KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto dan Mohamad Maulana
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis Urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal dari sisi penyediaan, sebenarnya total produksi pupuk Urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur selalu di atas kebutuhan domestik. Sebagai contoh, dalam lima tahun terakhir (1999-2003) rata-rata produksi pupuk Urea dari 5 pabrik tersebut mencapai 5,9 juta ton (APPI, 2004), sementara kebutuhan untuk pupuk bersubsidi hanya sebesar 4,6 juta ton (sesuai SK Mentan). Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, sebenarnya masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET. Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk Urea kembali muncul tahun 2004 (Januari – April) ketika petani dihadapkan pada kegiatan pemupukan setelah 2 minggu tanam. Fenomena ini merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi, mengingat produksi Urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan, bahkan Indonesia merupakan eksportir utama Urea, sementara distribusinya dikendalikan pemerintah dengan kebijakan yang cukup lengkap untuk dapat menjamin pasokan dengan HET di kios pengecer di seluruh pedesaan Indonesia (Simatupang, 2004). Program kebijakan pupuk di Indonesia sebenarnya sudah cukup komprehensif (Simatupang, 2004) karena: (1) melalui program panjang, pemerintah sudah membangun industri pupuk yang tersebar di berbagai wilayah dengan kapasitas produksi jauh melebihi kebutuhan pupuk domestik yang didukung oleh sektor minyak dan gas bumi yang cukup besar sehingga mestinya memiliki keunggulan komparatif dan sepenuhnya dikuasai oleh 5 pabrik pupuk BUMN sehingga mampu dan dapat diarahkan
561
untuk mengemban misi sebesar-besarnya untuk mendukung pembangunan pertanian nasional, (2) Menperindag meminta produsen pupuk senantiasa mendahulukan pemenuhan kebutuhan domestik, (3) melalui SK memperindang distribusi pupuk domestik diatur dengan sistem rayonisasi pasar, dimana setiap pabrik pupuk wajib menjamin kecukupan pasokan pupuk sesuai HET di kios pengecer resmi di rayon pasar yang menjadi tanggung jawabnya, (4) HET dan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi menurut waktu dan wilayah pemasaran sudah ditetapkan oleh Mentan, sehingga sudah cukup jelas jumlah dan kapan pupuk itu harus didistribusikan ke pasar bersubsidi, (5) sebagai imbalan dalam melaksanakan produksi dan distribusi pupuk Urea bersubsidi hingga kios pengecer sesuai HET, pabrik pupuk memperoleh subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, (6) besarnya subsidi yang dibayarkan ke pabrikan pupuk sesuai dengan besaran subsidi gas dan volume pupuk bersubsidi yang disalurkan, dan (7) pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi tersebut dimonitor, dievaluasi dan diawasi terus menerus oleh suatu tim pemerintah antar departemen bersama DPR. Dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini (terjadinya langka pasok dan lonjak harga), maka dapat dikatakan bahwa program kebijakan pupuk yang amat komprehensif dibangun pemerintah tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya dugaan meningkatnya ekspor pupuk terutama secara ilegal baik itu melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring semakin menariknya margin antara harga pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik, telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk Urea yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersusbsidi yang merupakan hak petani yang notabena merupakan kelompok masyarakat miskin. Seperti diberitakan dalam Sinar Tani (edisi 5-11 Mei 2004) bahwa terjadinya kelangkaan pupuk Urea di pasar domestik akibat telah terjadinya ekspor pupuk bersubsidi dilakukan oleh para penyelundup dengan mengumpulkan pupuk bersubsidi dari distributor atau pengecer. Eskpor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan
kecil milik
individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di pasar domestik diduga karena telah terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar sejak ditetapkannya adanya perbedaan harga
562
pupuk, sehingga pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar non-subsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. Selain kedua faktor di atas, fenomena langka pasok dan lonjak harga juga diduga terjadi akibat adanya perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi). Ada beberapa petani yang masih sangat fanatisme untuk pupuk merk tertentu, sehingga mereka mau membeli sekalipun dengan harga yang lebih mahal. Prilaku ini mengakibatkan terjadi kelangkaan pupuk pada daerahdaerah tertentu. Banyak produsen pupuk dan distributor yang ditunjuk tidak mempunyai gudang penyimpanan pupuk di lini III pada beberapa daerah diduga juga turut berkontribusi
terhadap
lambatnya
pendistribusian
pupuk
yang
pada
akhirnya
menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk di tingkat pengecer atau petani. Di sisi lain, terjadinya lonjak harga pupuk di tingkat kios pengecer atau petani juga diduga karena HET yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistik lagi untuk dapat mempertahankan para pelaku pendistribusian pupuk mendapat keuntungan pada tingkat yang wajar.
Artinya, biaya tebus setelah ditambah biaya bongkar-muat dan
transpsortasi serta biaya tidak resmi lainnya sampai di tingkat kios pengecer ternyata di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang wajar, kios pengecer harus menjual dengan harga lebih tinggi dari HET. 1.2. Tujuan Dari informasi dan permasalahan di atas, maka kajian ini fokuskan untuk melihat keragaan langka pasok dan lonjak harga pupuk di provinsi kajian, memberikan rekomendasikan atau usulan besarnya tingkat subsidi dan HET yang realistik saat ini serta perbaikan pola sistem pendistribusian pupuk di Indonesia.
563
II. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Lokasi Penelitian Kajian ini telah dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Barat. Pemilihan ke dua provinsi tersebut atas dasar pertimbangan bahwa keduanya mempunyai keragaan penyebab langka pasok dan lonjak harga yang berbeda, dan sekaligus kedua provinsi tersebut mampu mewakili keragaan penyebab langka pasok dan lonjak harga pupuk yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya.
Seperti Provinsi Sumatera utara
disamping didominasi oleh tanaman pangan juga didominasi oleh perkebunan besar, serta mempunyai banyak pelabuhan kecil-kecil milik individu, sehingga sangat representatif untuk melihat langka pasok dan lonjak harga akibat terjadinya ekspor ilegal dan perembesan pupuk dari pasar bersubsdi ke pasar non subsidi. Sementara Jawa Barat mewakili provinsi yang dominan tanaman pangan, sehingga langka pasok dan lonjak harga terutama diduga akibat terjadinya perembesan antar wilayah pada pasar bersubsidi, dan kecil kemungkinan terjadinya perembesan dari pasar bersubsidi ke pasar non subsidi. 2.2. Alat Analisis Untuk menjawab tujuan dari kajian ini, seperangkat analisis yang diterapkan, yaitu tabulasi silang dan frekuensi, serta perhitungan tingkat subsidi dan HET dengan menggunakan Rumus Tani. Untuk mendukung kedua analisis tersebut akan dilengkapi dengan data kualitatif berupa informasi pada masing-masing tataran kajian.
564
III. KERANGKA TEORITIS
Pentingnya peranan pupuk didalam upaya peningkatan produktivitas dan hasil komoditas pertanian, menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang sangat strategis. Untuk menyediaan pupuk di tingkat petani diusahakan memenuhi azas 6 yaitu tepat : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu dan harga yang layak sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Untuk mendukung itu, pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk ke petani melalui pabrik pupuk yaitu berupa subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk, dengan harapan harga pupuk yang diterima petani sesuai HET yang ditetapkan pemerintah. Khususnya untuk produksi pupuk Urea, ada 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Inskadar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur yang ditugaskan memproduksi jenis pupuk ini. Produksi ke lima pabrik tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi pasar domestik khususnya pasar bersubsidi dan baru berikutnya untuk pasar non bersubsdi. Jika produksi sudah mampu melayani pasar domestik, baru kelebihannya boleh diekspor melalui jalur resmi. Di sisi lain, pemerintah melalui Menperindag menetapkan sistem rayonisasi dalam pendistribusian pupuk, dimana tiap pabrikan yang
ditunjuk
bertanggung jawab untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produksi sendiri belum bisa memenuhi permintaan di wilayah tanggung jawabnya, produsen tersebut diwajibkan untuk mendatangkan pupuk dari produsen lain dengan pola Kerja Sama Operasional (KSO). Sedangkan hubungan kerja produsen dengan distributor yang ditunjuk diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB). Kalau sistem pendistribusian tersebut berjalan dengan baik (seperti diperlihatkan oleh garis tidak putus-putus pada Gambar 1) maka tentunya tidak akan ada fenomena langka pasok dan lonjak harga seperti saat ini. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya penyimpangan dari sistem pendistribusian yang ditetapkan telah menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk.
Penyimpangan tersebut seperti digambarkan oleh garis putus-putus.
Produksi pupuk Urea yang utamanya adalah untuk memenuhi pasar domestik bersubsidi, telah bergesar kepemenuhannya untuk pasar dunia dalam bentuk ekspor illegal akibat selisih margin harga dunia dengan harga domestik semakin menarik. Ekspor ilegal ini tidak hanya dilakukan oleh produsen pupuk, tetapi juga oleh para
565
penyelundup dengan membeli pupuk dari para distributor dan pengecer pada pasar bersubsidi. Kebijakan subsidi pupuk yang kembali ditetapkan pemerintah sejak tahun 2003 telah menyebabkan pasar domestik bersifat dualistik yaitu pasar bersubsidi dan non subsidi. Kebijakan ini menyebabkan adanya disparitas harga antara pasar bersubsidi dan non rsubsidi, dimana membuka peluang juga terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini akan terus terjadi jika tidak didukung oleh sistem pengawasan dan penerapan sanksi yang memadai. Adanya rasa fanatisme terhadap merk tertentu menyebabkan terjadinya perembesan pupuk antar wilayah dalam pasar bersubsidi. Perembesan ini juga terjadi karena adanya perbedaan harga yang cukup menarik antar wilayah. Kelangkaan pupuk juga terjadi akibat adanya jadwal tanam yang tidak pasti, sehingga menyebabkan adanya permintaan pupuk lebih besar dari rencana kebutuhan yang ditetapkan Mentan. Tidak adanya gudang penyimpanan di lini III pada beberapa daerah tertentu menyebabkan terjadinya kelambatan dalam pendistribusian, juga berkontribusi terhadap fenomena langka pasok dan lonjak harga.
566
PT. Pusri K E B I J A K A N S U B S I D I
Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah A
PT. Kujang
PT. Petrokimia Gresik
Produksi Pupuk Urea Domestik
Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah B
Pasar Domestik Non Subsidi Gresik
PT. PIM
Ekspor Pupuk Ilegal PT. Kaltim Ekspor Pupuk Legal
Keterangan :
Jalur resmi dan sesuai kebutuhan berdasarkan SK Menperindang dan Mentan Jalur ilegal dan diluar rencana kebutuhan yang menyebabkan langka pasok dan lonjak harga
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Langka Pasok dan Lonjak Harga Pupuk Urea di Pasar Domestik
567
Pasar Pupuk Dunia
IV. PERKEMBANGAN KINERJA SISTEM DISTRIBUSI PUPUK
Terjadinya fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk secara berulangulang setiap tahun merupakan hal yang semestinya tidak terjadi, mengingat produksi pupuk Urea nasional selalu lebih besar dari kebutuhannya.
Sehingga patut
dipertanyakan apakah sistem distribusi pupuk dari periode ke periode sudah dapat dilaksanakan sesuai harapan. Berikut akan dibahas perkembangan kinerja sistem distribusi pupuk di Indonesia.
1. Periode 1960-1979 (Semi Regulated Period) Periode ini merupakan periode awal dimana pola pendistribusian pupuk diatur oleh pemerintah dalam upaya penyediaan pupuk yang memadai di tingkat petani. Pada awal periode ini, pengadaan dan penyaluran pupuk di sektor Bimas/Inmas dibawah satu tangan, selanjutnya oleh banyak pelaku . Ada subsidi pupuk bagi petani peserta Bimas dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setaip Badan Usaha. Sistem penyaluran pupuk kepada penyalur/pengecer adalah secara konsinyasi. Petani menebus pupuk dengan menggunakan kupon SPPB/T2TP kepada penyalur sebagai pertanggung jawaban atas pupuk yang diterimanya secara konsinyasi dari PT. Pusri. Tidak adanya ketentuan stok, sehigga tidak ada jaminan stock tersedia disetiap waktu. Kurangnya stok juga dipicu karena adanya pengembalian kredit yang macet dari petani, dan di sisi lain pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk mengimpor pupuk. 2. Periode 1979-1998 (Full Regulated Period) Pada awal periode ini sampai tahun 1993, seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan ditataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT. Pusri. Ditetapkan prinsip 6 tepat dan ketentuan stok yang menjamin ketersediaan pupuk di lini IV. Perkembangan berikutnya , sejak tahun 1993/1994 hanya pupuk Urea untuk sektor pertanian yang disubsidi dan ditataniagakan. Pengadaan dan penyaluran pupuk Urea bersubsidi dibawah tanggung jawab PT. Pusri, sedangkan untuk jenis lainnya tidak diatur. Sekalipun masih ada prinsip 6 tepat dan ketentuan stok untuk pupuk Urea, namun tidak ada jaminan kemantapan ketersediaan pupuk akibat adanya disparitas harga antara pasar pupuk Urea bersubsidi dan non subsidi. Dalam tahun 1998, pupuk
568
SP36, ZA dan KCl kembali disubsidi, walaupun hanya untuk beberapa waktu saja, dimana pada tanggal 1 Desember 1998 subsidi pupuk dan tataniaganya dicabut. 3. Periode 1998-2002 (Free Market and Semi Full Regulated Period) Terhitung mulai tanggal 1 Desember 1998 sampai tanggal 13 Maret 2001 pupuk tidak disubsidi dan pupuk menjadi komoditi bebas, dimana berlaku mekanisme supply and demand. Tiidak ada prinsip 6 tepat lagi, serta ketentuan stok pupuk sehingga sering terjadi fenomena kelangkaan pupuk ditandai mahalnya harga pupuk di tingkat petani. Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk memberi peluang munculnya pupuk alternatif yang kualitasnya diragukan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengadaaan penyaluran pupuk Urea untuk sektor pertanian dengan SK Menperindag No.93/2001 tanggal 14 Maret 2001 yang mulai berlaku tanggal 14 Maret 2001. Pada dasarnya sebagian besar besar materi Kepmen ini hampir sama dengan ketentuan tataniaga sebelumnya (Kep. Menperindag N0.378/1998).
