LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA 2015
SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIAN
Tim Peneliti: Hermanto Sri Hery Susilowati Mewa Ariani Tri Pranadji Syahyuti Adang Agustian Gatoet S. Hardono Ening Ariningsih Herlina Tarigan Amar K. Zakaria Endro Gunawan
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015
DAFTAR ISI Halaman I.
Pendahuluan ………………………………………………………………………………
1
II.
Kebijakan Subsidi Pupuk: Implementasi, Permasalahan, dan Penyempurnaan Kebijakan ..............................................................
6
III.
Kebijakan Harga Beras di Tingkat Konsumen …………………………………
14
IV.
Pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan yang Berkelanjutan untuk Pertanian ……………………………………………………………………………………
20
4.1. 4.2.
Ketersediaan Lahan dan Upaya Menjaga Keberlanjutannya …… Implikasi dari Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh MK ……….
20 25
Pengembangan Kelembagaan Perbenihan …………………………………….. 5.1. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan Nasional …………………..
35 35
5.2. 5.3.
Kelembagaan Perbenihan Padi di Provinsi Jawa Barat …………… Kebijakan Pemerintah untuk Memperkuat Kinerja Produsen
36
Benih Pemerintah dan Petani Penangkar Benih …………………….
40
Kebijakan Pengembangan Mekanisasi Pertanian …………………………….
44
6.1. 6.2.
Kasus Penerapan Mekanisasi Pertanian ………………………………. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ke Depan ……………………………
49 51
Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok ……………………….
54
7.1. 7.2.
Capaian Diversifikasi Pangan …………………………………………….. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok ................
55 58
VIII. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan ……………………………………………..
64
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………….
72
V.
VI.
VII.
i
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1.
Jumlah dan Komposisi Rumah Tangga Usahatani Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan, 2003-2013 ………………………………………………..
12
3.1.
Prognosa Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Menurut Bulan Tahun 2015 ……………………………………………………………………………….
16
3.2.
Kondisi Stok Beras yang Dikelola Bulog Sampai dengan 9 Januari 2015 ………………………………………………………………………………………….
19
4.1.
Konsekuensi Implementasi UU No. 7/2004 di Tengah Masyarakat Petani, Khususnya pada P3A ………………………………………………………..
30
5.1.
Realisasi Produksi Benih Padi Bersertifikat di Jawa Barat, Tahun 2012
37
6.1.
Gambaran Umum Perkembangan Mekanisasi di Indonesia Tahun 1950-an s/d Saat Ini …………………………………………………………………..
46
6.2.
Jumlah dan Jenis Alsintan Mendukung Program Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai …………………………………………………………………………………
49
7.1.
Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2005–2012 ……………….
56
7.2.
Distribusi Provinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH, 2005 dan 2012 .
57
7.3.
Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 ………………………………………
58
ii
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
2.1.
Perkembangan HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 …………………….
7
2.2.
Perkembangan Rasio HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 …………….
7
2.3.
Disparitas Harga Pupuk Urea Bersubsidi vs Nonsubsidi, 2003-2014 …..
8
2.4.
Fluktuasi Harga Pupuk Urea di Pasar Internasional, 2004-2013 ………..
8
3.1.
Harga Eceran Beras Bulanan Selama Periode Tahun 2008-2015 ……….
15
3.2.
Harga Eceran Beras Mingguan Periode Januari-Februari Tahun 2015 ..
15
3.3.
Perbandingan Harga Produsen Gabah GKP, GKP di Tingkat Petani, dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, 2010-2015 ...........................
16
3.4.
Harga Grosir Beras Harian di PIBC Periode Januari-Februari 2015 ......
17
3.5.
Pemasukan dan Pengeluaran Beras Harian di PIBC Periode JanuariFebruari 2015 .................................................................................
18
3.6.
Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional (Januari-Februari, Tahun 2015) ..................................................................................
19
iii
I. PENDAHULUAN Beras merupakan pangan pokok yang mempunyai nilai strategis penting, baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Beras dikonsumsi oleh kurang lebih 98% penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi rata-rata 114,13 kg/kapita/tahun (BPS, 2015). Permintaan beras diperkirakan terus meningkat karena pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar 1,49% per tahun, dan karena peningkatan pendapatan penduduk. Pada sisi produksi, padi diproduksi oleh sekitar 14,2 juta rumah tangga petani yang berarti bahwa usahatani padi menjadi sumber pendapatan bagi sekitar 64 juta jiwa. Dengan tingkat produksi beras nasional sekitar 41,2 juta ton pada tahun 2014, maka nilai ekonomi perberasan nasional diperkirakan sebesar 330 triliun rupiah. Mengingat pentingnya beras dalam ekonomi, sosial, budaya, dan politik nasional, pemerintah mengupayakan peningkatan produksi beras untuk mencapai tingkat swasembada secara berkelanjutan. Dalam rangka pencapaian swasembada beras secara berkelanjutan ini, pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan dan program. Pada hakekatnya, kebijakan pemerintah dalam perberasan ini bertujuan untuk memberikan insentif kepada petani produsen untuk meningkatkan produksinya dan melindungi konsumen agar beras terjangkau oleh daya beli penduduk pada umumnya, dan khususnya penduduk miskin. Untuk mencapai swasembada beras secara berkelanjutan merupakan tantangan yang berat, mengingat dinamika permasalahan dan kendala yang dihadapi di lapangan. Berbagai masalah mendasar yang masih dihadapi dalam pembangunan pertanian pada umumnya dan produksi padi pada khususnya antara lain sebagai berikut: (a) kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, (b) terbatasnya infrastruktur, (c) akses terhadap sarana pertanian, (d) akses terhadap sumber daya lahan dan air, (e) kepemilikan lahan yang menyempit, (f) sistem perbenihan dan pembibitan yang kurang memadai, (g) kurangnya akses petani terhadap pelayanan permodalan dan penyuluhan, serta masih lemahnya lembaga petani, (h) kurangnya keterpaduan lintas sektor dan terbatasnya pelayanan birokrasi pertanian (Kementerian Pertanian, 2015)
1
Menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan swasembada beras secara berkelanjutan. Kebijakan swasembada beras tersebut dapat dibedakan atas kebijakan harga dan kebijakan nonharga. Kebijakan nonharga dapat dibedakan atas kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Kebijakan intensifikasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi melalui subsidi input (pupuk dan benih), bantuan sarana produksi (pupuk, benih dan alsintan), dan dukungan untuk penerapan teknologi maju. Kebijakan ekstensifikasi bertujuan untuk meningkatkan luas areal pertanaman, di antaranya melalui pencetakan sawah baru, pembangunan dan perbaikan prasarana irigasi, dan peningkatan intensitas pertanaman. Selain itu, pemerintah juga mengatur dan mengelola pemanfaatan sumber daya lahan dan air, agar kedua sumber daya alam yang vital ini dapat dimanfaatkan mendukung peningkatan produksi padi secara berkelanjutan. Adapun kebijakan harga pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan jaminan kepada petani padi agar mereka menerima harga jual gabah/beras yang mendatangkan keuntungan usahatani yang layak. Dalam hal ini, pemerintah melaksanakan kebijakan harga yang memberikan insentif bagi petani produsen padi ini pada awalnya berupa kebijakan harga dasar (floor price) gabah, atau disingkat dengan HDG (Maulana, 2012). Dengan kebijakan HDG ini pada prinsipnya pemerintah akan membeli gabah petani pada harga dasar dengan jumlah relatif “tidak terbatas” selama harga jual pada tingkat petani masih di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Dalam implementasinya kebijakan HDG ini hanya mungkin untuk dapat dilaksanakan pada era pemerintahan Orde Baru, di mana pemerintah pusat memegang otoritas penuh atas kebijakan dan anggaran yang dialokasilkan untuk menjamin pelaksanan kebijakan HDG baik pada tataran pemerintah pusat sampai ke tingkat pemerintah daerah dan bahkan pada tingkat implementasinya di lapangan. Pada saat itu kebijakan HDG dilaksanakan oleh Bulog sebagai LPND (Lembaga Pemerintah NonDepartemen) yang mempunyai fungsi sebagai regulator sekaligus merangkap sebagai operator. 2
Pada era Reformasi, status Bulog diubah menjadi Perum yang hanya menjalankan
fungsi
operator.
Anggaran
pemerintah
untuk
melaksanakan
kebijakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani mulai terbatas. Sementara itu, otoritas kebijakan harga gabah/beras tersebar pada berbagai kementerian. Dengan demikian, secara praktis pemerintah tidak dapat lagi menjalankan kebijakan HDG sebagaimana yang pernah dilaksanakan pada era Orde Baru. Oleh karena itu, pada era Reformasi kebijakan HDG diubah menjadi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) di mana pemerintah menetapkan sejumlah tertentu gabah/beras yang akan dibeli pemerintah pada harga pembelian gabah/beras yang telah ditetapkan pemerintah. HPP ditetapkan dengan pertimbangan bahwa petani produsen mendapat marjin keuntungan usahatani padi yang layak (minimal 30% di atas harga pokok produksi padi/gabah). Karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia, maka menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah berkewajiban untuk menjaga akses penduduk
terhadap
beras.
Kebijakan
untuk
meningkatkan
dan
menjaga
aksesibilitas penduduk terhadap beras dapat dibedakan atas kebijakan harga dan kebijakan nonharga. Dalam rangka menjaga aksesibilitas konsumen terhadap beras melalui kebijakan harga pada era Orde Baru, pemerintah melaksanakan kebijakan Harga Atap Beras (ceiling price) yang selanjunya disingkat dengan HAB. Dalam pelaksanaan HAB, pemerintah melalui Bulog akan menjual beras pada tingkat konsumen pada tingkat harga HAB dalam jumlah yang relatif tidak terbatas, selama harga beras di tingkat konsumen berada pada tingkat harga di atas HAB. Seperti halnya HDG, kebijakan HAB ini juga hanya mungkin dapat dilaksanakan manakala pemerintah pusat mempunyai otoritas penuh dalam pengendalian harga beras. Dalam hal ini HAB hanya dapat dilaksanakan oleh LPND Bulog yang pada waktu itu mempunyai peran sebagai regulator sekaligus sebagai operator dalam peklaksanaan kebijakan harga gabah/beras. Pada era Reformasi, kebijakan HAB diubah menjadi tiga bentuk kebijakan. Pertama adalah kebijakan subsidi harga beras untuk masyarakat miskin atau 3
dikenal dengan Program Raskin. Dalam Program Raskin, pemerintah, melalui Bulog, secara reguler menjual sejumlah tertentu beras dengan harga subsidi kepada kelompok rumah tangga sasaran (RTS), yaitu rumah tangga yang tergolong miskin (Bulog, 2015). Memang raskin tidak secara spesifik ditujukan untuk pengendalian harga beras pada tingkat konsumen, tetapi karena volume distribusi raskin cukup besar (mencapai 6-7% dari volume konsumsi beras nasional) dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, maka dampak positifnya adalah dapat menjaga stabilitas harga beras pada tingkat konsumen. Kedua, adalah Operasi Pasar Beras (OP Beras). Dalam kebijakan OP Beras ini, pemerintah, melalui Bulog, akan menjual sejumlah tertentu beras kepada kosumen pada harga di bawah harga pasar, manakala harga beras di pasar konsumen mengalami lonjakan harga (dalam hal ini lebih dari 15% dalam waktu satu bulan). Beras yang digunakan untuk OP Beras ini diambil dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) (Bulog, 2015), yaitu sejumlah tertentu beras yang dibeli oleh pemerintah, jumlahnya bervariasi antara 350 ribu ton sampai dengan 1 juta ton, yang disimpan di gudang Bulog dan dicadangkan untuk keperluan OP Beras, bantuan beras pascabencana di dalam negeri, dan sebagian dicadangkan ( ear
marked) sebagai bantuan beras dalam kerangka kerja sama antara Pemerintah RI dengan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR). Pada era globalisasi perdagangan, termasuk perdagangan global beras, kebijakan perberasan nasional tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika yang terjadi di pasar internasional beras. Dalam hal ini bentuk ketiga dari kebijakan harga beras nasional adalah pengendalian importasi beras. Kebijakan pengendalian importasi beras ini dapat dipandang sebagai pelengkap dari kebijakan perberasan nasional (Darwanto, 2014). Pemerintah mempunyai opsi untuk melakukan importasi sejumlah tertentu beras untuk pengendalian harga beras di dalam negeri, manakala harga beras di dalam negeri berada di atas harga paritas beras di pasar internasional dan atau manakala terjadi kekurangan pasokan beras produksi dalam negeri. Importasi beras hanya dilakukan oleh Bulog yang jumlah dan daerah tujuan impornya telah ditentukan pemerintah. Menurut
4
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, importasi beras hanya dilakukan jika produksi di dalam negeri tidak mencukupi. Kebijakan nonharga yang terkait dengan peningkatan akses masyarakat terhadap bahan pangan adalah kebijakan diversifikasi pangan. Selanjutnya dalam pelaksanaannya
kebijakan
diversifikasi
mempromosikan
penganekaragaman
pangan
konsumsi
dilakukan
pangan,
(b)
dengan:
(a)
meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang, (c) meningkatkan keterampilan dalam pengembangan
olahan
pangan
lokal,
dan
(d)
mengembangkan
dan
mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan lokal. Kajian ini akan melakukan analisis kebijakan perberasan nasional secara komprehensif. Fokus kajian dilakukan pada tataran empiris dengan metode analisis sumber pustaka dan data sekunder. Analisis kebijakan perberasan selanjutnya dipertajam dengan melibatkan pendapat dan masukan dari para pakar dan praktisi perberasan nasional.
5
II. KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK Implementasi, Permasalahan, dan Penyempurnaan Kebijakan Pupuk memiliki peranan penting sebagai salah satu faktor produksi dan produktivitas pertanian. Walaupun peran pupuk dalam struktur biaya usahatani padi hanya sekitar 7-10% (BPS, 2013), tetapi memiliki peran yang sangat strategis dalam peningkatan produksi pangan nasional dan pencapaian swasembada pangan.
Tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan meningkatnya
produktivitas padi sampai saat ini tidak terlepas dari peranan kebijakan subsidi pupuk. Secara umum petani juga sudah sangat tergantung kepada pupuk untuk peningkatan produksi tanaman mereka. Salah satu instrumen kebijakan ditempuh pemerintah
yang
adalah melalui pemberian subsidi harga pupuk. Dengan
adanya subsidi harga pupuk, maka rasio harga pupuk terhadap harga hasil pertanian akan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa subsidi. Melalui insentif harga input ini produsen pertanian akan terdorong untuk menerapkan teknologi produksi yang lebih baik. Dalam implementasinya, instrumen subsidi harga pupuk dilengkapi dengan mekanisme pengajuan kebutuhan pupuk oleh petani melalui instrumen RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), alokasi pupuk oleh pemerintah serta distribusi pupuk oleh produsen dan penyalur sampai ke petani. Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami penyesuaian HET (Harga Eceran Tertinggi) yang relatif lambat, sementara kenaikan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah relatif lebih cepat. Hal ini mengakibatkan rasio harga gabah/harga pupuk terus meningkat, dari 1,64 tahun 2003 menjadi 2,31 tahun 2014. Tahun 2015 harga gabah telah dinaikkan 10,8%, sehingga rasio menjadi 2,56, yang berarti harga riil pupuk terhadap harga gabah semakin murah. Hal ini menguntungkan petani, tetapi di beberapa wilayah produsen padi, penggunaan pupuk oleh petani cenderung menjadi tidak efisien (boros). Perkembangan HET pupuk bersubsidi yang cenderung tetap, sementara harga gas dunia yang terus meningkat sehingga HPP (Harga Pokok Penjualan) pupuk semakin tinggi mengakibatkan disparitas harga pupuk bersubsidi terhadap 6
harga pupuk nonsubsidi semakin tahun juga semakin besar. Hal ini konsisten dengan perkembangan harga pupuk (urea) di pasar internasional yang cenderung meningkat secara fluktuatif. Disparitas harga pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi tahun 2003 hanya Rp994/kg meningkat menjadi Rp2.741/g tahun 2014, dan tahun 2015 akan menjadi Rp2.968/Kg. Tingginya disparitas harga pupuk bersubsidi dan nonsubsidi mendorong terjadinya penyelewengan penggunaan pupuk bersubsidi ke sektor nonsubsidi atau ekspor illegal, serta tindakan-tindakan
moral hazard lainnya oleh pemburu rente yang tentu saja merugikan negara maupun petani yang berhak menerima subsidi. Beban subsidi pun semakin besar, yaitu tahun 2003 hanya Rp0,7 triliun menjadi Rp24,9 triliun pada tahun 2014 dan trennya semakin meningkat sebagai akibat naiknya biaya produksi pupuk.
Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah
Gambar 2.1. Perkembangan HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014
Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah
Gambar 2.2. Perkembangan Rasio HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 7
Rp/kg
Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah
Gambar 2.3. Disparitas Harga Pupuk Urea Bersubsidi vs Nonsubsidi, 2003-2014
Sumber: Simatupang (2015)
Gambar 2.4. Fluktuasi Harga Pupuk Urea di Pasar Internasional, 2004-2013
Disparitas harga pupuk bersubsidi vs nonsubsidi yang semakin besar seperti diuraikan
di
atas,
mendorong
timbulnya
berbagai
penyimpangan
dalam
implementasi kebijakan pupuk bersubsidi yang lebih lanjut mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk. Permasalahan pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk dapat diuraikan menurut tiga aspek, yaitu: (a) pengadaan pupuk bersubsidi di tingkat petani; (b) distribusi pupuk dari produsen dampai ke petani; dan (c) pengawasan pelaksanaan subsidi pupuk mulai dari pengadaan, distribusi sampai pupuk bersubsidi diterima oleh petani. Pengadaan pupuk bersubsidi di tingkat petani didasarkan pada penghitungan kebutuhan pupuk yang dasarnya adalah: (a) basis data luas tanaman, sementara database luas tanaman sampai dengan tingkat kecamatan dan desa belum ada /belum tertata dengan baik; (b) keanggotaan kelompok tani, di mana belum 8
semua petani menjadi anggota kelompok tani padahal mereka juga memerlukan pupuk; (c) penyusunan RDKK,
di mana sampai saat ini RDKK belum tersusun
secara baik; (d) jumlah alokasi subsidi pupuk oleh pemerintah ditentukan oleh kemampuan pemerintah, usulan dan penyerapan tahun sebelumnya yang mana jumlah alokasi selalu
lebih rendah dari usulan sehingga kurang memotivasi
kelompok gani untuk menyusun RDKK secara baik; (e) di sisi lain, realisasi penyerapan (yang menjadi salah satu dari pertimbangan dari besaran alokasi) selalu/cenderung lebih rendah dari alokasi karena tergantung dari tingkat daya beli petani dan tingkat adopsi teknologi. Faktor-faktor penyebab di atas saling terkait sehingga seringkali timbul fenomena “kekurangan pupuk bersubsidi” di tingkat petani namun pupuk nonsubsidi tersedia di kios-kios yang dapat dibeli dengan harga nonsubsidi. Permasalahan pada aspek distribusi terutama menyangkut Prinsip 5 Tepat (Jumlah, Jenis, Kualitas, Harga, Tempat, Waktu,) yang belum sepenuhnya terpenuhi. Unsur-unsur yang termasuk dalam aspek distribusi antara lain: (a) pengelolaan sisa/stok pupuk bersubsidi di pengecer belum diatur dengan baik, sehingga pupuk yang tidak ditebus oleh petani berpotensi disalurkan ke pihak yang tidak berhak menerima subsidi (sektor nonpertanian) atau dijual ke petani lain di luar wilayah, (b) harga yang dibeli petani sering lebih tinggi dari HET yang antara lain disebabkan margin Lini IV terlalu rendah, tambahan ongkos bongkar yang harus ditanggung oleh Lini IV, atau pun petani membeli pupuk ke kios dengan cara berhutang sehingga Lini IV/kios menaikkan harga; (c) pola distribusi tertutup belum sepenuhnya berjalan dengan baik, yang mana petani masih bisa membeli pupuk bersubsidi di luar kios pengecer yang ditentukan, (d) kios pengecer tidak melakukan pencatatan pembelian; (e) sering ditemui distributor (Lini II atau III) tidak memiliki gudang penyimpanan yang menjadi persyaratan sebagai
distributor
sehingga
mengganggu
pelaksanaan
distribusi,
dan
permasalahan-permasalahan lainnya, (f) SK Alokasi oleh Gubernur dan terutama SK Bupati/Walikota kerap terlambat sehingga menghambat distribusi pupuk yang berakibat
keterlambatan
penyaluran
pupuk
di
tingkat
petani
(fenomena
“kelangkaan pupuk”). 9
Permasalahan pada aspek pengawasan terutama karena perangkat dan pelaksanaan pengawasan di setiap lini belum tertata dengan baik. Anggota KP3 seringkali kurang kompeten, kurang dana pengawasan, kepala desa belum dilibatkan secara legal dan fungsional, belum ada sistem pengaduan masyarakat di KP3 tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kendati produsen pupuk telah memfasilitasi dengan SMS Center untuk pengaduan masyarakat, namun belum tersosialisasi dengan baik sehingga pemanfaatan oleh masyarakat juga belum optimal. Berdasarkan
fenomena
implementasi
kebijakan
subsidi
pupuk
dan
permasalahan-permasalahan yang muncul, maka diperlukan langkah-langkah operasional yang bertujuan untuk penyempurnaan implementasi kebijakan subsidi pupuk.
Langkah-langkah penyempurnaan kebijakan terutama diarahkan untuk
antara lain: a. Perbaikan kelompok sasaran dan RDKK Penyusunan RDKK merupakan awal informasi kebutuhan pupuk petani. Sementara itu, sebagian RDKK belum disusun secara akurat, baik dalam hal proses penyusunannya atau kebenaran datanya. Perencanaan kebutuhan pupuk yang dimulai dari RDKK ini harus disusun pada t-1, artinya untuk kebutuhan tahun 2016 harus dirancang mulai awal tahun 2015. RDKK yang disusun oleh kelompok tani harus didasarkan pada kondisi objektif, yaitu sesuai dengan luas garapan yang memenuhi kriteria kelompok sasaran tersebut. Untuk meningkatkan akurasi data luas garapan lahan usahatani dan efektivitas penyusunan RDKK, perlu dilakukan peningkatan kapasitas petani/kelompok tani melalui pendampingan/pengawalan oleh penyuluh/petugas lapangan setempat dengan insentif yang memadai. Untuk mendapatkan jatah pupuk bersubsidi, maka para petani di masing-masing subsektor diharuskan membentuk kelompok tani yang berperan dalam penyusunan RDKK. Petani yang menggarap lahan kehutanan, pinggiran rel KA, bantaran sungai dan lahan usahatani suboptimal lainnya yang selama ini tidak tidak tercatat dan tidak termasuk dalam RDKK sehingga tidak memiliki hak untuk memperoleh pupuk bersubsidi, padahal mereka juga memerlukan pupuk, harus segera dilakukan identifikasi dan dimasukkan dalam RDKK (bagian dari anggota 10
kelompok tani) sehingga mereka berhak menerima subsidi pupuk. Penertiban kelompok sasaran penerima subsidi pupuk, yaitu petani, pekebun dan usaha tambak rakyat dengan luasan maksimal 2 ha harus segera dilakukan agar subsidi pupuk secara efektif diterima oleh petani kecil yang berhak. Selama ini petani dengan luasan lebih dari 2 ha „memecah‟ lahan mereka menjadi beberapa persil dengan luasan kurang 2 ha dengan diatasnamakan anak atau keluarga mereka. Untuk itu bukti pemilikan lahan (sertifikat atau girik) menjadi instrumen penting untuk sarana kontrol. Perlu dicari solusi kontrol bagi petani penggarap lahan milik orang lain. Selama ini RDKK yang digunakan sebagai dasar penetapan alokasi pupuk oleh pemerintah (menurut usulan kebutuhan/bottom up) pada kenyataannnya tidak berjalan efektif. Alokasi pupuk oleh pemerintah pada kenyataannya tidak didasarkan pada usulan RDKK namun didasarkan oleh ketersediaan dana dan berdasarkan realisasi serapan pada tahun sebelumnya, sehingga alokasi selalui lebih rendah dari usulan.
Oleh karena itu, perlu sinkronisasi perencanaan
kebutuhan mulai dari petani/kelompok tani, kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional.
Pasa saat ini jumlah pupuk yang diminta petani melalui RDKK dan/atau
daerah (provinsi/kabupaten/kota) selalu jauh lebih tinggi daripada yang ditetapkan dalam Kepmentan. Untuk meningkatkan efektivitas subsidi pupuk yang berorientasi membantu petani kecil, maka kelompok sasaran penerima subsidi pupuk disarankan diubah menjadi petani, pekebun, peternak, pembudi daya ikan dan/atau udang dengan luasan sampai dengan 0,5 ha untuk tanaman semusim,
dan
petani dengan
penguasaan lahan sampai dengan 1 ha untuk tanaman tahunan. Untuk mendukung pencapaian sasaran tersebut, maka penetapan besarnya subsidi didasarkan pada RDKK dari kelompok sasaran tersebut. Data Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa jumlah petani dengan pengusahaan lahan kurang dari 0,5 ha sebanyak 57%, menurun dibandingkan tahun 2003 sebesar 64%.
Jika
sasaran penerima subsidi hanya kepada petani dengan luasan sampai dengan 0,5 ha, maka beban subsidi pemerintah akan berkurang cukup signifikan yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pertanian (irigasi, jalan usahatani, dsb.). 11
Tabel 2.1. Jumlah dan Komposisi Rumah Tangga Usahatani Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan, 2003-2013 Golongan Luas (m2)
ST-2003 Juta RT
ST-2013 Juta RT
<1000
9,38
4,34
-53,75
1.000-1,999
3,60
3,55
-1,45
2.000-4.999 5.000-9.999
6,82 4,78
6,73 4,56
-1,23 -4,76
10.000-19.999
3,66
3,73
1,76
20.000-29.999
1,68
1,62
-3,27
>30.000
1,31 31,23
1,61 26,14
22,81 -16,32
Jumlah
(%)
Sumber: Sensus Pertanian 2003 dan 2013
b. Penyesuaian HET Dengan adanya perbedaan harga yang sangat lebar antara harga pupuk bersubsidi dan harga pasar maka rangsangan/insentif untuk melakukan moral
hazard sangat tinggi, berupa penyelundupan pupuk bersubsidi ke sektor perkebunan, penjualan kembali pupuk bersubsidi oleh petani dengan harga yang lebih tinggi dari yang dibayar petani tetapi lebih rendah dari harga pasar, sampai pada pencucian warna pupuk bersubsidi.
Untuk mengatasi kondisi tersebut di
atas, selain dengan penegakkan hukum yang ketat, perlu juga dipikirkan untuk mengurangi insentif moral hazard itu sendiri. Artinya, usulan kebijakan phase
out fertilizer subsidy secara gradual dapat dipandang sebagai kebijakan perpupukan jangka menengah, tetapi harus sudah dimulai dipikirkan saat ini. Penyesuaian HET secara bertahap mendekati
harga pasar perlu segera
dilaksanakan yang disertai dengan peningkatan harga gabah secara proporsional. Rumus Tani yang dahulu digunakan dalam menetapkan harga gabah dan pupuk, yaitu rasio harga gabah dan harga pupuk adalah 1:1 dapat digunakan sebagai acuan. Demikian pula usulan alokasi dana penghematan dari kebijakan subsidi pupuk, apakah digunakan untuk menambah volume pupuk bersubsidi atau dikembalikan ke petani dalam bentuk pengembangan infrastuktur dan alsintan untuk keseluruhan sistem agribisnis (tidak hanya off-farm saja).
12
c. Penertiban SK Alokasi Pupuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing provinsi setiap tahun ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang alokasi pupuk bersubsidi pada masing-masing kabupaten/kota.
Peraturan Gubernur tersebut
diterbitkan pada akhir Desember atau pada awal bulan Januari. Seterusnya ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Bupati/Walikota yang mengatur tentang alokasi pupuk bersubsidi pada masing-masing kecamatan. Peraturan Bupati atau Walikota tersebut diharapkan dapat terbit selambat-lambatnya pada awal Februari. Namun, keterlambatan penetapan SK alokasi kerap terjadi yang mengakibatkan
keterlambatan
penyalurann
pupuk
di
tingkat
petani.
Keterlambatan penetapan SK tersebut perlu segera diatasi dan diantisipasi. Pemberian sanksi kepada Pemda yang melakukan keterlambatan penetapan SK (misalnya dengan tidak diberi jatah pupuk bersubsidi perlu dipikirkan sebagai
shock teraphy agar tidak mengulang-ulang keterlambatan tersebut. d. Penertiban distribusi pupuk Produsen dan distributor pupuk perlu diminta untuk mendistribusikan pupuk sesuai uraian tugasnya secara tepat waktu dengan mengacu pada Kepmentan. Perlu dipkirkan apabila pupuk tidak terdisribusikan tepat waktu, dan jika hal ini disebabkan kelalaian produsen dan/atau distributor, maka perlu dirumuskan sanksi dan/atau denda. e. Optimalisasi peran dan fungsi pengawasan Tim KP3 (Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida) di berbagai tingkatan perlu diminta bekerja lebih baik lagi. Ada baiknya keanggotaan KP3 tidak hanya dari unsur pejabat struktural, tetapi ditambah dari Perguruan Tinggi dan LSM. Agar Tim KP3 ini lebih lincah bergerak, perlu dibentuk kesekretariatan KP3 yang mengelola administrasi, rapat, dan pelaporan. Untuk itu, perlu ada alokasi anggaran yang cukup untuk Tim KP3.
Kepala desa sebagai aparat yang
bertanggung jawab terhadap wilayahnya perlu dilibatkan secara legal dan fungsional dalam pengawasan. 13
III. KEBIJAKAN HARGA BERAS DI TINGKAT KONSUMEN Pada akhir tahun 2014 sampai dengan bulan Februari 2015, kenaikan harga beras di pasar konsumen diperkirakan telah mencapai 30%. Harga beras kualitas rendah dan medium telah menembus tingkat harga psikologis, yaitu Rp10.000/kg. Silang pendapat mengemuka terkait faktor penyebab fenomena terjadinya kenaikan harga tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah: (a) dugaan tentang adanya spekulasi harga yang dilakukan oleh sekelompok pelaku bisnis beras berskala besar; (b) stok beras yang dikuasai pemerintah memang menurun; (c) pemerintah terlambat mengalokasikan raskin; dan (d) sebagian besar daerah produsen beras memang memasuki masa tidak panen (paceklik). Kenaikan harga beras juga dipicu oleh pernyataan pemerintah yang menyatakan tidak akan melakukan impor beras pada tahun 2015. Data dari BPS tentang perkembangan harga eceran beras bulanan menunjukkan bahwa rata-rata harga eceran beras sudah mengalami peningkatan yang cukup nyata mulai pada bulan November 2014 hingga bulan Februari 2015 (Gambar 3.1). Data mingguan dari minggu pertama bulan Januari 2015 sampai minggu keempat bulan Februari 2015 menunjukkan bahwa harga beras mulai meningkat tajam pada minggu ketiga bulan Februari 2015 (Gambar 3.2). Data prognosa neraca ketersediaan dan kebutuhan beras menurut bulan menunjukkan bahwa bulan November, Desember, sampai Januari merupakan bulan defisit beras, atau secara umum dikenal dengan istilah musim paceklik (Tabel 3.1). Pada musim paceklik secara alami akan terjadi penurunan pasokan beras ke pasar, yang pada gilirannya akan menaikkan harga beras. Namun, kenaikan harga beras pada musim paceklik umumnya bersifat siklikal. Artinya, pada saat terjadi iklim normal, harga beras meningkat secara normal (tidak bergejolak) pada musim paceklik, tetapi kemudian akan menurun kembali setelah memasuki musim panen (Gambar 3.3). Gambar 3.3 juga menunjukkan bahwa kenaikan harga gabah dan beras pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015 relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kenaikan harga beras pada periode bulan yang sama tahun-tahun sebelumnya.
14
Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)
Gambar 3.1. Harga Eceran Beras Bulanan Selama Periode Tahun 2008-2015
Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)
Gambar 3.2. Harga Eceran Beras Mingguan Periode Januari-Februari Tahun 2015 15
Tabel 3.1. Prognosa Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Menurut Bulan Tahun 2015 Bulan
Perkiraan Ketersediaan Perkiraan Kebutuhan
Perkiraan Neraca Domestik
Jan-15
2.300,5
2.645,4
-344,9
Feb-15
5.192,3
2.624,3
2.568,1
Mar-15
7.455,1
2.624,3
4.830,8
Apr-15
4.545,7
2.624,3
1.921,5
Mei-15
2.417,8
2.624,3
-206,4
Jun-15
3.116,3
2.808,0
308,3
Jul-15
4.060,6
2.759,7
1.300,8
Agust-15
3.909,9
2.624,3
1.285,6
Sep-15
2.813,9
2.654,9
159,0
Okt-15
2.160,9
2.624,3
-463,4
Nop-15
1.530,0
2.624,3
-1.094,3
Des-15
1.764,8
2.666,6
-901,8
41.267,9
31.904,6
9.363,3
Total 2015
Sumber: BKP dalam Suryana et al. (2015)
Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)
Gambar 3.3. Perbandingan Harga Produsen Gabah GKP, GKP di Tingkat Petani, dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, 2010-2015 (Rp/Kg) Data harga beras BPS yang dikumpulkan di 82 kota besar menunjukkan adanya peningkatan harga beras secara signifikan (lebih dari 10%) di beberapa kota besar, antara lain Manado, Kudus, Bandung, dan Banyuwangi, dan bahkan di 16
Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) kenaikan harga beras mencapai 21% untuk beras jenis Muncul. Namun, kenaikan harga beras rata-rata di 82 kota hanya kurang 3%. Dengan demikian, rata-rata kenaikan harga agregat tidak sesuai dengan fenomena kenaikan harga beras secara umum yang diberitakan media mencapai 30%. Harga beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menunjukkan bahwa harga beras untuk berbagai kualitas beras meningkat secara tajam sejak awal bulan Februari 2015 (Gambar 3.4). Meningkatnya harga beras di PIBC berkaitan erat dengan menurunnya pasokan beras ke PIBC. Secara normal, beras akan masuk ke PIBC sejumlah sekitar 2.000 ton/hari. Data pemasukan dan pengeluaran beras harian di PIBC menunjukkan bahwa semenjak minggu kedua jumlah beras yang masuk ke PIBC kurang dari 2.000 ton/hari, dan jumlah beras yang dikeluarkan dari PIBC lebih besar dari jumlah beras yang masuk. Dengan demikian, pengeluaran beras dari PIBC sudah barang tentu “menguras” stok beras di PIBC (Gambar 3.5).
Sumber: PIBC (data diolah BKP) dalam Suryana et al. (2015)
Gambar 3.4. Harga Grosir Beras Harian di PIBC Periode Januari-Februari 2015 17
Sumber: PIBC (data diolah BKP) dalam Suryana et al. (2015)
Gambar 3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Beras Harian di PIBC Periode JanuariFebruari 2015 Beberapa analisis yang muncul berkaitan dengan kenaikan harga beras ini juga disebabkan oleh tipisnya stok beras Bulog yang pada bual Januari 2015 hanya mencapai 1,4 juta ton, lebih rendah dari tingkat aman 2 juta ton (Tabel 3.2). Kondisi rendahnya stok Bulog di awal tahun ini rupanya dibaca oleh para pedagang besar beras terutama di DKI dan sekitarnya. Informasi ini dimanfaatkan oleh sementara pedagang besar beras untuk meningkatkan harga jual berasnya di atas kenaikan harga normal. Sentimen negatif pasar bertambah dengan adanya pernyataan pemerintah yang tidak akan melakukan impor beras pada tahun 2015. Berdasarkan dinamika perubahan data harga beras di pasar internasional dapat diketahui bahwa harga beras di pasar internasional justru mengalami penurunan (Gambar 3.6). Kondisi ini bertolak belakang dengan pergerakan harga beras di dalam negeri. Kondisi demikian sebenarnya menunjukkan bahwa importasi beras merupakan salah satu pilihan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga beras di pasar dalam negeri. Pemerintah dapat saja melakukan importasi beras dalam jumlah terbatas, atas pertimbangan bahwa harga gabah di tingkat petani sudah berada di atas HPP, sementara lonjakan harga beras di pasar konsumen
dikhawatirkan
menurunkan
akses
konsumen
pada
umumnya,
konsumen berpendapatan rendah pada khususnya, terhadap beras sebagai bahan 18
pangan pokok. Namun demikian, importasi beras dimaksud agar betul-betul dikelola dan diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan dampak negatif berupa penurunan harga gabah petani di bawah HPP. Tabel 3.2. Kondisi Stok Beras yang Dikelola Bulog Sampai dengan 9 Januari 2015 No. 1.
