Kajian kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 2016
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan” tepat pada waktunya. Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011), dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008). Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang negatif. Pada saat yang bersamaan, harga jual ayam broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur, perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir secara berkeadilan. Disadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan analisis berikutnya. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai penutup, semoga hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pimpinan serta bahan masukan untuk perumusan kebijakan komoditi perunggasan secara umum dan ayam broiler khususnya.
Jakarta, Oktober 2016 Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
i
ABSTRAK Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin antara pelaku usaha di rantai pasok ayam broiler yang menjadi dugaan awal terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Kajian ini bertujuan (a) menghitung biaya pokok produksi peternak, (b) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler serta (c) merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah struktur biaya produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Hasil analisis menunjukkan secara umum struktur pasar ayam broiler pada masingmasing level pelaku usaha lebih mengarah ke pasar oligopoli kecuali pedagang pengecer yang lebih mengarah pada pasar monopolistik. Harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang pengecer besar (grosir) tidak terintegrasi secara baik. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan. Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Rekomendasi dari kajian ini adalah perlu (a) melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif; (b) menyeimbangkan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi; (c) meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan; dan (d) memperpendek rantai distribusi. Kata kunci: persaingan usaha, integrasi harga, sektor perunggasan, ayam broiler
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
ii
ABSTRACT Study on the Policy of Business Competition in the Poultry Sector Poultry sector is the spearhead of consumption of food from animal sources. Initial studies by Business Competition Supervisory Commission (KPPU) indicates that there is imbalance in the level of margin among businesses actors in the supply chain of broiler meat that lead to the alleged of unfair business competition practice. This study aims are (a) calculating the production cost of farmers, (b) analyzing the structure, conduct and performance of broiler meat industry and (c) to formulate policy proposals that promote the efficiency of broiler meat industry for the sake of business continuity of independent farmer. The approach used in this study were the production cost structure and Structure Conduct Performance (SCP). The analysis shows that the general structure of the broiler meat market at each level of businesses leads to an oligopoly market except at retail level that is monopolistic market. Broiler price at the farmer level and at the wholesale level is not well integrated. Price of live broiler at the producer level is determined by the power of an oligopoly that performed by large-scale farms cartel company through reference price determined by association. The influences of supply and demand factors are relatively small on live broiler market. Meanwhile, the price formations of chicken meat at the retail market are affected by the power of the oligopoly of farms from large-scale companies, power of supply and demand. The recommendation of this study are (a) market structure improvements to make it more competitive; (b) balancing the distribution of marketing margins between business actors based on contributions of marketing costs and risk; (C) improving price transmission from retailers to wholesalers and then to farmers through improving access to market information in a transparent manner; and (d) shortening the distribution chain. Keywords: business competition, the integration of price, the poultry sector, broilers
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i ABSTRAK .................................................................................................. ii ABSTRACT ............................................................................................... iii DAFTAR ISI ............................................................................................... iv DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2 1.3. Tujuan ................................................................................................................... 4 1.4. Keluaran ............................................................................................................... 4 1.5. Manfaat ................................................................................................................ 5 1.6. Ruang Lingkup .................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ........................ 6 2.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya, pemasaran dan persaingan usaha ................................................................... 6 2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha ....................................................... 11 2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia .................... 16 2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia ................ 19 2.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 22
BAB III METODE PENGKAJIAN ............................................................ 23 3.1. Metode Analisis ................................................................................................. 23 3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri ....................................................................................... 23 3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP) .................. 25 3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data .......................................... 31 3.2.1. Data dan Sumber Data ............................................................................. 31 3.2.2. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 31 3.2.3. Perencanaan Sampling ............................................................................ 32
BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA DISTRIBUSI AYAM BROILER ......................................... 34 4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia ........................................................................................ 34
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
iv
4.1.1. Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler ............................................... 35 4.1.2. Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler ....................... 50 4.1.3. Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler ...................................... 55 4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi .................................... 59 4.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler ................................................................. 59 4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler ............................................ 65 4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler ................................................ 74 4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur ......................................... 92 4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat .................................. 97 4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali ..................................................... 102 4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur ............................. 107 4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat ........................................ 113 4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah ............................................................. 118
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 122 5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 122 5.2. Rekomendasi ................................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 126 LAMPIRAN
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
v
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat .................. 13 Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di Negara ASEAN .................................................................................... 19 Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima Provinsi, Indonesia, 2016 ................................................................................... 33 Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016 .. 53 Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler ........................................................................... 56 Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus), Tahun 2016 .......................................................................................... 61 Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus), Tahun 2016 .......................................................................................... 63 Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus), Tahun 2016 .......................................................................................... 64 Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Provinsi Bali, 2016 ........................................................................... 75 Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Jawa Timur, 2016............................................................... 77 Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Sumatera Barat, 2016 ............................................................ 79 Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ......................................................... 81 Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ................................... 83 Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016 ....................... 86 Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016 ................ 87 Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal di Jawa Barat, 2016 ............. 89
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli ............. 15 Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli .............................................. 16 Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler ....................... 18 Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian .............................................................. 22 Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja ....... 25 Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak Mandiri. .............................................................. 68 Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Internal ......................................................... 71 Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal ...................................................... 72 Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya ........... 119 Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang .............. 119 Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar .......... 120 Gambar 4.7 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Samarinda ......... 121
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
vii
1. BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sub sektor peternakan merupakan basis ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sub sektor peternakan yang mengalami pertumbuhan pesat adalah sektor perunggasan. Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011), dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008). Selain itu, sektor perunggasan telah menyerap tenaga kerja lebih dari 1000 orang per tahun. Pertumbuhan produksi unggas cukup prospektif dan progresif. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan produksi yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, produksi ayam broiler dari perusahaan besar (terintegrasi) yang menguasai pasar lebih dari 85% telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton (GPPU, 2014). Sementara kebutuhan hanya sebesar 2,3 juta ton. Hal ini berarti kebutuhan daging ayam broiler dapat dipenuhi dari dalam negeri (self sufficient). Dari aspek permintaan, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap produk unggas terutama daging ayam cenderung naik rata-rata sekitar 9,3% per tahun (Susenas Tahun 2013, diolah Puska Dagri, 2013). Meski mengalami pertumbuhan cukup baik, namun kondisi industri peternakan unggas di Indonesia dapat dikatakan belum mencapai tahapan keunggulan kompetitif dibandingkan negara Asia lainnya seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Selain itu, Indonesia juga termasuk negara net importer untuk produk input unggas seperti bibit DOC, bahan baku pakan dan obat-obatan. Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
1
Meski demikian, produktivitas dalam sektor perunggasan masih dapat ditingkatkan. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas usaha perunggasan berasal dari perubahan teknologi, peningkatan efisiensi dan melalui pengembangan skala usaha (Coelli et al., 1998). Ketiga hal tersebut
dapat
dilakukan
melalui
sistem
industri
perunggasan
terintegrasi baik integrasi vertikal oleh perusahaan peternakan maupun melalui kemitraan usaha. Di Indonesia industri perunggasan terintegrasi melalui dua pola tersebut telah menguasai lebih dari 85% pangsa pasar di dalam negeri. Selebihnya, yakni usaha peternakan rakyat mandiri hanya mengisi 15%. Mengingat struktur industri usaha peternakan unggas broiler di Indonesia sudah dominan dijalankan oleh perusahaan terintegrasi yang dapat dikatakan relatif lebih efisien, maka seharusnya harga ayam broiler di tingkat konsumen dapat lebih kompetitif. Namun demikian, perkembangan harga daging ayam mengalami peningkatan dari waktu ke waktu walaupun dari sisi pasokan terjadi peningkatan produksi ayam broiler (Fitriani et al, 2014). 1.2. Rumusan Masalah Dari
berbagai
permasalahan
yang
dihadapi
oleh
industri
perunggasan, beberapa diantaranya adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian besar bahan baku pakan ternak harus diimpor. Untuk impor jagung mencapai 12,5% dari total produksi jagung nasional, bungkil kedelai sebesar 95%, tepung ikan 90-92%, serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir 100%; (b) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah; (c) Pola Kemitraan usaha (contract farming) perunggasan belum berjalan secara optimal dimana peternak plasma belum sepenuhnya diuntungkan; (d) Rentannya Industri perunggasan Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
2
komersial terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis finansial global; dan (e) Pelaku usaha industri perunggasan dihadapkan pada kenaikan harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan konsumen dihadapkan pada fluktuasi harga broiler yang tinggi. Dari permasalahan tersebut di atas, permasalahan yang cukup menonjol dan menjadi fokus penelitian adalah adanya indikasi ketimpangan struktur pasar pada pasar output yang pada akhirnya menempatkan peternak mandiri dan peternak plasma dalam posisi lemah. Peternak mandiri dan peternak plasma juga dihadapkan pada kenaikan sapronak dan harga fluktuasi jual broiler yang tinggi. Sejalan dengan adanya indikasi ketimpangan struktur pasar unggas, hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang negatif. Pada saat yang bersamaan, yakni pada saat harga jual ayam broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler. Dari konteks perdagangan, permasalahan persaingan usaha ini dapat menimbulkan inefisiensi perdagangan yang tercermin dalam tingkat harga yang kurang menguntungkan bagi peternak mandiri dan peternak plasma serta tingkat harga eceran yang cenderung naik dan berfluktuatif di tingkat konsumen. Hal ini telah berlangsung cukup lama
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
3
dan diperlukan solusinya agar menghilangkan kekhawatiran terciptanya ketidakpastian dalam iklim berusaha dan berdampak pada semakin tergerusnya eksistensi peternak mandiri dan peternak plasma. Sehubungan dengan permasalahan yang menjadi fokus di atas, kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur, perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini diharapkan
dapat
dirumuskan
kebijakan
yang
kondusif
bagi
berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir secara berkeadilan.
1.3. Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah: a. Menghitung biaya pokok produksi peternak. b. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler. c. Merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri.
1.4. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah: a. Besaran biaya pokok produksi broiler yang layak bagi peternak mandiri dan peternak plasma. b. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler. c. Rumusan kebijakan yang dapat mendorong efisiensi industri ayam broilerdemi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri. Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
4
1.5. Manfaat a. Kajian ini menjadi rujukan bagi unit teknis di Kementerian Perdagangan dan kementerian terkait lainnya. b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi.
1.6. Ruang Lingkup Analisis dalam kajian ini mencakup 2 aspek/substansi, yaitu: a. Cakupan Komoditi. Meskipun judul kajian mengenai kebijakan persaingan usaha di sektor perunggasan, namun komoditi yang akan dianalisis lebih dalam pada kajian ini adalah ayam broiler. b. Cakupan Objek Penelitian. Objek yang akan diteliti dalam industri broiler adalah sistem distribusi ayam broiler meliputi peternak, pedagang pengumpul ayam hidup, pedagang besar ayam hidup, rumah potong ayam, supermarket, pedagang eceran daging ayam dan pelaku-pelaku lain yang terlibat dalam distribusi ayam broiler. Peternak yang akan diteliti meliputi peternak mandiri, peternak kemitraan internal (peternak yang bermitra dengan perusahaan terintegrasi) dan peternak kemitraan eksternal (peternak yang bermitra dengan perusahaan non terintegrasi atau poultry shop)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
5
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya, pemasaran dan persaingan usaha Perkembangan industri perunggasan Indonesia tidak terlepas kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan atau regulasi a. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Regulasi yang berpengaruh terhadap bisnis perunggasan pada masa awalnya adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada periode sebelum diberlakukannya regulasi tersebut, usaha ternak ayam ras bersifat usaha sampingan atau hobi, dan masih jauh dari jangkauan usah ekonomi yang berorientasi produksi dan pasar. Secara umum struktur usaha belum terpisah berdasarkan spesialisasi, karena semua kegiatan agribisnis bersatu dalam peternakan itu sendiri mulai dari pembuatan pakan dan pengadaan bibit. Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA pemerintah menerapkan kebijakan menyetujui penanaman modal asing (PMA) untuk sektor pertanian khususnya peternakan ayam ras. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri unggas melalui penanaman modal asing dan transfer teknologi dari negara maju. Dengan mempercepat laju pertumbuhan diharapkan usaha-usaha rakyat akan ikut berkembang. Perusahaan asing yang pertama didirikan adalah perusahaan kerjasama antara JepangIndonesia dalam bidang pembibitan dengan rencana produksi 100 ribu ekor per bulan (Yusdja, Ilham, & Sayuti, Juli 2004). Sedangkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
6
UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN menegaskan bahwa swasta diberikan kebebasan untuk berusaha/berinvestasi di semua sektor perekonomian kecuali di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis. Hal ini pada prinsipnya adalah untuk merangsang
dan
mengarahkan
masyarakat
kepada
daya
usaha-usaha
kreatif
produktif
dan yang
dinamis dapat
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. b. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Selanjutnya
seiring
dengan
perkembangan
industri
perunggasan skala besar yang mulai menggeser peternak rakyat pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam. Keppres ini melarang beroperasinya usaha-usaha ternak ayam ras petelur lebih dari 5000 ekor dan ayam pedaging lebih dari 750 ekor per siklus. Ini berarti perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur memiliki usaha berskala besar harus menutup usahanya dan mengalihkannya pada usaha lain seperti pembibitan ayam atau mengganti dengan usaha lain. Kebijakan ini telah menimbulkan kerisauan para pemilik dan mereka menganggap pemerintah sangat terlambat melakukan intervensi. Adalah sulit untuk menghentikan operasi usaha skala besar mengingat kerugian yang diakibatkannya. Pemerintah menyadari pula perlu dibina usaha perkoperasian di kalangan peternak mandiri ditambah suntikan dana kredit untuk mempercepat perkembangan usaha rakyat sebagai upaya untuk segera
menggantikan
kedudukan
skala
besar
yang
harus
menciutkan usahanya sesuai dengan tuntutan Kepres tersebut. Untuk mensukseskan kemauan politik ini presiden memerintahkan melaksanakan
Bimas
ayam,
memerintahkan
Bulog
untuk
mengawasi stabilisasi harga telur, mengadakan usaha-usaha
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
7
peningkatan pemasaran, pembinaan koperasi, melakukan operasi pasar bagi pengawasan harga telur dan daging bagi konsumen dan suntikan dana sekitar Rp 50 milyar sebagai kredit Program Bimas Ternak Ayam. Namun ternyata kemudian kebijakan ini tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesem patan hidup. Beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut: Pertama, pembatasan skala usaha sesuai Kepres pada tingkat ukuran usaha yang tidak menguntungkan sehingga tidak menjamin pengembangan peternak mandiri (Yusdja, 1984). Peternak mandiri, yang dalam hal ini peternak mandiri pada umumnya tidak memiliki modal yang cukup dan memelihara jumlah ternak jauh di bawah skala usaha, yakni < 1.000 ekor. Sekalipun tidak menguntungkan, mereka masih mampu membayar tenaga kerja keluarga. Kedua, kredit Bimas ayam berukuran sangat kecil, satu paket untuk seorang peternak, dengan jumlah ayam 500 ekor. Dengan ukuran skala
usaha
sebesar
itu
peternak
tidak
akan
mampu
mengembalikan kredit. Ketiga, pemerintah tidak mampu melakukan kontrol terhadap pasar secara efektif c. Program PIR Perunggasan (1984) melalui kerjasama tertutup Atas dasar kegagalan kebijakan di atas pemerintah mencoba membuat kebijakan baru pembenahan struktur industri unggas menjadi berbentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Tujuan kebijakan ini tak lain untuk melindungi usaha rakyat, namun secara tidak langsung menerima kehadiran usaha skala besar. Pola PIR merupakan bentuk struktur kerjasama antara inti dan peternak plasma. Inti berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas mensuplai masukan terutama bibit dan pakan kepada peternak secara kredit, dan membeli keluaran telur dan daging dari peternak tersebut. Dengan kata lain inti tidak saja membantu permodalan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
8
tetapi juga pemasaran. Sementara itu peranan peternak harus membayar masukan yang dibelinya dengan hasil pen jualan keluaran yang diperolehnya. Berapa harga keluaran itu per unit akan ditentukan bersama, tetapi kesepakatan itu harus selalu menguntungkan peternak. Secara konseptual, peternak mandiri mendapat jaminan dalam pemasaran dan mendapat perlindungan inti dengan harga yang menguntungkan. Namun kenyataan tidak memperlihatkan hal demikian. Pola PIR ternyata tidak bisa berjalan. Sebagian besar peternak kecil dalam periode ini malah gulung tikar (Rusastra dkk.,1988). Maka yang terjadi adalah mekanisme pasar yang sudah terlanjur bekerja terlalu kuat untuk dikoreksi. Pemerintah sendiri kehilangan arah menghadapi kenyataan ini. Selain itu, tahun 1987 dikenal sebagai tahun
keprihatinan,
karena
secara
keseluruhan
industry
menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Antara lain tingginya fluktuasi harga telur dan daging broiler, fluktusasi harga bibit, dan kenaikan harga pakan yang terus menerus sehingga menyulut kegelisahan masyarakat perunggasan. d. Kepres No. 22/1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras Selama masa 2 tahun 1989-1990 usaha industri unggas bergerak tumbuh tanpa kendali pemerintah. Pertengahan tahun 1990, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Kepres 22 Mei 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras yang menyatakan bahwa : -
Usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15.000 ekor, tidak memerlukan izin kecuali melapor kepada dinas peternakan setempat;
-
usaha skala besar diperkenankan dengan syarat harus bermitra dengan usaha rakyat, di mana dalam masa tiga tahun porsi
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
9
usaha rakyat lebih besar, dan sekurang-kurangnya 65 persen produksi untuk ekspor terutama untuk PMA. Khusus untuk skala besar harus meminta izin kepada Menteri Pertanian. Keppres 22 Mei 1990 masih dinilai merupakan kebijakan yang tetap membingungkan, karena seperti telah dibahas bahwa peternakan rakyat hanya mampu pada ukuran kurang dari 1000 ekor, maka pembatasan 15000 ekor untuk usaha rakyat tidak memecahkan masalah, karena tidak ada usaha rakyat yang akan berkembang mencapai skala usaha itu karena kesulitan modal. Pada sisi lain tidak ada pemilik modal yang bersedia menanam investasi untuk skala 15 000 ekor tersebut karena terlalu kecil dibandingkan pasar yang sangat luas. Namun demikian, Keppres ini telah dimanfaatkan oleh skala besar untuk mengelabui pemerintah dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan sehingga tidak menyimpang dari Keppres No. 22 Tahun 1990 tersebut. Pada kenyataannya dalam periode 1992-1996 tercapai kemajuan industri ayam ras dengan prestasi yang tertinggi karena dominasi perusahaan besar yang sangat tinggi. e. SK Menteri Pertanian No.472 Tahun 1996 Keputusan Menteri ini merupakan petunjuk teknis Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk mendorong usaha peternakan rakyat. Melalui kemitraan diharapkan dapat terjadi suatu simbiosis yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan dengan peternakan rakyat.
Kemitraan tidak terbatas pada bentuk Peternakan Inti
Rakyat (PIR) tapi juga dapat dalam bentuk pengelola maupun penghela.
Perusahaan
Penghela
adalah
perusahaan
bidang
peternakan yangmengadakan kemitraan dengan pola penghela yang berkewajiban melakukan bimbingan teknis, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
10
ras, tidak mengusahakan permodalan dan tidak melaksanakan budidaya
ayam
ras
sendiri.
