IV. ANALISIS DAN SINTESIS
4.1. Analisis Masalah 4.1.1. Industri Pengolahan Susu (IPS) Industri Pengolahan Susu (IPS) merupakan asosiasi produsen susu besar di Indonesia, terdiri atas PT Nestle Indonesia, PT Ultra Jaya, PT Frisian Flag, PT Sari Husada, dan PT Indolacto-Indomilk. IPS merupakan penyerap susu terbesar dari peternak. Sekitar 80-90 persen produksi susu peternak Indonesia dipasok kepada IPS. Produksi susu dalam negeri saat ini sekitar 1,3 juta liter, atau hanya memberi kontribusi 30 persen kebutuhan susu nasional. Seiring dengan dibebaskannya perusahaan pengolahan susu untuk tidak selalu menyerap susu dari peternak dan diberikannya kebebasan impor susu, maka para peternak harus mampu bersaing dengan produk susu dari luar negeri. Berdasarkan data statistik peternakan (2001), permintaan produksi susu untuk tahun 2001 mencapai 1.200 ribu ton sedangkan produksi susu lokal hanya mampu memproduksi 480 ribu ton dan selebihnya didatangkan dari impor. Dengan kata lain, produksi susu dalam negeri baru mampu memenuhi permintaan sebesar 30% dan 70% berasal dari impor. Realisasi impor bahan baku susu dan produk jadi dari tahun 1997 s/d 1999 seperti pada Tabel 4.1. berikut. Tabel 4.1. Perkembangan populasi, produksi, ekspor, impor, dan konsumsi susu di Indonesia tahun 1997 – 2001
Sumber: Statistik Peternakan Indonesia Tahun 2001 Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa permintaan susu impor terus semakin meningkat sedangkan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) peningkatannya tidak sebanding dengan permintaannya.
8
4.1.2. Kesepakatan Antara Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) GKSI merupakan wadah gabungan koperasi susu se-Indonesia yang saat ini memasok susu ke IPS. Selama ini, 80% susu dari peternak diserap oleh IPS. Inilah yang menjadi satu permasalahan yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan terutama berkaitan dengan harga dasar susu yang diterima oleh IPS. Harga beli susu yang diterima peternak dari IPS belum mengalami peningkatan, padahal biaya produksi sudah semakin meningkat. Ini yang menjadi tugas dari GKSI untuk memperjuangkan peningkatan harga susu yang diterima peternak dari IPS. Tentunya standar harga susu yang ditetapkan oleh IPS dikaitkan dengan upaya kualitas susu yang diterima peternak. Sampai saat ini syarat standar susu segar yang diterima oleh IPS haruslah memiliki nilai Total Plate Count ( TPC) atau kandungan bakteri di dalam susu dibawah 1 juta/cc serta nilai total solid (TS) di atas 11,3%. Sebagai wadah yang bertujuan untuk melindungi peternak, GKSI pada bulan Februari 2009 membuat kesepakatan dengan IPS yang intinya memberikan hak kepada GKSI untuk menjadi pemasok tunggal susu dalam negeri kepada IPS. Kesepakatan ini memberikan jaminan penyerapan susu para peternak sapi perah oleh IPS dengan syarat quota dan kualitas tertentu. Akan tetapi, apakah peternak dapat memenuhi syarat standar susu yang dapat diterima oleh IPS?. Saat ini para peternak mengalami beberapa permasalahan utama untuk memenuhi syarat standart tersebut, terutama terkait dengan ketersediaan bibit dan pakan. Kedua hal tersebut berimplikasi kepada rendahnya produktivitas dan kualitas susu para peternak. Oleh karena itu, kesepakatan yang telah dibuat oleh GKSI tidak akan dapat berjalan dengan baik seandainya peternak sendiri belum siap untuk memenuhi permintaan dan syarat standar susu yang diterima oleh IPS. 4.2. Kesiapan Peternak Menghadapi Kesepakatan Antara Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kesepakatan yang telah dibuat antara GKSI dan IPS tidak akan berjalan baik jika peternak sendiri tidak siap menghadapi kesepakatan tersebut. Kesiapan peternak dapat dilihat dari
9