2.
3.
Uraian Pengadaan PSO tahun 2014 Target s.d. Desember (ton) Realisasi Desember (ton) Stok awal tahun 2004 Penyaluran (ton) Raskin Operasi pasar Penyaluran bencana alam (CBP) Penyaluran golongan anggaran Penjualan ke pasar umum Total stok (ton) Cadangan beras pemerintah (CBP) Stok Bulog Kekuatan stok: kebutuhan konsumsi Kekuatan stok: kebutuhan raskin
Volume (000 t) 3.852,2 (61,30%) 2.361,3 2.911,4 3.642.540 2.795,6 325,9 12,1 2,8 526,9 1.630,1 (12,9)* 141,9 (1.303,1)* 1.488,2 0,49 5,66
Sumber: Perum Bulog (diolah penyajiannya oleh BKP) dalam Suryana et al. (2015) Keterangan: *Data Bulog per 24 Februari 2015
Sumber: FAO (data diolah PSEKP) dalam Suryana et al. (2015)
Gambar 3.6. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional (Januari-Februari, Tahun 2015) 19
IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN UNTUK PERTANIAN Sumber daya lahan dan air untuk pertanian pangan menghadapi tekanan akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kemajuan ekonomi di semua sektor pertanian telah menyebabkan meningkatnya permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan yang ada dihadapkan kepada ancaman konversi lahan ke nonpertanian, degradasi kualitas lahan dan lingkungan. Berlangsung konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan dan air. Keberadaan kedua sumber daya ini berada pada kondisi kritis karena terjadi penurunan luas lahan produktif, degradasi sumber daya lahan, air, dan lingkungan serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Luas lahan sawah terus menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi juga menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi dan penurunan layanan jaringan irigasi.
Ada banyak dampak negatif konversi lahan pertanian menjadi lahan
nonpertanian yaitu menurunkan kapasitas produksi pertanian, rusaknya sistem pengairan di daerah produksi yang terbangun, dan kerugian investasi yang telah ditanamkan dalam membangun waduk, jaringan irigasi, dan pencetakan sawah. 4.1. Ketersediaan Lahan dan Upaya Menjaga Keberlanjutannya Terdapat banyak UU baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan sumber daya lahan dan air. UU tersebut saling terkait antara UU yang satu dengan UU yang lainnya atau dengan kata lain terdapat konsistensi dan sinkronisasi antarUU, namun penekanannya berbeda antarUU. Walaupun terdapat banyak UU dan peraturannya terkait sumber daya lahan dan air, namun belum semua Provinsi dan kabupaten/kota menindak lanjutinya. Belum semua wilayah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bahkan belum ada pemerintah daerah yang mengimplementasikan UU No
41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) secara detail (di mana
20
lokasi lahan, milik siapa, dan sebagainya). Demikian pula, UU sumber daya air juga belum banyak yang ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah. Luas lahan yang dicadangkan untuk lahan pangan pertanian berkelanjutan bervariasi antarwilayah, padahal seharusnya semua luas lahan sawah beririgasi dan sebagian lahan kering dapat dicadangkan untuk LP2B. Hal ini bedampak pada proses
konversi
lahan
yang
terus
berjalan.
Pemerintah
daerah
belum
melaksanakan wewenangnya terkait dengan pengelolaan air irigasi, sehingga banyak jaringan irigasi rusak, sedimentasi yang tinggi di waduk, DAS dan lainnya. Pada beberapa kasus, pengalihan fungsi waduk, tidak hanya untuk kegiatan pertanian lahan sawah tetapi juga untuk perikanan, tambang dan lainnya. Penerapan UU No. 41/2009 masih akan membutuhkan waktu panjang, karena membutuhkan syarat: (a) terlebih dahulu telah diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No. 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda RTRW Provinsi dan Perda RTRW Kabupaten/Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan pertanian
yang
dilindungi
secara
wilayah,
(c)
harus
telah
lahan disusun
peraturan/Perda/Perbup tentang rencana Detail Tata Ruang yang di dalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok. Oleh karena itu, UU tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik. Lambatnya implementasi UU No. 41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi di mana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang
menerbitkan
izin
pengalihfungsian
berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan
lahan
pertanian
pangan
dapat dipidana dengan pidana
penjara sangat berat. Pemerintah daerah belum banyak yang mengimplementasikan tindak lanjut peraturan di bidang lahan dan air. Kalaupun telah menyusun Pergub/Perda terkait sumber daya air, peraturan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Masalah air masih dianggap belum penting, masih konsentrasi di bidang lahan, sehingga belum
sepenuhnya
melaksanakan
tugas
di
bidang
air
yang
menjadi
kewenangannya. Kerusakan sarana prasarana irigasi akan semakin parah, tata guna air juga semakin tidak seimbang (pertanian/industri/air minum).
Oleh 21
karena itu, masalah lahan dan air perlu dicermati kembali oleh para pengambil kebijakan untuk dapat dengan segera dilakukan penanganan secara komprehensif dan intensif. Selain itu, juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah termasuk lembaga legislasi daerah untuk hal tersebut untuk penguatan swasembada pangan nasional saat ini dan masa depan. Wilayah luar Pulau Jawa semestinya memperoleh perhatian yang lebih besar sebagai sumber produksi pangan. Dalam jangka panjang laju pertumbuhan produksi padi di Jawa diperkirakan akan terus mengalami penurunan atau semakin lambat akibat berbagai faktor. Pulau Jawa semakin sulit diandalkan untuk menopang kebutuhan beras nasional. Untuk mengimbangi pertumbuhan produksi padi yang semakin lambat di Pulau Jawa maka perlu dilakukan akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa. Peraturan perundangan tentang lahan lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Menteri (Permen). Beberapa peraturan produk turunan tersebut antara lain adalah: (1) PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Pendayagunaan Tanah Terlantar, (2) PP No. 1 Tahun 2012 tentang Penetapan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (3) PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang, (4) PP No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (5) PP No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan (6) PP No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pada hakekatnya UU No. 41/2009 tentang PLP2B bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan; menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; dan melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan petani. Dari evaluasi terhadap Perda RTRW Provinsi, terdapat keragaman dalam definisi jenis dan luas lahan yang pertanian yang dicadangkan untuk pangan berkelanjutan. Khusus pada Perda No. 22/2010 tentang RTRW Provinsi
Jawa
Barat 2009-2029, pada Pasal 42 disebutkan: “Kawasan pertanian pangan
ditetapkan dengan ketentuan memiliki kesesuaian lahan terutama berlokasi 22
dilahan beririgasi teknis (ayat 1). Pengembangan kawasan pertanian pangan diarahkan untuk mempertahankan kawasan pertanian beririgasi teknis (ayat 2)”. Sejak ditetapkan pada tahun 2009, UU 41/2009 tentang PLP2B belum dapat diterapkan, hal ini berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: (1) diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU 41/2009 berupa 4 Peraturan Pemerintah (PP) dan
Permentan, (2) sesuai dengan amanat yang tercantum
dalam UU 41/2009, penerapan UU 41/2009 harus terlebih dahulu telah disusun Perda Tata Ruang Provinsi dan selanjutnya Perda Tata Ruang Kabupaten/Kota yang di dalamnya berisi arahan tentang kawasan budi daya pertanian dan luas lahan pertanian yang dilindungi, dan (3) Perda RTRW Kabupaten/Kota juga harus ditindaklanjuti Rencana Detail Tata Ruang yang di dalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci (sampai pada tingkat desa/ blok) tentang luas lahan pertanian yang akan dilindungi. Khusus di Jawa Barat, sebagai provinsi penyangga ibukota negara, maka Jawa Barat diberi banyak beban. Jawa Barat memprioritaskan kepada sektorsektor unggulan yang menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, dan merangsang investasi dan perdagangan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren pertumbuhan naik. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan di Jawa barat kerena didukung oleh sumber daya lahan yang cukup dan komoditas unggulan yang beragam dengan jumlah petani yang cukup besar. Dalam rencana pembangunan lima tahun berjalan sektor kemandirian pangan menempati urutan keempat dalam prioritas pembangunan Jawa Barat. Dengan banyaknya dasar hukum yang harus diacu
(terutama arahan
Kepres tentang MP3EI) dan didasarkan kepada kondisi strategis daerah, Rakorbang Provinsi (2012) menghasilkan kesepakatan prioritas pengembangan jangka menengah Jawa Barat, yaitu pembangunan tiga metropolitan dan dua pusat pertumbuhan, yaitu: (1) Metropolitan Bodebek Karpur, (2) Metropolitan Bandung Raya, (3) Metropolitan Cirebon Raya, (4) Pusat Pertumbuhan Pelabuhan Ratu, dan (5) Pusat Pertumbuhan Pangandaran (Bappeda Jabar, 2012). Dari review terhadap Perda RTRW Kabupaten/Kota yang telah disahkan dalam Perta RTRW Kabupaten dan Perda RTRW Kota di Provinsi Jawa Barat, 23
ditemukan bahwa hampir seluruh wilayah pemerintah kota (Perda RTRW Kota) tidak mengalokasikan lahan pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan berkelanjutan. Kondisi antarwilayah sangat bervariasi: lahan pertanian pangan yang dilindungi lebih kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada (Kabupaten Bekasi); lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah irigasi teknis dan sebagian lahan sawah nonteknis (Kab. Bogor, Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, Kab. Kuningan), lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah (Kab. Cianjur dan Kab. Bandung), lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan nonsawah (Kab. Sukabumi dan Kab. Garut). Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2006) mengemukakan, sampai dengan 2005 terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 11.207 ha, dengan rincian beririgasi teknis 349 ha, sawah irigasi setengah teknis 3.969 ha, dan sawah irigasi sederhana masing-masing 6.889 ha. Dengan adanya rencana pembangunan kawasan perkotaan (metropolitan) dan infrastrukturnya akan mempercepat kejadian konversi lahan pertanian, terutama konversi lahan sistematis dan terencana. Sesuai dengan yang direncanakan, pembangunan jalan tol sepanjang 455,57 km akan menggunakan (mengkonversikan lahan) seluas 3.875 ha, dan pembangunan Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) akan menggunakan lahan seluas 5.000 ha. Konversi lahan tersebut belum termasuk konversi ikutan (tidak langsung) akibat pembangunan tol dan bandara internasional tersebut. Dengan adanya jalan tol yang melintas di daerahnya, sebagaimana daerah lainnya beberapa kabupaten seperti Subang, Sumedang, Majalengka, Indramayu, dan Cirebon telah mencanangkan pembangunan kawasan industri. Rencana tersebut telah tertuang dalam RTRW Kabupaten/Kota tahun 2011–2035 yang telah disahkan dalam bentuk peraturan daerah. Di samping pembangunan kawasan industri juga telah dirancang dan disiapkan untuk pembangunan kawasan perumahan dan pembangunan fasilitas kepentingan umum. Pada sisi lain, berkembangnya suatu wilayah menjadi kawasan perkotaan dan terbangunnya infrastruktur akan berperan positif dalam pembangunan 24
wilayah secara keseluruhan termasuk pembangunan pertanian. Berkembangnya kawasan perkotaan dan industri akan menumbuhkan permintaan terhadap produk pertanian baik untuk konsumsi langsung maupun permintaan bahan baku pertanian bagi industri di bidang pengolahan pertanian. Perbaikan infrastruktur akan berdampak kepada kemudahan akses dan menumbuhkan minat investasi termasuk investasi di bidang usaha agribisnis. Hal ini merupakan peluang dalam rangka
optimalisasi
sumber
daya
pertanian
yang
ada
di
Jawa
Barat.
Meningkatnya permintaan akan lahan akan berakibat meningkatnya nilai lahan yang akan mengakibatkan berkembangnya usaha pertanian bernilai ekonomi tinggi, padat teknologi, dan padat modal. Sangat dimungkinkan adanya pengalihan usahatani masyarakat dari usaha tanaman pangan ke hortikultura (sayuran, tanaman hias) dan usaha peternakan bernilai ekonomi tinggi. 4.2. Implikasi dari Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh MK Pada tahun 2015 ini, sektor pengairan diwarnai dengan pembatalan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Mahkamah Konstitusi
dalam
pertimbangannya
menyoroti
bahwa
UU
ini
kurang
memperhatikan prinsip-prinsip yang merefleksikan kepentingan politik yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945. Pertimbangan pembatalan UU oleh Mahkamah
Konstitusi
adalah
sebagai
upaya
menjaga
kelestarian
dan
keberlanjutan sumber daya air. Secara lengkap, alasannya adalah bahwa: (1) setiap
pengguna
air
tidak
boleh
mengganggu,
mengesampingkan,
dan
meniadakan hak rakyat atas air; (2) negara memenuhi hak rakyat atas air; (3) harus mengingat kelestarian lingkungan hidup; (4) pengawasan dan pengendalian oleh negara sifatnya mutlak; dan (5) prioritas pengusahaan atas air oleh BUMN dan BUMD. Pada intinya, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memiliki interelasi dengan kesepakatan dunia tentang private sector participation. Undang-undang ini memberi kesempatan kepada masyarakat termasuk swasta untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya air.
Akibatnya, terjadi
privatisasi dan komersialisasi air yang membuka peluang munculnya persaingan 25
pengelolaan dan pemanfaatan air antar-stakeholders, antarwilayah, maupun antarsektor. Air memiliki fungsi konsumsi, industri, kesehatan, sekaligus merupakan sumber penggerak agraria yang menduduki posisi strategis dalam pertanian persawahan (Pasandaran, 2006; Sumaryanto, 2007).
Laju pengurangan
ketersediaan air pertanian akan terjadi lebih cepat dari laju pengurangan ketersediaan lahan. Pada kantong-kantong pangan dengan sumber-sumber air yang berkualitas baik, pemanfaatan air cenderung terjadi kesenjangan, baik antarsektor, antarwilayah hulu dan hilir, bahkan antarkelompok masyarakat. Penyebab utama adalah peningkatan permintaan air untuk konsumsi dan industri lebih cepat dibanding permintaan sektor pertanian. Perubahan permintaan terhadap komoditas pertanian dan perubahan penggunaan lahan pertanian merupakan faktor lain yang turut mempengaruhi penggunaan sumber daya air pertanian.
Situasi ini turut menyebabkan nilai ekonomi dan persaingan
pemanfaatan air meningkat. Orientasi pembangunan pariwisata mempercepat laju pemanfaatan sumber daya air dan menghadirkan beragam stakeholder dengan beragam ideologi yang bersaing untuk mengakses sumber daya ini. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa persaingan air bersifat melemahkan akses petani dan keterancaman terhadap lembaga pengairan dan pertanian subak (Cole, 2012; Lorenzen, 2011).
Distribusi sumber daya air yang senjang berpeluang besar
menimbulkan konflik dan berpotensi meng-ganggu integrasi sosial (Homer-Dixon, 1994). UU No. 7/2004 sebagai Landasan Hukum Privatisasi dan Komersialisasi Air Penyusunan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air meletakkan landasan hukum privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Privatisasi kepemilikan air diberikan melalui pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa hak guna air dapat berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Selanjutnya, pasal 9 ayat 1 menyatakan “hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan
usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan 26
kewenangannya”.
Dengan demikian, perorangan atau badan usaha dapat
memperoleh hak untuk mengusahakan air (HGU air). Peluang untuk melakukan komersialisasi air diatur dalam sejumlah klausul. Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air merupakan salah satu bentuk pendayagunaan sumber daya air yang sah. Pasal 45 ayat 3 menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air dapat dilakukan oleh
perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antarbadan usaha berdasarkan izin pengusahaan
dari
pemerintah
atau
pemerintah
daerah
sesuai
dengan
kewenangannya. Selanjutnya, dalam ayat 4 dijelaskan bahwa pengusahaan air dapat berbentuk penggunaan air, pemanfaatan wadah air, dan pemanfaatan daya air. Banyak kalangan masyarakat menilai bahwa UU No. 7/2004 bertentangan dengan konstitusi RI dan oleh karena itu mereka melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Atas gugatan sejumlah perwakilan masyarakat pada tahun 2004, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa UU No. 7/2004 tidak melanggar konstitusi RI baik secara formal maupun secara materiil (MK-RI, 2005). Mahkamah berpendapat bahwa meskipun UU No. 7/2004 membuka peluang swasta memperoleh hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air, namun hal itu tidak mengakibatkan penguasaan air jatuh ke tangan swasta. Hal ini terkait dengan keberadaan negara sebagai (1) merumuskan kebijaksanaan (beleid), (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) melakukan pengaturan (regelendaad), (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan (5) melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Mahkamah menyatakan bahwa HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air merupakan sistem perizinan yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola pengelolaan sumber daya air yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat seluas-luasnya. Kinerja pengelolaan sumber daya air diawasi langsung oleh berbagai pihak secara langsung sehingga justru dengan demikian penerbitan HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air dapat dikendalikan oleh pemerintah. Permohonan HGU air dan izin pengusahaan sumber daya dapat
27
ditolak bila tidak sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air yang telah disusun. Mahkamah juga berpendapat bahwa UU No. 7/2004 tidak menyebabkan komersialisasi sumber daya air karena menganut prinsip “ penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi karena tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Namun
demikian,
putusan
mahkamah
tersebut
ditetapkan
dengan
pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh dua dari sembilan anggota. Hakim Mahkamah Mukhtie Fajar menyatakan bahwa UU No. 7/2004 seyogyanya direvisi dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi ekonomi. Jika tidak, UU No. 7/2004 inkonstitusional sebab tidak sejalan dengan paradigma UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 3. Senada dengan itu, hakim Maruarar Siahaan mengatakan bahwa meskipun tidak mengatur privatisasi secara eksplisit, UU No. 7/2004 membuka secara lebar peluang privatisasi sumber daya air. Mahkamah juga menetapkan bahwa apabila UU No. 7/2004 dalam pelaksanaan
ditafsirkan
lain
dari
maksud
sebagaimana
termuat
dalam
pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-Undang tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan kembali (conditionally constitutional). Ini berarti, meski sudah pernah diajukan judicial review, UU No. 7/2004 masih bisa disidangkan kembali di Mahkamah Konstitusi jika ada bukti-bukti yang kuat telah membuat air menjadi barang komersial. Implementasi UU No. 7/2004: Privatisasi, Komersialisasi, dan Perebutan Sumber Daya Air Perebutan sumber daya air telah menjadi sumber konflik baru akhir-akhir ini, terutama pada daerah yang ekonominya sudah terbuka, dan masuknya sektor pariwisata. Di daerah pariwisata, kebijakan komersialisasi air sebagai implementasi dari UU No. 7/2004 disambut luas oleh para investor swasta karena sangat sinergi dengan pengembangan pariwisata. Banyak mata air dibeli atau disewa dalam 28
jangka waktu tertentu oleh investor langsung kepada petani.
