LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2014
EVALUASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BIOENERGI DI SEKTOR PERTANIAN
Oleh : Adang Agustian Supena Friyatno Rudy Sunarja Rivai Deri Hidayat Andi Askin
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan Latar Belakang (1)
Semakin terbatasnya ketersediaan energi dari fosil, maka harus dicarikan sumber energi alternatif lain. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa tanaman, seperti kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, dan kemiri sunan serta kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Apabila energi dari sumber tersebut dapat dikembangkan masyarakat terutama di pedesaan maka akan diciptakan masyarakat yang mandiri energi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga sehari-hari. Harus diakui bahwa sampai saat ini ongkos produksi energi terbarukan masih lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil.
(2)
Pada sektor pertanian, upaya peningkatan pengembangan bioenergi menjadi salah satu arah dalam penumbuhkembangan bioindustri di suatu kawasan berdasarkan konsep biorefinery terpadu dengan sistem pertanian agroekologi pemasok bahan bakunya, sehingga terbentuk sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan. Sesuai dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045, disebutkan bahwa bahan fosil diperkirakan akan semakin langka, mahal dan akan habis di awal abad 22, sehingga perekonomian negara harus ditransformasikan dari yang selama ini berbasis sumber energi berbahan baku fosil menjadi berbasis bahan hayati.
(3)
Sesuai Inpres No. 1 tahun 2006, Kementerian Pertanian memiliki tugas yaitu: (a) penyediaan tanaman bahan baku Bahan Bakar Nabati (BBN), (b) penyuluhan pengembangan tanaman untuk BBN, (c) penyediaan benih dan bibit tanaman BBN, dan (d) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman BBN. Terkait dengan Kebijakan penyediaan Bahan Baku Bioenergi, Kementerian Pertanian telah melakukan: Pengembangan/intensifikasi komoditas bahan baku bionenergi yang sudah ditanam secara luas yaitu: kelapa sawit, kelapa, tebu, ubi kayu, dan sagu; melakukan pengkajian dan pengembangan komoditas potensial penghasil bioenergi: jarak pagar, kemiri sunan, nyamplung, dan aren; pemanfaatan biomassa limbah pertanian; dan pengembagan biogas dari kotoran ternak. Berbagai teknologi biofuel berbasis kelapa sawit telah siap untuk dikembangkan pada skala industri, sedangkan untuk Bioetanol masih memerlukan penyempurnaan untuk bisa dikembangkan pada skala industri. Pengembangan bioenergi perdesaan Biogas telah dilaksanakan dengan pemanfaatan biomass limbah ternak.
(4)
Pengembangan sumber energi alternatif telah berkembang di negara-negara Eropah yang bersumber dari tanaman jagung dan ubikayu, biogas dan sebagainya. Di Indonesia, pengembangan bionergi masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi berbagi kebijakan pengembangan yang ada saat ini, memetakan potensi dan permasalahan xi
pengembangan bioenergi, dan berbagai faktor sosial mempengaruhi keberhasilan pengembangan bionergi.
ekonomi
yang
Tujuan Penelitian (5)
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pengembangan bionergi disektor pertanian yang telah dilakukan pemerintah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (a) Melakukan tinjauan kebijakan pengembangan bionergi di sektor pertanian dan implementasinya, (b) Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pengembangan bionergi di sektor pertanian, (c) Menganalisis Faktor-Faktor sosial ekonomi yang menentukan keberhasilan pengembangan bioenergi di sektor pertanian, dan (d) Merumuskan alternatif saran kebijakan pengembangan bioenergi di sektor pertanian. Metodologi
(6)
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat, yaitu untuk sampel lokasi penelitian pengembangan bioenergi berbahan baku kemiri sunan. Untuk sampel lokasi penelitian pengembangan biogas dari kotoran ternak sapi adalah di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selanjutnya untuk sampel lokasi penelitian pengembangan bioetanol berbahan baku ubikayu adalah di Provinsi Lampung dan Jawa Tengah.