Perbedaan yang
mendasar adalah Kep. Menperindag
No.93/2001 memberikan kesempatan kepada semuan produsen pupuk untuk melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk Urea ke subsektor Tanaman Pangan, Perikanan, Peternakan dan Perkebunan Rakyat yang pada Kepmen sebelumnya hanya dilaksanakan oleh PT. Pusri.
Kenyataan di lapang
menunjukkan bahwa Kepmen
No.93/2001 masih belum menjamin ketersediaan pupuk menurut prinsip 6 tepat. 4. Periode 2003- Sekarang (Semi Full Reagulated Period) Pada periode pasar bebas, dimana tidak adanya subsidi untuk jenis pupuk apapun dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran pasar ternyata juga tidak menjamin tersedianya pupuk di tingkat petani sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan, dan harganya pun selalu di atas daya beli petani. Dampak ini menyebabkan banyak petani yang tidak melakukan pemupukan secara berimbang. Pemerintah kembali menerapkan kebijakan subsidi pupuk untuk subsektor Tanaman Pangan, Perikanan, Peternakan dan Perkebunan Rakyat dan sistem pendistribusiannya diatur berdasarkan SK Menperindang No.70/MPP/Kep/2003 yang ditetapkan tanggal 11 Februari 2003 yang efektif mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Sistem pendistribusian pupuk berdasarkan rayonisasi, dimana setiap produsen bertanggung jawab penuh untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi
569
tanggung jawabnya.
Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk
bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi sendiri, wajib melakukan kerjasama dengan produsen lainnya dalam bentuk kerja sama operasional (KSO). Yang cukup menonjol dari SK Menperindag ini adalah produsen pupuk berkewajiban untuk mendahulukan pengadaan pupuk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya untuk pasar bersubsidi. Jenis pupuk yang disubsidi adalah Urea, SP-36, ZA, dan NPK dengan komposisi 15:15:15 dan 20:10:10. Besarnya subsidi ditentukan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat pengecer untuk ke empat jenis pupuk itu ditentukan olen Mentan. HET yang ditentukan Mentan berturut-turut Rp 1050/kg (Urea); Rp 1400/kg (SP-36); Rp 950/kkg (ZA) dan Rp 1600/kg (NPK). HET ini ditetapkan oleh Mentan berdasarkan SK Mentan no.107/Kpts/Sr.130/2/2004 dan efektif berlaku mulai 1 Januari sampai 31 Desember 2004. Walaupun sistem distribusi pupuk dibuat begitu amat komprehensif ternyata tidak menjamin adanya ketersediaan pupuk di tingkat petani khususnya pada pasar bersubsidi sesuai dengan HET yang telah ditetapkan. Fenomena langka pasok dan lonjak harga muncul kembali sekitar Januari- April 2004 ketika petani membutuhkan jumlah pupuk relatif banyak. Di beberapa tempat harga pupuk Urea bahkan sampai mencapai Rp 1300-Rp 1600/kg. Kasus terjadinya penyelundupan pupuk lewat ekspor ilegal semakin marak seiring dengan semakin mahalnya harga pupuk Urea di pasar dunia. Ini kembali membuktikan bahwa sistem distribusi pupuk yang telah diperbaiki kembali tidak menjamin tersedianya pupuk di tingkat petani secara memadai dari segi jumlah dan jenis, serta aman dari segi HET yang ditetapkan pemerintah. Sementara dilihat dari jalur pendistribusiannya dari waktu ke waktu dapat dikelompokkan menjadi 4 periode yaitu: (1) jalur tataniaga pupuk sebelum kebijakan penghapusan subsidi, (2) jalur tataniaga pupuk sesudah kebijakan penghapusan subsidi, (3) jalur tataniaga pupuk yang ditetapkan tim interdept, dan (4) jalur tataniaga pupuk setelah kebijakan April 2001 (rayonisasi). Perkembangan masing-masing jalur distribusi pupuk berturut-turut dibahas di bawah ini. Sebelum diterapkan kebijakan pasar bebas untuk tataniaga dan penghapusan subsidi pupuk, pemerintah memberikan hak monopoli kepada PT. Pusri sebagai distributor tunggal pupuk dari lini I sampai lini III. Dari lini III sampai lini IV, penyaluran
570
pupuk untuk tanaman pangan (pupuk bersubsidi) dilakukan melalui KUD penyalur (Gambar 2).
Dari lini IV, KUD menyalurkan pupuk ke petani melalui kios-kios,
sementara untuk pupuk kebutuhan non pangan penyaluran pupuk dari lini III dilakukan oleh PT. Pertani (BUMN) dan penyalur swasta yang ditunjuk oleh PT. Pusir. Tujuan diterapkan sistem ini agar pemerintah dapat mengontrol penyaluran pupuk, sehingga kemungkinan terjadinya berbagai gejolak dapat diantisipasi. Jika terjadi kelangkaan pupuk, pemerintah diharapkan dapat mengetahui dimana terjadinya hambatan penyaluran. Sejak dihapuskannya subsidi pupuk dan monopoli PT. Pusri dalam distribusi pupuk sejak 1 Desember 1998, maka jalur tataniaga pupuk di Indonesia mengalami penyesuaian, seperti disajikan pada Gambar 3. Kebijakan ini telah membuka persaingan antara pelaku bisnis pupuk, sehingga diharapkan mampu menciptakan harga yang lebih bersaing di tingkat petani. Untuk melayani kebutuhan KUT, jalur distribusi dominan dilakukan oleh PT. Pusri masih dipertahankan, namun mulai dari lini III LSM sudah diperbolehkan berpartisipasi sekalipun masih sangat kecil. Peranan KUD tidak hanya melayani kebutuhan KUT, tetapi juga dapat menjadi penyalur di tingkat kecamatan bagi pengecer-pengecer di tingkat desa atau di titik bagi. Disamping itu PUSKUD tidak hanya menjual jasa angkutan, tetapi juga dapat menjadi distributor dan pemasok pupuk bagi KUD. Di sisi lain, para importir tidak lagi diharuskan menyalurkan pupuknya lewat produsen pupuk di lini I, tetapi dapat membangun saluran sendiri melalui penyalur swasta yang diteruskan ke kios-kios besar dan seterusnya. Kios besar pun dengan volume permintaan minimal 50 ton bisa langsung memesannya ke lini II, dan tidak harus ke lini III.
Petani melalui kelompok taninya juga dapat
melakukan kontrak beli berkisar 6 – 10 ton langsung ke penyalur swasta, dan tidak harus ke kios besar atau kios kecil. Dalam perkembangannya, pemerintah kembali melakukan penyesuaian dalam sistem distribusi pupuk. Saat ini pabrik pupuk harus melayani pasokan sampai ke tingkat kabupaten. Sebelumnya produsen pupuk hanya bertanggungjawab hingga pemasaran di Lini II. Saat ini pembelian pupuk di lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang melakukan pembelian pupuk di lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen stok pupuk. Kebijakan pembelian pupuk di lini I dan II ditetapkan atas usulan Tim Interdept yang terdiri dari pengusaha (produsen), Departemen Pertanian, Depperindag, Dephut, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
571
Kios Kecil
Importir Lini IV KUD Penyallur
PT. PUSRI Lini I
Lini II
Lini III
Kios Besar
Penyalur Swasta Petani Pangan dan Non Pangan
Produsen Lain
Gambar 2. Jalur Distribusi Pupupk Sebelum Kebijakan Penghapusan Subsidi
572
Lini IV KUD Pedagang Swasta
Importir
PT. PUSRI Lini I
Kios Kecil
Lini II
Lini III
Kios Besar
Petani/KT Pangan dan Non Pangan
(minimal 50 ton)
Produsen Lain
Penyalur Swasta
(Kontrak 6-10 ton)
Gambar 3. Jalur Distribusi Pupupk Setelah Kebijakan Penghapusan Subsidi (Desember 1998)
573
Adapun tugas ini adalah merumuskan rencana kebutuhan pupuk untuk sektor pertanian. Untuk distributor di wilayah Jawa diharuskan menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar Jawa harus menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu. Upaya menanggulangi harga pupuk yang dirasakan mahal oleh petani maka pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi transportasi pupuk, khusus untuk daerah terpencil (remote areas) sebesar Rp 200,- per kg. Distribusi pupuk yang ditetapkan Tim Interdept tahun 2001 disajikan pada Gambar 4. Berlakunya kebijakan rayonisasi penyaluran pupuk mengharuskan penebusan pupuk dilakukan pada lini III, meskipun delivery order (DO) tetap dikeluarkan di PPD lini II (propinsi). Implikasinya adalah ketersediaan pupuk antar PPK (Pemasaran Pupuk Kabupaten) menjadi tanggung jawab sepenuhnya PT. Pusri. Implementasi dari kebijakan distribusi pupuk tersebut menyebabkan berubahnya rantai pemasaran pupuk seperti disajikan pada Gambar 5. Pola jalur pemasaran berdasarkan sistem rayonisasi ini ternyata penerapnya juga cenderung tidak efektif, karena masih sering terjadi fenomena terjadi langka pasok dan lonjak harga akibat sistem pengawasan yang telah dibentuk pemerintah tidak pernah berfungsi sebagaimana diharapkan.
Lemahnya
pelaksanaan sistem pengawasan menyebabkan terjadinya perembesan pupuk baik antar pasar bersubsidi maupun dari pasar bersubsidi ke pasar non subsidi serta ekspor secara ilegal. Dari fakta dan informasi di atas, baik dilihat dari kinerja sistem distribusi pupuk dari periode ke periode maupun dari penerapan kebijakan tataniaga pupuk membuktikan bahwa sampai saat ini belum ada sistem distribusi dan kebijakan tataniaga pupuk yang menjamin tersediaanya pupuk prinsip 6 tepat aman sampai di tingkat petani. Lebih menyedihkan lagi bahwa pupuk bersubsidi yang semestinya menjadi hak petani kecil sering kali dinikmati oleh pelaku-pelaku dalam distribusi dan pemasaran pupuk. Fenomena ini tentunya terjadi karena tidak adanya penerapan sistem pengawasan yang serius sampai di tingkat pengguna, serta tidak adanya penarapan sangsi bagi para penyelundup.
574
Tim Interdept
PT. Perkebunan Nusantara
Produsen Pupuk Urea
PUSRI Unit Niaga
Lini I
Lini II
Lini III
Instansi Terkait
Distributor Kabupaten Niaga
Pengecer
Petani
Keterangan:
= Laporan pengeluaran pupuk
Gambar 4. Jalur Distribusi Pupuk Yang Ditetapkan Tim Interdept, April 2001
575
Pabrik Pupuk
Pabrik Pupuk ZA, SP36 Gresik
Pedagang Besar Swasta
Lini II
Agen/ Wholesale
Lini III
Importir KCl, ZA
Koperta/KUD
Retailer
Petani
Gambar 5. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijakan April 2001
576
V. PERKEMBANGAN PASAR PUPUK
Terjadinya fenomena langka pasok dan lonjak harga
dapat dilihat dari
perkembangan kinerja pasar pupuk baik di pasar domestik sendiri maupun pasar dunia. Pada bab ini, kinerja pasar pupuk akan lebih ditekan pada perkembangan kapasitas pabrik pupuk itu sendiri, produksi dan kebutuhan dalam negeri, jumlah ekspor dan perkembangan harga dunia.
Semua aspek tersebut saling kait mengkait, dan
mempunyai kontribusi terhadap terjadinya kelangkaan pupuk.
Sebagai contoh,
walaupun produksi dalam negeri selalu melebihi permintaan dalam negeri, karena adanya ekspor berlebih akibat harga pupuk di pasar dunia menarik, maka menyebabkan terjadinya langka pasok dan sekaligus pada waktu yang bersamaan akan terjadi juga lonjak harga pada pasar domestik. Perkembangan dari masing-masing aspek tersebut secara berturut-turut dibahas berikut ini. 5.1. Perkembangan Kapasitas Pabrik Pupuk Fenomena kelangkaan dan melonjaknya harga pupuk hampir selalu terjadi setiap awal musim tanam. Secara nasional kapasitas terpasang pabrik pupuk yang terdiri dari lima pabrik perusahaan BUMN dan satu pabrik kerjasama ASEAN (PT. Asean Aceh Fertilizer) sebenarnya sangat besar yaitu mencapai 10.07 juta ton pupuk per tahun. Sebagian besar pupuk yang diproduksi adalah urea yang mencapai 8.12 juta ton per tahun (Tabel 1). Departemen Pertanian merencanakan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian pada tahun 2004 mencapai 6.03 juta ton per tahun yang 4.23 juta ton diantaranya adalah merupakan pupuk urea (Tabel 2). Sehingga secara matematis seharusnya kebutuhan pupuk terutama urea dapat dicukupi jika kapasitas terpasang pabrik bisa dicapai secara optimal dan bahkan ada kelebihan produksi sekitar 1.08 juta ton per tahun. Pada kenyataannya yang terjadi sejak tahun 1992 hingga 2003 bahwa produksi yang dapat dicapai setiap tahunnya rata-rata hanya sebesar 5.770 ribu ton untuk urea atau sebesar 71.1 persen dari kapasitas terpasang. Sementara untuk ZA, TSP/SP-36 dan Phonska masing-masing mencapai 79.6, 81.6 dan 23.0 persen dari kapasitas terpasang (Tabel 3). Ada beberapa penyebab pabrik tidak dapat beroperasi secara optimal pada kapasitas terpasang, yaitu: (a) pertama, rata -rata pabrik telah mencapai umur teknisnya (telah beroperasi lebih dari 20 tahun), sehingga pengoperasiannya kurang efiien bila dibandingkan dengan pabrik baru yang menggunakan teknologi terkini,
577
mesin pabrik sering terjadi kerusakan sehingga produksi tidak optimal, (b) gas bumi sebagai komponen biaya produksi terbesar (50 – 60 persen) harus dibayar dalam dollar sedangkan penjualan dalam negeri dalam Rupiah sehingga biaya produksi terbebani selisih kurs, (c) pabrik yang telah habis masa kontrak jual beli gas dan pabrik baru belum mempunyai ketetapan harga dan jaminan kelangsungan pasokan gas,dan (d) disamping itu penyaluran gas ke pabrik juga sering tersendat sehingga produksi terganggu.
