DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
TRI WAHYU NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul “DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA”, merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2006
Tri Wahyu Nugroho NRP. A151030091 / EPN
ABSTRAK TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua dan D.S. PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Kebijakan pemerintah yang diterapkan di sektor pertanian memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan para pelaku yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Dampak kebijakan pembangunan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan selama ini perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil kebijakan pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk menjawab tujuan tersebut, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan dengan pendugaan menggunakan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario kebijakan yang relevan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, penambahan belanja pemerintah di sektor jasa dan peningkatan stok pangan nasional. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. Sementara itu, kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan peningkatan kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian, sedangkan inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh posit if terhadap peningkatan angka kemiskinan di pedesaan. Kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal dan peningkatan kredit pertanian masing-masing 10 persen, serta menurunkan suku bunga sebesar 2 persen merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas pertanian sebesar 1.97 persen.
Kata kunci : pertanian, pembangunan, kebijakan dan kemiskinan
ABSTRACT TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Impact of Agricultural Development Policy on Poverty Reduction in Indonesia (ARIEF DARYANTO as Chairman, and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committe) Government policy applied in agricultural sectors, giving opportunity for welfare improvement and poverty reduction of all perpetrator in concerned agricultural sector directly and also indirectly. Impact of agriculture development policy on poverty reduction during the time it is important to know and evaluated, so that necessary action can be taken a strategic agriculture development policy and able to become solution about height problem of poverty level. This study aims at analyzing the impact of agricultural development policy on poverty reduction in Indonesia. To reach this objective, a simultaneous equations model is constructed and estimated using the 2SLS method. Simulations of a set of policy scenarios are undertaken based on estimeted parameters of the model. The result of this research show that urban poverty can to reduced by improvement policy of real wage rate, improvement of economic growth, goverment expenditure in service sector and improvement of nasional food stock. Furthermore, rural poverty can be depressed by improvement of real wage rate, economic growth, goverment expenditure on agriculture, price of agriculture commodity and improvement of agricultural production. While for the economic crisis and inflation give positive influence to poorness number improvement in rural. Policy combination to increase of areal agriculture and credit improvement each 10 percent, and also degrade rate of interest equal to 2 percent representing policy combination giving biggest influence to poverty reduction, that is equal to 4.30 percent. This Policy combination bring influence for poverty reduction in rural, that is equal to 4.66 percent. This policy combination also able to push production of equal to 5.01 percent and repair of agriculture commodity price equal to 1.97 percent.
Keywords : agriculture, development, policy and poverty
DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Oleh : TRI WAHYU NUGROHO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Penelitian
: Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Nama
: Tri Wahyu Nugroho
Nomor Pokok
: A. 151030091
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Ketua
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Tanggal Ujian : 18 Mei 2006
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus : ........................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian dengan judul : Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Secara umum studi ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian ini mampu mendeteksi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga diperoleh hasil pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. dan
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan yang konstruktif. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Isang Gonarsyah selaku penguji dan Prof. Bonar M. Sinaga selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan arahan yang membangun. Di samping itu, ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan juga kepada kedua Orang Tua, Kakak dan Adik atas do’a, restu dan kasih sayangnya. Serta tak lupa kepada dik Haning, terima kasih atas kesetiaan dan kesabaranmu menunggu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada rekan-rekan Tim Hibah Pascasarjana, teman-teman EPN angkatan 2003, serta semua pihak yang telah membantu dalam bentuk bahan pendukung penelitian, saran dan waktu untuk berd iskusi, sehingga karya ini bisa terselesaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2006
Tri Wahyu Nugroho
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 18 Mei 1979 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, anak pasangan Koesnanto, SPd. dan Astuti Hariniwati. Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri Maospati, Magetan, Jawa Timur dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana (jenjang Magister) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis aktif di Forum Wacana Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Pada saat ini penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang.
© Hak cipta milik Tri Wahyu Nugroho, tahun 2006
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... IV DAFTAR GAMBAR .................................................................................. V DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. VI I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ............................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 9 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 10 1.5. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... 10 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11 2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian ....................................................... 11 2.1.1. Kebijakan Harga.......................................................................... 12 2.1.2. Kebijakan Pasar ........................................................................... 16 2.1.3. Kebijakan Input ........................................................................... 16 2.1.4. Kebijakan Perkreditan ................................................................. 19 2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ................................................. 19 2.1.6. Kebijakan Reformasi Agraria...................................................... 20 2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian ................................................... 22 2.1.8. Kebijakan Irigasi ......................................................................... 23 2.2. Kemiskinan ........................................................................................... 23 2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi.................................................... 30 2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional .......................................... 30 2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga................................................... 35 2.3.3. Ekspor – Impor............................................................................ 36 2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter .................................................... 40 2.3.5. Kebijakan Fiskal dan Moneter untuk Pengentasan Kemiskinan .41 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu .................................................................... 43
III.
METODE PENELITIAN............................................................................ 45 3.1. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 45 3.2. Hipotesis P enelitian ............................................................................... 47 3.3. Sumber Data .......................................................................................... 48 3.4. Spesifikasi Model.................................................................................. 48 3.5. Prosedur Analisis .................................................................................. 64 3.5.1. Identifikasi Model ....................................................................... 64 3.5.2. Metode Pendugaan Model........................................................... 66 3.5.3. Validasi Model ............................................................................ 67 3.5.4. Simulasi Model ........................................................................... 68
IV. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN ............................. 71 4.1. Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia........................................... 71 4.1.1. Masa Orde Lama......................................................................... 72 4.1.2. Masa Orde Baru .......................................................................... 74 4.1.3. Masa Orde Reformasi ................................................................. 79 4.2. Dinamika Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia ..................... 81 4.2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian.................................... 81 4.2.2. Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian ............................................. 87 4.2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian .............. 89 4.2.4. Kontribusi Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Pembangunan Ekonomi .............................................................. 98 4.3. Kemiskinan di Indonesia..................................................................... 100 4.4. Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan ...................... 102 V.
ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN ............................................................ 105 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model...................................................... 105 5.2. Dugaan Parameter Persamaan Stuktural............................................. 107 5.2.1. Produksi Pertanian .................................................................. 107 5.2.2. Investasi Pertanian .................................................................. 109 5.2.3. Tenaga Kerja Sektor Pertanian ............................................... 111 5.2.4. Harga Komoditas Pertanian .................................................... 112
ii
5.2.5. Ekspor Komoditas Pertanian .................................................. 114 5.2.6. Impor Komoditas Pertanian .................................................... 115 5.2.7. Kemiskinan di Perkotaan ........................................................ 117 5.2.8. Kemiskinan di Pedesaan ......................................................... 119 5.2.9. Stok Pangan Nasional ............................................................. 121 5.2.10. Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ................................. 122 5.2.11. GDP Sektor Pertanian............................................................. 123 5.2.12. Penerimaan Pemerintah .......................................................... 125 5.2.13. Pajak Total .............................................................................. 126 5.2.14. Konsumsi Sektor Pertanian .................................................... 127 5.2.15. Penawaran Uang ..................................................................... 128 5.2.16. Inflasi...................................................................................... 129 5.2.17. Kemiskinan Total ................................................................... 131 5.2.18. GDP Total............................................................................... 131 VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN ...................................................... 133 6.1. Validasi Model .................................................................................... 133 6.2. Evaluasi Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan ..... 135 6.3. Evaluasi Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan .................................................................................... .....141
VII.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................... 147 7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 147 7.2. Implikasi Kebijakan ............................................................................ 150 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 152 LAMPIRAN ............................................................................................... 156
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Indikator Kemiskinan Indonesia ....................................................................7
2.
Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1967-2001....................... 71
3.
Persentase Pekerja yang Keluar Sektor Pertanian ........................................ 88
4.
Produksi Pertanian pada Awal Pelita I (Tahun 1969) dan Pelita V (Tahun 1992) .............................................................................................. 92
5.
Pangsa Sektor Pertanian Dalam Struktur Ekonomi Indonesia .................... 99
6.
Jumlah Penduduk Miskin Menurut Sektor Pekerjaan Utamanya............... 102
7.
Hasil Pendugaan Parameter Produksi Pertanian ........................................ 107
8.
Hasil Pendugaan Parameter Investasi di Sektor Pertanian ......................... 109
9.
Hasil Pendugaan Parameter Tenaga Kerja di Sektor Pertanian...................111
10.
Hasil Pendugaan Para meter Harga Komoditas Pertanian .......................... 112
11.
Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Komoditas Pertanian ......................... 114
12.
Hasil Pendugaan Parameter Impor Komoditas Pertanian .......................... 115
13.
Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Perkotaan .............................. 117
14.
Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Pedesaan ............................... 119
15.
Hasil Pendugaan Parameter Stok Pangan Nasional ................................... 121
16.
Hasil Pendugaan Parameter Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ........ 122
17.
Hasil Pendugaan Parameter GDP Sektor Pertanian ................................... 123
18.
Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pemerintah................................. 125
19.
Hasil Pendugaan Parameter Pajak Total .................................................... 126
20.
Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sektor Pertanian........................... 127
21.
Hasil Pendugaan Parameter Penawaran Uang ........................................... 128
22.
Hasil Pendugaan Parameter Inflasi ............................................................ 130
23.
Hasil Pengujian Validasi Model Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan ........................................... 134
24.
Dampak Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Perubahan Nilai Rata-rata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003........................................... 136
25.
Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Lainnya Terhadap Perubahan Nilai Rata-rata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003 .............................. 142
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003 .............................................. 5
2.
Dampak Stabilisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan................................................................................................14
3.
Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi.......................................................................................... 17
4.
Kurva Kuznets Berbentuk “U” Terbalik ...................................................... 28
5.
Keterkaitan Beragam Faktor dalam Lingkaran Setan Kemiskinan .............. 29
6.
Keseimbangan Perekonomian ...................................................................... 32
7
Dampak Tarif Impor.................................................................................... 38
8
Pengenaan Pajak Ekspor.............................................................................. 39
9.
Alur Pemikiran Penelitian ............................................................................ 46
10.
Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian...................................................63
11.
Tahapan : Langkah-langkah dan Umpan Balik dalam Penelitian Ekonometrika .............................................................................................. 65
12.
Garis Waktu Peramalan................................................................................ 68
13.
Jumlah Penduduk Indonesia di Bawah Garis Kemiskinan .........................101
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Program Model Pembangunan Pertanian dan Peng entasan Kemiskinan di Indonesia ................................................................................................ 157
2.
Hasil Pendugaan Parameter Model Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia....................................................... 160
3.
Program Validasi Model dan Simulasi Dasar............................................ 176
4.
Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar........................................ 178
vi
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang komplek s, karena
melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan telah dilakukan secara besar-besaran. Kebijakan merupakan kontrol pemerintah, dan besarnya intervensi dari kebijakan tersebut merupakan keleluasaan pemerintah atas hajat hidup orang banyak, khususnya terhadap mata pencaharian masyarakat (Ellis, 1992). Indonesia
sebagai
negara
yang
sebagian
besar
penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani, sudah selayaknya mengarahkan kebijakan pembangunan untuk meningkatkan dan memperkokoh sektor pertanian. Modal sumberdaya manusia di sektor peretanian yang melimpah di Indonesia seharusnya mampu dijadikan sebagai modal penting dalam pembangunan ekonomi yang berbasiskan pertanian. Trasformasi struktural dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang diarahkan pada pembangunan industri berbasis teknologi tinggi sebagai sektor unggulan, mengakibatkan banyak tenaga kerja dari sektor pertanian terserap ke sektor industri dan jasa, meskipun tenaga kerja yang dipakai tersebut adalah tenaga kerja yang tidak siap pakai untuk sektor industri. Maka, hal ini berakibat semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian (Prawira, 2004). Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang telah dilakukan selama ini tentunya membawa pengaruh terhadap perekonomian sebagian besar masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kebijakan pemerintah selama ini, tentunya membawa konsekuensi baik yang positif maupun negatif. Secara umum
2 apabila kita cermati kebijakan pemerintah sejak masa orde baru, maka seharusnya pertanian merupakan sektor penopang dalam pembangunan perekonomian secara menyeluruh, namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama satu dekade tarakhir sektor pertanian mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan dengan sektor jasa dan manufaktur. Proses transformasi struktural yang diharapkan dengan meletakkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian justru ditinggalkan. Jumlah penduduk Indonesia menurut Rajasa (2002), cenderung meningkat dari 206 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2002, dapat menimbulkan beberapa permasalahan pokok seperti ketersediaan pangan, papan, jaminan kesehatan, dan kelestarian sumberdaya alam. Khusus dalam bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah masalah produksi pangan/pertanian yang belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah baik di pasar lokal maupun internasional, dan masalah tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari memadai. Uraian di atas mengindikasikan bahwa sektor pertanian kita belum menjadi primadona atau andalan dalam proses pembangunan bangsa demi kesejahteraan rakyat banyak. Maksudnya adalah bahwa sektor pertanian kita belum memiliki kemampuan
untuk
mengembangkan
atau
mendayagunakan
keunggulan
komparatif yang dimilikinya. Dalam paradigma ekonomi pembangunan, sebenarnya telah diketahui secara luas bahwa terdapat paradoks pembangunan (development paradox) yang sangat mengganggu. Negara-negara maju, yang mengandalkan industri, yang
3 berteknologi tinggi, yang memiliki tingkat penghasilan per kapita sangat besar umumnya memproteksi petaninya, yang hanya sedikit jumlahnya. Sedangkan negara-negara miskin yang berbasis pertanian seperti Indonesia justru tidak berp ihak terhadap petaninya sendiri, sehingga kemiskinan yang terjadi khususnya di sektor pertanian menjadi semakin bertambah. Krisis ekonomi di Indonesia yang terus berlangsung mulai tahun 1997 telah menimbulkan pemikiran kembali tentang pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia, yang berlangsung sekitar 30 tahun telah berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut secara signifikan. Mulai tahun 1970-an hingga awal 1990-an, angka kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 50 persen. Namun, sejak krisis berlangsung mulai pertengahan 1997, angka kemiskinan naik dua kali lipat, sehingga menghapus prestasi tersebut, dan membuat upaya pengentasan kemiskinan kembali menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilaksanakan dengan serius (Sumarto, et al, 2004). Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan modal, kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebab kan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang memiliki
4 resiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya. Tingginya jumlah pekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan, sehingga mereka tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (nearly poor). Data Sakernas menunjukkan tingginya angka setengah pengangguran (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) yang mencapai 31.4 persen pada tahun 2003. Berdasarkan sektor usaha, pekerja setengah pengangguran tersebut sebagian besar bekerja di sektor pertanian yang terdapat di perdesaan. Jumlah pekerja informal terus meningkat sejak adanya krisis, dari 58.5 juta pada tahun 2001 meningkat sebesar 1.5 juta (1 juta d i daerah perdesaan dan 0.5 juta di perkotaan) sehingg a pada tahun 2002 menjadi 60 juta. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 1.2 juta (0.5 juta di daerah perdesaan dan 0.7 juta perkotaan) sehingga jumlah total menjadi 61.2 juta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya pangsa lapangan kerja di sektor pertanian dari 40.1 persen tahun 1997 menjadi 43.3 persen tahun 2001, disertai dengan menurunnya pangsa lapangan kerja bergaji dari 35.5 persen tahun 1997 menjadi 33.3 persen tahun 2002, dan menurunnya lapangan kerja di sektor manufaktur dari 2.8 persen pada periode 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada periode 1998-2001 (Bappenas, 2005). Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat
5 lemah dalam hal terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan. Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja. Tidak Bekerja (%) Bekerja di Industri (%) Bekerja di bidang Jasa (%) Bekerja di Pertanian (%)
41.1 42.7
57.1 3.2
37.9
26.9
30.3 53.7
39.8
30.6
55.0
45.8
26.1
58.5
57.4
55.5
25.8
30.4
58.6
55.5
26.4
26.3
58.9
29.2
45.2
20%
33.2
64.0
77.5
89.7 40%
84.9
60%
59.6
22.0
22.6
65.9
65.2
22.4
26.5
67.2
66.3
17.4
21.4
68.6
67.5
17.7
22.4 68.7
20.6
19.1
73.7
73.2
69.7
16.1
16.9
75.5
74.3
16.0
18.5
80%
75.6
9.1
7.2
100%
Ri Su au ma ter Ka a Se NAD lim lata an n tan Ba rat M a Ka luku NTB lim an Utar tan a Tim Ka ur lim an tan Ja Se mb lat i Ja an Su wa m Tim ate ra ur U Ja wa tara Su Te m nga ate h ra Ba rat DI Yo g Ba ya Bali ng kar ka ta Be litu ng Ba Ja nte wa n B DK arat IJ ak art a
NT M T al Go uku ron Ka t lim La alo an mp tan un Te g ng Su ah law es Ben iT g Su eng kulu law ga es ra i Su Ten law gah Su es law i U es tara iS ela tan
Pa pu a
0%
Sumber : Bappenas, 2005 Gambar 1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003 Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Melihat dari diagram di atas kita bisa mencermati bahwa distribusi penduduk miskin sebagian besar berada pada sektor pertanian. Maka dari itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap dampak kebijakan pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan, sehingga diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi penentuan kebijakan pembangunan pertanian ke depan.
6 1.2.
Perumusan Masalah Penelitian Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami berbagai
modifikasi. Mulai dari program penyaluran kredit usaha tani yang telah mengalami beberapa kali perubahan format dalam penyalurannya. Selain itu masalah subsidi pupuk mengalami penurunan dari 4.4 persen dari total investasi pertanian pada tahun 1985 menjadi 0.7 persen pada tahun 2000, kemudian masalah penentuan harga dasar gabah serta proteksi perdagangan komoditas pertanian juga mengalami fluktuasi yang dinamis pada beberapa tahun terakhir. Sementara itu kebijakan terhadap penguasaan lahan petani semakin lama semakin menipis, hal ini menyebabkan semakin tingginya tingkat ketidakpastian dalam berusahatani. Dengan semakin tingginya tingkat ketidakpastian tersebut, mengakibatkan semakin rendahnya insvestasi di sektor pertanian yang pada akhirnya akan menurunkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi sebesar 57.1 persen pada tahun 1965 menjadi 17 persen pada tahun 2000 (Arifin, 2004). Semakin menurunnya tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, akan mengancam pada semakin tingginya angka kemiskinan yang terjadi di sektor ini, sementara itu sektor industri dan jasa tidak mampu menampung suplai tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada kondisi ketidakmampuan sektor industri dan jasa dalam menampung limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian, maka akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara menyeluruh. Pengentasan kemiskinan merupakan agenda utama dalam pembangunan ekonomi khususnya berkaitan dengan pemerataan distribusi pendapatan dan
7 pemenuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut juga merupakan agenda utama bagi pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang tercantum dalam poin pertama Millenium Development Goals yaitu pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan. Sementara itu, melihat proporsi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat tajam saat krisis ekonomi dan sampai saat ini belum mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut bisa ditunjukkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Indikator Kemiskinan Indonesia Indikator 1990 Proporsi penduduk di bawah garis 15.08 kemiskinan (P0) Indeks Jurang Kemiskinan (P1) 2.68 Indeks Kerentanan (P2) 0.74 Rasio jurang kemiskinan (P1/P0*100) 17.77 Kontribusi orang miskin dalam 9.25 konsumsi nasional Proporsi populasi di bawah tingkat 69.50 minimum terhadap konsumsi energi makanan Sumber : Susenas Consumption Module 2002
1993 13.67
1996 17.55
1999 23.43
(%) 2002 18.20
3.85 1.11
1.75 0.42
4.33 1.23
3.01 0.79
28.16 9.05
9.97 8.73
18.48 9.62
16.54 9.10
71.70
68.09
73.86
64.58
Dalam mengkaji masalah kemiskinan yang terjadi kita perlu mengetuhui faktor-faktor penyebab timbulnya kemiskinan, sehingga dari pendeteksian terhadap faktor penyebab tersebut, kita bisa mengetahui langkah atau kebijakan yang harus diambil ke depan khususnya berkaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan. Dalam proses pembangunan ekonomi, keterlibatan pemerintah sebagai pengambil kebijakan sangatlah penting. Pengaturan tingkat harga, pemberian subsidi dan insentif bagi sektor produksi sangat menunjang peningkatan produksi nasional. Begitu pula di sektor pertanian, peran pemerintah sangatlah diperlukan
8 khususnya guna mengatur kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana produksi bagi petani misalnya melalui subsidi pupuk dan bibit. Peran pemerintah diperlukan dalam mengendalikan harga komoditas pertanian baik harga atap maupun harga dasar. Selain itu , peran pemerintah juga sangat vital dalam memproteksi komoditas pertanian produksi dalam negeri terhadap maraknya produk pertanian impor. Sementara itu, masih banyak lagi kebijakan pemerintah yang bersinggungan secara langsung maupun tak langsung dengan sektor pertanian. Keterlibatan
pemerintah
dalam
mengintervensi
sektor
pertanian
memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Namun intervensi yang berwujud kebijakan yang telah dilakukan selama ini mengindikasikan adanya ketimpangan dalam pendistribusian peluang bagi pemerataan kesejahteraan. Sektor pertanian yang mendominasi proporsi golongan tenaga kerja miskin, ternyata sampai saat ini belum mampu bergerak secara signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Dampak kebijakan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil beberapa kebijakan pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan khususnya di sektor pertanian. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk merespon persoalan persoalan yang telah diuraikan di atas. Secara khusus akan mengkaji bagaimana peran kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah mampu mendorong secara
9 optimal sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Pada penelitian ini dibangun suatu kerangka berfikir yang dituangkan dalam model persamaan simultan yang mengkaji dan memformulasikan interaksi antara kebijakan pembangunan pertanian dengan variabel-variabel makroekonomi lainnya dalam suatu sistem yang dinamis. Dari uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji, yaitu : 1. Bagaimana dinamika kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia serta kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan. 2. Faktor-faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. 3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel perekonomian lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian rumusan permasalahan penelitian di atas, maka
dirumuskan beberapa tujuan penelitian yaitu : 1. Mendeskripsikan
kebijakan pembangunan pertanian dan
pengentasan
kemiskinan d i Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. 3. Menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap p engentasan kemiskinan di Indonesia.
10 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya pemahaman
yang menyeluruh dan terarah terhadap peran atau kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi, khususnya menyangkut masalah pengentasan kemiskinan, baik ditinjau dari peningkatan pendapatan perkapita maupun kemampuan pemenuhan konsumsi untuk pangan . Dari penelitian ini juga bisa dideteksi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu hasil simulasi kebijakan diharapkan akan mampu memperoleh pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini kebijakan pembangunan pertanian yang dimaksudkan
adalah antara lain kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian. Selain kebijakan di sektor pertanian ini juga dikaji mengenai kebijakan makro ekonomi, seperti kebijakan fiskal dan moneter. Sub sektor yang akan dimasukkan dalam variabel penelitian ini khususnya adalah sub sektor pertanian tanaman pangan, kar ena sebagian besar petani miskin berada pada sub sektor ini, yaitu sekitar 23.77 persen, sedangkan dalam sektor peternakan, perikanan dan kehutanan rata-rata jumlah orang miskin berada di bawah 5 persen. Kebijakan pembangunan pertanian yang akan dianalisis lebih banyak menyangkut pada sub sektor pertanian tanaman pangan, sehingga dampak langsung dari penerapan kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan dapat lebih mudah dideteksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Pembangunan Pertanian Secara umum alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui
anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian. Pembiayaan fiskal sangat penting untuk membuat berbagai macam tujuan di dalam pembangunan pertanian. Beberapa hal yang menyangkut format anggaran sektor pertanian merupakan investasi di dalam pembangunan infrastruktur sektor pertanian yang diwujudkan untuk tujuan seperti penyediaan irigasi, penyimpanan hasil panen, pemasaran dan transportasi, serta mengarahkan penyaluran kredit ke petani, pembiayaan perluasan riset dan produksi benih, membiayai defisit yang terjadi akibat program pembelian dari
petani dengan harga mahal dan
melakukan penjualan ke
konsumen dengan harga yang lebih rendah, dan beberapa program pendukung lainnya (Norton, 2004). Sementara itu menurut Ellis (1992), kebijakan pembangunan pertanian diidentifikasi
menggunakan pendekatan pengaruh yang dirancang khususnya
terhadap sistem pertanian mikro. Kebijakan pertanian di sini dikaitkan dengan masalah output dan input pertanian, kebijakan tersebut antara lain : kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi, kebijakan reformasi agraria, kebijakan penelitian, dan kebijakan irigasi.
12 2.1.1. Kebijakan Harga Kebijakan harga di sini adalah kebijakan harga output pertanian. Secara umum kebijakan harga output pertanian ini memiliki tiga fungsi utama di dalam sistem ekonomi. Ketiga fungsi tersebut antara lain : (1) untuk mengalokasikan sumberdaya pertanian secara merata, (2) untuk mendistribusikan pendapatan, dan (3) mendorong investasi dan formasi modal di sektor pertanian (Mellor dan Ahmed, 1988). Selain itu fungsi dari kebijakan harga output pertanian juga bisa dideskripsikan sebagai isyarat, insentif dan instrumen untuk alokasi sumberdaya dan pendapatan secara merata. Tiga tujuan utama dari kebijakan harga output pertanian adalah : pertama, untuk mempengaruhi output pertanian; kedua, untuk mencapai perubahan pada sisi distribusi pendapatan; dan yang ketiga adalah untuk mempengaruhi kontribusi sektor pertanian pada semua proses pembangunan ekonomi (Norton, 2004). Sementara itu Ellis (1992), juga menyebutkan bahwa instrumen dari kebijakan harga ini merupakan intervensi pemerintah yang bisa dilakukan dengan berbagai jalan. Instrumen disini dikelompokkan mengarah pada masing-masing tipe dampak pada tingkat dan stabilitas harga pertanian. Deskripsi dari instrumen kebijakan harga diikuti oleh beberapa observasi yang dikonsentrasikan pada interaksi antar instrumen, dan hubungan antara instrumen dengan tujuan. Instrumen tersebut antara lain adalah
instrumen kebijakan harga itu sendiri,
kebijakan nilai tukar, kebijakan pajak dan subsidi dan kebijakan atau intervensi langsung yaitu seperti memberikan batasan harga dasar pada komoditas pertanian tertentu pada saat panen.
13 Kebijakan
harga dalam bidang pertanian berkaitan erat dengan
kebijaksanaan dagang. Langkah-langkah yang diambil dalam perdagangan luar negeri dapat mempengaruhi baik harga di dalam maupun di luar negeri, sebaliknya kebijakan harga produk pertanian dapat mempengaruhi volume dan komposisi dagang. Kecuali untuk pembayaran defisit, bantuan ekspor diperlukan untuk menunjang harga produsen di negara-negara surplus, sedangkan dukungan impor diperlukan apabila harga konsumen harus dilindungi dari keadaan kekurangan pangan. Jenis pokok dari kebijakan harga dalam pertanian masuk dalam dua kategori, yaitu stabilitas harga dan penetapan tingkat harga (perlindungan harga), kebijakan akhir-akhir ini ditujukan untuk mendukung kelompok tertentu (produsen dan konsumen) pada sasaran produksi, anggaran atau akumulasi devisa tertentu. Stabilisasi harga menurut Ellis (1992) adalah salah satu hal yang akan dijadikan alasan umum bagi pemerintah untuk melakukan intervensi pada pasar pertanian, dan hal ini merupakan ciri yang sangat kuat adanya suatu kebijakan pertanian baik yang ada di negara maju maupun di negara berkembang. Intervensi pada pasar pertanian ini dilakukan karena pasar bebas pada produk pertanian terkenal cenderung memiliki harga yang fluktuatif. Analisis sederhana dari stabilisasi harga dapat dijelaskan menggunakan keseimbangan parsial yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut :
14
P S2
D
Se S1
P2 a
b
Pe c
d
e
f
P1
0
Q2
Qe
Q1
Q
Gambar 2 . Dampak Stabisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa : 1. Jika terjadi kekurangan penawaran, yang biasa terjadi ada musim paceklik maka penawaran akan turun menuju S2. Hal tersebut mengakibatkan harga meningkat
menjadi
P2.
Penjualan
dari
stok
penyangga
akan
mengembalikan menuju Pe. Consumer surplus gain = a + b Producer surplus loss = a Buffer stock income
= d + g (dari hasil penjualan)
2. Jika terjadi kelebihan penawaran, yang biasa terjadi saat panen maka penawaran akan bergeser menuju S1 dan harga akan jatuh menuju P1. Penjualan yang dilakukan oleh stok penyangga akan mengembalikan harga pada Pe. Consumer surplus loss = c + d + e Producer surplus gain = c + d + e + f
15 Buffer stock costs
= e + f + h (dari biaya pembelian)
3. Posisi akhir pada keseimbangan antara kesejahteraan dan perubahan sumberdaya adalah sebagai berikut : Buffer stock cancels out : d + g = e + f + h Consumer surplus loss : d (sebab c + e = a + b) Producer surplus gain
:d+e+f
Net welfare gain
: e + f (pertambahan untuk produsen)
Kebijakan harga barang hasil pertanian yang tepat memegang peranan kunci dalam pembangunan suatu perekonomian yang terbelakang. Harga barang pertanian sangat rawan terhadap keadaan permintaan dan penawaran. Karena output pertanian merupakan 50 persen dari produk nasional, maka tingkat harga pada umumnya ditentukan oleh perilaku harga barang pertanian. Kebijakan harga barang pertanian tersebut harus bertujuan mengurangi fluktuasi harga, sehingga mengurangi kerugian produsen akibat jatuhnya harga secara tajam karena hasil panen yang melimpah, dan meminimumkan konsumen akibat naiknya harga secara tajam karena kegagalan panen atau kelangkaan persediaan. Untuk kebijakan harga harus serba mencakup berbagai tindakan sejak produksi hasil pertanian sampai pada distribusinya. Tujuan penting dari kebijakan pertanian adalah untuk menentukan harga minimum dan maksimum semua barang hasil pertanian untuk kebutuhan pangan pokok. Kebijakan harga yang baik juga mencakup pengadaan cadangan penyangga dan pengoperasian melalui penjualan dan pembelian serupa harus diusahakan oleh negara dan organ -organnya (Jhingan, 2002).
16 2.1.2. Kebijakan Pasar Tujuan dari kebijakan pemerintah pada pemasaran komoditas pertanian tidak mencakup persepsi tentang struktur, perilaku dan bentuk dari hubungan pemasaran swasta/individu. Tujuan utama dari kebijakan pemasaran ini antara lain : (1) untuk memproteksi petani dan konsumen dari perdagangan yang bersifat menghisap, (2) untuk menstabilkan atau bahkan meningkatkan harga di tingkat petani, (3) untuk mengurangi margin pemasaran, (4) untuk meningkatkan kualitas dan memberikan standar minimum, dan (5) untuk meningkatkan ketahanan pangan (Ellis, 1992). Pada intinya kebijakan pasar ini bertujuan untuk memperpendek rantai pemasaran komoditas pertanian, sehingga produsen dan konsumen tidak mengalami kerugian akibat permainan harga di tingkat pedagang. Maka dari itu, pemerintah melakukan intervensi kebijakan ini melalui lembaga penyangga untuk membeli hasil pertanian dari petani, seperti misalnya Bulog. Selain itu pemerintah juga bisa membentuk lembaga pemasaran di tingkat petani sendiri. Kemudian pemerintah juga bisa mengambil peran lewat penerangan tentang informasi pasar.
2.1.3. Kebijakan Input Variabel kebijakan input memiliki tiga dimensi utama. Pertama, adalah pengendalian tingkat harga pada variabel input, dan kebijakan ini difokuskan untuk mempengaruhi harga yang harus dibayarkan oleh petani untuk keperluan input usahataninya, seperti untuk membeli pupuk dan pestisida. Kedua, adalah mengenai
sistem
distribusi
variabel
input,
jenis
kebijakan
ini
lebih
dikonsentrasikan pada modifikasi sistem aliran / distribusi input kepada petani.
