212
VI.
6.1.
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Hasil Validasi Model
Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi (simulasi dasar) untuk periode 19882006. Program validasi model dapat dilihat pada Lampiran 7. Validasi menggunakan indikator statistik yaitu Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) untuk mengukur penyimpangan hasil prediksi dari nilai aktual setiap variabel endogen dan statistik Theil’s Inequality Coefficient (U). Selain itu digunakan dekomposisi U-Theil, yaitu proporsi bias (UM), proporsi keragaman (US), dan proporsi covarians (UC). Hasil validasi model dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil validasi tersebut memperlihatkan dari 76 persamaan, terdapat 61 persamaan yang memiliki nilai RMSPE lebih kecil dari 50 persen dan 15 persamaan memiliki nilai RMSPE diatas 50 persen. Nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen umumnya terjadi pada persamaan-persamaan identitas. Hal ini terjadi karena error variabel endogen terakumulasi pada persamaan identitas tersebut, seperti pada persamaan ekspor bersih, gap fiskal, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Selain itu, nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen juga terjadi pada persamaan subsidi harga BBM dan subsidi BBM karena nilainya berfluktuasi mengikuti naik turunnya harga dunia minyak mentah. Sebagian besar nilai statistik U mendekati nol, yaitu 63 persamaan mempunyai nilai statistik U lebih kecil dari 20 persen dan 13 persamaan
213 mempunyai nilai U lebih besar dari 20 persen. Nilai U-Theil tertinggi adalah 0.5865 yaitu pada persamaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang merupakan persamaan identitas dengan nilai proporsi bias (UM) kecil yaitu 0.01. Dilihat dari komponen statistik U, terlihat bahwa proporsi bias (UM) dan proporsi keragaman (US) mendekati nol, dan proporsi covarians (UC) mendekati satu. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, maka model yang dibangun cukup valid digunakan untuk melakukan simulasi peramalan dampak perubahan faktor eksternal dan kebijakan. 6.2.
Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Program dan hasil peramalan variabel endogen tanpa perubahan faktor eksternal dan kebijakan (nilai dasar variabel endogen per tahun) pada periode peramalan 2007-2014, dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Dalam penelitian ini dilakukan 8 simulasi yang terdiri dari 1 simulasi perubahan faktor eksternal, 4 simulasi perubahan kebijakan, dan 3 simulasi merupakan gabungan perubahan faktor eksternal dan kebijakan. Program simulasi kebijakan peramalan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sebagai contoh, ditampilkan pula hasil Simulasi 8 pada Lampiran 12. Hasil simulasi kebijakan peramalan yang lengkap disajikan pada Lampiran 13. 6.2.1. Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen
Ketersediaan energi di suatu negara seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Apakah ketersediaan energi menjadi penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingginya permintaan akan energi? Hal ini dijawab oleh Afiatno (2006) yang menemukan bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki
214 hubungan multivariat dua arah, yaitu konsumsi energi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi energi. Karena keduanya memiliki hubungan kuat yang timbal balik, maka pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi karena mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan dapat berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengendalian konsumsi suatu barang dapat menggunakan mekanisme harga, yang dilakukan dengan pengenaan pajak atau subsidi. Minyak mentah memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian dunia (Barsky and Kilian, 2004). Pergerakan naik turun harga dunia minyak tidak hanya semata-mata disebabkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan (Krichene, 2005), tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor keamanan dan spekulasi perdagangan minyak mentah. Minyak mentah dan produk turunannnya, hingga saat ini, masih menjadi sumber energi utama di negara-negara berkembang dan negara maju. Meskipun untuk pembangkit listrik sudah banyak digunakan sumber energi alternatif seperti energi nuklir, air, atau gas alam, namun untuk kebutuhan di sektor transportasi masih disuplai utamanya dari energi minyak mentah dan produk turunannya. Begitu pentingnya sumber energi minyak mentah dan produk turunannya ini sebagai sumber energi utama, sehingga fluktuasi harganya berpengaruh terhadap kegiatan perekonomiannya. Raymond and Rich (1997) menemukan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah memberikan kontribusi atas rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Yunchang (1996) menemukan bahwa pergerakan harga dunia minyak mentah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara Taiwan. Dampak dari fluktuasi harga
215 dunia minyak mentah tidak hanya negatif terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Taiwan, tetapi juga terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan untuk beberapa kasus, Indonesia mengalami dampak yang lebih berat karena beban subsidi energi BBM. Hingga saat ini masih sulit bagi pemerintah untuk melepaskan subsidi BBM ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Borenstein, et al. (1997) menemukan dalam penelitiannya bahwa harga
gasoline (di Indonesia setara dengan premium) berfluktuasi secara asimetri terhadap harga dunia minyak mentah. Ketika harga dunia minyak mentah naik maka harga gasoline dengan segera menyesuaikan diri, apabila harga dunia minyak mentah turun maka harga gasoline tidak segera turun. Penyesuaian harga
gasoline yang asimetri ini dibantah oleh Bachmeier and Griffin (2003), yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pergerakan harga gasoline simetri terhadap harga dunia minyak mentah. Penyesuaian harga gasoline segera terjadi ketika harga dunia minyak mentah berfluktuasi. Di Indonesia, subsidi energi BBM tidak hanya berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan kemiskinan, tetapi telah menjadi komoditas politik. Soebiakto (1988) dalam disertasinya menyimpulkan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah menimbulkan dampak ketidakpastian terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan yang tinggi dari penerimaan ekspor minyak mentah, yang sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Soebiakto juga menemukan bahwa setiap penurunan harga dunia minyak mentah US$1 per barrel akan mengakibatkan penurunan belanja pemerintah US$32 juta, peningkatan defisit neraca pembayaran US$10 juta, dan peningkatan hutang eksternal US$145 juta, demikian pula
216 sebaliknya. Penghitungan Soebiakto belum memperhitungkan penambahan subsidi harga ketika harga jual eceran BBM konstan. Karena itu sangat penting untuk mengetahui dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5 persen terhadap perekonomian Indonesia, besaran subsidi harga BBM, dan dampak terhadap jumlah orang miskin di Indonesia, yang disajikan pada Tabel 52. Subsidi harga BBM ternyata sangat elastis terhadap perubahan harga dunia BBM. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan harga dunia BBM akan sangat direspon oleh pemerintah melalui kenaikan subsidi harganya. Dari hasil estimasi parameter persamaan subsidi harga premium, sebagai contoh, setiap kenaikan harga dunia premium US$1 per barrel akan mengakibatkan kenaikan subsidi harga premium sebesar Rp. 19.2383 per liter, dan sebaliknya. Responsifnya subsidi harga terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah
memberikan
indikasi
bahwa
pemerintah
Indonesia
cenderung
mempertahankan harga jual eceran BBM pada tingkat harga yang berlaku. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meredam gejolak perekonomian dunia, yang salah satunya dapat berasal dari harga dunia minyak mentah, agar tidak mempengaruhi perekonomian domestik. Meskipun subsdi harga sangat responsif terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah, namun ternyata harga jual eceran BBM mengalami kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan subsidi harganya. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan anggaran yang cenderung menurun sebesar 0.201 persen, yang tampaknya membatasi kemampuan pemerintah dalam memberikan respon subsidi yang sesuai, sehingga terjadi kenaikan harga jual eceran BBM yang melampaui kenaikan subsidi harganya.
217
Tabel 52. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014 Variabel
Uraian
PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG
Penawaran Premium (Ribu Liter) Penawaran M.Solar (Ribu Liter) Penawaran M.Tanah (Ribu Liter) Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) Penawaran BBM (Ribu Liter) Kons. Premium di Transport. (Rb Lt) Konsumsi Premium (Ribu Liter) Kons. M.Solar di Transport. (Rb Lt) Kons. M.Solar di Industri (Rb Lt) Kons. M.Solar di RT & Kom. (Rb Lt) Konsumsi Minyak Solar (Rb Lt) Kons. M.Tanah di Transport. (Rb Lt) Kons. M.Tanah di Industri (Rb Lt) Kons. M.Tanah di RT & Kom. (Rb Lt) Konsumsi Minyak Tanah (Ribu Liter) Kons. Elpiji di Industri (Rb Kg) Kons. Elpiji di RT & Kom. (Rb Kg) Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) Konsumsi Premium (Miliar Rp) Konsumsi Minyak Solar (Miliar Rp) Konsumsi Minyak Tanah (Miliar Rp) Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) Konsumsi BBM (Miliar Rp) Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) Harga Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt) Harga Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) Jumlah Impor Premium (Ribu Liter) Jumlah Impor M.Solar (Ribu Liter) Jumlah Impor M.Tanah (Ribu Liter) Impor Premium (Miliar Rp) Impor Minyak Solar (Miliar Rp) Impor Minyak Tanah (Miliar Rp) Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) Subsidi Harga Premium (Rupiah/Liter) Subsidi Harga M.Solar (Rupiah/Liter) Subsidi Harga M.Tanah (Rupiah/Liter) Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg)
Nilai Dasar
1
2
33 898 969 37 315 237 7 818 580 1 305 403 87 773 312 26 466 929 26 846 754 17 122 380 14 315 475 783 877 34 496 949 2 423 417 944 11 827 549 12 789 797 399 185 917 056 1 316 242 73 485 113 628 17 275 3 319 231 145 2 720 3 283 1 349 2 516 24 380 853 25 231 664 3 260 140 109 922 118 397 16 064 255 417 334 733 999 - 254 417 1 697 1 359 3 555 546
0.109 0.213 -1.152 -1.381 0.030 -0.918 -0.905 -3.243 -0.105 -0.867 -1.673 -4.886 -6.863 -3.188 -3.174 -1.085 -0.110 -0.405 7.769 5.827 15.789 3.603 6.566 8.757 7.730 19.720 4.051 0.151 0.315 -2.764 5.825 6.006 2.684 5.462 5.387 11.448 5.439 0.595 0.530 0.270 12.779
0.160 0.098 -0.026 -0.015 0.101 0.010 0.010 1.087 0.034 0.290 0.560 1.184 1.666 0.781 0.777 0.140 -0.018 0.030 -0.009 -1.974 -3.890 -0.452 -1.271 -0.029 -2.549 -4.654 -0.489 0.223 0.144 -0.064 0.409 0.307 0.066 0.323 0.059 0.110 0.323 0.389 6.610 1.944 2.929
Simulasi (persen) 3 4 5
6
7
8
3.339 1.628 3.796 4.360 4.874 10.043 1.330 0.639 1.511 1.945 2.191 3.697 -0.322 -0.154 -0.366 -1.598 -1.664 -2.007 -0.340 -0.167 -0.387 -1.836 -1.890 -2.418 1.826 0.887 2.076 2.369 2.666 5.272 -2.819 -0.069 -2.851 -3.849 -3.887 -4.258 -2.779 -0.068 -2.810 -3.795 -3.832 -4.198 -5.040 -0.289 -5.149 -8.632 -8.759 -10.081 -0.143 -0.012 -0.147 -0.265 -0.274 -0.295 -1.303 -0.083 -1.334 -2.276 -2.318 -2.628 -2.590 -0.150 -2.647 -4.446 -4.514 -5.186 -25.883 -35.635 -36.468 -41.796 -42.023 -43.851 -36.385 -50.096 -51.259 -58.733 -59.043 -61.642 -16.420 -22.612 -23.165 -26.486 -26.650 -27.653 -16.378 -22.555 -23.104 -26.421 -26.583 -27.595 -2.852 3.819 3.558 1.704 1.648 0.888 0.584 4.294 4.266 3.864 3.874 3.589 -0.458 4.150 4.051 3.209 3.199 2.770 24.287 0.689 24.587 32.696 33.166 35.149 8.193 0.642 8.420 14.412 14.760 16.158 68.779 85.769 87.185 94.671 95.010 96.952 10.913 -10.127 -8.909 -2.139 -1.748 -0.066 17.046 6.799 18.343 24.524 24.875 26.362 27.775 0.743 28.120 37.881 38.407 41.120 11.235 0.801 11.537 20.034 20.491 22.854 102.742 141.352 145.116 166.956 168.134 174.203 11.476 -13.734 -12.498 -5.215 -4.834 -2.731 4.642 2.263 5.278 6.062 6.777 13.964 1.967 0.946 2.234 2.877 3.240 5.467 -0.773 -0.369 -0.877 -3.832 -3.991 -4.813 6.610 3.172 7.524 14.880 16.119 25.506 3.702 1.759 4.208 11.167 11.956 15.855 0.779 0.376 0.883 3.626 3.759 4.475 4.610 2.205 5.245 11.811 12.719 18.612 1.326 0.649 1.508 7.162 7.372 9.432 2.692 1.311 3.062 15.311 15.771 20.494 4.618 2.209 5.254 11.798 12.707 18.605 -40.415 0.766 -40.415 -37.426 -37.426 -37.426 -21.775 0.640 -21.775 -17.851 -17.851 -17.851 -36.832 -52.624 -52.624 -50.262 -50.262 -50.262 -44.160 67.338 67.338 75.760 75.760 75.760