Beberapa di
antaranya menimbulkan konflik. Daya tarik perolehan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi membuat kontrol Pemda terhadap pengelolaan dan pemanfaatan air oleh PDAM dan korporasi menjadi longgar.
Proses perizinan kurang berpijak pada Rancangan
Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Beragam undang-undang seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahkan Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi terkotakkotak dan tidak saling bersinergi. Implementasi di tingkat meso memberi dampak terbukanya peluang partisipasi investor dalam pengelolaan dan pemanfaatan air lebih efisien dan bernilai ekonomi. Otonomi daerah membuka peluang Pemda memanfaatkan sumber daya air sebagai sumber pendapatan daerah melalui mekanisme kerja para investor, bersinergi dengan pengembangan industri pariwisata. Kemudahan perizinan
dalam
mendukung
program
pariwisata
massal
mempercepat
berkembangnya perusahaan pemanfaat air seperti PDAM, perusahaan swasta, dan sarana wisata (penginapan, restoran, wahana air) mengakses sumber-sumber mata air potensial. Pada tingkat mikro, meluasnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air berdampak pada berkurangnya air untuk pertanian. Perubahan pola tanam, perubahan komoditas pada musim kemarau, pengurangan luas lahan yang ditanami padi, atau memberakan lahan merupakan strategi adaptasi petani yang berdampak langsung pada produksi padi dan pendapatan petani (marginalisasi petani). Tekanan keterbatasan sumber daya air dan penurunan pendapatan dari sektor pertanian memaksa petani melakukan strategi nafkah di dalam maupun ke luar sektor pertanian. Kondisi ini menjadi wahana yang kondusif bagi petani melepas sumber daya pertaniannya yang dinilai tidak lagi menguntungkan. Konflik perebutan air diperkuat oleh perkembangan penduduk dan intervensi pasar menjadi proses perubahan sosial mendasar komunitas petani. Pengelolaan air oleh petani mengalami peluruhan fungsi yang terjadi pada ruang 29
spasial (lahan dan air), nilai-nilai otonomi dan kelekatan sosial,
governance (pinjam air), kepemimpinan, maupun
tata kelola
kuasa dan kewenangan.
Artinya, undang-undang sumber daya air menciptakan hubungan kuasa yang tidak seimbang terhadap petani dan sektor pertanian. Beralihnya kedudukan sumber daya air dari sumber daya milik bersama yang bisa diakses secara terbuka oleh petani, menjadi komoditas ekonomi yang hanya leluasa diakses oleh aktor yang memiliki kuasa pengetahuan, teknologi, dan modal. Perubahan status air memberi konsekuensi logis terhadap kehidupan sosial ekonomi dan kelembagaan pengairan subak.
Hal ini dapat dilihat pada matrik
pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Konsekuensi Implementasi UU No. 7/2004 di Tengah Masyarakat Petani, Khususnya pada P3A Aspek
Sebelum Implementasi
Sesudah Implementasi
Sifat sumber daya
Common pool resources
Economic commodity
Pemanfaatan air
Dominasi masyarakat dilindungi negara
P3A
Kebersamaan, keadilan, dan Individual dan persaingan demokratis
dan Dominasi pemilik modal/kapitalis atas izin negara
Peran pimpinan P3A Fungsi kontrol terhadap Kehilangan kewenangan, bahkan pemanfaatan lahan dan sebagian berperan menjadi sumber-sumber air mediasi (calo) melepas lahan dan sumber-sumber air kepada korporasi
Implementasi kebijakan yang membuka kesempatan pengelolaan dan pemanfaatan air oleh masyarakat luas direspon secara cerdas oleh pemodal yang membaca pentingnya peran sektor air dalam mendukung prioritas pembangunan beragam sektor. Sumber daya air yang semula dinilai sebagai sumber daya yang terbuka (common pool resources) beralih menjadi komoditas ekonomi (economic
good). PDAM memanfaatkan kesulitan petani mencukupi biaya beban sosial ekonomi keagamaan sebagai imbalan atas peluang memanfaatkan sumber mata air. Sistem hukum mengatur akses terhadap air melekat pada kekuatan legalitas penguasaan lahan. Petani yang memiliki lahan dengan mata air di 30
dalamnya berkuasa penuh atas keduanya. Politik ekonomi yang kurang berpihak pada pertanian menciptakan iklim yang kondusif bagi meningkatnya urbanisasi, transformasi pekerjaan dan usaha, serta dorongan untuk melepas lahan-lahan pertanian produktif kepada pihak luar.
Hal ini sekaligus melepas kontrol
pemanfaatan lahan untuk kepentingan nonpertanian. Land conversion dan land
grabbing menjadi realita meluas dan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan (Lorenzen, 2011). Pandangan air sebagai barang publik yang memiliki nilai ekonomi menimbulkan persaingan dalam penggunaan air. Aliansi negara dengan korporasi dalam pemanfaatan sumber-sumber air berfungsi menekan akses petani dan memarginalkan kelompok masyarakat rentan. Eksploitasi sumber daya air oleh PDAM dan pengusaha swasta tidak saja menyebabkan ketidakpastian air untuk usahatani, tetapi ikut mengancam eksistensi lembaga pengairan petani (misalnya P3A dan subak) dan ketahanan pangan. Negara dengan lembaga-lembaga pendukung lainnya, secara formal dan sistematis diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui angka-angka kuantitatif yang sangat mudah dan jelas diukur keberhasilannya.
Ideologi ini
sangat mudah bersinergi dengan sistem kerja kapitalis yang berorientasi maksimisasi keuntungan. Sinergitas keduanya mengandung kekuatan dan kuasa pemanfaatan sumber daya air dan lahan dalam jumlah besar dan waktu yang relatif cepat.
Implementasi undang-undang sumber daya berpeluang besar
mengganggu keberlanjutan sumber daya dan keutuhan social fabric komunitas petani. Penerapan UU No. 7/2004 mengarahkan pemanfaatan air menjadi produk ekonomi dan tidak semua pihak memiliki peluang untuk mengaksesnya dengan leluasa. Bersamaan dengan pembangun sektor lain yang secara keseluruhan ditujukan
mendukung
sektor
pariwisata,
dalam
jangka
waktu
singkat
menyebabkan perubahan ekosistem. Kuasa pengetahuan yang sarat dengan ideologi
kapitalis
secara
revolusioner
menyusupi
sendi-sendi
kehidupan
masyarakat dan berhasil mendominasi dunia hampir di semua sektor.
31
Pedoman Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air ke Depan Berikut diuraikan empat opsi kebijakan terkait implementasi UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Pertama, membiarkan atau meneruskan praktek yang sudah berlangsung selama ini (opsi status quo).
Dengan opsi ini maka arah
kebijakan pengelolaan sumber daya air akan terus menjurus ke privatisasi dan komersialisasi sumber daya air. Berdasarkan uraian di atas opsi ini akan berdampak pada semakin intensifnya konflik penggunaan air, kelangkaan air untuk pertanian, peluruhan lembaga pengairan petani, dan ketidakberlanjutan sumber air. Opsi ini jelas berimplikasi negatif dan karena itu harus dihindari.
Opsi kedua, mendisiplinkan implementasi UU No. 7/2004. Dalam hal ini, UU No. 7/2004 tidak perlu direvisi atau ditolak, namun implementasinya dilaksanakan dengan diperketat sesuai dengan semangat dan ketentuan yang terkandung dalam undang-undang tersebut. Pemberian HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air diperketat dan diawasi dengan melibatkan pemangku kepentingan seluasluasnya. Simpul kunci pengendalian ialah pada penyusunan dan pelaksanaan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air (PPSDA) dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air (RPSDA) oleh pemerintah pusat (lintas provinsi), pemerintah provinsi (lintas kabupaten), dan pemerintah kabupaten (dalam kabupaten) yang merupakan dasar penetapan (alokasi) peruntukan (zona pemanfaatan) air, serta penerbitan HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air. UU No. 7/2004 memerintahkan bahwa penyusunan dan pengawasan pelaksanan PPSDA dan RPSDA wajib melibatkan para pemangku kepentingan seluas-luasnya. Kiranya dicatat bahwa MK-RI juga mendalilkan bahwa keterlibatan para pemangku kepentingan seluas-luasnya dalam penyusunan PPSDA merupakan kunci agar sumber daya air tetap berada dalam penguasaan negara. PPSDA dan RPSDA sebaiknya disusun oleh suatu lembaga (tim) independen
secara
transparan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memberdayakan dan memfasilitasi pemangku kepentingan utama, khususnya petani, konsumen dan masyarakat sipil, agar mereka mampu terlibat semaksimal mungkin dalam penyusunan rancangan dan pengawasan pelaksanaan PPSDA dan RPSDA. Opsi ini cukup realistis, dapat segera ditindaklanjuti.
Pelopor utama (champion) untuk 32
opsi
ini
tentunya
ialah
pusat,
serta
pemerintah
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota.
Opsi ketiga, merevisi UU No. 7/2004. Opsi ini sejalan dengan pandangan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU No. 7/2004 seyogyanya direvisi dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan dari pada dimensi ekonomi. Jika tidak, UU No. 7/2004 inkonstitusional sebab tidak sejalan dengan paradigma UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 3. Pandangan ini juga senada dengan
Hakim
Mahkamah Konstitusi lain menyatakan bahwa meskipun tidak mengatur privatisasi secara eksplisit, UU No. 7/2004 membuka secara lebar peluang privatisasi sumber daya air. Opsi ini dapat dilaksanakan melalui inisiatif DPR maupun pemerintah. Untuk itu, para pemangku kepentingan perlu melakukan tekanan kepada DPR dan pemerintah agar memasukkan revisi UU No. 7/2004 dalam program legislasi nasional.
Opsi keempat, menggugat keabsahan konstitusionalitas UU No. 7/2004 ke Mahkamah Agung RI (judicial review). Seperti telah dikemukakan, putusan Mahkamah Agung RI atas gugatan pertama konstitusionalitas UU No. 7/2004 (MKRI, 2005) dinyatakan bahwa UU No. 7/2004 dapat digugat kembali bila dalam pelaksanaannya ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah (conditionally constitutional). Ini berarti, meski sudah pernah diajukan judicial review, UU No. 7/2004 masih bisa disidangkan kembali di Mahkamah Konstitusi RI jika dikemudian hari ada bukti-bukti yang kuat telah membuat air menjadi barang komersial. Untuk itu diperlukan bukti-bukti permulaan yang cukup, termasuk dari berbagai hasil-hasil penelitian ilmiah seperti penelitian ini, agar opsi ini dapat dilaksanakan. Pilihan yang diambil MK adalah pembatalan keseluruhan undang-undang ini, sehingga kita membutuhkan undang-undang baru penggantinya. Dengan demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana memperkuat koordinasi antarsektor dalam mewujudkan ketahanan pangan, menerapkan prinsip good
governance, dan sekaligus mempertahankan dan memperluas kemampuan daerah dalam pengelolaan SDA. 33
Langkah-langkah ke depan yang semestinya dilakukan adalah undangundang pengganti ke depan hendaknya merefleksikan prinsip-prinsip good water
governance. Paling tidak ada empat prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, UU SDA yang baru harus mampu berkontribusi terhadap pengelolaan sumber daya lingkungan yang memungkinkan terwujudnya ecosystem service yang baik.
Dengan perkataan lain UU SDA harus dapat membangun prinsip
pengelolaan secara terpadu yang memungkin fungsi penyediaan dan pengaturan air yang tidak menghasilkan ancaman dan risiko seperti banjir dan kekeringan yang dewasa ini frekuensi terjadinya semakin tinggi dan dampaknya semakin meluas.
Kedua, harus mampu mendukung terwujudnya ketangguhan sosial ( social recilience) untuk mencegah ancaman konflik sosial yang muncul sebagai akibat dari permasalahan seperti masalah lintas batas (transboundary issues) antarunitunit pengelolaan sumber daya air. Ketiga, harus mampu membangun etika bisnis yang diperlukan agar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air tidak eksploitatif tetapi memperhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan sosial.
Keempat, UU tersebut harus mampu melakukan harmonisasi dengan UU lainnya yang terkait dengan air. Misalnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
34
V. PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERBENIHAN 5.1. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan Nasional Meskipun sudah diupayakan puluhan tahun, pembangunan pertanian masih menghadapi permasalahan pada subsektor perbenihan. Secara teknis, benih yang berkualitas baik memiliki peranan sangat strategis dalam peningkatan produksi pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan dan penggunaan benih unggul yang memenuhi
aspek
kualitas
dan
kuantitas
sangat
berpengaruh
terhadap
pemerintah
telah
menggulirkan
program
produktivitas dan mutu hasil. Beberapa
tahun
terakhir
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), di mana salah satu upaya untuk mewujudkan program tersebut adalah dengan memberikan atau menggunakan benih bermutu. Namun, upaya ini dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan antara lain belum optimalnya penggunaan benih bermutu oleh petani, di mana masih banyak yang menggunakan benih hasil olahan sendiri. Sistem perbenihan yang tangguh dan komersial, selain produk yang dihasilkan jelas identitas genetiknya, pertumbuhan tanaman juga akan lebih homogen, seragam, dan stabil terhadap pengaruh lingkungan. Selain aspek teknis, permasalahn benih nasional juga mencakup aspek pelayanan, kontinuitas, ketepatan, waktu, dan kejelasan harga. Hal ini merupakan permasalahan krusial yang perlu mendapat perhatian secara seksama. Salah satu keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh kualitas benih dari varietas tanaman yang digunakan. Upaya peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh keberhasilan dalam memperbaiki potensi genetik varietas tanaman. Dengan demikian, kegiatan untuk menghasilkan atau menciptakan varietas baru yang lebih unggul dari yang telah ada perlu didorong melalui pemberian insentif bagi individu atau institusi penyelenggara pemuliaan yang menghasilkan varietas tanaman yang mampu memberikan tambahan keuntungan bagi yang menggunakannya. Oleh sebab itu, perlu kebijakan yang mengatur hal tersebut melalui kelembagaan, seperti: (1) aspek kebijakan, dengan kelembagaan yaitu: Badan Perbenihan Nasional (BBN) dan Direktorat Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan; (2) aspek penelitian dan pemuliaan tanaman, yaitu meliputi: 35
Badan Litbang Pertanian, Kementan, Batan, Perguruan Tinggi, dan Swasta (PT Bisi, PT Dupont, PT Monsanto, dan PT Kondo); (3) aspek penilaian dan pelepasan varietas, yaitu: TP2V pada BBN, BPSB-TPH, dan BPTP Provinsi; (4) aspek produksi benih meliputi: BS (Balai Komoditas, Batan, dan Perguruan Tinggi), BD dan BP (Balai Benih Kabupaten, BUMN dan Swasta); (5) aspek sertifikasi benih, meliputi: BPSB TPH, dan produksi benih yang terakreditasi (PT Bisi, PT Dupont, PT East West Seed Indonesia, dan PT SHS Cabang Sukamandi), dan (6) aspek pengawasan mutu/peredaran benih, yaitu dengan kelembagaan BPSB TPH. Karena itu, penting untuk mengetahui kelembagaan sistem perbenihan padi di lapangan, juga mengetahui karakteristik sosial ekonomi produsen benih padi. Hal ini penting untuk mengetahui produktivitas dan kelayakan finansial usahatani benih padi, dan rekomendasi kebijakan sistem perbenihan padi nasional ke depan. 5.2. Kelembagaan Perbenihan Padi di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, luas tanam padi sawah di Jawa Barat mencapai hampir 3 juta ha, dari pertanaman pada musim hujan dan musim kemarau. Luas tanam pada musim kemarau lebih luas dibandingkan pada MH karena air irigasi dan air dari hujan memadai pada MK. Dengan rata-rata penggunaan benih varietas unggul sekitar 20 kg/ha, maka diperkirakan kebutuhan benih padi untuk pertanaman di lahan sawah sebesar lebih kurang 60 ribu ton. Pasokan benih padi di Provinsi Jawa Barat dapat berasal dari petani produsen benih (swasta), BUMN, dan perorangan petani. Berdasarkan data realisasi produksi benih padi bersertifikat (BPSB) tahun 2012. Total produksi benih padi bersertifikat di Jawa Barat tahun 2012 mencapai 57,65 ribu ton, yang terdiri dari: (1) benih kelas BS sebanyak 2,37 ton, (2) benih kelas BD sebanyak 1.110,05 ton, (3) benih kelas BP sebanyak 8.313,97 ton, dan (4) benih kelas BR sebanyak 48.219,77 ton. Tampak bahwa kelas benih yang paling banyak diproduksi adalah benih sebar (BR) karena secara umum di Jawa Barat penggunaan benih sebar dengan label biru merupakan jenis benih yang paling banyak digunakan petani. Penggunaan benih berlabel sudah umum di wilayah Jawa Barat. Sebagian besar petani telah menggunakan benih berlabel ungu, dan bahkan di antaranya 36
ada yang menggunakan label putih. Untuk benih berlabel unggu, varietas yang dominan adalah Ciherang pada saat MH, dan varietas Ciherang serta Mekongga saat MK. Tabel 5.1. Realisasi Produksi Benih Padi Bersertifikat di Jawa Barat, Tahun 2012 (Ton) Produksi (ton) BS BD BP 1. Subang 2,370 882,445 6.395,535 2. Indramayu 98,825 163,500 3. Garut 20,600 4. Ciamis 5,900 216,000 5. Kota Banjar 3,750 310,000 6. Tasikmalaya 85,000 7. Kota Tasik 1,500 8. Cianjur 20,550 606,950 9. Sukabumi 103,500 10. Kota Sukabumi 11. Bandung 30,405 10,500 12. Bandung Barat 1,100 13. Bogor 0,500 42,750 14. Kota Bogor 15. Karawang 44,000 213,150 16. Bekasi 2,480 21,300 17. Purwakarta 9,470 30,600 18. Majalengka 6,521 31,635 19. Kuningan 5,000 8,500 20. Sumedang 0,200 7,500 21. Cirebon 44,350 Total 2,730 1.110,046 8.313,970 Sumber: BPSB TPH Provinsi Jawa Barat (2013) No.
