamnya’ dari Dana Moneter Internasional (IMF).
IMF dan pengelolaan kebijakan ekonomi IMF masuk ke Indonesia atas undangan Suharto pada pertengahan September 1997. Undangan ini diajukan dengan asumsi bahwa krisis hanya bersifat sementara, sehingga bantuan IMF hanya untuk berjaga-jaga (precautionary) terhadap kemungkinan berlanjutnya spekulasi terhadap rupiah. Ketika itu, asumsinya adalah bahwa IMF hanya akan memberikan bantuan teknis. Pada tahap ini, IMF dan Presiden Suharto memiliki kepentingan yang selaras. Agenda utama keduanya adalah mencegah ambruknya perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari tegasnya dukungan Suharto atas reformasi kebijakan ekonomi.4 Ketika kemudian tidak ada tanda-tanda bahwa spekulasi terhadap mata uang Asia akan berlalu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk ikut dalam Program IMF pada November 1997. Perpecahan antara IMF dan Suharto segera terjadi menyusul penutupan 16 bank, dua di antaranya adalah milik keluarga dekat Suharto, dan pembatalan proyek-proyek publik besar, yang juga melibatkan keluarga Suharto. Serentetan kebijakan ‘perlawanan’ yang diambil Suharto kemudian untuk mempertahankan kepentingan keluarganya ini merusak kredibilitas pengelolaan ekonomi Indonesia.5 Letter of intent (LOI) yang berisi program komprehensif reformasi struktural yang ditandatangani pada Januari 1998 ini pun tidak dapat menolong kredibilitas pemerintah, apalagi karena kemudian menjadi jelas bahwa Suharto tidak sepenuh hati mendukung program tersebut.6
3
Lemahnya pemerintah Rusia ketika itu, misalnya, memungkinkan kelompok kepentingan mempengaruhi keputusan parlemen tentang privatisasi, sehingga restrukturisasi pelbagai perusahaan milik negara mengalami kegagalan (Linz dan Stepan (1996): 395). 4 IMF (2003): 12. 5 Kebijakan perlawanan ini termasuk dengan meneruskan proyek-proyek besar yang dibatalkan, menolak pengetatan moneter, dan membiarkan putranya, Bambang Trihatmodjo, membuka kembali bank yang sebelumnya ditutup dengan nama lain. 6 Konon, menyusul letter of intent (LOI) pada Januari 1998, Suharto menyatakan di hadapan para penasihat senior bahwa tidak semua butir dalam LOI itu perlu dijalankan dan ia akan melancarkan ‘perang gerilya terhadap IMF’ (IMF (2003): 77). Bentuk perang gerilya ini antara lain dengan membiarkan kelompok kepentingan menghambat implementasi reformasi, menyatakan Program IMF tidak konstitusional dan mencoba mencari alternatif IMF di dalam currency board system.
3
Konflik antara IMF dan Suharto baru berakhir ketika kabinet baru yang berisi orang-orang kepercayaan Suharto meyakinkannya bahwa Program IMF sebagai satu-satunya pilihan kebijakan untuk keluar dari krisis pada Maret 1998.7 Sejak saat itu, peran IMF mengelola ekonomi Indonesia diterima secara de facto, baik oleh pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, maupun oleh para politisi. IMF terlibat dalam proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi IMF atas pelaksanaan LOI menjadi barometer kredibilitas pemerintah, dan seringkali menentukan fluktuasi nilai tukar rupiah.8 Dengan diterimanya peran IMF ini, apakah fragmentasi politik berhenti menjadi masalah bagi implementasi reformasi kebijakan? Tidak juga. IMF cukup sukses mendorong kebijakan untuk menciptakan stabilisasi makro. Kesuksesan ini terjadi karena relatif lebih sederhananya proses pengawasan kebijakan makro yang lebih sentralistik. Namun, kesuksesan ini tidak selalu diikuti kesuksesan melakukan reformasi struktural. Dalam banyak hal, IMF gagal mengawal proses reformasi struktural secara ketat. Kegagalan ini menunjukkan masih pentingnya fragmentasi politik dalam implementasi kebijakan, kebijakan-kebijakan yang kental muatan politik seperti kebijakan-kebijakan struktural.
