DAMPAK PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI JAWA TENGAH AKHMAD DAEROBI HERY SULISTIO JATI NUGROHO SRIWIYANTO TETUKO RAWIDYO PUTRO JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN, FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
Abstract: This paper reviews the literature on the subject of the role of improved agricultural
sector in alleviating poverty in Indonesia. This paper supported by empirical evidence in pre-post crisis on central java. This paper focuses primarily on improved cultivars produced by the national and regional research system in Central Java. It also shows how new technology combines with other socioeconomic and institutional factors to determine poverty alleviation outcomes. Technology’s role in alleviating poverty is both indirect and partial; technology alone cannot overcome poverty,nor can continued poverty be blamed on improved technology. Research to assess the impact of agricultural research on poverty alleviation can be particularly effective by combining quantitative and qualitative research methods. Quantitative approaches are needed to analyze complex, indirect relationships regarding poverty reduction, while qualitative approaches can help understand poverty from local people’s point of view, capturing important relationships that outsiders might overlook. Comparatively few studies reviewed in this study even acknowledged the various confounding factors that can influence poverty outcomes, let alone control for them. Past experience shows many cases in which attempts to design technologies with pro-poor characteristics were costly and ineffective,so new efforts must proceed with caution. On the other hand, attractive opportunities may exist and it may be useful to test them on a small scale under conditions where they do not compete for resources with research that focuses on traditional productivity objectives. This paper’s results will give another perspective to reduce poverty by developing agricultural researches. Key words: Agriculture,Poverty Alleviation, Central Java
PENDAHULUAN Kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan di antara penduduk merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh hampir semua negara sedang berkembang. Seringkali, negara-negara ini dihadapkan pada dilemma klasik, orientasi pembangunan mau dibawa kemana, apakah pertumbuhan ekonomi ataukah pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan warganya. Namun kenyataannya, terlepas dari orientasinya, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masih mewarnainya. Jazairy, dkk. (1992:7) mencatat, pada tahun 1988, negara sedang berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tinggi; 20 persen penduduk termiskin mendapatkan proporsi pendapatan nasional antara 2 – 8,8 persen dan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berkisar
antara 14 – 65 %. Sementara pada tahun yang sama, di negara sedang berkembang yang pertumbuhan ekonominya rendah; 20 % penduduk termiskin mendapatkan proporsi pendapatan nasional antara 3,4 – 7,0 % , dan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berkisar antara 26 – 97 %. Di Indonesia, sebagaimana di negara sedang berkembang lainnya, fenomena kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, bukan sesuatu yang asing, baik di perkotaan maupun pedesaan. Dari beberapa kajian ekonomi, pedesaan merupakan daerah yang mengalami dampak terparah. Sehingga, fokus pembahasan kemiskinan umumnya langsung menunjuk ke pedesaan. Sementara, sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Sejak tahun 1970 sampai dengan tahun 2004 jumlah penduduk miskin di desa
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin di perkotaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pusat-pusat kemiskinan sebagian besar berada di daerah perdesaan. Alfian dkk. (1980:5) menjelaskan adanya kondisi realistis tentang kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Yang termasuk golongan ini adalah petani yang tidak memiliki tanah sendiri, petani pemilik tanah sempit yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan sendiri dan keluarganya, kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, dan pengusaha tanpa modal. Selama periode 1963- 2003 luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian berfluktuasi. Sejak tahun 1963- 1983 lahan pertanian yang dikuasai rumah tangga pertanian meningkat dari 12.884 ha menjadi 18.350 ha pada tahun 1983. Namun pada tahun 1993 luas lahan yang dikuasai petani menurun menjadi 17.665 dan meningkat drastis dan mencapai pada tingkat tertinggi pada tahun 2003 yang mencapai 19.674 ha. Bagi petani di pedesaan, yang bertumpu pada kegiatan agraris, sumberdaya tanah merupakan sumber pendapatan utama. Hal ini karena besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan faktor produksi lainnya (Mubyarto, 1994). Namun dalam kenyataannya, struktur pengusaan tanah menunjukkan ketimpangan. Hal tersebut ditunjukkan oleh penurunan rata-rata luas lahan yang dikuasai oleh petani. Jika pada tahun 1963 rata-rata penguasaan lahan mencapai 1, 1 ha pada tahun 2003 rata-rata penguasaan lahan menurun menjadi 0,8 ha. Bahkan di pulau jawa rata-rata penguasaan lahan oleh petani sampai dengan tahun 2003 hanya mencapai 0,4 ha. Secara terperinci data rata-rata luas penguasaan lahan dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Rata-rata Penguasaaan Lahan Rumah Tangga Pertanian 1963- 2003 Luar Tahun Jawa Jawa Indonesia
2
1963 0.70 1.90 1. 1 0 1973 0.60 1.50 1.00 1983 0.50 1.50 0.90 1993 0.50 1.20 0.80 2003 0.40 1.30 0.80 Sumber: Statistik 60 tahun Indonesia Merdeka Menurut Gunawan Wiradi dalam Peter Hagul (1992) terdapat hubungan antara pengusaan tanah, sumber pendapatan, dan distribusi pendapatan. Menurutnya, golongan petani pengguna tanah luas, mampu menginvestasikan surplusnya pada usahausaha padat modal, yang memberikan pendapatan relatif besar, seperti alat pengolah hasil pertanian dan berdagang untuk menghidupi keluarga. Sementara itu, petani yang menguasai tanah sempit, dan tunakisma mendapatkan tambahan penghasilan di luar usaha tani yang padat karya dan memberikan pendapatan relatif rendah, seperti kerajinan tangan, bakul es, warung kecil, dan sebagainya. Semuanya ini mengimplikasikan, bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber besar non pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi, baik di sektor pertanian maupun non pertanian. Kondisi tersebut semakin diperparah oleh permasalahan penduduk. Permaslahan penduduk yang dimaksud adalah pertambahan penduduk yang semakin besar. Akhirnya, lahan persawahan semakin sempit, khususnya sawah pertanian padi sawah. Sehingga masyarakat desa beralih ke sektor ekonomi lain di luar pertanian, antara lain industri, rumah tangga, jasa, dan perdagangan. Namun, karena peluang bekerja dan bersuaha di sektor non pertanian sangat terbatas, maka tingkat pendapatan tetap rendah, sehingga terjadi gerak penduduk atau migrasi ke luar desa. Migrasi pada umumnya bergerak menuju wilayah perkotaan, karena wilayah ini dipandang memiliki peluang ekonomi relatif tinggi. Akibatnya, dampak adanya urabisasi, menyebabkan tumbuhnya kota semu (quasi cities), yang ditandai oleh kepadatan penduduk tinggi, kekurangan infrastruktur, dualisme system social ekonomi, meluasnya pemukiman tanah, dan sebagainya. Implikasi akibatnya,
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
kota tidak bisa merespons surplus tenaga kerja yang berasal dari pedesaan, dan pada gilirannya terjadi arus balik dari kota ke desa. Sektor kehidupan di desa terpaksa harus merespons arus balik, sehingga pedesaan mendapatkan tekanan lebih berat lagi. Faktor lain yang ikut memperparah kondisi di pedesaan adalah, adanya konversi dari pertanian sawah teknis ke pengguna lahan non pertanian, di antaranya digunakan untuk perumahan, industri, dan sarana–prasarana. Sebagai gambaran. Selama tahun 1983- 1993, lahan sawah beririgasi di Pulau Jawa turun dari 1.824.000 Ha menjadi 1.577.000. atau mengalami penurunan sebanyak 247.000 Ha (BPS, 1995). Hal ini mengimplikasikan semakin sempitnya lahan subusr persawahan di pedesaan . Di tengah kondisi pedesaan yang suram, pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas lahan melalui teknologi pertanian yang semakin intensif. Ini berarti penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, dan pestisda semakin ditingkatkan. Serupa dengan kondisi nasional, Propinsi Jawa Tengah sebagai salah satu propinsi penting di Indonesia mengalami permasalahan yang serupa. Jumlah Penduduk miskin di Jawa Tengah meningkat dengan pesat sejak krisis ekonomi tahun 1998. Sebagian besar penduduk miskin di Propinsi Jawa Tengah terletak di daerah perdesaan. Sehingga jika pengurangan penduduk miskin menjadi salah satu sasaran pembangunan ekonomi, maka sudah selayaknya pengembangan sektor pertanian menjadi target utama program pembangunan di Propinsi Jawa Tengah. Di sisi lain keterbatasan lahan menyebabkan beberapa tahun belakangan ini luas lahan pertanian terus menurun. Pengalihan fungsi lahan dari fungsi pertanian ke fungsi bangunan menjadi penyebab utama berkurangnya lahan pertanian bagi masyarakat desa. Keterbatasan tersebut mendorong Pemerintah Provinsi yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten harus mendorong proses intensifikasi pertanian selain untuk menjaga ketersediaan pangan juga menjadi sumber pendapatan masyarakat desa.
