Position Paper Dampak Kebijakan Persaingan Usaha Di KPD Medan Terkait Kebijakan Penataan Menara Bersama
2010
Kantor Perwakilan Daerah Medan Jl. Ir. H. Juanda No. 9A Medan, Sumatera Utara Telp. : (061) 414 8603 Fax. : (061) 414 8603
Position Paper
Daftar Isi
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………………………………………………………
ii
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………………………………………………………………
iv
BAB I
Pendahuluan ………………………………………………………………………………………………………………………
1
I.1
Latar Belakang ……………………………………………………………………………………………………………………
1
I.2
Tujuan ………………………………………………………………………………………………………………………………
2
I.3
Output ………………………………………………………………………………………………………………………………
3
I.4
Sumber Usulan Evaluasi Kebijakan ……………………………………………………………………………………
3
I.5
Dasar Pelaksanaan Evaluasi Kebijakan ………………………………………………………………………………
3
I.6
Metedologi Pelaksanaan Kegiatan Evaluasi ………………………………………………………………………
3
BAB II
A.
Tahapan Studi Literatur ………………………………………………………………………………………
B.
Tahapan Pengumpulan Data dan Informasi …………………………………………………………
C.
Tahapan Pengolahan Data dan Informasi ……………………………………………………………
Kajian Literatur …………………………………………………………………………………………………………………
5
II.1
Perkembangan Telekomunikasi Nirkabel di Indonesia ……………………………………………………
5
II.2
Beberapa Permasalahan Yang Berkaitan Dengan BTS (Based Transceiver Station) ………
11
II.3
Kebijakan dan Regulasi ……………………………………………………………………………………………………
18
A.
18
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Mentri KOMINFO dan Kepala BKPM …………………………………………………………………………………
B. BAB III
III.1
Permen KOMINFO No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 ……………………………………………
20
Analisis Perda Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama dan Keterkaitannya Dengan UU No.5 Tahun 1999 ……………………………………………………………………………………………
23
Analisis Fungsi Peraturan Daerah Dalam Pembangunan dan Penggunaan Bersama
22
Menara Telekomunikasi …………………………………………………………………………………………………… BAB IV
Kesimpulan dan Rekomendasi …………………………………………………………………………………………
29
K P D K P P U B a l i k p a p a n | ii
Position Paper
IV.1
Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………………………………
29
IV.2
Rekomendasi …………………………………………………………………………………………………………………
29
K P D K P P U B a l i k p a p a n | iii
Position Paper
Daftar
Ta b e l
Tabel 1
Jaringan Akses ………………………………………………………………………………………………………………………
7
Tabel 2
Penetrasi Telekomunikasi ……………………………………………………………………………………………………
8
Tabel 3
Perkembangan Jumlah Pelanggan Telepon Seluler di Indonesia …………………………………………
8
K P D K P P U B a l i k p a p a n | iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Menjamurnya menara Base Tranceiver Station (BTS) atau menara telekomunikasi dekade terakhir ini dirasakan telah membuat gundah masyarakat dan menganggu penataan ruang maupun keindahan estetika wilayah. BTS merupakan menara pemancar radio telekomunikasi, secara kolektif membentuk jaringan sel telekomunikasi (selular) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan telekomunikasi nirkabel. Pembangunan BTS di Indonesia meningkat tajam. Saat ini Indonesia memiliki jumlah BTS dengan kepadatan yang sangat tinggi terutama di kota-kota besar. Pada tahun 2008 diperkirakan hampir mencapai jumlah 30.000 BTS menyusul mulainya pembangunan jaringan beberapa operator lainnya. Inilah yang menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, pertumbuhan yang tidak terpadu akan berdampak negatif karena akan merusak estetika luar ruang. Pembangunan BTS dengan pola “individu” memberikan peluang ekonomi terbatas ke daerah (hanya pembelian tanah, pajak tanah dan pajak perijinan saja). Sedangkan dalam kerangka Otonomi Daerah, pembangunan menara telekomunikasi terpadu dengan konsep menara bersama diperkirakan mampu menyumbang Pendapatan Asli Daerah yang signifikan. Media massa sering memberitakan protes masyarakat terhadap pembangunan menara BTS atau telekomunikasi ini. Sejumlah pemerhati tata ruang dan estetika wilayah juga sering ”berteriak” melihat semrawutnya tata letak menara telekomunikasi di banyak daerah, terutama di perkotaan seperti Medan, sehingga mereka menyebut beberapa kawasan sudah menjadi ”hutan menara”. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) banyak menerima pengaduan dari masyarakat yang intinya menolak pembangunan menara BTS di lingkungan mereka. Alasan penolakan bukan sekedar pada nilai kompensasi, melainkan juga kekhawatiran bahwa hadirnya menara di lingkungan mereka cukup berbahaya bagi kesehatan karena mengandung radiasi.
Menanggapi hal tersebut, maka Pemprovsu menerbitkan Peraturan Gubsu (Pergub) No 2 Tahun 2007 tentang Pedoman
dan Penataan Menara
Telekomunikasi, Menara Penyiaran dan Menara Telekomuniaksi Khusus di Provinsi Sumatera Utara yang salah satu tujuannya adalah untuk menghindari timbulnya hutan tower di perkotaan. Di penghujung tahun 2009, Pemprovsu bersama DPRD Sumut menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumut Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama. Perda yang ditetapkan tanggal 28 Oktober 2009 dan telah ditempatkan dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumut tahun 2009 Nomor 15 tertanggal 28 Oktober 2009 ini semangat atau jiwanya adalah agar satu menara telekomunikasi dapat digunakan oleh beberapa operator. Salah satu tujuan utama Perda ini adalah agar terciptanya ketertiban dalam pembangunan menara telekomunikasi, sehingga setiap pembangunan menara telekomunikasi tetap sesuai dengan kaedah tata ruang, menjamin keamanan masyarakat serta estetika dan kelestarian lingkungan. Dengan penggunaan menara telekomunikasi bersama ini tentu akan mengurangi tingginya permintaan lahan untuk pembangunan menara serta demi menjaga keindahan dan estetika kota atau daerah. Dengan kata lain, Perda Nomor 15 Tahun 2009 yang terdiri dari 10 Bab dan 22 Pasal ini hakekatnya adalah untuk menyinergikan antara ketersediaan ruang serta meningkatkan kehandalan cakupan frekuensi telekomunikasi. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka KPPU KPD Medan sebagai representasi KPPU di daerah melakukan kajian evaluasi kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan dan penataan menara bersama di wilayah kerja KPPU KPD Medan yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darusalam
1.2. TUJUAN Tujuan dari evaluasi kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan dan penataan menara bersama di wilayah kerja KPD KPPU Medan (Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Nangroe Aceh Darussalam) adalah untuk : 1.
Mengetahui pola perijinan dan campur tangan regulator dalam hal perijinan dan pendirian dalam pembangunan dan penataan menara bersama di wilayah kerja KPPU KPD Medan; 2
2.
Mengetahui efektifitas pelaksanaan Perda Propinsi Sumatera Utara No. 15 Tahun 2009 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Bersama;
3.
Harmonisasi UU No 5 tahun 1999 dengan kebijakan pemerintah daerah dalam dalam pembangunan dan penataan menara bersama di wilayah kerja KPPU KPD Medan.
1.3. OUTPUT Output dari Evaluasi Kebijakan Pemerintah Daerah adalah efektifitas pelaksanaan Perda Propinsi Sumatera Utara No. 15 Tahun 2009 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Bersama agar sejalan dengan UU No 5 Tahun 1999
1.4. SUMBER USULAN EVALUASI KEBIJAKAN Sumber dari usulan Evaluasi Kebijakan Pemerintah (EKP) ini adalah berasal dari inisiatif dari Kantor Perwakilan Daerah (KPD) Medan. Menjamurnya menara Base Tranceiver Station (BTS) atau menara telekomunikasi satu dekade terakhir ini dirasakan telah membuat gundah masyarakat dan menganggu penataan ruang maupun keindahan estetika wilayah. BTS merupakan menara pemancar radio telekomunikasi, secara kolektif membentuk jaringan sel telekomunikasi (selular) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan telekomunikasi nirkabel.
