TINJAUAN PUSTAKA Pupuk Organik Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami (Ismawati, 2003). Menurut Murbandono (2002), pupuk adalah bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar dapat menambah unsur-unsur atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Palungkun (1999) menyatakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang dihasilkan dari proses pengomposan atau perombakan bahan organik pada kondisi lembab oleh sejumlah mikroba atau mikroorganisme pengurai. Secara umum pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik yang didegradasi secara organik. Bahan baku organik dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, seperti sisa-sisa tanaman, hewan dan manusia. Peranan bahan organik dalam memperbaiki kesuburan tanah, yaitu melalui penambahan unsur-unsur hara nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang secara lambat tersedia, dan meningkatkan kapasitas tukar kation tanah sehingga kationkation hara yang penting tidak mudah mengalami pencucian dan tersedia bagi tanaman, memperbaiki agregat tanah sehingga terbentuk struktur tanah yang lebih baik untuk respirasi dan pertumbuhan akar, meningkatkan kemampuan mengikat air sehingga ketersediaan air bagi tanaman lebih terjamin, dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah (Hardjowigeno, 1995). Pupuk Organik Cair Pupuk organik cair merupakan pupuk organik dalam bentuk cair dan pada umumnya merupakan bahan organik yang dilarutkan dengan pelarut seperti air (Ismawati, 2003). Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap, pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi (Haga, 1999).
15
Tiga cara umum pemberian pupuk cair menurut Zaitun (1999) sebagai berikut: (a) pemberian langsung pada tanah; (b) pemberian melalui irigasi; dan (c) penyemprotan pada tanaman. Jacob (1953) menyatakan bahwa penggunaan pupuk cair banyak digunakan berdasarkan pada alasan ekonomis dan karena kemudahannya dalam penggunaan. Kebanyakan dari pupuk organik mempunyai kandungan nutrisi yang rendah jika dibandingkan dengan pupuk anorganik (terutama unsur N, P, dan K), tetapi mempunyai efek yang menguntungkan bagi tanah diantaranya dapat memperbaiki kondisi tanah hingga tanah dapat menahan air lebih banyak dan menggemburkan tanah. Zat-zat unsur hara di dalam pupuk cair tersedia bagi tanaman, sebagian langsung dapat diserap, sebagian lagi dengan cepat dapat diurai, sehingga cepat juga dapat diserap. Kelebihan pupuk organik cair dibanding dengan pupuk anorganik cair yaitu dapat secara cepat mengatasi defisiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara serta mampu menyediakan hara secara tepat. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan pupuk kimia anorganik cair antara lain kurang efisien, karena pupuk ini tidak memiliki bahan pengikat sehingga saat diaplikasikan di lapangan banyak yang terbuang. Larutan pupuk anorganik yang jatuh ke permukaan tanah akan larut dan tercuci saat hujan dan N akan cepat menguap pada suhu cukup tinggi (Mulyani, 1994). Pupuk cair juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya adalah tidak semua pupuk dalam bentuk cair bersifat organik. Pupuk anorganik dalam bentuk cair bila digunakan untuk tanaman yang langsung dikonsumsi seperti sayuran dan buah berkulit tipis, akan mempengaruhi rasa dan kandungan sayuran atau buah tersebut (Mulyani, 1994). Selain itu penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dapat merusak tanaman dan tanah. Unsur Nitrogen Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro esensisal yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur N juga merupakan salah satu unsur penyusun protein sebagai pembentuk jaringan dalam tubuh makhluk hidup, dan di dalam tanah unsur N sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Perilaku unsur N di dalam tanah sulit untuk diperkirakan, hal ini disebabkan transformasi N di dalam tanah sangat kompleks. Lebih dari 98% N di dalam tanah tidak tersedia untuk diambil tanaman 16