218
Tabel 52. Lanjutan Nilai Dasar
1
46 014 46 927 45 488 722 139 150 330 922 486 623 - 95 277 1 408 642 1 639 787 55 718 177 407 233 125 442 750 581 900 346 479 601 895 787 297 788 296 2 641 213 1 256 557 1 366 987 8 483 298.40 2.76 121.10 108.30 528.10 12.83 9.44 186 400 3.40 13.78 5.72 8.17
-0.348 0.404 -1.185 7.245 -2.976 2.751 12.360 2.993 -1.424 3.492 -0.074 10.000 -0.051 10.274 -0.972 9.906 -0.834 0.014 0.209 -0.167 -0.026 0.159 -0.610 -0.027 -0.471 0.018 0.183 12.327 -0.201 10.214 0.162 0.104 2.411 0.197 0.078 0.085 0.093 0.086 -0.478 2.129 -0.609 2.905 -0.788 3.153 0.578 0.120 1.542 0.335 1.121 -6.676 0.000 0.165 -0.092 0.646 -0.095 -1.041 1.114 -4.493 4.736 1.931 -7.394 -0.273 -4.021 14.015 1.526 -12.936 1.768 -22.464 1.587 -15.588
Simulasi (persen) 4 5
Variabel
Uraian
SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
Subsidi Premium (Miliar Rp) Subsidi Minyak Solar (Miliar Rp) Subsidi Minyak Tanah (Miliar Rp) Subsidi Elpiji (Miliar Rp) Subsidi Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Penerimaan Pajak (Miliar Rp) Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) GAP Fiskal (Miliar Rp) Konsumsi Non-BBM (Miliar Rp) Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi MIGAS (Miliar Rp) Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) Investasi Nasional (Miliar Rp) Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) Belanja Pemerintah (Miliar Rp) Impor Non-BBM (Miliar Rp) Impor Nasional (Miliar Rp) Ekspor Non-BBM (Miliar Rp) Ekspor Nasional (Miliar Rp) GDP Nasional (Miliar Rp) Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) Nilai Tukar (Rp/US$) Indeks Harga Konsumen (indeks) Tingkat Suku Bunga (persen) Jlh. Penawaran Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Jlh. Permintaan Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) Tingkat Inflasi Domestik (%/Tahun) Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%)
Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
2
3 -42.276 -23.784 -47.373 -44.575 -37.718 -0.330 -0.224 -52.291 -2.245 0.474 -0.119 -1.671 -1.300 0.355 -8.749 0.393 2.183 1.595 1.597 -1.769 -2.420 -2.990 1.537 4.055 5.040 0.000 -0.554 -0.284 4.362 12.083 -0.296 -11.485 13.615 23.250 16.313
0.709 0.489 -63.512 74.103 -19.978 -0.204 -0.138 -27.900 -1.089 0.023 -0.075 -0.829 -0.649 0.123 -4.684 0.170 1.034 0.775 0.776 -1.079 -1.484 -1.790 0.737 1.944 3.182 0.000 -0.277 -0.170 2.670 5.552 -0.057 -6.756 7.425 11.717 8.616
-42.296 -23.831 -63.785 73.923 -42.491 -0.387 -0.263 -58.905 -2.547 0.397 -0.140 -1.903 -1.481 0.389 -9.865 0.441 2.480 1.813 1.815 -2.081 -2.845 -3.501 1.745 4.591 5.929 0.000 -0.646 -0.322 5.126 13.634 -0.330 -13.559 15.479 25.560 18.291
6 -42.906 -25.308 -65.400 72.454 -43.726 10.000 10.274 -54.474 -3.549 0.408 -0.020 -2.688 -2.050 13.312 -0.327 0.731 5.433 2.120 2.137 -0.600 -0.775 -1.417 2.593 6.836 0.936 0.083 -0.185 -1.534 2.204 21.241 -8.508 -4.721 5.034 6.297 5.385
7 -42.930 -25.366 -65.483 72.440 -43.781 10.000 10.274 9.678 -3.734 0.299 0.149 -2.882 -2.157 27.135 10.177 0.877 5.902 2.376 2.393 1.606 2.266 1.852 2.886 7.607 -6.121 0.248 0.554 -2.708 -2.456 24.468 -8.938 9.591 -8.322 -16.467 -10.590
8 -43.151 -25.903 -65.948 71.706 -44.191 10.000 10.274 11.874 -5.178 -0.732 -0.017 -6.343 -4.831 27.736 10.536 0.523 8.199 4.750 4.770 0.996 0.475 -0.649 4.549 13.183 0.178 0.248 0.185 -2.746 0.479 27.408 -6.302 19.729 -4.821 -16.303 -7.967
219 Kenaikan harga jual eceran BBM, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, akan menurunkan konsumsinya. Kenaikan harga jual eceran premium sebesar 8.757 persen mengakibatkan penurunan konsumsi premium di sektor transportasi sebesar 0.918 persen. Hal ini sesuai dengan konsumsi premium di sektor transportasi yang tidak elastis terhadap harganya, sebesar 0.0642 dalam jangka pendek. Secara umum kenaikan harga jual eceran BBM akan menurunkan tingkat konsumsi masing-masing. Fenomena penurunan tingkat konsumsi energi BBM, memiliki dampak yang luas dan berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebagaimana yang ditemukan oleh Afiatno (2006) bahwa terdapat hubungan timbal balik antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dari simulasi ini jelas terlihat bahwa penurunan konsumsi BBM, sebagai akibat dari kenaikan harga jual ecerannya, berdampak pada penurunan GDP nasional 0.478 persen dan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4.021 persen. Salah satu faktor yang membuat GDP nasional turun adalah menurunnya ekspor bersih, yang diakibatkan oleh tingginya harga beli minyak mentah dunia. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat, konsumsi energi yang tidak elastis terhadap harganya, membutuhkan devisa yang lebih besar untuk membiayai impornya. Peningkatan nilai impor yang besar ini pada akhirnya membuat neraca perdagangan menjadi defisit dan GDP nasional menjadi negatif. Selanjutnya penurunan jumlah penawaran uang yang lebih besar dari permintaannya, akan berdampak pada peningkatan tingkat suku bunga sebesar 1.121 persen. Hal ini ikut memberikan andil terhadap penurunan investasi nasional sebsear 0.471 persen.
220 Selanjutnya simulasi ini memberikan dampak terhadap kenaikan tingkat inflasi sebesar 4.736 persen. Penelitian Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menunjukkan bahwa peningkatan inflasi berakibat pada penurunan pendapatan riil masyarakat. Penurunan pendapatan riil masyarakat, jika terjadi pada masyarakat yang berada pada dan sekitar garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh pada kelompok orang miskin. Pada tingkat inflasi tersebut, jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat 1.526 persen dan penduduk miskin perkotaan meningkat 1.768 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 1.587 persen. Peningkatan penduduk miskin ini juga dipengaruhi oleh semakin besarnya angka pengangguran yang meningkat 1.114 persen sebagai dampak dari penurunan investasi nasional. Meningkatnya pengangguran mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan yang biasanya diterima oleh pekerja, sehingga hal ini berpotensi juga mengurangi pendapatan riil masyarakat. Selain pengangguran yang meningkat, juga tingkat upah nasional mengalami penurunan sebesar 0.095 persen. Keempat hal diatas, yaitu belanja pemerintah dan upah nasional yang berkurang, inflasi dan pengangguran yang meningkat, secara bersama-sama mengakibatkan penurunan pendapatan riil masyarakat, sehingga semakin banyak penduduk yang masuk dalam kategori penduduk miskin. Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen
Instrumen kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter seringkali dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sebagian komponen kebijakan moneter merupakan domain kewenangan Bank Indonesia seperti target inflasi dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Dalam prakteknya Bank Indonesia selalu melakukan koordinasi
221 dengan pemerintah dalam rangka menjalankan kewenangannya. Berbeda dengan kebijakan moneter, maka kebijakan fiskal merupakan domain utama kewenangan pemerintah yang dalam pelaksanannya seringkali harus dikonsultasikan dengan para wakil rakyat. Sehingga kebijakan fiskal di Indonesia, sebagaimana juga kebijakan fiskal di negara lain, merupakan produk dari suatu proses politik. Secara garis besar komponen dari kebijakan fiskal adalah alokasi anggaran untuk pos-pos atau kegiatan tertentu, sumber-sumber dan target penerimaan dalam negeri dan luar negeri, asumsi-asumsi makro yang mendasari perhitungan penerimaan dan belanja, serta besaran dari belanja itu sendiri. Dalam rangka mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun paska reformasi, pemerintah berupaya meningkatkan besaran belanja negara dengan sumber pendanaan dari dalam negeri. Besarnya utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah telah membebani anggaran belanja negara melalui pos pembayaran cicilan pokok dan bunga. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah pada masa sebelumnya yang mengandalkan sumber pembiayaan dari luar negeri atau pinjaman dalam negeri untuk menutup defisit anggaran. Belajar dari pengalaman, saat ini pemerintah berupaya untuk lebih mengutamakan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dan bukan pajak. Komponen terbesar dari penerimaan pajak adalah pajak penghasilan. Saat ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan intensifikasi penarikan pajak penghasilkan melalui sosialisasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang harus dimiliki oleh setiap warganegara. Penerimaan bukan pajak antara lain bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara,
222 hasil penjualan asset yang dimiliki negara seperti penjualan saham BUMN, dan pungutan lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir (Departemen Keuangan, 2009b), strategi kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal dengan tetap memperhatikan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan. Langkah konsolidasi fiskal ditempuh melalui optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk meminimalkan resiko keuangan di masa mendatang. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara dapat ditempuh melalui peningkatan penerimaan dari pajak dan bukan pajak. Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan ditempuh melalui: (1) perubahan paket undang-undang perpajakan, kepabeanan, dan cukai, (2) peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak dan pengawasan internal terhadap petugas pajak, (3) peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (4) perbaikan sistem informasi dan teknologi, dan (5) modernisasi perpajakan. Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan pajak mengalami kenaikan sangat signifikan pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 347.0 triliun, Rp. 409.2 triliun, Rp. 491.0 triliun, Rp. 633.8 triliun, dan Rp. 725.8 triliun atau rata-rata 20.23 persen per tahun pada periode tersebut. Penerimaan pajak pada tahun 2009 mencapai 13.6 persen dari PDB nasional. Sementara penerimaan negara bukan pajak mengalami kenaikan cukup besar pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 149.9 triliun, Rp. 227.0 triliun, Rp. 215.1 triliun, Rp. 325.7 triliun, dan Rp. 258.9 triliun atau rata-rata 14.71 persen
223 per tahun pada periode tersebut. Penerimaan negara bukan pajak pada tahun 2009 mencapai 4.9 persen dari PDB nasional. Fluktuasi penerimaan negara bukan pajak lebih banyak disebabkan oleh fluktuasi harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Secara umum penerimaan dalam negeri pemerintah mengalami kenaikan rata-rata sebesar 18.83 persen per tahun pada periode 2005-2009. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah dimaksudkan untuk memberikan fiscal space atau ruang fiskal32 yang lebih besar pada pemerintah untuk dapat digunakan pada program-program yang muncul mendadak namun sangat mendesak untuk segera diselesaikan, tanpa mengganggu rencana program yang sudah ada. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar 10 persen, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 52, ditujukan untuk menciptakan ruang fiskal apabila ditengah tahun anggaran berjalan terjadi kenaikan kebutuhan anggaran seperti kenaikan harga dunia minyak mentah. Simulasi tunggal ini dilakukan untuk mengetahui dampak dari peningkatan ruang fiskal terhadap kinerja perekonomian, gap fiskal yaitu selisih antara penerimaan dalam negeri dengan belanja negara, dan terhadap kemiskinan. Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, yang memperbesar ruang fiskal, ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi BBM sebesar 3.492 persen dan anggaran diluar subsidi BBM sebesar 12.327 persen. Besarnya peningkatan anggaran non-subsidi dibandingkan dengan anggaran subsidi, tampaknya disebabkan oleh kebutuhan belanja non-subsidi yang 32
Fiscal space atau ruang fiskal menurut Heller, 2005 dalam Departemen Keuangan, 2009b adalah ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Konsep fiscal space terutama mengacu kepada kemampuan anggaran pemerintah untuk menambah pengeluarannya tanpa menyebabkan terjadinya fiscal insolvency. Untuk menciptakan fiscal space dapat dilakukan berbagai cara antara lain peningkatan penerimaan pajak, memangkas belanja yang kurang prioritas, dan menambah hibah atau pinjaman.
