ANALISIS RISIKO PEMBIAYAAN SYARIAH PADA SEKTOR PERTANIAN KASUS: BPRS AMANAH UMMAH, LEUWILIANG, BOGOR
KHONSA TSABITA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Risiko Pembiayaan Syariah pada Sektor Pertanian Kasus: BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Khonsa Tsabita NIM H34090021
ABSTRAK KHONSA TSABITA. Analisis Risiko Pembiayaan Syariah pada Sektor Pertanian Kasus: BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor. Dibimbing oleh LUKMAN MOHAMMAD BAGA. Salah satu permasalahan utama pada sektor pertanian Indonesia adalah pembiayaan. Solusi dari permasalahan tersebut yaitu pembiayaan syariah sebagai model pembiayaan alternatif yang dianggap sesuai untuk pertanian karena menggunakan prinsip bagi hasil, keadilan, dan kepercayaan. Dibutuhkan banyak kajian dalam mendukung realisasi peningkatan alokasi pembiayaan syariah ke sektor pertanian Indonesia. Salah satunya mengenai risiko pembiayaan syariah pertanian. Penelitian ini mengambil studi kasus di BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor yang merupakan lembaga pembiayaan syariah dengan alokasi pembiayaan ke sektor pertanian. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis risiko pembiayaan syariah pertanian, menghitung potensi kerugian pembiayaan syariah pertanian, dan mengidentifikasi penyebab dominasi penggunaan pembiayaan murabahah pada pertanian di BPRS Amanah Ummah. Analisis risiko pembiayaan syariah dilakukan dengan menggunakan tahapan Enterprise Risk Management (ERM) dan metode creditrisk+. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko utama dari pembiayaan syariah pada sektor pertanian yaitu nasabah gagal bayar karena karakter buruk/moral hazard. Tindakan mitigasi risiko yang dapat dilakukan adalah melakukan rescheduling, restrukturisasi, dan pencairan jaminan nasabah. Kata kunci: analisis risiko, pembiayaan syariah, sektor pertanian
ABSTRACT KHONSA TSABITA. Risk Analysis of Sharia Financing on Agricultural Sector (Case Study: BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor). Supervised by LUKMAN MOHAMMAD BAGA. One of the main problems of agricultural sector in Indonesia is the lack of financial support. The alternative financing model such as sharia, that focus on sharing concept rather than profit, is a feasible solution. Increasing of sharia financing in agricultural sector requires many studies to support this. One of them is about financing risk analysis. This research is conducted in BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor which has distributed financing to the agricultural sector which provides financing for agriculture business. The aims of this research are to analyze sharia financing risk, measure potential loss, and identify the causes of murabahah financing domination in term of agricultural sector. The sharia financing risk was analized with ERM framework and creditrisk+ method. The result showed that the highest risk of sharia financing in agricultural sector is customer’s default due to their bad character or moral hazard. The possible risk mitigation actions are resceduling, restructuring and withdrawing customers' collateral. Key words: agricultural sector, risk analysis, sharia financing
ANALISIS RISIKO PEMBIAYAAN SYARIAH PADA SEKTOR PERTANIAN KASUS: BPRS AMANAH UMMAH, LEUWILIANG, BOGOR
KHONSA TSABITA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Risiko Pembiayaan Syariah pada Sektor Pertanian Kasus: BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor Nama : Khonsa Tsabita NIM : H34090021
Disetujui oleh
Ir Lukman M. Baga, MAEc Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir Lukman M. Baga, MAEc selaku dosen pembimbing, Drs M. Abduh Khalid MSi selaku direktur BPRS Amanah Ummah, dan Dr Ir Anna Fariyanti, MSi serta Dr Ir Dwi Rachmina, MSi yang telah banyak memberi saran bagi penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dari BPRS Amanah Ummah yang telah membantu selama pengumpulan data dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, keluarga, serta seluruh sahabat dan teman-teman, khususnya teman-teman BEM FEM IPB Kabinet Sinergi dan Kabinet Progresif serta keluarga Agribisnis 46 atas segala doa dan dukungannya. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2013 Khonsa Tsabita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Pembiayaan Syariah
7
Pembiayaan Syariah Sektor Pertanian
7
Tinjauan Penelitian Terdahulu
9
KERANGKA PEMIKIRAN
11
Kerangka Pemikiran Teoritis
11
Kerangka Pemikiran Operasional
22
METODE PENELITIAN
25
Waktu dan Tempat Penelitian
25
Jenis dan Sumber Data
25
Metode Pengumpulan Data
25
Metode Penentuan Responden
25
Metode Pengolahan dan Analisis Data
26
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
34
Sejarah Singkat BPRS Amanah Ummah
34
Produk-Produk Pembiayaan BPRS Amanah Ummah
34
Proses Pembiayaan BPRS Amanah Ummah
36
Perkembangan Pembiayaan BPRS Amanah Ummah
38
ANALISIS RISIKO PEMBIAYAAN
42
Identifikasi BPRS Amanah Ummah
42
Identifikasi Risiko
43
Pengukuran dan Pemetaan Risiko
47
Potensi Kerugian Pembiayaan Sektor Pertanian di BPRS Amanah Ummah 51 Tindakan Mitigasi Risiko
55
Identifikasi Penyebab Dominasi Penggunaan Pembiayaan Murabahah SIMPULAN DAN SARAN
60
63
Simpulan
63
Saran
64
DAFTAR PUSTAKA
65
DAFTAR TABEL 1 Perbedaan mendasar sistem bunga dan bagi hasil 2 Jumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berdasarkan lokasi 3 Pembiayaan BPRS berdasarkan sektor ekonomi 4 Komposisi pembiayaan di BPRS Amanah Ummah 5 Metode pembiayaan syariah pada sektor pertanian 6 Produk-produk pembiayaan syariah 7 Perbedaan prinsip: bank syariah vs bank konvensional 8 Matriks metode pengolahan dan analisis data 9 Probabilitas risiko 10 Dampak risiko 11 Pemetaan risiko 12 Tingkat penerimaan risiko 13 Laba bersih BPRS Amanah Ummah 14 Jumlah nominal DPK BPRS Amanah Ummah 15 Jumlah nominal pembiayaan BPRS Amanah Ummah 16 Jumlah nasabah pembiayaan BPRS Amanah Ummah 17 Identifikasi risiko 18 Indikator kemungkinan terjadinya risiko 19 Indikator dampak terjadinya risiko 20 Klasifikasi risiko 21 Hasil pemetaan risiko 22 Jumlah nasabah berdasarkan band 23 Expected loss nasabah sektor pertanian pada masing-masing band 24 Jumlah nasabah default berdasarkan n-default distribusi Poisson 25 Nilai potensi kerugian pembiayaan masing-masing band 26 Risk response yang dapat diambil oleh BPRS Amanah Ummah 27 Persepsi perbankan syariah terhadap tingkat risiko pembiayaan
2 3 3 5 8 13 14 26 27 28 29 29 39 39 39 40 46 47 47 48 49 52 52 53 54 57 61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Kurva keseimbangan kredit Kubus ERM Kerangka pemikiran operasional Persentase distribusi pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah berdasarkan sektor usaha tahun 2012 5 Perkembangan distribusi pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah
11 22 23 40 41
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Struktur organisasi BPRS Amanah Ummah Alur proses pembiayaan BPRS Amanah Ummah Data nasabah sektor pertanian BPRS Amanah Ummah Hasil rekapitulasi perhitungan expected loss nasabah sektor pertanian BPRS Amanah Ummah 5 Nilai nj pada setiap kelas (Lj) di masing-masing band 6 Hasil olahan n-default dengan distribusi Poisson 7 Hasil rekapitulasi perhitungan potensi kerugian pembiayaan tiap kelas pada masing-masing band
68 69 70 71 72 73 74
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dan perekonomian Indonesia. Peran tersebut dicirikan oleh 2 faktor penting. Pertama, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (2013) melaporkan bahwa dari total penduduk yang bekerja pada lapangan pekerjaan utama, terdapat sekitar 38.88 juta atau sekitar 35.09% yang bekerja di sektor pertanian. Kedua, luas lahan yang digunakan untuk pertanian yaitu sekitar 71.33% dari seluruh luas lahan di Indonesia (Hafidhuddin dan Syukur 2008). Namun, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) tidaklah sebanding dengan jumlah tenaga kerja dan luas lahan. Badan Pusat Statistik (2013) memperlihatkan jumlah PDB Indonesia atas dasar harga berlaku sebesar Rp7 427.1 triliun. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi sebesar Rp1 093.5 triliun (14.70% dari total PDB). Data tersebut memperlihatkan bahwa kontribusi PDB dari sektor pertanian masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya seperti sektor industri. Di samping itu, besaran persentase PDB sektor pertanian (14.70%) masih jauh lebih rendah dibandingkan besarnya persentase penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian (35.86%). Hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat banyak permasalahan dalam sektor pertanian, salah satunya yaitu permodalan (Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian 2011). Sektor pertanian dikenal sebagai sektor usaha yang cukup berisiko sehingga menyebabkan minat lembaga pembiayaan untuk mendanai usaha sektor ini relatif rendah. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa proporsi kredit perbankan untuk sektor pertanian masih jauh di bawah pembiayaan untuk sektor perindustrian, perdagangan, restoran dan hotel (PHR), pengangkutan, dan sektor ekonomi lain. Salah satu penyebab rendahnya alokasi kredit di sektor pertanian adalah tidak adanya perlakuan khusus dari pihak lembaga pembiayaan untuk sektor pertanian. Selama ini, kebijakan untuk pembiayaan pertanian diintegrasikan dengan pembiayaan non pertanian sehingga sektor ini tidak kompetitif. Untuk lebih menjamin ketersediaan modal usaha bagi pelaku bisnis pertanian, perlu dicari alternatif model pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik usaha di sektor pertanian. Model pembiayaan yang dimaksud adalah pembiayaan syariah. Model ini lebih memberikan keadilan dan berprinsip pada sistem bagi hasil, bukan pada sistem bunga yang seringkali mengakibatkan kebangkrutan pada petani/pelaku usaha pertanian. Perbedaan mendasar antara konsep pembiayaan syariah dengan konvensional terletak pada sistem pembagian keuntungan yang dipakai. Kedua konsep pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu memberikan keuntungan bagi pemilik modal (bank) namun terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya (Antonio 2001) seperti yang tertera pada Tabel 1.
2
Tabel 1 Perbedaan mendasar sistem bunga dan bagi hasila No. Sistem bunga Sistem bagi hasil 1. Penentuan bunga dibuat pada Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi waktu akad dengan asumsi harus hasil dibuat pada waktu akad dengan selalu untung di atas bunga modal berpedoman pada kemungkinan untung rugi 2. Besarnya persentase berdasarkan Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang pada jumlah keuntungan yang diperoleh dipinjamkan 3. Pembayaran bunga tetap seperti Bagi hasil bergantung pada keuntungan yang dijanjikan tanpa proyek yang dijalankan. Bila usaha pertimbangan apakah merugi, kerugian akan ditanggung proyek/usaha yang dijalankan bersama kedua belah pihak oleh pihak nasabah untung atau rugi 4. Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba meningkat meningkat walaupun jumlah sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan berlipat atau keadaan pendapatan perekonomian sedang booming 5. Eksistensi bunga diragukan oleh Tidak ada yang meragukan keabsahan semua agama bagi hasil a Sumber: Antonio (2001)
Dari penjelasan pada Tabel 1, semakin menguatkan bahwa pembiayaan dengan konsep syariah adalah salah satu solusi untuk pertanian karena memakai pola bagi hasil yang aspek keadilannya akan lebih terlihat daripada memakai bunga. Selain itu, pembiayaan syariah tidak hanya menyediakan permodalan bagi petani tetapi juga akses yang mudah terhadap permodalan yang dinilai menjadi faktor penting dalam pembiayaan1. Pemilihan skema pembiayaan syariah ini juga didukung dengan pertimbangan faktor demografis, mengingat sebagian besar petani di Indonesia beragama Islam. Di samping itu, secara sosiologis, sesungguhnya praktik-praktik bagi hasil sudah lama diterapkan di kalangan petani seperti maro, mertelu, gaduhan, dan sebagainya. Sistem pembiayaan syariah di Indonesia sudah diterapkan oleh beberapa lembaga keuangan. Salah satu lembaga keuangan syariah yang perkembangan pembiayaannya signifikan dari tahun ke tahun dan menunjukkan performa yang baik adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). BPRS adalah institusi keuangan yang dirancang untuk mengembangkan jasa keuangan syariah dengan fokus utama pada pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah pada masyarakat. Jumlah BPRS di Indonesia dan peningkatannya dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Tabel 2.
1
Menurut Suswono dalam http://koranfakta.net/ekonomi/syariah/621-pembiayaan-syariah-solusiuntuk-pertanian-.html [diakses 2012 November 27]
3
Tabel 2 Jumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berdasarkan lokasia Provinsi
2007 2008 2009 Jawa Barat 28 28 27 Jawa Timur 19 23 25 Jawa Tengah 13 15 19 DKI Jakarta 1 1 2 DI Yogyakarta 6 9 9 Banten 8 8 8 NAD 5 6 7 Sumatera Utara 7 7 7 Sumatera Barat 4 6 6 Provinsi Lain-Lain 23 28 28 Total di Indonesia 114 131 138 a Sumber: Bank Indonesia (2013); bunit; cJanuari 2013
Tahunb 2010 28 29 21 2 10 8 10 8 6 28 150
2011 27 30 21 2 11 8 10 10 7 29 155
2012 27 31 24 2 11 8 10 8 7 30 158
2013c 27 31 24 2 11 8 10 8 7 30 158
Tabel 2 menunjukkan tren meningkat pada jumlah BPRS yang telah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia tiap tahunnya. Provinsi Jawa Timur tercatat sebagai wilayah yang paling banyak memiliki BPRS, yaitu sebanyak 31 unit. Jumlah BPRS yang meningkat dari tahun ke tahun memperlihatkan bahwa lembaga keuangan syariah semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Jika dilihat dari alokasi pembiayaan BPRS berdasarkan sektor ekonomi, pada Januari 2013, sektor pertanian menempati posisi ketiga dengan persentase 8.58% setelah sektor perdagangan dan sektor lain (Tabel 3). Munculnya BPRS yang mengalokasikan pembiayaannya untuk pertanian adalah salah satu kontribusi untuk menjawab permasalahan pertanian dalam hal permodalan. Peningkatan jumlah BPRS diharapkan mampu meningkatkan distribusi pembiayaan dalam sektor pertanian. Tabel 3 menunjukkan bahwa pembiayaan BPRS untuk sektor pertanian terus meningkat. Tabel 3 Pembiayaan BPRS berdasarkan sektor ekonomia
5.
Lapangan pekerjaan utama Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, Gas, dan Air Konstruksi
6.
Perdagangan
No. 1. 2. 3. 4.
9.
Angkutan dan Komunikasi Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial
10.
Lain-Lain
7. 8.
a
Tahunb 2007
2008
2009
2013c
2010
2011
2012
351 191 306 001 7 851 6 338 31 314 33 754
24 436 944 12 447
41 613 1 287 15 885
54 486 998 20 420
107 129 905 24 635
223 986 2 475 33 781
367
1 146
1 055
1 569
2 785
16 051
26 536
48 178
66 492
92 603
295 195
370 907
486 018
9 075
17 697
17 289
21 768
36 506
99 050
140 989
176 760
276 887
255 311
264 569 281 004
6 402
22 609
16 451
26 564
91 939
227 216 228 644
422 148
617 942
765 264
910 060
4 038
4 385
125 137 116 081 1 264 624 428 1 006 448 1 222 281 094 67 423
930 095 1 252 499
66 845
1 258 376
886 117 1 256 610 1 586 919 2 060 437 2 675 930 3 553 520 3 565 521 TOTAL Sumber: Bank Indonesia (2013); b Tahun (Dalam juta rupiah); cJanuari 2013
4
BPRS memiliki tujuan utama untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat atas dasar syariah Islam sebagaimana telah diatur dalam UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam sehingga kehadiran bank syariah yang diyakini prinsip-prinsip dan operasionalnya sesuai dengan syariat Islam merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan. Hal ini didasarkan bahwa Islam adalah ajaran yang tidak hanya mengatur masalah aqidah dan akhlaq tetapi juga mengatur ibadah dan muamalah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial ekonomi2. Bank Indonesia (2013) memperlihatkan jumlah alokasi pembiayaan untuk sektor pertanian semakin meningkat dari tahun 2007 hingga 2012. Walaupun secara proporsi pembiayaan sektor pertanian masih cenderung stagnan, peningkatan alokasi pembiayaan tersebut memperlihatkan bahwa ketertarikan dan kepercayaan untuk membiayai sektor pertanian dari lembaga keuangan syariah mengalami peningkatan. Perkembangan positif ini harus dapat dimanfaatkan sebagai peluang agar alokasi dan proporsi pembiayaan untuk sektor pertanian semakin meningkat bahkan menjadi fokus utama. Beberapa kajian mengenai perkembangan pembiayaan syariah untuk sektor pertanian perlu dilakukan dan salah satunya dapat ditelaah dari aspek risiko. Kajian terhadap risiko pembiayaan syariah pertanian dapat memberikan gambaran mengenai potensi risiko yang sebenarnya pada sektor pertanian sehingga dapat dijadikan acuan ke depan untuk mengoptimalkan pembiayaan syariah dalam sektor pertanian.
Perumusan Masalah Pembiayaan yang disalurkan oleh bank dalam praktiknya tidak terlepas dari risiko, misalnya risiko terjadinya pembiayaan bermasalah/macet yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan operasional bank. Risiko pembiayaan dapat berasal dari kedua belah pihak, baik pihak bank maupun nasabah pembiayaan. Pihak internal bank bisa saja menetapkan kebijakan yang salah dalam hal penentuan nisbah bagi hasil ataupun penentuan marjin (dalam pembiayaan berakad jual beli) yang mengakibatkan pembiayaan bermasalah. Dari sisi nasabah, pembiayaan bermasalah dapat terjadi akibat kelalaian nasabah dan pelanggaran kontrak kerja sama, misalnya dalam bentuk penipuan/penggelapan sejumlah keuntungan tanpa sepengetahuan bank. Dalam penelitian ini, dipilih BPRS yang merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi sektor pertanian yang dianggap sebagai sektor berisiko tinggi. Oleh karena itu, penyaluran pembiayaan untuk pertanian yang dilakukan BPRS ini harus diimbangi dengan pengelolaan risikonya. Pada kasus ini, diambil objek penelitian di BPRS Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor. BPRS Amanah Ummah merupakan lembaga keuangan yang menyalurkan pembiayaannya ke pertanian. Kinerja BPRS Amanah Ummah dalam mengelola risiko pembiayaan dinilai cukup baik. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai NPF (non performing finance) bank pada tahun 2012 yang cukup rendah yaitu sebesar 1.09%. Walaupun mengalami peningkatan dari NPF tahun 2011 (0.65%), nilai 2
Menurut Abduh M. Khalid dalam http://www.amanahummah.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=153%3Arepu blika&catid=42%3Arokstories&Itemid=29 [diakses 2012 November 15]
5
tersebut masih dikatakan cukup baik. Pada dasarnya, NPF menunjukkan persentase pembiayaan yang bermasalah. Jadi, semakin tinggi NPF maka semakin tinggi pembiayaan bermasalah yang dihadapi pihak bank yang mengakibatkan tingginya risiko pembiayaan yang dihadapi bank. Jika dilihat dari NPF-nya secara keseluruhan, BPRS Amanah Ummah telah mengelola risiko pembiayaannya dengan baik. Namun, peneliti ingin melihat risiko pembiayaan di BPRS Amanah Ummah lebih spesifik ke sektor pertanian sehingga pada penelitian ini akan dianalisis risiko pembiayaan dan risiko terkait lainnya pada sektor pertanian. Rangkaian analisis risiko pembiayaannya terdiri dari identifikasi risiko, pengukuran risiko, pemetaan risiko, penghitungan potensi kerugian pembiayaan pertanian, dan terakhir tindakan mitigasi risikonya. Di sisi lain, jika melihat perkembangan yang cukup pesat pada perbankan syariah di Indonesia, ternyata tidak diimbangi dengan pemerataan komposisi pembiayaannya. Hal ini ditandai dengan masih dominannya penggunaan produk murabahah dibandingkan produk bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Padahal, produk bagi hasil lebih sesuai dengan sektor pertanian dan memang produk itulah yang menjadi keunggulan dari suatu bank syariah dibandingkan bank konvensional. Fenomena tersebut juga terjadi pada BPRS Amanah Ummah. Pelaku pertanian yang menjadi nasabah pembiayaan di BPRS Amanah Ummah mayoritas adalah pelaku usaha pertanian skala kecil, menengah, dan usaha yang sedang berkembang. Pada tahun 2012, jumlah nasabah pembiayaan pertanian yang terdapat pada BPRS Amanah Ummah sebanyak 21 orang dengan total pembiayaan sebesar Rp1 563 136 000. Usaha pertanian yang dijalani nasabah pembiayaan pertaniannya pun beragam mulai dari peternakan, perkebunan, dan perikanan. Namun, produk pembiayaan yang digunakan nasabah juga hampir seragam yaitu menggunakan pembiayaan murabahah (akad jual beli). Tercatat pada data BPRS Amanah Ummah tahun 2012, pembiayaan murabahah masih mendominasi penggunaan pembiayaan syariah (Tabel 4). Walaupun sudah mulai mengalami penurunan (dari tahun 2011 ke 2012), persentase pembiayaan dengan produk murabahah masih dominan dan pada tahun 2012 mencapai 89.48% atau dengan nominal pembiayaan sebesar Rp70 953 102 000. Tabel 4 Komposisi pembiayaan di BPRS Amanah Ummaha Produk 2011 2012 b c b pembiayaan Nominal Persentase Nominal Persentasec Murabahah 59 747 931 90.71 70 953 102 89.48 Musyarakah 50 000 0.08 Mudharabah 40 000 0.05 Ijarah 684 003 1.04 1 187 279 1.50 Istishna 1 742 109 2.64 2 659 511 3.35 Lain-Lain 3 642 125 5.53 4 455 009 5.62 Total 65 866 168 100 79 294 901 100 a c
Sumber: Diolah dari BPRS Amanah Ummah (2013); Persentase (%)
b
Nominal (Dalam ribuan rupiah);
6
Hal yang sama terjadi pada pembiayaan sektor pertanian. Penggunaan produk pembiayaan murabahah di BPRS Amanah Ummah juga mendominasi bahkan mencapai 98.19% dari total pembiayaan pertaniannya yang sebesar Rp1 888 000 000 (per Desember 2012). Untuk itulah, dalam penelitian ini akan diidentifikasi penyebab dominasi penggunaan produk pembiayaan murabahah pada sektor pertanian agar nantinya dapat lebih dikembangkan penggunaan produk pembiayaan lainnya seperti produk bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) yang lebih tepat sasaran pada pembiayaan produktif di pertanian.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi risiko pembiayaan untuk sektor pertanian dan risiko lainnya pada proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah. 2. Menganalisis pengukuran dan pemetaan risiko pembiayaan untuk sektor pertanian dan risiko lainnya pada proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah. 3. Menghitung potensi kerugian pembiayaan untuk sektor pertanian pada BPRS Amanah Ummah. 4. Menganalisis tindakan mitigasi risiko pembiayaan untuk sektor pertanian dan risiko lainnya pada proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah. 5. Mengidentifikasi penyebab dominasi penggunaan pembiayaan murabahah pada sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, yaitu: 1.
2.
3.
Bagi pihak BPRS Amanah Ummah, dapat dijadikan sumber informasi serta rekomendasi mengenai pemetaan risiko pembiayaan dan tindakan mitigasi risiko pembiayaan, khususnya yang berkaitan dengan sektor pertanian. Bagi pemerintah, dapat dijadikan salah satu referensi dan kajian studi lapang mengenai risiko pembiayaan syariah yang terdapat pada grassroot lembaga keuangan syariah. Bagi masyarakat yang ingin mengakses pembiayaan pertanian, dapat dijadikan sumber informasi awal mengenai pembiayaan syariah untuk sektor pertanian.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis risiko pembiayaan syariah pada sektor pertanian. Penelitian ini hanya mencakup risiko yang terdapat pada kegiatan funding dan financing di BPRS Amanah Ummah khususnya pada sektor pertanian dan risiko-risiko lain yang muncul karena adanya pola bagi hasil (profit-
7
loss sharing). Pada penelitian ini, pembatasan dilakukan terhadap lingkup risiko yang diteliti, yakni hanya mencakup pada risiko pembiayaan dan risiko operasional pada BPRS Amanah Ummah, tidak mempertimbangkan risiko pasar. Pembatasan juga dilakukan terhadap lingkup sektoral yang diteliti, yakni berfokus kepada pembiayaan syariah untuk sektor pertanian.
