Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air
6
Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I.
Pendahuluan
Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi pangan, melalui peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas hasil pertanian yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berbagai upaya yang telah ditempuh Pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan tersebut antara lain dengan menetapkan kebijakan dasar yaitu dengan penyediaan subsidi benih, penyediaan subsidi pupuk, penyediaan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), penetapan harga gabah pembelian Pemerintah dan peningkatan tarif bea masuk untuk impor beras. Dengan kebijakan dasar tersebut diharapkan selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksi pertahun untuk tanaman pangan diproyeksikan dapat meningkat berkisar 0,35–6,50%, tanaman hortikultura meningkat 2,94–8,41%, tanaman perkebunan meningkat 0,79–7,09% dan peternakan meningkat 0,08– 10,25%. Untuk mencapai sasaran pertumbuhan produksi pangan tersebut, diperlukan dukungan sarana dan prasarana pertanian, mulai dari hulu sampai hilir. Salah satu faktor penting dalam peningkatan produksi komoditas pertanian adalah pupuk, seiring dengan dikembangkannya varietas unggul yang cenderung responsif terhadap penggunaan pupuk anorganik. Agar penggunaan pupuk efektif, maka penggunaan pupuk diarahkan pada penerapan pemupukan berimbang sesuai rekomendasi spesifik lokasi, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam, fungsi lingkungan dan penghematan sumberdaya energi. Untuk itu perlu dukungan kebijakan pemerintah agar pupuk mudah diperoleh petani dengan harga yang layak. II.
Kebijakan di Bidang Perpupukan
2.1. Penggunaan Pupuk Yang Berwawasan Lingkungan Penggunaan pupuk anorganik, yang merupakan hasil produksi pabrik kimia, mulai berkembang pesat sejak dicanangkannya revolusi hijau melalui program BIMAS/INMAS oleh Pemerintah Indonesia. Pada saat itu, telah diperkenalkan berbagai varietas unggul baru seperti IR-5 dan IR-8 yang sangat responsif terhadap pemupukan anorganik, agar dapat meningkatkan produksi pangan. Penggunaan pupuk anorganik tersebut semakin meningkat pada tanaman pangan, khususnya untuk tanaman padi, seiring dengan pelaksanaan program Pemerintah untuk ber-swasembada pangan, yang kemudian tercapai pada tahun 1984. Pada saat ini petani memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap penggunaan pupuk kimia dan bahkan banyak petani yang melakukan pemupukan secara inefisien (over dosis) akibat degradasi mutu lahan yang mempengaruhi responsitas tanaman terhadap serapan unsur hara. Perilaku pemupukan demikian secara finansial sangat merugikan petani. Alternatif untuk mengatasi masalah diatas dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (anorganik), dan mendorong penggunaan pupuk organik, sebagai substitusinya yang dapat diproduksi oleh pabrikan atau oleh petani/kelompok tani melalui pemanfaatan limbah hasil pertanian di wilayahnya. Dalam konsep pemupukan berimbang yang diperluas, melalui aplikasi penggunaan pupuk organik dan anorganik yang dilakukan secara bersamaan, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik sekaligus melestarikan lingkungan. Untuk kasus khusus pengembangan pertanian organik murni, dapat dikembangkan sesuai kebutuhan pasar. Akan tetapi secara nasional, untuk menjamin ketahanan pangan maka penggunaan pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan organik merupakan konsep pengembangan pertanian kedepan.
