VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN
7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian besar atau disagregasi pada komponen-komponen pendapatan tenaga kerja, modal dan pajak tidak langsung. Jika diamati pada masing-masing komponen nilai tambah tersebut, industri pupuk organik lebih banyak memberi pendapatan terhadap tenaga kerja dibandingkan ke penerimaan modal maupun pajak. Total pengeluaran pupuk organik sebesar Rp. 690.02 milyar sekitar 80.16 persen dipancarkan ke tenaga kerja, sisanya 15.46 persen untuk modal, dan 4.38 persen untuk penerimaan pajak, seperti yang terlihat pada Tabel 34. Beda halnya dengan industri pupuk anorganik, pengeluarannya lebih banyak dialokasikan untuk modal yakni sebesar 55.49 persen dari total pengeluarannya sebesar Rp. 77 666.05 milyar, sedangkan untuk tenaga kerja sebesar 34.66 persen dan pajak sebesar 9.86 persen. Adanya perbedaan menghasilkan nilai tambah diantara kedua sektor pupuk tersebut disebabkan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan produksi masing-masing industri tidak sama. Industri pupuk organik lebih banyak mengandalkan tenaga kerja dibandingkan mesin, sehingga pengeluaran untuk tenaga kerjanya lebih besar dibandingkan modal. Sedangkan pada produksi pupuk anorganik kebutuhan peralatan dan mesin produksi lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja. Mulai dari penyaluran gas melalui pipa ke pabrik, kemudian konversi gas, masuk ke unit sintesa gas, nitrogen, hidrogen, amoniak, pembutiran,
198
hingga menjadi pupuk seluruhnya menggunakan mesin produksi yang membutuhkan modal lebih besar. Tabel 34. Struktur Nilai Tambah Sektor Pupuk dan Beberapa Sektor yang Terkait Dirinci Menurut Komponennya Berdasarkan SNSE 2008 Tenaga Kerja (%)
Modal (%)
Pajak (%)
Total (%)
Ind Pupuk Anorganik
34.66
55.49
9.86
100.00
77 666.05
Ind Pupuk Organik
80.16
15.46
4.38
100.00
690.02
Sektor Produksi
Total Nilai Pengeluaraan (Rp. Juta)
Konstruksi Jalan & Jembt
48.18
47.90
3.92
100.00
47 393.96
Konstruksi Irigasi
76.07
20.39
3.54
100.00
22 015.87
Konstruksi Lainnya
42.03
54.95
3.02
100.00
333 660.76
Pertanian
56.86
42.58
1.56
100.00
711 830.20
Pertambgn & Penggalian
27.56
66.90
5.54
100.00
509 227.04
Ind Lain di Luar Pupuk
35.26
56.01
8.73
100.00
564 740.32
Jasa-Jasa
51.45
45.04
3.51
100.00
2 497 728.01
Sumber : data diolah
Beberapa sektor yang terkait ada juga yang lebih padat karya (tenaga kerja) sama seperti industri pupuk organik, misalkan sektor konstruksi irigasi, pertanian dan jasa-jasa, seluruh sektor ini lebih banyak memberi nilai tambah terhadap tenaga kerja dibandingkan untuk modal dan pajak. Rata-rata pengeluaran untuk tenaga kerja pada sektor-sektor tersebut antara 51 persen sampai dengan 76 persen dari total biaya produksi. Akan tetapi untuk sektor-sektor seperti konstruksi lain (gedung, perumahan, instalasi, dan lain-lain), pertambangan dan penggalian, dan industri lainnya (bukan pupuk), semuanya tergolong padat modal oleh karena pengeluarannya lebih banyak untuk biaya modal, kurang lebih sekitar 55 persen hingga 67 persen dari total pengeluarannya. Apabila dilihat dari peranan langsungnya, dapat dikatakan bahwa peranan sektor pupuk dalam perekonomian Indonesia selama ini sangat kecil di dalam menciptakan nilai tambah dibandingkan sektor-sektor lain. Seperti yang disajikan pada Tabel 35, kontribusi sektor pupuk terhadap total nilai tambah perekonomian
199
Indonesia hanya mencapai 1.64 persen, yang berasal dari industri pupuk anorganik sebesar 1.63 persen dan industri pupuk organik sebesar 0.01 persen. Persentasenya sangat jauh di bawah sektor industri lain (bukan pupuk) yang mampu memberi kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah perekonomian sebesar 11.85 persen, sektor pertanian sebesar 14.94 persen, atau sektor jasa-jasa sebesar 52.42 persen. Meskipun demikian dibandingkan sektor konstruksi irigasi, jalan dan jembatan, peranan sektor pupuk terhadap nilai tambah perekonomian masih lebih baik, oleh karena kedua sektor konstruksi ini kontribusinya jika dijumlahkan hanya mencapai 1.46 persen. Tabel 35. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah dan Perbandingannya dengan Beberapa Sektor yang Terkait Menurut SNSE 2008 Sektor Produksi
Tenaga Kerja (%)
Modal (%)
Pajak (%)
Nilai Tambah (%)
Industri Pupuk Anorganik
1.74
2.49
4.65
1.63
Industri Pupuk Organik
0.04
0.01
0.02
0.01
Konstruksi Jalan dan Jembatan
1.07
0.95
0.81
0.99
Konstruksi Irigasi
0.78
0.19
0.34
0.46
Konstruksi Lainnya
6.55
7.65
4.42
7.00
19.23
13.09
5.03
14.94
5.91
12.82
11.14
10.69
Industri Lain di Luar Pupuk
19.16
27.19
44.46
11.85
Jasa-Jasa
45.52
35.60
29.12
52.42
100.00
100.00
100.00
100.00
2 140 699.89
2 395 930.72
228 321.62
4 764 952.23
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
Total Persentase Total Penerimaan (Rp. Juta) Sumber : data diolah
Selanjutnya jika diperhatikan pada masing-masing komponen nilai tambah yang diciptakan, kontribusi sektor pupuk (anorganik dan organik) juga terlihat
200
sangat kecil, baik itu terhadap tenaga kerja, modal maupun pajak. Untuk nilai tambah tenaga kerja andilnya secara langsung hanya sebesar 1.78 persen, kemudian pada modal sebesar 2.50 persen, dan pajak sebesar 4.67 persen. Semua ini jika diperhatikan dengan seksama lebih banyak disumbangkan oleh industri pupuk anorganik, sedangkan industri pupuk organik untuk saat ini sama sekali tidak dapat diandalkan sebagai mesin penghasil nilai tambah perekonomian, karena bila dilihat kembali pada Tabel 34 kontribusinya dalam perekonomian tidak mampu lebih dari 1 persen baik itu terhadap nilai tambah tenaga kerja, modal maupun pajak. Sektor-sektor jasa saat ini menjadi kontributor terbesar untuk nilai tambah tenaga kerja dan modal, dengan nilai persentasenya masing-masing sebesar 45.52 persen dan 35.60 persen dari total nilai tambah tenaga kerja dan modal yang tercipta dalam perekonomian. Sedangkan nilai tambah untuk pajak yang paling tinggi andilnya adalah sektor industri lain (bukan pupuk), kurang lebih kontribusinya sebesar 44.46 persen dari total nilai tambah pajak yang terbentuk dalam perekonomian. Sektor-sektor primer seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, kontribusinya terhadap penciptaan nilai tambah perekonomian dapat dikatakan cukup besar, walaupun masih di bawah sektor industri lain (bukan pupuk) dan sektor jasa-jasa. Proporsi sektor pertanian dalam komposisi nilai tambah perekonomian mencapai 15.46 persen, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 9.64 persen. Dimana dalam struktur nilai tambah tenaga kerja, sektor pertanian mempunyai andil sekitar 19.23 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 5.91 persen. Sedangkan dalam struktur nilai tambah
201
modal, sektor pertanian mampu memberi kontribusi sebanyak
13.09 persen,
sementara sektor pertambangan dan penggalian sebesar 12.82 persen. Berdasarkan serangkaian angka persentase proporsi yang telah dijabarkan di atas dapat digeneralisasikan bahwa sektor pupuk sampai saat ini tidak dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan nilai tambah dalam perekonomian Indonesia, oleh karena peranannya secara langsung dalam menghasilkan nilai tambah tenaga kerja, modal dan pajak sangat rendah. Memang kalau dilihat dari fungsinya, pengembangan sektor pupuk ini bukan ditujukan untuk menciptakan nilai tambah perekonomian yang besar dan yang dapat diandalkan, tetapi lebih difokuskan untuk mendukung peningkatan dan keberlanjutan produksi di sektor pertanian. Karena pupuk mempunyai peran yang sangat strategis sebagai penyedia hara tanah dalam upaya menaikkan produksi dan produktivitas pertanian. Namun ironisnya, jika diperhatikan secara khusus dalam komposisi biaya input sektor pertanian terlihat bahwa berdasarkan kajian SNSE 2008 proporsi pengeluaran sektor pertanian untuk pupuk ternyata sangat kecil yakni hanya 2.95 persen, jauh di bawah pengeluaran untuk tenaga kerja dan modal yang mencapai 58.82 persen, lihat Gambar 36. Selain itu, lebih kecil juga dibandingkan dengan pengeluaran untuk pembelian input dari sektor industri lain (bukan pupuk) sebesar 7.81 persen dan sektor jasa sebesar 7.34 persen. Bahkan dengan margin perdagangan dan pengangkutan proporsinya masih di bawah, dimana dalam komposisi biaya input sektor pertanian proporsi margin perdagangan dan pengangkutan sekitar 7.41 persen. Kecilnya proporsi sektor pupuk dalam struktur biaya input sektor pertanian secara nasional dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggunaan
202
pupuk di sektor pertanian selama ini belum maksimal yang disebabkan kurangnya pasokan pupuk dalam negeri sehingga tidak semua petani memperoleh pupuk. Sebagai contoh pada tahun 2009, Indonesia harus mengimpor pupuk akibat kekurangan bahan bakar gas yang dialami industri pupuk nasional serta industri pupuk yang sudah banyak menua sehingga tidak mampu menghasilkan produksi pupuk sesuai dengan kapasitas normalnya.
Sumber : data diolah
Gambar 36. Struktur Biaya Input Sektor Pertanian Menurut SNSE 2008 Kedua, faktor lainnya yang bisa juga terjadi karena volume pupuk yang digunakan oleh petani selama ini secara nasional belum optimal yang diakibatkan antara lain harga pupuk yang tidak terjangkau petani, kurangnya pengetahuan petani terhadap manfaat dan penggunaan pupuk, kondisi alam yang menyuburkan tanah tanpa pemupukan dan sebagainya. Rendahnya penggunaan pupuk oleh petani ini dapat dijelaskan misalnya dengan terjadinya over stock pupuk anorganik sebanyak 200 ribu ton di pabrik Petrokimia Gresik Jawa Timur pada tahun 2011,
203
yang mana hal ini akan berdampak terhadap 18 pabrik pupuk organik yang terancam gulung tikar. Berdasarkan seluruh fakta yang terungkap di atas, maka sekali lagi terlihat bahwa jika sektor pupuk tersebut diamati peranannya secara langsung terhadap perekonomian Indonesia dapat dikatakan sangat rendah, baik itu rendah dalam menciptakan nilai tambah maupun rendah pemanfaatannya dalam produksi sektor lainnya. 7.2. Peranan Sektor Pupuk dalam Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan dalam struktur SNSE secara khusus dapat dilihat pada neraca endogen yang diagregasi menjadi tiga bagian yakni neraca distribusi pendapatan faktorial, institusi dan produksi. Dimana pada masing-masing neraca tersebut terdapat beberapa aktivitas yang lebih rinci, misalkan untuk neraca faktorial dibagi menjadi tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Kemudian tenaga kerja itu sendiri dibagi menjadi tenaga kerja pertanian, produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar, tata usaha, penjualan, jasa-jasa, dan sebagainya. Termasuk juga dipisahkan menjadi tenaga kerja penerima upah dan bukan penerima upah, desa dan kota, begitu seterusnya. Neraca pendapatan yang lain juga mendisgregasi aktivitasnya sesuai karakteristik masing-masing. Dalam ulasan awal ini akan dibahas bagaimana peranan sektor pupuk terhadap masing-masing distribusi pendapatan, khususnya secara agregat yakni pada distribusi pendapatan faktorial, institusi, produksi, dan total output. Dimana untuk mengamati besaranya peranan tersebut digunakan nilai multiplier SNSE yang dapat menggambarkan peranan secara total mencakup peranannya secara
204
langsung dan tidak langsung. Selengkapnya hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial, Institusi, Produksi dan Total Output Berdasarkan Multiplier SNSE 2008 Kode
Faktorial
Institusi
Produksi
Total Output
Industri pupuk anorganik
42
1.3709
1.7116
2.6196
5.7021
Industri pupuk organik
43
1.5728
1.8696
3.2896
6.7319
Pertanian tanaman pangan
30
1.6195
1.9716
3.0577
6.6489
Pertanian tanaman lainnya
31
1.5609
1.8975
3.2770
6.7354
Peternakan dan hasil-hasilnya
32
1.3709
1.6696
3.4836
6.5241
Kehutanan dan perburuan
33
1.4970
1.8432
2.9415
6.2818
Perikanan
34
1.4874
1.8420
2.9301
6.2595
Konstruksi jalan dan jembatan
45
1.4198
1.7445
3.4589
6.6233
Konstruksi irigasi
46
1.5587
1.8738
3.4391
6.8716
Konstruksi lainnya
47
1.4156
1.7472
3.4429
6.6057
Sektor Produksi
Sumber : data diolah
Pada Tabel 36 terlihat bahwa peranan sektor pupuk terhadap distribusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia cukup tinggi, sejajar dengan sektor pertanian dan konstruksi. Terutama sektor pupuk organik, lebih tinggi perananannya dibandingkan pupuk anorganik. Dimana untuk total output, nilai multiplier sektor pupuk organik adalah sebesar 6.7319 yang lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik sebesar 5.7021. Angka multiplier total output sebesar 6.7319 pada sektor pupuk organik mengindikasikan bahwa jika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar pada sektor pupuk organik maka total pendapatan dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan akan meningkat
205
sebanyak 6.7319 milyar rupiah. Sedangkan melalui sektor pupuk anorganik, jika diberi stimulus fiskal sebanyak 1 milyar rupiah akan memberi dampak terhadap kenaikan total pendapatan dalam perekonomian Indonesia sebesar 5.7021 milyar rupiah. Jika ditelusuri lebih jauh, dalam seluruh distribusi pendapatan peranan sektor pupuk organik terlihat lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik. Mulai distribusi faktorial, institusi hingga produksi, nilai multiplier sektor pupuk organik selalu lebih tinggi dibandingkan multiplier sektor pupuk anorganik. Untuk distribusi faktorial, nilai multiplier sektor pupuk organik adalah sebesar 1.5728, lebih tinggi dibandingkan multiplier pendapatan faktorial sektor pupuk anorganik sebesar 1.3709. Demikian juga untuk distribusi pendapatan institusi, peranan sektor pupuk organik dalam perekonomian lebih menonjol dibandingkan sektor pupuk anorganik, dengan nilai multiplier-nya masing-masing sebesar 1.8696 dan 1.7116. Terakhir pada distribusi pendapatan produksi, sektor pupuk organik mampu menciptakan multiplier-nya sebesar 3.2896, sedangkan sektor pupuk anorganik sebesar 2.6196. Berdasarkan seluruh angka multiplier distribusi pendapatan di atas maka dapat
digeneralisasikan bahwa peranan sektor pupuk anorganik dalam