Tabel 1. Kapasitas Terpasang Pabrik Pupuk Nasional Per 1 Januari 2004 (000 ton). No.
Perusahaan
BUMN : 1 PT. Pupuk Sriwidjaya 2 PT. Pupuk Kaltim 3 PT. Pupuk Kujang 4 PT. Pupuk Iskandar Muda 5 PT. Petrokimia Gresik Sub Total BUMN Proyek ASEAN 6 AAF Total Sumber : APPI, 2004.
Ammonia
Urea
Jenis Pupuk TSP/SP-36 Am. Sulfat
1,500 1,419 396 792 440 4,547
2,280 2,980 570 1,170 460 7,460
--------1,000 1,000
---------
396 4,943
660 8,120
--1,000
---
Phonska ---------
650 650
300 300 ---
650
300
Tabel 2. Rencana Kebutuhan Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun 2004 (ton). No. 1
Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura
2
Perkebunan Rakyat
3
Peternakan Jumlah
Urea
SP-36
ZA
NPK
3,358,106
595,222
456,352
400,000
869,076
202,400
142,613
-
11,543
2,377
1,035
-
4,238,725
800,000
600,000
400,000
Sumber : SK Menteri Pertanian 2004.
5.2. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Pupuk Domestik Data yang diperoleh dari PT. Pusri Holding Co. memperlihatkan bahwa sebenarnya produksi urea bulanan nasional ditambah dengan stok awal yang ada digudang rata-rata mampu memenuhi kebutuhan urea setiap bulan. Dari Tabel 4. terlihat bahwa selama 2002 – 2004 (sampai Mei 2004) rata-rata kebutuhan urea nasional
578
mencapai 374 ribu ton per bulan. Kabutuhan urea ini mampu dipenuhi oleh produsen pupuk melalui produksi dan stok rata-rata sebesar 596 ribu ton per bulan. Hal ini berarti rata-rata terdapat kelebihan urea yang mencapai 222 ribu ton urea setiap bulan. Sementara dari jumlah total kebutuhan urea domestik, ternyata realisasi penyerapan urea oleh sektor pertanian rata-rata hanya 321 ribu ton per bulan atau hanya 85.7 persen. Jika realisasi penyerapan ini ditambah dengan penyerapan oleh sektor non pertanian, maka rata-rata realisasi per bulan mencapai 363 ribu ton atau sebesar 97.1 persen. Jumlah pupuk yang diproduksi dan stok awal pabrik dibandingkan realisasi penyerapan menunjukkan angka yang berlebih. Artinyaa tanpa mengganngu pasokan pupuk domestik baik untuk pasar bersubsidi maupun pasar non subsidi, pabrikan pupuk masih mempunyai peluang ekspor sekalipun dalam jumlah yang relatif kecil.
579
Tabel 3. Produksi pupuk Indonesia 1992 – 2003 (000 ton). Tahun
Urea
ZA
Kap. Terpasang
8.120
1992
4.950 (61.0) 5.132 (63.2) 5.289 (65.1) 5.895 (72.6) 6.189 (76.2) 6.294 (77.5) 6.155 (75.8) 5.946 (73.2) 6.334 (78.0) 5.316 (65.5) 6.006 (74.0) 5.731 (70.6) 5.770 (71.1)
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Rataan
Jenis Pupuk TSP/SP-36 650 1.000
614 (94.5) 526 (80.9) 679 (104.5) 679 (104.5) 640 (98.5) 438 (67.4) 324 (49.8) 451 (69.4) 491 (75.5) 465 (71.5) 420 (64.6) 479 (73.7) 517 (79.6)
1.280 (128.0) 1.140 (114.0) 867 (86.7) 867 (86.7) 986 (98.6) 789 (78.9) 612 (61.2) 854 (85.4) 511 (51.1) 643 (64.3) 553 (55.3) 688 (68.8) 816 (81.6)
Sumber : APPI, 2004. Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentase terhadap kapasitas terpasang.
580
Phonska 300
(0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) 28 (9.3) 65 (21.7) 114 (38.0) 69 (23.0)
Tabel 4. Kebutuhan, Produksi dan Penjualan Pupuk Urea Domestik 2002 – 2003 (ton).
Bulan
Stok Awal Produksi Total Pabrik Total Supply 2002 Jan 93,551 460,409 553,960 Feb 74,824 430,138 504,962 Mar 75,143 469,316 544,459 Apr 81,575 451,397 532,972 Mei 79,591 458,566 538,157 Jun 86,802 441,971 528,773 Jul 91,691 492,396 584,087 Agt 94,480 426,228 520,708 Sep 83,651 389,238 472,889 Okt 84,084 477,462 561,546 Nov 170,734 444,426 615,160 Des 205,904 449,688 655,592 2003 Jan 215,414 420,444 635,858 Feb 180,709 391,514 572,223 Mar 194,663 427,982 622,645 Apr 226,827 452,217 679,044 Mei 226,034 487,746 713,780 Jun 171,173 463,313 634,486 Jul 195,109 474,142 669,251 Agt 179,845 427,588 607,433 Sep 227,308 463,339 690,647 Okt 138,949 435,008 573,957 Nov 114,810 470,021 584,831 Des 198,319 510,257 708,576 2004 Jan-Mar 163,510 1,317,508 1,481,018 Apr 105,287 406,308 511,595 Mei 88,240 523,328 611,568 Rataan 145,466 450,617 596,083 Keterangan : angka dalam kurung berarti negatif.
Total Penjualan Non dan Pertanian 438,541 302,342 357,032 400,827 358,951 325,300 323,424 272,306 257,390 303,633 345,589 453,721 505,112 345,881 353,999 427,664 424,626 355,607 281,369 255,010 343,347 389,952 329,862 559,301 1,329,607 410,797 403,797 362,949
Rencana Renc. Total Tot. Sup 721,367 (167,407) 271,407 233,555 343,516 200,943 318,577 214,395 310,997 227,160 408,812 119,961 190,164 393,923 177,361 343,347 269,234 203,655 417,383 144,163 506,766 108,394 708,463 (52,871) 432,892 202,966 432,892 139,331 432,892 189,753 288,595 390,449 288,595 425,185 288,595 345,891 288,595 380,656 288,595 318,838 288,595 402,052 432,892 141,065 432,892 151,939 432,892 275,684 1,340,018 141,000 341,903 169,692 266,476 345,092 373,874 222,210
5.3. Ekspor Pupuk
Pada dasarnya, produksi pupuk domestik terutama jenis pupuk Urea adalah untuk memenuhi pada pasar domestik. Artinya, jika pasar domestik sudah terpenuhi, kelebihandari produksi tersebut baru diperbolehkan untuk diekspor. Namun dalam kenyataannya, jumlah ekspor pupuk Urea rata-rata mrencapai 28,71 persen dari total produksi (Tabel 5). Padahal dari perkembangan produksi dan kebutuhan, seharusnya peluang ekspor pupuk jenis ini kurang dari 3 persen. Fenomena ini dapat diduga kuat sebagai pemicu terjadinya kelangkaan pupuk pada pasar domestik.
581
Penjualan Pertanian 406,015 276,885 325,807 367,043 325,756 298,295 290,532 254,549 235,876 270,809 311,209 421,207 468,099 311,429 308,996 380,142 348,670 290,972 206,292 213,440 280,894 325,701 273,641 503,654 1,155,941 329,493 315,139 320,663
Dari enam produsen urea nasional, selama periode 1992-2003, terlihat bahwa PT. Pupuk Kaltim, AAF dan PT. PIM melakukan ekspor paling besar, yaitu masing – masing mencapai 31.92, 31.72 persen dan 17.16 persen dari total ekspor urea nasional. Menurut informasi yang diperoleh, ekspor urea yang dilakukan hampir seluruhnya merupakan urea granular dan hanya sedikit yang berupa urea tabur (prill). Tabel 5. Ekspor Urea Indonesia 1992 – 2003 (000 ton).
Tahun
PUSRI
1992 101 % 7.60 1993 210 % 13.82 1994 175 % 10.89 1995 392 % 19.92 1996 189 % 12.33 1997 520 % 22.02 1998 35 % 2.20 1999 273 % 12.08 2000 114 % 5.50 2001 78 % 7.19 2002 31 % 2.19 2003 221 % 17.91 Rataan 195 % 11.14 Sumber : APPI, 2004.
KUJANG KALTIM 83 6.21 98 6.46 129 8.06 205 10.43 101 6.61 251 10.61 40 2.56 22 0.97 58 2.79 36 3.35 23 1.62 0 0.00 95 4.97
PIM
358 26.81 316 20.75 409 25.50 380 19.31 301 19.63 397 16.83 410 26.11 846 37.48 795 38.32 652 59.98 565 39.85 648 52.43 506 31.92
260 19.47 283 18.58 379 23.62 301 15.25 209 13.62 310 13.15 396 25.20 461 20.41 498 23.98 130 11.97 204 14.39 78 6.31 292 17.16
PETRO 0 0.00 0 0.00 11 0.65 185 9.39 103 6.70 214 9.07 42 2.66 6 0.25 43 2.07 68 6.24 0 0.00 0 0.00 84 3.09
AAF 532 39.91 614 40.40 502 31.27 506 25.70 630 41.10 669 28.32 648 41.27 650 28.81 567 27.33 122 11.26 595 41.95 288 23.35 527 31.72
Total 1.334 100.00 1.521 100.00 1.605 100.00 1.970 100.00 1.534 100.00 2.361 100.00 1.571 100.00 2.258 100.00 2.075 100.00 1.086 100.00 1.417 100.00 1.235 100.00 1.664 100.00
% Dari Total Produksi Urea 26.94 29.64 30.35 33.42 24.79 37.51 25.53 37.97 32.75 20.44 23.60 21.55 28.71
Jumlah ekspor urea terutama pada periode 2002-2003 mengalami peningkatan yang cukup besar, terutama untuk urea dari PT. Pusri dan PT. Pupuk Kaltim. Sementara untuk PT. PIM dan AAF yang berada di Propinsi NAD mengalami penurunan drastis karena gangguan keamanan. Ekspor urea PT. Pusri melonjak dari 31 ribu ton pada tahun 2002 menjadi 221 ribu ton tahun 2003, sementara ekspor urea PT. Pupuk Kaltim melonjak dari 565 ribu ton menjadi 648 ribu ton pada periode yang sama.
582
Lonjakan ekspor pupuk urea yang terjadi sejak tahun 2002 disebabkan oleh meningkatnya harga urea di pasaran dunia (Gambar 6). Sejak pertengahan 2002 hingga akhir 2003 harga urea internasional meningkat pesat dari rata-rata sebesar 102 US$/ton
180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
fob, US$/ton
menjadi 127 US$/ton.
2000
2001
2002
2003
Bulan Indonesia
Yuzhnyy
Baltic/Black Sea
East Europe
Middle East
Gambar 6. Perkembangan Harga Urea Internasional 2000 – 2003 (US$/ton, fob).
Peningkatan harga internasional juga terjadi pada pupuk non urea seperti TSP dan ZA (Gambar 7) selama tahun 2003. Sementara harga KCl relatif stabil pada kisaran harga 123 US$/ton. Harga TSP melonjak dari 132 US$/ton pada awal tahun menjadi 161 US$/ton pada akhir tahun 2003. ZA melonjak dari 36 US$/ton menjadi 94 US$/ton. Kenaikan harga internasional ini sangat berpengaruh terhadap harga pupuk non urea didalam negeri karena kebutuhan pupuk non urea domestik dipenuhi dengan cara mengimpor.
