KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006
Ringkasan Eksekutif
1.
Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk
tahun 2006
adalah sebagai
berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK). b. Harga eceran tertinggi (HET) tidak mengalami perubahan yaitu sebagai berikut, (a) Urea : Rp 1.050 per kg; (b) SP-36 Rp 1.400 per kg; (c) ZA : Rp. 950 per kg dan (d) NPK : Rp.1.600 per kg. c. Untuk meningkatkan insentif berproduksi bagi petani, maka disarankan agar pemerintah menaikkan harga pembelian gabah sebesar 10 persen dari Rp 1330 menjadi Rp 1473 GKP. d. Peningkatan harga gabah 10 persen diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan pupuk sebesar 3 persen, sehingga perkiraan volume pupuk bersubsidi tahun 2006 adalah untuk urea = 4.148.237 ton; SP-36 = 772.500 ton; ZA = 618.000 ton dan NPK = 236.900 ton. Dengan asumsi modus pemberian subsidi melalui harga, maka diperkirakan total biaya subsidi sebesar Rp 3,453 trilyun atau meningkat 36 persen dibanding tahun 2005 (besaran subsidi tahun 2005 apabila melalui modus harga diperkirakan Rp 2.547 trilyun). e. Dengan elastisitas produksi terhadap kenaikan harga gabah 0.225, maka peningkatan harga gabah sebesar 10 persen akan meningkatkan produktivitas 2,25 persen. 2.
Sistem distribusi pupuk dibagi dua segment yaitu: (1) segment pertama, distribusi pupuk sampai lini III ditangani oleh produsen; (2) segment kedua, distribusi pupuk dari line III ke lini IV ditangani oleh KUD dan selanjutnya diserahkan kepada pengecer swasta maupun KUD yang bertindak sebagai pengecer.
3.
Untuk menjamin bahwa pupuk bersubsidi benar-benar dinikmati dan digunakan oleh petani, maka sistem pembelian pupuk bersubsidi oleh petani IV-301
dilakukan melalui sistem pipa tertutup didukung oleh sistem kredit dengan bunga murah atau sistem syariah. Petani melalui kelompok tani membuat RDKPK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Kelompok) lalu diajukan kepada KUD dan KUD menyalurkannya. Bagi kelompok yang tidak mampu dapat mengajukan kredit, sedangkan bagi yang mampu dapat membayar tunai. Sistem kupon subsidi sebagai alternatif dipandang tidak akan menjamin mampu mengatasi permasalahan dualisme harga pupuk di pasar domestik karena masih terbuka kemungkinan memperdagangkan kupon sehingga pupuk bersubsidi juga tidak tepat sasaran. Supaya kebijakan subsidi pupuk tersebut tepat sasaran, maka perlu didukung oleh sistem perkreditan pupuk untuk petani.
EVALUASI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2005 DAN PROSPEK TAHUN 2006 A.
Masih Perlukah Subsidi Pupuk Tahun 2006
1.
Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama Departemen Pertanian periode 2005-2006. Salah satu pilar ketahanan pangan nasional adalah penyediaan pangan yang berasal dari produksi dalam negeri. Sampai saat ini tingkat produksi beberapa pangan utama masih dibawah tingkat konsumsinya. Oleh karena itu, maka peningkatan kapsitas produksi pangan nasional merupakan salah satu upaya memperkuat pilar ketahanan pangan nasional.
2.
Salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan kapasitas produksi pangan utama seperti padi adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mampu meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Ada dua aspek untuk melihat pentingnya subsidi pupuk bagi petani yaitu : (1) kecenderungan peningkatan harga pupuk dunia dan (2) kecenderungan penurunan laba usahatani.
3.
Sejak tahun 2003 harga pupuk dunia cenderung meningkat dan diperkirakan terus mengalami peningkatan
sampai dengan tahun 2006 (Gambar 1).
Rata-rata harga urea tahun 2005 US$ 187 per mt atau Rp 1.865 per kg dan diperkirakan meningkat menjadi US$ 192 per mt atau Rp 1.909 per kg. IV-302
Harga TSP tahun 2006 diperkirakan sama dengan tahun 2005 yaitu sekitar US$ 202 atau Rp 1.863 per kg. Pada kondisi harga pupuk dunia yang amat tinggi dan cenderung meningkat, maka pencabutan subsidi pupuk akan menyebabkan harga pupuk domestik melonjak tajam jauh di atas HET untuk urea
82 persen dan TSP 33 persen, yang tentu dapat berdampak negatif
terhadap pendapatan usahatani dan kapsitas produksi pertanian. 4.