17 Ketiga, adalah sistem informasi yang baik kepada petani tentang tipe, kuantititas, dan kombinasi input yang tepat untuk sistem usahatani. Proporsi utama kebijakan subsidi input dan sistem penyalurannya dapat diambil dari referensi spesifik tentang pupuk dan bibit unggul. Pupuk kimiawi serta penggunaan bibit unggul dijadikan suatu variabel penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi dibandingkan input yang lain. Pemberian subsidi pupuk dan bibit baru yang dilakukan di India mampu meningkatkan has il beras nasionalnya dari 0.8 juta ton pada tahun 1965 menjadi 7.7 juta ton pada tahun 1983. Berikut dapat dilihat pada Gambar 3 tentang pengaruh optimalisasi penggunaan pupuk nitrogen (Urea) dan bibit unggul pada peningkatan hasil padi. Kurva yang menggunakan varietas unggul dan penggunaan pupuk nitrogen lebih optimal akan memberikan hasil yang lebih tinggi (Ellis, 1992). Hasil padi (ton/ha)
8
7
Varietas unggul
6
5
4
3
Varietas tradisional
2
1
0
100
200
300
400
500
600
Pupuk nitrogen (kg/ha)
Gambar 3 . Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi
18 Kebijakan input ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh bahan baku untuk usahataninya, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan bibit, pestisida dan pupuk. Kebijakan input ini secara umum didominasi oleh kebijakan masalah pupuk. Pupuk merupakan sarana produksi utama bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian, maka dari itu barang sangat dibutuhkan oleh petani dalam bercocok tanam. Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti semakin meningkatnya permintaan akan pangan dan keberadaan lahan pertanian yang semakin sempit, memaksa pemerintah untuk mentargetkan peningkatan produksi pangan nasional. Maka dari itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain meningkatkan produksi pangan nasio nal dengan intensifikasi pertanian . Harga pupuk yang tinggi, mengakibatkan petani mengalami kendala dalam pemenuhan untuk optimalisasi usahataninya. Namun karena pemerintah terdesak untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat, seperti yang diungkapkan di atas, maka pemerintah memberikan subsidi untuk pupuk, sehingga diharapkan petani dapat menjangkaunya dan optimalisasi produksi dapat dilakukan. Apabila pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengurangi atau bahkan mencabut secara keseluruhan terhadap pupuk maka akan berakibat semakin lemahnya produksi pangan nasional. Hal tersebut disebabkan petani akan mengambil keputusan untuk beralih profesi, karena berusahatani akan semakin tidak menguntungkan. Maka secara tidak langsung akan mengakibatkan rendahnya produktivias pangan nasional (Simatupang, 2004).
19 2.1.4. Kebijakan Perkreditan Bagian penting dari kebijakan kredit pertanian yang paling sering ditemui di negara-negara berkembang ialah kebijakan penetapan tingkat bunga yang rendah, yang biasanya berhubungan erat dengan kebijaksanaan harga dan pajak usahatani. Tingkat bunga yang rendah pada umumnya menunjukkan pengaruh yang negatif. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, tingkat bunga yang rendah menimbulkan kesulitan untuk merangsang simpanan deposito. Hal ini menghambat bank untuk menambah modal yang dimilikinya dan mendorong lembaga-lembaga menjadi semakin bergantung pada subsidi pemerintah. Pertumbuhan kredit menurun dan efektifitas bank terhambat. Sehubungan dengan alokasi sumber-sumber dana, tingkat bunga yang rendah akan menurunkan standar pemilihan dan menyebabkan investasi dengan produktivitas yang semakin lebih rendah. Secara keseluruhan ini mengakibatkan pengurangan produktivitas. Bahkan rendahnya tingkat bunga mengubah rasio faktor harga demi kepentingan modal, ini akan mendorong usaha produksi dan teknologi yang padat modal dan mempunyai pengaruh negatif terhadap pengurangan serta perkembangan teknologi yang tepat (Heinz, 1988).
2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian Kebijakan mekanisasi pertanian ini merupakan bentuk kebijakan kepedulian dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Kegiatan mekanisasi ini merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan ditunjang mesin untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi energi manusia dalam mengolah lahan pertaniannya.
20 Mekanisasi pertanian ini lebih lanjut dibedakan menjadi bentuk yaitu mekanisasi bergerak dan tidak bergerak. Mekanisasi yang bergerak yang dimaskud di sini seperti traktor pengolah lahan, sedangkan mekanisasi yang tidak bergerak dicontohkan seperti pompa air. Kebijakan mekanisasi pertanian ini pada intinya adalah memberikan efisiensi terhadap komponen tenaga kerja, sehingga petani akan lebih efisien dan memberikan hasil yang lebih cepat (Ellis, 1992).
2.1.6. Kebijakan Reformasi Agra ria Pengertian reformasi agraria/landreform secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi : 1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas, usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. 2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).
21 3. Pengaturan hubungan pemilik-penggarap (UU bagi hasil, dan lain-lain). 4. Penyebaran
informasi/peraturan
yang
menyangkut
pertanahan
kepada
masyarakat. 5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan. 6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain-lain). Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu : 1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah. 2. Industri berkembang. 3. Secara multiplier akan meningkatkan GNP. Hal-hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya konversi lahan (S ilitonga, et al, 1995). Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil Sensus Pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan pemukiman.
22 Konversi
lahan
ini,
terutama
Jawa
sebagai
gudang
pangan
nasional,
menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan pedesaan serta penurunan hilangnya aset pertanian bernilai tinggi. Akhir-akhir ini berkembang kecenderungan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan hasil panen padi per hektar mengalami stagnasi akibat kejenuhan teknologi. Dalam situasi tersebut maka upaya untuk menekan “kehilangan produksi pangan” akibat konversi lahan sawah menjadi lebih penting. Untuk kasus di Jawa, memang sulit menghindari kenaikan lahan untuk kegiatan non pertanian, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Atas pertimbangan itu, diperlukan upaya mengarahkan proses konversi lahan pada lahan pertanian yang kurang produktif, sedangkan lahan pertanian produktif dicadangkan bagi produksi pangan (Irawan, 2001).
2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian Kebijakan penelitian ini adalah kebijakan mengenai peraturan pemerintah di dalam melakukan pendekatan alternatif
untuk mengembangkan dan
menyebarkan teknologi pertanian yang baru kepada rumah tangga petani. Ada beberapa dimensi yang termasuk dalam pengertian kebijakan penelitian ini. Pengembangan teknologi pertanian yang baru merupakan faktor utama untuk menunjang inovasi. Hal ini masuk dalam penetuan kekuatan topik penelitian, lembaga penelitian, pengalokasian sumberdaya dalam penelitian, manajemen penelitian dan hasil penelitian.
23 Penyebaran teknologi pertanian baru yang menjadi faktor utama dalam ukuran keberhasilannya adalah tingkat adopsi teknologi ditingkatan petani. Hal ini termasuk berkaitan dengan tingkatan lahan dan hambatan perekonomian yang juga ikut mempengaruhi adopsi teknologi (Ellis, 1992).
2.1.8. Kebijakan Irigasi Dalam proses budidaya yang berkesinambungan tentunya tidak bisa dilepaskan dari irigasi. Kebijakan pembangunan sarana irigasi merupakan jawaban untuk adanya efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usahatani, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada alam yang berupa hujan. Dengan adanya irigasi yang lancar maka akan memungkinkan petani untuk berproduksi di berbagai musim. Dengan membangun sarana irigasi yang baik dan tertata juga akan menunjang
keseimbangan
lingkungan
yang
baik.
Akan
tetapi
apabila
pembangunan sarana irigasi tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem maka akan merusak habitat alami, seperti misalnya konstruksi sistem irigasi akan menyebabkan kekeringan dan bahkan banjir pada area-area baru. Namun demikian, kerana kebutuhan akan pangan semakin tinggi maka tidak ada pilihan lain untuk tetap memprioritaskan pada pem enuhan permintaan pangan, maka dari itu pembangunan sarana irigasi sangatlah diperlukan (Norton, 2004).
2.2.
Kemiskinan Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, lak i-laki
24 dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik lakilaki maupun perempuan, mempunyai hak -hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya.
Kemiskinan
tidak
lagi
dipahami
hanya
sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini
25 memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi d an memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan surv ei (Bappenas, 2005). Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:
26 1.
biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita per hari; dan
2.
biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan,
ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di bawah 1 $ US / hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi kalori per hari yaitu sebanyak 2100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan (Kelompok Kerja Pro penas , 2002). Kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis dan bencana alam. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan
27 fatalistis. Dalam kaitan itu, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz, 1988). Secara umum upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator keberhasilan pembangunan suatu negara ternyata terkadang menyesatkan. Menurut Kuznets mengemukakan bahwa pola pertumbuhan historis negara maju pada
tahap -tahap
awal
pertumbuhannya
mengalami
penurunan
tingkat
kesejahteraan, namun pada akhirnya akan membaik secara perlahan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Observasi inilah yang dikenal secara luas sebagai kurva Kuznetz “U-terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur dengan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita (Todaro, 1999).
28 Koefisien Gini 0,75
0,50 0,35 0,25 0
GNP Per Kapita
Gambar 4. Kurva Kuznets Berbetuk “U” Terbalik Kemiskinan berdampak pada kondisi keadaan kurang gizi dan tingkat kesakitan (morbiditas), dan hal ini merupakan suatu lingkaran setan yang akan membuat kondisi suatu bangsa semakin terpuruk. Masih relatif tingginya masalahmasalah gizi masyarakat itu menunjukkan bahwa aspek kemampuan ekonomi (daya beli) berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah gizi masyarakat, disamping adanya faktor kurang sadar gizi, kondisi lingkungan sanitasi dan keterbatasan akses bagi golongan masyarakat yang kurang mampu. Kemampuan ekonomi keluarga yang rendah itu tidak terlepas dari faktor keterbatasan lapangan kerja, termasuk keterbatasan dalam hal kemampuan psikomotorik dan kognitif yang dapat dikembangkan untuk memperluas peluang mendapatkan tambahan pendapatan. Berikut ini gambaran keterkaitan beragam faktor dalam lingkaran setan kemiskinan, dimana faktor kekurangan gizi masuk di dalamnya (Todaro, 1999). Dampak dari kondisi kurang gizi pada jangka waktu lama akan tercermin pada beragam maslaah gizi masyarakat dan pada gilirannya menyangkut langsung pada sumberdaya insani yang memprihatinkan, yakni rendahnya produktivitas fisik, mental (ketahanan menerima stres) dan intelektual (kecerdasan) (Sitorus, 1996).
29
Cadangan dana/sumber daya terbatas
Pendidikan rendah
Kemampuan kognitif dan psikomotorik rendah
Miskin gizi, kesehatan dan asset
Kelahiran tinggi : future security
Akses terhadap pekerjaaan rendah
Status gizi dan kesehatan rendah
Produktifitas (fisik, mental dan intelektual) rendah
Pendapatan rendah
Keterjaminan pangan (food security) rendah
Gambar 5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam “Lingkaran Setan” Kemiskinan
Kelaparan kronis menyebabkan kemunduran intelektual, menghalangi pertumbuhan produktifitas dan menjadi penyebab utama timbulnya penyakit, sehingga orang atau komonitas menjadi tidak mampu untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Kelaparan dan kekurangan nutrisi/gizi mikro diperkirakan akan menurunkan kapasitas belajar sampai dengan lebih dari 10%. Untuk keluarga miskin, kelaparan yang dihubungkan dengan kondisi sakit merupakan biaya yang tinggi bagi rumah tangga dan meningkatkan beban terhadap kesehatan anggota keluarga. Penyakit merupakan tambahan beban kesulitan yang sangat berarti. Ada
dua
indikator
yang
direkomendasikan
dalam
memonitor
keberlangsungan pencapaian target untuk mengurangi kelaparan, yaitu meratanya bobot yang rendah pada anak-anak berusia di bawah lima tahun dan proporsi dari
30 populasi di bawah tingkat minimum menu konsumsi energi (Kelompok Kerja Propenas, 2002).
2.3.
Keterkaitan Variabel Makroekonomi
2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional Keseimbangan pendapatan nasional dicerminkan oleh keseimbangan internal dan eksternal secara simultan. Keseimbangan internal terjadi apabila dalam pasar barang dan pasar uang terjadi keseimbangan. Sedangkan keseimbangan eksternal terjadi jika neraca perdagangan sama dengan neraca modal asing (net capital flow). Secara teoritis proses terbentuknya keseimbangan pendapatan nasional tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pendapatan nasional yang dihitung berdasarkan sisi pengeluaran didefinisikan sebagai penjumlahan dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, ditambah pengeluaran investasi swasta, ditambah pengeluaran pemerintah, dan ditambah ekspor neto. Sedangkan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposible income) adalah pendapatan nasional dikurangi pajak (Glahe, 1977). Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut : Y
= C + I + G + ( X – M ) ................................................................(1)
YD
= Y – T ..........................................................................................(2)
dimana : Y C I G X I YD T
= Pendapatan nasional = Pengeluaran konsumsi rumah tangga = Pengeluaran investasi swasta = Pengeluaran Pemerintah = Ekspor = Impor = Pendapatan yang siap dibelanjakan = Penerimaan Pajak
31 Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga didefinisikan sebagai pendapatan yang siap dibelanjakan dikurangi tabungan rumah tangga (S), secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : C
= YD – S .......................................................................................(3)
Sedangakan dari sisi penerimaan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Y
= C + S + T ...................................................................................(4)
Keseimbangan umum terjadi apabila persamaan (1) sama dengan persamaan (4), yaitu : C + I + G + X – M = C + S + T atau I + G + X = S + T + M ...................(5) Persamaan (5) merupakan persamaan keseimbangan di pasar barang. Keseimbangan tersebut membentuk kurva IS yang ditunjukkan pada gambar 6d. Pada Gambar 6d juga terdapat kurva LM yang menunjukkan keseimbangan di pasar uang yang terbentuk dari keseimbangan permintaan uang (MD) dan penawaran uang (MS) (Gambar 6e). Berdasarkan teori Keynes permintaan uang adalah mempunyai tiga motif atau tujuan, yaitu : (1) permintaan uang untuk tujuan trans aksi, (2) permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga, dan (3) permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transak si dan berjaga merupakan fungsi dari pendapatan, sedangkan permintaan uang untuk tujuan spekulasi merupakan fungsi dari tingkat suku bunga yang secara teoritis dapat ditulis sebagai berikut : Mt
= f (Y) ...........................................................................................(6)
Mj
= f (Y) ...........................................................................................(7)
Msp
= f (r) .............................................................................................(8)
32
S, T, M
S+T+M
S+T+M
450
Y
Y
(a) r
(b)
r
r
MS
LM EB
MD
IS Y
M
(e)
I+G+X
(d)
P
AS EB AD Y Y
(f)
P
Y=f(N)
N
(h)
450 (g)
Y
W NS
ND
(i)
N
Gambar 6. Keseimbangan Perekonomian
(c)
I+G+X
33 MD
= Mt + Mj + Msp ..........................................................................(9)
Keseimbangan terjadi apabila : MS
= MD .........................................................................................(10)
dimana : Mt Mj Msp MD MS Y r
= Permintaan uang untuk transaksi = Permintaan uang untuk berjaga-jaga = Permintaan uang untuk spekulasi = Total permintaan uang = Total penawaran uang = Pendapatan nasional = Tingkat suku bunga
Persamaan (10) merupakan keseimbangan di pasar uang dan membentuk kurva LM. Keseimbangan internal terjadi apabila terjadi keseimbangan di pasar barang dan pasar uang atau (IS = LM) yang akan menentukan tingkat pendapatan nasional yang diukur dari sisi pengeluaran yang ditunjukkan oleh kurva permintaan agregat (Gambar 6f). Perubahan-perubahan
dalam
aktivitas
konsumsi,
tabungan,
pajak,
investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor akan merubah kurva IS yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Begitu pula perubahan -perubahan dalam aktivitas moneter baik dari sisi permintaan maupun penawaran uang akan merubah kurva LM yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Keseimbangan dalam pasar barang dan pasar uang ini akan menentukan tingkat bunga. Kebijakan fiskal dicerminkan oleh pergeseran kurva IS, sedangkan kebijakan pemerintah dari segi moneter dicerminkan pada kurva LM. Pendekatan
pendapatan
nasional
tersebut
didasarkan
pada
sisi
pengeluaran, sehingga sulit digunakan untuk mengevaluasi perubahan -perubahan dalam sisi produksi. Pendapatan Nasional apabila diukur dari sisi produksi
34 ditunjukkan pada Gambar 6h. Dalam teori makro Glahe (1977), fungsi produksi agregat didefinis ikan sebagai berikut : Y
= f ( K, L, T, N) ..........................................................................(11)
dimana : Y K L T N
= Pendapatan nasional = Modal = Lahan = Teknologi = Tenaga Kerja
Dalam jangka pendek diasumsikan bahwa K, T, L adalah tetap sehingga hanya N yang menjadi variabel input. Oleh karena itu fungsi produksi agregat dituliskan menjadi : Y
= f (N) .........................................................................................(12)
Mengacu pada teori makro ekonomi dan mengasumsikan pen awaran tenaga kerja elastis sempurna (perfectly elastic) pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan dapat disajikan sebagai berikut : p
= (P.Y) – (W.N) ..........................................................................(13)
Keuntungan maksimum terjadi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah nol, sehingga dp/dN = P.dY/dN – W = 0, dengan asumsi turunan kedua terpenuhi. Oleh karena dY/dN = MPn adalah produk marginal dari tenaga kerja, maka : W
= P.MPn ......................................................................................(14)
Persamaan (14) ini merupakan permintaan tenaga kerja yang digambarkan sebagai kurva permintaan tenaga kerja (ND) dalam Gambar 6i. Perubahan harga (P) akan menyebabkan pergeseran pada kurva permintaan tenaga kerja (ND). Jika
35 diasumsikan bahwa upah tenaga kerja (W) bersifat kaku terhadap perubahan harga dalam jangka pendek sebagaimana asumsi Keynes, maka adanya perubahan harga (P) akan terjadi perubahan dalam pasar tenaga kerja akibatnya akan terjadi perubahan permintaan tenaga kerja, sehingga akan menyebabkan perubahan jumlah produksi. Begitu pula apabila terjadi perubahan tenaga kerja akibat naiknya jumlah penduduk dan angkatan kerja, juga akan menyebabkan perubahan permintaan tenaga kerja. Penempatan kurva keseimbangan eksternal (EB) pada Gambar 6d dan 6f, maka akan diperoleh keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dan eksternal pada Gambar 6d adalah EB = IS = LM, dimana jika EB > (IS =LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (IS=LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit, yang umumnya dilakukan dalam evaluasi jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang keseimbangan internal dan eksternal ditunjukkan dalam Gambar 6f yaitu AS =AD = EB, dimana jika EB > (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit (Glahe, 1977).
2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga Asnawi (2005), dalam tulisannya menyatakan bahwa secara garis besar perhitungan pendapatan nasional dari sisi nilai produksi (Q) dirumuskan sebagai penjumlahan dari nilai produksi sektor dan sub sektor (Qij) : Q= dimana : Q Qij
? Qij ............................................................................................(15) = Total produksi = Produksi dari sektor i dan subsektor j
36 Masing-masing produksi Qij dianggap respon terhadap perubahan harganya, modal, dan tenaga kerja, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : Qij
= f (Pij, Kij, Nij)..........................................................................(16)
dimana : Pij Kij Nij
= Indeks harga dari sektor i dan subsektor j = Modal di sektor i dan subsektor j = Penggunaan tenaga kerja di sektor i dan subsektor j
Kekuatan harga domestik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar dalam negeri saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar internasional. Oleh karena itu secara empiris besarnya harga domestik sangat dipengaruhi oleh produksi, konsumsi, harga impor dan ekspor, dan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Secara matematis dapat dirumuskan seb agai berikut : Pij
= f ( Qij, Cij, PXij, PM ij, NT) ...................................................(17)
dimana : Pij Qij Cij PXij PMij NT
= Harga = Produksi = Konsumsi = Harga ekspor = Harga impor = Nilai tukar rupiah
2.3.3. Ekspor – Impor Total ekspor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor atau sub sektor. Sementara total impor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor atau sub sektor. Besarnya ekspor dari masing-masing sektor dan sub sektor dipengaruhi oleh harga dunia, indeks harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, harga domestik, produksi domestik dan pajak ekspor. Sedangkan
37 besarnya impor dari masing -masing sektor dan sub sektor dipengaruhi oleh pajak / tarif impor, indeks harga impor, harga dunia, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, harga domestik, dan produksi domestik (Asnawi, 2005). Sedangkan mengenai dampak pengenaan tarif impor dan pajak ekspor dapat dijelaskan sebagai berikut : 1)
Pengenaan Tarif Impor Pengenaan
tarif
sebagai
pajak
menyebabkan
biaya
perdagangan
meningkat, harga barang-barang impor di negara pengimpor mengalami kenaikan, harga yang lebih rendah untuk barang-barang ekspor dan menurunnya volume perdagangan. Tarif dapat mengurangi pendapatan dunia, tetapi memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok tertentu dalam negara pengekspor dan pengimpor. Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor sama dengan pengenaan tarif impor, karena pajak ekspor akan meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi volume ekspor. Untuk negara-negara kecil, harga dunia tidak terpengaruh dan harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak yang dikenakan (Caves dan Jones, 1981). Pengenaan tarif impor akan menguntungkan kepada produsen di negaranegara pengimpor karena harga produk domestik menjadi relatif lebih murah dibandingkan produk sejenis yang berasal dari impor. Tarif impor merupakan penerimaan bagi pemerintah yang merupakan pembayaran transfer dari sektor swasta ke pemerintah. Tarif akan mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam perekonomian, yaitu apabila tarif menaikkan harga domestik dari barang -barang yang diimpor maka penggunaan tenaga kerja dalam sektor yang diproteksi akan mengalami kenaikan. Selanjutnya apabila sektor pengimpor dan sektor pengekspor mempekerjakan faktor produksi dalam proporsi yang berbeda, maka
38 tarif akan menggeser permintaan faktor relatif dan harga faktor relatif. Tarif impor memberikan efek yang berlawanan terhadap konsumen domestik dengan menaikkan harga barang-barang impor. Konsumen yang selalu mengkonsumsi barang-barang impor akan mentransfer pendapatannya kepada produsen domestik dengan membeli barang-barang domestik. Efek ekonomi dari pengenaan tarif impor dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
P
D
S
6 7 E
P1 1 A
PW
F 3
2 B
4
D
C
D
D 0
Q2
Q4
Q3
Q1
Gambar 7. Dampak Tarif Impor Permintaan domestik sebelum dik enakan tarif impor adalah sebesar 0Q1, yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q 2 dan impor sebesar Q2Q1. Setelah pemerintah mengenakan tarif sebesar PWP1 per unit, maka permintaan domestik akan berubah menjadi 0Q 3, yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q4 dan impor sebesar Q4Q3. Dimana PW merupakan harga dunia, sedangkan P 1 merupakan harga domestik setelah diberlakukan tarif. Dengan adanya tarif, maka surplus produsen
39 bertambah dari sebesar luas area 5 menjadi sebesar 5 + 1, sedangkan surplu s konsumen berkurang dari sebesar luas area 1 + 2 + 3 + 4 + 6 + 7 menjadi sebesar luas area 6 + 7, dan penerimaan pemerintah dari tarif sebesar luar area 3. Dengan adanya tarif, maka telah terjadi deadweigh loss sebesar luas area 2 + 4, yaitu pada area 2 adalah inefisiensi akibat penambahan produksi domestik, sedangkan area 4 ditangkap oleh konsumen luar negeri. 2)
Pengenaan Pajak Ekspor Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor adalah sama dengan
pengenaan tarif impor. Pengenaan pajak ekspor meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi volume ekspor. Untuk negara kecil maka harga dunia tidak terpengaruh dan harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak ekspor yang dikenakan (Gambar 6).
Harga Q
QS
Harga Ekspor
E2s=E1s + t E1s
P1
A
P2
B
C
E
D
QD
01
Q2
Q4
Q3
Q1
02
E2
Gambar 8. Pengenaan Pajak Ekspor
E1
Ed
40 Apabila keseimbangan mula-mula pada titik E, tingkat harga adalah 02A = 01P1 dan volume ekspor 02E1. Pajak ekspor menggeser kurva penawaran ekspor naik ke E2s mengurangi ekspor ke 02E2. Harga domestik turun ke 02B = 01P2, produksi turun ke 0 1Q3 dan konsumsi naik ke 0 1Q4. Pajak ekspor akan menurunkan harga baik untuk produsen domestik maupun konsumen. Pajak ekspor merupakan penerimaan bagi pemerintah (Caves dan Jones, 1981).
2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter Permasalahan utama dalam makroekonomi selalu dihubungkan dengan permasalahan kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal yang banyak menyangkut masalah pajak dan belanja pemerintah merupakan alat kebijakan yang diperankan oleh pemerintah eksekutif. Sedangkan kebijakan moneter dipegang oleh bank sentral selaku pemegang stok uang (Ekelund dan Tollison, 1996). Komponen kebijakan fiskal meliputi penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah, dan investasi. Penerimaan pajak terdiri dari pajak ekspor yang besarnya tergantung dari nilai ekpsor, tarif impor yang besarnya tergantung dari nilai impor, pajak penghasilan yang besarnya tergantung dari pendapatan nasional, dan pajak lainnya. Sedangkan pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran total yang besarnya tergantung dari total penerimaan pemerintah yang melaui pajak dan bukan pajak, dan kondisi perekonomian secara makro termasuk inflasi. Investasi secara teoritis merupakan fungsi dari tingkat bunga, selain itu investasi juga bergantung dari besarnya modal dan pendapatan disposibel. Secara
41 tidak langsung harga juga turut mempengaruhi tingkat invesatsi, karena dengan naik dan turunnya harga akan memberikan pengaruh terhadap perilaku investasi. Sektor moneter bisa didekati berdasarkan perilaku permintaan dan penawaran uang. Berdasarkan teori Keynes, permintaan uang mempunyai tiga tujuan, yaitu : (1) tujuan transaksi, (2) tujuan berjaga-jaga, dan (3) tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga besarnya ditentukan oleh tingkat bunga, sehingga banyaknya permintaan uang banyak dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan juga tingkat inflasi. Sementara itu, jumlah penawaran uang sangat ditentukan oleh tingkat bunga pasar, inflasi, nilai tukar, dan intervensi pemerintah berupa giro wajib minimum atau cadangan wajib bank komersial. Oleh karena itu tingkat suku bunga dalam keseimbangan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran uang (Asnawi, 2005).
2.3.5. Kebijakan Fiskal dan Moneter untuk Pengentasan Kemiskinan Mengurangi kemiskinan dapat dipandang sebagai salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa secara berkeadilan. Untuk mencapai hal ini, secara simultan, beberapa indikator pembangunan yang relevan seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin hendaklah ditargetkan secara tepat. Pada propenas 2000-2004 ditetapkan bahwa pertumbuhan
ekonomi
mencapai
6-7
persen
secara
bertahap,
tingkat
pengangguran menurun menjadi 5.1 persen, dan jumlah penduduk miskin menurun menjadi 14 persen pada tahun 2004. Upaya untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi menjadi 6-7 persen perlu dilakukan, mengingat angka kemiskinan serta tingkat pengangguran akan sulit ditekan apabila tingkat
42 pertumbuhan masih relatif rendah, yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen pada tahun 2004. Keadaan ekonomi riil, khususnya pengangguran dan kemiskinan, hingga akhir-akhir ini belum menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Sebelum krisis, jumlah penduduk miskin dibawah 16 persen, namun ketika krisis datang pada pertengahan 1997, meningkat menjadi 40 persen. Hingga tahun 1999, angk a tersebut masih 23.4 persen dan pada tahun 2002 sekitar 18.2 persen. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar yakni mencapai 37 juta jiwa atau 17 persen dari julah penduduk. Diprediksikan dalam Propenas 2000-2004 bahwa angka kemiskinan tahun 2004 kemungkina hanya bisa ditekan hingga 16 persen. Komitmen untuk mengurangi utang luar negeri, yang akan membawa
konsekuensi
terhadap
berkurangnya
dana-dana
pembiayaan
pembangunan, mengurangi dana untuk penanggulangan kemiskinan. Upaya menekan angka pengangguran dan kemiskinan memerlukan kebijakan-kebijakan yang komprehensif. Kebijakan moneter yang diterapkan setelah diberlakukannya UU No. 23/1999, yang hanya memfokuskan pada pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah, sulit diharapkan secara langsung dapat menekan pengangguran dan kemiskinan. Dengan kata lain, stimulus ekonomi melalui kebijakan moneter sulit dilakukan. Kebijakan fiskal lebih efektif untuk merangsang perekonomian. Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Tenaga kerja yang memiliki kemampuan rendah, yang biasanya merupakan tenaga kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi pengangguran. Tenaga kerja terampil dan
43 berpendidikan memiliki kerentanan yang relatif kecil untuk menjadi penganguran (Yudhoyono, 2004).
2.4.
Hasil Penenelitian Terdahulu Kemiskinan di pedesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran
pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi, tingkat upah, serta rezim pemerintahan.
Masing-masing
pengeluaran
pemerintah
untuk
pertanian,
pertumbuhan ekonomi dan upah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di pedesaan, menunjukkan peningkatan tiap-tiap variabel ini dapat mengurangi kemiskinan di pedesaan secara nyata. Sementara kemiskinan di perkotaan secara nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, rezim pemerintahan dan desentralisasi (Yudhoyono, 2004). Sementara Simatupang (2000), mengungkapkan bahwa salah satu keunggulan sektor pertanian ialah dalam hal pengentasan kemiskinan yang merupakan
tujuan
utama
pembangunan
ekonomi
nasional.
Dari
hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertan ian sangat efektif dalam pengentasan kemiskinan, nilai peningkatan pendapatan perkapita dan penurunan harga makanan khususnya harga beras. Penurunan harga beras sangat efektif menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan maupun di perkotaan. Peningakatan pendapatan per kapita sektor pertanian terutama berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin di pedesaan. Kontribusi langsung sektor primer dalam PDB memang cenderung menurun dan tidak lagi menduduki peringkat utama, sementara kontribusi langsung sektor industri cenderung meningkat dan telah meraih peringkat utama.
44 Namun sesungguhnya, sebagian besar PDB sektor industri ternyata berasal dari sub sektor agroindustri yang pada dasarnya sebagian terbesar merupakan kontribusi dari sektor pertanian. Oleh kar ena itu, apabila kontribusi melalui subsektor industri diperhitungkan maka kontribusi langsung sektor pertanian dalam PDB masih tetap yang terbesar dalam perekonomian Indonesia.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi literatur dan logika yang digunakan, analisis dampak
kebijakan di sektor pertanian
terhadap pengentasan kemiskinan melibatkan
peubah-peubah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Peubah-peubah tersebut berkontribusi dalam perancangan model yang akan digunakan. Dalam penelitian ini peubah-peubah yang digunakan selain peubah jenis kebijakan pertanian dan kemiskinan, juga melibatkan peubah kebijakan ekonomi makro seperti belanja pemerintah, GDP Nasional, pajak, inflasi, nilai tukar dan lain-lain. Kerangka pemikiran analisis dampak kebijakan sektor pertanian terhadap pengentasan
kemiskinan
menunjukkan
hubungan
antar
aspek
kebijakan
pembangunan ekonomi melalui sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan dengan ditunjukkan adanya pengurangan angka kemiskinan. Setiap kebijakan yang diambil tentunya memiliki target yang ingin dicapai. Dari beberapa kebijakan pembangunan di sektor pertanian yang antara lain adalah kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian akan dianalisis untuk melihat seberapa besar pengaruh dari masing-masing kebijakan yang telah diambil tersebut terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Untuk lebih jelasnya kerangka umum penelitian ini dapat dilihat pada diagram berikut :
46
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan Pertanian
-
Penyedia bahan pangan Penyedia bahan baku primer Penghasil devisa
Kebijakan di sektor pertanian Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ø
kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan Ø kebijakan pengembangan penelitian pertanian
Peningkatan Produksi dan Perbaikan Distribusi
Ketersediaan Pangan
Peningkatan Pendapatan Petani
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pengentasan Kemiskinan
Gambar 9. Alur Pemikiran Penelitian
47 3.2.