Pertanian dalam Perspektif (Ekonomi Pertanian)
Ekonomi
Secara konseptual dalam perspektif ekonomi , peran sektor pertanian dapat dilihat dalam dua perspektif analisis yang tidak dapat terpisahkan yaitu perspektif mikroekonomi dan makroekonomi. Secara khusus, dalam perspektif mikroekonomi analisis sektor pertanian dipisahkan dalam analisis sisi permintaan dan penawaran. Sementara itu, dalam perspektif makroekonomi peran sektor pertanian dianalisis dalam perpektif umum yaitu peran sektor pertanian dalam mendukung kinerja makroekonomi. Peran sektor pertanian dalam perspektif makroekonomi dibedakan menjadi dua aspek penting. Aspek pertama adalah peran sektor pertanian dalam mendukung kinerja makroekonomi serta peran sektor pertanian dalam mengentaskan kemiskinan. Peran sektor pertanian dalam mendukung kinerja makroekonomi didekati melalui tiga indikator penting dalam makroekonomi yaitu pwertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran. Tiga indikator tersebut merupakan ukuran kinerja suatu perekonomian (Mankiw, 2003 dan Froyen, 2002). Indikator pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kinerja pembangunan ekonomi dalam suatu perekonomian tertentu. Meskipun demikian, definisi pembangunan telah berkembang luas. Dalam perspektif modern pembangunan tidak sebatas pertumbuhan ekonomi namun mencakup aspek yang lebih luas. Pembangunan ekonomi diukur oleh indikator yang dikembangkan oleh United Nations Development Program (UNDP) yang terangkum dalam Indeks pembangunan manusia yang meliputi aspek pendapatan (PDB dan PDB perkapita), aspek angka harapan hidup dan lama menempuh pendidikan dasar. Perspektif mikroekonomi dan makroekonomi bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertanian sebagai salah satu sektor penyusun struktur ekonomi juga berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peran tersebut berupa ketersediaan jumlah produksi pertanian yang memadai bagi konsumen, serta peningkatan pendapatan bagi produsen.
3
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian serta kestabilan harga-harga umum yang disumbangkan oleh sektor pertanian menjadi indikator ekonomi peran sektor pertanian. Keterkaitan antara konsepkonsep ekonomi dengan konsep-konsep pertanian melahirkan suatu sub kajian bidang ilmu baru yang selanjutnya disebut dengan ekonomi pertanian. Kemiskinan Secara konseptual dalam ilmu ekonomi terdapat berbagai pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan. Dalam pendekatan ekonomi normatif Ellis dalam Effendi (1993) membedakan konsep kemiskinan dalam beberapa dimensi antara lain adalah: 1. Kemiskinan Ekonomi. Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan kekurangan sumber daya yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang-orang. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok itu dan membandingkannya dengan ukuranukuran baku. Sumber daya yang dimaksud dalam pengertian ini menakup konsep ekonomi yang luas tidak hanya merupakan pengertian finansial, tetapi perlu mempertimbangkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Kemiskinan Politik. Kemiskinan politik menekankan pada derajad akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial politik yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi sumber daya. Cara mendapatkan akses tersebut dapat melalui sistem politik formal, kontak-kontak informal dengan struktur kekuasaan yang mempunyai pengaruh pada kekuasaan ekonomi. 3. Kemiskinan Sosial. Kemiskinan sosial diartikan sebagai kemiskinan karena kekurangan jaringan sosial dan struktrur
4
yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktifitas seseorang meningkat. Dikatakan bahwa kemiskinan sosisal adalah kemiskinan yang disebabkan adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang tersedia. Konsep kemiskinan yang menyangkut berbagai dimensi tersebut menyebabkan sulit untuk membangun pengertian yang benar-benar tepat mengenai konsep kemiskinan. Pengertian kemiskinan dapat bermacam-macam tergantung dari sudut pandang mana konsep kemiskinan tersebut didekati. Sementara itu, berbeda dengan Ellis yang melihat kemiskinan dalam beberapa dimensi, Rudolf S. Sinaga dan Benyamin dalam Cahyono (1993) memberikan pengertian kemisikinan melalui pembedaan kemiskinan menjadi dua jenis yaitu: kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah didefinisikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh sumber daya yang terbatas atau karena tingkat perkembangan teknologi yang rendah. Dengan kata lain ketidakmampuan seseorang atau komunitas dalam memenuhi kebutuhan dan mengejar ketertinggalan teknologi menjadi penyebabnya. Sementara itu kemiskinan buatan didefinisikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh kelembagaan yang ada dalam masyarakat membuat masyarakat sendiri tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitasfasilitas secara merata. Dalam beberapa definisi lainnya, kemiskinan buatan juga disebut lebih populer dengan sebutan kemiskinan struktural. Menurut Selo Sumardjan dalam Arsyad (1997) kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh masyarakat karena struktur sosialnya, sehingga tidak dapat menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Sehingga kemiskinan yang dimaksud bukanlah kemiskinan yang dialami seorang individu karena malas atau sakit keras. Berdasarkan definisi Selo Sumardjan kemiskinan tersebut digolongkan sebagai kemiskinan individual. Lebih lanjut Arsyad
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
(1997) menyebutkan bahwa kemiskinan struktural tersebut dapat disebabkan karena keadaan pemilikan sumber yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidakseimbangan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan akan menyebabkan keikutsertaan yang tidak seimbang dalam pembangunan. Beberapa ahli lainnya mendefinisikan kemiskinan dalam terminologi yang berbedabeda. Menurut Sajogyo dalam Prayitno (1998) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkatan kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimal yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat berdasar atas kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sementara itu, menurut Emil Salim dalam Cahyono (1993) kemiskinan merupakan keadaan penduduk yang meliputi hal-hal yang tidak memiliki mutu tenaga kerja tinggi, jumlah modal yang memadai, luas tanah dan sumber alam yang cukup, keaslian dan ketrampilan yang tinggi, konsisi fisik dan rohaniah yang baik, dan rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan. Sementara itu, Menurut Soemitro dalam Prayitno (1998) kemiskinan ditandai dengan tingkat hidup rendah dan tertekan. Ini merupakan akibat dari serangkaian keganjilan dan kepincangan yang terdapat pada pertimbangan keadaan dasar dan kerangka susunan masyarakat itu sendiri dan menyangkut beberapa masalah, yaitu: 1. Keadaan faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat sebagai sumber produksi yang menyangkut sumber daya alam, modal, dan ketrampilan. Secara umum dapat dikatakan, negara-negara berkembang termasuk Indonesia kekurangan modal dan ketrampilan. 2. Kepincangan sebagai sektor ekonomi, modal, dan penggunaan teknologi. Di masa lampau dilakukan paling intensif justru di sektor-sektor yang terbatas yaitu sektor perkebunan dan pertambangan. Dalam beberapa literatur lain, beberapa ahli menjelaskan beberapa penyebab kemiskinan. Menurut Kartasasmita (1999) kemiskinan
disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu: 1. Rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. 2. Rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. 3. Terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan tersebut. 4. Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satu jawaban yang mampu menjelaskan semuanya sekaligus. Ini ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab kemiskinan. Tetapi dapat disimpulkan bahwa penyebab kemiskinan antara lain: 1. Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal. 2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana. 3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor. 4.Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung. 5.Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern). 6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
5
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
7.Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. 8. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance). 9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan Kenyataan kasat mata yang juga didukung oleh suara mereka yang miskin (voice of the poor), menunjukkan bahwa kemiskinan disebabkan : 1. Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar termasuk : a. Modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan dan kesehatan yang memadai. b. Modal produksi, misalnya lahan dan akses terhadap kredit. c. Modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik. d. Sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar seperti jalan, air bersih, listrik. e. Termasuk hidup di daerah terpencil. 2. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena : a. Krisis ekonomi b. Kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan. c. Kehilangan pekerjaan (PHK) d. Konflik sosial dan politik. e. Korban kekerasan sosial dan rumah tangga. f. Bencana alam g.Musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit). 3. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena : a. Tidak adanya kepastian hukum b. Tidak adanya perlindungan dari kejahatan c. Kesewenang-wenangan aparat d. Ancaman dan intimidasi
6
e. Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan f. Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin Selain penyebab kemiskinan di atas, terdapat beberapa pola kemiskinan. Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat beberapa pola kemiskinan antara lain yaitu: 1. Presistent Poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-temurun. Daerah yang mengalami kemiskinan ini pada umumnya merupakan daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi. 2. Cyclical Poverty, yaitu pola kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. 3. Seasonal Poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti yang sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan. 4. Accidental Poverty, yaitu kemiskinan karena terjadi bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Sementara dalam konsepsi ekonomi positif sebagaian besar ekonom mendefinisikan kemiskinan sebagai kepemilikan penduduk akan konsumsi (atau aksesibilitas terhadap sumberdaya dan pendapatan) di bawah ukuran kemiskinan tertentu (Behrman, 2002). Berikut ini akan dijelaskan beberapa konsep tentang ukuran kemiskinan. Ukuran Kemiskinan Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah untuk mengukurnya. Secara umum ada dua macam ukuran kemiskinan yang biasa digunakan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif (Arsyad, 1997): 1.