‘Tumit Achilles’ IMF: Reformasi struktural Secara teori, krisis ekonomi, apalagi yang disertai dengan inflasi yang tinggi, mendorong terjadinya reformasi. Mengapa? Krisis cenderung melemahkan kelompok kepentingan (vested interests) dengan menggerogoti basis modal mereka. Selain itu, ancaman krisis berkepanjangan cenderung mendorong kelompok kepentingan untuk ‘mengalah’. Ini terjadi jika kelompok kepentingan percaya bahwa kerugian dari krisis berkepanjangan akan lebih mahal dibandingkan dengan biaya reformasi. Pelbagai studi studi empiris (seperti Bruno dan Easterly (1996), Drazen dan Easterly (1999), Lora (1998)) memperlihatkan korelasi antara krisis dan implementasi reformasi ekonomi.9 Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa krisis tidak mempermudah implementasi kebijakan struktural di Indonesia? Terdapat satu masalah besar dalam pendekatan awal IMF terhadap reformasi di Indonesia. Keinginan IMF
7
Kabinet baru tersebut terdiri atas orang-orang kepercayaannya termasuk putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana, dan kroni terdekatnya, Bob Hasan. 8 Salah satu sebab evaluasi IMF penting bagi pelaku ekonomi asing adalah karena tidak transparannya pemerintah Indonesia. Investor asing, yang perlu kepastian akan kemajuan reformasi kebijakan, menggunakan evaluasi IMF sebagai proxy kemajuan reformasi tadi. Lihat juga Gaduh(2003), catatan kaki 1 dan 2. 9 Studi-studi ini menunjukkan korelasi antara krisis ekonomi dan reformasi kebijakan, namun masih dibutuhkan studi lanjutan untuk menunjukkan arah interaksi kedua fenomena tersebut, serta antara penjelasan teoretis dan pengalaman krisis-reformasi di pelbagai negara (Drazen (2000), h. 454).
4
mendukung agenda tim ekonomi Indonesia yang ingin menggunakan momentum krisis untuk melakukan reformasi struktural membuat IMF menyetujui LOI yang tidak realistis dan tidak terfokus. Ini tercermin dalam LOI Januari 1998, dengan 50 butir kebijakan reformasi struktural yang mencakup demikian banyak sektor dan kelompok kepentingan. Terlepas dari pentingnya reformasi tersebut bagi perekonomian Indonesia, jelas bahwa paket kebijakan struktural yang demikian melebar akan menghadapi resistensi politik yang amat keras. Kesulitan yang dihadapi pembuat kebijakan dalam menerapkan reformasi struktural bersumber dari sifatnya. Jika reformasi makro cenderung dilihat sebagai sesuatu yang dampaknya merata ke seluruh masyarakat, tidak demikian dengan reformasi struktural. Reformasi struktural menciptakan ‘musuh-musuh’ baru bagi penerap kebijakan karena hanya terfokus pada sektor tertentu. Kelompok kepentingan dalam sektor tersebut akan cenderung melawan reformasi tadi. Semakin banyak komponen reformasi struktural dalam sebuah paket kebijakan, semakin banyak pulalah perlawanan yang harus dihadapi untuk menyukseskan sebuah paket reformasi kebijakan. Agaknya, LOI Januari 1998 dibuat dengan asumsi mutlaknya kekuasaan serta dukungan penuh Presiden Suharto atas paket tersebut.10 Ketika kemudian menjadi jelas bahwa komitmen Suharto tidak sepenuh hati, menjadi jelas pulalah bahwa paket itu sulit terlaksana. Hanya ketika Suharto kemudian menunjukkan dukungannya menyusul kabinet baru pada Maret 1998 mulai terlihat kemajuan implementasi tadi.11 Menyusul mundurnya Suharto, IMF menjadi lebih lunak dalam meletakkan prasyarat reformasi struktural dalam LOI-LOI selanjutnya. Periode antara Januari dan Maret 1998 memperlihatkan kelemahan paket kebijakan yang terlalu melebar tanpa dukungan kekuasaan mutlak. Tanpa kekuasaan mutlak, semakin banyak komponen reformasi struktural dalam sebuah paket kebijakan (atau, dalam hal ini, sebuah LOI) meningkatkan kemungkinannya untuk gagal. Ini terjadi karena, walaupun pelbagai kelompok kepentingan mungkin setuju bahwa reformasi struktural itu dibutuhkan, setiap kelompok akan berusaha menunda reformasi yang merugikan kelompoknya.12 Dalam kasus LOI yang terlalu luas, harapannya adalah jika cukup banyak kebijakan lain dalam LOI yang tidak merugikan kelompoknya dilaksanakan, maka
10
Suharto tidak secara eksplisit menolak paket tersebut, yang kemudian (secara salah) ditafsirkan IMF sebagai dukungan penuh (lihat catatan kaki 6). 11 IMF (2003): 77. 12 Inilah yang dikenal sebagai war of attrition, ketika setiap kelompok kepentingan berusaha agar kelompok lain yang mengalami reformasi struktural terlebih dahulu. Harapannya adalah bahwa kesuksesan reformasi di sektor lain akan menghentikan krisis, sehingga sektor kelompok tadi tidak perlu direformasi (Drazen (2003)).