perekonomian Indonesia terlihat lebih kecil dibandingkan sektor pupuk organik. Kondisi ini dapat terjadi karena jika dianalisa dari keterkaitan ke belakang (backward linkage) peranan sektor pupuk anorganik memang akan terlihat lebih kecil dibandingkan sektor pupuk organik, yang disebabkan keterkaitan sektor pupuk anorganik dengan sektor-sektor produksi lainnya sangat sedikit, terkonsentrasi pada beberapa sektor saja seperti dengan industri migas, kimia,
206
logam dan mesin. Selain itu, sifatnya juga padat modal, sehingga rendah hubungannya dengan tenaga kerja, yang pada akhirnya memiliki peran yang rendah juga terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga. Beda jauh dengan sektor pupuk organik yang mempunyai banyak keterkaitan ke belakang dengan sektor-sektor lain seperti sektor peternakan, tanaman pangan, perikanan, kimia, dan sebagainya. Fakta lainnya sektor pupuk organik adalah padat karya yang lebih mengandalkan tenaga kerja yang dimiliki oleh rumah tangga. Hal ini menyebabkan peranan sektor pupuk organik terhadap pendapatan rumah tangga terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik. Untuk menelusuri lebih mendalam bagaimana peranan sektor pupuk tersebut dalam perekonomian Indonesia, pada pembahasan berikut ini dijelaskan multiplier pendapatan sektor pupuk yang lebih rinci pada masing-masing neraca pendapatan, dimana untuk neraca pendapatan faktorial dibagi atas 17 aktivitas, kemudian neraca institusi dibagi menjadi 12 aktivitas, dan terakhir untuk neraca produksi terdiri atas 24 aktivitas. Selengkapnya nilai multiplier untuk masingmasing neraca tersebut dapat dilihat pada Tabel 37, Tabel 38 dan Tabel 39. Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa sektor pupuk organik merupakan sektor produksi yang padat karya, dimana jika dianalisa secara langsung, nilai pengeluaran tenaga kerja lebih besar dibandingkan modal. Hal yang sama juga terlihat pada nilai multiplier-nya yang dapat menggambarkan peranan langsung dan tidak langsung sekaligus dari sektor pupuk organik terhadap pendapatan faktorial. Seperti yang disajikan dalam Tabel 37, nilai multiplier tenaga kerja dari sektor pupuk organik adalah 0.9918 lebih besar dibandingkan nilai multiplier modalnya sebesar 0.5811. Ini berarti jika ada stimulus fiskal
207
sebesar 1 milyar rupiah pada sektor pupuk organik maka pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan dalam perekonomian Indonesia akan meningkat sebanyak 0.9918 milyar rupiah, sedangkan pendapatan modal meningkat sebanyak 0.5811 milyar rupiah. Tenaga kerja yang paling besar menyerap efek multiplier dari sektor pupuk organik adalah tenaga kerja produksi penerima upah di desa (5) dan kota (6), serta tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa penerima upah di kota (10), masing-masing secara berurutan menyerap 29.11 persen, 10.43 persen dan 12.52 persen dari total multiplier tenaga kerja yang dipancarkan oleh sektor pupuk organik sebesar 0.9918 milyar rupiah. Dengan kata lain ketiga tenaga kerja tersebut menyerap efek multiplier tenaga kerja sektor pupuk organik sebanyak 52.06 persen. Sedangkan untuk tenaga kerja lainnya rata-rata di bawah 10 persen, dimana yang cukup besar adalah tenaga kerja pertanian bukan penerima upah di desa (3) sebanyak 9.23 persen. Keadaan yang sama juga pada sektor pupuk anorganik, ketiga tenaga kerja yang disebutkan pertama di atas yakni tenaga kerja produksi penerima upah di desa (5) dan kota (6), serta tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa penerima upah di kota (10) menyerap efek multiplier tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja lainnya. Namun demikian, sektor pupuk anorganik sebenarnya terlihat lebih banyak memancarkan efek multiplier ke faktor bukan tenaga kerja daripada ke tenaga kerja.
208
208
Tabel 37. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Berdasarkan Multiplier Pendapatan Faktorial Jenis Faktor Produksi
Tata usaha, penjualan, jasa-jasa
Kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi
42
43
30
31
32
33
34
45
46
47
Penerima Upah dan Gaji
Desa
1
0.0234
0.0462
0.1181
0.1536
0.1507
0.1197
0.1246
0.0292
0.0310
0.0305
Kota
2
0.0050
0.0093
0.0196
0.0244
0.0270
0.0340
0.0495
0.0063
0.0066
0.0066
Bukan Penerima Upah dan Gaji
Desa
3
0.0539
0.0915
0.3906
0.2854
0.2063
0.2030
0.1910
0.0658
0.0710
0.0674
Kota
4
0.0046
0.0078
0.0281
0.0158
0.0173
0.0245
0.0348
0.0057
0.0061
0.0059
Penerima Upah dan Gaji
Desa
5
0.0734
0.2887
0.0359
0.0436
0.0371
0.0400
0.0291
0.1014
0.2275
0.0881
Kota
6
0.1241
0.1035
0.0530
0.0642
0.0589
0.0551
0.0499
0.1307
0.0811
0.1162
Bukan Penerima Upah dan Gaji
Desa
7
0.0166
0.0342
0.0194
0.0228
0.0205
0.0228
0.0170
0.0544
0.0850
0.0453
Kota
8
0.0125
0.0241
0.0140
0.0161
0.0157
0.0161
0.0130
0.0396
0.0389
0.0332
Penerima Upah dan Gaji
Desa
9
0.0388
0.0658
0.0207
0.0269
0.0232
0.0269
0.0198
0.0233
0.0427
0.0245
Kota
10
0.0849
0.1242
0.0611
0.0711
0.0624
0.0649
0.0572
0.0849
0.1154
0.0876
Bukan Penerima Upah dan Gaji
Desa
11
0.0206
0.0422
0.0262
0.0279
0.0286
0.0275
0.0252
0.0332
0.0352
0.0388
Kota
12
0.0216
0.0444
0.0270
0.0286
0.0294
0.0282
0.0258
0.0331
0.0372
0.0401
Penerima Upah dan Gaji
Desa
13
0.0340
0.0138
0.0142
0.0167
0.0144
0.0155
0.0139
0.0158
0.0157
0.0153
Kota
14
0.0650
0.0800
0.0379
0.0422
0.0362
0.0388
0.0343
0.0562
0.0933
0.0547
Bukan Penerima Upah dan Gaji
Desa
15
0.0036
0.0095
0.0053
0.0064
0.0046
0.0111
0.0049
0.0129
0.0179
0.0105
Kota
16
0.0053
0.0066
0.0066
0.0075
0.0065
0.0097
0.0072
0.0116
0.0080
0.0110
0.5873
0.9918
0.8777
0.8532
0.7388
0.7378
0.6972
0.7041
0.9126
0.6757
0.7834
0.5811
0.7418
0.7077
0.6323
0.7593
0.7901
0.7157
0.6460
0.7399
1.3709
1.5728
1.6195
1.5609
1.3709
1.4970
1.4874
1.4198
1.5587
1.4156
Pertanian
Produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar
Kode
Total Multiplier Tenaga Kerja Bukan Tenaga kerja (modal dan lahan) Total Multiplier Faktor Produksi Sumber : data diolah
17
209
Sesuai dengan sifat teknologi yang digunakan yakni padat modal, akhirnya multiplier yang diciptakan menjadi lebih banyak ke faktor bukan tenaga kerja yakni sebanyak 0.7834. Sedangkan pada tenaga kerja efek multiplier-nya sebesar 0.5873. Ini berarti ketika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah di sektor pupuk anorganik akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertambahan pendapatan modal (bukan tenaga kerja) sebesar 0.7834 milyar rupiah, sementara pendapatan tenaga kerja meningkat sebanyak 0.5873. Dengan kata lain efek multiplier yang dipancarkan oleh sektor pupuk anorganik akan diserap lebih banyak oleh faktor modal sebesar 57.15 persen, sisanya 42.85 persen diserap oleh faktor tenaga kerja. Beberapa sektor terkait yang mempunyai karakteristik padat karya juga adalah sektor pertanian tanaman pangan, tanaman lainnya, peternakan dan konstruksi irigasi, perhatikan Tabel 37. Keempat sektor ini memberi efek multiplier yang lebih besar kepada tenaga kerja dibandingkan modal. Dimana untuk setiap satu-satuan nilai multplier yang dipancarkan rata-rata sekitar 55.32 persen diberikan ke faktor tenaga kerja, sisanya 44.68 persen ke faktor modal. Beda halnya dengan sektor kehutanan, perikanan, konstruksi jalan dan jembatan, serta sektor konstruksi lainnya (pemukiman, gedung, dan lain-lain), semua sektor ini mempunyai karakteristik yang padat modal, indikasinya dapat dilihat pada efek multiplier faktor produksi dari masing-masing sektor tersebut dimana untuk setiap satu-satuan nilai multiplier yang dihasilkan rata-rata 51.63 persen lebih banyak dipancarkan ke faktor modal, sisanya 48.37 persen ke faktor tenaga kerja. Seluruh rumah tangga dipastikan dapat menjadi supplier atau pemasok tenaga kerja, sebagaimana yang tercermin pada jam kerja yang ditawarkan oleh rumah
210
tangga. Akan tetapi untuk modal, tidak semua rumah tangga memilikinya untuk ditawarkan dalam pasar input. Pada umumnya yang memiliki modal adalah rumah tangga yang berpendapatan menengah ke atas. Oleh karena ada perbedaan kepemilikan sumber daya ekonomi inilah yang menyebabkan mengapa sektorsektor yang lebih banyak memancarkan efek multiplier ke faktor tenaga kerja terlihat lebih tinggi peranannya terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga, dibandingkan sektor-sektor yang lebih banyak memancarkan efek multiplier ke pendapatan modal. Seperti yang disajikan pada Tabel 38, sektor pupuk organik (43) yang sebelumnya terindikasi mempunyai peranan yang tinggi terhadap tenaga kerja dibandingkan sektor pupuk anorganik, dalam neraca pendapatan institusi terlihat jelas kontribusinya terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik (42). Dimana hal ini ditunjukkan dengan angka multiplier pendapatan rumah tangga sektor pupuk organik yang mencapai 1.2674 lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik sebesar 0.9457. Ini berarti, jika ada stimulus fiskal di sektor pupuk organik sebesar 1 milyar rupiah, akan memberikan dampak terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan sebesar 1.2674 milyar rupiah. Sedangkan pada sektor pupuk anorganik, hanya memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga sebesar 0.9574 milyar rupiah untuk besaran stimulus fiskal yang sama. Namun demikian, terhadap kenaikan pendapatan perusahaan dan pemerintah, peranan sektor pupuk anorganik terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk organik.
211
Tabel 38.
Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah tangga, Perusahaan dan Pemerintah Berdasarkan Multiplier Pendapatan Institusi Institusi
Kode
42
43
30
31
32
33
34
45
46
47
18
0.0527
0.0759
0.0982
0.1057
0.1011
0.1028
0.1164
0.0568
0.0650
0.0566
Pengusaha memiliki tanah 0,000 ha - 0,500 ha
19
0.0728
0.1110
0.1951
0.1697
0.1401
0.1391
0.1360
0.0854
0.1032
0.0843
Pengusaha memiliki tanah 0,500 ha - 1,00 ha
20
0.0510
0.0619
0.1018
0.0912
0.0769
0.0766
0.0759
0.0546
0.0577
0.0534
Pengusaha memiliki tanah 1,000 ha - lebih
21
0.0493
0.0562
0.0976
0.0844
0.0700
0.0738
0.0731
0.0525
0.0592
0.0526
Pengusaha bebas golongan rendah tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
22
0.1376
0.3114
0.1470
0.1525
0.1344
0.1429
0.1279
0.1670
0.2687
0.1603
Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas
23
0.0432
0.0673
0.0785
0.0725
0.0608
0.0618
0.0584
0.0520
0.0707
0.0495
Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas
24
0.1205
0.1438
0.1749
0.1612
0.1350
0.1443
0.1352
0.1197
0.1457
0.1189
Pengusaha bebas golongan rendah tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
25
0.1746
0.1711
0.1265
0.1346
0.1227
0.1325
0.1282
0.1933
0.1683
0.1842
Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas
26
0.0638
0.0647
0.0505
0.0522
0.0475
0.0522
0.0517
0.0651
0.0626
0.0646
Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas
27
0.1803
0.2040
0.1554
0.1607
0.1459
0.1639
0.1598
0.1882
0.2146
0.1921
Total Multiplier Rumah tangga
0.9457
1.2674
1.2255
1.1848
1.0344
1.0899
1.0626
1.0346
1.2158
1.0165
Perusahaan
0.5303
0.4044
0.5101
0.4868
0.4343
0.5183
0.5379
0.4877
0.4458
0.5032
Pemerintah
0.2355
0.1978
0.2360
0.2259
0.2009
0.2350
0.2414
0.2222
0.2121
0.2275
Total Multiplier Institusi
1.7116
1.8696
1.9716
1.8975
1.6696
1.8432
1.8420
1.7445
1.8738
1.7472
RT Buruh Tani RT Pengusaha Pertanian
RT Bukan Pertanian Pedesaan
RT Bukan Pertanian Perkotaan
Sumber : data diolah
211
212
Dalam Tabel 38 kondisi tersebut tercermin pada nilai multiplier pendapatan perusahaan dan pemerintah untuk masing-masing sektor yang dimaksud, yang mana nilai multiplier sektor pupuk anorganik adalah sebesar 0.5303 terhadap pendapatan perusahaan, dan 0.2355 terhadap pendapatan pemerintah. Sehingga dapat digeneralisasikan bahwa jika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah di sektor pupuk anorganik maka pendapatan perusahaan dan pemerintah masing-masing akan meningkat sebanyak 0.5303 milyar rupiah dan 0.2355 milyar rupiah. Sementara itu nilai multiplier dari sektor pupuk organik terhadap pendapatan perusahaan sebesar 0.4044, dan terhadap pendapatan pemerintah sebesar 0.1978. Karakteristik industri pengolahan pupuk anorganik dengan pupuk organik sangat berbeda jauh. Pada umumnya industri pupuk anorganik dikelola dengan bentuk badan usaha PT terutama BUMN dalam skala besar, dan menjadi sumber pendapatan pajak yang cukup besar bagi pemerintah. Oleh sebab itu, dampaknya terhadap pendapatan perusahaan dan pemerintah terlihat lebih tinggi. Beda halnya dengan industri pupuk organik yang lebih banyak dikelola perusahaan kecil bahkan perorangan (home industry) dalam skala usaha mikro dan kecil, membuat sektor ini terlihat lebih rendah peranannya terhadap pendapatan perusahaan dan pemerintah. Dalam Tabel 38 tampak jelas juga bahwa efek multiplier yang dipancarkan oleh sektor pupuk organik lebih banyak diserap oleh rumah tangga perdesaan bukan pertanian, khususnya pengusaha bebas golongan rendah (22). Golongan rumah tangga ini menerima efek multiplier dari sektor pupuk organik sebesar 0.3114 atau sekitar 24.37 persen dari total multiplier pendapatan rumah tangga
213
yang diciptakan oleh sektor pupuk organik. Menyusul kemudian rumah tangga bukan pertanian perkotaan, khususnya pengusaha bebas golongan atas (27) yakni sebesar 0.1711 atau 16.10 persen, serta pengusaha bebas golongan rendah (25) sebesar 0.1438 atau 13.50 persen. Lain halnya dengan sektor pupuk anorganik, efek multiplier-nya ternyata paling banyak dinikmati oleh rumah tangga bukan pertanian perkotaan, khususnya pengusaha bebas golongan atas (27) dan rendah (25), masing-masing sebesar 0.1803 atau 19.07 persen dan 0.1746 atau 18.46 persen dari total multiplier pendapatan rumah tangga yang dihasilkan sektor pupuk anorganik, kemudian rumah tangga perdesaan bukan pertanian, khususnya pengusaha bebas golongan rendah (22) yakni sebesar 0.1376 atau sekitar 14.55 persen. Selengkapnya untuk seluruh rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 37 berikut ini. Nilai Multiplier
Sektor Pupuk Anorganik
Sektor Pupuk Organik
Golongan Rumah tangga
Sumber : data diolah
Gambar 37.