permasalahan utama yang dihadapi saat ini yaitu ketersedian bibit dan ketersediaan pakan. 4.2.1. Ketersediaan Bibit Umumnya usaha sapi perah masih berperanan penting bagi peternak karena merupakan salah satu bentuk sumber pendapatan baik sebagai usaha pokok maupun sebagai usaha diversifikasi. Hasil penelitian terdahulu. (Juarini et al., 2003) menunjukkan bahwa dalam kenyataannya usaha sapi perah masih menghadapi berbagai permasalahan yaitu lemahnya penanganan perbibitan yang meliputi sistem perkawinan dan sistem reproduksi, kurang tersedianya pakan hijauan secara kontinyu-terutama pada musim kering. Disamping itu untuk penyediaan sapi perah induk pada bobot yang ideal masih perlu waktu yang lama, karena pertumbuhannya yang ternyata masih rendah. Hal lainnya adalah lambatnya induk dikawinkan kembali. Sebagian besar usaha peternakan sapi perah dikelola oleh peternakan sapi perah rakyat dengan skala usaha yang tidak ekonomis. Pembangunan peternakan sapi perah maupun ternak besar lainnya di Indonesia khususnya dalam pembangunan bidang perbibitan memang dirasakan masih kurang. Hal ini disebabkan karena beberapa hal (Talib et al, 2001). Pertama, perhatian pokok pemerintah dalam jangka pendek masih terfokus kepada perbaikan tatalaksana dan perbaikan pemberian pakan. Kedua, terbatasnya dana untuk mengembangkan kegiatan pencatatan (recording) yang meliputi silsilah, produksi, reproduksi, dan kesehatan individu ternak. Ketiga, belum terbentuknya kelembagaan kegiatan recording untuk mengakomodasikan semua komponen yang diperlukan agar penciptaan bibit yang berkualitas dapat terjamin keberadaannya. 4.2.2. Ketersediaan Pakan Pakan utama ternak sapi perah adalah rumput segar untuk menunjang produksi susu disamping pakan penguat (konsentrat). Sapi perah apabila diberi pakan rumput lapang saja kurang dalam kecukupan nutrient. Menurut Henderson dan Reaves (dalam Hermawan, 2003), kualitas dan kuantitas susu sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bahan pakan yang diberikan. Pakan untuk sapi
10
perah biasanya terdiri dari hijauan dan konsentrat. Sapi perah biasanya diberi rumput sebanyak 10% dari bobot hidup, dan pakan tambahan berupa konsentrat yang tersusun dari beberapa bahan pakan yang mengandung nilai gizi tinggi, seperti jagung, dedak, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan. Namun untuk memenuhi kebutuhan tersebut peternak sering terkendala oleh terbatasnya pengetahuan dan modal yang tersedia, dengan demikian peternak cenderung mengandalkan jenis pakan yang sudah ada disekitarnya. Kondisi seperti ini bisa berakibat pada kurang optimalnya produksi susu yang dihasilkan. 4.3. Implikasi Kebanyakan kegiatan usahaternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh usaha peternakan rakyat dengan skala kepemilikan ternak antara 1 – 6 ekor sapi perah. Awalnya kegiatan usaha ternak sapi perah adalah sebagai usaha sambilan yang dilakukan oleh peternak, akan tetapi lambat laun kegiatan ini menjadi sumber penghasilan utama bagi peternak karena memberikan nilai tambah pendapatan bagi peternak. Akan tetapi pengembangan usaha sapi perah di tingkat peternak masih saja mengalami hambatan utama seperti ketersediaan bibit dan pakan sapi perah. 4.3.1. Rendahnya Produksi Susu Produksi susu di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Di Jawa Timur saja, susu sapi perah yang dihasilkan hanya sebesar 6- 10 liter per ekor sapi per hari, padahal idealnya menghasilkan 15-20 liter per ekor sapi per hari. Padahal susu sapi merupakan bahan pangan yang sangat berharga karena memiliki kandungan nutrien esensial yang tinggi. Pada 2005 Indonesia memiliki populasi sapi perah sebanyak 373.970 ekor dengan pasokan susu segar yang dihasilkan sejumlah 341.986 ton per tahun. Dengan kebutuhan susu dalam negeri sebesar 1.427.000 ton, Indonesia masih harus mengimpor susu sebesar 1.085.014 ton. Rendahnya produksi susu disebabkan oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana, serta pencegahan penyakit dan pengobatan.