TINJAUAN PUSTAKA Pembiayaan Syariah Pembiayaan syariah yang memakai konsep bagi hasil lebih prospektif dalam peningkatan sektor riil, produktivitas, serta pengurangan kemiskinan dan pengangguran. (Hafidhuddin dan Syukur 2008). Selain itu, pembiayaan syariah memiliki beberapa landasan filosofis yang membedakannya secara signifikan dengan sistem konvensional sehingga dalam praktik perbankan pun pembiayaan syariah harus menaati landasan filosofis tersebut. Landasan filosofis yang dimaksud antara lain: tauhid, keadilan dan keseimbangan, kebebasan, amanah dan pertanggungjawaban, serta saling tolong menolong dan menanggung beban (Hafidhuddin dan Syukur 2008).
Pembiayaan Syariah Sektor Pertanian Pembiayaan syariah mulai dikenal di Indonesia sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 November 1991. Pada awal pendiriannya, keberadaan bank syariah masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah dan hanya dilindungi perangkat hukum UU No 7 tahun 1992 yang hanya membahas sistem bagi hasil secara singkat. Pada era reformasi, ditetapkan UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan Syariah yang memberikan landasan hukum lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi perkembangan pembiayaan syariah, khususnya kepada sektor riil. Kaitannya dengan pertanian, keberadaan lembaga pembiayaan syariah berpeluang besar untuk memperkuat sisi permodalan sektor pertanian yang masih lemah. Ashari dan Saptana (2005) menjelaskan beberapa hal yang melandasi prospek pembiayaan syariah untuk sektor pertanian, yaitu: 1. Karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian, terutama dengan skema bagi hasil (syirkah). 2. Skema pembiayaan syariah sudah dipraktikkan secara luas oleh petani Indonesia, seperti maro dan mertelu (sejalan dengan sistem mudharabah). 3. Luasnya cakupan usaha di sektor pertanian, dimulai dari subsistem hulu, budidaya, hilir hingga pemasaran hasil dari berbagai komoditas sehingga memungkinkan untuk menggunakan pembiayaan model syariah.
8
4. 5.
Produk pembiayaan syariah cukup beragam. Tingkat kepatuhan petani yang sebagian besar petani kecil di pedesaan dan umumnya menghormati aturan keagamaan dalam kehidupan seharihari. 6. Komitmen bank syariah untuk usaha kecil menengah, termasuk berbagai usaha di sektor pertanian. 7. Usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil, sesuai dengan prinsip pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan pada sektor riil. Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, ada beberapa bentuk pembiayaan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik dari produksi pertanian itu sendiri (Syaukat 2011). Melihat potensi pertanian Indonesia yang sangat besar, sudah seharusnya proporsi pembiayaan syariah untuk pertanian semakin ditingkatkan. Sebagai contoh, pembiayaan syariah untuk pertanian di Pakistan telah beroperasi secara luas dan masif yang pelaksanaan aktivitas pembiayaannya telah ditentukan oleh bank sentralnya, yaitu State Bank of Pakistan (SBP). Selain itu, SBP juga telah menetapkan sejumlah pedoman penerapan metode pembiayaan syariah untuk pertanian. Metode pembiayaan syariah ini dapat diterapkan pada berbagai subsektor pertanian seperti subsektor peternakan, perikanan, perkebunan, pengolahan, dan pembiayaan sarana prasarana yang mendukung sektor pertanian itu sendiri. Pedoman metode pembiayaan syariah pada sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 5 yang memperlihatkan bahwa pembiayaan syariah ke sektor pertanian sangat mungkin dilakukan dengan menggunakan berbagai produk pembiayaan syariah yang ada. Tabel 5 Metode pembiayaan syariah pada sektor pertaniana No. Tujuan 1. Mekanisasi pertanian; pembelian alat dan mesin pertanian 2. Pembiayaan sarana transportasi 3. Pembiayaan peternakan; pembelian sapi, kerbau, domba, dan lain-lain 4. Instalasi irigasi; pembuatan sumur; sistem distribusi air 5. Pembangunan dan penerapan lahan 6. Pengembangan peternakan; pembuatan kandang, pembelian ayam 7. Pengembangan perikanan; pembelian perahu, mesin, jaring, dan lain-lain 8. Usaha sapi perah; pembelian mesin pengolah susu 9. Pembangunan green house, cold storage 10. Pembangunan kandang ayam dan sapi, pengolahan benih, dan pendinginan susu 11. Instalasi pengolahan sayur dan buah a
Metode pembiayaan syariah Mudharabah /Ijarah/Musyarakah Ijarah/Musyarakah/Murabahah Murabahah/Musyarakah/Istishna Ijarah/Murabahah/Musyarakah/Service Ijarah Salam/Istishna Musyarakah/Murabahah/Ijarah/Istishna
Ijarah/Musyarakah/Murabahah/Istishna Ijarah/Musyarakah/Murabahah/Istishna Ijarah/Musyarakah/Murabahah/Istishna Ijarah/Musyarakah/Murabahah/Istishna
Ijarah/Musyarakah/Murabahah/Istishna
Sumber : State Bank of Pakistan dalam Jurnal Ekonomi Islam Iqtishodia
9
Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Ashari dan Saptana (2005) dengan judul “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian” berusaha menjelaskan alternatif permodalan dalam pertanian selain kredit konvensional, yaitu dengan menggunakan pembiayaan syariah. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu skim pembiayaan syariah memiliki kesesuaian tinggi dengan karakteristik usaha pertanian dan terdapat beberapa jenis produk pembiayaan syariah yang berpeluang besar untuk diimplementasikan pada sektor pertanian, seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah, ba’i al murabahah, ba’i as-salam, ba’i al istishna dan rahn. Banyaknya alternatif pembiayaan syariah ini cukup memberikan keleluasaan bagi pelaku bisnis pertanian untuk memilih skim pembiayaan yang sesuai dengan kegiatan usahanya. Penelitian ini juga menjabarkan 7 hal yang menunjukkan prospek positif pembiayaan syariah untuk sektor pertanian. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu cakupannya terlalu makro (keadaan pembiayaan syariah dan pertanian di Indonesia) sehingga belum tentu sesuai dengan keadaan nyata yang terjadi di lapangan secara mikro, misalnya pada lembaga pembiayaan rakyat syariah seperti BPRS yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Triawan (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Risiko Portofolio dan Potensi Kerugian Pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah dengan Metode Creditrisk+” dengan tujuan untuk menganalisis portofolio pembiayaan syariah yang optimal pada BPRS Amanah Ummah, menghitung potensi kerugian pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah, dan menerapkan strategi mitigasi risiko pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah. Dalam menghitung portofolio pembiayaan optimal, digunakan metode lagrange dan perhitungan potensi kerugian pembiayaan digunakan metode creditrisk+. Hasil dari penelitian ini yaitu portofolio pembiayaan syariah yang optimal di BPRS Amanah Ummah (84.76% pembiayaan murabahah; 6.85% pembiayaan mudharabah; 1.53% pembiayaan salam; 0.29% pembiayaan ijarah; 1.00% pembiayaan qardh), potensi kerugian pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah untuk periode berikutnya (Rp1 650 150 000 atau 7.10% dari total dana pembiayaan yang disalurkan) dan pengelolaan risiko yang dilakukan manajemen BPRS Amanah Ummah seperti analisis pembiayaan dengan prinsip 5C (character, capital, collateral, capacity, conditions) serta penanganan pembiayaan bermasalah. Penelitian Triawan (2008) memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam hal kesamaan lokasi penelitian dan metode penghitungan potensi kerugian pembiayaan. Namun, pada penelitian ini, potensi kerugian pembiayaan dan tindakan mitigasi risiko lebih difokuskan kepada risiko-risiko yang ada pada pembiayaan sektor pertanian agar dapat dikaji lebih dalam kaitan risiko pembiayaan syariah dengan sektor pertanian. Kurnia (2009) melakukan penelitian mengenai pembiayaan syariah di sektor agribisnis pada skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Syariah pada Sektor Agribisnis” dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis skim pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis, efektivitas penyaluran pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis, faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis, dan pemanfaatan pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis yang diterapkan oleh KBMT Tadbiirul Ummah. Hasil dari penelitian tersebut
10
menunjukkan bahwa pembiayaan untuk sektor agribisnis masih sangat minim dan masih belum dapat dijadikan alternatif pembiayaan. Namun, untuk efektivitas penyaluran pembiayaannya kepada sektor agribisnis dapat dikatakan efektif karena efektivitasnya mampu mencapai 81% jika dilihat dari jumlah nominal pembiayaan yang diberikan dan mencapai 88% jika dilihat dari jumlah mitranya. Penelitian tersebut juga menunjukkan faktor signifikan yang mempengaruhi realisasi pembiayaan untuk sektor agribisnis, yakni bagi hasil dan untuk pemanfaatan pembiayaan syariah pada sektor agribisnis dicapai sebesar 81.8%. Kesamaan penelitian Kurnia (2009) dengan penelitian ini yaitu kesamaan sektor kajiannya yang mengkaji pembiayaan syariah pada sektor agribisnis/pertanian. Namun, penelitian ini lebih berfokus pada aspek risiko-risiko pembiayaan yang terjadi pada pembiayaan syariah. Penelitian yang dilakukan Anindhita (2012) dengan judul “Kajian Manajemen Risiko Pembiayaan UMKM pada Produk Murabahah dan Ijarah (Studi Kasus BMT Al-Fath IKMI Ciputat)” bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang dapat memprediksi kolektibilitas debitur BMT Al-Fath IKMI, menghitung pencadangan yang harus disediakan akibat terjadinya default, dan menganalisis tindakan mitigasi risiko pembiayaan untuk mengurangi kerugian. Hasil dari penelitian tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kolektibilitas debitur (usia, pendidikan terakhir, jenis jaminan, total pendapatan, total biaya hidup), potensi kerugian pembiayaan yang akan dialami BMT Al-Fath IKMI dengan menggunakan metode creditrisk+ (Rp460 050 000 atau 7.06% dari total pembiayaan murabahah dan ijarah), dan tindakan mitigasi risiko yang dilakukan yaitu tidak memberikan pembiayaan kepada debitur yang masuk pada kolektibilitas 3-5, mensyaratkan jaminan, tidak memberikan pembiayaan yang terlalu besar, rescheduling, reconditioning, serta meminta izin untuk menjual jaminan debitur. Kesamaan yang terdapat pada penelitian Anindhita (2012) dengan penelitian ini adalah kesamaan penggunaan metode dalam penghitungan potensi kerugian pembiayaan sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan metode Enterprise Risk Management (ERM) dalam analisis risikonya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitianpenelitian terdahulu karena difokuskan pada risiko pembiayaan syariah untuk sektor pertanian.
11
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Keseimbangan Kredit Menurut Nuryartono (2005, dalam Mulyarto 2009), permintaan pinjaman dana atau kredit berbeda dengan permintaan atas barang dalam pasar secara umum. Di dalam pasar, tiap-tiap harga barang akan melakukan penyesuaian secara otomatis untuk memenuhi permintaan (demand) dan penawaran (supply) barang. Jika terdapat kelebihan permintaan barang maka harga akan naik dan jumlah persediaan barang akan meningkat. Lain halnya dengan permintaan dana (kredit), dalam pemenuhan permintaan kredit akan terdapat keterbatasan apabila terjadi kelebihan permintaan kredit atau pinjaman. Jika permintaan kredit melebihi persediaannya (mengikuti aturan umum yang berlaku dalam pasar kredit) maka akan diikuti dengan peningkatan jumlah pinjaman sedangkan tingkat suku bunga yang dikenakan tetap. Selain itu, yang membedakan permintaan barang dengan permintaan kredit adalah risiko karena dalam permintaan kredit, risiko yang dihadapi adalah pengembalian kredit yang sering terkendala dalam pengembaliannya sehingga menyebabkan kredit macet. Oleh karena itu, untuk menghindari risiko yang terjadi, diperlukan adanya jaminan dalam permintaan kredit yang berguna sebagai alat pengaman apabila usaha yang dibiayai oleh kredit tersebut gagal atau penyebab lain yang mengakibatkan debitur tidak dapat melunasi kreditnya. Gambar 1 memperlihatkan bahwa pada saat keseimbangan awal, keseimbangan ada pada titik E0 dengan jumlah kredit yang ditawarkan adalah Q0 dan harga (tingkat bunga) i0. Jika jumlah permintaan terhadap kredit mengalami peningkatan (D0 ke D1) maka jumlah kredit juga akan meningkat menjadi Q1 dan tingkat suku bunga menjadi i1. Dengan demikian, tingkat suku bunga akan naik sehingga dalam jangka panjang pemerintah akan mengeluarkan berbagai kebijakan. Hal ini diharapkan dapat menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1. Dengan kata lain, tingkat keseimbangan turun ke E2 sehingga terjadi keseimbangan baru dengan tingkat suku bunga lebih rendah (i2). Tingkat Bunga i1
D1
S0 E1
D0
S1
i2
i0
E2 E0
Jumlah Kredit Q0
Q1
Q2
Gambar 1 Kurva keseimbangan kredit
12
Dalam menyalurkan pembiayaan, sebuah lembaga pembiayaan harus melakukan penilaian terhadap permohonan pembiayaan dan harus memperhatikan 5 prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon peminjam. Prinsip pembiayaan ini dikenal dengan prinsip 5C, yaitu: 1. Character, penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon peminjam dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa peminjam dapat memenuhi kewajibannya. 2. Capacity, penilaian secara subjektif tentang kemampuan peminjam untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi peminjam di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatannya. 3. Capital, penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon peminjam yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh rasio finansialnya dan penekanan pada komposisi modalnya. 4. Condition, pihak pemberi dana harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat dan secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon peminjam. Hal tersebut dilakukan karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon peminjam. 5. Collateral, jaminan yang dimiliki oleh calon peminjam. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu risiko kegagalan pembayaran terjadi maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajibannya. Pengertian Pembiayaan Syariah Menurut UU Perbankan No 10 tahun 1998, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan. Selanjutnya, Antonio (2001) menyebutkan bahwa pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk pemenuhan kebutuhan pihak-pihak yang merupakan unit defisit. Rivai (2008) mengatakan bahwa pembiayaan artinya kepercayaan (trust), berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul maal menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Dana tersebut harus dipergunakan dengan benar, adil, disertai dengan syarat-syarat yang jelas, dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Pada bank syariah, tidak terdapat istilah kredit dan hanya terdapat istilah pembiayaan. Sebenarnya, kedua istilah tersebut memiliki prinsip yang sama. Namun, pada bank syariah, terdapat expected rate of return sebagai pengganti fix interest (bunga) yang dijadikan kontraprestasi bagi nasabah penyimpan dana di bank konvensional. Jadi, khususnya pada konsep bagi hasil (syirkah), bank syariah cenderung memperhatikan usaha yang diberikan pembiayaan karena jika usahanya rugi, kerugiannya akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
13
Fungsi Pembiayaan Rivai (2008) menjelaskan bahwa pembiayaan memiliki fungsi-fungsi yang sangat penting dalam sistem perekonomian baik secara makro maupun mikro. Fungsi-fungsi tersebut yaitu pembiayaan: (1) dapat meningkatkan daya guna dari modal/uang, (2) dapat meningkatkan daya guna dari suatu barang, (3) dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, (4) dapat menimbulkan gairah usaha masyarakat, (5) sebagai alat stabilitas ekonomi negara, seperti: pengendalian inflasi, peningkatan ekspor, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat, serta (6) sebagai jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional. Produk-Produk Pembiayaan Syariah Produk-produk pembiayaan syariah yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (1) produk penyaluran dana (financing), (2) produk perhimpunan dana (funding), dan (3) produk jasa (Karim 2009). Penjelasan mengenai produk-produk pembiayaan syariah tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Produk-produk pembiayaan syariaha No. 1.
Produk Pelaku terkait pembiayaan Prinsip jual beli (ba’i) a. Murabahah Bank, nasabah, supplier penjual b. Salam Bank, nasabah, rekanan nasabah/BULOG
c. Istishna
2.
Prinsip bagi hasil (syirkah) a. Musyarakah Bank, nasabah b. Mudharabah
3.
4.
5.
6. a
Bank, produsen pembuat barang, nasabah
Prinsip sewa (ijarah) a. Ijarah
Bank, nasabah
Keterangan Adanya perpindahan kepemilikan barang Penjualan dengan basis penangguhan pembayaran dan harga ditentukan dengan dasar fixed mark-up point Jual beli barang dimana barang yang diperjualbelikan belum ada, sementara pembayaran dilakukan secara tunai. Jual beli sudah ditentukan spesifikasi, kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan Penyediaan dana untuk transaksi jual beli melalui pesanan pembuatan barang yang dibayar oleh bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah Adanya kerja sama dan bagi hasil Akad kerja sama beberapa pihak dalam penyediaan dana dan manajemen Akad kerja sama antara kedua belah pihak, yaitu pemilik modal dengan pengelola Adanya perpindahan manfaat
Prinsipnya sama dengan prinsip ba’i, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada ijarah, objeknya adalah jasa b.IMBT Bank, nasabah, Akad ijarah yang diikuti dengan perjanjian untuk penjual/supplier mengalihkan kepemilikan barang di akhir masa sewa Akad pelengkap Digunakan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan tidak ditujukan untuk mengambil keuntungan a. Rahn Bank, nasabah Gadai yang digunakan untuk memberikan jaminan pembayaran kembali pada bank b. Qardh Bank, objek yang diberikan Pinjaman uang untuk talangan haji, pengusaha kecil pinjaman dan pengurus bank Prinsip funding Bank, nasabah (pihak yang Pihak yang dititipi dana bertanggung jawab atas wadi’ah yad menitipkan dana) keutuhan harta titipan sehingga pihak itu boleh dhamanah memanfaatkan harta titipan tersebut Prinsip funding Bank, nasabah (pihak yang Dana titipan dapat digunakan bank untuk pembiayaan mudharabah menitipkan dana) dan hasil usaha dibagi berdasarkan kesepakatan nisbah Bank, nasabah, penjual/supplier
Sumber: Diolah oleh penulis dari Karim (2009)
14
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Khan dan Ahmed (2008) menjelaskan bahwa lembaga keuangan syariah merupakan alternatif dari lembaga keuangan konvensional yang ditujukan untuk menawarkan kesempatan investasi, pembiayaan, dan perniagaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian (2011) menjelaskan bahwa lembaga keuangan (dapat disebut juga lembaga pembiayaan) merupakan institusi yang berperan dalam meningkatkan akses permodalan bagi peningkatan kapasitas produksi sebuah lembaga bisnis seperti perusahaan. Secara umum, lembaga keuangan syariah dapat dibagi menjadi 2, yaitu lembaga keuangan syariah bank dan non bank. Menurut Undang-Undang Perbankan No 10 tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Menurut hukum perbankan yang berlaku, Indonesia adalah negara yang menganut konsep perbankan nasional dengan sistem ganda (dual banking system), artinya selain perbankan konvensional yang beroperasi berdasarkan sistem bunga, terdapat pula perbankan syariah yang tidak menggunakan sistem bunga. Terdapat beberapa perbedaan prinsip antara bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Perbedaan prinsip: bank syariah vs bank konvensionala Prinsip Falsafah Operasional
Aspek Sosial
Bank syariah Tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan ketidakjelasan Perhimpunan dana berasal dari dana masyarakat berupa titipan/wadi’ah dan investasi yang baru akan menghasilkan jika diusahakan terlebih dahulu
Bank konvensional Berdasarkan bunga
Penyaluran dana pada usaha yang halal dan menguntungkan
Penyaluran dana pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama Tidak diketahui secara tegas
Perhimpunan dana berasal dari dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayarkan bunganya pada saat jatuh tempo
Dinyatakan secara eksplisit, tertuang, dan tegas Organisasi Memiliki dewan pengawas yaitu Tidak memiliki dewan pengawas Dewan Pengawas Syariah (DPS) a Sumber: Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian (2011)
Bank syariah merupakan institusi yang berperan dalam memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah (Sudarsono 2012). Menurut UU No 12/2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah dapat diklasifikasikan menjadi Bank Umum Syariah (BUS) / Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). BUS adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah). UUS adalah unit kerja dari kantor induk
15
atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau unit kantor cabang dari suatu bank syariah. Seiring dengan pertumbuhan LKS bank yang sangat pesat, terdapat pula LKS non bank. Perkembangan LKS non bank semakin meningkat dilihat dari jumlah unit maupun alokasi pembiayaannya (Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian 2011). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya institusi LKS non bank, seperti multifinance syariah, baitul maal wat tamwil (BMT), lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), asuransi syariah, lembaga penjaminan pembiayaan syariah, dan gadai syariah (rahn). Pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Menurut Undang-Undang (UU) Perbankan No 10 tahun 1998, bank perkreditan rakyat (BPR) adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Jadi, secara teknis, BPRS dapat diartikan sebagaimana BPR konvensional yang operasinya mematuhi prinsip-prinsip syariah (Sudarsono 2012). Menurut pasal 2 PBI No 6/17/PBI/2004 tentang BPR Berdasarkan Prinsip Syariah, BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukumnya dapat berupa perseroan terbatas, koperasi atau perusahaan daerah (Sutedi 2009). Fungsi BPRS Fungsi utama BPRS adalah sebagai sebuah lembaga intermediasi yang menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Namun, BPRS dihadapkan pada suatu kondisi ketidakpastian yang berpotensi menimbulkan risiko dalam menjalankan fungsi tersebut sehingga penting untuk mengidentifikasi risikonya. Hal ini dapat berpengaruh pada kinerja pembiayaan khususnya kualitas pembiayaan pada sektor pertanian yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tinggi rendahnya tingkat pembiayaan bermasalah. Kegiatan Operasional BPRS Kegiatan operasional BPRS yang tercakup dalam pasal 27 SK Direktur BI No 32/36/KEP/DIR/1999 (Sudarsono 2012) adalah: 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi: a. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah. b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah. c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadi’ah atau mudharabah. 2. Melakukan penyaluran dana melalui: a. Transaksi jual beli berdasarkan prinsip: murabahah, istishna, ijarah, salam, jual beli lainnya sesuai dengan prinsip syariah. b. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip: mudharabah, musyarakah, bagi hasil lainnya sesuai dengan prinsip syariah. c. Pembiayaan lain berdasarkan prinsip: rahn, qardh. 3. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPRS selama mendapat persetujuan dari Dewan Syariah Nasional. Jika dibandingkan dengan BPR konvensional, kegiatan operasional BPRS lebih terbatas karena beberapa kegiatan tidak sesuai dengan prinsip syariah. BPRS
16
tidak diizinkan untuk menerima dana simpanan dalam bentuk giro, sekalipun hal ini dilakukan dalam bentuk wadi’ah (Sudarsono 2012). Selain itu, BPRS juga dilarang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal, dan melakukan usaha perasuransian. Pengertian Manajemen Risiko Siahaan (2009) mendefinisikan risiko sebagai ketidakpastian dan berkaitan dengan kemungkinan kerugian terutama yang menimbulkan masalah. Siahaan (2009) juga menambahkan bahwa risiko yang muncul harus dikelola dengan proses sistematis yang disebut manajemen risiko. Jika dilihat dari sudut pandang perbankan, risiko merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) dan memiliki dampak negatif terhadap pendapatan maupun permodalan bank (Karim 2009). Oleh karena itu, perbankan syariah juga memerlukan serangkaian proses manajemen risiko. Manajemen risiko berperan sebagai pemberi peringatan dini terhadap kegiatan usaha bank. Karim (2009) mengemukakan tujuan manajemen risiko itu sendiri, yaitu: 1. Menyediakan informasi tentang risiko kepada pihak regulator. 2. Memastikan bank tidak mengalami kerugian yang bersifat unacceptable. 3. Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat uncontrolled. 4. Mengukur eksposur dan pemusatan risiko. 5. Mengalokasikan modal dan membatasi risiko. Karakter Manajemen Risiko Bank Syariah Risiko dalam bank syariah memiliki karakter yang berbeda dengan bank konvensional, terutama karena adanya prinsip syariah yang menimbulkan risikorisiko khas yang hanya melekat pada bank syariah. Karim (2009) menyebutkan bahwa risiko-risiko khas tersebut muncul karena 6 hal, yaitu: 1. Proses transaksi pembayaran. Pada bank syariah, terdapat 3 aspek, yaitu proses pembiayaan syariah, proses transaksi bagi hasil dana pihak ketiga, dan proses transaksi devisa. 2. Proses manajemen. Keunikan bank syariah dalam proses ini terlihat dari sistem dan prosedur operasional akuntansi, teknologi informasi, tutup buku, serta pengembangan produk. 3. Sumber daya manusia. Keunikan bank syariah dalam sumber daya manusia terlihat pada spesifikasi kapabilitas yang tidak hanya mencakup pada bidang perbankan namun juga meliputi aspek-aspek syariah. 4. Teknologi. Keunikan bank syariah dalam bidang teknologi terlihat pada Business Requirement Spesifications (BRS) untuk pembiayaan berbasis bagi hasil dan BRS dana pihak ketiga. 5. Lingkungan eksternal. Keunikan bank syariah dalam hal ini terlihat pada keberadaan dual regulatory body, yaitu Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.
