i
ANALISIS PENGARUH PUPUK BERSUBSIDI TERHADAP KINERJA INDUSTRI PUPUK DI INDONESIA
OLEH DESI PUSPO RINI H14102080
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ii
RINGKASAN
DESI PUSPO RINI. Analisis Pengaruh Pupuk Bersubsidi Terhadap Kinerja Industri Pupuk Di Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A)
Pupuk sebagai salah satu komponen penunjang pada sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting bagi peningkatan usahatani di Indonesia, hal ini karena petani telah menyadari peran pupuk pada hasil pertanian. Kebutuhan akan produksi pertanian yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, mengakibatkan kebutuhan akan pupuk juga semakin meningkat. Kebutuhan akan pupuk yang sangat besar, membuat para produsen pupuk harus berproduksi secara optimal dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Demi menunjang ketersediaan dan kebutuhan pupuk bagi para petani, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) pada tanggal 11 Februari 2003, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 70/MPP/Kep/2/2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu, menganalisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri pupuk di Indonesia dan menganalisis pengaruh pupuk bersubsidi terhadap kinerja industri pupuk di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinari Least Square) dalam Eviews 4.1 dengan menggunakan data time series dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003. Struktur pasar dari industri pupuk dianalisis dengan menggunakan variabel rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar dan hambatan masuk. Kinerja dianalisis dengan menggunakan variebel keuntungan yang diproksi dengan PCM (Price Cost Margin) dan X-Efisiensi. Hubungan antara pengaruh struktur pasar terhadap kinerja dianalisis dengan menggunakan metode OLS. Variabel dependent yang digunakan pada model penelitian ini adalah PCM, sedangkan variabel independent yang digunakan adalah rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2), X-Efisiensi (Xeff), Produktivitas (Prod), variabel Dsubs sebagai dummy saat pemberian subsidi dan pencabutan subsidi, dan variabel DKRI sebagai dummy sebelum krisis ekonomi dan setelah krisis ekonomi. Setelah menganalisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerjanya maka yang dilakukan adalah menganalisis pengaruh pupuk bersubsidi terhadap kinerja industri pupuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar industri pupuk berada dalam kondisi pasar oligopoli ketat. Hambatan masuk pada industri pupuk dilakukan oleh pemerintah dengan cara memberi kebijakan kepada perusahaan pendatang baru untuk mengutamakan kebutuhan pupuk di dalam negeri dan kebutuhan ekspor apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Rata-rata margin keuntungan industri pupuk dari tahun 1983 sampai dengan 2003 sebesar 31,69 persen, sedangkan rata-rata efisiensi-X sebesar 74,55 persen. Perilaku yang dilakukan oleh industri pupuk untuk mencapai tujuan perusahaan dapat berupa strategi produk, produksi, dan harga. Strategi produk dilakukan dengan
iii
menghasilkan pupuk bersubsidi agar petani mendapatkan pupuk dengan harga yang terjangkau, serta dengan mengembangkan pupuk melalui penciptaan varietas-varietas baru. Strategi produksi yang dilakukan oleh produsen pupuk adalah dengan berusaha memperbesar alokasi produksi untuk diekspor walaupun strategi tersebut masih dalam pengawasan pemerintah. Strategi harga diberlakukan dengan kewenangan dari pemerintah khususnya Departemen Pertanian yang menetapkan harga eceran tertinggi pupuk (HET), pemerintah merasa perlu menetapkan harga ini karena untuk melindungi petani sebagai konsumen pupuk. Dari hasil regresi yang telah dianalisis maka didapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 0.958073. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman PCM industri pupuk sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebesar 95,80 persen oleh keragaman variabel-variabel bebasnya (CR2, Xeff, Prod, DSubs, dan DKRI) sedangkan sisanya sebesar 4.20 persen mampu dijelaskan oleh variabel lain diluar model. CR2 memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap PCM. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang berlaku. Xeff dan Prod memiliki koefisen masing-masing sebesar 0,239031 dan 0.657273. Kedua variabel ini sesuai dengan hipotesis yang berlaku dimana variabel efisiensi-X dan produktivitas berhubungan positif dengan PCM. Variabel dummy subsidi yang signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -3.610508 menunjukkan bahwa subsidi mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh nyata dengan PCM. Nilai ini tidak sesuai dengan hipotesis karena dengan pemberian subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada produsen pupuk diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perusahaannya. Hal ini disebabkan produsen pupuk yang diberikan subsidi langsung oleh pemerintah berupa subsidi input yaitu gas sebagai bahan bakunya ternyata tidak menggunakan input yang diberikan secara efisien. Sehingga tanpa memperhitungkan jumlah yang digunakan, input tersebut digunakan secara boros. Variabel dummy krisis ekonomi mempunyai hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap PCM. Ketidaksignifikan variabel ini menandakan bahwa harga yang ditetapkan di pasar tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan para petani, walaupun harga yang ditetapkan tersebut melebihi rata-rata, petani akan tetap membeli pupuk tersebut. Dari hasil yang telah ada maka terdapat beberapa saran yang dapat diberikan untuk produsen maupun pemerintah yaitu Industri pupuk di Indonesia perlu memperhatikan serta meningkatkan efisiensi akan bahan input gas yang diberikan oleh pemerintah berkaitan dengan pupuk bersubsidi, pemerintah mengurangi pupuk bersubsidi secara bertahap dengan berbagai cara, misalnya, mengubah sistem harga pembelian pemerintah dari industri pupuk dengan memberikan kenaikan harga pembelian gabah pada petani, dan meningkatkan efisiensi dari biaya distribusi pupuk, serta produsen pupuk dibantu dengan pemerintah melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penyaluran atau pendistribusian pupuk bersubsidi.
iv
ANALISIS PENGARUH PUPUK BERSUBSIDI TERHADAP KINERJA INDUSTRI PUPUK DI INDONESIA
Oleh DESI PUSPO RINI H14102080
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
v
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa penelitian yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Desi Puspo Rini
Nomor Pokok
: H14102080
Judul
: Analisis Pengaruh Pupuk Bersubsidi Terhadap Kinerja Industri Pupuk Di Indonesia
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Muhammad Findi A, S.E, M.Si. NIP : IPB 030507
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP : 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
vi
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Desi Puspo Rini H14102080
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Desi Puspo Rini lahir pada tanggal 18 Desember 1983 di Karawang. Penulis anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Supriyanto dan Sutinah. Pada tahun 1996 penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Sarimulya IV Cikampek, kemudian pada tahun tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 2 Cikampek dan tamat pada tahun 1999. Lalu pada tahun 2002 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMUN 1 Cikampek. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Analisis Pengaruh Pupuk Bersubsidi Terhadap Kinerja Industri Pupuk Di Indonesia”. Pupuk bersubsidi merupakan topik yang menarik karena pupuk sebagai salah satu faktor penting dari pertanian tidak akan pernah hilang walaupun harga yang terjadi di pasaran sangat mahal, dan pupuk bersubsidi yang harganya murah akan terus dicari oleh petani di Indonesia. Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian dengan topik ini karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh semua pihak yang berkepentingan dalam industri pupuk. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai industri pupuk untuk semua pihak. Dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan banyak pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada: 1. Muhammad Findi A, S.E., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi kepada penulis. 2. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Henny Reinhardt, S.P., M.Sc. selaku Komisi pendidikan yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Seluruh dosen pengajar yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis serta semua staf TU yang telah memberi kelancaran berbagai urusan administrasi. 5. Kedua orang tua, adikku Anto, dan bule’ Sam yang telah memberikan dukungan, semangat, motivasi, dan doa untuk kesehatan, kelancaran, dan keselamatan dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
ix
6. Husnul Budiman yang telah memberikan semangat, motivasi, bantuan dan perhatiannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Stuti Anindita, teman seperjuangan, teman suka dan duka, dan teman berbagi ilmu. Granson T.L. terima kasih atas bantuan dan semuanya. Serta Tika, Egri, Ucha, Rina terima kasih atas persahabatannya hingga kini. 8. Teman-teman IE ’39: Devi, Uchie, Febri, Imas, Fitri, Retno, Aryati, Yosika, Erik, Royan, Radia, Hasni, Rona, serta semua teman seperjuangan ilmu ekonomi angkatan 39 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan semuanya. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang jauh dari sempurna ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bogor, September 2006
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 4 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN ................... 8 2.1. Tinjauan Subsidi ................................................................................. 8 2.1.1. Pengertian Subsidi ................................................................... 8 2.2.2. Pengertian Pupuk Bersubsidi .................................................. 9 2.2. Pengertian Industri ............................................................................... 11 2.3. Struktur Pasar ....................................................................................... 11 2.3.1. Pangsa Pasar............................................................................. 12 2.3.2. Konsentrasi............................................................................... 13 2.3.3. Hambatan Masuk ..................................................................... 13 2.4. Perilaku Pasar....................................................................................... 17 2.5. Kinerja Pasar ........................................................................................ 20 2.6. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 23 2.7. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 26 2.8. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 28 III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 30 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 30
xi
3.2. Metode Analisis ................................................................................... 30 3.2.1. Analisis Struktur Pasar ............................................................ 30 3.2.2. Analisis Perilaku Pasar ............................................................ 31 3.2.3. Analisi Kinerja Pasar ............................................................... 31 3.2.4. Analisis Hubungan Struktur Pasar dan Kinerja Industri ......... 32 3.3. Pengujian Hipotesis ............................................................................. 34 3.3.1. Kriteria Uji Statistik ................................................................ 35 3.3.2. Kriteria Ekonometrika ............................................................. 37 IV. GAMBARAN UMUM ................................................................................ 41 4.1. Sejarah Industri Pupuk ........................................................................ 41 4.2. Kegiatan Pendistribusian Pupuk ......................................................... 46 4.3. Kebijakan Harga Pupuk ..................................................................... 48 4.4. Pola Penyaluran /Pendistribusian dan Pengadaan Pupuk ................... 51 4.4.1. Pupuk Bersubsidi .................................................................... 51 4.4.2. Pupuk Non Bersubsidi ............................................................ 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 54 5.1. Analisi Struktur Pasar Industri Pupuk ................................................. 54 5.2. Analisis Perilaku Pasar Industri Pupuk ............................................... 56 5.2.1. Strategi Produk dan Produksi .................................................. 56 5.2.2. Strategi Harga .......................................................................... 59 5.3. Analisis Kinerja Pasar Industri Pupuk ................................................ 60 5.4. Analisis Pengaruh Struktur Pasar Terhadap Kinerja Industri Pupuk .................................................................................................. 61 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 70 6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 70 6.2. Saran .................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74 LAMPIRAN ....................................................................................................... 76
xii
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Perkembangan penjualan Pupuk Urea Dalam Negeri Tahun 1998-2003 .. 3 2. Perkembangan Anggaran Subsidi Pupuk di Indonesia Tahun 1992-2005. 4 3. Kapasitas Terpasang Industri Pupuk di Indonesia ..................................... 44 4. Hasil Estimasi Persamaan PCM................................................................. 61 5. Matriks Korelasi Antar Variabel Bebas ..................................................... 63
xiii
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Kurva Perkembangan PPS ........................................................................... 15 2. Kurva Keseimbangan Pasar Monopoli ......................................................... 16 3. Kerangka Pemikiran Konseptual .................................................................. 28 4. Sistem penyaluran Pupuk Oleh P.T. Pusri ................................................... 53
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Variabel Dependent dan Independent Yang Digunakan Dalam Model Persamaan .................................................................................................... 77 2. Nilai Penjualan Industri Pupuk Untuk Menghitung CR2 Tahun 19832003............................................................................................................... 78 3. Hasil Penghitungan Price-Cost-Margin Industri Pupuk tahun 19832003 .............................................................................................................. 79 4. Hasil Penghitungan Xeff Industri Pupuk Tahun 1983-2003......................... 80 5. Hasil Penghitungan Produkstivitas Industri Pupuk Tahun 1983-2003 ......... 81 6. Hasil Estimasi Output ................................................................................... 82 7. Hasil Uji Heteroskedastisitas, Uji Autokorelasi, dan Uji Multikolinier ................................................................................................. 83 8. Hasil Uji Normalitas ..................................................................................... 84
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang memiliki sumber alam yang kaya dan tenaga kerja yang melimpah, sehingga sektor pertanian mendapat prioritas utama yang mendapat perhatian dari pemerintah. Di sisi lain laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat membawa korelasi meningkatnya kebutuhan pangan yang harus diikuti dengan usaha peningkatan produksi melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi disektor pertanian. Pupuk sebagai salah satu komponen penunjang pada sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting bagi peningkatan usahatani di Indonesia, hal ini karena petani telah menyadari peran pupuk pada hasil pertanian. Ketergantungan terhadap pupuk semakin besar ketika pemerintah berhasil melaksanakan program pembangunan pertanian melalui swasembada pangan, terutama mengenai usaha intensifikasi. Kebutuhan akan produksi pertanian yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, mengakibatkan kebutuhan akan pupuk juga semakin meningkat. Keadaan ini membuat para produsen pupuk harus berproduksi secara optimal dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Oleh karena itu pemerintah sebagai regulator dan stabilisator memiliki peranan mutlak dalam perkembangan industri pupuk. Fungsi pemerintah sebagai regulator salah satunya diwujudkan dalam kebijakan yang dikeluarkan untuk menangani masalah pengelolaan dan penyaluran komoditas pupuk agar tercipta kriteria enam tepat, yaitu tepat jenis, tepat jumlah,
2
tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu. Sedangkan fungsi pemerintah sebagai stabilisator berperan dalam menciptakan kestabilan harga pupuk di dalam negeri. Selain itu pemerintah juga berperan dalam menciptakan kestabilan komoditas pupuk agar keberadaannya dapat terpenuhi dan tidak langka di pasaran. Demi menunjang ketersediaan dan kebutuhan pupuk bagi para petani, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) pada tanggal
11
Februari
2003,
mengeluarkan
Surat
Keputusan
(SK) No.
70/MPP/Kep/2/2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Salah satu isi dari SK ini adalah ditetapkannya pola rayonisasi distribusi pupuk bagi produsen. Produsen pupuk bertanggung jawab terhadap distribusi pupuk bagi wilayah tertentu yang sudah ditetapkan, sehingga produsen pupuk tidak bisa masuk ke wilayah yang ditunjuk oleh Menperindag untuk memasarkan produk pupuknya. Pola rayonisasi yang ditetapkan untuk pupuk bersubsidi tersebut dimaksudkan agar wilayah yang telah ditunjuk terpenuhi segala kebutuhannya. Bila produsen pupuk memasarkan produknya di luar wilayah tanggung jawabnya maka kebutuhan petani menjadi tidak terjamin. Kekurangan pasokan pupuk tersebut akan dipenuhi oleh produsen lainnya meskipun jarak untuk mencapai wilayah tersebut cukup jauh, sehingga pupuk yang dijual di wilayah tersebut biasanya menjadi mahal. Pertumbuhan produksi masing-masing perusahaan pupuk merupakan suatu hal yang penting, sebab peningkatan pertumbuhan produksi akan meningkatkan
3
pangsa pasar yang dimiliki perusahaan, sehingga tingkat konsentrasi yang dihasilkan oleh suatu industri juga akan meningkat. Tingginya tingkat konsentrasi pada akhirnya dapat menunjukkan kinerja suatu industri. Dengan demikian, pengaruh pupuk subsidi pupuk terhadap kinerja dapat diketahui. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa penjualan pupuk dari tahun 1998 hingga tahun 2003 dikuasai oleh P.T. Pusri. Hal ini menunjukan bahwa P.T. Pusri yang memiliki tingkat penjualan yang tinggi dapat menguasai pangsa pasar industri pupuk di Indonesia. Tabel 1. Perkembangan Penjualan Pupuk Urea Dalam Negeri Tahun 1998-2003 (dalam Tom) Produsen
1998
1999
2000
2001
2002
2003
PT. Pusri
2.595.938 1.740.770 1.760.216
1.960.621 1.957.984 2.465.546
PT. Kaltim
1.808.204 1.909.315 2.187.261
2.127.351 2.494.000
726.694
PT. Kujang
485.903
522.549
533.209
516.594
512.728
541.734
PT. Petrokimia
243.231
268.990
296.603
245.694
197.019
474.272
PT. PIM
249.008
89.699
162.152
76.193
378.156
379.999
Total
5.382.284 4.531.323 4.939.441 4.926.453
5.539.887 4.588.245
Sumber : P.T. Pusri (2003) dan Depperin (2006)
Pemberian pupuk bersubsidi dapat meningkatkan jumlah konsumsi pupuk. Di satu sisi peningkatan jumlah konsumsi pupuk memberikan efek positif berupa peningkatan produksi, tetapi di sisi lain dapat meningkatkan anggaran subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dari tahun ke tahun. Jumlah konsumsi pupuk yang tinggi menunjukkan bahwa permintaan terhadap pupuk merupakan permintaan yang inelastis, dimana bila terjadi kenaikan harga pupuk akan berpengaruh cukup kecil terhadap permintaan pupuk tersebut.