pada saat tertentu karena terakumulasi dalam bahan organik atau terjerat dalam mineral liat. Nitrogen dalam bentuk bahan organik dapat mengalami transformasi menjadi pupuk tersedia bagi tanaman (Sutanto, 2006). Jumlah N dalam tanah sedikit sedangkan yang diangkut oleh tanaman tiap tahunnya sangat banyak. Nitrogen pada saat-saat tertentu sangat larut dan pada saat yang lain mudah hilang dalam penguapan atau sama sekali tidak tersedia bagi tanaman (Soepardi, 1983). Suplai unsur N melalui pemupukan lebih diutamakan untuk tanaman karena N merupakan unsur yang paling banyak hilang dari lahan pertanian melalui pemanenan (Goh dan Haynes, 1986). Tanaman yang mengalami kekurangan N akan tetap kecil dan secara cepat berubah menjadi kuning, karena N yang tersedia tidak cukup untuk membentuk protein dan klorofil, oleh karena itu akibat dari kekurangan klorofil akan menyebabkan kemampuan tanaman dan produksi karbohidratnya menjadi berkurang (Jacob dan Uexkull, 1960), tetapi pemberian nitrogen secara berlebihan juga akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang sangat pesat, warna daun menjadi hijau tua dan tanaman menjadi lebih sukulen (Prawiranata dan Tjondronegoro, 1992). Menurut Grunes dan Allaway (1985), N merupakan unsur yang esensial bagi tanaman dan dibutuhkan dalam jumlah relatif besar. Unsur ini berpengaruh dalam sintesis asam amino, protein, asam nukleat, dan koenzim. Protein mempunyai fungsi penting dalam pertumbuhan sel vegetatif tanaman, sebagai katalisator, dan pengatur metabolisme. Unsur Fosfor Fosfor (P) merupakan unsur yang sangat penting tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Unsur P sangat penting sebagai sumber energi (ATP), oleh karena itu kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan maupun reaksi-reaksi metabolisme tanaman. Stofella dan Khan (2000) menyatakan bahwa peran P terutama dalam pembentukan asam nukleat, phospolipid, dan pitin. Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1995), fosfor pada tanaman berfungsi dalam pembentukan bunga, buah , dan biji, serta mempercepat pematangan buah. Pemberian unsur P dalam jumlah memadai dapat meningkatkan mutu benih yang meliputi potensi perkecambahan dan vigor bibit. 17
Gejala kekurangan P dapat diamati pada awal pertumbuhan, dimana perakaran tanaman masih sangat terbatas, sedangkan kebutuhan P relatif sangat tinggi, sehingga menyebabkan daun tanaman menjadi berwarna keunguan. Fosfor juga berperan mempercepat pertumbuhan akar semai, memperkuat dan mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa, dapat mempercepat pembungaan dan pemasakan buah serta biji, dapat meningkatkan produksi biji-bijian, membantu pembentukan protein, proses transfer metabolik, sintesis ADP dan ATP, meningkatkan fotosintesis, dan membantu proses respirasi (Sutejo, 1995), dan jika kekurangan unsur ini dapat menimbulkan daun dan batang kecil, daun berwarna hijau tua keabu-abuan, mengkilat, dan terlihat pigmen merah pada daun bagian bawah dan selanjutnya mati, menghambat pembentukan bunga dan produksi buah atau bijinya kecil (Jacob dan Uexkull, 1960). Zat Besi (Fe) Unsur Fe dalam tanaman berungsi sebagai aktivator dalam proses biokimia seperti fotosintesa dan respirasi, juga untuk pembentuk beberapa enzim (Salisburry dan Ross, 1995). Unsur mikro Fe secara umum tidak bersifat toksik bagi tanaman (Bennet, 1996), selain karena kelimpahannya banyak di tanah, unsur Fe juga banyak dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan (Soepardi, 1983). Unsur Fe juga dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan aktivitas enzim tertentu (Srivastava & Gupta, 1996). Defisiensi Fe dapat terlihat dengan terhambatnya pertumbuhan kloroplas dan terhambatnya perpanjangan akar, serta pembentukan rambut akar yang sangat banyak (Marschner, 1995). Zat besi (Fe) terdapat dalam enzim katalase, peroksidase, prinodik hidrogenase, cytochrom oxidase. Tersedianya Fe dalam tanah secara berlebihan, misalnya karena pemupukan yang berlebihan dapat membahayakan bagi tanaman yaitu keracunan. Sebagai pupuk Fe dipakai dalam bentuk larutan yang disemprotkan melalui daun atau dalam bentuk bubuk besi yang diinjeksikan pada tanah (Frandho, 2010). Mangan (Mn) Mangan (Mn) diserap oleh tanaman dalam bentuk Mn2+. Mangan diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan zat protein dan vitamin terutama vitamin C, selain 18