17
Kerusakan. Keunikan bank syariah dalam hal ini terlihat misalnya ketika terjadi kerusakan pada objek ijarah. Proses manajemen risiko operasional bank syariah meliputi identifikasi, penilaian, antisipasi, dan pemantauan risiko. Identifikasi risiko meliputi risiko umum pada perbankan dan risiko khas yang hanya ada pada bank syariah seperti yang telah dijabarkan sebelumnya. Penilaian risiko terlihat pada hubungan antara kemungkinan terjadi dan dampak jika terjadinya risiko. Pada antisipasi risiko, dalam bank syariah meliputi 3 tujuan, yaitu: 1. Preventive, bank syariah memerlukan persetujuan Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mencegah kekeliruan proses dan transaksi dari aspek syariah; 2. Detective, pengawasan dalam bank syariah dipantau oleh Bank Indonesia dari aspek perbankan dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari aspek syariah; 3. Recovery, koreksi atas suatu kesalahan dapat melibatkan Bank Indonesia untuk aspek perbankan dan Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk aspek syariah. Proses yang terakhir adalah monitoring risiko yang pemantauannya tidak hanya meliputi manajemen bank syariah tetapi juga melibatkan Dewan Pengawas Syariah (DPS). 6.
Jenis-Jenis Risiko Bank Syariah Karim (2009) memaparkan bahwa secara umum, risiko-risiko yang ada pada aktivitas fungsional bank syariah dapat diklasifikasikan ke dalam 3 jenis risiko, yaitu risiko pembiayaan, risiko pasar, dan risiko operasional. Dalam hal ini, risiko pasar tidak akan terlalu dibahas secara mendalam dan hanya berfokus pada risiko pembiayaan dan risiko operasional. 1. Risiko Pembiayaan Risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counterparty (pihak ketiga) dalam memenuhi kewajibannya. Pada bank syariah, risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank. a. Risiko Terkait Produk Risiko pembiayaan terkait produk dapat ditinjau dengan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis kontrak tersebut. Risiko ini dibagi berdasarkan sifat produknya, yaitu risiko pembiayaan berbasis natural certainty contracts (seperti murabahah, ijarah, IMBT, salam, dan istishna) serta risiko pembiayaan berbasis natural uncertainty contracts (seperti musyarakah dan mudharabah). Risiko terkait pembiayaan berbasis natural certainty contracts mencakup 2 aspek, yaitu default risk (risiko kebangkrutan) dan recovery risk (risiko jaminan). Default risk terjadi karena adanya risiko industri, kondisi internal kegiatan usaha nasabah, dan faktor negatif lainnya yang mempengaruhi kegiatan usaha nasabah. Recovery risk dipengaruhi oleh kesempurnaan pengikatan jaminan, nilai jual kembali jaminan,
18
2.
tuntutan hukum pihak lain atas jaminan, dan kredibilitas penjamin. Produk pembiayaan yang masuk ke dalam kategori risiko ini, yaitu: (a) Risiko Pembiayaan Murabahah Risiko yang mungkin timbul dalam pembiayaan ini adalah risiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga dalam jangka panjang. Risiko ini muncul karena kenaikan market rate dari bank pesaing. (b) Risiko Pembiayaan Ijarah Pada pembiayaan ijarah, risiko yang mungkin timbul adalah risiko tidak produktifnya aset ijarah, risiko rusaknya barang yang disewakan karena pemakaian di luar normal, dan risiko lainnya. (c) Risiko Pembiayaan IMBT (Ijarah Muntahia Bit Tamwil) Contoh risiko yang dapat terjadi dalam pembiayaan ini adalah risiko ketidakmampuan nasabah untuk membayar harga beli barang. (d) Risiko Pembiayaan Salam dan Istishna Risiko yang dapat terjadi dalam pembiayaan ini adalah risiko gagalnya penyerahan barang (non deliverable risk) dan risiko jatuhnya harga barang (price-drop risk). Risiko lainnya yaitu terkait pembiayaan berbasis natural uncertainty contracts. Penilaian terhadap risiko ini mencakup 3 aspek, yaitu business risk, shrinking risk (risiko berkurangnya nilai pembiayaan mudharabah/musyarakah), dan character risk (risiko karakter buruk mudharib). Business risk dipengaruhi oleh risiko industri dan faktor negatif lain pada nasabah. Shrinking risk dipengaruhi oleh risiko bisnis yang tidak biasa, jenis bagi hasil yang dilakukan, dan kejadian force majeure sedangkan character risk dipengaruhi oleh kelalaian nasabah, pelanggaran kesepakatan, dan ketidakprofesionalan nasabah dalam pengelolaan yang disepakati. b. Risiko yang Timbul dari Lemahnya Bank Terdapat 3 macam risiko yang timbul akibat lemahnya analisis bank, seperti: (1) analisis pembiayaan yang keliru, terjadi karena sejak awal kegiatan usaha yang diberikan pembiayaan memang berisiko tinggi dan terjadi karena kesalahan dari sumber informasi yang tersedia; (2) creative accounting, merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan kebijakan akuntansi perusahaan yang memberikan keterangan yang menyesatkan tentang suatu laporan keuangan sehingga keuntungan perusahaan terlihat lebih besar dari sebenarnya; (3) karakter nasabah yang dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet sehingga bank perlu waspada dan harus membuat keputusan pembiayaan berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah. Risiko Operasional Risiko operasional adalah risiko yang disebabkan oleh ketidakcukupan atau tidak berfungsinya fungsi internal, human error, kegagalan sistem, dan masalah eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Ada 3 hal
19
yang menjadi penyebab terjadinya risiko ini, yaitu: (1) infrastruktur, (2) proses, dan (3) sumber daya. Risiko ini mencakup 5 hal, yaitu risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko transaksi, risiko strategis, dan risiko hukum. a. Risiko Reputasi Risiko ini disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan bank atau adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap bank. b. Risiko Kepatuhan Risiko ini disebabkan oleh ketidakpatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal. Contoh ketentuan-ketentuan tersebut adalah ketentuan giro wajib minimum, NPF (non performing financing), limitasi pemberian pembiayaan, ketentuan penyediaan produk, perpajakan, ketentuan akad dan kontrak, serta fatwa Dewan Syariah Nasional. c. Risiko Strategis Risiko ini disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan yang salah atau bank tidak mematuhi perubahan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. d. Risiko Transaksi Risiko ini disebabkan oleh permasalahan dalam pelayanan atau produk-produk yang disediakan. Penyebab timbulnya risiko ini antara lain yaitu karena kekeliruan, kecurangan, ketidaksempurnaan akad, kekeliruan dalam penetapan akad, kasus hukum, dan sistem teknologi dan informasi. e. Risiko Hukum Risiko ini disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perjanjian. Pengertian Enterprise Risk Management (ERM) Enterprise Risk Management (ERM) adalah seluruh metode dan proses yang digunakan organisasi perusahaan untuk mengelola risiko, baik dalam menghindari kerugian maupun untuk meraih peluang yang menguntungkan, berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi perusahaan (Siahaan 2009). Dalam kerangka ERM, risiko juga dipandang sebagai sebuah peluang bagi keuntungan yang potensial, dibandingkan sebagai sesuatu yang harus dikurangi atau dihilangkan. Tahapan pada pengambilan keputusan dalam ERM pun juga meningkat, tidak hanya berhenti pada tingkatan manajer risiko, namun harus sampai kepada dewan direksi perusahaan dan dapat menghadapi risiko sebagai sebuah peluang yang menguntungkan. (Kawamoto dalam D’Arcy 2001) Secara garis besar, ERM meliputi 3 tahap. Pertama, pengidentifikasian keadaan-keadaan yang terjadi berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan untuk mengoptimalkan risiko kerugian dan meraih risiko peluang yang menguntungkan. Kedua, menilai risiko dengan 2 dimensi, yaitu dimensi kemungkinan terjadinya (probability) dan dimensi dampak terjadinya (impact). Ketiga, menentukan strategi yang tepat dalam menghadapi risiko yang
20
bersangkutan. Ringkasnya, ERM membantu sebuah perusahaan untuk dapat mencapai tujuan organisasi dan menghindari risiko-risiko yang terjadi dalam perjalanan menuju tujuan tersebut. Siahaan (2009) merujuk pada COSO Standard of Enterprise Risk Management Integrated Framework, menjelaskan bahwa pengertian ERM adalah suatu proses yang dilakukan oleh dewan direksi, manajemen dan karyawan lainnya dalam mengaplikasikan pengaturan strategi melingkupi seluruh perusahaan. ERM dirancang untuk mengidentifikasi potensi kejadian yang dapat mempengaruhi perusahaan, dan mengelola risiko yang ada untuk memberikan kepastian terhadap pencapaian tujuan perusahaan. RIMS (Risk and Insurance Management Society) dalam Siahaan (2009) menjelaskan bahwa ERM memiliki pengertian yaitu budaya, proses, dan alat-alat untuk mengidentifikasi peluang strategis dan perspektif strategi, dan merupakan proses yang mendukung pengurangan ketidakpastian serta meningkatkan eksploitasi peluang yang menguntungkan. Kountur (2008) mengatakan ERM adalah suatu proses atau metode yang digunakan perusahaan untuk menangani risiko-risiko yang dihadapi dalam usaha mencapai tujuannya. ERM diartikan secara luas agar dapat diperoleh konsepkonsep penting bagaimana cara organisasi/perusahaan dalam mengelola risiko dan memberikan dasar bagi suatu organisasi/perusahaan. ERM dapat diaplikasikan oleh berbagai perusahaan, termasuk perbankan syariah karena pada dasarnya, yang ditawarkan oleh ERM adalah sebuah konsep dan metode pengelolaan risiko secara terintegrasi. Tujuan ERM Kerangka kerja ERM diarahkan untuk mencapai tujuan perusahaan yang ditetapkan dalam 4 kategori, yaitu: 1. Strategy, yakni sasaran tertinggi harus selalu disesuaikan dan selaras dengan misi perusahaan. 2. Operation, yakni tujuan operasi menyangkut efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya yang ada. 3. Reporting, yakni tujuan menyangkut dapat dipercaya atau tidaknya sebuah laporan operasional perusahaan dan laporan-laporan lainnya yang berujung pada kualitas kendali internal perusahaan. 4. Compliance, yakni tujuan menyangkut ketaatan pada hukum dan regulasi yang berlaku, misalnya pada bank syariah, ketaatan terhadap peraturan perbankan dari Bank Indonesia dan prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional. Tahapan Komponen ERM Kerangka ERM memiliki 8 tahapan komponen penting yang saling berkaitan dan berhubungan dalam pengelolaan risiko yang diterapkan oleh sebuah perusahaan. Delapan tahapan komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Internal environment Lingkungan internal meliputi jenis organisasi, penetapan dasar tentang bagaimana cara memandang risiko, termasuk falsafah manajemen risiko, selera, integritas, nilai-nilai kepercayaan, etika, dan lingkungan dimana mereka beroperasi.
21
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Objective setting Perusahaan harus menetapkan tujuan terlebih dahulu sebelum mengidentifikasi potensi kejadian yang dapat memengaruhi pencapaian tujuan. ERM memastikan bahwa manajemen telah menetapkan tujuantujuan yang telah dipilih tersebut agar selaras dengan misi yang ingin dicapai serta konsisten dengan tingkat risikonya. Event identification Kejadian-kejadian internal dan eksternal yang dapat memengaruhi pencapaian tujuan perusahaan harus dapat diidentifikasi dan dibedakan antara risiko dan peluang. Setiap peluang disalurkan kembali pada strategi manajemen atau pada proses penentuan tujuan. Risk assessment Risiko dianalisis berdasarkan kemungkinan terjadinya (probability) dan dampak terjadinya (impact) sebagai bahan untuk menentukan bagaimana cara pengelolaannya. Risk response Manajemen memilih cara untuk merespon setiap risiko yang ada. Risiko yang ada dapat dihindari, diterima, dikurangi, dihilangkan atau dibagi. Selanjutnya, manajemen dapat mengembangkan serangkaian tindakan untuk dapat menyelaraskan risiko dengan toleransi terhadap risiko itu sendiri dan penilaian risiko. Control activities Kebijakan dan prosedur dibentuk dan diimplementasikan untuk memastikan respon terhadap risiko telah dilaksanakan secara efektif. Information and communication Setiap informasi yang relevan dan terkait kemudian diidentifikasi, diproses serta dikomunikasikan dalam bentuk dan kerangka waktu yang membuat setiap individu dalam perusahaan mampu melaksanakan tanggung jawabnya. Sistem informasi dalam laporan juga berperan dalam pengambilan keputusan dan pelaporan eksternal. Komunikasi efektif dapat diartikan secara luas yaitu komunikasi vertikal, horisontal, maupun dengan pihak luar (nasabah, regulator, dan para pemegang saham). Monitoring Seluruh manajemen risiko perusahaan dipantau dan dimodifikasi apabila dibutuhkan. Pemantauan dilakukan melalui kegiatan manajemen yang sedang berjalan, dievaluasi secara terpisah atau dilakukan secara rutin.
Kubus ERM Kubus ERM memperlihatkan hubungan langsung antara tujuan dan komponen ERM. Hubungan ini menggambarkan apa saja kebutuhan untuk mencapai tujuan tersebut. Kubus ERM dapat dilihat pada Gambar 2.
22
Gambar 2
Kubus ERM (COSO dalam Siahaan 2009)
Keempat tujuan ERM digambarkan dalam sumbu Y (kolom vertikal). Delapan komponen ERM digambarkan dalam sumbu X (kolom horisontal) dan unit organisasi digambarkan dalam sumbu Z. Ketiga sumbu ini saling terhubung dan membentuk keterkaitan dalam kerangka kerja ERM. Efektivitas dan Keterbatasan ERM Efektivitas ERM dapat dicapai apabila 8 komponen ERM berfungsi secara efektif dan setiap risiko sudah diperhitungkan sesuai dengan tingkat risiko yang dapat diterima. Selain itu, dewan direksi dan manajemen harus memahami sejauh mana tujuan strategis dan operasional perusahaan serta laporan perusahaan yang dapat dipercaya dan sesuai dengan prinsip maupun hukum yang berlaku. Di samping itu, keterbatasan dalam ERM terdapat pada penilaian manusia yang subyektif dalam mengambil keputusan sehingga berujung pada kesalahan atau kegagalan. Kesalahan dapat terjadi karena faktor manusia seperti salah prediksi, adanya korupsi, kolusi, dan adanya wewenang untuk menyampingkan hasil keputusan dari ERM. Keterbatasan itulah yang menghalangi adanya jaminan mutlak dalam pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan.
Kerangka Pemikiran Operasional Lembaga pembiayaan dalam sistem agribisnis merupakan salah satu subsistem penunjang dan berperan penting dalam membantu permodalan. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah salah satu lembaga pembiayaan berbasis syariah yang dapat mengakomodasi kebutuhan akan permodalan tersebut. Salah satu BPRS yang mengalokasikan pembiayaannya untuk sektor pertanian yaitu BPRS Amanah Ummah. Ditinjau dari sisi perhimpunan dan penyaluran dananya, tahap pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi produk dan proses pembiayaan yang terdapat pada BPRS Amanah Ummah. Tahapan selanjutnya, dari produk-produk tersebut, ditinjau kembali produk pembiayaan apa saja yang digunakan pada sektor
23
pertanian. Setelah itu, akan dianalisis dengan pendekatan deskriptif mengenai penyebab produk pembiayaan lainnya belum direalisasikan dalam praktik pembiayaan syariah. Hal ini dilakukan agar dapat menjadi bahan evaluasi ke depan bagi perkembangan produk pembiayaan syariah pertanian. Tahapan berikutnya, akan dianalisis proses penyaluran dana dan aspek risiko pembiayaan maupun operasionalnya. Penyaluran dana untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah didominasi oleh pembiayaan murabahah sehingga analisis risikonya lebih difokuskan kepada produk tersebut dan risikorisiko lainnya yang terkait. Pada pengukuran risiko pembiayaan, dihitung juga potensi kerugian pembiayaan pada sektor pertanian dengan menggunakan metode creditrisk+. Penilaian keseluruhan risiko dari kegiatan pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah ini kemudian akan diidentifikasi, diukur, dipetakan, dan dianalisis tindakan mitigasi risikonya melalui sebuah kerangka manajemen risiko Enterprise Risk Management (ERM) sehingga pengelolaan risiko dapat terintegrasi secara keseluruhan dan selaras dengan tujuan yang ingin dicapai BPRS. Penerapan manajemen risiko dengan metode ERM ini harus dilakukan sesuai dengan 8 komponen ERM dan 4 tujuan ERM agar dapat terlaksana secara efektif. Keseluruhan analisis risiko pembiayaan yang dilakukan dalam penelitian ini nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi pembiayaan syariah, khususnya untuk sektor pertanian dalam tinjauan manajemen risiko. Selain itu, pihak BPRS Amanah Ummah juga dapat menerapkan tindakan mitigasi risiko pada perusahaan sehingga dapat mengoptimalkan perannya sebagai lembaga intermediasi di tengah masyarakat. Untuk penjelasan selengkapnya, kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.
24
Pembiayaan syariah untuk sektor pertanian masih tergolong rendah padahal memiliki kesesuaian dengan karakteristik yang ada di sektor pertanian
Untuk meningkatkan alokasi pembiayaan ke sektor pertanian, perlu dilakukan kajian mengenai risiko pembiayaan pada sektor pertanian
Salah satu lembaga keuangan syariah yang memiliki alokasi ke sektor pertanian adalah BPRS
BPRS Amanah Ummah
ERM
Ya. Produk Murabahah
Apakah terdapat realisasi produk pembiayaan untuk sektor pertanian?
Identifikasi Risiko
Analisis Pengukuran dan Pemetaan Risiko serta Perhitungan Potensi Kerugian Pembiayaan
Tidak
Penyebab Dominasi Produk Pembiayaan Murabahah Komunikasi Informasi, Pengawasan dan Pemantauan
Tindakan Mitigasi Risiko
Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional
25
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Januari hingga Februari 2013. Penelitian ini dilakukan di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Ummah, Leuwiliang, Bogor. Lokasi kantor beralamat di Jalan Leuwiliang No 1, Leuwiliang, Bogor. Pemilihan tempat ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan memperhitungkan BPRS Amanah Ummah merupakan BPRS pertama di Bogor dan salah satu lembaga keuangan syariah bank yang memiliki alokasi pembiayaan untuk sektor pertanian. Selain itu, alasan pemilihan objek penelitian ini karena BPRS Amanah Ummah mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Kinerja keuangan BPRS Amanah Ummah dalam 5 tahun terakhir menunjukkan indikator positif dan terhitung Desember 2012, aset BPRS Amanah Ummah sudah mencapai 113 miliar rupiah.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan wawancara langsung dengan pihak BPRS Amanah Ummah serta wawancara dengan nasabah/pelaku usaha pada sektor pertanian. Data sekunder diperoleh dari arsip, dokumen, dan laporan tahunan BPRS Amanah Ummah. Selain itu, pencarian data sekunder juga dilakukan melalui literatur dari jurnal, buku, artikel, majalah, koran, makalah, dan internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode pengamatan (observasi), penelusuran literatur, penggunaan kuesioner, wawancara, dan diskusi mendalam. Informasi atau keterangan diperoleh melalui wawancara, baik tatap muka maupun dengan alat komunikasi, dengan pihak BPRS Amanah Ummah dan nasabah BPRS pada sektor pertanian.
Metode Penentuan Responden Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Dengan metode ini, responden telah dipilih dengan pertimbangan bahwa responden yang dipilih memiliki pengetahuan, keahlian, dan kompetensi dalam bidang yang dikaji. Responden dari pihak BPRS Amanah Ummah yang dipilih meliputi direktur, audit internal, kabid operasional, kabid marketing, dan bagianbagian di bawahnya (account officer, legal officer, administrasi pembiayaan (ADMP)). Responden dari pihak nasabah BPRS adalah nasabah/pelaku usaha di sektor pertanian yang mendapatkan pembiayaan dari BPRS Amanah Ummah.
26
Metode Pengolahan dan Analisis Data Secara garis besar, pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Matriks metode pengolahan dan analisis dataa No. 1.
Tujuan
Mengidentifikasi risiko pembiayaan untuk sektor pertanian dan risiko lainnya pada proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah 2. Menganalisis pengukuran dan pemetaan risiko pembiayaan untuk sektor pertanian dan risiko lainnya pada proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah 3. Menghitung potensi kerugian pembiayaan untuk sektor pertanian pada BPRS Amanah Ummah 4. Menganalisis tindakan mitigasi risiko pembiayaan untuk sektor pertanian dan risiko lainnya pada proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah 5. Mengidentifikasi penyebab dominasi penggunaan pembiayaan murabahah pada sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah a Sumber: Diolah oleh penulis (2013)
Sumber data Wawancara dengan pihak BPRS Amanah Ummah, studi literatur, internet Wawancara, diskusi mendalam dengan pihak BPRS Amanah Ummah Data internal BPRS Amanah Ummah Diskusi mendalam dengan pihak BPRS Amanah Ummah dan para ahli Wawancara dengan pihak bank dan nasabah bank sektor pertanian
Analisis dan pengolahan data Metode ERM dan analisis deskriptif
Metode ERM, metode aproksimasi
Metode creditrisk+
Metode ERM dan analisis deskriptif
Analisis deskriptif
Untuk dapat mengetahui risiko-risiko yang terdapat pada proses pembiayaan dan operasional untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah, digunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Sugiyono (2011) menyebutkan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek alamiah. Pada metode penelitian kualitatif, peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Di samping itu, pengertian metode penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang menggunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik (Sugiyono 2011). Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi risiko pembiayaan di setiap prosesnya dan menjawab bagaimana pengelolaan risikonya. Selain itu, metode penelitian kualitatif juga digunakan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab kurang berkembangnya penggunaan produk pembiayaan selain murabahah untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah. Alat analisis yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor tersebut adalah analisis deskriptif. Metode penelitian kuantitatif digunakan untuk mengukur risiko pembiayaan dan mengukur potensi kerugian yang mungkin terjadi pada pembiayaan sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah. Pengukuran potensi kerugian dihitung
27
dengan metode creditrisk+. Alat yang digunakan dalam pengolahan data untuk menghitung potensi kerugian adalah Minitab 14 dan Microsoft Excel. Tahapan penelitian yang digunakan dalam menganalisis risiko pembiayaan untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah terdiri dari 8 komponen Enterprise Risk Management (ERM). Delapan tahapan komponen ERM tersebut dapat dibagi ke dalam proses identifikasi BPRS Amanah Ummah, identifikasi risiko, pengukuran dan pemetaan risiko, serta tindakan mitigasi risiko. Selain tahapan komponen ERM, terdapat pula perhitungan potensi kerugian pembiayaan pada sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah. Identifikasi BPRS Amanah Ummah 1. ERM 1: Internal Environment Identifikasi lingkungan internal pada BPRS Amanah Ummah didapat dari hasil observasi dan wawancara dengan direktur BPRS Amanah Ummah. 2. ERM 2: Objective Setting Identifikasi objective setting diperoleh dari jabaran visi dan misi serta sasaran perusahaan yang telah ditetapkan oleh BPRS Amanah Ummah. Identifikasi Risiko ERM 3: Event Identification Hal yang dilakukan adalah mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi dalam suatu aktivitas pembiayaan dengan cara mendaftar seluruh peristiwa risiko yang mungkin terjadi. Teknik-teknik yang dapat digunakan antara lain brainstorming, wawancara dengan responden yang telah dipilih, pengamatan secara langsung, serta pengumpulan data statistik dan data historis dari pihak BPRS Amanah Ummah. Pengukuran dan Pemetaan Risiko ERM 4: Risk Assessment Godfrey (1996) menyatakan bahwa risiko dapat diukur dalam 2 perspektif, yaitu berdasarkan probability (peluang atau kemungkinan terjadi) dan impact (dampak jika terjadi risiko). Penilaian mengenai kemungkinan terjadinya risiko dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Probabilitas risikoa Angka Skala probabilitas 1 Sangat rendah (improbable) 2 Rendah (remote) 3 Sedang (occasional) 4 Tinggi (probable) 5 Sangat tinggi (frequent) a Sumber: Godfrey (1996)
Keterangan Hampir tidak mungkin terjadi Kadang terjadi Mungkin terjadi Sangat mungkin terjadi Hampir pasti terjadi
Tabel 9 menunjukkan angka yang berarti nilai skala. Keterangan menunjukkan penjelasan kualitatif mengenai probabilitas risiko. Selanjutnya, penilaian mengenai dampak terjadinya risiko dapat dilihat pada Tabel 10.
