Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia A. A. Miftah Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstract: Within the Islamic law, zakat has essentially been defined as a scheme to diminish poverty. However, this issue of poverty has in fact remained an unsolved problem in many Muslim-majority countries, including Indonesia. This indicates that zakat-based fund has not yet contributed sufficiently in solving poverty-related problems. There are a number of possible factors contributing to this failure. One of them is the continuing practice of traditional management of zakat. Due to this problem, there appears an urgency to redefine the concept of zakat in the level of perception, law system, management and applications. Keywords: zakat, redefinition, poverty
I. Pendahuluan Zakat bukan sesuatu yang baru dalam pandangan orang-orang Islam. Orang-orang Islam sangat mempercayai dan meyakini bahwa zakat merupakan salah satu dari salah satu pilar agama Islam. Kebanyakan orang Islam pun berkeyakinan bahwa zakat mempunyai peran penting dalam pemberdayaan ekonomi umat. Namun demikian fakta di dunia emperik menunjukkan hal yang berlawanan. Negara-negara dimana mayoritas penduduknya beragama Islam masih tergolong negara sedang berkembang dengan tingkat kemiskinan Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
313
A.A. Miftah
yang masih tinggi. Satu contoh yang pantas untuk dikemukakan adalah negara Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hampir 90% dari total jumlah penduduk negara Indonesia beragama Islam. Angka kemiskinan di Indonesia terbilang cukup tinggi. Data dari BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 40 juta jiwa. Sementara data dari bank dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 60% atau 135 juta jiwa. Terlepas dari perbedaan data yang ditunjukkan BPS dan bank dunia tersebut, yang jelas persoalan kemiskinan masih menjadi persoalan yang amat krusial di Indonesia. Dan pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang sangat serius dalam soal mengatasi kemiskinan ini. Alokasi dana yang diperuntukkan bagi upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan tersebut sangat besar. Pada sisi lain, potensi zakat menunjukkan angka yang sangat pantastis. Hasil penghitungan kasar yang dibuat oleh Eri Sudewo pada 2006 lalu menunjukkan bahwa potensi zakat di Indonesia ini bisa mencapai angka 10,8 triliyun rupiah pertahunnya. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa potensi zakat yang besar tersebut belum dapat tergali secara maksimal sehingga tidak mengherankan jika angka kemiskinan di Indonesia masih cukup besar. Pertanyaan yang akan muncul kemudian dari kenyataan seperti ini adalah mengapa potensi zakat yang besar tersebut belum dapat tergali secara maksimal. Tulisan ini mencoba untuk memberikan sebahagian jawaban dari pertanyaan tersebut. Tulisan ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa potensi zakat dapat digali secara maksimal manakala ada pembaharuan dalam konsep zakat yang dipahami oleh umat Islam selama ini. Atas dasar asumsi ini, penulis mencoba untuk mengurai aspek-aspek apa saja yang harus diperbaharui dari zakat tersebut. Namun sebelum sampai pada uraian pokok tersebut, penulis akan mendeskripsikan terlebih dahulu faktor-faktor penyebab kemiskinan dan peranan zakat, zakat dalam sejarah dan zakat sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fikih, lebih khusus lagi fikih mazhab Syafi’i. 314
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
II. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan dan Peran Zakat Kemiskinan merupakan sebuah kondisi hidup yang serba kekurangan. Yusuf Qaradhawi menyatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya permasalahan ekonomi karena lemahnya sumber penghasilan.1 Pakar ekonomi melihat kemiskinan dari berbagai aspek. Pada aspek primer kemiskinan terlihat dari miskin asset, organisasi sosial politik, pendidikan, dan keterampilan. Dan pada aspek sekunder kemiskinan terlihat pada kemiskinan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.2 Kemiskinan terjadi tidak serta merta disebabkan oleh faktorfaktor yang bersifat ekonomi. Kemiskinan terjadi juga disebabkan oleh faktor budaya, sosial, dan politik. Penyebab utama kemiskinan adalah karena kelemahan dari segi modal. Kelemahan modal disebabkan karena ketidakmampuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam. Ketidakmampuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam berdampak pada rendahnya produktifiktas. Rendahnya produktifiktas berakibat pada rendahnya pendapatan. Pendapatan yang rendah berakibat pada rendahnya tabungan dan insentif. Rendahnya tabungan dan insentif berakibat pula pada rendahnya pembentukan modal. Lingkaran kemiskinan demikian menyisahkan variable lain yaitu variabel sosial, budaya, dan politik. Ketidakmampuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam berakar pada rendahnya tingkat pendidikan. Kemudian rendahnya produktifitas berakar pada lemahnya etos kerja. Dan kelemahan etos kerja disebabkan oleh adanya sebuah keyakinan bahwa kemiskinan merupakan takdir Tuhan. Variabel politik terlihat pada keberpihakan yang lebih dari pemerintah terhadap pemilik modal ketimbang kepada kepentingan rakyat