1.5. DASAR PELAKSANAAN EVALUASI KEBIJAKAN Evaluasi Kebijakan Pemerintah (EKP) mulai dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 98/KPPU/KEP/II/2010 tentang Pembentukan Tim Evaluasi dan Kajian Dampak Kebijakan Persaingan Usaha di KPD Medan Terkait Kebijakan Penataan Menara Bersama.
1.6. METODOLOGI PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI Metodologi pelaksanaan kegiatan evaluasi ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap studi literatur, tahap pengumpulan data, prngumpulan informasi dengan meminta keterangan dari beberapa pihak terkait dan tahap analisis data. Penjelasan untuk masing-masing tahapan adalah sebagai berikut: A. Tahap Studi Literatur Sebagai pedoman dalam kegiatan evaluasi ini, diperlukan beberapa 3
literatur yang digunakan sebagai acuan. Mulai dari perundang-undangan, peraturan daerah, serta peraturan-peraturan terkait lainnya. Antara lain sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 2. SKB 3 Menteri tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi 3. Peraturan Gubsu (Pergub) No 2 Tahun 2007 tentang Pedoman dan Penataan Menara Telekomunikasi 4. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumut Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama
B. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi Untuk memperolah kelengkapan data dan informasi, dilakukan dengan diskusi dan observasi lapangan di wilayah kerja KPPU KPD Medan, baik dari pihak pemerintah setempat maupun stakeholder terkait. Diantaranya sebagai berikut: 1. Pemerintah selaku pihak regulator : a. Bappeda Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan NAD b. Bappeda Kota Medan, Banda Aceh, dan Padang c. Dinas Tata Ruang Kota Medan, Banda Aceh, dan Padang. 2. Akademisi : Narasumber dari Fakultas Hukum USU 3. Pelaku usaha dan asosiasi : a. Aspimtel (Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi), b. ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) c. Prvider jaringan telekomunikasi terkait (PT Indosat, PT Telkomsel, PT. Excelindo)
C. Tahap Pengolahan Data dan Informasi Data dan informasi yang didapatkan akan diolah sehingga menjadi bahan analisis untuk mendapatkan data terkait dengan efektifitas pelaksanaan regulasi menara telekomunikasi di daerah serta potensi pelanggaran UU No. 5 tahun 1999.
4
BAB II KAJIAN LITERATUR
2.1
PERKEMBANGAN TELEKOMUNIKASI NIRKABEL DI INDONESIA Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan terbesar didunia yang terletak diantara dua benua, Australia dan Asia, dan juga dua samudera, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dengan lima pulau besar dan memiliki 17.508 pulau secara keseluruhan dan luas daratan 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km², terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh sebab itu dipastikan bahwa kebutuhan akan berbagai infrastruktur penting diantaranya transportasi atau telekomunikasi mempunyai peranan menentukan sebagai salah satu faktor untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Diharapkan dengan adanya system pertelekomunikasian yang mendukung, maka diharapkan terjalinnya system informasi yang baik hingga keseluruh pelosok negeri akan bisa tercapai. Sesuai dengan tujuan Undang – Undang Dasar 1945 Republik Indonesia Pasal 33, maka Negara memegang peranan penting dalam menentukan kebijakan industri telekomunikasi yang bertujuan demi kesejahteraan rakyat. Indonesia sebelum masa transisi menuju liberalisasi industri telekomunikasi memiliki system duopoly dalam industri telekomunikasi. Dua perusahaan besar yang menjadi pihak incumbent adalah PT. Telkom Tbk. dan PT. Indosat Tbk. Telkom difokuskan untuk telekomunikasi dalam negeri, sedangkan Indosat ditujukan untuk sambungan atau jaringan telekomunikasi ke luar negeri. Dengan adanya dua raksasa perusahaan telekomunikasi ini, otomatis ada anggapan bahwa masuk ke pasar telekomunikasi di Indonesia akan sulit. Para pesaing baru (new entry) harus memperhitungkan industri yang diregulasi ketat oleh pemerintah seperti sebelumnya. Tetapi industri telekomunikasi semakin berkembang pesat dengan berbagai kebutuhan baik dari masyarakat maupun dunia usaha. Permintaan akan layanan jasa telekomunikasi dan informasi semakin banyak dan beragam pula jenisnya. Walaupun terjadi kesenjangan dimana di kota – kota besar perkembangan dan permintaan akan tekonologi dan informasi sangat pesat, sedangkan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi dan informasi didaerah - daerah masih sangat minim.
Bisnis telekomunikasi lain jumlah pengguna telepon tetap (fixed line) masih kecil yaitu sekitar 4 % dari jumlah penduduk. Pada tahun 2007 tingkat penetrasi telepon selular masih 41.26 % dari jumlah penduduk dan diperkirakan masih terus meningkat hingga tahun 2012 sebesar 73.21 %.1 Oleh karena itu, pemerintah Indonesia ingin menciptakan suatu keadaan dimana teknologi telekomunikasi dan informasi menyebar luas secara menyeluruh dan merata diseluruh Indonesia. Baik itu dari layanan telepon, penyiaraan, media massa, internet, serta berbagai medium komunikasi lainnya yang melayani kebutuhan berbeda pula. Perkembangan teknologi ini diharapkan kelak akan dapat membantu mencerdaskan bangsa dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Teknologi terkini yang berkembang dalam dunia telekomunikasi khususnya untuk Indonesia adalah tekonologi 3 G untuk Third Generation yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi melalui video atau teleconference. Saat ini Indonesia mulai mengembangka High Speed Downlink Packet Acess (HSDPA) yang merupakan protokol telefon genggam disebut juga teknologi 3,5 G. 2 Apalagi semenjak Indonesia sebagai anggota PBB, ikut menyetujui untuk menerapkan WTO Telecommunication References Paper. Dimana Negara diharuskan untuk menyediakan pelayanan telekomunikasi dan informasi secara menyeluruh, transparan, mempunyai system persaingan usaha yang sehat pada industri dimaksud. Regulasi yang baik yang semua bertujuan untuk melindungi hak – hak masyarakat sebagai konsumen. Maka
dengan
berlandaskan
kebutuhan
itu
dipersiapkanlah
transisi
telekomunikasi dan informasi di Indonesia. Dimulai dengan deregulasi dunia telekomunikasi dan informasi pada tahun 2002 menjadi terbuka dan kompetitif. Negara
jelas
membutuhkan
bantuan
investor
atau
pemain
baru
untuk
mengembangkan dan memajukan industri pertelekomunikasian dan informasi di Indonesia. Sebagai contoh, semakin banyaknya jumlah operator baru yang masuk dalam pasar industri telekomunikasi di Indonesia. Pemerintah memberikan aturan, bahwa operator telepon yang baru dapat menjadi pemain baru (new entry) yang
1
Rencana Bisnis, Program MM Konsentrasi Manajemen Strategi, Penyewaan dan Pemeliharaan Menara Base Transmitter Station (BTS), Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya, Program Magister Manajemen Eksekutif, Jakarta 2008. 2 Ibid.
6
independen atau bekerjasama dengan dua operator incumbent sebelumnya yaitu Telkom (Simpati) dan Indosat (Mentari dan Star One). Dengan semakin banyaknya jumlah operator yang ada seperti Excelcomindo Pratama (XL), Mobile 8 Telecom (Fren), Bakrie Telekom (Esia) dan terakhir masuknya dua operator asing di Indonesia yaitu Axis dan PT.Hutchison CP Telecommunication Indonesia (Three/3), PT.Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (Ceria), PT.Smart Telecom dan PT.Natrindo Telepon Selular. Maka diharapkan dapat menimbulkan persaingan yang sehat yang membawa keuntungan bagi konsumen. Sebab dengan semakin banyaknya operator maka semakin banyak nyata pula persaingan yang dapat memberikan berbagai pilihan harga, produk dan pelayanan kepada masyarakat konsumen. Berikut beberapa gambaran mengenai kondisi persaingan dalam dunia pertelekomunikasian di Indonesia.