Perusahaan
Pengelola
adalah
perusahaan dibidang peternakan yang mengadakan kemitraan dengan pola pengelola yang berkewajiban menyediakan sarana produksi,
bimbingan
teknis
dan
manajemen,
menampung,
mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam ras, mengusahakan
permodalan
tetapi
tidak melaksanakan
budidaya ayam ras sendiri. 2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas atau produk tercakup produk daging ayam (broiler) sangat menentukan banyaknya komoditas atau produk yang dapat digerakkan oleh sistem tataniaga dan memberikan arah bagi produsen berapa besar harus memproduksi. Secara teoritis jumlah output yang diminta ditentukan oleh harga output tersebut, pendapatan, harga barang lain yang terkait, jumlah penduduk, dan selera konsumen (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt, 1980). Sementara itu, penawaran suatu output ditentukan oleh harga output tersebut, teknologi yang digunakan, harga-harga dari input, harga barang lain (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt, 1980). Secara teori ekonomi, permintaan di tingkat konsumen dapat langsung berhadapan dengan penawaran disisi produsen dengan beberapa asumsi pokok sebagai berikut (Williamson, 1985; Dixit, 1996; dan Hutagaol, 2007; Saptana dan Daryanto, 2013): pertama, perilaku individu
bersifat
mengandung
rasional
dua
memaksimumkan
sempurna
makna,
kepuasan
(perfectly
yaitu: (maximaxy
(a)
rational),
individu
ulitity),
dan
hal
ini
berperilaku (b)
individu
berperilaku individualistik (individualistic). Kedua, informasi bersifat sempurna dan produk bersifat identik total. Informasi sempurna berimplikasi pada pasar bersaing secara sempurna, tidak ada biaya
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
11
transaksi tercakup biaya pemasaran (costless), dan barang atau jasa disampaikan tanpa memerlukan waktu (timeless). Produk identik secara total mengandung arti bahwa produk sama sekali tidak dapat dibedakan satu sama lain (homogen). Dalam realitasnya, informasi tidak sempurna dan perlu biaya mahal untuk memperolehnya.
Transaksi ekonomi dihadapkan pada
masalah informasi asimetris, terjadi perilaku moral hazards, dan ongkos transaksi positif. Diantara produsen dan konsumen dihubungkan oleh sistem tataniaga yang diperankan oleh pelaku tataniaga (Rahman, 1997; Satana dan Rachman, 2015). Dalam memainkan perannya pelaku tataniaga tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Perbedaan harga tersebut dikenal dengan istilah marjin tataniaga (marketing margin) yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan pemasaran (profit margin) yang diterima pelaku tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990). Terdapat dua pendekatan analisis pemasaran perspektif makro, yaitu
pendekatan
Struktur-Perilaku-Kinerja
(Structure-Conduct-
Performance/S-C-P) dan pendekatan Chicago Schooll (Gonarsyah, 1996/1997). Pendekatan S-C-P merupakan metode yang dikembangkan oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain (1954). Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat hubungan yang langsung dan kuat antara struktur pasar sebuah industri (market structure), praktek bisnis dan perilaku pihak-pihak pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja industri
itu
sendiri
(market
performance).
Asmarantaka
(2009)
mengungkapkan pendekatan S-C-P lebih didasarkan pada kajian-kajian empiris; sedangkan pendekatan Chicago School lebih bersifat agregasi dan lebih bersifat kuantitatif, lebih menekankan penentuan harga (price determination), pemerintah
dan
dalam
lebih
banyak
penentuan
harga.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
melihat
pengaruh
Pendekatan
kebijakan
S-C-P
lebih
12
menekankan aspek deskriptif, melihat kasus-kasus empiris disuatu wilayah, pembahasan aspek kelembagaan pasar lebih dominan, dan lebih menekankan penemuan harga (price discovery) serta menjelaskan tindakan perusahaan atau pedagang yang melakukan penguasaan pasar (market power). Hamond and Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar pada komitas atau produk pangan dan serat, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat Karakteristik struktural Jumlah Sifat perusahaan produk 1. Banyak Standarisasi 2. Banyak
Diferensiasi
3. Sedikit 4. Sedikit
Diferensiasi Diferensiasi
5. Satu
Unik
Struktur pasar dari sisi pelaku Penjual
Pembeli
Persaingan sempurna Monopolistic competition Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli
Persaingan sempurna Monopsonistic competition Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi Monopsoni
Sumber: Hamand and Dahl (1977).
Dalam kerangka sistematika struktur pasar, kartel masuk dalam struktur pasar oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis, 1979).
Pasar
Oligopoli dapat didefinisikan sebagai suatu pasar dimana terdapat beberapa produsen yang menghasilkan barang dan atau jasa yang saling bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa ciriciri pasar oligopoli adalah :(1) jumlah perusahaan sangat sedikit; (2) barang yang dihasilkan, saling berkompetisi dipasar di pasar; (3) memiliki kemampuan mempengaruhi harga ada; (4) terdapat hambatan masuk pasar (barrier to entry); dan (5) pada umumnya perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi melalui iklan. Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling mempengaruhi, perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
13
cermat mengenai reaksi dari perusahaan pesaing, apabila ia mengambil kebijakan menurunkan atau menaikkan harga. Secara umum reaksi dari perusahaan oligopoli saingan adalah sebagai berikut (Purcell, 1979) : (1) Oligopoli
A
menaikkan
harga,
oligopoli
saingan
akan
tetap
mempertahankan harga, sehingga dapat merebut langganan; dan (2) Oligopoli A menurunkan harga, oligopoli saingan akan mengikuti menurunkan harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga dan dapat mengancam usahanya. Kurva permintaan yang dihadapi oleh perusahaan oligopolistik adalah kurva permintaan yang patah (kinked demand curve) dan kuva penerimaan marginal (marginal revenue MR) adalah terputus (MR1 dan MR2), secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 berikut. Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai pada saat MC=MR.
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada
perusahaan yang mempunyai struktur biaya antara MC1 hingga MC2 (titik B1 hingga titik B2 ) maka tingkat keuntungan maksimum yang dicapai perusahaan akan tetap sama, dengan tingkat harga Po dan jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya marginal (MC) memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi yang dihasilkan perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan. P
P D1
P0
MC1 D1
E
P0
MC2
E
MR1 B1
D2
D2 B2
0
MR2 Q0
Q
Gambar 1
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
0
Q0
Q
Gambar 2
14
Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli Berdasarkan pada analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pasar oligopoli di mana perusahaan-perusahaan tidak melakukan kesepakatan diantara mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah). Dalam pasar oligopolistik, akan sangat menguntungkan bagi semua perusahaan
jika
mereka
bekerja
sama
melakukan
kesepakatan-
kesepakatan inilah yang disebut kartel. Secara umum ada 2 (dua) bentuk kartel, yaitu: (1) kartel yang bertujuan memaksimumkan profit bersama (joint profit maximization); dan (2) kartel yang bertujuan melakukan pembagian pasar (sharing of the market). Pada kartel bentuk yang pertama, perusahaan anggota kartel menyatukan
struktur
biayanya
dan
memaksimumkan
keuntungan
bersama. Sementara bentuk yang kedua, dibedakan menjadi 2, yaitu: (1) persetujuan persaingan non harga (non price competition agreement), sebagai contoh perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia; dan (2) persetujuan quota (Quota agreement). Biasanya struktur industri dari pasar oligopoli adalah terdapat beberapa perusahaan besar yang mendominasi industri dan beberapa perusahaan kecil. Beberapa perusahaan golongan pertama (yang menguasai pasar) saling mempengaruhi satu sama lain, karena keputusan dan tindakan oleh salah satu perusahaan dapat mempengaruhi perusahaan-perusahaan lainnya. Kondisi tidak tercapainya keuntungan maksimum
pada
masing-masing
perusahaan
dalam
kartel
dapat
diilustrasikan melalui gambar 3, 4 dan 5. Dimana gambar 3 menunjukkan perusahaan dengan struktur biaya lebih rendah, gambar 4 adalah perusahaan dengan struktur biaya lebih tinggi dan gambar 5 adalah gabungan perusahaan 1dan 2 membentuk struktur pasar monopoli (kartel).
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
15
Keuntungan maksimum kartel dicapai pada saat pemotongan MC dan MR (di titik e gambar 5), dengan menarik titik tersebut ke kurva demand dan kemudian dengan menarik ke sumbu vertikal diperroleh tingkat harga P. Pada tingkat harga tersebut besarnya keuntungan perusahaan 1 adalah sebesar persegi panjang a,b,c,P, sedangkan perusahaan 2 sebesar persegi panjang q,f,h,P. Dimana besarnya keuntungan perusahaan 1 lebih besar dibandingkan perusahaan 2, dan tingkat keuntungan yang dicapai masing-masing perusahaan bukanlah keuntungan-maksimalnya. Pc
Pc
MC1
P
c
a
b
Pc
MC2
MC=MC1+MC2
AC2
AC1 P q
f h
P
e2
e1
D
e
MR 0
x 0
x1
Gambar 3
x 0
x2
Gambar 4
x
x = x1 + x2
Gambar 5
Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli 2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia Faktor-faktor peternakan
ke
pertumbuhannya,
yang depan tingkat
mendorong ditentukan
permintaan oleh
pendapatan,
untuk
produk
jumlah
penduduk
dan
fenomena
urbanisasi
dan
segmentasi pasar, serta preferensi konsumen. Produk perunggasan tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high economics value products) yang artinya semakin tinggi pendapatan masyarakat maka semakin tinggi pula permintaan terhadap produk-produk perunggasan. Semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhan yang masih positif akan meningkatkan permintaan produk-produk peternakan. Fenomena
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
16
urbanisasi dan makin besarnya pangsa penduduk yang tinggal di perkotaan akan mendorong permintaan produk-produk peternakan. Selain itu, adanya fenomena segmentasi pasar dan peningkatan jumlah penduduk kelas pendapatan menengah-atas akan meningkatkan permintaan produk-produk peternakan. Perubahan preferensi konsumen dari konsumsi daging merah (red meat) ke daging putih (white meat) juga akan meningkatkan permintaan terhadap produk daging ayam. Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah produksi, produktivitas dan daya saing produk perunggasan. Hal ini sangat terkait erat dengan ketersediaan dan harga DOC, ketersediaan dan harga pakan, perubahan tekonologi (genetika, pakan dan logistik), ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga energi, dan lingkungan kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar, kebijakan kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan lingkungan). Menurut Fitriani, sistem integrasi tidak mencapai efisisiensi tinggi disebabkan oleh beberapa faktor: a. Terjadi
integrasi
semu
pada
indusri
perunggasan,
dimana
perusahaan peternakan sebagai integrator membentuk semacam anak-anak
perusahaan
atau
cabang
usaha-cabang
dengan
manajemen terpisah-pisah. b. Bahan baku pakan ternak tergantung impor yang harganya terus menerus mengalami peningkatan, karena persaingan (food, feed, bio-fuel dan fiber). c. Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada pasar input dan oligopsonistik pada pasar output. d. Terjadi fenomena excess profit bagi pelaku usaha tertentu dan marginal profit bagi peternak mandiri. Selain itu, bisnis industri perunggasan saat ini dihadapkan pada realita dimana harga produk unggas ditingkat peternak terus merosot
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
17
hingga di bawah biaya pokok produksi. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya harga pakan input produksi terutama harga pakan yang dipicu oleh meningkatnya harga bahan baku pakan. Hal lain yang juga tidak hanya dihadapi oleh peternak domestik melainkan juga peternak global adalah meningkatnya harga input peternakan berupa bibit (DOC), pakan, obat-obatan, vitamin dan mineral, serta energi dan air bersih. Kondisi ini diperburuk oleh stagnansi atau pelambatan daya beli masyarakat terhadap produk hasil unggas. Kerentanan yang dapat terjadi akibat hal tersebut ditambah lagi dengan karakteristik permintaan yang berfluktuasi pada hari perayaan tertentu, mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga daging ayam di tingkat eceran. Tingkat fluktuasi harga daging ayam broiler dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler Sumber: Ditjen PDN, Kemendag, 2015
Meskipun struktur industri perunggasan didominasi oleh system yang terintegrasi, namun struktur biaya produksi broiler di Indonesia dapat dikatakan belum efisien. Menurut Tangendjaya (2013), jika dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
18
Thailand dan Philipina, maka harga biaya produksi broiler di Indonesia relatif lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di Negara ASEAN Biaya produksi, harga pakan dan harga DOC dinegara ASEAN (US$)*
Item
Indonesia
Malaysia
Thailand
Philippines
Cost of day old chick
0.38
0.21
0.16
0.27
1. Broiler starter
0.24
0.21
0.22
0.28
2. Broiler grower
0.23
0.20
0.21
0.25
3. Broiler finisher
-
-
0.20
0.20
Cost to produce 1 kg live weight broiler
0.80
0.63
0.50
0.62
Market price of 1 kg live weight broiler
0.91
0.71
Feed price/kg
0.75
*Tangendjaja (2013)
Sumber: Tangendjaya, 2013
2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia Industri broiler Indonesia saat ini cenderung oligopolistik. Hal ini setidaknya dapat diindikasikan pada hal berikut: (i)
Kurang lebih 75 persen pangsa pasar hanya dikuasai oleh 40 persen perusahaan (Prasetya, 2011; Yudja et al., 2004; Fitriani, 2006; Agustina, 2009 dalam Fitriani et al., 2014);
(ii)
Perusahaan peternakan skala besar menerapkan sistem integrasi vertikal (Prasetya, 2011 dalam Fitriani et al, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani et al. (2014) yang bertujuan untuk menganalisis struktur pasar broiler dan mengukur dampak market power terhadap industri broiler di Indonesia, menunjukkan hasil sebagai berikut:
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
19
a. Dalam periode 2003 – 2012, rasio konsentrasi dan entry barrier semakin tinggi. Indikator
2003
2012
CR4
50,26
54,81
0,13
0,14
MES
Hal ini berarti bahwa perusahaan brolier cukup terbuka tetapi dalam jangka panjang hanya perusahaan yang efisien yang akan mampu bertahan. b. Ada permasalahan yang timbul dari integrasi vertikal saat ini. Fitriani et al (2014) menyebut intergasi saat ini jauh dari sempurna
karena
intergrasinya
mengarah
pada
bentuk
monopoli atau oligopoli. c. Distorsi pasar menghasilkan pasar yang tidak kompetitif dan seringkali hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu review atas kebijakan pemerintah sangat perlu dilakukan. Kondisi saat ini peternak unggas harus berjuang sendirian untuk meningkatkan daya tawarnya dalam pasar hasil ternak unggas yang tidak bersaing sempurna. Bahkan, peternak tidak mengetahui bahwa pasar broiler saat ini tidak bersaing sempurna. Meskipun sudah dibentuk wadah peternak melalui asosiasi-asosiasi, seperti PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia), yang mengkoordinasikan peternak unggas rakyat. Asosiasi ini berkedudukan Pejaten, Jakarta Selatan dan GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional), yang mengkoordinasikan peternak ayam secara nasional. Asosiasi ini berkedudukan di Bogor. Dalam penelitian yang lain Fitriani et al (2014) menyatakan bahwa integrasi mempengaruhi konsentrasi pasar dan kekuatan pasar. Menurut Wang (2012) dalam Fitriani et al. (2014) menyebutkan industri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
20
yang terkonsentrasi akan memiliki kekuatan pasar yang tinggi, akibatnya kesejahteraan sosial akan menurun. Hal ini sejalan dengan kinerja industri broiler yang menunjukkan perkembangan harga daging ayam meningkat seiring dengan peningkatan produksi dari waktu ke waktu. Salah satu cara untuk melihat tingkat efisiensi harga dan integrasi pasar/harga adalah dengan menggunakan metode Ravalion. Pada tahun 1994, Carol dan John melakukan penelitian tentang integrasi pasar di pasar beras Indonesia dengan judul Cointegration and Market Integration: An Application to the Indonesian Rice Market menggunakan model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa secara umum terdapat integrasi pasar antara harga beras di 7 daerah sampel (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Papua); Selain itu, Tahir (1997) melakukan kajian integrasi pasar komoditi pertanian (gandum, kapas, dan beras) dengan judul Integration of Agricultural Commodity Markets in The South Punjab Pakistan menggunakan model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa integrasi pasar untuk beras di Pakistan menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda. Untuk daerah produsen beras yang memiliki harga acuan, ditemukan integrasi pasar beras dan sebaliknya. Sementara untuk gandum dan kapas secara umum hasil yang didapat menunjukkan bahwa kedua komoditi ditemukan memiliki integrasi pasar; Penelitian yang dilakukan Malian dan Adimesra (2003), dengan judul Struktur Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di Daerah Produksi Utama, mencoba mengetahui struktur dan integrasi pasar lada hitam dan lada putih di Indonesia dengan model Ravallion. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada integrasi pasar antara tingkat pasar petani dengan tingkat pasar pedagang besar. Hal ini terjadi disebabkan karena tidak tersedianya informasi pasar yang cukup,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
21
sehingga petani selalu menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh pedagang; Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Sayaka (2006) dengan pendekatan SCP pada industri benih jagung di Provinsi Jawa Timur mendapatkan hasil struktur pasar produsen benih jagung di Provinsi Jawa Timur berbentuk oligopolistic. Secara umum pasar benih jagung di Jawa Timur kurang efisien. Dengan pendekatan yang sama (SCP), Septiani (2013) menganalisis struktur-perilaku-kinerja dalam persaingan industri pakan ternak di Indonesia dan menyimpulkan bahwa struktur pasar industri pakan ternak di Indonesia adalah struktur pasar oligopoli longgar. Sedangkan perilaku industri pakan ternak di Indonesia menggunakan strategi harga, produk dan promosi. Di sisi kinerja, didapat kesimpulan bahwa kinerja industri pakan ternak di Indonesia masih kurang baik. 2.5. Kerangka Pemikiran
STRUKTUR INDUSTRI AYAM BROILER
Terintegrasi
Non – Terintegrasi/ Mandiri
Kemitraan
Struktur Biaya Produksi
Analisis Struktur Biaya
- DOC - Pakan - Vaksin
LIVE BIRD
Peternak
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar (Grosir)
Rumah Potong Ayam
Pedagang Eceran
REKOMENDASI KEBIJAKAN Rumusan kebijakan yang mendorong efisiensi distribusi ayam broiler.
SCP
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian Sumber: Tim Peneliti Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
22
3. BAB III METODE PENGKAJIAN 3.1. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah terdiri dari 2 tools analysis yaitu analisis struktur biaya produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Tujuan penelitian pertama akan dijawab dengan
menggunakan
metode
analisis
struktur
biaya
produksi
sedangkan tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan metode SCP. 3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri Analisis struktur biaya produksi digunakan untuk melihat perbedaan struktur biaya antara peternak kemitraan dan peternak mandiri dalam menghasilkan produk ayam broiler. Meskipun secara hipotesa dapat dipastikan bahwa struktur biaya produksi peternak kemitraan lebih kecil yang artinya lebih efisien, namun penelitian ini ingin melihat sejauh mana perbedaan struktur biaya antara keduanya. Hal ini akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam merespon semakin berkurangnya keberadaan peternak mandiri akibat sulit bersaing dengan perusahaan terintegrasi. Selain itu, analisis struktur biaya ini juga untuk melihat tingkat pendapatan sehingga masing-masing dapat dibandingkan tingkat pendapatan per unit produksi. Untuk mengetahui struktur biaya (biaya sapronak dan biaya operasional), penerimaan dan pendapatan dilakukan dengan analisis diskriptif, yakni dengan mengetahui besarnya masing jenis biaya dengan persentase. Sementara
untuk
melihat
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
tingkat
pendapatan
digunakan
23
perhitungan sebagaimana dikembangkan oleh Soekartawi (1993) yaitu sebagai berikut :
π = TR – TC dimana: π = keuntungan (margin) usaha ternak TR = total penerimaan TC = total biaya Return/Cost (R/C) ratio adalah merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya dengan rumusan sebagai berikut (Soekartawi, 1993): a=R/C R = Py x Y C = FC + VC a = Py x Y / (FC+VC) keterangan : a = R / C ratio R = penerimaan (revenue) C = biaya (cost) Py = harga output Y = output FC = biaya tetap (fixed cost) VC = biaya variable (variable cost) Kriteria keputusan: R/C > 1, usaha ternak untung - R / C < 1, usaha ternak rugi - R / C = 1, usaha ternak impas (tidak untung/tidak rugi) Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar R/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh peternak.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
24
3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP) Pendekatan SCP merupakan pendekatan analisis yang dikembangkan oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain (1959). Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat hubungan yang langsung dan kuat antara struktur pasar sebuah industri (market structure), praktek bisnis dan perilaku pihak-pihak pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja industri itu sendiri (market performance). Model ini pertama kali dikembangkan dalam bidang organisasi industri, memiliki keunggulan antara lain analisis yang lebih komprehensif dan kesimpulan yang dihasilkan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan analisis tradisional yang memiliki kecenderungan menggunakan analisis parsial.
Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Sumber: Sayaka B, 2006
A. Structure Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Persaingan tidak sempurna dibedakan menjadi tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik. Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
25
1)
Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan. Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi perusahaan karena pangsa pasar yang besar biasanya menandakan
kekuatan
pasar
yang
besar
dalam
menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan nilai penjualan. Pada produk yang bersifat homogen seperti ayam broiler pangsa pasar diukur dengan menggunakan unit atau volume penjualan. 2)
Konsentrasi (Concentration) Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran tingkat persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan atau kolusi. Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukkan derajat oligopoli. Pada penelitian ini untuk menganalisis konsentrasi menggunakan jumlah pelaku usaha yang terlibat dalam satu pasar.
3)
Hambatan Untuk Masuk (Barrier to Entry) Barrier to entry dapat didefenisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang baru (new entrant) untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam definisi ini, kombinasi biaya dan skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry. Secara operasional hambatan masuk dapat dilakukan dengan melihat perbandingan struktur biaya,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
26
harga jual, dan keuntungan antar pelaku usaha dalam sistem distribusi/pemasaran ayam broiler. B. Conduct (Perilaku) Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu. Terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Perilaku pasar mencakup (Asmarantaka, 2009; Saptana dan Saliem, 2015): (a) Penentuan harga dan setting level of output, secara bersama-sama atau price leadership; (b) Perilaku dalam kerjasama antar pelaku usaha dapat direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar pelaku dengan demikian perilaku pasar dapat diukur juga dengan menggunakan tingkat integrasi pasar, secara kuantitatif dapat menggunakan integrasi pasar (Ravallion, 1986); (c) Kebijakan promosi produk (product promotion policy),
melalui
pameran
atau
iklan
atas
nama
perusahaan (Commodity Check of Program & Levy System); dan (d) Predatory and Exclusivenary, strategi ini bersifat
ilegal
karena
bertujuan
untuk
mendorong
perusahaan pesaing keluar dari pasar. Perilaku pasar juga mengenal adanya integrasi horisontal oleh perusahaan peternakan, integrasi vertikal dari hulu hingga hilir, pola-pola kemitraan usaha antara perusahaan peternakan sebagai inti dan peternak mandiri sebagai plasma. Integrasi horisontal dan vertikal dapat menimbulkan efisisiensi, namun dapat berdampak anti persaingan secara sehat. Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi harga adalah Model Ravallion Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
27
(1986). Model ini telah digunakan secara luas dan dikembangkan serta didiskusikan dalam analisis integrasi pasar spasial.
Dimana Pit adalah harga di eceran i di waktu t, Plt adalah harga di produsen, dan Xit adalah faktor-faktor yang mempengaruhi harga di eceran. Kelebihan model Ravallion adalah Integrasi pasar dengan
menggunakan
model
Ravallion
dapat
menentukan leading market diantara pasar-pasar lokal. Sementara itu, beberapa kekurangannya adalah: (1) Adanya asumsi bahwa ada satu pasar pusat yang dikelilingi
beberapa
pengetahuan
pasar
tentang
lokal
struktur
sehingga
pasar;
(2)
perlu Derajat
keterpaduan pasar juga tidak dapat diukur dengan model ini; (3) Model Ravallion sesuai untuk menganalisis keterpaduan jangka pendek dan juga sesuai untuk data bulanan,
tetapi
tidak
cocok
untuk
menganalisis
keterpaduan jangka panjang. Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua variabel tersebut terhadap harga di tingkat petani, Timmer (1987) mengembangkan suatu indeks hubungan pasar yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat petani, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila nilai indeks IMC = 0 yaitu b1 = -1, dikatakan pasar
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
28
terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi. C. Performance (Kinerja) Kinerja adalah hasil dari kekuatan perusahaan dan perilaku perusahaan. Kinerja merupakan tolok ukur dari keberhasilan perusahaan
strategi baik
perusahaan.
maka
dapat
Apabila dianggap
kinerja strategi
perusahaan berhasil. Analisis Keragaan pasar (market performance) menekankan pada analisis pasar serta pengaruhnya terhadap jumlah output dan harga yang terjadi di pasar. Keragaan pasar mencakup tingkat efisiensi
pemasaran,
margin
pemasaran,
kapasitas
penggunaan atau pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk, dan kepuasan konsumen). Beberapa
indikator
utama
pengukur
kinerja
(performance) adalah sebagai berikut: 1) Keuntungan Neoklasik mengasumsikan bahwa pendapatan yang
tinggi
adalah
hasil
dari
pangsa
pasar
perusahaan dominan. Menurut aliran Chicago School pendapatan
yang
tinggi
merupakan
hasil
dari
efisiensi biaya produksi. Menurut ahli ekonomi lain, pendapatan yang tinggi adalah hasil dari inovasi, atau hasil dari manajerial yang baik. Keluar atau bertahannya suatu perusahaan dalam suatu industri ditentukan oleh keuntungan yang didapat. Variabel ini merupakan dampak langsung dari struktur pasar.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
29
2) Margin Tata Niaga Dalam memainkan perannya pelaku tataniaga tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Perbedaan harga tersebut dikenal dengan istilah marjin tataniaga (marketing margin) yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan pemasaran (profit margin) yang diterima pelaku tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990). Secara matematis digunakan rumus sebagai berikut:
M =
m
n
i =1
j =1
∑ Ci + ∑ ∏
j
Dimana : M = marjin pemasaran Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m) m = jumlah jenis pembiayaan π = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j = 1,2,3,
…n)
n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses pemasaran tersebut. Dengan menggunakan persamaan ini dimana ratarata biaya pemasaran Ci dan keuntungan πi dikumpulkan melalui survei, maka marjin pemasaran dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang diterima petani produsen dari harga pedagang besar atau pengecer dapat ditentukan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
30
3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data 3.2.1. Data dan Sumber Data Mengacu pada metode analisis yang akan dilakukan, data yang dibutuhkan adalah: -
Biaya produksi peternak mandiri dan non-mandiri
-
Perkembangan harga eceran
-
Perkembangan harga bibit (DOC)
-
Perkembangan harga pakan
-
Jumlah pelaku dalam setiap simpul (dalam satu level)
-
Proses bisnis dalam setiap simpul (dalam satu level)
-
Biaya distribusi pedagang eceran
-
Profil perusahaan yang terkait dengan industri pakan menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja, segmen pasar dan lain-lain.
-
Profil perusahaan yang terkait dengan industri ayam broiler menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja, segmen pasar dan lain-lain.
Data-data yang dibutuhkan di atas akan dikumpulkan melalui pengumpulan langsung di daerah (primer) dan melalui publikasi dari berbagai sumber.
3.2.2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan
data
sekunder
dan
primer.
Data
sekunder
diperoleh dari berbagai sumber meliputi Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, BPS, dan Sekretariat Negara. Diskusi terbatas yang diselenggarakan di Jakarta akan dilaksanakan
sebanyak
3
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
(tiga)
kali.
Diskusi
pertama
31
dilaksanakan untuk mendapatkan masukan mengenai rumusan masalah, ruang lingkup kajian dan metode analisis serta teknik wawancara dan pengambilan data. Diskusi terbatas kedua akan dilaksanakan setelah pelaksanaan survei tim ke beberapa daerah. Pelaksanaan diskusi terbatas kedua bertujuan untuk mendapatkan
masukan
mengenai
hasil
pengolahan
data
sementara dan hasil analisis. Sementara diskusi ketiga dilakukan untuk mendapatkan masukan dari pakar dan stakeholder perunggasan dalam rangka perumusan usulan kebijakan sektor perunggasan sekaligus perumusan draft memo kebijakan. Diskusi terbatas juga dilaksanakan di masing-masing wilayah survei yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Bali. Pelaksanaan diskusi terbatas di daerah survei ini untuk mendapatkan masukan sekligus klarifikasi atas hasil wawancara di daerah. Selain melalui diskusi terbatas, pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara di beberapa daerah dengan panduan kuesioner.
3.2.3. Perencanaan Sampling Penelitian akan dilakukan di lima provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Barat. Dari masing-masing provinsi akan ditentukan dua kabupaten/kota yang masing-masing mewakili daerah sentra produksi dan kabupaten/kota pusat konsumsi/pasar. Responden
penelitian
ini
relatif
luas
yang
dapat
dikelompokkan menjadi 5 katagori utama yaitu: (1) peternak mandiri; (2) peternak plasma; (3) pedagang pengumpul di daerah sentra produksi; (4) pedagang besar antar wilayah dari daerah sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi/pasar; (5) pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
32
grosir di pasar tradisional; (6) pedagang pengecer di pasar tradisional; (7) pedagang retail di pasar modern (meat shop, super market/hyper market, pasar swalayan); (8) Rumah Potong Ayam (RPA); dan (9) dinas atau instansi terkait di tingkat pusat dan provinsi penelitian, serta informan kunci di lapangan (Assosiasi Peternak dan Assosiasi lainnya). Secara rinci cakupan, jenis, dan jumlah responden ditampilkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima Provinsi, Indonesia, 2016
Jenis responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Peternak Mandiri Peternak Plasma Pedagang Pengumpul Pedagang Besar antar Wilayah Pedagang Grosir pasar Pedagang pengecer pasar Ritel pasar modern RPA/RPU Total
Jabar
Jateng
Jatim
Bali
Sumbar
Total
4 3
4 3
4 3
4 3
4 3
20 15
2
2
2
2
2
10
2
2
2
2
2
10
2
2
2
2
2
10
3
3
3
3
3
15
2 2 20
2 2 20
2 2 20
2 2 20
2 2 20
10 10 100
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
33
4. BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA DISTRIBUSI AYAM BROILER
4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia Peternakan broiler di Indonesia umumnya berlokasi di daerah-daerah dimana konsumen broiler cukup besar terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, Makasar, serta kota-kota pusat pasar termasuk Samarinda dan Balikpapan dan daerah-daerah sentra produksi dengan dukungan bahan baku pakan ternak. Secara empiris daerah sentra produksi broiler terkonsentrasi pada daerah yang dekat dengan pusat pasar dan merupakan sentra produksi bahan baku pakan utama yaitu jagung. Usahaternak broiler memiliki karakteristik yang hampir sama di seluruh wilayah survei. Sistem usahaternak broiler terdiri dari peternak mandiri, peternak kemitraan internal dan peternak kemitraan eksternal. Peternak mandiri adalah peternak yang menyediakan semua input atas biaya sendiri dan memiliki kebebasan dalam menjual hasil produksi broiler. Peternak dengan sistem kemitraan internal atau biasa juga disebut peternak mitra pabrikan adalah peternak yang bermitra dengan perusahan melalui perjanjian kemitraan yang dituangkan dalam kontrak kerjasama. Pabrikan (perusahaan inti terintegrasi) menyediakan bibit, pakan, dan obat-obatan kepada peternak. Peternak bertanggung jawab memelihara ayam broiler hingga siap panen dimana hasil panen akan diambil oleh perusahaan sesuai dengan harga yang sudah disepakati dalam perjanjian. Sementara, peternakan dengan sistem peternak kemitraan eksternal adalah peternak yang bekerjasama/bermitra dengan pemodal yang menyediakan bibit, pakan, dan obat-obatan. Pihak pemodal bisa dari perusahaan perseorangan, peternak skala besar, dan atau toko sarana Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
34
produksi peternakan (poultry shop). Ayam broiler yang siap panen kemudian dijual kepada mitra sesuai dengan kesepakatan awal yang tertuang dalam kontrak kemitraan. 4.1.1.
Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler
A. Provinsi Jawa Timur Peternak ayam broiler di wilayah Jawa Timur terdiri dari peternak
kemitraan
pabrikan
terintegrasi
(kemitraan
internal),
kemitraan non pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri. Jalur distribusi ayam broiler di wilayah Jawa Timur secara umum adalah dari peternak dijual dalam kilogram berat hidup kepada mitra yang biasanya diarahkan kepada rumah potong ayam (RPA) untuk kemudian dijual ke pedagang besar. Pedagang besar kemudian menyalurkan ke pedagang bakulan untuk seterusnya didistribusikan kepada pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional. Provinsi Jawa Timur sebagai sentra utama ayam broiler memiliki peran yang cukup besar dalam produksi daging ayam dan merupakan salah satu penentu harga yang terjadi di wilayah Jawa dan luar Jawa. Hal ini disebabkan peran Jawa Timur dalam perdagangan antar pulau untuk ayam dan telur tergolong cukup besar karena pasokan untuk wilayah Indonesia timur sebagian besar berasal dari Jawa Timur. Saat ini produksi ayam broiler di Jawa Timur telah mencapai sekitar 35 juta ekor per periode. Dinas Peternakan menginformasikan bahwa peternak mandiri seringkali mendapatkan bibit dan pakan dengan kualitas yang kurang baik jika dibandingkan pakan dan bibit DOC
yang
digunakan
untuk
budidaya
sendiri
dan
diberikan
perusahaan kepada mitra plasma. Hal ini mengakibatkan kualitas ayam yang dihasilkan peternak mandiri lebih rendah dibandingkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
35
hasil produksi perusahaan terintegrasi dan peternak mitra perusahaan pabrikan. Besaran biaya produksi peternakan dengan sistem kemitraan eksternal dan pabrikan pada prinsipnya sama dalam hal besaran biaya yang dikeluarkan. Pada pabrikan biaya produksi relatif lebih kecil namun biaya manajemen cukup tinggi karena perusahaan harus menggaji manajer beserta fasilitasnya sehingga biaya operasional manajemen tinggi. Sebaliknya, peternakan kemitraan eksternal memiliki biaya produksi yang relatif lebih tinggi karena adanya biaya transportasi sarana produksi peternakan (sapronak), namun biaya manajemen yang lebih rendah. Adapun permasalahan seputar harga yang terus mengalami penurunan di tingkat peternak, hal ini diduga akibat kelebihan produksi (over supply) ayam broiler. Kelebihan produksi ini dinilai karena tidak/belum adanya audit atas produksi Grand Parents (GP) dan Great Grand Parents (GPS). Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian data atas kebutuhan total bibit DOC yang dibutuhkan sehingga terjadi kelebihan suplai atas bibit DOC. Informasi mengenai jumlah kebutuhan DOC dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam perhitungan final stock dan kebutuhan peternak. Pengaturan impor untuk GP, GPP, dan DOC perlu dilakukan terutama bagi perusahaan-perusahaan besar
sehingga
dapat
menciptakan
ruang
usaha
yang
lebih
berkeadilan. Saat ini di Provinsi Jawa Timur belum ada Peraturan Daerah yang mengatur secara khusus mengenai sistem kemitraan, sehingga kemitraan yang ada hanya didasarkan atas perjanjian dua pihak yang bermitra. Hasil kajian empiris di lokasi penelitian Jawa Timur memberikan temuan sebagai berikut: (1) Penguasaan oleh perusahaan peternakan skala besar melalui budidaya sendiri, kemitraan usaha internal, dan terakhir melalui pengembangan kandang ayam tertutup (close hause)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
36
skala besar-besaran diperkirakan mencapai (60%); (2) Penguasaan pemodal besar yang berperan sebagai inti dalam kemitraan eksternal (20%); dan (3) Penguasaan peternak mandiri, meskipun secara individu memiliki skala dari kecil hingga cukup besar (20%). Beberapa perusahaan peternakan skala besar (PT. Charoen Phokphan Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Anwar Sierad Produce, dan PT. Cargill) melakukan integrasi vertikal dalam usahanya. Integrasi dilakukan dengan penguasaan atas seluruh atau sebagian besar jaringan agribisnis dari industri hulu hingga hilir (breeding farm, feed mill, budidaya, RPU/RPA, pengolahan), di mana keseluruhan unit usaha berada dalam satu managemen pengambilan keputusan. Dari hasil kajian di lapang di Jawa Timur menunjukkan adanya indikasi terjadinya integrasi vertikal dalam industri perunggasan, baik integrasi secara penuh maupun integrasi secara parsial. Beberapa alasan pokok perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal adalah: (1) Bisnis perunggasan (broiler) tergolong jenis bisnis berintensitas tinggi yang tingkat keberhasilannya bersandar pada ketepatan pengelolaan pada setiap fase-fase pertumbuhan broiler; (2) Produktivitas broiler sangat tergantung pada pakan ternak baik dari jumlah maupun mutunya, hal ini mengharuskan anggota mitra harus menggunakan pakan produksi perusahaan inti atau perusahaan yang menjadi induk perusahaan dari inti; dan (3) Produk akhir (final product) dari industri broiler merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari hulu hingga ke hilir, di mana produk antara adalah makluk biologis bernilai ekonomi tinggi, sehingga mensyaratkan peternak mitra menggunakan DOC yang dihasilkan perusahaan inti atau perusahaan yang menjadi induk perusahaan dari inti. Dengan
karakteristik
dasar
yang
demikian
menuntut
pengelolaan bisnis broiler dilakukan terintegrasi secara vertikal. Dalam
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
37
hal ini terdapat beberapa implikasi sebagai berikut: (1) Bagi peternak mitra mendapatkan jaminan pasokan sarana produksi peternakan dan penjualan
hasil,
namun
harus
mengikuti
aturan-aturan
dalam
kemitraan usaha tergantuk pola kemitraan yang dipilih; (2) Bagi peternak mitra mendapatkan jaminan keuntungan dan terbaginya resiko,
dengan
syarat
mencapai
standar-standar
teknis
yang
ditetapkan, terutama tingkat kematian (mortalitas), nilai rasio konversi pakan (feed convertion ratio/FCR), umur panen dan indeks prestasi; (3) Bagi peternak rakyat (peternak mandiri) akan menghadapi masalah ganda yaitu menghadapi struktur pasar oligopoli pada pasar input (DOC, pakan, serta vitamin dan obat-obatan) dan struktur pasar oligopsonistik dipasar output. Implikasinya adalah peternak akan membayar harga input produksi yang lebih tinggi dari yang seharusnya dan menerima harga jual broiler lebih rendah dari yang seharusnya. Kondisi ini menyebabkan peternak mandiri di Jawa Timur memiliki posisi tawar yang relatif rendah. Beberapa faktor penjelas sulitnya peternak rakyat adalah: (1) Integrasi vertikal yang dijalankan perusahaan peternakan skala besar adalah integrasi vertikal yang semu, sehingga menciptakan masalah margin ganda; (2) Struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik di pasar input produksi (DOC dan pakan ternak) dalam bentuk oligopoli terpimpin, jika perusahaan pemimpin melakukan kebijakan harga akan diikuti perusahaan-perusahaan lainnya; dan (3) Secara empiris di lapang struktur oligopolistik pada pasar output ditunjukkan adanya kesepakan harga melalui penentuan harga posko yang ditentukan melalui kelembagaan PINSAR sebagai harga acuan dalam penebusan harga broiler oleh pedagang ke peternak yang menjadi anggota mitra perusahaan peternakan skala besar dan pemodal besar.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
38
Perusahaan-perusahaan peternakan skala besar baik secara nasional maupun di lokasi penelitian Jawa Timur di samping melakukan integrasi vertikal juga melakukan integrasi horisontal, yaitu penggabungan penguasaan perusahaan yang menghasilkan barang atau produk sejenis yang saling bersaing di pasar. Dalam batas-batas tertentu integrasi horisontal dapat dilakukan tanpa penggabungan penguasaan perusahaan yang sejenis, namun secara empiris dilapang hanya
dalam
bentuk
assosiasi-assosiasi
dalam
mencapai
kesepakatan-kesepakatan bisnis broiler. B. Provinsi Sumatera Barat Sebagaimana peternak di Jawa Timur, peternak ayam broiler di wilayah Sumatera Barat juga terdiri dari peternak kemitraan pabrikan terintegrasi (kemitraan internal), kemitraan non pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri. Di wilayah Sumatera Barat, jumlah peternak mandiri masih ada namun sangat sedikit. Peternak yang masih bertahan hanya peternak yang memiliki modal besar dengan skala usaha yang tergolong besar. Mekanisme penjualan ayam broiler dari peternak kemitraan pabrikan yaitu pedagang besar membeli ke perusahaan dalam bentuk DO yang kemudian DO akan dikirim ke peternak untuk diambil ayam broiler yang sudah dipanen sesuai jumlah ayam broiler dengan pemesanan (DO). Peternak tidak mengetahui berapa harga jual yang ditetapkan oleh perusahaan ke pedagang besar yang akan membeli. Harga yang diterima peternak hanya menerima harga berdasarkan kontrak yang ditetapkan oleh perusahaan. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Sumatera Barat adalah dari peternak dijual dalam kilogram berat hidup atau per ekor. Peternak Kemitraan menjual ayam broiler yang sudah dipanen dalam bentuk per kg berat hidup atau ekor ke perusahaan mitra
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
39
dengan harga sesuai dengan perjanjian. Harga minimal dalam perjanjian ditetapkan sebesar Rp 16.000/kg berat hidup. Jika harga dipasar saat ini sebesar Rp 18.000/kg berat hidup, maka peternak akan mendapat insentif sebesar 30% dari selisih harga di pasar. Namun, sebaliknya jika harga di pasar lebih rendah peternak tidak mendapat insentif. Kemudian pedagang pengumpul atau pedagang besar atau RPA dapat membeli langsung ke perusahaan inti melalui DO. Kemudian pedagang pengumpul akan mendistribusikan ayam hidup ke pedagang besar (grosir) dan pengecer di pasar tradisional. Di Sumatera Barat, Rumah Potong Ayam (RPA) berperan sebagai jasa pemotong dan jual beli ayam hidup. RPA membeli ayam hidup dari perusahaan bukan dari peternak mandiri, karena harga beli di perusahaan lebih murah. Kemudian menjual ayam hidup ke pedagag besar (grosir) dan pedagang pengecer atau rumah tangga. Karakteristik masyarakat di Sumatera Barat adalah lebih suka membeli ayam hidup yang kemudian langsung di potong di pasar dibandingkan membeli dalam bentuk karkas.
