DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKONOMI, TENAGA KERJA, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
DISERTASI
M. RIZAL TAUFIKUROHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKONOMI, TENAGA KERJA, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
Oleh:
M. RIZAL TAUFIKUROHMAN NRP: H363070021
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKONOMI, TENAGA KERJA, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN Merupakan gagasan saya atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Agustus 2012
M. RIZAL TAUFIKUROHMAN NRP. H363070021
ABSTRACT M. RIZAL TAUFIKUROHMAN, The Impact of Fiscal Policy in the Agricultural Sector of Economy, Labor, Income Distribution and Poverty (RINA OKTAVIANI as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and DEDI BUDIMAN HAKIM as Members of the Advisory Committee). This study aims to analyze the impact of fiscal policy on the agricultural sector, in the form of input subsidies (fertilizer and seeds) and output subsidies (food) to the economy, labor, income distribution and poverty. The methods of analysis used are the Econometrics, the Computable General Equilibrium (CGE), and Foster-GreerThorbecke (FGT) Methods. The data used are the Input-Output Tables in 2008, Social Accounting Matrix in 2008, National Socioeconomic Survey (SUSENAS) in 2008. Policy simulations carried out were (1) fertilizer subsidies, (2) seeds subsidies, (3) food subsidies, and (4) combination of the all simulations. The impact of fertilizer and seeds subsidies policy can encourage real GDP from the expenditure side by rising productivity in aggregate output in both the short and long term, while the increase in food subsidies can rise real GDP from the expenditure side were moved by real household consumption. Fiscal policy in the agricultural sectors was able to have a positive on output of agricultural commodities, negative impact on output prices, and positive labor absorption in the short and long term based on rural and urban area. Redistribution of income and welfare happened to all poor households. The impact on poverty incidence, poverty depth and severity of poverty shows poverty reduction contained in the short and long term on poor households, the rural areas tend to be higher than in urban areas. In terms of macro economy requires that the reduction of poverty needs economic growth, so the both can not be separated. The implications are to maintain the policy which improved can increase subsidies magnitude and optimize the implementation so more effective, improving labor market and job creation which is labor intesive in both rural and urban areas, and needs the combination of micro-macro economic policies. Key words: Fiscal Policy in the Agricultural Sector, Economy, Labor, Income Distribution, Poverty, CGE Model, FGT Methods
RINGKASAN M. RIZAL TAUFIKUROHMAN, Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan (Komisi Pembimbing: RINA OKTAVIANI sebagai ketua, MANGARA TAMBUNAN dan DEDI BUDIMAN HAKIM, sebagai Anggota). Pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia, pembangunan diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama pada tahap awal dilakukan pembangunan, diperlukan intervensi pemerintah. Subsidi sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam membiayai fasilitas umum dan perbaikan kinerja pelayanan, baik berupa pembangunan infrastruktur maupun berupa pelayanan umum. Intervensi pemerintah ini diperlukan dan timbul apabila terjadi kegagalan pasar (market failure) dalam alokasi sumberdaya. Kegagalan pasar tersebut terjadi disebabkan oleh adanya barang publik, pasar yang tidak sempurna dan adanya ekternalitas dari kegiatan ekonomi termasuk di sektor pertanian. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya merespon secara khusus peranan pemerintah yang dalam hal ini penetapan instrumen kebijakan fiskal pada sektor pertanian, berupa kebijakan subsidi input (pupuk dan benih) dan output (pangan) yang diharapkan mampu untuk mendorong perbaikan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, perbaikan pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan dan perkotaan. Permasalahan tersebut bersifat multi-sektor yang akan membawa implikasi yang sangat luas, tidak hanya ke sektor pertanian saja tetapi juga ke sektorsektor perekonomian lainnya. Pendekatan yang dianggap mampu menjawab permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE) dan Metode FGT. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang berupa dampak kebijakan tersebut terhadap: (1) ekonomi baik pada kinerja makro ekonomi maupun sektoral yang ditunjukkan oleh adanya perubahan GDP riil, konsumsi rumahtangga, investasi, ekspor, impor, inflasi, neraca perdagangan, total output dan tingkat harga di tingkat sektoral; (2) Penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan; dan (3) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan pada kelompok rumahtangga miskin dan tidak miskin di perdesaan dan perkotaan. Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap kinerja ekonomi makro bernilai positif dengan meningkatkan PDB riil dari sisi pengeluaran untuk jangka pendek dan pada jangka panjang meningkat. Peningkatan PDB riil tersebut dalam jangka pendek dibentuk oleh variabel nilai tambah agregat meningkat dan neraca perdagangan meningkat sedangkan pada jangka panjang bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil, peningkatan investasi riil, kenaikan indeks volume ekspor, dan kenaikan indeks volume impor. Dampaknya terhadap output komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari akumulasi kebijakan ini, pada jangka pendek untuk komoditas padi meningkat, kedelai naik, jagung naik,
beras naik dan komoditas pupuk naik. Pada jangka panjang, output untuk komoditas padi naik, kedelai naik, jagung naik, komoditas beras naik, dan pupuk. Selanjutnya, dampaknya terhadap harga output komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari adanya kebijakan ini, pada jangka pendek harga output sektor padi menurun, sektor kedelai turun, jagung turun, sektor beras menurun dan industri pupuk turun. Pada jangka panjang, harga output untuk komoditas padi turun, komoditas kedelai turun, komoditas jagung turun, komoditas beras turun, dan industri pupuk. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian secara bersama-sama, terhadap komoditi yang langsung disubsidi mengalami penurunan harga output. Hal ini menunjukkan kebijakan subsidi menggeser kurva penawaran ke kanan, akibat dari harga komposit primernya menurun, output yang meningkat dan biaya produksi yang menurun. Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja di perdesaan pada komoditas yang terkena dampak langsung dari kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, diperlihatkan bahwa pada jangka pendek penyerapan tenaga kerja di perdesaan untuk komoditas padi meningkat, kedelai naik, jagung turun, beras naik dan pupuk naik. Pada jangka panjang, penyerapan tenaga kerja untuk komoditas padi naik, kedelai naik, jagung turun, beras naik, dan pupuk. Selanjutnya, dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja di perkotaan pada komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari akumulasi kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, diperlihatkan bahwa pada jangka pendek penyerapan tenaga kerja juga terjadi di perkotaan sama dengan di perdesaan, hanya saja besaran perubahan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Pada jangka panjang, penyerapan tenaga kerja untuk komoditas padi naik, kedelai naik, jagung turun, beras naik, dan pupuk juga meningkat. Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap redistribusi pendapatan riil rumahtangga baik miskin maupun tidak miskin di semua kelompok rumahtangga adalah positif meskipun nilai perubahan berbeda-beda, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Besaran perubahan distribusi pendapatan riil pada jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan jangka panjangnya. Apabila dilihat dari pendekatan kuartil, ternyata distribusi pendapatan yang dicapai mayoritas cenderung terjadi pada rumahtangga yang berpendapatan tinggi atau kelas atas yang sebanyak 20 persen. Hal ini berarti distribusi pendapatan dengan adanya kebijakan tersebut relatif rendah. Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap penurunan kemiskinan, dengan mekanisme harga sebagai kunci dalam pasar persaingan sempurna, maka kemiskinan dapat dilihat dari indeks: (1) insiden kemiskinan (poverty incidence), pada jangka pendek maupun jangka panjang menurunkan tingkat kemiskinan terjadi pada semua kategori rumahtangga miskin baik yang bekerja pada sektor pertanian maupun di sektor bukan pertanian, (2) kedalaman kemiskinan (poverty gap/depth) pada jangka pendek, menurunkan jarak/kedalaman kemiskinan terjadi pada semua kategori rumahtangga miskin baik yang bekerja pada sektor pertanian maupun di sektor bukan pertanian. Tetapi, pada jangka panjang sudah tidak mampu menurunkan kemiskinan pada rumahtangga pada kategori manapun, dan (3)
keparahan kemiskinan (severity of poverty) pada jangka pendek dapat menurunkan keparahan kemiskinan rumahtangga miskin yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha, dan terhadap beberapa kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian, yaitu pada rumahtangga perdesaan golongan bawah miskin, bukan angkatan kerja perdesaan miskin, bukan angkatan kerja perkotaan miskin, dan golongan atas perkotaan miskin. Pada jangka panjang, sudah tidak mampu menurunkan kemiskinan. Dilihat dari sisi makro ekonomi bahwa penurunan kemiskinan sangat memerlukan pertumbuhan ekonomi (growth). Pendekatan kekuatan persaingan sempurna mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang membaik tidak dapat dipisahkan dengan penurunan kemiskinan sehingga dalam upaya mengurangi kemiskinan, indikator pertumbuhan ekonomi yang membaik menjadi syarat penting yang harus dipenuhi. Kebijakan fiskal pada sektor pertanian masih diperlukan terutama untuk kelompok rumahtangga miskin di sektor pertanian dan bukan pertanian yang termasuk kelompok rumahtangga berpendapatan rendah baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hal ini disebabkan kelompok rumahtangga tersebut sebagai kelompok rumahtangga yang memiliki keterbatasan daya beli dan akses baik untuk produksi maupun konsumsi. Implikasi kebijakan yang disarankan adalah: (1) pemerintah masih perlu mempertahankan kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi input maupun output yang diiringi dengan dinaikkan besaran nilai subsidi, perbaikan manajemen distribusi, prasarana, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan hasil temuan menunjukkan secara eksplisit, bahwa dampak kesejahteraan (welfare effect) lebih besar daripada dampak biaya subsidi (cost effect) terhadap masyarakat pada tingkat rumahtangga, (2) upaya meningkatkan efektifitas kebijakan fiskal terhadap penyerapan tenaga kerja maka pemerintah perlu melakukan perbaikan pasar tenaga kerja baik tenaga kerja yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme pasar persaingan sempurna dalam penentuan harga atau upah tenaga kerja. Intervensi pemerintah yang perlu dilakukan terlebih dahulu perlu melihat bahwa pasar tenaga kerja berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna, (3) mengingat kebijakan fiskal pada sektor pertanian masih cukup efektif dalam meningkatkan distribusi pendapatan riil rumahtangga sebagai proksi kesejahteraan. Salah satu yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan penyerapan tenaga kerja baik di perdesaan dan di perkotaan melalui penciptaan lapangan kerja baru yang bersifat labor intesive di perkotaan dan perdesaan, dan perbaikan mekanisme/sistem penentuan besaran upah tenaga kerja, dan (4) pengurangan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi besaran persentasenya, diperlukan capaian target pertumbuhan ekonomi melalui kombinasi kebijakan mikro-makroekonomi (MicMac-Policy). Capaian target pemerintah tersebut harus terlebih dahulu mengetahui mekanisme pasar persaingan sebagai asumsinya kemudian melakukan perubahan dan memperbaiki pertumbuhan yang akan dicapai untuk menurunkan kemiskinan. Diharapkan kebijakan tersebut menjadi instrumen ekonomi yang mampu mendorong penurunan kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKONOMI, TENAGA KERJA, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
M. RIZAL TAUFIKUROHMAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Disertasi
: Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
Nama Mahasiswa
: M. Rizal Taufikurohman
Nomor Pokok
: H363070021
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Anggota
Mengetahui:
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 30 Juli 2012
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Direktur Manajemen Bisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2. Prof. Dr. Ir. Noer Azzam Achsani, MS. Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Kecuk Suhariyanto, Ph.D Deputi Neraca dan Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) 2. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D Direktur Pengembangan Wilayah pada Kedeputian Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Hidayah dan Rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai tugas akhir Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Berbagai peristiwa dan pengorbanan yang tercurah dalam pembuatan disertasi dan terselesaikannya seluruh proses pendidikan doktor ini pun tidak dapat lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu disela kesibukan beliau yang sangat padat dalam memberikan bimbingan, dorongan, semangat, gagasan, saran, inspirasi dan kesempatan untuk selalu maju dan berusaha optimal sejak dari tahap awal penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, penyusunan disertasi hingga ujian. Beliau selalu mengarahkan dan membimbing penulis baik filosifis maupun teknis terutama dalam pemodelan ”CGE” supaya penulis berpikir inovatif, kreatif, kritis dan analitis. Hal ini yang membuat penulis selalu terinspirasi dan sangat terdorong untuk segera menyelesaikan pendidikan program doktoral ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan membuka wawasan dan cakrawala berpikir yang holistik kepada penulis terutama untuk memperdalam dan mempertajam kajian serta memfokuskan grand theory yang mendasari disertasi ini disela-sela kesibukan dan waktu beliau yang padat untuk memberikan bimbingan kepada mahasiswa lainnya.
3.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu memberikan curahan waktu dan saran serta berbagai masukan berharga dan inspiratif yang sangat membantu dan selalu mengarahkan terkait dengan substansi disertasi terutama implikasi kebijakan supaya berkerangka pikir “CGE” yang komprehensif secara teori dan filosofi untuk kesempurnaan disertasi ini.
4.
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajeman Institut Pertanian Bogor sebagai perwakilan Institut Pertanian Bogor pada Sidang Ujian Terbuka atas pertanyaan, saran, masukan dan koreksi pada disertasi ini sehingga menjadi lebih kaya dengan ide-ide terbaru dan mempunyai keunggulan tersendiri.
5.
