ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Danny Nur Febrianica 115020107111012
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul : ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA
Yang disusun oleh : Nama
:
Danny Nur Febrianica
NIM
:
115020107111012
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
:
S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 16 Januari 2015.
Malang, 16 Januari 2015 Dosen Pembimbing,
Devanto S. Pratomo, SE., M.Si., MA., Ph.D NIP. 19761003 200112 1 003
Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Kemiskinan di Indonesia Danny Nur Febrianica Devanto Shasta Pratomo, SE., M.Si., MA., Ph.D Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Kebijakan upah minimum merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan dari pekerja, dengan adanya kebijakan upah minimum ini diharapkan dapat memberikan dampak positif kepada pekerja yaitu dapat meningkatkan taraf atau standart hidup pekerja. Namun, berdasarkan teorinya kebijakan upah minimum juga dapat memberikan dampak yang negatif terhadap pekerja yaitu pengurangan penyerapan tenaga kerja, sehingga peneliti mencoba untuk fokus pada dampak kebijakan upah minimum terhadap pekerja (yang memiliki upah) di Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pekerja yang tergolong miskin di Indonesia dan untuk mengetahui dampak kebijakan upah minimum terhadap probabilitas pekerja untuk tergolong miskin atau tidak miskin di Indonesia. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan, sedangkan variabel independennya adalah upah minimum, umur, lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan terakhir (SMP, SMA, Universitas) dan sektor pekerjaan (pertanian, perdagangan dan jasa). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data Sakernas tahun 2012, data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis model regresi respons kualitatif dan analisis datanya menggunakan model probit. Hasil penelitian untuk menjawab rumusan masalah yang pertama menunjukkan bahwa pekerja yang tergolong miskin di Indonesia memiliki karakteristik berada pada umur tua (>66 tahun), memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar, bekerja di sektor pertanian dan jasa, tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan hasil penelitian yang kedua menunjukkan bahwa secara menyeluruh dapat dikatakan bahwa yang memiliki kecenderungan untuk tergolong miskin adalah variabel lokasi tempat tinggal, sektor pekerjaan pertanian, sektor pekerjaan perdagangan dan sektor pekerjaan jasa karena memiliki koefisien positif dan signifikan. Sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk tergolong tidak miskin adalah variabel upah minimum, umur pekerja, tingkat pendidikan terakhir SMP, tingkat pendidikan terakhir SMA dan tingkat pendidikan terakhir Universitas. Kata kunci: Upah Minimum, Miskin, Tidak Miskin.
A. PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan salah satu modal atau faktor terpenting dalam proses produksi. Selain itu tenaga kerja juga dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam penciptaan suatu barang dan jasa untuk memenuhi permintaan konsumen serta kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Simanjuntak (1985:2) mengungkapkan bahwa tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja atau sedang melakukan pekerjaan, penduduk yang sedang mencari pekerjaan dan penduduk yang sedang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga, ketiga kategori tersebut tetap dikatakan sebagai pekerja karena mereka dianggap mampu dan sewaktu-waktu akan dapat bekerja. Setelah tenaga kerja tersebut memberikan jasa kepada perusahaan, maka pihak perusahaan atau pemberi kerja wajib memberikan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan oleh tenaga kerjanya, imbalan tersebut biasa disebut sebagai upah, dimana upah merupakan sumber penghasilan utama pekerja. Namun, dalam pemberian upah ini terkadang terdapat beberapa masalah, seringkali pengusaha memberikan upah yang terlalu rendah kepada pekerja karena pengusaha atau pemberi kerja menganggap upah sebagai beban, dimana semakin tinggi upah yang diberikan kepada pekerja maka semakin rendah keuntungan yang bisa didapat oleh pemberi kerja tersebut.
Dengan fenomena yang terjadi tersebut, maka pekerja menjadi pihak yang dirugikan, karena ia bekerja dengan mendapatkan imbalan yang tidak sesuai, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya tidak akan cukup. Untuk melindungi hak dari pekerja maka pemerintah membuat kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum merupakan salah satu kebijakan ketenagakerjaan yang penting bagi negara maju maupun negara berkembang, termasuk juga Indonesia. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kebijakan upah minimum memiliki tujuan untuk memberikan dampak positif kepada pekerja yaitu untuk meningkatkan taraf hidup pekerja, khususnya pada pekerja yang memiliki upah rendah. Namun, ketika upah minimum mengalami kenaikan sampai diatas tingkat keseimbangan, hal ini dimungkinkan justru dapat menurunkan permintaan tenaga kerja atau penyerapan tenaga kerja, sehingga akan terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja yang akan berdampak pada naiknya tingkat pengangguran dan dapat menaikkan tingkat kemiskinan. Saat ini kemiskinan masih menjadi masalah yang kompleks bagi negara berkembang termasuk juga bagi Indonesia, sehingga masalah kemiskinan ini masih menjadi perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Permasalahan kemiskinan yang terjadi ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya pekerja yang menganggur atau tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran yang terjadi ini mengakibatkan seseorang tidak memperoleh pendapatan yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan hidupnya sehingga masih terdapat penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau dapat dikatakan tergolong miskin. Selain itu kemiskinan yang masih terjadi di Indonesia ini disebabkan oleh rendahnya tingkat upah atau upah berada dibawah standar. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik pekerja yang tergolong miskin di Indonesia? 2. Bagaimana dampak dari kebijakan upah minimum terhadap probabilitas pekerja untuk menjadi miskin atau tidak miskin di Indonesia?
B. TINJAUAN PUSTAKA Teori Ketenagakerjaan Menurut Simanjuntak (1985:1), sumber daya manusia atau human resources memiliki dua pengertian yaitu yang pertama, sumber daya manusia berarti usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan oleh pekerja untuk mendukung proses produksi. Hal ini berarti bahwa sumber daya manusia mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seorang pekerja dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Kedua, sumber daya manusia mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai-nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara fisik, kemampuan bekerja diukur dengan umur, hal ini berarti bahwa orang yang sedang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja atau melakukan pekerjaan. Kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau manpower. Singkatnya, tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja (working age population). Teori Upah Pengertian upah menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No.13 Tahun 2000, Bab I, Pasal 1, Ayat 30 adalah: “Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau yang akan dilakukan.” Simanjuntak (1985:110) mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip dari sistem pengupahan adalah: 1. Mampu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya; 2. Mencerminkan suatu bentuk imbalan yang diberikan kepada pekerja atas jasa yang diberikan kepada perusahaan; 3. Pemberian insentif yang dapat mendorong peningkatan produktivitas kerja dari pekerja dan pendapatan nasional.