Kemiskinan Absolut Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Bila
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
pendapatan tidak mencapai kebutuhan minimum, maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Kemiskinan absolut dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makan, pakaian, dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup (Todaro, 1987). Masalah utama dalam konsep kemiskinan absolut adalah menentukan tingkat komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan , iklim dan berbagai faktor ekonomi lain. Konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum merupakan konsep yang mudah dipahami tetapi garis kemiskinan obyektif sulit dilaksanakan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Garis kemiskinan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya sehingga tidak ada garis kemiskinan yang berlaku pasti dan umum. 2. Kemiskinan Relatif Seseorang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti miskin. Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, walaupun pendapatannya sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini, garis kemiskinan akan mengalami perubaahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal sebagai ketimpangan distribusi pendapatan. Semakin besar ketimpangan antara golongan atas dan golongan bawah, maka akan semakin besar pula jumlah
penduduk yang dikategorikan miskin. Konsep kemiskinan ini relatif bersifat dimamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada. Ukuran pendapatan juga bisa dihitung melalui pendekatan pendapatan. Pendekatan pendapatan untuk mengukur kemiskinan ini mengasumsikan bahwa seseorang dan rumah tangga dikatakan miskin jika pendapatan atau konsumsi minimumnya berada di bawah garis kemiskinan. Ukuran-ukuran kemiskinan ini dihitung melalui (Coudouel, et.al, 200 1): 1. Head Count Index Head Count Index ini menghitung presentase orang yang ada di bawah garis kemiskinan dalam kelompok masyarakat tertentu. 2. Sen Poverty Index Sen Poverty Index memasukkan dua faktor yaitu koefisien Gini dan rasio H. Koefisien Gini mengukur ketimpangan antara orang miskin. Apabila salah satu faktor-faktor tersebut naik, tingkat kemiskinan bertambah besar diukur dengan S. 3. Poverty Gap Index Poverty Gap Index mengukur besarnya distribusi pendapatan orang miskin terhadap garis kemiskinan. Pembilang pada pendekatan ini menunjukkan jurang kemiskinan (poverty gap), yaitu penjumlahan (sebanyak individu) dari kekurangan pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan penyebut adalah jumlah individu di dalam perekonomian (n) dikalikan dengan nilai garis kemiskinan. Dengan ukuran ini, tingkat keparahan kemiskinan mulai terakomodasi. Ukuran kemiskinan akan turun lebih cepat bila orang-orang yang dientaskan adalah rumah tangga yang paling miskin, dibandingkan bila pengentasan kemiskinan terjadi pada rumah tangga miskin yang paling tidak miskin.
4. Foster-Greer-Torbecke Index
7
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
Seperti Indeks-indeks di atas, indeks FGT ini sensitif trhadap distribusi jika α>1. Bagian (Z-Yi/Z) adalah perbedaan antara garis kemiskinan (Z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke-i keluarga miskin (Yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Indikator Kesejahteraan Indikator kesejahteraan berkait erat dengan kemiskinan karena seseorang digolongkan miskin atau tidak jika seberapa jauh indikatorindikator kesejahteraan tersebut telah dipenuhi. Indikator kesejahteraan dapat dilihat melalui dimensi moneter yaitu pendapatan dan pengeluaran. Di samping itu melelui dimensi moneter, kesejahteraan dapat dilihat melalui dimensi non moneter misalnya kesehatan, pendidikan dan partisipasi sosial. 1. Dimensi Moneter Ketika mengukur kemiskinan melalui dimensi moneter, pendekatan yang bisa dilakukan melalui pendapatan dan konsumsi sebagai indikator kesejahteraan. Di antara pendekatan pendapatan dan konsumi, konsumsi adalah indikator yang lebih baik jika dibandingkan dengan pendapatan (Coudouel, et.al, 200 1) dengan beberapa alasan sebagai berikut : a. Konsumsi adalah indikator yang lebih baik jika dibanding dengan pendapatan. Konsusmsi saat ini lebih erat hubungannya dengan kesejahteraan seseorang, yaitu berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan minimumnya. b. Konsumsi adalah ukuran yang lebih baik dari pendapatan sebagai indikator karena pendapatan lebih sering berfluktuasi untuk beberapa mata pencaharian tertentu. c. Konsumsi lebih mencerminkan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimumnya. Pengeluaran untuk konsumsi tidak hanya mencerminkan barang dan jasa yang dapat diperoleh dengan pendapatannya, tetapi juga keampuannya untuk memperoleh kredit dan menabung pada saat pendapatannya rendah di bawah rata-rata.