Sejak tahun 1981 profitabilitas usahatani padi cenderung menurun rata-rata 0.07 persen (Simatupang, 2000). Hasil simulasi dengan menggunakan data PATANAS (2004) dan data Rice survey (2001) dengan asumsi petani tidak akan mengurangi penggunaan pupuk akibat kenaikan harga, menunjukkan bahwa apabila subsidi pada tahun 2006 dicabut, maka keuntungan bersih usahatani padi menurun 12 persen. Dengan demikian pencabutan subsidi pupuk
semakin menurunkan profitabilitas usahatani, sehingga akan
mengurangi kemampuan petani untuk membiayai usahatani musim berikutnya yang akhirnya berdampak pada penurunan kemampuan negara dalam menyediakan pangan beras. 5.
Kondisi demikian diperkirakan akan menimbulkan efek politis yang buruk bagi
pemerintah,
lebih-lebih kondisi harga-harga tahun 2006 akan
mengalami mengalami peningkatan sebagai dampak spiral dari pengurangan subsidi BBM tahun 2005. Oleh karena itu, maka disarankan agar subsidi pupuk tahun 2006 ditingkatkan dalam rangka mempertahankan kapasitas produksi pangan nasional.
B.
Evaluasi Kebijakan Subsidi Pupuk 2005:
B.1. Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk 2005 5.
Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 yang sama dengan tahun 2003 adalah sebagai berikut : a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK). b. Harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan berdasarkan harga pokok produksi pupuk dan telah memperhitungkan laba normal (10%) bagi pabrik pupuk. Dengan demikian pabrik pupuk dijamin tidak rugi dalam menjual pupuk sesuai dengan HET. IV-303
c. Pabrik pupuk diwajibkan untuk menyediakan pupuk dalam jumlah cukup dan tepat waktu dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebagai berikut, (a)
Urea: Rp. 1.050 per kg; (b) SP-36
Rp. 1.400 per kg; (c) ZA : Rp 950 per kg dan (d) NPK: Rp. 1.600 per kg 7.
Setiap pabrik pupuk penerima subsidi bertanggung jawab untuk menjamin distribusi pupuk pada wilayah tertentu, baik sendirian maupun kerja sama dengan pabrik lain melalui kerja sama operasional (KSO).
8.
Volume pupuk bersubsidi tahun 2005 ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 64/Kpts/SR.130/3/2005 tanggal 3 Maret 2005 dengan total volume untuk urea 4.027.415 ton; SP-36 750.000 ton; ZA 600.000 ton dan NPK 230.000 ton dengan total biaya subsidi sebesar Rp 1,834 trilyun dan pupuk bersubsidi hanya dijual kepada usahatani rakyat, tidak untuk perusahaan pertanian skala besar
B.2. Kekuatan Kebijakan 9.
Dengan surplus produksi yang amat besar melebihi kebutuhan dalam negeri dan pengaturan sistem distribusi sampai lini IV (tingkat pengecer) yang juga dilakukan oleh produsen, apabila produsen pupuk berpegang teguh pada komitmen, maka penyaluran pupuk kepada petani dapat dijamin tepat waktu, tempat, dosis, harga dan kualitas. Fenomena langka pasok pupuk di pasaran domestik tidak mungkin terjadi distributor dan pengecer sepenuhnya dibawah kendali pabrikan pupuk.
10.
Jadwal tanam yang selalu diumumkan oleh pemerintah, mestinya dapat dijadikan sebagai salah satu patokan bagi pabrik pupuk untuk menyediakan stok pupuk di sentra-sentra produksi tanaman pangan yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian, langka pasok pupuk yang sering terjadi pada puncak masa tanam padi mestinya tidak perlu terjadi.
B.3. Kelemahan Kebijakan 11.