224 lebih besar sementara kebutuhan belanja subsidi BBM relatif konstan. Relatif konstannya kebutuhan belanja subsidi BBM dikarenakan relatif konstannya harga dunia minyak mentah. Sebagai dampak dari meningkatnya anggaran subsidi BBM, maka anggaran subsidi harga BBM mengalami peningkatan. Subsidi harga minyak solar meningkat paling besar yaitu 6.610 persen. Secara umum, peningkatan subsidi harga BBM akan menurunkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 1.93 persen, dimana penurunan terbesar pada harga jual eceran minyak tanah sebesar 4.654 persen. Dampak selanjutnya dari penurunan harga jual eceran BBM adalah peningkatan konsumsinya rata-rata sebesar 0.34 persen. Peningkatan konsumsi energi, seperti yang disampaikan oleh Siddiqui (2004) berhubungan erat dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang membaik. Hal ini terlihat dari meningkatnya GDP nasional sebesar 2.129 persen dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 14.015 persen. Ditinjau dari pasar uang, kebijakan ini diperkirakan akan memberikan dampak yang positif bagi sektor keuangan dengan menciptakan suku bunga yang relatif rendah. Rendahnya tingkat suku bunga menciptakan iklim yang kondusif bagi perekonomian untuk merangsang tingkat investasi agar lebih besar lagi. Selain itu juga perlu disadari bahwa rendahnya tingkat suku bunga perbankan akan mengakibatkan terjadinya pergeseran modal dari sistem perbankan ke pasar modal yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Pergeseran investasi ke pasar modal akan semakin menggairahkan sistem perekonomian dan memperkuat landasan ekonomi pasar di Indonesia. Modal yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan kegiatan investasi
225 lanjutan. Sehingga penurunan tingkat suku bunga riil pada sistem perbankan memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah semakin murahnya biaya pinjaman uang (cost of money) dari sistem perbankan sehingga merangsang pengusaha untuk berinvestasi. Kedua, menurunnya tingkat suku bunga riil di sektor perbankan akan membuat deposan mengalihkan uang dari perbankan ke pasar modal. Peningkatan transaksi di pasar modal akan semakin menggairahkan jual beli saham di pasar modal dan sekaligus memperbesar peluang pengusaha dalam memanfaatkan dana berlimpah di pasar modal. Penawaran uang akan naik sebesar 2.905 persen dan permintaan uang akan naik sebesar 3.153 persen. Hal ini mengakibatkan tingkat suku bunga mengalami penurunan sebesar 6.676 persen. Selain itu, kebijakan ini mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian, yang terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 12.936 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 22.464 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional mengalami penurunan sebesar 15.888 persen. Besarnya penurunan angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh positif peningkatan belanja pemerintah, penurunan pengangguran, serta penurunan harga jual eceran elpiji, yang sangat penting bagi konsumsi energi masyarakat perkotaan. Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji
Alokasi belanja subsidi energi yaitu subsidi BBM dan listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 2.15 persen dari PDB pada tahun 2002 menjadi 6.68 persen dari PDB pada tahun 2009. Subsidi memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu pihak subsidi sangat diperlukan oleh masyarakat ketika terjadi krisis atau lonjakan harga barang-barang kebutuhan primer. Salah satu ciri
226 barang kebutuhan primer adalah tidak elastisnya permintaan barang tersebut terhadap harganya, selain juga sulit atau tidak ada barang substitusinya. Kenaikan harga barang primer, sebagai contoh barang primer adalah BBM, cenderung akan menurunkan kemampuan daya beli dan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang primer melalui mekanisme pajak atau subsidi. Minyak tanah adalah sumber energi utama rumahtangga di banyak negara Asia. Karena itu subsidi minyak tanah masih lazim diberikan di beberapa negara Asia, seperti Turkmenistan, Bhutan, India, dan Indonesia (Shikha Jha, et al., 2009). Di pihak lain, belanja subsidi merupakan belanja non-discretionary
spending atau belanja wajib seperti halnya pembayaran biaya bunga dan hutang pokok pinjaman. Belanja subsidi ini cenderung meningkat dan akan berpotensi mengganggu keberlanjutan anggaran pemerintah. Hal ini seterusnya akan dapat mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia yang dapat mengakibatkan terjadinya capital flight dan melemahnya mata uang rupiah. Jika nilai tukar rupiah melemah maka harga barang-barang domestik akan ikut melonjak karena tingginya porsi barang-barang impor dalam perekonomian Indonesia. Inflasi yang tinggi akan meningkatkan beban perekonomian rakyat, melemahnya daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi terganggu, pengangguran dan kemiskinan akan meningkat. Dampak lain dari peningkatan beban subsidi adalah berkurangnya fiscal space dan sekaligus juga berkurangnya kesempatan pemerintah untuk melaksanakan berbagai program penting dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan prasarana lainnya.
227 Menyadari hal-hal diatas, pemerintah melakukan upaya kebijakan antara lain berupa penyesuaian harga BBM, konversi minyak tanah ke elpji, efisiensi PT Pertamina melalui pengurangan biaya distribusi dan margin (faktor alpha), pengendalian konsumsi BBM, serta pemanfaatan energi alternatif (Departemen Keuangan, 2009b). Penyesuaian harga BBM merupakan salah satu pilihan kebijakan yang dapat dilakukan baik ketika harga dunia minyak mentah meningkat, nilai tukar rupiah merosot, atau pemerintah berupaya mengurangi beban APBN melalui penghematan subsidi BBM. Pengurangan subsidi harga dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga terhadap harga keekonomian masing-masing jenis BBM. Porsi subsidi harga premium yang semula 38.42 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi subsidi harga minyak solar yang semula 29.27 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi subsidi harga minyak tanah yang semula 72.49 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 40.00 persen. Porsi subsidi harga elpiji yang semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 10.00 persen. Dampak dari pengurangan subsidi harga BBM dapat dilihat pada Tabel 52. Ditinjau dari sisi pasar BBM, kebijakan ini berdampak pada peningkatan harga-harga BBM. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada minyak tanah sebesar 102.742 persen. Peningkatan harga ini berdampak pada penurunan tingkat konsumsi, yang tertinggi adalah konsumsi minyak tanah yang turun sebesar 16.378 persen. Penurunan tingkat konsumsi energi, seperti yang dikemukakan oleh Afiatno (2006), memiliki pengaruh terhadap tingkat kegiatan perekonomian pada umumnya.
228 Siddiqui (2004) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Pakistan periode 1971-2003. Peningkatan penawaran energi pada harga yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Pengaturan harga energi agar terjangkau masyarakat dilakukan melalui deregulasi. Kenaikan harga energi akan mengurangi permintaan energi, dan akibatnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu kebijakan mengenai harga energi, khususnya harga jual eceran BBM, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Lamech and O’Sullivan (2002) dalam Siddiqui (2004) menekankan pentingnya peran energi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan harus terkait dengan upaya perluasan akses terhadap energi, menerapkan strategi fiskal berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dalam rangka melaksanakan kebijakan energi, dan kebijakan fiskal yang ketat untuk mengoptimalkan penggunaan energi. Hasil simulasi peramalan kebijakan ini mengakibatkan dampak negatif terhadap perkembangan perekonomian pada umumnya. Kondisi ini terlihat dari menurunnya investasi dan ekspor bersih serta penurunan besaran GDP nasional. Penurunan GDP nasional tampaknya diakibatkan oleh penurunan konsumsi energi sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Selanjutnya, perrmintaan uang mengalami penurunan lebih cepat dari penawarannya, sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga meningkat sebesar 5.040 persen. Peningkatan suku bunga mengakibatkan investasi baik investasi migas
maupun
investasi
non-migas
mengalami
penurunan.
Penyediaan
kesempatan kerja yang menyerap pencari kerja, sangat ditentukan oleh besarnya
229 investasi dalam negeri. Oleh karena penurunan investasi juga berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja, maka jumlah tenaga kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja mengalami peningkatan sebesar 4.362 persen. Kenaikan harga-harga BBM berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar 12.083 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar 0.284 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan
tingkat
upah
nasional,
dan
penurunan
belanja
pemerintah
mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk miskin nasional naik 16.313 persen. Meskipun
simulasi
kebijakan
ini
berdampak
kurang
baik
bagi
perekonomian, namun penurunan subsidi harga telah mampu mengurangi defisit anggaran pemerintah melalui penurunan subsidi BBM sebesar 37.718 persen. Penurunan subsidi ini disebabkan oleh penurunan anggaran subsidi harga yang diikuti oleh penurunan jumlah konsumsinya. Artinya dengan kebijakan ini pemerintah berhasil melakukan penghematan anggaran belanja sebagai akibat dari penurunan subsidi BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Penghematan ini selanjutnya juga berhasil menurunkan gap fiskal pemerintah sebesar Rp. 49 821 miliar. Penghematan belanja negara merupakan suatu peluang bagi pemerintah memperbesar fiscal space atau menetapkan kebijakan realokasi anggaran bagi pos anggaran yang memerlukan penambahan dana seperti pembangunan prasarana dan pengentasan kemiskinan. Khusus pada tahun fiskal 2009, strategi kebijakan fiskal pemerintah antara lain: (1) pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik, dan (2) reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM
230 dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan dalam negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (Departemen Keuangan, 2009b). Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka menciptakan kebijakan fiskal yang sehat dan sustainable, pemerintah berusaha mengendalikan beban anggaran subsidi. Pada tahun fiskal 2009, langkah-langkah penghematan subsidi energi yang dilakukan pemerintah antara lain meliputi percepatan dan perluasan program konversi BBM ke elpiji (Departemen Keuangan, 2009b). Dalam penelitian ini, konversi BBM ke elpiji dilakukan dengan menaikkan harga jual eceran minyak tanah dan pada saat bersamaan menurunkan harga jual eceran elpiji, melalui pengurangan atau penambahan subsidi harganya. Apabila harga jual eceran minyak tanah meningkat, maka sesuai mekanisme pasar, jumlah permintaannya akan menurun sehingga terjadi penghematan volume konsumsi minyak tanah. Minyak tanah yang dihemat atau dikurangi konsumsinya akan digantikan oleh elpiji yang harga jual ecerannya diturunkan. Pengurangan subsidi harga minyak tanah dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga minyak tanah terhadap harga keekonomiannya, yang semula 72.49 persen menjadi 30.00 persen. Penambahan subsidi harga elpiji dilakukan dengan meningkatkan porsi subsidi harga elpiji terhadap harga keekonomiannya, yang semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen. Tabel 52 menyajikan dampak dari simulasi program konversi minyak tanah ke elpiji. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, penurunan subsidi minyak tanah mengakibatkan harga minyak tanah meningkat sebesar 141.352 persen, sementara harga elpiji mengalami penurunan sebesar 13.734 persen. Dengan
231 demikian diharapkan bahwa jumlah konsumsi minyak tanah akan turun yang kemudian akan digantikan oleh konsumsi elpiji yang harga jual ecerannya turun. Dalam kenyataannya, jumlah konsumsi minyak tanah mengalami penurunan sebesar 22.555 persen, sementara jumlah konsumsi elpiji mengalami kenaikan sebesar 4.150 persen. Dampak dari simulasi kebijakan ini sangat dirasakan oleh rumahtangga yang kebutuhan energi memasaknya berasal dari minyak tanah. Menurut BPS, (2008a), kebutuhan energi untuk memasak rumahtangga Indonesia tahun 2007 berasal dari kayu bakar 49.38 persen, minyak tanah 36.57 persen, dan elpiji 10.57 persen. Transformasi penyediaan energi dari minyak tanah ke elpiji sangat dirasakan oleh penduduk miskin perkotaan karena keterbatasan alternatif energi memasak yaitu minyak tanah dan elpiji, sementara penduduk miskin perdesaan memiliki alternatif yang lebih luas yaitu minyak tanah, elpiji, dan kayu bakar. Karena itu jelas terlihat bahwa simulasi ini membawa dampak peningkatan jumlah orang miskin di perkotaan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah orang miskin di perdesaan. Penduduk miskin di perkotaan lebih sensitif terhadap dampak negatif program konversi minyak tanah ke elpiji, dibandingkan dengan penduduk miskin di perdesaan. Hasil simulasi ini ternyata mampu menurunkan volume konsumsi dan subsidi minyak tanah berturut-turut 22.555 persen dan 63.512 persen, yang pada saat bersamaan menaikkan volume konsumsi dan subsidi elpiji berturut-turut 4.150 persen dan 74.103 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa simulasi kebijakan ini menurunkan subsidi BBM 19.978 persen atau penghematan sebesar Rp. 27 799 miliar dan pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 26 582 miliar.
232 Simulasi kebijakan ini berdampak pada penurunan GDP nasional sebesar 1.079 persen. Penurunan GDP nasional disumbang sebagian besar oleh penurunan belanja nasional sebesar 4.684 persen, yang disebabkan oleh penurunan belanja subsidi. Selanjutnya tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar 6.756 persen. Dampak kurang baik terhadap perekonomian, selain berasal dari penurunan belanja negara, kemungkinan besar juga berasal dari penurunan konsumsi energi minyak tanah yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan konsumsi elpiji. Hasil simulasi menunjukkan bahwa konsumsi minyak tanah turun sebesar 2 884 704 kiloliter yang kemudian dikompensasi oleh kenaikan konsumsi elpiji sebesar 54 626 ton. Pada faktor substitusi 0.35
33
, penurunan konsumsi minyak
tanah sebesar itu harus dikompensasi dengan tambahan konsumsi elpiji sebanyak 1 009 646 ton atau terdapat selisih hampir 1 juta ton elpiji. Karena tidak seluruh pengurangan konsumsi minyak tanah dapat dikompensasi oleh elpiji, ada kemungkinan sebagian masyarakat mengurangi tingkat konsumsi energinya atau kembali menggunakan kayu bakar. Kedua hal ini yang kemungkinan besar memberikan sumbangan terhadap penurunan kegiatan perekonomian nasional. Konversi minyak tanah ke elpiji berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar 5.552 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar 0.170 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan 33
Menggunakan asumsi bahwa pola konsumsi rumahtangga akan minyak tanah dan elpiji pada periode peramalan 2010-2014 sama dengan pola konsumsi tahun 2007, maka 12 789 797 kiloliter minyak tanah mensuplai 36.57 persen rumahtangga dan 1 316 242 ton elpiji mensuplai 10.57 persen rumahtangga. Apabila kebutuhan 10.57 persern rumahtangga dipenuhi dari minyak tanah, maka diperlukan sekitar (0.1057/0.3657) * 12 789 797 kiloliter = 3 696 695 kiloliter minyak tanah yang setara dengan 1 316 242 ton elpiji. Jadi faktor substitusi minyak tanah terhadap elpiji adalah (1 316 242 / 3 696 695) = 0.35. Artinya, untuk menggantikan 1 316 242 ton elpiji dibutuhkan sekitar 3 696 695 kiloliter minyak tanah.
