IV. ANALISIS DAN PROYEKSI
Analisis dan Proyeksi dimaksud adalah menjelaskan analisis situasi pengelolaan hutan di wilayah KPH Bali Timur yang mencakup aspek manajemen pengelolaan KPH Bali Timur, yang meliputi : manajemen pengelolaan hutan, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam serta core
business . Setiap aspek disajikan uraian mengenai informasi tentang pengelolaan hutan dan ulasan rasionalitas kondisi pengelolaan KPH Bali Timur, sehingga dapat dirumuskan masalah utama dan strategi yang dapat diusulkan dalam perencanaan pengelolaan hutan yang akan datang. 4.1 Manajemen Pengelolaan Hutan Berdasarkan struktur organisasi, seorang kepala UPT KPH Bali Timur membawahi 15 bawahan langsung, yang terdiri dari 3 kepala seksi yang bersifat fungsional dan 12 orang kepala RPH yang bersifat polisional dan kewilayahan. Struktur tersebut nampak sederhana tetapi dilihat dari jenjang pengawasan (span of control), beban kerja seorang kepala KPH Bali Timur sangat besar. Umumnya jenjang pengawasan yang efektif dari atasan (top manager) kepada (middle manager) yang sifatnya langsung adalah 2 – 4 bawahan (middle manager), sedangkan pengawasan dari middle manager kepada bawahan (low manager) berkisar antara 4 – 6 orang. Berdasarkan segi hirarki organisasi, beban kerja seorang kepala UPT KPH masih terlalu besar dan masih belum efektif sehingga perlu disesuaikan dengan teori jenjang pengawasan yang dimaksud. Jumlah pegawai di KPH Bali Timur pada tahun 2011 adalah 43 orang yang semuanya berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan rincian satu orang golongan IV, 16 orang golongan III, 30 orang golongan II dan satu orang golongan I. Jumlah pegawai golongan III yang cukup banyak dapat diasumsikan adanya pengalaman yang cukup lama dari pegawai KPH dalam mengelola kawasan hutan di wilayah KPH Bali Timur. Menurut kualifikasi pendidikannya, terdapat dua orang bergelar master, 1 orang berpendidikan sarjana kehutanan, 6 orang sarjana non kehutanan dan sisanya sebanyak 39 orang berpendidikan SMA, SMP dan SD. Memperhatikan komposisi kepegawaian tersebut, nampak jumlah sarjana kehutanan yang dianggap mampu menguasai masalah teknis kehutanan di lapangan masih sangat sedikit dan perlu dilakukan restrukturisasi di masa depan. IV - 1
Struktur organisasi RPH secara struktural, selama ini (sebelum pembentukan KPH) tidak ada organisasi pengelola tingkat lapangan yang mempunyai tanggung jawab kewilayahan (organisasi teritorial), namun secara operasional terdapat organisasi pengelola “di bawah” Dinas Kehutanan Provinsi Bali yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan pekerjaan pengelolaan hutan berdasarkan kewilayahan, yaitu resort pengelolaan hutan (RPH). Berdasarkan struktur organisasi Dinas Kehutanan Provinsi Bali, RPH tidak masuk dalam jabatan struktural; kepala RPH langsung berada di bawah kendali Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan dalam operasionalnya masing-masing Kepala Bidang diberi tugas untuk mengkoordinir kegiatan teknis kehutanan di wilayah RPH. Proyeksi kedepan diperlukan kajian dan pertimbangan untuk dilaksanakan sesuai dengan Permendagri No. 61 tahun 2010, bahwa kedudukan KPHL dan KPHP Provinsi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur, dan KPHL dan KPHP Kabupaten/Kota berada di bawah dan tanggungjawab kepada Bupati/Walikota. Di dalam 5 (lima) tahun ke depan ada rencana untuk menggabungkan RPH – RPH yang ada di kawasan KPH Bali Timur. Rencana ini muncul mengingat dari segi geografi wilayah, RPH – RPH tersebut berpeluang untuk digabungkan, agar pengelolaan bisa lebih efisien dan