Kabupaten/Kota
BR 27.002,615 2,000 1.149,500 2.636,600 1.479,500 364.000 14,000 5.321,800 61,500 27,000 28,000 125,899 1,00 7.358,765 4,800 1.390,300 142,000 457,000 653,490 48.219,769
Jumlah (ton) 34.283,325 264,325 1.170,100 2.858,500 1.793,250 449.000 15,500 5.949,300 165,000 27,000 68,905 1,100 169,149 1,00 7.615,915 28,580 40,070 1.428,456 155,500 464,700 697,840 57.646,515
Dengan membandingkan kebutuhan benih dan produksi benih padi bersertifikat maka dapat diketahui bahwa produksi benih bersertifikat hampir seimbang dengan tingkat kebutuhan benih masyarakat petani padi di Jawa Barat. Tingginya penggunaan benih berlabel tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan produksi benih yang sudah maju dan memadai, juga intensitas kegiatan penyuluhan dan dukungan pemerintah, di mana sebagian besar lembaga penelitian padi juga berlokasi di Jawa Barat. Di Provinsi Jawa Barat, terdapat lima varietas unggul padi sawah yang paling dominan ditanam saat musim kemarau, yaitu: Ciherang, Mekongga, 37
Situbagendit, IR64, dan Sarinah. Sementara, pada musim penghujan varietas IR 64 kurang disukai karena varietas yang ditanam pada saat MH haruslah varietas yang tahan rebah dan tahan genangan air. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat telah lama melaksanakan kegiatan bantuan benih kepada para petani setiap tahunnya. Jenis benih yang diberikan adalah padi sawah (padi nonhibrida dan padi hibrida), dan juga padi lahan kering/ladang/gogo. Bantuan benih tersebut bersumber dari DIPA APBN di Tingkat Pusat, di mana provinsi membuat persetujuan atas calon penerima yang diusulkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten. Ada dua program bantuan pemerintah yang dilaksanakan yaitu Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Bantuan Benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN). Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) diberikan dengan jumlah (kuota) yang telah ditetapkan masing-masing kabupaten/kota.
Untuk mendapatkan
alokasi ini, salah satu persyaratannya adalah harus menjadi anggota salah satu kelompok tani di daerahnya. Penentuan dan penetapan usulan calon penerima dibuat oleh petugas pertanian di tingkat lapangan (Penyuluh Pertanian dan Kepala Cabang Dinas atau lainnya), yang selanjutnya disampaikan ke Dinas Pertanian Kabupaten untuk ditetapkan dan disampaikan ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Kemudian Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat membuat Persetujuan untuk penyaluran benih ke tingkat kelompok tani sesuai dengan Penetapan Usulan Calon Penerima dari Dinas Pertanian Kabupaten. Program penyaluran benih juga terdapat pada SL-PTT. Penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan instrumen perangsang (stimulus) bagi daerah sekitarnya. Jenis SL-PTT yang dikembangkan adalah SLPTT Reguler dimana bantuan yang diberikan hanya berupa benih, kecuali 1 Ha Laboratorium Lapangan diberikan bantuan full paket. Jenis kedua adalah SL-PTT Spesifik Lokasi dimana bantuan yang diberikan berupa bantuan full paket (benih, pupuk, dan alsintan). Sebagian lagi adalah SL-PTT Indeks Pertanaman, dimana bantuan yang diberikan berupa bantuan full paket (benih, pupuk, dan alsintan).
38
Kriteria penerima SL-PTT ini difokuskan kepada petani/kelompok tani yang memiliki produktivitas yang lebih rendah dari produktivitas kabupaten. Penerapan pola ini diharapkan terbina kawasan-kawasan andalan, yang berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani, sekaligus sebagai tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok, serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Dalam setiap 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida, 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida spesifik lokasi, 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida peningkatan IP, 10 ha areal SLPTT padi hibrida, 10 ha areal SL-PTT padi hibrida spesifik lokasi, 25 ha areal SLPTT padi lahan kering, dan 15 ha areal SL-PTT jagung hibrida. Masing-masing ditempatkan 1 unit laboratorium lapangan (LL) dengan luasan 1 Ha. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, SL-PTT yang telah dilaksanakan sejak tahun 2008 merupakan salah satu upaya meningkatkan produksi/produktivitas padi. Melalui SL-PTT petani dapat: (1) belajar langsung di lapangan dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien secara spesifik lokasi; (2) petani mampu mengelola sumber daya yang tersedia secara terpadu dalam melakukan budi daya berdasarkan kondisi spesifik lokasi sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan usahataninya dalam rangka pencapaian sasaran produksi yang ditetapkan. Peningkatan produktivitas dan produksi di lokasi kajian juga dilakukan melalui berbagai gerakan seperti: (1) gerakan pengolahan tanah, (2) gerakan tanam serentak, (3) gerakan pemupukan berimbang, (4) gerakan penerapan teknologi, (5) gerakan pengendalian OPT, (6) gerakan penanganan panen dan pasca panen serta gerakan lainnya dengan dukungan dana APBN maupun APBD serta dana masyarakat. Dalam meningkatkan produksi selain menggunakan metode PTT atau dapat juga menggunakan Metode SRI. Usaha tani organik metode SRI (System Rice of Intensification) adalah usahatani pada padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan. Dari kegiatan tersebut di atas maka di dalamnya sudah 39
meliputi penggunaan benih varietas unggul, pemupukan berimbang, pemakaian pupuk organik serta biohayati, pengelolaan pengairan, dan perbaikan budi daya. Pelaksanaan teknologi PTT dan SRI tidak berbeda jauh, yang membedakan hanya pada SRI penekanan pada penggunaan bahan organik yang cukup tinggi sebagai pengganti pupuk anorganik sehingga kebutuhan hara tanaman sepanjang pertumbuhan di lapangan tersedia. Sementara itu, bantuan benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN) diberikan dalam rangka menekan ancaman puso akibat Dampak Perubahan Iklim (DPI) atau serangan OPT, dalam rangka Perluasan Areal Tanam, dan juga penyegaran atau penggantian varietas. Program bantuan benih ini dilaksanakan di seluruh kabupaten dan beberapa kota di Jawa Barat. Penyebaran benih padi per varietas BLBU pada program SL-PTT juga paling dominan di Jawa Barat adalah pada varietas Ciherang disusul oleh varietas Mekongga dan Inpari. Hal yang sama pada penyebaran benih padi per varietas BLBU pada program non-SL-PTT juga paling dominan di Jawa Barat adalah pada varietas Ciherang, Mekongga, dan Inpari. Sementara, bila dilihat perkembangan subsidi benih berdasarkan lembaga BUMN yang menanganinya, penyaluran benih subsidi paling tinggi dilakukan oleh PT Pertani dan PT SHS. 5.3. Kebijakan Pemerintah untuk Memperkuat Kinerja Produsen Benih Pemerintah dan Petani Penangkar Benih Pendirian Balai Benih dimulai dari didirikannya beberapa Kebun Bibit pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah merdeka, pemerintah mendirikan Kebun-Kebun Bibit Desa, kemudian Kebun-Kebun Bibit Desa tersebut berubah mernjadi Balai Benih. Balai Benih yang memproduksi benih di daerah diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. Selanjutnya, dengan diberlakukannya peraturan perundangan otonomi daerah maka Balai Benih tersebut berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan sebagian besar masih dalam pembahasan di pemerintah daerah. Berdasarkan
tugas
dan
fungsi
serta
lokasi
dan
tanggung
jawab
pembinaannya sebelum pelaksanaan otonomi daerah, maka Balai-Balai Benih 40
tersebut digolongkan dalam tiga kategori, yaitu: Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU), dan Balai Benih Pembantu (BBP). Penggolongan tersebut berlaku untuk komoditas padi maupun palawija. Perbanyakan benih penjenis (BS) untuk menghasilkan benih dasar (BD) dilakukan di Balai Benih Induk (BBI) yang dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi, sedangkan perbanyakan benih dasar untuk menghasilkan benih pokok (BP) dan BP menjadi benih sebar (BR) masing-masing dilakukan di Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu (BBP) yang dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. Di Provinsi Jawa Barat, keberadaan Balai Benih Induk (BBI) namanya diubah menjadi Balai Pengembangan Benih Padi (BPBP) sesuai dengan SK Gubernur No. 53 Tahun 2002 dan Perda No. 5 Tahun 2002. BPBP melakukan perbanyakan benih dasar (FS/BD) yang berasal dari benih penjenis (BS) yang selanjutnya menghasilkan benih pokok (SS/BP). BPBP pembinaannya berada di bawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Adapun Balai Pengembangan Benih Padi (BPBP) Jawa Barat keberadaannya serta fungsinya sebagai salah satu unit pelayanan di bidang pengembangan dan perbanyakan benih, pembinaan penangkar serta penyediaan benih unggul bermutu. Sementara untuk BBU, merupakan UPT yang berada dalam naungan Dinas Pertanian
Tanaman
Pangan
Kabupaten.
Namun,
secara
umum
karena
kelembagaan perbenihan padi baik yang bersifat nasional (BB Padi dan BUMN yang menangani benih), kelembagaan benih provinsi (BPSB TPH dan instalasi BPSB TPH Wilayah, dan BPBP), dan kelembagaan produsen benih swasta (petani produsen) yang telah berkembang secara baik; maka kelembagaan benih kabupaten tidak menunjukkan perannya dalam kegiatan penangkaran benih. Untuk Balai Benih yang ada dengan lahan yang terbatas lebih banyak menggunakan hasil tangkarannya untuk kebutuhan sendiri yang sangat terbatas. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai tambah produksi usahatani padi, unsur teknologi benih unggul bermutu dan produsen benih sangat menentukan. Produsen benih dapat meliputi swasta, BUMN, dan petani produsen dan atau sebagai penangkar benih.
41
Sementara, sistem pengadaan dan penyaluran benih yang eksisting berlaku di lapangan menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh Puslitbang Komoditas di samping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BPBP seperti yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, melalui Balai komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke BB Penelitian Padi (Balai Komoditas) yang selanjutnya diperbanyak menjadi benih SS dan ES. Bahkan, ada beberapa penangkar swasta/lokal mendapatkan benih BS langsung dari Balai Besar Penelitian Padi (Balit Komoditas). Di tingkat lapangan pun terjadi variasi sistem produksi dan pendistribusian benih. Perbedaan jenis benih yang diproduksi tersebut sangat terkait dengan respon pasar benih. Para produsen benih lokal/petani produsen benih untuk kasus Provinsi Jawa Barat dapat menghasilkan dua jenis benih, yaitu benih FS yang bahan bakunya (benih jenis BS) bersumber dari BB Padi atau menghasilkan benih SS. Adapun kelembagaan BPTP, dapat memproduksi benih kelas FS menjadi SS atau ES. Dalam menggerakkan perbenihan padi, terdapat beberapa kelembagaan yang terlibat di dalamnya selain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu seperti: Balai Pengembangan Benih Padi, Asosiasi Produsen Benih Padi Jawa Barat, kios benih, hingga petani padi. Khusus
untuk
benih
bersertifikat,
sistem
distribusinya
melibatkan
kelembagaan mulai dari produsen benih, penangkar binaan, pedagang/kios benih, dan petani sebagai pengguna benih untuk kegiatan usahataninya. Produsen benih dapat memasarkan benih hasil tangkarannya (melalui petani binaan) ke kios saprotan. Selain itu, terdapat beberapa petani yang membeli langsung ke produsen benih padi secara langsung. Produsen benih juga bisa menjual ke BUMN (PT SHS atau PT Pertani) untuk benih bersubsidi (program pemerintah) dengan kelas benih umumnya adalah ES (untuk label biru), namun dari segi pembayarannya kerap menimbulkan permasalahan, yaitu terjadinya gagal bayar karena sistem bayar yang tidak tunai melainkan dibayar dengan tenggang waktu tertentu yang sering tidak tepat waktu. 42
Berkenaan dengan varietas yang digunakan petani, varietas Ciherang sudah sejak lama digunakan oleh petani, dan menurut pendapat petani bahwa varietas Ciherang memiliki keunggulan antara lain: memiliki sekam yang tipis, mudah dirontokkan dengan cara digebot (belum menggunakan mesin perontok padi), rendemen padinya tinggi, dan rasanya enak bagi para petani. Untuk varietas Inpari, para petani berpendapat bahwa varietas tersebut memiliki rendemen yang lebih rendah daripada Ciherang, sulit dirontokkan dengan cara digebot, rasanya tidak seenak Ciherang dan harga jual yang sedikit lebih rendah daripada Ciherang (sekitar Rp200/kg lebih rendah dari harga jual Ciherang). Namun, varietas Inpari lebih tahan serangan OPT wereng dibandingkan dengan varietas Ciherang. Di lokasi penelitian Kabupaten Cianjur, menurut kelompok tani bahwa untuk memperoleh rasa wangi pada beras, para petani akan mencampur beras varietas Ciherang atau Mekongga dengan beras varietas Situ Bagendit. Khusus untuk petani penangkar, penangkar benih di Jawa Barat merupakan binaan produsen benih. Jumlah penangkar binaan dari seorang produsen terdiri atas 10 sampai 50 orang petani binaan. Penangkar yang menjalin kerja sama dengan produsen secara umum lebih karena ikatan kontrak kepercayaan. Pada tahap awal kerja sama biasanya benih padi diberikan oleh produsen dengan kisaran antara 20-25 kg/ha. Untuk tahap selanjutnya, benih yang diberikan pada saat awal akan dibayar/diperhitungkan pada saat panen. Saat panen, seluruh benih yang dihasilkan akan dihimpun semua (opkup) oleh produsen benih atau dibeli sekitar 75% dari produksi penangkar. Hal ini tergantung dari kemampuan produsen. Pada kegiatan penangkaran benih, seluruh biaya usahatani seluruhnya ditanggung penangkar binaan sendiri. Dengan demikian, modal yang digunakan usaha penangkaran oleh penangkar binaan produsen benih adalah bersumber dari modal sendiri, sementara untuk roguing dan pemeriksaan lapangan ditanggung produsen. Kegiatan usaha penangkaran benih pada prinsipnya hampir sama dengan usahatani padi untuk tujuan konsumsi. Hal yang membedakan adalah dalam hal pemeriksaan lapangan dengan beberapa tahapan yaitu: (1) pemeriksaan 43
pendahuluan, (2) pemeriksaan pada masa fase vegetatif, (3) pemeriksaan pada masa fase generatif (berbunga, 30 hari sebelum panen) harus dilakukan seleksi (roguing) serta pembersihan dari rerumputan sebelum pemeriksaan lapangan kedua, (4) pemeriksaan pada masa pertanaman fase masak (7 hari sebelum panen) harus dilakukan seleksi (roguing) serta pembersihan dari rerumputan sebelum pemeriksaan lapangan ketiga dilakukan, (5) pemeriksaan pada saat seleksi (roguing) mencakup: tipe pertumbuhan, kehalusan daun warna helai daun, warna lidah daun, warna pangkal batang, bentuk/tipe malai, bentuk gabah, warna gabah, dan sudut daun bendera, dan (6) apabila pada pemeriksaan lapangan fase vegetatif atau fase berbunga tidak lulus, maka dapat dilakukan pemeriksaan ulang maksimal 1 kali setelah dilakukan seleksi (roguing) terhadap pertanaman.
44
VI. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN MEKANISASI PERTANIAN Mekanisasi pertanian telah dikenal di Indonesia mulai era tahun 50-an sebagai
perangkat teknologi
dalam usahatani
dengan tujuan untuk: (i)
meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja, (ii) mempercepat dan efisiensi proses, dan (iii) menekan biaya produksi. Adanya ketiga tujuan khusus tersebut
menjadikannya
sebagai
suplemen,
substitutor,
dan/atau
faktor
komplemen dalam proses produksi tergantung pada jenis, tipe, kapasitas, jumlah serta cara pemakaiannya. Sebaliknya, penerapan mekanisasi pertanian yang kurang
memperhatikan
kondisi
sosial-budaya
masyarakat
akan
menjadi
kompetitor. Karakteristik alsintan adalah bersifat barang modal (investasi), memerlukan perawatan untuk menjamin umur teknis, memerlukan SDM yang terlatih (punya kemampuan) untuk menjalankannya dan perawatan, serta mekanisasi pertanian harus berperan mentransformasikan pertanian tradisional ke pertanian modern yang lebih efisien dan efektif (ada perubahan kultur bisnis). Dengan karakteristik tersebut, kegiatan alsintan melibatkan banyak pihak/lembaga/ stakeholder baik dari
unsur
pemerintah,
swasta,
kelompok
tani,
dan
lainnya.
Adapun
perkembangan kinerja alsintan dari pemerintahan orde lama sampai orde reformasi seperti pada Tabel 6.1. Implementasi penerapan mekanisasi selama kurun waktu 1950-an sampai saat ini diperoleh suatu pembelajaran bahwa penerapan alat dan mesin pertanian sebagai wujud fisik mekanisasi pertanian, akan memunculkan premature
mechanization jika sistem pengembangannya tidak memperhatikan aspek-aspek teknis, ekonomis, infrastruktur, dan kelembagaan sosial budaya setempat. Konsekuensi dari premature mechanization tersebut tidak hanya akan menjadi beban bagi sistem usahatani, dan masyarakat, tetapi juga pemerintah yang sudah memberikan investasi yang cukup besar secara nasional.