Kondisi ini membuat
relatif sedikit ayam dalam bentuk karkas yang beredar di pasar-pasar tradisional. Selain itu karakteristik penjualan daging ayam di wilayah Sumatera Barat adalah dalam satuan ekor dan tidak dijual per kilogram. Namun untuk pasar ritel modern, daging ayam dijual dalam bentuk karkas dan perbagian (parting). Pedagang pengumpul atau bakul dapat langsung membeli ayam hidup dari perusahaan (pabrikan) sesuai harga pasar dan kemudian menjual ayam hidup secara langsung di pasar tradisional. Kondisi ini menjadi masalah bagi pedagang pengecer di pasar tradisional, karena harga jual bakul menjadi relatif lebih murah dibandingkan harga jual pedagang pengecer. Sebenarnya bakul menjual ayam hidup dengan jumlah yang lebih besar karena perannya sebagai pedagang pengumpul. Namun, faktanya bakul dapat menjual Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
40
ayam hidup secara eceran ke pasar tradisional dengan harga yang lebih murah dari harga pedagang pengecer. Selain bakul, RPA juga bisa menjual ayam potongnya langsung ke konsumen akhir. Untuk itu, pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat berencana akan membuat peraturan terkait dengan tataniaga ayam broiler, khususnya untuk pengaturan pedagang pengumpul atau bakul dalam menjual ayam hidup. Di wilayah Sumatera Barat, kenaikan harga daging ayam merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar selain cabe dan bawang merah. Terdapat dua perusahaan inti di Sumatera Barat yaitu Jafpa Comfeed dan Charoen Phokpand Indonesia dimana pangsa pasar kedua perusahaan tersebut sekitar 60% di Sumatera Barat. Pada tahun 2015 semester I, serapan pasar PT. Charoen Phokpan Indonesia sebanyak 110 ribu ekor/hari, sementara PT.Jafpa Comfeed sebanyak 100 ribu ekor/hari. Terdapat juga pola kemitraan eksternal yaitu peternak dengan Poultry Shop (PS) dan peternak mandiri. Namun saat ini, jumlah peternak yang non kemitraan (mandiri) maupun kemitraan eksternal sudah mulai berkurang jumlahnya yang tersisa sekitar 10%. Dalam rangka melindungi eksistensi peternak mandiri dan peternak mitra, saat ini pemerintah daerah telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No 40 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan pola kemitraan ayam pedaging (broiler). Dalam peraturan tersebut pada pasal 12 peran pemerintah dalam hal pembinaan, pengendalian dan pengawasan meliputi: (i) memberikan fasilitasi pada perusahaan inti, plasma dan semua stakeholder dalam pengembangan usaha baik teknis maupun non teknis, (ii) penetapan biaya pokok produksi (HPP), serta (iii) memfasilitasi pengendalian ketersediaan bahan baku pakan, DOC, penawaran-permintaan (supply demand) dan kuota produksi.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
41
Saat ini di Provinsi Sumatera Barat sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang kemitraan. Dalam implementasi dengan pola kemitraan, perusahaan inti diharapkan dapat bersikap adil dalam melaksanaan pola kemitraan yang tertuang dalam kontrak terutama dalam
pembagian
hak
dan
kewajiban.
Meskipun
sudah
ada
pengaturan, peternak menginginkan agar dibuat pengaturan harga ayam hidup berdasarkan ukuran yang dicantumkan dalam surat perjanjian atau kontrak. Keluhan dari pelaksanaan pola kemitraan yang lain adalah adanya batasan pasokan khususnya pada hari raya lebaran dimana perusahaan inti membatasi pasokan DOC yang menyebabkan jumlah ayam di pasaran terbatas, sehingga peternak mitra terbatas skala usahanya. C. Provinsi Bali Peternak ayam broiler di wilayah Bali terdiri dari peternak kemitraan pabrikan terintegrasi (kemitraan internal), kemitraan non pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri. Peternakan di Bali didominasi oleh peternak kemitraan pabrikan. Namun demikian masih ditemukan peternak-peternak mandiri yang jumlahnya kurang lebih 15 orang dengan skala usaha 10000 – 100000 ekor yang tersebar di seluruh Bali. Terdapat juga peternak model kemitraan eksternal yang masih eksis di Bali. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Bali adalah dari peternak dijual ke pedagang pengumpul yang kemudian dialirkan kepada pedagang grosir dan atau pengecer, selanjutnya dijual kepada konsumen
rumah
tangga
atau
konsumen
lainnya
(rumah
makan/restaurant). Untuk peternak mandiri dan peternak kemitraan eksternal, jalur distribusinya adalah dari peternak langsung ke penangkap atau lebih dikenal ke pedagang pengepul yang merangkap RPA rumahan yang volume pembelianya relatif kecil berkisar 100 –
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
42
200 kg ayam hidup sebelum disalurkan ke pedagang pengecer yang disalurkan ke konsumen rumah tangga. Sementara itu, untuk peternak mitra pabrikan, ayam hasil produksinya akan diambil pihak perusahaan dan dijual ke RPA yang merupakan afiliasi dari perusahaan induknya. Menurut Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Provinsi Bali kondisi peternak mandiri di Bali saat ini sedang terhimpit dan mendapat tekanan dari sisi hulu dan hilir bahkan ada beberapa peternak yang mengalami gulung tikar. Dinas Peternakan Provinsi Bali berupaya untuk mendorong peternak ayam mandiri agar lebih mampu bersaing melalui kegiatan fasilitasi dan penguatan sumber daya peternak ayam mandiri. Ketua
Gabungan
Peternak
Unggas
Bali
menyampaikan
pertumbuhan peternak ayam mandiri di Provinsi Bali dari tahun 2007 – 2010 cukup baik, namun lima tahun pasca dikeluarkannnya UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kondisi peternakan mulai berat dan bertambah parah. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa korporasi bisa bergerak di sektor budidaya baik melalui kemitraan atau diusahakan sendiri. Pasca UU tersebut jumlah peternak kemitraan semakin bertambah dan jumlah peternak mandiri semakin berkurang. Salah satu dampak implementasi UU ini adalah meningkatnya jumlah pasokan bibit ayam DOC yang masuk ke provinsi Bali yang menyebabkan harga ayam broiler ditingkat peternak turun. Kepala RPA PT. Ciomas Adisatwa Region Bali menyampaikan bahwa prinsip operasi RPA didasarkan pada harga pasar dan kualitas produk ayam. RPA akan memotong ayam sebanyak-banyaknya jika mendapatkan ayam dengan harga murah dan sehat. Pengiriman ayam hasil potongan didasarkan pada permintaan, sementara ayam yang tidak terjual pada hari itu bisa disimpan dalam cold storage sampai dengan 1 bulan kedepan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
43
Pengaturan impor untuk GP, GGP, dan DOC perlu dilakukan terutama
bagi
perusahaan-perusahaan
besar
sehingga
jumlah
pasokan bibit DOC yang dihasilkan sesuai dengan jumlah kebutuhan. Selain itu, audit atas Grand Parents dan Great Grand Parents perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pasokan berlebih (over supply). Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam perhitungan kebutuhan final stock dan kebutuhan peternak. Dalam hal kemitraan, diharapkan inti dapat menerapkan sistem yang lebih berkeadilan sehingga keuntungan dapat dirasakan baik bagi inti maupun plasma. Prinsip dasar yang harus diterapkan dalam kemitraan adalah adanya pembagian manfaat yang adil berdasarkan kontribusinya masing-masing. Pada sisi pemasaran perlu adanya perbaikan rantai pemasaran agar lebih pendek dengan memanfaatkan cold storage sehingga stabilisasi harga dapat dicapai. D. Provinsi Kalimantan Timur Peternak ayam broiler di wilayah Balikpapan terdiri dari 95 % peternak kemitraan dan 5% peternak mandiri, komposisi tersebut akan sedikit berubah pada masa lebaran yaitu menjadi 90% kemitraan dan 10% mandiri. Jumlah peternak kemitraan di Kota Balikpapan yang tercatat oleh asosiasi pada tahun 2016 terdiri 14 perusahaan sedangkan untuk Kota Samarinda sebanyak 20 Perusahaan. Dari 14 perusahaan kemitraan yang ada di Kota Balikpapan terbagi menjadi 2 jenis yaitu kemitraan Internal yaitu kemitraan peternak mitra dengan perusahaan besar seperti PT. Charond Phokpand Indonesia dengan proporsi sekitar 40% dan kemitraan eksternal, yaitu kemitraan peternak mitra dengan pemilik modal seperti perusahaan yang memiliki kemampuan membeli pakan dalam skala besar dengan proporsi
sekitar
60%.
Perusahaan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Pakan
Besar
(perusahaan
44
integrator) yang ada di kota Balikpapan hanya ada 2 yaitu Charoen Phokpan Group dan Samsung Super Unggas. Jumlah peternak ayam broiler yang berada di wilayah Balikpapan berjumlah 125 peternak. Pada umumnya peternak bermitra dengan pemilik modal (60%) atau disebut dengan kemitraan eskternal dan sekitar 40% bermitra dengan perusahaan/pabrikan atau disebut kemitraan internal. Total pasokan ayam broiler oleh peternak untuk wilayah Balikpapan sebanyak 37 ribu ekor/hari, sementara untuk wilayah Samarinda sebanyak 41-47 ribu ekor/hari dengan berat hidup sekitar 1,2 – 2 kg/ekor. Ayam dalam bentuk karkas berasal dari peternakan yang ada di dalam kota Balikpapan dan dijual dengan harga sekitar Rp 16.000 sampai Rp. 16.300 per kg atau jika dijual dalam bentuk ayam hidup dengan harga Rp 30.000 – Rp 35.000 per ekor (rata-rata berat 1,6-1,7 kg). Permasalahan yang dihadapi oleh UPT pasar di wilayah Balikpapan, khususnya pasar Pandansari adalah masih banyaknya pedagang PKL yang menjual ayam broiler di luar kios pasar yang telah ditetapkan dengan harga yang relatif murah sehingga merusak harga di tingkat eceran di dalam pasar. Jumlah permintaan atau kebutuhan ayam perhari di Kota Balikpapan pada saat normal rata-rata sebanyak 37.000 ekor, sedangkan kebutuhan terendah sekitar 31.000 ekor dan tertinggi sekitar 41.000 ekor. Untuk Kota Samarinda kebutuhan ayam perhari pada saat normal rata-rata sebanyak 47.000 ekor/hari, sedangkan kebutuhan terendah sekitar 43.000 ekor/hari dan tertinggi 51.000 ekor/hari. Apabila dilihat dari kebutuhan ayam antara kota Balikpapan dan kota Samarinda terlihat Balikpapan rata-rata lebih rendah 10.000 ekor/hari dibandingkan dengan kota Samarinda. Jumlah kebutuhan ayam harian sepanjang tahun rata-rata sama namun ada peningkatan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
45
seminggu menjelang puasa kemudian turun pada tiga minggu pertama bulan puasa kemudian puncaknya peningkatan pada seminggu menjelang lebaran. Untuk hari besar lainnya seperti natal dan tahun baru relatif tidak ada peningkatan yang berarti kecuali pada hari raya idul adha mengalami sedikit penurunan. Harga Ayam pada bulan April 2016 merupakan masa harga ayam rendah, contohnya harga kontrak pada saat ayam mulai masuk kandang Rp. 19.000/kg (ayam hidup) namun pada saat panen dijual ke pedagang pengepul hanya sebesar Rp. 15.500/kg (ayam hidup). Tingkat kematian ayam pada masa pembesaran berkisar 3-5%, namun pernah mengalami kejadian luar biasa seperti adanya serangan penyakit, tingkat kematian ayam dapat mencapai 10-50%. Tingkat FCR rata-rata pertahun 1,58 -1,60 dengan gambaran dalam setahun 4 periode nilai FCR baik dan 2 periode nilai FCR buruk. Nilai FCR baik jika nilainya relatif kecil dan buruk jika nilainya relatif tinggi. Nilai FCR sangat ditentukan oleh kualitas pakan dan kualitas DOC, sedangkan kualitas DOC biasanya ditentukan oleh siklus parent stock. Saat ini sumber pasokan ayam di wilayah kota Balikpapan hampir 80 persen berasal dari dalam wilayah kota Balikpapan sedangkan sisa nya 10 persen dari kabupaten Kutai Kartanegara dan 10 persen lagi berasal dari Banjarmasin atau luar Kalimantan yaitu Jawa Timur. Pasokan ayam dari wilayah luar Kalimantan biasanya berbentuk ayam beku dalam kemasan sterofoam. Pasokan ayam hidup dapat bersumber dari Banjarmasin apabila selisih harga sebesar Rp. 4.000, -/kg lebih rendah dibandingan harga di kota Balikpapan contohnya apabila harga ayam hidup di Banjarmasin Rp. 12.000/kg baru bisa masuk ke Balikpapan yang di tingkat pedagang Rp. 16.000, -/kg. Untuk pasokan dari Surabaya dapat masuk ke Kota Balikpapan apabila selisihnya harga lebih rendah Rp. 6.000/kg
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
46
Pemasok ayam hidup di Balikpapan adalah 14 perusahaan seperti daftar diatas dimana merupakan Kemitraan (60 % merupakan kemitraan pemodal dan peternak, 30 % dari kemitraan peternak dan perusahaan pakan) dan 10 % mandiri. Ukuran ayam hidup 1,5 -1,6 kg/ekor. Pemasok ayam beku diperkirakan hanya ada 2 perusahaan yaitu PT. Ciomas Adisatwa dan PT. Wonokoyo dengan ukuran 1,1 -1,2 kg untuk ritel modern sekitar 80% dan 20% ke horeka dengan ukuran 1,4-1,5 kg/ekor. RPA dipasar Pandansari terdiri dari sekitar 10-12 pelaku usaha yang belokasi disekitar pasar dengan skala usaha relatif sama yaitu memotong 1300-2000 ekor ayam perhari. Untuk jasa pemotongan Rp 1.000/ekor untuk segala ukuran ayam dimana jasa itu hanya untuk proses pemotongan dan pencabutan bulu. Tingkat persaingan antar RPA dirasa tinggi namun antar RPA telah melakukan kesepakatan harga jasa pemotongan yaitu Rp. 1.000/ekor. Harga jual karkas beku dari RPA ke ritel modern adalah Rp. 28.000 (rendah), Rp.30.000 (sedang) dan Rp.34.000-35.000, -/ekor (tinggi). Dalam Perilaku persaingan antar RPA terjadi kesepakatan harga untuk pemotongan ayam sedangkan gambaran perilaku persaingan Pedagang ayam terlihat cenderung mengarah persaingan sempurna di mana harga jual ayam hidup didasarkan kekuatan penawaran dan permintaan sesuai dengan harga pasar. Dalam perilaku persaingan di ritel modern (supermarket), perdagangan ayam broiler cukup kompetitif dimana para pelaku ritel modern melakukan saling mengunjungi (visit) untuk perbandingan harga formal diikuti dengen konsep harga promo pada hari-hari tertentu, namun rata-rata harga sepanjang waktu relatif sama antar ritel modern. Perilaku persaingan peternak juga cukup kompetitif dimana jumlah pemasok (supplier) atau penjual maupun pembeli cukup banyak. Terdapat kesepakatan harga jual antara pemasok dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
47
ritel modern sesuai spesifikasi produk ayam broiler yang diminta. Dalam implementasinya antara pemasok (peternak) dan ritel modern dilakukan melalui mekanisme kontrak jual beli. E. Provinsi Jawa Barat Peternak ayam broiler di wilayah Bogor terdiri dari peternak kemitraan, yaitu baik kemitraan internal maupun eksternal.
Meski
peternak mandiri masih ada, namun saat ini jumlahnya sangat sedikit karena diperlukan modal yang besar serta kondisi harga daging ayam yang cukup berfluktuatif sehingga peternak mandiri lebih berisiko. Keuntungan usaha ternak dengan kemitraan adalah harga jual terjamin melalui kontrak dan peternak tidak dipusingkan dengan harga pakan.
Namun demikian, salah satu kelemahan dari usaha ternak
melalui kemitraan yaitu peternak yang memelihara ayam tidak mengetahui kemana ayam itu dijual dan berapa harga yang ditetapkan oleh perusahaan. Sementara, peternak menjual ayam broiler ke perusahaan dengan harga sesuai kontrak. Peternak kurang informasi terkait informasi pasar dan harga jual. Karena selama ini peternak mitra hanya mengetahui jumlah ayam broiler yang dipelihara. Peternak mitra sangat berupaya untuk menjaga ayam peliharaannya sehat, FCR rendah, dan tingkat mortalitas rendah. Mekanisme penjualan ayam broiler dari peternak kemitraan pabrikan yaitu pedagang besar/pengumpul/pengepul/broker membeli ke perusahaan dalam bentuk DO.
