Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
REFORMASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI SEKTOR PERTANIAN Sumedi dan Achmad Djauhari
PENDAHULUAN Secara garis besar, pengelolaan pembangunan sektor pertanian Indonesia, dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sentralisasi dan desentralisasi. Sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tahun 2000, pengelolaan pembangunan berubah, yang tadinya bersifat sentralistik menjadi terdesentralisasi. Perubahan kebijakan ini seolah “hanya” merupakan perubahan pengelolaan, yang tadinya segala sesuatu ditentukan oleh pemerintah pusat menjadi sebagian besar ditentukan oleh pemerintah daerah. Perubahan pengelolaan ini merubah peran pemerintah pusat dan daerah. Pada era pengelolaan tersentralisasi, pemerintah pusat memiliki peran segalanya, mulai dari perencanaan, penetapan program sampai pada implementasinya. Pemerintah daerah “hanya” sebagai pelaksana di lapangan. Sementara pada era desentralisasi, kondisinya berbalik. Pemerintah pusat “hanya” memiliki wewenang menetapkan arah dan kebijakan strategis pembangunan pertanian pada tingkat nasional, sementara daerah memiliki wewenang untuk menentukan arah dan program pembangunan pertanian daerah sesuai dengan potensi sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah pusat lebih besar memainkan peran koordinatif, monitoring dan evaluasi. Hal ini jelas berbeda dibandingkan dengan masa sentralisasi dimana komando pelaksanaan program sampai ke daerah ada pada pemerintah pusat. Perubahan kebijakan pengelolaan pembangunan pertanian ke arah desentralisasi ini, tidak terlepas dari perubahan mendasar terkait dengan pengelolaan pemerintahan secara keseluruhan. “Kegagalan” pemerintahan sentralistik dalam mewujudkan tujuan pembangunan mendorong perubahan mendasar dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan daerahnya. Secara konseptual, tuntutan desentralisasi pembangunan memiliki landasan yang kuat. Desentralisasi diharapkan akan meningkatkan kemandirian daerah dan efisiensi anggaran (Oates 1993, 1999). Pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terhadap program dan pengelolaan anggaran juga akan meningkatkan efektivitas penyediaan layanan umum kepada masyarakat (Bjornestad, 2009). Desentralisasi fiskal juga akan meningkatkan efisiensi pembiayaan, akuntabilitas penggunaan anggaran, dan dapat lebih memberi ruang kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam perumusan kebijakan, serta meningkatkan pelayanan publik. Lebih jauh, kebijakan desentralisasi fiskal juga diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan melalui program-program pro-poor yang lebih efektif.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
321
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
Mulai awal tahun 1970-an, banyak negara berkembang yang mulai melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal (Ismail, et al., 2004). Hasil kajian empiris terkait dengan analisis hubungan desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan kesimpulan yang konsisten. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan negatif, sebagian lagi menunjukkan hubungan yang tidak nyata, dan beberapa yang lain, menunjukkan hubungan positif. Hasil penelitian yang menunjukkan dampak positif desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi (Lin and Liu, 2000; Desai et al., 2003; Akai et al., 2004; Zhang and Zou 2001; Akai and Sakata, 2002; Ismail, et al., 2004; Iimi, 2005; Huther and Shah, 1998; Bjornestad, 2009; dan Armas, et al., 2010). Penelitian yang menganalisis dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan dampak negatif, antara lain ditunjukkan oleh Zhang and Zou, 1998; Davoodi and Zou, 1998, sementara penelitian lain menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan (Wolter and Phillips, 1998; Xie et al., 1999). Perubahan besar perkembangan pertanian di China misalnya, tidak terlepas dari reformasi di bidang ekonomi dan politik yang dilakukan di China. Sejak tahun 1953 pemerintah China melakukan kebijakan pengembangan industrialisasi secara masif dengan model perencanaan yang tersentralistik (Wu, 1997). Pada saat itu produktivitas sektor pertanian terlalu rendah untuk mampu memupuk kapital untuk mendukung pertumbuhan. Meskipun demikian pemerintah menetapkan kebijakan tersentral untuk menentukan produksi dan pemasaran produk pertanian, termasuk harganya. Kebijakan penetapan harga dikondisikan lebih rendah dari harga pasar, untuk mendorong pengembangan industri. Dengan kebijakan ini hasrat masyarakat untuk bertani menurun sehingga produksi pertanian menurun. Untuk itu, Pemerintah menerapkan “kebijakan pertanian kolektif” untuk menjaga tingkat produksi meskipun pada harga yang tidak kondusif. Kebijakan ini menjadikan sektor pertanian mengalami “scissors effect” dimana “dipaksa” menjual produk dibawah harga pasar untuk menopang pertumbuhan industri dan perkotaan (Wu, 1997). Pada sisi lain untuk barang konsumsi yang dihasilkan dari sektor industri, petani harus membeli dengan harga mahal. Kondisi ini berdampak serius terhadap penurunan produktivitas perkapita sektor pertanian dan juga defisit perdagangan. Menurut Wu (1997), sejak pemerintahan Deng Xiaoping, yaitu tahun 1978 perubahan penting terjadi. Reformasi dilakukan dengan memfokuskan pada peningkatan standar hidup, mengejar pertumbuhan ekonomi. Reformasi tersebut dimulai dari sektor pertanian, dengan membuka pasar internasional dan mendorong investasi. Reformasi pada sektor pertanian meliputi berbagai aspek, yaitu: sistem produksi pertanian, reformasi pada sistem harga dan pasar. Reformasi pertanian dimulai dengan upaya meningkatkan pendapatan petani miskin di daerah Anhui, dengan mengintroduksikan antara “tim produksi” dengan rumah tangga. Model ini berkembang dan diadopsi secara luas sejak 1980 dan mampu menggantikan collective farming yang diterapkan pada masa sebelumnya. Sistem ini berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan rumah tangga. Secara kelembagaan, transforasi dari collective farming ke sistem manajemen dan produksi berbasis rumah tangga selesai tahun 1984, namun reformasi pada sistem harga dan
322
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
pemasaran masih belum tuntas. Proses reformasi pada sistem harga dan pasar diwarnai dengan kebijakan yang berubah-ubah antara deregulasi dan penerapan aturan baru. Pada awal reformasi penerapan sistem kontrak tahun 1979, pemerintah China memegang kendali harga pada 18 komoditas pertanian utama. Seiring perjalanan reformasi pertanian, sistem harga ini mengali perubahan secara bertahap yang arahnya pada pengurangan peran pemerintah terutama pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah provinsi dan membuka pasar liberalisasi. Secara garis besar, menurut Wu (1997) reformasi pertanian terutama pada pasar komoditas serealia di China memiliki tiga tonggak sejarah penting, yaitu tahun 1985 dinama berakhirnya kebijakan mandatory dalam produksi digantikan dengan sistem kontrak yang bersifat voluntary. Namun karena harga yang ditetapkan masih terlalu rendah, pemerintah kesulitan dalam memenuhi target produksi yang diharapkan sehingga sistem kuota mandatory kembali diterapkan. Tonggak kedua adalah kebijakan rasionalisasi kebijakan harga eceran komoditas serealia di daerah perkotaan pada tahun 1991-1992, yang pertama kali terjadi sejak tahun 1965, yaitu masing-masing 68 persen dan 42 persen, sehingga mendekati harga pasar, bahkan beberapa