II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pupuk Bersubsidi 2.1.1 Pupuk Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha tani, terutama dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui adanya korelasi yang nyata antara tingkat pemakaian pupuk dengan tingkat produksi padi. Pupuk sendiri dapat diartikan sebagai bahan yang diberikan ke dalam tanah sebagai penyedia unsur yang diperlukan oleh tanah agar produktivitas tanah meningkat (Pertiwi 2005). Sedangkan menurut Puspita (2002) pupuk adalah bahan yang diberikan kepada tanaman baik langsung maupun tidak langsung guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produktivitas atau memperbaiki kualitasnya sebagai akibat perbaikan nutrisi tanaman. Pupuk merupakan senyawa yang mengandung unsur hara yang diberikan pada tanaman. Pupuk sendiri dapat dikelompokan menjadi pupuk organik dan anorganik. Pupuk UREA, KCL, TSP merupakan contoh pupuk anorganik. Sedangkan kompos, pupuk kandang dan pupuk hijau merupakan contoh pupuk organik. Berdasarkan hasil penelitian Deptan (1995) ada lima aspek yang dipertimbangkan petani dalam mengkonsumsi pupuk, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Aspek teknis (jenis tanaman, pola tanam, keadaan lahan) Aspek ekonomis (harga pupuk, harga output, luas lahan, produksi dan modal) Aspek sosial (pengalaman dan pengetahuan usaha tani, saran sesama kelompok tani, dan saran PPL) Aspek kelembagaan (kebijakan penyaluran pupuk, penyaluran kredit usaha tani, efisiensi pemupukan, ketepatan waktu penyaluran pupuk) Aspek ekologis (iklim/cuaca, ketersediaan irigasi)
Di Indonesia telah banyak diperdagangkan berbagai macam jenis pupuk. Sebagian besar jenis pupuk yang diproduksi di Indonesia merupakan hasil produksi 5 perusahaan pupuk BUMN Indonesia. Perusahaan tersebut antara lain PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, dan Pupuk Kalimantan Timur. Dari kelima perusahaan pupuk BUMN itulah di produksi pupuk bersubdi. Adapun jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah adalah Urea, SP-36, ZA, NPK dan Pupuk Organik.
2.1.2 Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Subsidi adalah bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen. Subsidi pada dasarnya adalah penambahan pendapatan bagi produsen, oleh karena itu disebut pajak tak langsung negatif (BPS 2000). Subsidi juga dapat berarti sebuah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengkompensasi produsen agar harga barang atas jasa yang diproduksinya berada di bawah harga pasar (Horner dan Liebster 1980 dalam Ardi 2005). Sebuah industri dapat menerima subsidi disebabkan industri tersebut mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian suatu negara. Bagaimanapun juga seperti pajak, subsidi dapat menimbulkan efek yang kurang menguntungkan. Subsidi dapat membuat sebuah perusahaan menjadi
4
terlalu bergantung kepada pemerintah, sehingga menghabiskan sumberdaya yang seharusnya dapat lebih berguna di tempat lain (Chishelm dan Marilu 1978 dalam Ardi 2005). Distribusi adalah proses penyaluran suatu barang dari produsen kepada konsumen dengan tahapan tertentu. Sedangkan menurut SK Menperindag No. 70/2003 distribusi pupuk atau penyaluran pupuk adalah proses penyampaian pupuk dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen. Distribusi sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan penyaluran suatu barang dari produsen ke konsumen. Kebijakan pemerintah tentang distribusi pupuk bersubsidi dilakukan dengan pola tertutup. Pelaksanaan pola tertutup yang mulai dilaksanakan pada Januari 2009 ditujukan menghindari terjadinya kelangkaan pupuk dan penyimpangan pendistribusian pupuk ke sektor lain selain pertanian. Secara umum, teknis distribusi pupuk bersubsidi dengan pola tertutup sesuai Permendag dan Permentan itu cukup tegas mengatur tanggung jawab produsen (Lini I-II), distributor (Lini III), dan penyalur (Lini IV). Dalam hal ini, tanggung jawab produsen yakni menetapkan wilayah tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk ke masing-masing distributor yang dicantumkan dalam Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) atau kontrak. Produsen juga berkewajiban menjamin kelancaran arus barang melalui penyederhanaan prosedur penebusan pupuk, dan dalam penyaluran pupuk bersubsidi itu harus mempertimbangkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Sementara itu, distributor berkewajiban melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai ketentuan yang ditetapkan produsen berdasarkan prinsip enam tepat yakni tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak. Distributor juga wajib menyampaikan daftar pengecer di wilayah tanggung jawabnya kepada produsen yang ditembuskan kepada kepala dinas provinsi/kabupaten dan tim pengawas pupuk provinsi/kabupaten. Sedangkan tanggung jawab penyalur yakni dalam melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi harus sesuai ketentuan distributor berdasarkan prinsip enam tepat kepada petani atau kelompok tani. Penyalur wajib melakukan pencatatan dan penyusunan daftar seluruh petani yang akan dilayani di wilayah tanggung jawabnya yang disahkan oleh kepala desa atau Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Penyalur hanya dapat melakukan penebusan pupuk bersubsidi dari satu distributor yang ditunjuk, dan hubungan kerja antara distributor dan penyalur juga diatur dengan SPJB (Permendag Nomor 21/M-DAG/PER/6/2008).