11
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di Jawa Barat, skala usaha peternak sapi perah adalah sekitar 5,8 ekor per unit usaha dengan kemampuan produksi sekitar 11,6 liter/ekor/hari dan rataan kemampuan produksi susu di Jawa Barat sekitar 8,20 kg/ekor/hari dengan skala usaha 3,3 ekor/peternak . Produksi susu hasil peternakan rakyat sebagian besar disalurkan ke Koperasi/KUD persusuan yang kemudian di pasarkan kepada Industri Pengolah Susu. Berkut data perkembangan populasi dan produksi di Indonesia. Tabel 4.2. Perkembangan populasi dan produksi sapi perah di Jawa Barat
Keterangan: * angka sementara 2004 Sumber : Statistik Peternakan Tahun 2004 Permasalahan utama dari rendahnya produksi susu dalam negeri disebabkan karena rendahnya produktivitas sapi perah di petani dan ketersediaan pakan yang bernutrien tinggi (konsentrat). Produktivitas sapi perah berkaitan dengan genetik dari jenis sapi perah itu sendiri. Dengan kata lain, bibit sapi perah unggul diperlukan untuk meningkatkan produksi susu nasional. Selain itu, pakan konsentrat juga memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivitas sapi perah. Menurut Tawaf (2003), hingga saat ini peternakan sapi perah rakyat di Indonesia masih bercirikan memiliki skala usaha kecil, sistem pemelihra back yard farming, diberi pakan berupa campuran rumput lapangan, sisa pertanian seperti jerami padi dan jagung, dan rumput kultur, serta diberi pakan penguat berupa campuran ampas tahu, atau dedak. Dari cara pemeliharaan seperti itu tidak
12
heran bila produksi susu yang dihasilkan belum optimal, baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas produk. 4.3.2 Rendahnya Kualitas Susu Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan kebersihan. Ada tiga faktor yang sekarang ini menjadi penentu harga susu, yaitu total solid (TS), kadar lemak susu dan jumlah bakteri per mm3 susu yang disebut dengan total plate count (TPC). Setiap industri pengolahan susu (IPS) sudah mempunyai daftar harga susu yang diterimanya dari koperasi-koperasi susu/KUD berdasarkan jumlah bakteri yang terdapat pada setiap 1 mm3 susu. Pencemaran pada susu dapat terjadi sejak proses pemerahan, dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan dan udara (Rombaut. 2005) Susu yang baru diperah sekalipun dari sapisapi yang sehat dan diperah secara aseptis biasanya mengandung jumlah bakteri yang sedikit (Eckles dkk., 1998). Sindurejo (1975) menyebutkan bahwa susu sapi yang baik memiliki warna putih kekuningan dan tidak tembus cahaya. Menurut Hadiwiyoto (1982), warna susu dipengaruhi oleh jenis sapi, jenis pakan, jumlah lemak susu, dan persentase zat padat di dalamnya. Jumlah standar bakteri susu di Indonesia adalah 3.000.000 / ml (Dwidjoseputro, 1982). Menurut Buckle (1987), bakteri pada susu dapat menurunkan kualitas dan merusak sifat fisik atau kimianya, misalnya pengasaman dan penggumpalan akibat fermentasi laktosa menjadi asam laktat, pengentalan dan pembentukan lendir, dan sebagainya. Salle (1961) menyebutkan bahwa susu dari sapi sehat steril pada saat dibentuk, tetapi terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui saluran puting karena tertarik oleh sisa susu yang masih ada. Efeknya susu yang baru diperah tidak pernah steril, selain itu susu juga mengalami kontaminasi dari partikel debu, alat yang tidak steril, dan dari orang yang melakukan pemerahan. Sebenarnya, penekanan jumlah bakteri dalam susu yang diproduksi dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, menjaga kebersihan sapi-sapi laktasi, dan menjaga kebersihan peralatan yang dipergunakan untuk pemeliharaan termasuk menjaga
13