8
Garis kemiskinan dapat diperoleh dengan menganalisa pendapatan atau besarnya belanja yang dikeluarkan. Sebagian besar analisa garis kemiskinan adalah dengan menganalisa besarnya belanja. Di banyak kasus ini memang lebih mudah, dan juga mempunyai keuntungan konseptual. Anand dan Harris (1994) berbicara tentang pilihan mengenai indikator kesejahteraan sosial dengan menggunakan data dari Sri Lanka. Hipotesa dan temuan mereka adalah pendapatan itu sangat rancu, sebab pendapatan berbeda dengan “pendapatan yang sesungguhnya, sementara total belanja rumah tangga sangat sedikit faktor yang membuatnya rancu, sehingga lebih disukai. Dalam perluasan pendekatan ini, banyak usaha yang dapat dilakukan guna menduga nilai garis kemiskinan dan untuk itu haruslah menguasai konsep-konsepnya serta pada kenyataannya pasti banyak kendala yang dijumpai. Untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan yang akurat haruslah memasukkan faktor-faktor yang mempengaruhi, semakin banyak, akan semakin bagus. Pandangan-pandangan tentang garis kemiskinan terutama mempunyai dua manfaat pokok, yaitu pertama, untuk pengukuran kemiskinan secara global (mendunia) dan untuk memonitor perubahannya setiap saat. Kedua, guna merancang aksi yang spesifik guna mengeliminir kemiskinan. Garis kemiskinan biasanya digunakan untuk memonitor kemajuan program pengentasan kemiskinan diseluruh dunia dengan ukuran dollar/hari, ini diperkenalkan oleh World Development Report 1991. Ini didasarkan pada garis kemiskinan aktual yang dipergunakan oleh beberapa negara berpendapatan nasional rendah, pada tahun 1985 garis kemiskinan ditunjukkan dalam ppp dollar dan merujuk ke belanja rumah tangga per orang. Perluasan variabel kemiskinan adalah sebuah jawaban yang bagus, selanjutnya monitoring secara menyeluruh sangat diperhatikan, isu penting ini sudah semakin meluas dan mampu mengurangi perbedaan yang ada antar negara. Meskipun perluasan variabel dengan memasukkan faktor-faktor lain seperti luar negeri sangat penting akan tetapi dalam
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
pengukuran garis kemiskinan yang paling akurat adalah dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh di daerah setempat. Kesalahan pengukuran timbul dari perbedaan teknik survei, sampel data, waktu, dan sebagainya, ini membuat kita semakin sulit dalam menentukan apakah seseorang itu miskin atau tidak, ini sangat tergantung pada kemampuan kita dalam memonitor kemajuan program pengentasan kemiskinan, yang sudah mendunia ini 2. Dimensi Non Moneter Meskipun kesejahteraan biasanya diukur melalui dimensi moneter, kesejahteraan juga diukur melalui dimensi non moneter. Hal ini terjadi karena kesejahteraan tidak hanya mencakup dimensi ekonomi saja tetapi juga dimensi non ekonomi yaitu sosial, budaya, dan politik, misalnya kesempatan dalam berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, hak suara, tingkat melek huruf, dan lain-lain. a. Indikator nutrisi dan kesehatan. Status kesehatan anggota rumah tangga dapat dijadikan indikator kesejahteraan. Selain kesehatan anggota rumah tangga, indikator kesehatan ini dapat diproduksi melalui pusat-pusat kesehatan, akses terhadap kesehatan, vaksinasi, dan lainlain. Indikator kesehatan ini juga berkaitan dengan kebutuhan dasar yang telah dipenuhi oleh seseorang yang tidak hanya meliputi kebutuhan dasar lain yaitu kebutuhan terhadap rumah sehat, akses terhadap air bersih, dan lain-lain. b. Indikator pendidikan. Indikator pendidikan ini dapat diproksi melalaui tingkat melek huruf, lamanya pendidikan yang ditempuh, pendidikan terakhir anggota rumah tangga, dan lain-lain. Pendidikan ini berkaitan dengan human capital yang merupakan nilai tambah bagi orang tersebut untuk terlibat aktif dalam perekonomian. c. Indikator partisipasi sosial. Peran serta anggota keluarga dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan cermin dari kesejahteraan rumah tangga dan merupakan aktualisasi dalam masyarakat.
Keterkaitan Ekonomi Pertanian dan Kemiskinan Secara umum hasil produk pertanian merupakan irisan obyek penelitian antara ekonomi pertanian dan kemiskinan. Hasil produksi pertanian merupakan output yang dihasilkan oleh kegiatan produksi pertanian. Sementara itu, output hasil pertanian diserap oleh konsumen sebagai konsumsi sehari-hari. Penyerapan output hasil pertanian tersebut dinyatakan dalam bentuk permintaan produkproduk pertanian di pasar sektor pertanian. Dalam perspektif mikroekonomi struktur elastisitas permintaan dan struktur pembentuk permintaan produk hasil pertanian menjadi analisis pendukung dalam telaah konseptual penelitian ini. Di sisi lain, pendekatan terhadap analisis faktor-faktor yang Dalam konstruksi konsep kemiskinan, dampak struktur alamiah permintaan dan penawaran pasar produk pertanian serta kebijakankebijakan yang terkait dengan produk pertanian akan berimbas kepada kesejahteraan petani. Salah satu ukuran kesejahteraan petani adalah ukuran tingkat kemiskinan petani. Salah satu pendekatan ukuran kemiskinan adalah jumlah penduduk miskin dalam suatu j perekonomian. Ukuran kemiskinan ini sering disebut sebagai head-count poverty ratio (HCPR). Melalui pendekatan ini dapat diditeksi jumlah petani yang berada di atas atau di bawah garis kemiskinan. Indikator garis kemiskinan yang digunakan adalah ukuran garis kemiskinan yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pendekatan ini merupakan pendekatan universal sebagai indikator tingkat kemiskinan di suatu negara/daerah. Oleh karena itu, sebagai salah satu sektor penyusun strutkur perekonomian, sektor pertanian berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama dalam dalam pengentasan kemiskinan. METODE PENELITIAN Metodologi Analisis Data
9
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
Untuk mencapai tujuan penelitian yaitu melihat peran sektor pertanian terhadap dilakukan pendekatan analisis utama yaitu pendekatan mikroekonomi dan pendekatan makroekonomi. Pedekatan mikroekonomi menggunakan analisis permintaan dan penawaran hasil produk pertanian sebagai alat analisis inti. Dalam analisis permintaan dan penawaran hasil produksi pertanian, teori yang digunakan adalah teori masalah pertanian (farm problem) dan teori masalah dunia. Kajian literatur dan metode kuantitatif dalam bentuk analisis statistik deskriptif dapat memberikan deskripsi riil kondisi permasalahan mikroekonomi pertanian. Analisis Pendekatan Mikroekonomi Pendekatan mikroekonomi dalam analisis ekonomi pertanian memisahkan analisis hasil produksi pertanian menjadi dua bagian utama yaitu: analisis masalah pertanian dan masalah dunia. Secara umum, Terdapat dua pemikiran mengenai gerakan harga produk pertanian, yang membawa konsekuensi pada kemiskinan di sektor pertanian. Pertama, harga produk pertanian turun atau farm problem. Kedua, harga produk pertanian naik atau world problem. Pemikiran pertama mendasarkan pada kenyataan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi pasca Perang Dunia II di Amerika Serikat dan Eropa Barat, sementara harga produk pertanian cenderung turun sehingga income di sektor tersebut turun. Penyebabnya adalah adanya perubahan pola permintaan dan kemajuan teknologi. Permintaan terhadap produk pertanian elastisitasnya terhadap income rendah. Karena itu, ketika income meningkat, peningkatannya lebih tinggi daripada permintaan pada produk pertanian. Hal ini berbeda dengan produk non pertanian, yang elastisitas permintaannya relatif tinggi. Sementara itu, dikembangkannya substitusi sintesis bagi produk pertanian, menyebabkan demand pada produk pertanian akan semakin turun. Sementara itu, perbaikan teknologi pertanian, disebabkan adanya pertumbuhan ekonomi, sehingga stock capital semakin meningkat, dan pengembangan inovasi baru
10
termasuk di dalamnya inovasi di sektor pertanian. Teknologi pertanian yang semakin maju, yang intinya pada perbaikan efisiensi dan peningkatan produktivitas, menyebabkan supply pertanian semakin meningkat, paling tidak sama dengan produk non pertanian. Gambar di atas menunjukkan, harga produk di sektor pertanian cenderung turun, sementara harga produk di sektor non pertanian cenderung meningkat. Hal ini berarti real income di sektor pertanian akan semakin berkurang. Di sisi lain, pemikiran kedua menyatakan harga produk pertanian naik atau diistilahkan sebagai world problem. Pemikiran ini mendasarkan pada pemikiran Thomas R.Malthus, yaitu pertumbuhan penduduk mengalami deret ukur, sedangkan pertumbuhan produk makan mengalami deret hitung. Padahal di jaman Malthus, pertumbuhan jumlah penduduk hanya 0,5 % per tahun , sedangkan pada pasca PD II, pertumbuhan penduduk sebesar 2 % per tahun. Hal ini berarti setiap 37 tahun, jumlah penduduk dunia meningkat sebesar lebih dari 2 kali. Bagi kelompok Neo Malthusian, kenyataan ini akan menyebabkan harga produk pertanian, hususnya produk makanan, cenderung meningkat. Di sisi lain, teknologi di sektor pertanian sudah mengalami kejenuhan, sehingga supply sudah tidak dapat ditingkatkan lagi. Alasan lainnya, elastisitas income untuk produk makanan terutama di negara low income, cukup tinggi. Produk-produk seperti telur, daging, gula, dan buah-buahan, peningkatan permintaannya lebih tinggi daripada peningkatan income. Karena itu, kurva demand yang bergerak lebih cepat daripada kurva supply, akan mengimplikasikan harga produk pertanian relatif meningkat daripada harga produk lainnya. Hal ini bisa dianggap sebagai justifikasi bahwa sektor pertanian dapat mengurangi kemiskinan. Analisis Pendekatan Makroekonomi Secara umum, pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan dampak ekonomi pengembangan sektor pertanian terhadap pendapatan (PDB/PDRB),
