REVITALISASI SEKTOR AGROINDUSTRI UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DAN PENGENTASAN PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA TIMUR Musdholifah & Ady Soejoto Fakultas Ekonomi, Unesa, Kampus Ketintang Surabaya
ABSTRAK The study is aimed to scrutinize the role of agro-industrial sector in boosting the people’ income, employment, to analyze backward and forward effect relation of agro-industrial sector and the output of farming sector, and to analyze the variables influencing the production increase of agro-industrial sector, and determine the prioritized farming commodities to create higher employment in East Java Province. The data were analyzed with input-output and econometric analyses. Econometric analysis reveals that investment, export, and import have a positive association with the increased production of agro-industrial sector. In addition, the input-output analysis shows that mills are a seeded sector if viewed from the distribution indicator, and food industries are a seeded sector if seen from the number of related sectors and sensitivity degree. Key word: Agro-industrial, poverty
Kemiskinan merupakan penyakit sosial ekonomi negeri ini sejak sebelum kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Pada masa Orde Baru saja walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-2009, namun penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta atau 14,15 persen. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada Bulan Maret 2009, terdapat 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Besarnya jumlah penduduk yang menggantungkan kehidupan ekonomi dari sektor pertanian, menjadi bagian penting untuk dikembangkan sektor pertanian unggulan yang mampu untuk penguatan ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan. Pengembangan sektor agribisnis menjadi penting sebagai jembatan untuk percepatan pergeseran struktur
ekonomi dan penguatan pertumbuhan serta pengembangan ekonomi daerah. Terkait dengan studi ini yang akan mengungkapkan peran sektor agroindustri dalam perekonomian regional Propinsi Jawa Timur, maka pendekatan yang lebih relevan digunakan adalah pendekatan sektoral yang bersifat makro, atau disebut pendekatan makro sektoral. Disini tujuan perencanaan diarahkan untuk mengembangkan sektor-sektor agroindustri yang merupakan leader dalam perekonomian daerah. Pola perencanaan yang lebih mengedepankan pembangunan sektoral seperti ini umumnya berpijak pada konsep pertumbuhan tidak berimbang. Pada hakekatnya konsep pertumbuhan tidak seimbang adalah suatu strategi yang mengembangkan sektor yang memiliki keterkaitan yang panjang dan dalam. Menurut teori keterkaitan ini adalah meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage). Konsep ketidakseimbangan dalam dan antar sektor industri adalah suatu sumber penting dari keterkaitan ke belakang dan ke depan dalam mentransmisikan kemajuan teknologi di dalam sektor pertanian terhadap keseluruhan pembangunan ekonomi.
12
Keterkaitan ke depan mendorong keputusan investasi pada sektor atau industri yang memanfaatkan output tertentu untuk proses produksi selanjutnya. Hal ini dapat menurunkan biaya produksi di industri hilir melalui external economies. Keterkaitan ke belakang mendorong keputusan investasi pada sektor yang menyediakan input. Peningkatan keterkaitan antar sektor atau antarindustri merangsang peningkatan investasi yang selanjutnya mendorong peningkatan permintaan input yang merupakan output dari suatu sektor atau industri tertentu yang akhirnya mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Melalui kedua keterkaitan di atas, perencana pembangunan daerah dapat menetapkan sektor-sektor mana yang menjadi leading sector dalam perekonomian wilayah. Dalam hal ini sangat penting sekali bagi suatu daerah untuk membangun sektor-sektor produksi yang menjadi leading karena dapat menghasilkan efek ganda, yakni akan mendorong dan menggerakkan aktifitas produksi dari sektor-sektor ekonomi yang lain secara lebih efektif, serta memiliki kapabilitas yang baik untuk memenuhi kebutuhan input domestik dan konsumsi akhir dalam perekonomian wilayah, yang pada akhirnya akan lebih efektif mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dari dua sisi, produksi dan konsumsi secara bersamaan. Selain efek keterkaitan antarsektor, pengembangan suatu sektor dapat juga membawa dua efek ikutan lainnya, yaitu: (1) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect) yang mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (2) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) yang mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan. Peningkatan dalam satu unit permintaan akhir dapat meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh
penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi, menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja. Salah satu pembangunan industri yang paling potensial menciptakan efek keterkaitan semua di atas adalah sektor agroindustri. Untuk itu pokok-pokok rencana aksi industri berbasis agro dalam jangka menengah ditujukan untuk memperkuat rantai nilai (value chain) melalui penguatan struktur, diversifikasi, peningkatan nilai tambah, peningkatan mutu, serta perluasan penguasaan pasar. Sedangkan untuk jangka panjang difokuskan pada upaya pembangunan industri agro yang mandiri dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu segala upaya yang ditujukan untuk meningkatkan tenaga kerja, investasi, ekspor dan impor menjadi indikatorindikator fundamental yang selalu menjadi barometer mengenai keberhasilan pembangunan industri dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, termasuk dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Jawa Timur. Pengembangan dan penguatan sumber daya informasi dalam mendorong pembangunan sektor industri dan perdagangan mengupayakan terwujudnya arus informasi industri dan perdagangan yang lancar dan akurat. Sistem informasi yang efektif akan meningkatkan nilai ekonomis dan nilai tambah industri serta perdagangan, menjamin peningkatan produktivitas dalam jangka panjang. Sangatlah penting mengetahui sektor industri potensial mana saja yang layak dikembangkan oleh pemerintah kabupaten/kota maupun Propinsi. Sektor-sektor industri mana saja yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, memiliki nilai output besar, serta mampu memenuhi kebutuhan pasar (market share yang tinggi). Jenis industri seperti inilah yang seharusnya dikembangkan dan diberi perhatian khusus dalam konteks menemukan kembali sumber-sumber kegiatan ekonomi (industri) yang diharapkan mampu menggerakkan dan membangkitkan kembali perekonomian Jawa Timur. Berangkat dari seluruh konsep pemikiran yang telah diungkapkan di atas maka sangatlah relevan untuk mengangkat suatu isu mengenai peranan sektor agroindustri terhadap 13
perekonomian wilayah Jawa Timur. Melalui konsep pembangunan industri yang berbasis pertanian tersebut, sangat dimungkinkan perkembangan ekonomi di Propinsi Jawa Timur akan tumbuh lebih pesat di masa mendatang. Konsep Ketahanan Pangan Ketahanan pangan diartikan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat (FAO/WHO,1992) kemudian dikembangkan dengan memasukan komponen persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat. Sementara itu, berdasar Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan, mengartikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemaknaan lain atas ketahanan pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat, dan atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri, dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup dan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat. Agribisnis, Agroindustri dan Strategi Pembangunan Industri Berbasis Pertanian Secara etimologi agribisnis itu merupakan gabungan dari dua kata yang mengandung makna bisnis yang berbasis pertanian. Banyak pendapat tentang batasan dan ruang lingkup agribisnis, tergantung pada unit dan tujuan analisis. Secara tradisional, oleh Biere (1988) dalam Daryanto (1992) agribisnis diartikan sebagai aktifitas-aktifitas diluar pintu gerbang usahatani (beyond the farm gate, off-farm) yang meliputi kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi usaha tani, kegiatan industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan beserta perdagangannya, dan kegiatan yang
menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti misalnya perbankan, angkutan, asuransi dan penyimpanan. Saragih (1999: 15) memandang batasan agribisnis itu sebagai suatu sistem yang utuh dan saling terkait diantara seluruh kegiatan ekonomi yakni susbsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang agribisnis. Masing-masing subsistem dapat diurai sebagai berikut: 1. Subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm), seperti bioteknologi, industri agrokimia (pupuk, pestisida), alat-alat pertanian dan pakan ternak. 2. Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan/ pembenihan, budidaya perikanan; peternakan, perkebunan, pertanian . 3. Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan. 1. Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, seperti industri pengolahan/ pengawetan, agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/keuangan. Lebih jauh Santoso menyatakan bahwa ciri industri agro yang bagus adalah tumbuh dan berkembangnya spesialisasi usaha industri pengolahan pada setiap mata rantai agribisnis dan diversifikasi pengolahan. Pada akhirnya diharapkan menimbulkan peningkatan nilai tambah industri yang kaya dengan keterkaitan serta perluasan bidang usaha dan lapangan kerja (Santoso, 1989: 5). Strategi Industrialisasi Berbasis Pertanian (Agricultural Demand-Led Industrialization Strategy, ADLI) berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Dalam hal ini, stimulasi pertanian pangan menghasilkan insentif pangan yang kuat (meningkatkan permintaan konsumen rumahtangga perdesaan) dan insentif penawaran (meningkatkan suplai pangan tanpa meningkatkan harga). Insentif-insentif ini mampu mengendalikan perluasan industri. 14
