257
VIII. ANALISIS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK: PENENTUAN POLA SUBSIDI DAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK
Pada bab sebelumnya telah dibahas dampak subsidi pupuk dengan berbagai skenario, yaitu skenario I (subsidi pupuk melalui produsen yang berlaku pada saat ini), skenario II (subsidi pupuk dilakukan langsung kepada petani), skenario III (subsidi pupuk dialihkan semuanya kepada infrastruktur pertanian seperti irigasi dan jalan), skenario IV (subsidi pupuk dilakukan melalui produsen dengan dilakukan peningkatan subsidi pupuk organik menjadi 20 persen dan pupuk anorganik (kimia) menurun menjadi 80 persen, dan skenario V (subsidi pupuk dicabut dan tidak dialihkan ke sektor manapun) berdasarkan analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Sedangkan dalam bab ini akan dibahas lebih lanjut penentuan kebijakan subsidi pupuk khususnya menentukan prioritas pola subsidi dan distribusi pupuk dengan mempertimbangkan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara komprehensif. Teknik analisa yang digunakan untuk menentukan prioritas pola subsidi dan distribusi pupuk tersebut adalah metode Analityc Network Process (ANP), yaitu model yang digunakan untuk menentukan alternatif keputusan yang bersifat strategik
dengan
memperhatikan
segala
aspek
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi secara holistik, komprehensif, dan integratif. Langkah pertama dari tahapan analisis ANP dimulai dari fase konstruksi framework/model dengan cara mengidentifikasi isu-isu strategis dan pemetaan masalah. Langkah kedua adalah pada fase kuantifikasi framework/model dengan melakukan pairwising (pemilihan berbagai alternatif kriteria, pilihan solusi dan strategi melalui teknik
258
komparasi berpasangan antara klaster dan subklaster/pairwise comparation). Langkah ketiga adalah fase analisis hasil, output dari fase ini adalah penetapan alternatif kebijakan/keputusan. Lebih jelasnya di bawah ini dipaparkan langkahlangkah ANP. 8.1. Fase Konstruksi Framework/Model Pada tahapan ini dilakukan identifikasi tehadap isu-isu strategis yang berkaitan dengan kebijakan pupuk bersubsidi. Isu-isu strategis tersebut diperoleh dari studi literatur, wawancara dengan narasumber ahli serta pendapat para ahli melalui proses FGD. Setelah dilakukan tahapan tersebut, peneliti menyusun framework awal ANP sebagai bahan untuk konfirmasi framework ANP kepada para narasumber ahli. Terdapat tujuh variabel (klaster) dan 25 sub-variabel yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan pupuk bersubsidi yang berhasil diidentifikasi pada fase konstruksi framework/model. Ketujuh Klaster tersebut adalah kondisi lingkungan, tujuan subsidi pupuk, peran aktor, jenis subsidi, kunci sukses pelaksanaan distribusi, pola subsidi pupuk dan sistem distribusi. Ketujuh klaster tersebut di atas dapat saling berkaitan erat dan membentuk hubungan yang saling berkaitan sehingga dapat diringkas dalam bentuk framework kebijakan subsidi pupuk yang dapat dilihat pada Gambar 48. Relevansi masing-masing klaster (variabel dan sub-variabel) tersebut dipaparkan di bawah ini. 8.1.1. Klaster Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan penting dalam mempengaruhi kebijakan subsidi pupuk di Indonesia, karena sebuah kebijakan tidak akan terlepas dari kondisi
259
lingkungan. Komponen kondisi lingkungan yang digunakan dalam menyusun framework model ini diadaptasi dari teori analisis PESTEL yang terdiri dari kondisi politik, ekonomi, sosial, dan teknologi serta lingkungan.
Gambar 42. Framework Kebijakan Subsidi Pupuk di Indonesia Relevansi keempat komponen tersebut antara lain penentuan kebijakan subsidi pupuk tidak terlepas dari
pengaruh kondisi ekonomi makro seperti
pertumbuhan ekonomi, kondisi ketenagakerjaan, inflasi dan neraca perdagangan. Kondisi politik juga berpengaruh terhadap penentuan kebijakan subsidi pupuk, hal ini tercermin dari aspirasi rakyat yang diwakili oleh anggota DPR dan pemerintah sebagai pelaksana dalam menentukan arah kebijakan dan penganggaran. Selain itu, kondisi sosial masyarakat khususnya petani yang merupakan objek dari kebijakan subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap penentuan kebijakan subsidi pupuk. Di lain pihak, kondisi teknologi dan lingkungan juga berpengaruh dalam kebijakan subsidi pupuk, khususnya teknologi yang berhubungan dengan produksi dan teknologi pemupukan serta dampaknya terhadap lingkungan. Kondisi
260
lingkungan mana yang lebih berpengaruh dalam penentuan kebijakan pupuk akan diperoleh dari keluaran ANP ini. 8.1.2. Klaster Tujuan Subsidi Tujuan subsidi merupakan salah satu yang penting dalam penentuan kebijakan subsidi pupuk, khususnya untuk penentuan pola subsidi dan sistem distribusi. Terdapat empat tujuan utama subsidi pupuk
yang berhasil
diidentifikasi, yaitu dapat meningkatkan produksi pangan, meningkatkan pendapatan petani, menyerap tenaga kerja dan menjamin ketersediaan pupuk. Prioritas tujuan subsidi yang akan dicapai akan mempengaruhi kebijakan subsidi pupuk yang akan dipilih. 8.1.3. Klaster Peran Aktor Pemilihan dan penentuan kebijakan pupuk tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga yang terlibat dalam merancang dan melaksanakan kebijakan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam menyusun frame kebijakan subsidi pupuk, peran aktor merupakan salah satu yang penting yang harus diperhatikan. Aktor pertama yang terlibat adalah DPR, yang berperan sesuai dengan tugasnya yaitu legislasi (mengeluarkan kebijakan dalam bentuk undang-undang tentang subsidi pupuk), penganggaran dan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk. Aktor kedua adalah Kementerian Pertanian yang langsung bersinggungan dengan program-program pertanian. Aktor ketiga kementerian yang menunjang pelaksanaan kebijakan pupuk yaitu kementerian di luar pertanian, diantaranya dukungan kementerian perindustrian terhadap industri pupuk dan kementerian perdagangan terhadap distribusi pupuk dari produsen pupuk ke petani. Aktor
261
keempat adalah pemerintah daerah, yang ikut berperan dalam pengawasan distribusi sehingga pupuk bersubsidi sampai kepada petani. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah aktor kelima yang berperan sebagai produsen pupuk dimana pelaksanaannya dilakukan oleh PT. Pupuk Sriwijaya (PT.PUSRI). Aktor keenam adalah swasta, yang merupakan salah satu yang ikut berkontribusi terhadap pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk, dimana perannya adalah sebagai distributor dan juga produsen untuk pupuk organik. Terakhir aktor yang terlibat adalah petani, yang tidak hanya sebagai objek saja, tetapi juga sebagai aktor yang ikut serta dalam mensukseskan kebijakan subsidi pupuk sebagai penerima yang tergabung dalam kelompok tani. Informasi yang akan diperoleh dengan adanya peran aktor pada kerangka model ANP ini adalah aktor mana yang paling berperan dalam kebijakan subsidi. 8.1.4. Klaster Jenis Subsidi Hasil FGD dan wawancara dengan narasumber muncul beberapa pertanyaan diantaranya apakah subsidi pupuk anorganik (kimia) yang dilakukan saat ini terus dilanjutkan, atau perlu dialihkan dengan ke pupuk organik yang dapat memperbaiki struktur tanah. Pertanyaan yang berkembang juga apakah subsidi pupuk lebih baik dialihkan saja ke pembangunan infrastruktur khususnya untuk pertanian seperti jalan dan irigasi yang akan memperbaiki akses petani terhadap pengairan dan jalan serta transportasi. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut jenis subsidi berupa pilihan subsidi pupuk anorganik, subsidi pupuk organik dan subsidi pupuk dialihkan menjadi subsidi infrastruktur (jalan dan irigasi) dimasukkan dalam kerangka model ANP untuk kebijakan subsidi
262
pupuk.
