PERAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA: JAWA DAN LUAR JAWA
NURALIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Pengembangan Infrastruktur dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Jawa dan Luar Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Nuraliyah H151090354
ABSTRACT NURALIYAH: The Role of Infrastructure Development on Poverty Alleviation in Indonesia: Java and Outside Java. Under supervision of PARULIAN HUTAGAOL and BAMBANG JUANDA. The development of infrastructure is an important to poverty alleviation. From this premise, the study proposes to analyze the impact of infrastructure development on growth in Java and Outside Java and to assess whether the growth can effectively reduce poverty. It comes from relation between infrastructure development and poverty mainly indirectly. Using static panel data analysis, the result shows that infrastructure such as electricity, water and public health centre have significant and positive impact on growth in Java and so does the employment variable, whereas decentralization has significant and negative impact on growth in Java. For outside Java, electricity variable, public health centre and employment have significant and positive impact on growth. Road infrastructure isn‟t have a significant impact on growth both in Java and outside Java. Estimation result using 2 SLS method shows that growth in Java reduce poverty, but growth in outside Java instead increase poverty. Further, unemployment both in Java and outside Java increase poverty, but mean year schooling reduce poverty both in Java and outside Java. Keywords: infrastructure development, poverty alleviation, two stage least square method
RINGKASAN NURALIYAH: Peran Pengembangan Infrastruktur dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Jawa dan Luar Jawa. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan BAMBANG JUANDA. Proses pembangunan memerlukan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Penempatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak hanya sebagai target utama yang harus dicapai tetapi juga menjadi tolok ukur utama keberhasilan pembangunan terutama dari sisi ekonomi. Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain dari keberhasilan pembangunan adalah menurunnya tingkat kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan tetapi hasilnya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan dengan terjadinya krisis ekonomi rakyat miskin di Indonesia semakin bertambah. Komite Penanggulangan Kemiskinan (2003) berpendapat bahwa langkahlangkah bagi usaha penanggulangan kemiskinan di Indonesia dapat didekati dari 2 (dua) sisi, yaitu peningkatan pendapatan bagi kelompok miskin melalui peningkatan/perbaikan produktivitas dan pengurangan pengeluaran (ongkos biaya hidup) melalui akses yang lebih baik bagi kelompok miskin. Dua strategi tersebut dapat dilakukan jika di suatu wilayah terdapat infrastruktur yang memadai. Ada dua pemikiran (mazhab) dalam melihat hubungan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Masika dan Baden, 1997). Kelompok pemikiran pertama, memandang pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi penting dalam upaya pengurangan kemiskinan. Sementara kelompok pemikiran kedua melihat secara skeptis peran infrastruktur pada pengurangan kemiskinan. Kalaupun infrastruktur berperan dalam pertumbuhan ekonomi namun belum tentu terhadap kemiskinan. „Benang merah‟ dari kedua pemikiran tersebut berkaitan dengan masalah akses, pembiayaan, lokasi, dan jenis infrastruktur. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan di Jawa dan Luar Jawa dan mengetahui peran pertumbuhan dalam pengentasan kemiskinan di Jawa dan Luar Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari BPS, PLN, dan sumber lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian meliputi PDRB, angka kemiskinan, panjang jalan, jumlah listrik terjual, volume air bersih, jumlah puskesmas, jumlah tenaga kerja, jumlah penduduk, jumlah rumahtangga dan data-data lainnya yang relevan. Cakupan penelitian ini adalah data panel yang mencakup 26 provinsi di Indonesia dengan periode penelitian tahun 1993-2009. Provinsi yang mengalami pemekaran dikembalikan lagi ke provinsi induknya. Gambaran mengenai perkembangan infrastruktur dianalisis dengan metode desktiptif. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian menggunakan regresi data panel. Berdasarkan hasil estimasi regresi data, infrastruktur listrik, air bersih, dan infrastruktur kesehatan di Jawa berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan di Luar Jawa hanya infrastruktur listrik dan air bersih yang nyata positif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur jalan baik di Jawa maupun di Luar Jawa tidak signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Di sisi lain, pertumbuhan di Jawa dapat menurunkan kemiskinan. Hal yang sebaliknya terjadi di Luar Jawa bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata meningkatkan kemiskinan. Terkait dengan hasil estimasi yang didapat, dimana infrastuktur jalan tidak memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah penting untuk membuat kebijakan dalam pembatasan jumlah kendaraan di Jawa. Selanjutnya pemerintah juga harus memperhatikan perekonomian di Luar Jawa, karena pertumbuhan di Luar Jawa ternyata meningkatkan kemiskinan. Kata kunci: infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan
©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA: JAWA DAN LUAR JAWA
NURALIYAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
: Peran Pengembangan Infrastruktur dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Jawa dan Luar Jawa
Nama
: Nuraliyah
NRP
: H151090354
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Tanggal Ujian: 12 JULI 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr. Tanggal Lulus: 12 JULI 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Hariadi Hadisuwarno, SE. M.Sc, Ph.D
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ijin dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tema yang dipilih untuk penelitian ini adalah “Peran Pengembangan Infrastruktur dalam Pengentasan
Kemiskinan
di
Indonesia:
Jawa
dan
Luar
Jawa”,
yang
pelaksanaannya dimulai pada Bulan Januari 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku anggota komisi pembimbing atas arahan dan masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Hadisuwarno, SE. M.Sc, Ph.D atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. Agr selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Adiva Razita Syazwani (anak pertama), Bianca Azra Syazwani (anak kedua) dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan yang luar biasa, berupa moril dan materiil dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di Indonesia khususnya dalam hal poverty alleviation, serta bermanfaat bagi dunia pendidikan. Bogor, Juni 2011 Penulis, Nuraliyah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 1976 dari ayah Syamsuar dan ibu Nurlaeli. Penulis telah dikaruniai dua orang putri: Adiva Razita Syazwani dan Bianca Azra Syazwani. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Rawabunga 010 pagi dan lulus pada tahun 1987, kemudian melanjutkan ke SMPN 62 Jakarta dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun yang sama diterima di SMAN 54 Jakarta dan lulus pada tahun 1993, kemudian melanjutkan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta dan lulus pada tahun 1996. Setelah itu melanjutkan ke Universitas Terbuka dan lulus pada tahun 2001. Setelah lulus dari AIS, penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus menyusun tesis pada akhir kegiatan perkuliahan sebagai syarat menyelesaikan jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xvi
I
PENDAHULUAN.................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................
9
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
11
2.1. Tinjauan Konsep ...........................................................................
11
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi ........................................................
11
2.1.1.1. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik .............................
15
2.1.1.2. Teori Pertumbuhan Endogen..................................
18
2.1.2. Kemiskinan .........................................................................
21
2.1.3. Infrastruktur.........................................................................
26
2.1.4. Tenaga Kerja, Pengangguran, dan Rata-Rata Lama Sekolah
30
2.1.5. Desentralisasi Fiskal............................................................
31
2.2. Tinjauan Teoritis ............................................................................
33
2.2.1. Infrastruktur dan Pertumbuhan ...........................................
33
2.2.2.Tenaga Kerja dan Pertumbuhan ...........................................
35
2.2.3. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan ..............................
36
2.2.4. Infrastruktur dan Kemiskinan .............................................
37
2.2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan .............................
40
2.2.6. Pengangguran dan Kemiskinan ...........................................
41
2.2.7. Rata-Rata Lama Sekolah dan Kemiskinan..........................
42
2.3. Kerangka Pemikiran .......................................................................
43
2.4. Hipotesis Penelitian........................................................................
46
III METODE PENELITIAN .......................................................................
47
3.1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................
47
II
3.2. Metode Analisis .............................................................................
47
3.2.1. Analisis Deskriptif ...............................................................
49
3.2.2. Analisis Parsial Simultan Panel ...........................................
49
3.2.3. Pemilihan Metode Regresi Data Panel .................................
51
3.2.4. Uji Beda Koefisien ………………………………………..
53
3.3. Spesifikasi Model............................................................................
53
IV GAMBARAN UMUM..........................................................................
57
4.1. Pertumbuhan Ekonomi ...................................................................
57
4.2. Perkembangan Infrastruktur ...........................................................
58
4.3. Kemiskinan ....................................................................................
66
V. PEMBAHASAN HASIL ......................................................................
67
5.1. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan ..............................
68
5.2. Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan ...............................
74
5.3. Rumusan Kebijakan .......................................................................
80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
83
6.1. Kesimpulan ....................................................................................
89
6.2. Saran...............................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
91
LAMPIRAN .................................................................................................
97
DAFTAR TABEL 1. Pembagian Jalan Berdasarkan Kewenangan ………………………….....
28
2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan, Periode 1993-2009 ................…………………………………..............................
68
3. Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Pengentasan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Parsial Simultan, Periode 1993-2009 ..................................................................................................
75
DAFTAR GAMBAR 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Periode 1993-2009 ………………….
3
2. Kontribusi Infrastruktur terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ................…………………………......................................
4
3. Kotribusi PDRB Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap PDB Indonesia, Tahun 2006-2009.....................................................................................
5
4.
Persentase Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2006-2009 ……………………………………………………………....
6
5. Jumlah Migran Masuk ke Jawa, Periode 1985-2005 …………………..
7
6. Kondisi Steady State Model Pertumbuhan Neo Klasik tanpa Perkembangan Produktivitas ...................................................................
17
7.
Kondisi Steady State Model Pertumbuhan Neo-Klasik dengan Perkembangan Produktivitas ...................................................................
18
8. Diagram Alur Kerangka Pemikiran .........................................................
45
9. Pertumbuhan ekonomi di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1994-2009 …….
57
10. Kontribusi PDRB Per Sektor di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2000 – 2009 …………………………………………………………………….
58
11. Banyaknya Energi Listrik Terjual di Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 ..
59
12. Perbandingan Jumlah Produksi Listrik per Rumahtangga Antara Pulau Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 …………………………...…...
60
13. Banyaknya Volume Air Bersih yang Disalurkan PDAM, 1993-2009
61
14. Perbandingan Air Bersih yang Disalurkan PDAM per Rumahtangga di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 ……………………………….
61
15. Panjang Jalan Kondisi Baik dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 ……………………………………….
62
16. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 .......................................................................
63
17. Jumlah Puskesmas di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 ............
64
18. Perbandingan Rasio Puskesmas per Penduduk Antara Pulau Jawa dan
Luar Jawa, 1993-2009…………………………………………………..
65
19. Perbandingan Persentase Jumlah Penduduk Miskin Pulau Jawa dan Luar Jawa, Periode 1993-2009 ………………………………………....
66
20. Perkembangan Nilai Impor Indonesia, 1993-2009 (Juta US $)………...
70
21. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian dan Pertambangan dan Penggalian di Luar Jawa, Periode 2006-2009 ………………………….
77
22. Persentase Pengangguran di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009….
79
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan untuk Model di Jawa ……………………..........................................................
97
2. Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan untuk Model di Jawa …………………………………………………………..
100
3. Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan untuk Model di Luar Jawa …………………………………………………...... 102 4. Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan untuk Model di Luar Jawa ………………...…………………………………...
105
5. Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan untuk Model Gabungan ………………………………...……………………...
107
6. Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan untuk Model Gabungan ……………………………………………………….. 110
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses pembangunan memerlukan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Penempatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak hanya sebagai target utama yang harus dicapai tetapi juga menjadi tolok ukur utama keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia terutama dari sisi ekonomi. Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain dari keberhasilan pembangunan adalah menurunnya tingkat kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang mempunyai target mencapai pertumbuhan yang tinggi idealnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sosial yaitu berkurangnya jumlah penduduk miskin. Pengentasan kemiskinan tidak akan mungkin berhasil tanpa pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, strategi pembangunan yang dilakukan pada masa orde baru lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat, karena para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan sangat percaya akan adanya trickle down effect (Tambunan, 2003). Dampak negatif akibat “pengejaran pertumbuhan” adalah munculnya pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah yang dimulai pada wilayah-wilayah yang memiliki infrastruktur lebih memadai, seperti Pulau Jawa. Kondisi tersebut mengakibatkan perbedaan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita. Data yang ada menunjukkan bahwa secara regional pada tahun 2009 PDRB Pulau Jawa berkontribusi lebih dari 60 persen pada PDB Indonesia, dan Luar Jawa tidak sampai 40 persen. Padahal luas Pulau Jawa hanya sekitar 6 persen dari luas Indonesia. Selain pertumbuhan ekonomi, hal penting lainnya yang juga menjadi agenda pemerintah dalam upaya pencapaian kesejahteraan adalah pengentasan kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan dalam menurunkan tingkat kemiskinan tetapi hasilnya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan dengan terjadinya krisis ekonomi rakyat miskin di Indonesia semakin bertambah. Komite Penanggulangan Kemiskinan (2003) berpendapat bahwa langkahlangkah bagi usaha penanggulangan kemiskinan di Indonesia dapat didekati dari 2
(dua) sisi, yaitu peningkatan pendapatan bagi kelompok miskin melalui peningkatan/perbaikan produktivitas dan pengurangan pengeluaran (ongkos biaya hidup) melalui akses yang lebih baik bagi kelompok miskin. Dua strategi tersebut dapat dilakukan jika di suatu wilayah terdapat infrastruktur yang memadai. Akses yang lebih baik terhadap infrastruktur dan harga produk yang dihasilkan dari pemanfaatan infrastruktur dapat meningkatkan produktivitas sehingga biaya input menurun dan selanjutnya bagi konsumen berarti terjadinya penurunan biaya hidup. Kondisi tersebut tentunya akan menaikkan taraf hidup masyarakat. Peran penting dari infrastruktur sehingga membantu pengentasan kemiskinan dapat melalui beberapa cara. Pertama, pertumbuhan ekonomi masih menjadi andalan utama untuk mengentaskan kemiskinan. Banyak studi, misalnya Aschauer
(1989)
yang
menyimpulkan
bahwa
infrastruktur
merupakan
penyumbang utama pertumbuhan ekonomi. Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Kedua, akses terhadap infrastruktur merupakan bagian dari kesejahteraan masyarakat. Sistem infrastuktur yang baik akan meningkatkan pendapatan orang miskin secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air dan kondisi sanitasi yang lebih baik. Sebenarnya pemerintah sudah cukup concern dengan pembangunan infrastruktur. Sejak masa pemerintahan orde baru, pembangunan infrastruktur mulai dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dan termasuk sektor pembangunan yang dibiayai cukup besar. Yang paling menonjol di masa orde baru di dalam pembangunan infrastruktur adalah pembangunan jalan dan ketenagalistrikan atau yang lebih dikenal dengan visinya, yaitu “listrik masuk desa”. Namun, pada saat krisis ekonomi infrastruktur mengalami hambatan pembiayaan. Hal ini disebabkan oleh terdepresiasinya nilai rupiah yang cukup tajam terhadap dollar sehingga menyebabkan beberapa sektor perekonomian mengalami shock, terutama untuk sektor-sektor yang banyak menggunakan
komponen impor seperti pembangunan infrastruktur. Setelah krisis, pertumbuhan perekonomian Indonesia terus mengalami perbaikan, dan pembangunan infrastruktur mulai kembali mendapat perhatian. Realisasi upaya pemerintah untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur sudah tampak dengan dibentuknya Tim Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur (TPPI), serta diselenggarakannya Infrastructure Summit.
Sumber: BPS (diolah), 1993-2009
Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia, Periode 1993-2009 (%). Peran infrastruktur sebagai penggerak sektor perekonomian akan mampu menjadi pendorong berkembangnya sektor-sektor terkait (multiplier effect) dan pada akhirnya akan menciptakan lapangan usaha baru. Selain itu infrastruktur juga berperan dalam memberikan kontribusi terhadap PDB. Kontribusi infrastruktur periode 2007-2009, yang dalam hal ini diwakili oleh listrik, gas, dan air, transportasi, dan komunikasi berada pada kisaran 0,82% – 3,8% (gambar 2). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa sub sektor transportasi mengalami penurunan kontribusi, dari 3,8 persen pada tahun 2007 menjadi 3,24 persen pada tahun 2009. Demikian pula dengan sektor listrik, gas, dan air juga mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB. Namun, pada sub sektor komunikasi, terjadi peningkatan kontribusi dari 2,89 persen pada tahun 2007 menjadi 3,04 persen pada tahun 2009. Contoh kongkrit yang dapat dilihat ialah bermunculannya televisi dan operator telepon swasta yang meramaikan pertelekomunikasian di Indonesia setelah pemerintah melakukan deregulasi
terhadap peran sentralnya atas sektor telekomunikasi. Iklim inilah yang direspon oleh pihak swasta untuk berinvestasi di subsektor ini.
Sumber: BPS, 2007-2009
Gambar 2 Kontribusi Infrastruktur terhadap PDB Indonesia Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (%). Mengingat begitu pentingnya peran infrastruktur dalam perekonomian, maka diperlukan kondisi infrastruktur yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun, saat ini masih banyak infrastruktur dalam kondisi yang belum memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kondisi ini dapat menghilangkan fungsi infrastruktur dalam mengatasi bottlenecks pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan paparan diatas, maka pengembangan infrastruktur sangat diperlukan, dengan tidak mengesampingkan kualitas dari infrastruktur itu sendiri. Dengan demikian diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan dengan baik, dan program pengentasan kemiskinan akan berhasil.
1.2 Perumusan Masalah Sudah lama terjadi perdebatan mengenai pola relasi antara pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan kemiskinan (poverty). Pertanyaan yang kerapkali memicu debat adalah benarkah pertumbuhan ekonomi sanggup mereduksi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang sangat ditentukan oleh keberadaan
infrastruktur yang memadai, seharusnya mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Ada dua pemikiran (mazhab) dalam melihat hubungan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Masika dan Baden, 1997). Pada satu sisi (kelompok pemikiran pertama), memandang pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu bagi pengentasan kemiskinan. Secara logika, dengan hubungan antara infrastruktur terhadap pertumbuhan; pertumbuhan terhadap kemiskinan, maka peningkatan infrastruktur akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sementara kelompok pemikiran kedua melihat secara skeptis peran infrastruktur pada pengurangan kemiskinan. Kalaupun infrastruktur berperan dalam pertumbuhan ekonomi namun belum tentu terhadap kemiskinan. „Benang merah‟ dari kedua pemikiran tersebut berkaitan dengan masalah akses, pembiayaan, lokasi, dan jenis infrastruktur. Dengan demikian, hubungan antara infrastruktur dan kemiskinan masih belum jelas. Data empiris menunjukkan bahwa Pulau Jawa yang hanya terdiri dari enam (6) provinsi memberikan share terbesar kepada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Terkait dengan infrastruktur, Pulau Jawa juga merupakan pulau dengan infrastruktur yang lebih memadai dibandingkan dengan pulau lainnya.
Sumber : BPS, 2006-2009
Gambar 3 Kotribusi PDRB Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap PDB Indonesia, Tahun 2006-2009 (%).
Namun, ketika berbicara mengenai kemiskinan, Pulau Jawa ternyata merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Persentase penduduk miskin di Pulau Jawa sebesar 56,7 persen, sedangkan persentase penduduk miskin di Luar Jawa, hanya berkisar pada angka 30-40 persen. Kondisi ini telah berlangsung cukup lama, dimana persentase terbesar dari penduduk miskin di Indonesia ada di Pulau Jawa. Banyaknya penduduk miskin di Pulau Jawa tidak terlepas dari fakta jumlah penduduk di Pulau Jawa yang jumlahnya cukup besar yaitu sekitar 57,96 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Salah satu penyebab padatnya penduduk di Jawa yang luasnya hanya 6,4 persen dari luas Indonesia adalah arus migrasi yang cukup besar di Pulau Jawa. Ketika infrastruktur di suatu daerah lebih baik maka perekonomian di daerah tersebut baik, dan akan menarik minat penduduk untuk bermigrasi ke daerah tersebut. .
Sumber : BPS (diolah), 2006-2009
Gambar 4 Persentase Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2006-2009 Karakteristik penduduk yang datang ke Jawa adalah tingkat pendidikan, keterampilan serta kemampuan sosio ekonominya banyak yang terbatas, sehingga migrasi yang terjadi mempengaruhi perkembangan kondisi Pulau Jawa. Sebagai konsekuensi atau dampak yang harus ditanggung adalah adanya masalah-masalah sosial seperti kepadatan penduduk yang semakin pesat, pengangguran, gelandangan dan pengemis, pemukiman liar dan kumuh, dan kemiskinan. Sektor industri yang merupakan salah satu faktor penggerak dalam pertumbuhan ekonomi, menjadi faktor penarik bagi migran yang berharap
mendapat kesempatan kerja yang lebih baik. Jawa merupakan daerah yang paling berkembang sektor industrinya dibanding daerah lain di Indonesia. Perkembangan industri ini mempengaruhi tumbuhnya kawasan bisnis dan jasa pendukung lainnya. Kondisi infrastruktur, transportasi, layanan publik, bisnis dan jasa di daerah tersebut terus membaik, sehingga keinginan migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa terus meningkat. Migrasi dapat menyebabkan surplus tenaga kerja dan memperburuk masalah pengangguran di daerah tersebut. Selama ini pengangguran di Jawa jauh lebih banyak dibandingkan Luar Jawa. Pada tahun 1993 pengangguran di Jawa sebesar 64,45 persen, dan turun sedikit menjadi 63,62 persen pada tahun 2009. Kondisi ini menjadikan Pulau Jawa memiliki banyak penduduk miskin.