Strategi ini berawal dari kebijakan-kebijakan pertumbuhan ekonomi terdahulu, yaitu strategi Industri Subtitusi Impor (ISI) dan Industri Promosi Ekspor (IPE) (Mellor, 1986; Singer, 1979; Adelman, 1984; Ranis, 1984). Dalam strategi ADLI, peningkatan produktivitas lahan pertanian berdampak pada sejumlah pasar. Pertama, menstimulus permintaan input (seperti pupuk, bibit unggul dan pestisida) dan barang-barang kapital baru (seperti peralatan irigasi baru dan infrastuktur) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. (Kalecki, 1960; Adelman, 1984). Kedua, apabila trend pengeluaran rata-rata dari rumah tangga pertanian kecil dan menengah lebih besar dari pemilik lahan, maka tambahan pendapatan kelompok rumahtangga tersebut akan lebih banyak dibelanjakan pada komoditas-komoditas non pertanian dan jasa. Sehingga akan memberikan efek terhadap pertumbuhan dan kesempatan kerja (Adelman, 1984; Mellor, 1986). Ketiga, peningkatan penawaran pertanian memastikan upah nominal tidak meningkat yang berimbas pada kesempatan kerja dalam menghasilkan barang-barang nontradable dan jasa yang padat tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan industri domestik tidak menyebabkan terjadinya inflasi (Kelecki, 1960; Medani, 1985). Pengertian Input-Output Seiring dengan kemajuan perekonomian, dan semakin kompleksnya integrasi ekonomi yang terjadi, maka perencanaan terhadap arah pembangunan akan menjadi semakin luas. Untuk itu pemerintah daerah perlu menetapkan perencanaan pembangunan secara terpadu dan konsisten antara satu sektor dengan sektor lainnya. Salah satu kerangka landasan analisis yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan perencanaan tersebut adalah I-O Regional (Input-Output Regional). Dalam kaitan ini melalui kajian I-O Regional pemerintah daerah dapat menetapkan sektor-sektor mana yang bisa dijadikan sebagai sektor pemimpin (leading sector), sehingga arah pembangunan perekonomian daerah dapat diselaraskan dengan potensi wilayah yang ada.
Dalam perencanaan pembangunan daerah terdapat sektor kunci (key sector) atau sektor pemimpin (leading sector) yaitu sektor-sektor yang paling efektif berperan sebagai motor penggerak dalam pembangunan daerah (regional development engine) secara berkesinambungan (sustainability). Layak tidaknya suatu sektor menjadi andalan perekonomian daerah tidak hanya ditujukan pada besarnya kontribusi langsung terhadap perekonomian daerah tetapi juga harus memperhitungkan kontribusi tidak langsungnya melalui keterkaitan antara sektor (intersectoral linkage). Untuk menentukan sektor yang bisa dijadikan andalan dalam perekonomian daerah digunakan I-O Regional sebagai salah satu indikatornya. Melalui analisis I-O Regional dapat dilihat bagaimana integrasi sektoral dalam perekonomian daerah yang direfleksikan melalui keterkaitan antar sektor yang berupa keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun keterkaitan ke depan (forward linkage). PENELITIAN TERDAHULU Hasil penelitian Saliem et al (2001) menunjukan bahwa ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini ditunjukan oleh fakta bahwa walaupun Lampung, D.I Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara tergolong provinsi dengan status tahan pangan terjamin, namun di masingmasing provinsi tersebut masih ditemukan proporsi rumah tangga rawan pangan berkisar 22-30 persen. Selain itu ditemukan pula bahwa tidak terpenuhinya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga disebabkan oleh aspek distribusi dan daya beli. Faktor distribusi antara lain dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana jalan, transportasi, biaya angkut. Sementara itu faktor daya beli sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan hargaharga komoditas pangan. Hasil penelitian juga menggungkapkan bahwa diversifikasi usaha memiliki prospek yang cukup strategis sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Lembaga pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization) secara 15
berkala melakukan studi untuk mengkaji perkembangan wilayah rawan pangan di berbagai negara (FAO, 1999). Adapun dalam mengidentifikasi dan menghitung rawan pangan menggunakan metode estimasi jumlah penduduk di suatu negara (dan dunia) yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan sesuai kebutuhan normatif kesehatan dengan dua pendekatan yaitu; (1) menghitung jumlah penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan dari data ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi penduduk di masing-masing negara yang dikategorikan sebagai undernourishment, dan (2) menghitung jumlah penduduk yang tergolong undernutrition yang didasarkan pada data umur, berat badan dan tinggi seseorang terhadap kebutuhan konsumsi pangan. Badan Litbang Pertanian untuk mengidentifikasi wilayah miskin (rawan pangan) menggunakan penlaahan berbagai karakteristik wilayah yang diduga menjadi menyebab suatu wilayah tergolong