Jenis subsidi mana yang menjadi prioritas akan diketahui dengan
dimasukkannya jenis subsidi pada kerangka model tersebut. 8.1.5. Klaster Faktor Kunci Sukses Keberhasilan Distribusi Pupuk Bersubsidi Faktor kunci sukses dalam pemilihan sistem distribusi perlu diketahui dalam menentukan pola subsidi dan sistem distribusi. Berdasarkan wawancara dengan pelaku distribusi pupuk, terdapat tiga kunci sukses keberhasilan distribusi pupuk yaitu biaya distribusi, pengawasan serta sarana dan prasarana. 8.1.6. Klaster Pola Subsidi dan Sistem Distribusi Kerangka model ANP kebijakan subsidi pupuk diakhiri dengan penentuan alternatif keputusan. Berdasarkan FGD, wawancara dan wacana yang berkembang saat ini terdapat dua pola subsidi yang menjadi pilihan, yaitu pola subsidi yang dilakukan saat ini yaitu subsidi pupuk melalui produsen (BUMN/PT. PUSRI) atau diganti dengan pola subsidi pupuk dengan cara subsidi pupuk langsung ke petani. Selain menentukan pola subsidi pupuk, perlu dirumuskan juga sistem distribusinya. Terdapat dua alternatif sistem distribusi pada subsidi pupuk langsung kepada petani yaitu dengan cara pemberian uang tunai kepada petani atau melalui voucher. Sedangkan sistem distribusi pupuk pada pola subsidi pupuk melalui produsen, dapat dilakukan dengan cara mendistribusikan langsung oleh produsen atau tetap seperti sekarang melalui distributor. Berdasarkan permasalahan di atas, maka pada kerangka model ANP untuk kebijakan pupuk ini, dirumuskan empat alternatif keputusan untuk pola subsidi pupuk dan distribusinya yaitu subsidi pupuk via produsen (BUMN/PT.PUSRI) dimana distribusinya melalui produsen langsung ke petani, subsidi pupuk via
263
produsen (BUMN/PT.PUSRI) dimana distribusinya oleh distributor, subsidi langsung ke petani melalui pemberian uang tunai, subsidi langsung ke petani dengan menggunakan voucher. Dengan demikian, berdasarkan keluaran analisis ANP akan diketahui pola subsidi pupuk dan sistem distribusi mana yang akan menjadi prioritas (dipilih) berdasarkan para narasumber ahli. Framework ANP untuk kebijakan subsidi pupuk selanjutnya diolah menggunakan software superdecision seperti dapat dilihat pada Gambar 43.
Gambar 43.
Framework ANP Untuk Kebijakan Subsidi Pupuk di Indonesia Pada Software Superdecisions
8.2. Fase Kuantifikasi Framework/Model Framework ANP untuk kebijakan subsidi pupuk sudah disusun, tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan untuk ANP adalah
264
data kualitatif yang berupa pendapat dari ahli/pakar (yaitu orang yang mengerti dan ‘menggeluti’ permasalahan kebijakan subsidi pupuk dan implementasinya). Pada penelitian ini responden (narasumber ahli) yang dipilih adalah representasi dari Komisi IV DPR RI, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, BUMN (PT. PUSRI), Swasta, Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Akademisi dan Pengamat Ekonomi serta Peneliti. Pendapat
ahli diperoleh dengan cara mengisi kuesioner (daftar
pertanyaan). Pendapat para ahli tersebut ditabulasikan ke dalam bentuk matrik komparasi berpasangan. Lebih lengkap hasil gabungan pendapat responden ahli dalam bentuk matrik komparasi berpasangan dapat dilihat pada Lampiran 5. Prinsip dasar dari pertanyaan pada kuesioner adalah membandingkan dua elemen (faktor) yang disebut dengan teknik pairwaise comparison yaitu membandingkan tingkat kepentingan antara satu elemen/faktor dengan elemen/faktor lainnya dalam bentuk kalimat perbandingan antar-klaster dan node berdasarkan framework yang sudah dikembangkan seperti terlihat pada Gambar 44.
Gambar 44.
Salah Satu Contoh Bentuk Pairwise Comparison untuk Penentuan Pola Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Berdasarkan Klaster Tujuan Subsidi pada Software Superdecisions
265
Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dengan Software Superdecisions dan menghasilkan bobot untuk masing-masing komponen pada setiap klaster yang menunjukkan prioritas untuk masing-masing komponen pada klaster tersebut. Semakin tinggi bobot pada sebuah komponen, maka tingkat kepentingan komponen tersebut semakin tinggi dibandingkan dengan komponen lain, sehingga komponen tersebut menjadi prioritas dibandingkan dengan komponen lain. Oleh karena berdasarkan besaran bobot tersebut, dapat diurutkan ranking berdasarkan tingkat kepentingan seperti terlihat pada Tabel 48. Tabel 48. Besarnya Bobot dan Urutan Tingkat Kepentingan (Prioritas) untuk Masing-Masing Komponen-Komponen pada Setiap Klaster KLASTER FAKTOR LINGKUNGAN TUJUAN SUBSIDI PUPUK JENIS SUBSIDI
PERAN AKTOR
KSF DISTRIBUSI POLA SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK POLA SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK
KOMPONEN Politik Ekonomi Sosial Teknologi dan lingkungan Ketersediaan Pupuk Penyerapan Tenaga Kerja Pendapatan Petani Produksi Pangan Subsidi Pupuk Anorganik Subsidi Pupuk organik Dialihkan menjadi subsidi infrastruktur (jalan dan irigasi) DPR Kementerian Pertanian Kementerian Lain Pemda BUMN Swasta Petani Biaya Distribusi Pengawasan Sarana dan Prasarana Subsidi Pupuk Melalui Produsen dan Distribusinya Langsung oleh Produsen (BUMN) Subsidi Pupuk Melalui Produsen dan Distribusinya Melalui Distributor Subsidi Langsung kepada Petani dan Distribusinya melalui Pemberian Uang Tunai Subsidi Langsung kepada Petani dan Distribusinya dengan Voucher
BOBOT 0.2371 0.3595 0.2070 0.1964 0.3194 0.1629 0.2246 0.2932 0.4743 0.3780
RANGKING 2 1 3 4 1 4 3 2 1 2
0.1477
3
0.1575 0.2293 0.1184 0.1144 0.1791 0.1031 0.0982 0.3412 0.3952 0.2635
3 1 4 5 2 6 7 2 1 3
0.2996
1
0.2706
2
0.1673
4
0.2626
3
266
8.3. Fase Analisis Hasil 8.3.1. Klaster Kondisi Lingkungan Kebijakan subsidi pupuk di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh faktor kondisi lingkungan politik, ekonomi, sosial serta teknologi dan lingkungan. Berdasarkan pendapat dari para narasumber ahli setelah diolah dengan menggunakan metoda ANP diperoleh hasil bahwa kondisi lingkungan ekonomi merupakan faktor kondisi lingkungan yang harus diprioritaskan atau dipentingkan dalam menentukan kebijakan pupuk dengan bobot 0.3595, disusul kondisi politik (0.2371), sosial (0.2070) serta teknologi dan lingkungan (0.1964). Prioritas untuk masing-masing komponen pada klaster kondisi lingkungan dapat dilihat pada Gambar 45.
Gambar 45. Prioritas Klaster Environment Kenyataan kondisi perekononomian merupakan faktor yang menjadi prioritas yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan subsidi pupuk merupakan hal yang relevan, karena kebijakan subsidi pupuk sangat erat terkait dengan stabilitas kondisi ekonomi makro, bukan hanya pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, tetapi yang paling penting adalah kemampuan dan
267
ketersediaan dana yanng harus dialokasikan untuk subsidi pupuk. Selain itu, dampak ekonomi dari kebijakan subsidi pupuk juga merupakan hal yang harus dipentingkan dalam menentukan kebijakan subsidi pupuk, karena semakin memberikan dampak ekonomi terhadap sektor pertanian maka kebijakan subsidi pupuk itu akan terus dilanjutkan. Menurut Stiglitz (2005), subsidi merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah
dalam
penentuan
kebijakan
pengeluaran
dana
pemerintah.