Nilai Multiplier Pendapatan Rumah Tangga pada Sektor Pupuk Organik dan Sektor Pupuk Anorganik
214
Apabila dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, ternyata peranan sektor pupuk organik terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga dapat dinilai paling tinggi dalam perekonomian. Indikasinya terlihat pada nilai multiplier pendapatan rumah tangga masing-masing sektor di Tabel 38. Nilai multiplier untuk sektor pupuk organik (43) adalah sebesar 1.2674, sedangkan sektor tanaman pangan (30) sebesar 1.2255, sektor konstruksi irigasi (46) sebesar 1.2158, sektor tanaman perkebunan (31) sebesar 1.1848, dan sektor-sektor lainnya rata-rata sebesar 1.0476. Jika diamati lebih jauh dalam Tabel 38, yang menyebabkan peranan sektor pupuk organik terlihat paling tinggi terhadap pendapatan rumah tangga dibandingkan sektor yang lain, oleh karena nilai multiplier-nya terhadap pendapatan rumah tangga bukan pertanian di desa untuk pengusaha bebas golongan rendah (22) paling besar dan sangat mencolok dibandingkan sektorsektor yang lain, yaitu sebesar 0.3114. Sedangkan sektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, konstruksi jalan dan jembatan, konstruksi irigasi, dan konstruksi lainnya, mempunyai multiplier pendapatan terhadap rumah tangga tersebut hanya sekitar 0.1279 paling rendah dan 0.2678 paling tinggi, seluruhnya jauh di bawah nilai multiplier sektor pupuk organik Meskipun demikian jika diperhatikan pada golongan rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor pertanian yakni buruh tani (18) dan petani gurem (19), peranan sektor pupuk organik terlihat lebih kecil dibandingkan sektor-sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan).
215
0,2500
43
30
31
32
RT Buruh Tani
33
34
45
46
0,0843
0,0566
0,1032 0,0650
0,0854
0,1360 0,1164
0,1028
0,1391
0,1401 0,1011
0,1057
0,1110 0,0759
42
0,0568
0,0000
0,0728
0,0500
0,0527
0,1000
0,0982
0,1500
0,1697
0,1951
0,2000
47
Petani Gurem
Sumber : data diolah
Gambar 38.
Nilai Multiplier Pendapatan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Gurem Pada Sektor Pupuk, Pertanian dan Konstruksi
Sebagaimana yang disajikan pada Gambar 38, terlihat jelas bahwa nilai multiplier sektor pupuk organik terhadap buruh tani hanya sebesar 0.0759, dan petani gurem sebesar 0.1110. Kedua nilai multiplier ini jauh di bawah nilai multiplier sektor pertanian yang berkisar diantara 0.0982 – 0.1164 terhadap pendapatan rumah tangga buruh tani, dan 0.1360 – 1.1951 terhadap petani gurem. Berdasarkan berbagai fenomena yang telah digambarkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa walaupun sektor pupuk, terutama pupuk organik, mempunyai peranan yang paling tinggi terhadap pendapatan rumah tangga, namun kontribusinya terhadap rumah tangga tani yang berpendapatan rendah sangat kecil, sehingga kurang dapat diandalkan sebagai salah satu sektor yang mampu mengangkat kesejahteraan rumah tangga tani yang hidup sangat miskin di perdesaan yang umumnya adalah buruh tani dan petani gurem. Akan tetapi, untuk mengangkat derajat kesejahteraan bagi rumah tangga perdesaan yang tidak bekerja di sektor pertanian, dimana sebagian dari mereka juga ada yang
216
berpendapatan rendah seperti rumah tangga pedagang keliling, buruh kasar dan pekerja bebas sektor angkutan, peranan dari sektor pupuk organik ini dapat diandalkan dan dijadikan sebagai salah prioritas pembangunan sektoral dalam upaya meningkatkan pendapatan rumah tangga perdesaan. Terjadinya integrasi ekonomi antar sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam ekonomi pasar, integrasi ekonomi dapat dilihat jelas ketika terjadi interaksi antara pelaku ekonomi yang saling jual beli input produksi. Misalkan, produsen tahu tempe membutuhkan input kedelai sebagai bahan bakunya, untuk itu produsen harus membelinya dari petani kedelai. Adapun petani kedelai jika ingin meningkatkan outputnya sangat membutuhkan pupuk yang dibelinya dari pabrik pupuk. Sementara itu pabrik pupuk sangat membutuhkan mesin-mesin untuk memproduksi pupuknya, begitu seterusnya interaksi antar sektor produksi terjadi dalam sebuah perekonomian. Sudah pasti suatu sektor produksi tidak bisa berkembang hanya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri. Untuk melihat seberapa jauh keterkaitan ekonomi antara satu sektor produksi dengan sektor produksi lainnya dapat diamati dari besaran multiplier pendapatan produksi masing-masing sektor dalam tabel SNSE. Khususnya jika dianalisa dari keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang menggambarkan bagaimana dampak dari kenaikan produksi suatu sektor terhadap produksi di sektor lain melalui permintaan input antara. Dalam kajian kali ini secara khusus akan dibahas bagaimana keterkaitan sektor pupuk dengan sektor-sektor lainnya yang dianalisa menggunakan nilai multiplier pendapatan produksi SNSE sebagaimana yang disajikan pada Tabel 39.
217
Jika diperhatikan pada nilai total multiplier produksi, dapat dikatakan bahwa peranan sektor pupuk organik dalam perekonomian tampak lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik. Indikasinya, sektor pupuk organik mempunyai dampak multiplier yang lebih tinggi yakni sebesar 3.2896, sedangkan sektor pupuk anorganik sebesar 2.6196. Nilai multiplier sebesar 3.2896 artinya jika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah di sektor pupuk organik maka akan menyebabkan kenaikan produksi dalam perekonomian sebesar 3.2896 milyar rupiah yang terdistribusi pada kenaikan produksi di sektor pupuk organik itu sendiri (own multiplier) sebanyak 1.0005 milyar rupiah, dan produksi di sektorsektor lainnya (other sector linkage) dalam perekonomian sebesar 2.2891 milyar rupiah. Sedangkan untuk sektor pupuk anorganik, jika diberi stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah, dampaknya terhadap kenaikan produksi secara keseluruhan dalam perekonomian adalah sebesar 2.6196 milyar rupiah yang teralokasi pada kenaikan produksi di sektor itu sendiri (owner) sebesar 1.0277 milyar rupiah dan sektor-sektor lainnya (other sector linkage) sebesar 1.5919 milyar rupiah. Dari serangkaian angka multiplier ini terlihat jelas bahwa keterkaitan ke belakang
sektor
pupuk
organik
terhadap
sektor-sektor
lainnya
dalam
perekonomian lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik yang terlihat lebih ekslusif. Ada dua indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan kondisi tersebut.
218
218
Tabel 39. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Produksi Berdasarkan Multiplier Pendapatan Sektor Produksi Kode
42
43
30
31
32
33
34
45
46
47
Pertanian tanaman pangan
Sektor Produksi
30
0.1204
0.1824
1.2033
0.1660
0.2520
0.1470
0.1589
0.1397
0.1563
0.1392
Pertanian tanaman lainnya
31
0.0354
0.0543
0.0702
1.1120
0.0850
0.0802
0.0495
0.0476
0.0493
0.0469
Peternakan dan hasil-hasilnya
32
0.0602
0.2139
0.1099
0.1010
1.2835
0.0720
0.0720
0.0705
0.0786
0.0732
Kehutanan dan perburuan
33
0.0050
0.0068
0.0070
0.0086
0.0070
1.0261
0.0073
0.0212
0.0072
0.0343
Perikanan
34
0.0495
0.0721
0.0663
0.0651
0.0718
0.0587
1.1693
0.0567
0.0658
0.0564
Penambangan batubara, bijih logam, minyak, gas dan panas bumi
35
0.1472
0.0325
0.0363
0.0504
0.0321
0.0358
0.0317
0.0819
0.0509
0.0717
Pertambangan dan penggalian lainnya
36
0.0197
0.1267
0.0217
0.0244
0.0142
0.0149
0.0131
0.1620
0.2906
0.1151
Industri makanan, minuman dan tembakau
37
0.2199
0.3604
0.3020
0.2967
0.5790
0.2630
0.3036
0.2697
0.2853
0.2670
Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit
38
0.0372
0.1030
0.0481
0.0484
0.0417
0.0471
0.0419
0.0432
0.0489
0.0430
Industri kayu & barang dari kayu
39
0.0207
0.0276
0.0271
0.0295
0.0242
0.0258
0.0252
0.0972
0.0292
0.0846
Industri kertas, perctk, alat angktn & brg dr logam & ind. lainnya
40
0.2018
0.2529
0.2436
0.2734
0.2242
0.2925
0.2577
0.4178
0.4412
0.3820
Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen
41
0.0477
0.0461
0.0475
0.0767
0.0544
0.0477
0.0452
0.1121
0.0879
0.1039
Industri pupuk anorganik
42
1.0277
0.0338
0.0704
0.1262
0.0352
0.0344
0.0310
0.0292
0.0326
0.0290
Industri pupuk organik
43
0.0003
1.0005
0.0025
0.0008
0.0007
0.0011
0.0006
0.0004
0.0005
0.0005
Listrik, gas dan air bersih
44
0.0194
0.0246
0.0224
0.0238
0.0233
0.0234
0.0216
0.0312
0.0251
0.0276
Konstruksi jalan dan jembatan
45
0.0096
0.0128
0.0215
0.0251
0.0162
0.0313
0.0146
1.0448
0.0165
0.0128
Konstruksi irigasi
46
0.0049
0.0076
0.0378
0.0322
0.0127
0.0068
0.0142
0.0058
1.0073
0.0058
Konstruksi lainnya
47
0.0233
0.0297
0.0306
0.0603
0.0316
0.0413
0.0291
0.0384
0.0328
1.0474
Perdagangan, restoran dan hotel
48
0.1920
0.2505
0.2374
0.2456
0.2635
0.2233
0.2228
0.2796
0.2447
0.3527
Angktan, komunikasi, jasa penunjang angkutan, dan pergudangan
49
0.0978
0.1279
0.1270
0.1335
0.1277
0.1310
0.1159
0.1543
0.1261
0.1470
Bank dan asuransi
50
0.0460
0.0568
0.0565
0.0921
0.0585
0.0624
0.0538
0.0839
0.0579
0.0830
Real estate dan jasa perusahaan
51
0.0478
0.0613
0.0578
0.0626
0.0555
0.0601
0.0518
0.0692
0.0946
0.1137
Pemerinth & perthn, penddk, kesehatan, film & jasa sosial lainnya
52
0.1227
0.1244
0.1344
0.1314
0.1161
0.1294
0.1310
0.1238
0.1279
0.1261
Jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya
53
0.0634
0.0809
0.0765
0.0912
0.0736
0.0864
0.0683
0.0786
0.0819
0.0801
Total Multiplier : Owner
1.0277
1.0005
1.2033
1.1120
1.2835
1.0261
1.1693
1.0448
1.0073
1.0474
Total Multiplier : Other Sector Linkage
1.5919
2.2891
1.8544
2.1650
2.2002
1.9154
1.7608
2.4141
2.4318
2.3955
Total Multiplier : Production
2.6196
3.2896
3.0577
3.2770
3.4836
2.9415
2.9301
3.4589
3.4391
3.4429
Sumber : data diolah
219
Pertama, nilai multiplier keterkaitan ke belakang dari sektor pupuk organik yaitu 2.2891 terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik yaitu 1.5919, hal ini menandakan bahwa sektor pupuk organik lebih terbuka dibandingkan sektor pupuk anorganik. Kedua, nilai multiplier owner sektor pupuk anorganik yaitu 1.0277 terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk organik yaitu 1.0005, yang berarti sektor pupuk anorganik lebih tertutup dibandingkan sektor pupuk organik. Ironisnya, meskipun sektor pupuk mempunyai peranan yang lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik dalam kenaikan produksi sektor-sektor lain, namun daya serap sektor-sektor penguna pupuk, terutama sektor pertanian sangat rendah terhadap pupuk organik. Perhatikan pada nilai multiplier produksi sektorsektor pertanian yaitu tanaman pangan (30), tanaman perkebunan (31), peternakan (32), perikanan (33) dan kehutanan (34), terhadap sektor pupuk organik terlihat lebih rendah dibandingkan terhadap sektor pupuk anorganik. Sebagai contoh, nilai multiplier produksi sektor tanaman pangan untuk sektor pupuk adalah sebesar 0.0025, sedangkan untuk sektor pupuk anorganik sebesar 0.0704. Padahal nilai multiplier sektor pupuk organik ke sektor tanaman pangan mencapai 0.1824 lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik sebesar 0.1204. Demikian juga dari sektor perkebunan, perikanan dan kehutanan, semua menunjukkan bahwa peranan sektor-sektor tersebut lebih banyak ke sektor pupuk anorganik daripada ke sektor pupuk organik, sementara peranan sektor pupuk organik terhadap sektor pertanian tersebut terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 40.