Konstruksi kebijakan tersebut mengandung beberapa titik lemah yang dapat membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET dan rentan terhadap tindakan menyimpang sebagai berikut : IV-304
a. Dualisme pasar pupuk domestik. Pupuk bersubsidi yang hanya diperuntukkan bagi usahatani rakyat menciptakan dua pasar, yaitu pasar pupuk bersubsidi dengan HET dan pasar pupuk non subsidi dengan harga pasar (lebih tinggi dari HET). Disparitas harga pupuk subsidi dan non subsidi yang cukup besar, akan mendorong tindakan menyimpang (moral hazard), yaitu pupuk bersubsidi dijual kepada perusahaan skala besar (perkebunan), sehingga pupuk bersubsidi yang dialokasikan untuk usahatani rakyat menjadi tidak mencukupi. b. Disparitas harga domestik dan harga internasional.
Harga pupuk
bersubsidi yang rendah dan tetap sesuai keputusan pemerintah, sementara harga dunia cenderung meningkat tajam, telah menimbulkan disparitas harga yang cukup besar untuk mendorong tindakan menyimpang. Pupuk bersubsidi diekspor secara ilegal, sehingga pasokan pupuk domestik menjadi langka dan harganya meningkat. c. Perhitungan kebutuhan pupuk bersubsidi kurang akurat. Perkiraan kebutuhan pupuk selama ini lebih didasarkan kepada perkiraan luas tanam
dengan
rekomendasi
pemupukan
secara
umum.
Namun
kenyataan di lapangan, petani dengan luas lahan garapan yang sempit, umumnya
menggunakan
pupuk
secara
berlebihan.
Kondisi
ini
merupakan salah satu penyebab pasokan pupuk di suatu daerah sering mengalami kekurangan. d. Volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan. pupuk
bersubsidi
penyaluran
aktual,
Volume
didasarkan
pada
perkiraan
kebutuhan,
bukan
sehingga
rentan
terhadap
manipulasi
dalam
menghitung nilai subsidi yang sesungguhnya. e. Wilayah tanggung jawab distribusi tidak dapat dipisah dengan tegas. Wilayah tanggung jawab pabrikan pupuk didasarkan pada wilayah propinsi yang tidak mungkin diisolir. Pupuk dapat merembes antar wilayah sehingga memungkinkan terjadinya persaingan tidak sehat antar pabrikan pupuk. Pabrikan pupuk saling melepas atau melempar tanggung jawab dalam menjamin pasokan pupuk. Pola KSO pun rentan terhadap persaingan tidak sehat yang pada akhirnya menimbulkan kelangkaan pupuk dan lonjak harga pupuk. IV-305
f.
Pada akhirnya kebijakan tersebut belum menjamin bahwa pupuk bersubsidi itu benar-benar dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas tanamannya.
B.4. Kebijakan Subsidi Pupuk Tidak Efektif 12.
Oleh karena skema kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 sama dengan tahun 2004, maka kemungkinan kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 tidak efektif sangat besar. Pengalaman tahun 2004 kemungkinan akan terulang lagi. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk tahun 2004 tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta sebagai berikut : a. Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas HET. Di Jawa Tengah pada bulan Oktober 2004, harga Urea mencapai Rp. 1.250 per kg, yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp. 1.050 per kg; harga ZA mencapai Rp. 1.200 per kg yang berarti Rp. 250 per kg di atas HET Rp. 950 per kg; harga SP-36 Rp. 1.550 per kg yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET Rp. 1.400 per kg; dan harga NPK Rp. 1.983 per kg yang berarti Rp. 383 per kg di atas HET Rp. 1.600 per kg. b. Pasokan pupuk di tingkat petani kerap kali langka.
13.
Berdasarkan penelitian maupun monitoring pengelola, pasok langka pupuk terjadi karena tindakan ilegal sebagai berikut : (a) Penjualan pupuk bersubsidi kepada perusahaan besar (perkebunan); (b) Ekspor pupuk; dan (c) Ketidakpatuhan pabrikan pupuk dalam menjamin pasokan pupuk yang cukup sesuai HET pada wilayah di wilayah distribusi tanggung jawabnya.
14.
Tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk pertama-tama adalah akibat dari rancangan kebijakan yang rentan terhadap tindakan menyimpang seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Penyebab kedua, yang dapat disebut sebagai faktor pemicu, adalah melonjaknya harga pupuk di pasar internasional akibat melonjaknya harga minyak bumi.
15.
Melonjaknya harga pupuk dunia juga diperburuk oleh depresiasi rupiah sehingga harga pupuk di pasar bebas amat tinggi. Jika disandingkan dengan konstruksi kebijakan subsidi pupuk, harga pupuk (utamanya Urea dan Fosfat) yang melonjak demikian tinggi, akan menimbulkan dua konsekuensi. IV-306
Pertama, terjadi disparitas harga yang amat besar antara harga pupuk bersubsidi
dan
harga
pupuk
non
subsidi,
sehingga
mendorong
merembesnya pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik. Kedua, terjadi disparitas harga yang amat besar antara di pasar pupuk domestik dan di pasar internasional, sehingga mendorong eksportasi ilegal. Boleh jadi sebagian pupuk bersubsidi malah diekspor ke negara lain. Penjualan ilegal pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik dan eksportasi ilegal selanjutnya berdampak pada kelangkaan dan lonjak harga pupuk di pasar domestik. 16.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk merupakan komplikasi dari faktor penyebab berikut: (a) Rancangan kebijakan yang kurang baik; (b) Perilaku pabrikan pupuk yang tidak bertanggung jawab; (c) Melonjakya harga pupuk dunia. tersebutlah
yang
harus
menjadi
fokus
penanganan
Ketiga faktor dalam
upaya
memperbaiki kebijakan subsidi pupuk tahun 2006. C. Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2006 17.
Konstruksi kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 menggunakan pendekatan evolutif, menganalisis kekuatan dan kelemahan kebijakan subsidi pupuk tahun-tahun sebelunnya. Konstruksi kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 merupakan penyempurnaan dari kebijakan subsidi pupuk tahun 2005.
C.1. Besaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 18.
Penentuan besaran subsidi pupuk menggunakan harga paritasnya dengan beberapa skenario sebagai berikut: (1) skenario I: Proyeksi harga dunia 2006 dengan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, harga gabah naik 10%; (2) skenario II: Proyeksi harga dunia 2006 dengan HET tahun 2006 meningkat 10 persen dibanding tahun 2005, harga gabah naik 10%; (3) skenario III: Proyeksi harga dunia turun 10 persen dengan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, harga gabah naik 10%; (2) skenario II : Proyeksi harga dunia turun 10 persen dengan HET tahun 2006 meningkat 10 persen dibanding tahun 2005, harga gabah naik 10%.
IV-307
19.
Hasil simulasi penentuan besaran subsidi pupuk disajaikan dalam Tabel 2. Besaran subssidi berdasarkan menggunakan asumsi modus pemberian subsidi melalui harga. Apabila
harga dunia tahun 2006 sesuai dengan
proyeksinya dan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005 (Urea = Rp 1.050; SP-36 = Rp 1.400; ZA = Rp 950 dan NPK = Rp 1.600), maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 3,454 trilyun, sedangkan apabila HET dinaikkan 10 persen (Urea = Rp 1.155; SP-36 = Rp 1.540; ZA = Rp 1.045 dan NPK = Rp 1.760), maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 2,813 trilyun. Apabila harga dunia tahun 2006 turun 10 persen dari yang diproyeksikan dan HET HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 2,468 trilyun, sedangkan sedangkan apabila HET dinaikkan 10 persen, maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 1,828 trilyun. Besaran subsidi tersebut makin rendah apabila modus pemberiannya melalui gas untuk urea. 20.
Walaupun harga dunia tahun 2006 mengalami kenaikan dibanding tahun 2005, namun memperhatikan efek psikologis dari kenaikan harga BBM tahun 2005
dan
kecenderungan
penurunan
laba
usahatani
serta
untuk
meningkatkan kredibilitas pemerintah dan meningkatkan kapasitas produksi pangan, maka disarankan agar pemerintah tidak menaikkan HET (Urea = Rp 1.050; SP-36 = Rp 1.400; ZA = Rp 950 dan NPK = Rp 1.600) dengan besaran subsidi Rp 3,453 trilyun atau mengalami peningkatan 36 persen dibanding tahun 2005 (besaran subsidi tahun 2005 apabila melalui modus harga diperkirakan Rp 2.547 trilyun). 21.
Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani, maka disarankan pemerintah menaikkan harga pembelian gabah oleh pemerintah pada tahun 2006 sebesar 10 persen dari Rp 1.330 menjadi Rp 1473 GKP.
C.2. Dampak Subsidi Pupuk Tahun 2006 22.
Apabila pemerintah memilih kebijakan tidak menaikkan HET tetapi menaikkan harga pembelian gabah 10 persen, maka kebutuhan pupuk diperkirakan meningkat sebesar 3 persen yaitu : untuk urea = 4.148.237 ton; SP-36 = 772.500 ton; ZA = 618.000 ton dan NPK = 236.900 ton. Walaupun IV-308
kebutuhan subsidi pupuk tahun 2006 mengalami peningkatan, namun karena HET tetap, maka dampak subsidi pupuk terhadap produksi tidak akan mengalami perubahan dibanding tahun 2005. 23.
Dengan elastisitas produksi terhadap kenaikan harga gabah 0.225, maka peningkatan
harga
gabah
sebesar
10
persen
akan
meningkatkan
produktivitas 2,25 persen. C.3. Modus Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Tahun 2006 24.
Ada dua modus subsidi pupuk yang diberikan kepada petani yaitu : Pertama, subsidi tidak langsung dengan modus pemberian
subsidi gas kepada
produsen; Kedua, subsidi langsung dengan modus subsidi harga yang dibeli petani lebih rendah dari harga pasar.
Dengan penjaminan keuntungan
untuk pabrikan sebesar 10 persen dari biaya produksi, maka secara ekonomi modus subsidi melalui gas untuk urea lebih menguntungkan dibanding modus melalui harga.
Dengan
modus tersebut, pemerintah dapat
menghemat biaya subsidi sebesar Rp 815 milyar (Tabel 3). Oleh karena itu, untuk tahun
2006 disarankan modus subsidi pupuk untuk urea
melalui gas dan untuk non urea (ZA, SP-36 dan NPK) melalui harga. Dengan kata lain modus subsidi tahun 2006 tetap seperti tahun 2005. 25.
Sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini ternyata tidak mampu: (a) menjamin penyimpangan manipulasi perhitungan besaran subsidi di tingkat pengecer /kios walaupun ada aparat pengawasan; (b) menanggulangi masalah dualisme harga pupuk di pasar domestik (pertanian rakyat vs perkebunan besar maupun industri); (c)
menjamin bahwa pupuk subsidi
benar-benar telah mampu dibeli petani karena sistem sekarang bersifat pasif tidak aktif sementara kemapuan petani terbatas; (d) menjamin bahwa pupuk bersubsidi tersebut dibeli dan digunakan untuk usahatani mereka karena sistem sekarang tidak ada monitoring sampai penggunaan di tingkat petani. 26.
Untuk mengatasi kelemahan (a), maka disarankan sistem distribusi pupuk dibagi dua segment yaitu: (1) segment pertama, distribusi pupuk sampai lini III ditangani oleh produsen; (2) segment kedua, distribusi pupuk dari line III ke lini IV ditangani oleh KUD dan selanjutnya diserahkan kepada pengecer swasta maupun KUD yang bertindak sebagai pengecer. IV-309
27.
Untuk mengatasi kelemahan (b), (c) dan (d), maka disarankan
sistem
pembelian pupuk bersubsidi oleh petani dilakukan melalui sistem pipa tertutup didukung oleh sistem kredit.
Petani melalui kelompok tani
membuat RDKPK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Kelompok) lalu diajukan kepada KUD dan KUD menyalurkannya. Bagi kelompok yang tidak mampu dapat mengajukan kredit, sedangkan bagi yang mampu dapat membayar tunai. Sistem kupon subsidi sebagai alternatif dipandang tidak akan menjamin mampu mengatasi permasalahan tersebut karena masih terbuka kemungkinan memperdagangkan kupon sehingga pupuk bersubsidi juga tidak tepat sasaran.