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Ujian Terbuka sekaligus sebagai perwakilan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang selalu memberikan pertanyaan, tanggapan dan masukan kepada penulis untuk perbaikan disertasi ini supaya lebih konsisten dengan empiris.
6.
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec dan Prof. Dr. Ir. Noer Azzam Achsani, MS sebagai Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS sebagai Penguji Luar Komisi perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian pada Ujian Tertutup penulis yang telah memberikan banyak masukan, pertanyaan, saran dan kritik terhadap penulisan disertasi ini supaya menjadi lebih konsisten dengan teori dan lebih kaya secara empiris.
7.
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku Pimpinan Sidang pada Ujian Tertutup atas pertanyaan, masukan, dan saran perbaikan disertasi kepada penulis supaya lebih konsisten terkait dengan penulisan.
8.
Kecuk Suhariyanto, Ph.D dan Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc., Ph.D yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka dan telah berkenan meluangkan waktu disela kesibukan beliau dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraanya. Terimakasih atas masukan, saran dan koreksi yang diberikan sebagai masukan bagi penulis.
9.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian saat penulis menjalankan proses perkuliahan dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian saat penulis dalam proses menyelesaikan penyusunan disertasi yang telah memberikan pelayanan dan kemudahan administrasi yang sangat baik kepada penulis sejak proses perkuliahan, sidang komisi, prelim tulisan, prelim lisan, kolokium, seminar, ujian tertutup dan ujian terbuka.
10. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai moderator kolokium atas saran dan masukan yang telah diberikan untuk penyempurnaan proposal disertasi ini. 11. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Dr. Ir. Muhammad Firdaus, MS sebagai dosen penguji pada Ujian Prelim Lisan, serta Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku penguji wakil program studi atas pertanyaan, saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penulisan disertasi ini. 12. Dr. Moch. Rum Alim, SE., MS. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Nasional Jakarta yang sudah berkenan memberikan rekomendasi, izin dan kesempatan untuk melanjutkan sekolah Program Doktoral kepada penulis. 13. Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi, M.Sc sebagai Staf Khusus Menteri dan Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, MA sebagai Staf Ahli Hubungan Kelembagaan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS yang telah memberikan dukungan, perhatian, dan dorongan motivasi selama penulis dalam menyelesaikan studi dan pembuatan disertasi. 14. Dr. Yulius, SE. M.A, Rudi Arifiyanto, S.IP., M.IP., MA, dan Dr. Maliki, MA sebagai partner berdiskusi dan bekerja penulis di Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS yang telah bersedia meluangkan waktu dengan penulis untuk berdiskusi yang relevan dengan disertasi ini dan atas berbagai bantuan, perhatian dan dorongan yang sudah diberikan selama penulis menyelesaikan studi. 15. Isteri tercinta, Yoesi Ika Fiandarti, S.Pi, S.Pd, dan anak-anak penulis tersayang, Halya Haqqya Hidyarahman dan Raisya Rizqya Ridharahman atas doa, perhatian, kasih sayang, dukungan, dan pengertian yang sangat tulus dan selalu menjadi sumber motivasi dan inspirasi serta kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan tertinggi ini. 16. Orangtua penulis tercinta, Bapak Yumu Martin, S.Ag (Alm) dan Mamah Dedeh Holisoh, Bapak mertua Bapak Bastari, S.Pd dan Ibu mertua Mimik Siti Maryana atas doa, perhatian, dukungan dan bantuan yang sangat berarti bagi penulis selama menjalani dan menyelesaikan pendidikan tertinggi ini. Hanya ini yang dapat penulis berikan untuk menjalankan amanahmu.
17. Keluarga penulis, adik dan kakak penulis, terima kasih atas doa, bantuan dan perhatiannya selama ini yang telah diberikan selama penulis studi hingga penulis bisa mencapai pendidikan tertinggi. 18. Ahmad Heri Firdaus, SE., M.Si dan Ade Holis, SE., M.Si yang sudah meluangkan waktu untuk menjadi teman berdiskusi penulis terutama berkaitan dengan permodelan selama penyusunan disertasi ini. 19. Teman-teman penulis di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian terutama teman yang satu angkatan 2007 sebagai “Laskar Juli”, yakni; Bu Dwi Rachmina, Bu Netti Tinaprilla, Bu Wini Nahraeni, Pak Gatoet Sroe Hardono, Pak Gatot Subroto, Pak Yannizar, Pak Eko Prasteyanto Putro, Pak Abdullah Usman, Pak Sugiyono, Bu Ita Novita, dan Bu Lilis Imamah, yang telah menjadi tidak hanya sebagai teman tetapi juga sebagai keluarga dalam menghadapi suka dan duka selama perkuliahan dan penyelesaian studi terutama dalam kerjasama, diskusi, saling memberikan dorongan semangat, dukungan
dan
perhatian
selama
penulis
mengikuti
perkuliahan dan
menyelesaikan penulisan disertasi ini. 20. Staf kependidikan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Mbak Ruby, Mbak Yani, Pak Husen, Bu Kokom, dan Mbak Ina yang telah memberikan perhatian, bantuan dan pelayanan administrasi yang baik kepada penulis. 21. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tetap memiliki kontribusi dalam penyusunan disertasi ini. Semoga segala bantuan, dorongan, semangat, perhatian dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini mendapatkan balasan dari Allah SWT dan dijadikan sebagai amal ibadah dan kebaikan serta mendapatkan pahalaNya. Harapan penulis semoga disertasi ini bermanfaat bagi para pengguna dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan inspirasi untuk penelitian berikutnya. Bogor, Agustus 2012 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xi
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah.......................................................................
9
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................
12
1.4. Manfaat dan Kebaruan Penelitian .................................................
12
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................
14
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
15
2.1. Kebijakan Fiskal............................................................................
15
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ..................................................................
21
2.3. Pembangunan Sektor Pertanian .....................................................
24
2.4. Pendekatan Kesejahteraan dan Kemiskinan ..................................
26
2.4.1. Pendekatan Welfarist .........................................................
28
2.4.2. Pendekatan Non-Welfarist .................................................
29
2.5. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan .........................................
30
2.5.1. Konsep dan Ukuran Distribusi Pendapatan ........................
31
2.5.2. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ........................................
32
2.6. Studi-Studi Terdahulu....................................................................
35
III. KERANGKA TEORI ........................................................................
47
3.1. Model Pertumbuhan Ekonomi .......................................................
47
3.2. Teori Pertumbuhan Keynesian ......................................................
51
3.2.1. Teori Pertumbuhan Keynesian Tradisional .......................
51
3.2.2. Teori Pertumbuhan Keynesian Baru ..................................
54
3.3. Dampak Kebijakan Fiskal .............................................................
57
3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal pada Jalur Keynesian ...............
58
I.
i
3.3.2. Dampak Pengeluaran Pemerintah ......................................
65
3.3.3. Pengeluaran Pemerintah untuk Sektoral .............................
66
3.3.4. Pengaruh Subsidi Pemerintah..............................................
67
3.4. Konsep Model Keseimbangan Umum...........................................
71
3.4.1. Keseimbangan Produksi .....................................................
77
3.4.2. Keseimbangan Konsumsi....................................................
80
3.4.3. Keseimbangan Produksi dan Konsumsi..............................
81
3.4.4. Keunggulan dan Keterbatasan Model CGE........................
83
3.5. Kerangka Pemikiran......................................................................
85
3.6. Kerangka Operasional ..................................................................
88
IV. METODE PENELITIAN .................................................................
89
4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................
89
4.2. Metode Pengolahan Data ..............................................................
90
4.3. Metode Analisis............................................................................
91
4.4. Struktur Model..............................................................................
91
4.4.1. Spesifikasi Umum................................................................
92
4.4.2. Sistem Persamaan ...............................................................
93
4.5. Elastisitas dan Parameter Lainnya.................................................
112
4.6. Klasifikasi Kelompok Rumahtangga .............................................
112
4.7. Agregasi Input Primer...................................................................
114
4.8. Penentuan Closure ........................................................................
114
4.9. Analisis Kemiskinan ....................................................................
118
4.10. Simulasi Kebijakan .....................................................................
123
V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL KESEIMBANGAN UMUM INDONESIA ........................................................................
127
5.1. Tabel Input Output Tahun 2008 ...................................................
128
5.1.1. Struktur Tabel Input Output ..............................................
129
5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor ......................................
131
5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2008 ...............................
133
5.3. Klasifikasi Rumahtangga..............................................................
134
5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja .............................................................
141
ii
VI.
5.5. Pendapatan atas Tanah dan Modal ................................................
142
5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak ..............................................
144
5.7. Nilai Elastisitas dan Parameter Lain..............................................
146
5.8 Prosedur Membangun Data Dasar Model CGE ............................
155
5.8.1. Menyusun Raw Dasar ........................................................
156
5.8.2. Mengkontruksi File Tablo ..................................................
160
5.8.3. Agregasi Data Dasar ..........................................................
160
5.8.4. Pengujian Keseimbangan Data Dasar ................................
163
5.9. Simulasi Kebijakan.......................................................................
172
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKONOMI, TENAGA KERJA DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN....................................................................................
175
6.1. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kinerja Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan ..................
176
6.1.1. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kinerja Sektoral ..........................................................................
176
6.1.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Permintaan Tenaga Kerja di Perdesan dan Perkotaan ...
184
6.1.3. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Indikator Makroekonomi ...............................................................
191
6.1.4. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga pada Jangka Pendek dan Panjang .......................................................
195
Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kinerja Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan ...................................
199
6.2.1. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kinerja Sektoral ..........................................................................
199
6.2.2. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Permintaan Tenaga Kerja di Perdesan dan Perkotaan ...
204
6.2.3. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Indikator Makroekonomi ...............................................................
209
6.2.4. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga pada Jangka Pendek dan Panjang .......................................................
212
6.2.
iii
6.3.
Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kinerja Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan..................
214
6.3.1. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Kinerja Sektoral .........................................................................
214
6.3.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Permintaan Tenaga Kerja di Perdesan dan Perkotaan...
218
6.3.3. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Indikator Makroekonomi ...............................................
222
6.3.4. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga pada Jangka Pendek dan Panjang ......................................................
224
Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Kinerja Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan.....
226
6.4.1. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Kinerja Sektoral ............................................
227
6.4.2. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Permintaan Tenaga Kerja di Perdesan dan Perkotaan.......................................................................
231
6.4.3. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Indikator Makroekonomi ...............................
234
6.4.4. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga pada Jangka Pendek dan Panjang ..........................................
237
VII. DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP KEMISKINAN ....................................
241
7.1. Karakteristik Pendapatan Kelompok Rumahtangga......................
242
7.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kemiskinan ...........
244
7.3. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kemiskinan ............
249
7.4. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Kemiskinan..........
252
7.5. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan ..................................................................................
258
6.4.
iv
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..........................
263
8.1. Kesimpulan ..................................................................................
263
8.2. Implikasi Kebijakan.....................................................................
266
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ............................................................
267
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
269
LAMPIRAN ...............................................................................................
285
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 21 November 1979. Penulis terlahir sebagai putra ke-3 dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Yumu Martin, S.Ag. (Alm) dan Ibu Dedeh Holisoh. Penulis menikah dengan Yoesi Ika Fiandarti, S.Pi., S.Pd. pada tahun 2004 dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Halya Haqqya Hidyarahman (6 tahun) dan Raisya Rizqya Ridharahman (4 tahun). Pendidikan formal
penulis
dimulai dari TK Negeri Kersamanah
Kecamatan Cibatu Garut pada tahun 1983-1984; SD Negeri MANDE II Kecamatan Mande Cianjur pada tahun 1984-1990; MTs Mathiyyatul Ulum Kecamatan Mande Cianjur pada tahun 1990-1993; MAN Cianjur pada tahun 1993-1996; Program S1 pada Program Studi Sosial Ekonomi Industri Peternakan (SEIP) IPB pada tahun 1996-2000; Program S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) IPB pada tahun 2001-2004; dan kemudian penulis meneruskan Program S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) IPB pada tahun 2007. Penulis mulai sebagai pengajar, pada tahun 1999-2001 sebagai asisten dosen mata kuliah Ekonometrika, Operation Research dan Matematika Ekonomi pada Program Studi Sosial Ekonomi Industri Peternakan Fakultas Peternakan IPB; setelah lulus program sarjana, pada tahun 2001-2003 sebagai dosen tidak tetap pada program studi Sosial Ekonomi Industri Peternakan Fakultas Peternakan IPB; pada tahun 2004 sebagai pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti; pada tahun 2008-2010 sebagai pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam TAZKIA Institute; sebagai pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Nasional Jakarta pada tahun 2003 hingga sekarang. Di luar mengajar, penulis bekerja sebagai peneliti dan tenaga ahli. Diawali sebagai asisten peneliti Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS pada tahun 2002-2004 pada beberapa penelitian terkait dengan aplikasi dan pengembangan Model Ekonomi Keseimbangan Umum dan asisten peneliti Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec pada tahun 2003; kemudian penulis sebagai peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2006-2009; sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2010; sebagai tenaga ahli pada the World Bank pada tahun 2009-2010; sebagai tenaga ahli pada Kementerian Perencanaan Pemabangunan Nasional/BAPPENAS pada tahun 2006-2009; dan sebagai tenaga ahli pada Biro Perekonomian Setda Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008-2011. Selain itu, penulis juga bekerja paruh waktu pada beberapa perusahaan konsultan sebagai tenaga ahli pada bidang keahlian kajian ekonomi dan kebijakan pembangunan. Selanjutnya, penulis pada tahun 2010-2011 sebagai asisten Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi, M.Sc pada Staf Khusus Menteri dan asisten Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, MA pada
Staf Ahli Hubungan Kelembagaan pada Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perkembangan Subsidi Pemerintah yang Dialokasikan pada Sektor Pertanian dan Bukan Pertanian, Tahun 2005-2011 (dalam Rp Triliun) ...