233 tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk nasional naik sebesar 8.616 persen. Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam APBN tahun fiskal 2009 (Departemen Keuangan, 2009b), pemerintah berusaha menekan peningkatan konsumsi BBM. Beberapa upaya yang akan dilakukan pemerintah antara lain adalah: (1) mempercepat program konversi bahan bakar minyak rumahtangga ke elpiji, (2) memanfaatkan energi alternatif seperti batubara, gas bumi, panas bumi, air, dan bahan bakar nabati, (3) mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal dan nonfiskal. Dalam rangka menjabarkan kebijakan peramalan tersebut, simulasi ini melakukan program konversi minyak tanah ke elpiji dan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal. Dengan asumsi bahwa premium banyak dikonsumsi oleh masyarakat golongan menengah atas, maka subsidi harganya diturunkan lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga minyak solar. Sementara minyak solar, yang seringkali dikaitkan dengan kegiatan usaha dan industri, penurunan subsidi harganya lebih kecil dibandingkan dengan premium. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan harga jual eceran premium lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga jual eceran minyak solar, sedemikian sehingga harga jual eceran minyak solar relatif masih lebih terjangkau dibandingkan dengan premium. Dengan demikian, subsidi harga premium dikurangi dari semula 38.42 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya, subsidi harga minyak solar dikurangi dari semula 29.27 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya,
234 subsidi harga minyak tanah dikurangi dari semula 72.49 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya. Hasil simulasi kebijakan peramalan ini dapat dillihat pada Tabel 52. Dalam rangka mendukung program konversi minyak tanah ke elpiji, simulasi kebijakan peramalan ini menaikkan harga jual eceran minyak tanah luar biasa tinggi yaitu 145.136 persen. Di lain pihak, meskipun harga jual eceran elpiji diturunkan agar konsumsinya meningkat, namun penurunan harga jual ecerannya relatif kecil yaitu 12.498 persen. Hasil simulasi ini mengurangi jumlah konsumsi premium, minyak solar, dan minyak tanah. Jumlah konsumsi premium dan minyak solar berkurang masing-masing sebesar 2.180 dan 2.647 persen. Sementara jumlah konsumsi minyak tanah berkurang 23.104 persen atau 2 954 955 kiloliter yang dikompensasi dengan penambahan elpiji sebesar 4.051 persen atau 53 321 ton. Jumlah kompensasi elpiji masih jauh dari yang diharapkan dan tidak sebanding dengan pengurangan minyak tanah. Karena itu diperkirakan ada rumahtangga yang mengurangi jumlah konsumsi energinya atau melakukan substitusi sumber energi dari minyak tanah ke kayu bakar atau sumber energi lainnya. Simulasi peramalan kebijakan ini berdampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini diindikasikan oleh penurunan investasi nasional, penurunan net ekspor, dan GDP nasional. Sebagai akibat dari penurunan belanja subsidi, maka anggaran belanja negara mengalami penurunan cukup besar yaitu 9.865 persen, yang selanjutnya mengurangi GDP nasional sebesar 2.081 persen. Dari segi pandangan kebijakan moneter, penurunan GDP nasional mampu
235 menurunkan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga mengalami peningkatan sebesar 5.929 persen. Besarnya biaya uang akan mengakibatkan investor mengurangi kegiatan investasinya, baik investasi di sektor migas maupun non-migas. Penurunan GDP nasional memiliki arti lain dari pandangan sektor riil yaitu mengindikasikan kurangnya gairah pengusaha meningkatkan produksi karena lemahnya daya serap konsumen dan berkurangnya investasi baru. Kedua hal ini berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja dan juga penurunan upah. Penurunan permintaan tenaga kerja, pada kondisi penawaran tenaga kerja relatif konstan, berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran sebesar 5.126 persen. Kombinasi dari peningkatan pengangguran, penurunan belanja anggaran negara, penurunan upah nasional, tingginya inflasi, yang meskipun dinetralisasi dengan penurunan harga jual eceran elpiji, membawa dampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 15.479 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 25.560 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 18.291 persen. Pengurangan subsidi BBM cenderung mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Namun disisi lain terlihat bahwa pengurangan subsidi memberikan dampak positif berupa penciptaan ruang fiskal yang lebih besar dan kesempatan realokasi anggaran pada pos-pos kegiatan yang sangat membutuhkan. Penempatan anggaran pada ruang fiskal menjadi sangat penting karena besarnya ketidakpastian perekonomian dunia dan juga sebagai dampak dari globalisasi. Globalisasi telah mendekatkan kepentingan antar negara dan menciptakan ketergantungan sangat tinggi antar negara, terutama negara-negara yang memiliki
236 hubungan dagang yang penting. Gejolak politik, keamanan, sosial, bahkan moneter yang memiliki dampak terhadap nilai tukar, inflasi, atau pasar saham di suatu negara akan menjalar dengan cepat ke negara mitra dagangnya. Krisis keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah memicu ketidakstabilan dunia, dimana nilai tukar dan pasar saham Indonesia sempat mengalami penurunan. Ketidakstabilan eksternal tersebut ditambah dengan masalah-masalah internal seperti gejolak politik dan penataan kehidupan demokrasi, mengharuskan pemerintah bersikap hati-hati dalam melakukan kebijakan fiskal. Dalam kerangka inilah ruang fiskal menjadi sangat penting peranannya dalam menjaga momentum pembangunan. Dibandingkan dengan simulasi 4, maka simulasi peramalan ini mampu mengurangi subsidi dalam jumlah yang lebih besar, karena premium dan minyak solar juga berkurang subsidinya. Subsidi harga premium dan minyak solar berkurang berturut-turut sebesar 40.415 persen atau Rp. 686 per liter dan 21.775 persen atau Rp. 296 per liter. Subsidi harga minyak tanah berkurang sebesar 52.624 persen atau Rp. 1 871 per liter, dan subsidi harga elpiji meningkat sebesar 68.880 persen atau Rp. 376 per kilogram. Kombinasi dari penurunan subsidi harga dengan penurunan jumlah konsumsi mengakibatkan subsidi berkurang dalam jumlah yang besar atau terjadi penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 59 126 miliar. Selanjutnya penghematan yang berasal dari penurunan belanja subsidi BBM mampu memberikan tambahan ruang fiskal bagi anggaran belanja negara sebesar Rp. 56 123 miliar.
237 Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka mengatasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap kestabilan anggaran belanja negara, pemerintah melakukan berbagai upaya. Dari sisi penerimaan, upaya yang dilakukan antara lain berupa pengoptimalan penerimaan negara, intensifikasi perpajakan, peningkatan produksi migas (lifting), dan pencarian sumber-sumber penerimaan lain. Dari sisi pengeluaran, upaya pemerintah
antara lain melakukan penghematan belanja,
penjadwalan pelaksanaan proyek-proyek yang tidak terlalu penting, penjadwalan pembayaran hutang dalam negeri atau luar negeri, dan terakhir adalah peningkatan harga jual eceran BBM. Simulasi peramalan ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 52, merupakan kombinasi simulasi 1 + simulasi 2 + simulasi 5. Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan peningkatan penerimaan dalam negeri dapat mengatasi dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM yang dilakukan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Kebijakan pengurangan subsidi BBM, di satu pihak, telah mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini terutama dikarenakan pengurangan subsidi berakibat pada penurunan
anggaran
belanja
negara yang
selanjutnya akan
cenderung
menyebabkan kontraksi perekonomian. Dalam rangka mengatasi penurunan anggaran belanja negara, simulasi ini meningkatkan penerimaan dalam negeri pemerintah. Peningkatan penerimaan dalam negeri tidak hanya akan menambah anggaran belanja negara, tetapi juga akan memperbaiki gap fiskal karena sumber pendanaannya berasal dari dalam
238 negeri. Meningkatnya penerimaan dalam negeri dapat digunakan untuk menambah subsidi harga BBM, yang harga dunianya meningkat sebesar 5 persen. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat dan harga jual eceran BBM relatif konstan, maka selisih antara harga keekonomian dengan harga jual ecerannya akan semakin melebar. Karena itu, ketika harga dunia minyak mentah meningkat, maka anggaran subsidi cenderung meningkat, yang salah satu sumber pendanaannya berasal dari peningkatan penerimaan dalam negeri. Simulasi peramalan kebijakan ini tampaknya mampu menjaga stabilitas anggaran belanja negara, dimana anggaran belanja negara hanya turun sebesar 0.327 persen. Penurunan anggaran belanja negara yang relatif kecil diharapkan dapat meredam dampak negatif dari penurunan subsidi. Meskipun demikian, nilai ekspor bersih dan investasi nasional mengalami penurunan yang cukup besar sehingga GDP nasional tetap mengalami penurunan sebesar 0.600 persen. Meskipun GDP nasional mengalami perlambatan penurunan, namun tingkat pertumbuhan ekonomi nasional masih menurun sebesar 4.721 persen. Pada simulasi ini terlihat bahwa subsidi harga BBM menanggung sebagian porsi dari kenaikan harga dunia minyak mentah 5 persen. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat, maka meningkat pula subsidi harga dan harga jual eceran BBM secara proporsional. Dibandingkan dengan simulasi 5, subsidi harga BBM rata-rata mengalami kenaikan 5 persen, yaitu subsidi harga premium naik dari Rp. 1 011 per liter menjadi Rp. 1 062 per liter, subsidi harga minyak solar naik dari Rp. 1 063 per liter menjadi Rp. 1 116 per liter, subsidi harga minyak tanah naik dari semula Rp. 1 684 per liter menjadi Rp. 1 768 per liter, dan subsidi harga elpiji naik dari Rp. 914 per kg menjadi Rp. 960 per kg.
239 Bagian lain dari kenaikan harga dunia minyak mentah akan dibebankan kepada konsumen melalui peningkatan harga jual eceran. Dibandingkan dengan simulasi 5, harga jual eceran premium naik 7.63 persen dari semula Rp. 3 485 per liter menjadi Rp. 3 751 per liter, minyak solar naik 7.62 persen dari semula Rp. 3 662 per liter menjadi Rp. 3 941 per liter, minyak tanah naik 8.89 persern dari semula Rp. 3 308 per liter menjadi Rp. 3 602 per liter, dan elpiji naik 8.31 persen dari semula Rp. 2 201 per kg menjadi Rp. 2 384 per kg. Akibat lanjut dari kenaikan harga jual eceran adalah menurunnya konsumsi BBM. Sebagai contoh, konsumsi minyak tanah turun dari semula 9.83 juta kiloliter menjadi 9.41 juta kiloliter, sedangkan konsumsi elpiji juga mengalami penurunan dari semula 1.37 juta ton menjadi 1.36 juta ton. Terhadap nilai dasar peramalan, konsumsi minyak tanah turun 26.421 persen atau 3 379 182 kiloliter dan konsumsi elpiji naik 3.209 persen atau 42 237 ton. Dari kondisi ini terdapat indikasi bahwa pengurangan konsumsi minyak tanah tidak diimbangi dengan penambahan konsumsi elpiji, sehingga ada rumahtangga yang mengalihkan sumber energinya ke sumber lain seperti ke kayu bakar, biomassa lain, atau mengurangi konsumsi energinya. Secara umum simulasi peramalan kebijakan ini masih mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian, meskipun kenaikan penerimaan dalam negeri telah berhasil meredam sebagian dampak negatifnya. Tingkat suku bunga masih mengalami kenaikan sehingga investasi migas dan non-migas mengalami perlambatan, yang nantinya akan berdampak pada penurunan GDP nasional. Penurunan anggaran belanja negara dan perlambatan pertumbuhan ekonomi telah memaksa kegiatan ekonomi mengalami ’slowing-down’ sehingga permintaan
240 tenaga kerja juga mengalami penurunan. Akibat lanjutnya adalah terjadi penurunan upah nasional dan terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebesar 2.204 persen. Interaksi dari berbagai faktor diatas ternyata berhasil mempengaruhi tingkat kehidupan masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan. Penurunan upah nasional, peningkatan pengangguran, dan berkurangnya anggaran belanja negara turut memberikan sumbangan atas pertambahan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 5.385 persen. Strategi pengurangan subsidi BBM tampaknya berhasil memperbaiki gap fiskal anggaran belanja negara, meningkatkan ruang fiskal, serta realokasi anggaran bagi program-program yang lebih mendesak. Simulasi ini berhasil menghemat subsidi BBM sebesar Rp. 60 845 miliar atau penurunan sebesar 43.276 persen. Penghematan subsidi berdampak pada pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 51 901 miliar atau penurunan sebesar 54.474 persen. Penurunan gap fiskal ini sangat penting dalam rangka menciptakan strategi fiskal yang berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan dari sumber dana luar negeri. Penghematan subsidi BBM, dari sudut kebijakan fiskal, ternyata memberikan hasil positif dan menjanjikan serta memiliki prospek fiskal jangka panjang. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui dampak lanjutan dari simulasi 6 dengan melakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 60 485 miliar. Penghematan subsidi BBM yang diperoleh dari
241 simulasi 6 berhasil mengurangi gap fiskal. Namun, diketahui bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, peranan anggaran belanja negara masih dominan dalam menggerakkan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mempertahankan besaran anggaran belanja negara sama seperti sebelumnya, penghematan subsidi BBM tersebut dimasukkan kembali dalam anggaran belanja melalui penambahannya pada variabel belanja pemerintah diluar subsidi BBM (GOVENS). Simulasi 7 adalah melakukan penambahan anggaran sebesar Rp. 60 485 miliar, yang berasal dari penghematan subsidi BBM pada simulasi 6, pada variabel GOVENS. Realokasi anggaran tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan berbagai kebijakan fiskal diluar subsidi BBM, seperti pengembangan ruang fiskal, pembangunan prasarana, penambahan anggaran pro-rakyat, atau program lain yang dianggap lebih mendesak. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52. Hasil simulasi ini serupa dengan hasil simulasi 6 pada beberapa hal diantaranya yaitu besaran subsidi harga BBM, besaran harga jual eceran BBM, dampak terhadap jumlah konsumsi BBM, dan ekspor bersih BBM. Dampak yang membedakan antara simulasi 6 dan 7 adalah pada simulasi 7 dilakukan realokasi anggaran belanja negara yang berasal dari penghematan subsidi BBM, sehingga belanja pemerintah meningkat 10.177 persen. Peningkatan anggaran belanja negara ini ternyata mampu mengurangi dampak kurang baik dari simulasi kebijakan penghematan subsidi BBM menjadi lebih positif bagi kinerja perekonomian dan kemiskinan. Peningkatan anggaran belanja negara sebesar 10.177 persen, yang bersama-sama dengan penurunan ekspor bersih dan investasi nasional, masih
