IV.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Data Deskriptif Penelitian ini menggunakan dua group subyek yaitu auditor internal yang disebut sebagai group AI dan auditor eksternal yang disebut sebagai group AE. Jumlah subyek untuk masing-masing group adalah 50 orang sehingga total dari subyek sebanyak 100 orang. Sebelum menganalisis kedua subyek tersebut dilakukan uji normalitas atas skor DIT (PScore) yang diperoleh dari kedua subyek. Uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk karena merupakan data dengan jumlah sampel kecil yaitu kurang dari atau sama dengan 50 sampel. Hasil uji normalitas pada Tabel 1 menunjukkan bahwa baik variable AI dan AE merupakan data yang terdistribusi dengan normal (pvalue > 0,05) yaitu 0,557 dan 0,130. Tabel 1 Tabel Uji Normalitas Shapiro-Wilk Group P-SCORE AI P-SCORE AE
Statistik 0,980 0,964
Df 50 50
Signifikansi 0,557 0,130
Sumber: Data Lampiran Hasil Uji Normalitas Tabel Tests of Normality P-Score AI dan AE
Data
variable-variabel
yang
digunakan
untuk
menganalisis lebih lanjut dijabarkan pada tabel ringkasan informasi demografi (Tabel 2). Variabel gender diwakili oleh jenis kelamin yaitu pria dan wanita. Rentang umur dibagi
berdasarkan tahapan karir seseorang oleh Dessler (2008) yang meliputi tahap eksplorasi (15-24 tahun), tahap perkembangan (24-44 tahun) yang dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap trial (24-30 tahun) dan tahap stabilitas (30-41 tahun), tahap pemeliharaan (45-65 tahun), dan umur lebih dari 65 tahun merupakan tahap seseorang mengalami penurunan dalam karir. Sehingga rentang umur yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam empat rentang yaitu umur 21-24 tahun (tahap eksplorasi), 25-30 tahun (tahap trial), 31-44 tahun (tahap stabilitas), dan 45-65 tahun (tahap pemeliharaan). Sama halnya dengan variabel masa kerja pembagian mengikuti rentang waktu yang digunakan oleh Purba dan Seniati (2004) dan Kaur et al. (2010) berdasarkan penelitian oleh Morrow & McElroy (1987). Rentang masa kerja ini dibagi menjadi tiga tahap karir yaitu tahap lanjutan (≤ 2 tahun), tahap perkembangan (2-10 tahun), dan tahap pemeliharaan (> 10 tahun). Sedangkan tingkat pendidikan hanya dibagi menjadi dua kelompok yaitu auditor yang berpendidikan diploma (D1 dan D3) dan sarjana (S1, S2, dan S3). Pembagian kelompok tingkat
pendidikan
ini
berdasarkan
perbedaan
arahan
pendidikan yang diberikan. Pendidikan diploma merupakan pendidikan yang diberikan bekal keterampilan untuk menjadi praktisi atau sejenisnya (pendidikan vokasi), sedangkan
sarjana diarahkan untuk menjadi akademisi atau ahli (pendidikan akademi). Dalam penelitian ini menduga adanya pengaruh dari perbedaan tingkat pendidikan tersebut terhadap level perkembangan moral kognitif seseorang. Tabel 2 Tabel Ringkasan Informasi Demografi Variabel JENIS KELAMIN UMUR
MASA KERJA TINGKAT PENDIDIKAN
Group Interval Pria Wanita 21-24 25-30 31-44 45-65 ≤ 2 tahun 2-10 tahun > 10 tahun Diploma S1
Auditor Internal Frekuensi (%) 31 6 19 38 8 16 31 62 10 20 1 2 19 38 30 60 1 2 18 36 32 64
Auditor Eksternal Frekuensi (%) 27 54 23 46 9 18 23 46 12 24 6 12 15 30 25 50 10 20 0 0 50 100
Sumber: Data Olah Primer 2015
Uji Hipotesis Setelah melakukan uji normalitas terhadap data P-Score, maka dilakukan uji hipotesis. Langkah awal pengujian hipotesis
dilakukan
dengan
menggunakan
uji
beda
Independent Sample T-Test. Hasil uji beda kedua group dapat dilihat pada Table 4.2.1 yang menunjukkan bahwa rata-rata PScore auditor internal (AI) lebih tinggi daripada rata-rata PScore auditor eksternal (AE) yaitu 37,74.