3
2. Jumlah Tenaga Kerja Nasional Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005-2011 (dalam Jiwa) ...........................................................................
5
3. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005-2011 (dalam Rp Miliar) ...........................
5
4. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Perdesaan dan Perkotaan di Indonesia, Tahun 2000-2011.........................................
7
5. Persentase Penerimaan Pemerintah Pusat Terhadap PDB di NegaraNegara Asia, dan Indonesia, Tahun 2005-2011 ...........................
18
6. Nilai Utang Luar Negeri Terhadap PDB di Negara-Negara Asia, dan Indonesia, Tahun 2005-2010 ....................................................................
20
7. Agregasi Sektor dari 70 Sektor Menjadi 40 Sektor pada Tabel InputOutput 2008 .............................................................................................. 132 8. Struktur Tabel SNSE Secara Sederhana ................................................... 135 9. Aggregasi Sektor dari Tabel Input-Output 2008 dan SNSE 2008 ............ 136 10. Pembayaran Upah Setiap Industri Berdasarkan Jenis Pekerjaan .............. 141 11. Pendapatan atas Lahan dan Modal Tahun 2000........................................ 143 12. Pendapatan Domestik Pemerintah, Tahun 2008 ....................................... 144 13. Parameter Elastisitas yang Digunakan pada Model .................................. 147 14. Parameter Pengeluaran Rumah Tangga pada Model ................................ 152 15. Nilai PDB Indonesia Dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan, Tahun 2008 ............................................................................................... 163 16. Nilai Penjualan Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2008 .... 165 17. Nilai Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2008........................................................................................................... 168
vi
18. Komponen Data Dasar 40 sektor yang Digunakan dalam Penelitian ....... 171 19. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Output dan Harga Output Menurut Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang ............................ 179 20. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang...................................................................................................... 187 21. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang.................................................. 194 22. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang.......................................................................................... 197 23. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Output dan Harga Output Menurut Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang ............................ 202 24. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang...................................................................................................... 205 25. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang.................................................. 210 26. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang.......................................................................................... 213 27. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Output dan Harga Output Menurut Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang ............................ 216 28. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang...................................................................................................... 220 29. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang ...................................... 223 30. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang.......................................................................................... 225 31. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Output dan Harga Output Menurut Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang ..... 228
vii
32. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang....................................................................... 232 33. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang....................................................................... 232 34. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang....................... 235 35. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang....................................................................... 237 36. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut Kelompok Rumahtangga ............................................................................................. 243 37. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kemiskinan pada Jangka Pendek ....................................................................................................... 244 38. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kemiskinan pada Jangka Panjang ...................................................................................................... 246 39. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kemiskinan pada Jangka Pendek ....................................................................................................... 250 40. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kemiskinan pada Jangka Panjang ...................................................................................................... 252 41. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Kemiskinan pada Jangka Pendek ....................................................................................................... 255 42. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Kemiskinan pada Jangka Panjang ...................................................................................................... 256 43. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan pada Jangka Pendek .............................................................. 259 44. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan pada Jangka Panjang ............................................................. 262
viii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Model Pertumbuhan Dua Sektor...............................................................
49
2. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian ...............................
62
3. Dampak Subsidi Terhadap Penawaran dan Permintaan............................
68
4. Pengaruh Subsidi Terhadap Elastisitas Sempurna dan Tidak Sempurna ..
70
5. Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE............................................
74
6. Production Posibility Curve ....................................................................
78
7. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi dan Produksi .....
79
8. Keseimbangan Produksi dan Konsumsi ....................................................
83
9. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................
85
10. Kerangka Operasional Penelitian .............................................................
87
11. Masalah Optimalisasi untuk Industri ........................................................
98
12. Struktur Produksi ......................................................................................
99
13. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal ................................ 105 14. Masalah Optimalisasi pada Rumahtangga................................................. 106 15. Spesifikasi Konsumsi Rumahtangga ......................................................... 107 16. Closure Jangka Pendek pada Model CGE yang Digunakan ..................... 122 17. Closure Jangka Panjang pada Model CGE yang Digunakan .................... 123 18. Alur Data Dasar Model WAYANG .......................................................... 130 19. Tahap 1: Membangun Data Dasar (Rawdata) .......................................... 158 20. Tahap 2: Membuat Input File Tablo......................................................... 160 21. Tahap 3: Mengagregasi Data Dasar.......................................................... 161 22. Prosedur Menghasilakn File Solusi Spesifik pada Model ........................ 172 ix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Input File Model WAYANG yang Digunakan dalam Penelitian ............. 285 2. Input File Closure yang Digunakan pada Jangka Pendek......................... 313 3. Input File Closure yang Digunakan pada Jangka Panjang........................ 314 4. Data yang Digunakan untuk Estimasi Elastistitas Tenaga Kerja di Perdesaan dan Perkotaan........................................................................... 315 5. Output File Estimasi Elastistitas Substitusi Tenaga Kerja di Perdesaan dan Perkotaan............................................................................................ 316 6. Input File Estimasi Base Dampak Kebijakan terhadap Kemiskinan......... 318 7. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Pendek .................................................................................. 324 8. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Panjang ................................................................................. 325 9. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Pendek .................................................................................. 326 10. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Panjang ................................................................................. 327 11. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Pendek .................................................................................. 328 12. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Panjang ................................................................................. 329 13. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Pendek ............................................. 330 14. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan Indonesia pada Jangka Panjang ............................................ 331
xi
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia, pembangunan diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, membuka lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama pada tahap awal dilakukan pembangunan, diperlukan intervensi pemerintah. Pengeluaran pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk membiayai fasilitas umum dan perbaikan kinerja pelayanan, baik berupa pembangunan infrastruktur
maupun berupa pelayanan umum.
Intervensi
pemerintah ini diperlukan dan timbul apabila terjadi kegagalan pasar (market failure) dalam alokasi sumberdaya. Kegagalan pasar tersebut terjadi disebabkan oleh adanya barang publik, pasar yang tidak sempurna dan adanya ekternalitas dari kegiatan ekonomi. Terdapat 3 (tiga) hal pokok dalam pembangunan perekonomian dimana peranan dan intervensi pemerintah diperlukan, yakni: (1) peranan alokasi, (2) peranan distribusi, dan (3) peranan stabilisasi (Musgrave, 1989). Adapun tujuan pembangunan perekonomian nasional adalah untuk mencapai: (1) pertumbuhan ekonomi yang tinggi, (2) pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan (3) stabilisasi ekonomi. Bentuk intervensi pemerintah untuk mencapai ketiga tujuan tersebut dengan membuat berbagai kebijakan berupa kebijakan moneter (monetary policy) dan kebijakan fiskal (fiscal policy). Pada prakteknya, instrumen kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh pemerintah pada umumnya berupa kebijakan suku bunga dan penawaran uang, sedangkan instrumen kebijakan fiskal berupa pajak dan subsidi. Penentuan kebijakan fiskal yang akan dilaksanakan oleh pemerintah yang didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan setiap tahun. Pada umumnya, penerapan kebijakan fiskal tersebut dilakukan terhadap sektoral termasuk sektor pertanian untuk menstimulasi pembangunan di sektor pertanian.
2
Dalam perekonomian Indonesia, memajukan dan membangun pertanian secara serius dan konsisten sebagai hal penting dilakukan hingga sekarang. Hal ini sesuai dengan perkiraan akan terjadi kemakmuran di Indonesia dengan mengelola secara baik sumberdaya pertaniannya (Syafa’at, et al., 2005). Pentingnya pengelolaan sektor pertanian sebagai mana hasil studi Arifin (2004) dan Priyarsono, et al. (2005) yang menyatakan bahwa sektor pertanian di Indonesia sangat strategis sebagai dasar ekonomi rakyat di perdesaan, menguasai hajat hidup sebagian penduduk, menyerap jumlah tenaga kerja yang banyak, bahkan terbukti menjadi katup pengaman pada krisis ekonomi Indonesia. Selanjutnya, Abimanyu (2005) berpendapat bahwa kebijakan fiskal dimaksudkan untuk mendorong perekonomian yang berdampak pada peningkatan pendapatan nasional dan penciptaan lapangan kerja. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, peningkatan pendapatan nasional bersumber dari kenaikan konsumsi, investasi, belanja pemerintah, ekspor dan penurunan impor. Tingkat perubahan dari berbagai komponen tersebut bersamaan dengan besarnya koefisien sensitivitas masingmasing komponen permintaan total terhadap faktor determinannya akan menentukan besarnya kenaikan pendapatan nasional. Dari sisi penawaran, kenaikan pendapatan nasional bersumber dari penambahan kemampuan produksi karena berkembangnya teknologi dan meningkatnya ketersediaan sumberdaya ekonomi. Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat dialokasikan untuk kegiatan pengembangan teknologi atau penemuan sumberdaya alam baru. Menurut Nanga (2001), kebijakan fiskal atau sering disebut kebijakan anggaran merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui manipulasi instrumen fiskal seperti pengeluaran pemerintah (G) dan atau pajak (T) yang ditujukan
untuk
mempengaruhi
tingkat
permintaan
agregat
di
dalam
perekonomian. Dampak dari adanya kebijakan fiskal melalui sisi permintaan lebih besar pengaruhnya dibandingkan melalui sisi penawaran (Abimanyu, 2005). Kebijakan fiskal dari sisi panawaran yang dilakukan di sektor pertanian yang dapat berupa subsidi dan pajak. Menurut Suparmoko (2005), menyatakan subsidi atau transfer dana adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang dapat diartikan sebagai negasi/kebalikan dari pajak dimana menambah pendapatan
3
mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi pemerintah. Kebijakan ekonomi melalui kebijakan fiskal sebagai bentuk kebijakan counter-cyclical yang dilakukan pemerintah sebagai upaya mempertahankan daya beli, memperbaiki daya saing dan daya tahan sektor usaha serta menangani dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengurangi tingkat pengangguran melalui peningkatan belanja fiskal terutama di sektor pertanian. Secara lebih jelas mengenai kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah berupa subsidi termasuk untuk subsidi pertanian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Subsidi Pemerintah yang Dialokasikan Untuk Sektor Pertanian dan Non Pertanian, Tahun 2005-2011 (dalam Rp Triliun) Uraian A. Non_Pertanian 1. Subdisi BBM 2. Subsidi Listrik 3. PSO 4. Kredit Program 5. Subsidi M.Goreng 6. Subsidi Pajak B. Pertanian 1. Subsidi Pangan 2. Subsidi Pupuk 3. Subsidi Benih 4. Subsidi Kedelai 5. Subsidi Lainnya TOTAL
2007
1)
116.87 83.79 33.07 1.03 0.35 0.02 17.11 33.35 6.58 6.26 0.48 0.00 1.51 150.21
2008
1)
223.01 139.11 83.91 1.73 0.94 0.10 21.02 52.28 12.10 15.18 0.99 0.23 0.00 275.29
2009
1)
94.59 45.04 49.55 1.34 1.07 0.00 8.17 43.50 12.99 18.33 1.60 0.00 0.00 138.08
2010
1)
139.95 82.35 57.60 1.38 2.86 0.00 18.43 57.27 13.93 18.41 2.26 0.00 0.00 197.22
2011
2)
195.29 129.72 65.57 1.88 2.62 0.00 14.75 51.01 15.27 16.38 0.12 0.00 0.00 246.30
2012 APBN APBN-P 168.56 230.43 123.60 137.38 44.96 93.05 2.03 2.15 1.23 1.29 0.00 0.00 4.20 4.26 40.29 42.72 15.61 20.93 16.94 13.96 0.28 0.13 0.00 0.00 0.00 0.00 208.85 273.16
Keterangan: 1)LKPP, 2) APBN-P Sumber: Kementerian Keuangan (2007-2012)
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa perkembangan kebijakan fiskal berupa subsidi pemerintah pada sektor pertanian periode Tahun 2005-2011 mengalami fluktuasi, dengan kecenderungan semakin menurun. Penurunan ini tampaknya terjadi pada APBN terutama tahun 2011-2012. Subsidi pada sektor pertanian yang masih dikeluarkan pemerintah hingga sekarang yaitu berupa subsidi pangan (output), subsidi pupuk dan subsidi benih (input). Untuk jenis subsidi bahan baku kedelai sudah dihapus sejak tahun 2009. Praktek kebijakan fiskal pada sektor pertanian untuk subsidi pangan semakin meningkat pada
4
periode tahun 2005-2011 dan untuk subsidi pupuk menurun sejak tahun 2011. Hal ini juga terjadi pada subsidi benih yang semakin menurun sejak tahun 2011. Kebijakan ekonomi seringkali tidak kondusif pada sektor pertanian dalam struktur perekonomian Indonesia, misalnya pada periode tahun 1965-2000 dimana indikator utama cenderung mengalami penurunan, tanpa diikuti oleh peningkatan dan penciptaan sektor manufaktur/industri pertanian dan penunjang abribisnis baik off-farm maupun on-farm sebagaimana yang terjadi pada perubahan perekonomian.Hal ini ditandai dengan adanya laju investasi swasta yang tumbuh negatif sebesar -2.07 persen selama periode tahun 1994-2001 karena terdapat resiko dan ketidakpastian besar. Sektor pertanian mengalami under investment (BPS 2003; World Bank 2006) sekaligus miss investment (Siregar, 2008). Adanya ketidakmenentuan prospek perekonomian tersebut, maka pada tahun 2009 pemerintah mendorong untuk melakukan revisi atas asumsi-asumsi ekonomi makro nasional, dimana menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2009. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2009 yang direvisi dari 6.0 persen menjadi 4.6 persen (Keme nterian Keuangan, 2009). Konstribusi sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja secara lebih detail disajikan pada Tabel 2. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia. Pada periode tahun 2005-2011 penduduk yang bekerja di sektor pertanian kisaran antara 39.328.915 orang (2011) hingga 42.825.807 orang (2010) atau kisaran antara 35.86 persen (2011) hingga 44.04 persen (2005) dari total jumlah penduduk yang bekerja. Apabila dilihat dari aspek produk domestik bruto (PDB) berdasarkan harga konstan tahun dasar 2000, sumbangan sektor pertanian pada tahun 2005 hingga 2011 masih memberi kontribusi pada kisaran 12.74 persen (2011) hingga 14.50 persen (2005) dari PDB nasional, menempati peringkat ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (BPS, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa peranan sektor pertanian masih cukup besar terhadap perekonomian nasional baik dilihat kontribusinya terhadap PDB maupun penyerapan tenaga kerja. Adapun aspek kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
5
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Nasional Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005-2011 (dalam Jiwa) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan Total
2005 1) 41 814 197 808 842 11 652 406 186 801 4 417 087 18 896 902 5 552 525 1 042 786 10 576 572 94 948 118
2006 2) 20072) 40 136 242 41 206 474 923 591 994 614 11 890 170 12 368 729 228 018 174 884 4 697 354 5 252 581 19 215 660 20 554 650 5 663 956 5 958 811 1 346 044 1 399 490 11 355 900 12 019 984 95 456 935 99 930 217
2008 2) 41 331 706 1 070 540 12 549 376 201 114 5 438 965 21 221 744 6 179 503 1 459 985 13 099 817 102 552 750
2009 2) 41 611 840 1 155 233 12 839 800 223 054 5 486 817 21 947 823 6 117 985 1 486 596 14 001 515 104 870 663
2010 1) 42 825 807 1 188 634 13 052 521 208 494 4 844 689 22 212 885 5 817 680 1 639 748 15 615 114 107 405 572
2011 2) 39 328 915 1 465 376 14 542 081 239 636 6 339 811 23 396 537 5 078 822 2 633 362 16 645 859 109 670 399
Keterangan: 1) Februari, 2) Agustus Sumber: BPS (2005-2011)
Tabel 3. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005-2011 (dalam Rp Miliar) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan Total
Keterangan: 1) Sementara, 2) Sangat Sementara Sumber: BPS (2005-2011)
2005 253 881.7 165 222.6 491 561.4 11 584.1 103 598.4 293 654.0 109 261.5 161 252.2 160 799.3 1 750 815.2
2006 262 402.8 168 031.7 514 100.3 12 251.0 112 233.6 312 518.7 124 808.9 170 074.3 170 705.4 1 847 126.7
2007 271 509.3 171 278.4 538 084.6 13 517.0 121 808.9 340 437.1 142 326.7 183 659.3 181 706.0 1 964 327.3
2008 284 620.7 172 442.7 557 764.4 14 993.6 130 951.6 363 813.5 165 905.5 198 799.6 193 024.3 2 082 315.9
2009 296 369.3 179 974.9 569 550.8 17 059.8 140 184.2 367 958.8 191 674.0 208 832.2 205 371.5 2 176 975.5
1)
2010 304 736.7 186 634.9 597 134.9 18 050.2 150 022.4 400 474.9 217 977.4 221 024.2 217 782.4 2 313 838.0
20112) 313 727.8 189 179.2 634 246.9 18 920.5 160 090.4 437 250.7 241 285.2 236 076.7 232 464.6 2 463 242.0
6
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, bahwa pemerintah akan terus melanjutkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu pro-growth, pro-job dan pro-pooryang termasuk di dalamnya mewujudkan pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity). Ketiga strategi itu diharapkan sebagai pendorong percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan lebih banyak membuka kesempatan kerja. Dengan demikian, makin banyak keluarga Indonesia yang dapat menikmati hasilhasil pembangunan dan dapat keluar dari kemiskinan. Perekonomian Indonesia tidak bisa berbasis teknologi tinggi, tetapi industrialisasi dengan landasan sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan jawaban paling tepat, karena mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang panjang. Keterkaitan ke belakang ke sektor pertanian akan memacu pertumbuhan perekonomian perdesaan, sehingga lambat laun dapat menyelesaikan persoalan-persoalan di perdesaan. Secara tidak langsung kondisi tersebut akan memicu peningkatan produktivitas masyarakat desa, sehingga mengurangi arus urbanisasi. Hal ini perlu mengembangkan strategi dan kebijakan yang menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan (Saragih, 2003). Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah di banyak negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat (AS) sekalipun. Ternyata tercatat bahwa 15 juta tenaga kerja atau lebih dari 8 persen menganggur terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Lingkaran kemiskinan ini terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu mengakses sarana pendidikan, kesehatan dan nutrisi secara baik, sehingga menyebabkan kualitas sumberdaya manusia dari aspek intelektual dan fisik rendah, akibatnya produktivitasnya rendah (Sumedi dan Supadi, 2004).
7
Tabel 4. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Perdesaan dan Perkotaan di Indonesia, Tahun 2000-2011 Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Kota Desa Kota+Desa 2000 12.30 26.40 38.70 2001 8.60 29.30 37.90 2002 13.30 25.10 38.40 2003 12.20 25.10 37.30 2004 11.40 24.80 36.10 2005 12.40 22.70 35.10 2006 14.49 24.81 39.30 2007 13.56 23.61 37.17 2008 12.77 22.19 34.96 2009 11.91 20.62 32.53 2010 11.10 19.93 31.02 2011 11.05 18.97 30.02 Sumber: BPS (2000-2011) Tahun
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa 14.60 22.38 19.14 9.76 24.84 18.41 14.46 21.10 18.20 13.57 20.23 17.42 12.13 20.11 16.66 11.68 19.98 15.97 13.47 21.81 17.75 12.52 20.37 16.58 11.65 18.93 15.42 10.72 17.35 14.15 9.87 16.56 13.33 9.23 15.72 12.49
Berdasarkan Tabel 4 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan dengan di perkotaan. Pada periode tahun 2000-2011 jumlah penduduk miskin berada pada kisaran 8.60 juta jiwa (2001) hingga 14.49 juta jiwa (2006) di perkotaan dan kisaran 18.97 juta jiwa (2011) hingga 29.30 juta jiwa (2001). Kondisi ini juga dapat dilihat dari jumlah persentase penduduk miskin di perkotaan pada kisaran 9.23 persen (2011) hingga 14.60 persen (2000) dan di perdesaan pada kisaran 15.72 persen (2011) hingga 24.84 persen (2001). Persentase jumlah orang miskin terjadi penurunan yang paling besar yaitu pada tahun 2011 baik di perdesaan maupun di perkotaan. Sebaliknya, persentase jumlah orang miskin di perkotaan terjadi pada tahun 2000 dan di perdesaan pada tahun 2001. Kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan reduksi orang miskin di perkotaan memiliki kecenderungan yang semakin membaik, artinya jumlah orang miskin di perkotaan maupun di perdesaan semakin menurun kecenderungannya. Mengacu pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4 diketahui bahwa stabilitas meningkatnya Produk Domestik Bruto Nasional ternyata masih belum mampu mendorong sektor riil yang mendorong membaiknya masalah sosial, terutama kemiskinan dan pengangguran. Supaya sektor riil berkembang dan mampu menyerap jumlah tenaga kerja pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak hanya berorientasi pada sektor konsumsi masyarakat (demand side) saja, namun harus
8
mampu mendorong peningkatan investasi agar lapangan kerja yang baru dapat tercipta. Oleh karena itu, sebagai upaya merespon kebijakan pemerintah yang terkait dengan kebijakan fiskal untuk mereduksi kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Sebagai upaya mensingkronkan antara kebijakan pemerintah, dalam hal ini kebijakan fiskal, dalam mereduksi kemiskinan, maka perlu ditempuh berbagai fungsi dalam penetapan kebijakan tersebut. Kementerian Keuangan (2012) menjelaskan bahwa fungsi utama kebijakan fiskal dilakukan melalui tiga fungsi, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi diarahkan untuk menciptakan efisiensi dalam perekonomian. Sementara itu, fungsi distribusi ditujukan untuk pemerataan pendapatan serta pemerataan distribusi barang dan jasa pada masyarakat guna mengurangi ketidakseimbangan ekonomi
dan
pembangunan
serta
menciptakan
keadilan
ekonomi
dan
pembangunan. Sedangkan fungsi stabilisasi diarahkan untuk menjaga stabilitas fundamental perekonomian nasional. Selanjutnya, Kementerian Keuangan (2012) menjelaskan bahwa fungsi alokasi untuk ketahanan pangan, kebijakan alokasi akan dilakukan agar upaya pencapaian swasembada beras dan bahan pangan lainnya dapat terwujud untuk mengurangi impor dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Selanjutnya, upaya lain adalah dengan membangun dan meningkatkan luas layanan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi, menurunkan jumlah penduduk dan daerah yang rawan pangan, serta menjaga stabilitas harga pangan dalam negeri melalui harga kebutuhan pokok yang tetap terjangkau. Untuk mendukung kebijakan distribusi, program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) akan lebih ditujukan untuk: (a) peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM perdesaan; (b) penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM perkotaan); (c) percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan; (d) pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP); (e) percepatan pembangunan daerah tertinggal; dan (f) pemberdayaan keluarga dan fakir miskin melalui peningkatan keterampilan usaha. Dalam pemberdayaan usaha mikro dan kecil, kebijakan distribusi akan dilakukan antara lain dengan: (a) penyediaan skema penjaminan kredit UMKM, termasuk KUR; (b) penyediaan dana bergulir untuk
9
kegiatan produktif skala usaha mikro; (c) pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya pelaku usaha perikanan dan masyarakat pesisir, (d) pengembangan agroindustri perdesaan; (e) pengembangan kawasan trasmigrasi kota terpadu mandiri; dan (f) percepatan pembangunan daerah tertinggal. Berkenaan dengan kebijakan stabilisasi, bahwa kebijakan pengalokasian subsidi masih tetap dibutuhkan, antara lain untuk: (a) menjaga stabilitas harga barang dan jasa (b) memberikan perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (c) menjaga daya beli konsumen dan (d) menjaga stabilitas ketersediaan pasokan pangan dan energi. 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah dalam rangka
mendorong
pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian di Indonesia sebagai salah satu sektor yang memberikan kontribusi PDB dan tenaga kerja masih sangat tergantung pada infrastruktur publik sebagai pelengkap investasi swasta oleh petani dan pelaku usaha pertanian sehingga masih perlu adanya peranan alokasi anggaran pemerintah. Menurut Arifin (2004) bahwa kebutuhan dukungan pemerintah bukan hanya karena skala usaha petani yang relatif kecil sehingga tidak mudah untuk melakukan investasi dengan skala besar namun juga karena secara geografis aktivitas pertanian tersebar secara luas sehingga biaya infrastruktur per jumlah penduduk menjadi tinggi. Kebijakan fiskal merupakan respon pemerintah dalam mengantisipasi dampak melemahnya perekonomian dunia terhadap perekonomian nasional yang memaksa melakukan revisi terhadap besaran pendapatan belanja dan pembiayaan dalam APBN 2011, termasuk kebijakan fiskal yang dialokasikan pada sektor pertanian. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro untuk mengendalikan stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal digunakan untuk mengatur permintaan maupun penawaran agregat melalui komponen dan besaran APBN untuk kepentingan alokasi, distribusi dan stabilisasi untuk menggerakkan sektor riil. Hal ini dilakukan dengan memperhitungkan besaran defisit dan kemampuan pembiayaan tanpa merusak indikator makro seperti inflasi.
10
Kebijakan fiskal yang dialokasikan pada sektor pertanian berupa stimulus pemerintah, yaitu subsidi pada sektor pertanian (Kemenkeu, 2012).