efektif. Dari 11 RPH yang ada, RPH Kintamani Barat bisa digabung dengan RPH Kintamani Timur menjadi RPH Kintamani; RPH Abang bisa digabung dengan RPH Karangasem/Manggis menjadi RPH Karangasem; RPH Kubu bisa digabung dengan RPH Daya menjadi RPH Kubu; RPH Rendang bisa digabung dengan RPH Selat menjadi RPH Selat; RPH Tejakula dengan RPH Penelokan digabung menjadi RPH Tejakula; dan satu lagi RPH Klungkung/Nusa Penida tetap berdiri sendiri, karena kebetulan wilayah Nusa Penida ada pada Pulau yang terpisah. Dengan penggabungan ini organisasi pengelolaan menjadi lebih sederhana. Untuk menjaga keamanan hutan di wilayah KPH Bali Timur dapat dibentuk satgas pengamanan hutan yang terdiri dari tiga unit pengamanan hutan. Unit 1 (satu) meliputi : RPH Tejakula, RPH Kintamani Barat, RPH Kintamani Timur dan RPH Penelokan; unit 2 (dua) meliputi RPH Selat, RPH Daya, RPH Rendang dan RPH Klungkung/Penida; dan Unit 3 (tiga) meliputi : RPH Kubu, RPH Abang dan RPH Karangasem/Manggis. 4.2
Penataan Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Penataan hutan pada dasarnya dilaksanakan untuk memastikan pemanfaatan dan
penggunaan sumberdaya hutan dilakukan secara terencana berdasarkan informasi sumberdaya hutan, ekonomi, social, budaya dan lingkungan yang akurat serta IV - 2
memperhatikan kebijakan pemerintah provinsi, kabupaten/kota termasuk integrasi dengan tata ruang. Kegiatan tata hutan KPH terdiri dari: tata batas, inventarisasi hutan, pembagian dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan pemetaan. Hasil kegiatan tata hutan berupa penataan hutan yang disusun dalam bentuk buku dan peta penataan KPH. Seluruh kawasan hutan yang masuk KPH Bali Timur telah selesai dilakukan tata batas luar dengan panjang batas luar 811,15 km dengan jumlah pal
batas 8.672 buah.
Sebagian besar kawasan hutan tersebut sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan, kecuali kelompok hutan Suana dan Sakti di Nusa Penida seluas 70,35 ha. Penetapan kawasan hutan tersebut melalui SK Menteri Pertanian No 821/Kpts/Um/II/1982, SK Menteri Kehutanan No191/Kpts-II/1993, SK No 136/Kpts-II/1989, SK No 369/KptsII/1986, dan SK No 247/Kpts-II/1991. Jarak antar pal batas luar nampaknya cukup bervariasi berkisar dari 8– 11 pal km. Jarak ini termasuk jarak yang sangat intensif dengan jarak antar pal sekitar 1 hm. Kondisi pal batas di lapangan secara umum masih dapat dilacak dan keberadaan pal tersebut diakui oleh para pihak, termasuk masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan status kawasan hutan oleh para pihak yang merupakan salah satu modal utama dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari, yaitu kepastian kawasan yang diakui semua pihak. Batas luar kawasan hutan yang sudah dilakukan rekonstruksi batas meliputi kelompok hutan Gunung Abang Agung, Gunung Seraya, sebagian Penulisan Kintamani, Nusa Lembongan, Bunutan, Tanjung Bakung, Suana, dan Sakti. Batas luar yang sudah direkonstruksi sepanjang 228,74 km dengan jumlah pal 2.293 buah, dilaksanakan tahun 2005 dan tahun 2006. Adapun yang belum dilakukan rekonstruksi adalah batas luar kelompok hutan Gunung Batur Bukit Payang, sebagian penulisan Kintamani, sebagian Bunutan, Bukit Gumang, Bukit Pawon, dan Kondangdia sepanjang 185,84 km dengan jumlah pal batas 2.151 buah. Berdasarkan fungsinya wilayah hutan KPH Bali Timur terdiri dari hutan lindung 21.891,03 ha (95,27%) dan hutan produksi terbatas 1.086,66 ha( 4,73%). Total panjang batas dalam (fungsi) di KPH Bali Timur adalah 767,10 km dengan jumlah pal 8.121 buah. Batas fungsi tersebut berada di RPH Tejakula, Kintamani Timur, Panelokan, dan Kubu.