miskin, antara lain aspek sumberdaya alam, teknologi, sumber daya manusia, dan sarana/prasarana dan kelembagaan yang ada disuatu wilayah (Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1991/92, 1992/93, dan 1993/94). Temuan penting antara lain: karakteristik suatu wilayah tergolong miskin adalah (1) aspek sumberdaya alam berupa lahan kurang subur, pendayagunaan lahan tidak optimal, dan adanya degradasi lahan, (2) aspek teknologi berupa adopsi teknologi rendah, ketersediaan sarana produksi terbatas, adanya serangan hama/penyakit, (3) aspek sumberdaya manusia berupa tingkat pendidikan rendah, produktifitas tenaga kerja rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, lapangan pekerjaan terbatas, dan adanya tradisi atau adat istiadat yang menghambat dan (4) dari aspek sarana prasarana dan kelembagaan adalah daerah terisolir, modal terbatas, kelembagaan catur sarana produksi pertanian tidak berfungsi maksimal, pemilikan/penguasaan lahan sempit, sistem bagi hasil tidak adil dan tingkat upah yang rendah. Departemen kesehatan bersama dengan Departemen Pertanian dan BKKBN melakukan identifikasi wilayah rawan pangan dalam kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gisi
(SKPG) (Anonimus, 2000). Indikator yang digunakan dalam menentukan wilayah rawan pangan dari kegiatan SKPG ini adalah : (1) dari sektor pertanian adalah proporsi areal puso dari tanaman padi, (2) dari sektor kesehatan adalah proporsi atau prevalensi KEP (Kurang Energi Protein) dari anak balita dan (3) dari konteks BKKBN adalah proporsi keluarga miskin (prasejahtera dan sejahtera I) METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan 1. Data Sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari berbagai sumber data yang telah dipublikasikan oleh lembaga-lembaga resmi seperti Biro Pusat Statistik (BPS) dalam berbagai penerbitan, rangkaian data (time series), maupun data I-O tahun 2006, dan sumber-sumber lainnya, seperti buku-buku literatur, internet, dan media massa. 2. Data Primer, mencakup data untuk mengukur perilaku hidup masyarakat, akses pangan, keadaan lingkungan, kebutuhan pangan dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis input-output dan asosiasi sebagai berikut: 1. Analisis Input-Output Setelah disiapkan matrik I-O Jawa Timur pada dua kurun waktu berbeda, tahap berikutnya adalah melakukan analisis I-O yang terdiri atas tiga bagian meliputi: (1) analisis keterkaitan, (2) analisis sektorsektor kunci, dan (3) analisis efek multiplier. Analisis struktur pada intinya untuk mengamati seberapa jauh keterkaitan antarsektor, yang kemudian berdasarkan hasil analisis tersbut bisa ditunjukkan sektor-sektor infrastruktur mana yang dapat dijadikan sebagai leader dalam perekonomian Jawa Timur dimasa mendatang. Ukuran-ukuran yang dipakai dalam analisis struktur ini adalah: a. Analisis Keterkaitan dengan Metode Rasmussen Untuk menghitung keterkaitan dengan meggunakan metode Rasmussen dapat diformulasikan rumus sebagai berikut: .............................. (3.1) 16
.............................. (3.2) dimana BLRj dan FLRi masing-masing menunjukkan ukuran keterkaitan kebelakang dan keterkaitan kedepan untuk metode Rasmussen, sedangkan mij adalah elemen pada matriks invers Leontif, M = (I – A)-1. Oleh karena model Rasmussen menggunakan matriks invers Leontif, maka ukuran keterkaitan antarsektor yang diperoleh bisa dikatakan merupakan ukuran keterkaitan total, yang menghitung dampak langsung dan tidak langsung dari suatu sektor dalam perekonomian. b. Analisis Sektor-Sektor Kunci Menggunakan Rasmussen Dual Index .................. (3.3) .................. (3.4) dimana aj kemampuan penyebaran (power of dispersion), dan bi kepekaan penyebaran (sensitivity of dispersion). Dengan dua indeks ini kita bisa melakukan perbandingan besarnya derajad keterkaitan antarsektor, yang nantinya bisa ditentukan sektor-sektor mana saja yang dapat dijadikan sebagai sektor unggulan, sektor kunci atau sektor pemimpin dalam perencanaan pembangunan ekonomi (Arief, 1993:6574). c. Analisis Efek Multiplier Analisis I-O yang terakhir adalah analisis multplier. Analisis ini dimaksudkan untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari perubahan variabelvariabel eksogen pada suatu sektor terhadap pendapatan masyarakat dan output perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisis ini digunakan beberapa ukuran multiplier, yang dapat diringkas sebagai berikut. Tabel 1 Perhitungan Multiplier Menurut Tipenya