45
Tabel 6.1. Gambaran Umum Perkembangan Mekanisasi di Indonesia Tahun 1950an s/d Saat Ini Faktor Penciri Tujuan pemerintah Bantuan teknis dari luar negeri
Kesepadanan alsintan Dukungan teknis dari produsen alsin
Orde Lama Swasembada pangan Tinggi (alsintan besar untuk pembukaan lahan) Rendah (untuk lahan kering) Rendah (bersifat bantuan)
Skill & capital investment
Tinggi
Pengetahuan pendukung operasional oleh petani Dukungan lembaga finansial
Rendah
Hampir tidak ada
Rezim Pemerintahan Orde Baru Orde Reformasi Swasembada beras Swasembada pangan berkeberlanjutan Sedang (alsintan kecil Rendah s/d menengah, skala kelompok kecil petani sawah padi, untuk pengolahan tanah s/d pascapanen Tinggi (lahan sawah Tinggi (lahan sawah beririgasi) beririgasi) Sedang s/d Tinggi dan sebagian menengah besar (dapat dibuat di dalam negeri) Sedang s/d medium Sedang s/d medium (terjangkau melalui (melalui sistem sistem bantuan atau bantuan, pembelian pembelian kelompok) kelompok dan perseorangan) Sedang s/d tinggi Sedang s/d tinggi
Ada
Banyak
Sumber: Handaka dan Abi Prabowo (2013)
Pengembangan mekanisasi pertanian memiliki urgensi yang penting dalam pembangunan dengan pertimbangan: (a) untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan pertanian modern dan pertanian bio-industri; (b) semakin meningkatnya kebutuhan dan diversifikasi produksi pertanian; (c) perlunya peningkatan efisiensi, nilai tambah, diversifikasi produksi pertanian, dan daya saing komoditas pertanian; (d) makin enggannya generasi muda dan langkanya tenaga kerja di bidang pertanian; dan (e) perlunya dukungan terhadap penanganan dampak perubahan iklim di bidang pertanian. Pengembangan mekanisasi pertanian juga berperan dalam hal: (a) komplemen terhadap kekurangan tenaga kerja melalui
penerapan mekanisasi
budi
daya dan
pascapanen pertanian; (b) meningkatkan produktivitas tenaga dan efisiensi 46
produksi melalui penerapan mekanisasi budi daya dan pascapanen pertanian; (c) mengurangi susut dan mempertahankan mutu hasil pertanian melalui penerapan mekanisasi panen dan pascapanen pertanian, misalnya pada saat panen padi yang tadinya secara manual kehilangan hasilnya mencapai 9,4% kemudian dilakukan mekanisasi menjadi 3%; (d) meningkatkan nilai tambah hasil dan limbah pertanian melalui penerapan mekanisasi pascapanen pertanian, (e) mendukung penyediaan sarana/input produksi melalui penerapan mekanisasi pascapanen pertanian; dan (f) mengurangi kejerihan kerja dalam kegiatan produksi pertanian melalui pengurangan beban kerja. Pengembangan
mekanisasi
pertanian
di
suatu
wilayah
harus
mempertimbangkan banyak faktor secara holistik, bukan hanya faktor teknis tetapi juga sosial-ekonomi-lahan dan budi daya-sejarah-politik-kelembagaan-lingkunganenergi. Pembahasan
secara menyeluruh dari
semua sisi
pandang
akan
menguntungkan bagi para pengambil kebijakan pengembangan dari pihak pemerintah, produsen, pemasar, praktisi, pengguna yang terlibat dan menjamin fungsi keberlanjutannya. Hasilnya, kebijakan yang diterapkan akan lebih realistik untuk diterapkan dengan sedikit atau minimal risk pada pihak yang dirugikan. Pendekatan yang sering dilakukan sampai saat ini adalah melalui pendekatan bersifat top-down dengan nuansa intervensi, mengabaikan aspek rekayasa sosial menguntungkan petani dan hanya memperhatikan orientasi problem-solving bukan sebagai enhancing root poverty eradication ataupun pemberdayaan petani. Seiring dengan maraknya alsintan baik dari pemerintah maupun swadaya, pemerintah mencanangkan pembentukan kelembagaan yang disebut dengan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) pada tahun 2008. Fungsi kelembagaan UPJA, yaitu:
(1) pelayanan jasa Alsintan dalam penanganan budi daya, (2)
pelayanan jasa alsintan dalam penanganan panen, pascapanen, dan pengolahan hasil pertanian, (3) pelayanan untuk meningkatkan daya saing dan perbaikan kesejahteraan petani. Sampai tahun 2012, jumlah UPJA mencapai 12.044 kelompok, namun sebagian besar (78,8%) UPJA termasuk kelas pemula. Hal ini dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya rendahnya kepemilikan lahan dan
47
pendidikan/ketrampilan
petani,
kurang
efisiennya
pemilikan
alsintan
dan
lemahnya permodalan petani, serta belum efisiennya pengelolaan usahatani. Pada saat ini (tahun 2015), pemerintah tengah menggulirkan Program Upaya Khusus (Upsus) Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai melalui Program Perbaikan Jaringan Irigasi dan Sarana Pendukungnya. Program tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi target pencapaian swasembada berkelanjutan padi dan jagung serta swasembada kedelai (swasembada pangan) dalam waktu tiga tahun. Untuk mencapai target tersebut, ditentukan sasaran: (1) indeks pertanaman (IP) meningkat minimal sebesar 0,5 dan produktivitas padi meningkat minimal sebesar 0,3 ton GKP, (2) produktivitas kedelai minimal sebesar 1,57 ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatnya produktivitas kedelai sebesar 0,2 ton/ha pada areal existing; (3) produktivitas jagung minimal sebesar 5 ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatnya produktivitas jagung sebesar 1 ton/ha pada areal existing. Untuk mendukung program tersebut dilakukan berbagai kegiatan yang mencakup: rehabilitasi jaringan irigasi, penyediaan alsintan, pupuk dan benih, dan pendampingan. Khusus terkait alsintan, pemerintah memberikan bantuan alsintan prapanen dan pascapanen dalam jumlah besar yang diadakan oleh pemerintah pusat dan provinsi seperti pada Tabel 6.2. Untuk pengadaan di provinsi, jenis, dan spesifikasi alsintan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi di masingmasing daerah.
Alsintan yang diadakan merupakan alsintan yang sudah
mempunyai Sertifikat Produk Pengguna Tanda Standard Nasional Indonesia (SPPT SNI) dan atau sudah memiliki test report dari lembaga penguji alsintan yang terakreditasi. Pengadaan alsintan jumlah yang cukup besar dibandingkan tahuntahun sebelumnya dan dikelola dalam bentuk: (a) UPJA dengan penerima bantuan adalah kelompok tani/Gapoktan/UPJA dan (b) Brigade, penerima bantuan adalah Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten (pengadaan bantuan alsintan di pusat).
48
Tabel 6.2. Jumlah dan Jenis Alsintan Mendukung Program Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai Jenis Alsintan
2014
2015 Refocusing
2015 APBNP-TP 2015 APBNP-TP Provinsi Pusat
Traktor roda 2 (unit)
7.700
6.100
10.000
10.000
Pompa air (unit)
4.200
2.300
3.425
3.425
Rice transplanter (unit)
280
...
...
...
Cultivator (unit)
240
...
...
...
Chopper (unit)
225
...
...
...
12.645
8.400
13.425
13.425
Jumlah (unit) Sumber: Heriawan (2015)
6.1. Kasus Penerapan Mekanisasi Pertanian Beberapa kasus pengalaman pembelajaran penerapan alat dan mesin pertanian sebagai teknologi komplemen, susbtitusi, dan suplemen di Indonesia diambil dari beberapa sumber penelitian dan kajian sebagai berikut: Teknologi Tanam Padi Kegiatan pindah tanam bibit padi merupakan salah satu teknologi budi daya padi yang menuntut curahan tenaga kerja terbanyak kedua sesudah panen (40-50 HOK/ha). Pada tanam bibit padi dengan transplanter diperlukan dapog (baki/rak semai) berukuran 28x 58 cm. Benih disemai pada dapog dengan ketebalan tanah (media tumbuh) 1-3 cm. Pindah tanam dilakukan pada saat umur bibit padi sudah sekitar 14-18 hari. Pada awal penerapan transplanter petani mengalami kesulitan dalam penyediaan baki dan cara pembibitan dalam baki. Hal ini dialami pada saat penerapan transplanter buatan IRRI pada masa 1978-1980. Munculnya kembali alsin
transplanter
saat
ini
(25
tahun
kemudian)
memunculkan
proses
pembelajaran dan melahirkan terobosan penggunaan sistem dapog tanpa baki/rak penyemai. Secara bertahap petani mulai menggunakan lapisan plastik, atau koran, sebagai alas sesudah tanah lapis bawah, untuk mencegah akar benih tumbuh bebas ke tanah, dan memudahkan benih dipindahkan ke rak pindah tanam pada mesin tanam (transplanter). Proses ini memberikan nilai appropriateness yang 49
tinggi, sehingga mudah diterima, terdifusi, dan teradopsi pada petani. Prinsipnya, harus ada yang memulai, mencoba, berkorban, tekun, dan memiliki motivasi. Ketertarikan petani untuk menggunakan alsin transplanter juga dipengaruhi oleh adanya selisih biaya tanam apabila dibandingkan dengan cara tanam tenaga manusia. Teknologi Pompa Air Pompa air merupakan unsur komplemen pendukung pertumbuhan tanaman melalui penyediaan air irigasi. Tanpa mekanisasi, air masih dapat dinaikkan namun dengan curahan energi manusia cukup besar, dengan menggali sumur, menaikkan secara manual dengan kapasitas rendah serta sulit menjangkau kawasan usahatani secara luas. Kasus pemanfaatan pompa air di daerah Madiun, Ngawi, dan Nganjuk
Provinsi Jawa Timur menunjukkan kinerja yang baik sehingga
mendorong nilai usaha tani meningkat, bermanfaat, dan menambah pendapatan petani. Adanya kemauan petani untuk menggunakan pompa air (8,5–12 HP) sebagai sumber air irigasi air tanah dangkal mampu meningkatkan produktivitas lahan masing-masing adalah: (i) untuk tanaman padi pada lahan sawah tadah hujan dari 2 ton/ha menjadi 4 ton/ha; (ii) tanaman kedelai pada lahan sawah 0,4 ton/ha menjadi 0,8 ton/ha; (iii) tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan dari 1,8 ton/ha menjadi 4 ton/ha; (iv) tanaman tebu setelah terjamin airnya pada musim kemarau dari irigasi pompa mampu meningkatkan keuntungan sebesar Rp750.000/ha/musim (Prabowo et al., 2001). Meskipun demikian, masih ada kendala yang perlu diminimalkan dampaknya seperti manajemen tanaman, pemilihan komoditas yang menguntungkan, dan kesiapan petani operator dan organisasinya. Teknologi Combine Harvester Adopsi dan difusi combine harvester sudah berkembang di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Sidrap dan Pinrang. Dari penggunaan sabit,
stripper chandoe kemudian berubah ke penggunaan combine harvester, berjalan relatif cepat. Pada awal tahun 2000, petani dikenalkan dengan chandoe, sejenis
stripper, yang digunakan untuk memanen padi secara mekanis (modifikasi lokal 50
dari IRRI stripper), kemudian pada tahun 2011 telah berubah ke teknologi yanng lebih canggih seperti combine harvester. Pengoperasian alsin combine harvester dengan kemampuan lebar panen 175 cm mampu memanen seluas 3–4 ton/hari, rata-rata kemampuan panen 770.000 kg/musim. Percepatan adopsi combine
harvester di Kabupaten Sidrap juga dipengaruhi adanya keterkaitan usaha pemilik combine dengan rice milling unit (RMU) yang diusahakan. Dengan adanya penguasaan combine harvester berarti pasokan bahan RMU dapat terjamin keberlanjutannya dalam skala usaha yang menguntungkan. Seorang pengusaha RMU yang memiliki combine harvester akan menyewakan alat panennya sampai ke Sulawesi Tenggara atau Sulawesi Tengah sebagai jaminan untuk mendapatkan pasokan gabah bagi RMU-nya. Menurut hasil wawancara dengan staf Dinas Pertanian Kabupaten Sidrap, pada salah satu kecamatan terdapat kepemilikan
combine harvester mencapai 71 unit dan diperkirakan jumlah total combine harvester saat ini di Kabupaten Sidrap mencapai 160 unit. 6.2. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ke Depan Pertumbuhan mekanisasi pertanian memiliki korelasi timbal balik yang cukup signifikan dengan kemajuan intensifikasi usahatani atau perbaikan mutu intensifikasi. Dengan kata lain, mekanisasi pertanian menjadi pendorong untuk melakukan peningkatan mutu intensifikasi usahatani, namun juga program perbaikan atau peningkatan mutu intensifikasi dapat menjadi pendorong bagi bertumbuhnya disebabkan
mekanisasi
makin
pertanian.
dibutuhkannya
Pertumbuhan
mekanisasi
tersebut
pertanian
untuk
antara
lain
melakukan
percepatan pengolahan tanah, makin berkurangnya tenaga kerja pengolah tanah di perdesaan, atau terjadinya urbanisasi ke wilayah perkotaan. Di samping itu perbaikan prasarana transportasi mempermudah terjadinya perpindahan tenaga kerja dari satu tempat ke tempat lain ecara lebih cepat dan murah. Faktor tersedianya prasarana irigasi dan kelembagaan kelompok tani menjadikan indeks pertanaman (IP) meningkat seiring dengan pertumbuhan mekanisasi pertanian. Hal ini juga terjadi pada wilayah-wilayah yang padat penduduk seperti di Jawa karena indeks mekanisasi di Jawa rata-rata tinggi dan proporsional dengan indeks pertanaman. 51
Dalam upaya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai diperlukan revitalisasi bantuan mekanisasi pertanian dalam bentuk alat dan mesin pertanian (alsintan). Revitalisasi ini perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas bantuan alsintan (budi daya dan pascapanen), dengan fokus untuk mempercepat kepastian peningkatan produktivitas padi. Komoditas alsintan yang memerlukan perhatian adalah: (a) traktor tangan untuk wilayah-wilayah dengan intensitas pertanaman tinggi, guna mengejar waktu tanam; (b) mesin tanam (transplanter) untuk memastikan jumlah populasi tanaman sesuai dengan sistem tanam tegel (sekurangnya 250.000 rumpun/ha), dan percepatan tanam pada daerah-daerah yang memiliki IP tinggi; dan (c)
penggunaan kombinasi
sabit
dengan power thresher, atau reaper dengan thresher, atau mower thresher; (d) mendorong penggunaan combine harvester untuk wilayah-wilayah yang memiliki
acceptability tinggi, manageable dan sesuai skala usahatani pengguna. Seiring dengan meningkatnya jumlah bantuan alsintan kepada petani, seharusnya diikuti dengan pelatihan memiliki pola
yang lebih terjadwal, terstruktur, dan
kurikulum minimum dan standar.
Pelatihan dilakukan untuk
perencana tingkat provinsi/kabupaten, penyuluh, operator, dan mekanik. Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen PSP, bersama-sama dengan BBSDMP berkoordinasi dalam melakukan peningkatan mutu perencanaan SDM Mekanisasi Pertanian baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, sampai tingkat lapang. Badan Litbang Pertanian perlu mengambil peran yang lebih banyak dalam implementasi bantuan ini terutama untuk membantu Ditjen Teknis menetapkan metode: (a) seleksi alat dan mesin pertanian, agar sasaran sistem usahatani yang dituju benar-benar tepat dan berhasil guna; (b) memberikan rekomendasi melalui kajian teknis, kajian operasional yang fokus pada pencapaian efisiensi dan efektivitas pengembangan mekanisasi melalui bantuan alsintan; (c) bantuan alsintan harus diarahkan pada pengembangan usahatani pada jangka panjang, sehingga perlu dipersiapkan dengan sistem perencanaan yang lebih baik, terarah, dan dilakukan dengan pendampingan yang intensif sebagai suatu kerangka sistem pengembangan mekanisasi
yang
berkelanjutan;
(d)
mengembangkan
terobosan-terobosan
52
pengelolaan alsintan di tingkat petani berbasis kewirausahaan, manajemen pengetahuan, dan membangun jejaring antar-stakeholder yang terlibat. Apabila pengadaan bantuan alsintan oleh pemerintah berkurang, perlu dipikirkan kemampuan pengadaan alsintan oleh petani sendiri ( business model). Agar bantuan alsintan yang diberikan oleh pemerintah berdaya guna secara optimal bagi petani, diperlukan pandataan (peta) wilayah potensial mekanisasi pertanian dan jenis dan ukuran alsintan yang cocok dengan kondisinya serta jenis dan jumlah alsintan eksisting. Pada tahun 2015, bantuan alsintan diberikan oleh pemerintah
dalam jumlah besar. Berkaitan dengan hal tersebut perlu juga
dilakukan inventarisasi kembali keberadaan UPJA menurut kategorinya, agar bantuan alsintan dapat digunakan dengan umur teknis yang relatif lama.