IV - 3
4.2.1
Pembagian hutan ke dalam RTK dan RPH Fungsi hutan yang sebagian besar didominasi sebagai hutan lindung, maka selama
ini pengelolaan hutan di KPH Bali Timur belum dilakukan secara intensif sebagaimana pengelolaan hutan produksi, termasuk pembagian ke dalam blok atau zona pemanfaatan dan perlindungan pada hutan lindung. Pembagian hutan yang telah dilakukan selama ini baru berupa pembagian berdasarkan Register Tanah Kehutanan (RTK) dan Resort Pengelolaan Hutan (RPH). Pembagian dalam unit RTK didasarkan pada kekompakan kawasan hutan dan kemungkinan diregister berdasarkan sisa hutan yang masih belum dikonversi menjadi pemukiman dan kepentingan non-kehutanan lainnya pada waktu pertama kali penataan dilakukan. RTK dilihat dari fungsinya saat ini, menjadi identitas penamaan suatu kelompok hutan, namun untuk kepentingan apa identitas tersebut digunakan dalam pengelolaan hutan masih belum diketahui secara pasti. Di satu sisi, RTK ini mempunyai kemiripan dengan konsep bagian hutan ( boschafdeling) di Jawa, namun disisi lain belum menunjukkan pola yang jelas sebagai unit perencanaan hutan yang berfungsi untuk memonitor tingkat kelestarian ekosistem dan sumber daya hutan. Wilayah suatu RTK biasanya terpisah dari RTK yang lain oleh peruntukkan bukan kawasan hutan, kecuali pada RTK yang berada di puncak gunung. Selain itu, pembagian ke dalam RTK ini tidak terlalu memperhatikan perimbangan luasan, sehingga perbedaan luas pada setiap RTK sangat besar dan tidak mempunyai pola yang jelas. Wilayah hutan KPH Bali Timur didominasi oleh RTK 8 Gunung Abang Agung
yang mempunyai luas
sangat besar (14.242,74 ha atau 61,99%) dan sisanya terbagi dalam 11 RTK lainnya. RTK yang paling kecil luasnya adalah kelompok hutan Bukit Gumang (RTK 24) seluas 22,00 ha. Sedangkan RTK lain luasnya bervariasi berkisar antara 35 – 5.800 ha. Jika dianalisis berdasarkan kesesuaiannya dengan batas DAS/Sub DAS dan wilayah administrasi posisi RTK juga masih belum jelas sistem pengelompokanya. Ke depan diharapkan ada kepastian status fungsi RTK dalam pengelolaan KPH dengan cara mengarahkan RTK atau kelompok RTK yang berdekatan sebagai satu unit perencanaan hutan yang permanen dan kompak. Selain adanya pembagian kawasan hutan menurut RTK, KPH Bali Timur juga dibagibagi menjadi wilayah resort polisi hutan (RPH). RPH berfungsi sebagai organisasi perlindungan dan pengamanan hutan dengan luas wilayah tertentu. Wilayah RPH ini juga membagi habis seluruh pulau Bali dan sekitarnya ke dalam wilayah RPH yang IV - 4
mengindikasikan bahwa pertimbangan aspek sosial ekonomi dan tata ruang wilayah telah diakomodir dalam konsep organisasi RPH. Dengan demikian fungsi RPH merupakan bagian dari kesatuan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mengendalikan dan memonitor sumber daya hutan. KPH Bali Timur mempunyai 11 wilayah RPH, dan 2 Pos Pengawasan dan Pemantauan Hasil Hutan yang tidak mempunyai wilayah hutan dan 11 RPH yang membagi wilayah hutan di 12 RTK tersebut. Penetapan batas wilayah RPH berupa sungai, sebenarnya kurang tepat apabila dikaitkan dengan konsep wilayah pengelolaan berbasis DAS, seharusnya mengacu batas punggung bukit sehingga wilayah RPH akan mencerminkan daerah tangkapan air yang sangat berguna untuk mewujudkan konsep kelestarian hutan lindung. Penetapan batas wilayah juga perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kemampuan operasional pengelolaan hutan dari petugas RPH. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa pal batas antara RPH yang satu dengan yang lainnya belum dipasang. Pembagian kawasan hutan ke dalam RPH, lebih banyak berfungsi sebagai unit manajemen tetapi masih belum sinkron jika dikaitkan dengan pembagian menurut RTK. Satu RPH dapat mempunyai beberapa wilayah RTK yang berbeda, namun ada juga beberapa RTK berada pada dua atau lebih wilayah RPH. Sebagai contoh, RPH Tejakula berada di 1 wilayah RTK (RTK 20), RPH Penelokan berada di dua RTK yaitu RTK 7 dan 8, dan seterusnya. Di sisi lain, RTK 20 terbagi ke dalam 3 RPH yaitu Tejakula, Kintamani Timur, dan Kintamani Barat. Jumlah wilayah RTK 20 yang masuk ke wilayah RPH yang berbeda-beda juga sangat bervariasi, ada yang hanya seluas 706 ha tetapi ada juga yang seluas 4.087 ha. Berdasarkan hasil survei di lapangan juga ditemukan adanya masalah dalam pembagian kawasan hutan, di mana satu wilayah RPH mempunyai dua RTK yang berada di dua KPH yang berbeda, yaitu RTK 5 Munduk Pengajaran yang masuk KPH Bali Tengah dan RTK 20 masuk KPH Bali Timur. Organisasi RPH Kintamani Barat tersebut berada di bawah UPT KPH Bali Timur. Jika RTK 5 dimasukan dalam KPH Bali Tengah, maka penempatan RTK tersebut harus ditempatkan kembali pada RPH yang paling sesuai, dan RPH Kintamani Barat harus direorganisasi dengan RPH Kintamani Timur di KPH Bali Timur. Proyeksi ke depan rasionalisasi pembagian kawasan hutan menurut wilayah RPH dan RTK ini mutlak perlu ditinjau kembali dengan prinsip organisasi teritorial yang lebih efektif, efisien dan rasional. IV - 5
Hasil tata batas dan pembagian ke dalam RTK dan RPH, telah di petakan pada peta skala 1 : 250.000. Sedangkan peta kerja sebagai pegangan petugas lapangan, dibuat dengan skala 1 : 50.000 (skala belum standar) dan ditempel di kantor RPH. Peta tersebut memuat perkembangan keadaan lapangan, antara lain informasi kerawanan terhadap gangguan terutama perambahan kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, peta terbaru yang dibagikan kepada kantor RPH di KPH Bali Timur adalah tahun 2007. Peta kerja skala 1 : 10.000 yang dapat digunakan sebagai pegangan petugas lapangan (KRPH, Polhut maupun Mandor) belum ada.