Sumber : BPS, 1985-2005
Gambar 5 Jumlah Migran Masuk ke Jawa, Periode 1985-2005 (orang). Desentralisasi fiskal seharusnya dapat dijadikan tonggak oleh pemerintah daerah untuk memajukan perekonomian daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai salah satu instrumen desentralisasi fiskal dapat dijadikan connector antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk masing-masing daerah. Infrastruktur yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas merupakan faktor pendukung dalam menggerakkan roda perekonomian. Dengan demikian diharapkan perekonomian akan tumbuh sehingga pengangguran, kemiskinan, dan penduduk yang melakukan migrasi juga akan berkurang, karena belum tentu kehidupan di tempat tujuan migrasi akan lebih baik.
Mengingat pentingnya studi mengenai infrastruktur dan masih belum adanya kesimpulan umum mengenai peran infrastruktur terhadap kemiskinan, maka penulis akan mencoba untuk mengkaji apakah infrastruktur sebagai komponen yang dapat mengatasi bottleneck pertumbuhan, juga berperan dalam pengentasan kemiskinan. Alasan lain yang membuat penulis tertarik dengan kajian infrastruktur adalah dikarenakan pembangunan infrastruktur berkaitan dengan masalah pengambilan kebijakan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi di masingmasing region?
2.
Apakah pertumbuhan tersebut mampu secara efektif mengurangi kemiskinan di masing-masing region?
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Mengkaji pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan di Jawa dan Luar Jawa.
2.
Mengetahui peran pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan di Jawa dan Luar Jawa.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran kepada pembaca mengenai peran infrastruktur dalam mengentaskan kemiskinan di Jawa dan Luar Jawa lewat channel pertumbuhan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah ,terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur dan kemiskinan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Cakupan analisis penelitian ini adalah Jawa dan selain Jawa (Luar Jawa). Periode penelitian ini dari tahun 1993-2009. Analisis dan pengamatan dilakukan pada seluruh provinsi di Indonesia. Untuk menjaga konsistensi data maka
dilakukan penggabungan data dari provinsi hasil pemekaran setelah tahun 1993 dan menghilangkan data Timor Timur, sehingga jumlah provinsi yang digunakan adalah 26 provinsi. Pembagian infrastruktur pada penelitian ini merujuk pada definisi Bank Dunia, yaitu infrastruktur ekonomi (infrastruktur jalan, listrik, air), dan infrastruktur sosial (kesehatan) dan juga dengan mempertimbangkan ketersediaan data. Data jumlah pelanggan telepon (termasuk telepon seluler) dan data saluran irigasi yang sedianya akan dimasukkan dalam model tidak tersedia secara lengkap. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memasukkan kedua variabel tersebut.
Halaman ini sengaja dikosongkan
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Konsep
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator penting dalam menganalisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi di suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, dimana aktivitas perekonomian merupakan suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, yang akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang digunakan. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat, diharapkan akan meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian yang sesungguhnya memiliki arti sebagai perkembangan ekonomi secara fisik yang terjadi di suatu negara, seperti pertambahan jumlah dan produksi barang industri, pertambahan jumlah infrastruktur, sarana pendidikan, penambahan produksi kegiatan kegiatan ekonomi yang sudah ada, dan berbagai perkembangan lainnya. Menurut Kuznet dalam Todaro et al. (2003) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas ditentukan oleh kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional, dan ideologis terhadap tuntutan keadaan yang ada. Kuznets sangat menekankan pada perubahan dan inovasi teknologi sebagai cara meningkatkan pertumbuhan produktivitas terkait dengan redistribusi tenaga kerja dari sektor yang kurang produktif (yaitu pertanian) ke sektor yang lebih produktif (yaitu industri manufaktur). Todaro et al. (2003) menyampaikan ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap negara. Ketiga faktor tersebut adalah : 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3. Kemajuan teknologi, berupa cara baru atau perbaikan cara-cara lama dalam menangani pekerjaan pekerjaan. Menurut teori klasik, akumulasi modal serta jumlah tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Adam Smith menyebut ada tiga unsur pokok dalam produksi suatu negara, yaitu : 1. Sumber daya yang tersedia, yaitu tanah. 2. Sumber daya insani, yaitu jumlah penduduk. 3. Stok barang modal yang ada. Sukirno (2000) menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Faktor penting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi disebutkan sebagai beriktut: 1. Tanah dan kekayaan alam lainnya. Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang terdapat di dalamnya. 2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja. Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi. 3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi. Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi. 4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat. Adat istiadat yang tradisional dapat menjadi penghambat pembangunan. Boediono (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebuah proses, bukan merupakan suatu gambaran ekonomi pada suatu periode tertentu, ada perkembangan atau perubahan dan penggunaan waktu. Pertumbuhan ekonomi adalah necessary condition dan bukan sufficient condition dalam meningkatkan kesejahteraan. Dalam jangka panjang diperlukan pertumbuhan yang tidak hanya tinggi tapi juga berkualitas. Pertumbuhan yang berkualitas adalah yang
berkesinambungan (sustainable), artinya tidak rentan terhadap guncangan eksternal, efisien dalam menggunakan sumber daya alam dan terdistribusi secara baik bagi seluruh segmen masyarakat. Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri atas faktor produksi yang dipandang sebagai kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah: 1.
Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya.
2.
Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu: (a) Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya, (b) Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki, (c) Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal.
3.
Organisasi, yang terdiri atas para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah, yang melengkapi
(komplemen) modal, buruh dan
yang membantu
produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan ekonomi. 4.
Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lainnya.
5.
Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan produktivitas. Adapun faktor non ekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian
antara lain: 1.
Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial.
2.
Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya.
3.
Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat. Indikator yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi adalah
tingkat Produk Domestik Bruto (PDB). Alasan yang mendasari pemilihan indikator ini sebagai dasar untuk mengukur pertumbuhan ekonomi adalah: 1.
PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas produksi di dalam perekonomian. Hal ini berarti peningkatan PDB juga mencerminkan peningkatan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi tersebut diukur dari perbedaan PDB perkapita tahun tertentu dengan tahun sebelumnya.
2.
PDB dihitung berdasarkan konsep aliran (flow concept), artinya penghitungan PDB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu periode tertentu. Penghitungan tidak mencakup nilai produk yang dihasilkan pada periode sebelumnya. Batas wilayah penghitungan PDB adalah negara (perekonomian domestik). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah PDB pada tingkat
wilayah. Ada 3 (tiga) pendekatan dalam penghitungan PDRB, yaitu : 1. Pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu
(biasanya
satu
tahun).
Unit-unit
produksi
tersebut
dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor). 2. Pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswataan/enterpreneurship).
3. Pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, pembentukaan modal tetap domestik bruto, ekspor neto. Pertumbuhan PDRB atau biasa disebut pertumbuhan ekonomi dirumuskan sebagai:
y PDRB
PDRBt PDRBt 1 PDRBt 1
………………………(2.1)
Keterangan: y = PDRB = pertumbuhan ekonomi PDRBt = PDRB tahun ke - t PDRBt 1 = PDRB tahun sebelumnya (t-1)
PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
y perkapita
PDRB jumlah penduduk
………………………(2.2)
Pertumbuhan PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
y perkapita
yt yt 1 yt 1
………………………(2.3)
\2.1.1.1 Teori Pertumbuhan Neo-Klasik Teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik dikembangkan oleh Solow (1956). Teori ini secara sederhana menyatakan bahwa faktor produksi modal dan tenaga kerja merupakan dua faktor pokok penentu pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Faktor lain yang merupakan sisa dari pengaruh kedua faktor utama tersebut disebut Total Factor Productivity (TFP). TFP ini sering dinyatakan sebagai ukuran kemajuan teknologi yang tidak bisa diketahui apakah berasal dari faktor modal atau tenaga kerja. Model neo-klasik dari Solow (1956) mengidentifikasi tiga sumber pertumbuhan output yaitu stok modal, angkatan kerja, dan teknologi. Model tersebut mempunyai asumsi-asumsi seperti: perekonomian berada pada kondisi full employment, pasar bersifat perfect competition, perekonomian hanya menghasilkan satu komoditas homogen, biaya transportasi tidak ada, fungsi
produksi regional adalah identik yang memiliki sifat constant return to scale, penawaran kerja tetap, dan tidak ada kemajuan teknologi. Asumsi fungsi produksi identik di semua daerah, mengakibatkan tenaga kerja akan bergerak dari daerah dengan upah rendah ke daerah dengan upah tinggi dan modal bergerak dengan arah berlawanan. Pergerakkan ini akan terus berlangsung sampai faktor return adalah sama di setiap daerah. Asumsi-asumsi (seperti tingkat partisipasi tenaga kerja yang sama dan pendapatan didistribusikan di antara daerah proporsional terhadap penduduk) menyebabkan proses pertumbuhan regional akan berasosiasi dengan konvergensi dalam pendapatan per kapita regional. Kunci bagi model pertumbuhan neo-klasik adalah agregat fungsi produksi (Dornbusch et al., 2004).. Berdasarkan variabel dalam fungsi produksi ini ada dua model pertumbuhan yaitu model pertumbuhan tanpa perkembangan teknologi dan model pertumbuhan dengan perkembangan teknologi. A. Model Neo-Klasik tanpa Perkembangan Produktivitas Model ini mengisyaratkan bahwa faktor penduduk/tenaga kerja serta pertumbuhannya bersifat konstan dan tidak berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas dalam kegiatan produksi. Tambahan kapital hanya dapat digunakan untuk membekali tambahan tenaga kerja dan menutup penyusutan mesin-mesin lama. Perubahan kapital sepanjang waktu yang berasal dari investasi yang terhimpun, bersumber dari tingkat tabungan domestik yang besarnya proporsional terhadap produksi atau pendapatan nasional. Kondisi keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium) ditemukan dalam kondisi yang stabil (steady state condition) dengan persamaan sebagai berikut : k = s.f(k)-(+n)k .............................................................................(2.4) keterangan: k
= perubahan tingkat modal atau kapital
s
= koefisien kecenderungan tingkat tabungan dimestik
f(k)
= fungsi dari produksi atau pendapatan nasional
= penyusutan modal
n
= tingkat pertumbuhan penduduk/tenaga kerja
k
= modal perkapita.
(n+)k
s f(k) s.f(k)
k Sumber: Mankiw et al, 1992
Gambar 6 Kondisi Steady State Model Pertumbuhan Neo Klasik tanpa Perkembangan Produktivitas. Dari persamaan (2.1) dan gambar 6, dapat dilihat bahwa bila tingkat kecenderungan menabung s meningkat, maka fungsi tabungan s.f(k) akan bergeser ke atas mendekati fungsi produksi f(k), yang berarti kondisi stedy state tingkat kapital perkapita k* dan pendapatan per kapita akan lebih tinggi. Sebaliknya jika pertumbuhan penduduk/tenaga kerja (n) meningkat, akan menggeser garis (n+)k ke atas, sehingga kondisi steady state tingkat kapital per kapita k* dan pendapatan per kapita menjadi menurun.
B. Model Neo-Klasik dengan Perkembangan Produktivitas Model ini pada dasarnya sama dengan model neo-klasik tanpa perkembangan produktivitas. Perbedaannya terletak pada penambahan variabel produktivitas akibat kemajuan teknologi yang bisa melekat pada faktor tenaga kerja, modal atau netral tanpa diketahui melekat pada faktor yang mana. Adapun model neo-klasik dengan perkembangan produktivitas adalah: k=s.f(k) – (+n+g)k ......................................................................................
(2.5)
dimana g merupakan produktivitas tenaga kerja dengan pertumbuhan konstan, dan variabel-vaiabel lain sama dengan keterangan sebelumnya. Dampak adanya variabel produktivitas ditunjukkan oleh fungsi produksi agregat yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Secara diagramatis model pertumbuhan neo klasik dengan pertumbuhan produktivitas dapat dilihat pada gambar dibawah berikut ini.
s (n++g)k f(k) s.f(k)
k k1
k*
k2
Sumber: Mankiw et al, 1992
Gambar 7 Kondisi Steady State Model Pertumbuhan Neo-Klasik dengan Perkembangan Produktivitas. Pada gambar 7, jika tingkat kapital per kapita berada pada k 1 (lebih kecil dari k*), maka tingkat investasi akan terus meningkat hingga tingkat kapital per kapita k*. Sebaliknya jika tingkat kapital per kapita berada pada k 2 (lebih besar dari k*), maka tingkat investasi akan terus menurun hingga tingkat kapital per kapita k*. Fungsi produksi f(k) akan naik tetapi dalam jangka panjang tetap sama selama tidak ada perubahan dalam produktivitas. Hal ini mengisyaratkan bahwa tingkat tabungan tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang selama produktivitas tidak berubah. Asumsi deminishing marginal return dimana f‟(k) semakin kecil untuk k yang semakin besar, maka pertumbuhan pendapatan per kapita akan semakin kecil untuk negara yang semakin kaya atau maju. Dengan kata lain dalam jangka panjang akan terjadi konvergensi. Konsep inilah yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi pangkal perdebatan dari berbagai ahli ekonomi untuk mengkaji
ulang teori
pertumbuhan ekonomi
model
neo-klasik. Model
pertumbuhan ekonomi yang muncul setelah era neo-klasik ini biasa disebut dengan model pertumbuhan endogen.
2.1.1.2 Teori Pertumbuhan Endogen Model pertumbuhan neo-klasik berargumen bahwa pertumbuhan output perkapita didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan
teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasi dalam model Solow, sehingga hal yang mendasari pertumbuhan tidak terjelaskan. Teori pertumbuhan endogen berusaha memperbaiki kegagalan model Solow ini dengan memberi penjelasan tentang penyebab-penyebab perkembangan teknologi (Mankiw et al., 1992.) Dinamakan teori pertumbuhan endogen karena adanya argumen bahwa tingkat perkembangan teknologi ditentukan oleh proses pertumbuhan itu sendiri. Perkembangan teknologi dapat menyebar lintas wilayah sehingga perekonomian kecil dapat mengambil manfaat dari perkembangan teknologi tanpa harus bergantung pada penciptaan teknologi di perekonomian mereka sendiri. Difusi teknologi cenderung terjadi secara cepat di tingkat lintas negara yang didorong oleh perkembangan perusahaan multinasional dan sistem komunikasi. Model
pengejaran
(catch-up)
dari
teori
pertumbuhan
endogen
mengargumenkan bahwa perkembangan teknologi di daerah akan tergantung pada seberapa jauh tingkat teknologi daerah itu tertinggal dari daerah yang paling maju. Fungsi transfer teknologi dari model ini menyatakan bahwa semakin jauh tingkat teknologi suatu daerah tertinggal dari daerah yang paling maju, maka akan semakin cepat perkembangan teknologinya. Alasan ekonomi dari argumen ini adalah sederhana. Daerah yang memiliki ketertinggalan teknologi jauh, dapat melakukan transfer teknologi secara murah sehingga akan memilki tingkat perkembangan teknologi yang cepat. Bahkan beberapa transfer teknologi jauh lebih murah dari jenis transfer lainnya (seperti imitasi teknologi misalnya). Daerah yang memiliki tingkat teknologi tinggi, hanya dapat memperbaiki pengetahuan teknologinya dengan melakukan investasi pada penciptaan ide-ide baru; sesuatu yang jauh lebih mahal dari sekedar transfer atau imitasi teknologi (Capello, 2007). Model pengejaran dari teori pertumbuhan endogen sampai pada hipotesis konvergensi; daerah dengan tingkat teknologi rendah akan mengambil manfaat terbesar dalam transfer teknologi sehingga akan mengalami pertumbuhan output perkapita paling cepat.
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer (1986). Dalam mengembangkan teorinya, Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat, sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Dalam model Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu : 1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja. 3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: Yi = output produksi perusahaan i Ki = stok modal Li = tenaga kerja
K = stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat, dengan asumsi bahwa K mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas (1988) melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa eksternalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut:
keterangan: Y
= output produksi
A
= konstanta
K
= stok modal
L
= tenaga kerja
U
= waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi
H
= kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
2.1.2 Kemiskinan Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki
keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat
diartikan sebagai ketidakberdayaan
sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Dalam arti sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multidimensional. Sen (1995) menyatakan bahwa kemiskinan jangan dianggap hanya sebagai pendapatan rendah (low income), tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap). Definisi yang lebih luas lagi dan menyangkut banyak aspek dikemukakan United Nations Centre for Human Settlements (1996): “Poverty is more than low or adequate income. It refers to lack of physical necessities, assets and income. A loss of assets is often what precipitates poverty. Assets include tangible assets (savings, stores, resources) and intangible assets (for instance claims that can be made for help or resources when in need).” Berdasarkan definisi yang diberikan United Nations Centre tersebut, kemiskinan tidak hanya diukur dari kekurangan atau ketidakcukupan income yang diperoleh tetapi juga termasuk kehilangan aset. Orang yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan apabila sakit atau kena musibah termasuk miskin. Bahkan ketidakmampuan untuk melakukan saving menurut definisi tersebut sudah termasuk dalam kategori miskin. Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas,
1993)
menjelaskan kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Pendapat lain dikemukakan oleh Ala (1996) yang menyatakan kemiskinan adalah adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai tersebut secara layak. Chambers (1995), mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan (poverty), (2)
ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk (Chambers, 1995), yaitu: 1. Kemiskinan absolut yaitu bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. 2. kemiskinan relatif yaitu kondisi
miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. 3. Kemiskinan kultural yang mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. 4. Kemiskinan struktural yaitu situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan. Beberapa kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh instansi lainnya, antara lain: BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World Bank dan UNDP berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera (pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I). Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan itu adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1.00 per hari, di negara kategori pendapatan rendah. Sementara itu di negara maju batas miskin USD 14.00 per hari, dan negara pendapatan sedang USD 2.00 per hari. United Nations Development Programme (UNDP, 2000) meninjau kemiskinan dari dua sisi, yaitu dari sisi pendapatan dan dari kualitas manusia.
Dilihat dari sisi pendapatan, kemiskinan ekstrim (extreme poverty) atau kemiskinan absolut adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi kualitas manusia, kemiskinan secara umum (overall poverty) atau sering disebut kemiskinan relatif adalah kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan non pangan, seperti pakaian, energi, dan rumah. Dibandingkan dengan kriteria kemiskinan Bank Dunia, maka pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif. Pendekatan UNDP tidak hanya mencakup aspek ekonomi (pendapatan), tetapi juga pendidikan (angka melek huruf) dan kesehatan (angka harapan hidup). Menurut Salim (1980), ciri-ciri penduduk miskin yaitu: (1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, (2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), (4) kebanyakan berada di perdesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan (5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kilo kalori per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan (BPS, 2007). Penghitungan garis kemiskinan dibedakan antara perkotaan dan perdesaan. Besarnya garis kemiskinan pada tahun 2009 untuk daerah perkotaan adalah Rp 222.123 dan untuk daerah perdesaan sebesar Rp 179.835. Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum (yang berada di bawah garis kemiskinan) dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Masyarakat Indonesia banyak yang tergolong rentan, dalam artian ketika ada shock, seperti naiknya harga BBM yang akan membuat harga barang-barang juga akan meningkat, maka banyak masyarakat miskin yang tadinya tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan bergeser posisinya menjadi miskin. Adapun penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2003) adalah sebagai berikut : 1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. 2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah, dan upahnya pun rendah. 3. Kemiskinan muncul karena perbedaan akses dan modal Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan. Program pengentasan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak Pelita III. Berbagai program sektoral yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan mewarnai program pembangunan di Indonesia. Program khusus pengurangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak 1988 dengan adanya program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT). Dalam program ini pemerintah memberikan bibit pertanian dan peternakan kepada rakyat miskin di perdesaan. Pada tahun 1993, PKT berkembang dari sekedar pemenuhan kebutuhan akan bibit menjadi pemenuhan kebutuhan akan prasarana dan sarana dasar, seperti jalan, jembatan, saluran irigasi dan sebagainya, terutama bagi daerah tertinggal. Di era otonomi daerah, pemerintah mempunyai komitmen untuk mempercepat pemecahan masalah kemiskinan dengan membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2001. Pada tahun 2005, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang beranggotakan
lintas departemen dan diketuai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. TKPK dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan sinkronisasi berbagai program kemiskinan di setiap departemen agar program pengentasan kemiskinan dapat berjalan lebih terarah, bersinergi satu sama lain dan tidak tumpang tindih. Salah satu program dari TKPK adalah program berbasis pemberdayaan masyarakat melalui PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) mandiri. PNPM ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sumber pendanaan urusan bersama tersebut berasal dari APBN dan APBD. Dana yang berasal dari APBN untuk urusan bersama tersebut dinamakan Dana Urusan Bersama, sedangkan dana yang berasal dari APBD disebut Dana Daerah Urusan Bersama. Pengalokasian dana bersama dilakukan secara proporsional, yang didasarkan pada indeks fiskal dan kemiskinan. Selain itu indikator teknis juga menentukan besaran alokasi Dana Urusan Bersama.