Sumber : Muchdie (1998) dimana: pj = koefisien pendapatan rumah tangga (upah/gaji) aij = koefisien input langsung bij = koefisien input matrik kebalikan terbuka b*ij = koefisien input matrik kebalikan tertutup Keterangan tabel: a Dampak awal adalah multiplier dari sektor industri makanan = 2,5, jika sector industri makanan diberi injeksi sebesar 1 rupiah (nilai injeksi) maka output perkonomian secara keseluruhan akan naik sebesar 2,5. Tujuannya adalah memecah angka 2,5 menjadi: beberapa dampak. b Pengaruh langsung adalah ketika terjadi injeksi 1 rupiah menaikkan output, sehingga butuh input. Mis industri kecap, dampak langsung pada kedelai, botol, bahan kimia, nilai sebesar sigma alpha. c Pengaruh tidak langsung adalah seperti transportasi, untuk membawa input industri, misalnya kedelai. d Dampak imbasan konsumsi adalah pada saat terjadi peningkatan output dibutuhkan tenga kerja dari masyarakat (rumah tangga). Ketika rumah tangga atau tenaga kerja yang diminta banyak, pendapatan akan naik, konsumsi akan naik. Konsumsi naik terhadap komoditi yang lain. Hal ini berdampak pada seluruh perekonomian. e Dampak total adalah seluruh dampak imbasan konsumsi, pengaruh langsung, dan pengaruh tidak langsung. f Dampak luberan adalah dampak bersih. Dimana nilai 1 injeksi sudah dikeluarkan. (Muchdie, 1998:15-18). d. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Persamaan keseimbangan umum model I-O yang telah memasukkan unsur impor adalah:
17
X = (I – A + M* )-1 Y ........................ (3.5)
Li/xj- = koefisien penyerapan tenaga kerja
dimana M* adalah matrik koefisien impor yang dinyatakan dengan persamaan: ................... (3.6) Selanjutnya, untuk menentukan jumlah pekerja yang diperlukan oleh satu unit permintaan akhir (final demand) yang berkaitan dengan output suatu sektor dalam perekonomian dapat diformulasikan sebagai berikut: i = Li* ( I – A + M )-1 .................... (3.7) dimana gi merupakan matrik koefisien tenaga kerja yang diturunkan dengan cara: Li*= ................(3.8) Pada tahun 1991 Mattas dan Shrestas (Arief, 1993) mengemukakan kriteria elastisitas penyerapan tenaga kerja sebagai salah satu alat menentukan sektor-sektor kunci dalam perekonomian wilayah. Untuk menjelaskan hal ini terlebih dahulu kita tetapkan output bruto dalam perekonomian yaitu: ................................. (3.9) yang mana bij adalah elemen-elemen matrik kebalikan Leontief pada sektor i ke sektor j. Sementara yj menunjukkan permintaan akhir dari sektor j. Turunan pertama dari persamaan ini dapat dituliskan: dxi/dyj
= ..............................(3.10)
bij
yang menggambarkan terjadinya perubahan output bruto akibat adanya perubahan permintaan akhir sebanyak satu-satuan moneter. Berdasarkan persamaan (3.10) akhirnya dapat dirumuskan persamaan elastisitas kesempatan kerja sebagai berikut: ....(3.11) dimana: E = elastisitas tenaga kerja Li = jumlah tenaga kerja yang diserap sektor i
Persamaan (3.11) dapat digunakan untuk mengukur intensitas tenaga kerja dari suatu sektor, yang dapat memutuskan apakah suatu sektor itu padat karya atau tidak. Selanjutnya dengan memanfaatkan ukuran elastisitas di atas dapat dihitung perluasan penyerapan tenaga kerja di sektor infrastruktur sebagai akibat pertambahan permintaan akhir akan output yang dapat dinyatakan dengan rumus: Li = E [ (b12 Y1 + b12 Y2 + b13 Y3 + …. + b12 Y1 )] ..........................................(3.12) Persamaan (3.12) dapat diturunkan juga dengan persamaan proyeksi penyerapan tenaga kerja pada suatu sektor sebagai berikut: Li = L [I – (I – M*) A]-1 Y ..............(3.13) dimana : L = matrik koefisien tenaga kerja I = matrik identitas A = matrik koefisien input M* = matrik koefisien impor Y = permintaan akhir 2. Analisis Asosiasi Alat statistik dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi. Korelasi adalah metode untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan (asosiasi dua variabel atau lebih yang digambarkan oleh besarnya koefisien korelasi. Untuk menghitung koefesien korelasi bisa digunakan rumus sebagai berikut:
Koefisien korelasi menggambarkan tingkat keeratan hubungan antar dua variabel atau lebih. Nilai dari Koefisien korelasi berkisar antara -1 sampai dengan 1. -1 berarti terdapat hubungan negatif (berkebalikan) yang sempurna. 0 berarti 18
tidak terdapat hubungan sama sekali. 1 berarti terdapat hubungan positif yang sempurna. Tabel 2 Interpretasi Koefesien Korelasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor pertanian selama periode penelitian memberikan kontribusi berkisar antara 17,13% sampai 18,93% kepada PDRB Propinsi Jawa Timur. Sektor ini menempati urutan ketiga setelah sektor perdagangan dan industri pengolahan. Tinginya kontribusi sektor pertanian di Jawa Timur di topang oleh lima sub sektor yaitu: 1) Tanaman bahan makanan, 2) Tanaman Perkebunan, 3) Peternakan, 4) Kehutanan, dan 5) Perikanan. Berdasarkan peta tipologi sektor pertanian, menunjukkan bahwa hanya ada 10 (sepuluh) daerah kabupaten/kota yang sektor pertaniannya mempunyai tipologi “kontribusi rendah pertumbuhan rendah. Daerah-daerah tersebut antara lain: Kota Surabaya, Kota Madiun, Kota Mojokerto, Kota Malang, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Ponorogo. Sedangkan daerah-daerah yang sektor pertaniannya mempunyai tipologi “kontribusi tinggi pertumbuhan tinggi” ada 11 (sebelas) daerah, daerah ini bisa juga dikatakan daerah unggulan untuk sektor pertanian, daerah-daerah tersebut antara lain: Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Sementara daerah-daerah sektor pertaniannya mempunyai tipologi “kontribusi tinggi pertumbuhan rendah” terdiri dari daerah: Kabupaten Pacitan, Kabupaten Kediri, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jombang, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bangkalan. Sedangkan sisanya atau daerah yang tidak tergolong tiga tipologi di atas,