2.1.3 Kriteria Pendistribusian Pupuk Agar pupuk selalu tersedia di tingkat petani, distributor maupun produsen mendapatkan margin sesuai jasa yang diberikan kepada pihak lain, diperlukan suatu sistem tataniaga pupuk yang berkeadilan (Darwis et al. 2004). Untuk bisa mencapai hal itu, Memperindag mengaturnya dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 yang mengatur kembali pola Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian dengan mekanisme sebagai berikut : 1. Rayonisasi Wilayah Pemasaran Rayonisasi wilayah pemasaran selain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi distribusi pupuk, juga untuk memberikan tanggung jawab pengamanan pengadaan pupuk kepada anggota holding agar tidak menjadi monopoli unit niaga tertentu. Penetapan rayonisasi pemasaran dilakukan dengan perimbangan kemampuan produksi masing-masing anggota holding company. Atas dasar ini, pembagian wilayah dan tanggung jawab adalah sebagai berikut : PT. Pupuk Iskandar Muda (Aceh, Sumatra Utara, dan Riau), PT. Pupuk Sriwijaya (Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat,
5
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya) , PT. Pupuk Kujang, (Jawa Barat), PT. Petrokimia Gresik (Jawa Timur), dan PT.Pupuk Kalimantan Timur (Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan). Sehingga untuk daerah Banyumas sendiri ketersediaan pupuk menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya karena Banyumas terletak di Propinsi Jawa Tengah.
Gambar 1. Rayonisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi (Pusri 2009) 2.
Penjualan Pupuk mulai di Lini III (kabupaten) Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari lini III (kabupaten), selain dimaksudkan untuk mendekatkan dengan konsumen juga untuk membatasi gerak distributor yang dulunya sangat leluasa. Dengan adanya pengaturan tersebut, baik unit niaga PT. Pusri maupun distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual pupuk Urea kepada pengecer atau konsumen resmi yang telah ditunjuk. 3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat Persyaratan distribusi yang dimaksud adalah pengaturan alokasi dan rayonisasi distribusi. Menurut pengaturan alokasi, produsen pupuk Urea berada di bawah koordinasi PT. Pusri yang berkewajiban mengalokasikan produksinya untuk kebutuhan sektor pertanian. Selanjutnya alokasi sektor pertanian ditentukan secara proposional sesuai rencana produksi masing-masing produsen (Darwis et al. 2004). Sehingga produsen pupuk benar-benar harus memproduksi sesuai kapasitas produksinya untuk pemenuhan kebutuhan daerah yang ditunjuk.
2.2 Manajemen Krisis dan Sistem Deteksi Dini Krisis merupakan suatu keadaan yang tidak stabil dimana perubahan mendasar bisa terjadi. Dalam penanganan krisis atau manajeman kontrol sangat dibutuhkan suatu alat (tools) untuk melakukan pendugaan keadaan lebih awal, yaitu deteksi dini (Fink 1986).
6
Fink (1986) menjelaskan bahwa berdasarkan anatominya terdapat empat tahap dari siklus krisis : (1) Tahap Krisis Prodomal; (2) Tahap Krisis Acute; (3) Tahap Krisis Chronic; (4) Tahap Krisis Resolution.