Berdasarkan definisi tersebut kebijakan subsidi merupakan kebijakan yang tidak terlepas dengan politik, hal ini juga tercermin dari hasil analisa ANP dimana kondisi politik merupakan faktor yang harus dipentingkan dengan urutan prioritas kedua setelah kondisi ekonomi. Kondisi politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran DPR yang seharusnya menampung aspirasi rakyat Indonesia dengan tugas pokok dan fungsinya adalah legislasi, budgeting, dan pengawasan. Prioritas ketiga dan keempat adalah kondisi sosial serta teknologi dan lingkungan, hal ini dapat dipahami karena apabila kondisi ekonomi dan politik stabil, maka kondisi sosial akan stabil juga serta keberadaan teknologi dan dampak lingkungan akan dapat dikendalikan sehingga lebih kondusif dalam menetukan kebijakan subsidi pupuk. 8.3.2. Klaster Tujuan Subsidi Komponen pada klaster tujuan subsidi adalah meningkatkan produksi pangan, meningkatkan pendapatan petani, menyerap tenaga kerja, dan menjamin ketersediaan pupuk. Berdasarkan hasil analisa ANP, tujuan yang menjadi prioritas berturut-turut adalah menjamin ketersediaan pupuk (0.3194), meningkatkan
268
produksi pangan (0.2932), meningkatkan pendapatan petani (0.2246), dapat menyerap tenaga kerja (0.1629) seperti yang tersaji pada Gambar 46.
Gambar 46. Prioritas Tujuan Subsidi Prioritas utama tujuan subsidi adalah terjaminnya ketersediaan pupuk bukan produksi pangan yang meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa selama ini terjadi kekurangan pupuk bersubsidi yang diperkuat dengan kondisi faktual yang terjadi saat ini masih terjadi kelangkaan pupuk di berbagai daerah. Kelangkaan dan kekurangan pupuk bersubsidi di berbagai daerah dapat disebabkan oleh dua penyebab, pertama disebabkan kebutuhan pupuk lebih besar dari alokasi pupuk bersubsidi yang disediakan karena terbatasnya dana subsidi pupuk, kedua adanya disparitas harga pupuk bersubsidi dan harga nonsubsidi yang menyebabkan perembesan pupuk bersubsidi perusahaan atau perkebunan besar. Para responden ahli berpendapat untuk saat ini yang penting para petani mendapatkan pupuk sesuai dengan kebutuhan berdasarkan dosis pemakaian yang dianjurkan, sehingga ketersediaan pupuk menjadi penting. Apabila petani menggunakan pupuk dengan cukup dan tepat, maka produksi pangan akan
269
meningkat dan pendapatannya pun akan meningkat pula. Oleh karena itu, hasil analisa ANP yang memprioritas tujuan peningkatan produksi pangan, peningkatan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja prioritas kedua, ketiga dan keempat adalah hal yang wajar. 8.3.3. Klaster Jenis Subsidi Pada klaster jenis subsidi, yang menjadi prioritas pertama jenis subsidi adalah subsidi pupuk anorganik (kimia) dengan bobot 0.4742, disusul dengan prioritas kedua subsidi pupuk organik (0.3780) dan terakhir subsidi pupuk yang dialihkan menjadi subsidi infrastruktur dan irigasi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 47.
Gambar 47. Prioritas Jenis Subsidi Produksi dan produktivitas tanaman dipengaruhi oleh berbagai input produksi, salah satunya adalah penggunaan pupuk. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Pertanian tahun 2011, sejak diberlakukan kembali subsidi pupuk terjadi peningkatan realisasi konsumsi pupuk anorganik. Pupuk urea bersubsidi meningkat sebesar 9.44 persen dari 3.911 juta ton pada tahun 2003 menjadi 4.280 juta ton pada tahun 2010, dan pupuk anorganik selain urea yaitu
270
SP36, ZA dan NPK meningkat sebesar 226.50 persen dari 859.45 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 2 806 ribu ton pada tahun 2010.
Sedangkan untuk pupuk
organik, subsidi baru diberlakukan pada tahun 2008 dengan jumlah yang sangat sedikit yaitu sebesar 3.47 persen dari total pupuk bersubsidi yang dialokasikan (Kementan RI, 2011). Penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dan berlebihan untuk meningkatkan produksi pertanian, tanpa diimbangi pemberian pupuk organik akan menimbulkan levelling off, terutama pada lahan sawah. Pemberian pupuk organik akan memperbaiki struktur tanah dan akan memperbaiki tingkat kesuburan tanah. Dewasa ini pupuk organik semakin populer dan banyak digunakan, hal ini disebabkan oleh kian sulitnya mendapatkan pupuk anorganik dan adanya temuan bahwa penggunaan pupuk anorganik (kimia) dalam jangka panjang tanpa diimbangi penggunaan pupuk organik dapat menyebabkan rusaknya sifat fisik dan kimia tanah termasuk rusaknya kehidupan mikroorganisme dalam tanah. Berdasarkan fakta di atas, maka analisis ANP yang dihasilkan seperti tersaji pada Gambar 47 sangat relevan dimana jenis subsidi pupuk anorganik prioritasnya masih yang pertama (bobot 0.4743), disusul dengan jenis pupuk organik dengan bobot yang tidak jauh berbeda yaitu 0.3780. Berdasarkan hasil tersebut, dalam kebijakan subsidi pupuk pilihan jenis pupuk tidak lagi didominasi oleh pupuk anorganik, tetapi pupuk organik harus dinaikkan jumlahnya dibandingkan dengan sekarang yang hanya 246 ribu ton (tahun 2010) dan jumlah subsidi untuk pupuk anorganik diturunkan. Penggunaan pupuk anorganik yang masih besar dibandingkan dengan pupuk organik sangat dipahami karena pupuk anorganik tidak bisa digantikan oleh
271
pupuk organik. Pupuk organik haruslah menjadi komplemen pupuk anorganik bukan menggantikannya, karena kandungan hara pupuk organik yang tergolong rendah dan fungsi pupuk organik lebih untuk memperbaiki kualitas lahan yang telah menurun akibat penggunaan pupuk anorganik. 8.3.4. Klaster Peran Aktor Pupuk
merupakan sarana
produksi
yang
sangat
penting
dalam
meningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah berkepentingan melakukan berbagai deregulasi kebijakan di bidang pupuk dengan maksud agar terwujud iklim yang kondusif bagi penyediaan pupuk di Indonesia, sehingga petani mudah dalam mendapatkan pupuk sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan subsidi dan sistem distribusi pupuk diterapkan mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, penetapan harga eceran teringgi (HET), penetapan besaran anggaran subsidi hingga proses pengadaan pupuk sampai kepada distribusi pupuk mulai dari produsen sampai kepada petani. Oleh karena itu, untuk menjalankan kebijakan subsidi pupuk tersebut memerlukan aktor (pelaksana) sesuai dengan peran serta tugas dan fungsinya masing-masing. Aktor yang terlibat mulai dari DPR yang menyerap aspirasi rakyat khususnya petani dan masyarakat pertanian mempunyai peran yang strategis yaitu menetapkan besaran anggaran subsidi yang diajukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian. Aktor lain yang terlibat dalam adalah Kementerian Pertanian dan kementerian lainnya yang menunjang seperti Kementerian Perdagangan, Keuangan, Perindustrian dan BUMN. Peran dan tugas masing-masing
272
kementerian ini tercermin dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan, diantaranya Peraturan Presiden RI. No. 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam Pengawasan, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 21/M-DAG/PER/6/2008 juncto No. 07/M-DAG/PER/2/2009 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/SR.130/11/2009 juncto Nomor 22/Permentan/SR.130/2/2010 juncto Nomor 32/Permentan/SR.130/4/2010 juncto Nomor 49/Permentan/SR.130/9/2010 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2010, Peraturan Menteri Keuangan No. 120/ PMK.02/2010 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Pupuk dan Surat Menteri BUMN Nomor No S-428/MBU/2010, tanggal 20 Juli 2010 perihal Persetujuan Penugasan PSO Perkiraan HPP pupuk Bersubsidi 2010 lingkup PT. PUSRI Holding. Tidak kalah pentingnya peran dari produsen dalam hal ini PT. PUSRI yang diberi tugas untuk memproduksi pupuk bersubsidi serta peran perusahaanperusahaan swasta yang ikut memproduksi pupuk (khususnya untuk pupuk organik) dan ikut juga mendistribusikan pupuk bersubsidi sebagai distributor dan pengecer. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan bupati/walikota melalui dinas-dinas yang menangani pertanian ikut melakukan perencanaan kebutuhan pupuk dan sekaligus melakukan pengawasan sehingga pupuk sampai kepada petani. Aktor lainnya yang berperan ikut menyukseskan kebijakan pupuk ini adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani yang merupakan objek
273
(penerima pupuk) dan sekaligus subjek sebagai ujung tombak dalam peningkatan produksi pangan. Kelompok tani adalah kumpulan petani yang mempunyai kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya pertanian untuk bekerja sama meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraan anggotanya dalam mengusahakan lahan usaha tani secara bersama pada satu hamparan atau kawasan, yang pembentukannya dikukuhkan oleh bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk (Kementan RI, 2011). Berdasarkan hasil analisis ANP, peran aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan pupuk tidak ada yang terlalu dominan yaitu bobot berkisar antara 0.11 sampai 0.23. Hasil tersebut dapat dipahami karena setiap aktor mempunyai peran dan tugas masing-masing. Tetapi tiga aktor yang lebih dipentingkan yang terkait dengan kebijkan pupuk ini, dengan nilai bobot diatas 0.15, adalah Kementerian Pertanian, BUMN dan DPR seperti yang terlihat pada Gambar 48.