Hingga
sekarang, subsidi yang masih diberikan untuk sektor pertanian adalah subsidi pangan, pupuk dan benih. Hal ini dilakukan oleh pemerintah dalam konteks kebijakan fiskal telah menjadi persoalan yang dilematis
dalam upaya
meningkatkan pembangunan pertanian. Pada satu sisi pemerintah dituntut untuk mengurangi jumlah subsidi pupuk dan benih secara bertahap sehingga beban APBN dapat dikurangi demi terwujudnya fiscal sustainability. Di sisi lain pengurangan susbidi pupuk dan benih tentu akan membawa implikasi naiknya harga pupuk dan benih di dalam negeri di samping skim subsidi harga yang selama ini diberikan selama ini dirasakan masih kurang memenuhi rasa keadilan karena belum menunjukkan keberpihakan kepada petani sebagai produsen. Hal inilah yang seringkali mengundang berbagai reaksi di masyarakat. Menurut Ratnawati dan Boediarso (2009) bahwa diharapkan dengan kebijakan fiskal yang diluncurkan dapat berjalan efektif dan memenuhi prinsip tiga ”T” yaitu timely (tepat waktu), temporary (bersifat sementara), dan targeted (tepat sasaran). Kinerja sektor pertanian menurut Hayami dan Ruttan (1985) diukur dengan outcome
tingkat
kesejahteraan petani,
produktivitas
lahan dan
produktivitas tenaga kerja. Selanjutnya menurut Tambunan (2003) dimana melengkapi dengan menambahkan variabel pertumbuhan output (PDB), pertumbuhan ekspor, penciptaan lapangan kerja dan ketahanan pangan. Dengan berbagai kondisi yang ada selama krisis global, pemerintah terus berusaha memenuhi kebutuhan pangan, baik berupa kebijakan subsidi pangan itu sendiri, juga subsidi inputnya, yaitu pada pupuk dan benih kepada petani dan menyediakan harga yang terjangkau pada saat musim tanam. Diharapkan petani memperoleh harga jual produksinya dapat dibeli dengan harga yang tinggi agar tingkat pendapatan dan kesejahteraannya semakin meningkat. Dalam memenuhi upaya tersebut pemerintah dituntut untuk menyesuaikan skim subsidi pupuk dan benih dan menyalurkannya tepat sasaran. Kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi pupuk, benih dan pangan diberikan maka ketepatan penyalurannya menjadi syarat mutlak agar
11
kebijakan fiskal berjalan dengan baik. Di samping itu kebijakan fiskal berupa akan memberikan dampak terhadap perekonomian termasuk dalam menciptakan lapangan kerja, distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka masalah pembangunan perdesaan sebagai wilayah inti dalam pembangunan pertanian menjadi bagian integral dan sekaligus
arus
utama
pembangunan
nasional
yang diharapkan
mampu
membangun sinergi dalam pembangunan pertanian dan mampu mengurangi dampak negatif dari kebijakan yang ditetapkan tersebut. Salah satu instrumen penting dalam pembangunan pertanian yaitu meningkatkan produktivitas pertanian melalui perbaikan kemudahan dalam aksesibilitas input produksi, perbaikan harga output, kinerja tenaga kerja dan pengurangan jumlah kemiskinan. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya merespon secara khusus peranan pemerintah yang dalam hal ini penetapan instrumen kebijakan fiskal pada sektor pertanian, berupa kebijakan subsidi input dan output yang diharapkan mampu untuk mendorong perbaikan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, perbaikan pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Selama ini banyak alat analisis yang digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut tetapi masih sedikit yang secara terpadu menganalisisnya seperti yang dilakukan oleh Susilowati (2007), Justianto (2005), Haryono (2008) yang menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Demikian pula halnya dengan Herjanto (2003), Yudhoyono (2004). Asnawi
(2005)
dan
Darsono
(2008)
dengan
menggunakan
model
makroekonometrika. Permasalahan tersebut bersifat multi-sektor yang akan membawa implikasi yang sangat luas tidak hanya ke sektor pertanian saja tetapi juga ke sektor-sektor perekonomian lainnya. Pendekatan yang dianggap mampu menjawab permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE). Sama halnya seperti
yang dilakukan oleh Taufikurohman (2004)
mengenai
dampak
produktivitas pangan terhadap kinerja makroekonomi dan sektoral. Demikian pula oleh Haryono (2008) dalam penelitian yang dilakukan dengan pendekatan model
12
CGE terkait dengan dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan di perdesaan. Dari uraian tersebut di atas maka secara spesifik penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan utama dalam upaya menjawab pertanyaan bagaimana dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap: 1.
Ekonomi baik pada kinerja makro ekonomi maupun sektoral yang ditunjukkan oleh adanya perubahan GDP riil, konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, impor, inflasi, neraca perdagangan, total output dan tingkat harga di tingkat sektoral?
2.
Penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan?
3.
Distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan pada kelompok rumahtangga miskin dan tidak miskin di perdesaan dan perkotaan?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasakan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang berupa dampak kebijakan tersebut terhadap: 1.
Ekonomi baik pada kinerja makro ekonomi maupun sektoral yang ditunjukkan oleh adanya perubahan GDP riil, konsumsi rumahtangga, investasi, ekspor, impor, inflasi, neraca perdagangan, total output dan tingkat harga di tingkat sektoral.
2.
Penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan.
3.
Distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan pada kelompok rumahtangga miskin dan tidak miskin di perdesaan dan perkotaan.
1.4. Manfaat dan Kebaruan Penelitian Kajian mengenai dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian, yang secara spesifik berupa subsidi input dan output terhadap ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan yang menggunakan data dasar Tabel InputOutput tahun 2008, Sistem Neraca Sosial Ekonomi tahun 2008 dan Survey Sosial Ekonomi
Nasional
(SUSENAS)
tahun 2008 dengan
metode
Ekonomi
13
Keseimbangan Umum dengan mengkombinasikan dengan analsiis kemiskinan dengan metode Foster-Greer-Thorbecke (FGT) masih sedikit yang melakukan. Khusus dalam analisis kemiskinan, belum ada yang melakukan penelitan terhadap analisis kemiskinan dengan membedakan klasifikasi rumahtangga pada Sistem Neraca Sosial Ekonomi antara rumahtangga miskin dan tidak miskin pada setiap kelompok rumahtangga, sehingga hasil analisis kemiskinan yang diperoleh menjadi bias. Sementara, penelitian mengenai kebijakan fiskal pada sektor pertanian, kebanyakan dilakukan secara parsial subsidi input saja atau hanya subsidi output, tidak secara bersamaan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi sumber literatur dan pengayaan ilmu pengetahuan. Melalui penelitian ini juga dapat memahami dampak kebijakan fiskal sektor pertanian terhadap ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan secara keseluruhan dan dalam upaya penetapan kebijakan fiskal berikutnya. Penelitian ini juga dapat memperkuat dan melengkapi hasil penelitian sebelumnya terkait dengan kebijakan fiskal, khususnya pada sektor pertanian, baik yang berupa subsidi input (pupuk dan benih) maupun subsidi output (pangan) terhadap ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan yang dilakukan secara parsial. Dengan demikian secara keseluruhan, penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian berikutnya. Secara spesifik, penelitian ini diharapkan memberi manfaat terkait hal-hal berikut: 1.
Pada tataran ilmu pengetahuan sebagai bahan acuan model teoritis mengenai dampak kebijakan fiskal berupa pengeluaran pemeritah pada sektor pertanian terhadap ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Dampak tersebut dianalisis secara dinamis dengan menggunakan sebuah model CGE dengan menggunakan data Tabel Input-Output (I-O) tahun 2008 dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Nasional tahun 2008. Model ini juga menggunakan data runtut makroekonomi dan berbagai parameter terbaru yang mencerminkan kondisi dan perilaku perekonomian Indonesia terbaru.
2.
Sebagai salah satu bahan rujukan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan fiskal yang efektif khususnya pada sektor pertanian dengan memperhatikan bahwa Indonesia adalah negara agraris dimana sektor
14
pertanian sebagai kekuatan ekonomi yang dapat dijadikan potensi untuk dimanfaatkan secara optimal dan konsisten untuk kesejahteraan rakyat. 3.
Sebagai salah satu bahan referensi bagi penelitian lanjutan terkait dengan kebijakan fiskal, khususnya pada sektor pertanian yang lebih mendalam dan komprehensif.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kebijakan fiskal adalah bentuk intervensi/campur tangan pemerintah dalam perekonomian suatu negara dengan tujuan agar keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diharapkan. Lingkup dalam kebijakan fiskal ini meliputi pengeluaran pemerintah berupa subsidi. Kebijakan fiskal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan ekspansi fiskal pada sektor pertanian. Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional dengan fokus adalah menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan di perdesaan dan perkotaan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Computable General Equilibrium (CGE) dengan mengikuti model WAYANG (Wittwarr, 1999) dimodifikasi yang bersifat model static comparative. Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini terutama terkait dengan model, yaitu; (1) data dasar yang digunakan dalam model terdapat beberapa parameter elastisitas dari negara lain dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan nilai dan parameter elastisitas yang dibutuhkan tersebut di Indonesia sebagai negara berkembang tidak tersedia, dan (2) selain itu, variabel pupuk dan benih sebagai input primer (primery inputs) tidak dipisahkan dan menjadi bagian input primer secara sendiri-sendiri, sehingga respon kebijakan kedua input tersebut tidak secara langsung direspon oleh pelaku-pelakuknya namun melalui pelaku input primer secara umum.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Fiskal Mankiw (2003) dan Turnovsky (1981) menjelaskan bahwa kebijakan fiskal adalah bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal mempunyai dua instrumen pokok yaitu perpajakan (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy). Dengan instrumen tersebut dapat dijelaskan bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi perekonomian, tingkat pengangguran dan inflasi. Secara keseluruhan arah kebijakan fiskal diharapkan mampu mewujudkan get price right get all policies right dan get institution right dalam perekonomian Indonesia (Subiyantoro dan Riphat, 2004). Dalam melaksanakan kebijakan fiskal, pemerintah dapat menggunakan instrumen pajak dan transfer. Dampak yang diakibatkan oleh pajak berbeda dengan transfer. Seringkali penggunaan instrumen pajak akan menurunkan pendapatan masyarakat sedangkan transfer akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Salah satu bentuk transfer adalah subsidi harga output. Adanya subsidi harga output menyebabkan penawaran akan meningkat dikarenakan petani/produsen terdorong
untuk
meningkatkan penggunaan input
yang
selanjutnya akan meningkatkan output dan permintaan input (Chambers dan Quiggin, 2005). Kebijakan fiskal terdiri atas dua instrumen utama, (1) kebijakan pajak dan (2) pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981), tetapi kebijakan apapun itu dapat secara langsungmempengar uhi komponen-komponen permintaan secara menyeluruh jatuh pada kebijakanini. Menurut Sudiyono (1985) variable instrumen kebijakan fiskal dapat berbentuk pajak, transferpemerintah, subsidi, dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal atau penganggaran memiliki tiga fungsi:(1) fungsi alokasi, (2) fungsi distribusi, dan (3) fungsi stabilisasi. Fungsi alokasiberhubungan dengan persediaan barang-barang sosial dan proses pemanfaatan sumber dayasecara menyeluruh untuk produksi barang-barang swasta, barang-barang sosial, dan kombinasidari barang-barang sosial yang telah dipilih. Fungsi distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan dan
16
distribusi pendapatan dalam masyarakat. Selama fungsi stabilisasi ditujukanuntuk menstabilkan atau mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau tingkatinflasi, dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan. Jika kebijakan finansial (moneter) terfokus pada uang, suku bunga dan alokasi kredit maka kebijakan fiskal terpusat pada segi penerimaan (perpajakan) dan pembelanjaan pemerintah. Keduanya merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah dalam bidang ekonomi dalam upaya stabilisasi makroekonomi yang berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah sebagai dasar mencapai keseimbangan neraca anggaran (Todaro and Smith, 2002). Menurut Turnovsky (1981) dan Romer (2003), secara teoritis, Keynes mengemukakan bahwa dampak kebijakan fiskal lebih cepat berpengaruh pada sektor riil, termasuk sektor pertanian dan agrondustri, melalui transmisi harga yang cepat penyesuaiannya dan berpengaruh cepat juga kepada keseimbangan makro ekonomi. Menurut Norton (2004), bahwa cakupan kebijakan fiskal tidak hanya mencapai determinan makro ekonomi dalam bentuk pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan stabilitas ekonomi, tetapi juga pada determinan non-ekonomi seperti pemerataan (equity), pendidikan dan kesehatan, serta kemiskinan. Analisis pengaruh kebijakan fiskal juga dapat dikembangkan dalam analisis performa atau kinerja sektoral bahkan komoditi. Dengan demikian, dalam penelitian ini dikaji secara mendalam mengenai dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral, penyerapan tenaga kerja dan kemiskinan perdesaan di Indonesia. Hasil studi Hutahean, et al. (2002) mendapat temuan, bahwa penerimaan pemerintah dari pajak selama ini secara signifikan dalam mempengaruhi kinerja kebijakan fiskal di Indonesia untuk non-pajak yang cenderung makin menurun. Sedangkan dalam bentuk hibah belum terlalu berpengaruh terhadap kinerja kebijakan fiskal karena adanya ketidakpastian dan ketidakberlanjutan. Menurut Kniesner dan Ziliak (2002) mengatakan bahwa pajak penghasilan menciptakan jaminan yang dapat memperkecil variabilitas pendapatan yang siap dibelanjakan dan konsumsi. Nyatanya dampak kebijakan fiskal pada investasi dengan menggunakan panel data negara-negara OECD, dimana pajak mempunyai
17
dampak yang negatif pada pengeluaran masyarakat (Alesina, et al.,
2002).