Prodomal
Acute
Krisis Resolution
Chronic
Gambar 2.Siklus Krisis (Fink 1986) Pada tahap prodomal telah terlihat adanya gejala yang mengarah pada keadaan krisis, namun masih sulit untuk diidentifikasi. Pengenalan kondisi krisis pada tahap ini sangat penting guna mencegah terjadinya krisis pada tahap awal dan membuat tindakan untuk menuju titik balik ke keadaan normal. Di tingkat perusahaan, tahap ini merupakan tahapan peringatan bagi manajemen untuk mengambil tindakan. Kondisi yang terjadi umumnya sangat dinamis sehingga bila pengenalan keadaan krisis ini tidak ditemukan pada tahapan ini maka kondisi akan terus berlanjut menuju ke tahapan acute. Pada tahap acute, fakta akan terjadinya suatu krisis sudah ditemukan, sehingga akan sangat sulit sekali untuk menemukan keadaan sebagai titik balik menjadi keadaan normal kembali, dan umumnya sudah cukup banyak kerugian atau permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perencanaan dalam penanganan tahap acute dan seluruh tindakan harus terkontrol dengan baik sehingga intensitas dan lamanya tahap ini dapat dikendalikan. Tahap selanjutnya adalah tahap chronic, disebut juga tahap penyembuhan atau pembersihan. Pada tahap ini para pembuat keputusan perlu menerapkan manajeman krisis dengan menganalisis kebenaran dan kesalahan dari langkah atau tindakan yang dijalankan sebelumnya untuk bahan evaluasi dalam mengambil keputusan terbaik selanjutnya. Tahap terakhir dari suatu siklus krisis adalah tahap resolution, yaitu tahap pemulihan. Penanganan yang dilakukan pada tahapan ini harus yang berhubungan dengan penangaan yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan pananganan tahap resolution ini, pertama mengidentifikasi tahap prodomal dan kedua mengontrol penanganan tahap selanjutnya. Mengingat bahwa tahapan-tahapan di atas merupakan suatu siklus krisis, maka akhir dari tahap resolution ini dianggap sebagai suatu tahap awal dari prodomal. Fink (1986) menyatakan sulit untuk menentukan kapan dimulai dan berakhirnya suatu krisis, mengingat krisis merupakan komplikasi efek reaksi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya. Deteksi dini merupakan kegiatan pendugaan untuk suatu keadaan di masa mendatang, dengan mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi sebelum suatu rencana yang lebih pasti dilakukan (Eriyatno 1989). Deteksi dini dapat dipisahkan dalam dua jangka waktu prakiraan, yaitu prakiraan jangka panjang dan prakiraan jangka pendek. Prakiraan jangka panjang kegunaannya lebih ditentukan pada penyusunan strategi, sedangkan untuk penanganan secara rinci didapatkan dari prakiraan jangka pendek yang umumnya digunakan sebagai pedoman bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan. Secara praktis, sistem deteksi dini sangat diperlukan dalam bidang penjadwalan
7
pemakaian atau pengadaan sumber daya yang dibutuhkan agar dapat dioperasikan se-efisien mungkin (Satria 1994). Dari segi proses, deteksi dini dilakukan atas dasar dua teknik utama, yaitu : (a) didasarkan atas catatan dengan waktu yang selanjutnya diekstrapolasiakan ke masa yang akan datang dengan menggunkan statistik atau model matematik; dan (b) berdasarkan analisa kuantitatif yang sangat tergantung pada keahlian, pengalaman dan kepandaian penilai. Metode deteksi dini secara kuantitatif dapat dibagi dalam dua metode, yaitu metode deret waktu (time series) dan metode sebab-akibat (causal). Metode ini dapat diaplikasikan bila memenuhi beberapa kondisi, seperti : (a) tersedianya informasi masa lalu (historical data); (b) informasi yang didapatkan bisa dikuantitatifkan; dan (c) asumsi kondisi masa lalu sama dengan kondisi masa mendatang. Menurut Eriyatno (1998), keberhasilan penerapan sistem deteksi pada organisasi tergantung dari dua hal penting yaitu kemampuan sintesis pengenalan keadaan dan integritas dari para analis yang mengelola unit deteksi dini.
2.3 Identifikasi Faktor Krisis Pada dasarnya krisis merupakan peubah tidak bebas (dependent variables) yang tergantung pada pertumbuhan parameter dari suatu gugus peubah atau faktor terutama yang bersifat bebas. Nilai dari kelompok peubah untuk kejadian krisis merupakan cerminan parameter lain yang tidak terukur secara langsung. Model pengambilan keputusan kriteria jamak dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor dominan/penting yang dapat memperkirakan kelangkaan atau kelancaran distribusi dan pasokan pupuk bersubsidi bagi petani padi. Model pengambilan yang dimaksud adalah model perbandingan eksponensial. Faktor-faktor penentu tersebut selanjutnya dapat dianalisis tingkat kritikalitas dan keterkaitannya dengan aspek lainnya dengan AHP (Marimin 2004).
2.3.1 Metode Perbandingan Eksponensial Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif keputusan majemuk. Metode ini dikembangkan dengan cara mengubah penilaian kulitatif yang berasal dari subjektifitas mengambil keputusan menjadi nilai kuantitatif (Manning 1984). Manning (1984) melanjutkan bahwa tahapan atau urutan dalam menggunakan Perbandingan Eksponensial adalah : 1. Menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih. 2. Menentukan kriteria atau pertimbangan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi. 3. Menentukan tinggkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria. 4. Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria. 5. Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif. 6. Menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total alternatif masing-masing. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut:
8
Nilai
K
1,2,3, … , 1,2,3, … , Penentuan urutan prioritas keputusan dilakukan dengan cara mengurutkan nilai skor dari alternatif yang terbesar sampai alternatif yang terkecil.
2.3.2 Metode Analytical Hierarchy Process Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy process – AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty 1980). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hierarki), yang dimulai dengan goal atau sasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria dan akhirnya alternatif (Gambar 3). Terdapat berbagai bentuk hierarki keputusan yang disesuaikan dengan subtansi dan persoalan yang akan diselesaikan dengan AHP. AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Saaty (1980) menentukan cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan (pairwise), menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif.