Hipotesis Penelitian Dari tujuan yang telah ditentukan, dapat diperkirakan hipotesis yang akan
ditentukan dalam penelitian ini, antara lain : 1. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara umum antara lain adalah faktor peningkatan anggaran pemerintah, peningkatan tingkat upah, peningkatan produksi pertanian, dan pertumbuhan ekonomi, sementara faktor inflasi dan krisis ekonomi akan semakin meningkatkan angka kemiskinan. 2. Kebijakan pembangunan sarana irigasi, mekanisasi, proteksi harga, penelitian pertanian, dan penambahan penguasaan lahan akan mengurangi tingkat kemiskinan. Kebijakan pada peubah makro ekonomi lainnya yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan adalah penurunan suku bunga dan peningkatan upah riil. Pemilihan peubah
yang
mampu
mengurangi
tingkat
kemiskinan
didasarkan pada hasil penelitian Yudhoyono (2004) yang menyatakan bahwa angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan peningkatan anggaran pemerintah atau kebijakan fiskal, pertuimbuhan ekonomi dan tingkat upah. Peningkatan produksi pertanian akan mampu menjamin peningkatan stok pangan nasional, sehingga akan memberikan jaminan pangan bagi masyarakat dan kemiskinan dapat dikurangi. Tingginya angka inflasi dan terjadinya krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia diduga sebagai faktor penyebab meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia, karena menyebabkan mahalnya faktor produksi sehingga banyak industri yang rugi dan memunculkan pengangguran baru, serta hal tersebut menyebabkan semakin menurunnya daya beli masyarakat.
48 Menurut Mitchel (1985), dalam perumusan model pembangunan pertanian di Korea, kebijakan pembangunan pertanian yang berupa pengadaan sarana irigasi, mekanisasi, proteksi harga, dan peningkatan penguasaan lahan akan meningkatkan jumlah produksi dan memperbaiki harga khususnya ditingkat petani. Penelitian di sektor pertanian diduga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi pertanian, sehingga akan meningkatkan daya saing komoditas pertanian itu sendiri. Peubah makro ekonomi peningkatan upah riil yang proporsional akan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, serta penurunan tingkat suku bunga secara teori akan mendorong tingkat investasi, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
3.3.
Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder time series tingkat nasional
(Indonesia) tahun 1984 – 2003. Data ini bersumber dari Biro Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Departemen Pertanian, dan berbagai intansi terkait lainnya. Data yang didapatkan tersebut digunakan untuk melakukan pendugaan parameter berdasarnya model yang telah dibangun.
3.4.
Spesifikasi Model Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu
sistem atau proses. Model ekonometrika adalah suatu pola khusus dari model aljabar, yaitu suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu (Intriligator, 1978).
49 Model ekonometrika merupakan gambaran hubungan dari masing-masing peubah penjelas (explanatory variables) dan peubah endogennya (endogen ous variables). Model yang baik adalah model yang memenuhi kriteria ekonomi khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (sign and magnitud e) dari penduga parameter yang sesuai dengan harapan teoritis (theoretically meaningful) secara apriori, kriteria statistik yang bisa dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit ), dan kriteria ekonometrika yang menetapkan suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, efficiency, sufficiency, dan consistency (Koutsoyiannis, 1977). Spesifikasi model yang dirumuskan dalam studi ini adalah sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model kemiskinan Indonesia dalam konteks pembangunan ekonomi. Model yang dibangun adalah model persamaan simultan. Secara umum kebijakan pembangunan pertanian ditujukan untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki harga di tingkat petani, sehingga kecukupan pangan dapat terpenuhi dan petani pada umumnya memperoleh pendapatan yang lebih baik. Menurut Mitchel (1985), menyebutkan bahwa kelompok kebijakan pembangunan pertanian merupakan peubah eksogen yang mempengaruhi secara langsung pada produksi dan harga komoditas pertanian. Untuk mengetahui keterkaitan dampak kebijakan pertanian dengan kemiskinan di Indonesia disajikan dalam persamaan yang terbentuk dari pemodelan sebagai berikut :
50 1.
Produksi Pertanian Besarnya produksi pertanian tergantung pada luasan lahan yang
digunakan, jumlah lahan yang beririgasi, besaran modal yang didapatkan melalui kredit, tingkat subsidi pupuk yang diberikan, mekanisasi yang digunakan, investasi, dan besaran dana penelitian. Penentuan peubah-peubah yang mempengaruhi produksi pertanian didasarkan pada perumusan model ekonometrika yang dilakukan Asnawi (2005), yang menyebutkan bahwa produksi pertanian dipengaruhi oleh luas lahan pertanian, luas areal intensifikasi, dana penelitian, kredit pertanian, modal dan investasi pada sektor pertanian. Menurut Darmansyah (2003), produksi pertanian khususnya padi sawah banyak dipengaruhi oleh peubah pupuk. Selanjutnya persamaan yang tebentuk dapat ditulis sebagai berikut : PROAt = a0 + a1LA t + a2 IRI t + a3CREt + a4SUBF t + a5MEC t + a6INVAt + a 7 RIS t + a8PROAt-1 + U1 ................................................. (18) diharapkan : a1, a2, a3, a4, a5, a6, a7 > 0 dan 0 < a8 < 1 Keterangan : PROAt LAt IRIt CREt SUBF t MEC INVAt RIS t PROAt-1 U1
= Produksi Pertanian (milyar rupiah) = Lahan Pertanian (ribu Ha) = Luasan Lahan Irigasi (ribu Ha) = Kredit Pertanian (milyar rupiah) = Subsidi Pupuk (milyar rupiah) = Mekanisasi Pertanian (unit) = Investasi Pertanian (milyar rupiah) = Penelitian (milyar rupiah) = Lag Produksi pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
51 2.
Investasi Pertanian Investasi di sektor pertanian banyak dipengaruhi oleh tingkat harga
komoditas pertanian yang berlaku, selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian. Pendapatan masyarakat yang siap dibelanjakan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap investasi di sektor pertanian. Kemudian, dua faktor penting yang turut mempengaruhi investasi sektor pertanian adalah tingkat suku bunga dan krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia. Penentuan peubah pada persamaan investasi di sektor pertanian merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Jayawinata (2005), yang menyebutkan bahwa penurunan suku bunga dan peningkatan harga mampu mendorong peningkatan investasi. Selanjutnya Asnawi (2005), menyebutkan bahwa investasi mampu didorong dengan peningkatan pendapatan. Jumlah tenaga kerja yang melimpah dan upah tenaga kerja di sektor pertanian yang relatif murah akan mampu meningkatkan pilihan investasi di sektor pertanian. Dalam persamaan ini juga dimasukkan peubah krisis ekonomi, yang mengindikasikan bahwa dengan adanya krisis semakin memperburuk iklim investasi di Indonesia.
Selanjutnya
persamaan yang tebentuk dapat ditulis sebagai berikut : INVAt = b 0 + b 1PA t + b 2LABA t + b3YD t + b 4IRD t + b 5DK t + b 6INVAt-1 + U2 ....................................................................... (19) diharapkan : b1, b 2, b3, > 0 ; b 4, b 5 < 0 dan 0 < b 6 < 1 Keterangan : INVAt PAt LABAt YDt IRDt
= Investasi Pertanian (milyar rupiah) = Indeks Harga Pertanian = Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang) = Pendapatan Disposibel (miliar rupiah) = Suku Bunga Domestik ( persen )
52 DKt INVAt-1 U2 3.
= Dummy Krisis ekonomi = Lag Investasi Pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
Tenaga Kerja Pertanian Ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian menurut Asnawi (2005),
dipengaruhi oleh besarnya tingkat upah riil dan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di sini diduga memberikan pengaruh terhadap ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian, karena sebagian besar penduduk bermukim di pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian. Selanjutnya persamaan yang tebentuk dapat ditulis sebagai berikut : LABAt = c0 + c 1WAGEt + c 2POP t + c 3LABAt-1 + U3 ........................... (20) diharapkan : c1, c 2 > 0 dan 0 < c 3 < 1 keterangan : LABAt POPt WAGEt LABAt -1 U3 4.
= Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang) = Jumlah Penduduk (juta orang) = Tingkat Upah riil (rupiah) = Lag Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang) = Peubah Pengganggu
Harga Komoditas Pertanian Pembentukan harga komoditas pertanian banyak dipengaruhi oleh
besarnya produksi pertanian yang dihasilkan, selain itu tingkat inflasi juga turut mempengaruhi fluktuasi harga komoditas pertanian. Nilai tukar rupiah terhadap dolar dan impor komoditas pertanian juga mempengaruhi pembentukan harga komoditas pertanian. Penentuan
peubah
yang
mempengaruhi tingkat
harga
komoditas
didasarkan pada penelitian Darmansyah (2003), yang menyebutkan bahwa harga
53 secara nyata dipengaruhi oleh impor, nilai tukar dan produksi pertanian.Inflasi merupakan peubah yang cukup berpengaruh terhadap fluktuasi harga. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat ditulis sebagai berikut : PAt
= d 0 + d 1PROAt + d 2INFt + d 3ERt + d 4IMAt + d 5PAt-1 + U4 ...... (21)
diharapakan : d 1, d4 < 0 ; d 2, d 3 > 0 dan 0 < d 5 < 1 keterangan : PAt PROAt INFt ERt IMAt PAt-1 U4 5.
= Indeks Harga Pertanian = Produksi Pertanian (milyar rupiah) = Inflasi ( persen) = Nilai Tukar (Rp/US$) = Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Lag Indeks Harga Pertanian = Peubah Pengganggu
Ekspor Komoditas Pertanian Besarnya nilai ekspor komoditas pertanian dipengaruhi oleh nilai tukar
rupiah terhadap dolar, pajak ekspor, harga komoditas pertanian dunia, indeks harga ekspor komoditas pertanian, tingkat harga komoditas pertanian domestik dan banyaknya produksi pertanian yang dihasilkan. Penentuan peubah dalam persamaan ekpor komoditas pertanian merujuk pada penelitian Sitepu (2002), yang menyebutkan bahwa ekspor dipengaruhi oleh nilai tukar, produksi pertanian, dan harga dunia. Selanjutnya Asnawi (2005), menyebutkan bahwa ekspor komoditas pertanian dipengaruhi secara nyata oleh harga dan indeks harga ekspor komoditas pertanian serta pajak ekspor. P ersamaan yang terbentuk dapat ditulis sebagai berikut : EXAt = e0 + e1ERt + e2TAXEt + e3WPAt + e4 IHEA t + e5 PA t + e6PROAt + e7EXAt -1 + U5 ....................................................... (22) diharapkan : e1, e2, e5 < 0 ; e3, e4, e 6 > 0 dan 0 < e7 < 1
54 keterangan : EXAt ERt TAXEt WPAt IHEA t PAt PROAt EXAt-1 U5 6.
= Ekspor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Nilai Tukar (Rp/US$) = Pajak Ekspor (Rp/ton) = Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia = Indeks Harga Ekspor Komoditas Pertanian = Indeks Harga Pertanian = Produksi Pertanian (milyar rupiah) = Lag Ekspor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
Impor Komoditas Pertanian Besarnya nilai impor komoditas pertanian menurut Asnawi (2005),
dipengaruhi oleh nila tukar rupiah terhadap dollar, pajak impor komoditas pertanian, dan indeks harga impor komoditas pertanian. Menurut Sitepu (2002), impor dipengaruhi secara nyata oleh harga komoditas pertanian domestik harga komoditas pertanian dunia. Jumlah stok pangan yang masih tersedia merupakan peubah penting bagi pengambil kebijakan untuk menentukan besaran impor khususnya untuk produk pangan seperti beras. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat ditulis sebagai berikut : IMAt = f0 + f1ER t + f2TAXIt + f 3WPAt + f4 IHIA t + f 5 PA t + f6SPNt + f7IMAt-1 + U6 .......................................................................... (23) diharapkan : f1, f 5 > 0 ; f2, f3, f4, f 6 < 0 dan 0 < f7 < 1 Keterangan : IMAt ERt TAXIt IHIA t PAt SPNt IMAt-1 U6
= Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Nilai Tukar (Rp/US$) = Pajak / Tarif Impor (Rp/ton) = Indeks Harga Impor Komoditas Pertanian = Indeks Harga Pertanian = Stok Pangan Nasional (ribu ton) = Lag Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
55 7.
Kemiskinan di Perkotaan Kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingginya tingkat upah yang
diberikan, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor jasa dan manufaktur, serta stok pangan. Selain itu, tingginya tingkat inflasi dan krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia diduga juga ikut mempengaruhi tingginya angka kemiskinan di perkotaan, karena menyebabkan semakin melemahnya daya beli masyarakat, khususnya di perkotaan. Penentuan peubah kemiskinan di perkotaan didasarkan pada penelitian Yudhoyono (2004), yang menyebutkan bahwa kemikinan di perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah. Keberadaan stok pangan sangat berpengaruh pada kemiskinan di perkotaan, karena ketersediaan pangan untuk masyarakat perkotaan tidak bisa dihasilkan sendiri dan sangat tergantung dari suplai pangan dari pedesaan dan stok pangan nasional. Persamaan yang tebentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
UPOVt
= g0 + g 1WAGEt + g 2EGRO t + g3GES t + g4GEMt + g5SPNt + g 6INF t + g7DKt + g8UPOVt-1 + U7.................................. (24)
diharapkan : g1, g 2,g3,g 4, g 5< 0 ; g6, g 7 >0 dan 0
= Kemiskinan di Perkotaan (juta orang) = Tingkat Upah riil (rupiah) = Pertumbuhan Ekonomi Nasional ( persen) = Belanja Pemerintah di Sektor Jasa (milyar rupiah) = Belanja Pemerintah di Sektor Industri (milyar rupiah) = Stok Pangan Nasional (ribu ton) = Inflasi (persen ) = Dummy Krisis ekonomi = Lag Kemiskinan di Perkotaan (juta orang) = Peubah Pengganggu
56 8.
Kemiskinan di Pedesaan Tingginya angka kemiskinan di pedesaan diduga banyak dipengaruhi oleh
besarnya tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor pertanian, tingkat inflasi, serta krisis ekonomi. Selain beberapa peubah di atas, peubah produksi dan tingkat harga komoditas pertanian juga diduga memberikan pengaruh terhadap kemiskinan di pedesaan. Penentuan peubah kemiskinan di pedesaan merujuk pada penelitian Yudhoyono (2004), yang menyebutkan bahwa kemiskinan di pedesaan dipengaruhi oleh belanja pemerintah di sektor pertanian, tingkat upah, dan pertumbuhan ekonomi. Perbaikan harga komoditas pertanian di tingkat petani dan peningkatan jumlah produksi komoditas pertanian tentunya akan semakin meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : RPOVt
= h 0 + h 1WAGEt + h 2EGROt + h3GEAt + h4INFt + h5PAt + h 6PROAt + h7DKt + h8RPOVt-1 + U8 ..................................(25)
diharapkan : h1, h 2, h3, h 5, h 6 < 0; h4, h 7 > 0 dan 0 < h 8 < 1 keterangan : RPOVt WAGEt EGRO t GEAt INFt PAt PROAt DKt RPOVt-1 U8
= Kemiskinan di Pedesaan (juta orang) = Tingkat Upah riil (rupiah) = Pertumbuhan Ekonomi Nasional (persen) = Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Inflasi (persen ) = Indeks Harga Pertanian = Produksi Pertanian (milyar rupiah) = Dummy Krisis ekonomi = Lag Kemiskinan di Pedesaan (juta orang) = Peubah Pengganggu
57 9.
Kemiskinan Total Kemiskinan total merupakan persamaan identitas yang diperoleh dari
penjulahan kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. Selanjutnya persaaman identitas tersebut dituliskan sebagai berikut : TPOVt = UPOVt + RPOVt ....................................................................(26) keterengan : TPOVt UPOVt RPOVt
10.
= Kemiskinan Total (juta orang) = Kemiskinan di Perkotaan (juta orang) = Kemiskinan di Pedesaan (juta orang)
Stok Pangan Nasional Stok pangan nasional merupakan persamaan struktural yang diduga
dipengaruhi oleh besarnya produksi pertanian, ek spor dan impor komoditas pertanian. Penambahan tingkat populasi juga merupakan faktor yang ikut mempengaruhi perilaku pemerintah dalam penyediaan stok pangan nasional. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : SPNt = i0 + i1PROAt + i2EXAt + i3IMAt + i4POPt + i 5SPNt-1 + U9......(27) diharapkan : i1 , i3 > 0; i2, i4 < 0 dan 0 < h5 < 1 keterengan : SPNt PROAt EXAt IMAt POPt SPNt-1 U9
= Stok Pangan Nasional (ribu ton) = Produksi Pertanian (milyar rupiah) = Ekspor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah) = Jumlah Penduduk (juta orang) = Lag Stok Pangan Nasional (ribu ton) = Peubah Pengganggu
58 11.
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Menurut Yudhoyono (2004), belanja pemerintah di sektor pertanian
merupakan persamaan struktural yang besarnya dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah, tingkat inflasi dan krisis ekonomi. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : GEAt = j0 + j1INFt + j2GRt + j3DKt + j4GEAt-1 + U10 ...........................(28) diharapkan : j1 , j3 < 0; j2 > 0 dan 0 < j4 < 1 Keterangan : GEAt INFt GRt DKt GEAt-1 U10
12.
= Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Inflasi (persen ) = Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah) = Dummy Krisis ekonomi = Lag Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
GDP Sektor Pertanian GDP sektor pertanian merupakan persamaan struktural yang diduga
dipengaruhi oleh besarnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, belanja pemerintah di sektor pertanian, modal sektor pertanian, investasi sektor pertanian dan konsumsi sektor pertanian. Penentuan peubah pada persamaan GDP sektor pertanian didasarkan pada hasil penelitian Jayawinata (2005), yang menyatakan bahwa GDP pertanian dipengaruhi secara nyata oleh jumlah tenaga kerja, investasi sektor pertanian, dan model sektor pertanian. GDP sektor pertanian menurut Yudhoyono (2004),
59 dipengaruhi oleh belanja pemerintah di sektor pertanian dan faktor konsumsi. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : GDPAt = k0 + k1LABAt + k2GEAt + k3KAt + k4INVAt + k5FCONt + k6GDPAt-1 + U11.......................................................................(29) diharapkan : k1, k 2, k 3, k 4, k5 > 0 dan 0 < k5 < 1 Keterangan : GDPAt LABAt GEAt KAt INVAt FCONt GDPAt-1 U11
13.
= GDP Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang) = Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Modal Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Investasi Pertanian (milyar rupiah) = Konsumsi Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Lag GDP Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
GDP Total
GDP total merupakan persamaan identitas yang diperoleh dengan menjumlahkan GDP sektor pertanian dan GDP non-pertanian. Selanjutnya persamaan identitas tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : GDPT t = GDPAt + GDPNt ..................................................................... (30) keterangan : GDPT t GDPAt GDPNt 14.
= GDP Total (milyar rupiah) = GDP Sektor Pertanian (milyar rupiah) = GDP Non-Pertanian (milyar rupiah)
Penerimaan Pemerintah Menurut Jayawinata (2005), besarnya penerimaan pemerintah dipengaruhi
oleh stok hutang pemerintah, total pajak yang diterima pemerintah, serta
60 keuntungan dari sektor minyak dan gas khususnya yang diekspor, dalam hal ini diproksikan dengan harga minyak dunia. Selanjutnya persamaan struktural yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : GRt
= l0 + l1GDSt + l2TTAX t + l3WOILt + l4GR t-1 + U12 ..................(31)
diharapkan : l1 , l2, l3 > 0 dan 0 < l4 < 1 Keterangan : GRt GDSt TTAXt WOILt GRt-1 U12
15.
= Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah) = Stok Hutang Pemerintah (milyar rupiah) = Pajak Total (milyar rupiah) = Harga Minyak Dunia (US$/barrel) = Lag Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
Pajak Total Penentuan peubah besarnya pajak total yang diterima negara didasarkan
pada penelitian Yudho yono (2004), yang menyatakan bahwa pajak total diduga banyak dip engaruhi oleh besarnya GDP dan investasi total, sementara itu Asnawi (2005) juga melihat tren waktu sebagai salah satu peubah yang turut mempengaruhi besarnya pajak . Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : TTAX = m0 + m1GDPTt + m 2INVT t + m3TWt + m4TTAXt-1 + U13.......(32) diharapkan : m1, m2, m3 > 0 dan 0 < m4 < 1 Keterangan : TTAXt GDPT t INVTt TWt TTAXt-1 U13
= Pajak Total (milyar rupiah) = GDP Total (milyar rupiah) = Investasi Total (milyar rupiah) = Tren Waktu = Lag Pajak Total (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
61 16.
Konsumsi Sektor Pertanian Besarnya konsumsi sektor pertanian menurut Asnawi (2005), dipengaruhi
oleh banyaknya produksi pertanian yang dihasilkan dan besarnya tingkat pendapatan masyarakat yang siap dibelanjakan. Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : FCONt
= n0 + n1PROAt + n2YDt + n3FCONt-1 + U14 ..........................(33)
diharapkan : n 1, n 2 > 0 dan 0 < n 3 < 1 Keterangan : FCONt PROAt YDt FCONt-1 U14
17.
= Konsumsi Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Produksi Pertanian (milyar rupiah) = Pendapatan Disposibel (miliar rupiah) = Lag Konsumsi Sektor Pertanian (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
Penawaran Uang Besarnya tingkat penawaran uang yang dilakukan menurut Jayawinata
(2005), dipengaruhi oleh tingkat suku bunga domestik, nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan GDP total. Hal serupa juga dikemukakan oleh Yudhoyono (2004), yang menyebutkan penawaran uang juga dipengaruhi oleh GDP, nilai tukar dan suku bunga, namun dalam penelitian tersebut juga ditambahkan peubah rezim pemerintahan sebagai varabel dummy. Selanjutnya persamaan struktural yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : MS t
= o 0 + o 1IRDt + o 2ER t + o 3GDPT t + U15 .....................................(34)
diharapkan : o 1, o 2 < 0 ; o 3 > 0
62 Keterangan : MS t IRDt ERt GDPT t U15
18.
= Penawaran Uang (milyar rupiah) = Suku Bunga Domestik ( persen ) = Nilai Tukar (Rp/US$) = GDP Total (milyar rupiah) = Peubah Pengganggu
Inflasi Tingkat inflasi yang terjadi diduga dipengaruhi oleh besarnya GDP total,
penawaran uang, nilai tukar dan kondisi krisis ekonomi. Penenutuan peubah yang mempengaruhi tingkat inflasi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Yudhoyono (2005), yang menyebutkan bahwa inflasi dipengaruhi oleh GDP total, penawaran uang dan nilai tukar. Selanjutnya persamaan struktural yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut : INFt
= p 0 + p 1GDPT t + p 2MS t + p 3ER t + p 4DKt + U16 ....................... (35)
diharapkan : p 1, p 2, p 3, p 4 > 0 Keterangan : INFt GDPT t MS t ERt DKt U16
= Inflasi (persen ) = GDP Total (milyar rupiah) = Penawaran Uang (milyar rupiah) = Nilai Tukar (Rp/US$) = Dummy Krisis ekonomi = Peubah Pengganggu
54
Keterangan
:
= peubah eksogen = peubah endogen Gambar 10. Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian
64 Dalam membangun model ekonometrika diperlukan langkah -langkah atau prosedur yang harus dilalalui sebagai pedoman . Dalam penelitian ini prosedurprosedur tersebut dapat disimak dalam Gambar 11.
3.5.
Prosedur Analisis
3.5.1. Identifikasi Model Indentifikasi model ditentukan atas dasar "order condition" sebagai syarat keharusan
dan
"rank
condition"
sebagai
syarat
kecukupan.
Menurut
Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K-M) > (G- 1) ............................................................... (36) dimana: K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined. M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K –M) > (G–1)
= maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified)
(K–M ) = (G–1)
= maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan
(K–M) < (G –1)
= maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
65
Penentuan masalah ekonomi tertentu secara umum
A
Spesifikasi mensarikan masalah secara lebih terperinci
Dasar teori yang melandasi pembangunan model, penggalian hipotesis
Telaah pustaka dan penggalian pengalaman penelitian sebelumnya Penyusunan kerangka model konsepsional (teori ekonomi)
Kerangka model operasional
Pengumpulan data empirik
B
Pendugaan parameter
Pengujian hipotesis (verifikasi model)
Simulasi dan peramalan model
Hasil-hasil peramalan
C Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan
Keterangan : A = Input (masukan) disertai dengan dugaan pemula dari peubah eksogen B = Model ekonometrika (sistem persamaan simultan, jumlah persamaan sesuai dengan jumlah peubah endogen yang terdapat dalam model C = Solusi atau jawaban (nilai ramalan di masa depan)
Gambar 11. Tahapan Langkah-langkah dan Umpan Balik dalam Penelitian Ekonometrika
66 Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentifled untuk dapat menduga parameter -parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G -1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang dirumuskan terdiri dari 18 persamaan atau 18 peubah endogen ( G ) dan 40 peubah predetermined variable s yang terdiri dari 26 peubah eksogen dan 14 lag endogenous variables. Sehingga total peubah dalam model (K) adalah 58 peubah, jumlah peubah dalam persamaan (M ) paling banyak adalah 8 peubah. Maka berdasarkan kriteria order condition maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
3.5.2. Metode Pendugaan Model Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan overidentified . Dalam penelitian ini metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999; Sumodiningrat, 1999).
67 Untuk mengetahui keragaman dan menguji apakah peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing masing peubah penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t atau dengan melihat nilai probabilitasnya.
3.5.3. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Mean Square s Percent Error (RMSPE), Bias (UM) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut: s a 1 n Ya − Yt RMSPE = ∑ n t =1 Yt a
U =
(
1 n s ∑ Yt − Yt a n t =1
( )
1 n ∑ Yt s n t =1
2
+
2
.............................................................. (37)
)
2
( )
1 n ∑ Yt a n t =1
............................................................ (38)
2
dimana :
Yt s Yt n
a
= nilai hasil simulasi dasar dari peubah observasi = nilai aktual peubah observasi = jumlah periode observasi
68 Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif. Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil's, maka pendugaan model semakin baik.
3.5.4. Simulasi Model Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Peramalan dapat dibedakan beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya adalah ramalan berdasarkan horizon waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecasting, ex ante forecasting dan backcasting, yang diilustrasikan pada Gambar 12. forecasting
ex-post simulation or
backcasting
historical simulation
ex-post
ex-ante
forecasting
forecasting
Periode data dugaan t1
Periode dugaan
t2
t3 (today)
Sumber: Mulyono, 2000. Gambar 12. Garis Waktu Peramalan Pada periode t 1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung dengan data yang ada. Simulasi yang dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex -
69 post simulation atau historical simulation. Nilai historical series yang dimulai tahun t1 dan berakhir tahun t2, digunakan untuk peubah eksogen, sedangkan nilai historical dalam t1 merupakan keadaan awal dari peubah endogen. Ex-post forecasting menunjukkan kalau periode dugaan t 2 < t3, maka peramalan dapat dilakukan diakhir periode. Sedangkan pada ex-ante forecasting yang dimulai dari t3 adalah simulasi atau perkiraan nilai dependent peubah yang didasarkan pada peubah bebas dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun berikutnya, namun dalam penelitian ini tidak dilakukan. Analisis kebijakan dilakukan untuk melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap semua peubah endogen. Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana reaksi peubah endogen terhadap perubahan peubah eksogen. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah di sektor pertanian terhadap peubah-peubah endogen utamanya adalah untuk mengetahui dampak terhadap pengentasan kemiskinan. Analisis simulasi diterapkan untuk periode tahun 1984-2003. Karena mencakup periode yang sudah lampau, maka simulasi dinamakan simulasi historis. Namun demikian, hal tersebut masih relevan untuk mensimulasi dampak kebijakan pemerintah di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan dan beberapa peubah endogen lainnya. Simulasi kebijakan yang dilakukan terdiri dari kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan. Simulasi kebijakan tunggal yang dilakukan yaitu : 1. Meningkatkan anggaran penelitian sebesar 20 persen. 2. Menambah luas areal sebesar 20 persen. 3. Meningkatkan nilai kredit sebesar 10 persen. 4. Mengurangi subsidi pupuk sebesar 25 persen.
70 5. Menambah areal lahan irigasi sebesar 10 persen. 6. Meningkatkan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen. 7. Mengurangi impor komoditas pertanian sebesar 50 persen. 8. Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen. 9. Meningkatkan belanja pemerintah sektor pertanian seb esar 20 persen. 10. Menaikkan pajak impor sebesar 25 persen. 11. Menurunkan pajak ekspor sebesar25 persen. 12. Meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen. 13. Menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen. Alternatif kombinasi kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa indikator ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan yaitu : 1. Menurunkan subsidi pupuk dan meningkatkan anggaran penelitian masingmasing sebesar 20 persen. 2. Menaikkan pajak impor dan menurunkan pajak ekpor masing -masing sebesar 25 persen. 3. Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen dan meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen. 4. Meningkatkan anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian dan jasa masing-masing sebesar 5 persen. 5. Meningkatkan luas areal, kredit pertanian masing-masing 10
persen dan
menurunkan suku bunga sebesar 2 persen. 6. Meningkatkan angggaran penelitian sebesar 20 persen, meningkatkan upah rill sebesar 10 persen, serta menurunkan tingkat suku bunga sebesar 2 persen.
IV. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
4.1.
Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia Dalam sejarah
modern
Indonesia,
pertumbuhan
sektor
pertanian
sebenarnya mencatat suatu kinerja yang tidak terlalu buruk. Sektor pertanian tumbuh sekitar 3.73 persen rata-rata per tahun pada periode 1968-2001. Peran sub sektor pangan dan tanaman perkebunan cukup dominan dalam struktur pertumbuhan sektor pertanian tersebut sepanjang lebih dari tiga dasawarsa tersebut. Demikian pula sub sektor peternakan dan perikanan juga berkontribusi penting dan potensial dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam melakukan transformasi struktur perekonomian juga merupakan refleksi dari prioritas dan strategi yang dipilih, walaupun sering melupakan basis penting sektor pertanian dalam rumusan kebijakan ekonomi makro pada umumnya (Arifin, 2004). Tabel 2. Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1967-2001 (persen/tahun) Fase Uraian
PDB Pertanian - Tanaman Pangan - Perkebunan - Peternakan - Perikanan Pro duksi Pertanian - Produktivitas Lahan - Produktivitas Tenaga Kerja Sumber : Arifin, 2004
Konsolidasi 1967-1978
Tumbuh Tinggi 1978-1986
Dekonstruksi 1986-1997
Krisis 1997-2001
3.39 3.58 4.53 2.02 3.44 3.57 2.08 2.32
5.72 4.95 5.85 6.99 5.15 6.76 4.13 5.57
3.38 1.90 6.23 5.78 5.36 3.99 1.83 2.03
1.57 1.62 1.29 -1.92 5.45 -0.47 -1.45 -0.47
72 4.1.1. Masa Orde Lama Selama revolusi fisik periode tahun 1945-1950, usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam kaitannya untuk meningkatkan produksi pangan salah satunya dengan mencari sistem penyuluhan yang dapat menjamin peningkatan produksi padi lebih besar dalam waktu yang lebih singkat. Pada tahun 1947 pemerintah mengintesifkan penyuluhan pertanian melalui Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). BPMD merupakan tempat yang dikelilingi oleh areal seluas kurang lebih 2 hektar yang diusahakan sebagai tempat percontohan berkaitan dengan aktivitas pertanian. Pada tempat tersebut diadakan kursus-kursus, pertemuan dan musyawarah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam bidang tanaman pangan, perikanan, peternakan, kehutanan, kerajinan, koperasi, pengairan dan lain-lain. Selain itu di BPMD ini para petani dapat membeli alat-alat pertanian dan sarana yang diperlukan. Karena revolusi fisik pada tahun 1949, maka rencana pembentukan BPMD ini baru dapat terlaksana pada tahun 1950, padahal rencana tersebut telah dimasukkan dalam rencana peningkatan produksi tiga tahun Kementrian Pertanian atau yang lazim disebut Kasimo Plan (Silitonga, et al,1995). Sementara itu, produksi padi dalam periode itu mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga memaksa pemerintah terus -menerus mengimpor beras untuk menutupi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat. Jika pada tahun 1950 impor beras berjumlah 334 ribu ton maka pada tahun 1956 jumlah impor meningkat menjadi 763 ribu. Selanjutnya pada tahun 1957 jumlah impor berkurang menjadi 563 ribu ton. Namun pada tahun 1958 dan 1959 meningkat kembali menjadi 681 ribu ton dan 800 ribu ton. Meningkatnya impor beras
73 merupakan beban berat bagi negara, karena menurunnya penerimaan devisa sejak tahun 1950. Sementara itu konsumsi beras dari tahun ke tahun semakin bertambah, seiring dengan kenaikan jumlah penduduk, pergeseran menu makanan non beras ke beras dan naiknya konsumsi beras perkapita. Keadaan ini mendorong usaha untuk menemukan cara-cara baru dalam peningkatan produksi pangan secara massal dan terintegrasi. Pada tahun 1959 pemerintah membentuk suatu badan hukum yang disebut Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BMPT). Badan tersebut bertugas meningkatkan produksi beras dengan tiga macam usaha, yaitu : (1) intensifikasi produksi padi dilaksanakan oleh Bagian Perusahaan Padi Sentra, (2) usaha produksi bahan makanan di tanah kering dan pembukaan tanah secara mekanis diselenggarakan oleh Bagian Perusahaan Tanah Kering dan Pembukaan Tanah, dan (3) pembukaan tanah pasang surut penyelenggaranya diserahkan kepada Bagian Pembukaan Tanah Pasang Surut. Usaha-usaha tersebut telah tercakup dalam “Rencana Tiga Tahun Produksi Beras”. Selanjutnya untuk mempercepat gerak usaha tersebut di atas, pemerintah membentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Pada awal usaha yang dapat dengan segera dilaksanakan hanya intensifikasi produksi padi yang dilaksanakan oleh padi sentra, sedangkan usaha yang lain masih harus dilakukan penelitian dan persiapan lebih lanjut. Pelaksanaan penyuluhan yang dilakukan padi sentra memperlihatkan beberapa kelemahan antara lain : (1) terdapat tanggapan yang kurang baik dari para petani karena seolah-olah terjadi ironi penerapan sistem "ijon" yang seharusnya dicegah dalam pelaksanaan penggabungan tugas penyuluh dan badan
74 kredit yang berakhir dengan pengumpulan padi yang harganya dinilai relatif rendah, (2) terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan kredit akibat prosedur kredit yang terlalu mudah dari penyuluh sebagai petugas kredit kepada petani (penerima kredit) dan tidak melibatkan aparat perbankan, dan (3) beban yang terlalu berat dipikul hanya oleh badan Padi Sentra yaitu tugas pendidikan/latihan petani dan penyuluhan, dis tribusi pupuk dan sarana produksi lainnya serta penyalur kredit. Semua ini mengakibatkan tugas yang diemban tidak dapat terlaksana dengan sempurna. Pada kurun waktu 1963 - 1965 kelemahan-kelemahan yang terdapat pada program padi sentra dicoba diperbaiki. Namun dengan keadaan politik saat itu yakni perebutan kembali Irian Barat dari tangan Belanda serta konfrontasi dengan Malaysia yang banyak meminta dana dan pengorbanan lainnya, mendorong Presiden untuk mengeluarkan gagasan "sistem ekonomi terpimpin". Sebaliknya para cendekiawan berpendapat bahwa sebaiknya sistem perekonomian dibentuk dengan bersendikan kepada sistem ekonomi pasar.
4.1.2. Masa Orde Baru Menurut Arifin (2004), awal orde baru dikatakan sebagai fase konsolidasi, pada fase tersebut sektor pertanian mengalami pertumbuhan sekitar 3.39 persen, hal ini lebih banyak disebabkan kinerja sub sektor tanaman pangan dan perkebunan yang tumbuh masing-masing 3.58 dan 4.53 persen. Produksi beras sendiri pada tahun 1970-an mencapai lebih dari 2 juta ton, dan produktivitas mencapai 2.5 ton per hektar atau sekitar dua kali lipat kinerja pada tahun 1963. Tiga kebijakan penting yang perlu dicatat adalah (1) intensifikasi, (2)
75 ekstensifikasi, dan (3) diversifikasi yang mampu mendorong produksi dan produktivitas sektor pertanian secara signifikan. Kemudian pada fase tumbuh tinggi, yaitu antara tahun 1978-1986 adalah fase yang cukup penting bagi ekonomi pertanian Indonesia, karena pada fase ini sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 5.7 persen. Hal tersebut disebabkan strategi pembangunan ekonomi memang berbasiskan pada sektor pertanian. Peningkatan produksi pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan hampir semuany a tumbuh tinggi dan bahkan mencatat angka pertumbuhan produksi 6.8 persen. Kontribusi riset atau ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sektor pertanian telah mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian, terutama bahan pangan, seperti beras, jagung, dan biji-bijian lainnya. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pun mampu mengentaskan masyarakat Indonesia dari kemiskinan karena tertolong tingginya pertumbuhan produktivitas lahan dan peningkatan efisiensi usahatani. Pada periode 1986-1997 sektor pertanian memang mengalami kontraksi tingkat pertumbuhan di bawah 3.4 persen per tahun, hal ini bertolak belakang dengan fase sebelumnya. Pada periode 1986-1997 ini sektor pertanian mengalami penurunan, karena kurang mendapat perhatian dari perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom sendiri. Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah menimbulkan persepsi bahwa pembangunan pertanian akan bergulir dengan sendirinya dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras yang terjadi pada periode-periode sebelumnya. Indikasi fase buruk sektor pertanian sebenarnya telah muncul pada awal tahun 1990-an ketika kebijakan teknokratik pembangunan
76 ekonomi yang mengarah pada strategi industrialisasi secara besar -besaran (Arifin, 2004). Beberapa keberhasilan dan kegagalan pembangunan pertanian yang telah dicatat pada masa orde baru tidak terlepas pada beberapa paket program kebijakan yang telah dirumuskan, paket program kebijakan tersebut antara lain dijelaskan sebagai berikut : 1.
Program Bimas Khusus untuk program Bimas, nama yang berbeda-beda menunjukkan
perbedaan dalam hal-hal berikut ini : (1) latar belakang pembentukan atau perubahannya, (2) pengorganisasian, (3) target dan realisasinya, (4) penyaluran sarana produksinya, (5) pengembalian kredit, dan (6) sistem penyuluhannya. Bimas Nasional disebut demikian karena untuk pertama kalinya program Bimas diterapkan secara besar -besaran, sedang kan Bimas Gotong Royong merujuk kepada penyelenggaraannya yang merupakan kerja sama antara pemerintah dengan perusahaan swasta asing yang menghasilkan obat-obatan (untuk manusia, hewan dan tanaman). Kerjasama ini terutama dalam pendanaannya karena keterbatasan dana yang tersedia untuk mencapai target produksi. Oleh karena itulah dikenal Bimas CIBA, Bimas COOPA, Bimas HOECHST dan Bimas MITSUBISHI. Bimas Gotong Royong dimulai pada MT 1968/1969. Mulai MT 1970/1971 mulai diselenggarakan Bimas Nasional yang disempurnakan. Pada Bimas ini kelemahan-kelemahan yang terdapat pada Bimas Gotong Royong dicoba diperbaiki. Penyempurnaan itu diantaranya adalah : (1) penempatan tenaga penyuluh lapangan lulusan SPMA diperbanyak sehingga setiap kecamatan memilikinya, seorang penyuluh mencakup areal 600 - 1000 ha
77 sawah yang biasa disebut wilayah unit desa, (2) pelayanan kredit melibatkan aparat bank, dalam hal ini Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa dan Iangsung diberikan kepada petani perorangan, (3) mendirikan kios-kios pelayanan sarana produksi untuk setiap wilayah unit desa, dan (4) memperhatikan pengolahan hasil dan pemasarannya. Keempat unsur ini biasa disebut catur sarana yang kemudian ditampung dalam suatu badan usaha yang dikenal dengan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Dengan keberhasilan peningkatan produksi pangan terutama padi melalui Bimas ini maka kemudian tahun 1969 dibentuk Badan Pengendali Bimas di tingkat Departemen Pertanian. Untuk daerah tingkat satu dan dua masing-masing dibentuk Badan Pembina Bimas dan Badan Pelaksana Bimas. Berkat kerja keras yang lama maka pada tahun 1984 tercapailah swasembada beras. Intensifikasi tanaman padi pun semakin luas arealnya sehingga muncul istilah Inmas disamping Bimas itu sendiri. Periode tahun 1974 - 1985 areal Inmas terus meningkat dan Bimas cenderung menurun (Silitonga, et al, 1995).
2.
Intensifikasi Khusus dan Supra Insus Penerapan teknologi baru melalui Bimas telah berhasil mendobrak gejala
levelling off yang terjadi tahun 1979. Sejak itulah terdapat tiga macam program intensifikasi padi sawah yang secara bersamaan dilaksanakan. Ketiga program tersebut adalah Intensifikasi Massal, Intensifikasi Umum dan Intensifikasi Khusus (Inmas, Inmum dan Insus). Intensifikasi khusus merupakan pelaksanaan Bimas oleh petani penggarap sehamparan secara berkelompok agar lahan sawah dapat dengan optimal dimanfaatkan. Kegiatan kelompok tani semuanya direncanakan,
78 mencari informasi dan menyebarkannya, memantau dan memimpin kegiatan anggota serta berhubungan dengan pihak luar untuk kepentingan para anggotanya. Tahun 1986 program Insus mengalami gejala kemandekan kenaikan produksi. Pada saat itu areal Insus lebih dari setengah areal panen secara keseluruhan. Oleh karenanya dilakukan program yang secara operasional dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas dengan memperbaiki mutu intensifikasi. Pelaksanaan Insus dipusatkan pada wilayah yang memiliki potensi sumberdaya yang terbaik untuk menjaga agar input dapat berjalan di wilayah terbatas dan terpusat. Insus yang dilaksanakan di wilayah yang lebih luas dan melibatkan lebih dari satu kelompok tani pelaksana Insus memerlukan rekayasa sosial dan ekonomi baru yakni Supra Insus. Dalam Supra Insus, perwilayahan pertanian diintegrasikan dengan wilayah administratif. Hal ini terlihat pada organisasi penyelenggaraan Supra Insus. Penyelenggaraan Supra Insus dikoordinasikan di bawah tanggung jawab masing-masing kepala daerah selaku pembina/pelaksana Bimas. Penggerak program tersebut adalah kepala wilayah atau daerah utama. Pelaksanaan Iainnya dilakukan oleh Ketua Pembina/Pelaksana Harian Bimas sedangkan pelaksanaan teknis administrasi dilaksanakan oleh Sekretariat Satuan Pemb ina/Pelaksana Bimas. Unsur penggerak Supra Insus adalah kepala dinas/instansi yang menjadi anggota satuan pembina/pelaksana Bimas, unsur pelaksananya terdiri dari kelompok tani, KUD, penyuluh pertanian dan perbankan khuusunya Bank Rakyat Indonesia (Silitonga, et al, 1995).
79 4.1.3. Masa Orde Reformasi 1.
Fase Krisis Ketika sektor pertanian harus menanggung dampak krisis ekonomi untuk
menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor pertanian tidak cukup kuat. Pada periode 1998-2000 sektor pertanian sempat menjadi penyelamat ekonomi Indonesia, hal ini disebabkan lonjakan nilai tukar dollar Amerika Serikat yang dinikmati komoditas ekspor sektor pertanian, terutama perkebunan dan perikanan. Namun, ketika basis untuk membangun kualitas pertumbuhan sektor pertanian dilupakan, maka sektor ini hanya mengalami pertumbuhan sebersar 1.9 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan sebesar itu tentu saja tidak mampu menciptakan lapangan kerja, apalagi jika harus menyerap pertumbuhan tenaga kerja baru terutama di pedesaan. Pada beberapa tahun terakhir ini sektor pertanian semakin kurang mendapat perhatian. Hal tersebut bisa dicontohkan dengan keberadaan infrastruktur penting seperti bendungan dan sarana irigasi tidak diperhatikan, sehingga pada musim kemarau panjang banyak lahan pertanian yang tidak mendapat pengairan yang layak. Kemudian, semakin mahalnya biaya transportasi yang diakibatkan rusaknya jalan dan naiknya harga bahan bakar minyak, mengakibatkan harga jual di tingkat konsumen menjadi melambung tinggi dan harga di tingkat produsen nyaris tidak mengalami perubahan. Hal tersebut tidak cukup menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Dengan kata lain, elastisitas transmisi harga dari produsen ke konsumen sangat kecil sehingga petanilah yang harus menanggung perbedaan harga di tingkat konsumen dan tingkat produsen tersebut.
80 Sektor pertanian jelas memerlukan langkah nyata untuk merangsang investasi, meningkatkan nilai tambah dan mencari pasar-pasar baru di dalam negeri dan luar negeri. Keseriusan upaya merangsang pertumbuhan tinggi di sektor pertanian adalah suatu keharusan apabila sistem agribisnis yang berkerakyatan lebih modern, mengikuti irama desentralisasi dan responsif terhadap perubahan global memang akan dijadikan prioritas. Namun, kebijakan desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah yang seharusnya membawa kesejahteraan pada masyarakat, ternyata hanya menimbulkan euphoria politik berupa perubahan kewenangan kelompok elite di daerah. 2.
Fase Transisi dan Desentraliasi Fase transisi politik dan desentralisasi ekonomi saat ini memang tidak
terlalu jelas bagi segenap pelaku ekonomi Indonesia. Paket kebijakan desentralisasi ekonomi yang tertuang dalam Undang-undang nomo r 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi dalam Undang-undang nomor 32 dan 33 tahun 2004 masih menjadi teka-teki bagi sektor pertanian Indonesia. Ketika kewenangan daerah menjadi besar, sementara masyarakat di daerah masih mencari bentuk tatanan ekonomi, politik, dan sistem kontrol belum terbangun dengan baik, maka kewenangan yang baru tersebut bisa jadi justru akan membawa ke arah penurunan kinerja pembangunan. Pembangunan
pertanian
pada
fase
desentralisasi
ekonomi
perlu
diterjemahkan menjadi peningkatan basis kemandirian daerah yang secara teoritis dan empiris mampu mengalirkan dan bahkan menciptakan dampak ganda aktivitas ekonomi yang lain di daerah. Otonomi daerah perlu diterjemahkan sebagai kewenangan di daerah untuk lebih leluasa melakukan kombinasi strategi
81 pemanfaatan suatu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada di suatu daerah otonom, khususnya dalam kerangka pembangunan pertanian dan sektor ekonomi lain pada umumnya.
4.2.
Dinamika Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia
4.2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian Tujuan pembangunan pertanian pada masa orde lama lebih dititik beratkan pada peningkatan produksi pangan dengan menggunakan instrumen penyuluhan pertanian sebagai ujung tombak penerapan kebijakan. Sementara pada masa orde baru secara konseptual dapat dilihat pada setiap Repelita. Apabila diperhatikan secara seksama, unsur yang dikandung pada setiap Repelita mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saat itu. Namun demikian dapat dilihat bahwa dalam lima Repelita terakhir terdapat unsur-unsur tujuan yang d ipertahankan, yaitu meningkatkan produksi pertanian, memperluas kesempatan kerja dan produksi yang berorientasi kepada ekspor. Selain dari ketiga unsur tujuan, pada masing-masing Repelita mengalami peru bahan sebagai berikut 1.
Repelita
I tujuannya masih sangat sederhana yang berkisar pada
peningkatan produksi beras, melakukan diversifikasi tanaman ekspor dan memperluas kesempatan kerja. 2.
Pada Repelita II tujuan pembangunan diperluas, yaitu selain ketiga unsur di atas, ditambah juga dengan unsur lainnya meliputi peningkatan kemampuan petani dan neIayan dalam berproduksi, meningkatkan bahan pertanian yang dapat mendukung perkembangan industri dan meningkatkan
82 pemanfaatan sumber alam yang ada. 3.
Tujuan
pembangunan
pada
Repelita
berikutnya
(III) unsur
pembangunan pertanian selain meningkatkan hasil dan kesempatan juga ditambah dengan usaha pemerataannya, peningkatan
tujuan kerja,
produktivitas
tenaga kerja. Tujuan lainnya adalah memperluas areal irigasi dan membuka areal pertanian baru. 4.
Pada Repelita IV unsur-unsur pembentukan devisa melalui ekspor makin digalakkan,
adanya
perhatian
terhad ap
peningkatan
pendapatan,
pengkaitan dengan pembangunan pedesaan, serta telah dilakukan upaya memelihara kelestarian sumberdaya manusia dan lingkungan hidup. 5.
Pada Repelita V tujuan pembangunan pertanian dilakukan juga antara lain diversifikasi atau penganekaragaman hasil pertanian yang berorientasi pada perluasan pasar. Unsur lain yang menjadi tujuan adalah peningkatan peran serta petani dalam kelembagaan.
6.
Pada Repelita VI tujuan pembangunan pertanian adalah meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan, meningkatkan diversifikasi usaha
dan
hasil
pertanian,
serta
meningkatkan
intensifikasi
dan
ekstensifikasi pertanian yang didukung oleh industri pertanian. Swasembada beras dicapai pada tahun 1984. Tahap ini dipandang sebagai tahap keberhasilan pembangunan pertanian, yaitu bangsa Indonesia telah berhasil merubah dirinya dari negara pengimpor beras terbesar dunia menjadi negara yang mampu menyediakan sebagian besar kebutuhan pangannya dengan hasil swadaya. Sebagai contoh, pad a tahun 1980, Indonesia membeli beras sekitar 2 juta ton dengan nilai devisa sebesar US$ 690 juta. Pencapaian swasembada beras dimungkinkan oleh berhasil ditingkatkannya produksi padi dari 17.1 juta ton pada tahun 1968 menjadi 38.1 juta ton pada 1984 dan 47.8 juta ton pada 1992.
83 Setelah swasembada beras terwujud, maka permasalahan berikutnya yang dipandang besar oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana memperluas, menjaga keman tapan dan melestarikan swasembada pangan. Strategi yang dinilai penting adalah diangkatnya diversifikasi pertanian sebagai prioritas sejalan dengan atau bahkan lebih dipentingkan dari intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi. Dengan menggunakan strategi diversifikasi maka pengertian swasembada pangan menjadi makin luas. Keberhasilan meningkatkan produksi padi selama ini telah berhasil meningkatkan ketersediaan energi pangan dari 2.035 kilo kalori/kapita/hari pada awal Repelita I menjadi 2.701 kilo kalori/kapita/hari pada tahun 1990 dimana jumlah ini telah melampaui rata-rata energi yang d ibutuhkan oleh rata-rata orang Indonesia, yaitu 2.150 kilo kalori/kapita/hari. Peranan beras dalam menyediakan energi tersebut di atas adalah sekitar 58 persen pada 1986 - 1988, lebih tinggi dari keadaan 1968 - 1970, yaitu 54.7 persen (Silitonga, et al, 1995). Ketergantungan kepada beras yang tinggi juga berbahaya mengingat lahan dan air serta input spesifik Iainnya untuk menghasil padi juga makin torbatas. Oleh karena itu diversifikasi atau keanekaragaman konsumsi menjadi demikian penting dalam upaya memperluas, menjaga kemantapan dan melestarikan swasembada pangan di Indonesia. Pembangunan pertanian lebih diarahkan pada pengembangan sistem pertanian, dimana pangan merupakan salah satu subsistem, bukan pengembangan agribisnis. Agribisnis dengan sendirinya sebagai sistem yang digerakkan oleh sistem insentif melalui mekanisme pertukaran atau pasar. Hal ini berbeda dengan pola yang dikembangkan pada tahap menuju swasembada beras, yaitu pada pola ini tampak menonjol upaya mobilisasi sumberdaya untuk mencapai satu tujuan
84 yaitu peningkatan produksi padi, o leh karena itu pemerintah memposisikan sebagai leader atau agent pembangunan. Perkembangan selanjutnya dalam kebijaksanaan pangan ini adalah dipertegasnya dimensi kebijaksanaan pangan yaitu : (1) kecukupan pangan (food adequacy), (2) ketahanan pangan (food security), dan (3) keamanan pangan (food safety). Aspek kecukupan pangan sering lebih ditafsirkan sebagai aspek kuantitas dari ketersediaan pangan ; ketahanan pangan merupakan aspek ketahanan sistem pangan dalam meredam atau mengatasi kejutan-kejutan (shocks) terhadap sistem pangan seperti kekeringan atau gejolak harga ; dan keamanan pangan bukan hanya merupakan dimensi kesehatan tetapi juga menyangkut aspek hubungan antara keyakinan, kepercayaan atau asumsi dari golongan masyarakat terhadap pangan yang d isediakan oleh pasar. Dalam hubungannya dengan hal ini, Menteri Pangan dan Kabulog diberi kewenangan untuk mengkoordinasikan keseluruhan aspek pangan di atas dan Menteri Pertanian lebih berperan dalam aspek ketersediaan pangan. Era pertanian pada masa datang dihadapkan pada suasana lingkungan perekonomian dunia yang makin kompetitif. Sudut pandang pemikiran pembangunan pertanian telah bergeser dari cara pandang yang melihat pembangunan pertanian sebagai proses meansends scheme mechanism ke pandangan yang melihat pertanian sebagai self regulating system. Dalam pandangan meansends scheme mechanism keberadaan para pelaku ekonomi diabstraksikan sehingga peubah yang keluar adalah target atau sasaran dan upaya mencapai target. Unsur kepentingan individu atau kelompok baik dalam hal preferensi atau keuntungan kurang mendapat perhatian sebab sasaran utama dalam pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi seperti tercermin dalam program-program peningkatan produksi. Pandangan ini menghasilkan suatu
85 organisasi produksi pertanian, khususnya pangan, dimana peranan pemerintah memegang peranan dan fungsi yang sangat tepat. Dalam banyak hal peranan dan fungsi pemerintah dalam pembangunan pertanian bukan hanya sudah pada tempatnya, melainkan pula memegang peranan yang sangat penting. Fungsi dan peran pemerintah tersebut antara lain adalah dalam pengembangan infrastruktur seperti irigasi, penelitian dan pengembangan pertanian, dan kebijaksanaan harga output dan input pertanian. Pendekatan
pembangunan
pertanian
perlu
lebih
diarahkan
pada
pembangunan yang mampu meningkatkan peran serta, efisiensi dan produktivitas rakyat. Dengan perkataan lain, pendekatan pembangunan yang menekan peran serta, prakarsa, dan kreativitas petani dan para pelaku ekonomi lainnya perlu diganti oleh pendekatan baru. Untuk maksud tersebut pendekatan agribisnis diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dalam pembangunan pertanian pada masa yang akan datang. Pendekatan agribisnis dapat ditafsirkan sebagai pendekatan yang didasarkan atas pandangan kesisteman dimana sistem tersebut hanya akan bekerja dan berjalan secara berkelanjutan apabila didasarkan atas hubungan kemitraan antar para
pelaku
dalam
sistem
tersebut.
Pendekatan
agribisnis
juga
mementingkan peranan pasar dalam alokasi dan distribusi sumberdaya. Oleh karena itu inisiatif dan peranan individu atau organiasasi ekonomi menjadi demikian penting. Dengan demikian peranserta petani, dunia usaha, dan masyarakat menjadi unsur utama dalam sistem agribisnis, sedangkan pemerintah perannya menjadi terbatas pada aspek-aspek tertentu yang memang telah menjadi tugas dan wewenang pemerintah seperti merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan, menyusun peraturan perundang -undangan dan mengembangkan penelitian dan pengembangan pertanian. Ekonomi itu sendiri diprakarsai dan
86 digerakkan oleh masyarakat terutama petani dan dunia usaha. Dalam produksi
pendekatan
pertanian
agribisnis
melainkan
Iebih
sasarannya
bukanlah
menekankan
pada
meningkatnya meningkatnya
kesejahteraan petani dan tangguhnya sektor pertanian secara keseluruhan. Oleh karena itu, komoditas lebih dipandang sebagai instrumen, bukan tujuan, untuk mewujudkan sasaran di atas. Pengertian komoditas menjadi sangat luas. Komoditas apa yang diusahakan adalah tergantung pada keputusan para petani dan pelaku ekonomi lainnya. Kebebasan petani memilih jenis tanaman dalam usahataninya ini dijamin oleh UU No. 12 Tahun 1992. Konsep agribisnis itu sendiri telah dipakai oleh para pakar pemasaran hasil pertanian sejak tahun 1970-an, keadaan ini didorong oleh sifat natural dari komoditas pertanian itu sendiri yaitu mudah rusak, bersifat musiman dan sulit dikontrol oleh manusia. Dengan diaplikasikannya pendekatan agribisnis maka simpul-simpul
usahatani,
agroindustri,
dan
pemasaran
diharapkan
dapat
berintegrasi dengan baik. Untuk melancarkan pelaksanaan sistem agribisnis di Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian telah membentuk Badan Agribisnis molalui Kep pres No. 83 Tahun 1993. Adapun tugas utama dari badan ini antara lain adalah meng koordinasikan, membina dan melaksanakan pengembangan agribisnis sesuai dengan peraturan dan perundangundangan yang berlaku. Selain itu badan ini diharapkan dapat meciptakan suatu keadaan yang dap at mencip takan sistem, pola dan struktur agribisnis secara sistematis, sehingga perbaikan dalam sistem perekonomian di Indonesia dapat segera tercapai, yaitu keadaan pertumbuhan yang seimbang antar sektor dalam perekonomian Indonesia. Badan agribisnis yang dibentuk tidak memiliki jaringan organisasi yang berada di daerah. Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan produk-produknya,
87 perlu koordinasi yang maksimal antar pihak yang berkepentingan. Konsekuensi dari apa yang telah diuraikan diatas adalah perlunya menghilangkan hambatan struktural yang seringkali dijumpai di lapangan. Salah satu upaya pemerintah untuk menuju era industrialisasi adalah menciptakan sistem yang dapat mengintegrasikan berbagai usaha yang
berorientasi
pada
semua
aspek
pembangunan pertan ian, mulai dari kegiatan di hulu hingga di hilir, termasuk aspek konsumsi (Silitonga, et al, 1995).
4.2.2. Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian Sektor pertanian memang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, pekerja sektor pertanian, khususnya petani dari waktu ke waktu cenderung menghad ap i permasalahan penurunan kesejahteraan. Salah satu penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara nilai tukar produk pertanian yang dihasilkan petani dengan produk non pertanian yang dibutuhkan petani, baik untuk keperluan usahatani atau untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Adanya kecenderungan turunnya kesejahteraan petani menyebabkan timbulnya tekanan kepada petani untuk berpindah ke sektor lain yang menjanjikan pendapatan lebih baik. Gejala perpindahan pekerja pertanian ke sektor lain haruslah dicermati dalam kaitannya dengan pembangunan sektor pertanian. Kendati pergeseran struktur ketenagakerjaan sektoral merupakan konsekuensi proses pembangunan, perlu diperhatikan untuk melihat kemungkinan karakteristik pekerja yang tetap bertahan di sektor pertanian. Idealnya, pekerja pertanian yang tetap bertahan di sektor pertanian adalah pekerja di usia muda, berpendidikan, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan teknologi pertanian dan karakteristik karakteristik positif lainnya. Pekerja pertanian dengan ciri-ciri positif seperti ini
88 diharapkan akan mengembangkan potensi pertanian Indonesia yang belum dikembangkan secara optimal (Prawira, 2004). Kecenderungan pekerja meninggalkan sektor pertanian dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pekerja pertanian yang keluar dari sektor pertanian dengan jumlah pekerja pertanian. Ukuran pekerja yang keluar sektor pertanian dinyatakan dalam bentuk persentase yang menunjukkan banyaknya pekerja pertanian yang keluar diband ingkan pekerja pertanian keseluruhan pada tahun tertentu. Pada tabel berikut disajikan informasi tentang jumlah pekerja yang keluar sektor pertanian dan jumlah pekerja sektor pertanian keseluruhan. Tabel 3. Persentase Pekerja yang Keluar Sektor Pertanian Jumlah Pekerja Pekerja Keluar Pertanian (orang) Pekerja Pertanian tahun sebelumnya (orang) Persentase pekerja keluar sektor pertanian (persen)
1990 1583103 32788289
Tahun 1995 1996602 32725156
2000 1036632 38378133
4.8
6.1
2.7
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 1990 terdapat sekitar 1.58 juta pekerja keluar dari sektor pertanian, atau sekitar 4.8 persen dari total pekerja di sektor pertanian. Sedangkan untuk tahun 1995 persentase pekerja yang keluar dari sektor pertanian mengalami peningkatan menjadi 6.1 persen, hal ini diakibatkan pada tahun 1995 merupakan masa keemasan industrialisasi di Indonesia, sehingga mampu menarik tenaga kerja dari sektor pertanian lebih banyak. Pada tahun 2000 justru yang terjadi sebaliknya yaitu hanya terjadi pergeseran tenaga kerja keluar dari sektor pertanian sebesar 2.7 persen. Meskipun tetap terjadi pergeseran tenaga kerja, namun ternyata sektor pertanian menjadi pilihan tenaga kerja akibat adanya krisis ekonomi. Terbukti sektor pertanian mampu menjadi penyelamat akibat
89 goncangan krisis ekonomi yang banyak menurunkan kinerja sektor industri khususnya yang menggunakan komponen bahan baku impor.
4.2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian Institusi mencakup bidang yang luas termasuk institusi formal (pemerintah dan non pemerintah) dan informal, kelompok, asosiasi, dan interaksi antar individu, rumah tangga, dan kelompok masyarakat pedesaan. Gerak pembangunan pertanian di Indonesia tidak terlepas dari peran institusi-institusi. Peran institusi dalam program pern bangunan pertanian sebenarnya saling terkait sulit untuk dipilah-pilah. Oleh karena itu hilangnya peran dari salah satu misalnya institusi akan menggoyahkan pelaksanaan atau bahkan menyebabkan kegagalan program. Institusi formal yang diperkenalkan pemerin tah di tingkat desa dibuat untuk membantu produsen pertanian dalam memecahkan masalah produksi dan pemasaran termasuk di dalamnya lembaga penyuluhan, lembaga kredit, asosiasi pemakai air, koperasi dan lembaga pemasaran. Seperti telah disinggung sebelumnya, lembaga sosial ekonomi yang mempunyai peran dalam pembangunan pertanian sendiri berasal dari lembaga yang dibentuk pemerintah maupun lembaga yang muncul dengan sendirinya di masyarakat. Lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah misalnya KUD, kelompok tani, kelompencapir dan lain -lain. Sedangkan lembaga yang muncul sendiri di masyarakat adalah yang disebut dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Apabila dihubungkan dengan syarat pokok dan faktor pelancar yang dikemukakan Mosher, orientasi pembentukan lembaga/institusi sosial ekonomi dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi (syarat pokok maupun pelancar)
90 dalam pembangunan pertanian. Misalnya sebuah lembaga dapat mempunyai fungsi sebagai penyedia input, pemberi kredit dan ikut memasarkan hasil pertanian. Lembaga seperti ini misalnya dapat dilihat pada Koperasi Unit Desa (KUD). Membentuk lembaga lembaga dengan banyak fungsi merupakan salah satu upaya dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi syarat-syarat pokok dan pelancar pembangunan pertanian secara efesien.
1.