seperti daerah: Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, dan Kota Batu sektor pertaniannya tergolong tipologi “kontribusi rendah pertumbuhan tinggi”. Penyebab rumah tangga miskin yang ada di Jawa Timur dapat digolongkan menjadi tiga karakteristik kemiskinan, yaitu: Pertama, kemiskinan struktural, yang disebabkan tiga faktor diantaranya: pendidikan/keahlian, usaha rugi, dan utang cukup banyak. Kedua, kemiskinan absolut, yang disebabkan tiga faktor diantaranya: keturunan, jumlah tanggungan keluarga, dan pendapatan rendah. Ketiga, kemiskinan yang disebabkan karena musibah. Penyebab rumah tangga miskinan di wilayah Jawa Timur lebih banyak disebabkan oleh kemsikinan absolut. Kemiskinan absolut pada tahun 2006 mencapai sebesar 59%. Sedangkan rumah tangga miskin yang disebabkan karena faktor struktural pada tahun yang sama mencapai 35%. Sementara rumah tangga miskin yang disebabkan karena faktor musibah hanya sebesar 6%. Berdasarkan hasil analisis Backward Linkage maka diperoleh hasil sebagai berikut: a. Industri pengolahan dan pengawetan makanan,mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor perikanan, industri pengolahan dan pengawetan makanan mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,117 dengan sector perikanan. Artinya industri pengolahan dan pengawetan makanan menggunakan bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.117 dari sektor perikanan. b. Industri minyak dan lemak ,mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor industri minyak dan lemak, industri minyak dan lemak mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,114 dengan sektor industri minyak dan lemak. Artinya industri minyak dan lemak menggunakan bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.114 dari sektor industri minyak dan lemak. c. Industri penggilingan padi ,mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor padi, industri penggilingan padi mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,806 dengan sektor padi. Artinya industri 19
penggilingan padi menggunakan sektor hulu sebesar 0.806 dari sektor padi. d. Industri tepung segala jenis, mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor perdagangan, industri tepung segala jenis mempunyai keterkaitan kebelakang sebesar 0,056 dengan sektor perdagangan. Artinya industri tepung segala jenis menggunakan sektor hulu sebesar 0.056 dari sektor perdagangan. e. Industri gula, mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor tebu, industri gula mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,351 dengan sektor tebu. Artinya industri gula menggunakan bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.351 dari sektor tebu. f. Industri makanan lainnya, mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor unggas dan hasil-hasilnya, industri makanan lainnya mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,114 dengan sektor unggas dan hasil-hasilnya. Artinya industri makanan lainnya menggunakan bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.114 dari sektor unggas dan hasil-hasilnya. g. Industri minuman, mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor industri gula, industri minuman mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,056 dengan sektor industri gula. Artinya industri minuman menggunakan bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.056 dari sektor industri gula. h. Industri rokok, mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dengan sektor Industri kertas, barang dari kertas dan karton, industri rokok mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 0,060 dengan sektor Industri kertas, barang dari kertas dan karton. Artinya industri rokok menggunakan bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.060 dari sektor Industri kertas, barang dari kertas dan karton. Analisis Forward linkage diperoleh hasil sebagai berikut: a. Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan, mempunyai keterkaitan kedepan paling besar dengan sektor Restoran dan Hotel, industri pengolahan dan pengawetan makanan mempunyai keterkaitan kedepan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