583
100
170
90 80
150
70
140
60 50
130
40
120
30
US$/ton, fob (ZA)
US$/ton, fob (TSP & KCL)
160
20
110
10
100
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agst
Sept
Okt
Nov
Des
2003 Bulan
TSP
KCL
ZA
Gambar 7. Perkembangan Harga Pupuk Non Urea Internasional 2003 (US$/ton, fob)
VI. KELANGKAAN PUPUK DI PROVINSI KASUS 6.1. Sumatera Utara Selama tahun 2003 pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di Propinsi Sumatera Utara berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) nomor 70/MPP/Kep/2/2003 merupakan wilayah tanggung jawab PT. Pupuk Iskandar Muda Aceh (PT. PIM) dan juga merupakan wilayah Kerja sama operasional (KSO) dari PT. Pupuk Sriwijaya Palembang (PT. Pusri). Sepanjang tahun 2003 pasokan pupuk di Sumatera Utara berjalan normal tanpa terjadi kelangkaan. Kemudian berdasarkan Keputusan Menperindag nomor 356/MPP/Kep/5/2004 wilayah Sumatera Utara sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT. PIM untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sejak akhir Juni 2004, mengingat PT. PIM sudah kembali beroperasi secara normal. Mengawali tahun 2004, tepatnya selama bulan Januari hingga April telah terjadi kelangkaan pupuk di Sumatera Utara. Kelangkaan ini diartikan sangat terbatasnya pasokan pupuk terutama jenis Urea yang ditandai oleh adanya lonjak harga. Pada bulan-bulan tersebut lonjak harga pupuk yang terjadi bukan hanya di pasar pupuk bersubsidi tetapi juga di pasar pupuk non bersubsidi. Lonjak harga pupuk pada pasar non bersubsidi lebih banyak disebabkan karena adanya
584
isu kelangkaan pupuk pada pasar bersubsidi. Mulai dari Lini II di gudang Pelabuhan Belawan Medan hingga Lini IV pasokan pupuk sangat terbatas sekali jumlahnya. Penyebab utama terjadinya kelangkaan pupuk di Sumatera Utara selama kuartal I tahun 2004 karena berhentinya pasokan pupuk Urea dari PT. PIM yang ditunjuk sebagai pemasok tunggal. Pabrik PT. PIM berhenti beroperasi sejak 23 Desember 2003 dan baru mulai berproduksi lagi sekitar bulan Mei 2004. Dari informasi yang diperoleh paling tidak ada dua hal yang menyebabkan PT. PIM berhenti beroperasi : (a) pabrik PT. PIM yang kondisinya sudah tua mengalami kerusakan mesin; (b) terhentinya pasokan gas karena harga gas yang terlalu mahal sementara subsidi pemerintah untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi oleh PT. PIM tahun 2003 belum dibayar. Terjadinya kelangkaan pupuk Urea di Sumatera Utara direspon oleh pemerintah dengan menunjuk PT. Pusri untuk memenuhi kebutuhan Urea selama PT. PIM tidak berproduksi. Pupuk Urea Pusri ini dipasok langsung dari pabrik PT. Pusri di Sumatera Selatan dan bukan menyalurkan stok dari propinsi terdekat. Selama bulan Januari distribusi Urea PT. Pusri dilakukan dari Pelabuhan Belawan (Lini II) langsung ke pengecer di kecamatan atau desa (Lini IV). Selama bulan Februari 2004 pola distribusi berubah dimana distribusi dilakukan melalui distributor yang telah ditunjuk oleh PT. PIM dan PT. Pusri. Tetapi karena kelangkaan masih terus terjadi, PT. Pusri mengambil kebijakan baru untuk kembali menyalurkan pupuk langsung ke Lini IV tetapi kali ini dengan melibatkan pihak Dinas Pertanian Kabupaten yang berperan sebagai penyaring dan pengawas Delivery Order (DO) yang dikeluarkan Lini IV untuk disampaikan kepada perwakilan PT. Pusri Perwakilan Daerah Propinsi Sumatera Utara. Pola distribusi seperti ini yang hanya bertahan selama kurang lebih dua bulan justru dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan secara sepihak dengan membebankan sejumlah biaya tambahan untuk setiap DO yang masuk (biaya siluman). Biaya yang dibebankan ini bisa mencapai Rp. 100 ribu sampai dengan Rp. 200 ribu untuk setiap DO yang disetujui pihak Dinas Pertanian. Ada juga yang membebankan Rp. 10 – Rp. 50 untuk setiap kilogram pupuk yang disetujui. Adanya pembebanan biaya ini menyebabkan harga pupuk yang diterima petani menjadi lebih tinggi. PT. Pusri yang diminta pemerintah untuk memasok pupuk ke Propinsi Sumatera Utara selama bulan Januari hingga April 2004 secara nominal tidak mampu mencukupi kebutuhan yang direncanakan. Stok Urea Pusri tidak mencukupi karena Sumatera Utara hanya merupakan wilayah KSO dan bukan menjadi tanggung jawab penuh PT. Pusri. Menurut data dan keterangan dari Dinas Pertanian Sumatera Utara, antara rencana
585
pasokan Pusri dan realisasinya mengalami perbedaan. Ada wilayah yang dipasok Urea melebihi rencana, sebaliknya ada wilayah yang dipasok kurang dari rencana. Paling tidak ada 2 alasan mengapa distribusi Urea Pusri mengalami gangguan : (a). jarak, semakin jauh jarak distribusi pupuk ke kabupaten semakin besar jumlah realisasi yang meleset dari target, (b) wilayah yang merupakan wilayah perkebunan dengan areal perkebunan yang semakin luas dipasok lebih banyak dari target. Dari fenomena ini terlihat bahwa telah terjadi perembesan pupuk bersubsidi ke sektor perkebunan.
Tabel 6. Hubungan jarak distribusi dengan realisasi penyaluran pupuk Urea di Provinsi Sumatera Utara, Januari – Mei 2004. Kabupaten
Rataan Realisasi Penyaluran Pupuk Urea (%)
1. Nias 2. P. Sidempuan 3. Tapanuli Selatan 4. Mandailing Natal 5. Tapanuli Tengah 6. Labuhan Batu 7. Tapanuli Utara
42.10 104.92 46.60 19.26 11.94 143.49 91.84
Rataan Jarak Diatas 200 km
Jarak (km) 1 hari 390 389 389 344 285 281
65.73
1. Toba Samosir 2. Asahan 3. Dairi 4. Binjai 5. P. Siantar 6. Simalungun
100.49 77.00 48.62 68.06 162.05 55.80
Rataan Jarak Antara 100 – 200 km
169 158 141 120 117 117
85.34
1. Tebing Tinggi 2. Karo 3. Langkat 4. Deli Serdang 5. Medan
200.00 79.00 95.72 114.88 22.18
Rataan Jarak Dibawah 100 km
102.36
Sumber : Dinas Pertanian, diolah, 2004.
586
78 67 42 25 0
Menurut informasi dari Dinas Pertanian Provinsi setempat ada dua hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pasokan Urea oleh PT. Pusri selama Januari – Mei 2004 di Sumatera Utara. Pertama, pengaruh jarak distribusi dari Pelabuhan Belawan Medan ke tiap-tiap kabupaten. Tabel 6 menyajikan hubungan jarak distribusi dan realisasi penyaluran Urea per kabupaten. Terlihat bahwa selama masa kelangkaan pupuk di Sumatera Utara, semakin jauh jarak pengiriman pupuk dari Pelabuhan Belawan-Medan ke kabupaten, maka semakin kecil realisasi pupuk dengan rencana. Untuk jarak kabupaten yang lebih dari 200 km dari Lini II PT. Pusri, realisasi distribusinya hanya mencapai 65.73 persen dari rencana. Sedangkan untuk jarak antara 100 – 200 km dan kurang dari 100 km, realisasi penyalurannya semakin besar yaitu masing-masing 85.34 persen dan 102.36 persen. Artinya, ada korelasi terbalik antara jumlah realisasi pasokan dengan jarak antar. Kedua, penyaluran pupuk utamanya Urea lebih diarahkan ke kabupaten atau daerah yang memiliki areal perkebunan yang luas. Luas areal perkebunan di Sumatera Utara merupakan areal perkebunan PTPN II, perkebunan swasta dan asing yang dalam Keputusan Menperindag tidak termasuk yang menerima pupuk dengan harga subsidi. Tabel 7 menyajikan realisasi pasokan Urea dan luas perkebunan besar. Terlihat bahwa realisasi penyaluran Urea semakin besar untuk daerah atau kabupaten yang memiliki area perkebunan yang luas. Untuk wilayah yang memiliki luas areal perkebunan di atas 10 ribu ha, realisasi rata-rata mencapai 88.9 persen. Bahkan di Kabupaten Labuhan Batu dan Deli Serdang realisasi penyaluran masing-masing sampai mencapai 143.5 dan 114.9 persen. Khusus Kabupaten Deli Serdang, walaupun realisasi rata-rata di atas 100 persen, namun di kabupaten ini masih tetap terjadi kelangkaan pupuk. Hal ini patut dicurigai terjadinya kelangkaan pupuk tersebut karena adaanya perembesan pupuk dari sektor pertanian ke non pertanian. Fenomena ini memperkuat informasi yang dikemukan oleh Dinas Pertanian Provinsi.
587
Tabel 7. Hubungan luas perkebunan non perkebunan rakyat terhadap realisasi penyaluran pupuk Urea di Provinsi Sumatera Utara, Januari – Mei 2004. Rataan Realisasi Penyaluran Pupuk Urea (%)
Kabupaten
1. Labuhan Batu 2. Asahan 3. Deli Serdang 4. Simalungun 5. Langkat 6. Tapanuli Selatan Rataan
143.5 77.0 114.9 55.8 95.7 46.6
1. Tapanuli Tengah 2. Mandailing Natal 3. Nias 4. Karo 5. Dairi 6. Toba Samosir 7. P. Sidempuan 8. Tapanuli Utara 9. Binjai 10. P. Siantar 11. Medan Rataan
11.9 19.3 42.1 79.0 48.6 100.5 104.9 91.8 68.1 162.0 22.2 68.22
Luas Perkebunan (ha) 242629 146491 127638 112077 103623 57651
88.9 9705 5355 811 513 429 207 0 0 0 0 0
Sumber : Dinas Pertanian, diolah, 2004.
Di Kabupaten Karo dan Berastagi yang sebagian besar didominasi oleh tanaman hortikultura, kelangkaan pupuk juga terjadi. Dampak dari kelangkaan tersebut tidak terlalu berpengaruh, karena petani sudah terbiasa menggunakan pupuk NPK sebagai alternatif untuk mensubstitusi pupuk Urea. Namun demikian, dari segi keuntungan relatif berdampak,
karena
ada
tambahan
biaya
produksi
yang
dikeluarkan
akibat
menggunakan pupuk NPK yang harganya relatif mahal. Harga Urea bersubsidi di lokasi ini hanya berkisar Rp. 1050 – Rp 1150 per kilogram, sementara NPK sampai mencapai Rp. 2200 per kilogram. Hasil wawancara dengan beberapa pedagang pupuk seperti Usaha Dagang (UD) Bintang Tani sebagai salah satu pengecer pupuk bersubsidi dengan label resmi pada kios di Kabupaten Berastagi memberikan informasi, bahwa pada saat normal kios dapat menjual Urea rata-rata 150 – 250 ton per minggu. Ketika terjadi kelangkaan setiap minggunya, kios tersebut hanya mampu menjual 2.5 ton Urea. Artinya, telah terjadi
588
volume perdagangan pupuk yang jauh menurun dibandingkan sebelum (terjadinya kelangkaan), sementara DO dari petani tetap. Namun yang menarik dan masih perlu dipertanyakan yaitu walaupun terjadi kelebihan permintaan, pedagang ini tetap menjual pada tingkat HET. Padahal kalau diperhatikan lebih jauh, harga tebus (Rp 980) ditambah biaya angkut (sekitar Rp 70/kg) sudah lebih besar dari HET, sehingga mustahil kios ini mampu menjual harga pupuk sebesar HET. UD Bintang Tani mendistribusikan pupuk secara merata ke semua langganannya sesuai persediaan pupuk yang ada. Keragaan harga pupuk di UD Bintang Tani disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Harga pupuk bersubsidi di UD. Bintang Tani, Kabupaten Karo. Jenis Pupuk Urea ZA KCl SP - 36 Sumber : primer.
Harga Beli Rp/kg
Harga Jual Rp/kg
Pasokan Ton/minggu
980 850 1550 1310
1050 940 1620 1400
150 - 250 75 30 60
Hal yang sama juga dialami oleh UD. Rata Sinuhaji yang merupakan salah satu pengecer pupuk bersubsidi di Kabupaten Berastagi mengaku sangat sulit memperoleh pupuk. Pada saat normal, kios ini mampu menjual rata-rata 100 ton Urea bersubsidi setiap minggu dengan harga sesuai ketentuan sebesar Rp. 1050 per kilogram, tetapi pada saat kelangkaan menurun tajam. Lebih dari 95 persen pupuk dari kios ini disalurkan langsung ke pengecer lain di desa dan hanya sebagian kecil yang dijual langsung ke petani. Yang patut dicermati adalah pemilik kios mengaku telah melakukan stok Urea pada bulan April saat terjadi kelangkaan sebanyak 60-500 ton dan menjualnya dengan harga Rp. 80.000 per sak/50 kg yang berarti setiap kilogramnya mencapai harga Rp. 1600 (Tabel 9).
589
Tabel 9. Harga pupuk bersubsidi di UD. Rata Sinuhaji, Kabupaten Berastagi. Jenis Pupuk Urea ZA KCl SP - 36 Sumber : primer.