28
Tabel 10 Dampak risikoa Angka
Skala dampak
1 2
Sangat rendah (negligible) Rendah (marginal)
3
Sedang (serious)
4
Tinggi (critical)
5
Sangat tinggi (catastrophic)
a
Keterangan Tidak menimbulkan masalah Menimbulkan masalah kecil yang dapat diatasi dengan pengelolaan rutin Mencegah perusahaan memenuhi tujuannya untuk periode tertentu saja Mengakibatkan perusahaan tidak dapat mencapai sebagian tujuan jangka panjang, mengganggu likuiditas perusahaan Mengakibatkan perusahaan tidak dapat mencapai seluruh tujuan jangka panjang, menyebabkan kebangkrutan, kematian, hukuman pidana
Sumber: Godfrey (1996)
Tabel 10 menunjukkan angka yang berarti nilai skala. Keterangan menunjukkan penjelasan kualitatif mengenai dampak terjadinya risiko. Evaluasi dampak risiko seringkali cukup sulit untuk diukur karena berkaitan dengan berbagai macam aspek dan pertimbangan. Pengukuran risiko juga dapat menggunakan metode aproksimasi. Kountur (2008) menjelaskan bahwa metode aproksimasi adalah cara untuk mengetahui probabilitas dan dampak risiko dengan cara menanyakan kira-kira berapa probabilitas dan dampak dari suatu risiko kepada orang lain. Pengumpulan informasi menggunakan metode aproksimasi dapat dilakukan dengan menanyakan opini para ahli. Opini para ahli merupakan salah satu cara pengumpulan informasi dimana seseorang yang dianggap ahli diwawancarai untuk mendapatkan informasi tentang berapa besar kemungkinan/probabilitas dan berapa besar dampak yang terjadi dari suatu risiko. Risiko-risiko yang telah diidentifikasi sebelumnya ditunjukkan kepada para ahli dan diminta pendapatnya untuk memberikan perkiraan. Godfrey (1996) menjelaskan bahwa nilai risiko merupakan perkalian dari probabilitas dan dampak. Untuk mengukur risiko dapat digunakan rumus: R=PxI Keterangan: R = Tingkat risiko P = Kemungkinan risiko terjadi I = Dampak bila risiko benar-benar terjadi Selanjutnya, hasil dari pengukuran risiko dapat dikelompokkan ke dalam pemetaan. Pemetaan ini dapat menunjukkan nilai pada masing-masing risiko sesuai dengan tingkatan risikonya. Pemetaan tingkat risiko dijelaskan dalam Tabel 11.
29
Probability
Tabel 11 Pemetaan risikoa
a
Frequent Probable Occasional Remote Improbable
Impact Catastrophic Critical Serious Marginal Negligible 5 4 3 2 1 5 25 20 15 10 5 4 3 2 1
20 15 10 5
16 12 8 4
12 9 6 3
8 6 4 2
4 3 2 1
Sumber: Godfrey (1996)
Tabel 11 menunjukkan bahwa pemetaan risiko dapat dilihat dari perkalian nilai kemungkinan terjadinya risiko (probability) dan dampak jika risiko terjadi (impact). Setelah itu, Godfrey (1996) membagi 4 tingkat penerimaan risiko berdasarkan kecenderungan peluang terjadinya risiko dan dampaknya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Tingkat penerimaan risiko ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil respon tindakan mitigasi risiko. Tabel 12 Tingkat penerimaan risikoa Impact
Probability
Catastrophic 5 5 25 Frequent unacceptable 4 20 Probable unacceptable 3 15 Occasional unacceptable 2 10 Remote undesirable 1 5 Improbable undesirable a Sumber: Godfrey (1996)
Critical 4 20 unacceptable 16 unacceptable 12 undesirable 8 undesirable 4 acceptable
Serious 3 15 unacceptable 12 undesirable 9 undesirable 6 undesirable 3 acceptable
Marginal 2 10 undesirable 8 undesirable 6 undesirable 4 acceptable 2 negligible
Negligible 1 5 undesirable 4 acceptable 3 acceptable 2 negligible 1 negligible
Tabel 12 menunjukkan 4 tingkatan penerimaan risiko yaitu unacceptable, undesirable, acceptable, dan negligible. Tingkatan pertama adalah unacceptable. Unacceptable adalah risiko tinggi karena memberikan pengaruh signifikan yang merugikan perusahaan dan memiliki efek domino dalam jangka panjang sehingga harus mendapat prioritas utama. Respon tindakan utama dalam mengendalikan risiko ini yaitu dihindari atau ditransfer. Tingkatan kedua adalah undesirable. Undesirable adalah risiko yang harus diwaspadai karena sudah melewati batas toleransi perusahaan dan berpengaruh
30
signifikan terhadap perusahaan. Respon tindakan dalam mengendalikan risiko ini yaitu dihindari dan dikurangi. Tingkatan ketiga adalah acceptable. Acceptable adalah risiko yang dapat diterima. Risiko ini memberikan dampak bagi perusahaan tetapi masih dalam batas toleransi sehingga masih dapat diatasi. Respon tindakan dalam mengendalikan risiko ini yaitu tidak mengambil tindakan apapun (menerima) atau mengurangi kemungkinan terjadinya risiko (jika memungkinkan). Tingkatan keempat adalah negligible. Negligible adalah risiko yang jarang terjadi dan bila terjadi memiliki dampak yang relatif kecil. Efek dari risiko ini dapat dikurangi, namun biayanya dapat saja melebihi dampak risiko yang ditimbulkan. Pada kasus ini, mungkin lebih baik untuk menerima efek dari risiko tersebut. Pengukuran Potensi Kerugian Pembiayaan pada Sektor Pertanian Pengukuran potensi kerugian dalam pembiayaan dapat dihitung dengan menggunakan metode creditrisk+. Metode creditrisk+ adalah model statistik dari risiko gagal bayar dengan tidak memperhatikan penyebab gagal bayar (CSFB 1997). Metode ini menganalisis kegagalan atas risiko default (gagal bayar) sebagai risiko yang harus dihadapi BPRS pada saat nasabah berada pada kondisi sulit atau tidak mampu membayar hutangnya. Pada penelitian ini, hanya difokuskan pada nasabah yang usahanya berada pada sektor pertanian. Metode creditrisk+ merupakan distribusi dari risiko portofolio untuk mencari probabilitas jumlah nasabah yang default dalam 1 periode yang dinyatakan dengan distribusi Poisson. Pada metode creditrisk+, probability default yang digunakan berdasarkan statistik data historis dari pengalaman gagal bayar. Kelebihan metode ini adalah mudah diimplementasikan (Crouchy et al 2000) dan kemudahan ketersediaan data. Metode creditrisk+ memfokuskan pada kondisi nasabah tidak mampu membayar kewajiban yang dibutuhkan untuk mengestimasi potensi risiko. Model hanya membutuhkan data probability default, eksposur (nilai baki debet atau nilai saldo pembiayaan yang belum dilunasi pada periode tertentu) dan nilai recovery rate/real loss. Keterbatasan metode creditrisk+ yaitu diasumsikan bahwa risiko kredit/pembiayaan tidak berhubungan dengan risiko pasar, besarnya eksposur dari tiap nasabah tetap dan tidak sensitif terhadap perubahan, serta tidak memperhitungkan risiko mitigasi. Urutan proses perhitungan creditrisk+ mengikuti kerangka pemikiran yang diuraikan dalam teknis perhitungan yang sistematis (Crouchy et al 2000). Input yang dibutuhkan dalam metode creditrisk+ adalah data eksposur, probability default, dan recovery rate. Selanjutnya, input tersebut diproses melalui 5 langkah metode creditrisk+ dan menghasilkan output berupa potensi kerugian pembiayaan. Langkah-langkah tersebut yaitu sebagai berikut: Langkah 1: Pengelompokan eksposur dalam band (kelompok). Besarnya pembiayaan yang dikeluarkan oleh BPRS berbeda untuk setiap nasabah berdasarkan kelayakan usahanya. Besarnya angsuran setiap nasabah terdiri dari angsuran pokok dan angsuran marjin. Eksposur dinotasikan dengan Loss Given Default (LGD), merupakan proporsi kerugian kerena nasabah default (gagal bayar), dinyatakan oleh nilai tunggakan angsuran pokok pembiayaan dari setiap nasabah. Bagi nasabah yang tunggakan pokok pembiayaannya sudah lunas,
31
namun masih menyisakan tunggakan angsuran marjin, tidak dihitung sebagai nasabah yang berpotensi menghasilkan risiko pembiayaan. Selanjutnya, untuk mempermudah perhitungan maka eksposur dikelompokkan dalam band. Nasabah dikelompokan berdasarkan nilai eksposur terendah hingga tertinggi kemudian dibagi ke dalam kelas-kelas pada range tertentu. Langkah 2: Perhitungan probability default dan expected loss. Proses selanjutnya yaitu menghitung jumlah nasabah yang macet berdasarkan jenis atau karakteristik kolektibilitas dari masing-masing nasabah. Data kolektibilitas dibuat berdasarkan data historis nasabah dan kemampuan untuk membayar. Ketentuan kolektibilitas pembiayaan dan probability default dapat mengikuti aturan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP) bagi BPRS ataupun ketentuan kolektibilitas yang dibuat secara khusus oleh lembaga keuangan yang bersangkutan. Menurut ketentuan BPRS Amanah Ummah, masing-masing kolektibilitas mempunyai probability default sebagai berikut: 1. Kolektibilitas 1, Probability Default-nya : 0.5%. 2. Kolektibilitas 2, Probability Default-nya : 10%. 3. Kolektibilitas 3, Probability Default-nya : 50%. 4. Kolektibilitas 4, Probability Default-nya : 100%. Jika telah menentukan LGD dan probability default maka ditentukan expected loss pada setiap kelas (j) di masing-masing band. Expected loss merupakan hasil perkalian antara LGD dengan probability default. Perhitungan rumus tersebut dapat dilihat pada formulasi (1). ELj= ∑
∑
ij.Pij..........(1)
Keterangan : Elj = Expected loss nasabah pada kelas ke-j LGDij = Loss Given Default (LGD) ke-I pada kelas ke-j Pij = Probabilty default nasabah ke-I pada kelas ke-j m = Jumlah nasabah di dalam setiap band n = Jumlah kelas di dalam setiap band Perhitungan selanjutnya adalah menentukan expected loss individual dalam setiap kelas di masing-masing band yang menunjukan tingkat kegagalan per nasabah per 1 rupiah. Expected loss individual dapat dihitung dengan formulasi (2).
nj =
..........(2)
Keterangan : Nj = Expected loss individual dalam kelas ke-j Elj = Expected loss pada kelas ke-j Lj = Kelas ke-j
32
Langkah 3: Perhitungan recovery rate dan real loss. Real loss merupakan kewajiban nasabah tak tertagih akibat gagal bayar yang tergantung dari status nasabah yang bangkrut. Real loss dapat dihitung dari nilai recovery rate dan didapat melalui rumus 1-recovery rate. Nilai real loss berkisar dari angka 0 (terendah, artinya tidak ada kerugian sama sekali atau recovery rate = 100%) sampai dengan 1 (tertinggi, artinya kerugian mencapai 100% atau recovery rate = 0%). Nilai recovery rate memperhitungkan faktor agunan (jaminan), nilai baki debet yang dihapusbukukan dan lain sebagainya. Nilai recovery rate dapat dilihat dari tingkat NPF (non performing financing) perbankan sektor pertanian, yaitu persentase besarnya kegagalan nasabah (pihak peminjam) yang bergerak pada sektor pertanian dalam melaksanakan kewajibannya pada bank. Perhitungan recovery rate juga dapat dilihat dari nilai penghapusbukuan piutang yang memiliki kolektibilitas macet dengan melakukan penyitaan jaminan pembiayaan. Langkah 4: Penentuan jumlah nasabah macet pada tingkat kepercayaan 96%. Metode creditrisk+ menganalisis sejumlah kegagalan nasabah terdistribusi Poisson. Ada asumsi-asumsi yang menjadi dasar acuan dalam menentukan probability default seseorang dengan menggunakan distribusi Poisson, antara lain: 1. Probability default pada pembiayaan dalam suatu periode tertentu, misalnya 1 bulan maka untuk bulan-bulan lain nilainya akan sama. 2. Probability default pada pembiayaan nasabah dengan jumlah besar yang terjadi dalam 1 periode tidak bergantung dari jumlah default yang terjadi pada periode lain. Rumus Poisson Distribution (Crouchy et al 2000) untuk mencari jumlah nasabah macet di setiap kelas ditunjukkan oleh formulasi (3). αj=
e-m..........(3)
Keterangan : αj = Nilai distribusi Poisson pada kelas ke-j e = Angka natural (e=2.718281828) m (nj) = Rata-rata jumlah nasabah default setiap kelas pada setiap band dalam 1 periode tertentu n = Jumlah ekspektasi nasabah macet (minimum = 0) n! = n faktorial Distribusi Poisson juga dapat dicari dengan menggunakan Minitab 14 sehingga dapat langsung ditemukan jumlah nasabah default pada tingkat kepercayaan 96%. Langkah 5: Perhitungan potensi kerugian pembiayaan. Perhitungan potensi kerugian pembiayaan menggunakan formulasi (4). PLj = ∑
∑
dapat
dicari
x n(α=4%)j x RLj x nilai bandk)..........(4)
dengan
33
Keterangan : PLj = Potensi kerugian kelas ke-j n(α=4%)j = Jumlah nasabah yang diperkirakan macet berdasarkan distribusi Poisson pada kelas ke-j RLj = (1-recovery rate) kelas ke-j nilai bandk = Nilai band ke-k n = Jumlah kelas α = Jumlah band Potensi kerugian di masing-masing band pada pembiayaan sektor pertanian kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan total potensi kerugian pembiayaan sektor pertanian berdasarkan historis 1 tahun pada BPRS Amanah Ummah. Tindakan Mitigasi Risiko 1. ERM 5: Risk Response Respon terhadap peristiwa risiko dianalisis dari hasil pemetaan risiko, studi literatur, dan diskusi dengan pihak BPRS Amanah Ummah. Risk response dianalisis secara deskriptif dan dibagi ke dalam respon menerima (accept), mengurangi (reduce), berbagi (transfer), menghindari (avoid), dan menghilangkan risiko (remove). Menerima risiko berarti pihak bank tidak dapat berbuat banyak terhadap terjadinya risiko tetapi dapat menyesuaikannya. Mengurangi risiko berarti risiko tetap terjadi, namun pihak bank melakukan tindakan yang dapat meminimalisir dampak terjadinya risiko. Berbagi risiko berarti tidak menghilangkan risiko tetapi memindahkan risiko kepada pihak lain seperti jasa asuransi. Menghindari risiko berarti pihak bank melakukan kegiatan antisipasi sebelumnya, misalnya dibuat kontrak/perjanjian terlebih dahulu sehingga dapat terhindar dari risiko tersebut. Menghilangkan risiko berarti mengeliminasi bahaya tertentu dari kegiatan tersebut atau melakukan tindakan lain sehingga risiko tidak lagi menimbulkan ancaman. Tindakan mitigasi risiko yang sudah dijalankan oleh BPRS Amanah Ummah juga akan diidentifikasi dan dianalisis secara deskriptif. 2. ERM 6: Control Activities Kendali terhadap risiko akan dijelaskan melalui pendekatan analisis deskriptif. Penjelasan mengenai kendali aktivitas juga akan melengkapi uraian dari tindakan mitigasi risiko sebelumnya (risk response). 3. ERM 7: Information and Communication Tindakan mitigasi risiko yang berkaitan dengan alur penyampaian informasi dan komunikasi dianalisis dengan pendekatan deskriptif dan dibagi berdasarkan pihak-pihak yang terkait dalam keseluruhan proses pembiayaan dan operasional. Pihak-pihak terkait yaitu pihak internal bank, nasabah bank, para pemegang saham, pihak regulator dan pengawas, serta pihak ekstenal lainnya. 4. ERM 8: Monitoring Tindakan pengendalian sebagai salah satu komponen mitigasi risiko dianalisis secara deskriptif dan perolehan informasi didapat dari data internal BPRS Amanah Ummah, diskusi dengan pihak BPRS Amanah Ummah, dan observasi langsung.
34
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat BPRS Amanah Ummah BPRS Amanah Ummah merupakan salah satu BPRS yang beroperasi di wilayah Bogor Barat. Pendiri BPRS Amanah Ummah adalah Bapak KH. Sholeh Iskandar. Tujuan didirikannya BPRS adalah menumbuhkan ekonomi masyarakat atas dasar syariah Islam, seperti diatur dalam Undang-Undang No 10 tahun 1998. Hal ini didasarkan pada suatu keyakinan umat yang kuat bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang tidak hanya mengatur masalah aqidah akhlak tetapi juga mengatur masalah ibadah dan muamalah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang sosial dan ekonomi. Pada awal Januari 1991, secara resmi Bapak KH. Soleh Iskandar mengundang sejumlah ulama, cendikiawan, dan pengusaha muslim untuk membicarakan pendirian lembaga keuangan yang beroperasi atas dasar syariah Islam. Hasil dari pertemuan tersebut yaitu tercapainya suatu kesepakatan untuk membentuk lembaga keuangan yang beroperasi dengan syariah Islam yang nantinya membantu masyarakat muslim, khususnya pengusaha muslim yang berekonomi lemah. Pada awal Februari 1991, dibentuk tim untuk menyusun proposal pendirian bank syariah. Pada tanggal 18 Mei 1992, terbitlah izin operasional usaha bank dan pada tanggal 11 Juli 1992 diadakan soft opening BPRS sekaligus mulai melakukan kegiatan operasional. Peresmian BPRS Amanah Ummah dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1992 oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bogor. Ringkasnya, BPRS Amanah Ummah lahir dengan semangat keagamaan dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi umat Islam. Saat ini, BPRS Amanah Ummah sudah berkembang dan memiliki 1 kantor pusat di Leuwiliang, Bogor dan 2 kantor cabang yang terletak di Kota Bogor dan Cicurug, Sukabumi kemudian untuk struktur organisasi BPRS Amanah Ummah dapat dilihat pada Lampiran 1.
Produk-Produk Pembiayaan BPRS Amanah Ummah BPRS Amanah Ummah memiliki produk-produk pembiayaan yang ditawarkan kepada nasabah, baik dalam kegiatan perhimpunan maupun penyaluran dana. Produk-produk pembiayaan tersebut adalah: 1. Produk Perhimpunan Dana a. Tabungan Wadi’ah Tabungan wadi’ah berupa titipan nasabah kepada bank. Bank diberi kewenangan untuk mengelola uang dari nasabah tersebut. Apabila bank mendapatkan keuntungan dari usaha pengelolaan uang tersebut maka nasabah akan mendapat bonus dari keuntungan dan langsung dibukukan pada rekening tabungan nasabah setiap bulan. Adapun besarnya bonus dibagi berdasarkan keuntungan yang didapat dan merupakan kebijakan bank.
35
Tabungan Ummah Tabungan yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Tabungan ini seperti tabungan biasa dengan setoran awal minimal Rp10 000 dan untuk setoran selanjutnya minimal Rp5 000. Untuk tabungan perusahaan/badan usaha, setoran awal minimal Rp100 000 dan setoran selanjutnya minimal Rp50 000. c. Tabungan Pelajar Tabungan ini diperuntukkan bagi pelajar dengan setoran awal minimal Rp10 000 dan setoran selanjutnya minimal Rp5 000. d. Tabungan Haji dan Umroh (TAHAROH) Tabungan ini berfungsi untuk investasi dana bagi masyarakat yang akan melaksanakan ibadah haji dan umroh. Setoran awal tabungan haji dan umroh minimal Rp100 000 dan setoran selanjutnya minimal Rp50 000. Tabungan ini dapat diambil pada saat nasabah akan membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) atau sesuai kesepakatan antara bank dengan nasabah. Nasabah akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dengan bank. e. Deposito Mudharabah Simpanan berupa investasi ini tidak terikat pihak ketiga. Penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah pemilik dana dengan bank. Jangka waktu deposito mudharabah ini beragam mulai dari 1, 3, 6, dan 12 bulan, dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Produk Penyaluran Dana a. Murabahah Akad jual beli barang antara bank sebagai pemilik barang dengan nasabah seharga pokok barang ditambah dengan marjin keuntungan yang disepakati. b. Istishna Akad jual beli barang atas dasar pesanan antara nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta nasabah. Bank akan meminta produsen/kontraktor untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah dan setelah selesai, nasabah akan membeli barang tersebut dari bank dengan harga yang telah disepakati bersama. c. Ijarah Akad sewa menyewa atas manfaat suatu barang dan/atau jasa antara pemilik obyek sewa (bank) dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan berupa sewa atau upah bagi pemilik obyek sewa. d. Ijarah Multi Jasa (IMJ) Ijarah multi jasa adalah akad pembiayaan saat bank memberikan pembiayaan kepada nasabah dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu jasa. Bank dapat memperoleh imbalan jasa dari pembiayaan ini. Pembiayaan IMJ diperuntukkan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. b.
2.
36
e.
f.
g.
h.
i.
Mudharabah Mudharabah adalah akad kerja sama antara bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai pelaksana usaha (mudharib) dengan pembagian keuntungan sesuai nisbah yang disepakati sebelumnya sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana (bank). Musyarakah Akad kerja sama antara bank dengan nasabah untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak terkait sebesar proporsi modal yang disertakan dalam usaha. Rahn (Gadai Emas Syariah) Akad penyerahan barang (emas) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dana. Qardhul Hasan Akad pinjaman dana dari bank syariah kepada nasabah tanpa imbalan. Pihak nasabah berkewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Dana qardhul hasan bersumber dari infaq dan shadaqah. Qardh Umum dan Qardh Haji Prinsipnya sama dengan qardhul hasan, namun sumber dananya berasal dari modal atau laba bank.
Proses Pembiayaan BPRS Amanah Ummah Proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah memiliki beberapa tahapan dimulai dari pengajuan pembiayaan sampai pelunasan. Tahapan proses pembiayaan tersebut terdiri dari 8 proses, yaitu: 1. Pengajuan Pembiayaan Pada tahap ini, nasabah mengajukan pembiayaan dengan mendatangi bagian Account Officer (AO) atau AO yang mendatangi nasabah. Tugas utama AO adalah melakukan program pembiayaan yang meliputi analisis kelayakan usaha, pengajuan kepada komite pembiayaan, pemeriksaan kepada calon nasabah, pendampingan kepada nasabah yang diberikan pembiayaan serta melakukan pengawasan agar dapat memastikan tercapainya target pembiayaan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Setelah itu, nasabah mengisi formulir pengajuan pembiayaan dan melengkapi persyaratan administrasi dengan melampirkan fotokopi KTP pemohon, fotokopi KTP suami/istri, fotokopi kartu keluarga, foto berwarna suami istri pemohon, foto tempat usaha, fotokopi jaminan (misalnya akte tanah, STNK, BPKB), foto jaminan, fotokopi rekening listrik, telepon, air selama 3 bulan terakhir, dan membuka rekening. 2. Analisis Pembiayaan Analisis pembiayaan dilakukan pada 2 aspek, yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif berfokus pada kemauan bayar
37
3.