Masalah Pengupahan Berdasarkan pendapat dari Simanjuntak (1985:112-113), terdapat beberapa permasalahan dalam sistem pengupahan di Indonesia, antara lain adalah: 1. Perbedaan persepsi antara pengusaha dan pekerja. Dalam masalah ini pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja pada umumnya memiliki perbedaan persepsi dan kepentingan dalam hal upah. Bagi pengusaha, upah dianggap sebagai beban, dimana semakin besar upah yang diberikan kepada pekerja maka akan semakin kecil keuntungan yang didapat oleh pengusaha, selain itu upah tidak hanya dalam bentuk uang tunai, tetapi juga segala sesuatu yang diberikan pengusaha kepada pekerjanya, seperti tunjangan beras, transportasi, kesehatan, konsumsi yang diberikan ketika pekerja sedang melaksanakan tugas, tunjangan saat libur, cuti dan sakit, fasilitas rekreasi dan lain sebagainya atau biasa disebut dengan natura dan fringe benefits. Sedangkan pekerja menganggap bahwa upah merupakan imbalan yang diberikan pengusaha kepada pekerja hanya dalam bentuk uang (takehome pay). 2. Keanekaragaman sistem pengupahan Besarnya proporsi upah dalam bentuk natura dan fringe benefits pada tiap-tiap perusahaan tidak sama, sehingga hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesulitan dalam perumusan kebijakan nasional, misalnya seperti dalam penentuan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur dan lain sebagainya. 3. Rendahnya tingkat upah Pada saat ini, masih banyak terdapat karyawan yang memiliki penghasilan rendah, bahkan lebih rendah dari kebutuhan fisik minimumnya, sehingga pekerja tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Kebijakan Upah Minimum Upah minimum adalah penerimaan bulanan minimum atau terendah sebagai imbalan yang diberikan oleh pengusaha atau pemberi kerja kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik untuk karyawan sendiri maupun untuk keluarganya. Sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 8/1981, upah minimum dapat ditetapkan secara minimum regional, sektoral regional maupun maupun subsektoral, namun saat ini baru upah minimum regional yang dimiliki oleh setiap daerah. Pada dasarnya upah minimum terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, namun dalam peraturan pemerintah yang diatur secara jelas hanya upah pokok yang tidak termasuk tunjangan, hal ini menyebabkan sering terjadinya kontroversi diantara pengusaha dan pekerja. Tunjangan tetap merupakan tunjangan yang diberikan pengusaha kepada pekerjanya secara tetap dan tanpa melihat tingkat kehadiran pekerja tersebut ataupun output yang dihasilkan, hal yang dimaksud seperti misalnya tunjangan keluarga tetap dan tunjangan yang berdasar pada senioritas (Pratomo dan Saputra, 2011). Dampak Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Seperti yang terlihat pada Gambar 1, pada awalnya keseimbangan pasar kerja berada pada tingkat upah sebesar w* dengan jumlah tenaga kerja E*. Kemudian pemerintah menerapkan kebijakan upah minimum yang berada di atas keseimbangan pasar yaitu sebesar w. Disini terdapat asumsi yang berlaku yaitu bahwa kebijakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah tersebut berlaku untuk semua tenaga kerja yang berada di negara tersebut tanpa perkecualian. Sebagai dampaknya, adanya kenaikan upah minimum tersebut menyebabkan penurunan terhadap penyerapan tenaga kerja dari E* menjadi Ē, selain itu kenaikan upah minimum juga menyebabkan sejumlah tenaga kerja (E*- Ē) pada akhirnya harus keluar dari pekerjaan mereka dan menjadi pengangguran. Selain itu, upah yang lebih tinggi karena terjadi peningkatan upah minimum ini akan mendorong seseorang untuk memasuki pasar kerja. Pekerja pada E s ingin dipekerjakan, jadi pekerja Es-E* yang masuk pada pasar kerja, tidak dapat menemukan pekerjaan dan mereka menjadi pengangguran. Tingkat pengangguran bisa tergantung pada tingkat upah minimum serta elastisitas penawaran dan permintaan tenaga kerja. Kehilangan pekerjaan atau pengangguran yang dimaksudkan dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya peningkatan pada kemiskinan.
Gambar 1: Dampak Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Dollars
S w w*
D Ē
E*
Es
Employment
Sumber: Borjas. 2008.
Dampak Upah Minimum terhadap Sektor Formal dan Informal Sebagai pengembangan dari model kompetitif diatas, maka diasumsikan bahwa terdapat dua sektor di dalam ekonomi yaitu sektor formal (sektor yang dilindungi oleh kebijakan upah minimum) dan sektor informal (sektor yang tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum); disini diasumsikan perpindahan yang sempurna antara sektor formal dan sektor informal. Adanya penetapan kebijakan upah minimum akan mengurangi permintaan tenaga kerja di sektor formal. Kelebihan penawaran tenaga di sektor formal ini akan diserap oleh sektor informal yang tingkat upahnya tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum, sehingga kelebihan penawaran tenaga kerja ini akan mengakibatkan sektor informal menurunkan tingkat upah. Jika pangsa kerja di sektor informal lebih rendah, maka dampak distribusi pendapatannya akan memburuk. Seperti yang dapat kita lihat pada gambar 2, sebelum adanya kebijakan upah minimum, upah di sektor formal dan informal diasumsikan sama yaitu pada tingkat w* ( pada perpotongan yang terjadi pada kurva penawaran Sc dan kurva permintaan Dc pada sektor formal, dan pada kurva penawaran Su dan kurva permintaan Du pada sektor informal). Dengan adanya kenaikan upah minimum menyebabkan tingkat upah pada pasar tenaga kerja formal yang awalnya sebesar w* pada akhirnya mengalami kenaikan menjadi w, hal ini menyebabkan jumlah pekerja yang pada awalnya sebesar Ec berkurang menjadi Ē, sehingga ada beberapa pekerja yang terpaksa kehilangan pekerjaannya (Ec- Ē). Dalam model dual sektor, pekerja yang kehilangan pekerjaannya disektor formal akan berpindah menuju pasar kerja di sektor informal. Kelebihan penawaran pekerja di sektor formal yang menyebabkan peningkatan penawaran pekerja di sektor informal ini (E u menjadi E’u) menyebabkan pergeseran kurva penawaran pekerja di sektor informal dari S u menjadi S’u, sehingga tingkat upah pada sektor informal mengalami penurunan. Ketika pekerja sektor informal berpindah ke sektor formal maka hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran kurwa penawaran pekerja di sektor informal menjadi S”u, jumlah pekerja turun menjadi E”u dan tingkat upah di pasar informal mengalami kenaikan.
Gambar 2: Dampak Upah Minimum terhadap Sektor Formal dan Informal
(Bila pekerja bermigrasi ke sektor formal)
Dollars
w*
Dollars
S”u
Sc
Su
w
(Bila pekerja bermigrasi ke sektor informal)
S’u w*
Dc Ē a.
Ec
Employment
Sektor Formal (Covered)
Du E”U
EU b.
E’U
Employment
Sektor Informal (Uncovered)
Sumber: Borjas. 2008.
Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang masih sering dijumpai di beberapa negara yang sedang berkembang, begitu juga yang masih terjadi di Indonesia. Pada prinsipnya kemiskinan menggambarkan kondisi dimana terjadi ketiadaan kepemilikan dan rendahnya tingkat pendapatan, atau kemiskinan ini menggambarkan suatu kondisi dimana tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, papan dan sandang. Seperti yang disebutkan oleh BPS bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (Febriana, 2010). Kemiskinan yang dialami oleh seseorang atau penduduk ini memiliki kaitan dengan pencapaian tingkat kesejahteraannya. Terjadinya kemiskinan ini merupakan suatu tanda bahwa kesejahteraan individu yang tidak dapat tercapai. Untuk dapat melihat tingkat kesejahteraan tersebut, maka ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yaitu (Febriana, 2010): 1. Pendekatan absolute Pendekatan absolute ini melihat batas minimum yang harus dimiliki untuk dapat mencapai kebutuhan minimum suatu keluarga. Suatu keluarga dapat dikatakan miskin apabila keluarga atau penduduk tersebut tidak memiliki penghasilan atau tidak mencapai batasan minimum yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan pendekatan absolute ini maka akan dapat diketahui jumlah keluarga miskin. 2. Pendekatan relatif Pendekatan relatif ini digunakan untuk membandingkan antara pendapatan seseorang atau rumah tangga dengan rata-rata pendapatan populasi. Pendekatan ini lebih untuk melihat pada adanya ketidakseimbangan pendapatan. 3. Pendekatan kebutuhan dasar Pendekatan yang dicetuskan oleh Towsend ini menekankan pada dua unsur penting, yaitu: (1) kemiskinan diartikan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan subsisten akan pangan, sandang, papan dan barang-barang rumah tangga tertentu. (2) pendapatan tersebut juga tidak bisa digunakan untuk memenuhi jasa-
jasa penting lainnya, seperti air minum yang sehat, sanitasi, transportasi umum, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Pendekatan kebutuhan dasar ini dapat dikatakan lebih lengkap apabila dibandingkan dengan kebutuhan absolut dan kebutuhan relatif, karena pendekatan kebutuhan dasar ini lebih menekankan kepada pemenuhan kebutuhan, dimana hal tersebut berbeda-beda tergantung pada tempat dan waktunya. Pengukuran Kemiskinan Seseorang dapat dikatakan miskin apabila pengeluaran per kapita (atau pendapatannya) berada di bawah garis kemiskinan. Perhitungan penduduk berdasarkan kebutuhan dasar (basic needs) melalui pendekatan pendapatan rata-rata perkapita merupakan metode perhitungan penduduk miskin yang dilakukan oleh BPS. Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS adalah pengeluaran konsumsi pangan untuk memenuhi energi minimum sebanyak 2100 kalori per kapita per hari dan pengeluaran minimal yang dikeluarkan untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Menurut Haughton dan Khandker (2009:22-25) dalam mengukur kemiskinan terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan pendapatan dan pengeluaran. Pendapatan rumah tangga menarik untuk digunakan dalam mengukur kesejahteraan rumah tangga. Rumus untuk pengukuran pendapatan adalah Pendapatan= Konsumsi + perubahan kekayaan bersih. Sedangkan pengukuran kemiskinan melalui pengeluaran konsumsi yaitu meliputi barang dan jasa yang dibeli dan yang disediakan dari produksi sendiri. Di negara maju, konsumsi merupakan indikator kesejahteraan seumur hidup yang lebih baik daripada pendapatan. Hubungan Upah Minimum dengan Tingkat Kemiskinan Kenaikan upah minimum dapat memberikan dampak terhadap tingkat kemiskinan. Seperti dalam pendekatan model kompetitif dijelaskan bahwa kenaikan upah minimum yang selalu terjadi setiap tahun serta kenaikannya yang berada diatas tingkat keseimbangan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap kemiskinan, dimana kenaikan upah minimum ini akan mendorong terjadinya peningkatan penawaran tenaga kerja dan pengurangan penyerapan tenaga kerja, peningkatan penawaran tenaga kerja yang tidak diimbangi oleh penyerapan tenaga kerja ini akan menimbulkan kelebihan penawaran tenaga kerja dan ini akan dapat meningkatkan tingkat pengangguran yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi kemiskinan. Sedangkan berdasarkan pada model dual sektor kenaikan upah minimum ini juga memiliki dampak terhadap pekerja di sektor informal. Kelebihan penawaran tenaga kerja di sektor formal sebagai akibat kenaikan upah minimum ini akan diserap oleh sektor informal, sehingga perpindahan pekerja dari sektor formal ke sektor informal ini akan menyebabkan turunnya tingkat upah di sektor informal. Dapat diketahui bahwa di sektor informal banyak pekerja yang berkategori miskin, sehingga penurunan tingkat upah di sektor informal sebagai respon kenaikan upah minimum di sektor formal ini dapat menambah jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Kerangka Pikir Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi atau input terpenting, karena tenaga kerja telah memberikan jasanya, maka pihak perusahaan wajib memberdayakannya dengan memberikan upah yang sesuai dan layak sebagai imbalan. Namun, karena pengusaha menganggap upah adalah sebagai beban, maka terkadang pengusaha memberikan upah dibawah kebutuhan hidup minimum pekerja. Dengan melihat fenomena seperti ini, pemerintah membuat kebijakan upah minimum yang salah satu tujuannya untuk melindungi kepentingan pekerja. Namun, kebijakan upah minimum tidak hanya memberikan dampak positif yaitu meningkatkan taraf hidup pekerja, namun juga dampak yang negatif yaitu pengusaha melakukan pengurangan terhadap penyerapan tenaga kerja. Sehingga peneliti ingin melihat bagaimana dampak kebijakan upah minimum terhadap probabilitas pekerja untuk tergolong miskin atau tidak miskin di Indonesia. Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 3: Kerangka Pikir
Tenaga Kerja
Mendapatkan Upah Sebagai Imbalan
Penetapan Kebijakan Upah Minimum
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Formal
Sektor Informal Pengangguran
Kemiskinan
Miskin
Tidak Miskin
Hipotesis Hipotesis merupakan dugaan yang bersifat sementara atas rumusan masalah. Dalam penelitian ini akan dirumuskan hipotesis guna memberikan arah dan pedoman dalam melakukan penelitian. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Diduga bahwa pekerja yang tergolong miskin di Indonesia memiliki karakteristik yaitu pekerja berada pada usia tua, tingkat pendidikan rendah, bekerja di sektor pertanian dan tinggal di daerah pedesaan. 2. Diduga bahwa upah minimum memiliki dampak yang negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia atau dengan kata lain naiknya upah minimum menyebabkan probabilitas pekerja untuk menjadi miskin akan berkurang.
C. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini digunakan untuk melihat dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan upah minimum terhadap kemiskinan di Indonesia. Pendekatan kuantitatif ini menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variable-variabel penelitian dengan angka-angka dan melakukan analisis data dengan menggunakan prosedur statistik. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dilakukannya penelitian ini adalah di Indonesia. Kemudian waktu yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode tahun 2012. Populasi dan Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang ada di Indonesia dan terdata oleh Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2012 oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Sedangkan total sampel yang diambil untuk penelitian ini adalah pekerja (yang mendapatkan upah) yang tercantum pada data Survey Angkatan Kerja Indonesia (SAKERNAS) pada tahun 2012 yaitu sebesar 191.377 responden. Metode Pengumpulan Data a. Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini berupa literatur, publikasi, laporan dan sumber pendukung lainnya. Dengan sumber utama dari data agregat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012. b. Sumber Data Sumber data untuk penelitian ini diperoleh dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) pada tahun 2012. Survei Angkatan Kerja Nasional adalah survei angkatan kerja reguler di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) sejak awal atau kuartalan tahun 1986, kecuali pada tahun 1995 ketika BPS melakukan Survei Demografi Antar (SUPAS). Tujuan utama dari SAKERNAS adalah untuk mengestimasi dan memonitor statistik angkatan kerja dan karakteristiknya di Indonesia. c. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari SAKERNAS tahun 2012. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini berupa literatur, publikasi, laporan dan sumber pendukung lainnya. Metode Analisis Untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama, maka analisis data yang digunakan adalah metode analisis statistik deskriptif. Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah tersedia secara apa adanya dan tanpa bermaksud untuk menyimpulkan secara umum (Sugiyono, 2009:206). Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua, penelitian ini menggunakan metode analisis yaitu metode kuantitatif. Metode kuantitatif adalah mengolah atau menganalisis data dengan angka-angka atau rumus-rumus perhitungan tertentu, untuk kemudian dianalisis sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2009:12), metode kuantitatif adalah metode dimana data penelitiannya berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Sedangkan untuk analisis datanya yang digunakan dalam melakukan penelitian ini, karena variabel dependen yang terikat yaitu kemiskinan bersifat kualitatif/ dummy atau termasuk dalam binary logistic maka alat atau model yang digunakan adalah menggunakan probit. Model probit merupakan model estimasi yang berasal dari CDF normal, dimana CDF (cumulative distribution function) atau fungsi distribusi kumulatif ini digunakan untuk menjelaskan pola dari sebuah variabel dependen dikotomi (Gujarati, 2012:202-203). Model probit ini digunakan untuk melihat bagaimana dampak dari kebijakan upah minimum terhadap
probabilitas seseorang/ pekerja untuk dikategorikan miskin atau tidak miskin. Adapun bentuk model ekonometriknya dapat dituliskan sebagai berikut :
dimana: Poor adalah sama dengan 1 ketika pekerja termasuk dalam kategori miskin dan sama dengan 0 ketika pekerja tidak termasuk dalam kategori miskin. Sedangkan untuk variabel independennya yaitu: - X1 adalah upah minimum pada setiap provinsi atau kabupaten/ kota di Indonesia. Apabila provinsi yang bersangkutan menerapkan Upah Minimum Provinsi maka yang dipakai adalah UMP. Apabila provinsi yang bersangkutan menerapkan Upah Minimum Kota/ Kabupaten maka yang dipakai adalah UMK. Upah minimum diukur menggunakan log untuk melihat elastisitas. - X2 adalah umur pekerja. Umur pekerja merupakan variabel continous yang diukur dengan satuan tahun. - D1 adalah lokasi tempat tinggal yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila perkotaan dan sama dengan 0 apabila pedesaan (1=perkotaan dan 0=pedesaan). - D2 adalah tingkat pendidikan SMP yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila SMP dan sama dengan nol apabila lainnya (1=SMP dan 0=lainnya). - D3 adalah tingkat pendidikan SMA yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila SMA dan sama dengan nol apabila lainnya (1=SMA dan 0=lainnya). - D4 adalah tingkat pendidikan universitas yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila Perguruan Tinggi dan sama dengan nol apabila lainnya (1=universitas dan 0=lainnya). - D5 adalah sektor pekerjaan pertanian yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila pertanian dan sama dengan 0 apabila di luar sektor pertanian (1=pertanian dan 0= di luar sektor pertanian). - D6 adalah sektor pekerjaan perdagangan yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila perdagangan dan sama dengan 0 apabila di luar sektor perdagangan (1=perdagangan dan 0= di luar sektor perdagangan). - D7 adalah sektor pekerjaan jasa yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana sama dengan 1 apabila jasa dan sama dengan 0 apabila di luar sektor jasa (1=jasa dan 0= di luar sektor jasa). adalah faktor penganggu/ error.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pekerja yang Tergolong Miskin di Indonesia Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu bagaimana karakteristik pekerja yang tergolong miskin di Indonesia. Dengan menggunakan sampel sebanyak 191.377 pekerja yang di dapat dari data Sakernas Tahun 2012, maka dapat diketahui dengan jelas karakteristik pekerja yang tergolong miskin sebagai berikut: Tabel 1: Ringkasan Karakteristik Pekerja yang Tergolong Miskin di Indonesia No. 1.
Karakteristik Umur 15 Tahun 16 Tahun dan 25 Tahun 26 Tahun dan 35 Tahun 36 Tahun dan 45 Tahun 46 Tahun dan 55 Tahun
Jumlah Pekerja Miskin 102 2.787 2.989 2.510 1.880
Persentase 18,81 8,85 6,13 5,44 5,93
1.294 10,95 56 Tahun dan 65 Tahun 916 22,59 66 Tahun 2. Daerah Tempat Tinggal Perkotaan 7.539 55,38 Pedesaan 6.074 44,62 3. Tingkat Pendidikan Terakhir SD 7.616 9,98 SMP 1.958 5,98 SMA 2.783 5,09 Universitas 1.256 4,55 4. Sektor Pekerjaan Pertanian 4.131 9,60 Perdagangan 1.971 5,69 Jasa 4.557 9,23 Industri 1.788 7,74 Lain-lain 1.166 2,83 Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2012, Data Diolah. Dari tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan atau garis besar secara umum dapat dilihat bahwa karakteristik pekerja yang tergolong miskin di Indonesia memiliki karakteristik yang pertama yaitu berada pada umur tua atau memiliki umur 66 tahun yaitu sebesar 916 jiwa atau 22,59 persen, hal ini memang dapat terjadi karena umur 66 tahun ini merupakan umur tua dimana penduduk yang memiliki umur lebih dari 66 tahun ini produktivitas kerjanya sudah menurun, sehingga menyebabkan rendahnya tingkat upah yang diterima. Kedua, pekerja yang bekerja di daerah perkotaan adalah sebesar 7.539 pekerja atau 55,38 persen, Hal tersebut memang dapat terjadi, dimana jumlah pekerja yang memiliki pendapatan kurang dari sama dengan garis kemiskinan lebih banyak ditemukan di daerah perkotaan karena memang daerah perkotaan memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi daripada daerah pedesaan. Sehingga pekerja yang memiliki upah yang rendah di daerah perkotaan cenderung tergolong miskin, meskipun pendapatan yang diterima pekerja di daerah perkotaan tersebut lebih tinggi dari pendapatan yang diterima oleh pekerja yang tinggal di daerah pedesaan. Ketiga, memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 7.616 pekerja atau 9,98 persen, hal tersebut memang dapat terjadi, dimana pekerja yang memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar tersebut memiliki pendidikan yang rendah atau dapat dikatakan sebagai tenaga kerja yang tidak terdidik, sehingga seseorang yang tergolong dalam tenaga kerja tidak terdidik tersebut tidak cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pekerja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang rendah ini dapat membuat tenaga kerja yang tidak terdidik tersebut sulit untuk masuk kedalam pasar kerja sektor formal yang membutuhkan tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keterampilan yang tinggi, karena pasar kerja sektor formal dapat memberikan upah atau penghasilan yang lebih tinggi. Selain itu juga tenaga kerja yang tidak terdidik cenderung memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah, rendahnya kualitas sumber daya manusia ini dapat mempengaruhi rendahnya tingkat produktivitas kerja yang nantinya hal ini dapat mempengaruhi rendahnya upah yang dapat diterima pekerja tersebut. Keempat, bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 4.131 pekerja atau 9,60 persen, hal ini memang dapat terjadi karena pekerja yang bekerja di sektor pertanian tidak bisa mendapatkan upah atau penghasilan secara pasti, karena pekerjaan di sektor pertanian bersifat musiman. Selain itu, berdasarkan teorinya sektor pertanian memiliki produktivitas yang rendah karena jumlah pekerja di sektor pertanian jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan ketersediaan lahan pertaniannya. Selain itu adalah sektor jasa yaitu sebesar 4.557 pekerja atau 9,23 persen. Banyak pekerja yang tergolong miskin di sektor jasa tersebut dikarenakan pekerja yang bekerja di sektor jasa tersebut mayoritas adalah pekerja yang memiliki keterampilan yang rendah. Hal tersebut merupakan fenomena perkotaan, dimana pekerja yang awalnya bekerja di sektor pertanian di daerah pedesaan melakukan perpindahan ke daerah perkotaan dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, karena banyak pekerja yang melakukan perpindahan tersebut memiliki keterampilan yang rendah, maka ia hanya dapat bekerja di sektor jasa informal yang hanya mampu memberikan upah yang rendah.