sebesar 0,040 dengan sektor restoran dan hotel. Artinya industri pengolahan dan pengawetan makanan dimanfaatkan sebesar 0.040 oleh sektor restoran dan hotel. Industri minyak dan lemak, mempunyai keterkaitan ke depan paling besar dengan sektor Industri minyak dan lemak, industri minyak dan lemak mempunyai keterkaitan kedepan sebesar 0,114 dengan sektor Industri minyak dan lemak. Artinya Industri minyak dan lemak dimanfaatkan sebesar 0.114 oleh sektor Industri minyak dan lemak sendiri. Industri penggilingan padi, mempunyai keterkaitan kedepan paling besar dengan sektor restoran dan hotel, industri penggilingan padi mempunyai keterkaitan kedepan sebesar 0,058 dengan sektor restoran dan hotel. Artinya Industri penggilingan padi dimanfaatkan sebesar 0.058 oleh sektor restoran dan hotel. Industri tepung segala jenis, mempunyai keterkaitan ke depan paling besar dengan sektor Industri tepung segala jenis, Industri tepung segala jenis mempunyai keterkaitan ke depan sebesar 0,044 dengan sektor Industri tepung segala jenis. Artinya Industri tepung segala jenis dimanfaatkan sebesar 0.044 oleh sektor Industri tepung segala jenis sendiri. Industri gula, mempunyai keterkaitan ke depan paling besar dengan sektor Industri minuman, Industri gula mempunyai keterkaitan ke depan sebesar 0,056 dengan sektor Industri minuman. Artinya Industri gula dimanfaatkan sebesar 0.056 oleh sektor Industri minuman. Industri makanan lainnya, mempunyai keterkaitan ke depan paling besar dengan sektor Unggas dan hasil-hasilnya, Industri makanan lainnya mempunyai keterkaitan kedepan sebesar 0,241 dengan sektor Unggas dan hasil-hasilnya. Artinya Industri makanan lainnya dimanfaatkan sebesar 0.241 oleh sektor Unggas dan hasilhasilnya. Industri minuman, mempunyai keterkaitan ke depan paling besar dengan sektor industri minuman, Industri minuman mempunyai keterkaitan kedepan sebesar 0,010 dengan sektor Industri minuman. Artinya Industri 20
minuman dimanfaatkan sebesar 0.010 oleh sektor Industri minuman sendiri. h. Industri rokok, mempunyai keterkaitan kedepan paling besar dengan sektor industri rokok mempunyai keterkaitan kedepan sebesar 0,045 dengan sektor Industri rokok. Artinya Industri rokok dimanfaatkan sebesar 0.045 oleh sektor Industri rokok sendiri. Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh hasil sebagai berikut a Tidak ada hubungan antara tenaga kerja dengan output agrobisnis di Jawa Timur b Ada hubungan yang cukup kuat antara investasi dengan output agrobisnis di Jawa Timur dengan arah positif c Ada hubungan yang cukup kuat antara Ekspor dengan output agrobisnis di Jawa Timur dengan arah positif d Ada hubungan yang cukup sangat kuat antara impor dengan output agrobisnis di Jawa Timur dengan arah positif Analisis sektor unggulan (Key Sector) didasarkan atas besarnya keterkaitan antar sektor baik ke depan atau ke belakang yang ditunjukkan oleh koefisien variasi dari masingmasing sektor. Dalam studi ini, sektor kunci atau sektor unggulan ditetapkan berdasarkan indeks power of dispersion atau Daya Penyebaran (DP-BL), dan sensitivity of dispersion atau Derajad Kepekaan (DK-FL). Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan merupakan perbandingan total dampak, yaitu ke belakang maupun ke depan, terhadap ratarata seluruh dampak sektor. Berdasarkan daya penyebarannya diperoleh hasil apabila dilihat dari total keterkaitan maka, industri yang menjadi unggulan atau sektor kunci adalah industri penggilingan padi. Industri ini menggunakan input atau bahan baku sebanyak 0.895 % terhadap sektor lain. Dengan kata lain kemajuan sektor ini akan berdampak pada permintaan sektor-sektor hulunya. Sedangkan apabila dilihat dari jumlah sektor yang terkait maka, indsutri yang menjadi unggulan atau sektor kunci adalah industri makanan lainnya. Industri ini mempunyai keterkaitan dengan 37 sektor yang ada di Jawa Timur. dengan
demikian, majunya sektor ini akan mempunyai dampak terhadap permintaan banyak sektor. Jika dilihat dari derajat kepekaannya, maka industri yang menjadi unggulan atau sektor kunci adalah industri makanan lainnya. Produk industri ini bisa menjadi input atau bahan baku sebanyak 0.651 % sektor lain. Dengan kata lain kemajuan sektor ini akan mendorong pada kemajuan sektor-sektor hilirnya. Berdasarkan analisis dampak berganda diperoleh hasil sektor industri penggilingan padi yang memiliki dampak terbesar diatas sektor-sektor yang lain. SARAN 1. Walaupun sektor pertanian merupakan kontributor terbesar ketiga di propinsi Jawa Timur, pengembangan di sektor ini tetap perlu diupayakan karena karakter dari masyarakat Jawa Timur yang sebagian besar masih bergantung sektor pertanian. Pengembangan sektor pertanian dapat diwujudkan dengan pengembangan kawasan-kawasan agroindustri untuk sektor pertanian unggulan masing-masing daerah. Pengembangan kawasan ini diharapkan dapat menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. 2. Pengembangan kawasan agroindustri bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat sehingga dengan adanya partisipasi dari para pengusaha dan petani setempat maka akan terwujud sinergi yang dapat membuat kawasan agroindustri semakin cepat terwujud dan berkembang. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Sue 1990, Core Indicators of Nutritional State for Difficult to sample Population, Journal of Nutrition 120. Adelman, I. 1984. Beyond Export–Led Growth. World Development. 12 (9): 937–949. Arief,
Sritua. 1993. Metode Ekonomi. UI Press, Jakarta.