242 mampu meningkatkan GDP nasional sebesar 1.606 persen. Peningkatan anggaran belanja negara dan GDP nasional cenderung mengakibatkan dampak positif bagi perekonomian dan kemiskinan. Simulasi ini memberikan dampak positif bagi perekonomian dengan melihat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi positif 9.591 persen dan tingkat suku bunga turun 6.121 persen. Penurunan suku bunga akan memicu peningkatan investasi dan meningkatkan produksi barang dan jasa sehingga diperlukan tambahan tenaga kerja cukup besar yaitu 0.554 persen. Tingkat suku bunga adalah salah satu unsur penting dalam proses keputusan bisnis karena akan mempengaruhi kemampuan melunasi pinjaman serta tingkat keuntungan yang dapat dicapai. Selanjutnya, besarnya permintaan tenaga kerja mengakibatkan tenaga kerja yang tidak bekerja mendapat pekerjaan dan pengangguran menjadi berkurang. Berkurangnya pengangguran berarti semakin banyak masyarakat yang memiliki penghasilan sendiri dan semakin terangkat dari garis kemiskinan. Interaksi dari berbagai faktor diatas berhasil meningkatkan taraf kehidupan masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan. Penurunan upah nasional, penurunan pengangguran, dan peningkatan anggaran belanja negara turut memberikan sumbangan atas berkurangnya jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional turun sebesar 10.590 persen. Strategi realokasi anggaran belanja tampaknya tidak menguntungkan dalam upaya pengurangan gap fiskal, meskipun terjadi penghematan subsidi BBM sebesar 43.781 persen. Simulasi ini cenderung meningkatkan gap fiskal sebesar 9.678 persen yang kurang kondusif dari sudut pandang kebijakan fiskal yang
243 berkelanjutan atau kebijakan ketahanan fiskal. Strategi realokasi yang dilakukan pada simulasi ini ternyata membutuhkan tambahan dana yang berasal dari hibah atau pinjaman luar negeri untuk menutup gap fiskal yang semakin melebar. Beberapa indikator ketahanan fiskal yang dapat digunakan, selain perkembangan rasio utang terhadap PDB, adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang terhadap PDB, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara. Rasio utang terhadap PDB menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaaan utang yang dilakukan, sehingga semakin rendah tingkat rasio maka semakin efisien pemanfaatan utang. Pada 5 tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB menunjukkan angka yang berkisar pada 4.7 persen terhadap PDB (Departemen Keuangan, 2009b). Realokasi anggaran belanja negara pada simulasi ini mengarah pada strategi yang dikenal sebagai stimulus fiskal. Pemanfaatan stimulus fiskal dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain adalah: (1) pemberian insentif perpajakan pada sektor-sektor yang produktif dan memiliki efek multiplikasi yang besar, (2) optimalisasi belanja negara untuk sarana dan prasarana pembangunan demi penciptaan lapangan kerja dan memberikan dukungan bagi sektor swasta, (3) alokasi belanja negara untuk meningkatkan daya beli masyarakat bepenghasilan rendah dalam bentuk subsidi energi dan non-energi, dan (4) dukungan pemerintah kepada swasta dalam pembangunan infrastruktur (public-private partnership). Pada saat ini pemerintah sedang menghadapi dilemma perihal pembayaran pokok hutang dan bunga pinjaman yang semakin membesar. Pada tahun 2009 (Departemen Keuangan, 2009b) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan utang dalam jangka panjang, berpedoman pada: (1) penurunan rasio utang terhadap PDB
244 secara bertahap, (2) penetapan target tambahan utang bersih maksimal terhadap PDB dengan kisaran kurang lebih 1 persen, dan (3) pengurangan secara bertahap ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa simulasi ini berdampak relatif baik bagi perekonomian dan pengurangan kemiskinan, namun ternyata peningkatan kebutuhan akan utang luar negeri perlu diwaspadai. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Kenaikan Indek Harga Konsumen 5 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi 8, yaitu simulasi 7 ditambah kenaikan indek harga konsumen 5 persen, dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih utuh mengenai kondisi dunia nyata ketika beberapa variabel endogen bergerak bersama-sama. Hasil simulasi dharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil keputusan akan dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM ketika terjadi tambahan tingkat inflasi sebesar 5 persen. Penambahan tingkat inflasi diperkirakan akan membuat perekonomian sedikit memburuk karena harga-harga umum cenderung meningkat dan daya beli masyarakat turun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52. Easterly (2001) melakukan studi pada 31 869 responden di 38 negara dengan memperhatikan perbedaan karakteristik antar-negara. Masyarakat kurang mampu, yang dicirikan antara lain rendahnya pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, tenaga kerja tidak terdidik, sangat rentan terkena dampak negatif dari inflasi, dibandingkan dengan masyarakat mampu. Inflasi tinggi akan cenderung mengakibatkan penambahan jumlah orang miskin, kelompok masyarakat miskin
245 menjadi semakin miskin, penurunan upah riil, dan akhirnya kontrisbusinya terhadap GDP yang sudah kecil menjadi semakin kecil. Inflasi juga berdampak pada kegiatan perekonomian nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Elder (2004) di Amerika Serikat menemukan bahwa ketidakpastian inflasi berdampak pada penurunan penawaran barang dan jasa, penurunan aktivitas riil ekonomi nasional, dan penurunan pertumbuhan produksi nasional. Kebijakan ekonomi yang mampu mengurangi ketidakpastian inflasi akan cenderung mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Simulasi ini menghasilkan dampak terhadap peningkatan harga jual eceran BBM yang semakin besar, yang tampaknya disebabkan oleh efek peningkatan inflasi. Dalam kondisi inflasi yang semakin tinggi, maka nilai uang akan semakin menurun, yang diindikasikan oleh naiknya harga barang dan jasa. Dibandingkan dengan simulasi 7, harga jual eceran premium yang semula meningkat 38.407 persen menjadi 41.120 persen, minyak solar yang semula meningkat 20.491 persen menjadi 22.854 persen, minyak tanah yang semula meningkat 168.134 persen menjadi 174.203 persen, dan elpiji yang semula turun 4.834 persen menjadi 2.731 persen. Peningkatan harga jual eceran yang semakin tinggi sebagai akibat dari semakin tingginya inflasi, juga mengakibatkan jumlah konsumsi BBM semakin menurun. Jumlah konsumsi premium yang semula turun 3.832 persen menjadi 4.198 persen, minyak solar yang semula turun 4.514 persen menjadi 5.186 persen, minyak tanah yang semula turun 26.583 persen menjadi 27.595 persen, dan elpiji yang semula naik 3.199 persen menjadi 2.770 persen. Dibandingkan dengan nilai dasar, jumlah konsumsi minyak tanah turun sebesar 27.595 persen atau 3 529 398 kiloliter, yang dikompensasi dengan
246 kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebesar 36 457 ton. Menggunakan faktor substitusi 0.35, maka penurunan jumlah konsumsi minyak tanah tersebut setara dengan kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebanyak 1 235 289 ton elpiji, sehingga terdapat kekurangan sebesar 1 198 832 ton elpiji. Dengan demikian, pada simulasi ini terlihat bahwa peningkatan jumlah konsumsi elpiji hanya mampu mengkompensasi sebagian kecil penurunan konsumsi minyak tanah. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan konsumsi energi dalam perekonomian yang akan berdampak pada penurunan kapasitas kegiatan perekonomian dan selanjutnya akan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. Ekspor bersih mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin mahalnya harga impor BBM dalam mata uang rupiah. Selain nilai impor yang semakin mahal, juga terjadi peningkatan jumlah impor premium. Peningkatan volume impor premium disebabkan oleh elastisnya impor premium terhadap inflasi domestik dan harga dunia premium. Kombinasi dari penurunan nilai ekspor bersih, investasi, dan konsumsi nasional serta kenaikan anggaran belanja negara mengakibatkan GDP nasional mengalami peningkatan sebesar 0.996 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen. Simulasi peramalan kebijakan ini memberikan dampak yang relatif kurang baik bagi pasar tenaga kerja. Ketika tingkat suku bunga mengalami peningkatan maka terjadi kelesuan dalam kegiatan penanaman modal dan kegiatan produksi, yang menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja lebih kecil dari peningkatan penawarannya, sehingga terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja
247 dan jumlah pengangguran meningkat sebesar 0.479 persen. Dampak selanjutnya adalah menurunnya tingkat upah nasional. Simulasi ini menghasilkan dampak yang relatif baik terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Kombinasi dari penurunan upah nasional, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan harga jual eceran elpiji, peningkatan anggaran belanja negara, dan tingkat inflasi yang tinggi, mengakibatkan penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan dan di perkotaan masing-masing sebesar 4.821 persen dan 16.303 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin di kedua daerah tersebut mengakibatkan penurunan tingkat penduduk miskin nasional sebesar 7.967 persen. Penurunan penduduk miskin tampaknya disebabkan oleh peningkatan anggaran belanja negara. Dari seluruh variabel endogen pembentuk persamaan kemiskinan, variabel inflasi, pengangguran, dan upah nasional menunjukkan kinerja yang buruk. Hanya variabel endogen anggaran belanja negara dan harga jual eceran elpiji yang menunjukkan indikasi kondusit terhadap upaya pengurangan kemiskinan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam rangka program pengentasan kemiskinan, peranan belanja pemerintah di Indonesia masih dominan dan strategis. Ketika inflasi sangat tinggi yaitu 27.408 persen, pengangguran meningkat, dan upah nasional menurun, namun karena anggaran belanja negara yang meningkat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen, maka tingkat kemiskinan nasional berhasil dikurangi. Meskipun dalam simulasi ini terlihat betapa penting dan strategisnya peranan anggaran belanja negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
248 mengurangi kemiskinan, namun komponen pembentuk anggaran belanja negara tahun 2009 cukup mengkhawatirkan. Departemen Keuangan, 2009b, menyatakan bahwa dari jumlah anggaran belanja negara (pemerintah pusat) sebesar Rp. 716 400 miliar, sebagian besar yaitu 57.0 persen digunakan mendanai pengeluaran wajib seperti belanja pegawai sebesar 19.6 persen, pembayaran bunga utang sebesar 14.2 persen, dan subsidi sebesar 23.3 persen. Sedangkan porsi anggaran yang tidak mengikat hanya mencapai 43.0 persen yang meliputi belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Kecilnya porsi anggaran untuk belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain barangkali akan memberikan dampak yang berbeda terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi yang pro rakyat miskin tahun fiskal 2009, pemerintah melaksanakan berbagai program diantaranya adalah pemberian bantuan sosial, penyediaan Bantuan Langsung Tunai, penyediaan beras subsidi (raskin), program Kartu Sehat, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah. 6.3.
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Pada bagian ini dilakukan evaluasi skenario simulasi kebijakan menggunakan indikator kesejahteraan yang mencakup surplus produsen, surplus konsumen, dan perubahan subsidi BBM, untuk setiap jenis BBM, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 53. Metode evaluasi adalah menjumlahkan seluruh indikator sehingga diperoleh perubahan dampak bersih kesejahteraan.
249
Tabel 53. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014 No.
Uraian
1
Perubahan Kesejahteraan (Rp. Miliar) 2 3 4 5 6 7
8
A. Premium 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
8 079 -6 424 -160 1 495
-27 21 186 180
26 038 -20 565 -19 453 -13 979
690 26 421 -542 -20 824 326 -19 462 474 -13 864
35 691 -28 188 -19 743 -12 239
36 277 -28 584 -19 754 -12 060
39 820 -30 658 -19 855 -10 694
B. Minyak Solar 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
9 481 -8 829 -556 96
-3 125 2 879 3 400 3 154
13 857 -12 891 -11 161 -10 195
985 14 242 -908 -13 240 230 -11 183 306 -10 182
24 785 -23 197 -11 877 -10 288
25 381 -23 733 -11 904 -10 256
28 519 -26 558 -12 156 -10 195
C. Minyak Tanah 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
2069 -3457 -1354 -2742
-491 800 1 251 1 560
10 822 14 902 15 282 -19 184 -27 146 -27 938 -21 549 -28 890 -29 014 -29 911 -41 135 -41 670
17 474 -32 621 -29 740 -44 896
17 591 -32 874 -29 787 -45 070
18 195 -34 213 -29 998 -46 017
D. Elpiji 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
132 -134 89 87
-16 16 22 22
-410 405 534 529
-170 170 523 523
-157 157 523 523
-89 89 518 518
E. Bahan Bakar Minyak 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
19 760 -18 844 -1 981 -1 064
-3 659 3 717 4 859 4 917
51 094 16 126 55 536 -53 020 -28 152 -61 597 -52 484 -27 799 -59 126 -54 411 -39 825 -65 187
77 780 -83 835 -60 845 -66 900
79 092 -85 034 -60 921 -66 863
86 445 -91 340 -61 492 -66 387
Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
376 -381 -322 -326
-451 445 535 529
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
Simulasi 1 memberikan surplus bagi kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 19 760 miliar. Hal ini terjadi karena kenaikan harga dunia minyak mentah tidak seluruhnya dapat diserap oleh kenaikan subsidi harga BBM, sehingga harga
250 jual eceran BBM mengalami peningkatan. Peningkatan harga jual eceran BBM yang diikuti oleh penurunan konsumsinya mengakibatkan produsen relatif lebih menikmati manfaatnya dibandingkan konsumen. Di lain pihak, konsumen cenderung dirugikan dengan penurunan surplus sebesar Rp. 18 844 miliar. Dalam rangka mengatasi kenaikan harga dunia BBM, pemerintah berusaha meningkatkan anggaran subsidi harganya. Namun keterbatasan anggaran mengakibatkan dana yang tersedia tidak cukup sehingga terjadi kenaikan harga BBM dalam negeri. Kenaikan harga ini memicu penurunan konsumsinya, sehingga subsidi BBM mengalami penciutan sebesar Rp. 1 981 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 1 064 miliar. Simulasi 2 yang dicirikan oleh penurunan harga jual eceran BBM berdampak pada surplus konsumen sebesar Rp. 3 717 miliar. Hal ini terjadi karena kenaikan penerimaan dalam negeri akan memberikan kesempatan pemerintah untuk meningkatkan anggaran belanja, termasuk anggaran subsidi BBM. Kenaikan subsidi harga, dalam kondisi harga dunia minyak dan nilai tukar rupiah relatif stabil, akan mengakibatkan harga jual eceran turun. Konsumen minyak solar menikmati surplus terbesar, sementara konsumen elpiji menikmat surplus konsumen terkecil karena penurunan harga jual ecerannya yang paling kecil. Permintaan BBM tidak elastis terhadap perubahan harganya, namun dalam nilai mutlak, penurunan harga telah mengakibatkan peningkatan jumlah konsumsi yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan subsidi BBM sebesar Rp. 4 859 miliar. Pada akhirnya terjadi peningkatan dampak bersih kesejahteraan pada simulasi ini sebesar Rp. 4 917 miliar.