2.1.3 Infrastruktur Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau strukturstruktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000). Ada enam kategori besar infrastruktur menurut Grigg, yaitu : 1) Kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan); 2) Kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara); 3) Kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air); 4) Kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat); 5) Kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar; 6) Kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas) Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol (Akatsuka dan Yoshida, 1999). World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang
aktivitas
ekonomi,
meliputi
public
utilities
(listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Kodoatie, 2002). Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrastruktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah.
A. Infrastruktur Jalan Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh pusat kegiatan, baik kegiatan ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik maupun pertahanan keamanan dihubungkan oleh jaringan jalan. Dalam kerangka tersebut jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan saperti pemerataan hasil-hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, jalan juga berperan dalam pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan.
Berdasarkan statusnya jalan dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Berdasarkan kewenangannya, jalan nasional termasuk jalan tol yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sementara jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa merupakan kewenangan pemerintah daerah (Tabel 1). Tabel 1 Pembagian Jalan Berdasarkan Kewenangan Kategori
Wilayah atau Daerah yang dihubungkan
Jalan Nasional
Antar ibukota provinsi Antar jalan strategis nasional Antar jalan tol Ibukota provinsi dengan jalan strategis nasional Antar jalan strategis nasional dengan jalan tol
Jalan Provinsi
Antar ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota Antar ibukota kabupaten/kota Dan jalan strategis provinsi
Jalan Kabupaten
Antar ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan Antar ibukota kecamatan Antar ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal Antar pusat kegiatan lokal
Jalan Kota
Pusat pelayanan dalam kota Pusat pelayanan dengan persil Antar persil Antar pusat pemukiman dalam kota
Jalan Desa
Antar kawasan, dan/atau Antar pemukiman di dalam desa
Undang-undang No.38 tahun 2004 tentang Jalan Sumber : Departemen Pekerjaan Umum
B. Infrastruktur Listrik Energi listrik diketahui sebagai energi yang paling mudah dipergunakan, efisisen, untuk berbagai keperluan, industri, proses produksi, perkantoran, pendidikan, perumahan dan kegiatan kegiatan lain yang berhubungan dengan keperluan hajat hidup manusia. Listrik merupakan salah satu input yang menunjang peningkatan output barang dan jasa, disamping input barang dan jasa lainnya. Infrastruktur kelistrikan terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktifitas sektor produksi.
Perkembangan negara agraris menjadi negara industri memerlukan prasarana listrik. Tanpa ketersediaan infrastruktur listrik dengan jumlah cukup dan kualitas yang baik, investor akan ragu untuk menanamkan modalnya karena kontinuitas industri tidak terjamin dan akan menyebabkan biaya suatu komoditas tinggi. Keterlambatan pengembangan energi listrik akan berakibat fatal meliputi kehilangan kapasitas produksi industri, penurunan nilai ekspor dan keengganan investor melakukan investasi. Lee dan Anas (1992) menyimpulkan bahwa kehilangan kapasitas listrik menjadi hambatan besar pada perkembangan perusahaan-perusahaan di Nigeria.
C. Infrastruktur Air Bersih Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Keterbatasan air bersih merupakan suatu tantangan bagi manusia. Seiring dengan pertumbuhan pembangunan di segala bidang (antara lain pemukiman, kegiatan industri, kegiatan perdagangan dan lain-lain) kebutuhan akan air untuk berbagai sektor diperkirakan akan meningkat, oleh karena itu pengadaan sarana pemenuhan kebutuhan air seperti halnya kebutuhan air bersih akan sangat diperlukan. Akses terhadap air bersih
merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Sistem air bersih yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, dan vital bagi kesehatan manusia. Kelangkaan akan air bersih disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya semakin besar pengguna air bersih dan semakin menipisnya sumber dari air bersih tersebut. Di sisi lain, rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengakses air bersih disebabkan ketidakmampuan mereka dalam membiayai penyediaan sarana dan prasarana air bersih. D. Infrastruktur Kesehatan Kesehatan sangat penting dalam membangun manusia yang berkualitas. Dalam hal ini fasilitas kesehatan mempunyai peran yang cukup penting. Fasilitas kesehatan saat ini tidak hanya berfungsi untuk memberikan layanan kesehatan, akan tetapi berperan pula untuk memberikan perbaikan gizi keluarga. Semakin tinggi jumlah penduduk yang tidak mendapatkan fasilitas akses kesehatan, maka
akan semakin tinggi resiko penularan penyakit ataupun gizi buruk, yang selanjutnya kualitas kesehatan masyarakat akan menurun. Kesehatan masyarakat menjadi salah satu faktor penting di dalam membangun sebuah sistem produksi dengan penggunaan teknologi secara efektif. Peningkatan
modal
manusia,
peningkatan
produktifitas,
kemampuan
mengadaptasi dan menggunakan teknologi dalam produksi dan kemampuan mengadaptasi perubahan kapasitas dan teknologi tersebut pada akhirnya akan mendorong perekonomian suatu negara serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tentu saja hal ini terkait dengan infrastruktur yang tersedia. Infrastruktur kesehatan yang memadai dan terjangkau masyarakat akan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat lebih baik, sehingga human capital juga akan lebih berkualitas.
2.1.4 Tenaga Kerja, Pengangguran, dan Rata-Rata Lama Sekolah Menurut BPS penduduk berumur 15 tahun ke atas terbagi sebagai angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 (satu) jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses produksi untuk menghasilkan barang maupun jasa di samping faktor produksi modal, teknologi, dan sumber daya alam. Tenaga kerja yang tersedia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah penduduk dan pendidikan. Sejak tahun 2001, konsep pengangguran menurut Sakernas berubah menjadi angkatan kerja yang tidak bekerja/tidak mempunyai pekerjaan, yang mencakup angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena mungkin merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan/putus asa (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja) dan yang punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja).. Untuk mengetahui tingkat pengangguran, dilakukan Survei Angkatan
Kerja
Nasional
(Sakernas).
Sakernas
merumuskan
konsep
pengangguran sebelum tahun 2001 sebagai angkatan kerja yang tidak
bekerja/tidak mempunyai pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, maka pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah- masalah sosial lainnya. Rata-rata lama sekolah yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti.
Untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah, pemerintah telah
mencanangkan program wajib belajar 9 tahun atau pendidikan dasar hingga tingkat SLTP. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk dapat dilihat dari indikator rata-rata lama sekolah (mean years of schooling). Rata-rata lama sekolah mencerminkan taraf kemampuan usia sekolah yang mampu dicapai masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani.
2.1.5 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Menurut Khusaini (2006), desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan pergantian UndangUndang sebagai reaksi atas hasil dari proses pembangunan daerah yang telah berlangsung selama Orde Baru dimana UU No. 5 tahun 1974 menghasilkan mekanisme
pemerintahan
yang
sentralistik,
kekuasaan
yang
terpusat,
implementasi kebijakan yang tumpang tindih sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, diganti dengan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang selanjutnya
direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang desentralisasi dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal bisa meningkatkan fungsi sektor publik, melalui potensi alokasi sumber daya yang lebih efektif dan efisien di sektor publik. Oates (2006) berpendapat bahwa dengan desentralisasi, pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial yang merespon perbedaan-perbedaan regional dan lokal mungkin akan lebih efektif dalam mempertinggi pembangunan ekonomi dari pada kebijakan-kebijakan sentral yang bisa jadi mengabaikan perbedaan-perbedaan antar daerah tersebut. Argumen ini dapat dibenarkan sebab pemerintah kota/kabupaten mengetahui daerahnya lebih baik daripada yang diketahui oleh pemerintah pusat. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah dipercaya bisa mengalokasikan dana kepada masing-masing sektor dalam ekonomi secara lebih efektif dan efisien daripada pemerintah pusat. Efektivitas dan efisiensi dampak bagi pembangunan tersebut tidak hanya karena masalah preferensi yang sesuai dengan keinginan penduduk lokal.
2.2.
Tinjauan Teoritis
2.2.1 Infrastruktur dan Pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh akumulasi modal (tanah, peralatan, prasarana dan sarana (infrastruktur), sumber daya manusia (human resources) baik jumlah maupun tingkat kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri serta budaya kerja (Todaro et al, 2003). Berdasarkan penelitian Stephane Straub et al (2008), investasi infrastruktur telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Ketersediaan infrastruktur mempunyai peran yang erat dalam perekonomian dalam beberapa hal. Pertama, infrastruktur yang memadai akan mendorong investor untuk menanamkan modalnya mengingat ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu pertimbangan utama dalam keputusan berinvestasi. Kedua, kepastian ketersediaan infrastruktur akan menjamin kelangsungan produksi dan juga akan memastikan distribusi
mobilitas barang dan jasa secara baik. Hal tersebut pada akhirnya akan mendukung upaya perekonomian untuk menjadi lebih berdaya saing tinggi. Queiroz and Gautam (1992) menunjukkan adanya hubungan yang konsisten dan signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara berpenghasilan lebih dari US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 10.110 km/1 juta penduduk, sedangkan negara berpenghasilan US$ 545 - US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 1.660 km/1 juta penduduk dan negara berpenghasilan kurang dari US$ 545/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 170 km/1 juta penduduk. Jika data tersebut dibandingkan, negara yang berpenghasilan tinggi mempunyai panjang jalan 59 kali lipat dibandingkan dengan negara berpenghasilan rendah. Namun, hasil studi dari Oosterhaven and Elhorst (2003) tentang manfaat ekonomi secara tidak langsung dari investasi pada infrastruktur transportasi dengan pendekatan model ekonomi regional dan makro ekonomi menyatakan bahwa peningkatan kualitas infrastruktur transportasi akan menyebabkan penurunan biaya
transport
dan penghematan waktu dalam
perjalanan.
Penghematan tersebut secara langsung akan memengaruhi permintaan terhadap produk lokal berupa input antara, tingkat konsumsi dan permintaan atas investasi. Secara sektoral atau menurut produk, penghematan tersebut bisa memberi dampak positif atau negatif dan dampak tersebut bisa meningkat karena economies of scale pada perusahaan lokal. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur otomatis bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Dengan demikian, peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan cenderung menjadi positif, namun jika yang terjadi adalah peningkatan impor maka dampaknya terhadap pertumbuhan menjadi negatif. Terkait dengan infrastruktur listrik, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM- FEUI) tahun 2003 pernah meneliti hal tersebut. Hasil simulasi menunjukkan, tanpa perbaikan apa-
apa dalam peningkatan daya terpasang listrik, rata-rata pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya akan mencapai 4,4 persen sampai tahun 2005. Bila pemerintah meningkatkan pertumbuhan daya terpasang listrik 15 persen, maka pertumbuhan ekspor akan dapat meningkat dari rata-rata 7 persen menjadi 8,8 persen dan pertumbuhan ekonomi akan dapat mencapai rata- rata 4,6 persen. Jika peningkatan daya terpasang listrik dinaikkan sampai 30 persen, rata- rata pertumbuhan ekonomi dapat didorong sampai 4,8 persen sepanjang tahun 20032005. Industrialisasi yang meluas membutuhkan investasi yang besar untuk menjaga tingkat penyediaan air dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan air bersih secara kontinyu terus meningkat dari tahun ke tahun. Infrastruktur air bersih merupakan salah satu bagian penting dalam infrastruktur dasar yang dapat memberi pengaruh bagi pertumbuhan output (Bulohlabna, 2008). Air tidak hanya diperlukan sebagai bahan kebutuhan pokok untuk kehidupan tetapi juga dipergunakan sebagai komoditi ekonomi (Kodoatie, 2002). Sumberdaya air dapat didayagunakan dan bernilai ekonomis untuk menunjang kegiatan usaha.
Infrastruktur sosial yang dalam penelitian ini diwakili oleh keberadaan puskesmas, memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa puskesmas dapat meningkatkan kualitas manusia lewat perannya dalam konteks kesehatan. Lucas (1988) menyebutkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. 2.2.2 Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ada banyak teori pertumbuhan yang menyertakan faktor tenaga kerja di dalamnya. Selain kapital, tenaga kerja juga berperan penting dalam proses produksi. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan, maka mengindikasikan produksi yang dihasilkan oleh suatu negara juga meningkat. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan jumlah output barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, sehingga ketika produksi suatu negara meningkat maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Sitompul (2007) di Sumatera Utara dalam penelitiannya menyatakan
bahwa tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Pengaruh signifikan dari tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan posisi tenaga kerja sebagai salah satu factor produksi yang menggerakkan perekonomian di daerah.
2.2.3 Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Secara teori, pendelegasian fiskal kepada pemerintah yang berada di level bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah memiliki kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibandingkan dengan pemerintah pusat, sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang benar-benar dibutuhkan di daerahnya. Respon yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap tuntutan masyarakat jauh lebih cepat karena mereka berhadapan langsung dengan penduduk daerah yang bersangkutan. Sebenarnya landasan teoritis yang menyokong mengenai peranan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi sampai saat ini terus dikembangkan. Adanya argumentasi yang menyatakan efek desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi juga masih banyak dipertanyakan karena terdapat banyak literatur empirik yang memberikan hasil yang berbeda di dalam peneliatiannya (Vazquez dan McNab, 2001). Zhang dan Zou (1998) meneliti tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat provinsi di Cina dan menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif ini dianggap bahwa memang lebih baik masalah kebijakan fiskal bangsa dengan eksternalitas yang luas ditangani langsung oleh pemerintah pusat. Penelitian lain menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah sub nasional/ pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik (Oates, 1993). Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi
daripada kebijakan pemerintah pusat. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. World Bank (1997) menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan mempunyai kemungkinan kondisi sebagai berikut: 1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan. 2. Desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilitas makro ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan. 3. Desentralisasi fiskal untuk suatu daerah bisa berdampak positif ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal tersebut tergantung kesiapan kelembagaan daerah tersebut dalam menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal. Martinez Vasquez dan McNab (2001) dalam penelitiannya tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi belum tentu mempunyai dampak secara langsung. Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran atau pembelanjaan publik. Brodjonegoro dan Dartanto (2003) mengestimasi dampak desentralisasi fiskal di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar daerah. Hasil analisis diperoleh bahwa setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
2.2.4
Infrastruktur dan Kemiskinan Dampak infrastruktur terhadap kemiskinan tidak dapat dilihat secara
langsung. Infrsatruktur berpengaruh terhadap pertumbuhan, oleh karena itu diharapkan dengan infrastruktur yang memadai akan tercipta pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga program pengentasan kemiskinan akan berjalan dengan baik. Listrik secara positif mempengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui
transmisi tidak langsung (pertumbuhan ekonomi) dan transmisi langsung (produktivitas dan upah) di Philipina (Balisacan, et al, 2002) dan Bangladesh (Songco, 2002). Infrastruktur jalan sangat berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan barang yang menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang berbeda. Dercon dan Krishnan (1998) melakukan penelitian pada rumahtangga di Ethiopia tahun 1989, 1994 dan 1995 untuk melihat perubahan pada tingkat kemiskinan dan menemukan faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut. Pendekomposisian perubahan pada kemiskinan terhadap subkelompok populasi mereka lakukan dan ditemukan bahwa rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Investasi pada jalan dapat mengurangi kemiskinan dari beberapa jalur, salah satu yang terpenting adalah peranannya pada aktivitas non-farm di desa. Penelitian yang dilakukan Khandker menemukan bahwa investasi pemerintah di jalan memiliki efek positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani. Semuanya itu menguntungkan penduduk miskin (Khandker, 1989). kemudian Malmberg et al. (1997) menemukan bahwa infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Infrastruktur jalan menyebabkan produksi hasil pertanian bernilai tinggi, dan meningkatkan kesempatan kerja bukan pertanian. Pada sisi dampak sosial pembangunan jalan ini adalah meningkatkan akses kepada pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kehadiran anak didik di sekolah. Fan dan Kang (2004) meneliti dampak pembangunan jalan terhadap pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di China. Penemuan terpenting dari studi ini adalah jalan dengan kualitas rendah (kebanyakan di perdesaan) memiliki rasio biaya-manfaat terhadap GDP nasional yang lebih besar dibandingkan dengan jalan kualitas bagus. Jika melihat pada GDP sektor pertanian, jalan berkualitas bagus tidak berpengaruh signifikan sementara jalan dengan kualitas rendah berpengaruh signifikan, dan setiap 1 yuan investasi akan menciptakan 1,57 yuan
GDP sektor pertanian. Dalam bentuk pengurangan kemiskinan, investasi pada jalan dengan kualitas buruk lebih besar dampaknya pada jalan dengan kualitas yang bagus. Kwon (2001) meneliti peran infrastruktur jalan desa dalam pengurangan kemiskinan di Indonesia. Menurutnya penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas. Keterbatasan ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keuntungan dari berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kemudian bagi pertanian, hal ini akan meningkatkan biaya produksi dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka. Transportasi pedesaan yang lebih baik menyebabkan petani mampu meningkatkan kegiatannya (dengan biaya input yang lebih rendah. Lebih jauh lagi, dengan menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat ekonomi dapat menjadikan akses pada pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah bagi penduduk pedesaan tersebut. Ada dua cara bagaimana infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan, yaitu dengan dampak langsung (its own effect), dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel lainnya (the through-effect). Dampak langsung dari infrastruktur jalan ini adalah tambahan dari lapangan pekerjaan ketika pembangunan jalan ini berlangsung, meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen, pencari kerja dengan yang mempekerjakan. Singkatnya, jalan dapat menyebabkan pasar input dan pasar barang bekerja lebih baik, yang secara tidak langsung mengurangi kemiskinan (Kwon, 2001). Listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non-farm di perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar 0,42 (Fan et al, 2002). Listrik memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan kemiskinan. Setiap 10.000 Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang. Di Indonesia, listrik merefleksikan akses terhadap teknologi, yang berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin (Balisacan et al, 2002).
Namun di Indonesia, dalam laporan evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga yang memilih untuk tidak menggunakan jaringan listrik yang tersedia. Hal ini pastinya disebabkan dari tingkat kemiskinan yang ekstrim dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan kredit sehingga penduduk miskin tersebut tidak dapat memanfaatkan faedah dari listrik di perdesaan (Ali dan Pernia, 2003).
2.2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan pada dasarnya bersifat dua arah. Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan menyebabkan peningkatan permintaan akan tenaga kerja dan peningkatan upah, dan dengan demikian mengurangi kemiskinan. Pendapatan yang lebih baik meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan juga memperbaiki pendapatan publik dan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk prasarana fisik dan sosial, sehingga membantu mengurangi kemiskinan. Ramainya perdebatan mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dipicu dari tulisan Dollar dan Kraay (2000). Dalam studinya, dua ekonom Bank Dunia ini menyimpulkan bahwa tanpa diduga, pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh besar dalam perang melawan kemiskinan global. Sejak 40 tahun terakhir, ternyata pertumbuhan ekonomi global berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan kelompok miskin. Balisacan et al. (2002) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki catatan yang mengesankan mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan selama dua dekade. Pertumbuhan dan kemiskinan menunjukkan hubungan kuat. Panel data yang dibangun dari 285 kota/kabupaten menyatakan perbedaan yang besar pada perubahan dalam kemiskinan. Hasil analisis ekonometrika menunjukkan bahwa selain pertumbuhan ekonomi, ada faktor lain yang juga secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Diantaranya adalah infrastruktur, sumber daya manusia, insentif harga pertanian, dan akses terhadap teknologi. Studi tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia juga dilakukan oleh Suryahadi et al. (2006). Studi ini menekankan pada
dampak lokasi dan komponen sektoral dari pertumbuhan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan diperdalam dengan membedakan pertumbuhan dan kemiskinan ke dalam komposisi sektoral dan lokasi. Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di perdesaan menurunkan kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Fakta menarik yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World Development Report 2003, telah memicu debat menjadi kian ekstensif. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa di berbagai belahan dunia, sejumlah negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten dalam satu-dua dekade. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mereduksi kemiskinan. Disebutkan bahwa sedikitnya 3 (tiga) milyar penduduk bumi masih berada dalam kemiskinan (hanya memperoleh pendapatan kurang dari US$ 2 per hari).
2.2.6 Pengangguran dan Kemiskinan Secara teoritis, tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat pengangguran. Dalam hal ini ketika tingkat pengangguran mengalami kenaikan maka secara otomatis tingkat kemiskinan akan meningkat. Hubungan yang positif antara kemiskinan dan pengangguran tersebut ditemukan di beberapa negara. Di Korea, misalnya, Park (2002) menemukan hubungan yang sangat kuat antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Ketika tingkat pengangguran naik, maka tingkat kemiskinan juga naik dan ketika tingkat pengangguran menurun maka tingkat kemiskinan juga ikut turun. Son dan Kakwani (2006) dengan memodifikasi pengukuran tingkat pengangguran konvensional di Brazil, yang didasarkan pada mereka yang bukan hanya menganggur tetapi juga mereka yang tingkat pendapatannya di bawah upah minimum yang ditentukan pemerintah. menemukan bahwa korelasi antara tingkat pengangguran dan kemiskinan adalah signifikan. Sementara itu berdasarkan ukuran pengangguran konvensional yang diukur hanya berdasarkan penduduk angkatan kerja yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan, ternyata hubungan antara pengangguran dan kemiskinan terlihat tidak signifikan.