pemerintah daerah merespon dengan membebaskan harga komoditas. Kebijakan liberalisasi pasar komoditas pangan serealia ini mengakibatkan peningkatan harga dan peningkatan produksi yang signifikan. Peningkatan harga yang cukup besar menyebabkan kekhawatiran pemerintah, sehingga di ambil kebijakan “governor responsibility system”, dimana pemerintah provinsi diberikan tanggung jawab untuk mengelola secara penuh produksi dan pemasaran komoditas serealia, termasuk tanggung jawab anggaran, target produksi, pemenuhan kebutuhan stok, dan pasar. Kebijakan ini pada hakekatnya adalah kebijakan desentralisasi secara utuh pada sektor pertanian terutama komoditas pangan serealia. Kebijakan “governor responsibility system” merupakan akhir dari kebijakan pengendalian terpusat. Kebijakan ini telah membawa perubahan signifikan pada peningkatan produksi pertanian, harga, pendapatan petani, dan juga neraca perdagangan China. Implementasi otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia sebenarnya lebih didorong karena masalah politik dan kegagalan pemerintah yang terpusat untuk membawa kesejahteraan secara lebih berkeadilan, dibandingkan oleh justifikasi ekonomi dan kesiapan yang matang. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan mulai Januari tahun 2001. Setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaan tersebut, banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong kinerja ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Hal ini dikonfirmasi dengan berbagai kajian yang telah dilakukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan selama ini belum mampu membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat (Aziz, 2009). Bagaimana dengan sektor pertanian? Desentralisasi sektor pertanian merupakan perubahan kebijakan pengelolaan pembangunan pertanian dari sentralistik menjadi terdesetralisasi, atau diserahkan kepada pemerintah daerah pengelolaannya.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
323
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
Perubaha kebijakan di harapkan mampu memanfaatkan potensi sumber daya pertanian pada masing-masing daerah untuk dikembangkan, sehingga secara nasional terjadi peningkatan kinerja yang lebih baik. Namun ternyata pada tataran implementasinya tidak semudah itu. Pertumbuhan PDB sektor pertanian pada tahun 2013 hanya kurang lebih setengah (3 persen) dari capaian pertumbuhan PDB nasional sebesar 5,78 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Lambatnya penurunan angka kemiskinan salah satunya karena kinerja sektor pertanian tidak cukup membaik, karena sebagian besar penduduk miskin berada di pedesaan dan di sektor pertanian. Dengan demikian patut dipertanyakan efektivitas kebijakan desentralisasi pertanian dalam kerangka pembangunan pertanian kedepan. Pilihan kebijakan dapat bersifat dikotomi yaitu desentralisasi penuh atau sentralisasi kembali, atau pilihan pengelolaan jalan tengah.
PERAN STRATEGIS SEKTOR PERTANIAN: MASA LALU, KINI, DAN YANG AKAN DATANG Pengalaman perkembangan peradaban suatu negara menunjukkan bahwa tidak ada negara maju yang mengabaikan sektor pertaniannya. Negara-negara yang maju dari perekonomian saat ini ditopang dengan kondisi sektor petanian yang maju dan program pembangunan pertanian yang paripurna. Bagi Indonesia sendiri, sektor pertanian selalu ditetapkan sebagai sektor strategis dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sektor pertanian didorong untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan. Perhatian besar pemerintah terhadap sektor pertanian ditunjukkan dalam pidatonya yang menyatakan bahwa masalah pangan (yang berarti pertanian) adalah masalah hidup matinya suatu bangsa. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sektor pertanian selalu dinyatakan sebagai sektor penting dan strategis dalam setiap Rencana Pembangunan Lima Tahunannya (Repelita I sampai Repelita VI). Pada masa pemerintahan orde lama, pembangunan ekonomi lebih difokuskan pada pemenuhan kebutuhan pangan. Pembangunan sektor pertanian didorong untuk meningkatkan produksi dalam negeri, meskipun perhatian pemerintah lebih besar pada sektor hilir, yaitu penyediaan pangan bagi rakyat dengan perubahan manajemen pengelolaan cadangan pangan negara. Sub sistem hulu, terkait dengan peningkatan produktivitas belum banyak di perhatikan. Meskipun demikian, pemerintah menyadari bahwa peran sektor pertanian sangat vital bagi kelangsungan bangsa Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Presiden Soekarno, bahwa pangan (pertanian) adalah hidup matinya suatu bangsa. Banyak masalah politik termasuk konfrontasi dengan Malaysia, menyebabkan pembangunan sektor ekonomi termasuk pertanian kurang mendapat perhatian. Posisi strategis pembangunan pertanian ditunjukan dalam Rencana Pembangunan Kasimo (Kasimo Plan), berupa rencana produksi tiga tahun (19481950), untuk mecapai swasembada pangan, melalui peningkatan produksi pangan
324
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
dalam negeri dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pada sub sektor pangan, perkebunan, dan peternakan. Seringnya pergantian kabinet, konflik politik dan masalah keamanan menyebabkan rencana pembangunan pertanian tidak berjalan dengan baik, terutama karena koordinasi pelaksanaan program dengan pemerintah daerah tidak berjalan. Pada masa Orde Baru, sektor pertanian mendapat perhatian yang signifikan. Sektor pertanian menjadi sektor penting dalam setiap tahap rencana pembangunan pertanian lima tahunan, khususnya pada Recana Pembangunan Jangka Panjang I (Repelita I-V). Rumusan Repelita I (1969-1974) menunjukkan kesadaran dan komitmen pemerintah terhadap peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional. Rumusan pembangunan pertanian di sini merupakan landasan pembangunan pertanian di orde baru. Sasaran utamanya adalah mencapai kecukupan pangan, sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Pengembangan infrastruktur pada masa itu ditujukan untuk mendukung pembangunan sektor pertanain. Pemerintah menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi untuk mengejar keterbelakangan ekonomi dengan mendorong pertumbuhan pertanian. Peran strategis sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dilanjutkan pada Repelita II (1974-1979) dimana pemerintah meletakan sektor pertanian berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah (hasil pertanian) menjadi bahan baku. Sektor industri mulai dikembangkan dengan menitikberatkan pada industri yang mengolah hasil pertanian sehingga akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Penekanan pemerintah terhadap pembangunan sektor pertanian tetap konsisten sampai pada akhir pelita VI (Maret 1999). Hanya fokus yang berbeda. Mulai Repelita III (1979-1984) pengembangan sektor industri dan jasa mulai didorong, dan tetap menempatkan sektor pertanian sebagai dasar atau fondasi pengembangan. Keberhasilan pembangunan pertanian ditopang dengan revolusi hijau sektor pertanian dengan penerapan intensifikasi dan ekstensifikasi yang masih dan didukung dengan investasi terutama irigasi dan jalan. Sehingga pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan (beras khususnya). Pada Repelita IV (1984-1989) diprogramkan untuk melanjutkan keberhasilan Repelita III, yaitu pemantapan swasembada pangan dan peningkatan industri untuk menghasilkan mesin-mesin sendiri. Selain itu, program-program untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan dan perluasan kesempatan kerja menjadi prioritas pemerintah. Pada Repelita V (1989-1994), dimana sektor pertanian masih menjadi fokus utama, baru kemudian sektor industri dengan sasaran utama pemantapan swasembada pangan dan peningkatan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Arah pembangunan ekonomi pada Repelita VI (1994-1999), yang merupakan titik awal dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang II, terutama terkait dengan pengembangan sektor industri, yang didukung oleh sektor pertanian yang kuat. Pada periode ini, meskipun sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dititik beratkan pada sektor industri, namun pembangunan pertanian tetap strategis dalam kerangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