Kemudian DO akan dibawa ke
peternak untuk mengambil ayam broiler yang sudah siap dipanen, dengan jumlah sesuai dengan pemesanan (DO). Petani tidak mengetahui berapa harga jual yang ditetapkan oleh perusahaan ke pedagang besar yang akan membeli ayam broiler dari kandangnya.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
48
Berdasarkan informasi dari peternak, sistem penjualan ayam broiler kemitraan ekternal dengan kemitraan internal berbeda. Kemitraan internal harga jual sesuai kontrak, tetapi kemitraan eksternal harga jual tidak sesuai harga kontral melainkan mengikuti harga pasar.
Secara relatif peternak lebih banyak memilih usaha
dengan sistem kemitraan internal. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Bogor adalah dari peternak dijual dalam per kilogram berat hidup atau per ekor. Untuk peternak kemitraan, mereka menjual ayam broiler yang sudah dipanen dalam bentuk per kg berat hidup atau ekor ke perusahaan mitra dengan harga sesuai yang tertuang dalam perjanjian/kontrak. Harga minimal dalam perjanjian ditetapkan sebesar Rp 16.000/kg berat hidup. Kemudian pedagang pengumpul/ pedagang besar/ pengepul/ broker atau RPA dapat membeli langsung ke perusahaan melalui DO. Kemudian pedagang pengumpul/ pengepul/ broker/ pengumpul akan mendistribusikan ayam hidup ke RPA, selanjutnya ke pedagang grosir dan pedagang pengecer di pasar tradisional. Rumah potong ayam (RPA) di Bogor berperan sebagai jasa pemotong dan juga jual beli ayam hidup. RPA membeli ayam hidup dari pedagang pengumpul. Rata-rata ada 4-5 pedagang pengumpul yang memasok ayam broiler hidup ke setiap RPA. Pedagang pengumpul lebih dari satu ini untuk mengantispasi stabilitas dan kontinyuitas pasokan ayam hidup sebagai alternatif pilihan pemasok. Pasokan ayam hidup berasal dari Kabupaten Bogor (Pamijahan, Leuwiliang, Jonggol, Cibinong, Pondok Rajeg dan Jasinga) serta di luar Bogor (Sukabumi dan Cianjur). Kemudian RPA dapat menjual ayam hidup atau menjual dalam bentuk karkas (tanpa bulu dan jeroan) ke pasar. Selain itu, RPA juga menjual ke pedagang grosir dan atau pengecer dan pedagang keliling namun jumlahnya relatif sedikit. Meskipun RPA menyalurkan ayam potongnya ke pedagang grosir dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
49
atau
pedagang
pengecer
atau
pedagang,
ada
juga
RPA
mendistribusikan ayamnya ke outlet-outlet retail modern seperti Lotte Mart, Macro, dan Superindo. Ukuran ayam yang didistribusikan ke ritel modern yaitu 0,9 – 1,2 kg/ekor (karkas) atau dalam bentuk hidup 1,4 – 1,6 kg/ekor. Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder, dilaporkan bahwa keluhan dari pola kemitraan adalah pada implementasinya dimana ada batasan dalam hal memasok pasokan khsusunya pada hari raya lebaran. Dalam hal ini perusahaan inti membatasi pasokan DOC sehingga jumlah ayam broiler di pasaran terbatas. Pemerintah juga harus mengetahui penditribusian DOC sehingga dapat mengontrol pasokan DOC. Dari sisi persaingan usaha, perlu adanya penetapan harga yang transparan serta ketersediaan dan pasokan bibit. Pemerintah harus dapat mendorong agar perusahaan bisa lebih transparan dalam kemitraan usaha terutama dalam pengaturan hak dan kewajiban. Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan dalam distribusi pasar produk ayam dalam bentuk parting (cutting) yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Selama ini penditribusian memiliki aturan 80% pasar basah/pasar tradisional dan 20% pasar bersih (pasar modern). Kedepan diharapkan agar proporsi tersebut bisa dirubah menjadi 50% pasar tradisional dan 50% pasar bersih (pasar modern). 4.1.2.
Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler Beberapa parameter teknis untuk usahaternak ayam ras
pedaging (broiler) yang dikaji berdasarkan pola usaha di lokasi penelitian meliputi rata-rata FCR (feed convertion ratio), tingkat kematian (mortality), rata-rata umur panen, dan rata-rata bobot badan saat panen. Rata-rata pencapaian FCR yang menggambarkan efisiensi teknis, yang menunjukkan konversi pakan menjadi bobot
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
50
ayam hidup adalah 1,69 untuk usahaternak pola mandiri, 1,68 untuk pola kemitraan internal antara perusahaan pakan dengan peternak plasma, dan 1,68 untuk pola kemitraan eksternal antara pemodal dan peternak plasma. Tingkat pencapaian FCR pada pola kemitraan usaha internal dan eksternal sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian FCR pada pola mandiri. Diduga kualitas DOC dan pakan yang lebih baik dan peran teknisi perusahaan yang yang diterjunkan kelapang memiliki peranan yang cukup baik dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pakan oleh peternak plasma. Rata-rata tingkat kematian usahaternak ayam ras pedaging (broiler) untuk pola usahaternak mandiri 4.08% per siklus produksi, untuk pola usahaternak kemitraan internal 4.12% persiklus produksi, dan untuk kemitraan usaha eksternal 4.10%. Besaran tingkat mortalitas antar pola usahaternak relatif berimbang dan masih tergolong pada tingkat yang ditoleransi perusahaan inti (4-6 %). Tingkat kematian pada pola kemitraan baik internal maupun eksternal yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pola usahaternak mandiri diduga disebabkan ada sebagian yang dipotong atau dijual ke luar dari perusahaan inti. Secara umum rata-rata umur panen mengalami percepatan, yang pada awal pembangunan peternakan (1970-1990) umur panen 42-45 hari. Saat ini, sejalan dengan preferensi konsumen yang menghendaki ukuran ayam lebih kecil, maka rata-rata umur panen broiler berkisar antara 32-38 hari atau rata-rata 35 hari dengan bobot badan 1.90 Kg/ekor. Rata-rata umur panen untuk pola usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal berkisar antara 30-36 hari atau rata-rata 33 hari dengan rata-rata bobot badang 1.88 kg/ekor. Sementara itu rata-rata umur panen pada pola usahaternak pola kemitraan eksternal berkisar antara 30-38 hari atau rata-rata umur panen 34 hari dengan berat bobot panen 1.89 Kg/ekor.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
51
Penentuan umur panen ayam sangat ditentukan dinamika permintaan pasar, tingkat harga yang terjadi dipasar, dan preferensi konsumen. Pada pola usahaternak mandiri peternak memiliki kebebasan kapan ayam mau dipanen dan dijual ke pasar, sedangkan pada pola kemitraan baik internal maupun eksternal sangat ditentukan oleh perusahaan inti yang menjadi mitra usahanya. Parameter teknis indeks prestasi (IP) merupakan parameter teknis gabungan dari berbagai parameter teknis yang merupakan resultante dari berbagai pencapaian parameter teknis dalam usahaternak. Pada sebagian besar kemitraan usaha melalui sistem kontrak bagi hasil dan risiko, hal terpenting bagi peternak untuk mencapai pendapatan yang tinggi adalah melalui pencapaian indek prestasi (IP) yang tinggi, yaitu dengan FCR efisien, mortalitas rendah, pencapaian bobot badan sesuai umur panen. Indek Prestasi Peternak (IP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Skala nilai IP adalah sebagai berikut : IP < 235 Kurang/Poor (loss/break-even) IP > 275 Baik (Good) IP > 300 Sangat baik (Very Good) IP > 350 Luar Biasa (Excellent) Hasil kajian empiris di lapang pada berbagai pola usahaternak broiler secara kualitatif diperoleh informasi besaran indeks prestasi (IP) yang dicapai. Pada pola usahaternak mandiri diperoleh nilai IP sebesar 313.5, pada kemitraan internal dicapai nilai IP sebesar 313.75, dan pada pola usahaternak kemitraan eksternal diperoleh nilai IP sebesar 313.63. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
52
pada ketiga pola yang diteliti peternak telah mencapai IP sangat baik atau di atas 300 yang merefleksikan secara teknis peternak telah menguasai teknologi dan manajemen usahaternak dengan sangat baik. Informasi secara lengkap dan rinci tentang parameter teknis usaha
ternak
broiler
dilokasi
penelitian
pada
berbagai
pola
usahaternak dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016 Deskripsi Skala Usaha (ekor) FCR Mortalitas (%) Umur panen (hari) Rataan Bobot (Kg/ekor) Indeks Prestasi (IP) Harga Broiler (Rp/Kg) Profit (Rp/ekor)
Mandiri 28,908 1.69 4.08 35 1.90
Kemitraan Internal 7,875 1.68 4.12 33 1.88
Kemitraan Eksternal 14,300 1.68 4.10 34 1.89
313.50 17149.31 1458.42
313.75 17147.59 1012.32
313.63 17148.45 880.78
Sumber: Data hasil survei, Diolah Beberapa parameter ekonomi yang dikaji adalah skala usaha, tingkat harga yang diterima peternak, dan keuntungan peternak. Pada pola usahaternak mandiri rata-rata skala usaha berkisar antara 5.000-52.000 ekor atau rata-rata sebesar 28.908 ekor per peternak. Skala usaha pada kemitraan usaha internal berkisar antara 4.00012.000 ekor atau rara-rata 7.875 ekor per peternak. Skala usaha pada pola kemitraan ekternal berkisar antara 1.200-26000 ekor atau rata-rata 14.300 ekor per peternak. Nampak bahwa rata-rata skala usaha peternak mandiri adalah yang paling besar, karena hanya peternak mandiri dalam skala sedang hingga skala besarlah yang mampu bertahan. Pada skala tersebut peternak mandiri dapat akses
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
53
ke pabrikan pakan dan mampu meningkatkan efisiensi dalam pengengkutan sara produksi peternakan dan penjualan broiler hidup. Sementara itu pada pola kemitraan internal mensyaratkan skala minimal saat ini sebesar 4.000 ekor, sehingga masih ditemukan skala usaha 4.000 ekor. Perusahaan peternakan multinasional saat ini mensyaratkan skala usaha minimal 6.000 ekor per peternak. Pada pola kemitraan eksternal antara pemodal dan peternak plasma tidak ada syarat minimal, sehingga masih dijumpai skala 1.200 ekor per peternak. Pada pola usahaternak mandiri tingkat harga jual yang diterima berkisar antara Rp. 16.000-18.000/Kg atau rata-rata sebesar Rp 17.149/kg bobot hidup. Tingkat harga jual peternak pada kemitraan usaha internal berkisar antara 16.000-18.000 ekor atau rara-rata Rp. 17.148/Kg bobot hidup. Tingkat harga jual peternak pada pola kemitraan ekternal berkisar antara 16.000-18.000 ekor atau rata-rata Rp 17.148/Kg bobot hidup. Nampak bahwa rata-rata tingkat harga jual antar pola usahaternak relatif sama. Hal ini terutama disebabkan sebagian besar harga jual peternak kemitraan ditentukan melalui kontrak
dengan
perusahaan
inti
dan
harga
penjualan
oleh
perusahaan inti ke pedagang pengumpul atau broker ditentukan melalui harga patokan melalui PINSAR. Pada pola usahaternak mandiri tingkat keuntungan yang diterima peternak berkisar antara Rp 646-3.069/Kg atau rata-rata sebesar Rp 1458/Kg bobot hidup. Tingkat keuntungan peternak pada kemitraan usaha internal berkisar antara Rp. 801-1,333/Kg atau rararata Rp. 1.012/Kg bobot hidup. Tingkat keuntungan peternak pada pola kemitraan ekternal berkisar antara Rp 785-978/Kg atau rata-rata Rp 881/Kg bobot hidup. Nampak bahwa rata-rata tingkat keuntungan pada peternak mandiri lebih besar jika dibandingkan peternak kemitraan dan pada peternak kemitraan usaha internal lebih besar
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
54
dibandingkan kemitraan usaha eksternal. Namun variasi keuntungan pada peternak mandiri lebih besar dibangingkan peternak pola kemitraan usaha. Hal ini merefleksikan bahwa pada peternak mandiri menghadapi resiko fluktuasi harga yang lebih tinggi dibandingkan peternak kemitraan usaha. Hal ini terutama disebabkan pada pola kemitraan usaha harga jual ditentukan melalui kontrak dengan perusahaan inti dan harga penjualan oleh perusahaan inti ke pedagang pengumpul atau broker ditentukan melalui harga patokan melalui PINSAR. Informasi secara lengkap dan rinci tentang beberapa parameter ekonomi pada usahaternak broiler di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1 di atas. 4.1.3.
Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler
Beberapa ukuran untuk melihat struktur pasar adalah (Asmarantaka, 2009): (a) konsentrasi pasar (market concentration) diukur berdasarkan persentase dari penjual atau aset atau pangsa pasar; (b) Kebebasan keluar-masuk (exit-entry) pasar bagi calon penjual; dan (c) diferensiasi produk (product differentiation) dengan mengubah kurva permintaan yang elastis menjadi kurva permintaan yang inelastis (Asmarantaka, 2009). Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih banyak dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar yang digerakkan oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi sistem rantai nilai dari hulu hingga hilir (Daryanto, 2009). Untuk industri broiler struktur produksi pada kondisi tahun 1990-2000-an menunjukkan struktur produksi yang timpang, di mana pangsa produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar (60 %), skala menengah (20 %) dan skala kecil tinggal (20%) (Yusdja et al., 1999). Hasil kajian KPPU (2016) menunjukkan bahwa struktur produksi broiler di Indonesia dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar baik dengan usahaternak sendiri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
55
maupun melalui kemitraan usaha dengan pangsa (85%) dan peternak mandiri tingggal menguasai pangsa (15%). Secara empiris di lapang, pada kajian ini juga diperoleh informasi yang
relatif
sama,
secara
berturut-turut
penguasaan
perusahaan
peternakan skala besar baik melalui usahaternak sendiri maupun melalui divisi kemitraan usaha di Provinsi Jawa Barat diperkirakan mencapai (9095%), Kalimantan Timur (90%), Sumatera Barat (85%), Bali (80%), dan Jawa Timur (70%). Secara rinci, gambaran mengenai struktur pasar ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 4.2. Dalam kajian ini, struktur pasar dijelaskan dalam 3 kategori yakni konsentrasi pasar, kebebasan exit-entry pasar, dan diferensiasi produk. Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler Wilayah
1. Jawa Timur
Konsentrasi Pasar
Kebebasan ExitEntry Pasar
a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar 60% - Kemitraan eksternal 20% - Mandiri 20% b. Terjadi integrasi vertikal baik secara penuh maupun parsial. c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak). d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak - Oligopoli perusahaan peternakan skala besar - Persaingan sempurna di pengecer - Oligopsoni di supermarket/ swalayan
a. Peternak sedang b. RPA - sedang c. Pedagang Pengumpul mudah d. Pedagang besar/grosir sedang e. Pengecer – mudah f. Supermarket/ swalayansedang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Diferensiasi Produk Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.
56
Wilayah
2. Bali
3. Sumatera Barat
Konsentrasi Pasar
Kebebasan ExitEntry Pasar
a. Pangsa Pasar - Perusahaan peternakan besar 50% - Kemitraan eksternal 15% - Mandiri 35% b. Terjadi integrasi vertikal. c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar dan integrasi horizontal input (pakan ternak). d. Struktur pasar output - Oligopoli mengarah kartel di peternak perusahaan besar. - Oligopsoni di peternak kecil. - Oligopoli di pedagang pengepul. - Persaingan monopolistik di pengecer - Oligopsoni di supermarket/ swalayan a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar 65% - Kemitraan eksternal 20% - Mandiri 15% b. Terjadi integrasi vertikal secara parsial dan integrasi horizontal. c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak). d. Struktur pasar output - Oligopoli mengarah kartel di perusahaan peternakan skala besar. - Oligopsoni di peternak kecil.
a. Peternak sedang b. RPA - sedang c. Pengumpul mudah d. Pedagang besar/grosirsedang e. Pengecer – mudah f. Supermarket/ swalayantinggi
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.
a. Peternak sedang b. RPA - sedang c. Pengumpul mudah d. Pedagang besar - mudah e. Pengecer – mudah f. Supermarket/ swalayantinggi
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Diferensiasi Produk
57
Wilayah
4. Kalimantan Timur
Konsentrasi Pasar
a.
b. c. d.
5. Jawa Barat
a.
b. c. d.
- Oligopoli di pedagang pengepul. - Persaingan monopolistik di pengecer - Oligopsoni di supermarket/ swalayan Pangsa Pasar - Perusahaan besar 65% - Kemitraan eksternal 25% - Mandiri 10% Terjadi integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak). Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak kecil. - Oligopoli di pedagang pengepul. - Persaingan monopolistik di pengecer - Oligopsoni di supermarket/ swalayan Pangsa Pasar - Perusahaan besar 75% - Kemitraan eksternal 20% - Mandiri 5% Terjadi integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak). Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak kecil. - Oligopoli di pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Kebebasan ExitEntry Pasar
Diferensiasi Produk
a. Peternak sedang b. RPA - sedang c. Pengumpul mudah d. Pedagang besar - mudah e. Pengecer – mudah f. Supermarket/ swalayansedang
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas.
a. Peternak sedang b. RPA - sedang c. Pengumpul mudah d. Pedagang besar - mudah e. Pengecer – mudah f. Supermarket/ swalayansedang
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas dan parting.
58
Wilayah
Konsentrasi Pasar
Kebebasan ExitEntry Pasar
Diferensiasi Produk
pengepul. - Persaingan monopolistik di pengecer - Oligopsoni di supermarket/ swalayan
4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi 4.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler Secara
empiris
di
lapang
menunjukkan
bahwa
usaha
peternakan ayam ras pedaging (broiler) sebagian besar diusahakan dalam bentuk pola-pola kemitraan usaha (Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Bali), meskipun dibeberapa lokasi penelitian masih banyak ditemukan pola usahaternak mandiri (kasus di Provinsi Bali). Beberapa pola kemitraan yang berlangsung secara garis besar dapat dibedakan kemitraan usaha internal, yaitu kemitraan usaha antara perusahaan pakan ternak sebagai inti dan peternak sebagai plasma/mitra dan kemitraan usaha eksternal, yaitu kemitraan antara pemodal besar sebagai inti dan peternak sebagai plasma/mitra. Pada bagian ini akan dilakukan analisis kelayakan usahaternak baik untuk pola mandiri, kemitraan usaha internal dan kemitraan usaha eksternal. Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola mandiri dilakukan pada skala usaha 21.375 ekor. Struktur biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola mandiri kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut. Berdasarkan Tabel 4.3 tersebut memberikan beberapa informasi pokok sebagai berikut:
(1) Besarnya total biaya produksi
usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola mandiri sebesar Rp
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
59
614,531,390,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp 453,602,066/siklus (73.81%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 119,700,000,-/siklus (19.34%).
Biaya-
biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp 32,129,952,-/siklus (5,23%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp. 7,521,875,-/siklus (1.22%). Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola mandiri dengan tingkat produksi 39,256 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp. 17,784, -/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 698,123,336/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp 196,875/siklus, dan penjualan kotoran ayam Rp. 572,688,-/siklus
produksi.