5
evaluasi IMF akan cukup positif untuk tidak menyebabkan fluktuasi bisnis yang merugikannya. Karena itu, kelompok kepentingan akan membujuk politisi untuk memilah-milah paket kebijakan tadi. Dengan adanya fragmentasi politik, lebih mudah bagi kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan tersebut. Ini bisa dilihat dari kasus privatisasi dan divestasi perbankan dan perusahaan milik negara. Sejak awal, privatisasi dan divestasi selalu terlambat dari jadwal, dan keterlambatan ini hampir selalu merupakan akibat politisasi proses-proses tersebut. Ini dimungkinkan karena fragmentasi politik – pertama, antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kemudian, di dalam DPR itu sendiri – memungkinkan kelompok kepentingan mempengaruhi DPR untuk menghambat proses tadi. Keharusan netralitas IMF dalam proses politik domestik sebuah negara membuatnya tidak bisa berbuat banyak dalam menegakkan disiplin implementasi kebijakan struktural. Hal serupa pun berlaku dalam hal penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Maka, pelajaran penting dalam desain paket kebijakan di tengah tingginya fragmentasi politik adalah pentingnya menciptakan paket kebijakan yang terfokus dan tidak dapat dipilah-pilah oleh politisi. Dengan demikian, indikator kesuksesan menjadi lebih mutlak, dan setiap hasil evaluasi dari pengawas kebijakan, baik IMF ataupun badan lainnya, mengirimkan isyarat yang berarti. Ini berarti bahwa perumus kebijakan harus mampu memilih kebijakan yang prioritas. Inilah salah satu kesalahan utama IMF di Indonesia. Ambisinya melancarkan reformasi struktural membuat IMF mengabaikan kebijakan prioritas: restrukturisasi utang perusahaan dan perbankan. Akibatnya amat buruk bukan hanya bagi kredibilitas dan efektivitas IMF sebagai pengelola kebijakan, melainkan juga bagi keseluruhan pemulihan ekonomi di Indonesia.
Menyatukan Indonesia, mencegah polarisasi Kalau IMF menjadi faktor yang meredam efek fragmentasi terhadap kebijakan ekonomi, maka komitmen elit politik pada persatuan Indonesia menjadi faktor penting untuk mencegah terciptanya polarisasi masyarakat. Di sini dibedakan antara fragmentasi atau keberagaman politik, dengan polarisasi. Jika fragmentasi atau keberagaman politik mencerminkan perbedaan preferensi politik, polarisasi menjadikan perbedaan ini alasan menciptakan konflik. Contoh paling jelas polarisasi dapat dilihat di daerah-daerah konflik, mulai dari Aceh, Ambon hingga ke Poso.