325
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
Secara konsepsi pembangunan nasional, sektor pertanian masih menjadi prioritas dalam program pembangunan pemerintahan setelah reformasi. Pada periode ini dicanangkan program revitalisasi pertanian. Revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, dengan peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional. Revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas, namun sebagai sektor yang multifungsi dalam ekonomi nasional dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Peran strategis sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, meliputi: (a) kontribusi terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, (b) penyerapan tenaga kerja, (c) penyedia bahan baku bagi sektor lain, (d) menyediakan bahan pangan bagi masyarakat, (e) sumber pendapatan devisa, dan (f) pasar bagi produk non pertanian. Dilihat dari angka statisitk, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sangat signifikan. Pada awal-awal pembangunan ekonomi, meskipun kondisi pertanian Indonesia belum maju, lebih dari separuh PDB dihasilkan dari sektor pertanian (Tabel 1). Disamping itu, sektor pertanian juga menyerap tenaga kerja yang paling besar. Meskipun kontribusi ini semakin menurun seiring dengan peningkatan kinerja sektor lainnya, namun sampai tahun 1980an masih merupakan sektor terbesar penyumbang terhadap PDB nasional, sehingga peranannya terhadap perekonomian masih sangat signifikan. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional pada tahun 2013 sekitar 15 persen. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, penurunan share terhadap PDB tidak diikuti dengan penurunan penyerapan kerja secara proposional. Namun demikian, pangsa tenaga kerja sektor pertanian belum menurun secara berarti, yaitu sebesar 56 persen pada tahun 1980 dan hanya turun menjadi 48 persen pada tahun 1995. Sementara pada tahun 2012, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mencapai 38,23 juta jiwa (33,89%) (BPS, Berbagai tahun). Ketidakseimbangan penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB dibandingkan dengan penurunannya terhadap total tenaga kerja menunjukkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian semakin rendah. Namun pada sisi lain, kemampuan menyerap tenaga kerja yang besar, menunjukkan peran strategis sektor pertanian sebagai buffer apabila terjadi goncangan ekonomi, sebagaimana ditunjukkan ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 yang lalu. Tabel 1. Share PDB berdasarkan sektor utama Sektor Pertanian Konstruksi Industri Pertambangan dan Energi Jasa
1967 51 na(a) 8 na(a) 36
1982
1996 23 10 13 17 37
1999 17 10 26 8 40
a): pada tahun 1967 pertambangan dan energi dan konstriksi sebesar 5% Sumber: CEIC; RBA; World Bank; United Nations dalam Reserve Bank of Australia
326
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
20 8 26 9 37
2009 16 11 27 11 35
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terjadi karena pertumbuhan sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya, terutama sektor industri. Fenomena penurunan share PDB pada sektor pertanian merupakan proses yang alami dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Transformasi ekonomi dari ekonomi primer (pertanian) ke industri adalah suatu keniscayaan seiring perkembangan perekonomian. Gambar 1 menunjukkan proses transmisi peranan sektor pertanian dan industri pada beberapa negara.
Gambar 1. Share Industri Pengolahan dan Pertanian terhadap PDB Nominal Sumber : United Nation dalam Reserve Bank of Australia
Gambar 2. Share Ekspor Indonesia 1969-2009 (%) Sumber: World Bank dalam Reserve Bank of Australia
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
327
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
Sektor pertanian memiliki peran sebagai sumber penerimaan devisa negara, melalui penerimaan ekspor hasil pertanian. Pada awal pembangunan pertanian, perekonomian sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, sehingga perdagangan antar negara juga sebagian besar dari hasil pertanian. Hasil pertambangan kemudian menyusul berikutnya. Sektor industri dan jasa belum berkembang. Seiring dengan implementasi Repelita III, sektor industri mulai menjadi perhatian pemerintah. Tumbuhnya sektor industri ini mulai nampak dari struktur penerimaan ekspor, dimana pangsa ekspor industri meningkat secara signifikan sementara pangsa ekspor pertanian menurun, terutama pada awal terjadi peningkatan pembangunan sektor industri yang diikuti oleh sektor jasa. Pada masa yang akan datang, peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional menjadi semakin penting. Meskipun kontribusi terhadap produk nasional, penyerapan tenaga kerja dan pangsa ekspor komoditas pertanian semakin menurun, namun secara hakikat kehidupan, peran sektor pertanian sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan, energi, dan bahan baku industri tidak tergantikan. Peningkatan permintaan terhadap produk pertanian karena meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi pada satu sisi, sementara pada sisi lain, kita menghadapi masalah penurunan sumber daya pertanian baik dari aspek ketersediaan lahan dan kualitas sumber daya alam. Tantangan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan energi akan semakin serius, pada kondisi perubahan ekternal berupa perubahan iklim global, yang menyebabkan perubahan pola musim dan cuaca. Perubahan iklim global berdampak cukup serius terhadap perencanaan produksi untuk memenuhi kebutuhan. Gejolak pasar (harga dan pasokan) sering terjadi akibat ganguan produksi dan distribusi yang disebabkan karena perubahan iklim. Kedepan, posisi pertanian tidak hanya dipandang dari aspek ekonomi saja, namun sangat berpengaruh dari aspek politik. Diplomasi antar negara dapat memanfaatkan komoditas pangan. Bahan pangan dan energi dapat berperan sebagai alat propaganda politik antar negara. Kedepan, negara yang menguasai pangan akan memiliki “senjata” yang disegani, sementara negara yang banyak menggantungkan kebutuhan pangannya kepada negara lain, tidak memiliki “kemerdekaan” yang sesungguhnya. Ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan terhadap impor yang terlalu tinggi menyebabkan kerawanan tersendiri. Atas dasar hal tersebut maka pengembangan sektor pertanian menjadi suatu keniscayaan, seberapapun kemajuan sektor ekonomi lainnya. Pertanian adalah fundamental pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pembangunan sektor pertanian akan tolok ukur kemandirian suatu negara dalam menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan energi masa depan dari suatu bangsa. Untuk itu pengelolaan pembangunan pertanian harus benar-benar dapat menjamin perkembangan sektor pertanian dengan baik.