Harga Beli Rp/kg
Harga Jual Rp/kg
Pasokan Ton/minggu
980 1420 2100 1380
1600 1500 2200 1460
100 100 10 100
Keragaan harga pupuk di Kabupaten Deli Serdang diwakili UD. Dua Tujuh yang merupakan salah satu pengecer pupuk bersubsidi di kabupaten ini. Kabupaten Deli Serdang merupakan kabupaten yang pertaniannya dominan tanaman pangan. Pupuk di kios ini dipasok dari distributor PT. Pertani yang merupakan distributor resmi pupuk bersubsidi. Pada periode bulan Januari hingga April 2004 kelangkaan pupuk yang terjadi di Sumatera Utara juga dialami oleh UD. Dua Tujuh. Tetapi kelangkaan dapat diatasi dengan pengaturan jumlah distribusi pupuk ke kios lain dan penjualan langsung ke petani. Kios besar ini membatasi jumlah pupuk Urea yang dijual langsung ke petani dan mendistribusikan secara merata kedelapan kios kecil yang distribusinya menjadi tanggung jawab UD. Dua Tujuh. Dalam satu minggu pada keadaan normal UD. Dua Tujuh dapat menjual Urea sebanyak 45 ton, sedangkan saat terjadi kelangkaan hanya mampu menjual pupuk Urea bersubsidi sebanyak 15 ton per minggu. Untuk tetap memenuhi permintaan pasar, kios ini juga menjual Urea non bersubsidi yang didatangkan dari PT. Pusri sekitar 30 ton per minggu dan dijual dengan harga Rp 1540. Untuk penebusan pupuk dari Lini III Pusri di PT. Pertani, UD. Dua Tujuh mendapatkan harga Rp. 980 per kg dengan tambahan Rp. 70 per kg untuk ongkos angkut. Tetapi pada kenyataannya pemilik kios harus mengeluarkan lagi ongkos angkut sendiri untuk mengangkut pupuk dari gudang PT. Pertani sampai ke kios. Biaya tambahan juga harus dikeluarkan untuk membayar pungutan liar selama perjalanan, sehingga menurut pemilik kios untuk setiap kilogram Urea sebenarnya harus menebus paling tidak sebesar Rp. 1190-1200. Artinya, untuk mendapatkan keuntungan wajar, kios mau tidak mau harus menjual diatas HET. Sehingga tidak mengherankan harga pupuk yang terjadi di tingkat petani mencapai Rp 1300/kg. Dari ketiga kios pengecer (Lini IV) di atas, seluruhnya mengakui kesulitan untuk menjual Urea sesuai HET (Rp. 1050/kg). Penyebab utamanya karena untuk mengambil pupuk dari Lini III pengecer harus melakukan pengangkutan sendiri sampai ke kios
590
karena distributor kesulitan untuk mengantarkannya. Sedangkan harga yang diterima di gudang tetap sebesar Rp. 1025 per kg Urea. Sehingga dengan ongkos angkut yang harus dikeluarkan rata-rata Rp. 35-70 per kg maka untuk menutupi tambahan biaya angkut serta tetap dapat insentif berdagang kios harus menjual dengan harga di atas HET. Hal lain yang memberatkan kios untuk menjual Urea sesuai HET yang ditetapkan pemerintah adalah banyaknya pungutan liar yang dilakukan sepanjang jalan baik oleh aparat, ormas maupun pihak lain yang ingin mengambil keuntungan sepihak seperti preman. Biaya – biaya tambahan ini yang sangat memberatkan pengecer pupuk untuk menjual pupuk sesuai HET, sementara untuk menghindari kerugian yang dihadapi, pengecer lebih memilih untuk membebankan biaya tambahan ini kepada petani dengan cara menjual Urea di atas HET. Kios-kios juga menjual pupuk non bersubsidi. Untuk pupuk Urea non bersubsidi didominasi oleh Urea PIM dan Pusri. Pembelian Urea non bersubsidi ini banyak dilakukan oleh pemilik perkebunan swasta dan BUMN. Perkebunan mengajukan DO kepada distributor melalui mekanisme tender. Kemudian oleh distributor disampaikan ke PT. PIM atau PT. Pusri yang kemudian dilakukan pengiriman. Harga Urea non bersubsidi yang diterima perkebunan rata-rata sebesar Rp. 1430- 1570 per kg. Dari informasi yang diperoleh untuk wilayah Sumatera Utara pengadaan pupuk Urea non bersubsidi tidak mengalami kelangkaan. Tetapi dampak dari terjadinya kelangkaan pupuk di sektor pertanian menyebabkan naiknya harga Urea non bersubsidi di sektor perkebunan. Menurut
keterangan
pemilik
kios,
pupuk
Urea
non
bersubsidi
juga
diperjualbelikan kepada para petani pangan yang ingin dan fanatik terhadap merek pupuk tertentu atau petani perkebunan yang membeli Urea dengan jumlah yang tidak banyak. Harga jual Urea non bersubsidi adalah sebesar Rp. 1540 per kg. Alasan petani kenapa fanatik terhadap Urea Pusri, karena pupuk tersebut mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan Urea PIM, walaupun dari hasil pengujian laboratorium yang telah dilakukan oleh BPTP Johor tidak terdapat perbedaan kualitas. Dari informasi di atas terlihat bahwa kalau hanya berdasarkan pengakuan kios pengecer, menunjukkan bahwa pada beberapa kios seperti tidak terjadi lonjak harga walaupun semua kios mengalami pasokan pupuk yang relatif langka. Sehingga ada kesan beberapa kios pengecer masih menutup-nutupi harga jualnya sudah melebih HET, karena takut dapat teguran atau izin dagangnya dicabut oleh produsen pupuk.
591
Karena data dan informasi yang diperoleh di tingkat kios pengecer belum meyakinkan, maka Untuk mendapatkan informasi yang lebih representatif tentang kondisi aktual di lapangan, telah dilakukan wawancara dengan beberapa petani di 6 kabupaten yaitu: Madina, Kumbang, Tobasa, Serdang Bedagai, Langkat, dan Deli Serdang.
Keragaan harga pupuk Urea pada kondisi normal, saat langka, dan
bulan Juni 2004 pada masing-masing kabupaten disajikan pada Tabel 10. Terlihat bahwa semua petani contoh di enam kabupaten mengakui telah terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi selama bulan Januari hingga April 2004. Urea yang biasanya mudah diperoleh saat waktu pemupukan, ternyata pada kuartal I 2004 sangat sulit sekali diperoleh. Menurut petani, alasan utama kenapa terjadi kelangkaan pupuk karena tidak adanya pupuk terutama jenis Urea di kios pengecer, padahal di sisi lain jumlah permintaan pupuk tidak mengalami peningkatan atau sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun tersedia di kios, petani harus membayarnya jauh di atas HET atau kondisi normal. Jika dalam keadaan normal petani dapat membeli Urea seharga Rp. 1100 – Rp. 1160 per kg, maka pada saat kelangkaan harga Urea dapat mencapai Rp. 1300 – Rp. 2200 per kg atau meningkat 40.37 persen dari harga normal. Bahkan di Kabupaten Madina dan Kumbang, harga Urea bersubsidi mencapai Rp. 1300 – 1350 per kg. Harga ini naik sebesar 26.19 persen dari HET yang ditetapkan pemerintah (Tabel 6.). Tabel 10. Harga urea bersubsidi di tingkat petani di Sumatera Utara (Rp/kg). Kabupaten
Harga Urea Bersubsidi Normal
Kelangkaan
Juni 2004
HET
1. Madina
1350
2000
1500
1050
2. Kumbang
1300
1400
1500
1050
3. Tobasa
1100
2200
2460
1050
4. Serdang Bedagai
1160
1300
1180
1050
5. Langkat
1100
1500
1300
1050
6. Deli Serdang
1160
1600
1200
1050
Sumber : primer. Harga pupuk bersubsidi non Urea juga meningkat tajam selama periode Januari – April 2004. Di Kabupaten Deli Serdang, pupuk ZA yang pada saat normal dijual Rp. 60000 per sak, sedangkan pada saat langka mencapai Rp. 75000 per sak atau
592
mencapai Rp. 1500 per kg. Harga ini hampir dua kali lipat dari HET yang ditetapkan pemerintah (Rp. 850/kg). Pupuk SP-36 juga mengalami lonjak harga, sebagai contoh di Kabupaten Langkat pada bulan April mencapai Rp. 105000 per sak atau Rp. 2100 per kg, sementara HET yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 1800 per kg. Pupuk ZA bersubsidi juga mengalami kelangkaan. Alasan utama terjadinya kelangkaan jenis pupuk ini karena kandungan N dalam ZA ini dimanfaatkan oleh petani sebagai pengganti Urea sehingga petani banyak yang menggunakan ZA ketika Urea mengalami kelangkaan. Permintaan petani yang meningkat dibanding kondisi normal inilah yang menyebabkan menjadi langka. Jika dihubungkan dengan pengaruh perubahan pola tanam terhadap terjadinya kelangkaan Urea, ternyata pola tanam tidak menjadi penyebab terjadinya kelangkaan. Petani di enam kabupaten di Sumatera Utara hampir memiliki pola yang sama dan rutin dilakukan setiap tahunnya. Dalam satu tahun petani pangan melakukan penanaman sebanyak dua kali yaitu pada bulan April – Mei dan Agustus – September. Dari musim tanam ini sebenarnya kelangkaan pupuk terparah terjadi pada bulan April 2004 ketika tanaman memasuki waktu pemupukan pertama. Menurut data monitoring harga pupuk yang dilakukan Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara juga menunjukkan bahwa telah terjadi lonjak harga pupuk. Sejak tahun 2003 rata-rata harga Urea pada masing-masing bulan harga di atas Rp. 1250 per kg. Bahkan saat terjadi kelangkaan, harga Urea sempat mencapai di atas Rp. 1300 per kg. Demikian juga untuk jenis pupuk SP-36 mencapai harga Rp. 1600 – Rp. 1850 per kg, ZA mencapai Rp. 1180 – Rp. 1350 per kg dan NPK mencapai harga Rp. 1800 – Rp. 2100 per kg (Tabel 11). Realisasi Urea terhadap rencana di Sumatera Utara selama masa kelangkaan pupuk menunjukkan angka yang menurun tajam. Selama Januari hingga Maret 2004, rata-rata realisasi penyaluran Urea kurang dari 50 persen dari target yang ditetapkan. Baru memasuki April dan Mei 2004 angka realisasi mulai kembali normal seiring dengan berproduksinya kembali pabrik PT. PIM.
593
Tabel 11. Harga pupuk bersubsidi di tingkat pengecer dan realisasi Urea di Provinsi Sumatera Utara, 2003-2004. Harga (Rp/kg) Tahun
Bulan
2003
Rencana
Rencana
Urea
SP-36
ZA
NPK
Urea (Ton)
Urea (Ton)
%
Jan
1284
1739
1229
2045
25929
6961
26.85
Feb
1282
1795
1263
2053
20558
5815
28.29
Mar
1282
1813
1282
2013
18942
12136
64.07
Apr
1300
1818
1287
2058
21908
20070
91.61
Mei
1287
1839
1350
2047
10947
21361
195.13
Jun
1284
1832
1282
2034
10470
12410
118.53
Jul
1295
1837
1292
2008
11616
12341
106.24
Agt
1279
1834
1271
2016
11616
13416
115.50
Sep
1274
1845
1282
2032
12666
14539
114.79
Okt
1303
1868
1295
2032
43350
7844
18.09
Nov
1268
1834
1258
2034
50187
5821
11.60
Des
1263
1821
1224
2018
17347
12146
70.02
Jan
1303
1690
1193
1873
20394
6377
31.27
Feb
1295
1710
1190
1883
20394
11010
53.99
Mar
1308
1720
1198
1898
20394
7996
39.21
Apr
1265
1658
1180
1853
13596
11236
82.64
Mei
1249
1698
1155
1843
13596
12743
93.73
2003
1283
1823
1276
2033
21295
12072
80.06
Jan-Mei 2004 1284 1695 1183 1870 Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara, 2004.
17675
9872
60.17
2004
Rataan
Dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara diperoleh informasi yang berbeda tentang penentuan kriteria batasan luasan perkebunan rakyat untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Menurut aturan dari pemerintah pusat yang termasuk perkebunan rakyat adalah perkebunan dengan luasan areal kurang dari 25 hektar. Tetapi yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Sumatera Utara bahwa luasan areal perkebunan rakyat kurang dari 2 hektar. Perbedaan definisi ini mengindikasikan bahwa banyak perkebunan yang menggunakan pupuk bersubsidi tetapi seharusnya tidak termasuk penerima pupuk besubsidi. Dinas Perkebunan Sumatera Utara juga merasa kesulitan untuk melakukan pemantauan harga dan jumlah pupuk bersubsidi yang diperuntukan bagi perkebunan
594
rakyat, karena tidak ada pelaporan dari distributor PT. PIM dan PT. Pusri kepada Dinas Perkebunan. Demikian juga, perkebunan sendiri mengalami kesulitan untuk memantau langsung di lapangan, karena tidak ada label pada kemasan pupuk yang diperuntukan bagi perkebunan. Beberapa informasi yang diperoleh dari salah satu distributor PT. PIM dan PT. Pusri yaitu PT. Meroke Tetap Jaya (PT. MTJ): Pertama, untuk penyaluran pupuk bersubsidi PT. MTJ menjalankan sistem free area yang memungkinkan PT. MTJ dapat melakukan penjualan kepada kios di seluruh Propinsi Sumatera Utara. PT. MTJ menerima kios-kios yang berkeinginan menjadi penyalur pupuknya tanpa mendapat persyaratan khusus, hanya penjanjian untuk menyalurkan sesuai jumlah pupuk yang dipasok. Tidak ada perjanjian khusus dengan distributor lain mengenai pembagian wilayah distribusi di Sumatera Utara. Kedua, pada saat kelangkaan PT. MTJ juga kesulitan mendapatkan pupuk karena tidak beroperasinya PT. PIM hampir selama 5 bulan (23 Desember 2003 - Mei 2004). Di sisi lain, jumlah Urea yang diperoleh dari PT. Pusri juga terbatas dan tidak dapat mencukupi target seperti yang sudah direncanakan. Ketiga, pada periode kelangkaan PT. MTJ tidak melakukan pola distribusi khusus terhadap kios-kios pengecernya, baik itu berupa pembatasan jumlah penyaluran maupun pergiliran jatah penyaluran pupuk. Keempat, PT. MTJ selain menjual pupuk bersubsidi juga melakukan penjualan berbagai macam pupuk alternatif yang sebagian besar merupakan impor. Kelima, PT MTJ hanya mempunyai gudang di lini II (pelabuhan Belawan) saja dan tidak mempunyai gudang di lini III.
PT MTJ langsung
mendisribusikan pupuknya ke gudang kios pengecer. Tabel 12. Realisasi penyaluran pupuk Urea bersubsidi distributor PT. Meroke Tetap Jaya Januari – Juni 2004. Bulan
Jumlah Penyaluran Urea
Januari
t.a.d.
Februari
867
Rata-Rata Permintaan
Maret
631
Berdasarkan DO setiap
April
397
bulannya mencapai 1900
Mei
1305
ton.
Juni
1859
Sumber : PT. Meroke Tetap Jaya, 2004.