Yusuf Qaradhawi, Daur al-Zakat fi Ilaj al-Musykilat al-Iqtishadiyyah, diterjemahkan dengan judul “Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan” oleh Sari Narulita, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), h. 21 2 Imamudin Yuliadi, Perekonomian Indonesia Masalah dan Implementasi Kebijakan, (Yogyakarta: UPFE-UMY, 2007), 157 1
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
315
A.A. Miftah
banyak.3 Dengan demikian kemiskinan tidak berdiri sendiri, banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya kemiskinan. Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kemiskinan akan menghasilkan sebuah langkah-langkah yang tepat dalam mengatasi kemiskinan tersebut. Peran zakat dalam mengatasi kemiskinan karena zakat merupakan jalan atau sarana yang dilegalkan oleh agama dalam pembentukan modal. Dalam konteks ini, pembentukan modal tidak semata-mata dari pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam, tetapi juga berasal dari sumbangan wajib orang kaya yang menyisihkan sebagian kecil harta kekayaannya. Di samping itu, zakat juga berperan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penyediaan sarana dan prasarana produksi. Efek yang muncul kemudian ketika sumber daya manusia berkualitas serta sarana dan prasarana tersedia secara memadai adalah termanfaatkannya secara maksimal sumber daya alam yang akan berdampak pada secara berantai terhadap produktifitas yang tinggi, pendapatan riil yang tinggi, tabungan dan insentif yang tinggi, dan berakhir pada terpenuhinya modal.
III. Zakat dalam Sejarah Penelusuran ajaran zakat melalui sejarah merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk dapat memahami kedudukan ajaran zakat dalam ajaran Islam secara lebih baik. Tanpa menelusurinya melalui sejarah, besar kemungkinan akan terjadi ketidaktepatan dalam memahami ajaran zakat tersebut. Ajaran zakat sesungguhnya telah ada sebelum Islam mendeklarasikannya. Dalam kitab Talmud dan Perjanjian Lama serta Perjanjian Baru, ajaran zakat telah dikemukakan.4 Sungguhpun demikian belum dapat dipastikan apakah ajaran zakat yang ada dalam Islam Imamudin Yuliadi, Perekonomian Indonesia Masalah dan Implementasi Kebijakan, h. 158-159 4 Untuk lebih jelasnya dapat dibaca penjelasan Robert Roberts, The Social Laws of The Qur’an, (Delhi: Kitab Bhawan, 1977), h. 75 3
316
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
sama persis dengan ajaran zakat yang ada pada agama-agama sebelumnya. Suatu hal yang pasti yang bisa dikatakan bahwa spirit ajaran zakat dalam Islam dan agama sebelumnya besar kemungkinan sama. Sebab agama-agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT merupakan agama pembebas yang memperhatikan secara serius persoalan penindasan kepada kaum lemah dan orang-orang yang tidak berdaya. Dalam Islam sendiri ajaran zakat mengalami perkembangan. Ajaran zakat telah diintrodusir oleh Allah SWT ketika Nabi Muhammad SAW masih di kota Mekkah, sebelum ia berhijrah ke kota Madinah. Ajaran zakat selama periode Makkah masih bersifat umum. Keumuman ajaran zakat selama periode Makkah terlihat dari belum ditetapkannya nisab, haul, dan petugas-petugas khusus yang menanganinya. Selain itu ajaran zakat masih bersifat anjuran berbuat kebajikan kepada orang-orang fakirmiskin dan orang yang memerlukan bantuan saja. Kenyataan demikian sangat berbeda dengan ajaran zakat selama periode Madinah. Pada periode Madinah ini terjadi perubahan dalam ajaran zakat. Dari sisi hukum, ajaran zakat merupakan kewajiban yang bersifat ilzami. Dari sisi sumber dan ketentuannya, maka telah ditentukan harta apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya serta jumlah yang harus dikeluarkan.5 Demikian pula dengan orang yang mengumpulkan dan mendistribusikannya. Ringkasnya ada perubahan-perubahan penting dalam ajaran zakat. Perubahan-perubahan penting dalam ajaran zakat tersebut sangat terkait dengan bertambahnya peran yang bisa dimainkan oleh Rasulullah pasca hijrah ke kota Madinah. Hijrah ke kota Madinah telah menjadikan Rasulullah tidak lagi semata-mata sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin Negara. Dalam bahasa yang dikemas oleh Watt, Rasulullah dikatakan sebagai the prophet and statesman. Sebagai pemimpin negara sudah barang tentu ada kewajiban bagi Rasulullah untuk mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Untuk memenuhi kewajibannya ini, maka Rasulullah mencari sarana-sarana yang dipandang efektif dapat A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h.74. 5