220
Tabel 40. Keterkaitan Antara Sektor Pupuk dan Sektor Pertanian Berdasarkan Multiplier Produksi Kode Sektor
Anorganik
Organik
Anorganik
30
0.1204
0.1824
0.0704
0.0025
31
0.0354
0.0543
0.1262
0.0008
32
0.0602
0.2139
0.0352
0.0007
33
0.0050
0.0068
0.0344
0.0011
34
0.0495
0.0721
0.0310
0.0006
Multiplier Ke
Organik
Multiplier Dari
Sumber : data diolah
Fakta memang menunjukkan daya serap sektor pertanian terhadap pupuk organik lebih kecil dibandingkan pupuk anorganik. Para petani, terutama yang di sektor tanaman pangan, lebih menyukai pupuk kimia (anorganik) daripada kompos (pupuk organik). Alasan mereka pupuk kimia mempunyai kandungan unsur hara yang baik dan cepat meningkatkan kuantitas produksi. Hal ini juga tidak lepas dari keinginan petani agar tanaman mereka dapat cepat tumbuh subur dan menghasilkan setelah dipupuk. Alasan lainnya, dalam setiap kemasan pupuk organik tidak dicantumkan cara penggunaan pupuk organik yang tepat dan peruntukannya yang benar. Berbeda dengan pupuk kimia, dalam kemasannya selalu dicantumkan ketentuan khusus seperti pupuk untuk merangsang pertumbuhan cabang, pertumbuhan akar atau merangsang buah. Karena hal ini akhirnya petani merasa kesulitan untuk menggunakan pupuk organik. Ironisnya, meskipun pupuk kimia lebih mahal (sekitar 206 persen) dibandingkan pupuk organik, tetapi permintaan terhadap pupuk kimia selalu lebih tinggi dibandingkan pupuk organik. Sebagai bahan referensi yang dapat menggambarkan kondisi tersebut berikut ini disajikan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi di sektor pertanian pada tahun 2011.
221
100,00
8,99
8,31
7,45
12,13
11,23
91,01
91,69
92,55
87,87
88,77
8,45
80,00
60,00
40,00
100,00
91,55
20,00
0,00 Tanaman Pangan
Hortikultura Perkebunan Peternakan
Organik
Perikanan Budidaya
Cadangan Nasional
Total
Anorganik
Sumber : Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (diolah)
Gambar 39. Alokasi Pupuk Bersubsidi di Sektor Pertanian Tahun 2011
Pada Gambar 39 di atas terlihat jelas bahwa untuk tahun 2011, alokasi pupuk yang bersubsidi lebih banyak untuk pupuk anorganik yakni sekitar 91.55 persen dari total pupuk bersubsidi tahun 2011 sebanyak 9.88 juta ton. Sedangkan alokasi untuk pupuk organik hanya mencapai 8.45 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa permintaan pupuk anorganik di sektor pertanian lebih banyak dibandingkan pupuk organik, dimana kalau diperhatikan lebih jauh daya serap pupuk anorganik yang paling tinggi adalah di subsektor perkebunan, hortikultura dan tanaman pangan, masing-masing mempunyai daya serap sebesar 92.55 persen, 91.69 persen dan 91.01 persen dari total pupuk bersubsidi masingmasing sub sektor. Untuk sektor peternakan dan perikanan budidaya daya serapnya antara 87.77 persen dan 88.77 persen.
222
Kekhawatiran
akan
kurangnya
pasokan
pupuk
yang
bersubsidi,
menyebabkan pemerintah harus menyiapkan cadangan pupuk bersubsidi sebanyak 174.16 ribu ton, yang mana semuanya itu atau 100 persen merupakan pupuk anorganik. Dengan kata lain pupuk organik sama sekali tidak dicadangkan oleh pemerintah di tahun 2011. Ekspektasi pemerintah jika terjadi kekurangan pasokan pupuk anorganik maka pupuk cadangan dapat dikeluarkan untuk memenuhi permintaan yang berlebihan di pasar. Berarti sekali lagi disini terlihat bahwa permintaan terhadap pupuk anorganik lebih besar dibandingkan pupuk organik. 7.3. Analisis Jalur Struktural Sektor Pupuk Istilah pengaruh (influence) di dalam analisa jalur (Structural Path Analysis) atau SPS menunjukkan besaran pengeluaran yang menghubungkan dua titik di dalam suatu struktur dengan menggunakan konsep avarage expenditure propensity (a ij ). Alur pengaruh juga menggambarkan perubahan output atau perubahan pendapatan pada titik tujuan yang disebabkan oleh perubahan pada titik asal. Dalam studi ini SPA telah dilakukan untuk semua sektor, namun yang ditampilkan pada pembahasan kali ini hanya sektor industri pupuk, khususnya pupuk organik, oleh karena terindikasi industri tersebut mempunyai peranan yang lebih besar dalam perekonomian dibandingkan industri pupuk anorganik. Sedangkan untuk sektor-sektor penting lainnya dapat dilihat pada lampiran. Pembahasan SPA ini diharapkan menjadi gambaran awal bagi analisis simulasi kebijakan yang akan dilakukan pada bab selanjutnya, terutama jika dilihat dari demand side mengarah pada faktor produksi dan institusi.
223
Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi Path
Global Effect
Direct Effect
Path Mult
Total Effect
% of Global
Cum %
43, 32, 1 43, 5, 22, 30, 1
0.046
0.010 0.001
1.330 1.345
0.013 0.001
27.5 3
27.5 30.5
43, 32, 2
0.009
0.002
1.295
0.002
22.9
22.9
43, 32, 3
0.091
0.009
1.399
0.012
13.4
13.4
43, 37, 30, 3
0.001
1.595
0.002
2.5
15.9
43, 5, 22, 30, 3
0.004
1.352
0.005
5.9
21.8
43, 32, 37, 30, 3
0.002
1.965
0.003
3.3
25.1
43, 5, 22, 37, 30, 3
0.002
1.701
0.003
3.7
28.8
0.247
1.038
0.256
88.7
88.7
0.012
1.056
0.013
4.5
93.2
0.040 0.009
1.070 1.088
0.043 0.009
41.6 9.1
41.6 50.7
0.002
1.426
0.004
3.4
54.1
43, 5
0.289
43, 36, 5 43, 6 43, 36, 6
0.103
43, 38, 6 43, 36, 7
0.034
0.016
1.039
0.017
49.7
49.7
43, 36, 8
0.024
0.01
1.036
0.01
43.4
43.4
43, 9
0.066
0.046
1.025
0.047
71.2
71.2
43, 10 43, 36, 10 43, 5, 22, 48, 10
0.124
0.063 0.001 0.001
1.077 1.097 1.448
0.068 0.001 0.002
55 0.9 1.5
55,0 55.9 57.3
43, 11 43, 36, 11
0.042
0.013 0.002
1.036 1.055
0.014 0.003
32.6 6.1
32.6 38.7
0.002
1.398
0.003
6.2
44.9
0.015 0.001
1.038 1.057
0.016 0.001
36.2 2.6
36.2 38.7
0.002
1.404
0.003
5.7
44.4
0.014
0.001
1.034
0.001
8.7
8.7
0.08
0.045
1.040
0.047
58.6
58.6
0.001
1.275
0.001
1.8
60.4
43, 5, 22, 48, 11 43, 12 43, 36, 12
0.044
43, 5, 22, 48, 12 43, 36, 13 43, 14 43, 5, 22, 52, 14
224
Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path 43, 36, 15
Global Effect
Direct Effect
Path Mult
Total Effect
% of Global
Cum %
0.01
0.006
1.024
0.006
61.3
61.3
0.581
0.091
1.295
0.117
20.2
20.2
43, 32, 17
0.014
1.626
0.022
3.8
24
43, 36, 17
0.034
1.314
0.045
7.8
31.7
43, 37, 17 43, 38, 17
0.003 0.007
1.678 1.716
0.005 0.012
0.9 2.1
32.7 34.8
43, 32, 37, 17
0.004
2.072
0.007
1.3
36
43, 37, 30, 17 43, 5, 22, 30, 17
0.001 0.004
1.831 1.563
0.003 0.006
0.4 1
36.4 37.5
43, 5, 22, 32, 17
0.001
1.739
0.002
0.3
37.8
43, 5, 22, 34, 17 43, 5, 22, 37, 17 43, 5, 22, 38, 17
0.003 0.004 0.001
1.584 1.766 1.842
0.005 0.008 0.002
0.8 1.4 0.3
38.6 40 40.3
43, 5, 22, 40, 17 43, 5, 22, 48, 17
0.003 0.004
1.750 1.616
0.006 0.007
1 1.1
41.3 42.4
43, 5, 22, 49, 17
0.003
1.565
0.004
0.7
43.2
43, 5, 22, 51, 17 43, 5, 22, 53, 17
0.002 0.002
1.456 1.465
0.004 0.003
0.6 0.5
43.8 44.3
43, 32, 37, 30, 17 43, 5, 22, 37, 30, 17
0.002 0.002
2.252 1.913
0.003 0.004
0.6 0.6
44.8 45.5
0.012 0.002
1.102 1.132
0.014 0.003
18.1 3.3
18.1 21.5
43, 9, 18
0.002
1.090
0.002
2.5
24
43, 10, 18 43, 14, 18 43, 32, 1, 18
0.004 0.001 0.003
1.139 1.105 1.386
0.005 0.001 0.004
5.9 2 4.8
29.9 31.9 36.6
43, 32, 2, 18
0.001
1.357
0.002
2.1
38.8
0.019
1.134
0.022
19.9
19.9
43, 6, 19 43, 9, 19 43, 10, 19
0.001 0.001 0.006
1.166 1.123 1.170
0.002 0.002 0.007
1.4 1.4 6.5
21.3 22.7 29.1
43, 17, 19 43, 32, 1, 19
0.001 0.002
1.380 1.426
0.002 0.003
1.8 2.7
30.9 33.6
43, 32, 3, 19
0.003
1.462
0.004
3.6
37.2
43, 36, 7, 19
0.002
1.134
0.002
2.2
39.4
43, 5, 22, 30, 3, 19
0.001
1.395
0.002
1.6
40.9
43, 17
43, 5, 18 43, 6, 18
43, 5, 19
0.076
0.111
225
Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path 43, 5, 20
Global Effect
Path Mult
Total Effect
% of Global
Cum %
0.005
1.087
0.005
8
8
43, 6, 20
0.004
1.113
0.004
6.9
14.9
43, 10, 20
0.001
1.126
0.001
2.2
17.1
43, 14, 20
0.004
1.086
0.005
7.3
24.4
43, 17, 20 43, 32, 1, 20
0.001 0.001
1.335 1.380
0.002 0.002
2.8 2.6
27.2 29.7
43, 32, 3, 20
0.001
1.439
0.002
2.8
32.6
0.002 0.002
1.082 1.119
0.002 0.002
4.1 4.2
4.1 8.4
43, 14, 21
0.004
1.081
0.004
7.6
15.9
43, 17, 21
0.003
1.322
0.004
6.5
22.4
43, 32, 3, 21 43, 36, 7, 21 43, 36, 17, 21
0.001 0.001 0.001
1.437 1.081 1.340
0.002 0.001 0.001
3 2.6 2.5
25.4 28 30.5
0.170
1.133
0.193
62
62
43, 9, 22
0.018
1.136
0.02
6.6
68.6
43, 11, 22 43, 17, 22 43, 32, 1, 22
0.008 0.004 0.001
1.135 1.384 1.460
0.009 0.005 0.002
3 1.6 0.7
71.6 73.2 73.9
43, 36, 5, 22 43, 36, 7, 22 43, 36, 11, 22
0.009 0.003 0.002
1.150 1.155 1.153
0.01 0.003 0.002
3.1 1.1 0.6
77 78.1 78.7
43, 36, 15, 22 43, 36, 17, 22
0.003 0.001
1.141 1.401
0.004 0.002
1.2 0.6
79.8 80.4
0.022
1.076
0.024
35
35
43, 9, 23
0.002
1.065
0.002
3.2
38.1
43, 17, 23
0.001
1.325
0.002
2.9
41.1
43, 36, 5, 23 43, 36, 7, 23
0.001 0.004
1.094 1.075
0.001 0.004
1.8 6
42.8 48.8
0.016 0.022 0.003 0.005 0.002 0.005 0.001 0.002
1.131 1.109 1.122 1.355 1.490 1.127 1.117 1.373
0.018 0.024 0.004 0.007 0.003 0.006 0.002 0.003
12.4 16.7 2.6 4.8 1.9 4.2 1.1 1.9
12.4 29 31.6 36.4 38.3 42.5 43.6 45.4
43, 5, 21 43, 10, 21
43, 5, 22
43, 5, 23
43, 5, 24 43, 9, 24 43, 11, 24 43, 17, 24 43, 32, 3, 24 43, 36, 7, 24 43, 36, 15, 24 43, 36, 17, 24
0.062
Direct Effect
0.056
0.311
0.067
0.144
226
Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path 43, 6, 25
Global Effect
Path Mult
Total Effect
% of Global
Cum %
0.024
1.167
0.028
16.6
16.6
43, 10, 25
0.017
1.195
0.021
12
28.6
43, 12, 25
0.003
1.171
0.003
1.8
30.5
43, 14, 25
0.002
1.179
0.003
1.5
32
43, 17, 25 43, 36, 6, 25
0.006 0.005
1.389 1.186
0.008 0.006
4.6 3.6
36.6 40.2
43, 36, 8, 25
0.006
1.166
0.007
4.1
44.4
43, 36, 17, 25 43, 38, 6, 25
0.002 0.001
1.408 1.550
0.003 0.002
1.8 1.4
46.2 47.5
0.006
1.108
0.007
10.2
10.2
43, 10, 26
0.009
1.115
0.01
14.8
24.9
43, 12, 26 43, 14, 26 43, 17, 26
0.002 0.003 0.002
1.081 1.086 1.325
0.002 0.003 0.003
3.1 4.7 4.9
28 32.8 37.7
43, 36, 6, 26
0.001
1.126
0.001
2.2
39.9
0.002
1.208
0.003
1.3
1.3
43, 10, 27 43, 12, 27 43, 14, 27
0.024 0.010 0.029
1.192 1.157 1.157
0.028 0.011 0.034
13.8 5.6 16.6
15.1 20.8 37.3
43, 17, 27 43, 32, 17, 27 43, 36, 8, 27
0.008 0.001 0.003
1.382 1.731 1.174
0.011 0.002 0.004
5.3 1 1.7
42.6 43.6 45.3
43, 36, 17, 27 43, 5, 22, 48, 12, 27
0.003 0.001
1.401 1.500
0.004 0.002
2 0.8
47.3 48.2
0.053
1.450
0.077
19.1
19.1
43, 5, 22, 28
0.002
1.370
0.003
0.8
19.8
43, 32, 17, 28
0.008
1.821
0.014
3.6
23.4
43, 36, 17, 28 43, 37, 17, 28
0.020 0.002
1.471 1.878
0.03 0.004
7.3 0.9
30.7 31.6
43, 38, 17, 28
0.004
1.922
0.008
2
33.6
43, 32, 37, 17, 28
0.002
2.318
0.005
1.2
34.8
43, 5, 22, 30, 17, 28
0.002
1.748
0.004
1
35.7
43, 5, 22, 34, 17, 28
0.002
1.772
0.003
0.8
36.5
43, 6, 26
43, 6, 27
43, 17, 28
0.171
Direct Effect
0.065
0.204
0.404
227
Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path
Global Effect
Direct Effect
Path Mult
Total Effect
% of Global
Cum %
43, 5, 22, 37, 17, 28 43, 5, 22, 40, 17, 28
0.003 0.002
1.975 1.957
0.005 0.004
1.3 0.9
37.8 38.7
43, 5, 22, 48, 17, 28
0.002
1.807
0.004
1.1
39.8
43, 5, 22, 49, 17, 28 43, 5, 22, 51, 17, 28
0.002 0.001
1.751 1.629
0.003 0.002
0.7 0.6
40.5 41.1
43, 5, 22, 53, 17, 28
0.001
1.638
0.002
0.4
41.5
0.004
1.474
0.006
3.2
3.2
43, 14, 27, 29 43, 17, 28, 29
0.001 0.017
1.493 1.731
0.002 0.03
0.8 15.1
4 19.1
43, 32, 17, 28, 29
0.003
2.172
0.006
2.8
21.9
43, 36, 17, 28, 29 43, 38, 17, 28, 29
0.007 0.001
1.756 2.293
0.011 0.003
5.8 1.6
27.7 29.2
43, 5, 22, 29
0.198
Dari Tabel 41 dapat dilihat bahwa faktor produksi modal (17) menerima pengaruh global sebesar 0.581, jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima faktor produksi tenaga kerja. Dalam hal ini, alur pengaruh sektor bangunan ke faktor produksi modal yang dapat dideteksi hanya sekitar 45.5 persen. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa SPA hanya menangkap alur-alur yang sangat penting, yaitu pengaruh yang lebih besar dari 10 persen. Apabila terdeteksi sebesar 45.5 persen berarti masih ada sekitar 54.5 persen yang terlalu kecil pengaruhnya (dibawah 10 persen) untuk dapat dideteksi. Adapun besarnya pengaruh langsung yang diterima faktor produksi modal dari setiap kenaikan subsidi pupuk organik adalah sebesar 0.091 atau sekitar 20.2 persen, sisanya diterima setelah melalui sektor lain dengan angka tertinggi adalah melalui sektor pertambangan dan penggalian (36) yaitu sebesar 0.034 atau sekitar 7.8 persen. Sementara itu, pada faktor produksi tenaga kerja, pengaruh global tertinggi diterima oleh tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh
228
kasar penerima upah dan gaji di desa (5) dengan nilai multiplier sebesar 0.289. Jika diperhatikan dari angka kumulatif persentase globalnya, alur yang menjelaskan pengaruh industri pupuk organik terhadap faktor tenaga kerja ini berhasil dideteksi sekitar 93.2 persen. Tenaga kerja ini diperkirakan memperoleh pengaruh langsung dari setiap stimulus fiskal di industri pupuk organik sebesar 0.247 atau sekitar 88.7 persen, sedangkan sisanya sebesar 0.012 atau 4.5 persen diterima setelah melalui sektor pertambangan dan penggalian (36). Pada neraca institusi, khususnya rumah tangga, pengaruh global yang dipancarkan oleh industri pupuk organik yang paling tinggi adalah ke rumah tangga bukan pertanian di desa khususnya pengusaha bebas golongan rendah tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar (22) yakni sebesar 0.311. Adapun besarnya pengaruh langsung yang diterima dari subsidi pupuk organik adalah sebesar 0.170 setelah melalui tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar penerima upah dan gaji di desa (5). Dalam hal ini besarnya persentase pengaruh yang dapat dideteksi melalui alur ini adalah 62 persen. Sedangkan secara keseluruhan alur pengaruh subsidi pupuk organik terhadap perubahan pendapatan rumah tangga tersebut (22) yang berhasil dideteksi adalah sebesar 80.4 persen. Ini berarti ada sekitar 18.4 persen yang berhasil dideteksi tanpa melalui alur (43, 5, 22). Penjelasan jalur struktural dari pengaruh subsidi pupuk organik dalam perekonomian dapat
juga divisualisasikan
dalam suatu
aliran diagram
sebagaimana yang disajikan dalam Gambar 40 dan Gambar 41, yang dapat
229
dijadikan sebagai contoh bagaimana melihat jalur struktural tersebut dalam sebuah diagram.
36 0.1071
0.1149
43
5
0.2467
0.2890 (93.2%)
Gambar 40. Jalur Struktural Pengaruh Subsidi Pupuk Organik Terhadap Tenaga Kerja 32 0.0894
0.1070
9
1
0.0457 0.3931 0.2467
43
5
0.2181
0.1071
0.1149
36
0.6910
0.1424
7
22
0.0214 0.6242 0.0133
0.0497
11
0.5535
15
0.0404
0.2988
0.0906
17
Gambar 41. Jalur Struktural Pengaruh Subsidi Pupuk Organik Terhadap Rumah Tangga
Pada Gambar 40 dan Gambar 41 di atas, angka koefisien yang tercantum dalam garis jalur antara dua titik adalah nilai average expenditure propensity pada koefisien a ij yang menunjukkan besarnya pengaruh langsung dari suatu aktivitas
0.3110 (80.4%)
230
terhadap aktivitas lainnya. Sebagai misal, dalam Gambar 40 terlihat nilai koefisien pada jalur dasar (43) ke (5) adalah sebesar 0.2467 yang berarti besarnya pengaruh langsung subsidi pupuk organik (43) ke tenaga produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar penerima upah dan gaji di desa (5) adalah sebesar 0.2467. Kemudian pada Gambar 38, untuk jalur dasar (43) ke (9) ke (22) masing-masing mempunyai nilai koefisien jalur dasar yaitu (43) ke (9) adalah 0.0457, kemudian (9) ke (22) adalah 0.391, dengan demikian pengaruh langsung dari subsidi pupuk organik (43) terhadap rumah tangga bukan pertanian perdesaan pengusaha bebas (22) melalui lintasan jalur (43), (9), (22) adalah sebesar 0.018 (= 0.0457 x 0.3931). Contoh berikutnya, untuk jalur dasar (43) ke (32) ke (1) ke (22) masingmasing dengan nilai koefisien jalur yaitu untuk (43) ke (32) adalah 0.1070, untuk (32) ke (1) adalah 0.0894, untuk (1) ke (22) adalah 0.1591, dengan demikian pengaruh langsung dari subsidi pupuk organik (43) terhadap rumah tangga bukan pertanian perdesaan pengusaha bebas (22) melalui lintasan jalur (43), (32), (1), (22) adalah sebesar 0.001 (= 0.1070 x 0.0894 x 0.1519). Hitungan besarnya pengaruh langsung dari (43) ke (22) melalui jalur-jalur dasar lainnya menggunakan cara yang sama seperti yang dijelaskan tersebut. Pada titik terakhir dalam jalur dasar yang digambarkan di atas juga ditempatkan sebuah nilai yang menunjukkan besarnya pengaruh global dari subsidi pupuk organik (43) terhadap suatu aktivitas, selain itu dicantumkan angka persentase yang menunjukkan nilai persen total jalur dasar yang berhasil dideteksi oleh SPA. Misalnya pada Gambar 41, nilai sebesar 0.3110 yang ada pada titik (22) merupakan besarnya pengaruh global (diambil dari nilai multiplier) dari subsidi pupuk organik (43) ke rumah tangga bukan pertanian perdesaan
231
pengusaha bebas (22) adalah sebesar 0.3110, dimana sekitar 80.4 persen banyaknya jalur dasar yang berhasil dideteksi (10 jalur dasar) oleh SPA. Berdasarkan SPA ini terlihat bahwa pengaruh dari subsidi pupuk organik terhadap perubahan pendapatan faktor produksi atau rumah tangga, selain mempunyai jalur yang pendek yang melibatkan dua titik aktivitas saja, juga mempunyai jalur yang cukup panjang dengan melibatkan lebih dari dua titik aktivitas. Semakin banyak jalur yang berhasil dideteksi oleh SPA semakin besar terlihat pengaruh global dari subsidi pupuk organik terhadap aktivitas tertentu. Dengan SPA ini dapat ditelusuri kemana saja aliran efek dari kebijakan subsidi pupuk organik dalam perekonomian. Dalam hal ini terungkap dengan jelas bahwa aliran efek subsidi pupuk organik tersebut dipastikan akan selalu melalui faktorfaktor produksi sebelum masuk mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Secara umum dapat diindikasikan bahwa semua golongan rumah tangga akan mengalami peningkatan pendapatan dari setiap kenaikan subsidi pupuk organik. Namun pada akhirnya, sebagian besar peningkatan pendapatan tersebut akan dinikmati oleh pemilik modal. Rumah tangga yang memiliki modal relatif besar adalah rumah tangga golongan atas di perkotaan dan rumah tangga pertanian pemilik lahan lebih dari dua hektar. 7.4. Dampak Kebijakan Pembangunan Sektor Pupuk 7.4.1. Dampak Kebijakan Perekonomian
Pembangunan
Sektor
Pupuk
Terhadap
Untuk mengetahui dampak dari pembangunan sektor pupuk terhadap perekonomian Indonesia, dalam studi yang dilakukan saat ini sudah dirancang berbagai skenario kebijakan yang secara garis besarnya terdiri atas skenario
232
pemberian subsidi pupuk sesuai dengan yang berlaku, pengalihan subsidi pupuk ke sektor lainnya, dan pencabutan subsidi pupuk. Selanjutnya berdasarkan skenario-skenario
tersebut
akan dilihat
dampaknya
terhadap
perubahan
pendapatan nilai tambah, rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan sektor-sektor produksi lain. Tabel 42. Dampak Kebijakan di Industri Pupuk, Infrastruktur, dan Pendapatan Rumah tangga Tani Terhadap Total Pendapatan Nilai Tambah, Institusi dan Produksi Perubahan (%)
Base (milyar rupiah)
Indikator Makro
SIM-1
SIM-2
SIM-3
SIM-4
SIM-5
Nilai Tambah
4 539 659
0.0689
-0.0144
0.1078
0.0909
-0.4596
Institusi
6 163 264
0.0633
0.2882
0.0866
0.0760
-0.4222
Produksi
10 962 313
0.0539
0.1481
0.2743
0.0808
-0.3590
Sumber : data diolah
Base : Subsidi pupuk diberikan melalui industri pupuk sebesar Rp. 15.181 triliun SIM-1 : Subsidi pupuk dinaikkan sebesar 15 persen menjadi Rp. 17.458 triliun dan diberikan melalui industri pupuk SIM-2 : Subsidi pupuk sebesar Rp. 17.458 triliun rupiah dialihkan seluruhnya dari industri pupuk ke rumah tangga tani SIM-3 : Subsidi pupuk sebesar Rp. 17.458 triliun rupiah dialihkan seluruhnya dari industri pupuk ke pembangunan infrastruktur (jalan jembatan dan irigasi) SIM-4 : Subsidi pupuk sebesar Rp. 17.458 triliun dengan kenaikan subsidi untuk pupuk organik menjadi 20 persen dan pupuk anorganik 80 persen dari total subsidi pupuk SIM-5 : Subsidi pupuk dicabut tanpa dialihkan ke sektor lain dan rumah tangga
Untuk pembangunan
mengawali sektor
pembahasan,
pupuk
terhadap
berikut
disampaikan
indikator-indikator
dampak
makroekonomi
Indonesia, lihat Tabel 42. Jika diperhatikan pada dampaknya terhadap perubahan nilai tambah, terlihat bahwa kebijakan untuk mencabut subsidi pupuk tanpa dialihkan ke subsidi lain (SIM-5) merupakan kebijakan yang kontraktif terhadap pertumbuhan ekonomi (kenaikan nilai tambah) karena dapat menurunkan nilai
233
tambah sebesar 0.4596 persen dari nilai base, begitu juga dengan kebijakan untuk mengalihkan subsidi pupuk dari industri pupuk ke subsidi langsung rumah tangga, ternyata juga mengurangi nilai tambah hingga 0.0144 persen. Kebijakan perpupukan yang ekspansif terhadap pertumbuhan ekonomi adalah meningkatkan subsidi pupuk yang dilakukan pertama dengan cara memperbesar tambahan subsidi ke industri pupuk anorganik dan pupuk organik, dimana dalam kondisi status quo (kondisi yang ada) pembagiannya adalah 98.35 persen untuk industri pupuk anorganik dan 1.65 persen untuk industri pupuk organik dari total tambahan subsidi (SIM-1). Kebijakan ini mampu mendorong kenaikan nilai tambah dalam perekonomian sebesar 0.0689 persen dari nilai base. Selanjutnya yang kedua kebijakan subsidi pupuk dengan memperbesar alokasi tambahan subsidi ke pupuk organik menjadi 20 persen sedangkan pupuk anorganik sebesar 40 persen dari total tambahan subsidi (SIM-4). Ternyata dampak stimulusnya relatif lebih baik dibandingkan dengan kebijakan subsidi pupuk yang pertama (SIM-1), dimana melalui kebijakan subsidi tersebut (SIM-4) pertumbuhan ekonomi (kenaikan nilai tambah) relatif lebih tinggi peningkatannya mencapai 0.0909 persen dari nilai base, atau 0.022 persen lebih tinggi dibandingkan kebijakan subsidi pupuk yang pertama (SIM-1). Dari temuan hasil simulasi kebijakan di atas dapat digeneralisasikan bahwa pembangunan sektor pupuk di Indonesia merupakan salah satu kebijakan yang cukup strategis, meskipun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu banyak, namun kalau diperhatikan dari kecenderungannya kebijakan pupuk ini memiliki dampak yang positif. Terutama sekali jika kebijakan tersebut
234
diprioritaskan ke
pembangunan pupuk organik, dampaknya lebih
baik
dibandingkan pupuk anorganik. Sekarang, jika seluruh subsidi pupuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur yakni konstruksi jalan, jembatan, irigasi, konstruksi lainnya (SIM-3), dampak stimulusnya terlihat lebih tinggi dibandingkan kebijakan subsidi pupuk (SIM-1 dan SIM-4). Kebijakan infrastruktur (SIM-3) tersebut dapat mendorong kenaikan nilai tambah sebesar 0.1078 persen dari nilai base. Kebutuhan tenaga kerja untuk membangun infrastruktur memang lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk. Jika dilihat dari cakupan wilayahnya saja sudah dapat menggambarkan mana yang paling banyak menggunakan tenaga kerja. Ketersediaan dan pembangunan infrastruktur ada di semua wilayah Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke, sedangkan industri pupuk baik anorganik maupun organik lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian kecil di Pulau Kalimantan. Dari perbedaan profil seperti ini sudah terlihat bahwa jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh sektor infrastruktur (jalan dan jembatan) sudah pasti lebih banyak dibandingkan industri pupuk. Bukan hanya itu saja, pembangunan infrastruktur selalu melalui tiga tahapan yakni masa konstruksi, produksi dan pemeliharaan. Masing-masing tahap tersebut mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, dengan status dan keahlian pekerja yang berbeda-beda. Kemudian, jika diperhatikan dari kualitas tenaga kerjanya, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan tidak membutuhkan tenaga kerja yang ahli dan berpendidikan, sehingga setiap pekerja bebas masuk dan keluar dari industri pengolahan infrastruktur jalan dan jembatan. Oleh karena semua hal ini yang menyebabkan mengapa jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh sektor
235
