LAPORAN AKHIR TA. 2015
PSEKP/2015 1803.009.001.011C
KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BIOENERGI DI SEKTOR PERTANIAN (LANJUTAN)
Oleh: Adang Agustian Supena Friyatno Gatoet Sroe Hardono Andi Askin Endro Gunawan
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang (1)
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pengembangan wilayah, dan pembangunan, kebutuhan akan pemenuhan energi listrik dan bahan bakar secara nasional semakin besar. Selama ini kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh sumber daya tak terbaharukan seperti minyak bumi dan batu bara. Namun tidak selamanya energi tersebut bisa mencukupi seluruh kebutuhan manusia dalam jangka panjang mengingat cadangan energi yang semakin lama semakin menipis dan juga proses pembentukannya yang membutuhkan waktu jutaan tahun. Kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengembangkan penggunaan energi alternatif.
(2)
Pada sektor pertanian, upaya peningkatan pengembangan bioenergi menjadi salah satu arah dalam menumbuhkembangkan bioindustri di suatu kawasan berdasarkan konsep biorefinery terpadu dengan sistem pertanian agroekologi pemasok bahan bakunya, sehingga terbentuk sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan. Sesuai dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045, disebutkan bahwa bahan fosil diperkirakan akan semakin langka, mahal dan akan habis di awal abad 22, sehingga perekonomian negara harus ditransformasikan dari yang selama ini berbasis sumber energi berbahan baku fosil menjadi berbasis bahan hayati.
(3)
Sesuai Inpres No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN sebagai Bahan Bakar lain, Kementerian Pertanian memiliki tugas yaitu: (a) penyediaan tanaman bahan baku Bahan Bakar Nabati (BBN); (b) penyuluhan pengembangan tanaman untuk BBN; (c) penyediaan benih dan bibit tanaman BBN; dan (d) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman BBN. Terkait dengan Kebijakan penyediaan Bahan Baku Bioenergi, Kementerian Pertanian telah melakukan: Pengembangan/ intensifikasi komoditas bahan baku bionenergi yang sudah ditanam secara luas yaitu: kelapa sawit, kelapa, tebu, ubi kayu, dan sagu; melakukan pengkajian dan pengembangan komoditas potensial penghasil bioenergi: jarak pagar, kemiri sunan, nyamplung, dan aren; pemanfaatan biomassa limbah pertanian; dan pengembagan biogas dari kotoran ternak. Berbagai teknologi biofuel berbasis kelapa sawit telah siap untuk dikembangkan pada skala industri, sedangkan untuk Bioetanol masih memerlukan penyempurnaan untuk bisa dikembangkan pada skala industri. Pengembangan bioenergi perdesaan Biogas telah dilaksanakan dengan pemanfaatan biomass limbah ternak.
(4)
Pengembangan sumber energi alternatif telah berkembang di negara-negara Eropah yang bersumber dari tanaman tebu (molase), jagung dan ubikayu, biogas dan sebagainya. Di Indonesia, pengembangan bionergi masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menganalisis kebijakan pengembangan yang ada saat ini; menganalisis permasalahan, kendala dan peluang pengembangan bioenergi; menganalisis berbagai faktor teknis, sosial xiii
ekonomi yang mendukung pengembangan bioenergi; dan menganalisis kelembagaan pengembangan bionergi di sektor pertanian. Tujuan Penelitian (5)