Hasil Olah Data Menggunakan Probit Untuk dapat mengetahui dampak dari Upah Minimum terhadap kemiskinan di Indonesia, maka pada subbab ini dengan menggunakan data yang didapat dari Sakernas 2012 dianalisis dengan metode probit yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Metode probit ini berguna untuk melihat hubungan antara variabel dependen yaitu seseorang/ pekerja yang tergolong miskin memiliki nilai 1 atau tidak miskin di Indonesia memiliki nilai 0 (yaitu penduduk yang memperoleh pendapatan kurang dari sama dengan atau lebih dari garis kemiskinan per provinsi), dengan variabel-variabel independen dalam penelitian ini yaitu Upah Minimum Provinsi, umur pekerja, daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan yang ditamatkan (SMP, SMA dan Universitas), dan sektor pekerjaan (Pertanian, Perdagangan dan Jasa). Untuk dapat mendukung dalam menjawab rumusan penelitian yang kedua ini, maka aplikasi yang digunakan adalah software Stata 10.0. Selain itu, untuk dapat menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian yang kedua, maka hipotesis yang telah dikemukakan pada bab 2 akan diuji dengan menggunakan probabilitas < 0,05%. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai dari P> semua variabelnya dikatakan signifikan karena memiliki tingkat probabilitas < 0,05. Tabel 2: Hasil Pengolahan Variabel Dependen dan Independen Menggunakan Model Probit pada Stata 10.0. Probit Regression Jumlah Observasi : 191377 LR Chi2 : 4378,42 Prob>Chi2 : 0.0000 Pseudo R2 : 0.0446 Log likelihood = -46909,882 Variabel Lump (X1) Umur (X2) Kota (D1) Smp (D2) Sma (D3) Univ (D4) Pertanian (D5) Perdagangan (D6) Jasa (D7) Konstanta
Koefisien -.4895884 -.0015739 .1229466 -.2691825 -.4438334 -.7094804 .3302604 .111302
Std. Error .0246526 .0003523 .0098197 .0133801 .0125506 .0173221 .0129299 .0141374
Z -19.86 -4.47 12.52 -20.12 -35.36 -40.96 25.54 7.87
P> 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
95% Conf -.5379065 -.0022645 .1037003 -.295407 -.4684321 -.7434311 .3049182 .0835933
Interval -.4412703 -.0008834 .1421929 -.2429579 -.4192346 -.6755297 .3556025 .1390107
.5916302 5.286929
.0131077 .3420489
45.14 15.46
0.000 0.000
.5659396 4.616525
.6173207 5.957332
Sumber: Output Stata 10.0, data telah diolah. Hasil Uji Hipotesis Koefisien yang terdapat pada hasil model probit, menunjukkan arah pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini variabel yang menjadi variabel dependen adalah pekerja yang tergolong miskin (memiliki pendapatan garis kemiskinan) dan pekerja yang tergolong tidak miskin (memiliki pendapatan garis kemiskinan). Hasil dari model probit yang terlihat, terdapat variabel yang berslope positif dan terdapat juga variabel yang berslope negatif, dimana variabel yang memiliki slope positif adalah tempat tinggal, bidang pekerjaan pertanian, bidang pekerjaan perdagangan dan bidang pekerjaan jasa, sedangkan variabel yang memiliki slope negatif adalah ln UMP, umur, tingkat pendidikan terakhir SMP, tingkat pendidikan terakhir SMA dan tingkat pendidikan terakhir Universitas. Dari hasil model tersebut dapat dianalisis bahwa: 1. Variabel UMP (lump) Variabel UMP memiliki koefisien sebesar -0.4895884 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel UMP adalah signifikan dan memiliki slope yang negatif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat Upah Minimum Provinsi maka
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
probabilitas pekerja untuk menjadi miskin akan semakin turun sebesar 0,48, dan sebaliknya semakin tinggi tingkat Upah Minimum Provinsi maka probabilitas pekerja untuk menjadi tidak miskin akan semakin tinggi sebesar 0,48. Variabel umur (umur) Variabel umur memiliki koefisien sebesar -0.0015739 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel umur adalah signifikan dan memiliki slope yang negatif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi umur seseorang maka probabilitas pekerja untuk menjadi miskin akan semakin rendah sebesar 0,001, dan sebaliknya semakin tinggi umur maka probabilitas pekerja untuk menjadi tidak miskin akan semakin tinggi sebesar 0,001. Variabel tempat tinggal (kota) Variabel tempat tinggal memiliki koefisien sebesar 0.1229466 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel tempat tinggal adalah signifikan dan memiliki slope yang positif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang bertempat tinggal di daerah perkotaan memiliki probabilitas untuk tergolong pekerja miskin lebih besar yaitu sebesar 0,12 dibandingkan seseorang yang bertempat tinggal di daerah pedesaan. Variabel tingkat pendidikan terakhir SMP (smp) Variabel tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki koefisien sebesar -0.2691825 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel tingkat pendidikan terakhir SMP adalah signifikan dan memiliki slope yang negatif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki probabilitas untuk tergolong miskin lebih rendah yaitu sebesar 0,26 dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Dengan kata lain seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP cenderung untuk tergolong tidak miskin dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Variabel tingkat pendidikan terakhir SMA (sma) Variabel tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki koefisien sebesar -0.4438334 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel tingkat pendidikan terakhir SMA adalah signifikan dan memiliki slope yang negatif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki probabilitas untuk tergolong miskin lebih rendah yaitu sebesar 0,44 dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Dengan kata lain seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA cenderung untuk menjadi tidak miskin dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Variabel tingkat pendidikan terakhir universitas (univ) Variabel tingkat pendidikan terakhir universitas memiliki koefisien sebesar -0.7094804 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel tingkat pendidikan terakhir universitas adalah signifikan dan memiliki slope yang negatif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir universitas memiliki probabilitas untuk tergolong miskin lebih rendah yaitu sebesar 0,70 dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Dengan kata lain seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas cenderung untuk menjadi tidak miskin dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Variabel sektor pekerjaan pertanian (pertanian) Variabel sektor pekerjaan pertanian memiliki koefisien sebesar 0.3302604 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel sektor pekerjaan pertanian adalah signifikan dan memiliki slope yang positif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang bekerja pada sektor pertanian memiliki probabilitas untuk menjadi miskin lebih besar yaitu sebesar 0,33 dibandingkan seseorang yang bekerja pada sektor industri (base category). Dengan kata lain seseorang atau pekerja yang bekerja pada sektor pertanian cenderung untuk tergolong pekerja miskin. Variabel sektor pekerjaan perdagangan (perdagangan) Variabel sektor pekerjaan perdagangan memiliki koefisien sebesar 0.111302 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel sektor pekerjaan perdagangan adalah signifikan dan memiliki slope yang positif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang bekerja pada sektor perdagangan memiliki probabilitas untuk menjadi
9.
miskin lebih besar yaitu sebesar 0,11 dibandingkan seseorang yang bekerja pada sektor industri (base category). Dengan kata lain seseorang atau pekerja yang bekerja pada sektor perdagangan cenderung untuk tergolong pekerja miskin. Variabel sektor pekerjaan jasa (jasa) Variabel sektor pekerjaan jasa memiliki koefisien sebesar 0.5916302 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Variabel sektor pekerjaan jasa adalah signifikan dan memiliki slope yang positif, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang bekerja pada sektor jasa memiliki probabilitas untuk menjadi miskin lebih besar yaitu sebesar 0,59 dibandingkan seseorang yang bekerja pada sektor industri (base category). Dengan kata lain seseorang atau pekerja yang bekerja pada sektor jasa cenderung untuk tergolong pekerja miskin.
Interpretasi Hasil Pengolahan Data 1. Pengaruh dari Variabel UMP Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Pada pengolahan hasil model probit pada tabel 4.7, dapat dilihat bahwa variabel UMP tersebut signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang (pekerja) untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang negatif yaitu sebesar -0.4895884. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa setiap terjadi peningkatan satu persen (1%) pada upah minimum maka probabilitas seseorang (pekerja) untuk menjadi miskin akan berkurang sebesar 0,48, dan sebaliknya setiap terjadi peningkatan upah minimum sebesar satu persen (1%) maka probabilitas seseorang (pekerja) untuk menjadi tidak miskin akan bertambah sebesar 0,48. Apabila melihat hipotesis kedua pada bab 2, maka keadaan ini sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan yaitu peningkatan upah minimum memiliki dampak yang negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia dan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin akan berkurang. Hal ini memang dapat terjadi, dimana adanya peningkatan upah minimum tersebut akan membuat perusahaan meningkatkan upah yang diberikan kepada pekerjanya yaitu paling minimum atau serendah-rendahnya sebesar upah minimum. Peningkatan upah yang diberikan pengusaha kepada pekerja tersebut akan membuat terciptanya peningkatan pendapatan, maka dari itu peningkatan pendapatan ini akan dapat meningkatkan probabilitas seseorang pekerja untuk tergolong tidak miskin. Dari kedua gambar 4 dan 5 dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah lapangan pekerjaan sektor formal dan jumlah tenaga kerja yang di serap di sektor formal cenderung selalu mengalami peningkatan. Sektor formal merupakan sektor yang dilindungi oleh kebijakan upah minimum, sehingga upah yang diberikan kepada pekerja sektor formal biasanya cenderung lebih tinggi. Peningkatan jumlah lapangan pekerjaan di sektor formal yang menyebabkan peningkatan terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor formal ini akan menyebabkan semakin banyak pula tenaga kerja yang mendapatkan upah yang tinggi. Jadi upah tinggi yang diterima oleh pekerja di sektor formal karena adanya kebijakan upah minimum ini dapat meningkatkan probabilitas seseorang untuk tidak tergolong sebagai pekerja miskin di Indonesia. Gambar 4: Jumlah Lapangan Pekerjaan Sektor Formal
Sumber: ILO, 2014.