Tabel 1 Jaringan Akses
Sumber : Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi, sampai dengan Desember 2007
7
Tabel 2 Penetrasi Telekomunikasi
Sumber : Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi, samapi dengan Desember 2007
Tabel 3 Perkembangan Jumlah Pelanggan Telepon Seluler di Indonesia Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
Jumlah Pelanggan (juta) 0,56 0,92 1,07 2,16 3,51 6,39 11,27 18,49 30,34 46,91 63,70 73,00
Pertumbuhan (%)
Teledensitas Seluler / 100
---62,7 16,4 102,2 62,8 82,2 76,3 64,1 64,0 54,6 35,7 13,1
0,3 0,5 0,5 1,0 1,7 3,1 5,3 8,6 13,6 21,1 24,4 33,2
Sumber : ITU, DGPT, dan web operator, *sampai dengan semester 1, 2007
8
Dengan semakin berkembang pesatnya persaingan telekomunikasi di Indonesia, maka pemerintah sebagai pihak regulator perlu menjadi pihak pengawas dengan menciptakan sebuah kepastian hukum melalui perundang – undangan mengenai industri telekomunikasi dan informasi di Indonesia. Dengan demikian kebutuhan akan pengaturan atau regulasi yang diharapkan menjadi pedoman dalam menjamin iklim persaingan yang sehat, yang akan memberikan efek positif baik terhadap dunia industri telekomunikasi yang masih dalam proses perkembangan.3 Menanggapi hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 09 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Republik Indonesia, maka mengenai Telekomunikasi dan Informasi di Indonesia dipindahkan dari yang semula merupakan dibawah Departemen Perhubungan, menjadi dibawah Departemen Komunikasi dan Informasi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar permasalahan mengenai Komunikasi dan Informasi di Indonesia dapat ditangani lebih terfokus oleh satu departemen saja. Berikut ini adalah acuan regulasi mengenai telekomunikasi dan informasi di Indonesia yang ada saat ini: 1. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi; 2. PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi; 3. PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Radio dan Orbit Satelit; 4. KM.20/2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi; 5. KM.21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi;
Tetapi seiring dengan perkembangan dunia telekomunikasi dan informasi di Indonesia, tentu banyak juga munculnya masalah – masalah baru didalamnya. Dengan naiknya kebutuhan atau permintaan akan jaringan telekomuniasi, semakin banyaknya jumlah operator dengan berbagai jasa dan produk yang ditawarkan, konsumen yang meningkat tajam serta adanya kemampuan yang terbatas dalam membangun infrastruktur, maka permasalahan yang muncul juga semakin kompleks. Dapat diketahui bahwa industri telekomunikasi membutuhkan sunk cost atau biaya yang besar untuk masuk ataupun pemeliharaan infrastruktur yang ada serta meningkatkan atau memperluas jaringan. Beberapa diantara permasalahan 3
Dr.Endang Sri Adiningsih, bahan dipresentasikan di CSIS, Eksaminasi Putusan KPPU Mengenai Kasus Temasek, CSIS, Januari 2008.
9
tersebut yang berkaitan dengan masalah tehnis dan peraturan yang terlihat saat ini adalah: 1. Terdapatnya beberapa peraturan atau regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten; 2. Banyaknya proses perijinan untuk melakukan sesuatu dalam industri dimaksud; 3. Belum digunakannya seluruh teknologi walaupun sudah ada karena terbentur dengan beberapa peraturan yang ada; 4. Sharing atau penggunaan bersama infrastruktur ditingkat jaringan maupun pemancar telekomunikasi antara berbagai operator yang ada;4
Memang sudah ada Cetak Biru (blueprint) Kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai Telekomunikasi tertanggal 17 September 1999 yang berisikan beberapa hal yang bertujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan kinerja sektor telekomunikasi; 2. Liberalisasi sektor telekomunikasi dengan struktur yang lebih kompetitif dengan meniadakan monopoli; 3. Meningkatkan transparansi dan kejelasan regulasi; 4. Menciptakan kesempatan bagi penyelenggara telekomunikasi nasional untuk melakukan aliansi strategis dengan pihak asing; 5. Menciptakan kesempatan usaha bagi pelaku bisnis kecil dan menengah untuk ikut berpartisipasi dalam bisnis telekomunikasi sehingga dapat ikut menciptakan lapangan kerja baru.
Sehingga dalam menanggapi semua masalah – masalah yang muncul memang dirasakan
perlu
agar
pemerintah
menciptakan
Cetak
Biru
(blueprint)
Telekomunikasi dan Informasi di Indonesia dengan memperbaharui yang sudah ada yang diharapkan sesuai dengan keadaan yang ada sekarang yang sudah berkembang pesat. Dengan demikian diharapkan agar regulasi yang tepat yang mengatur dunia pertelekomunikasian dan informasi, sesuai dengan keadaan dunia usaha yang ada. Regulasi yang tepat dan dapat diterapkan diharapkan dapat menciptakan suasana
4
Jumlah Pelanggan per BTS: Telkomsel 2217, Indosat 1497, Flexi 1998, Exelcomindo 2727, Esia 3793 – DataLaporan Tahunan Operator Telepon Selular 2006 & 2007 dan jumlah ini bertambah terus setiap tahunnya.
10
yang kondusif baik itu bagi konsumen maupun iklim persaingan usaha terutama untuk industri telekomunikasi itu sendiri. Karena regulasi yang baik dan dapat diimplementasikan akan memberikan kepastian hukum yang merupakan faktor penting bagi suatu industri terutama bagi dunia usaha.5
2.2
BEBERAPA PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN BTS (BASED TRANSCEIVER STATION) Perkembangan dunia telekomunikasi yang semakin cepat di Indonesia maka maka berdampak pula pada peningkatan sub-sektor sarana pendukungnya yang berkaitan dengan seluruh infrastruktur industri telekomunikasi. Antara lain diantaranya adalah naiknya secara drastis jumlah pemancar (based transceiver station atau BTS) ataupun pembangunan menara telekomunikasi. Hal ini dilakukan oleh berbagai operator untuk memastikan daerah coverage atau daerah dimana jaringan komunikasi berfungsi secara maksimal. Secara fungsional berbagai BTS yang ditempatkan pada menara telekomunikasi merupakan perangkat yang mendukung penyelenggaraan telekomunikasi dan salah satu sarana dan prasarana yang harus ada untuk memastikan berfungsinya telekomunikasi. Bisnis operator selular tidak terlepas dari kebutuhan atas network (jaringan) dan jangkauan yang menggunakan BTS untuk menerima dan memancarkan kembali sinyal telekomunikasi baik suara maupun data. BTS pada umumnya dihubungkan dengan antena yang diletakkan pada menara, yang bisa dipasang di tempat terbuka (ground base) maupun diatas gedung bertingkat (roof top). Saat ini jumlah BTS sudah mencapai sekitar 46.400 unit diakhir tahun2007 dan terus bertambah dan diperkirakan pada tahun 2008 menjadi 57.800 unit dimana sebagian besar dimiliki dan dioperasikan langsung oleh perusahaan operator selular. Rata rata harga per menara Rp 1 – 1,3 Milyar per unit, Menara 100 meter senilai 2 Milyar rupiah. Dari total jumlah tersebut hanya sebagian kecil diperkirakan tidak lebih dari 5000 menara BTS yang dipakai bersama. Dampak langsung yang terlihat yaitu penempatan menara BTS yang tumpang tindih dan berdekatan terutama di perkotaan. Bahkan ada beberapa dampak dari membangun menara sendiri juga yang