4
1.2. Perumusan Masalah Pupuk merupakan salah satu komoditi yang dinilai memiliki peranan srategis
dalam mendukung sektor pertanian dan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan petani. Dengan alasan itu pemerintah hingga kini tetap mengalokasikan subsidi pupuk bagi petani yang diberikan melalui subsidi harga gas kepada produsen pupuk. Subsidi harga gas kepada produsen pupuk merupakan upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pupuk bersubsidi merupakan anggaran pemerintah yang cukup besar, tapi karena pemerintah berusaha untuk mensejahterakan petani, pupuk bersubsidi terus diberikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Anggaran Subsidi Pupuk di Indonesia Tahun 1992-2005 (Miliar Rupiah) Tahun
Subsidi Pupuk
Terhadap Belanja Negara (%)
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
175 175 815 143 186 708 1.909 1.200 1.315 1.353 1.833*
0.33 0.30 1.30 0.21 0.22 0.64 1.10 0.34 0.35 0.34 0.42
Sumber : www.depkeu.go.id dalam Ardi (2005) Keterangan : *Angka dalam APBN Perubahan
Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa anggaran biaya untuk pengeluaran subsidi ini sangat memberatkan pemerintah, karena dari tahun 1992
5
sampai tahun 2005 biaya untuk subsidi pupuk semakin meningkat, hanya pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 pemerintah tidak mengeluarkan anggarannya untuk pupuk bersubsidi karena adanya pencabutan pupuk bersubsidi yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997. Pupuk bersubsidi mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap sektor pertanian dan sektor industri. Bagi sektor pertanian, pupuk bersubsidi dapat membantu petani memperoleh pupuk dengan harga yang murah. Dan bagi sektor industri dapat meminimum biaya produksi melalui pemberian subsidi bahan input gas untuk menciptakan pupuk bersubsidi tersebut, sehingga akan menghasilkan produk dengan harga yang murah. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis pengaruhnya pupuk bersubsidi terhadap kinerja produsen pupuk ditinjau dari tingkat keuntungan yang diperoleh, dimana setiap perusahaan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, padahal pemerintah telah menetapkan harga pupuk. Namun, sebelumnya penulis akan menganalisis terlebih dahulu struktur pasar terhadap kinerjanya. Jika struktur pasarnya menunjukkan nilai yang positif, yaitu tingkat konsentrasi dan hambatan masuknya tinggi, maka kinerja industri tersebut akan tinggi pula. Oleh karena itu, masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri pupuk di Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh pupuk bersubsidi terhadap kinerja industri pupuk di Indonesia?
6
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh pupuk bersubsidi terhadap tingkat keuntungan yang diraih oleh industri pupuk selaku produsen penerima subsidi sehubungan dengan kinerja dan tingkat konsentrasi yang dimilikinya. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis SCP (Structure-Conduct-Performance) dimana dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara struktur, perilaku dan kinerjanya. Berdasarkan dari perumusan masalah yang telah dijelaskan maka tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri pupuk di Indonesia 2. Menganalisis pengaruh pupuk bersubsidi terhadap kinerja industri pupuk di Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian Pembuatan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai kalangan yang berguna berupa informasi mengenai kondisi industri pupuk, antara lain: •
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meninjau ulang kebijakan pupuk bersubsidi yang telah diberikan kepada produsen pupuk. Sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang lebih baik di masa yang akan datang.
7
•
Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai subsidi pupuk yang mempengaruhi kinerja industri pupuk ketika adanya pemberian subsidi dan ketika subsidi pupuk itu telah dicabut oleh pemerintah
•
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam menganalisis bagaimana pengaruh pupuk bersubsidi mempengaruhi kinerja industri pupuk
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Subsidi 2.1.1. Pengertian Subsidi Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada produsen domestik. Berbentuk tunai, pinjaman bunga rendah, pengurangan pajak, dan keikutsertaan pemerintah dalam perusahaan domestik. Dan manfaat utama yang diperoleh bagi produsen domestik adalah nilai kompetitif internasionalnya menjadi meningkat. Selain itu menurut Kamus Lengkap Ekonomi (Pass, 1997 dalam Ardi, 2005), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumberdaya lainnya untuk mendukung sesuatu kegiatan usaha atau perorangan oleh pemerintah. Subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga, dan sebagainya), atau tidak langsung (dalam bentuk pembebasan penyusutan, potongan sewa dan semacamnya). Subsidi dapat bertujuan untuk: (1) subsidi produksi, dimana pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan produk tersebut, (2) subsidi ekspor, yang diberikan pada produk ekspor yang dianggap dapat membantu neraca perdagangan negara, (3) subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerjaan dan mengurangi pengangguran, dan (4) subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu seperti tunjangan hari tua dan lainnya. Sesuai dengan
9
uraian diatas maka subsidi uang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subsidi produksi dimana peningkatan output produknya ditanggung oleh pemerintah dengan cara menanggung sebagian biaya produksi agar harga jual kepada masyarakat dapat dicapai.
2.1.2. Pengertian Pupuk Bersubsidi Pupuk bersubsidi menurut SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 356/MPP/Kep/5/2004 adalah adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program Pemerintah. Pengadaan ini merupakan proses penyediaan pupuk oleh produsen sedangkan penyalurannya merupakan proses pendistribusian pupuk dari tingkat produsen sampai dengan tingkat konsumen. Artinya pupuk bersubsidi memang diberikan oleh pemerintah kepada produsen pupuk yang selanjutnya proses pengadaan pupuk kepada para petani dengan memberikan harga pupuk yang terjangkau. Selain itu, arti dari subsidi berlainan dengan yang dinyatakan dengan Hill, sebab subsidi yang berkaitan dengan masalah yang diamati berhubungan dengan subsidi pupuk. Oleh karena itu subsidi pupuk atau pupuk bersubsidi merupakan pupuk yang diawasi peredarannya dari pemerintah. Mulai dari kekacauan mata rantai distribusi pupuk, tingginya harga eceran pupuk di masyarakat sampai permasalahan kemampuan operasi pabrik pupuk. Subsidi pupuk ini intinya bertujuan agar para petani mendapatkan pupuk dengan harga yang terjangkau sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian mereka yang akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
10
Agar subsidi pupuk ini tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 70/MPP/Kep/2003 mengenai pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Tetapi kebijakan yang telah dikeluarkan ini ternyata tidak membawa pengaruh yang baik. Banyak petani yang kesulitan mendapatkan akses yang mudah sehingga sulit untuk mendapatkan harga pupuk yang terjangkau. Penyimpangan dan penyelewengan tersebut disebabkan oleh para pengecer yang bertindak nakal dalam pendistribusiannya. Misalkan pengecer ini melakukan penimbunan pada sejumlah pupuk ataupun mengeskpor pupuk tersebut ke luar negeri. Akibatnya yang terjadi adalah kelangkaan pupuk di sejumlah daerah yang dibarengi dengan kenaikan harga pada pupuk tersebut. Pengecer ini melakukan hal tersebut karena dinilai mendatangkan keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan menjual di dalam negeri. Dan akhirnya yang terjadi adalah pencabutan atau penghapusan kebijakan tersebut. Pemberian subsidi atau pencabutannya memberikan dampak yang bersifat lokal dan global. Di Indonesia, fenomena pencabutan atau penghapusan kebijakan subsidi tersebut biasanya diikuti dengan protes dan penolakan dari masyarakat khususnya para petani, karena masyarakat tidak siap dengan tingginya harga barang yang sebelumnya telah disubsidi.
11
2.2. Pengertian Industri Pengertian industri sangat luas yang melingkupi makro dan mikro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling menggantikan yang sangat erat. Namun demikian, dari segi pembentukan pendapatan yakni yang cenderung bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan, 1993) Ekonomi industri merupakan ilmu ekonomi yang membantu menjelaskan mengapa
pasar
perlu
diorganisir
dan
bagaimana
pengorganisasianya
mempengaruhi cara kerja pasar industri. Selain itu bagaimana cara industri diorganisir, faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku perusahaan dan industri, serta hubungannya dengan masyarakat pada umumnya (Jaya, 2001). Kemudian organisasi industri itu berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam usaha mencapai tujuan, yaitu tercapainya efisiensi di tingkat perusahaan, industri dan efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Jadi kesimpulannya teori-teori dalam ilmu ekonomi industri menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar.
2.3. Struktur Pasar Struktur pasar didefinisikan sebagai jumlah penjual dan pembeli serta besarnya pangsa pasar (market share) yang ditentukan oleh adanya diferensiasi produk, serta dipengaruhi oleh keluar masuknya pendatang atau pesaing (Greer, 1992 dalam Busriawaty, 2004). Struktur pasar menunjukan atribut pasar yang
12
mempengaruhi sifat proses persaingan. Unsur-unsur struktur pasar meliputi konsentrasi, diferensiasi produk, hambatan masuk ke dalam pasar, struktur biaya, dan tingkat pengaturan pemerintah. Struktur pasar ini menentukan perilaku perusahaan yang kemudian menentukan kinerja industri (Jaya, 2001). Beberapa elemen dari struktur pasar yaitu meliputi pangsa pasar, hambatan masuk, dan konsentrasi.
2.3.1. Pangsa Pasar Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri dan besarnya berkisar antara 0 hingga 100% dari total penjualan seluruh pasar. Perusahaan dengan pangsa pasar yang lebih baik akan menghasilkan keuntungan dari penjualan produk (Jaya, 2001). Oleh karena itu peranan dari pangsa pasar adalah menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dimana sebagai sumber utamanya. Elemen pangsa pasar ini merupakan indikator dalam menentukan tingkat kekuatan pasar (market power) suatu perusahaan. Semakin tinggi pangsa pasar, semakin tinggi pula kekuatan pasar yang dimiliki. Pangsa pasar yang tinggi menunjukan bentuk monopoli, sementara pangsa pasar yang rendah menunjukan adanya persaingan secara efektif. Penguasaan pangsa pasar yang besar akan dimanfaatkan oleh perusahaan monopoli untuk menguasai pasar dan pada akhirnya bertujuan untuk mencapai keuntungan maksimal.
13
2.3.2. Konsentrasi Pemusatan atau konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan. Kombinasi pangsa pasar mereka membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Bain dalam Jaya, (2001) mengatakan bahwa penerimaan rata-rata industri yang terkonsentrasi adalah lebih tinggi daripada penghasilan rata-rata industri yang kurang terkonsentrasi. Dan Leonard Weiss mengatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara tingkat keuntungan dengan produkproduk yang terkonsentrasi. Sehingga dengan adanya hubungan yang positif ini merupakan halangan masuk bagi perusahaan baru.
2.3.3. Hambatan Masuk Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya. Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan, kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Ada beberapa hal yang umum berkaitan dengan hambatan masuk. Pertama, hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat yang legal ataupun dalam kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. Kedua, hambatan terbagi dalam berbagai tingkatan mulai dari tingkatan yang tanpa hambatan sala sekali, hambatan rendah, sedang, sampai hambatan yang paling tinggi dimana tidak ada jalan masuk bagi perusahaan
14
baru. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks dimana para ahli ekonomi memandangnya sebagai sesuatu yang penting tetapi yang lain memandangnya sebagai urutan yang kedua. Beberapa elemen struktur pasar yang telah dijelaskan meliputi pangsa pasar, konsentrasi, dan hambatan masuk merupakan struktur pasar yang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi industri. Sedangkan struktur pasar yang dilihat dari sudut pandang mikroekonomi sebagian besar meliputi pasar persaingan sempurna dan monopoli. Industri yang bersaing dalam pasar persaingan sempurna (PPS) adalah industri yang mempunyai asumsi-asumsi sebagai berikut: terdapat sejumlah perusahaan yang masing-masing memproduksi barang yang homogen dan sama; setiap perusahaan memaksimumkan laba; setiap perusahaan adalah pengambil harga dimana setiap perusahaan tidak berpengaruh terhadap harga pasar; informasi adalah sempurna; dan transaksi tidak memerlukan biaya. Dilihat dari asumsi-asumsi tersebut maka dalam pasar persaingan sempurna ada yang disebut dengan harga ekuilibrium (Equilibrium Price). Harga ekiulibrium ini merupakan harga dimana jumlah yang diminta adalah tepat sama dengan jumlah yang ditawarkan. Pada harga ini, tidak ada insentif baik bagi mereka yang melakukan permintaan maupun penawaran untuk mengubah perilaku mereka (Nicholson, 1999).
15
Harga
P1
P = MC D Q1
Jumlah yang diminta
Sumber : Nicholson (1999) Keterangan: P = harga Q = Kuantitas/Jumlah D = Demand/Permintaan MC = Marginal Cost Gambar 1. Kurva Keseimbangan PPS Kombinasi harga P1 dan jumlah Q1 dalam Gambar 1 mewakili ekuilibrium antara permintaan para individu dan biaya perusahaan. Maka harga ekuilibrium P1 memiliki dua fungsi. Pertama, harga ini bertindak sebagai sinyal bagi para produsen dengan memberikan informasi untuk memutuskan berapa banyak yang harus diprodukasi. Jadi untuk memaksimumkan keuntungan, perusahaanperusahaan akan memproduksi tingkat keluaran dimana biaya marginal adalah sama dengan P1 (P=MC). Fungsi yang kedua yaitu harga adalah untuk membagi permintaan. Dengan mengetahui harga pasar di P1, individu yang ingin memaksimumkan utilitas akan memutuskan berapa banyak dari pendapatan mereka yang terbatas dapat diberikan untuk pembelian sejumlah barang tertentu. Sedangkan dalam struktur pasar monopoli untuk memaksimumkan keuntungan, sebuah perusahaan monopoli akan memilih untuk berproduksi ditingkat keluaran di mana pendapatan marginal sama dengan biaya marginal
16
(MR=MC). Karena perusahaan monopoli menghadapi kurva permintaan pasar dengan kemiringan negatif, maka pendapatan marginal (MR) akan lebih kecil dari harga. Untuk menjual satu unit tambahan, monopoli tersebut harus menurunkan harga semua unit yang dijual jika ingin menghasilkan peningkatan permintaan yang diperlukan untuk menyerap unit marginal ini P MC P*
E AC
C
A
Q* MR
D
Q
Sumber : Nicholson (1999) Keterangan: P = harga Q = Kuantitas/Jumlah D = Demand/Permintaan MC = Marginal Cost MR = Marginal Revenue AC = Average Cost Gambar 2. Kurva Keseimbangan Pasar Monopoli Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat keluaran atau jumlah yang dapat memaksimuman keuntungan adalah Q* dan harga di pasar adalah P*, maka keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan monopoli adalah P*EAC. Jika sebuah perusahaan monopoli berproduksi dibawah Q*, keuntungan akan menurun karena pendapatan yang dihasilkan dari penurunan MR akan lebih besar daripada penurunan biaya produksi (MC).