4.
nasabah yang mencakup penilaian karakter dan komitmen nasabah. Analisis kuantitatif berfokus pada kemampuan bayar nasabah yang mencakup penilaian modal usaha. Analisis pembiayaan lebih lanjut yang dilakukan oleh AO adalah menilai aspek 5C (character, capacity, capital, condition, collateral) dari nasabah. a. Penilaian Character (Karakter) Karakter calon nasabah dinilai dari keseriusan dalam membayar tagihan, agama, jiwa sosial dan sebagainya. Untuk mendapat informasi calon nasabah, AO biasanya akan menemui ketua rukun tetangga (RT) tempat nasabah berdomisili. b. Penilaian Capacity (Kapasitas) Kapasitas nasabah dinilai dari kemampuan nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Kapasitas dapat dilihat dari omset usaha, keuntungan bersih, biaya hidup, dan sebagainya. c. Penilaian Capital (Modal) Penilaian modal yang dimiliki nasabah dimaksudkan agar pemberian pembiayaan tidak melebihi modal yang dimiliki oleh nasabah. Penilaian modal usaha dapat dilakukan dengan pendekatan pendapatan bersih. d. Penilaian Condition (Kondisi) Penilaian ini meliputi penilaian kondisi perekonomian nasabah, kebijakan pemerintah, kondisi alam dan sebagainya. e. Penilaian Collateral (Jaminan) Jaminan dapat dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu jaminan likuid, non likuid, dan fiducia. Jaminan likuid antara lain tabungan dan deposito, jaminan non likuid antara lain rumah, tanah dan gedung, dan jaminan fiducia yaitu benda bergerak yang diikat oleh surat kepemilikan seperti mobil dan motor. Penilaian jaminan dilakukan oleh Legal Officer (LO) untuk mengecek kelayakan jaminan melalui taksiran harga barang jaminan dengan jumlah pembiayaan yang diajukan. Secara umum, tugas LO adalah menerima permohonan survei dan taksasi jaminan, memeriksa kelengkapan legalitas data jaminan nasabah, serta melakukan survei dan taksasi ke lapangan. Setelah itu, LO menyampaikan hasil pemeriksaan kepada AO/komite pembiayaan, melakukan perjanjian pembiayaan serta menyimpan dokumen pembiayaan dan jaminan asli nasabah. Penilaian Dokumen Pada tahap ini, AO mengumpulkan hasil analisis dan membuat sebuah proposal sederhana yang menggambarkan calon nasabah dari segala aspek yang didapat dari hasil wawancara dan survei ke lapangan. Pengajuan ke Komite Kebijakan Pembiayaan Pada tahap ini, AO akan mempresentasikan proposal pengajuan nasabah dan berargumentasi untuk meyakinkan komite pembiayaan bahwa calon nasabah layak diberikan pembiayaan. Tahapan komite yang harus dilewati tergantung pada besar pengajuan plafon pembiayaan. a. Jika pengajuan di bawah Rp3 500 000 maka tahapan yang harus dilewati adalah bagian AO, kabid marketing kemudian direktur.
38
Jika pengajuan berada antara Rp3 500 000 sampai Rp100 000 000 maka tahapan yang harus dilewati adalah bagian AO, kabid marketing, direktur kemudian direktur utama. c. Jika pengajuan di atas Rp100 000 000 maka tahapan yang dilewati adalah bagian AO, kabid marketing, direktur, direktur utama kemudian dewan komisaris. Persetujuan dan Pengikatan Setelah pengajuan disetujui, AO memanggil nasabah untuk membuat kesepakatan mengenai jenis akad, besar angsuran, jangka waktu pembayaran, dan biaya-biaya lain. Bank melakukan perhitungan biaya dengan menetapkannya sesuai harga berlaku dan merupakan kesepakatan antara nasabah dan bank. Hal yang membedakan antara penetapan biaya di bank lain dengan BPRS Amanah Ummah adalah biaya yang ditetapkan telah memperhitungkan zakat dan sedekah yang tentunya berdasarkan persetujuan nasabah. Pencairan Setelah tercapai kesepakatan, tahapan selanjutnya adalah pencairan pembiayaan. Pihak yang melakukan pencairan pembiayaan adalah pihak ADMP. Waktu yang diperlukan untuk memproses pengajuan pembiayaan hingga pencairan maksimal 2 minggu. Waktu tersebut berlaku untuk nasabah yang baru mengajukan pertama kali sedangkan untuk pengajuan berikutnya hanya membutuhkan waktu maksimal 1 minggu. Khusus untuk pembiayaan dengan akad murabahah, pencairan dilakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan bank untuk menghindari tidak diserahkannya nota pembelian barang oleh nasabah kepada bank. Pembinaan dan Pengawasan Pada tahap ini, pihak AO melakukan pembinaan kepada nasabah sesuai dengan usaha dan kualitas pembiayaan masing-masing nasabah. Tindakan pengawasan dalam pelaksanaan usaha dan pembayaran angsuran sesuai periode yang telah disepakati juga menjadi perhatian dalam rangka mencegah terjadinya pembiayaan yang bermasalah. Pelunasan Pada tahap ini, pihak nasabah telah membayar seluruh kewajibannya kepada bank dan dianggap telah melunasi pembiayaan. Alur proses pembiayaan BPRS Amanah Ummah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. b.
5.
6.
7.
8.
Perkembangan Pembiayaan BPRS Amanah Ummah BPRS Amanah Ummah terus mengalami perkembangan dari sisi peningkatan laba bersih perusahaan, jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun, jumlah pendistribusian pembiayaan, dan jumlah nasabah pembiayaannya. BPRS Amanah mengalami peningkatan laba bersih dari tahun ke tahun seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 13.
39
Tabel 13 Laba bersih BPRS Amanah Ummaha Tahun Laba bersihb 2007 678 800 2008 850 017 2009 943 923 2010 1 101 506 2011 1 163 636 2012 1 568 171 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); c Pertumbuhan (%)
Pertumbuhanc 25.22 11.05 16.69 5.64 34.76 b Laba bersih (Dalam ribuan rupiah);
Tabel 13 memperlihatkan bahwa pada tahun 2012, laba bersih perusahaan setelah memperhitungkan pajak penghasilan dan zakat sebesar Rp1 568 171 000 (34.76%). Hal ini terjadi karena adanya peningkatan portofolio pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah. Selain itu, perkembangan pembiayaan dapat dilihat dari jumlah nominal dana pihak ketiga (DPK) yang ditunjukkan oleh Tabel 14. Tabel 14 Jumlah nominal DPK BPRS Amanah Ummaha Tahun Jumlah nominal DPKb Pertumbuhanc 2007 30 296 368 2008 38 237 061 26.21 2009 50 400 384 31.81 2010 58 998 384 17.06 2011 78 707 464 33.41 2012 100 238 598 27.36 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); bJumlah nominal DPK (Dalam ribuan rupiah); c Pertumbuhan (%)
Tabel 14 menunjukkan bahwa pada tahun 2012, jumlah nominal DPK pada BPRS Amanah Ummah sebesar Rp100 238 598 000 atau mengalami pertumbuhan sebesar 27.36% dari tahun 2011. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan dari masyarakat untuk menyimpan dananya di BPRS Amanah Ummah. Laporan tahunan BPRS Amanah Ummah mencatat bahwa mayoritas DPK berasal dari tabungan dan disusul oleh deposito mudharabah. Selain itu, BPRS Amanah Ummah juga mengalami perkembangan dari sisi penyaluran dananya. Perkembangan jumlah nominal pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah nominal pembiayaan BPRS Amanah Ummaha Tahun Jumlah nominal pembiayaanb Pertumbuhanc 2007 24 508 612 2008 34 074 962 39.03 2009 40 319 379 18.33 2010 47 801 939 18.56 2011 65 866 168 37.79 2012 79 294 901 20.39 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); bJumlah nominal pembiayaan (Dalam ribuan rupiah); cPertumbuhan (%)
40
Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah nominal pembiayaannya mengalami peningkatan. Jumlah nominal pembiayaan pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 20.39% atau senilai Rp13 428 733 000 dari tahun 2011. Jika dilihat berdasarkan produk pembiayaan yang digunakan, didominasi oleh produk murabahah. Pada tahun 2012, jumlah nominal pembiayaan murabahah sebesar Rp70 953 102 000 atau 89% dari total keseluruhan. Berikutnya, jumlah nasabah pembiayaan BPRS Amanah Ummah dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah nasabah pembiayaan BPRS Amanah Ummaha Tahun Jumlah nasabahb 2007 1 437 2008 1 867 2009 1 867 2010 1 910 2011 2 108 2012 2 469 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); bJumlah nasabah (Orang)
Tabel 16 memperlihatkan bahwa pada tahun 2012, nasabah yang mendapatkan pembiayaan sejumlah 2 469 orang. Jumlah tersebut meningkat sebesar 17.13% dari tahun 2011. Jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS Amanah Ummah juga dapat dilihat berdasarkan pembagian sektor usaha. Pembagian berdasarkan sektor usaha ditunjukkan oleh Gambar 4. Pertanian 2% Lain-Lain 38%
Industri 2%
Jasa 11%
Perdagangan 47%
Gambar 4
Persentase distribusi pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah berdasarkan sektor usaha tahun 2012 (BPRS Amanah Ummah 2012)
41
Pembiayaan (ribuan rupiah)
Gambar 4 menunjukkan bahwa alokasi pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah pada tahun 2012 didominasi oleh sektor perdagangan yaitu sebesar 47% sedangkan sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi pembiayaan sebesar 2%. Banyaknya pembiayaan untuk sektor perdagangan disebabkan lokasi BPRS terletak pada pusat perdagangan yaitu Pasar Leuwiliang sehingga nasabahnya banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Perkembangan distribusi pembiayaan sektor pertanian dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 5.
1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
1563136 1067397
999556 814799 610389 414920
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 5 Perkembangan distribusi pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah untuk sektor pertanian (BPRS Amanah Ummah 2012)
Gambar 5 memperlihatkan bahwa distribusi pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah untuk sektor pertanian mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2009. Namun, mengalami penurunan pada tahun 2009 ke tahun 2010 dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2011. Pada tahun 2012, jumlah nominal pembiayaan untuk sektor pertanian mengalami jumlah tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp1 563 136 000. Jadi, berdasarkan perkembangan pembiayaan yang terdapat pada BPRS Amanah Ummah didapatkan kesimpulan bahwa distribusi pembiayaan masih dapat dioptimalkan karena masih terdapat selisih yang cukup besar antara nominal perhimpunan dana pihak ketiga dengan penyaluran dana. Pada tahun 2012, terdapat selisih sebesar Rp20 943 697 000 dari perhimpunan dana pihak ketiga dan penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan. Walau keseluruhan dana pihak ketiga memang tidak harus dialokasikan semua kepada penyaluran dana, adanya selisih tersebut menunjukkan bahwa jumlah pembiayaan berpotensi untuk ditingkatkan. Salah satu sektor riil berprospek positif yang dapat ditingkatkan alokasi pembiayaannya yaitu sektor pertanian.
42
ANALISIS RISIKO PEMBIAYAAN Identifikasi BPRS Amanah Ummah ERM 1: Internal Environment BPRS Amanah Ummah merupakan organisasi berbentuk perseroan terbatas yang sudah berdiri selama 20 tahun sejak tahun 1992. BPRS Amanah Ummah terus berusaha menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dengan melaksanakan kegiatan manajemen risiko untuk mengidentifikasi, memantau, dan mengendalikan risiko yang mungkin timbul dari kegiatan bank. Manajemen risiko yang efektif dan efisien juga diimplementasikan oleh BPRS untuk dapat mencapai tujuan perusahaan dengan tetap menjunjung tinggi asas prudential banking (kehati-hatian) dan sharia compliance (prinsip syariah). Selain itu, sesuai dengan prinsip good corporate governance (GCG), BPRS Amanah Ummah juga membentuk tim audit internal. BPRS Amanah Ummah memiliki motto yaitu “Meraih Laba, Menepis Riba, Mengundang Berkah”. Ketiga slogan motto tersebut merupakan nilai-nilai yang ditanamkan kepada seluruh jajaran direksi dan karyawan dalam mengerjakan tugasnya. Selain motto tersebut, terdapat pula budaya perusahaan yang ditanamkan kepada seluruh direksi dan karyawan yaitu “Pelayanan Cepat, Amanah, dan Ramah”. Motto dan budaya perusahaan itulah yang kemudian diinternalisasikan kepada seluruh direksi maupun karyawan dan menjadi nilainilai kepercayaan yang selama ini dianut dalam mengerjakan segala tugasnya. Dalam hal permodalan dan keuangan, tercatat pada tahun 2012 BPRS Amanah Ummah memiliki rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 14.17%, pendapatan dari seluruh produk pembiayaan sebesar Rp13 625 603 000, dan laba bersih sebesar Rp1 568 171 000. Selain itu, BPRS Amanah Ummah memiliki reputasi yang cukup baik di masyarakat dan beroperasi di pusat perdagangan (Pasar Leuwiliang) sehingga dekat dengan masyarakat. Beberapa hal tersebut mendukung BPRS Amanah Ummah untuk dapat tumbuh dan lebih berkembang menjadi bank yang lebih besar dan bersaing dengan perbankan syariah maupun konvensional lainnya. ERM 2: Objective Setting Visi yang ditetapkan BPRS Amanah Ummah yaitu menjadi BPRS pilihan umat, amanah dan profesional sedangkan misinya yaitu membangun kualitas kehidupan umat melalui perbankan syariah. Selain visi dan misi tersebut, BPRS Amanah Ummah juga memiliki sasaran yang dituju dalam rangka mematuhi pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik. Sasaran-sasaran tersebut yaitu menumbuhkan budaya patuh terhadap peraturan, sadar risiko dalam rangka pelaksanaan prudential banking dan sharia compliance, serta menjaga pertumbuhan bisnis bank. Adapun arahan strategi dari Bank Indonesia yaitu perbankan syariah difokuskan untuk mendorong pemerataan ekonomi masyarakat dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Mengarahkan pembiayaan perbankan syariah pada sektor ekonomi produktif dan masyarakat yang lebih luas.
43
2. 3. 4.
Mengembangkan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif. Melaksanakan transisi pengawasan yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah. Meningkatkan edukasi dan komunikasi produk perbankan syariah.
Identifikasi Risiko ERM 3: Event Identification Pengidentifikasian risiko yang terjadi pada BPRS Amanah Ummah dapat dilakukan melalui pengamatan di lapangan dan wawancara dengan pihak internal bank. Secara garis besar, risiko pada BPRS Amanah Ummah yang diteliti dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 kelompok yaitu risiko internal dan eksternal. Risiko internal terbagi menjadi risiko pembiayaan dan risiko operasional sedangkan risiko eksternal mencakup risiko secara umum yang dipengaruhi oleh pihak luar bank. Identifikasi pertama yaitu risiko pembiayaan. Risiko pembiayaan merupakan risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counterparty (pihak ketiga) dalam memenuhi kewajibannya (Karim 2009). Risiko utama dalam pembiayaan adalah timbulnya pembiayaan bermasalah atau bahkan macet. Menurut pihak BPRS Amanah Ummah, pembiayaan bermasalah adalah suatu kinerja pembiayaan yang menunjukkan kondisi tidak berjalan sesuai harapan atau adanya isyarat/tanda nasabah tidak dapat membayar kewajiban sesuai jadwal, atau syarat-syarat lain yang telah ditetapkan. Di sisi lain, pembiayaan macet adalah kondisi pembiayaan bermasalah tidak menunjukkan tanda-tanda dapat disehatkan, cenderung tidak dapat ditagih lagi, dan tidak dapat dilakukan tindakan penyelamatan kembali. Pembiayaan bermasalah dan macet dapat menimbulkan beberapa kerugian untuk bank, seperti kehilangan perolehan pendapatan marjin, kehilangan bagi hasil dan saldo pokok pembiayaan, turunnya rentabilitas usaha bank, dan kehilangan kesempatan pengembangan usaha. Kerugian lainnya yaitu dapat menimbulkan reputasi negatif terhadap bank, timbulnya penambahan biaya untuk pengacara dan kolektor, kerugian personalia seperti waktu, tenaga dan moral, serta penurunan solvabilitas/permodalan bank. Potensi-potensi risiko pada tahapan proses pembiayaan di BPRS Amanah Ummah dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengajuan Pembiayaan Risiko yang mungkin terjadi dalam tahap ini adalah adanya pemalsuan data dan ketidakjujuran dari nasabah saat mengajukan pembiayaan dan melengkapi persyaratannya. Risiko lainnya yaitu kurangnya pengetahuan nasabah yang akan meminjam dana akan produk dan prinsip pembiayaan syariah sehingga berpotensi untuk menimbulkan kekeliruan dalam memilih pembiayaan yang dibutuhkan. 2. Analisis Pembiayaan Pada tahap ini, risiko yang terkandung yaitu pihak bank gagal/kurang teliti dalam menganalisis aspek 5C (character, capacity, capital, condition, dan collateral) dari nasabah, adanya pemalsuan jaminan dari nasabah, rendahnya nilai jual kembali jaminan yang diberikan nasabah,
44
adanya tuntutan hukum pihak lain atas jaminan dari nasabah, dan adanya sertifikat ganda (misalnya pada sertifikat tanah). 3. Penilaian Dokumen Tidak ditemukan potensi risiko dalam proses ini karena analisis dan pembuatan proposal pengajuan pembiayaan dilakukan secara objektif oleh AO yang sudah melakukan survei langsung ke lapangan. 4. Pengajuan ke Komite Kebijakan Pembiayaan. Tidak ditemukan potensi risiko dalam proses ini karena persetujuan terhadap pengajuan pembiayaan telah diputuskan oleh pihak yang ahli dalam menganalisis pembiayaan dari bank. 5. Persetujuan dan Pengikatan Pada tahap ini, ditemukan potensi risiko yaitu adanya kekeliruan dalam penetapan akad pembiayaan yang nantinya dapat menimbulkan ketidakcocokan antara kebutuhan pembiayaan usaha dengan produk pembiayaan itu sendiri. 6. Pencairan Pada tahap ini, risiko yang terkandung adalah keterlambatan pihak bank dalam memproses pengajuan pembiayaan nasabah dan adanya kesalahan prosedur dalam melakukan serangkaian proses pembiayaan tersebut. 7. Pembinaan dan Pengawasan Risiko yang mungkin terjadi pada tahap ini adalah kurangnya follow-up dari pihak bank kepada nasabah yang diberikan pembiayaan sehingga dapat menimbulkan hilangnya kontrol dan terlambatnya pembayaran angsuran. Risiko lainnya yaitu adanya keterlambatan pihak bank dalam menangani pembiayaan yang bermasalah. Hal ini sangatlah vital karena pembiayaan bermasalah dapat menghambat perputaran keuangan dan performansi bank sehingga membutuhkan penanganan khusus. 8. Pelunasan Pada tahap terakhir ini, tidak semua nasabah selesai membayar seluruh angsuran tepat pada waktunya. Terkadang ada nasabah yang terlambat dalam mengembalikan pembiayaan atau bahkan mengalami default/gagal bayar. Risiko gagal bayar ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti karakter buruk dan faktor moral (moral hazard) nasabah, usaha nasabah mengalami kebangkrutan atau usaha nasabah mengalami gagal panen/terkena bencana alam. Kegiatan pembiayaan untuk sektor pertanian memiliki prosedur yang sama dengan kegiatan pembiayaan untuk sektor lain. Oleh karena itu, risiko-risiko yang telah dijelaskan sebelumnya dapat digolongkan ke dalam risiko pembiayaan untuk sektor pertanian. Beberapa hal yang membedakannya adalah sumber risiko dari terjadinya risiko pembiayaan. Pada sektor pertanian, sumber risiko dari gagal bayar/default biasanya berasal dari terjadinya gagal panen, fluktuasi cuaca, bencana alam, kegagalan produksi, dan sumber-sumber lain yang berkaitan langsung dengan karakteristik usaha pertanian nasabah. Untuk keunikan risiko pembiayaan syariah itu sendiri, terletak pada penerapan prinsip syariah serta spesifikasi kapabilitas sumber daya insani yang tidak ada dalam praktik perbankan konvensional. Namun, pada kasus ini, tidak dibahas secara mendalam risiko pembiayaan yang terdapat pada produk bagi hasil, seperti mudharabah dan
45
musyarakah karena BPRS Amanah Ummah belum menyalurkan pembiayaan dengan produk-produk tersebut untuk sektor pertanian. Identifikasi kedua yaitu risiko operasional. Risiko operasional adalah risiko yang disebabkan oleh sumber daya manusia, kegagalan sistem, serta kegagalan sarana dan infrastruktur. 1. Sumber Daya Manusia (SDM) Risiko SDM dapat ditimbulkan dari tidak berfungsinya fungsi internal dan human error. Tidak berfungsinya fungsi internal yang terjadi pada BPRS Amanah Ummah yaitu seperti adanya keterlambatan dalam penyebaran informasi dari pimpinan kepada karyawan atau bagian di bawahnya, adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap bank, dan perhitungan pembentukan penyisihan aktiva produktif (PPAP) yang tidak dilakukan secara rutin. Selain itu, terdapat human error yang dapat terjadi pada tiap bagian baik disengaja maupun tidak disengaja. Human error dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti ketidakmampuan sumber daya manusia dan kelelahan. Pada BPRS Amanah Ummah, risiko yang dapat ditimbulkan karena human error adalah kurangnya pengetahuan SDM bank mengenai prinsip dan praktik pembiayaan syariah, adanya kesalahan dalam pencatatan transaksi/posting, adanya tindakan moral hazard (korupsi, kolusi, pemalsuan), serta hilangnya berkas dan arsip. Faktor kurangnya kemampuan komunikasi dan budaya kerja yang kurang sesuai dengan SOP bank juga dapat menjadi risiko. 2. Sistem Risiko yang terkandung dalam kegagalan sistem pada BPRS Amanah Ummah adalah sistem teknologi informasi dan jaringan bank mengalami offline atau error. 3. Sarana Risiko yang mungkin terjadi yaitu kegagalan sarana seperti komunikasi, listrik, dan air. Terjadinya hal tersebut di luar perkiraan bank dan dapat menghambat kegiatan operasional bank. Risiko lainnya yaitu rusaknya barang yang disewakan karena pemakaian di luar normal atau tidak sesuai prosedur (misalnya pada produk ijarah). Identifikasi ketiga yaitu risiko eksternal. Dari beberapa risiko eksternal yang mungkin terjadi, terdapat 2 risiko yang dapat terjadi pada BPRS Amanah Ummah. Risiko tersebut yaitu terjadinya bencana alam seperti gempa bumi atau banjir dan adanya kebijakan dari Bank Indonesia yang kurang menguntungkan pihak BPRS. Ringkasan mengenai identifikasi risiko yang telah diuraikan beserta kemungkinan kejadian risiko dan dampak terjadinya risiko dapat dilihat pada Tabel 17.