itu Mn penting untuk mempertahankan kondisi hijau daun pada daun yang tua. Fungsi Mn yaitu sebagai enzim peroksidase dan sebagai aktivator berbagai macam enzim. Unsur Mn ini juga berhubungan erat dengan reaksi deoksidase dan dehidrogenase. Tanah yang kekurangan Mn dapat diatasi dengan memberikan 1% MnSO4H2O. Pemberian Mn dalam bentuk larutan dapat langsung dihisap oleh tanaman. Mangan banyak terdapat pada tanaman gadung. Mangan dalam tanah terdapat pada mineral-mineral MnO2, MnSiO3, dan MnCO3. Tersedianya Mn bagi tanaman tergantung pada pH tanah, dimana pada pH rendah Mn akan banyak tersedia. Penyemprotan MnSO4 melalui daun akan lebih efektif daripada melalui tanah, karena Mn2+ pada tanah akan cepat direduksi. Kelebihan Mn bisa dikurangi dengan jalan menambah fosfor dan kapur (Frandho, 2011). Kalium Unsur kalium (K) merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Menurut Salisburry dan Ross (1995). Unsur K berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman, serta membentuk antibodi tanaman melawan penyakit dan kekeringan serta mengatur berbagai proses fisiologis tanaman. Kalium (K) memiliki peranan penting dalam hal pembukaan dan penutupan stomata yang berpengaruh terhadap keseimbangan proses fotosintesis, transpirasi, dan respirasi tanah. Gejala kekuranagn K pada daun terutama terlihat pada daun tua yang memiliki pinggir daun berwarna coklat, hal ini karena daun-daun muda yang masih tumbuh dengan aktif mengambil K dari daun-daun tua tersebut, pada tanaman jagung akan mengakibatkan ruas memendek dan tanaman tidak tinggi (Hardjowigeno, 2003). Lumpur Keluaran (Sludge) Instalasi Biogas Biogas Produksi biogas didasarkan pada perombakan anaerobik kotoran hewan dan bahan buangan organik lainnya. Proses pembuatan biogas yaitu dengan mencampurkan bubur kotoran hewan dan bahan sisa organik lain dalam suatu penampung atau pengumpul yang disambung dengan tangki digester dan anaerobik (Foth, 1988). Produksi gas menimbulkan tekanan dalam tangki digester dan gas 19
dialirkan keluar melalui pipa. Perlahan-lahan sisa perombakan bahan organik dari tangki digester akan keluar sebagai lumpur dan cairan yang masih berisi unsur penting bagi tanaman sehingga sangat baik digunakan sebagai pupuk (Foth, 1988). Polprasert (1980) menyatakan bahwa komposisi biogas terdiri dari metan (55-65%) dan karbondioksida (45-35%), merupakan komponen gas yang dominan serta nitrogen (0-3%), hidrogen (0-1%), hidrogen sulfida (0-1%), dan unsur N, P, K serta mineral lainnya yang terakumulasi di sludge. Menurut Amin (1983), selama perombakan anaerobik, juga akan menghasilkan karbon monoksida dan oksigen masing-masing 0,1%. Proses pengomposan atau pelapukan bahan organik secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi (Polprasert, 1980), yang terlihat pada Gambar 1. Dominan
BO + H2O
Mikroorganisme Anaerob
Sedikit
CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + Sludge (padat dan cair)