Gambar 48. Prioritas Peran Aktor Berdasarkan pendapat para ahli melalui analisa ANP, Kementerian Pertanian merupakan aktor yang dipentingkan pada kebijakan subsidi pupuk ini. Hasil ini sangatlah wajar, karena Kementerian Pertanian merupakan kementerian
274
teknis yang secara langsung bertanggung jawab terhadap pertanian, khususnya merencanakan kebutuhan pupuk sehingga produksi pangan dapat menjamin ketahanan pangan nasional dan dengan diketahuinya kebutuhan pupuk maka akan diketahui besar anggaran subsidi. Selain itu Kemeterian Pertanian bertanggung jawab dan mengawal pupuk bersubsidi sampai ke petani. Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah BUMN (dalam hal ini sebagai produsen yang menugaskan kepada PT PUSRI untuk memproduksi pupuk) menjadi urutan prioritas kedua. Tetapi apabila dilihat dari hasil prioritas dari klaster tujuan subsidi yang telah dibahas di atas dimana ketersediaan pupuk adalah prioritas utama, maka hasil tersebut relevan dengan fakta yang ada. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ketersediaan pupuk bisa disebabkan oleh tiga faktor, yaitu kurangnya pupuk karena dana subsidi pupuk terbatas, terjadinya perembesan pupuk ke perusahaan-perusahaan swasta khususnya perkebunan dan kurangnya produksi pupuk dari produsen karena kurangnya pasokan bahan baku gas untuk produksi urea. Alasan kekhawatiran kurangnya produksi tersebut diperkuat karena permasalahan pada industri pupuk anorganik adalah sebagian besar pabrik pupuk sudah tua yaitu rata-rata di atas 20 tahun dan teknologi sudah usang serta kurang efisien (Kementerian Perindustrian, 2011). Selain itu, ketergantungan terhadap gas bumi untuk urea dari dalam negeri yang semakin terbatas, serta phospathe dan kalium untuk NPK berasal dari impor. Adapun untuk pengembangan industri pupuk organik juga dipengaruhi oleh ketersediaan limbah pertanian seperti jerami, jagung dan kohe (kotoran hewan). Oleh karena itu, untuk menunjang ketersediaan
275
pupuk bagi kebutuhan pengembangan pertanian perlu dilakukan revitalisasi terhadap industri pupuk. Peran aktor yang merupakan urutan prioritas ketiga yang dipentingkan adalah peran DPR, hal ini sangat dipahami karena peran DPR sangat strategis khususnya dalam penetapan anggaran subsidi pupuk yang diajukan oleh pemerintah. Selain itu, DPR juga berperan secara umum dalam menentukan arah dan kebijakan subsidi pupuk dan sekaligus ikut mengawasi implementasi dari kebijakan subsidi pupuk. 8.3.5. Klaster Faktor Kunci Keberhasilan Distribusi Pupuk Klaster KSF (Key Succes Factor) distribusi pada framework model ANP kebijakan pupuk ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor kunci keberhasilan distribusi pupuk yang harus diprioritaskan. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber ahli, kunci faktor keberhasilan yang harus diperhatikan dalam distribusi pupuk adalah besar kecilnya biaya distribusi untuk mendistribusikan pupuk dari produsen ke petani, pengawasan yang diperlukan sehingga distribusi berjalan dengan lancar, dan yang terakhir sarana dan prasarana yang diperlukan. Berdasarkan pendapat narasumber ahli yang telah diolah dengan menggunakan metode ANP dapat diketahui bahawa pengawasan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dengan bobot 0.3952 dan selanjutnya biaya dan sarana prasarana dengan bobot masing 0.3412 dan 0.2635 seperti dapat dilihat pada Gambar 49. Pengawasan merupakan faktor yang harus dipentingkan mengindikasikan bahwa dalam memilih sistem distribusi pupuk harus diperhatikan suatu sistem yang mudah diawasi sehingga dapat mengurangi peluang-peluang penyelewengan
276
dan kebocoran-kebocoran sehingga tujuan subsidi dengan enam T, yaitu tepat jumlah, tepat harga, tepat kualitas, tepat waktu dan tepat sasaran dapat tercapai dengan baik.
Gambar 49. Prioritas Klaster KSF Distribusi 8.3.6. Klaster Pola Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Pemerintah telah memberikan berbagai macam subsidi kepada petani, dan salah satu bentuk subsidi yang menonjol adalah subsidi pupuk. Model ( p o la ) subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah subsidi tidak langsung, yaitu subsidi yang diberikan kepada produsen pupuk. Walaupun diberikan secara tidak langsung, petani memperoleh manfaat dari subsidi tersebut, berupa harga pupuk yang lebih murah yang ditetapkan pemerintah berupa Harga Eceran Tertinggi (HET). Tetapi model tersebut juga tidak luput dari kelemahan yang antara lain manfaat subsidi tidak langsung dirasakan oleh petani sebagai kelompok sasaran dan terjadi disparitas harga antara pupuk bersubsidi dengan pupuk nonsubsidi sehingga terjadi aliran pupuk dari sektor yang mendapatkan subsidi ke sektor yang tidak disubsidi yang kemudian akan menimbulkan masalah langka pasok di sektor yang mendapatkan subsidi.