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
penyerapan tenaga kerja dan pengaruh harga produk pertanian terhadap kestabilan inflasi. Analisis yang digunakan untuk dua indikator awal makroekonomi (pendapatan dan penyerapan tenaga kerja) adalah metode inputoutput. Sementara untuk pendekatan indikator ketiga menggunakan analisis kestabilan inflasi kelompok bahan makanan. Berbasis pendekatan mikroekonomi di atas, output pertanian yang didekati oleh indikator produktivitas pertanian selanjutnya dianalisis dalam perspektif analisis ekonomi yang lebih luas yaitu analisis makroekonomi. Analisis makroekonomi dititik beratkan pada perilaku perekonomian secara keseluruhan (Dornbusch, Fischer dan Startz, 1998). Baik buruknya perilaku makroekonomi atau pereknomian secara keseluruhan diukur melalui tiga indikator kinerja makroekonomi yang meliputi: pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan inflasi (Mankiw, 2003; Froyen, 2002). Dalam analisis pendekatan makroekonomi akan dianalisis dampak hasil produksi pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan inflasi. Produktivitas Pertanian, Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam meningkatkan kinerja makroekonomi suatu negara/daerah. Menurut Meier (1995), produktivitas pertanian setidaknya berkontribusi terhadap perekonomian secara keseluruhan melalui empat cara: 1) men-suply bahan mentah terhadap perkembangan sektor lainnya dalam perekonomian, 2) memberikan kelebihan tabungan yang dapat diinvestasikan (yang berasal dari tabungan dan pajak) kepada sektor lain dalam perekeonomian, 3) menjual kas yang berasal dari kelebihan pasar yang dapat meningkatkan permintaan produk dari penduduk kota, 4) menambahkan devisa negara ketika terjadi ekspor terhadap prdukproduk pertanian. Lebih lanjut Kuznets (1965) menerangkan bahwa kontribusi produktvitas pertanian terhadap perekonomian dibedakan menjadi “kontribusi pasar” dan “kontribusi faktor”.
Kontribusi pasar produk hasil pertanian terhadap perekonomian dilakukan melalui dua cara: 1) pembelian hasil produksi pertanian dari sektor lainnya dalam perekonomian dan 2) penjualan hasil produksi yang dimanfaatkan untuk perkembangan sektor lainnya. Sementara itu, kontribusi faktor terjadi ketika terdapat transfer atau peminjaman alokasi sumberdaya antar sektor dalam perekonomian. Sementara itu menurut intepretasi tradisional yang dilakukan oleh kaum strukturalis peran sektor pertanian ditentukan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap output nasional. Seiring dengan proses industrialisasi yang menyebabkan kontribusi sektor pertanian semakin rendah dibandingkan dengan kontribusi sektor industri. Akan tetapi peran sektor pertanian tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Ketersediaan hasil produksi pertanian yang memadai menyebabkan proses konsumsi yang diakukan oleh pekerja di sektor lainnya tidak terganggu. Sehingga surplus modal yang selanjutnya akan digunakan untuk akumulasi modal dapat terjaga. Meskipun terdapat beberapa pendekatan dalam menilai kontribusi produktivitas pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi, namun, peran sektor pertanian terutama hasil produksi pertanian dan produktivitas pertanian dalam ekonomi bermuara pada salah satu indikator utama yaitu pendapatan nasional atau produktivitas nasional. Korelasi yang kuat antara produktivitas pertanian, besaran output sektor pertanian dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)/Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) diperlukan untuk melihat hubungan pergerakan antara ketiga variabel di atas. Selanjutnya untuk melihat besaran dampak perubahan produktivitas hasil pertanian dan kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan PDRB digunakan analisis Inputoutput. Melalui analisis input-output dapat diperoleh pengeruh pertumbuhan hasil produksi yang tercermin dari besaran kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Analisis ini juga bermanfaat dalam memperhatikan hubungan antar sektor pertanian dengan sektor lainnya dalam pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap peningkatan pendapatan pekerja di
11
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
sektor tersebut. Untuk memperkuat analisis ini, digunakan tabel input-output 19x 1 9 propinsi Jawa Tengah tahun 2000. Peningkatan pendapatan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDB/PDRBdi suatu negara atau daerah merupakan salah satu langkah dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Ravalion (2000), Ravallion dan Chen (1997) menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan (HPR) terhadap pendapatan bernilai positif dan secara umum lebih dari 2. Dengan kata lain, kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan mendorong pengurangan jumlah orang miskin sebesar 2 persen.
Produktivitas Pertanian, Penyerapan Tenaga Kerja dan Kemiskinan Penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kinerja makroekonomi suatu negara/daerah. Penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu mesin pembangunan ekonomi, sektor pertanian juga berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja. Semakin banyak orang yang bekerja, semakin besar kesempatannya untuk memiliki pendapatan yang kemudian berdampak terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Secara umum, penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi dipengaruhi oleh teori produksi klasik. Teori produksi klasik menekankan penyerapan tenaga kerja dalam suatu sektor produksi akan terus dilakukan sampai tambahan produktivitas (marginal productivity) adalah nol. Dengan kata lain, jika suatu sektor produksi seperti sektor pertanian tambahan produktivitas hasil pertaniannya masih tumbuh, maka sektor tersebut berada berpotensi melakukan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak. Diharapkan dengan penyerapan tenaga kerja permasalahan
12
perekonomian dengan banyaknya pengangguran dapat teratasi. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kenaikan daya beli yang diperoleh masyarakat yang bekerja di sektor pertanian melalui peningkatan pendapatan/upah dari sektor pertanian. Untuk melihat peningkatan pendapatan pekerja di sektor pertanian analisis input-output dengan perhitungan multiplier pendapatan menjadi alat analisis pilihan utamanya. Produktivitas Kemiskinan
Pertanian,Inflasi
dan
Dua aspek kinerja makroekonomi sektor pertanian di atas dititikberatkan pada persepektif produsen. Berikutnya akan dibahas peran sektor pertanian terhadap konsumen. Karakteristik hasil produksi pertanian adalah seluruh hasil produksi pertanian berperan penting bagi hidup dan kehidupana manusia. Sebagian hasil produksi dapat langsung dikonsumsi dan merupakan bahan pokok sehari-hari seperti: beras, jagung, ikan, daging dan lain-lain. Sementara sebagian lagi merupakan bahan baku yang akan digunakan lagi untuk proses produksi berikutnya. Besaran produktivitas pertanian berdampak terhadap tingkat harga yang harus dibayarkan konsumen terhadap barang hasil produksi pertanian. Dalam teori permintaan, besaran harga akan mempengaruhi banyaknya jumlah barang yang dibeli oleh konsumen. Banyaksedikitnya barang yang dikonsumsi oleh konsumen merupakan gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, besaran harga barang hasil produksi pertanian dapat berimbas pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Kestabilan harga barang hasil produksi pertanian mejadi kata kunci yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingkat kestabilan harga diukur dengan indikator nasional yaitu inflasi. Inflasi merupakan perhitungan terhadap kecenderungan perubahan harga barangbarang dalam kurun waktu tertentu. Sehingga, tingginya tingkat inflasi berdampak terhadap
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
rendahnya daya beli masyarakat dan dapat menyebabkan penurunana tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu jenis pendekatan perhitungan inflasi adalah perhitungan dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK). Penghitungan IHK saat ini dilakukan di 43 kota besar (saat ini 45 kota besar) di Indonesia yang mencakup 249-353 komoditas yang dihitung berdasarkan pola konsumsi hasil survei biaya hidup di 44 kota tahun 1996 (BPS, 2002). Salah satu kelompok jenis barang yang dihitung adalah kelompok bahan makanan yang mencakup hasil-hasil produksi pertanian. Alur metodologi penelitian ini ditunjukkan oleh diagram alir di bawah ini.