Peta kerja ini seharusnya
menggambarkan keadaan lapangan yang memuat alur batas petak/blok/zona/petak beserta nomor pal batas, sungai / anak sungai, jenis tanaman dan tahun tanam serta informasi lain berdasarkan hasil inventarisasi terbaru yang disajikan per RPH. Secara umum, sistem informasi spasial dan perpetaan belum terbangun secara sistematis dan tingkat kebaruannya masih belum dibangun secara reguler. 4.2.2
Pembagian ke dalam Blok dan Petak Berdasarkan peta kerja yang ada, sampai dengan saat ini belum ada pembagian
kawasan hutan ke dalam petak/anak petak, sehingga belum ada ukuran - ukuran yang mencerminkan suatu kesatuan manajemen dan kesatuan administrasi terkecil yang dapat digunakan untuk melakukan perencanaan, monitoring dan evaluasi potensi sumber daya dan ekosistem hutan secara intensif dan berkelanjutan. Pencatatan petugas lapangan dalam rangka update kondisi lapangan, hanya dibedakan berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, baik pemerintahan Desa maupun Banjar (dusun). Formulasi pembagian kawasan hutan yang fungsi utamanya untuk perlindungan dan konservasi memang sangat berbeda dengan petak pada fungsi hutan produksi. Formula ini sangat penting dirumuskan mengingat peran hutan lindung dan konservasi sumber daya alam akan memegang peranan yang signifikan di masa depan, terutama dalam negosiasi skema pemanfaatan karbon hutan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Sistem monitoring perubahan potensi karbon tersebut memerlukan instrumen pembagian wilayah yang dapat dikelola ( well-managed) oleh organisasi kehutanan secara efektif dan efisien, baik berupa petak ( compartement), zona/blok, atau kesatuan perencanaan dan pengelolaan hutan lainnya. Pelaksanaan inventarisasi hutan selama ini belum dilakukan secara rutin dalam IV - 6
periode yang teratur (misalnya 10 tahun sekali atau 5 tahun sekali). Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali tahun 2008, kawasan hutan di KPH Bali Timur terbagi menjadi hutan alam dan hutan tanaman. Jumlah hutan alam seluas 8.934,26 ha (38,88%) dan hutan tanaman 14.043,43 ha (61,12%). 4.3 Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan hutan berupa pemanfaatan kawasan, meliputi: 1) pemanfaatan (tanaman bawah tegakan), Jasa lingkungan (air terjun, wisata alam), pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti getah pinus, hijauan pakan ternak dan lebah madu. Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 Yo. PP No. 3 Tahun 2008 bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan tersebut dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu : (a) pada kawasan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional, (b) pada hutan lindung, (c) pada hutan produksi. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha : (a) budidaya tanaman obat, (b) budidaya tanaman hias, (c) budidaya jamur, (d) budidaya lebah, (e) penangkaran satwa liar, (f) rehabilitasi satwa, atau (g) budidaya hijauan ternak. Kegiatan usaha pemanfaatan tersebut dilakukan dengan ketentuan : (a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, (b) pengolahan tanah terbatas, (c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, (d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat, dan/atau (e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang lahan. Pada hutan lindung juga dapat dilakukan pemungutan hasil bukan kayu, berupa : rotan, madu, getah, buah, jamur atau sarang burung wallet dengan ketentuan : (a) hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami, (b) tidak merusak lingkungan, dan (c) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya. Pemanfaatan kawasan
hutan produksi
dapat dilakukan antara lain melalui
