DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
DISERTASI
SRI HERY SUSILOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan saya yang berjudul “DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA”, merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
Sri Hery Susilowati Nrp. A 161 020 081
iii
ABSTRACT
SRI HERY SUSILOWATI. The Impact of Economic Policy in the Agroindustry Sector on the Income Distribution and Poverty in Indonesia (BONAR M. SINAGA as Chairman, W.H. LIMBONG and ERWIDODO as Member of the Advisory Committee). Indonesia poverty incidences are mostly found in the rural areas and in the agricultural sector. At present, the incidence is becoming more increasing and has drawn a national attention. Poverty and income distribution are closely related to the economic development. Agroindustry development policy is one of the government policies aim to have positive impacts on the income equality and poverty in Indonesia. The objective of this study is to analyze the role of agroindustry in the Indonesian economy and to analyze the impact of the government expenditure, export, investment and tax policy in agroindustry sector on the income distribution and poverty. Within the Social Accounting Matrix (SAM) framework, the agroindustry sector is disaggregated into food and non food industries. Result of the policy simulation in the agroindustry sector is used to further analyze the income distribution and poverty using the SAM and the SUSENAS data sets. The results show that based on the multiplier index, the agroindustry sector has an important role to increase the output, the value added as well as the labor absorption. But based on the household income multiplier, the ADLI strategy has not been implemented well in Indonesia. Export, investment, and tax incentive policies in the agroindustry have positive impact on the household income distribution and poverty whereas the government expenditure policy gives less impact. Policies in the food agroindustry have greater impact on the improvement of income distribution while policies in the non food agroindustry have greater impact on the poverty reduction. Investment and export policy in the priority industries of the agroindustry (fisheries, food and estate crop food agroindustry, rubber industry, pulp, bamboo and rattan industry) become the most effective policy to reduce the household poverty as well as to improve the income distribution. Based on the study findings, ways to solve the income inequality and poverty incidences are that the economic policy should focused on the priority agroindustries through investment and export policies. Key words: agroindustry, Social Accounting Matrix, income distribution, poverty.
ABSTRAK SRI HERY SUSILOWATI. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, W.H. LIMBONG dan ERWIDODO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di sektor pertanian dan perdesaan dan menjadi permasalahan nasional yang serius. Masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan terkait erat dengan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan. Kebijakan pengembangan agroindustri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang diharapkan berdampak mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional dan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri dan redistribusi pendapatan. Analisis menggunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang didisagregasi ke dalam agroindustri makanan dan non makanan. Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan menggunakan data SNSE dan SUSENAS. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor agroindustri mempunyai peran lebih besar dalam meningkatkan output, PDB dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi dalam hal pendapatan rumah tangga, strategi industrialisasi ADLI di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Kebijakan peningkatan ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri kurang memberikan dampak positif. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri makanan berdampak lebih besar memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Sedangkan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri non makanan berdampak lebih besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri prioritas (agroindustri makanan sektor tanaman pangan, perikanan, perkebunan, industri karet remah dan karet asap dan industri kayu lapis, bambu dan rotan) merupakan kebijakan yang paling efektif memperbaiki distribusi pendapatan dan menurunkan kemiskinan. Sejalan dengan hasil penelitian, untuk mengatasi masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan maka kebijakan ekonomi perlu lebih difokuskan pada agroindustri prioritas melalui kebijakan peningkatan investasi dan ekspor. Kata kunci: agroindustri, SNSE, distribusi pendapatan, kemiskinan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
SRI HERY SUSILOWATI
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Penelitian
:
DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Nama Mahasiswa
:
Sri Hery Susilowati
Nomor Pokok
:
A 161 020 081
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Ketua
Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS Anggota
Dr. Ir. Erwidodo, MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Tanggal Ujian: 22 Agustus 2007
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Lulus:
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tahun 1959 di Solo, Jawa Tengah dari pasangan Martodiwiryo (almarhum) dan Marsiti (Almarhumah). Penulis menikah pada tahun 1985 dengan Ismi Kushartanto dan dikaruniai tiga orang putri, yaitu Niken Tantri Larasati (21 tahun), Ayulina Wulandari (16 tahun) dan Anisa Ayuningtyas (9 tahun). Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (1971), Sekolah Menengah Pertama (1974) dan Sekolah Menengah Atas (1977) di Solo. Tahun 1978 melalui jalur PMDK penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi. Lulus pendidikan sarjana S1, penulis bekerja di Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian yang sekarang bernama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian sampai sekarang. Melalui sponsor proyek ARMP penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Ekonomi Pertanian (EPN)
Institut Pertanian Bogor dan gelar
Magister Sains (MS) diperoleh pada tahun 1990. Tahun 2002 dengan sponsor yang sama penulis menempuh pendidikan Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya penulisan disertasi dengan judul: “Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia” dapat
diselesaikan.
Penulisan
disertasi
ini
bertujuan
untuk
menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional dan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan Terselesainya disertasi ini bukan hanya karena kerja keras penulis, namun juga berkat bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Komisi Pembimbing: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi; 2. Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS selaku Anggota Komisi; 3. Bapak Dr. Ir. Erwidodo, MS selaku Anggota Komisi; atas segala bimbingan, masukan serta semangat yang senantiasa diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Atas segala kebaikan tersebut penulis sangat menghargai dan mengucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS selaku Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tertinggi.
x
2. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah program Doktor di IPB. 3. Proyek PAATP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah bertindak sebagai sponsor tugas belajar. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, Dr. Slamet Sutomo, SE, MS dan Dr. Hermanto Siregar, M.Ec. yang telah berkenan bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka. Juga kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS yang telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan disertasi ini pada saat ujian tertutup. Penulis memberikan penghargaan yang tulus atas jasa-jasa tersebut. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada
Sdr Achmad Avin Zora, SE
selaku Kepala Seksi Analisis Statistik Ekonomi Badan Pusat Statistik dan Sdri Nina Suri Sulistini, MT selaku Kepala Seksi Neraca Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik yang telah membantu penulis dengan data dan informasi yang diperlukan untuk penelitian ini. Juga kepada Dr Yundhy Hafizrianda dan Dr Djaimi yang telah ikhlas membagi ilmu kepada penulis terkait dengan pengolahan data SNSE Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pascasarjana IPB angkatan 2002, terutama Evi Lisna, Bu Anna, Bu Femi, Pak Ilham, Pak Ardi Novra, Pak Rasidin, Pak Tidar, serta teman-teman lain yang belum disebut namanya yang senantiasa menjadi teman diskusi yang baik. Penulis juga sangat berterimakasih dan menghargai bantuan dan dorongan semangat yang selalu diberikan oleh rekan-rekan Pusat Analisis Sosial Ekonomi
xi
dan Kebijakan Pertanian, terutama kepada mbak Prie, juga kepada Nina yang membantu pengolahan data serta Pak Agus Suwito yang
membantu dalam
merapikan pengetikan. Kepada mereka semua penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Ucapan terimakasih secara khusus juga penulis sampaikan kepada suami, Ir Ismi Kushartanto, MBA dan anak-anak: Niken Tantri Larasati, Ayulina Wulandari dan Anisa Ayuningtyas atas pengertian, dorongan dan doa yang selalu diberikan kepada penulis. Segala kekurangan pada disertasi ini sepenuhnya adalah karena keterbatasan penulis. Untuk itu masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaan disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007 Sri Hery Susilowati
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……….……………………………………………............
xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………............
xvii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………............
xviii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang…………………………………………………..............
1
1.2. Perumusan Masalah……………………………………………...............
4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………...........................................
10
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian…………….........................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Agroindustri sebagai Strategi Pembangunan Pertanian
12
2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Sektor Agroindustri............................................................................................
16
2.2.1. Strategi Pengembangan Agroindustri.........................................
16
2.2.2. Kebijakan Pemerintah di Sektor Agroindustri.............................
18
2.3. Kemiskinan Rumah Tangga……………………………………………
19
2.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan…………………….........
19
2.3.2. Kriteria Kemiskinan……………………………………............
21
2.4. Keterkaitan Antara Pembangunan Pertanian dan Kemiskinan…...........
23
2.5. Studi Terdahulu tentang Pembangunan Ekonomi Sektoral……...........
28
2.6. Studi Terdahulu tentang Pembangunan Sektoral Dengan Landasan Strategi ADLI………………………....................................................
34
2.7. Studi Terdahulu tentang Distribusi Pendapatan………………………
37
2.8 Studi Terdahulu tentang Kemiskinan…………….................................
41
III. KERANGKA TEORI 3.1. Model Pembangunan Dua Sektor………………………………...........
48
3.2. Teori Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan vs Ketidakmerataan
52
3.2.1. Aliran Klasik………………………………………………….
54
3.2.2
56
Aliran Strukturalis…………………………………………….
3.3. Strategi Pembangunan Ekonomi Melalui Industrialisasi………............
60
3.3.1. Kebijakan Substitusi Impor…………………………….............
61
3.3.2. Kebijakan Promosi Ekspor……………………………………..
64
3.3.3. Strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization …............
68
3.4. Kerangka Pemikiran ................................................................................
74
3.5. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi..................................................
77
3.5.1. Kerangka Dasar.............................................................................
80
3.5.2. Analisis Pengganda.......................................................................
86
3.5.3. Analisis Jalur Struktural................................................................
90
3.6. Pendekatan Cross-Entropy………………………………………...........
96
3.7. Konsep Distribusi Pendapatan .................................................................
98
3.8. Konsep Kemiskinan …….........................................................................
103
3.9. Hipotesis…………………………………………………………………
107
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data…………………………………………............
108
4.2. Tahapan Analisis………………………………………………............
108
4.3. Klasifikasi dan Disagregasi Neraca…………………….......................
111
4.4. Metode Analisis………………………………………………………..
112
4.4.1. Analisis Pengganda Neraca dan Penentuan Industri Prioritas….
113
4.4.2. Analisis Jalur Struktural...............................................................
115
4.4.3. Analisis Simulasi Kebijakan .......................................................
116
4.4.4. Analisis Distribusi Pendapatan ………………….......................
122
4.4.5. Analisis Kemiskinan………………………...............................
125
V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Peran Sektor Agroindustri dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal..........................................................................
131
5.2. Keterkaitan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lainnya......................
138
5.3. Peran Sektor Agroindustri dalam Pendapatan Rumah Tangga................
140
5.4. Industri Prioritas pada Sektor Agroindustri..............................................
144
5.5. Tahapan Transmisi Pengaruh dari Sektor Agroindustri.......................... 5.5.1. Agroindustri Makanan.................................................................
154 154
5.5.2. Agroindustri Non Makanan ........................................................
165
5.6. Penelusuran Jalur Transmisi Pengaruh Sektor Agroindustri ke Rumah Tangga ......................................................................................................
174
5.6.1. Agroindustri Makanan .................................................................
176
5.6.2. Agroindustri Non Makanan.........................................................
193
VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral.....................................................................................
206
6.2. Pendapatan Tenaga Kerja ...................................................................
209
6.3. Pendapatan Rumah Tangga ................................................................
211
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN 7.1. Distribusi Output Sektoral....................................... ..............................
215
7.2. Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja......................................................
217
7.3. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Rumah Tangga .................................................................................................
219
7.4. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Desa dan Kota..........................
224
7.5. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian dan Non Pertanian................................................................................................
227
VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN 8.1. Persentase Rumah Tangga Miskin ........................................................
231
8.2. Kesenjangan Pendapatan Rumah Tangga Miskin.......................
236
8.3 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Miskin............................
238
IX. KESIMPULAN 9.1. Ringkasan Hasil......................................................................................
240
9.2. Kesimpulan ............................................................................................
243
9.3. Saran Kebijakan................................................................................
245
9.4. Saran Penelitian Lanjutan.....................................................................
246
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
247
LAMPIRAN...................................................................................................
256
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan Produksi Industri Menurut Sektor, Tahun 1996-1999 ..................
6
2. Klasifikasi Proses Transformasi Produk Agroindustri........................................
14
3. Struktur Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi...................................................
81
4. Hubungan Antar Neraca Sistem Neraca Sosial Ekonomi ...................................
84
5. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan ..................................................................
129
6. Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003..........................................................................................
132
7. Ranking Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003 .............................................................................
136
8. Nilai dan Ranking Pengganda Keterkaitan Antar Sektor Tahun 1998 dan 2003
139
9. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sektor dan Golongan Rumah Tangga, Tahun 1998 dan 2003 ...............................................................
141
10. Nilai dan Ranking Pengganda Output, Tenaga Kerja dan Keterkaitan Sektor Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003 .....................................
147
11. Nilai dan Ranking Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Golongan Rendah Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003.....................................
148
12. Ranking Pengganda Output, Tenaga Kerja, Keterkaitan Sektor dan Pendapatan Rumah Tangga Golongan Rendah Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003.................................................................................
149
13. Penentuan Agroindustri Prioritas pada Sektor Agroindustri, Tahun 2003 .........
154
14. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan Sektor Peternakan dan Tanaman Pangan, Tahun 2003 .........................................................................................
156
15. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan Sektor Perikanan dan Perkebunan, Tahun 2003....................................................................................
161
16. Dekomposisi Pengganda Industri Minuman dan Rokok, Tahun 2003 ..............
163
17. Dekomposisi Pengganda Industri Kapuk dan Industri Kulit Samakan dan Olahan, Tahun 2003 ............................................................................................
167
18. Dekomposisi Pengganda Industri Kayu Lapis, Barang dari Kayu, Bambu dan Rotan dan Industri Bubur Kertas, Tahun 2003 ...................................................
170
19. Dekomposisi Pengganda Industri Karet Remah dan Karet Asap,Tahun 2003 . ... 172
20. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Peternakan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ............................
178
21. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan ke Rumah, Tangga Tahun 2003 .................
182
22. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Perikanan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 .............................
185
23. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ...........................
187
24. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Minuman ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ..........................................................
189
25. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global dari Agroindustri Rokok ke Rumah Tangga, Tahun 2003..............................................................
192
26. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kapuk ke Rumah Tangga, Tahun 2003..............................................................
196
27. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kulit Samakan dan Olahan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 .......................................
198
28. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kayu Lapis, Barang dari Kayu dan Bambu ke Rumah, Tangga Tahun 2003..............
200
29. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Bubur Kertas ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ....................................................
202
30. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Karet ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ..........................................................................
204
31. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral, Menurut Skenario Kebijakan, Tahun 2003 .......................................................
207
32. Dampak Kebijakan Agroindustri terhadap Pendapatan Tenaga Kerja, Tahun 2003...........................................................................................................
210
33. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Pendapatan Rumah Tangga, Tahun 2002 ...............................................................................
212
34. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Output Sektoral, Tahun 2003 .......................................................................................... 216 35.
Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja, Tahun 2003........................................................... ..
218
36. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002.... 220 37. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Berdasarkan Indeks Gini Tahun 2002 .................................................................................................
224
38. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Desa dan Kota, Tahun 2002 .................................
225
39. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian dan Non Pertanian, Tahun 2002 ............
228
40. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Kemiskinan (Headcount Index) Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 ...............
231
41. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Poverty Gap Index Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 ...............
237
42. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Poverty Severity Index Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 ..........
239
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Keterkaitan Pembangunan Pertanian dan Agroindustri dengan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ……………………………………………………
27
2. Pertumbuhan Pendapatan vs Ketidakmerataan ...................................................
53
3. Argumen Industri Muda (The Infant-Industry Argument) ..................................
63
4. Keuntungan Perdagangan melalui Konsep Keunggulan Komparatif .................
67
5. Alur Pikir Pengembangan Sektor Agroindustri .................................................
75
6. Diagram Modular Sistem Neraca Sosial Ekonomi .............................................
79
7. Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit ...............................................................................
92
8. Jaringan Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit yang Menghubungkan Kutub i dan j......
95
9. Ukuran Kemiskinan Individu ..............................................................................
106
10. Pentahapan Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ...............................................................................
109
11. Jalur Dasar Agroindustri Makanan, Minuman dan Rokok ke Rumah Tangga ..
177
12. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Peternakan ke Rumah Tangga.......
179
13. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan ke Rumah Tangga.................................................................................................................
183
14. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Perikanan ke Rumah Tangga ..........
186
15. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan ke Rumah Tangga........
188
16. Jalur Dasar Agroindustri Minuman ke Rumah Tangga ......................................
190
17. Jalur Dasar Agroindustri Rokok ke Rumah Tangga ...........................................
192
18. Jalur Dasar Agroindustri Non Makanan ke Rumah Tangga ...............................
194
19. Jalur Dasar Agroindustri Kapuk ke Rumah Tangga ...........................................
196
20. Jalur Dasar Agroindustri Kulit Samakan dan Olahan ke Rumah Tangga.........
198
21. Jalur Dasar Agroindustri Kayu Lapis, Barang dari Kayu dan Bambu ke Rumah Tangga ....................................................................................................
201
22. Jalur Dasar Agroindustri Bubur Kertas ke Rumah Tangga ................................
203
23. Jalur Dasar Agroindustri Karet ke Rumah Tangga .............................................
205
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Klasifikasi dan Disagregasi Neraca ....................................................................
258
2. Definisi Rumah Tangga menurut Golongan dalam Neraca SNSE .....................
259
3. Kriteria Penggolongan Rumah Tangga Berdasarkan SUSENAS 2003 ..............
259
4. Klasifikasi Agroindustri Makanan dan Non Makanan Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) atau International Standard Industrial Classification (ISIC) ...........................................................
260
5. Pengganda Output Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003..........................................................................................
262
6. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sektor dan Golongan Rumah Tangga, Tahun 1998 dan 2003 ...............................................................
264
7. Nilai dan Pangsa Output, Tenaga Kerja dan PDB Agroindustri Makanan dan Non Makanan terhadap Total Sektor Agroindustri, Tahun 2003...................... 266 8. Perkembangan Output Sektor Agroindustri, Tahun 1998 dan Tahun 2003.......... 266 9. Matriks Keofisien Pengeluaran Rata-rata Neraca SNSE Agroindustri Tahun 2003 (45 x 45 sektor) ...............................................................................
267
10. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral
274
11. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan (Headcount) Menurut Golongan Rumah Tangga dengan Metoda Skala Ekivalensi, Tahun 2002.......................................................................................
276
12. Dampak Kebijakan Agroindustri terhadap Poverty Gap Menurut Golongan Rumah Tangga dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun 2002..........
277
13. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Poverty Severity Menurut Golongan Rumah Tangga dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun 2002 ..........................................................................................................
278
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor pertanian sebagai penyedia utama lapangan kerja dan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat. Tidak terbantahkan pula bahwa sektor pertanian menjadi penyangga ekonomi nasional pada saat krisis ekonomi. Johnston dan Mellor (1961) mengidentifikasi paling tidak ada 5 (lima) peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia tenaga kerja dan lapangan kerja terbesar sehingga transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Sektor pertanian menyediakan pasar bagi produk-produk sektor industri karena jumlah penduduk perdesaan yang sangat banyak dan terus meningkat. Sektor pertanian sebagai penghasil devisa dan tidak kalah penting sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang efektif untuk mengurangi kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian karena selama ini kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. Peran sektor pertanian yang demikian besar dalam perekonomian Indonesia memiliki implikasi penting dalam pembangunan ekonomi. Selama era Orde Baru, pembangunan perekonomian Indonesia mulai Pelita I sampai dengan Pelita III meletakkan prioritas pada sektor pertanian sedangkan mulai Pelita IV prioritas pembangunan beralih pada sektor non pertanian terutama sektor industri dan jasa. Pembangunan sektor non pertanian dan jasa pada Pelita IV dan tahap berikutnya tersebut dirancang dengan memanfaatkan landasan yang telah dibangun selama Pelita sebelumnya, yaitu pembangunan sektor industri dan jasa yang mendukung sektor pertanian, khususnya pembanguan industri hulu dan industri hilir yang terkait dengan sektor pertanian.
2 Proses industrialisasi tersebut telah mengakibatkan perubahan peran sektor pertanian yang dramatis dalam perekonomian Indonesia, yang ditunjukkan melalui penurunan
proporsi output sektor pertanian terhadap output nasional. Pangsa sektor
pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah turun drastis dari sekitar 47.6 persen pada tahun 1970 menjadi hanya 15.4 persen pada tahun 2004. Sebaliknya pangsa sektor non pertanian meningkat dari sekitar 52.4 persen menjadi 84.6 persen. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pun mengalami serupa. Selama periode 1982 - 2004 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian secara konsisten terus mengalami penurunan, yaitu dari 54.7 persen menjadi 19.8 persen (BPS, 2004). Menurunnya peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional juga dapat dilihat dari menurunnya pangsa sektor pertanian dalam struktur ekspor Indonesia. Pangsa ekspor sektor pertanian dan minyak pada tahun 1970 masing-masing sebesar 66 persen dan 33 persen, pada tahun 1980 pangsa ekspor sektor pertanian turun menjadi hanya 13.6 persen sementara ekspor minyak naik menjadi 82 persen. Namun dengan menurunnya harga minyak, peranan ekspor minyak pada tahun 1990 turun menjadi hanya sekitar 40 persen dan digantikan oleh sektor industri yang naik dari sekitar 4 persen pada tahun 1980 menjadi sekitar 42 persen pada tahun 1990. Pangsa ekspor sektor industri semakin meningkat mencapai rata-rata 69.4 persen pada tahun 2004, sementara pangsa ekspor sektor pertanian hanya 3.4 persen (BPS, 2004) Proses industrialisasi tersebut dalam pelaksanaannya melalui pembangunan industri substitusi impor dan promosi ekspor yang pada umumnya industri padat modal yang bersifat foot lose industry, tidak berdasarkan pada sumberdaya dalam negeri melainkan tergantung pada sumberdaya impor sehingga potensi sumberdaya pertanian tidak dimanfaatkan secara optimal. Strategi pembangunan nasional dengan menitikberatkan pada strategi industri substitusi impor dan promosi ekspor tersebut dari sisi pertumbuhan ekonomi dinilai cukup
3 berhasil sehingga sampai sebelum masa krisis, pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun. Namun pembangunan industri yang demikian menghasilkan perekonomian yang rapuh, tidak efisien dan rentan terhadap gejolak ekonomi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri mengalami kehancuran karena tidak terintegrasi secara kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku. Dampak paling nyata adalah bertambahnya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Pada saat puncak krisis ekonomi terjadi penduduk miskin meningkat cukup tajam dari 17.6 persen pada tahun 1996 menjadi 23.4 persen pada tahun 1999 (BPS, 2002a). Defisit anggaran meningkat secara tajam pada tahun 1999 mencapai hampir Rp 50 trilliun atau hampir 4 persen dari PDB dan hutang pemerintah sebesar US $150 096 juta atau sekitar 113 persen terhadap PDB (OECD, 2000). Paradigma baru pembangunan ekonomi menempatkan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain (Adelman, 1984; DeJanvri, 1984). Oleh karena sebagian besar sumberdaya berada di sektor pertanian dan sebagian besar penduduk Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian, maka strategi ADLI akan menciptakan pertumbuhan pendapatan di kalangan rumah tangga pertanian yang sebagian besar memiliki keterkaitan kegiatan konsumsi sehingga menciptakan pasar bagi produk-produk domestik termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri, dan hal ini akan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan perekonomian nasional yang cepat dan merata. Studi-studi secara empiris yang telah dilakukan terdahulu mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri (Bautista et al., 1999; Uphoff, 1999; Daryanto dan Morison, 1992). Berdasarkan argumentasi di atas, industrialisasi pertanian, melalui pengembangan sektor agroindustri, dapat dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam
4 menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Bersama-sama dengan sektor pertanian sektor agroindustri akan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kemiskinan. Dengan demikian peran sektor pertanian dalam PDB tidak dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran yang diciptakan dan perannya dalam menarik dan mendorong pembangunan khususnya di perdesaan. Pengembangan sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran, yaitu: (1) sebagai penggerak pembangunan sektor pertanian dengan menciptakan pasar permintaan input untuk produk olahannya, (2) menciptakan lapangan kerja, (3) meningkatkan nilai tambah, (4) meningkatkan penerimaan devisa, dan (5) meningkatkan pemerataan pembagian pendapatan.
1.2. Perumusan Masalah Tidak dipungkiri pembangunan ekonomi dengan meletakkan basis pada pembangunan sektor industri telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita. Namun tujuan pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan bukanlah pencapaian pertumbuhan atau peningkatan pendapatan semata, melainkan pembangunan yang berdasarkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga landasan tersebut merupakan strategi yang dapat menjamin kontinuitas pembangunan di masa datang. Namun ketika strategi pembangunan lebih menekankan pada pencapaian pertumbuhan yang tinggi, terjadi ketimpangan dalam pencapaian pembangunan sehingga aspek pemerataan menjadi agak terabaikan. Sebagai ilustrasi, pendapatan per kapita masyarakat meningkat dari Rp. 30 900 pada tahun 1970 menjadi Rp. 9 455 400 pada tahun 2004. Namun dibalik keberhasilan tersebut, kesenjangan pendapatan masyarakat ternyata semakin melebar. Apabila pada tahun 1985 perbandingan pendapatan per kapita buruh tani dibandingkan rumah tangga
5 bukan pertanian golongan atas di kota sebesar 1: 3.66 maka pada saat krisis ekonomi tahun 1998 menjadi 1: 9.53 (BPS, 1998). Penduduk miskin meningkat dari 17.6 persen pada tahun 1996 menjadi 23.4 persen pada tahun 1999 meskipun setelah krisis berakhir kemiskinan cenderung menurun namun penurunannya belum seperti yang diharapkan. Penduduk miskin pada tahun 2004 masih sebesar 16.7 persen (BPS, 2004). Millenium Development Goal mentargetkan pengurangan kemiskinan mencapai 50% pada tahun 2015 sehingga aspek kemiskinan masih menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Secara historis kondisi di atas tidak terlepas dari strategi pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Pembangunan ekonomi melalui strategi industrialisasi substitusi impor yang telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970 selama lebih dari satu dasawarsa secara empiris ternyata telah gagal memperkuat perekonomian dalam negeri secara merata. Fasilitas subsidi dan proteksi banyak diberikan kepada industri (Gillis et al., 1987) dan kesemuanya hanya dinikmati oleh pemilik modal sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di perdesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di perdesaan. Keadaan ini diperkuat oleh lemahnya keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian karena industri subsitusi impor tersebut sebagian besar menggunakan komponen input impor. Impor bahan baku untuk industri selama periode 1989 sampai dengan tahun 2004 mencapai lebih dari 55 persen dari total nilai impor bahan baku penolong (BPS, 2004). Strategi substitusi impor tersebut pada hakikatnya juga merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus.
Dapat dikatakan pembangunan ekonomi melalui strategi
substitusi impor pada dasarnya lebih berorientasi kepada pertumbuhan dibanding pemerataan (Arief, 1990; Basalim et al., 2000). Sementara strategi industri yang berorientasi ekspor (export-led industrialization) yang dilakukan pada periode berikutnya, yang mengandalkan permintaan ekspor dengan
6 modal asing sebagai penggerak pertumbuhan, ternyata semakin memperlebar kesenjangan antara sektor pertanian dan non pertanian serta rentan terhadap perubahan nilai tukar. Insentif yang diciptakan bagi perusahaan ekspor pada dasarnya menimbulkan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan bagi pemodal seperti halnya pada industri substitusi impor (Gillis et al., 1987; Arief, 1990). Ketidakmampuan strategi industrialisasi dalam mengangkat perekonomian secara berkesinambungan terlihat pada saat terjadi krisis ekonomi.
Pertumbuhan
produksi
hampir seluruh sektor industri mengalami goncangan sehingga mencapai angka minus (Tabel 1).
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Industri Menurut Sektor Tahun 1996 – 1999 SEKTOR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Makanan, minuman dan tembakau Tekstil, kain dan kulit Kayu dan produk kayu Kertas dan produk kertas Kimia Barang tambang mineral non logam Logam dasar Peralatan mesin Industri lainnya Total Sumber: UNIDO (2000)
1996 17.2 8.7 3.2 6.9 9.1 11.0 8.0 4.6 9.7 11.7
Pertumbuhan (%) 1997 1998 14.9 -2.1 -4.4 -13.0 -2.1 -18.5 9.0 -11.0 3.4 -23.2 4.5 -29.4 -1.4 -28.7 -0.4 -52.0 6.0 -23.6 7.4 -14.5
1999 2.6 0.4 -9.4 2.8 4.7 2.4 -3.9 -9.9 6.6 1.7
Dampak krisis ekonomi tersebut sangat terasa terutama pada industri-industri yang banyak menggunakan input impor yaitu industri ringan (light manufacture), seperti industri tekstil, kulit, kayu lapis dan kertas dan industri berat (heavy manufacture) seperti industri logam dasar, barang tambang, kimia dan peralatan mesin. Namun industri-industri yang berbasis pertanian, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau, mengalami goncangan yang relatif kecil. Menurunnya
kinerja
sektor
industri
tersebut
disebabkan
oleh
beberapa
permasalahan yang dihadapi, yaitu produktivitas yang rendah, kandungan input impor yang
7 tinggi sehingga rentan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, kesenjangan teknologi baru, kurangnya pasar ekspor serta rasio konsentrasi pasar yang berlebihan. Sebagai ilustrasi nilai tambah per tenaga kerja pada tahun 1995 hanya sebesar US $ 6 300, dua setengah kali lebih rendah dibanding Malaysia dan Phillipines (UNIDO, 2000). Pangsa nilai input impor sektor industri secara keseluruhan meningkat dari 23 persen pada tahun 1993 menjadi 33 persen pada tahun 1998, bahkan untuk industri tekstil, kimia, logam dan alat-alat mesin, pangsa input impor berkisar 30 sampai 64 persen (UNSFIR, 2004). Pola pemilikan industri sangat terkonsentrasi. Sebelum masa krisis sebanyak 10 persen keluarga menguasai sebanyak 60 persen kapitalisasi pasar (World Bank, 1999) sehingga menyebabkan semakin melebarnya kesenjangan antara industri besar dan industri kecil. Namun demikian, ‘kehancuran’ sektor industri pada masa krisis dapat dipandang sebagai blessing in disguise bagi sektor industri di Indonesia (Soesastro, 1999) karena pengalaman tersebut
akan membawa pembaruan dan mengubah prioritas strategi
pembangunan industri masa depan ke arah industri yang lebih tahan terhadap goncangan karena dibangun berdasarkan sumberdaya dalam negeri. Strategi tersebut adalah strategi Agricultural Demand-Led Industrialization atau strategi ADLI, yaitu strategi pembangunan yang menitikberatkan sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor lainnya, (Adelman,1984; Ranis, 1984). Berdasarkan konsep strategi ADLI tersebut industri yang dikembangkan adalah industri yang berbasis pertanian (agricultural based) yaitu sektor agroindustri. Ketangguhan industri yang berbasis pertanian telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri tidak banyak terpengaruh oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan.
Ketangguhan industri pertanian dalam menghadapi goncangan ekonomi
dikarenakan industri yang berbasis pertanian, terutama industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau menggunakan bahan baku penolong impor yang relatif kecil, hanya sekitar 7 persen dari total impor bahan baku penolong tahun 1998 dibandingkan
8 dengan industri manufaktur lain secara keseluruhan sebesar 60.9 persen (BPS, 1999). Meskipun pada tahun 2004 impor bahan penolong cenderung menurun, namun secara keseluruhan jumlahnya masih tetap tinggi, dimana industri manufaktur sebesar 49 persen sedangkan industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 5.6 persen (BPS, 2004). Dengan komponen input impor yang rendah, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar pada saat krisis ekonomi akan mendatangkan keuntungan ekspor yang relatif lebih besar bagi produsen agroindustri. Pentingnya peran sektor agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis ekonomi namun juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain. Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melaui media keterkaitan lain, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja (Rangarajan, 1982; Haggblade et al., 1991). Hal ini berimplikasi bahwa dengan meningkatkan investasi di sektor agroindustri akan tercipta kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya menggantungkan sumber penghidupan mereka pada sebidang tanah yang semakin menyempit, namun secara luas mampu mendukung pertumbuhan produktivitas. Kesemua itu akan berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan yang sebagian besar berada di sektor pertanian. Pentingnya peran sektor agroindustri juga terlihat dari nilai tambah yang diciptakan sebesar 23.3 persen dari total nilai tambah sektor industri tahun 2004. Peran tersebut akan semakin penting di masa datang dengan meningkatnya penduduk dan pendapatan per kapita serta urbanisasi yang kesemuanya akan mendorong peningkatan permintaan pangan olahan yang berkualitas. Dikaitkan dengan upaya pengurangan kemiskinan, perspektif ke depan pengembangan sektor agroindustri akan sangat
penting mengingat kantong
kemiskinan saat ini sebagian besar berada di perdesaan. Namun selama ini sektor agroindustri belum menunjukkan perkembangan secara optimal. Selama sepuluh tahun terakhir perkembangan jumlah industri skala menengah
9 dan besar hanya bertambah 34 perusahaan atau sekitar 0.74 persen dari total jumlah industri (BPS, 2006). Ditinjau dari perspektif distribusi pendapatan, konsep redistribution with growth (pemerataan dengan pertumbuhan) selain akan menghasilkan pertumbuhan juga diharapkan akan menghasilkan distribusi pendapatan masyarakat yang lebih baik. Pemerataan tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan melalui unsur kebijakan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang dicapai bisa sejalan dengan pemerataan dengan adanya kebijakan dan intervensi pemerintah. Dalam kondisi anggaran pembangunan dan sumberdaya saat ini yang semakin terbatas kebijakan pengembangan agroindustri secara targetted akan sangat relevan dilakukan. Melalui strategi ‘triple track’, yaitu pro growth, pro employment and pro poor, kebijakan pengembangan agroindustri diprioritaskan pada industri-industri yang selain mampu menciptakan nilai tambah tinggi, juga bersifat padat tenaga kerja (labor intensive) sehingga memiliki penyerapan tenaga kerja yang tinggi, mampu mempercepat pertumbuhan sektor-sektor lain serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan bawah secara lebih baik. Oleh karena itu menjadi penting melakukan identifikasi agroindustri apa saja yang memiliki kriteria di atas sehingga layak dijadikan prioritas dalam pengembangan sektor agroindustri di Indonesia. Dari uraian di atas, pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Benarkah sektor agroindustri memiliki peran yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya dalam meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga? 2. Agroindustri apa yang layak mendapat prioritas untuk dikembangkan dalam upaya memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan? 3. Seberapa besar pengembangan agroindustri dapat memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan?
10 4. Kebijakan apa yang dinilai mampu menumbuhkan sektor agroindustri secara berkualitas, yaitu secara spesifik mampu meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga serta mengurangi kesenjangan dan kemiskinan rumah tangga?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian secara umum adalah mengetahui peran dan dampak pengembangan sektor agroindustri terhadap perekonomian Indonesia, distribusi pendapatan dan kemiskinan.
Secara lebih spesifik
tujuan penelitian adalah: 1. Menganalisis peran sektor agroindustri dalam peningkatan output, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja nasional dan pendapatan rumah tangga. 2. Menganalisis peran agroindustri makanan dan non makanan dalam peningkatan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga serta menentukan agroindustri prioritas. 3. Menganalisis dampak berbagai kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Manfaat hasil penelitian ini adalah pemahaman yang lebih mendalam bagi masyarakat mengenai peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia.
Bagi
pemerintah, manfaat hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan prioritas kebijakan pengembangan sektor agroindustri yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Analisis dampak pengembangan agroindustri dalam penelitian ini difokuskan pada analisis aspek makroekonomi dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
11 (SNSE).
Model ini digunakan untuk menganalisis peranan sektor agroindustri dalam
pembentukan output, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam meningkatkan pendapatan
sektor-sektor lain di dalam perekonomian nasional. Sektor
agroindustri dikelompokkan ke dalam agroindustri makanan dan agroindustri non makanan yang didisagregasi ke beberapa jenis industri. Selain itu dengan mengkombinasikan model SNSE dengan data SUSENAS penelitian ini juga menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang dimaksud secara umum meliputi kebijakan: (1) peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer dan agroindustri, (2) peningkatan investasi agroindustri, (3) peningkatan ekspor agroindustri, (4) insentif pajak di sektor agroindustri, dan (5) redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui jalur atau arah stimulus pada sektor agroindustri ditransmisikan ke rumah tangga. Keterbatasan utama dari studi ini terutama berkaitan dengan ketersediaan data untuk pendisagregasian sektor agroindustri ke berbagai jenis industri makanan dan non makanan dan keterbatasan dalam menyususn skenario kebijakan terkait dengan keterbatasan model SNSE yang digunakan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Agroindustri Sebagai Strategi Pembangunan Pertanian Orientasi pembangunan pertanian di Indonesia dewasa ini telah mengalami pergeseran, bukan hanya pembangunan yang berorientasi pada peningkatan produksi semata, seperti yang telah dilakukan selama hampir tiga dasa warsa terakhir, namun mengarah pada pembanguan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, yaitu pembangunan yang berdasarkan pertumbuhan yang cukup tinggi, pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga landasan tersebut merupakan strategi yang dapat menjamin kontinuitas pembangunan dimasa datang. Upaya peningkatan produksi yang telah dilakukan sejak awal orde baru (19691998) memang telah berhasil meningkatkan produksi nasional. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1985. Namun keberhasilan produksi tersebut membawa konsekuensi terhadap harga produk pertanian yang terus mengalami tekanan sehingga pada akhirnya peningkatan produksi yang diperoleh tidak dapat secara efektif meningkatkan pendapatan pertanian
petani. Oleh karena itu pembangunan
harus dilaksanakan secara proporsional dan terintegrasi antara aspek
produksi/budidaya, aspek pengolahan dan pemasaran serta aspek jasa dan penunjang pertanian. Dalam hal ini pembangunan sektor industri pengolahan diarahkan untuk pengembangan agroindustri yang menunjang pengembangan komoditas pertanian sehingga mampu memenuhi standar mutu permintaan pasar dan mampu memberikan nilai tambah bagi produk pertanian. Agroindustri sebagai salah satu subsistem penting dalam agrobisnis, memiliki potensi mendorong pertumbuhan yang tinggi karena nilai tambah yang dapat mempercepat transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri. Perbedaan teknologi dan manajemen antara sektor pertanian dengan agroindustri tidak sebesar perbedaan antara
13 sektor pertanian dengan sektor industri secara umum sehingga memperkecil masalah kesenjangan teknologi. Agroindustri juga dapat digunakan sebagai sarana mengatasi kemiskinan karena memiliki spektrum kegiatan dan pasar yang sangat luas. Agroindustri juga dipandang sebagai sektor yang padat karya dan tidak banyak memerlukan modal untuk menghasilkan nilai tambah bahan mentah dan umumnya berada dekat dengan lokasi produksi bahan mentah. Dengan karakteristik tersebut pengembangan sektor agroindustri sangat sesuai bagi pengembangan industri-industri kecil di perdesaan. Menurut Saragih (1992) agroindustri diartikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait dengan kegiatan pertanian, meliputi: (1) industri pengolah hasil produksi pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir seperti industri minyak sawit, industri pengolah karet, industri pengalengan ikan, industri kayu lapis dan sebagainya, (2) industri penanganan hasil pertanian segar seperti industri pembekuan ikan, industri penanganan buah segar dan sebagainya, (3) industri pengadaan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit, dan (4) industri pengadaan alat-alat pertanian seperti industri traktor pertanian, industri mesin perontok, industri mesin pengolah minyak sawit, industri mesin pengolah karet dan sebagainya. Dilihat dari karakteristik fisik, agroindustri diartikan sebagai industri berbasis pertanian dalam arti luas, yang mencakup tanaman pangan dan hortikultura, perikanan, perkebunan dan kehutanan (Pambudy, 2005). Oleh karena itu pengembangan agroindustri akan menghasilkan: (1) bahan baku pangan (food) untuk manusia dan pakan (feed) untuk ternak dan hewan, (2) bahan baku serat (fiber), bahan untuk papan, perumahan, kertas hingga kain berikut turunnya, (3) bahan dan bahan baku energi (renewable bio energy) yang berupa biodiesel (minyak kelapa dan kelapa sawit) atau ethanol (alcohol) yang bersumber dari umbi-umbian, jagung atau tebu, dan (4) bahan baku dan bahan baku obatobatan (biofarmaka) yang bersumber dari plasma nutfah tanaman obat tropis, rempahrempah serta tanaman dan ternak asli tropika lainnya. Dengan beragamnya produk
14 agroindustri tersebut, maka akan terbuka lebar pasar produk agroindustri, bukan hanya pasar dalam negeri tetapi juga pasar luar negeri. Sedangkan Austin (1981) mengidentifikasi agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber dari tanaman atau binatang, yang meliputi proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Pengolahan dapat berupa pengolahan sederhana, namun dapat pula melalui proses yang canggih, misalnya pengolahan pemanis berfruktosa tinggi dengan menggunakan tepung jagung. Proses transformasi tersebut oleh Austin dikelompokkan menjadi empat tingkat (Tabel 2).
Semakin tinggi tingkat transformasi, menunjukkan
proses transformasi yang lebih lanjut. Paradigma baru pembangunan ekonomi menempatkan agroindustri sebagai suatu sektor yang memimpin didasarkan pada beberapa pemikiran. Pertama, agroindustri memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun hilir, yaitu keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau dengan industri lainnya. Tabel 2. Klasifikasi Proses Transformasi Produk Agroindustri
Tingkat Transformasi
Kegiatan Pengolahan
Bentuk Produk
I
pembersihan, sortir
buah segar, sayuran segar, telur
II
penggilingan, pemotongan, pencampuran, pemisahan
sereal, daging, pakan ternak, kapas, serat, kayu, karet
III
pemasakan, pengalengan, pengeringan, pembekuan, pasteurisasi, pemintalan, ekstraksi.
hasil ternak, buah dan sayur, daging, saus, tekstil dan garmen, minyak, gula, minuman
IV
proses kimia, penteksturan
makanan instan, produk sayur olahan, ban
Sumber: Austin (1981) Kedua, produk-produk agroindustri terutama agroindustri pengolahan umumnya memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang elastis jika dibandingkan
15 dengan produk pertanian dalam bentuk mentah sehingga dengan makin besarnya pendapatan masyarakat, makin terbuka pasar bagi produk-produk agroindustri. Ketiga, kegiatan agroindustri umumnya bersifat resource based industry, sehingga dengan dukungan potensi sumberdaya alam Indonesia, besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam pasar dunia dan memiliki pasar domestik yang terjamin. Keempat, kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input renewable sehingga keberlangsungan kegiatan ini dapat terjamin. Kelima, agroindustri merupakan sektor yang akan terus memberikan sumbangan yang besar bagi ekspor nonmigas. Keenam, agroindustri memiliki basis di perdesaan sehingga akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja yang berlebihan dari desa ke kota (Saragih, 1992). Agroindustri memiliki beberapa kelebihan. Pertama, meningkatkan nilai tambah karena mengolah bahan mentah domestik sehingga mendorong dan menstabilkan bahan mentah serta memberi nilai tambah ekonomi berupa upah, bunga, sewa dan keuntungan. Kedua, memperluas kesempatan kerja karena produk pertanian lokasinya tersebar maka investasi agroindustri juga tersebar sehingga memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat secara luas dan mendorong terjadinya pembangunan yang lebih tersebar secara geografis. Ketiga, lebih mudah dikembangkan karena relatif tidak tergantung kepada kegiatan industri lainnya. Dengan karakteristik tersebut pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk pengembangan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan-kegiatan dalam sistem agribisnis secara keseluruhan. Hal ini akan memberikan pengaruh besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan sebagainya. Strategi pengembangan agroindustri dengan demikian difokuskan pada kebijakan-kebijakan yang terkait dengan modernisasi kegiatan industri kecil dan menengah, menyangkut modernisasi teknologi, modernisasi sistem, organisasi
16 dan manajemen serta modernisasi dalam pola hubungan dan orientasi pasar. Selain itu kebijakan pengembangan agroindustri dilaksanakan secara terpadu dalam konteks sistem agribisnis secara keseluruhan.
2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Sektor Agroindustri. 2.2.1. Strategi Pengembangan Agroindustri S e k t o r a groindustri memiliki peranan strategis dalam struktur industri dan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peran agroindustri dalam PDB, ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Peran lainnya adalah dalam mendukung ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, mendukung pengembangan ekonomi dan pemerataan pendapatan dan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia. Sektor agroindustri telah menunjukkan perkembangan namun belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan pokok: (1) ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen, (2) keterkaitan antara sektor industri dan sektor ekonomi lainnya relatif masih lemah, (3) struktur industri hanya didominasi oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses industrinya pendek, (4) ekspor produk industri dikuasai oleh hanya beberapa cabang industri, (5) lebih dari 60% sektor industri terletak di Pulau Jawa., dan (6) masih lemahnya kemampuan kelompok industri kecil dan menengah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya pengembangan melalui berbagai kebijakan di sektor agroindustri untuk mencapai tujuan pembangunan sektor agroindustri sebagai berikut: (1) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (2) meningkatkan ekspor dan pemberdayaan pasar dalam negeri, (3) memberikan sumbangan yang berarti bagi pertumbuhan perekonomian,
(4) mendukung perkembangan sektor infrastruktur, (5)
17 meningkatkan kemampuan teknologi, (6) meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk, dan (7) meningkatkan penyebaran industri. Sasaran pembangunan dalam jangka menengah adalah: (1) industri yang mampu menciptakan lapangan kerja yang luas, (2) pasar dalam negeri yang mampu mengoptimalkan pembangunan industri komponen lokal dan industri pengolahan sumber daya alam lainnya, (3) daya saing industri berorientasi ekspor yang semakin meningkat, dan (4) Industri potensial yang menjadi penggerak pertumbuhan industri di masa depan. Dengan sasaran tersebut industri makanan, minuman dan tembakau yang menjadi core business sektor agroindustri diproyeksikan akan tumbuh sebesar 4.9 persen per tahun pada periode 2005 – 2009 dan penyerapan tenaga kerja akan tumbuh sekitar 515 ribu orang Menurut Departemen Perindustrian (2005), fokus pengembangan agroindustri dilakukan melalui beberapa strategi. Pertama, mendorong pertumbuhan Klaster Industri Prioritas, yaitu: (1) industri makanan dan minuman, (2) Industri pengolahan hasil laut, (3) industri kelapa sawit, (4) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (5) industri karet dan barang karet, dan (6) industri pulp dan kertas. Pengembangan klaster industri inti tersebut secara komprehensif dan integratif ditunjang industri terkait (related industries) dan industri pendukung (supporting industries). Penentuan industri prioritas dilakukan melalui analisis daya saing internasional serta pertimbangan besarnya potensi Indonesia yang dapat digunakan dalam rangka menumbuhkan industri secara umum. Rencana pemerintah untuk menumbuhkan klaster atau Kawasan Industri akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Industri.
Rencana pemerintah ini
dimaksudkan untuk menata industri dalam satu kawasan sehingga pola pasokan energi, penanganan limbah dan arus distribusi barang dan bahan baku akan lebih baik. Kedua, menetapkan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-derah mendekati sumber bahan baku agar efisien yang kegiatan industrinya belum banyak
18 berkembang, yaitu di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional). Ketiga, mengembangkan kemampuan inovasi khususnya di bidang Teknologi Industri dan manajemen antara lain
melalui kegiatan
enelitian dan engembangan baik di bidang teknologi proses maupun teknologi produk, serta teknologi yang terkait erat dengan kegiatan industri. Dan keempat, mengembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif.
2.2.2. Kebijakan Pemerintah di Sektor Agroindustri Strategi pengembangan sektor agroindustri diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang aktual terkait dengan pengembangan sektor
industri secara umum dan sektor agroindustri khususnya adalah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu dan Daerah Tertentu. Aturan tersebut dikeluarkan pemerintah dengan tujuan mendorong investasi pada sektor-sektor yang dapat menciptakan kesempatan kerja baru dalam jumlah besar dan katagori industri pionir. Sektor usaha yang memperoleh insentif usaha sebanyak 15 sektor.
Di sektor
agroindustri insentif usaha tersebut diberikan ke tiga sektor, yaitu: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri bubur kertas, kertas dan karton, dan (3) industri karet dan barang dari karet. Insentif Pajak Penghasilan (PPh) tersebut mulai diberlakukan 1 Januari 2007. Ada empat insentif yang diberikan. Pertama, pengurangan penghasilan neto 30 persen dari jumlah penanaman modal yang dilakukan (tax allowance). Kedua, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, menjadi maksimum 10 tahun. Ketiga, kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih 10 tahun. Keempat, pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subyek pajak luar negeri sebesar 10 persen. Selain dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, kebijakan di sektor agroindustri juga dituangkan dalam Surat Keputusan, beberapa diantaranya adalah:
19 1. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP. 103/Pf.51/2002. 2. Tata Niaga Impor Gula Kasar (Raw Sugar) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 456/MPP/KEP/ 6/ 2002. 3. Pembentukan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Tepung Terigu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 546/MPP/KEP/7/2002. 4. Perpanjangan Jangka Waktu Impor Mesin, Barang Dan Bahan Yang Mendapat Fasilitas Keputusan Menteri Keuangan No. 135/KMK.01/2002. 5. Keringanan Bea Masuk atas Impor Mesin, Barang dan Bahan Dalam Rangka Pembangunan / Pengembangan Industri Keputusan Menteri Keuangan No. 456 / KWK.04 /2002. 2.3.
Kemiskinan Rumah Tangga
2.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskian Kemiskinan rumah tangga di Indonesia merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum terselesaikan. Upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai program telah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang, akan tetapi jumlah masyarakat miskin tidak kunjung berkurang secara signifikan, bahkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan secara nyata pada saat krisis ekonomi terjadi. Berbagai program terkait dengan aspek kemiskinan telah dilakukan pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), yaitu merupakan salah satu program dengan tujuan untuk menanggulangi kemiskian sebagai dampak dari krisis. Program JPS meliputi penyediaan kebutuhan pokok (food security), perlindungan sosial (social protection), penciptaan lapangan kerja (employment creation) dan menggerakkan ekonomi rakyat (economic empowerment). Selain program JPS yang dilakukan pemerintah, berbagai program pengentasan kemiskinan juga banyak dilakukan oleh berbagai lembaga pada saat krisis ekonomi hingga sekarang. Kemiskinan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor dari dalam masyarakat sendiri (faktor-faktor internal), seperti rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang menyebabkan rendahnya tingkat upah dan gaji, kelemahan fisik dan sikap atau perilaku. Kemiskinan dapat pula merupakan akibat dari faktor-faktor dari luar masyarakat (faktor-
20 faktor eksternal), seperti buruknya prasarana dan sarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi, rendahnya aksesibilitas terhadap modal dan kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi yang terbatas, atau sistem kelembagaan yang kurang sesuai dengan kondisi masyarakat. Kedua faktor tersebut secara bersama-sama akan menyebabkan masyarakat menjadi merasa tidak berdaya. Kemiskinan dapat juga ditimbulkan oleh adanya kegagalan kelembagaan. Seringkali masalah kemiskinan bukan karena kekurangan ketersediaan bahan makanan tetapi merupakan masalah kegagalan kelembagaan, yaitu karena tidak berjalannya proses dimana seseorang menjual barang yang dapat diproduksinya untuk dapat memperoleh sejumlah barang yang diinginkan. Karena proses tersebut tidak berjalan, maka penduduk tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk dapat membeli semua kebutuhan hidup mereka. Fenomena seperti ini sering ditemukan, dimana petani tetap berada dalam kondisi kemiskinan kendati padi berlimpah di sekitar mereka pada saat panen, karena mereka tidak dapat menjual hasil panen dengan harga yang baik (karena adanya tengkulak, masalah ijon, dsb.) Kemiskinan di Indonesia secara umum dapat juga dikatakan merupakan bentuk fenomena pertanian. Hal ini disebabkan sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan dan sangat berhubungan dengan pola kepemilikan dan produktivitas lahan, struktur kesempatan kerja dan pasar tenaga kerja.
Thorbecke et al. (1993)
menyatakan terdapat korelasi antara standar hidup dengan luas dan kualitas lahan yang dimiliki serta tingkat keahlian dan pendidikan anggota rumah tangga. Oleh karena itu rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap lahan dan keahlian dan pendidikan yang terbatas, akan cenderung berada dalam kemiskinan sampai mereka memperoleh bantuan dan transfer dari pihak lain. Secara sosiologis, kemiskinan juga dapat muncul sebagai akibat proses eksploitasi terhadap penduduk miskin yang pada gilirannya menyebabkan ketergantungan dan
21 kemiskinan. Proses eksploitasi tersebut misalnya pembayaran yang tidak adil atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar menawar (Arif, 1990). Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka kesenjangan (gap) kesejahteraan antara si kaya dan si miskin akan semakin melebar. Tidak dipungkiri, proses tersebut memberikan andil bagi terciptanya keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia. Sehingga masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya merupakan fenomena kemelaratan materi, tetapi telah merupakan suatu fenomena sosio cultural yang lebih komplek. Dalam konteks pembangunan wilayah, kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya (resources endowment) di suatu wilayah, yaitu lahan yang subur, tenaga kerja yang terampil dan ketersediaan modal serta kemampuan mengelola sumberdaya tersebut. Dengan demikian perbedaan intensitas pembangunan antar wilayah akan memunculkan permasalahan kesenjangan pendapatan (income disparity) atau permasalahan kemiskinan antar wilayah. Menurut Sapuan dan Silitonga (1994), sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: (1) para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, (2) buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, (3) nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan (4) perambah hutan dan pengangguran. Sedangkan untuk daerah perkotaan yaitu: (1) buruh kecil di pabrik-pabrik, (2) pegawai negeri atau swasta golongan rendah, (3) pegawai harian lepas, (4) pembantu rumah tangga, (5) pedagang asongan, (6) pemulung, dan (7) pengangguran.
2.3.2. Kriteria Kemiskinan Rumah tangga miskin dapat dibedakan menjadi beberapa kelas. Sumodiningrat (1988) menggolongkan kemiskinan menjadi lima kelas, yaitu kemiskinan absolut,
22 kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Seseorang disebut miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau pendapatannya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic need) seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang memiliki penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap atau perilaku seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, yaitu tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha pihak luar untuk membantunya. Kemiskian kronis adalah kemiskinan yang disebabkan secara simultan oleh berbagai faktor, baik faktor-faktor internal maupun eksternal, yaitu diantaranya: (1) kondisi sosial dan budaya yang mendorong kebiasaan masyarakat tidak produktif, (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, (3) rendahnya tingkat pendidikan, dan (4) terbatasnya lapangan pekerjaan dan ketidakmampuan masyarakat mengikuti ekonomi pasar. Sedangkan kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman seperti contohnya kemiskinan para nelayan dan petani tanaman pangan pada musim paceklik, karena bencana alam atau dampak suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Deklarasi Milenium pada tahun 2000 yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia memunculkan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goal/MDG) yang salah satunya adalah menurunkan angka kemiskinan. Dalam hal ini Indonesia telah ikut menyepakati MDG dengan adanya komitmen menurunkan jumlah penduduk miskin dunia yang jumlahnya mencapai 1.3 milliar dapat dikurangi menjadi setengahnya pada tahun 2015. Definisi kemiskinan yang disepakati dunia melalui MDG
23 adalah yang tidak memenuhi 10 hak dasar, antara lain pangan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan perumahan, disamping standar pendapatan sebesar US$ 1 per hari.1 Sedangkan BPS (1992) menggunakan ukuran konsumsi energi minimum sebanyak 2100 kilo kalori per kapita per hari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sebagai batas miskin. Besaran tersebut disesuaikan setiap tahun menurut perubahan harga-harga barang atau tingkat inflasi. Seseorang yang memiliki pengeluaran berada di bawah garis kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai penduduk atau rumah tangga miskin. Untuk tahun 2003, BPS menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 143 455 per orang untuk rumah tangga di kota dan Rp. 108 725 per orang untuk rumah tangga di desa. Sayogyo menggunakan ukuran ekivalen beras 240 kilogram dan 360 kilogram per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan untuk masing-masing daerah perdesaan dan daerah kota (Arief, 1990). Standar ukuran kemiskinan seperti disebutkan diatas terkait pengukuran kemiskinan dalam pengertian absolut.
2.4. Keterkaitan Antara Pembangunan Pertanian dan Kemiskinan Peran sektor pertanian dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan pertanian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan produktivitas faktor total. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan. Sedangkan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor non pertanian. Pembangunan sektor pertanian pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mengurangi kemiskinan. Komponen yang mempengaruhi produktivitas faktor adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, R & D, kepadatan populasi perdesaan serta perubahan teknologi (Binswanger et al., 1987; Mundlak et al., 1997). 1
http: // unstats.un.org/unsd/mi/MDG%20Book.pdf
24 Tetapi apakah penambahan pendapatan yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas pertanian tersebut akan mampu mengurangi kemiskinan, tergantung dari pola konsumsi dan investasi masyarakat. Jika penambahan pendapatan terjadi pada masyarakat golongan miskin dan dibelanjakan untuk barang-barang domestik, pertumbuhan sektor pertanian akan menjadikan sektor non pertanian di perdesaan tumbuh. Melalui pengganda tenaga kerja hal ini akan berdampak pada pengurangan kemiskinan. Namun apabila hasil pembangunan pertanian tersebut menghasilkan peningkatan pendapatan bagi masyarakat golongan kaya, faktor penting yang akan mempengaruhi kemiskinan adalah pola pembelanjaan dari penambahan pendapatan tersebut. Jika berupa investasi domestik yang padat tenaga kerja, maka pertumbuhan akan terjadi dan masyarakat miskin akan memperoleh manfaat dari lapangan kerja yang diciptakan. Tetapi jika dibelanjakan untuk barang-barang impor atau diinvestasikan ke luar negeri, maka stimulus terhadap pertumbuhan akan kecil dan tidak akan berdampak positip terhadap pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu pola distribusi peningkatan pendapatan stimulus awal merupakan faktor penting bagi pertumbuhan selanjutnya dan pengurangan kemiskinan. Kontribusi pembangunan sektor pertanian terhadap pengurangan kemiskinan tergantung dari arah distribusi pendapatan masyarakat, apakah manfaat pembangunan lebih banyak mengarah ke masyarakat golongan kaya, atau sebaliknya ke masyarakat golongan miskin. Selain itu juga tergantung dari distribusi alokasi peningkatan pendapatan. Pembangunan pertanian akan memiliki kontribusi baik bagi pertumbuhan maupun bagi pengurangan kemiskinan, jika buah dari stimulus produktivitas awal dibelanjakan lagi melalui investasi dan konsumsi domestik pada produk-produk yang bersifat padat tenaga kerja dan rendah ketergantungannya pada impor. Selain kedua faktor tersebut, kontribusi pertumbuhan sektor pertanian juga sangat dipengaruhi oleh ketidakmerataan penguasaan lahan (Adam dan He, 1995). Jika distribusi lahan pertanian sangat condong dan pertumbuhan produktivitas pertanian lebih banyak dihasilkan oleh petani luas, maka pertumbuhan sektor pertanian tersebut tidak banyak berarti bagi pengurangan kemiskinan.
25 Beberapa kajian mendukung keterkaitan antara peningkatan produktivitas pertanian dengan pengurangan kemiskinan, dimana peningkatan produktivitas sektor pertanian tradisional merupakan cara yang paling efektif menurunkan kemiskinan (Ravallion dan Datt, 1996; Bourguignon dan Morrison, 1998). Kajian yang dilakukan oleh O’Ryan dan Sebastian (2003) menyajikan bukti keterkaitan antara peningkatan produktivitas faktor di sektor pertanian, agroindustri dan sektor industri dengan penurunan kemiskinan dan distribusi pendapatan. Dilihat dari perspektif makroekonomi, peningkatan produktivitas kapital dan tenaga kerja di sektor industri memberikan dampak positif secara keseluruhan yang lebih besar dibandingkan dengan dampak yang berasal dari peningkatan produktivitas faktor di sektor pertanian dan agroindustri. Secara umum dampak peningkatan produktivitas tenaga kerja lebih rendah dibanding produktivitas kapital. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa tenaga kerja diasumsikan lebih bersifat mobil antarsektor dibandingkan dengan kapital. Selain itu suplai tenaga kerja secara umum mengalami peningkatan sedangkan suplai kapital relatif tetap. Namun dampak terhadap distribusi pendapatan sangat berlawanan dengan hasil di atas. Peningkatan produktivitas kapital di sektor industri memberikan dampak ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan sektor agroindustri dan sektor pertanian, namun akan meningkatkan ketimpangan karena peningkatan pendapatan golongan kaya jauh lebih besar dari peningkatan pendapatan yang diperoleh golongan miskin. Sebaliknya peningkatan produktivitas kapital di sektor pertanian dan agroindustri akan memperbaiki distribusi pendapatan. Pendapatan dari kelompok yang paling miskin memperoleh peningkatan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kelompok yang lebih kaya. Peningkatan produktivitas kapital di sektor agroindustri memberikan peningkatan pendapatan bagi golongan dua kelompok di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan peningkatan produktivitas di sektor industri. Fenomena yang sama untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja, namun peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor
26 pertanian memiliki dampak terhadap peningkatan pendapatan yang lebih besar untuk dua kelompok pendapatan termiskin dibandingkan dengan sektor industri. Hasil kajian Ravallion dan Datt (1996) menunjukkan pertumbuhan pendapatan wilayah perkotaan berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di kota, tetapi tidak berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di desa maupun kemiskinan secara agregat. Sedangkan pertumbuhan pendapatan di wilayah perdesaan berkontribusi baik terhadap pengurangan kemiskinan di perdesaan, perkotaan maupun kemiskinan secara agregat Hasil kajian tersebut menguatkan bukti bahwa pengembangan sektor pertanian lebih berpihak kepada kemiskinan dibandingkan dengan pengembangan sektor non pertanian di perkotaan. Secara ringkas keterkaitan antara pembangunan pertanian dan pembangunan agroindustri dengan kemiskinan ditampilkan pada Gambar 1. Pembangunan sektor pertanian dan industri pertanian melalui strategi ADLI akan meningkatkan pertumbuhan pertanian. Peningkatan pertumbuhan pertanian tersebut diperoleh melalui peningkatan produktivitas total faktor baik produktivitas tenaga kerja maupun kapital. Peningkatan pertumbuhan pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan hal ini secara langsung akan mengurangi kemiskinan. Dampak pembangunan pertanian terhadap pengurangan kemiskinan juga dapat terjadi secara tidak langsung. Pembangunan pertanian akan meningkatkan pertumbuhan pertanian. Melalui efek keterkaitan, pertumbuhan pertanian akan menstimulir pertumbuhan sektor non pertanian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara agregat yang selanjutnya akan mengurangi kemiskinan. Untuk menjadikan sektor pertanian tumbuh sekaligus mengurangi kemiskinan, harus dipenuhi beberapa kondisi (Sarris, 2001), yaitu: (1) sektor pertanian harus memiliki pangsa tenaga kerja yang tinggi, (2) distribusi harus merata dan hak kepemilikan lahan harus jelas, (3) perbaikan teknologi tidak menyebabkan peningkatan risiko dan dalam
27 penerapannya tidak memerlukan kapital besar, (4) pangsa pengeluaran marginal yang berasal dari manfaat pertumbuhan sektor pertanian secara langsung harus sebagian besar dimanfaatkan untuk produk lokal yang padat tenaga kerja, (5) ketersediaan tenaga kerja dalam kondisi berlebih, (6) ada perbaikan
sumberdaya tenaga kerja (pendidikan dan
kesehatan) dan perbaikan infrastruktur, dan (7) elastisitas harga maupun pendapatan terhadap peningkatan permintaan produk lokal maupun produk ekspor harus bersifat elastis. Pembangunan Pertanian Strategi ADLI Pembangunan Agroindustri
Pertumbuhan Agregat
Produktivitas Faktor
Keterkaitan ke depan, ke belakang
Pertumbuhan sektor pertanian
Pertumbuhan sektor non pertanian
Pendapatan
Distribusi pendapatan
Kemiskinan
Gambar 1. Keterkaitan Pembangunan Pertanian dan Agroindustri dengan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
Jika sektor pertanian tidak memiliki pangsa tenaga kerja yang besar, maka tidak mudah menjadi sektor andalan bagi pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, karena mengacu pada teori Lewis (1954), pertumbuhan produktivitas total faktor
pertanian
sebagai mesin pertumbuhan merupakan fungsi dari kepadatan populasi di perdesaan. Jika
28 populasi di perdesaan rendah, biaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian akan lebih besar dibanding manfaatnya bagi rumah tangga. 2.5. Studi Terdahulu Tentang Pembangunan Ekonomi Sektoral Bautista (2001) menggunakan analisis multiplier SAM untuk mengkaji pengaruh pertumbuhan produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan dampaknya terhadap pemerataan pendapatan rumah tangga di Vietnam Tengah. Penggunaan analisis multiplier SAM dilatarbelakangi oleh fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Vietnam mengalami penurunan sehingga pertumbuhan GDP menurun, indeks kualitas hidup menurun yang dibarengi dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan penduduk perdesaan dan perkotaan. Melalui strategi pembangunan Agriculture-Based Development (ABD), pertumbuhan ekonomi akan dapat ditingkatkan dan sekaligus mengurangi perbedaan pendapatan antar populasi. Dalam kajian tersebut Bautista mengelompokkan unsur perekonomian ke dalam 25 aktivitas atau sektor produksi, 5 kelompok faktor produksi tenaga kerja serta mengelompokkan institusi ke dalam 4 golongan rumah tangga desa-kota berdasarkan kelompok pendapatan, 2 kelompok perusahaan (BUMN dan non BUMN), pemerintah dan neraca kapital serta Rest of the World (ROW). Klasifikasi aktivitas produksi tersebut akan menunjukkan bagaimana keterkaitan antar sektor sedangkan aspek pemerataan pendapatan akan dicerminkan melalui penggolongan rumah tangga berdasarkan perbedaan pendapatan dan wilayah desa-kota. Data yang dianalisis adalah data SAM regional Vietnam Tengah yang dibangun berdasarkan data SAM Vietnam dan data-data dari sumber lain.
Dari hasil analisis
multiplier tersebut menunjukkan bahwa multiplier GDP sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor pertambangan dan industri serta jasa. Komoditas ubikayu, ubi jalar dan ternak, yang sebagian besar ditujukan untuk pasar lokal justru memiliki multiplier terbesar, sebaliknya beras dan komoditas lain yang berorientasi ekspor memiliki multiplier
29 terkecil. Sektor industri, khususnya industri-industri skala besar yang padat modal dan kandungan impor tinggi memiliki multiplier yang relatif kecil dan sebaliknya untuk sektor industri pengolahan hasil pertanian. Aspek pemerataan dihitung dengan melakukan standarisasi multiplier, yaitu dengan membagi multiplier pendapatan masing-masing golongan rumah tangga dengan share pendapatan masing-masing golongan terhadap total pendapatan rumah tangga. Standarisasi ini dilakukan karena terdapat perbedaan pendapatan yang sangat nyata antar golongan rumah tangga. Hasil multiplier menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sektor industri pengolahan hasil pertanian menghasilkan multiplier yang lebih tinggi bagi golongan rumah tangga berpendapatan rendah di perkotaan maupun perdesaan dibandingkan dengan dua golongan rumah tangga lainnya. Sebaliknya sektor pertambangan dan sektor-sektor industri lain menghasilkan multiplier pendapatan yang relatif lebih besar bagi golongan rumah tangga di perkotaan. Dengan demikian meningkatnya pendapatan di sektor pertambangan akan menimbulkan kesenjangan pendapatan yang semakin besar antar golongan rumah tangga perkotaan dan perdesaan. Dalam kerangka SAM tersebut Bautista menggunakan faktor eksogen berupa injeksi pendapatan terhadap masing-masing golongan rumah tangga yang selanjutnya dilihat dampaknya secara langsung maupun tidak langsung terhadap output dan GDP agregat maupun sektoral. Dari analisis tersebut diperoleh hasil bahwa dengan memberikan injeksi pendapatan terhadap keempat golongan rumah tangga tersebut maka kedua golongan rumah tangga perdesaan memberikan multiplier output maupun GDP yang lebih besar dibanding injeksi pendapatan yang diberikan kepada golongan rumah tangga perkotaan. Wagner (1996) menggunakan kerangka SAM untuk menganalisis peran ekonomi pariwisata terhadap perekonomian di Area de Protecao Ambiental (APA) de Guaraquecaba, Brazil. Sektor industri pariwisata bagi Wagner menarik untuk dikaji karena
30 di wilayah tersebut sektor industri pariwisata memiliki pertumbuhan yang tercepat dibanding sektor lain. Secara lebih rinci tujuan penelitian adalah mengkaji dampak industri pariwisata terhadap produksi, kompensasi terhadap tenaga kerja (upah), nilai tambah dan distribusi pendapatan. Dalam kajian tersebut Wagner mengelompokkan unsur-unsur ekonomi ke dalam empat neraca yaitu neraca aktivitas, faktor produksi primer, institusi dan impor/ekspor. Neraca aktivitas terdiri dari delapan sub neraca, yaitu: (1) usahatani primer di perdesaan, (2) pengusaha di desa, (3) usaha bangunan, (4) usaha pabrik (manufacturing), (5) perdagangan, (6) jasa, (7) transportasi, dan (8) perusahaan pemerintah. Usahatani primer dan pengusahaan di desa adalah proses produksi yang terkait dengan usaha pertanian, perikanan, kehutanan dan peternakan. Subneraca usahatani primer di perdesaan mewakili semua aktivitas ekonomi informal yang berbasis pertanian, sedangkan aktivitas ekonomi pertanian yang bersifat formal dicakup dalam subneraca pengusahaan di desa, baik yang bersifat usaha keluarga maupun perusahaan secara umum. Neraca permintaan akhir adalah belanja barang dan jasa oleh institusi, dimana neraca institusi dikelompokkan menjadi : (1) rumah tangga, (2) investor, (3) perusahaan, dan (4) pemerintah. Institusi rumah tangga dirinci berdasarkan tingkat pendapatan, yaitu; (1) subsisten, (2) pendapatan rendah, (3) pendapatan sedang, dan (4) pendapatan tinggi.