277
Sehubungan
itu, pemerintah merencanakan untuk merubah model
subsidi tidak langsung menjadi model subsidi langsung. Subsidi langsung pupuk kepada petani adalah sistem subsidi dimana petani menerima dana subsidi harga langsung dari pemerintah. Dalam transaksi pembelian pupuk, petani dikenakan harga pasar, tetapi hanya membayar harga netto sebesar harga pasar dikurangi dengan subsidi harga (PSEKP, 2010). Secara ringkas perbandingan antara pola subsidi pupuk tidak langsung dan pola subsidi langsung ke petani dapat dilihat pada Tabel 49. Tabel 49. Ringkasan Perbandingan Subsidi Tidak Langsung Versus Subsidi Langsung Komponen
Subsidi Tidak Langsung
Subsidi Langsung
Jenis pupuk
Urea, ZA, SP-18, NPK, Organik
Urea, NPK, SP-18 ,Organik
Pengajuan kebutuhan pupuk
RDKK tanpa database luas lahan garapan, penyuluh hanya mengetahui
RDKK berdasarkan database luas lahan garapan, penyuluh terlibat aktif
Alokasi pupuk
Permentan, SK Gubernur, SK Bupati/Walikota
Permentan, SK Gubernur, SK Bupati/Walikota
Penyalur di lini-4
Kios
Kios atau GAPOKTAN
Harga yang dibayar petani
Harga Eceran Tertinggi (HET) di lini-4 → harga subsidi
Harga Eceran Pasar (HEP) di lini-4 (sebesar HPP)
Subsidi harga
Dibayarkan ke produsen pupuk sebesar HPP – HET
Dibayarkan ke petani sebesar HEP dikurangi harga neto petani
Marjin pemasaran dan keuntungan lini-3 dan Lini4 Pengawasan
Sama di seluruh Indonesia (ditetapkan pemerintah)
Sama di seluruh Indonesia (ditetapkan pemerintah)
Dari lini-1 sampai lini-4, di lini-4 sangat minim
Dari lini-1 sampai lini-4, lebih fokus di lini-4
Sumber : PSEKP (2010) Seperti dijelaskan pada penyusunan framework ANP Kebijakan Pupuk di depan, pada penelitian dilakukan analisis prioritas model (pola) subsidi yang tepat untuk diterapkan di Indonsia berdasarkan faktor lingkungan, tujuan yang
278
ditetapkan, aktor yang terlibat dan faktor distribusi. Alternatif model subsidi yang akan dipilih adalah pola subsidi tidak langsung (melalui produsen) atau pola subsidi langsung kepada petani. Selain menentukan prioritas pola subsidi, juga ditentukan sistem distribusi pupuk dari produsen ke petani untuk masingmasing pola subsidi. Pada pola subsidi tidak langsung ada dua alternatif sistem distribusi yaitu distribusi langsung oleh produsen kepada petani dan distribusi melalui distributor. Sedangkan pada pola subsidi pupuk langsung terdapat dua sistem distribusi yaitu pemberian uang tunai kepada petani dan melalui voucher. Berdasarkan hasil analisis ANP, pola subsidi dan sistem distribusi yang terpilih atau diprioritaskan adalah pola subsidi tidak langung (melalui produsen) dengan sistem distribusi pupuk langsung oleh produsen kepada petani, prioritas kedua adalah pola subsidi tidak langung (melalui produsen) dengan sistem distribusi pupuk melalui distributor, prioritas ketiga pola subsidi pupuk langsung kepada petani dengan cara menggunakan voucher, pola subsidi langsung dengan cara pemberian uang tunai. Hasil ANP lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 46. Bila dilihat dari hasil di atas, maka subsidi pupuk tidak langsung (melalui produsen) yang diterapkan saat ini masih merupakan pilihan pola subsidi untuk diterapkan. Walaupun ada kelemahan dari pola subsidi tidak langsung tersebut seperti dijelaskan di atas, tetapi pola ini masih merupakan pola yang terbaik pada saat ini, adapun kelemahan-kelemahannya bisa diatasi dengan perbaikan sistem distribusinya.
279
Gambar 50. Prioritas Klaster Pola Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Hasil tersebut di atas sesuai dengan data empiris berupa tanggapan dari ketua umum KTNA (Kelompok Kontak Tani dan Nelayan Andalan) Ir.H. Winarno Tohir yang menyatakan agar penyaluran subsidi pupuk kepada petani menggunakan pola lama (subsidi tidak langsung).
Salah satu faktor yang
membuat rumitnya menyampaikan subsidi pupuk langsung sampai ke petani adalah tingkat pendidikan petani sangat rendah. Pendapat tersebut diperkuat oleh Zaenal Soedjais, Ketua Umum DPI (Dewan Pupuk Indonesia), subsidi pupuk kepada petani tidak akan efektif apabila diberikan secara langsung kepada petani berupa uang tunai atau voucher seperti yang dinyatakan pada (Agribisnews, April 2011). Hal ini disebabkan sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem. Pemerintah tidak perlu merubah pola penyaluran subsidi pupuk kepada
280
petani, yang membuat birokrasi semakin rumit, sulit dipahami petani, dan bisa menimbulkan moral hazard. Selain itu, prioritas pola subsidi yang dihasilkan pada penelitian ini juga memperkuat pernyataan menteri pertanian yang disampaikan pada Antara News pada bulan Maret 2011 yang menilai bahwa hasil uji coba subsidi pupuk secara langsung yang dilakukan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa metode penyaluran pupuk tersebut tidak efektif untuk menggantikan pola sebelumnya. Dari hasil wawancara dengan narasumber ahli, sebetulnya sepakat bahwa apabila pola subsidi langsung dilaksanakan dengan baik
akan dapat
menghilangkan disparitas harga dan petani dapat merasakan langsung subsidi pupuk. Tetapi untuk kondisi saat ini melihat kesiapan baik dari sisi sarana dan prasarana, pengawasan dan kesiapan petani masih belum dapat diterapkan. Lebih lanjut yang menarik dari hasil penelitian ini adalah sistem distribusi pupuk yang terpilih sebagai prioritas utama adalah distribusi langsung oleh produsen kepada petani bukan sistem ditribusi melalui distributor seperti yang berlaku sekarang.
Hal ini disebabkan karena mekanisme distribusi langsung
yang dilakukan oleh produsen akan lebih mudah diawasi dan akan lebih mudah meminta pertanggungjawabannya, sehingga ketersediaan pupuk akan lebih terjamin. Berbeda halnya dengan mekanisme melalui distributor dimana pengawasan relatif lebih sulit dan para pelaku (distributor) yang banyak. Kemudahan dalam pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam pemilihan sistem distribusi seperti keluaran dari analisis ANP ini, dimana untuk klaster faktor keberhasilan distribusi, pengawasan merupakan bobot yang paling besar (0.3952) atau prioritas yang pertama.
281
Hasil tersebut selaras dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 77 tahun 2005 yang menetapkan bahwa pupuk merupakan barang dalam pengawasan. Artinya distribusi pupuk dari produsen sampai ke petani harus diawasi agar pupuk bersubsidi tersebut sampai ke petani sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, secara normatif dan aturan formal yang ada pada PP No. 77/2005, maka distribusi pupuk bersubsidi mulai produsen sampai ke petani menggunakan distribusi tertutup. Dimana sistem tersebut terbagi menjadi dua bagian yang menyatu yaitu sistem distribusi dari produsen sampai dengan lini IV dan sistem penerimaan oleh petani dalam bentuk RDKK. Kedua sistem tersebut harus menyatu sehingga aliran pupuk dari produsen ke petani tidak menimbulkan kebocoran, utamanya dari lini III, IV ke petani. Untuk menghindari kebocoran di lini III (distributor) dan lini IV (pengecer) dan sistem supaya distribusi tutup dapat berjalan dengan baik maka rantai distribusi
harus
diperpendek,
dimana
distribusi pupuk
langung
didistribusikan oleh produsen ke petani yang tergabung dalam gapoktan. Memang kelemahan dari sistem distribusi adalah perlu ada investasi tambahan untuk produsen baik dari segi sumberdaya manusia, sarana dan prasarana. Sebetulnya sistem distribusi oleh produsen sudah pernah dijalankan yaitu pada periode 1979-1993 dimana semua hal yang menyangkut pupuk untuk sektor pertanian diatur secara penuh oleh pemerintah. Selama periode pupuk disubsidi dan ditataniagakan secara menyeluruh, pengadaan dan penyaluran pupuk relatif aman. Kalaupun sekali-sekali terjadi kekurangan pupuk pada satu atau beberapa lokasi yang bersifat khusus, penangannya relatif mudah. Pemerintah meminta produsen (dalam hal ini PT. PUSRI) untuk menyelesaikan sesegera mungkin
282
setiap permasalahan yang ditemui tanpa harus menunggu masalah menjadi lebar (Darwis dan Muslim, 2007).
Pada periode ini, pengaturan penuh hanya
dilakukan pada bagian distribusi pupuk dari produsen ke petani (gapoktan), tetapi sistem penerimaan belum diatur dengan kata lain distribusi masih terbuka, sehingga kebutuhan pupuk bukan kebutuhan yang riil. Adapun prioritas kedua yang terpilih adalah pola subsidi tidak langsung (melalui produsen) dengan sistem distribusi melalui distributor yang dilakukan pada saat ini. Para responden ahli berpendapat bahwa dengan dilakukannya distribusi melalui distributor, biaya subsidi tidak akan membengkak karena tidak perlu ada dan tambahan biaya investasi untuk SDM maupun sarana prasarana. Selain itu juga untuk menghindari praktek monopoli dalam distribusi. Berdasarkan Permendag No 21 tahun 2008 mengenai pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi, produsen, distributor, dan pengecer bertanggung jawab atas pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi sesuai dengan prinsip enam tepat yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu mulai dari lini I sampai dengan lini IV. Tanggung jawab sebagaimana tersebut dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing yaitu: (1) produsen wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari lini I sampai dengan lini III di wilayah tanggung jawabnya; (2) distributor wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya dari lini III sampai dengan lini IV di wilayah tanggung jawabnya; (3) pengecer wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani dan/atau kelompok tani di lini IV di wilayah tanggung jawabnya.