328
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA Dalam sejarah pengelolaan pembangunan, dapat dikatakan bahwa era sentralistik terjadi pada masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Meskipun secara konsepsional tidak benar-benar dapat dikatakan demikian. Pada derajat tertentu, desentralisasi pengelolaan pembangunan sebenarnya telah dilakukan, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, untuk dapat berinisiatif dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam bahasan ini, penulis mengkategorikan era pembangunan pertanian pada masa itu sebagai era sentralisasi, didasarkan pada dua indikator dari konsep desentralisasi dari sudut penerimaan dan pengelolaan anggaran pembangunan. Dari aspek pengelolaan anggaran negara, seberapa besar tingkat sentralistik atau desentralistik pengelolaan pembangunan, dapat dilihat dari seberapa besar kewenangan pengelolaan penerimaan dan penggunaan anggaran diberikan kepada pemerintah daerah. Semakin besar, maka aspek desentralisasinya juga semakin besar dan sebaliknya. Perubahan mendasar terhadap pengelolaan pembangunan terjadi ketika diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, mulai tahun 2000. Saat itu adalah pijakan berakhirnya era sentralisasi pengelolaan pembangunan dan dimulainya kebijakan desentralisasi. Kita telah melihat berbagai keberhasilan pembangunan pertanian pada era desentralisasi, tentunya dengan berbagai catatan kekurangannya. Pengelolaan pembangunan pertanian secara terpusat memudahkan penetapan program dan koordinasi (komando) pelaksanaan di lapangan. Keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 merupakan hasil dari berbagai program pembangunan pertanian yang dirancang secara matang dan diimplementasikan secara konsisten dengan pengawalan yang ketat pada berbagai tingkatan pemerintah. Pemerintah daerah tidak dapat (berani) melaksanakan program selain yang telah di putuskan dan digariskan pemerintah pusat. Keputusan pengalokasian anggaran terhadap program-program tersebut juga diputuskan dari pemerintah pusat. Kebijakan subsidi input dan output, penetapan prioritas komoditas yang dikembangkan dan target produksi, program-program pengawalan dan pendampingan seperti Pogram Bimas, Insus, dan Supra Insus dirancang dan dikawal secara intensif. Bahkan sampai pada investasi bendungan dan sarana irigasi serta infrastruktur lainnya seperti jalan usahatani dan pasar diputuskan oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan kebijakan pengelolaan anggaran pada saat itu, dimana program-program dan anggarannya hampir sepenuhnya dikendalikan pemerintah pusat. Pemerintah Daerah, mulai dari Provinsi (Daerah Tingkat I waktu itu), Kabupaten (Daerah Tingkat II), Kecamatan dan Desa lebih berperan sebagai pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Kewenangan mengelola anggaran hanya sebatas yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan, pengelolaan kebijakan pembangunan pertanian secara terpusat yang dilaksanakan selama periode 19691999, telah menghasilkan berbagai capaian yang signifikan, baik terkait dengan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
329
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
peningkatan produksi dan produktivitas pertanian, investasi, ekspor, dan peningkatan pendapatan petani. Pengurangan jumlah penduduk miskin secara signifikan juga dapat dicapai dengan pembangunan pertanian yang dilaksanakan. Namun demikian, pengelolaan pembangunan pertanian secara sentralistik menimbulkan berbagai kelemahan, antara lain: (a) potensi sumber daya pertanian daerah tidak tergali dan termanfaat secara baik, karena program pembangunan dan pendekatan yang diterapkan cenderung homogen, (b) tidak memberikan ruang yang cukup bagi inisiatif pemerintah daerah dalam merumuskan program pembangunan yang sesuai dengan kondisi sumber daya, sosial dan ekonomi masyarakat setempat, dan (c) rentang kendali pembangunan yang “jauh” menyebabkan kegiatan monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan pembangunan pertanian menjadi kurang efektif. Landasan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang merupakan penyempurnaan dari UU No 22 dan 25 tahun 1999. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Prinsip dasar yang digunakan dalam penetapan otonomi daerah dan juga desentralisasi fiskal adalah bahwa anggaran menyertai fungsi (money follows function). Dengan prinsip ini, maka fungsi pemerintahan yang telah diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sesuai dengan UU 32 Tahun 2004, akan diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud, yang kemudian diatur dalam UU No 33 tahun 2004 dan kemudian disusul dengan UU No 28 tahun 2009, yang mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power). Pengembangan taxing power daerah ini dalam kerangka desentralisasi dari aspek penerimaan. Dari aspek fungsi dan peran pemerintah, desentralisasi, atau distribusi fungsi administrasi dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu: (a) desentralisasi politik, yaitu transfer kewenangan politik kepada pemerintah daerah, misalnya dalam pemilihan kepala daerah dan perwakilan rakyat, (b) desentralisasi fiskal, yaitu adanya realokasi sumber daya yang mendukung pemerintah daerah dapat berperan dengan baik, (c) desentralisasi administrasi, yaitu transfer pengambilan keputusan, sumber daya, dan juga tanggung jawab dalam penyediaan layanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Operasionalisasi kebijakan desentralisi didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam
330
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