Sedangkan pemerintah
dibedakan atas: (1) municipal, (2) state, dan (3) federal. Data yang digunakan adalah data SAM periode tahun 1989 sampai tahun 1994. Efek pengganda dianalisis baik untuk pengganda langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini pengganda output dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) pengganda output tipe I yaitu gabungan antara pengganda langsung dan tidak langsung, dan (2) pengganda output type II yaitu pengganda output yang khusus disebabkan oleh konsumsi atau belanja rumah tangga yang berasal dari pendapatan upah atau gaji. Wagner juga melakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui subneraca mana yang memiliki efek terbesar terhadap pengganda output apabila terjadi peningkatan pada masing-masing subneraca sebesar 10
31 persen. Hasil kajian menunjukkan bahwa aktivitas usahatani primer di perdesaan memiliki pengganda output type I terbesar dan terbesar kedua untuk pengganda output type II. Oleh karena itu apabila dapat ditumbuhkan keterkaitan antara aktivitas tersebut dengan aktivitas lainnya, maka perubahan struktural tersebut akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi yang berasal dari ekonomi pariwisata, misalnya melalui penjualan sayuran, buah-buahan dan souvenir untuk turis atau melalui jasa restauran dan sebagainya. Salem (2005) menggunakan kerangka SAM untuk mengkaji karakteristik makroekonomi di Tunisia, yang dinamakan sebagai SAMmac. Data dasar yang digunakan adalah data SAM Tunisia tahun 1996. Dalam analisisnya Salem mengelompokkan SAMmac Tunisia tersebut ke dalam sembilan neraca, yaitu neraca aktivitas, produksi, dua neraca faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan kapital, empat neraca institusi (rumah tangga, perusahaan, negara dan Rest of the World (ROW) dan satu neraca tabunganinvestasi (saving-investment). Mengingat data yang ingin dianalisis adalah data periode 1996-2000, sementara data dasar
I-O yang
tersedia adalah data tahun 1996, maka
digunakan tambahan data dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber tersebut akan menyebabkan ketidaksamaan (inequality) penjumlahan antara lajur baris dan lajur kolom pada kerangka data SAM. Untuk itu Salem melakukan pendekatan Cross-Entropy untuk mengatasi masalah inequality tersebut. Heriawan (2004) mengkaji pentingnya sektor pariwisata terhadap perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan model I-O dan SAM, Heriawan memfokuskan nilai transaksi ekonomi pariwisata dalam Nesparnas (Neraca Satelit Pariwisata Nasional) sebagai variabel eksogen dalam mengukur peran dan dampaknya pada perekonomian, yang meliputi pengeluaran belanja wisman, pengeluaran belanja wisnus, pengeluaran belanja wisnas, investasi, pengeluaran pemerintah untuk promosi pariwisata dan pengeluaran dunia usaha untuk promosi pariwisata. Melalui matriks pengganda I-O dapat diketahui dampak permintaan akhir tersebut terhadap ekonomi sektoral dan makroekonomi Indonesia.
32 Dampak terhadap ekonomi sektoral meliputi produksi barang dan jasa, PDB, kesempatan kerja, upah dan gaji serta pajak tidak langsung, sedangkan dampak terhadap makroekonomi Indonesia dilihat dari output nasional, PDB nasional, jumlah tenaga kerja nasional, total upah nasional dan total pajak nasional. Selanjutnya melalui matriks pengganda pendapatan, dapat diketahui pula dampaknya terhadap distribusi pendapatan menurut faktor produksi, distribusi kesejahteraan menurut institusi serta distribusi pendapatan menurut desa-kota. Dalam hal ini Heriawan mengklasifikasikan institusi menjadi tiga golongan, yaitu pemerintah, rumah tangga dan perusahaan, sedangkan faktor produksi dikelompokkan menjadi buruh pertanian dan pemilik tanah/modal. Beberapa skenario kebijakan dilakukan untuk mengetahui dampaknya terhadap pengembangan sektor pariwisata, yaitu: (1) peningkatan anggaran sektor pariwisata dalam APBN dan APBD, (2) peningkatan investasi swasta, (3) perluasan pasar pariwisata, (4) regulasi bidang visa, (5) penghapusan biaya viskal ke ASEAN, dan (6) penataan kelembagaan dan peraturan. Dari hasil analisis diketahui bahwa sektor pariwisata potensial dalam menciptakan PDB dan lapangan kerja tetapi kurang mampu dalam membuat distribusi yang lebih baik. Dari skenario kebijakan menunjukkan, kebijakan penataan kelembagaan dan peraturan secara nyata mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi pariwisata dan penciptaan lapangan kerja. Dasril (1993) menganalisis pertumbuhan dan perubahan struktur produksi sektor pertanian dalam industrialisasi di Indonesia dengan menggunakan model I-O. Selain melakukan estimasi koefisien I-O tahun 1990 dengan menggunakan metode RAS, kajian ini juga menggunakan metoda dekomposisi pengganda untuk mengukur kontribusi sumbersumber pertumbuhan yang terdiri dari permintaan dalam negeri, perkembangan ekspor, substitusi impor dan perubahan teknologi. Permintaan dalam negeri dirinci menjadi konsumsi swasta, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap dan perubahan stok. Dasril membagi periode industrialisasi di Indonesia menjadi empat, yaitu periode 19711975, 1975-1980, 1980-1985 dan 1985-1990. Periode 1971-1985 dianggap merupakan periode substitusi impor sedangkan periode 1985-1990 adalah periode orientasi ekspor.
33 Selain itu juga dikaji keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lainnya, yang meliputi keterkaitan output, nilai tambah dan tenaga kerja, baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang. Daryanto dan Morison (1992) menggunakan analisis I-O untuk menganalisis sifat dan tingkat perubahan struktural dan keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektorsektor lain dalam perekonomian Indonesia selama periode tahun 1971 hingga tahun 1985. Analisis keterkaitan antar sektor menggunakan konsep pengganda dan kriteria ganda Rasmussen. Hasil analisis menyimpulkan bahwa sektor pertanian memiliki keterkaitan output yang relatif lemah dengan sektor-sektor lainnya selama periode studi. Hal ini didasarkan pada angka pengganda output dan kriteria ganda Rasmussen yang relatif rendah. Namun jika ditinjau dari sisi pendapatan dan tenaga kerja sektor pertanian memiliki keterkaitan kuat dengan sektor-sektor lain. Syafaat (2000) menggunakan pendekatan I-O untuk mengevaluasi strategi pembangunan ekonomi dengan pendekatan analisis imbas investasi untuk membandingkan kemampuan sektor pertanian dan agroindustri dengan sektor industri yang berorientasi ekspor dalam mengatasi permasalahan ekonomi nasional. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa sektor pertanian dan agroindustri memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan sektor industri. Hal ini didasarkan pada kemampuannya menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja lebih besar, mampu mengurangi kesenjangan nilai tambah dan produktivitas antara sektor pertanian dan non pertanian dan mampu menciptakan surplus perdagangan. Sitanggang (2002) meneliti peran sektor agroindustri terhadap perekonomian di Sumatera Utara dengan menggunakan model I-O. Dilihat dari indikator keterkaiatn antar sektor, sektor yang memiliki keterkaitan paling tinggi adalah penggilingan beras dan bijibijian dan tepung. Sektor tersebut juga memilki koefisien penyebaran dan nilai pengganda terhadap pendapatan yang paling tinggi.
34 Seperti halnya Sitanggang, Hartadi (1999) menggunakan model I-O untuk meneliti peran sektor agroindustri terhadap perekonomian di Jawa Timur. Hasil analisis menunjukkan, sektor yang layak dikembangkan adalah industri pengolahan dan pengawetan daging, susu, sayur-sayuran dan buah-buahan, industri minyak dan lemak, industri penggilingan padi-padian, industri tepung segala jenis, industri makanan dari tepung, industri gula, industri makanan lainnya dan industri tembakau.
2.6. Studi Terdahulu Tentang Pembangunan Sektoral dengan Landasan Strategi ADLI Vogel (1990) mengkaji keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain di berbagai negara berdasarkan macam perekonomian. Negara dikelompokkan
ke dalam delapan
golongan berdasarkan tingkat pendapatan Analisis menggunakan kerangka SAM dari 27 negara. Sektor produksi dikelompokkan ke dalam sektor pertanian dan non pertanian. Institusi rumah tangga dikelompokkan ke dalam rumah tangga pertanian dan non pertanian. Negara dikelompokkan ke dalam negara berpendapatan rendah, menengah, tinggi, negara Industri Baru (NICs), negara berkembang berpendapatan rendah dan negara berkembang berpendapatan tinggi. Hasil analisis menunjukkan untuk negara berkembang berpendapatan rendah dan menengah dengan tingkat populasi tinggi, keterkaitan ke belakang sektor pertanian akan meningkatkan permintaan konsumsi rumah tangga pedesaan dan hal ini menunjukkan keterkaitan keseimbangan umum (produksi dan konsumsi) yang mencirikan strategi ADLI.
Hal ini berimplikasi bahwa strategi ADLI merupakan strategi
pembangunan yang sesuai bagi negara sedang berkembang berpendapatan rendah dan menengah. Jensen dan Tarp (2004) mengggunakan model CGE untuk mengkaji strategi pembangunan yang sesuai di negara Mozambique. Strategi yang diperbandingkan adalah strategi ADLI, Strategi Pertanian dan strategi ekspor komoditas primer (export-led). Hasil
35 analisis menunjukkan bahwa strategi ADLI lebih dominan dibanding dua strategi lainnya dalam meningkatkan permintaan domestik. Dari sisi distribusi pendapatan rumah tangga, hasil analisis simulasi kebijakan menunjukkan bahwa strategi ADLI berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga pertanian di desa yang merupakan sebagian besar populasi negara tersebut dan memperbaiki distribusi pendapatan.
Sedangkan rumah tangga
pertanian di kota memperoleh manfaat terkecil. Namun dengan meningkatkan produktivitas agroindustri yang dikombinasikan dengan peningkatan sistem pemasaran berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga pertanian di kota. Dengan menginduk pada strategi ADLI, Bautista (2001) menggunakan kerangka SAM untuk mengkaji strategi Agriculture-Based Development (ABD) di Vietnam Tengah. Sebagian
besar populasi sektor pertanian di pedesaan adalah rumah tangga miskin.
Bautista mengkaji efek dari stimulus ekonomi di sektor pertanian terhadap peningkatan pertumbuhan dan pemerataan. Rumah tangga dikelompokkan ke dalam empat golongan rumah tangga yaitu : (1) rumah tangga berpendapatan rendah di desa, (2) rumah tangga berpendapatan tinggi di desa, (3) rumah tangga berpendapatan rendah di kota, dan (4) rumah tangga berpendapatan tinggi di desa. Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan nilai multiplier pendapatan rumah tangga di sektor pertanian dan sektor pengolahan pertanian (agroindustri), rumah tangga berpendapatan rendah baik di desa maupun di kota memperoleh pendapatan lebih besar dibandingkan dua kelompok rumah tangga lainnya. Hal ini berimplikasi bahwa
strategi Agricultural-Based Development sangat sesuai
diterapkan di Vietnam Tengah dalam rangka mengurangi kesenjangan dan kemiskinan di perdesaan. Bautista et al. (1999) menggunakan kerangka SAM dan CGE untuk menganalisis alternatif jalur pembangunan industri (Industrial Developmen Paths) di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa strategi ADLI di Indonesia (dalam konteks pengembangan sektor pertanian primer) berhasil meningkatkan pendapatan nasional lebih tinggi
36 dibandingkan dengan dua strategi lainnya, yaitu strategi pengembangan industri ringan dan industri pengolahan. Namun dalam menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian, strategi ADLI menghasilkan pendapatan yang paling rendah bagi rumah tangga pertanian dua strategi lainnya.
Sedangkan pengembangan industri ringan bukan hanya
menghasilkan peningkatan GDP yang paling rendah namun juga menghasikan pengaruh terhadap distribusi pendapatan yang paling kecil. Adelman dan Vogel (1990) menggunakan kerangka SAM di 6 negara Sub-Sahara Africa (Bostwana, Cameroon, Cote d’Ivore, Kenya, Lesotho dan Swaziland). Negaranegara tersebut dikelompokkan ke dalam negara sedang berkembang berpendapatan rendah dan berpendapatan menengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi permintaan, strategi ADLI akan mendorong industrialisasi dan pertumbuhan pendapatan. Namun dari sisi suplai, peningkatan permintaan lebih banyak dipenuhi dari impor. Oleh karena itu untuk negara-negara Sub-Sahara Africa strategi ADLI harus didampingi dengan upaya substitusi impor barang-barang pengolahan industri. Kesuksesan strategi ADLI di negara-negara tersebut memerlukan bantuan teknis dari luar. Konsep awal strategi ADLI pada dasarnya lebih sesuai ditujukan untuk negara-negara yang telah melewati masa semi industrialisasi daripada negara-negara yang baru memulai proses industrialisasi. Adelman et al. (1989) menganalisis beberapa negara yang dikelompokkan ke dalam negara miskin di Afrika dan Asia, negara berpendapatan menengah dan negara-negara yang telah berkembang. Dengan menggunakan model CGE, kesimpulan dari berbagai simulasi kebijakan yang dilakukan menunjukkan bahwa secara umum strategi ADLI sangat cocok diterapkan di seluruh negara berkembang. Strategi ADLI sangat menguntungkan bagi negara NICs bukan hanya dari sisi produksi domestik, permintaan dan domestik term of trade, namun juga meningkatkan harga relatif ekspor manufaktur. Bagi negara-negara yang kurang berkembang (LDCs), kebijakan term of trade akan menghasilkan manfaat
37 bagi produsen di perdesaan dan perkotaan sehingga menghasilkan pemerataan yang lebih baik. Daryanto (1999) melakukan review dari berbagai studi untuk mengkaji relevansi strategi ADLI dalam mengatasi krisis ekonomi di Indonesia dan menyimpulkan strategi ADLI dpat digunakan sebagai mesin penggerak untuk mengatasi krisis ekonomi.
2.7. Studi Terdahulu Tentang Distribusi Pendapatan Akita et al. (1999) menganalisis ditribusi pendapatan rumah tangga di Indonesia menggunakan metoda Analisis Dekomposisi Theil dan Indeks Gini. Data yang digunakan adalah data SUSENAS tahun 1987, 1990 dan tahun 1993. Berdasarkan indeks Theil, kesenjangan penduduk di kota lebih besar daripada penduduk desa. Selama tiga titik waktu tersebut kesenjangan pendapatan penduduk kota cenderung meningkat sebaliknya untuk penduduk desa indeks distribusi cenderung menurun meskipun untuk tahun 1990 ke tahun 1993 terjadi peningkatan. Sedangkan distribusi pendapatan populasi rumah tangga secara agregat mengalami peningkatan dalam tiga titik waktu tersebut yang diukur melalui indeks Theil T-Total sebesar 0.241 tahun 1987 menjadi 0.257 tahun 1993. Artinya selama enam tahun, indeks kemiskinan meningkat sebesar 0.16. Dengan melakukan dekomposisi indeks Theil-T Total ke dalam indeks Theil-T within dan Theil-T between kelompok diperoleh bahwa kesenjangan pendapatan yang terjadi antar rumah tangga desa dan kota lebih banyak disokong oleh kesenjangan yang terjadi dalam kelompok yaitu sekitar 75 persen untuk tahun 1993. Sedangkan kesenjangan antar kelompok hanya menyumbang sekitar 25 persen dari kesenjangan total yang terjadi. Akita juga melakukan analisis distribusi pendapatan antar provinsi, dimana kesenjangan pendapatan rumah tangga antar provinsi lebih besar dibandingkan kesenjangan pendapatan rumah tangga desa dan kota. Akita juga membandingkan indeks distribusi Theil dengan indeks Gini, dimana dengan menggunakan indeks Gini distribusi
38 pendapatan rumah tangga perkotaan sebesar 0.373 yang tergolong ke dalam katagori tidak merata dan perdesaan sebesar 0.304 yang tergolong ke dalam distribusi yang merata. Etharina (2005) juga menggunakan indeks Theil untuk menganalisis distribusi pendapatan rumah tangga antar provinsi yang dikelompokkan ke dalam pendapatan dengan migas dan tanpa migas dengan menggunakan data nilai tambah PDB nasional per provinsi selama tahun 1983 ke tahun 2001. Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi PDB tanpa migas lebih merata dibandingkan distribusi PDB dengan migas. Selama kurun waktu tersebut perkembangan distribusi
sangat fluktuatif.
Dengan melakukan dekomposisi
indeks Theil ke dalam distribusi dalam kelompok dan antar kelompok kesenjangan pendapatan PDB Jawa dan Luar Jawa lebih banyak disumbang oleh kesenjangan dalam kelompok, sedangkan kesenjangan antar kelompok hanya menyumbang sekitar 0.18 dari kesenjangan yang terjadi dengan besaran indeks tahun 2001 sebesar 0.00014. Dilihat perkembangan selama 10 tahun terakhir, indeks kesenjangan total cenderung menurun tatapi kesenjangan antar
kelompok dan kesenjangan dalam kelompok Jawa cenderung
meningkat sedangkan kesenjangan dalam kelompok luar Jawa cenderung menurun. Artinya penurunan kesenjangan total untuk penduduk Jawa dan luar Jawa lebih disebabkab oleh penurunan kesenjangan PDB dalam kelompok luar Jawa. Hafizrianda (2006) menggunakan indeks Theil untuk mengkaji
dampak
peningkatan investasi daerah sebesar satu milyar ke masing-masing sektor ekonomi secara terpisah terhadap distribusi pendapatan rumah tangga menggunakan data SNSE Papua tahun 2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa dampak peningkatan investasi tersebut berhasil menurunkan kesenjangan pendapatan, meskipun dampaknya sangat kecil. Decaluwe et al. (1998) melakukan kajian dampak goncangan perdagangan dan tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan rumah tangga di negara-negara berkembang.
Analisis distribusi pendapatan menggunakan analisis parametrik Beta
distribution function.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan meningkatkan harga
39 komoditas ekspor akan menurunkan pendapatan rumah tangga dan menurunkan garis kemiskinan serta berdampak terhadap distribusi pendapatan yang lebih merata. Cogneau dan Robilliard (2000) menggunakan kerangka CGE untuk mengkaji pertumbuhan, distribusi pendapatan dan kemiskinan di Madagaskar. Model dalam kajian ini lebih difokuskan pada pasar tenaga kerja dan alokasi tenaga kerja rumah tangga selain memodelkan perilaku konsumsi. Analisis menggunakan data survey sebanyak 45 ribu rumah tangga. Kerangka Social Accounting Matrix diadopsi ke dalam model CGE untuk pengelompokan rumah tangga. Hasil analisis selanjutnya digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan menggunakan indek Theil dan analisis kemiskinan menggunakan indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Dalam menetapkan garis kemiskinan digunakan batasan yang sama dengan Indonesia oleh BPS, yaitu batasan kecukupan pangan sebesar 2100 kkalori/ kapita/ bulan dan kebutuhan minimum untuk pakaian dan perumahan. Hasil analisis menunjukkan kebijakan menetapkan upah
secara formal dan
meningkatkan deviden akan menurunkan indeks Theil between namun indeks Theil within cenderung meningkat. Artinya tidak ada kesamaan arah dampak skenario tersebut terhadap distribusi antar kelompok dan dalam kelompok.
Kebijakan tersebut juga secara total
menurunkan indeks Theil Total. Sedangkan kebijakan meningkatkan upah formal dan deviden 10% akan berdampak meningkatkan indeks kesenjangan tetapi dapat menurunkan indeks kemiskinan. Dengan skenario ini perubahan indeks Theil antar dan dalam kelompok menunjukkan arah yang sama. Savard (2003) menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan dengan menggunakan kerangka analisis CGE. Analisis Distribusi menggunakan analisis indeks Gini sedangkan untuk mengukur kemiskinan menggunakan indeks FGT. Dalam kerangka CGE tersebut poverty line sebagai variabel eksogen sehingga tidak ada keterkaitan antara
40 harga barang-barang makanan terhadap poverty line.
Penelitian Savard menggunakan
jumlah rumah tangga sebanyak 39 510 rumah tangga. Savard membandingkan dua model untuk menghitung dampak simulasi kebijakan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Model pertama adalah mengendogenkan fungsi konsumsi dan menggunakan sistem permintaan yang sama dalam model rumah tangga, disebut sebagai Representative Agent CGE (RA-CGE). Model kedua melakukan perubahan pada sistem pengeluaran dimana fungsi pengeluaran yang diturunkan dari fungsi utilitas Cob Douglass diganti dengan Non Lineaar Expenditure System disebut Topdown/Bottom-up (TO-BU CGE). Hasil analisis menunjukkan bahwa model pertama menghasilkan penurunan indeks Gini sebesar 0.11 sedangkan model kedua cenderung meningkatkan indeks Gini sebesar 0.042. Cockburn (2001) menggunakan kerangka CGE Micro Simulation Model yang diterapkan di Nepal untuk mengetahui dampak kebijakan fiskal dan liberalisasi perdagangan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Analisis distribusi pendapatan menggunakan indeks Atkinson dan indeks Gini sedangkan analisis kemiskinan menggunakan indeks FGT. Data yang digunakan adalah data Survey Standard Hidup Nepal (Nepalese Living Standard Survey) tahun 1995 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 3373 rumah tangga.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
dampak terhadap distribusi
pendapatan adalah menurunkan indeks Gini maupun indeks Atkinson yang berarti mengarah pada distribusi pendapatan yang lebih merata. Indeks Gini data dasar (sebelum simulasi) menujukkan besaran 0.2287 yang tergolong pada distribusi yang merata. O’Ryan dan Sebastian (2003) mengkaji dampak peningkatan produkstivitas kapital terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan dengan menggunakan kerangka CGE. Sektor produksi didisagregasi kedalam sektor pertanian primer, sektor primer lainnya, sektor agroindustri, sektor industri dan sektor-sektor lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas kapital di sektor industri menurunkan kesenjangan
41 pendapatan. Populasi rumah tangga kaya memperoleh peningkatan pendapatan yang jauh lebih besar daripada golongan populsi miskin. Sebaliknya kebijakan di sektor pertanian dan agroindustri akan memperbaiki distribusi pendapatan dan kelompok rumah tangga miskin akan memperoleh peningkatan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kelompok kaya. 2.8. Studi Terdahulu Tentang Kemiskinan Decaluwe et al. (1998) mengkaji dampak guncangan (shock) perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi dan kemiskinan rumah tangga di berbagai negara sedang berkembang. Model yang digunakan untuk mengkaji masalah tersebut adalah Computable General Equilibrium model (CGE model). Distribusi pendapatan masing-masing rumah tangga diukur dengan menggunakan Beta distibution function. Untuk mengukur kemiskinan digunakan indeks Foster, Greer dan Thorbecke’s (FGT index). Dalam model tersebut distribusi pendapatan diperlakukan sebagai variabel endogen. Dengan spesifikasi tersebut garis kemiskinan akan berubah mengikuti perubahan harga relatif.
Garis
kemiskinan dan distribusi pendapatan yang baru digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan terhadap tahun dasar. Untuk mengukur tingkat kemiskinan rumah tangga (indeks Pά) digunakan dua skenario, pertama adalah penurunan harga ekspor tanaman pangan sebesar 30 persen dan kedua, penurunan tarif impor sebesar 50 persen. Dampak penurunan harga ekspor tanaman pangan dan penurunan tarif impor menyebabkan menurunnya pendapatan rumah tangga dan menurunkan garis kemiskinan. Efek simulasi liberalisasi perdagangan terhadap kemiskinan menghasilkan P άyang meningkat, artinya tingkat kemiskinan meningkat, namun hal sebaliknya terjadi untuk efek simulasi penurunan harga ekspor. Decaluwe et al. (1999) mengkaji ulang penelitian sebelumnya (Decaluwe et al., 1998) dengan menggabungkan kerangka SAM (Social Accounting Matrix) pada model
42 CGE untuk mengetahui dampak liberalisasi perdagangan dan reformasi tarif terhadap kemiskinan. Kerangka SAM yang diadopsi untuk model CGE adalah pengelompokan rumah tangga. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumah tangga yaitu menurunkan head-count ratio untuk seluruh kelompok rumah tangga kecuali rumah tangga di perdesaan. Rumah tangga perdesaan menunjukkan head-count ratio tertinggi yaitu sebesar 92.9 persen populasi berada di bawah garis kemiskinan. Dibandingkan dengan nilai tahun dasar, nilai headcount ratio mengalami perbaikan hanya sebesar 0.4 persen, yang berarti bahwa hanya sedikit sekali rumah tangga yang mengalami penurunan kemiskinan. Sedangkan untuk kelompok rumah tangga
perkotaan, khususnya untuk kelompok rumah tangga yang
berpendidikan tinggi, peningkatan harga ekspor tanaman pangan menyebabkan peningkatan head-count ratio (P0) yang tertinggi yaitu sebesar 0.5 persen sampai 0.8 persen, yang berarti terjadi peningkatan kemiskinan pada kelompok rumah tangga tersebut. Sedangkan dampak reformasi tarif impor menyebabkan ukuran poverty gap menurun untuk seluruh kelompok rumah tangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan yang berpendapatan tinggi. Thorbecke dan Jung (1996) menggunakan analisis multiplier untuk mengkaji dampak shock atau goncangan terhadap kemiskinan. Dari analisis tersebut diperoleh elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata pendapatan, yang nilainya berhubungan positif dengan
perbedaan rata-rata pendapatan dengan garis kemiskinan.
Selanjutnya nilai
elastisitas tersebut digunakan untuk menghitung indeks kemiskinan FGT O’Ryan dan Sebastian (2003) mengkaji
peran sektor pertanian terhadap
pengurangan kemiskinan, distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di Chile. Pendekatan analisis yang digunakan adalah model CGE untuk mengkaji dampak dari dua goncangan, yaitu pertama, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan kapital di masingmasing sektor sebesar 2 persen. Kedua, pemberian subsidi harga untuk masing-masing
43 sektor, yaitu sektor pertanian, agroindustri dan industri. Para peneliti tersebut menyadari bahwa memberikan shock dalam bentuk persentase seperti dilakukan adalah tidak fair, karena besaran shock tidak sama dikarenakan masing-masing sektor memiliki ukuran yang berbeda sehingga rasio tenaga kerja dan kapital pun juga berbeda. Namun ide dasarnya adalah untuk mengetahui dampak shock tersebut terhadap penurunan kemiskinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa efek peningkatan produktivitas tenaga kerja atau kapital di sektor industri terhadap kinerja makroekonomi lebih besar dibandingkan dengan di sektor pertanian. Tetapi dampaknya terhadap distribusi pendapatan sangat berbeda, dimana peningkatan produktivitas
kapital di sektor industri menurunkan tingkat pemerataan,
namun sebaliknya untuk sektor pertanian. Pola yang sama juga terjadi untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja. Bagaimana dampak terhadap pengurangan kemiskinan? Meskipun sektor industri memberikan dampak yang lebih baik terhadap kinerja ekonomi dibanding sektor pertanian, namun dampak yang ditimbulkan terhadap pengurangan kemiskinan justru 25 persen lebih rendah di banding sektor pertanian. Ravallion dan Datt (1999) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di India, yaitu rata-rata hasil pertanian yang lebih tinggi, pengeluaran pembangunan wilayah yang lebih tinggi, output non pertanian (baik di perdesaan maupun di perkotaan) dan inflasi yang rendah. Elastisitas penurunan kemiskinan terhadap variabelvariabel tersebut hampir sama untuk seluruh wilayah, kecuali untuk variabel peningkatan output non pertanian. Dan dari kajian yang lain (Datt dan Ravallion, 1998) diperoleh hasil bahwa penurunan kemiskinan absolut di perdesaan berhubungan negatif terhadap upah riil di perdesaan dan terhadap rata-rata hasil pertanian, tetapi berhubungan positif terhadap harga bahan pangan. Dengan demikian harga pangan yang rendah akan menurunkan tingkat kemiskinan karena sebagian besar penduduk miskin di perdesaan India tidak memiliki lahan sehingga mereka adalah pembeli pangan. De Janvry dan Sadoulet (2000) menggunakan data Amerika Latin untuk mengkaji hubungan antara elastisitas distribusi (pendapatan dan aset) terhadap penurunan
44 kemiskinan dengan pertumbuhan agregat. Elastisitas kemiskinan di perkotaan terhadap pertumbuhan pendapatan secara agregat sebesar -0.95 dan hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa variabel-variabel pertanian tidak berpengaruh terhadap kemiskinan di kota.
Di sisi lain, hasil kajian juga menunjukkan bahwa tingkat ketidakmerataan
pendapatan berpengaruh terhadap elastisitas kemiskinan, dimana ketidakmerataan yang rendah meningkatkan nilai absolut elastisitas tersebut yang bertanda negatif. De Janvry et al. (1991) mengkaji program stabilisasi politik ekonomi terhadap pertumbuhan dan kesejahteraan. Model yang digunakan adalah model CGE.
Sebagai
instrumen stabilisasi adalah perubahan nilai tukar dan kebijakan fiskal. Untuk mengukur dampak program stabilisasi terhadap kesejahteraan digunakan indeks kemiskinan FGT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengurangan kemiskinan selama periode waktu yang dianalisa. Bahkan sebaliknya kemiskinan justru meningkat untuk seluruh kasus.
Pertumbuhan agregat jangka panjang yang dapat mengurangi kemiskinan di
perdesaan adalah melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Karena pertumbuhan sangat terjaga melalui kebijakan fiskal,
maka kebijakan tersebut sangat cocok untuk
mengurangi kemiskinan di perdesaan. Sebaliknya untuk kemiskinan di kota, kebijakan yang dapat mengurangi kemiskinan adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara bersama-sama. Sedangkan hasil-hasil kajian tentang kemiskinan yang dilakukan di Indonesia diantaranya dilakukan oleh Booth (2000) yang mengkaji masalah kemiskinan dan pemerataan selama era Presiden Soeharto dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa head-count ratio di Indonesia pada akhir tahun 1980 an dibawah Philipine, tetapi di atas Malaysia dan Thailand. Diantara tahun 1987- 1996, kemiskinan relatif secara agregat menurun lambat, namun untuk wilayah perkotaan mengalami peningkatan. Booth mendukung bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal penting untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Namun menurut Booth program-program
45 pembangunan perdesaan hendaknya tidak lagi difokuskan pada tanaman pangan seperti yang telah dilakukan di masa lalu, melainkan lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik untuk penduduk miskin di daerah-daerah miskin. Pyatt dan Round (2004) menggunakan model SAM atau SNSE Indonesia tahun 1980 untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan perubahan proporsi penduduk miskin dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok rumah tangga bergerak secara berbeda.
Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut
diabaikan. Hasil penelitian Simatupang dan Darmoredjo (2003) menyimpulkan bahwa PDB sektor pertanian memiliki dampak terhadap insiden kemiskinan di perdesaan yang lebih besar dibanding sektor lainnya, sedangkan kemiskinan di perkotaan terutama dipengaruhi oleh PDB sektor industri.
Namun demikian PDB sektor lain, yaitu industri dan non
pertanian lainnya juga berpengaruh terhadap insiden kemiskinan. Yang menarik dari kajian ini adalah insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras, dengan demikian strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah startegi pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pembangunan yang berbasis pertanian (agricultural leddevelopment), khususnya subsektor tanaman pangan. Fane dan Warr (2002) dengan menggunakan model CGE untuk mengkaji peran pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam mengurangi kemiskinan. Perbedaan sumber pertumbuhan mempengaruhi kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan secara berbeda karena masing-amsing memiliki pendapatan faktor (factor return) yang berbeda. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa semakin besar peran petumbuhan ekonomi meningkatkan pendapatan faktor bagi masyarakat miskin, semakin besar potensi menurunkan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan.
46 Yudhoyono (2004) menggunakan pendekatan model simultan untuk mengkaji pembangunan pertanian dan perdesaan untuk mengatasi kemiskinan. Model yang digunakan adalah model ekonomi politik kebijakan fiskal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan.
Pengeluaran pemerintah yang dimaksud adalah
peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan sedangkan untuk kemiskinan di perdesaan digunakan pengeluaran pemerintah untuk pertanian. Nanga (2006) menggunakan pendekatan model simultan untuk mengkaji dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Model yang dibangun meliputi blok fiskal daerah, blok output, blok tenaga kerja, blok pengeluaran per kapita rumah tangga, blok distribusi pendapatan dan blok kemiskinan.
Untuk membangun blok kemiskinan
digunakan ukuran kemiskinan indeks FGT, yaitu tingkat kemiskinan (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P 2) sebagai variabel endogen sehingga terbentuk enam persamaan struktural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan melalui ukuran kemiskinan yang memilki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan indeks Gini. Transfer fiskal dalam berbagai bentuk cenderung menguntungkan sektor non pertanian daripada sektor pertanian. Astuti (2005) menggunakan pendekatan SAM untuk mengkaji dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Investasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah investasi infrastruktur baik yang berasal dari pemerintah dan swasta. Sektor pertanian yang dimaksud meliputi subsektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Sebagai
47 variabel eksogen adalah pengeluaran pemerintah, pengeluaran swasta dan rumah tangga. Institusi rumah tangga dikelompokkan menjadi sepuluh golongan rumah tangga berdasarkan pemilikan lahan, jenis pekerjaan (pertanian atau non pertanian) dan lokasi (desa atau kota). Untuk menganalisis aspek kemiskinan, Astuti menggunakan analisis terpisah dari metoda SAM, yaitu dengan menggunakan indikator kemiskinan FGT poverty index melalui data Susenas. Dengan menggunakan metode ini dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau rumah tangga miskin di Indonesia sebagai dampak dari perubahan pendapatan. Sutomo (1995) menganalisis masalah kemiskinan rumah tangga dan pembangunan ekonomi wilayah dengan menggunakan kerangka SAM atau SNSE sebagai kerangka kerja dan kerangka analitis. Apek kemiskinan rumah tangga difokuskan pada masalah siapa atau golongan rumah tangga mana yang termasuk sebagai rumah tangga miskin, banyaknya penduduk miskin, serta dampak kebijakan tertentu terhadap kemiskinan atau distribusi pendapatan rumah tangga.
Kajian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor penyebab
kemiskinan rumah tangga, proses pemiskinan rumah tangga dan hubungannya dengan pembangunan ekonomi wilayah. Aspek kemiskinan dijelaskan dengan menggunakan anaisis deskriptif, yaitu melalui analisis persentase, rasio atau perbandingan. Analisis pengganda neraca digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan dalam distribusi pendapatan rumah tangga. Selain itu Sutomo juga menggunakan analisis kontribusi faktor-faktor produksi (factor share) untuk memperkuat analisis deskriptif maupun analisis pengganda. Dengan berbagai aspek studi terdahulu yang disajikan di atas,
disertasi ini
diharapkan dapat melengkapi penelitian terdahulu, lebih fokus pada kekhususannya dalam mengkaitkan antara pengembangan sektor agroindustri dengan aspek kemiskinan dan distribusi pendapatan, yang pada penelitian-penelitian terdahulu ketiga aspek tersebut dilakukan secara terpisah.
III. KERANGKA TEORI 3.1. Model Pembangunan Dua Sektor Industrialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktural suatu perekonomian subsisten ke perekonomian modern. Hal ini tidak terlepas dari model pembangunan ekonomi dua sektor yang pertama dirumuskan oleh Lewis (1954) yang selanjutnya dikembangkan oleh Ranis (1964).
Menurut model
pembangunan dua sektor Lewis perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu: (1) sektor tradisional yaitu sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampungan transfer tenaga kerja dari sektor tradisional. Model Lewis memfokuskan pada terjadinya proses penyerapan surplus tenaga kerja yang memberikan kontribusi terhadap output sektor pertanian ke sektor industri dimana diasumsikan sektor industri memiliki teknik inovasi untuk memanfaatkan surplus tenaga kerja. Asumsi dasar model surplus tenaga kerja tersebut adalah transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output sektor pertanian. Hal ini dapat diartikan produk marginal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol sehingga dengan berkurangnya tenaga kerja, output sektor pertanian tidak akan berkurang. Dalam merumuskan modelnya Lewis mengasumsikan pula bahwa keuntungan sektor modern dari selisih upah diinvestasikan kembali seluruhnya dan tingkat upah di sektor industri perkotaan diasumsikan konstan dan jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah disektor pertanian. Oleh karena itu laju dari proses transfer tenaga kerja tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Pada tingkat upah sektor industri yang konstan, kurva penawaran tenaga kerja perdesaan dianggap elastis sempurna.
49 Sepanjang nilai produk marginal tenaga kerja pertanian berada di bawah tingkat upah sektor industri, maka nilai oputput sektor pertanian yang hilang dari tenaga kerja yang pindah, akan lebih rendah dari upah di sektor industri. Sektor pertanian tidak dapat bersaing dengan sektor industri, sampai surplus tenaga kerja dihilangkan dan nilai produk marginal tenaga kerja meningkat lebih tinggi dari tingkat upah. Dengan produk maginal tenaga kerja pertanian yang rendah, sektor industri dapat menarik tenaga kerja sektor pertanian tanpa ada perubahan biaya. Sektor industri akan terus menyerap tenaga kerja sampai pada titik dimana tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja sektor industri. Karena model Lewis mengasumsikan bahwa keuntungan sektor industri dari selisih upah diinvestasikan kembali seluruhnya, maka kurva produk marginal tenaga kerja akan bergeser ke luar dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pergeseran kurva produk marginal tenaga kerja tersebut akan meningkatkan rasio tenaga kerja terhadap modal, perluasan industri dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Proses pertumbuhan seperti diuraikan di atas disebut sebagai pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dari sektor industri dan perluasan kesempatan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja perdesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian tradisional dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope positif. Transformasi struktural perekonomian akan terjadi dari
perekonomian pertanian
tradisional ke perekonomian industri yang modern. Model pertumbuhan dua sektor Lewis pada kenyataannya mengandung beberapa kelemahan karena asumsi-asumsi yang digunakan, khususnya untuk sebagian besar negara
50 berkembang (Todaro, 2000). Kelemahan pertama menyangkut reinvestasi modal dimana model tersebut mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja disektor industri sebanding dengan tingkat akumulasi modal. Namun fenomena menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi justru dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi yang hemat tenaga kerja. Dengan demikian penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian tradisional akan berjalan lamban. Belum lagi kenyataan bahwa akumulasi modal tidak seluruhnya ditanamkan kembali di dalam negeri. Pelarian modal (capital flight) ke luar negeri sering terjadi karena alasan faktor keamanan di dalam negeri. Kelemahan kedua menyangkut asumsi surplus tenaga kerja yang terjadi di perdesaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan tenaga kerja pertanian di
perdesaan sudah mulai dirasakan, sementara pengangguran banyak terjadi di perkotaan. (Donaldson, 1984; Kao et al., 1964) Kelemahan ketiga menyangkut asumsi tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor industri sehingga menjamin upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus tenaga kerja habis terpakai. Pada kenyataannya upah di pasar tenaga kerja di sektor industri cenderung meningkat dari waktu ke waktu baik secara absolut maupun ril. Dengan beberapa kelemahan tersebut, maka konsep pembangunan dengan berbasis pada perubahan sektoral seperti dalam model Lewis memerlukan beberapa penyempurnaan sesuai dengan fenomena ekonomi yang ada. Dalam hal ini Fei dan Ranis (1964) memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus tenaga kerja yang tak terbatas dari model Lewis.
Penyempurnaan tersebut terutama pada
pentahapan perubahan tenaga kerja, dimana model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian tradisional ke sektor industri menjadi tiga tahap berdasarkan pada produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus (Sukirno, 1985).
51 Tahap pertama tenaga kerja diasumsikan melimpah sehingga produktivitas marjinal tenaga kerja mendekati nol. Dalam hal ini surplus tenaga kerja yang ditransfer dari sektor pertanian tradisional ke sektor industri memiliki kurva penawaran elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun terjadi transfer tenaga kerja, total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor industri tumbuh karena tambahan tenaga kerja dari sektor pertanian. Dengan demikian transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor ekonomi. Tahap kedua adalah kondisi dimana produk marginal tenaga kerja sudah positip namun besarnya masih lebih kecil dari tingkat upah. Artinya setiap pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan total produksi. Pada tahap ini transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri memiliki biaya imbangan positip, sehingga kurva penawaran tenaga kerja memiliki elastisitas positip. Transfer tenaga kerja terus terjadi yang mengakibatkan penurunan produksi, namun penurunan tersebut masih lebih rendah dari besarnya tingkat upah yang tidak jadi dibayarkan. Di sisi lain karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaan meningkat yang diakibatkan oleh adanya penambahan tenaga kerja, maka harga relatif komoditas pertanian akan meningkat. Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi. Pada tahap ini produk marginal tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Produsen pertanian mulai mempertahankan
tenaga kerjanya.
Transfer masih akan terjadi jika inovasi
teknologi di sektor pertanian dapat meningkatkan produk marginal tenaga kerja. Sementara karena adanya asumsi pembentukan modal di sektor industri di reinvestasi, permintaan tenaga kerja di sektor ini juga akan terus meningkat.
52 3.2. Teori Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan vs Ketidakmerataan Esensi pembangunan selain peningkatan pertumbuhan ekonomi, mengandung implikasi yang lebih luas yaitu
perubahan fundamental struktur ekonomi dan sosial
masyarakat yang kesemuanya mempengaruhi gaya dan kualitas hidup masyarakat. Terdapat dua perubahan struktural yang terpenting yaitu pertama, peningkatan pangsa sektor industri yang diikuti dengan penurunan pangsa sektor pertanian terhadap produksi nasional yang juga berimplikasi terhadap peningkatan urbanisasi dan banyaknya penduduk yang bekerja di sektor industri dibandingkan dengan bekerja di sektor pertanian. Kedua adalah perubahan pola konsumsi dimana masyarakat lebih banyak membelanjakan pendapatan mereka ke barang-barang tahan lama dibandingkan barang-barang kebutuhan pokok (Gillis et al., 1987). Di negara-negara maju orientasi pembangunan telah bergeser dari pertumbuhan ekonomi ke usaha yang lebih memperhatikan kualitas hidup. Sedangkan di negara-negara miskin dan negara yang sedang berkembang, perhatian utama ditujukan kepada masalah distribusi pendapatan dan kemiskinan. Masalah ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan sampai sekarang masih tetap menjadi pembahasan terutama di negara-negara berkembang. Dampak dari pembangunan ekonomi terhadap golongan miskin masih menjadi perdebatan. Sebagian berasumsi bahwa meningkatnya pendapatan per kapita akibat pembangunan akan menjadikan setiap orang lebih sejahtera. Apabila sekelompok masyarakat belum memperoleh manfaat, hal itu hanya masalah waktu sampai manfaat pembangunan tersebut betul-betul menetes kepada mereka. Namun sebaliknya ada pihak lain tetap meragukan apakah dampak pembangunan betulbetul dapat dinikmati oleh kelompok miskin. Secara umum hubungan antara pertumbuhan dan pemerataan dapat dinyatakan melalui Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan pendapatan masyarakat dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan kelompok kaya (50 persen populasi dengan pendapatan
53 tertinggi) dan pendapatan kelompok miskin (50 persen pupulasi dengan pendapatan lebih rendah). Distribusi awal berada di titik L yang bias kepada kelompok kaya. Kebijakan dilakukan agar distribusi mengarah pada garis pemerataan pendapatan. Namun kebijakan redistribusi pada umumnya juga akan mengubah total pendapatan.
Kebijakan yang
mengakibatkan distribusi pendapatan berada di wilayah A adalah kebijakan yang tidak diinginkan karena kelompok kaya akan menjadi miskin dan kelompok miskin menjadi semakin miskin. Pada wilayah B, kelompok miskin akan memperoleh manfaat yang lebih rendah dibanding kerugian yang dialami kelompok kaya sehingga total pendapatan menurun. Rp Pendapatan gol kaya
L
D
Pemerataan sempurna
C
B
A
Rp Pendapatan gol miskin
Gambar 2. Pertumbuhan Pendapatan vs Ketidakmerataan Sumber : Kasliwal (1995) Jika redistribusi bergerak ke wilayah C, yaitu diatas garis pendapatan konstan, terdapat peluang mengalami pertumbuhan diikuti pemerataan karena total pendapatan meningkat. Pada wilayah D, redistribusi akan mengalami pareto superior karena masingmasing kelompok memperoleh peningkatan pendapatan.
54 Perbedaan teori pembangunan yang terkait dengan masalah distribusi pendapatan dapat dibedakan menurut dua aliran ekonomi, yaitu aliran Klasik (Orthodox) dan aliran Strukturalis.
3.2.1. Aliran Klasik Aliran ini menggunakan konsep Adam Smith 1 tentang proses pembangunan yang berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas dimana harga menjadi acuan dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antar sektor akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah (konsep pasar bebas) hingga mencapai kondisi pareto optimal. Pertukaran tersebut pada hakekatnya merupakan proses pembangunan (Herrick dan Kindleberger, 1988; Arndt, 1987; Gillis et al., 1987; Djojohadikusumo, 1994 dan Deliarnov, 1995). Aspek distribusi pendapatan dibahas dengan penekanan pada masalah pembagian hasil produksi antara pemilik modal dan pemilik tanah. Lewis membahas aspek ketidakmerataan (inequality) melalui model ekonomi dua sektor. Dengan menggunakan konsep-konsep mahzab Klasik dan teori Malthus Lewis mengasumsikan tenaga kerja tersedia dengan jumlah berlebih dan pada tingkat upah subsisten yang tetap. Teori ini menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan akan muncul pada awalnya dan akan menghilang setelah dicapai hasil pembangunan. Ada dua alasan meningkatnya ketidakmerataan pendapatan pada awal pertumbuhan. Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat pada saat peran sektor modern meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat dengan bertambahnya tenaga kerja (namun masih dalam jumlah yang masih sedikit) yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi. Namun ketidakmerataan tersebut berubah manakala seluruh 1
Pengikutnya diantaranya David Ricardo, Jean B. Say dan Stuart Mill
55 surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah kemudian meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat ketidakmerataan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan. Setiap orang akan memperoleh manfaat apabila mereka menunggu proses pembangunan tersebut berlangsung sampai selesai. Peningkatan sementara dalam ketidakmerataan pendapatan hanya merupakan biaya untuk memperoleh manfaat proses pembangunan tersebut. Tanpa adanya campur tangan pemerintah pemerataan akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi. Teori diatas konsisten dengan konsep pemikiran Kuznets (1955) yang dituangkan dalam bentuk kurva U terbalik, yaitu sewaktu pendapatan per kapita naik, ketidakmerataan mulai muncul dan mencapai maksimum pada saat
pendapatan berada pada tingkat
menengah dan kemudian menurun sewaktu telah dicapai tingkat pendapatan yang sama dengan karakteristik negara industri. Peningkatan pertumbuhan dimungkinkan dengan berkembangnya sektor pemimpin (leading sector). Ketidakmerataan pendapatan akan memburuk pada tahap awal disebabkan upah buruh masih relatif rendah. Dengan demikian pertumbuhan tidak banyak memberikan manfaat bagi golongan miskin atau golongan buruh. Namun dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita, maka permintaan terhadap sarana publik (transportasi, komunikasi, pendidikan dsb) juga meningkat. Kondisi ini akan memunculkan trickle-down effect bagi golongan miskin
dengan
meningkatnya upah buruh melalui sektor lain. (Gillis et al., 1987; Todaro, 2000). Menurut Hogendorn (1992) fenomena kurva Kuznets tersebut dapat dilihat pada masyarakat, dimana distribusi pendapatan yang merata pada awalnya dijumpai di sektor pertanian. Namun begitu sebagian masyarakat berpindah ke sektor industri yang memiliki upah lebih tinggi, maka ketidakmerataan pendapatan masyarakat segera muncul
56 Konsep distribusi pendapatan menurut Lewis tersebut memunculkan beberapa argumen tandingan. Pertama, ketimpangan menciptakan kondisi dimana hanya orang-orang kaya yang bisa menginvestasikan kembali sebagian besar pendapatannya untuk memperoleh hasil yang lebih besar lagi, sementara orang-orang miskin membelanjakan pendapatannya untuk barang konsumsi. Semakin lama hal ini akan menciptakan ketimpangan lagi yang semakin lebar. Kedua, ketiadaan akses investasi golongan miskin secara akumulatif akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan GNP dibandingkan apabila terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar. Ketiga, asumsi hasil produksi golongan kaya akan diinvestasikan kembali secara empiris meragukan. Yang terjadi adalah pengalihan modal ke luar negeri karena alasan keamanan dan tingginya tingkat konsumsi barang-barang mewah oleh golongan kaya. Keempat, rendahnya taraf hidup golongan miskin mengakibatkan rendahnya produktivitas ekonomi mereka yang secara akumulatif mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional (Todaro, 2000). 3.2.2. Aliran Strukturalis2 Sesuai dengan namanya, teori Strukturalis memfokuskan pada masalah struktur atau komposisi makroekonomi dengan sektor produksinya, juga komposisi tenaga kerja dan investasi yang merupakan input produksi. Pendekatan terhadap pembangunan ekonomi dipandang sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung perubahan mendasar pada perubahan ekomomi yang disebut sebagai perubahan struktural. Perubahan
struktural
tersebut
merupakan
masa
ketidakseimbangan
yang
dapat
menyebabkan kesenjangan penyesuaian yang panjang (Arndt, 1987; Gillis et al., 1987; Herrick dan Kindleberger, 1988 dan Djojohadikusumo, 1994). Aliran Strukturalis skeptis terhadap efektifitas mekanisme kekuatan harga dan meyakini bahwa perencanaan dan 2
Pemikir Strukturalisme bukan mewakili suatu mahzab pemikiran yang homogen karena walaupun aliran tersebut sebagai mainstream, tetapi memiliki banyak perbedaan dalam garis haluan maupun pendekatan (Djojohadikusumo,1994). Pemikir ekonomi menurut mahzab ini banyak sekali, tetapi yang terkenal sebagi penganut faham kapitalis dengan pondasi strukturalisme diantaranya A.G. Frank (Arndt, 1987)
57 kontrol pemerintah dapat menanggulangi kegagalan pasar. Oleh karena itu pembangunan ekonomi negara-negara kurang maju tidak dapat diserahkan kepada mekanisme kekuatan pasar, tetapi pemerintah harus mengambil peranan aktif dengan menjalankan kebijakan untuk menanggulangi ketimpangan yang melekat pada keadaan ketidakseimbangan tersebut agar sistem pasar dan perkembangan harga dapat berjalan secara memadai Berbeda dengan aliran Klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran Strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu Aliran Ekstrim (Radikal) Kanan atau aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (“grow first, then redistribute”) dan Aliran Ekstrim Kiri atau aliran yang menganut faham Sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan
(“redistribute first, then grow”).
Sebagai
alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (“redistribution with growth /RWG”) yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Gillis et al., 1987). Sasaran pembangunan ekonomi bagi aliran ekstrim kanan bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar melalui mekanisme trickle-down, tetapi melalui pemusatan pendapatan pada masyarakat yang telah kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru diredistribusi untuk memperoleh distribusi
pendapatan yang diinginkan melalui
transfer atau pajak yang diyakini tidak akan mendistorsi ekonomi. Namun aliran ini telah gagal. Contoh empiris kegagalan tersebut adalah kebijakan pembangunan ekonomi di
58 Brazil3, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan sangat tinggi dan perkembangan pengurangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata, pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar dan teknologi padat kapital. Sebaliknya aliran Ekstrim Kiri memiliki kebijakan “redistribute first, then grow”. Pemerintah mengambil alih pemilik modal dan pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil, yang seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut membawa dua dampak terhadap distribusi pendapatan. Pertama, dampak secara langsung, yaitu tingkat kemerataan pendapatan akan segera meningkat secara nyata. Kedua adalah dampak dalam jangka panjang. Apabila usaha-usaha berskala lebih kecil dan melalui pemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar dan dikelola secara efisien dan produktif, maka efek redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang termasuk dalam aliran ini adalah negara-negara Uni Soviet dan RRC4. Kebijakan pembangunan berbasis industri yang dilakukan Uni Soviet adalah adalah mengambil alih kekayaan yang seharusnya menjadi hak masyarakat secara umum terutama petani dan menekan konsumsi yang hasilnya diinvestasikan kembali ke sektor produktif. Dengan kebijakan tersebut ketidakmerataan pendapatan masyarakat memang mengecil karena hasil pendapatan diambil oleh pemerintah. 3
India memiliki pola pemerataan yang sama dengan Brazil yang memiliki wilayah dengan pertumbuhan sangat tinggi, seperti Punjab dan Bombay, tetapi sebaliknya juga banyak wilayah-wilayah yang sangat miskin.
4
Cina, meskipun merupakan negara lebih miskin dibanding Uni Sovyet, namun memiliki pola pemerataan yang lebih baik, dengan cara menyeimbangkan industri-industri besar dengan industri-industri kecil yang padat tenaga kerja namun tanpa melakukan penghematan terhadap kebutuhan pokok masyarakat seperti yang dilakukan oleh Uni Soviet.
59 Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang telah diuraikan diatas kurang disukai. Di banyak negara penganut aliran ekstrim kanan, meskipun terjadi pertumbuhan pesat, masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga masih menjadi masalah besar. Argumen bahwa ketimpangan pendapatan merupakan kondisi sementara yang tak terelakkan guna mencapai akumulasi kapital, memang memungkinkan terakumulasinya tabungan dan investasi yang lebih besar sehingga menciptakan laju pertumbuhan yang lebih cepat dan pada akhirnya menciptakan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita tinggi untuk diredistribusikan ke masyarakat melalui program-program perpajakan dan subsidi. Namun bila waktu distribusi tiba, setiap usaha pendistribusian kembali pendapatan akan menurunkan laju pertumbuhan secara tajam. Karena perlambatan dianggap negatif, maka saat pendistribusian terpaksa ditunda dan terjadi penundaan secara terus menerus. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi akan terus melaju sementara ketimpangan pendapatan tidak membaik. Sementara negara-negara penganut aliran ekstrim kiri pada umumnya mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah, karena setiap usaha redistribusi akan menurunkan stok modal yang pada akhirnya menurunkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu harus ada cara, bagaimana manfaat pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan sehingga distribusi pendapatan meningkat sepanjang waktu dengan meningkatnya pertumbuhan. Konsep tersebut dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi dengan pertumbuhan atau “redistribution with growth/ RWG” (Chenery and Syrquin, 1975; Gillis et al., 1987). Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus
mempengaruhi
pola
pembangunan
sedemikian
rupa
sehingga
produsen
60 berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri perdesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan. Terdapat tujuh instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut (Gillis et al., 1987) yaitu : (1) mengubah harga tenaga kerja dan kapital untuk memberi dorongan pada tenaga kerja tidak berpendidikan, (2) melakukan redistribusi aset melalui investasi yang memungkinkan dimiliki oleh kelompok miskin, (3) melalui pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, (4) menerapkan pajak progresif, (5) melengkapi sarana
publik untuk kebutuhan makanan pokok penduduk
miskin, (6) melakukan intervensi pada pasar komoditi untuk membantu produsen dan konsumen, dan (7) mengembangkan teknologi baru yang membuat pekerja berpendapatan rendah lebih produktif.
3.3. Strategi Pembangunan Ekonomi Melalui Industrialisasi Dalam proses transformasi struktur ekonomi menuju industrialisasi, pemerintah mempunyai peran penting dalam mengatur strategi yang mengarah pada keunggulan komparatif. Menurut Anggarwal dan Tamir (1990) tindakan yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan mengubah harga relatif tenaga kerja dan modal sehingga dalam jangka panjang mengubah proporsi harga faktor. Dengan kata lain pemerintah berusaha mengubah keunggulan kompartif dari produk yang intensif tenaga kerja menjadi intensif modal. Hal ini dicapai melalui tahapan sebagai berikut. Tahap pertama adalah tahap substitusi impor. Peran pemerintah melalui intervensi pasar untuk mengubah harga-harga relatif melalui tarifikasi atau melalui pembatasan kuantitatif impor. Tahap substitusi impor bukan bertujuan untuk menciptakan keunggulan komparatif produk yang dihasilkan, tetapi mempengaruhi proporsi harga faktor. Pada tahap ini pemerintah lebih memegang peranan sementara sektor korporasi tinggal mengikuti, karena pemerintahlah yang menciptakan profit bagi sektor korporasi melalui proteksi tarif. Tahap kedua adalah tahap promosi
61 ekspor. Pada tahap ini produksi berada dalam pasar yang diproteksi sedangkan penjualan ekspor berada pada pasar kompetitif. Transisi dari bentuk proteksi ke pasar yang bebas seringkali tidak mudah. Tahap promosi ekspor juga dicirikan semakin berkurangnya peran pemerintah terhadap sektor korporasi. Tahap berikutnya adalah tahap investasi asing secara langsung. Pada tahap ini pemerintah hanya sebagai partner pasif. Motivasi utama pada tahap ini adalah untuk mempertahankan serta ekspansi pasar ekspor. Di Indonesia strategi pembangunan industri dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama adalah strategi industrialisasi substitusi impor yang berorientasi ke dalam (inward looking) dan pada pemenuhan pasar dalam negeri. Kedua adalah strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy) yang berorientasi keluar (outward looking). Ketiga adalah strategi industrialisasi dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin, disebut Agricultural-Demand-Led Industrialization (ADLI Strategy). Relevansi kedua strategi terdahulu dalam membangkitkan ekonomi negara berkembang masih dalam perdebatan. Perdebatan seputar keunggulan dan kelemahan dua strategi tersebut dan peranannya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan. 3.3.1. Kebijakan Substitusi Impor Dalih melakukan strategi substitusi impor didasarkan pada alasan bahwa secara historis perdagangan berlangsung sebagai mekanisme ketimpangan internasional yang merugikan negara berkembang dan menguntungkan negara maju. Ketimpangan tersebut muncul karena semakin lebarnya nilai tukar perdagangan (Term of Trade/TOT) antara komoditas pertanian dari negara-negara berkembang dengan komoditas industri dari negara-negara maju. Hal tersebut diatasi dengan membangun industri substitusi impor yang diproteksi melalui fasilitas bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan barang-barang modal. Sebagai alasan utama penerapan strategi substitusi impor adalah untuk mencukupi
62 kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa melalui penggantian barang-barang impor dengan produksi dalam negeri. Oleh karena itu pembangunan industri substitusi impor melandaskan pada argumen industri muda (infant–industry argument) dimana industri semacam ini dilakukan hanya untuk kasus negara-negara yang baru berkembang dalam upaya mengatasi keterbatasan mereka sampai dapat tumbuh bersaing secara efektif di pasar internasional (Chacholiades, 1990). Gambar 3 menerangkan, pada kondisi awal, Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dinyatakan sebagai kurva UV dengan TOT dunia konstan pada L1 P1, produksi berada di P1 dan konsumsi di C1. Dengan adanya proteksi dan subsidi terhadap industri substitusi impor, KKP akan bergeser keluar ke kurva U1 V dan produksi meningkat ke P2 dan konsumsi ke C2 yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Salah satu ciri strategi industri substitusi impor yang dilakukan di negara-negara berkembang adalah bersifat padat modal sehingga perannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat minimal. Hal ini sebagai konsekuensi dari adanya distorsi dalam harga relatif faktor produksi, terutama faktor modal dan tenaga kerja, yang timbul akibat kebijakan pemberian fasilitas bea masuk dan perlindungan tarif terhadap faktor modal sehingga membuat harga relatif faktor modal menjadi lebih murah dari harga relatif tenaga kerja. Dengan demikian proses pembangunan melalui strategi industrialisasi substitusi impor akan menghasilkan peningkatan produk-produk industri yang bias ke arah padat modal Dengan kebijakan tersebut maka industri yang berkembang adalah industri padat modal skala menengah dan besar sementara industri kecil dan industri rumah tanggga yang banyak terdapat di perdesaan tidak akan dapat bersaing di pasaran. Fasilitas subsidi dan proteksi banyak dinikmati oleh pemilik modal sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di perdesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan
63 Produk substitusi impor L2 U2 P2
L1
C2
C1 U1 P1
0
V
Produk lokal
Gambar 3. Argumen Industri Muda (The Infant–Industry Argument) Sumber: Chacholiades (1990) memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di perdesaan. Dengan demikian strategi substitusi impor tersebut pada hakikatnya merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus (Gillis et al., 1987; Arif, 1990; Todaro, 2000). Dapat dikatakan pembangunan ekonomi melalui strategi substitusi impor pada dasarnya lebih berorientasi kepada pertumbuhan dibanding pemerataan. Menurut Krugman dan Obsteld (1991) negara-negara yang menerapkan strategi Industri Substitusi Impor tidak menyebabkan negara-negara menjadi lebih maju karena pada dasarnya tidak memiliki keunggulan komparatif di sektor industri. Pengembangan basis industri domestik untuk beberapa negara justru mengakibatkan stagnasi pendapatan per kapita, bukan perekonomian yang tinggal landas (takeoff). Sebagai contoh adalah negara-negara India, Argentina, Meksiko, Brazil dan Pakistan.
64 Kebijakan substitusi impor di Indonesia dinilai tidak akan mendorong pengembangan sektor agroindustri. Industri pertanian (agroindustri) adalah industri yang sebagian besar merupakan industri menengah dan berskala kecil yang dibangun dengan teknologi padat tenaga kerja serta memiliki keterkaitan yamg kuat dengan sektor pertanian. Kebijakan substitusi impor menjadikan agroindustri menjadi inferior yang kalah bersaing dengan industri padat modal dan cenderung akan memperlambat pengembangan transformasi ekonomi perdesaan Hal ini didasarkan pada beberapa argumen. Pertama, industri substitusi impor umumnya bersifat footloose industry yang memiliki keterkaitan kebelakang (backward linkage) lemah karena menggunakan sebagian besar bahan baku impor sehingga peningkatan kapasitas produksi dalam negeri tidak menambah permintaan efektif dalam negeri dalam jumlah yang sama. Kedua, komposisi produksi industri substitusi impor lebih banyak menghasilkan barang-barang konsumsi sekunder yang dikonsumsi oleh seluruh strata masyarakat dibandingkan barang-barang produktif yang dapat menstimulir peningkatan kapasitas produksi industri pertanian.
Ketiga, industri
substitusi impor adalah industri padat modal sehingga penyerapan surplus tenaga kerja perdesaan kecil.
3.3.2. Kebijakan Promosi Ekspor Kebijakan
Substitusi
Impor
pada
kenyataannya
tidak
dapat
mendorong
pembangunan ekonomi perdesaan dan pengembangan agroindustri, baik dilihat dari keterkaitannya dengan sektor pertanian maupun penyerapan tenaga kerja. Strategi tersebut juga telah menyebabkan tekanan devisa nasional semakin berat karena meningkatnya impor barang modal. Sementara itu pasar dalam negeri telah jenuh dengan barang-barang konsumsi yang selami ini diproduksi. Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah pada tahun 1980-an mengambil kebijakan untuk menggalakkan ekspor barang-barang industri untuk tujuan langsung yang berorientasi ekspor dengan membuka investasi asing.
65 Pertimbangan pemerintah melakukan strategi Promosi Ekspor diantaranya adalah strategi tersebut memungkinkan terciptanya arus modal internasional dan jaringan pertukaran ketrampilan, teknologi dan manajemen. Strategi tersebut juga akan menciptakan kesempatan kerja lebih besar dibandingkan dengan strategi substitusi impor (Gillis et al., 1987; Azis, 1989). Di sisi lain mengalirnya arus modal internasional ke negara-negara berkembang karena: (1) modal internasional mencari daerah investasi di negara-negara dimana upah buruh masih murah, dan (2) adanya teknologi pada proses produksi untuk barang-barang tertentu yang memungkinkan pembagian kerja internasional (internasional division of labour) dibawah suatu atap produksi (Arif, 1990). Oleh karena di negara berkembang nilai tenaga kerja lebih rendah dibandingkan negara maju (pentransfer modal dan teknologi), untuk mempertahankan daya saing maka teknologi tersebut di realokasi ke negara berkembang. Strategi promosi ekspor dengan demikian berada dalam lingkaran bisnis multinasional yang bersifat footlose industry dengan model principle-agent, dimana principlenya tetap berada di negara penyedia teknologi sedangkan agent-nya di negara berkembang. Dengan demikian pertimbangan realokasi industri tersebut bukan didorong oleh faktor bahan baku, melainkan dengan pertimbangan terutama tenaga kerja murah dan tuntutan lingkungan yang rendah. Mekanisme strategi promosi ekspor adalah melalui kebijakan perdagangan luar negeri yang netral, yang mengandung pengertian suatu liberalisasi perdagangan. Pembatasan impor barang jadi yang dilakukan untuk merangsang perkembangan industri substitusi impor dianggap suatu hal yang menimbulkan distorsi alokasi sumber-sumber ekonomi, karena negara akan kehilangan peluang untuk mengambil manfaat
dari
keunggulan komparatif (comparative advantage) dari produksi yang dapat diekspor. Oleh karena itu inti dari kebijakan promosi ekspor adalah untuk menaikkan ekspor dengan memberikan perangsang pada sektor ekspor dan bersamaan dengan itu dilakukan
66 liberalisasi impor untuk menghilangkan distorsi dalam alokasi sumberdaya ekonomi. Kebijakan tersebut dapat dikatakan merupakan kebijakan yang didasarkan pada pemikiran klasik atau neoklasik yang berlandaskan pada konsep perdagangan bebas. Dengan demikian bagi negara-negara pengekspor, dasar teori melakukan strategi promosi ekspor adalah mengambil manfaat dari keuntungan komparatif tenaga kerja melalui perdagangan internasional. Teori Keunggulan Komparatif memiliki implikasi bahwa negara akan mengekspor secara intensif produk yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor produk yang memerlukan faktor produksi yang relatif langka. Menurut Klein (1971), sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi suatu produk baru ada dua macam, yaitu: (1) keunggulan komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggualan dinamis, dan (2) keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis. Dalam pelaksanaan strategi Promosi Ekspor, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja sementara negara-negara maju penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis teknologi Implikasi teori keunggulan komparatif tersebut dijelaskan melalui Gambar 4. Sebelum melakukan perdagangan, suatu negara (yang diasumsikan memiliki kelimpahan sumberdaya tenaga kerja) memperoleh utilitas terbesar dengan memproduksi dan mengkonsumsi di titik A Slope pada titik A tersebut menunjukkan term of trade (TOT) produk yang intensif tenaga kerja relatif terhadap produk yang intensif kapital. Jika di negara lain memiliki sumberdaya kapital yang lebih baik dibandingkan sumberdaya tenaga kerja, maka TOT produk yang intensif tenaga kerja akan lebih tinggi dibandingkan produk yang intensif modal. Jika yang diimpor adalah barang modal dan teknologi, maka setelah perdagangan, kemampuan produksi meningkat ke titik B dan selain itu dapat mengkonsumsi kedua
67 barang di titik C yang merupakan persinggungan antara TOT dunia dengan kurva indiferen yang baru, yang lebih tinggi dibanding titik semula di A. Negara akan dapat mengekspor sebesar BD dan mengimpor barang modal dan kapital sebesar CD. Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif berupa tenaga kerja dalam melakukan perdagangan, maka dapat dicapai pertumbuhan produksi dan konsumsi yang lebih tinggi Barang impor (padat kapital)
TOT dunia
C
TOT sebelum perdagangan A
B D Barang ekspor (padat tenaga kerja) Gambar 4. Keuntungan Perdagangan melalui Konsep Keunggulan Komparatif Sumber: Gillis et al.(1987)
Untuk menampung masuknya perusahaan-perusahaan mancanegara yang akan mengekspor barang-barang yang sudah dirakit, negara-negara berkembang membuka kawasan perdagangan bebas (free trade zones) atau kawasan proses ekspor (export procesing zones). Dalam prakteknya penerimaan yang dihasilkan oleh perusahaanperusahaan ekspor hanya berupa nilai ekivalen pembayaran terhadap pekerja-pekerja lokal dan pembelian-pembelian lokal oleh perusahaan tersebut, karena ekspor yang dilakukan
68 sebetulnya merupakan subcontracting export dari perusahaan luar negeri kepada afiliasinya di negara-negara lain Dengan demikian manfaat nilai ekspor yang dinikmati negara-negara tersebut sangat minimal. Meskipun penciptaan tenaga kerja secara langsung cukup besar karena operasi perusahaan bersifat padat karya tetapi penggunaan input lokal secara umum tidak berarti sehingga keterkaitan dengan ekonomi lokal sangat kecil (Arief, 1990; Krugman dan Obsteld, 1991; Pack dan Westpal, 1986). Satu-satunya manfaat yang cukup nyata terhadap perekonomian lokal adalah pembayaran upah terhadap pekerja-pekerja lokal, namun untuk setiap pekerja pembayaran tersebut relatif rendah karena sebagian besar tenaga kerja terdiri dari pekerja-pekerja wanita yang dalam soal upah umumnya mengalami diskriminasi. Oleh karena syarat utama pelaksanaan operasi perusahaan promosi ekspor adalah upah buruh yang rendah, maka tidak akan ada kenaikan upah riil buruh industri karena akan mempertinggi biaya produksi sehingga mengurangi daya saing barang-barang industri yang diekspor. Oleh karena itu insentif bagi perusahaan ekspor pada dasarnya menimbulkan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan bagi kelompok pemodal, seperti halnya pada industri substitusi impor (Gillis et.al,. 1987; Arief, 1990). . Mekanisme kerja strategi industrialisasi promosi ekspor cenderung memerlukan adanya hubungan kedekatan antara pengusaha dan pemerintah setempat sehingga bagi pemerintah seringkali sulit untuk bertindak obyektif. Hal ini cenderung menyuburkan rent seeking dan menimbulkan distorsi harga (Gillis et al., 1987)
3.3.3. Strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization Baik strategi Substitusi Impor maupun strategi Promosi Ekspor dipandang tidak berhasil digunakan sebagai pendekatan pembangunan di negara-negara yang sedang
69 berkembang. Hal ini didasarkan pada dua faktor, yaitu pertama, kedua proses industrialisasi tersebut tidak terintegrasi dengan sektor pertanian yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakat.