Arsyad (1997) menyatakan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau hanya part-time selalu berada diantara kelompok masyarakat yang sangat miskin. Masyarakat yang bekerja dengan bayaran tetap di sektor pemerintah dan swasta biasanya termasuk diantara kelompok masyarakat kelas menengah keatas. Namun demikan, adalah salah jika beranggapan bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin, sedang yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Hal ini karena kadangkala ada pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. Sebagian rumah tangga di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini (Octaviani, 2001). Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah (terutama kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sedikit berada di atas garis kemiskinan), maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin. Yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat penganguran maka akanmeningkatkan kemiskinan.
2.2.7 Rata-Rata Lama Sekolah dan Kemiskinan Rata-rata lama sekolah berkaitan erat dengan kemiskinan. Orang yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik pula, karena orang yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih baik untuk mendapatakan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Dengan demikian orang yang memiliki tingkat pendidikan yang baik memiliki peluang yang lebih kecil untuk menjadi miskin dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Latifa et al (2008) menyatakan bahwa rata-rata lama sekolah anggota rumahtangga di Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara berkorelasi negatif dengan
kemiskinan rumahtangga. Penelitian tersebut menggunakan sampel sebesar 400 rumahtangga di masing-masing provinsi penelitian. Sementara itu Woldehanna (2003) melakukan penelitian pada rumahtangga di perdesaan Ethiopia, yang hasilnya bahwa peningkatan jumlah tahun dalam sekolah memberikan efek kesejahteraan rumahtangga sebesar 8,5 persen dan membantu rumahtangga petani keluar dari jerat kemiskinan. Pendidikan yang lebih tinggi memberikan kemampuan untuk menyerap teknologi baru yang lebih canggih dan juga memungkinkan petani untuk masuk ke dalam kegiatan pertanian yang lebih menguntungkan. Datt and Jolliffe (1999) menyimpulkan bahwa meningkatnya rata-rata lama sekolah seperti meningkatnya tingkat pendidikan orang tua mempunyai pengaruh besar pada meningkatnya rata-rata standar hidup dan menurunnya kemiskinan di Mesir.
2.3 Kerangka Pemikiran Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh oleh suatu negara. Desentralisasi fiskal telah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah. Kondisi ini memberikan fenomena baru terhadap besaran APBD di masing-masing daerah. Secara garis besar, struktur APBD terdiri atas pendapatan daerah (sisi penerimaan) dan belanja daerah (sisi pengeluaran). Belanja daerah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu belanja tidak langsung seperti belanja pegawai dan belanja tidak langsung seperti belanja barang.dan jasa. Belanja barang disini termasuk untuk belanja infrastruktur yang mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengembangan infrastruktur penting untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur ekonomi (dalam penelitian ini adalah listrik, jalan, dan air) berpengaruh secara langsung terhadap proses produksi dan atau distribusi. Infrastruktur jalan yang baik akan mengurangi biaya transportasi dan distribusi barang akan semakin lancar. Listrik dan air akan sangat berpengaruh pada lancarnya proses produksi. Sedangkan infrastruktur kesehatan (dalam penelitian ini adalah puskesmas) tidak berpengaruh langsung terhadap proses produksi. Infrastruktur kesehatan yang baik akan memengaruhi kesehatan manusia,
sehingga produktifitas yang dihasilkan akan lebih baik dan akhirnya akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, infrastruktur di Jawa lebih memadai dibandingkan infrastruktur di Luar Jawa. Kondisi ini menyebabkan perekonomian di Jawa lebih baik dibandingkan Luar Jawa. Mengingat kegiatan-kegiatan ekonomi berpusat di Jawa, maka terdapat upaya peningkatan efisiensi yang lebih baik dibandingkan di luar Jawa. Lebih rendahnya tingkat efisiensi di luar Jawa dibandingkan Jawa juga dikarenakan
lebih
buruknya
infrastruktur
perekonomian
di
luar Jawa.
Ketersediaan infrastruktur tentunya akan berpengaruh terhadap besarnya biayabiaya produksi. Semakin rendah biaya produksi, maka harga barang semakin murah, dengan demikian permintaan akan meningkat dan ekonomi akan tumbuh. PDRB Jawa menyumbang lebih dari 60 persen terhadap pembentukan PDB Indonesia, sedangkan Luar Jawa yang terdiri dari banyak provinsi hanya menyumbang kurang dari 40 persen. Dinamika
spasial
pembangunan
Indonesia
memperlihatkan
ketidakseimbangan antara Jawa dengan Luar Jawa. Kesenjangan pembangunan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa berkaitan erat dengan perbedaan pembangunan sektoral. Tingkat Industrialisasi di Jawa lebih tinggi jika dibandingkan dengan Luar Jawa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan industri lebih terkonsentrasi di Jawa, diantaranya adalah jumlah penduduk Jawa jauh lebih besar dibanding Luar Jawa. Untuk industri yang
memilih pasar sebagai
pertimbangan utama dalam menentukan lokasi, jelas akan memilih Jawa dibanding Luar Jawa. Selain itu peran DKI Jakarta sebagai ibukota Negara dan kemudian adanya Jabodetabek tidak dapat diabaikan, sebab pengusaha akan memilih lokasi industri di DKI Jakarta dan sekitarnya karena pertimbangan perijinan, informasi, dan akses perbankan. Faktor lainnya adalah infrastruktur di Jawa lebih memadai dibandingkan Luar Jawa Erfani (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bila suatu wilayah pangsa sektor primer relatif tinggi maka wilayah tersebut belum berkembang. Namun, apabila sektor sekunder relatif tinggi, dikatakan wilayah tersebut relatif maju. Selanjutnya bila suatu wilayah mempunyai pangsa sektor tersier tertinggi, biasanya dikatakan bahwa wilayah tersebut telah maju dibanding wilayah yang
disebut sebelumnya. Untuk Jawa, sektor primer mengalami penurunan terus menerus dari tahun 1993-1997, dari 18,97 persen pada tahun 1993 menjadi 12,64 persen pada tahun 1997. Ini menunjukkan bahwa peran sektor primer dalam PDRB di Jawa semakin mengecil. Di sisi lain, peran sektor sekunder mengalami kenaikan cukup tajam, dari 35,15 persen pada tahun 1993 menjadi 38,42 persen pada tahun 1997. Walaupun relatif kecil, tetapi pansa sektor tersier di Jawa juga mengalami kenaikan. Dinamika ini mengindikasikan bahwa proses industrialisasi di Jawa terjadi dengan mantap. Dalam halnya wilayah Luar Jawa, pola yang terjadi hampir sama dengan Jawa. Pangsa sektor primer di Luar Jawa pada tahun 1993 masih 44,65 persen dan turun menjadi 39,60 persen pada tahun 1997. Kondisi ini menunjukkan bahwa pangsa sektor primer masih relatif tinggi dan penurunan yang terjadi tidak sebesar penurunan di Jawa. Sektor sekunder dan tersier juga mengalami peningkatan tetapi peran kedua sektor ini relatif tidak sebesar bila dibandingkan di Jawa. Dari deskripsi tersebut, maka dapat dikatakan Jawa lebih maju dibandingkan Luar Jawa. Akibat dari perekonomian di Jawa yang lebih baik yaitu terjadinya migrasi dari Luar Jawa menuju Jawa yang notabene penduduknya sudah sangat padat. Padahal lapangan kerja yang tersedia di Jawa terbatas, sehingga migran yang tidak mendapat pekerjaan ataupun yang tidak dapat hidup layak akan menempati kawasan kumuh (slum area). Kondisi ini akan menambah pengangguran dan kemiskinan di Jawa. Berdasarkan uraian diatas, maka pengembangan infrastruktur di masingmasing wilayah sangatlah penting. Dampak dari endowment kondisi infrastruktur yang lebih baik akan dapat menarik kehadiran perusahaan baru pada suatu wilayah dan akan menjadi sumber pemicu terjadinya persaingan dengan perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu sudah beroperasi di wilayah tersebut. meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Di sisi lain pertumbuhan yang didukung oleh keberadaan infrastruktur yang memadai, idealnya berperan dalam menurunkan kemiskinan. Dengan kata lain mekanisme transmisi untuk menjelaskan peran infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan dapat dijelaskan melalui channel pertumbuhan, yaitu
pengaruh
infrastruktur
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
lalu
pengaruh
pertumbuhan tersebut terhadap kemiskinan. Desentralisasi Fiskal APBD Sisi pengeluaran
Sisi penerimaan
Kapital
Fisik
Human
Langsung (Proses Produksi&Distribusi)
Listrik
Panjang Jalan
Natural
Tidak Langsung
Air Bersih
Puskes mas
Output Pertumbuhan Pendapatan per kapita Pengentasan Kemiskinan Gambar 9 Diagram alur kerangka pemikiran. Keterangan: : variabel yang diteliti
: variabel yang tidak dimasukkan dalam penelitian
Migrasi
2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan dan alur kerangka pemikiran di atas
maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Pengembangan infrastruktur (jalan, listrik, air bersih, dan puskesmas) baik di Jawa maupun Luar Jawa akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun dengan magnitude yang berbeda. 2. Pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena pengembangan infrastruktur akan berpengaruh positif terhadap pengentasan kemiskinan, baik di Jawa maupun Luar Jawa, namun dengan magnitude berbeda.
3. METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Departemen Kesehatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri adalah: 1.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 1993, yang dipublikasikan oleh BPS.
2.
Data kependudukan masing-masing provinsi di Indonesia yang didapatkan dari hasil Sensus Penduduk dan Survei Antar Sensus (SUPAS) yang diambil dari buku Statistik Indonesia BPS.
3.
Data jumlah tenaga kerja, bersumber dari BPS.
4.
Data penduduk miskin masing-masing provinsi di Indonesia, bersumber dari BPS.
5.
Data panjang jalan kondisi baik dan sedang, yang diambil dari publikasi Statistik Perhubungan BPS.
6.
Data energi listrik yang terjual, yang diambil dari PT. PLN.
7.
Data volume air bersih yang disalurkan PDAM, bersumber dari BPS.
8.
Data jumlah puskesmas, bersumber dari Departemen Kesehatan
9.
Data jumlah kendaraan bermotor, yang diambil dari Statistik Perhubungan BPS.
10. Data jumlah rumahtangga, bersumber dari BPS. 11. Data jumlah pengangguran, bersumber dari BPS. 12. Data jumlah rata-rata lama sekolah pekerja, bersumber dari BPS. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel pada level propinsi. Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
Ada beberapa keunggulan dalam penggunaan data panel (Baltagi, 2005), diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu sehingga estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Kendati demikian, ada juga keterbatasan dalam penggunaan data panel, di antaranya adalah: 1. Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Non response : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga). c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.
3.2
Metode Analisis
3.2.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabel dan grafik. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika perkembangan infrastruktur selama periode penelitian. Melalui gambaran umum ini, diharapkan dapat menguatkan analisis ekonometrika yang akan dibahasa selanjutnya, terkait dengan hipotesis yang telah disusun untuk menjawab penelitian ini.
3.2.2 Analisis Parsial Simultan Panel Pada penelitian ini analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi data panel statis. Analisis data panel statis merupakan analisis data panel yang regressor-nya tidak melibatkan variabel lag dependent dalam model. Terdapat beberapa tipe model analisis data panel statis, antara lain: 1. Pooled Estimator, yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. 2. Tipe model data panel lainnya adalah fixed effect model (FEM), yang digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan X it
atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat
komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intecept. yit = αi + x’it β + uit ;
i=1,….,N; t=1…..,T ………………
(3.1)
dimana uit =μi + vit , untuk one way error component dan uit = μi + λt+ vit untuk two way error component.
3.
Random Effect Model (REM), REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Persamaan model random effects dapat ditulis sebagai berikut: ………………….(3.2) Adapun regresi yang digunakan dalam panel statis ini adalah regresi
parsial simultan panel. Alasan pemilihan metode parsial simultan mengacu pada tujuan penelitian yang ingin melihat pengaruh infrastruktur terhadap kemiskinan secara parsial. Ada transmisi mekanisme dalam melihat pengaruh infrastruktur terhadap kemiskinan. Infrastruktur tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengentasan kemiskinan, tetapi infrastruktur berpengaruh terhadap pertumbuhan, dan pertumbuhan tersebut yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Suatu sistem persamaan simultan (simultaneous-equations system) ialah suatu himpunan persamaan dimana variabel tak bebas dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel bebas dalam beberapa persamaan lainnya, yaitu keadaan di mana di dalam sistem persamaan suatu variabel sekaligus mempunyai dua peranan, yaitu sebagai variabel tak bebas dan variabel bebas. Oleh karena itu, pemberian nama variabel bebas dan variabel tak bebas di dalam sistem persamaan simultan sudah tidak tepat lagi. Sehingga untuk selanjutnya dalam persamaan simultan akan ada yang namanya variabel endogen dan variabel yang ditetapkan lebih dulu (predetermined variable). Variabel yang ditetapkan lebih dulu bisa berupa variabel eksogen sekarang, eksogen waktu lampau dan endogen waktu lampau. Variabel endogen ialah variabel tak bebas di dalam sistem persamaan simultan, yang nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan, walaupun variabel-variabel tersebut mungkin juga muncul sebagai variabel bebas di dalam sistem persamaan. Variabel eksogen ialah variabel yang nilainya ditentukan di luar model. Dalam persamaan simultan perlu dilakukan identifikasi model terlebih dahulu sebelum memilih metode untuk menduga parameter pada setiap persamaan. Suatu persamaan dikatakan teridentifikasi kalau koefisiennya dapat diperkirakan. Rumus identifikasi model adalah sebagai berikut:
(K – M) ≥
– 1)
Keterangan : K = total peubah dalam model (peubah endogen dan peubah predeterminan) M = jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukkan ke dalam suatu persamaan tertentu dalam model G = banyaknya persamaan Kriteria identifikasi model dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Jika (K-M)=(G-1), maka persamaan dalam model dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) 2. Jika
(K-M)<(G-1),
maka
persamaan
dalam
model
dikatakan
tidak
teridentifikasi (unidentified) 3. Jika (K-M)>(G-1), maka persamaan dalam model dikatakan teridentifikasi berlebih (overidentified). Model persamaan simultan dengan kondisi setiap persamaannya teridentifikasi berlebih, maka pendugaan parameter dapat menggunakan beberapa metode yang ada seperti two stage least square (2 SLS) atau three stage least square (3 SLS). Namun, penelitian ini menggunakan metode 2 SLS. Analisis parsial simultan dapat diestimasi dengan menggunakan teknik least square estimator. Pada
tahap pertama, persamaan pertama
diestimasi
dengan
menggunakan OLS. Tahap selanjutnya adalah mengestimasi persamaan kedua dengan menggunakan OLS juga, namun dengan mengganti nilai variabel endogen dengan nilai prediksi dari hasil regresi sebelumnya (Verbeek, 2008).
3.2.3 Pemilihan Metode Regresi Data Panel Pemilihan metode yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Proses ini dilakukan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect model. Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H0: E(τi | xit) = 0
atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi | xit) ≠ 0
atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai
dasar penolakan H0
maka digunakan statistik
Hausman
dan
membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM )‟ (MFEM –MREM)-1 (βREM – βFEM ) ~ χ2 (k) ........... (3.3) dimana: M adalah matriks kovarians untuk parameter β k adalah degrees of freedom Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya.
Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan Hausman Test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi yang digunakan dalam model. Uji asumsi yang dilakukan dalam mengestimasi hasil dalam penelitian ini terdiri dari uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. 1. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan) atau semua residual atau error mempunyai varian yang sam. Kondisi demikian disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, dapat dilakukan dengan metode general least square.
2. Uji Autokorelasi Model regresi mengasumsikan tidak terjadi autokorelasi, yaitu korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Autokorelasi yang terjadi dalam model
regresi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Pengujian ada tidaknya autokorelasi dalam model dapat dilakukan dengan menggunakan Wooldridge Test. Metode Wooldrigde menggunakan residual dari model regresi pada first differences. Model regresi terbebas dari masalah autokorelasi jika korelasi residual dari model regresi pada first differences terhadap lag-nya adalah -0,05 (Drukker, 2003).
3.2.4 Uji Beda Koefisien Uji beda antara dua koefisien dilakukan terkait dengan dihasilkannya model regresi untuk Jawa dan Luar Jawa. Selain itu juga untuk memastikan secara statistik mengenai perbedaan antara kedua koefisien yang dihasilkan (koefisien regresi di Jawa dan Luar Jawa). Hipotesis dari uji beda dua koefisien tersebut adalah: H0 : βjawa = βluar jawa = β H1 : βjawa ≠ βluar jawa Statistik Uji yang digunakan untuk menguji beda antara koefisien di Jawa dan Luar Jawa adalah: ^
thit =
^ ^ βjt – βljt
^ ^ se (βjt)2 + se (βljt)2 Keterangan :
nj
nlj
βjt
: Koefisien estimasi variabel di Pulau Jawa pada waktu t
βljt
: Koefisien estimasi variabel di Luar Jawa pada waktu t
se (βjt) : Kesalahan standar koefisien estimasi βjt se (βljt) : Kesalahan standar koefisien estimasi βljt nj
: Jumlah provinsi di Pulau Jawa
nlj
: Jumlah provinsi di Luar Jawa
Kriteria keputusan jika menggunakan taraf nyata α Jika thitung < ttabel maka terima H0 Jika thitung > ttabel maka terima H1
Asumsi bahwa covariance sama dengan nol didasari oleh tidak ada satu provinsi pun yang bisa tercakup di Jawa dan Luar Jawa, artinya setiap provinsi hanya bisa berada di salah satu wilayah saja. Misalnya provinsi DKI Jakarta, hanya ada di Kelompok Jawa, tidak akan mungkin ada di Luar Jawa. Setelah mendapatkan hasil dari uji beda koefisien, maka dikonstruksi suatu model baru yang sedikit berbeda dengan model untuk Jawa ataupun Luar Jawa. Perbedaannya adalah dengan penambahan variabel baru berupa interaksi antara dummy wilayah (Jawa dan Luar Jawa) dengan variabel yang berbeda nyata hasil uji beda dua koefisien. Juanda (2009) menyatakan bahwa jika ada pengaruh interaksi antara variabel, maka perlu ditambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian antara dua peubah bebas yang berinteraksi tersebut.
3.3 Spesifikasi Model Ada dua model dalam penelitian ini, yaitu model Jawa, yang sama bentuknya dengan model Luar Jawa. Model yang kedua adalah model gabungan (Indonesia). Pada bab 3 ini, peneliti hanya mencantumkan model untuk di Jawa dan Luar Jawa. Sedangkan untuk model gabungan tidak dicantumkan karena tidak dapat ditentukan di awal penelitian, tapi tergantung pada hasil uji beda koefisien. Model pada penelitian ini mengacu pada penelitian Laabas dan Limam (2004) yang telah dimodifikasi. LN PDRBit
= α0 + α1 LN_ JLNit + α2 LN_LISTRIKit + α3 LN_ABit + α4 LN_PUSKESMASit + α5 LN_TK it + DD it + ε it…. (3.4)
LN_MISKIN it = γ0 + γ1 LN_ PDRB it + γ2 LN_PENGANGGURAN it + γ3 LN_RATA-RATA SKLH it + μ it …………….… (3.5) Keterangan: I
: Provinsi
T
: Tahun
LN
: Logaritma natural
PDRB
: Agregat output yang dihasilkan oleh suatu provinsi dalam satu tahun (satuan juta rupiah).
α0, γ0
: Unobserved heterogenity
JLN
: Rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap banyaknya kendaraan
LISTRIK
: Rasio antara energi listrik terjual terhadap banyaknya
rumah
tangga
(satuan
GWh/rumahtangga). AB
: Rasio volume air yang disalurkan oleh PDAM terhadap banyaknya
rumahtangga
(satuan
3
m /rumahtangga). PUSKESMAS
:
Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk (unit/orang).
TK
:
Jumlah tenaga kerja (satuan orang).
MISKIN
:
Jumlah penduduk miskin (satuan orang)
PENGANGGURAN
:
Jumlah pengangguran (satuan orang).
RATA-RATA SKLH
:
Rata-rata lama sekolah pekerja (satuan tahun)
DD
:
Dummy desentralisasi
ε,µ
:
Komponen error
3.3
Definisi Operasional Definisi Operasional masing-masing variabel yang digunakan dalam
model dari penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
PDRBit merupakan output yang didekati dengan PDRB atas dasar harga konstan 1993 pada provinsi i dan tahun t (satuan juta rupiah).
2.
JLNit adalah rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap jumlah kendaraan bermotor di provinsi i dan tahun t. Panjang jalan merupakan gabungan jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota yang berada di provinsi tersebut.
3.
LISTRIKit adalah rasio energi listrik terjual terhadap jumlah rumahtangga di provinsi i dan tahun t (satuan GWh/rumahtangga). Energi listrik terjual merupakan total energi listrik yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan di provinsi tersebut.
4.