(7)
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu tinjauan kebijakan pengembangan bioenergi di sektor pertanian akan dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hal yang sama untuk identifikasi permasalahan dan kendala pengembangan bionergi di sektor pertanian juga akan dilakukan secara deskriptif kualitatif. Selanjutnya analisis Faktor- Faktor sosial ekonomi yang menentukan keberhasilan pengembangan bioenergi di sektor pertanian akan dilihat atas beberapa aspek terkait aspek teknis dan sosial ekonomis termasuk kebijakan dan pengolahan/pemasaran.
Hasil Penelitian Kebijakan dan Implementasi Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (8)
Energi mengalami masalah besar yang sampai saat ini belum teratasi, yang berdampak terhadap lajunya pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran bangsa. Saat ini pengguna energi nasional hampir separuhnya menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Bauran energi nasional yaitu: BBM 49,7%, Gas 20,1% Batubara 24,5% dan energi baru dan terbarukan (EBT) 5,7 %. Untuk mendukung tercapainya target pemanfaatan BBN, pemerintah telah membentuk Tim Pelaksana Pengawasan Mandatori Pemanfaatan Biodiesel yang beranggotakan stakeholder dari berbagai instansi.
(9)
Untuk mengimplementasikan pengembangan biodiesel, salah satu bahan baku nabati yang saat ini sedang dikembangkan adalah Kemiri Sunan. Berbagai rintisan kegiatan penelitian dan pengembangan kemiri sunan sudah dilakukan, xii
termasuk kerjasama penanaman kemiri sunan di lahan sub optimal seperti di lahan bekas tambang timah dan batubara. Dalam rangka mengimplementasikan pengembangannya telah dilakukan kerjasama antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Pertanian dalam program pengembangan BBN dengan memanfaatkan lahan tambang sebagai upaya diversifikasi bahan baku biofuel dalam mendukung percepatan pengembangan BBN. (10) Pengembangan Kemiri Sunan di wilayah reklamasi pertambangan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (a) Sarana konservasi lahan untuk menghutankan kembali lahan-lahan kritis; (b) Sumber pasokan diversifikasi bahan baku untuk menghasilkan minyak biodiesel yang ramah lingkungan; (c) Peningkatan perekonomian masyarakat dengan terciptanya lapangan kerja dan pengembangan usaha; (d) Peningkatan kualitas lingkungan dengan pengurangan emisi gas rumah kaca; dan (e) Peningkatan ketahanan energi nasional melalui penyediaan biodiesel yang berasal dari tanaman yang tidak berkompetisi dengan bahan baku pangan dan industri. (11) Pengembangan Kemiri Sunan dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Pembibitan dan pengembangan secara luas di Jawa Barat telah dilakukan oleh PT BHL yaitu di Kabupaten Subang. PT BHL mulai meneliti intensif pohon kemiri sunan sejak tahun 2008 dengan bantuan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PT BHL pernah juga belajar dari pengembangan jarak pagar untuk bioenergi, karena jarak pagar tidak ekonomis untuk dikembangkan, sehingga dihentikan. Dukungan dari Kementerian Pertanian untuk mengembangkan kemiri sunan juga menjadi alasan pengembangan. (12) Untuk pengembangan biogas, terdapat dukungan bahan baku yang potensial pengembangannya di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yaitu: (a) potensi limbah ternak ternak sapi dengan sumber dari populasi ternak sapi yang cukup besar, (b) potensi limbah organik/sampah yang juga cukup tinggi. Sistim produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti: (c) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (d) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (e) sebagai pupuk, dan (f) produksi daya dan panas. (13) Implementasi program pengembangan biogas di Jawa Barat selama kurun waktu 2006-2013 telah dilaksanakan di 12 Kabupaten dengan jumlah