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pengembangan bionergi disektor pertanian yang telah dilakukan pemerintah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (a) Melakukan tinjauan kebijakan pengembangan bionergi di sektor pertanian; (b) Menganalisis permasalahan, kendala dan peluang pengembangan bionergi di sektor pertanian; (c) Menganalisis berbagai faktor teknis, sosial dan ekonomi yang mendukung pengembangan bioenergi di sektor pertanian; (d) Menganalisis kelembagaan pengembangan bioenergi di sektor pertanian; dan (e) Merumuskan alternatif saran kebijakan pengembangan bioenergi di sektor pertanian. Metodologi
(6)
Lokasi penelitian yang dipilih merupakan lokasi yang merupakan sentra produksi komoditas kelapa sawit, tebu dan biogas serta sudah terdapat pengembangan pengolahan menjadi bioenergi. Untuk mengkaji pengembangan bionergi yang berbahan baku dari kelapa sawit (biodiesel dari sawit dan biogas dari limbah industri CPO atau POME) dilakukan di Provinsi Riau, dan untuk bionergi yang berbahan baku dari tebu dilakukan di Provinsi Jawa Timur. Adapun untuk mengkaji biogas dari kotoran ternak dan limbah industri pertanian dilakukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
(7)
Responden yang dijadikan sampel penelitian adalah: (1) petani dan perusahaan yang mengusahakan kelapa sawit, tebu dan peternak sapi, (2) kelompok tani kelapa sawit dan tebu, (3) industri pengolahan biodiesel kelapa sawit, (4) industri pengolahan bioetanol berbasis tanaman tebu, dan (5) pengolahan biogas dari kotoran ternak, limbah industri pengolahan CPO dan limbah industri hasil pertanian (limbah tahu). Responden lainnya adalah: (1) Pengguna biodiesel dan bioetanol; (2) Instansi yang terkait dengan pengembangan kelapa sawit, tebu dan ternak, serta instansi terkait pengembangan bioenergi berbahan baku dari sektor pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupaten lokasi penelitian.
(8)
Untuk menjawab tujuan tinjauan kebijakan pengembangan bioenergi di sektor pertanian dilakukan dengan menganalisis kebijakan pengembangan bioenergi yang berbahan baku kelapa sawit, tetes tebu dan biogas (berbahan baku kotoran ternak/limbah industri pertanian dan limbah industri CPO atau POME). Analisis untuk kebijakan pengembangan ini dilakukan secara deskriptif kualitatif. Untuk analisis permasalahan, kendala dan peluang pengembangan bionergi di sektor pertanian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Hal yang sama untuk analisis faktor- faktor teknis, sosial dan ekonomi yang mendukung pengembangan bioenergi di sektor pertanian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Selanjutnya untuk analisis sistem kelembagaan pengembangan bioenergi dilakukan secara kualitatif. Hasil analisis yang diperoleh selanjutnya diformulasikan dalam bentuk rumusan alternatif saran kebijakan pengembangan bionergi di sektor pertanian. xiv
HASIL PENELITIAN Kebijakan dan Implementasi Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (9)
Energi mengalami masalah besar yang sampai saat ini belum teratasi, yang berdampak terhadap lajunya pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran bangsa. Saat ini pengguna energi nasional hampir separuhnya menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Target pada tahun 2025 peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Khusus untuk biodiesel, pemerintah terus meningkatkan mandatori biodiesel dari 10% menjadi 15% dan 20% untuk menghemat devisa impor solar dan mengerek harga minyak sawit mentah (CPO). Untuk mendukung tercapainya target pemanfaatan BBN, pemerintah telah membentuk Tim Pelaksana Pengawasan Mandatori Pemanfaatan Biodiesel yang beranggotakan stakeholder dari berbagai instansi.