kegiatan: (a) budidaya tanaman obat, (b) budidaya tanaman hias, (c) budidaya jamur, (d) budidaya lebah, (e) penangkaran satwa liar, (f) rehabilitasi satwa, dan (g) budidaya sarang burung wallet. Berbeda halnya dengan pemanfaatan pada hutan lindung, pada hutan produksi pemanfaatan kawasannya tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan : (a) luas areal dibatasi, (b) tidak IV - 7
menimbulkan
dampak
negatif
terhadap biofisik dan sosial ekonomi, (c)
tidak
menggunakan peralatan mekanis dan alat berat, dan/atau (d) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang lahan. Selain pemanfaatan kawasan seperti tersebut di atas,
baik pada hutan lindung
maupun hutan produksi juga dapat dipergunakan sebagai jasa lingkungan dengan jenis kegiatan dan ketentuan yang sama. Pemanfaatan jasa lingkungan tersebut antara lain melalui kegiatan usaha : (a) pemanfaatan jasa aliran air, (b) pemanfaatan air, (c) wisata alam, (d) perlindungan keanekaragaman hayati, (e) penyelamatan dan perlindungan lingkungan, (f) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Kegiatan usaha tersebut dilakukan dengan ketentuan : (a) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya, (b) tidak mengubah bentang alam, dan (c) tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan. Berdasarkan data yang ada, sampai dengan saat ini di wilayah KPH Bali Timur tidak terdapat ijin pemanfaatan hutan secara intensif dan terencana, termasuk pemungutan hasil hutan kayu maupun bukan kayu, baik oleh pemerintah, maupun oleh pihak ketiga (swasta, koperasi atau perorangan). Hal ini bukan berarti masyarakat Bali tidak membutuhkan hasil hutan dalam bentuk kayu dan/atau non kayu. Kebutuhan kayu di Bali diperkirakan terus meningkat dari 91.758,622 m 3 pada tahun 2001 menjadi 172.501,35 m3 pada tahun 2005. Kebutuhan kayu masyarakat Bali dipenuhi dari hutan rakyat dan dari luar Provinsi Bali. Kayu tersebut biasanya digunakan untuk kepentingan pembangunan perumahan dan terutama kerajinan patung. Jenis kayu yang umumnya digunakan adalah mahoni, trembesi, bentawas, dan panggal buaya. Jumlah pemilik industri pengolahan hasil hutan kayu sampai tahun 2008, yang berijin di seluruh Propinsi Bali berjumlah 42 perusahaan, baik yang dikeluarkan oleh provinsi maupun kabupaten. Selama tahun 2008, jumlah kayu yang masuk ke propinsi Bali dari luar provinsi melalui pelabuhan adalah 133.179,48 m3, sedangkan yang keluar dari Propinsi Bali adalah sebesar 11.890,70 m3. Produksi kayu juga dihasilkan dari hutan rakyat atau lahan milik selama tahun 2008 yang terdaftar pada masing-masing kabupaten yang berjumlah 30.607,9 m3. Berarti di seluruh Propinsi Bali, kayu yang tersedia selama tahun 2008 berjumlah 151.896,7 m3. Dibandingkan dengan data konsumsi tahun 2005, nampaknya suplai kayu yang beredar di masyarakat ini masih berada di bawah kebutuhan kayu pada tahun 2005. Perkiraan adalah adanya gap antara suplai dengan permintaan kayu sebesar IV - 8
lebih dari 20.000 m3. Hal ini dapat menjelaskan dengan adanya aktifitas pencurian kayu dari kawasan hutan, terutama hutan lindung maupun kawasan konservasi di beberapa wilayah hutan negara di KPH Bali Timur. Mengingat sebagian besar kawasan hutan di KPH Bali Timur didominasi hutan lindung (>95%) dan sisanya merupakan hutan produksi terbatas (yang perlakuannya tidak dipenankan adanya aktivitas penebangan), maka beban pemanfaatan hutan dalam bentuk produksi kayu tidak memungkinkan dilakukan dalam skala ekonomis. Wilayah pemangkuan KPH Bali Timur, produksi kayu lebih baik dibebankan kepada lahan milik yang potensinya juga sangat besar dan masih belum banyak didukung dengan kebijakan daerah. Selama ini kayu rakyat menyuplai kebutuhan kayu di propinsi Bali lebih dari 20%. Dengan demikian KPH Bali Timur perlu untuk meningkatkan program pembinaan hutan rakyat di luar kawasan hutan negara, sedangkan kawasan hutan negara dikembangkan untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu, seperti penyadapan getah pinus