5 Ningrum Natasya Sirait, bahan presentasi Eksaminasi Putusan KPPU Mengenai Kasus Temasek, CSIS, Januari 2008;
11
menjadi kendala yaitu: akusisi lahan untuk tower, seringnya PLN mati dan tidak ada listrik serta termasuk gangguan masyarakat setempat. Kondisi saat ini yang ada dimana sebagian besar operator sudah memiliki BTS sendiri atau semakin banyak pelaku usaha pada industri penyewaan BTS. Bahkan penyedia layanan penyewaan menara baru akan membangun menaranya bilamana sudah ada kepastian kontrak sewa dari operator serta operator mudah pindah dan menyesuaikan diri dengan pemasok lain tanpa perlu substitution cost yang tinggi. Melalui suatu regulasi yaitu Perkom Kominfo No 2/2008 maka pemerintah meminta selular khususnya untuk menata kembali penempatan menara- menara BTS mereka untuk di pakai bersama dengan pola saling menguntungkan. Sehingga menghindari terjadinya ”hutan menara” yang mengurangi estetika tata kota. Pemerintah juga berharap dampak positif lainnya yaitu efisiensi biaya investasi bagi operator selular serta fokus pada teknologi dan konten. Dalam masa 2 tahun seluruh menara BTS pada umumnya di seluruh Indonesia (kecuali daerah terpencil) sudah harus dipakai bersama dan sisanya harus dibongkar. Tentunya situasi ini sangatlah menguntungkan bagi perusahaan penyedia sewa menara yang sementara ini masih relatif baru (6 tahun terakhir) dan sedikit (30 perusahaan namun hanya 1 yang dominan dengan jumlah menara diatas 2000), walaupun operator selular juga telah mulai sharing menaranya terutama dengan group usahanya atau dengan operator-operator baru yang membutuhkan. Exelcomindo bisa dilihat sebagai operator sellular yang mulai sangat aktif memasarkan 7000 menaranya untuk dibagi. Keuntungan dari Menara Bersama adalah bagi operator sellular adalah tidak diperlukan adanya investasi besar besaran bahkan cukup hanya mengeluarkan biaya sewa. Dalam sistem sewa, semakin banyak yang ikut menyewa maka akan semakin murah biayanya. Hal hal yang dapat mempengaruhi secara langsung mengenai Menara Bersama yaitu: Peraturan Pemerintah untuk kewajiban menggunakan Menara Bersama, UU No.5/1999, kewajiban penggunaan modal dan tenaga lokal 100%, pembatasan jumlah BTS di suatu daerah melalui Perda, pembatasan ijin pembuatan BTS baru, ijin pajak penggunaan frewensi. Keseluruhan ini tentu berdampak bagi Apa yang harus dilakukan oleh daerah dalam konteks Menara Bersama: 1. Membuat Perda tentang Menara Bersama mengacu pada SKB dan menampung spesifikasi lokal dan kearifan lokal; 12
2. Mempermudah perijinan IMB untuk Menara Bersama, namun tegas dalam penegakan hukum/Perda; 3. Melibatkan semua stakeholders dalam penyusunan Perda; 4. Melakukan kerjasama dengan swasta dengan prinsip ”win win relations”; 5. Melakukan pengawasan dan pembinaan serta fasilitasi untuk menciptakan iklim kondusif bagai investasi; 6. Melakukan pemetaan lokasi Menara dengan mengacu kepada Tata Ruang Daerah;
Untuk itu ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Menara Bersama sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bersama tersebut yaitu: 1. Penyedia menara (penyelenggara telekomunikasi atau bukan penyelenggara telekomunikasi) atau pengelola menara, harus memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada para penyelenggara telekomunikasi lain untuk menggunakan menara secara bersama sesuai kemampuan teknis menara. 2. Calon pengguna menara dalam mengajukan surat permohonan memuat keterangan sekurang-kurangnya : a. Nama penyelenggara dan penanggung jawabnya; b. Izin penyelenggara telekomunikasi; c. Maksud dan tujuan penggunaan menara dan spesifikasi teknis perangkat; d. Kebutuhan akan ketinggian, arah, jumlah atau beban menara; e. Penggunaan Menara Bersama dilarang menimbulkan interferensi. 3. Apabila terjadi interferensi, penyelenggara telekomunikasi yang menggunakan Menara Bersama harus saling berkoordinasi. 4. Apabila koordinasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan (butir 4), dapat meminta Direktur Jenderal yang ruang lingkupnya pos dan telekomunikasi untuk melakukan mediasi; 5. Penyelenggara telekomunikasi, Penyedia Menara dan/atau Pengelola Menara dilarang melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; 6. Penyelenggara telekomunikasi, Penyedia Menara dan/atau Pengelola Menara harus menginformasikan ketersediaan kapasitas menaranya kepada calon pengguna menara secara transparan;
13
7. Penyelenggara telekomunikasi, Penyedia Menara, dan/atau Pengelola Menara harus menggunakan sistem antrian dengan tetap memperhatikan kelayakan dan kemampuan; 8. Penggunaan Menara Bersama harus dituangkan dalam perjanjian tertulis dan dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi; 9. Pemda harus memperhatikan ketentuan hukum tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam pemberian IMB Menara di wilayah administrasinya.6
Namun di sisi lain berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan dan keberadaan menara telekomunikasi juga sedemikian rumit. Cukup banyak menara telekomunikasi yang dianggap kurang memenuhi jaminan keamanan lingkungan dan kurang proporsional penempatannya bagi estetika tata kota. Juga sikap masyarakat terhadap keberadaan menara telekomunikasi yang dianggapnya berpotensi membahayakan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Bahkan timbul beberapa indikasi yang berkaitan dengan persaingan pendirian menara telekomunikasi yang tidak efisien karena tidak saling berbagi atau tower sharing diantara para operator. Terlebih lagi bagi para operator telekomunikasi menganggap terjadi overlapping atau tumpang tindih tentang pembangunan menara telekomunikasi karena adanya peraturan suatu daerah baik dalam bentuk Peraturan Bupati/Peraturan Walikota atau Peraturan Daerah. Hal ini menimbulkan isu beragam, mulai dari pendapat anggota DPR, pengamat bisnis, pelaku bisnis, asosiasi pelaku usaha, masyarakat, tehnisi bahkan jajaran Pemerintah Daerah yang menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) juga ternyata masih bisa berbeda pendapat mengenai bentuk peraturan maupun substansinya. Konsekwensi otonomi daerah adalah Pemsda mempunyai wewenang yang cukup besar dalam membuat Perda. Beberapa daerah (DKI, Bali dan Batam) terbukti mengeluarkan Perda yang sangat memberatkan proses pendirian menara baik dari aspek biaya maupun dari persyaratan yang dipenuhi untuk mendapatkan IMB. Kebijkan sepihak ini juga sebenarnya menghambat rencana yang ditetapkan 6 Koran Jakarta, 22 Oktober 2009. Pembatalan Perda PDRD Perlu Pengawasan. Harian Bisnis Indonesia, Ekonomi dan Bisnis, Senin, 25 Agustus 2008. Pemda Penerap Perda Antiinvestasi Kena Sanksi, Evalusi pemerintah pusat sering kalah cepat dibanding dibuatny6a perda yang bermaslah.
14
pemerintah melalui Departemen Kominfo untuk mencapai tingkat densitas telepon sellular yang setara dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu penggunaan Menara Bersama harus melibatkan dan mengakomodir kepentingan Pemda agar pelaksanaannya tidak terhambat oleh kebijakan suatu pemerintah daerah. Isu
mengenai
“hutan
menara”
sebenarnya
mulai
menerpa
industri
telekomunikasi sejak tahun 2007. Hal ini muncul karena dianggap jumlahnya sudah mulai naik secara signifikan serta tidak diatur alokasinya sesuai dengan pengaturan tata ruang kota. Sehingga disamping mengganggu rasa estetika juga terasa tidak efisien karena hanya mengejar jumlah menara yang dibangun dan seolah-olah tanpa rencana. Oleh sebab itu pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan khusus tentang Menara Bersama karena ada kekhawatiran banyak kota atau daerah akan menjelma menjadi hutan menara. Solusi agar pembangunan menjadi terkendali maka ditawarkanlah penggunaan infrastruktur Menara Bersama yang dipayungi oleh Peraturan Menteri Kominfo No. 02/2008. Usulan ini diatur dalam regulasi yang mengharuskan bahwa satu menara digunakan oleh maksimal tiga operator diharapkan mempunyai tujuan efisiensi yang baik. Sebab, selain lebih memperhatikan tata ruang keindahan kota, besarnya investasi yang dikeluarkan operator telekomunikasi juga akan jauh lebih efisien. Sayangnya, peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat tidak selalu sejalan dengan kebijakan yang juga dibuat oleh Pemerintah Daerah. Contohnya, pemerintah Kabupaten Badung yang menerbitkan Perda No. 6/2008 untuk menata pembangunan dan pengoperasian Menara Bersama di wilayahnya. Dengan keluarnya Peraturan Daerah ini maka seharusnya penataan mengenai banyaknya BTS yang tersebar di beberapa lokasi diharapkan dapat di rapikan dan ditata ulang agar lebih estetis. Tetapi dalam hal ini Perda No.6/2008 di Kabupaten Badung malahan menimbulkan beberapa polemik. Hal ini disebabkan Bupati Kabupaten Badung dengan serta merta melakukan perobohan beberapa BTS yang sudah ada sebelumnya dan “memaksakan” kehendak untuk menyatukan seluruh BTS dalam beberapa menara (yang ada atau akan dibangun baru). Tindakan ini tentu saja berdampak terhadap BTS yang sudah ada dan dibangun, BTS yang sudah mendapatkan ijin untuk dibangun serta BTS yang masih dalam tahap pengusulan untuk dibangun. Dengan meruntuhkan infrastruktur BTS yang sudah terbangun maka tentu berdampak terhadap jaringan telekomunikasi 15
yang ada selama ini dan sudah berfungsi.
7
Di Badung ada 31 menara dirobohkan
yang mengakibatkan kualitas suara menurun dan beberapa titik sinyal hilang sama sekali. Bahkan Bupati Badung juga menunjuk satu perusahaan tertentu untuk membangun infrastruktur Menara Bersama tersebut. Dalam menyikapi fenomena ini maka Ketua KPPU juga mengirimkan surat kepada Bupati Badung tanggal 18 Juni 2008 yang berisikan agar Bupati Badung menyempurnakan Perda Nomor 6 Tahun 2008 dan segera mencabut hak ekslusif PT.BTS serta mengijinkan menara telekomunikasi yang ada dan penyedia menara lain menjadi pengelola menara telekomunikasi bersama di Kabupaten Badung. Jogjakarta berhasil membuat kesepakatan antara Pemda dan operator untuk menata menara, jadi tidak ada perobohan menara tanpa kordinasi operator. Siapa pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah konsumen dimana konsumen menderita dalam hal jaringan signal terbatas bahkan hilang dan ongkos produksi operator meningkat dengan potensi dibebankan kepada konsumen. Berdampak juga terhadap timbulnya gugatan terhadap Pemda karena kerugian yang ditimbulkan oleh perubuhan menara tersebut.8 Kasus ini tentu saja telah berdampak buruk bagi semua pihak jika dibiarkan berlarut. Sebab terlebih dengan adanya regulasi yang berbenturan, bukan hanya mengakibatkan disefisiensi namun juga merugikan masyarakat karena sinyal telepon terancam blackout atau tidak mendapat koneksi sama sekali. Konsep Menara Bersama yang diimplementasikan Pemda tersebut dipandang tidak sejalan dengan Peraturan Menteri yang telah berlaku. Misalnya saja, perencanaan (planning) Menara Bersama dibuat tanpa memperhatikan menara-menara yang sudah ada (existing). Bahkan, lanjutnya, izin menara existing tak lagi mendapatkan hak perpanjangan dari pemda sehingga dinilai punya alasan yang cukup kuat dirubuhkan dan kemudian digantikan dengan menara baru milik mitra kerja yang ditunjuk. Hal ini menunjukkan gejala adanya potensi monopoli oleh satu pelaku usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah setempat untuk memegang konsessi pembangunan dan pemeliharaan Menara Bersama tersebut. Disamping itu 7 Investor Daily 14 Desember 2008 “Ada Indikasi Monopoli Menara di Badung Bali – Ponsel Bakal Tak Berfungsi di Badung, Bali”;Harian Kompas, 8 Februari 2010, Pemda Merobohkan Menara, Layanan Telekomunikasi Terganggu. Hal ini berkaitan dengan perobohan 31 menara telekomunikasi di Kabupaten Badung di Bali. Bila pemerintah tidak tegas maka dikhawatirkan akan terjadi kasus serupa di Boyolali, Bandung, Batam, dan Makassar. 8 Harian Kompas, 10 Februari 2010, Konsumen Rugi Ganda, Perobohan Menara menuai gugatan.
16
penunjukan langsung pelaku usaha yang akan membangun atau memelihara Menara Bersama juga merupakan indikasi dari adanya pelanggaran prinsip persaingan usaha yang sehat. Sebab seluruh pengadaan atau penunjukan tidak dilalui dengan proses persaingan melalui tender atau beauty contest yang transparan.9 Dalam hal inilah diperlukan suatu pemikiran yang mendalam mengenai dampak dari kebijakan ataupun regulasi yang saat ini marak mengatur mengenai penataan Menara Bersama. Hal ini dapat dilihat dari perspektif Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan khususnya terkait dengan kedudukan Peraturan Daerah serta Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi dan juga Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kominfo dan Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi No. 18 Tahun 2009, No. 07/PRT/M/2009, No. 19/PER/M.KOMINFO/3/2009 dan No. 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Adapun Peraturan Bersama bertujuan untuk: 1. Menserasikan dan mensinergikan pembagian urusan antara pemerintah dengan Pemda untuk urusan menara telekomunikasi; 2. Sebagai pedoman bagi Pemda dalam pengaturan menara telekomunikasi di daerahnya sehingga adanya keseragaman pelaksanaan tehnis operasional; 3. Untuk efisiensi investasi nasional, estetika dan keamanan penggunaan menara; 4. Mendorong pemberdayaan industri nasional; 5. Mencegah penyediaan menara dari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; 6. Transparansi dan tidak diskriminasi a. Pemda: dalam hal pengaturan operasional menara telekomunikasi (mis: lokasi menara dan proses pemberian ijin (IMB); b. Operator/penyedia
menara:
dalam
hal
ketersediaan
kapasitas
dan
pensyaratan penyewaan menara; 7. Tetap mendorong pertumbuhan industri (ada pengecualian);
9
Harian Investor Daily, Rabu 9 September 2009, Masalah Perobohan Menara Tanggung Jawab 4 Menteri.
17
Perlu diperhatikan uraian mengenai aspek lainnya sehubungan dengan perkembangan pengaturan Menara Bersama ini, misalnya perkembangan terbaru adalah bisnis penyewaan menara telekomunikasi/BTS bersama yang dilakukan oleh perusahaan/pelaku usaha dalam perspektif persaingan usaha. Dalam hal ini yang dimaksud penyewaan menara telekomunikasi adalah usaha penyewaan yang dilakukan oleh para penyedia, pembangun dan pengelola menara telekomunikasi untuk disewakan kepada operator telekomunikasi. Sebenarnya sejak tahun 2002, bisnis penyewaan menara telekomunikasi mulai ada. Pada saat itu hanya Telkom Flexi yang berminat dengan pola menyewa ke perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Pada tahun 2005, terjadi penjualan menara telekomunikasi milik operator PT Mobile-8 Telecom kepada perusahaan penyedia menara telekomunikasi dengan jumlah mencapai ratusan menara. Kemudian pada tahun 2007 mulai banyak perusahaan telekomunikasi lain seperti PT Excelcomindo dan PT Indosat juga berminat dengan pola sewa menara yang dibangun dan dioperasikan perusahaan penyedia menara telekomunikasi.
2.3
KEBIJAKAN DAN REGULASI A. PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI KOMINFO DAN KEPALA BKPM Disamping merujuk kepada dasar peraturan diatas masih terdapat pula aturan hukum lain yang juga menjadi pedoman bagi Kementerian Kominfo yakni Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kominfo dan Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi No. 18 Tahun 2009, No. 07/PRT/M/2009,
No.
19/PER/M.KOMINFO/3/2009
dan
No.
3/P/2009.
Peraturan-peraturan tersebut telah disosialisasikan ke berbagai daerah dalam mengansitipasi pengaturan Menara Bersama tersebut. Kementerian Kominfo terus melakukan sosialisasinya secara kontiniu karena berdasarkan fakta masih ditemukan sejumlah Pemerintah Daerah dan warga masyarakat yang tidak mengetahui tentang keberadaan peraturan-peraturan tersebut, khususnya yang lebih krusial lagi adalah mengenai adanya Peraturan Bersama antara ke tiga menteri dan Kepala BKPM tersebut. Masalahnya adalah terjadi interpretasi yang berbeda dari Pemerintah Daerah mengenai kewenangan yang tertuang dalam peraturan tersebut. Ada juga 18
beberapa Pemerintah Daerah yang sudah mengetahui adanya peraturan tersebut tetapi sering kurang menjadikannya sebagai acuan hukum secara baku. Bahkan Kementerian Kominfo mengingatkan lagi untuk tetap mematuhi Peraturan Bersama tersebut, karena sesungguhnya materi perlindungan bagi kepentingan masyarakat di daerah sudah cukup komprehensif. Prinsip perlindungan yang dimaksud tertuang dalam materi Peraturan Bersama tersebut antara lain: 1. Pasal 4 ayat (1) : Pembangunan menara wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan Menara dari Bupati/Walikota, kecuali untuk Provinsi DKI Jakarta wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan Menara dari Gubernur; 2. Pasal 6 ayat (1) : Lokasi pembangunan menara wajib mengikuti : rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan khusus untuk DKI Jakarta wajib mengikuti rencana wilayah tata ruang provinsi, rencana detil tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan khusus untuk DKI Jakarta wajib mengikuti encana detil tata ruang provinsi ; dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan; 3. Pasal 9 ayat (1) : Pembangunan menara di kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan untuk kawasan tersebut; 4. Pasal 10 : Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara diajukan oleh penyedia menara kepada Bupati/Walikota, dan khusus untuk provinsi DKI Jakarta permohonan izin diajukan kepada Gubernur; 5. Pasal 15 : Pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dapat memungut retribusi terhadap Izin Mendirikan Bangunan Menara yang besarnya harus sesuai dengan penghitungan berdasarkan tingkat penggunaan pelayanan
perizinan
dan
mempertimbangkan
tingkat
kemampuan
masyarakat; 6. Pasal 24 : Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah melakukan koordinasi pembinaan dan pengawasan penggunaan bersama menara di dalam wilayah administrasinya; 7. Pasal 25 : Dalam hal terdapat pelanggaran, Bupati/Walikota atau Gubernur Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran, peringatan, pengenaan denda, atau pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
19
B. PERMEN KOMINFO NO. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 Dasar hukum dari pengaturan mengenai Menara Bersama adalah berdasarkan pada Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang
Pedoman
Pembangunan
dan
Penggunaan
Menara
Bersama
Telekomunikasi. Peraturan ini memberikan kewenangan yang cukup besar bagi Pemerintah Daerah untuk turut serta mengatur dan bahkan juga bertanggung jawab dalam penyusunan rencana pembangunan dan penggunaan Menara Bersama. Berikut ini adalah beberapa pasal yang mempertegas keberadaan kewenangan Pemerintah Daerah, yaitu : 1. Pembangunan Menara harus memiliki Izin Mendirikan Menara dari instansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 3 ayat 2); 2. Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 4 ayat 2); 3. Pemerintah Daerah dalam menyusun pengaturan penempatan Menara tersebut
harus
mempertimbangkan
aspek-aspek
teknis
dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dan prinsip-prinsip penggunaan Menara Bersama (Pasal 4 ayat 2); 4. Pemerintah Daerah harus memperhatikan ketentuan hukum tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam pembangunan Menara pada wilayahnya (Pasal 15); 5. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran, peringatan, pengenaan denda, atau pencabutan izin sesuai dengan peraturan perundang-undang (Pasal 21);
Esensi penjelasan dari pengaturan diatas didasarkan pada pertimbangan dibawah ini yaitu: 1. Menerangkan bahwa Ditjen postel tetap memperhatikan keberadaan kewenangan Pemda yang dapat dilibatkan secara konstruktif dalam menyusun rencana pembangunan dan penggunaan Menara Bersama beserta Pemerintah dengan merujuk kepada UU No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota), sesungguhnya Pemerintah Daerah (khususnya di Kabupaten/Kota) hanya sebatas memiliki kewenangan 20
dalam penertiban IMB Menara Telekomunikasi, sehingga kewenangan yang diatur dalam peraturan ini justru lebih fleksibel dan diharapkan tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah untuk menuntut kewenangan secara berlebihan karena itu artinya bertentangan dengan peraturan yang berlaku; 2. Secara de facto keberadaan menara telekomunikasi tersebut pada dasarnya ada di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sehingga sangat wajar jika Pemerintah Daerah diikut sertakan dalam pengaturannya, karena minimal terkait dengan masalah kompleksitas penyusunan dan implementasi tata kota yang kondusif sesuai dengan ciri khas dan perencanaan masing-masing Pemerintah Daerah; 3. Untuk memperjelas koridor hukum antara yang boleh dan tidak boleh diperbolehkan oleh Pemerintah Daerah dalam perencanaan pembangunan dan penggunaan Menara Bersama; 4. Untuk mengurangi keragu-raguan pihak penyelenggara telekomunikasi tentang kemungkinan adanya kewenangan Pemerintah Daerah yang terlalu berlebihan dalam pengaturan masalah Menara Bersama ini;
21
BAB III ANALISIS PERDA PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN MENARA BERSAMA DAN KETERKAITANNYA DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1999
3.1. ANALISIS FUNGSI PERATURAN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BERSAMA MENARA TELEKOMUNIKASI Sejumlah pasal yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah tersebut, selain karena mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 juga memungkinkan kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan penataannya secara komprehensif dalam artian luas sejauh tidak bertentangan dengan Peraturan Bersama mengenai Menara Bersama tersebut. Artinya keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah tentu harus mengacu kepada peraturan yang lebih tinggi lagi yaitu Keputusan Bersama mengenai pengaturan Menara Bersama tersebut. Hal ini dapat dilihat dari landasan filosofis juga selaras dengan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa filosofi Otonomi Daerah bahwa: 1. Hakekat otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan dan peran serta masyarakat; 2. Pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) danada pula yang bersifat pengembangan potensi (sektor) unggulan dan kekhasan daerah (Core Competence); 3. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, yang diselenggarakan melalui pelayanan yang demokratis, peningkatan daya saing, pemerataan dan berkeadilan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 4. Peraturan lain yang relevan adalah dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota se Indonesia
telah menyusun Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) baru. Dengan nomenklatur beragam, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberikan kesempatan untuk menyusun struktur organisasi dan tata perangkat kerja daerah sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah kabupaten/kota masing-masing termasuk yang melaksanakan tugas Pemerintah Daerah di bidang telekomunikasi, dan informatika.
Pemerintah Daerah tentu tidak ingin ada kesan yang berkembang di masyarakat bahwa dalam hal pengaturan Menara Bersama diatur oleh pelaku usaha terutama penyedia jasa operator. Semua pihak diharapkan patuh dan tunduk pada ketentuan yang berlaku termasuk pemerintah di pusa. Pada dasarnya Pemerintah Daerah melalui otonomi daerahnya yang berwenang membuat regulasi, mengatur, dan mengawasi serta memberi sanksi bagi yang tidak patuh pada peraturan demi kepentingan masyarakat. Tetapi hal ini tentu tidak dapat bertentangan dengan prinsip atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Perda Menara Bersama ini berlaku dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan lebih relevan, sehingga tidak hanya mengacu pada Perda yang ada di kawasan atau daerah masing-masing saja. Kepentingan yang berimbang dan taat pada aturan inilah yang penting sebagai tolak ukur dari kebijakan penataan yang telah diputuskan. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah sebagai regulator diharapkan dapat membuat regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (perda) yang diharapkan mampu memfasilitasi kebutuhan dan penyeimbang antara dunia usaha dan kepentingan Pemerintah Daerah dimana diharapkan agar: 1. Penyedia jasa operator dan Pemerintah Daerah dapat melakukan harmonisasi kerja sama membangun telekomunikasi dan keindahan tata ruang, dengan memperhatikan penentuan lokasi bersama dengan mempertimbangkan nilai ekonomis dan lingkungan serta faktor kesehatan; 2. Kesetaraan sesama penyedia jasa operator dalam menjalankan bisnisnya masing-masing, agar terhindar dari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; 3. Optimalisasi biaya pembangunan menara agar lebih efisien, dengan tetap memanfaatkan menara telekomunikasi yang sudah ada (existing tower) dan
23
penggunaan satu menara dapat diisi oleh beberapa penyedia jasa operator (sharing tower); 4. Adanya Perda Menara Provinsi dapat meminimalkan kemungkinan lahirnya perda-perda kabupaten atau kota yang beragam berkenaan dengan sarana telekomunikasi dan menghindari tumpang tindih antara peraturan pusat dengan perda; 5. Dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan perlindungan masyarakat, melalui pengadaan retribusi dan intervensi terkait dengan penetapan tarif, kualitas standar layanan, batas waktu pemanfaatan lisensi dan pengaturan tentang sewa-menyewa;
Peraturan Menara Bersama dibuat dengan tujuan yang bersifat konstruktif atau bukan bermaksud untuk membatasi ruang gerak operator, namun untuk memberikan jaminan layanan kepada masyarakat yang lebih baik, lancar, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga Pemerintah Daerah diharapkan tidak bersikap berlebihan dalam memberlakukan Peraturan Daerahnya yang dampaknya justru cenderung destruktif seperti perobohan sejumlah menara telekomunikasi sehingga dapat merugikan pelaku usaha telekomunikasi dan masyarakat. 1 Untuk itu salah satu bentuk tools atau alat untuk mengukur mengenai keberadaan suatu peraturan yang dianggap dapat berdampak terhadap kehidupan masyarakat serta dihitung juga dengan cost and benefit analysis tentu dapat diterapkan dalam hal melihat Peraturan Menara Bersama yaitu melalui Regulatory Impact Assessment (RIA). RIA sangat berfokus pada adanya analisis mendalam terhadap dampak ekonomi maupun sosial terhadap suatu regulasi kemudian melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait sebelum suatu peraturan diputuskan untuk diberlakukan.2 Penilaian Dampak Peraturan atau RIA merupakan salah satu elemen inti dari sejumlah elemen dalam proses melakukan review atau pengkajian ulang terhadap 1 Contoh nasib Perda yang dikeluarkan tanpa RIA – Jurnal Nasional, 12 Desember 2008 “Dinilai Bermasalah, Ribuan Perda Dianulir”, Investor Daily 12 Desember 2008 “2.398 Perda Pajak dan Retribusi Dibatalkan, Harian Kompas, 12 Desember 2008 “2.665 Raperda dan Perda Dibatalkan”. 2 Harian Analisa, 14 November 2009, Bappenas Luncurkan Manual Analisis Dampak Peraturan. Di Indonesia, prakarsa RIA sudah diperkenalkan sejak tahun 2000 dan telah bergulir mengadakan pelatihan dan pelaksanaan analisis RIA atas peraturan di lebih dari 40 kabupaten/kota serta di beberapa kementerian dan lembaga.
24
suatu peraturan baik yang akan diberlakukan ataupun sudah diberlakukan. Mengingat proses desentralisasi di Indonesia telah mengalihkan sebagian besar kewenangan pemerintah nasional ke lebih dari 460 pemerintah kabupaten/kota. Transisi dramatis ini, meskipun positif dari sudut pandang demokrasi, telah diwarnai dengan persoalan-persoalan administratif dan insentif kebijakan yang tidak pada tempatnya atau merupakan suatu kebijakan yang sering juga mengandung kekeliruan. Dalam kenyataannya, dengan diterapkan kebijakan desentraslisasi tersebut walaupun disambut oleh banyak pihak tetapi memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap iklim bisnis. Hal ini berakibat pada dunia usaha karena karena dua alasan utama yakni : 1. Pemerintah
Daerah
memberlakukan
regulasi
untuk
meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian dan pelayanan publik; 2. Banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang tidak konsisten dengan undangundang atau peraturan di tingkat nasional;
Proses pembuatan regulasi di daerah ditandai dengan lemahnya analisis, belum adanya dilakukan review yang aktif, dan terbatasnya partisipasi publik serta berbagai kendala klasik lainnya. Beberapa kendala yang sering disampaikan misalnya juga kekurang mampuan melakukan drafting yang baik ataupun proses yang kurang partisipatif sampai dengan agenda yang sering tidak terbuka kepada masyarakat umum kecuali ada hubungannya langsung dengan peraturan yang akan dibuat. Akibatnya muncul peraturan-Peraturan Daerah yang bermasalah dan bertumpang tindih dengan peraturan pemerintah pusat, khususnya yang membebani dunia usaha dan pada akhirnya akan menimbulkan merugikan masyarakat. 3 RIA adalah merupakan alat analisis untuk membantu berbagai pihak dan bukan hanya pemerintah untuk mengidentifikasi kondisi dari suatu regulasi yang diperlukan. RIA juga dapat digunakan untuk mengetahui jumlah biaya dan manfaat dari statu regulasi yang diusulkan serta merumuskan alternatif solusi yang tepat terhadap regulasi tersebut. Tahapan-tahapan RIA dilakukan secara terbuka dengan cara melakukan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), 3
Harian Republika. Senin, 21 Desember 2009. Mendagri Cabut 206 Perda, Perda-perda ini dianggap menghambat perizinan investasi. Harian Kompas. Sabtu, 12 Oktober 2006. Regulasi, Sebagian Besar Perda Tanpa Didahului Naskah Akademis.
25
khususnya sektor swasta yang sering menjadi pihak luar yang berkepentingan terhadap dampak dari statu regulasi.4 Banyak upaya sudah dilakukan berbagai pihak dalam rangka memperbaiki kondisi Perda dan sekaligus mempersiapkan pembuatan Perda yang baik di di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Tujuan dari implementasi RIA adalah untuk memperkuat kapasitas analisis para pembuat Peraturan Daerah (local regulators), yang juga melibatkan kelompok masyarakat dan pelaku bisnis agar proses pembuatan keputusan lebih transparan. Melalui pemahaman yang lebih baik tentang dampak regulasi, pemerintah dan constituents mereka akan mampu menciptakan iklim bisnis yang dapat memaksimumkan pertumbuhan ekonomi dan sumbersumber daya pemerintah. Tetapi dengan perhitungan bahwa pembuatan regulasi bukan semata-mata hanya untuk mengejar masuknya PAD tetapi juga harus memperhitungkan dampak bila peraturan tersebut dilakukan. Perda tentang Menara Bersama dapat saja ditinjau ulang dan harus mengacu kepada SKB dimana Pemerintah Daerah dapat mempermudah perijinan IMB untuk Menara Bersama. Namum tegas dalam pelaksanaan atau penegakan Perda tersebut maka dapat menghapus kekhawatiran terhadap pebisnis tidak hanya di operator selular melainkan pengusaha-pengusaha lainnya akan mendapat kesempatan yang terbuka dan pengaturan yang lebih jelas. Posisi Pemerintah Daerah selanjutnya adalah menjalin kerja sama dengan melibatkan stakeholders dalam penyusunan Perda yang menghasilkan win win solution. Disamping melakukan pengawasan dan pembinaan serta fasilitasi untuk menciptakan iklim yang kondusif serta kepastian berusaha baik bagi operator sellular maupun perusahaan yang akan membangun Menara Bersama tersebut.
5
Melalui Perkom Kominfo No 2/2008 maka pemerintah meminta selular khususnya untuk menata kembali penempatan menara- menara BTS mereka untuk di pakai bersama dengan pola saling menguntungkan. Sehingga menghindari 4
RIA, The Asia Foundation, 2010. Dalam hal ini tahapan-tahapan dalam proses RIA terbagi atas beberapa langkah: 1. Merumuskan Masalah; 2. Mengidentifikasi Tujuan; 3. Menyusun Alternatif; 4. Analisis Manfaat dan Biaya; 5. Memilih Alternatif Terbaik 6. Strategi Implementasi; 5 Harian Kompas. Kamis, 13 Agustus 2009. Dibatalkan, Perda Anti Investasi.
26
terjadinya ”hutan menara” yang mengurangi estetika tata kota. Pemerintah juga berharap dampak positif lainnya yaitu efisiensi biaya investasi bagi operator selular serta fokus pada teknologi dan konten. Dalam masa 2 tahun seluruh menara BTS pada umumnya di seluruh Indonesia (kecuali daerah terpencil) sudah harus dipakai bersama dan sisanya harus dibongkar. Entry barrier untuk industri layanan penyewaan penyewaan menara BTS relatif tinggi mengingat modal awal yang dibutuhkan untuk mendirikan usaha cukup besar. Modal diperlukan untuk pembangunan menara BTS beserta peralatan mekanikal elektrikalnya dan SDM. Dengan adanya juga Peraturan Menteri Kominfo No: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 yang mensyaratkan juga komponen lokal baik dari segi kepemilikan maupun material pembuatan menara maka akan menyebabkan tingginya entry barrier bagi investor asing. Substitusi hampir tidak ada karena antena hanya dapat dilekatkan pada gedung-gedung tinggi saja. 6 Tentunya situasi ini sangatlah menguntungkan bagi perusahaan penyedia sewa menara yang sementara ini masih relatif baru (6 tahun terakhir) dan sedikit (30 perusahaan namun hanya 1 yang dominan dengan jumlah menara diatas 2000), walaupun operator selular juga telah mulai sharing menaranya terutama dengan group usahanya atau dengan operator-operator baru yang membutuhkan. Exelcomindo bisa dilihat sebagai operator sellular yang mulai sangat aktif memasarkan 7000 menaranya untuk dibagi. Oleh sebab itu dengan melihat kepada pembahasan diatas maka masalah yang timbul bukan saja dari kacamata mengenai dampak dari Perda yang dikeluarkan bersifat melanggar prinsip dalam Hukum Persaingan Usaha dan segi regulasi.7 Beberapa pertanyaan utama yang menyangkut mengenai issu persaingan usaha adalah siapa pihak yang akan membangun Menara Bersama?, apakah Pemda akan melakukan penunjukan langsung tanpa tender kepada perusahaan yang akan membangun Menara Bersama dan menetapkan kewajiban untuk menyewanya?. Apakah dapat dilihat terjadinya indikasi monopolisasi berdasarkan Perda yang ada 6 Rencana Bisnis, Program MM Konsentrasi Manajemen Strategi, Penyewaan dan Pemeliharaan Menara Base Transmitter Station (BTS), Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya, Program Magister Manajemen Eksekutif, Op.Cit. 7 Faktor-faktor penghambat daya saing investasi suatu Negara: Ketidak pastian pengaturan kebijakan ekonomi, Ketidak stabilan makro ekonomi, Perpajakan, Keuangan, Korupsi, Infrastruktur, Praktek anti persaingan usaha yang sehat, Keahlian dan pendidikan tenaga kerja, Kriminalitas, pencurian dan ketidak teraturan. Data Tabulasi World Bank Investment Climate Surveys, 2007.
27
ataukah melalui MOU antara Pemerintah Daerah dengan badan usaha tertentu (umumnya swasta?). Hal ini akan didasarkan pada kesimpangsiuran dan ketidak pastian dari suatu peraturan yang diterbitkan jelas akan mengakibatkan ketidak pastian hukum. Disamping itu Pemerintah sudah memutuskan bahwa investasi menara telekomunikasi tetap diperuntukkan bagi penanam modal domestik dan tertutup bagi investor asing. Dituntaskannya keputusan terkait menara itu akhirnya menuntaskan pula revisi daftar negative investasi atau DNI. Sudah 90 % berstatus terbuka untuk investor asing tetapi khususnya untuk pembangunan menara telekomunikasi hal ini akan dikembangkan oleh pengusaha nasional. Dalam lima tahun mendatang dibutuhkan kira kira 40.000 menara untuk menjangkau daerah layanan yang lebih luas lagi.8 Sehingga hambatan iklim investasi merupakan masalah yang dapat berupa dalam bentuk berbagai perda yang harus diselesaikan.9 Munculnya perda bermasalah ini dapat mendistorsi kegiatan ekonomi dan mengakibatkn terjadinya ekonomi biaya tinggi.10 Hal-hal seperti ini sangat berdampak terhadap iklim investasi dan ekonomi suatu daerah.
8 Harian Kompas, 17 Maret 2010, Menara Tertutup bagi Pihak Asing, Operator Puas dengan Menara Dalam Negeri. 9 Harian Waspada, 6 Februari 2010, Pemerintah Batalkan 715 Perda Penghambat Investasi. 10 Harian Kompas, Jumat, 13 Oktober 2006. Pemerintah MINTA Waktu Lebih Tertibkan Perda, Butuh Evaluasi Mendalam untuk Hindari Kesalahan Penilaian.
28
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas maka dapat dapat disimpulkan mengenai beberapa hal yang timbul dalam pengaturan Menara Bersama, antara lain: 1. Pengaturan mengenai menara BTS merupakan suatu konsekwensi dari semakin bertumbuhnya industri telekomunikasi di Indonesia. Menara Bersama merupakan konsekwensi dari perkembangan pesat tersebut sehingga hal ini merupakan suatu langkah solusi yang baik dalam menuju efisiensi industri dan menanamkan nilai estetika keindahan kota yang baik. Hanya saja bila landasan peraturan yang dipersiapkan tidak memenuhi persyaratan yang baik maka dampak dari peraturan tersebut akan dapat berakibat terhadap beberapa hal. Diantaranya adalah berdampak terhadap industri telekomunikasi itu sendiri, persaingan usaha yang sehat, investasi dan
akhirnya berujung pada pada kesejahteraan masyarakat
(consumer welfare). 2. Sinkronisasi dari seluruh faktor dan kebutuhan tersebut harus dipersiapkan dengan baik agar tujuan pengaturan Menara Bersama dapat tercapai. Sinkronisasi dari peraturan yang berdampak penting tersebut juga akan berdampak pada sektor investasi sektor telekomunikasi. Ada beberapa langkah yang dapat diambil yang merupakan syarat esensial bagi kelanjutan pengembangan industri telekomunikasi di Indonesia yaitu diantaranya: a. sinkronisasi berbagai peraturan bidang telekomunikasi b. harmonisasi dan sinkronisasi peraturan investasi daerah yang selaras dengan peraturan investasi pusat;1
4.2. REKOMENDASI Dalam rangka sinkronisasi dari dampak peraturan atau regulasi yang dikeluarkan yang perlu dilakukan adalah menerapkan RIA (Regulatory Impact Assessment). Dengan mempersiapkan peraturan berdasarkan RIA maka setidaknya dampak dari regulasi yang 1
Presentasi Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal, MM.Azhar Lubis, Medan 11 April 2008, Diskusi Publik,Telekomunikasi untuk Indonesia Sejahtera, Indonesia Media Law and Policy Center, FH USU Jumat 11 April 2008. Dalam usulannya juga termasuk membentuk adanya system pelayanan terpadu satu pintu (PTSP)
dikeluarkan akan terukur dengan melihat pada beberapa aspek terkait, misalnya: persaingan usaha dan kesejahteraan konsumen. Dengan
demikian
setiap
peraturan
yang
dikeluarkan
akan
dapat
diimplementasikan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha. Pada akhirnya diharapkan akan tercapailah kepastian hukum yang merupakan faktor penting dalam dunia investasi dan perekonomian Indonesia.
30