(10) Secara umum bahwa implementasi kebijakan pengembangan bioenergi masih perlu terus ditingkatkan. Secara khusus untuk mengimplementasikan pengembangan biodiesel, salah satu bahan baku nabati yang saat ini sudah siap dan potensial dikembangkan adalah Kelapa Sawit. Kelapa Sawit diproses menjadi CPO, yang selanjutnya dari CPO tersebut di proses menjadi biodiesel. Adapun proses pengolahan CPO menghasilkan limbah yang disebut dengan POME, dan POME dapat diproses menjadi biogas yang selanjutnya dapat menggerakan generator untuk pembangkit listrik. Implementasi pengembangannya telah dilakukan kerjasama antara Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Industri Pengolahan CPO, Pemerintah daerah, instansi terkait dan pihak swasta dalam rangka diversifikasi sumber energi baru terbarukan. (11) Industri biodiesel merupakan industri hilir minyak sawit yang masih tergolong baru di Indonesia. Saat ini, kapasitas industri biodiesel Indonesia masih dibawah target mandatory sesuai Road Map Kebijakan Pengembangan Biodiesel. Industri biodiesel terbesar di Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Indonesia sebagai produksi CPO terbesar di dunia, sehingga akan mampu menjadi produsen biofuel terbesar dunia. (12) Limbah dari Pabrik Pengolahan kelapa Sawit (PKS) adalah limbah cair atau disebut Palm Oil Mill Effluent (POME). Setiap ton TBS yang diolah akan terbentuk sekitar 0,6 hingga 1 m3 POME. POME adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka dan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas rumah kaca. (13) Indonesia memiliki lebih dari 600 pabrik kelapa sawit yang berpotensi menghasilkan sampai dengan 1.000 MW listrik jika semua pabrik tersebut memanfaatkan gas metana yang dikeluarkan dan mengolahnya menjadi listrik. Saat ini masih sedikit pabrik minyak sawit yang berinvestasi untuk listrik dari xv
POME karena kurang memahami proses penjualan listrik yang dapat dihasilkan, dibandingkan dengan keuntungan yang cepat diperoleh dari perkebunan dan pengolahan sawit. (14) Saat ini Pemerintah telah menyediakan regulasi dan insentif yang cukup agar energi terbarukan dapat berkembang secara cepat, antara lain termasuk feed in tariff (FIT). Bisnis Pembangkit Listrik tenaga Biogas (PLTB) POME dengan regulasi baru diharapkan menjadi lebih menguntungkan. Kelebihan PLTB berbasis limbah cair sawit antara lain siap beroperasi secara stabil selama 24 jam tidak dipengaruhi faktor cuaca, ramah lingkungan serta listrik yang dihasilkan relatif murah dibandingkan dengan pembangkit listrik berbasis BBM (genset diesel atau PLTD). (15) Untuk pengembangan biogas, terdapat dukungan bahan baku yang potensial pengembangannya di Jawa Barat dan Jawa Timur, yaitu: (a) potensi limbah ternak ternak sapi dengan sumber dari populasi ternak sapi yang cukup besar , (b) potensi limbah industri pertanian (industri tahu) khususnya di Sumedang Jawa Barat juga cukup tinggi. Sistim produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti: (a) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c) sebagai pupuk organik, dan (d) produksi daya dan panas. (16) Implementasi program pengembangan biogas di Jawa Barat selama kurun waktu 2006-2014 telah dilaksanakan di 14 kabupaten/kota dengan jumlah mencapai 2.125 unit digseter. Program pengembangan terbesar terdapat di Kabupaten Bandung, kemudian disusul di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung Barat dan kabupaten Tasikmalaya. Sementara pengembangan biogas di Jawa Timur mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 mencapai 6.947 unit digester, yang tersebar merata di seluruh Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. (17) Pengembangan bioetanol dengan bahan