Besarnya
tingkat
pendapatan
atau
keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 70,589,798,- per siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola mandiri sebesar Rp 15,654,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya
produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar 1.14 . Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola
kemitraan
internal
layak
diusahakan,
namun
efektivitas pengembalian modal tergolong rendah.
dengan
tingkat
Secara umum,
analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 4.3.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
60
Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus), Tahun 2016 No Deskripsi I Biaya produksi
Mandiri Harga (Rp/Unit)
Fisik (Unit)
Nilai (Rp)
1 DOC (ekor)
21,375
5,600
119,700,000
2 Prestater (Kg)
29,828
7,100
211,775,250
3 Grower (Kg) 4 Vaksinasi (Rp)
37,204
6,500
241,826,813 2,300,000
5 Obat-obatan (Rp)
3,973,958
6 Mineral/Vitamin (Rp) 7 Jamu (Rp)
2,313,125 46,875
8 Sanitasi (Liter)
7.5
5000
9 Biaya pemanas (Rp) Biaya variabel lain (air, listrik) 10 (Rp) 11 Penyusutan (Rp)
14,674,375 3,940,369 4,843,750
12 transportasi (Rp)
469,375
13 PBB (Rp) 14 Lainnya (Rp)
983,125 125,000
15 TK Dalam keluarga (Orang)
2.00
1,043,750
2,087,500
16 TK Luar keluarga (Orang)
4.63
1,175,000
5,434,375
Total biaya (Rp) II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg)
614,531,390 39,256
17,784
698,123,336
88 1,041
2,250 550
196,875 572,688
Penerimaan (Rp)
-
-
698,892,898
III Pendapatan (Rp)
-
-
70,589,798
2 Ayam Afkir (Kg) 3 Pupuk kotoran (Kg)
IV R/C V Biaya pokok produksi (Rp/Kg)
1.14 15,654
VI Harga jual (Rp/Kg)
17,784
VII Keuntungan (Rp/Kg)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
37,500
1,798
61
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal dilakukan pada skala usaha 7,875 ekor. Struktur biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola kemitraan internal kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut. Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal sebesar
Rp 195,324,990,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya
terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp 133,427,698,-/siklus (68,31%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 43,509,375,-/siklus (26.74%). Biaya-biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp 13,432,083,-/siklus (6,88%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp. 4,254,167,-/siklus (2.56 %). Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola kemitraan internal dengan tingkat produksi 12,926 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp. 16,875,-/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 218,130,469,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp 500,000,-/siklus, dan penjualan kotoran ayam Rp. 600,000,-/siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 23,905,479,- per siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola kemitraan internal sebesar Rp 15,111,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar 1.12. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola kemitraan internal layak diusahakan, namun dengan tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong rendah.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
62
Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus), Tahun 2016 No
Deskripsi Biaya produksi
Fisik (Unit)
I
Mitra Internal Harga (Rp/Unit)
Nilai (Rp)
1
DOC (ekor)
7,875
5,525
43,509,375
2
Prestater (Kg)
6,411
7,125
45,680,156
3 4
Grower (Kg) Vaksinasi (Rp)
12,952
6,775
87,747,542 1,147,500
5
Obat-obatan (Rp)
6 7
Mineral/Vitamin (Rp) Jamu (Rp)
8
Sanitasi (Liter)
1,850,000 633,333 0 0
9
Biaya pemanas (Rp) Biaya variabel lain (air, listrik) 10 (Rp) 11 Penyusutan (Rp)
7,263,750 387,500 2,150,000
12 transportasi (Rp)
266,667
13 PBB (Rp) 14 Lainnya (Rp)
435,000 0
15 TK Dalam keluarga (Orang)
1.33
1,250,000
1,666,667
16 TK Luar keluarga (Orang)
2.33
1,250,000
2,587,500
II
Total biaya (Rp) Penerimaan
1
Broiler hidup (Kg)
2 3
Ayam Afkir (Kg) Pupuk kotoran (Kg) Penerimaan (Rp)
III
Pendapatan (Rp)
195,324,990 12,926
16,875
218,130,469
50 5,000
10,000 120
500,000 600,000
18,800
16,000
219,230,469 23,905,479
IV R/C V Biaya pokok produksi (Rp/Kg)
1.12 15,111
VI Harga jual (Rp/Kg)
16,875
VII Keuntungan (Rp/Kg)
1,849
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan eksternal dilakukan pada skala usaha 14,300 ekor.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
63
Struktur biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola kemitraan eksternal kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus), Tahun 2016 No I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Deskripsi Biaya produksi DOC (ekor) Prestater (Kg) Grower (Kg) Vaksinasi (Rp) Obat-obatan (Rp) Mineral/Vitamin (Rp) Jamu (Rp) Sanitasi (Liter) Biaya pemanas (Rp) Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) Penyusutan (Rp) transportasi (Rp) PBB (Rp) Lainnya (Rp) TK Dalam keluarga (Orang) TK Luar keluarga (Orang)
III
Total biaya (Rp) Penerimaan Broiler hidup (Kg) Ayam Afkir (Kg) Pupuk kotoran (Kg) Penerimaan (Rp) Pendapatan (Rp)
IV V VI VII
R/C Biaya pokok produksi (Rp/Kg) Harga jual (Rp/Kg) Keuntungan (Rp/Kg)
II 1 2 3
Kemitraan eksternal Fisik (Unit) Harga Nilai (Rp) (Rp/Unit) 14,300 5,975 85,442,500 14,229 7,475 106,358,038 30,270 7,000 211,891,680 1,630,000 3,773,750 882,500 0 450,000 8,887,500
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
2.00 4.00
1,250,000 1,250,000
820,000 3,730,645 112,500 537,500 0 2,500,000 5,000,000 432,016,613
25,919
17,825
462,004,268
462,004,268 29,987,655 1.07 16,668 17,825 1,157
64
Tabel 4.5 merefleksikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut: pedaging
(1) Besarnya total biaya produksi usahaternak ayam ras (broiler)
pola
kemitraan
eksternal
sebesar
Rp
432,016,613,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp 318,249,718,-/siklus (73.70%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 85,442,500,-/siklus (19.78%). Biaya-biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp 20,824,395,-/siklus (4,82%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp. 7,500,000,-/siklus (1.74%). Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola kemitraan eksternal dengan tingkat produksi 25,919 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp. 17,825, -/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 462,004,268, -/siklus. Besarnya tingkat pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 29,987,655, - per siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola kemitraan internal sebesar Rp 16,688, -/Kg bobot hidup. Berdasarkan
tingkat
penerimaan
dan
biaya
produksi
yang
dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar 1.07. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola kemitraan eksternal layak diusahakan, namun dengan tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong rendah. 4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler Secara empris di lapang (Provinsi Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Bali dan Jawa Barat) terdapat tiga pola usaha peternakan ayam ras pedaging (broiler), yaitu : (a) Pola usahaternak
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
65
mandiri, di mana peternak sebagai tukang ternak sekaligus manajer sebagai pelaksana dan sekaligus pengambil keputusan dalam menjalankan usahanya serta menerima keuntungan yang diperoleh dan menanggung resiko yang mungkin timbul; (b) Pola Kemitraan Usaha Internal, adalah kerjasama usaha antara peternak dengan perusahaan peternakan terintegrasi (Breeding Farm, Feed Mill, dan beberapa juga memiliki industri pengolahan), seperti PT. Charoen Phokpand Indonesia (PT. CPI), PT Japfa Comfeed, PT Malindo, PT Chiel Jedang-PIA, PT Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, PT Hybro Indonesia, PT Extravet Nasuba, PT Wonokoyo, CV Missouri, PT Reza Perkasa, PT Satwa Borneo Jaya, PT. Anwar Sierad Produce, PT. PKP; dan (c) Pola Kemitraan Usaha Eksternal yang biasanya merupakan Poultry Shop dan Pemodal atau Peternak skala besar : TMF (Tunas Mekar Farm), PPC (Putra Perdana Chicken). Dalam menjalankan usahanya ada pembagian hak dan kewajiban antara perusahaan inti dan peternak plasma, serta adanya pembagian manfaat dan resiko yang timbul. Kondisi saat ini, baik pada pola Kemitraan Usaha Internal dan Kemitraan Usaha Esternal terdapat sebagian besar dalam bentuk Pola kontrak kandang dan kuli (buruh),
peternak
menyebutnya
maklun,
di
mana
peternak
menyewakan kandangnya dengan hitungan per ekor DOC dan sekaligus bekerja sebagai buruh di kandangnya sendiri dengan hitungan per ekor DOC yang masuk. Meskipun demikian peternak masih mendapatkan insentif atau bonus jika mencapai parameter teknis tertentu, seperti FCR, mortalitas dan IP tertentu. Berdasarkan pola distribusi dan pemasaran yang ada maka terdapat tiga pola distribusi menurut pola usahaternaknya, yaitu : (1) Pola distribusi dan pemasaran pada usahaternak mandiri; (2) Pola distribusi dan pemasaran pada kemitraan usaha internal; dan (3) Pola distribusi dan pemasaran pada kemitraan usaha eksternal.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Pola
66
mandiri, masih ditemukan baik di Provinsi Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali dan Kalimantan Timur, namun eksistensinya dari waktu ke waktu terus menurun.
Pola usahaternak mandiri secara dominan
hanya ditemukan di Provinsi Bali (70%), sedangkan pola kemitraan usaha baik internal maupun eksternal jauh lebih dominan, di Provinsi Jawa Timur (70-80%), Sumatera Barat (80-90%), dan Kalimantan Timur (90-95%). Pada pola mandiri, di mana peternak adalah sebagai tukang ternak (kultivator) dan sekaligus sebagai menajer akan menerima segenap keuntungan dan segala risiko yang timbul dari usaha ternak yang dijalankan. Pada pola mandiri, pada prinsipnya peternak menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas memasarkan produk broiler yang dihasilkan. Pengambilan keputusan mencakup kapan memulai berternak dan memanen ternaknya, serta seluruh keuntungan dan risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak. Hasil kajian di lapang diperoleh informasi bahwa hanya peternakpeternak skala besar yang mampu bertahan dari gejolak produksi dan harga.
Peternak mandiri skala besar dengan skala di atas
10.000 ekor memiliki akses untuk memperoleh sarana produksi peternakan (DOC dan pakan) dari pabrikan langsung, karena mencapai efisiensi dalam pengangkutan, bahkan sebagian memiliki armada angkutan sendiri dan sebagian bergabung. Adapun ciri-ciri peternak mandiri adalah mampu membuat keputusan
sendiri
terkait
beberapa
hal
sebagai
berikut:
(a)
perencanaan usaha peternakan broiler; (b) menentukan fasilitas perkandangan dan peralatannya; (c) menentukan jenis dan jumlah sapronak yang akan digunakan; (d) menentukan saat kapan memasukkan DOC ke dalam kandang dan kapan melakukan panen; (e) menentukan manajemen produksi usahaternak broiler; (f) menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi; serta (g)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
67
tidak terikat dalam suatu kemitraan usaha, ikatan biasanya merupakan pola dagang umum atau transaksional (Rusastra et. al., 2006).
Konsumen Rumah Tangga
Pengolahan Makanan
Pedagang Besar/Grosir di Pasar
-
Pedagang Pengecer Pasar/Warung
Hotel Restoran Rumah sakit dll
Pasar Modern (hyper market/Swalayan)
Rumah Potong Ayam/RPA
Pedagang Pengumpul
Peternak Broiler Rakyat
Agen Besar/Broker// Supplier
Perusahaan Peternakan Broiler
Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak Mandiri. Pada saat ini di Provinsi Bali berdasarkan studi eksplorasi dan wawancara langsung dengan peternak broiler dan pelaku tata niaga broiler masih cukup ditemukan adanya peternak broiler mandiri, sedangkan di lokasi penelitian lain sulit ditemukan peternak mandiri. Peternak mandiri di lokasi-lokasi penelitian yang mampu bertahan terbatas pada peternak mandiri skala cukup besar, sedangkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
68
peternak mandiri skala kecil banyak yang gulung tikar (colaps), karena beberapa gejolak eksternal, seperti krisis moneter (19971998), serangan wabah Avian Influence (2003-2005), dan krisis finansial global (2008). Saat ini beberapa peternak mandiri skala kecil hanya
mengusahakan
usahaternak
menjelang
hari-hari
raya
keagamaan terutama menjelang hari raya Idul Fitri dan menjelang Natal dan Tahun Baru, dan khusus di Provinsi Bali menjelang harihari besar Hindu, seperti Galungan. Rantai distribusi dan pemasaran pada pola usahaternak mandiri dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut. Berdasarkan Gambar 4.1 tersebut menunjukkan ada dua sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak mandiri skala besar dan peternak broiler rakyat (skala kecil) yang eksistensinya makin berkurang. Hasil usahaternak broiler dari peternak skala besar dijual ke agen/broker atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian dijual untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian untuk tujuan pasar modern (Carefour, Giant, Yogya Supermarket, dan Hyper Market) dan konsumen institusi (Restoran/Rumah Makan, Katering, Hotel, dan Rumah Sakit). Sementara itu, hasil broiler rakyat di
jual
kepada
pedagang
pengumpul,
selanjutnya
pedagang
pengumpul menjual RPA atau pedagang besar (middle man), selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional. Berdasarkan wawancara dengan para peternak bahwa sudah cukup lama terjadi pergeseran dari awalnya dominan peternak mandiri, kemudian dominasi ke arah kemitraan usaha baik kemitraan internal maupun eklsternal. Berdasarkan informasi dari FGD dengan pelaku usaha, Dinas Peternakan setempat dan Dinas Teknis terkait kemitraan untuk ayam ras pedaging (broiler) di lokasi penelitian diperoleh informasi pokok: (1) Terdapat dua jenis kemitraan usaha,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
69
yaitu kemitraan internal, yaitu kemitraan usaha antara perusahaan peternakan (DOC dan pakan) sebagai inti dengan peternak sebagai plasma dan kemitraan usaha eksternal antara pemodal sebagai inti dengan peternak sebagai plasma; (2) terdapat tiga pola kemitraan usaha antara Perusahaan Inti dengan peternak plasma, yaitu : (a) Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan melalui kontrak harga pada saat DOC masuk kandang; (b) Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan harga broiler mengikuti harga pasar; dan (c) Pola Bagi Hasil dan bagi resiko (profit risk sharing). Beberapa alasan peternak beralih dari pola usahaternak mandiri ke pola kemitraan usaha baik kemitraan usaha internal maupun eksternal, antara lain adalah: (a) kekurangan modal usaha, terutama setelah mengalami kerugian akibat gejolak eksternal; (b) mengurangi risiko kegagalan/kerugian, melalui kemitraan usaha ada pembagian resiko (risk sharing); (c) untuk memperoleh jaminan kepastian penghasilan, melalui kemitraan ada pembagian keuntungan (profit sharing); (d) memanfaatkan kandang yang kosong; dan (e) untuk memperoleh jaminan kepastian dalam pemasaran, di mana seluruh hasil ditampung dan dipasarkan oleh perusahaan inti. Bagi perusahaan inti pada kemitraan internal beberapa alasan pokok melakukan kemitraan adalah: (a) untuk mendapatkan jaminan kepastian dalam penjualan DOC; (b) untuk mendapatkan jaminan kepastian dalam penjualan pakan; (c) mengurangi biaya investasi lahan, kandang, serta alat; dan (d) mendapatkan tenaga kerja terampil dengan upah yang relatif murah. Sistem distribusi dan pemasaran pada pola kemitraan usaha internal dengan mengambil kasus di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
70
Konsumen Rumah Tangga Pengolahan Makanan
Pedagang Besar/Grosir di Pasar
-
Hotel Restoran Rumah sakit dll
Pasar Modern (Super market/hiper market)
Pedagang Pengecer Pasar/Warung
Rumah Potong Ayam/RPA
Agen Besar/ Broker/Supplier
Pedagang Pengumpul
Perusahaan Inti: Perusahaan Peternakan/pabrik pakan
Peternak Plasma
Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Internal
Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa ada dua sumber hasil ternak broiler pola kemitraan usaha internal, yaitu peternak broiler plasma yang menjadi plasma perusahaan peternakan (skala minimal 4000 ekor) dan hasil produksi yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan inti dari divisi budidaya (skala besar). Sesuai perjanjian seluruh hasil produksi broiler peternak plsma di tampung sepenuhnya oleh
perusahaan
inti
(perusahaan
peternakan
terintegrasi).
Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil broiler.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
71
Berbeda dengan peternak mandiri yang sebagian besar pemasaran dilakukan melalui pedagang pengumpul dan sebagian melalui agen/broker atau supplier, pada kemitraan kemitraan usaha internal penjualan dilakukan melalui agen/broker melalui sistem DO selanjutnya agen/broker menjual kepada pedagang besar (grosir pasar), pedagang besar (grosir) umumnya memiliki RPA/TPA dan atau menggunakan (RPA) jasa pemotongan selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional dan sebagian dijual pemasok (supplier) untuk memasok hyper market, restoran/rumah makan, katering, hotel, dan rumah sakit. Konsumen Rumah Tangga Pengolahan Makanan
Pedagang Besar/Grosir di Pasar
-
Pedagang Pengecer Pasar/Warung
Hotel Restoran Rumah sakit dll
Pasar Modern (Super market/hiper market)
Rumah Potong Ayam/RPA
Pedagang Pengumpul
Agen Besar/ Broker/Supplier
Peternak Plasma
Perusahaan Inti: Pemodal/Poultry Shop/Peternak skala besar
Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
72
Sistem distribusi dan pemasaran pada pola kemitraan usaha eksternal dengan mengambil kasus di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan Gambar 4.3, ditunjukkan bahwa ada dua sumber hasil ternak broiler pada pola kemitraan usaha eksternal, yaitu peternak broiler plasma yang menjadi plasma perusahaan inti dan hasil produksi yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan inti yang pada umumnya skala besar. Sesuai perjanjian seluruh hasil produksi broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti (pemodal besar, poultry shop, dan peternak skala besar yang bukan merupakan
perusahaan
peternakan
terintegrasi).
Selanjutnya
perusahaan inti yang memasarkan hasil broiler. Pada
kemitraan
eksternal
ini
dalam
saluran
distribusi
pemasarannya berada diantara saluran pola usahaternak mandiri dan kemitraan internal. Pada pola ini peran pedagang pengumpul dan agen/broker atau supplier relatif berimbang, pada kemitraan usaha eksternal penjualan dilakukan melalui pedagang pengumpul dan agen/broker dapat melalui sistem DO atau non DO, selanjutnya pedagang pengumpul dan agen/broker menjual kepada pedagang besar (grosir pasar), pedagang besar (grosir) umumnya memiliki RPA/TPA
dan
atau
menggunakan
(RPA)
jasa
pemotongan
selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional dan warung, dan sebagian lainnya dijual kepada
pemasok
(supplier)
untuk
memasok
hyper
market,
restoran/rumah makan, katering, hotel, dan rumah sakit. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sistem kerjasama kemitraan usaha yang dilakukan dalam proses produksi ayam broiler, perusahaan melakukan pola kemitraan dengan peternak. Dalam hal ini perusahaan bertindak selaku inti dan peternak sebagai plasma. Inti bertindak sebagai penyedia sapronak (DOC, pakan, vaksin dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
73
obat-obatan), memberi bimbingan teknis pemeliharaan kepada peternak plasmanya dalam melakukan budidaya, dan menangani pemasaran hasil panen. Mekanisme kemitraan seluruhnya ditentukan oleh perusahaan inti (meliputi: syarat menjadi peternak plasma, penetapan harga sapronak dan hasil panen, pengaturan pola produksi
serta
pengawasan,
pemberian
bonus
atau
sangsi).
Sementara itu peternak plasma berkewajiban untuk menyediakan kandang dan peralatan produksi serta melakukan pemeliharaan sebaik-baiknya.