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
317
A.A. Miftah
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Untuk mencapai tujuan itulah, maka kemudian Rasulullah menetapkan zakat sebagai salah satu item pendapatan Negara selain Jizyah, Kharaj, Ghanimah, dan al-Fay. Bahkan dalam penilaian Prof. K. Ali, Rasulullah merupakan orang pertama yang menetapkan kekayaan publik di Madinah.6 Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah berkaitan dengan zakat tampaknya menjadi sebuah sunnah yang diikuti oleh generasi sesudahnya, miskipun demikian terdapat pula sedikit penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian sahabat. Abu Bakar merupakan sahabat Rasulullah yang gigih dan pejuang keras yang mempertahankan sunnah Rasulullah berkaitan dengan sistem pelaksanaan zakat. Tidak lama setelah Rasulullah wafat, terdapat sekelompok umat Islam yang tidak mau melaksanakan kewajiban zakat sebagaimana sistem yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Kelompok tersebut akhirnya diperangi oleh Abu Bakar. Pada masa Umar bin Khattab terjadi penyimpangan-penyimpangan berkaitan dengan pelaksanaan zakat. Umar tidak lagi memberikan porsi muallaf qulubuhum sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Begitupula Umar mewajibkan agar kuda dikeluarkan zakatnya, sementara Rasulullah tidak mewajibkannya.7 Penyimpangan berikutnya dilakukan oleh khalifah Usman bin Affan. Usman bin Affan memberikan kewenangan kepada pemilik harta untuk menyerahkan secara langsung zakatnya kepada mustahik yang berhak menerimanya.8 Apa yang telah dilakukan oleh Usman diikuti oleh penguasapenguasa dinasti Umayyah. Hanya saja dalam sejarah perkembangan dinasti Umayyah ini terdapat salah seorang khalifah yang mengharuskan adanya kewajiban zakat dari harta yang diperoleh dari gaji dan honorarium9 yang dalam istilah saat ini disebut dengan zakat 6
K. Ali, A. Study of Islamic History, (Delhi: Idarah-I Adabiyat, 1980), h.
77 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h.713 Abd Allah al-Tayyar, Az-Zakat wa Tatbiquha al-Mu’ashirah, (Riyadh: Dar al-Watan, 1414), h. 50 9 Yusuf Qaradhawi, Fiqh Az-Zakat, h. 534-535 7 8
318
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
profesi. Perpindahan kekuasaan dari dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiah tampaknya tidak membawa hal baru berkaitan dengan zakat. Zakat dilaksanakan sebagaimana pelaksanaan sebelumnya. Dalam struktur kenegaraan dinasti Abbasiah, zakat memiliki departemen sendiri yakni departemen shadaqah. Departemen ini bertanggung jawab dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat. Memasuki abad pertengahan, zakat tidak mengalami perkembangan yang berarti. Zakat masih tetap dilaksanakan sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Zakat baru terpinggirkan sebagai sumber pendapatan Negara ketika kolonialis menguasai dunia Islam. Diperkenalkannya sistem pajak yang sekuler, mengakibatkan zakat kehilangan posisi menonjolnya dalam kehidupan muslim.10 Di abad modern, zakat kembali mendapat perhatian dari pemimpin Islam. Pada tahun 1944 negara Yordania mengeluarkan Undang-undang zakat No 35 di masa pemerintahan Abdullah bin Husain, penguasa Yordania bagian Timur. Arab Saudi mengeluarkan keputusan kerajaan tentang zakat yang tertuang dalam No 17/28/8634 di tahun 1951. Jami’ah Arabiah juga mengadakan diskusi tentang zakat di tahun 1952. Dalam diskusi itu muncul gagasan agar zakat kembali dikumpulkan oleh Negara. Negara-negara Arab yang lain baru mengeluarkan Undang-undang berkenaan dengan zakat pada tahun 1970-an. Di Pakistan Ordonansi Zakat dan Ushr No. XVIII dikeluarkan pada tahun 1980. Sudan mengeluarkan Undang-undang Zakat No. 3 Tahun 1984.11 Uraian sejarah ajaran zakat di atas setidaknya menjadi dasar pemikiran bahwa pembaharuan terhadap ajaran zakat sangat dimungkinkan. Sejarah di atas menginformasikan adanya penyesuaian-penyesuaian terhadap ajaran zakat. Ajaran zakat dapat didialogkan dengan realitas yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Ajaran zakat memungkinkan untuk diperbaharui sesuai dengan John. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 368 11 A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum, h. 108-109 10
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
319
A.A. Miftah
perkembangan kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi masyarakat Islam.