595
Permintaan
Menurut PT. MTJ ada tiga penyebab utama terjadinya kelangkaan pupuk yaitu: (1) adanya disparistas harga pupuk antara sektor pangan dengan sektor non pangan, akan merangsang terjadinya perembesasn pupuk bersubsidi ke pasar yang harganya lebih menarik, (2) dalam pemenuhan kebutuhan pupuk data yang digunakan adalah data tingkat pusat dan bukan berdasarkan data di tingkat provinsi atau kabupaten, sehingga kuota sesuai SK Mentan pada umumnya sekitar 60 persen dari sebenarnya, (3) pembayaran subsidi untuk PIM dan produsen pupuk lainnya sering terlambat.
6.2. Jawa Barat Sebelum adanya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 356 (SK 356), pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di Kabupaten Cirebon, sebagai kabupaten contoh di Provinsi Jawa Barat, merupakan tanggungjawab PT. Pupuk Kujang dan juga merupakan wilayah kerja sama operasional (KSO) PT. Pupuk Sriwijaya (PT. Pusri). Tetapi setelah dikeluarkannya SK 356 maka wilayah Kabupaten Cirebon sepenuhnya menjadi tanggungjawab PT. Pusri. Kebutuhan pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Cirebon setiap bulannya ratarata mencapai 7000 – 8000 ton, sedangkan kapasitas gudang Pusri di Kabupaten Cirebon mencapai 10000 – 15000 ton. Distributor pupuk di Kabupaten Cirebon yang kini beroperasi ada 5, yaitu yang terbesar adalah CV. Juwita, CV Afiah, CV. Sumber Tani, CV Sumber Rejeki dan PT. PPI. Pada bulan April dan Mei 2004 di Kabupaten Cirebon terjadi kelangkaan pupuk terutama urea. Pengadaan urea dari mulai gudang di Pelabuhan Cirebon sampai ke petani mengalami kelangkaan. Hampir tidak ada stok pupuk di gudang Pusri dan distributor, sehingga petani sebagai konsumen akhir tidak memperoleh pupuk. Menurut informasi yang diperoleh di Kabupaten Cirebon ada beberapa penyebab terjadinya kelangkaan pupuk di wilayah tersebut. Pertama, adanya pihak distributor yang menjual pupuk yang merupakan jatah Kabupaten Cirebon ke luar wilayahnya seperti ke Kabupaten Indramayu dan Brebes Jawa Tengah, karena ada margin yang cukup menarik untuk melakukan perdagangan ke kabupaten tersebut. Sehingga ada muncul istilah “pupuk pariwisata”. Kedua, adanya distributor atau pengecer yang melakukan penimbunan pupuk digudangnya masing-masing, dan menjualnya ke pasar ketika harga tinggi. Ketiga, di Propinsi Jawa Barat, ada dua pelabuhan yang digunakan sebagai tempat gudang Lini II dan pengarungan pupuk yaitu di Pelabuhan Cirebon dan Cilacap. Tetapi Kabupaten Cirebon merupakan wilayah terjadinya kelangkaan dan lonjakan
596
harga pupuk bersubsidi yang tertinggi. Hal ini mengindikasikan terjadinya ekspor ilegal. Keempat, fanatisme terhadap merk pupuk tertentu sehingga ketika di Kabupaten Cirebon tidak terdapat merk pupuk tertentu maka akan dipenuhi kebutuhannya dari wilayah lain seperti Kabupaten Indramayu misalnya. Sehingga distribusi yang tidak sesuai ini akan menyebabkan terjadinya perubahan stok dan harga. Kelima, permodalan petani yang sangat terbatas menyebabkan petani kesulitan membeli pupuk secara tunai sementara fasilitas kredit juga sangat terbatas. Akibatnya ketika saat pemupukan tiba semua petani membeli pupuk pada saat yang bersamaan. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan pasokan yang akhirnya menyebabkan terjadinya kelangkaan. Keenam, keterlambatan pengadaan pupuk oleh pihak produsen yang dalam hal ini adalah PT. Pusri. Ketujuh, pemilikan lahan yang relatif sempit (< 0,3 ha) menyebabkan kalau dikonversi ke dalam satu ha, dosis pemupukannya menjadi sangat tinggi, sementara di sisi lain kuota pupuk bersubsidi menurut Mentan berdasarkan dosis pemupukan berimbang (anjuran). Kedelapan, selain hal-hal tersebut di atas, penyebab terjadinya kelangkaan pupuk di Kabupaten Cirebon yang merupakan wilayah KSO PT. Pusri adalah akibat adanya tindakan manipulatif di tingkat pabrikan pupuk. Sebagai contoh, menurut informasi ada salah satu distributor yang sudah mendatangi kontrak DO sebanyak 3.000 ton, tapi dalam kenyataannya yang dikirim ke distributor tersebut hanya 38 ton, dan sisanya sebanyak 2.962 ton tidak diketahui pendistribusiannya kemana. Sehingga dapat
diduga kuat bahwa kelebihan tersebut diekspor secara ilegal oleh
pabrikan pupuk. Dampak dari adanya langka pasok pupuk urea menyebabkan terjadinya lonjak harga. Harga pupuk urea bersubsidi yang seharusnya mencapai Rp. 1050,- per kg ditingkat pengecer pada saat kelangkaan Bulan Mei 2004 mencapai harga Rp. 1400 – 1450,- per kg. Lonjak harga ini selain akibat pasokan pupuk menurun, juga akibat harga tebus dan setelah ditambah biaya transportasi dan biaya pungutan liar lebih tinggi dari HET yang ditetapkan pemerintah. Wilayah Kabupaten Cirebon sendiri memiliki pola dan waktu tanam serentak, sama halnya dengan Kabupaten Indramayu. Sehingga hal ini menyebabkan permintaan pupuk mengalami lonjakkan yang tinggi pada bulan-bulan tanam . Sementara dari sisi pasokan pupuk dari Pusri masih sangat terbatas, mengingat PT. Pusri tidak mempunyai gudang dengan jumlah kapasitas simpan yang memadai. Kebutuhan pupuk urea bersubsidi di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2004 mencapai 591 ribu ton, dimana jumlah ini dialokasikan untuk 16 kabupaten sesuai
597
dengan kebutuhan masing-masing. Sedangkan selama periode Januari sampai dengan Mei 2004 saja, kebutuhan urea di provinsi ini sudah mencapai 284 ribu ton atau mencapai 48.06 persen dari total kebutuhan urea tahun 2004 (Tabel 13). Tabel 13. Kebutuhan pupuk Urea bersubsidi di Provinsi Jawa Barat, Januari – Mei 2004 (ton) Kabupaten
Kebutuhan Pupuk 2004
B u l a n
- Bekasi
31,859
4,372
2,632
3,028
3,468
1,923
1,923
Total Jan - Mei 15,423
- Karawang
41,392
5,632
3,442
3,940
4,452
2,507
2,507
19,973
- Purwakarta
25,170
3,425
2,093
2,396
2,708
1,524
1,524
12,146
- Subang
38,659
5,273
3,208
3,678
4,173
2,339
2,339
18,671
- Bogor
34,219
4,647
2,849
3,258
3,670
2,074
2,074
16,499
- Sukabumi
44,770
5,945
3,791
4,281
4,649
2,736
2,736
21,402
- Cianjur
43,231
5,693
3,683
4,140
4,435
2,650
2,650
20,601
- Bandung
46,611
6,121
3,979
4,467
4,762
2,860
2,860
22,188
- Sumedang
33,934
4,562
2,847
3,238
3,587
2,064
2,064
16,298
- Garut
39,411
5,214
3,346
3,771
4,071
2,412
2,412
18,814
- Tasikmalaya
42,813
5,727
3,606
4,089
4,493
2,609
2,609
20,524
- Ciamis
37,269
4,957
3,152
3,563
3,879
2,276
2,276
17,827
- Cirebon
31,092
4,265
2,569
2,955
3,383
1,877
1,877
15,050
- Kuningan
30,088
4,071
2,512
2,867
3,210
1,826
1,826
14,487
- Majalengka
33,741
4,599
2,802
3,211
3,638
2,042
2,042
16,292
- Indramayu
37,001
5,080
3,055
3,516
4,031
2,233
2,233
17,916
35,951 35,951
284,111
Jan
Pebr
Mar
Apr
Mei
Jun
Total 591,262 79,584 49,568 56,398 62,608 Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, diolah, 2004.
Pengadaan dan distribusi pupuk urea bersubsidi di enam belas kabupaten di Jawa Barat untuk tahun 2004 diserahkan kepada PT. Pupuk Kujang Cikampek (PT. PKC) dan PT. Pupuk Sriwijaya Palembang (PT. Pusri). PT. PKC bertanggungjawab terhadap pengadaan dan distribusi urea di sembilan kabupaten yaitu Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung dan Indramayu. Sementara PT. Pusri bertanggung jawab atas wilayah di tujuh kabupaten lainnya yaitu Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan dan Majalengka. Realisasi penyaluran urea di sembilan kabupaten yang merupakan tanggung jawab PT. PKC selama periode Januari – Mei 2004 yakni terdapat tiga kabupaten yang penyaluran ureanya tidak mencapai target kebutuhan masing-masing kabupaten. Ketiga kabupaten tersebut adalah Bekasi, Purwakarta dan Bogor, yang masing-masing hanya
598
mencapai 73.84, 42.26 persen dan 93.44 persen dari traget kebutuhan. Sementara di kabupaten lainnya realisasi penyaluran melebihi kebutuhan yang telah direncanakan. Bahkan di Kabupaten Indramayu, Karawang dan Subang realisasi penyaluran mencapai 131.33 persen, 72.48 persen, dan 77.61 persen diatas rencana kebutuhan (Tabel 14 dan 15). Tabel 14. Realisasi penyaluran pupuk Urea bersubsidi di Provinsi Jawa Barat Januari – Mei 2004 (ton). Kebutuhan Jan - Mei 15,423
Jan 2,660
Pebr 2,850
Realisasi Urea Mar Apr 1,680 1,660
Mei Jan - Mei 1,860 10,710
- Karawang
19,973
7,675
5,520
5,760
6,725
6,730
32,410
Kujang
- Purwakarta
12,146
1,100
1,600
250
900
900
4,750
Kujang
- Subang
18,671
7,898
4,627
7,637
6,665
5,302
32,129
Kujang
- Bogor
16,499
3,525
3,615
2,810
2,250
2,425
14,625
Kujang
- Sukabumi
21,402
5,794
6,102
4,959
4,927
3,807
25,589
Kujang
- Cianjur
20,601
5,515
4,380
3,945
4,056
3,775
21,671
Kujang
- Bandung
22,188
5,355
4,775
4,405
5,445
4,816
24,796
Kujang
- Sumedang
16,298
1,004
1,336
1,210
530
1,160
5,240
Pusri
- Garut
18,814
959
4,427
2,172
835
2,635
11,028
Pusri
- Tasikmalaya
20,524
7,258
10,271
6,300
1,475
4,305
29,609
Pusri
- Ciamis
17,827
7,330
3,440
5,140
1,155
4,000
21,065
Pusri
- Cirebon
15,050
4,338
6,926
3,441
2,190
3,620
20,515
Pusri
- Kuningan
14,487
946
545
865
660
1,740
4,756
Pusri
- Majalengka
16,292
1,215
2,702
1,200
400
3,410
8,927
Pusri
- Indramayu
17,916
10,877
6,229
7,373
6,980
7,946
39,405
Kujang
Kabupaten - Bekasi
Total 284,111 73,449 69,345 59,147 46,853 Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, diolah, 2004.
Penanggung jawab Kujang
58,431 307,225
Keadaan tidak meratanya penyaluran urea juga terjadi di tujuh kabupaten yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Pusri. Dalam periode yang sama, realisasi penyaluran urea di empat kabupaten berada jauh dibawah angka kebutuhan. Keempat kabupaten tersebut adalah Sumedang, Garut, Kuningan dan Majalengka yang masingmasing hanya mencapai 35.45 persen, 67.61 persen, 38.19 persen, dan 67.65 persen dari kebutuhan. Sementara di tiga kabupaten lainnya yaitu Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon realisasi pasokan pupuk jauh diatas kebutuhan. Kebutuhan urea yang tidak dapat dipenuhi di tujuh kabupaten di atas mengindikasikan telah terjadi kelangkaan pupuk. Berdasarkan jumlah realisasi
599
penyaluran, maka dapat dikatakan kelangkaan terparah terjadi di kabupaten Purwakarta, Sumedang dan Kuningan. Realisasinya pasokan pupuk di ketiga kabupaten ini hanya mencapai rata-rata 42.26 persen, 35.45 persen, dan 38.19 persen. Tabel 15. Persentase realisasi pupuk Urea bersubsidi di Provinsi Jawa Barat, Januari – Mei 2004 (ton) Kabupaten
Kebutuhan Jan - Mei
Persentase Jan
Pebr
Mar
Apr
108.29
55.49
47.86
- Bekasi
48.41
60.84
- Karawang
48.25
136.26
- Purwakarta
48.25
32.11
- Subang
48.30
149.77
- Bogor
48.22
- Sukabumi - Cianjur
160.39 146.19 151.05 76.46
10.43
96.72
Jan Mei 73.84
268.50 172.48
Kujang Kujang Kujang
144.22 207.63 159.73
226.70 177.61
Kujang
75.85
126.87
116.94
93.44
Kujang
47.80
97.46
160.95 115.83 105.99
139.15 123.88
Kujang
47.65
96.88
118.92
95.28
91.46
142.45 109.00
Kujang
- Bandung
47.60
87.49
120.00
98.62 114.35
168.38 117.77
Kujang
- Sumedang
48.03
22.01
46.92
37.37
14.78
56.19
35.45
Pusri
- Garut
47.74
18.39
132.29
57.59
20.51
109.26
67.61
Pusri
- Tasikmalaya
47.94
126.73
284.83 154.09
32.83
164.99 152.69
Pusri
- Ciamis
47.83
147.88
109.13 144.26
29.78
175.73 121.36
Pusri
- Cirebon
48.40
101.71
269.58 116.44
64.73
192.86 149.06
Pusri
61.30
59.05
Penanggung jawab
42.26
86.24
33.24
Mei
- Kuningan
48.15
23.23
21.69
30.17
20.56
95.30
38.19
Pusri
- Majalengka
48.28
26.42
96.44
37.37
10.99
167.00
67.65
Pusri
- Indramayu
48.42
214.11
203.87 209.69 173.15
355.85 231.33
Kujang
Total 48.08 88.57 136.30 100.17 70.77 Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, diolah, 2004.