aturan ini disebutkan urusan/fungsi-fungsi apa saja yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah. Secara umum, klasifikasi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah dibagi dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota terutama berkaitan dengan aspek layanan umum dan upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Terdapat 24 urusan wajib bagi pemerintah daerah, diataranya adalah: pelayanan dasar seperti, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Sementara itu, untuk urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah. Urusan pilihan ini umumnya meliputi pengembangan ekonomi, seperti: (a) Pertanian, (b) Kehutanan, (c) Energi dan Sumber Daya Mineral, (d) Pariwisata, (e) Kelautan dan Perikanan, (f) Perdagangan, (g) Perindustrian, dan (h) Transmigrasi. Mengacu pada kebijakan tersebut, setelah pelaksanaan kebijakan desentralisasi, pengelolaan pembangunan pertanian mengalami perubahan yang sangat mendasar dan signifikan. Program pembangunan pertanian yang sebelumnya menerapkan kebijakan terpusat dan melalui proses komando dari pemerintah pusat. Pemerintah Daerah tidak memiliki ruang yang cukup besar untuk mengembangkan potensi pertanian daerahnya. Pada era otonomi daerah dan desentralisasi, kondisinya sangat berbeda. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang luas untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan daerah, termasuk sektor pertanian. Pemerintah Pusat lebih mengambil peran koordinasi, fasilitasi, dan sebagai pendukung. Sebagaimana uraian diatas, pembangunan pertanian termasuk dalam urusan pilihan, bersama dengan urusan perekonomian lainnya, seperti industri, perdagangan, dan jasa. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pembangunan pertanian menjadi urusan bersama antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah dapat menetapkan program pembangunan pertanian sesuai dengan potensi daerahnya, sementara pemerintah pusat juga dapat menetapkan program pembangunan pertanian nasional yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh daerah dengan disertai dengan alokasi sumber daya terutama anggaran. Namun implementasi kebijakan pembangunan tersebut memerlukan koordinasi dan sinergi yang sangat baik antara pusat dan daerah agar tujuan pembangunan dapat tercapai. Setelah lebih dari sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, banyak pihak yang mempertanyakan efektifitas dan keberhasilan dalam mempercepat pembangunan, termasuk pada sektor pertanain. Implementasi konsep pembangunan pertanian dalam kerangka otonomi daerah ternyata belum dapat berjalan dengan baik. Alokasi anggaran daerah pada sektor pertanian relatif kecil, sehingga program-program pembangunan pemerintah daerah pada sektor pertanian terbatas. Sementara pelaksanaan program nasional juga lebih sulit dicapai, karena masalah koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
331
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
Keterbatasan anggaran pembangunan pertanian di daerah, disebabkan oleh prioritasi alokasi anggaran dalam APBD yang kurang berpihak pada sektor pertanian. Pemerintah daerah juga masih lebih banyak mengharapkan pembiayaan pembangunan pertanian dengan anggaran pemerintah pusat. Kompleksitas kebijakan pembangunan pertanian semakin besar, ketika melibatkan aspek perubahan lingkungan eksternal yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap sektor pertanian, seperti perdagangan bebas, pasar bersama ASEAN dan China serta dinamika harga pangan dan energi dunia. Pada sisi lain, dengan otonomi daerah pemerintah pusat kesulitan dalam menjamin efektivitas program pembangunan pertanian nasional karena tidak memiliki kewenangan lagi sampai pada tahap implementasi di daerah. Peranan pemerintah dalam pembangunan pertanian diwujudkan dalam alokasi anggaran pemerintah pada sektor pertanian. Dalam kerangka desentralisasi fiskal, alokasi anggaran pada sektor pertanian dapat diwujudkan melalui: (a) anggaran pemerintah daerah (APBD), (b) alokasi anggaran pusat melalui dana dekonsentrasi, (c) dana alokasi khusus sektor pertanian, dan (d) pelaksanaan program pusat. Dari sisi alokasi, anggaran pemerintah dialokasikan terhadap berbagai sub sektor, tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan Secara nominal alokasi anggaran Kementerian Pertanian untuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun 2005 sebesar 1,6 triliun rupiah. Jumlah ini meningkat dengan cukup pesat setiap tahunnya hingga pada tahun 2007 mencapai hampir 3 triliun rupiah. Peningkatan masih terjadi pada tahun 2008 menjadi 3,63 triliun rupiah. Pada tahun 2009 dan 2010 ada sedikit penurunan alokasinya Peningkatan alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun 2007 dan pada kisaran 3 triliun rupiah.
Alokasi Anggaran Kementan untuk Dana Dekonsentrasi dan pembiayaan UPT Pusat di Daerah 4.000.000.000 3.500.000.000
ZƉϭϬϬϬ
3.000.000.000 2.500.000.000 2.000.000.000 1.500.000.000 1.000.000.000
500.000.000 -
Gambar 3.
332
7RWDO'HNRQB73
8373XVDW
Alokasi Anggaran Kementan di Daerah, Tahun 2005-2010 Sumber: Kementerian Pertanian, Tahun 2006-2011, diolah.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Peningkatan alokasi dana dekonsentrasi yang besar pada tahun 2007 dan 2008 terutama terjadi pada sub sektor tanaman pangan untuk mendukung program peningkatan produksi tanaman pangan terutama komoditas padi, yang pada waktu itu ditargetkan untuk mencapai peningkatan produksi dua juta ton setara beras dan peningkatan lima persen pada tahun selanjutnya, yang disertai dengan instrumen lainnya baik penyuluhan, infrastruktur pertanian serta alat dan mesin pertanian, termasuk institusi ketahanan pangan di daerah.