IV. Zakat dan Kitab Fikih Dalam konteks pelaksanaan zakat di masyarakat, maka sangat terasa bahwa prilaku berzakat sebagian besar umat Islam sangat ditentukan oleh pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapatkan dalam kitabkitab fikih. Kedudukan kitab-kitab fikih di mata sebagian besar umat Islam sama posisinya dengan syari’ah itu sendiri. Tidak dipungkiri bahwa keberadaan kitab fikih sangat penting artinya dalam keberagamaan umat Islam. Melalui kitab-kitab fikih, keberagamaan umat Islam terbentuk yang selanjutnya menjadi sebuah peradaban. Sebagaimana diketahui bahwa mazhab yang mendominasi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya, adalah mazhab Syafi’i. Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran mazhab Syafi’i ini sangat kental mewarnai keberagamaan umat Islam di nusantara, termasuk dalam pelaksanaan zakat. Pemikiran mazhab Syafi’i disebarluaskan melalui pesantren, madrasah, atau lembaga pendidikan yang sejenis. Kitab-kitab fikih yang diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut, antara lain, fath al-mu’in, alBajuri, Tahrir al-Tullab, Tuhfa, Nihayah, dan Minhaj al-Talibin. Suatu hal yang sangat aneh kitab al-Umm buah karya Imam Syafi’i sendiri tidak dijadikan referensi.12 Sejak kedatangan Islam di nusantara hingga permulaan abad ke-20 pemikiran hukum Islam yang mendominasi pemikiran hukum Islam umat Islam Indonesia adalah pemikiran hukum Syafi’iyyah. Baru sekitar awal abad ke-20 pemikiran hukum lain diperkenalkan ke nusantara melalui gerakan tajdid yang dimotori oleh Muhammadiyyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Pemikiran hukum Hanbaliyyah terutama pemikiran Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim diperkenalkan kepada masyarakat Islam IndoYudian Wahyudi, The Position of Islamic Law In The Indonesian Legal System 1900-2003), Dalam Suaidi Asy’ari dkk (ed), Application of Islamic World View Into Islamic Society, Islamic Law, Philosophy and Economy, (Jambi: PPs IAIN STS Jambi, 2008), h.27-28 12
320
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
nesia. Selain itu mereka juga memperkenalkan pemikiran Sayyid Sabiq dan Ibn Rusyd.13 Kendati mazhab lain diperkenalkan, akan tetapi hal itu tidak serta merta meruntuhkan pengaruh kuat mazhab Syafi’i dalam realitas keberagamaan masyarakat Islam Indonesia. Bahkan pengaruh mazhab Syafi’i itu masih dirasakan hingga saat ini, termasuk dalam pelaksanaan zakat. Cara pandang lama terhadap zakat tersebut agaknya belum juga mengalami perubahan secara drastis miskipun pemikiran-pemikiran baru berkenaan dengan zakat telah diperkenalkan. Pemikiran Yusuf Qaradhawi, lewat karya fiqih zakatnya yang sangat baik, belum menyentuh sebagian pemikiran umat. Akibatnya pola berzakat masyarakat masih secara tradisional. Tragedi di daerah Pasuruan Jawa Timur yang menewaskan 21 orang pada saat pemberian zakat pada September 2008 lalu ada salah satu bukti yang menunjukkan ketradisionalan cara berzakat umat Islam.