46
Tabel 17 Identifikasi risikoa Kelompok risiko A. Risiko Pembiayaan Pengajuan Pembiayaan Analisis Pembiayaan
Nomor Kejadian Identifikasi risiko risiko risikob 1 Adanya pemalsuan data dan ketidakjujuran 11-20 dari nasabah kali 2 Kurangnya pengetahuan nasabah 21-50 pembiayaan akan produk dan prinsip kali pembiayaan syariah 3 Pihak bank gagal/kurang teliti dalam 11-20 menganalisis aspek 5Cc dari nasabah kali 4 Pemalsuan jaminan dari nasabah Tidak pernah 5 Rendahnya nilai jual kembali jaminan 5 kali 6 7
Persetujuan dan Pengikatan Akad Pencairan
8
9 10
Pembinaan dan Pengawasan
11
12 Pelunasan
13
14 15
16 B. Risiko Operasional
17
SDM
18 19
20 21 22 23 24 Sistem
25
Sarana
26 27
C. Risiko Eksternal
28 29
a
Adanya tuntutan hukum pihak lain atas jaminan dari nasabah Adanya sertifikat ganda (pada jaminan seperti tanah) Adanya kekeliruan dalam penetapan akad
Tidak pernah < 5 kali
Dampak terjadinya risiko Tindakan pemalsuan dan batalnya proses penyaluran pembiayaan Kesalahan pengajuan produk pembiayaan dan takut dalam mengakses pembiayaan Kesalahan pemberian plafon pembiayaan kepada nasabah Tidak menimbulkan masalah berarti Nilai jual jaminan tidak setara dengan jumlah pembiayaan bermasalah Tidak menimbulkan masalah berarti Tidak menimbulkan masalah berarti
5-10 kali
Ketidaksesuaian dengan kebutuhan usaha nasabah dan tidak sahnya akad yang ditetapkan
Keterlambatan pihak bank dalam memproses pengajuan pembiayaan Kesalahan prosedur dalam melakukan proses pembiayaan Kurangnya follow-up dari pihak bank kepada nasabah yang diberikan pembiayaan Terlambatnya pihak bank dalam menangani pembiayaan yang bermasalah Nasabah mengalami default (gagal bayar) karena karakter buruk dan bahaya moral (moral hazard) nasabah Nasabah mengalami default (gagal bayar) karena usahanya mengalami kebangkrutan Nasabah mengalami default (gagal bayar) karena usahanya mengalami kegagalan panen/terkena bencana alam Nasabah terlambat dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan oleh bank Adanya keterlambatan dalam penyebaran informasi kepada staf dari keputusan pimpinan/rapat Adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap bank Perhitungan PPAP tidak dilakukan secara rutin
5-10 kali
5-10 kali
Menimbulkan reputasi negatif bagi bank dan turunnya kredibilitas bank Ketidaksesuaian dengan prinsip syariah dan taksiran pembiayaan Terhambatnya proses pembiayaan
5-10 kali
Terhambatnya proses pembiayaan
Kurangnya pengetahuan SDM bank mengenai pembiayaan syariah Kesalahan dalam pencatatan transaksi/posting Adanya moral hazard (korupsi, kolusi, pemalsuan) Hilangnya berkas dan arsip Kurangnya kemampuan komunikasi dan budaya kerja Sistem teknologi informasi bank mengalami offline atau error Kegagalan sarana: komunikasi, listrik, dan air Rusaknya barang yang disewakan karena pemakaian di luar normal (misal pada ijarah) Terjadi bencana alam seperti gempa bumi, banjir Adanya kebijakan dari Bank Indonesia yang merugikan bank
5-10 kali
21-50 kali
Terganggunya likuiditas perusahaan
11-20 kali 11-20 kali
Terganggunya likuiditas perusahaan Terganggunya likuiditas perusahaan
11-20 kali 5-10 kali
Terganggunya stabilitas bank dan timbulnya pembiayaan macet Terganggunya alur komunikasi
5-10 kali
5-10 kali
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank Terganggunya stabilitas bank dan menimbulkan kerugian signifikan terhadap bank Tidak menimbulkan masalah berarti
5-10 kali
Merusak sistem pencatatan
Tidak pernah < 5 kali 5-10 kali
Kerugian finansial dan sistemik
Tidak pernah
< 5 kali 11-20 kali Tidak pernah 5-10 kali Tidak pernah
Kekurangan data informasi Terganggunya hubungan kerja dan terjadi konflik Terganggunya sistem dan akses data informasi Terhambatnya kegiatan operasional bank dan terganggunya pelayanan Tidak menimbulkan masalah berarti
Perusahaan tidak dapat beroperasi Tidak menimbulkan masalah berarti
Sumber: Data primer (2013); bKejadian dalam setahun; cCharacter, Capacity, Capital, Condition, Collateral
47
Pengukuran dan Pemetaan Risiko ERM 4: Risk Assessment Penilaian risiko di BPRS Amanah Ummah dilakukan melalui wawancara dengan direktur, audit internal, kabid marketing, kabid operasional, kabid umum dan personalia, account officer (AO), legal officer (LO), dan ADMP. Hal-hal yang ditanyakan adalah kemungkinan terjadinya risiko yang berkaitan dengan bidang masing-masing dan seberapa besar dampak yang diterima jika risiko tersebut terjadi. Selain wawancara, digunakan juga alat bantu berupa kuesioner terbuka mengenai penilaian risiko pembiayaan dan operasional yang terdapat pada BPRS Amanah Ummah. Risiko-risiko yang sudah diidentifikasi sebelumnya kemudian dinilai dengan standar pengukuran yang menjadi indikator ukuran risiko. Pada kasus ini, kemungkinan terjadinya risiko dan dampaknya dinilai berdasarkan diskusi dengan direktur karena dinilai kompeten dan paling memahami seluruh kegiatan pembiayaan di BPRS Amanah Ummah. Selanjutnya, hasil penilaian ditaksir dengan menggunakan metode aproksimasi. Penggunaan metode aproksimasi menjadikan pengukuran risiko tetap dapat dilakukan jika data statistik, informasi historis atau data kuantitatif lainnya tidak tersedia (Kountur 2008). Indikator mengenai kemungkinan terjadinya risiko dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Indikator kemungkinan terjadinya risikoa Kategori Keterangan Improbable hampir tidak mungkin terjadi Remote kadang terjadi Occasional mungkin terjadi Probable sangat mungkin terjadi Frequent hampir pasti terjadi a Sumber: Diolah dari Godfrey (2013)
Probabilitas < 5 kali per tahun 5-10 kali per tahun 11-20 kali per tahun 21-50 kali per tahun > 50 kali per tahun
Skor 1 2 3 4 5
Tabel 18 menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya risiko dapat dibagi menjadi 5 skala. Selanjutnya, indikator mengenai dampak terjadinya risiko dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Indikator dampak terjadinya risikoa Kategori Negligible Marginal
Keterangan Tidak menimbulkan masalah berarti bagi pihak bank
Menimbulkan masalah kecil yang dapat diatasi dengan pengelolaan rutin Serious Mencegah perusahaan memenuhi tujuannya untuk periode tertentu saja Critical Mengakibatkan pihak bank tidak dapat mencapai sebagian tujuan jangka panjang, mengganggu likuiditas bank Catastrophic Mengakibatkan pihak bank tidak dapat mencapai seluruh tujuan jangka panjang, menyebabkan kebangkrutan, kematian, atau hukuman pidana a Sumber: Diolah dari Godfrey (2013)
Skor 1 2 3 4 5
48
Indikator kerugian untuk dampak terjadinya risiko yang digunakan tidak dikonversi ke dalam nominal rupiah karena penilaian berdasarkan biaya bukanlah merupakan syarat mutlak dalam menilai kerugian (Godfrey 1996). Indikator berdasarkan biaya kerugian yang diterima oleh sebuah perusahaan digunakan berdasarkan kebutuhan. Pada kasus ini, BPRS Amanah Ummah belum memerlukan penilaian kerugian dalam nominal rupiah dan indikator yang digunakan hanya berdasarkan skala kualitatif. Kemungkinan risiko dan dampak terjadinya risiko yang telah dijelaskan pada Tabel 17 kemudian dikonversi ke dalam skor berdasarkan indikator pada Tabel 18 dan Tabel 19. Setelah itu, masing-masing skor probabilitas dan skor dampak pada peristiwa risiko dikalikan untuk didapat skor risikonya kemudian dikelompokkan sesuai dengan kategori tingkatan risikonya. Hasil perkalian kemungkinan terjadinya risiko dan dampak terjadinya risiko pada BPRS Amanah Ummah dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Klasifikasi risikoa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14.
15. 16.
17. 18.
19.
Peristiwa risiko Pemalsuan jaminan dari nasabah Adanya tuntutan hukum pihak lain atas jaminan dari nasabah Adanya sertifikat ganda (pada jaminan seperti tanah) Rendahnya nilai jual jaminan Adanya kekeliruan dalam penetapan akad Keterlambatan pihak bank dalam memproses pengajuan pembiayaan nasabah Kesalahan prosedur dalam melakukan proses pembiayaan Kurangnya follow-up dari pihak bank kepada nasabah yang diberikan pembiayaan Terlambatnya pihak bank dalam menangani pembiayaan yang bermasalah Kurangnya pengetahuan nasabah pembiayaan akan produk dan prinsip pembiayaan syariah Adanya pemalsuan data dan ketidakjujuran dari nasabah Pihak bank gagal/kurang teliti dalam menganalisis aspek 5Cb dari nasabah Nasabah mengalami gagal bayar karena usahanya bangkrut Nasabah mengalami gagal bayar karena usahanya mengalami kegagalan panen/terkena bencana alam Nasabah terlambat dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan oleh bank Nasabah mengalami gagal bayar karena karakter buruk dan faktor moral (moral hazard) nasabah Rusaknya barang yang disewakan (misal pada ijarah) Kurangnya pengetahuan SDM bank mengenai prinsip dan praktik pembiayaan syariah Hilangnya berkas dan arsip
Sumber informasi LO LO
Skor Skor Skor Tingkat risiko probabilitas dampak total 1 1 1 Negligible 1 1 1 Negligible
LO
1
1
1
Negligible
LO AO dan LO AO
2
2
4
Acceptable
2
2
4
Acceptable
Audit internal AO
2
2
4
Acceptable
2
2
4
Acceptable
Audit internal Direktur
2
2
4
Acceptable
4
2
8
Undesirable
AO
3
3
9
Undesirable
Direktur
3
3
9
Undesirable
Direktur
3
4
12
Undesirable
Direktur
3
4
12
Undesirable
AO
3
4
12
Undesirable
Direktur
4
4
16 Unacceptable
AO
1
1
1
Negligible
Direktur
2
1
2
Negligible
Pihak ADMP
1
2
2
Negligible
49
No.
Peristiwa risiko
20. Kurangnya kemampuan komunikasi dan budaya kerja 21. Sistem teknologi informasi bank mengalami offline atau error 22. Perhitungan PPAP tidak dilakukan secara rutin 23. Adanya keterlambatan dalam penyebaran informasi kepada staf dari keputusan pimpinan/rapat 24. Adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap bank 25. Kesalahan dalam pencatatan transaksi/posting 26. Adanya moral hazard (korupsi, kolusi, pemalsuan) dari SDM bank 27. Kegagalan sarana: komunikasi, listrik, dan air 28. Adanya kebijakan dari Bank Indonesia yang merugikan bank 29. Terjadi bencana alam (gempa bumi, banjir) a
Sumber informasi Direktur
Skor Skor Skor Probabilitas Dampak Total 2 1 2
Tingkat Risiko Negligible
Kabid operasional Direktur
1
2
2
Negligible
1
3
3
Acceptable
Audit internal
2
2
4
Acceptable
Direktur
2
2
4
Acceptable
Kabid operasional Direktur
2
2
4
Acceptable
1
4
4
Acceptable
Kabid umum Direktur
3
2
6
Undesirable
1
1
1
Negligible
Direktur
2
4
8
Undesirable
Sumber: Data primer (2013); bCharacter, Capacity, Capital, Condition, Collateral
Setelah dilakukan klasifikasi risiko, selanjutnya dilakukan pemetaan terhadap risiko-risiko tersebut. Pemetaan risiko digolongkan ke dalam 4 tingkatan risiko yang terdiri dari tingkatan negligible, acceptable, undesirable, dan unacceptable (Godfrey 1996). Hasil pemetaan risiko ditunjukkan oleh Tabel 21. Tabel 21 Hasil pemetaan risikoa
Probabilitas (Probability)
Dampak (Impact)
Frequent
5
Probable
4
Catastrophic 5 25 Unacceptable 20 Unacceptable 15
Occasional 3 Unacceptable 10 Remote
2 Undesirable 5
Improbable 1 Undesirable a
Critical Serious 4 3 20 15 Unacceptable Unacceptable 16 12 Unacceptable Undesirable (13) 12 9 Undesirable Undesirable (1, 3)b (14, 15,16 ) 8 6 Undesirable (28) 4 Acceptable (22)
Undesirable 3 Acceptable (19)
Marginal 2 10 Undesirable 8 Undesirable (2) 6 Undesirable (26) 4 Acceptable (5, 8, 9, 10, 11, 12, 17, 18, 21) 2 Negligible (23, 25)
Negligible 1 5 Undesirable 4 Acceptable 3 Acceptable 2 Negligible (20, 24) 1 Negligible (4, 6, 7, 27, 29)
Sumber: Data primer (2013); b(X) = Nomor risiko (Tabel 17)
Tabel 21 menunjukkan pemetaan risiko dengan 4 tingkatan. Penjelasan mengenai masing-masing risiko sesuai dengan tingkatannya yaitu sebagai berikut:
50
1.
2.
3.
4.
Tingkat Negligible Risiko-risiko yang termasuk ke dalam tingkatan ini adalah pemalsuan jaminan nasabah, tuntutan hukum pihak lain atas jaminan nasabah, jaminan bersertifikat ganda, kurangnya pengetahuan SDM bank mengenai prinsip pembiayaan syariah, hilangnya berkas dan arsip, kurangnya kemampuan komunikasi dan budaya kerja, sistem teknologi informasi offline, rusaknya barang yang disewakan pada produk pembiayaan ijarah, dan adanya kebijakan Bank Indonesia yang kurang menguntungkan pihak bank. Risiko-risiko tersebut masuk ke dalam tingkatan negligible karena jarang terjadi dan apabila terjadi, akan memberikan dampak yang tidak terlalu merugikan bagi perusahaan sehingga dapat diatasi oleh perbaikan dan pengelolaan rutin. Tingkat Acceptable Rendahnya nilai jual kembali jaminan, adanya kekeliruan dalam penetapan akad, keterlambatan pihak bank dalam memproses pengajuan pembiayaan nasabah, kesalahan prosedur dalam melakukan proses pembiayaan, kurangnya follow-up dari pihak bank kepada nasabah yang diberikan pembiayaan, terlambatnya pihak bank dalam menangani pembiayaan bermasalah, keterlambatan dalam penyebaran informasi keputusan kepada karyawan, adanya persepsi negatif dari masyarakat kepada bank, perhitungan PPAP tidak dilakukan secara rutin, kesalahan dalam pencatatan transaksi, dan adanya moral hazard (korupsi, kolusi, pemalsuan) dari SDM bank merupakan risiko-risiko yang termasuk dalam tingkatan ini. Jika risiko ini terjadi, proses pembiayaan dan kegiatan operasional masih dapat berjalan walau agak terlambat dari jadwal dan target yang telah ditetapkan. Tingkat Undesirable Risiko-risiko yang terkandung dalam tingkatan ini adalah pemalsuan data dan ketidakjujuran nasabah, kurangnya pengetahuan nasabah akan produk dan prinsip pembiayaan syariah, kurang telitinya pihak bank dalam menganalisis aspek 5C nasabah, nasabah mengalami gagal bayar karena usahanya mengalami kebangkrutan, gagal panen atau mengalami bencana alam, nasabah terlambat dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan oleh bank, kegagalan sarana, dan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi dan banjir. Risiko-risiko tersebut harus diwaspadai karena dapat menimbulkan kerugian yang cukup signifikan pada bank. Salah satu risiko yang paling tinggi yaitu nasabah yang gagal bayar/default karena mengalami kebangkrutan usaha atau terkena bencana alam. Nasabah yang tidak mampu membayar kewajibannya karena alasan tersebut masih dapat dimaklumi oleh bank walaupun tetap harus dilakukan berbagai tindakan untuk mengatasinya. Kejadian gagal bayar ini akan menimbulkan kerugian pada bank sejumlah pembiayaan/kewajiban yang belum dibayarkan oleh nasabah. Hal tersebut dapat mempengaruhi stabilitas keuangan bank jika pembiayaan yang diberikan kepada nasabah termasuk ke dalam jumlah yang besar. Tingkat Unacceptable Nasabah yang mengalami gagal bayar/default karena karakter buruk dan faktor moral (moral hazard) termasuk ke dalam risiko yang tinggi
51
dan memberikan pengaruh yang signifikan sehingga harus mendapat prioritas utama. Potensi risiko nasabah gagal bayar karena karakter buruk/moral hazard memiliki nilai risiko lebih tinggi daripada risiko gagal bayar lainnya. Hal ini terjadi karena syarat utama lancarnya proses pembiayaan yakni kemauan untuk membayar dan saling percaya (trust) sudah tidak ada lagi sehingga kemungkinan munculnya pembiayaan macet akan lebih besar.
Potensi Kerugian Pembiayaan Sektor Pertanian di BPRS Amanah Ummah Perhitungan potensi kerugian pembiayaan ini menggunakan asumsi probability default yang telah ditetapkan oleh BPRS Amanah Ummah dalam penentuan persentase kerugian untuk masing-masing kualitas pembiayaan. Kualitas pembiayaan dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu: 1. Pembiayaan Lancar (L), yaitu pembiayaan berjalan yang belum jatuh tempo dan angsurannya sesuai dengan jadwal serta jumlah nominal yang ditetapkan. 2. Pembiayaan Kurang Lancar (KL), yaitu pembiayaan berjalan yang belum jatuh tempo dan angsurannya tidak sesuai dengan jadwal serta jumlah nominal yang ditetapkan. 3. Pembiayaan Diragukan (D), yaitu pembiayaan yang sudah jatuh tempo tetapi belum dilunasi dan pembayaran angsuran masih berjalan, namun tidak sesuai dengan jadwal serta jumlah nominal yang telah ditetapkan. 4. Pembiayaan Macet (M), yaitu pembiayaan yang telah jatuh tempo lebih dari 3 periode angsuran tetapi belum terlunasi serta tidak pernah lagi ada pembayaran angsuran. Penentuan kemungkinan nasabah macet menggunakan distribusi Poisson dengan asumsi tingkat kepercayaan 96%. Asumsi tersebut diambil untuk mengestimasi risiko pembiayaan pada pelaksanaan operasional pembiayaan perusahaan. Terdapat 5 langkah dalam menghitung potensi kerugian pembiayaan. Langkah 1: Pengelompokan Eksposur dalam Band (Kelompok) Pada periode tahun 2012, nasabah pada sektor pertanian yang mendapatkan pembiayaan dari BPRS Amanah Ummah sejumlah 21 orang nasabah yang terbagi ke dalam 2 skema pembiayaan (20 orang nasabah murabahah dan 1 orang nasabah ijarah). Eksposur/baki debet terkecil dari kedua skema pembiayaan tersebut yaitu Rp200 000 dan terbesarnya yaitu Rp944 444 444. Pengelompokan berdasarkan sebaran data baki debet semua nasabah sektor pertanian dapat dibagi ke dalam 4 band (kelompok) yaitu band Rp50 000 (Rp50 000 - Rp5 000 000), band Rp5 000 000 (Rp5 000 001 - Rp50 000 000), band Rp50 000 000 (Rp 50 000 001 - Rp500 000 000), dan band Rp500 000 000 (Rp500 000 001 - Rp1 000 000 000). Jumlah nasabah yang dikelompokkan pada masing-masing band dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel data nasabah pembiayaan sektor pertanian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
52
Tabel 22 Jumlah nasabah berdasarkan banda Band
Rp50 ribu Rp5 juta
Rp50 juta
Rp500 juta
Jumlah 1 15 4 1 Nasabahb a b Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); Orang
Tabel 22 menjelaskan bahwa nasabah pembiayaan sektor pertanian sebagian besar berada pada band Rp5 000 000 yang berkisar antara Rp5 000 001 sampai Rp50 000 000. Jumlah nasabah pada band tersebut sebanyak 15 orang (71.43%). Di samping itu, nasabah pembiayaan sektor pertanian paling sedikit dengan 1 orang (4.76%), terdapat pada band Rp50 000 dan band Rp500 000 000. Langkah 2: Perhitungan Probability Default dan Expected Loss Pada BPRS Amanah Ummah, nilai probability default ditentukan dari peluang macet nasabah yang nilainya telah ditetapkan oleh BPRS Amanah Ummah berdasarkan kualitas pembiayaan dan data historis pembiayaan nasabah. Kualitas pembiayaan nasabah dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu pembiayaan yang kualitasnya lancar memiliki probability default sebesar 0.5%, kualitas kurang lancar sebesar 10%, kualitas diragukan sebesar 50%, dan kualitas macet sebesar 100%. Berikutnya, expected loss dihitung dari hasil perkalian nilai eksposur/baki debet/Loss Given Default (LGD) dengan peluang macet nasabah (probability default). Expected loss nasabah pada masing-masing band dapat dijelaskan oleh Tabel 23 dan hasil rekapitulasi perhitungan mengenai expected loss selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 23 Expected loss nasabah sektor pertanian pada masing-masing banda Kualitas pembiayaan Kurang Lancar Diragukan Macet Expected lossc lancar Rp50 000 1 1 1 000 Rp5 000 000 15 14 1 7 690 889 Rp50 000 000 4 4 1 762 500 Rp500 000 000 1 1 4 722 222 Jumlah 21 20 0 1 0 14 176 611 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); bJumlah nasabah (Orang); cExpected loss (Rp) Band
Jumlah nasabahb
Tabel 23 menunjukkan bahwa dari seluruh nasabah yang berjumlah 21 orang, hanya 1 orang yang memiliki pembiayaan bermasalah (berada pada kualitas pembiayaan diragukan). Nasabah tersebut ada pada band Rp5 000 000 sedangkan nasabah lainnya yang berjumlah 20 orang berada pada kualitas pembiayaan lancar. Besarnya expected loss pada pembiayaan sektor pertanian ini sebesar Rp14 176 611. Langkah 3: Perhitungan Recovery Rate dan Real Loss Nilai real loss berkisar antara 0 (terendah) artinya tidak ada kerugian sama sekali hingga 1 (tertinggi) artinya kerugian yang dihadapi perusahaan sebesar
53
100% atau recovery rate-nya 0. Jika bernilai antara 0 dan 1 maka terdapat nilai recovery rate. Nilai ini dihitung berdasarkan pencairan jaminan nasabah, nilai baki debet yang dihapusbukukan, atau NPF (non performing financing) sektor pertanian. Pada BPRS Amanah Ummah, pencairan jaminan nasabah jarang dilakukan karena proses ini harus melalui tahapan yang cukup panjang sehingga pihak bank lebih memilih penjadwalan ulang (rescheduling) angsuran dan teguran secara kekeluargaan kepada nasabah yang bermasalah. Di samping itu, untuk nilai baki debet yang dihapusbukukan, BPRS Amanah Ummah belum pernah melakukan tindakan tersebut dan untuk NPF sektor pertanian dapat dilihat dari persentase besarnya kegagalan nasabah dalam melaksanakan kewajibannya kepada bank. Pada tahun 2012, NPF sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah sebesar 0.782% dari total baki debet nasabah sektor pertanian yang pembiayaannya bermasalah. Selanjutnya, dari informasi nilai recovery rate, nilai real loss dapat diketahui yaitu sebesar 0.99218 (dengan real loss = 1-nilai recovery rate = 1-0.00782 = 0.99218). Langkah 4: Penentuan Jumlah Nasabah Macet Pada metode creditrisk+, jumlah nasabah macet dapat dihitung dengan alat bantu analisis statistik yang menggunakan distribusi Poisson pada tingkat kepercayaan 96%. Sebelum menentukan jumlah nasabah macet, dihitung nilai m=λ=nj, dimana nj (λ) merupakan expected loss individual band yang menunjukkan tingkat macet nasabah per 1 rupiah dalam masing-masing band dengan tingkat kepercayaan 96%. Nilai nj pada setiap kelas (Lj) di masing-masing band dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengolahan sebaran n-default (α=4%) dengan distribusi Poisson (Lampiran 6), menghasilkan jumlah nasabah yang berpeluang macet untuk periode berikutnya pada tingkat kepercayaan 96%. Penjelasan mengenai jumlah nasabah yang default (n-default) dengan distribusi Poisson dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Jumlah nasabah default berdasarkan n-default distribusi Poissona Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Nasabah a
Band Rp50 ribu nj n-default 0.005 0 -
Band Rp5 juta nj n-default 0.013 0 0.012 0 0.009 0 0.019 0 0.208 1 0.015 0
Band Rp50 juta nj n-default 0.012 0 0.006 0 0.004 0 -
0
1
0
Sumber: Data primer (diolah, 2013)
Band Rp500 juta nj n-default 0.005 0 0
54
Tabel 24 memperlihatkan bahwa pada pembiayaan sektor pertanian hanya terdapat 1 nasabah (4.76%) berpeluang macet. Nasabah tersebut berada pada band Rp5 000 000. Jumlah ini sama dengan jumlah nasabah bermasalah yang terdapat pada keseluruhan data nasabah pembiayaan sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah (Lampiran 4). Langkah 5: Perhitungan Potensi Kerugian Pembiayaan Perhitungan potensi kerugian pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS Amanah Ummah ini dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi kerugian yang akan dihadapi bank pada periode berikutnya dalam nominal rupiah. Besarnya potensi kerugian pembiayaan dapat diperoleh dari jumlah hasil perkalian antara Lj x real loss x n-default x nominal tiap band. Lj menunjukkan kelas pada masingmasing band dan real loss diketahui sebesar 0.99218 untuk semua band. Nilai potensi kerugian pembiayaan pada masing-masing band dapat dilihat pada Tabel 25 dan hasil rekapitulasi perhitungan potensi kerugian pembiayaan tiap kelas pada masing-masing band selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 25 Potensi kerugian pembiayaan tiap banda Band Potensi kerugianb Rp50 000 0 Rp5 000 000 29 765 400 Rp50 000 000 0 Rp500 000 000 0 Jumlah 29 765 400 a Sumber: Data primer (diolah, 2013); bPotensi kerugian (Rp)
Tabel 25 menunjukkan bahwa potensi kerugian pembiayaan untuk sektor pertanian sejumlah Rp29 765 400. Nilai tersebut muncul dari 1 orang nasabah yang berpeluang macet pada band Rp5 000 000. Potensi kerugian ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan total baki debetnya, yaitu hanya 1.84% dari Rp1 615 500 768. Potensi kerugian pembiayaan untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah pada tahun 2012 berdasarkan perhitungan dengan metode creditrisk+ termasuk rendah karena tidak menimbulkan kerugian berarti jika dibandingkan secara nominal rupiah terhadap keseluruhan pendapatan perusahaan. Menurut hasil perhitungan potensi kerugian pembiayaan, dapat dianalisis bahwa risiko pembiayaan pada sektor pertanian tidak selalu mengandung risiko yang tinggi. Pada kasus ini, risiko pembiayaan syariah untuk sektor pertanian relatif rendah dilihat dari proporsi potensi kerugiannya terhadap keseluruhan baki debet yang disalurkan pada sektor pertanian. Risiko yang cukup rendah ini dapat disebabkan oleh 3 alasan. Pertama, pengaruh produk pembiayaan yang digunakan, yaitu 95.24% menggunakan produk murabahah. Produk murabahah, seperti yang diulas pada Bab Tinjauan Pustaka, merupakan produk pembiayaan jual beli yang aspek risikonya tidak terlalu berkaitan dengan risiko bisnis nasabah secara langsung sehingga risikonya lebih rendah. Kedua, pengaruh skala usaha pertanian nasabah yang diberikan pembiayaan. Pelaku usaha pertanian yang diberikan pembiayaan oleh BPRS Amanah Ummah rata-rata berada pada skala usaha
55
menengah atau usaha yang sudah berkembang. Di samping itu, mayoritas nasabah sudah pernah mendapatkan pembiayaan dari BPRS Amanah Ummah sehingga mendapat kepercayaan dari pihak bank. Alasan ketiga yaitu karena hampir keseluruhan nasabah pembiayaan sektor pertanian memiliki usaha atau penghasilan di luar usaha pertanian itu sendiri sehingga kemampuan membayarnya lebih tinggi dan kualitas pembiayaannya cenderung lancar.