9
Fokus yang hendak dicapai
Fokus
Faktor
Faktor-1
Faktor -2
Faktor -m
Aktor-1
Aktor-2
Aktor-n
Altrnatif-1
Altrnatif-2
Altrnatif-o
Aktor
Alternatif
Gambar 3. Struktur Dasar Hirarki AHP (Saaty 1980)
2.4 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan adalah sistem proses informasi yang mempunyai beberapa persamaan karakteristik dengan jaringan syaraf biologis. Jaringan syaraf tiruan memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Pola hubungan antar neuron yang disebut arsitektur. 2. Metode penentuan bobot pada hubungan yang disebut pelatihan (training) atau pembelajaran (learning) atau algoritma. 3. Fungsi aktivasi yang dijalankan masing-masing neuron input pada masing-masing output. Informasi yang diberikan pada jaringan syaraf tiruan akan dirambatkan melalui layer neuron, dimulai dari layer input sampai ke layer output melalui lapisan lainnya. Lapisan ini sering dikenal dengan nama lapisan tersembunyi (hidden layer) (Fausett 1994). Definisi lain Jaringan syaraf tiruan adalah kerangka kerja fleksibel untuk pemodelan komputasi berbagai masalah nonlinier (Wong et al. 2000). Jaringan syaraf tiruan tersusun dari sejumlah besar elemen yang melakukan kegiatan yang analog dengan fungsi-fungsi biologis yang paling elementer. Elemen-elemen ini terorganisasi sebagaimana layaknya anatomi otak, walaupun tidak persis. Jaringan syaraf tiruan dapat belajar dari pengalaman, melakukan generalisasi atas contoh-contoh yang diperolehnya dan mengabstraksi karakteristik esensial input bahkan untuk data yang tidak relevan. Berbeda dengan metode lain, algoritma untuk jaringan syaraf tiruan beroperasi secara langsung dengan angka sehingga data yang tidak numerik harus diubah menjadi data yang numerik. Dibandingkan dengan cara perhitungan konvensional, jaringan syaraf tiruan tidak memerlukan atau menggunakan suatu model matematis atas permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu jaringan syaraf tiruan juga dikenal dengan sebutan free-estimator. Jaringan syaraf tiruan memiliki sejumlah besar kelebihan dibandingkan dengan metode perhitungan lain atau metode konvensional, yaitu :
10
1. Kemampuan mengakuisisi pengetahuan walaupun dalam kondisi ada gangguan dan ketidakpastian. Hal ini dapat disebabkan jaringan syaraf tiruan mampu melakukan generalisasi, abtraksi dan ekstraksi terhadap properti statistik dari data. 2. Kemampuan merepresentasikan pengetahuan secara fleksibel. Jaringan syaraf tiruan dapat menciptakan sendiri representasi melalui pengaturan diri sendiri atau kemampuan belajar (self organizing). 3. Kemampuan untuk memberikan toleransi atas suatu distorsi (error/fault), dimana gangguan kecil pada data dapat dianggap hanya sebagai noise (guncangan) belaka. 4. Kemampuan memproses pengetahuan secara efisien karena memakai sistem parallel, sehingga waktu yang diperlukan untuk mengoperasikannya menjadi lebih singkat. Dengan tingkat kemampuan yang sangat baik, beberapa aplikasi jaringan syaraf tiruan sangat cocok untuk diterapkan pada : 1. Klasifikasi, memilih suatu input data ke dalam suatu kategori tertentu yang diterapkan. 2. Asosiasi, menggambarkan suatu objek secara keseluruhan hanya dengan sebuah bagian dari objek lain. 3. Self Organizing, kemampuan untuk mengolah data-data input tanpa harus memiliki data sebagai target. 4. Optimasi, menemukan suatu jawaban atau solusi yang paling baik sehingga dengan meminimalkan suatu fungsi biaya (optimizer). Walaupun memiliki segudang kelebihan, jaringan syaraf tiruan juga mempunyai sejumlah keterbatasan, antara lain kekurangmampuannya dalam melakukan operasi-operasi numerik dengan presisi tinggi, operasi algoritma aritmatik, operasi logika dan operasi simbolis serta lamanya proses pelatihan yang terkadang membutuhkan waktu berhari-hari untuk jumlah data yang sangat besar (Hermawan 2006).
2.4.1 Perbandingan Antara Otak Manusia dan Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf manusia terdiri atas sel-sel yang disebut neuron. Ada tiga komponen utama neuron yang fungsinya dapat dianalogikan dengan yang terjadi pada Neural Network, yaitu dendrit, soma, dan akson. Dendrit akan menerima sinyal-sinyal dari neuron lain. Sinyal tersebut merupakan impuls listrik yang ditransmisikan melalui synaptic gap melalui proses kimia. Sedangkan soma atau badan sel akan menjumlahkan sinyal-sinyal input yang masuk. Jika ada input yang masuk, sel akan aktif dan mentransmisikan sinyal ke sel lain melalui akson dan synaptic gap. Ilustrasi jaringan syaraf manusia disajikan pada Gambar 4. .