Analisis Mikroekonomi Pertanian Penawaran Hasil Produksi Pertanian Farm Problem (Permasalahan Pertanian) World Problem (Masalah Dunia)
Analisis Makroekonomi Pertanian (Kinerja Makroekonomi) Inflasi
Tenaga Kerja/Upah
Pertumbuhan Ekonomi
Pengentasan Kemiskinan (Petani) Gambar 1 Diagram Alir Metodologi Penelitian Lingkup dan Data Penelitian Metode penelitian ekonomi pertanian di atas diaplikasikan di Propinsi Jawa Tengah.
Periode penelitian menggunakan periode sebelum dan sesudah krisis. Periode sebelum krisis dimaksudkan untuk melihat peran revolusi hijau dalam pengembangan sektor pertanian khususnya di Jawa Tengah. Selain itu, periode sebelum krisis merupakan periode dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor prioritas utama pemerintah dalam mengembangkan perekonomian. Sementara periode sesudah krisis bermanfaat untuk melihat bagaimana perkembangan sektor pertanian pada masa pertanian tidak lagi menjadi prioritas paling utama pemerintah. HASIL PENELITIAN A. Analisis Mikroekonomi Dengan memandang bahwa petani merupakan makhluk sosial yang berarti terdapat linkages perilaku petani dengan kehidupan sosial di pedesaan. Dalam konteks demikian, green revolution di Indonesia dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki kehidudupan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan. Pada prinsipnya, green revolution ini mengandung tiga kegiatan pokok. Pertama, adanya kegiatan penyuluhan tentang teknologi modern dan mendorong agar petani mau dan mampu menerapkannya. Kedua, diadakannya penyaluran sarana produksi pertanian yang diperlukan untuk menerapkan teknologi modern. Ketiga, disediakannya kredit yang memungkinkan petani mampu membeli saprotan dan membayar kembali sesudah panen. Apabila dilihat dari produktivitas lahan pertanian, terutama lahan padi, menunjukkan peningkatan produktivitas lahan. Sebagai gambaran, sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4, di Jawa Tengah selama tahun 1986 sampai tahun 2004, terdapat peningkatan produktivitas dari 46,69 kw per Ha menjadi 52,04 kw per Ha. Di tingkat nasional, gambaran tersebut tidak jauh berbeda. Produktivitas lahan meningkat, berarti output petani padi meningkat. Peningkatan output ini semakin memperbesar tenaga kerja untuk panenan, kegiatan transportasi, pengolahan padi, perdagangan beras, dan sebagainya. Melalui efek multiplier, pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan berusaha,
13
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
pendapatan masyarakat, dan kesem [patan kerja bagi masyarakat pedesaan. Selanjutnya melalui peningkatan pendapatan petani, sebagai akibat peningkatan produktivitas lahan, maka sebagian pendapatan untuk kegiatan konsumsi, seperti untuk makanan, bahan bakar, pakaian, permuhan, transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan adanya efek multiplier pada desa dan daerah di sekitarnya. Berbagai akumulasi kegiatan ini menimbulkan serangkaian efek-efek multiplier dan tak berketusan, terhadap kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan pendapatan masyarakat di pedesaan. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung. Penelitian yang dilakukan oleh Khan (1979), menunjukkan bahwa petani berlahan sempit di Pakistan dalam menggunakan input modern lebih efisien dibanding petani yang bekerja dengan lahan lebih luas. Penelitian yang dilakukan oleh Tricahyono (1983) di beberapa desa di Kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah juga memperlihatkan hasil yang serupa bahwa produktivitas petani berlahan sempit, lebih tinggi dibandingkan dengan petani berlahan luas. Suharno (199 1 ) dalam penelitiannya di perdesaan di Pulau Jawa-Bali membuktikan fenomena yang serupa. Ghose serta Sidhu dan Baanante (198 1 ) menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara luas penguasaan lahan terhadap produktivitas. Lebih lanjut, menurut Tricahyono (1983) mengaitkan konsep produktivitas lahan tersebut dengan temuan bahwa petani berlahan sempit memelihara sawah diantara saat tanam dan panen, sehingga hasilnya lebih baik. Demikian pula Sen (1975) yang menegaskan, bahwa justru dengan adanya tanah-tanah berukuran kecil, maka intensitas kerja jauh lebih meningkat dibandingkan dengan pertanian yang arealnya luas. Dalam hal ini, Sen menilai timbulnya kerja keras di kalangan petani kecil karena dirangsang oleh tuntutan untuk mencukupi tekana hidup keluarga. Pandangan Sen ini konsisten dengan perilaku petani di Indonesia, khususnya di Jawa. Sebagai gambaran, penelitian Hadi (dalam Kasryno ed. 1986) memperlihatkan, adanya kecenderungan petani lahan sempit lebih banyak bekerja pada non-usahatani; dan semakin smepit luas lahan semekin besar
14
kecenderungannya bekerja rangkap di luar usaha tani. Schultz (1964, sebagaimana dikutip oleh Norton dan alwang, 1993), menyatakan bahwa kerja keras petani kecil tidak cukup mengentaskan mereka dari kemiskinan. Hal tersebut disebebakan oleh petani tradisionil yang dikonotasikan sebagai petani kecil, menggunakan input-input yang rendah, sehingga produktivitas hasil per hektar dan ukuran produktivitas lainnya cenderung rendah. Ini bukan berarti petani berperilaku tidak efisien. Dalam pandangan Schultz, petani tradisional cenderung poor but efficient. Oleh karena itu, jika teknologi digunakan oleh petani berlahan sempit, teknologi tersebut akan digunakan secara optimal. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan injeksi teknologi yang akan digunakan oleh petani untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
B.
Analisis Makroekonomi
Analisis Dampak Sektor Pertanian terhadap Peningkatan Output dan Pendapatan dalam Mengurangi Kemiskinan di Jawa Tengah Padi merupakan salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian di Propinsi Jawa Tengah. Secara umum produksi hasil pertanian khsususnya padi selama periode sebelum krisis tumbuh secara positif. Selama kurun waktu tersebut produksi pertanian rata-rata per tahun meningkat sebesar 1,63 persen. Sementara produktivitas pertanian rata-rata per tahun meningkat sebesar 1,02 persen. Namun, hal sebaliknya terjadi ketika Indonesia berada dalam krisis. Sejak tahun 1998- 200 1 pertumbuhan produksi padi berada dalam posisi 0,97 persen per tahun. Sementara produktivitas pertanian padi selama kurun waktu tersebut turun 0,09 persen per tahun.
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
Berdasarkan analisis korelasi antara kontribusi sektor pertanian dan produksi pertanian didapatkan hubungan korelasi yang positif. Korelasi positif antara produktivitas pertanian di Jawa Tengah dengan kontribusi sektor pertanian di Jawa Tengah menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas sektor pertanian di Jawa Tengah berkorelasi dengan peningkatan kontribusi sektor pertanian di Jawa Tengah. Berdasarkan konstruksi korelasi antara variabel produktivitas pertanian dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, dilakukan analisis dampak pengembangan sektor pertanian terhadap PDRB dan pendapatan. Analisis input-output merupakan pendekatan analisis yang digunakan untuk melihat dampak sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan hasil analisis tabel input-output tahun 2000 didapatkan beberapa fakta yaitu secara umum peningkatan produktivitas sektor pertanian lebih dari 1. Hal tersebut berarti jika terdapat peningkatan produktivitas pertanian sebesar Rp1000,00 akan meningkatkan output lebih dari Rp1000,00. Namun, subsektor pertanian yang memiliki angka pengganda output terbesar adalah subsektor peternakan dan hasil-hasilnya yaitu 1,583 serta subsektor tanaman pertanian lainnya yaitu sebesar 1,515.