Analisis Kebijakan
7
2.2. Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi Menyikapi penggunaan pupuk anorganik ditingkat petani yang cenderung tidak efisien dan efektif, telah diterbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/SR.130/1/2006 tentang Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K pada padi sawah yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi, yang berbasis kecamatan di 21 propinsi. Disamping itu, melalui kerjasama Badan Litbang Pertanian, Lembaga Pupuk Indonesia, Produsen Pupuk dan Internasional Rice Research Rice Institute (IRRI) telah dikembangkan beberapa metode dan alat bantu peningkatan effisiensi pemupukan N, P dan K untuk tanaman padi sawah. Metode dan alat bantu tersebut yaitu : Bagan Warna Daun (BWD), Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan Metode Petak Omisi. Dengan menggunakan alat bantu dan metode tersebut dapat ditentukan dosis pemupukan secara lebih spesifik lagi pada hamparan sawah yang lebih sempit. Konsep rekomendasi pemupukan spesifik lokasi didasarkan pada prinsip Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL), dimana pupuk diberikan untuk mencapai tingkat ketersediaan hara esensial yang seimbang dan optimum guna : (a) meningkatkan produktivitas dan mutu hasil tanaman (b) meningkatkan efisiensi pemupukan (c) meningkatkan kesuburan tanah (d) menghindari pencemaran lingkungan. III.
Perkembangan Pelaksanaan Kebijakan Subsidi Pupuk
3.1. Perkembangan Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Subsidi pupuk telah diberikan sejak tahun 1979 sampai dengan tahun 1998, tetapi kemudian dihapus sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2001–2002, pemerintah memberikan insentif gas domestik (IGD) untuk produsen pupuk agar harga pupuk Urea sebesar Rp.1.150/Kg, sedangkan pupuk Non Urea masih mengikuti mekanisme pasar. Pada tahun 2003 sampai dengan saat ini, pemerintah bersama DPR-RI memberlakukan kembali subsidi pupuk untuk sektor pertanian dengan tujuan untuk membantu petani dalam penyediaan dan penggunaan pupuk sesuai azas 6 tepat, agar dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian serta pendapatan usahataninya. Pola subsidi pupuk serta Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi pada periode tahun 2003-2005 tidak mengalami perubahan, Subsidi pupuk Urea menggunakan pola subsidi harga gas, dimana besarnya subsidi adalah sebesar selisih antara harga gas terkontrak dengan harga gas ditetapkan pemerintah (USD 1,0/MMBTU). Sedangkan pemberian subsidi pupuk Non Urea dilakukan melalui subsidi harga jual pupuk, Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi masing-masing : Rp 1.050/Kg Urea; Rp 1.400/Kg SP-36; Rp 950/Kg ZA; dan Rp 1.600/Kg NPK. Mencermati kondisi pentingnya peranan pupuk di dalam peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani serta masih lemahnya daya beli petani maka untuk tahun 2006 pola subsidi pupuk serta HET pupuk tersebut diatas tetap dipertahankan, walaupun harga gas yang menjadi beban produsen pupuk naik menjadi USD 1,3/MMBTU. Sedangkan untuk subsidi pupuk Non Urea tetap diberikan melalui subsidi harga. Adapun perkembangan alokasi anggaran subsidi pupuk pada tahun 2003– 2006, secara rinci dapat disimak pada Tabel 1. Tabel 1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun 2003–2006 TAHUN
Subsidi (Rp Milyar)
2003
900
2004
1.592
2005
2.593
Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air
8
2006 3.2
3.004
Pelaksanaan Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2006 (a).
Dasar Hukum
1. Undang-Undang No.13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun 2006. 2. Perpres No. 77 Tahun 2005 tentang pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan. 3. Permentan Nomor. 505/Kpts/SR.130/12/2005 juncto Nomor 04/Permentan/ SR.130/2/2006 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi tahun 2006. 4. Permentan Nomor 17/Kpts/SR.130/5/2006 tentang Perubahan Permentan No.505/Kpts/SR.130/12/2005 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi tahun 2006 terakhir telah diubah dengan Permentan No.04/Permentan/SR.130/2/2006. 5. Permendag No.03/M-DAG/Per/2/2006 tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. (b). Pagu Anggaran dan Asumsi-asumsi Pagu anggaran subsidi pupuk sebesar Rp 3,004 Triliun, dengan asumsi-asumsi: (1) kurs 1 US$ = Rp 9.900,-; (2) HET; (3) subsidi gas untuk pupuk Urea; (4) subsidi harga untuk pupuk non Urea. (c). Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk sektor pertanian Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 505/SR.130/Kpts/12/2005, ditetapkan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian sebanyak 6.000.000 juta ton, yang terdiri dari: 4.300.000 Ton Urea, 600.000 Ton ZA; 700.000 Ton SP-36, dan 400.000 Ton NPK. Tabel 2. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk untuk Sektor Pertanian Tahun 2006 No. A. 1 2 3 4
JENIS PUPUK/ PRODUSEN UREA PT. Pusri PT.Pupuk Kalimantan Timur PT. Pupuk Kujang PT. Petrokimia Gresik Jumlah
No. B.
JENIS PUPUK/ PRODUSEN
VOLUME (TON) 1.584.000 1.681.326 690.000 344.674 4.300.000 VOLUME (TON)
HET (Rp/Kg) 1.155 1.155 1.155 1.155 HET (Rp/Kg)
Subsidi Pupuk (xRp JUTA) 453.198 1.012.024 307.648 81.076 1.853.945 Subsidi Pupuk (xRp JUTA)
NON UREA ZA
600.000
1.045
296.175
SP-36 NPK
700.000 400.000
1.540 1.760
362.738 371.519 1.030.431
C.
TRANSPORTASI
100.000
D.
PENGAWASAN
20.000 TOTAL
3.004.376
Analisis Kebijakan
9
Tabel 3. Rencana Kebutuhan Pupuk untuk Sektor Pertanian Tahun 2006. Kebutuhan Pupuk (Ton)
Sub Sektor
UREA
Tanaman Pangan dan Hortikultura Perkebunan Kecil Peternakan Jumlah
SP-36
ZA
NPK
3.444.708
463.068
347.955
321.559
843.241
234.374
250.000
78.441
12.051
2.558
2.045
-
4.300.000
700.000
600.000
400.000
(d). Harga Eceran Tertinggi (HET) Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 505/SR.130/Kpts/12/2005, ditetapkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi tahun 2006 adalah: Urea = Rp 1.050/Kg; SP-36 = Rp 1.400/Kg; ZA = Rp 950/Kg; dan NPK = Rp 1.600/Kg. HET berlaku di tingkat pengecer resmi (Lini-IV), dengan pembelian 1 (satu) Zak pupuk Urea, ZA dan Sp-36 (berat 50 Kg), dan NPK (berat 25 Kg). (e). Perubahan HET Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 17/SR.130/Permentan/5/2006, ditetapkan perubahan HET pupuk bersubsidi, yang berlaku mulai tanggal 17 Mei 2006, sebagai berikut Urea = Rp 1.200/Kg; SP-36 = Rp 1.550/Kg; ZA = Rp 1.050/Kg; dan NPK = Rp 1.750/Kg. Kenaikan HET dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kinerja distributor dan pengecer agar penyaluran pupuk bersubsidi sesuai azas 6 tepat, yaitu: tepat jenis, jumlah, tempat, waktu, mutu dan harga. Dengan kenaikan HET pupuk bersubsidi tersebut diusulkan adanya penyesuaian terhadap fee distributor dan pengecer serta biaya transportasi pupuk sebagai berikut: Tabel 4. Perhitungan kenaikan HET, fee distributor dan pengecer, ongkos angkut dan harga jual pupuk bersubsidi.
Jenis Pupuk
HET
Fee Pengecer (5%)
Harga Jual kepada Pengecer
Ongkos Angkut
Fee Distributor (3%)
Urea 1.200 60 1.140 80 40 SP-36 1.550 78 1.473 80 49 ZA 1.050 53 998 80 33 NPK 1.750 88 1.663 80 55 Catatan: - Fee pengecer termasuk ongkos bongkar pupuk di gudang pengecer - Besaran ongkos angkut adalah rata-rata tertimbang
Harga Jual kepada Distributor 1.020 1.344 885 1.528
Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air
10
(f). Usulan Tambahan Anggaran melalui APBN-P Tahun 2006 Apabila pola subsidi pupuk urea tetap melalui subsidi gas, maka dengan mempertimbangkan kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan penyesuaian fee distributor dan pengecer serta ongkos angkut, maka diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp. 257,765 Milyar (Tabel 5). Tabel 5. Perhitungan Usulan Tambahan Subsidi Pupuk melalui APBN-P Tahun 2006 melalui subsidi gas.
PRODUSEN PUSRI PKT PKC PKG JUMLAH NON UREA SUBSIDI TRANSPORT PENGAWASAN TOTAL SUBSIDI
JAN – APR (SUBS GAS) (Rp. Juta)
MEI – DES (SUBS GAS) (Rp. Juta)
153.162 295.635 74.917 24.014 547.727
272.570 655.054 214.086 52.148 1.193.858
367.719
1.010.458
425.732 950.689 289.002 76.162 1.741.585 1.378.177
PAGU APBN 2006 (Rp. Juta) 425.732 950.689 289.002 76.162 1.741.585 1.120.412
USULAN APBNP 2006 (Rp. Juta) 0 0 0 0 0 257.765
100.000 20.000 3.239.762
100.000 20.000 2.981.997
0 0 257.765
JAN – DES (Rp. Juta)
Apabila usulan tambahan alokasi pupuk Urea sebesar 778.514 ton dapat dipenuhi, maka diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp. 348,085 Milyar, sehingga total usulan subsidi pupuk melalui APBN-P Tahun 2006 sebesar Rp 605,850 Milyar. IV.
Permasalahan
Dalam pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi terdapat beberapa permasalahan, yaitu: kekurangan pasokan pupuk dan harga pupuk bersubsidi diatas HET. [a]
Kekurangan pasokan pupuk disebabkan antara lain: 1. Produksi pupuk berkurang akibat kurangnya pasokan gas sebagai bahan baku utama; 2. Rusaknya pabrik pupuk akibat sebagian pabrik sudah tua; 3. Adanya rembesan pupuk ke luar peruntukannya; 4. Munculnya pedagang musiman/spekulan, terutama pada saat musim tanam; 5. Permintaan pupuk meningkat karena penggunaan pupuk berlebihan (tidak sesuai rekomendasi) dan terjadinya anomali iklim.
[b]
Kenaikkan harga pupuk bersubsidi (diatas HET) disebabkan antara lain: 1. Meningkatnya biaya angkut dan bongkar-muat pupuk karena naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan penyesuaian upah minimum regional (UMR); 2. Petani membeli pupuk bersubsidi dengan kondisi, seperti: bayar setelah panen (”yarnen”), diantar ke tempat/rumah dan secara eceran kecil/kiloan.
Analisis Kebijakan
V.
11
Upaya Tindak Lanjut Berdasarkan permasalahan diatas, upaya tindak lanjut yang dilakukan antara lain adalah : 1. Telah diusulkan melalui Pokja Pupuk adanya dukungan jaminan pasokan gas untuk industri pupuk. 2. Diupayakan penyempurnaan sistem distribusi pupuk bersubsidi melalui pola tertutup sehingga subsidi subsidi pupuk dapat sampai ke petani. 3. Peningkatan pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi secara terpadu yang diimplementasikan melalui MoU Kesepahaman antara Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian, Kementerian Negara BUMN dengan Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung RI. 4. Diusulkan agar kebutuhan pupuk di dalam negeri untuk seluruh sektor dapat dipenuhi pemerintah, terutama sektor pertanian. 5. Diusulkan harga jual pupuk tidak dibedakan antar sektor, dengan konsekuensi kebutuhan anggaran untuk pelaksanaan subsidi pupuk seluruhnya ditanggung pemerintah.