Kedua, kedua strategi tersebut menghasilkan redistribusi
pendapatan yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Atas dasar tersebut strategi industrialisasi yang sesuai dikembangkan di negara-negara berkembang haruslah industrialisasi yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat luas dan meningkatkan pendapatan masyarakat luas serta memberikan efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Mengingat sebagian besar masyarakat di negara-negara berkembang berada di sektor pertanian, maka strategi industrialisasi yang sesuai adalah strategi yang menitikberatkan program pembanguan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain. Strategi tersebut dinamakan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI Strategy). Ide dasar strategi ADLI dikemukakan oleh Adelman (1984). Pengertian strategi tersebut dikemukakan sebagai berikut: “The development strategy consist of public investment programme designed to induce a progressive downward shift in the supply curve of the domestic agricultural sector. The argument in favour of this strategy rest both on its linkage effect, in creating a domestic mass market for industrial product through intermediate and final demand linkages, and on its distributional impact, poor members of society. The proposed strategy is stimultaniously a growth programme, and employment programme since agriculture is considerably more labour intensive than even labour-intensive manufacturing, a basic needs, food security and income distribution programe and industrialization programme.”5 Dapat disimpulkan bahwa startegi industrialisasi ADLI merupakan program investasi masyarakat untuk mendorong kurva suplai produk pertanian menjadi lebih elastis. Permintaan dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industri melalui keterkaitan permintaan barang-barang antara (intermediate demand) dengan permintaan
5
Adelman, 1984. Beyond Export-Led Growth. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Adelman, 1995, hal 291.
70 akhir (final demand). Proses pembangunan industri melalui strategi ADLI bukan hanya merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasan kesempatan kerja, namun juga merupakan program industrialisasi yang dapat mendukung program ketahanan pangan dan pemerataan pendapatan. Dengan uraian demikian, jelas bahwa strategi ADLI merupakan strategi industrialisasi yang akan dapat mendukung pengembangan sektor agroindustri. Paradigma baru pembangunan pertanian menempatkan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain (Adelman, 1984; DeJanvry, 1984). Strategi ini berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, serta meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Mengacu teori keterkaitan, keterkaitan ke belakang merangsang investasi pada industri yang mensuplai input, dan keterkaitan ke depan mendorong investasi untuk tahapan produksi lebih lanjut. Peningkatan produktivitas pertanian melalui keterkaitan ke belakang
akan menstimulus permintaan input
pertanian (pupuk, pestisida dan benih
unggul) dan barang-barang kapital (jaringan irigasi, mesin pertanian, transportasi dan infrastruktur lain) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Sedangkan keterkaitan ke depan akan mendorong pengembangan industri yang menggunakan bahan baku sektor pertanian yaitu sektor agroindustri. Peningkatan kesempatan kerja bukan hanya di sektor pertanian, juga akan menciptakan kesempatan kerja non pertanian maupun jasa. Melalui keterkaitan ke depan, investasi di sektor pertanian tersebut akan menstimulus investasi di sektor industri pengolahan pertanian dan industri non pertanian lain serta jasa. Di sisi lain peningkatan
71 produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang pada akhirnya menstimulus peningkatan konsumsi pangan, baik bahan pangan primer maupun olahan serta
konsumsi non pertanian lain.
Oleh karena itu kunci keberhasilan strategi ADLI
adalah keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan pertanian dan keterkaitan dengan industri pemasok input sektor pertanian. Di negara-negara yang sedang berkembang, konsumsi domestik merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi, dan mengingat sebagian besar penduduk tinggal dan bekerja di sektor pertanian dan menggantungkan hidup mereka di sektor pertanian, maka strategi ADLI merupakan strategi pembangunan pertanian yang memanfaatkan kekuatan permintaan rumah tangga perdesaan dalam rangka meningkatkan barang industri dan jasa yang padat tenaga kerja. Dalam hal ini sektor agroindustri atau industri pengolahan yang berbasis pertanian serta sektor pertanian primer merupakan sektor andalan pembangunan pertanian melalui strategi ADLI. Menurut Adelman (1984) strategi ADLI memiliki potensi untuk bisa mencapai pertumbuhan yang sama cepat dengan strategi Export- Led, tetapi memiliki kelebihankelebihan lain, yaitu menghasilkan tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi, distribusi pendapatan yang lebih baik, menghasilkan Balance of Payment (BOP) yang lebih baik serta mengurangi kemiskinan. Ide dasar strategi ADLI adalah keterkaitan antar sektor yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Hirschman (1958). Hirschman memandang sektor pertanian tidak memiliki keterkaitan yang kuat (khususnya kaitan ke belakang) untuk dapat menstimulir pembentukan kapital sehingga sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai sektor andalan. Pandangan Hirschman tentang sektor pertanian yang hanya berdasarkan atas keterkaitan produk tersebut menempatkan sektor pertanian sebagai sektor yang pasif dan inferior.
72 Perbedaan konsep keterkaitan yang dikembangkan oleh Adelman melalui strategi ADLI dengan konsep keterkaitan sektor sebelumnya (Hirchman, 1958; Panchamukti, 1975; Bulmer dan Thomas, 1982) adalah bahwa penekanan keterkaitan pada strategi ADLI bukan hanya melalui keterkaitan produk tetapi juga pada keterkaitan konsumsi dan investasi. Ranis (1984), De Janvry (1984), Singer (1979), Mellor (1976) dan Adelman (1984) menyatakan bahwa sektor pertanian memiliki potensi untuk menghasilkan permintaan yang menstimulir industrialisasi. Pemikiran tersebut kemudian ditegaskan oleh Adelman (1984) melalui konsep strategi ADLI yang mengutamakan peningkatan produkivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam upaya meningkatkan pendapatan rumah tangga perdesaan. Tujuan industrialisasi menurut konsep ADLI dicapai bukan hanya melalui peningkatan output tetapi juga dengan memperluas permintaan domestik terhadap barangbarang antara dan konsumsi akhir yang diproduksi oleh industri domestik. Keterkaitan antara input antara dengan konsumsi akhir akan memperluas permintaan domestik terhadap barang-barang antara yang diproduksi oleh sektor pertanian dan lebih lanjut akan mendorong investasi pada industri pengolahan. Dengan memfokuskan pada keterkaitan produksi, pendapatan dan konsumsi secara bersama-sama, strategi ADLI bertujuan untuk meningkatkan ekonomi berpendapatan rendah menuju jalur pertumbuhan yang lebih merata dan berkelanjutan. Berdasarkan penjabaran konsep ADLI tersebut, sektor pertanian primer dapat disebut sebagai dasar atau fondasi sedangkan sektor agroindustri sebagai pilar bagi pengembangan strategi ADLI. Strategi ADLI diimplementasikan melalui investasi
infrastruktur di sektor
pertanian primer dan agroindustri baik secara fisik maupun kelembagaan melalui diseminasi teknologi pertanian yang sesuai dan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) yang difokuskan pada produksi pangan skala
73 kecil. Dua tujuan kebijakan yaitu mengatasi hambatan teknologi dan institusi pada produksi pangan sektor pertanian, merupakan inti dari strategi ADLI (Singer, 1979; Adelman, 1984; Mellor, 1986). Mekanisme strategi ADLI adalah dengan mendorong permintaan output industri melalui peningkatan permintaan input industri dan melalui peningkatan konsumsi barangbarang industri, khususnya industri pangan oleh petani. Oleh karena itu kunci keberhasilan strategi ADLI adalah pada pengaruh keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor agroindustri. Model simulasi yang dilakukan oleh Adelman (1984) di beberapa negara industri baru (NICs) seperti Korea menunjukkan bahwa strategi ADLI berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, industrialisasi dan memperbaiki BOP selain juga berhasil meningkatkan distribusi pendapatan dan meningkatkan suplai kebutuhan bahan pokok bagi masyarakat miskin maupun kaya. Dalam konteks indikator ekonomi seperti tersebut strategi ADLI mengungguli strategi industri export-led growh. Keberhasilan strategi ADLI mensyaratkan beberapa asumsi, pertama: (1) adanya keterkaitan yang kuat antar sektor, (2) suplai produk pertanian maupun industri bersifat responsif, dan (3) ketersediaan teknologi pertanian yang sesuai secara spesific dengan komoditas yang dikembangkan, keadaan lahan dan iklim setempat. Kedua, manajemen nilai tukar pertanian dilakukan secara hati-hati sehingga dapat diperoleh peningkatan pendapatan dan keuntungan petani dengan adanya peningkatan produktivitas pertanian tersebut. Ketiga, pengaturan pemilikan lahan sedemikian rupa sehingga petani responsif terhadap insentif harga dan adopsi teknologi pertanian lebih lanjut Selain itu keberhasilan strategi ADLI juga mensyaratkan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga golongan rendah lebih banyak dialokasikan untuk peningkatan konsumsi produk olahan pertanian sehingga akan mendorong peningkatan produk agroindustri yang lebih lanjut akan
74 mengakselerasi investasi sektor agroindustri,
dan peningkatan produktivitas pertanian
dilakukan dengan menggunakan teknologi padat tenaga kerja sehingga berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja (Adelman dan Vogel, 1990). 3.4 Kerangka Pemikiran Menurut Todaro (2000) negara-negara yang sedang berkembang memiliki karakteristik diantaranya: (1) tingkat kehidupan yang rendah yang dicerminkan terutama oleh tingkat pendapatan rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi, akses terhadap pendidikan yang rendah, serta sarana dan fasilitas kesehatan dan perumahan yang buruk, (2) tingkat pengangguran yang tinggi, dan (3) tingkat produktivitas yang rendah. Oleh karena itu tujuan pembangunan nasional adalah bagaimana mengatasi keterbatasan tersebut dengan cara mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan Pertumbuhan ekonomi merupakan persyaratan utama (neccesery condition) untuk mengurangi kemiskinan. Namun dengan hanya memacu pertumbuhan ekonomi saja bukanlah persyaratan yang cukup (sufficient condition) untuk mengatasi masalah kemiskinan karena akan memunculkan trade off terhadap pemerataan yang cenderung buruk (Kuznets, 1955). Pertumbuhan ekonomi akan kehilangan makna bagi golongan miskin apabila dibarengi dengan meningkatnya ketidakmerataan. Atau dengan kata lain jika manfaat dari pertumbuhan tersebut lebih banyak mengarah pada golongan kaya dan keadaan golongan miskin tidak bertambah baik atau bahkan cenderung lebih buruk. Alur pikir kaitan antara pengembangan sektor agroindustri terhadap peningkatan output, penurunan kemiskinan dan distribusi pendapatan disajikan dalam Gambar 5. Paradigma lama pembangunan ekonomi di Indonesia dilakukan melalui program peningkatan produksi nasional. Kebijakan ini dilakukan karena pada awal Pelita I produksi pertanian primer mengalami kekurangan. Oleh karena itu paradigma pembangunan pertanian lebih
75 menekankan pada aspek peningkatan produksi. Sektor pertanian primer dalam hal ini menjadi prime mover pembangunan pertanian karena perannya sebagai sumber penyerapan tenaga kerja, sumber pendapatan sebagian besar masyarakat maupun sumber penyedia bahan baku sektor industri maupun sektor jasa.
KEBIJAKAN PEMERINTAH
SEKTOR PERTANIAN prime mover Pangsa PDRB turun equality
Transformasi ekonomi eo
SEKTOR INDUSTRI padat modal Pangsa PDRB naik inequality
SEKTOR AGROINDUSTRI keterkaitan ke depan dan ke belakang nilai tambah
Output Kesempatan kerja Kemiskinan Distribusi pendapatan
TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Gambar 5. Alur Pikir Penelitian: Pengembangan Sektor Agroindustri
76 Melalui strategi tersebut produksi pertanian primer meningkat secara nyata sekaligus diperoleh pemerataan pendapatan pada tingkat yang moderat (Booth, 2000). Namun keberhasilan pembangunan ekonomi tidak selamanya dapat bergantung pada sektor pertanian primer. Ketika peningkatan produksi primer terjadi secara melimpah (over supply), maka muncul tekanan harga sehingga peningkatan produksi tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan produsen. Upaya terus memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi primer justru akan meningkatkan resiko kerugian disamping terkendala oleh semakin terbatasnya sumberdaya, terutama lahan. Pangsa sektor pertanian primer terhadap pendapatan nasional terus mengalami penurunan. Di sisi lain proses transformasi struktur ekonomi terus berlangsung. Pembangunan sektor industri berjalan cepat dan proses industrialisasi lebih mengarah pada industriindustri padat modal dan padat teknologi yang terbatas dalam penyerapan tenaga kerja. Strategi tersebut memang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi dibarengi dengan munculnya trade off terhadap ketidakmerataan pendapatan (inequality) yang secara bertahap
mengalami
peningkatan6.
Strategi
industrialisasi
seperti
tersebut
juga
menimbulkan kesenjangan (gap) dalam penguasaan teknologi bagi pekerja-pekerja kurang berpendidikan dan ketrampilan sehingga sumberdaya tenaga kerja sektor pertanian (dimana sebagian besar berpendidikan dan berketrampilan rendah) akan terlempar dari pasar tenaga kerja. Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka harus ada paradigma baru pembangunan ekonomi yang mengakar pada tujuan pembangunan nasional yang bukan hanya semata-mata berorientasi pada peningkatan output, namun juga berorientasi pada penurunan kemiskinan serta pemerataan distribusi pendapatan. Salah satu strategi pengembangan sektor pertanian yang mendukung proses industrialisasi adalah melalui 6
Dari data BPS (1999), perbedaan antara pendapatan rumah tangga buruh tani dan golongan atas di kota mulai meningkat setelah tahun 1990 dan mencapai tertinggi tahun 1997-1998.
77 pengembangan agroindustri. Agroindustri memiliki potensi mendorong pertumbuhan yang tinggi karena nilai tambah yang dapat mempercepat transformasi struktur ekonomi dari sektor pertanian ke industri. Agroindustri juga dapat dipandang sebagai transmisi yang paling tepat dalam menjembatani proses transformasi tersebut. Melalui kemampuannya dalam menciptakan kaitan ke depan dan ke belakang agroindustri memiliki spektrum usaha yang luas. Kaitan ke belakang dari suatu investasi baru memunculkan peluang investasi baru lainnya dalam sektor input. Kaitan ke depan menciptakan kesempatan investasi baru yang menggunakan output dari proses terdahulu menjadi input pada proses berikutnya. Karena bahan baku yang digunakan berada di perdesaan, maka pengembangan agroindustri akan menciptakan kesempatan kerja baru di sektor pertanian, mencegah urbanisasi yang selanjutnya berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan dan diharapkan juga akan dapat menciptakan pemerataan yang lebih baik. Penurunan
kemiskinan
atau
peningkatan
pendapatan
masyarakat
akan
meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk agroindustri sehingga akan mendorong
pula
peningkatan
output.
Peningkatan
output
yang
cepat
melalui
pengembangan agroindustri akan lebih menarik pengusaha, investor dan sumberdaya ke sektor tersebut. Kebijakan investasi akan dipusatkan pada kegiatan usaha yang memiliki kaitan intersektoral yang kuat. Hal ini akan meningkatkan pengembangan sektor agroindustri lebih lanjut sebagai akibat dari munculnya investasi baru. Dengan demikian terdapat arus bolak balik antara pengembangan agroindustri dan kebijakan investasi.
3.5. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Kerangka model SNSE
atau model SAM (Social Accounting Matrix Model)
dipakai untuk menjelaskan keterkaitan aspek-aspek ekonomi dan sosial secara kompak dan terpadu.
Model SNSE dapat disebut sebagai perluasan dari model I-O (Input-Output
model), dimana dalam model I-O hanya dijelaskan arus transaksi ekonomi dari sektor
78 produksi ke sektor faktor produksi, rumah tangga, pemerintah dan luar negeri. Sedangkan pada model SNSE, institusi rumah tangga akan menjadi fokus utama analisis dan bersamasama dengan faktor produksi dan kegiatan produksi, unsur-unsur tersebut akan diuraikan secara lebih rinci. Rumah tangga dirinci menurut menurut karakteristik ekonomi, sosial maupun sifat-sifat demografisnya. Faktor produksi dirinci menurut jenisnya, yaitu tenaga kerja dan modal. Sedangkan kegiatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa dirinci menurut lapangan usaha dan komoditas. Selain itu beberapa variabel makroekonomi, yaitu pajak, subsidi dan kapital juga tercakup dalam model SNSE sehingga model SNSE dapat menggambarkan transaksi antar sektor, institusi dan makroekonomi secara komprehensif dan konsisten dalam suatu neraca. Keunggulan model SNSE dibandingkan model I-O adalah bahwa model SNSE dapat menjelaskan distribusi pendapatan dalam perekonomian. Model SNSE merupakan suatu sistem kerangka data yang dapat menghubungkan antar variabel atau subsistem di dalamnya secara terpadu.
Hubungan tersebut seperti
dinyatakan dalam Gambar 6, yang menggambarkan keterkaitan antara: (1) kegiatan atau struktur produksi, (2) distribusi nilai tambah atau distribusi pendapatan faktorial, (3) distribusi pendapatan rumah tangga, serta (4) konsumsi, tabungan dan investasi. Keterkaitan antar variabel diterangkan sebagai berikut. Permintaan produk barang dan jasa oleh rumah tangga dipenuhi melalui proses produksi yang menghasilkan berbagai output (komoditas-komoditas) dengan menggunakan input antara (inermediate input), juga faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal) yang sebagian besar dimiliki oleh rumah tangga. Permintaan turunan (derived demand) terhadap faktor-faktor produksi tersebut kemudian menghasilkan pendapatan faktorial (factorial income) yang diterima rumah tangga sebagai pemilik faktor-faktor produksi. Pendapatan tersebut akan terdistribusi pada kelompok-kelompok rumah tangga sebagai pemilik faktor produksi sehingga ketimpangan pendapatan dapat dilihat dari pola distribusi tersebut. Pendapatan
79 tersebut oleh rumah tangga akan dibelanjakan kembali untuk konsumsi, demikian seterusnya. Output dari sektor produksi juga akan menghasilkan PDB dan penerimaan pemerintah. Proses siklus ekonomi tersebut akan menciptakan berbagai kebutuhan dan kegiatan lain, seperti kebutuhan investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor dan sebagainya.
Kebutuhan dasar Pengeluaran rumah tangga Permintaan akhir
Ekspor, impor, dan neraca pembayaran
Kegiatan Produksi
Konsumsi dan Investasi Pemerintah
Distribusi Pendapatan Rumah tangga
Pemerintah
PDB dan distribusi pendapatan
Gambar 6. Diagram Modular Sistem Neraca Sosial Ekonomi Sumber : BPS (2003) Dengan demikian dalam menganalisis distribusi pendapatan rumah tangga, terdapat hubungan antar tiga bentuk sub-sistem, yaitu: (1) struktur produksi dirinci menurut kegiatan atau sektor-sektor ekonomi, (2) pendapatan (nilai tambah) dari setiap sektor dirinci menurut balas jasa yang dibayarkan kepada masing-masing faktor produksi, dan (3) distribusi pendapatan rumah tangga yang dianalisis melalui pemilikan faktor-faktor
80 produksi oleh berbagai kelompok rumah tangga dan distribusi laba yang dibagikan, serta transfer dari pemerintah kepada rumah tangga. 3.5.1. Kerangka Dasar Kerangka dasar SNSE berbentuk matriks berukuran 4 x 4. Vektor baris menunjukkan rincian penerimaan, sedangkan vektor kolom menunjukkan rincian pengeluaran. Untuk kegiatan yang sama, total nilai transaksi pada kolom harus sama dengan total transaksi pada baris, atau dengan kata lain jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran. Kondisi ini harus terpenuhi agar terpenuhi syarat keseimbangan. Baik vektor penerimaan maupun pengeluaran sesuai fungsinya dibedakan atas variabel eksogen dan variabel endogen. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mengukur pengaruh sebab akibat transaksi (dampak multiplier) dalam analisis matrik tersebut. Empat submatrik atau neraca utama dalam SNSE adalah: (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca lainnya (rest of world) Neraca SNSE dapat diurai ke dalam komponen yang lebih rinci. Round (2003) membedakan neraca sektor produksi atas aktivitas produksi dan komoditas. Neraca insitusi dipisahkan ke dalam 3 komponen, yaitu rumah tangga, pemerintah dan perusahaan, dan terdapat neraca kapital dan neraca Rest of World. Sedangkan komponen yang menyusun pengeluaran maupun penerimaan pada masing-masing neraca ditampilkan pada masingmasing submatrik neraca yang bersangkutan (Tabel 3). Neraca komoditas menjelaskan transaksi pasar domestik. Pengeluaran neraca komoditas pada kolom 1 meliputi pengeluaran untuk impor dan pengeluaran untuk memproduksi barang-barang domestik, yang meliputi biaya-biaya dari sektor jasa dan perdagangan dan pajak langsung. Baris 1 menunjukkan penerimaan dari penjualan domestik barang-barang antara, permintaan akhir rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi. Neraca aktivitas produksi menjelaskan tentang transaksi pembelian bahan-bahan mentah (raw
Tabel 3. Struktur Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi Pengeluaran Pendapatan 1.
Komoditas
2.
Aktivitas produksi
3.
Faktor produksi
Komoditas
Aktivitas produksi Permintaan antara
Neraca kapital
6
Rest of World
Total
Perusahaan
Pemerintah Konsumsi pemerintah
Neraca kapital Investasi dan stok
Nilai tambah faktor produksi Pendapatan tenaga kerja dan lainnya
Perusahaan
5.
Institusi Rumah tangga Konsumsi rumah tangga
Rest World Ekspor
of
Transfer antar rumah tangga
Keuntungan yang dibagikan ke RT
Surplus usaha Pajak produksi
Pajak langsung Tabungan rumah tangga
Pajak langsung Tabungan perusahaan
Pendapatan faktor dari luar negeri Transfer dari pemerintah
Pendapatan tenaga kerja lainnya
Transfer dari luar negeri
Pendapatan rumah tangga
Transfer ke perusahaan
Surplus usaha
Tabungan pemerintah
Transfer kapital
Transfer dari luar negeri Transfer dari luar negeri Transfer kapital dari luar negeri
Pendapatan perusahaan Pendapatan pemerintah Pendapatan atas modal
Impor Penawaran produksi
Biaya produksi
Pembayaran faktor produksi
Pengeluaran rumah tangga
Pengeluaran perusahaan
Total Permintaan produk Penjualan produksi Penerimaan faktor produksi
Penjualan domestik
4. Institusi . Rumah tangga
Pemerintah
Faktor produksi
Pengeluaran pemerintah
Keseimbangan neraca kapital Total investasi
Penerimaan dari ROW Pengeluaran ke ROW
Sumber : Round (2003).
81
82 material), barang-barang antara (intermediate goods), dan sewa faktor produksi untuk memproduksi komoditas. Pengeluaran
neraca aktivitas meliputi pengeluaran untuk
permintaan antara, pembayaran faktor produksi tenaga kerja dan modal yaitu berupa upah dan sewa dan nilai tambah pajak. Penerimaan neraca aktivitas berasal dari penjualan domestik. Neraca faktor produksi menerangkan penerimaan dan pengeluaran dari faktor produksi yaitu tenaga kerja dan modal.Pengeluaran neraca faktor produksi pada kolom 3 meliputi pendapatan yang didistribusikan ke rumah tangga atas tenaga kerja mereka dan keuntungan yang didistribusikan untuk kapital, pajak pendapatan dan pembayaran faktor dari luar negeri. Penerimaan neraca faktor produksi pada baris 3 berasal dari penerimaan upah dan sewa serta pendapatan faktor dari luar negeri. Neraca institusi dibedakan menjadi institusi rumah tangga (yang dapat dibedakan lebih lanjut menjadi beberapa kelompok berdasarkan kelompok sosial ekonomi), institusi pemerintah dan swasta. Pengeluaran untuk insitusi rumah tangga, yaitu dalam bentuk konsumsi, transfer antar rumah tangga, pembayaran untuk pajak serta alokasi untuk tabungan. Sedangkan penerimaan rumah tangga berasal dari pendapatan tenaga kerja dan modal, keuntungan yang dibagikan dan berbagai macam transfer. Pengeluaran dan alokasi untuk tabungan perusahaan. Sedangkan perusahaan menerima pendapatan dari keuntungan yang tidak didistribusikan dan surplus usaha. Pengeluaran pemerintah pada kolom 5 berupa konsumsi pemerintah dan berbagai transfer yang diberikan ke rumah tangga dan perusahaan. Sedangkan pendapatan pemerintah berasal dari nilai tambah pajak dari aktivitas produksi dan berbagai pajak lainnya. Neraca kapital memperoleh pendapatan dari tabungan dan transfer kapital, sedangkan pengeluaran berupa pengeluaran untuk investasi, surplus yang dibagikan ke perusahaan, pendapatan lain yang dibagikan ke faktor produksi serta transfer kapital.
83 Neraca Rest of World adalah neraca yang mencatat transaksi luar negeri, dimana pendapatan bersumber dari ekspor sedangkan pengeluaran berasal dari impor dan transfer ke luar negeri. Susunan SNSE yang sederhana dapat dilihat pada Tabel 4. Setiap neraca terdiri dari satu lajur baris dan satu lajur kolom, yang menunjukkan jenis transaksi yang sama. Isian pada lajur baris menjelaskan struktur penerimaan, sedangkan isian pada lajur kolom menjelaskan struktur pengeluaran. Notasi T i.j digunakan untuk menunjukkan matriks transaksi yang diterima oleh neraca baris ke- i dari neraca kolom ke- j sedangkan notasi Ti menunjukkan total penerimaan neraca ke-i, dan T *j menunjukkan total pengeluaran neraca ke-j. Dalam kerangka SNSE, karena neraca penerimaan harus sama dengan pengeluaran, maka Ti harus sama dengan T*j untuk setiap i = j. Pada setiap angka dalam submatrik mencerminkan hubungan antara transaksi pada satu neraca dengan transaksi pada neraca yang lain dan memiliki makna singkat Sedangkan perpotongan antar neraca yang tidak memiliki arti ditunjukkan oleh simbol 0. Dengan demikian dari perpotongan antar neraca tersebut, terdapat empat perpotongan neraca baris dan kolom pada neraca SNSE yang dipandang penting, yaitu: (1) perpotongan antara submatrik faktor produksi dan sektor produksi (T1.3) yang menggambarkan alokasi nilai tambah dari sektor produksi ke faktorfaktor produksi, (2) perpotongan antara submatrik institusi dan faktor produksi (T2.1) yang menggambarkan alokasi pendapatan faktor produksi ke institusi rumah tangga, pemerintah dan swasta, (3) perpotongan antara submatrik sektor produksi dan institusi yang menggambarkan struktur permintaan akhir institusi menurut komoditas pada sektor produksi (T3.2), dan (4) perpotongan antara submatrik sektor produksi dan sektor produksi (T3.3) yang menggambarkan struktur permintaan antara sektor produksi. Dari hubungan antar transaksi neraca seperti pada Tabel 4, kinerja perekonomian nasional yang dapat ditunjukkan melalui kerangka dasar SNSE diantaranya adalah:
84 a. Distribusi Pendapatan Faktorial: ditunjukkan melalui submatrik T1.3 yaitu alokasi nilai tambah (Produk Domestik Bruto/PDB) yang dibayarkan oleh berbagai sektor produksi kepada faktor produksi tenaga kerja (upah dan gaji) dan faktor produksi bukan tenaga kerja atau kapital (misalnya sewa tanah). Submatrik T1.4 menunjukkan pendapatan faktor produksi yang diterima dari luar negeri. Tabel 4. Hubungan Antar Neraca Sistem Neraca Sosial Ekonomi Penerimaan Faktor produksi
Institusi
Sektor produksi
Neraca lainnya
Total
Faktor produksi
Institusi
0
0
T 2.1 Alokasi pendapatan faktor produksi ke institusi
T2.2 Transfer antar institusi
0 T 4.1 Alokasi pendapatan faktor produksi ke luar negeri * T .1 Distribusi pengeluaran faktor produksi
T3.2 Permintaan akhir T4.2 Tabungan
*
T .2 Distribusi pengeluaran institusi
Pengeluaran Sektor Produksi T1.3 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi 0
T3.3 Permintaan antara T4.3 Impor,pajak tidak langsung *
T .3 Total input
Neraca lainnya
Total
T1.4 Pendapatan faktor produksi dari luar negeri T2.4 Transfer dari luar negeri
T1. Distribusi pendapatan faktorial T2. Distribusi pendapatan institusi
T3.4 Ekspor dan investasi T4.4 Transfer dan neraca lainnya
T3. Total output T4. Total penerimaan lain
*
T .4 Total pengeluaran lainnya
Sumber : Pyatt dan Round (1985) Dengan demikian persamaan matriks distribusi pendapatan faktorial dirumuskan melalui persamaan matriks sebagai berikut: T1 = T1.3 + T1.4 ............................................................................................. (1) b. Distribusi pendapatan rumah tangga: ditunjukkan melalui submatrik T2.1, T2.2 dan T2.4. Submatrik T2.1 menunjukkan alokasi pendapatan faktor produksi yang dibayarkan oleh sektor produksi kemudian diterima oleh berbagai institusi, diantaranya rumah tangga. Dengan perkataan lain, submatrik T2.1 merupakan mapping dari submatrik faktor produksi dari berbagai sektor ekonomi kepada berbagai golongan institusi,
85 termasuk rumah tangga. Submatrik T2.2 menunjukkan transfer antar institusi, misalnya pemberian subsidi dari perusahaan ke rumah tangga dan submatrik T2.4 menjelaskan transfer yang diterima dati luar negeri. Penjumlahan dari ketiga submatrik tersebut menggambarkan distribusi penerimaan rumah tangga yang berasal dari proses distribusi dan redistribusi pendapatan faktorial, sebagai berikut: T2 = T2.1 + T 2.2 + T2.4 .................................................................................. (2) c. Distribusi pengeluaran rumah tangga: ditunjukkan melalui kolom institusi. Pada kolom tersebut dapat diperoleh informasi struktur pengeluaran rumah tangga menurut berbagai komoditas (submatrik T3.2 ). Sedangkan submatrik T4.2 menunjukkan besarnya tabungan yang merupakan selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran rumah tangga menurut masing-masing golongan. Distribusi pengeluaran rumah tangga ditunjukkan melalui persamaan matriks: T* 2 = T2.2 + T 3.2 + T 4.2 ................................................................................. (3) d. Distribusi pengeluaran input produksi : ditunjukkan melalui submatriks T 1.3 yang merupakan balas jasa / kompensasi tenaga kerja yang bekerja di masing-masing sektor produksi yang harus dibayarkan dalam proses produksi, T3.3 yang berupa pembelian input antara dan T4.3 yaitu pengeluaran untuk impor dan pajak. Dengan demikian distribusi pengeluaran input produksi ditunjukkan melalui persamaan matriks: T*3 = T1.3 + T 3.3 + T 4.3 .................................................................................. (4) Beberapa asumsi yang melandasi model SNSE adalah: (1) seluruh kegiatan ekonomi dibagi habis ke dalam sektor dan institusi, (2) terdapat keseimbangan jumlah penerimaan dan pengeluaran dari masing-masing sektor atau institusi, (3) teknologi produksi dan dukungan sumberdaya merupakan variabel yang tetap, (4) harga adalah konstan, (5) tidak terdapat eksternalitas negatif, dan (6) perekonomian dalam keadaan ekuilibrium.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka model SNSE mengandung
keterbatasan yaitu analisis yang dihasilkan bersifat statik dan jangka pendek.
86 3.5.2. Analisis Pengganda Pengganda neraca SNSE dapat menunjukkan perubahan pendapatan yang terjadi pada variabel endogen tertentu (pada sektor produksi atau institusi) apabila ada injeksi pendapatan pada neraca eksogen (Bautista et al., 1999). Untuk menyusun kerangka matriks analisis pengganda neraca (accounting multiplier adalah sebagai berikut: 1. Mencari
besaran
kecenderungan
pengeluaran
rata-rata
(average
expenditure
propensity) atau disebut sebagai koefisien input. Besaran tersebut dapat dicari dengan membagi masing-masing isian dari setiap sel terhadap nilai total keseluruhan: Aij = Tij (Tj)-1.................................................................................................... (5) dimana: Aij = Kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity) atau koefisien input Tij = Neraca/submatriks baris ke-i, kolom ke-j Tj = Total kolom ke-j. 2. Dengan menggunakan koefisien input A ij dan memisahkan neraca eksogen, maka matriks SNSE dapat ditulis sebagai berikut: T1 T2 = T3 T4
0 A2 .1 0 A4 .1
0 A2 .2 A3 .2 A4 .2
A1.3 0 A3.3 A4 .3
T1 T2 + T3
Apabila Xi merupakan vektor matriks Ti.4
T1 .4 T 2 .4 .............................................(6) T3 .4 T4 .4
untuk masing-masing i = 1,2,3,4, maka
persamaan (2) dapat ditulis pula sebagai: T1 0 T2 = A2 .1 T3 0
0 A2 .2 A3 .2
A1 .3 0 A3.3
T1 T2 + T3
X 1 X ............................................... (7) 2 X 3
dan T4
= A 4.1 T1 + A4.2 T2 + A4.3 T 3 ............................................................... (8)
87 dimana T4 merupakan neraca eksogen dalam kerangka SNSE dan nilainya dapat dicari apabila T1 , T2 dan T 3 diketahui. Persamaan matriks di atas dapat ditulis dalam notasi matriks sebagai: T = AT + X
............................................................................. (9)
T - AT = X
.......................................................................... (10)
T ( I - A ) = X ........................................................................ (11) T = ( I - A ) -1 X ....................................................................... (12) T = Ma X .................................................................................. (13) dimana Ma = (I – A)-1 disebut sebagai matriks pengganda neraca (accounting multiplier) dan (I – A) -1 disebut sebagai matriks kebalikan Leontief. Model tersebut menjelaskan bahwa pendapatan neraca endogen (yaitu neraca faktor produksi, neraca institusi dan neraca sektor produksi) yang dinyatakan dalam notasi T, akan berubah sebesar Ma unit akibat adanya perubahan neraca eksogen, dinyatakan dalam notasi X sebesar satu unit. Besarnya Ma ditentukan oleh besaran koefisien multiplier pada matriks (I – A)-1. Analisis pengganda neraca dapat memperlihatkan keterkaitan sektor-sektor ekonomi dan informasi mengenai pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat. Dalam model pengganda neraca SNSE, yang dianggap sebagai neraca eksogen adalah: (1) neraca pemerintah, (2) neraca kapital, (3) neraca pajak tidak langsung neto, dan (4) neraca luar negeri. Sedangkan yang dianggap sebagai neraca-neraca endogen adalah: (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi (rumah tangga, pemerintah dan perusahaan), (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca komoditas domestik dan komoditas impor. Pengganda neraca Ma dapat didekomposisi menjadi beberapa komponen. Pyatt dan Round (1985) dalam Daryanto (2000) melakukan dekomposisi pengganda neraca Ma ke dalam beberapa komponen.
Dekomposisi dilakukan untuk melihat proses perubahan
neraca endogen akibat dari perubahan neraca eksogen. Terdapat tiga komponen hasil dekomposisi matriks neraca pengganda Ma dalam bentuk perkalian (multiplikatif) yang dirumuskan sebagai berikut:
88 Ma = Ma.3Ma.2Ma.1 ..................................................................................... (14) Atau dalam bentuk pertambahan (aditif) sebagai berikut: Ma = I + (Ma.1 – I) + (Ma.2 – I) Ma.1 + (Ma.3 – I) Ma.2Ma.1 ................... (15) dimana: I Ma 1 –I (M a2 –I) Ma1 (M a3
= initial injection (injeksi awal) = net contribution of transfer multiplier (pengganda transfer) = effects multiplier-cross atau loop open of on contribution net (pengganda open loop) –I) M a2 Ma1 = effects multiplier loop-closed atau circular of on contribution net (pengganda close loop)
Bentuk pertama dari persamaan (15) adalah matriks Identitas (I) yang menggambarkan dampak awal injeksi neraca eksogen terhadap neraca endogen. Bentuk kedua, ketiga dan keempat adalah matriks hasil dekomposisi matriks pengganda neraca, yaitu pengganda transfer, pengganda open loop dan dan pengganda cloose loop. Makna ekonomi dari komponen pengganda neraca tersebut sebagi berikut. 1. Pengganda transfer (Ma.1) Menunjukkan dampak yang terjadi di dalam set neraca dimana injeksi awal diberikan.
Misalnya injeksi awal diberikan terhadap neraca sektor produksi, maka
pengganda transfer akan bekerja pada neraca sektor produksi. Oleh karena itu pengganda transfer dikatakan akan menimbulkan dampak bagi dirinya sendiri (own effect). Pengganda transfer dinyatakan dalam bentuk matriks sebagai berikut. ~
Ma.1
0 0 A = 0 A2.2 0 0 ~
dimana
= (I – A )-1 ......................................................................................... (16) 0 0 ............................................................................... (17) A3 .3
Sehingga Ma.1 dalam bentuk matriks dapat dinyatakan sebagai: 0 0 Ma.1 = 0 ( I A2.2 ) 1 0 0
............................................................. (18) 0 I A3 .3 ) 1 0
89 2. Pengganda open loop (Ma.2) Menunjukkan dampak yang terjadi terhadap neraca lain sebagai akibat adanya injeksi awal yang diberikan pada neraca tertentu. Misalnya injeksi awal yang diberikan kepada neraca sektor produksi menyebabkan kenaikan output sektor produksi yang selanjutnya kenaikan output tersebut akan berakibat pada kenaikan tenagakerja dan pendapatan rumah tangga. Hal ini berarti dengan adanya injeksi terhadap neraca sektor produksi akan memberikan dampak bagi sektor produksi dan institusi. Oleh karena itu pengganda open loop dikatakan memiliki cross effect. Dalam bentuk persamaan matriks, pengganda open loop dinyatakan sebagai berikut. Ma.2 = I + A* + A*2 .................................................................................. (19) dimana A* = (I – A^)-1 (A– A^) ................................................................................ (20) dan A^ adalah matriks diagonal A, sehingga A* dalam bentuk matriks dapat ditulis: 0 A* = A2*.1 0
Jika A1*.31 = A 1.3;
0 0 A3*.2
A1*.3 0 ......................................................................... (21) 0
A2*.1 = (I – A2.2)-1 A2.1; dan A *3.2 = (I – A3.3)-1 A3.2 , maka Ma.2
dapat ditulis sebagai: I Ma2 = A2*.1 A3*.2 A2*.1
A1*.3 A3*.2 I A3*.2
A1*.3 A2*.1 A1*.3 ........................................................... (22) I
3. Pengganda close loop (Ma.3) Menunjukkan pengaruh dari suatu neraca ke neraca lain yang kemudian kembali pada neraca semula sedemikian sehingga dampaknya menjadi kecil sekali dan dapat diabaikan. Dalam bentuk matriks, Ma.3 dinyatakan sebagai:
Ma.3
(I A13* A32* A21* )1 = 0 0
0 ( I A21* A13* A32* ) 1 0
0 ............. (23) * * * 1 ( I A32 A21 A13 ) 0
90 3.5.3. Analisis Jalur Struktural Kerangka kerja SNSE dapat menjelaskan arus hubungan atau keterkaitan karakteristik antar sistem ekonomi, yaitu antar aktivitas produksi, distribusi pendapatan faktorial dan distribusi pendapatan
antar institusi, khususnya antar kelompok rumah
tangga yang berbeda sosial ekonominya. Pengaruh
adanya stimulus (injeksi) pada
variabel eksogen terhadap variabel endogen dapat ditangkap melalui analisis pengganda. Namun analisis tersebut tidak dapat menjelaskan mekanisme struktural dan tingkah laku dari pengaruh tersebut. Ditinjau dari perspektif kebijakan, pengetahuan mengenai besaran nilai pengganda tersebut penting, namun akan lebih bermakna secara operasional apabila dilengkapi dengan analisis jalur struktural (Structural Path Analysis = SPA) yang dapat mengidentifikasi jaringan atau arah jalur dimana pengaruh injeksi tersebut ditransmisikan dari sektor awal ke sektor tujuan akhir (Defourny and Thorbecke, 1984; Isard et al., 1998). Sebagai contoh dapat dijelaskan jaringan atau jalur pengaruh injeksi pada industri tekstil di perdesaan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pendapatan petani kecil. Peningkatan output tekstil memerlukan tenaga kerja tidak berpendidikan yang dapat dipenuhi oleh dua kelompok rumah tangga, yaitu rumah tangga petani kecil dan kelompok rumah tangga tidak berlahan sebagai penyedia tenaga kerja. Mengingat kedua kelompok rumah tangga tersebut tergolong rumah tangga miskin, maka peningkatan pendapatan yang mereka peroleh dengan di bekerja di pabrik tekstil tersebut dibelanjakan untuk tanaman pangan. Selanjutnya peningkatan produksi tanaman pangan akan memerlukan tenaga kerja tidak berpendidikan dari golongan rumah tangga petani kecil, dengan demikian akan meningkatkan peningkatan mereka lebih lanjut. Dengan contoh di atas, jalur yang terjadi dari peningkatan produksi tekstil, sebagai pusat atau kutub asal, ke pendapatan petani kecil, sebagai kutub tujuan, dapat diidentifikasi sebagai jalur langsung dan jalur yang bersifat tidak langsung. Jalur langsung yaitu jalur yang berasal dari peningkatan produksi tekstil ke permintaan tenaga kerja tidak
91 berpendidikan (yang berasal dari petani kecil), selanjutnya ke penambahan pendapatan rumah tangga kecil. Jalur yang bersifat tidak langsung yaitu jalur dari peningkatan output industri tekstil, ke peningkatan permintaan tenaga kerja tidak berpendidikan (sebagai faktor produksi), ke peningkatan permintaan pangan, ke peningkatan permintaan tenaga kerja yang dipasok oleh petani kecil dan buruh tani sebagai faktor produksi, dan selanjutnya ke peningkatan pendapatan golongan rumah tangga petani kecil. Nilai pengganda, yang merupakan ukuran dari pengaruh global yang terjadi antara kutub asal dan kutub tujuan dapat didekomposisi ke dalam beberapa pengaruh total yang akan melintasi jalur yang berbeda antara dua kutub tersebut. Dalam melakukan analisis SPA, untuk mengkaji keeratan hubungan antara dua sektor atau dua kutub dapat digunakan konsep pengeluaran rata-rata (aij) atau pengeluaran marjinal (cij ), yaitu untuk menunjukkan arah atau arc (ij) yang menghubungkan dua kutub yang dapat diartikan sebagai besaran pengaruh yang ditransmisikan dari kutub i ke kutub j. Dalam penelitian ini akan digunakan konsep pengeluaran rata-rata. Jalur yang menghubungkan kutub asal ke kutub tujuan dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama adalah jalur dasar (elementary path), yaitu jalur yang melewati kutub yang sama tidak lebih satu kali (Defourny dan Thorbecke, 1984; Isard et al., 1998) Kedua, jalur sirkut (circuit path) yaitu jalur dimana kutub asal dan kutub tujuan menjadi kutub yang sama, atau dengan kata lain, setelah jalur tersebut melalui satu kutub yang merupakan kutub asal akan kembali lagi ke kutub tersebut. Pada Gambar 7, jalur (i,x,y,j) adalah jalur dasar, dimana pengaruh dari kutub asal yaitu sektor i ke kutub tujuan yaitu sektor j, melewati sektor x dan sektor y dimana masing-masing hanya dilalui satu kali. Sedangkan jalur (x,y,z,x) merupakan jalur sirkuit, dimana pengaruh dari sektor i ditransmisikan ke sektor x, y dan z selanjutnya kembali lagi ke sektor x. Dengan jalur tersebut sektor x dilalui jalur dua kali. Jalur seperti diperlihatkan melalui Gambar 7 tersebut
92 dapat diinterpretasikan secara kuantitatif melalui konsep pengaruh, yang dinamakan: (1) pengaruh langsung, (2) pengaruh total, dan ( 3) pengaruh global. a yx y ajy axi
x
axy azy
i
j
z axz
Gambar 7. Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit Sumber : Defourny dan Thorbecke (1984).
(1) Pengaruh Langsung Pengaruh langsung dari sektor i ke sektor j yang ditransmisikan melalui jalur dasar secara empiris dapat diartikan sebagai perubahan pendapatan atau produksi sektor j yang disebabkan
oleh adanya perubahan sektor i sebesar satu satuan. Pengaruh langsung
tersebut bisa hanya melalui satu jalur atau beberapa jalur. Pada Gambar 7, pengaruh langsung dari sektor i ke sektor x sepanjang panah (i,x) dapat dituliskan sebagai: ID(i→x) = axi .....................................................................................................(24) dimana I menyatakan intensitas atau besaran
pengaruh dan subskrip D menyatakan
pengaruh tersebut bersifat langsung dan axi menyatakan elemen matriks kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (avereage propensity to consume). Untuk kasus pengaruh langsung sepanjang jalur dasar tertentu, yaitu p = (i,x,y,j) dimana pengaruh dari sektor i ke sektor j ditransmisikan melalui beberapa arah sepanjang jalur, seperti pada Gambar 7 b, dituliskan sebagai: ID(i→j)p = ID(i,x,y,j) = axiayxajy................................................................................(25)
93 (2) Pengaruh Total Untuk struktur dimana terjadi interaksi antar kutub, misalnya kutub pada jalur dasar dihubungkan dengan kutub lain dan jalur lain sehingga membentuk suatu sirkuit, akan menghasilkan pengaruh yang lebih kompleks pada jalur yang sama. Untuk menangkap pengaruh langsung dan tidak langsung tersebut, digunakan konsep Pengaruh Total. Pengaruh langsung dari sektor i ke sektor y adalah axi dan ayx yang kemudian ditransmisikan kembali ke sektor x melalui dua loop, yaitu loop pertama menghasilkan pengaruh axia yxaxy Loop kedua menghasilkan pengaruh axiayx azyaxz tersebut secara bersama-sama menghasilkan
.
Kedua pengaruh
pengaruh sebesar (axiayx )( axy + azyaxz).
Pengaruh tersebut selanjutnya ditransmisikan lagi dari x ke y.
Proses tersebut
menghasilkan suatu seri atau suatu sekuen putaran antara x dan y yang dituliskan sebagai berikut. axiayx
1
= axiayx
+ayx( axy + azyaxz) + a yx a xy azy a xz 2 + a yx a xy a zy a xz 3 +.......
1
- ayx( axy + azyaxz)
-1 .................................................................(26)
dimana sisi sebelah kiri persamaan (26) merupakan suatu seri geometri dengan aix, a yx, axy, azy , axz < 1 sehingga dengan manipulasi aljabar dapat dihasilkan sisi sebelah kanan. Untuk menyelesaikan transmisi sepanjang jalur dasar p, harus melewati panah (y,j) sehingga pengaruh di atas harus dikalikan dengan cjy untuk memperoleh total pengaruh sepanjang jalur tersebut, sebagai berikut. IT(i→j)p = axiayxajy
1
- ayx ( a xy + azyaxz)
-1 ..................................................(27)
Dimana bagian pertama dari persamaan sisi sebelah kanan (axiayxajy) merupakan pengaruh langsung, atau dinyatakan sebagai ID(i→j)p dan bagian lainnya merupakan nilai pengganda jalur M p (multiplier), sehingga pengaruh total dapat ditulis sebagai berikut. IT(i→j)p = ID(i→j)p Mp ...........................................................................................(28)
94 Mp merupakan suatu skalar dimana pengaruh langsung sepanjang jalur p diperkuat melalui efek balik sirkuit. (3) Pengaruh Global Pengaruh global dari kutub i ke kutub j mengukur efek total pada pendapatan atau produksi pada kutub j sebagai konsekuensi adanya injeksi satu satuan pada kutub i (variabel exogen xi) ke kutub y (variabel endogen yi). Pengaruh global merupakan bentuk turunan (reduced form) dari model SNSE, dituliskan sebagai berikut. yn = (I – A n)-1x = Max .................................................................................(29) Jika maji merupakan elemen matriks ke (i,j) dari pengganda multiplier Ma , maka maji tersebut menangkap efek penuh dari adanya injeksi pada variabel eksogen xi terhadap variabel endogen yj, sehingga: IG(i→j)p = maji ....................................................................................................(30) sedangkan matriks Ma = ( I – An)-1 disebut matriks pengaruh global. Apabila pengaruh langsung terkait dengan jalur dasar yang terpisah dari struktur lainnya dan merupakan efek langsung sepanjang jalur utama, maka pengaruh global berbeda dengan pengaruh langsung.
Pertama, pengaruh global menangkap pengaruh
langsung yang ditransmisikan oleh semua jalur dasar yang menghubungkan dua kutub. Dengan dua kutub i dan j tertentu, pengaruh injeksi dari kutub i terhadap output atau pendapatan j dinyatakan melalui seluruh jalur yang menghubungkan kutub asal i ke kutub tujuan
j.
Sesuai dengan asumsi additivitas pada SNSE, pengaruh langsung yang
ditransmisikan dari kutub i ke kutub j sepanjang jalur dasar yang berbeda namun dengan kutub asal dan tujuan yang sama, merupakan penjumlahan pengaruh langsung yang ditransmisikan sepanjang jalur dasar masing-masing. Kedua, jalur-jalur tersebut merupakan bagian integral dari struktur, yang di pilah-pilah untuk dapat dihitung pengaruh langsungnya. Dengan demikian pengaruh global adalah gabungan dari seluruh pengaruh
95 induksi dan pengaruh balik dari jalur sirkuit tersebut, yang merupakan penjumlahan dari semua pengaruh total jalur-jalur dasar dari kutub i ke kutub j. Gambar 8 merupakan jalur dasar yang bersebelahan dengan jalur sirkuit seperti pada Gambar 7 namun ditambah dua jalur dasar dengan kutub asal i dan kutub tujuan j yang sama, yaitu jalur (i,s,j) dan jalur (i,v,j). Dari Gambar tersebut terlihat bahwa jalur (i,s,j) merupakan jalur dasar. Sedangkan pada jalur (i,v,j) terdapat satu putaran (loop) yang berpusat di v. Untuk menyederhanakan, kedua jalur tersebut disebut jalur 2 dan jalur 3, sedangkan jalur awal (pada Gambar 7) disebut jalur 1. Dengan demikian pengaruh global dari kutub asal i ke kutub tujuan i dapat dituliskan sebagai berikut. IG(i→j) = maji = IT(i,x,y,j) + IT (i,s,,j) + IT(i,v,j) = IT(i→j)1 + IT (i→j)2 + IT(i→j)3 = ID(i→j)1 M1 + asi asj + (avi ajv)(I- cvv)-1 = ID(i→j)1 M1 + ID(i→j)2 + ID(i→j)3 M3 .......................................(31) Pada jalur kedua multiplier adalah satu karena jalur tersebut tidak memiliki jalur sirkuit. Dengan demikian, secara umum pengaruh global yang menghubungkan setiap kutub dari ayx axj x y ajy axy i
axz
azy z
avi
asi
j
ajs s v
ajv
avv Gambar 8. Jaringan Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit yang Menghubungkan Kutub i dan j. Sumber : Defourny dan Thorbecke (1984).
96 struktur dapat didekomposisi ke suatu seri pengaruh total yang ditransmisikan ke setiap atau seluruh jalur dasar yang menghubungkan kutub i dan kutub j sebagai berikut: IG(i→j) = maji =
n
I (Ti j ) p = p 1
n
I p 1
D (i j ) p
M p ................................................. (32)
dimana p menggantikan jalur dasar 1,2,k,.....,n. 3.6. Pendekatan Cross-Entropy Pendekatan Cross-Entropy telah banyak diterapkan oleh ahli ekonomi untuk mengestimasi matriks sosial ekonomi atau SAM (Robinson et al., 2000; Robinson dan El-Said, 1997). Teknik Entropy merupakan suatu metode untuk mengatasi masalah yang menyangkut matriks identitas. Model SNSE Indonesia merupakan model dengan kerangka data yang bersifat agregat dan diterbitkan secara periodik 5 tahun sekali. Dengan demikian untuk memperoleh data SNSE pada tahun tertentu dan terdisagregasi secara lebih rinci dapat digunakan metode RAS dan metode Cross-Entropy. Dalam melakukan disagregasi model SNSE, data yang didisagregasi adalah data dari sisi neraca pengeluaran, sedangkan model SNSE mensyaratkan neraca pengeluaran harus sama dengan neraca penerimaan. Oleh karena itu neraca penerimaan dan pengeluaran harus diseimbangkan dengan menggunakan pendekatan Cross-Entropy agar diperoleh persyaratan keseimbangan. Metode Cross-Entropy merupakan perluasan dari metode RAS, dimana metode Cross-Entropy lebih fleksibel digunakan untuk mengestimasi SNSE dengan data yang tersebar dan tidak konsisten yang diakibatkan oleh perlakuan disagregasi. Sedangkan metode RAS mengasumsikan data konsisten secara baris maupun kolom berdasarkan kerangka SNSE terdahulu sehingga lebih cocok digunakan untuk keperluan updating. Metode Cross-Entropy dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan stokastik dan pendekatan deterministik Pendekatan stokastik digunakan apabila terdapat
97 ketergantungan yang bersifat random antara satu variabel dengan variabel lain. Sedangkan pendekatan deterministik dilakukan apabila ketergantungan tersebut bersifat fungsional. Dalam penelitian ini metode Cross-Entropy dilakukan dengan pendekatan fungsional, karena variabel yang akan didisagregasi hanya untuk tahun tertentu sehingga ketergantungan antar variabel bersifat fungsional. Jika T i, j merupakan matrik transaksi SNSE yang memiliki i baris dan j kolom dan matriks T i , j merupakan matriks yang memiliki struktur yang koheren, atau dengan kata lain: Yi =
T
i. j
=
i
T
.................................................................................(33)
ji
i
Dalam kerangka SNSE, setiap jumlah baris (Yi ) harus sama dengan jumlah kolom (Y*i) Dengan membagi masing-masing sel pada matriks dengan total kolom, akan diperoleh matriks dari koefisien kolom A: Ai.j =
T i. j
.................................................................................................. (34)
Yj
Masalah Entropy diawali dengan adanya matriks A sebagai
matriks awal yang
tidak seimbang, maka prosedur Cross-Entropy adalah untuk memperoleh matriks baru A*, dengan meminimumkan perbedaan antara matriks A dengan matriks A* : Min L = A
Ai. j ln i
j
Ai . j
A
Ai. j ln Ai. j i
j
Ai. j ln Aij ..................(35) i
j
dengan kendala:
A
i. j
Yi* Yi* .............................................................................................. (36)
i
A
. ij
1 , dimana
0 A.ij 1 ............................................................ (37)
i
Dengan menggunakan formula Lagrange, dapat diperoleh:
98
Ai.j =
Ai . j exp iY j*
A
i. j
exp iY j*
................................................................................... (38)
i
dimana λi adalah Lagrange multiplier. Dengan menggunakan metode Cross-Entropy dalam prosedur analisis data SNSE tersebut, masalah inkonsistensi dan inakurasi data yang diestimasi dapat diatasi. Jika antara data awal dengan data yang akan diestimasi tidak saling tergantung, maka Cross-Entropy akan mendekati nol. 3.7. Konsep Distribusi Pendapatan Terdapat beberapa macam metode untuk mengukur distribusi pendapatan. Secara umum metode-metode tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) non parametrik, dan (2) parametrik. Metode yang bersifat non parametrik diantaranya adalah: metode Theil indices atau indeks Theil, Gini indices atau indeks Gini, dan konsep dari World Bank (Todaro, 2000). Sedangkan konsep distribusi pendapatan yang menggunakan metode parametrik diantaranya adalah: Normal distribution, Lognormal distribution, Pareto distribution, dan Beta Distribution (Boccanfuso et al., 2002). Metode-metode tersebut secara ringkas diuraikan sebagai berikut. Indeks Theil merupakan salah satu metode untuk mengukur distribusi pendapatan yang bersifat non parametrik. Terdapat dua macam indeks Theil, pertama, Theil-T yaitu indeks Theil yang dalam perhitungannya berdasarkan pembobot pangsa populasi dan Theil -L yaitu indeks Theil dengan pembobot pangsa pendapatan. Indek Gini mempunyai selang nilai antara 0 dan 1. Bila indek Gini bernilai 0 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata, sedangkan bila bernilai 1 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat tidak merata. Namun kedua nilai ekstrim tersebut jarang dijumpai. Kriteria ketidakmerataan dinyatakan sebagai berikut.
99 Koefisien Gini berada diantara 0. 2 sampai dengan 0.35 maka distribusi pendapatan disebut sebagai merata. Koefisien Gini berada diantara 0.35 sampai dengan 0.5 maka distribusi pendapatan disebut sebagai tidak merata, dan koefisien Gini berada diantara 0.5 sampai dengan atau lebih dari 0.7 maka distribusi pendapatan disebut sebagai sangat tidak merata. Sedangkan
konsep distribusi pendapatan menurut World Bank adalah dengan
membagi populasi menjadi 3 kelompok, yaitu 40 persen berpendapatan rendah, 40 persen berpendapatan menengah, dan 20 Persen berpendapatan tinggi. Kriteria ketimpangan pendapatan yang digunakan yaitu bila 40 persen populasi berpendapatan rendah: (1) menerima kurang dari 12 persen dari total pandapatan, maka ketidakmerataan pendapatan disebut sebagai tinggi, (2) menerima 12 persen sampai dengan 17 persen dari total pendapatan, maka ketidakmerataan pendapatan disebut sebagai sedang, dan (3) menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan, maka ketidakmerataan pendapatan disebut sebagai rendah (Todaro, 2000). Ukuran Wold Bank direpresentasikan melalui kurva Lorenz, yang menjelaskan hubungan antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama satu periode tertentu. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan sempurna) semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatan. Metode yang bersifat parametrik, yaitu metode Normal distribution atau distribusi normal menggunakan dua parameter statistik, yaitu µ, rata-rata (mean) dan σ, standard deviasi. Distribusi normal yang bersifat standard menetapkan µ=0 dan σ=1. Metode lain adalah Lognormal distribution, yang hampir sama dengan metode Normal distribution. Jika pendapatan X pada metode Normal distribution didistribusikan secara normal maka pada metode Lognormal distribution, pendapatan X didistribusikan secara lognormal. Metoda Lognormal dapat digunakan hanya untuk nilai X positif.
Sedangkan metode
100 Pareto distribution dan Beta distribution digunakan untuk menganalisis kecondongan (skewness) distribusi pendapatan. Dalam penelitian ini, distribusi pendapatan dianalisis dengan menggunakan salah satu metode non parametrik, yaitu metode Indeks Theil. Distribusi yang dimaksud adalah distribusi output sektoral, pendapatan, tenaga kerja dan rumah tangga. Properti yang terdapat pada indeks Theil adalah: (1) additively decomposable atau dapat didekomposisi dan bersifat aditif, (2) mean independence atau income-zerohomogeneity, (3) population-size-independence, dan (4) Pigou-Dalton principle of transfer (Akita et al., 1999). Indeks ketimpangan dikatakan additively decomposable jika total indeks ketimpangan dapat dinyatakan sebagai penjumlahan ketimpangan antar kelompok dan dalam kelompok itu sendiri.
Mean independence dapat diartikan bahwa indeks
ketimpangan tidak berubah jika pendapatan setiap orang dalam kelompok meningkat dengan proporsi yang sama. Population-size independence diartikan indeks ketimpangan tidak berubah jika populasi dalam setiap kelompok meningkat dengan proporsi yang sama, atau dapat dikatakan indeks tersebut hanya tergantung pada frekuensi atau jumlah populasi relatif pada setiap kelompok dan bukan jumlah absolut populasi. Sedangkan
Pigou-
Dalton principle of transfer menyatakan bahwa setiap transfer pendapatan dari rumah tangga yang lebih kaya ke rumah tangga miskin yang tidak mengubah ranking pendapatan, akan menurunkan nilai indeks ketimpangan. Andaikan populasi rumah tangga dikelompokkan ke beberapa kelompok, dan apabila ketimpangan pendapatan antar kelompok akan dianalisis secara agregat maka indeks Theil dapat dinyatakan
dalam dua macam indeks yaitu berdasarkan pangsa
pendapatan ( T ) dan berdasarkan pangsa populasi ( L), dirumuskan sebagai berikut.
T =
Yij Yij / Y ..........................................................................(39) log n ij / n
Y i
j
101
dan
L =
nij i j n
nij / n log Y / Y .......................................................................... (40) ij
dimana Yij jumlah pendapatan rumah tangga klas i dalam kelompok j, Y adalah total
Y
pendapatan seluruh rumah tangga (=
ij
i
), nij jumlah rumah tangga klas i dalam
j
kelompok j dan n adalah total jumlah rumah tangga (=
n i
ij
).
j
Karena nij /n merupakan pangsa populasi rumah tangga klas j di kelompok i dan Yij/Y merupakan pangsa pendapatan rumah tangga klas j dalam kelompok i maka kedua indeks tersebut membandingkan antara pangsa populasi dan pangsa pendapatan untuk setiap sel (i,j) dimana keduanya merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga. Dalam hal ini indeks Theil-T menggunakan pangsa pendapatan sebagai pembobot, sedangkan indeks Theil-L menggunakan pangsa populasi sebagai pembobot. Indeks Theil dapat didekomposisi menjadi distribusi dalam kelompok distribusi antar kelompok, yang dituliskan sebagai berikut. T=
Yi Yi / Y Tw + Tb ........................................... (41) i /n
Yi
T log Y Y n i
i
i
dan L=
ni ni / n
ni
L L log Y /Y n n i
i
i
i
w
+ Lb ........................................... (42)
dimana Yij Ti = Y j i
Li=
................................................................................(43)
ni j ni j / ni log i Yi j / Yi
n j
Y /Y i j i log n / n i j i
............................................................................. (44)
dan
102 Yi adalah total pendapatan rumah tangga dalam kelompok i, dan ni adalah jumlah total rumah tangga dalam kelompok i (= ni ). Tw merupakan komponen indeks Theil-T j
dalam kelompok yang didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang dari dalam kelompok dengan pembobot pangsa pendapatan kelompok
indeks Theil-Ti
Yi , sedangkan Tb Y
merupakan komponen indeks Theil-T antar kelompok dan mengukur ketimpangan yang disebabkan oleh perbedaan rata-rata pendapatan dalam kelompok (yi = Yi /ni). Sebaliknya Lw adalah komponen indeks Theil-L dalam kelompok, yang didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang indeks Theil-L dalam kelompok dengan pembobot pangsa populasi kelompok ni/n, sedangkan Lb adalah komponen indeks Theil-L antar kelompok yang mengukur ketimpangan yang disebabkan perbedaan rata-rata pendapatan dalam kelompok y i. Jika didefinisikan vi = ni/n dan w i = Yi /Y, persamaan (43) dan persamaan (44) dapat disederhanakan menjadi: T=
w T w i
i
i
L=
i
v L v i
i
log(wi/vi)
..................................................................... (45)
i
i
i
log(vi /wi) ..........................................................................(46)
i
Indeks Theil-T bersifat weakly additively decomposable, artinya dengan menghilangkan ketimpangan antar kelompok akan mempengaruhi nilai komponen ketimpangan dalam kelompok karena pangsa pendapatan yang digunakan
sebagai pembobot
mengalami
perubahan. Tetapi indeks Theil-L dapat disebut strictly additively decomposable, karena dengan menghilangkan ketimpangan antar kelompok tidak akan mempengaruhi nilai komponen dalam kelompok, karena pangsa populasi yang digunakan sebagai pembobot tidak berubah.
103 3.8. Konsep Kemiskinan Dengan menggunakan kerangka SNSE, akan dapat dilakukan perbandingan pendapatan antar golongan rumah tangga dan akan dapat diketahui golongan rumah tangga mana yang menerima pendapatan paling rendah. Dengan kata lain, kerangka SNSE akan menggambarkan distribusi pendapatan rumah tangga, namun model tersebut tidak dapat menggambarkan berapa jumlah rumah tangga miskin di Indonesia, apa yang terjadi pada rumah tangga miskin di Indonesia apabila misalnya terjadi perubahan pendapatan rumah tangga yang diakibatkan oleh adanya pengaruh eksternal. Untuk mengkaji tentang kondisi kemiskinan di Indonesia, akan digunakan formulasi Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index.
Ada tiga indikator yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu: (1) incidence of poverty, (2) depth of poverty, dan (3) severity of poverty. Incidence of poverty adalah persentase populasi dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeks incidence of poverty disebut headcount index. Depth of poverty menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur melalui poverty gap index. Sedangkan severity of poverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Selain dapat diukur dari nilai poverty gap index, indikator ini juga memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan serta memperhitungkan tingkat ketimpangan diantara orang miskin. Menurut Sen (1976) head-count ratio tidak dapat menjelaskan secara lebih mendalam kondisi kemiskinan tersebut.
Head-count index hanya dapat memberikan
informasi tentang jumlah atau proporsi populasi yang berada dibawah garis kemiskinan. Tetapi ukuran tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana kondisi kemiskinan tersebut karena proporsi populasi miskin tidak akan berubah jika sebagian dari populasi miskin tersebut keadannya menjadi semakin miskin Sedangkan ukuran kemiskinan seharusnya meningkat manakala standar hidup rumah tangga miskin mengalami penurunan.
104 Indikator-indikator kemiskinan diatas menunjukkan bahwa ukuran kemiskinan tidak semata-mata hanya ditunjukkan melalui kemiskinan absolut, namun harus mempertimbangkan juga distribusi pendapatan penduduk miskin. Salah satu ukuran yang dapat menunjukkan pergeseran derajad kemiskinan diantara populasi miskin adalah indeks kesenjangan kemiskinan (poverty gap index). Poverty gap mengukur rata-rata kesenjangan antara pendapatan populasi miskin yang berada dibawah garis kemiskinan dengan batas kemiskinan, yang dinyatakan sebagai rasio terhadap garis kemiskinan Indeks tersebut dapat menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan, tetapi tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan populasi miskin tersebut, dengan demikian tidak dapat mengungkapkan lebih mendalam tingkat keseriusan kondisi kemiskinan tersebut. Indeks yang dapat mengukur indikator tersebut adalah severity index. Dalam hal ini Indeks yang dapat menggambarkan baik poverty gap dan severity index adalah FGT index. Indeks FGT banyak digunakan untuk membandingkan distribusi pendapatan yang berhubungan dengan kemiskinan (Decaluwe et al., 1998; 1999; Kakwani, 2000). Formula FGT dinyatakan sebagai:
z y 1 q Pα= i , dimana α≥0 ......................................................... (47) n i1 z dimana P adalah ukuran kemiskinan, yi adalah rata-rata nilai konsumsi per kapita individu ke i dalam rumah tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat konsumsi, z adalah garis kemiskinan sehingga poverty gap masing-masing individu adalah (z-yi ) dan poverty gap ratio adalah (z – yi)/z, total populasi dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q. Formula FGT memiliki parameter α(poverty aversion parameter), dimana semakin besar αsemakin sensitif ukuran
tersebut terhadap kesejahteraan orang yang
paling miskin atau dapat dikatakan semakin besar αmaka poverty gap antara orang yang miskin dengan orang yang lebih miskin semakin meningkat (Ravallion, 1994).
105 Ada 3 nilai άyang biasa digunakan, yaitu α= 0,1, 2. Jika nilai α= 0, maka P0 = head-count ratio, dan formula (47) menjadi :
1 q z y P0 = i ..................................................................................... (48) n i1 z 0
atau P0 =
q =H n
............................................................................................. (49)
Head-count ratio menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yang dihitung sebagai persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk, tetapi tidak dapat menunjukkan kedalaman kemiskinan. Jika nilai ά= 1, maka P1 = poverty gap index, diperoleh dengan mengalikan headz y i count ratio dengan income gap ratio atau , atau formula (48) menjadi: z
1 q z yi ...................................................................................... (50) n i1 z 1
P1 =
Indeks ini mengukur kekurangan pendapatan rata-rata terhadap garis kemiskinan, dimana nilainya tergantung dari jarak antara pendapatan penduduk miskin dengan
garis
kemiskinan. Jika ά= 2, maka P2 = severity poverty index, atau indeks yang sensitif terhadap distribusi pendapatan penduduk miskin. Formula (48) menjadi: 2
1 q z y P2 = i ...................................................................................... (51) n i1 z Properti FGT poverty index dengan ά = 0,1,2tersebut memenuhi tiga axioma. Pertama, saat ά> 0, ukuran kemiskinan tersebut memenuhi aksioma monotonicity Sen (Sen’s axioma monotonicity), yang menyatakan, penurunan pendapatan rumah tangga miskin akan meningkatkan ukuran kemiskinan (Sen, 1976). Kedua, saat ά> 1, ukuran kemiskinan tersebut memenuhi aksioma transfer Sen (Sen’s transfer axioma), yaitu transfer pendapatan dari rumah tangga miskin ke rumah tangga lain yang lebih kaya akan
106 meningkatkan ukuran kemiskinan. Ketiga, saat ά > 2, ukuran kemiskinan tersebut memenuhi aksioma sensitivitas transfer Kakwani (Kakwani’s transfer sensitivity axioma). Aksioma ini menyatakan bahwa jika terjadi transfer pendapatan sejumlah t > 0 dari rumah tangga miskin dengan pendapatn yi ke rumah tangga miskin dengan pendapatan yi + d (d> 0), maka besaran peningkatan kemiskinan akan lebih kecil dari yi (Kakwani, 1980). Tiga ukuran kemiskinan Pάdapat dijelaskan melalui hubungan antara pendapatan individu dengan garis kemiskinan pada nilai άyang berbeda, seperti pada Gambar 9. Untuk ά= 0, hubungan P0 dengan pendapatan bersifat konstan.
Ukuran kemiskinan
tersebut memilki pembobot yang sama untuk penduduk miskin yang paling kaya maupun yang paling miskin. Oleh karena itu penjumlahan ukuran kemiskinan masing-masing individu (P0) merupakan head-count ratio. Ukuran kedua, yaitu P1 = 1, yang menyatakan poverty gap index, hubungan dengan pendapatan bersifat linier menurun. Dengan bertambah lebarnya jurang pendapatan (perbedaan antara pendapatan dengan garis kemiskinan), maka
kelompok yang paling miskin adalah kelompok yang paling
terpengaruh. Sedangkan untuk P2 (severity poverty index), hubungan dengan pendapatan bersifat conveks, yang menunjukkan bahwa ukuran kemiskinan yang disebabkan oleh menurunnya srandard hidup akan lebih besar pada penduduk miskin. P
P0
P1 P2 Pendapatan Garis kemiskinan
Gambar 9. Ukuran Kemiskinan Individu Sumber: Ravallion (1994).
107 3.9. Hipotesis Berdasarkan uraian sebelumnya, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Sektor pertanian dan agroindustri memiliki peranan yang lebih besar dalam menciptakan output, nilai tambah, kesempatan kerja dan perannya dalam mendorong peningkatan pendapatan sektor-sektor lain serta meningkatkan pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani dibandingkan sektor-sektor lainnya. 2.
Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri akan berdampak menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata dan menurunkan kemiskinan.
3. Pengembangan sektor pertanian dan agroindustri melalui strategi kebijakan supply push (peningkatan output) akan memiliki dampak yang lebih besar memperbaiki distribusi pendapatan dan menurunkan tingkat kemiskinan dibandingkan dengan strategi kebijakan demand pull (peningkatan pendapatan masyarakat golongan miskin melalui redistribusi pendapatan).
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dengan lingkup nasional, yaitu data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 1998 dan tahun 2003 dan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002. Dengan menganalisis dua titik waktu dapat diperbandingkan dua kondisi perekonomian Indonesia yang berbeda, yaiti kondisi perekonomian pada masa krisis ekonomi dan kondisi setelah masa krisis. Relevansi memperbandingkan kondisi masa krisis dan masa pasca krisis dalam penelitian ini karena pada masa krisis ekonomi, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang demikian besar sangat mempengaruhi kinerja sektor industri, khususnya industri-industri yang menggunakan bahan baku impor dan mengekspor sebagian besar hasil produksinya. Untuk melakukan disagregasi sektor agroindustri sesuai dengan tujuan penelitian, digunakan data-data pendukung yaitu data Tabel I-O ukuran 175 x 175 sektor tahun 2000, data Survey Industri Menengah dan Besar tahun 2003, data Survey Khusus Tabungan dan Investasi Rumah Tangga (SKTIR) tahun 2003 serta data lainnya. Sebagian besar data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta. Data yang dianalisis adalah data tingkat nasional, dengan pertimbangan transformasi struktural dari sektor pertanian ke sektor industri dilihat dari pangsa PDB akan nampak nyata dari struktur ekonomi nasional. Selain itu kinerja ekonomi Indonesia ditampilkan secara lengkap pada neraca SNSE yang bersifat nasional.
4.2. Tahapan Analisis Tahapan analisis dilakukan secara berurutan sesuai dengan Gambar 10.
109
Data SNSE
2003
1998
Disagregasi
Disagregasi
Balancing
Analisis multiplier
Peran terhadap perekonomian
OUTPUT
Nilai Tambah
Kesempatan Kerja
Keterkaitan Sektor
Pendapatan Rumah Tangga
Distribusi Pendapatan (Indeks Theil) SUSENAS
Analisis Simulasi Kebijakan
Kemiskinan (Indeks FGT)
Gambar 10. Pentahapan Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan Secara rinci pentahapan tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Melakukan disagregasi data SNSE tahun 1998 dan tahun 2003. Disagregasi diperlukan mengingat sektor produksi yang dianalisis difokuskan pada sektor agroindustri
110
makanan dan makanan secara rinci sementara sektor agroindustri pada neraca SNSE berupa data agregat. Disagregasi sektor agroindustri mengacu pada Tabel I-O tahun 200 (ukuran 175 x 175 sektor) yang didukung oleh data SUSENAS, data Survey Industri, data SKTIR, Indikator Ekonomi dan sebagainya. 2. Melakukan balancing neraca SNSE. Neraca yang sudah didisagregasi adalah data dari sisi neraca pengeluaran, sementara model SNSE mensyaratkan neraca pengeluaran sama dengan penerimaan. Oleh karena itu harus dilakukan balancing pada neraca penerimaan agar dipenuhi persyaratan tersebut dengan menggunakan metode Cross Entropy. Data-data yang telah melalui proses disagregasi dan balancing mejadi data dasar analisis SNSE. 3. Dengan menggunakan analisis pengganda, dianalisis peran sektor agroindustri makanan dan non makanan dalam perekonomian nasional, terutama peran dalam produksi, nilai tambah (PDB), penciptaan lapangan kerja (yang didekati dari nilai tambah tenaga kerja) dan keterkaitan (linkage) antar sektor. 4. Selanjutnya melalui model SNSE, dapat ditelusuri pendapatan yang diterima oleh faktor produksi tenaga kerja dan modal. Pendapatan yang didistribusikan kepada faktor produksi selanjutnya di redistribusikan ke institusi penerima, yaitu rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Institusi rumah tangga penerima kesejahteraan dirinci menurut beberapa golongan rumah tangga berdasarkan lokasi atau geografi yaitu desakota dan berdasarkan sektoral (pertanian dan non pertanian). 5. Angka pengganda neraca dari analisis pengganda digunakan untuk melakukan analisis simulasi kebijakan sehingga diperoleh dampaknya terhadap persentase perubahan pendapatan output sektoral dan pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga sehingga dapat dihitung
pendapatan sebelum dan sesudah simulasi. Data pendapatan tersebut
selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis distribusi pendapatan sektoral dan tenaga kerja dengan data SNSE dan data pendukung lain. Sedangkan
111
dampak terhadap perubahan pendapatan rumah tangga lebih lanjut digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan rumah tangga dan kemiskinan menggunakan data SUSENAS. Untuk menganalisis aspek distribusi pendapatan rumah tangga dan kemiskinan, pengelompokan rumah tangga pada data SUSENAS (sebagai proxy dari pendapatan) disesuaikan menurut pengelompokan rumah tangga pada SNSE. Dengan demikian meskipun analisis distribusi pendapatan rumah tangga dan
kemiskinan
dilakukan diluar analisis SNSE, tetapi terdapat keterkaitan pembahasan antara kedua analisis tersebut.
4.3. Klasifikasi dan Disagregasi Neraca Klasifikasi neraca SNSE disajikan pada Lampiran 1. Agregasi neraca dilakukan untuk neraca SNSE tahun 1998 ukuran 109 x 109 sektor dan neraca SNSE tahun 2003 ukuran 102 x 102 sektor. Dengan melakukan agregasi dan disagregasi terbentuk neraca SNSE berukuran 45 x 45 sektor yang sesuai dengan tujuan penelitian, terdiri dari 42 neraca endogen dan 3 neraca eksogen. Neraca faktor produksi dikelompokkan ke faktor produksi tenaga kerja dan modal. Tenaga kerja dikelompokkan ke dalam 4 kelompok. Neraca institusi meliputi neraca rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Neraca rumah tangga terdiri dari 7 kelompok dan sektor produksi terdiri dari 28 sektor. Sektor produksi pada kerangka SNSE didisagregasi sesuai dengan tujuan penelitian. Disagregasi dilakukan khususnya untuk sektor industri ke dalam kelompok sektor agroindusti, industri ringan (light manufacture) dan industri berat (heavy manufacture). Sektor agroindustri adalah Industri Pengolahan Makanan, Minuman dan Tembakau serta Industri Hasil Hutan dan Perkebunan (Departemen Perindustrian, 2005). Industri ringan adalah industri-industri yang bersifat padat tenaga kerja dan pada umumnya berorientasi ekspor (Bautista et al., 1999), seperti industri tekstil, kertas, percetakan dan industri lainnya. Industri berat diartikan sebagai industri yang bersifat padat kapital dan
112
teknologi, seperti industri logam, kimia, pupuk, mesin, elektronik dan semen (Kim, 2004). Sektor pertanian primer diartikan secara luas yang dirinci menurut subsektor tanaman pangan, peternakan dan hasilnya, perikanan dan pertanian tanaman lainnya, kehutanan dan perburuan. Sektor agroindustri selanjutnya didisagregasi menjadi agroindustri makanan dan non
makanan. Agroindustri makanan terdiri dari 6 kelompok industri dan agroindustri
non makanan terdiri dari 5 kelompok industri.
4.4. Metode Analisis Analisis SNSE yang digunakan meliputi: (1) analisis pengganda, (2) analisis jalur struktural, dan (3) analisis simulasi kebijakan. Selain itu digunakan juga analisis jalur struktural atau
SPA, analisis distribusi pendapatan dan analisis kemiskinan. Untuk
menjawab tujuan penelitian, data dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Tujuan pertama dan kedua dijawab secara deskriptif maupun kuantitatif dengan analisis pengganda. Tujuan ketiga, yaitu mengetahui dampak pengembangan sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dijawab dengan menganalisis data secara kuantitatif menggunakan analisis simulasi kebijakan dan analisis distribusi pendapatan Theil index. Sedangkan dampak terhadap kemiskinan dianalisis dengan analisis FGT poverty index. Penggunaan analisis jalur struktural dalam analisis ini dimaksudkan untuk memperjelas jalur keterkaitan antara
sektor agroindustri ke rumah tangga.
Analisis
simulasi kebijakan digunakan untuk mengetahui dampak berbagai kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap perubahan output sektoral, pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga.
Perubahan pendapatan tersebut yang akan dijadikan dasar untuk melakukan
analisis distribusi pendapatan dan kemiskinan.
113
4.4.1. Analisis Pengganda Neraca dan Penentuan Industri Prioritas Analisis utama dalam neraca SNSE adalah Analisis Pengganda Neraca (Accounting Multiplier Analysis), yang menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan oleh stimulus ekonomi dari suatu variabel eksogen terhadap variabel endogen yang disajikan dalam format neraca. Dari analisis tersebut dapat diketahui peran suatu sektor dalam peningkatan output nasional, balas jasa faktor produksi (tenaga kerja dan bukan tenaga kerja), pendapatan rumah tangga dan perusahaan, juga peningkatan konsumsi komoditas ekspor dan impor (BPS, 2003) Ada dua pendekatan dalam menghitung nilai pengganda neraca, yaitu melalui kecenderungan rataan pengeluaran (average expenditure propensities) dan pendekatan kecenderungan pengeluaran marginal (marginal expenditure propensities). Dalam kajian ini digunakan pendekatan kecenderungan rataan pengeluaran. Terdapat beberapa jenis pengganda, dalam kajian ini bahasan diutamakan pada pengganda nilai tambah (value added multiplier), pengganda produksi (production multiplier), pengganda pendapatan rumah tangga (household income multiplier) dan pengganda faktor produksi (factorial multiplier, yaitu tenaga kerja dan kapital) yang masing-masing mempunyai makna sebagai berikut. 1. Pengganda nilai tambah (value added multiplier) Pengganda nilai tambah menunjukkan efek total terhadap produk domestik bruto (PDB) karena adanya peningkatan pendapatan pada suatu neraca i dalam blok produksi. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada unsur-unsur blok faktor produksi sepanjang kolom neraca i. Pengganda nilai tambah disebut juga sebagai income multiplier untuk neraca institusi dan gross domestic product (GDP) untuk sektor produksi.
114
2. Pengganda produksi (production multiplier) Pengganda produksi menunjukkan total dampak terhadap output dalam perekonomian secara keseluruhan akibat adanya peningkatan permintaan output pada suatu neraca i. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca di blok sektor produksi sepanjang kolom neraca i. Production multiplier disebut juga sebagai gross output multiplier . 3. Pengganda pendapatan rumah tangga (household income multiplier) Pengganda pendapatan rumah tangga menunjukkan total dampak terhadap pendapatan rumah tangga, dimana pendapatan dalam model SNSE yang dimaksud adalah pendapatan yang diperoleh dari alokasi pendapatan yang diterima oleh rumah tangga (upah dan gaji, bunga, sewa dan lain-lain) serta pembayaran transfer kepada rumah tangga. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca yang usur-unsurnya termasuk dalam kelompok rumah tangga 4. Pengganda faktor produksi (factorial multiplier) Pengganda faktor produksi menunjukkan
total dampak terhadap penerimaan blok
faktor produksi dimana blok faktor produksi terdiri dari tenagakerja dan modal. Pendapatan yang dimaksud dalam model SNSE adalah alokasi nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi kepada faktor-faktor produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, misalnya upah dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi tenaga kerja, keuntungan, deviden, bunga, sewa dan lain-lain. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada unsur-unsur dalam blok faktor produksi (tenagakerja dan modal) sepanjang kolom sektor i. Selanjutnya nilai-nilai pengganda tersebut digunakan untuk menentukan industri prioritas, yaitu industri yang dapat dijadikan prioritas pengembangan sektor agroindustri. Sesuai dengan penjabaran strategi ADLI, sektor pertanian primer dan sektor agroindustri
115
merupakan sektor andalan strategi ADLI.
Strategi ADLI merupakan strategi yang
mengutamakan peningkatan produktivitas sektor pertanian sebagai sarana mencapai industrialisasi.
Melalui konsep strategi ADLI, peningkatan produktivitas pertanian
merupakan neccesary condition namun belum memenuhi
sufficient condition dalam
mencapai
pertanian.
tujuan
pembangunan
melalui
industrialisasi
Pengembangan
agroindustri merupakan sufficient condition, diarahkan pada industri unggulan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi, memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan (Adelman, 1984) Indikator yang digunakan untuk menentukan industri prioritas dalam kerangka strategi ADLI adalah pertama, berdasarkan pengganda yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu pengganda output dan
tenaga kerja.
Kedua, berdasarkan pengganda
pendapatan rumah tangga golongan rendah, yaitu rumah tangga buruh tani, petani kecil dan rumah tangga non pertanian golongan rendah di desa maupun di kota. Adelman (1984) juga menyatakan kunci keberhasilan strategi ADLI adalah keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian. Oleh karena itu selain dua indikator tersebut ditambahkan satu indikator yaitu keterkaitan sektor, lebih fokus pada keterkaitan ke belakang. Agroindustri prioritas yang mewakili strategi ADLI diharapkan memenuhi kriteria “pro growth, pro employment and pro poor” yaitu industri yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja dan memberikan manfaat yang besar kepada golongan rumah tangga berpendapatan rendah sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan rumah tangga dan kemiskinan. Selain itu agroindustri tersebut juga akan menstimulir peningkatan produksi sektor pertanian primer. 4.4.2. Analisis Jalur Struktural Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis jalur struktural dalam penelitian ini difokuskan pada jalur yang menghubungkan sektor agroindustri ke institusi rumah tangga. Analisis dilakukan untuk mengetahui jalur atau jaringan yang menghubungkan sektor
116
agroindustri sampai ke institusi rumah tangga, yaitu pengaruh stimulus ekonomi yang diberikan ke agroindustri makanan dan non makanan sebagai kutub atau jalur asal ke institusi rumah tangga sebagai kutub atau jalur tujuan. Dalam hal ini institusi rumah tangga didisagregasi menjadi tujuh golongan rumah tangga. Hubungan antara jalur sektor agroindustri dan jalur insitusi rumah tangga serta jalur-jalur yang dilewati dinyatakan melalui besaran koefisien pengaruh yang menunjukkan besaran pengeluaran. Perhitungan koefisien tersebut menggunakan pendekatan kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity). Analisis jalur struktural menghasilkan banyak sekali jalur yang menghubungkan dampak stimulus di sektor agroindustri ke institusi rumah tangga. Untuk itu jalur yang dianalisis dibatasi hanya melewati empat jalur ( misalnya dari sektor agroindustri menuju sektor tanaman pangan, kemudian ke faktor produksi tenaga kerja dan berakhir ke rumah tangga). Nilai pengaruh dibatasi untuk pengaruh langsung terbesar dengan batasan angka 0.01. 4.4.3. Analisis Simulasi Kebijakan Melalui analisis pengganda dapat diketahui pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit stimulus ekonomi dari variabel eksogen ke agroindustri makanan dan non makanan dalam meningkatkan output nasional, pendapatan tenaga kerja maupun rumah tangga. Namun analisis tersebut tidak dapat menjelaskan asal stimulus ekonomi dan kemungkinan penggunaan besaran stimulus dengan jumlah tertentu. Oleh karena itu untuk mengetahui dampak suatu kebijakan ekonomi (misalnya peningkatan investasi, ekspor dan lainnya) terhadap peningkatan output dan pendapatan digunakan analisis kebijakan. Kebijakan ekonomi dalam penelitian ini diarahkan pada sektor agroindustri secara umum dan kebijakan yang terkait dengan strategi ADLI.
117
Kebijakan pengembangan sektor agroindustri mengacu pada sasaran pengembangan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia sebagai berikut. (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2005). 1. Pertumbuhan PDB agroindustri sebesar 6.6 persen. 2. Pertumbuhan nilai ekspor produk agroindustri sebesar 6.9 persen. 3. Utilisasi kapasitas produksi rata-rata agroindustri mencapai 75.07 persen. 4. Penambahan penyerapan tenaga kerja agroindustri sebanyak 40 ribu orang. 5. Nilai investasi agroindustri tumbuh sebesar 3 persen. Berdasarkan sasaran pengembangan sektor agroindustri tersebut, beberapa kebijakan dapat dilakukan pemerintah, baik melalui strategi yang bersifat mendorong peningkatan produksi (supply push) atau melalui strategi tarikan permintaan (demand pull) untuk merangsang peningkatan konsumsi dengan cara meningkatan pendapatan masyarakat golongan bawah. Instrumen kebijakan yang bersifat supply push dilakukan untuk menstimulir peningkatan produksi di sektor agroindustri baik melalui kebijakan peningkatan investasi maupun pengeluaran pemerintah. Sedangkan instrumen kebijakan yang bersifat demand pull untuk menstimulir permintaan konsumsi, berupa redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah yang berdampak pada perubahan pendapatan rumah tangga. Kebijakan ekonomi yang ditujukan ke sektor agroindustri berupa kebijakan: (1) peningkatan pengeluaran anggaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri dan pertanian primer, (2) peningkatan ekspor di sektor agroindustri, (3) peningkatan investasi di sektor agroindustri, (4) pemberian insentif pajak di sektor agroindustri,
dan (5)
kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah yang terkait dengan sektor agroindustri.
118
Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian primer (yang memiliki keterkaitan kuat dengan sektor agroindustri) akan dicapai dua tujuan sekaligus, yaitu tujuan peningkatan produksi sektor pertanian primer dan tujuan pengembangan sektor agroindustri melalui penyediaan bahan baku yang lebih murah dan terjamin. Kebijakan pengeluaran pemerintah juga diarahkan ke agroindustri makanan dan non makanan. Kebijakan lain adalah peningkatan investasi, ekspor dan pemberian insentif pajak ke masing-masing industri pada kelompok agroindustri makanan dan non makanan. Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan secara tunggal maupun dengan mengkombinasikan kebijakan yang satu dengan kebijakan lainnya. Kebijakan juga dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat golongan miskin terhadap produk agroindustri. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat golongan miskin yang sebagian besar berada di sektor pertanian di perdesaan, diharapkan akan meningkatkan konsumsi bahan makanan pokok maupun makanan olahan yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan produksi agroindustri. Selain kebijakan ekonomi yang terfokus pada sektor agroindustri seperti diuraikan di atas, kebijakan ekonomi juga dilakukan di sektor agroindustri dalam kerangka strategi ADLI. Peningkatan produktivitas pertanian ditujukan ke sektor pertanian primer yang memiliki nilai tinggi (high value) dan mendukung sektor agroindustri prioritas sebagai pemasok bahan baku. Secara operasional dilakukan melalui peningkatan investasi atau pengeluaran pemerintah (pengeluaran pembangunan) untuk infrastruktur (irigasi), pemberantasan hama penyakit, mengatasi kekeringan atau melakukan penelitian dan pengembangan yang terkait dengan sektor pertanian. Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah lebih flexibel dan secara operasional lebih mudah dilakukan dibanding kebijakan peningkatan investasi.
Melalui peningkatan produksi sektor pertanian akan
memperluas permintaan input oleh sektor agroindustri dan permintaan barang-barang konsumsi yang diproduksi oleh industri
dalam negeri. Dengan kata lain peningkatan
119
produktivitas sektor pertanian akan meningkatkan pasokan input atau bahan baku industri dan menstimulir investasi agroindustri sehingga kapasitas produksi meningkat. Peningkatan investasi agroindustri unggulan atau prioritas akan meningkatkan produksi agroindustri. Melalui keterkaitan ke belakang peningkatan agroindustri akan meningkatkan permintaan input dari sektor pertanian sehingga menstimulir peningkatan investasi sektor pertanian. Peningkatan produksi agroindustri yang bersifat tradable akan mendorong peningkatan ekspor agroindustri. Oleh karena itu kebijakan ekonomi yang terkait dengan kerangka strategi ADLI adalah kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas dan peningkatan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian yang bernilai tinggi (prioritas). Agroindustri prioritas dalam kerangka strategi ADLI adalah industri yang bukan hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi, memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan namun juga memilki kemampuan yang tinggi dalam menstimulir peningkatan produksi sektor pertanian primer. Secara rinci skenario kebijakan sebagai berikut. 1. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Skenario 1:
Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer sebesar 10 % dan dialokasikan secara merata ke masing-masing subsektor.
Skenario 2:
Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri sebesar 10 % yang dialokasikan ke masing-masing agroindustri makanan secara merata.
Skenario 3:
Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan ke masing-masing agroindustri non makanan secara merata.
2. Kebijakan Peningkatan Ekspor Skenario 4:
Peningkatan ekspor di sektor agroindustri sebesar 7% untuk masing-masing agroindustri makanan.
Skenario 5:
Peningkatan ekspor di sektor agroindustri sebesar 7% masing agroindustri non makanan.
Skenario 6:
Kombinasi peningkatan ekspor sebesar 7% untuk masing-masing agroindustri makanan (Skenario 4) dan peningkatan pengeluaran pemerintah 10 % di sektor pertanian primer yang dialokasikan ke masingmasing subsektor secara merata.
Skenario 7:
Kombinasi peningkatan ekspor sebesar agroindustri non makanan (Skenario 5) dan
untuk
masing-
7%untuk masing-masing peningkatan pengeluaran
120
pemerintah 10% di sektor pertanian primer yang dialokasikan ke masingmasing subsektor secara merata. 3. Kebijakan Peningkatan Investasi Skenario 8:
Peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara proporsional ke masing-masing agroindustri makanan
Skenario 9 :
Peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara proporsional ke masing-masing agroindustri non makanan.
Skenario10:
Peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara merata ke agroindustri prioritas.
Skenario 11: Kombinasi peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang didistribusikan secara merata ke agroindustri prioritas (Skenario 10) dan peningkatan pengeluaran pemerintah 10% di sektor pertanian primer dan dialokasikan secara merata ke subsektor pertanian primer yang mendukung agroindustri prioritas. Skenario 12: Kombinasi peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara merata ke agroindustri prioritas (Skenario 10) dan peningkatan ekspor agroindustri prioritas sebesar 7%. 4. Kebijakan Insentif Pajak Skenario 13: Pemberian insentif pajak ke masing-masing agroindustri makanan sebesar 10% Skenario 14: Pemberian insentif pajak ke masing-masing agroindustri non makanan sebesar 10% 5. Kebijakan Redistribusi Pendapatan Skenario 15: Redistribusi pendapatan rumah tangga dari golongan atas ke rumah tangga buruh tani, petani kecil, rumah tangga golongan rendah di desa dan di kota sebesar seratus ribu rupiah sebulan selama setahun sebanyak jumlah rumah tangga miskin yang didistribusikan secara proporsional ke masing-masing rumah tangga golongan rendah. Skenario 10, skenario 11 dan skenario 12 adalah kebijakan pengembangan sektor abroindustri yang dipandang mewakili strategi ADLI. Alasan meningkatkan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian dan agroindustri sebesar 10% adalah berdasarkan pada angka pertumbuhan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian tahun 2003 ke tahun 2004
sebesar 13%. Pada periode yang sama
pengeluaran pemerintah di sektor industri justru mengalami pertumbuhan yang menurun. Oleh karena itu besaran peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer
121
dan agroindustri menggunakan angka pertumbuhan yang moderat sebesar 10%. Sedangkan peningkatan ekspor agroindustri sebesar 7% didasarkan pada target pertumbuhan ekspor agroindustri sebesar 7% (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2005). Peningkatan
investasi
agroindustri
sebesar
10%
didasarkan
pada
angka
pertumbuhan investasi industri makanan, minuman dan rokok selama lima tahun terakhir sebesar 16%. Namun sesungguhnya angka pertumbuhan tersebut karena disokong peningkatan investasi tahun 2003 ke tahun 2004 yang mencapai lebih dua kali lipat sedangkan pertumbuhan dari tahun 2002 ke tahun 2003 justru menurun. Demikian pula untuk pertumbuhan dari tahun 2004 ke tahun 2005. Berdasarkan perkembangan angkaangka pertumbuhan tersebut, ditetapkan angka pertumbuhan moderat sebesar 10% sama dengan peningkatan pengeluaran pemerintah. Penentuan
kebijakan
dilatarbelakangi oleh
pemberian
insentif
pajak
ke
sektor
ahroindustri
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu dan Daerah Tertentu. Menurut peraturan pemerintah tersebut ada 15 sektor usaha yang memperoleh insentif usaha, 3 diantaranya adalah usaha di sektor agroindustri yaitu industri makanan dan minuman, industri bubur kertas dan industri karet. Alasan mengkombinasikan skenario peningkatan ekspor dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer karena dengan memperluas pasar dan didukung dengan penyediaan bahan baku agroindustri yang lebih baik, diharapkan akan berdampak pada peningkatan pendapatan sektor agroindustri yang lebih besar yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan
pendapatan rumah tangga.
Lebih lanjut
peningkatan pendapatan rumah tangga, terutama buruh tani dan petani kecil
akan
berdampak menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga golongan atas dan golongan rendah
122
Alasan mengkombinasikan kebijakan peningkatan investasi agroindustri prioritas dan peningkatan ekspor agroindustri prioritas adalah peningkatan investasi pada agroindustri yang bersifat tradable dampaknya akan meningkatkan ekspor. Oleh karena itu kebijakan peningkatan investasi akan diikuti dengan peningkatan ekspor. Hasil analisis dampak masing-masing skenario kebijakan selanjutnya digunakan untuk melakukan analisis distribusi pendapatan rumah tangga
dan kemiskinan
menggunakan data SUSENAS. 4.4.4. Analisis Distribusi Pendapatan Analisis distribusi pendapatan dalam penelitian ini menggunakan metode indeks Theil. Koefisien Theil merupakan indeks yang bersifat non parametrik, yang
sangat
popular digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan. Keunggulan koefisien Theil adalah sifatnya yang tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim. Indeks Theil juga tidak terpengaruh oleh perubahan jumlah populasi. Ada dua indeks Theil, yaitu indeks Theil-T yang menggunakan pembobot pangsa pedapatan dan indeks Theil-L menggunakan pembobot pangsa populasi. Dalam penelitian ini akan digunakan indeks Theil-T karena indeks tersebut akan digunakan untuk melihat perubahan distribusi pendapatan dengan adanya perubahan pendapatan kelompok rumah tangga sementara jumlah populasi adalah tetap. Distribusi pendapatan yang akan dianalisis adalah distribusi pendapatan antar kelompok. Seluruh rumah tangga dikelompokkan menjadi enam (golongan) kelompok dan tidak dibuat pengklasan dalam setiap kelompok. Dengan demikian indeks Theil-T dirumuskan sebagai berikut. 6
T =
Y j 1
j
Y j / Y .........................................................................................(52) log n / n j
123
dimana j = 1,........., 6 merupakan jumlah kelompok; Yj = jumlah pendapatan rumah tangga 6
kelompok j, Y adalah total pendapatan seluruh rumah tangga ( Yj ), j1
6
nj = jumlah rumah tangga kelompok j dan n adalah total jumlah rumah tangga (= n j ). j 1
Indeks Theil-T dapat didekomposisi ke dalam kesenjangan antar kelompok dan dalam kelompok. T=
Yi Yi / Y Tw + Tb ............................................... (53) / n i
Yi
T log Y Y n i
i
i
dan L=
ni ni / n
ni
L log L n n Y / Y i
i
i
i
w
+ Lb .............................................. (54)
dimana Yij Ti = Y j i
Li=
..................................................................................(55)
ni j ni j / ni log Y /Y i i j i
n j
Y /Y i j i logn / n i j i
............................................................................... (56)
Yi adalah total pendapatan rumah tangga dalam kelompok i, dan ni adalah jumlah total rumah tangga dalam kelompok i (= ni ). Tw merupakan komponen indeks Theil-T j
dalam kelompok yang didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang dari indeks Theil-T i dimana Yij jumlah pendapatan rumah tangga klas i dalam kelompok j, Y adalah total pendapatan seluruh rumah tangga (=
Y
ij
i
), nij jumlah rumah tangga klas i dalam
j
kelompok j dan n adalah total jumlah rumah tangga (=
n i
j
ij
).
124
Mengingat pengelompokkan rumah tangga pada SNSE dibentuk dari data SUSENAS, maka untuk menghitung distribusi pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini akan menggunakan bantuan data SUSENAS tahun 2002. Distribusi pendapatan rumah tangga antar kelompok dihitung untuk data sebelum simulasi dan data setelah simulasi. Tahapan menghitung distribusi pendapatan adalah sebagai berikut . 1. Terdapat enam golongan rumah tangga dalam model SNSE yang dianalisis terdiri dari rumah tangga: (a) buruh tani, (b) petani, (c) non pertanian golongan rendah di desa, (d) non pertanian golongan atas di desa, (e) non pertanian golongan rendah di kota, dan (e) non pertanian golongan atas di kota. Rumah tangga petani pada SUSENAS tahun 2002 tidak didisagregasi ke golongan petani luas dan petani sempit melainkan ke dalam golongan petani secara agregat. 2. Golongan rumah tangga pada SNSE tersebut selanjutnya dipetakan pada data SUSENAS. Penggolongan rumah tangga SUSENAS dilakukan berdasarkan lapangan usaha, yaitu pertanian dan non pertanian serta berdasarkan lokasi (desa-kota). Untuk rumah tangga pertanian, penggolongan berdasarkan penguasaan aset lahan, sedangkan untuk rumah tangga di sektor non pertanian, penggolongan berdasarkan jenis pekekerjaan yang mengacu pada Klasifikasi Jenis Pekerjaan/Jabatan Indonesia (KJI) dalam SUSENAS 2002 seperti tercantum pada Lampiran 3. 3. Dengan melakukan pengelompokan tersebut dapat diketahui total pendapatan rumah tangga (yang diproxi dari total pengeluaran), rata-rata pendapatan per kapita dan jumlah anggota rumah tangga tiap kelompok. Data ini dianggap sebagai data tahun dasar. 4.
Dari analisis SNSE diketahui nilai pengganda (multiplier) yang selanjutnya digunakan untuk melakukan simulasi dengan menggunakan skenario kebijakan, sehingga diperoleh persentase perubahan pendapatan akibat kebijakan tersebut.
5. Perubahan pendapatan kelompok rumah tangga hasil simulasi kebijakan digunakan untuk menganalisis data SUSENAS, sehingga diperoleh data pendapatan kelompok
125
6. sebelum simulasi dan data pendapatan kelompok setelah simulasi dengan jumlah populasi rumah tangga yang tetap. 7. Data-data tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menghitung distribusi pendapatan antar golongan sebelum dan sesudah simulasi. 4.4.5. Analisis Kemiskinan Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumah tangga dari analisis simulasi kebijakan juga digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT dengan menggunakan data SUSENAS. Meskipun menggunakan analisis diluar model SNSE, pada dasarnya analisis kemiskinan dalam penelitian ini tetap mengacu pada kerangka SNSE, karena: (1) kelompok rumah tangga pada model SNSE 2003 pada dasarnya disusun berdasarkan data SUSENAS tahun 2002, dan (2) penggolongan rumah tangga pada data SUSENAS dibuat mengikuti pengelompokan rumah tangga yang terdapat dalam neraca SNSE. Dengan menyelaraskan pengelompokan rumah tangga pada data SUSENAS dengan model SNSE akan diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model SNSE. Tahapan menghitung indeks kemiskinan adalah sebagai berikut. Dari data SUSENAS dapat dibentuk struktur data kelompok rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan, lokasi (desa-kota), rata-rata pengeluaran maupun jumlah anggota rumah tangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumah tangga dan dengan menggunakan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS, dapat ditetapkan jumlah rumah tangga yang tergolong miskin, yaitu rumah tangga yang memiliki pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) di bawah garis kemiskinan. Karena data SUSENAS yang digunakan adalah data tahun 2002, maka garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS untuk tahun 2002 sebesar Rp. 130 499 untuk wilayah kota dan Rp. 96 512 untuk perdesaan. Data-data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar (base
126
data) untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumah tangga hasil dari simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Selanjutnya dapat dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dan data hasil simulasi dengan menggunakan program analisis DAD 4.3 (Distributive Analysis). Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumah tangga berdasarkan golongan rumah tangga (yang diproxi dari data pengeluaran), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pengeluaran masing-masing individu atau per kapita. Sedangkan formula Foster-Greer-Thorbecke poverty index dinyatakan sebagai berikut (Cockburn, 2001).
q z y i Pα(y;z) = 1 n i 1 z
(α≥0) ............................................................... (57)
dimana yi adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan adalah z, sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z – yi )/z, dimana Gi = 0 pada saat yi > z. Nilai αada tiga macam, yaitu: 1. Jika α = 0,
P0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi yang
berada dibawah garis kemiskinan. Formula diatas akan menjadi: q z yi P0(y;z) = 1 , atau P0 = q/n. n i 1 z 0
Jika misalnya sebanyak 30 persen populasi adalah kelompok miskin, maka P0 = 0.3. 2. Jika α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula (57) menjadi: P1 = 1/n
(z y
i
)/z.
127
Misalkan besaran P 1 = 0.2 artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 20 persen. Sedangkan P 1/P0 =1/q
( z y
i
)/z
adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan (poverty gap) yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Jika α= 2, formula (57) menjadi: q z yi P2(y;z) = 1 . n i 1 z 2
Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan. Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin (distributionally sensitive index). Ukuran ini dinamakan rasio ‘keparahan’ kemiskinan (poverty severity). Pengukuran kemiskinan dengan FGT index dapat digunakan juga apabila populasi rumah tangga akan dipisahkan (disaggregated) menurut kelompok (sub-group) populasi sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui.
Dalam penelitian ini
populasi dibagi menjadi 6 kelompok maka profil kemiskinan akan digambarkan melalui Pj untuk j = 1,...,6. Pj =
1 6 p( z j , y ij ) n j1
..................................................................................... . (58)
Sedangkan kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelompok, diformulasikan sebagai: P =
1 6 Pj Nj .................................................................................................... (59) n j 1
dimana: Pj = ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1,......,6. Nj = jumlah populasi kelompok j yij = rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j
128
i
= individu1,...,nj yang berada dalam kelompok j.
Profil kemiskinan menurut kelompok tersebut akan menggambarkan konsistensi, yaitu ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian sebaliknya. Ada dua pendekatan dalam menentukan pendapatan perkapita sebagai dasar untuk menghitung indeks kemiskinan, yaitu membagi total pengeluaran rumah tangga dengan total jumlah anggota rumah tangga (pendapatan per kapita) dan melalui pendekatan skala ekivalensi (Equivalent Scale = ES).
Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi
didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak
didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori, seperti
disajikan pada Tabel 5, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004). Dengan demikian pengeluaran perkapita dihitung dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan kecukupan kalori antara anak-anak dan orang dewasa. Metoda ini merupakan metoda alternatif bagi metoda pendekatan rata-rata pendapatan perkapita untuk menghitung angka kemiskinan. Konsep
ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi anak dengan
populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan. United States Panel Poverty and Family Assistance menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7 populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70% dari kebutuhan konsumsi dewasa. (National Centre for Social and Economic Modelling, 2003). Beberapa kajian di Australia menggunakan nilai
pembobot untuk anak berkisar 0.3 sampai 0.7 (University of Canberra, 2003).
Demikian pula beberapa negara menerapkan skala ekivalensi dalam menghitung angka kemiskinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan Peninsula nilainya berkisar 0.9 (BPS, 2005c). Dengan angka ekivalensi mendekati satu, implikasinya penghitungan melalui metoda skala ekivalen akan memberikan hasil yang
129
tidak jauh berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui metoda rata-rata pengeluaran (pendapatan) per kapita. Dalam menentukan ES, berdasarkan economies of scale (e) yang nilainya ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumah tangga dewasa. Nilai e berkisar 0 sampai 1. Jika e meningkat maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada perbedaan konsumsi akibat skala ekonomi, maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumah
Tabel 5. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan No Penelitian 1. 2.
3.
4.
1
Kriteria
Konsumsi beras /kapita/tahun (kg) Tingkat pengeluaran ekivalen beras/orang/tahun (kg) Miskin Miskin Sekali Paling Miskin Ginneken, 1969 Kebutuhan gizi min/orang/hari Kalori Protein (gram) Anne Booth, 1969 Kebutuhan gizi minimum/orang/hr Kalori Protein
Kota (K)
Desa (D)
Esmara, 1969 Sayogya, 1971
K+D 125
480 360 270
320 240 180 2000 50 2000 40
5.
BPS, 1984
Konsumsi kalori/kapita/hari
2100
6.
Garis Kemiskinan internasional1
Tingkat pendapatan/kapita/hari (US$)
1
http: // unstats.un.org/unsd/mi/MDG%20Book.pdf
Sumber : BPS (2005c)
tangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negara-negara Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES, sehingga Whiteford (1985) menyatakan tidak ada suatu metoda menghitung ES yang telah dilakukan selama
130
ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu
lebih baik dibanding metoda
penghitungan ES yang lain. Penelitian ini akan menggunakan dua pendekatan dalam menghitung pendapatan individu, yaitu melalui rata-rata pendapatan per kapita, seperti yang dilakukan oleh BPS dan melalui metoda penghitungan ES yang dikembangkan oleh Cockburn (2001) yang telah diterapkan untuk mengkaji angka kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut. ESi = 1+0.7(Zi-1-Ki)+0.5K i ................................................................................ (60) dimana : i adalah indeks rumah tangga, Z adalah jumlah anggota rumah tangga dan K adalah jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan, dengan memperhitungkan skala ekonomi dan umur, kepala rumah tangga diperhitungkan 1, anggota rumah tangga dewasa lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diperhitungkan 0.5.
Formula yang sama telah
digunakan oleh Oktaviani et al. (2005) untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemiskinan. Formula yang sama juga digunakan oleh Astuti (2005) maupun Sitepu (2007) untuk menghitung perubahan angka kemiskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu.
V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional. Angka pengganda yang dibahas difokuskan pada pengganda output, nilai tambah, tenaga kerja, modal, peran terhadap sektor.dan pendapatan rumah tangga. Makna dari nilai pengganda sektor agroindustri adalah sebagai berikut. Apabila diberikan stimulus ekonomi sebesar 1 milyar rupiah ke sektor agroindustri, akan meningkatkan total output, nilai tambah, tenaga kerja, penerimaan sektor lain secara nasional
dan pendapatan rumah tangga sebesar masing-masing nilai
penggandanya
dengan satuan yang sama. Tabel 6 menyajikan nilai pengganda output, nilai tambah, dan tenaga kerja agroindustri dibandingkan dengan sektor pertanian primer dan industri ringan dan industri berat serta rata-rata sektor lainnya. Sedangkan nilai pengganda masing-masing sektor secara rinci disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis menunjukkan rata-rata pengganda output dan
nilai tambah sektor agroindustri non makanan tahun 2003 lebih tinggi
dibandingkan rata-rata pengganda sektor-sektor lain
maupun sektor pertanian primer,
namun sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan industri ringan. Sedangkan dalam hal penyerapan tenaga kerja, agroindustri makanan memiliki peran yang paling besar. Apabila upah tenaga diasumsikan merupakan suatu konstanta yang bersifat konstan dalam satu titik waktu, maka nilai tambah tenaga kerja dapat dijadikan sebagai proxy penyerapan tenaga kerja nasional. Dengan demikian dapat diartikan
sektor agroindustri makanan
memiliki peran yang lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja sedangkan agroindustri non makanan lebih berperan dalam peningkatan output dan PDB nasional. Besaran pengganda nilai tambah agroindustri non makanan rata-rata 2.57, yang berarti setiap
Tabel 6. Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003
1998
2003
PENGGANDA NILAI TAMBAH TENAGA KERJA 1998 2003 1998 2003
6.07 6.38 7.19 5.57 6.31
6.05 6.74 1.63 4.98 6.34
1.86 1.99 2.01 2.13 2.10
2.86 2.67 0.33 2.11 2.79
0.60 0.54 0.43 0.28 0.39
2.06 1.72 0.19 1.23 1.87
0.90 1.03 1.13 1.32 1.22
0.80 0.95 0.14 0.88 0.92
4.16 4.80 5.05 4.01 4.96 5.60
6.09 6.24 6.34 5.96 6.22 6.34
1.49 1.64 1.84 1.43 1.95 1.42
2.31 2.41 2.39 2.24 2.47 2.64
0.22 0.25 0.27 0.20 0.26 0.30
1.53 1.58 1.55 1.46 1.67 1.85
0.90 1.00 1.12 0.88 1.21 0.80
0.79 0.82 0.84 0.79 0.80 0.79
3.47 3.27
6.57 6.66
0.91 0.62
2.38 2.50
0.15 0.16
1.44 1.42
0.54 0.33
0.94 1.08
4.60 3.56 2.79 2.39 2.35
7.02 6.78 6.67 6.82 6.54
0.94 0.69 0.42 0.36 0.36
2.69 2.47 2.83 2.61 2.45
0.24 0.17 0.10 0.08 0.08
1.56 1.41 1.85 1.53 1.40
0.50 0.37 0.23 0.20 0.20
1.13 1.06 0.98 1.09 1.04
4.76 3.54 6.30 6.05
6.20 6.74 5.15 5.51
1.63 0.72 2.02 1.54
2.41 2.57 2.15 2.51
0.25 0.17 0.45 0.44
1.61 1.53 1.41 1.13
0.99 0.39 1.12 0.87
0.81 1.04 0.74 0.94
SEKTOR Pertanian Primer Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan & perburuan Pertanian tan. Lainnya Agroindustri Makanan Ind mak sekt. Peternakan Ind mak sekt. tan pangan Ind mak sekt. Perikanan Ind mak sekt. perkebunan Industri minuman Industri rokok Agroindustri Non Makanan Industri kapuk Ind kulit samakan, olahan Ind kayu lapis, brng dr kayu, bambu dan rotan Ind bubur kertas Ind karet remah & asap Industri ringan & lainnya Industri berat Agroindustri makanan Agroindustri non makanan Sektor Primer Sektor Lainnya
OUTPUT
MODAL 1998
2003
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) Pengganda sektor-sektor lainnya secara rinci disajikan pada Lampiran 5.
132
133
diberikan stimulus ekonomi ke sektor agroindustri sebesar satu milyar rupiah, akan meningkatkan pendapatan (PDB) nasional sebesar 2.57 milyar rupiah. Mengingat dasar perhitungan nilai tambah berasal dari faktor produksi tenaga kerja dan modal, maka apabila dirinci lebih lanjut terlihat bahwa peran sektor agroindustri makanan maupun non makanan dalam meningkatkan PDB nasional lebih banyak berasal dari nilai tambah tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa sektor agroindustri lebih bersifat padat tenaga kerja. Namun apabila dibandingkan antara keduanya, agroindustri makanan menghasilkan nilai tambah tenaga kerja lebih besar dibanding agroindustri non makanan, sementara agroindustri non makanan menghasilkan nilai tambah modal yang lebih tinggi dibandingkan dengan agroindustri makanan. Hal ini sesuai dengan fenomena, dimana industri-industri yang tergolong ke dalam agroindustri non makanan, terutama industri kayu lapis dan industri bubur kertas adalah industri yang memerlukan modal tinggi dalam proses produksi. Industri ringan dan industri berat sebagai pembanding, memiliki kesamaan pola dengan agroindustri non makanan, yaitu peran dalam penyerapan tenaga kerja lebih kecil dibandingkan sektor agroindustri makanan. Hal yang sama untuk nilai tambah terhadap modal dimana pengganda modal untuk industri ringan dan industri berat lebih besar dibandingkan sektor agroindustri makanan. Artinya industri ringan dan industri berat pada umumnya lebih padat modal dibandingkan agroindustri makanan. Sedangkan untuk sektor pertanian primer, dimana sektor ini merupakan sektor penyedia bahan baku bagi proses produksi agroindustri, peran dalam meningkatkan pertumbuhan output maupun PDB dilihat dari indikator pengganda output dan nilai tambah tenaga kerja dan modal, lebih rendah dibandingkan dengan sektor agroindustri. Perkembangan tahun 1998 ke tahun 2003 menunjukkan terjadinya peningkatan peran sektor agroindustri dalam perekonomian, pengganda output agroindustri makanan meningkat dari 4.77 pada tahun 1998 menjadi 6.20. Agroindustri non makanan meningkat lebih besar, yaitu dari 3.54 menjadi 6.74. Demikian pula yang terjadi untuk industri ringan
134
dan industri berat, pada saat terjadi krisisi ekonomi tahun 1998 industri-industri tersebut hanya mampu menghasilkan nilai pengganda sebesar 2.39 untuk industri ringan, namun pada kondisi normal yaitu kondisi tahun 2003 nilai pengganda output meningkat menjadi 6.82. Sebaliknya sektor pertanian primer pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 memiliki peran yang paling besar dalam meningkatkan pertumbuhan output dibanding sektor-sektor lainnya sementara untuk tahun 2003 peran tersebut lebih rendah dari sektor agroindustri maupun sektor-sektor lainnya Hasil analisis ini mendukung fenomena kejatuhan sektor industri pada saat terjadi krisis ekonomi. Hampir seluruh industri pada saat krisis ekonomi mengalami pertumbuhan output yang negatif. Industri yang paling terpukul pada saat terjadi krisis ekonomi adalah industri ringan dan industri berat yang ditunjukkan melalui nilai pengganda hanya sebesar 2.39 dan 2.35. Sedangkan sektor agroindustri, terutama agroindustri makanan relatif lebih tahan terhadap goncangan sehingga mampu menghasilkan nilai pengganda yang lebih besar. Sedangkan sektor pertanian primer merupakan sektor yang paling tangguh terhadap goncangan sehingga pada saat krisis ekonomi terjadi masih mampu menghasilkan pengganda output sebesar 6.30, paling tinggi dibanding pengganda output agroindustri secara keseluruhan maupun industri berat dan industri ringan. Hasil di atas berimplikasi bahwa dalam kondisi perekonomian normal (pasca atau masa pemulihan krisis ekonomi) sektor agroindustri memiliki peran yang lebih besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, meskipun perbedaannya tidak terlampau besar. Namun dalam kondisi tidak normal (kondisi krisis ekonomi) sektor pertanian primer
memiliki peran jauh lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini memperkuat alasan perlunya mengembangkan industri yang didukung oleh sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku yang tahan terhadap goncangan. Untuk pengganda nilai tambah, besaran pengganda nilai tambah agroindustri makanan sebesar 2.41, relatif lebih kecil dibandingkan pengganda nilai tambah
135
agroindustri non makanan sebesar 2.57. Artinya apabila permintaan akhir agroindustri makanan meningkat 1 milyar rupiah, maka PDB nasional secara agregat diperkirakan akan meningkat sebesar 2.41 milyar. Nilai tersebut berasal dari penerimaan tenaga kerja 1.61 milyar selebihnya dari penerimaan modal. Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa strategi ADLI, melalui pengembangan sektor agroindustri, mampu menghasilkan output, penyerapan tenaga kerja serta nilai tambah modal yang lebih besar dibandingkan dengan
strategi pengembangan sektor
pertanian primer dan industri berat. Pada kondisi krisis ekonomi tahun 1998 pengembangan sektor pertanian primer memiliki peran paling besar dalam meningkatkan perekonomian nasional. Hasil tersebut konsisten dengan kajian yang dilakukan oleh Bautista et al. (1999) yang menganalisis alternatif
jalur pembangunan industri di Indonesia. Dengan
menggunakan kerangka SAM Indonesia tahun 1995 dan CGE, Bautista menyimpulkan bahwa pembangunan sektor pertanian primer menghasilkan peningkatan PDB yang lebih besar dibandingkan strategi pembangunan industri pengolahan dan industri ringan. Apabila dibuat ranking atau urutan tertinggi berdasarkan besaran nilai pengganda output maupun nilai tambah pada dua titik waktu tersebut (Tabel 7), terlihat bahwa untuk tahun 2003 empat dari 11 agroindustri, yang kesemuanya industri non makanan, yaitu industri kulit, kayu, bubur kertas dan karet berada pada ranking sepuluh teratas pengganda output. Padahal pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 pengganda output industriindustri tersebut berada pada ranking terbawah. Demikian pula untuk industri ringan dan industri berat. Sebaliknya untuk sektor pertanian primer hampir seluruh subsektor berada pada urutan sepuluh teratas pada saat krisis ekonomi, namun pada kondisi normal tahun 2003 sektor perikanan satu-satunya sektor yang berada pada urutan sepuluh teratas. Untuk pengganda nilai tambah, ada tiga industri yang pada tahun 2003 berada pada ranking sepuluh teratas yaitu industri rokok, industri kayu lapis, bambu dan rotan dan industri karet
Tabel 7. Ranking Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor Tahun 1998 dan 2003 Ranking Pengganda
SEKTOR Pertanian Primer Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan & perburuan Pertanian tan. Lainnya Agroindustri Makanan Ind mak sekt. Peternakan Ind mak sekt. tan pangan Ind mak sekt. Perikanan Ind mak sekt. perkebunan Industri minuman Industri rokok Agroindustri Non Makanan Industri kapuk Ind kulit samakan, olahan Ind kayu lapis, brng dr kayu, bambu dan rotan Ind bubur kertas Ind karet remah & asap Industri ringan & lainnya Industri berat
Output
Nilai Tambah
Tenaga Kerja
Modal
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
10 7 3 14 8
22 7 28 26 17
7 5 4 1 3
3 9 28 26 6
3 4 9 14 10
1 7 28 26 3
14 7 4 1 2
23 12 28 17 15
21 19 17 22 18 13
21 19 18 24 20 16
17 14 8 19 6 20
24 20 22 25 17 10
21 19 16 22 18 13
19 12 16 20 11 4
13 8 5 15 3 18
25 21 19 26 22 24
24 25
11 10
23 25
23 15
25 24
18 21
22 25
14 5
20 23 26 27 28
2 6 9 4 12
22 24 26 28 27
8 18 4 11 19
20 23 26 27 28
22 15 23 5 24
23 24 26 28 27
3 6 11 4 8
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) Ranking sektor lainnya disajikan pada Lampiran 5
136
137
remah dan asap sementara pada kondisi krisis ekonomi tahun 1998, industri-industri tersebut berada pada ranking terbawah. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa dengan mengelompokkan sektor-sektor ekonomi berdasarkan kelompok industri (industri ringan dan berat yang tergolong padat dalam penggunaan input impor dan agroindustri yang relatif sedikit menggunakan input impor), sektor pertanian primer dan sektor lainnya, dapat menjelaskan fenomena kejatuhan sektor industri pada masa krisis ekonomi. Perubahan ranking sektor yang termasuk ke dalam urutan sepuluh teratas selama dua titik waktu tersebut menunjukkan pola yang sama dimana pada kondisi krisis ekonomi tahun 1998, sektor pertanian primer dominan berada pada urutan sepuluh teratas dan sektor agroindustri maupun industri ringan dan berat berada pada urutan terbawah. Sebaliknya pada kondisi paska krisis, yaitu tahun 2003, sektor agroindustri agroindustri pada umumnya dan industri ringan berada pada urutan teratas. Rincian ranking untuk sektorsektor lainnya disajikan pada Lampiran 5. Oleh karena itu apabila dilihat korelasi ranking pengganda output sektor secara keseluruhan antara tahun 1998 dan 2003, menunjukkan koefisien korelasi yang bertanda negatif sebesar –0.2671. Demikian pula untuk sektor agroindustri sebesar -0.5883. Ranking pengganda nilai tambah juga berkorelasi negatif antar dua titik waktu. Namun untuk ranking pengganda tenaga kerja menunjukkan korelasi positif, yaitu 0.4280 untuk seluruh sektor dan 0.7777 untuk sektor agroindustri. Keterkaitan struktur output dan PDB pada dua titik waktu tahun 1998 dan 2003 mengalami perubahan sedangkan struktur tenaga kerja relatif stabil. Perubahan keterkaitan struktur output antar dua periode tersebut, menurut Daryanto (1992) dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
karena: (1) perubahan komposisi produk, (2) perubahan
agregasi input-output dalam industri, dan (3) perubahan harga relatif input-output, yaitu biaya input sektor industri menjadi sangat mahal saat krisis karena kandungan input impor yang tinggi.
138
5.2. Keterkaitan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lainnya Dalam konsep Analisis Input-Output, keterkaitan antar sektor ekonomi dapat dilihat melalui keterkaitan produk. Keterkaitan produk merupakan keterkaitan yang terjadi melalui penggunaan produk berbagai industri sebagai bahan baku bagi suatu industri, dan penggunaan produk industri tersebut sebagai bahan baku industri-industri lainnya. Kaitan yang tercipta karena suatu industri mempergunakan produk industri-industri lain untuk bahan bakunya disebut kaitan ke belakang. Sedangkan keterkaitan yang tercipta karena produk suatu industri dipergunakan sebagai bahan baku bagi industri-industri lain disebut kaitan ke depan. Kaitan ke belakang merupakan penciptaan permintaan bagi industri lain. Adanya tarikan permintaan merupakan perangsang peningkatan produksi dan investasi sehingga kaitan ke belakang menciptakan artikulasi antar industri yang efektif dan bersifat kausal. Sedangkan kaitan ke depan merupakan media penyedia input bagi sektor lain. Adanya kepastian untuk memperoleh pasokan input yang cukup akan mendorong investasi sehingga kapasitas produksi akan meningkat. Dengan demikian kaitan ke depan dapat dipandang juga sebagai media pencipta artikulasi antar sektor. Namun dampak kaitan ke depan dipandang bersifat pasif sehingga kurang efektif dibanding dampak kaitan ke belakang (Simatupang, et al., 2000) Dalam konteks analisis SNSE pada kajian ini, peran terhadap sektor lebih dilihat dari keterkaitan ke belakang, dalam arti keterkaitan antara sektor agroindustri dengan industri hulunya dan sektor lain penyedia input, terutama sektor pertanian primer. Tabel 8 menunjukkan sebagian besar agroindustri non makanan yaitu industri kayu, bubur kertas, kulit, karet remah dan asap serta industri kapuk berada pada posisi 10 urutan teratas sehingga memiliki peran yang tinggi dalam menggerakkan pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Untuk agroindustri makanan hanya untuk industri rokok. Namun secara umum dapat dikatakan agroindustri memiliki peran atau keterkaitan sektor yang lebih besar jika
139
Tabel 8. Nilai dan Ranking Pengganda Keterkaitan Antar Sektor, Tahun 1998 dan Tahun 2003 PENGGANDA SEKTOR
Pertanian Primer Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan & perburuan Pertanian tanaman lainnya Agroindustri Makanan Industri mak sektor peternakan Industri mak sektor tan pangan Industri mak sektor perikanan Industri mak sektor perkebunan Industri minuman Industri rokok Agroindustri Non Makanan Industri kapuk Industri kulit samakan & olahan Industri kayu lapis, barang dr kayu, bambu dan rotan Industri bubur kertas Industri karet remah & asap Industri ringan dan lainnya Industri berat Sektor Lain Pertambangan Listrik, gas & Air minum Konstruksi & Real Estate Perdagangan besar, eceran, & pergudangan Restoran dan perhotelan Angkutan & komunikasi Bank dan asuransi Real estate & jasa perusahaan. Pemerintahan, pertahan, pend, kesehatan, Jasa lainnya Agroindustri makanan Agroindustri non makanan Sektor Primer Sektor Lain
Tahun 1998
Tahun 2003
Nilai
Rank
Nilai
Rank
3.87
12 7 2 17 8
4.65
24 10 28 26 16
5.05 5.10
4.57
21 13 9 22 10 4
5.32
19 18 11 25 13 9
2.41 2.26
24 25
5.57 5.65
7 5
3.60
18 23 26 27 28
5.89
2 4 6 20 22
14 11 20
5.25
4.91
3.71
3 1 6 16
1.75
21 15 14 27
3.54
19
4.68
23
4.50
5 15
5.12
17 8
4.32 4.70 3.61 4.16 3.16 3.75 4.01 2.97 3.92
2.56 1.71 1.26 0.88 3.74 3.88 3.44 4.68 5.23 4.48
3.73
5.29 0.58 3.95 5.12
5.25 4.36 5.19
5.72 5.60 5.02 4.75
6.49 5.76
5.15 5.16
5.52 4.92
3.73
5.05
2.51
5.69
4.13
3.92
4.09
4.98
12 1 3
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar)
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Dengan demikian apabila diberikan stimulus ekonomi ke industri-industri tersebut akan menggerakkan perekonomian sektor-sektor lain, khususnya sektor penyedia input bagi industri-industri yang bersangkutan.
140
Kondisi krisis ekonomi tahun 1998 mengakibatkan peran sektor agroindustri terutama agroindustri non makanan menjadi inferior terhadap sektor pertanian dalam menggerakkan perekonomian sektor-sektor lainnya. Dalam kondisi krisis ekonomi itulah sektor pertanian primer merupakan sektor yang paling dapat bertahan sehingga apabila diberikan stimulus ekonomi ke sektor pertanian akan memberikan dampak yang lebih besar dalam menghasilkan penerimaan sektor-sektor lain. Hal ini terlihat 3 dari 5 subsektor pada sektor pertanian primer berada di posisi 10 urutan teratas. Sedangkan untuk sektor agroindustri, industri yang masih bisa bertahan pada 10 urutan teratas pada kondisi krisis ekonomi adalah agroindustri makanan sektor perikanan, industri minuman dan industri rokok. 5.3. Peran Sektor Agroindustri dalam Pendapatan Rumah Tangga Berbeda dengan nilai pengganda output, nilai tambah maupun tenaga kerja yang selalu lebih besar dari satu, pengganda pendapatan rumah tangga menghasilkan nilai lebih kecil dari satu.
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peningkatan produksi sektor
agroindustri akan menghasilkan dampak peningkatan pendapatan sektor produksi maupun tenaga kerja lebih besar dibandingkan pengaruh yang ditransmisikan ke rumah tangga. Dengan
mengelompokkan rumah tangga ke dalam 6 golongan rumah tangga nilai
pengganda pendapatan rumah tangga berkisar 0.1 sampai 0.9 (Tabel 9). Nilai pengganda rumah tangga untuk masing-masing sektor sektor secara rinci ditampilkan pada Lampiran 6. Sektor agroindustri, baik agroindustri makanan maupun non makanan menghasilkan pengganda lebih besar dibandingkan sektor lain secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sektor agroindustri akan memberikan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan pengembangan yang dilakukan ke sektor lain. Namun untuk kelompok buruhtani dan petani, nilai pengganda terbesar adalah untuk sektor pertanian primer.
Tabel 9. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sektor dan Golongan Rumah Tangga, Tahun 1998 dan 2003 Nilai Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Buruh Tani
Petani Kecil
Petani Luas
NP Rendah Desa
NP Atas Desa
NP Rendah Kota
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
Pertanian Tanaman angan
0.06
0.26
0.14
0.38
0.15
0.33
0.19
0.61
0.18
0.26
0.19
0.74
0.19
0.29
Peternakan dan Hasil-hasiln ya
0.05 0.04
0.22 0.03
0.13 0.10
0.28 0.03
0.14 0.12
0.25 0.03
0.19 0.17
0.55 0.06
0.19 0.17
0.22 0.02
0.21 0.22
0.80 0.10
0.21 0.23
0.31 0.04
0.03 0.04
0.16 0.23
0.08 0.10
0.18 0.32
0.10 0.12
0.17 0.28
0.15 0.16
0.43 0.59
0.17 0.17
0.16 0.24
0.23 0.23
0.67 0.79
0.26 0.24
0.26 0.31
Ind mak sektor peternakan
0.02
0.18
0.06
0.22
0.07
0.20
0.11
0.48
0.12
0.18
0.16
0.74
0.18
0.28
Ind mak sektor tan pangan
0.03
0.18
0.06
0.22
0.08
0.21
0.12
0.50
0.13
0.19
0.18
0.77
0.20
0.29
Ind mak sektor perikanan
0.03
0.18
0.07
0.23
0.09
0.21
0.14
0.50
0.15
0.19
0.20
0.75
0.22
0.29
Ind mak sektor perkebunan
0.02
0.17
0.05
0.21
0.07
0.20
0.11
0.47
0.12
0.18
0.16
0.71
0.17
0.27
Industri minuman
0.03
0.18
0.07
0.22
0.09
0.20
0.14
0.52
0.16
0.19
0.21
0.82
0.23
0.31
Industri rokok
0.02
0.18
0.06
0.20
0.07
0.19
0.12
0.56
0.12
0.19
0.17
0.94
0.18
0.35
Industri Kapuk
0.01
0.16
0.03
0.17
0.04
0.17
0.07
0.48
0.07
0.17
0.10
0.84
0.11
0.31
Industri kulit samakan dan olahan
0.01
0.16
0.03
0.18
0.03
0.18
0.05
0.49
0.05
0.17
0.08
0.86
0.08
0.32
Industri kayu lapis, bambu & rotan
0.02
0.18
0.04
0.19
0.05
0.19
0.08
0.53
0.08
0.19
0.12
0.94
0.1 3
0.35
Industri bubur kertas
0.01
0.16
0.03
0.18
0.04
0.18
0.06
0.49
0.06
0.17
0.09
0.86
0.09
0.32
Industri karet remah ,karet asap
0.01 0.01 0.01
0.18 0.17 0.16
0.02 0.01 0.01
0.20 0.19 0.18
0.02 0.02 0.02
0.19 0.19 0.18
0.04 0.03 0.03
0.57 0.52 0.48
0.04 0.03 0.03
0.19 0.18 0.17
0.06 0.05 0.05
1.05 0.92 0.85
0.06 0.05 0.05
0.39 0.34 0.32
Agroindustri Makanan
0.03
0.18
0.06
0.22
0.08
0.20
0.12
0.50
0.13
0.19
0.18
0.79
0.20
0.30
Agroindustri non Makanan
0.01
0.17
0.03
0.19
0.04
0.18
0.06
0.51
0.06
0.18
0.09
0.91
0.09
0.34
Sektor Primer
0.05
0.18
0.11
0.24
0.13
0.21
0.17
0.45
0.18
0.18
0.22
0.62
0.23
0.24
Sektor Lain
0.03
0.20
0.07
0.20
0.08
0.23
0.14
0.41
0.14
0.14
0.23
0.80
0.23
0.30
SEKTOR
NP Atas Kota
Pertanian Primer
Perikanan Kehutanan dan Perburuan Pertanian Tanaman Lainnya
Agroindustri Makanan
Agroindustri Non Makanan
Industri ringan dan lainnya Industri berat
141
Catatan: pengganda pendapatan untuk sektor lain secara rinci disajikan pada Lampiran 6 . NP Rendah Desa = Non Pertanian golongan rendah di desa; NP Atas Desa = Non Pertanian golongan atas di desa; NP Rendah Kota = Non Pertanian golongan rendah di kota; NP Atas Kota = Non Pertanian golongan atas di kota.
142
Artinya bagi buruh tani dan petani pengembangan sektor pertanian primer yang akan menghasilkan pendapatan bagi buruh tani dan petani lebih besar dibandingkan pengembangan sektor lain. Jika diperhatikan lebih lanjut, bagi rumah tangga buruh tani, petani kecil dan petani luas, stimulus ekonomi yang diberikan ke agroindustri makanan akan memberikan peningkatan pendapatan bagi mereka lebih besar dibandingkan jika pengembangan dilakukan ke agroindustri non makanan. Sebaliknya bagi golongan rumah tangga non pertanian stimulus ekonomi yang diberikan ke agroindustri non makanan akan menghasilkan peningkatan pendapatan lebih besar meskipun perbedaaannya tidak terlampau besar. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri makanan lebih banyak berorientasi di sektor pertanian dan perdesaan sehingga memberikan manfaat yang lebih besar kepada petani dan buruh tani, sementara agroindustri non makanan lebih banyak berorientasi di sektor non pertanian dan di kota sehingga manfaat yang dihasilkan lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga non pertanian. Dilihat perkembangan dua titik waktu, peran sektor agroindustri terhadap pendapatan rumah tangga mengalami peningkatan. Nilai pengganda pendapatan rumah tangga untuk agroindustri non makanan meningkat sangat nyata antar dua titik waktu tersebut. Hal ini disebabkan pada masa krisis peran agroindustri non makanan sangat menurun sehingga pada kondisi ekonomi normal dewasa ini peran agroindustri terlihat meningkat sangat nyata relatif terhadap kondisi masa krisis ekonomi. Hasil analisis juga menunjukkan jika diberikan stimulus ekonomi di sektor agroindustri, terutama agroindustri non makanan, maka pendapatan terbesar diterima oleh rumah tangga non pertanian golongan rendah baik di kota dan di desa, misalnya para pedagang, buruh angkut serta rumah tangga pekerja jasa golongan rendah lain. Sebaliknya rumah tangga buruh tani dan petani adalah golongan yang memperoleh pengganda pendapatan terkecil. Hal ini berimplikasi bahwa pengembangan sektor agroindustri lebih
143
banyak melibatkan sektor non pertanian khususnya sektor jasa dengan pelaku rumah tangga non pertanian golongan rendah yang terlibat dalam proses industri. Sedangkan buruh tani maupun petani yang berperan dalam penyediaan bahan baku tidak banyak terlibat. Kondisi ini bisa terjadi dengan adanya pengembangan agroindustri yang bersifat vertikal atau penggunaan bahan baku sebagian besar dari impor. Alasan perusahaan melakukan pengembangan vertikal adalah terkait dengan jaminan kualitas dan kontinyuitas pasokan yang tidak terpenuhi pleh usahatani petani sekitar. Dengan demikian manfaat pengembangan agroindustri tidak mengalir ke rumah tangga petani dan buruh tani. Dengan hasil di atas dapat dikatakan bahwa strategi ADLI di Indonesia belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Strategi ADLI yang bertujuan meningkatkan pendapatan rumah tangga petani, terutama buruh tani dan petani kecil, belum mencapai sasaran. Manfaat pengembangan sektor pertanian primer dan agroindustri belum sampai secara maksimal ke rumah tangga pertanian. Buruh tani menerima manfaat paling kecil dibandingkan kelompok rumah tangga lain, bahkan rumah tangga golongan atas di kota menerima pendapatan lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga buruh tani. Kajian yang dilakukan oleh Bautista et al. (1999) dengan menggunakan SAM Indonesia 1995 menghasilkan kesimpulan yang sama. Pengembangan sektor pertanian menghasilkan pendapatan bagi rumah tangga petani yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Namun strategi ADLI yang diterapkan di beberapa negara (Vietnam, Mozambique, Srilanka, Kenya, China, India) disamping berhasil meningkatkan output dan pendapatan, juga mampu menghasilkan pendapatan bagi rumah tangga pertanian yang lebih besar dibanding golongan rumah tangga lain (Bautista, 1999; Jensen dan Trap, 2004, Adelman et al., 1989). Kurang berhasilnya strategi ADLI di Indonesia dalam menghasilkan pendapatan rumah tangga petani dan buruh tani yang lebih baik juga dapat disebabkan oleh keterbatasan rumah tangga buruh tani dan petani itu sendiri dalam mengambil manfaat
144
pengembangan sektor pertanian dan agroindustri. Modal yang terbatas, informasi pasar yang terbatas, ketrampilan dan pendidikan (sumberdaya manusia) yang terbatas menjadi salah satu sebab rumah tangga petani dan buruh tani sebagai kelompok yang tertinggal dalam mengambil manfaat kemajuan teknologi dan pengembangan sektor pertanian dan agroindustri. Hal ini berimplikasi bahwa pembangunan agroindustri tidak bisa dilakukan sepihak melalui pengembangan dari sisi industrinya saja melainkan harus dilakukan simultan melalui pembangunan sektor pertanian primer, baik pembangunan fisik, pembangunan sumberdaya manusia, maupun kelembagaan sehingga sektor pertanian primer dapat menjamin tuntutan kualitas dan kontinuitas pasokan yang dibutuhkan bagi pengembangan sektor agroindustri dan manfaat pengembangan sektor agroindustri dapat mengalir lebih banyak ke rumah tangga buruh tani dan petani. Pembangunan agroindustri tidak akan menghasilkan dampak optimal tanpa didukung oleh sektor pertanian yang berkualitas. 5.4. Industri Prioritas pada Sektor Agroindustri Suatu sektor yang paling efektif berperan sebagai mesin penggerak pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional disebut sebagai sektor kunci (key sector) atau sering pula disebut sebagai sektor unggulan, sektor andalan atau sektor prioritas. Dalam konteks penelitian ini sektor yang dimaksud diistilahkan sebagai sektor prioritas. Untuk menentukan sektor kunci atau sektor prioritas, masing-masing kajian bisa menggunakan metoda atau kriteria berbeda tergantung dari tujuan penelitian.
Dalam
kerangka Input-Output, metoda Rasmussen digunakan untuk menentukan sektor kunci dengan menggunakan kriteria ganda (dual criterion), yaitu dari sisi permintaan input (demand side) yaitu melalui keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan sisi output (supply side) melalui keterkaitan ke depan (forward linkage). Metoda Rasmussen
145
digunakan oleh Cochrane (1990) dan Daryanto (1992) untuk menentukan sektor kunci pada sektor pertanian dan oleh Ginting (2006)
untuk menentukan sektor unggulan dalam
perekonomian di Sumatera Utara. Namun metode Rasmussen terbatas digunakan untuk menentukan sektor kunci dari sisi produksi. Oleh karena itu selain menggunakan metoda Rasmussen, Cochrane dan Daryanto juga mengkombinasikan kriteria pengganda output, tenaga kerja dan pendapatan untuk meranking sektor-sektor yang berada pada urutan sepuluh terbesar. Simatupang (2000) menggunakan lima kriteria untuk menguji sektor pertanian sebagai sektor andalan dalam perekonomian, yaitu: (1) kontributif, (2) artikulatif, (3) progresif, (4) tangguh, dan (5) fasilitatif. Kontributif dilihat dari kontribusi yang cukup besar dalam keragaan ekonomi makro seperti PDB yang secara operasional diukur dari pangsa kontribusi atau koefisien pengganda. Sifat artikulatif dilihat dari kemampuan besar sebagai dinamisator bagi pertumbuhan sektor-sektor lain dalam perekonomian dengan spektrum yang luas yang secara operasional diukur melalui koefisien pengganda dan indeks penyebaran (dispersion index). Progresif berarti dapat tumbuh secara berkelanjutan dengan laju yang cukup cepat yang secara operasional diukur dari laju pertumbuhannya. Sifat tangguh berarti unggul dalam persaingan dan tahan menghadapi gejolak ekonomi. Terakhir, sifat fasilitatif berarti mampu menciptakan tatanan lingkungan yang baik bagi perekonomian yang secara operasional dilihat dari kemampuannya mengendalikan inflasi, stabilitas nilai rupiah dan kontribusi dalam ketahanan pangan. Dalam kajian ini, kerangka strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization (ADLI) digunakan sebagai kerangka kerja dalam menentukan agroindustri yang dapat disebut sebagai agroindustri prioritas. Sesuai dengan penjabaran strategi ADLI, sektor pertanian primer dan sektor agroindustri merupakan sektor andalan strategi ADLI. Strategi ADLI merupakan strategi yang mengutamakan peningkatan produktivitas sektor pertanian sebagai sarana mencapai industrialisasi.
146
Penekanan strategi ADLI adalah peningkatan produktivitas sektor pertanian primer, terutama pertanian skala kecil dan menengah, sebagai sarana mencapai industrialisasi. Adelman juga menyatakan bahwa kunci sukses
keberhasilan strategi ADLI adalah
keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian primer. Dengan memfokuskan pada keterkaitan produksi, pendapatan dan konsumsi secara bersama-sama, strategi ADLI bertujuan untuk meningkatkan ekonomi berpendapatan rendah menuju jalur pertumbuhan yang lebih merata dan berkelanjutan. Dengan demikian kriteria agroindustri prioritas dalam penelitian ini bukan hanya dilihat dari kemampuannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan output dan penyerapan tenaga kerja namun juga kemampuannya dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan rendah serta memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian primer yang kuat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi diharapkan akan lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga golongan rendah dan pada akhirnya akan memperkecil kesenjangan pendapatan masyarakat dan lebih lanjut mengurangi kemiskinan, sesuai dengan triple track strategy: pro growth, pro employment and pro poor7 Berdasarkan beberapa kriteria di atas, maka agroindustri prioritas adalah agroindustri yang memiliki peran tinggi dalam meningkatkan output nasional, penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan sektor lainnya, khususnya sektor pertanian primer sebagai penyedia input serta perannya dalam menciptakan peningkatan pendapatan rumah tangga golongan rendah. Dengan demikian indikator yang digunakan untuk menentukan agroindustri prioritas adalah berdasarkan pengganda output, tenaga kerja, keterkaitan sektor khususnya kaitan ke belakang dan pengganda pendapatan rumah tangga golongan rendah. Dengan menggabungkan empat
indikator pengganda tersebut dan melakukan
ranking akhir, dapat ditentukan agroindustri yang berada pada ranking 7
www.presidenri.go.id
teratas. Cara
147
penggabungan ranking secara sederhana untuk menentukan
sektor prioritas dalam
penelitian ini mengadopsi cara yang dilakukan oleh Cochrane (1990) dan Daryanto (1992) yang mengkombinasikan
beberapa pengganda untuk menentukan sektor kunci dalam
kebijakan pembangunan yang mencakup tiga tujuan bersama-sama, disebut ‘output, income and employment maximization’ . Nilai dan ranking pengganda output, tenaga kerja dan keterkaitan sektor pada sektor agroindustri disajikan pada Tabel 10. Hasil ranking pengganda output menunjukkan industri yang berada di urutan lima teratas berturut-turut adalah industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri kertas, karet, kulit dan kapuk.
Tabel 10. Nilai dan Ranking Pengganda Output, Tenaga Kerja dan Keterkaitan Sektor Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003 Pengganda AGROINDUSTRI Agroindustri Makanan Sektor peternakan Sektor tanaman pangan Sektor perikanan Sektor perkebunan Minuman Rokok Agroindustri Non Makanan Kapuk Kulit samakan, olahan Kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan Bubur kertas Karet remah dan karet asap
Output
Tenaga Kerja
Keterkaitan Sektor
Nilai
Rank
Nilai
Rank
Nilai
Rank
6.09
10
1.53
7
5.05
10
6.24 6.34
8 7
1.58 1.55
4 6
5.10 5.25
9 7
5.96 6.22 6.34
11 9 6
1.46 1.67 1.85
8 3 1
4.36 5.19 5.32
11 8 6
6.57 6.66
5 4
1.44 1.42
9 10
5.57 5.65
5 3
7.02 6.78 6.67
1 2 3
1.56 1.41 1.85
5 11 2
5.89 5.72 5.60
1 2 4
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar)
Artinya apabila tujuan pembangunan difokuskan
untuk meningkatkan output
nasional, maka simulus ekonomi yang diberikan ke industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri kertas, industri karet, industri kulit dan industri kapuk akan meningkatkan output nasional lebih besar dibanding agroindustri lainnya. Industri-industri tersebut sekaligus juga berada di urutan teratas berdasarkan pengganda keterkaitan antar sektor. Sedangkan
148
industri yang berada di lima urutan teratas berdasarkan nilai pengganda tenaga kerja adalah industri rokok, karet, minuman, industri makanan sektor tanaman pangan dan industri kayu. Hal ini berarti peran industri tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih banyak melalui penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari kriteria pengganda pendapatan rumah tangga golongan rendah (Tabel 11), industri yang berada di urutan lima teratas berturut-turut adalah industri karet, industri kayu, industri rokok, industri makanan dari sektor perikanan, dan industri minuman. besar dalam meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga golongan rendah. Tabel 11. Nilai dan Ranking Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Golongan Rendah Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003 Pengganda Pendapatan Rumah Tangga AGROINDUSTRI Agroindustri Makanan Sektor peternakan Sektor tanaman pangan Sektor perikanan Sektor perkebunan Minuman Rokok Agroindustri Non Makanan Kapuk Kulit samakan, olahan Kayu lapis, barang dr kayu, bambu dan rotan Bubur kertas Karet remah, karet asap
Buruh tani
Petani kecil
Non pert gol rendah desa
Non pert gol rendah kota
Nilai
Rank
Nilai
Rank
Nilai
Rank
Nilai
Rank
0.18
7 5 1 8 4 3
0.22
4 2 1 5 3 6
0.48
9 5 6 11 4 2
0.74
10 8 9 11 7 3
11 9
0.17
11 9
0.48
10 7
0.84
0.18 0.18 0.17 0.18 0.18 0.16 0.16
0.22 0.23 0.21 0.22 0.20
0.18
0.50 0.50 0.47 0.52 0.56
0.49
6 0.19 8 0.53 3 0.16 10 0.18 10 0.49 8 2 7 1 0.18 0.20 0.57 Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar). 0.18
0.77 0.75 0.71 0.82 0.94
0.86 0.94 0.86 1.05
6 4 2 5 1
Pengembangan industri-industri tersebut akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi rumah tangga golongan rendah.
Industri pengolahan makanan dari sektor
perikanan memberikan kontribusi lebih besar terutama untuk peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani kecil. Sedangkan industri karet lebih banyak berperan meningkatkan pendapatan rumah tangga pertanian golongan rendah di desa maupun di
149
kota. Artinya bila terjadi peningkatan permintaan akhir pada industri makanan sektor perikanan, golongan rumah tangga yang memperoleh pendapatan paling besar adalah rumah tangga buruh tani dan petani kecil. Sedangkan industri karet lebih banyak berperan dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga non pertanian golongan rendah baik di desa maupun di kota. Dengan menggabungkan empat indikator di atas secara sederhana dan melakukan ranking akhir dapat diketahui agroindustri yang berada pada lima urutan teratas adalah industri karet, kayu lapis bambu dan rotan, rokok, industri pengolahan makanan dari sektor perikanan dan industri minuman, seperti disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan kriteria pengganda output, tenaga kerja, keterkaitan sektor dan pendapatan rumah tangga golongan rendah, lima dari 11 agroindustri tersebut berada pada ranking teratas dan memiliki potensi Tabel 12. Ranking Pengganda Output, Tenaga Kerja, Keterkaitan Sektor dan Pendapatan Rumah Tangga Golongan Rendah Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003
AGROINDUSTRI Agroindustri Makanan Makanan sektor peternakan Makanan sektor tan pangan Makanan sektor perikanan Makanan sektor perkebunan Minuman Rokok Agroindustri Non Makanan Kapuk Kulit samakan dan olahan Kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan Bubur kertas Karet remah dan karet asap
Output
RANKING PENGGANDA Pendap Keterkaitan TK RT Gol Sektor Rendah
10
7
10
8
4
9
7
6
7
11
8
11
9
3
8
6
1
6
5
9
5
4
10
3
8 6 3 10 4 2
35 27 23 40 24 15
10 8 4 11 5 3
11 7
30 24
9 6
12 24 10
2 7 1
5 2 11 2 9 3 2 4 1 Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) 1
5
1
Total Nilai Rank
Industri-industri yang berada pada ranking teratas pada dasarnya hanya memiliki potensi untuk menjadi industri prioritas. Hirschman (1958), Bulmer-Thomas (1982) dan Panchamukti (1975) yang dikutip oleh Daryanto (1992) menyebutkan bahwa tidak ada
150
jaminan stimulus yang diukur melalui nilai-nilai pengganda tersebut akan terwujud ke dalam pertumbuhan aktual kecuali memenuhi kondisi tertentu. Kondisi tersebut terkait dengan pertimbangan politik dan kelembagaan (political and institutional consideration). Realisasi stimulus akan tergantung pada sarana input pelengkap seperti lingkungan yang mendukung dan kelembagaan yang ada serta kebijakan pemerintah yang konsisten dengan ranking sektor tersebut. Faktor terpenting lainnya adalah bahwa pemerintah memainkan peran yang sangat strategis dalam mengalokasikan sumberdaya melalui kebijakan fiskal, moneter maupun kebijakan investasi. Sebagai contoh pemerintah bisa melakukan proteksi untuk menghambat perusahaan dalam merespon stimulus tertentu. Terkait dengan ranking agroindustri yang dihasilkan pada Tabel 12, industriindustri yang berada pada ranking teratas, yaitu industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri rokok, industri minuman dan industri makanan sektor perikanan pada dasarnya memiliki potensi dalam meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Namun kepentingan melakukan
ranking
agroindustri dalam kajian ini adalah untuk menentukan agroindustri apa yang layak untuk dijadikan prioritas pengembangan melalui berbagai kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu apa yang dinyatakan oleh Hirschman, Bulmer-Thomas dan Panchamukti tentang perlunya pertimbangan politik maupun kelembagaan serta pertimbangan non ekonomi lain perlu disertakan dalam menetapkan agroindustri prioritas dan bukan semata-mata berdasarkan angka-angka pengganda saja agar tidak menimbulkan misleading. Agroindustri makanan sektor perkebunan tidak termasuk dalam ranking teratas pada struktur agroindustri makanan. Padahal sektor perkebunan primer memiliki peran yang besar dalam menyumbang PDB nasional. Jika sektor primernya memiliki potensi yang besar dalam menyumbang pendapatan nasional, diharapkan industri hilirnya pun berada pada posisi yang kuat. Apabila diperhatikan,
kontribusi agroindustri makanan
151
sektor perkebunan dalam pembentukan output, PDB (diproxy dari nilai tambah tenaga kerja dan modal atas dasar biaya faktor), dan penyerapan tenaga kerja (diproxy dari nilai tambah tenaga kerja) di sektor agroindustri, memiliki pangsa output sebesar 40.3 persen, PDB sebesar 33 persen dan pangsa tenaga kerja sebesar 31 persen terhadap total output, PDB dan penyerapan tenaga kerja di sektor agroindustri (Lampiran 7). Selain itu dilihat perkembangan output tahun 1998 ke tahun 2003 sektor agroindustri perkebunan menunjukkan peningkatan lima kali lipat (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan besarnya peran sektor agroindustri perkebunan dalam memperkuat sektor agroindustri di Indonesia. Namun dilihat dari nilai pengganda, agroindustri makanan sektor perkebunan memiliki pengganda yang lebih kecil dibandingkan dengan agroindustri lainnya. Hal ini bisa terjadi karena dengan nilai awal yang sudah demikian besar, maka pengembangan agroindustri makanan sektor perkebunan tidak akan menghasilkan incremental growth sebesar pengembangan pada sektor lain yang masih berada pada tahap pertumbuhan. Dengan demikian agroindustri makanan sektor perkebunan sesungguhnya memiliki peran yang penting dalam memperkokoh struktur agroindustri di Indonesia sehingga perlu memperoleh prioritas pengembangan.
Dari sisi kebijakan pemerintah, agroindustri
perkebunan (kelapa sawit) saat ini merupakan salah satu fokus pengembangan agroindustri melalui strategi Klaster (Cluster) Industri Prioritas (Departemen Perindustrian, 2005). Industri rokok berada pada urutan ketiga menurut ranking sektor agroindustri dan perannnya terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja serta pendapatan rumah tangga golongan rendah melalui lapangan kerja yang disediakan untuk buruh-buruh pabrik. Industri rokok juga penghasil pajak terbesar bagi pemerintah. Namun pengembangan industri rokok akan menghasilkan biaya imbangan yang besar melalui pencemaran lingkungan (asap rokok) dan bahaya kesehatan (penyakit kanker paru-paru dan penyakit lainnya). Dewasa ini pun perkembangan preferensi konsumen terhadap barang-barang yang dikonsumsi sudah
lebih
mengarah pada komoditi yang berkualitas dan dapat
152
meningkatkan kesehatan. Pemerintah pun menerapkan aturan yang ketat bagi masyarakat untuk tidak merokok di area publik. Dengan demikian kebijakan mengembangkan industri rokok akan paradoks dengan norma yang berkembang di masyarakat secara umum. Dilihat dari sisi bisnis, industri rokok juga tergolong sebagai sunset industry yang perspektif ke depan demand masyarakat terhadap rokok maupun investasi industri rokok cenderung menurun. Industri minuman berada pada posisi ranking kelima dari 11 agroindustri dan perannya terutama dalam penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan bawah. Namun apabila diperhatikan industri-industri yang tergabung ke dalam industri minuman (Lampiran 4) adalah industri minuman keras, anggur dan sejenisnya, malt dan minuman yang mengandung malt, sirop serta minuman ringan. Komoditas-komoditas tersebut dapat dikatakan kurang
berperan dalam mendukung
ketahanan pangan dan bahkan minuman keras merupakan komoditas yang peredarannnya di masyarakat dilarang oleh pemerintah dan berlawanan dengan norma mayarakat dan agama. Industri minuman juga kurang berperan dalam mendorong peningkatan produksi sektor pertanian primer sebagai penyedia bahan baku kecuali untuk industri tertentu yang termasuk dalam minuman ringan. Oleh karena itu meskipun industri minuman memiliki potensi yang cukup tinggi dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan sumbangan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga golongan rendah, namun dari berbagai pertimbangan seperti diuraikan kurang memiliki prospek yang baik untuk dijadikan prioritas pengembangan agroindustri. Agroindustri non makanan pada dasarnya
memiliki
karakteristik yang berbeda
dengan agroindustri makanan. Agroindustri non makanan pada umumnya adalah industri berskala menengah ke atas, padat kapital dan menggunakan komponen input impor yang lebih tinggi dibanding agroindustri makanan. Dengan karakteristik tersebut maka agroindustri yang lebih sesuai dengan strategi industrialisasi pertanian yang berorientasi
153
pada pertanian skala kecil dan menengah, teknologi padat karya dan mendukung program ketahanan pangan seperti pada konsep strategi ADLI adalah agroindustri makanan. Berdasarkan beberapa pertimbangan
di atas, dilakukan beberapa penyesuaian
dalam menentukan agroindustri prioritas sebagai berikut.
Agroindustri rokok dan
minuman dikeluarkan dari kelompok agroindustri makanan dan selanjutnya dengan menggunakan
empat indikator sama dengan yang digunakan sebelumnya dilakukan
ranking ulang. Dari empat indikator tersebut diambil dua agroindustri yang berada pada urutan teratas. Demikian pula pada pada kelompok agroindustri non makanan secara terpisah dilakukan ranking ulang dan diambil dua agroindustri yang berada pada urutan teratas. Selanjutnya empat industri dari kelompok agroindustri makanan dan non makanan yang berada pada ranking teratas berdasarkan pengganda output, tenaga kerja, keterkaitan sektor dan pendapatan rumah tangga golongan rendah ditambah dengan agroindustri makanan sektor perkebunan, ditetapkan sebagai agroindustri prioritas (Tabel 13). Dengan demikian agroindustri prioritas adalah industri makanan sektor tanaman pangan, industri makanan sektor perikanan, industri makanan sektor perkebunan dan industri kayu lapis, bambu dan rotan serta industri karet remah dan karet asap. Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan lima agroindustri tersebut diharapkan akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, memperkuat sektor pertanian primer dan mampu menghasilkan pendapatan yang lebih baik bagi rumah tangga golongan rendah yang pada akhirnya akan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Kelima agroindustri prioritas tersebut juga sesuai dengan fokus pengembangan agroindustri yang dilakukan oleh pemerintah melalui Klaster Industri Prioritas, yaitu: (1) industri makanan secara umum, (2) industri pengolahan hasil laut, (3) industri kelapa sawit, (4) industri barang kayu (termasuk bambu dan rotan), (5) industri karet dan barang dari karet, dan (6) industri pulp dan kertas.
154
Tabel 13. Penentuan Agroindustri Prioritas pada Sektor Agroindustri, Tahun 2003
AGROINDUSTRI Agroindustri Makanan Sektor peternakan Sektor tanaman pangan Sektor perikanan Sektor perkebunan Agroindustri Non Makanan Kapuk Kulit samakan dan olahan Kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan Bubur kertas Karet remah dan karet asap
Output
RANKING PENGGANDA Pendap Total Keterkaitan TK RT Gol Nilai Rank Sektor Rendah
4
4
4
3
2
3
1
3
2
5
5
5
5
3
5
4
4
3
4 3 2 5
16 11 8 20
3 2 1 4
4 3
17 14
5 4
6 12 9
1 3 2
2 3 1 3 1 4 Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) 1
2
1
2
5
2
5.5. Tahapan Transmisi Pengaruh dari Sektor Agroindustri 5.5.1. Agroindustri Makanan Nilai-nilai pengganda yang telah diuraikan pada dasarnya mencerminkan pengaruh total akibat perubahan neraca eksogen terhadap neraca endogen. Pengaruh tersebut sebetulnya melalui beberapa tahapan sehingga nilai pengganda dapat didekomposisi menjadi beberapa komponen. Dekomposisi dilakukan untuk melihat proses perubahan neraca endogen akibat dari perubahan neraca eksogen. Terdapat tiga komponen hasil dekomposisi pengganda neraca, yaitu: (1) pengganda transfer, (2) pengganda open loop, dan (3) pengganda cloose loop. Pengganda transfer menunjukkan dampak yang terjadi di dalam
neraca dimana stimulus ekonomi awal
diberikan. Misalnya stimulus ekonomi awal diberikan terhadap neraca sektor produksi, maka pengganda transfer akan bekerja pada neraca sektor produksi atau menimbulkan
akan
dampak bagi dirinya sendiri (own effect). Pengganda open loop
menunjukkan dampak yang terjadi terhadap neraca lain sebagai akibat adanya stimulus ekonomi awal yang diberikan pada neraca tertentu atau akan menimbulkan dampak silang (cross effect).
Misalnya stimulus ekonomi awal yang diberikan kepada neraca sektor
155
produksi menyebabkan kenaikan output sektor produksi yang selanjutnya kenaikan output tersebut akan berakibat pada kenaikan tenagakerja dan pendapatan rumah tangga. Hal ini berarti dengan adanya stimulus ekonomi terhadap neraca sektor produksi akan memberikan dampak bagi tenaga kerja dan institusi. Sedangkan pengganda close loop menunjukkan pengaruh dari suatu neraca yang memperoleh stimulus ekonomi ke neraca lain kemudian kembali pada neraca semula sehingga pengaruh terhadap neraca semula tersebut menjadi kecil. Dekomposisi pengganda agroindustri makanan sebagai berikut. (1) Agroindustri Makanan Sektor Peternakan dan Tanaman Pangan Dekomposisi pengganda industri makanan sektor peternakan dan tanaman pangan ditampilkan pada Tabel 14. Stimulus ekonomi yang diberikan ke industri makanan sektor peternakan sebesar 1 milyar rupiah (melalui peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi maupun ekspor) akan menghasilkan peningkatan output industri makanan sektor peternakan itu sendiri sebesar 1. 01 milyar rupiah. Selain menghasilkan peningkatan output pada industri itu sendiri, juga secara langsung akan menghasilkan peningkatan output bagi sektor-sektor lain
dengan total
peningkatan sebesar 2.13 milyar rupiah. Dalam hal ini sektor pertanian tanaman pangan memperoleh peningkatan output sebesar 0.26 milyar rupiah. Angka tersebut merupakan angka terbesar diantara sektor pertanian primer lainnya. Sedangkan sektor peternakan dan hasilnya, sebagai sektor pemasok bahan baku industri pengolahan makanan sektor peternakan memperoleh efek penerimaan output secara langsung sebesar 0.04 milyar rupiah.
Dengan memperhitungkan pengganda close loop (pengaruh setelah stimulus
ekonomi melalui neraca lain dan kembali ke neraca semula), stimulus ekonomi ke neraca industri makanan peternakan sebesar 1 milyar akan menghasilkan pengaruh total peningkatan pendapatan sektor pertanian tanaman pangan sebesar 0.52 milyar rupiah, sebesar 0.26 milyar merupakan pengaruh dari pengganda close loop.
156
Tabel 14. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan Sektor Peternakan dan Tanaman Pangan, Tahun 2003 Stimulus awal
Industri makanan sektor peternakan
Industri makanan sektor tanaman pangan
Koefisien pengganda Dampak thd neraca lain TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Ind mak sektor peternakan Industri ringan & lainnya Industri berat Restoran dan perhotelan Total sektor produksi TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Ind mak sektor tan pangan Industri ringan & lainnya Industri berat Restoran dan perhotelan Total sektor produksi
Stimulus awal
1
1
Transfer 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.26 0.04 0.16 0.00 0.12 1.01 0.04 0.05 0.00 2.13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.26 0.04 0.16 0.00 0.12 1.01 0.04 0.05 0.004 2.12
Open loop 0.24 0.03 0.10 0.17 0.22 0.07 0.09 0.08 0.17 0.07 0.20 0.08 0.10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.24 0.03 0.11 0.18 0.23 0.07 0.09 0.08 0.18 0.07 0.21 0.08 0.11 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Close loop 0.25 0.04 0.20 0.49 0.57 0.11 0.13 0.12 0.31 0.11 0.54 0.20 0.26 0.26 0.15 0.23 0.02 0.10 0.03 0.45 0.42 0.20 3.96 0.26 0.04 0.21 0.51 0.59 0.11 0.13 0.13 0.32 0.12 0.56 0.21 0.27 0.27 0.16 0.23 0.02 0.10 0.12 0.47 0.44 0.21 4.12
Total 0.49 0.07 0.30 0.66 0.79 0.18 0.22 0.20 0.48 0.18 0.74 0.28 0.36 0.52 0.19 0.38 0.03 0.22 2.04 0.49 0.47 0.21 6.09 0.50 0.08 0.32 0.69 0.82 0.18 0.22 0.21 0.50 0.19 0.77 0.29 0.38 0.53 0.20 0.39 0.03 0.22 2.14 0.51 0.49 0.22 6.24
157
Sedangkan sektor peternakan dan hasilnya menerima pendapatan total sebesar 0.20 milyar rupiah. Pembahasan
terhadap sektor-sektor lain yang juga memperoleh pendapatan
difokuskan kepada industri ringan dan industri berat serta industri restoran dan perhotelan karena ketiga sektor tersebut dipandang memiliki kaitan yang erat dengan agroindustri. Stimulus ekonomi ke industri makanan sektor peternakan sebesar 1 milyar rupiah secara langsung (melalui pengganda transfer) akan menghasilkan output sektor industri ringan dan berat masing-masing sebesar 0.04 milyar rupiah dan 0.05 milyar rupiah. Sedangkan sektor restoran dan perhotelan yang diharapkan banyak terkait dengan penggunaan output industri makanan, hanya menerima output sebesar 0.004 milyar rupiah.
Namun kontribusi
pengganda close loop dalam meningkatkan output ketiga sektor tersebut jauh lebih besar sehingga total pengaruh yang diterima ketiga sektor tersebut yang ditunjukkan melalui pengganda total masing-masing sebesar 0.49 milyar rupiah dan 0.47 milyar rupiah untuk industri ringan dan industri berat serta 0.21 milyar rupiah untuk sektor restoran dan perhotelan. Stimulus ekonomi ke industri makanan sektor peternakan juga menghasilkan pengaruh silang atau peningkatan pendapatan bagi neraca lain yaitu neraca tenaga kerja dan rumah tangga yang dicerminkan melalui nilai pengganda open loop. Stimulus ekonomi 1 milyar rupiah ke industri makanan sektor peternakan akan menghasilkan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa paling besar dibandingkan tenaga kerja lain, yaitu sebesar 0.24 milyar rupiah. Nilai tersebut merupakan angka terbesar untuk pengganda open loop neraca tenaga kerja. Hal ini berarti bahwa dampak secara langsung peningkatan output industri makanan sektor peternakan terhadap tenaga kerja betul-betul dinikmati oleh tenaga kerja pertanian. Namun dengan memperhitungkan pengganda close loop, pengaruh total pendapatan tenaga kerja terbesar bukan lagi untuk tenaga kerja pertanian di desa melainkan untuk tenaga kerja non pertanian di kota dengan total nilai pengganda sebesar 0.69. Hal ini
158
dimungkinkan mengingat lokasi industri sebagian besar berada di perkotaan dan dalam proses produksi melibatkan banyak tenaga kerja non pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah pendapatan yang diperoleh rumah tangga golongan rendah di kota juga menunjukkan angka tertinggi dengan total pendapatan sebesar 0.77 milyar rupiah.
Angka tersebut ditunjukkan melalui besaran pengganda total dimana
kontribusi pengganda open loop sebesar 0.21 dan pengganda close loop sebesar 0.56. Selain menghasilkan pendapatan bagi neraca tenaga kerja, stimulus ekonomi 1 milyar ke industri makanan sektor peternakan juga akan berpengaruh terhadap penerimaan modal sebesar 0.0.82 dimana pengganda open loop memberikan kontribusi sebesar 0.23 dan pengganda close loop memberikan kontribusi sebesar 0.59. Tabel 14 juga menyajikan dekomposisi pengganda sektor tanaman pangan dengan own effect (yang dicerminkan melalui pengganda tranfer) sebesar 1.01 dan pengganda close loop sebesar 0.12. Seperti halnya pada industri makanan sektor peternakan, sektor pertanian primer akan memancarkan ke sektor pertanian tanaman pangan sebagai sektor pemasok bahan baku bagi industri makanan sektor tanaman pangan. Sedangkan industri ringan dan industri berat serta sektor restoran dan perhotelan memperoleh penerimaan output terutama melalui kontribusi pengganda close loop. Stimulus ekonomi ke industri tanaman pangan sebesar 1 milyar rupiah tersebut juga akan menghasilkan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa yang dicerminkan melalui pengganda open loop sebesar 0.24 dan pengganda close loop sebesar 0.26 sehingga total pengganda bagi tenaga kerja pertanian di desa sebesar 0.5. Seperti halnya pada industri makanan sektor peternakan, pengaruh silang dari stimulus ekonomi di industri makanan sektor tanaman pangan terhadap penerimaan tenaga kerja pertanian di desa adalah yang terbesar. Namun total peningkatan pendapatan tenaga kerja yang terbesar (setelah memperhitungkan pengganda close loop)
dinikmati oleh tenaga kerja non pertanian
golongan rendah di kota. Oleh karena itu industri makanan sektor peternakan maupun
159
sektor tanaman pangan memiliki peran yang besar dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa maupun tenaga kerja non pertanian golongan rendah di kota. Stimulus ekonomi di industri makanan sektor tanaman pangan selain menghasilkan pendapatan bagi faktor produksi tenaga kerja, juga bagi faktor produksi modal dengan koefisien pengganda total sebesar 0.82 dengan kontribusi pengganda open loop sebesar 0.23 dan pengganda close loop sebesar 0.59. Peningkatan permintaan faktor produksi tenaga kerja seperti diuraikan di atas dipenuhi oleh rumah tangga sehingga lebih lanjut hal ini akan berpengaruh
pada
penerimaan rumah tangga. Konsisten dengan pengaruh pada tenaga kerja, rumah tangga yang paling besar memperoleh pendapatan adalah rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota dengan koefisien pengganda sebesar 0.77. Kontribusi pengganda open loop sebesar 0.21 dan pengganda close loop sebesar 0.56. Baik pengganda open loop maupun close loop, nilai tersebut adalah terbesar dibandingkan pengganda pendapatan pada rumah tangga lain. Artinya pengaruh stimulus ekonomi di industri makanan sektor tanaman pangan akan menghasilkan pengaruh langsung (melalui pengganda open loop) maupun pengaruh tidak langsung (melalui pengganda close loop) yang terbesar pada rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. Selain menghasilkan peningkatan pendapatan terhadap institusi rumah tangga, stimulus ekonomi sebesar 1 milyar rupiah di industri makanan sektor tanaman pangan akan menyebabkan meningkatnya pendapatan perusahaan dengan total peningkatan pendapatan sebesar 0.38 milyar rupiah. Pengaruh langsung melalui pengganda open loop sebesar 0.11 dan pengganda close loop sebesar 0.27. (2) Agroindustri Makanan Sektor Perikanan dan Perkebunan Tabel 15 menyajikan dekomposisi pengganda industri makanan sektor perikanan dan sektor perkebunan. Stimulus ekonomi sebesar 1 milyar rupiah ke industri makanan
160
sektor perikanan, melalui pengganda transfer
akan berpengaruh meningkatkan output
secara langsung sebesar 1.03 milyar rupiah. Peningkatan output industri makanan sektor perikanan tersebut akan menghasilkan output sektor-sektor lain serta pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga dan kesemuanya itu berdampak meningkatkan lagi output industri makanan sektor perikanan yang dicerminkan melalui pengganda close loop sebesar 0.05 milyar rupiah. Sektor perikanan sebagai pemasok bahan baku industri makanan sektor perikanan memperoleh penerimaan output yang dicerminkan melalui pengganda total sebesar 0.41, dimana pengganda transfer memiliki kontribusi sebesar 0.17 dan pengganda close loop sebesar 0.23. Seperti halnya pada industri makanan sektor peternakan dan tanaman pangan, pengaruh terbesar terhadap sektor pertanian primer justru pada sektor tanaman pangan sedangkan sektor perikanan memperoleh pengaruh terbesar kedua setelah sektor tanaman pangan. Dalam hal ini pengganda close loop memiliki kontribusi yang lebih besar dalam menciptakan peningkatan output tersebut. Pengaruh silang terhadap faktor produksi tenaga kerja dicerminkan melalui pengganda open loop dimana, seperti halnya yang terjadi pada industri makanan sebelumnya, pengaruh terbesar ada pada tenaga kerja pertanian di desa. Namun kotribusi pengganda close loop terbesar pada tenaga kerja non pertanian di kota sehingga pengaruh total terbesar terjadi pada tenaga kerja non pertanian di kota. Peningkatan pendapatan tenaga kerja non pertanian di kota tersebut lebih lanjut akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan rumah tangga
non pertanian golongan rendah di kota yang menerima
peningkatan paling besar diantara rumah tangga yang lain. Faktor produksi modal dalam hal ini memperoleh penerimaan sebesar 0.85 milyar rupiah, dimana kontribusi pengganda open loop sebesar 0.26 milyar rupiah dan pengganda close loop sebesar 0.59 milyar rupiah.
161
Tabel 15. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan Sektor Perikanan dan Perkebunan, Tahun 2003 Stimulus awal
Industri makanan sektor perikanan
Industri makanan sektor perkebunan
Koefisien pengganda Dampak thd neraca lain TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Ind mak sektor perikanan Industri ringan & lainnya Industri berat Restoran dan perhotelan Total sektor produksi TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Ind mak sektor perkebunan Industri ringan & lainnya Industri berat Restoran dan perhotelan Total sektor produksi
Stimulus awal
1
1
Transfer
Open loop
Close loop
Total
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.26 0.04 0.08 0.14 0.26 0.07 0.10 0.09 0.17 0.07 0.20 0.08 0.12
0.29 0.05 0.17 0.00 0.13 1.03 0.05 0.05 0.00 2.25
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.26 0.04 0.21 0.51 0.59 0.11 0.13 0.12 0.32 0.12 0.55 0.21 0.27 0.27 0.16 0.23 0.02 0.10 0.05 0.46 0.44 0.21 4.09
0.52 0.08 0.29 0.65 0.84 0.18 0.23 0.21 0.50 0.19 0.75 0.29 0.39 0.56 0.20 0.41 0.03 0.23 2.08 0.51 0.49 0.21 6.34
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.26 0.04 0.16 0.00 0.12 1.27 0.04 0.05 0.00 2.12
0.24 0.03 0.09 0.14 0.23 0.07 0.09 0.08 0.16 0.07 0.19 0.08 0.11 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.25 0.04 0.20 0.48 0.55 0.11 0.12 0.12 0.30 0.11 0.52 0.20 0.26 0.25 0.15 0.22 0.02 0.10 0.33 0.43 0.41 0.20 3.84
0.48 0.07 0.28 0.62 0.79 0.17 0.21 0.20 0.47 0.18 0.71 0.27 0.36 0.52 0.19 0.38 0.02 0.21 2.60 0.48 0.46 0.20 5.96
162
Sedangkan institusi perusahaan memperoleh peningkatan pendapatan total sebesar 0.39 milyar rupiah dimana kontribusi pengganda open loop sebesar 0.12 milyar rupiah dan pengganda close loop sebesar 0.27 milyar rupiah. (3) Industri Minuman dan Rokok Stimulus ekonomi pada industri minuman sebesar 1 milyar rupiah menghasilkan peningkatan output secara langsung pada industri pengganda transfer sebesar 1.00 (Tabel 16).
tersebut yang dicerminkan melalui
Kotribusi pengganda close loop sebesar
0.0.0188 sehingga menghasilkan pengganda total sebesar 2.0239. Sektor pertanian primer yang memperoleh peningkatan output paling besar secara langsung adalah subsektor pertanian tanaman pangan. Pengaruh secaratidak langsung yang dicerminkan melalui pengganda close loop pun menunjukkan angka terbesar sehingga pengaruh total terhadap sub sektor tanaman pangan adalah yang terbesar. Pengaruh terbesar yang diperoleh subsektor tanaman pangan dengan adanya stimulus ekonomi di industri minuman tersebut sesuai dengan
yang diharapkan, mengingat industri minuman pada umumnya
menggunakan bahan baku dari produk tanaman pangan, seperti misalnya minuman jus buah yang dikemas dalam kaleng, susu kedelai dan sebagainya. Peningkatan output industri minuman akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja yang dampak lebih lanjut akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja. Stimulus ekonomi pada industri minuman sebesar 1 milyar rupiah akan menghasilkan pengaruh penerimaan pendapatan faktor produksi tenaga kerja non pertanian di kota melalui pengganda open loop sebesar 0.25 dan kontribusi pengganda close loop sebesar 0.52 sehingga menghasilkan total pengganda sebesar 0.77. Baik pengganda open loop maupun close loop, nilai tersebut terbesar dibandingkan pengganda pada tenaga kerja yang lain. Sebaliknya
pengaruh
terhadap tenaga kerja pertanian di kota, seperti halnya pada industri makanan yang lain, adalah yang terkecil.
163
Tabel 16. Dekomposisi Pengganda Industri Minuman dan Industri Rokok Tahun 2003 Stimulus awal
Industri minuman
Industri rokok
Koefisien pengganda Dampak thd neraca lain TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Industri minuman Industri ringan & lainnya Industri berat Restoran dan perhotelan Total sektor produksi TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Industri rokok Industri ringan & lainnya Industri berat Restoran dan perhotelan Total sektor produksi
Stimulus awal
1
1
Transfer 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.22 0.04 0.13 0.00 0.10 1.01 0.04 0.05 0.00 1.99 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.10 0.03 0.07 0.01 0.05 1.00 0.05 0.06 0.01 1.81
Open loop 0.20 0.03 0.14 0.25 0.19 0.07 0.08 0.07 0.19 0.07 0.25 0.09 0.09 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.10 0.01 0.22 0.39 0.13 0.06 0.06 0.05 0.21 0.07 0.33 0.12 0.06 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Close loop 0.27 0.04 0.22 0.52 0.61 0.12 0.14 0.13 0.33 0.12 0.57 0.21 0.28 0.28 0.16 0.24 0.02 0.11 0.02 0.48 0.45 0.22 4.23 0.29 0.05 0.23 0.56 0.65 0.12 0.15 0.14 0.36 0.13 0.61 0.23 0.30 0.30 0.17 0.26 0.03 0.11 0.02 0.51 0.48 0.24 4.54
Total 0.47 0.07 0.36 0.77 0.80 0.18 0.22 0.20 0.52 0.19 0.82 0.31 0.37 0.50 0.20 0.37 0.03 0.21 2.02 0.52 0.50 0.22 6.22 0.39 0.06 0.45 0.94 0.79 0.18 0.20 0.19 0.56 0.19 0.94 0.35 0.36 0.40 0.20 0.33 0.04 0.17 2.02 0.56 0.54 0.25 6.34
164
Sedangkan pengaruh terhadap faktor produksi dicerminkan melalui pengganda total sebesar 0.80, pengganda open loop mempunyai kontribusi sebesar 0.19 dan pengganda close loop sebesar 0.61. Peningkatan permintaan tenaga kerja selanjutnya akan berdampak pada pendapatan rumah tangga. Konsisten dengan pengaruh terhadap tenaga kerja non pertanian di kota, rumah tangga yang paling besar memperoleh pendapatan adalah rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota dengan total pengganda sebesar 0.75 dengan kontribusi pengganda open loop sebesar 0.20 dan pengganda close loop sebesar 0.55. Sedangkan rumah tangga
buruh tani dan rumah tangga non pertanian golongan atas di desa
memperoleh pendapatan terkecil. Stimulus ekonomi ke industri minuman tersebut juga menghasilkan pendapatan institusi perusahaan dengan pengganda total sebesar 0.39, kontribusi pengganda open loop sebesar 0.12 dan pengganda close loop sebesar 0.27. Tabel 16 juga menyajikan dekomposisi pengganda untuk industri rokok dimana pengaruh stimulus ekonomi ke industri tersebut akan meningkatkan ouput industri rokok melalui pengganda transfer sebesar sebesar 1.00 dan pengganda open loop sebesar 0.02. Peningkatan output industri rokok akan berpengaruh terhadap peningkatan output sektor pertanian tanaman pangan. Pengaruh peningkatan pada sektor tanaman pangan tersebut adalah yang terbesar dibandingkan sektor primer lainnya maupun sektor industri ringan, industri berat dan sektor restoran dan perhotelan. Pengaruh terhadap faktor produksi tenaga kerja ditunjukkan melalui pengganda open loop dimana tenaga kerja non pertanian di kota memperoleh pengaruh terbesar. Demikian pula untuk pengganda close loop sehingga menghasilkan total pengganda yang paling besar diantara tenaga kerja lainnya. Peningkatan permintaan tenaga kerja akan meningkatkan pendapatan rumah tangga, dimana rumah tangga yang paling besar menerima pengaruh peningkatan pendapatan adalah rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota, baik untuk pengganda open loop maupun close loop. Sedangkan rumah
165
tangga buruh tani, petani luas dan rumah tangga non pertanian golongan atas di desa memperoleh pengaruh yang kecil. Hasil analisis dekomposisi industri makanan seperti disajikan pada Tabel 14 sampai dengan Tabel 16 tersebut menunjukkan pola yang sama dimana sektor tanaman pangan menerima pengaruh langsung (ditunjukkan melalui pengganda open loop) yang terbesar dibandingkan sektor pertanian primer lainnya akibat adanya stimulus ekonomi ke industri makanan sektor manapun. Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara industri makanan dengan sektor pertanian tanaman pangan. Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari hal tersebut, tenaga kerja pertanian di desa akan menerima pengaruh langsung paling besar dengan adanya peningkatan output sektor tanaman pangan. Namun karena industri makanan sebagian besar berada di perkotaan dan melibatkan banyak aktivitas non pertanian, seperti pengangkutan, pengemasan dan sebagainya maka pengaruh secara tidak langsung (ditunjukkan melalui pengganda close loop) pendapatan tenaga kerja non pertanian di kota justru lebih besar sehingga pengaruh total (ditunjukkan melalui koefisien pengganda total) terbesar pada tenaga kerja non pertanian. Dampak lebih lanjut dari peningkatan pendapatan tenaga kerja non pertanian di kota tersebut adalah peningkatan pendapatan rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. Khusus untuk industri minuman dan industri rokok, peningkatan output akan memberikan pengaruh terbesar secara langsung kepada tenaga kerja non pertanian di kota. 5.5.2. Agroindustri Non Makanan Tahapan transmisi pengaruh yang dipancarkan dari agroindustri non makanan diuraikan sebagai berikut. (1) Industri Kapuk dan Kulit Samakan Tabel 17 menyajikan dekomposisi pengganda industri kapuk dan industri kulit samakan dan olahan. Pada industri kapuk, stimulus ekonomi ke industri kapuk akan
166
menghasilkan pengaruh langsung kepada industri kapuk yang dicerminkan
melalui
pengganda trnsfer sebesar 1.00 dan pengganda close loop sebesar 0.0007. Besaran pengganda close loop tersebut lebih kecil dibandingkan dengan pengganda yang sama pada sektor lain. Hal ini berarti pengaruh tidak langsung yang diterima industri kapuk sangat kecil. Stimulus ekonomi pada industri kapuk tersebut juga akan menghasilkan peningkatan output pada sektor-sektor lain secara langsung melalui pengganda transfer. Industri berat memiliki pengganda transfer paling besar dibandingkan sektor lain, kemudian diikuti oleh industri ringan. Sedangkan sektor pertanian primer mempunyai pengganda transfer yang lebih kecil. Hal ini berarti peningkatan output pada industri kapuk menghasilkan dampak peningkatan output yang lebih besar bagi industri berat dan industri ringan dibandingkan dengan dampak terhadap sektor pertanian primer sebagai pemasok bahan baku. Dampak yang lebih besar bagi industri berat menunjukkan industri kapuk bersifat padat modal yang dicerminkan melalui penggunaan mesin-mesin yang termasuk dalam industri berat. Hal yang sama bagi industri ringan yang menunjukkan bahwa industri kapuk erat kaitannya dengan industri ringan yang menggunakan kapuk sebagai bahan baku industri. Stimulus ekonomi pada industri kapuk tersebut juga akan menghasilkan dampak silang yang ditunjukkan melalui pengganda open loop
terhadap faktor produksi tenaga kerja non
pertanian di kota yang paling besar. Artinya peningkatan produksi industri kapuk akan banyak melibatkan tenaga kerja non pertanian di kota. Hal yang sama untuk pengganda close loop. Dengan hasil tersebut maka rumah tangga yang paling banyak menerima peningkatan pendapatan adalah rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota yang ditunjukkan melalui pengganda open loop sebesar 0.24 dan pengganda close loop sebesar 0.51. Sedangkan rumah tangga buruh tani dan petani merupakan golongan rumah tangga yang memperoleh dampak peningkatan pendapatan yang paling kecil. Faktor produksi modal memperoleh dampak total yang ditunjukkan melalui pengganda total sebesar 0.94, kontribusi pengganda open loop sebesar 0.35 dan pengganda close loop sebesar 0.59.
167
Tabel 17. Dekomposisi Pengganda Industri Kapuk dan Industri Kulit Samakan dan Olahan Tahun 2003 Stimulus awal
Industri kapuk
Industri kulit samakan dan olahan
Dampak thd neraca lain TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Industri kapuk Industri ringan & lainnya Industri berat Perdagangan, pergudangan Total sektor produksi TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Industri kulit samakan & olahan Industri ringan & lainnya Industri berat Perdagangan, pergudangan Total sektor produksi
Koefisien pengganda Stimulus awal
1
1
Transfer 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.02 0.01 0.07 0.04 0.06 1.00 0.19 0.21 0.12 2.35 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.27 0.15 0.23 0.02 0.10 1.00 0.27 0.32 0.04 2.35
Open loop 0.04 0.01 0.12 0.24 0.35 0.05 0.04 0.05 0.16 0.05 0.28 0.10 0.16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.04 0.01 0.09 0.20 0.46 0.05 0.05 0.05 0.16 0.05 0.28 0.10 0.21 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Close loop
Total
0.26 0.04 0.21 0.51 0.59 0.11 0.13 0.12 0.32 0.12 0.56 0.21 0.27 0.27 0.15 0.23 0.02 0.10 0.00 0.46 0.44
0.30 0.05 0.34 0.76 0.94 0.16 0.17 0.17 0.48 0.17 0.84 0.31 0.43 0.28 0.16 0.30 0.07 0.16 2.00 0.65 0.65
0.10 4.11 0.27 0.04 0.22 0.54 0.62 0.12 0.14 0.13 0.34 0.12 0.59 0.22 0.29 0.28 0.16 0.24 0.02 0.11 0.00 0.48 0.46 0.10 4.31
0.22 6.57 0.31 0.05 0.32 0.74 1.08 0.16 0.18 0.18 0.49 0.17 0.86 0.32 0.50 0.54 0.31 0.47 0.05 0.21 2.01 0.75 0.77 0.15 6.66
168
Dibandingkan dengan stimulus ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan, pengaruh langsung maupun pengaruh total terhadap faktor produksi modal lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa industri kapuk bersifat padat modal. Dekomposisi pengganda industri kulit samakan dan olahan disajikan pula pada Tabel 17 dimana stimulus ekonomi pada industri kulit samakan dan olahan akan menghasilkan pengganda open loop 1.00 dan pengganda close loop 0.002. Seperti halnya pada industri kapuk, sektor lain yang secara langsung menerima pengaruh paling besar (dicerminkan melalui pengganda transfer) adalah industri berat dengan besaran pengganda 0.32 sedangkan industri ringan menerima pengaruh terbesar kedua. Dibandingkan dengan industri kapuk, pengaruh secara langsung terhadap sektor pertanian primer pada industri kulit samakan dan olahan lebih besar. Demikian pula pengaruh tidak langsung yang dicerminkan melalui pengganda close loop. Hal ini berdampak pada pengganda total yang lebih besar pula. Artinya industri kulit samakan dan olahan lebih dapat mengakselerasi pertumbuhan output sektor pertanian primer secara umum. Namun sektor pertanian primer yang menerima pengaruh paling besar adalah subsektor tanaman pangan. Sedangkan subsektor perburuan dan kehutanan serta subsektor peternakan sebagai pemasok bahan baku justru menerima pengaruh paling kecil. Hal ini terjadi karena sebagian besar bahan baku atau bahan baku antara (intermediate input ) merupakan bahan impor. Fenomena ini ditunjukkan melalui tingginya persentase impor bahan baku antara pada industri ringan diantaranya agroindustri non makanan. Pengaruh silang yang ditunjukkan melalui pengganda open loop
pada faktor
produksi tenaga kerja menunjukkan tenaga kerja non pertanian di kota menerima pengaruh paling besar. Demikian pula untuk pengganda close loop sehingga berdampak pada koefisien pengganda total yang lebih besar pula. Pengaruh terhadap faktor produksi modal lebih besar dibandingkan dengan stimulasi ekonomi pada industri kapuk baik yang ditunjukkan melalui pengganda open loop maupun close loop. Hal ini berarti idustri kulit
169
samakan dan olahan lebih bersifat padat modal. Sedangkan pengaruh terhadap institusi rumah tangga terbesar pada rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. Seperti halnya pada industri kapuk, rumah tangga buruh tani dan petani menerima pengaruh paling kecil baik untuk pengganda open loop maupun close loop. (2) Industri Kayu lapis, Barang dari Kayu, Bambu dan Rotan Tabel 18 menyajikan dekomposisi pengganda industri kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan serta industri bubur kertas. Stimulus ekonomi pada industri kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan akan menghasilkan pengaruh langsung pada industri itu sendiri dengan nilai pengganda sebesar 1.06 dan pengaruh tidak langsung melalui pengganda close loop sebesar 0.06. Sektor lain yang menerima pengaruh terbesar adalah industri berat dan industri ringan sedangkan sektor pertanian primer sebagai pemasok bahan baku menerima pengaruh yang lebih kecil.
Diantara sektor pertanian primer,
subsektor kehutanan dan perburuan dan subsektor pertanian tanaman lain sebagai sumber bahan baku utama menerima pengaruh yang lebih besar. Nilai pengganda yang lebih besar ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara industri kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan terhadap sektor pertanian primer yang memasok bahan baku relatif kuat. Pengaruh terhadap faktor produksi tenaga kerja menunjukkan bahwa tenaga kerja non pertanian di kota menerima pengaruh paling besar yang ditunjukkan melalui pengganda open loop maupun close loop.
Sedangkan pengaruh terhadap faktor produksi modal
ditunjukkan melalui koefisien pengganda open loop sebesar 0.47 dan pengganda close loop sebesar 0.67. Rumah tangga yang menerima pengaruh terbesar adalah rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota dengan koefisien pengganda total sebesar 0.94 dimana kontribusi pengganda open loop 0.31 dan pengganda close loop 0.63. Seperti halnya pada agroindustri non makanan lainnya, pengaruh langsung terhadap rumah tangga buruh tani dan petani menunjukkan nilai yang lebih kecil.
170
Tabel 18. Dekomposisi Pengganda Industri Kayu Lapis, Barang dari Kayu, Bambu dan Rotan dan Industri Bubur Kertas Tahun 2003 Stimulus awal
Industri kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan
Industri bubur kertas
Koefisien pengganda Dampak thd neraca lain TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Ind kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan Industri ringan & lainnya Industri berat Perdagangan dan pergudangan Total sektor produksi TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Industri bubur kertas Industri ringan & lainnya Industri berat Perdagangan dan pergudangan Total sektor produksi
Stimulus awal
Transfer 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0.01 0.01 0.03 0.06
1
1
1.06 0.30 0.35 0.04 2.37 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0.01 0.01 0.04 0.06 1.03 0.33 0.39 0.04 2.52
Open loop 0.04 0.01 0.11 0.24 0.47 0.05 0.05 0.05 0.17 0.05 0.31 0.12 0.22 0 0 0 0 0
Close loop 0.29 0.05 0.24 0.59 0.67 0.13 0.15 0.14 0.36 0.13 0.63 0.24 0.31 0.30 0.17 0.26 0.03 0.11
Total
0 0 0 0
0.06 0.52 0.49 0.11 4.65 0.27 0.04 0.22 0.54 0.61 0.12 0.14 0.13 0.33 0.12 0.58 0.22 0.28 0.27 0.16 0.23 0.02 0.11 0.02 0.48 0.45 0.10 4.26
2.13 0.82 0.84 0.14 7.02 0.31 0.05 0.31 0.74 1.06 0.16 0.18 0.18 0.49 0.17 0.86 0.32 0.49 0.29 0.17 0.24 0.06 0.17 2.05 0.81 0.84 0.14 6.78
0.04 0.01 0.09 0.20 0.45 0.05 0.04 0.05 0.15 0.05 0.27 0.10 0.21 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.33 0.05 0.35 0.83 1.13 0.18 0.19 0.19 0.53 0.19 0.94 0.35 0.52 0.31 0.18 0.26 0.06 0.17
171
Tabel 18 menyajikan pula dekomposisi pengganda industri
bubur kertas.
Pengaruh langsung stimulus ekonomi terhadap peningkatan output industri bubur kertas yang ditunjukkan melalui pengganda open loop sebesar 1.03 dan pengganda close loop sebesar 0.02. Stimulus ekonomi terhadap industri bubur kertas tersebut juga menghasilkan pengaruh penerimaan output sektor-sektor lain, dimana sektor yang paling besar menerima pengaruh adalah industri berat dan industri ringan. Sedangkan sektor pertanian primer menerima pengaruh yang relatif kecil. Dalam hal ini subsektor kehutanan dan perburuan sebagai pemasok bahan baku bagi industri bubur kertas menerima pengaruh terbesar dibandingkan dengan subsektor lainnya dengan pengganda open loop sebesar 0.04 dan pengganda close loop sebesar 0.02. Pengaruh terbesar terhadap faktor produksi tenaga kerja diterima oleh tenaga kerja non pertanian di kota dengan koefisien pengganda total sebesar 0.74 dimana pengganda open loop mempunyai kontribusi sebesar 0.20 dan pengganda close loop sebesar 0.54. Pengaruh terhadap
pendapatan tenaga kerja non pertanian di kota tersebut lebih lanjut
akan menghasilkan penerimaan pendapatan bagi rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota.
Pengaruh langsung yang ditunjukkan melalui pengganda
open loop
sebesar 0.27 dan pengganda close loop dengan nilai yang lebih besar yaitu 0.58. Sedangkan institusi perusahaan menerima pengaruh langsung melalui pengganda open loop sebesar 0.21 dan pengganda close loop sebesar 0.28. (3) Industri Karet Remah dan Karet Asap Tabel 19 menyajikan dekomposisi pengganda industri karet remah dan karet asap dimana stimulus ekonomi pada industri tersebut akan menimbulkan pengaruh langsung bagi industri yang bersangkutan melalui pengganda transfer sebesar 1.03,
sedangkan
pengaruh tidak langsung yang ditunjukkan melalui pengganda close loop sebesar 0.04. Stimulus tersebut juga akan menimbulkan pengaruh peningkatan output sektor lain terutama industri berat dan industri ringan. Kedua industri tersebut menerima pengaruh
172
terbesar dibandingkan sektor lainnya.
Sedangkan sektor pertanian primer menerima
pengaruh yang lebih kecil. Seperti yang diharapkan, subsektor pertanian tanaman lain (termasuk tanaman karet dan beberapa
tanaman subsektor perkebunan lain) yang
merupakan pemasok bahan baku bagi industri karet remah dan karet asap menerima pengaruh terbesar. Tabel 19. Dekomposisi Pengganda Industri Karet Remah dan Industri Karet Asap, Tahun 2003 Stimulus awal
Industri karet remah dan karet asap
Koefisien pengganda Dampak thd neraca lain TK pertanian di desa TK pertanian di kota TK nonpertanian di desa TK nonpertanian di kota Modal RT buruh tani RT petani kecil RT petani luas RT non pert. gol rendah di desa RT non pert. gol atas di desa RT non pert. gol rendah di kota RT non pert. gol atas di kota Perusahaan Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan dan perburuan Pertanian tanaman lain Industri karet remah dan karet asap Industri ringan & lainnya Industri berat Perdagangan dan pergudangan Total sektor produksi
Faktor produksi
Stimulus awal
1
Transfer 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0.01 0.00 0.02 0.03 1.03 0.17 0.20 0.02 1.79
Open loop 0.02 0.00 0.18 0.42 0.28 0.05 0.04 0.04 0.18 0.05 0.39 0.14 0.13 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Close loop 0.31 0.05 0.25 0.60 0.70 0.13 0.16 0.15 0.38 0.14 0.66 0.25 0.32 0.32 0.18 0.27 0.03 0.12 0.04 0.55 0.52 0.11 4.88
Total 0.33 0.05 0.43 1.03 0.98 0.18 0.20 0.19 0.57 0.19 1.05 0.39 0.45 0.33 0.19 0.28 0.05 0.15 2.07 0.72 0.72 0.13 6.67
tenaga kerja yang menerima pengaruh terbesar dari stimulus
ekonomi pada industri karet remah dan karet asap adalah tenaga kerja non pertanian di kota yang ditunjukkan melalui koefisien pengganda total sebesar 1.03. Pengganda open loop mempunyai kontribusi sebesar 0.42 dan pengganda close loop sebesar 0.60. Sedangkan faktor produksi modal secara langsung menerima pengaruh melalui pengganda open loop sebesar 0.28 dan pengganda close loop sebesar 0.61. Penerimaan pendapatan pada tenaga kerja non pertanian di kota tersebut akan menghasilkan pendapatan bagi
173
rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. Golongan ini menerima pengaruh paling besar dibandingkan golongan rumah tangga lain. Pengaruh total ditunjukkan melalui koefisien pengganda total sebesar 1.03, merupakan nilai terbesar kedua setelah pengaruh yang ditimbulkan melalui stimulus ekonomi pada industri kulit samakan dan olahan. Sedangkan institusi perusahaan menerima pengaruh total sebesar 0.45 dengan kontribusi pengganda open loop sebesar 0.13 dan pengganda close loop sebesar 0.32. Hasil analisis dekomposisi pengganda agroindustri non makanan yang disajikan pada Tabel 17 sampai dengan Tabel 19 menghasilkan pola yang hampir sama, yaitu stimulus ekonomi yang ditujukan ke agroindustri non makanan, selain akan menghasilkan pengaruh langsung (melalui pengganda transfer) ke industri itu sendiri juga menghasilkan pengaruh ke sektor lain. Sektor yang menerima pengaruh paling besar adalah industri berat dan industri ringan lainnya. Sedangkan untuk sektor pertanian primer, meskipun pengaruh secara langsung yang diterima relatif kecil, namun menunjukkan pola sesuai dengan yang diharapkan, yaitu pengaruh terbesar diterima oleh subsektor kehutanan dan perburuan serta subsektor pertanian tanaman lainnya sebagai pemasok bahan baku bagi agroindustri non makanan. Pola seperti ini terkecuali untuk agroindustri kulit samakan dan olahan, karena subsektor peternakan dan subsektor kehutanan dan perburuan justru menerima pengaruh langsung terkecil. Hal ini diduga karena penggunaan bahan baku dan bahan antara bagi industri kulit banyak berasal dari impor sehingga pengaruh langsung terhadap sektor pertanian primer sebagai pemasok bahan baku relatif kecil. Meskipun secara umum stimulus ekonomi ke agroindustri non makanan tersebut mengasilkan pengaruh langsung terbesar kepada subsektor terkait yang memasok bahan baku, namun bukan berarti pengaruh total yang diterima oleh subsektor tersebut juga menunjukkan angka terbesar. Hal ini disebabkan pengaruh tidak langsung (melalui pengganda close loop) terbesar justru diterima oleh subsektor tanaman pangan sehingga pengaruh secara total yang diterima oleh subsektor tanaman pangan dengan adanya
174
stimulus ekonomi pada agroindustri non makanan juga menunjukkan nilai terbesar. Hal ini terjadi karena pengaruh tidak langsung yang melibatkan aktivitas tenaga kerja (sebagai faktor produksi) maupun institusi rumah tangga banyak terkait dengan subsektor tanaman pangan. Dilihat dari pengaruh total (yang ditunjukkan melalui koefisien pengganda total) stimulus ekonomi ke agroindustri baik makanan maupun non makanan, pengaruh terbesar diterima oleh tenaga kerja non pertanian di kota, namun pengaruh langsung terbesar melalui pengganda open loop yang ditimbulkan oleh stimulus ekonomi ke agroindustri makanan akan diterima oleh tenaga kerja pertanian di desa, sementara untuk agroindustri non makanan, pengaruh langsung terbesar mengarah ke tenaga kerja non pertanian di kota. Hal ini disebabkan tingginya pengaruh tidak langsung yang diterima oleh tenaga kerja non pertanian di kota. Dengan koefisien pengganda total pada tenaga kerja non pertanian di kota menunjukkan nilai terbesar, menyebabkan pengganda total rumah tangga non pertnian golongan rendah di kota juga terbesar, atau dengan kata lain rumah tangga yang paling banyak menerima peningkatan pendapatan dengan adanya srimulus ekonomi ke agroindustri baik makanan maupun non makanan adalah rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. 5.6. Penelusuran Jalur Transmisi Pengaruh dari Sektor Agroindustri ke Rumah Tangga Analisis Jalur Struktural atau SPA digunakan untuk mengidentifikasi seluruh jaringan atau arah jalur pengaruh stimulus ekonomi ditransmisikan dari satu sektor ke sektor lainnya dalam suatu sistem sosial ekonomi (Defourny and Thorbecke, 1984; Isard et al., 1998). Untuk mengukur keeratan hubungan antara dua sektor atau dua kutub, yang dalam analisis SPA diistilahkan sebagai pengaruh dari sektor asal ke sektor tujuan, menggunakan konsep pengeluaran rata-rata. Dengan demikian jalur pengaruh dalam SPA menunjukkan perubahan pengeluaran (proxy dari pendapatan) pada jalur tujuan yang
175
disebabkan adanya perubahan pada jalur asal. Jalur pengaruh tersebut juga dapat menggambarkan perubahan output jalur tujuan yang disebabkan perubahan pada jalur asal. Ada beberapa macam pengaruh dalam analisis SPA yaitu : (1) pengaruh langsung, (2) pengaruh total, dan ( 3) pengaruh global. Pengaruh langsung menunjukkan pengaruh stimulus ekonomi dari sektor awal menuju ke sektor tujuan melalui jalur dasar baik yang berisi satu panah atau lebih. Dalam penelitian ini stimulus ekonomi awal difokuskan pada industri makanan maupun non makanan sebagai awal dipancarkannya pengaruh sedangkan sektor tujuan adalah institusi rumah tangga (RT). Pengaruh total mengukur pengaruh langsung (dari agroindustri ke rumah tangga) sepanjang jalur dasar dan pengaruh tidak langsung dari jalur sirkuit yang berhubungan dengan jalur dasar. Pengaruh langsung maupun tidak langsung tersebut dapat dirangkai dalam beberapa jalur sehingga membentuk beberapa pengaruh total. Pengaruh global mengukur keseluruhan pengaruh total
dari
sektor agroindustri sebagai sektor asal ke rumah tangga sebagai sektor tujuan, yang pada dasarnya merupakan besaran pengganda masing-masing agroindustri ke rumah tangga. Dalam analisis SPA skema jalur yang dibahas adalah jalur dasar yang menghubungkan jalur asal (sektor agroindustri) menuju institusi rumah tangga sebagai jalur tujuan secara langsung maupun melalui sektor lain terlebih dahulu. Jalur yang dilewati dinyatakan melalui besaran koefisien pengaruh yang menunjukkan besaran keluaran, dimana nilai koefisien pengaruh tersebut tidak lain berasal dari matrik koefisien pengeluaran rata-rata (Lampiran 9). Permasalahan yang muncul dalam melakukan analisis SPA adalah banyaknya jalur yang harus diidentifikasi, mengingat dalam satu sistem sosial ekonomi terjadi keterkaitan antara satu sektor dengan sektor-sektor lainnya maupun dengan faktor produksi dan institusi yang kesemuanya akan membentuk jaringan atau jalur masing-masing. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam penelitian ini nilai pengaruh (langsung, total dan global) dipilih untuk nilai-nilai terbesar dengan batasan angka 0.01
176
5.6.1. Agroindustri Makanan Pengaruh langsung dari masing-masing agroindustri makanan ke rumah tangga yang membentuk jalur dasar secara umum menunjukkan pola sama.
Gambar 11
merangkum jalur dasar pengaruh stimulus ekonomi dari industri-industri dalam kelompok agroindustri makanan, minuman dan rokok yang dipancarkan menuju institusi rumah tangga. Pengaruh yang ditimbulkan olah stimulus ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan, minuman dan tembakau menuju rumah tangga akan melewati tiga jalur dasar. Jalur pertama, pengaruh stimulus ekonomi akan menuju sektor pertanian primer terlebih dahulu kemudian diteruskan ke tenaga kerja (TK) pertanian di desa kemudian menuju ke rumah tangga (RT) buruh tani, petani kecil, petani luas, RT non pertanian golongan rendah dan golongan atas di desa. Stimulus ekonomi ke agroindustri makanan, minuman dan tembakau yang ditransmisikan ke sektor pertanian primer terlebih dahulu tersebut menunjukkan adanya keeratan hubungan antara
agroindustri makanan, minuman dan
tembakau dengan sektor primer sebagai sumber bahan baku. Terkait dengan sektor pertanian primer dan TK pertanian di desa sebagai perantara pengaruh stimulus ekonomi dari agroindustri makanan, minuman dan rokok, rumah tangga yang menerima pengaruh adalah RT buruh tani, petani kecil dan petani luas. Selain itu RT non pertanian golongan rendah dan atas di desa juga menerima pengaruh stimulus mengingat proses industri makanan banyak melibatkan TK non pertanian untuk aktivitas pengangkutan, pengepakan dan lain sebagainya. Jalur kedua, stimulus ekonomi dari agroindustri makanan, minuman dan rokok langsung menuju TK non pertanian di desa maupun di kota kemudian diteruskan ke RT non pertanian golongan rendah dan atas di desa dan di kota. Hal ini berimplikasi bahwa pengaruh yang ditransmisikan ke TK non pertanian tanpa melewati sektor pertanian primer terlebih dahulu. Jalur ketiga adalah stimulus ekonomi dari agroindustri makanan, minuman dan rokok dipancarkan melalui
177
faktor produksi modal kemudian menuju RT non pertanian di desa dan di kota. Jalur ini berimplikasi bahwa faktor produksi modal juga akan menerima peningkatan penerimaan secara langsung dengan adanya stimulus ekonomi yang dipancarkan dari agroindustri makanan, minuman dan rokok.
Sektor pertanian primer Industri Makanan, Minuman, Rokok
TK pertanian desa
Buruh tani, petani kcl, petani luas, RT non pert gol rendah & atas di desa
TK non pert desa & kota
RT non pert gol rendah & atas di desa dan kota
Modal
RT non pert gol rendah di desa dan kota
Gambar 11. Jalur Dasar Agroindustri Makanan, Minuman dan Rokok Rumah Tangga
Jalur struktural agroindustri yang merangkum pengaruh global, pengaruh langsung dan pengaruh total pada jalur dasar masing-masing agroindustri makanan, minuman dan rokok secara rinci disajikan sebagai berikut. (1) Agroindustri Makanan Sektor Peternakan Tabel 20 dan Gambar 12 menyajikan jalur struktural untuk agroindustri makanan sektor peternakan, dimana stimulus ekonomi yang diberikan ke agroindustri makanan sektor peternakan akan dipancarkan ke RT buruh tani dengan besaran pengaruh global sebesar 0.175. Nilai ini tidak lain adalah besaran pengganda dari agroindustri makanan sektor peternakan menuju RT buruh tani, sehingga dapat diartikan jika agroindustri makanan sektor peternakan menerima peningkatan output sebesar 1 milyar rupiah akan meningkatkan penerimaan pendapatan RT buruh tani sebesar 0.175 milyar rupiah dimana sekitar 10.3 persen tambahan pendapatan tersebut mengikuti jalur dasar dari agroindustri
178
Tabel 20. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Peternakan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 Jalur Tujuan (RT)
Jalur Asal
Agroindustri Makanan Sektor Peternakan
Pengaruh Global
Buruh tani
0.175
Petani kecil
0.218
Petani luas Non pert rendah ds
0.2
Non pert atas desa
Non pert rendah kota
Non pert atas kota
0.482
0.181
0.739
0.281
Jalur Dasar Agroind ternak-tan pangnTK pert ds-brh tani Agroind ternak-tan pangnTK pert ds-tani kecil Agroind ternak-tan pangnTK pert ds-tani luas Agroind ternak-TK NP dsRT NP rendah ds Agroind ternak-Modal-RT NP rendah ds Agroind ternak-tan pangnTK pert ds-RT NP rendah ds Agroind ternak-TK NP dsRT NP atas ds Agroind ternak-tan pangnTK pert ds-RT NP atas ds Agroind ternak-TK NP kota-RT NP rendah kota Agroind ternak-Modal-RT NP rendah kota Agroind ternak-TK NP kota-RT NP atas kota
Pengaruh Langsung
Pengganda Jalur
Pengaruh Total
Persentase Pengaruh Global (%)
0.011
1.656
0.018
10.6
0.033
1.618
0.054
24.8
0.027
1.619
0.044
21.8
0.043
1.551
0.067
13.9
0.012
2.116
0.025
5.2
0.031
1.883
0.058
12.1
0.011
1.402
0.015
8.5
0.017
1.641
0.028
15.8
0.078
1.95
0.153
20.7
0.018
2.331
0.043
5.8
1.784
0.046
16.3
0.026
makanan sektor peternakan menuju sektor tanaman pangan terlebih dahulu kemudian ke faktor produksi tenaga kerja dan berakhir ke RT buruh tani. Dalam jalur tersebut RT buruh tani menerima pengaruh langsung sebesar 0.011 milyar rupiah dan sektor tanaman pangan menerima peningkatan output sebesar 0.178 melewati milyar rupiah. Seperti halnya pada RT buruh tani, pengaruh yang menuju RT petani kecil (luas lahan < 0.5 ha) terlebih dahulu juga melewati sektor tanaman pangan dan TK pertanian di desa kemudian menuju RT petani kecil.
Pengaruh global yang
dipancarkan ke RT petani kecil sebesar 0.218, sekitar 24.8 persen tambahan pendapatan RT petani kecil melewati jalur dasar tersebut. Dalam jalur tersebut pengaruh langsung petani kecil sebesar 0.033.
179
0.093
Buruh Tani
0.011
Petani Kecil
0.033
Petani Luas
0.027
NP Rendah Desa
0.017
NP Atas Desa
0.031
0.671
NP Rendah Desa
0.043
0.17
NP Atas Desa
0.011
0.131
NP Rendah Desa
0.012
0.204
NP Atas Desa
0.018
0.719
NP Rendah Kota
0.078
0.235
NP Atas Kota
0.026
0.279
0.178
Tanaman Pangan
TK Pertanian Desa
0.225
0.671 0.258 0.145
Agroin dustri Ternak
0.064
0.09
0.109
TK NP Desa
Modal
TK NP Kota
Gambar 12. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Peternakan ke Rumah Tangga Kemudian dari sektor tanaman pangan, pengaruh stimulus menuju faktor produksi tenaga kerja dan menghasilkan pengaruh langsung terhadap pendapatan tenaga kerja sebesar 0.178 milyar rupiah.. Dalam jalur ini setiap diberikan stimulus 1 milyar rupiah ke agroindustri makanan sektor peternakan, pengaruh langsung yang diterima oleh RT petani luas sebesar 0.027 milyar rupiah. Nilai tersebut lebih kecil daripada pengaruh langsung
180
terhadap petani kecil. Dampak stimulus juga melewati sektor-sektor lain yang membentuk jalur sirkuit sehingga menghasilkan pengganda jalur sebesar 1.169. Hal itu akan berdampak kembali pada peningkatan pendapatan RT petani luas sehingga menghasilkan pengaruh total sebesar 0.044 milyar rupiah atau sekitar 21 persen dari pengaruh global. Stimulus ekonomi juga akan menuju RT non pertanian golongan rendah di desa dengan melewati tiga jalur. Jalur pertama melewati TK non pertanian di desa, jalur kedua melewati faktor produksi modal dan jalur ketiga terlebih dahulu melewati sektor tanaman pangan dan TK pertanian di desa kemudian baru menuju RT non pertanian golongan rendah di desa. Pengaruh global yang diterima oleh RT tersebut sebesar 0.482. Artinya setiap peningkatan output agroindustri makanan sektor peternakan sebesar 1 milyar rupiah akan meningkatkan pendapatan RT non pertanian golongan rendah di desa sebesar 0.482 milyar rupiah.
Jalur pertama akan menghasilkan pengaruh langsung terhadap rumah
tangga sebesar 0.043 milyar rupiah dan pengaruh total sebesar 0.067 milyar rupiah atau sekitar 13.9 persen dari pengaruh global.
Jalur kedua akan menghasilkan pengaruh
langsung terhadap RT non pertanian di desa sebesar 0.012 milyar rupiah dan pengaruh total sebesar 0.025 milyar rupiah atau sekitar 5.2 persen dari pengaruh global. Jalur ketiga akan menghasilkan pengaruh langsung sebesar 0.031 milyar rupiah dan pengaruh total sebesar 0.058 milyar rupiah atau sekitar 12.1 persen. Dari ketiga jalur tersebut jalur yang melewati modal terlebih dulu akan menghasilkan peningkatan pendapatan secara langsung kepada RT non pertanian golongan rendah paling kecil. Pada jalur pertama TK non pertanian di desa akan menerima peningkatan pendapatan secara langsung sebesar 0.167 milyar rupiah dan peningkatan pendapatan modal sebesar 0.09 milyar rupiah melalui jalur ketiga. Stimulus ekonomi ke agroindustri peternakan juga akan menghasilkan peningkatan pendapatan bagi RT non pertanian lainnya, yaitu RT non pertanian golongan atas di desa, RT non pertanian golongan rendah dan golongan atas di kota. Dari empat kelompok RT
181
non pertanian tersebut, RT non pertanian golongan rendah di kota menerima pengaruh global terbesar yaitu sebesar 0.739 atau dengan kata lain stimulus ekonomi pada agroindustri makanan sektor peternakan akan menghasilkan angka pengganda pendapatan RT non pertanian golongan rendah sebesar 0.739 dimana sekitar 20.7 persen mengikuti jalur dasar yang melewati TK non pertanian di kota. Artinya setiap stimulus ekonomi ke agroindustri makanan sektor peternakan sebesar 1 milyar rupiah akan menghasilkan peningkatan pendapatan RT non pertanian golongan rendah sebesar 0.739 milyar rupiah. Dalam jalur tersebut RT non pertanian golongan rendah di kota menerima pengaruh langsung sebesar 0.078 milyar rupiah dan pengaruh total sebesar 0.153 milyar rupiah. Sedangkan TK non pertanian di kota menerima pengaruh langsung sebesar 0.109 milyar. Selain melewati jalur TK non pertanian di kota, stimulus ekonomi yang menuju ke RT non pertanian golongan rendah di kota juga melewati faktor produksi modal. Dalam jalur tersebut, rumah tangga menerima pengaruh langsung sebesar 0.018 milyar rupiah dan pengaruh total 0.043 milyar rupiah atau sekitar 5.8 persen dari pengaruh global. Sedangkan modal menerima pengaruh langsung sebesar 0.09 milyar rupiah. (2) Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan Jalur dasar agroindustri makanan sektor tanaman pangan disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 13. Seperti halnya pada agroindustri makanan sektor peternakan, jalur dasar pada agroindustri makanan sektor tanaman pangan yang menuju RT buruh tani, petani kecil dan petani luas terlebih dahulu juga melewati sektor tanaman pangan sebagai pemasok bahan baku kemudian melewati TK pertanian di desa. Dari tiga golongan rumah tangga tersebut, yang menerima pengaruh stimulus terbesar adalah RT petani kecil, baik untuk pengaruh global, pengaruh langsung maupun pengaruh total. Sedangkan buruh tani menerima pengaruh terkecil. Pada jalur dasar agroindustri makanan sektor tanaman pangan menuju petani kecil tersebut, pengaruh langsung yang diterima RT petani kecil sebesar
182
Tabel 21. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Jalur Tujuan Pengaruh (RT) Global Buruh tani Petani kecil
Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan
Non pert atas ds
Non pert rendah kota
Non pert atas kota
Pengganda Pengaruh Jalur Total
Persentase Pengaruh Global (%)
0.181
Agroind tan pangan-tan pangan-TK pert ds-brh tani
0.011
1.724
0.019
10.7
0.225
Agroind tan pangan-tan pangn-TK pert ds-tani luas
0.034
1.687
0.057
25.4
0.206
Agroind tan pangan-tan pangan-TK pert ds-tani sempit
0.027
1.687
0.046
22.3
0.501
Agroind tan pangan-TK NP ds-RT NP rendah ds
0.048
1.622
0.078
15.5
Agroind tan pangan-ModalRT NP rendah ds
0.014
2.174
0.03
5.9
Agroind tan pangan-tan pangn-TK pert ds-RT NP rendah ds
0.031
1.94
0.061
12.1
Agroind tan pangan-TK NP ds-RT NP atas ds
0.012
1.478
0.018
9.6
Agroind tan pangan-tan pangn-TK pert ds-RT NP atas ds
0.018
1.708
0.03
16
Agroind tan pangan-TK NP kota-RT NP rendah kota
0.087
2.005
0.175
22.7
Agroind tan pangan-ModalRT NP rendah kota
0.021
2.382
0.05
6.5
Agroind tan pangan-agroind perkeb-TK NP kota-RT NP rendah kota
0.012
2.726
0.032
4.1
Agroind tan pangan-TK NP kota-RT NP atas kota
0.029
1.846
0.053
18
Petani luas Non pert rendah ds
Jalur Dasar
Pengaruh Langsung
0.187
0.771
0.293
0.034 dan dampak dari jalur sirkuit akan menghasilkan pengganda jalur sebesar 1.687 sehingga pengaruh total yang diterima RT petani kecil menjadi sebesar 0.057. Pengaruh global bagi RT petani kecil sebesar 0.225 yang tak lain merupakan pengganda pendapatan RT petani kecil dengan adanya stimulus ekonomi ke agroindustri makanan sektor tanaman pangan. Pada jalur tersebut subsektor tanaman pangan menerima pengaruh langsung sebesar 0.181 (Gambar 13). Sedangkan pada kelompok RT non pertanian, pengaruh terbesar dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di kota. Kelompok tersebut menerima pengaruh global sekitar empat kali lipat dibanding pengaruh yang diterima RT buruh tani. Hal ini berimplikasi bahwa
manfaat pengembangan
agroindustri makanan sektor tanaman pangan, meskipun sebagian besar diterima oleh
183
Buruh Tani
0.011
Petani Kecil
0.034
Petani Luas
0.027
NP Rendah Desa
0.031
NP Atas Desa
0.018
0.671
NP Rendah Desa
0.048
0.17
NP Atas Desa
0.018
0.131
NP Renda h Desa
0.087
0.204
NP Rendah Kota
0.021
0.719
NP Rendah Kota
0.087
0.235
NP Atas Kota
0.029
NP Rendah Kota
0.012
0.719
0.093
0.279
0.181
Tanaman Pangan
TK Pertanian Desa
0.225
0.671 0.258 0.145
TK NP Desa Agro Tanaman Pangan
0.072
0.104
Modal
0.121
0.190
TK NP Kota
Agroindustri Perkebunan
TK NP Kota 0.086
Gambar 13. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan ke Rumah Tangga
rumah tangga golongan rendah, namun belum mengarah pada kelompok rumah tangga golongan rendah di sektor pertanian (buruh tani dan petani kecil). Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya keeratan hubungan antara agroindustri dengan tenaga kerja di sektor pertanian. Atau dengan kata lain keterlibatan tenaga kerja di sektor pertanian dalam
184
aktivitas produksi agroindustri lebih rendah dibandingkan keterlibatan tenaga kerja non pertanian. Pengaruh global yang diterima RT non pertanian golongan rendah di kota sebesar 0.771 yang terdiri dari tiga jalur. Jalur pertama dari agroindustri makanan sektor tanaman pangan dengan melewati faktor produksi TK non pertanian di kota. Jalur kedua melewati faktor produksi modal dan jalur ketiga melewati agroindustri makanan sektor perkebunan. Keterlibatan agroindustri makanan sektor perkebunan dalam jalur struktural tersebut diduga karena bahan pengolahan agroindustri makanan sektor tanaman pangan selain berasal dari sektor pertanian primer juga banyak menggunakan hasil produksi agroindustri makanan sektor perkebunan, seperti misalnya gula, minyak goreng, coklat bubuk dan hasil pengolahan industri sektor perkebunan lainnya.Dari ketiga jalur tersebut, jalur yang melewati TK non pertanian di kota akan menghasilkan pengaruh langsung terbesar bagi RT non pertanian golongan rendah di kota, yaitu sebesar 0.054 sedangkan pengaruh langsung yang diterima TK non pertanian di kota dalam jalur tersebut sebesar 0.121. Jalur yang melewati modal sebagai perantara pada kenyataannya memberikan pengaruh langsung kepada RT non pertanian golongan rendah di kota yang lebih besar dibandingkan jalur yang melewati agroindustri makanan sektor perkebunan sebagai perantara. Pada jalur tersebut faktor produksi modal menerima pengaruh sebesar 0.104. (3) Agroindustri Makanan Sektor Perikanan Jalur dasar agroindustri makanan sektor perikanan disajikan pada Tabel 22 dan Gambar 14. Seperti halnya pada agroindustri makanan sektor peternakan dan tanaman pangan, RT buruh tani menerima pengaruh global maupun pengaruh langsung terkecil sedangkan RT petani kecil memperoleh pengaruh terbesar. Namun meskipun RT petani kecil memperoleh pengaruh terbesar, pengaruh global maupun pengaruh langsung yang diterima oleh RT non pertanian tetap menunjukkan nilai yang lebih tinggi, terutama untuk RT non pertanian golongan rendah di kota. Untuk kelompok rumah tangga ini, pengaruh
185
global yang diterima sebesar 0.749 atau dengan kata lain setiap stimulus ekonomi ke agroindustri makanan sektor perikanan sebesar 1 milyar rupiah akan menghasilkan tambahan pendapatan bagi RT non pertanian golongan rendah di kota sebanyak 0.749 milyar rupiah. Seperti halnya agroindustri makanan sektor tanaman pangan, peningkatan pendapatan tersebut diperoleh melalui tiga jalur dasar. Jalur pertama dari agroindustri makanan sektor perikanan, melalui TK non pertanian di kota kemudian menuju RT non pertanian golongan rendah di kota. Jalur kedua melalui modal sebagai perantara dan jalur ketiga melalui agroindustri perkebunan terlebih dahulu baru menuju TK non pertanian di kota baru menuju RT non pertanian golongan rendah di kota. Tabel 22. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Perikanan ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Agroindustri Makanan Sektor Perikanan
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Buruh tani
0.183
Petani kecil
0.231
Petani luas Non pert gol rendah desa
0.212
Non pert gol atas desa Non pert gol rendah kota
Non pert gol atas kota
0.496
0.188 0.749
0.286
Jalur Dasar Agroind perikanan-tan pangnTK pert ds-brh tani Agroind perikanan-tan pangnTK pert ds-tani kecil Agroind perikanan-tan pangnTK pert ds-tani luas Agroind perikanan-TK NP ds-RT NP rendah ds Agroind perikanan-Modal-RT NP rendah ds Agroind perikanan-tan pangnTK pert ds-RT NP rendah ds agroind perikanan-tan pangnTK pert ds-RT NP atas ds Agroind perikanan-TK NP kota-RT NP rendah kota Agroind perikanan-Modal-RT NP rendah kota Agroind perikanan-agroind perkeb-TK NP kota-RT NP rendah kota Agroind perikanan-TK NP kota-RT NP atas kota
Pengaruh Pengganda Pengaruh Langsung Jalur Total
Persentase Pengaruh Global (%)
0.013
1.703
0.021
11.7
0.038
1.665
0.063
27.1
0.03
1.666
0.05
23.8
0.03
1.6
0.048
9.7
0.015
2.171
0.033
6.7
0.035
1.933
0.067
13.6
0.02
1.688
0.033
17.5
0.054
2.007
0.109
14.6
0.024
2.391
0.057
7.6
0.013
2.727
0.036
4.7
0.018
1.839
0.033
11.5
Dari ketiga jalur tersebut pengaruh langsung maupun pengaruh total terbesar diperoleh melalui jalur dengan TK non pertanian di kota sebagai perantara awal. Pada jalur tersebut TK non pertanian di kota menerima pengaruh langsung sebesar 0.076 milyar.
186
Buruh Tani
0.013
Petani Kecil
0.038
Petani Luas
0.03
NP Rendah Desa
0.035
NP Atas Desa
0.02
NP Rendah Desa
0.03
0.131
NP Rendah Desa
0.015
0.204
NP Rendah Kota
0.024
0.719
NP Rendah Kota
0.054
0.235
NP Atas Kota
0.018
NP Rendah Kota
0.018
0.093 0.279
0.178
Tanaman Pangan
TK Pertanian Desa
0.225
0.671 0.258 0.145
0.671 0.064
Agroindustri Perikanan
TK NP Desa
0.09
Modal
0.109
0.178
Agroindustri Perkebunan
TK NP Kota
0.719
0.086 TK NP Kota
Gambar 14. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Perikanan ke Rumah Tangga (4) Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan Pola yang sama untuk agroindustri sektor perkebunan, dimana RT petani kecil dan RT non pertanian golongan rendah di kota masing-masing mewakili rumah tangga pertanian dan non pertanian yang menerima pengaruh terbesar baik untuk pengaruh global, pengaruh langsung dan pengaruh total (Tabel 23). Jalur yang ditempuh agroindustri perkebunan adalah dengan melewati sektor pertanian primer tanaman pangan terlebih
187
dahulu baru menuju TK pertanian di desa. Sedangkan pada RT non pertanian, jalur yang ditempuh adalah dengan melewati TK non pertanian di kota, modal atau melewati sektor tanaman pangan terlebih dahulu kemudian baru menuju TK non pertanian (Gambar 15). Pada agroindustri makanan sektor perkebunan, pengganda jalur yang dihasilkan lebih besar dari pengganda jalur pada agroindustri makanan sektor peternakan, tanaman pangan, perikanan maupun perkebunan. Tabel 23. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 Jalur Asal
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Buruh tani
0.171
Petani kecil
0.214
Petani luas Non pert gol rendah desa
0.197 0.466
Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan Non pert gol atas desa Non pert gol rendah kota
Non pert gol atas kota
0.176 0.708
0.27
Jalur Dasar Agroind perkeb-tan pangnTK pert ds-brh tani Agroind perkeb-tan pangnTK pert ds-tani kecil Agroind perkeb-tan pangnTK pert ds-tani luas Agroind perkeb-TK NP dsRT NP rendah ds Agroind perkeb-Modal-RT NP rendah ds Agroind perkeb-tan pangnTK pert ds-RT NP rendah ds Agroind perkeb-tan pangnTK pert ds-RT NP atas ds Agroind perkeb-Modal-RT NP rendah kota Agroind perkeb-Modal-RT NP rendah kota Agroind perkeb-TK NP kota-RT NP atas kota
Pengaruh Pengganda Pengaruh Langsung Jalur Total 0.011
Persentase Pengaruh Global (%)
2.265
0.026
15.1
2.223
0.076
35.4
2.221
0.061
31
2.163
0.073
15.8
2.807
0.04
8.6
2.516
0.079
17
2.244
0.04
22.6
0.062
2.633
0.163
23
0.022
3.071
0.068
9.6
0.02
2.444
0.049
18.3
0.034 0.028 0.034 0.014 0.032 0.018
Hal ini berarti bahwa selain jalur dasar, pengaruh yang dipancarkan dari agroindustri perkebunan ke rumah tangga yang melewati jalur sirkuit lebih banyak dibanding stimulus yang berasal dari agroindustri makanan lainnya. Atau dengan kata lain keterkaitan antar sektor dengan institusi maupun faktor produksi dengan adanya stimulus ekonomi pada agroindustri makanan sektor perkebunan tersebut lebih besar dibandingkan pada agroindustri makanan lainnya. Jalur yang menuju ke RT petani kecil, sebagai rumah tangga penerima pengaruh terbesar untuk kelompok rumah tangga di sektor pertanian, menerima pengaruh langsung sebesar 0.034 dan pengganda total sebesar 0.076 atau
188
Buruh Tani
0.011
Petani Kecil
0.034
Petani Luas
0.028
NP Rendah Desa
0.032
NP Atas Desa
0.018
NP Rendah Desa
0.034
0.131
NP Rendah Desa
0.014
0.204
NP Rendah Kota
0.022
0.719
NP Rendah Kota
0.022
0.235
NP Atas Kota
0.020
0.093
0.279
0.182
Tanaman Pangan
TK Pertanian Desa
0.225
0.671 0.258 0.145
0.671 Agroindustri Perkebun an
0.045
0.117
TK NP Desa
Modal
0.086 TK NP Kota
Gambar 15. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan ke Rumah Tangga
sekitar 35.4 persen dari pengaruh global.
Pada jalur tersebut sektor tanaman pangan
sebagai sektor perantara menerima pengaruh sebesar 0.11 atau dengan kata lain setiap stimulus ekonomi yang diberikan ke agroindustri makanan sektor perkebunan sebesar satu milyar rupiah, akan menimbulkan pengaruh langsung selain menuju ke rumah tangga petani kecil, juga akan menghasilkan peningkatkan output pada sektor pertanian primer yaitu pada sub sektor tanaman pangan sebesar 0.011 milyar rupiah. Sedangkan pengaruh stimulus yang menuju ke RT non pertanian golongan rendah di kota selain terlebih dulu
189
melewati TK non pertanian golongan rendah di kota juga melewati faktor produksi modal. Pada jalur tersebut TK non pertanian di kota memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 0.076 milyar rupiah
dan pada modal sebesar 0.117 milyar rupiah. Sedangkan RT non
pertanian golongan rendah pada jalur yang melewati TK non pertanian di kota menerima pengaruh langsung sebesar 0.062 milyar rupiah, jauh lebih besar dibandingkan pengaruh yang diterima pada jalur yang melewati faktor produksi modal sebesar 0.022 milyar rupiah. (5) Agroindustri Minuman Pada agroindustri minuman, pengaruh langsung yang menuju ke RT buruh tani tidak tercantum dalam jalur struktural. Hal ini disebabkan pada analisis SPA hanya ditampilkan pengaruh langsung terbesar.Namun stimulus ekonomi
pada agroindustri
minuman tersebut tetap menghasilkan peningkatan bagi RT buruh tani yang sebagian besar melalui pengaruh tidak langsung yang berasal dari jalur sirkuit, bukan melalui jalur dasar seperti disajikan pada Tabel 24 dan Gambar 16. Peningkatan pendapatan RT buruh tani tersebut tercermin melalui pengaruh global yang tidak lain merupakan angka pengganda pendapatan RT buruh tani seperti pada Tabel 9. Tabel 24. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Minuman ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Jalur Tujuan (RT) Petani kecil Petani luas Non pert gol rendah ds
Industri Minuman
Non pert gol atas desa
Non pert gol rendah kota
Non pert gol atas kota
Pengaruh Global
Jalur Dasar
Pengaruh Pengganda Pengaruh Langsung Jalur Total
0.219
Agroind minuman-tan pangnTK pert ds-tani kecil
0.028
0.201
Agroind minuman-tan pangnTK pert ds-tani luas
0.023
0.519
Agroind minuman-TK NP dsRT NP rendah ds
0.075 0.01 0.026
0.189
Agroind minuman-Modal-RT NP rendah ds Agroind minuman-tan pangnTK pert ds-RT NP rendah ds Agroind minuman-TK NP dsRT NP atas ds Agroind minuman-tan pangnTK pert ds-RT NP atas ds
0.819
0.308
Persentase Pengaruh Global (%)
1.603
0.045
20.5
1.604
0.036
18
1.534
0.115
22.1
2.099
0.022
4.1
1.868
0.048
9.3
1.384
0.026
13.8
0.015
1.626
0.024
12.5
Agroind minuman-TK NP kota-RT NP rendah kota
0.135
1.932
0.261
31.9
Agroind minuman-Modal-RT NP rendah kota
0.016
2.312
0.037
4.5
Agroind minuman-TK NP kota-RT NP atas kota
0.044
1.766
0.078
25.3
0.019
190
Pengaruh langsung yang diterima RT petani kecil pada agroindustri minuman sebesar 0.028. Jalur dasar yang dilewati adalah dari agroindustri minuman menuju sektor tanaman pangan dan TK pertanian di desa sebagai perantara. Sedangkan petani luas menerima pengaruh langsung lebih kecil dari petani kecil. Pada rumah tangga non pertanian, pengaruh global terbesar dengan adanya stimulus ekonomi pada agroindustri minuman tersebut kembali mengarah pada golongan RT non pertanian golongan rendah baik di kota maupun di desa. Pengaruh global yang diterima RT non pertanian golongan rendah di kota sebesar 0.819 dengan melalui dua jalur dasar, yaitu menggunakan TK non pertanian di kota dan modal Petani Kecil
0.028
Petani Luas
0.023
NP Rendah Desa
0.026
NP Atas Desa
0.015
0.671
NP Rendah Desa
0.075
0.17
NP Atas Desa
0.019
0.131
NP Rendah Desa
0.010
0.204
NP Rendah Kota
0.016
0.279
0.149
Tanaman Pangan
TK Pertanian Desa
0.225
0.671 0.258
0.145
Agroindustri Minuman
0.111
0.078
0.109
TK NP Desa
Modal
0.719
NP Rendah Kota Kota
0.135
0.235
NP Atas Kota
0.044
TK NP Kota
Gambar 16. Jalur Dasar Agroindustri Minuman ke Rumah Tangga
191
. Pada jalur yang menggunakan TK non pertanian sebagai perantara, RT non pertanian di kota menerima pengaruh langsung sebesar 0.135, jauh lebih besar dibandingkan pengaruh yang diterima melalui modal sebagai perantara, yaitu sebesar 0.016. Sedangkan RT non pertanian golongan rendah di desa menerima pengaruh global sebesar 0.519. Ada tiga jalur dasar yang dilalui, pertama melalui TK pertanian didesa sebagai perantara.
Kedua melalui modal dan ketiga melalui sektor tanaman pangan
terlebih dahulu baru menuju RT non pertanian golongan rendah di desa. Dari ketiga jalur tersebut, pengaruh langsung maupun pengaruh total terbesar diterima melalui jalur TK non pertanian di desa sebagai perantara sedangkan jalur yang melalui modal menghasilkan pengaruh yang paling kecil. Artinya peningkatan pendapatan yang diperoleh RT non pertanian di desa akan lebih besar apabila pengaruh tersebut ditransmisikan melalui TK non pertanian di desa dibandingkan melalui modal. Jalur yang melewati TK non pertanian di desa, pengaruh langsung yang diterima TK kerja non pertanian di desa sebesar 0.111 sedangkan modal menerima pengaruh sebesar 0.078. Untuk jalur ketiga pengaruh yang dipancarkan menuju sektor tanaman pangan sebesar 0.149. (6) Agroindustri Rokok Pada agroindustri rokok jalur yang menuju RT buruh tani akan melewati TK pertanian di desa sebagai perantara dengan pengaruh global sebesar 0.181 (Tabel 25). Jalur yang menuju RT petani kecil memperoleh pengaruh global sebesar 0.204 memiliki dua jalur. Jalur pertama melewati TK pertanian di desa dan jalur kedua melewati sektor pertanian tanaman terlebih dahulu kemudian melewati TK pertanian di desa (Gambar 17). Sedangkan pengaruh yang dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di desa juga memiliki dua jalur, jalur pertama melewati TK non pertanian di desa dan jalur kedua melewati sektor tanaman pangan terlebih dahulu kemudian melewati TK non pertanian di desa. Pada jalur yang melewati TK non pertanian di desa, rumah tangga memperoleh pengaruh langsung sebesar 0.126, jauh lebih besar dibandingkan pengaruh
192
Tabel 25. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global dari Agroindustri Rokok ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Agroindustri Rokok
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Buruh tani
0.181
Petani kecil
0.204
Non pert gol rendah desa Non pert gol atas desa Non pert gol rendah kota Non pert gol atas kota
0.561
0.194 0.941 0.348
Jalur Dasar Agroind rokok-TK NP ds-brh tani Agroind rokok-TK pert dspetani kcl Agroind rokok-tan pangn-TK pert ds-tani kecil Agroind rokok-TK NP ds-RT NP rendah ds Agroind rokok-tan pangn-TK pert ds-RT NP rendah ds Agroind rokok-TK NP ds-RT NP atas ds Agroind rokok-TK NP kotaRT NP rendah kota Agroind rokok-TK NP kotaRT NP atas kota
Pengaruh Pengganda Langsung Jalur
Tanaman Pangan
Persentase Pengaruh Global (%)
0.014
1.429
0.02
10.8
0.01
1.434
0.015
7.2
0.012
1.602
0.019
9.1
0.126
1.529
0.192
34.3
0.011
1.864
0.02
3.6
0.032
1.379
0.044
22.7
0.225
1.922
0.433
46
0.074
1.756
0.129
37.2
0.279
0.062
Pengaruh Total
Petani Kecil
0.012
NP Rendah Desa
0.011
Buruh Tani
0.014
Petani Kecil
0.01
TK Pertanian Desa 0.671 0.258
0.073 0.055 Agroindustri Rokok
0.188 TK NP Desa
0.671 NP Rendah Desa
0.126
NP Atas Desa
0.032
0.17
0.109 0.719
NP Rendah Kota Kota
1.225
TK NP Kota 0.235
NP Atas Kota
Gambar 17. Jalur Dasar Agroindustri Rokok ke Rumah Tangga
0.074
193
langsung yang diterima melalui jalur kedua sebesar 0.011. Artinya stimulus ekonomi ke agroindustri rokok yang melewati
tenaga kerja sebagai perantara akan menghasilkan
peningkatan pendapatan bagi rumah tangga dibandingkan yang melewati sektor tanaman terlebih dahulu. Pada jalur tersebut TK non pertanian di desa memperoleh pengaruh langsung sebesar 0.188 sedangkan sektor tanaman pangan memperoleh pengaruh langsung sebesar 0.062. Rumah tangga yang memperoleh pengaruh global terbesar adalah RT non pertanian golongan rendah di kota dengan nilai sebesar 0.941 Pada jalur dasar yang melewati TK non pertanian di kota tersebut, rumah tangga memperoleh pengaruh langsung sebesar 0.225 dan pengaruh total sebesar 0.433 atau sekitar 46 persen dari pengaruh global. Sedangkan TK non pertanian di kota memperoleh pengaruh sebesar 0.313. 5.6.2. Agroindustri Non Makanan Jalur dasar agroindustri non makanan, meliputi
industri kapuk, industri kulit
samakan dan olahan, industri kayu lapis, barang dari kayu dan bambu, industri bubur kertas dan industri karet asap, memiliki pola yang hampir sama dimana kontribusi agroindustri non makanan dalam memberikan tambahan pendapatan bagi RT buruh tani, petani kecil dan petani luas melalui pengaruh langsung yang dipancarkan
relatif kecil (kurang dari
0.01) sehingga tidak tertangkap oleh analisis SPA sebagai jalur tujuan. Namun demikian pengaruh langsung dan tidak langsung yang dipancarkan oleh agroindustri non makanan kepada rumah tangga buruh tani, petani kecil dan petani luas secara akumulasi tercermin dalam nilai pengganda pendapatan rumah tangga. Gambar 18 merangkum alur dipancarkannya pengaruh stimulus ekonomi pada agroindustri non makanan menuju institusi rumah tangga. Pengaruh langsung terbesar agroindustri non makanan secara umum dipancarkan ke RT non pertanian, baik golongan rendah dan golongan atas di desa dan di kota. Pada industri kapuk, pengaruh terbesar. dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di kota melalui sektor perdagangan, TK
194
non pertanian di kota dan modal sebagai perantara. Pada industri bubur kertas pengaruh dipancarkan melalui industri ringan dan berat dan melalui faktor produksi modal sebagai perantara. Industri Kapuk
Sektor Perdagangan
TK non pert kota
TK non pertanian desa & kota
Industri Bubur kertas
Ind berat & ind ringan
TK non pert kota
Modal
Ind ringan Industri Kayu, Kulit, Karet
RT non pert gol rendah di kota
RT non pert gol rendah & atas di desa dan kota
RT non pert gol rendah di kota
RT non pert gol rendah di desa & kota dan gol atas kota
TK non pert desa & kota
RT non pert gol rendah di desa & kota dan gol atas kota di kota
Modal TK non pert desa & kota
Petani luas, RT non pert gol rendah & atas di desa & kota
Buruh tani
Gambar 18. Jalur Dasar Agroindustri Non Makanan ke Rumah Tangga Keterkaitan antara indutri bubur kertas dan industri ringan mempunyai makna bahwa output industri bubur kertas banyak digunakan oleh industri-industri ringan yang menggunakan bubur kertas sebagai bahan baku (misalnya industri buku tulis, karton dan sebagainya) sehingga menghasilkan peningkatan output bagi industri ringan. Dengan kata lain industri bubur kertas memiliki forward linkage yang kuat dengan industri ringan.
195
Sedangkan pengaruh yang dipancarkan melalui industri berat berimplikasi industri bubur kertas memiliki backward linkage terhadap industri berat ( mesin-mesin produksi yang termasuk dalam alat berat, peralatan logam dan sebagainya) yang digunakan untuk alat berproduksi. Keterkaitan dengan faktor produksi modal sebagai perantara berimplikasi bahwa industri bubur kertas bersifat padat modal. Pada industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri kulit dan industri karet remah dan karet asap pengaruh terbesar dipancarkan ke RT non pertanian di kota dan di desa dan petani luas melalui industri ringan dan TK non pertanian sebagai perantara. Namun untuk industri karet remah dan karet asap selain ke RT non pertanian, pengaruh terbesar juga dipancarkan ke RT buruh tani. Keterkaitan industri-industri tersebut dengan industri ringan berimplikasi adanya forward linkage yang kuat dengan industri-industri ringan yang menggunakan output industri- industri tersebut sebagai bahan baku, seperti industri furniture, industri sepatu, industri ban mobil dan sebaginya. (1) Industri Kapuk Jalur dasar dan nilai pengaruh pada masing-masing jalur serta pengaruh global, pengaruh total dan pengaruh langsung agroindustri kapuk secara rinci disajikan pada Tabel 26 dan Gambar 19. Pengaruh langsung terbesar yang dipancarkan oleh industri kapuk mengarah pada RT non pertanian golongan rendah di kota dengan nilai sebesar 0.045 dan pengaruh total sebesar 0.087 atau sekitar 10.3 persen dari pengaruh global.Sedangkan pengganda global sebesar 0.836 yang tak lain adalah nilai pengganda pendapatan RT non pertanian golongan rendah di kota dengan adanya stimulus ekonomi pada agroindustri kapuk. Berdasarkan nilai pengaruh langsung terbesar ada tiga jalur dasar yang dilalui, pertama melalui TK non pertanian di kota sebagai perantara, melalui faktor produksi modal dan melalui sektor perdagangan kemudian menuju TK non pertanian di kota. Pada jalur yang melewati TK non pertanian sebagai perantara awal, jalur tersebut menghasilkan pengaruh total terbesar. Sedangkan pada jalur yang melewati modal sebagai perantara
196
Tabel 26. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kapuk ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Non pert gol rendah desa
0.48
Non pert gol Agrorendah kota industri Kapuk
Non pert gol atas kota
0.836
0.313
Pengaruh Pengganda Pengaruh Langsung Jalur Total
Jalur Dasar Agroind kapuk-TK NP dsRT NP rendah ds Agroind kapuk-ModalRT NP rendah ds Agroind kapuk-TK NP kotaRT NP rendah kota Agroind kapuk-ModalRT NP rendah kota Agroind kapuk-PerdaganganTK NP kota-RT NP rendah kota Agroind kapuk-TK NP kotaRT NP atas kota
0.029
1.513
0.044
9.1
0.01
2.077
0.022
4.5
0.045
1.913
0.087
10.3
0.016
2.292
0.037
4.4
0.023
1.982
0.02
2.4
0.015
2.026
0.047
5.7
0.023
Perdagangan
Persentase Pengaruh Global (%)
NP Rendah Kota
0.023
NP Rendah Kota
0.045
0.100 0.719 TK NP Kota 0.063
Agro Kapuk
0.235
0.043
0.015
0.671 NP Rendah Desa
TK NP Desa
0.131 0.079
NP Atas Kota
NP Rendah Desa
0.029
0.010
Modal 0.204
NP Rendah Kota
0.016
Gambar 19. Jalur Dasar Agroindustri Kapuk ke Rumah Tangga
hanya menerima pengaruh langsung sebesar 0.016 namun menghasilkan pengganda jalur terbesar. Hal ini berimplikasi bahwa jalur yang melewati modal sebagai perantara awal,
197
menghasilkan keterkaitan dengan
sektor lain yang lebih luas sehingga menghasilkan
pengaruh tidak langsung yang lebih besar yang tercermin melalui pengganda jalur yang lebih besar pula. Gambar 19 menunjukkan pula jalur yang menuju ke RT non pertanian di desa, non pertanian golongan rendah di kota dan non pertanian golongan atas di kota.
TK non
pertanian di kota menerima pengaruh langsung sebesar 0.063, faktor produksi modal menerima pengaruh sebesar 0.079 dan sektor perdagangan menerima pengaruh sebesar 0.100. Terlihat bahwa stimulus ekonomi ke agroindustri kapuk yang menuju ke RT non pertanian golongan rendah di kota, pengaruh langsung yang dipancarkan justru mengarah pada sektor perdagangan. (2) Industri Kulit Samakan dan Olahan Jalur struktural pada agroindustri kulit samakan dan olahan disajikan pada Tabel 27 dan Gambar 20. Berdasarkan nilai pengaruh terbesar, stimulus ekonomi pada agroindustri kulit samakan dan olahan dipancarkan terutama ke RT petani luas, non pertanian golongan rendah di desa dan di kota serta RT non pertanian golongan atas di kota. Seperti halnya pada agroindustri lainnya, pengaruh global terbesar dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di kota dengan nilai sebesar 0.864. Pengaruh yang dipancarkan ke rumah tangga tersebut melewati tiga jalur dasar. Jalur pertama melewati TK non pertanian di kota, jalur kedua melewati modal dan jalur ketiga melewati industri ringan terlebih dahulu baru kemudian baru menuju TK non pertanian di kota. Dari ketiga jalur tersebut pengaruh total terbesar terdapat pada jalur yang melewati TK non pertanian di kota, namun pengganda jalur yang mencerminkan keterkaitan dengan sektor-sektor lain melalui pengaruh tidak langsung justru terdapat pada jalur yang melibatkan industri ringan sebagai perantara. Berdasarkan nilai pengaruh terbesar, stimulus ekonomi hanya dipancarkan ke petani luas dengan nilai pengaruh global sebesar 0.181.
198
Tabel 27. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kulit Samakan dan Olahan ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Agroindustri Kulit Samakan dan Olahan
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Petani Luas
0.181
Non pert gol rendah desa
0.494
Non pert gol rendah di kota
Non pert gol atas di kota
0.142
0.864
0.325
Jalur Dasar Agroind kulit-Modal-RT tani luas Agroind kulit-TK NP ds-RT NP rendah ds Agroind kulit-Modal-RT NP rendah ds Agroind kulit-TK NP kota-RT NP rendah kota Agroind kulit-Modal-RT NP rendah kota Agroind kulit-Ind ringan-TK NP kota-RT NP rendah kota Agroind kulit-TK NP kota-RT NP atas kota Agroind kulit-Modal-RT NP atas kota
Industri Ringan
Pengaruh Langsung
Pengganda Jalur
Pengaruh Total
Persentase Pengaruh Global (%)
0.011
1.893
0.02
11.3
0.017
1.521
0.026
5.2
0.025
2.087
0.052
10.6
0.039
1.923
0.076
8.7
0.039
2.303
0.09
10.4
0.011
2.746
0.03
3.5
0.013
1.756
0.023
7
0.015
1.958
0.029
9.1
0.719
NP Rendah Kota
0.011
0.108
0.719
NP Rendah Kota
0.039
0.235
NP Atas Kota
0.013
TK NP Kota 0.055
Agroindustri Kulit Samakan / Olahan
0.025 TK NP Desa
0.671
0.131
0.191 0.204
NP Rendah Desa
NP Rendah Desa
NP Rendah Kota
0.017
0.025
0.016
Modal 0.079
NP Atas Kota 0.015
0.056 Petani Luas
0.011
Gambar 20. Jalur Dasar Agroindustri Kulit Samakan dan Olahan ke Rumah Tangga
199
Artinya manfaat secara langsung pengembangan agroindustri kulit samakan dan olahan lebih banyak mengarah ke golongan RT petani luas, bukan ke buruh tani maupun petani kecil. Konsisten dengan jalur tujuan yang mengarah pada RT petani luas, jalur tersebut melewati modal sebagai perantara. Dengan demikian pengembangan agroindustri kulit samakan dan olahan akan memberikan nilai tambah kepada faktor produksi modal yang dampak akhinya akan dinikmati terutama oleh RT petani luas sebagai penyedia modal. Jalur dasar pada Gambar 20 tersebut juga menunjukkan bahwa faktor produksi modal sebagai perantara menerima pengaruh langsung sebesar 0.191, TK non pertanian di desa menerima 0.025, TK non pertanian di kota menerima 0.055 dan industri ringan menerima 0.142.
Dari nilai-nilai pengaruh langsung tersebut, faktor produksi modal
menerima pengaruh terbesar. (3) Agroindustri Kayu Lapis, Barang dari Kayu dan Bambu Jalur struktural pada agroindustri kayu lapis, barang dari kayu dan bambu disajikan pada Tabel 28. Seperti halnya pada jalur struktural pada agroindustri kulit samakan dan olahan, jalur dasar dengan pengaruh terbesar mengarah pada RT petani luas, non pertanian golongan rendah di desa, non pertanian golongan rendah di kota dan non pertanian golongan atas di kota.
RT non pertanian golongan rendah di desa menerima pengaruh
global terbesar di susul oleh RT non pertanian golongan rendah di desa. Pada jalur yang mengarah ke RT non pertanian golongan rendah di kota dan melewati TK non pertanian di kota, pengaruh langsung yang dipancarkan ke rumah tangga tersebut sebesar 0.069 dengan pengaruh total sebesar 0.143 atau sekitar 15.2 persen dari pengganda global. Nilai tersebut paling besar diantara pengaruh langsung yang diterima rumah tangga pada jalur yang lain. Namun pengganda jalur terbesar justru terdapat pada jalur yang menuju RT non pertanian golongan rendah di kota dengan melewati industri ringan sebagai perantara, sama seprti
200
yang terjadi pada agroindustri kulit samakan dan olahan. Selain jalur yang melewati TK non pertanian di kota, pengaruh yang dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di kota juga melewati modal sebagai perantara dan industri ringan. Pada jalur yang melewati modal, pengaruh langsung yang diterima RT non pertanian golongan rendah di kota sebesar 0.038. Sedangkan pada jalur yang melewati industri ringan, meskipun pengganda jalur menghasilkan nilai tertinggi namun pengaruh langsung yang diterima rumah tangga menunjukkan nilai relatif kecil. Tabel 28. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kayu Lapis, Barang dari Kayu, Bambu dan Rotan ke Rumah Tangga Tahun 2003 Jalur Asal
Agroindustri Kayu lapis, barang dr kayu, bambo dan rotan
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Petani luas Non pert gol rendah di desa
0.192
Non pert gol rendah di kota
Non pert gol atas di kota
0.532
0.943
0.353
Jalur Dasar Agroind kayu-ModalRT tani luas Agroind kayu-TK NP dsRT NP rendah ds Agroind kayu-ModalRT NP rendah ds Agroind kayu-TK NP kotaRT NP rendah kota Agroind kayu-ModalRT NP rendah kota Agroind kayu-Ind ringanTK NP kota -RT NP rendah kota Agroind kayu-TK NP kotaRT NP atas kota Agroind kayu-Modal-RT NP atas kota
Pengaruh Langsung
Pengganda Jalur
Pengaruh Total
Persentase Pengaruh Global (%)
0.011
2.026
0.021
11.1
0.028
1.655
0.046
8.6
0.025
2.227
0.055
10.3
0.069
2.066
0.143
15.2
0.038
2.448
0.093
9.9
0.013
2.887
0.036
3.9
0.023
1.894
0.043
12.2
0.015
2.092
0.031
8.8
Pada jalur dimana pengaruh dipancarkan ke RT non pertanian golongan atas di kota, terdapat dua jalur yang dilalui. Jalur pertama melewati TK non pertanian di kota dan jalur kedua melewati modal kemudian menuju TK non pertanian di kota. Jalur yang melewati modal dan menuju ke RT non pertanian golongan atas di kota berimplikasi bahwa pengembangan agroindustri kayu lapis tersebut bersifat padat modal dan dampaknya juga dinikmati oleh RT non pertanian golongan atas di kota sebagai penyedia modal. Gambar 21 menyajikan jalur-jalur dasar yang menghubungkan pengaruh yang dipancarkan dari agroindustri kayu lapis, barang dari kayu dan bambu. Jalur dasar yang melewati faktor produksi modal akan memberikan pengaruh langsung terhadap modal
201
sebesar 0.187,
TK non pertanian di kota sebagai perantara akan menerima pengaruh
sebesar 0.097, TK non pertanian di kota akan menerima pengaruh langsung sebesar 0.097 dan industri ringan akan menerima pengaruh langsung sebesar 0.163. Artinya pengembangan agroindustri kayu lapis, barang dari kayu dan bambu akan menghasilkan pengaruh peningkatan nilai tambah terhadap modal yang lebih besar dibandingkan nilai tambah yang diterima oleh faktor produksi tenaga kerja.
Industri Ringan 0.163
0.719
NP Rendah Kota
0.013
0.108
0.719
NP Rendah Kota
0.069
TK NP Kota 0.097
Agroindustri Kayu lapis
0.235
NP Atas Kota
0.023
0.041 TK NP Desa
0.671
NP Rendah Desa
Petani Luas
0.028
0.011
0.056
0.187 0.131
NP Rendah Desa
0.025
Modal 0.204
NP Rendah Kota
0.038
0,079 NP Atas Kota
0,015
Gambar 21. Jalur Dasar Agroindustri Kayu Lapis, Barang dari Kayu dan Bambu ke Rumah Tangga
202
(4) Agroindustri Bubur Kertas Jalur struktural pada agroindustri bubur kertas disajikan pada Tabel 29. Berdasarkan nilai pengaruh langsung terbesar, stimulus ekonomi yang diberikan ke agroindustri bubur kertas hanya dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di desa dan di kota serta RT golongan atas di kota. Atau dengan kata lain pengaruh secara langsung pengembangan agroindustri bubur kertas kurang memancar ke RT di sektor pertanian (RT buruh tani, petani kecil dan petani luas). Namun demikian pengaruh global pengembangan agroindustri kayu lapis, barang dari kayu dan rotan terhadap rumah tangga menghasilkan nilai pengganda pendapatan rumah tangga seperti tercantum pada Tabel 9.
Tabel 29. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Bubur Kertas ke Rumah Tangga, Tahun 2003 Jalur Asal
Agroindustri Bubur Kertas
Jalur Tujuan (RT)
Pengaruh Global
Non pertanian gol rendah desa
0.488
Non pert gol rendah kota
Non pert gol atas di kota
0.856
0.322
Pengaruh Langsung
Pengganda Jalur
Pengaruh Total
Persentase Pengaruh Global (%)
Agroind bbr krts-TK NP desaRT NP rendah ds
0.012
1.576
0.018
3.8
Agroind bbr krts-ModalRT NP rendah ds Agroind bbr krts-TK NP kotaRT NP rendah kota Agroind bbr krts-ModalRT NP rendah kota Agroind bbr krts-Ind ringanTK NP kota-RT NP rendah kota Agroind bbr krts-Ind berat-TK NP kota-RT NP rendah kota Agroind bbr krts-ModalRT NP atas kota
0.018
2.147
0.039
8
0.029
1.984
0.057
6.7
0.028
2.366
0.067
7.9
0.014
2.805
0.039
4.5
0.011
2.879
0.03
3.6
0.011
2.015
0.022
6.9
Jalur Dasar
Pengaruh global terbesar diterima oleh RT non pertanian golongan rendah dikota sebesar 0.856 dengan melalui empat jalur dasar. Jalur pertama melewati TK non pertanian di kota dengan menghasilkan pengaruh langsung bagi rumah tangga
0.029, terbesar
diantara pengaruh langsung pada jalur yang lain. Jalur kedua melewati modal dengan pengaruh langsung sebesar 0.028. Jalur ketiga melewati industri ringan kemudian menuju TK non pertanian di kota dengan pengaruh langsung sebesar 0.014 dan jalur keempat
203
melewati industri berat dan menuju TK non pertanian di kota dengan pengaruh langsung sebesar 0.011. Dari keempat jalur tersebut pengganda jalur terbesar terdapat pada jalur yang melewati industri ringan sebagai perantara. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri bubur kertas memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri berat yang memasok mesin atau alat-alat berat bagi proses produksinya. Gambar 22 menyajikan jalur-jalur dasar yang menghubungkan pengaruh yang berasal dari agroindustri bubur kertas ke rumah tangga.
0.178
NP Rendah Kota
Industri Ringan
0.014
0.719
0.108
TK NP Kota
0.719
NP Rendah Kota
0.029
0.040 0.071 Agroindustri Bubur Kertas
0.208
0.719
NP Rendah Kota
0.011
Industri Berat
0.041 TK NP Desa
0,.71
0.187 0.131
NP Rendah Desa
NP Rendah Desa
0.012
0.018
Modal 0.204
NP Rendah Kota
0.028
0.079 NP Atas Kota
0.011
Gambar 22. Jalur Dasar Agroindustri Bubur kertas ke Rumah Tangga Dari jalur- jalur dasar yang dilalui, TK non pertanian di desa sebagai perantara menerima pengaruh langsung sebesar 0.017, TK non pertanian di kota menerima pengaruh langsung
204
sebesar 0.040, modal sebesar 0.140, industri ringan sebesar 0.178 dan industri berat menerima pengaruh langsung sebesar 0.208. (5) Agroindustri Karet Stimulus ekonomi pada agroindustri karet menghasilkan jalur struktural disajikan pada Tabel 30. Berbeda dengan agroindustri non makanan lain, pengaruh terbesar yang dipancarkan oleh agoindustri karet, selain terutama mengarah pada RT non pertanian, juga mengarah pada RT buruh tani. Hal ini tercermin dari pengaruh langsung yang diterima RT buruh tani sebesar 0.11 yang menunjukkan nilai pengaruh paling rendah dibandingkan dengan pengaruh yang berasal dari jalur dasar lainnya. Demikian pula dengan pengaruh global yang juga menunjukkan nilai
paling rendah. Artinya dibandingkan dengan
golongan rumah tangga non pertanian, dampak pengembangan agroindustri karet menghasilkan peningkatan pendapatan yang lebih rendah bagi golongan rumah tangga buruh tani. Tabel 30. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Karet ke Rumah Tangga, Tahun 2003 Jalur Asal
Jalur Tujuan (RT) Buruh tani Non pert gol rendah desa
Agroindustri Karet
Non pert gol atas desa Non pert gol rendah kota
Non pert gol atas kota
Pengaruh Global
0.182
0.565
0.193
1.05
0.388
Jalur Dasar Agroind karet-TK NP ds-RT buruh tani Agroind karet-TK NP ds-RT NP rendah ds Agroind karet-Modal-RT NP rendah ds Agroind karet-TK NP ds-RT NP atas ds Agroind karet-TK NP kotaRT NP rendah kota Agroind karet-Modal-RT NP rendah kota Agroind karet-TK NP kotaRT NP atas kota
Pengaruh Langsung
Pengganda Jalur
Pengaruh Total
Persentase Pengaruh Global (%)
0.011
1.481
0.016
8.6
0.097
1.583
0.154
27.2
0.016
2.153
0.034
5.9
0.025
1.43
0.035
18.2
0.245
1.981
0.485
46.1
0.024
2.365
0.057
5.5
0.08
1.812
0.145
37.4
Seperti halnya pada agroindustri yang lain, pengaruh global terbesar dipancarkan ke RT non pertanian golongan rendah di kota. Bahkan untuk golongan RT tersebut pengaruh
205
global yang dipancarkan sebesar 1.05 dengan melewati dua jalur dasar. Jalur pertama melewati TK non pertanian di kota dan jalur kedua melewati modal. Jalur yang melewati TK non pertanian di kota menghasilkan pengaruh langsung sebesar 0.245 sedangkan jalur yang melewati modal hanya menghasilkan pengaruh langsung sebesar 0.024. Namun demikian jalur yang melewati modal sebagai perantara, akan menghasilkan jalur pengganda terbesar. Hal ini berarti bahwa jalur yang melewati modal akan membentuk keterkaitan antara agroindustri karet dengan modal dan sektor-sektor lain (yang membentuk jalur sirkuit) lebih besar dibandingkan jalur yang melewati faktor produksi tenaga kerja. Pada jalur-jalur dasar tersebut, TK non pertanian di desa akan menerima pengaruh langsung sebesar 0.145, TK non pertanian sebesar 0.340 dan modal menerima pengaruh langsung sebesar 0.119 (Gambar 23). 0.719
Buruh Tani 0.011
TK NP Kota 0.671
0.235
NP Rendah Desa
NP At as Desa
0.097
0.025
0.145
0.719 Agroindustri Karet
0.340
NP Rendah Kota
0.045
TK NP Kota 0.253
0.119 0.131
NP Atas Kota
NP Rendah Desa
0.008
0.016 0.069
Modal 0.201
NP Rendah Kota
Gambar 23. Jalur Dasar Agroindustri Karet ke Rumah Tangga
0.024 0,038
VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA
6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi baik peningkatan investasi atau peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan output sektor agroindustri. Melalui keterkaitan antar sektor lebih lanjut hal ini akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik tenaga kerja pertanian maupun non pertanian dan permintaan terhadap modal yang dipenuhi oleh rumah tangga dan perusahaan. Hal ini akan berdampak lebih lanjut pada peningkatan pendapatan rumah tangga dan perusahaan. Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda (multiplier effect). Kebijakan yang ditujukan ke sektor agroindustri dibedakan atas kebijakan ke agroindustri makanan, kebijakan ke agroindustri non makanan dan kebijakan yang ditujukan ke industri-industri prioritas, yaitu agroindustri makanan sektor tanaman pangan, sektor perikanan, sektor perkebunan, industri kayu lapis, bambu dan rotan, serta industri karet remah dan karet asap. Dampak kebijakan ekonomi di sektor
agroindustri
terhadap
perubahan output sektoral disajikan pada Tabel 31 dan Lampiran 10. Kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan ekspor ke agroindustri prioritas (SK12) secara umum menghasilkan dampak peningkatan output sektoral terbesar. Sebaliknya kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah akan menghasilkan dampak
penurunan output
sektoral. Meskipun persentase penurunan output relatif sangat kecil namun hal itu terjadi hampir di semua sektor ekonomi, kecuali sektor pertanian primer dan sektor agroindustri kapuk. Dikaitkan dengan dampak kebijakan tersebut terhadap pendapatan rumah tangga yang juga mengalami penurunan, hal ini berimplikasi bahwa penurunan pendapatan rumah tangga secara umum akan berakibat pula terhadap penurunan output sektoral kecuali sektor pertanian primer dan sektor agroindustri tertentu seperti disebutkan di atas.
Tabel 31. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral Menurut Skenario Kebijakan, Tahun 2003 DAMPAK THD OUTPUT SEKTORAL 1 (%)
Pengeluaran Pemerintah
SEKTOR SK1
Pertanian Primer Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan & perburuan Pertanian tan. Lainnya Agroindustri Makanan Ind mak sekt. peternakan Ind mak sekt. tan pangan Ind mak sekt. perikanan Ind mak sekt. perkebunan Industri minuman Industri rokok Agroindustri Non Makanan Industri kapuk Ind kulit samakan, olahan Ind kayu lapis, bambu, rotan Ind bubur kertas Ind karet remah & asap Industri ringan dan lainnya Industri berat Sektor Lain
SK2
Ekspor SK3
Investasi
SK4
SK5
SK6
SK7
0.17 0.11 0.16 0.13 0.28 0.18 0.06 0.06 0.06 0.06 0.07 0.06 0.14 0.03 0.06 0.02
0.02 0.03 0.02 0.02 0.01 0.03 0.07 0.09 0.04 0.06 0.03 0.16 0.34 0.01 0.05 0.01
0.02 0.02 0.02 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.04 0.84 3.68 0.35
0.50 0.69 0.43 0.52 0.22 0.66 0.66 0.55 0.45 2.07 1.35 0.54 1.33 0.20 0.40 0.11
0.48 0.45 0.44 0.40 0.55 0.56 0.87 0.46 0.46 0.45 0.49 0.47 1.15 1.22 0.56 0.81
0.68 0.81 0.59 0.66 0.50 0.84 0.72 0.61 0.51 2.13 1.42 0.60 1.47 0.24 0.47 0.12
0.65
0.03 0.03 0.03 0.04 0.03 0.05
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
0.03 0.07 0.05 0.01 0.01 0.02
0.16 0.16 0.18 0.22 0.19 0.29
2.29 1.09 1.37 0.39 0.38 0.43
0.19 0.19 0.21 0.25 0.23 0.33
2.31 1.12 1.40 0.43 0.41
0.57 0.60 0.53 0.83 0.74
0.93 0.52 0.51 0.51 0.56 0.53 1.29
1.26 0.63 0.83
0.48
SKB
SK9
Insentif Pajak
RDS2
SK10
SK11
SK12
SK13
SK14
SK15
0.35 0.48 0.29 0.36 0.15 0.46 0.58 0.54 0.32 0.37 1.10 0.47 0.70 0.14 0.27 0.07
0.69 0.65 0.63 0.57 0.79 0.80 0.83 0.65 0.65 0.64 0.70 0.67 1.64 1.75 0.80 1.16
0.00 0.01 0.00 0.01 -0.01 -0.02 -0.04 -0.03 -0.03 -0.03 -0.03 -0.03 -0.08 0.00 0.07 -0.01
0.11 0.11 0.13 0.15 0.13 0.20
3.27 1.56 1.96 0.56 0.54 0.62
-0.02 -0.02 -0.02 -0.02 -0.02 -0.04
0.60 0.81 0.50 0.62 0.26 0.78 0.84 0.58 0.50 1.49 1.75 0.68 2.90 0.27 0.58 0.14
0.51 0.47 0.46 0.41 0.61 0.60 1.63 0.48 0.47 0.46 0.51 0.50 1.18 2.87 0.87 6.51
1.34 1.64 1.18 1.30 0.89 1.68 2.50 1.23 2.78 4.89 2.13 1.25 2.70 1.48 1.18 0.40
1.54
2.26
1.77 1.24 1.42 1.35 1.90
2.73 1.99 2.17 1.59 2.82
2.57
3.94
1.29 2.84 4.94 2.19 1.31 2.85
2.07 3.63 7.34 3.91 2.10 4.59
1.52
2.58
1.24 0.41
2.00 0.69
0.19 0.19 0.22 0.26 0.23 0.34
0.85 4.93 1.17 0.42 0.41 0.46
2.02 0.61 3.21 0.82 0.77 0.92
2.04 0.64 3.24
4.42 1.08 4.71
0.85 0.80 0.97
1.20 1.13 1.59
. 1 2
Nilai output sektoral menurut Skenario adalah nilai perubahan antara output simulasi Dasar dengan output masing -masing Skenario. RDS = Redistribusi pendapatan rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan bawah.
207
208
Keterangan Kode Skenario: 1. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Skenario 1 (SK1):
Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer sebesar 10 % dan dialokasikan secara merata ke masing-masing subsektor.
Skenario 2 (SK2):
Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri sebesar 10 % yang dialokasikan ke masing-masing agroindustri makanan secara merata. Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan ke masing-masing agroindustri non makanan secara merata.
Skenario 3 (SK3):
2. Kebijakan Peningkatan Ekspor Skenario 4 (SK4):
Peningkatan ekspor di sektor agroindustri sebesar 7% untuk masing-masing agroindustri makanan.
Skenario 5 (SK5):
Peningkatan ekspor di sektor agroindustri sebesar 7% agroindustri non makanan.
Skenario 6 (SK6):
Kombinasi peningkatan ekspor sebesar 7% untuk masing-masing agroindustri makanan (Skenario 4) dan peningkatan pengeluaran pemerintah 10 % di sektor pertanian primer yang dialokasikan ke masing-masing subsektor secara merata.
Skenario 7 (SK7):
Kombinasi peningkatan ekspor sebesar 7% untuk masing masing agroindustri non makanan (Skenario 5) dan peningkatan pengeluaran pemerintah 10% di sektor pertanian primer yang dialokasikan ke masing-masing subsektor secara merata.
untuk
masing masing
3. Kebijakan Peningkatan Investasi Skenario 8 (SK8):
Peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara proporsional ke masing-masing agroindustri makanan
Skenario 9 (SK9):
Peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara proporsional ke masing-masing agroindustri non makanan.
Skenario10 (SK10): Peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara merata ke agroindustri prioritas. Skenario 11 (SK11): Kombinasi peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang didistribusikan secara merata ke agroindustri prioritas (SK10) dan peningkatan pengeluaran pemerintah 10% di sektor pertanian primer dan dialokasikan secara merata ke sub sektor pertanian primer yang mendukung agroindustri prioritas. Skenario 12 (SK12): Kombinasi peningkatan investasi di sektor agroindustri sebesar 10% yang dialokasikan secara merata ke agroindustri prioritas (SK 10) dan peningkatan ekspor agroindustri prioritas sebesar 7%. 4. Kebijakan Insentif Pajak Skenario 13 (SK13): Pemberian insentif pajak ke masing-masing agroindustri makanan sebesar 10% Skenario 14 (SK14): Pemberian insentif pajak ke masing-masing agroindustri non makanan sebesar 10% 5. Kebijakan Redistribusi Pendapatan Skenario 15 (SK15): Redistribusi pendapatan rumah tangga dari golongan atas ke rumah tangga buruh tani, petani kecil, rumah tangga golongan rendah di desa dan di kota sebesar seratus ribu rupiah sebulan selama setahun dan sebanyak jumlah rumah tangga miskin yang didistribusikan secara proporsional ke masing-masing rumah tangga golongan rendah.
209
Selain kebijakan redistribusi pendapatan yang menghasilkan dampak negatif terhadap output sektoral, kebijakan lain yang dampaknya kurang efektif meningkatkan output sektoral adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah ke agroindustri makanan sebesar sepuluh persen. Kebijakan ini hanya akan meningkatkan output sektoral berkisar antara 0.006 persen sampai 0.3 persen. Kebijakan tunggal maupun kombinasi peningkatan investasi ke agroindustri prioritas
(SK10, SK11 dan SK12)
secara nyata akan meningkatkan pendapatan sektoral dan agroindustri prioritas, yaitu agroindustri makanan sektor tanaman pangan, sektor perikanan, sektor perkebunan, agroindustri kayu lapis, barang dari kayu dan rotan serta agroindustri karet remah dan karet asap. Kebijakan lain yang juga menghasilkan dampak perubahan pendapatan sektoral yang relatif besar adalah kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri non makanan (SK9) dan kebijakan pemberian insentif pajak ke agroindustri non makanan (SK10). Dari Tabel 31 terlihat pula bahwa kebijakan investasi, ekspor dan insentif pajak yang ditujukan ke agroindustri non makanan akan menghasilkan peningkatan output sektoral yang lebih besar dibandingkan jika kebijakan tersebut ditujukan ke agroindustri makanan. 6.2. Pendapatan Tenaga Kerja Perubahan pendapatan tenaga kerja sebagai dampak dari kebijakan ekonomi di sektor agroindustri disajikan pada Tabel 32.
Secara umum kebijakan di sektor
agroindustri akan menghasilkan peningkatan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa dan di kota dibandingkan peningkatan pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja non pertanian.
Mengingat kebutuhan tenaga kerja pertanian akan dipenuhi oleh rumah
tangga buruh tani dan petani maka hasil analisis ini konsisten dengan hasil sebelumnya dimana kebijakan agroindustri akan menghasilkan peningkatan pendapatan terhadap
210
rumah tangga buruh tani dan petani yang paling besar dibandingkan rumah tangga lainnya. Tabel 32. Dampak Kebijakan Agroindustri terhadap Pendapatan Tenaga Kerja Tahun 2003, Tahun 2003 1
DAMPAK THD PENDAPATAN TENAGA KERJA (%) Pertanian di desa
Pertanian di kota
Non Pert di Desa
Non Pert di Kota
218 894.3
31 238.45
262 223.4
610 144.7
(Primer) (Mak) (Non mak)
0.14
0.14
0.04
0.04
0.03
0.02
0.02
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
0.65
0.62
0.32
0.30
0.47
0.47
0.45
0.45
0.78
0.76
0.37
0.34
0.61
0.61
0.49
0.49
0.76
0.73
0.39
0.36
0.49
0.49
0.45
0.45
1.58
1.52
1.05
1.01
1.72
1.67
1.09
1.06
2.63
2.54
1.77
1.71
0.44
0.42
0.23
0.21
0.68
0.67
0.64
0.65
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR2 (Milyar Rp) PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prioritas) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTRIBUSI PENDAP
SK15 0.00 0.00 -0.02 -0.03 Nilai pendapatan tenaga kerja menurut Skenario adalah nilai perubahan antara pendapatan simulasi Dasar dengan pendapatan masing -masing Skenario. 2 Nilai total pendapatan tenaga kerja masing-masing golongan sebelum dilakukan simulasi dari data SNSE 2003.
1
Seperti halnya dampak kebijakan terhadap output sektoral, kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan akan menghasilkan peningkatan pendapatan tenaga kerja pertanian yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan ke agroindustri non makanan. Sebaliknya kebijakan ke agroindustri non makanan akan menghasilkan peningkatan pendapatan tenaga kerja non pertanian yang lebih besar. Dalam hal ini
211
kebijakan tunggal di sektor agroindustri yang menghasilkan dampak lebih besar secara berurutan adalah kebijakan investasi ke agroindustri prioritas maupun agroindustri lainnya, kebijakan ekspor, kebijakanan insentif pajak dan pengeluaran pemerintah. Konsisten pula dengan dampak kebijakan terhadap output sektoral, kebijakan yang terkait dengan peningkatan investasi di sektor agroindustri prioritas (SK10, SK11 dan SK12) akan menghasilkan peningkatan pendapatan tenaga kerja yang paling besar. Sebaliknya kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah (Skenario 15) akan menghasilkan dampak peningkatan pendapatan terkecil, bahkan untuk tenaga kerja non pertanian di desa maupun di kota akan mengalami pengurangan pendapatan. Sementara kebijakan tersebut hanya menghasilkan persentase peningkatan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa dan di kota yang relatif kecil.
6.3. Pendapatan Rumah Tangga Perubahan pendapatan rumah tangga dari berbagai Skenario terhadap simulasi DASAR (sebelum dilakukan simulasi) menurut golongan rumah tangga disajikan pada Tabel 33. Dari 15 skenario kebijakan yang dilakukan, peningkatan investasi pada agroindustri prioritas dikombinasikan dengan peningkatan ekspor agroindustri prioritas (SK12) merupakan kebijakan yang menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga paling besar. Kebijakan lain yang juga menghasilkan persentase pendapatan lebih besar dibandingkan kebijakan lainnya adalah peningkatan investasi pada industri prioritas (SK10) dan kombinasi kebijakan tersebut dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian prioritas (SK11). Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
peningkatan
investasi
di sektor
agroindustri prioritas lebih efektif
meningkatkan pendapatan rumah tangga dibandingkan kebijakan ekonomi lainnya.
212
Tabel 33. Dampak Kebijakan Agroindustri terhadap Pendapatan Rumah Tangga, Tahun 2003
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR2 (Rp)
DAMPAK THD PENDAPATAN RUMAH TANGGA1 (%) Non Pert Non Pert Buruh Non Pert Non Pert Petani Rendah Rendah Tani Atas-Desa Atas Kota Desa Kota
180 740
207 470
242 780
326 480
408 934
632 381
(Primer) (Mak) (Non mak)
0.08 0.02 0.02
0.09 0.02 0.02
0.06 0.02 0.02
0.07 0.02 0.02
0.05 0.01 0.02
0.05 0.01 0.02
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
0.46 0.51 0.53 0.53
0.47 0.47 0.55 0.49
0.38 0.47 0.43 0.45
0.41 0.47 0.48 0.49
0.31 0.46 0.35 0.38
0.32 0.46 0.36 0.39
0.54 0.53 1.31 1.40 2.21
0.56 0.49 1.28 1.38 2.17
0.45 0.48 1.13 1.19 1.91
0.49 0.49 1.19 1.27 2.02
0.38 0.47 1.02 1.07 1.73
0.39 0.47 1.03 1.09 1.76
0.32 0.73
0.32 0.68
0.26 0.67
0.29 0.67
0.22 0.65
0.22 0.66
PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+Gprm-prior) SK12 (SK10+X prioritas) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTRIBUSI PENDAP
SK15 0.39 0.67 0.08 -1.90 0.04 -0.15 Nilai pendapatan rumah tangga menurut Skenario adalah nilai perubahan antara pendapatan simulasi Dasar dengan pendapatan masing -masing Skenario. 2 Nilai rata-rata pendapatan rumah tangga masing-masing golongan sebelum dilakukan simulasi dari data SUSENAS.
1
Sebaliknya kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri makanan (SK2) dan agroindustri non makanan (SK3) tidak menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga yang cukup berarti. Hal ini karena disamping peningkatan 10 % anggaran pembangunan tersebut secara nominal jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan jumlah nominal investasi swasta, juga karena alokasi pengeluaran pembangunan pemerintah tidak hanya untuk peningkatan modal secara fisik melalui penyertaan modal pada BUMN tetapi juga untuk biaya proyek-proyek penelitian serta pengeluaran pembangunan melalui instruksi presiden atau inpres (BPS, 2005). Hal itu mengurangi dampak langsung terhadap peningkatan output sektor, dan lebih lanjut terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga.
213
Namun pengeluaran pemerintah yang dialokasikan ke sektor pertanian primer sebagai pemasok bahan baku agroindustri (SK1) dengan persentase sama menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan pengeluaran pemerintah yang ditujukan ke sektor agroindustri (SK2 dan SK3). Sedangkan peningkatan ekspor di sektor agroindustri makanan (SK4) dan agroindustri non makanan (SK5) berdampak terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga lebih kecil dibandingkan
dampak
kebijakan peningkatan investasi. Dampak peningkatan ekspor pada dasarnya merupakan efek dari kebijakan peningkatan investasi agroindustri yang menghasilkan komoditi tradable dimana peningkatan investasi akan berdampak meningkatkan produksi untuk ekspor. Namun apabila peningkatan ekspor tersebut merupakan suatu kebijakan untuk mencapai target ekspor tertentu, maka kebijakan tersebut harus diikuti dengan upaya lain untuk mendorong percepatan ekspor, misalnya melakukan perluasan pasar, mengaktifkan pendekatan ke pihak yang memiliki saluran distribusi ke luar negeri yang bagus, upayaupaya yang mengarah pada perbaikan mutu produk serta diversifikasi produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Kebijakan pemberian insentif pajak kepada perusahaan agroindustri makanan dan non maknan (SK13 dan SK14)) terhadap peningkatan output sektoral mempunyai hubungan yang bersifat tidak langsung tetapi melalui peningkatan investasi. Pemberian insentif pajak diharapkan akan memotivasi investor untuk berinvestasi lebih banyak sehingga sektor agroindustri akan berkembang.
Kebijakan ini diimplementasikan
melalui Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2007 yang memberikan insentif PPh kepada 15 industri termasuk beberapa agroindustri. Oleh karena mempunyai hubungan tidak langsung kebijakan tersebut menghasilkan dampak lebih kecil terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga kebijakan ekspor.
dibandingkan kebijakan peningkatan investasi maupun
Namun sesungguhnya kebijakan tersebut merupakan kebijakan
strategis untuk mendorong peningkatan investasi. Dalam hal ini kebijakan insentif pajak
214
di agroindustri non makanan akan menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan insentif pajak di agroindustri non makanan. Sedangkan kebijakan melakukan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah (SK15) mengakibatkan penurunan pendapatan rumah tangga non pertanian golongan atas di desa dengan persentase yang jauh lebih besar dibandingkan peningkatan pendapatan yang diperoleh rumah tangga golongan rendah sehingga pendapatan rumah tangga secara agregat akan menurun. Sebaliknya rumah tangga yang menerima peningkatan pendapatan lebih besar terutama adalah golongan rumah tangga buruh tani dan petani. Sedangkan rumah tangga non pertanian di desa maupun di kota hanya menerima persentase peningkatan pendapatan yang relatif kecil.
Dengan demikian dampak positif dari kebijakan tersebut akan
dirasakan terutama oleh golongan rumah tangga buruh tani dan petani. Tabel 33 menunjukkan pula bahwa dampak kebijakan di sektor agroindustri secara umum akan meningkatkan pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani dengan persentase
paling besar. Hal ini membuktikan bahwa intervensi pemerintah dalam
mengembangkan agroindustri akan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani. Apabila dewasa ini sekitar 69 persen kemiskinan berada di sektor pertanian dan perdesaan, maka pembangunan agroindustri diyakini merupakan cara efektif untuk mengurangi kemiskinan rumah tangga. Secara umum terlihat pula bahwa kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri non makanan akan menghasilkan peningkatan pendapatan bagi buruh tani dan petani lebih besar dibandingkan bila kebijakan yang sama ditujukan ke agroindustri non makanan. Sebaliknya bagi rumah tangga non pertanian baik di kota maupun di desa, kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri non makanan akan menghasilkan peningkatan pendapatan yang lebih besar bila dibandingkan kebijakan ke agroindustri makanan.
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
Stimulus ekonomi di sektor agroindustri akan menghasilkan peningkatan output agroindustri. Melalui keterkaitan antar sektor peningkatan output agroindustri tersebut akan menghasilkan peningkatan output bagi sektor-sektor lainnya. Peningkatan output lebih lanjut akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja untuk melakukan proses produksi, dimana permintaan tenaga kerja tersebut akan dipenuhi oleh rumah tangga. Lebih lanjut hal ini akan berdampak meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dampak stimulus ekonomi tersebut akan menghasilkan peningkatan output masingmasing sektor dengan nilai dan persentase yang berbeda antar sektor atau dengan kata lain perubahan output tersebut akan berdampak pada perubahan distribusi output antar sektor. Demikian pula dampaknya terhadap distribusi pendapatan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga.
7.1. Distribusi Output Sektoral Berdasarkan Indeks Theil-T, kesenjangan sektoral sebelum dilakukan simulasi (Simulasi Dasar) sebesar 0.31002 (Tabel 34). Apabila distribusi output antar sektor tersebut dianalisis menggunakan metode indeks Gini menghasilkan nilai 0.486. Kriteria Indeks Gini membagi indeks menjadi tiga kelompok, dimana indeks Gini 0.2 sampai 0.35 termasuk ke dalam distribusi merata, indeks Gini 0.35 sampai 0.5 termasuk tidak merata dan indeks ≥0.5 termasuk distribusi sangat tidak merata (Todaro 2000). Dengan demikian distribusi output antar sektor pada Simulasi Dasar menurut kriteria indeks Gini termasuk ke dalam distribusi yang tidak merata. Sedangkan berdasarkan indeks Theil-L distribusi output sektoral menghasilkan indeks yang lebih besar dibandingkan indeks Theil-T. Selanjutnya dari 15 Skenario kebijakan yang dilakukan, kebijakan yang berdampak paling besar mengurangi kesenjangan output sektoral adalah kombinasi kebijakan
216 Tabel 34. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Output Sektoral, Tahun 2003 SIMULASI KEBIJAKAN DASAR2
Dampak Thd Distribusi Output Sektoral 1 Theil-T Theil-L 0.31002
0.31020
-0.00011 -0.00001 0.00000
-0.00014 -0.00002 0.00000
-0.00021 -0.00002 -0.00031 -0.00013
-0.00040 0.00000 -0.00053 -0.00014
-0.00026 0.00019 -0.00059 -0.00071 -0.00083
-0.00047 0.00006 -0.00079 -0.00076 -0.00118
-0.00015 -0.00002
-0.00028 -0.00001
0.00000
-0.00002
PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 (Primer) SK2 (Mak) SK3 (Non mak) EKSPOR SK4 (Mak) SK5 (Non mak) SK6 (SK4+SK1) SK7 (SK5+SK1) INVESTASI SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prioritas) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTRIBUSI PENDAPATAN
SK15 1
2
Nilai indeks Theil masing-masing adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks simulasi masing-masing Skenario Nilai indeks Theil sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
peningkatan investasi di sektor agroindustri prioritas dengan peningkatan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian prioritas (SK11) dan kombinasi kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri
prioritas dengan peningkatan ekspor ke agroindustri
prioritas (SK12). Hal ini agak berbeda dibandingkan dengan hasil sebelumnya, yaitu kebijakan yang memiliki pengaruh paling besar dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga adalah SK12. Sebaliknya kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri non makanan (SK3) dan kebijakan redistribusi pendapatan rumah tangga dari golongan atas ke golongan rumah tangga rendah (SK15) tidak mempengaruhi perubahan kesenjangan output sektoral.
217 Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kebijakan tunggal peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor, investasi dan insentif pajak yang ditujukan ke industri pengolahan makanan (SK2, SK4, SK8 dan SK13) dapat menurunkan kesenjangan output antar sektor lebih besar dibandingkan bila kebijakan tersebut dialokasikan ke agroindustri non makanan. Demikian pula kombinasi antara kebijakan peningkatan ekspor agroindustri makanan dengan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer (SK6). Sebaliknya kebijakan ekonomi ke sektor agroindustri non makanan menghasilkan dampak terhadap penurunan kesenjangan output sektoral yang lebih kecil. Bahkan kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri non makanan (SK9) justru akan meningkatkan kesenjangan sektoral. Dampak kebijakan pemberian insentif pajak ke sektor agroindustri makanan dan non makanan menghasilkan penurunan kesenjangan output sektoral yang lebih kecil dibandingkan kebijakan ekspor maupun investasi. Hal ini disebabkan pengaruh kebijakan pajak terhadap output sektoral bersifat tidak langsung, yaitu pemberian insentif pajak akan mengurangi biaya produksi dan hal ini diharapkan akan merangsang investor untuk meningkatkan investasi di sektor agroindustri dan dampak lebih lanjut akan meningkatkan output sektor agroindustri.
7.2. Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja Tabel 35 menyajikan indeks distribusi pendapatan tenaga kerja. Tenaga kerja dalam analisis ini dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yakni: (1) tenaga kerja pertanian di desa, (2) tenaga kerja pertanian di kota, (3) tenaga kerja non pertanian di desa dan (4) tenaga kerja non pertanian di kota. Indeks distribusi pendapatan tenaga kerja menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan distribusi output sektoral. Artinya kesenjangan pendapatan antar golongan tenaga kerja lebih besar dibandingkan kesenjangan output antar sektor. Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan tenaga kerja menunjukkan pola yang sama dengan hasil-hasil sebelumnya, yaitu kebijakan
218 ekonomi yang paling efektif menurunkan kesenjangan pendapatan antar golongan tenaga kerja adalah kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan ekspor ke agroindustri prioritas (SK12). Tabel 35. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja, Tahun 2003 SIMULASI KEBIJAKAN 2
DASAR
Dampak Thd Distribusi Pendapatan TK1 Theil-T Theil-L 0.04933 0.05396
PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 (Primer) SK2 (Mak) SK3 (Non mak) EKSPOR SK4 (Mak) SK5 (Non mak) SK6 (SK4+SK1) SK7 (SK5+SK1) INVESTASI SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prioritas)
-0.00007 -0.00001 0.00000
-0.00009 -0.00001 0.00000
-0.00026 -0.00002 -0.00033 -0.00009
-0.00032 -0.00002 -0.00040 -0.00011
-0.00030 -0.00003 -0.00043 -0.00051 -0.00069
-0.00037 -0.00004 -0.00052 -0.00062 -0.00084
-0.00018 -0.00002
-0.00022 -0.00003
-0.00002
-0.00003
INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTRIBUSI PENDAPATAN
SK15 1
Nilai indeks Theil masing-masing Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks simulasi masing-masing Skenario . 2 Nilai indeks Theil sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
Kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer prioritas (SK11) menghasilkan dampak terbesar kedua. Sebaliknya SK3, yakni kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di agroindustri non makanan, seperti pada hasil analisis sebelumnya, tidak menghasilkan dampak penurunan kesenjangan pendapatan tenaga kerja.
219 Secara umum kebijakan peningkatan investasi agroindustri menghasilkan dampak penurunan kesenjangan pendapatan tenaga kerja lebih besar dibandingkan kebijakan peningkatan ekspor dan pemberian insentif pajak agroindustri Namun kebijakan ekspor yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer berdampak pada penurunan kesenjangan pendapatan tenaga kerja yang lebih besar. Hasil analisis menunjukkan pula kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan akan menghasilkan dampak penurunan kesenjangan pendapatan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan kebijakan yang ditujukan ke agroindustri non makanan.
7.3. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Rumah Tangga Dalam penelitian ini institusi rumah tangga didisagregasi ke dalam enam golongan rumah tangga, yakni: (1) buruh tani, (2) petani, (3) non pertanian golongan rendah di desa, (4) non pertanian golongan atas di desa, (5) non pertanian golongan rendah di kota, dan (6) non pertanian golongan atas di kota. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri akan berdampak terhadap perubahan pendapatan antar golongan rumah tangga yang lebih lanjut akan mempengaruhi distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga. Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan rumah tangga menurut golongan rumah tangga disajikan pada Tabel 36. Indeks distribusi pendapatan Theil-Total berdasarkan indeks Theil-T menghasilkan angka 0.1459 sedangkan indeks Theil-T between menunjukkan distribusi antar golongan rumah tangga sebesar 0.03813. Sedangkan indeks Theil-T within atau kesenjangan di dalam golongan sebesar 0.10778. Dengan melakukan dekomposisi indeks Theil ke dalam kesenjangan antar dan dalam golongan, dapat diketahui kesenjangan pendapatan rumah tangga yang terjadi lebih banyak disumbang oleh kesenjangan di dalam golongan atau kesenjangan pendapatan antar rumah tangga itu sendiri. Dalam hal ini kesenjangan pendapatan dalam golongan menyumbang sekitar 74 persen dari total kesenjangan yang diukur dengan indeks Theil-T.
220 Tabel 36. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatann Rumah Tangga Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 Dampak Thd Distribusi Pendapatan Rumah Tangga1 THEIL-T THEIL-L SIMULASI
Total
Between
Within
Total
Between
Within
0.14591 (100)
0.03813 (26)
0.10778 (74)
0.11459 (100)
0.03607 (32)
0.07852 (68)
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.00003
-0.00003
-0.00001
-0.00003
-0.00003
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
-0.00012
-0.00010
-0.00002
-0.00010
-0.00010
0.00000
-0.00001
-0.00001
0.00000
-0.00001
-0.00001
0.00000
-0.00014
-0.00012
-0.00002
-0.00012
-0.00012
0.00000
-0.00004
-0.00003
-0.00001
-0.00004
-0.00003
0.00000
-0.00013
-0.00011
-0.00002
-0.00012
-0.00012
0.00000
-0.00003
-0.00002
0.00000
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00019
-0.00016
-0.00003
-0.00017
-0.00016
0.00000
-0.00023
-0.00019
-0.00004
-0.00020
-0.00019
0.00000
-0.00032
-0.00026
-0.00005
-0.00027
-0.00027
0.00000
-0.00008
-0.00007
-0.00001
-0.00007
-0.00007
0.00000
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00049
-0.00043
-0.00006
-0.000045
-0.000045
0.00000
DASAR2 PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prioritas) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTRIBUSI PENDAP
SK15
Angka dalam kurung adalah nilai persentase terhadap indeks Theil-Total. 1 Nilai indeks Theil menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks simulasi masing-masing Skenario. 2 Nilai indeks Theil sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
Sedangkan kesenjangan antar golongan, misalnya kesenjangan antar buruh tani dengan petani atau golongan lainnya, hanya menyumbang sekitar 26 persen. Namun dilihat persentase perubahan kesenjangan yang terjadi, perubahan kesenjangan antar kelompok memberikan kontribusi perubahan yang jauh lebih besar dibandingkan perubahan kesenjangan dalam kelompok. Hal ini berarti bahwa kebijakan ekonomi yang berdampak terhadap perubahan pendapatan rumah tangga dengan persentase yang sama tidak akan menyebabkan perubahan berarti terhadap kesenjangan pendapatan antar rumah tangga itu sendiri. Dengan demikian menjadi penting melakukan dekomposisi kesenjangan untuk
221 melihat dampak suatu kebijakan terhadap distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga maupun antar rumah tangga itu sendiri. Kebijakan meningkatkan investasi agroindustri yang dialokasikan ke industriindustri prioritas dikombinasikan dengan peningkatan ekspor agroindustri prioritas dan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian prioritas (SK12 dan SK11) dapat lebih memperbaiki distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga dibandingkan kebijakan lainnya.
Kombinasi kebijakan ini dapat lebih memperbaiki distribusi pendapatan
dibandingkan kebijakan tunggal peningkatan investasi, karena stimulus ekonomi yang diberikan ke sektor pertanian primer akan menghasilkan nilai pengganda pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani terbesar dibandingkan stimulus ekonomi yang ditujukan ke sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu dampak stimulus ekonomi akan lebih mengarah ke rumah tangga buruh tani dan petani dan lebih lanjut akan memperkecil kesenjangan pendapatan antara golongan atas dan rendah. Kebijakan peningkatan ekspor dan investasi di sektor agroindustri makanan (SK4 dan SK8) secara umum dapat lebih memperbaiki distribusi pendapatan dibandingkan kebijakan ekspor dan investasi di agroindustri non makanan (SK5 dan SK9).
Demikian
pula apabila peningkatan ekspor yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer sebagai pasokan bahan baku industri (SK6 dan SK7) akan lebih memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Terlebih apabila kebijakan ekonomi tersebut ditujukan di agroindustri makanan. Kebijakan insentif pajak ke agroindustri makanan (SK13) dan non makanan (SK 14) menghasilkan penurunan indeks kesenjangan yang lebih kecil dibandingkan kebijakan investasi. Namun kebijakan insentif pajak pada agroindustri makanan akan berdampak pada penurunan indeks kesenjangan yang lebih besar. Kebijakan meningkatkan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri makanan dan non makanan sebesar 10%, (SK2 dan SK3)
tidak menghasilkan perubahan terhadap distribusi pendapatan antar
222 golongan rumah tangga. Sementara kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah (SK15) merupakan kebijakan yang paling efektif mengurangi kesenjangan pendapatan antar golongan rumah tangga. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan (baik kebijakanan ekspor, investasi maupun insentif pajak) akan menurunkan kesenjangan pendapatan yang lebih besar dibandingkan jika kebijakan yang sama ditujukan ke sektor agroindustri non makanan. Hal ini disebabkan stimulus ekonomi ke sektor agroindustri makanan akan menghasilkan nilai pengganda pendapatan lebih tinggi bagi rumah tangga buruh tani dan petani dibandingkan stimulus yang ditujukan ke sektor agroindustri non makanan (lihat Tabel 9) yang lebih lanjut mengurangi kesenjangan pendapatan rumah tangga. Hasil analisis di atas dapat diterangkan pula melalui jalur struktural (SPA) yang dipancarkan dari sektor agroindustri makanan ke rumah tangga (lihat Tabel 20 sampai dengan Tabel 25 dan Gambar 12 sampai dengan Gambar 17), yang menerangkan bahwa pengaruh pengembangan ekonomi di sektor agroindustri makanan (tanaman pangan, perikanan, perkebunan, peternakan, rokok dan minuman) akan dipancarkan menyebar ke berbagai golongan rumah tangga buruh tani, petani maupun rumah tangga non pertanian di kota maupun di desa secara merata. Pengaruh tersebut juga dipancarkan lebih dulu melewati sektor pertanian primer tanaman pangan, tenaga kerja kerja pertanian maupun non pertanian. Sektor pertanian tanaman pangan merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan dijadikan sumber pendapatan bagi sebagian besar rumah tangga pertanian. Selain itu jika dicermati lebih lanjut tenaga kerja pertanian menerima pengaruh langsung relatif jauh lebih besar dibandingkan pengaruh yang memancar ke sektor lain dan tenaga kerja lain. Dengan pengaruh terbesar yang memancar ke sektor tanaman pangan, tenaga kerja pertanian dan berbagai golongan rumah tangga, maka manfaat pengembanagn sektor agroindustri makanan akan menyebar dan dinikmati
223 oleh berbagai golongan rumah tangga dan dengan demikian akan menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih merata. Secara
umum
perubahan
indeks
kesenjangan
untuk
seluruh
Skenario
menunjukkan angka yang relatif kecil. Hal ini memberikan pemahaman bahwa untuk menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga diperlukan berbagai kebijakan yang dilakukan secara simultan dan memerlukan proses waktu.
Sebagai gambaran, ukuran
ketimpangan pendapatan yang dilakukan oleh Etharina (2005) menggunakan metoda yang sama untuk mengukur perkembangan ketimpangan pendapatan antara kelompok penduduk Jawa dan
Luar Jawa, diperoleh angka indeks ketimpangan yang ditunjukkan melalui
indeks Theil between kelompok tahun 1996 sebesar 0.0762 meningkat menjadi 0.0766 pada tahun 2001. Artinya selama periode lima tahun, indeks ketimpangan meningkat hanya sebesar 0.0004. Demikian pula hasil kajian Akita (1999) yang menunjukkan indeks kesenjangan pendapatan Theil-T antar golongan
rumah tangga kota dan desa selama
periode 1987 ke 1993 meningkat dari 0.055 menjadi 0.063 atau meningkat 0.008. Dengan gambaran tersebut perubahan indeks kesenjangan yang terjadi meskipun
kecil, tetap
relevan untuk dianalisis. Arah dari perubahan kesenjangan yang terjadi dengan demikian menjadi lebih penting untuk dipahami. Indeks Theil tidak menjelaskan apakah indeks distribusi sebesar 0.14591 tersebut termasuk katagori distribusi yang merata atau timpang. Namun dengan menganalisis secara terpisah dengan menggunakan metode indeks Gini (Tabel 37), menghasilkan besaran indeks Gini untuk distribusi rumah tangga secara agregat sebesar 0.3938 yang menurut Todaro (2000) dapat dikatagorikan tidak merata. Dengan mengelompokkan rumah tangga ke dalam enam golongan rumah tangga, hasil analisis menunjukkan bahwa golongan rumah tangga sektor pertanian dan
non pertanian yang berlokasi di desa berada pada
distribusi yang cenderung merata. Sedangkan distribusi pendapatan rumah tangga non pertanian yang berada di kota menunjukkan kecenderungan tidak merata.
224 Tabel 37. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Berdasarkan Indeks Gini, Tahun 2002 RUMAH TANGGA
GINI INDEKS
KATAGORI
0.3938 0.2580 0.2839 0.3065 0.3019 0.3566 0.4241
tidak merata merata merata merata merata tidak merata tidak merata
Agregat Buruh Tani Petani Non Pert Gol Rendah Desa Non Pert Gol Atas Desa Non Pert Gol Rendah Kota Non Pert Gol Atas Kota
7.4. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Desa dan Kota Selain melakukan disagregasi rumah tangga ke dalam enam golongan rumah tangga seperti diuraikan di atas, secara terpisah dari enam golongan rumah tangga tersebut diagregasikan menjadi dua golongan rumah tangga menurut lokasi desa dan kota. Dengan demikian dampak kebijakan agroindustri terhadap distribusi pendapatan rumah tangga dapat dianalisis secara spasial antara rumah tangga desa dan rumah tangga kota, kecuali untuk SK15 yaitu kebijakan redistribusi pendapatan dari golongan atas ke golongan rendah yang tidak dapat dilakukan pada analisis ini. Pada Tabel 38 disajikan indeks kesenjangan Theil-T Total pendapatan rumah tangga desa dan kota pada Skenario Dasar (sebelum dilakukan simulasi) sebesar 0.14591, sama seperti pada distribusi pendapatan menurut golongan rumah tangga pada Tabel 34. Indeks distribusi Theil-T between rumah tangga desa dan kota sebesar 0.02915, lebih kecil dibandingkan dengan indeks distribusi rumah tangga menurut golongan rumah tangga. Artinya distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga desa dan kota lebih merata dibandingkan dengan distribusi pendapatan rumah tangga menurut golongan rumah tangga. Sedangkan besaran indeks Theil-T within kelompok sebesar 0.11675. Dari besaran tersebut kesenjangan between kelompok rumah tangga (desa dan kota) memberikan kontribusi terhadap kesenjangan total yang terjadi sekitar 20% dan kesenjangan kelompok atau
225 kesenjangan antar individu rumah tangga memberikan kontribusi terhadap kesenjangan total sekitar 80%.
Tabel 38. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Desa dan Kota Tahun, 2002 Dampak Thd Distribusi Pendapatan Desa dan Kota Total 0.14591 (100)
THEIL-T 1 Between Within 0.02915 0.11676 (20.0) (80.0)
Total 0.11459 (100)
THEIL-L 1 Between Within 0.02921 0.08538 (25.5) (74.6)
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.00003
-0.00002
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
-0.00011
-0.00009
-0.00002
-0.00009
-0.00009
0.00000
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00013
-0.00011
-0.00003
-0.00011
-0.00011
0.00000
-0.00005
-0.00004
-0.00001
-0.00004
-0.00004
0.00000
-0.00012
-0.00010
-0.00002
-0.00010
-0.00010
0.00000
-0.00003
-0.00003
-0.00001
-0.00003
-0.00003
0.00000
-0.00019
-0.00015
-0.00004
-0.00016
-0.00016
0.00000
-0.00022
-0.00018
-0.00004
-0.00018
-0.00018
0.00000
-0.00031
-0.00025
-0.00006
-0.00025
-0.00025
0.00000
-0.00007
-0.00006
-0.00001
-0.00006
-0.00006
0.00000
-0.00003
-0.00002
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
SIMULASI KEBIJAKAN 2
DASAR
PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11(SK10+Gprm-prior) SK12 (SK10+X prioritas) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
Angka dalam kurung adalah nilai persentase terhadap indeks Theil-Total. 1 Nilai indeks Theil menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks simulasi masing-masing Skenario . 2 Nilai indeks Theil sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
Akita (1999) melakukan analisis distribusi Theil-T Total untuk rumah tangga desa dan kota tahun 1993 diperoleh angka sebesar 0.257. Akita juga melakukan analisis yang sama tahun 1987 diperoleh nilai sebesar 0.241. Dengan demikian dari hasil tersebut dapat dikatakan selama masa Orde Baru (tahun 1987–1993), kesenjangan pendapatan antar rumah tangga desa dan kota mengalami peningkatan. Kesenjangan pendapatan rumah tangga cenderung meningkat setelah tahun 1993 hingga puncaknya pada masa krisisi ekonomi 1998 yang ditunjukkan melalui perbandingan pendapatan rumah tangga buruh
226 tani dan non pertanian golongan atas di kota hampir mencapai satu banding 10. Namun indeks kesenjangan rumah tangga desa dan kota setelah masa krisis cenderung menurun yang ditunjukkan melalui nilai indeks Theil-Total tahun 2002 dari hasil penelitian ini sebesar 0.14591. Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri menyebabkan menurunnya kesenjangan terutama kesenjangan antar kelompok. Indeks kesenjangan menurun berkisar 0.0002 sampai 0.00025. Penurunan indeks kesenjangan tersebut merupakan kontribusi dari kesenjangan Theil-T between kelompok. Rendahnya kontribusi indeks Theil-T within karena perubahan kebijakan akan menghasilkan perubahan pendapatan antar kelompok dengan persentase berbeda. Sedangkan perubahan pendapatan antar rumah tangga di dalam masing-masing kelompok akan terjadi dengan persentase yang
sama sehingga
relatif tidak akan mempengaruhi distribusi pendapatan antar rumah tangga dalam kelompok tersebut. Kebijakan yang efektif menurunkan indeks kesenjangan adalah kebijakan tunggal maupun kombinasi peningkatan investasi ke sektor agroindustri yang dialokasikan ke industri prioritas (SK10, SK11 dan S12). Kebijakan lainnya, yaitu peningkatan ekspor dan pemberian insentif pajak juga berdampak menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga. Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah ke sektor agroindustri makanan dan non makanan sebesar 10% (SK1 dan SK2) tidak berpengaruh terhadap distribusi pendapatan rumah tangga. Hasil analisis menunjukkan pula bahwa kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan (SK4, SK6 dan SK8) akan jauh lebih efektif menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga desa dan kota dibandingkan jika kebijakan yang sama ditujukan ke agroindustri non makanan. Hal ini disebabkan agroindustri makanan secara umum bersifat labor intensive, sehingga dampak kebijakan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani yang memasok
227 sebagian besar tenaga kerja akan lebih besar. Hal ini akan memperkecil kesenjangan pendapatan antar rumah tangga desa dan kota.
7.5. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian dan Non Pertanian Seperti halnya distribusi pendapatan rumah tangga desa dan kota, secara terpisah enam golongan rumah tangga seperti pada analisis terdahulu diagregasi ke dalam dua kelompok rumah tangga, yakni rumah tangga pertanian dan rumah tangga non pertanian. Dengan demikian dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan rumah tangga dapat dianalisis secara sektoral antara rumah tangga pertanian dan rumah tangga non pertanian. Namun berdasarkan golongan rumah tangga tersebut, kebijakan redistribusi pendapatan dari golongan atas ke golongan rendah tidak dapat dilakukan pada analisis ini. Tabel 39 menunjukkan jika dibandingkan dengan distribusi pendapatan rumah tangga desa dan kota, dan distribusi pendapatan menurut golongan rumah tangga, distribusi pendapatan rumah tangga pertanian dan pertanian menunjukkan indeks kesenjangan yang lebih kecil. Artinya pendapatan antara rumah tangga pertanian dan non pertanian (distribusi pendapatan rumah tangga sektoral) menunjukkan distribusi yang lebih merata dibandingkan dengan distribusi pendapatan rumah tangga secara maupun kesenjangan pendapatan antar berbagai golongan rumah tangga. Indeks kesenjangan total menunjukkan angka 0.14117, lebih kecil dibandingkan indeks kesenjangan pendapatan rumah tangga desa dan kota sebesar 0.14591. Indeks Theil-T between kelompok bernilai 0.0179 atau memberikan kontribusi sekitar 12.7 persen dari kesenjangan total. Sedangkan berdasarkan indeks Theil-L nilai indeks kesenjangan total sebesar 0.10743 dengan kontribusi kesenjangan antar kelompok sekitar 18.1 persen dan kesenjangan dalam kelompok sekitar 81.9 persen.
228 Tabel 39. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian dan Non Pertanian, Tahun 2002 1
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR2
Dampak Thd Distribusi Pendapatan RT Pert- Non Pert THEIL-T THEIL-L Total Between Within Total Between Within 0.14117 0.01790 0.12327 0.10743 0.0193 0.08805 (100) (12.7) (87.3) (100) (18.1) (81.9)
PENGELUARAN PEMERINTAH
SK1 SK2 SK3
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.00002
-0.00001
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00002
-0.00001
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
-0.00002
-0.00001
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00009
-0.00007
-0.00003
-0.00008
-0.00008
0.00000
-0.00004
-0.00003
-0.00001
0.00000
-0.00003
-0.00003
-0.00009
-0.00006
-0.00002
-0.00007
-0.00007
0.00000
-0.00003
-0.00002
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
-0.00014
-0.00010
-0.00004
-0.00012
-0.00012
0.00000
-0.00016
-0.00012
-0.00004
-0.00014
-0.00014
0.00000
-0.00023
-0.00017
-0.00006
-0.00019
-0.00019
0.00000
-0.00005
-0.00004
-0.00001
-0.00004
-0.00004
0.00000
-0.00003
-0.00002
-0.00001
-0.00002
-0.00002
0.00000
EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prioritas) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
Angka dalam kurung adalah nilai persentase terhadap indeks Theil-Total. 1 Nilai indeks Theil menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks simulasi masing-masing Skenario. 2 Nilai indeks Theil sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri secara umum berhasil menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga pertanian dan pertanian. Dibandingkan dengan penurunan kesenjangan pendapatan antara rumah tangga desa dan kota menghasilkan penurunan indeks kesenjangan lebih besar. Dengan demikian meskipun distribusi pendapatan rumah tangga pertanian dan non pertanian lebih merata daripada distribusi pendapatan rumah tangga desa dan kota, namun kebijakan ekonomi berdampak menurunkan kesenjangan yang lebih kecil. Konsisten dengan dampak terhadap distribusi pendapatan rumah tangga desa dan kota, kebijakan yang paling efektif menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga
229 pertanian dan non pertanian adalah peningkatan investasi ke agroindustri prioritas dikombinasikan dengan peningkatan ekspor ke agroindustri prioritas (SK12). Kebijakan tunggal maupun kombinasi dari kebijakan peningkatan investasi agroindustri prioritas juga akan lebih memperbaiki ditribusi pendapatan rumah tangga dibandingkan kebijakan lainnya. Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri makanan dan non makanan (SK2 dan SK3) tidak mengubah distribusi pendapatan rumah tangga pertanian dan non pertanian. Kebijakan ekonomi lainnya, yaitu kebijakan peningkatan ekspor dan pemberian insentif pajak ke sektor agroindustri juga berhasil menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga pertanian dan non pertanian. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan kebijakan peningkatan ekspor dan investasi yang ditujukan ke agroindustri makanan (SK4, SK 6 dan SK8) akan berdampak menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan bila kebijakan tersebut ditujukan ke agroindustri non makanan
VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar menghitung angka kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata pendapatan perkapita (diproxy dari pengeluaran) dengan membagi total pengeluaran rumah tangga (makanan dan non makanan) dengan total jumlah anggota rumah tangga. Pendekatan ratarata perkapita ini belum mempertimbangkan perbedaan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi ekonomi rumah tangga (yang ditentukan oleh komposisi umur anggota rumah tangga). Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau
Equivalence Scales (ES),
yang
menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumah tangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup.
Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi
didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis. Dengan demikian pengeluaran perkapita dihitung dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan kecukupan kalori antara anak-anak dan orang dewasa. Metoda ini merupakan metoda alternatif disamping metoda melalui pendekatan rata-rata pendapatan perkapita untuk menghitung angka
kemiskinan. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan tersebut
untuk menghitung indeks kemiskinan dasar dan dampak kebijakan agroindustri terhadap pengurangan kemiskinan. Sudah barang tentu melalui dua pendekatan tersebut akan dihasilkan angka kemiskinan yang berbeda. Namun pembahasan analisis dalam penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan angka kemiskinan yang terjadi dengan dilakukannya berbagai kebijakan di sektor agroindustri. Selain itu pembahasan akan lebih difokuskan pada hasil
231 perhitungan
melalui pendekatan rata-rata pendapatan per kapita agar diperoleh
pembahasan yang searah dengan angka-angka kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS.
8.1.
Persentase Rumah Tangga Miskin Nilai dasar indeks kemiskinan (headcount index) dan perubahan indeks kemiskinan
menurut berbagai Skeenario kebijakan disajikan pada Tabel 40. Headcount index pada Skenario Dasar (sebelum dilakukan simulasi kebijakan) untuk rumah tangga secara agregat sebesar 17.33. Angka ini menunjukkan proporsi penduduk yang memiliki pendapatan per kapita di bawah garis batas kemiskinan terhadap total populasi, yang dinyatakan sebagai persentase, adalah sebesar 17.4 persen. Garis batas kemiskinan yang digunakan mengikuti garis batas kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS untuk tahun 2002, yaitu daerah Tabel 40. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan (Headcount Index) Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 1
SIMULASI KEBIJAKAN
DASAR2
23.476
DAMPAK THD KEMISKINAN (%) NP Non Pert Non Pert Non Pert Petani Rendah Rendah Agregat Atas Desa Atas Kota Desa Kota 19.763 12.702 4.652 10.806 3.341 17.40
0.000 0.000 0.000
-0.050 -0.010 -0.010
-0.070 -0.010 -0.010
0.000 0.000 0.000
-0.011 0.000 0.000
-0.061 0.000 -0.020
-0.286 -0.476 -0.476 -0.476
-0.272 -0.277 -0.363 -0.378
-0.279 -0.339 -0.319 -0.369
-0.274 -0.274 -0.274 -0.328
-0.133 -0.202 -0.138 -0.234
-0.081 -0.121 -0.081 -0.121
-0.286 -0.476 -0.476 -0.382
-0.476 -0.476 -1.286 -1.286 -2.000
-0.378 -0.293 -0.898 -0.974 -1.538
-0.329 -0.339 -0.708 -0.758 -1.078
-0.547 -0.547 -0.493 -0.493 -0.712
-0.160 -0.218 -0.409 -0.420 -0.707
-0.101 -0.121 -0.263 -0.263 -0.344
-0.269 -0.280 -0.718 -0.750 -1.127
-0.286 -0.524
-0.182 -0.479
-0.229 -0.449
-0.493 -0.602
-0.096 -0.282
-0.061 -0.142
-0.170 -0.389
-0.286
-0.479
-0.070
0.219
-0.005
0.040
0.088
Buruh Tani
PENGELUARAN PEM
SK1 (Primer) SK2 (Mak) SK3 (Non mak) EKSPOR SK4 (Mak) SK5 (Non mak) SK6 (SK4+SK1) SK7 (SK5+SK1) INVESTASI SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11(SK10+Gprm-prior) SK12 (SK10+X prior)
-0.029 -0.010 -0.010
INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTR PENDAP
SK15 1
Nilai headcount index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing – masing Skenario. 2 Nilai headcount index sebelum dilakukan simulasi.
232 perdesaan sebesar Rp. 96 512 per kapita per bulan, perkotaan Rp. 130 499 per kapita per bulan dan agregat Indonesia sebesar Rp. 108 889 per kapita per bulan. Angka kemiskinan untuk tahun yang sama, yaitu tahun 2002 yang diterbitkan oleh BPS sebesar 18.2 persen. Perbedaaan angka kemiskinan pada analisis ini dengan angka kemiskinan nasional disebabkan: (1) data yang digunakan dalam analisis ini adalah data SUSENAS yang berupa sampel, sementara untuk mewakili data tingkat nasional perlu dilakukan pembobotan, (2) SUSENAS tahun 2002 tidak termasuk empat provinsi, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Maluku, Maluku utara dan Papua, sementara angka kemiskinan tingkat nasional sudah memasukkan empat provinsi tersebut dengan angka estimasi. Jumlah penduduk miskin menurut golongan rumah tangga terbesar pada golongan rumah tangga buruh tani yaitu 23.5 persen dan golongan rumah tangga petani sebesar 19.8 persen. Rumah tangga non pertanian golongan rendah di desa memiliki angka kemiskinan yang lebih besar dibandingkan angka kemiskinan pada rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. Hal ini menunjukkan bahwa sumber kemiskinan di Indonesia berada di perdesaan. Sedangkan untuk rumah tangga non pertanian golongan atas di desa maupun di kota proporsi populasi miskin sebesar 4.7 persen dan 3.6 persen. Keberadaan penduduk miskin pada golongan rumah tangga golongan atas ini disebabkan pengelompokan rumah tangga yang digunakan untuk membangun neraca SNSE oleh BPS berdasarkan Klasifikasi Jenis Pekerjaan/Jabatan, bukan berdasarkan tingkat pendapatan. Dengan mengelompokkan berdasarkan jenis pekerjaan tersebut sebagai konsekuensi tidak semua rumah tangga golongan atas merupakan rumah tangga kaya atau berpendapatan di atas garis kemiskinan.
Definisi dan pengelompokan masing-masing golongan rumah
tangga disajikan pada Lampiran 2 dan lampiran 3). Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang dinyatakan sebagai perubahan indeks kemiskinan dari setiap Skenario terhadap Skenario Dasar konsisten dengan dampak kebijakan ekonomi terhadap pendapatan rumah tangga, yaitu peningkatan
233 investasi agroindustri yang dialokasikan ke agroindustri prioritas dan dikombinasikan dengan peningkatan ekspor agroindustri prioritas (SK12) merupakan skenario kebijakan yang menghasilkan penurunan tingkat kemiskinan paling besar dibandingkan skenario lainnya. Kebijakan tersebut dapat menurunkan tingkat kemiskinan pada golongan rumah tangga buruh tani sekitar 2.0 persen dari total populasi rumah tangga buruh tani. Secara umum kebijakan tunggal maupun kebijakan kombinasi peningkatan investasi agroindustri prioritas (SK 10, SK11 dan SK12) akan menurunkan angka kemiskinan lebih besar dibandingkan kebijakan lain meskipun mengkombinasikan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian prioritas dengan peningkatan investasi prioritas (SK 11 dan SK 10) tidak menghasilkan perbedaan dalam mengurangi kemiskinan. penambahan
Hal ini dapat diartikan
pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari peningkatan pengeluaran
pemerintah di sektor primer tidak cukup besar untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga mencapai garis batas kemiskinan. Apabila peningkatan investasi dialokasikan secara proporsional ke seluruh agroindustri makanan (SK8) dan agroindustri non makanan (SK9), akan menurunkan tingkat kemiskinan rumah tangga buruh tani lebih kecil, hanya sekitar 0.5 persen. Kebijakan peningkatan ekspor agroindustri makanan (SK4) dan non makanan (SK5) akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih kecil dibandingkan peningkatan investasi. Kebijakan gabungan peningkatan ekspor ke agroindustri makanan dan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian primer (SK6) mengurangi kemiskinan lebih besar dibandingkan apabila kebijakan dilakukan secara tunggal. Alternatif kebijakan lain adalah meningkatkan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri makanan (SK2) dan non makanan (SK3). Kebijakan ini relatif lebih fleksibel dan secara operasional lebih mudah dilakukan karena pemerintah memiliki keleluasaan dalam mengalokasikan sumberdya. Namun dampak kebijakan tersebut terhadap penurunan tingkat kemiskinan kurang menunjukkan pengaruh. Sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian primer (SK
234 1) menunjukkan dampak penurunan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri. Kebijakan lain adalah melalui perpajakan (SK14). Pemberian insentif pajak agroindustri sebesar 10% ke agroindustri non makanan (SK14) akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih besar dibandingkan bila kebijakan ditujukan ke agroindustri makanan (SK13). Namun kebijakan ini menghasilkan dampak yang lebih kecil dibandingkan dengan kebijakan peningkatan investasi dan ekspor. Kebijakan terakhir (SK15) adalah melakukan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah (kelompok buruh tani, petani kecil dan rumah tangga golongan rendah di desa dan kota). Kebijakan ini efektif memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga dan mengurangi kemiskinan golongan rumah tangga buruh tani,
petani dan golongan rendah, tetapi meningkatkan kemiskinan rumah tangga
golongan atas di desa. Kebijakan ini juga secara agregat menurunkan output nasional (Tabel 31). Secara umum dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri menghasilkan penurunan tingkat kemiskinan lebih besar bagi rumah tangga buruh tani dan petani. Hal ini disebabkan dampak kebijakan tersebut akan menghasilkan marginal utility bagi golongan rumah tangga berpendapatan rendah yang lebih besar dibandingkan golongan rumah tangga lain. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa peningkatan investasi dan ekspor yang ditujukan ke agroindustri non makanan dapat menurunkan tingkat kemiskinan relatif lebih besar dibandingkan bila kebijakan yang sama ditujukan ke agroindustri makanan. Hal ini dapat dijelaskan melalui analisis jalur struktural (SPA) yang menunjukkan bahwa pengembangan sektor agroindustri non makanan pengaruhnya akan dipancarkan secara terbatas ke rumah tangga non pertanian setelah melewati sektor perdagangan, modal, sektor industri berat dan ringan dan tenaga kerja non pertanian baik di desa maupun di kota.
235 Apabila dicermati lebih lanjut meskipun pengaruh terbesarnya memancar hanya terbatas ke golongan rumah tangga non pertanian, besaran pengaruh yang dipancarkan dari faktor produksi tenaga kerja non pertanian ke rumah tangga menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan pengaruh yang dipancarkan dari tenaga kerja pertanian ke rumah tangga yang berasal dari pengembangan sektor agroindustri makanan. Tenaga kerja non pertanian dapat memancarkan kembali pengaruh yang jauh lebih besar ke rumah tangga non pertanian karena tenaga kerja non pertanian memiliki keterkaitan yang lebih luas dengan sektor non pertanian lain sehingga menghasilkan dampak pengganda jalur yang lebih besar. Dengan pancaran pengaruh yang lebih terbatas ke rumah tangga non pertanian namun dengan besaran pengaruh yang lebih besar maka pengembangan sektor agroindustri non makanan berdampak mengurangi kemiskinan yang lebih besar namun menghasilkan dampak yang lebih kecil terhadap distribusi pendapatan. Dengan menggunakan skala ekivalensi diperoleh angka kemiskinan headcount index yang lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan melalui rata-rata pendapatan perkapita (Lampiran 11). Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan menggunakan skala ekivalensi, indeks kemiskinan headcount untuk rumah tangga secara agregat sebesar 3.92, jauh lebih kecil dibandingkan dengan metoda yang digunakan oleh BPS sebesar 17.3 persen. Artinya bahwa pembobotan anak dalam menentukan pendapatan (diproxy dari pengeluaran) akan meghasilkan angka pendapatan perkapita yang lebih besar sehingga angka kemiskinan menjadi lebih kecil. Hal ini bisa disebabkan proporsi anak terhadap total anggota rumah tangga di Indonesia relatif tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan angka kemiskinan yang cukup tinggi tersebut adalah pada metode skala ekivalensi yang digunakan.
Mengingat belum ada penelitian untuk menghitung skala
ekivalensi yang sesuai untuk Indonesia, analisis ini menggunakan metoda yang dikembangkan oleh Cockburn (2002) yang telah digunakan di beberapa negara, terutama Australia, Nepal dan beberapa negara lain, namun belum tentu sesuai untuk Indonesia.
236 Oleh karena itu untuk memperoleh angka kemiskinan yang tepat, perlu dilakukan penyesuaian, terutama dalam hal metoda penghitungan skala ekivalensi yang digunakan. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa fokus bahasan dari penghitungan indeks kemiskinan dalam penelitian ini terutama pada perubahan indeks kemiskinan sebelum dan sesudah diberlakukan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri. Dari hasil analisis dengan menggunakan skala ekivalensi yang disajikan pada Lampiran 11, terlihat bahwa kebijakan yang ditujukan di sektor agroindustri menghasilkan perubahan kemiskinan yang searah dengan perubahan kemiskinan melalui pendekatan rata-rata pendapatan perkapita namun dengan besaran yang berbeda. Kebijakan yang menghasilkan pengaruh paling besar terhadap kemiskinan adalah kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas baik melalui kebijakan tunggal maupun kebijakan kombinasi pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer prioritas dan peningkatan ekspor agroindustri prioritas. 8.2. Kesenjangan Pendapatan Rumah Tangga Miskin Tabel 41 menunjukkan indeks poverty gap. Kebijakan agroindustri berdampak menurunkan indeks poverty gap dengan perubahan indeks yang lebih kecil dibandingkan perubahan headcount index.
Indeks poverty gap terbesar pada kelompok buruh tani
sebesar 3.85. Indeks tersebut menjelaskan rata-rata kesenjangan pendapatan rumah tangga buruh tani terhadap garis batas kemiskinan, yang tidak lain merupakan proporsi antara perbedaan pendapatan masing-masing penduduk miskin dengan garis batas kemiskinan terhadap garis batas kemiskinan yang dinyatakan dalam persen. Semakin besar indeks menunjukkan kesenjangan pendapatan terhadap garis batas kemiskinan yang semakin besar. Kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan ekspor ke agroindustri prioritas berdampak poverty gap paling besar dibandingkan kebijakan lainnya.
menurunkan indeks
Secara umum perubahan
poverty gap sebagai dampak kebijakan agroindustri menunjukkan pola yang konsisten
237 seperti halnya perubahan headcount index yaitu kebijakan ekonomi ke sektor agroindustri non makanan menghasilkan perubahan poverty gap yang lebih besar dibandingkan kebijakan ke agroindustri makanan kecuali untuk dampak kebijakan investasi terhadap rumah tangga buruh tani dan petani. Tabel 41. Dampak Kebijakan Agroindustri Terhadap Poverty Gap Index Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 1
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR2
3.846
DAMPAK THD KEMISKINAN (%) Non Pert Non Pert Non Pert Non Pert Petani Rendah Rendah Agregat Atas Desa Atas Kota Desa Kota 3.476 2.075 0.614 1.934 0.490 3.280
Buruh Tani
PENGELUARAN PEM
SK1
(Primer)
-0.016
-0.014
-0.007
-0.003
-0.004
-0.001
-0.009
SK2
(Mak)
-0.004
-0.003
-0.002
-0.001
-0.001
0.000
-0.002
SK3
(Non mak)
-0.004
-0.003
-0.002
-0.001
-0.001
0.000
-0.002
EKSPOR
SK4
(Mak)
-0.089
-0.076
-0.039
-0.016
-0.028
-0.009
-0.055
SK5
(Non mak)
-0.099
-0.077
-0.049
-0.018
-0.040
-0.013
-0.066
SK6 (SK4+SK1)
-0.103
-0.089
-0.045
-0.018
-0.031
-0.010
-0.063
SK7
-0.115
-0.091
-0.055
-0.021
-0.044
-0.014
-0.074
(SK5+SK1)
INVESTASI
SK8
(Mak)
-0.106
-0.090
-0.047
-0.053
-0.033
-0.011
-0.065
SK9
(Non mak)
-0.103
-0.080
-0.050
-0.053
-0.041
-0.013
-0.068
(Prioritas)
-0.249
-0.204
-0.115
-0.045
-0.088
-0.028
-0.158
SK11 (SK10+Gprm-prior ) -0.265
-0.218
-0.122
-0.047
-0.092
-0.030
-0.167
SK12 (SK10+X prt)
-0.412
-0.337
-0.191
-0.073
-0.148
-0.047
-0.265
(Mak)
-0.062
-0.053
-0.027
-0.046
-0.019
-0.006
-0.038
SK14 (Non mak)
-0.141
-0.109
-0.069
-0.060
-0.057
-0.018
-0.094
-0.076
-0.108
-0.008
0.041
-0.003
0.004
0.020
SK10
INSENTIF PAJAK
SK13
REDISTR PENDAP
SK15 1
Nilai poverty gap index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing– masing skenario. 2 Nilai poverty gap index sebelum dilakukan simulasi.
Penghitungan indeks poverty gap dengan menggunakan skala ekivalensi menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan indeks yang dihasilkan melalui metoda rata-rata pendapatan perkapita (Lampiran 12). Namun secara umum kebijakan di sektor
238 agroindustri menghasilkan
penurunan kesenjangan pendapatan rumah tangga miskin.
Kebijakan yang paling berpengaruh menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga miskin tersebut konsiten dengan hasil sebelumnya yaitu kebijakan peningkatan investasi agroindustri yang ditujukan ke agroindustri prioritas. 8.3. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Miskin Indeks poverty severity menunjukkan seberapa parah kemiskinan rumah tangga atau menunjukkan distribusi pendapatan diantara rumah tangga miskin. Seperti halnya pada indeks headcount dan poverty gap kebijakan yang paling besar menurunkan indeks poverty severity adalah peningkatan investasi dikombinasikan dengan peningkatan ekspor agroindustri prioritas (SK12) kemudian diikuti dengan kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer prioritas. Golongan rumah tangga yang paling terpengaruh dengan adanya kebijakan agroindustri adalah rumah tangga buruh tani. Artinya kebijakan agroindustri mempengaruhi distribusi pendapatan rumah tangga miskin pada golongan buruh tani yang menjurus pada distribusi pendapatan antar rumah tangga miskin yang merata. Namun kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah akan memperburuk distribusi pendapatan rumah tangga miskin golongan atas di desa dan di kota dan rumah tangga secara agregat (Tabel 42). Sedangkan indeks poverty severity melalui metoda skala ekivalensi disajikan pada Lampiran 13. Seperti halnya pada indeks headcount dan poverty gap kebijakan yang paling berpengaruh menurunkan indeks poverty severity adalah kebijakan kombinasi antara peningkatan investasi dan ekspor ke agroindustri prioritas (SK12). Golongan rumah tangga yang menerima dampak pengurangan kemiskinan paling besar adalah golongan rumah tangga buruh tani dan petani.
239 Tabel 42. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Poverty Severity Index Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 1
0.957
GOLONGAN RUMAH TANGGA Non Pert Non Pert Non Pert Non Pert Petani Rendah Rendah Atas Desa Atas Kota Desa Kota 0.937 0.531 0.146 0.535 0.123
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.005
-0.004
-0.001 -0.001
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR 2
Buruh Tani
Agregat 0.940
PENGELUARAN PEM
SK1 SK2 SK3
-0.002
-0.001
-0.001
0.000
-0.003
-0.001
0.000
0.000
-0.001
-0.001
0.000
0.000
0.000
-0.001
0.000
-0.002
-0.001
-0.026
-0.024
-0.011
-0.029
-0.024
-0.014
-0.004
-0.009
-0.002
-0.018
-0.004
-0.013
-0.003
-0.022
-0.030
-0.027
-0.013
-0.004
-0.010
-0.003
-0.021
-0.034
-0.028
-0.016
-0.005
-0.014
-0.004
-0.030
-0.031
-0.028
-0.014
-0.013
-0.010
-0.003
-0.022
-0.030
-0.025
-0.015
-0.013
-0.013
-0.003
-0.023
SK11 (SK10+Gprm-prior)
-0.073 -0.077
-0.063 -0.067
-0.034 -0.035
-0.011 -0.011
-0.028 -0.029
-0.007 -0.008
-0.058 -0.061
SK12 (SK10+X prt)
-0.120
-0.104
-0.056
-0.018
-0.046
-0.012
-0.093
-0.018
-0.016
-0.008
-0.011
-0.006
-0.002
-0.013
-0.041
-0.034
-0.020
-0.014
-0.018
-0.005
-0.031
EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7
INVESTASI
SK8 SK9 SK10
(Mak) (Non mak) (Prioritas)
INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTR PENDAP
SK15
-0.022 -0.034 -0.002 0.009 -0.001 0.001 0.007 Nilai poverty severity index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing-masing Skenario. 2 Nilai poverty severity index sebelum dilakukan simulasi.
1
IX.
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Ringkasan Hasil
1. Pengembangan sektor agroindustri di Indonesia, khususnya agroindustri non makanan secara umum menghasilkan peningkatan output dan pendapatan nasional yang lebih besar dibandingkan pengembangan pada sektor pertanian primer dan sektor lainnya, namun sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan industri ringan Peran yang besar dalam menciptakan peningkatan output dan pendapatan nasional tersebut terutama berasal dari industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri bubur kertas dan industri karet remah dan karet asap. Sedangkan agroindustri makanan lebih besar perannya dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. 2. Namun dari sisi peningkatan pendapatan rumah tangga, pengembangan
sektor
agroindustri lebih berperan dalam menciptakan peningkatan pendapatan rumah tangga non pertanian, dan belum mampu menciptakan peningkatan pendapatan yang lebih baik bagi rumah tangga buruh tani dan petani. Manfaat pengembangan agroindustri masih lebih banyak mengalir ke rumah tangga non pertanian di kota, sementara buruh tani dan petani yang diharapkan paling banyak memperoleh manfaat justru memperoleh pendapatan terkecil. Demikian pula yang terjadi pada pengembangan sektor pertanian primer. Bahkan rumah tangga golongan atas di kota memperoleh peningkatan pendapatan lebih besar dibandingkan yang diterima buruh tani dan petani. Hasil empiris tersebut menunjukkan bahwa strategi ADLI di Indonesia masih jauh dari penerapan yang ideal. Strategi ADLI di Indonesia, melalui pengembangan sektor agroindustri, yang seharusnya bertumpu pada peningkatan produktivitas sektor pertanian primer dan peningkatan pendapatan rumah tangga perdesaan, pada kenyataannya belum memiliki keterkaitan kuat dengan sektor pertanian primer dalam menghasilkan pendapatan
241 rumah tangga buruh tani dan petani di perdesaan. Namun demikian, dilihat perannya dalam meningkatkan perekonomian nasional strategi ADLI melalui pengembangan sektor pertanian primer dan agroindustri dipandang cukup berhasil
meningkatkan
output, pendapatan nasional serta penyerapan tenaga kerja di Indonesia. 3. Meskipun manfaat pengembangan sektor agroindustri tidak banyak mengarah ke rumah tangga buruh tani dan petani, pengembangan sektor agroindustri akan memancar ke berbagai golongan rumah tangga, namun dengan besaran pengaruh yang relatif kecil, baik rumah tangga buruh tani, petani dan non petani di desa maupun di kota setelah melewati sektor pertanian primer tanaman pangan dan tenaga kerja pertanian dan non pertanian sebagai perantara. Sebaliknya pengaruh terbesar dari pengembangan agroindustri non makanan tidak memancar secara merata, melainkan terbatas pada rumah tangga non pertanian denan besaran pengaruh yang lebih besar, setelah melewati modal, sektor perdagangan,
industri ringan dan industri berat.
Oleh karena itu
kebijakan ekonomi ke sektor agroindustri makanan akan berdampak mengurangi kesenjangan pendapatan yang lebih baik, sedangkan kebijakan ekonomi di sektor adroindustri non makanan akan berdampak mengurangi kemiskinan yang lebih baik. 4. Dari sisi pemerataan pendapatan rumah tangga, agroindustri makanan memiliki peran yang baik, namun
dari sisi kontribusinya dalam meningkatkan
output dan PDB
nasional serta nilai tambah modal, agroindustri non makanan memiliki kontribusi yang lebih tinggi dibandingkan agroindustri makanan.
Oleh karena itu dalam konsep
industrialisasi berdasarkan startegi ADLI, pengembangan agroindustri makanan dapat dipandang sebagai neccesary condition karena perannya dalam mendorong peningkatan produktivitas sektor pertanian primer dan menghasilkan pendapatan rumah tangga buruh tani dan petani secara lebih merata. Hal ini sesuai dengan konsep strategi ADLI, bahwa peningkatan produktivitas pertanian merupakan prerequisit bagi pengembangan
242 strategi ADLI. Sedangkan
pengembangan agroindustri non makanan merupakan
sufficient condition dalam mendorong industrialisasi yang berbasis pertanian di Indonesia karena perannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 5. Kriteria agroindustri prioritas dalam penelitian ini bukan hanya dilihat dari kemampuannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan output dan penyerapan tenaga kerja namun juga kemampuannya dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan rendah di perdesaan serta memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor pertanian primer sehingga mampu meningkatkan produktivitas sektor pertanian primer. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi diharapkan lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga golongan rendah dan pada akhirnya memperkecil kesenjangan pendapatan rumah tangga,
lebih lanjut mengurangi
kemiskinan. Berdasarkan beberapa kriteria di atas, maka agroindustri prioritas adalah agroindustri yang memiliki peran
tinggi dalam meningkatkan output nasional,
penyerapan tenaga kerja, peran dalam meningkatkan pendapatan sektor lainnya, khususnya sektor pertanian primer sebagai penyedia input serta
perannya dalam
menciptakan peningkatan pendapatan rumah tangga golongan rendah. Industri tersebut adalah agroindustri makanan sektor tanaman pangan, agroindustri makanan sektor perikanan, agroindustri makanan sektor perkebunan, industri kayu lapis, bambu dan rotan serta industri karet remah dan karet asap. 6. Kebijakan pengembangan agroindustri melalui peningkatan investasi dan ekspor serta pemberian insentif pajak di sektor agroindustri menghasilkan dampak peningkatan output sektoral maupun penyerapan tenaga kerja nasional serta meningkatkan pendapatan rumah tangga. Sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer lebih besar pengaruhnya dalam meningkatkan pendapatan
243 rumah tangga petani dan buruh tani dibandingkan dengan kebijakan yang sama ditujukan ke sektor agroindustri. 7.
Dari perspektif distribusi pendapatan rumah tangga, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri
berdampak
menurunkan
kesenjangan
pendapatan
rumah
tangga,
pendapatan tenaga kerja maupun pendapatan sektoral. Kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri makanan akan mengurangi kesenjangan pendapatan rumah tangga yang lebih besar dibandingkan bila kebijakan yang sama ditujukan ke agroindustri non makanan. Kebijakan melakukan redistribusi pendapatan rumah tangga dari golongan atas ke rumah tangga golongan rendah berdampak paling besar mengurangi kesenjangan pendapatan rumah tangga. Namun kebijakan tersebut berdampak menurunkan output sektoral dan pendapatan tenaga kerja non pertanian serta pendapatan rumah tangga non pertanian golongan atas di desa dan di kota, atau menghasilkan equity vs growth. Dengan demikian kebijakan yang paling berdampak positif dalam mengurangi kesenjangan pendapatan adalah kebijakan peningkatan investasi yang didukung oleh peningkatan ekspor agroindustri prioritas serta kebijakan peningkatan investasi yang didukung oleh peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer prioritas. 8. Kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri prioritas berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang seiring dengan pemerataan dan mengurangi kemiskinan di Indonesia. 9.2. Kesimpulan 1. Sektor agroindustri dewasa ini memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan output, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja dibandingkan sektor pertanian primer dan sektor lainnya, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Dalam hal penyerapan tenaga kerja agroindustri makanan memiliki peran yang lebih tinggi
244 dibandingkan agroindustri non makanan. Sebaliknya dalam hal peningkatan output dan nilai tambah modal, agroindustri non makanan memiliki peran yang lebih besar. 2. Meskipun
sektor agroindustri memiliki peran yang besar
perekonomian
nasional,
namun
pengembangan
dalam meningkatkan
agroindustri
melalui
konsep
Agricultural-Demand-Led Industrialization (ADLI) di Indonesia masih jauh dari penerapan yang ideal. Keterkaitan antara sektor agroindustri dengan sektor pertanian primer dalam meningkatkan pendapatan golongan rumah tangga buruh tani dan petani masih lemah. Manfaat pengembangan agroindustri lebih banyak mengalir ke rumah tangga non pertanian di kota, sedangkan buruh tani dan petani menerima pendapatan terkecil. 3. Berdasarkan peran dalam meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan mengakselerasi pendapatan sektor lain serta meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan rendah, idustri prioritas di sektor agroindustri adalah: (a) agroindustri makanan sektor tanaman pangan, (b) agroindustri makanan sektor perikanan, (c) agroindustri makanan sektor perkebunan, (d) industri kayu lapis bambu dan rotan, dan (e) industri karet remah dan karet asap. 4. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri kesenjangan pendapatan rumah tangga
yang
makanan berdampak mengurangi lebih besar, sedangkan kebijakan
ekonomi di sektor agroindustri non makanan berdampak mengurangi kemiskinan lebih besar. 5. Kebijakan peningkatan ekspor, investasi, dan insentif pajak di sektor agroindustri berdampak meningkatkan output sektoral, pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga dan berdampak pula mengurangi kesenjangan output sektoral, pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga serta mengurangi kemiskinan rumah tangga. Sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri menghasilkan pengaruh
245 yang lebih kecil dibandingkan kebijakan ekonomi yang lain. Kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah paling efektif mengurangi kesenjangan pendapatan rumah tangga namun menghasilkan trade off ‘equity vs growth’. 6. Kebijakan ekonomi yang berdampak paling besar meningkatkan pendapatan, mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan rumah tangga adalah kebijakan peningkatan investasi dan peningkatan ekspor di sektor agroindustri prioritas. 9.3. Saran Kebijakan 1. Agar proses industrialisasi di Indonesia menghasilkan industri yang tahan terhadap goncangan ekonomi serta sesuai dengan konsep pembangunan industri yang berbasis pertanian, maka pembangunan industri perlu diarahkan pada pengembangan agroindustri. Pembangunan sektor agroindustri perlu dilakukan secara simultan dengan pembangunan sektor pertanian primer sehingga kinerja sektor pertanian primer dapat memenuhi tuntutan bagi pengembangan sektor agroindustri di Indonesia. 2.
Agar
pengembangan
agroindustri
melalui
konsep
Agricultural-Demand-Led
Industrialization (ADLI) di Indonesia memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan,
yaitu disamping dapat meningkatkan perekonomian nasional juga
meningkatkan pendapatan rumah tangga buruh tani maupun petani, maka pemerintah perlu memfokuskan kebijakan yang dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian primer dan mendorong pengembangan sektor agroindustri
melalui kebijakan
pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor pertanian primer maupun kebijakan yang dapat mendorong investasi dan ekspor di sektor agroindustri, khususnya sektor agroindustri berskala kecil dan menengah. 3. Dari sisi rumah tangga petani, agar
rumah tangga petani
dan buruh tani dapat
mengambil mafaat secara maksimal dari pengembangan sektor pertanian maupun
246 sektor agroindustri sehingga pendapatan mereka dapat ditingkatkan, pemerintah perlu meningkatkan ketrampilan maupun pendidikan, serta meningkatkan akses informasi dan
akses modal bagi golongan rumah tangga buruh tani dan petani. Secara
operasional hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor pertanian primer maupun agroindustri yang dialokasikan ke investasi infrastruktur sektor pertanian, investasi kelembagaan, penelitian dan pengembangan yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup rumah tangga petani dan buruh tani serta
mendorong investasi di sektor agroindustri yang secara
operasional dapat dilakukan melalui peraturan pemerintah untuk mempermudah petani memperoleh akses modal. 4. Agar
pengembangan
agroindustri
lebih
efektif
meningkatkan
perekonomian,
mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan, pemerintah perlu mengarahkan kebijakan untuk meningkatkan investasi dan ekspor di sektor agroindustri prioritas. 9.4. Saran Penelitian Lanjutan 1. Penelitian tentang agroindusti yang akan datang disarankan untuk melakukan disagregasi sektor secara lebih rinci dan berdasarkan
skala usaha sehingga dapat
dianalisis peran agroindustri menurut skala usaha. 2. Disarankan melakukan penelitian lanjutan menggunakan data SNSE terbaru (tahun 2005) untuk menganalisis peran agroindustri
prospektif pada sektor agroindustri
makanan dan non makanan. 3. Disarankan dalam membangun SNSE pada waktu mendatang agar pengelompokan rumah tangga dilakukan berdasarkan kelompok pendapatan sehingga dapat dianalisis dampak terhadap golongan pendapatan.
DAFTAR PUSTAKA Adams Jr, R.H. and J.J. He. 1995. Sources of Income Inequality and Poverty in Rural Pakistan. Research Report 102. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Adelman, I. 1984. Beyond Export-Led Growth. In Adelman, I. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California, Berkeley, US. Adelman, I. and S.J. Vogel. 1990. The Relevance of ADLI for Sub-Saharan Africa. In Adelman , I. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California, Berkeley, US. Adelman, I., J.M. Bournieux and J. Waelbroeck. 1989. Agricultural Development-Led Industrialization in a Global Perspective. In Adelman , I. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California, Berkeley, US. Akita, T., R.A. Lukman and Y. Yamada. 1999. Inequality in the Distribution of Household Expenditure in Indonesia: A Theil Decomposition Analysis. The Developing Economies, 37 (2) : 197-221. Anggarwal, R. and A. Tamir. 1990. The International Success of Developing Country Firms: Role of Government-Directed Comparatif Advantage. Management International Review, 30 (2): 163-180. Arif, S. 1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan. Universitas Indonesia, Jakarta. Arndt, H.W. 1987. Pembangunan Ekonomi. Studi Tentang Sejarah Pemikiran. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Astuti, E. 2005. Dampak Investasi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian dan Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Social Accounting Matrix. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Austin, J.E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. EDI Series in Economic Development, Washington D.C. Azis, I. J. 1989. Export Performance and Employment Effect. Inter University Center Economics University of Indonesia, Jakarta. Basalim, U., M.R. Alim dan H. Oesman. 2000. Perekonomian Indonesia: Krisis dan Strategi Alternatif. Universitas Nasional dan PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Bautista, R.M. 2001. Agriculture-Based Development: A SAM Perspective on Central Vietnam. The Developing Economics, 39 (1): 112-32.
248 Bautista, R.M., S. Robinson and M. El-Said. 1999. Alternative Industrial Development Path for Indonesia: SAM and CGE Analysis. TMD Discussion Paper No. 42. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington D.C. Binswanger, H., M.C. Yang, A. Bowers, and Y. Mundlak. 1987. On the Determinants of Cross-Country Aggregat Agricultural Supply. Journal of Econometrics, 36: 111131. Booth, A. 2000. Poverty and Inequality in The Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36 (1): 73-104. Bourguignon, F. and C. Morrison. 1998. Inequality and Development: The Role of Dualism. Journal of Development Economics, 57 (2): 233-257. Boccanfuso, D., B. Decaluwe and L. Savard. 2002. Poverty, Income Distribution and CGE Modelling: Does the Functional Form of Distribution Matter? Preliminary Draft. Centre de Recherche en Economie et Finance Appliquees, Senegal. Bulmer-Thomas,V. 1982. Input-Output Analysis in Developing Contries. John Wiley, New York. BPS. 1992. Kemiskinan dan Pemerataan di Indonesia, 1976-1990. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 1998. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 1998. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2002a. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2002b. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2003. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2005a. Neraca Pemerintahan Umum Indonesia 1999-2004. Badan Pusat Staristik, Jakarta. 2005b. Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta 2005c. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Chacholiades, M. 1990. International Economics. McGraw-Hill Publishing Company, New York. Chenery, H. and M. Syrquin. 1975. Pattern of Development 1950-1970. The World Bank, Washington D.C.
249
Cockburn, J. 2001. Trade Liberalisation and Poverty in Nepal. A Computable General Equilibrium Micro Simulation Analysis. Centre for the Study of African Economies and Nuffield College (Oxford University) and CREFA,
[email protected] Cockburn, J. 2002. Procedures for Conducting Non-Parametric Poverty/Distribution with DAD. CREFA, Universite Laval,
[email protected] Cochrane, S. G. 1990. Input-Output Linkages in a Frontier Region of Indonesia. In Daryanto and Morison. 1992. Sructural Change in the Indonesian Economy: An Input-Output Analysis. Mimbar Sosek, 6 (12): 74-99. Cogneau, D. and A.S. Robilliard. 2000. Growth, Distribution and Poverty in Madagascar: Learning from A Microsimulation Model in General Equilibrium Framework. Trade and Macroeconomic Division, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C, USA. Daryanto, A. and J. Morison. 1992. Sructural Change in the Indonesian Economy: An Input-Output Analysis. Mimbar Sosek, 6 (12): 74-99. Daryanto, A. 2000. Social Accounting Matrix Model for Development Analysis. Mimbar Sosek, 14(3): 23-43. Dasril, A.S. 1993. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor Pertanian dalam Industrialisasi di Indonesia 1971-1990. Disertasi Doktor Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Datt, G. and M. Ravallion. 1998. Farm Productivity and Rural Poverty in India. The Journal of Development Studies, 34 (4): 62-85. Decaluwe, B., A. Patry and L. Savard. 1998. Income Distribution, Poverty Measures and Trade Shocks: A Computable General Equilibrium Model of a Archetype Developing Country. Centre de Recherche en Economie et Finance Appliquees, Dakar. Decaluwe, B., A. Patry, L. Savard and E. Thorbecke. 1999. Poverty Analysis Within a General Equilibrium Framework. Working Paper 9909. Centre de Recherche en Economie et Finance Appliquees, Dakar. Defourny, J. and E. Thorbecke. 1984. Structural Path Analysis and Multiplier Decomposition with a Social Accounting Matrix Framework. The Economic Journal, 94 (373): 111-136. Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. De Janvry, A. 1984. Searching for Style of Development: Lesson from Latin America and Implication for India. Working Paper No. 357. Department of Agricultural and Resource Economics. University of California, Berkeley.
250 De Janvry, A., A. Fargeix and E. Sadoulet. 1991. Political Economy of Stabilization Programs: Feasibility, Growth and Welfare. Journal of Policy Modelling, 13 (3): 317-345. De Janvry, A. and E. Sadoulet. 2000. Growth, Poverty and Inequality in Latin America: Casual Analysis, 1974-94. Review of Income and Wealth, 46 (3): 267-87. Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian, Jakarta. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2005. Kebijakan Pengembangan Industri Agro dan Kimia Tahun 2006. Departemen Perindustrian, Jakarta. Djojohadikusumo, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Donaldson, L. 1984. Economic Development Analysis and Policy. West Publishing Company, Minnesota. Etharina. 2005. Disparitas Pendapatan Antardaerah di Indonesia. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 7 (5) : 59-74. Fane, G and P. War. 2002. How Economic Growth Reduces Poverty : A General Equilibrium Analysis for Indonesia. Discussion Paper No. 2002/9. United nations University – WIDER, Tokyo. Fei, J.C., and G. Ranis. 1964. Development of the Labor- Surplus Economy: Theory and Policy. Home-wood, Irwin, Illinois. Gillis, M., D.H. Perkins, M. Romer and D.R. Snodgrass. 1987. Economics of Development. Second Edition. W.W. Norton & Company, New York. Ginting, R. 2006 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan dan Distribusi Pendapatan di Sumatera Utara: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hafizrianda, Y. 2006. Dampak Sektor Pertanian terhadap Distribusi Pendapatan dan Perekonomian Regional Provinsi Papua: Suatu Model Sistem Neraca Sosial Eknomi. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haggblade, S., S.J. Hamer and P.B.R. Hazell. 1991. Modelling Agricultural Growth Multipliers. American Journal of Agricultural Economics, 73 (2): 361-374. Hartadi, R. 1999. Peranan Sektor Agroindustri Dalam Perekonomian Jawa Timur (Analisis Tabel Input-Output Tahun 1989 dan 1994). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heriawan, R. 2004. Peranan dan Dampak Pariwisata pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model I-O dan SAM. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
251 Herrick, B. and C.P. Kindleberger. 1988. Economic Development. McGraw-Hill International Book Company, Singapore. Hirchman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New Haven. Hogendorn, J. S. 1992. Economic Development. Second Edition. Harper Collins Publishers Inc., New York. Isard, W., I.J. Azis, M.P. Drennan, R.E. Miller, S. Saltzman, E. Thorbecke. 1998. Methods of Interregional and Regional Analysis. Ashgate Publishing Limited, England. Jensen, H.T and F.Tarp. 2004. On The Choise of Appropriate Development Strategy: Insights Gained from CGE Modelling of the Mozambican Economy. Journal of African Economies, 13 (3): 446-478. Johnston, B.F. and J.W. Mellor. 1961. The Role of Agriculture in Economics Development. American Economic Review, 51 (4): 566-593. Kakwani, N. 1980. On a Class of Poverty Measures. Econometrica, 48 (2): 437-446. Kakwani, N. 2000. Growth and Poverty Reduction: An Empirical Analysis. Asian Development Bank, Washngton D.C. Kasliwal, P. 1995. Development Economics. South-Western College Publishing, Ohio. Kao, C.H.C., K.R. Anchel and C.K. Eicher. 1964. Disguised Unemployment in Agriculture: A Survey Agriculture in Economic Development. Mc Graw Hill, New York. Kim, C. K. 2004. An Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons from the Korean Experience. In Prabowo, McGuire and Wuryanto (Eds). Report On a Conference. Industry Policy: Setting a Policy Framework for a Competitive Industrial Sector. Jakarta, 14-15 January 2004. United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta. Klein, R. W. 1971. A Dynamic Theory of Comparatif Advantage. The American Economic Review, 6:173-184. Krugman, P.R. dan Obstfeld, M. 1992. Ekonomi Internasional. Teori dan Kebijakan. Terjemahan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Kuznets, S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review, 45: 1-28. Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labor In Chenery and Srinivasan (Eds). Handbook of Development Economics. Science Publisher B.V., Amsterdam. Mellor, J. 1976. The New Economics of Growth: A Strategy for India and the Developing World. Twentieth Century Fund, Cornell University Press, New York.
252 Mundlak, Y., D.F. Larson and R. Butzer (1997). The Determinants of Agricultural Production: A Cross Country Analysis. Policy Research Working Paper 1827. World Bank, Washington D.C. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. National Centre for Social and Economic Modelling, 2003. Does The Way We Measure Poverty Matter? Discussion Paper no. 59, November 2003. University of Canberra, Canberra. OECD. 2000. Statistical Year Book: Central Goverment Debt 1980-1999. Organization for Economic Co-operation and Development, Paris. Oktaviani, R., D.B. Hakim, H. Siregar and Sahara. 2005. The Impact of Reducing Oil Subsidy on Indonesian Macroeconomic Performance, Agricultural Sector and Poverty Incidences (A Recursive Dynamic Computable General Equilibrium Analysis. r
[email protected]. O’Ryan, R. and M. Sebastian. 2003. The Role of Agriculture in Poverty Alleviation, Income Distribution and Economic Development: A CGE Analysis for Chile. Agricultural and Development Economics Division (ESA). FAO of the United Nation, Rome. Pack, H. and L.E. Westphal. 1986. Industrial Strategy and Technological Change. Journal of Development Economics, 22 (1): 87-128. Panchamukti, V.R. 1975. Linkage in Industrialization: a Study of Selected Developing Countries in Asia. Journal of Development Planning, 8: 121-165. Pambudy, R. 2005. Sistem dan Usaha Agribisnis yang Berkerakyatan, Berdayasaing, Berkelanjutan dan Terdesentralisasi: Suatu Perjalanan Ide, Pemikiran dan Konsep Menjadi Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Indonesia. Dalam Krisnamurthi (Ed). Menumbuhkan Ide dan Pemikiran Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. 60 Tahun Bungaran Saragih. Pusat Studi Pembangunan IPB, Bogor. Pyatt, G. and J. Round. 1985. Social Accounting Matrices: A Basis for Planning. The World Bank, Washington D.C. Pyatt, G. and J. Round. 2004. Multiplier Effects and the Reduction of Poverty. University of Warwick.
[email protected] Ranis, G. 1984. Typology in Development Theory: Retrospective and Prospects. In Syrquin, Taylor and Westpal (Eds). Economic Structure and Performance: Essay in Honor of Hollis B. Chenery. Academic Press, New York. Round, J. 2003. Social Accounting Matrices and SAM-Based Multiplier Analysis. Department of Economics, University of Warwick, United Kingdom.
253 Rangarajan, C. 1982. Agricultural Growth and Industrial Performance in India. IFPRI. Research Report 33. Washington D.C. Ravallion, M. and D. G. Datt. 1996. How Important to India’s Poor is the Sectoral Composition of Economic Growth? World Bank Economic Review, 10 (1): 1-25. Ravallion, M. and D. G. Datt. 1999. When is Growth Pro-Poor Evidence from the Diverse Experience of India’s States. Policy Research Working Paper 2263. The World Bank, Washington D.C. Ravallion, M. and B. Bidani. 1994. How Robust Is Poverty Profile? The World Bank Economic Review, 8 (1) : 75-102. Robinson, S. and M. El-Said. 1997. Estimating A Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Difference Methods. TMD Discussion Paper No. 21. IFPRI, Washington D.C. Robinson, S., A. Cattaneo and M. El-Said. 2000. Updating and Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No. 58. IFPRI, Washington D.C. Salem, H.H. 2005. The Macroeconomic Social Accounting Matrix of Tunisia in 1996. Working Paper. Law and Economic Faculty of Le Mans University of Maine, France. Http//econwpa.edu.8089/eps/comp/papers/0410/ 0410001.pdf. Sapuan dan C. Silitonga. 1994. Pembangunan Pertanian Dalam Menanggulangi Kemiskinan. Prosiding Seminar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Saragih, B. 1992. Prosiding Seminar Nasional: Dinamika Pemikiran Tentang Pembangunan Pertanian. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Sarris, A. 2001. The Role of Agriculture in Economic Development and Poverty Reduction. An Empirical and Conceptual Foundation. Background Paper N0. 2. Rural Development Strategy. The World Bank, Washington D.C. Savard, L. 2003. Poverty and Inequality Analysis with CGE Framework: A Comparative Analysis of the Representative Agent and Micro-Simulation Approach. International Development Research Centre, Ottawa, Canada.
[email protected]. Sen, A. 1976. Poverty: An Ordinal Approach to Measurement. Econometrics, 44 (2): 219231. Sen, A. 1996. Social Accounting Matrix (SAM) and Its Implications for Macroeconomic Planning. Unpublished Assessed Article, Bradford University Development Project Planning Centre (DPPC), Bradford. Simatupang, P., N. Syafaat, K.M. Noekman, A. Syam, S.K.Darmoredjo, B. Satoso. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
254 Simatupang, P., S.K. Darmoredjo. 2003. Produk Domestik Regional Bruto, Harga, dan Kemiskinan : Hipotesis “Trickle Down” Dikaji Ulang. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 51(3): 291-324. Singer, H.W. 1979. Two Concept of External Economies. Journal of Political Economy, 62:143-151. Sitanggang, M. 2002. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Sumatera Utara (Analisis Tabel Input-Output Tahun 2000). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu, R. 2007. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Makalah Seminar Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soesastro, H. 1999. The Economic Crisis in Indonesia: Lessons and Challenges for Governance and Sustainable Development. www.pacific.net.id Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sumodiningrat, G. 1988. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syafa’at, N. 2000. Kajian Peran Pertanian Dalam Strategi Pembangunan Ekonomi Nasional: Analisis Simulasi Kebijaksanaan dengan Pendekatan Imbas Investasi (Induced Investment). Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thorbecke, E. and T.V.D Pluijm. 1993. Rural Indonesia: Socioeconomic Development in a Changing Environment. IFAD. New York University Press, New York Thorbecke, E. and H.S. Jung. 1966. A Multiplier Decomposition Method to Analyse Poverty Alleviation. Journal of Development Economics, 48 :279-300. Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan. Edisi Ketujuh. Erlangga, Jakarta UNSFIR. 2004. Industry Policy: Setting a Policy Framework for a Competitive Industrial Sector. Report on Conference, 14-15 January 2004. United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta. UNIDO. 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness. United Nation Industrial Development Organization, Jakarta. Uphoff, N. 1999. Rural Development Strategy for Indonesian Recovery: Reconciling Contradiction and Tensions. Paper Presented at the International Seminar on
255 Agricultural Sector During The Turbulence of Economics Crisis: Lessons and Future Directions 17-18 February, Center for Agro-Socioeconomics Research, Bogor. Vogel, S.T. 1994. Structural Change in Agriculture: Production Linkage and Agricultural Demand-Led Industrialization. Oxford Economic Papers, 46 (1): 136-156. Wagner, J.E. 1996. Developing a Social Accounting Matrix to Examine Tourism in the Area de Protecao Ambiental de Guaraquecaba, Brazil. FPEI Working Paper No. 58. Southeastern Center for Forest Economic Research. Research Triangle Park, N.C. Whiteford, P. 1985. A Family’s Needs: Equivalence Scales, Poverty and Social Security. In National Centre for Social and Economic Modelling, 2003. Does The Way We Measure Poverty Matter? Discussion Paper no. 59, November 2003. University of Canberra, Canberra. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Angka Kecukupan Gizi Bagi Orang Indonesia. LIIPI, Jakarta. World Bank. 1999. Who Controls East Asian Corporations and the Implication for Legal Reform. Working Paper 2054. The World Bank, Washington D.C. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
257 Lampiran 1. Klasifikasi dan Disagregasi Neraca Uraian
Faktor Produksi
Kode
Tenaga Kerja
Tenaga kerja pertanian di desa
1
Tenaga kerja pertanian di kota
2
Tenaga kerja non pertanian di desa
3
Tenaga kerja non pertanian di kota
4
Bukan Tenaga Kerja
Pertanian Rumah Tangga Institusi
Non Pertanian
5 Rumahtangga buruh tani
6
Rumahtangga petani luas lahan ≤0.500 ha
7
Rumahtangga petani luas lahan ≥0.500 ha
8
Perdesaan Perkotaan
Rumahtangga golongan rendah
9
Rumahtangga golongan atas Rumahtangga golongan rendah
10
Rumahtangga golongan atas Perusahaan Pemerintah
11 12 13
Pertanian Tanaman Pangan Peternakan dan Hasil-hasilnya
14 15 16
Perikanan
17
Kehutanan dan Perburuan
18
Pertanian Tanaman Lainnya
19
Agroindustri Makanan Industri pengolahan makanan sektor peternakan
20
Industri pengolahan makanan sektor tanaman pangan
21
Industri pengolahan makanan sektor perikanan Industri pengolahan makanan sektor perkebunan Industri minuman
22 23
Industri rokok
25
24
Agroindustri Non Makanan
SEKTOR PRODUKSI
Industri Kapuk
26
Industri kulit samakan dan olahan
27
Industri kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan
28
Industri bubur kertas
29
Industri karet remah dan karet asap
30
Industri ringan (selain agroindustri) dan lainnya
31
Industri berat
32
Pertambangan
33
Listrik, Gas Dan Air Minum
34
Konstruksi dan Real Estate
35
Perdagangan Besar, Eceran, Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan
36
Restoran dan Perhotelan
37
Angkutan dan Komunikasi
38
Bank dan Asuransi
39
Real Estate dan Jasa Perusahaan
40
Pemerintahan, Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film, Jasa Sosial
41
Jasa Perseorangan, Rumah Tangga dan Jasa Lainnya
42
Neraca Kapital
43
Pajak tidak langsung ( minus subsidi)
44
Luar Negeri
45
258 Lampiran 2.
Definisi Rumah Tangga menurut Golongan dalam Neraca SNSE
1. Rumah tangga buruh tani Rumah tangga dengan kepala rumah tangga atau penerima pendapatan terbesar bekerja sebagai buruh tani. 2. Rumah tangga pengusaha pertanian Rumah tangga dengan kepala rumah tangga atau penerima pendapatan terbesar dari hasil mengusahakan lahan pertanian (agricultural cperators). Golongan rumah tangga ini dapat diklasifikasikan lagi atas mereka yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 ha (disebut sebagai petani gurem/kecil); 0,501-1ha; atau lebih dari 1 ha. 3. Rumah tangga golongan rendah Golongan rumah tangga bukan pertanian dengan kepala rumah tangga atau penerima pendapatan terbesar bekerja sebagai pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha golongan rendah, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan (seperti supir bis, kondetur bis), pekerja bebas sektor jasa perorangan, pekerja kasar. Golongan rumah tangga ini dirinci lagi menjadi mereka yang bertempat tinggal di perdesaan dan di kota. 4. Rumah tangga golongan atas Golongan rumah tangga bukan pertanian dengan kepala rumah tangga atau penerima pendapatan terbesar bekerja sebagai pengusaha bebas (bukan pertanian) golongan atas, manajer, profesional (seperti akuntan, dokter), militer, guru/dosen/guru besar, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas. Golongan rumah tangga ini dirinci lagi menjadi mereka yang berdomisili di perdesaan dan di kota. (Sumber: BPS, 2003)
Lampiran 3. Kriteria Penggolongan Rumah Tangga Berdasarkan SUSENAS 2002 Golongan Rumah Tangga 1. Buruh tani
Lapangan Usaha Pertanian
2. Petani Non pertanian gol 3. bawah di desa Non pertanian gol 4. atas di desa Non pertanian gol 5. bawah di kota Non pertanian gol 6. atas di kota
Pertanian Non pertanian Non pertanian Non pertanian Non pertanian
Catatan:
)1
Jenis / Jabatan Pekerjaan 1) Tenaga pertanian (kode 62, 64 ) Petani (kode 61) Kode 36-39, 43-45, 52-59, 63,64, 70-99 Kode 01-21, 30-35, 40-42, 50-51, 60 Kode 36-39, 43-45, 52-59, 63,64, 70-99 Kode 01-21, 30-35, 40-42, 50-51, 60
Penguasaan Lahan -
Lokasi Desa
Memiliki -
Desa Desa
-
Desa
-
Kota
-
Kota
Kode jenis pekerjaan/jabatan dalam SUSENAS 2002 didasarkan pada Klasifikasi Jenis Pekerjaan/Jabatan Indonesia (KJI) 1982 yang tercantum dalam Pedoman Pencacah KOR SUSENAS.
259 Lampiran 4. Klasifikasi Agroindustri Makanan dan Non Makanan Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) atau International Standard Industrial Classification (ISIC)
Kode
Nama Industri
1. Agroindustri Makanan Sektor Peternakan 15111 Pemotongan hewan 15112 Pengolahan dan pengawetan daging 15211 Susu 15212 Makanan dari susu 2. Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan 15131 Pengalengan buah-buahan dan sayuran 15132 Pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayuran 15133 Pelumatan buah-buahan dan sayuran 15134 Pengeringan buah-buahan dan sayuran 15139 Pengolahan dan pengawetan lainnya untuk buah-buahan dan sayuran 15311 Penggilingan padi dan penyosohan beras 15312 Penggilingan padi-padian lainnya 15316 Pengupasan dan pembersihan kacang-kacangan 15317 Pengupasan dan pembersihan umbi-umbian (termasuk rhizoma) 15321 Tepung terigu 15322 Tepung dari bahan nabati lainnya 15323 Pati ubikayu 15424 Berbagai macam pati palma 15329 Pati lainnya 15410 Roti dan sejenisnya 15440 Makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15493 Kecap 15494 Tempe 15495 Makanan dari kedele dan kacang-kacangan lainnya selain kecap dan tempe 15496 Krupuk dan sejenisnya 15497 Bumbu masak dan penyedap masakan 15498 Kue-kue basah 3. Agroindustri Makanan Sektor Perikanan 15121 Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya 15122 Penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya 15123 Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya 15124 Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya 15129 Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya 4. Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan 15318 15141 15142 15143 15144
Kopra Minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewani (Crude vegetable and animal cooking oil) Margarine Minyak goreng dari minyak kelapa Minyak goreng dari minyak kelapa sawit
260 Lampiran 4. Lanjutan Kode Nama Industri 15145 Minyak goreng lainnya 15313 Pengupasan dan pembersihan kopi 15314 Pengupasan, pembersihan dan pengeringan coklat 15315 Pengupasan dan pembersihan biji-bijian selain kopi dan coklat 15318 Kopra 15421 Gula pasir 15422 Gula merah 15423 Gula lainnya 15424 Sirop 15429 Pengolahan gula lainnya selain sirop 15431 Bubuk coklat 15432 Makanan dari coklat dan kembang gula 15491 Pengolahan teh dan kopi 5. Agroindustri Minuman 15213 Es krim 15510 Minuman keras 15520 Anggur dan sejenisnya 15530 Malt dan minuman yang mengandung malt 15540 Minuman ringan 6. Agroindustri Rokok 16002 Rokok kretek 16003 Rokok putih 16004 Rokok lainnya 16009 Hasil lainnya dari tembakau, bumbu rokok dan klobot/kawung Sumber: BPS (2002b); BPS (2005b).
Lampiran 5. Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003 SEKTOR
OUTPUT 1998 Nilai Rank
2003 2003 Rank
PENGGANDA NILAI TAMBAH TENAGA KERJA 1998 2003 1998 2003 Nilai Rank Nilai Rank Nilai Rank Nilai Rank
MODAL 1998 2003 Nilai Rank Nilai Rank
Pertanian Primer Pert tan pangan
6.07
10
6.05
22
1.86
7
2.86
3
0.60
3
2.06
1
0.90
14
0.80
23
Peternakan & hasilnya
6.38
7
6.74
7
1.99
5
2.67
9
0.54
4
1.72
7
1.03
7
0.95
12
Perikanan
7.19
3
1.63
28
2.01
4
0.33
28
0.43
9
0.19
28
1.13
4
0.14
28
Kehutanan & perburuan
5.57
14
4.98
26
2.13
1
2.11
26
0.28
14
1.23
26
1.32
1
0.88
17
Pertanian tan. Lainnya
6.31
8
6.34
17
2.10
3
2.79
6
0.39
10
1.87
3
1.22
2
0.92
15
Sektor peternakan
4.16
21
6.09
21
1.49
17
2.31
24
0.22
21
1.53
19
0.90
13
0.79
25
Sektor tan pangan
4.80
19
6.24
19
1.64
14
2.41
20
0.25
19
1.58
12
1.00
8
0.82
21
Sektor perikanan
5.05
17
6.34
18
1.84
8
2.39
22
0.27
16
1.55
16
1.12
5
0.84
19
Sektor p erkebunan
4.01
22
5.96
24
1.43
19
2.24
25
0.20
22
1.46
20
0.88
15
0.79
26
Agroindustri Makanan
Industri minuman
4.96
18
6.22
20
1.95
6
2.47
17
0.26
18
1.67
11
1.21
3
0.80
22
Industri rokok
5.60
13
6.34
16
1.42
20
2.64
10
0.30
13
1.85
4
0.80
18
0.79
24
Kapuk
3.47
24
6.57
11
0.91
23
2.38
23
0.15
25
1.44
18
0.54
22
0.94
14
Kulit samakan, olahan
3.27
25
6.66
10
0.62
25
2.50
15
0.16
24
1.42
21
0.33
25
1.08
5
Kayu lapis, barang dr kayu, bambu dan rotan
4.60
20
7.02
2
0.94
22
2.69
8
0.24
20
1.56
22
0.50
23
1.13
3
Bubur kertas
3.56
23
6.78
6
0.69
24
2.47
18
0.17
23
1.41
15
0.37
24
1.06
6
karet remah & asap
2.79
26
6.67
9
0.42
26
2.83
4
0.10
26
1.85
23
0.23
26
0.98
11
Industri ringan&lainnya
2.39
27
6.82
4
0.36
28
2.61
11
0.08
27
1.53
5
0.20
28
1.09
4
Industri berat
2.35
28
6.54
12
0.36
27
2.45
19
0.08
28
1.40
24
0.20
27
1.04
8
Agroindustri Non Makanan
261
Lampiran 5. Lanjutan SEKTOR
OUTPUT 1998 Nilai Rank
2003 2003 Rank
PENGGANDA NILAI TAMBAH TENAGA KERJA 1998 2003 1998 2003 Nilai Rank Nilai Rank Nilai Rank Nilai Rank
MODAL 1998 2003 Nilai Rank Nilai Rank
Sektor Lain Pertambangan
7.1564
4
6.4996
14
1.7991
10
2.9556
2
0.4493
5
1.5825
13
0.9638
10
1.3731
2
Listrik, gas & Air minum
6.1184
9
7.7834
1
1.4960
16
3.1433
1
0.2811
15
1.6984
8
0.8675
16
1.4449
1
Konstruksi & Real Estate
5.4198
16
6.813
5
1.0619
21
2.5728
12
0.2652
17
1.5611
14
0.5689
21
1.0117
9
Perdagangan besar, eceran, & pergudangan
7.9151
1
6.0454
23
2.1282
2
2.5062
14
0.6776
2
1.6797
9
1.0358
6
0.8265
20
Restoran dan perhotelan
7.3189
2
6.3731
15
1.7099
12
2.5274
13
0.4362
8
1.6757
10
0.9095
12
0.8517
18
Angkutan & komunikasi
6.5673
6
6.5202
13
1.6384
15
2.4735
16
0.4404
7
1.5357
17
0.8554
17
0.9378
13
Bank dan asuransi
5.9383
11
2.9317
27
1.7269
11
0.9819
27
0.3795
11
0.5384
27
0.9621
11
0.4435
27
Real estate & js perusahaan 5.4229 Pemerintahan, pertahan, pend, kesehatan, 6.7442
15
5.8687
25
1.6899
13
2.3919
21
0.3186
12
1.3435
25
0.9792
9
1.0484
7
5
6.8456
3
1.8057
9
2.8189
5
0.6984
1
1.9215
2
0.7907
19
0.8974
16
Jasa
10
6.7329
8
1.4731
7
2.7643
7
0.4474
6
1.7826
6
0.7324
20
0.9817
10
5.6236
Agroindustri makanan
4.76
6.20
1.63
2.41
0.25
1.61
0.99
0.81
Agroindustri non makanan
3.54
6.74
0.72
2.57
0.17
1.53
0.39
1.04
Sektor Primer
6.30
5.15
2.02
2.15
0.45
1.41
1.12
0.74
Sektor Lain
6.05
5.51
1.54
2.51
0.44
1.13
0.87
0.94
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar)
262
265
Lampiran 6. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sektor dan Golongan Rumah Tangga, Tahun 1998 dan 2003 Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Buruh Tani
Petani Kecil
Petani Luas
NP Rendah Ds
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
1998
2003
Pertanian Tanaman Pangan
0.06
0.26
0.14
0.38
0.15
0.33
0.19
0.61
0.18
0.26
0.19
0.74
0.19
0.29
Peternakan dan Hasil-hasilnya
0.05 0.04
0.22 0.03
0.13 0.10
0.28 0.03
0.14 0.12
0.25 0.03
0.19 0.17
0.55 0.06
0.19 0.17
0.22 0.02
0.21 0.22
0.80 0.10
0.21 0.23
0.31 0.04
0.03 0.04
0.16 0.23
0.08 0.10
0.18 0.32
0.10 0.12
0.17 0.28
0.15 0.16
0.43 0.59
0.17 0.17
0.16 0.24
0.23 0.23
0.67 0.79
0.26 0.24
0.26 0.31
Ind mak sektor peternakan
0.02
0.18
0.06
0.22
0.07
0.20
0.11
0.48
0.12
0.18
0.16
0.74
0.18
0.28
Ind mak sektor tan pangan
0.03
0.18
0.06
0.22
0.08
0.21
0.12
0.50
0.13
0.19
0.18
0.77
0.20
0.29
Ind mak sektor perikanan
0.03
0.18
0.07
0.23
0.09
0.21
0.14
0.50
0.15
0.19
0.20
0.75
0.22
0.29
Ind mak sektor perkebunan
0.02
0.17
0.05
0.21
0.07
0.20
0.11
0.47
0.12
0.18
0.16
0.71
0.17
0.27
Industri minuman
0.03
0.18
0.07
0.22
0.09
0.20
0.14
0.52
0.16
0.19
0.21
0.82
0.23
0.31
Industri rokok
0.02
0.18
0.06
0.20
0.07
0.19
0.12
0.56
0.12
0.19
0.17
0.94
0.18
0.35
Industri Kapuk
0.01
0.16
0.03
0.17
0.04
0.17
0.07
0.48
0.07
0.17
0.10
0.84
0.11
0.31
Industri kulit samakan dan olahan
0.01
0.16
0.03
0.18
0.03
0.18
0.05
0.49
0.05
0.17
0.08
0.86
0.08
0.32
Industri kayu lapis, bambu & rotan
0.02
0.18
0.04
0.19
0.05
0.19
0.08
0.53
0.08
0.19
0.12
0.94
0.13
0.35
Industri bubur kertas
0.01
0.16
0.03
0.18
0.04
0.18
0.06
0.49
0.06
0.17
0.09
0.86
0.09
0.32
Industri karet remah ,karet asap
0.01
0.18
0.02
0.20
0.02
0.19
0.04
0.57
0.04
0.19
0.06
1.05
0.06
0.39
0.05
0.18
0.11
0.24
0.13
0.21
0.17
0.45
0.18
0.18
0.22
0.62
0.23
0.24
SEKTOR
NP Atas Desa
NP Rendah Kota
NP Atas Kota
Pertanian Primer
Perikanan Kehutanan dan Perburuan Pertanian Tanaman Lainnya
Agroindustri Makanan
Agroindustri Non Makanan
263
266
Lampiran 6. Lanjutan Pengganda Pendapatan Rumah Tangga SEKTOR Industri ringan dan lainnya Industri berat Sektor Lain Pertambangan Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi dan Real Estate Perdagangan , Jasa Restoran dan Perhotelan Angkutan dan Komunikasi
Bank dan asuransi Real estate & js perusahaan Pemerintah, pend, kesehatan, Jasa
Buruh Tani
Petani Kecil
Petani Luas
NP Rendah Desa
1998 0.01 0.01
2003 0.17 0.16
1998 0.01 0.01
2003 0.19 0.18
1998 0.02 0.02
2003 0.19 0.18
1998 0.03 0.03
2003 0.52 0.48
1998 0.03 0.03
2003 0.18 0.17
1998 0.05 0.05
2003 0.92 0.85
1998 0.05 0.05
2003 0.34 0.32
0.04 0.02 0.02 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
0.19 0.20 0.17 0.16 0.18 0.16 0.06 0.15 0.18
0.09 0.06 0.04 0.09 0.08 0.06 0.06 0.06 0.08
0.21 0.22 0.18 0.17 0.22 0.18 0.07 0.17 0.20
0.11 0.07 0.05 0.11 0.09 0.08 0.08 0.08 0.09
0.21 0.22 0.18 0.16 0.20 0.17 0.07 0.17 0.19
0.16 0.11 0.09 0.19 0.15 0.14 0.12 0.12 0.18
0.59 0.62 0.52 0.50 0.50 0.49 0.18 0.45 0.56
0.16 0.12 0.10 0.19 0.15 0.14 0.13 0.13 0.17
0.20 0.21 0.18 0.17 0.18 0.17 0.06 0.16 0.19
0.21 0.19 0.14 0.32 0.22 0.23 0.24 0.22 0.30
1.01 1.09 0.92 0.95 0.88 0.89 0.35 0.87 1.07
0.22 0.20 0.14 0.32 0.23 0.24 0.25 0.23 0.29
0.38 0.41 0.34 0.35 0.33 0.33 0.13 0.32 0.39
NP Atas Desa
NP Rendah Kota
NP Atas Kota
0.03
0.18
0.06
0.19
0.07
0.19
0.13
0.53
0.13
0.18
0.22
1.05
0.22
0.39
Agroindustri Makanan
0.03
0.18
0.06
0.22
0.08
0.20
0.12
0.50
0.13
0.19
0.18
0.79
0.20
0.30
Agroindustri non Makanan
0.01
0.17
0.03
0.19
0.04
0.18
0.06
0.51
0.06
0.18
0.09
0.91
0.09
0.34
Sektor Primer
0.05
0.18
0.11
0.24
0.13
0.21
0.17
0.45
0.18
0.18
0.22
0.62
0.23
0.24
Sektor Lain
0.03
0.20
0.07
0.20
0.08
0.23
0.14
0.41
0.14
0.14
0.23
0.80
0.23
0.30
Catatan:
Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) NP Rendah Desa : Non Pertanian Golongan Rendah di Desa. NP Atas Desa : Non Pertanian Golongan Atas di Desa. NP Rendah Kota : Non Pertanian Golongan Rendah di Kota. NP Atas Kota : Non Pertanian Golongan Atas di Kota.
264
265 Lampiran 7. Nilai dan Pangsa Output, Tenaga Kerja dan PDB Agroindustri Makanan dan Non Makanan terhadap Total Sektor Agroindustri, Tahun 2003 SEKTOR
Nilai (Milyar Rp) Output
Agroindustri Makanan Sektor peternakan 24 547.6 Sektor tanaman pangan 89 108.9 Sektor perikanan 41 266.7 Sektor perkebunan 258 957.7 13 059.7 Minuman Rokok 5 816.9 Agroindustri Non Makanan 585.4 Kapuk Kulit samakan dan olahan 6 312.6 Kayu lapis, barang dari 103 678.0 kayu, bambu dan rotan Bubur kertas 40 910.1 58 478.4 Karet remah dan karet asap Total 642 722.1 Sumber: SNSE Tahun 2003 (diolah)
TK
Pangsa (%) PDB
Output
TK
PDB
4 254.4 17 192.2 4 972.3 35 361.0 3 910.0 2 912.4
6474.6 26 434.0 9 788.4 63 543.4 4 930.9 3 049.3
3.8 13.9 6.4 40.3 2.0 0.9
3.7 15.1 4.4 31.0 3.4 2.6
3.4 13.7 5.1 32.9 2.6 1.6
62.1 504.7
108.4 1 707.8
0.1 1.0
0.1 0.4
0.1 0.9
14 283.4
33 713.5
16.1
12.5
17.5
2 352.5 2 8354.4 114 159.3
8 058.1 35 298.0 193 106.2
6.4 9.1 100
2.1 24.8 100
4.2 18.3 100
Lampiran 8. Perkembangan Output Sektor Agroindustri, Tahun 1998 dan 2003 SEKTOR Agroindustri Makanan (Rp. Milyar) Sektor peternakan Sektor tanaman pangan Sektor perikanan Sektor perkebunan Minuman Rokok Agroindustri Non Makanan (Rp. Milyar) Kapuk Kulit samakan dan olahan Kayu lapis, barang dari kayu, bambu dan rotan Bubur kertas Karet remah dan karet asap Sumber: SNSE Tahun 1998 dan 2003 (diolah)
Tahun 1998
Tahun 2003
Perubahan (%)
9268.91 31728.58 7160.69 42023.69 16748.85 2874.82
24547.57 89108.98 41266.73 258957.65 13059.74 5816.91
164.8377 180.8477 476.2954 516.2183 -22.026 102.3397
99603.96 1930.03
585.43 6312.63
-99.4122 227.074
14773.22 9135.82 213096.27
103677.99 40910.09 58478.36
601.7966 347.7987 -72.5578
Lampiran 9. Matriks Koefisien Pengeluaran Rata-rata Neraca SNSE Agroindustri Tahun 2003 (45 x 45 sektor) 1 SEKTOR
1
COL1
COL2
COL3
COL4
COL5
COL6
COL7
COL8
COL9
COL10
COL11
COL12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
ROW1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
ROW2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
ROW3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
ROW4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
ROW5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
ROW6
0.0931
0.3203
0.0728
0.012
0.0122
0.0102
0.0442
0.0422
0.0145
0.0007
0.0256
0.001
7
ROW7
0.279
0.0581
0.0545
0.0131
0.0286
0.0045
0.0166
0.0161
0.0057
0.0009
0.0093
0.0005
8
ROW8
0.225
0.0629
0.0317
0.0204
0.0564
0.0022
0.0084
0.0064
0.0023
0.0006
0.0024
0.0003
9
ROW9
0.2579
0
0.671
0
0.1311
0.0056
0.0176
0.0191
0.0077
0.0019
0.0118
0.0008
10
ROW10
0.145
0
0.17
0
0.0411
0.0053
0.0166
0.0147
0.0056
0.0007
0.0074
0 .0007
11
ROW11
0
0.3604
0
0.7192
0.204
0.0099
0.0288
0.0396
0.01
0.0037
0.0146
0.0014
12
ROW12
0
0.1983
0
0.2353
0.079
0.009
0.0284
0.0306
0.009
0.0031
0.0168
0.0007
13
ROW13
0
0
0
0
0.3732
0
0
0
0
0
0
0
14
ROW14
0
0
0
0
0.0743
0.0063
0.0205
0.0185
0.0 057
0.0083
0.0072
0.0083
15
ROW15
0
0
0
0
0
0.076
0.0553
0.0378
0.0576
0.0285
0.0448
0.0387
16
ROW16
0
0
0
0
0
0.0622
0.0324
0.0221
0.0324
0.0247
0.0264
0.0187
17
ROW17
0
0
0
0
0
0.1043
0.072
0.0459
0.0717
0.051
0.0538
0.0411
18
ROW18
0
0
0
0
0
0.0027
0.0016
0.002
0.0012
0.001
0.0009
0.0009
19
ROW19
0
0
0
0
0
0.0102
0.0071
0.0053
0.0073
0.005
0.0055
0.004
20
ROW20
0
0
0
0
0
0.007
0.0084
0.0055
0.0097
0.0092
0.0127
0.0118
21
ROW21
0
0
0
0
0
0.0317
0.0383
0.0244
0.0449
0.042
0.0587
0.0544
22
ROW22
0
0
0
0
0
0.0079
0.0095
0.0062
0.011
0.0103
0.0143
0.0133
23
ROW23
0
0
0
0
0
0.0354
0.0428
0.0274
0.0501
0.0468
0.0654
0.0606
Kode sektor satu sampai 45 dapat dibaca pada Lampiran 1.
266
Lampiran 9. Lanjutan SEKTOR
COL13
COL14
COL15
COL16
COL17
COL18
COL19
COL20
COL21
COL22
COL23
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
1
ROW1
0
0
0.6713
0.1852
0.021
0.1203
0.4289
0
0
0
0
2
ROW2
0
0
0.0932
0.0408
0.0113
0.0416
0.0562
0
0
0
0
3
ROW3
0
0
0.0079
0.0214
0.0012
0.0406
0.0302
0.0644
0.0715
0.0447
0.0506
4
ROW4
0
0
0.0023
0.0215
0.0017
0.0219
0.0135
0.1089
0.1214
0.0757
0.086
5
ROW5
0
0
0.0712
0.1509
0.0485
0.3065
0.1396
0.0904
0.1037
0.1167
0.1088
6
ROW6
0.0163
0.0439
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
ROW7
0.0165
0.0197
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
ROW8
0.0254
0.006
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9
ROW9
0.0517
0.0291
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
ROW10
0.0161
0.0131
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
ROW11
0.1026
0.0204
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12
ROW12
0.0354
0.0133
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13
ROW13
0.1932
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14
ROW14
0.5429
0.1324
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
ROW15
0
0
0.0664
0.0352
0.0003
0
0.0142
0.1783
0.1805
0.2007
0.1822
16
ROW16
0
0
0.0183
0.2042
0.0001
0
0.0243
0.0198
0.0196
0.0219
0.0196
17
ROW17
0
0
0
0
0.0234
0
0.0006
0.1143
0.115
0.1278
0.1156
18
ROW18
0
0
0.0001
0.0002
0.0001
0.0064
0.0005
0.001
0.0006
0.0007
0.0003
19
ROW19
0
0.0003
0.0154
0.0048
0.0074
0.0334
0.0799
0.0741
0.0746
0.083
0.0752
20
ROW20
0
0
0
0.0093
0.0003
0
0.0004
0.0075
0.0071
0.0079
0.0069
21
ROW21
0
0
0
0.0126
0.0004
0
0.0004
0.0097
0.0094
0.0106
0.0094
22
ROW22
0
0
0
0.0276
0.0008
0
0.0007
0.0209
0.0206
0.023
0.0206
23
ROW23
0
0
0
0.2554
0.0067
0
0.0048
0.1874
0.1895
0.2107
0.1911
267
Lampiran 9. Lanjutan SEKTOR
COL24
COL25
COL26
COL27
COL28
COL29
COL30
COL31
COL32
COL33
COL34
COL35
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
1
ROW1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
ROW2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
ROW3
0.1113
0.1875
0.0432
0.0253
0.0411
0.0174
0.1448
0.046
0.0301
0.0846
0.0203
0.08
4
ROW4
0.1881
0.3131
0.0629
0.0547
0.0965
0.0401
0.3401
0.1079
0.0708
0.1365
0.0643
0.1348
5
ROW5
0.0782
0.0235
0.0791
0.1906
0.1872
0.1395
0.1187
0.1727
0.1696
0.5374
0.2099
0.1008
6
ROW6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
ROW7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
ROW8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9
ROW9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
ROW10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
ROW11
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12
ROW12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13
ROW13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14
ROW14
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
ROW15
0.1494
0.0621
0
0.0034
0.001
0.0014
0.0007
0.0012
0.0009
0
0
0
16
ROW16
0.0173
0.0129
0
0.0044
0.002
0.0024
0.0013
0.0018
0.0017
0
0
0
17
ROW17
0.0968
0.0525
0.0562
0.0067
0.0007
0.0012
0.0006
0.0006
0.0004
0
0
0
18
ROW18
0.0016
0.008
0.0332
0.0197
0.0192
0.0213
0.0111
0.0182
0.0183
0.0003
0
0.0185
19
ROW19
0.0625
0.03
0.0325
0.0262
0.0271
0.03
0.0156
0.026
0.026
0
0
0
20
ROW20
0.007
0.0089
0
0.003
0.0005
0.0007
0.0004
0.0003
0.0003
0
0
0
21
ROW21
0.0087
0.0074
0
0
0.0005
0.0008
0.0004
0.0004
0.0004
0
0
0
22
ROW22
0.0183
0.0145
0
0.0041
0.0011
0.0015
0.0008
0.0009
0.0009
0
0
0
23
ROW23
0.1572
0.0685
0.0372
0.0113
0.0086
0.0098
0.0051
0.0084
0.0081
0
0
0
268
Lampiran 9. Lanjutan SEKTOR
COL36
COL37
COL38
COL39
COL40
COL41
COL42
COL43
COL44
COL45
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
1
ROW1
0
0
0
0
0
2
ROW2
0
0
0
0
0
3
ROW3
0.1432
0.0678
0.0548
0.0123
0.0124
4
ROW4
0.3261
0.2386
0.1159
0.0632
0.1324
5
ROW5
0.071
0.1111
0.1338
0.1593
0.342
6
ROW6
0
0
0
0
7
ROW7
0
0
0
0
8
ROW8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.1195
0.0971
0
0
0.0004
0.3128
0.3217
0
0
0.0012
0.0695
0.1144
0
0
0.0097
0
0
0
0
0
0.0012
0
0
0
0
0
0.0004
0
0
0
0
0
0
0.0019
9
ROW9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0016
10
ROW10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0002
11
ROW11
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0013
12
ROW12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0002
13
ROW13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0056
14
ROW14
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0.0001
15
ROW15
0.0005
0.0829
0.002
0
0
0.0138
0
0.0063
0
0.0022
16
ROW16
0
0.1388
0.0043
0
0
0.0076
0
0.0039
0
0.0021
17
ROW17
0
0.0651
0.0023
0
0.0034
0.0025
0
-0.0006
0
0.0522
18
ROW18
0
0.0002
0
0
0
0.0001
0.0017
-0.0301
0
0.0006
19
ROW19
0
0.0031
0.0002
0
0.0005
0.0009
0.0039
-0.1107
0
0.0087
20
ROW20
0
0.0075
0.0021
0
0.0002
0.0012
0.0001
-0.0038
0
0.0007
21
ROW21
0.0002
0.0101
0.0029
0
0.0002
0.0016
0
-0.0177
0
0.0018
22
ROW22
0.0004
0.0222
0.0063
0
0.0003
0.0035
0.0002
-0.0768
0
0.0192
23
ROW23
0.0026
0.2057
0.0581
0.0002
0.0022
0.0319
0.0009
-0.4283
0
0.0561
269
Lampiran 9. Lanjutan SEKTOR
COL1
COL2
1
COL3
2
COL4
3
COL5
4
COL6
5
COL7
COL8
COL9
COL10
COL11
COL12
6
7
8
9
10
11
24
ROW24
0
0
0
0
0
0.004
0.0049
0.0032
0.0056
0.0053
0.0072
0.0067
12
25
ROW25
0
0
0
0
0
0.0059
0.0071
0.0045
0.0082
0.0077
0.0107
0.0099
26
ROW26
0
0
0
0
0
0.0002
0.0002
0.0003
0.0001
0
0
0
27
ROW27
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
28
ROW28
0
0
0
0
0
0.0051
0.0025
0.0033
0.0036
0.0045
0.0036
0.0039
29
ROW29
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30
ROW30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
31
ROW31
0
0
0
0
0
0.1253
0.0586
0.0779
0.0902
0.1102
0.0909
0.0984
32
ROW32
0
0
0
0
0
0.0906
0.0421
0.0563
0.0649
0.0795
0.0652
0.0708
33
ROW33
0
0
0
0
0
0.0009
0.0008
0.0012
0.0013
0.0017
0.0012
0.0013
34
ROW34
0
0
0
0
0
0.0176
0.0103
0.0138
0.0163
0.0158
0.0138
0.0142
35
ROW35
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
36
ROW36
0
0
0
0
0
0.0084
0.0052
0.008
0.0095
0.0124
0.0077
0.0085
37
ROW37
0
0
0
0
0
0.0606
0.0158
0.0398
0.096
0.0775
0.0842
0.0957
38
ROW38
0
0
0
0
0
0.0558
0.0473
0.0813
0.0777
0.1092
0.0729
0.0849
39
ROW39
0
0
0
0
0
0.0132
0.0307
0.0382
0.0454
0.0665
0.0383
0.0634
40
ROW40
0
0
0
0
0
0.0577
0.0254
0.0337
0.0513
0.0586
0.0517
0.0511
41
ROW41
0
0
0
0
0
0.0709
0.0299
0.0256
0.0518
0.0423
0.0475
0.04
42
ROW42
0
0
0
0
0
0.0613
0.0246
0.0262
0.0 513
0.0513
0.0466
0.0502
43
ROW43
0
0
0
0
0
0.0217
0.0916
0.0946
0.0431
0.0643
0.0491
0.0915
44
ROW44
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
45
ROW45
0
0
0
0
0
0.0109
0.1543
0.1282
0.0374
0.0549
0.0316
0.0523
270
Lampiran 9. Lanjutan SEKTOR
COL13
COL14
COL15
COL16
COL17
COL18
COL19
COL20
COL21
COL22
COL23
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
ROW24
0
0
0
0.0044
0.0002
0
0.0003
0.0039
0.0034
0.0039
0.0032
25
ROW25
0
0
0
0.0002
0
0
0
0
0
0
0.0001
26
ROW26
0
0
0.0001
0.0002
0
0
0.0002
0.0007
0.0003
0
0
27
ROW27
0
0
0.0002
0
0
0
0.0005
0
0.0003
0
0.0001
28
ROW28
0
0.0002
0.0023
0.0004
0.0005
0.0019
0.008
0.0026
0.0022
0.0025
0.002
29
ROW29
0
0
0.0011
0.0003
0.0002
0.0011
0.0037
0.0016
0.0011
0.0013
0.0009
30
ROW30
0
0
0.0018
0.0004
0.0004
0.0017
0.006
0.0024
0.0018
0.002
0.0015
31
ROW31
0
0.0308
0.0111
0.002
0.0021
0.0071
0.0388
0.0103
0.0099
0.0111
0.0098
32
ROW32
0
0.0194
0.0129
0.0018
0.0024
0.0082
0.0452
0.0115
0.0111
0.0125
0.011
33
ROW33
0
0
0
0.0002
0
0
0
0.0046
0.0041
0.0047
0.0039
34
ROW34
0
0.0058
0.0001
0.0009
0
0.0011
0.0005
0.0031
0.0026
0.003
0.0024
35
ROW35
0
0.0295
0.0006
0.0004
0.0003
0.0163
0.0125
0.0015
0.0008
0.001
0.0004
36
ROW36
0
0.0126
0.0005
0.001
0.0003
0.0029
0.0013
0.007
0.0055
0.0062
0.0046
37
ROW37
0
0.0381
0.0002
0.0002
0.0003
0.0033
0.0007
0.002
0.0016
0.0018
0.0013
38
ROW38
0
0.0318
0.0005
0.0014
0.0002
0.0056
0.0047
0.0082
0.0077
0.0086
0.0074
39
ROW39
0
0.0158
0.0019
0.0021
0.0016
0.0065
0.0057
0.0106
0.01
0.0112
0.0097
40
ROW40
0
0.0065
0.0003
0.0004
0.0001
0.0052
0.0009
0.0017
0.0012
0.0014
0.001
41
ROW41
0
0.4753
0.0001
0.0002
0
0
0.0003
0
0.0003
0
0
42
ROW42
0
0.021
0.0028
0.0024
0.0005
0.0793
0.0484
0.0022
0.0017
0.0019
0.0014
43
ROW43
0
0.0219
0
0
0
0
0
0
0
0
0
44
ROW44
0
0
0.016
0.0104
0.0019
0.0135
0.0236
0.0234
0.0051
0.0013
0.0663
45
ROW45
0
0.013
0.0015
0.0017
0.866
0.2756
0.0047
0.0261
0.0157
0.0021
0.0068
271
Lampiran 9. Lanjutan SEKTOR 24
ROW24
25
ROW25
26
ROW26
27
ROW27
28 29
COL24
COL25
COL26
24
25
26
0.004
COL27
COL28
COL29
COL30
COL31
27
28
29
30
0.0029
0.0003
0.0006
0
31 0.0002
COL32
COL33
32
33
0.0002
COL34
COL35
34 0
35
0.0078
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0014
0.0077
0
0.0032
0.0002
0.0005
0
0.0001
0.0001
0.0001
0.0002
0.0001
0
0.0062
0
0.0037
0.0014
0.0018
0.0009
0.0012
0.0012
0.0002
0.0006
0.0015
ROW28
0.0029
0.0077
0.0345
0.0313
0.0332
0.0365
0.019
0.0316
0.0318
0.0038
0.0095
0.0389
ROW29
0.002
0.0074
0.0297
0.0157
0.0148
0.0164
0.0086
0.014
0.0141
0.0017
0.0043
0.0172
30
ROW30
0.0029
0.0105
0.0412
0.0247
0.0243
0.0269
0.014
0.023
0.0232
0.0028
0.0071
0.0283
31
ROW31
0.0093
0.0098
0.0668
0.1415
0.1629
0.1784
0.0929
0.1556
0.1566
0.0182
0.0458
0.1913
32
ROW32
0.0104
0.0104
0.0742
0.1646
0.1899
0.208
0.1083
0.1815
0.1827
0.0213
0.0534
0.2232
33
ROW33
0.0046
0.0084
0.0439
0.0604
0.0672
0.0738
0.0384
0.0642
0.0646
0.0908
0.4439
0.0337
34
ROW34
0.0034
0.0085
0.0322
0.0178
0.0171
0.019
0.0099
0.0162
0.0163
0.0004
0.1563
0.0006
35
ROW35
0.0023
0.0119
0.0407
0.0066
0.0025
0.0031
0.0016
0.0022
0.0022
0.0134
0.0094
0.0008
36
ROW36
0.0085
0.0327
0.0999
0.0228
0.014
0.0162
0.0084
0.0129
0.013
0.0007
0.0009
0
37
ROW37
0.0025
0.008
0
0.0064
0.0039
0.0045
0.0024
0.0035
0.0036
0.0023
0.0007
0.0059
38
ROW38
0.0079
0.0126
0.0426
0.0275
0.0275
0.0304
0.0158
0.0261
0.0262
0.0247
0.005
0.0093
39
ROW39
0.0101
0.0157
0.0514
0.0335
0.0336
0.0372
0.0194
0.0319
0.0321
0.0044
0.0082
0.033
40
ROW40
0.0023
0.0087
0.0317
0.0099
0.0076
0.0086
0.0045
0.0071
0.0071
0.0199
0.0154
0.0308
41
ROW41
0
0.0068
0
0.0028
0.0002
0.0004
0
0.0001
0.0001
0.0007
0.0008
0.0013
42
ROW42
0.0026
0.0086
0.0298
0.0062
0.0035
0.0041
0.0022
0.0032
0.0032
0.0068
0.0062
0.0093
43
ROW43
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
44
ROW44
0.0159
0.0085
0
0.0241
0.0089
0.0372
0.0135
0.0282
0.0491
0.0253
-0.0689
0.0134
45
ROW45
0.0106
0.0127
0.0369
0.045
0.0014
0.0305
0.0006
0.0127
0.0451
0.0037
0.0068
0.0272
272
Lampiran 10. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral DAMPAK KEBIJAKAN 1 (%) SEKTOR SK1
Pertanian Primer Pertanian tan pangan Peternakan dan hasilnya Perikanan Kehutanan & perburuan Pertanian tan. Lainnya Agroindustri Makanan Ind mak sekt. tan pangan Ind mak sekt. perikanan Ind mak sekt. perkebunan Industri minuman Industri rokok Agroindustri Non Makanan Industri kapuk Ind kulit samakan, olahan Ind kayu lapis, bambu, rotan Ind bubur kertas Ind karet remah & asap Industri ringan dan lainnya Industri berat
SK2
SK3
SK4
SK5
SK6
SK7
SKB
SK9
SK10
SK11
SK12
SK13
SK14
SK15
0.17 0.11 0.16 0.13 0.28 0.18 0.06 0.06 0.06 0.06 0.07 0.06 0.14 0.03 0.06
0.02 0.03 0.02 0.02 0.01 0.03 0.07 0.09 0.04 0.06 0.03 0.16 0.34 0.01 0.05
0.02 0.02 0.02 0.01 0.02 0.02 0.39 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.04 0.84 3.68
0.50 0.69 0.43 0.52 0.22 0.66 0.66 0.55 0.45 2.07 1.35 0.54 1.33 0.20 0.40
0.48 0.45 0.44 0.40 0.55 0.56 0.87 0.46 0.46 0.45 0.49 0.47 1.15 1.22 0.56
0.68 0.81 0.59 0.66 0.50 0.84 0.72 0.61 0.51 2.13 1.42 0.60 1.47 0.24 0.47
0.65 0.57 0.60 0.53 0.83 0.74 0.93 0.52 0.51 0.51 0.56 0.53 1.29 1.26 0.63
0.60 0.81 0.50 0.62 0.26 0.78 0.84 0.58 0.50 1.49 1.75 0.68 2.90 0.27 0.58
0.51 0.47 0.46 0.41 0.61 0.60 1.63 0.48 0.47 0.46 0.51 0.50 1.18 2.87 0.87
1.34 1.64 1.18 1.30 0.89 1.68 2.50 1.23 2.78 4.89 2.13 1.25 2.70 1.48 1.18
1.54 1.77 1.24 1.42 1.35 1.90 2.57 1.29 2.84 4.94 2.19 1.31 2.85 1.52 1.24
2.26 2.73 1.99 2.17 1.59 2.82 3.94 2.07 3.63 7.34 3.91 2.10 4.59 2.58 2.00
0.35 0.48 0.29 0.36 0.15 0.46 0.38 0.54 0.32 0.37 1.10 0.47 0.70 0.14 0.27
0.69 0.65 0.63 0.57 0.79 0.80 1.25 0.65 0.65 0.64 0.70 0.67 1.64 1.75 0.80
0.00 0.01 0.00 0.01 -0.01 -0.02 -0.02 -0.03 -0.03 -0.03 -0.03 -0.03 -0.08 0.00 0.07
0.02 0.03 0.03 0.03 0.04
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
0.35 0.03 0.07 0.05 0.01
0.11 0.16 0.16 0.18 0.22
0.81 2.29 1.09 1.37 0.39
0.12 0.19 0.19 0.21 0.25
0.83 2.31 1.12 1.40 0.43
0.14 0.19 0.19 0.22 0.26
6.51 0.85 4.93 1.17 0.42
0.40 2.02 0.61 3.21 0.82
0.41 2.04 0.64 3.24 0.85
0.69 4.42 1.08 4.71 1.20
0.07 0.11 0.11 0.13 0.15
1.16 3.27 1.56 1.96 0.56
-0.01 -0.02 -0.02 -0.02 -0.02
273
Lampiran 10. Lanjutan D AMPAK KEBIJAKAN 1 (%) SEKTOR SK1
SK2
SK3
SK4
SK5
SK6
SK7
SKB
SK9
SK10
SK11
SK12
SK13
SK14
SK15
0.97 0.61 1.06 0.19
1.59 1.03 1.75 0.31
0.20
0.62
-0.04
0.38 0.54 0.09
0.92 0.58 1.01 0.18
0.10 0.21 0.04
0.49 0.72 0.12
-0.01 -0.02 0.00
0.34 0.40 0.37 0.36
0.47 0.48 0.48 0.48
0.92 1.05 1.00 0.96
0.97 1.11 1.05 1.01
1.58 1.80 1.71 1.65
0.20 0.23 0.22 0.21
0.62 0.66 0.65 0.65
-0.04 -0.06 -0.05 -0.06
0.48
0.37
0.45
0.97
1.02
1.65
0.21
0.62
-0.05
0.82 0.46
0.62 0.36
0.76 0.42
1.62 0.94
1.71 1.00
2.78 1.60
0.36 0.21
1.05 0.58
-0.03 -0.04
Sektor Lain Pertambangan Listrik, gas & Air minum Konstruksi & Real Estate Perdagangan besar, eceran, pergudangan, Js angkutan Restoran dan perhotelan Angkutan & komunikasi Bank dan asuransi
0.05 0.02 0.05 0.01
0.01 0.01 0.01 0.00
0.02 0.01 0.02 0.00
0.29 0.15 0.30 0.06
0.43 0.35 0.50 0.09
0.33 0.17 0.35 0.07
0.48 0.37 0.55 0.10
0.34 0.18 0.36 0.07
0.04 0.05 0.05 0.05
0.01 0.01 0.01 0.01
0.02 0.02 0.02 0.02
0.29 0.34 0.31 0.30
0.44 0.46 0.46 0.45
0.33 0.39 0.36 0.35
0.48 0.51 0.51 0.50
Real estate & js perusahaan
0.05
0.01
0.02
0.31
0.43
0.36
Pemerintahan, pertahan, pend, kesehatan, js sosial Jasa lain
0.08 0.06
0.02 0.01
0.03 0.01
0.52 0.31
0.73 0.41
0.60 0.36
0.46
1) Nilai Perubahan output antara Simulasi Dasar dengan output masing-masing skenario.
274
275 Lampiran 11. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan (Headcount ) Menurut Golongan Rumah Tangga Dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun 2002 1
3.762
DAMPAK THD KEMISKINAN NP NP NP Atas Petani Rendah Rendah Desa Desa Kota 3.430 2.375 0.602 2.180
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.048
-0.010
-0.010
0.000
-0.005
0.000
-0.019
0.000
-0.005
0.000
0.000
0.000
0.000
-0.005
0.000
-0.005
0.000
0.000
0.000
0.000
-0.005
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
-0.190
-0.066
-0.100
0.000
-0.032
0.000
-0.086
-0.238
-0.066
-0.110
-0.055
-0.053
0.000
-0.109
-0.238
-0.071
-0.100
-0.055
-0.037
0.000
-0.101
-0.238
-0.071
-0.110
-0.055
-0.053
-0.020
-0.122
-0.238
-0.071
-0.110
-0.109
-0.043
0.000
-0.106
-0.238
-0.066
-0.110
-0.109
-0.053
0.000
-0.115
-0.383
-0.278
-0.164
-0.057
-0.149
-0.020
-0.278
-0.383
-0.279
-0.164
-0.060
-0.154
-0.020
-0.321
-0.521
-0.432
-0.180
-0.112
-0.213
-0.022
-0.396
-0.143
-0.045
-0.060
0.000
-0.027
0.000
-0.062
-0.238
-0.096
-0.130
-0.055
-0.069
-0.020
-0.153
-0.143
-0.096
-0.010
0.055
-0.005
0.000
0.029
SIMULASI KEBIJAKAN
DASAR2
Buruh Tani
NPAtas Kota
Agregat
0.425
3.917 3
PENGELUARAN PEM
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prior) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTR PENDAP
SK15 1
Nilai headcount index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing – masing Skenario. 2 Nilai headcount index sebelum dilakukan simulasi.
276 Lampiran 12. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Poverty Gap Menurut Golongan Rumah Tangga Dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun 2002 1
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR2
Buruh Tani
DAMPAK THD KEMISKINAN NP NP NP NPAtas Petani Rendah Atas Rendah Kota Desa Desa Kota
Agregat
0.4077
0.4260
0.3037
0.0495
0.3009
0.0511
0.5186
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.003
-0.003
-0.001
0.000
-0.001
0.000
-0.002
-0.001
-0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
-0.001
-0.001
-0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
-0.001
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
-0.015
-0.014
-0.008
-0.002
-0.006
-0.001
-0.013
-0.017
-0.014
-0.009
-0.005
-0.008
-0.002
-0.016
-0.017
-0.016
-0.009
-0.007
-0.007
-0.001
-0.015
-0.019
-0.017
-0.011
-0.003
-0.009
-0.002
-0.018
-0.018
-0.017
-0.009
-0.012
-0.007
-0.001
-0.016
-0.017
-0.014
-0.009
-0.014
-0.008
-0.002
-0.016
-0.041
-0.038
-0.024
-0.006
-0.019
-0.004
-0.039
-0.044
-0.043
-0.026
-0.008
-0.022
-0.007
-0.042
-0.071
-0.054
-0.039
-0.012
-0.029
-0.008
-0.062
-0.010
-0.010
-0.005
-0.002
-0.004
-0.001
-0.009
-0.023
-0.020
-0.013
-0.004
-0.012
-0.002
-0.022
-0.044
-0.039
-0.024
-0.018
-0.020
-0.004
0.005
PENGELUARAN PEM
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prior) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTR PENDAP
SK15 1
Nilai poverty gap index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing– masing Skenario. 2 Nilai poverty gap index sebelum dilakukan simulasi.
277 Lampiran 13.
Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Poverty Severity Menurut Golongan Rumah Tangga Dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun 2002
SIMULASI KEBIJAKAN DASAR 2
Buruh Tani
GOLONGAN RUMAH TANGGA NP NP NP Atas Petani Rendah Rendah Desa Desa Kota
1
NP Atas Kota
Agregat
0.0933
0.0912
0.0660
0.0069
0.0692
0.0090
0.1153
(Primer) (Mak) (Non mak)
-0.021
-0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
-0.001
-0.021
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
-0.021
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
(Mak) (Non mak) (SK4+SK1) (SK5+SK1)
-0.024
-0.003
-0.002
0.000
-0.001
0.000
-0.003
-0.024
-0.003
-0.002
-0.001
-0.002
0.000
-0.004
-0.024
-0.004
-0.002
-0.001
-0.002
0.000
-0.004
-0.025
-0.004
-0.002
0.000
-0.002
0.000
-0.004
-0.024
-0.004
-0.002
-0.002
-0.002
0.000
-0.004
-0.024
-0.003
-0.002
-0.002
-0.002
0.000
-0.004
-0.029
-0.008
-0.005
-0.001
-0.004
-0.001
-0.009
-0.030
-0.009
-0.007
-0.002
-0.006
-0.002
-0.011
-0.039
-0.017
-0.011
-0.004
-0.08
-0.006
-0.015
-0.023
-0.002
-0.001
0.000
-0.001
0.000
-0.002
-0.025
-0.004
-0.003
-0.001
-0.003
-0.001
-0.005
-0.030
-0.009
-0.006
-0.003
-0.005
-0.001
0.001
PENGELUARAN PEM
SK1 SK2 SK3 EKSPOR
SK4 SK5 SK6 SK7 INVESTASI
SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+G prm-prior) SK12 (SK10+X prior) INSENTIF PAJAK
SK13 SK14
(Mak) (Non mak)
REDISTR PENDAP
SK15 1
Nilai poverty severity index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing –masing Skenario 2 Nilai poverty severity index sebelum dilakukan simulasi.