ABit adalah rasio jumlah air bersih yang disalurkan oleh PDAM terhadap jumlah rumahtangga di provinsi i dan tahun t (satuan m3/rumahtangga).
Jumlah air bersih yang disalurkan merupakan total air bersih yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan. 5.
PUSKESMASit adalah rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk provinsi i dan tahun t (satuan unit/rumahtangga).
6.
TKit merupakan jumlah tenaga kerja di provinsi i dan tahun t (satuan orang).
7.
MISKINit merupakan jumlah penduduk miskin di provinsi i dan tahun t (satuan ribu orang).
8.
PENGANGGURANit merupakan jumlah pengangguran di provinsi i dan tahun t (satuan orang).
9.
RATA-RATA SKLH it merupakan rata-rata lama sekolah pekerja di provinsi i dan tahun t (satuan tahun).
10. DDit merupakan dummy desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan. Variabel dummy akan bernilai 0 untuk waktu sebelum desentralisasi dan bernilai 1 untuk masa setelah desentralisasi.
4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. %
Sumber: BPS (diolah), Tahun 1994-2009
Gambar 9 Pertumbuhan ekonomi di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1994-2009 Pada kurun waktu 1994-2009 rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif. Penurunan aktivitas ekonomi
terjadi pada kurun waktu 1997-1999, dimana pada kurun waktu tersebut Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi baik di Jawa maupun Luar Jawa tercatat di Tahun 1994. Hal ini cukup menarik mengingat pada tahun tersebut belum dilaksanakan desentralisasi fiskal, sehingga kondisi ini memberikan dugaan awal bahwa proses desentralisasi kiranya tidak memberikan pengaruh terhadap membaiknya aktifitas perekonomian. Mengamati kontribusi PDRB per sektor selama periode 2000-2009, ternyata sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap PDRB di Jawa. Hal yang berbeda terjadi di Luar Jawa, dimana sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian yang berkontribusi paling besar terhadap PDRB di Luar Jawa. Sektor industri memberikan kontribusi sekitar 29,93 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 22,66 persen terhadap PDRB Pulau Jawa. Sedangkan sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21,93 persen, dan untuk sektor pertambangan dan penggalian sekitar 20,78 persen terhadap PDRB Luar Jawa.
Sumber: BPS (diolah), Tahun 2000-2009
Gambar 10 Kontribusi PDRB Per Sektor di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2000 – 2009 4.2
Perkembangan Infrastruktur
4.2.1 Infrastruktur Listrik Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan bagi
pemerintah
untuk mendorong terciptanya
kesejahteraan
masyarakat. Keperluan tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang menggunakan listrik. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN.
Sumber: PLN (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 11 Banyaknya Energi Listrik Terjual di Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 Banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa lebih banyak dibandingkan di Luar Jawa. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk, rumahtangga dan industri memang lebih banyak di Pulau Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan PLN, kelompok industri merupakan yang paling banyak mengkonsumsi energi listrik baik di Jawa maupun Luar Jawa. Gambar 12 menunjukkan bahwa banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa melebihi dari dua kalinya energi listrik yang terjual di Luar Jawa. Kondisi ini seharusnya menjadi concern pemerintah mengingat kondisi perekonomian Luar Jawa yang selama ini tidak lebih maju dari Jawa. Dengan demikian, diperlukan upaya pemerintah untuk lebih memperhatikan infrastruktur listrik di Luar Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan, rumahtangga merupakan pelanggan yang mendominasi pembelian listrik PLN. Pada tahun 2009, ada sekitar 92,48
persen pelanggan rumahtangga di seluruh Indonesia.Namun, tidak berarti bahwa rumahtangga pula yang mengkonsumsi energi listrik paling banyak. Justru pelanggan industri yang jumlahnya sangat sedikit tapi mengkonsumsi energi liatrik paling banyak. Hal ini disebabkan karena pelanggan industri menggunakan energi listrik lebih banyak, terutama untuk proses produksi yang menggunakan mesin-mesin. Gwh/Rumahtangga
Sumber: PLN dan BPS (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 12 Perbandingan Jumlah Produksi Listrik per Rumahtangga antara Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 Gambar 13 menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur listrik Pulau Jawa jauh di atas Luar Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya capaian jumlah produksi listrik per rumah tangga di Pulau Jawa yang jauh mengungguli Luar Jawa. Tercatat pada tahun 2009 jumlah produksi listrik per rumah tangga di Jawa mencapai 2,86 Gwh per rumah tangga sedangkan di Luar Jawa hanya mencapai 1,44 Gwh per rumah tangga.
4.2.2 Infrastruktur Air Bersih Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta
kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho, 2003). m3
Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 13 Banyaknya Volume Air Bersih yang Disalurkan PDAM, 1993-2009 Banyaknya volume air bersih yang disalurkan PDAM di Jawa lebih banyak daripada Luar Jawa. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada periode 19932001, perbedaan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa dan Luar Jawa tidak sebesar perbedaan yang terjadi pada periode 2002-2009. Kondisi tersebut terkait erat dengan melonjaknya peningkatan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa. M3/Rumahtangga
Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 14 Perbandingan Air Bersih yang Disalurkan PDAM per Rumahtangga Di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
Pada periode 1993-2009, akses rumahtangga terhadap air bersih di Jawa sebelum tahun 2002 lebih buruk daripada akses rumahtangga di Luar Jawa. Mulai tahun 2002 akses rumahtangga di Jawa terhadap air bersih membaik bahkan lebih baik di Jawa pada tahun 2002 yaitu sebesar 47,52 persen dibandingkan tahun sebelumya. Oleh karena itu, terdapat perubahan pola akses rumhatangga terhadap air bersih mulai tahun 2002 (gambar 15).
4.2.3 Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan ”penularan” pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi.
km
Sumber: BPS (diolah), 1993-2009
Gambar 15 Panjang Jalan Kondisi Baik dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 Panjang jalan di Jawa dengan kondisi baik dan sedang lebih pendek dibandingkan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan karena luas wilayah Pulau
Jawa jauh lebih kecil yaitu sekitar 6,4 persen dibandingkan Luar Jawa. Pertumbuhan panjang jalan baik dan sedang di Jawa dan Luar Jawa pada periode 1993-2009 masing-masing sebesar 6 persen dan 6,84 persen per tahunnya. Dan ketika dilihat pertumbuhan jumlah kendaraan pada periode yang sama, di Jawa tumbuh sebesar 16,34 persen per tahun dan di Luar Jawa sebesar 19, 54 persen per tahun. Namun, lebih tingginya jumlah kendaraan di Luar Jawa ternyata tidak menyebabkabkan akses di Luar Jawa lebih buruk dibandingkan Jawa. Hal ini disebabkan lebih panjangnya jalan di Luar Jawa. Pulau Jawa yang panjang jalannya lebih pendek dengan jumlah kendaraan yang lebih banyak menyebabkan kemacetan sehingga mobilitas akan terganggu. Selain itu, kemacetan juga menyebabkan biaya transportasi tinggi dan terganggunya sistem distribusi.
Km/kendaraan
Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 16 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 Tingkat mobilitas merupakan rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan. Semakin rendah nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Gambar 16 menunjukkan bahwa rasio jalan per kendaraan di Luar Jawa masih sangat tinggi dan sebaliknya di Pulau Jawa rasio jalan per kendaraan sangat rendah. Hal ini tidak mengherankan mengingat kepadatan lalulintas di Jawa sudah cukup tinggi sehingga akses kendaraan terhadap jalan menjadi sangat rendah. Apabila dibandingkan tiap tahunnya, rasio jalan per kendaraan baik di Jawa maupun di Luar Jawa menunjukkan tren penurunan, artinya tiap tahunnya terjadi tren penurunan akses kendaraan terhadap jalan (semakin padat lalulintasnya).
Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana
jalan
yang
minim
dan
buruk
menjadi
hambatan
dalam
mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi. 4.2.4 Infrastruktur Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan sebagai infrastruktur kesehatan adalah puskesmas. Puskesmas pada saat ini tidak hanya berfungsi untuk memberikan layanan kesehatan, akan tetapi berperan pula untuk memberikan perbaikan gizi keluarga. Semakin tinggi jumlah penduduk yang tidak mendapatkan fasilitas akses kesehatan, maka akan semakin tinggi resiko penularan penyakit ataupun gizi buruk, yang selanjutnya kualitas kesehatan masyarakat akan menurun. Kualitas kesehatan yang buruk akan berdampak pada produktifitas yang dihasilkan. Peningkatan modal manusia, peningkatan produktifitas, kemampuan mengadaptasi dan menggunakan teknologi dalam produksi dan kemampuan mengadaptasi perubahan kapasitas dan teknologi tersebut pada akhirnya akan mendorong perekonomian suatu negara serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. unit
Sumber: Departemen Kesehatan (diolah), 1993-2009
Gambar 17 Jumlah Puskesmas di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
Selama periode 1993-2009, jumlah puskesmas di Luar Jawa selalu lebih banyak dibandingkan Jawa (gambar 17). Hal ini dapat dipahami mengingat pembangunan puskesmas yang dilakukan di setiap kecamatan, dimana jumlah kecamatan di Luar Jawa lebih banyak daripada di Jawa. Unit/penduduk
Sumber : Departemen Kesehatan dan BPS
Gambar 18 Perbandingan Rasio Puskesmas per Penduduk antara Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang terinstitusionalisasi mempunyai kewenangan yang besar dalam mencipta inovasi model pelayanan kesehatan.
Untuk
itu
dibutuhkan
komitmen
dan
kemauan
untuk
meningkatkan/meratakan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan. Kualitas infrastruktur kesehatan diukur dengan nilai rasio puskesmas per penduduk. Gambar 18 menunjukkan bahwa akses infrastruktur kesehatan di Luar Jawa masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pulau Jawa. Hal ini tercermin dari tingginya nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa. Rendahnya nilai rasio ini juga menunjukkan bahwa akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan (dalam hal ini adalah puskesmas) di Luar Jawa masih lebih tinggi dari Pulau Jawa. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa berfluktuatif tiap tahunnya. Meskipun demikian pada kurun waktu 1993-2009 nilai rasio ini menunjukkan tren yang meningkat. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa, sebaliknya menunjukkan tren penurunan tiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2009 rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa mencapai nilai terendah yaitu sebesar 25,75 puskesmas per 1 juta
penduduk. Angka
yang cukup
mengkhawatirkan mengingat 1 puskesmas harus melayani sebanyak 38.831 penduduk.
4.3 Kemiskinan Dinamika kemiskinan per provinsi antara Pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif pada kurun waktu 1993-2009. Jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa tiap tahunnya jauh melebihi jumlah penduduk miskin di Luar Jawa, hal ini dipicu oleh jumlah penduduk di Pulau Jawa yang melebihi penduduk di Luar Jawa.
Sumber: BPS (diolah) , Tahun 1993-2009
Gambar 19 Perbandingan Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Luar Jawa, Periode 1993-2009 Persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Jawa tercatat terjadi di tahun 1999 yaitu sebesar 59,62 persen. Tingginya jumlah penduduk miskin di tahun ini merupakan imbas dari adanya krisis ekonomi tahun 1997-1998. Sebaliknya Jumlah penduduk miskin di Luar Jawa pada tahun 1999 justru menurun. Hal ini terkait erat dengan kondisi masyarakat di Luar Jawa yang bergantung terhadap hasil pertanian (agricultural base economic) sehingga penduduk di Luar Jawa tidak terimbas terhadap krisis ekonomi 1997-1998. Selama periode 1993-2009, persentase penduduk miskin tertinggi di Luar Jawa terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 44,52 persen.
5. PEMBAHASAN HASIL Model yang digunakan adalah model double log sehingga parameter α yang di dapat melambangkan elastisitas. Nilai α tersebut bisa bernilai positif atau negatif, jika nilai α bertanda positif artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1 persen akan meningkatkan variabel tak bebas sebesar α persen. Jika nilai α bertanda negatif, artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1 persen akan menurunkan variabel tak bebas sebesar α persen. Ada tiga model yang diestimasi dalam penelitian ini, yaitu model untuk Jawa, Luar Jawa, dan gabungan (Indonesia). Model Indonesia dibangun setelah mendapatkan hasil tentang uji beda dua koefisien antara Jawa dan Luar Jawa. Analisis data panel pada penelitian ini menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 1993 sampai 2009. Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan metode regresi, yaitu membandingkan fixed effects model dengan random effect model dengan menggunakan uji Hausman. Pengujian dengan uji Hausman pada ketiga model menyimpulkan bahwa fixed effect lebih baik daripada random effect. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman (lihat Lampiran) menunjukkan nilai pvalue (prob.) < 0,10, yang berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan. Setelah melakukan uji Hausman, lalu dilakukan uji asumsi autokorelasi dengan menggunakan Wooldridge Test. Selain itu juga dilakukan pendeteksian adanya heteroskedastisitas. Berdasarkan pengamatan hasil estimasi, ternyata pada ketiga model tersebut ditemukan adanya autokorelasi dan heteroskedastisitas, sehingga untuk mengatasinya digunakan pendekatan panel corrected standard errors. Model terakhir yang didapatkan adalah model terbaik, karena telah dilakukan
langkah-langkah
untuk
mengatasi
adanya
autokorelasi
dan
heteroskedastisitas. Selanjutnya dilakukan uji beda dua koefisien untuk memastikan apakah koefisien hasil estimasi di Jawa dan Luar Jawa memang berbeda secara statistik. Koefisien yang berbeda secara statistik lalu diinteraksikan dengan dummy JawaLuar Jawa, sehingga didapatkan model gabungan untuk Indonesia.
LN PDRBit
= α0 + α1 LN_ JLNit + α2 LN_LISTRIKit + α3 LN_ABit + α4 LN_PUSKESMASit + α5 LN_TK it + α6 DDit + α7 (LN_AB it DWit) + ε it…………………………………………….. (5.1)
LN_MISKIN it = γ0 + γ1 LN_ PDRB it + γ2 LN_PENGANGGURAN it + γ3 LN_RATA2 SKLH it + γ4 LN_PDRBit DWit + γ5 LN_PENGANGGURAN it DWit + γ6 LN_RATA2 SKLH itDWit +μ it ………………………………….…(5.2)
5.1 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Secara umum, hasil estimasi pada persamaan 3.4 menunjukkan bahwa terdapat lima variabel bebas yang signifikan secara statistik pada taraf nyata (α) 5 persen dan hanya satu variabel bebas yang tidak signifikan untuk Pulau Jawa. Sedangkan hasil estimasi untuk Luar Jawa menunjukkan terdapat tiga variabel bebas yang signifikan secara statistik dan tiga variabel bebas yang tidak signifikan. Tabel 2
Hasil Estimasi Persamaan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan, Periode 1993-2009.
Variabel Bebas C LN_LISTRIK LN_AIR LN_PUSKESMAS LN_JALAN LN_TK DD DW_AB R-squared Prob(F-statistic)
Model 1 Variabel tidak bebas: LN_PDRB ADHK 1993 Jawa Luar Jawa Gabungan 7.236* 7.800* 3.536* (0.000) (0.000) (0.000) 0.553* 0.337* 0.058* (0.000) (0.000) (0.036) 0.135* 0.042 0.186* (0.001) (0.125) (0.000) 0.005* 0.006* 0.008* (0.000) (0.003) (0.000) 0.021 0.004 -0.094* (0.545) (0.850) (0.000) 0.881* 0.750* 0.815* (0.000) (0.000) (0.000) -0.121* -0.005 0.005 (0.023) (0.858) (0.905) -0.018* (0.085) 0.997 0.992 0.726 0.000 0.000 0.000
Catatan: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
p-value Uji Beda Koefisien 1.000 0.805 0.063* 0.628 0.968 0.772 0.867
Nilai R-squared (koefisien determinan) di Jawa, Luar Jawa dan model gabungan masing-masing sebesar 0,997; 0,992; dan 0,726. Nilai R-squared (koefisien determinan) menunjukkan seberapa besar variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan variasi variabel endogen secara baik. Setelah dilakukan uji beda koefisien ternyata hanya infrastruktur air yang secara statistik berbeda, sehingga peneliti mencoba untuk menambahkan variabel dummy Jawa dan Luar Jawa yang diinteraksikan dengan infrastruktur air bersih dalam model gabungan. Untuk model gabungan, terdapat enam variabel bebas yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kecuali variabel dummy desentralisasi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas t-hitung masingmasing variabel bebas yang kurang dari 0,1. 5.1.1 Infrastruktur Listrik Variabel listrik berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada ketiga model yang dikonstruksi dalam penelitian ini . Hasil estimasi menunjukkan bahwa di Jawa, elastisitas pertumbuhan terhadap listrik sebesar 0,553, artinya jika penjualan energi listrik per rumah tangga 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,553 persen pada kondisi ceteris paribus. Hal yang sama juga terjadi di Luar Jawa dan Indonesia, dimana listrik juga berpengaruh signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,337 dan 0,058. Listrik merupakan infrastruktur yang memiliki elastisitas tertinggi baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Signifikannya pengaruh variabel listrik dikarenakan listrik merupakan sumber energi yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik untuk kegiatan industri, kegiatan komersial maupun dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga. Variabel listrik mempunyai korelasi yang kuat dengan kegiatan ekonomi terutama untuk sektor industri yang harus menggunakan teknologi dan mesin yang memerlukan listrik untuk menjalankan produksinya. Sementara itu, manfaat listrik untuk rumahtangga adalah untuk penerangan dan dapat menghemat waktu yang digunakan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terkait dengan kemajuan
teknologi, maka para anggota rumahtangga dapat mengaplikasikan teknologi karena alat-alat teknologi tinggi biasanya menggunakan listrik. Berdasarkan data BPS mengenai Statistik PLN, diketahui bahwa di Pulau Jawa terdapat pelanggan industri sebesar 0,1 persen dari total pelanggan di Pulau Jawa yang ternyata mengkonsumsi energi listrik sebesar 40,47 persen dari total energi listrik yang terjual di Pulau Jawa. Sementara itu, di Luar Jawa terdapat pelanggan industri sebesar 0,07 persen yang mengkonsumsi listrik sebesar 15,64 persen. Demikian juga kelompok bisnis, dengan jumlah pelanggan 0,04 persen dan 0,05 persen untuk Pulau Jawa dan Luar Jawa yang mengkonsumsi energi listrik masing-masing sebesar 16,75 persen dan 23,61 persen. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa energi listrik lebih banyak digunakan untuk kegiatan produksi daripada konsumsi.
5.1.2 Infrastruktur Air Bersih Infrastruktur ekonomi yang juga signifikan secara statistik dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah air bersih. Untuk model Jawa dan Indonesia, infrastruktur air bersih nyata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,135 dan 0,186. Akses terhadap air bersih merupakan salah satu pondasi inti dari masyarakat yang sehat. Sistem air bersih yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, melindungi lingkungan hidup, dan vital bagi kesehatan manusia. Dalam perekonomian modern, air juga merupakan hal utama untuk budi daya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi. Dalam penelitian ini, pengaruh air bersih terhadap pertumbuhan ekonomi yang signifikan hanya terjadi di Pulau Jawa. Penggunaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) memang masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Statistik Air Bersih tahun 2010, kapasitas produksi efektif perusahaan air bersih di Pulau Jawa pada tahun 2009 sebesar 89.717 liter per detik. Sementara itu di Luar Jawa hanya sebesar 31.769 liter per detik. Ini menunjukkan bahwa pengembangan infrastruktur air bersih lebih banyak dilakukan di Jawa.
5.1.3 Infrastruktur Kesehatan Selain infrastruktur ekonomi, penelitian ini juga menggunakan variabel infrastruktur sosial yang diwakili oleh jumlah puskesmas. Sarana kesehatan yang tersedia dan terjangkau akan menentukan keberhasilan pembangunan bidang kesehatan.
Dalam penelitian ini variabel puskesmas di Jawa, Luar Jawa dan
Indonesia signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi, dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,005; 0,006; dan 0,008 persen (ceteris paribus). Pemerintah
sangat
peduli
pada
pembangunan
kesehatan
karena
meningkatkan modal manusia (human capital). Pada periode 2010-2014, Kementerian Kesehatan melaksanakan terobosan dalam bentuk Reformasi Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat
yang
setinggi-tingginya.
Reformasi
Pembangunan
Kesehatan Masyarakat, salah satunya dilakukan melalui pemenuhan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). BOK ini merupakan bantuan pemerintah pusat pada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam bentuk block grant, guna mendukung peningkatan fungsi Puskesmas dan pelayanan kesehatan di Puskesmas. Berdasarkan data BPS mengenai Statistik Kesejateraan Rakyat, dapat diketahui jumlah penduduk yang berobat di puskesmas pada tahun 2009. Ada sekitar 30 persen penduduk Pulau Jawa yang berobat ke puskesmas. Tidak berbeda jauh dengan penduduk Pulau Jawa, persentase penduduk yang memanfaatkan fasilitas puskesmas di Luar Jawa juga berada pada kisaran 30 persen. Dengan demikian dapat dipahami mengapa elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap infrastruktur air bersih di Jawa maupun Luar jawa secara statistik tidak berbeda.