Gambar 1. Reaksi Pembentukan Biogas Proses perombakan bahan organik pembentuk biogas secara anaerob, menurut Food and Agriculture Organization (1977), terdapat tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis bahan organik, tahap asidifikasi dan tahap metanogenesis. Sludge Instalasi Biogas Instalasi biogas merupakan suatu instalasi yang dibuat untuk berlangsungnya proses degradasi bahan-bahan organik secara anaerobik sehingga menghasilkan gasgas terutama metan dan karbondioksida. Berdasarkan tipe dan konfigurasi reaktor penanganan limbah cair anaerobik, sedikitnya ada 12 tipe reaktor salah satunya reaktor dua tahap. Reaktor dua tahap adalah suatu tipe konfigurasi reaktor penanganan limbah anaerobik yang menerapkan pemisahan spasial antara fase (tahap) asidogenesis dan metanogenesis. Reaksi-reaksi hidrolisis dan fermentasi diharapkan terjadi dalam reaktor asidogenik, sedangkan reaksi asetogenesis dan menatogenesis terjadi dalam reaktor metanogenik. Konfigurasi dua tahap ini dapat memperbaiki kualitas effluent, misalnya rendahnya COD dan suspended solid (SS) (Romli, 2010). 20
Polprasert (1980) menyatakan bahwa di dalam sludge hasil instalasi biogas terdapat 50% N berada dalam bentuk ammonia, dan unsur hara P serta K tidak mengalami perubahan selama di dalam digester. Menurut Vesilind et al.,(1990), menyatakan bahwa sludge yang berasal dari instalasi biogas sangat baik untuk dijadikan sebagai pupuk karena mengandung berbagai macam mineral yang dibutuhkan oleh tanaman, antara lain P, Mg, Ca, K, Cu, dan Zn, sebagaimana juga diutarakan oleh Suzuki et al.,(2001) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Mineral Effluent dari Enam Instalasi Biogas di Delta Mekong Vietnam Mineral
Instalasi Biogas Ke1
2
3
4
5
6
---------------------------- (mg/l) ---------------------------------Total P
119
114
33
93
164
69
NH4-N
467
271
37
348
324
462
Mg
73
94
63
60
103
177
Ca
72
57
56
62
78
147
K
271
166
64
215
401
540
Cu
<2,5
<2,5
<2,5
<2,5
<2,5
<2,5
Zn
<1,0
<1,0
<1,0
<1,0
<1,0
<1,0
pH
6,9
7,0
6,9
6,8
6,9
Sumber : Suzuki et al. (2001)
Kandungan effluent biogas di Delta Mekong Vietnam (Tabel 1) mempunyai konsentrasi N, P, Mg dan Ca tertinggi serta sebagian besar komponen dalam bentuk terlarut (K, Cu, dan Zn). Pakan yang digunakan oleh ke enam peternakan di Delta Mekong adalah dedak padi (rice bran). Hal ini menurut Suzuki et al., (2001) yang menyebabkan kandungan P dan Mg pada effluent mempunyai konsentrasi yang tinggi. Tingginya konsentrasi N berasal dari urin ternak, selain itu N juga diperoleh dari hasil dekomposisi bahan organik selama fermentasi metan di bawah kondisi anaerob. Kandungan Mg dan Ca pada effluent cukup tinggi, hal ini dikarenakan peternak memberikan air minum ternaknya dengan air yang berasal dari sumur. Kandungan K terlarut cukup tinggi, dan kandungan Cu dan Zn terlarut tidak 21
terdeteksi pada effluent, sedangkan nilai pH effluent mempunyai kisaran antara 6,8 sampai 7,2. Junus (1987) mengemukakan bahwa lumpur yang keluar dari instalasi biogas terdiri dari dua komponen yaitu komponen padat dan cair. Menurut Fair et al. (1967), sludge adalah endapan padat yang secara alami berada di dalam air dan air limbah, atau benda yang bukan endapan padat tetapi secara pengentalan kimia dan flokulasi biologi dapat mengendap dan dialirkan dari tangki pembuangan limbah, sementara menurut Sugiharto (1987), lumpur (sludge) yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar lumpur tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan kehidupan manusia. Limbah Cair Kelapa Sawit Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif. Pengertian mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena penanganan limbah memerlukan biaya yang cukup besar disamping juga dapat mencemari lingkungan (Sa’id, 1994). Pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) menghasilkan dua bentuk limbah cair, yaitu air kondensat dan effluent. Air kondensat biasa digunakan sebagai umpan boiler untuk mengoperasikan mesin pengolahan kelapa sawit. Effluent yang banyak mengandung unsur hara dimanfaatkan sebagai bahan pengganti pupuk anorganik. Pencemaran lingkungan akibat limbah cair dapat diatasi dengan cara mengendalikan limbah cair tersebut secara biologis. Pengendalian secara biologis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri anaerob (Tobing et al,. 1992). Limbah cair pabrik kelapa sawit mengandung bahan organik yang dapat mengalami degradasi. Jini (2006) menyatakan bahwa limbah cair dari buangan pabrik kelapa sawit yang berkapasitas 30 ton TBS per jam, mengandung polutan yang sama dengan buangan domestik sebanding dengan 300.000 orang. Selain itu buangan ini memiliki tinggi kandungan COD sebesar 50.000 mg/l, BOD sebesar 30.000 mg/l, minyak dan lemak sebesar 6000 mg/l, suspended solid sebesar 59,350 dan 750 mg/l total nitrogen (Ahmad et al., 2005) dan berdampak mencemari 22