PERLUNYA REFORMASI KEBIJAKAN Diberlakukannya otonomi daerah merupakan sebuah reformasi pengelolaan pembangunan pertanian. Didalamnya terdapat perubahan yang mendasar terhadap kewenangan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Pertanyaan mendasar ke depan adalah, bagaimana sebaiknya pengelolaan pembangunan pertanian kedepan. Apakah model sentralisasi lebih tepat diterapkan seperti masa orde baru? Ataukan desentralisasi penuh kepada pemerintah daerah? Peningkatan anggaran pembangunan pertanian pada masa desentralisasi seyogyanya dapat membawa perkebangan sektor pertanian menjadi lebih baik. Namun pada implementasinya, banyak program-program dan target pemerintah yang tidak kunjung tercapai. Target peningkatan produksi padi, jagung, kedelai untuk mencapai swasembada berkelanjutan masih mengalami banyak kendala. Peningkatan produksi gula, daging sapi dan program-program lainnya banyak yang diundur targetnya dan capainya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah ketersediaan lahan, koordinasi pemerintah daerah dan pusat yang tidak berjalan dengan baik, sering kali disebut sebagai akar penyebab belum tercapainya target pembangunan pertanian nasional tersebut. Kurang sinkronnya program pembangunan pertanian dan pusat ini sebagai konsekuensi desentralisasi sektor pertanian dan persiapan implementasinya yang kurang matang. Pokok-pokok tanggung jawab dan kewenangan secara rinci pada sektor pertanian tidak diuraikan lebih lanjut. Hasil berbagai penelitian menunjukkan meskipun terjadi dampak positif, desentralisasi masih menyisakan berbagai persoalan. Penelitian Brodjonegoro (2003), dengan menggunakan model interregional social accounting matrix, menghasilkan kesimpulan bahwa perekonomian Indonesia masih terkonsentrasi di wilayah Jawa, baik dilihat dari aspek output, tenaga kerja, maupun modal. Hasil lain menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah daerah memiliki efek yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah pusat, disamping akan meningkatkan dan sekaligus men-generate pendapatan antar daerah. Penelitian ini juga menunjukkan adanya efek positif dari kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan menurunkan kesenjangan antar wilayah, melalui transfer antar wilayah (DAU, DAK, dan dana bagi hasil). Darsono dkk, (2008) menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, khususnya agroindustri. Penelitian ini menguji efektifitas kebijakan fiskal pada sektor pertanian, dengan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
333
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
menekankan pada agroindustri di Indonesia, dengan menggunakan model Vector Autoregresive (VAR). Hasil analisis menunjukkan bahwa instrumen kebijakan fiskal yang mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri dalam jangka panjang adalah anggaran sektor pertanian, penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur dan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal juga secara efektif meningkatkan kinerja sektor pertanian dan agroindustri di Indonesia. Hasil penelitian Azis (2009), dengan mengambil kasus pada beberapa daerah, menyimpulkan bahwa pemimpin lokal sangat menentukan hasil dari kebijakan desentralisasi fiskal dan meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat. Manfaat dari desentralisasi fiskal akan sangat tergantung pada akuntabilitas lokal dan seting kelembagaan yang tepat. Dengan demikian maka direkomendasikan bahwa reformasi kelembagaan sangat diperlukan. Armas, et.al. (2010) melakukan analisis time series terhadap pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian di Indonesia, dari tahun 1976-2006, dan menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan GDP per kapita sektor pertanian. Namun ketika pengeluaran pemerintah dipisahkan antara pengeluaran untuk barang publik, seperti infrastruktur irigasi dan subsidi barang private seperti pupuk dan benih, dihasilkan bahwa pengeluaran untuk barang publik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan GDP perkapita sektor pertanian, sebaliknya pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk dan benih, justru berpengaruh negatif. Dengan demikian Armas menyarankan untuk melakukan realokasi pengeluaran pemerintah dari subsidi barang private ke subsidi barang publik. Beberapa penelitian di atas menunjukkan adanya dampak positif pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian. Namun ketika anggaran pemerintah dipilah berdasarkan pengeluaran pemerintah pusat yang direpresentasikan dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pertanian dan pengeluaran pemerintah daerah (APBD) pada sektor pertanian, menunjukkan bahwa dampak pengeluaran pemerintah pusat lebih besar dibandingkan dengan dampak pengeluaran pemerintah daerah baik terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja maupun pengentasan kemiskinan. Indikator ini terlihat dari besaran elastisitas (perubahan relatif) pengeluaran pemerintah maupun dari nilai parameter regresi yang menunjukkan multiplier effek pengeluaran pemerintah. Hasil ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah pusat pada sektor pertanian lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja serta pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan pengeluaran sektor pertanian dari pemerintah daerah. Padahal pada sisi lain secara absolut alokasi pengeluaan pertanian daerah secara komulatif jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi dari pemerintah pusat. Bila dilihat secara hitam putih, hasil ini menunjukkan bahwa dekonsetrasi sektor pertanian justru menyebabkan efektivitas dan efisiensi anggaran pembangunan pertanian menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pengelolaan terpusat. Perbedaan tingkat efektivitas dana dekonsentrasi dan APBD pertanian yang cukup besar menunjukkan bahwa program pembangunan pertanian daerah belum padu atau terintegrasi dengan baik. Bila program pembangunan pertanian pusat dan
334
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
daerah sudah terintegrasi dengan baik, maka nilai multiplier kedua sumber pembiayaan pembangunan mestinya tidak berbeda terlalu besar. Pada sisi lain, rendahnya efektivitas anggaran pertanian daerah ini juga menunjukkan bahwa alokasi anggaran pembangunan pertanian di daerah belum didasarkan pada prioritasi pembangunan yang merupakan titik ungkit yang mampu menciptakan nilai tambah secara signifikan. Belum adanya blueprint pembangunan pertanian yang terintegrasi antara program pusat dan daerah yang menjadi acuan bersama dalam perumusan program pembangunan juga turut memiliki andil rendahnya efektivitas anggaran pemerintah tersebut. Lebih jauh barangkali perlu dipertanyakan apakah masingmasing pemerintah daerah telah mempunyai rancangan pembangunan pertanian jangka pendek, menengah, dan panjang berdasarkan pada potensi sumber daya dan permasalahan yang dihadapinya. Bila jawabannya belum, maka fenomena rendahnya efektivitas anggaran APBD ini dikhawatirkan akan terus berlanjut. Pada sisi lain, meskipun secara statistik alokasi dana dekonsentrasi lebih efisien, namun dalam tataran operasional koordinasi, monitoring dan evaluasi program menjadi lebih sulit dilakukan dengan keterbatasan kewenangan pemerintah pusat. Keterbatasan kewenangan pemerintah pusat (karena otonomi daerah) dalam melaksanakan program pembangunan juga membuat rencana program pembangunan pertanian nasional tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik. Pada sisi lain, alokasi anggaran dekonsentrasi juga terbatas. Disamping karena dalam kerangka otonomi daerah, sumber pendanaan pembangunan sektoral sudah berada dalam kewenangan