V. Aspek-aspek Pembaharuan Zakat Melihat kepada potensi zakat yang bisa digali dari umat Islam dan efeknya bagi pengentasan kemiskinan, maka pembaharuan zakat menjadi penting untuk dilakukan. Ada beberapa aspek dari zakat yang harus segera diperbaharui. 1. Pembaharuan pada aspek pemahaman. 2. Pembaharuan pada aspek manajemen. 3. Pembaharuan pada aspek hukum. 4. Pembaharuan pada aspek pendayagunaan, Pembaharuan pada aspek pemahaman adalah dengan merubah cara pandang umat Islam terhadap zakat. Cara pandang yang lebih kental nuansa fikihnya harus ditambah dengan cara pandang lain yang memungkinkan zakat dapat diberdayakan. Cara pandang ekonomi dan sosial agaknya dapat ditambahkan dalam melihat kewajiban zakat. Jika selama ini sebagian besar umat masih memandang zakat sebagai ibadah yang terlepas kaitannya dengan persoalan sosial dan ekonomi, maka saat ini zakat harus dipandang sebagai 13
Yudian, The Position of Islamic Law, h. 28
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
321
A.A. Miftah
sumber kekuatan ekonomi umat yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sosial umat Islam. Dengan cara pandang demikian itu, maka pelaksanaan zakat tidak lagi semata-mata dilihat dari persoalan sah-tidaknya atau boleh-tidak bolehnya. Tetapi pelaksanaan zakat dilihat pula dari dimensi ekonomi dan sosialnya. Ketika seseorang akan menunaikan kewajiban zakatnya, maka dia tidak cukup hanya memperhatikan nilai sahtidaknya kewajiban zakat tersebut. Dia harus juga memperhitungkan dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dari zakat yang Ia bayarkan. Pembaharuan pada aspek pemahaman memiliki nilai yang sangat penting dalam konteks pemberdayaan zakat. Sebab pemahaman seseorang tentang sesuatu akan mempengaruhi prilakunya. Dalam filsafat fenomenologis dikemukakan bahwa tingkah laku manusia merupakan konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup dikepala manusia yang bersangkutan. Sebagai contoh membayar zakat secara langsung kepada mustahiq dan membayar zakat melalui lembaga. Dalam kasus pembayaran zakat secara langsung, muzakki tentu dipengaruhi oleh doktrin keabsahan dan kebolehan pembayaran zakat secara langsung tersebut. Pembayaran zakat secara langsung ini hanya mementingkan legalformalnya saja, tanpa terlalu memperhatikan dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh pembayaran zakat seperti itu. Sementara dalam kasus muzakki membayarkan zakatnya melalui lembaga, muzakki dipengaruhi tidak saja oleh persoalan keabsahan dan kebolehannya saja, tetapi muzakki juga memperhitungkan efek ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dari pembayaran zakat melalui lembaga. Dua kasus ini merupakan bukti bahwa pemahaman zakat seseorang akan menentukan prilaku yang berbeda dalam berzakat. Dahulu, Prof. Dr. Sofwan Idris telah pernah mengusulkan pembaharuan pemahaman zakat melalui gagasan transformatifnya. Gagasan transformatif yang diusung oleh Sofwan Idris berangkat dari asumsi bahwa missi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Pada tataran praktis-operasional, gagasan ini menekankan pada pemecahan masa322
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
lah-masalah emperis dalam bidang sosial ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran masyarakat akan hak-hak dan kewajibannya, dan berorientasi pada keadilan. Sedangkan pada tataran teoritik, gagasan transformatif ini menekankan teori-teori sosial alternatif yang didasarkan pada pandangan dunia Islam.14 Pembaharuan pemahaman terhadap zakat dimulai dari pembaharuan terhadap fikih zakat itu sendiri. Jika selama ini dalam fikih, zakat ditempatkan sebagai bagian dari ibadah, maka zakat harus ditempatkan dalam aspek muamalat (ekonomi) atau menjadi kajian yang berdiri sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yusuf Qaradhawi melalui karya monumentalnya “fiqh al-zakat”. Dalam karya ini zakat tidak hanya dilihat dari sisi ajaran normatifnya saja, tetapi zakat juga dilihat dari sisi historis dan filosofisnya. Dan agaknya pendekatan semacam inilah yang harus terus menerus dilakukan dalam sosialisasi zakat. Melalui pendekatan historis, filosofis, dan normatif, akan terjadi perubahan pandangan terhadap zakat. Pembaharuan pada aspek manajemen agaknya merupakan pembaharuan yang sangat penting dan fundamental. Pembaharuan pada aspek manajemen zakat ini sesungguhnya telah diperkenalkan melalui pelembagaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian disusul dengan Keputusan Menteri Agama No. 581 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000. Melalui pelembagaan Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut, pengelolaan zakat dilakukan mengikuti manajemen modern. Dalam kelembagaan pengelolaan zakat, terdapat unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana. Keberadaan tiga unsur dalam kelembagaan pengelolaan zakat menunjukkan adanya penerapan manajemen modern dalam pengelolaan zakat. Sungguhpun demikian bukan berarti tidak ada kelemahan dalam manajemen zakat sebagaimana yang diperkenalkan oleh Undang-undang No. 38 tahun 1999 tersebut. Kelemahan yang segera terlihat dalam manajemen Sofwan Idris, Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Jakarta: Putra Bangsa, 1997), h.23-24 14