17
Struktur pasar pada industri manufaktur memiliki perbedaan pangsa output atau nilai tambah yang berbeda menurut kelompok industrinya, dimana sifatnya dapat internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal diantaranya adalah jenis teknologi dan bahan baku yang digunakan, SDM yang tersedia, proses produksi, pola manajemen, dan kendala-kendala internal yang ada. Sedangkan faktor-faktor eksternal diantaranya yang sangat penting adalah jenis atau karakteristik pasar yang dilayani) misalnya pembeli menurut kelompok pendapatan dan bentuk serta tingkat persaingan). Selain faktor-faktor diatas, perubahan struktur industri juga dipengaruhi oleh kebijakan atau strategi industrialisasi (faktor eksternal) (Tambunan, 2001).
2.4. Perilaku Pasar Perilaku pasar menurut Legowo (1996) adalah tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam kapasitasnya sebagai produsen atau penjual dan pembeli barang dan jasa. Beberapa elemen yang menentukan perilaku pasar yaitu: 1. Tujuan perusahaan (Firm Objectives). Contohnya: laba, omzet penjualan, target pertumbuhan perusahaan dan lain-lainnya. 2. Cara berkompetisi yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuannya, terutama dalam kebijakan menentukan harga, besarnya produksi, adanya diferensiasi produk yang dihasilkan. 3. Pengaturan perilaku perusahaan. Seberapa jauh diperkenankan adanya persaingan antara perusahaan-perusahaan dalam pasar. Kemungkinan
18
terjadinya koordinasi diantara perusahaan dalam menentukan harga dan melakukan kolusi secara terang-terangan (kartel) atau secara diam-diam (price leadership) Hasibuan (1993) menyatakan bahwa dalam menilai derajat persaingan suatu pasar perlu diperhatikan perilaku dari perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri yang bersangkutan. Perilaku dalam hal ini adalah pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Perilaku ini jelas terlihat pada penentuan harga, promosi, koordinasi kegiatan dalam pasar, dan juga dalam kebijaksanaan produk. Perilaku pasar untuk setiap industri tidaklah sama. Jika terjadi perbedaan perilaku maka akan menimbulkan variasi perilaku. Terjadinya variasi perilaku ini antara lain disebabkan oleh struktur pasar. Perilaku industri yang atomistik, berbeda dengan struktur industri yang mempunyai struktur oligopoli atau monopoli. Perilaku dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu: perilaku dalam strategi harga, strategi produk, strategi promosi, dan strategi distribusi. Perilaku pasar ini menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai akibat dari struktur pasar yang dihadapinya. Pada pasar monopoli, perilaku monopolis ini adalah untuk memaksimalkan keuntungan sehingga tingkat harga yang diterapkan dengan cara ditentukan secara administrasi bukan melalui mekanisme pasar (Hasibuan, 1993). Maka bila tingkat harga naik di pasaran, akibat selanjutnya adalah beban konsumen yang meningkat dan hal ini akan sulit untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Oleh karena itu kehadiran monopoli dalam banyak hal mendapat tempat yang kurang baik
19
karena selain menimbulkan kerugian bagi konsumen juga menimbulkan kerugian pada sumber daya ekonomi. Menurut Legowo (1996) monopoli ditakuti oleh masyarakat karena mempunyai kekuatan pasar yang bisa merugikan masyarakat seperti: monopoli cenderung meninggikan harga dan membatasi jumlah produksi dibanding dengan pasar dengan persaingan, monopoli mempunyai kemampuan berproduksi pada suatu tingkat jumlah yang keuntungannya paling besar dan ini berarti pendapatan si monopolist diperoleh dengan mengambil tenaga beli milik konsumen, monopoli akan mencegah alokasi sumber daya ekonomi yang optimal karena si monopolist akan berproduksi tidak pada tingkat dimana biaya rata-rata paling rendah berbeda dengan pasar persaingan sempurna, dan praktek monopoli menentukan harga jual sepihak, menghambat perbaikan teknologi, membatasi perusahaan masuk industri tersebut dan dapat mempermainkan pasar karena berkuasa dalam pasar. Pada kondisi pasar oligopoli, perilaku setiap perusahaan akan sulit diperkirakan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh suatu perusahaan. Berbeda halnya dengan kondisi pasar persaingan sempurna dimana perusahaan hanya bersifat sebagai penerima harga. Pada umumnya perusahaan yang mendominasi pasar akan berlaku seperti halnya perusahaan monopoli yang akan menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan diskriminasi harga. Sedangkan pada pasar oligopoli, tindakan yang mereka lakukan terkait oleh strategi dimana pilihan tindakannya seringkali tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pesaing terdekat (Jaya, 2001). Jadi oligopoli perusahaan saling tergantung atau saling berhubungan atau bisa juga
20
terjadi rivalitas antara perusahaan dalam industri tersebut. Setiap oligopoli harus mempertimbangkan reaksi yang mungkin terjadi didalam menetukan harga, tingkat diferensisi dari produk yang dijual, besarnya advertensi yang akan dilakukan, servis yang diberikan dan lain-lainnya (Legowo, 1996). Salah satu bentuk keuntungan persaingan pasar oligopolis yang dapat dinikmati konsumen adalah biasanya kualitas produk selalu mengalami peningkatan. Pasar oligopolis selalu mendapatkan keuntungan yang memadai sehingga mereka selalu dapat membelanjakan sebagian dari keuntungannya untuk penelitian dan pengembangan kualitas produk (Prayoga, 2000). Para penjual dalam pasar oligopoli dapat saja berkolusi bukannya bersaing. Dalam kolusinya mereka dapat membuat perjanjian, baik tertulis maupun tidak untuk menentukan harga, menentukan jumlah ataupun membagi-bagi wilayah pasar secara geografis atau strata yang ada. Terbentuknya kolusi akan menyebabkan kemampuan mereka untuk mempengaruhi pasar menjadi semakin besar.
2.5. Kinerja Pasar Kinerja pasar atau kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri (Hasibuan, 1993). Kinerja dalam kitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi, kemajuan teknologi, dan keseimbangan dalam industri (Jaya, 2001). Pengertian efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu, baik secara kuantitas
21
fisik maupun nilai ekonomis. Atau secara singkat tidak ada sumber daya yang tidak digunakan dan terbuang, serta berusaha menggunakan input seminimum mungkin. Efisiensi digolongkan menjadi dua kategori. Pertama, efisiensi internal. Efisiensi internal diperoleh melalui pengelolaan yang baik dalam perusahaan. Para manajer menggunakan segala macam cara untuk memacu para pekerja, menekan segala macam biaya, dan mengawasi pelaksanan-pelaksanaan yang menyimpang. Bila terjadi pengelolaan yang kurang efisien maka dinamakan inefisiensi-X. Inefisiensi-X merupakan suatu kondisi di mana biaya produksi yang terjadi lebih besar dari biaya minimum yang masih mungkin dicapai oleh suatu perusahaan. Sedangkan kategori yang kedua yaitu alokasi efisien. Alokasi yang efisien menentukan kondisi ekuilibrium yang menunjukkan hubungan antara biaya dan output. Artinya sumber daya dialokasikan sedemikian rupa sehingga baik jumlah dan jenis barang yang diproduksi tepat dan selaras dengan keinginan konsumen. Berkaitan
dengan
kemajuan
teknologi,
melalui
penemuan
dan
pembaharuan teknologi orang dapat membuat suatu karya yang baru serta meningkatkan produktivitas suatu produksi barang yang telah ada. Jika hal ini bekerja dengan baik maka produksi-produksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun, dan harga-harga yang turun akan memperbesar keuntungan konsumen (Jaya, 2001). Efisiensi mengisyaratkan bahwa sumber-sumber daya yang dicurahkan untuk menghasilkan kemajuan teknologi didalam setiap aktivitas sesuai dengan batas yang telah ditetapkan oleh perusahaan itu sendiri. Yang dimaksud dengan keseimbangan dalam distribusi adalah keadilan (equity). Keadilan mempunyai tiga dimensi pokok yaitu kesejahteraan,
22
pendapatan, dan kesempatan. Kesejahteraan berpola sangat erat dan dapat diukur secara langsung dalam nilai uang. Sedangkan kesempatan berkaitan dengan peluang yang dimiliki setiap orang (Jaya, 2001). Keseimbangan dalam distribusi dapat dilihat dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan untuk memenuhi harapan yang nyata dan bernilai. Elemen-elemen yang terdapat didalam kinerja pasar menurut Legowo (1996) yaitu: 1. Efisiensi dalam produksi. Kemampuan berproduksi dengan efisien. 2. Efisiensi dalam penyaluran. Kemampuan mendistribusikan hasil produksi dengan biaya rendah (efisien). 3. Efisiensi dalam mengalokasi sumber daya sehingga harga yang dikenakan kepada pembeli bisa rendah sesuai dengan rendahnya biaya produksi termasuk keuntungan yang normal bagi produsen. 4. Kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi, sehingga dapat diperoleh biaya produksi yang rendah dan teknik distribusi yang lebih tepat. 5. Kinerja berupa mutu, harga, dan jumlah (variasi produk) yang sesuai dan bisa memuaskan konsumen. Kinerja dapat dilihat melalui pola profit. Keuntungan industri dapat diukur dengan indikator Price-Cost-Margin (PCM). PCM dapat dinyatakan sebagai suatu indikator kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga di atas biaya produksi. Selain itu, PCM dapat menggambarkan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan keuntungan dengan memperbesar nilai tambah yang diperoleh. Nilai tambah industri ini dapat diketahui dengan melihat selisih antara nilai output
23
industri dengan nilai inputnya. Perusahaan-perusahaan yang efisien akan mampu meningkatkan nilai tambah yang ditandai dengan semakin rendahnya biaya yang dicapai perusahaan dalam proses produksi. Dengan demikian, semakin tinggi nilai tambah, maka keuntungan yang diperoleh perusahaan akan semakin besar.
2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai analisis struktur pasar, perilaku, serta kinerja industri telah banyak dilakukan oleh para ekonom industri. Penelitian ini biasanya difokuskan mengenai kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan yang dihubungkan dengan tingkat konsentrasi industri terkait. Sehingga penelitian-penelitian
mengenai
tingkat
konsentrasi
dengan
keuntungan
menghasilkan kesimpulan yang beraneka ragam. Penelitian terdahulu dilakukan oleh Busriawaty (2004) yang mengkaji hubungan antara struktur pasar dengan kinerja industri pupuk di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi sebagai variabel penentu struktur pasar sangat besar pengaruhnya, hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin besar tingkat konsentrasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dimilikinya sehingga produsen dengan mudah memperoleh keuntungan. Kemudian efisiensi internal dan tingkat pertumbuhan juga mempengaruhi tingkat keuntungannya. Efisiensi internal dapat ditunjukkan dengan adanya pemakaian mesin yang berteknologi tinggi sehingga menghasilkan nilai tambah yang tinggi pula. Dan tingkat pertumbuhannya dapat ditunjukkan dengan peningkatan permintaan oleh para petani sehingga produsen meningkatkan produksinya yang
24
pada akhirnya dapat memperbesar tingkat keuntungan produsen pupuk. Tetapi pembentukan holding company tidak mempengaruhi secara nyata terhadap tingkat keuntungan, karena distributor nasional mengalami penurunan keuntungan yang diikuti dengan penurunan total keuntungan bagi anggota hoding company. Kesimpulan lain mengenai analisis perilaku ditunjukkan dengan adanya strategi harga dimana pupuk bersubsidi ditentukan oleh Deptan dan strategi produksi yang ditunjukkan dengan memperhitungkan besarnya produksi untuk kebutuhan ekspor. Penelitian lain yang mengkaji pupuk bersubsidi dilakukan oleh Manaf (2000) dengan menganalisis pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatn petani. Analisisnya dilakukan dengan analisis sistem neraca sosial ekonomi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penghapusan subsidi secara langsung menyebabkan peningkatan beban ongkos produksi yang cukup besar bagi petani kecil yang merupakan produsen pangan terbesar, peningkatan beban ongkos produksi tersebut pada gilirannya akan menurunkan produksi secara umum, subsidi harga pupuk memiliki dampak yang mengarah (bias) pada pengusaha menengah besar dibandingkan pada pendapatan petani dan pengusaha pertanian kecil, dan kebijakan subsidi secara selektif, sebenarnya dapat mengurangi semakin lebarnya kesenjangan pendapatan antara rumah tangga petani dan bukan petani. Penelitian lain yang menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar dilakukan oleh Robert (1995). Variabel yang digunakan dalam penelitiannya adalah pangsa pasar, efisiensi dan produktivitas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara masing-masing variabel struktur
25
pasar dengan PCM. Adanya pangsa pasar yang tinggi akan menyebabkan keuntungan perusahaan yang diperoleh semakin tinggi pula. Dengan tingginya tingkat efisiensi perusahaan dan produktivitas yang dilakukan dalam proses produksi, maka menunjukkan semakin tinggi halangan untuk memasuki pasar. Kondisi ini akan sulit bagi pesaing baru untuk memasuki pasar karena harus bersaing dengan perusahaan yang ada dengan tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Hal ini selanjutnya akan mendorong terciptanya keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Penelitian Delima (2005) melakukan penelitian pada industri ban. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi sebagai variabel struktur pasar memiliki hubungan yang negatif terhadap PCM. Hal ini diduga karena adanya pertambahan jumlah perusahaan pada industri mampu meningkatkan persaingan sehingga menyebabkan penurunan terhadap konsentrasi rasio pasarnya. Variabel tingkat pertumbuhan yang mewakili kondisi permintaan dan impornya tidak berpengaruh terhadap variabel PCM. Data yang dipakai adalah data ban impor yang masuk secara legal sedangkan disinyalir ban yang masuk ke Indonesia adalah ban impor yang masuk secara ilegal. Variabel ekspor, produktivitas dan efisiensi berpengaruh signifikan terhadap PCM. Kesimpulan lain yang terkait dengan perilaku pasar meliputi strategi harga, produk, promosi, distribusi, dan perilaku lainnya. Perilaku Industri ban di Indonesia sangat erat dengan pasar ekspor.
26
2.7. Kerangka Pemikiran Agar suatu proses penelitian yang akan dilakukan dapat lebih mudah dimengerti, maka diperlukan penyusunan suatu kerangka pemikiran yang dapat menjelaskan perumusan masalah secara lebih jelas dan menunjukkan keterkaitan dalam mengkaji tujuan penelitian tersebut. Struktur, perilaku, dan kinerja pasar yang saling berkaitan ini mendasari kerangka pemikiran dari penelitian yang dikaji. Struktur yang terjadi di pasar akan mempengaruhi perilaku-perilaku perusahaan, kemudian struktur pasar ini bersama dengan perilaku akan mempengaruhi kinerja suatu industri. Pada kerangka ini ditunjukkan variabelvariabel yang akan digunakan dalam proses analisis hubugan struktur pasar dan kinerja. Penelitian ini terlebih dahulu mengkaji kebijakan pupuk bersubsidi oleh pemerintah yang diberikan kepada industri pupuk. Pupuk bersubsidi memang sengaja diberikan oleh pemerintah kepada industri pupuk bukan secara langsung kepada para petani karena dengan alasan masyarakat petani dapat memperoleh pupuk dengan harga yang terjangkau. Namun, analisis yang dilakukan adalah mengkaji struktur pasar dengan kinerjanya dengan menambahkan kebijakan pupuk bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah. Komponen yang digunakan dalam menganalisis struktur pasar adalah tingkat rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2), pangsa pasar dan hambatan masuk. Untuk kinerjanya digunakan Price-Cost-Margin (PCM) dan X-efisiensi. PCM digunakan sebagai proksi dari tingkat keuntungan karena dengan alasan adanya masalah keterbatasan data mengenai keuntungan setiap perusahaan yang tidak dipublikasikan. Oleh karena
27
itu variabel dependent yang digunakan dalam model penelitian ini adalah PCM, sedangkan variabel independent adalah CR2, XEFF, PROD, variabel dummy subsidi dan dummy krisis ekonomi. Setelah mengalisis hubungan struktur dan kinerja, kita dapat mengetahui pengaruhnya terhadap perilaku dan tindakan produsen pupuk. Analisis dalam perilaku dapat dikaji mengenai strategi harga, produk dan produksi yang dilakukan agar menghasilkan keuntungan yang maksimum. Kemudian analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu mengalisis efektifnya pupuk bersubsidi terhadap industri pupuk, apakah pupuk bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah tersebut efektif terhadap produsen pupuk menyangkut tingkat keuntungan yang diperoleh atau kebijakan tersebut malah mematikan produsen pupuk akibat kerugian yang dialami. Kajian terakhir adalah kesimpulan yang diperoleh serta saran yang dapat diberikan kepada seluruh kepentingan, baik itu produsen, pemerintah maupun petani.