Departemen Pertanian dan Penyuluhan Pertanian Sebagai jajaran pemerintah yang mengurusi sektor pertanian, Departemen
Pertanian (pusat sampai daerah) merupakan lembaga yang mernpunyai tanggung jawab untuk terlaksana dan berhasilnya pembangunan pertanian. Peranan Departemen Pertanian dalam pembangunan pertanian mencakup berbagai bidang, mulai dari pengembangan teknologi baru, mentransfer teknologi tersebut kepada petani, pembangunan kelembagaan, pendidikan pembangunan sampai dengan perencanaan pembangunan pertanian. Salah satu tugas Departemen yang sangat dominan dalam pembangunan pertanian adalah penyuluhan, yang berfungsi menjembatani sumber informasi dan teknologi (lembaga penelitian dan lembaga Iainnya) dengan penggunanya (petani). Penyuluhan pertanian merupakan program panting di Indonesia yang terus disempurnakan guna mendapatkan sistem penyuluhan yang lebih efektif, meskipun untuk memperkuat sistem tersebut di negara berkembang seperti Indonesia merupakan masalah yang sulit dan kompleks (UNDP, 1991). Unsur-unsur penyuluhan selalu ada dalam setiap program pembangunan pertanian. Untuk mengukur berapa persen andil penyuluhan pertanian terhadap peningkatan hasil pertanian di Indonesia memang sulit, namun tetap dipercaya
91 bahwa penyuluhan pertanian mernpunyai andil besar terhadap produksi pertanian yang sekarang dicapai. Faktor yang masih dianggap masalah dalam penyuluhan adalah dengan masih adanya gap produktivitas yang cukup besar antara potensi hasil di tingkat penelitian dengan hasil aktual yang dicapai petani Berkaitan dengan pentingnya penyuluhan, secara ekstrim Rogers (1983), mengemukakan bahwa seandainya sistem penyuluhan pertanian mengalami kegagalan maka dapat berarti teknologi baru hasil penelitian akan tidak berguna. Meningkatnya jumlah penyuluh pertanian sebenarnya bukan semata-mata karena digalakkannya pembangunan di sub sektor tanaman pangan (khususnya padi), pertambahan tersebut juga karena makin dikembangkannya program peningkatan produksi berbagai jenis komoditi (pekebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan). Pada sub sektor non tanaman pangan malah kegiatan penyuluhan melibatkan juga pihak swasta, seperti pada PIR Perkebunan, PIR Unggas/Ternak dan Tambak Inti Rakyat (TIR). Hasil pembangunan pertanian yang telah dicapai sejak pertama kali Pelita dijalankan sampai dengan Pelita V (1992) dapat dilihat pada Tabel 4 Tampak bahwa tahun dalam produksi dapat dilihat yang penting adalah meningkatnya produksi dan produktivitas berbagai komoditi. Pada Tabel 4 dapat dilihat perbandingan produksi pada saat Pelita dilaksanakan dengan yang dicapai saat akhir Pelita V (1992). Tampak bahwa secara umum semua produksi dari berbagai jenis komoditi mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan sebesar empat setengah kali lipat lebih. Ini menunjukkan bahwa pembangunan usah a peningkatan produksi dilakukan untuk semua komoditi.
92 Tabel 4. Produksi Pertanian pada Awal Pelita I (Tahun 1969) dan Pelita V (Tahun 1992) Komoditi 1. Beras 2. Jagung 3. Ubikayu 4. Ubijalar 5. Kedele 6. Kacang tanah 7. Ikan laut 8. Ran darat 9. Daging 10. Telor 11. Susu 12. Karet 13. Kopi 14.Kelapa 15. Kelapa/kopra 16. Teh 17. Lada 18. Tembakau 19. Gula tebu 20. Kapas
1969 (ribu ton)
1992 (ribu ton)
Kenaikan (persen)
12249 2292 10917 2260 389 267 785 429 309 36,3 28,9 778 175 189 1221 62 17 84 922 3
30741 6764 15280 1917 1476 674 2628 844 1130 535 382 1294 421 3162 2342 163 70 161 2316 30
251 295 140 -85 379 252 335 197 366 1466 1322 166 241 1673 192 263 412 192 251 1000
Sumber : Mubyarto. 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta.
2.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) Dalam seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan
pertanian hampir selalu melibatkan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Oleh karena itu hasil yang telah dicapai dari pembangunan pertanian di Indonesia, tidak terlepas dari peran BRI. Peran BRI dalam pembangunan pertanian sendiri, dapat dilihat dari sejak lahirnya tanggal 16 Desember 1895 dengan nama Hulpen Spaarkbank der Inlansche Bestuurs Ambtemaren yang kemudian dikenal dengan Bank Perkreditan Rakyat Pertama di Indonesia. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 21
93 tahun 1968, tugas BRI menjadi lebih ditegaskan lagi, yaitu diarahkan kepada perbaikan ekonomi rakyat dan pembangunan ekonomi nasional, antara lain dengan mengutamakan pemberian kredit kepada koperasi, petani dan nelayan. Misinya sebagai agen pembangunan mulai terlihat dengan jelas semenjak awal tahun 1969, yaitu dengan dicetuskannya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) oleh pemerintah orde baru. Repelita I yang berlangsung dari tahun 1969 - 1974 menjadikan sektor pertanian sebagai titik sentral pembangunan nasional. Program pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian dan mencapai swasembada pangan ini menjadi misi yang disandang BRI, dan semenjak itu mulailah BRI ditugaskan untuk menyalurkan berbagai kredit program pemerintah. Sekitar tahun 1970, BRI menyalurkan kredit kepada peserta program Bimas. Kredit Bimas yang meliputi padi dan palawija berkembang dengan pesat dari tahun ke tahunnya, dan mencapai puncaknya pada tahun 1975/1976. Kredit Bimas dihentikan pada tahun 1985 (1 April 1985) dan diganti dengan kredit usahatani (KUT). Jenis Kredit Program meliputi antara lain : Kredit Usaha Tani, Kredit Tebu Rakyat Intensifikasi, Kredit Pengadaan Pangan, Kredit PIR Lokal, BULOG, Kredit Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan Kredit Pengadaan Pangan/Pupuk. Sedangkan Kredit Non Program yang dapat diberikan adalah: Kredit Investasi Kecil/Kredit Kecil Modal Kerja (KIK/KKM), Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), Kredit Kepada Golongan Berpenghasilan Tetap (Kretap), Kredit Pensiun, Kredit Ekspor/Impor, Kredit Sindikasi, Kredit Multi Guna (Kremuna), Kredit Investasi, Kredit dalam rangka Pengembangan
94 Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), dan Kredit tak langsung melalui Badan Kredit Desa (BKD) dan Tempat Pelayanan Simpan Pin jam (TPSP). Peran BRI dalam pembangunan pertanian juga bukan semata-mata lembaga pemberi kredit, namun sekaligus memberi dukungan terhadap pembangunan
kelembagaan
dan
sumberdaya
manusia
yang
mendukung
pembangunan pertanian. KUT misalnya merupakan salah satu kredit yang disalurkan atas kerja sama yang saling menguntungkan antara koperasi (KUD), petani dan BRI dan bermanfaat untuk pengembangan kelembagaan koperasi.
3.
Koperasi Unit Desa (KUD) Koperasi merupakan salah satu sektor ekonomi yang d iharapkan akan
menjadi sokoguru perekonomian Indonesia bersama-sama dengan Badan Usaha Milik Negara dan swasta. Dibentuknya Koperasi Unit Desa sebagai koperasi pedesaan merupakan salah upaya pemerintah untuk memasyarakatkan koperasi. Terbentuknya KUD adalah melalui suatu proses panjang sejak 1960 dengan dikembangkannya Koperta yang kemudian diikuti dengan Inpres No. 4/1973, Inpres No. 2/1978, dan Inpres 1984 (Nasution 1992). Di mana tujuan dibentuknya KUD adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan peranan dan tanggung jawab masyarakat pedesaan agar mampu mengurusi diri sendiri secara nyata serta mampu memetik dan menikmati hasil pembangunan guna meningkatkan taraf hidupnya. KUD sebagai salah satu jenis koperasi di Indonesia, dibedakan dengan koperasi non KUD. Hal ini dilakukan karena pembinaan KUD dikaitkan dengan program pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonomi pedesaan.
95 Apabila koperasi non KUD hanya berpedoman pada UU No. 12/1967, maka untuk KUD selain pada UU No. 12/1967 juga pada Inpres-Inpres seperti yang telah disebutkan di atas. Sebagai pusat pelayanan perkonomian pedesaan, KUD mem iliki fungsi (Depdag dan Depkop 1985) : (1) perkreditan, (2) Penyediaan dan penyaluran sarana-sarana produksi, (3) Pengolahan dan pemasaran hasil produksi, dan (4) Kegiatan perekonomian lainnya. Pengkaitan program pembangunan dengan pembinaan KUD ini dimaksudkan agar KUD selain dapat melaksanakan beragam usaha juga dapat memupuk dana. Dana yang diperoleh digunakan untuk membuka atau mendirikan usaha baru yang sesuai dengan kepentingan anggota/masyarakat sebagai usaha yang mandiri. Hasil dari kegiatan KUD dalam mendukung program peningkatan produksi padi memang dapat dilihat dengan dicapainya swasembada beras pada tahun 1984. KUD juga mempunyai jasa yang besar dalam mempertahankan swasembada padi sampai sekarang ini, meskipun harus dibayar dengan biaya mahal, khususnya kemacetan pengembalian kredit usaha tani (KUT) sebagai kredit pendukung program tersebut. Hasil lain yang dicapai KUD dalam mendukung pengembangan komoditi non padi walaupun masih dalam skala yang terbatas jelas tidak dapat diabaikan. Beberapa bukti keberhasilan misalnya diraih KUD sapi perah (susu), KUD lebah madu dan lain-lain. 4.
Kelompok Tani Pada saat swasembada beras dicapai pada tahun 1984, banyak par a ahli
perb erasan merasa heran karena memang terjadi di luar dugaan. Menurut
96 perkiraan ahli perberasan Leon A. Mears misalnya, sampai dengan tahun 1985 belum dapat dipastikan akan meraih swasembada. Bahkan Mears memberikan indikasi bahwa swasembada itu hanya akan dicapai melalui perluasan areal (Adjid , 1985). Perkiraan para ahli yang meleset di atas antara lain didasari pemikiran bahwa terdapatnya kesenjangan antara potensi teknologi untuk meningkatkan hasil dan adopsi teknologi oleh petani. Kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya berbagai macam kendala yang sulit di atasi, meliputi sosial, ekonomi, dan budaya. Hal ini diperkuat dengan keadaan intensifikasi (Bimas dan Inmas) yang memperlihatkan gejala stagnasi. Menurut pengalaman dalam melaksanakan intensifikasi diperoleh bahwa partisipasi
merupakan
faktor
yang
paling
menentukan,
namun
dalam
pengembangan dan pembinaannya memerlukan cara yang cocok sesuai dengan keadaan sosial budaya setempat. Diperlukan peran penyuluh yang handal, sehingga mampu membentuk wawasan kognitif, efektif sebagai modal dalam menyerap teknologi. Kepercayaan terhadap pentingnya penerapan pola partisipasi dilengkapi dengan konsep kelompok, sehingga muncul istilah partisipasi dalam kelompok. Melalui partisipasi kelompok, sikap tanggap dan kemampuan suatu kelompok masyarakat untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang diharapkan dan yang merupakan bagian dari tindakan atau kegiatan masyarakat yang lebih luas, Kelompok tani merupakan kekuatan sosial untuk menimbulkan partisipasi terhadap sesuatu program pembangunan pertanian (Adjid, 1985). Hasil dari model transformasi semacam itu hasilnya telah dapat dilihat
97 pada tahun 1979, 1980 dan 1981, di mana pada tahun-tahun tersebut produktivitas usaha tani padi mengalami peningkatan pesat yaitu tahun 1979 sebesar 20.30 ton, pada tahun 1982 menjadi 25,41 ton.
5.
Lembaga Swadaya Masyarakat Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap pembangunan
pertanian terutama ditujukan melalui peningkatan taraf hidup masyarakat berpenghasilan ren dah dengan memberi dorongan, bimbingan dan bantuan pada usaha-usaha pengembangan sosial ekonomi dengan meningkatkan swadaya mereka. LSM mempunyai misi pokok berpartisipasi dalam mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan secara langsung dan nyata. Dalam menjalankan fungsinya tersebut lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai motivator, katalisator, dinamisator dan fasilitator. Sebagai lembaga operasional sebagian besar aktivitas LSM berupa kegiatan-kegiatan praktis di bidang pelayanan, pembinaan dan pengembangan usaha. Dari pengalaman praktis/empirisnya dihasilkan konklus i-konklusi, selfkoreksi, harapan-harapan yang memunculkan gagasan dan pemikiran -pemikiran. Dengan demikian pemikiran -pemikiran dan gagasan-gagasan yang dihasilkan tersebut tidak didasarkan pada hasil dalam bidang pengkajian dan teori, meskipun belakangan mulai aktif dalam forum-forum pengkajian. Menurut Mahasin (1989), dalam khasanah kepustakaan LSM telah muncul istilah tentang berbagai generasi LSM. LSM generasi awal lebih merupakan lembaga sukarela untuk memberikan bantuan dan santunan sosial. Generasi kedua pada mulanya memperkenalkan pengembangan usaha swadaya lewat kelompok-
98 kelompok kecil dari masyarakat miskin. Semboyan mereka adalah "memberi kail bukan sekedar ikan". Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan pembuat kebijaksanaan, dan berperan sebagai semacam konsultan untuk berbagai program yang
memerlukan
dukungan
swadaya
masyarakat.
Gen erasi
keempat
menggerakkan keprihatinan publik dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup, hak-hak konsumen atau hak-hak asasi manusia.
4.2.4. Kontribusi Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Pembangunan Ekonomi Menurut Herliana (2004), pembangunan sektor pertanian memberikan dampak yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan produktivitas dan penciptaan kapital terhadap perekonomian Indonesia, karena (1) pembangunan sektor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap gross output dan value added, (2) sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan peningkatan produksi sektor-sektor kegiatan produksi lainnya, dan (3) sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khsusunya yang berada di daerah pedesaan. Dampak pembangunan di sektor pertanian terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dampak tidak langsung menunjukkan bahwa pembangunan di sektor pertanian akan memiliki pengaruh terhadap kenaikan gross output, value added, kegiatan produksi di sektor lainnya, dan pendapatan masyarakat, jika pembangunan di sektor ini berjalan melalui proses dan kegiatan yang sinergis dengan sektor-sektor lainnya. Ada beberapa fakta empiris yang membuat para pelaku pasar selalu undervalue terhadap sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh kontribusi atau
99 pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hampir diseluruh negara mengalami penurunan. Di negara-negara miskin, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian terhadap PDB menurun dari sekitar 60 persen pada tahun 1965 menjadi sekitar 28 persen pada tahu 2000. Demikian pula dengan kelompok negara middle-income, persentase di atas menurun dari 22 persen menjadi 16 persen atau negara maju, angka penurunannya tercatat dari 5 persen menjadi 2 persen untuk periode 1965-2000. Di Indonesia, penurunan itu juga terekam dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian juga mengalami penurunan, dari sekitar 50 persen pada tahun 1960-an, 20.2 persen pada tahun 1988, turun menjadi 17.2 persen pada tahun 1996, dan hanya 17 persen pada tahun 2000. Secara lebih lengkap bisa dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pangsa Sektor Pertanian Dalam Struktur Ekonomi Indonesia
Struktur Ekonomi Pangsa Tenaga Kerja Pangsa Perdagangan Konsumsi (persen PDB) Investasi Pertanian
Pertanian Industri Jasa Pertanian Sektor lain Impor (makanan) Ekspor (brg primer) Konsumsi total Pangsa bhn pangan Subsidi pupuk Pertanian irigasi
1965 57.1 12.5 31.4 11 65 -
1975 30.2 33.5 36.3 62 38 17 24 74 38 -
1985 22.9 35.3 42.8 56 44 11 16 72 30 4.4 18.1
1995 17.1 41.8 41.1 48 52 15 18 68 33 1.6 10.2
(persen) 2000 17.0 47.0 36.0 46 54 17 12 68 33 0.7 10.4
Penurunan pangsa itu merupakan fenomena alamiah biasa. Makin berkembang suatu negara, maka akan makin kecil kontribusi sektor pertanian atau
100 sektor tradisional dalam PDB. Penjelasan tentang proses penurunan kontribusi ini dapat dirunut pada Hukum Engle, yang mengatakan bahwa jika pendapatan meningkat, maka proporsi pengeluaran terhadap bahan-bahan makanan yang secara umum diproduksi sektor pertanian akan semakin menurun. Dalam istilah ekonomi, elastisitas permintaan terhadap makanan lebih kecil dari satu (inelastis), sehingga peningkatan permintaan terhadap bahan makanan tidaklah sebesar permintaan terhadap barang -barang hasil sektor industri dan jasa (Arifin, 2004). Namun, apabila penurunan pangsa di atas memunculkan persepsi bahwa sektor pertanian menjadi tidak penting dalam proses pembangunan, maka pendapat tersebut perlu ditinjau ulang. Apalagi pengembangan sektor industri dan jasa yang sering diklaim sebagai representasi sektor modern dan masyarakat kota itu dibangun dengan basis paradigma konglometarif. Maka, dengan meninggalkan sektor pertanian akan berakibat semakin membuat keterpurukan kelompok miskin khususnya di pedesaan.
4.3.
Kemiskinan di Indonesia Mengulas tentang kemiskinan di Indonesia bisa dilihat dari tren umum
antar tahun. Bila dilihat dari perkembangan dan penyusutan jumlah orang miskin dari sisi tren umumnya, dimulai dari tahun 1976 sampai tahun 2002. Antara tahun tahun 1976-1996 tersebut, tingkat kemiskinan mengalami tren menurun. Penurunan tingkat kemiskinan yang sangat cepat, terjadi antara tahun 1976 – 1980. Pada masa tahun tersebut, penurunan tingkat kemiskinan di desa lebih cepat dari pada di kota. Sedangkan untuk tahun 1980-1996, penurunan tingkat
101 kemiskinan agak lambat, dan penurunan tingkat kemiskinan di desa lebih lambat daripada di kota. Sementara itu, antara tahun 1996-1998 terjadi peningkatan angka kemiskinan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi. Kemudian pada tahun 19982002 mengalami penurunan kembali, waktu tersebut merupakan masa pemulihan dari krisis. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kemiskinan yang terjadi merupakan fenomena pedesaan. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 13 berikut. 60
juta orang
50 40 Kota 30
Desa Desa+kota
20 10 0 1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
tahun
Gambar 13. Jumlah Penduduk Indonesia di Bawah Garis Kemiskinan Dinamika kemiskinan di Indonesia apabila ditinjau dari distribusi sektoral (lapangan kerja utama) banyak didominasi oleh sektor pertanian. Dari kondisi tersebut bisa dikatakan bahwa kemiskinan merupakan fenomena sektor pertanian. Kemudian ditinjau dari sumber pendapatan, sebagian besar penduduk miskin yang diindikasikan dengan pendapatan rendah juga terjadi di sektor pertanian. Berikut ini dapat dilihat tabel jumlah penduduk miskin menurut sektor pekerjaan utamanya.
102 Tabel 6. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Sektor Pekerjaan Utamanya Sektor Tempat Kerja Pertanian
1999
2000
25997 20109 (54.20) (51.78) Industri 6069 5380 (12.65) (13.85) Jasa 11840 9784 (24.68) (25.29) Tidak Bekerja 4063 3560 (8.47) (9.17) Total 47969 38833 Angka dalam kurung adalah pangsa (persen)
2001 23375 (62.99) 4401 (11.86) 6984 (18.82) 2349 (6.33) 37109
ribu orang 2002 20605 (57.69) 4471 (12.52) 7571 (21.20) 3072 (8.60) 35719
Sumber : BPS (2002) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sektor pertanian memiliki tenaga kerja miskin paling banyak dan jumlahnya lebih dari 50 persen dari total pekerja di sektor ini. Setelah sektor pertanian adalah sektor jasa yang memiliki tenaga kerja miskin paling banyak, rata-rata di atas 20 persen dari total pek erja yang bekerja di sektor jasa. Hal tersebut bisa terjadi karena di sektor jasa, khususnya di perkotaan banyak didominasi oleh kelompok pekerjaan sektor informal perkotaan.
4.4.
Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan Dalam mengulas sub bab ini, kita bisa cermati beberapa pendapat para
peneliti tentang dampak pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan, yaitu antara lain menurut Ravallion dan Datt (1996), yaitu bahwa 85 persen pengurangan kemiskinan di India didorong oleh pertumbuhan sektor pertanian. Sementara itu Warr dan Wang (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan sektor industri merupakan pendorong utama pengurangan kemiskinan di Taiwan. Kemudian Quizon dan Binswanger (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan
103 sektor pertanian sebagai akibat Revolusi Hijau tidak memberikan keuntungan terhadap orang miskin di pedesaan. Dan yang terakhir Timmer (1997), mengemukakan bahwa dampak dari pertumbuhan sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan tergantung pada distribusi pendapatan. Menyimak pernyataan yang dikemukakan oleh Ravallion dan Datt (1996) di atas, kita bisa menilai bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang sama dengan India. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, dan penduduk miskin di Indonesia yang bekerja di sektor pertanian lebih dari 50 persen. Maka, apabila ingin mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia salah satu upaya yang harus ditempuh adalah dengan memacu pertumbuhan di sektor pertanian. Pembangunan pertanian yang menjadi basis hampir di seluruh negara di dunia akan meningkatkan produktivitas tanaman, terutama bahan pangan, melalui intensifikasi. Apabila pendapatan petanin ikut meningkat, meskipun tingkat harga tidak berubah, maka ekonomi pedesaan akan berputar lebih baik, karena tingkat pengeluaran
terhadap
Pembangunan
pertanian
produk-produk menjadi
non
landasan
pertanian utama
juga
meningkat.
menuju
modernisasi
pembangunan ekonomi, dengan tetap saling bersubtitusi antara sektor pertanian, industri dan jasa. Bagi Indonesia persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem dengan lahan tidak sampai 0.5 hektar semakin lama semakin banyak. Hasil sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian meningkat menjadi 25.4 juta dari sekitar 20.8 juta pada tahun 1993 atau meningkat sebesar 2.2 persen per tahun. Jumlah petani gurem pun ikut meningkat
104 dari 10.8 juta menjadi 13.7 juta rumah tangga. Sebagaimana dapat diduga, sebagian besar dari petani gurem tersebut berada di Pulau Jawa karena 75 persen petani Jawa tergolong petani gurem atau meningkat dari 70 persen pada tahun 1993. Maksudnya saat ini 25 persen dari seluruh petani di Jawa yang dapat dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan (Arifin, 2005). Lonjakan jumlah petani gurem yang terjadi yang tercatat pada sensus pertanian tahun 2003, lebih dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi antara tahun 1997-1999. Pada saat krisis ekonomi yang menurunkan kinerja khususnya di sektor industri dengan diindikasikan dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja, mengakibatkan banyaknya limpahan tenaga kerja yang menuju sektor pertanian. Sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat kemiskinan, karena mampu menampung limpahan pekerja dari sektor industri. Sektor pertanian mampu menampung supla i tenaga kerja karena sektor ini masih mampu meningkatkan produktivitasnya dengan penambahan tenaga kerja, selain itu sektor pertanian ini memiliki karakteristik labor intensif.
V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 5.1.
Analisis Umum Pendugaan Model Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini
mengalami beberapa modifikasi karena terjadi ketidakkonsistensian hasil dugaan dengan teori yang ada, namun hal tersebut juga disesuaikan dengan kondisi faktual. Model akhir yang diguanakan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam 16 dugaan persamaan struktural sebagai berikut : 1. PROA
= -6830.79 + 2.790628*LA – 14.8022*IRI + 0.705835*CRE 4.75941 *SUBF + 4.975E-7*MEC + 0.095814*INVA + 88.67491*RIS + 0.133007*LPROA........................................(39)
2.INVA
= -1394.14 + 7101.627*PA + 442.6767*LABA + 0.017501*YD 1725.93 *IRD - 21396.8*DK + 0.880448*LINVA.................(40)
3.LABA
= 15.48181 - 0.00001*WAGER + 0.005296*POP + 0.667044*LLABA ...................................................................(41)
4. PA
= 1.265338 - 0.00001*PROAR + 0.000275*INF - 6.4E-6*ER 0.00002*IMAR + 0.655699*LPA ..........................................(42)
5. EXA
= -272.388 + 0.013962*ER - 25.5735*TAXE + 0.610861*WPA - 0.10084*IHEA + 2.841887*PA + 0.014488*PROAR + 0.230864*LEXA ...................................(43)
6. IMA
= 879.4443 + 0.031060*ER + 0.033715*TAXIR – 0.65963*WPA - 13.8746*IHIA + 703.5177*PA 0.41307*SPN + 0.766733*LIMAR .........................................(44 )
7. UPOV
= 4.786854 - 2.72E-6*WAGER – 0.17378*EGRO 0.00007*GESR + 6.484E-7*GEMR - 0.00070*SPN + 0.043954*INF + 3.087323*DK + 0.358871*LUPOV.............(45)
8. RPOV
= 38.60594 – 0.00003*WAGER – 0.62783*EGRO 3.48965*GEAR + 0.03122*INF – 4.93143*PA - 8.55E-9* *PROAR + 1.128666*DK + 0.369147*LRPOV.....................(46)
9. SPN
= 2382.569 + 0.012027*PROAR - 0.55683*EXAR 0.15496*IMAR - 8.09259*POP + 0.429035*LSPN...............(47)
106 10. GEAR
= 0.433816 – 0.01676*INF – 5.55E-7*GR – 0.07625*DK + 0.886760*LGEAR....................................................................(48)
11. GDPA
= 168296.3 + 1571.421 *LABA + 25820.63 *GEAR 0.292503 *KAR + 0.601478 *INVAR + 1.597047 *FCON + 0.117956*LGDPA...................................................................(49)
12. GR
= -63583.1 + 0.965320*GDS + 0.333305*TTAX + 0.970292*WOILR + 0.775121*LGR......................................(50)
13. TTAXR
= -12172.5 - 0.02700*GDPT + 0.174107*INVTR + 3850.828*TW + 0.257616*LTTAXR.....................................(51)
14. FCONR
= -7916.61 + 0.805522*PROAR + 0.016068*YD + 0.046631*LFCONR................................................................(52)
15. MSR
= -3228.80 - 461.775*IRD + 2.047949*ER + 0.133135*GDPT .................................................................................................(53)
16. INF
= -6.41485 + 0.000349*GDPT - 0.00284*MSR + 0.005792*ER + 5.857520*DK .........................................................................(54 )
Hasil pendugaan parameter atas model memberikan nilai koefisien determinasi (R 2) pada masing-masing persamaan cukup besar, yaitu berkisar antara 0.55 hingga 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa peubah penjelas di dalam model dapat menjelaskan fluktuasi setiap peubah endogen secara baik. Pada masing-masing persamaan, peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peubah endogen yang ditunjukkan dengan nilai statistik F berkisar antara 5.64 hingga 394.74. Model yang baik adalah model yang memberikan penanda parameter sesuai dengan yang diharapkan baik secara teori maupun secara logika ekonomi. Namun apabila terjadi perbedaan penanda bukanlah merupakan suatu kesalahan yang pasti, karena goncangan ekonomi bisa menjadi alasan terjadinya perbedaan penanda antara yang diharapkan dengan kenyataan. Dari hasil pendugaan model yang dilakukan hampir setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter
107 dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi dengan dikaitkan pada kondisi realitas.
5.2.
Dugaan Parameter Persamaan Stuktural Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, maka akhirnya
diperoleh model kebijakan pembangunan pertanian dan kemiskinan di Indonesia yang terdiri dari beberapa persamaan perilaku, yaitu sebagai berikut : 5.2.1. Produksi Pertanian Hasil pendugaan parameter pada produksi pertanian dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter Produksi Pertanian Peubah Penjelas Intersep Pengalokasian Lahan Luasan Lahan Irigasi Kredit Pertanian Subsidi Pupuk Mekanisasi Pertanian Investasi Pertanian Penelitian Lag Produksi pertanian R2 = 0.98074
Parameter Dugaan -6830.79 2.790628 -14.8022 0.705835 -4.75941 4.975E-7 0.095814 88.67491 0.133007 F Hitung = 63.64
Nilai Peluang 0.9183 0.0276 0.2260 0.0158 0.1875 0.5373 0.0285 0.0464 0.0005
Elastisitas SR
LR
1.440854 -1.88004 0.904546 -0.05545
1.661898 -2.16846 1.043314 -0.06395
0.195642 0.089759
0.225655 0.103529
DW = 1.782879
Dari tabel hasil pendugaan parameter produksi pertanian dapat dilihat bahwa respon produksi pertanian berhubungan positif dengan pengalokasian lahan pertanian, kredit pertanian, mekanisasi, investasi di sektor pertanian, dan anggaran penelitian. Sedangkan untuk peubah luas lahan irigasi dan subsidi pupuk memiliki respon negatif. Luasan lahan irigasi memiliki respon negatif, hal ini diduga akibat semakin berkurangnya lahan kelas A yang dikonversi untuk keperluan lain,
108 karena pada umumnya lahan yang beririgasi dan memiliki potensi tin ggi untuk menghasilkan produksi pertanian adalah lahan kelas A. Sedangkan untuk subsidi pupuk, hal ini diindikasikan dengan adanya jalur distribusi pupuk yang panjang serta hampir 25 persen lebih anggaran subsidi pupuk dipakai untuk distribusi dan pengawasan. Selain itu banyaknya kebocoran dan penyelundupan pupuk yang bersubsidi sehingga kebijakan ini menjadi tidak tepat sasaran. Dari hasil dugaan parameter pada persamaan produksi pertanian tersebut juga diketahui bahwa kredit pertanian berpengaruh positif dan nyata dengan nilai peluang sebesar 0.015 jauh dibawah 0.25 sebagai angka toleransi sehingga bisa dikatakan berpengaruh nyata. Sedangkan peubah penelitian dapat dijelaskan bahwa penambahan angg aran penelitian sebesar satu milyar rupiah akan berpengaruh pada peningkatan produksi pertanian senilai 88.67 milyar rupiah. Peningkatan luasan lahan akan memberikan respon positif pada produksi pertanian, dengan respon elastis jangka pendek (1.44) dan elastis jangka panjang (1.66), artinya bahwa penambahan lahan untuk pertanian sebanyak satu persen akan meningkatkan hasil produksi pertanian sebesar 1.44 persen untuk jangka pendek dan 1.66 persen untuk jangka panjang. Selain itu peningkatan luas lahan untuk pertanian memiliki pengaruh nyata terhadap peningkatan hasil produksi pertanian, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya nilai peluang sebesar 0.027. Hasil estimasi parameter pada peubah luas lahan yaitu sebesar 2.79, artinya dengan adanya penambahan seribu hektar luasan lahan untuk pertanian, maka akan memberik an tambahan hasil produksi senilai 2.79 milyar rupiah. Peubah lain yang juga memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan produksi pertanian adalah peubah investasi pertanian dengan nilai
109 peluang sebesar 0.03. Dari hasil perhitungan elastiasitas yang dilakukan, diperoleh hasil respon inelastis sebesar 0.195 untuk jangka pendek, artinya dengan penambahan investasi di sektor pertanian sebesar 1 persen akan berdampak pada peningkatan hasil produksi sebesar 0.195 persen. Untuk jangka panjang memiliki respon elastis sebesar 0.22, yang berarti dengan penambahan satu persen investasi di sektor pertanian akan mampu meningkatkan hasil produksi pertanian sebesar 0.22 persen dalam jangka panjang. Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.98, artinya semua peubah penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 98 persen sedangkan dua persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan dengan nilai statistik F Hitung = 63.64. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.2. Investasi Pertanian Persamaan dan pendugaan parameter investasi di sektor pertanian akan dijeskan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter Investasi di Sektor Pertanian Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep Harga Komoditas Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Pendapatan Disposibel Suk u Bunga Domestik Dummy Krisis Ekonomi Lag Investasi Pertanian R2 0.96728
-1394.14 7101.627 442.6767 0.017501 -1725.93 -21396.8 0.880448 F Hitung = 59.12
Nilai Peluang 0.9878 0.8641 0.7109 0.7987 0.0064 0.1240 0.0011
Elastisitas SR
LR
-0.28936 -0.28172
-2.42034 -2.35645
DW = 2.3386
Persamaan perilaku respon investasi di sektor pertanian tersebut dapat dikatakan sangat baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.97 dan uji
110 statistik F Hitung = 59.12, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 97 persen. Pada Tabel 8 dijelaskan bahwa harga komoditas pertanian, tenaga kerja pertanian dan pendapatan disposibel memberikan pengaruh positif terhadap tingkat investasi di sektor pertanian. Sedangkan untuk suku bunga domestik dan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1997 memberikan pengaruh yang negatif pada investasi di sektor pertanian. Secara keseluruhan semua peubah penjelas yang ada dalam jangka pendek memberikan respon inelastis pada tingkat investasi di sekor pertanian. Sedangkan dalam jangka panjang semua peubah tersebut memberikan pengaruh atau respon yang positif. Pada hasil pendugaan yang dilakukan bisa diketahui bahwa peningkatan indeks harga komoditas pertanian satu level akan meningkatkan investasi pertanian sebesar 7.1 trilyun rupiah. Sedangkan tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia yang relatif murah ternyata juga menjadi pendorong tingkat investasi, hal ini ditunjukkan dengan nilai parameter dugaan sebesar 442.68. Dari angka tersebut bisa diartikan bahwa adanya peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak satu ribu orang akan mampu mendorong adanya inves tasi sebesar 442.68 milyar rupiah. Suku bunga domestik dan adanya krisis ekonomi ternyata memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan investasi di sektor pertanian, dengan ditunjukkan nilai peluang sebesar 0.006 dan 0.12. Untuk tingkat suku bunga domestik nilai parameter dugaannya sebesar
-1725.93,
artinya
dengan
111 peningkatan tingkat suku bunga satu persen maka akan mengurangi tingkat investasi sebesar 1725.93 milyar rupiah.