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
323
A.A. Miftah
zakat adalah terdapatnya dua lembaga yang dilegalkan oleh Undang-undang sebagai pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Keberadaan dua lembaga pengelolaan zakat semacam ini justeru menciptakan kerancuan dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dan ini ditambah lagi dengan ketidakjelasan batas wilayah dan kerja antara BAZ dan LAZ tersebut. Karena itu, keberadaan lembaga pengelola zakat perlu disempurnakan. Hemat penulis, penyempurnaan yang perlu segera dilakukan dalam kelembagaan pengelola zakat adalah meningkatkan status kelembagaan zakat itu sendiri menjadi sebuah Departemen yang berdiri sendiri yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Kompleksitas masalah zakat dan potensinya yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi mengharuskan zakat sudah saatnya dikelola secara professional. Selama ini yang sempat diamati di lapangan, pengelolaan zakat sebagian besar masih belum mengarah pada pengelolaan secara professional, terutama lembaga Badan Amil Zakat. Dan ini sangat berbeda dengan Lembaga Amil Zakat. Pengelolaan zakat di Lembaga-Lembaga Amil Zakat telah mengarah pada pengelolaan secara professional. Semestinya hal yang sama juga harus terjadi di Badan-Badan Amil Zakat. Efek dari lemahnya profesionalitas pengelola Badan Amil Zakat menjadikan Badan Amil Zakat belum banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan umat. Profesionalitas pengelola zakat harus dimulai dari sistem rekruitmen pengelola zakat itu sendiri. Selama ini rekruitmen pengelola zakat diserahkan ke Departemen Agama yang kemudian disahkan oleh Presiden atau Gubernur, Bupati, dan Camat. Pola rekruitmen semacam ini merupakan pola rekruitmen tertutup yang tidak membuka peluang kompetitif. Sistem rekruitmen pengelola zakat sudah saatnya mengarah pada sistem rekruitmen terbuka dan kompetitif dalam rangka menjaring pengelola-pengelola zakat yang professional sesuai dengan bidang-bidang yang dibutuhkan dalam memajukan kelembagaan amil zakat. Dalam pengamatan kepada beberapa lembaga zakat sering kali terlihat lemahnya aspek profe324
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
sionalitas pengelola zakat. Para pengelola zakat direkrut dari pejabat dan atau mantan pejabat. Rekrutmen pengelola zakat dari pejabat dan mantan pejabat mamang bukan sesuatu yang jelek. Sebab pengalaman yang dimiliki akan memberikan nilai tambah dalam pengelolaan zakat. Akan tetapi problem keseriusan dan enerjisitas tampaknya menjadi kendala yang cukup serius. Pengelolaan zakat untuk konteks sekarang memerlukan keseriusan yang sangat tinggi dan energi yang besar. Peningkatan aspek profesionalitas pengelolaan zakat berdampak pula pada sistem penggajian pengelola zakat sesuai dengan standar kerja. Dalam manajemen modern, sistem penggajian merupakan bahagian yang ikut menentukan kinerja organisasi. Pembaharuan pada aspek hukum berkaitan dengan pembaharuan undang-undang yang mengatur pelaksanaan zakat. Jika selama ini pelaksanaan zakat banyak merujuk kepada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fikih atau fatwa-fatwa ulama, maka ke depan zakat harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang zakat. Kehadiran undang-undang zakat agaknya merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini disebabkan karena zakat dilaksanakan dalam kehidupan yang modern yang tentu saja sangat berbeda dengan kehidupan klasik dan pertengahan. Jika zakat masih dipandang sebagai sebuah hukum, maka sudah semestinya pelaksanaan hukum zakat itu dilaksanakan sebagaimana pelaksanaan aturan hukum yang berlaku dalam konteks dunia modern. Pelaksanaan aturan hukum dalam konteks modern harus memenuhi tiga aspek. Pertama aspek kepastian. Aspek ini dimaksudkan untuk menghindari timbulnya keadaan ketidakpastian dalam pelaksanaan hukum. Hukum harus dilaksanakan atas kepastian. Kehadiran rule of recognition yakni aturan yang memberikan pengakuan kepada teks-teks lama untuk dijadikan sebagai aturan hukum merupakan jalan keluar. Kedua aspek kemungkinan bisa berubah. Aturan hukum tersebut dapat dilakukan perubahan bila keadaan memang menghendakinya. Untuk memenuhi aspek yang kedua, maka rule of change yaitu aturan yang memberikan kuasa kepada Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