28
Industri Pupuk di Indonesia
STRUKTUR
PERILAKU
Pengaruh Struktur Terhadap Kinerja
KINERJA
Kebijakan Pupuk Bersubsidi Oleh Pemerintah
Kesimpulan dan Saran Gambar 3. Kerangka Pemikiran 2.8. Hipotesis Penelitian Penelitian mengenai pengaruh struktur pasar tehadap kinerja industri, telah banyak dilakukan oleh para ekonom dari beberapa kasus yang berbeda-beda terutama oleh masyarakat industri. Sehingga hubungan variabel-variabel struktur pasar dan kinerja dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan adanya penggunaan proksi yang berbeda-beda dalam kajian yang dilakukan oleh para peneliti. Berdasarkan pada pengamatan dan teori-teori yang mendasari penelitian ini, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2) memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Artinya semakin tinggi tingkat konsentrasi
29
perusahaan maka semakin tinggi tingkat keuntungannya, hal ini menunjukkan kinerja pasar yang baik. 2. Efisiensi X (XEFF) dan Produktivitas memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Artinya semakin tinggi tingkat efisiensi industri pupuk maka semakin baik kinerja industri tersebut. Begitu pula dengan produktivitas, semakin tinggi produktivitas maka akan menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi pula sehingga menunjukkan kinerja industri pupuk yang semakin baik. 3. Variabel DSubs sebagai variabel dummy memiliki hubungan positif terhadap PCM. Artinya semakin tinggi subsidi yang diberikan akan menciptakan tingkat keuntungan yang semakin tinggi. 4. Variabel DKRI sebagai variabel dummy krisis yang memiliki hubungan negatif terhadap PCM. Artinya dengan adanya krisis ekonomi maka akan terjadi peningkatan harga pupuk sehingga akan mengurangi jumlah permintaan dan menurunkan tingkat keuntungan.
30
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diestimasi merupakan data time series. Dimana data yang digunakan antara tahun 1983 sampai 2003. Data sekunder ini diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), dan Perpustakaan Institut Pertanian Bogor serta literaturliteratur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Data yang dikumpulkan meliputi data nilai input, nilai output, nilai tambah, tingkat pengeluaran upah pekerja, serta nilai penjualan industri pupuk di Indonesia selama kurun waktu yang diteliti.
3.2. Metode Analisis Untuk menjawab perumusan masalah, penulis menggunakan metode analisa kuantitatif dan kualitatif, dimana metode kuantitatif ini melakukan kajian mengenai struktur pasar dan kinerja dari perusahaan tersebut. Sedangkan analisis kualitatif digunakan untuk mengkaji perilaku pasar yang tidak dapat dikuantitatifkan.
3.2.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar dapat dilakukan dengan analisis deskriftif kuantitatif yaitu dengan menghitung pangsa pasar industri pupuk. Dan pangsa pasar tersebut dapat
31
diukur dengan menghitung rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2). Rasio konsentrasi merupakan persentase dari nilai penjualan atau pendapatan penjualan terhadap nilai penjualan total industri. Nilai persentase ini menunjukan besarnya pangsa pasar dari industri yang bersangkutan. Rasio konsentrasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
m CRm = ∑ Si ...........................................................................................(3.1) i =1 dimana: m = Jumlah perusahaan terbesar yang memimpin pasar Si = Persentase pangsa pasar dari perusahaan ke i Rasio konsentrasi memiliki nilai antara 0 sampai 100 persen. Semakin besar pangsa pasarnya mendekati 100 persen maka tingkat rasio konsentrasi industri semakin tinggi hal ini menunjukan bahwa bentuk pasarnya monopoli.
3.2.2. Analisis Perilaku Pasar
Untuk menganalisis perilaku yang dilakukan oleh perusahaan di dalam industri pupuk, dapat dilakukan berdasarkan hasil analisis hubungan yang terjadi antara struktur pasar dengan kinerjanya. Sehingga hasil analisis hubungan antara struktur pasar dan kinerja dapat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan.
3.2.3. Analisis Kinerja Pasar
Analisi kinerja dilakukan dengan menggunakan analisis Price-CostMargin (PCM) dan efisiensi-X. PCM didefinisikan sebagai persentase keuntungan
dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Selain itu PCM juga dinyatakan
32
sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi. Efisiensi yang dihitung adalah efisiensi internal (efisiensi-X) yang menggambarkan suatu industri dan perusahaan dikelola dengan baik. Pengukuran efisiensi dapat dihitung dengan rasio nilai tambah dengan nilai input atau dengan melihat kapasitas produksi perusahaan-perusahaan di industri tersebut.
3.2.4. Analisis Hubungan Stuktur Pasar dan Kinerja Industri
Analisis antara struktur pasar dan kinerja industri dilakukan dengan mengukur perhitungan data kuantitatif dengan menggunakan model persamaan sebagai berikut :
PCMt = β0 + β1CR2t + β2Xefft + β3Prodt + β4DSubst + β5DKRIt + µt.....(3.2) Keterangan : PCM
: Proksi keuntungan perusahaan (persen)
CR2
: Konsentrasi penjualan industri dari dua perusahaan terbesar (persen)
Xeff
: Efisiensi internal perusahaan (persen)
Prod
: Produktivitas yang menunjukan permintaan (persen)
Dsubs
: Dummy kebijakan subsidi (D=1 saat adanya subsidi dari pemerintah dan D=0 saat pencabutan subsidi)
DKRI
: Dummy krisis ekonomi (D=1 setelah adanya krisis ekonomi dan D=0 sebelum adanya krisis ekonomi)
β0
: Nilai konstanta
33
β1, β2, β3, β4 : Parameter dugaan t
: Tahun
μt
: error Penggunaan variabel PCM yang digunakan sebagi proksi keuntungan
karena masalah ketersediaan data. Sebab keuntungan masing-masing perusahaan tidak
selalu
dipublikasikan
sehingga
PCM
dapat
digunakan
untuk
menggambarkan nilai keuntungan industri sebagai perkiraan kasar. PCM ini menggunakan proksi nilai tambah karena keefisienan industri dapat diketahui dengan besarnya nilai tambah yang .diperoleh. Artinya semakin tinggi nilai tambah, maka semakin efisien kinerja industri tersebut. Dapat dirumuskan sebagai berikut : PCM =
Nilai Tambah - Pengeluaran Upah Pekerja x 100% …………..(3.3) Nilai Output
Tingkat konsentrasi dapat diukur dengan rasio konsentrasi atau CR4. Rasio konsentrasi merupakan persentase dari nilai penjualan atau pendapatan penjualan terhadap nilai penjualan total industri. Nilai persentase ini menunjukan besarnya pangsa pasar dari industri yang bersangkutan. Semakin tinggi rasio konsentrasi pada suatu industri, maka menunjukan adanya kekuatan pasar yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan. Tingkat konsentrasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
CR2 =
Penjualan Dua Perusahaan Terbesar x 100% …………….......(3.4) Total Penjualan Industri
Kemudian variabel XEFF yang digunakan karena kemampuan perusahaan dalam menekan biaya produksi, sehingga dapat menciptakan kontribusi terhadap
34
nilai tambah yang diperoleh. Variabel ini dimasukkan karena kinerja perusahaan yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya efisiensi dan banyaknya output yang dihasilkan dan akhirnya memberikan keuntungan pada perusahaan tersebut. Dapat dirumuskan sebagai berikut : Efisiensi - X =
Nilai Tambah x 100% …………………………………(3.5) Nilai Input
Variabel PROD digunakan untuk menunjukan tingkat produktivitas dari sebuah perusahaan dalam menghasilkan output pada periode waktu tertentu. Produktivitas dapat dirumuskan sebagai berikut : Produktivitas =
Nilai Output x 100% ...............................(3.6) Nilai Input Tenaga Kerja
Variabel DSubs yang digunakan sebagai dummy untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh pemberian subsidi yaitu kebijakan pemerintah saat adanya pemberian subsidi dan ketika adanya pencabutan subsidi. Variabel DKRI sebagai dummy krisis ekonomi digunakan untuk mengatahui pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia terhadap kinerja industri pupuk.
3.3. Pengujian Hipotesis Untuk menguji model persamaan ini, penulis menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS). Dalam menganalisis persamaan modelnya, maka digunakan program Eviews 4.1. Menurut Gujarati (1998) metode OLS dapat digunakan jika memenuhi asumsi sebagai berikut : 1. Variasi unsur sisa menyebar normal
35
2. Nilai rata-rata dari unsur bisa sama dengan nol 3. Ragam merupakan bilangan tetap (homoskedastisitas) 4. Tidak ada korelasi diri (autokorelasi) 5. Tidak ada linier sempurna antara peubah bebas (multikolinearitas) 6. Nilai-nilai peubah adalah tetap untuk contoh-contoh yang berulang. Dari hasil regresi dapat dilakukan dengan pengujian-pengujian agar suatu model dapat dikatakan dengan baik. Pengujian-pengujian ini dilakukan dengan uji statistik dan uji ekonometrika.
3.3.1. Kriteria Uji Statistik a. Uji F-Statistik Uji F digunakan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi serta mengatahui pengaruh bagaimana pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hipotesis : H0
: b1 = b2…..= bi = 0
H1
: minimal ada salah satu bi ≠ 0
Kriteria uji :
Probability F-statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability F-statistic > taraf nyata (α), maka terima H0
36
Jika HO ditolak berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika HO diterima maka tidak ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata.
b. Uji t-Statistik Uji t digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari suatu model variabel bebas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas.
Uji satu arah : H0
: b1 = b2 = .......= bi = 0
H1
: bi > 0 atau bi < 0
Uji dua arah : H0
: b1 = b2 = .......= bi = 0
H1
: bi ≠ 0
Kriteria uji :
Probability t-statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability t-statistic > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika HO ditolak berarti ada variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika HO diterima maka tidak ada variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.
c. Uji Koefisien Determinasi R2 Koefisien determinasi digunakan untuk melihat seberapa besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas.
37
Kofisien determinasi memiliki dua sifat yaitu R2 merupakan besaran non negative dan nilainya R2 adalah 0 ≤ R2 ≤ 1, dimana bila R2 mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan semakin baik karena semakin dekat hubungan antar variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, demikian pula sebaliknya.
3.3.2. Kriteria Uji Ekonometrika a. Uji Autokorelasi Suatu model dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial diantara disturbance term. Pada program E-Views, uji autokorelasi dilakukan dengan melihat Probability Obs*R-
Square pada uji Breunch And Godfrey Serial Correlation LM-Test. Jika nilai probabilitas Obs*R-Square lebih besar dari taraf nyata maka tidak mengalami autokorelasi. Sebaliknya bila nilai probabilitas Obs*R-Square lebih kecil dari taraf nyata maka mengandung autokorelasi. Beberapa alasan penyebab munculnya autokorelasi yaitu (Manurung, et al, 2005): 1. Kelembaman atau kelambanan data ekonomi. 2. Bias spesifikasi bentuk fungsional. Kesalan bentuk fungsional merupakan pola sistematis yang dapat menciptakan autokorelasi. 3. Fenomena Cobweb. Aksi seperti ini mengakibatkan error tidak terjadi secara acak. Ketidakacakan error dapat menciptakan autokorelasi. 4. Tenggang waktu atau lags.
38
5. Manipulasi data. Sistem interpolasi atau ekstrapolasi merupakan pola sistematis yang dapat menciptakan autokorelasi.
6. Transformasi data. Pengurangan model awal dengan model transformasi menghasilkan model first difference operator atau dynamic regression
model. 7. Non-statsioneritas. Data time series sering mengalami rata-rata varians dan kovarians tidak konstan sejalan dengan waktu atau tidak stasioner. Jika data variabel regressan dan variabel eksplanatoris tidak stasioner maka error juga tidak stasioner dan mengakibatkan autokorelasi.
b. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika ragam tidak konstan. Akibat dari heteroskedastisitas ini menyebabkan sifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) tidak tercapai atau pengujiannya tidak valid. Gejala adanya heteroskedastisitas ditunjukan oleh Probability Obs*R-Square pada uji White Heteroskedasticity. Jika nilai probabilitas Obs*R-Square lebih besar dari taraf nyata maka tidak mengalami heteroskedastisitas. Sebaliknya bila nilai probabilitas Obs*R-
Square lebih kecil dari taraf nyata maka mengandung heteroskedastisitas. Menurut Manurung, et al (2005) beberapa masalah heteroskedastisitas akan sering muncul karena: 1. Mengikuti error-learning model, dimana pengalaman kerja individu akan menekan kesalahan sejalan dengan waktu.
39
2. Pengumpulan data secara langsung menunjukkan varians yang semakin kecil. 3. Heteroskedastisitas juga muncul akibat pencilan suatu data observasi tertentu atau outliers, yaitu beberapa pengamatan yang mempunyai perbedaan besar dengan pengamatan lainnya. 4. Spesifikasi model yang tidak baik, yaitu mengeluarkan variabel penting dari model dan memasukkan variabel yang tidak penting ke dalam model. 5. Kemencengan atau skewness dari distribusi satu atau lebih variabel regressor yang tercakup dalam model. 6. Menurut David Henry, heteroskedastisitas muncul akibat kesalahan transformasi data (rasio atau first difference), dan kesalahan bentuk fungsional.
c. Uji Multikolinearitas Asumsi suatu model terbebas dari masalah multikolinearitas yaitu kondisi dimana terdapat hubungan yang linear sempurna antara beberapa atau semua variabel bebas dalam sebuah model regresi. Multikolinearitas dapat dideteksi apabila terjadi korelasi yang sangat kuat antara variabel-variabel bebas. Untuk melihat masalah multikolinearitas dapat dipergunakan uji correlation matrix hasil perhitungan dengan E-Views, dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas tidak lebih dari 0,8 . Jika terdapat koefisien yang lebih besar dari 0,8 maka terjadi gejala multikolinearitas, begitu juga
40
sebaliknya jika nilainya kurang dari
0,8
maka tidak terjadi gejala
multikolinearitas. Menurut Motgomery dan Peck dalam Manurung, et al. (2005) beberapa penyebab multikolinier terdiri dari: 1. Metode pengumpulan data yang digunakan membatasi nilai dari variabel regressor. 2. Kendala-kendala model pada populasi yang diamati. 3. Spesifikasi model, misalnya penambahan bentuk polinominal terhadap model regressi. 4. Penentuan jumlah variabel eksplanatoris yang lebih banyak dari jumlah observasi. 5. Data time series, di mana nilai trend tercakup dalam nilai variabel eksplanatoris yang ditunjukkan oleh penurunan atau peningkatan sejalan dengan waktu.