Berbagai tipe pajak juga mempunyai dampak yang negatif pada keuntungan tetapi yang menarik adalah dampak pengeluaran pemerintah pada investasi lebih besar daripada pajak. Analisis tersebut memberikan penjelasan apa yang kita kenal dengan efek “non-Keynesian”, seperti ekspansi dalam kebijakan fiskal. Jhingan (2002) berpendapat bahwa kebijakan fiskal memainkan peranan dinamis di negara-negara berkembang dimana kebijakan ini sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi. Di negara berkembang suatu keseimbangan harus dicapai baik dalam arti riil maupun dalam arti moneter. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa tujuan kebijakan fiskal adalah sebagai sarana menggalakkan ekonomi meliputi: (1) meningkatkan laju investasi, (2) mendorong investasi optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) meningkatkan stabilitas ekonomi dalam kondisi ketidakstabilan internasional, (5) menanggulangi inflasi, dan (6) meningkatkan serta meredistribusikan pendapatan nasional. Selanjutnya, kajian Mahi (2002) bahwa peluang bagi akumulasi dana daerah untuk pembiayaan pembangunan prasarana wilayah berdasarkan UU No.25/1999 dan UU No.34/2000 diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk mengelola sesuai dengan kebutuhannya. Namun demikian dari pengalaman Indonesia yang telah ada di masa lalu maupun sekarang, tampaknya tidak banyak jenis pengelolaan dana yang bersifat earmaking seperti yang dilakukan di Jepang. Beberapa jenis pajak maupun pungutan lainnya sangatlah sedikit yang berkaitan langsung dengan jenis aktivitas yang dibiayainya. Untuk kasus Indonesia, kemungkinan hanya dana reboisasi yang dikelola melalui sistem Dana Alokasi Khusus (DAK) yang penggunaanya secara khusus diperuntukkan untuk reboisasi. Hasil dari program desentralisasi Pemerintah Pusat yang mulai diterapkan pada tahun 2001, Pemerintah Daerah sudah mempunyai tanggung jawab yang nyata dalam pelayanan masyarakat, dimana lebih leluasa mempergunakan sumber fiskal dan mempunyai otoritas yang lebih besar dalam mempergunakan s umbersumber lainnya dibandingkan sebelumnya (Lewis, 2005). Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung pada transfer dari pusat untuk membiayai pengeluaran daerah. Namun secara keseluruhan Pemerintah Daerah sudah memperlihatkan surplus budget yang nyata sejak desetralisasi.
18
Penelitian
lainnya,
menunjukkan
bahwa
kebijakan
fiskal
dapat
mempengaruhi penawaran tenaga kerja. Dampak kebijakan fiskal terhadap penawaran tenaga kerja diteliti oleh Duncan dan Weeks (1997), dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan diberlakukannya kebijakan pajak keuntungan, maka jumlah yang tidak bekerja meningkat, jumlah pekerja yang bekerja paruh waktu menurun dan jumlah pekerja yang bekerja penuh meningkat. Hasil kajian dari Asian Development Bank (2012) menjelaskan bahwa penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak non pajak dan hibah di kawasan Asia Tenggara, kecuali Negara Brunei Darussalam, rata-rata memiliki kontribusi terhadap penerimaan pemerintah terhadap PDB cenderung rendah dan menurun jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, yakni Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Pasifik. Di Indonesia, kecenderungan penerimaan pemerintah selama tahun 2005-2011 berfluktuasi kisaran antara 15.4 persen hingga 19.8 persen, dimana keempatnya paling besar dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara. Hal ini secara detail diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Penerimaan Pemerintah Pusat Terhadap PDB di NegaraNegara Asia, dan Indonesia, Tahun 2005-2011 (persen) Kawasan/Negara Asia Tengah Armenia Azerbaijan Georgia Kazakhstan Kyrgyz Republic Tajikistan Turkmenistan Uzbekistan Asia Timur China, People's Rep. of Hong Kong. China Korea. Rep. of Mongolia Taipei.China Asia Selatan Afghanistan Bangladesh Bhutan India Maldives Nepal Pakistan Sri Lanka
2005
2006
2007
2008
2009
2010
16.7 16.4 23.4 27.6 24.7 20.1 20.5 30.4
16.6 20.6 26.7 22.9 26.4 23.6 20.2 34.1
18.7 21.2 29.3 22.5 30.2 21.6 17.3 35.4
21.5 26.8 30.7 25.1 29.8 21.3 23.6 41.5
21.4 29.9 29.3 22.1 35.9 21.0 35.8
23.6 31.4 28.4 19.7 32.2 24.4 18.7 31.8
17.1 17.9 19.2 30.1 12.6
17.9 19.5 20.1 36.6 12.6
19.3 22.2 21.9 40.9 12.7
19.5 18.9 21.2 36.1 12.9
20.4 18.9 21.2 32.9 13.4
22.3 22.9 20.5 40.6 12.0
17.6 10.5 30.3 19.1 48.1 14.1 13.8 15.5
16.8 10.7 34.6 20.5 52.5 12.9 14.1 16.3
18.1 10.2 35.1 22.1 56.1 14.1 15.0 15.8
15.7 11.1 34.4 21.1 46.2 15.3 14.6 14.9
19.9 11.2 41.8 20.6 31.6 18.0 14.1 14.6
23.7 11.6 39.1 19.9 30.4 18.8 12.5 14.3
19
Tabel 5. (Lanjutan) (persen) Kawasan/Negara Asia Tenggara Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao People's Dem. Rep. Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Viet Nam Pasific Cook Islands Fiji Islands Kiribati Marshall Islands. Rep. of Micronesia. Fed. States of Nauru Palau. Rep. of Papua New Guinea Samoa Solomon Islands Timor-Leste. Dem. Rep. Tonga Tuvalu Vanuatu
2005
2006
2007
2008
2009
2010
53.2 10.3 17.9 12.1 20.3 6.7 15.0 15.3 17.7 28.4
50.4 11.5 19.1 12.5 21.5 7.7 16.2 15.0 17.4 29.7
55.1 11.9 17.9 13.6 21.9 7.3 17.1 16.5 17.2 27.6
55.8 13.3 19.8 14.4 21.6 6.6 16.2 17.1 16.9 28.2
11.7 15.4 15.2 23.5 6.7 14.6 17.7 16.0 23.7
54.2 12.7 16.1 19.4 21.5 11.4 14.0 17.9 17.7 30.3
37.0 24.4 51.2 61.7 56.6 28.6 51.8 35.3 36.1 46.9 113.1 28.1 78.1 22.9
38.0 25.6 73.1 65.6 57.4 56.6 52.5 37.4 32.3 47.3 193.0 33.7 91.7 21.8
40.0 25.6 70.2 71.7 58.2 87.7 52.5 37.4 36.5 50.6 355.1 34.9 101.7 23.1
42.8 25.6 64.3 70.4 59.0 125.8 44.8 32.7 32.8 47.1 630.1 28.3 60.6 28.8
37.4 24.0 56.7 67.8 56.4 86.2 30.5 35.3 47.4 313.8 36.5 80.5 25.7
35.3 25.2 72.7 63.6 61.7 64.4 37.1 32.6 37.7 34.6 511.1 25.7 89.1 25.1
Sumber: Asian Development Bank (2005-2010)
Di Indonesia, penerimaan nasional selain dari pajak, non-pajak dan hibah juga berasal dari utang pemerintah baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Nilai utang luar negeri pemerintah di semua kawasan di Asia cenderung meningkat, termasuk di Kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia nilai utang luar negeri pada tahun 2005-2010 semakin meningkat, pada tahun 2005 sebesar $US 134.504 juta kemudian pada tahun 2010 menjadi $US 202.413 juta. Secara lebih jelas dapat diperlihatkan pada Tabel 6.
20
Tabel 6. Nilai Utang Luar Negeri Terhadap PDB di Negara-Negara Asia, dan Indonesia, Tahun 2005-2010 ($US Juta) Kawasan/Negara Asia Tengah Armenia Azerbaijan Georgia Kazakhstan Kyrgyz Republic Tajikistan Turkmenistan Uzbekistan Asia Timur China, People's Rep. of Hong Kong, China Korea, Rep. of Mongolia Taipei,China Asia Selatan Afghanistan Bangladesh Bhutan India Maldives Nepal Pakistan Sri Lanka Asia Tenggara Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao People's Dem. Rep. Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Viet Nam Pasific Cook Islands Fiji Islands Kiribati Marshall Islands, Rep. Micronesia, Fed. States Nauru Palau, Rep. of Papua New Guinea Samoa Solomon Islands Timor-Leste, Dem. Rep. Tonga Tuvalu Vanuatu
2005 1.099 1.651 1.735 28 2.003 897 907 4.133
2006
2007
2008
1.206 1.852 1.697 74.014 2.213 924 712 3.853
1.449 1.577 2.442 3.001 1.790 2.691 96.893 107.713 2.388 2.339 1.247 1.486 627 3.913 3.740
2009
2010
2.967 3 299.0 3.423 3 734.2 3.413 4 219.2 111.730 118 150.8 2.919 3 193.6 1.843 1 942.0 2 196.3 4.325 5 753.3
283.986 325.260 373.773 378.245 454.623 516.415 711.103 659.973 187.882 260.061 383.152 377.944 1.312 1.414 1.529 1.610 86.732 85.833 94.525 90.361
470.000 659.548 401.922 1.937 -
54 8900.0 82 2696.3 35 9432.0 3996.9 10 1581.0
11.940 11.971 2.010 2.163 18.416 18.603 19.355 20.266 596 689 725 780 134.002 139.114 172.360 224.413 397 575 840 968 3.104 3.157 3.341 3.197 34.037 35.889 39.008 44.467 11.354 12.214 14.252 15.077
20.831 242.822 3.493 50.759 -
1 272.0 20 335.8 873.7 30 6438. 963.2 3 442.3 57 362.9 15 077.0
2.120 2.254 2.571 2.773 134.504 132.633 141.180 155.080 2.209 2.471 2.853 2.564 52.301 52.245 56.690 68.182 54.186 53.367 54.938 53.856 233.435 273.807 340.996 420.461 52.162 61.027 61.873 65.225 17.322 19.140 23.086 25.205
3.170 3 206.0 172.871 202 413.0 2.903 2 802.4 68.307 73 652.3 - 11 240.0 53.255 60 048.0 412.504 498 749.1 70.016 100 561.4 - 32 500.5
285 11 94 65 19 1.244 167 145 81 73
445 13 112 68 18 1.189 161 155 82 69
Sumber: Asian Development Bank (2005-2010)
461 13 124 68 310 23 1.065 182 149 84 71
449 10 99 68 1.053 229 135 86 102
564 10 90 68 1.063 216 134 15 89
285.9 14.3 106.8 80.1 63.1 77.7 1 041.4 288.6 125.2 105.1 9.8 110.9
21
2.2. Pertumbuhan Ekonomi Setiap negara di dunia ini sudah lama menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai target ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan perekonomian suatu negara untuk jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi sangat dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber peningkatan standar hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya terus meningkat. Istilah pertumbuhan ekonomi sering dicampurbaurkan dengan perkembangan ekonomi, dan pemakaiannya selalu berganti-ganti, sehingga kelihatan pengertian antara keduanya dianggap sama. Kuznet (1966), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi ini mempunyai 3 (tiga) komponen; pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meni ngkatnya secara terus-menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat (Jhingan, 2002). Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dimana penekanannya pada tiga hal yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu “proses” bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat. Disini kita melihat aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya pada perubahan atau perkembangan itu sendiri. Beberapa ahli ekonomi, seperti yang disampaikan oleh Schumpeter (1911) and Hicks (1957) telah menarik perbedaan yang lazim antara istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut kedua pakar tersebut perkembangan ekonomi mengacu kepada masalah-masalah negara terbelakang,
22
sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu kepada masalah-masalah negara maju. Demikian juga menurut Maddison (1970), mengatakan bahwa di negara-negara maju kenaikan dalam tingkat pendapatan biasanya disebut pertumbuhan ekonomi, sedangdi negara miskin disebut perkembangan ekonomi. Namun ada juga pakar ekonomi lainnya yang beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembanganekonomi merupakan sinonim, misalnya pendapat dari Lewis (1954), serta Meirand Baldwin (1973). Terlepas dari semua perbedaan di atas, maka menarik untuk disimak saat ini adalah mengenai ciri-ciri dari pertumbuhan ekonomi modern yang diungkapkan oleh Kuznets (1966) yang mengacu kepada perkembangan negara-negara maju EropaBarat, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Jepang. Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menggambarkan bahwa suatu perekonomian telah mengalami perkembangan ekonomi dan mencapai taraf kemakmuran yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekononomi merupakan salah satu tujuan dari pembangunan setiap negara dimana dapat digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan, yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan perdagangan ataupun melalui rezim nilai tukar yang diberlakukan di negara tersebut (Dirgantoro, 2010). Usaha untuk menentukan pertumbuhan dari sektor petanian harus diselaraskan dengan usaha stabilisasi nilai tukar riil (real exchange rate) dimana hal tersebut diteliti oleh Cho, Seheldon dan McCorriston (2002). Mereka mengungkapkan ketidakpastian real exchange rate lebih memberikan dampak terhadap pertumbuhan perdagangan di sektor pertanian di bandingkan denga sektor lainnya. Dampak negatif ketidakpastian pada perdagangan sektor pertanian lebih signifikan dibandingkan dengan sektor lainnya. Terdapat penelitian lainnya yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan regim nilai tukar dilakukan pula oleh Yeyati dan Sturzenegger (2003), dimana keduanya meneliti hubungan antara exchange rate regimes dengan economics growth untuk kasus di 183 negara. Hasil penelitiannya menunjukkan di negara berkembang flexible exchange rate regimes diasosiasikan dengan pertumbuhan yang lebih cepat sementara untuk di negara industri/maju pengaruh
23
regim nilai tukar yang tidak nampak pengaruhnya secara signifikan pada pertumbuhan. Berbeda dengan Wincoop dan Bacchetta (2000) dimana mempunyai pendapat yang berbeda. Keduanya berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh perdagan intenasional tidak ditentukan oleh regim nilai tukar. Mereka berpendapat bahwa perubahan harga ini tergantung pada kebijakan moneter yang diterapkan pada setiap sistem. Perubahan harga ini memberikan dampak langsung pada perdagangan dan yang mudah diverifikasi pada regim nilai tukar tetap. Selanjutnya, Karras (2011) menyatakan bahwa regim nilai tukar mempengaruhi efektivitas dari kebijakan fiskal, dimana regim nilai tukar berpotensi akan meningkatkan pertumbuhan ketika fixed exchange rate daripada saat flexible exchange rate. Menurut Krishna dan Mitra (1998) pertumbuhan ekonomi dapat juga disebabkan oleh peningkatan produktivitas. Adanya liberalisasi perdagangan di India pada tahun 1991 menyebabkan peningkatan daya saing dengan ditandai menurunnya
price-maginal
mark-ups
dan
terjadinya
laju
pertumbuhan
produktivitas. Berbeda dengan pendapat Deininger dan Squire (1998) dimana pertumbuhan ekonomi dapat juga disebabkan oleh peningkatan aset (lahan) dan investasi
agregat.