mencapai 2.038 unit digester. Program pengembangan terbesar terdapat di Kabupaten Bandung, kemudian disusul di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Tasikmalaya. Sementara pengembangan biogas di Jawa Tengah mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 mencapai 49 unit digester, yang tersebar merata di seluruh Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. (14) Ubikayu merupakan bahan baku yang memiliki efisiensi tertinggi setelah jagung dan tetes untuk diproses menjadi bioetanol. Pengembangan bioetanol berbahan baku ubikayu masih terbatas dilakukan oleh perusahaan swasta (industri) baik di Jawa Tengah maupun Lampung. Kebijakan pengembangan bioetanol di Jawa Tengah sangat terkait erat dengan: (a) kebijakan pengembangan energi, seiring program Desa Mandiri Energi (DME) berbasis Bahan Baku Nabati (BBN), (b) kebijakan pengembangan komoditas ubikayu xiii
baik dalam hal peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam, dan (c) Kebijakan yang mendukung proses produksi dan penjualan produk bioetanol yang dihasilkan industri. Provinsi Lampung merupakan sentra produksi ubikayu terbesar nasional, dengan pangsa luas sekitar 29,64 persen terhadap luas areal ubikayu nasional. Produksi ubikayu di Lampung tahun 2013 mencapai 8,24 juta ton, atau potensi untuk dapat diolah menjadi bioetanol sebesar 1267,33 KL/tahun. Pengolahan ubikayu menjadi bioetanol saat ini yang telah dilakukan oleh industri baik di Provinsi Lampung maupun Jawa Tengah dengan kapasitas produksinya yang masih terbatas, mengingat ketersediaan bahan baku ubikayu yang juga masih terbatas dan harganya pun tidak kompetitif jika di proses menjadi bioetanol. Permasalahan dan Kendala Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (15) Berbagai faktor yang masih menjadi kendala dari aspek teknis budidaya pengembangan kemiri sunan adalah: (a) pengembangan kemiri sunan masih bersifat spot-spot wilayah, belum dalam suatu hamparan penanaman kemiri sunan, (b) keterbatasan lahan penanaman, dan bersaing dengan pertanaman lainnya di lahan kering yaitu dengan tanaman padi dan palawija, (c) koordinasi pengembangan kemiri sunan hingga pengolahannya masih belum terkoordinasi dengan baik, dan pengembangannya masih bersifat program/proyek sektoral, dan (d) keterlibatan swasta dan BUMN belum sepenuhnya dalam mendukung pengembangan kemiri sunan misalnya pengembangan areal pertanaman dan persiapan pengolahannya. (16) Faktor yang paling krusial dalam pengembangan kemiri sunan adalah ketersediaan bibit. Adapun Faktor yang menghambat pengembangan kemiri sunan: (a) Petani, pengusaha, pemerintah trauma dengan kegagalan jarak pagar, (b) Petani umumnya belum tahu siapa yang akan menampung produksinya dan kejelasan atas perhitungan ekonominya, (c) Kemiri sunan belum tersosialisasi dengan baik, (d) Masih kuatnya ego sektoral dalam pengembangannya, dan (e) Belum adanya industri biodiesel yang berbahan baku kemiri sunan. (17) Untuk pengembangan biogas (berbahan baku dari kotoran ternak sapi perah) di Jawa Barat dan Jawa Tengah, terdapat beberapa kendala dari aspek teknis yang dihadapi yaitu: (a) ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku, terlebih pada saat harga daging sapi naik, sehingga banyak ternak sapi (termasuk sapi perah) dijual peternak, (b) harga jual susu sapi perah yang kurang kondusif juga akan mendorong peternak kurang bergairah memelihara ternak sapi perah, dan mereka bisa menjual ternaknya, (c) kemudahan penanganan kotoran ternak, dimana setting awal pembangunan kandang tidak dirancang untuk membangun digester biogas di dekat kandang, (d) keterbatasan lahan disekitar kandang untuk pembangunan digester, (e) belum adanya teknologi pengemasan biogas sehingga lebih mudah untuk dibawa dan didistribusikan kepada pengguna biogas, dan (f) belum adanya upaya pemerintah untuk mengembangkan digester biogas secara komunal, yang merupakan himpunan xiv