6
Polarisasi seringkali terabaikan dalam analisis tentang pemulihan ekonomi. Namun dengan sedikit mengamati pelbagai daerah konflik di seluruh dunia, jelas terlihat betapa destruktifnya polarisasi terhadap pembangunan ekonomi. Dalam bukunya yang amat menarik tentang pertumbuhan ekonomi, mantan ekonom Bank Dunia, William Easterly (2001) menunjukkan proses matinya pertumbuhan akibat polarisasi.13 Untuk memahami dampak ekonomi dari polarisasi, bayangkan sebuah sumber air tanah umum. Jika bekerja sama, masyarakat desa akan berunding mencari cara paling optimal untuk melakukan ekstraksi terhadap air tanah tersebut. Namun, seandainya terdapat dua kelompok yang bertikai dalam desa tersebut, maka proses ekstraksi tidak lagi didasarkan pada proses optimalisasi. Sebaliknya, setiap anggota dari kelompok berusaha berebut untuk mendapatkan sebanyak mungkin air tanah sebelum air tersebut dihabiskan oleh kelompok saingan mereka – bahkan ketika mereka tahu bahwa dalam jangka panjang, ini akan merugikan mereka. Dalam ilmu ekonomi, kegagalan mencapai hasil optimal yang menguntungkan semua pihak dari penggunaan sebuah fasilitas umum ini dikenal sebagai ‘tragedy of the commons’. Salah satu bentuk polarisasi yang dapat mematikan pertumbuhan ekonomi adalah pertentangan etnis dan agama. Di Ghana, pertentangan antaretnis menyebabkan matinya potensi industri cokelat menyumbang pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Terdapat korelasi negatif antara keberagaman etnis masyarakat sebuah negara (berdasarkan bahasa yang digunakan) dengan tingkat pertumbuhan per kapita yang lebih rendah dan jumlah fasilitas umum seperti sekolah, jalan raya, fasilitas telekomunikasi.14 Ini merupakan konsekuensi dari tragedy of the commons di atas. Terpuruknya perekonomian negara-negara yang sekian lama dihantui pertentangan etnis dan agama memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menghindari polarisasi. Selain itu, kasus Ambon, Sampit dan Poso menunjukkan mudahnya polarisasi tercipta atas dasar garis etnis, agama, ataupun kelas. Karena itu, dampak ekonomi komitmen para elit politik terhadap persatuan tidak boleh dianggap remeh. Salah satu episode penting dalam pembentukan demokrasi Indonesia adalah masuknya Abdurrahman Wahid, kerap dipanggil Gus Dur, dalam detik-detik terakhir pencalonan presiden pada 1999. Partisipasi Gus Dur ini antara lain didorong oleh motivasi mencegah polarisasi
13 14
Easterly (2001): Bab 13. Easterly (2001): 270.
7
antara kelompok nasionalis dan sekular.15 Contoh lain adalah usaha pemerintahan Megawati, yang terutama dimotori oleh Yusuf Kalla, melakukan rekonsiliasi di Ambon dan Poso melalui proses Deklarasi Malino. Yang menarik dalam kasus Gus Dur adalah bahwa peran rekonsiliasi yang dimainkannya baik ketika ia naik maupun turun dari kepresidenannya. Proses naiknya Gus Dur menjadi presiden menghindari polarisasi dengan menghindarkan terjadinya kristalisasi kubu Islam dan nasionalis. Menariknya, turunnya Gus Dur pun cenderung mengurangi fragmentasi, meskipun mungkin bukan seperti yang diharapkannya. Salah satu efek samping diberhentikannya Gus Dur dari kepresidenan adalah adanya komitmen bersama di DPR untuk membiarkan pemerintah Megawati bertahan sampai akhir masa jabatannya. Komitmen ini, selain mengurangi tingkat fragmentasi secara signifikan, memungkinkan proses perencanaan pemulihan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Desentralisasi: Masalah baru pengelolaan fragmentasi Pada bulan Januari 2001 Indonesia mulai melaksanakan program desentralisasi di mana pemerintah pusat mengalihkan sebagian dari wewenang kepemerintahan yang selama ini dipegangnya ke pemerintah daerah, khususnya ke pemerintah kabupaten dan kota. Program ini dianggap sebagai salah satu yang paling menyeluruh (comprehensive) dan kompleks di dunia. Dari sudut pandang ilmu ekonomi ada dua anggapan dasar yang dijadikan alasan mengapa pemerintahan perlu didesentralisasi. Pertama, masyarakat lokal lebih mengetahui kebutuhan mereka daripada pemerintah di pusat. Oleh karena itu mereka perlu diberi wewenang yang sebesar-besarnya untuk mengelola sumberdaya yang ada di wilayah mereka. Akibat logis dari anggapan ini adalah hanya wewenang-wewenang dimana pemerintah pusat memiliki keunggulan komparatif atas pemerintah daerah, seperti pertahanan, keuangan dan peradilan yang perlu dipertahankan di pusat. Kedua, desentralisasi akan menciptakan persaingan di antara pemerintahpemerintah kabupaten dan kota untuk menyediakan prasarana dan pelayanan umum (public goods and public services) yang terbaik untuk menarik orang (baca: pemilik modal) ke daerahnya (Tiebout, 1956). Dengan perkataan lain orang akan menentukan pilihan mereka dengan kaki (vote with their feet).