158.44 110.85
Kabupaten Cirebon selama periode Januari – Mei 2004 merupakan kabupaten yang termasuk realisasi penyalurannya tinggi, rata-rata mencapai 149.06 persen dari kebutuhan. Hal ini sangat dimungkinkan karena gudang Lini II PT. Pusri memang terdapat di kabupaten tersebut. Disamping itu jarak penyaluran sampai ke konsumen merupakan yang terdekat dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Tetapi menurut informasi yang diperoleh bahwa di Kabupaten Cirebon pun juga terjadi kelangkaan. Hal ini mengindikasikan bahwa pupuk urea yang disalurkan selama ini tidak sampai ke petani. Ada beberapa penyebab yang bisa diduga kuat sebagai penyebab terjadinya kelangkaan pupuk di kabupaten ini yaitu (1) terjadinya ekspor secara ilegal dari pelabuhan Cirebon sehingga pupuk yang datang di pelabuhan tidak disalurkan ke Lini berikutnya, tetapi di salurkan ke wilayah lain atau di ekspor. Untuk kejadian ekspor ilegal
600
ini, pemicunya adalah meningkatnya harga pupuk di luar negeri, dan (2) perembesan pupuk ke kabupaten lain.
Tabel 16. Harga jual pupuk Urea bersubsidi di Lini III, IV dan konsumen, di tujuh Kabupaten Jawa Barat, 5 – 6 Mei 2004 (Rp/kg).
Kabupaten 1. Indramayu
Harga Jual Distributor Pengecer Terendah Tertinggi Terendah Tertinggi 1,010 1,020 1,150 1,450
Harga Beli di Petani Terendah 1,400
Tertinggi 1,450
2. Cirebon
1,030
1,050
1,100
1,200
1,200
1,300
3. Ciamis
1,030
1,050
1,100
1,250
1,250
1,350
4. Tasikmalaya
1,010
1,020
1,050
1,070
1,100
1,200
5. Cianjur
1,010
1,020
1,040
1,060
1,050
1,100
6. Bandung
1,010
1,030
1,080
1,150
1,300
1,500
7. Sukabumi
1,010
1,020
1,070
1,120
1,200
1,400
Rataan 1,016 1,029 1,084 1,186 1,214 Sumber : Laporan Fact Finding Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2004.
1,324
Dari sisi harga terlihat bahwa harga jual pupuk urea bersubsidi di tujuh kabupaten yaitu Indramayu, Cirebon, Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur, Bandung dan Sukabumi, mulai dari tingkat distributor sampai dikonsumen relatif tinggi dan berada di atas HET. Pada tingkat distributor di Kabupaten Cirebon dan Ciamis saja harga jual Urea sudah melebihi HET (Rp 1050/kg). Di tingkat pengecer harga jual urea rata-rata mencapai Rp. 1186,- per kg. Bahkan di Kabupaten Cirebon dan Indramayu yang jaraknya relatif dekat dengan pelabuhan justru lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 1200 – 1450,- per kg (Tabel 16). Harga beli urea ditingkat petani sangat tinggi selama masa kelangkaan. Harga beli tertinggi dapat mencapai Rp. 1500,- per kg, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung. Rata-rata herga beli di tingkat petani mencapai Rp. 1324,- per kg.Tingginya harga jual pupuk di masing-masing lini penyaluran menyebabkab tingkat keuntungan bersih yang diperoleh juga meningkat tajam. Rata-rata distributor pupuk urea memperoleh marjin keuntungan bersih sebesar Rp. 15,- per kg. Sedangkan ditingkat pengecer marjin keuntungan yang diperoleh lebih besar lagi hingga mencapai rata-rata Rp. 114,- per kg urea. Jika dibandingkan dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 1050 per kg, maka tambahan biaya yang harus dikeluarkan petani untuk membeli 1 kg urea rata-rata sebesar Rp. 279,- (Tabel 17).
601
Tabel 17. Marjin Keuntungan Penjualan Pupuk Urea Bersubsidi Di Lini III, IV Dan Tambahan Biaya Konsumen Dibandingkan HET, Di Tujuh Kabupaten Jawa Barat,L 5 – 6 Mei 2004 (Rp/Kg). Marjin Keuntungan Distributor Pengecer 5 345
Harga di Lini II
Ongkos Angkut
1. Indramayu
980
35
2. Cirebon
980
35
35
115
250
3. Ciamis
980
35
35
165
300
4. Tasikmalaya
980
35
5
15
150
Kabupaten
Tambahan Biaya Dari HET 400
5. Cianjur
980
35
5
5
50
6. Bandung
980
35
15
85
450
7. Sukabumi
980
35
5
65
350
Rataan 980 35 15 114 Sumber : Laporan Fact Finding Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, diolah, 2004.
279
VII. USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSI PUPUK DI INDONSEIA 7.1. Isu Kebijakan Pupuk mempunyai peranan penting dalam peningkatan produktivitas pertanian, termasuk di dalamnya komoditas padi. Penggunaan pupuk yang berimbang sesuai kebutuhan tanaman telah membuktikan mampu memberikan produktivitas dan pendapatan yang lebih baik bagi petani. Kondisi inilah yang menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang sangat strategis bagi petani. Untuk itu perlu adanya penyediaan pupuk yang memadai di tingkat petani, agar petani dapat menggunakan pupuk sesuai teknologi pemupukan yang dianjurkan di masing-masing wilayah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk berimbang, akibat di satu sisi harga jual produksi pertanian yang sangat fluktuatif yang cenderung merugikan petani dan di sisi lain semakin mahalnya biaya produksi. Kalau kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani Indonesia yang pada akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional. Untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi petani, pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian dengan tujuan untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhannya dengan harga yang lebih murah, sehingga produktivitas dan pendapatan
602
petani meningkat. Kebijakan tersebut masih berjalan pada tahun ini dan tetap akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya.
Upaya
pemerintah
selama
ini
untuk
melindungi petani melalui kebijakan subsidi pupuk tampaknya belum bisa berjalan seperti yang diharapkan, terbukti masih seringnya terjadi fenomena lonjak harga dan langka pasok di tingkat petani. Pertanyaannya adalah apakah pola pendistribusian yang ditempuh pemerintah selama ini kurang efektif, serta HET yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistik lagi dikaitkan dengan perkembangan tingkat harga di pasar dunia dan biaya transportasi yang dikeluarkan selama pendistribusian pupuk.
Untuk
mendapat jawaban tersebut, maka pada bagian bab ini mencoba memberikan usulan pola operasional pendistribusian pupuk yang efeisien dan besarnya HET yang realistik saat ini. 7.2. Prinsip Dasar Pemberian Subsidi Pupuk Dalam kebijakan pemberian subsidi pupuk, prinsip dasar yang harus diperhatikan baik oleh para pengambil kebijakan maupun para pelaku pendistribusian pupuk sampai di tingkat pengecer (lini iv) adalah terpenuhinya azas 6 (enam) tepat yaitu tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu, dan harga yang layak sehingga petani diharapkan dapat menggunakan pupuk sesuai teknologi pemupukan yang dianjurkan di masing-masing wilayah. Prinsip lain yang harus mendapat perhatian serius dalam kebijakan subsidi pemberian pupuk adalah subsidi tersebut harus dan sepatutnya sebesar-besarnya dinikmati oleh petani. Sangat menyedihkan jika petani harus membayar pupuk bersubsidi lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Artinya subsidi yang diberikan pemerintah tidak dinikmati oleh petani yang berhak, melainkan oleh oknum yang tidak berhak. Upaya menerapkan kebijakan pemberian subsidi juga memegang prinsip tidak merugikan pabrikan pupuk.
Oleh karena itu, pemerintah harus menghitung secara
cermat dan hati-hati berapa HET dan tingkat subsidi yang harus ditetapkan, sehingga kebijakan tersebut tetap memberikan keuntungan yang wajar bagi pabrikan pupuk. Agar kebijakan pemberian subsidi pupuk yang ditetapkan pemerintah tersebut aman di tingkat pengecer atau petani, maka harus didukung adanya sistem pendistribusian pupuk yang efisien mulai dari tingkat pabrikan pupuk sampai di tingkat petani. Sistem pendistribusian ini bisa berjalan efisien jika setiap pelaku mempunyai
603
komitmen yang tinggi dan bias kepada kepentingan petani serta didukung oleh instrumen penerapan sangsi atau hukum pidana secara tegas. 7.3. Usulan Rancangan Kebijakan Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah kurang efektif. Artinya harga yang terjadi di kios pengecer pada umumnya lebih tinggi dari HET yang ditetapkan. Hasil pengamatan di lapangan (kasus Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Barat) menunjukkan harga pupuk yang harus dibayar di tingkat kios oleh petani di atas HET bukan semata-mata karena faktor pasokan pupuk berkurang, juga dipicu karena pada tingkat keuntungan yang wajar pengecer harus menjual di atas HET. Pertanyaannya adalah apakah HET yang ditetapkan pemerintah saat ini masih realistik kalau dikaitkan dengan harga pupuk di pasar dunia, perkembangan nilai rupiah terhadap dollar, serta biaya transportasi, dan di sisi lain tetap memperhatikan petani (dalam hal ini petani padi) sebagai pengguna pupuk dapat berproduksi pada tingkat keuntungan yang menarik ? Implikasi dari kondisi di atas, maka pemerintah harus segera melihat kembali HET pupuk Urea yang telah ditetapkan sebesar Rp 1050/kg. Untuk menentukan berapa tingkat HET yang realistik, dapat didekati dengan menggunakan Rumus Tani, karena pada rumus tersebut terdapat komponen harga pupuk Urea. Harga pupuk Urea dalam rumus tani tersebut dapat dianggap sebagai HET yang relevan. Rumus tani pada umumnya digunakan untuk menentukan berapa besarnya harga dasar gabah (HD) yang harus ditetapkan pemerintah agar petani tertarik untuk berproduksi. Untuk pertama kalinya pada tahun 1969-1970 HD ditetapkan dengan Rumus Tani, dengan ketentuan dimana 1 kg padi = 1 kg pupuk Urea. Dalam kenyataannya, Rumus Tani ini belum mampu sepenuhnya menjawab permasalahan adanya perbedaan tajam harga pupuk di berbagai provinsi. Untuk itu pendekatan dengan Rumus Tani disempurnakan sebagai berikut: P
=
(1 ½ ab)/2
dimana : P = harga padi (Rp/kg) a = harga pupuk dunia (US $/kg) b = nilai konversi Rp terhadap dollar (Rp/US$) ½ = margin/ongkos distribusi pupuk sampai ditingkat kios peengecer Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa Rumus Tani di atas kurang realistik, karena hanya memperhitungkan biaya pupuk saja, sebaliknya belum memperhitungkan
604
biaya selain pupuk.
Pada tahun 1972-1973 penerapan HD diubah dengan IBCR
(Incremental Benefit Ratio), dan tahun 1976-1977 disempurnakan lagi dengan rumus Net IBCR.
Rumus ini selain memasukan biaya pupuk, juga
sekaligus sudah
memasukan biaya input lainnya. Masalahnya adalah berapa angka ideal Net IBCR tersebut agar memberikan insentif bagi petani untuk berproduksi. Dari berbagai kajian diputuskan bahwa angka idealnya adalah 2,2. Dengan demikian pendekatan HD yang terakhir yang dianggap paling realistik adalah dengan rumus sebagai berikut: P
= (2,2 ab)/2
Pada makalah ini penetapan HET diusulkan mengacu pada rumus tani terakhir, dimana nilai ideal Net IBCR adalah 2,2.
Sehingga HET yang realistik dapat dihitung
dengan formula sebagai berikut: HET (ab) = (2 P)/2,2 Dengan menggunakan data tahun 2003 sampai Mei 2004, maka diusulkan besarnya HET yang semestinya ditetapkan pemerintah adalah Rp 1130/kg. Pada waktu yang sama rata-rata harga pupuk dunia sekitar U$ 0.152/kg atau setara Rp 1381/kg. Sehingga dapat ditentukan besarnya subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah dalam menerapkan kebijakan HET tersebut, yaitu harga dunia dikurangi HET. Besarnya subsidi pupuk yang harus ditanggung pemerintah adalah Rp 251/kg. Perhitungan HET dan besarnya subsidi secara lengkap disajikan pada Tabel 18. 7.4. Manajemen Operasional Untuk menjamin HET yang ditetapkan oleh pemerintah aman sampai di tingkat kios pengecer, dengan kata lain tingkat subsidi pupuk yang diberikan pemerintah betulbetul dinikmati oleh yang berhak, maka harus didukung oleh adanya manajemen operasional yang efektif dan efisien. Berikut adalah usulan manajemen operasional yang diperkirakan mampu mengamankan HET dan kebijakan subsidi pupuk sampai di petani. Pemerintah sebaiknya memberikan subsidi pupuk
untuk semua pasar domestik,
sehingga kebijakan ini akan menghilangkan adanya dualistik pasar dalam negeri. Sehingga tidak ada lagi perbedaan harga antara sub sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Kedua sub sektor ini mendapat harga pupuk bersubsidi. Kebijakan ini memungkinkan untuk diterapkan, mengingat jumlah kebutuhan pupuk di pasar non bersubsidi relatif sedikit, rata-rata sekitar 7,17 persen dari total kebutuhan domestik, sehingga tidak terlalu memberatkan anggaran negara. Dampak kebijakan ini akan dapat
605
menghilangkan terjadinya
perembesan pupuk yang selama ini terjadi dari pasar
bersubsidi (pertanian skala kecil) ke pasar non subsidi domestik (perkebunan besar). Artinya pada tingkat produksi pabrikan pupuk secara normal jika terjadi kelangkaan pupuk di tingkat petani, maka sudah secara cepat dan pasti dapat diketahui satusatunya yang menyebabkan adalah karena adanya ekspor pupuk secara besar-besaran.