baku tetes tebu di Indonesia cukup potensial, mengingat Indonesia sebagai salah satu penghasil tebu yang cukup besar. Namun, pengembangan bioetanol berbahan baku terbatas dilakukan oleh perusahaan swasta baik seperti halnya di Jawa Timur. Produksi bioetanol saat ini juga masih dibawah target mandatory. Potensi bioetanol yang dapat dihasilkan dengan potensi produksi yang ada adalah sekitar 75,75 ribu ton di Jawa Timur dan 157,93 ribu ton di Indonesia. Pengembangan bioetanol di Indonesia masih terkesan jalan di tempat karena belum tepatnya penentuan harga antar instansi pemerintah. Hal ini membuat para pengusaha enggan mengembangkan etanol. Permasalahan, Kendala dan Peluang Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (18) Berbagai faktor yang masih menjadi kendala dari aspek teknis dalam hal pemanfaatan sawit menjadi biodiesel, antara lain: (a) Terjadi trade-off pemanfaatan CPO sebagai bahan baku untuk bioenergi dan sebagai bahan baku untuk minyak goreng dan ekspor CPO; (b) Saat ini perluasan lahan untuk xvi
kelapa sawit juga semakin terbatas jumlahnya; dan (c) Teknis produksi biodiesel masih dilakukan oleh perusahaan swasta besar, yang memiliki teknologi pengolahan memadai, dan dalam rangka penyalurannya dengan pelibatan PT Pertamina saat ini kerjasama pengembangan masih belum berjalan dengan baik. (19) Secara umum permasalahan yang dihadapi dari aspek sosial ekonomi adalah lebih karena political will dan konsistensi kebijakan energi nasional. Selain itu, dalam pengembangan bahan bakar nabati, masih juga masih terdapat sejumlah permasalahan sosial ekonomi dan kebijakan yang dihadapi antara lain: (a) Harga CPO berfluktuasi sesuai pasaran internasional; (b) Kapasitas produksi biofuel Indonesia pada tahun mendatang akan semakin tinggi, sementara kesiapan pasar dan jaminan bahan baku sesuai target belum tercapai; (c) Belum utuhnya keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan bioenergi khususnya biodiesel berbahan baku sawit dengan instrumen kebijakan yang tepat. (20) Adapun peluang pengembangan pemanfaatan CPO sawit menjadi bioenergi secara teknis, antara lain didukung oleh: (a) Pada saat ini potensi produksi sawit masih tinggi, sementara kapasitas terpasang pabrik biodiesel dengan kebutuhan CPOnya sekitar 11% dari produksi CPO nasional; dan (b) Peluang potensi peningkatan produksi sawit cukup besar karena didukung dengan perbaikan teknis budidaya, dan pengolahan menjadi CPO didukung dengan semakin berkembangnya PKS. (21) Sementara peluang pengembangan CPO menjadi bahan baku biodiesel, dari sisi aspek sosial ekonomi cukup baik dengan alasan: (a) Prospek pengembangan sawit masih tinggi, seiring dengan permintaan CPO yang tinggi; (b) Permintaan biodiesel sebagai bahan campuran solar semakin tinggi; (c) Pengembangan biodiesel berbahan baku CPO akan meningkatkan penyerapan lapangan kerja pada industri hulu maupun hilirnya; dan (d) Berpeluang untuk meningkatkan pendapatan petani pada kegiatan usahatani sawit dan pengolahan CPO menjadi biodiesel. (22) Permasalahan dan kendala pengembangan pemanfaatan limbah POME sebagai sumber energi listrik dari aspek teknis adalah : (a) Memerlukan teknologi yang cukup tinggi; dan (b) Karena lokasi PKS biasanya menyebar dan berada di wilayah remote area, sehingga untuk mengalirkan listrik ke pemukiman memerlukan instalasi jaringan yang rumit dan mahal. (23) Permasalahan dan kendala pengembangan pemanfaatan limbah POME dari aspek sosial ekonomi yang dihadapi adalah: (a) memerlukan investasi yang cukup besar, untuk 1 MW memerlukan investasi sekitar Rp 30 milyar, (b) pemanfaatannya memerlukan kerjasama yang baik dengan pihak PKS, dan (c) Terkait dengan regulasi atau legislasi masih harus bersinergi untuk pengembangan bioenergi dengan bahan baku POME. (24) Adapun peluang pengembangan POME dari limbah industri CPO sebagai bahan baku biogas, dari sisi aspek teknis cukup baik dengan alasan: (a) Potensi CPO masih cukup besar dan POME yang dihasilkan juga besar yang belum optimal xvii