infrastruktur jalan dan jembatan lebih banyak dibandingkan sektor pupuk, sehingga pada akhirnya dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan lebih tinggi dibandingkan pembangunan sektor pupuk terhadap kenaikan nilai tambah atau pertumbuhan ekonomi. Ada korelasi yang kuat antara nilai tambah dengan pendapatan rumah tangga. Nilai tambah tersebut diciptakan oleh pendapatan tenaga kerja dan modal, sedangkan tenaga kerja dan modal itu milik rumah tangga. Sehingga dipastikan bila nilai tambah meningkat maka secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Atau sebaliknya jika nilai tambah menurun maka pendapatan rumah tangga juga akan menurun. Fenomena seperti ini sudah ditunjukkan dengan jelas pada Tabel 42, dimana kenaikan pendapatan institusi, yang sebagian besar adalah rumah tangga, mengarah sama dengan kenaikan nilai tambah khususnya pada SIM-1, SIM-3, SIM-4 dan SIM-5. Sementara untuk SIM-2, adanya arah yang bertolak belakang antara perubahan nilai tambah (negatif) dengan pendapatan rumah tangga (positif) disebabkan simulasi yang dilakukan adalah dengan cara mengalihkan subsidi pupuk ke subsidi langsung tunai pada rumah tangga tani, dengan demikian rumah tangga langsung memperoleh pendapatan tanpa lagi melalui tenaga kerja, sehingga pendapatan tenaga kerja berkurang yang akhirnya menyebabkan nilai tambah menurun namun pendapatan rumah tangga tetap meningkat. Jika diperhatikan dengan seksama memang SIM-2 (pengalihan subsidi pupuk ke subsidi langsung tunai rumah tangga tani) ini merupakan satu-satunya kebijakan yang mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga paling tinggi dibandingkan kebijakan-kebijakan lainnya yakni sebesar 0.2882 persen dari nilai base. Namun
236
demikian kebijakan ini mempunyai konsekuensi dengan turunnya nilai tambah sebesar 0.0144 persen dari nilai base seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Khusus pada kebijakan perpupukan (SIM-1 dan SIM-4), sekali lagi terlihat bahwa kebijakan yang berpihak pada pengembangan pupuk organik (SIM-4) mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan pengembangan pupuk anorganik (SIM-1), dan kali ini kebijakan pupuk organik mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 0.0760 persen dari nilai base yang terlihat lebih besar dibandingkan pembangunan pupuk anorganik sebesar 0.0633 persen. Adapun kebijakan pencabutan subsidi pupuk (SIM-5) merupakan kebijakan yang trade off
dengan upaya untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga tani,
karena memberi dampak negatif atau menurunkan pendapatan rumah tangga tani. Bukan hanya itu saja, pendapatan perusahaan dan pemerintah akan ikut turun. Semua ini pada akhirnya membuat pendapatan institusi secara keseluruhan berkurang sebesar 0.4222 persen dibandingkan nilai base. Dengan demikian sekali lagi terindikasi bahwa pencabutan subsidi pupuk bukan merupakan pilihan yang tepat bagi perekonomian Indonesia. Dampak kebijakan subsidi yang penting diamati juga adalah terhadap jumlah produksi. Adanya perubahan subsidi pupuk sudah pasti akan mempengaruhi perubahan produksi di sektor pertanian, karena pupuk merupakan input antara bagi sektor ini. Karena produksi di sektor pertanian, dampaknya adalah output dari sektor-sektor lain yang mempunyai basis terhadap sektor pertanian, seperti industri makanan, minuman dan tembakau juga akan ikut berubah. Dan selanjutnya perubahan output di sektor industri tersebut akan memberi dampak terhadap output di sektor-sektor industri lain yang terkait
237
dengan sektor industri makanan, minuman dan tembakau ini sebagai input antaranya. Dengan adanya keterkaitan antar industri (interindustry linkage) dalam perekonomian menyebabkan kebijakan subsidi pupuk pada akhirnya akan memberi dampak simultan terhadap perubahan produksi seluruh sektor. Untuk mengetahui seberapa besar dampak kebijakan subsidi pupuk tersebut dapat digunakan pendekatan supply side, dengan asumsi sektor lain tidak ikut menaikkan atau mengurangi subsidi, dan pembiayaan terhadap input primer lain juga tidak mengalami perubahan. Dalam hal ini, semakin besar subsidi yang diberikan akan semakin besar juga perubahan output yang terjadi. Hal ini sesuai dengan asumsi tidak adanya substitusi antar input atau dengan kata lain elastisitas substitusinya sama dengan nol dan penambahan input secara proporsional dengan tingkat persentase yang sama terhadap output. Hasil simulasi dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap total produksi dapat dilihat kembali pada Tabel 42. Tercantum dalam tabel tersebut kebijakan untuk mengalokasikan subsidi sebesar 20 persen ke industri pupuk organik, dan 80 persen ke industri pupuk anorganik dari total subsidi yang direncanakan (SIM4) akan mempunyai dampak yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan subsidi dengan status quo (SIM-1), dimana industri pupuk anorganik sekitar 98.35 persen dan pupuk organik sebesar 1.65 persen. Melalui simulasi kebijakan SIM-4 total produksi dalam perekonomian dapat meningkat sebesar 0.0808 persen dari nilai base, sedangkan kebijakan dengan SIM-1 hanya menaikkan total produksi sebanyak 0.0539 persen dari nilai base. Akan tetapi, jika seluruh subsidi pupuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi dan konstruksi lainnya (SIM-3), dampaknya
238
terlihat lebih tinggi dibandingkan SIM-1 dan SIM-4 yang berpihak terhadap industri pupuk, karena total produksi dalam perekonomian melalui SIM-3 dapat meningkat sebanyak 0.2743 persen dari nilai base.
Kondisi ini dapat terjadi
karena output dari sektor infrastruktur tersebut secara langsung lebih banyak terpancarkan ke sektor-sektor produksi lain, termasuk industri pupuk juga menggunakan output infrastruktur tersebut sebagai input antaranya. Beda halnya dengan output dari industri pupuk, secara langsung hanya sedikit sektor produksi yang menggunakannya yakni sektor-sektor pertanian seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Sedangkan sektor pertambangan, industri mesin, industri kimia, listrik, gas, air bersih, dan sebagainya sama sekali tidak menggunakan output dari industri pupuk sebagai input antaranya. Sekarang, jika subsidi pupuk seluruhnya dialihkan ke rumah tangga tani (SIM-2) akan memberi dampak terhadap kenaikan total produksi sebesar 0.1481 persen dari nilai base, yang juga terlihat lebih tinggi dibandingkan kebijakan perpupukan melalui SIM-1 dan SIM-4. Khusus simulasi ini, pendekatan yang digunakan adalah demand side, dalam arti kata melalui pendekatan tersebut dapat diberikan gambaran bagaimana dampak perubahan konsumsi dari rumah tangga terhadap total produksi ketika pendapatannya secara langsung dinaikkan. Kebijakan untuk mencabut subsidi pupuk yang tidak dialihkan ke sektor lain atau rumah tangga (SIM-5), secara keseluruhan akan menyebabkan produksi dalam perekonomian menurun sebanyak 0.3590 persen dari nilai base. Angka penurunannya ini terlihat lebih besar dibandingkan persentase kenaikan total produksi pada kebijakan mempertahankan subsidi pupuk atau pengalihan subsidi pupuk. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan pencabutan subsidi pupuk
239
(SIM-5) sangat sensitif terhadap perubahan total produksi yang mempunyai dampak negatif. Oleh karena itu, kebijakan ini menjadi sangat kontraktif terhadap upaya untuk menaikkan produksi di seluruh sektor dalam perekonomian. 7.4.2. Disagregasi Dampak Kebijakan Terhadap Nilai Tambah
Pembangunan
Sektor
Pupuk
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa kebijakan perpupukan yang direpresentasikan melalui SIM-1 dan SIM-4 mempunyai dampak positif terhadap kenaikan nilai tambah. Apabila ditelusuri lebih jauh, yakni dengan cara mendisagregasi nilai tambah tersebut, terlihat jelas bahwa ada perbedaan dampak antara kebijakan yang terfokus pada industri pupuk anorganik (SIM-1) dengan kebijakan yang sedikit banyaknya mulai ada keberpihakan terhadap industri pupuk organik (SIM-4). Perhatikan Tabel 43. Tabel 43. Disagregasi Dampak Kebijakan Industri Pupuk, Infrastruktur dan Pendapatan Rumah Tangga Tani Terhadap Nilai Tambah SIM-1
SIM-2
SIM-3
SIM-4
SIM-5
2 142 067
0.0632
0.0514
0.2208
0.1566
-0.4211
a. Pertanian
394 739
0.0508
0.5337
0.1481
0.1591
-0.3386
b. Produksi, operator, alat angkutan, manual dan buruh kasar
720 621
0.0728
-0.1334
0.4081
0.2265
-0.4853
c. Tata usaha, penjualan, jasa- jasa
730 118
0.0523
0.0452
0.1223
0.1273
-0.3487
Kepemimpinan, ketetalaksanaan, militer, profesional dan teknisi
296 589
0.0829
-0.1263
0.1054
0.0861
-0.5528
2 397 593
0.0741
-0.0731
0.0069
0.0323
-0.4940
4 539 659
0.0689
-0.0144
0.1078
0.0909
-0.4596
1. Pendapatan TK
d.
Perubahan (%)
Base (milyar rupiah)
Komponen Nilai Tambah
2. Pendapatan Modal Total Pendapatan Sumber : data diolah
Menggunakan hasil simulasi kebijakan dengan cara mendisagregasi nilai tambah sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 43, terlihat jelas bahwa yang
240
menyebabkan dampak simulasi kebijakan yang mulai berpihak pada industri pupuk organik (SIM-4) terhadap nilai tambah lebih tinggi dibandingkan kebijakan pupuk anorganik (SIM-1) adalah karena dampaknya terhadap kenaikan pendapatan tenaga kerja jauh melebihi dampak yang diciptakan oleh kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1). Kebijakan subsidi pupuk organik atau SIM-4 ini memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan tenaga kerja sebesar 0.1566 persen. Dari nilai base, sementara kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1) hanya mampu meningkatkan pendapatan tenaga kerja sebesar 0.0632 persen, berarti ada selisih sekitar 0.0934 persen lebih dibandingkan kebijakan subsidi pupuk organik (SIM-4). Akan tetapi, jika diperhatikan pada kenaikan pendapatan faktor bukan tenaga kerja (modal), dampak yang diciptakan oleh kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1) lebih besar dibandingkan pupuk organik, dimana melalui kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1) tersebut pendapatan modal dapat meningkat sebesar 0.0741 persen dari nilai base, sedangkan melalui kebijakan pupuk organik (SIM-4) hanya meningkat sebanyak 0.0323 persen. Meskipun demikian, karena dampak terhadap kenaikan pendapatan tenaga kerja dari kebijakan subsidi pupuk organik (SIM-4) jauh lebih tinggi, akhirnya secara keseluruhan kebijakan ini mempunyai dampak yang lebih besar terhadap total pendapatan nilai tambah dibandingkan dengan kebijakan pupuk anorganik (SIM1), walaupun dari sisi pendapatan modal dampaknya di atas kebijakan subsidi pupuk organik (SIM-1). Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dalam proses produksi pupuk organik, kebijakan subsidi pupuk organik (SIM-4) dipastikan akan meningkatkan
241
pendapatan tenaga kerja nonpertanian yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja pertanian. Seperti yang tersurat pada Tabel 43, pendapatan tenaga kerja non pertanian, khususnya tenaga kerja produksi, operator, alat angkutan, manual dan buruh kasar, dapat meningkat sebanyak 0.2265 persen dari nilai base jauh melebihi pendapatan tenaga kerja pertanian yang hanya naik sebesar 0.1591 persen. Menarik untuk dilihat bahwa kebijakan mengalihkan subsidi pupuk seluruhnya ke rumah tangga (SIM-2) ternyata tidak menyebabkan seluruh pendapatan faktor-faktor produksi menurun, meskipun secara total dampaknya terhadap nilai tambah negatif. Dalam Tabel 43, kebijakan tersebut (SIM-2) dapat juga meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian sebesar 0.5337 persen, yang terlihat lebih tinggi persentase dampaknya dibandingkan simulasi kebijakan yang lain. Begitu juga dengan pendapatan tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa, dapat meningkat sebesar 0.0452 persen ketika kebijakan subsidi rumah tangga (SIM-2) tersebut diterapkan. Dengan demikian, meskipun kebijakan subsidi rumah tangga (SIM-2) ini jika diperhatikan secara keseluruhan kontraktif terhadap kenaikan nilai tambah namun tidak semua faktor produksi tenaga kerja dirugikan, hanya sebagian saja. Adapun dampaknya yang terlihat negatif terhadap nilai tambah disebabkan karena kebijakan tersebut membuat pendapatan modal menurun sebesar 0.0731 persen. Sementara faktor modal kontribusinya dalam nilai tambah paling besar dibandingkan tenaga kerja. Akhirnya, sedikit saja pendapatan modal menurun, mengakibatkan pendapatan nilai tambah secara keseluruhan dalam perekonomian juga menurun. Kondisi seperti itulah yang terjadi bila subsidi pupuk tersebut semuanya dialihkan ke rumah tangga.