Tabel 3 Statistik Deskriptif P-Score AI dan AE GROUP P-SCORE AI P-SCORE AE
N
Mean
50 50
37,74 32,76
Std. Deviation 4,66778 6,07625
Std. Error Mean 0,66012 0,85931
Sumber: Data Lampiran Hasil Uji Hipotesis Tabel Group Statistics P-Score AI dan AE
Sedangkan nilai signifikansi 0,016 menunjukkan bahwa kedua group tersebut memiliki data yang tidak homogen (Tabel 4). Oleh karena itu analisis uji beda rata-rata menggunakan Equal Variance Not Assumsed. Hasil uji beda menyatakan bahwa kedua group tersebut memiliki perbedaan dengan nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0.000.
Tabel 4 Hasil Uji Hipotesis 1
P-SCORE
F
Sig.
6,066
0,016
t 4,596
df 91,895
Sig. (2tailed) 0,000
Mean Difference 4,98000
Std. Error Difference 1,08360
Sumber: Data Lampiran Hasil Uji Hipotesis Tabel Independent Samples Test P-Score AI dan AE
Hasil uji tersebut dapat membuktikan bahwa H1 dapat diterima karena selain terdapat perbedaan di antara group auditor internal dan auditor eksternal, nilai rata-rata P-Score dari AI lebih tinggi daripada AE. Dengan demikian dinyatakan bahwa auditor internal mencapai perkembangan moral kognitif lebih tinggi daripada auditor eksternal dalam pengambilan keputusan etis pada saat menghadapi dilema etis.
Perbedaan level perkembangan moral kognitif tersebut juga dapat dilihat melalui deskriptif data yang menunjukkan nilai minimun P-Score adalah 22 dan nilai maksimumnya adalah 49. P-Score tersebut dibagi menjadi tiga rentang interval yaitu P-score rendah, sedang dan tinggi. Auditor internal memiliki nilai prosentase P-Score lebih tinggi dari auditor eksternal pada rentang sedang dan tinggi seperti tabel di bawah ini. Tabel 5 Perhitungan Prosentase P-Score AI dan AE P-SCORE 22-31 (Rendah) 31-40 (Sedang) 40-49 (Tinggi)
AI 5 30 15
(%) 10 60 30
AE 24 20 6
(%) 48 40 12
Sumber: Data Olah 2015
Hal ini menjelaskan bahwa keputusan yang diambil oleh auditor internal selain mengedepankan aturan-aturan yang berlaku juga melibatkan hati nurani karena secara emosional terlibat langsung dengan perusahaan dimana ia bekerja. Auditor internal yang menjadi bagian integral di sebuah perusahaan, tentunya akan lebih memahami situasi perusahaan tersebut. Mengingat juga peran auditor internal yang berkembang di dalam perusahaan tidak hanya sebagai pengawas dan konsultan namun juga sebagai katalisator (IIA, 2014). Sehingga auditor internal bertindak sesuai dengan pertimbangan yang lebih cermat akan fakta dan bertindak
secara
mendalam
dengan
pertimbangan
yang
lebih
bertanggungjawab secara etis (Hartman dan DesJardins, 2011). Hal inilah yang mengakibatkan munculnya rasa toleransi atas dasar pertimbangan hati nurani (Rindjin, 2004). Sedangkan auditor eksternal memiliki tingkat yang lebih rendah bukan berarti tidak melibatkan dimensi hati nurani
dalam
pengambilan
keputusan.