5.1.4 Tenaga Kerja Variabel bebas selain infrastruktur yang juga mempengaruhi pertumbuhan adalah tenaga kerja. Variabel tenaga kerja signifikan memengaruhi pertumbuhan eonomi. Di Pulau Jawa, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap tenaga kerja sebesar 0,881. Angka yang cukup besar, karena dengan peningkatan tenaga kerja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,881 persen. Demikian pula yang terjadi di Luar Jawa dan Indonesia dengan elastisitas masing-masing sebesar
0,750 dan 0,815. Variabel tenaga kerja merupakan variabel yang memiliki elastisitas tertinggi dari semua variabel yang ada pada model Jawa, Luar Jawa, dan model gabungan (Indonesia). Temuan ini mendukung hipotesis dan pandangan aliran neo-klasik, bahwa pertumbuhan tenaga kerja dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan, maka mengindikasikan produksi yang dihasilkan oleh suatu negara juga meningkat. Ketika produksi suatu negara meningkat maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat, karena pertumbuhan ekonomi merupakan jumlah output barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Hasil penelitian Nurridzki (2002), bahwa peranan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat besar. Bahkan setelah tahun 1990-an dia menemukan bahwa yang memberi dampak pertumbuhan ekonomi di kawasan Sumatera adalah faktor tenaga kerja. Di Pulau Jawa faktor tenaga kerja telah memberikan dampak terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi sejak dari tahun 1985. Perbedaan elastisitas antara Jawa dan luar Jawa, dimana elastisitas di Jawa lebih besar disebabkan oleh lebih besarnya kesempatan kerja di Jawa. Bagaimanapun Jawa jauh lebih menarik bagi investor baik dari ketersediaan infrastruktur, pekerja, dan pasar yang besar.
5.1.5 Dummy Desentralisasi Tujuan dari penggunaan dummy desentralisasi yaitu untuk menganalisis dampak desentralisasi, yang dimulai pada tahun 2001 terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dari sisi ekonometri penggunaan dummy desentralisasi ditujukan untuk menangkap efek waktu. Variabel dummy desentralisasi bernilai 0 untuk periode sebelum desentralisasi (tahun 1993 sampai 2000) dan bernilai 1 untuk masa setelah desentralisasi (tahun 2001 sampai 2009). Berdasarkan hasil yang diperoleh, koefisien dari dummy desentralisasi di Pulau Jawa sebesar -0,121 yang berarti terdapat perbedaan pertumbuhan ekonomi antara sebelum desentralisasi
dan
setelah
desentralisasi.
Tanda
negatif
berarti
tingkat
pertumbuhan pada masa setelah desentralisasi lebih kecil jika dibandingkan dengan sebelum desentralisasi.
Sebagian ekonom mensinyalir bahwa kondisi ini dikarenakan banyak daerah yang kurang siap baik SDM dan kapabilitas pemerintahnya dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan. Faisal (2002) meneliti tentang pengaruh desntralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat provinsi yang diaplikasikan di Indonesia dan menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Faisal efek negatif yang ditimbulkan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan dana oleh pemerintah lokal yang tidak bertanggung jawab, rendahnya skill aparat pemerintahan dan juga akuntabilitas politik yang labil. Brodjonegoro (2003) menyatakan bahwa waktu persiapan yang terlalu pendek dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia untuk ukuran negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada model gabungan, dimana desentralisasi fiskal berpengaruh positif , namun tidak nyata.
5.1.6
Panjang Jalan Hasil estimasi menunjukkan bahwa panjang jalan di Jawa tidak signifikan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Diduga bahwa panjang jalan di Pulau Jawa sudah dalam kondisi “jenuh”. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang selalu naik per tahun jauh melampaui pertambahan ruas jalan membuat kapasitas jalan di Jawa semakin jenuh, sehingga penambahan panjang jalan tidak mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal serupa juga terjadi di Luar Jawa, yaitu ketika panjang jalan bertambah, pertumbuhan ekonomi tidak terakselerasi secara signifikan. Kondisi ini dapat dipahami dengan alasan bahwa jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor di Luar Jawa sedikit, sehingga akan sedikit juga orang yang mengakses jalan. Mengamati hasil estimasi pada model gabungan, ternyata berbeda dengan hasil estimasi untuk model di Jawa dan Luar Jawa. Listrik yang merupakan variabel yang berpengaruh positif tehadap pertumbuhan dengan elastisitas tertinggi dari seluruh infrastruktur baik di Jawa maupun Luar Jawa, ternyata hanya menduduki posisi kedua tertinggi (0,058) setelah infrastruktur air (0,186) yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Selain itu, infrastruktur jalan
dalam model gabungan memiliki pengaruh nyata dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan cenderung menjadi positif, namun jika terjadi hal yang sebaliknya maka dampaknya terhadap pertumbuhan menjadi negatif. Berikut ini dapat diamati bahwa impor Indonesia selama kurun waktu 1993-2009 cenderung meningkat.
Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 20 Perkembangan Nilai Impor Indonesia, 1993-2009 (Juta US $) Variabel terakhir yang yaitu interaksi antara dummy wilayah dan infrastruktur air adalah nyata dan negatif dengan elatisitas sebesar -0,018 dan pvalue sebesar 0,085. Ini berarti bahwa pengaruh infrastruktur air bersih terhadap pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa lebih rendah dibandingkan pengaruh infrastruktur yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa. Temuan ini sejalan dengan hasil estimasi untuk model di Jawa dan Luar Jawa, dimana elastisitas pertumbuhan infrastruktur air di Jawa lebih besar dibandingkan Luar Jawa. 5.2
Pengaruh Pertumbuhan terhadap Pengentasan Kemiskinan Analisis pengaruh pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan
menggunakan model simultan dengan menggunakan teknik ekonometrik parsial simultan two stage least square (2 SLS). Metode two stage least square
meupakan metode ordinary least square (OLS) yang dilakukan dalam dua tahap. Langkah pertama yaitu mengestimasi persamaan pertama dengan OLS biasa, selanjutnya adalah memprediksi suatu variabel pada persamaan pertama yang nantinya hasil prediksi tersebut akan digunakan sebagai variabel yang sama pada persamaan kedua. Peneliti memilih metode parsial simultan panel karena metode tersebut memiliki kelebihan yaitu dapat menjelaskan pengaruh parsial, dalam hala ini dapat melihat pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan dan juga dapat melihat pengaruh pertumbuhan terhadap kemiskinan. Berikut ini disajikan tabel hasil estimasi pengaruh pertumbuhan untuk Jawa, Luar Jawa dan Indonesia. Tabel 3 Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengentasan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Parsial Simultan, Periode 1993-2009
Variabel
C
LN_PDRB
LN_PENGANGGURAN
LN_RATA-RATA SKLH
Model 2 Dependent Var: LN_ Jumlah Penduduk Miskin Jawa Luar Model Jawa Gabungan 12.865 6.401 5.289 (0.000)
(0.000)
(0.000)
-0.707*
0.335*
0.398*
(0.000)
(0.003)
(0.000)
0.755*
0.163*
0.304*
(0.000)
(0.000)
(0.004)
1.421*
-0.418
-1.372
(0.000)
(0.171)
(0.253)
LN_PDRBitDWit
-0.056 (0.418)
LN_PENGANGGURANitDWit
-0.088* (0.069)
LN_RATA2SKLH itDWit
0.226 (0.454)
Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
p-value Uji Beda Dua Koefisien
0.000*
0.000*
0.000*
5.2.1 Pertumbuhan Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, secara nyata menurunkan persentase penduduk miskin. Elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa sebesar -0,707, yang berarti setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka persentase penduduk miskin akan berkurang 0,707 persen (ceteris paribus). Kondisi ini dapat dipahami mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kapasitas perekonomian dan meningkatkan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita yang meningkat berarti penduduk miskin akan berkurang. Jadi jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi baik untuk pengentasan pemiskinan. Pertumbuhan ekonomi di Jawa didominasi oleh sektor industri. Pertumbuhan sektor industri di Jawa selama periode 2000-2009 cukup berfluktuatif. Hal yang cukup menarik adalah bahwa sektor pertanian yang hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB Jawa sebesar 11,67 persen, namun pertumbuhannya terus meningkat sejak tahun 2006. Bahkan pada tahun 2009, pertumbuhan PDRB sektor pertanian di Pulau Jawa meningkat tajam, yaitu dari 3,46 persen pada tahun 2008 menjadi 6,63 persen pada tahun 2009. Penurunan kemiskinan di Pulau Jawa tidak terlepas dari makin meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian. Berbeda dengan Pulau Jawa, pertumbuhan di Luar jawa ternyata meningkatkan persentase penduduk miskin. Elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan di Luar Jawa sebesar 0,335, yang berarti setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka persentase penduduk miskin juga akan meningkat 0,335 persen (ceteris paribus). Pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa didominasi oleh sektor pertanian dan pertambangan. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Luar Jawa sebesar 21,93 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 20,78 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa kontribusi dari kedua sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB Luar Jawa hampir sama. Pertumbuhan sektor pertanian di Luar Jawa pada periode 2006-2009 terus mengalami penurunan, yaitu dari 4,52 persen pada tahun 2006 menjadi 3,91 persen pada tahun 2009. Sebaliknya, sektor pertambangan dan penggalian terus mengalami peningkatan selama periode 2006-2009, yaitu dari 0,70 persen pada tahun 2006 menjadi 3,18 pada tahun 2009. Selama ini, sektor
pertambangan bukan merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi ini yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Luar Jawa justru meningkatkan kemiskinan.
Sumber : BPS (diolah), Tahun 2006-2009
Gambar 21 Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian dan Pertambangan dan Penggalian di Luar Jawa, Periode 2006-2009 Pengaruh pertumbuhan terhadap kemiskinan di Indonesia berdasarkan hasil estimasi adalah nyata positif. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia didominasi oleh sektor industri. Industri secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja, sehingga meningkatkan kemiskinan. Sementara itu, hasil estimasi dari interaksi antara dummy wilayah (Jawa dan Luar Jawa) dan pertumbuhan terhadap kemiskinan menyimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan di Luar Jawa terhadap kemiskinan lebih kecil dibandingkan Jawa. Temuan ini sesuai dengan hasil estimasi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan di Jawa lebih elastis dibandingkan Luar Jawa dalam memengaruhi kemiskinan, dimana elastisitas Jawa sebesar 0,707 dan di Luar Jawa hanya sebesar 0,335.
5.2.2 Pengangguran Variabel kedua yang memengaruhi kemiskinan adalah pengangguran. Hasil estimasi di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia menunjukkan bahwa pengangguran signifikan memengaruhi peningkatan kemiskinan. Elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran di Pulau Jawa sebesar 0,755, sedangkan elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran di Luar Jawa sebesar 0,163. Secara
teoritis, tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat pengangguran. Dalam hal ini ketika tingkat pengangguran mengalami kenaikan maka secara otomatis tingkat kemiskinan akan meningkat. Temuan ini sejalan dengan penelitian Dian Octaviani (2001) yang mengatakan bahwa sebagian rumah tangga di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya
yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran
dan
kesejahteraan. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah (terutama kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sedikit berada di atas garis kemiskinan), maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin. Yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat pengganguran maka akan meningkatkan kemiskinan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran antara lain: (1) besarnya
angkatan
kerja
tidak
seimbang
dengan
kesempatan
kerja.
Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi; (2) struktur lapangan kerja tidak seimbang; (3) kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia; (4) penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja antar daerah tidak seimbang. Variabel pengangguran di Jawa lebih elastis dibandingkan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah penduduk Jawa yang lebih besar, belum lagi ditambah dengan persoalan urbanisasi yang hingga saat ini masih saja terus terjadi di Pulau Jawa. Selain itu, selama ini pengangguran di Pulau Jawa selalu jauh lebih banyak dibandingkan pengangguran di Luar jawa. Seperti sudah diuraikan di bab 1, bahwa Pulau Jawa mempunyai penduduk miskin yang paling banyak di
Indonesia, ditambah lagi dengan persoalan pengangguran yang persentasenya selalu melewati angka 60 persen. Padahal lapangan kerja yang tersedia di Pulau Jawa terbatas. Migran yang datang ke Pulau Jawa banyak yang hanya berpendidikan rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan kemiskinan yang semakin meningkat, karena jumlah tenaga kerja lebih besar dibandingkan jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Sumber : BPS (diolah), Tahun 1993-2009
Gambar 22 Persentase Pengangguran di Jawa dan Luar Jawa, Periode 1993-2009 Interaksi antara pengangguran dengan dummy wilayah (Jawa dan Luar Jawa) bertanda negatif, artinya bahwa pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan di Luar Jawa lebih rendah dibandingkan pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan di Jawa. Temuan ini sesuai dengan besarnya elastisitas pengangguran di Luar Jawa yang lebih kecil daripada elastisitas di Jawa.
5.2.3 Rata-Rata Lama Sekolah Variabel ketiga yang mempengaruhi kemiskinan adalah rata-rata lama sekolah pekerja. Hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah signifikan dapat mereduksi jumlah penduduk miskin baik di Jawa maupun di Luar Jawa.
Pendidikan
menyangkut
pembangunan
karakter
dan
sekaligus
mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Frankel (1997) menyatakan bahwa pendidikan khususnya peningkatan jumlah tahun belajar merupakan suatu syarat untuk tahap dari pembangunan ekonomi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kualitas sumberdaya manusia juga akan semakin baik dan akan
memengaruhi produktifitas. Ketika produktifitas meningkat maka penghasilan atau upah yang didapat juga akan meningkat sehingga akan membantu masyarakat keluar dari jerat kemiskinan. Di Pulau Jawa, elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata lama sekolah pekerja sebesar 1,421, yang berarti peningkatan rata-rata lama sekolah pekerja 1 persen akan meningkakan kemiskinan sebesar 1,421 persen. Temuan ini tidak sejalan dengan teori human capital yang menyatakan bahwa pendidikan dapat memperbaiki produktivitas tenaga kerja, meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki income. Pendidikan dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan tergantung pada tingkat pembangunan suatu negara/wilayah, aspek ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi upah dan permintaan tenaga kerja (Gundlach et al, 2001). Selain itu belum tentu lapangan kerja yang tersedia sesuai dengan background pendidikan yang ditamatkan. Rata-rata sekolah pekerja di Luar Jawa tidak berpengaruh secara nyata dalam menurunkan kemiskinan. Kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa didominasi oleh sektor pertanian yang notabene tidak memerlukan pendidikan yang tinggi dan juga oleh sektor pertambangan dan penggalian. Selama ini pekerja yang mempunyai kedudukan tinggi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor pertambangan adalah bukan penduduk lokal, sehingga tidak berpengap penurunan kemiskinan. Hal yang sama juga ditemukan pada hasil estimasi dari model gabungan, dimana rata-rata lama sekolah di Indonesia juga tidak berpengaruh secara nyata dalam menurunkan kemiskinan. Interaksi antara rata-rata lama sekolah dan dummy wilayah (Jawa danLuar Jawa bertanda positif namun tidak signifikan. Hasil temuan ini terkait dengan elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata sekolah pekerja di Jawa yang bertanda positif. Di sisi lain, rata-rata sekolah di Luar Jawatidak berpengaruh nyada dalam menurunkan kemiskinan.
5.3
Rumusan Kebijakan Jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar dan permasalahan
kemiskinan yang kompleks dan luas menuntut penanganan yang komprehensif
dan berkelanjutan dalam menurunkan jumlah penduduk miskin. Upaya penurunan tingkat kemiskinan sangat bergantung pada pelaksanaan dan pencapaian pembangunan di berbagai bidang. Berbagai kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan diarahkan ke dalam bentuk peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Bank Dunia (2000) dalam kerangka kerja untuk memerangi kemiskinan menyebutkan salah satu pilar yang harus dilakukan adalah peningkatan kesempatan penduduk miskin. Pilar ini dilaksanakan dengan peningkatan akses penduduk miskin terhadap aset modal fisik (infrastruktur) dan modal manusia (pendidikan dan kesehatan) serta peningkatan rate of return dari aset-aset tersebut. Setiap daerah memiliki prioritas program yang berbeda, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan juga harus berbeda agar program-program yang diterapkan lebih efektif, fokus, terarah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat sehingga masalah kemiskinan dapat segera diatasi. Penanggulangan kemiskinan di daerah merupakan perencanaan penanggulangan kemiskinan yang seharusnya dapat dijadikan sebagai basis untuk mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan pada setiap daerah.
5.3.1 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Pada kajian literatur dan studi empiris telah dijelaskan bahwa upaya pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan lebih cepat bila didukung oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi (pro growth) adalah tersedianya infrastruktur yang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Diharapkan dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka kemiskinan akan berkurang. Berdasarkan hasil estimasi, dari enam variabel bebas yang diteliti terdapat lima variabel bebas yang secara signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu infrastruktur listrik, air bersih, infrastruktur kesehatan, tenaga kerja dan desentralisasi fiskal. Selain itu ada tiga variabel bebas yang mempengaruhi kemiskinan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan ratarata lama sekolah pekerja. Desentraliasasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan di Jawa, dan rata-rata lama sekolah berpengaruh positif terhadap
kemiskinan. Hal menarik lainnya adalah infrastruktur jalan yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja merupakan variabel dengan nilai elastisitas tertinggi. Kebijakan yang penting untuk mengakomodir temuan ini adalah kebijakan mengenai perluasan kesempatan kerja, misalnya dengan penganekaragaman peluang kerja bagi masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat mempunyai pilihan dalam upayanya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Masyarakat akan mempunyai peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki guna meningkatkan taraf hidupnya. Selain itu ada hal penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yaitu memprioritaskan pada kegiatan ekonomi dan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Pengembangan industri padat karya seharusnya dilakukan dalam rentang waktu yang panjang dan continue karena Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang banyak dan terus meningkat. Terkait dengan variabel infrastruktur, ternyata variabel listrik memiliki elastisitas yang paling tinggi dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu infrastruktur listrik perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Akhir-akhir ini sering terjadi pemadaman listrik secara bergilir yang mengakibatkan terhentinya berbagai aktifitas dan menurunnya produktivitas masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, maka diperlukan solusi untuk menuntaskan masalah listrik yang selama ini belum teratasi. Misalnya saja masalah pemadaman listrik selama ini ternyata disebabkan oleh kurangnya beban. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya anggaran pemerintah untuk membangun pembangkit, sehingga perlu mendorong IPP (initial power purchase atau kontrak penjualan listrik) untuk bisa masuk ke sektor kelistrikan. Infrastruktur air bersih juga berpengaruh signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Air yang notabene diciptakan Tuhan, dikelola oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk rakyat, rupanya saat ini telah menjadi barang mahal. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan hilangnya fungsi sosial dari air dan mengabaikan kebutuhan penduduk miskin. Dalam kaitan ini pemerintah dituntut untuk meningkatkan jangkauan pelayanan dan kualitas air minum ke seluruh lapisan masyarakat karena
air adalah hak dasar. Masih banyak daerah di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia masih mengalami kesulitan untuk memperoleh air, sehingga dibutuhkan sistem infrastruktur pasokan air bersih untuk memungkinkan masyarakat dalam mengakses air bersih. Seiring dengan permasalahan yang dihadapi dan perubahan yang terjadi dalam
kebijakan
pembangunan
infrastruktur,
kebijakan
pembangunan
infrastruktur air bersih juga tidak terlepas dari dua hal penting yaitu agenda pengurangan kemiskinan dan peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan dan penyediaan layanan air bersih. untuk dapat mendorong kebijakan infrastruktur air bersih yang pro-poor, maka harus diikuti perubahan kebijakan ekonomi makro yaitu dari Market-led Development menjadi State-led Development, dimana infrastruktur dasar seperti air bersih merupakan hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara dan membawa konsekuensi negara harus menyediakan/mengalokasikan dana untuk dapat menyediakannya. Dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki saat ini, pemerintah harus mengambil keputusan politik untuk mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar dalam pembangunan infrastruktur dasar. Pemerintah juga harus mendefinisikan kembali peran sektor swasta. Hal ini didasarkan bahwa sektor swasta tidak dapat menggantikan negara untuk menyediakan infrastruktur yang terjangkau terutama untuk kelompok masyarakat miskin. Infrastruktur kesehatan yang dalam penelitian ini diproksi melalui jumlah puskesmas juga berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi pelayanan pembangunan kesehatan adalah peningkatan sarana kesehatan. Dengan dukungan sarana kesehatan yang memadai kualitas kesehatan akan meningkat. Dalam jangka pendek, upaya kesehatan terlihat sebagai sektor yang sangat konsumtif, tidak memberikan return on investment secara jelas. Oleh sebab itu sering sekali sektor kesehatan ada pada urutan bawah dalam skala prioritas pembangunan terutama kalau titik berat pembangunan adalah pembangunan ekonomi. Akan tetapi orientasi pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia, maka pembangunan sektor kesehatan sesuangguhnya adalah suatu investasi paling tidak untuk jangka panjang. Program-program kesehatan hendaknya
dipandang
sebagai
suatu
strategi
yang
menyeluruh
untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi dari suatu penduduk. Strategi tersebut membutuhkan pilihan program-program yang dapat meningkatkan derajat kesehatan secara efisien. Misalnya, pengembangan jaringan pelayanan. Variabel terakhir yaitu desentralisasi fiskal memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Faisal (2002) menyatakan bahwa efek negatif yang ditimbulkan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan dana oleh pemerintah lokal yang tidak bertanggungjawab, rendahnya skill para aparat pemerintahan, dan juga akuntabilitas politik yang labil serta sebagai tambahan bahwa kebijakan desentralisai fiskal dipandang terlalu tergesagesa diambil tanpa birokrasi khusus dan persiapan yang matang. Opsi kebijakan mengenai transparansi anggaran sangat diperlukan, sehingga masyarakat dapat mengawasi aliran dana yang digunakan. Dengan demikian diharapkan akan memperkecil kemungkinan penggunaan dana yang tidak bertanggung jawab. Selain itu kebijakan untuk lebih meningkatkan kualitas SDM dari aparat juga tidak kalah penting, sehingga aparat mempunyai kemampuan yang baik dalam menghadapi era desentralisasi, misalnya saja melakukan training untuk para aparat yang bersentuhan langsung dengan keuangan. Infrastruktur
jalan
tidak
memberikan
pengaruh
nyata
terhadap
pertumbuhan ekonomi di Jawa. Kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan kendaraan yang jauh melebihi pertumbuhan panjang jalan. Selama periode 19932009, pertumbuhan kendaraan bermotor di Jawa sebesar 16,34 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan pada periode yang sama hanya sebesar 6,00 persen per tahun. Oleh karena itu, maka tidak mengherankan jika jalan-jalan di Jawa macet. Dampak ekonomi dari kemacetan adalah meningkatnya biaya transportasi dan distribusi barang menjadi terhambat. Opsi kebijakan yang penting untuk mengatasi masalah tersebut adalah pembatasan jumlah kendaraan. Kebijakan untuk menambah panjang jalan di Jawa cukup sulit untuk dilakukan mengingat Pulau Jawa sudah sangat padat dengan bangunan-bangunan yang akhirnya memperkecil space yang dapat digunakan untuk membangun jalan. Tiga variabel lainnya yaitu pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan rata-rata lama sekolah berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi di Jawa berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Ini didorong oleh
pertumbuhan sektor pertanian yang lebih menyerap tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian ini maka diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, misalnya dengan pembangunan infrastruktur pertanian terutama irigasi sehingga high cost economy yang dihadapi petani dapat dieliminir. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat, yang artinya petani akan lebih sejahtera. Variabel pengangguran berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Kondisi ini dapat dipahami, karena secara teori peningkatan kemiskinan berjalan seiring dengan peningkatan pengangguran. Tingginya pengangguran di Jawa tidak terlepas dari jumlah penduduk Jawa yang sangat padat dan besarnya migran yang masuk ke Jawa. Opsi kebijakan untuk mengatasi pengangguran di Jawa adalah memperlambat laju pertumbuhan penduduk sehingga dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru. Selain itu pertumbuhan sisi angkatan kerja baru. Selain itu juga penting langkah-langkah untuk pemerataan infrastruktur, sehingga tidak ada kesenjangan pertumbuhan antar daerah yang nantinya akan memperkecil keinginan untuk melakukan migrasi. Variabel terakhir yaitu rata-rata lama sekolah pekerja ternyata berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Anomali ini dapat terjadi karena lapangan kerja di Jawa terbatas, sehingga tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja. Di Jawa banyak terdapat pengangguran terdidik, artinya mereka yang berpendidikan tinggi juga banyak yang menganggur. Banyak hal yang menyebabkan pengangguran terdidik tidak terserap dunia kerja. salah satu faktor yang paling besar ialah karena ketidaksesuaian kualifikasi yang diminta oleh dunia kerja. Ini lebih kepada tidak mix and match, misalnya antara lulusan kampus dengan permintaan dunia kerja. Oleh karena itu penting untuk meng-update kurikulum, sehingga lulusan yang dihasilkan juga makin dinamis dan dapat mengimbangi dunia kerja yang terus bergerak secara dinamis.