kebersihan petugas yang melakukan pemerahan, karena sanitasi pemerahan dan kebersihan kandang dapat mempengaruhi jumlah bakteri dalam susu (Everitt et al., 2002). Akan tetapi , manajemen peternakan sapi perah rakyat di Indonesia masih sangat bersifat tradisioanal. Karena itu, kualitas susu yang dihasilkan sering kali tidak memenuhi standar kualitas yang diterima oleh IPS. Berdasarkan berbagai permasalahan dalam usaha peternakan susu yang telah dijelaskan di atas dengan berbagai implikasinya, terlihat bahwa dampak utama dari permasalahan tersebut adalah rendahnya produktivitas dan kualitas susu dari para peternak sapi perah. Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa peternak susu belum siap menghadapi kesepakatan yang telah dibuat antara GKSI dan IPS, terutama dari segi kualitas dan kuantitas susu. 4.4. Rekomendasi Solusi 4.4.1. Optimalisasi Kemampuan Berproduksi Sapi Perah Ada dua cara untuk mengoptimalkan produksi susu yang mudah dilakukan yaitu: Suplementasi pakan konsentrat dan peningkatan frekuensi pemberiannya. Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah turunan impor jenis Friesian Holstein yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Potensi genetik sapi perah impor itu dalam berproduksi susu walaupun tidak terlalu tinggi (sekitar 15 l/hari), seharusnya turunan-turunannya berproduksi susu tidak terlalu jauh berbeda dari kemampuan berproduksi susu induk-induknya. Namun, karena berbagai factor lingkungan yang tidak begitu kondusif, turunan sapi perah impor itu hanya mampu berproduksi susu sekitar 10 – 12 l/hari (Direktorat Jenderal Peternakan, 1996). 4.4.2. Menurunkan Harga Penjualan Pakan Konsentrat Sebagaimana telah dinyatakan, bahwa hampir keseluruhan peternak sapi perah telah bergabung dalam suatu organisasi koperasi susu (KUD). Setiap koperasi susu telah mempunyai sarana dan fasilitas memproduksi pakan konsentrat. Hendaknya setiap koperasi susu yang memasok pakan konsentrat pada anggotanya tidak perlu mengambil untung dari pakan, agar harga bisa lebih murah. Sebenarnya, hal ini dapat dilakukan apabila sistem kerja dan kinerja KUD sebagai organinasi peternak sapi perah terbawah sampai GKSI sebagai organisasi
14
primer dapat diperbaiki kinerjanya agar lebih efisien sehingga tidak terlalu membebani peternak. Koperasi susu/KUD mengambil untung dari pertambahan produksi susu yang diserahkan para peternak anggota kepada koperasi susu/KUD tersebut. Namun, hal ini baru dapat dilaksanakan apabila pakan konsentrat yang diproduksi oleh setiap koperasi susu/KUD mempunyai kualitas yang tinggi untuk kemampuan berproduksi susu yang tinggi. Penurunan harga pembelian pakan konsentrat pada peternak akan menurunkan biaya produksi yang berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Namun hal ini, baru bisa tercapai apabila penurunan harga konsentrat tidak dibarengi dengan penurunan kualitas pakan konsentrat tersebut. 4.4.3. Supervisi dan Jaminan Ketersediaan Hijauan yang Berkualitas Tinggi Sebagaimana sudah disebutkan bahwa peternak sapi perah pada umumnya menggantungkan perolehan hijauan dari rumput lapangan dan perkebunan yang berkualitas rendah. Hal ini dapat diatasi apabila KUD sebagai organisasi dimana hampir semua peternak sapi perah menjadi anggotanya bersedia melakukan supervisi dan membantu menyediakan sapronak yang dibutuhkan peternak dalam penanaman rumput atau menyediakan hijauan kultur yang ditanam oleh KUD di lahan yang dikuasai KUD dan menjualnya kepada peternak dengan harga yang wajar atau cara ini dapat membantu penyediaan hijauan 7 kali lipat dibandingkan dengan apabila peternak mengandalkan hijauan dari rumput lapangan (Smith dan Riethmuller, 1996). Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan melalui pembelian hijauan oleh KUD dari penjual rumput di pasar secara kolektif kemudian didistribusikan kepada peternak dengan sistem yang sama dengan penjualan konsentrat oleh KUD kepada peternak.