5.2.3. Tenaga Kerja Sektor Pertanian Persamaan dan pendugaan parameter tenaga kerja di sektor pertanian akan dijelaskan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep Tingkat Upah Populasi Penduduk Lag Tenaga Kerja Pertanian R2 = 0.55945
15.48181 -0.00001 0.005296 0.667044 F Hitung = 6.35
Nilai Peluang 0.0471 0.0401 0.8437 0.0010
Elastisitas SR
LR
-0.12017
-0.36091
DW = 2.858137
Dari hasil estimasi parameter yang dilakukan pada persamaan tenaga kerja di sektor pertanian yang ditunjukkan pada Tabel 9 di atas, dapat diketahui bahwa tingkat upah riil memberikan pengaruh yang negarif pada peubah endogen tenaga kerja di sektor pertanian, hal ini bisa dimaklumi bahwa upah riil yang ada adalah bias di perkotaan. Untuk respon elastisitas dari tingkat upah riil yang dihasilkan baik jangka pendek dan jangka panjang semua memiliki respon inelastis terhadap peubah tenaga kerja di sektor pertanian, yaitu masing -masing adalah (-0.12) untuk jangka pendek dan (-0.36) untuk jangka panjang. Dari hasil nilai elastisitas tersebut dapat diartikan bahwa peningkatan upah riil sebesar satu persen maka akan membawa pengaruh penurunan tenaga kerja d i sektor pertanian sebesar 0.12 persen untuk jangka pendek dan 0.36 untuk jangka panjang. Dan dari hasil pendugaan ini juga diketahui bahwa peubah penjelas ini memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai peluang sebesar 0.047.
112 Hasil estimasi untuk peubah populasi penduduk terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian memiliki pengaruh yang positif dengan nilai parameter dugaan sebesar 0.005296. Hal tersebut bisa diartikan bahwa dengan peningkatan satu juta penduduk maka akan memberikan tambahan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 5296 orang.
5.2.4. Harga Komoditas Pertanian Hasil pendugaan parameter pada harga komoditas pertanian dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Harga Komoditas Pertanian Peubah Penjelas Intersep Produksi Pertanian Inflasi Nilai Tukar Impor Komoditas Pertanian Lag Harga Komoditas Pertanian R2 = 0.98385
Parameter Dugaan
Nilai Peluang
1.265338 -0.00001 0.000275 -6.4E-6 -0.00002 0.655699 F Hitung = 158.38
0.1150 0.1032 0.1887 0.7364 0.0931 0.0235
Elastisitas SR
LR
-0.12934 0.000942
-0.37567 0.002736
-0.00667
-0.01936
DW = 1.631848
Dari Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa produksi pertanian, nilai tukar dan impor komoditas pertanian memberikan respon yang negatif terhadap harga komoditas pertanian. Sedangkan untuk peubah inflasi memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan harga komoditas pertanian. Secara keseluruhan tingkat respon elastisitas dari masing-masing peubah penjelas terhadap harga komoditas pertanian memberikan respon inelastis baik jangka panjang maupun jangka pendek. Peubah produksi pertanian memberikan respon elastisitas sebesar (-0.13) dalam jangka pendek dan (-0.38) dalam jangka panjang, hal ini berarti dengan
113 peningkatan produksi pertanian sebanyak satu persen maka akan berakibat menurunnya harga komoditas pertanian sebesar 0.13 persen dalam jangka pendek dan 0.38 persen untuk jangka panjang. Peubah produksi pertanian dalam persamaan ini memiliki pengaruh yang nyata terhadap harga komoditas pertanian dengan nilai peluang 0.1 jauh dibawah 0.25 sebagai nilai toleransi. Sementara itu untuk impor komoditas pertanian juga memiliki pengaruh negatif terhadap harga komoditas pertanian dengan nilai elastisitas sebesar (-0.007) untuk jangka pendek dan (-0.019) untuk jangka panjang. Hal ini berarti dengan adanya peningkatan impor komoditas pertanian maka akan menurunkan tingkat harga di dalam negeri sebesar 0.007 persen dalam jangka pendek dan 0.019 dalam jangka panjang. Dari hasil perhitungan elastisitas tersebut dapat diketahui bahwa dengan adanya impor akan memberikan keuntungan pada konsumen, namun disatu sisi akan merugikan produsen. Pada peningkatan satu persen dari nilai impor hal ini masih bisa ditoleransi karena hanya memberikan dampak elastisitas yang kecil terhadap harga, namun apabila perilaku impor komoditas pertanian mengalami peningkatan yang sangat tinggi maka akan merugikan petani selaku produsen, karena harga komoditas pertanian yang dihasilkan akan jatuh. Sedangkan untuk tingkat inflasi memberikan respon yang positif terhadap peningkatan harga komoditas pertanian masing-masing dengan respon elastisitas sebesar (0.0009) dalam jangka pendek dan (0.003), artinya dengan adanya kenaikan inflasi satu persen maka akan berakibat pada meningkatnya harga komoditas pertanian sebesar 0.0009 persen dalam jangka pendek dan 0.003 persen dalam jangka panjang.
114 Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.98, artinya semua peubah penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 98 persen sedangkan dua persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik F Hitung = 158.38. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.5. Ekspor Komoditas Pertanian Hasil pendugaan parameter pada ekspor komoditas pertanian dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini. Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Komoditas Pertanian Peubah Penjelas Intersep Nilai Tukar Pajak Ekspor Harga Pertanian Dunia Indeks Harga Ekspor Pertanian Harga Komoditas Pertanian Produksi Pertanian Lag Ekspor Komoditas Pertanian R2 = 0.92888
Parameter Dugaan -272.388 0.013962 -25.5735 0.610861 -0.10084 2.841887 0.014488 0.230864 F Hitung = 20.52
Nilai Peluang 0.7027 0.4515 0.1031 0.8039 0.8460 0.9883 0.1312 0.4379
Elastisitas SR
LR
-0.15245
-0.19821
1.317774
1.713317
DW = 1.955595
Persamaan perilaku respon ekspor komoditas pertanian tersebut dapat dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.93 dan uji statistik F Hitung = 20.52, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 93 persen. Dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan dapat diketahui bahwa respon positif ekspor komoditas pertanian dipengaruhi oleh nilai tukar, harga pertanian dunia, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian. Sedangkan
115 pajak ekspor dan indeks harga ekspor pertanian memberikan respon yang negatif. Secara umum hampir semua peubah penjelas yang ada menunjukkan nilai elastis itas yang kecil atau inelastis dan tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai peluang di atas 0.25, kecuali untuk peubah penjelas produksi pertanian selain memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku ekspor komoditas pertanian sebesar 0.13, peubah ini juga memberikan respon yang elastis terhadap perilaku ekspor komoditas pertanian. Respon positif yang diberikan oleh peubah produksi pertanian terhadap ekspor komoditas pertanian memiliki nilai elastisitas sebesar (1.31) dalam jangka pendek dan (1.71) dalam jangka panjang. Artinya, dengan adanya penambahan produksi pertanian sebesar satu persen maka akan berakibat pada peningkatan nilai ekspor komoditas pertanian sebesar 1.31 persen dalam jangka pendek dan 1.71 persen dalam jangka panjang. Selain itu harga pertanian dunia juga mendorong ekspor komoditas pertanian, meskipun hanya memberikan respon yang inelastis.
5.2.6. Impor Komoditas Pertanian Hasil pendugaan parameter pada ekspor komoditas pertanian dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Impor Komoditas Pertanian Peubah Penjelas Intersep Nilai Tukar Pajak / Tarif Impor Harga Pertanian Dunia Indeks Harga Impor Pertanian Harga Komoditas Pertanian Stok Pangan Nasional Lag Impor Pertanian R2 = 0.84821
Parameter Dugaan 879.4443 0.031060 0.033715 -0.65963 -13.8746 703.5177 -0.41307 0.766733 F Hitung = 8.78
Nilai Peluang 0.7843 0.7921 0.7794 0.1744 0.4904 0.0969 0.4465 0.0588
Elastisitas SR
LR
-0.13039
-0.55897
2.110645
9.048194
DW = 2.246432
116 Persamaan perilaku respon impor komoditas pertanian tersebut dapat dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.85 dan uji statistik F Hitung = 8.78, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 85 persen. Dari Tabel 12 bisa diketahui bahwa respon positif
impor komoditas
pertanian dipengaruhi oleh nilai tukar, pajak impor, dan harga komoditas pertanian dalam negeri. Sedangkan untuk harga pertanian dunia, indeks harga impor komoditas pertanian dan stok pangan memberikan respon atau pengaruh yang negatif. Peubah penjelas harga komoditas pertanian memiliki nilai peluang 0.09 jauh di bawah 0.25 sebagai angka toleransi, selain itu peubah ini memiliki nilai elastisitas sebesar (2.11) untuk jangka pendek dan (9.04) untuk jangka panjang, hal ini berarti bahwa dengan adanya peningkatan harga komoditas pertanian satu persen, maka akan memberikan respon elastis 2.11 persen dalam jangka pendek dan respon elastis sebesar 9.04 persen dalam jangka panjang terhadap perilaku impor komoditas pertanian. Hal ini menunjukkan kuatnya perilaku impor yang dilakukan oleh importir dalam membaca peluang pasar di dalam negeri. Sementara itu untuk tarif impor yang seharusnya memberikan pengaruh negatif pada perilaku impor ternyata tidak mengurangi nilai impor, hal tersebut diduga akibat margin keuntungan yang masih tinggi yang bisa diperoleh importir. Namun yang menjadi kendala utama dalam mempengaruhi perilaku penurunan nilai impor komoditas pertanian adalah tingginya harga pertanian dunia dan indeks harga komoditas pertanian. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil dugaan
117 parameter yang negatif pada kedua peubah tersebut, dan khusus untuk peubah indeks harga impor pertanian memiliki nilai elastisitas yang tinggi. Sedangkan untuk peubah penjelas stok pangan nasional memberikan respon yang negatif terhadap perilaku impor komoditas pertanian, hal ini sejalan dengan teori dan kondisi aktual. Namun peubah stok pangan ini tidak memberikan pengaruh nyata pada perilaku impor komoditas pertanian.
5.2.7. Kemiskinan di Perkotaan Hasil pendugaan parameter pada kemiskinan di perkotaan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Perkotaan Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep 4.786854 Tingkat Upah -2.72E-6 Pertumbuhan Ekonomi -0.17378 Belanja Pemerintah di Sektor Jasa -0.00007 Belanja Pemerintah di Sektor Industri 6.484E-7 Stok Pangan Nasional -0.00070 Inflasi 0.043954 Dummy Krisis Ekonomi 3.087323 Lag Kemiskinan di Perkot aan 0.358871 R2 = 0.81869 F Hitung = 5.64
Nilai Peluang 0.6235 0.1603 0.1186 0.1934 0.4180 0.8641 0.1391 0.2123 0.1379
Elastisitas SR
LR
-0.11539 -0.05722 -2.5E-05
-0.17999 -0.08924 -3.9E-05
0.037978 0.270818
0.059236 0.422408
DW = 2.231885
Dari Tabel 13 dapat diduga bahwa respon negatif yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor jas a dan stok pangan nasional. Sementara itu, ternyata belanja pemerintah di sektor industri tidak mampu memberikan respon yang negatif terhadap kemiskinan di perkotaan. Bersama-sama dengan belanja pemerintah di sektor industri, peubah penjelas inflasi dan krisis ekonomi
118 memberikan pengaruh yang positif terhadap kemiskinan di perkotaan. Dari hasil perhitungan
respon
elastisitas
tiap-tiap peubah penjelas masing-masing
memberikan respon inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Untuk peubah tingkat upah menghasilkan nilai respon elastisitas sebesar (-0.12) dalam jangka pendek dan (-0.18) untuk jangka panjang. Artinya, dengan peningkatan upah sebesar satu persen maka akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 0.12 persen dalam jangka pendek dan untuk jangka panjang sebesar 0.18 persen. Sementara itu dari hasil dugaan parameter pertumbuhan ekonomi yang dikatahui sebesar -0.17378, memberikan intepretasi bahwa dengan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 0.17378 persen. Sementara itu belanja pemerintah di sektor jasa memiliki dampak yang cukup baik dalam mengurangi kemiskinan di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor jasa layak dikembangkan di perkotaan, dengan dibuktikan dengan nilai respon elastisitas terhadap kemiskinan di perkotaan sebesar (-2.5E-05) dan (-3.9E-05) masing-masing untuk jangka pendek dan jangka panjang. Peubah stok pangan nasional memberikan respon negatif terhadap kemiskinan di perkotaan, hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan dan ketersediaan pangan merupakan salah satu kunci menekan kemiskinan. Untuk peubah penjelas inflasi dan krisis ekonomi sesuai dengan teori dan kondisi aktual yang menunjukkan adanya respon positif terhadap kemiskinan di perkotaan.
119 5.2.8. Kemiskinan di Pedesaan Hasil pendugaan parameter pada kemiskinan di pedesaan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Pedesaan Peubah Penjelas Intersep Tingkat Upah Pertumbuhan Ekonomi Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Inflasi Harga Pertanian Produksi Pertanian Dummy Krisis Ekonomi Lag Kemiskinan di Pedesaan R2 = 0.94638
Parameter Nilai Dugaan Peluang 38.60594 0.2488 -0.00003 0.0994 -0.62783 0.0314 -3.48965 0.2072 0.03122 0.7048 -4.93143 0.6499 -8.55E-9 0.0916 1.128666 0.6869 0.369147 0.1571 F Hitung = 22.06
Elastisitas SR
LR
-0.5482 -0.08903 -0.5257
-0.86899 -0.14113 -0.83332
-1.2E-05 0.042645
-1.9E-05 0.067599
DW = 2.697835
Persamaan perilaku respon kemiskinan di pedesaan tersebut dapat dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.95 dan uji statistik F Hitung = 22.06, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 95 persen. Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa respon negatif kemiskinan di pedesaan dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian. Sedangkan untuk inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif terhadap kemiskinan di pedesaan. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa tingkat upah mampu memberikan respon negatif terhadap tingkat kemiskinan di pedesaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya respon elastisitas sebesar (-0.55) dan (-0.87) masing-
120 masing untuk respon elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Artinya, dengan adanya peningkatan tingkat upah sebesar satu persen maka akan memberikan respon pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan sebesar 0.55 persen untuk jangka pendek dan untuk jangka panjang sebesar 0.87 persen. Hal tersebut sama dengan pertumbuhan ekonomi yang juga mampu memberikan respon baik terhadap pengurangan kemiskinan di pedesaan, masing-masing memiliki respon elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebesar (-0.09) dan (-0.14). Belanja pemerintah di sektor pertanian ternyata mampu memberikan respon yang negatif terhadap kemiskinan di pedesaan, artinya dengan peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian sebesar satu persen, maka akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan sebesar 0.53 persen dalam jangka pendek dan 0.83 persen dalam jangka panjang. Hasil pendugaan parameter peubah penjelas harga komoditas pertanian sebesar -4.93143, artinya dengan peningkatan indeks harga komoditas pertanian sebesar satu level maka akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan sebesar 4.9 persen. Untuk peubah produksi pertanian juga memberikan respon yang negatif terhadap tingkat kemiskinan dipedesaan, meskipun nilai respon yang diberikan cukup kecil. Sementara itu, untuk peubah penjelas inflasi dan krisis ekonomi memberikan respon positif
terhadap tingkat kemiskinan di pedesaan, hal ini
sesuai dengan teori dan kondisi yang ada. Kedua peubah penjelas ini memberikan respon yang sama terhadap kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan.
121 5.2.9. Stok Pangan Nasional Hasil pendugaan parameter pada stok pangan nasional dapat dilihat pada Tabel 15 dibawah ini. Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Stok Pangan Nasional Peubah Penjelas Intersep Produksi Pertanian Ekspor Komoditas Pertanian Impor Komoditas Pertanian Populasi Penduduk Lag Stok Pangan Nasional R2 = 0.90048
Parameter Dugaan 2382.569 0.012027 -0.55683 0.15496 -8.09259 0.429035 F Hitung = 23.52
Nilai Peluang 0.4933 0.0872 0.4718 0.1911 0.5669 0.2073
Elastisitas SR
LR
0.349168
0.61154
-0.11593
-0.20305
DW = 1.857055
Persamaan perilaku respon stok pangan nasional tersebut dapat dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.90 dan uji statistik F Hitung = 23.52, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 90 persen. Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa respon positif stok pangan nasional hanya dipengaruhi oleh produksi pertanian. Sementara itu untuk peubah penjelas impor komoditas pertanian yang seharusnya memberikan respon positif ternyata sebaliknya justru memberikan respon positif. Selain impor komoditas pertanian peubah yang lain yang juga memberikan respon negatif adalah ekspor komoditas pertanian dan populasi penduduk. Produksi pertanian mampu memberikan pengaruh positif terhadap stok pangan nasional dengan nilai dugaan parameter sebesar 0.012, hal ini berarti dengan meningkatnya produksi pertanian senilai satu milyar, maka akan menambah stok pangan nasional sebesar 12 ton. Peubah penjelas ini memiliki
122 respon inelastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, yaitu masing-masing sebesar (0.35) dan (0.61). Sementara itu respon negatif yang diperoleh stok pangan nasional juga dipengaruhi oleh populasi penduduk. Sedangkan apabila dilihat dari angka parameter dugaan, maka dengan peningkatan populasi penduduk sebesar satu juta jiwa akan mengakibatkan berkurangnya sto k pangan nasional sebesar 8.09 ribu ton. Apabila stok pangan nasional tidak segera diperbaiki maka akan berakibat kerawan an pangan, hal ini disebabkan Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi.
5.2.10. Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Hasil pendugaan parameter pada belanja pemerintah di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 16 dibawah ini. Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Peubah Penjelas Intersep Inflasi Penerimaan Pemerintah Dummy Krisis Ekonomi Lag Belanja Pemerintah Sektor Pertanian R2 = 0.99121
di
Parameter Dugaan 0.433816 -0.01676 -5.55E-7 -0.07625 0.886760
Nilai Peluang 0.2101 0.0003 0.6218 0.7277 <.0001
F Hitung = 394.74
Elastisitas SR -0.0414
LR -0.36564
DW = 2.670983
Dari Tabel 16 dapat kita lihat bahwa hanya krisis ekonomi yang memberikan pengaruh paling besar atau respon positif yang cukup tinggi. Sementara itu untuk respon negatif diakibatkan oleh peubah inflasi dan penerimaan pemerintah. Semua peubah yang ada dalam persamaan ini
123 memberikan respon inelastis terhadap anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian. Pada hasil pendugaan parameter krisis ekonomi, diperoleh nilai dugaan parameternya sebesar -0.07625. Artinya, dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan berkurangnya anggaran pemerintah di sektor pertanian sebesar 0.07 milyar rupiah. Hal tersebut cukup ironis, meskipun pengurangan anggaran yang tidak terlalu signifikan, namun akan membawa dampak yang kurang baik pada pemulihan krisis khususnya berkaitan dengan penyelamatan dari kerawanan pangan, mengingat sektor pertanian merupakan penghasil pangan. 5.2.11. GDP Sektor Pertanian Hasil pendugaan parameter pada GDP Sektor Pertanian dapat dilihat pada Tabel 17 dibawah ini. Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter GDP Sektor Pertanian Peubah Penjelas Intersep Tenaga Kerja Pertanian Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Modal Sektor Pertanian Investasi Pertanian Konsumsi sektor Pertanian Lag GDP Sektor Pertanian R2 = 0.96478
Parameter Dugaan 168296.3 1571.421 25820.63 0.292503 0.601478 1.597047 0.117956 F Hitung = 54.78
Nilai Peluang 0.0142 0.1916 <.0001 0.8587 0.0001 0.0769 0.3184
Elastisitas SR
LR
0.529223
0.599996
0.861472
0.976677
0.382269 0.458687
0.433389 0.520028
DW = 2.517508
Persamaan perilaku respon GDP Sektor Pertanian tersebut dapat dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.96 dan uji statistik F Hitung = 54.78, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 96 persen.
124 Respon positif terhadap GDP Sektor Pertanian dipengaruhi oleh tenaga kerja sektor pertanian, belanja pemerintah di sektor pertanian, investasi pertanian, modal sektor pertanian dan konsumsi sektor pertanian. Secara keseluruhan respon inelastis diberikan oleh peubah penjelas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Respon positif terhadap GDP sektor pertanian yang dipengaruhi oleh tenaga kerja sektor pertanian, memiliki angka dugaan parameter sebesar 1571.421. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan penambahan satu ribu tenaga kerja di sektor pertanian maka akan mendorong tingkat GDP dari sektor pertanian sebesar 1571.421 milyar rupiah. Sementara itu dengan penambahan satu persen anggaran belanja pemerintah untuk sektor pertanian maka akan mendorong GDP dari sektor pertanian sebesar 0.86 persen dalam jangka pendek dan 0.97 persen dalam jangka panjang. Sementara itu untuk peubah penjelas investasi di sektor pertanian memberikan nilai respon elastisitas yang positif terhadap GDP sektor pertanian. Hal tersebut ditunjukkan dengan angka elastisitas sebesar (0.38) dan (0.43) masing-masing untuk jangka pendek dan jangka panjang. Selain memiliki pengaruh yang positif terhadap GDP sektor pertanian, peubah ini juga memiliki pengaruh nyata dengan nilai peluang sebesar 0.0001.
125 5.2.12. Penerimaan Pemerintah Hasil pendugaan parameter pada Penerimaan Pemerintah dapat dilihat pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pemerintah Peubah Penjelas Intersep Stok Hutang Pemerintah Pajak Total Harga Minyak Dunia Lag Penerimaan Pemerintah R2 = 0.99028
Parameter Dugaan
Nilai Peluang
-63583.1 0.965320 0.333305 0.970292 0.775121 F Hitung = 356.76
0.0038 0.0118 0.3222 0.0015 <.0001
Elastisitas SR
LR
0.178376
0.79321
7.78E-05
0.000346
DW = 2.572584
Dari Tabel 18 bisa dilihat bahwa secara keseluruhan peubah penjelas memberikan respon yang positif terhadap penerimaan pemerintah, hal ini sesuai dengan teori dan kondisi aktual yang ada. Namun hampir secara keseluruhan pula semua peubah memiliki respon inelastis terhadap penerimaan pemerintah . Untuk peubah penjelas stok hutang pemerintah memiliki respon yang positif terhadap penerimaan pemerintah dengan angka parameter dugaan sebesar 0.965320, artinya dengan adanya penambahan hutang pemerintah satu milyar rupiah maka akan menambah penerimaan pemerintah sebesar 0.97 milyar rupiah. Sementara itu untuk respon harga minyak dunia memberikan nilai dugaan parameter sebesar 0.970292, artinya dengan peningkatan harga minyak dunia sebesar 1 dollar per barrel, maka akan menambah penerimaan pemerintah sebesar 0.97 milyar rupiah. Kedua peubah penjelas ini yaitu, stok hutang pemerin tah dan harga minyak dunia masing-masing memiliki pengaruh yang nyata terhadap penerimaan pemerintah, dengan masing-masing memiliki nilai peluang sebesar 0.0118 dan 0.0015 jauh dibawah 0.25 sebagai angka toleransi.
126 Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.99, artinya semua peubah penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 99 persen sedangkan satu persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik F Hitung = 356.76. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.13. Pajak Total Hasil pendugaan parameter pada pajak total dapat dilihat pada Tabel 19 dibawah ini. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Pajak Total Peubah Penjelas Intersep GDP Total Investasi Total Trend Waktu Lag Total Pajak R2 = 0.93395
Parameter Dugaan -12172.5 -0.02700 0.174107 3850.828 0.257616 F Hitung = 49.49
Nilai Peluang 0.2481 0.5854 0.1260 0.0415 0.3730
Elastisitas SR 0.0898 0.338736
LR 0.120962 0.456281
DW = 1.346751
Persamaan perilaku respon pajak total tersebut dapat dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.93 dan uji statistik F Hitung = 49.49, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar 93 persen. Secara keseluruhan peubah penjelas yang ada pada persamaan pajak total memberikan respon inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa respon perilaku pajak total dipengaruhi secara positif oleh investasi total dan tren waktu, kedua peubah
127 penjelas ini memiliki memiliki nilai peluang 0.13 dan 0.04, artinya kedua peubah tersebut memberikan pengaruh nyata. Hal tesebut bisa dimaklumi karena memang tingkat investasi total yang ada di Indonesia didorong untuk menumbuhkan sektor-sektor formal. Sementara untuk tren waktu diduga akibat semakin meningkatnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Sedangkan GDP total memberikan dampak negatif terhadap pajak total. Seharusnya peubah penjelas ini memberikan pengaruh yang positif terhadap total penerimaan pajak, hal ini diduga akibat pertumbuhan ekonomi yang terjadi justru banyak di sektor-sektor informal yang hak wajib pajaknya sulit untuk dideteksi.
5.2.14. Konsumsi Sektor Pertanian Hasil pendugaan parameter pada konsumsi di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 20 dibawah ini. Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sektor Pertanian Peubah Penjelas Intersep Produksi Pertanian Pendapatan Disposibel Lag Konsumsi untuk Pertanian R2 = 0.95222
Parameter Dugaan -7916.61 0.805522 0.016068 0.046631 F Hitung = 99.65
Nilai Peluang 0.2537 <.0001 0.0829 0.7108
Elastisitas SR 0.872962 0.280248
LR 0.91566 0.293956
DW = 1.985057
Dari Tabel 20 dapat dik etahui bahwa respon perilaku pada konsumsi sektor pertanian dipengaruhi secara positif oleh produksi pertanian dan pendapatan disposibel (pendapatan yang langsung dibelanjakan), hal tesebut berarti sejalan antara teori dan kondisi aktual yanga ada. Meskipun kedua peubah penjelas tersebut memberikan respon inelastis terhadap konsumsi sektor pertanian, namun kedua peubah penjelas tersebut memiliki pengaruh yang nyata.
128 Dari hasil perhitungan elastisitas didapatkan hasil bahwa dalam jangka pendek produksi pertanian memberikan respon inelastis sebesar (0.87) dan (0.91) untuk jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dengan peningkatan produksi pertanian satu persen, maka akan meningkatkan konsumsi sektor pertanian sebesar 0.87 persen dalam jangka pendek dan 0.91 untuk jangka panjang. Untuk peubah pendapatan disposibel meskipun memberikan pengaruh yang nyata namun peubah ini memiliki nilai elastisitas yang cukup kecil, hal ini diduga karena pendapatan disposibel banyak dialokasikan ke sektor lain. Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.95, artinya semua peubah penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 95 persen sedangkan lima persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik F Hitung = 99.65. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.15. Penawaran Uang Hasil pendugaan parameter pada penawaran uang dapat dilihat pada Tabel 21 dibawah ini. Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Penawaran Uang Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep Suku Bunga Domestik Nilai Tukar GDP Total R2 = 0.98106
-3228.80 -461.775 2.047949 0.133135 F Hitung = 258.95
Nilai Peluang 0.2108 <.0001 <.0001 <.0001
Elastisitas -0.02989 0.097986 0.321729 DW = 1.638961
Dari Tabel 21 dapat diketahui bahwa respon perilaku penawaran uang dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga domesatik. Sementara itu peubah penjelas nilai tukar rupiah terhadap dolar dan GDP total memberikan pengaruh
129 yang positif terhadap respon perilaku penawaran uang. Ketiga peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan penawaran uang ini memberikan pengaruh yang nyata dengan nilai peluang yang sangat kecil. Selain itu ketiga peubah tersebut juga memberikan respon inelastis secara keseluruhan. Suku bunga domestik memberikan pengaruh negatif terhadap penawaran uang dengan nilai parameter dugaan sebesar -461.775. Hal tersebut berarti dengan adanya peningkatan suku bunga domestik akan mengurangi penawaran uang sebesar 461.775 milyar. Perilaku ini sesuai antara teori dengan kondisi aktual, yaitu apabila terjadi peningkatan suku bunga maka pelaku ekonomi akan enggan melakukan investasi dan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank, karena akan lebih menguntungkan. Peubah penjelas nilai tukar yang seharusnya memberikan nilai negatif terhadap penawaran uang ternyata memberikan pengaruh yang positif. Hal ini diduga oleh tren karakteristik masyarakat yang semakin konsumtif, sehingga antara peubah penjelas nilai tukar dan penawaran uang memiliki arah yang sama. Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.98, artinya semua peubah penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 98 persen sedangkan dua persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik F Hitung = 258.95. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.16. Inflasi Hasil pendugaan parameter pada peubah endogen inflasi dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
130 Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter Inflasi Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep GDP Total Penawaran Uang Nilai Tukar Dummy Krisis Ekonomi R2 = 0.74327
-6.41485 0.000349 -0.00284 0.005792 5.857520 F Hitung = 10.13
Nilai Peluang 0.5253 0.0002 <.0001 0.0025 0.6116
Elastisitas 16.84375 -56.7197 5.534643 0.594672 DW = 2.898171
Dari Tabel 22 dapat diketahui bahwa respon positif tingkat inflasi dipengaruhi oleh GDP total, nilai tukar dan krisis ekonomi. Sementara itu untuk peubah penawaran uang justru memberikan pengaruh yang negatif terhadap inflasi. Secara umum semua peubah penjelas yang ada memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah endogennya kecuali krisis ekonomi, hal tersebut ditunjukkan dengan nilai peluang yang sangat kecil. Sementara itu hampir secara keseluruhan peubah penjelas memberikan respon elastis pada peubah endogen inflasi, kecuali krisis ekonomi. GDP total memberikan respon positif terhadap inflasi dengan nilai elastisitas sebesar (16.84), artinya dengan peningkatan GDP total sebesar satu persen maka akan mengakibatkan inflasi meningkat 16.84 persen. Begitu pula dengan nilai tukar, peubah penjelas ini memberikan respon elastis sebesar (5.53), artinya dengan peningkatan kemapuan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar satu persen, maka akan mengakibatkan peningkatan inflasi sebesar 5.53 persen. Hal tersebut sejalan dengan teori, bahwa dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, secara proporsional akan meningkatkan harga, sehingga secara otomatis akan mendorong meningkatnya inflasi.