Ketidakmerataan aset akan
mengurangi
pertumbuhan
pendapatan masyarakat miskin sedangkan kebijakan untuk meningkatkan investasi agregat dan mengurangi ketidakmerataan aset dengan cara memfasilitasi penambahan aset bagi masyarakat miskin yang mendapatkan perolehan manfaat ganda, yakni pertumbuhan ekonomi dan mereduksi kemiskinan. Fan et.al., (1999) bahwa teknologi baru akan mengembangkan infrastruktur yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di India. Senada dengan pernyataan Wibisono (2005) dimana pertumbuhan perekonomian juga disebabkan oleh adanya perbaikan teknologi. Hal ini dapat dilihat terdapatnya perbedaan penerapan teknologi di setiap daerah/provinsi.
24
2.3. Pembangunan Sektor Pertanian Kebijakan pertanian di dunia akhir-akhir ini secara umum menunjukkan penurunan intensitas, dan semakin terbatas. Hal itu dapat ketahui dari pelambatanperabahan marginal dalam program pertanian (Scrimgeour dan Pasour, 1996). Selanjutnya mereka melaporkan bahwa dalam reformasi ekonomidramatik di New Zealand pada tahun 1984, reformasi kebijakan pertanian telahmembuat kemudahan dalam reformasi ekonomi tersebut karena efek simultanterhadap sektor lain yang berjalan dengan baik. Hal itu menjadi pelajaran bagi negara lain dalam hal, pertama, memperhatikan pentingnya cara pandang analisisjangka panjang (long term). Kedua, tekanan reformasi kebijakan pertanian perlu diutamakan karena mempunyai keunggulan untuk menumbuhkan sektor lain. Ketiga, keterbatasan analisis kebijakan pertanian jangka pendek akan memberikan implikasi yang terkesan tidak signifikan dampak dari kebijakan tersebut yang disebabkan oleh tingkat harga-harga pertanian yang rendah. Namun dalam jangka panjang, pertanian sangat tahan terhadap pengaruh shock ekonomi di New Zealand. Keempat, reformasi di New Zealand me nunjukkan pentingnya peran dan pemahaman (keberpihakan) konstitusi dan pemerintah untuk berkontribusi pada reformasi kebijakan pertanian secara serius. Menurut Rozelle dan Swinnen (2004) dalam studi mengenai transisi pertanian di negara (berkembang dan maju) di kawasan Asia timur, Asia tengah, Trancaucus,Eropa (Commonwealth Independent States/CIS), Baltik, Eropa tengah, dan Balkan dimana secara umum menyimpulkan bahwa di negara berkembang yang sedang mengalami transisi
pertanian dalam perubahan
struktural perekonomiannya, memajukan pertanian dalam kebijakan ekonomi suatu negara menjadi lebi penting pada saat lebih dari 50 persen penduduknya bekerja di sektor pertanian, dan belanja penduduk sebagian besar dipergunakan untuk pangan. Peringatan tersebut sesuai dengan situasi riil di Indonesia. Dalam sistem ekonomi terbuka, kebijakan yang mempengaruhi sinyal harga sangat berdampak pada pasar input dan produk pertanian. Dilaporkan dalam studi Rozelle and Swinnen (2004) bahwa perubahan harga akibat kebijakan pemerintahmempunyai koefisien korelasi 0.70 dalam perubahan
25
penggunaan input dan perubahan output pertanian di 15 negara selama 15 tahun terakhir. Selama 6 tahun terakhir, 15 persen pertumbuhan output disebabkan oleh peningkatan relatif terhadap harga produk sektor pertanian. Dalam studi mi kebijakan subsidi dalam jangkapanjang dicurigai akan mendistorsi harga maka porsinya perlu diturunkan. Semakin baik kondisi nilai tukar petani juga akan meningkatkan produksi dan produtivitas pertanian. Banyak negara termasuk Indonesia masih menggunakan cara berflkir, mengkondisikan harga produk pertanian serendah-rendahnya untuk mencapai tingkat upah buruh industri yang rendah. Kebijakan yang demikian dipandang sebagai menyesatkan dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Muslim (2002) berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sampai periode 1980-an telah memposisikan pertanian sebagai sektor penting dala m perekonomian. Sela ma dua de kade lebih bahwa pembangunan pertanian menjadi prioritas pokok dalam pembangunan. Komitmenkuat pemerintah dala m pembangunan pertanian tersebut diwujudkan dalam belanjapublik untuk pertanian, subsidi, kebijakan harga pada tanaman pangan, deregulasi pada perdagangan dan pemasaran, pembangunan irigasi, kelembagaan/kesistema n pertanian, revitalisasi penyuluhan dan tata guna lahan. Selanjutnya, Muslim (2002) menjelaskan bahwa Indonesia mulai memberi subsidi pupuk pada awal 1970-an sebagai bagiandari usaha untuk mendorong petani menggunakan pupuk kimia bersama dengan mengintrodusir varietas padi baru. Subsidi ditujukan untuk menstabilkan harga pada tingkat tertentu dalam penggunaan faktor input yang digunakan petani. Hal itu dipandang sebagai pemindahan sumberdaya yang efisien dari pemerintah kepadapetani dalam pembangunan. Kebijakan tersebut telah sukses dimana sepanjang periode 1969-1992, penggunaan pupuk (nitrogen, kalium, dan fosphat) dapat ditingkatkan secara dramatis. Bersama-sama dengan kebijakan pemerintah lain, usaha ini memungkinkan Indonesia untuk mencapai dan memelihara swasembada beras pada tahun 1984, suatu prestasi terkemuka untuk suatu negeri yang awalnya importir beras paling besar. Jenis subsidi pertanian selanjutnya semakin bervariasi seperti subsidi bunga kredit pertanian, subsidi harga produk pertanian dan bentuk subsidi lainnya.
26
Studi yang telah dilakukan Fuglie (2004) menyimpulkan pada periode tahun 1961 hingga tahun 2000, bahwa pertumbuhan produktivitas pertanian di
Indonesia sebagian besar disumbang oleh faktor input
konvensional (lahan, tenaga kerja, tenaga ternak, pupuk). Peran faktor input modern (mesin, teknologi kimiawi lanjut, dan genetik) sangat rendah. Situasi itu menunjukkan bahwa pengembangan inovasi teknologi sektor pertanian selama masa itu masih terbatas. Berikutnya hasil studi Fan, et al. (1999) menemukan bahwa selama periode 1970-an sampai 1980-an karena revolusi hijau, umumnya semua negara mengadopsi jenis-jenis tanaman/varietas yang berproduksi tinggi. Di Indonesia, nampak sekali kemandegan dalam pengembangan penelitian pengembangan teknologi pertanian sebagaimana konsisten dilakukan negara-negara tetanganya di Asia. Hal itulah yang diperkirakan menjadi sebab terjadinya pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian untuk hampir semua varietas. Secara empiris tatalaksana pengembangan teknologi inovasi pertanian yang tidak diperhatikan bahkan sistem deliverinya menjadikan pengembangan teknologi pertanian Indonesia sangat tertinggal. Dalam pertanian, inovasi teknologi segera nampak pada penemuan-penemuan varietas baruyang ma mpu mengkompensasi pertumbuhan preferansi dan tingkat kebutuhan manusia dengan produktivitas yang semakin besar. Inovasi teknologi pertanianIndonesia terkesan dominan pada tanaman pangan (Simatupang, et. al.,2004). 2.4. Pendekatan Kesejahteraan dan Kemiskinan Ravallion (2004), menjelaskan bahwa untuk penilaian kesejahteraan dalam analisis kemiskinan secara tradisional dicirikan menurut dua pendekatan utama, yaitu pendekatan welfarist dan non-welfarist. Pendekatan pertama dalam prakteknya cenderung terkonsentrasi pada perbandingan “economic well-being” atau kesejahteraan ekonomi yang disebut sebagai standard of living atau “standard hidup” atau ”pendapatan”. Pendekatan kedua secara historis memiliki pendukung sebagian besar dari sarjana ilmu sosial daripada ilmu ahli ekonomi sebagai bagian dari reaksi mereka terhadap pendekatan yang pertama.
27
Kedua pendekatan tersebut seringkali disebut pendekatan obyektif dan pendekatan
subyektif.
Pendekatan
obyektif
yaitu
pendekatan
dengan
menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan,
sedangkan pendekatan subyektif
adalah pendekatan dengan
menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph Stepanek (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga. Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuha n dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach). Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga
secara
langsung
mempengaruhi
pendapatan
seseorang
dalam
masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok
28
orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. 2.4.1. Pendekatan Welfarist Pendekatan Welfarist lebih kuat di dalam mikroekonomi klasik, dalam bahasa ekonomi, welfare atau utility biasanya kata kunci di dalam perhitungan akuntansi untuk perilaku dan kesejahteraan individu. Dalam teori ekonomi mikro umumnya mendalilkan individu adalah rasional dan mereka diasumsikan dapat membuat keputusan terbaik dengan adil dalam kehidupan, yaitu memaksimumkan utility dan kebahagiaan. Dengan tingkat kekayaan tertentu (initial endowments), (termasuk waktu, lahan, dan fisik dan human capital), individu membuat pilihan produksi dan konsumsi menggunakan preferensinya terhadap sekeranjang konsumsi dan aktivitas produksi, dan memasukkan harga konsumen dan produsen ke dalam perhitungan teknologi produksi yang berlaku dalam perekonomian (Karo, 2008). Berdasarkan asumsi dan kendala tersebut, seorang individu secara rasional akanmemaksimalkan utility, dengan asumsi tambahan (termasuk pasar kompetitif, informasi sempurna, dan tidak ada eksternalitas), seorang individu masyarakat seluruhnya bereaksi dengan bebas memilih dan proses ini akan mendorong ke arah suatu pareto-efficient, artinya bahwa tidak ada perbaikan utility seseorang dengan intervensi pemerintah tanpa menurunkan utility orang lain. Dasar dari pendekatan welfarist terhadap kemiskinan adalah tentang informasi yang diungkapkan oleh perilaku individu tersebut terhadap penaksiran atau penilaian kemiskinan. Terutama sekali ditekankan bahwa penilaian kesejahteraan seseorang harus konsisten dengan preference revealed berdasarkan pilihan bebas perorangan. Sebagai contoh, seseorang dapat diamati menjadi miskin berdasarkan total konsumsi atau standard pendapa tan dari analisis kemiskinan. Meskipun demikian orang yang sama dapat (yaitu, mempunyai
29
kapasitas kerja) menjadi tidak miskin (non-poor), maka ia akan dipertimbangkan miskin oleh standard analisis kemiskinan (non-welfarist), welfarist dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak miskin. Hal ini akan mempunyai implikasi penting dalam merancang dan menilai kebijakan publik. Dalam menganalisisnya, dasar utama pendektan welfarist adalah pendekatan ini membutuhkan penilaian tingkat utility atau ”psychic happines”. Permasalahan yang sering muncul jika kita mencoba untuk membandingkan tingkat utility antar individu, karena hal itu menyangkut masalah etika. Pilihan adalah heterogen, kebutuhan dan kenikmatan adalah berbeda, ukuran dan komposisi rumahtangga berbeda, dan harga bervariasi antar waktu dan tempat. Ekonomi kesejahteraan (khususnya utilitas) secara khusus terlihat sebagai suatu konsep yang subjektif, sehingga kebanyakan ahli ekonomi percaya bahwa membandingkan antar pribadi tentang kesejahteraan ekonomi adalah tidak tepat. 2.4.2. Pendekatan Non-Welfarist Non-Welfarist, mempunyai dua pendekatan utama dalam menganalisis pokonya yaitu basic-needs approach dan capability approach. Fokus yang pertama di dalam mencapai beberapa kebutuhan dasar yang multidimensional dapat diamati dan dimonitor relatif lebih mudah. Hasil ini umumnya (secara eksplisit atau implisit) dihubungkan dengan konsep manfaat (functioning). Pandangan functionings ini dapat dipahami menjadi suatu konstitusi dari unsurunsur kesejahteraan atau well-being. Seseorang hidup baik jika cukup besar menikmati tingkatan manfaatnya. Pendekatan functionings umumnya tidak mencoba membandingkan unsur multidemensional ke dalam dimensi tunggal seperti utility atau kebahagiaan. Pendekatan functionings umumnya fokus untuk menilai multiple specific dan separate outcomes, seperti kenikmatan dari jenis konsumsi komoditas tertentu, menjadi sehat, terpelajar, berpakaian baik, rumah baik, tidak dalam keadaan sakit (Duclos, et. al. 2004). Selanjutnya, pendekatan functionings lebih mendekati yang berhubungan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic-needs), dan keduanya sukar untuk dibedakan di dalam praktek. Bagaimanapun juga, pendekatan functionings tidak sinonim dengan basic-needs. Kebutuhan dasar dapat dipahami sebagai bentuk dari input fisik yang umumnya diperlukan individu untuk mencapai beberapa manfaat.