251 Simulasi 3 memberikan surplus bagi kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 51 094 miliar. Hal ini terjadi karena penurunan subsidi harga BBM akan menaikkan harga jual ecerannya, bahkan harga jual eceran minyak tanah meningkat 102.742 persen. Meskipun kenaikan harga jual eceran minyak tanah adalah yang terbesar, namun surplus produsen premium lebih besar dari minyak tanah. Hal ini dikarenakan harga dasar dan volume penjualan premium 2 kali lebih besar dari minyak tanah, sehingga kenaikan surplus produsen premium dalam nilai mutlak tetap 2 kali lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Simulasi peramalan penurunan subsidi harga mengakibatkan terjadinya penurunan subsidi BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Kenaikan harga jual eceran BBM mengakibatkan konsumen menderita dengan penurunan surplus konsumen sebesar Rp. 53 020 miliar. Akhirnya terjadi defisit dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 54 411 miliar. Simulasi 4 yang merupakan simulasi konversi minyak tanah ke elpiji, mengakibatkan kenaikan harga jual eceran minyak tanah dan penurunan harga jual eceran elpiji, sementara harga jual eceran premium dan minyak solar relatif tetap. Kenaikan jual eceran minyak tanah berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen minyak tanah sebesar Rp. 14 902 miliar, pengurangan kesejahteraan konsumennya sebesar Rp. 27 146 miliar, dan pengurangan subsidinya sebesar Rp. 28 890 miliar. Di lain pihak, penurunan harga jual eceran elpiji, berdampak pada penurunan kesejahteraan produsennya sebesar Rp. 451 miliar, peningkatan kesejahteraan konsumennya sebesar Rp. 445 miliar, dan peningkatan subsidinya sebesar Rp. 535 miliar. Simulasi ini ternyata mampu meningkatkan surplus produsen BBM sebesar Rp. 16 126 miliar. Surplus
252 produsen terbesar terjadi pada minyak tanah yaitu Rp. 14 902 miliar. Program konversi ternyata lebih memberikan manfaat bagi produsen dibandingkan terhadap konsumen. Selain itu penurunan subsidi BBM juga berperan besar dalam pengurangan kesejahteraan. Dampak bersih perubahan kesejahteraan adalah Rp. 39 825 miliar yang keluar dari masyarakat. Simulasi 5 adalah kombinasi dari penurunan subsidi harga premium dan minyak solar dengan program konversi minyak tanah ke elpiji. Simulasi ini meningkatkan kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 55 536 miliar, penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 61 597 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 59 126 miliar. Besarnya peralihan surplus dari konsumen ke produsen disebabkan karena simulasi ini mengakibatkan kenaikan seluruh harga jual eceran BBM yang cukup besar. Hal ini membuat produsen relatif lebih diuntungkan dibandingkan konsumen. Selain itu penurunan dampak bersih sebesar Rp. 65 187 miliar mengindikasikan bahwa simulasi ini perlu mendapat perhatian karena berpotensi menurunkan kesejahteraan pada umumnya. Simulasi 6 adalah kombinasi dari peningkatan harga dunia minyak mentah, peningkatan penerimaan dalam negeri, pengurangan subsidi BBM, dan konversi minyak tanah ke elpiji. Dalam upaya menetralisasi dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah, simulasi ini mengupayakan peningkatan subsidi harga BBM melalui peningkatan penerimaan dalam negeri. Tampaknya, kenaikan penerimaan dalam negeri sebesar 10 persen tidak berarti kenaikan subsidi harga BBM pada porsi yang sama. Alokasi belanja negara pada pos-pos anggaran merupakan keputusan politik yang tidak selalu sejalan dengan logika ekonomi. Karena itu, terlihat bahwa pada simulasi ini harga BBM meningkat lebih tajam
253 lagi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Sebagai akibat dari kenaikan harga jual eceran BBM tersebut, maka terjadi peralihan kesejahteraan dari konsumen ke sisi produsen. Surplus produsen terbesar pada produsen premium yang meningkat sebesar Rp. 35 691 miliar. Sementara surplus konsumen terbesar pada konsumen minyak tanah yang berkurang sebesar Rp. 32 621 miliar. Simulasi ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 77 780 miliar, pengurangan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 83 835 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 60 844 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 900 miliar. Simulasi 7 merupakan kombinasi dari simulasi 6 ditambah dengan realokasi dana yang berasal dari penghematan subsidi BBM kepada belanja pemerintah diluar subsidi BBM. Kebijakan realokasi ini relatif tidak berpengaruh terhadap peningkatan harga jual eceran BBM, termasuk pula pada jumlah konsumsinya. Karena itu, seperti yang dapat diduga, simulasi ini mengakibatkan peralihan kesejahteraan dari konsumen ke produsen. Simulasi ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 79 092 miliar, penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 85 034 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 60 921 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 863 miliar. Simulasi 8, merupakan kombinasi dari simulasi 7 ditambah dengan peningkatan inflasi domestik. Peningkatan inflasi domestik ternyata berdampak kuat terhadap kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran yang semakin tinggi berdampak pada semakin besarnya penurunan jumlah konsumsi BBM. Dampak berikutnya, sesuai perkiraan, yaitu semakin besarnya peralihan
254 kesejahteraan dari konsumen ke sisi produsen. Secara total, simulasi ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 86 445 miliar, penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 91 340 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 61 492 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 387 miliar. 6.4.
Rangkuman dan Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014
6.4.1. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Subsidi harga BBM dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, nilai tukar rupiah, dan penerimaan dalam negeri pemerintah. Pengaruh harga dunia terhadap subsidi harga tidak selalu sebanding dengan pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah. Meskipun harga dunia minyak mentah mengalami kenaikan dan memberi tekanan pada kenaikan subsidi harga, namun karena anggaran belanja negara relatif konstan, maka subsidi secara umum juga konstan, dan subsidi harga BBM hanya mengalami sedikit kenaikan. Hal yang relatif sama akan terjadi apabila nilai tukar rupiah terdepresiasi. Kenaikan harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah mengakibatkan semakin mahalnya harga keekonomian BBM dalam rupiah. Kenaikan harga keekonomian BBM akan disalurkan melalui kenaikan harga jual eceran BBM. Namun ketika simulasi kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen dilakukan, maka subsidi harga mengalami kenaikan dan subsidi BBM meningkat sebesar 3.692 persen. Dapat disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM lebih bergantung pada ketersediaan dana pada anggaran belanja negara dibandingkan dengan pada dorongan dari faktor eksternal.
255 Kenaikan harga jual eceran BBM berdampak pada penurunan jumlah konsumsinya. Karena permintaan energi cenderung tidak elastis terhadap harganya, maka persentase penurunan jumlah konsumsi BBM lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harganya. Meskipun demikian, karena jumlah konsumsi BBM sangat besar, dalam nilai mutlak penurunan konsumsi BBM tetap sangat berpengaruh terhadap anggaran belanja negara. Pada kondisi ini subsidi BBM mengalami penurunan sedemikian sehingga belanja pemerintah juga turun. Menggunakan data tahun peramalan 2010-2014, diketahui bahwa subsidi minyak tanah, premium, minyak solar, dan elpiji berturut-turut mencakup 72.49 persen, 38.42 persen, 29.27 persen, dan 18.27 persen dari harga keekonomiannya. Hal ini ternyata mempengaruhi dampak kenaikan harga dunia minyak terhadap harga jual eceran dalam negeri. Semakin besar kontribusi subsidi harga, maka semakin sensitif harga jual eceran dalam negeri terhadap gejolak harga dunia minyak mentah, dalam kondisi subsidi harga BBM relatif konstan. Kenaikan harga dunia minyak mentah 10 persen menyebabkan harga jual eceran minyak tanah, premium, minyak solar, dan elpiji berturut-turut meningkat sebesar 19.720 persen, 8.757 persen, 7.730 persen, dan 4.051 persen. APBN tahun fiskal 2008 (Departemen Keuangan, 2008) menetapkan asumsi harga dunia minyak mentah sebesar US$60 per barrel, sama dengan tahun fiskal 2007. Namun pada awal tahun 2008 harga dunia minyak mentah merambat naik dan mencapai puncaknya sebesar US$143 per barrel. Kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar itu diluar kemampuan anggaran untuk memikulnya. Dalam upaya menyelamatkan APBN 2008 dari ancaman subsidi yang berlebihan, pada bulan Mei 2008 pemerintah memutuskan untuk membagi beban subsidi
256 BBM kepada masyarakat dengan menaikkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 28.7 persen. Penawaran BBM sekitar 65 persen berasal produksi kilang dalam negeri dan sisanya sebesar 35 persen berasal dari impor. Pola penawaran BBM relatif lebih stabil dan tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan harga dunia minyak bumi maupun peningkatan inflasi dalam negeri. Meskipun peningkatan harga dunia minyak mentah mengakibatkan harga BBM juga meningkat, namun karena adanya subsidi BBM, peningkatan harga dunia minyak mentah tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Ada jarak waktu antara kenaikan harga dunia minyak mentah dengan kenaikan harga jual eceran BBM domestik. Dari model diketahui bahwa premium, minyak solar, dan minyak tanah tidak saling bersubstitusi. Artinya penurunan atau kenaikan permintaan premium tidak berhubungan dengan permintaan minyak solar dan minyak tanah, demikian pula sebaliknya. Karena ketiga jenis BBM ini tidak saling substitusi, maka dimungkinkan pelaksanaan kebijakan yang bersifat ’segmented’ atau kebijakan khusus yang tidak akan berpengaruh terhadap barang lainnya. Dalam kenyataan sehari-hari, para pemilik kendaraan seringkali mempraktekkan pencampuran ilegal antara minyak tanah yang murah dengan premium atau minyak solar. Pemanfaatan elpiji di sektor industri dan transportasi masih sangat terbatas karena membutuhkan biaya mahal dalam pengadaan converter kit dari sumber energi BBM ke elpiji. Pada Tabel 54 dapat dilihat rangkuman hasil simulasi kebijakan yang merupakan kebijakan tidak langsung (indirect policy) dan kebijakan langsung (direct policy) dalam rangka mengetahui dampak subsidi BBM terhadap kinerja perekonomian dan kemiskinan di Indonesia.
257 Tabel 54. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014 Variabel A. PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG IMPBBM EKSRLG BOTBBM KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBBBM B.