4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler Tomeck
dan
Robinson
(1990)
mendefinisikan
margin
pemasaran sebagai: (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen, atau (2) sebagai harga yang dibayar untuk jasa pemasaran yang dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran jasa tersebut. Termasuk dalam margin tersebut adalah seluruh biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga mulai dari gerbang petani sampai konsumen akhir dan keuntungan pemasaran (marketing profit) yang merupakan imbalan jasa-jasa lembaga tataniaga dalam menjalankan fungsinya. Margin tataniaga atau margin pemasaran produk ayam ras pedaging (broiler) dibedakan menurut tiga saluran pemasaran berdasarkan pola usahaternak yang dilakukan, yaitu saluran pemasaran pola usahaternak mandiri, kemitraan usaha internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk pola usaha ternak mandiri margin
pemasaran
dihitung
dari
tingkat
peternak,
pedagang
pengumpul/broker, RPA, pedagang besar (grosir), sampai dengan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
74
internal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, RPA, pedagang besar (grosir) dan pedagang pengecer pasar.
Untuk pola usahaternak
kemitraan usaha eksternal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (pemodal), agen/broker, pedagang besar (grosir) sampai ke pedagang pengecer. Pada Tabel 4.6 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak mandiri di Provinsi Bali. Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Provinsi Bali, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 17,600 17,600 400 100 200 15 615 19.400 1.185 19.400 400 100 150 225 20 895 75
No
IV
V
Uraian 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya Tenaga Kerja d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 21.300 1.005 21.300 28.400 750 300 100 50 30 1.230 30.380 750 30.380 200 100 250 15 30 615 32.500 1.505
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,21%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 9.033,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 4.488,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.545,/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.505,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.185,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
76
sebesar Rp. 1.105,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 750; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka
keuntungan
terbesar
diterima
oleh
pedagang
pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer. Pada Tabel 4.7 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Jawa Timur. Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Jawa Timur, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 17,500 17,500 500 100 200 20 720 19.300 1.080 19.300 500 100 150 225 20 995 21.200
77
No IV
V
Uraian
Biaya/Harga (Rp/Kg) 905
4. Keuntungan Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya Tenaga Kerja d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
21.200 28.250 750 305 100 50 30 1.235 30.250 765 30.250 200 100 200 10 20 615 32.000 1.200
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.732,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.935,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.200,-/Kg, pedagang
pengumpul
sebesar
Rp.
1.080,-/Kg,
pedagang
pengepul/broker sebesar Rp. 905,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
78
pasar sebesar Rp. 765,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer. Pada Tabel 4.8 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Sumatera Barat. Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Sumatera Barat, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan IV Pedagang Besar/Grosir
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 16,500 16.500 600 100 200 15 915 18.500 1.085 18.500 500 100 150 225 20 995 20.500 1.005
79
No
V
Uraian 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya Tenaga Kerja d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 20.500 27.300 750 275 100 50 30 1.205 29.280 775 29.280 250 100 250 20 30 650 31.300 1.370
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 70,29%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 9.300,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 3.815,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 5.485,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.370,-/Kg, pedagang
pengumpul
sebesar
Rp.
1.085,-/Kg,
pedagang
pengepul/broker sebesar Rp. 995,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 775,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
80
pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer. Pada Tabel 4.9 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Kalimantan Timur. Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 17.500 17.500 350 100 150 15 615 19.150 1.035 19.150 400 100 150 225 20 895 21.000 995 21.000 28.000 81
No
V
Uraian 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya Tenaga Kerja d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 750 300 100 50 20 1.220 30.000 780 30.000 200 100 200 15 30 545 32.000 1.455
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual diperoleh beberapa gambaran pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.402,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.265,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.445,-/Kg, pedagang
pengumpul
sebesar
Rp.
1.035,-/Kg,
pedagang
pengepul/broker sebesar Rp. 995,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 780,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
82
penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer. Pada
Tabel
4.10
menyajikan
secara
rinci
biaya
yang
dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan eksternal kasus di Provinsi Kalimantan Timur. Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 17,500 17,500 300 100 150 15 555 19.000 1.045 19.000 400 100 150 225 20 895 21.000 1.105 21.000
83
No
V
Uraian 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya Tenaga Kerja d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 28.000 750 300 100 50 30 1.230 30.000 770 30.000 200 100 200 15 30 545 32.000 1.455
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual merefleksikan beberapa gambaran pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.302,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.365,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.445,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.045,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 895,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 770,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
84
pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer. Marjin tataniaga atau marjin pemasaran produk ayam ras pedaging (broiler) di Jawa Barat dibedakan menurut tiga saluran pemasaran berdasarkan pola usahaternak yang dilakukan, yaitu saluran pemasaran pola usahaternak mandiri, kemitraan usaha internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk setiap pola usaha ternak margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak, pedagang pengumpul/broker, RPA, pedagang besar (grosir), sampai dengan
pedagang
pengecer
pasar.
Untuk
pola
usahaternak
kemitraan usaha internal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, pedagang besar (grosir) dan pedagang pengecer pasar. Pada Tabel 4.11 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak mandiri. Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga diperoleh beberapa informasi pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah
81,18%
setara daging ayam, yang menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 5,250,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 2.150,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.100,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 1.125,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 775,-
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
85
/Kg, dan pedagang pengecer sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp.
1.250,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker sebesar
Rp. 975,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,/Kg daging ayam; dan (e) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer.
Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 17.900 17.900 400 100 100 150 25 775 19.650 975 19.650 28.000 750 200 100 50 25 1.125 86
No
IV
Uraian 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 30.000 875 30,000 150 50 25 25 250 31.500 1.250
Pada Tabel 4.12 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola Kemitraan usaha internal. Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 18,000 18.000 350 100 100 150 25 725 19.700 975 19.700 28.150 87
No
IV
Uraian 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 750 150 100 50 25 975 30.000 875 30.000 150 50 25 25 250 31.500 1.250
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga diperoleh beberapa temuan pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah
81,63% setara daging ayam, yang
menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 5,250,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 1.950,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.100,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 975,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 725,-/Kg, dan pedagang pengecer sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
88
pengepul/agen/broker
sebesar
Rp.
975,-/Kg,
dan
pedagang
besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-/Kg daging ayam; dan (e) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer. Pada Tabel 4.13 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola Kemitraan usaha eksternal. Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal di Jawa Barat, 2016 No Uraian I Peternak II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Penampungan/penyimpanan e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan III Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan b. Biaya Transportasi c. Bongkar-muat c. Biaya handling/Packing d. Biaya Lainnya (retribusi)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 18,000 18,000 375 100 100 150 25 750 19.750 1.000
19.750 28.225 750 150 100 50 25 89
No
IV
Uraian Sub Total Biaya 3. Harga jual 4. Keuntungan Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi b. Bongkar-muat d. Biaya Sewa Tempat e. Biaya Lainnya (retribusi) Sub Total Biaya 3. Harga jual (Kg) 4. Keuntungan
Biaya/Harga (Rp/Kg) 1.075 30.175 875 30,175 150 50 25 25 250 31,675 1.250
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah
81,18% setara daging ayam, yang
menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 5,200,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 2.075,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.125,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 1.075,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 750,-/Kg, dan pedagang pengecer sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker
sebesar
Rp.
1.000,-/Kg,
dan
pedagang
besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-/Kg daging ayam; dan (e) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
90
terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer. Nampak bahwa struktur biaya dan keuntungan antara tiga pola usahaternak broiler di Jawa Barat hampir sama. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (a) struktur produksi broiler dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar dengan pangsa (85-90 %); (b) adanya harga Posko yang ditentukan PINSAR sebagai acuan pedagang pengepul atau pedagang besar dalam menebus broiler hidup di peternak yang menjadi anggota mitra usahanya; (c) tujuan pasar yang relatif sama antara ketiga pola usahaternak tersebut, yaitu untuk pasar tradisional atau pasar becek. Hasil analisis margin tataniaga ini juga menunjukkan adanya struktur pasar yang cenderung oligopolistik dan mengarah kartel pada pasar daging broiler di Jawa Barat, yaitu dengan adanya penentuan Posko dari PINSAR yang menjadi harga acuan oleh pedagang ayam yang mau menebus broiler ke peternak anggota mitra baik internal maupun eksternal. 4.3. Integrasi Pasar Broiler Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi harga adalah Integrasi Pasar Ravallion. Model ini telah digunakan secara luas dan dikembangkan serta didiskusikan dalam analisis integrasi pasar spasial. Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua variabel tersebut terhadap harga di tingkat peternak telah dikembangkan suatu indeks hubungan pasar yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat peternak, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila nilai indeks IMC = 0
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
91
yaitu b1 = -1, dikatakan pasar terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi. 4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan pasar, yaitu: (a) pasar tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) pasar tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pt = 1028,919* + 0,974 Pt-1*** + 0,308* (Pd – Pd-1) - 0,016 Pd-1 R2 = 0,946 IMC = -59,667 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga
ditingkat
pedagang
besar
(grosir)
di
Kota
Surabaya
ditransmisikan ke tingkat peternak. Apabila nilai parameter
b2
bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler di Jawa Timur. Nilai parameter b2 yang diperoleh pada estimasi diatas diperoleh nilai sebesar 0,308 atau lebih kecil dari 1 (satu). Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
92
Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya tidak tertransmisikan secara sempurna ke tingkat peternak. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,308 persen ditingkat peternak. Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang berlaku saat ini kurang dari satu baik untuk variabel peternak periode sebelumnya maupun untuk variabel harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak pada periode sebelumnya terhadap harga tingkat peternak saat ini bertanda positip dan kurang dari satu yaitu sebesar 0,974. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya jauh dibawah satu yaitu sebesar -0,016. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat peternak. Harga broiler ditingkat pedagang besar (grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama harga broiler ditingkat peternak. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat
peternak
saat
ini,
menunjukkan
tinggi
rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
93
antara pasar di tingkat peternak dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 59,667 jauh dari 0. Hal ini mengandung arti bahwa keterpaduan pasar broiler di Kota Surabaya antara harga broiler di tingkat peternak dan harga broiler di tingkat grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus broiler peternak yang menjadi anggota mitra perusahaan tersebut. Sementara itu, penentuan harga posko lebih ditentukan oleh faktor biaya pokok produksi daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga pakan ternak. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,946. Hal ini mengandung arti bahwa 95 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 5 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model. Artinya model yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan baik. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel) di Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pd = 559,823*** + 0,245 Pd-1 ** + 0,908 (Pc – Pc-1)*** + 0,678 Pc-1*** R2 = 0,999 IMC = 0,361 (terintegrasi) Keterangan : Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
94
Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Surabaya. Apabila nilai parameter
b2
bernilai 1, maka
perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 pada estimasi diatas diperoleh nilai sebesar 0,908 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer menyebabkan kenaikan harga 0,908 persen ditingkat pedagang besar (grosir). Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar (grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler maupun
pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar 0,245. Dengan besaran yang lebih besar juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
95
kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,678. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Subaya periode sebelumnya lebih besar dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) periode sebelumnya menjadi salah satu penentu pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
pengecer
(ritel)
periode
sebelumnya
terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 0,361. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota Surabaya antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga pengecer (ritel) adalah terintegrasi dengan baik. Secara relatif dari besaran IMC jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya keterpaduan pasar di Surabaya dari pedagang besar ke pedagang pengecer adalah yang terbaik. Lebih terintegrasinya pasar broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecar disebabkan oleh beberapa faktor: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh PINSAR tidak selalu diikuti oleh pelaku pasar, karena jumlah pelaku yang banyak dan memiliki jaringan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
96
masing-masing; (c) Informasi yang secara relatif lebih terbuka terutama informasi harga. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler dapat di Kota Surabaya dapat dijelaskan variabelvariabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik. 4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan pasar, yaitu: (a) pasar tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) pasar tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Sumatera Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pt = 948.167 + 0,979 Pt-1 *** + 0,052 (Pd – Pd-1) - 0,017 Pd-1 R2 = 0,956 IMC = -58,111 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
97
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga
ditingkat
pedagang
besar
(grosir)
di
Kota
Padang
ditransmisikan ke tingkat petani atau peternak broiler. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler di Sumatera Barat. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi di atas menunjukkan sebesar 0,052 atau jauh dari angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat peternak broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,052 persen ditingkat peternak broiler. Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang berlaku saat ini lebih dari satu untuk variabel peternak periode sebelumnya dan kurang dari satu untuk variabel harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar 0,979. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,017. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat peternak broiler. Harga broiler ditingkat pedagang besar (grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama harga ditingkat peternak.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
98
Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat
peternak
saat
ini,
menunjukkan
tinggi
rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat peternak dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 58,111. Hal ini mengandung arti bahwa keterpaduan pasar broiler di Kota Padang antara harga broiler di tingkat peternak dan harga grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya keterpaduan pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan.
Sementara itu
penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Padang juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di wilayah Sumatera lainnya terutama Sumatera Utara dan Lampung, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,956. Ini artinya bahwa 96 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 4 persen dipengaruhi oleh faktorfaktor lain diluar model. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
99
(ritel) di Provinsi Sumatera Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pd = 366.878* + 0,618 Pd-1 ** + 0,906 (Pc – Pc-1)*** + 0,343 Pc-1** R2 = 0,999 IMC = 1,799 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga
ditingkat
pedagang
pengecer
(ritel)
di
Kota
Padang
ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Padang. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,906 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer menyebabkan kenaikan harga 0,906 persen ditingkat pedagang besar (grosir). Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
100
(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler maupun
pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar 0,618. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang sama juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,343. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
pengecer
(ritel)
periode
sebelumnya
terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 1,799. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota Padang antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Namun
101
secara relatif dari besaran IMC jika dibandingkan dengan wilayahwilayah
lainnya
keterpaduannya
lebih
baik.
Kurang
adanya
keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya pokok produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Padang juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di wilayahwilayah lainnya terutama Sumatera Utara dan Lampung, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler dapat di Kota Padang dapat dijelaskan variabelvariabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik. 4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a) tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Bali diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pt = 1164,083 + 0,987 Pt-1*** + 0,342** (Pd – Pd-1) - 0,028 Pd-1 R2 = 0,940 IMC = -35,862 (tidak terintegrasi) Keterangan :
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
102
Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali ditransmisikan ke tingkat petani dalam hal ini peternak broiler. Apabila nilai parameter b2
bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada
tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,342. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat peternak broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,342 persen ditingkat peternak broiler. Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang berlaku sekarang kurang dari satu, baik pada tingkat peternak maupun pada pedagang besar (grosir). Pengaruh harga pada tingkat peternak sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar 0,987. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,028. Hasil estimasi ini menunjukkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
103
bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat peternak broiler. Harga broiler di Kota Bali ditingkat pedagang besar (grosir) bukanlah penentu pembentukan harga ditingkat petani atau peternak. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
petani/peternak sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat petani saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan
pasar
jangka
panjang
antara
pasar
di
tingkat
petani/peternak dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 35,862. Hal ini menunjukkan keterpaduan pasar broiler di Kota Bali antara harga broiler di tingkat petani/peternak dan harga grosir tidak terpadu atau antara ke dua pasar peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terdapatnya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaanperusahaan besar peternakan dalam menerapkan strategi bersama, diantaranya dalam menyepakati harga posko sebagai harga acuan bagi pedagang dalam menebus broiler dipeternak yang menjadi anggota mitranya. Disamping itu, harga broiler di Kota Bali juga banyak ditentukan oleh pasokan dari Pulau Jawa terutama Jawa Timur, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,94. Ini artinya bahwa 94 persen variasi harga di tingkat petani/peternak broiler dapat dijelaskan variabel-variabel bebasnya (independent variabel),
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
104
sedangkan selebihnya sebesar 6 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel) di Provinsi Bali diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pd = -74,895 + 0,942 Pd-1*** + 0,902 (Pc – Pc-1)*** + 0,056 Pc-1 R2 = 0,998 IMC = 16,834 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Bali. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,902 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
105
pengecer menyebabkan kenaikan harga 0,902 persen ditingkat pedagang besar (grosir). Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar (grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler maupun
pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar 0,942. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang sama juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,056. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) sebelumnya
bukanlah
penentu
pembentukan
harga
ditingkat
harga
ditingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
pedagang besar (grosir) sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 16,834. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
106
Bali antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terdapatnya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaanperusahaan besar peternakan. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya pokok produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Bali juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di pasar Pulau Jawa terutama Jawa Timur, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,998. Ini artinya bahwa 99,8 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir) daging
broiler
dapat
dijelaskan
variabel-variabel
bebasnya
(independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,02 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik. 4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a) tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Kalimantan Tmur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pt = 813,709 + 0,945 Pt-1*** + 0,498** (Pd – Pd-1) + 0,019 Pd-1 R2 = 0,924 IMC = 50,767 (tidak terintegrasi)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
107
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging ayam di Kota Samarinda ditransmisikan ke tingkat peternak broiler. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler di Kalimantan Timur. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,498 atau lebih kecil dari 1 (satu). Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga daging broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang tidak tertransmisikan secara sempurna ke tingkat peternak broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler sebesar satu persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan
harga
hanya
sebesar
0,498
persen
atau
sekitar
setengahnya ditingkat peternak broiler. Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang berlaku saat ini lebih kecil dari satu baik untuk variabel peternak periode sebelumnya maupun variabel harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip sebesar 0,945 atau dibawah 1 (satu)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
108
namun sudah mendekati angka 1 (satu). Sama halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang juga bertanda positip, namun kontribusinya jauh lebih kecil dari 1 (satu) yaitu sebesar 0,019. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat peternak broiler. Harga broiler ditingkat pedagang besar (grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama harga ditingkat peternak, namun lebih ditentukan harga peternak sebelumnya. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat
peternak
saat
ini,
menunjukkan
tinggi
rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol dikatakan adanya integrasi pasar jangka panjang antara pasar di tingkat peternak di Kalimantan Timur dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 50,767. Hal ini mengandung makna bahwa integrasi pasar broiler di Kota Samarinda antara harga broiler di tingkat peternak Kalimantan Timur dan harga grosir daging ayam di Samarinda tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar daging broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaanperusahaan besar peternakan dalam melakukan strategi bersama, diantaranya adalah penetapan harga posko sebagai acuan bagi pedagang dalam menebus broiler di tingkat peternak yang menjadi
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
109
anggota mitra usahanya. Sementara itu penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Samarinda juga dipengaruhi oleh pasokan dari Banjar Masin, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,924. Artinya adalah bahwa 92,4 persen variasi harga di tingkat peternak daging broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 7,6 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel) di Provinsi Kalimantan Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pd = -106,910 + 0,857 Pd-1*** + 0,946 (Pc – Pc-1)*** + 0,135 Pc-1 R2 = 0,999 IMC = 6,339 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Samarinda
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
110
ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Samarinda. Apabila nilai parameter
b2
bernilai 1, maka
perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,946 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Samarinda ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging
broiler
satu
persen
ditingkat
pedagang
pengecer
menyebabkan kenaikan harga 0,946 persen ditingkat pedagang besar (grosir). Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar (grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler maupun
pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu, namun cukup mendekati angka 1 (satu) yaitu sebesar 0,867. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang juga positip diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,135. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel)
di
Kota
Samarinda
periode
sebelumnya
lebih
kecil
dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
111
harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini, namun lebih ditentukan harga pedagang besar periode sebelumnya. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
pengecer
(ritel)
periode
sebelumnya
terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) daging broiler di Kota Samarinda. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 6,339. Hal ini menunjukkan tingkat integrasi pasar broiler di Kota Padang antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik.