15
Soesastro (2003): 173.
8
Kedua anggapan di atas mengandaikan semua daerah memiliki sumberdaya dan potensi ekonomi yang sama. Dalam kenyataannya distribusi sumberdaya sangat timpang. Di satu pihak, ada daerah, seperti Kalimantan Timur dan Riau yang kaya sumberdaya alam. Di lain pihak ada daerah, seperti Nusatenggara Timur dan Barat yang miskin sumberdaya. Tanpa mekanisme yang menjamin terjadinya transfer penghasilan dari daerah kaya ke daerah miskin maka akan ada daerah yang mengalami laju pertumbuhan yang sangat cepat dan ada daerah yang akan terjerat dalam perangkap kemiskinan. Menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah pusat untuk menjaga agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah yang terlalu besar. Mekanisme transfer yang disebut di atas harus, di satu pihak, menjaga agar tidak mematikan insentif daerahdaerah kaya untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi mereka dan, di lain pihak, mendorong daerah miskin untuk semakin mandiri. Lalu, bagaimana pelaksanaan desentralisasi dilihat dari sudut pandang di atas? Ada kesan seakan-akan pelaksanaan program ini di awal tahun 2001 dilakukan secara tergesa-gesa tanpa persiapan yang matang. Salah satu tanda yang mendukung kesan ini adalah timbulnya upaya untuk merubah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah segera setelah program desentralisasi dilaksanakan. Ada ketidakpuasan baik di pusat maupun di daerah tentang pelaksanaan program tersebut. Di satu pihak, ada keengganan di pihak pemerintah pusat untuk melepaskan seluruh wewenang yang menurut UU 22/1999 seharusnya dialihkan ke daerah. Ini terlihat dari upaya departemen dan instansi terkait lainnya di pusat untuk tetap memegang kendali anggaran sektor-sektor yang wewenangnya telah dialihkan ke daerah. Misalnya, meskipun pendidikan adalah salah satu sektor yang wewenangnya telah dialihkan ke pemerinta daerah tetapi sebagian dari anggaran pendidikan masih berada di bawah kendali departemen bersangkutan. Kasus seperti ini erat kaitannya dengan rente yang bisa diperoleh dari kuasa mengendalikan anggaran. Di sisi lain ada keinginan di daerah untuk meperoleh wewenang lebih dari yang telah diperolehnya. Misalnya, ketika kontrak PT Caltex Indonesia untuk mengelola ladang minyak di Kabupaten Siak (juga dikenal sebagai Coastal Plain Pekanbaru, CPP) habis, pemerintah daerah berangkutan berhasil memaksa pemerintah pusat untuk menyerahkan hak pengelolaannya ke daerah, meskipun menurut UU 22/1999, sektor minyak dan gas bumi termasuk yang hak pengusahaannya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Contoh lain adalah
9
kegagalan pemerintah pusat untuk menjual sahamnya di PT Semen Padang, yang merupakan bagian dari PT Semen Gresik Tbk, ke Cemex, sebuah perusahaan semen Meksiko, sesuai dengan perjanjian antara pemerintah pusat dan Cemex. Tantangan manajemen PT Semen Padang terhadap upaya pemerintah pusat tersebut didukung oleh pemerintah daerah, meskipun menurut hukum pemerintah pusat, sebagai pemegang saham terbesar, adalah pemilik sah dari PT Semen Padang. Karena berlarut-larutnya kasus ini maka Cemex telah mengajukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia di mahkamah arbitrase internasional. Gagalnya pemerintah pusat untuk menyelesaikan kasus ini, serta kasus-kasus lain yang muncul karena perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, telah merusak citra pemerintah di mata para investor, khususnya investor asing. Beberapa contoh yang disebutkan di atas adalah bagian dari fragmentasi politik vertikal, antara pusat dan daerah yang muncul karena program desentralisasi. Sebenarnya fragmentasi itu sendiri adalah hal yang wajar yang muncul