Gambar 4. Arsitektur Syaraf Manusia (Hermawan 2006)
11
Pada jaringan syaraf tiruan, istilah neuron sering disebut dengan unit, sel, atau node. Setiap node terhubung dengan node-node lain melalui layer dengan bobot (weight) tertentu. Bobot disini melambangkan informasi yang digunakan oleh jaringan untuk menyelesaikan persoalan, dan dapat dianalogikan dengan aksi pada proses kimia yang terjadi pada synaptic gap. Layer adalah suatu tempat dimana node-node tersusun. Jika suatu node berada dalam layer yang sama dengan node lain, biasanya akan memiliki sifat yang sama. Setiap node memiliki internal state yang disebut aktivasi, yaitu fungsi dari input yang diterima. Secara visual gambaran Jaringan Syaraf Tiruan terdapat pada Gambar 5. Unit Masukan
X1 X2 X3
Unit Keluaran
W1 W2
Z1
Unit Pengolah
Y Z2
W3
Gambar 5. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan (Hermawan 2006) Perbedaan lain antara syaraf manusia dan syaraf tiruan adalah bahwa informasi pada syaraf manusia bisa lupa, sedangkan jaringan syaraf tiruan tidak mungkin lupa. Pada manusia data dan informasi disimpan dalam suatu unit sel yang terstruktur dalam otak. Sementara pada jaringan syaraf tiruan data dan informasi tersimpan dalam bobot-bobot dan bisa berbentuk file sehingga kerusakan dapat diantisipasi dengan mem-backup file tersebut. Selain perbedaan di atas, perbedaan lainnya yang penting dan merupakan salah satu keunggulan jaringan syaraf tiruan adalah kemampuan menyelesaikan masalah yang sama dengan hasil yang sama meskipun masalah tersebut diulang hingga puluhan juta kali. Tidak demikian pada otak manusia, syaraf manusia memiliki keterbatasan pada pekerjaan yang bersifat berulang. Untuk puluhan proses atau pekerjaan mungkin masih akurat, tetapi untuk ratusan atau bahkan ribuan syaraf manusia dapat mengalami keletihan sehingga hasilnya tidak akurat lagi. Perbandingan secara lengkap antara kemampuan yang dimiliki oleh otak manusia dan sebuah CPU konvensional disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Kemampuan antara Otak Manusia dengan CPU Parameter Elemen Pengolah Ukuran Elemen Energi yang Digunakan Kecepatan Pengolah Bentuk Komputasi Fault Tolerant Proses Belajar Kepandaian
Otak Manusia 1011 10-6m 30 W 100 Hz Pararel terdistribusi Ya Ya Selalu
CPU 10 transistor 10-6m 30 W (CPU) 109 Hz Serial terpusat Tidak Tidak Tidak (kadang-kadang) 8
Sumber : Hermawan (2006)
Perpaduan antara otak manusia dan CPU konvensional inilah yang mampu menciptakan jaringan syaraf tiruan sebagai alternatif baru untuk menyelesaikan masalah dengan meniru kerja otak manusia.
12
2.5 Komponen dan Arsitektur Jaringan Seperti halnya sebuah arsitektur bangunan, jaringan syaraf tiruan pun memiliki komponenkomponen yang bersusunan untuk menyusun jaringan tersebut. Jaringan syaraf tiruan terdiri dari beberapa neuron. Neuron tersebut akan berhubungan dengan yang lainnya. Neuron ini mengubah informasi yang diterima dan mengirimnya menuju neuron lain. Pada jaringan syaraf tiruan, hubungan ini disebut bobot. Input akan dikirim ke neuron dengan bobot kedatangan tertentu. Input diproses oleh suatu fungsi perambatan yang menjumlahkan nilai semua bobot. Hasil penjumlahan kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktifasi setiap neuron. Apabila neuron diaktifkan maka akan menghasilkan output ke semua neuron yang berhubungan. Jaringan syaraf tiruan terdiri atas beberapa elemen proses yang disebut neuron, units, cells atau nodes. Setiap neuron berhubungan dengan neuron lainnya dengan bobot yang telah ditentukan. Setiap neuron mempunyai fungsi aktifasi yang mengirimkan nilai aktifasi sebagai sinyal kepada beberapa neuron lainnya pada satu waktu.