242
Lain halnya dengan pengalihan subsidi pupuk seluruhnya ke pembangunan infrastruktur (SIM-3), dampaknya terhadap nilai tambah lebih baik dari pada pengalihan subsidi pupuk ke rumah tangga (SIM-2). Dengan kebijakan tersebut (SIM-3) pendapatan semua faktor produksi dapat meningkat, dimana yang terbesar kenaikannya adalah pendapatan tenaga kerja produksi, operator, alat angkutan, manual dan buruh kasar mencapai 0.4081 persen dari nilai base, sedangkan tenaga kerja meningkat cukup besar yakni 0.1481 persen. Pendapatan faktor modal juga ikut meningkat, walaupun sangat rendah peningkatannya hanya sebesar 0.0069 persen dari nilai base. Dalam pembahasan sebelumnya telah terindikasi bahwa kebijakan untuk mencabut subsidi pupuk (SIM-5) merupakan kebijakan yang trade off dengan kenaikan nilai tambah atau pertumbuhan ekonomi, dimana kalau ditelusuri lebih jauh faktor penyebabnya mengapa seperti demikian karena kebijakan tersebut (SIM-5) membuat pendapatan faktor tenaga kerja dan modal menurun masingmasing sebanyak 0.4211 persen dan 0.4940 persen dari nilai base. Adapun yang menurun paling banyak pendapatannya adalah tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi yakni sebesar 0.5528 persen dari nilai base. Sementara yang paling rendah tenaga kerja pertanian yakni menurun sebesar 0.3386 persen dari nilai base. 7.4.3. Disagregasi Dampak Kebijakan Pembangunan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Sektor
Pupuk
Dalam SNSE, sektor pupuk yang dibangun pada studi ini, rumah tangga sebenarnya telah dibagi menjadi 16 bagian. Namun demikian, untuk mengamati dampak kebijakan perpupukan terhadap rumah tangga, tidak semua rumah tangga
243
tersebut dipaparkan secara rinci. Fokus perhatian adalah pada rumah tangga pertanian yang dianggap lebih terkait yang didisagregasi menjadi (1) buruh tani, (2) pengusaha petani dengan lahan kurang dari 0.5 hektar, (3) pengusaha tani dengan lahan antara 0.5 – 1.0 hektar, dan (4) pengusaha tani dengan lahan lebih dari 1 hektar. Sementara untuk rumah tangga lainnya diagregasi menjadi dua bagian yakni (1) rumah tangga bukan pertanian di perdesaan dan (2) rumah tangga bukan pertanian di perkotaan. Selain rumah tangga, pengamataan juga dilakukan terhadap institusi lainnya yaitu perusahaan/swasta dan pemerintah. Selengkapnya hasil simulasi kebijakan terhadap perubahan pendapatan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 44. Kebijakan untuk mengalihkan subsidi pupuk seluruhnya ke pendapatan rumah tangga tani (SIM-2) dipastikan mempunyai dampak yang paling tinggi terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga dibandingkan kebijakan-kebijakan lainnya dalam studi ini. Tabel 44. Disagregasi Dampak Kebijakan Industri Pupuk, Infrastruktur dan Pendapatan Rumah tangga Tani Terhadap Pendapatan Institusi Kelompok Rumah tangga
Base (milyar rupiah)
Perubahan (%) SIM-1
SIM-2
SIM-3
SIM-4
SIM-5
1. RT Pertanian
872 289
0.0593
2.1354
0.1324
0.1423
-0.3953
a. Buruh
211 081
0.0572
3.4375
0.1155
0.1171
-0.3815
b. Petani < 0.5 hektar
299 704
0.0558
1.9266
0.1670
0.1189
-0.3721
c. Petani 0.5 - 1.0 hektar
181 863
0.0641
2.0196
0.1089
0.0937
-0.4272
d. Petani > 1.0 hektar
179 642
0.0627
1.0709
0.1182
0.0816
-0.4178
2 518 987
0.0654
-0.0160
0.1483
0.1131
-0.4363
2. RT Bukan Pertanian a.
Pedesaan
1 061 984
0.0654
0.0098
0.2173
0.1685
-0.4358
b.
Perkotaan
1 457 003
0.0655
-0.0348
0.0980
0.0727
-0.4366
2 771 987
0.0627
-0.0167
0.0161
0.0335
-0.4180
Pemerintah
1 678 070
0.0717
-0.0433
0.0121
0.0345
-0.4779
Swasta
1 093 917
0.0489
0.0242
0.0221
0.0318
-0.3260
6 163 264
0.0633
0.2882
0.0866
0.0760
-0.4222
3. Institusi Lainnya a. b.
Total Pendapatan
Sumber : data diolah
244
Sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 44, kebijakan tersebut mampu menaikan total pendapatan rumah tangga tani secara keseluruhan sekitar 2.1354 persen dari nilai base, yang mana jika diperhatikan lebih jauh rumah tangga yang paling merasakan dampaknya adalah buruh tani, oleh karena pendapatannya dapat naik lebih besar dibandingkan rumah tangga tani lainnya yaitu 3.4375 persen dari nilai base. Menyusul kemudian rumah tangga pengusaha tani dengan lahan 0.5 – 1.0 hektar yakni sebesar 2.0196 persen, rumah tangga pengusaha tani dengan lahan kurang dari 0.5 hektar sebesar 1.9266 persen, dan yang terakhir rumah tangga pengusaha tani dengan lahan lebih dari 1 hektar sebesar 1.0709 persen. Pada kebijakan subsidi pupuk (SIM-1 dan SIM-4), ternyata dampak yang paling tinggi diterima oleh rumah tangga tani adalah kebijakan subsidi pupuk yang berpihak pada pengembangan industri pupuk organik (SIM-4). Kebijakan tersebut mampu mengangkat pendapatan rumah tangga tani secara keseluruhan sebesar 0.1423 persen dari nilai base. Adapun rumah tangga tani yang paling banyak menerima dampak adalah rumah tangga tani dengan lahan kurang dari 0.5 hektar yang meningkat pendapatannya sekitar 0.11894 persen dari nilai base, kemudian menyusul buruh tani sebesar 0.1117 persen, rumah tangga pengusaha tani dengan lahan antara 0.5 – 1.0 hektar sebesar 0.09365 persen, dan petani dengan lahan lebih dari satu hektar sebesar 0.0816 persen. Dari serangkaian dampak kebijakan ini maka dapat digeneralisasikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang mengarah pada pengembangan pupuk organik jika dikaitkan dengan pendapatan rumah tangga tani merupakan kebijakan yang lebih berpihak pada rumah tangga tani berpendapatan rendah yakni buruh tani dan petani gurem dengan lahan kurang dari 0.5 hektar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan
245
rumah tangga lainnya, kebijakan pupuk organik tersebut (SIM-4) sesungguhnya lebih besar memberi dampak terhadap pendapatan rumah tangga bukan pertanian, khususnya yang di desa, oleh karena kenaikan pendapatannya bisa mencapai 0.16851 persen dari nilai base melebihi kenaikan pendapatan rumah tangga tani. Kenaikan ini juga lebih tinggi dibandingkan pertambahan pendapatan institusi lainnya yakni perusahaan yang naik hanya sebesar 0.0318 persen, dan pendapatan pemerintah yang meningkat sebesar 0.0345 persen. Untuk kebijakan subsidi pupuk yang terfokus pada pupuk anorganik terlihat dampaknya lebih banyak diserap oleh rumah tangga pengusaha tani dengan lahan 0.5 – 1.0 hektar dan pengusaha tani dengan lahan lebih dari satu hektar. Indikasinya dapat dilihat dari perubahan pendapatannya ketika kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1) diterapkan, dimana pendapatan rumah tangga pengusaha tani dengan lahan 0.5 – 10 hektar akan naik sebesar 0.0641 persen dari nilai base, dan pengusaha tani dengan lahan lebih dari satu hektar naik 0.0627 persen. Sedangkan untuk rumah tangga tani yang berpendapatan rendah yakni buruh tani dan pengusaha tani dengan lahan kurang dari 0.5 hektar masing-masing naik relatif lebih rendah yakni sebesar 0.0572 persen dan 0.0558 persen. Dalam Tabel 44 juga terlihat bahwa secara keseluruhan kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1) mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga tani sebesar 0.0593 persen dari nilai base. Angka persentase kenaikan tersebut tampak lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pendapatan pada rumah tangga bukan pertanian yang meningkat sebesar 0.0654 persen. Ini berarti sekali lagi terlihat bahwa rumah tangga bukan pertanian tetap menerima manfaat yang lebih besar dibandingkan rumah tangga pertanian dengan adanya kebijakan subsidi pupuk.
246
Kebijakan untuk mengalihkan subsidi pupuk seluruhnya ke pembangunan infrastruktur (SIM-3) mempunyai dampak yang beragam terhadap perubahan pendapatan rumah tangga tani, rumah tangga bukan pertanian, perusahaan dan pemerintah. Jika dikaji satu persatu secara keseluruhan, kebijakan ini mampu menaikkan pendapatan rumah tangga tani sebesar 0.1324 persen dari nilai base, selanjutnya meningkatkan pendapatan rumah tangga bukan pertanian sebesar 0.1483 persen, pendapatan perusahaan sebesar 0.0221 persen, dan pendapatan pemerintah sebesar 0.0121 persen. edangkan untuk kebijakan pencabutan subsidi pupuk tanpa mengalihkan kemana pun (SIM-5), mempunyai dampak yang negatif terhadap perubahan pendapatan institusi yakni pendapatan rumah tangga tani akan menurun sebesar 0.3593 persen dari nilai base, pendapatan rumah tangga bukan pertanian menurun sebesar 0.4363 persen, pendapatan perusahaan menurun sebesar 0.3260 persen, dan pendapatan pemerintah menurun sebesar 0.4779 persen. Hasil terakhir simulasi kebijakan ini semakin mempertegas bahwa pencabutan subsidi pupuk (SIM-5) bukan merupakan kebijakan yang relevan dilakukan jika pemerintah menghendaki adanya kenaikan pendapatan untuk seluruh rumah tangga. 7.4.4. Disagregasi Dampak Kebijakan Terhadap Pendapatan Produksi
Pembangunan
Sektor
Pupuk
Adanya keterkaitan yang kuat antar sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan suatu sektor dalam perekonomian. Seberapa besar tingkat keberhasilan tersebut dapat diamati melalui dampak pembangunan sektor terhadap perubahan output sektor-sektor produksi lainnya. Dalam analisa kali ini akan diamati bagaimana dampak pembangunan sektor pupuk terhadap kenaikan produksi dalam perekonomian Indonesia yakni produksi di sektor pupuk
247
itu sendiri, sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, infrastruktur, industri lain, dan jasa-jasa. Selengkapnya hasil simulasi kebijakan yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Disagregasi Dampak Kebijakan Industri Pupuk, Infrastruktur dan Pendapatan Rumah tangga Tani Terhadap Hasil Produksi SektorSektor Ekonomi Kelompok Sektor Produksi 1. Pertanian
Base (milyar rp) 1 237 587
Persentase Perubahan (%) SIM-1 0.0529
SIM-2 0.5150
SIM-3 0.3689
SIM-4
SIM-5
0.1946
-0.3524
- Pertanian tanaman pangan
513 333
0.0609
0.6309
0.5247
0.6443
-0.4062
- Pertanian tanaman lainnya
206 317
0.1411
0.3616
0.4779
-0.0942
-0.9407
- Peternakan
261 666
0.0130
0.4671
0.1672
0.0523
-0.0867
56 924
0.0100
0.1686
0.1937
0.1639
-0.0669
-Kehutanan dan perburuan -Perikanan
199 347
0.0053
0.5368
0.1696
0.0496
-0.0356
2. Industri Pupuk
168 045
1.3578
-3.6641
0.0218
1.3538
-9.0522
- Pupuk kimia
165 764
1.3539
-3.7120
0.0215
-1.6366
-9.0258
2 281
1.6461
-0.1474
0.0439
218.6746
-10.9740
1 179 188
0.0027
0.0388
1.5625
0.0218
-0.0181
138 567
0.0025
0.0523
7.8528
0.0143
-0.0169
- Pupuk organik 3.Infrastruktur - Jalan dan Jembatan - Irigasi - Konstruksi lainnya 4.Industri lainnya, pertambangan, listrik dan gas 5. Jasa, perdagangan, angkutan dan pemerintahan Total Produksi
51 198
0.0012
0.2399
13.7194
0.0017
-0.0078
989 423
0.0028
0.0265
0.0525
0.0239
-0.0188
4 736 670
0.0585
0.1680
0.1056
0.0322
-0.3901
3 640 823
0.0045
0.1943
0.0561
0.0633
-0.0300
10 962 313
0.0539
0.1481
0.2743
0.0808
-0.3590
Sumber : data diolah
Pendekatan yang digunakan untuk analisa dampak kebijakan terhadap produksi adalah pendekatan supply, yang artinya seberapa besar ketersediaan pupuk mampu menopang jalannya produksi di sektor lain yang terkait langsung, dan kemudian secara simultan sektor lain yang terkait langsung dengan sektor pupuk tersebut akan mempengaruhi jumlah produksi secara sektoral dalam perekonomian. Contoh sederhana dan faktual mengenai aliran dampak ini dapat digambarkan dengan melihat hasil simulasi kebijakan pada pupuk anorganik (SIM-1).