karena perbedaan kepentingan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengelola fragmentasi yang muncul karena desentralisasi sehingga program tersebut membuahkan hasil yang optimal. Berkaitan dengan anggapan dasar pertama di atas tentang pengelolaan sumberdaya lokal, pemerintah baik di pusat maupun di daerah harus taat azas dalam arti mereka harus mengikuti peraturan perundangan-undangan yang ada. Ketidaktaatan azas baik oleh pemerintah pusat maupun daerah hanya akan menciptakan preseden-preseden baru yang pada gilirannya hanya membuat pelaksanaan desentralisasi ini semakin rumit. Tentang anggapan kedua tentang persaingan antar daerah untuk menarik penanam modal, sudah mulai tampak ada hasilnya. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan adanya tandatanda bahwa pemerintah di berbagai daerah mulai sadar akan pentingnya upaya menarik para investor ke daerah mereka. Tentu saja kesadaran tersebut masih belum cukup, masih harus di terjemahkan ke dalam perbaikan sistem pemerintahan (good governance), penyediaan prasarana publik seperti jalan, listrik, dan air minum yang memadai, dan sebagainya. Akhirnya, mengenai upaya memperkecil kesenjangan pembangunan antar daerah, pemerintah tampaknya belum berhasil dengan baik. Ini bisa dilihat dari kisaran anggaran pemerintah daerah. Anggaran pemerintah kabupaten dan kota berkisar antara kurang dari Rp 100 milyar dan Rp 2 trilliun pertahun. Perbedaan yang sangat besar antara anggaran yang paling kecil dan yang paling besar ini
10
pada gilirannya akan menciptakan kesenjangan kemakmuran antar daerah. Perbedaan ini muncul sebagai akibat langsung dari sistim anggaran pemerintah daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan bagi hasil. Daerah kaya sumberdaya memperoleh sebagian besar anggarannya dasi sistim bagi hasil. Sementara itu, karena perumusan yang ada, dana alokasi umum dan khusus yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang tidak berhasil membuat anggaran pemerintah daerah lebih merata.
Melihat ke depan Tulisan ini diawali dengan dua pertanyaan. Pertama, mengapa pemulihan di Indonesia jauh lebih lambat dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia? Kedua, faktor apakah yang mencegah terjadinya keambrukan total sistem ekonomi dan politik Indonesia? Jawaban untuk keduanya berakar pada meningkatnya tingkat fragmentasi pasca-Suharto, serta bagaimana institusi yang secara de facto mengelola politik dan ekonomi di negara ini meresponi perubahan tersebut. Walaupun kehadiran IMF membantu meredam dampak fragmentasi terhadap implementasi kebijakan, IMF hanya mampu meredamnya pada tingkat ekonomi makro. Pada implementasi reformasi struktural, IMF tidak efektif menghadapi fragmentasi politik dan kelompok kepentingan. Padahal pertumbuhan ekonomi, yang adalah bagian penting pemulihan, membutuhkan reformasi struktural. Sementara, salah satu faktor yang mencegah memburuknya fragmentasi menjadi polarisasi adalah komitment politik elit politik untuk menghindari polarisasi. Di sinilah salah satu kontribusi wacana politik dalam pemulihan ekonomi. Komitmen tadi memungkinkan proses pemulihan maju terus, meskipun lambat. Maka, baik IMF maupun elit politik berpartisipasi mencegah ambruknya ekonomi-politik Indonesia, sekaligus memperlambat pemulihan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana selanjutnya? Setelah IMF tidak lagi menjadi pengelola kebijakan ekonomi, apakah masyarakat Indonesia harus bersiap lagi menghadapi krisis? Pula, bagaimana dengan desentralisasi? Untuk pengelolaan ekonomi pasca-IMF, jawabannya tergantung pada kemampuan pembuat kebijakan menjaga keseimbangan antara pengawasan dan efektivitas. Penekanan pada pengawasan berarti membiarkan kebijakan diawasi oleh proses politik (demokratis) yang ketat, sementara penekanan pada efektivitas berarti mencari cara agar implementasi kebijakan dapat bergerak