Gambar 5: Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Formal
Sumber: ILO, 2014.
2.
3.
Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan upah minimum sudah dapat mencapai tujuannya yaitu menjadi acuan pengusaha dalam penentuan upah, sehingga adanya upah minimum ini pengusaha memberikan upah paling minimum yaitu sebesar upah minimum. Selain itu, upah minimum yang cenderung selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya ini dapat memberikan dampak yang positif yaitu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan dari pekerja, maka dapat disimpulkan bahwa upah minimum berhasil dalam mengurangi probabilitas pekerja untuk tergolong miskin di Indonesia. Pengaruh dari Variabel Umur Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Pada pengolahan hasil model probit diatas, dapat dilihat bahwa variabel umur signifikan dalam menjelaskan probabilitas pekerja untuk tergolong miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang negatif yaitu sebesar -0.0015739. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa semakin tinggi umur pekerja atau seseorang maka probabilitas pekerja tersebut untuk menjadi miskin akan berkurang sebesar 0,0015, dan sebaliknya semakin tinggi umur pekerja atau seseorang maka probabilitas pekerja tersebut untuk menjadi tidak miskin akan bertambah sebesar 0,0015. Hal tersebut dapat terjadi karena semakin tinggi umur maka pengalaman bekerja dari seorang pekerja akan bertambah, hal ini dapat berakibat pada semakin tinggi pula produktifitas kerja dari seseorang (usia kerja yaitu 15-64 tahun), dan tingginya produktivitas kerja juga dapat mempengaruhi tingginya upah yang dapat diterima. Selain itu, seperti yang kita ketahui semakin tinggi umur seseorang juga dapat mempengaruhi tingginya jabatan seseorang, dimana jabatan pada pekerjaan ini juga dapat mempengaruhi upah atau pendapatan yang bisa diterima. Hasil tersebut juga sesuai dengan pendapat Simanjuntak (1985:22), yang mengungkapkan bahwa semakin muda umur maka akan semakin rendah produktifitas kerja karena penduduk dalam kelompok umur muda merupakan penduduk yang masih membutuhkan pelayanan. Sebaliknya semakin tinggi umur maka akan semakin tinggi produktivitas seseorang. Jadi, tingginya tingkat produktivitas seseorang atau pekerja tersebut yang dapat mempengaruhi tingginya tingkat upah dapat meningkatkan probabilitas seseorang untuk menjadi tidak miskin. Pengaruh dari Variabel Tempat Tinggal Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Variabel tempat tinggal signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang positif sebesar 0.1229466. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa orang yang tinggal di daerah perkotaan memiliki probabilitas yang lebih tinggi tergolong sebagai pekerja miskin sebesar 0,122 dibandingkan dengan orang yang tinggal di daerah pedesaan. Hasil diatas memang dapat terjadi, dimana seseorang yang tinggal di daerah perkotaan memang cenderung memiliki upah yang lebih tinggi, namun di daerah perkotaan harga-harga komoditas, layanan kesehatan dan pendidikan jauh lebih mahal, sehingga seseorang yang hidup di daerah perkotaan cenderung membutuhkan biaya hidup yang jauh lebih mahal daripada yang hidup di daerah pedesaan.
4.
Upah minimum juga dapat mempengaruhi, dimana semakin tinggi upah minimum maka pengusaha akan menurunkan permintaan tenaga kerja, penurunan permintaan tenaga kerja ini dapat menyebabkan terjadinya pengangguran ataupun perpindahan pekerja dari sektor formal ke sektor informal. Dengan melihat harga-harga kebutuhan di perkotaan yang lebih mahal dari pedesaan, maka pekerja yang menganggur atau yang berpindah ke sektor informal tersebut akan mengalami penurunan kesejahteraan, sehingga menyebabkan peningkatan kemiskinan di daerah perkotaan. Dalam kenyataannya juga banyak penduduk atau tenaga kerja yang melakukan perpindahan ke daerah perkotaan dengan tujuan agar mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor formal yang dilindungi oleh upah minimum sehingga dapat memberikan upah yang lebih tinggi, namun seringkali tenaga kerja tersebut tidak memiliki kemampuan dan keahlian seperti yang dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan. Selain itu, terkadang jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah permintaannya, sehingga tidak dapat terserap oleh lapangan pekerjaan di sektor formal dan mereka terpaksa menjadi pengangguran, atau sesuai dengan model dual sektor, dimana tenaga kerja yang ada di perkotaan yang tidak terserap oleh lapangan pekerjaan di sektor formal akan berpindah ke sektor informal yang memiliki tingkat upah yang lebih rendah. Tingkat Kecenderungan Pengaruh dari Variabel Tingkat Pendidikan Terakhir Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Variabel tingkat pendidikan terakhir SMP signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang negatif yaitu sebesar 0.2691825. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki probabilitas untuk tergolong sebagai pekerja miskin lebih rendah yaitu sebesar 0,26, dan sebaliknya seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki probabilitas untuk tergolong pekerja tidak miskin lebih tinggi yaitu sebesar 0,26. Dengan kata lain seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP cenderung untuk menjadi tidak miskin apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Sedangkan variabel tingkat pendidikan terakhir SMA signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang negatif yaitu sebesar -0.4438334. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki probabilitas untuk tergolong sebagai pekerja miskin lebih rendah yaitu sebesar 0,44, dan sebaliknya seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki probabilitas untuk tergolong pekerja tidak miskin lebih tinggi yaitu sebesar 0,44. Dengan kata lain seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA cenderung untuk menjadi tidak miskin apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Kemudian variabel tingkat pendidikan terakhir Universitas signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang negatif yaitu sebesar -0.7094804. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki probabilitas untuk tergolong sebagai pekerja miskin lebih rendah yaitu sebesar 0,70, dan sebaliknya seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir universitas memiliki probabilitas untuk tergolong pekerja tidak miskin lebih tinggi yaitu sebesar 0,70. Dengan kata lain seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas cenderung untuk menjadi tidak miskin apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Dari nilai koefisien dalam model probit dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki koefisien sebesar -0,7094804 yang lebih tinggi dari tingkat pendidikan terakhir SMA yaitu sebesar -0,4438334 dan tingkat pendidikan terakhir SMP yaitu sebesar -0,2691825. Hal tersebut berarti bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki kemungkinan untuk tergolong pekerja tidak miskin lebih tinggi dari orang yang memiliki pendidikan terakhir SMA dan SMP.
5.