283
Permasalahan yang terjadi saat ini dengan sistem distribusi melalui distributor adalah biaya transportasi dan margin yang dialokasikan kepada distributor dan pengecer tidak cukup untuk menutupi biaya operasional untuk mendistribusikan pupuk baik untuk transportasi, sewa gudang maupun over head, apalagi di daerah-daerah yang aksesibilitas terbatas. Untuk mengurangi kekurangan tersebut, maka distributor menjual sebagian pupuk kepada perusahaan-perusahaan (perkebunan) besar. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kebocoran. Diperlukan sistem tataniaga pupuk yang berkeadilan agar pupuk selalu tersedia di tingkat petani di satu pihak, dan distributor maupun produsen pupuk. Beberapa fakor yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem distribusi yang berkeadilan adalah: (1) harus dapat menjamin ketersediaan pupuk di tingkat petani agar program peningkatan pangan tidak terganggu; (2) industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat memasok kebutuhuhan pupuk dalam negeri; (3) distributor dan pengecer pupuk mendapatkan keuntungan yang wajar. Pola subsidi pupuk langsung ke petani, sistem distribusi yang terpilih sebagai prioritas adalah melalui voucher dibandingkan dengan pemberian uang tunai. Subsidi pupuk langsung kepada petani dengan pemberian uang tunai akan memberikan dampak langsung kepada peningkatan pendapatan petani, tetapi tidak ada jaminan bahwa uang yang diterima akan dibelikan pupuk. Oleh karena itu, agar dana subsidi itu dibelikan pupuk sesuai dengan peruntukannya maka pemberian pupuk sebaiknya melalui voucher.
284
Berdasarkan penjelasan di atas, dalam menetapkan kebijakan subsidi pupuk kondisi ekonomi merupakan faktor lingkungan yang menjadi prioritas, tujuan subsidi yang diutamakan adalah ketersediaan pupuk, jenis pupuk yang diprioritaskan untuk disubsidi adalah tetap pupuk anorganik, aktor utama yang berperan adalah Kementerian Pertanian dan pilihan pola subsidi dan sistem distribusi adalah pola subsidi tidak langsung (melalui produsen) dengan sistem distribusi langsung oleh produsen ke petani. 8.4. Pemilihan Pola Subsidi Pupuk Berdasarkan Keluaran ANP dan SNSE Pada bab 7 sudah dijelaskan simulasi dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap distribusi pendapatan di sektor tenaga kerja, rumah tangga, produksi pertanian dan produksi pupuk. Simulasi yang dilakukan dengan lima skenario yaitu sebagai berikut: 1. Skenario I, kebijakan pupuk subsidi tidak langsung (melalui produsen) dengan dominan pupuk anorganik (kebijakan yang dilakukan saat ini) 2. Skenario II, kebijakan subsidi pupuk langsung ke petani 3. Skenario III, kebijakan subsidi pupuk dialihkan kepada infrastruktur pertanian jalan dan irigasi 4. Skenario IV, kebijakan subsidi pupuk tidak langsung (melalui produsen) dimana proporsi pupuk anorganik 80 persen dan pupuk organik 20 persen 5. Skenario V, kebijakan subsidi pupuk dicabut dan tidak dialihkan ke sektor manapun Skenario pada simulasi tersebut dapat merepresentasikan alternatif kebijakan subsidi pupuk yang akan dipilih. Untuk menentukan alternatif
285
kebijakan subsidi pupuk mana yang terbaik, dapat digunakan teknik pengambilan keputusan berbasis kinerja dengan menggunakan metode Bayes. Menurut Marimin (2008), metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif keputusan. Kriteria dalam memilih alternatif keputusan adalah pencapaian terhadap tujuan subsidi pupuk yaitu peningkatan produksi pangan, peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan terjaminnya ketersediaan pupuk. Bobot untuk masing-masing kriteria diperoleh dari hasil analisis ANP. Sedangkan untuk nilai masing-masing alternatif keputusan diperoleh dari besarnya dampak subsidi pupuk untuk masing-masing skenario terhadap peningkatan (%) distribusi pendapatan untuk tenaga kerja, pendapatan petani, produksi pangan dan pupuk berdasarkan analisa SNSE yang sudah dijelaskan pada bab 6.
Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada matriks keputusan penilaian kebijakan subsidi pupuk pada Tabel 50. Tabel 50. Matriks Keputusan Penilaian Terhadap Kebijakan Subsidi Pupuk Sesuai dengan Metode Bayes Dampak terhadap (%) Skenario
SIM I SIM II SIM III SIM IV SIM V
Kebijakan Subsidi Pupuk Subsidi pupuk melalui produsen dengan dominan pupuk anorganik Subsdi pupuk langsung ke petani dengan uang tunai Subsidi pupuk dialihkan ke infrastruktur (jalan dan irigasi) Subsidi pupuk melalui produsen dengan 80 % pupuk anorganik dan 20 % organik Subsidi pupuk dicabut Bobot Kriteria
Data diolah
Nilai Terbobot
Rangking
0.4731
2
0.5337
-3.6641 -0.4188
4
0.1324
0.1481
0.0218
0.2147
3
0.1423
0.1591
1.3538
0.6792
1
-0.4062 -0.3953
-0.3386
-9.0522 -3.1543
5
0.2932
0.1629
0.3194
Produksi Pendapatan Pangan Petani
Penyerapan Ketersediaan TK Pupuk Pertanian
0.0609
0.0593
0.0508
1.3578
0.6309
2.1354
0.5247 0.6443
0.2246
286
Berdasarkan tabel di atas, skenario IV (SIM IV) mempunyai nilai terbobot paling besar, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang terbaik untuk saat ini adalah pola subsidi pupuk tidak langsung (melalui produsen) dimana komposisi pupuk organik naik menjadi 20 persen dan pupuk anorganik 80 persen. Hasil tersebut sesuai dengan keluaran hasil analisis ANP, dimana pola subsidi pupuk yang menjadi priorotas pertama adalah pola subsidi tidak langsung (melalui produsen). Adapun jenis pupuk yang disubsidi berupa pupuk organik harus ditingkatkan dan tidak lagi pupuk anorganik mendominasi subsidi pupuk. Hal ini sesuai dengan hasil analisis ANP pada klaster jenis subsidi, walaupun pupuk organik pada prioritas kedua dibandingkan dengan pupuk anorganik, tetapi bobotnya mendekati bobot dari pupuk anorganik. 8.5. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis yang dijelaskan pada bab 6 dan bab 7 dapat diperoleh hasil bahwa pola subsidi pupuk yang terpilih adalah pola subsidi pupuk tidak langsung yaitu subsidi pupuk melalui produsen dengan sistem distribusi langsung yang dilakukan oleh produsen. Adapun jenis pupuk yang disubsidi adalah pupuk organik yang meningkat komposisinya menjadi 20 persen dan pupuk anorganik 80 persen dari alokasi anggaran subsidi pupuk.
Untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut, diperlukan beberapa rumusan kebijakan dan strategi berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Secara ringkas implikasi kebijakan dapat dilihat pada Tabel 51.