lingkungan tanah, air dan udara, dengan emisi metana yang potensial. Karakteristik dari limbah cair industri pengolahan kelapa sawit dipaparkan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Limbah Cair Industri Pengolahan Kelapa Sawit Parameter
Satuan
Rentang
Rata-rata
4,0 – 4,6
4,3
C
60 – 80
70
Total solid
mg/l
30.000 – 60.000
50.000
Volatile solid
mg/l
15.000 – 40.000
30.000
Suspended solid
mg/l
15.000 – 30.000
20.000
4.000 – 11.000
8.000
pH o
Suhu
Minyak BOD
mg/l
20.000 – 40.000
25.000
COD
mg/l
40.000 – 70.000
55.000
Nitrogen
mg/l
500 – 900
700
Fosfat
mg/l
90 – 140
120
Kalsium
mg/l
1.000 – 2.000
1.500
Magnesium
mg/l
250 – 300
270
Kalium
mg/l
260 – 400
325
Besi
mg/l
80 - 200
110
Sumber : Manurung (2004)
Pabrik kelapa sawit (PKS) adalah industri pengolahan TBS dari tanaman kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak inti sawit (palm kernel oil). Proses pengolahan TBS menjadi crude palm oil (CPO) dan palm kernel (PK) menurut Pahan (2008) terdiri dari proses penerimaan buah, perebusan (sterilizer), pemipilan (stripper), pencacahan (digester) dan pengempaan (presser), pemurnian (clarifier), dan terakhir adalah pemisahan biji dan inti (kernel). Aktivitas produksi PKS menghasilkan limbah dalam volume yang sangat besar. Hal ini dapat terlihat pada proses pengolahan TBS menjadi CPO yang disajikan pada Gambar 2.
23
Penguapan
Perebusan
TBS
Tandan rebus
perontokan Buah Tandan kosong
penghancuran
Air
penyaringan
Pengepresan
klarifikasi
Pemisahan dengan Depericaper 1
minyak Vacuum dryer Sludge
Air Limbah padat
Pemisahan dengan Decanter
CPO
Serabut
Pemisahan dengan Depericarper 2
Minyak Air
Pemisahan dengan Purifier
Tangki timbun CPO
Limbah cair
Air
Limbah cair Air kondensat
Pengumpulan limbah cair di kolam/ tangki
Cangkang
Pemisahan dengan angin
Air hidro siklon
Minyak
Pemecahan
pengeringan
Pemisahan dengan air
Penyimpanan kernel
POME Gambar 2.
Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) Menjadi Minyak Kelapa Sawit (CPO) (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan, 2006)
24
Kotoran Sapi Kotoran hewan yang berasal dari usaha peternakan diantaranya kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya. Komposisi hara pada masingmasing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan jauh lebih rendah daripada pupuk kimia (Tabel 3) sehingga takaran penggunaannya juga akan lebih tinggi. Tabel 3. Kandungan Hara Beberapa Jenis Kotoran Hewan Sumber
N
P
K
Ca
Mg
S
Fe
-----------------------------------%-----------------------------------Sapi Perah
0,53
0,35
0,41
0,28
0,11
0,05
0,004
Sapi Daging
0,65
0,15
0,30
0,12
0,10
0,09
0,004
Kuda
0,70
0,10
0,58
0,79
0,14
0,07
0,010
Unggas
1,50
0,77
0,89
0,30
0,88
0,00
0,100
Domba
1,28
0,19
0,93
0,59
0,19
0,09
0,020
Sumber: Tan (1993)
Limbah peternakan adalah hasil buangan dari proses pengolahan usaha peternakan atau buangan proses metabolisme yang bersifat tidak ramah lingkungan. Peternakan kecil maupun peternakan besar selalu menghasilkan limbah yang berupa limbah padat, cair, dan juga limbah gas (CH4 dan NH3). Selanjutnya Sahidu (1983) mengemukakan hasil pengamatan beberapa peneliti bahwa rata-rata satu ekor sapi menghasilkan kotoran sebanyak 27 kg/ekor/hari. Kotoran sapi banyak mengandung karbohidrat terutama jenis selulosa dan serat-seratan, disamping protein dan lemak. Kotoran sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas seperti metan dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi, antara lain N (0,29%), P2O5 (0,17%) dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno, 2003).
25