131 Sementara itu untuk peubah penjelas penawaran uang justru memberikan respon yang negatif terhadap inflasi. Hal ini diakibatkan karena kebijakan penawaran uang tidak melihat tingkat inflasi yang terjadi pada tahun sebelumnya, karena dari data yang ada tingkat inflasi bersifat fluktuatif, namun pen awaran uang secara terus-menerus mengalami peningkatan. Selain itu diduga pula disebabkan adanya goncangan ekonomi pada tujuh tahun terakhir yang menyebabkan keseimbangan moneter menjadi goyah serta bersamaan dengan lonjakan tingkat inflasi yang cukup tinggi. Hal tersebutlah yang membuat Bank Indonesia menarik infestasi dengan meningkatkan suku bunga yang sangat tinggi.
5.2.17. Kemiskinan Total Kemiskinan total dalam penelitian ini diduga dengan persamaan identitas, dimana kemiskinan total ini merupakan penjumlahan dari kemiskinan di perkotaan dan di pedesaan. Jadi apabila terjadi goncangan pada salah satunya dan atau pada keduanya maka secara otomatis akan mempengaruhi tingkat kemiskinan total. Secara matematis persamaan identitas dari kemiskinan total sudah ditulis pada persamaan 9 yaitu sebagai berikut : TPOVt = UPOVt + RPOVt
5.2.18. GDP Total GDP total merupakan persamaan identitas dari penjumlahan GDP dari sektor pertanian ditambah dengan GDP dari sektor yang lainnya. Sektor yang lain disini yang dimaksud adalah sektor jasa, industri, pertambangan dan lain -lain.
132 Secara matematis persamaan identitas dari GDP total telah disamapaikan pada persamaan 13 yaitu sebagai berikut : GDPT t = GDPAt + GDPNt Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan pada GDP di sektor pertanian ataupun di sektor yang lain, maka akan mempengaruhi GDP total. Selanjutnya perubahan GDP total akan memberikan pengaruh dan efek balik kepada peubah endogen yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN
6.1.
Validasi Model Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif
kebijakan dengan cara mengubah nilai peubah kebijakannya. Akan tetapi sebelum melakukan alternatif simulasi kebijakan terlebih perlu dilakukan validasi model untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah endogen (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Model kebijakan pertanian dan kemiskinan dalam penelitian ini telah diuji dengan suatu simulasi dasar untuk periode sampel pengamatan 1984-2003. Indikator validasi statisik yang digunakan adalah Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen. Selain itu digunakan statistik proporsi bias (UM ), dan juga statistik Theil’s inequality coefficient (U) untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi historis maupun peramalan (historical and ex-ante simulation). Pada dasarnya jika makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s maka pendugaan model semakin baik. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1, maka pendugaan model naif. Berikut ini disajikan hasil validasi model dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia seperti yang tertera pada Tabel 23.
134
Tabel 23. Hasil Pengujian Validasi Model Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan Nama Peubah PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA
RMSPE
Bias (UM)
U
8.3342 13.6387 5.0448 3.9731 17.1694 25.9386 11.7530 4.8423 8.1211 28.2129 27.7041 12.6745 12.5419 8.2903 280.6 3.4042 4.0751 13.3404
0.00 0.01 0.25 0.51 0.00 0.05 0.00 0.03 0.00 0.01 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00
0.0246 0.0366 0.0234 0.0181 0.0560 0.0978 0.0504 0.0257 0.0360 0.1509 0.0714 0.0486 0.0468 0.0320 0.2442 0.0185 0.0168 0.0562
Dari table 23 dapat diketahui, 17 persamaan dalam model mempunyai nilai RMSPE lebih kecil dari 30 persen, sementara itu ada satu persamaan yang mempunyai RMSPE lebih besar dari 100 persen. Sedangkan berdasarkan kriteria nilai U-Theil’s terdapat 17 persamaan dari 18 persamaan mempunyai nilai U lebih kecil dari 0.20, dan 1 persamaan lagi mempunyai nilai U antara 0.21 sampai 0.25. Nilai U-Theil’s tertinggi adalah 0.2442 yaitu pada persamaan inflasi dan RMPSE nya 280.6, akan tetapi tidak terjadi bias sistematik, sebab nilai bias UM adalah 0.00 jauh di bawah dari 0.20. Meskipun demikian jika dilihat secara keseluruhan, model ini cukup baik digunakan sebagai model pendugaan, oleh karena itu model struktural yang telah dirumuskan juga dapat digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan, pada simulasi historis untuk periode 1984-2003.
135
6.2.
Evaluasi Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menimbulkan
dampak positif maupun dampak negatif terhadap masing-masing peubah endogen dan dapat juga tidak mempunyai dampak terhadap peubah endogen lainnya. Simulasi yang dilakukan dalam studi adalah selain kebijakan pembangunan di sektor pertanian juga dilakukan simulasi pada beberapa indikator ekonomi. Dampak dari alternatif kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa indikator ekonomi lainnya terhadap perubahan peubah endogennya dapat dilihat pada Tabel 24. Simulasi kebijakan yang dilakukan yaitu : 1. Simulasi 1 : Meningkatkan anggaran penelitian sebesar 20 persen. 2. Simulasi 2 : Menambah luas areal sebesar 20 persen. 3. Simulasi 3 : Meningkatkan nilai kredit sebesar 10 persen. 4. Simulasi 4 : Mengurangi subsidi pupuk sebesar 25 persen. 5. Simulasi 5 : Menambah areal lahan irigasi sebesar 10 persen. 6. Simulasi 6 : Meningkatkan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen. 7. Simulasi 7 : Mengurangi impor komoditas pertanian sebesar 50 persen. 8. Simulasi 8 : Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen. 9. Simulasi 9 : Meningkatkan belanja pemerintah sektor pertanian sebesar 20 persen. 10. Simulasi 10 : Menaikkan pajak impor sebesar 25 persen. 11. Simulasi 11 : Menurunkan pajak ekspor sebesar25 persen. 12. Simulasi 12 : Meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen. 13. Simulasi 13 : Menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen.
137
Dari tabel 24 dapat dijelaskan bahwa kebijakan yang berdampak pada penurunan angka kemiskinan total antara lain kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, kebijakan pengurangan subsidi pupuk sebesar 25 persen, kebijakan penambahan luasan areal irigasi sebanyak 10 persen, peningkatan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen, pengurangan impor komoditas pertanian sebesar 50 persen, peningkatan investasi sebesar 25 persen, peningkatan belanja pemerintah disektor pertanian sebesar 20 persen, peningkatan pajak impor dan peningkatan pajak ekspor masing-masing sebesar 25 persen, peningkatan upah riil sebesar 10 persen serta menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen. Namun untuk kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian, penambahan luas areal dan kebijakan kredit sektor pertanian ternyata hanya mampu mengurangi kemiskinan di pedesaan. Kebijakan penelitian di sektor pertanian ternyata mampu memberikan dampak yang cukup baik terhadap peningkatan produksi dan perbaikan harga. Dari hasil peningkatan anggaran penelitian di sektor pertanian ternyata juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 2.36 persen. Selain itu, kebijakan tersebut juga mampu meningkatkan GDP sektor pertanian maupun total masing-masing 0.51 persen dan 0.15 persen. Dengan adanya peningkatan anggaran penelitian ini ternyata juga mampu mendorong investasi sebesar 1.05 persen. Secara umum dampak kebijakan peningkatan anggaran penelitian ini membawa dampak yang baik terhadap peningkatan pembangunan ekonomi, karena dari hasilhasil penelitian yang dilakukan akan menemukan produk-produk baru yang lebih baik secara kualitas dan kuantitas sehingga memiliki daya saing yang cukup baik.
138
Sementara itu untuk hasil simulasi kebijakan penambahan luas areal dan peningkatan kredit justru tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hal tersebut diduga terjadi karena produksi yang berlebih, sehingga berdampak pada penurunan harga. Sementara itu dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan memang tingkat kemiskinan khususnya di pedesaan banyak dipengaruhi oleh pengaruh peningkatan harga. Pengurangan subsidi pupuk yang dilakukan sebanyak 25 persen justru mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebanyak 0.63 persen. Hal ini diakibatkan karena petani akan lebih efisien dalam penggunaan pupuk dan terdorong untuk mencari pupuk alternatif yang lebih murah. Di satu sisi hal ini juga membawa pengaruh pengurangan anggaran pemerintah sehingga bisa dialokasikan untuk kebutuhan anggaran yang lain. Tingkat penyelewengan pupuk yang tinggi, hal ini yang mengakibatkan peningkatan subsidi pupuk tidak berpengaruh positif terhadap produksi maupun dalam simulasi tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Dari hasil analisis simulasi yang dilakukan diduga yang menjadi penyebab pemerintah mengambil kebijakan untuk menghapuskan subsidi pupuk. Simulasi yang dilakukan terhadap peningkatan mekanisasi pertanian sebanyak 10 persen ternyata mampu mngurangi tingkat kemiskinan, meskipun simulasi ini juga membawa pengaruh pada penurunan produksi 0.88 persen. Karena pada intinya, kegiatan mekanisasi ini dilakukan adalah untuk melakukan efisiensi biaya produksi dan peningkatan kualitas produk, dan margin keuntungan yang diperoleh petani akan jauh lebih besar akibat peningkatan mekanisasi pertanian ini. Simulasi ini membawa pengaruh pada pengurangan kemiskinan sebesar 0.72 persen.
139
Pengurangan kebijakan impor komoditas pertanian sebanyak 50 persen ternyata membawa dampak yang baik terhadap produksi pertanian, investasi sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, peningkatan harga pertanian dan mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Kebijakan pengurangan impor komoditas pertanian ini akan membawa pengaruh meningkatnya harga komoditas pertanian, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan petani. Perilaku impor komoditas pertanian yang dilakukan tentunya harus dipertimbangkan secara matang, karena apabila hal ini tidak dibendung maka akan membawa dampak buruk bagi daya saing komoditas pertanian lokal yang dihasilkan. Kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian membawa pengaruh yang positif terhadap pengentasan kemiskinan di pedesaan sebesar 2.18 persen. Kebijakan ini secara bersama-sama juga membawa pengaruh pada peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja, dan perbaikan tingkat harga, serta penguatan stok pangan nasional. Kebijakan ini juga mampu mendorong peningkatan ekspor komoditas pertanian sebesar 37.88 persen. Meskipun memiliki tingkat elastisitas yang rendah namun investasi di sektor pertanian
membawa keberuntungan
tersendiri, karena di sektor pertanian memiliki potensi sumberdaya tenga kerja yang cukup banyak. Peningkatan anggaran pemerintah di sektor pertanian sebesar 20 persen akan membawa pengaruh pada pengentasan kemiskinan sebesar 0.68 persen, meskipun dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan anggaran belanja pemerintah ini tidak memberikan dampak positif bagi pengentasan kemiskinan. Namun ternyata simulasi dari kebijakan ini membawa dampak peningkatan produksi pertanian, investasi di sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan harga
140
komoditas pertanian secara bersama-sama. Penting diperhatikan di sini bahwa kebijakan belanja pemerintah di sektor pertanian harus mempertimbangkan pula aspek perbaikan tingkat harga komoditas pertanian dan tidak hanya terfokus pada peningkatan jumlah produksi secara kuantitas. Simulasi kebijakan peningkatan tarif impor dan pengurangan pajak ekspor sebesar masing-masing sebesar 25 persen membawa pengaruh yang hampir sama pada pengurangan kemiskinan yaitu masing-masing sebesar 0.70 persen dan 0.73 persen. Dua simulasi kebijakan ini juga membawa pengaruh pada peningkatan produksi pertanian, investasi di sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan harga. Khusus untuk simulasi kebijakan pengurangan pajak ekspor sebesar 25 persen membawa pengaruh yang cukup baik terhadap peningkatan ekspor sebesar 4.56 persen. Peningkatan tingkat upah riil ternyata membawa dampak yang positif terhadap pengentasan kemiskinan secara signifikan, yaitu sebesar 2.36 persen. Peningkatan upah riil ini memang di satu sisi membawa dampak rendahnya perubahan investasi di sektor pertanian, karena harga tenaga kerja akan semakin mahal yang pada akhirnya akan membawa pengaruh perubahan yang kecil pada peningkatan produksi pertanian yang hanya sebesar 0.14 persen, namun simulasi ini juga membuktikan adanya pengaruh peningkatan harga komoditas pertanian sebesar 2.65 persen. Kebijakan peningkatan upah riil ini membawa pengaruh pada pemerataan pendapatan sehingga mampu mempunyai pengaruh yang cukup signifikan pada pengentasan kemiskinan. Simulasi tunggal yang terakhir adalah penurunan suku bunga domestik sebesar 2 persen, kebijakan ini ternyata membawa dampak yang sangat baik bagi
141
pengentasan kemiskinan dan beberapa indikator ekonomi yang lainnya. Simulasi kebijakan ini membawa pengaruh pada pengentasan kemiskinan sebesar 1.11 persen. Dari simulasi kebijakan ini juga diperoleh peningkatan investasi di sektor pertanian yang cukup tinggi yaitu sebesar 23.84 persen. Peningkatan produksi sebesar 5.13 persen diimbangi dengan peningkatan harga sebesar 1.76 persen akan membawa tingkat keuntungan yang cukup baik bagi petani. Selain itu kebijakan ini juga membawa pengaruh pada perbaikan stok pangan nasional. Dengan pengurangan tingkat suku bunga sebesar 2 persen ternyata juga membawa pengaruh pada peningkatan GDP sektor pertanian dan GDP total masing-masing sebesar 7.01 persen dan 2.11 persen. Sementara itu tingkat inflasi mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar 2.83 persen. Secara teori memang penurunan suku bunga akan mampu meningkatkan investasi yang cukup baik di berbagai sektor, namun yang juga perlu diperhatikan adalah tingkat penurunan tabungan yang cukup tinggi pula. Maka dari itu hal ini perlu diikuti peningkatan konsumsi masyarakat yang tidak terlalu tinggi, sehingga secara proporsional akan tetap mempertahankan tingkat tabungan dan keseimbangan penawaran uang akan tetap terjaga. 6.3.
Evaluasi Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan Alternatif kombinasi kebijakan pemerintah (mix government policy)
dibahas pada sub bab ini. Dampak dari alternatif kombinasi masing-masing kebijakan terhadap peubah endogennya akan disajikan pada Tabel 25. Tabel 25.
Nama Peubah
Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Lainnya Terhadap Perubahan Nilai Ratarata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003 Satuan
Nilai Dasar
Perubahan Simulasi (persen)
142
PROA INVA LABA PA EXA IMA UPOV RPOV SPN GEA GR TTAX FCON MS INF TPOV GDPT GDPA
milyar milyar ribu orang milyar milyar persen persen ribu ton milyar milyar milyar milyar milyar persen persen milyar milyar
32436.4 98938.6 39.1037 2.3055 350.6 946.6 5.4728 11.3387 1582.4 3899 104074 46619.3 26359.8 50206.2 11.8368 16.8115 385759 116237
A
B
C
D
E
F
6.76 0.70 2.36 1.74 9.10 2.79 -0.67 -1.20 0.28 -2.69 7.79 -0.03 6.70 0.13 0.33 -1.03 0.19 0.64
0.22 0.85 2.36 2.62 4.56 7.59 -0.49 -0.87 -1.21 -2.69 7.79 -0.03 0.22 0.14 0.32 -0.75 0.14 0.46
0.14 0.55 0.64 2.65 0.26 4.86 -1.71 -2.83 -0.44 -2.70 7.79 0.00 0.14 0.01 0.44 -2.46 0.15 0.51
0.22 0.85 2.36 2.65 0.37 4.84 -0.41 -0.88 -0.44 7.79 -0.03 0.22 0.14 0.32 -0.72 0.14 0.46
5.01 1.70 2.36 1.97 6.76 3.32 -0.45 -4.66 0.09 -2.06 7.79 -0.04 4.97 0.73 -5.87 -4.30 0.21 0.71
5.43 2.06 1.79 1.91 7.33 3.18 -1.55 -2.47 0.14 -1.76 7.79 -0.04 5.39 0.97 -8.84 -2.17 0.21 0.70
Keterangan : 1. Simulasi A : Menurunkan subsidi pupuk dan meningkatkan anggaran penelitian masing-masing sebesar 20 persen. 2. Simulasi B : Menaikkan pajak impor dan menurunkan pajak ekpor masingmasing sebesar 25 persen. 3. Simulasi C : Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen dan meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen. 4. Simulasi D : Meningkatkan anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian dan jasa masing-masing sebesar 5 persen. 5. Simulasi E : Meningkatkan luas areal, kredit pertanian masing-masing 10 persen dan menurunkan suku bunga sebesar 2 persen. 6. Simulasi F : Meningkatkan angggaran penelitian sebesar 20 persen, meningkatkan upah rill sebesar 10 persen, serta menurunkan tingkat suku bunga sebesar 2 persen.
143
Simulasi alternatif kombinasi kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa indikator ekonomi lainnya dilakukan untuk memperoleh kombinasi kebijakan yang lebih relevan, sehingga diperoleh pilihan kebijakan yang mampu mengoptimalkan output yang diharapkan. Dari tabel 25 diketahui bahwa, semua kombinasi kebijakan memberikan pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan. Artinya, semua kombinasi kebijakan yang diambil mampu memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan. Kombinasi kebijakan yang paling tinggi pengaruh perubahannya terhadap pengentasan kemiskinan adalah alternatif kombinasi kebijakan E, C dan F. Dari kombinasi kebijakan E, yaitu kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal 10 persen, meningkatkan kredit pertanian sebesar 10 persen dan menurunkan suku bunga sebesar 2 persen membawa pengaruh yang cukup nyata terhadap pengurangan jumlah orang miskin sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan C, yaitu kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen dan peningkatan tingkat upah riil sebesar 10 persen membawa pengaruh perubahan yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan sebesar 2.46 persen. Sedangkan untuk kombinasi kebijakan F, yaitu kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, peningkatan upah riil sebesar 10 persen, dan penurunan tingkat suku bunga sebesar 2 persen mampu memberikan pengaruh perubahan sebesar 2.17 persen terhadap pengentasan kemiskinan total. Kombinasi kebijakan A setelah disimulasikan memperoleh gambaran bahwa, kombinasi kebijakan penurunan subsidi pupuk dan peningkatan anggaran penelitian masing-masing sebesar 20 persen memberikan pengaruh pada peningkatan produksi pertanian sebesar 6.76 persen. Selain berpengaruh cukup baik
144
pada produksi pertanian, kombinasi kebijakan ini juga berpengaruh secara positif terhadap peningkatan perubahan harga komoditas pertanian sebesar 1.74 persen, serta mampu memberi perubahan yang cukup signifikan pula terhadap ekspor komoditas pertanian sebesar 9.10 persen. Selain berpengaruh pada beberapa peubah endogen di atas, kombinasi kebijakan A ini juga memberikan pengaruh pada peningkatan stok pangan nasional dan memberi pengaruh positif terhadap konsumsi sektor pertanian sebesar 6.70 persen. Simulasi kebijakan yang dilakukan pada kombinasi B, yaitu menaikkan pajak impor dan menurunkan pajak ekspor masing-masing sebesar 25 persen. Kombinasi kebijakan ini tidak begitu memberikan pengaruh perubahan pada produksi dan investai di sektor pertanian. Namun kebijakan ini memberikan pengaruh yang cukup berarti pada peningkatan harga komoditas pertanian sebesar 2.62 persen. Dan kombinasi kebijakan B ini memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap pengentasan kemiskinan sebesar 0.75 persen dibandingkan dengan kombinasi kebijakan A. Kombinasi kebijakan C seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kombinasi kebijakan ini mampu mereduksi tingkat kemiskinan yang cukup besar. Namun di satu sisi, kombinasi kebijakan ini tidak begitu banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan peningkatan beberapa peubah endogen yang lain, hanya saja kombinasi kebijakan ini mampu memberikan perubahan tingkat harga komoditas pertanian sebesar 2.65 persen. Hal ini khususnya banyak dipengaruhi oleh kebijakan peningkatan upah riil, yang selalu diikuti oleh peningkatan harga.
145
Kombinasi kebijakan D adalah kombinasi kebijakan meningkatkan anggaran pemerintah di sektor pertanian dan jasa sebesr 5 persen, kombinasi kebijakan ini tidak banyak memberikan pengaruh terhadap peubah endogen yang ada, namun kombinasi ini cukup mampu memberikan dorongan pada perubahan peningkatan harga sebesar 2.65 persen dan mampu mereduksi tingkat kemiskinan sebesar 0.72 persen. Kombinasi kebijakan E merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas pertanian sebesar 1.97 persen. Hasil simulasi yang dilakukan pada kombinasi kebijakan E ini cukup logis apabila memberikan kontribusi yang cukup baik pada pengetasan kemiskinan di pedesaan, karena kombinasi kebijakan ini memiliki bias pedesaan yang cukup kuat. Penambahan luas areal pertanian merupakan kunci utama untuk meningkatkan kinerja di sektor ini, karena lahan sampai saat ini masih merupakan penentu utama banyaknya output yang mampu dihasilkan oleh sektor pertanian di Indonesia. Pemberian pinjaman kredit untuk usahatani, ternyata masih memberikan pengaruh pada pertumbuhan sektor pertanian. Kredit di sektor pertanian membawa pengaruh pada kemampuan petani untuk menyediakan input bagi usahataninya. Kebijakan penurunan suku bunga dilakukan untuk menumbuhkan iklim investasi yang lebih baik, guna mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sektor pertanian.
146
Kombinasi kebijakan F adalah kombinasi peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, peningkatan upah rill sebesar 10 persen, serta penurunan tingkat suku bunga sebesar 2 persen. Kombinasi kebijakan ini termasuk kombinasi kebijakan yang cukup baik, karena kombinasi kebijakan ini selain berpengaruh pada pengentasan kemiskinan, kombinasi ini juga membawa pengaruh perubahan yang cukup signifikan pada beberapa peubah endogen yang ada. Perubahan itu terjadi diantaranya pada peningkatan produksi pertanian sebesar 5.43 persen, peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 2.06 persen, peningkatan harga komoditas pertanian sebesar 1.91 persen, peningkatan ekspor sebesar 7.33 persen serta mampu menurunkan tingkat inflasi sebesar 8.84 persen. Kombinasi kebijakan F ini cukup logis dalam memberikan pengaruh perubahan yang signifikan pada peubah endogennya, karena unsur penelitian disini mampu memberikan pengaruh yang cukup baik pada peningkatan produksi secara kualitas maupun kuantitas. Di sisi lain kombinasi kebijakan ini juga memiliki unsur tingkat penurunan suku bunga, hal ini mampu mendorong meningkatnya investasi di sektor pertanian. Dan unsur yang terakhir dari kombinasi kebijakan ini adalah peningkatan upah riil, yang mendorong pada pemerataan pendapatan, yang pada akhirnya mampu meningkatkan harga komditas pertanian, sehingga juga memberikan dampak yang positif pada ekonomi di pedesaan.
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang dampak kebijakan
pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan diperoleh beberapa kesimpulan yang dirumuskan berdasarkan tujuan yang telah ditentukan. Menjawab tujuan pertama tentang ulasan deskriptif pembangunan pertanian di Indonesia dan pengentasan kemikinan dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : 1. Sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat kemiskinan, karena mampu menampung limpahan pekerja dari sektor industri, hal ini dibuktikan dengan penurunan angka yang cukup signifikan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor yang lainnya pada tahun 2000, yaitu sekitar 2.7 persen, sedangkan pada tahun 1995 sebesar 6.1 persen dari total pekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian mampu menampung suplai tenaga kerja karena sektor ini masih mampu meningkatkan produktivitasnya dengan penambahan tenaga kerja, selain itu sektor pertanian ini memiliki karakteristik labor intensif. 2. Meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, namun sektor ini tidak boleh ditinggalkan, karena hal tersebut merupakan kejadian yang alamiah. Selain itu sektor pertanian merupakan sektor yang akan melindungi kelompok miskin khususnya yang ada di pedesaan.
148 Tujuan yang kedua dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. Hasil analisis pendugaan parameter yang dilakukan, khususnya pada persamaan kemiskinan di perkotaan dan pedesaan memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, penambahan belanja pemerintah di sektor jasa dan peningkatan stok pangan nasional. Karena dari hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. 2. Kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan peningkatan kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian. Karena dari hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di pedesaan. Sedangkan untuk inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan angka kemiskinan di pedesaan. Dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan juga diperoleh beberapa hasil penting yang berkaitan dengan tujuan utama penelitian, yaitu tentang harga komoditas pertanian, produksi pertanian dan investasi di sektor pertanian. Harga komoditas pertanian merupakan faktor penting dalam menekan angka kemiskinan di pedesaan. Sementara itu, dari parameter dugaan diperoleh hasil bahwa harga komoditas pertanian secara positif hanya dipengaruhi oleh inflasi. Namun harga komoditas ini dipengaruhi secara negatif oleh produksi pertanian yang berlebih, nilai tukar dan impor komoditas pertanian. Maka dari itu, kebijakan impor
149 komoditas pertanian yang tidak diperhitungkan secara matang, justru akan menambah angka kemiskinan khususnya di pedesaan. Pada persamaan produksi pertanian, dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa produksi pertanian d ipengaruhi secara positif dari peubah penelitian, kredit, pengalokasian lahan untuk pertanian, mekanisasi dan peningkatan investasi di sektor pertanian. Pada persamaan tersebut subsidi pupuk justru berpengaruh negatif terhadap produksi pertanian, hal ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyelewengan dalam pro ses distribusi pupuk bersubsidi dan penggunaan pupuk di tingkat petani sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan. Investasi pertanian secara positif dipengaruhi oleh harga komoditas pertanian, tenaga kerja pertanian dan pendapatan disposibel, sedangkan tingginya suku bunga domestik dan adanya krisis ekonomi terbukti memberikan dampak yang negatif terhadap investasi di sektor pertanian. Tujuan yang ketiga dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Dari hasil simulasi kebijakan yang dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan penting yaitu sebagai berikut : 1. Kebijakan yang berdampak pada penurunan angka kemiskinan total antara lain adalah kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, kebijakan pengurangan subsidi pupuk sebesar 25 persen, kebijakan penambahan luasan areal irigasi sebanyak 10 persen, peningkatan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen, pengurangan impor komoditas pertanian sebesar 50 persen, peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 25 persen,
150 peningkatan belanja pemerintah disektor pertanian sebesar 20 persen, peningkatan pajak impor dan peningkatan pajak ekspor masing-masing sebesar 25 persen, peningkatan upah riil sebesar 10 persen serta menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen. Namun untuk kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian, penambahan luas areal dan kebijakan kredit sektor pertanian ternyata hanya mampu mengurangi kemiskinan di pedesaan. 2. Kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal dan peningkatan kredit pertanian masing-masing 10 persen, serta menurunkan suku bunga sebesar 2 persen merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas pertanian sebesar 1.97 persen.
7.2.
Implikasi Kebijakan
1. Dalam upaya pengentasan kemiskinan perlu diperhatikan beberapa faktor ekonomi yang sensitif terhadap peningkatan pendapatan dan upaya pemenuhan kebutuhan pangan. Apabila ingin melakukan sebuah strategi penanggulangan kemiskinan, maka yang perlu diperhatikan adalah masalah pengendalian harga dan tidak hanya terfokus pada target peningkatan jumlah produksi pertanian. 2. Peningkatan anggaran riset perlu dilakukan, karena dengan peningkatan riset akan diperoleh hasil produksi pertanian yang lebih baik secara kuantitas
151 maupun kualitas, sehingga hasil produksi pertanian lokal memiliki daya saing yang tinggi di pasar domestik maupun internasional. 3. Sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan perlu dilakukan pendekatan multisektor yang saling terkait. Kebijakan pengendalian stabilitas moneter dan fiskal juga harus diperhatikan, guna menghindari adanya goncangan ekonomi secara mendadak, sehingga upaya penanggulangan kemiskinan di pedesaan maupun di perkotaan, baik melalui kebijakan perbaikan produksi, harga, investasi dan kebijakan lainnya bisa berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adjid,
A. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Pembangunan Pertanian Berencana. Orba Shakti, Bandung.
Dalam
Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia . Penerbit Kompas, Jakarta. _______ . 2005. Pembangunan Pertanian, Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Grasindo, Jakarta. Asnawi. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Indonesia . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005. Penanggulangan Kemiskinan. Bappenas, Jakarta.
Strategi
Nasional
Caves, R.E. dan R. W. Jones. 1981. World Trade and Payments : An Introduction. Little, Brawn and Company, Boston. Darmansyah, S. 2003. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Kinerja Ekonomi Tanaman Pangan Indonesia : Suatu Pendekatan Multi Komoditi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ekelund R.B. dan R.D. Tollison. 1996. Economics : Private Markets and Public Choice. Addison-Wesley Publishing Company, Inc ., New York. Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Development Countries. Cambridge University Press, Cambridge. Glahe, F.R. 1977. Macroeconomics : Theory and Policy. Harcourt Brace Jovanovich, Inc ., New York. Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Heinz, K. 1988. Politik dan Kebijakan Pembangunan Obor Indonesia, Jakarta.
Pertanian.
Yayasan
Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia Analisis Dekomposisi Sis tem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Intriligator, M. D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc., New Jersey.
153
Irawan, B. 2001. Pencadangan Lahan Pertanian di Jawa. Bulletin Agro Ekonomi, 1(2) : 1-6. Jayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Ketahanan Pangan Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jhingan, M. L. 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan. Rajawali Pers, Jakarta. Kelompok Kerja Propenas. 2002. Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan. Kelompok Kerja Propenas , Jakarta Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd ., London. Mahasin, A. 1989. Pola Gerakan Pinggiran. Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Mellor, J.W. dan R. Ahmed. 1988. Agricultural Price Policy for Developing Countries. The Johns Hopkins University Press, London. Mitchel, M. 1985. Agricultural and Policy : Methodology for The Analysis Developing Country Agricultural Sectors . The Abdul Hameed Shoman, Amman by Ithaca Press, London. Mubyarto. 1986. Pengantar Ekono mi Pertanian. Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Mulyono . 2000 . Peramalan Bisnis dan Ekonometrika. Edisi Pertama. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta. Nasution, M. 1992. Keragaan Koperasi Unit Desa Sebagai Organisasi Ekonomi Pedesaan. Inkop No. 10 Tahun 1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi, Departemen Koperasi, Jakarta. Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy. Food and Agriculture Organization dan John Wiley and Son, Chichester. Prawira, S.M. 2004. Pergeseran Tenaga Kerja Sektor Pertanian. Makalah Workshop “Upaya strategis mengurangi kemiskinan di pertanian” Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecast. Third Edition. McGraw-Hill Inc., New York.
154
Quizon, J. dan H. Binswanger.1999. Modeling the Impact of Agricultural Growth and Government Policy on Income Distribution in India. World Bank Economic Review, 1(1): 103 -148. Rajasa, H. 2002. Sambutan Menteri Riset dan Teknologi pada Seminar Nasional Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia. Malang 3-4 Mei 2002, Malang.
Ravallion, M. dan G. Datt. 1996. Farm Productivity and Rural Poverty In India . Food Consumption and Nutrition Division, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Rogers, M. 1983. Diffusion of Macmillan Publisher. London.
Innovations.
Third
Edition.
Collier
Sanim, B. 1996. Transformasi Pertanian Tradisional Menuju Pertanian Industri Menghadapi Pasar Bebas. Prosiding Diskusi Panel Media Massa dan Pertanian, November 1996, Jakarta. Sanim, B. dan A. Satria. 1995. Agribusiness and Agroindustry Approach : Supporting Sustainable Regional Development and Transmigration Settlements in Indonesia. Departemen Transmigrasi dan PPH, Jakarta. Silitonga, C., D.J. Rachbini, M.H. Sawit dan A. Pakpahan. 1995. Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Simatupang, P. 1999. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Kembali Perekonomian Indonesia. Workshop Konsep dan Program Restrukturisasi Perbankan dan Koperasi dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia, Jakarta. ____________. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, Bogor. ____________. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk Kepada Petani. Harian Kompas, 19 Mei 2004, Jakarta. Sitepu,
R.K. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sitorus, F. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan PT. Grasindo, Jakarta.
di Indonesia.