41
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Sejarah Industri Pupuk Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki sumber alam yang kaya dan tenaga kerja yang melimpah memprioritaskan perhatiannya pada sektor pertanian, karena di sisi lain laju pertambahan penduduk terus meningkat. Hal ini membawa korelasi meningkatnya kebutuhan pangan yang harus diikuti dengan usaha peningkatan produksi melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi disektor pertanian serta pembangunan pabrik pupuk kimia. Sampai saat ini pembangunan pabrik pupuk kimia yang tersebar hampir di seluruh Indonesia telah berdiri sekitar enam pabrik pupuk sebagai produsen pupuk di Indonesia. Perusahaan tersebut dibentuk oleh pemerintah dalam rangka peningkatan produksi pangan yang berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diantaranya adalah P.T. Pupuk Sriwijaya, P.T. Petrokimia Gresik, P.T. Kalimantan Timur, P.T. Pupuk Kujang, P.T. Pupuk Iskandar Muda, dan P.T. Asean Aceh Fertilizer. Produsen pupuk yang dibentuk oleh pemerintah tersebut berdasarkan PP No. 28 tahun 1997 dan PP No. 34 tahun 1998 serta RUPS Luar Biasa P.T. Pusri tanggal 12 September 1997, ditugaskan untuk tergabung dalam suatu wadah industri pupuk dimana P.T. Pusri sebagai perusahaan induk (holding company).
Holding company memiliki visi dan misi. Visi dari holding company adalah menjadi perusahaan pupuk dan petrokimia serta jasa teknologi yang kompetitif dalam pemenuhan kepentingan Pemegang Saham, pemenuhan kepuasan
42
pelanggan, pencapaian kinerja dan pencapaian nilai, serta pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia. Dan misi dari holding company yaitu menjalankan usaha dalam bidang produksi dan pemasaran pupuk untuk mendukung
program
pengembangan
pertanian
dengan
memaksimalkan
produktivitas, efisiensi dan peningkatan keuntungan.
Holding company juga memiliki tujuan yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas nasional di bidang industri pupuk, dan memberikan kontribusi optimal kepada pemerintah dan petani. Melakukan pengelolaan baik induk maupun anggota holding sehingga dapat mengurangi beban pemerintah untuk koordinasi dan pengendalian perusahaan pupuk. Melakukan kegiatan sinergi dalam bidang produksi, pemasaran, rancang bangun dan perekayasaan, logistik, dan keuangan sehingga diperoleh keuntungan yang maksimal secara keseluruhan. Dan menentukan dan mengintegrasikan arah pengembangan industri pupuk dan petrokimia dengan menetapkan proyek-proyek yang paling menguntungkan agar dapat memberikan nilai tambah optimal. Sehingga dengan tujuan dibentuknya
holding company tersebut maka manfaat yang dapat diperoleh antara lain terjaminnya kebutuhan pupuk dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan petani dengan harga yang wajar melalui koordinasi holding, koordinasi ekspor pupuk urea dilakukan oleh holding, dan membantu anggota holding yang mendapat kesulitan pendanaan proyek. P.T. Pupuk Sriwijaya (P.T. Pusri) yang didirikan pada tanggal 24 Desember 1959 berlokasi di Palembang, Sumatera Selatan merupakan pabrik pupuk kimia pertama yang memproduksi pupuk untuk mendukung sektor
43
pertanian. Lokasi ditetapkannya di Palembang karena letaknya tidak jauh dari sumber gas bumi di Plaju dan Sungai Gerong serta dekat dengan sumber air Sungai Musi, yang menurut penelitian airnya tidak pernah kering sepanjang tahun. P.T. Pusri yang semakin berkembang setiap tahunnya telah memiliki empat pabrik dengan total kapasitas terpasang pupuk urea sebesar 2.280.000 ton per tahunnya. P.T. Petrokimia Gresik yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur dibangun pada tahun 1964. Pemilihan lokasi pabrik dikarenakan oleh salah satu pertimbangan bahwa kebutuhan pupuk urea cukup besar dan produksi dari Palembang (Pusri) tidak mencukupi untuk wilayah Jawa. Selain pupuk urea produsen pupuk ini juga menghasilkan beberapa macam pupuk, yaitu ZA, TSP, dan SP-36. P.T. Petrokimia Gresik sampai saat ini memiliki satu unit pabrik urea dengan kapasitas produksi sebesar 462.000 ton per tahun, dua unit pabrik SP-36 dengan kapasitas produksi sebesar 1.200.000 ton pertahun dan tiga unit pabrik ZA dengan kapasitas produksi sebesar 650.000 ton per tahun. P.T. Pupuk Kujang yang didirikan pada tanggal 9 Juni 1975 dengan lokasi di Cikampek, Jawa Barat. Pertimbangan dibangunnya pabrik pupuk di Jawa Barat karena pada saat itu kebutuhan akan pupuk urea setiap tahunnya selalu meningkat sebesar 10 persen. Kebutuhan pupuk tersebut mencapai jumlah 728.000 ton per tahun. Sedangkan P.T. Pusri pada waktu itu hanya dapat berproduksi sebesar 100.000 ton per tahun. Sehingga kebutuhan akan pupuk di wilayah Jawa Barat tidak terpenuhi. Kapasitas produksi pupuk urea hanya terdiri dari satu unit pabrik sebesar 586.000 ton per tahun. Dan baru-baru ini pada tahun 2005 P.T. Pupuk Kujang telah menambah kapasitas produksi pupuk urea satu unit pabrik sebesar
44
570.000 ton per tahun. Sehingga dengan dua unit pabrik, kapasitas produksi pupuk urea kira-kira menjadi 1.156.000 ton per tahun. P.T. Pupuk Kalimantan Timur (P.T. Pupuk Kaltim) yang berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur merupakan produsen pupuk terbesar saat ini karena dengan memiliki empat unit pabrik pupuk urea produsen pupuk ini mampu menghasilkan kapasitas produksi sebesar 2.410.000 ton per tahun. Selain itu P.T. Pupuk Kaltim juga membangun Proyek Optimasi Pupuk Kaltim (POPKA) yang disebut sebagai pabrik urea unit-4. Pabrik ini adalah pabrik urea yang dibangun tanpa membangun pabrik Amoniak. Bahan baku Amoniak pabrik ini diperoleh dari kelebihan Amoniak dan pabrik Kaltim-I dan Kaltim-2. POPKA ini memproduksi Urea Granule yang ukuran butirannya lebih besar. Sehingga dengan satu unit pabrik POPKA, kapasitas produksi terpasang sebesar 570.000 ton per tahun. P.T. Pupuk Iskandar Muda (P.T. PIM) yang didirikan pada tahun 1982 di Lhoksumawe, Aceh bertujuan untuk mengantisipasi kebutuhan pupuk urea dalam negeri yang terus meningkat serta tersedianya cadangan gas bumi dan infrastruktur di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Seperti P.T. Pupuk Kujang, pada tahun 2005 P.T. PIM juga telah mendirikan satu unit pabrik baru yang meiliki kapasitas produksi terpasang sebesar 570.000 ton per tahun. Sehingga dengan jumlah dua unit pabrik urea P.T. PIM mampu menghasilkan urea dengan kapasitas produksi sebesar 1.170.000 ton per tahun . P.T. Asean Aceh Fertilizier (P.T. AAF) yang didirikan pada tanggal 12 April 1979 ini berlokasi di Lhoksumawe, Aceh. P.T. AAF merupakan pabrik
45
pupuk urea pertama yang berlokasi di Lhoksumawe dan pabrik pupuk hasil dari patungan negara-negara ASEAN. Tujuan didirikannya P.T. AAF adalah untuk memenuhi kebutuhan akan pupuk bagi anggota negara ASEAN pada khususnya dan pasar international pada umumnya. P.T. AAF mampu berproduksi dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 660.000 ton per tahun. Tapi sejak tahun 2004 P.T. AAF tidak berproduksi lagi karena pada tahun 2003 pabrik ini kekurangan akan suplai gas alamnya sebagai bahan baku utama, hal ini disebabkan telah habis masa kontrak pasoka gas bumi P.T. AAF pada 31 Desember 2002. Kapasitas terpasang produksi urea masing-masing produsen pupuk dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Kapasitas Terpasang Industri Pupuk di Indonesia Perusahaan Pupuk Tahun Operasi Lokasi
P.T. Pupuk Sriwijaya PUSRI II PUSRI III PUSRI IV PUSRI IB Total P.T. Petrokimia Gresik UREA PETRO P.T. Pupuk Kujang KUJANG I KUJANG IB Total P.T. Pupuk Kaltim KALTIM 1 KALTIM 2 KALTIM 3 KALTIM 4 POPKA Total P.T. PIM PIM 1
1974 1976 1977 1994 1994 1978 2005 1984 1984 1989 2002 1999 1984
Palembang
Gresik Cikampek
Bontang
Lhoksumawe
Kapasitas Terpasang (Ton/Tahun) 570.000 570.000 570.000 570.000 2.280.000 460.000 586.000 570.000 1.156.000 700.000 570.000 570.000 570.000 570.000 2.980.000 600.000
46
PIM 2 Total P.T. AAF
2005 1983
Lhoksumawe
570.000 1170.000 660.000
Sumber: APPI (2006)
4.2. Kegiatan Pendistribusian Pupuk Kegiatan pendistribusian pupuk adalah gambaran pergerakan pupuk mulai dari Gate/pabrik sampai ke petani/konsumen berikut kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Mengenai kegiatan pendistribusian pupuk meliputi sarana penunjamg distribusi pupuk dan mekanisme pendistribusian pupuk. Sarana penunjang distribusi pupuk dimulai pada awal produksi pabrik Pusri tahun 1963, P.T. Pusri hanya bertindak sebagai produsen dan P.T. Pertani sebagai pembeli tunggal dengan mengambil langsung pupuk urea di Palembang. Untuk meningkatkan pelayanan kepada petani maka P.T. Pusri mulai tahun 1967 mengembangkan sarana distribusi secara terbatas yaitu menyewa gudang-gudang penyimpanan pupuk baik di lini II maupun di lini III. Sejalan dengan pembangunan pabril Pusri II, III, dan IV (1974-1977) dan ditunjuknya PT. Pusri sebagai Penanggung Jawab pengadaan dan penyaluran pupuk untuk kebutuhan Bimas/Inmas dan Non Bimas di seluruh Indonesia baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun luar negeri (impor) berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 056/1979 tanggal 15 Februari 1979, maka dimulailah pembangunan sarana penunjang disrtibusi pupuk dengan nama Proyek Sarana Distribusi (PSD). Mekanisme pendistribusian pupuk terbagi dalam beberapa periode. Periode 1963 sampai dengan 1979 pola pengadaan pupuk urea sebagian dari produksi P.T. Pusri dan kekurangan kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari impor,
47
distribusi dan pemasaran/penyaluran dilakukan oleh P.T. Pertani sebagai pembeli tunggal yang mengambil langsung di Palembang. Dari tahun 1963 sampai 1967 pola pengadaan dan pemasaran/penyalurannya adalah bebas dan sejak tahun 1968 sampai 1979 semi regulated dimana pola distribusinya diatur oleh pemerintah. Periode 1979 sampai 1998 pola penyaluran, distribusi dan pemasaran/penyaluran pupuk adalah periode regulasi yakni ditunjuknya PT. Pusri oleh Pemerintah sebagai penanggung jawab tunggal pupuk bersubsidi untuk sektor Bimas/Non Bimas berdarkan SK Menteri Perdagangan Koperasi No. 56/KP/II/1979 tanggal 15 Februari 1979. Periode 1998 sampai 2001, atas pertimbangan subsidi pupuk tidak mencapai sasaran dan terjadi kelangkaan pengadaan pupuk menjelang semester II tahun 1998 maka terhitung 1 Desember 1998 subsidi untuk pupuk dihapuskan dan tata niaga pupuk dicabut berdarkan SK Memperindag No. 26/1999. Pengadaan dan penyaluran pupuk berlaku mekanisme supply and demand sebagaimana kondisi pasar bebas kecuali untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau P.T. Pusri tetap ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan pengadaan dan penyaluran pupuk. Periode 2001 sampai sekarang, memperhatikan terjadinya kelangkaan pupuk di lini IV yang mengakibatkan tidak terkendalinya harga ditingkat petani, Pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan No. 93/MPP/3/2001 tanggal 14 Maret 2001 tentang pengadaan dan Penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian. Penyaluran pupuk urea untuk petani tanaman pangan, perikanan, peternakan, dan perkebunan rakyat dilaksanakan oleh Unit Niaga P.T. Pusri, Produsen, Distribusi dan Pengecer.
48
4.3. Kebijakan harga Pupuk Kebijakan harga pupuk yang ditentukan oleh Pemerintah pada era subsidi dan pupuk di tataniagakan maupun penetapan oleh produsen sendiri pada era pasar bebas merupakan dasar bagi penetapan harga pupuk yang dapat dijangkau oleh petani. Sebelum tahun 1992 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ditetapkan dengan pola cost plus fee. Dari setiap tonase yang diproduksi, industri pupuk mendapat fee sebesar Rp 5.000/ton. Lalu tahun 1992 sampai 1997 HPP ditetapkan berdarkan border price, dimana harga jual ditetapkan sama untuk seluruh produsen pupuk yang dihitung pada harga gas bumi US$ 1,00/MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Tahun 1997 sampai 1998 akhir, akibat krisis moneter yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, maka atas kesepakatan HPP diperhitungkan berdasarkan formula yang dikaitkan dengan komponen valuta asing seperti bahan baku utama, bahan baku penolong, spare
part, dan asuransi. Perhitungan subsidi periode dapat dihitung dengan uaraian berikut : a) Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) b) Berdasarkan perhitungan-perhitungan biaya pergerakan pupuk dari produsen/supply point sampai ke petani/konsumen sesuai alokasi masingmasing, Pemerintah menetapkan Biaya Distribusi (BD) pupuk untuk tiap jenis pupuk. c) Berdasarkan anggaran biaya subsidi (S) pupuk yang disediakan, Pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk ditingkat petani yang berlaku sama di seluruh Indonesia.
49
d) Setelah HPP, BD, S, dan HET ditetapkan, Pemerintah menetapkan Harga Penyerahan
(HP)
pupuk
masing-masing
produsen
kepada
Unit
marketing/Niaga P.T. Pusri. Unit Niaga P.T. Pusri membeli pupuk kepada masing-masing produsen berdasarkan HPP masing-masing produsen. Formula penetapan harga pupuk oleh Pemerintah adalah : •
Lini I/pabrik : HPP berdasarkan perhitungan biaya produksi.