peternak sapi atau secara khusus pemerintah dapat menampung kotoran ternak dan membangun digester biogas dalam skala besar. (18) Adapun beberapa kendala sosial ekonomi dalam pengembangan biogas, adalah: (a) Lambatnya perkembangan produksi biogas karena nilai investasi digester yang dirasakan oleh peternak sapi cukup mahal; (b) Keberlangsungan produksi biogas tidak lama, yaitu tergantung dari kepemilikan populasi ternak sapi yang dipelihara peternak; (c) Kelembagaan pengelolaan biogas masih rendah, jika pengelolaan biogas diserahkan kepada lebih dari satu rumahtangga, maka pengelolaan secara bersama masih sulit untuk dilakukan; dan (d) Modal peternak yang terbatas, menyebabkan pengembangan biogas sulit meningkat, dan umumnya peternak skala kecil merasakan berat jika tidak ada program bantuan digester. (19) Kendala pengembangan ubikayu secara umum dapat mencakup aspek teknis, dan sosial ekonomi. Kendala pengembangan dari aspek teknis dapat mencakup: (a) usahatani subsisten dan pemilikan lahan yang terbatas, (b) lahan dominan merupakan lahan marjinal dan peka erosi, (c) tingkat kesuburan lahan akan menurun ketika lahan terus menerus ditanami ubikayu (ubikayu cukup kuat menghisap hara dari tanah), (d) terdapatnya kompetisi dengan tanaman lainnya seperti jagung, (e) Pola tanam belum diterapkan secara optimal; dan (f) Rendahnya produktivitas di tingkat petani (rata-rata hanya mencapai 10 – 20 ton/ha). Adapun kendala dari aspek sosial ekonomi mencakup: (a) permodalan petani yang terbatas, (b) ketersediaan tenaga kerja pada beberapa sentra produksi yang semakin terbatas, (c) jumlah petani komersial dan memadai dari aspek permodalan yang semakin terbatas, (d) harga ubikayu yang sering berfluktuasi, (e) penyebaran bibit unggul yang seringkali belum merata, (f) biaya usahatani dan transportasi yang tinggi, (g) Kelembagaan/kemitraan belum tumbuh dan berkembang, (h) Sistem pemasaran belum berjalan dengan baik, dimana masih menempatkan petani yang lemah dalam posisi tawar untuk penjualan ubikayu; dan (i) Terdapatnya peraturan yang bersinggungan dengan peraturan peredaran minuman keras. Faktor Sosial Ekonomi yang Menentukan Keberhasilan Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian (20) Terdapat beberapa faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pengembangan kemiri sunan untuk bahan baku bioenergi yaitu: (a) Areal pengembangan kemiri sunan perlu dicadangkan dalam suatu hamparan dengan skala ekonomis, yaitu membutuhkan luasan sekitar 5000 Ha, (b) Areal pengembangan kemiri sunan di areal lahan kering akan berkompetitif dengan areal tanaman lainnya terutama tanaman pangan, (c) Harga kemiri sunan harus berkompetitif dengan tanaman lain, agar petani atau pengusaha tetap mengusahakan tanaman kemiri sunan, (d) Harga biodiesel yang dihasilkan juga harus berimbang dengan harga BBM lainnya, sehingga tetap menguntungkan, (e) Pemerintah terus mengupayakan agar bibit kemiri sunan yang ditanam merupakan bibit unggul, (f) Pemerintah perlu mendorong dengan berbagai kebijakan terkait budidaya (penyediaan input) dan pengembangannya, (g) xv
Kelembagaan pemasaran untuk bahan baku dan minyak biodiesel harus berjalan secara baik, (h) Perlunya dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan kemiri sunan, dan (i) Diupayakan agar penanaman kemiri sunan memiliki peran ganda yaitu sebagai tanaman konservasi, dan sebagai bahan baku energi. (21) Pada sisi kelayakan ekonomi pengolahan kemiri sunan menjadi biodiesel, yaitu dengan mengasumsikan 1 liter biodisel asal kemiri sunan dihasilkan dari 3 kg biji kering dengan harga sekitar Rp 1000/kg dan biaya pengolahan Rp. 2.000/liter, maka akan menghasilkan