325
A.A. Miftah
badan tertentu untuk menciptakan hukum baru atau merevisi hukum yang lama diperkenalkan. Aspek ketiga aspek jaminan terhadap pelaksanaan hukum. Agar hukum itu dapat terlaksana sebagaimana mestinya, maka dibentuk sebuah lembaga yang dapat menjamin terlaksananya hukum tersebut. Kahadiran rule of adjudication yang memberikan aturan untuk mengadili dan memberikan hukum kepada pelanggar hukum menjadi keharusan.15 Untuk memenuhi ketiga aspek di atas, maka sudah semestinya zakat ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang zakat. Kehadiran undangundang zakat tidak hanya untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan hukum dalam konteks dunia modern, tetapi juga sebagai instrumen yang dipandang sangat efektif ikut memuluskan pemberdayaan zakat dalam skala yang lebih besar. Meskipun di Indonesia saat ini telah hadir UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang zakat sangat berbeda dengan undang-undang pengelolaan zakat tersebut. Undang-undang pengelolaan zakat merupakan satu sub bagian saja dari undang-undang zakat. Sebagai perbandingan, yang dimaksud dengan undang-undang zakat adalah sebagaimana halnya undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Isi undang-undang zakat tidak hanya menyangkut sistem pengelolaan saja, tetapi segala hal yang berkaitan dengan efektifitas pelaksanaan zakat termuat di dalamnya, seperti tentang harta-harta yang wajib dikeluarkan zakatnya beserta nisab dan kadar zakatnya. Begitu pula tentang sanksi dan bentuk sanksi serta bagaimana mekanisme melaksanakannya. Ringkasnya isi undang-undang zakat tersebut agak mirip dengan undang-undang perpajakan. Keberadaan undang-undang zakat merupakan pedoman dan petunjuk bagi umat Islam untuk melaksanakan zakat dalam konteks Negara. Undangundang zakat bisa juga dipandang sebagai fikih zakat baru mazhab Negara. Kebutuhan kepada undang-undang zakat sangat terkait dengan pelaksanaan zakat yang berlangsung selama ini. Pelaksanaan zakat Bandingkan dengan penjelasan H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford : Oxford University Press, 1994), h. 94-97 15
326
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
masih dilaksanakan di atas aturan hukum yang tingkat kepastiannya rendah. Ada beberapa fakta yang menunjukkan hal ini. Pertama, telah terjadinya polemik mengenai ketentuan zakat profesi. Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa zakat profesi wajib dikeluarkan zakatnya. Dan terdapat pula sebagian kecil yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat pada hasil profesi.16 Kemudian mengenai nisab dan kadar zakatnya telah pula menimbulkan perbedaan. Majelis ulama’ Indonesia menetapkan bahwa nisab zakat profesi adalah 85 gram emas dan kadar zakatnya 2,5%.17 Sementara Amin Rais mempunyai pandangan lain. Amin Rais pernah mengusulkan agar profesi-profesi yang mendatangkan rezeki sangat gampang dan cukup melimpah setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk untuk dikenakan zakat sebesar 10% hingga 20%.18 Kedua masih banyak orang yang berpenghasilan tinggi namun tidak membayar zakat. Hasil penelitian yang pernah dilakukan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa masih sedikit penduduk Jakarta yang berpenghasilan tinggi yang sadar untuk membayar zakat.19 Terjadinya dua kenyataan di atas setidaknya menunjukkan bahwa zakat belum dilaksanakan di atas aturan hukum yang pasti sehingga pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan zakat tidak dapat dihindari. Efek lebih jauh dari pelanggaran terhadap ketentuan zakat itu adalah potensi zakat belum dapat digali secara maksimal. Kehadiran undang-undang zakat secara jelas bertujuan untuk menekan seminimal mungkin pelanggaran terhadap ketentuan zakat sehingga pada gilirannya akan membuka potensi zakat yang selama ini terpendam. Pembaharuan pada aspek pendayagunaan adalah pembaharuan Hasil wawancara penulis dengan Ketua Bazda Provinsi Jambi di tahun 2003 lalu. 17 Himpunan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia tahun 2003 h. 91 18 Amin Rais, Tauhid Sosial, (Bandung : Mizan, 1998), h. 127-129 19 Dasril, Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi Kemiskinan di Jakarta, (Jakarta: PPs UIN Jakarta, 2000), h.220, t.d. Hasil penelitian yang pernah penulis lakukan dan hasil penelitian mahasiswa pascasarjana IAIN STS Jambi Prodi Ekonomi Islam menunjukkan kesimpulan yang sama. 16
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
327
A.A. Miftah