Demikian juga seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki kecenderungan untuk tergolong sebagai pekerja tidak miskin lebih tinggi dari orang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP. Hal diatas memang dapat terjadi karena tingkat pendidikan memiliki hubungan yang positif terhadap upah atau pendapatan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh maka akan semakin tinggi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, dan akan semakin tinggi pula upah atau pendapatan yang dapat diterima. Seseorang atau pekerja yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas akan memiliki upah yang lebih tinggi dari pekerja yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA dan SMP, sedangkan pekerja yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki upah yang lebih tinggi dari pekerja yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh dapat mempengaruhi pekerja untuk tergolong tidak miskin di Indonesia. Biasanya pekerja yang memiliki tingkat pendidikan terakhir yang tinggi akan lebih mudah untuk masuk ke pasar kerja sektor formal yang padat modal, seperti sektor pekerjaan industri, karena sektor industri cenderung menggunakan teknologi dalam proses produksinya, maka hal ini membuat sektor industri hanya mempekerjakan pekerja yang memiliki keterampilan yang tinggi. Sedikitnya jumlah pekerja yang dipekerjakan dan tingginya kualifikasi seperti tingginya tingkat pendidikan inilah yang dapat membuat pekerja yang bekerja di sektor industri memiliki pendapatan yang lebih tinggi. Tingkat Kecenderungan Pengaruh dari Variabel Sektor Pekerjaan Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Variabel sektor pekerjaan pertanian signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang positif yaitu sebesar 0.3302604. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa seseorang yang bekerja pada sektor pertanian memiliki probabilitas untuk tergolong miskin lebih besar yaitu sebesar 0,33 dibandingkan seseorang yang bekerja pada sektor industri. Jadi seseorang yang bekerja di sektor pertanian cenderung lebih miskin daripada yang bekerja di sektor industri. Sedangkan variabel sektor pekerjaan perdagangan signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang positif yaitu sebesar 0.111302. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa seseorang yang bekerja pada sektor perdagangan memiliki probabilitas untuk tergolong miskin lebih besar yaitu sebesar 0,11 dibandingkan seseorang yang bekerja pada sektor industri. Jadi seseorang yang bekerja di sektor perdagangan cenderung lebih miskin daripada yang bekerja di sektor industri. Kemudian variabel sektor pekerjaan jasa signifikan dalam menjelaskan probabilitas seseorang untuk menjadi miskin atau tidak miskin, karena memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisien yang positif yaitu sebesar 0.5916302. Nilai koefisien regresinya dapat diinterpretasikan yaitu bahwa seseorang yang bekerja pada sektor Jasa memiliki probabilitas untuk menjadi miskin lebih besar yaitu sebesar 0,59 dibandingkan seseorang yang bekerja pada sektor industri. Jadi seseorang yang bekerja di sektor jasa cenderung lebih miskin daripada yang bekerja di sektor industri. Dari nilai koefisien dalam model probit dapat dilihat bahwa sektor pekerjaan yang memiliki nilai koefisien paling tinggi yaitu sektor jasa sebesar 0.5916302. Hal ini berarti bahwa pekerja yang bekerja di sektor jasa memiliki kemungkinan untuk menjadi miskin lebih tinggi dari pekerja yang bekerja di sektor pertanian dan perdagangan. Hal tersebut memang dapat terjadi, dimana sektor pekerjaan jasa di Indonesia tidak sama dengan sektor pekerjaan jasa di negara maju. Sektor jasa di Indonesia merupakan sektor pekerjaan yang padat karya dan rata-rata pekerjanya memiliki skill yang rendah. Selain itu, sektor jasa ini juga merupakan fenomena yang banyak dijumpai di daerah perkotaan. Dengan melihat nilai koefisien dari sektor pekerjaan pertanian, perdagangan dan jasa yang positif, maka dapat diketahui bahwa pekerja yang bekerja di sektor industri memiliki probabilitas yang paling tinggi untuk tergolong sebagai pekerja yang tidak miskin. Dikarenakan sektor industri merupakan sektor yang cenderung padat modal atau
lebih menggunakan teknologi dalam proses produksinya, sehingga lebih sedikit membutuhkan tenaga kerja namun yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang tinggi. Hal tersebutlah yang dapat menyebabkan pekerja yang bekerja di sektor industri memiliki upah yang tinggi dan memiliki kemungkinan untuk tergolong tidak miskin yang lebih tinggi daripada pekerja yang bekerja di sektor pertanian, perdagangan dan jasa.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan latar belakang, teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini, dan pembuktian hipotesis yang dilakukan melalui data penelitian yang telah terkumpul yaitu yang berasal dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012 yang kemudian diolah dengan metode ilmiah, serta analisis pembahasan dari hasil pengujian data, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Pekerja yang tergolong miskin di Indonesia memiliki karakteristik yaitu apabila dilihat berdasarkan umur pekerja, maka pekerja yang tergolong miskin di Indonesia secara absolut memiliki umur yaitu 66 tahun (umur tua). Apabila dilihat berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh, maka pekerja yang tergolong miskin di Indonesia yaitu yang memiliki tingkat pendidikan rendah (Sekolah Dasar). Kemudian, apabila dilihat berdasarkan sektor pekerjaannya, maka pekerja yang tergolong miskin di Indonesia yaitu yang bekerja pada sektor pertanian dan jasa. Sedangkan apabila dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal responden, maka pekerja yang tergolong miskin di Indonesia yaitu yang tinggal di daerah perkotaan. 2. Variabel Upah Minimum Provinsi (UMP) memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dengan kemiskinan di Indonesia dengan nilai koefisien sebesar -0.4895884 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Hasil tersebut sesuai dengan hipotesis awal, dimana dapat diketahui bahwa adanya kebijakan upah minimum tersebut maka probabilitas pekerja untuk tergolong miskin akan semakin rendah dan kebijakan upah minimum tersebut dapat membantu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia, karena upah yang diterima pekerja berada di atas tingkat upah minimum provinsi, sehingga pekerja mampu mencukupi kebutuhan hidup yang layak untuk dirinya dan keluarganya. 3. Pengaruh variabel-variabel kontrol atau penjelas yaitu variabel umur, daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan terakhir SMP, tingkat pendidikan terakhir SMA, tingkat pendidikan terakhir Universitas, sektor pekerjaan pertanian, sektor pekerjaan perdagangan dan sektor pekerjaan jasa adalah sebagai berikut: - Variabel umur memiliki hubungan yang negatif dan signifikan, jadi semakin tinggi umur maka akan semakin tinggi probabilitas pekerja untuk tergolong tidak miskin, dikarenakan semakin tinggi umur maka pengalaman kerja dan produktivitas pekerja akan semakin tinggi, dan hal ini dapat mempengaruhi tingginya upah yang diterima. - Variabel tempat tinggal memiliki hubungan yang positif dan signifikan, jadi seseorang yang tinggal di daerah perkotaan memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong sebagai pekerja miskin. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini hanya berfokus pada pekerja (yang menerima upah), kemudian pekerja (yang menerima upah) lebih banyak ditemukan di daerah perkotaan, sedangkan pekerja yang tergolong miskin di pedesaan tersebut hanya bekerja sebagai pekerja keluarga atau pekerja sendiri yang tidak menerima upah dan tidak menjadi fokus penelitian ini. - Variabel tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki hubungan yang negatif dan signifikan, jadi seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong tidak miskin dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP memiliki pendidikan atau pengetahuan yang lebih tinggi daripada tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar, sehingga hal ini dapat mempengaruhi tingginya upah yang diterima.