pemanfaatannya; (b) Teknologi pengolahan CPO menjadi biodiesel tersedia dengan baik di dalam negeri; dan (c) Teknologi pengolahan POME menjadi biogas cukup tersedia. Sementara peluang pengembangan pemanfaatan POME untuk biogas dari aspek sosial ekonomi adalah: (a) Masih terbatasnya rasio elektrifikasi dan masih banyaknya kebutuhan atau permintaan energi bagi masyarakat, dan (d) Semangat era otonomi daerah, sebagai peluang pemanfaatan POME pada provinsi yang memiliki potensi sawit dan pengolahannya yang dapat mendukung perolehan pendapatan daerah. (25) Permasalahan dan kendala dalam pengembangan tebu dan tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol di lokasi penelitian Provinsi Jawa Timur antara lain: (a) Tingkat rendemen yang ditetapkan oleh Pabrik Gula (PG) rendah, yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan usahatani tebu; (b) penyebaran bibit unggul seringkali belum merata; (c) Terdapat persaingan penggunaan lahan usahatani; (d) Sistem usahatani tebu belum optimal dan tingkat produktivitas tebu masih rendah; (e) Pengolahan tetes tebu/molases menjadi bioetanol masih terbatas dan dilakukan oleh industri skala besar; dan (f) Kapasitas produksi riil bioetanol masih dibawah kapasitas terpasang. (26) Adapun masalah dan kendala dari aspek sosial ekonomi dalam usahatani tebu dapat mencakup: (a) permodalan petani terbatas; (b) Biaya usahatani tebu cenderung mahal; (c) ketersediaan tenaga kerja pada beberapa sentra produksi yang semakin terbatas, dan upah tenaga kerja semakin meningkat; (d) harga gula hasil lelang yang cenderung berfluktuasi; (e) Kelembagaan/kemitraan terutama dalam pemasaran hasil dari petani tebu ke PG belum menguntungkan kedua belah pihak; dan (f) Sistem pemasaran tebu cukup terbatas, yaitu ke PG terdekat. Adapun kendala sosial ekonomi pengolahan tebu menjadi bioetanol adalah: (a) Harga gula berfluktuasi, namun harga tetes tebu masih kompetitif untuk produksi bioetanol; (b) PT Pertamina belum secara konsisten menyerap bioetanol yang dihasilkan industri; (c) Belum sinkronnya kebijakan pengembangan bioetanol dengan kebijakan energi secara umum; (d) Biaya produksi bioetanol masih cukup tinggi; (e) Persaingan dalam penggunaan molases/tetes tebu dalam memenuhi permintaan ekspor dan industri bioetanol dalam negeri. (27) Peluang pengembangan bioetanol dari sisi aspek teknis cukup baik dengan alasan: (a) Masih tersedianya bahan baku tetes tebu yang dihasilkan oleh beberapa PG, dan (b) Teknologi pengolahan tetes tebu menjadi bioetanol tersedia di dalam negeri. Adapun peluang pengembangan dari aspek sosial ekonomi, adalah: (a) Karena potensi molases di Jawa Timur cukup besar, sehingga sangat memungkinkan untuk memenuhi permintaan bahan baku molases untuk industri bioetanol; (b) Permintaan bioetanol masih cukup tinggi dipasar luas; dan (c) Kebijakan pemerintah dalam jangka panjang untuk pengembangan bioetanol cukup mendukung dan disinkronkan dengan kebijakan energi secara umum. (28) Untuk pengembangan biogas (bahan baku dari kotoran ternak sapi perah) di Jawa Barat dan Jawa Timur, terdapat beberapa kendala dari aspek teknis yang dihadapi yaitu: (a) ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku, terlebih pada xviii