Tindakan Mitigasi Risiko ERM 5: Risk Response BPRS Amanah Ummah memahami bahwa pengelolaan risiko sangat penting dalam sebuah perusahaan dan telah menyusun beberapa tindakan mitigasi sebagai respon terhadap risiko. Tindakan mitigasi risiko tersebut sebagai berikut: 1. Melakukan ekspansi pembiayaan secara selektif dan fokus kepada target pasar yang telah ditetapkan. 2. Melakukan monitoring dan evaluasi pembiayaan secara terus menerus dan berkesinambungan. 3. Membentuk cadangan pembentukan penyisihan aktiva produktif (PPAP) yang memadai. 4. Mengasuransikan aktiva tetap dan aktivitas kas dengan pihak asuransi Takaful. 5. Melakukan sosialisasi dan internalisasi manajemen risiko secara kontinyu untuk menumbuhkan risk awareness pada seluruh karyawan baik melalui pengkinian Standard Operational Procedure (SOP) maupun dalam bentuk pelatihan terkait manajemen risiko. 6. Mengoptimalkan peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam pengawasan produk dan operasional bank agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (sharia compliance). 7. Menetapkan limit untuk portofolio bank dan limit transaksional seperti limit pembiayaan. 8. Menerbitkan laporan portofolio pembiayaan setiap bulan untuk memberikan informasi mengenai perkembangan portofolio dan kualitas pembiayaan. Tindak lanjut yang dilakukan pihak BPRS Amanah Ummah dalam menangani pembiayaan bermasalah yaitu terlebih dahulu menganalisis penyebab terjadinya mengapa nasabah tersebut mengalami pembiayaan bermasalah. Jika alasan terjadinya akibat karakter buruk nasabah dan tidak adanya willingness to pay (keinginan untuk membayar) dari nasabah maka pihak bank akan menarik jaminan nasabah dan diproses agar dapat dicairkan sehingga mengganti kerugian yang diterima bank. Namun, jika alasan terjadinya karena terdapat gangguan internal usaha nasabah, bank akan melakukan rescheduling pada nasabah. Rescheduling dilakukan dengan cara menjadwal ulang seluruh/sebagian kewajiban anggota, misalnya jangka waktu diperpanjang, jumlah angsuran diubah, marjin awal dikurangi atau diberikan diskon. Lain hal jika alasan terjadinya akibat musibah, bencana alam, dan bangkrutnya usaha maka pihak bank akan menempuh tindakan restrukturisasi dengan memberikan bantuan dana yang sumbernya berasal dari cadangan PPAP.
56
Risiko pembiayaan pertanian yang masuk ke dalam tingkatan unacceptable adalah risiko nasabah gagal bayar karena karakter buruk/faktor moral hazard. Pengertian karakter buruk atau faktor moral hazard nasabah adalah kondisi ketika nasabah tidak memiliki keinginan dan tidak mampu menunaikan kewajiban membayar pokok modal dan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan pada akad pembiayaan. Moral hazard secara tidak langsung dapat disebabkan oleh adanya kondisi imperfect information. Faktor-faktor penyebab moral hazard nasabah pembiayaan salah satunya adalah adanya asymmetric information, karakter nasabah, cakupan kontrak, dan monitoring (Rahman 2010). Asymmetric information adalah kepemilikan informasi yang tidak berimbang. Hal ini terjadi ketika nasabah memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi mereka daripada informasi yang dimiliki oleh bank sehingga nasabah mengambil keuntungan dari fasilitas pembiayaan yang didapatkan. Rendahnya kualitas karakter nasabah ditunjukkan dari perilaku curang, kebohongan, dan keserakahan. Kaitannya dengan monitoring, kasus moral hazard yang terjadi pada BPRS Amanah Ummah diakibatkan pula dari kurangnya pengawasan secara optimal terhadap perilaku, kinerja, dan kondisi nasabah yang aktual, khususnya setelah kontrak pembiayaan berjalan. Terjadinya moral hazard nasabah membuat daya saing bank syariah terhadap bank konvensional menjadi semakin melemah. Selain itu, kebanyakan dari bank syariah adalah institusi bisnis yang masih muda dan depositor mereka mengharapkan hasil yang kompetitif sejak awal mereka menanamkan uangnya sementara usaha dengan pembiayaan mudharabah biasanya baru mencapai titik impas (break-even) setelah 2-3 tahun (Saeed 1996). Dari praktik operasionalnya, terlihat bahwa BPRS Amanah Ummah membatasi bahkan meniadakan porsi pembiayaan mudharabah dan musyarakah dalam portofolio pembiayaan pertanian sebagai bentuk manajemen risikonya. Padahal, salah satu keistimewaan dari bank syariah terletak pada sistem risk sharing (penanggungan risiko secara bersama) dengan sistem mudharabah antara deposan, bank, dan nasabah pengguna pembiayaan (Rahman 2010). Untuk penanganan keseluruhan risiko yang telah dibahas sebelumnya, terdapat beberapa kemungkinan respon atas risiko yaitu menerima risiko (accept), mengurangi risiko (reduce), berbagi risiko (transfer), menghindari risiko (avoid), dan menghilangkan risiko (remove). Respon terhadap risiko ini dianalisis berdasarkan setiap peristiwa risiko yang ada. Kemungkinan respon dan tindakan mitigasi risiko tersebut dapat dilihat pada Tabel 26.
57
Tabel 26 Risk response yang dapat diambil oleh BPRS Amanah Ummaha No. Peristiwa Risiko A. Risiko Pembiayaan 1. Adanya pemalsuan data dan ketidakjujuran dari nasabah 2. Kurangnya pengetahuan nasabah pembiayaan syariah 3. Pihak bank gagal menganalisis aspek 5Cb 4. Pemalsuan jaminan nasabah 5. Rendahnya nilai jual jaminan 6. Adanya tuntutan hukum 7. Adanya sertifikat ganda 8. Adanya kekeliruan akad 9. Bank terlambat memproses pengajuan pembiayaan 10. Kesalahan prosedur dalam proses pembiayaan 11. Kurangnya follow-up dari pihak bank 12. Terlambatnya pihak bank dalam menangani pembiayaan yang bermasalah 13. Nasabah mengalami gagal bayar karena karakter buruk 14. Nasabah mengalami gagal bayar karena usahanya mengalami kebangkrutan 15. Nasabah mengalami gagal bayar karena usahanya gagal panen/terkena bencana alam 16. Nasabah terlambat dalam mengembalikan pembiayaan B. Risiko Operasional 17. Keterlambatan penyebaran hasil keputusan pimpinan/rapat 18. Adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap bank
Respon Risiko
Tindakan Mitigasi
Mengurangi
Merekrut SDM ahli hukum, menciptakan hubungan baik dengan nasabah Mengurangi Memberikan penjelasan kepada nasabah mengenai informasi produk dan prinsip pembiayaan syariah Mengurangi Melakukan pelatihan dan pembinaan, peningkatan peran AO yang juga menjadi investment manager Mengurangi Merekrut SDM ahli hukum, membina hubungan baik Mengurangi Merekrut SDM ahli hukum dalam mentaksasi jaminan Mengurangi Merekrut SDM ahli hukum Mengurangi Merekrut SDM ahli hukum Menghindari Penetapan prosedur yang jelas dan pengecekan ulang Mengurangi Pemeriksaan dan pengendalian secara ketat oleh kabid marketing, penetapan SOP yang jelas Menghindari Penerapan SOP secara jelas dan pemeriksaan rutin oleh audit internal di setiap tahap proses pembiayaan Mengurangi Adanya pengawasan dan pengecekan secara ketat dari audit internal agar AO melakukan follow-up rutin Menghindari Penerapan SOP secara tegas dan adanya peringatan dini jika terdapat nasabah yang mengalami gejala pembiayaan bermasalah Mengurangi Melakukan analisis mendalam sebelum memberikan pembiayaan kepada nasabah, mencairkan jaminan Mengurangi Melakukan analisis kelayakan usaha lebih spesifik dan kontrol terhadap perkembangan usaha yang dijalankan nasabah, melakukan tindakan rescheduling Menerima Mengestimasi cadangan PPAP dengan akurat, menempuh tindakan restrukturisasi yang sumber dananya berasal dari cadangan PPAP tersebut Mengurangi Melakukan pembinaan dan pengawasan berkala dan langsung mendatangi ke tempat nasabah Mengurangi
Mengurangi
Diadakan rapat rutinan seluruh karyawan dan ada papan informasi yang dapat dilihat oleh seluruh karyawan Pembentukan kotak kritik saran dari nasabah, penanganan komplain nasabah dengan sigap, mendeteksi kemungkinan terjadinya fraud internal Melakukan perhitungan rutin dan diawasi oleh audit internal, sistem komputerisasi dalam perhitungan PPAP Mengadakan kuliah dan pelatihan rutin mengenai prinsip dan praktik pembiayaan syariah kepada seluruh karyawan, merekrut SDM handal Adanya SOP yang jelas, melakukan pengecekan ulang sebelum posting Pemasangan CCTV dalam kantor, pembuatan SOP yang jelas dan tegas, dan pengawasan SOP secara ketat Memiliki berkas/arsip lebih dari 1 salinan/softcopy Pelatihan secara berkala, mengadakan acara kebersamaan untuk seluruh karyawan Merekrut SDM ahli IT, memiliki lebih dari 1 jaringan internet, dan pemeliharaan rutin Menyediakan genset dan pemeliharaan rutin Mengasuransikan barang, ada perjanjian jelas dalam akad, mencadangkan dana antisipasi kerusakan barang
19. Perhitungan PPAP tidak Menghindari dilakukan secara rutin 20. Kurangnya pengetahuan Mengurangi SDM bank mengenai pembiayaan syariah 21. Kesalahan dalam pencatatan Menghindari transaksi/posting 22. Adanya moral hazard dari Mengurangi SDM bank 23. Hilangnya berkas dan arsip Mengurangi 24. Kurangnya kemampuan Mengurangi komunikasi dan budaya kerja 25. Sistem teknologi informasi Mengurangi bank mengalami offline 26. Kegagalan sarana Menghilangkan 27. Rusaknya barang yang Menghindari disewakan dan tranfer C. Risiko Eksternal 28. Terjadi bencana alam Transfer Mendaftarkan pada asuransi 29. Adanya kebijakan BI yang Menerima Menyesuaikan kebijakan BI tersebut merugikan pihak bank serangkaian kebijakan internal pada bank a
Sumber: Data primer (2013); bCharacter, Capacity, Capital, Condition, Collateral
dengan
58
ERM 6: Control Activities Tindakan pengendalian dilakukan untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan oleh risiko dan menjamin respon terhadap risiko berjalan dengan efektif. Pengendalian yang dilakukan dapat berupa deskripsi kerja yang jelas untuk masing-masing karyawan, pengawasan yang ketat terhadap SOP, dokumentasi yang baik di tiap bagian, dan adanya pelaksanaan internal audit secara berkala dalam kurun waktu tertentu. Perlu ditambahkan bahwa faktor pengendalian yang kuat secara internal dan eksternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis bank yang beragam menyebabkan risiko yang dihadapi akan relatif beragam sehingga penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian dari early warning system akan menjadi kunci dalam mengantisipasi munculnya risiko yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. ERM 7: Information and Communication Tindakan mitigasi risiko juga harus didukung dengan komunikasi dan alur informasi yang efektif dan efisien. Setiap informasi yang relevan dan terkait kemudian diidentifikasi, diproses, dan dikomunikasikan dengan deskripsi yang jelas agar setiap individu dalam perusahaan mampu melaksanakan tanggung jawabnya. Kegiatan komunikasi termasuk ke dalam pihak internal bank, nasabah bank, para pemegang saham bank, pihak regulator dan pengawas, dan pihak eksternal lainnya. Pada pihak internal bank, komunikasi dan informasi yang dilakukan untuk meminimalisir risiko yaitu dengan mengadakan rapat rutin mingguan dalam membahas kinerja. Selain itu, dapat diadakan acara rutin kebersamaan dalam kurun waktu tertentu, misalnya dengan pergi ke luar kota untuk meningkatkan keakraban dan kekompakan tim. Koordinasi antar bidang juga sangat dibutuhkan dalam mengantisipasi adanya kesalahpahaman dan disertai pengawasan berkala dari dewan direksi dan audit internal. Sarana komunikasi tambahan seperti papan informasi di kantor juga dapat menjadi fasilitas penyebaran informasi yang mudah diakses seluruh karyawan bank. Terkait dengan pemeliharaan hubungan baik dengan nasabah, beberapa tindakan komunikasi dan informasi yang dapat dilakukan pihak bank yaitu dengan: 1. Komunikasi secara reguler dengan nasabah mengenai kelangsungan usaha. 2. Mengirim kartu ucapan ulang tahun, kelahiran anak, hari raya, dan sebagainya. 3. Memberikan informasi seminar, workshop, dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan usaha nasabah atau pembiayaan. 4. Menghubungkan nasabah dengan supplier atau konsumen yang juga nasabah bank. 5. Menyajikan informasi yang faktual dan terkini, misalnya mengenai nisbah bagi hasil dan investasi yang diambil bank atas nama nasabah. 6. Memperbaharui media informasi secara berkala, seperti buletin, brosur, dan website. Selain pembinaan komunikasi yang baik dengan nasabah, penting juga melakukan pembinaan komunikasi dan penyampaian informasi yang transparan dengan para pemegang saham. Para pemegang saham (di luar kepemilikan saham
59
oleh pengurus BPRS Amanah Ummah) memiliki hak dalam pengambilan keputusan penting dalam perusahaan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dan mengantisipasi timbulnya kecurigaan dalam pelaksanaan kegiatan operasional bank. BPRS merupakan lembaga dengan dual regulatory body yang harus memperhatikan jalinan komunikasi dua-arah antara pihak bank dengan Dewan Pengawas Syariah maupun Bank Indonesia. Dewan Pengawas Syariah (DPS) melakukan tindakan pengawasan terhadap sharia compliance yang dilakukan bank agar tidak ada kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah. Bank Indonesia (BI) melakukan tindakan pengawasan secara umum dan penetapan kebijakan mengenai tata kelola aktivitas bank. Pihak bank juga harus mengirimkan laporan secara berkala baik kepada DPS maupun BI agar dapat dipantau, diperiksa, dan diantisipasi sedini mungkin jika ada deteksi ketidaksesuaian dengan prinsip dan kebijakan yang telah ditetapkan. ERM 8: Monitoring Kegiatan monitoring dapat dilakukan melalui proses manajemen yang sedang berjalan dan dievaluasi secara rutin. Pada BPRS Amanah Ummah, kegiatan monitoring dalam pembiayaan dilakukan karena beberapa alasan penting, seperti: 1. Pembiayaan merupakan hubungan bisnis bank dengan nasabah dari mulai pembiayaan diberikan sampai pelunasan. 2. Pembiayaan merupakan aktiva produktif yang menghasilkan pengembalian kepada bank. 3. Pembiayaan memberikan porsi terbesar sebagai sumber pendapatan bank. 4. Jika terjadi pembiayaan bermasalah maka akan membebani modal bank sehingga mempengaruhi ekspansi bank atau menurunnya CAR (Capital Adequacy Ratio). CAR adalah rasio kecukupan modal sebagaimana diatur Bank Indonesia minimal sebesar 8%. Pada akhir tahun 2012, CAR BPRS Amanah Ummah sebesar 14.17%. Nilai CAR BPRS Amanah Ummah cukup memadai jika dilihat berdasarkan ketentuan BI tersebut. Beberapa pihak yang berperan aktif dalam tahap monitoring dan supervisi adalah dewan pengawas syariah (DPS), dewan komisaris, dewan direksi dan audit internal. DPS bertugas memenuhi prinsip syariah baik yang berasal dari internal bank maupun eksternal (misalnya dari nasabah). Dewan komisaris berperan aktif melaksanakan supervisi dan pengawasan terhadap kinerja perusahaan, salah satunya dengan menyelenggarakan rapat rutin mingguan. Dewan direksi bertugas memimpin kegiatan bank sehari-hari dengan kebijakan umum yang telah disetujui oleh dewan komisaris. Dewan direksi juga harus memimpin rapat, menandatangani berkas dan dokumen, menerima laporan kegiatan, mengontrol dan mengawasi likuiditas bank, serta memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS atas jalannya usaha bank. Audit internal berperan dalam supervisi kegiatan pembiayaan yang dilakukan, mengaudit bank secara berkala minimal 6 bulan sekali meliputi neraca, administrasi pembiayaan, dan manajemen bank serta melakukan evaluasi terhadap semua bagian struktur organisasi BPRS Amanah Ummah. Secara umum, BPRS Amanah Ummah sudah melakukan kegiatan
60
monitoring dengan baik dan kegiatan ini sudah menjadi bagian dari tindakan mitigasi risiko. Fokus utama dalam kegiatan monitoring adalah menghindari terjadinya risiko pembiayaan bermasalah atau macet. Terdapat beberapa langkah supervisi dan monitoring yang ditetapkan oleh BPRS Amanah Ummah untuk menghindari terjadinya risiko pembiayaan seperti pembiayaan bermasalah atau macet, yaitu: 1. Supervisi dan monitoring pembiayaan prapencairan. Pemantauan pembiayaan prapencairan dilakukan dengan menganalisis jenis dan karakter usaha nasabah, karakter nasabah itu sendiri, dan produk/skema pembiayaan yang akan diterapkan pada masing-masing nasabah. Kegiatan pemantauan lainnya juga dapat dilihat dari evaluasi penggunaan modal kerja nasabah, evaluasi laporan keuangan nasabah secara berkala, ketepatan angsuran nasabah (jika pernah mendapatkan pembiayaan sebelumnya), dan kelengkapan dokumen. Kegiatan monitoring juga dilihat dari peninjauan ke lokasi usaha nasabah untuk melihat perkembangan usaha nasabah, kunjungan ke rumah nasabah untuk mengenal lebih dalam karakter nasabah, melakukan aktivitas tertentu dengan nasabah (misal: olahraga bersama), menghadiri undangan nasabah, dan kunjungan ke rekanan/mitra nasabah untuk memeriksa nasabah secara tidak langsung. 2. Supervisi dan monitoring pembiayaan pascapencairan. Pemantauan pembiayaan pascapencairan dilakukan lebih intensif dan lebih tertib. Tertib administrasi pembiayaan dilakukan berdasarkan kualitas pembiayaan sesuai ketentuan bank. Kegiatan tertib administrasi ini diperlukan untuk mengetahui tingkat kesehatan pembiayaan, mengelola akun pembiayaan dan kolektibilitas, menjaga kesehatan bank, serta membuat perencanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah.