X W1
X
W2
Y
W3
X
Gambar 6. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Bobot (Siang 2009) Contoh jaringan syaraf tiruan Pada Gambar 6, terdiri atas tiga neuron pada lapisan input dan satu neuron pada lapisan output. Neuron Y menerima input dari neuron X1, X2, dan X3. Sedangkan nilai W1, W2, dan W3 merupakan bobot masing-masing input. Untuk menghitung nilai output digunakan persamaan : _ Nilai aktivasi y dari neuron Y adalah suatu fungsi dari input jaringan, Y=f(Y_in). Fungsi f adalah fungsi linear atau fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks. Fungsi aktivasi pada jaringan propagasi balik terdapat tiga macam fungsi aktivasi, yaitu fungsi aktivasi sigmoid atau logistik, fungsi aktivasi tangen hiperbola, dan fungsi aktivasi linier. Fungsi tersebut adalah fungsi umum yang akan digunakan untuk membawa input menuju output yang diinginkan. Fungsi aktivasi inilah yang akan menentukan besarnya bobot. Penggunaan fungsi aktivasi tergantung pada kebutuhan dan desired output (Indrawanto 2008). Berikut adalah penjelasan terhadap masing-masing fungsi aktivasi ini.
13
1. Linear / Pureline Fungsi linier akan membawa input ke output yang sebanding. Fungsi ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 7. Fungsi aktivasi Linear (Mathworks Online 2010) algoritma dari fungsi ini adalah:
2. Tansig Tansig adalah fungsi sigmoid tangen yang digunakan sebagai fungsi aktivasi
Gambar 8. Fungsi aktivasi Tansig (Mathworks Online 2010) Fungsi ini akan membawa nilai input pada output dengan menggunakan rumus hyperbolic tangen sigmoid. Nilai maksimal output dari fungsi ini adalah 1 dan minimal -1. Algoritma dari fungsi ini adalah:
3. Logsig Logsig / Log Sigmoid adalah fungsi transfer yang membawa input ke output dengan penghitungan log sigmoid. Nilai outputnya antara 0 hingga 1.
14
Gambar 9. Fungsi aktivasi Logsig (Mathworks Online 2010) algoritma dari fungsi ini adalah:
Selain memiliki komponen khusus dan fungsi aktivasi, Jaringan Syaraf Tiruan juga tersusun dengan pola keterkaitan antar layer yang spesifik, keterkaitan ini disebut net architecture. Arsitektur jaringan syaraf tiruan diklasifikasikan sebagai single layer, multilayer dan competitive layer. Untuk menentukan banyak layer yang digunakan, input layer tidak diikutsertakan sebagai layer yang digunakan. Banyaknya layer yang disertakan dalam jaringan syaraf tiruan menunjukkan banyaknya nilai bobot yang berhubungan antar layer tersebut, karena itu nilai bobot merupakan hal yang penting dalam jaringan syaraf tiruan. Perbedaan antara single layer, multilayer dan competitive layer adalah sebagai berikut : 1.
Single layer net Single layer net mempunyai satu layer untuk menghubungkan nilai bobotnya. Neuron input langsung berhubungan dengan neuron output. Jaringan ini hanya menerima informasi dan langsung mengolahnya menjadi output tanpa melalui hidden layer. Ciri-ciri yang dimiliki single layer net ini hanya mempunyai satu layer input dan satu layer output.
2.
Multilayer net Multilayer net adalah jaringan yang mempunyai tambahan satu layer atau lebih (hidden neuron) diantara layer input dan output. Jaringan dengan banyak layer ini dapat menyelesaikan permasalahan yang lebih rumit dibandingkan jaringan dengan satu layer.
3.
Competitive layer net Competitive layer net terdiri dari dua atau lebih jaringan syaraf tiruan. Arsitektur jaringan ini bisa menghubungkan satu neuron dengan neuron lainnya (Pusparianti 2008).
2.6 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik Jaringan syaraf tiruan propagasi balik (Backropagation) pertama kali diperkenalkan oleh Rumelhart, Hinton dan William pada tahun 1986, kemudian Rumehart dan Mc Clelland mengembangkan pada tahun 1988. Jaringan syaraf tiruan ini tersusun atas sekumpulan elemen pemroses (neuron) atau simpul atau sel yang terinterkoneksi dan terorganisasi dalam lapisan-lapisan. Arsitektur JST propagasi balik merupakan jaringan perseptron lapis jamak (multiplayer). JST ini
15
tterdiri atas lappisan masukan n (input layer),, lapisan tersem mbunyi (hiddeen layer) dan lapisan keluarran ( (output layer) (Rich dan Kevvin 1991). Pada saat pembelajaaran dilakukann pada input yang y berbeda, maka nilai bo obot akan diubbah s secara dinamiss hingga menccapai suatu nillai yang cukup p seimbang. Apabila A nilai inni telah tercappai m mengindikasik kan bahwa tiapp-tiap input teelah berhubunngan dengan output o yang diharapkan. d Paada d dasarnya terdappat dua metodee pembelajarann yaitu : 1.
Superrvised learningg Supervised learning meruupakan suatu metode m penenttuan bobot yanng menggunakkan sepasaang kumpulann vektor, yaittu vektor pelaatihan dan veektor target. Penentuan P bobbot didasaarkan pada perrbandingan anntara vektor peelatihan dan tarrget sampai ouutput JST sesuuai dengaan targetnya. Disebut meetode pembelajjaran terawasi jika output yaang diharapkann telah diketahuui. Nilai bobot sudah disesuaikan d meenurut algoritm ma pembelajaraan yang ditentu ukan. Salah saatu contohh pembelajarann ini adalah klaasifikasi.