keuntungan sekitar Rp. 1.500/liter. Apabila dibandingkan dengan harga solar subsidi di pasar SPBU seharga Rp. 6.500/liter (sebelum kenaikan Per Desember 2014), maka dapat diketahui bahwa usaha pengolahan biodiesel dari kemiri sunan memiliki keuntungan yang baik (layak diusahakan). (22) Prospek pengembangan biogas berbahan baku kotoran ternak sapi perah di Jawa Barat dan Jawa tengah akan sangat tergantung dari beberapa faktor sosial ekonomi, yaitu: (a) masa kelola (pemeliharaan) sapi perah adalah lebih lama dibanding dengan sapi penggemukan, (b) intensitas aktivitas pemeliharaan yang lebih sibuk, (c) dengan kedua hal tersebut, menyebabkan akumulasi keterampilan peternak semakin tinggi, sehingga kemungkinan untuk pindah profesi ke bidang usaha lain relatif kecil, (d) peternak sapi perah lebih terkonsentrasi dalam jumlah banyak pada suatu wilayah, dan (e) organisasi kelembagaan pada kelompok peternak sapi perah lebih berfungsi dan solid, sehingga jika di introduksikan teknologi pengolahan biogas akan sangat memungkinkan untuk di integrasikan dengan program koperasi susu. Sementara pengembangan biogas pada peternak sapi potong tergantung pada faktor: kelangsungan usaha ternak sapi potong kelompok yang menghasilkan kotoran ternak, pemeliharaan digester dan peralatan pendukung biogas, dan kerjasama kelompok peternak sapi dan pengurus kelompok untuk tetap memanfaatkan kotoran ternak sapi menjadi biogas dan terus mengembangkannya. (23) Usaha pengolahan biogas di Jawa Barat dengan digester Fixed Dome untuk ukuran 6 m3 menghasilkan keuntungan pengusahaan Rp 359.000/tahun dengan R/C=1,2. Sementara di Jawa Tengah, untuk ukuran 10 m3 menghasilkan keuntungan pengusahaan Rp 2.046.500/tahun dengan R/C=1,39. Meskipun perolehan keuntungan dari pengusahaan biogas relatif kecil, namun sesungguhnya peternak yang mengelola biogas mendapat keuntungan utama dari hasil usaha ternaknya yaitu susu pada usaha ternak sapi perah dan hasil penjulan sapi pada usaha penggemukan sapi potong. Pada pengelolaan biogas, peternak dapat mengoptimalkan pemanfaatan kotoran ternak yang selama ini pemanfaatannya masih terbatas untuk pupuk, dan kerap dianggap menjadi faktor polusi lingkungan. (24) Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan ubikayu untuk bahan baku bioetanol adalah: (a) peningkatan peran penyuluhan, (b) Koordinasi instansi terkait, (c) kebijakan yang kondusif, yaitu terciptanya iklim usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis ubikayu dan harga bioetanol, (d) xvi
Pembinaan yang berkesinambungan, dan (e) peningkatan kapasitas sumberdaya petani, melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitasnya baik dalam kegiatan on farm maupun off farm. (25) Hasil analisis (tahun 2013) diperoleh bahwa harga BEP bahan baku (ubikayu) untuk produksi bioetanol mencapai Rp 529,29/Kg atau R/C sebesar 1,00. Pada saat ini, harga ubikayu ditingkat petani berkisar antara Rp 800-Rp 1000/Kg. Dengan kondisi harga ubikayu demikian tinggi, maka produksi bioetanol sudah tidak efisien. Harga etanol sangat ditentukan oleh harga internasional, dan orientasi penjualannya pun juga ekspor. Dengan kondisi harga jual etanol di tingkat industri sebesar Rp 7000/liter, maka akan sangat sulit bagi industri untuk melakukan pengolahan boetanol tersebut. Industri akan lebih memilih melakukan ubikayu menjadi tapioka. Implikasi Kebijakan (26) Kebijakan yang diperlukan meliputi: (a) kebijakan pengembangan bahan baku bioenergi kemiri sunan, (b) Kebijakan pengembangan biogas berbahan baku kotoran ternak, dan (c) kebijakan pengembangan ubikayu untuk penyediaan bahan baku bioetanol. Dasar pertimbangan pengembangan bahan baku nabati (kemiri sunan dan ubikayu) serta biogas, yaitu agar kebijakan pengembangan bioenergi nasional dapat mencapai target