Sementara itu, rata-rata angka pengganda pendapatan (upah) para pekerja yang bekerja di sektor pertanian sebesar 0,227. Sementara subsektor yang memiliki angka pengganda pendapatan (upah) tertinggi adalah subsektor tanaman pertanian lainnya sebesar 0,392. Dengan kata lain, peningkatan produktivitas pertanian yang diserap oleh permintaan sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan pekerja di sektor tanaman pertanian lainnya. Sementara subsektor padi merupakan subsektor yang memiliki angka pengganda pendapatan paling rendah yaitu sebesar 0,194. Hasil analisis angka pengganda output dan petan ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
Tabel 2 Hasil Analisis Multiplier Output dan Pendapatan (Tabel Input-Output Tahun 2000) SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Padi Tanaman bahan makanan lainnya Tanamana pertanian lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri mak;min;uman dan tembakau Industri lainnya Pengilangan minyak bumi Listrik. gas dan air bersih
MULTIPLIER OUTPU T INCOME 1,263 0,194 1,080 0,136 1,515 0,392 1,583 0,204 1,260 0,234 1,307 0,200 1,290 0,371 1,970 0,145 2,675 0,233 1,873 0,100 2,047 0,187
15
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
12 13 14 15 16 17 18
Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Lemb.keu; sewa & jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa-jasa
2,098 1,375 1,934 1,637 1,288 1,608 1,670
0,505 0,242 0,334 0,268 0,230 1,075 0,570
Sumber: BPS Jawa Tengah 200 1 , Tabel Input-Output Jawa Tengah (diolah) Sementara itu, jika dilihat dari aspek keterkaitan ke belakang subsektor-subsektor pertanian, subsektor peternakan dan hasilhasilnya serta tanaman pertanian lainnya merupakan subsektor yang memiliki keterkaitan ke belakang terhadap subsektor lainnya dalam perekonomian. Keterkaitan kebelakang subsektor peternakan dan hasilhasilnya serta tanaman pertanian lainnya berturut-turut sebesar (1,58 dan 1,51). Di sisi lain, subsektor-subsektor pertanian rata-rata memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi
16
yaitu sebesar 2,47. Subsektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi adalah subsektor terdapat tanaman pertanian lainnya dan subsektor kehutanan. Rata-rata keterkaitan ke depan subsektor tanaman pertanian lainnya sebesar 2,47 bermakna jika Rp1000,00 output hasil produksi sektor pertanian akan digunakan sebagai input oleh sektor lainnya untuk menghasilkan output sebesar Rp2470,00. Tabel analisis keterkaitan ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
Tabel 3 Hasil Analisis Keterkaitan (Tabel Input-Output Tahun 2000) LINKAGES SEKTO BACKWA RD FORWARD R DIREC INDIREC TOTA DIREC INDIREC TOTA T T L T T L 1 0,13 1, 1 3 1,26 1,00 1,41 2,41 2 0,05 1,03 1,08 0,22 1,08 1,30 3 0,23 1,29 1,51 1,7 1 2,55 4,26 4 0,31 1,27 1,58 0,62 1,28 1,90 5 0,14 1, 1 2 1,26 0,56 2,60 3,17 6 0,17 1, 14 1,3 1 0,53 1,24 1,76 7 0,16 1, 1 3 1,29 8,65 -16,65 -8,0 1 8 0,64 1,33 1,97 0,24 1, 1 2 1,37 9 0,72 1,96 2,67 0,99 3,59 4,58 10 0,65 1,23 1,87 -1,28 -0,39 -1,67 11 0,60 1,45 2,05 0,50 1,77 2,28 12 0,56 1,54 2,10 0,12 1,09 1,2 1 13 0,22 1, 1 6 1,38 0,42 1,62 2,04 14 0,53 1,40 1,93 0,19 1, 1 1 1,30 15 0,36 1,28 1,64 0,61 1,72 2,33 16 0,15 1, 14 1,29 0,46 1,49 1,95 17 0,30 1,3 1 1,6 1 0,01 1,0 1 1,02 18 0,30 1,37 1,67 0,31 1,27 1,58 Sumber: BPS Jawa Tengah 200 1, Tabel Input-Output Jawa Tengah (diolah) Hasil analisis di atas menghasilkan diketahuinya jalur dampak produktivitas hasil pertanian terhadap peningkatan kontribusi pertanian serta terhadap total output (PDRB) Propinsi Jawa Tengah dan peningkatan pendapatan penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Selain itu dapat diketahui dampak keterkaitan sektor pertanian dalam mendorong pertumbuhan output/ekonomi secara total baik keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depannya. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara pertumbuhan eknomi dan pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah. Model yang digunakan oleh Ravallion dan Chen (1997) yang menghubungkan antara peningkatan pendapatan dan penuruanan tingkat kemiskinan menjadi alternatif acuan dalam analisis ini. Gambar.2a dan gambar 2b berikut ini menunjukkan hubungan negatif pertumbuhan pendapatan perkapita dan peningkatan pendapatan perkapita terhadap kemiskinan total. Gambar 2a secara spesifik menunjukkan peran peningkatan pertumbuhan pendapatan yang disumbangkan oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian di atas terhadap pengurangan jumlah masyarakat
miskin baik di daerah perkotaan dan perdesaan. Sementara Gambar.2b menunjukkan peran peningkatan pendapatan perkapita terhadap pengurangan jumlah masyarakat miskin perkotaan dan perdesaan. Keterkaitan ke depan dan kebelakang subsektor-subsektor pada sektor pertanian terhadap sektor-sektor lainnya (sektor industri, dan sektor jasa) dalam perekonomian menyebabkan peningkatan produktivitas pertanian berdampak positif (multiplier output dan pendapatan) kepada seluruh sektor ekonomi dalam perekonomian. Berdasarkan kondisi tersebut,
17
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
G_PRKPITA1 vs. MSKN_TOT1
60
sebagai dampak peningkatan pendapatan ditunjukkan oleh gambar.3a dan gambar.3b di bawah ini. MSKN_DES1 vs. G_PRKPITA1 8000
40 30
6000 MSKN_DES1
G_PRKPITA1
50
20 10
4000
2000
0 0
2000 4000 6000 8000 10000 12000 0
MSKN_TOT1
0
Gambar. 2a
MSKN_TOT1 vs. PRKPITA
10Gambar. 20 2b30
40
50
60
G_PRKPITA1
Gambar. 3a
15000
MSKN_DES1 vs. PRKPITA 8000 6000
5000
MSKN_DES1
MSKN_TOT1
10000
0
4000 2000 0
-5000 0
10000000 20000000 30000000 40000000 -2000
PRKPITA
0
10000000 20000000 30000000 40000000 PRKPITA
Dua diagram scatter berikutny a menunjukkan peranan peningkatan pendapatan dan pertumbuhan pendapatan terhadap pengurangan kemiskinan di daerah perdesaan. Multiplier pendapatan yang diterima pekerja di sektor pertanian pada analisis input-output di atas berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan. Peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan tersebut selanjutnya berdampak pengurangan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan. Gambaran pengurangan penduduk miskin
18
Secara umum k eempat grafik tersebut menunjukkan pengaruh peningkatan pendapatan terhadap pengurangan kemiskinan. Hal tersebut menggambarkan bahwa sektor pertanian dalam konteks makroekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah memegang peranan penting dalam usaha peningkatan taraf hidup masyarakat melalui peningkatan pendapatan dan pengurangan jumlah orang miskin.