Penelitian
Boediono. 1988. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4. Cetakan IV. BPFE, Yogyakarta. 21
Braun Von,J.H. Bouls. S.Kumar and R.PanjaLorch, 1992, Improving Food Security of The Poor: Concept, Policy and Programs. IFRI, Washington.,D.C.
Hayami and Ruttan, 1985, Agriculture Development: An International Perspective . Baltimore: John Hopkins University Press.
Chenery, Hollis dan Moises Sirquin. 1975. Pattern of Development. 1950-70. Oxford University Press. London.
Intriligator,1996,Econometric Models, Technique, and Applications, PrenticeHall International,Inc, New Jersey
Chung,K,L, Haddad, J.Ramakhrisma and F.Riely,1997, Identifying the food Insecure : The Application of Mixed Method Approach in India IFPRI, Washington D.C.
Lave, Lester,1962, Emperical Estimates of technological Change in United States Agriculture, 1850-1958" Journal of Farm Economics 44,941-52
Daryanto, A. 2000. Growth and Structural Change in the Indonesian Economy: An Input-Output Perspective. Mimbar Sosek, 13(3): 1-22. Daryanto, A. and J. Morison. 1992. Structural Interdependence in the Indonesian Economy, with Emphasis on the Agricultural Sector, 1971-1985: An Input-Output Analysis. Mimbar Sosek, 6(12): 74-99. De
Janvry,Alain and Elisabeth Sadoulet,1991,”Food Self Sufficiency and Food Security in India: Achievements and Contradictions,” In National and Regional Self Sufficiency goal: Implications for International Agriculture, edited by Ruppel and Kellogg. Boulder, Colo: Lynne Rienner.
Dethier,Jean Jacques1989, “Note on the Analysis of The Impact of Agricultural Policy Reform in Algeria,”, Agricultura and Rural Development Departement, World Bank FAO,1996, Food Security Assesment (Document WFS 96/Tech/7). Rome. Gujarati, Damodar. 2002. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Guy, West.1995. Comparison of Input-Output Econometric and Computable General Equilibrium Impact Models at The Regional Level. Economic System Research, Vol. 7, No. 2, 1995, 212-3-4.
Maxwell, Simon and Timothy R. Frankerberger,1996, Household Food Security: Concept, Indicators, Mesurements. A Technical Review. Unicef and IFAD, New York and Rome Maxwell,D.C.1996, Measuring Food Security: The Frequency and Severity of Coping Strategis. Food Policy Mynt, Hla. 1984. Inward and Outward-Looking Countries Revisited: The Case of Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. XX. No. 2. Agustus. O‟Callaghan, B., Andreosso., and Guoqiang Yue. 2000. Intersectoral Linkages and Key Sectors in China 1987-1997 : An Aplication of Input-Output Linkages Analysis. Paper Presented at the Fourteenth International Conference on Input-Output Techniques, Montreal, Canada. Reutlinger,Shiomo 1986, Poverty and Hunger: Issues and Options for Food Security in Developing Countries”, Washington,D.C;World Bank Valdes, Alberto and Konandreas,1981,”Assessing Food Security Based on National Aggregates in Developing Countries,” In food Security for Developing Countries, Edited by Valdes, Boulder, Colo: Westview Press World Bank, 1994. Indonesia : Stability, Growth and Equity in Repelita VI, Country Departement II, East Asia 22