Namun
karena
merupakan pihak yang tidak terlibat emosional secara langsung dengan perusahaan yang diaudit dan harus menjunjung
tinggi
independensi
maka
mereka
lebih
mengutamakan peraturan yang berlaku daripada rasa toleransi dengan menggunakan pertimbangan hati nurani. Hasil ini membuktikan teori perkembangan moral Kohlberg bahwa pada tahapan tertinggi (tahap 5A, 5B, dan 6) menempatkan tidak hanya aturan-aturan yang berlaku namun juga hati nurani dalam mempertimbangkan suatu keputusan. Selain itu menegaskan bahwa seseorang yang memiliki nilai P-Score lebih tinggi semakin mendekati karakteristik moral yang etis. Rest et al. (1999) menyatakan bahwa individu yang memiliki level perkembangan moral lebih tinggi dapat membuat keputusan yang lebih etis. Mereka yang mencapai perkembangan moral lebih tinggi mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada
level di bawahnya dalam
mempertimbangkan, melihat segala sesuatu lebih luas, dan mampu mempertahankan keputusan moral. Selanjutnya, hasil nilai P-Score auditor eksternal yang lebih rendah dari auditor internal memberi kemungkinan bahwa auditor eksternal lebih menekankan pertimbangan moralnya pada tahapan (tahapan 3 dan 4) selain tahapan 5 dan 6 perkembangan moral Kohlberg. Dengan kata lain auditor eksternal lebih menekankan pertimbangan moralnya pada tahap conventional daripada tahap postconventional pada saat menghadapi dilema etis. Perbedaan karakteristik, peran dan tanggung jawab utama auditor internal dengan auditor eksternal dapat pula menyebabkan perbedaan pada perkembangan moral kognitif diantara keduanya. Karakteristik secara konseptual yang membedakan auditor internal dan eksternal adalah pihak yang memilih mereka; auditor eksternal mewakili pihak luar, dan auditor internal mewakili kepentingan perusahaan (Hall, 2007). Saat ini peran auditor internal semakin berkembang yang tidak hanya sebagai pengawas dan konsultan namun juga sebagai katalisator dalam perusahaan (ACIIA, 2014; IIA, 2014). Auditor eksternal bertanggungjawab untuk memberikan opini atas
kewajaran pelaporan keuangan perusahaan.
Sedangkan auditor internal tidak saja bertanggung jawab terhadap pengendalian internal pelaporan keuangan, namun
juga
melakukan
evaluasi
desain
dan
implementasi
pengendalian internal, manajemen resiko dan governance dalam memastikan pencapaian tujuan perusahaan (Suciu, 2008). Tanggung jawab auditor internal sebagai bagian integral perusahaan memegang peranan penting dalam pencapaian visi dan misi perusahaan. Independensi dari auditor eksternal merupakan representatif dari profesi yang bebas, legal dan sesuai undang-undang (Suciu, 2008), dimana auditor eksternal harus independen dari klien, organisasi, dan merupakan independensi yang khusus untuk memenuhi unsur profesi. Sedangkan indepedensi dari auditor internal bersifat relatif (Suciu, 2008), dimana auditor internal memiliki independensi dari kegiatan yang diaudit. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan memunculkan pertimbangan dari hati nurani (rasa toleransi) pada auditor internal pada saat menghadapi konflik audit. Bagaimanapun fokus dan orientasi auditor internal adalah untuk kepentingan masa depan perusahaan, sehingga auditor internal akan berusaha
untuk
membantu tercapainya
visi dan misi
perusahaan dimana ia bekerja. Dengan demikian pertimbangan yang diambil oleh auditor internal akan lebih mendalam untuk mencapai keputusan yangetis bagi kebaikan dan kelangsungan hidup perusahaan.
Variabel-variabel yang diduga dapat mempengaruhi perkembangan moral kognitif auditor yaitu gender yang diwakili oleh jenis kelamin dan tingkat pendidikan dilakukan juga uji beda Independent Sample T-Test. Sedangkan untuk variabel umu rdan pengalaman bekerja yang diwakili oleh masa kerja, dilakukan uji ANAVA 2 Jalur untuk menguji rata-rata lebih dari dua sampel berbeda yang berkorelasi dan memiliki pembagian group dengan karakteristik khusus. Tabel 6 Hasil Uji Hipotesis Variabel-Variabel Berpengaruh VARIABEL Gender Umur P-SCORE Pengalaman Tingkat pendidikan
PENGUJIAN Uji beda Uji anava Uji anava Uji beda
F 0,040 4,785 3,944 0,053
Sig.