nasional, yaitu penggunaaan bioenergi sebesar 5% dari target penggunaan energi total. (27) Dalam rangka pengembangan kemiri sunan kedepan sebagai bahan baku bioenergi diperlukan strategi, yaitu: (a) Perlunya memperkuat pada aspek hulu, yaitu: penyiapan bibit unggul, pembangunan kebun bibit unggul, penyediaan bibit untuk pengembangan dan penyediaan teknologi budidaya, dan (b) Memperkuat komitmen dan koordinasi Pemerintah Daerah dalam pengembangan BBN, melalui: peningkatan penyuluhan pertanian, dan pengembangan jaringan pemanfaatannya. (28) Untuk mendorong produksi bioenergi dari Kemiri Sunan, pemerintah dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut: (a) mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalam skala nasional, (b) penelitian/percobaan mulai dari pengadaan bibit yang berkualitas, perbaikan varietas dan plasma nuftah, identifikasi potensi produktivitas, (c) mengidentifikasi potensi lahan yang tidak akan terjadi kompetisi dengan tanaman pangan, dan (d) menerapkan kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif terhadap pengembangan bioenergi sebagai kompensasi subsidi yang berkurang. (29) Untuk pengembangan biogas, diperlukan kebijakan antara lain: (a) pengembangan biogas pada skala rumah tangga secara terkoordinasi antar instansi, (b) pengembangan biogas pada skala kelompok atau masal dengan atau tanpa menggunakan pipa pemasukan kotoran, tetapi dengan pengumpulan kotoran dengan menggunakan tangki dan pompa penyedot, sementara pada masing-masing kandang dibuat bak penampungan kotoran xvii
ternak, dan (c) pengembangan biogas skala wilayah secara terintegrasi dan berkesinambungan. (30) Upaya pengembangan biogas dengan bahan baku dari kotoran ternak sapi, memerlukan: (a) dukungan dan komitmen dari pemerintah untuk mengembangkan biogas secara luas dengan bahan baku yang potensial mengingat usaha ternak cukup banyak tersebar di pedesaan Indonesia; (b) perencanaan secara baik pengembangan biogas, terutama disaat awal pembentukan sentra kawasan ternak sapi nasional; (c) koordinasi secara baik antar instansi dalam program bantuan digester biogas, agar lebih terkoordinasi dan merata diberbagai daerah; (d) sinergi program pengembangan biogas dengan program pengembangan ternak (khususnya ternak sapi) nasional; (e) dukungan sarana serta infrastruktur peralatan (digester dan peralatan pendukungnya) yang relatif mudah ketersediaannya dan harganya terjangkau masyarakat; dan (f) sinergi antara pengembangan biogas dengan program pengalihan BBM ke LPG di tingkat rumah tangga. (31) Upaya pengembangan ubikayu dalam mendukung penyediaan bioetanol dapat ditempuh melalui: (a) Peningkatan produktivitas, (b) Perluasan areal tanam, (c) Pengamanan produksi dari serangan hama penyakit, dan (d) Pengembangan Kelembagaan dan Pembiayaan. Peningkatan produktivitas ubikayu dapat dilakukan karena masih terdapatnya senjang produktivitas antara potensi dan produktivitas ditingkat petani. Dalam rangka penyediaan ubikayu segar sebagai bahan baku bioetanol juga membutuhkan lahan yang cukup besar. Mengingat potensi lahan kering masih cukup luas untuk diusahakan ubikayu, maka perluasan areal pertanaman dapat diarahkan pada areal baru (perluasan). Pengembangan lahan juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan areal PT Perhutani/Inhutani, Lahan tidur/terlantar, dan lahan yang bersumber dari kemitraan dengan swasta/perusahaan. (32) Hal penting dalam pengembangan bioenergi adalah terdapatnya komitmen pemerintah dan sinergi antar instansi dalam kebijakan atau program bioenergi. Komitmen pemerintah pusat perlu terus ditingkatkan dalam hal: pembenahan subsidi BBM, dan pembenahan sektor otomotif. Peningkatan suatu program dalam bingkai kebijakan bioenergi harus sesuai dengan kebijakan energi secara nasional.
xviii