•
Lini II/provinsi : HP + BD sampai dengan Lini II
•
Lini III/kabupaten : Harga di Lini II + BD sampai dengan Lini III
•
Lini IV/Unit Wilayah Desa : HPP + BD – S atau HP = BD sampai dengan Lini IV
Setelah subsidi pupuk dihapuskan dan tataniaganya dicabut pada era pasar bebas yang diberlakukan sejak 1 Desember 1998, harga pupuk sepenuhnya tergantung pada mekanisme pasar dan hukum permintaan-penawaran (supplydemand). Secara umum, penetapan harga jual berdasarkan formula cost + margin ditambah PPN (10%) sebagai berikut : •
Pabrik : Biaya Produksi + Margin + PPN
•
Lini II : Harga beli dari pabrik + biaya distribusi sampai dengan Lini II + PPN
•
Lini III : Harga pokok Lini II + biaya distribusi sampai dengan Lini III + PPN
•
Lini IV : Harga jual dari penyalur/pengecer ke petani/konsumen
Permasalahan yang timbul pada kebijakan harga pupuk sebagai dasar untuk menetapkan besarnya harga pupuk yang harus dibayar oleh petani atau konsumen
50
adalah sesuatu yang sangat penting dan strategis karena menyangkut eksistensi usaha. Dari pengalaman pada era pupuk disubsidi atau ditataniagakan dan era pasar bebas, permasalahan yang umumnya dihadapi pada kebijakan harga pupuk antara lain : a) Adanya pergerakan pupuk yang tidak dapat dihindarkan seperti akibat kerusakan suatu pabrik dan untuk memenuhi kontrak ekspor maka kebutuhan pupuk suatu wilayah terpaksa harus dipenuhi oleh pabrik lain yang lokasinya lebih jauh. Dampak dari kondisi ini adalah kacaunya rencana pendistribusian serta bertambahnya biaya distribusi. b) Harga bahan baku dalam valuta asing dimana kursnya berfluktuatif dan cenderung naik. Sementara produsen sulit untuk menyesuaikan harga pupuk mengikuti fluktuasi kurs, karena kenaikan harga dari produsen akan berakibat naiknya pula harga distributor atau pengecer yang akan memberatkan petani. c) Pembatasan oleh pemerintah mengenai jumlah pupuk yang dapat diekspor oleh produsen dalam rangka pengamanan kebutuhan dalam negeri. Apabila harga ekspor menarik dan pengamanan di pelabuhan kurang mendukung akan terjadi ekspor ilegal dari alokasi dalam negeri yang akan mengganggu kebutuhan petani sehingga akhirnya dapat menimbulkan kelangkaan. d) Himbauan Pemerintah kepada produsen untuk tidak menaikkan harga pupuk membuat margin penjualan semakin kecil sehingga keuntungan /laba operasional produsen akan menurun. Dampak dari kondisi ini adalah
51
terganggunya kegiatan pengumpulan dana perusahaan baik untuk pengelolaan operasional maupun untuk investasi.
4.4. Pola Penyaluran /Pendistribusian dan Pengadaan Pupuk Proses penyaluran dan pengadaan pupuk dibedakan menjadi dua yaitu pupuk bersubsidi dan pupuk non subsidi.
4.4.1. Pupuk Bersubsidi Pupuk bersubsidi merupakan barang yang diawasi peredarannya, sehingga perlu adannya pemantauan serta laporan kepada pemerintah. Penyaluran pupuk bersubsidi diatur dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah telah mengatur ketetapan harga untuk pupuk bersubsidi yang bertujuan agar konsumen memperoleh harga yang sama di semua wilayah. Penetapan harga pupuk yang dimaksud adalah penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET). Penetapan HET menjadi wewenang Menteri Pertanian yang nilainya dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu. Ketetapan harga yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 107/Kpts/SR.130.2/2004 adalah pupuk urea ditetapkan dengan harga Rp 1.050/Kg, pupuk SP-36 ditetapkan dengan harga Rp 1.400/Kg, pupuk ZA dengan harga Rp 950/Kg, dan pupuk NPK dengan harga Rp 1.600/Kg. Tapi, mulai 17 Mei 2006 Pemerintah menaikkan HET pupuk bersubsidi untuk pupuk urea dengan harga Rp 1.200/Kg, pupuk SP-36 ditetapkan dengan harga Rp 1.550/Kg, pupuk ZA dengan harga Rp 1.050/Kg, dan pupuk NPK dengan harga Rp 1.750/Kg.
52
4.4.2. Pupuk Non Subsidi Pupuk non subsidi merupakan pupuk yang pengadaan dan penyalurannya di luar program pemerintah dan tidak mendapat subsidi. Kelompok pupuk ini antara lain adalah pupuk DAP, KCL, KS, Keiserit, dan fosfat alam. Kebijaksanaan penjualan untuk pupuk non subsidi diberlakukan sama dengan halnya komoditaskomoditas perdagangan lainnya, baik mengenai prosedur impor, ekspor, perdagangn dalam negeri, dan ketentuan lainnya yang ada. Mekanisme pengadaan dan penyaluran pupuk bagi kepentingan industri sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar (Deperindag, 1994). Selain proses penyaluran dan pendistribusiannya dilakukan dengan membedakan dua jenis pupuk, PT. Pusri juga menggunakan sistem pipe line
distribution yaitu sistem penyaluran pupuk mulai dari pabrik atau produsen sampai ke konsumen melalui suatu rangkaian distribusi yang tidak dapat dipisahkan. Pada sistem ini digunakan empat strategi lini yaitu lini I, lini II, lini III, dan lini IV. Lini I adalah lokasi gudang di wilayah pabrik pupuk dalam negeri atau di wilayah pelabuhan untuk pupuk impor. Lini II adalah lokasi gudang di wilayah ibukota provinsi an Unit Pengantongan Pupuk (UPP) atau di luar wilayah pelabuhan. Lini III adalah lokasi gudang distributor pupuk atau produsen di wilayah kabupaten atau kotamadya yang ditetapkan oleh produsen. Dan lini IV adalah lokasi gudang pengecer yang ditunjuk atau ditetapkan oleh distributor, terdiri dari Koperasi Unit Desa (KUD) Penyalur, koperasi-koperasi lainnya, BUMN dan Swasta. Secara lebih jelas dapat ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Sistem Penyaluran Pupuk Oleh PT. PUSRI Lini I/Pabrik Lini II/Provinsi PUSRI
Lini III/Kabupaten
Kapal Urea Curah
Unit Pengantongan Pupuk (UPP) Lini II
Truk, KA
Truk, KA
Gudang Lini II (UPP Provinsi)
Truk, KA
Lini IV/Kecamatan
PKT
PIM
Gudang Lini III (UPP Kabupaten)
KUJANG
Truk
Pengecer
PETRO
Petani Truk, KA
IMPOR Keterangan:
Urea Curah Urea dalam Kantong
Sumber: PT. PUSRI (2000) dalam Findi (2001)
Pupuk SP-36, ZA, Impor
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Struktur Pasar Industri Pupuk Struktur pasar yang dimiliki oleh industri pupuk di Indonesia dapat diketahui dengan melihat rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2). Rasio konsentrasi ini dapat diperoleh dengan mengukur output penjualan perusahaan terbesar terhadap total outputnya dari seluruh perusahaan yang bersangkutan. Indeks nilai rasio konsentrasi ini berkisar dari 0 hingga 100 persen. Nilai rasio konsentrasi yang mendekati 100 persen menunjukkan bahwa industri tersebut berada dalam struktur pasar monopoli. Sedangkan bila nilai rasio konsentrasi mendekati 0 atau berada dalam rasio yang rendah maka industri tersebut memiliki struktur pasar persaingan sempurna. Tingkat konsentrasi industri pupuk sesuai dengan data yang telah diperoleh ternyata berkisar antara 54 persen sampai 99 persen (Lampiran 1). Angka tersebut diperoleh dengan menghitung besarnya output dua perusahaan pupuk terbesar terhadap total seluruh perusahaan pupuk yang ada di Indonesia. Dari tingkat konsentrasi ini rata-rata yang dapat diperoleh berkisar 66,55 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa konsentrsi perusahaan pupuk berada dalam struktur pasar oligopoli ketat. Dalam pasar oligopoli, kondisi yang terjadi adalah penggabungan beberapa perusahaan terbesar yang memiliki pangsa pasar 60 sampai 100 persen. Tingkat konsentrasi yang tinggi pada industri pupuk menunjukkan bahwa industri pupuk yang memang dibentuk oleh pemerintah memiliki tujuan utama
55
yaitu memenuhi kepentingan pupuk bagi para petani sehingga ketahanan pangan akan selalu terpenuhi. Selain untuk meningkatkan keuntungan yang sebesarbesarnya produsen pupuk juga dituntut untuk menyediakan pupuk bagi para petani yang harus dilaksanakan karena sesuai dengan tujuan dari pembangunan pabrik pupuk. Rasio konsentrasi pasar berhubungan erat dengan hambatan masuk perusahaan yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka hambatan masuk untuk memasuki pasar pun semakin sulit. Dengan demikian rasio konsentrasi yang dimiliki oleh industri pupuk sangat tinggi sehingga hambatan masuk perusahaan baru menjadi sulit. Peningkatan tingkat rasio konsentrasi menunjukkan bahwa adanya perilaku kolusi diantara perusahaanperusahaan pemimpin pasar. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan pangsa pasar yang dapat mempengaruhi tingkat keuntungan. Hambatan masuk yang dilakukan oleh pemerintah terhadap industri pupuk dengan cara memberi kebijakan kepada perusahaan pendatang baru untuk mengutamakan kebutuhan pupuk di dalam negeri dan kebutuhan ekspor apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Kebijakan tersebut membuat perusahaan pendatang baru tidak tertarik untuk memasuki industri pupuk karena setiap penyaluran dan peredarannya diawasi secara ketat oleh pemerintah. Sehingga dengan adanya hambatan masuk ini perusahaan pupuk yang telah lama berdiri tetap menghasilkan keuntungan yang maksimal tanpa terbagi dengan perusahaan pupuk pendatang baru.
56
Tingginya tingkat konsentrasi yang ada dalam industri pupuk membuat pemerintah meningkatkan pengawasan yang ketat. Berbagai strategi dilakukan oleh produsen pupuk guna menghasilkan keuntungan yang maksimal, tetapi strategi yang dilakukan pun tidak lepas dari pengawasan pemerintah. Pemerintah berupaya agar industri pupuk selalu mewujudkan ketahanan pangan di dalam negeri.
5.2. Analisis Perilaku Pasar Industri Pupuk Semua perusahaan yang didirikan dan dibangun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal. Begitu pula dengan industri pupuk, selain untuk menghasilkan keuntungan, perusahaan pupuk juga dituntut untuk menjaga ketahanan pangan yang ada di dalam negeri agar tidak terjadi kekurangan bahan pangan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, perusahaan melakukan tindakan-tindakan atau perilaku yang mendukung terciptanya tujuan tersebut. Perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan perusahaan dapat berupa strategi produk, harga, promosi dan distribusi, serta kerjasama dengan para pesaingnya. Maka pada industri pupuk perilaku yang dilakukan meliputi strategi produk, produksi, dan harga.
5.2.1 Strategi Produksi dan Produk Strategi produksi yang dilakukan oleh industri pupuk dilihat berdasarkan kemampuan kapasitas terpasang yang dimiliki masing-masing unit pabrik.
57
Produksi pupuk yang dihasilkan biasanya didasarkan pada permintaan dan kebutuhan para petani, kebutuhan ini dapat meliputi sektor pertanian, perkebunan, peternakan, industri, dan lain-lain. Produksi pupuk yang dihasilkan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika kapasitas terpasang perusahaan pupuk telah melebihi kebutuhan di dalam negeri maka perusahaan pupuk dapat mengekspor pupuknya ke luar negeri dengan memperhitungkan alokasi produksinya untuk ekspor. Sehingga semakin meningkat akan permintaan kebutuhan pupuk maka produsen pupuk akan meningkatkan produksinya. Dan akhirnya produsen pupuk akan memperoleh keuntungan yang maksimal. Kapasitas terpasang pada perusahaan pupuk telah ditetapkan oleh P.T. Pusri sebagai holding company, penetapan ini bertujuan untuk mengatur besarnya produksi yang dihasilkan oleh masing-masing produsen setiap tahunnya agar kebutuhan pupuk dapat terpenuhi. Terkadang kapasitas terpasang tersebut tidak menghasilkan produksi yang telah ditetapkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa masalah seperti, mesin yang digunakan dalam proses produksi mengalami gangguan atau terlambatnya pasokan bahan baku. Oleh karena itu peran pemerintah yang dapat dilakukan adalah dengan mengawasi besarnya produksi pupuk yang dihasilkan oleh produsen pupuk. Alokasi besarnya produksi masing-masing produsen harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Artinya pembagian wilayah yang telah ditetapkan menurut pola rayonisasi harus dipenuhi untuk kebutuhan pupuk di dalam negeri dan kebutuhan untuk diekspor. Produsen pupuk selalu berkeinginan memperbesar alokasi
58
produksinya untuk diekspor karena keuntungan yang dapat diperoleh dari mengekspor pupuk lebih besar daripada hanya menjualnya di pasar domestik. Selain memperbesar keuntungannya melalui ekspor produknya ke luar negeri, strategi yang dilakukan oleh produsen pupuk
yaitu strategi produk.
Strategi yang dilakukan agar keuntungannya meningkat adalah dengan menciptakan varietas pupuk yang digunakan. Hal ini dilakukan karena setiap tanaman membutuhkan makanan dalam hal ini yaitu pupuk yang bermacammacam agar tanaman yang ditanam menghasilkan kualitas yang baik. Selain urea dan amonia yang biasanya diproduksi, produsen pupuk juga memproduksi pupuk lain seperti, TSP/SP-36, ZA, dan NPK. Untuk mewujudkan ketahanan pangan di dalam negeri dan meningkatkan kesejahteraan para petani maka Pemerintah melalui produsen pupuk melakukan strategi produk untuk menciptakan pupuk bersubsidi. Strategi yang dilakukan yaitu berupa pemberian subsidi kepada produsen pupuk berupa bahan input gas guna menghasilkan pupuk yang harganya dapat terjangkau oleh petani sebagai konsumen pupuk. Dengan alasan itu pemerintah hingga kini tetap mengalokasikan subsidi pupuk bagi petani yang diberikan melalui subsidi harga gas kepada industri pupuk, walaupun keadaan yang ada di lapangan subsidi tersebut malah memberatkan anggaran pengeluaran bagi pemerintah. Jadi strategi produksi yang dilakukan oleh produsen pupuk adalah dengan berusaha memperbesar alokasi produksi untuk diekspor walaupun strategi tersebut masih dalam pengawasan pemerintah. Karena semakin besar produksi pupuk yang dapat diekspor maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Strategi
59
produk
dilakukan
dengan
menghasilkan
pupuk
bersubsidi
agar
petani
mendapatkan pupuk dengan harga yang terjangkau, serta dengan mengembangkan pupuk melalui penciptaan varietas-varietas baru.
5.2.2. Strategi Harga Selain strategi produksi yang dilakukan oleh produsen pupuk, strategi harga juga diberlakukan. Tetapi strategi ini diberlakukan dengan kewenangan dari pemerintah khususnya Departemen Pertanian yang menetapkan harga eceran tertinggi pupuk (HET), pemerintah merasa perlu menetapkan harga ini karena untuk melindungi petani sebagai konsumen pupuk. Harga yang ditetapkan oleh pemerintah berlaku untuk pupuk yang disubsidi dan pupuk untuk sektor industri. Dalam menetapkan HET, pemerintah telah memberikan dua jenis subsidi kepada produsen, yaitu biaya distribusi dan biaya input. Biaya distribusi ditetapkan oleh pemerintah melalui pemberian sebagaian biaya distribusi yang dilakukan kepada produsen pupuk dalam proses penyaluran pupuk. Sedangkan biaya input ditetapkan oleh pemerintah dengan cara memberikan harga input yaitu gas kepada produsen pupuk dengan harga murah atau berada dibawah harga pasaran. Pemberian subsidi yang diberikan oleh pemerintah merupakan transfer pendapatan dari pemerintah ke produsen pupuk. Sehingga dengan pemberian subsidi ini akan mengakibatkan produsen pupuk mengeluarkan sedikit biaya produksinya karena biayanya sebagian ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian produsen mendapatkan keuntungan sebesar subsidi yang diberikan.
60
Jadi pemerintah menetapkan harga ini dengan tujuan utama agar petani menikmati harga subsidi pupuk dengan harga yang murah dibawah harga internasional dan produsen menikmati pemberian subsidi secara langsung yang dapat menjadi keuntungan baginya.