saat harga daging sapi naik, banyak ternak sapi dijual peternak, (b) harga jual susu sapi perah yang kurang kondusif juga akan mendorong peternak kurang memotivasi memelihara ternak sapi perah, (c) kemudahan penanganan kotoran ternak, dimana setting awal kandang tidak dirancang dengan bangunan digester biogas, (d) keterbatasan lahan disekitar kandang untuk pembangunan digester, (e) belum adanya teknologi pengemasan biogas sehingga lebih mudah untuk dibawa dan didistribusikan kepada pengguna biogas, dan (f) belum adanya upaya pemerintah untuk mengembangkan digester biogas secara komunal yang merupakan himpunan peternak menampung kotoran ternak dan membangun digester biogas dalam skala besar. (29) Adapun beberapa kendala sosial ekonomi dalam pengembangan biogas, yaitu: (a) Lambatnya perkembangan produksi biogas karena nilai investasi digester yang dirasakan peternak cukup mahal; (b) Keberlangsungan produksi biogas tidak lama, yaitu tergantung dari populasi ternak yang dipelihara; (c) Kelembagaan pengelolaan biogas masih rendah; dan (d) Modal peternak yang terbatas, menyebabkan pengembangan biogas sulit meningkat. (30) Adapun peluang pengembangan biogas di Jawa Barat dan Jawa Timur juga cukup baik, dengan alasan teknis: (a) Terdapatnya usaha peternakan ternak besar terutama sapi perah, yang potensial kotorannya untuk bahan baku biogas; (b) Peran biogas yang signifikan dalam mensubtitusi penggunaan LPG bagi peternak (3-4 tabung/bulan); dan (d) Slurry dari biogas dapat digunakan sebagai pupuk yang siap pakai untuk tanaman hortikultura petani. Sementara peluang pengembangan secara sosial ekonomi juga cukup baik, dengan alasan: (a) Mudahnya pembangunan digester/reaktor biogas terutama melalui fasilitasi bantuan uang muka pembuatan digester atau bantuan lewat koperasi Koperasi Susu; dan (b) Slurry dari biogas dapat dijual yang bermanfaat dalam menambah pendapatan rumah tangga petani. Faktor Teknis dan Sosial Ekonomi dalam Mendukung Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (31) Terdapat beberapa faktor pendukung dari aspek teknis dalam pengembangan CPO sebagai bahan baku biodiesel adalah: (a) Perkebunan rakyat merupakan penopang utama produksi CPO nasional, dan kinerjanya meningkat dengan dukungan budidaya dan kebijakan pengembangan; (b) Dukungan dari aspek budidaya sawit antara lain dapat mencakup: dukungan ketersediaan bibit sawit, permodalan, panen dan pemasaran; dan (c) Teknologi pengolahan sawit menjadi CPO dan selanjutnya sebagian ada yang diproses menjadi biodiesel telah ada dan berkembang di Indonesia. (32) Faktor utama pengembangan biofuel di Indonesia dari aspek sosial ekonomi adalah political will dan konsistensi kebijakan energi nasional. Seharusnya subsidi BBM fosil secara perlahan dikurangi dan dialihkan untuk subsidi biofuel (untuk sementara). Selain itu, dukungan kebijakan harga dalam pemasaran TBS dari petani sawit, dan fasilitasi kerjasama petani sawit dan industri CPO yang menguntungkan kedua belah pihak. xix
(33) Untuk pengembangan biogas dari POME, terdapat beberapa faktor teknis yang mendukung pengembangannya seperti: ketersediaan POME dan ketersedian teknologi proses. Adapun faktor sosial ekonomi yang mendukung pengembangannya adalah: dukungan pemerintah daerah, kekompakan masyarakat desa dengan perangkat/pimpinan desa, dan pendampingan pihak swasta. (34) Adapun beberapa faktor baik sosial ekonomi maupun teknis yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan tebu untuk bahan baku bioetanol adalah: (a) Peningkatan peran penyuluhan, yaitu untuk mendukung tercapainya program pengembangan tebu; (b) Koordinasi instansi terkait agar lebih mempercepat pengembangan tebu sebagai bahan baku energi alternatif; (c) kebijakan yang kondusif, yaitu terciptanya iklim usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis tebu dan harga bioetanol; (d) Pembinaan yang