53
VII. STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada kemandirian pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka pembangunan ekonomi dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun berdasarkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan lokal yang bergizi dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015. Strategi yang ditempuh dalam Perpres adalah: (1) internalisasi penganekaragaman konsumsi pangan melalui advokasi, kampanye, promosi, pendidikan formal dan nonformal, serta sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman pada berbagai tingkatan aparat dan masyarakat; dan (2) pengembangan bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan, dan pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan keamanan pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha rumah tangga dan UMKM. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Badan Ketahanan Pangan (2013) menyusun program kerja utamanya antara lain Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi pangan melalui: (a) pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari di 6.280 desa (5.000 desa baru dan 1.280 desa lanjutan) pada 497 kabupaten/kota di 33 provinsi, (b) pengembangan pangan pokok lokal pada 30 kabupaten di 18 provinsi, dan (c) promosi dan sosialisasi P2KP di 33 provinsi. Dalam Road Map Diversifikasi Pangan 2011–2015 disebutkan bahwa diversifikasi pangan dan
gizi dapat dilihat dari
beberapa aspek berikut: (1) aspek konsumsi,
upaya membudayakan
sebagai
pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman untuk mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif; (2) aspek
pengembangan bisnis pangan 54
memberi dorongan dan insentif pada rantai bisnis pangan yang lebih beragam dan aman, yang berbasis sumber daya lokal; (3) aspek produksi mendorong pengembangan berbagai ragam produksi pangan, dan menumbuhkan beragam usaha pengolahan pangan (rumah tangga, UMKM, dan swasta); dan (4) aspek
kemandirian pangan akan dapat mengurangi ketergantungan nasional terhadap pangan impor, dan secara mikro mengurangi ketergantungan konsumen pada satu
jenis
pangan
tertentu,
serta
mendorong
setiap
wilayah
untuk
mengoptimalkan potensi sumber daya pangan setempat dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Di sisi lain, Indonesia adalah salah satu negara megadiversitas, yaitu kelompok negara dengan biodiversitas yang tinggi. Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa Indonesia sedikitnya memiliki 100 spesies tanaman biji-bijian, umbi-umbian, sagu, penghasil tepung dan gula sebagai sumber karbohidrat. Namun, hanya beberapa jenis pangan sumber karbohidrat saja yang dikenal secara luas dan dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara intensif seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lainnya. Beragam pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan bergengsi. 7.1. Capaian Diversifikasi Pangan Diversifikasi konsumsi pangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan ke arah yang
sesuai
prinsip atau kaidah gizi seimbang sehingga kualitas pangan menjadi semakin baik. Oleh karena itu, salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat diversifikasi konsumsi pangan dikenal dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH mengindikasikan konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100). Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2007 dan 2008 mencapai skor 80-an, namun untuk tahuntahun berikutnya skor PPH mengalami penurunan. Capaian skor PPH semakin jauh dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Tabel 7.1), padahal pemerintah 55
telah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti dengan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis
Sumber
Daya Lokal
oleh
Kementerian Pertanian, dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 1,5%/tahun dan kenaikan skor PPH sebesar 1%/tahun.
Hal ini berarti pola
pangan masyarakat Indonesia harus berdiversifikasi; tidak hanya pangan pokok yang bertumpu pada beras, tetapi juga diversifikasi pangan secara luas seperti pangan sumber protein, vitamin, dan mineral. Tabel 7.1. Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2005–2012 Tahun
Target
Riil
Senjang
2005 2008 2009 2010 2011 2012
77,7 82,9 85,0 86,4 88,1 89,9
79,1 81,9 75,7 77,5 77,3 75,4
+2,0 -1,0 -9,3 -8,9 -10,8 -14,5
Sumber: BKP (2013)
Penurunan PPH terjadi di sebagian besar provinsi. Hanya enam provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo yang nilai skor PPH pada tahun 2012 lebih besar daripada tahun 2011 (Tabel 7.2). Penurunan skor PPH dapat disebabkan oleh faktor ekonomi seperti pendapatan yang terbatas, sehingga tidak mampu membeli pangan secara cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi, penurunan skor tersebut juga dapat terjadi karena faktor lain seperti rendahnya pengetahuan tentang pangan dan gizi yang berdampak pada rendahnya kesadaran untuk mengonsumsi makanan
yang
peningkatan
berkualitas.
derajat
Padahal,
kesehatan
dan
makanan kecerdasan,
berperan yang
penting
untuk
diperlukan
dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
56
Tabel 7.2. Distribusi Provinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH, 2005 dan 2012 Perubahan Skor PPH, 2005- 2012 Meningkat Menurun
Nama Provinsi Jambi, Sumsel, Bengkulu, NTB, Sulsel, Gorontalo, Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Kep. Riau, Babel, Lampung, DKI, Jabar, Banten, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sultra, Sulteng, Sulbar, Maluku, Malut, Papua Barat, Papua
Jumlah Provinsi 6 27
Sumber: BKP (2012)
Di tingkat rumah tangga pola diversifikasi pangan dapat berbeda-beda karena banyaknya faktor yang dapat berpengaruh. Pola diversifikasi pangan juga dapat berbeda antarwilayah maupun antarwaktu. Diversifikasi bisa terkait dengan preferensi konsumsi anggota rumah tangga, faktor pendapatan, ketersediaan pangan alternatif, pengetahuan tentang pangan yang sehat dan berkualitas, atau bahkan faktor budaya dan faktor lainnya.
Diversifikasi dipengaruhi nyata oleh
pendidikan ibu dan kepala rumah tangga. Faktor jumlah anggota rumah tangga, usia ibu, usia kepala rumah tangga, luas pekarangan, dan akses informasi tidak berpengaruh nyata terhadap diversifikasi pangan. Fakta pada Tabel 7.3 mengindikasikan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu pada pedoman PPH. Konsumsi dari kelompok padi-padian sangat tinggi, melebihi dari ketentuan. Sebaliknya, untuk pangan hewani, sayur, dan buah, yang termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH secara signifikan, masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan.
Pada
kondisi terakhir (tahun 2011) skor PPH menurun sedikit dibandingkan tahun sebelumnya. Skor PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 77,5. Penurunan ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi sayuran dan buah-buahan. Terkait dengan pangan lokal, skor PPH yang relatif masih rendah bukan berarti masyarakat tidak mengonsumsi pangan lokal. Mereka sudah mengonsumsi tetapi masih dalam porsi relatif sedikit dan tidak rutin, sehingga belum mampu mensubstitusi konsumsi pangan pokok utamanya, yaitu beras.
Pangan lokal sumber karbohidrat, seperti ubi kayu dan jagung, lebih
banyak disajikan dalam bentuk kudapan atau pangan selingan. 57
Tabel 7.3. Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 (Gram/kapita/hari) Kelompok Pangan
Anjuran
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Kacang2an Sayur+buah Gula Minyak+lemak
275 100 150 35 250 30 20
Kenyataan/Riil 2011 2012 315,9 299,9 43,2 33,1 95,9 91,7 22,7 23,7 197,3 199,1 22,2 19,2 22,8 23,7
Sumber: BKP (2012)
7.2. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok Dalam upaya menyusun strategi pengembangan diversifikasi pangan pokok, disusun aspek-aspek yang menjadi kekuatan, kelemahan, tantangan, dan ancamannya. Sebagai aspek kekuatan, meskipun perubahannya relatif lambat, diversifikasi pangan bukanlah kondisi yang tidak mungkin berubah. Faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi kekuatan pengembangan diversifikasi pangan, yaitu:
(1) potensi
lahan subur masih banyak; (2) masih
tersedia lahan kering dan marginal; (3) produksi pangan lokal meningkat; (4) harga pangan cenderung meningkat; (5) ragam jenis pangan lokal banyak; dan (6) adanya ragam pengolahan pangan lokal spesifik wilayah. Potensi lahan masih cukup banyak dilihat dari luas panen tanaman pangan lokal yang masih meningkat. Indonesia mempunyai pangan lokal spesifik lokasi beragam dan di setiap provinsi dapat berbeda. Hasil analisis data Susenas, pada tahun 1990-an terdapat delapan pola konsumsi pangan lokal di seluruh Indonesia dengan menggunakan pangan pokok lokal seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, pisang, dan umbi-umbi lainnya selain komoditas beras. Pangan lokal tersebut dapat berbeda cara pengolahannya di setiap provinsi walaupun bahan bakunya adalah sama. Kekayaan pengolahan ini menjadi kekuatan dalam pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Walaupun pengembangan diversifikasi pangan dimungkinkan, namun ada beberapa kelemahan baik terkait aspek produksi, konsumsi maupun pengolahan pangan yang harus diantisipasi. Kelemahan tersebut antara lain: (1) konversi 58
lahan sawah subur relatif tinggi;
(2) infrastruktur pertanian dan pendukung
terbatas; (3) peran Pulau Jawa sebagai produsen pangan lokal berkurang; (4) kenaikan harga pangan tidak memberi insentif produksi bagi petani; (5) teknologi pengolahan pangan lokal terbatas, (6) preferensi pangan lokal terbatas;, (7) penerapan kebijakan pengembangan konsumsi pangan lokal lemah; (8) kebijakan pengembangan produksi dan industri pangan lokal masih lemah; (9) penguasaan keterampilan penerapan teknologi pengolahan pada industri rumah tangga masih rendah; (10)
adanya persepsi inferior terhadap pangan lokal di
sebagian
masyarakat; (11) belum berkembangnya pasar pangan lokal secara nasional; (12) budi daya sagu dan umbi lainnya belum berkembang; (13) Otonomi Daerah (OTDA) tidak menciptakan kreasi pengembangan kebijakan pangan lokal; dan (14) promosi pangan lokal masih terbatas. Dari aspek produksi pangan lokal yang ditangani oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Tanaman Pangan cenderung bias pada beras dan mengabaikan aspek produksi pangan lokal.
Pengembangan industri pangan lokal masih terbatas
pada industri rumah tangga dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kalaupun ada industri skala menengah berbasis pangan lokal, jumlahnya belum banyak dan masih berorientasi pada produk pangan lokal sebagai makanan camilan/kudapan (bukan sebagai makan pokok) dengan harga yang relatif mahal. Produk pangan lokal yang dihasilkan oleh industri rumah tangga dan UKM belum dipasarkan secara nasional, tetapi masih spot-spot lokal dan kadang-kadang tidak kontinyu. Pemasaran produk pangan lokal seperti aneka kue lebih bersifat pesanan. Kalaupun ada yang menjual pangan tersebut terbatas di pasar-pasar dengan jumlah/skala yang masih kecil. Selain itu, kelemahan pengembangan pangan lokal adalah belum intensifnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga berdampak pada preferensi konsumen yang terbatas (rendah). Dari aspek eksternal, yang perlu dicermati peluang untuk pengembangan diversifikasi pangan lokal adalah: (1) adanya penekanan diversifikasi pangan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, (2) adanya Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Diversifikasi, (3) fungsi pangan lokal untuk kesehatan (pangan lokal menyehatkan), dan (4) adanya Peraturan Menteri Pertanian 59
(Permentan) No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Kosumsi Pangan, yang salah satu implementasinya adalah berupa kegiatan One
Day No Rice/ODNR (tidak mengonsumsi beras satu hari/minggu). Dari keempat faktor tersebut dipilih
tiga
faktor
yang memberi peluang utama bagi
pengembangan diversifikasi pangan lokal.
Faktor-faktor tersebut adalah: (1)
adanya penekanan diversifikasi pangan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, (2) adanya Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Diversifikasi, dan (3) fungsi pangan lokal untuk kesehatan (pangan lokal menyehatkan). Pada tahun 2009, terbit Perpres yang menekankan perlunya percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, yang kemudian ditindak lanjuti salah satunya dengan adanya ODNR. Pada tahun 2012 muncul UU Pangan baru menggantikan UU Pangan yang lama. UU pangan baru tersebut menekankan pentingnya ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan.
Dalam UU
tersebut juga ada penekanan diversifikasi pangan, tidak hanya dari aspek konsumsi pangan, namun juga produksi pangan. Faktor eksternal yang menjadi ancaman dalam pengembangan diversifikasi pangan lokal adalah: (1) peningkatan impor terigu dan pangan lainnya, (2) perubahan konsumsi karbohidrat dominan beras, (3) merebaknya rumah makan yang menjual pangan modern/impor dengan suasana nyaman dan memberi penilaian makanan bergengsi, (4) berkembangnya aneka produk berbasis terigu. Dari keempat faktor tersebut dipilih tiga faktor utama yang menjadi ancaman utama dalam pengembangan diversifikasi pangan lokal adalah: (1) peningkatan impor terigu dan pangan lainnya, (2) perubahan konsumsi karbohidrat dominan beras, dan (3) merebaknya rumah makan yang menjual pangan modern/impor dengan suasana nyaman dan memberi penilaian makanan bergengsi. Pada saat ini, impor terigu, yang merupakan bahan baku aneka roti, kue dan mi terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini seiring dengan permintaan mi di masyarakat yang juga semakin besar. Diakui, mi mempunyai banyak peranan. Mi dapat sebagai pengganti beras atau sebagai makanan pokok. Mi juga dapat sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan yang dapat dikonsumsi di mana saja, dalam keadaan apa saja. Pada kasus terjadinya bencana alam, misal 60
kebanjiran, maka bantuan pangan dominan adalah berupa mi instan. Selain itu, merebaknya toko-toko roti/kue di berbagai wilayah termasuk pemasaran dengan cara door to door
juga mengakibatkan permintaan kue/roti meningkat.
Dampaknya adalah impor terigu juga semakin besar. Dahulu, setiap provinsi mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang beragam dan berbasis pangan lokal. Namun, saat ini terjadi perubahan pola konsumsi pangan pokok yang cenderung mengarah pada
pola tunggal, yaitu
beras. Konsumsi pangan lokal terus menurun. Sebaliknya, konsumsi beras cenderung meningkat sampai pada tingkat pendapatan tertentu. Selanjutnya, setelah titik tercapai maka konsumsi beras akan menurun kembali. Ancaman pengembangan diversifikasi pangan lokal juga teridentifikasi dengan merebaknya rumah makan dengan aneka makanan modern dan cita rasa luar negeri, yang menyajikan aneka makanan dan minuman dengan suasana nyaman dan bergengsi. Dengan memperhatikan aspek kekuatan, kelemahan, tantangan, dan ancaman dalam pengembangan diversifikasi konsumsi pangan pokok, strategi kebijakan operasional program dan kegiatan untuk mengembangkan diversifikasi pangan lokal di Indonesia sebagai berikut: 1. Memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal untuk mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU Pangan. Upaya yang dilakukan
untuk
pengembangan
diversifikasi
pangan
adalah
dengan
memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal di masyarakat, sebagai berikut: (1) pemetaan luas lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi pangan lokal di setiap daerah; (2) pemetaan produksi setiap pangan lokal di setiap daerah (kondisi eksisting) dan pemetaan jenis pangan lokal yang pernah diproduksi namun saat ini sudah tidak ada lagi (musnah) di setiap daerah; (3) pemetaan jenis pangan lokal yang pernah dikonsumsi oleh masyarakat
termasuk
jenis pangan lokal yang pernah
diproduksi namun saat ini sudah tidak ada lagi (musnah) di setiap daerah; (4) pemetaan industri pengolahan pangan lokal di tingkat rumah tangga, UKM, industri kecil, menengah, dan besar
di setiap daerah (jumlah industri per
jenis, jenis, dan jumlah bahan baku, dll.); (5) melakukan pendataan secara 61
regular dan terstruktur berkelanjutan untuk setiap jenis pangan lokal di setiap daerah; dan (6) kajian studi perubahan preferensi masyarakat terhadap pangan lokal dan pangan modern termasuk faktor pendukung dan kendalanya di setiap daerah. 2. Memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal dalam rangka mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/ impor. Pengembangan diversifikasi pangan juga dilakukan dengan: (1) meningkatkan kapasitas produksi setiap pangan lokal di setiap daerah melalui peningkatan luas panen dan produktivitas; (2) promosi pangan lokal secara nasional, terstruktur dan berkelanjutan melalui berbagai media elektronik, massa, penyuluhan, ruang publik (hotel, bandara, stasiun kereta api, ruang publik lainnya); (3) pangan lokal menjadi snack utama dalam beragam kegiatan kenegaraan, keagamaan, upacara pernikahan, rapat-rapat, dan aktivitas lainnya; dan (4) mengembangkan outlet-outlet pangan lokal di setiap daerah termasuk di ruang publik, seperti hotel, bandara, stasiun kereta api, dan ruang publik lainnya. 3. Meningkatkan kebijakan produksi dan industri pangan lokal dalam rangka mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU Pangan. Dalam pengembangan diversifikasi pangan perlu diperhatikan: (1) penyusunan road
map produksi dan agroindustri khusus untuk pengembangan pangan lokal sehingga akan diperoleh diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi pangan; (2) kebijakan diversifikasi konsumsi pangan diiringi/sejalan dengan kebijakan produksi dan industri pengolahan; (3) penguatan penerapan kebijakan diversifikasi pangan sampai tingkat daerah; (4) pengembangan dan penguatan kebijakan produksi pangan lokal agar tersedia aneka ragam jenis pangan lokal secara kontinyu dan sesuai dengan kebutuhan dengan mengalokasikan
pendanaan
secara
proposional
dan
menjadikan
pengembangan produksi pangan lokal juga menjadi urusan wajib selain beras, jagung, kedelai, dan lainnya; (5) pengembangan dan penguatan kebijakan industri pangan lokal di setiap daerah untuk industri rumah tangga, UKM, dan jenis industri lainnya dan (6) pengembangan teknologi pengolahan pangan 62
lokal sehingga tersedia aneka produk pangan lokal dengan harga yang terjangkau dengan kualitas yang prima. Produk pangan lokal ini juga sesuai preferensi konsumen atau menjadi pendorong agar konsumen menyenangi produk tersebut. 4. Meningkatkan kebijakan produksi dan industri pangan lokal agar mampu mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/impor. Strategi yang dilakukan untuk pengembangan diversifikasi pangan juga melalui sebagai berikut: (1) pengembangan dan penguatan kebijakan produksi dan industri pangan
dilakukan harus seiring dengan kebijakan konsumsi
pangan, sehingga percepatan diversifikasi pangan tidak hanya dari sisi konsumsi namun juga ketersediaan aneka produk pangan lokal yang sesuai selera konsumen dengan memperhatikan aspek harga pangan dan kualitas pangan; (2) promosi pangan lokal yang menyehatkan secara komprehensif, dilakukan secara terus menerus dengan memanfatkan berbagai media yang ada, sehingga pangan lokal akan mampu berdiri di rumah sendiri; dan (3) penciptaan pasar pangan lokal baik tingkat nasional maupun tingkat wilayah. Penciptaan pasar pangan lokal disertai ketersediaan aneka produk pangan lokal yang mampu disandingkan dengan pangan produk modern/pangan impor.
63
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan Subsidi Pupuk 1. Sampai saat ini pupuk memiliki peran penting dalam peningkatan produksi pangan
nasional
dan
pencapaian
swasembada
pangan.