5.3. Analisis Kinerja Pasar Industri Pupuk Keuntungan merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan kinerja pasar suatu industri namun kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya data laba perusahaan maupun industri. Untuk mengatasi kendala tersebut maka digunakan pendekatan Price-Cost-Margin (PCM) sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. PCM industri pupuk di Indonesia tahun 1983 sampai 2003 (Lampiran 3). Berdasarkan pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa rata-rata margin keuntungan industri pupuk selama tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 adalah sebesar 31,69 persen. Penerimaan margin keuntungan terbesar didapat pada tahun 2003 yaitu sebesar 55,04 persen. Efisiensi-X industri pupuk di Indonesia dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada Lampiran 4. Lampiran 4 menunjukkan bahwa ratarata efisiensi-X industri pupuk pada tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 sebesar 74,55 persen. Efisiensi-X terbesar diraih pada tahun 2003 yaitu sebesar 203.91 persen. Berdasarkan Lampiran 4 dapat diketahui bahwa industri pupuk di Indonesia mempunyai nilai efisiensi-X yang sangat tinggi.
61
5.4. Analisis Hubungan Struktur Pasar dengan Kinerja Industri Pupuk Tingkat keuntungan perusahaan merupakan ukuran yang baik dalam menggambarkan kinerja dari suatu perusahaan, namun karena adanya keterbatasan data maka tingkat keuntungan dari industri pupuk dapat dianalisis dengan menggunakan PCM. Analisis hubungan antara struktur pasar dan kinerjanya ini menggunakan
variabel
yang
diperkirakan
dapat
mempengaruhi
tingkat
keuntungan, diantaranya rasio konsentrasi dari dua perusahaan terbesar (CR2), tingkat efisiensi (Xeff), produktivitas (Prod), dummy subsidi yang dibedakan antara pemberian subsidi dengan pencabutan subsidi, dan dummy krisis ekonomi yang dibedakan dengan sebelum krisis ekonomi dengan setelah krisis ekonomi. Model yang digunakan dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan software
Eviews 4.1. Hasil pengujian secara ekonometrika dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Hasil Estimasi Persamaan PCM Variabel Koefisien C 10.57830 CR2 -0.006936 XEFF 0.239031 PROD 0.657273 DSUBS -3.610508 DKRI -1.879474 R-squared 0.958073 Adjusted R-squared 0.944097
Prob. t-Statistic 0.0171 0.8987 0.0000 0.0015 0.0416 0.2086 Prob(F-statistic)
0.000000
Uji Breusch-Godfrey Correlation LM
Prob Obs*R-Squared
0.761194
Uji White Heteroskedasticity
Prob Obs*R-Squared
0.154365
Keterangan : menggunakan taraf nyata 5%.
Model yang digunakan untuk menggambarkan struktur dan kinerja pada industri pupuk ini harus memenuhi syarat-syarat ekonometrika. Syarat–syarat
62
tersebut dipenuhi dengan tidak terdapatnya gejala autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan uji Breusch-Godfrey Correlation
LM. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (α=5%) maka hasil regresi tidak mengandung gejala autokorelasi. Berdasarkan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai probability obs*R-squared adalah sebesar 0.761194 yang lebih besar dari taraf nyata yaitu 5 persen. Sehingga model yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat gejala autokorelasi. Pengujian
heteroskedastisitas
dilakukan
dengan
uji
White
Heteroskedasticity. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (α=5%) maka hasil regresi tidak mengandung gejala heteroskedastisitas. Berdasarkan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai probability obs*R-squared adalah sebesar 0.154365 yang lebih besar dari taraf nyata yaitu 5 persen. Sehingga model
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
tidak
terdapat
gejala
heteroskedastisitas. Pengujian yang ketiga adalah uji multikoliniearitas. Suatu model dikatakan terbebas dari gejala multikolinier apabila model tersebut terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya. Jika koefisien korelasi antar variabel bebas lebih besar dari 0.8 maka pada model yang digunakan tersebut terdapat gejala multikolinier. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.
63
Tabel 5. Matriks Korelasi Antar Variabel Bebas CR2 XEFF PROD
DSUBS
DKRI
CR2
1.000000
0.151870
0.288368
-0.149058
0.128133
XEFF
0.151870
1.000000
-0.277029
0.006408
0.315946
PROD
0.288368
-0.277029
1.000000
-0.060965
-0.199680
DSUBS
-0.149058
0.006408
-0.060965
1.000000
-0.685994
DKRI
0.128133
0.315946
-0.199680
-0.685994
1.000000
Pada Tabel 5 terlihat bahwa korelasi antar variabel bebas nilainya tidak lebih dari
0.8 . Sehingga dapat dibuktikan bahwa model terbebas dari
multikolinier karena semua variabel bebas berkorelasi dengan nilai kurang dari 0.8 .
Uji normalitas dilakukan apabila jumlah observasi dalam penelitian kurang dari 30. Oleh karena itu berdasarkan Lampiran 8, nilai probability (P-Value) yaitu sebesar 0.920409 sedangkan taraf nyatanya bernilai 0.05 (α=5%). Karena P-Value = 0.920409 > 0.05 dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95 persen maka dapat dikatakan error term terdistrubusi normal. Setelah melakukan pengujian ekonometrika maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah dengan pengujian statistik dimana dengan melakukan interpretasi terhadap hasil dugaan persamaan PCM. Pada Tabel 4 koefisien determinasi (R-Squared) yang dihasilkan sebesar 0.958073. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman PCM industri pupuk sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebesar 95,80 persen oleh keragaman variabel-variabel bebasnya (CR2, Xeff, Prod, DSubs, dan DKRI) sedangkan sisanya sebesar 4.20 persen mampu dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
64
Pengujian yang dilakukan dengan uji F-statistik ini digunakan untuk mengetahui apakah model penduga yang ada sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi PCM. Berdasarkan Tabel 4 nilai Probability Fstatistic adalah sebesar 0,000000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyatanya
sebesar 5 persen (α=5%). Hal ini menunjukkan bahwa minimal ada ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga yang digunakan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Pengujian yang dilakukan dengan uji t-statistik digunakan untuk mengetahui variabel bebas dari suatu model berpangaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebasnya. Pada Tabel 4 probability t-statistik variabel bebasnya memiliki nilai yang berbeda-beda. Variabel Xeff, Prod, dan DSubs memiliki nilai probability lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Maka masingmasing variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap PCM, sedangkan variabel CR2 dan DKRI memiliki nilai probability lebih besar dari taraf nyata 5 persen, artinya variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. Berdasarkan hasil temuan empiris pada Tabel 4 hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel Xeff memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0000 yang signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,239031. Hal ini menunjukkan bahwa setiap X-efisiensi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan keuntungan sebesar 0,239031 persen asumsi cateris paribus. Hubungan ini sesuai dengan hipotesis dan teori dimana bila terdapat peningkatan efisiensi maka akan meningkatkan proksi keuntungan industri pupuk. Efisiensi ini
65
dapat dilakukan dengan meminimumkan biaya produksi, penggunaan input secara terpadu, pemberdayaan tenaga kerja yang terampil serta merekrut tenaga ahli dari luar negeri guna peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pengefisienan penyaluran/pendistribusian pupuk sampai ke tangan petani Variabel Prod yaitu produktivitas pada hasil estimasi menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0015 signifikan terhadap taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien Prod sebesar 0.657273 menandakan bahwa setiap peningkatan produktivitas sebesar 1 persen maka akan meningkatkan keuntungan sebesar 0.657273 persen asumsi cateris paribus. Hal ini juga sesuai dengan teori di mana kenaikan jumlah produktivitas akan meningkatkan keuntungan produsen. Peningkatan produktivitas ini disebabkan oleh peningkatan permintaan pupuk oleh petani yang sangat dibutuhkan sehingga dengan pemintaan yang kian meningkat produsen pupuk akan meningkatkan produksinya. Variabel dummy subsidi menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0416, nilai ini signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -3.610508. Nilai koefisien ini bernilai negatif tetapi berpengaruh nyata terhadap PCM, sehingga nilai koefisien tidak sesuai dengan hipotesis karena dengan pemberian subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada produsen pupuk diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perusahaannya. Pada awalnya dengan adanya pupuk bersubsidi produsen pupuk mengharapkan adanya peningkatan keuntungan yang maksimal, tetapi hasil estimasi menunjukkan bahwa pupuk bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada produsen pupuk ternyata malah menurunkan keuntungan. Hal ini disebabkan produsen pupuk yang diberikan
66
subsidi langsung oleh pemerintah berupa subsidi input yaitu gas sebagai bahan bakunya ternyata tidak menggunakan input yang diberikan secara efisien. Sehingga tanpa memperhitungkan jumlah yang digunakan, input tersebut digunakan secara boros. Hasil yang diperoleh dari variabel subsidi ini mengindikasikan bahwa pemberian subsidi kepada produsen pupuk ternyata tidak menunjukkan adanya peningkatan keuntungan. Sehingga subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk bahan input (gas) tidak efektif dan justru malah menimbulkan kerugian. Kerugian yang ditimbulkan akibat subsidi pupuk ini karena harga pupuk yang berlaku di pasar telah ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan masing-masing produsen pupuk tidak dapat meningkatkan harga, maka keuntungan yang diperoleh oleh produsen pupuk juga tidak maksimal. Di tingkat petani ternyata kebijakan HET ini juga tidak berjalan sesuai dengan semestinya. Petani masih diberlakukan harga diatas harga yang seharusnya. Padahal harga pupuk telah diperhitungkan agar petani mendapatkan pupuk sesuai dengan daya belinya. Perbedaan harga yang diakibatkan penyaluran pupuk dari tangan distributor ke tangan pengecer mengalami perbedaaan dan perbedaan ini cenderung semakin meningkat. Sehingga pihak yang dirugikan akibat pelaku distributor yang tidak bertanggung jawab ini yaitu para petani. Padahal tujuan utama pemerintah menetapkan HET adalah petani mendapatkan harga yang murah dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Masalah yang ditimbulkan selain petani sulit mendapatkan harga pupuk bersubsidi yang murah yaitu masalah kelangkaan pupuk. Salah satu penyebab
67
masalah yang timbul ini karena masalah gangguan operasional dalam hal ini proses produksinya, serta penyaluran yang tidak sampai ke tangan petani. Misalkan pupuk tersebut diekspor oleh pedagang karena ingin mendapatkan keuntungan yang besar. Variabel CR2 tidak signifikan terhadap taraf nyata 5 persen dengan nilai probabilitasnya
sebesar
0.8987
dan
nilai
koefisien
sebesar
-0.006936
menunjukkan bahwa CR2 diduga tidak berpengaruh terhadap proksi keuntungan atau PCM. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana variabel CR2 bernilai positif dan berpengaruh terhadap PCM. CR2 pada awal hipotesis diharapkan bernilai positif dan signifikan terhadap PCM, karena dengan semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi tingkat keuntungan. Di sini penulis akan berusaha untuk menjelaskan mengapa CR2 bernilai negatif dan tidak berpengaruh terhadap PCM. Hal ini karena dengan adanya pupuk bersubsidi, maka tingkat konsentrasi industri pupuk yang berada pada struktur pasar oligopoli, dimana suatu industri bila berada dalam struktur oligopoli akan meningkatkan keuntungan, maka dalam industri pupuk tingkat keuntungannya tidak terpengaruh. Pupuk tersebut sengaja diciptakan oleh produsen pupuk guna kesejahteraan petani di Indonesia, tapi bila jumlah produksinya dan harga yang berlaku di pasar ditetapkan, walaupun industri pupuk memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi, produsen pupuk sulit untuk meningkatkan keuntungan yang maksimal. Variabel dummy krisis ekonomi menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.2086, nilai ini tidak signifikan terhadap taraf nyata 5 persen. Tetapi variabel ini
68
memiliki nilai koefisien sebesar -1.879474, yang menunjukkan bahwa nilai ini sesuai dengan hipotesis awal di mana krisis ekonomi akan berdampak pada keuntungan produsen pupuk. Ketidaksignifikan variabel ini menandakan bahwa harga yang ditetapkan di pasar tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan para petani, walaupun harga yang ditetapkan tersebut melebihi rata-rata, petani akan tetap membeli pupuk tersebut. Di beberapa daerah di Indonesia para petaninya tidak terpengaruh dengan harga yang terjadi di pasar, petani tersebut akan berusaha mendapatkan pupuk tersebut. Tetapi karena adanya krisis ekonomi produsen pupuk kurang berproduksi secara maksimal, sehingga petani kekurangan akan stok pupuk. Karena produsen tersebut kurang berproduksi secara maksimal maka keuntungan yang diperolehnya pun tidak maksimal. Tetapi masalah yang terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia justru petani tidak mampu mendapatkan harga pupuk yang murah, karena harga yang terjadi di pasar sangat tinggi. Dengan adanya krisis ekonomi ini menyebabkan turunnya daya beli petani, sehingga petani tidak mampu lagi untuk membeli pupuk yang biasanya dipakai seperti urea yang merupakan pupuk tunggal yang lengkap. Karena dengan keterbatasan dana yang dimiliki, maka untuk tetap dapat memupuk tanaman petani terpaksa menggunakan pupuk majemuk yang harganya murah dan kualitasnya tidak sebaik pupuk tunggal. Para petani terpaksa membeli pupuk tersebut dikarenakan pupuk merupakan barang primer bagi kebutuhan pertanian, sebab tanpa adanya pupuk proses pertanian tidak akan berjalan dengan lancar. Pupuk ini bersifat inelastis,
69
dimana ketika harga yang ditetapkan melebihi jangkauan harga pada umumnya petani akan tetap berusaha untuk mendapatkan pupuk tersebut. Karena permintaan pupuk yang terjadi oleh para petani kian meningkat maka peningkatan tersebut akan mempengaruhi dalam peningkatan keuntungan produsen pupuk. Artinya walaupun terjadi krisis ekonomi dan melanda industri pupuk, keuntungannya tidak terlalu berkurang secara drastis, dibanding industri lain yang mengalami krisis ekonomi biasanya keuntungannya akan berkurang atau sampai menutup usahanya. Hal ini karena pupuk yang selalu dibutuhkan oleh petani sebagai komoditas utama dalam pertanian, permintaannya selalu meningkat.
70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah didapat pada industri pupuk di Indonesia maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu : 1. Industri pupuk di Indonesia termasuk ke dalam tipe pasar oligopoli ketat, dimana kondisi yang terjadi adalah penggabungan beberapa perusahaan terbesar yang memiliki pangsa pasar 60 sampai 100 persen. Rata-rata rasio konsentrasi pasar atau CR2 dari indutri pupuk di Indonesia dari tahun 1983 sampai 2003 sebesar 66,55 persen. Semakin besar rasio konsentrasi pasar menunjukkan adanya kekuatan pasar sehingga dengan mudah industri pupuk dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. 2. Dari analisi kinerja industri pupuk dapat diperoleh bahwa margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) dengan rata-rata sebesar 31,69 persen. Dan tingkat efisiensi dengan rata-rata sebesar 74,55 persen. 3. Analisis perilaku yang dilakukan oleh industri pupuk terhadap pupuk bersubsidi meliputi strategi produk dan produksi serta strategi harga. a. Strategi produk yang dilakukan oleh produsen pupuk dengan didukung oleh pemerintah berusaha untuk mensejahterakan para petani di Inonesia dengan menciptakan pupuk bersubsidi. Strategi yang dilakukan berupa pemberian subsidi kepada produsen pupuk berupa bahan input gas guna menghasilkan pupuk yang harganya dapat terjangkau oleh petani sebagai
71
konsumen pupuk. Selain menciptakan pupuk dengan varietas-varietas baru guna peningkatan hasil produktivitas yang maksimal b. Strategi produksi yang dilakukan oleh produsen pupuk adalah dengan berusaha memperbesar alokasi produksi untuk diekspor walaupun strategi tersebut masih dalam pengawasan pemerintah. Karena semakin besar produksi pupuk yang dapat diekspor maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar c. Strategi harga dilakukan dengan menetapkan harga eceran tertinggi pupuk (HET), pemerintah merasa perlu menetapkan harga ini karena untuk melindungi petani sebagai konsumen pupuk. 4. Tingkat efisiensi yang dimiliki oleh industri pupuk berpengaruh terhadap tingkat keuntungannya. Hal ini ditunjukkan dengan meminimumkan biaya produksi, dimana dengan adanya pupuk bersubsidi sebagian biaya produksi ditanggung oleh pemerintah. Serta pemberdayaan tenaga kerja yang terampil secara lebih selektif agar menghasilkan produk yang berkualitas. Demikian pula dengan tingkat produktivitas berpengaruh terhadap peningkatan keuntungan. Peningkatan permintaan akan pupuk oleh petani akan tingkat meningkatkan produktivitasnya sehingga mempengaruhi keuntungan produsen pupuk. 5. Variabel Dsubs sebagai perkiraan keefektifan pupuk bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada produsen pupuk menunjukkan nilai negatif. Hubungan negatif ini terjadi karena produsen pupuk tidak menggunakan input yang diberikan secara efisien. Hal ini karena produsen pupuk tidak
72
memperhitungkan
jumlah
input
yang
digunakan,
sehingga
malah
menggunakan secara boros. Oleh karena itu kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa subsidi yang diberikan oleh pemerintah tidak efektif. Selain jumlah input yang digunakan secara tidak efisien, pupuk yang ditetapkan oleh pemerintah dengan harga yang murah tersebut ternyata tidak meningkatkan keuntungan produsen pupuk sedangkan dari sisi petani pupuk tersebut tidak efektif karena petani masih mendapatkan harga eceran tertinggi (HET) di atas harga pasar dan masalah kelangkaan pupuk akibat penyaluran yang tidak sampai ke tangan petani. 6. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekitar tahun 1998 menyebabkan terjadinya kenaikan harga hampir diseluruh komoditas, termasuk pupuk yang merupakan komoditas penting bagi petani. Di satu sisi harga pupuk akan meningkat sehingga menyebabkan turunnya daya beli petani terhadap pupuk. Tetapi karena pupuk merupakan barang yang bersifat inelastis dan selalu dibutuhkan maka berapapun harga yang terjadi di pasar petani akan tetap berusaha untuk mendapatkan.