Gambar. 3b
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
Analisis Dampak Sektor Pertanian terhadap Inflasi dan Kemiskinan di Propinsi Jawa Tengah Selain analisis sektor produksi, analisis sektor pertanian juga dilakukan terhadap sektor permintaan yang ditunjukkan oleh kemampuan daya serap produk pertanian di masyarakat. Daya serap sektor pertanian oleh masyarakat juga mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi hasil produksi pertanian berdampak rendahnya tingkat gizi yang diasup oleh masyarakat. Selain itu, tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian hasil produk pertanian akan meningkatkan batas garis kemiskinan yang berpotensi dapat menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk
miskin. Oleh karena itu, diperlukan analisis lebih mendalam untuk melihat perkembangan biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli produk hasil pertanian. Selain analisis terhadap garis kemiskinan, pendekatan analisis yang digunakan adalah perkembangan inflasi dengan pendekatan indeks harga konsumen (IHK) yang mencakup perkembangan indeks kelompok makanan di Jawa Tengah. Disebabkan oleh tidak seluruh daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah menhitung IHK, maka fokus analisis ini hanya dipusatkan pada kota-kota tertentu. Kota-kota di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki perhitungan IHK antara lain yaitu: Kota Semarang, Kota Tegal, Kota Purwokerto dan Kota Surakarta. Analisis inflasi dengan garis kemiskinan ditunjukkan oleh tabel berikut ini:
19
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
Tabel 4 Perkembangan IHK, Indeks Kelompok Bahan Makanan, Inflasi dan Kemiskinan di Jawa Tengah Propinsi Jawa Tengah
Tahun 1998
1999
2000
2001
2002
2003
Kota Semarang Tegal Surakarta Purwokerto Semarang Tegal Surakarta Purwokerto Semarang Tegal Surakarta Purwokerto Semarang Tegal Surakarta Purwokerto Semarang Tegal Surakarta Purwokerto Semarang Tegal Surakarta Purwokerto
IHK 158,2 156,29 168,13 168,44 187,35 193,78 199,94 207,36 193,29 195,3 202,23 213,42 216,81 215,48 228,24 237,92 247,86 240,14 255,86 264,63 270,49 253,54 268,26 278,22
Inflasi N.A N.A N.A N.A 18,426 23,9875 18,9199 23,1062 3,17054 0,78439 1,14534 2,92245 12,1682 10,3328 12,8616 11,4797 14,3213 11,4442 12,1013 11,2265 9,13015 5,58008 4,8464 5,13547
Bahan Makanan 216,45 203,24 206,63 199,13 273,35 273,59 254,95 252,87 256,04 242,34 234,25 219,14 283,82 262,94 262,58 239,47 313,1 294,08 288,15 262,31 317,51 289,53 291,65 261,2
Inflasi N.A N.A N.A N.A 26,28783 34,61425 23,38479 26,9874 -6,33254 -11,4222 -8,11924 -13,3389 10,84987 8,500454 12,09392 9,277174 10,3164 11,84301 9,737985 9,537729 1,408496 -1,5472 1,214645 -0,42316
Garis Kemiskinan Kota (Rp/Bulan)
Jumlah Orang Miskin (ribu orang)
40075
1973,4
30499
4444,2
88384
3032,2
72210
5723,2
85928
2444,7
70203
4068,9
93204
1441
76148
5415,7
121461
2762,3
97310
4546
130809
2520,3
103300
4459,7
Sumber: BPS, Statistik Indonesia beberapa Edisi Secara umum kenaikan harga-harga kebutuhan bahan makanan di Jawa Tengah lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kenaikan garis kemskinan. Rata-rata inflasi di empat kota besar tersebut setelah krisis berada dalam level 21, 1 1 persen untuk indeks umum dan 27, 82 persenuntuk kelompok bahan makanan. Sementara kenaikan garis kemiskinan mencapai lebih dari 120 persen. Jika dilihat rata-rata pertahun kenaikan inflasi pertahun di empat kota di Jawa Tengah tersebut mencapai 10 persen per tahun untuk indeks umum dan 6 persen per tahun untuk kelompok bahan makanan. Sementara rata-rata peningkatan garis kemiskinan per tahun mencapi 32 persen di kota dan 9,9 persen di desa. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa perubhan harga kelompok bahan makanan lebih stabil dibandingkan kenaikan bahan non makanan
20
Jumlah Orang Miskin (ribu orang)
Garis Kemiskinan Desa (Rp/Bulan)
sebagai kebutuhan mendasar masyarakat yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan. Kebijakan stabilitas harga hasil produksi pertanian merupakan salah satu faktor yang menyebabkan relatif stabilnya kenaikan harga bahan makanan.
KESI MPULAN Secara umum, peranan pengembangan sektor pertanian yang dimotori oleh revolusi hijau yang dilakukan melalui pengembangan teknologi pertanian bermanfaat dalam meningkatkan tingkat produktivitas pertanian di Indonesia dan Jawa Tengah pada khususnya. Peningkatan produktivitas hasil
Akhmad dkk, Dampak Pengembangan Sektor...
pertanian mendorong peningkatan pertumbuhan sektor pertanian dalam PDRB. Sampai dengan saat ini meskipun share terhadap output terus menurun, namun pertumbuhan ekonomi masih positif. Berdasarkan analisis ketrakaitan ekonomi di Jawa Tengah, sektor pertanian masih merupakan sektor yang penting. Hal tersebut ditunjukkan oleh angka pengganda output dan pendapatan yang tinggi. Melalui angka pengganda output yang tinggi (> 1 ) berimplikasi peningkatan output sektor pertanian akan menyebabkan kenaikan PDRB dan selanjutnya akan menurunkan tingkat kemiskinan seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2 dan 3. Selain itu, prduktivitas pertanian juga berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani melalui angka pengganda pendapatan (upah). Melalui peningkatan pendapatan petani inilah kemiskinan petani dapat dientaskan. Selanjutnya, fakta lain menunjukkan kebijakan stabilitas harga input pertanian yang dilakukan oleh pemerintah mampu menekan fluktuasi harga produk pertanian. Stabilnya harga hasil produksi pertanian tersebut berpengaruh mengurangi beban masyarakat dengan tidak semakin meningkatkan garis kemiskinan. Dalam kondisi ini, jumlah orang yang miskin dapat dikurangi.
Biro Pusat Statistik (BPS), (2005), “Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka”, Jakarta ____________________., (200 1), Indonesia”, Jakarta
“Statistik
____________________., (2002), Indonesia”, Jakarta
“Statistik
____________________., (2003), Indonesia”, Jakarta
“Statistik
____________________., (2004), Indonesia”, Jakarta
“Statistik
Biro Pusat Statistik (BPS), Jawa Tengah (2003), “Tabel Input-Output Jawa Tengah”, Semarang Endah, S, 2004, ”Studi Keterkaitan Antar Sektor Menggunakan Model Tabel Input-Output: Suatu Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Agroindustri di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2002”, Skripsi; Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Gunawan Wiradi. (1992). Ketenagakerjaan dalam Struktur Agraris di Pedesaan Jawa, dalam Peter Hagul, ed. “Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat “. Yayasan Dian Desa, Yogyakarta Jazairy,
DAFTAR PUSTAKA Alfian, Mely G Tan, dan Selo Soemardjan., (1980), “Kemiskinan Struktural”, Gramedia, Jakarta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), (2003), “Infrastruktur di Indonesia”, Jakarta. Bank Dunia, (1994), “World Development Report 1994: Infrastructure for Development”, New York: Oxford University Press.
Idrusi Mohiuddin Alamgiri dan Theresia Panucio., (1992), “The State of World Rural Poverty”, University Press, London
Mankiw, N. Gregory (2000), “Macroeconomics” 4th Ed.Worth: New York. Mubyarto., (1994), “Pengantar Ekonomi Pertanian”, LP3ES, Jakarta. Meier, Gerrard ., M. (1995), “Leading Issues in Economic Development” 6 th. Oxford University Press: Oxford
21
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24
Ravallion, Martin, dan Chen, Shaohua (1997), What Can New Survey Data Tell Us about Recent Changes in Distribution and Poverty?, World Bank Economic Review, Oxford University Press, Fall 1 1 (2), 357-82 Schultz, Theodore W. (1964), “Transforming Traditional Agriculture.” McGraw Hilll: New York Suharno. (199 1 ) “Pengaruh Perubahan Harga terhadap Penawaran Produk dan Permintaan Input pada Produksi Padi di Jawa dan Bali. Disertasi UGM, Yogyakarta. Tricahyono, Bambang (1983), “Masalah Petani Gurem” Liberty: Yogyakarta Todaro, Michael., P. (2000), “Economic Development”. Addison-Wesley: Eidenburgh
22