pemerintah daerah, dana dekonsentrasi juga tidak bisa terus ditingkatkan. Terlebih ada kencederungan kebijakan nasional untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan dan mengelola anggaran di daerah, sehingga arah kebijakan alokasi anggaran pusat yang saat ini dilakukan melalui dana dekonsentrasi, secara bertahap dikurangi dan dialihkan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK). Apabila kebijakan ini dilaksanakan, maka peranan pemerintah pusat terhadap implementasi program pembangunan pertanian di daerah akan semakin kecil. Mekanisme dana dekonsentrasi, masih memungkinkan pemerintah pusat mengawal sampai pada peruntukan program/kegiatan secara detail, dan memberikan ramburambu dalam bentuk petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, dan monitoring capaian dan alokasi anggarannya. Sementara apabila melalui mekanisme DAK, pengelolaan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Arahan implementasi dari pemerintah pusat hanya bisa dilakukan sangat terbatas pada garis besar program dan pemanfaatan anggarannya. Rumusan dan implementasi program sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah, sementara pemerintah pusat melakukan fungsi koordinasi, dan monitoring dan evaluasi. Kewenangan Pemerintah pusat terbatas pada kebijakan nasional seperti subsidi pupuk dan benih, kebijakan harga dan perdagangan, penelitian dan pengembangan, penjaminan pinjaman, asuransi pertanian, dan pembangunan infrastruktur pada tingkatan tertentu, seperti waduk dan bendungan, dan sejenisnya yang lintas sektor dan lintas daerah. Dalam kondisi sinergi program pusat dan daerah
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
335
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
yang belum terjalin dengan baik, belum adanya kesamaan pandangan terhadap arah pembangunan pertanian antar pusat dan daerah ataupun keterkaitan antar daerah maka bila peran pemerintah pusat semakin berkurang dikhawatirkan target-target pembangunan nasional, seperti pencapaian ketahanan pangan, swasembada pada beberapa komoditas utama, kebijakan distribusi komoditas, dan perdagangan akan semakin sulit tercapai. Reformasi kebijakan pengelolaan pembangunan pertanian dari tersentralisasi menjadi terdesentralisasi saat ini dapat dipandang belum tuntas, karena menimbulkan permasalahan lain berupa koordinasi dan sinkronisasi program pusat dan derah yang tidak berjalan dengan baik. Masalah rendahnya efektivitas anggaran pembangunan pertanian menjadi hal lain lagi yang perlu dicarikan jalan keluar. Reformasi ini perlu dilanjutkan dengan berbagai hal yang cukup fundamental dan strategis, namun tetap dalam koridor kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Pilihannya adalah dengan tetap dikelola bersama antara pemerintah pusat dan daerah atau sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Penulis tidak berpretensi untuk menyerahkan sepenuhnya urusan pertanian kepada pemerintah daerah, pembangunan pertanian menjadi tidak padu antar daerah. Disamping itu, nilai strategis sektor pertanian terhadap pembangunan nasional, ketahanan pangan, dan juga stabilitas nasional sangat penting dan akan sangat rentan bila semua urusan tersebut diserahkan kepada daerah.
AGENDA REFORMASI Agenda reformasi kebijakan pembangunan pertanian perlu dilakukan secara mendasar pada tataran konsepsi peletakan pembangunan pertanian dalam pengelolaan pemerintahan dan juga pada tataran operasional. 1.
336
Pada tataran konsepsi politik pembangunan pertanian, perlu reposisi pengelolaan pembangunan pertanian dalam kerangka otonomi daerah. Posisi sebagai urusan pilihan saat ini menyebabkan ketidak jelasan dan tumpang tindih peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pemilahan tanggung jawab dan kewenangan secara jelas antara pusat dan daerah akan lebih memudahkan penyusunan dan pelaksanaan program. Untuk itu diperlukan penegasan posisi pembangunan pertanian dalam konsepsi Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Momentum revisi UU No 33 dan 34 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah dapat digunakan untuk meninjau kembali posisi sektor pertanian dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kejelasan posisi strategis sektor pertanian dapat dinyatakan secara lebih jelas, menyangkut kewenangan terkait kebijakan dan program strategis dan kebijakan spesifik lokasi. Sebagai alternatif, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya setempat dan pengembangan komoditas spesifik lokasi. Sementara urusan strategis terkait dengan ketahanan pangan, menjadi urusan pemerintah pusat.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Disamping itu, perlu penegasan dalam UU terkait dengan peran dan kewenangan pemerintah provinsi yang lebih besar dan efektif dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan pertanian bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayahnya. 2.
Perlu pemilahan yang rinci dan operasional urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Hal-hal yang menyangkut ketahanan pangan, komoditas strategis dan invetasi skala luas sebaiknya menjadi kewenangan pusat. Sementara pemerintah daerah harus mendukung program program pembangunan pertanian nasional yang ditetapkan dan mengelola dengan lebih baik lagi potensi spesifik yang dimiliki pada masing-masing daerah. Hal ini dapat dituangkan dalam Peraturan Pemerintah yang mengoperasionalkan UU terkait otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
3.
Saat ini Kementerian Pertanian telah menyusun Konsep dan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045, yang merupakan kesinambungan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kerangka konsepsi SIPP mengusung arah pembangunan pertanian pada tataran nasional Pembangunan Ekonomi berdasarkan Paradigma Pertanian untuk Pembangunan; dan pada tataran sektoral Pembangunan Sistem PertanianBioindustri Berkelanjutan berdasarkan paradigma biokultura. Pada tataran konsep, SIPP ini perlu diletakan dan konstelasi pembangunan nasional dan juga pengelolaan pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga perlu dokumen operasionalisasi yang lebih rinci implementasinya dalam program dan kegiatan pembangunan pertanian pusat dan daerah.
4.
Selain itu, perubahan mendasar terkait dengan pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan adalah dengan melihat konteks pembangunan pertanian dalam kerangka pemanfaatan sumber daya pertanian secara menyeluruh. Sejalan dengan konsep SIPP, dengan semakin terbatasnya sumber daya pertanian yang ada menuntut optimalisasi pemanfaatan sumber daya dilakukan secara holistik. Hal ini membawa konsekuensi pada pendekatan program yang mendasarkan pada komoditas per komoditas menjadi kurang relevan. Pendekatan pembangunan pertanian harus melihat pertanian sebagai suatu sistem yang saling mengkait. Implikasi hal ini dapat menjadi luas terkait dengan pengelolaan pembangunan dan struktur organisasi Kementerian Pertanian, dari berbasis komoditas menjadi berbasis sistem pertanian. Untuk itu hal ini diperlukan kajian lebih lanjut secara mendalam.
5.
Pemerintah pusat dan daerah bersama harus mampu menyusun masterplan dan roadmap pembangunan pertanian nasional dan daerah, yang harus menjadi pedoman pelaksanaan pembangunan pertanian. Dalam penyusunan masterplan pusat dan daerah inilah dijadikan ruang untuk mensinkronkan target-target dan fokus pembangunan pertanian. Dengan demikian seluruh program pembangunan terencana dengan baik dalam tahapan yang jelas selama periode waktu tertentu yang telah digariskan.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
337
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
6.