t
0,841 1,496 0,004 0,023 0,818 -0,939
df 98 3 2 98
Sig. (2-tailed) 0,138
0,350
Sumber: Lampiran Data Olah 2015 Dari SPSS
Dengan menggunakan uji Independent Samples T-Test, hipotesis kedua diuji apakah level perkembangan moral kognitif dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan gender subyek. Pada Tabel 6 menunjukkan signifikansi uji F sebesar 0,841 maka kedua group gender merupakan data yang homogen, oleh karena itu beda rata-rata menggunakan Equal Variance Assumsed. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan tidak adanya pengaruh variable gender terhadap level
perkembangan moral kognitif seseorang dengan signifikansi uji t lebih besar dari 0,05 yaitu 0,138. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa wanita memiliki perkembangan moral kognitif yang lebih tinggi daripada pria seperti penelitian yang dilakukan oleh Eynon et al. (1997), White Jr (1999) dan Izzo (2000). Namun dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh faktor tersebut. Hal ini menyatakan bahwa gender (wanita) tidak dapat
menjadi
ukuran
seseorang
memiliki
level
perkembangan moral kognitif yang lebih tinggi dari yang lain (pria). Hasil uji ANAVA 2 Jalur (Tabel 6) diketahui bahwa adanya pengaruh variable umur dengan nilai signifikansi 0,04 (<0,05). Sehingga dapat dikatakan bahwa umur seseorang mempengaruhi perkembangan moral kognitif seseorang pada saat diperhadapkan dengan dilema dalam pengambilan keputusan etis. Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak berlangsung menurut enam tahap atau fase, tetapi tidak setiap anak berkembang sama cepat, sehingga tahap-tahap itu tidak dengan pasti dapat dikaitkan dengan umur tertentu (Bertens, 2011). Dengan kata lain Kohlberg menyatakan bahwa umur seseorang tidak dapat secara pasti menentukan keberadaan tahapan perkembangan moral kognitif
seseorang. Namun dalam penelitian ini menemukan bahwa dengan bertambahnya umur dan kedewasaaan seseorang meningkatkan pula tanggung jawabnya (Izzo, 2000), sehingga seseorang dapat mencapai tahapan tertinggi perkembangan moral Kohlberg. Hipotesis
selanjutnya
adalah
apakah
level
perkembangan moral kognitif dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat pengalaman kerja subyek. Hasil pengujian pengalaman kerja (Tabel 6) dilakukan dengan uji ANAVA 2 Jalur yang membuktikan adanya pengaruh antara level perkembangan moral kogintif dengan tingkat pengalaman kerja seseorang. Dalam penelitian ini menemukan adanya pengaruh pengalaman kerja terhadap perkembangan moral kognitif seseorang. Hasil pengujian tersebut bertentangan dengan temuan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Tarigan
dan
Satyanugraha (2005) dan White Jr (1999) yang menyatakan bahwa pengalaman kerja seseorang tidak mempengaruhi level perkembangan kognitif seseorang. Pengalaman seseorang dapat menjadi sumber pengetahuan untuk mengembangkan moral kognitif yang ada dalam diri seseorang. Semakin banyak pengalaman yang dialami seseorang akan memberikan banyak pelajaran dalam mempertimbangkan suatu keputusan yang lebih etis.
Berikutnya adalah pengujian pengaruh variabel tingkat pendidikan terhadap level perkembangan moral kognitif. Pengujian tersebut dilakukan dengan Independent Samples TTest. Data yang digunakan dalam uji ini merupakan data yang homogen. Melihat Tabel 6 faktor tingkat pendidikan ternyata tidak ditemukan adanya pengaruh terhadap level perkembangan moral kognitif dengan nilai signifikan 0,350 (Equal Variances Assumsed). Sehingga H5 dalam penelitian ini tidak dapat diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya level perkembangan moral kognitif individu pada saat mengambil keputusan dalam dilema etis tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu. Adanya perbedaan pemahaman peraturan perundangan
(Hidayat
dan
Handayani
(2010)
dapat
menyebabkan seseorang menginterpretasikan konflik audit berbeda dengan yang lainnya. Tingkat pendidikan yang tinggi tidak serta merta meningkatkan pemahaman tentang konflik audit. Sehingga meskipun tingkat pendidikan seseorang tinggi belum tentu ia memiliki perkembangan moral kognitif yang tinggi dan dapat mengambil keputusan yang etis.