berkesinambungan; dan (e) Peningkatan SDM petani, melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitasnya baik dalam kegiatan on farm maupun off farm. (35) Pada Pengembangan Biogas Berbasis Kotoran Hewan, terdapat beberapa faktor teknis yang mendukung keberhasilan pengembangan biogas, yaitu: (a) Siklus produksi sapi perah adalah lebih lama dibanding dengan sapi penggemukan; (b) Intensitas pemeliharaan ternak; (c) tingkat konsentrasi pemeliharaan ternak yang ada; (d) kemudahan penanganan kotoran ternak, terkait perencanaan kandang yang dekat bangunan biogas; (e) kondisi lahan disekitar kandang untuk pembangunan digister; dan (e) kemungkinan teknologi pengemasan biogas. Adapun pada pengembangan biogas dari limbah cair industri tahu, faktor teknis pendukung pengembangan antara lain: (a) Ketersediaan limbah cair industri tahu yang melimpah dan belum dimanfaatkan; (b) Secara teknis penanganan limbah cair untuk bahan baku biogas sangat mudah di kelola, sebelum layak buang ke saluran sungai; dan (c) Keberlanjutan pasokan bahan baku limbah cari industri tahu terjamin sepanjang tahun. (36) Pada pengembangan biogas (bahan baku dari kotoran ternak sapi perah) di Jawa Barat dan Jawa Timur, terdapat beberapa faktor sosial ekonomi yang dapat mendukung pengembangan biogas, yaitu: (a) Harga jual susu sapi perah yang memotivasi peternak dalam memelihara ternak sapi perah; (b) upaya pemerintah untuk mengembangkan digester biogas secara komunal; dan (c) organisasi kelembagaan pada kelompok peternak sapi perah lebih berfungsi dan solid, dalam mengembangkan pengolahan biogas. Sistem Kelembagaan Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (37) Pelaku pengembangan Kelapa Sawit antara lain pihak pemerintah, swasta, dan Perorangan (petani/kelompok tani). Pihak swasta telah melakukan pengembangan sawit secara intensif. Dalam konteks mendorong produksi bioenergi dari CPO Kelapa Sawit, hendaknya pemerintah juga dapat melakukan beberapa alternatif strategi sebagai bagian dari kebijakan pengembangan, yaitu: (a) Mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalam skala nasional; (b) Penelitian/kajian/percobaan mulai dari pengadaan bibit yang berkualitas, xx
pencarian dan perbaikan varietas dan plasma nuftah, identifikasi potensi yang pasti tentang produktivitas; (c) Mengidentifikasi kebutuhan CPO baik untuk bahan baku bioenergi maupun untuk pangan agar tidak terjadi trade off dalam pengembangannya; dan (d) Menerapkan kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif terhadap pengembangan bioenergi. (38) Kelembagaan pengelolaan biogas dari POME merupakan kelembagaan pengelolaan unit pengolahan limbah POME menjadi sumber energi listrik. Kelembagaan pngelolaan biogas yang menghasilkan listrik untuk bahan bakar kebutuhan industri, saat ini kelembagaan pengelolaannya dilakukan oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) itu sendiri yang merupakan bagian kegiatan dari proses pengolahan. Sementara kelembagaan pengelolaan biogas dari POME dimana energi listriknya digunakan oleh masyarakat seperti di lokasi penelitian Provinsi Riau yakni: (a) Kelembagaan pengolahan dan pengelolaannya hingga menjadi energi energi listrik dilakukan oleh lembaga yang telah terbentuk (misal BUMDes); dan (b) Masyarakat sebagai pengguna energi listrik adalah mitra yang memiliki mendapat energi listrik sesuai perjanjian saat pemasangan instalasi dan menunaikan kewajibannya sebagai konsumen listrik. (39) Kelembagaan yang diperlukan kedepan untuk mendukung berlanjutnya proses produksi bioetanol dari molases adalah: (a) produsen bioetanol dari molases saat ini hanya dilakukan oleh perusahaan yang cukup kapital dan teknologi, seperti PTPN, atau