Pada tataran operasional pengelolaan anggaran pemerintah, perlu upaya peningkatan efektivitas anggaran baik pemerintah pusat maupun daerah hanya dapat dilakukan bila terjadi sinergi dalam perencanaan dan implementasi program antara pusat dan daerah. Untuk itu perlu ada blueprint dan milestone yang jelas dan terpadu antara program pembangunan pertanian nasional dan daerah sebagai acuan perumusan dan pelaksanaan program. Dengan kata lain, pemerintah pusat perlu mempunyai program pembangunan jangka panjang dan menengah yang jelas. Demikian halnya dengan pemerintah daerah, sehingga terjadi keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih. Hal ini perlu dilaksanakan dalam waktu dekat. Momentum awal rencana pembangunan lima tahun 2015-2019 merupakan waktu yang tepat untuk melakukan sinkronisasi program pembangunan secara nasional antara pusat dan daerah.
PENUTUP Pilihan pengelolaan kebijakan pembangunan pertanian dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi perlu dilakukan secara tegas dan tuntas. Aspek ketegasan perlu dinyatakan terkait posisi urusan-urusan pertanian yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat dan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Aspek tuntas, menyangkut ketersediaan semua instrumen yang menjamin implementasi kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dari tingkat pusat dan daerah. Hanya dengan demikian pembangunan pertanian dapat dilaksanakan secara efektif untuk mencapai pertanian yang kuat mendukung kemandirian pangan dan energi nasional.
DAFTAR PUSTAKA Akai, N. and M. Sakata. 2002. Fiscal Decentraliztion Countributes to Economic Growth: Evidence from State-Level Cross-Section Data for the United States. Journal of Urban Economics, 52:93-108. Akai, N. Y. Mishimura, and M. Sakata. 2004. Fiscal Decentralization, Economic Growth and Economic Volatility – Theory and Evidence from State-Level CrossSection Data for the United State. Discussion paper Series No 03-F-2, The Centre for International Trade Studies, Faculty of Economic, Yokohama National University, Yokohama. Armas, E.B., C.G. Osirio, and B.M. Dodson. 2010. Agriculture Public Spending and Growth: The Example of Indonesia. Economic Premise No 9, Poverty Reduction and Economic Management Network (PREM), The World Bank, Washington D.C.
338
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Aziz, I.J. 2009. Why Decentralization Fiscal Failed: The Role of Institutional Factor. IRSA Book Series on Regional Development Number 7. Cornel University, New Jersey. Bahl, R.W. 2002. Fiscal Decentralization in Indonesia: The First Year in Riview and the Challenges Ahead. Center for Institutional Reform and the Informal Sector (IRIS), University of Maryland, College Park. Bjornestad, L. 2009. Fiscal Decentralization, Fiscal Incentives, and Pro-Poor Outcomes: Evidence from Viet Nam. ADB Economics Working Paper Series No. 168, Asian Development Bank, Metro Manila. Breuss, F. and M. Eller. 2004. Fiscal Decentralization and Economic Growth: Is There Really Link? Journal for Institutional Comparisons, 2(1): 3-9. Brodjonegoro, B.P.S. 2003. The Interregional Impact of Fiscal Decentralization in Indonesia: Interregional Social Accounting Matrix Model. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 4(1):75-100. Darsono, M. Tambunan, H. Siregar, dan D.S. Priyarsono. 2008. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan Agroindustri di Indonesia. Forum Pascasarjana, 31(3): 201-214. Davoodi, H. and H. Zou. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: A CrossCountry Study. Journal of Urban Economics, 43: 244–257. Desai, R.M., L.M. Freinkman, I. Goldberg. 2003. Fiscal Federalism and Regional Growth: Evidence from the Russian Federation in the 1990s. World Bank Policy Research, Working Paper 3138. Gorodnichenko, 2001. Effects of Intergovernmental Aid on Fiscal Behavior of Local Governments: The Case of Ukraine. Thesis, Economics Education and Research Consortium, The National University of Kyiv-Mohyla Academy, Ukraina. Harry X. Wu. 1997. Reform in China’s Agriculture: Trade Implications. Briefing Paper Series No 9. Departement of Foreign Affairs and Trade Australia. Huther, J. and A. Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization. Working paper No. 1894, The World Bank Policy Research, Washington, DC. Iimi, A. 2005. Decentralization and Economic Growth Revisited: An Empirical Note. Journal of Urban Economic, 57: 449-460. Ismail, A.G., Hamzah, M.Z., dan J.T. Ritonga. 2004. Fiscal Decentralization and Economic Growth: Evidence From Selected Muslim Countries. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 9(2):109-116. Jin, H., Qian, Y., and Weingast, B.R. 2000. Regional Decentralization and Fiscal Incentives: Federalism, Chinese Style. The Center for Research on Economic Development and Policy Reform at Stanford University, England.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
339
Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian
Jametti, M. and M. Joanis. 2010. Determinants of Fiscal Decentralization: Political Economy Aspects. Institut d’Economia de Barcelona, Barcelona. Kementerian Keuangan. 2012. Nota Keuangan Republik Indonesia, 2011, Kementerian Keuangan, Jakarta. Lin, J.Y. and Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change, 49:1-21. Mello Jr., L.R.D. dan M. Barenstrein. 2001, Fiscal Decentralization and Governance: A Cross-Country Analysis, Working Paper, International Monetary Fund, Washington DC. Oates, W. E. 1999. An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic Literature, 27:1120-1149. ___________. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development. National Tax Journal, 45(2):237-243. Ramayandi, A. 2003. Economic Growh and Government Size in Indonesia: Some Lessons for The Local Authorities. Working Paper in Economis and Development Studies, Departement of Economics, Padjajaran University, Bandung. Rao, M. Govinda, 2000. Fiscal Decentraliztion in Viet Nam: Emerging Issues. Hitotsubashi Journal of Economics, 41:163-177. Tarigan, M.S. 2003. Fiscal Decentralization and Economic Development: A CrossCountry Empirical Study. Forum of International Development Studies, 24, Agustus, 2003. Wolter, G.M. and K. Phillips. 1998. Fiscal Decentralization and LDC Economic Growth: An Empirical Investigation. Journal of Development Studies, 34(4):139148. Xie, D., H. Zou, and H. Davoodi. 1999. Fiscal Decentralization and Economic Growth in the United State. Journal of Urban Economics, 45: 228-239. Zhang, T. and H. Zou. 1998. Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China. Journal of Public Economics, 67:221-240.
340
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian