LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007
Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian
Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan (1)
Modal adalah salah satu komponen yang tidak dapat diabaikan dalam proses produksi. Dalam bidang pertanian, modal identik dengan pembiayaan yang sangat sulit untuk ditanggulangi, khususnya dalam mengembangkan usahatani di pedesaan. Akses petani terhadap sumbersumber permodalan resmi masih sangat terbatas, kecuali dari para pelepas uang yang mahal karena dikenai bunga tinggi. Umumnya, hanya petani yang menguasai lahan luas yang dapat lebih mudah mendapatkan modal, pada hal, sebagian besar petani di pedesaan hanya menguasai lahan sempit. Jika lahan usahatani yang dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit modal dari perbankan, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar petani tidak layak mendapatkan modal yang bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh karena itu, modal menjadi faktor penghambat dalam mengelola usahatani.
(2)
Posisi petani yang umumnya lemah mendorong pemerintah untuk turut membantu pembiayaan pertanian. Dalam hal ini berbagai instansi pemerintah terlibat dalam pembiayaan pertanian. Keterlibatan berbagai instansi tersebut perlu dikoordinasikan agar bisa bersinergi dalam mengatasi berbagai masalah. Mengingat resiko bisnis sektor pertanian relatif tinggi dibanding sektor-sektor lainnya, pembiayaan pertanian yang dilakukan sekarang tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi pembiayaan di sektor pertanian perlu dibantu agar dapat memajukan para pelaku bisnis di sektor ini.
(3)
Keterlibatan lembaga/instansi pemerintah di luar Departemen Pertanian untuk membangun pertanian secara nasional patut dibanggakan. Berbagai program yang berkaitan dengan pembangunan pertanian dilaksanakan dengan fokus perhatian pada bidang tertentu, namun tetap menyangkut bidang pertanian. Besarnya pembiayaan yang dialokasikan untuk mendukung program pertanian pada lembaga/instansi di luar Departemen Pertanian layak diketahui untuk memahami keterlibatan lembaga/instansi tersebut dalam pembangunan pertanian. Hal ini diperlukan untuk membantu koordinasi terhadap simpul-simpul sinergi pembangunan yang direncanakan.
(4)
Masalahnya adalah bahwa pembiayaan pembangunan pertanian yang dilaksanakan lembaga/instansi pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, hingga kini terus berjalan, namun tidak diketahui seberapa besar sumbangan masing-masing lembaga/instansi tersebut dalam pembangunan pertanian nasional. Pembiayaan untuk produksi tanaman (pangan, hortikultura dan perkebunan) dan produksi peternakan, masing-masing termasuk produk olahannya perlu diketahui dalam satu satuan waktu tertentu. Di sini, daftar semua program dan biaya yang dialokasikan, terserap atau tidak, oleh semua lembaga/instansi yang terlibat belum dimiliki. Oleh karena itu, analisis pada tingkat makro yang lebih terfokus pada analisis pengeluaran pemerintah untuk pembangunan
ix
pertanian -- menurut sektor, sub sektor, program dan wilayah -- perlu dilakukan. (5)
Masalah lain dalam konteks pembiayaan pertanian adalah tingkat pengembalian kredit yang umumnya rendah atau menimbulkan kredit bermasalah. Penghasilan dari usahatani jauh lebih kecil dibanding kebutuhan rumah tangga sehingga hanya sebagian kecil hasil panen yang dialokasikan untuk membayar kredit. Bisnis di bidang pertanian berisiko tinggi, baik dari gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman serta fluktuasi harga yang signifikan. Persyaratan pengajuan kredit yang tidak sederhana membuat banyak petani tidak bisa memanfaatkan plafon kredit yang disediakan pemerintah. Sektor swasta ternyata juga tidak tertarik untuk terlibat secara langsung dalam pembiayaan pertanian.
(6)
Suatu kajian yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah yang diuraikan diatas diharapkan dapat dideskripsikan melalui kegiatan penelitian ini. Perlu dikemukakan bahwa masalah pertama menyangkut alokasi anggaran pemerintah pada sejumlah lembaga/instansi dan menuntut jawaban dalam bentuk informasi lengkap tentang program yang dilaksanakan selama paling tidak 5 (lima) tahun terakhir. Sementara masalah kedua menyangkut alokasi anggaran yang dikeluarkan Departemen Pertanian dan menuntut jawaban yang lebih komprehensif tentang penggunaan dan pencapaian skim pembiayaan yang telah dan sedang berlangsung saat ini.
Tujuan (7)
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengeluaran pemerintah untuk membiayai pembangunan sektor pertanian oleh berbagai lembaga/instansi pemerintah baik serta mengetahui perkembangan program pembiayaan di sektor pertanian pada 3 (tiga) skim pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian. Tersedianya data, informasi dan pengetahuan tentang hal tersebut diatas dinilai sangat penting untuk merumuskan kebijakan dalam rangka memperbaiki alokasi anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan kinerja skim pembiayaan di sektor pertanian. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengumpulkan data, informasi dan pengetahuan tentang pengeluaran
pemerintah untuk mendukung program pembangunan pertanian oleh berbagai lembaga/instansi pemerintahan di pusat maupun di daerah. 2. Mempelajari
skim pembiayaan SP3, LM3 dan KKP secara komprehensif dan menganalisis keuntungan komparatif pembiayaan sektor pertanian menurut pencapaiannya.
3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan
kegagalan skim pembiayaan sektor pertanian. 4. Merumuskan
saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pengalokasian anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan kinerja skim pembiayaan sektor pertanian. x
Keluaran yang Diharapkan (8)
Dengan sasaran tersedianya deskripsi program pembiayaan sektor pertanian atas dasar pengalokasian anggaran pembangunan nasional serta dipetakannya skim pembiayaan di sektor pertanian oleh sebagian program pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian, maka penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan: 1. Data, informasi dan pengetahuan tentang besarnya alokasi anggaran pembangunan sebagai pengeluaran pemerintah serta laju perkembangannya menurut program dan lembaga/instansi terkait. 2. Kinerja skim pembiayaan sektor pertanian, SP3, LM3 dan KKP dan perkiraan arah pengembangannya menurut sasaran program di lokasi yang bersangkutan. 3. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja skim pembiayaan pertanian. 4. Saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pembangunan sektor pertanian dan perbaikan sasaran program skim pembiayaan di sektor pertanian.
Metodologi (9)
Penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua bagian kegiatan tentang pembiayaan sektor pertanian. Kedua bagian tersebut mencakup: (a) analisis alokasi pengeluaran pemerintah oleh semua lembaga/instansi untuk sektor pertanian dan (b) analisis skim pembiayaan lingkup Departemen Pertanian. Memperhatikan dua bagian kegiatan tersebut diatas, fokus analisis akan dibatasi pada beberapa aspek sebagai berikut: 1. Pengeluaran pemerintah yang sifatnya membiayai kegiatan yang terkait langsung atau tidak langsung pada pembangunan pertanian secara nasional maupun regional. 2. Periode program diharapkan tidak lebih dari 5 (lima) tahun terakhir dan masih berlangsung hingga saat ini. 3. Program atau kegiatan pembiayaan sektor pertanian yang mendukung peningkatan produksi dan kualitas komoditas pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. 4. Program atau kegiatan skim pembiayaan sektor pertanian yang ditujukan kepada petani, kelompok tani, lembaga kemasyarakatan atau kelompok masyarakat lainnya. 5. Analisis yang mencakup kinerja program pembiayaan sektor pertanian dan skim pembiayaan sektor pertanian. 6. Implikasi kebijakan sebagai hasil analisis penelitian terhadap pembiayaan sektor pertanian.
(10) Mengingat luasnya kegiatan pembiayaan sektor pertanian ini, maka
pembiayaan di luar pengeluaran pemerintah (government spending) tidak termasuk di dalam cakupan penelitian ini. Disamping itu, karena banyaknya skim pembiayaan di Departemen Pertanian, maka akan dipilih xi
3 (tiga) program skim pembiayaan yang hingga kini masih berjalan untuk dianalisis secara lebih mendalam (in-depth study). Ketiga skim pembiayaan pertanian tersebut adalah: Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Lembaga Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat (LM3), dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). (11) Untuk mengetahui besaran investasi pemerintah dalam pembangunan
pertanian, maka dibutuhkan data sekunder yang akan diperoleh dari berbagai instansi di Jakarta. Sementara itu, lokasi penelitian untuk menganalisis skim pembiayaan program KKP, SP3, dan LM3 dilakukan di dua provinsi, yakni Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah). Di tingkat regional data sekunder KKP diambil dari Provinsi Jawa Timur, data sekunder SP3 dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan data sekunder LM3 dari Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil dan Pembahasan (12) Pada tahun 2007, total anggaran pembangunan pertanian adalah sebesar
Rp 23,2 trilyun. Anggaran paling besar (Rp 8,8 trilyun) dikelola oleh Departemen Pertanian. Sementara itu, anggaran kedua terbesar (Rp 7,6 trilyun) dialokasikan untuk Departemen Perhubungan, PU, dan ESDM. Pengelola anggaran pembangunan di sektor pertanian lainnya adalah Departemen Dalam Negeri (Rp 1,2 trilyun), Departemen Kesehatan (Rp 0,99 trilyun), dan Depnakertrans (Rp 0,93 trilyun). Selebihnya masih terdapat anggaran pembangunan pertanian yang dikelola oleh departemen/non departemen maupun instansi pemerintah lainnya. (13) Rata-rata nilai anggaran pembangunan pertanian selama periode tahun
2002-2007 adalah Rp 17,6 trilyun dengan rata-rata anggaran terbesar (Rp 6,8 trilyun) dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM. Selama periode tersebut rata-rata Departemen Pertanian mengelola jumlah anggaran terbesar kedua (Rp 4,96 trilyun). Sejak tahun 2002 hingga 2006 nilai anggaran Departemen Pertanian selalu di bawah akumulasi anggaran yang dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM. (14) Departemen Kesehatan, BKKBN dan Badan POM selama periode 2002-
2007 mengalami pertumbuhan anggaran pertanian tertinggi, yakni 29,26% per tahun. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah Departemen Pertanian (27,77%/tahun), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (12,39%/tahun) dan Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil dan ESDM (11,58%/tahun). Pertumbuhan anggaran terendah dialami oleh BKPM, BSN, dan BPN (-1,09%/tahun), Departemen Dalam Negeri (0,01%/tahun), dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM (3,00%/tahun). (15) Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola anggaran pembangunan
pertanian selama periode 2002-2007 adalah Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM (38,9%) dan diikuti oleh Departemen Pertanian (27,1%). Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga xii
Kerja dan Transmigrasi, dan BPPT beserta kelompoknya, bertutut-turut mengelola 7,3%, 4,4%, dan 3,2%. (16) Pada tahun 2007 secara relatif anggaran Departemen Pertanian
menduduki posisi paling tinggi (37.89%) dibandingkan dengan departemen/instansi lainnya. Sedangkan Departemen Perhubungan, PU, dan ESDM menempati urutan kedua (32,61). Masih adanya alokasi anggaran pembangunan pertanian di berbagai departemen/instansi diluar Departemen Pertanian (termasuk Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan) menunjukkan adanya tumpang tindih kegiatan pembangunan sektor pertanian. Dalam kaitan ini, penganggaran untuk program pertanian yang dikelola oleh lembaga non Departemen Pertanian perlu ditinjau kembali. Juga perlu dipertanyakan sejauh mana mandat instansi lain dalam mengelola anggaran untuk sektor pertanian. Hal ini dibutuhkan agar pengaturan program pertanian yang dikelola berbagai instansi bisa dilaksanakan secara terpadu dan sekaligus menghindari adanya tumpang tindih program. (17) Pada
tahun 2007 anggaran pembangunan pertanian terbesar dialokasikan untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) sebesar Rp 2,57 trilyun. Urutan kedua adalah untuk permodalan dan bantuan pemberdayaan (Rp 1,99 trilyun). Berikutnya adalah untuk penyuluhan (Rp 0,57 trilyun), penelitian dan pengembangan (Rp 0,36 trilyun), dan pendidikan dan latihan (Rp 0,30 trilyun). Alokasi anggaran untuk kegiatan lainnya tercatat sebesar Rp 13,10 trilyun.
(18) Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar
juga tercatat untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), yaitu 10,5 % dan yang kedua adalah untuk bantuan permodalan (8,5%). Urutan berikutnya adalah untuk penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), serta untuk pendidikan dan latihan (1,3%). Selama ini pembangunan infrastruktrur pertanian selalu menempati urutan tertinggi dalam alokasi anggaran, tetapi belakangan ini banyak diantara infrastruktur pertanian yang tidak bisa beroperasi secara optimal, terutama saluran irigasi sekunder maupun tersier yang tidak berfungsi dengan baik. Hal ini menunjukkan adanya indikasi anggaran yang diduga tidak dikelola secara efisien. (19) Pembiayaan di sektor pertanian menempati urutan nilai anggaran kedua
secara nasional, tetapi dikelola oleh berbagai departemen/instansi yang kegiatannya dilapangan bisa tumpang tindih sehingga hasilnya tidak tercapai secara efektif. Sedangkan alokasi anggaran penelitian dan pengembangan yang relatif kecil (kurang dari 2%) tampaknya akan sulit diharapkan untuk menghasilkan temuan/inovasi yang relatif unggul dan dinamis. Lebih jauh lagi, anggaran per program bukan hanya dialokasikan untuk membiayai kegiatan teknis, tetapi juga termasuk biaya administrasi. (20) Secara aggregat, anggaran untuk pembiayaan pertanian yang dikelola
Departemen Pertanian relatif kecil dan tersebar di berbagai instansi. Sedangkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur pertanian mendapat porsi terbesar dan dikelola instansi lain. Dalam kaitan ini, alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian. Jika modal petani dianggap xiii
penting, maka jumlah alokasi seharusnya dapat ditingkatkan.
anggaran
pembiayaan
pertanian
(21) Program pembiayaan KKP sangat membantu petani pangan maupun
peternak. Walaupun demikian, jangka waktu pengajuan terlalu lama dan jangka waktu pengembalian dianggap terlalu pendek, kemudian besarnya agunan, biaya notaris, serta NPWP masih merupakan hambatan bagi petani untuk mendapatkan modal kerja. Petani yang berkelompok dan ada penjaminanya, misalnya petani tebu, bisa memanfaatkan KKP secara optimal. (22) SP3 umumnya hanya diminati kalangan usaha skala mikro, sementara
usaha kecil I dan II yang memanfaatkan kredit tersebut relatif lebih sedikit. Proses pengajuan dan pencairan kredit dianggap terlalu lama serta persyaratan agunan dinilai memberatkan petani kecil. Demikian pula jangka waktu pengembalian kredit dirasakan relatif pendek. Masyarakat pertanian di sektor hulu hanya sedikit yang memanfaatkan SP3 dibanding penerima kredit yang bergerak di sektor hilir. (23) Bantuan dana LM3 berpotensi menggerakkan perekonomian pedesaan.
Penilaian proposal kegiatan ini hendaknya dilakukan lebih cermat agar tidak ada kesan bahwa dana ini sangat mudah diperoleh serta sangat mudah dipertanggungjawabkan. Komunikasi antar lembaga calon penerima bantuan LM3 dengan dinas/instansi terkait setempat perlu dibina untuk menyiapkan proposal yang layak dan sesuai dengan program pembinaan yang sedang berjalan di daerah. Pemberian dana LM3 yang berasal dari dua atau tiga sumber untuk satu lembaga model perlu ditinjau kembali. Tidak semua lembaga model bisa mengelola dana LM3 dengan baik. Disamping itu, hal tersebut juga menimbulkan rasa cemburu bagi lembaga lain di lokasi yang bersangkutan yang tidak pernah menerima bantuan sejenis. (24) Strategi yang ditempuh pemerintah dalam kebijakan perkreditan untuk
sektor pertanian dengan mengarahkan pada keterlibatan perbankan formal sebagai pelaksana (executing agency) merupakan langkah tepat. Namun, kebijakan pemerintah tersebut perlu diimbangi dengan upaya yang lebih sungguh-sungguh dalam membantu petani untuk meningkatkan skala usaha, kemampuan manajerial maupun aksesibilitas petani terhadap perbankan formal. (25) Bantuan dan fasilitasi pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk: (i)
sertifikasi lahan secara murah dan mudah untuk memenuhi agunan yang selama ini menjadi kendala untuk bankable; (ii) pembinaan kelembagaan petani yang lebih intensif terutama dalam aspek manajerial usaha; (iii) inovasi teknologi pertanian dari hulu sampai hilir untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usahatani, (iv) pembangunan infrastruktur pertanian yang memadai; (v) penyediaan sarana produksi secara tepat waktu dengan biaya terjangkau; (vi) adanya pengawasan dan pendampingan, misalnya dengan memfungsikan penyuluh pertanian dalam penyaluran kredit sehingga tepat sasaran; (vi) jaminan pemasaran produk pertanian, (vii) pemerintah hendaknya mendirikan lembaga keuangan khusus seperti bank pertanian yang berfungsi untuk menangani seluruh program pembiayaan pembangunan pertanian; keuntungannya xiv
adalah agar penyalurannya dapat lebih terarah dan tepat sasaran, termasuk untuk menghindari adanya penerima/petani yang memperoleh modal dari dua sumber program pembiayaan yang berbeda untuk membiayai satu kegiatan yang sama. Kesimpulan Dan Saran Kebijakan (26) Anggaran
pembangunan pertanian tidak hanya dialokasikan di Departemen Pertanian, tetapi juga terdapat di berbagai departemen dan instansi pemerintah lainnya. Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola anggaran pembangunan pertanian selama periode 2002-2007 adalah Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM dan diikuti oleh Departemen Pertanian, Depdagri, Depnakertrans dan BPPT. Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), dan yang kedua adalah bantuan permodalan. Urutan berikutnya adalah penyuluhan, litbang, dan diklat.
(27) Penyaluran KKP tidak dapat sepenuhnya di akses oleh petani. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan petani mengenai program KKP. Penerima SP-3 terbatas hanya pada petani perorangan yang pada umumnya memiliki skala usaha menengah dan luas. Penyaluran LM3 mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan menjadi agen pembangunan agribisnis khususnya agroindustri di pedesaan, yang menyampaikan pesan pembangunan melalui kegiatan pendidikan moral dan sosial di dalam masyarakat. (28) Alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau
dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian agar lebih efisien dan efektif. Jika modal petani dianggap penting, maka jumlah alokasi anggaran pembiayaan pertanian seharusnya ditingkatkan. (29) Jangka waktu pengajuan KKP perlu dipersingkat dan jangka waktu
pengembalian agar diperpanjang. Besarnya agunan dan biaya notaris perlu ditekan, serta NPWP sebaiknya tidak menjadi syarat pengajuan kredit. (30) Proses
pengajuan dan pencairan kredit SP3 agar dipercepat, persyaratan agunan dikurangi nilainya, dan waktu pengembalian kredit diperpanjang. Masyarakat pertanian di sektor hulu diupayakan supaya makin banyak yang memanfaatkan SP3 dibanding penerima kredit yang bergerak di sektor hilir.
(31) Proposal pengajuan LM3 supaya dinilai lebih cermat. Lembaga penerima
dana supaya berkoordinasi dengan Dinas Pertanian/Peternakan setempat dalam pelaksanaan kegiatan.
xv