287
Tabel 51. Implikasi Kebijakan Subsidi Pupuk Model dan Sistem Distribusi Pupuk Model subsidi pupuk tidak langsung (melalui produsen) dengan sistem distribusi dilakukan langsung kepada petani
Faktor-faktor
Variabel
Strategi
Ekonomi dan Politik Ketersediaan pupuk dan produksi pangan Kementan, BUMN dan DPR
1. Peningkatan ketepatan dalam menetapkan alokasi anggaran subisdi berdasarkan bebutuhan pupuk dari petani 2. Peningkatan ketepatan Penyaluran pupuk bersubsidi
1. Memperbaiki database petani sebagai sasaran subsidi pupuk 2. Menyusun RDKK yang tepat dan akurat 3. Membangun infrastruktur distribusi langsung dari produsen ke petani 4. Memberdayakan lembaga usaha daerah dalam penyaluran pupuk
Jenis subsidi
Pupuk anorganik dan organik
3. Peningkatan penggunaan pupuk secara tepat 4. Peningkatan penggunaan pupuk organik dan efisiensi penggunaan pupuk Anorganik
5. Menerapkan prinsip 4 T dalam pemupukan (jumlah, jenis, cara, dosis) 6. Melakukan sosialisasi penggunaan pupuk organik 7. Menaikkan alokasi anggaran untuk pupuk organik, minimal 20 persen dari anggaran subsidi pupuk 8. Revitalisasi industri pupuk anorganik dan organik
Key succes faktor distribusi
Pengawasan dan biaya distribusi
5. Pengaturan penyaluran pupuk didasarkan pada pupuk bersubsidi bebagai barang dalam pengawasan 6. Peningkatan pemantauan dan pengawasan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi
9. Meningkatkan koordinasi tim pengawas yang berasal dari pusat dan daerah 10. Memberikan sanksi yang tegas terhadap oknumoknum yang melakukan penyimpangan
Kondisi lingkungan Tujuan subsidi
Aktor
Implikasi
8.5.1. Peningkatan Ketepatan dalam Menetapkan Alokasi Anggaran Subisdi Berdasarkan Kebutuhan Pupuk dari Petani Sinkroninasi kebutuhan pupuk yang diusulkan oleh petani dari daerah dengan alokasi anggaran merupakan salah satu kunci yang penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan subsidi pupuk. Untuk itu, dalam penentuan alokasi anggaran subsidi pupuk yang harus dipentingkan adalah pertimbangan kondisi ekonomi dibandingkan dengan politik, diselaraskan dengan prioritas tujuan subsidi serta perlu ada kerjasama antara aktor yang terlibat seperti pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian), DPR, pemerintah daerah dan petani.
288
Pemerintah melalui Kemeterian Pertanian telah mengelurkan Permentan No.42/Permentan/OT.140/09/2008 mengenai alokasi pupuk bersubsidi agar memperhatikan
usulan
yang
diajukan
oleh
petani,
pekebun,
peternak,
pembudidaya ikan dan atau udang berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yanng telah disetujui oleh petugas teknis, penyuluh atau Kepala Cabang Dinas (KCD) setempat. Untuk itu maka perlu ada dukungan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan penyusunan RDKK yang intensif sebagai dasar penyusunan usulan kebutuhan pupuk bersubsidi. Melalui pembinaan yang intensif diharapkan penyusunan RDKK dapat dilakukan secara tepat dan dengan data yang akurat serta cepat, sehingga produk derivatif dari RDKK berupa kebutuhan pupuk bersubsidi di tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, sampai tingkat pusat juga tepat. Agar
penyaluran
pupuk
bersubsidi
tepat
sasaran
sesuai
dengan
rencana/alokasi, diperlukan dasar pertimbangan yang sama sebagai titi acuan yang menghubungkan antara Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 yang mengatur penyaluran dari lini I sampai IV dan Permentan No.42/Permentan/OT. 140/09/2008 yang mengatur penyaluran dari lini IV ke petani atau kelompok tani dalam membangun distribusi tertutup. Proses perencanaan alokasi kebutuhan pupuk yang didasarkan atas RDKK perlu diikuti oleh penyaluran berdasarkan RDKK sehingga RDKK adalah titik acuan yang dimaksud. Sebagai titik acuan, kata RDKK hendaknya juga dinyatakan secara eksplisit dalam Permendag 21/MDAG/PER/6/2008, sehingga dapat dengan mudah dipahami dan dilaksanakan serta diawasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Peningkatan kapasitas petani/kelompok tani melalui pendampingan/ pengawalan oleh penyuluh perlu
289
dilakukan untuk meningkatkan akurasi data penguasaan lahan usahatani dan efektivitas penyusunan RDKK. Kunci sukses keberhasilan penyusunan RDKK adalah tersedianya basis data petani yang baik, oleh karena petugas penyuluh lapangan selain mensosialisasikan cara penyusunan RDKK yang baik, juga selalu meng-update data petani, sehingga pada saat penyalurannya sesuai dengan sasaran petaninya. 8.5.2. Peningkatan Ketepatan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Ketepatan penyaluran pupuk bersubsidi didasarkan pada indikator 5 T, yaitu tepat jumlah, kualitas, waktu, harga dan sasaran, maka untuk mencapai hal tersebut perlu didesain sistem penyaluran yang efektif yang dapat menjamin 5 T tersebut. Sebagaimana Permendag No.21/M-DAG/PER/6/2008 bahwa penyaluran adalah proses pendistribusian pupuk bersubsidi dari produsen sampai petani dan/atau kelompok tani sebagai konsumen akhir. Sebagai konsekuensi, pihak pemerintah daerah mulai dari tingkat provinsi, kabuputen/kota sampai kecamatan dan desa/kelompok tani perlu mempersiapkan kelembagaan dan infrastruktur distribusi pupuk bersubsidi. Berdasarkan hasil analisa ANP diperoleh hasil bahwa sistem distribusi yang dilakukan adalah distribusi langsung dari produsen ke petani melalui produsen.
Pengertian produsen disini dapat dilakukan oleh produsen pupuk
(pemerintah menugaskan PT PUSRI) atau pemerintah dapat membentuk infrastruktur distribusi baru yang bertanggung jawab secara penuh menyalurkan pupuk dari produsen ke petani.
Bentuk lembaga bisa berbentuk Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) atau Perusahaan Umum (Perum). Adapun untuk di tingkat daerah, pemerintah dapat memberdayakan Badan Usaha Daerah
290
atau Koperasi yang mampu melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi secara langsung kepada Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani. 8.5.3. Peningkatan Ketepatan Penggunaan Pupuk Tingkat penggunaan pupuk yang bervariasi di Indonesia menyebabkan kebutuhan pupuk di setiap wilayah berbeda-beda. Petani di sebagian wilayah terutama
di
Pulau
Jawa
menggunakan
pupuk
melebihi
dosis
yang
direkomendasikan. Sebaliknya sebagian petani terutama di luar Pulau Jawa menggunakan pupuk yang lebih rendah daripada dosis yang direkomendasikan. Penggunaan pupuk yang berlebih atau kurang ini dapat menurunkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk. Selain itu, penggunaan pupuk yang berlebih dapat menurunkan kualitas tanah, diantaranya tanah menjadi lapar pupuk. Ada empat hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk (Rachman, 2009), yaitu : •
Tepat jenis yaitu memilih kombinasi jenis pupuk berdasarkan komposisi unsur hara utama dan tambahan berdasarkan sifat kelarutan, sifat sinergis, dan antagonis antar unsur hara dan sifat tanahnya;
•
Tepat waktu dan frekuensi yang ditentukan oleh iklim/CH, sifat fisik tanah dan logistik pupuk;
•
Tepat cara yaitu cara pemberian yang ditentukan berdasarkan jenis pupuk, umur tanaman dan jenis tanah;
•
Tepat dosis yaitu dosis pupuk yang diperlukan berdasarkan analisa status hara tanah dan kesuburan tanah. Penerapan empat tepat tersebut dapat tercapai apabila didukung oleh
perencanaan kebutuhan pupuk yang tepat dan rinci dari masing-masing petani
291
atau kelompok tani. Informasi seperti sifat-sifat tanah, rekomendasi pemupukkan spesifik lokasi, luas lahan dan pemiliknya, lokasi dan komoditas yang diusahakan, diperlukan untuk menyusun rencana kebutuhan pupuk dalam bentuk RDKK. 8.5.4. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Penggunaan Pupuk Organik
Pupuk
Anorganik
Melalui
Kecenderungan untuk menggunakan pupuk kimia (anorganik) yang tinggi untuk mengejar hasil yang tinggi pada lahan sawah tanpa mempertimbangkan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah telah menyebabkan kandungan bahan organik tanah menurun, baik jumlah maupun kualitasnya. Hal tersebut disebabkan terjadinya karena penimbunan hara (umumnya P) dalam tanah, terkurasnya hara mikro dari tanah yang tidak pernah diberikan melalui pupuk kimia, terganggunya keseimbangan hara dalam tanaman, lebih pekanya tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, dan terganggunya perkembangan jasad renik yang menguntungkan dalam tanah. Kondisi demikian, berakibat terhadap menurunnya produktivitas lahan, tidak efisiennya penggunaan input, serta menurunnya kualitas lingkungan. Peningkatan dan pemeliharaan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik yang tersedia di lokasi (insitu), seperti : pupuk hijau, pupuk kandang, dan jerami padi. Pengembangan pupuk organik ini merupakan langkah strategis mengingat sebagian besar petani padi Indonesia adalah petani yang menghadapi kendala biaya produksi (cost minimization). Dengan orientasi cost minimization, maka instrumen teknologi untuk meningkatkan hasil per hektar yang signifikan adalah input pupuk organik.