5.3.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Luar Jawa Berdasarkan hasil estimasi, ternyata hanya ada tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa, yaitu tenaga kerja, listrik, dan puskesmas (proksi dari infrastruktur kesehatan).
Variabel tenaga kerja memiliki elastisitas tertinggi dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Opsi kebijakan untuk mengakomodir hasil etimasi ini adalah dengan banyak membuka kesempatan kerja. Sebagai contoh yang paling mungkin untuk dilakukan adalah membuka kesempatan kerja di sektor pertanian, karena lahan pertanian di Luar Jawa masih sangat luas. Variabel selanjutnya yang berpengaruh nyata dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi adalah listrik. Daerah-daerah di luar Jawa sudah mengalami krisis listrik sejak berpuluh tahun lalu. Di sisi lain, pembangunan pembangkit listrik di luar Jawa tidak bisa dibuat secara besar-besaran karena akan memakan biaya yang cukup besar mengingat kondisi geografis Luar Jawa yang sangat luas namun penduduknya sedikit. Untuk menyikapi kondisi ini, perlu dibangun pembangkit yang kecil-kecil. Dengan demikian, maka krisis listrik di Jawa dapat teratasi dan juga dapat meningkatkan rasio elektrifikasi. Selain itu pemerintah harus mengusahakan pertumbuhan industri di Luar Jawa, karena biasanya jika perekonomian di suatu daerah tumbuh maka pertumbuhan sektor kelistrikannya akan meningkat. Infrastruktur kesehatan juga memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur kesehatan penting untuk meningkatkan derajat kesehatan. Opsi kebijakan untuk lebih meningkatkan puskesmas baik dalam fungsi maupun jumlahnya tentu sangat penting. Pembangunan puskesmas biasanya dilakukan di setiap kecamatan. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan di Luar Jawa terutama untuk satu kecamatan yang sangat luas, maka dapat diusahakan penambahan jumlah puskesmas. Dengan demikian tidak ada keinginan untuk tidak melakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas jika memang sedang sakit. Selama ini masih banyak masyarakat yang melakukan pemeriksaan kesehatan pada dukun, terutama di daerah-daerah terpencil. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya sarana dan prasarana kesehatan di daerah tersebut. Sementara itu infrastruktur jalan dan air bersih, walaupun berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, namun tidak nyata. Infrastruktur jalan di Luar Jawa selain kondisinya masih banyak yang buruk juga masih sangat sedikit orang atau kendaraan yang memakai jalan. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi di Luar
Jawa dapat terus untuk ditingkatkan, sehingga infrastruktur jalan meningkat dan kendaraan atau orang yang mengakses jalan akan semakin banyak juga. Untuk membangun atau menambah infrastruktur jalan di Luar Jawa masih sangat memungkinkan, karena masih banyak space untuk melakukan penambahan jalan di Luar Jawa. Sementara itu air bersih di Luar Jawa juga tidak signifikan dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan peran serta dari pemerintah untuk membantu masyarakat mendapatkan air bersih melalui pengadaan saluran pipa Perusahaan Air Minum (PAM) perlu ditingkatkan. Variabel pertumbuhan ternyata berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan karena menurunnya pertumbuhan sektor pertanian yang memberikan kontribusi paling besar terhadap PDRB di Luar Jawa. Oleh karena itu diperlukan opsi kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan di sektor pertanian. misalnya meningkatkan produktivitas pertanian. Produktivitas pertanian dapat ditingkatkan dengan bermacam-macam cara, antara lain dengan menambah pekerja pertanian, menambah investasi, mengembangkan teknologi pertanian, pemberian penyuluhan kepada para petani, memberikan kemudahan dalam memperoleh modal dan
penyediaan input pertanian dengan harga
terjangkau. Terkait dengan pengangguran yang berpengaruh positif terhadap kemiskinan, maka diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan mutu tenaga kerja dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan bagi tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kemampuan dan produktivitas tenaga kerja. Dengan adanya pelatihan kerja diharapkan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja. Selain itu juga dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat padat karya, dan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru. Rata-rata lama sekolah pekerja di Luar Jawa memberikan pengaruh negatif yang tidak nyata terhadap kemiskinan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada sisi suplai, sebagian besar penduduk di Luar Jawa memiliki tingkat pendidikan dan produktivitas yang relatif rendah. Hal ini tidak terlepas dari tingkat investasi pada sektor human capital yang tidak mampu memberikan hasil optimal.
Sementara itu, pada sisi permintaan, kondisi ketenagakerjaan juga tidak memberikan gambaran yang terlalu menggembirakan. Kapasitas produksi sektor pertanian, misalnya, sudah mencapai kondisi marjinal yang mana penambahan input tenaga kerja malah akan menimbulkan inefisiensi. Pada sektor modern, permintaan tenaga kerja yang jumlahnya lebih terbatas justru menuntut kemampuan dan kualifikasi yang relatif tinggi yang mana hampir tidak dapat dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja. Hampir sebagian besar kesempatan kerja yang terbuka pada sektor modern (industri, jasa, dan perdagangan) merupakan pekerjaan „kelas rendah‟, yang kemudian diisi oleh mereka yang memiliki kualifikasi terbatas. Dengan demikian cukup mudah dipahami apabila tenaga kerja di Luar Jawa umumnya hanya mampu menikmati upah yang rendah pula.
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Semua infrastruktur yaitu listrik, jalan, air bersih, dan puskesmas terbukti berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Namun, infrastruktur jalan baik di Jawa maupun Luar Jawa tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Infrastruktur listrik merupakan infrastruktur yang memiliki elastisitas yang paling tinggi dibandingkan infrastruktur lainnya, baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Elastisitas infrastruktur listrik di Jawa sebesar 0,55, dan di Luar Jawa sebesar 0,34. 3. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Pulau Jawa mampu secara efektif menurunkan kemiskinan, sedangkan pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa ternyata justru meningkatkan kemiskinan.
6.2 Saran 1.
Hasil analisis menyimpulkan bahwa infrastruktur jalan yang sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak berpengaruh nyata secara statistik. Panjang jalan di Pulau Jawa sudah dalam kondisi “jenuh”. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang selalu naik per tahun jauh melampaui pertambahan ruas jalan membuat kapasitas jalan di Jawa semakin jenuh, sehingga penambahan panjang jalan tidak mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal serupa juga terjadi di Luar Jawa, yaitu ketika panjang jalan bertambah, pertumbuhan ekonomi tidak terakselerasi secara signifikan. Kondisi ini dapat dipahami dengan alasan bahwa jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor di Luar Jawa sedikit, sehingga akan sedikit juga orang yang mengakses jalan. Untuk Luar Jawa, diperlukan kebijakan yang sedikit berbeda yaitu kebijakan mengenai penambahan panjang jalan mengingat luasnya wilayah Luar Jawa sehingga masih sangat dimungkinkan untuk menambah jalan.
2. Berdasarkan hasil estimasi bahwa infrastruktur listrik memiliki elastisitas paling tinggi, untuk itu pemerintah perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur listrik, yang kemudian akan mendorong aktivitas perekonomian di sektor industri. Dari data yang ada bahwa komposisi pelanggan industri di Luar Jawa (15,64 persen) lebih sedikit daripada di Jawa (40,47 persen). Namun, pembangunan infrastruktur listrik di Jawa lebih banyak kendalanya daripada di Luar Jawa. Kondisi tersebut dapat menjadi alasan untuk lebih mengembangkan infrastruktur listrik di Luar Jawa. 3. Fenomena yang cukup menarik untuk dicermati adalah bahwa pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa meningkatkan kemiskinan, maka diperlukan kebijakan untuk menurunkan tingkat kemiskinan. 4. Model dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan lebih lanjut. Penyempurnaan model dapat dilakukan dengan menambah satu persamaan yaitu persamaan ketimpangan, karena ketimpangan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menurunkan kemiskinan. Selain itu juga dapat menambah variabel infrastruktur lain seperti infrastruktur irigasi dan telekomunikasi. 5. Metode analisis yang digunakan dapat dikembangkan dengan memanfaatkan metode yang lebih tepat sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian dengan lebih gamblang.
Daftar Pustaka
Ala, AB. 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Ali, I. and Pernia,E. 2003. Infrastructure and Poverty Reduction: What is the Connection? ERD Policy Brief Series No. 13, Economics and Research Department, Asian Development Bank, Manila, Philippines. Akatsuka, Y. dan T. Yoshida. 1999. System for Infrastructure Development: Japan’s Experience. Japan International Publishing. Tokyo. Arsyad, L. 1997. Ekonomi Pembangunan, Edisi Ketiga, Penerbit BP STIE YKPN, Yogyakarta Aschauer, D.A. 1989. Is Public Expenditure Productive? Journal of Monetary Economics, Vol. 23(2):177-200. Balisacan, A., E. Pernia, A. Asra. (2002). Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Sub-National Data Show? ERD Working Paper Series No. 25, Economics and Research Department, Asian Development Bank, Manila. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2007. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Transportasi 2010. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: BPS Boediono,1992, Ekonomi Makro: Pengantar Analisis Pendapatan Nasional, Edisi kelima, Liberty: Yogyakarta. Brodjonegoro, B, dan Dartanto, T. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Daerah: Analisa Model Ekonomi Makro Simultan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 4, No.1.
Bulohlabna, C. 2008. Tipologi dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Capello, R. 2007. Regional Economics. Routledge. New York. Chambers, R .1995. Poverty and livelihoods: whose reality counts? The Institute of Development Studies, University of Sussex, Falmer, Brighton BN1 9RE, UK. Datt, G and Dean, J. 1999. Determinants of Poverty in Egypt, 1997. International Food Policy Research Institute (IFPRI) Dercon, S. and Krishnan, P. 1998. Changes in Poverty in Rural Ethiopia 1989– 1995: Measurement, Robustness tests and Decomposition. CSAE Working Paper Series WPS 98.7. Centre for the Study of African Economies, Oxford. Dollar D, Kraay A. 2000. Growth is Good for the Poor. Washington: The World Bank Development Research Group. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2004. Macroeconomics 8th Edition. New York: McGraw-Hill. Drukker, David M. 2003. Testing for Serial Correlation in Linear Panel-Data Models. The Stata Jurnal, Vol. 3, No. 2, pp. 168-177. Erfani, S. 2000. Analisis Struktur Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Fan, S., Linxiu, Z., and Xiaobo, Z. 2002. Growth, Inequality, and Poverty in Rural China: The Role of Public Investment. IFPRI Research Report 125, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C Fan, S and Chan, K. 2004. Road Development, Economic Growth, and Poverty Reduction in China. DSGD Discussion Paper No 12. Development Strategy and Governance Division International Food Policy Research Institute. Grigg, N. S. 2000. Where are We in Infrastructure Education? Public Works Management and Policy, 4(1): 257-260.
Gundlach, E.; de Pablo, J.N.; Weisert, N. 2001. Education is good for the poor. World Institute for Development Economics Research, Discussion Paper . 2001/137. Jhingan, M. L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Laabas,B & Imam,L. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth. Arab Planning Institute, Kuwait. Latifa, Aswatini, and Romdiati. 2008. Population and Social Demographic Poverty: a Case Study in the Border Areas of East Kalimantan and North Sulawesi. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 1: 175– 191. Lee, KS and Anas A. 1992. Impacts of Infrastructure Deficiencies on Nigerian Manufacturing: Private Alternatives and Policy Options. Discussion Paper INU 98. World Bank. Lucas, R.E. 1988. On The Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, Vol. 22(1):3-42. Khandker, S. 1989., Improving rural wages in India. Policy, Planning, and Research Working Paper 276. Washington, D.C.: World Bank. Khusaini, M. 2006. Ekonomi Publik : Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, Malang : BPFE Unbraw. Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2003. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Bappenas. Jakarta.
Kodoatie, R.J. 2002. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Kuncoro, M. 2003. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebiijakan. Edisi Ketiga. Yogyakarta: AMP YKPN. Kuznets S. 1955. Economic growth and income inequality. The American Economic Review 45: 1-28.
Kwon, E. 2001. Infrastructure, growth, and poverty reduction in Indonesia: A Cross Sectional Analysis. Mimeo. Manila: Asian Development Bank. Malmberg,A., Hawton,K., & Simkin, S. 1997. A study of Suicide in Farmers and Wales. Journal of Psychosomatic Research, 43(1), 107-111.
Mankiw, N.G, David, R and David, N. W. 1992. "A Contribution to the Empirics of Economic Growth." NBER Working Papers 3541, National Bureau of Economic Research, Inc.
Masika, R dan Sally,B. Infrastructure and Poverty: A Gender Analysis. Institue of Development Studies. Report No. 51. June 1997. Nugroho, I. 2003. Strategi Pengembangan Sektor Air Bersih. Artikel Majalah Perencanaan Edisi 30 Tahun 2003. BAPPENAS. Jakarta. http://www.bappenas.go.id. Nurridzki, N. 2002. Peranan Pengeluaran Pembangunan Sektoral Pemerintah dan Modal Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi-Propinsi di Indonesia tahun 1983-1998. [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia. Oosterhaven, J. and J. P. Elhorst (2003) : "Indirect Economic Benefits of Transport Infrastructure Investments", Across The Border. pp. 143-161. De Boeck, Ltd. Oates, E.W. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development, National Tax Journal, XLVI. 237-243. Octaviani,D. 2001. Inflasi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Indonesia : Analisis Indeks Forrester Greer & Horbecke, Media Ekonomi, Hal. 100118, Vol. 7, No. 8. Queiroz, C. A. V., and S. Gautam. 1992. Road Infrastructure and Economic Development: Some Diagnostic Indicators. Washington, D.C.: Western Africa Dept. and Infrastructureand Urban Development Dept. World Bank. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long-Run Growth. The Journal of Political Economy, Vol. 94(5):1002-1037.
Salim, E. 1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Idayu Bappenas dan UNDP Indonesia. Sen, A.1995. The political economy of targeting. Di dalam Van de Walle D, Nead K, editor. Public Spending and The Poor. Baltimore: The John Hopkins University Press. Sibarani, H. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan konomi Indonesia (26 Provinsi di Indonesia Tahun 1983-1997). UI. Jakarta. Siregar, H dan Wahyuniarti. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. MB-IPB. Bogor. Sitompul, N.L. 2007. Analisis Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap PDRB Sumatera Utara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Son, H.H and Nanak, K. 2006. A New Measure of The Unemployment Rate: with Application to Brazil. UNDP International Poverty Centre Barsilia, Brazil. Suryahadi, A., Suryadarma, D., and Sumarto, S. 2006. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU Research Institute. Jakarta. Solow, R.M. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 70(1):65-94. Songco, J. 2002. Do Rural Infrastructure Investments Benefit the Poor? World Bank Working Paper 2796, Washington, D.C. Sukirno, S. 2000. Makroekonomi Teori Pengantar. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Tambunan TH. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Todaro, M.P. and Smith, S.C. 2003. “Economic Development”, Eighth Edition, United Kingdom : Pearson Education Limited. United Nations Centre for Human Settlements. 1995. An Urbanizing World, Global Report on Human Settlements 1996, Oxford, New York: Oxford University Press.
[UNDP] United Nations Development Programmes. 1991. Human Development Report 1991. New York: Oxford University Press.
Vasquez M, Jorge and Robert M. McNab. 2001. Fiscal Decentralization and Economic Growth. International Studies Program Working Paper. Atlanta : Andre Young School of Policy Studies, Georgia State University. Verbeek, Marno. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Edisi Ketiga. RSM Erasmus University, Rotterdam. Woldehanna, T. 2003. Proceedings of the 25th International Conference of Agricultural Economists (IAAE). Durban, South Africa. World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. Oxford University Press, New York. ----------------. 1997. On Line Source Book On Decentralization and Rural Development, Decentralization Thematic Team. Zhang, T and Zou, H, 1998. "Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China," Journal of Public Economics, Elsevier, Vol. 67(2), pages 221-240. .
Lampiran 1 Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan untuk Model di Jawa dengan Program STATA SE 10 # Mendifinisikan data dalam format panel . xtset prop tahun, yearly panel variable: prop (strongly balanced) time variable: tahun, 1993 to 2009 delta: 1 year # Penghitungan dalam model FEM . xtreg ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, fe Fixed-effects (within) regression Number of obs = Group variable: prop Number of groups = R-sq:
85 5
within = 0.8488 between = 0.0088 overall = 0.0028
Obs per group: min = 17 avg = 17.0 max = 17 F(6,74) = 69.23 corr(u_i, Xb) = -0.5441 Prob > F = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_pdrb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik| .2973954 .0689863 4.31 0.000 .1599373 .4348536 ln_ab | .0181748 .0269611 0.67 0.502 -.0355463 .071896 ln_jln | -.1277735 .0246865 -5.18 0.000 -.1769625 -.0785845 ln_pskesms| .0035885 .0006412 5.60 0.000 .0023109 .004866 ln_tk | -.3602829 .2084909 -1.73 0.088 -.7757102 .0551443 dd | -.0000348 .0263029 -0.00 0.999 -.0524445 .052375 _cons | 24.53426 3.588197 6.84 0.000 17.38462 31.6839 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | 1.3455315 sigma_e | .06810587 rho | .99744453 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(4, 74) = 36.47 Prob > F = 0.0000 . est sto fixed # Penghitungan dalam model REM . xtreg ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, re Random-effects GLS regression Group variable: prop
Number of obs Number of groups
= =
85 5
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
17 17.0 17
within = 0.7112 between = 0.9992 overall = 0.9883
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Wald chi2(6) Prob > chi2
= =
6594.51 0.0000
ln_pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik| .4550678 .0502045 9.06 0.000 .3566688 .5534669 ln_ab | .1679195 .0338524 4.96 0.000 .1015699 .234269 ln_jln |-.0195267 .028054 -0.70 0.486 -.0745115 .0354582 ln_pskesms| .0064039 .0008093 7.91 0.000 .0048176 .0079901 ln_tk | .8616967 .0205902 41.85 0.000 .8213406 .9020528 dd |-.1509627 .033594 -4.49 0.000 -.2168057 -.0851197 _cons | 6.377468 .4828495 13.21 0.000 5.431101 7.323836 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | 0 sigma_e | .06810587 rho | 0 (fraction of variance due to u_i) -------------------------------------------------------------------------
. est sto random # Penghitungan dalam Uji Hausman . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) | fixed random Difference S.E. -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik | .2973954 .4550678 -.1576724 .047314 ln_ab | .0181748 .1679195 -.1497446 . ln_jln | -.1277735 -.0195267 -.1082468 . ln_puskesmas | .0035885 .0064039 -.0028154 . ln_tk | -.3602829 .8616967 -1.22198 .2074717 dd | -.0000348 -.1509627 .1509279 . ------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 104.97 Prob>chi2 = 0.0000
Uji Hausman menunjukkan tolak H0, berarti model FEM yang paling sesuai # Penghitungan dalam Uji Woolridge untuk Asumsi Tidak Ada Autokorelasi Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 4) = 60.803 Prob > F = 0.0015
Uji Woolridge menunjukkan tolak H0, berarti terdapat autokorelasi dalam model terpilih # Penghitungan Uji Wald untuk Asumsi Homoskedastisitas . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (5) = 51.84 Prob>chi2 = 0.0000
Modified Wald Test menunjukkan tolak H0, berarti terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model terpilih. # Model terpilih dengan koreksi terhadap permasalahan heteroskedastisitas contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi (ar1) . xtpcse ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, corr (ar1) Prais-Winsten regression, correlated panels corrected standard errors (PCSEs) Group variable: Time variable: Panels: Autocorrelation:
prop tahun correlated (balanced) common AR(1)
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
15 1 7
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max R-squared Wald chi2(6) Prob > chi2
= = = = = = = =
85 5 17 17 17 0.9971 7560.99 0.0000
------------------------------------------------------------------------| Panel-corrected ln_pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik | .5530455 .0662619 8.35 0.000 .4231746 .6829163 ln_ab | .1351584 .0402404 3.36 0.001 .0562888 .2140281 ln_jln | .0214779 .0354445 0.61 0.545 -.047992 .0909479
ln_pskesmas| .0045787 .0011317 4.05 0.000 .0023607 .0067967 ln_tk | .8807358 .0246133 35.78 0.000 .8324946 .928977 dd |-.1208316 .0530424 -2.28 0.023 -.2247927 -.0168705 cons | 7.235929 .5941238 12.18 0.000 6.071468 8.40039 -------------+----------------------------------------------------------rho | .5400293 -------------------------------------------------------------------------
Lampiran 2 Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan untuk Model di Jawa dengan Program STATA SE 10 # Penghitungan dalam model FEM xtreg ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh, fe Fixed-effects (within) regression Number of obs Group variable: prop Number of groups R-sq:
= =
85 5
within = 0.3199 between = 0.0154 overall = 0.0238
Obs per group: min = 17 avg = 17.0 max = 17 F(3,77) = 12.07 corr(u_i, Xb) = -0.7973 Prob > F = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb | .5214539 .2396445 2.18 0.033 .0442608 .998647 ln_pengang~n| .2513296 .1116214 2.25 0.027 .0290629 .4735963 ln_ratarat~h|-.8307567 .6754577 -1.23 0.222 -2.175765 .5142515 _cons | 2.63936 3.189329 0.83 0.410 -3.711406 8.990126 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .98905095 sigma_e | .21901915 rho | .95325492 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(4, 77) = 82.21 Prob > F = 0.0000 . est sto fixed # Penghitungan dalam model REM . xtreg ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh, re Random-effects GLS regression Number of obs = 85 Group variable: prop Number of groups = 5 R-sq: within = 0.2710 Obs per group: min = 17 between = 0.0841 avg = 17.0 overall = 0.1157 max = 17 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(3) = 26.48 corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+--------------------------------------------------------ln_pdrb |-.0167787 .1641919 -0.10 0.919 -.338589 .3050315 ln_pengang| .2261664 .1029963 2.20 0.028 .0242975 .4280354 ln_ratarat| .4017806 .4166726 0.96 0.335 -.4148827 1.218444 _cons | 9.889398 2.02754 4.88 0.000 5.915493 13.8633 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .29101195 sigma_e | .21901915 rho | .63839628 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------. est sto random # Penghitungan dalam Uji Hausman . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) | fixed random Difference S.E. -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb | .5214539 -.0167787 .5382326 .174558 ln_pengang~n | .2513296 .2261664 .0251632 .0430246 ln_ratarat~h | -.8307567 .4017806 -1.232537 .5316268 ------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from Test: Ho: difference in coefficients not systematic chi2(3) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= Prob>chi2 =
9.45 0.0239
Uji Hausman menunjukkan tolak H0, berarti model FEM yang paling sesuai # Penghitungan dalam Uji Woolridge untuk Asumsi Tidak Ada Autokorelasi . xtserial ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh, output Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 4) = 44.045 Prob > F = 0.0027
Uji Woolridge menunjukkan tolak H0, berarti terdapat autokorelasi dalam model terpilih # Penghitungan Uji Wald untuk Asumsi Homoskedastisitas . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i
chi2 (5) = Prob>chi2 =
1.98 0.8524
Modified Wald Test menunjukkan terima H0, berarti tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model terpilih. # Model terpilih dengan koreksi terhadap permasalahan autokorelasi . xtgls ln_miskin ln_pdrbpre ln_pengangguran ln_rataratasklh, corr (ar1) Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: generalized least squares Panels: homoskedastic Correlation: common AR(1) coefficient for all panels (0.6545) Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
1 1 4
Number of obs Number of groups Time periods Wald chi2(3) Prob > chi2
= = = = =
85 5 17 52.12 0.0000
------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb |-.7070452 .1417731 -4.99 0.000 -.9849153 -.4291751 ln_pengang| .7549185 .115229 6.55 0.000 .5290739 .9807631 ln_ratat~h| 1.421027 .3754204 3.79 0.000 .6852164 2.156837 _cons | 12.86544 1.425478 9.03 0.000 10.07156 15.65933 -------------------------------------------------------------------------
Lampiran 3 Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan untuk Model di Luar Jawa dengan Program STATA SE 10 # Penghitungan dalam model FEM . xtreg ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, fe Fixed-effects (within) regression Number of obs = Group variable: prov Number of groups = R-sq:
within = 0.7008 between = 0.6493 overall = 0.6428
corr(u_i, Xb)
= 0.3843
Obs per group: min avg max F(6,330) Prob > F
= = = = =
357 21 17 17.0 17 128.84 0.0000
------------------------------------------------------------------------ln_pdrb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik | .235594 .0405048 5.82 0.000 .1559139 .3152742 ln_ab |.0129663 .0218751 0.59 0.554 -.030066 .0559986 ln_jln | .020831 .0147626 1.41 0.159 -.0082097 .0498717
ln_pusksms |.0048843 .0016848 2.90 0.004 .0015701 .0081986 ln_tk |.6618725 .1038033 6.38 0.000 .4576729 .8660722 dd |.0555075 .0208609 2.66 0.008 .0144703 .0965447 _cons |8.297414 1.692421 4.90 0.000 4.96812 11.62671 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .52056867 sigma_e | .11644974 rho | .95234428 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(20, 330) = 212.03 Prob > F = 0.0000 . est sto fixed # Penghitungan dalam model REM . xtreg ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, re Random-effects GLS regression Number of obs = 357 Group variable: prov Number of groups = 21 R-sq: within = 0.7005 Obs per group: min = 17 between = 0.6522 avg = 17.0 overall = 0.6466 max = 17 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(6) = 791.17 corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik|.2500969 .0394618 6.34 0.000 .1727532 .3274405 ln_ab |.0142935 .0221207 0.65 0.518 -.0290623 .0576494 ln_jln |.0249174 .0148838 1.67 0.094 -.0042543 .0540891 ln_psksmas| .005243 .0016986 3.09 0.002 .0019139 .0085721 ln_tk |.6834638 .092101 7.42 0.000 .5029491 .8639785 dd |.0472341 .0210585 2.24 0.025 .0059601 .0885081 _cons |8.131539 1.5173 5.36 0.000 5.157686 11.10539 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .41165812 sigma_e | .11644974 rho | .92590797 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------. est sto random # Penghitungan dalam Uji Hausman . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) | fixed random Difference S.E. -------------+--------------------------------------------------------------ln_listrik | .235594 .2500969 -.0145028 .0091328 ln_ab | .0129663 .0142935 -.0013273 . ln_jln | .020831 .0249174 -.0040863 . ln_puskesmas | .0048843 .005243 -.0003587 . ln_tk | .6618725 .6834638 -.0215913 .0478803 dd | .0555075 .0472341 .0082734 . ------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 75.95 Prob>chi2 = 0.0000
Uji Hausman menunjukkan tolak H0, berarti model FEM yang paling sesuai # Penghitungan dalam Uji Woolridge untuk Asumsi Tidak Ada Autokorelasi . xtserial ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, output Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 20) = 129.062 Prob > F = 0.0000
Uji Woolridge menunjukkan tolak H0, berarti terdapat autokorelasi dalam model terpilih
# Penghitungan Uji Wald untuk Asumsi Homoskedastisitas . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (21) = Prob>chi2 =
1698.34 0.0000
Modified Wald Test menunjukkan tolak H0, berarti terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model terpilih. # Model terpilih dengan koreksi terhadap permasalahan heteroskedastisitas contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi (ar1) . xtpcse ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd, corr (ar1) (note: estimates of rho outside [-1,1] bounded to be in the range [-1,1]) Prais-Winsten regression, correlated panels corrected standard errors (PCSEs) Group variable: Time variable: Panels: Autocorrelation:
prov tahun correlated (balanced) common AR(1)
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
231 1 7
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max R-squared Wald chi2(6) Prob > chi2
= = = = = = = =
357 21 17 17 17 0.9922 524.81 0.0000
------------------------------------------------------------------------| Panel-corrected ln_pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik| .3374637 .0555478 6.08 0.000 .228592 .4463354 ln_ab | .0415669 .0271268 1.53 0.125 -.0116007 .0947346 ln_jln | .0043931 .0232843 0.19 0.850 -.0412434 .0500295 ln_pusksms| .00 5663 .0019049 2.97 0.003 .0019294 .0093966 ln_tk | .7499097 .0446191 16.81 0.000 .6624579 .8373614 dd |-.0051537 .028895 -0.18 0.858 -.0617868 .0514795 _cons | 7.80029 .8294816 9.40 0.000 6.174536 9.426044 -------------+----------------------------------------------------------rho | .8238999 -------------------------------------------------------------------------
Lampiran 4 Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan untuk Model di Luar Jawa dengan Program STATA SE 10 # Penghitungan dalam model FEM . xtreg ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov
Number of obs Number of groups
= =
356 21
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
16 17.0 17
within = 0.2365 between = 0.0209 overall = 0.0316
corr(u_i, Xb)
= -0.1349
F(3,332) Prob > F
= =
34.27 0.0000
------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb | .3397415 .1184836 2.87 0.004 .1066683 .5728147 ln_pengangn| .1635478 .0388328 4.21 0.000 .0871584 .2399373 ln_ratarata|-.4222983 .3155182 -1.34 0.182 -1.042965 .1983686 _cons | 6.328538 1.364 4.64 0.000 3.645365 9.011711
-------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .93059962 sigma_e | .21877232 rho | .94762826 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(20, 332) = 295.52 Prob > F = 0.0000 . est sto fixed # Penghitungan dalam model REM . xtreg ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh, re Random-effects GLS regression Number of obs = Group variable: prov Number of groups = R-sq:
within = 0.2365 between = 0.0208 overall = 0.0315
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Obs per group: min = avg = max = Wald chi2(3) Prob > chi2
= =
356 21 16 17.0 17 103.26 0.0000
------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb |.3349692 .1144573 2.93 0.003 .110637 .5593015 ln_pengang~n|.1629681 .0386328 4.22 0.000 .0872491 .2386871 ln_ratarat~h|-.4179115 .3054819 -1.37 0.171 -1.016645 .180822 _cons |6.401366 1.336088 4.79 0.000 3.78268 9.020051 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .96635108 sigma_e | .21877232 rho | .95124627 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------. est sto random
# Penghitungan dalam Uji Hausman . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) | fixe rando Difference S.E. -------------+----------------------------------------------------------pdrbpre | .3397415 .3349692 .0047723 .0306248 ln_pengang~n | .1635478 .1629681 .0005797 .0039361 ln_ratarat~h | -.4222983 -.4179115 -.0043868 .0789465 ------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(3) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 0.60 Prob>chi2 = 0.8968
Uji Hausman menunjukkan tidak cukup bukti untuk menolak H0, berarti model REM yang paling sesuai
Lampiran 5 Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan untuk Model Gabungan dengan Program STATA SE 10 # Penghitungan dalam model FEM . xtreg ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd dw_ab, fe Fixed-effects (within) regression Number of obs = 442 Group variable: prop Number of groups = 26 R-sq:
within = 0.6846 between = 0.7982 overall = 0.7943
Obs per group: min = avg = max =
17 17.0 17
F(7,409) = 126.83 corr(u_i, Xb) = 0.4407 Prob > F = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_pdrb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik | .2367901 .035486 6.67 0.000 .1670324 .3065478 ln_ab |-.0174076 .0302395 -0.58 0.565 -.0768518 .0420366 ln_jln | .0055385 .0120538 0.46 0.646 -.0181567 .0292338 ln_pskesmas | .0016628 .0006531 2.55 0.011 .0003789 .0029468 ln_tk | .7014113 .0954085 7.35 0.000 .513859 .8889636 dd | .0305829 .0186421 1.64 0.102 -.0060635 .0672293 dw_ab | .0006064 .032123 0.02 0.985 -.0625404 .0637531 _cons | 7.916411 1.602358 4.94 0.000 4.766527 11.06629 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .68413574 sigma_e | .11456928 rho | .97272029 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 409) = 202.18 Prob > F = 0.0000 . est sto fixed # Penghitungan dalam model REM . xtreg ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd dw_ab, re Random-effects GLS regression Number of obs = 442 Group variable: prop Number of groups = 26 R-sq: within = 0.6805 Obs per group: min = 17 between = 0.8137 avg = 17.0 overall = 0.8106 max = 17 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(7) = 1047.82 corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik | .190894 .032126 5.94 0.000 .1279282 .2538598 ln_ab | .02188 .028114 0.78 0.436 -.0332225 .0769824 ln_jln | .0048612 .0123382 0.39 0.694 -.0193212 .0290437 ln_pskesmas| .0021692 .000675 3.21 0.001 .0008462 .0034921 ln_tk | .8779248 .0579636 15.15 0.000 .7643183 .9915313 dd | .0313222 .0192732 1.63 0.104 -.0064525 .0690969 dw_ab | -.020199 .0286626 -0.70 0.481 -.0763766 .0359787 _cons | 4.833236 1.002299 4.82 0.000 2.868766 6.797706 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .36242941 sigma_e | .11456928 rho | .90914998 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------. est sto random # Penghitungan dalam Uji Hausman . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | random fixed Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------
ln_listrik | .190894 .2367901 -.0458961 . ln_ab | .02188 -.0174076 .0392876 . ln_jln |.0048612 .0055385 -.0006773 .0026337 ln_puskesmas |.0021692 .0016628 .0005063 .0001702 ln_tk |.8779248 .7014113 .1765135 . dd |.0313222 .0305829 .0007393 .0048913 dw_ab |-.020199 .0006064 -.0208053 . ------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 19.90 Prob>chi2 = 0.0058
Uji Hausman menunjukkan tolak H0, berarti model FEM yang paling sesuai # Penghitungan dalam Uji Woolridge untuk Asumsi Tidak Ada Autokorelasi Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 25) = 89.195 Prob > F = 0.0000
Uji Woolridge menunjukkan tolak H0, berarti terdapat autokorelasi dalam model terpilih # Penghitungan Uji Wald untuk Asumsi Homoskedastisitas . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (26) = Prob>chi2 =
2074.99 0.0000
# Model terpilih dengan koreksi terhadap permasalahan heteroskedastisitas contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi (ar1) . xtpcse ln_pdrb ln_listrik ln_ab ln_jln ln_puskesmas ln_tk dd dw_ab, corr (ar1) (note: estimates of rho outside [-1,1] bounded to be in the range [-1,1]) Prais-Winsten regression, correlated panels corrected standard errors (PCSEs) Group variable: Time variable: Panels: Autocorrelation:
prop tahun correlated (balanced) common AR(1)
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
351 1 8
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max R-squared Wald chi2(7) Prob > chi2
= = = = = = = =
442 26 17 17 17 0.9885 2840.60 0.0000
------------------------------------------------------------------------| Panel-corrected ln_pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_listrik | .0576344 .0274393 2.10 0.036 .0038544 .1114144 ln_ab | .1861146 .0464779 4.00 0.000 .0950196 .2772095 ln_jln | -.09368 .0215221 -4.35 0.000 -.1358625 -.0514975 ln_puskesmas| .0077231 .0013853 5.58 0.000 .005008 .0104383 ln_tk | .8150744 .031613 25.78 0.000 .7531141 .8770347 dd | .0048195 .0405262 0.12 0.905 -.0746105 .0842494 dw_ab |-.0183591 .0106673 -1.72 0.085 -.0392665 .0025484 _cons | 3.536337 .530296 6.67 0.000 2.496976 4.575698 -------------+----------------------------------------------------------rho | .7259617 -------------------------------------------------------------------------
Lampiran 6 Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan terhadap Kemiskinan untuk Model Gabungan dengan Program STATA SE 10 # Penghitungan dalam model FEM . xtreg ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh dw_pdrb dw_pengangguran dw_rataratasklh, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prop
Number of obs Number of groups
= =
441 26
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
16 17.0 17
within = 0.1894 between = 0.3403 overall = 0.3269
F(6,409) = 15.93 corr(u_i, Xb) = 0.0597 Prob > F = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb | .2097846 .2799074 0.75 0.454 -.340452 .7600211 ln_pengang| .4251183 .1305423 3.26 0.001 .1685007 .681736 ln_ratarat|-1.473853 .9203353 -1.60 0.110 -3.283031 .3353244 dw_pdrb |-.0011338 .3038911 -0.00 0.997 -.5985171 .5962496 dw_pengang|-.2459539 .1379898 -1.78 0.075 -.5172116 .0253039 dw_ratarat| 1.456911 .9818972 1.48 0.139 -.4732839 3.387106 _cons | 7.020798 1.425687 4.92 0.000 4.21821 9.823386 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .74485943 sigma_e | .25977326 rho | .89155971 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 409) = 84.17 Prob > F = 0.0000 . est sto fixed # Penghitungan dalam model REM . xtreg ln_miskin ln_pdrb ln_pengangguran ln_rataratasklh dw_pdrb dw_pengangguran dw_rataratasklh, re Random-effects GLS regression Number of obs = 441 Group variable: prop Number of groups = 26 R-sq: within = 0.1840 Obs per group: min = 16 between = 0.5081 avg = 17.0 overall = 0.4788 max = 17 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(6) = 116.35 corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 ------------------------------------------------------------------------ln_miskin | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrb | .3982093 .0944052 4.22 0.000 .2131785 .5832401 ln_pengang~| .3043973 .1066645 2.85 0.004 .0953386 .5134559 ln_ratarat~|-1.371696 .5980721 -2.29 0.022 -2.543896 -.1994962 dw_pdrb |-.0559864 .069092 -0.81 0.418 -.1914042 .0794315 dw_pengang |-.1318088 .1154211 -1.14 0.253 -.3580301 .0944125 dw_ratarat~| 1.18289 .6518725 1.81 0.070 -.0947566 2.460537 _cons | 5.289496 1.035304 5.11 0.000 3.260337 7.318655 -------------+----------------------------------------------------------sigma_u | .65819551 sigma_e | .25977326 rho | .86522533 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------. est sto random # Penghitungan dalam Uji Hausman . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fixed random Difference S.E. -------------+----------------------------------------------------------ln_pdrbpre | .2097846 .3982093 -.1884247 .2635067
ln_pengang~n | .4251183 .3043973 .1207211 .0752594 ln_ratarat~h | -1.473853 -1.371696 -.1021572 .6995189 dw_pdrb | -.0011338 -.0559864 .0548526 .2959326 dw_pengang~n | -.2459539 -.1318088 -.114145 .0756251 dw_ratarat~h | 1.456911 1.18289 .2740209 .7342917 ------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 7.79 Prob>chi2 = 0.2542
Uji Hausman menunjukkan tidak cukup bukti untuk menolak H0, berarti model REM yang paling sesuai .