atau minyak kayu putih, dan jasa lingkungan terutama wisata alam. Di Kawasan Bali Timur pemanfaatan kawasan belum dilakukan secara optimal, sehingga proyeksi ke depannya perlu dilakukan penataan mengenai pemanfaatan tersebut. Pemanfaatan kawasan itu dapat dilakukan dengan memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar hutan dengan tujuan hutan lestari masyarakat sejahtera. Selain itu juga perlu dipertimbangkan kondisi biofisik wilayah terutama iklim, kelerengan, jenis tanah, dan kedalaman tanah. Kawasan hutan Bali Timur merupakan kawasan hutan lindung (KPHL) dan kawasan hutan produksi terbatas (KPHP) terdiri dari wilayah kelola yaitu wilayah yang laku dipasarkan seperti kawasan yang digunakan sadapan getah pinus, pariwisata alam dan sebagainya, serta kawasan tertentu (inti) yang tidak laku dipasarkan. Berdasarkan pemanfaatan kawasan maka HL dibagi menjadi : a. Pertama :
kawasan inti yaitu kawasan yang tidak dikelola atau tidak laku
dipasarkan namun membutuhkan pengawasan dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi hutan, contoh kawasan hutan di kaki Gunung Agung. b. Kedua, kawasan kelola : yaitu wilayah pemanfaatan kawasan yang laku dipasarkan untuk dikelola berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Proyeksi ke depan di kawasan hutan Bali Timur, berupa kegiatan dengan memanfaatan kawasan hutan seperti : hutan desa, penyadapan getah pinus, camping gound, tracking, hijauan IV - 9
pakan ternak (rumput gajah dan kaliandra), wisata relegi,
dan sebagainya.
Kegiatan jasa lingkungan termasuk pemanfaatan kawasan hutan untuk wisata alam, seperti air terjun, dan sebagainya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu meliputi mencari lebah madu, jamur, tanaman obat (wana farma), studi biodiversitas (hutan pendidikan). c. Ketiga, kawasan khusus yaitu : pemanfaatan kawasan hanya untuk tempat suci (pura) untuk kegiatan relegi. Upaya untuk memanfaatakan sumber daya hutan secara optimal dan berkeadilan perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat, baik melalui pengembangan kapasitas maupun pemberian akses pemanfaatan SDH dengan tujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
setempat.
Pemberdayaan
masyarakat setempat tersebut merupakan kewajiban Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab KPH sesuai dengan kewenangnnya. Program pemberdayaan masyarakat setempat dapat memanfaatkan skema-skema Hutan Desa (HD) dan kemitraan. Proyeksi ke depan di kawasan hutan Bali Timur, ada beberapa RPH yang memiliki potensi untuk dijadikan hutan desa, yaitu RPH Tejakula, RPH Kintamani Timur, RPH Kintamani Barat, RPH Penelokan, RPH Daya, RPH Rendang, dan RPH Klungkung Nusa Penida.
Luas
hutan desa yang direncanakan di KPH Bali
Timur selama periode tahun 2010 sampai 2014 adalah
seluas 4.840 ha yang
meliputi: 1. RPH Daya di Kabupaten Karangasem : 100 ha (th 2012) 2. RPH Kintamani Barat,Kintamani Timur dan Penelokan di Kabupaten Bangli : 2.297 ha (th 2010 – 2014) 3. RPH Rendang dan
Selat di Kabupaten Karangasem :
2.090 ha
(th 2011 – 2014) 4. RPH Tejakula di Kabupaten Buleleng : 353 ha (th 2010).
IV - 10
4.4 Penggunaan Kawasan Penggunaan kawasan hutan di kawasan hutan Bali Timur, sebagian besar berupa pinjam pakai, dimana sampai dengan tahun 2008, kawasan hutan yang dipinjam pakai seluas 3,2321 ha. Lokasi pinjam pakai berada di RTK 7 seluas 2,0056 ha untuk jalan Kedisan-Toya Bungkah, RTK 8 seluas 0,04 ha untuk pasar seni Panelokan, RTK 20 seluas 1,1865 untuk PLN, Telkom, dan sumur bor. Sementara itu khusus untuk galian C lokasinya berada di Tukad Bangka RPH Rendang yang merupakan kawasan hutan lindung kegiatan tersebut dimulai sejak tahun 1997
berawal
dari diberikannya
jin
kepada
CV Adimurti oleh Departemen Kehutanan untuk menggunakan alat-alat berat, ijinnya dicabut kembali
karena dianggap membahayakan lingkungan.