248
Pada Tabel 45 terlihat bahwa kebijakan untuk meningkatkan subsidi pupuk anorganik (SIM-1) terlebih dahulu akan menaikkan produksi pupuk anorganik itu sendiri yakni sebesar 1.3539 persen dari nilai base. Oleh karena pupuk anorganik digunakan langsung oleh sektor pertanian, misalkan tanaman pangan, dampaknya adalah produksi tanaman pangan semakin bertambah yakni sebanyak 0.0609 persen dari nilai base. Selanjutnya kenaikan produksi tanaman pangan tersebut akan meningkatkan ketersediaan output antara dalam perekonomian, dan bagi sektor-sektor lain yang terkait dengan sektor tanaman pangan seperti industri makanan, minuman dan tembakau dipastikan akan memperbesar permintaan input antaranya dari sektor tanaman pangan guna menaikkan produksi. Akhirnya secara keseluruhan hal ini akan meningkatkan produksi di sektor industri lainnya, pertambangan, listrik, air dan gas yang terlihat meningkat sebesar 0.0585 persen dari nilai base. Begitu seterusnya alur dampak kebijakan subsidi pupuk anorganik tersebut terjadi dalam perekonomian. Sehingga kalau ditotal dalam perekonomian, kebijakan ini akan menyebabkan pertambahan produksi secara menyeluruh sebesar 0.0539 persen dari nilai base. Dibandingkan dengan kebijakan subsidi pupuk anorganik (SIM-1), kebijakan yang mulai berpihak pada pembangunan industri pupuk organik ternyata lebih besar dampaknya terhadap peningkatan produksi secara sektoral dalam perekonomian. Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 45, kebijakan tersebut mampu mendorong jumlah ketersediaan pupuk organik hingga 218.67 persen dari nilai base, sehingga menyebabkan pertumbuhan produksi di sektor pertanian meningkat sebesar 0.1946 persen, terutama produksi pada sektor tanaman pangan yang bertambah sebanyak 0.6443 persen. Sesuai dengan alur dampak sebelumnya,
249
kebijakan ini juga mampu menaikkan produksi di sektor industri lain, pertambangan, listrik, air dan gas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan pupuk anorganik (SIM-1) yakni sebesar 0.0322 persen dari nilai base. Kebijakan pengalihan subsidi pupuk ke pembangunan sektor infrastruktur (SIM-3) mempunyai dampak yang paling tinggi terhadap produksi jika diamati dari sisi supply, karena mampu menaikkan produksi sektor pertanian sebesar 0.3689 persen, industri pupuk sebesar 0.0218 persen, infrastruktur itu sendiri sebesar 1.5625 persen, industri lainnya, pertambangan, listrik, air dan gas sebesar 0.1056 persen, serta sektor jasa-jasa sebesar 0.056 persen dari nilai base. Apabila dibandingkan dengan sektor pupuk (anorganik dan organik), output dari sektor infrastruktur ini memang lebih banyak permintaannya. Semua sektor produksi menggunakan infrastruktur sebagai input antaranya. Infrastruktur merupakan enabler jalannya proses produksi dari semua sektor ekonomi. Biasa disebut juga infrastruktur tersebut merupakan roda penggerak ekonomi yang mampu menjalankan perekonomian dengan lebih baik. Tanpa adanya infrastruktur aktivitas produksi di sektor-sektor lain tidak akan berjalan baik. Misalkan jalan dan irigasi menjadi salah satu faktor input antara yang utama juga untuk meningkatkan output produksi. Bukan hanya pada proses produksinya saja, termasuk
untuk
pasca
produksi,
setiap
sektor
ekonomi
membutuhkan
infrastruktur. Karena seluruh faktor inilah mengapa kebijakan pembangunan infrastruktur
menjadi
lebih
besar
dampaknya
dibandingkan
kebijakan
pembangunan sektor pupuk. Fakta menunjukkan bahwa adanya pencabutan subsidi pupuk (SIM-5) dapat menyebabkan penurunan produksi di seluruh sektor ekonomi. Mulai dari
250
sektor pertanian, industri, pertambangan, listrik, gas, jasa perdagangan, dan sebagainya, semua terlihat menurun jumlah produksinya. Pertama yang terlihat menurun paling besar adalah ketersediaan pupuk itu sendiri dalam perekonomian yakni sebesari 9.05 persen dari nilai base. Kemudian output dari sektor industri lain, pertambangan, listrik, gas dan air sebesar 0.3901 persen, selanjutnya output pertanian sebesar 0.3524 persen, dan terakhir sektor-sektor jasa sebesar 0.0300 persen. Dengan demikian terbukti kembali bahwa kebijakan pencabutan subsidi sangat kontradiktif bagi pengembangan perekonomian Indonesia. Dalam melakukan simulasi kebijakan pengalihan subsidi pupuk ke rumah tangga (SIM-2), pendekatan yang lebih relevan digunakan adalah demand side, dalam hal ini disimulasikan apakah kenaikan pendapatan rumah tangga karena mendapatkan stimulus dari pengalihan subsidi pupuk akan menyebabkan permintaan untuk berproduksi atau konsumsi yang meningkat. Hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 45 menunjukkan bahwa efek konsumsi masih terlihat lebih besar terutama untuk permintaan konsumsi terhadap komoditi di sektor pertanian yakni sebesar 0.5150 persen dari nilai base. Berikutnya yang meningkat juga adalah komoditi di sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 0.0585 persen dan 0.0045. Sedangkan penurunan produksi di sektor industri pupuk lebih banyak disebabkan karena adanya pengalihan subsidi pupuk tersebut, bukan karena penurunan efek konsumsi dari rumah tangga tani. 7.5. Dampak Kebijakan Subisidi Pupuk Terhadap Ketimpangan Pendapatan Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan kenaikan pendapatan per kapita tidak sekaligus akan menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Seiring dengan tumbuhnya perekonomian biasanya akan diikuti
251
dengan ketimpangan pendapatan.
Semua negara mengalami paradoks
pertumbuhan ekonomi semacam ini, tidak terkecuali Indonesia. Oleh karena itu sejak jaman orde baru, reformasi hingga masa pembangunan saat ini berbagai kebijakan untuk mengeliminir dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi tersebut selalu dilaksanakan. Mulai dari model trilogi pembangunan di jaman orde baru, sampai dengan triple track strategy sekarang ini, semuanya ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang mampu menghasilkan pemerataan pendapatan. Dengan bertumpu pada pembangunan sektor yang pro poor, pro employment, dan pro enviroment dalam triple track strategy misalkan, pembangunan ekonomi yang dijalakan oleh kabinet Indonesia bersatu (KIB) mempunyai target mengejar pertumbuhan ekonomi yang diimbangi oleh pemerataan pendapatan. Mencari leading sector yang mempunyai efek ganda (pertumbuhan dan pemerataan) dalam suatu perekonomian memang sangat rumit dan kompleks. Untuk kepentingan ini dibutuhkan berbagai macam alat analisa yang mampu memotretnya. Dan salah satu diantaranya yang cukup komprehensif adalah social accounting matrix atau SAM. Menggunakan algoritma matriks dalam model SAM dapat ditelusuri seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap kenaikan nilai tambah dan distribusi pendapatan rumahtangga ketika faktor eksogen dari suatu sektor diberi stimulus fiskal. Analisis ketimpangan kebijakan pupuk terhadap distribusi pendapatan bertujuan untuk mengetahui kebijakan pupuk mana yang mampu menciptakan pemerataan pendapatan, atau minimal mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi selama ini baik itu terhadap ketimpangan pendapatan tenaga kerja,
252
rumahtangga maupun sektoral.
Untuk menjawab pertanyaan di atas telah
dilakukan simulasi kebijakan mengenai dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap distribusi pendapatan. Dalam hal ini simulasi dibentuk berdasarkan beberapa skenario kebijakan yakni (1) subsidi pupuk dilakukan melaui industri pupuk anorganik, (2) subsidi dilakukan melalu industri pupuk tetapi komposisi pupuk organik dinaikkan menjai 20 persen. (3) pengalihan subsidi seluruhnya dari industri ke pupuk ke sektor infrastruktur (irigasi dan jalan), (4) pengalihan subsidi pupuk seluruhnya ke rumahtangga (subsidi langsung ke petani), dan (5) pencabut subsidi khusus pupuk. Indek ketimpangan pendapatan untuk masing-masing hasil simulasi kebijakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46. Hasil Simulasi Kebijakan Perpupukan, Infrastruktur dan Rumahtangga Terhadap Ketimpangan Pendapatan Simulasi Kebijakan
Ketimpangan Pendapatan* Tenaga Kerja
Rumah tangga
Sektoral
Dalam Angka Indeks Base
2.3184
1.4446
4.1979
SIM-1
2.3190
1.4446
4.1965
SIM-2
2.3112
1.4363
4.1974
SIM-3
2.3135
1.4435
4.2003
SIM-4
2.3149
1.4437
4.1806
SIM-5
2.3147
1.4446
4.2072
Persentase Perubahan Terhadap Angka Base SIM-1
0.0242
-0.0001
-0.0331
SIM-2
-0.3138
-0.5731
-0.0112
SIM-3
-0.2119
-0.0726
0.0570
SIM-4
-0.1532
-0.0641
-0.4118
SIM-5
-0.1621
0.0009
0.2219
Keterangan : *) Indek Ketimpangan Pendapatan diukur menggunakan metode RGE
253
Angka indek ketimpangan pendapatan yang dihitung dengan metode RGE akan memiliki nilai terendah sebesar 0 (null) yang dapat dikatakan distribusi pendapatan dalam kondisi merata sempurna, dan paling tinggi sebesar jumlah obyek yang diamati (n) yang menggambarkan distribusi pendapatan dalam kondisi yang sangat timpang sempurna. Selanjutnya dengan menggunakan nilai rata-rata dan jumlah obyek yang diamati untuk masing-masing distribusi maka kategori ketimpangan untuk setiap distribusi pendapatan dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Kategori Ketimpangan Untuk Masing-Masing Distribusi Pendapatan Distribusi Pendapatan
n
Interval
Rendah
Sedang
Tinggi
Tenaga Kerja
16
0 - 16
0.0 - 5.4
5.4 - 10.5
10.6 - 16.0
Rumahtangga
10
0 - 10
0.0 - 3.3
3.4 - 6.3
6.4 - 10.0
Sektoral
24
0 - 24
0.0 - 8.0
8.1 - 16.0
16.1 - 24.0
Jika merujuk kepada pengelompokan atau kategori ketimpangan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam posisi base berdasarkan perhitungan RGE terindikasi bahwa semua distribusi pendapatan (tenaga kerja, rumahtangga dan sektoral) saat ini dalam kondisi ketimpangan yang rendah. Dimana pada posisi base distirbusi pendapatan tenaga kerja memiliki angka indeks ketimpangan RGE sebesar 2.3184, kemudian untuk rumahtangga sebesar 1.4446, dan secara sektoral sebesar 4.1979. Meskipun dalam kondisi base semua distribusi pendapatan berada pada kategori ketimpangan rendah, bukan berarti kebijakan pemerataan pendapatan dalam perekonomian Indonesia tidak perlu dilakukan. Kebijakan tersebut masih tetap strategis dan sangat diperlukan, karena secara normatif kebijakan ini berupaya untuk menghasilkan efek pembangunan yang dapat memperbaiki
254
distribusi pendapatan, yang diindikasikan dengan turunnya angka indeks ketimpangan. Beranjak pada konsep pemikiran di atas maka terlihat jelas bahwa kebijakan subsidi pupuk yang terfokus pada pembangunan industri pupuk organik memiliki efek multiplier yang lebih baik terhadap perbaikan distribusi pendapatan (tenaga kerja, rumahtangga, sektoral) dibandingkan bila subsidi terfokus pada industri pupuk anorganik. Perubahan-perubahan angka indeks dari nilai base dapat menunjukkan kondisi tersebut. Sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 46, sekiranya subsidi masih terkonsentrasi lebih banyak pada industri pupuk anorganik, diperkirakan ketimpangan dalam distribusi pendapatan tenaga kerja akan semakin bertambah yaitu sebesar 0.0242 persen dari nilai base. Sedangkan ketimpangan pendapatan rumahtangga akan menurun, namun hanya sebesar 0.0001 persen, begitu juga dengan ketimpangan pendapatan sektoral menurun sebesar 0.0331 persen. Berbeda jauh jika fokus subsidi sekarang dialihkan ke industri pupuk organik, dapat memberi efek terhadap perbaikan distribusi pendapatan yang lebih tinggi dimana ketimpangan pendapatan tenaga kerja akan menurun sebesar 0.15325 persen, ketimpangan pendapatan rumahtangga menurun sebesar 0.0641 persen, dan terakhir ketimpangan pendapatan sektoral menurun sebesar 0.4118. Dari kondisi obyektif ini akhirnya dapat digeneralisasikan bahwa dalam upaya memperbaiki distirbusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia maka kebijakan subsidi pada industri pupuk organik lebih strategis dibandingkan subsidi ke industri pupuk anorganik.
255
Kebijakan moratorium subsidi pupuk (pencabutan subsidi seluruhnya) sepertinya merupakan kebijakan yang sangat kontradiktif terhadap upaya perbaikan distribusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia. Seperti yang disajikan dalam Tabel 46, kebijakan tersebut menyebabkan ketimpangan pendapatan rumahtangga dan sektoral bertambah besar, masing-masing sebanyak 0.0009 persen dan 0.2219 persen dari nilai base. Selanjutnya, apabila subsidi pupuk seluruhnya dialihkan ke sektor infrastruktur, dampaknya ternyata lebih besar terhadap perbaikan distribusi pendapatan, terutama untuk pendapatan tenaga kerja dan rumahtangga. Oleh karena ketika disimulasikan kebijakan seperti itu, memberi pengaruh terhadap penurunan ketimpangan pendapatan tenaga kerja sebesar 0.2119 persen dari nilai base, dan untuk ketimpangan pendapatan rumahtangga sebesar 0.0726 persen. Terlihat lebih kuat pengaruhnya dibandingkan kebijakan subsidi ke industri pupuk organik maupun anorganik. Namun demikian untuk distribusi pendapatan sektoral, kebijakan subsidi infrastruktur malah menyebabkan ketimpangan pendapatan dalam struktur produksi bertambah sebesar 0.0570 persen. Terakhir, untuk kebijakan pengalihan subsidi pupuk ke subsidi pendapatan rumahtangga, fenomena yang terlihat bahwa kebijakan tersebut mampu memperbaiki distribusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia yang lebih strategis bila dibandingkan dengan kebijakan sektoral (subsidi ke sektor industri pupuk atau sektor infrastruktur). Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 46, subsidi langsung ke rumahtangga mampu menurunkan indeks ketimpangan pendapatan tenaga kerja sebesar 0.3138 persen dari nilai base, kemudian ketimpangan
256
pendapatan rumahtangga dapat
diturunkan sebesar 0.5731 persen, dan
ketimpangan pendapatan sektoral menurun sebesar 0.0112. Dari
serangkaian
angka
perubahan
(menurun
atau
meningkat)
ketimpangan di atas, ditemukan bahwa kebijakan subsidi untuk pembangunan sektoral yang dapat mengeliminir paradoks pertumbuhan dalam perekonomian Indonesia adalah pembangunan untuk industri pupuk organik. Karena terbukti pembangunan industri pupuk organik selain mampu mendorong pertumbuhan ekonomi juga dapat memperbaiki distribusi pendapatan ke arah yang lebih merata. Apabila kebijakan ini diintegrasikan dengan rumahtangga, dapat dikatakan bahwa pembangunan industri pupuk organik melalui pendekatan ekonomi rumahtangga (household economy) merupakan kebijakan yang paling strategis dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menciptakan perbaikan distribusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia.