ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA
MASYITHOH ALKAUTSAR
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Masyithoh Alkautsar NIM H14100016
ABSTRAK MASYITHOH ALKAUTSAR. Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, namun tingkat kemiskinan di Indonesia masih saja tinggi, meskipun setiap tahunnya tingkat kemiskinan Indonesia mengalami penurunan. Salah satu kebijakan di bidang ketenagakerjaan untuk mengentaskan masalah kemiskinan adalah kebijakan upah minimum. Kebijakan Upah Minimum Provinsi dibuat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan para pekerja sehingga merupakan salah satu kebijakan yang akhirnya diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih saja tinggi meskipun kebijakan UMP tersebut telah diterapkan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi terhadap tingkat kemiskinan Indonesia periode tahun 2007-2012. Metode yang digunakan adalah metode analisis data panel dengan model estimasi terbaik yaitu fixed effect model (FEM). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Provinsi (UMP), dan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Upah Minimum Provinsi (UMP) memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode penelitian. Kata Kunci : data panel, tingkat kemiskinan, Upah Minimum Provinsi (UMP) ABSTRACT MASYITHOH ALKAUTSAR. Analysis Of The Impact Of Minimum Wage Policy On Poverty In Indonesian. Supervised by NUNUNG NURYARTONO.
Indonesia is a country with plentiful both of natural resources and culture, but the level of poverty in Indonesia is still high, although it decreases in each year. One of the policies in the field of labor to alleviate the problem of poverty is the minimum wage policy. Provincial minimum wage policy was made with the aim of improving the welfare of the workers so that is one of the policies that ultimately expected to reduce the level of poverty in Indonesia. Facts show that the poverty rate in Indonesia is still high despite the minimum wage policy has been applied. The study aims to look at the impact of minimum wage policy on poverty in Indonesian province in year 2007-2012. The method used is the method of analysis of panel data model with the best estimate of the fixed effect model (FEM). Regression analysis showed that the variables Gross Regional Domestic Product (GRDP), the provincial minimum wage, and level of education have a significant effect on the level of poverty. Provincial minimum wage has a negative and significant effect on poverty levels in Indonesia during the study period. Keywords: panel data, level of poverty, provincial minimum wage
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA
MASYITHOH ALKAUTSAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agutus 2013 ini ialah upah minimum dan tingkat kemiskinan, dengan judul Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat bagi penulis yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Ibu Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Abi, umi, kakak dan adik serta keluarga yang selalu memberikan doa, nasihat, dan semangat 4. Fikri Al-Abqori, sebagai suami yang tidak henti memberikan dukungan dan semangat. 5. Kepada Luqman Azis, Andri Sukrudin, Fatimah Azzahra, Nana R, Mirsad A, Ari Pohan, selaku rekan sebimbingan dan seperjuangan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 6. Sahabat-sahabat penulis, Annisa Karima, Astika Sa’diyah, Vina QA, Tisa Amalia, Trisa M, Triana KL, Aprillia W, Nabilah, Anggita Widasari, Anggita Widaningsih, Luthfia I, Candri R, Annisa Winditha, Anisa Ayu Artati, Aulia Novita R yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. 7. Kepada teman-teman ESP 47 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Oktober 2014 Masyithoh Alkautsar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan
6 6
Upah
10
Upah Minimum
11
Produk Domestik Regional Bruto
13
Pendidikan
14
Penelitian Terdahulu
15
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
18
METODE
18
Jenis dan Sumber Data
18
Metode Analisis Data
18
Perumusan Model
19
Pemilihan Model
22
Uji Kesesuaian Model
23
Definisi Operasional Variabel
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Keadaan Kependudukan
26
Perkembangan Tingkat Kemiskinan
27
Program Pengentasan Kemiskinan
30
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
31
Perkembangan Tingkat Pendidikan
33
Perkembangan Upah Minimum Provinsi
35
Hasil Estimasi Model
38
Pemilihan Model Terbaik
39
Uji Asumsi Klasik
39
Uji Statistik
40
Model Penduga Tingkat Kemiskinan Indonesia
41
SIMPULAN DAN SARAN
48
Simpulan
48
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL 1 Kondisi ketenagakerjaan Indonesia tahun 2007-2012 2 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin Indonesia tahun 2007-2012 3 Perkembangan koefisien gini Indonesia tahun 2007-2012 4 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan 5 Koefisien fixed effect model
26 27 30 41 46
DAFTAR GAMBAR 1 Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen) 2 Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang) 3 Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh Indonesia tahun 2007-2012 (ribu rupiah) 4 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) 5 Kerangka pemikiran penelitian 6 Provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (ribu jiwa) 7 Provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (persen) 8 Provinsi dengan PDRB terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (miliar rupiah) 9 Tingkat kemiskinan dan nilai PDRB provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2012 10 Provinsi dengan rata-rata lama sekolah terbesar di Indonesia tahun 2007 dan 2012 (tahun) 11 Tingkat kemiskinan dan nilai rata-rata lama sekolah provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2012 12 Provinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (rupiah) 13 Tingkat kemiskinan dan upah minimum provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2012
1 2 3 9 17 28 29 32 33 34 35 37 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 Tingkat kemiskinan berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007-2012 (persen) 2 Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007-2012 (miliar rupiah) 3 Rata-rata lama sekolah berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 20072012 (tahun) 4 Upah Minimum Provinsi Indonesia tahun 2007-2012 (rupiah) 5 Uji Chow 6 Uji Hausman 7 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan
52 53 54 55 56 56 57
8 Uji normalitas 9 Uji multikolinearitas 10 Uji heteroskedastisitas
57 58 58
PENDAHULUAN Latar Belakang
Tingkat Kemiskinan (persen)
Kemiskinan merupakan salah satu tolak ukur kondisi sosial ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah di suatu daerah. Banyak sekali masalah-masalah sosial yang bersifat negatif timbul akibat tingginya tingkat kemiskinan (Saputra 2011). Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus menjadi masalah yang berkepanjangan (Ritonga 2014). Tingkat kemiskinan menggambarkan persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk total di suatu daerah. Tingkat kemiskinan erat hubungannya dengan disparitas kemiskinan di suatu daerah. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, dan merupakan program prioritas bagi pemerintah Indonesia. Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 16.58 % pada tahun 2007 dan berkurang menjadi 11.60 % pada tahun 2012. Provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dari tahu 2007 hingga 2012 adalah Provinsi Papua. Tahun 2012 tingkat kemiskinan Provinsi Papua sebesar 31.11%.
20 15 10 5 0
16.58
2007
15.42
2008
14.15
13.33
12.36
11.60
2009 2010 Tahun
2011
2012
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 1 Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen) Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (BPS 2013). Indonesia terus mengalami krisis kesejahteraan dengan jumlah penduduk miskin mencapai puluhan juta jiwa. Gambar 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2013 mengalami penurunan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007 sekitar 37.17 juta jiwa.
2
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)
Angka ini pada tahun 2008 berkurang hingga menjadi sekitar 34.96 juta jiwa. Tahun 2009 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sekitar 2.43 juta jiwa yaitu berkurang hingga menjadi 32.53 juta jiwa. Tahun 2010 jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan hingga menjadi 31.02 juta jiwa. Tahun 2011 jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 0.97 % dari tahun 2010 menjadi 30.02 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 sekitar 29.13 juta jiwa. Provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 adalah Provinsi Jawa Timur. Tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur sebesar 5 071 ribu jiwa.
40
37.17
34.96
32.53
31.02
30.02
29.13
2007
2008
2009 2010 Tahun
2011
2012
20 0
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 2 Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang) Tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin yang terus menurun dari tahun 2007 hingga 2012 mengindikasikan adanya keberhasilan dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah. Meskipun mengalami penurunan, angka kemiskinan di Indonesia pada periode penelitian masih tergolong tinggi. Tingginya angka kemiskinan tersebut disebabkan oleh masalah pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pendidikan dan keterampilan yang rendah menyebabkan kondisi buruh di Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera. Saat ini rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia hanya lulusan SD dan SMP dengan kemampuan yang rendah. Hal tersebut otomatis berdampak pada rendahnya nilai upah yang diterima pekerja (Kusuma 2014). Menurut Muttaqin (2012) kemiskinan di Indonesia yang terlihat rendah dan semakin menurun namun tidak terasa kesejahteraannya disebabkan oleh rendahnya standar kemiskinan yang digunakan oleh Indonesia. Standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp243 729, artinya penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata per bulan di bawah Rp243 729 atau per harinya di bawah Rp8 124, sedangkan standar internasional adalah $2 per hari. Menurut Woyanti (2013) tingginya angka kemiskinan antara lain disebabkan oleh kurang meratanya pembangunan perekonomian hingga ke daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pemerintah. Penyebab kemiskinan adalah kesejahteraan atau daya beli masyarakat yang rendah. Daya beli yang rendah dapat disebabkan oleh produktivitas kerja yang rendah sehingga pekerja menerima upah yang rendah dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Masalah kemiskinan merupakan masalah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia dan harus diselesaikan. Salah satu kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang berhubungan langsung dengan pendapatan atau daya beli seseorang adalah kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum dibuat dengan tujuan
3 melindungi para buruh agar upah yang diterima tetap sesuai dengan kebutuhan hidup minimum para buruh tersebut. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum bahwa untuk melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling rendah sebagai akibat ketidakseimbangan pasar kerja, perlu penyelarasan kebijakan upah minimum dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan keberlangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh. Gambar 3 memperlihatkan bahwa perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi dari tahun 2007-2012 terus mengalami peningkatan . Nilai rata-rata Upah Minimum Provinsi di Indonesia pada tahun 2007 adalah Rp667 900. Nilai tersebut meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp743 200 dan pada tahun 2009 nilai ratarata UMP mencapai Rp830 700. Tahun 2010 rata-rata UMP terus mengalami kenaikan menjadi Rp908 800, kemudian pada tahun 2011 nilainya adalah Rp988000. Tahun 2012 nilai rata-rata UMP adalah sebesar Rp 1 085 400. Upah Minimum Provinsi yang selalu meningkat disebabkan oleh adanya penyesuaian terhadap tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kebutuhan hidup layak di provinsi tersebut mengalami peningkatan. Provinsi yang memiliki UMP terbesar pada tahun 2012 adalah Provinsi Papua yaitu sebesar Rp1 585 000. Tingkat kemiskinan di Papua termasuk yang terbesar sehingga perlu ditetapkan UMP yang besar pula. Tahun 2007 hingga tahun 2012 tingkat kemiskinan di Papua mengalami penurunan namun angka kemiskinan sebesar 31.11 % masih tergolong tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sulitnya akses untuk mencapai daerah Provinsi Papua tesebut.
Upah Minimum Provinsi (Ribu Rupiah)
1500 1000
667.90
743.20
830.70
908.80
2007
2008
2009
2010
988.80 1 085.40
500 0
2011
2012
Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 3 Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh Indonesia tahun 2007-2012 (ribu rupiah) Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Putri dan Yuliarmi (2013) menunjukkan bahwa upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali dari tahun 2007-2011. Selanjutnya Woyanti (2013) melakukan penelitian yang hasilnya adalah UMP memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dengan koefisien sebesar 5 174.27. Hal ini berarti kenaikan UMP sebesar Rp100000 per bulan akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan , yakni angka kemiskinan akan meningkat sebesar 5 174 jiwa. Kebijakan upah minimum merupakan kebijakan yang dirancang untuk melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling rendah dan selanjutnya diharapkan berdampak pada berkurangnya tingkat
4 kemiskinan. Kebijakan upah minimum yang bertujuan dapat mengurangi tingkat kemiskinan, sering kali menimbulkan kontroversi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya perselisihan antara kelompok pengusaha yang memandang tuntutan upah minimum sebagai beban dan tidak kompatibel dengan upaya pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sementara serikat pekerja menghendaki kenaikan upah minimum yang signifikan (Sumarsono 2009). Penelitian yang dilakukan oleh SMERU (2001) menunjukkan bahwa hanya 40 % unit usaha di Indonesia yang membayarkan upahnya sesuai dengan upah minimum. Hasil penelitian SMERU lainnya adalah kebijakan upah minimum hanya menguntungkan pekerja yang terdidik saja karena perusahaan cenderung mensubstitusi tenaga kerja dengan mesin. Kebijakan upah minimum mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan. Kebijakan upah minimum tidak hanya menyangkut kesejahteraan buruh/pekerja saja, namun juga menyangkut kesanggupan pengusaha untuk membayar. Kenaikan upah minimum yang tidak diiringi oleh peningkatan produktivitas kerja dari buruh/pekerja akan membuat pengusaha mengalami kerugian. Pengusaha yang mengalami kerugian akan gulung tikar dan akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan pengusaha tersebut serta para pekerja yang bekerja di perusahaan tersebut. Penelitian yang dilakukan USAid dan Bappenas (2013) dalam Aria (2014) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia relatif rendah dan tidak sebanding dengan kenaikan upah yang diterimanya. Penelitian tersebut menemukan bahwa seorang tenaga kerja di sebuah industri sepatu yang menyerap tenaga kerja dan berpotensi ekspor hanya mampu menghasilkan rata-rata 0.8 pasang sepatu per hari. Sementara upahnya pada 2013 mencapai rata-rata US$ 242 per bulan. Di China, dengan tingkat upah US$ 235 per bulan, seorang pekerja rata-rata dapat menghasilkan 1.1 pasang sepatu tiap harinya. Produktivitas tenaga kerja di Indonesia sendiri dari tahun 2008 hingga 2012 mengalami kenaikan. Tahun 2008 produktivitas tenaga kerja di Indonesia adalah sebesar Rp161 396 000 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp234 010 000 (BPS 2013). Latar belakang di atas menjadikan penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena menyangkut kesejahteraan para buruh dan pengusaha yang masih dipertanyakan akibat adanya efek dari UMP terhadap tingkat kemiskinan. Jika kebijakan UMP tidak dapat mengurangi angka kemiskinan berarti terdapat masalah dalam penerapan UMP tersebut. Melihat betapa pentingnya efek yang dapat ditimbulkan dari kebijakan upah minimum, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak UMP terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun 2007-2012.
Perumusan Masalah Tingkat kemiskinan Indonesia yang masih cukup tinggi membuat pemerintah berupaya untuk membuat berbagai kebijakan yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan tersebut. Salah satu kebijakan di bidang ketenagakerjaan adalah kebijakan upah minimum regional yang bertujuan positif yaitu agar
5 pekerja/karyawan yang menempati tingkatan paling rendah dapat memperoleh upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup minimum di daerah tempat tinggalnya. Kebijakan upah minimum regional ditempatkan sebaga isu sentral oleh banyak pihak (pemerintah, serikat buruh, dan LSM) dikarenakan kebijakan ini merupakan satu-satunya kebijakan pemerintah Indonesia yang secara langsung dan eksplisit dikaitkan dengan upah buruh. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah kebijakan UMP yang selama ini dijalankan oleh pemerintah sudah efektif atau belum, melihat angka kemiskinan Indonesia yang masih saja tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan kemiskinan di Indonesia? 2. Bagaimana dampak Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan perkembangan kemiskinan di Indonesia. 2. Menganalisis dampak Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat dan kegunaan sebagai berikut, yaitu: 1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan upah minimum regional. 3. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru dan pemahaman mengenai dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi dan faktorfaktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan Indonesia
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia ini dilakukan di 33 provinsi yang ada di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012. Penelitian ini fokus untuk melihat dampak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan memperlihatkan faktor-faktor lain selain UMP yang memengaruhi tingkat kemiskinan Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik.
6
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Definisi Kemiskinan Kemiskinan dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni aspek kebutuhan hidup yang layak, aspek penghasilan, aspek kesempatan atau opportunity, aspek keadaan atau kondisi, dan aspek penguasaan terhadap sumber-sumber pendapatan (Todaro 2003). Kemiskinan berdasarkan aspek kebutuhan hidup yang layak adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok yang disebabkan adanya kekurangan barang dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan hidup standar yang layak. Ini merupakan kemiskinan absolut/mutlak yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan dasar. Kemiskinan dari aspek penghasilan dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan atau penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Kemiskinan berdasarkan aspek kesempatan atau opportunity adalah kemiskinan yang terjadi karena ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan kesempatan sosial seperti keterampilan yang memadai, informasi yang berguna, jaringan sosial, dan sumber modal. Kemiskinan dari aspek keadaan atau kondisi dilihat sebagai suatu keadaan yang dicirikan dengan kondisi kurang makan dan gizi, kekurangan pakaian, perumahan tidak memadai, pendidikan yang rendah, dan sedikitnya kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan. Kemiskinan berdasarkan aspek penguasaan terhadap sumber-sumber pendapatan merupakan keterlantaran yang disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi pendapatan. Kemiskinan merupakan masalah multi dimensional yang ditandai dengan ketidakberdayaan individu untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar standar atas tiga masalah kehidupan. Pertama, masalah kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barangbarang dan pelayanan dasar. Kedua, masalah kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Ketiga, masalah kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai (Woyanti 2013). Sudantoko dan Hamdani (2009) menjelaskan berbagai definisinya tentang kemiskinan. Kemiskinan terbagi-bagi menjadi kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural, kemiskinan dengan pendekatan pendapatan/pengeluaran, kemiskinan dengan pendekatan rata-rata per kapita, dan kemiskinan dengan pendekatan BKKBN. Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang miskin secara relatif disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin” misalnya 20 % atau 40 % dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan atau pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
7 Ukuran relatif kemiskinan sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini “orang miskin selalu hadir bersama kita”. Garis kemiskinan relatif berbeda-beda setiap negara. Garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Ukuran finansial dalam bentuk uang merupakan terjemahan dari kebutuhan pokok minimum. Istilah garis kemiskinan diartikan sebagai nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar sedangkan penduduk miskin ialah penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan absolut tetap dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan, garis kemiskinan absolut sangat penting dan dapat digunakan. Bank Dunia menggunakan dua batas ukuran yang merupakan garis kemiskinan absolut, yaitu : a) US$ 1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1.2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah ukuran tersebut; b)US$ 2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut (Sudantoko dan Hamdani 2009). Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur, dimana kemiskinan menggejala oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, dan sebagainya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Contohnya adalah kemiskinan yang terjadi pada suku-suku terasing, seperti suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi. Kemiskinan dengan pendekatan pendapatan/pengeluaran menggunakan konsep kebutuhan dasar yang di dalamnya terdapat komponen kebutuhan dasar dan karakteristik kebutuhan dasar serta hubungan keduanya dengan kemiskinan. Kemiskinan dengan pendekatan rata-rata per kapita dari waktu ke waktu mengalami perkembangan dalam penerapannya. Tingkat konsumsi menurut golongan umur dan jenis kelamin serta skala ekonomi dalam konsumsi biasanya belum termasuk dalam pertimbangan pada pendekatan rata-rata per kapita ini. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan sebesar 1 dolar dalam bentuk satuan PPP per kapita per hari. Negara maju seperti Eropa Barat menetapkan 1/3 dari nilai PDB per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan. Garis kemiskinan Indonesia didekati dengan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari ditambah pengeluaran minimum bukan
8 makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang kesehatan, pendidikan, transpor dan barang-barang lainnya). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menerapkan konsep dan definisi kemiskinan pada tahun 1999 dengan melakukan pendekatan keluarga secara lengkap. Konsep pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kesejahteraan keluarga. Lima tahapan kriteria keluarga menurut BKKBN, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I(KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus). Kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah Keluarga Pra-Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I). Ada lima indikator keluarga Sejahtera I, yaitu : 1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masingmasing. 2. Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih. 3. Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja, dan bepergian. 4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. 5. Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke sarana/ petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari 5 (lima) indikator di atas. Menurut Kuncoro (2003) penyebab kemiskinan dipandang dari segi ekonomi. Pertama secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga teori ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Gambar 4 menunjukkan gambar mengenai teori lingkaran setan kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurang modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua sektor utama, yakni: tingkat pendapatan nasional rata-rata dan distribusi pendapatan yang merata. Tingkat pendapatan nasional rata-rata yang tinggi tidak akan berarti bila terdapat banyaknya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Tingkat pendapatan nasional rata-rata yang tinggi harus diikuti oleh distribusi pendapatan yang merata agar kemiskinan tidak semakin meluas (Todaro 2003).
9
Ketidaksempurnaan pasar, keterbelakangan, ketertinggalan
Kekurangan modal
Investasi rendah Produktivitas rendah
Tabungan rendah
Pendapatan rendah
Sumber : Kuncoro, 2003
Gambar 4 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)
Ukuran Kemiskinan BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Ukuran kemiskinan dapat dilihat dari Garis Kemiskinan (GK), Head Count Index (HCI-P0 ), Indeks Kedalaman Kemiskinan, dan Indeks Keparahan Kemiskinan (Sudantoko dan Hamdani 2009). Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Head Count Index (HCI-P0), adalah persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Tingkat kemiskinan dinyatakan dengan Head Count Index (HCI-P0). Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
10 Upah Definisi Upah Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Bab I Ketentuan Umum pasal 1, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah merupakan salah satu unsur untuk menentukan harga pokok dalam perusahaan, karena ketidaktepatan dalam menentukan besarnya upah akan sangat merugikan perusahaan. Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya upah adalah penawaran dan permintaan tenaga kerja, organisasi buruh, kemampuan untuk membayar, produktivitas tenaga kerja, biaya hidup, dan pemerintah (Prastyo 2010).
Teori Upah Menurut Mankiw (2007) penyebab ketiga dari kekakuan upah selain undang-undang upah minimum dan pembentukan serikat adalah teori upah efisiensi. Terdapat empat teori upah-efisiensi, teori yang pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi membuat para pekerja lebih produktif. Pengaruh upah terhadap efisiensi pekerja dapat menjelaskan kegagalan perusahaan untuk memangkas upah meskipun terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja. Meskipun akan mengurangi tagihan upah perusahaan pengurangan upah akan memperendah produktivitas pekerja dan laba perusahaan. Teori upah-efisiensi yang kedua, menyatakan bahwa upah yang tinggi menurunkan perputaran tenaga kerja. Pembayaran upah yang tinggi oleh perusahaan akan mengurangi frekuensi pekerja yang keluar dari pekerjaan, sekaligus mengurangi waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menarik dan melatih pekerja baru. Teori upah-efisiensi yang ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata tenaga kerja perusahaan bergantung pada upah yang dibayar kepada karyawannya. Jika perusahaan mengurangi upahnya, maka pekerja terbaik biasanya mengambil pekerjaan ditempat lain, meninggalkan perusahaan dengan pekerja yang tidak terdidik yang memiliki lebih sedikit alternatif. Teori upah-efisiensi yang keempat menyatakan bahwa upah yang tinggi meningkatkan upaya pekerja. Teori ini menegaskan bahwa perusahaan tidak dapat memantau dengan sempurna upaya para pekerja,dan para pekerja harus memutuskan sendiri sejauh mana mereka akan bekerja keras. Semakin tinggi upah, semakin besar kerugian bagi pekerja bila mereka sampai dipecat. Pembayaran upah yang lebih tinggi oleh perusahaan akan memotivasi lebih banyak pekerja agar tidak bermalas-malasan dan dengan demikian meningkatkan produktivitas mereka. Meskipun keempat teori upah-efisiensi ini secara rinci berbeda, namun teori-teori tersebut menyuarakan topik yang sama: karena perusahaan beroperasi lebih efisien jika membayar pekerjanya dengan upah yang tinggi, maka perusahaan dapat menganggap bahwa mempertahankan upah diatas tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan adalah menguntungkan.
11 Teori klasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimalkan keuntungan, tiap-tiap perusahaan menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa. Faktor-faktor produksi yang dipergunakan tersebut akan menerima atau mendapatkan imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marjinal dari faktor produksi tersebut. Tenaga kerja memperoleh upah senilai dengan pertumbuhan hasil marjinalnya (Simanjuntak 1998).
Perubahan Tingkat Upah Perubahan tingkat upah akan memengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan. Apabila digunakan asumsi bahwa tingkat upah naik maka akan menyebabkan dua efek yaitu efek skala produksi atau scale effect dan efek substitusi atau substitution effect (Sumarsono 2009). Naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan pula harga per unit barang yang diproduksi. Biasanya para konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan tidak lagi mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan terpaksa produsen menurunkan jumlah produksinya. Turunnya target produksi, mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena pengaruh turunnya skala produksi disebut dengan efek skala produksi atau scale effect. Apabila upah naik (dengan asumsi harga barang-barang modal lainnya tidak berubah) maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya. Pengusaha menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin dan lainlain. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena adanya pergantian / penambahan penggunaan mesin-mesin disebut efek substitusi atau substitution effect.
Upah Minimum Definisi Upah Minimum Upah minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya (UU No. 13 Tahun 2003). Menurut Keputusan Menteri No.1 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan.
12 Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Upah minimum terdiri atas : 1. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP, yaitu upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi. 2. Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota. 3. Upah Minimum Sektoral Provinsi yang selanjutnya disingkat UMSP adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu provinsi. 4. Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMSK adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah kabupaten/kota. Menurut Rachman dalam Prastyo (2010) tujuan penetapan upah minimum dapat dibedakan secara mikro dan makro. Secara mikro tujuan penetapan upah minimum yaitu (a) sebagai jaring pengaman agar upah tidak merosot, (b) mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan, dan (c) meningkatkan penghasilan pekerja pada tingkat paling bawah. Secara makro penetapan upah minimum bertujuan untuk (a) pemerataan pendapatan, (b) peningkatan daya beli pekerja dan perluasan kesempatan kerja, (c) perubahan struktur biaya industri sektoral, (d) peningkatan produktivitas kerja nasional, peningkatan etos dan disiplin kerja, (e) memperlancar komunikasi pekerja dan pengusaha dalam rangka hubungan bipartite.
Teori Upah Minimum Upah minimum dapat dipengaruhi oleh jenis pasar kerja yang berlaku (Woyanti 2013). Pasar kerja adalah sarana pertemuan antara penjual dan pembeli tenaga kerja, dimana penjual tenaga kerja atau pencari kerja akan menerima upah setelah mencurahkan waktunya kepada pembeli tenaga kerja. Sebaliknya pembeli tenaga kerja atau lembaga/perusahaan akan mengeluarkan uang atau upah kepada tenaga kerja sebagai kompensasi atas usaha jasa yang telah diserahkannya dalam proses produksi menghasilkan barang dan jasa. Pasar kerja terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pasar persaingan sempurna, pasar monopsoni, dan pasar monopoli. Pasar persaingan sempurna dicirikan oleh jumlah pencari kerja dan jumlah perusahaan yang sama banyak. Sama banyak di sini tidak mengacu pada jumlah fisik, melainkan mengacu pada tingkat independensinya, sebab di antara tenaga kerja dan perusahaan tidak ada ketergantungan. Masing-masing pihak secara individual tidak memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat upah. Kondisi ini menyebabkan penentuan upah didasarkan pada kekuatan keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Pasar monopsoni adalah pasar tenaga kerja yang terdiri dari banyak pencari kerja, namun hanya terdapat satu perusahaan yang membutuhkan jasa pekerja dalam arti perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam satu asosiasi perusahaan yang membuat perilaku seragam di antara anggotanya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kekuatan nyata dalam pasar untuk menentukan upah. Hal ini sering menyebabkan terjadinya eksploitasi tenaga kerja dengan upah yang rendah.
13 Pasar monopoli adalah pasar tenaga kerja yang di dalamnya terdapat banyak perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja tetapi hanya ada satu pekerja yang menginginkan pekerjaan. Umumnya tenaga kerja menyatukan diri dalam serikat pekerja yaitu serikat buruh yang kuat. Hal tersebut menjadikan serikat buruh memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat upah dalam pasar tenaga kerja. Upah pekerja dalam situasi ini adalah upah maksimum.
Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Upah Minimum Menurut Kaufman (2000) tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan meningkat dan terbebas dari kemiskinan.
Produk Domestik Regional Bruto Definisi Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi yang dijadikan salah satu indikator ekonomi suatu daerah. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Pergeseran struktur ekonomi dapat dilihat dengan mengukur PDRB atas dasar harga berlaku sedangkan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun digunakan PDRB atas dasar harga konstan. Terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk menghitung angka-angka PDRB (Maulia 2014) yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan produksi adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor), antara lain: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan penggalian; 4. Listrik, gas dan air bersih; 5. Konstruksi; 6. Perdagangan, hotel dan restoran; 7. Pengangkutan; 8. Keuangan, Real Estat dan jasa perusahaan; 9. Jasa-jasa. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan pendapatan balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada jangka waktu tertentu (dalam satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya belum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. PDRB dalam pendekatan ini mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan pengeluaran adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: 1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, 2. Pengeluaran konsumsi pemerintah, 3.
14 Pembentukan modal tetap domestik bruto, 4. Perubahan inventori, 5. Ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang akan dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.
Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Hasil PDRB yang menyebar di setiap golongan masyarakat termasuk di golongan penduduk miskin merupakan syarat bagi pengurangan penduduk miskin. (Siregar dan Wahyuniarti 2008). Penelitian yang dilakukan Woyanti (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara PDRB dan tingkat kemiskinan. Produk Domestik Regional Bruto yang meningkat akan mengurangi tingkat kemiskinan sehingga percepatan peningkatan PDRB penting untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Prastyo (2010) juga menunjukkan hubungan negatif antara PDRB dan tingkat kemiskinan.
Pendidikan Definisi Pendidikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang restruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Hasil pendidikan formal diakui setelah peserta didik lulus ujian sesuai standar nasional pendidikan. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (Prastyo 2010).
15 Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Pendidikan Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Suryawati 2005) Siregar dan Wahyuniarti (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendidikan yang diukur dengan jumlah penduduk yang lulus pendidikan SMP, SMA, dan diploma memiliki pengaruh besar dan signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan modal manusia melalui pendidikan merupakan indikator penting untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Menurut Prastyo (2010) semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pengetahuan dan keahliannya akan meningkat, sehingga akan mendorong produktivitas kerjanya. Akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya.
Penelitian Terdahulu Hudaya (2009) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisis data panel. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Pendapatan Perkapita (PP), dan Angka Melek Huruf (AMH). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel TPT, PP, dan AMH memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memiliki korelasi yang positif dengan tingkat kemiskinan, sedangkan Pendapatan Perkapita (PP), dan Angka Melek Huruf (AMH) memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat kemiskinan. Putri dan Yuliarmi (2013) melakukan penelitian tentang beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bali dengan analisis data panel. Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tingkat kemiskinan sebagai variabel dependen, dan pertumbuhan ekonomi, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), pendidikan (rata-rata lama sekolah), dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebagai variabel independennya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, UMK, dan pendidikan 9rata-rata lama sekolah) memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Variabel Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali pada tahun 2007-2011. Prastyo (2010) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2003-2007. Analisis yang digunakan adalah analisis data panel dengan fixed effect model (FEM). Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah tingkat kemiskinan sebagai variabel dependen, sedangkan pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan tingkat pengangguran sebagai variabel independen.
16 Hasil dari penelitian tersebut adalah variabel pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskina, sedangkan variabel tingkat pengangguran memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Ernawati (2011) melakukan studi tentang analisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan nasional di Indonesia tahun 2005-2009 dengan menggunakan analisis data panel. Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Penanaman Modal Asing (PMA), Angka Melek Huruf (AMH), konsumsi makanan, pengeluaran pemerintah, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Angka Harapan Hidup (AHH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Penanaman Modal Asing (PMA), Angka Melek Huruf (AMH), dan konsumsi makanan berpengaruh secara negatif terhadap kemiskinan pada signifikasi 5 %. Variabel pengeluaran pemerintah berpengaruh secara positif terhadap kemiskinan pada signifikasi 5 %. Variabel Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Angka Harapan Hidup (AHH) tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Gindling (2014) menyatakan bahwa kebanyakan studi empiris tentang dampak upah minimum terhadap kemiskinan pada negara sedang berkembang menyimpulkan bahwa upah minimum dapat mengurangi kemiskinan, dengan dua alasan. Pertama, sebagian besar dari pekerja tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum (kebanyakan pekerja adalah pekerja sektor informal), kedua, upah minimum yang lebih tinggi tidak memengaruhi semua rumah tangga dengan berpendapatan rendah ; dengan kata lain, sebagian besar keluar dari kemiskinan tetapi mungkin mendorong yang lainnya masuk ke dalam kemiskinan. Pada intinya, kebijakan upah minimum merupakan alat yang tidak efisien dalam mengurangi kemiskinan menurut Gindling dalam penelitiannya yang berjudul “Does increasing The minimum wage reduce poverty in developing Countries?”. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana pada penelitian ini lebih fokus untuk melihat dampak UMP terhadap tingkat kemiskinan. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai perbedaan karakteristik antar provinsi yang dicerminkan oleh intercept masing-masing provinsi. Variabel yang digunakan adalah PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan (yang dicermikan oleh rata-rata lama sekolah). Periode penelitian ini adalah dari tahun 2007 hingga 2012. Metode yang digunakan adalah analisis metode panel dengan fixed effect model.
Kerangka Pemikiran Tingkat kemiskinan di Indonesia yang masih tinggi mencerminkan adanya masalah kesejahteraan pada sebagian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, masalah kemiskinan harus diselesaikan karena menyangkut kesejahteraan seseorang dan dapat mengancam keberlangsungan hidup seseorang. Pemerintah memiliki peran yang penting dalam mengatasi masalah kemiskinan yaitu dengan membuat kebijakan yang dapat mengurangi angka kemiskinan. Kebijakan ekonomi di bidang ketenagakerjaan yang menjadi isu penting di negara Indonesia
17 salah satunya adalah kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum memiliki tujuan salah satunya adalah melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling rendah dan selanjutnya diharapkan berdampak pada berkurangnya tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia setelah penerapan upah minimum masih saja tinggi meskipun mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2012 sehingga perlu dilakukan analisis dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan Indonesia. Analisis tersebut dilakukan untuk melihat apakah pegurangan kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh adanya kebijakan upah minimum ataukah karena faktor lain. Kemudian jika kebijakan upah minimum tersebut benar memengaruhi pengurangan kemiskinan di Indonesia maka akan dicari penyebab kemiskinan di Indonesia yang masih saja tinggi. Kebijakan upah minimum yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Peneliti melakukan analisis pengaruh UMP terhadap tingkat kemiskinan Indonesia dengan memerhatikan faktor-faktor lain selain UMP yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Peneliti menggunakan model estimasi data panel untuk menganalisis pengaruh tersebut. Tingkat kemiskinan di Indonesia yang masih tinggi
Kebijakan Upah Minimum Provinsi
Tingkat kemiskinan berkurang namun angkanya masih tinggi
Faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Provinsi (UMP), tingkat pendidikan
Analisis dengan metode panel
Implikasi kebijakan
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian
18 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel PDRB berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. 2. Variabel UMP berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. 3. Variabel tingkat pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan.
METODE
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) dan antar individu (cross section). Data deret waktu (time series) meliputi data tahunan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, sedangkan data antar individu (cross section) meliputi 33 provinsi di Indonesia yang merupakan data populasi. Penelitian ini tidak memasukkan Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi ke-34 di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan data karena Provinsi tersebut baru berdiri pada tahun 2012. Asumsi pada penelitian ini adalah tidak adanya lag, dengan kata lain, pengaruh variabel bebas langsung dilihat pengaruhnya saat itu juga terhadap variabel terikat. Proses penentuan UMP yang dilakukan di akhir tahun serta data tingkat kemiskinan yang dikeluarkan pada bulan Maret membuat asumsi tidak adanya lag dapat diterapkan. Data yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta dari sumber-sumber lain dari perpustakaan maupun internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan tingkat kemiskinan Indonesia, sedangkan metode kuantitatif untuk menjelaskan dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan Indonesia dan faktor-faktor lain yang memengaruhi tingkat kemiskinan Indonesia. Data kuantitatif diolah menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan Eviews 6.
19 Perumusan Model Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis informasi kuantitatif (data yang dapat diukur, diuji dan diinformasikan dalam bentuk persamaan, tabel, dan sebagainya). Tahapan analisis kuantitatif terdiri dari: estimasi model regresi dengan menggunakan data panel, uji asumsi klasik, dan uji statistik. Dugaan persamaan tingkat kemiskinan Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut : Yit = β0 + β1X1it + β2X2it + β3X3it + eit .....................................................(3.1) dimana: Yit = Tingkat kemiskinan di provinsi i tahun ke-t (%) X1it = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 di provinsi i tahun ke-t (miliar rupiah) X2it = Upah Minimum Provinsi (UMP) di provinsi i tahun ke-t (rupiah) X3it = Tingkat pendidikan di provinsi i tahun ke-t (tahun) eit = error term β0 = konstanta (intercept) βn = parameter yang diduga (n=1,2,3) Adanya perbedaan satuan dan besaran variabel bebas dalam persamaan menyebabkan persamaan regresi harus dibuat dengan model logaritma natural. Transformasi dalam bentuk logaritma natural dapat mengurangi masalah heteroskedastisitas. Hal ini disebabkan karena transformasi yang memapatkan skala untuk pengukuran variabel mengurangi perbedaan nilai dari sepuluh kali lipat menjadi dua kali lipat (Gujarati 2004). Model yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan logaritma natural (ln) sehingga dugaan persamaan tingkat kemiskinannya menjadi sebagai berikut : Yit = β0 + β1lnX1it + β2lnX2it + β3X3it + eit ...............................................(3.2) dimana: ln = Logaritma natural Yit = Tingkat kemiskinan di provinsi i tahun ke-t (%) X1it = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 di provinsi i tahun ke-t (miliar rupiah) X2it = Upah Minimum Provinsi (UMP) di provinsi i tahun ke-t (rupiah) X3it = Tingkat pendidikan di provinsi i tahun ke-t (tahun) eit = error term β0 = konstanta (intercept) βn = parameter yang diduga (n=1,2,3) Penggunaaan data panel pada metode kuantitatif menurut Verbeek (2004) akan memberikan dua keuntungan dibandingkan data time serries atau cross section saja. Keuntungan tersebut diantaranya adalah : 1. Jumlah observasi menjadi lebih besar. Marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibanding model lain.
20 2. Mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment (lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis). Secara teknis menurut Hsiao (2004) data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Menurut Rosadi (2011), model data panel yang merupakan gabungan dari data cross section dan time series masing-masing adalah : Model dengan data cross section Yi =
Xi +
i
................................................................................(3.3)
Model dengan data time series Yt=
Xt +
t
…..............................................................................(3.4)
Mengingat data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series, maka modelnya ditulis dengan : Xit +
Yit =
it
; ............................................................................(3.5)
dimana : N = banyaknya observasi T = banyaknya waktu N x T = banyaknya data panel i = 1,2,….,N; t =1,2,….T Kriteria pembobotan dalam melakukan pengolahan data panel berbeda-beda. Kriteria tersebut antara lain no weight (semua observasi diberi bobot yang sama), cross section weight (GLS dengan menggunakan estimasi varian residual cross section, digunakan apabila ada asumsi terdapat cross section heteroskedasticiy), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section . Parameter model dengan data panel dapat diestimasi dengan beberapa teknik yang ditawarkan menurut Rosadi (2011), yaitu : 1. Pooled Regression Secara umum, bentuk model linear (yang disebut pooled regression) yang dapat digunakan untuk memodelkan data panel berbentuk: yit = xit dimana :
it +
it .......................................................................................(3.6)
21 yit
= observasi dari unit ke-i dan diamati pada periode waktu ke-t (yakni, variabel dependen yang merupakan suatu data panel). xit = vektor k-variabel-variabel independen/input/regresor dari unit ke-i dan diamati pada periode waktu ke-t (yakni, terdapat k variabel independen, dimana setiap variabel merupakan data panel). Disini diasumsikan bahwa x it memuat komponen konstanta. = komponen galat, yang diasumsikan memiliki harga mean 0 dan variansi it homogen dalam waktu (homoskedastis) serta independen dengan xit. Estimasi untuk model ini dapat dilakukan dengan metode OLS (ordinary least square) biasa. Model data panel sering diasumsikan it = , yakni pengaruh dari perubahan dalam X diasumsikan bersifat konstan dalam waktu dan kategori kali-silang. 2. Model Efek Tetap (Fixed Effect) Adanya variabel-variabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya intercept yang tidak konstan. Atau dengan kata lain, intercept ini mungkin berubah untuk setiap individu dan waktu. Pemikiran inilah yang menjadi dasar pembentukan model tersebut. Model pooled regression dapat ditulis ulang, dan selanjutnya diberi tambahan komponen konstanta ci dan di. yit = xit + ci + dt +
it
............................................................................(3.7)
dimana : ci = konstanta yang bergantung pada unit ke-i, tetapi tidak pada waktu t. dt = konstanta yang bergantung pada waktu t, tetapi tidak pada unit i. Apabila memuat komponen ci dan dt, model disebut model efek tetap dua arah, sedangkan apabila dt = 0 atau ci = 0, model diebut model efek tetap satu arah. Apabila banyaknya observasi sama untuk semua kategori cross-section, model dikatakan bersifat setimbang (balanced) dan jika sebaliknya, tidak setimbang (imbalanced). Model efek tetap satu arah sering diasumsikan bahwa komponen dt = 0 sehingga modelnya adalah : yit = xit + ci +
it
...................................................................................(3.8)
Model efek tetap satu arah dapat diestimasi dengan dua metode yang berbeda. Secara intuitif, komponen ci dapat dimodelkan dengan variabel dumy zi,t,j, dengan zi,t,j yang bernilai 0 jika i j dan bernilai 1 jika i=j. Model selanjutnya diestimasi dengan metode OLS standar dan disebut Least Square Dummy Variables. Meskipun model ini relatif sederhana, estimasi akan relatif kompleks apabila banyaknya kategori untuk cross section relatif besar. Alternatifnya, model ditransformasi untuk menghilangkan komponen ci di dalam model dan selanjutnya dilakukan GLS (Generelized Least Square) terhadap model hasil transformasi. Yit - ̅ i = (xit – ̅ i)
+
it -
I̅
................................................................(3.9)
Sementara itu untuk model tetap dua arah, model memiliki kedua komponen ci dan dt. Estimasi terhadap parameter-parameter dalam model dapat dilakukan
22 dengan metode GLS, setelah model ditransformasi untuk menghilangkan komponen ci dan dt dari model. 3. Model Efek Random (Random Effect) Bila pada model efek tetap, perbedaan antar individu dan antar waktu dicerminkan lewat intercept, maka pada model efek random, perbedaan tersebut diakomodasi lewat error. Teknik ini juga memperhitungkan bahwa error mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. Model ini dapat melihat pengaruh dari berbagai karakteristik yang bersifat konstan dalam waktu atau konstan di antara individual. Model efek acak secara umum dituliskan sebagai berikut : yit = xit dimana: vit = ci + dt
+ vit ......................................................................................(3.10)
it
.
Disini ci diasumsikan bersifat independent and identically distributed (i.i.d) normal dengan mean 0 dan variansi , dt diasumsikan bersifat i.i.d. normal dengan mean 0 dan variansi dan it bersifat i.i.d. normal dengan mean 0 dan variansi (dan it, ci , dan dt diasumsikan independen satu dengan yang lainnya). Jika komponen dt atau ci diasumsikan 0, model disebut model acak satu arah, sedangkan pada keadaan lain disebut model dua arah.
Pemilihan Model Menurut Rosadi (2011), tahapan dalam pemilihan model yang terbaik dalam metode panel dapat dilakukan dengan dua tahapan pengujian, yaitu Uji Chow dan Uji Hausman. Uji Chow dilakukan untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik dibandingkan model PLS dengan melihat signifikansi model FEM dapat dilakukan dengan uji statistik F. Pengujian seperti ini dikenal juga dengan istilah Uji Chow atau Likelihood Test Ratio. Hipotesis dalam pengujian ini yaitu : H0 : model Pooled Least Square (PLS) H1 : model fixed effect (FEM) Jika nilai statistik F lebih besar dari nilai F tabel pada signifikansi tertentu, maka hipotesis nol (H0) akan ditolak sehingga teknik regresi data panel yang dipilih adalah metode FEM. Uji Hausman bertujuan untuk melihat apakah terdapat efek acak di dalam panel data, yaitu dengan menguji hipotesis berbentuk H0 : E (Ci|X) = (E(u) = 0, atau terdapat efek acak di dalam model. Uji Hausman dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Random Effects Model (REM) H1 : Fixed Effects Model (FEM) Jika H0 ditolak, model efek tetap akan digunakan. Perhitungan statistik uji Hausman diperlukan asumsi bahwa banyak kategori cross section lebih besar dari jumlah variabel independen (termasuk konstanta) dalam model. Lebih lanjut, dalam estimasi uji statistik, uji Hausman diperlukan estimasi variansi cross
23 section yang positif, yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh model. Apabila kondisi-kondisi ini tidak dapat dipenuhi, hanya model efek tetap yang bisa digunakan. Beberapa pertimbangan teknis empiris yang dapat dijadikan panduan untuk memilih antara fixed effect atau random effect yaitu : 1) Bila T (jumlah unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil FEM dan REM tidak jauh berbeda. Pilihan umumnya akan didasarkan pada kenyamanan perhitungan yaitu FEM. 2) Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan dapat berbeda secara signifikan. Jadi, apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian diambil secara acak (random) maka REM harus digunakan. Sebaliknya, apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak maka yang digunakan adalah FEM. 3) Apabila error component ( it) cross section berkorelasi dengan variabel bebas X maka parameter yang diperoleh FEM tidak bias. 4) Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari REM dapat terpenuhi, maka REM lebih efisien dibandingkan FEM.
Uji Kesesuaian Model Menurut Winarno (2007), model yang baik harus memenuhi kriteria statistik dan kriteria ekonometrika. Kriteria statistik dapat dilihat dari uji koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Kriteria ekonometrika harus memenuhi asumsi klasik yaitu tidak adanya masalah-masalah seperti heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. 1. Kriteria Statistik a. Uji Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur kebaikan suatu model (goodness of fit). Koefisien determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan proporsi atau persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel (X). Uji ini digunakan untuk mengukur sejauh mana keragaman dapat diterangkan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Jika R2 bernilai satu, berarti model memiliki kecocokan yang sempurna, sedangkan jika bernilai nol, berarti tidak ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen yang menjelaskannya. b. Uji-F Uji-F digunakan untuk menguji bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara keseluruhan. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (Uji-F statistik) hipotesisnya adalah : H0: ß1=ß2=....=0 H1: minimal ada satu parameter dugaan yang tidak sama dengan nol (minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen)
24 Pengujian ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Dengan melihat nilai probabilitas F-statistik akan diketahui apakah suatu persamaan akan lulus uji F atau tidak. Jika P-value menunjukkan besaran yang kurang dari taraf nyata, dapat disimpulkan tolak H0, yang artinya minimal ada satu parameter dugaan yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. c. Uji-t Uji statistik t dilakukan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas atau independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali 2006). Hasil yang dicapai adalah untuk mengetahui apakah koefisien variabel tersebut signifikan dan berpengaruh nyata atau tidak dalam menjelaskan variabel dependennya. Hipotesis pada uji-t ini adalah : H0: bi (koefisien regresi variabel bebas ke-i) = 0 (i = 0,1,...,n) H1: bi (koefisien regresi variabel bebas ke-i) ≠ 0 (i = 0,1,...,n) Pengujian parsial ini dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistiknya. Jika probabilitas t-statistiknya menunjukan nilai yang kurang dari selang kepercayaan maka dapat dikatakan tolak H0 yang berarti variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen dalam model atau variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable). Begitu juga sebaliknya jika H0 diterima maka variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen pada tingkat signifikansi tertentu (Gujarati 2004). 2. Kriteria Ekonometrika a. Heteroskedastisitas Adanya masalah heteroskedastisitas dalam model menyebabkan model menjadi tidak bias dan konsisten. Pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan digunakan uji white heteroskedasticity yang diperoleh dari EViews. Data panel dalam E-Views6 yang menggunakan General Least Square (cross section weight) dapat mendeteksi adanya heteroskedastisitas, caranya adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistics dengan Sum Square Residual pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residual Weighted Statistics nilainya kurang dari nilai Sum Square Residual Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Hal tersebut dapat diatasi dengan estimasi menggunakan GLS dengan White Heteroskedasticity (Winarno 2007). b. Multikolinearitas Model regresi linear yang terdiri dari banyak variabel independen terkadang muncul masalah multikolinearitas. Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori, maka model yang digunakan berhubungan dengan multikolinearitas. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weight sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan. Cara untuk mendeteksi multikolinearitas adalah dengan menghitung korelasi-korelasi antara dua variabel bebas. Jika korelasi lebih besar dari 0,8 maka terdapat masalah multikolinearitas (Winarno 2007). c. Autokorelasi
25 Asumsi lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya korelasi antara error yang dihasilkan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi model. Ada atau tidaknya gejala autokorelasi dapat dilihat melalui nilai uji Durbin-Watson (DW statistik) dan membandingkannya pada selang nilai statistik Durbin-Watson sehingga dapat diambil kesimpulan mengenai ada atau tidak adanya autokorelasi pada model (Winarno 2007). Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H0 : tidak ada autokorelasi positif atau negatif H1 : terdapat masalah autokorelasi positif atau negatif. Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 bila nilai d hitung atau nilai Durbin Watson model lebih besar daripada nilai Durbin Watson tabel batas bawah (dL) yang berarti terdapat masalah autokorelasi positif (dw < dL), atau nilai d hitung atau nilai Durbin Watson model terletak antara nilai (4–dL < dw < 4) yang berarti terdapat masalah autokorelasi negatif. Tidak tolak H0 bila nilai d hitung atau nilai Durbin Watson model terletak antara nilai (dU < dw < 4-dU) yang berarti tidak ada masalah autokorelasi. d. Normalitas Uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi normal. Normalitas dapat diketahui dengan digunakannya uji Jarque-Bera. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata, maka persamaan tersebut tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal (Winarno 2007).
Definisi Operasional Variabel 1. Tingkat kemiskinan Indonesia adalah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (GK) yang menjadi variabel tak bebas (Y) dalam model dan dinyatakan dalam persen. 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB menunjukkan gambaran kinerja ekonomi makro satu wilayah dari waktu ke waktu (Faturrohim 2011). Nilai PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB 33 provinsi di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2007-2012. Data dari variabel ini diubah dalam bentuk logaritma natural untuk keperluan dalam menganalisis data. Satuan dari variabel bebas (X1) ini adalah miliar rupiah. 3. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi. Data dari variabel ini diubah dalam bentuk logaritma natural untuk keperluan dalam menganalisis data. Satuan dari variabel bebas (X2) ini adalah rupiah. 4. Tingkat pendidikan dinyatakan sebagai rata-rata lama sekolah masingmasing provinsi di Indonesia. Satuan dari variabel bebas (X3) ini adalah tahun.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Kependudukan Indonesia menduduki urutan ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 206 264 595 jiwa dan pada tahun 2010 berjumlah 237 641 326 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 % dan dengan kepadatan penduduk sebesar 124 per km2. Jumlah penduduk terbesar berada di Provinsi Jawa Barat sebesar 43 053 732 jiwa, sementara Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penduduk terkecil yaitu 760 422 jiwa (BPS 2012). Jumlah provinsi di Indonesia pada tahun 2014 adalah 34 provinsi. Provinsi terakhir yang terbentuk adalah Kalimantan Utara yang berdiri pada tanggal 25 Oktober 2012. Kalimantan Utara merupakan pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur (Rosa 2014). Masalah yang timbul dari populasi yang tinggi adalah distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat pengangguran yang tinggi, kualitas sumber daya manusia yang rendah di daerah-daerah pinggiran, kemacetan, dan lain-lain. Sementara kelebihan negara dengan populasi yang tinggi adalah pertumbuhan ekonomi yang cenderung tinggi karena banyaknya SDM yang tersedia yang dibutuhkan dalam menjalankan roda perekonomian. Negara Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi merupakan negara padat karya. Artinya sebagian besar perusahaan menggunakan input tenaga kerja dibandingkan dengan input lainnya seperti mesin. Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 ditunjukkan pada Tabel 1. Tahun 2012 jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 118.05 juta jiwa dengan tingkat partisipasi angkatan kerja sebanyak 67.88 %, dan tingkat pengangguran terbuka sebanyak 6.14 %. Angkatan kerja di Indonesia jumlahnya selalu mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2012 dengan persentase penduduk yang bekerja lebih mendominasi dari pada penduduk yang menganggur. Tingkat pengangguran terbuka mengalami sedikit penurunan dari tahun 2007 ke tahun 2012 dari 9.11 % menjadi 6.14 %. Tabel 1 Kondisi ketenagakerjaan Indonesia tahun 2007-2012 No 1
2 3
Uraian Angkatan kerja (juta orang) -Bekerja (juta orang) -Menganggur (juta orang) Tingkat Pengangguran Terbuka (persen) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen)
2007 109.94 99.93 10.01
2008 111.95 102.00 9.39
2009 113.83 104.00 8.96
2010 116.53 108.00 8.32
2011 117.37 109.00 7.70
2012 118.05 110.81 7.24
9.11
8.39
7.87
7.14
6.56
6.14
66.99
67.18
67.23
67.72
68.34
67.88
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Ketenagakerjaan erat kaitannya dengan kemiskinan. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam penciptaan tenaga kerja mengingat jumlah angkatan kerja yang terus meningkat. Salah satu peran pemerintah adalah
27 menerapkan kebijakan upah minimum untuk melindungi para pekerja/buruh pada tingkatan yang paling rendah.
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Masalah kemiskinan adalah isu ekonomi makro yang dihadapi pemerintah Indonesia sepanjang sejarah. Tingginya angka kemiskinan antara lain disebabkan oleh kurang meratanya pembangunan perekonomian hingga ke daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pemerintah (Woyanti 2013). Pertumbuhan ekonomi selama ini hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, artinya tidak merata ke seluruh golongan masyarakat (Siregar dan Wahyuniarti 2008) Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2007 hingga 2012 di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 sekitar 37.17 juta jiwa (sekitar 23.61 juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 13.56 juta jiwa di perkotaan). Jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 sekitar 29.13 juta jiwa (sekitar 18.49 juta jiwa di perdesaan dan sekitar 10.65 juta jiwa di perkotaan). Dibandingkan dengan tahun 2007, jumlah penduduk miskin menurun sebesar 4.98 % (BPS 2013). Tabel 2 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin Indonesia tahun 2007-2012 Tahun
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Penduduk miskin (juta jiwa)
% Penduduk miskin
Kota
Desa
Total
Total (Desa + Kota)
13.56 12.77 11.91 11.10 11.05 10.65
23.61 22.19 20.62 19.93 18.97 18.49
37.17 34.96 32.53 31.02 30.02 29.13
16.58 15.42 14.15 13.33 12.36 11.60
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Tingkat kemiskinan di Indonesia yang terus mengalami penurunan setiap tahunnya disebabkan oleh program pengentasan kemiskinan yang terus digalakkan oleh pemerintah. Tingkat kemiskinan yang sebesar 11.60 % pada tahun 2012 masih dipandang cukup tinggi oleh para ekonom. Masalah kemiskinan harus segera dituntaskan karena menyangkut kesejahteraan penduduk suatu negara. Secara nasional jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2012 sebesar 29 132.42 ribu jiwa, dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 yang berjumlah 37 168.30 ribu jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode tahun 2007 hingga 2012 berkurang sebesar 8 035.88 ribu jiwa. Berdasarkan daerah, selama periode 2007 hingga 2012, jumlah penduduk miskin lebih banyak berada di perdesaan daripada di perkotaan. Jumlah penduduk perkotaan berkurang 2 912.10 ribu jiwa dari 13559.30 ribu jiwa pada tahun 2007 menjadi 10 647.20 ribu jiwa pada tahun 2012. Sementara jumlah penduduk miskin perdesaan berkurang sebesar 5 123.80
28 ribu jiwa dari 23 609 ribu jiwa tahun 2007 menjadi 18 485.20 ribu jiwa pada tahun 2012 (BPS 2013). Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, yaitu sekitar 71 55.30 ribu jiwa. Empat provinsi lainnya yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar pada tahun 2007 adalah Jawa Tengah ( 65 57.20 ribu jiwa), Jawa Barat (5 457.90 ribu jiwa), Sumatera Utara (1 768.50 ribu jiwa), dan Lampung (1 661.70 ribu jiwa). Sementara itu, lima provinsi dengan jumlah penduduk miskin terkecil pada tahun 2007 adalah Kepulauan Bangka Belitung (95.10 ribu jiwa), Maluku Utara (109.90 ribu jiwa), Kepulauan Riau (148.40 ribu jiwa), Sulawesi Barat (189.90 ribu jiwa), Kalimantan Tengah (210.30 ribu jiwa) (BPS 2013). Jawa Timur tetap menduduki provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak pada tahun 2012 yaitu sekitar 5 071 ribu jiwa, empat provinsi lainnya adalah Jawa tengah (4 977.40 ribu jiwa), Jawa Barat (4 477.50 ribu jiwa), Sumatera Utara (1 407.20 ribu jiwa), dan Lampung (1 253.80 ribu jiwa). Lima provinsi dengan jumlah penduduk miskin terkecil pada tahun 2012 adalah Kepulauan Bangka Belitung (71.40 ribu jiwa), Maluku Utara (91.80 ribu jiwa), Kepulauan Riau (131.20 ribu jiwa), Kalimantan Tengah (148.00 ribu jiwa), dan Sulawesi Barat (160.50) ribu jiwa (BPS 2013). Berdasarkan Gambar 6, lima provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar dari tahun 2007 hingga tahun 2012 yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. Jumlah penduduk miskin yang besar bisa disebabkan oleh jumlah penduduk yang besar.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 6 Provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (ribu jiwa) Secara nasional pada tahun 2007 hingga 2012 sebagian penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Persentase penduduk miskin perdesaan berkurang 5.25 % dari 20.37 % pada tahun 2007 menjadi 15.12 % pada tahun 2012. Sementara persentase penduduk miskin perkotaan berkurang sebesar 3.74 % menjadi 8.78 % pada tahun 2012 dari 12.52 % pada tahun 2007 (BPS 2013).
29
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 7 Provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (persen) Secara regional pada tahun 2007 berdasarkan Gambar 7 Provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin terbesar dari jumlah penduduk totalnya yaitu sebesar 40.78 %. Empat provinsi lainnya yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah Papua Barat (39.31 %), Maluku (31.14 %), Nusa Tenggara Timur (27.51 %), dan Gorontalo (27.35 %). Sementara provinsi dengan persentase penduduk miskin terkecil dari jumlah penduduk totalnya adalah Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 4.61 %. Empat provinsi lainnya adalah Bali (6.63 %), Kalimantan Selatan (7.01%), Banten (9.07 %), dan Kalimantan Tengah (9.38 %) (BPS 2013). Provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar pada tahun 2012 adalah Papua sebesar 31.11 %. Empat provinsi lainnya adalah Papua Barat (28.2%), Maluku (21.78 %), NTT (20.88 %), dan Aceh (19.46 %). Sementara lima provinsi dengan persentase penduduk miskin terkecil adalah DKI Jakarta (3.69 %), Bali (4.18 %), Kalimantan Selatan (5.06 %), Kepulauan Bangka Belitung (5.5 %), dan Banten (5.85 %) (BPS 2013). Hal yang sangat menarik adalah tiap tahun hampir semua provinsi mengalami penurunan jumlah dan persentase penduduk miskinnya (Lampiran 1). Provinsi dengan jumlah penduduk yang besar seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat memiliki jumlah penduduk miskin yang paling besar. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sulitnya pemerintah dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan dikarenakan sasaran penduduknya yang berjumlah besar dan tidak semua penduduk miskin dapat ditemukan oleh pemerintah. Banyak penduduk yang sudah berhasil keluar dari kemiskinan namun disisi lain banyak pula yang masih terjebak di dalam kondisi kemiskinan. Kemudian provinsi dengan jumlah penduduk yang kecil cenderung memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Papua Barat yang memiliki jumlah penduduk terkecil di Indonesia yaitu sebesar 760 422 jiwa memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi yaitu peringkat kedua setelah Provinsi Papua. Penduduk di Papua Barat masih sangat tertinggal dan mengalami banyak kesulitan untuk mencapai akses pendidikan, kesehatan, dan air bersih. Kemudian pembangunan infrastruktur di Papua Barat juga masih rendah kuantitas dan kualitasnya. Sumber daya alam seperti pertambangan emas di Papua Barat di kuasai oleh pihak asing, sedangkan penduduk Papua Barat sendiri hanya menjadi buruh tambang yang penghasilannya
30 tidak seberapa. Biaya hidup di Papua Barat sangat tinggi dan pemerintah menyesuaikannya dengan nilai Upah Minimum Provinsi yang tinggi pula. Namun bisa saja kebijakan UMP tersebut tidak terlalu banyak membantu penduduk miskin di Papua Barat karena kebanyakan mereka merupakan pekerja tidak terdidik dan bekerja di sektor informal. Tabel 3 Perkembangan koefisien gini Indonesia tahun 2007-2012 Tahun
Koefisien Gini
2007 2008 2009 2010 2011 2012
0.36 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
Tingkat kemiskinan yang tinggi erat kaitannya dengan ketimpangan antar daerah yang tinggi pula. Adanya ketimpangan ditunjukkan oleh nilai koefisien gini. Tabel 3 menunjukkan perkembangan koefisien gini di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012. Koefisien gini di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 cenderung mengalami peningkatan yang menunjukkan adanya ketimpangan antar daerah di Indonesia. Pada tahun 2007 koefisien gini sebesar 0.36 dan pada tahun 2012 koefisien gini ini meningkat menjadi sebesar 0.41. Ketimpangan antar daerah di Indonesia masih tinggi sehingga menyebabkan sulitnya daerah yang tertinggal untuk mencapai kesetaraan dalam memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Pemerintah cenderung memusatkan pembangunan di daerah yang sudah maju dan padat penduduk. Hal tersebut memicu terjadinya urbanisasi maupun transmigrasi yang pada akhirnya menimbulkan banyak permasalahan baru seperti kemacetan, pengangguran, tuna wisma, dan lain-lain. Koefisien gini akan berkurang jika pemerintah melakukan pembangunan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Program Pengentasan Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang umum terjadi dan merupakan suatu ancaman yang memiliki andil besar dalam perekonomian suatu negara, karena menyangkut kesejahteraan penduduk di suatu wilayah negara. Indonesia sendiri masalah kemiskinan selalu menjadi masalah utama yang diprioritaskan untuk diselesaikan. Meskipun tingkat kemiskinan memang cenderung menurun setiap tahunnya, namun penurunan tingkat kemiskinan tersebut belum mencapai target yang diinginkan oleh pemerintah. Terdapat program yang disiapkan untuk mencapai target tingkat kemiskinan yang hendak dicapai oleh pemerintah pada tahun 2014 yaitu sekitar 8-10 %. Program tersebut adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI) yang bersinergi dengan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan tahun
31 2011. Sudah terdapat 94 proyek kegiatan ekonomi utama dan infrastruktur dengan total nilai proyek sebesar Rp490.50 triliun pada akhir Desember 2011. Proyek tersebut terdiri atas 24 proyek pemerintah (Rp71.60 triliun), 24 proyek BUMN (Rp131 triliun), 38 proyek swasta (Rp168.60 triliun), dan 8 proyek campuran (Rp128.30 triliun) (Purna 2012). Program MP3EI dilakukan berdasarkan pembangunan atas 6 koridor ekonomi, yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, BaliNTT, dan koridor ekonomi Papua-Kep.Maluku. Program MP3EI juga didukung dengan program peningkatan pengambangan SDM, Iptek dan percepatan pembangunan Infrastruktur. MP3KI merupakan program untuk mengurangi kemiskinan dengan berbagai program yang ada di K/L, termasuk ke-4 klaster program penanggulangan kemiskinan. Klaster-klaster tersebut adalah Klaster I, antara lain: beasiswa bagi siswa miskin, Jamkesmas, Raskin, PKH, dan BLT (bila diperlukan saat krisis); Klaster II, program-program pemberdayaan masyarakat (PNPM); Klaster III, Kredit Usaha Rakyat; dan Klaster IV, rumah sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan (Purna 2012).
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi yang dijadikan salah satu indikator ekonomi suatu daerah. PDRB dapat dijadikan tolak ukur kesejahteraan suatu daerah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di 33 provinsi Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2012 (Lampiran 2). Provinsi yang memiliki PDRB terbesar pada tahun 2007 adalah DKI Jakarta yaitu sebesar Rp332971 miliar. Empat provinsi lainnya yang memiliki PDRB terbesar adalah Jawa Timur (Rp288 404 miliar), Jawa Barat (Rp274 180 miliar), Jawa Tengah (Rp159 110 miliar), dan Sumatera Utara (Rp99 792 miliar). Provinsi yang memiliki PDRB terkecil pada tahun 2007 adalah Provinsi Gorontalo yaitu sebesar Rp2 339 miliar. Empat provinsi dengan PDRB terkecil lainnya adalah Maluku Utara (Rp2 561 miliar), Maluku (Rp3 633 miliar), Sulawesi Barat (Rp3 568 miliar), Bengkulu (Rp7 037 miliar) (BPS 2013). Provinsi yang memiliki PDRB terbesar pada 2012 masih sama dengan provinsi-provinsi yang memiliki PDRB terbesar pada tahun 2007. Provinsiprovinsi tersebut adalah DKI Jakarta yaitu sebesar Rp449 821 miliar, Jawa Timur (Rp393 666 miliar), Jawa Barat (Rp364 405 miliar), Jawa Tengah (Rp210 848 miliar), dan Sumatera Utara (Rp134 464 miliar). Provinsi yang memiliki PDRB terkecil pada tahun 2012 adalah Provinsi Gorontalo yaitu sebesar Rp3 384 miliar. Empat provinsi dengan PDRB terkecil lainnya adalah Maluku Utara (Rp3 445 miliar), Maluku (Rp4 861 miliar), Sulawesi Barat (Rp5 704 miliar), Bengkulu (Rp9 464 miliar) (BPS 2013).
32
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 8 Provinsi dengan PDRB terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (miliar rupiah) Kuadran pada Gambar 9 memberikan gambaran mengenai tingkat kemiskinan dan nilai PDRB provinsi-provinsi di Indonesia yang berbeda-beda di tahun 2012. Provinsi dengan kondisi yang ideal adalah provinsi yang memiliki nilai PDRB yang tinggi (di atas rata-rata) dengan tingkat kemiskinan yang rendah (di bawah rata-rata) yaitu pada kuadran IV. Provinsi-provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Jawa Barat, Riau, Kalimantan Timur, Banten, dan DKI Jakarta. PDRB yang tinggi pada provinsi-provinsi tersebut dapat membantu megurangi tingkat kemiskinan sehingga tingkat kemiskinan provinsi pada kuadran IV rendah. Provinsi yang memiliki PDRB di bawah rata-rata dengan tingkat kemiskinan yang tinggi adalah Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, Aceh, NTB, Bengkulu, Gorontalo, DI Yogyakarta, Lampung, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Provinsi-provinsi pada kuadran I tersebut memiliki PDRB yang rendah sehingga tingkat kemiskinannya tinggi.e Penyebab PDRB yang rendah pada provinsi-provinsi yang berada pada kuadran I diantaranya adalah kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah. Kualitas SDM yang rendah tersebut menyebabkan penduduk di provinsi-provinsi tersebut tidak dapat menghasilkan suatu produk yang dapat meningkatkan PDRB di daerah tempat tinggalnya. Kemudian faktor lain adalah masih minimnya fasilitas dan infrastruktur di provinsi-provinsi tersebut sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan dengan lambat dan PDRB yang dihasilkan tidak besar. Provinsi pada kuadran II adalah provinsi yang memiliki nilai PDRB tinggi namun tingkat kemiskinannya juga tinggi yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Provinsi-provinsi tersebut adalah provinsi yang tingkat ketimpangannya tinggi dimana PDRB nya tidak merata peyebarannya ke setiap golongan penduduk di provisi-provinsi tersebut. Provinsi pada kuadran III adalah provinsi yang memiliki nilai PDRB rendah namun tingkat kemiskinannya juga rendah yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Jambi, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kepri, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, dan Bali.
33 35
Tiingkat Kemiskinan (Persen)
30 25 20 15 10 5 0 0
50000
Aceh Sumatera Selatan DKI Jakarta Banten Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Maluku Utara
100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 PDRB (Miliar Rupiah) Sumatera Utara Bengkulu Jawa Barat Bali Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara Papua Barat
Sumatera Barat Lampung Jawa Tengah NTB Kalimantan Timur Gorontalo Papua
Riau Bangka Belitung DI Yogyakarta NTT Sulawesi Utara Sulawesi Barat
Jambi Kepri Jawa Timur Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Maluku
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 9 Tingkat kemiskinan dan nilai PDRB provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2012
Perkembangan Tingkat Pendidikan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.Indikator yang dilihat dalam penelitian ini adalah rata-rata lama sekolah. Rata-rata lama sekolah merupakan waktu yang ditempuh penduduk di suatu provinsi dalam menjalankan program pendidikan (Lampiran 3). Provinsi dengan rata-rata lama sekolah terbesar pada tahun 2007 adalah DKI Jakarta yaitu selama 10.80 tahun. Lima provinsi lainnya dengan rata-rata lama sekolah terbesar adalah Kepulauan Riau (8.94 tahun), Sulawesi Utara (8.80 tahun), Kalimantan Timur (8.80 tahun), Maluku (8.60 tahun), Maluku Utara (8.60 tahun). Lima provinsi dengan rata-rata lama sekolah terendah pada tahun 2007 adalah Nusa Tenggara Timur (6.42 tahun), Sulawesi Barat (6.51 tahun), Papua (6.52 tahun), Kalimantan Barat (6.70 tahun), dan Nusa Tenggara Barat (6.70 tahun) (BPS 2014).
34 Lima provinsi dengan rata-rata lama sekolah terbesar pada tahun 2012 adalah DKI Jakarta (10.98 tahun), Kepulauan Riau (9.81 tahun), Kalimantan Timur (9.22 tahun), Yogyakarta (9.21 tahun), dan Maluku (9.15 tahun). Provinsi dengan rata-rata lama sekolah terendah yaitu Papua sebesar 6.87 tahun. Empat provinsi lainnya yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah yaitu Nusa Tenggara Timur (7.09 tahun), Kalimantan Barat (7.14 tahun), Nusa Tenggara Barat (7.19 tahun), dan Sulawesi Barat (7.32 tahun) (BPS 2014).
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 10 Provinsi dengan rata-rata lama sekolah terbesar di Indonesia tahun 2007 dan 2012 (tahun) Kuadran pada Gambar 11 memberikan gambaran mengenai tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan provinsi-provinsi di Indonesia pada tahun 2012. Kondisi yang ideal adalah provinsi yang menempati kuadran IV dimana provinsi tersebut memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (di atas rata-rata) dengan tingkat kemiskinan yang rendah (di bawah rata-rata). Provinsi-provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Bali, Banten, Kalimantan Timur, Kepri, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Riau, dan Sumatera Barat. Provinsi yang menempati kuadran I adalah provinsi yang memiliki tingkat pendidikan rendah (di bawah rata-rata) sehingga tingkat kemiskinannya menjadi tinggi (di atas rata-rata). Provinsi-provinsi tersebut adalah Papua, NTT, NTB, Gorontalo, Lampung, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Sulawesi Barat. Provinsi yang menempati kuadran II adalah provinsi yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (di atas ratarata) namun tingkat kemiskinannya juga tinggi (di atas rata-rata). Provinsiprovinsi tersebut adalah Papua Barat, Maluku, Aceh, Bengkulu, dan DI Yogyakarta. Provinsi yang berada pada kuadran III adalah provinsi yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, namun tingkat kemiskinannya juga rendah. Provinsi-provinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan.
35
35
Tingkat Kemiskinan (Persen)
30 25 20 15 10 5 0 0
2
Aceh Jambi Bangka Belitung Jawa Tengah Bali Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Papua
4 6 8 Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Sumatera Utara Sumatera Selatan Kepri DI Yogyakarta NTB Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Maluku
10
Sumatera Barat Bengkulu DKI Jakarta Jawa Timur NTT Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara Maluku Utara
12
Riau Lampung Jawa Barat Banten Kalimantan Barat Sulawesi Utara Gorontalo Papua Barat
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 11 Tingkat kemiskinan dan nilai rata-rata lama sekolah provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2012
Perkembangan Upah Minimum Provinsi Kebijakan upah minimum regional yang kewenangannya dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten merupakan kebijakan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja/buruh. Kebijakan upah minimum dinilai meringankan pemerintah karena pemerintah tidak perlu menyiapkan anggaran yang besar untuk membuat kebijakan tersebut. Upah minimum regional nominal umumnya selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Upah minimum dianggap mampu mengurangi tingkat kemiskinan jika nilai upah minimum riil nya lebih besar dari tingkat inflasi yang berlaku saat itu dan produktivitas dari para pekerjanya juga tinggi sehingga daya beli riil masyarakat tidak mengalami penurunan. Tahun 2007 hingga tahun 2012 Upah Minimum Provinsi (UMP) di 33 provinsi Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya (Lampiran 4). Tahun 2007 provinsi yang memiliki UMP tertinggi adalah Papua dan Papua Barat yaitu sebesar Rp987 000. Tiga provinsi lainnya dengan UMP tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (Rp900 560), Aceh (Rp850 000), Kepulauan Riau
36 (Rp805000). Sementara UMP terkecil adalah Provinsi Jawa Timur (Rp448 500), Jawa Tengah dan DI Yogyakarta (Rp500 000), Jawa Barat (Rp516 840), dan Lampung (Rp555 000) (BPS 2014). Tahun 2012 UMP tertinggi dimiliki oleh Provinsi Papua sebesar Rp1585000. Empat provinsi lainnya adalah DKI Jakarta (Rp1 529 150), Papua Barat (Rp1 450 000), Aceh (Rp1 400 000), dan Kalimantan Tengah (Rp1327459). Sementara lima provinsi dengan UMP terkecil pada tahun 2012 adalah Jawa Timur (Rp745 000), Jawa Tengah (Rp765 000), Jawa Barat (Rp780 000), Gorontalo (Rp837 500), dan Sulawesi Tenggara (Rp885 000) (BPS 2014). Nilai UMP ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan biaya hidup minimum yang ditunjukkan oleh kebutuhan hidup layak (KHL) di daerah yang bersangkutan sehingga provinsi yang biaya hidupnya tinggi biasanya nilai UMP nya tinggi, sebaliknya provinsi yang biaya hidupnya rendah biasanya nilai UMP nya rendah juga. Hal tersebut dapat dilihat pada Provinsi Papua yang memiliki nilai UMP yang tinggi disebabkan oleh biaya hidup yang dibutuhkan untuk hidup di daerah Papua juga tinggi. Biaya hidup yang tinggi biasanya disebabkan oleh sulitnya akses untuk mencapai daerah tersebut, misalkan dalam pendistribusian bahan pokok seperti sandang, papan, dan pangan dari Pulau Jawa ke Papua membutuhkan biaya yang besar sehingga harga-harga bahan pokok di Papua juga menjadi lebih mahal daripada di Pulau Jawa. Berdasarkan Gambar 12, provinsi dengan UMP tertinggi dari tahun 2007 hingga tahun 2012 adalah Provinsi Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, serta Aceh. Hal yang menarik dari data UMP tersebut adalah Provinsi Papua dan Papua Barat dengan UMP tertinggi cenderung memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta yang juga memiliki UMP tertinggi ketiga memiliki tingkat kemiskinan terendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa UMP yang tinggi tidak selalu menjadi jaminan rendahnya tingkat kemiskinan di suatu daerah. Penetapan UMP itu sendiri dilakukan dengan mempertimbangkan banyak hal seperti kondisi perekonomian, inflasi, dan biaya hidup di suatu provinsi. Provinsi Papua dengan tingkat kemiskinan yang tinggi membuat pemerintah Provinsi Papua menetapkan UMP yang tinggi pula agar tingkat kemiskinan di Papua dapat berkurang dan merupakan penyesuaian dengan biaya hidup di Papua yang tinggi. Setiap tahunnya tingkat kemiskinan di Papua menurun berarti kebijakan UMP turut memberikan kontribusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan di provinsi tersebut. Provinsi DKI Jakarta dengan UMP yang tinggi bisa disebabkan oleh pertimbangan biaya hidup di DKI Jakarta yang juga tinggi, serta alasan DKI Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia dan menjadi pusat perekonomian Indonesia. Banyak penduduk Indonesia yang bekerja di DKI Jakarta terutama di sektor formal menyebabkan UMP DKI Jakarta bernilai tinggi karena akan membawa dampak yang besar terhadap tingkat kesejahteraan penduduk DKI Jakarta.
37
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 12
Provinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (rupiah)
Kuadran pada Gambar 13 menggambarkan mengenai tingkat kemiskinan dengan nilai UMP provinsi-provinsi di Indonesia pada tahun 2012. Provinsi dengan kondisi yang ideal berada pada kuadran IV yaitu provinsi dengan UMP yang tinggi (di atas rata-rata) dan tingkat kemiskinan yang rendah (di bawah ratarata). Provinsi-provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai UMP yang tinggi (di atas rata-rata) dapat memberikan dampak terhadap tingkat kemiskinan yang rendah. Nilai UMP yang tinggi juga dapat disesuaikan dengan adanya biaya hidup yang tinggi di daerah tersebut. Seperti di DKI Jakarta yang merupakan provinsi denga biaya hidup tinggi serta merpakan pusat perekonomian Indonesia. Provinsi pada kuadran I adalah provinsi dengan nilai UMP yang rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Provinsi-provinsi tersebut adalah Maluku, NTT, NTB, Bengkulu, Gorontalo, Lampung, DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur. Hal tersebut dapat berarti bahwa nilai UMP yang rendah di suatu daerah dapat menyebabkan tingkat kemiskinan yang tinggi karena rendahnya daya beli masyarakat di provinsi tersebut. Provinsi pada kuadran II memiliki nilai UMP yang tinggi (di atas rata-rata) namun tingkat kemiskinannya juga tinggi (di atas rata-rata). Provinsi-provinsi tersebut adalah Papua, Papua Barat, Aceh, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Barat. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kondisi infrastruktur yang kurang memadai di provinsi tersebut sehingga tingkat kemiskinan masih tetap tinggi akibat terhambatnya kegiatan perekonomian. Fenomena nilai UMP yang tinggi namun tingkat kemiskinannya masih tinggi di suatu daerah dapat disebabkan juga oleh sedikitnya jumlah pekerja formal di provinsi tersebut sehingga dampak terhadap kemiskinan tidak terlalu besar. Kemudian UMP yang tinggi bisa saja merupakan penyesuaian terhadap tingkat kemiskinan yang tinggi serta biaya hidup yang tinggi. Provinsi pada kuadran III memiliki nilai UMP yang rendah dengan tingkat kemiskinan yang rendah pula. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat,
38 Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kepri, Banten, dan Bali. Hal tersebut mengndikasikan bahwa nilai UMP tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Atau nilai UMP yang rendah tersebut juga dapat disebabkan oleh adanya penyesuaian terhadap tingkat kemiskinan yang rendah serta biaya hidup yang rendah di provinsi-provinsi tersebut. 35
Tingkat Kemiskinan (Persen)
30 25 20 15 10 5 0 0
500000
Aceh Sumatera Selatan DKI Jakarta Banten Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Maluku Utara
1000000 1500000 Upah Minimum Provinsi (Rupiah)
Sumatera Utara Lampung Jawa Barat Bali Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara Papua Barat
Sumatera Barat Bengkulu Jawa Tengah NTB Kalimantan Timur Gorontalo Papua
Riau Bangka Belitung DI Yogyakarta NTT Sulawesi Utara Sulawesi Barat
2000000
Jambi Kepri Jawa Timur Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Maluku
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 13
Tingkat kemiskinan dan upah minimum provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2012
Hasil Estimasi Model Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat kemiskinan Indonesia yang meliputi 33 provinsi di Indonesia mulai tahun 2007 hingga tahun 2012 yang diestimasi menggunakan regresi data panel. Penelitian ini menggunakan tingkat kemiskinan sebagai variabel terikat dan variabel bebas berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, Upah Minimum Provinsi (UMP), dan tingkat pendidikan (rata-rata lama sekolah). Data panel digunakan pada penelitian ini karena data yang dihasilkan menjadi lebih informatif, lebih efisien, dan heterogenitas individu dapat dikontrol dengan baik. Terdapat tiga tahap pemilihan model dalam data panel, yaitu : menggunakan uji Chow untuk membandingkan pooled model dengan fixed effect model, menggunakan uji Hausmann untuk membandingkan fixed effect model dengan
39 random effect model, dan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas untuk membuat estimasi model.
Pemilihan Model Terbaik Hasil dari uji Chow (Lampiran 5) menunjukkan nilai probabilitas 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 1 % (0.01), maka tolak H0 artinya model yang terpilih adalah FEM. Sedangkan untuk hasil Uji Hausman (Lampiran 6) menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.1332 lebih besar dari taraf nyata 1 % (0.01) maka terima H0 artinya model yang terpilih adalah REM. Berdasarkan nilai probabilitas dari dua hasil uji tersebut belum dapat disimpulkan model yang terbaik yang dapat digunakan. Jika dilihat dari ukuran goodness of fit yaitu nilai adjusted R-squared (FEM = 0.986852, REM = 0.721485) maka model terbaik yang terpilih untuk penelitian ini adalah FEM (Lampiran 7). Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel dengan metode fixed effect dengan menggunakan variabel dummy atau disebut dengan metode Least Squares Dummy Variable (LSDV). Metode ini dipilih karena di dalam penelitian ini diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak. Terlebih lagi, fixed effect memperhitugkan masalah omitted variable dimana omitted variable mungkin membawa perubahan dalam intersep time series atau cross section (Gujarati 2004). Penelitian ini mengasumsikan bahwa slope koefisien konstan tetapi intersep antar unit cross section bervariasi. Variasi intersep menunjukkan keunikan atau ciri khusus pada setiap individual yang membedakan dengan individual yang lain. Walaupun terdapat variasi intersep, tetapi intersep setiap cross section tersebut tidak bervariasi sepanjang waktu (Gujarati 2004). Selain itu, metode fixed effect mengasumsikan bahwa koefisien dari regresor tidak bervariasi baik antar waktu atau antar individu.
Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data residual penelitian menyebar normal atau tidak. Asumsi ini harus dipenuhi untuk mendapatkan koefisien regresi yang bersifat Best Linear Unbiased Estimated (BLUE). Berdasarkan hasil jarque-bera test didapatkan nilai probabilitas 0.017785 lebih besar dari taraf nyata 1 % (0.01) maka terima H0 sehingga disimpulkan bahwa data residual menyebar normal. Hasil uji normalitas yang terdapat pada Lampiran 8 menyatakan bahwa asumsi normalitas telah terpenuhi.
Uji Multikolinearitas Salah satu asumsi dasar model regresi adalah tidak adanya hubungan linear antara variabel bebas dengan melihat nilai correlation matrix antara variabel
40 bebas. Model dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas apabila nilai correlation matrix antar variabelnya lebih kecil dari 0.80. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dan terdapat pada Lampiran 9 diperoleh nilai correlation matrix antar variabel bebas lebih kecil dari 0.80 sehingga disimpulkan tidak terjadi masalah multikolinearitas antar variabel yang diteliti. Uji Heteroskedastisitas Asumsi heteroskedastisitas adalah asumsi dalam regresi dimana varian dari residual tidak sama untuk pengamatan satu ke pengamatan yang lain. Heteroskedastisitas dapat dilihat dengan membandingkan nilai sum squared resid pada weighted statistics dan unweighted statistics. Nilai sum squared resid pada weighted statistics yang lebih kecil dari unweighted statistics menunjukkan tidak adanya heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan nilai sum squared resid pada weighted statistics sebesar 193.3460 yang lebih kecil dari unweighted statistics sebesar 204.1394. Heteroskedastisitas juga dapat dilihat dari gambar residual apakah membentuk pola tertentu atau tidak. Berdasarkan gambar residual pada Lampiran 10, tidak membentuk suatu pola tertentu (acak), sehingga dapat disimpulkan ragam residual telah homogen.
Uji Autokorelasi Asumsi terakhir adalah tidak adanya korelasi antar eror yang dihasilkan. Cara mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan uji Durbin Watson (DW). Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai statistik DW sebesar 1.017470. Nilai DW tersebut cukup mendekati nilai 2 sehingga secara statistik dapat dinyatakan bahwa pada model yang digunakan tidak ada masalah autokorelasi.
Uji Statistik Hasil R2 yang diperoleh dari hasil perhitungan sebesar 0.989188 artinya tingkat kemiskinan Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan sebesar 98.91 %, sedangkan sisanya sebesar 1.09 % dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.00000 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 1 % (0.001). Hal ini berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan sebagai variabel terikat. Hasil estimasi model dalam Tabel 4 menunjukkan tingkat signifikansi pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji t menggunakan t-statistik dengan taraf nyata 1 % (0.01) yang dibandingkan dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi. Hasil uji yang dilakukan diperoleh bahwa nilai probabilitas dari variabel PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan lebih kecil dari 1 %, artinya variabel PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 99 %.
41 Tabel 4 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan Coefficient -3.064212 -6.370712 -1.232671
Std. Error 1.141175 0.830807 0.387465
t-Statistic -2.685137 -7.668102 -3.181376
Prob. 0.0080 0.0000 0.0018
C
143.2197
4.238344
33.79142
0.0000
R-squared
0.989188
Mean dependent var
21.52405
Adjusted R-squared
0.986852
S.D. dependent var
13.42576
S.E. of regression
1.092472
Sum squared resid
193.3462
F-statistic
423.4794
Durbin-Watson stat
1.017472
Prob (F-statistic)
0.000000
Ln X1 (PDRB) Ln X2 (UMP) Ln X3 (Tk. Pendidikan)
Sumber : Hasil pengolahan e-views 6 Keterangan : significant alpha 1 %
Model Penduga Tingkat Kemiskinan Indonesia Garis kemiskinan yang berbeda-beda antar provinsi dapat diakomodasi dengan intersep tiap provinsi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, maka persamaan model penduga untuk tingkat kemiskinan Indonesia adalah sebagai berikut : Y = 143.21 - 3.06 lnX1 – 6.37 lnX2 - 1.23 X3 SE (4.23) SE (1.14) SE (0.83) SE (0.38) Prob (0.0000) (0.0080) (0.0000) (0.0018)
Tabel 5 menunjukkan bahwa masing-masing provinsi memiliki tingkat koefisien fixed effect yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Keadaan tersebut menjelaskan bahwa variabel PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan memiliki tingkat pengaruh yang berbeda terhadap tingkat kemiskinan di tiap-tiap provinsi di Indonesia. Aceh Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Aceh adalah sebesar 10.51840 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Aceh, maka Provinsi Aceh akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 10.51840 %. Sumatera Utara Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 2.807755 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sumatera Utara, maka Provinsi Sumatera Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 2.807755 %. Sumatera Barat Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sumatera Barat adalah sebesar -3.243686 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu
42 di Provinsi Sumatera Barat, maka Provinsi Sumatera Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -3.243686 %. Riau Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Riau adalah sebesar -0.411838 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Riau, maka Provinsi Riau akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -0.411838 %. Jambi Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Jambi adalah sebesar -7.701296 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Jambi, maka Provinsi Jambi akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -7.701296 %. Sumatera Selatan Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sumatera Selatan adalah sebesar 3.507964 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sumatera Selatan, maka Provinsi Sumatera Selatan akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 3.507964 %. Bengkulu Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Bengkulu adalah sebesar -0.102608 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Bengkulu, maka Provinsi Bengkulu akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -0.102608 %. Lampung Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Lampung adalah sebesar 3.657913 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Lampung, maka Provinsi Lampung akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 3.657913 %. Bangka Belitung Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Bangka Belitung adalah sebesar -11.07966 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Bangka Belitung, maka Provinsi Bangka Belitung akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -11.07966 %. Kepri Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Kepri adalah sebesar -3.565974 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Kepri, maka Provinsi Kepri akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -3.565974 %. DKI Jakarta Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar 2.313851 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu
43 di Provinsi DKI Jakarta, maka Provinsi DKI Jakarta akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 2.313851 %. Jawa Barat Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 2.162018 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Jawa Barat, maka Provinsi Jawa Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 2.162018 %. Jawa Tengah Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Jawa Tengah adalah sebesar 5.077845 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Jawa Tengah, maka Provinsi Jawa Tengah akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 5.077845 %. DI Yogyakarta Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi DI Yogyakarta adalah sebesar 1.145785 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi DI Yogyakarta, maka Provinsi DI Yogyakarta akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 1.145785 %. Jawa Timur Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 5.607291 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Jawa Timur, maka Provinsi Jawa Timur akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 5.607291 %. Banten Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Banten adalah sebesar -3.394451 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP,, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Banten, maka Provinsi Banten akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -3.394451 %. Bali Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Bali adalah sebesar -10.22761 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Bali, maka Provinsi Bali akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -10.22761 %. NTB Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi NTB adalah sebesar 4.067369 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi NTB, maka Provinsi NTB akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 4.067369 %. NTT Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi NTT adalah sebesar 3.779845 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di
44 Provinsi NTT, maka Provinsi NTT akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 3.779845 %. Kalimantan Barat Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar -7.499126 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Kalimantan Barat, maka Provinsi Kalimantan Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -7.499126 %. Kalimantan Tengah Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Kalimantan Tengah adalah sebesar -8.161794 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Kalimantan Tengah, maka Provinsi Kalimantan Tengah akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar - 8.161794 %. Kalimantan Selatan Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Kalimantan Selatan adalah sebesar -8.790078 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Kalimantan Selatan, maka Provinsi Kalimantan Selatan akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -8.790078 %. Kalimantan Timur Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Kalimantan Timur adalah sebesar -0.689013 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Kalimantan Timur, maka Provinsi Kalimantan Timur akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -0.689013 %. Sulawesi Utara Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sulawesi Utara adalah sebesar -5.062843 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sulawesi Utara, maka Provinsi Sulawesi Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -5.062843 %. Sulawesi Tengah Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sulawesi Tengah adalah sebesar 1.109997 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sulawesi Tengah, maka Provinsi Sulawesi Tengah akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 1.109997 %. Sulawesi Selatan Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar -1.308995 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sulawesi Selatan, maka Provinsi Sulawesi Selatan akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -1.308995 %. Sulawesi Tenggara
45 Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebesar -0.577014 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sulawesi Tenggara, maka Provinsi Sulawesi Tenggara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -0.577014 %. Gorontalo Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Gorontalo adalah sebesar -1.632431 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Gorontalo, maka Provinsi Gorontalo akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -1.632431 %. Sulawesi Barat Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Sulawesi Barat adalah sebesar -6.175720 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Sulawesi Barat, maka Provinsi Sulawesi Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -6.175720 %. Maluku Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Maluku adalah sebesar 6.591363 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Maluku, maka Provinsi Maluku akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 6.591363 %. Maluku Utara Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Maluku Utara adalah sebesar -11.43000 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Maluku Utara, maka Provinsi Maluku Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar -11.43000 %. Papua Barat Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Papua Barat adalah sebesar 17.91290 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Papua Barat, maka Provinsi Papua Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 17.91290 %. Papua Nilai koefisien fixed effect yang dimiliki Provinsi Papua adalah sebesar 20.79384 maka hal tersebut mengartikan bahwa bila terdapat perubahan 1 % pada PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan antar daerah maupun antar waktu di Provinsi Papua maka Provinsi Papua akan mendapatkan pengaruh individu terhadap tingkat kemiskinan sebesar 20.79384 %.
46 Tabel 5 Koefisien fixed effect model Ln X1 (PDRB) Ln X2 (UMP) Ln X3 (Tk. Pendidikan) C Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Koefisien -3.064212 -6.370712 -1.232671 143.2197 10.51840 2.807755 -3.243686 -0.411838 -7.701296 3.507964 -0.102608 3.657913 -11.07966 -3.565974 2.313851 2.162018 5.077845 1.145785 5.607291 -3.394451 -10.22761 4.067369 3.779845 -7.499126 -8.161794 -8.790078 -0.689013 -5.062843 -1.308995 -0.577014 -1.632431 -6.175720 6.591363 -11.43000 17.91290 20.79384
Sumber : Hasil pengolahan e-views 6 Keterangan : significant alpha 1 %
Nilai koefisien regresi pada variabel PDRB adalah sebesar -3.06. Artinya peningkatan PDRB sebesar 1 % akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 3.06 % dengan asumsi variabel lain dalam keadaan konstan. Kenaikan PDRB yang menurunkan tingkat kemiskinan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah merata ke berbagai golongan penduduk termasuk golongan ekonomi rendah sehingga efektif dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat pembangunan dan merupakan syarat keharusan bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan merupakan syarat kecukupannya. Pertumbuhan ekonomi tersebut hendaknya merata penyebarannya termasuk di golongan penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti 2008). Temuan pada penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yaitu penelitian Woyanti (2013) yang menemukan bahwa
47 pertumbuhan ekonomi memiliki dampak negatif terhadap jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah. Variabel UMP memiliki nilai koefisien regresi sebesar -6.37. Artinya peningkatan UMP sebesar 1 % akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 6.37 % dengan asumsi variabel lain dalam keadaan konstan. Kesejahteraan buruh/pekerja disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan buruh/pekerja sehingga tingkat kesejahteraan buruh/pekerja tersebut meningkat. Kesejahteraan yang meningkat menyebabkan produktivitas kerja meningkat dan keuntungan perusahaan menjadi bertambah. Kenaikan UMP tersebut akan menguntungkan pihak buruh/pekerja dan pengusaha karena adanya produktivitas kerja yang meningkat dan pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Putri dan Yuliarmi (2013) bahwa kenaikan UMP akan mengakibatkan penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. Penelitian yang dilakukan Prastyo (2010) juga menunjukkan hasil yang sesuai dengan penelitian ini bahwa upah minimum memiliki korelasi negatif dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu didapatkan hasil bahwa peningkatan Upah Minimum Provinsi dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan UMP yang dilakukan oleh pemerintah provinsi di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 merupakan salah satu kebijakan yang efektif dalam pengentasan kemiskinan. Variabel tingkat pendidikan yang dinyatakan dalam rata-rata lama sekolah memiliki nilai koefisien regresi sebesar -1.23, artinya peningkatan rata-rata lama sekolah sebesar 1 tahun akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1.23 % dengan asumsi variabel lain dalam keadaan konstan. Teori pertumbuhan baru menjelaskan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan pembangunan modal manusia dan pengembangan produktivitas manusia. Investasi pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan dengan meningkatnya keterampilan dan pengetahuan seseorang. Pendidikan akan mampu meningkatkan produktivitas kerja seseorang. Tingginya tingkat produktivitas kerja seseorang akan menyebabkan keuntungan perusahaan mengalami peningkatan serta buruh/pekerja pada perusahaan tersebut meningkat kesejahteraannya karena mendapatkan upah yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastyo (2010) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki korelasi negatif dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Yuliarmi (2013) bahwa rata-rata lama sekolah yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan semakin efektif dalam megurangi tingkat kemiskinan. Hasil dari estimasi model tingkat kemiskinan menunjukkan bahwa UMP memiliki pengaruh yang paling besar terhadap tingkat kemiskinan Indonesia yakni sebesar -6.37 dibandingkan dengan PDRB sebesar -3.06 dan tingkat pendidikan sebesar -1.23. Hal tersebut terjadi karena UMP berhubungan langsung dengan pendapatan yang memengaruhi daya beli seseorang. Variabel tingkat pendidikan dapat mengurangi tingkat kemiskinan tetapi tidak langsung dapat dirasakan karena membutuhkan waktu. Misalnya seseorang yang memiliki tingkat pendidikan selama sepuluh tahun harus tetap berjuang untuk mendapatkan pekerjaan terlebih
48 dahulu agar dapat memperoleh pendapatan. Variabel PDRB juga tidak langsung dapat mengurangi tingkat kemiskinan karena PDRB komponennya bisa berasal dari pengeluaran pemerintah yang tidak selalu dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan Indonesia periode 2007-2012 dengan analisis metode panel (fixed effect model) dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Secara umum, tingkat kemiskinan di Indonesia untuk periode 2007 hingga 2012 semakin menurun berdasarkan indikator jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. Secara absolut kemiskinan lebih besar terjadi di Provinsi Jawa Timur. Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar, sementara DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin terkecil. Hal yang menarik adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi cenderung Upah Minimum Provinsi nya juga tinggi. 2. Kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diterapkan pemerintah berdasarkan hasil penelitian memiliki dampak yang efektif terhadap berkurangnya tingkat kemiskinan karena UMP tersebut memiliki korelasi yang negatif dengan tingkat kemiskinan selama periode 2007 hingga 2012. Upah Minimum Provinsi (UMP) memiliki elastisitas yang paling besar terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode 2007 hingga 2012 dibandingkan variabel PDRB dan tingkat pendidikan.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan Indonesia periode 20072012 dengan analisis metode panel (fixed effect model) diperoleh beberapa saran berikut : 1. Pemerintah perlu mengkaji ulang program pengentasan kemiskinan yang selama ini dilakukan, terutama di daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin yang tinggi serta daerah dengan persentase penduduk miskin tinggi, seperti Jawa Timur dan Papua. Provinsi Jawa Timur dan Papua sebaiknya diprioritaskan pengentasan kemiskinannya. 2. Penetapan UMP harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi di suatu provinsi agar dapat membantu meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja sehingga tingkat kemiskinan dapat berkurang. Kebijakan UMP harus tetap dilakukan karena merupakan
49 kebijakan yang efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Perlu pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan yang memberikan upah tidak sesuai dengan peraturan upah minimum. Produktivitas dan skill tenaga kerja juga harus lebih ditingkatkan lagi dengan adanya kenaikan UMP agar pihak perusahaan tidak mengalami kerugian dengan adanya kenaikan UMP tersebut. Bila perlu diterapkan standar minimum sebagai acuan bagi produktivitas para pekerja.
DAFTAR PUSTAKA Aria P. 2014. Upah Nail, Produktivitas Masih Rendah. [diunduh 1 September 2014] Tersedia pada tempo.co/read/news/2014/04/03/092567598/upah-naikproduktivitas-buruh-masih-rendah. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin 2007-2013. Tersedia pada http://www.bps.go.id [diunduh 20 April 2014]. _______________________. 2014. Data Upah Minimum Regional 2007-2014. [diunduh 20 April 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. _______________________. 2013. Data Ketenagakerjaan Indonesia. 2007-2012. [diunduh 25 April 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. _______________________. 2012. Data Jumlah Penduduk Beberapa Negara. [diunduh 25 April 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. _______________________. 2012. Data Koefisien Gini Indonesia 2007-2012. [diunduh 25 April 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. _______________________. 2014. Data Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Indonesia 2007-2012. [diunduh 25 April 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. _______________________. 2013. Data Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi 20072012. [diunduh 3 Juni 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. _______________________. 2014. Data Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia 2008-2012. [diunduh 25 April 2014] Tersedia pada http://www.bps.go.id. Departemen Tenaga Kerja. 2013. Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Upah Minimum. Nomor 07/ Men/ 2013. Ernawati. 2011. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan nasional di Indonesia tahun 2005-2009. [skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surakarta. Faturrohim R. 2011. Pengaruh PDRB, harapan hidup dan melek huruf terhadap tingkat kemiskinan (studi kasus 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah). [skripsi]. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ghozali I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang (ID): BP Undip. Gindling TH. 2014. Does increasing The minimum wage reduce poverty in developing Countries?. [ diunduh 30 Agustus 2014] Tersedia pada
50 http://wol.iza.org/articles/does-increasing-the-minimum-wage-reducepoverty-in-developing-countries.. Gujarati DN. 2004. Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta (ID): Erlangga. Hsiao C. 2004. Analysis of Panel Data. Cambridge (UK): Cambridge University Pr. Hudaya D. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Kaufman B. 2000. The Economics of Labor Markets. Fifth Edition. New York (US): The Dryden Pr. Keputusan Menteri No. 1 Tahun 999 Pasal 1 ayat 1 tentang upah minimum. Kuncoro M. 2003. Ekonomi Pembangunan:Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta (ID): UPP AMP YKPN. Kusuma DR. 2014. Ini 2 Penyebab Jumlah Orang Miskin di Indonesia Masih Tinggi. [diunduh 1 September 2014] Tersedia pada detik.com/Finance/reda/2014/01/22/112021/2474546/4/detikfinance.. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Volume Ke-6. Fitria L, Imam N, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics. Maulia P. 2014. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri di Provinsi Jawa Timur 2001-2011. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Muttaqin H. 2012. Kegagalan Model Pembangunan Indonesia. [diunduh 1 September 2014] Tersedia pada jurnal-ekonomi.org/kegagalan-modelpembangunan-di-indonesia.. Prastyo AA. 2010. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan (studi kasus 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2003-2007). [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Pratama SAN. 2010 . Analisis ketimpangan antar wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan metode panel data (studi kasus 35 kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun 2000-2007). [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Purna I. 2012. Persiapan Peluncuran MP3KI. [diunduh 30 Agustus 2014] Tersedia pada www.setkab.go.id/artikel-3512-persiapan-peluncuran-mp3ki.html.. Putri LSM, Yuliarmi NN. 2013. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. E jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana Vol. 2, No.10: 441-448 LSSN : 2303-0178. Rachman H. 2005. Pengaruh Pengupahan Sebagai Langkah Strategis Stabilitas dalam Hubungan Industrial. Jakarta (ID). Ritonga H. 2014. Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?. [diunduh 1 September 2014] Tersedia pada www.duniaesai.com/index.php%3Foption%3Dcom_content%26view%3Dar ticle%26id%3D114:mengapa-kemiskinan-di-indonesia-menjadi masalahberkelanjutan%26catid%3D37:ekonomi%26Itemid%3D93. Rosa M. 2014. Jumlah Provinsi di Indonesia saat ini. [diunduh 28 Agustus 2014] Tersedia pada www.kebudayaanindonesia.com/2014/05/jumlah-provinsi-diIndonesia-saat-ini.html?m=1. Rosadi D. 2011. Analisis Ekonometrika & Runtun Waktu Terapan dengan R. Yogyakarta (ID): ANDI.
51 Saputra WA. 2011. Analisis pengaruh jumlah penduduk, PDRB, IPM, pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Jawa Tengah. [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Simanjuntak P. 1998. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia . Siregar H, Wahyuniarti D. 2008. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Smeru. 2001. Dampak Kebijakan Upah Minimum. [diunduh 1 September 2014] Tersedia pada www.smeru.or.id/report/minimumwage/minimumwageexumind.p. Sudantoko HD, Hamdani M. 2009. Dasar-dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan. Jakarta (ID): PT. PP Mardi Mulyo. Sukirno S. 2005. Mikro Ekonomi:Teori Pengantar. Jakarta (ID):PT. Raja Grafindo Persada. Sukirno S. 2007. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Cetakan Ketiga. Jakarta (ID): Kencana Sumarsono S. 2009. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Teori dan Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): GrahaIlmu. Suryawati C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. [diunduh 11 November 2009] Tersedia pada http://www.jpmkonline.net/volume_8/vol_08_no_03_2005.pdf.. Todaro MP. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta (ID): Erlangga. Verbeek M. 2004. A Guide Do Modern Econometrics. 3rd Ed. Winarno WW. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Jakarta (ID): UPPSTIM YKPN Woyanti N. 2013. Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan UMP terhadap kemiskinan di Jawa Tengah pra dan pasca desentralisasi fiskal. Ekonomi dan Manajemen Vol 28. No. 2 Juli 2013. Fakultas Ekonomika dan Bisnis UNDIP.
52 Lampiran 1 Tingkat kemiskinan berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 20072012 (persen) No.
Provinsi
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
Aceh
26.65
23.53
21.80
20.98
19.57
19.46
2
Sumatera Utara
13.90
12.55
11.51
11.31
11.33
10.67
3
Sumatera Barat
11.90
10.67
9.54
9.50
9.04
8.19
4
Riau
11.20
10.63
9.48
8.65
8.47
8.22
5
Jambi
10.27
9.32
8.77
8.34
8.65
8.42
6
Sumatera Selatan
19.15
17.73
16.28
15.47
14.24
13.78
7
Bengkulu
22.13
20.64
18.59
18.30
17.50
17.70
8
Lampung
22.19
20.98
20.22
18.94
16.93
16.18
9
Bangka Belitung
9.54
8.58
7.46
6.51
5.75
5.53
10
Kepri
10.30
9.18
8.27
8.05
7.40
7.11
11
DKI Jakarta
4.61
4.29
3.62
3.48
3.75
3.69
12
Jawa Barat
13.55
13.01
11.96
11.27
10.65
10.09
13
Jawa Tengah
20.43
19.23
17.72
16.56
15.76
15.34
14
DI Yogyakarta
18.99
18.32
17.23
16.83
16.08
16.05
15
Jawa Timur
19.98
18.51
16.68
15.26
14.23
13.40
16
Banten
9.07
8.15
7.64
7.16
6.32
5.85
17
Bali
6.63
6.17
5.13
4.88
4.20
4.18
18
NTB
24.99
23.81
22.78
21.55
19.73
18.63
19
NTT
27.51
25.65
23.31
23.03
21.23
20.88
20
Kalimantan Barat
12.91
11.07
9.30
9.02
8.60
8.17
21
Kalimantan Tengah
9.38
8.71
7.02
6.77
6.56
6.51
22
Kalimantan Selatan
7.01
6.48
5.12
5.21
5.29
5.06
23
Kalimantan Timur
11.04
9.51
7.73
7.66
6.77
6.68
24
Sulawesi Utara
11.42
10.10
9.79
9.10
8.51
8.18
25
Sulawesi Tengah
22.42
20.75
18.98
18.07
15.83
15.40
26
Sulawesi Selatan
14.11
13.34
12.31
11.6
10.29
10.11
27
Sulawesi Tenggara
21.33
19.53
18.93
17.05
14.56
13.71
28
Gorontalo
27.35
24.88
25.01
23.19
18.75
17.33
29
Sulawesi Barat
19.03
16.73
15.29
13.58
13.89
13.24
30
Maluku
31.14
29.66
28.23
27.74
23.00
21.78
31
Maluku Utara
11.97
11.28
10.36
9.42
9.18
8.47
32
Papua Barat
39.31
35.12
35.71
34.88
31.92
28.20
33
Papua
40.78
37.08
37.53
36.8
31.98
31.11
Indonesia
16.58
15.42
14.15
13.33
12.49
11.96
53 Lampiran 2 Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007-2012 (miliar rupiah) No.
Provinsi
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
Aceh
35 983
34 098
32 219
33 103
34 789
36 600
2
99 792
106 172
111 559
118 719
126 588
134 464
32 913
35 177
36 683
38 862
41 292
43 912
4
Sumatera Utara Sumatera Barat Riau
86 213
91 085
93 786
97 736
102 666
106 309
5
Jambi
14 275
15 298
16 275
17 472
18 964
20 374
6
55 262
58 065
60 453
63 859
68 008
72 094
7
Sumatera Selatan Bengkulu
7 037
7 442
7 860
8 340
8 878
9 464
8
Lampung
32 695
34 443
36 256
38 390
40 859
43 506
9
9 465
9 900
10 270
10 885
11 588
12 251
10
Bangka Belitung Kepri
34 714
37 015
38 319
41 076
43 810
47 405
11
DKI Jakarta
332 971
353 723
371 469
395 622
422 237
449 821
12
Jawa Barat
274 180
291 206
303 405
322 224
343 111
364 405
13
Jawa Tengah
159 110
168 034
176 673
186 993
198 270
210 848
14
18 292
19 212
20 064
21 044
22 132
23 309
15
DI Yogyakarta Jawa Timur
288 404
305 539
320 861
342 281
366 983
393 666
16
Banten
75 350
79 701
83 454
88 552
94 207
100 000
17
Bali
24 450
25 910
27 291
28 882
30 758
32 804
18
NTB
16 369
16 832
18 874
20 073
19 440
19 221
19
NTT
10 902
11 430
11 921
12 547
13 253
13 972
20
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo
26 020
27 439
28 757
30 329
32 138
34 014
15 755
16 726
17 658
18 806
20 078
21 420
25 922
27 593
29 052
30 675
32 553
34 419
98 386
103 207
105 565
110 953
115 476
120 067
14 344
15 902
17 150
18 377
19 735
21 287
13 961
15 047
16 208
17 624
19 237
21 019
41 332
44 550
47 326
51 200
55 099
59 709
9 332
10 011
10 769
11 654
12 698
14 020
2 339
2 521
2 711
2 917
3 141
3 384
3 568
3 999
4 239
4 744
5 233
5 704
30
Sulawesi Barat Maluku
3 633
3 787
3 993
4 251
4 509
4 861
31
Maluku Utara
2 501
2 651
2 812
3 036
3 230
3 445
32
Papua Barat
5 934
6 400
7 287
9 361
11 896
13 781
33
Papua
19 200
18 932
23 138
22 400
21 208
21 436
3
21 22 23 24 25 26 27 28 29
54 Lampiran 3 Rata-rata lama sekolah berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007 2012 (tahun) No.
Provinsi
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
Aceh
8.50
8.50
8.63
8.81
8.90
8.93
2
Sumatera Utara
8.60
8.60
8.65
8.85
8.91
9.07
3
Sumatera Barat
8.18
8.26
8.45
8.48
8.57
8.60
4
Riau
8.40
8.51
8.56
8.58
8.63
8.64
5
Jambi
7.63
7.63
7.68
7.84
8.05
8.20
6
Sumatera Selatan
7.60
7.60
7.66
7.82
7.84
7.99
7
Bengkulu
8.00
8.00
8.23
8.25
8.33
8.48
8
Lampung
7.30
7.30
7.49
7.75
7.82
7.87
9
Bangka Belitung
7.18
7.37
7.41
7.45
7.58
7.68
10
Kepri
8.94
8.94
8.96
9.16
9.73
9.81
11
DKI Jakarta
10.80
10.80
10.90
10.93
10.95
10.98
12
Jawa Barat
7.50
7.50
7.72
8.02
8.06
8.08
13
Jawa Tengah
6.80
6.86
7.07
7.24
7.29
7.39
14
DI Yogyakarta
8.59
8.71
8.78
9.07
9.20
9.21
15
Jawa Timur
6.90
6.95
7.20
7.24
7.34
7.45
16
Banten
8.10
8.10
8.15
8.32
8.41
8.61
17
Bali
7.60
7.81
7.83
8.21
8.35
8.57
18
NTB
6.70
6.70
6.73
6.77
6.97
7.19
19
NTT
6.42
6.55
6.60
6.99
7.05
7.09
20
Kalimantan Barat
6.70
6.70
6.75
6.82
6.89
7.14
21
Kalimantan Tengah
8.00
8.00
8.02
8.03
8.06
8.15
22
Kalimantan Selatan
7.40
7.44
7.54
7.65
7.68
7.89
23
Kalimantan Timur
8.80
8.80
8.85
8.87
9.19
9.22
24
Sulawesi Utara
8.80
8.80
8.82
8.89
8.92
9.00
25
Sulawesi Tengah
7.73
7.81
7.89
8.00
8.03
8.13
26
Sulawesi Selatan
7.23
7.23
7.41
7.84
7.92
7.95
27
Sulawesi Tenggara
7.71
7.74
7.90
8.11
8.21
8.25
28
Gorontalo
6.91
6.91
7.18
7.38
7.45
7.49
29
Sulawesi Barat
6.51
6.99
7.05
7.11
7.15
7.32
30
Maluku
8.60
8.60
8.63
8.76
8.82
9.15
31
Maluku Utara
8.60
8.60
8.61
8.63
8.66
8.71
32
Papua Barat
7.65
7.67
8.01
8.21
8.26
8.45
33
Papua
6.52
6.52
6.57
6.66
6.69
6.87
Indonesia
7.47
7.52
7.72
7.92
7.94
8.08
55 Lampiran 4 Upah Minimum Provinsi Indonesia tahun 2007-2012 (rupiah) No.
Provinsi
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
Aceh
850 000
1 000 000
1 200 000
1 300 000
1 350 000
1 400 000
2
761 000
822 205
905 000
965 000
1 035 500
1 200 000
750 000
800 000
880 000
940 000
1 055 000
1 150 000
4
Sumatera Utara Sumatera Barat Riau
710 000
800 000
901 600
1016000
1 120 000
1 238 000
5
Jambi
658 000
724 000
800 000
900 000
1 028 000
1 142 500
6
662 000
743 000
824 730
927 825
1 048 400
1 195 200
7
Sumatera Selatan Bengkulu
644 838
683 528
735 000
780 000
815 000
930 000
8
Lampung
555 000
617 000
691 000
767 500
855 000
975 000
9
720 000
813 000
850 000
910 000
1 024 000
1 110 000
10
Bangka Belitung Kepri
805 000
833 000
892 000
925 000
975 000
1 015 000
11
DKI Jakarta
900 560
972 604
1 069 865
1 118 009
1 290 000
1 529 150
12
Jawa Barat
516 840
568 193
628 191
671 500
732 000
780 000
13
Jawa Tengah
500 000
547 000
575 000
660 000
675 000
765 000
14
500 000
586 000
700 000
745 694
808 000
892 660
15
DI Yogyakarta Jawa Timur
448 500
500 000
570 000
630 000
705 000
745 000
16
Banten
746 500
837 000
917 500
955 300
1000 000
1 042 000
17
Bali
622 000
682 650
760 000
829 316
890 000
967 500
18
NTB
645 000
730 000
832 500
890 775
950 000
1 000 000
19
NTT
600 000
650 000
725 000
800 000
850 000
925 000
20
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo
560 000
645 000
705 000
741 000
802 500
900 000
665 973
765 868
873 089
986 590
1 134 580
1 327 459
745 000
825 000
930 000
1 024 500
1 126 000
1 225 000
766 500
815 000
955 000
1 002 000
1 084 000
1 177 000
750 000
845 000
929 500
1 000 000
1 050 000
1 250 000
615 000
670 000
720 000
777 500
827 500
885 000
673 200
740 520
905 000
1 000 000
1 100 000
1 200 000
640 000
700 000
770 000
860 000
930 000
1 032 300
560 000
600 000
675 000
710 000
762 500
837 500
691464
760 500
909 400
944 200
1 006 000
1 127 000
30
Sulawesi Barat Maluku
635 000
700 000
775 000
840 000
900 000
975 000
31
Maluku Utara
660 000
700 000
770 000
847 000
889 350
960 498
32
Papua Barat
987 000
1 105 500
1 180 000
1 210 000
1 410 000
1 450 000
33
Papua
987 000
1 105 500
1 216 000
1 316 500
1 403 000
1 585 000
Indonesia
667 900
743 200
830 700
908 800
988 800
1 085 400
3
21 22 23 24 25 26 27 28 29
56 Lampiran 5 Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 236.027304 764.935194
d.f.
Prob.
(32,162) 32
0.0000 0.0000
Lampiran 6 Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary
Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
5.592909
3
0.1332
57 Lampiran 7 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan Dependent Variable: Y_POV Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/10/14 Time: 02:32 Sample: 2007 2012 Periods included: 6 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 198 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
X1_LNPDRB X2_LNUMP X3_PENDIDIKAN C
-3.064212 -6.370712 -1.232671 143.2197
1.141175 0.830807 0.387465 4.238344
-2.685137 -7.668102 -3.181376 33.79142
0.0080 0.0000 0.0018 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.989188 0.986852 1.092472 423.4794 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
21.52405 13.42576 193.3462 1.017472
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.984145 204.1394
Mean dependent var Durbin-Watson stat
Lampiran 8 Uji normalitas
24
Series: Standardized Residuals Sample 2007 2012 Observations 198
20
16
12
8
4
0 -2
-1
0
1
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-8.52e-17 -0.031167 2.002295 -2.021966 0.990683 0.109344 2.050482
Jarque-Bera Probability
7.832620 0.019914
14.87939 0.940017
58 Lampiran 9 Uji multikolinearitas Y_POV
X1_LNPDRB
X2_LNUMP
X3_PENDIDIKAN
Y_POV
1.000000
-0.376966
-0.080180
-0.418701
X1_LNPDRB
-0.376966
1.000000
0.014650
0.256144
X2_LNUMP
-0.080180
0.014650
1.000000
0.377634
X3_PENDIDIKAN
-0.418701
0.256144
0.377634
1.000000
Lampiran 10 Uji heteroskedastisitas 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 25
50
75
100
125
Standardized Residuals
150
175
59
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Masyithoh Alkautsar, lahir di Sumedang 7 Maret 1993. Penulis adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Penulis merupakan putri dari Bapak Harwanto dan Ibu Yani Citraeni. Penulis dibesarkan di Perumahan Toga Blok G 1 Sumedang. Penulis mengikuti pendidikan formal tingkat menengah ke atas di SMAN 1 Sumedang dengan mengikuti program akselerasi dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis menempuh jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Penulis mulai aktif dan masuk menjadi mahasiswa IPB pada 28 Juni 2010. Selama di IPB , penulis menjadi anggota lembaga intra kampus Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) selama dua periode kepengurusan sebagai bendahara divisi DISTRO (bidang kewirausahaan).