Namun penambangan
pasir , batu,dan bunang (batu padas) dilanjutkan oleh masyarakat sekitar dengan alasan untuk pembangunan. Luas Galian C tersebut berkisar 50 ha. Proyeksi ke depan galian C ini harus ditutup. Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang masalah hutan, maka dipandang perlu adanya semacam laboratorium lapangan di dalam kawasan hutan sebagai sarana pendidikan baik untuk umum maupun pelajar dan mahasiswa, sarana ini dapat berupa hutan pendidikan yang dapat dikelola oleh pihak ketiga atau oleh universitas yang ada di Bali. Penggunaan kawasan hutan di Bali untuk kegiatan non kehutanan ke depan perlu lebih dibatasi, mengingat Bali yang merupakan kesatuan ekosistem pulau tentunya sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan.
4.5
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Rehabilitasi hutan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan yang tercakup dalam rehabilitasi hutan meliputi reboisasi; pemeliharaan tanaman; pengayaan tanaman; dan penerapan tekanik konservasi tanah. Di kawasan HL maupun hutan produksi terbatas, dapat ditemui hutan kritis yang memerlukan
kegiatan
rehabilitasi
seperti, pengadaan
benih
hutan, persemaian,
penanaman, pemeliharaan bibit dan tanaman tidak hanya terbatas tahun ke 2 tetapi berlanjut sampai tahun ke 3 dan seterusnya, sehingga terjamin bagi kelangsungan hidup tanaman hutan. Kawasan hutan (RPH) yang berpotensi sebagai hutan kritis adalah RPH IV - 11
Kintamani Timur, RPH Daya dan RPH Rendang. Oleh karena itu proyeksi ke depan diperlukan penanggulangan lahan kritis tersebut. Berdasarkan pengamatan lapangan, kondisi hutan di KPH Bali Timur relatif terjaga dengan baik terutama di kawasan hutan lindung sekitar wilayah Gunung Agung. Di beberapa tempat seperti di Nusa Penida dan kawasan hutan yang mengarah ke pantai seperti di Tejakula dan Abang kondisinya masih gundul dan terjadi kerusakan akibat kebakaran. Mengingat kebanyakan hutan di KPH Bali Timur adalah hutan lindung dan konservasi, dapat ditekankan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan harus diarahkan pada jenis asli dan dilakukan regenerasi sealami mungkin atau dengan kata lain campur tangan manusia minimal. Intensifikasi pemanfaatan jika diperlukan maka aspek sosial masyarakat desa sekitar hutan harus diperhatikan kepentingannya. 4.5
Perlindungan dan Konservasi Alam Salah satu tugas organisasi KPH adalah menyelenggarakan kegiatan perlindungan
hutan dan konservasi alam (PP No. 6/2007). Adapun perlindungan hutan yang dimaksud adalah sebagai usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam, hama dan penyakit tumbuhan serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan , hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Kegiatan perlindungan konservasi alam baik di KPHL dan KPHP berupa : 1.
Pencegahan dan penanggulangan kebakaran,
2.
Pengendalian pencurian hutan,
3.
Persertifikatan tanah kawasan hutan,
4.
Perambahan hutan.