-
-
-
-
-
Variabel tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki hubungan yang negatif dan signifikan, jadi seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong tidak miskin dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki pendidikan atau pengetahuan yang lebih tinggi daripada tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar, sehingga hal ini dapat mempengaruhi tingginya upah yang diterima. Variabel tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki hubungan yang negatif dan signifikan, jadi seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong tidak miskin dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi daripada tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar, sehingga seseorang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Universitas memiliki upah yang lebih tinggi daripada Sekolah Dasar. Variabel sektor pekerjaan pertanian memiliki hubungan yang positif dan signifikan, sehingga seseorang yang bekerja di sektor pertanian memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong sebagai pekerja miskin. Hal tersebut dikarenakan pekerja yang bekerja di sektor pertanian memiliki upah yang tidak pasti karena sektor pertanian bersifat musiman, selain itu masih banyak pekerja yang mengelola lahan pertanian dengan cara yang tradisional sehingga upah yang dapat diterima pekerja tersebut rendah. Variabel sektor pekerjaan perdagangan memiliki hubungan yang positif dan signifikan, sehingga seseorang yang bekerja di sektor perdagangan memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong sebagai pekerja miskin. Hal ini bisa jadi dikarenakan sektor perdagangan memiliki banyak tenaga kerja, sehingga dapat mempengaruhi rendahnya tingkat upah yang diterima. Variabel sektor pekerjaan jasa memiliki hubungan yang positif dan signifikan, sehingga seseorang yang bekerja di sektor jasa memiliki probabilitas yang lebih besar untuk tergolong sebagai pekerja miskin. Hal ini dikarenakan sektor jasa di Indonesia terdapat banyak tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang rendah, sehingga dapat mempengaruhi rendahnya tingkat upah yang diterima. Apabila dilihat dari koefisien sektor pekerjaan pertanian, perdagangan dan jasa yang berslope positif, hal ini berarti bahwa pekerja yang memiliki probabilitas yang paling tinggi untuk tergolong tidak miskin adalah pekerja yang bekerja di sektor pekerjaan industri. Hal ini dapat terjadi karena sektor pekerjaan industri cenderung menggunakan teknologi dalam proses produksinya, sehingga hanya membutuhkan sedikit pekerja namun yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, karena dalam sektor pekerjaan industri dibutuhkan pekerja yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang tinggi.
Saran Setelah melakukan penelitian, pembahasan hasil dan menarik kesimpulan dari penelitian ini, maka penulis dapat memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini, dimana saran ini diberikan untuk dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan, adapun saran-saran tersebut yaitu: 1. Kebijakan upah minimum sudah mencapai tujuannya yaitu meningkatkan taraf hidup pekerja sehingga probabilitas pekerja untuk tergolong miskin akan berkurang. Namun, pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang masih melanggar kebijakan upah minimum dengan memberikan upah kepada pekerjanya di bawah upah minimum, hal ini dilakukan agar tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan. 2. Penelitian ini hanya berfokus pada pekerja (yang menerima upah), padahal kemiskinan banyak yang terkategorikan bukan pekerja (pekerja sendiri/ self employed dan pekerja keluarga), selain itu fokus penelitian ini hanya terbatas pada kondisi kesejahteraan dari pekerja. Untuk melihat kondisi kemiskinan secara global maka harus melihat dari berbagai aspek secara menyeluruh.
3.
4.
Penelitian ini masih mengandung keterbatasan, dimana data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012, adapun keterbatasan dari penggunaan data sekunder yaitu tidak adanya wawancara secara mendalam dengan responden untuk melihat pengaruh kebijakan upah minimum terhadap kemiskinan di Indonesia. Data yang terdapat di Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang digunakan dalam penelitian ini hanya melihat dimana pekerja tersebut tinggal (perkotaan-pedesaan), namun tidak melihat apakah pekerja tersebut tinggal di daerah tempatnya bekerja atau tetap di daerah asalnya. Sehingga penelitian selanjutnya diharapkan menambahkan variabel migrasi untuk mengetahui hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
. Upah Minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun 2012. https://mantanburuh.files.wordpress.com/2011/12/sk umk-jabar tahun 2012.pdf. (diakses pada tanggal 25 November 2014). . Upah Minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2012. http://hrmkeys.files.wordpress.com/2012/02/umk-jatim-2012.pdf. (diakses pada tanggal 24 November 2014). Alaniz, Gindling, Terrell. 2011. The Impact of Minimum Wages on Wages, Work and Poverty in Nicaragua. Labour Economics 18: S45-S59. Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. 2013. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Menurut Provinsi, Maret 2012. bps.go.id. (diakses pada tanggal 26 November 2014). Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. 2013. Perkembangan Upah Minimum Regional/ Provinsi di Seluruh Indonesia (Dalam Ribuan Rupiah). bps.go.id. (diakses pada tanggal 26 November 2014). Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. 2013. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. 2014. Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986-2013. bps.go.id. (diakses pada tanggal 27 Desember 2014). Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. 2014. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. bps.go.id. (diakses pada tanggal 27 Desember 2014). Borjas, George. 2008. Labor Economics. 4th ed. New York: McGraw-Hill. Febriana, Enny. 2010. Strategi Untuk Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani Miskin di Perdesaan: Studi Kasus Pada Rumah Tangga Petani Miskin di Desa Cisaat Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi. Jakarta: FE Universitas Indonesia. [Tesis]. Gindling dan Terrell. 2008. Minimum Wages, Globalization and Poverty in Honduras. UNUWIDER Research Paper, No. 23. Gujarati, Damodar N. dan Porter, Dawn C. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika. 5th ed. Jakarta: Salemba Empat.
Haughton, Jonathan dan Khandker, Shahidur R. 2009. Handbook On Poverty + Inequality. Washington DC: The World Bank.
International Labour Organization. 2014. Kebijakan Upah Minimum Indonesia. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/ed_dialogue/actrav/documents/meetingdocume nt/wcms_210427.pdf. (diakses pada tanggal 05 Desember 2014). International Labour Organization. 2014. Undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilojakarta/documents/publication/wcms 120125.pdf. (diakses pada tanggal 05 Januari 2015). Nurdyana, Harry S., Budiono, Fahmi Mohamad. 2012. Pendidikan dan Kemiskinan Studi Kasus Provinsi Maluku Utara. Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran. Pratomo dan Saputra. 2011. Kebijakan Upah Minimum Untuk Perekonomian yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945. Journal of Indonesian Applied Economics, Vol.5, (No.2): 269-285. Pratomo, Devanto S. 2010. The Effects of Changes In Minimum Wage On Employment In The Covered and Uncovered Sectors In Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business, Vol.25, (No.3):278-292. Pratomo, Devanto S. 2014. Ekonomi Ketenagakerjaan. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Provinsi
Jawa Tengah. 2011. Data UMK Jateng. http://birohumas.jatengprov.go.id/robinsos/DATA-UMK-JATENG.pdf. (diakses pada tanggal 24 November 2014).
Rama, Martin. 1996. The Consequences of Doubling the Minimum Wage: The Case of Indonesia. Policy Research Working Paper 1643. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. 1st ed. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sen, Rybczynski, Waal. 2010. Teen Employment, Poverty and The Minimum Wage: Evidence From Canada. Labour Economics: 36-47. Simanjuntak, Payaman J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: LPFE Universitas Indonesia. Subri, Mulyadi. 2012. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D). Bandung: Alfabeta. Sukirno, Sadono. 2003. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Susilowati, Sri Hery. 2010. Pendekatan Skala Ekivalensi Untuk Mengukur Kemiskinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.28, (No.2): 91-105. Universitas Pendidikan Indonesia. 2014. Geografi Regional Indonesia. http://file.upi.edu/Direktori/F/JUR.PEND.GEOGRAFI/195502101980021-DADANG SUNGKAWA/Bahan Ajar GRI/GRI Gabungan Cetak.pdf. (diakses pada tanggal 04 Desember 2014). Widiarti, Diah. 2006. Peranan Upah Minimum Dalam Penentuan Upah di Sektor Informal di Indonesia. Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional.
Wikipedia. 2014. Gambar Peta Republik Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Peta Indonesia.jpg. (diakses pada tanggal 04 Desember 2014). Wikipedia. 2014. Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia. (diakses pada tanggal 04 Desember 2014).