Pupuk
juga
merupakan komoditas strategis sehingga distribusi komoditas tersebut termasuk kriteria barang dalam pengawasan. Kebijakan pemerintah terkait dengan pupuk adalah melalui instrumen subsidi harga pupuk. 2. Perkembangan HET pupuk dan HPP gabah semakin tahun menunjukkan rasio yang semakin tidak seimbang, yaitu rasio harga pupuk bersubdi terhadap harga gabah semakin rendah yang berarti harga riil pupuk bersubsidi semakin murah.
Hal ini di satu sisi menguntungkan petani namun di sisi lain
mengakibatkan penggunaan pupuk yang kurang efisien (boros).
Beban
pemerintah untuk pupuk bersubsidi dari tahun ke tahun juga semakin besar. 3. Perkembangan harga pupuk bersubsidi vs nonsubsidi juga menunjukkan disparitas harga yang semakin besar. Besarnya disparitas harga mendorong rangsangan untuk melakukan moral hazard sangat bagi pemburu rente, sehingga
menimbulkan
penyelewengan-penyelewengan
dalam
distribusi
pupuk bersubsidi. 4. Implementasi kebijakan subsidi pupuk juga masih mengalami berbagai permasalahan, baik dalam aspek pengadaan, penyaluran/distribusi, dan pengawasan yang perlu segera memperoleh penanganan. 5. Beberapa penyempurnaan operasional implementasi kebijakan subsidi pupuk perlu dilakukan, terutama terkait dengan perbaikan penyusunan RDKK, penyesuaian HET, penertiban dalam distribusi pupuk, serta mengoptimalkan peran dan fungsi pengawasan. 6. Penyempurnaan kebijakan subsidi pupuk yang lebih penting dan mendasar untuk segera dilakukan saat ini adalah agar subsidi pupuk untuk petani (dalam bentuk pupuk bersubsidi) dapat sampai ke petani secara enam tepat. Saransaran tersebut antara lain: a. Melakukan sinkronisasi perencanaan kebutuhan mulai dari petani/kelompok tani, kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional, 64
b. Segera melakukan penyesuaian HET pupuk mendekati harga pasar untuk mengurangi rangsangan moral hazard yang diimbangi dengan penyesuaian harga gabah. c. Melakukann perbaikan proses penyusunannya RDKK sehingga diperoleh RDKK dengan data yang akurat yang disertai pendampingan yang intensif dan alokasi anggaran secukupnya, d. Perbaikan distribusi pupuk mulai dari produsen dan distributor sampai dengan penertiban ketepatan penerbitan SK Pemerintah Daerah. Perlu diterapkan sanksi secara tegas bagi pihak-pihak yang menghambat kelancaran distribusi pupuk. e. Lebih mengoptimalkan peran dan fungsi KP3 dengan melibatkan Perguruan Tinggi dan LSM serta memfungsikan kepala desa sebagai pengawas di lini terbawah yang langsung berhubungan dengan petani pengguna dan kios penyalur. Kebijakan Harga Beras 1. Hasil analisis situasi harga beras di tingkat konsumen dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi pada akhir tahun 2014 sampai dengan bulan Februari 2015 merupakan kenaikan harga beras di atas kenaikan normal yang terjadi pada musim paceklik. Lonjakan harga beras di awal tahun 2015 ini merupakan kombinasi dari berbagai faktor sebagai berikut: a. Persepsi pelaku pasar beras atas keragaan produksi domestik padi tahun 2015 tidak optimis. b. Pelaku pasar beras memanfaatkan situasi di mana CBN menipis dengan daya tahan stok yang hanya 0,5 bulan, stok dikuasai rumah tangga menipis karena musim paceklik/belum panen, serta stok di penggilingan dan pedagang juga menipis. c. Pernyataan pemerintah untuk tidak melakukan impor beras pada tahun 2015 juga menambah sentimen negatif di pasar beras. d. Tidak disalurkannya raskin sejak November 2004 s.d. Februari 2015, sehingga menambah demand beras di pasar umum. 65
e. Operasi pasar Bulog ternyata kurang efektif, walaupun pada bulan Januari telah memasok sampai dengan 36% dari jumlah beras yang masuk ke PBIC. f. Kondisi di PBIC, yaitu rata-rata pemasukan beras per hari selama bulan Februari di bawah batas mininal/psikologis aman (<2.000 ton). Kondisi aman bila pemasukan per hari 2.500 ton–3.000 ton 2. Dari hasil kajian ini dapat dirumuskan beberapa rekomendasi untuk mengendalikan situasi kenaikan harga sebagai berikut: a. Mendorong Bulog untuk tidak ragu melepas cadangan/stok berasnya hingga mampu mempengaruhi harga pasar. b. Bulog
agar
segera
melakukan
Operasi
Pasar
di
kota-kota
yang
menunjukkan peningkatan harga beras di atas 5% dalam sebulan, terutama di Jakarta. c. Raskin agar kembali disalurkan, dan diperbaiki kinerjanya, dalam arti memenuhi enam tepat, yaitu tepat waktu, tepat tempat, tepat jumlah, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat kelompok sasaran. d. Bulog agar didorong untuk meningkatkan pengadaan beras DN, sehingga total beras yang dikelola Bulog untuk (CBP, Raskin, PPU) minimal 2 juta ton secara berkelanjutan. e. Melakukan penjajagan untuk impor beras, untuk berjaga-jaga: (i) bila produksi DN tidak mencapai sasaran dan/atau (ii) bila kemampuan pengadaan DN untuk membangun stok dikelola Bulog minimal 2 juta ton terbatas karena supply terbatas atau harga tinggi. f.
Pemerintah diharapkan secara masif menginformasikan dan membangun kepercayaan masyarakat bahwa program Upaya Khusus (Upsus) akan mampu meningkatkan produksi padi/beras nasional.
Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air 1. Dalam
rangka
pengamanan
pengendalian konversi lahan
produksi
pangan
jangka
panjang
dan
telah disusun UU No. 41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Ketidakharmonisan
dalam rangka perebutan lahan bagi produksi pangan (UU No. 41/2009 tentang 66
PLP2B), pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (UU No. 2/1012), lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman (UU No. 1/2011), lahan untuk produksi perkebunan (UU No. 18/2004), lahan untuk hortikultura (UU No. 13/2010), lahan untuk peternakan (UU No. 28/2009), dan lainnya. 2. Ketidaksinkronan terjadi antara UU No. 41/2009 dengan Perda RTRW berkaitan dengan cakupan dan luasan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam UU No. 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk di dalamnya lahan yang dicadangkan untuk
pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan
pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan perdesaan dan atau perkotaan di wilayah kabupatan/kota. Sementara, dalam Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota, terjadi keragaman cakupannya dan sebagian besar hanya mengarah kepada lahan sawah irigasi teknis dan lahan beririgasi. 3. Implementasi UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air berkelindan dengan politik pembangunan daerah, menyebabkan perubahan dimensi pemanfaatan air dari fungsi sosial dan lingkungan yang mengedepankan keseimbangan harmonis ke arah fungsi ekonomi yang mengedepankan efisiensi dan nilai tambah ekonomi. Aktor kapitalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan air yang berperan mendukung pembangunan berbasis pariwisata berkembang pesat dan mendorong munculnya fenomena privatisasi dan komersialisasi air. 4. Privatisasi
dan komersialisasi
air menyebabkan eksploitasi
air
secara
berlebihan, penurunan air untuk pertanian, perubahan pola tanam, penurunan intensitas tanam, pengurangan luas lahan pertanaman padi, meluasnya lahan bera, dan konversi lahan pertanian yang selanjutnya menurunkan produksi padi dan pendapatan petani. Privatisasi dan komersialisasi air menyebabkan perubahan kelembagaan berupa peluruhan ruang spasial, nilai-nilai otonomi dan kelekatan sosial, tata kelola, kepemimpinan, dan kuasa serta kewenangan pengelolaan air oleh petani. Hal ini menunjukkan bahwa UU No. 7/2007 dapat menciptakan peluang privatisasi dan komersialisasi air. 67
5. Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi telah terjadi, sehingga kita membutuhkan Undang-Undang baru, karena Undang-Undang yang lama sudah tidak sesuai. Dengan demikian, Undang-Undang pengganti ke depan hendaknya merefleksikan prinsip-prinsip good water governance. Undang-undang
baru
nantinya
perlu
memperhatikan
jaminan
kepada
pengelolaan sumber daya lingkungan yang memungkinkan terwujudnya
ecosystem service yang baik. Dengan perkataan lain UU SDA harus dapat membangun prinsip pengelolaan secara terpadu yang memungkin fungsi penyediaan dan pengaturan air yang tidak menghasilkan ancaman dan risiko seperti banjir dan kekeringan yang dewasa ini frekuensi terjadinya semakin tinggi dan dampaknya semakin meluas. Kelembagaan Perbenihan 1. Secara umum, penggunaan benih bermutu atau berlabel di Jawa Barat sudah tinggi. Hal ini didukung oleh keberhasilan pengembangan dan peningkatan produksi benih khususnya padi di Jawa Barat yang tidak terlepas dari dukungan berbagai kelembagaan perbenihan yang ada baik produsen, penangkar benih, BPSB, BPBP, dan kelembagaan perbenihan lainnya. Petani sebagai produsen benih swasta cukup eksis, aktivitas produsen dapat meningkat atau menurun jumlahnya seiring dengan harga benih yang memberikankan keuntungan. 2. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai tambah produksi usahatani padi, unsur teknologi benih unggul bermutu dan produsen benih sangat menentukan. Produsen benih di lokasi penelitian di Provinsi Jawa Barat terdiri dari produsen BUMN misalnya PT SHS, BB Padi, BPBP (Balai Pengembangan Benih Padi Jawa Barat, UPBS BPTP Jawa Barat dan petani produsen benih (swasta). 3. Penangkar benih di Jawa Barat merupakan binaan produsen benih. Kegiatan usaha penangkaran benih pada prinsipnya hampir sama dengan usahatani padi untuk tujuan konsumsi. Hal yang membedakan adalah dalam hal pemeriksaan lapangan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1) pemeriksaan pendahuluan, (2) pemeriksaan pada masa fase vegetatif, (3) pemeriksaan 68
fase generatif, (4) pemeriksaan pada masa pertanaman fase, (5) pemeriksaan pada saat seleksi (roguing), dan (6) pemeriksaan ulang, jika diperlukan. 4. Terkait perbenihan, para produsen benih mengharapkan agar BUMN tidak lagi diberikan subsidi penyaluran benih karena seringkali tidak mampu memenuhi target pengadaan benih, pembayarannya tidak lancar saat membeli benih ke produsen dan terjadinya ketidaktepatan pemenuhan kebutuhan benih, serta juga menjadi sumber distorsi pasar benih karena terdapatnya bantuan benih dan benih bersubsidi. Produsen benih menyarankan agar BUMN perannya lebih ditekankan untuk mengkover daerah-daerah luar Jawa yang belum maju sistem perbenihannya atau di wilayah yang memang aksesibilitasnya sulit terjangkau. Dengan demikian, perlu penataan kelembagaan perbenihan terutama Balai Benih di level provinsi dan kabupaten agar berjalan secara efektif dan efisien Kebijakan Mekanisasi Pertanian 1. Ke depan peran mekanisasi pertanian sangat penting dengan terus merosotnya jumlah tenaga kerja di pertanian dan upaya meningkatkan jumlah dan kualitas produksi pangan serta meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, pemerintah termasuk pemerintah daerah bersama swasta untuk bersama-sama
mengembangkan
mekanisasi
pertanian
dengan
mengedepankan dukungan sumber dayanya dan sumber daya dari dalam negeri. 2. Bantuan alsintan telah banyak digelontorkan melalui program upaya khusus padi, jagung dan kedelai. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa hal yang harus dilakukan di antaranya adalah: a. Meningkatkan
kapasitas
penyuluhan
dan
Gapoktan
dalam
bidang
pengembangan alsintan (melalui pelatihan aspek teknis operasional dan pemeliharaan, bisnis, tata kelola alsintan; prasarana, sarana, dana operasional), b. Pelatihan tata kelola dan bisnis jasa alsintan kepada pengelola UPJA dan calon penerima bantuan alsintan termasuk mengembangkan bengkel lokal untuk perbaikan dan suku cadang, 69
c. Mendorong Pemda untuk memfasilitasi penyediaan BBM guna operasional alsintan di wilayahnya, d. Memanfaatkan
hasil
pemetaan
alsintan
untuk
optimalisasi
dan
pengalokasian/realokasi alsintan bantuan, dan e. Meningkatkan kerja sama dan sinkronisasi kerja antara Ditjen dengan Badan di tingkat pusat, Dinas Pertanian dengan Bapeluh di daerah. Diversifikasi Pangan 1. Telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian dan sagu, termasuk pada wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok berbasis pangan lokal. Selama tahun 1996-2011 konsumsi ubi kayu, ubi jalar, dan sagu menurun dengan laju masing-masing sebesar 12,5%, 2,4%, dan 8,6%. Di sisi lain, pada kurun waktu yang sama terjadi peningkatan konsumsi terigu dan turunannya (yang bahan bakunya harus diimpor) sebesar 10,5%.
Akibatnya,
capaian
diversifikasi
konsumsi
pangan
(dengan
menggunakan indikator Pola Pangan Harapan) juga masih rendah yaitu 75,4, padahal target pada tahun 2012 mencapai 89,9. 2. Pengembangan diversifikasi pangan lokal sebagai bagian untuk mewujudkan kedaulatan pangan perlu dilakukan oleh semua kalangan. Upaya ini dilakukan dengan menyusun dan implementasi rumusan alternatif strategi kebijakan operasional program dan kegiatan sebagai berikut: a. Kemenko Perekonomian menyusun kebijakan diversifikasi konsumsi pangan diiringi/sejalan dengan kebijakan produksi dan industri pengolahan dan menyusun road map produksi dan agroindustri untuk pengembangan pangan
lokal,
sehingga
akan
diperoleh
diversifikasi
produksi
dan
diversifikasi konsumsi pangan. b. Kementerian Pertanian melakukan pemetaan luas lahan dan produksi untuk setiap jenis pangan lokal di setiap daerah serta pendataan secara regular dan terstruktur berkelanjutan untuk setiap jenis pangan lokal, meningkatkan produksi dan produktivitas pangan lokal. c. Kementerian Perindustrian melakukan pemetaan industri pengolahan pangan lokal di tingkat rumah tangga, UKM, industri kecil, menengah, dan 70
besar di setiap daerah (jumlah industri per jenis, jenis, dan jumlah bahan baku, dll.). d. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian lainnya melakukan kajian studi perubahan preferensi masyarakat terhadap pangan lokal dan pangan modern termasuk faktor pendukung dan kendalanya di setiap daerah. e. Kementerian Kesehatan, Kementerian Pariwisata, dan Menkoinfo melakukan promosi dan mengembangkan oulet pangan lokal secara nasional, terstruktur, dan berkelanjutan melalui berbagai media elektronik, massa, penyuluhan, ruang publik (hotel, bandara, stasiun kereta api, dan ruang publik lainnya). f. Semua
Kementerian dan
lembaga
pemerintah
dan
swasta
menyediakan pangan lokal menjadi snack utama dalam beragam kegiatan kenegaraan, keagamaan, upacara pernikahan, rapat-rapat, dan aktivitas lainnya.
Kementerian
Perdagangan
dan
Kementerian
Luar
Negeri
membangun pasar pangan lokal dan menjaga stabilitas harga pangan tersebut agar terjangkau oleh masyarakat.
71
DAFTAR PUSTAKA [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2012. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2013. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2013. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. Statistik. Jakarta.
2013.
BPSB TPH Provinsi Jawa Barat. 2013. Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Sensus Pertanian 2013.
Laporan Tahunan 2013.
Badan Pusat
BPSB TPH
[Bulog]. Badan Urusan Logistik. 2015. Sekilas RASKIN (Beras untuk Rakyat Miskin). http://www.bulog.co.id/ (23 Juni 2015). Cole, S. 2012. A Political Ecology of Water Equity and Tourism. A Case Study from Bali. Annual of Tourism Research 39(2): 1221-1241. Darwanto, D.H. 2014. Tinjauan Kebijakan Perberasan dan Kesejahteraan Petani di Indonesia. Dalam PERHEPI. Ekonomi Perberasan Indonesia. Handaka dan Abi Prabowo. 2013. Kebijakan Antisipatif Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian 11(1): 27-44. Heriawan, R. 2015. Mekanisasi Pertanian dari Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan Petani: Peluang dan Tantangan (Pengantar). Disampaikan pada Seri FGD-PSEKP. Bogor, 19 Mei 2015. Homer-Dixon, T.F. 1994. Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases. International Security 19(1): 5-40. Kemenko Perekonomian. 2015. Bahan FGD Pokja Pupuk, 04 Kementerian Koordinator Bidang Perekomomian. Jakarta
Mei
2015.
Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Kementerian Pertanian. Jakarta. Lorenzen, R.P. 2011. Perseverance in the Face of Change Resilience Assessment of Balinese Irrigated Rice Cultivation. A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of the Australian National University. Resource Management in Asia-Pacific Program Crawford School of Economics and Government, College of Asia and the Pacific, the Australian National University. Canberra. 72
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(4): 123-129. Prabowo, A., N. Sulistyosari, dan Handaka. 2001. Membangun Sistem Pemanfaatan Air Tanah Produktif untuk Usahatani Padi atau Diversifikasi Tanaman. Seminar Kebijakan Alat dan Mesin Pertanian. Serpong, 11 November 2001. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian. Serpong. Maulana, M. 2012. Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multikualitas Gabah dan Beras di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian 10(3): 211-223. Rusanti, Y. 2015. Perkembangan Rata-Rata Harga Eceran Beras. Makalah disampaikan pada Diskusi Harga Beras. Jakarta 2 Maret 2015. Badan Pusat Statistik (Tidak Dipublikasikan). Simatupang, P. 2015. FGD Review Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Indonesia. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian. Jakarta Suryana, A., S. Susilowati, Hermanto, M. Ariani, dan R. Yoga. 2015. Harga Beras Melambung? Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion. Bogor, 2 Maret 2015. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor (Tidak Dipublikasikan). Sumaryanto. 2007. Identifikasi Faktor-Faktor yang Kondusif untuk Merintis Pengelolaan Irigasi di Tingkat Tertier yang Lebih Produktif dan Berkelanjutan. Jurnal Agro Ekonomi 25(2): 148-177.
73