155
Sumarto, S., A. Suryahadi, dan A. Arifianto. 2004. Tata Kelola Pemerintah dan Penanggulangan Kemiskinan, Bukti-Bukti Awal Desentralisasi di Indonesia. Kertas Kerja Semeru, Jakarta. Sumodiningrat, G. 1999. Ekonometrika : Pengantar. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta. Timmer, C. 1997. How Well do the Poor Connect to the Growth Process. CAER Discussion Paper No. 178, Harvard Institute for International Development, Cambridge. Todaro, M.P. 1999. Pembangunan Ekonomi Negara Dunia Ke Tiga. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. UNDP. 1991. Agriculture Extension : Program Advisory Note. United Nation Development Program, New York. United Nation. 2002. Sustainable Social Development in a Period of Rapid Globalization. United Nation, New York. Warr, P.G. dan W.T. Wang. 1999. Poverty, Inequality and Economic Growth in Taiwan. The Political Economy of Development in Taiwan, Essays in Memory of John C. H. Fei. Edward Elgar, London. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
157 Lampiran 1. Program Model Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia /* **************************************** */ /* ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN */ /* PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN */ /* KEMISKINAN BERAS DI INDONESIA */ /* DIOLAH DENGAN PROGRAM SAS V.8.2 */ /* **************************************** */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA ANALISIS; SET ANALISIS; /* **************************************** */ /* Proses Pembuatan Nama Peubah Baru dan */ /* lag endogenous variabel */ /* **************************************** */ PROAR=(PROA/IHK)*100; INVAR =(INVA/IHK)*100; EXAR =(EXA/IHK)*100; IMAR =(IMA/IHK)*100; GEAR =(GEA/IHK)*100; MSR =(MS/IHK)*100; KAR =(KA/IHK)*100; WOILR =((WOIL*ER)/IHK)*100; CRER =(CRE/IHK)*100; RISR =(RIS/IHK)*100; SUBFR =(SUBF/IHK)*100; WPAR =(WPA/IHKD)*100; TAXIR =(TAXI/IHK)*100; INVTR =(INVT/IHK)*100; TAXER =(TAXE/IHK)*100; WAGER =(WAGE/IHK)*100; GESR =(GES/IHK)*100; TTAXR =(TTAX/IHK)*100; GEMR =(GEM/IHK)*100; FCONR =(FCON/IHK)*100; TPOV = UPOV+RPOV; GDPT = GDPA+GDPN; LPROAR = LAG(PROAR); LINVAR = LAG(INVAR); LLABA = LAG(LABA); LPA = LAG(PA); LEXAR = LAG(EXAR); LIMAR = LAG(IMAR); LUPOV = LAG(UPOV); LRPOV = LAG(RPOV); LSPN = LAG(SPN); LGEAR = LAG(GEAR); LGDPA = LAG(GDPA); LTTAXR = LAG(TTAXR); LGR = LAG(GR); LFCONR = LAG(FCONR);
158
/* Cara Pembuatan Nama Pada Peubah */ Label PROAR = 'Produksi Pertanian' PA = 'Indeks Harga Pertanian' LA = 'Pengalokasian Lahan Pertanian' IRI = 'Luasan Lahan Irigasi' CRER = 'Kredit Pertanian' MEC = 'Mekanisasi Pertanian' SUBFR = 'Subsidi Pupuk' LABA = 'Tenaga Kerja Pertanian' INVAR = 'Investasi Pertanian' RISR = 'Penelitian' PA = 'Indeks Harga Pertanian' WPAR = 'Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia' IRD = 'Suku Bunga Domestik' WAGER = 'Tingkat Upah' INF = 'Inflasi' DK = 'Dummy Krisis Ekonomi' ER = 'Nilai Tukar' TAXIR = 'Pajak / Tarif Impor' IMAR = 'Impor Komoditas Pertanian' EXAR = 'Ekspor Komoditas Pertanian' TAXER = 'Pajak Ekspor' IHEA = 'Indeks Harga Ekspor Komoditas Pertanian' IHIA = 'Indeks Harga Impor Komoditas Pertanian' WOILR = 'Harga Minyak Dunia' KAR = 'Modal Sektor Pertanian' INVTR = 'Investasi Total' TW = 'Trend Waktu' UPOV = 'Kemiskinan di Perkotaan' EGRO = 'Pertumbuhan Ekonomi Nasional' GESR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Jasa' GEMR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Industri' SPN = 'Stok Pangan Nasional' POP = 'Populasi Penduduk' RPOV = 'Kemiskinan di Pedesaan' GEAR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian' TPOV = 'Kemiskinan Total' GR = 'Penerimaan Pemerintah' GDS = 'Stok Hutang Pemerintah' TTAX = 'Pajak Total' GDPT = 'GDP Total' GDPA = 'GDP Pertanian' GDPN = 'GDP Non-Pertanian' FCONR = 'Konsumsi untuk Pertanian' MSR = 'Penawaran Uang' YD = 'Pendapatan Disposibel' LPROAR= 'Produksi Pertanian t-1' LINVAR= 'Investasi Pertanian t-1' LLABA = 'Tenaga Kerja Pertanian t-1' LPA = 'Indeks Harga Pertanian t-1' LSPN = 'Stok Pangan Nasional t-1' LEXAR = 'Ekspor Komoditas Pertanian t-1' LIMAR = 'Impor Komoditas Pertanian t-1' LUPOV = 'Kemiskinan di Perkotaan t-1' LRPOV = 'Kemiskinan di Pedesaan t-1' LGEAR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian t-1'
159 LGDPA = LGR = LTTAXR= LFCONR=
'GDP Sektor Pertanian t-1' 'Penerimaan Pemerintah t-1' 'Total Pajak t-1' 'Konsumsi untuk Pertanian t-1';
PROC SYSLIN DATA=ANALISIS 2SLS; ENDOGENOUS PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR FCONR MSR INF TTAXR TPOV GDPT GDPA; INSTRUMENTS LA IRI CRER RISR MEC SUBFR WPAR IRD ER TAXIR TAXER IHEA IHIA WAGER EGRO GESR GEMR INVTR TW WOILR KAR POP GDS GDPA GDPN YD LPROAR LINVAR LLABA LPA LEXAR LIMAR LUPOV LRPOV LSPN LGEAR LGR LGDPA LTTAXR LFCONR; MODEL PROAR = LA IRI CRER SUBFR MEC INVAR RISR LPROAR/DW; MODEL INVAR = PA LABA YD IRD DK LINVAR/DW; MODEL LABA = WAGER POP LLABA/DW; MODEL PA = PROAR INF ER IMAR LPA/DW; MODEL EXAR = ER TAXER WPAR IHEA PA PROAR LEXAR/DW; MODEL IMAR = ER TAXIR WPAR IHIA PA SPN LIMAR/DW; MODEL UPOV = WAGER EGRO GESR GEMR SPN INF DK LUPOV/DW; MODEL RPOV = WAGER EGRO GEAR INF PA PROAR DK LRPOV/DW; Model SPN = PROAR EXAR IMAR POP LSPN/DW; MODEL GEAR = INF GR DK LGEAR/DW; MODEL GDPA = LABA GEAR KAR INVAR FCONR LGDPA/DW; MODEL GR = GDS TTAXR WOILR LGR/DW; MODEL TTAXR = GDPT INVTR TW LTTAXR/DW; MODEL FCONR = PROAR YD LFCONR/DW; MODEL MSR = IRD ER GDPT/DW; MODEL INF = GDPT MSR ER DK/DW; IDENTITY TPOV = TPOV; IDENTITY GDPT = GDPT; RUN;
160
Lampiran 2. Hasil Pendugaan Parameter Model Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PROAR PROAR Produksi Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
8 10 18
3.2955E9 64731351 3.3602E9
4.1194E8 6473135
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
2544.23565 32436.3813 7.84377
F Value
Pr > F
63.64
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.98074 0.96532
Parameter Estimates Variable Intercept LA IRI CRER SUBFR MEC INVAR RISR LPROAR
Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label 1 1 1 1 1 1 1 1 1
-6830.79 2.790628 -14.8022 0.705835 -4.75941 4.975E-7 0.095814 88.67491 0.133007
64920.80 1.082890 11.47249 0.243188 3.364273 7.788E-7 0.037477 39.03601 0.225112
-0.11 2.58 -1.29 2.90 -1.41 0.64 2.56 2.27 5.03
0.9183 0.0276 0.2260 0.0158 0.1875 0.5373 0.0285 0.0464 0.0005
Intercept Pengalokasian Lahan Pertanian Luasan Lahan Irigasi Kredit Pertanian Subsidi Pupuk Mekanisasi Pertanian Investasi Pertanian Penelitian Produksi Pertanian t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.782879 19 0.09829
161
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
INVAR INVAR Investasi Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 12 18
3.785E10 1.2805E9 3.913E10
6.3084E9 1.0671E8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
10330.1530 98938.6119 10.44097
F Value
Pr > F
59.12
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.96728 0.95091
Parameter Estimates Variable Intercept PA LABA YD IRD DK LINVAR
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -1394.14 7101.627 442.6767 0.017501 -1725.93 -21396.8 0.880448
89332.68 40615.68 1166.158 0.067114 523.3446 12933.62 0.206160
-0.02 0.17 0.38 0.26 -3.30 -1.65 4.27
0.9878 0.8641 0.7109 0.7987 0.0064 0.1240 0.0011
Intercept Indeks Harga Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Pendapatan Disposibel Suku Bunga Domestik Dummy Krisis Ekonomi Investasi Pertanian t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.3386 19 -0.17606
162
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LABA LABA Tenaga Kerja Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 15 18
60.50900 47.64805 108.1570
20.16967 3.176536
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.78228 39.10368 4.55784
F Value
Pr > F
6.35
0.0054
R-Square Adj R-Sq
0.55945 0.47135
Parameter Estimates Variable Intercept WAGER POP LLABA
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 15.48181 -0.00001 0.005296 0.667044
7.157994 6.282E-6 0.026398 0.162823
2.16 -2.25 0.20 4.10
0.0471 0.0401 0.8437 0.0010
Intercept Tingkat Upah Populasi Penduduk Tenaga Kerja Pertanian t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.858137 19 -0.52595
163
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PA PA Indeks Harga Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 13 18
3.105422 0.050978 3.156400
0.621084 0.003921
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.06262 2.30547 2.71620
F Value
Pr > F
158.38
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.98385 0.97764
Parameter Estimates Variable Intercept PROAR INF ER IMAR LPA
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 1.265338 -0.00001 0.000275 -6.4E-6 -0.00002 0.655699
0.749087 6.738E-6 0.001927 0.000019 0.000060 0.255540
1.69 -1.75 1.14 -0.34 -1.84 2.57
0.1150 0.1032 0.1887 0.7364 0.0931 0.0235
Intercept Produksi Pertanian Inflasi Nilai Tukar Impor Komoditas Pertanian Indeks Harga Pertanian t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.631848 19 0.182467
164
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
EXAR EXAR Ekspor Komoditas Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 11 18
415549.5 31816.31 447365.8
59364.21 2892.391
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
53.78096 350.64849 15.33757
F Value
Pr > F
20.52
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.92888 0.88362
Parameter Estimates Variable Intercept ER TAXER WPAR IHEA PA PROAR LEXAR
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -272.388 0.013962 -25.5735 0 .610861 -0.10084 2.841887 0.014488 0.230864
695.3392 0.017885 28.15181 2.401944 0.507097 190.0826 0.008885 0.286831
-0.39 0.78 -1.71 0.25 -0.20 0.01 1.63 0.80
0.7027 0.4515 0.1031 0.8039 0.8460 0.9883 0.1312 0.4379
Intercept Nilai Tukar Pajak Ekspor Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia Indeks Harga Ekspor Komoditas Pertanian Indeks Harga Pertanian Produksi Pertanian Ekspor Komoditas Pertanian t -1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.955595 19 0.010078
165
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
IMAR IMAR Impor Komoditas Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 11 18
3899300 697789.8 4597090
557042.8 63435.44
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
251.86393 946.58752 26.60757
F Value
Pr > F
8.78
0.0009
R-Square Adj R-Sq
0.84821 0.75162
Parameter Estimates Variable Intercept ER TAXIR WPAR IHIA PA SPN LIMAR
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 879.4443 0.031060 0.033715 -0.65963 -13.8746 703.5177 -0.41307 0.766733
3136.021 0.114988 0.117421 20.12889 19.44652 1001.247 0.523192 0.363843
0.28 0.27 0.29 -1.03 -0.71 1.70 -0.79 2.11
0.7843 0.7921 0.7794 0.1744 0.4904 0.0969 0.4465 0.0588
Intercept Nilai Tukar Pajak / Tarif Impor Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia Indeks Harga Impor Komoditas Pertanian Indeks Harga Pertanian Stok Pangan Nasional Impor Komoditas Pertanian t- 1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.246432 19 -0.1484
166
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
UPOV UPOV Kemiskinan di Perkotaan
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
8 10 18
107.2736 23.75783 131.0315
13.40921 2.375783
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.54136 10.42474 14.78558
F Value
Pr > F
5.64
0.0067
R-Square Adj R-Sq
0.81869 0.67363
Parameter Estimates Variable Intercept WAGER EGRO GESR GEMR SPN INF DK LUPOV
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 4.786854 -2.72E-6 -0.17378 -0.00007 6.484E-7 -0.00070 0.043954 3.087323 0.358871
9.452587 9.841E-6 0.205971 0.000477 7.675E-7 0.003980 0.054545 2.317313 0.222508
0.51 -1.52 -1.84 -1.14 0.84 -0.18 1.71 1.33 1.61
0.6235 0.1603 0.1186 0.1934 0.4180 0.8641 0.1391 0.2123 0.1379
Intercept Tingkat Upah Pertumbuhan Ekonomi Nasional Belanja Pemerintah di Sektor Jasa Belanja Pemerintah di Sektor Industri Stok Pangan Nasional Inflasi Dummy Krisis Ekonomi Kemiskinan di Perkotaan t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.231885 19 -0.14036
167
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
RPOV RPOV Kemiskinan di Pedesaan
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
8 10 18
515.0311 29.18281 544.2139
64.37889 2.918281
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.70830 21.58053 7.91592
F Value
Pr > F
22.06
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94638 0.90348
Parameter Estimates Variable Intercept WAGER EGRO GEAR INF PA PROAR DK LRPOV
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 38.60594 -0.00003 -0.62783 -3.48965 0.03122 -4.93143 -8.55E-9 1.128666 0.369147
31.52565 0.000016 0.251048 2.587677 0.080075 10.53866 0.000108 2.719989 0.241344
1.22 -1.82 -2.50 -1.35 0.39 -0.47 -1.82 0.41 1.53
0.2488 0.0994 0.0314 0.2072 0.7048 0.6499 0.0916 0.6869 0.1571
Intercept Tingkat Upah Pertumbuhan Ekonomi Nasional Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Inflasi Indeks Harga Pertanian Produksi Pertanian Dummy Krisis Ekonomi Kemiskinan di Pedesaan t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.697835 19 -0.36271
168
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
SPN SPN Stok Pangan Nasional
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 13 18
1784755 197256.8 1982012
356951.0 15173.60
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
123.18117 1582.42105 7.78435
F Value
Pr > F
23.52
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.90048 0.86220
Parameter Estimates Variable Intercept PROAR EXAR IMAR POP LSPN
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 2382.569 0.012027 -0.55683 0.15496 -8.09259 0.429035
3380.251 0.013443 0.751337 0.112348 13.77288 0.323241
0.70 1.89 -0.74 1.38 -0.59 1.33
0.4933 0.0872 0.4718 0.1911 0.5669 0.2073
Intercept Produksi Pertanian Ekspor Komoditas Pertanian Impor Komoditas Pertanian Populasi Penduduk Stok Pangan Nasional t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.857055 19 -0.04963
169
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GEAR GEAR Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 14 18
73.54294 0.652075 74.19501
18.38573 0.046577
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.21582 4.11482 5.24485
F Value
Pr > F
394.74
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99121 0.98870
Parameter Estimates Variable Intercept INF GR DK LGEAR 1
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 0.433816 -0.01676 -5.55E-7 -0.07625 0.886760
0.330251 0.003516 1.099E-6 0.214641 0.051235
1.31 -4.77 -0.50 -0.36 17.31
0.2101 0.0003 0.6218 0.7277 <.0001
Intercept Inflasi Penerimaan Pemerintah Dummy Krisis Ekonomi Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian t-
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.670983 19 -0.35101
170
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GDPA GDPA GDP Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 12 18
1.56E10 5.6964E8 1.617E10
2.6006E9 47470350
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
6889.87303 116236.584 5.92746
F Value
Pr > F
54.78
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.96478 0.94717
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept LABA GEAR KAR INVAR FCONR LGDPA
1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 168296.3 1571.421 25820.63 0.292503 0.601478 1.597047 0.117956
58754.42 1135.617 3518.494 1.608300 0.108389 0.825289 0.113306
2.86 1.38 7.34 0.18 5.55 1.94 1.04
0.0142 0.1916 <.0001 0.8587 0.0001 0.0769 0.3184
Intercept Tenaga Kerja Pertanian Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Modal Sektor Pertanian Investasi Pertanian Konsumsi untuk Pertanian GDP Sektor Pertanian t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.517508 19 -0.32485
171
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GR GR Penerimaan Pemerintah
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 14 18
1.842E11 1.8071E9 1.86E11
4.605E10 1.2908E8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
11361.2976 104073.732 10.91659
F Value
Pr > F
356.76
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99028 0.98751
Parameter Estimates Variable Intercept GDS TTAXR WOILR LGR
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -63583.1 0.965320 0.333305 0.970292 0.775121
18326.69 0.333478 0.324810 0.245780 0.091831
-3.47 2.89 1.03 3.95 8.44
0.0038 0.0118 0.3222 0.0015 <.0001
Intercept Stok Hutang Pemerintah Total Pajak Harga Minyak Dunia Penerimaan Pemerintah t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.572584 19 -0.29649
172
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TTAXR Dependent Variable TTAXR Label Total Pajak Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 14 18
6.8912E9 4.8734E8 7.3786E9
1.7228E9 34809878
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
5899.98969 46619.3304 12.65567
F Value
Pr > F
49.49
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Variable Intercept GDPT INVTR TW LTTAXR
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -12172.5 -0.02700 0.174107 3850.828 0.257616
10099.25 0.048363 0.106998 1715.559 0.279895
-1.21 -0.56 1.63 2.24 0.92
0.2481 0.5854 0.1260 0.0415 0.3730
Intercept GDP Total Investasi Total Trend Waktu Total Pajak t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.346751 19 0.273622
0.93395 0.91508
173
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
FCONR FCONR Konsumsi untuk Pertanian
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 15 18
1.6164E9 81104902 1.6975E9
5.3879E8 5406993
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
2325.29428 26359.7864 8.82137
F Value
Pr > F
99.65
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.95222 0.94266
Parameter Estimates Variable Intercept PROAR YD LFCONR
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -7916.61 0.805522 0.016068 0.046631
6669.115 0.102176 0.008649 0.123383
-1.19 7.88 1.86 0.38
0.2537 <.0001 0.0829 0.7108
Intercept Produksi Pertanian Pendapatan Disposibel Konsumsi untuk Pertanian t-1
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.985057 19 -0.0383
174
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MSR MSR Penawaran Uang
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 15 18
5.5926E9 1.0798E8 5.7006E9
1.8642E9 7198943
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
2683.08462 50206.2499 5.34412
F Value
Pr > F
258.95
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.98106 0.97727
Parameter Estimates Variable Intercept IRD ER GDPT
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -3228.80 -461.775 2.047949 0.133135
2469.693 81.88520 0.238135 0.007054
-1.31 -5.64 8.60 18.87
0.2108 <.0001 <.0001 <.0001
Intercept Suku Bunga Domestik Nilai Tukar GDP Total
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.638961 19 0.179864
175
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
INF INF Inflasi
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 14 18
3461.271 1195.523 4656.794
865.3178 85.39448
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
9.24091 11.83684 78.06908
F Value
Pr > F
10.13
0.0005
R-Square Adj R-Sq
0.74327 0.66992
Parameter Estimates Variable Intercept GDPT MSR ER DK
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -6.41485 0.000349 -0.00284 0.005792 5.857520
9.848071 0.000070 0.000514 0.001578 11.27885
-0.65 5.02 -5.53 3.67 0.52
0.5253 0.0002 <.0001 0.0025 0.6116
Intercept GDP Total Penawaran Uang Nilai Tukar Dummy Krisis Ekonomi
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.898171 19 -0.45036
176 Lampiran 3. Program Validasi Model dan Simulasi Dasar PROC SIMNLIN DATA=ANALISIS STATS SIMULATE OUTPREDICT THEIL OUT=HASIL; ENDOGENOUS
PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA;
INSTRUMENTS LA IRI CRER RISR MEC SUBFR WPAR IRD ER TAXIR TAXER IHEA IHIA WAGER EGRO GESR GEMR INVTR TW WOILR KAR POP GDS GDPA GDPN YD LPROAR LINVAR LLABA LPA LEXAR LIMAR LUPOV LRPOV LSPN LGEAR LGR LGDPA LTTAXR LFCONR; Parm
a0 a5 b0 b5 c0 d0 d5 e0 e5 f0 f5 g0 g5 h0 h5 i0 i5 j0 k0 k5 l0 m0 n0 o0 p0
-6830.79 a1 2.790628 a2 -14.8022 a3 0.705835 a4 -4.75941 4.975E-7 a6 0.095814 a7 88.67491 a8 0.133007 -1394.14 b1 7101.627 b2 442.6767 b3 0.017501 b4 -1725.93 - 21396.8 b6 0.880448 15.48181 c1 -0.00001 c2 0.005296 c3 0.667044 1.265338 d1 -0.00001 d2 0.000275 d3 -6.4E-6 d4 -0.00002 0.655699 -272.388 e1 0.013962 e2 -25.5735 e3 0.610861 e4 -0.10084 2.841887 e6 0.014488 e7 0.230864 879.4443 f1 0.031060 f2 0.033715 f3 -0.65963 f4 -13.8746 703.5177 f6 -0.41307 f7 0.766733 4.786854 g1 -2.72E-6 g2 -0.17378 g3 -0.00007 g4 6.484E-7 -0.00070 g6 0.043954 g7 3.087323 g8 0.358871 38.60594 h1 -0.00003 h2 -0.62783 h3 -3.48965 h4 0.03122 -4.93143 h6 -8.55E-9 h7 1.128666 h8 0.369147 2382.569 i1 0.012027 i2 -0.55683 i3 0.15496 i4 -8.09259 0.429035 0.433816 j1 -0.01676 j2 -5.55E-7 j3 -0.07625 j4 0.886760 168296.3 k1 1571.421 k2 25820.63 k3 0.292503 k4 0.601478 1.597047 k6 0.117956 -63583.1 l1 0.965320 l2 0.333305 l3 0.970292 l4 0.775121 -12172.5 m1 -0.02700 m2 0.174107 m3 3850.828 m4 0.257616 -7916.61 n1 0.805522 n2 0.016068 n3 0.046631 -3228.80 o1 -461.775 o2 2.047949 o3 0.133135 -6.41485 p1 0.000349 p2 -0.00284 p3 0.005792 p4 5.857520;
PROAR = a0 + a1*LA + a2*IRI + a3*CRER + a4*SUBFR + a5*MEC + a6*INVAR + a7*RISR + a8*LPROAR; INVAR = b0 + b1*PA + b2*LABA + b3*YD + b4*IRD + b5*DK + b6*LINVAR; LABA = c0 + c1*WAGER + c2*POP + c3*LLABA; PA = d0 + d1*PROAR + d2*INF + d3*ER + d4*IMAR + d5*LPA; EXAR = e0 + e1*ER + e2*TAXER + e3*WPAR + e4*IHEA + e5*PA + e6*PROAR + e7*LEXAR; IMAR = f0 + f1*ER + f2*TAXIR + f3*WPAR + f4*IHIA + f5*PA + f6*SPN + f7*LIMAR; UPOV = g0 + g1*WAGER + g2*EGRO + g3*GESR + g4*GEMR + g5*SPN + g6*INF + g7*DK + g8*LUPOV; RPOV = h0 + h1*WAGER + h2*EGRO + h3*GEAR + h4*INF + h5*PA + h6*PROAR + h7*DK + h8*LRPOV; SPN = i0 + i1*PROAR + i2*EXAR + i3*IMAR + i4*POP + i5*LSPN; GEAR = j0 + j1*INF + j2*GR + j3*DK + j4*LGEAR; GDPA = k0 + k1*LABA + k2*GEAR + k3*KAR + k4*INVAR + k5*FCONR + k6*LGDPA;
177 GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT
= = = = = = =
l0 + l1*GDS + l2*TTAX + l3*WOILR + l4*LGR; m0 + m1*GDPT + m2*INVTR + m3*TW + m4*LTTAXR; n0 + n1*PROAR + n2*YD + n3*LFCONR; o0 + o1*IRD + o2*ER + o3*GDPT; p0 + p1*GDPT + p2*MSR + p3*ER + p4*DK; UPOV+RPOV; GDPA+GDPN;
range tahun =1984 to 2003; RUN;
178 Lampiran 4. Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements
18 18 100 Tahun 18 18
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
ANALISIS HASIL
Solution Summary Variables Solved Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
18 Tahun 1984 2003 NEWTON 1E-8 7.03E-15 1 19 1
Observations Processed Read Solved Failed
20 19 1
Variables Solved For PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA
179 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1984 To 2003 Descriptive Statistics Variable PROAR INVAR LABA
Actual Mean Std Dev
Predicted Mean Std Dev
N Obs
N
19 19 19
19 19 19
32436.4 98938.6 39.1037
13663.0 46625.5 2.4513
32508.8 99780.3 40.0261
13524.5 46065.7 1.7757
PA
19
19
2.3055
0.4188
2.3665
0.3899
EXAR
19
19
350.6
157.7
351.9
151.4
IMAR
19
19
946.6
505.4
992.4
487.3
UPOV
19
19
5.4728
1.2233
5.4580
1.0372
RPOV
19
19
11.3387
2.5831
11.2392
2.4804
SPN Nasional GEAR
19
19
1582.4
331.8
1575.5
312.1
19
19
3899.0
1312.3
3794.1
811.5
GR
19
19
104074
101655
112184
119597
TTAXR FCONR
19 19
19 19
46619.3 26359.8
20246.5 9711.0
46606.3 26418.1
19705.0 9349.7
MSR INF TPOV GDPT GDPA
19 19 19 19 19
19 19 19 19 19
50206.2 11.8368 16.8115 385759 116237
17796.1 16.0845 3.6175 107254 29975.1
50277.6 11.8748 16.6972 386294 116772
16840.1 11.8793 3.4503 102144 26970.5
Label Produksi Pertanian Investasi Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Indeks Harga Pertanian Ekspor Komoditas Pertanian Impor Komoditas Pertanian Kemiskinan di Perkotaan Kemiskinan di Pedesaan Stok Pangan Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian Penerimaan Pemerintah Pajak Total Konsumsi untuk Pertanian Penawaran Uang Inflasi Kemiskinan Total GDP Total GDP Pertanian
Statistics of fit Variable PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA
Variable PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
RMS Error
RMS % Error
R-Square
19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19
72.4382 841.7 0.9224 0.0610 1.2286 45.7907 -0.0148 -0.0995 -6.9223 -104.9 8109.8 -12.9810 58.2776 71.3187 0.0380 -0.1143 535.6 535.6
0.6292 2.3150 2.5496 2.9642 1.6862 7.9025 0.9083 -0.6991 0.0534 2.8521 -4.3217 -0.6790 1.5391 1.3088 61.0857 -0.5224 0.6602 1.9279
1260.4 6717.0 1.5185 0.0751 33.4897 151.7 0.3836 0.4512 97.2896 815.0 14429.1 3596.0 1979.0 2536.5 5.9118 0.4279 9553.3 9553.3
5.2041 9.4219 4.0239 3.4706 12.0847 19.3031 7.2927 3.8465 6.4913 19.9459 17.7326 8.7533 8.5697 5.9295 105.8 2.3838 2.6828 8.8534
1728.0 7994.8 1.8536 0.0857 42.7789 211.9 0.5619 0.5938 115.9 1203.9 21794.1 4910.6 2619.2 3396.9 8.8399 0.6342 13452.7 13452.7
8.3342 13.6387 5.0448 3.9731 17.1694 25.9386 11.7530 4.8423 8.1211 28.2129 27.7041 12.6745 12.5419 8.2903 280.6 3.4042 4.0751 13.3404
0.9831 0.9690 0.3964 0.9558 0.9223 0.8145 0.7773 0.9442 0.8712 0.1115 0.9515 0.9379 0.9232 0.9615 0.6812 0.9676 0.9834 0.7874
N 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19
Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) 2986127 63917363 3.4360 0.00734 1830.0 44887.5 0.3157 0.3526 13432.3 1449460 4.7498E8 24114269 6860318 11539187 78.1441 0.4022 1.8097E8 1.8097E8
0.99 0.98 0.74 0.99 0.96 0.91 0.88 0.97 0.93 0.40 1.00 0.97 0.96 0.98 0.83 0.98 0.99 0.89
0.00 0.01 0.25 0.51 0.00 0.05 0.00 0.03 0.00 0.01 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.02 0.01 0.00 0.00 0.05 0.68 0.00 0.00 0.03 0.03 0.03 0.10 0.00
1.00 0.99 0.75 0.41 1.00 0.94 0.99 0.97 1.00 0.94 0.19 1.00 1.00 0.97 0.97 0.94 0.90 1.00
0.01 0.00 0.13 0.11 0.02 0.01 0.10 0.03 0.03 0.16 0.64 0.01 0.02 0.08 0.21 0.07 0.14 0.05
Covar (UC) 0.99 0.98 0.63 0.38 0.98 0.95 0.90 0.94 0.97 0.83 0.22 0.99 0.98 0.92 0.79 0.90 0.86 0.95
Inequality Coef U1 U 0.0493 0.0734 0.0473 0.0366 0.1118 0.1986 0.1003 0.0511 0.0718 0.2934 0.1518 0.0970 0.0935 0.0640 0.4504 0.0369 0.0337 0.1123
0.0246 0.0366 0.0234 0.0181 0.0560 0.0978 0.0504 0.0257 0.0360 0.1509 0.0714 0.0486 0.0468 0.0320 0.2442 0.0185 0.0168 0.0562
180 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1984 To 2003 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable
Relative Change Corr N MSE (R)
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA
18 0.00357 18 0.0113 18 0.00210 18 0.00153 18 0.0197 18 0.0513 18 0.0120 18 0.00259 18 0.00644 18 0.1201 18 0.0697 18 0.00964 18 0.0106 18 0.00652 18 0.5950 18 0.00141 18 0.000736 18 0.00759
0.00 0.02 0.19 0.53 0.00 0.08 0.01 0.04 0.00 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.00 0.01
0.91 0.82 0.76 0.38 0.67 0.76 0.92 0.96 0.41 0.67 0.76 0.66 0.82 0.75 0.87 0.98 0.93 0.63
0.02 0.19 0.10 0.08 0.10 0.22 0.26 0.02 0.00 0.02 0.75 0.01 0.01 0.04 0.02 0.18 0.05 0.04
0.98 0.79 0.71 0.39 0.90 0.70 0.73 0.95 1.00 0.97 0.22 0.99 0.99 0.96 0.97 0.77 0.95 0.95
0.00 0.03 0.39 0.02 0.01 0.03 0.46 0.07 0.46 0.09 0.48 0.13 0.05 0.03 0.01 0.25 0.16 0.07
1.00 0.96 0.41 0.45 0.99 0.89 0.53 0.90 0.54 0.91 0.50 0.87 0.95 0.97 0.98 0.70 0.84 0.92
Inequality Coef U1 U 0.3821 0.6055 0.7563 0.9830 0.7549 0.7744 0.4453 0.2697 0.8848 0.7353 0.9951 0.5767 0.5576 0.5772 0.4797 0.2034 0.3000 0.7437
0.1932 0.2923 0.4329 0.3851 0.3915 0.3637 0.2628 0.1397 0.6020 0.4140 0.3962 0.3090 0.2967 0.2992 0.2476 0.1072 0.1582 0.4159