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan bagi kebijakan pupuk bersubsidi di Indonesia adalah : 1. Industri pupuk di Indonesia perlu memperhatikan serta meningkatkan efisiensi akan bahan input gas yang diberikan oleh pemerintah berkaitan dengan pupuk
73
bersubsidi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan gas secara terpadu dan memperhitungkan jumlah yang akan dipakai. 2. Pupuk bersubsidi ternyata tidak efektif diberikan kepada industri pupuk, oleh karena itu sebaiknya pemerintah mengurangi pupuk bersubsidi secara bertahap dengan berbagai cara. Misalnya mengubah sistem harga pembelian pemerintah dari industri pupuk dengan memberikan kenaikan harga pembelian gabah pada petani dan meningkatkan efisiensi dari biaya distribusi pupuk. 3. Produsen pupuk dibantu dengan pemerintah melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penyaluran atau pendistribusian pupuk bersubsidi. Hal ini dilakukan agar petani mendapatkan harga sesuai dengan HET yang berlaku, tidak terjadi kelangkaan yang sering menimpa para petani dan pupuk yang telah disalurkan oleh produsen pupuk sampai ke tangan petani secara enam tepat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ardi, Taufik. 2005. Analisis Pencabutan Subsidi Pupuk Terhadap Sektor Pertanian di Indonesia (Analisis Input-Output Sisi Penawaran). [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia. 2006. Pupuk Bersubsidi Untuk Konsumsi Pertanian, Produksi Pupuk Urea, Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia, Kapasitas Terpasang. http://www.appi.or.id. [10 April 2006] Badan Pusat Statistika. 1983-2003. Statistika Industri Besar dan Sedang Volume I. Badan Pusat Statistika. Jakarta. Busriawaty, Dini. 2004. Analisis Hubungan Struktur Pasar dan Kinerja Industri Pupuk di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Delima, Deassy Kurnielin. 2005. Analisis Structure-Conduct-Performance Industri Ban di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2003. Industri Pupuk Indonesia. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta. Direktorat Industri Kimia Hilir. 1994. Pola pengembangan Industri Pupuk Pada Pelita V. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta. Direktorat Industri Kimia Hilir. 2006. Kajian Industri Pupuk. Departemen Perindustrian. Jakarta. Direktorat Industri Kimia Hilir 2006. Pupuk, Komoditi Strategis Yang Harus Diamankan. Media Indonesia dan Perdagangan. Jakarta. Findi, Muhammad. 2001. Analisis Transformasi Kebijakan Tata Niaga Pengadaan dan Penyaluran Pada Industri Pupuk di Indonesia. [Tesis]. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Depok. Greer, Douglas F. 1992. Industrial Organization and Public Policy. New York: Macmillan Publishing Company. Gujarati, Damodar. 1998. Ekonometrika Dasar. Zain, Sumarno, Penerjemah. Erlangga. Jakarta.
75
Hasan, M. Fadhil. 2005. Masalah Subsidi dan Restrukturisasi BUMN Pupuk. Kompas 5 Maret 2005. http://www.kompas.co.id. [1 Juli 2006] Hasibuan, Nurmansjah. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli Dan Regulasi. LP3ES. Jakarta. Jaya, Wihana Kirana. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. BPFE.Yogyakarta. Legowo. 1996. Persaingan Usaha dan Pengambilan Keputusan Manajerial. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Manaf, Dewi Ratna Sjari. 2000. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manurung, Jonni J., Adler Haymans, dan Saragih F. D. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Elex Media Komputindo: Gramedia. Jakarta. Nicholson, Walter. 1999. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan. Edisi kelima Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta. Pass, C., D. Lowes, dan L. Davies. 1997. Kamus Lengkap Erlangga. Jakarta. Prayoga, Ayuda D., dkk. 2000. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia. Elips. Jakarta. Pupuk Sriwijaya. 2003. Perkembangan Tonase Penjualan Produsen Pupuk Tahun 1998-2003. Jakarta: Korporasi PT. Pupuk Sriwijaya. Robert, E. 1995. Hubungan Struktur Dengan Kinerja Pasar: Studi Empiris Pada Industri Pemintalan. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Depok. Sentosa, Rifqi Nandang. 2005. Analisis Struktur, Perilaku Dan Kinerja Pada Industri Elektronik Indonesia Pasca Deregulasi Penanaman Modal Asing. [Skripsi}. Departemen Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tambunan, Tulus T. H. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang Kasus Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
77
Lampiran 1. Variabel dependent dan independent yang digunakan dalam model persamaan Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
PCM (%) 29.98309574 30.67186584 28.23785134 28.00063707 26.97812024 31.63792585 25.53009713 21.95542487 31.9896943 25.98404287 32.24624043 26.67069949 44.13418646 36.36343696 32.88177131 23.3483106 19.30645573 34.69524809 44.02973671 35.85526808 55.04308894
CR2 (%) 97.26 76.28 59.76 54.07 57.55 57.70 63.98 63.70 66.12 64.28 64.40 65.84 64.72 65.01 62.94 65.92 65.36 65.71 77.31 68.50 71.13
XEFF (%) 57.82482065 58.59367613 57.05225453 56.59770508 50.50871414 62.85040983 50.79176756 44.68902684 68.17142812 67.13122037 81.21581195 63.25259288 121.3066255 93.77164457 80.96887875 50.62056324 34.10320258 75.08324303 100.6750658 86.49134968 203.907419
PROD (%) Dsubs DKRI 15.02513477 1 0 15.93900436 1 0 12.36235515 1 0 12.28279911 1 0 15.19631187 1 0 14.37602311 1 0 12.26499476 1 0 11.19716303 1 0 11.69977531 1 0 7.05082792 1 0 7.954856514 1 0 8.281895386 1 0 9.363613143 1 0 8.312949258 1 0 8.431634446 1 1 9.74688102 1 1 7.90329867 0 1 12.21140893 0 1 16.29072559 0 1 9.503045943 0 1 7.992254595 1 1
Sumber: BPS (diolah)
Keterangan: PCM : Proksi keuntungan perusahaan (persen) CR2 : Konsentrasi penjualan industri dari dua perusahaan terbesar (persen) Xeff : Efisiensi internal perusahaan (persen) Prod : Produktivitas yang menunjukan permintaan (persen) Dsubs : Dummy kebijakan subsidi (D=1 saat adanya subsidi dari pemerintah dan D=0 saat pencabutan subsidi) DKRI : Dummy krisis ekonomi (D=1 setelah adanya krisis ekonomi dan D=0 sebelum adanya krisis ekonomi)
78
Lampiran 2. Nilai Penjualan Industri Pupuk untuk menghitung CR2 Tahun 1983-2003 (Ton) Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
PUSRI 1,620,608 1,639,413 1,576,592 1,527,737 1,466,712 1,381,326 1,473,040 1,505,075 1,571,840 1,441,795 1,477,970 1,667,480 2,036,760 2,180,780 2,112,990 2,223,456 1,997,260 1,924,820 2,005,250 2,032,680 2,053,410
KUJANG 578,311 577,733 494,094 645,538 552,098 581,590 562,463 580,901 561,242 570,127 585,021 536,325 507,803 596,425 600,769 511,115 560,142 580,030 552,646 552,984 597,597
Sumber : APPI (diolah)
KALTIM 140,500 400,261 580,412 852,768 1,017,032 1,636,732 1,712,097 1,716,440 1,740,131 1,827,607 1,815,048 1,713,308 1,849,700 1,856,051 1,833,998 1,904,300 2,237,595 2,104,261 2,081,827 2,023,321
PETRO 6,214 153,558 368,849 300,423 400,997 286,545 271,122 341,434 313,116 151,066 260,176
PIM 470 565,969 636,695 586,742 602,256 596,364 604,800 581,913 582,908 583,075 568,808 600,055 619,803 639,079 636,233 550,836 664,201 217,784 586,035 491,016
AAF 55,800 548,502 548,419 629,272 572,190 574,580 591,900 647,659 541,760 615,310 659,051 547,891 567,960 652,646 695,826 663,367 685,654 586,798 122,832 601,629 305,598
TOTAL 2,260,933 2,906,618 3,585,335 4,019,654 4,030,510 4,156,784 4,860,499 5,050,532 4,973,195 4,950,271 5,132,724 5,289,110 5,794,735 6,199,777 6,305,712 6,154,714 5,969,314 6,334,878 5,315,889 6,006,221 5,731,118 Rata-rata
CR2(%) 97.26 76.28 59.76 54.07 57.55 57.70 63.98 63.70 66.12 64.28 64.40 65.84 64.72 65.01 62.94 65.92 65.36 65.71 77.31 68.50 71.13 66.55
79
Lampiran 3. Hasil Penghitungan Price Cost Margin Industri Pupuk Tahun 1983-2003 Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Tambah 332233385.3 412866016.5 723530937.1 677010933 768051658 916004068.1 794210935.5 710262435.5 1044528410 900699455.4 986947612 870924235.2 1279530704 1072683088 1102340757 641958333.7 892024943.1 2247680397 3552846069 3531496637 3856804442
Sumber: BPS (diolah)
Peng. Upah 60351199.36 70110500.49 161111764.4 152505288.7 150607835.2 165097076.2 192244003.1 205374038.4 220238152.7 318033469.2 276832611 271414090.4 249297052.4 266645953 292206574.4 195974006.1 353158759.4 429210504.9 434717832.2 801275725.3 714331013.9
Nilai Output 906784904.1 1117491573 1991720850 1873191824 2288683634 2373439383 2357871689 2299606589 2576736902 2242399264 2202163699 2247823103 2334321156 2216614277 2463779019 1910135321 2791119153 5241264992 7081868914 7614560031 5709115328 Rata-rata
PCM (%) 29.98309574 30.67186584 28.23785134 28.00063707 26.97812024 31.63792585 25.53009713 21.95542487 31.9896943 25.98404287 32.24624043 26.67069949 44.13418646 36.36343696 32.88177131 23.3483106 19.30645573 34.69524809 44.02973671 35.85526808 55.04308894 31.69253324
80
Lampiran 4. Hasil Penghitungan Xeff Industri Pupuk Tahun 1983-2003
Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Tambah 332233385.3 412866016.5 723530937.1 677010933 768051658 916004068.1 794210935.5 710262435.5 1044528410 900699455.4 986947612 870924235.2 1279530704 1072683088 1102340757 641958333.7 892024943.1 2247680397 3552846069 3531496637 3856804442
Sumber: BPS (diolah)
Nilai Input 574551518.8 704625556.5 1268189913 1196180891 1520631976 1457435314 1563660754 1589344154 1532208491 1341699809 1215216087 1376898868 1054790452 1143931189 1361437597 1268176987 2615663268 2993584595 3529022845 4083063393 1891448805 Rata-rata
Xeff (%) 57.82482065 58.59367613 57.05225453 56.59770508 50.50871414 62.85040983 50.79176756 44.68902684 68.17142812 67.13122037 81.21581195 63.25259288 121.3066255 93.77164457 80.96887875 50.62056324 34.10320258 75.08324303 100.6750658 86.49134968 203.907419 74.5527343
81
Lampiran 5. Hasil Penghitungan Produktivitas Industri Pupuk Tahun 19832003 Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Output 906784904.1 1117491573 1991720850 1873191824 2288683634 2373439383 2357871689 2299606589 2576736902 2242399264 2202163699 2247823103 2334321156 2216614277 2463779019 1910135321 2791119153 5241264992 7081868914 7614560031 5709115328
Sumber: BPS (diolah)
Peng. Upah 60351199.36 70110500.49 161111764.4 152505288.7 150607835.2 165097076.2 192244003.1 205374038.4 220238152.7 318033469.2 276832611 271414090.4 249297052.4 266645953 292206574.4 195974006.1 353158759.4 429210504.9 434717832.2 801275725.3 714331013.9
Prod (%) 15.02513477 15.93900436 12.36235515 12.28279911 15.19631187 14.37602311 12.26499476 11.19716303 11.69977531 7.05082792 7.954856514 8.281895386 9.363613143 8.312949258 8.431634446 9.74688102 7.90329867 12.21140893 16.29072559 9.503045943 7.992254595
82
Lampiran 6. Hasil Estimasi Output
Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/27/06 Time: 18:08 Sample: 1983 2003 Included observations: 21 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CR2 XEFF PROD DSUBS DKRI
10.57801 -0.006931 0.239031 0.657270 -3.610527 -1.879513
3.946280 0.053576 0.014010 0.169012 1.620438 1.430533
2.680500 -0.129365 17.06206 3.888904 -2.228118 -1.313855
0.0171 0.8988 0.0000 0.0015 0.0416 0.2086
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.958073 0.944097 1.955170 57.34033 -40.34477 1.689420
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
31.69253 8.269256 4.413787 4.712222 68.55236 0.000000
83
Lampiran 7. Hasil Uji Heteroskedastisitas, Uji Autokorelasi, dan Uji Multikolinearitas Uji Heteroskedastisitas : White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1.972859
Probability
0.139280
Obs*R-squared
11.92966
Probability
0.154370
Uji Autokorelasi : Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
0.061832
Probability
0.807235
Obs*R-squared
0.092340
Probability
0.761223
Uji Multikolinearitas : CR2
XEFF
PROD
DSUBS
DKRI
CR2 XEFF
1.000000 0.151870
0.151870 1.000000
0.288368 -0.277029
-0.149058 0.006408
0.128133 0.315946
PROD DSUBS
0.288368 -0.149058
-0.277029 0.006408
1.000000 -0.060965
-0.060965 1.000000
-0.199680 -0.685994
DKRI
0.128133
0.315946
-0.199680
-0.685994
1.000000
84
Lampiran 8. Hasil Uji Normalitas
6 Series: Residuals Sample 1983 2003 Observations 21
5 4 3 2 1 0 -4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4.17E-15 -0.007776 3.334110 -3.545127 1.693227 -0.170380 2.728977
Jarque-Bera Probability
0.165875 0.920409