Identifikasi Penyebab Dominasi Penggunaan Pembiayaan Murabahah Hasil analisis risiko pembiayaan untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah menunjukkan informasi bahwa potensi kerugian pembiayaannya relatif rendah. Salah satu alasannya yaitu karena pengaruh produk pembiayaan yang digunakan. Terdapat 20 nasabah yang menggunakan produk pembiayaan murabahah dari total 21 nasabah pembiayaan sektor pertanian. Hal tersebut terjadi karena jika menggunakan produk pembiayaan selain murabahah, akan menimbulkan risiko yang lebih tinggi sehingga pihak bank belum berani untuk mengembangkan realisasi penggunaan produk pembiayaan lain pada sektor pertanian. Pada kasus ini, proses identifikasi penyebab dominasi penggunaan produk pembiayaan murabahah dilakukan melalui wawancara dengan kedua belah pihak, yaitu dari pihak bank dan pihak nasabah pembiayaan sektor pertanian. Hasil wawancara dengan pihak bank diketahui bahwa penyebabnya yaitu pertama, rendahnya tingkat permintaan akan produk pembiayaan selain murabahah. Kedua, pihak bank menyatakan bahwa produk murabahah memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pembiayaan lain. Pada pembiayaan yang
61
menggunakan prinsip bagi hasil (misalnya produk mudharabah), bank ikut serta dalam kegiatan usaha pertanian yang dijalankan dan pendapatan yang diterima bank berasal dari bagi hasil usaha yang dijalankan sehingga nilainya tidak dapat dipastikan. Khan dan Ahmed (2001) menjelaskan bahwa peringkat risiko produk pembiayaan syariah memiliki karakteristik risiko pembiayaan pada level yang berbeda dan hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Persepsi perbankan syariah terhadap tingkat risiko pembiayaana Peringkat Fasilitas pembiayaan Rasio risiko 1 Musyarakah 3.69 2 Musyarakah Muqayyadah 3.33 3 Mudharabah 3.20 4 Salam 3.13 5 Istisna’ 3.13 6 Ijarah 2.64 7 Murabahah 2.56 a Sumber: Khan dan Ahmad (2001)
Keterangan tambahan dari Tabel 27, interval tingkat rasio dinyatakan dalam rentang 1 (not severe) hingga 5 (highly severe). Tabel 27 menunjukkan bahwa tingkat rasio pembiayaan musyarakah menempati peringkat pertama dengan rasio 3.9. Hal ini berarti pembiayaan musyarakah dinilai oleh kalangan bank syariah memiliki tingkat risiko yang severe (berat) atau berada pada level risiko tinggi. Tingkat risiko severe juga dialami oleh pembiayaan berbasis bagi hasil lainnya seperti musyarakah muqayyadah dan mudharabah. Berbeda dengan pembiayaan murabahah dengan basis jual beli yang memiliki tingkat rasio terkecil yaitu sebesar 2.56. Hal ini berarti bahwa pembiayaan murabahah termasuk pembiayaan yang memiliki tingkat risiko not severe (tidak berat atau berada pada level risiko rendah. Ketiga, jika menggunakan produk pembiayaan murabahah, pendapatan yang diterima bank berasal dari marjin yang telah disepakati di awal sehingga lebih pasti dan risiko pembiayaannya relatif lebih rendah. Keempat, ketidaksiapan pihak bank untuk mengakomodir pembiayaan dengan produk pembiayaan selain murabahah untuk sektor pertanian dan sosialisasi terhadap produk pembiayaan syariah lain yang kurang optimal. Selain wawancara dengan pihak bank, proses identifikasi penyebab tersebut juga dilakukan dengan beberapa nasabah pembiayaan yang usahanya bergerak pada sektor pertanian. Terdapat 5 nasabah pembiayaan pertanian di BPRS Amanah Ummah yang diwawancara: (1) Ibu Lelih (usaha peternakan sapi); (2) Pak Agoes (usaha perkebunan jambu); (3) Pak Mahmud (usaha perkebunan sayur organik); (4) Pak Aken Hafian (usaha tambak lele); dan (5) Pak Mardi (usaha tambak ikan). Pembiayaan yang diberikan pada masing-masing nasabah beragam mulai dari Rp2 000 000 hingga Rp1 000 000 000. Menurut wawancara dengan nasabah tersebut, penyebab dominasi penggunaan produk murabahah adalah pertama, kemudahan dan kepraktisan dalam penggunaannya dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.
62
Penggunaan produk pembiayaan murabahah berdasarkan prinsip jual beli sehingga penetapan di awal hanya menentukan jumlah marjin untuk pihak bank, tidak perlu kesepakatan bagi hasil usaha. Kedua, produk pembiayaan murabahah memang dianggap sesuai dengan kebutuhan usaha para nasabah. Ketiga, belum adanya minat untuk mengambil produk pembiayaan lain selain murabahah. Keempat, pihak nasabah juga menambahkan bahwa selama ini kurang ada fasilitas untuk memahami produk pembiayaan syariah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian sehingga keputusan pemilihan penggunaan produk pembiayaan syariah hanya berdasarkan pengetahuan dari masing-masing nasabah. Setelah dilakukan identifikasi penyebab-penyebab dominasi penggunaan produk pembiayaan murabahah, pihak bank menambahkan beberapa saran agar produk pembiayaan selain murabahah yang sesuai untuk sektor pertanian lebih berkembang dan dapat direalisasikan penggunaannya, yaitu: 1. Adanya edukasi dan sosialisasi kepada nasabah terutama tentang produk-produk pembiayaan pertanian di bank syariah. 2. Adanya peningkatan kompetensi SDM bank syariah yang saat ini relatif masih rendah. 3. Penyaluran dana dengan sistem bagi hasil dibuat dengan aturan-aturan kebijakan yang lebih mudah dijalankan sehingga tidak merugikan nasabah dan bank syariah itu sendiri. 4. Perlunya keberpihakan lebih dari pemerintah untuk sektor pertanian. Selain dari hasil wawancara kepada pihak bank dan nasabah pembiayaan, terdapat beberapa studi literatur mengenai penyebab dominasi pembiayaan murabahah secara umum. Produk pembiayaan yang sebenarnya lebih cocok dengan sektor pertanian adalah mudharabah atau musyarakah. Kedua produk ini memiliki keunggulan seperti: (1) merupakan manifestasi dari prinsip risk-profit sharing yang merupakan inti pembiayaan syariah; (2) memiliki dampak lebih nyata bagi sektor riil dan produktivitas SDM; (3) menggiring perubahan perilaku ekonomi ke arah lebih baik dan produktif; (4) memberikan aspek keadilan dan tidak ada fixed interest seperti bunga.3 Namun, pada praktiknya, penggunaan produk pembiayaan mudharabah dan musyarakah masih belum berkembang. Penyaluran pembiayaan pada bank syariah di Indonesia masih didominasi oleh produk pembiayaan murabahah, begitu pula yang terjadi pada BPRS Amanah Ummah. Dominasi pembiayaan murabahah daripada pembiayaan mudharabah dan musyarakah merupakan fenomena menarik karena yang sebenarnya diharapkan dari bank syariah adalah prinsip bagi hasil. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diharapkan akan lebih menggerakkan sektor riil karena menutup kemungkinan penyaluran dana konsumtif (Antonio 2001). Namun, pembiayaan murabahah, secara empiris, memang lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti: (1) murabahah adalah pembiayaan investasi jangka pendek dan lebih mudah penggunaannya dibandingkan sistem bagi hasil; (2) mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sesuai kesepakatan sehingga bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan berbasis bunga yang dimiliki oleh bank konvensional; (3) murabahah 3
Disampaikan oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian pada Focus Group Discussion (FGD) “Pembiayaan Syariah Mendukung Sektor Pertanian (Peluang dan Hambatan)”, 2013 Februari 16
63
menghindari ketidakpastian pendapatan usaha; (4) murabahah tidak memungkinkan bank syariah untuk mencampuri manajemen bisnis karena bank bukanlah mitra nasabah dan hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan antara kreditur dan debitur (Saeed 1996). Dominasi pembiayaan murabahah di bank syariah juga disebabkan oleh adanya kendala pada pembiayaan mudharabah (Hadikoesoemo dalam Mulyanti 2011). Kendala tersebut seperti: (1) risiko investasi yang relatif tinggi karena sulitnya memantau kegiatan investasi; (2) masalah principal-agent (mudharib) yang tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik modal; (3) kompetensi sumber daya manusia perbankan syariah yang masih rendah untuk melakukan investasi pola bagi hasil; dan (4) tidak tersedia informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor ekonomi yang dijadikan target informasi. Najjar (2011) mengatakan bahwa dominasi pembiayaan murabahah disebabkan oleh risiko pembiayaan murabahah yang rendah. Risiko yang rendah terjadi karena pihak bank mendapat kepastian pendapatan yang berasal dari angsuran dan marjin yang dibayar oleh nasabah pembiayaan. Namun, dari sisi nasabah sebenarnya memiliki risiko yang tinggi karena jadwal pembayaran angsuran sifatnya pasti sedangkan pendapatan nasabah relatif tidak pasti. Masih besarnya peminat perbankan syariah produk pembiayaan murabahah menunjukkan bahwa produk dengan akad jual beli dengan sistem bagi hasil ini diminati oleh nasabah perbankan syariah karena dinilai memiliki risiko yang paling rendah4. Ma’ruf menyatakan: "...sebab pembiayaan dengan sistem murabahah ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas dan keamanannya juga jelas. Karena itu, wajar kalau produk pembiayaan murabahah ini masih banyak diminati...”. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa dengan begitu besarnya peminat produk murabahah ini bukan berarti produk perbankan syariah lainnya dianggap tidak menguntungkan. Hal itu dapat disebabkan produk pertama yang ditawarkan oleh perbankan syariah umumnya adalah produk pembiayaan jual beli. Penawaran ini dilakukan untuk mengetahui dan mengenal karakteristik calon nasabah perbankan syariah.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
4
Hasil identifikasi risiko pembiayaan dan risiko operasional yang berkaitan dengan sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah, baik secara langsung maupun tidak langsung, menghasilkan 29 peristiwa risiko yang terdiri dari 16 peristiwa risiko pembiayaan, 11 peristiwa risiko operasional, dan 2 peristiwa risiko eksternal.
Disampaikan oleh Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin dalam http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=190116&kat_id=152 [diakses 2013 April 30]
64
2.
3.
4.
5.
Hasil pengukuran risiko pembiayaan dan risiko operasional yang berkaitan dengan sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah menghasilkan pemetaan risiko dengan komposisi yaitu 9 peristiwa risiko dengan tingkatan negligible seperti pemalsuan jaminan dari nasabah dan adanya jaminan bersertifikat ganda. Sebelas peristiwa risiko dengan tingkatan acceptable seperti adanya kekeliruan penetapan akad dan kesalahan prosedur dalam proses pembiayaan. Delapan peristiwa risiko dengan tingkatan undesirable seperti adanya pemalsuan data dan ketidakjujuran nasabah serta timbulnya kegagalan sarana. Terdapat pula peristiwa risiko dengan tingkatan unacceptable seperti nasabah megalami gagal bayar karena karakter buruk dan moral hazard nasabah. Hasil perhitungan potensi kerugian pembiayaan syariah untuk sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah diestimasi sebesar Rp29 765 400. Potensi kerugian ini relatif rendah jika dibandingkan dengan total baki debetnya, yaitu hanya 1.84% dari Rp 1 615 500 768. Terdapat 8 tindakan mitigasi risiko yang telah ditetapkan BPRS Amanah Ummah dan ada pula beberapa kemungkinan respon risiko yang dapat diambil oleh BPRS Amanah Ummah. Salah satu risiko utama dalam pembiayaan adalah pembiayaan bermasalah/macet sehingga tindakan mitigasi risiko yang dapat dilakukan yaitu rescheduling, restrukturisasi, dan pencairan jaminan nasabah. Tindakan mitigasi risiko lainnya juga dianalisis dari aspek kendali aktivitas, alur informasi dan komunikasi, serta pemantauan secara berkala. Identifikasi penyebab kurang berkembangnya penggunaan produk pembiayaan selain murabahah pada sektor pertanian di BPRS Amanah Ummah menghasilkan 8 poin penting. Menurut pihak BPRS, penyebabnya adalah rendahnya tingkat permintaan akan produk pembiayaan selain murabahah, produk pembiayaan murabahah memiliki risiko lebih rendah dibandingkan dengan produk pembiayaan lain, adanya ketidaksiapan bank untuk mengakomodir pembiayaan dengan produk selain murabahah, dan sosialisasi terhadap produk pembiayaan syariah lainnya kurang optimal. Menurut pihak nasabah pembiayaan sektor pertanian, penyebabnya adalah produk pembiayaan murabahah memiliki kemudahan dan lebih praktis dalam penggunaannya, kesesuaian produk pembiayaan murabahah dengan kebutuhan usaha, belum adanya minat mencoba produk pembiayaan lain, dan kurang adanya fasilitas untuk memahami produk pembiayaan syariah lainnya yang dapat diaplikasikan pada sektor pertanian.
Saran Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya yaitu berkaitan dengan beberapa hal berikut: 1. Menganalisis risiko pasar dan pengaruhnya terhadap sektor pertanian, baik secara langsung maupun tidak langsung.
65
2.
3. 4.
5.
6.
Mengembangkan penggunaan metode ERM (Enterprise Risk Management) pada perbankan syariah untuk dapat menganalisis risiko secara komprehensif. Mengkonversi indikator dampak kerugian skala kualitatif ke dalam nominal rupiah agar lebih terukur. Melakukan analisis lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya moral hazard nasabah pembiayaan pertanian dan tindakan antisipasinya. Melakukan analisis risiko pembiayaan untuk sektor pertanian pada lembaga keuangan syariah lainnya seperti BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) atau BUS (Bank Umum Syariah). Melakukan analisis yang lebih mendalam, misalnya dengan analisis faktor, mengenai penyebab kurang berkembangnya produk pembiayaan lain selain murabahah pada sektor pertanian dan kajian terhadap produk pembiayaan lainnya yang sesuai dengan sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Anindhita AE. 2012. Kajian manajemen risiko pembiayaan UMKM pada produk murabahah dan ijarah (studi kasus BMT Al-Fath IKMI Ciputat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Antonio MS. 2001. Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek. Jakarta (ID): Gema Insani Press. Ashari, Saptana. 2005. Prospek pembiayaan syariah untuk sektor pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi [Internet]. [Diunduh 2012 Apr 7]; 23(2): 132-147. Tersedia pada: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE232e.pdf. [BI] Bank Indonesia. 2011. Statistik Perbankan Syariah Juni 2011. Jakarta (ID). [BI] Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Syariah Januari 2013. Jakarta (ID). [BPRS AU] BPRS Amanah Ummah. 2007. Laporan Tahunan (Annual Report) 2007 BPRS Amanah Ummah. Bogor (ID): IPB. [BPRS AU] BPRS Amanah Ummah. 2008. Laporan Tahunan (Annual Report) 2008 BPRS Amanah Ummah. Bogor (ID): IPB. [BPRS AU] BPRS Amanah Ummah. 2010. Laporan Tahunan (Annual Report) 2010 BPRS Amanah Ummah. Bogor (ID): IPB. [BPRS AU] BPRS Amanah Ummah. 2011. Laporan Tahunan (Annual Report) 2011 BPRS Amanah Ummah. Bogor (ID): IPB. [BPRS AU] BPRS Amanah Ummah. 2012. Laporan Tahunan (Annual Report) 2012 BPRS Amanah Ummah. Bogor (ID): IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama pada Tahun 2004-2012. Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun 2004-2012. Jakarta (ID).
66
Crouchy et al. 2000. Risk Management: Comprehensive Chapters on Market, Credit, and Operational Risk, Features an Integrated VaR Framework, Hedging Strategies for Reducing Risk. New York (US): McGraw-Hill. CSFB. 1997. Creditrisk+: A Credit Risk Management Framework. London (GB): Credit Suisse First Boston. D’Arcy, Stephen P. 2001. Enterprise risk management. Forthcoming in the Journal of Risk Management of Korea [Internet]. [Diunduh 2012 Des 17]; 12(1): 1-24. Tersedia pada: http://business.illinois.edu/~sdarcy/papers/erm.pdf. [DPKP] Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian. 2011. Pola Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Godfrey PS. 1996. Control of Risk: A Guide to the Systematic Management of Risk from Construction. London (GB): Construction Industry Research and Information Assoc. Hafidhuddin D, Syukur M. 2008. Pembiayaan Syariah dalam Pembangunan Pertanian. Jakarta (ID): Pusat Pembiayaan Pertanian Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Karim AA. 2009. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Khan T, Ahmad H. 2001. Risk Management on Analysis of Issues in Islamic Financial Industry. Jeddah (SA): Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank. Khan T, Ahmed H. 2008. Manajemen Risiko: Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Kountur R. 2008. Mudah Memahami Manajemen Risiko Perusahaan. Jakarta (ID): Penerbit PPM. Kurnia F. 2009. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan syariah dalam pembiayaan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mulyanti S. 2011. Faktor yang mempengaruhi penetapan margin murabahah pada BMT Khairu Ummah Leuwiliang Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mulyarto EP. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi kredit usaha rakyat (KUR) di Bank Rakyat Indonesia unit Leuwiliang kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Najjar LI. 2011. Dominasi pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Surabaya [skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga. Rahman AF. 2010. Analisis faktor yang menyebabkan terjadinya moral hazard nasabah pembiayaan mudharabah (studi penelitian di BTN Syariah Cabang Solo) [tesis]. Yogyakarta (ID): UIN Sunan Kalijaga. Rivai V, Veithzal AP. 2008. Islamic Financial Management. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Saeed A. 1996. Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation. Leiden (NL): Koninklijke Brill NV. Siahaan H. 2009. Manajemen Risiko: Pada Perusahaan dan Birokrasi. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo. Sudarsono H. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta (ID): Penerbit Ekonisia.
67
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Sutedi A. 2009. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Syaukat Y. 2011 Feb 24. Mengembangkan pembiayaan syariah pertanian. Republika. Jurnal Ekonomi Islam Iqtishodia. Triawan LN. 2008. Risiko portofolio dan potensi kerugian pembiayaan pada BPRS Amanah Ummah dengan metode creditrisk+ [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
68
Lampiran 1 Struktur organisasi BPRS Amanah Ummah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dewan Komisaris
Dewan Direksi
Kepala Bidang Operasional
Kepala Bidang Umum
Administrasi & Keuangan
Ka. Kantor Kas
Teller
Sekretariat
Kepala Bidang Marketing
Inventaris & Personalia
Kabag SIM
Customer Service
Account Officer
SIM
Legal Officer
Deposito
Funding Officer
Pembukuan
Remedial
Gadai
ADMP
69
Lampiran 2 Alur proses pembiayaan BPRS Amanah Ummah
Nasabah Pengisian formulir dan melengkapi persyaratan
1.Pengajuan Pembiayaan
Tidak lengkap
Account Officer (AO) dan Legal Officer (LO)
8.Pelunasan kepada bank
Lengkap 2.Analisis Pembiayaan
Lancar Penyelesaian
Tidak Layak diteruskan Macet Ya 3.Penilaian Dokumen
Proses Pengembalian
4.Pengajuan ke Komite Kebijakan Pembiayaan 7.Pembinaan dan Pengawasan Tidak Ditolak
Disetujui
Ya Account Officer
) 5.Pengikatan dan Kesepakatan
6.Pencairan kepada nasabah
70
Lampiran 3 Data nasabah sektor pertanian BPRS Amanah Ummaha No.
Jangka waktuc
Sisa waktu dari periode terakhirc
Produk pembiayaan
1.
M. Ujang Mujahidin
30 178 552
24
10
Ijarah
2.
Agoes Supriyadi
49 999 996
36
18
Murabahah
3.
Mardi Wijaya
20 833 338
24
10
Murabahah
4.
6 111 108
36
22
Murabahah
7 999 996
24
12
Murabahah
6.
Mahmud Hidayat Lelih Amaliatushalihah Endang
125 000 000
60
50
Murabahah
7.
M. Dedi Suhrowardi
8.
Adih Affandi
9.
5.
a
Nama
Baki debet/ eksposurb
200 000
10
1
Murabahah
12 499 998
36
29
Murabahah
Asepulloh Bin Junaedi
112 500 000
24
17
Murabahah
10.
Aken Hafian
944 444 444
36
34
Murabahah
11.
R. E. Suhaendi
60 000 000
12
12
Murabahah
12.
Daday
50 000 000
24
24
Murabahah
13.
Nikade Astuti
8 333 340
24
3
Murabahah
14.
Sumisgianto
55 000 000
36
18
Murabahah
15.
Aang Bin Kinan
14 444 440
36
26
Murabahah
16.
Kusnaedi
17 666 669
60
53
Murabahah
17.
Wawan Setiawan
17 777 776
36
32
Murabahah
18.
Kusnaedi
7 600 000
60
57
Murabahah
19.
Miftahudin
48 611 111
36
34
Murabahah
20.
Suhanda
19 300 000
3
2
Murabahah
21. Muhammad Bambang 7 000 000 6 6 Murabahah b c Sumber: BPRS Amanah Ummah (2012); Baki Debet (Rp); Jangka Waktu, Sisa Waktu (Bulan)
71
Lampiran 4 Hasil rekapitulasi perhitungan expected loss nasabah sektor pertanian BPRS Amanah Ummaha No.
Nama
1.
M. Dedi Suhrowardi
2. 3. 4.
Eksposur Kolekti- Probability Kelasd dalam bandc bilitas defaulte
Expected lossb
200 000
4.00
4
1
0.50
1 000
Mahmud Hidayat
6 111 108
1.22
1
1
0.50
30 556
Muhammad Bambang N.
7 000 000
1.40
1
1
0.50
35 000
7 600 000
1.52
2
1
0.50
38 000
7 999 996
1.59
2
1
0.50
40 000
8 333 340
1.67
2
1
0.50
41 667 62 500
6.
Kusnaedi Lelih Amaliatushalihah Nikade Astuti
7.
Adih Affandi
12 499 998
2.49
3
1
0.50
8.
Aang Bin Kinan
14 444 440
2.88
3
1
0.50
72 222
9.
Kusnaedi
17 666 669
3.53
4
1
0.50
88 333
10. Wawan Setiawan
17 777 776
3.56
4
1
0.50
88 889
11. Suhanda
19 300 000
3.86
4
1
0.50
96 500
12. Mardi Wijaya
20 833 338
4.17
4
1
0.50
104 167
13. M. Ujang Mujahidin
30 178 552
6.04
6
3
50.00
6 250 000
14. Miftahudin
48 611 111
9.72
10
1
0.50
243 056
15. Agoes Supriyadi
49 999 996
9.99
10
1
0.50
250 000
16. Daday
50 000 000
10.00
10
1
0.50
250 000
17. Sumisgianto
55 000 000
1.10
1
1
0.50
275 000
18. R. E. Suhaendi Asepulloh Bin 19. Junaedi 20. Endang
60 000 000
1.20
1
1
0.50
300 000
112 500 000
2.25
2
1
0.50
562 500
125 000 000
2.50
3
1
0.50
625 000
21. Aken Hafian
944 444 444
1.89
2
1
0.50
4 722 222
5.
a
Baki debet/eksposurb
Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2012); bBaki debet, Expected loss (Rp); cEksposur dalam band didapat dari hasil pembagian eksposur dengan nilai band masing-masing; dKelas (Lj) didapat dari hasil pembulatan eksposur dalam band; e Probability default (%)
72
Lampiran 5 Nilai nj pada setiap kelas (Lj) di masing-masing banda Band Rp50 000 Lj
Band Rp5 000 000
Band Rp50 000 000
Band Rp500 000 000
Expected Expected Expected Expected loss njc loss njc loss njc loss njc b b b b individual individual individual individual 1 0.013 0.013 0.012 0.012 2 0.024 0.012 0.011 0.006 0.009 0.005 3 0.027 0.009 0.013 0.004 4 0.020 0.005 0.076 0.019 5 6 1.250 0.208 7 8 9 10 0.149 0.015 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); bExpected loss individual didapat dari hasil pembagian expected loss tiap kelas (Lj) dengan nilai band; cnj (µ) didapat dari hasil pembagian expected loss individual dengan kelas (Lj)
73
Lampiran 6 Hasil olahan n-default dengan distribusi Poisson Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.005 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.99501 0.99999 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.014861 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.98525 0.99989 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.013111 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.98697 0.99991 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.0115 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.98857 0.99993 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.011967 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.98810 0.99993 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.005625 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.99439 0.99998 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.008981 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.99106 0.99996 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.004167 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.99584 0.99999 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.018894 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.98128 0.99982 1.00000
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.208333 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.80252 0.97907 0.99849
Cumulative Distribution Function Poisson with mean = 0.004722 x 0 1 2
P( X <= x ) 0.99529 0.99999 1.0000
Lampiran 7 Hasil rekapitulasi perhitungan potensi kerugian pembiayaan tiap kelas pada masing-masing banda Band Rp50 000
Band Rp5 000 000
Band Rp50 000 000
Band Rp500 000 000
Kelas nPotensi nPotensi nPotensi nPotensi default kerugianb default kerugianb default kerugianb default kerugianb 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 4 0 0 0 0 5 6 1 29 765 400 7 8 9 10 0 0 a Sumber: BPRS Amanah Ummah (diolah, 2013); bPotensi kerugian (Rp) didapat dari hasil perkalian kelas (Lj), n-default, real loss (0.99218), dan nilai masing-masing band
75
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1992 dari pasangan Hidayat Rohim dan Aan Anita Trisusilawati. Penulis adalah anak pertama dari 7 bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDIT Darul Abidin Depok (1998-2004), pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 41 Jakarta (20042006), dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 28 Jakarta (2006-2009). Pada tahun 2009, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi kampus, non kampus, dan berbagai kepanitiaan. Pada tahun 2009-2010, penulis menjabat sebagai sekretaris Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB dan staf pengajar Bahasa Inggris Mabit Nurul Fikri Jakarta. Pada tahun 2010-2011, penulis menjabat sebagai staf Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan pimpinan redaksi Orange Magazine FEM IPB. Pada tahun 2011-2012, penulis menjabat sebagai kepala Bidang Media dan Hubungan Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum MK. Ekonomi Umum (2010-2012) dan menjadi penerima beasiswa dari Djarum Beasiswa Plus pada periode tahun 2011-2012.