Di kawasan Bali Timur, berpotensi terjadinya peristiwa tersebut di atas, sehingga proyeksi ke depan diperlukan langkah kegiatan untuk mengatasi sebagai langkah konservasi alam. Gangguan keamanan hutan yang paling menonjol di kawasan hutan KPH Bali Timur adalah kebakaran hutan. Gangguan lainnya berupa pencurian atau penebangan liar dan pembibrikan dalam jumlah yang relatif sedikit. Kejadian kebakaran selama tahun 2008 tercatat 28 kali dengan luasan 233,5 ha. Kejadian kebakaran ini hampir terjadi di seluruh wilayah RPH di KPH Bali Timur dengan luasan yang bervariasi. Penebangan liar yang IV - 12
berhasil dicatat selama tahun 2008 di KPH Bali Timur sebanyak 2 kali dengan jumlah 61 pohon (5,26 m2). Namun demikian, berdasarkan informasi lapangan, hampir semua RPH mengalami gangguan berupa pembibrikan/perambahan hutan terutama penanaman lahan hutan untuk rumput gajah dalam skala kecil maupun untuk tanaman palawija oleh masyarakat. Penanaman ini dilakukan secara sporadis di bawah tegakan dan dikhawatirkan menimbulkan kerusakan berupa berkurangnya kepadatan tegakan, karena rumput gajah membutuhkan ruangan yang sedikit. Selain itu dijumpai pembibrikan dalam bentuk penanaman kopi, dan pisang. KPH Bali Timur dalam upaya meningkatkan keamanan hutan, perlu perlindungan dan konservasi SDH, kegiatan ini telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi, antara lain dengan memberdayakan masyarakat desa setempat untuk melakukan kegiatan pengamanan hutan. Kerjasama ini dilakukan bersama dengan desa pakraman, yaitu desa adat yang keberadaannya diakui oleh pemerintah propinsi Bali. Kerjasama tersebut dilakukan dengan cara memberikan anggaran pengamanan kepada desa pakraman sebesar Rp 9.500.000,00 yang bersumber dari APBD. Bantuan ini diberikan sejak tahun 2004 – 2008, namun besarnya semakin menurun. Pada tahun 2008, uang bantuan tersebut menurun menjadi Rp 5.000.000,00 per desa. Jumlah desa di KPH Bali Timur yang menerima uang bantuan pengamanan ini adalah 7 desa pakraman, yaitu desa Kintamani, Songan, Selulung, Tejakula, Yeh Kori, Pemuteran, dan Gulingan. Upaya perlindungan dan konservasi hutan selain memberikan bantuan berupa uang, upaya konservasi juga dilakukan dengan memberi bantuan berupa bibit hewan penangkaran kepada desa pakraman. Hewan yang ditangkarkan adalah jenis rusa timor (Carvus timorensis) yang diberikan kepada desa pakraman Kintamani, Kesimpar, dan Besan. Jenis lain yang diberikan adalah kijang ( Muntiacus muncak) di desa Besakih. Namun demikian tidak semua upaya penangkaran berjalan mulus, karena masalah perawatan yang belum dilakukan secara profesional. Salah satu upaya konservasi yang juga penting dilakukan adalah mengidentifikasi keberadaan satwa liar di kawasan hutan KPH Bali Timur. Berdasarkan intensitas perjumpaan satwa dalam kawasan hutan dengan petugas lapangan jenis, yang sering ditemukan adalah kijang, kera abu-abu, ayam hutan, kera hitam, burung becicit, elang bondol, babi hutan, landak, burung tekukur, dan burung madu. Jumlah jenis dan persebaran satwa liar di KPH Bali Timur. Beberapa jenis satwa diperkirakan terus IV - 13
menurun populasinya, terutama karena disebabkan perburuan. Di satu sisi, beberapa jenis satwa juga merusak lahan masyarakat yang ditanami tanaman pertanian. 4 Skema Pengelolaan Core Business Dengan mempertimbangkan potensi dan permasalahan yang ada di wilayah KPH Bali Timur, serta dalam rangka lebih mengoptimalkan pelaksanaan pengelolaannya dan dalam rangka mewujudkan organisasi KPH yang mandiri, maka
perlu di dorong
pengelolaan sumber daya yang ada sebagai core business.
Core Business yang memungkinkan dikembangkan di KPH Bali Timur diantaranya adalah Pemanfaatan Hutan berupa:
Pemanfaatan Jasa Lingkungan seperti kegiatan
wisata alam dan wisata religi dan Pemungutan HHBK berupa Getah Pinus, dimana Skema pengelolaan core business, dapat dilakukan oleh pihak ketiga (investor), masyarakat desa di sekitar kawasan hutan atau oleh koperasi. Bali dengan potensi alamnya yang indah dan merupakan daerah tujuan utama turis domestik dan mancanegara, serta pengembangan aktivitas wisata cenderung kembali kealam (Back to Nature), maka tentunya hal ini merupakan peluang yang besar untuk memanfaatkan kawasan hutan sebagai objek tujuan wisata alam yang memanfaatkan jasa lingkungan.
KPH Bali Timur
memiliki potensi jasa lingkungan yang sangat
prospektif untuk dikembangkan dan dikelola secara maksimal di masa mendatang untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sumber pemasukan bagi pemerintah daerah.
Potensi jasa lingkungan yang terdapat di wilayah KPH Bali Timur
meliputi; wisata alam, air, mangrove dan cadangan karbon. Begitu juga dengan potensi pohon Pinus sebanyak hampir 50.000 pohon yang berada di wilayah Rendang dan Kintamani dengan produksi getah sebanyak 114 ton pertahun, untuk keperluan berbagai industri baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam rangka
mendorong KPH Bali Timur memiliki badan hukum yang
memungkinkan pengelolaan core business berjalan sebagaimana mestinya,
maka
bentuk badan hukum yang dapat menjadi alternatif pilihan untuk KPH yaitu Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
IV - 14