292
Justifikasi, urgensi, dan pertimbangan yang perlu diperhitungkan dalam penterapan sistem insentif dan pemberian subsidi pengembangan pupuk organik menurut Rusastra et al. (2005) adalah sebagai berikut: (1) Pemanfaatan pupuk organik dinilai mendesak mengingat semakin menurunnya nilai marginal produktivitas pemanfaatan pupuk kimia; (2) Pemanfaatan pupuk organik secara berimbang dengan pupuk kimia diyakini mampu meningkatkan efisiensi pemupukan, produktivitas, pendapatan, dan keberlanjutan usahatani; (3) Pemberian subsidi pupuk organik komersial perlu mempertimbangkan struktur industri, tanpa mengganggu kinerja produksi dan usaha pupuk organik skala kecil dan menengah; (4) Mengingat pupuk organik komersial diproduksi oleh produsen pupuk kimia skala besar, maka perlu dipertimbankan subsidi silang untuk mendorong percepatan pemanfaatan pupuk organik; (5) Pengembangan pupuk organik baru pada tingkat inisiasi, sehingga pengembangannya perlu dilindungi dengan penetapan sertifikasi dan tarif impor yang tepat dan rasional; (6) Pengembangan pupuk organik non-komersial perlu mendapatkan dukungan insentif
yang
intensif
mencakup
pengembangan teknologi,
penyuluhan,
pendampingan, dan lain-lain. Lebih lanjut dalam pengembangan pupuk organik perlu mempertimbangkan beberapa aspek, sebagai berikut: (1) Pupuk organik sebagai komplemen pupuk anorganik secara berimbang; (2) Kelembagaan pemupukan berimbang dengan sistem konvensional (endogenous technology) dapat dijadikan pintu masuk (entry point) dalam memperkuat dan memperluas pemanfaatan pupuk organik; (3) Produksi, pengadaan, dan pemanfaatan pupuk organik non-komersial dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat petani; (4) Pengadaan pupuk organik skala
293
komersial oleh usaha menengah dan besar diarahkan pemanfaatannya untuk pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi; (5) Pengembangan industri pupuk organik komersial secara masal dan meluas sebaiknya berada pada wilayah regional kabupaten; (6) Perlu dipertimbangkan eksistensi pupuk organik nonsertifikasi (dengan label warna berbeda), mengingat kondisi lapangan yang belum memungkinkan penterapan persyaratan sistem sertifikasi secara penuh; (7) Alternatif pemberian subsidi pupuk organik komersial yang dinilai moderat adalah pengalihan sebagian subsidi pupuk kimia kepada pupuk organik 8.5.5. Pengaturan Penyaluran Pupuk didasarkan pada Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam Pengawasan Pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan (Perpres RI No.77 Tahun 2005), dimana implementasi pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV (Permentan No. 42/Permentan/OT.140/09/2008). Dengan penetapan HET, marjin (fee) yang diterima distributor di Lini III dan penyalur di Lini IV dibatasi dan kecil, berkisar Rp. 30-40 /Kg atau antara 2,5-3,5 persen dari modal yang harus dikeluarkan. Marjin ini sebenarnya sangat tidak menarik bagi distributor dan pengecer dibandingkan harus memperdagangkan barang konsumtif lain yang biasanya ditetapkan dengan marjin keuntungan antara 15-20 persen. Dalam Permendag 21/M-DAG/PER/6/2008 disebutkan bahwa yang dimaksud pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian (dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian). Hal ini berarti bahwa pupuk bersubsidi diadakan oleh produsen pupuk
294
atas pesanan dari petani/kelompok tani yang dikoordinir oleh Kantor Cabang Dinas Pertanian di tingkat kecamatan, Kantor Dinas yang membidangi pertanian di tingkat kabupaten/kota, Kantor Dinas yang membidangi pertanian di tingkat provinsi untuk sampai ke Kementerian Pertanian. Dengan RDKK maka jenis, jumlah, waktu, pihak pemesan, serta pihak yang mengkoordinir pesanan pupuk bersubsidi menjadi jelas sehingga penyalurannya akan menjadi mudah karena dilaksanakan oleh yang mengkoordinir pesanan tersebut. Penyaluran pupuk bersubsidi dari produsen kepada lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah daerah di lini III untuk disampaikan kepada kelompok tani pemesan. Penyaluran secara langsung ini sangat dimungkinkan, dalam Permendag 21/M-DAG/PER/6/2008 disebutkan bahwa apabila penyaluran pupuk bersubsidi oleh distributor dan/atau penyalur di lini IV tidak berjalan lancar, produsen wajib melakukan penyaluran langsung (operasi pasar) kepada petani dan/atau kelompok tani di lini IV setelah berkoordinasi dengan bupati/walikota cq. Kepala Dinas yang membidangi pertanian (Rachman, 2009). 8.5.6. Peningkatan Pemantauan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Pengawasan
Pengadaan
dan
Pengawasan atau kontrol yang lebih ketat dperlu dilakukan untuk mengatasi kuota dari produsen dan distributor yang berlebih atau kurang. Kinerja Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) yang sudah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 dan Permentan No. 42/Permentan/OT.140/09/2008 diaktifkan kembali dan diomptimalkan. Dalam sistem pengawasannya, pemerintah seharusnya meningkatkan sistem pemantauan dibanding sistem pelaporan misalnya dengan melakukan sidak (inspeksi mendadak) secara kontinu. Pengawasan juga dapat dilakukan secara
295
swadaya oleh masyarakat pengguna pupuk bersubsidi baik petani atau kelompok tani. Pelaku distribusi yang melakukan pelanggaran harus dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan kepada distributor dan pengecer yang melakukan pelanggaran tidak hanya berupa sanksi administrasi tetapi juga perlu dipertegas dan dapat memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran. Campur tangan aparat penegak hukum diperlukan untuk memproses berbagai pelanggaran tersebut sebagai salah satu implementasi dari Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 yang sudah direvisi dengan Permendag No. 07/M-DAG/PER/2/2009. Selain itu, harus dijelaskan juga peraturan-peraturan/perundang-undangan mana saja yang dapat dijadikan acuan untuk memperkuat sanksi pidana tersebut. Sistem distribusi pupuk bersubsidi harus benar-benar diupayakan secara tertutup, direncanakan oleh petani/kelompok tani dan disalurkan kepada petani/ kelompok tani berdasarkan RDKK sebagai basis dalam penentuan alokasi jumlah pupuk, sasaran petani dan tempat. Peningkatan keakuratan data penguasaan lahan usahatani dan efektivitas penyusunan RDKK juga diperlukan dengan cara meningkatkan kapasitas petani/kelompok tani melalui pendampingan oleh penyuluh. Pemerintah daerah melalui petugas penyuluh yang tersebar di berbagai daerah harus melakukan pembinaan penyusunan RDKK yang intensif sebagai dasar penyusunan kebutuhan pupuk bersubsidi. Dengan demikian, diharapkan penyusunan RDKK dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan akurat sehingga kebutuhan pupuk bersubsidi di tingkat desa, tingkat kecamatan, kabupaten/kota, tingkat provinsi hingga tingkat pusat juga tepat dan akurat.
tingkat