2.
Unsuppervised learniing Unsupervissed learning m merupakan self-organizing JST T, artinya menggunakan vekttor pelatihan tanpa vekktor target. JST T memodifikaasi bobot sehinngga vektor-veektor input yanng serupaa dikelompokkkan dan diklasiifikasikan ke daalam suatu uniit output yang sama. s Tujuan darri pembelajaraan ini adalah mengelompoka m an input yang serupa. Metoode pembeelajaran ini tid dak memerlukaan target outputt. Jaringan ini m mengubah nilaai bobot sehinggga nilai input i yang seruupa akan dikateegorikan sebag gai output yangg sama dan kon nsisten.
Jaringgan Syaraf Prropagasi balik merupakan salah s satu algoritma pembeelajaran terawaasi ((supervised lea arning) dalam m jaringan syarraf tiruan dan biasanya diguunakan oleh peercepton denggan b banyak lapisann untuk menguubah bobot-bobbot yang terhuubung dengan neuron-neuron n yang ada paada l lapisan tersemb bunyi. Multilayyer net (dengann satu atau lebih hidden layerr) dapat memppelajari pemetaaan y yang rumit dengan akurasi yang y cukup. Lebih L dari satuu hidden layer akan bergunaa untuk beberaapa a aplikasi, tetapii satu hidden layer sudah mencukupi m meetode pembelajjaran. Topologgi arsitektur daari j jaringan backppropagation deengan dua lapissan tersembunyyi disajikan padda Gambar 10.
Gambar 10. Topologi arsittektur backproppagation dengaan dua lapisan tersembunyi (F Fausset 1994).
16
Pada gambar tersebut, terdapat lapisan masukan (input layer) Xi, lapisan keluaran (output layer) Yk dan dua lapisan tersembunyi (hidden layer) Z dan ZZ. Bias untuk suatu unit Yk, diberikan oleh wok. Bias pada lapisan tersembunyi Zk dinyatakan dengan uok dan bias pada lapisan tersembunyi ZZj dinyatakan dengan voj. Bias ini bertindak seolah sebagai bobot pada koneksi yang berasal dari suatu unit atau neuron yang keluarannya selalu 1. Aliran sinyal pada gambar dinyatakan dengan arah panah. Sedangkan pada fase propagasi balik, sinyal dikirim pada arah berawanan. Algoritma Backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap forward propagation harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat forward propagation, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan. Algoritma dasar backpropagation memiliki tiga fase : 1. 2. 3.
Fase feedforward pola input pembelajaran atau pelatihan Fase kalkulasi dan backpropagation error yang didapat Fase penyesuaian bobot
Seperti halnya jaringan syaraf yang lain, pada jaringan feedforward pelatihan dilakukan dalam rangka melakukan pengaturan bobot, sehingga pada akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot yang baik. Selama proses pelatihan, bobot-bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan fungsi kinerja jaringan. Fungsi kinerja yang sering digunakan untuk backpropagation adalah Mean Square Error (MSE). Fungsi ini akan mengambil rata-rata kuadrat error yang terjadi antara output jaringan dan target.
2.7 Persiapan Data dalam Analisis Data Jaringan Syaraf Salah satu tahapan yang penting dilakukan sebelum merancang model jaringan syaraf adalah mempersiapkan data. Mempersiapkan data merupakan langkah penting dan kritis dalam melakukan analisis data jaringan syaraf tiruan dan memiliki dampak yang sangat besar terhadap analisis data yang kompleks (Hu 2003). Alasan utama perlu dilakukan persiapan data adalah bahwa kualitas data masukan ke dalam model jaringan syaraf sangat mempengaruhi hasil analisis data. Secara umum, data yang disiapkan mudah untuk penanganannya sehingga dapat memudahkan dalam melakukan analisis data menjadi sederhana. Kinerja jaringan syaraf tidak dapat bekerja secara signifikan jika terdapat data yang hilang dan bersifat stabil (tidak bergerak terhadap atribut data yang lain). Selain itu, persiapan data dapat mempengaruhi tingkat mutu data yang dimasukkan. Data dikatakan memiliki tingkat mutu data yang baik jika memenuhi lima aspek berikut, yaitu : 1. Up – to – date (terbaru) Data yang digunakan sebaiknya merupakan data dalam beberapa tahun terakhir. Terbaru di sini dapat didefinisikan juga sebagai data yang bersifat final dan tidak mengalami revisi di kemudian hari. 2. Relevan Data yang bersifat relevan dapat didefinisikan sebagai data yang ada hubungan langsung dengan persoalan yang sedang diteliti. 3. Akurasi Akurasi menyatakan seberapa dekat nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya (true value) atau nilai yang dianggap benar (accepted value). Jika tidak ada data bila sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.
17
4. Presisi Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi pengukuran tersebut. 5. Lengkap Data yang digunakan untuk keperluan analisis jaringan syaraf tiruan harus memiliki kelengkapan data yang diinginkan. Ketidaklengkapan data dapat mempengaruhi kinerja jaringan syaraf tiruan dalam melakukan peramalan.
Analisis Data Awal
Analisis Kebutuhan
Koleksi Data
Seleksi Data
Masalah Penting
Integrasi Data
Solusi
- Seleksi variabel data
- Analisis Korelasi
Proses Awal Data Pemeriksaan Data
Pengolahan Data
Masalah Penting -
Solusi
Data yang terlalu banyak Data yang terlalu sedikit Data yang hilang Data yang noise (outlier) Data dengan skala yang berbeda Data trend/musiman Data bukan stasioner
-
Sampling data Pengumpulan kembali data Perbaikan data Menghilangkan data noise Normalisasi data Menghilangkan trend Membedakan
Analisis Data Akhir Pembagian Data
Validasi Data
Masalah Penting -
Undefitting Overfitting
Penyesuaian Kembali Data
Solusi -
Meningkatkan kelompok data Menurunkan kelompok data
Gambar 11. Skema persiapan data untuk analisis data jaringan syaraf (Yu, Chen dan Wang 2009)
18
Selain membutuhkan data yang baik dalam mempersiapkan data masukan bagi jaringan syaraf tiruan membutuhkan integrasi data dan persiapan data lebih lanjut. Secara umum skema untuk integrasi data persiapan dapat dilihat pada Gambar 11.
2.8 Penelitian Terdahulu Hasil Penelitian Evaluasi Distribusi Pupuk Bersubsidi Nasional bagi petani kelapa sawit rakyat (Maksi-PPKS-BPTP 2009) menunjukkan bahwa walaupun pelaku telah berusaha mensukseskan distribusi pupuk bersubsidi, namun kadang masih juga terjadi kekurangtepatan pupuk dalam hal jumlah dan waktu dengan penyebab berbagai hal diantaranya adalah persoalan kurangnya alokasi, kurang tepatnya perencanaan, adanya perembesan dan belum lancarnya infrastruktur distribusi. Kajian ini merekomendasikan berbagai hal dalam peningkatan kinerja distribusi pupuk bersubsidi diantaranya adalah perlunya dikembangkan sistem peringatan dini (Early warning system) dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi. Salya (2006), melakukan penelitian tentang rekayasa model sistem deteksi dini untuk perniagaan minyak goreng kelapa sawit dengan menggunakan jaringan Syaraf Tiruan. Hasil rekayasa model tersebut digunakan dalam analisis harga minyak goreng yang ada di pasaran berdasarkan harga minyak goreng terdahulu. Hasil analisa ini digunakan sebagai sistem deteksi dini agar dapat mencegah adanya kelangkaan minyak goreng di pasaran. Seminar et al. (2009) melakukan analisis Sistem Deteksi Dini (Early Warning System/EWS) untuk manajemen krisis pangan dengan simulasi model dinamis dan komputasi cerdas. EWS yang dikembangkan dalam studi ini adalah EWS yang melakukan deteksi indikasi krisis pada periode awal terjadinya fenomena krisis (occurences) dan pola fenomena (patterns: combination of variables & progress of occurences) hingga terjadinya fenomena chaos (Gambar 12). Perioda dari awal krisis sampai memasuki perioda chaos adalah perioda yang diharapkan masih dapat melakukan tindakan untuk pemulihan dan pencegahan terhadap chaos yang merupakan kelumpuhan akibat krisis yang akut dan tidak mungkin dilakukan pemulihan (Barton dan Wilson 2002). Dengan demikian fungsi EWS adalah mendeteksi fenomena krisis sedini mungkin untuk mencegah terjadinya chaos. Safe
Early Crisis Forecasting Crisis
Early Chaos
Chaos
Detecting Crisis
EWS Detection:
Occurrences, & Patterns
Parameter/ indicator
Gambar 12. Posisi Peran EWS yang dikembangkan (Seminar et al. 2009)
19
Pengembangan sistem isyarat dini (Early Warning System/EWS) dengan simulasi sistem dinamis dan komputasi cerdas menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) tersebut telah dilakukan sampai pada level prototipe software yang telah diuji dan divalidasi pada 28 provinsi dengan jumlah kabupaten sebanyak 265 kabupaten. Data yang digunakan untuk pelatihan sebanyak 167 buah data dan sisanya digunakan untuk pengujian. Akurasi sistem dalam mendeteksi level krisis pangan adalah 96.9%, dengan tingkat error (mean square error /MSE sebesar 0.11). Pada penelitian ini dilakukan pemuatan prototipe EWS untuk mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi di daerah Jawa Tengah, Kabupaten Banyumas yang terdiri atas 27 Kecamatan. Indikator atau parameter input yang akan digunakan merupakan hasil analisis pakar dengan menggunakan AHP.
20