Uraian
Nilai Dasar
1
2
3
Simulasi 4 5
6
7
8
Subsidi dan Pasar Bahan Bakar Minyak (persen) Penawaran Premium (Ribu Liter) Penawaran Minyak Solar (Ribu Liter) Penawaran Minyak Tanah (Ribu Liter) Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) Konsumsi Premium (Ribu Liter) Konsumsi Minyak Solar (Ribu Liter) Konsumsi MinyakTanah (Ribu Liter) Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Minyak Solar (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Minyak Tanah (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) Subsidi Harga Premium (Rp/Lt) Subsidi Harga M.Solar (Rp/Lt) Subsidi Harga M.Tanah (Rp/Lt) Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Subsidi BBM (Miliar Rp)
33 898 969 37 315 237 7 818 580 1 305 403 255 417 999 - 254 417 26 846 754 34 496 949 12 789 797 1 316 242 2 720 3 283 1 349 2 516 1 697 1 359 3 5555 546 139 150
0.109 0.213 -1.152 -1.381 5.462 11.448 5.439 -0.905 -1.673 -3.174 -0.405 8.757 7.730 19.720 4.051 0.595 0.530 0.270 12.779 -1.424
0.160 0.098 -0.026 -0.015 0.323 0.110 0.323 0.010 0.560 0.777 0.030 -0.029 -2.549 -4.654 -0.489 0.389 6.610 1.944 2.929 3.492
3.339 1.330 -0.322 -0.340 4.610 2.692 4.618 -2.779 -2.590 -16.378 -0.458 27.775 11.235 102.742 11.476 -40.415 -21.775 -36.832 -44.160 -37.718
1.628 0.639 -0.154 -0.167 2.205 1.311 2.209 -0.068 -0.150 -22.555 4.150 0.743 0.801 141.352 -13.734 0.766 0.640 -52.624 67.338 -19.978
3.796 1.511 -0.366 -0.387 5.245 3.062 5.254 -2.810 -2.647 -23.104 4.051 28.120 11.537 145.116 -12.498 -40.415 -21.775 -52.624 67.338 -42.491
4.360 1.945 -1.598 -1.836 11.811 15.311 11.798 -3.795 -4.446 -26.421 3.209 37.881 20.034 166.956 -5.215 -37.426 -17.851 -50.262 75.760 -43.726
4.874 2.191 -1.664 -1.890 12.719 15.771 12.707 -3.832 -4.514 -26.583 3.199 38.407 20.491 168.134 -4.834 -37.426 -17.851 -50.262 75.760 -43.781
10.043 3.697 -2.007 -2.418 18.612 20.494 18.605 -4.198 -5.186 -27.595 2.770 41.120 22.854 174.203 -2.731 -37.426 -17.851 -50.262 75.760 -44.191
0.209 -0.471 -0.201 0.093 2.411 -0.478 0.183 -0.051 -0.972 -0.609 -0.788 0.578 1.542 1.121 -0.095 1.114 4.736 -7.394 -4.021 1.526 1.768 1.587
-0.167 0.018 10.214 0.086 0.197 2.129 12.327 10.274 9.906 2.905 3.153 0.120 0.335 -6.676 -1.041 -4.493 1.931 -0.273 14.015 -12.936 -22.464 -15.588
0.474 -1.300 -8.749 1.597 2.183 -1.769 0.355 -0.224 -52.291 -2.420 -2.990 1.537 4.055 5.040 -0.284 4.362 12.083 -0.296 -11.485 13.615 23.250 16.313
0.023 -0.649 -4.684 0.776 1.034 -1.079 0.123 -0.138 -27.900 -1.484 -1.790 0.737 1.944 3.182 -0.170 2.670 5.552 -0.057 -6.756 7.425 11.717 8.616
0.397 -1.481 -9.865 1.815 2.480 -2.081 0.389 -0.263 -58.905 -2.845 -3.501 1.745 4.591 5.929 -0.322 5.126 13.634 -0.330 -13.559 15.479 25.560 18.291
0.408 -2.050 -0.327 2.137 5.433 -0.600 13.312 10.274 -54.474 -0.775 -1.417 2.593 6.836 0.936 -1.534 2.204 21.241 -8.508 -4.721 5.034 6.297 5.385
0.299 -2.157 10.177 2.393 5.902 1.606 27.135 10.274 9.678 2.266 1.852 2.886 7.607 -6.121 -2.708 -2.456 24.468 -8.938 9.591 -8.322 -16.467 -10.590
-0.732 -4.831 10.536 4.770 8.199 0.996 27.736 10.274 11.874 0.475 -0.649 4.549 13.183 0.178 -2.746 0.479 27.408 -6.302 19.729 -4.821 -16.303 -7.967
19 760 -18 844 -1 981 -1 064
-3 659 3 717 4 859 4 917
51 094 -53 020 -52 484 -54 411
16 126 -28 152 -27 799 -39 825
55 536 -61 597 -59 126 -65 187
77 780 79 092 86 445 -83 835 -85 034 -91 340 -60 845 -60 921 -61 492 -66 900 -66 863 -66 387
Indikator Perekonomian dan Kemiskinan (persen)
KOSNAS INVEST GOVEXP EKSPOR IMPORT GDPNAS GOVENS REVDDN FISCGP MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi Nasional (Miliar Rp) Belanja Pemerintah (Miliar Rp) Ekspor Nasional (Miliar Rp) Impor Nasional (Miliar Rp) GDP Nasional (Miliar Rp) Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) GAP Fiskal (Miliar Rp) Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) Nilai Tukar (Rp/US$) Indeks Harga Konsumen (indeks) Tingkat Suku Bunga (persen) Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) Tingkat Inflasi Domestik (%/Th) Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%)
C. 1. 2. 3. 4. Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
Indikator Kesejahteraan (Rp. Miliar) Surplus Produsen Bahan Bakar Minyak Surplus Konsumen Bahan Bakar Minyak Perubahan Subsidi Bahan Bakar Minyak Perubahan Dampak Bersih
1 639 787 233 125 581 900 788 296 601 895 2 641 213 442 750 486 623 - 95 277 1 256 557 1 366 987 8 483 298.40 2.76 528.10 12.83 9.44 186 400 3.40 13.78 5.72 8.17
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
258 Model yang dipakai pada penelitian ini menempatkan inflasi sebagai variabel endogen yang sensitif terhadap pergerakan harga jual eceran BBM. Kenaikan sedikit pada harga jual eceran BBM, akan mengakibatkan inflasi meningkat tajam. Meskipun demikian, inflasi bukanlah variabel dominan bagi penduduk miskin. Inflasi yang tinggi, diatas dua digit, cenderung dihindari oleh pemerintah karena dapat memberi sinyal negatif bagi dunia usaha berupa ’overheating’ perekonomian sehingga penyaluran kredit perlu dijadwal ulang. Jika pemerintah peduli terhadap besaran inflasi, maka simulasi terbaik adalah simulasi 4, 3, dan 5. Jika pemerintah sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan pembangunan, maka kita perlu melihat unsur-unsur pembentuk GDP nasional. Kebijakan subsidi harga BBM secara langsung mempengaruhi besaran anggaran belanja negara, yang menyumbang sekitar 1/5 dari GDP nasional. Pengaruh subsidi harga BBM terhadap komponen lainnya terjadi secara tidak langsung. Konsumsi BBM memberikan sumbangan sebesar 14 persen dari konsumsi nasional, karena itu pengaruh kebijakan subsidi BBM relatif tidak berpengaruh terhadap konsumsi nasional. Nilai ekspor bersih, yang dikaitkan dengan besaran impor BBM, hanya bergerak apabila harga dunia minyak mentah berfluktuasi. Sementara besaran investasi nasional secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat suku bunga domestik yang bergerak sejalan dengan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan uang. Karena itu simulasi 7, 2, dan 8 merupakan alternatif kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi yang layak diterapkan.
259 Sejalan dengan tingkat suku bunga yang mempengaruhi tingkat investasi, maka tingkat investasi dan gairah berproduksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besaran permintaan tenaga kerja. Jika pemerintah berupaya mengatasi masalah pasar kerja yang terus terjadi, maka simulasi 2 dan 7 merupakan
alternatif
kebijakan
yang
baik
untuk
mengurangi
jumlah
pengangguran. Bahkan pada simulasi 7 jumlah pengangguran tetap berhasil diturunkan dengan tetap menjalankan program pengurangan subsidi harga BBM dan program konversi minyak tanah ke elpiji dan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Neraca perdagangan yang ditampilkan sebagai ekspor bersih ternyata cukup dipengaruhi oleh besaran impor BBM. Impor BBM mencakup sekitar 42 persen dari impor total, sehingga kenaikan harga impor BBM dalam mata uang rupiah berdampak pada penurunan impor nasional dan memperburuk neraca perdagangan Indonesia. Karena itu simulasi 4, 2, 3, dan 5, merupakan alternatif kebijakan yang baik untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kemiskinan di perdesaan lebih sederhana yaitu inflasi, anggaran belanja negara, dan upah nasional. Jumlah kemiskinan di perdesaan cenderung berkurang pada simulasi 2, 7, dan 8. Ketiga simulasi ini memiliki karakteristik yang sama yaitu terjadinya peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor anggaran belanja negara, meskipun inflasi sangat tinggi, ternyata sangat penting dalam membantu pemerintah mengurangi angka kemiskinan di perdesaan. Anggaran belanja negara yang meningkat, memungkinkan pemerintah menambah ruang fiskal atau melaksanakan program-program pro-rakyat seperti Bantuan
260 Langsung Tunai, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Raskin, dan Bantuan Operasional Sekolah. Upaya mengatasi masalah kemiskinan di perkotaan tampaknya lebih sulit karena permasalahan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah orang miskin perkotaan ditambahkan dengan variabel upah nasional. Berbeda dengan di perdesaan yang banyak tersedia lapangan pekerjaan tidak formal atau pekerjaan pertanian yang tidak masuk dalam pencatatan sebagai sektor formal, maka di perkotaan lebih banyak orang bekerja di sektor formal yang upahnya dicerminkan dalam upah nasional. Simulasi yang memberi dampak menggembirakan bagi upaya pengentasan kemiskinan di perkotaan adalah simulasi 2, 7, dan 8. Dikarenakan tingkat kemiskinan nasional merupakan persamaan identitas, maka simulasi yang memberikan dampak positif bagi pengurangan kemiskinan nasional adalah simulasi 2, 7, dan 8. Indikator berikutnya adalah gap fiskal yang berasal dari pengurangan penerimaan dalam negeri pemerintah dengan anggaran belanja negara. Semakin besar gap fiskal, maka semakin besar kebutuhan anggaran belanja negara yang berasal dari hibah/bantuan luar negeri. Gap fiskal memberikan indikasi apakah suatu kebijakan fiskal memenuhi prinsip-prinsi kebijakan fiskal yang sustainable atau berkelanjutan. Dalam simulasi yang dilakukan, sumber gap fiskal terutama berasal dari naik turunnya anggaran subsidi BBM. Jika pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM, ketika penerimaan dalam negeri relatif konstan, maka yang terjadi adalah anggaran belanja negara berkurang, gap fiskal akan cenderung mengecil, dan kebijakan fiskal dapat dikategorikan sebagai kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Simulasi 5, 6, 3, dan 4 merupakan simulasi yang mampu
261 menurunkan gap fiskal. Namun perlu diperhatikan bahwa simulasi 7 dan 8 adalah simulasi yang menginjeksikan kembali penghematan yang berasal dari pengurangan subsidi ke anggaran belanja negara. Karena itu simulasi 7 dan 8 tidak menghasilkan suatu penghematan anggaran belanja negara dan bukan simulasi yang sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Secara umum, dampak terhadap kesejahteraan yang positif diperlihatkan oleh simulasi 1 dan 2, yang keduanya merupakan simulasi tunggal. Dalam penelitian ini, pengurangan subsidi merupakan unsur yang mengurangi kesejahteraan. Meskipun demikian, pengurangan subsidi dapat juga dianggap sebagai suatu kebijakan yang positif karena dapat menyediakan ruang fiskal atau keleluasaan dalam upaya melaksanakan program-program pro-rakyat, apabila dilakukan realokasi anggaran. Simulasi 3, 4, dan 5 pada dasarnya juga merupakan simulasi tunggal yaitu upaya pengurangan subsidi BBM. Simulasi yang lebih realistis adalah simulasi 6, 7, dan 8. Dari Tabel 54 terlihat bahwa simulasi 8 memberikan pengurangan kesejahteraan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan simulasi 6 dan 7, lebih realistis, menghasilkan dampak terhadap kinerja perekonomian yang relatif baik, dan masih mampu mengurangi tingkat kemiskinan nasional. 6.4.2. Sintesis Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia
Beberapa kebijakan subsidi harga BBM yang dirumuskan pemerintah bertujuan melindungi masyarakat kurang mampu dari gejolak harga BBM dan mempertahankan kebijakan fiskal yang keberlanjutan. Kondisi ini menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Sebagai contoh, pada tahun 2000 DPR RI dan pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
262 Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang berisikan antara lain strategi besar (grand strategy) penghapusan subsidi BBM pada tahun 2004. Rencana kenaikan harga jual eceran BBM tersebut dimulai pada bulan Januari 2002. Namun kita ketahui, pada akhirnya pemerintah menyadari bahwa lebih banyak faktor-faktor sosial dan kestabilan politik yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menaikkan harga jual eceran BBM. Karena itu subsidi BBM hingga saat ini masih ada dan cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan harga dunia minyak mentah. Kenaikan harga jual eceran BBM merupakan pilihan yang sulit dan tidak populer, karena cenderung akan memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya transportasi, harga barang dan jasa yang menggunakan komponen BBM, dan pengaruh psikologis secara tidak langsung terhadap kenaikan harga barang dan jasa pada umumnya. Pemerintah harus mengambil suatu keputusan diantara pilihan keputusan yang sulit dengan melihat pada keterbatasan anggaran belanja negara. Analisis kelebihan dan kekurangan kebijakan peningkatan harga jual eceran BBM musti mempertimbangkan kedua sudut pandang tersebut. Di sisi lain, kenaikan harga jual eceran BBM cenderung akan dapat mendorong penghematan penggunaan energi pada umumnya, efisiensi alokasi sumber daya, serta mencegah kegiatan penyalahgunaan BBM seperti penggunaan minyak tanah dan solar subsidi ke pengguna industri atau penyelundupan BBM ke luar negeri. Dampak langsung dari kenaikan harga jual eceran BBM adalah terjadinya penurunan subsidi energi secara nyata sehingga memberikan ruang fiskal yang besar dan keleluasaan pemerintah melakukan realokasi anggaran bagi
263 pelaksanaan program-program lain yang pro-rakyat termasuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja. Selanjutnya, upaya pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM mendapat tantangan masyarakat luas. Masyarakat, termasuk kalangan pengusaha, sudah terbiasa dengan harga BBM yang rendah dan stabil dan dengan demikian dianggap kondusif dalam menciptakan iklim investasi yang baik dan kepastian ekonomi. Karena itu pemerintah berupaya melakukan terobosan kebijakan yang tidak secara resmi menaikkan harga jual eceran BBM, tetapi tujuan pengurangan subsidi BBM tetap dapat dicapai. Salah satu komponen yang membuat besarnya anggaran subsidi BBM adalah volume BBM yang disubsidi. Karena itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, melakukan pengaturan terhadap kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi. Pada dasarnya, premium hanya diperuntukkan bagi konsumen usaha kecil, transportasi darat, dan pelayanan umum. Minyak solar diperuntukkan bagi usaha kecil, transportasi darat, transportasi laut terbatas, pelayanan umum, dan usaha perikanan terbatas. Minyak tanah diperuntukkan bagi konsumen rumahtangga dan usaha kecil terbatas. Sementara itu konsumen elpiji yang dikemas dalam tabung 3 kilogram diperuntukkan bagi konsumen rumahtangga dan usaha kecil. Pengaturan mengenai tata niaga elpiji tabung ukuran 3 kg, 12 kg, dan 50 kg diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquified Petroleum Gas (elpiji).