11
maju secepat mungkin. Jika ada pelajaran berharga dari pengelolaan ekonomi di bawah pengawasan IMF adalah bahwa reformasi kebijakan ekonomi akan lebih efektif jika dapat sebisa mungkin diisolasi dan dilindungi dari usaha-usaha pencarian rente oleh kelompok kepentingan ekonomi dan politik. Perlindungan ini bisa didapatkan bukan hanya dengan adanya institusi pengelola yang kuat, melainkan juga dengan adanya transparansi kebijakan. Pasca-IMF, institusi dan transparansi inilah yang perlu dikembangkan segera. Sementara untuk pertanyaan desentralisasi, dampak negatif fragmentasi politik pusat-daerah bisa dikurangi jika di satu pihak pemerintah pusat mau melepaskan sepenuhnya semua wewenang yang menurut undang-undang harus diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk anggaran sektor-sektor yang wewenangnya telah dilimpahkan ke pemerintah daerah. Pemerintah pusat juga perlu mendukung, atau setidak-tidaknya jangan menghalangi, persaingan antar pemerintah daerah untuk menarik modal ke daerah mereka. Tugas pemerintah pusat di sini adalah menjamin agar jangan terjadi ketimpangan pembangunan di daerah yang terlalu besar. Untuk itu perlu ditemukan makanisme untuk mentransfer sebagian sumberdaya keuangan dari daerah yang relatif lebih kaya ke daerah yang relatif lebih miskin sehingga anggaran pemerintah daerah lebih merata. Namun perlu diperhatikan agar mekanisme tersebut tidak mematikan insentif daerah yang lebih makmur untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi mereka maupun daerah miskin untuk menjadi mandiri. Dengan perkataan lain mekanisme tersebut harus incentive compatible.
12
Daftar pustaka Blanchard, O. dan A. Shleifer. 2000. “Federalism With and Without Political Centralization: China Versus Russia.” NBER Working Paper 7616. Bruno, M. dan W. Easterly. 1996. “Inflation’s Children: Tales of Crises that Beget Reforms.”American Economic Review Papers and Proceedings 86: 213-17. Dewatripont, M. dan G. Roland. 1995. “The Design of Reform Packages under Uncertainty.” American Economic Review 85: 1207-23. Drazen, A. 2000. Political Economy in Macroeconomics. Princeton: Princeton University Press. Drazen, A. dan W. Easterly. 1999. “Do Crises Induce Reform?: Simple Empirical Tests of Conventional Wisdom,” Working Paper. Easterly, W. 2001. The Elusive Quest for Growth: Economists’ Adventures and Misadventures in the Tropics. Cambridge, Mass: MIT Press. Feldstein. M. 1998. “Refocusing the IMF.” Foreign Affairs 77 (March/April): 20-33. Gaduh. A. 2003. “The IMF: At the end of the affair.” Van Zorge Report on Indonesia 5(3): 12-19. International Monetary Fund. 2003. The IMF and Recent Capital Account Crises: Indonesia, Korea, Brazil. Washington D.C.: International Monetary Fund. Làban, R. dan F. Sturzenegger. 1994. “Fiscal Conservatism as a Response to the Debt Crisis.” Journal of Development Economics 45: 305-24. Linz. J. dan A. Stepan. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Maryland: John Hopkins University Press. Lora, E. 1998. “What Makes Reform Likely?: Timing and Sequencing of Structural Reforms in Latin America.” Working Paper, Office of the Chief Economist, Inter-American Development Bank. Olson, M. 1982. The Rise and Decline of Nations. New Haven: Yale University Press. Soesastro, H. 2003. “IMF and the Political Economy of Indonesia’s Economic Recovery.” Indonesian Quarterly 31(2): 165-179. Tiebout, C. 1956. “A Pure Theory of Local Expenditures.” Journal of Political Economy 64(5): 416-24.
13