Tabel 18. Perhitungan HET dan besarnya subsidi pupuk Urea (Rp/kg) Tahun 2003
2004
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Rataan 2003 Jan Feb Mar Apr Mei Rataan 2003-2004
Harga GKP (Rp/kg) 1278.10 1296.28 1257.92 1195.41 1243.89 1217.66 1174.21 1268.28 1272.32 1272.86 1253.47 1261.60 1249.33 1313.88 1228.20 1138.52 1188.68 1260.99 1242.49
Kurs (Rp/US$) 9396.86 9395.05 9430.25 9310.60 8918.90 8729.05 8835.78 9003.10 8962.33 8940.61 8995.53 8987.90 9075.50 8894.95 8925.17 9068.82 9108.25 9184.50 9063.98
0.125
1129.53
0.028
251.10
Harga Fob Rp/kg US$/kg 1174.61 0.125 1324.70 0.141 1433.40 0.152 1266.24 0.136 1212.97 0.136 1178.42 0.135 1281.19 0.145 1350.47 0.150 1380.20 0.154 1448.38 0.162 1520.24 0.169 1545.92 0.172 1343.06 0.148 1485.46 0.167 1472.65 0.165 1469.15 0.162 1466.43 0.161 1460.34 0.159 1380.63 0.152
Harga Pupuk HET Rataan 2003-2004
Subsidi Rataan 2003-2004
Untuk menentukan berapa jumlah pupuk dari masing-masing produsen pupuk untuk memenuhi kebutuhan domestik maka diusulkan berdasarkan pendekatan proporsional, yaitu rasio antara total kebutuhan domestik dibagi total produksi domestik dikalikan produksi dari masing-masing produsen pupuk. Dengan pola pendekatan ini sudah mengakomodir prinsip mengedepankan azas pemerataan, karena setiap pabrikan pupuk mempunyai kewajiban yang sama untuk berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan domestik, dan sama-sama juga mempunyai peluang eskpor pada tingkat
606
produksi masing-masing. Rata-rata produksi dan kebutuhan, serta kewajiban untuk memenuhi pasar domestik dan peluang ekspor dari masing-masing produsen pupuk selama tahun 2000-2003 berturut-turut disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20.
Tabel 19. Rata-rata kebutuhan pupuk Urea menurut pulau di Indonesia, tahun 2000-2003 (ton) Pupuk 1. Subsidi
Sumatera
Jawa
1,335,957 2,371,807
Sulawesi Bali Nusa Maluku Irian Jaya
255,660
388,502
239,281
2,943
30,691
76,770
12,271
168
84
1,568,566 2,402,498
332,430
400,773
239,449
3,027
2. Non Bersubsidi Total
Kalimantan
232,610
Indonesia
9,792 4,603,941 2,869
355,462
12,661 4,959,403
Tabel 20. Produksi, kewajiban untuk memenuhi pasar domestik, dan peluang ekspor pupuk Urea menurut produsen pupuk selama tahun 2000-2004 Uraian
Pusri
Petro
Kujang
Kaltim
PIM
Total
Produksi
2,113,259
288,549
623,663
2,240,449
514,457
5,780,376
Pemenuhan Domestik
1,813,117
247,567
535,085
1,922,243
441,390
4,959,403
(85,80)
(85,80)
(85,80)
(85,80)
(85,80)
(85,80)
300,141
40,982
88,577
318,206
73,067
820,973
( % thp Produksi) Peluang Ekspor
Sistem rayonisasi dan pola KSO yang diterapkan selama ini perlu dikoreksi, karena terbukti tidak mampu berjalan secara efektif, sebaliknya justru sebagai salah satu pemicu terjadinya kelangkaan pupuk. Penunjukkan produsen pupuk yang akan menjadi penanggungjawab tersediaanya pasokan pupuk secara memadai sebaiknya ditentukan berdasarkan georgrafis (pulau) bukan berdasarkan administratif (provinsi, kabupaten, dll), sehingga lebih memudahkan dalam pengawasan. Sumber pasokan dalam pemenuhan kebutuhan pupuk pada masing-masing pulau sebaiknya mempertimbangkan efisiensi dari biaya transportasi.
Jika suatu
pabrikan efisien dari biaya transportasi dalam memasok suatu pulau, namun produsen tersebut tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan pulau tersebut, maka kekurangannya harus dipasok oleh produsen pupuk lainnya. Dalam menentukan siapa yang akan bertanggung jawab sebagai
holding company dalam pengaturan
pendistribusian pupuk di pulau tersebut, akan ditentukan oleh pangsa pasokan yang lebih besar. Produsen dengan pasokan lebih sedikit berkewajiban untuk menyerahkan produksi pupuknya dengan jumlah yang telah disepakati kepada
607
produsen dengan
pangsa
pasokan
tertinggi,
jawab.Penanggung jawab
yang
selanjutnya
ditunjuk
sebagai
penanggung
mempunyai hak penuh untuk mengatur pendistribusian
pupuk di pulau yang menjadi tanggung jawabnya.
Artinya,
jika terjadi kelangkaan
pupuk di pulau tersebut pemerintah cukup menegur dan memberikan sangsi kepada penanggung jawab saja.
Sebagai ilustrasi, mengingat dari produksi PT. PIM yang
diperuntukan untuk pasar domestik tidak mampu memenuhi permintaan Pulau Sumatera, maka harus bekerjasama dengan PT. PUSRI. Karena pangsa pasokan PT. PUSRI
lebih besar dari PT. PIM, maka pendistribusian pupuk di Pulau Sumatera
sepenuhnya diatur oleh PT. PUSRI. Usulan produsen pemasok pupuk dan produsen penanggung jawab pendistribusian pupuk pada masing-masing pulau di Indonesia disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Usulan pemasok dan penanggung jawab distribusi pupuk Urea menurut pulau di Indonesia (ton) Pulau 1. Sumatera 2. Jawa
Produsen Pupuk Pusri
Petro
Kujang
Kaltim
1,127,176
Total
PIM 441,390
1,568,566
933,904
2,402,498
3. Kalimantan
332,430
332,430
4. Sulawesi
400,773
400,773
5. Bali Nustra
239,449
239,449
3,027
3,027
12,661
12,661
685,941
247,567
535,085
6. Maluku 7. Irian Jaya
Indonesia 1,813,117 247,567 535,085 1,922,243 441,390 Keterangan : Angka cetak tebal menunjukkan produsen penanggung jawab wilayah distribusi
4,959,403
Setiap pupuk yang diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebaiknya dilengkapi dengan label bersubsidi
dan juga disertai dengan nama produsennya.
Pendekatan ini akan dapat mempermudah pengawasan pupuk yang diekspor secara ilegal dan perembesan pupuk antara pulau berdasarkan penunjukkan produsen pupuk secara resmi. Dalam manajemen operasional pendistribusian pupuk, maka sebaiknya para penanggungjawab bekerjasama dengan para pemasok lainnya untuk mendirikan Stasiun Pengadaan Pupuk (SPP) pada masing-masing kecamatan.
Jumlah dan
sebaran lokasi SPP di masing-masing kecamatan harus mempertimbangkan efisiensi
608
jarak dan jumlah permintaan. SPP bisa memanfaatkan kios-kios pengecer yang sudah ada. Namun mekanisme pendistribusiannya yang harus dirombak total. pupuk
Produsen
seperti halnya PT. Pertamina setiap saat berkewajiban memantau dan
mendistribusikan pupuk dengan membawa sendiri ke masing-masing SPP, sehingga HET yang ditetapkan pemerintah aman sampai di SPP.
Demikian pula HET pada
masing-masing SPP harus sama sebesar yang telah ditetapkan. Dengan demikian, petani manapun akan dapat membeli pupuk dengan HET yang sama pada semua SPP.
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Hasil kajian di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa telah terjadi langka pasok dan lonjak harga terutama untuk jenis pupuk Urea selama Januari-Mei 2004. Hal ini terlihat dari harga pupuk Urea di tingkat petani mencapai Rp 1200-1600/kg. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut yaitu: (a) tidak beroperasinya PT. PIM secara total selama 5 bulan (23 Desember 2003-Mei 2004), (2) Pasokan pupuk PT. Pusri yang ditunjuk untuk memenuhi pasar Sumatera Utara dalam bentuk kerja sama operasi (KSO) selama PT. PIM tidak beroperasi juga belum memadai, (3) banyak terjadi perembesan pupuk dari pasar bersubsidi (tanaman pangan) ke pasar non subsidi (perkebunan) terutama pada kabupaten-kabupaten yang perkebunannya luas, (4) terjadinya ekspor ilegal yang diperkirakan akan tetap sulit untuk dicegah, karena banyak oknum yang terlibat didalamnya, termasuk oknum polisi, (5) data yang dipakai oleh Mentan sebagai patokan untuk kuota pupuk bersubsidi pada masing-masing provinsi masih lemah, karena dalam kenyataanya kuota itu baru sekitar 60 persen dari kebutuhan sebenarnya, (6) beberapa kios ketika ada isu kelangkaan melakukan penyimpanan pupuk untuk mendapatkan harga yang semakin menarik, dan (7) harga tebus setelah ditambah biaya transportasi dan biaya pungutan liar jauh di atas HET. Hasil kajian di Provinsi Jawa Barat juga menunjukkan telah terjadi langka pasok dan lonjak harga pupuk sekitar bulan Januari – Mei 2004. Pada saat terjadi langka pasok, harga Urea di tingkat petani mencapai Rp 1100 – 1450/kg. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk di Provinsi Jawa Barat yaitu: (1) pola kerja sama operasional (KSO) tidak bisa berjalan efektif, dimana PT. Pusri yang diberi tugas untuk memenuhi wilayah KSO tidak bisa memenuhi target dan pendistribusiannyapun terkesan lambat, (2) terjadinya perembesan pupuk antar
609
wilayah pada pasar bersubsidi, sehingga muncul istilah “pupuk pariwisata”, sementara perembesan pupuk ke pasar non bersubsidi relatif tidak ada, (3) adanya ekspor secara ilegal oleh pabrikan pupuk melalui manipulatif antara realisasi pengiriman dengan kontrak di DO, dimana jumlah yang dikirim pabrikan pupuk jauh dibawah DO; ekspor ilegal juga dilakukan oleh oknum-oknum lainnya melalui pelabuhan Cirebon (4) adanya penyimpanan pupuk oleh distributor ataupun pengecer di gudang masing-masing, (5) dosis pemupukan yang sangat tinggi dibanding dosis anjuran, serta adanya pola tanam serentak pada semua kabupaten, dan di sisi lain terbatasnya kapasitas gudang penyimpanan PT. Pusri, dan (6) harga tebus setelah ditambah biaya transportasi dan biaya pungutan liar jauh di atas HET. Dari fenomena di atas terlihat bahwa secara umum terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk di Indonesia terutama akibat: (1) HET (Rp 1050/kg) di tingkat kios pengecer yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistik lagi, (2) pola pendistribusian pupuk selama ini kurang efisien, dan (3) tidak adanya pengawasan dan penerapan sangsi secara memadai. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan Rumus Tani, harga eceran tertinggi (HET) yang realistik untuk pupuk Urea yang diusulkan adalah sebesar Rp 1130/kg, sehingga subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah untuk melakukan kebijakan tersebut sebesar Rp 251/kg. Kebijakan HET dan subsidi pupuk ini sebaiknya diterapkan untuk semua pasar domestik, mengingat kebutuhan pupuk untuk pasar non subsidi (perkebunan besar) hanya sebesar 7,17 persen dari kebutuhan total., sehingga diperkirakan tidak berpengaruh banyak terhadap anggaran negara. Pendekatan pola ini dapat memudahakan mencari penyebab kenapa terjadi lonjak harga dan langka pasok pupuk di tingkat petani. Agar kebijakan ini dapat berjalan optimal, maka perlu adanya komitmen para pelaku pendistribusian pupuk di Indonesia dan adanya keberanian dari pemerintah Indonesia sendiri untuk menerapkan sangsi dan hukum pidana secara tegas Operasional pendistribusi pupuk sebaiknya mengacu pada batas geografis (pulau), dan penunjukkan produsen sebagai penanggung jawab pendistribusiannya sebaiknya berdasarkan pangsa pasokan terbesar. Sehingga diusulkan untuk Pulau Sumatera pemasoknya adalah PT. PIM dan PUSRI, dengan PT. PUSRI sebagai penanggung jawab. Untuk Pulau Jawa pasokan pupuk berasal dari empat produsen pupuk yaitu: PT. PUSRI, PT. Petro Kimia Gresik, PT. Pupuk Kujang, dan PT. Kaltim dengan penanggung jawab adalah PT. Pupuk Kaltim. Sementara untuk pulau-pulau
610
lainnya sebagai pamasok tunggal dan sekaligus penanggung jawab adalah PT. Pupuk Kaltim. Untuk menjamin tersedianya pupuk secara memadai dengan HET yang sama pada setiap lokasi, maka sebaiknya penanggung jawa pendistribusian pupuk berkerjasama dengan pemasok lainnya untuk mendirikan Stasiun Pengadaan Pupuk (SPP) pada masing-masing kecamatan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah permintaan dan luas wilayah kecamatan, seperti yang telah terjadi pada pola pendistribusian BBM oleh PT. Pertamina ke unit-unit SPBU.
611