264 Keputusan pemerintah pada tahun 2006 yang membatasi konsumen yang berhak membeli BBM subsidi memperoleh hasil pada tahun-tahun berikutnya berupa pengurangan volume BBM subsidi yang dikonsumsi masyarakat. Pada dokumen anggaran APBN tahun 2005 ditetapkan volume BBM subsidi sebesar 59.6 juta kiloliter, yang kemudian turun sebesar 37.9 juta kiloliter sebagaimana yang tercantum pada dokumen APBN-Perubahan tahun 2006, dan kemudian turun lagi menjadi 36.9 juta kiloliter pada APBN 2007. Pada tahun 2004 realisasi subsidi BBM mencapai Rp. 69.0 triliun dan menjadi Rp. 104.7 triliun pada tahun 2005. Peningkatan beban subsidi pada tahun 2005, selain disebabkan oleh tingginya harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah, juga disebabkan oleh naiknya volume konsumsi BBM subsidi. Dalam rangka mengatasi beban subsidi BBM yang semakin meningkat, pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM sebesar rata-rata 30 persen pada awal bulan Maret 2005 dan kemudian sebesar rata-rata 125 persen pada awal bulan Oktober 2005. Sehingga pada tahun 2005 telah diberlakukan 2 kebijakan mendasar, yaitu: (1) kenaikan harga jual eceran BBM, dan (2) berkurangnya volume BBM subsidi. Kedua kebijakan ini membuahkan hasil, yang tercermin pada penurunan realisasi beban subsidi BBM menjadi Rp. 64.2 triliun pada tahun fiskal 2006. Dalam upaya menanggulangi dampak negatif kenaikan harga jual eceran BBM terhadap penduduk golongan miskin, pemerintah melaksanakan program penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi (PPD-SE) yang kemudian diubah menjadi program kompensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM), yang berisikan antara lain: (1) penyediaan pangan murah melalui operasi pasar
265 khusus (OPK) beras bagi rakyat miskin (raskin), (2) penyediaan bantuan khusus bidang pendidikan termasuk bantuan operasional sekolah (BOS), (3) bantuan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin, (4) penyediaan air bersih bagi penduduk miskin di perkotaan, dan (5) penyediaan dana bergulir bagi lembaga kredit mikro. Pada bulan Januari Tahun 2010, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menerbitkan Roadmap Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak, berisikan langkah-langkah pengurangan subsidi BBM sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000. Pertimbangan yang dikemukakan mengenai pentingnya Roadmap tersebut antara lain: (1) pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaaran pendistribusian BBM, (2) harga dunia minyak mentah cenderung terus meningkat, (3) daya beli sebagian masyarakat masih rendah, (4) kebutuhan BBM terus meningkat, (5) subsidi BBM terus meningkat, (6) kemampuan APBN untuk mendanai subsidi semakin terbatas, (7) kebijakan subsidi harga BBM tidak tepat sasaran, dan (8) diperlukan pengalihan kebijakan dari subsidi harga BBM menjadi subsidi langsung. Dalam rangka melaksanakan kebijakan pengurangan subsidi BBM dan secara bertahap menuju subsidi yang tepat sasaran, dilakukan strategi antara lain: (1) mewajibkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dalam rangka diversifikasi sumber energi, (2) pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji, (3) melakukan pembinaan dan pengawasan agar subsidi BBM tepat sasaran, (4) alokasi BBM subsidi untuk pengguna tertentu dengan menggunakan sistem distribusi tertutup, dan (5) melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
266 Ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam upaya pengurangan subsidi BBM. Pertama, adalah penguatan program-program pro-rakyat miskin seperti raskin, bantuan operasional sekolah, kredit usaha kecil, dan jaminan kesehatan masyarakat. Kedua, pengurangan volume BBM subsidi, dengan cara antara lain: (1) diversifikasi sumber energi ke gas bumi, elpiji, dan energi nonfosil, (2) penerapan sistem distribusi tertutup untuk pengguna tertentu, dan (3) diterapkan insentif dan dis-insentif fiskal. Ketiga, penajaman besaran Harga Keekonomian BBM, yaitu: (1) menekan biaya distribusi BBM, (2) mengevaluasi biaya penyediaan BBM, dan (3) diskriminasi harga untuk pengguna tertentu sesuai dengan kemampuannya. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, disebutkan nilai alpha ditetapkan maksimal sebesar 15 persen dari harga MOPS. Dalam kenyataan, besaran alpha semakin mengecil, yaitu dari 14.1 persen pada tahun 2006 menjadi 8.0 persen pada tahun 2009. Semakin kecil nilai alpha seringkali diindikasikan dengan semakin efisiennya pendistribusian BBM. Tetapi kita harus hati-hati mengenai efisiensi ini, karena adanya ketidakpastian yang tinggi dalam pendistribusian BBM di Indonesia sebagai akibat dari luasnya wilayah distribusi, cuaca yang sulit diprediksi, jarak laut, dan daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Oleh karena itu, semakin tinggi efisiensi dapat diartikan sebagai semakin sensitif terhadap potensi kelangkaan apabila salah satu mata rantai pendistribusian mengalami hambatan. Selain itu, penetapan nilai alpha dalam persen hanya akan memiliki nilai ekonomis ketika harga dunia minyak mentah cukup tinggi. Namun apabila harga dunia minyak mentah merosot, semakin kecil nilai alpha dalam rupiah. Dalam
267 rangka mengakomodasi nilai alpha yang naik turun, pada tahun fiskal 2010 pemerintah menetapkan nilai alpha nasional sebesar Rp. 566 per liter, sehingga untuk sementara nilai alpha terbebas dari fluktuasi harga dunia minyak mentah. Negara-negara di Asia memiliki pengalaman dan menerapkan kebijakan yang berbeda-beda untuk subsidi BBM (Shikha Jha, 2009). Negara-negara Asia Tengah dan Asia Tenggara cenderung memberikan subsidi BBM, sementara negara-negara Asia Timur cenderung melepas harga ke pasar. Pengaturan harga BBM menganut mekanisme berbeda-beda, yaitu: (1) harga dilepas ke pasar, (2) secara otomatis harga BBM berubah-ubah berdasarkan suatu rumus, dan (3) pengendalian harga atau harga administrasi secara ad-hoc. Di negara-negara yang menerapkan pengendalian harga, kenaikan harga dunia minyak mentah mengakibatkan perlunya peninjauan kembali kebijakan tersebut termasuk pengurangan subsidi atau pajak. China dan India melepaskan harga BBM ke mekanisme pasar dan pada saat bersamaan melindungi masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial. Program tersebut mendapat pendanaan dari penghematan anggaran belanja karena tidak memberikan subsidi. 6.4.3. Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperbaiki kinerja perekonomian dan kemiskinan tidak akan membuahkan hasil apabila tidak ditunjang oleh kegiatan lain. Masalah defisit anggaran yang dialami negara Indonesia semakin menunjukkan tingkat yang serius, terutama setelah krisis ekonomi tahun 1997. Strategi yang menyeluruh mengenai kebijakan anggaran, belanja, dan penerimaan negara harus dirumuskan kembali agar sesuai dengan
268 arah dan tujuan yang ingin dicapai. Pengelolaan anggaran yang tidak hati-hati akan dapat menjerumuskan negara Indonesia ke dalam kebangkrutan. Pada tahun fiskal 2009, utang pemerintah yang berasal dari dalam negeri mencapai Rp. 779.9 triliun dan utang luar negeri US$73.2 miliar. Untuk melunasi utang, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp. 101.73 triliun atau 14.2 persen dari belanja negara. Pada tahun yang sama pembayaran subsidi BBM mencapai Rp. 57.6 triliun atau 8.04 persen dari total belanja negara. Belanja subsidi dan pembayaran bunga utang mencakup 37.5 persen anggaran belanja negara, membuat pemerintah kurang leluasa menjalankan programprogram pembangunan lainnnya. Oleh karena itu, sudah saatnya diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh untuk mengatasi persoalan subsidi ini. Salah satu jalan keluar adalah mengadopsi strategi yang sedang diterapkan oleh China dan India (Shika Jha, 2009), yaitu melepas harga BBM ke mekanisme pasar dengan tetap memberikan perlindungan bagi masyarakat kurang mampu. Sejauh mana kenaikan harga dunia minyak mentah berpengaruh terhadap kenaikan harga jual eceran BBM atau kenaikan subsidi harga BBM ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Departemen Keuangan (2009b) melakukan macro
stress test yaitu simulasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah. Jika harga dunia minyak mentah naik sebesar US$20 per barrel akan mengakibatkan penambahan beban pembayaran subsidi ke PT Pertamina (persero) sebesar Rp. 48.7 triliun. Selain itu, apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 20 persen, maka akan terjadi penambahan beban pembayaran subsidi ke PT Pertamina (persero) sebesar Rp. 50.3 triliun.
269 Karena itu, dua hal sangat penting dalam kaitan dengan subsidi, yaitu harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Dalam simulasi terlihat bahwa subsidi harga tidak berubah untuk meredam kenaikan harga dunia minyak mentah yang mengakibatkan harga jual eceran BBM naik. Karena itu, pemerintah harus hati-hati dalam mengendalikan kebijakan subsidi harga BBM, khususnya ketika terjadi fluktuasi harga dunia minyak mentah. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang bersifat random, sebaiknya pemerintah mencadangkan dana cukup besar dalam ruang fiskal dengan tujuan untuk berjaga-jaga. Peningkatan
penerimaan
dalam
negeri
dapat
membawa
kinerja
perekonomian dan kemiskinan pada arah dan kondisi yang lebih baik. Namun perlu disadari bahwa peningkatan penerimaan dalam negeri yang berlebihan dapat berdampak pada kondisi ’overtax’ yaitu beban pajak berlebihan sehingga mengakibatkan kelesuan dunia usaha dan berikutnya kontraksi perekonomian. Peningkatan penerimaan dalam negeri dapat dilakukan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan termasuk meningkatkan efisiensi penarikan pajak. Kebocoran dalam penarikan pajak sebaiknya dikurangi agar menjadi sekecil mungkin, meningkatkan kesadaran para pembayar pajak, dan sekaligus meningkatkan kepatuhan warganegara dalam membayar pajak. Program pengurangan subsidi BBM, sebagaimana yang telah dilakukan di negara-negara lain, dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan daya beli golongan masyarakat kurang mampu. Seperti kita ketahui bahwa di Indonesia, minyak tanah menjadi sumber energi utama rumahtangga di perkotaan, sehingga kenaikan harga minyak tanah atau bahkan kelangkaan minyak tanah akan menyulitkan kehidupan golongan masyarakat
270 kurang mampu di perkotaan. Masyarakat kurang mampu di perdesaan, meskipun memiliki alternatif sumber energi berupa kayu bakar, tetap mengalami kesulitan mendapatkan kayu bakar dengan harga terjangkau. Meluasnya permukiman penduduk serta berkurangnya kawasan hutan dan tegalan membuat kayu bakar semakin sulit diperoleh dan harganya menjadi semakin mahal. Berkurangnya kemampuan dan daya beli masyarakat kurang mampu dapat dikompensasi dengan memberikan pelayanan umum gratis atau memberikan bantuan langsung uang tunai. Bantuan pelayanan umum dimaksudkan agar mereka tetap memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, terutama layanan ibu hamil, anak usia balita, dan anak usia sekolah. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dimaksudkan untuk memberi keleluasaan bagi masyarakat mengalokasikan sendiri dana bantuan sesuai dengan keperluannya. Hal yang sering dipermasalahkan dalam pemberian BLT ini antara lain: (1) kurang tepatnya pendataan penduduk miskin, sehingga seringkali terjadi under-estimate, (2) sulitnya menjangkau penduduk yang tinggal di daerah-daerah terpencil, dan (3) besaran alokasi BLT yang seringkali dianggap kurang sepadan dengan akibat yang ditimbulkan dari kenaikan harga jual eceran BBM. Program konversi minyak tanah ke elpiji dilaksanakan pemerintah dengan membagikan paket elpiji kepada golongan masyarakat kurang mampu dan kemudian menarik minyak tanah subsidi dari peredaran atau pasar. Hal ini dilakukan bertahap dalam kurun waktu 3-6 bulan di suatu wilayah. Minyak tanah tetap disediakan di pasar namun dengan harga keekonomiannya. Mekanisme ini diharapkan dapat ’mendorong’ rumahtangga agar mengganti sumber energi memasak dari minyak tanah ke elpiji. Pelaksanaan program konversi berjalan
271 dengan mulus meskipun ditemui beberapa hambatan, diantaranya adalah: (1) kurangnya sosialisasi penggunaan gas elpiji sehingga seringkali menimbulkan masalah-masalah keamanan dan kenyamanan penggunaan, (2) penyediaan gas elpiji seringkali terlambat yang disebabkan oleh kurang lancarnya sistem pendistribusian gas elpiji, dan (3) perubahan kebiasaan masyarakat dan peralatan penerangan yang tidak semuanya dapat diganti dari minyak tanah ke elpiji. Ada dua hal yang menyebabkan dampak negatif pengurangan subsidi BBM, yaitu: (1) kenaikan harga jual eceran menyebabkan jumlah konsumsi menurun, sehingga mengakibatkan kinerja perekonomian terganggu. (2) kenaikan harga jual eceran mengakibat inflasi tinggi dan ini berdampak kurang baik bagi upaya pengentasan kemiskinan. (3) pengurangan subsidi harga berdampak pada penurunan anggaran belanja pemerintah sehingga berpengaruh terhadap permintaan uang, tingkat suku bunga, dan kemiskinan. Dalam rangka mengatasi pengurangan anggaran belanja negara, pada simulasi 7 dan 8 dilakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan subsidi. Strategi ini menghasilkan kinerja perekonomian dan kemiskinan yang relatif baik, namun gap fiskal tetap memburuk. Artinya, pelaksanaan strategi ini (simulasi 7 dan 8) mengakibatkan anggaran belanja negara tetap bergantung pada tambahan modal dari luar negeri. Dari simulasi 7 dan 8 terlihat betapa pentingnya peran kebijakan fiskal dalam mendorong perekonomian untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Peran penting kebijakan fiskal tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Ketika terjadi krisis keuangan tahun 2008 yang dikenal dengan istilah
272 ‘subprime mortgage’, pemerintah di negara-negara maju itu memberikan bantuan berupa stimulus fiskal kepada sektor swasta dan masyarakat yang terkena dampak krisis. Dana stimulus dari anggaran negara Amerika Serikat berjumlah sekitar US$800 miliar. Hal penting dalam menetapkan kebijakan fiskal adalah menjaga keseimbangan antara penerimaan dengan pengeluaran dan pemilihan pos-pos anggaran strategis yang dapat memberikan ‘multiplier effect’ maksimal bagi perekonomian negara.