yang menyangkut pada aspek pemanfaatan dana zakat. Selama ini ada kesan bahwa zakat melanggengkan kemiskinan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari penerima zakat yang tidak pernah berubah statusnya sebagai mustahik zakat. Padahal maqashid al-syari’ah dari zakat itu sendiri adalah mengentaskan kemiskinan. Pembaharuan zakat dalam konteks pemanfaatan dana zakat tersebut adalah merubah pola pemberian zakat kepada para mustahik zakat tersebut. Perubahan dari pola konsumtif menjadi pola produktif agaknya menjadi salah satu jalan bagi pemberdayaan zakat masa depan. Pola produktif tidak hanya dalam bentuk pemberian zakat berupa modal kerja dengan menggunakan sistem bagi hasil atau pinjaman lunak, tetapi bisa juga, dan ini yang lebih penting, dalam bentuk pendirian industri-industri yang bisa menampung banyak tenaga kerja. Dalam hemat penulis justeru yang tersebut terakhir inilah yang harus menjadi perhatian para pengelola zakat masa-masa mendatang. Pendirian industri dari dana zakat merupakan langkah kongrit bagi pengentasan kemiskinan. Hal ini karena keberadaan industri sangat erat hubungannya dengan proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Pengalaman-pengalaman negara maju dalam membangun perekonomiannya dimulai dengan membangun sektor industri. Jepang dan Korea merupakan contoh negara yang telah sukses membangun perekonomiannya melalui pengembangan industri. Pendirian industri dengan menggunakan dana zakat sama halnya dengan penanaman kembali (reinvestment) keuntungan dari pemilik modal. Menurut Arthur Lewis bahwa proses pembangunan ekonomi akan berjalan manakala ada keputusan dari pemilik modal untuk menanamkan kembali (reinvestment) keuntungannya.20 Dengan mengalihkan dana zakat ke pembangunan sektor industri, maka dengan sendirinya akan tercipta lapangan pekerjaan baru. Terciptanya lapangan pekerjaan baru akan mengurangi kemiskinan. Pengalihan dana zakat ke sektor-sektor industri merupakan upaya merubah peruntukan dana zakat menjadi sebuah investasi. Dan investasi Imamudin Yuliadi, Perekonomian Indonesia Masalah dan Implementasi Kebijakan, , h.69-71 20
328
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
menjadi prasyarat penting bagi pembangunan ekonomi. Dilihat dari potensi zakat yang ada di Indonesia saat ini, maka pendirian industri dengan memanfaatkan dana zakat bukanlah sesuatu yang mustahil. Hasil penelitian yang pernah penulis lakukan menunjukkan bahwa jumlah rata-rata penerimaan zakat pertahun telah mencampai angka milyaran rupiah.
VI.Penutup Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa persoalan kemiskinan bukanlah persoalan yang sederhana. Oleh sebab itu penanganannya harus dilakukan secara sistematis dan secara serius yang melibatkan tidak saja pemerintah, tetapi juga masyarakat. Dalam kaitan ini, zakat berperan penting dalam pengentasan kemiskinan. Peran penting zakat dalam pengentasan kemiskinan baru mungkin terwujud apabila ada perubahan paradigma dalam konsepsi zakat yang dipahami dan diamalkan selama ini. Perubahan paradigma konsepsi zakat harus bersifat totalitas dan menyeluruh.
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
329
A.A. Miftah
BIBLIOGRAFI A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum, Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007 Abd Allah al-Tayyar, Az-Zakat wa Tatbiquha al-Mu’ashirah, Riyadh: Dar al-Watan, 1414 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, Beirut: Dar al-Fikr, 1988 Amin Rais, Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998 Dasril, Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi Kemiskinan di Jakarta, Jakarta: PPs UIN Jakarta, 2000 H. L. A. Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford University Press, 1994 Himpunan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia tahun 2003 Imamudin Yuliadi, Perekonomian Indonesia Masalah dan Implementasi Kebijakan, Yogyakarta: UPFE-UMY, 2007 John. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995 K. Ali, A. Study of Islamic History, Delhi: Idarah-I Adabiyat, 1980 Robert Roberts, The Social Laws of The Qur’an, Delhi: Kitab Bhawan, 1977 Sofwan Idris, Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Jakarta: Putra Bangsa, 1997 Suaidi Asy’ari dkk (ed), Application of Islamic World View Into Islamic Society, Islamic Law, Philosophy and Economy, Jambi: PPs IAIN STS Jambi, 2008 Yusuf Qaradhawi, Daur al-Zakat fi Ilaj al-Musykilat al-Iqtishadiyyah, diterjemahkan dengan judul “Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan” oleh Sari Narulita, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005) Yusuf Qaradhawi, Fiqh Az-Zakat, Kairo: Maktabah Wahbah, 1994
330
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009