swasta; (b) Perlu adanya keterlibatan pemerintah untuk menjamin pasar bioetanol, dalam kerangka program energi nasional; (c) Kebijakan pengembangan bioetanol juga harus terkait dengan kebijakan energi lainnya. (40) Sistem kelembagaan pengembangan biogas berbasis kotoran hewan maupun limbah cair industri tahu pada dasarnya adalah sama. Pentingnya dibentuk kelembagaan, utamanya adalah untuk membagi tugas dan fungsi dalam pengelolaan biogas siapa mengerjakan apa, dan bagaimana aturan main penggunaan biogasnya dan apa hak dan kewajiban anggota kaitannya dalam penggunaan biogas. Hal yang paling krusial adalah: (a) Penanganan jika terjadi kerusakan sarana biogas; dan (b) Pemeliharaan alat digester dan rutinitas pengisian kotoran. IMPLIKASI KEBIJAKAN (41) Dalam rangka mendorong produksi bioenergi dari CPO, hendaknya pemerintah melakukan beberapa alternatif strategi sebagai bagian dari kebijakan pengembangan, yaitu: (a) Mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalam skala nasional; (b) Penelitian/kajian/percobaan mulai dari pengadaan bibit yang berkualitas, pencarian dan perbaikan varietas dan plasma nuftah, identifikasi potensi yang pasti tentang produktivitas; (c) Mengidentifikasi kebutuhan CPO baik untuk bahan baku bioenergi maupun untuk pangan agar tidak terjadi trade off dalam pengembangannya; dan (d) Menerapkan kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif pengembangan bioenergi. xxi
(42) Untuk pengembangan biogas, diperlukan kebijakan antara lain: (a) pengembangan biogas pada skala rumah tangga secara terkoordinasi antar instansi, (b) pengembangan biogas pada skala kelompok atau masal, dan (c) pengembangan biogas skala wilayah secara terintegratif dan berkesinambungan. (43) Dalam rangka pengembangan biogas dengan bahan baku dari kotoran ternak sapi yaitu diperlukan: (a) dukungan dan komitmen dari pemerintah untuk mengembangkan biogas secara luas; (b) perencanaan secara baik pengembangan biogas; (c) koordinasi secara baik antar instansi dalam program bantuan digester biogas; (d) sinergi program pengembangan biogas dengan program pengembangan ternak (khususnya ternak sapi) nasional; (e) dukungan sarana serta infrastruktur peralatan (digester dan peralatan pendukungnya); dan (f) sinergi antara pengembangan biogas dengan program pengalihan BBM ke LPG di tingkat rumah tangga. (44) Pada pengembangan tebu sebagai penghasil tetes tebu yang menjadi bahan baku bioetanol perlu terus ditingkatkan dukungannya. Hal ini antara lain dapat ditempuh melalui: (a) Peningkatan peran penyuluhan, yaitu untuk mendukung tercapainya program pengembangan tebu; (b) Koordinasi instansi terkait agar lebih mempercepat pengembangan tebu sebagai bahan baku energi alternatif; (c) kebijakan yang kondusif, yaitu terciptanya iklim usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis tebu dan harga bioetanol; (d) Pembinaan yang berkesinambungan; dan (e) Peningkatan SDM petani. (45) Pada pengembangan bioenergi diperlukan adanya komitmen yang kuat pemerintah dan sinergi antar instansi dalam kebijakan atau program bioenergi. Komitmen pemerintah pusat perlu terus ditingkatkan dalam hal: pembenahan subsidi BBM, dan pembenahan sektor otomotif. Peningkatan suatu program dalam bingkai kebijakan bioenergi harus sesuai dengan kebijakan energi secara nasional. Ketersediaan dana sawit diharapkan akan lebih mendorong peningkatan produksi biodiesel dari CPO sawit, sehingga target mandatory biodiesel akan mudah tercapai. Selain itu, proses rehabilitasi tanaman sawit non produktif juga bisa berjalan baik. Alokasi subsidi dari yang awalnya ke sektor BBM diharapkan juga dapat tersalurkan untuk pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN).
xxii