Kurang
adanya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam menentukan harga bersama. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya pokok produksi usahaternak diantara perusahaan-perusahaan peternakan skala besar dan biaya pokok produksi tersebut sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Samarinda juga banyak ditentukan oleh pasokan yang berasal dari pasar Banjarmasin karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Artinya bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler dapat di Kota Samarinda dapat dijelaskan dengan baik
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
112
oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model dapat yang dibuat dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik. 4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a) tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Jawa Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pt = 1265,167* + 1,024 Pt-1** + 0,046 (Pd – Pd-1) - 0,068 Pd-1** R2 = 0,957 IMC = -15,057 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Bandung ditransmisikan ke tingkat peternak. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen di tingkat peternak broiler di Jawa Barat. Nilai b2 yang diperoleh dari hasil estimasi diatas Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
113
diperoleh nilai sebesar 0,046 atau jauh lebih kecil dari angka 1 (satu). Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung tidak ditransmisikan secara baik ke tingkat peternak broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,046 persen ditingkat peternak broiler. Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang berlaku saat ini lebih dari satu untuk variabel peternak periode sebelumnya dan kurang dari satu untuk variabel harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dan diatas satu yaitu sebesar 1,024. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,068. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir)
di
Kota
Bandung
periode
sebelumnya
lebih
kecil
dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga ditingkat peternak saat ini. Harga broiler ditingkat pedagang besar (grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama harga ditingkat peternak, namun lebih ditentukan harga peternak periode sebelumnya. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat
peternak
saat
ini,
menunjukkan
tinggi
rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
114
mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat peternak broiler dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 15,057. Hal ini berarti bahwa keterpaduan pasar broiler di Kota Bandung antara harga broiler di tingkat peternak dan harga grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya keterpaduan pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler di Jawa Barat saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan
wadah
perusahaan-perusahaan
besar
peternakan.
Dimana para pedagang membeli broiler ke peternak dengan berpatokan pada harga posko sebagai harga acuan. Sementara itu, penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Bandung juga banyak ditentukan oleh pasokan yang ada di daerahdaerah sentra produksi di Jawa Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Bogor) dan daerah pusat pasar utama DKI Jakarta, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,957. Ini artinya adalah 96 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 4 persen dipengaruhi oleh faktorfaktor lain diluar model. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel) di Provinsi Jawa Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: Pd = -32.506 + 1,274 Pd-1 *** + 0,932 (Pc – Pc-1)*** + 0,322 Pc-1**
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
115
R2 = 0,999 IMC = -3,953 (tidak terintegrasi) Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Bandung. Apabila nilai parameter
b2
bernilai 1, maka
perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,932 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging
broiler
satu
persen
ditingkat
pedagang
pengecer
menyebabkan kenaikan harga 0,932 persen ditingkat pedagang besar (grosir). Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar (grosir) yang berlaku saat ini lebih besar dari satu, sedangkan pada pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya lebih kecil dari satu. Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar periode sebelumnya Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
116
(pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal) saat ini bertanda positip lebih besar dari satu yaitu sebesar 1,274. Dengan besaran yang lebih kecil dari satu namun dengan tanda yang juga positip juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,322. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu utama pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Perbandingan
antara
koefisien
pengaruh
harga
ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
pengecer
(ritel)
periode
sebelumnya
terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar 3,953. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota Bandung antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga pengecer (ritel) adalah tidak terintegrasi dengan baik. Kurang adanya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
117
besar peternakan dalam melakukan kesepakatan harga posko bersama. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya pokok produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Bandung juga banyak dipengaruhi oleh pasokan dari daerah sentra produksi (Tasikmalaya, Ciamis, Bogor) dan harga di tujuan pasar utama DKI Jakarta, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan. Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler dapat di Kota Bandung dapat dijelaskan variabelvariabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik. 4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah Tingkat integrasi harga dapat juga dilihat dari pola dan pergerakan harga ayam broiler di tingkat peternak dan pengecer. Pada gambar 4.4, dapat dilihat pola pergerakan harga peternak dan pengecer untuk wilayah Surabaya. Jika dilihat pola pergerakan harga, terlihat bahwa terjadi pergerakan yang simetris antara harga di tingkat peternak dan pengecer.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
118
40.000 35.000 30.000 25.000
Rp/kg
20.000 15.000 10.000 5.000 0 -5.000
5 14 26 4 15 24 6 15 27 6 18 27 8 18 31 12 21 30 10 20 3 7 16 27 8 22 3 12 23 3 14 11 24 9 18 9 21 30 10 2 14 23 6 15 26 4 16 25 7 17 29 7 18 27 Agust
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb Mar Apr
Mei
Jun
2014
-10.000
Jul Agust Sep
Okt
Nov
Des
2015
Margin Peternak
Jan
Feb
Mar
Apr
2016
Peternak
Pengecer
Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya Pada gambar yang sama, juga terdapat tingkat margin peternak. Terlihat bahwa margin peternak di Surabaya lebih banyak yang bernilai negatif selama rentang waktu tersebut yang artinya peternak di Jawa Timur lebih sering mengalami kerugian. 40000 35000 30000 25000
Rp/Kg
20000 15000 10000 5000 0 12 20 28 5 15 23 1
-5000 -10000
Agust
Sep
9 17 27 4 12 20 28 8 16 24 6 14 26 5 17 2 2 13 21 29 9 17 25 3 3 11 20 7 15 5 13 21 29 6 16 7 15 23 5 13 21 29 Okt
Nov
Des
Jan
Feb Mar
Apr
2014
Jun
Jul Agust
2015
Margin Peternak
Pengecer
Sep
Okt Nov Des Jan Feb
Mar Apr
2016
Peternak
Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
119
Pada gambar 4.5, terlihat pergerakan harga tingkat peternak dan pengecer di Padang. Pola harga keduanya hampir sama dan diferensiasi nya simetris. Namun jika dilihat margin peternak, peternak Padang sangat merugi. Hal ini terlihat bahwa pada rentang waktu Agustus 2014 hingga April 2016 peternak lebih banyak mengalami kerugian. Hal ini juga sejalan dengan hasil survei yang dilakukan di kota Padang. Banyak sekali peternak mandiri yang harus gulung tikar. Sebagian peternak terpaksa berhenti beternak dan menyewakan asset kandangnya untuk peternak kemitraan skala kecil. 40.000 35.000
30.000 25.000
Rp/kg
20.000 15.000 10.000 5.000 -
4 13 22 2 11 22 6 15 24 4 14 26 5 18 31 12 21 2 11 23 4 8 17 28 Agust
(10.000)
4 15 24 6 3 12 1 10 9 21 30 10 2 14 23 6 11 25
(5.000) Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb Mar Apr
2014
Mei
Jun
Jul AgustSep Okt
Nov Des
2015
Margin Peternak
Pengecer
4
8
15 26
16 25
Jan
Feb
11 20 29 18 30
Mar
Apr
2016
Peternak
Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar Gambar 4.6 menunjukkan pola dan pergerakan harga ayam broiler di peternak dan pengecer untuk wilayah Denpasar dimana memiliki tren yang hampir sama dengan Surabaya. Baik harga peternak maupun harga pengecer memiliki pola yang sama dengan level diferensiasi yang juga relatif sama (simetri) dalam rentang waktu
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
120
pengamatan. Pada rentang waktu yang sama, margin peternak di Denpasar relatif lebih baik jika dibandingkan margin peternak di Surabaya. Hal ini dimungkinkan karena jumlah peternak mandiri di Denpasar lebih banyak sehingga memiliki pangsa yang lebih besar. Selain itu, tingkat profit yang lebih tinggi untuk peternak mandiri mengakibatkan margin peternak di Denpasar cenderung positif. Hal ini juga didorong oleh kebijakan pemerintah daerah yang membatasi pasokan ayam broiler dari luar Provinsi Bali. Lain halnya pola pergerakan harga tingkat peternak dan pengecer di Samarinda. Pola pergerakan harga dan tingkat diferensiasi harga keduanya juga tidak simetris sebagaimana di Surabaya, Denpasar dan Padang. Harga peternak terlihat relative lebih stabil dibandingkan harga di tingkat pengecer. Margin peternak di Samarinda juga lebih baik dibandingkan Surabaya dan padang. Secara agregat, margin peternak di Samarinda positif. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.7 berikut. 50000
40000
Rp/kg
30000
20000
10000
0
6 15 26 4 15 24 6 15 24 6 17 26 5 16 29 8 19 28 6 20 3 7 16 27 8 22 3 12 23 3 14 12 1 10 1 12 22 2 11 3 15 28 7 18 27 5 17 26 8 18 30 8 19 Agust
-10000
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb Mar Apr
Mei
Jun
2014
Jul Agust Sept
Okt
Nov
2015
Margin Peternak
Peternak
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
2016
Pengecer
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Samarinda Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
121
5. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis mengenai struktur pasar dalam pemasaran
ayam broiler, disimpulkan bahwa: a. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri di Indonesia adalah struktur pasar yang bersifat oligopsoni dimana harga lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang. b. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul/pengepul (broker) dan pedagang besar pasar (grosir) di Indonesia terhadap perusahaan skala besar (inti) adalah struktur pasar oligopoli yang mengarah ke bentuk kartel. c. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap pedagang diatasnya cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi Jawa Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna. d. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri yang memasok untuk Super Market/Hypermarket atau Pasar Swalayan di Kota-Kota Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni. e. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengepul dan antar pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler tergantung pada musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasai pasar sepi persaingan rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler tergolong tinggi. Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang. f. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota Besar di Indonesia dalam perolehan broiler/daging
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
122
ayam tergolong sedang hingga tinggi.
Persaingan dalam menjual
produk daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang direfleksikan tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer satu dengan lainnya. Sementara itu persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang. g. Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin tiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai berikut: a. Secara umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam pemasaran ayam broiler lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan kecuali bagi pedagang besar/grosir dimana biaya per unit output lebih besar daripada keuntungan. Hal ini merefleksikan cukup tingginya posisi tawar pedagang. b. Jika dibandingkan antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka keuntungan terbesar yang diterima oleh pelaku tataniaga secara berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik yang menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit output oleh masing-masing pelaku tataniaga.
Berdasarkan pola
margin (keuntungan) tiap pelaku di semua wilayah survei, dapat disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler tidak efisien kecuali di wilayah provinsi Jawa Timur 2. Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion, diperoleh hasil
bahwa: a. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota-Kota Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
123
merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus broiler di peternak mitra perusahaan tersebut. b. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan di tingkat pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Besar di Indonesia secara relatif lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke pedagang grosir. Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah sentra produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecer di Kota Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh asosiasi tidak selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c) Informasi relatif lebih terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara itu, di Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging ayam tidak terintegrasi dengan baik. 3. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen (perusahaan skala
besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan untuk penebusan pedagang pengepul/broker dan pedagang besar (grosir). Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan terintegrasi Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
124
dengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi Jawa Timur. 5.2. Rekomendasi 1. Perlu melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif yakni
dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada industri broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak tegas pelaku usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak sehat (oligopoli atau kartel). 2. Perlu adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara
pelaku usaha berdasarkan kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dengan: (a) menerapkan regulasi tentang harga acuan; (b) penataan pasar yang lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI Pasar Rakyat; dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban pedagang pengecer. 3. Meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang
besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur informasi harga secara online. 4. Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah
potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan melainkan juga sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi akses langsung peternak ke retail-retail modern (meat shop) di pusatpusat konsumen yang dikelola oleh asosiasi peternak (misalnya Toko Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD) maupun swasta; serta (c) membangun infrastruktur distribusi berupa cold storage.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
125
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, C & Wyeth, J 1994 Cointegration and Market Integration: An Application to the Indonesian Rice Market The Journal of Development Studies, Vol 30, No. 2, January 1994 pp. 303-328 Asmarantaka, R. W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bahri, D.I, Z. Fanani, dan B.A. Nugroho. 2012. Analisis Struktur Biaya dan Perbedaan Pendapatan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging pada Pola dan Skala Usaha Ternak yang Berbeda di Kota Kendari Provinsi SulawesiI Tenggara, Jurnal Ternak Tropika Vo.13, No. 1:35-46 Dahl, Dale C and Jerome W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw-Hill. USA. Djulin, A & Malian, AH 2003 Struktur dan Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di Daerah Produksi Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Ditjen PKH, 2013. Statistik Peternakan 2013. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian. Indonesia. Fackler, PL & Goodwin BK 2001 Spatial Price Analysis Departement of Agricultural & Resource Economics, North Carolina State University Fadilah, R. 2004. Panduan Mengelola Peternakan Aam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta. Fitriani, Anna, Heny K. Daryanto, Rita Nurmalina dan Sri Heny Susilowati (2014). Impact on Increasing Concentration in Indonesian Brolier Industry. International Journal of Poultry Science 13 (4): 191-197 Fitriani, Anna, Heny K. Daryanto, Rita Nurmalina dan Sri Heny Susilowati (2014). Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia: Pendekatan Model Simultan. Jurnal Agro Ekonomi 32 (2): International Journal of Poultry Science 13 (4): 167-186 Henderson, J. M., and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory A Mathematical Approach. McGraw Hill International Books Company. London. Koutsoyannis, A. 1979. Modern Microeconomics. Second Edition. Macmillan Press LTD. London.
The
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
126
Purcel, Wayne D. 1979. Agriculture Marketing: System, Coordination, Cash and Future Prices. A Prentice-Hall Company. Reston. Virginia. USA. Ravallion, M 1986 Testing Market Integration American Agricultural Economics Association Sarwanto, C. 2004. Kemitraan, Produksi dan Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar dan Sukohardjo). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sayaka, B 2006 Market Structure of The Corn Seed Industry in East Java Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 no. 2 Oktober 2006: 133-156 Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Saptana dan H. P. Saliem. 2015. Tinjauan Konseptual Makro-Mikro Pemasaran dan Implikasinya Bagi Pembangunan Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Volume 38 No. 2, Desember 2015, hal: 1-18. Tomeck, William G and Kenneth L. Robinson. 1990. Aricultural Product Prices. Third Edition. Cornell University Press. Tahir, Z 1997 Integration of Agricultural Commodity Markets in the South Punjab, Pakistan National Program, International Irrigation Management Institute Lahore ____PINSAR. 2016. Perkembangan Harga Peternak Ayam Broiler ____Ditjen Pedagangan Dalam Negeri. 2016. Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam di Indonesia
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
127
LAMPIRAN
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
128
MEMO KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA SEKTOR PERUNGGASAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP EFISIENSI PEMASARAN DAGING AYAM Isu Kebijakan 1. Studi awal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan adanya ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pemasaran/distribusi ayam broiler. Di antara pelaku di setiap rantai pemasaran, peternak berada pada posisi yang paling lemah. 2. Struktur pasar yang didominasi oleh perusahaan besar terintegrasi berdampak pada persaingan yang kurang berimbang sehingga mempengaruhi harga daging ayam di tingkat peternak hingga ke pengecer. 3. Perlu adanya analisis mendalam mengenai struktur, perilaku, dan kinerja rantai pemasaran/ distribusi produk unggas di Indonesia untuk melihat tingkat persaingan dan efisiensi pemasaran ayam broiler di tingkat peternak hingga ke pengecer. Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Ayam Broiler Indonesia dan Implikasinya terhadap Efisiesi Pemasaran 4. Struktur produksi industri broiler di Indonesia didominasi oleh perusahaan besar terintegrasi dengan pangsa pasar mencapai 85% dan sisanya (15%) merupakan peternak mandiri. Kondisi ini menyebabkan posisi peternak mandiri semakin tertekan. 5. Hasil analisis struktur pasar yang dihadapi pada setiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri di Indonesia adalah struktur pasar yang bersifat oligopsoni, karena harga lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang. Sementara itu pada pola usahaternak kemitraan usaha baik kemitraan internal maupun eksternal hanya diposisikan sebagai mitra kerja (plasma) yang dijamin penjualan dengan keuntungan terbatas yang ditetapkan oleh perusahaan inti, dengan syarat melakukan usahaternak dengan standar teknis dan manajemen yang direkomendasikan oleh perusahaan inti. b. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul/pengepul (broker) dan pedagang besar pasar (grosir) di Indonesia terhadap perusahaan skala besar (inti) adalah struktur pasar oligopoli yang mengarah ke bentuk kartel. Dalam hal ini produsen sejatinya adalah perusahaan inti yang memposisikan sebagai perusahaan oligopoli terhadap pedagang pengepul dan pedagang grosir broiler. Adanya indikasi kartel ini ditunjukkan adanya kesepakatan harga di antara perusahaan peternakan dalam penentuan harga jual melalui penentuan harga posko dimasing-masing wilayah. Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
129
c.
6.
Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap pedagang diatasnya cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi Jawa Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna. Hal ini ditunjukkan: (a) Jumlah pedagang besar (grosir) cukup banyak dan pengecer yang sangat banyak; (b) Penguasaan pangsa produksi broiler masing-masing pedagang besar (grosir) relatif sama besarnya; (c) relatif tingginya hambatan keluar masuk bagi pedagang besar/grosir (misalnya: fasilitas, permodalan, akses pasar untuk memperoleh dan menjual barang) dan relatif rendahnya hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang pengecer; dan (d) pedagang pengecer menjual produk yang homogen, daging broiler dengan jenis dan kualitas yang relatif sama. d. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri yang memasok untuk Supermarket/ Hypermarket atau Pasar Swalayan di KotaKota Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni. Secara umum harga ditetapkan oleh pihak Supermarket/ Hypermarket/ Pasar Swalayan, namun dengan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar (selisih harga berkisar Rp 20003000/Kg), namun tuntutan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pasokan sangat tinggi. Kerjasama antara pemasok dan supermarket/ hypermarket adalah dalam bentuk kontrak pemasaran spesifik untuk produk broiler, baik dalam bentuk karkas ayam segar maupun sudah dalam bentuk parting dengan spesifikasi yang telah ditentukan. e. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengepul dan antar pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler tergantung pada musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasi pasar sepi persaingan rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler tergolong tinggi. Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang. f. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di kota besar di Indonesia dalam perolehan broiler/daging ayam tergolong sedang hingga tinggi. Persaingan dalam menjual produk daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang direfleksikan tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer satu dengan lainnya. Sementara itu persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang. Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin tiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai berikut:
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
130
7.
8.
a. Secara umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam pemasaran ayam broiler lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan, kecuali bagi pedagang besar/grosir dimana biaya per unit output lebih besar daripada keuntungan. Hal ini merefleksikan cukup tingginya posisi tawar pedagang. b. Jika dibandingkan antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka keuntungan terbesar yang diterima oleh pelaku tataniaga secara berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik yang menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit output oleh masing-masing pelaku tataniaga. Berdasarkan pola margin (keuntungan) tiap pelaku di semua wilayah survei, dapat disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler tidak efisien kecuali di wilayah provinsi Jawa Timur Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion, diperoleh hasil bahwa: a. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang besar (grosir) di KotaKota Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus broiler di peternak mitra perusahaan tersebut. b. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan di tingkat pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di kota-kota besar di Indonesia secara relatif lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke pedagang grosir. Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah sentra produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecer di kota Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh asosiasi tidak selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c) Informasi relatif lebih terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara itu, di Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging ayam tidak terintegrasi dengan baik. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen (perusahaan skala besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
131
untuk penebusan pedagang pengepul/ broker dan pedagang besar (grosir). Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan terintegrasi dengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi Jawa Timur. Rekomendasi Kebijakan 9. Struktur pasar industri broiler secara umum bersifat oligopoli baik untuk pasar input (bibit, pakan, dan obat-obatan) maupun output (ayam broiler). Untuk itu perlu memperbaiki struktur pasar agar lebih kompetitif yakni dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada industri broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak tegas pelaku usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak sehat (oligopoli atau kartel). 10. Perlu adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dengan: (a) menerapkan regulasi tentang harga acuan; (b) penataan pasar yang lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI Pasar Rakyat; dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban pedagang pengecer. 11. Meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke peternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur informasi harga secara online. 12. Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan melainkan juga sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi akses langsung peternak ke retail-retail modern (meat shop) di pusat-pusat konsumen yang dikelola oleh asosiasi peternak (misalnya Toko Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD) maupun swasta; serta (c) membangun infrastruktur distribusi berupa cold storage.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
132