Tabel 1. Perbandingan Profitabilitas Usahatani Padi Dengan dan Tanpa Subsidi Pupuk Tahun 2006 Uraian
Dengan Subsidi Pupuk Nilai (Rp) Share (%)
Tanpa Subsidi Pupuk Nilai (Rp) Share (%)
Produksi • Jumlah GKP (Kw) • Nilai (Rp) • Harga (Rp/kg)
51
51
5,503,890
5,503,890
1,075
1,075
Biaya • Benih
112,462
3.1
112,462
2.9
• Pupuk
627,315
17.4
846,907
22.1
• Urea
310,769
8.6
459,468
12.0
• SP-36
134,258
3.7
167,610
4.4
• KCL
15,711
0.4
22,705
0.6
• ZA
166,576
4.6
197,125
5.1
Pestisida
100,070
2.8
100,070
2.6
1,229,531
34.0
1,229,531
32.1
• Pra Panen
824,027
22.8
824,027
21.5
• Panen
405,504
11.2
405,504
10.6
Sewa Lahan
1,545,568
42.8
1,545,568
40.3
Total
3,614,947
100.0
3,834,539
100.0
Keuntungan (Rp) Keuntungan per kg (Rp/kg) Persentase Penurunan Keuntungan (%)
1,888,943
Tenaga Kerja
369
1,669,350 326 12
IV-310
Tabel 2. Besaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 dikaitkan dengan Harga Dunia Jenis Pupuk
Harga Dunia
Kurs
Harga Domestik
HET
Subsidi
Kebutuhan Per kg
Total
Skenario 1 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006, HET Tetap, Harga Gabah Naik 10% Urea
192
9,000
1728
1,050
4,148,237
678
2,812,504,991
SP -36
201
9,000
1809
1,400
772,500
409
315,952,500
ZA
142
9,000
1278
950
618,000
328
202,704,000
NPK
235
9,000
2115
1,600
236,900
515
122,003,500
Total Subsidi
3,453,164,991
Skenario 2 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006, HET Naik 10%, Harga Gabah Naik 10%. Urea
192
9,000
1728
1,155
4,148,237
573
2,376,940,059
SP -36
201
9,000
1809
1,540
772,500
269
207,802,500
ZA
142
9,000
1278
1,045
618,000
233
143,994,000
NPK
235
9,000
2115
1,760
236,900
355
84,099,500
Skenario 3 :
Total Subsidi 2,812,836,059 Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006 Turun 10%, HET Tetap, Harga Gabah Naik 10%
Urea
173
9,000
1555
1,050
4,148,237
505
2,095,689,560
SP -36
181
9,000
1628
1,400
772,500
228
176,207,250
ZA
128
9,000
1150
950
618,000
200
123,723,600
NPK
212
9,000
1904
1,600
236,900
304
71,899,150
Total Subsidi 2,467,519,560 Skenario 4 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006 Turun 10%, HET Naik 10%, Harga Gabah Naik 10% Urea
173
9,000
1555
1,155
4,148,237
400
1,660,124,627
SP -36
181
9,000
1628
1,540
772,500
88
68,057,260
ZA
128
9,000
1150
1,045
618,000
105
65,013,600
NPK
212
9,000
1904
1,760
236,900
144
33,995,150
Total Subsidi
IV-311
1,827,190,627
Tabel 3. Analisis Ekonomi Pemberian Subsidi Urea melalui Modus Gas Vs Harga
Modus
Harga Lini IV + HET subsidi di 10 % Lini IV (Rp/kg)
1. Gas 2. Harga
(Rp/Kg)
Subsidi
Kebutuhan
Total Subsidi
(Rp/Kg)
(Kg)
(Rp)
-
1,050
-
4,027,415
1,158,162,338
1,540
1,050
490
4,027,415
1,973,433,350
Selisih
815,271,012
2500
2300
2100
1700
1500
1300
Bulan
Harga Urea
Harga SP-36
HET Urea
HET SP-36
Ganbar 1. Perkembangan Harga Paritas Impor Pupuk Urea dan SP-36, Tahun 2003-2005
IV-312
January 2005
November
September
July
May
March
January 2004
November
September
July
May
March
900
2003
1100
January
Rp / kg
1900
GUDANG PENYANGGA LINI III
KUD PENGECER
GUDAN G LINI II
GUDANG DISTRIBUTOR LINI III
KUD Lini IV
KELOMPOK TANI (RDKPK)
SWASTA PENGECER
Gambar 2. Usulan Pola Distribusi Pupuk Bersubsidi
D:\data\data\Anjak-2005Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk
IV-313
P E T A N I