30
Oleh karena itu, kebutuhan dasar umumnya digambarkan dalam istilah rata-rata (mean) daripada hasil (outcomes). Tidak seperti functionings, basid needs dapat didefinisikan untuk semua individu, spesifikasi dari basic needs tergantung pada karakteristik individu dan masyarakat di mana mereka tinggal. Sebagai contoh, kebutuhan komoditi dasar untuk seseorang dalam keadaan baik dan tidak kurang makan akan tergantung pada iklim dan karakteristik fisiologis dari individu. Oleh karena itu, walaupun pemenuhan kebutuhan dasar merupakan suatu unsur penting di dalam menilai apakah seseorang telah mencapai beberapa functionings, penilaian tersebut harus menggunakan informasi pada karakteristik seseorang dan sosial ekonomi. Pendekatan non-welfarist yang sering disebut sebagai pendekatan kemampuan (capability) yang juga dipelopori oleh Sen merupakan pendekatan alternatif yang lainnya. Pendekatan capability digambarkan dengan kapasitas untuk mencapai functionings. Perbedaan antara pendekatan capability, basic needs dan functionings, pada kenyataannya sedikit banyaknya dapat dianalogkan dalam hal penggunaan indikator pendapatan dan konsumsi sebagai standard hidup. Pendapatan menunjukkan kemampuan untuk mengkonsumsi, dan "consumption functionings" sebagai hasil dari capability. Di dalam pendekatan basic needs dan functionings, kemiskinan langsung datang dari kekurangan konsumsi. Di dalam pendekatan capabilitiy,
kemiskinan
meningkat
berasal
dari
kekurangan
pendapatan dan capability, yang secara tidak sempurna dihubungkan dengan manfaat aktual yang dicapai. Terlepas dari kelebihan dan kelemahan pendekatan diatas, dalam penelitian ini konsep kemiskinan yang digunaka n merupakan kebutuhan dasar (basic needs) yang disebut sebagai kemiskina absolut. 2.5. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan Terdapat beberapa konsep yang berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Hal ini perlu diketahui mengingat distribusi pendapatan dan kemiskinan yang sifatnya multidimesional. Penjelasan ini akan diawali dengan konsep dan ukuran distribusi pendapatan selanjutnya diikuti dengan konsep dan ukuran kemiskinan.
31
2.5.1. Konsep dan Ukuran Distribusi Pendapatan Menurut para ahli ekonomi, secara umum membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analisis kuantitatif. Kedua ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yaitu besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ahli ekonomi. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumahtangga, tanpa mempersoalkan cara mendapatkannya dan tidak mengabaikan dari mana sumbernya, apakah itu berasal dari gaji, laba, sewa atau dari kegiatan yang menjadi sumber penghasilannya. Secara fungsi, bahwa distribusi pendapatan, ukuran yang terfokus pada bagian pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal) atau dengan kata lain bahwa konsep distribusi pendapatan fungsional ini berusaha untuk menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi tersebut, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Kriteria Bank Dunia (2008) menjelasakan bahwa telah umum dipakai dan diterapkan di Indonesia mengeni ketimpangan distribusi pendapatan ditentukan oleh aspek; (1) jika 40 persen jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih kecil dari 12 persen jumlah pendapatan suatu wilayah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan yang tinggi, (2) jika 40 persen jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima antara 12-17 persen jumlah pendapatan suatu wilayah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpanga n sedang, (3) jika 40 persen jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih besar dari pada 17 persen jumlah pendapatan suatu daerah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan rendah. Kriteria-kriteria tersebut dapat diketahui, dengan pemahaman bahwa jika 40 persen penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah menerima 20 persen jumlah pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia relatif rendah.
32
2.5.2. Konsep dan Ukuran Kemiskinan Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut. Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006), miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut. Selanjutnya, terdapat konsep bahwa kemiskinan absolut bermaksud memberi indikator mengenai keadaan perekonomian suatu daerah yang sebagian penduduknya mendapatkan nafkah yang hanya dapat dipakai untuk memenuhi taraf kehidupan minimum. Konsep ini memberi arti bahwa kemiskinan absolut berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar minimum agar seseorang dapat hidup layak. Jika seseorang mempunyai pendapatan dan tidak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin. Tingkat pendapatan minimum sering disebut juga garis batas kemiskinan (poverty line).
33
Konsep ini seringkali digunakan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang dapat dipakai seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan makan, pakaian dan perumahan yang diharapkan mampu menjamin kehidupannya (Todaro, 2000). Dari kriteria ini tidak terlalu sulit untuk mengatakan, bahwa orang yang miskin akan terlihat pada kurangnya bahan makanan, pakaian dan perumahan yang dimiliki seseorang atau kelompoknya agar mereka dapat hidup layak. Permasalahan yang sering muncul dari konsep kemiskinan absolut adalah bagaimana menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum. Sebab kedua aspek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya adat istiadat lokasi, iklim, tingkat kemajuan masyarakat dan faktor-faktor lain. Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Selanjutnya, menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat. Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas, maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya. Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang
34
tidak adil, dan penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang tidak adil. Sayogyo (1971), misalnya, menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan, dengan membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan dan perkotaan. Untuk daerah perdesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 320 kg per kapita per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 480 kg beras per kapita per tahun. Selain itu BPS juga membuat kriteria garis batas kemiskinan dengan memperhatikan pendapatan minimum yang diperlukan agar masyarakat atau kelompok dapat melepaskan diri dari kategori miskin. Berdsarkan dua indikator kemiskinan tersebut bahwa konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum merupakan konsep yang mudah dimengerti, akan tetapi menentukan garis kemiskinan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal itu disebabkan oleh banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian sangat dimungkinkan bahwa
garis
kemiskinan berbeda antara satu tempat dengan tempat lain atau antara negara yang satu dengan negara lainnya. Konsep kemiskinan absolut di atas telah membicarakan kriteria yang dapat menentukan apakah seseorang atau kelompok tertentu dapat dikategorikan miskin atau tidak. Pada prinsipnya, orang yang sudah mempunyai pendapatan dan pendapatannya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka yang bersangkutan dikatakan tidak miskin. Namun demikian banyak ahli berpendapat bahwa walaupun pendapatan seseorang sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaaan miskin (Todaro, 2000). Konsep tersebut menjelaskan bahwa kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Konsep di atas juga sering disebut sebagai kemiskinan relatif dan merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut. Konsep kemiskinan relatif biasanya bersifat dinamis,
35
sehingga kemiskinan akan selalu ada. Kriteria ini akan terlihat jika kita mengamati distribusi pendapatan masyarakat. Demikian halnya, Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, relatif, kultural, kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya dan tidak mau memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha pihak luar membantunya. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap kebiasaan masyarakat yang tidak produktif (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, (3) rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunya tingkat kesejahteraan masyarakat. 2.6. Studi-Studi Terdahulu Model keseimbangan umum dapat diilustrasikan sebagai jembatan penghubung antara model ekonomi makro dan mikro. Dengan model ini, analisis dampak kebijakan ekonomi makro dan kebijkan mikro dapat dilakukan secara serentak. Robinson (1989) mengemukakan bahwa model keseimbangan umum adalah sebuah model ekonomi yang paling relevan dalam menganalisis dampak kebijkan ekonomi pemerintah, jika kinerja perekonomian cenderung menganut sistem pasar bebas atau peran mekanisme pasar dalam perekonomian negara yang cenderung semakin dominan (Hulu, 1995). Selanjutnya, Hulu (1995) menyatakan bahwa data pendukung model keseimbangan umum terapan sebagai pendukung model keseimbangan teoritis adalah data I-O dan SAM. Sutomo
(1995)
dalam
penelitian
kemiskinan
rumahtangga
dan
pembangunan ekonomi wilayah dengan menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) sebagai kerangka dan metode analisisnya, dimana tujuan penelitiannya ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan rumahtangga, proses pemiskinan pembangunan wilayah. Analisis
rumahtangga deskripsi
dan
untuk
hubungannya
dengan
menjawab aspek-aspek
36
kemiskinan, sedangkan analisis pengganda diaplikasikan untuk menjawab perubahan distribusi pendapatan rumahtangga. Arndt et al. (1998) melakukan studi yang menyajikan pengukuran secara kuantitatif tentang keuntungan potensial karena peningkatan produktivitas sektor pertanian dan membangun jaringan pemasaran yang lebih baik. Me tode yang digunakan didasarkan pada analisis computable general equilibrium (CGE) model untuk menangkap keunggulan struktural yang penting dari perekonomian Mozambique. Model ini secara eksplisit mengikutsertakan pemilahan biaya pemasaran untuk kegiatan ekspor, impor dan juga penjualan domestik. Pertanian diagregasi ke dalam 8 subsektor. Permintaan rumahtangga dibedakan menjadi permintaan atas barang-barang yang dipasarkan dan barang-barang konsumsi produk
rumahtangga
produksi(bukan
harga
dengan
penilaian
pasar). Mereka
harga
didasarkan
menunjukkan bahwa
pada
biaya
peningkatan
produktivitas pertanian adalah hal yang sangat penting untuk perekonomian Mozambique, karena akan memberikan keuntungan potensial cukup besar bagi perekonomian. Namun, peningkatan output pertanian ini berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu terdapatnya biaya pemasaran yang cukup tinggi di sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan jatuhnya harga cukup signifikan. Penurunan ini akan mentransmisikan keuntungan dari faktor pendapatan ke sektor pertanian dan faktor produksi. Namun, kondisi ini ternyata membawa keuntungan bagi rumahtangga perdesaan karena tersedianya pangan yang lebih banyak dan rendahnya harga produsen yang akan menurunkan biaya konsumsi rumahtangga. Paula, et al. (1999), dalam menjelaskan secara langsung dan tidak langsung pengaruh distribusi pendapatan, human capital (yang diproksi dengan tingkat pendidikan), distribusi lahan dan faktor-faktor lain terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan pendekatan eknometrika dan data diperoleh dari 41 negara. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa konsentrasi pendapatan akan menurunkan pertumbuhan. Konsentrasi kepemilikan lahan menurunkan human capital dan meningkatkan ketimpangan pendapatan, yang selanjutnya akan menghambat tingkat pertumbuhan. Dari analisis yang dilakukan Bautista et al. (1999) dapat disimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian lebih
37
tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil GDP Indonesia dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan GDP lebih besar dampaknya terhadap perubahan pendapatan kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian. Decaluwe, et al. (1999), melakukan penelitian tentang kemiskinan di dalam kerangka model ekonomi keseimbangan umum. Tujuan dari studi ini adalah untuk menampilkan bagaimana model SAM dan CGE dapat menganalisis dan melakukan isu yang berhubungan dengan kemiskinan dan distribusi pendapatan.Tulisan ini dibagi dalam dua bagian besar, yang pertama dengan menjelaskan model SAM dan kemudian mengkalibrasikan model CGE ke dalam perekonomian Afrika. Dalam studinya, poverty line diperlakukan sebagai endogen antara
kelompok
rumahtangga, sedangkan distribusi
pendapatan dilihat
denganmenggunakan beta distribution functions. Dengan spesifikasi ini, poverty line akan berubah mengikuti variasi di dalam harga relatif. Garis kemiskinan dan distribusi yang baru akan ditemukan. Untuk melihat ti ngkat kemiskinan tahun dasar yang dibandingkan dengan nilai ex-post dengan menggunakan Foster, Greer dan Thorbecke 's (FGT). Hasil studi ini menyimpulkan bahwa penurunan harga dunia di negara-negara pengekspor, menghasilkan penetesan di dalam seluruh pendapatan rumahtangga dan menurunkan kemiskinan. Lebih lanjut disebutkan bahwa liberalisasi perdagangan secara sepihak mempunyai konsekuensi negatif terhadap semua pendapatan rumahtangga. Subiyantini (2000) menyatakan bahwa model keseimbangan umum menggambarkan
perubahan
dari
kondisi
suatu
keseimbangan
menuju
keseimbangan baru jika terdapat adanya external shock dari suatu variabel ekonomi. Dengan model ini perubahan suatu variabel mikro dapat dilihat dampaknya secara komprehensif baik secara mikro maupun makro. Dengan demikian tepatlah kiranya jika disebut sebagai alat analisis kebijakan. Melalui model ini pemerintah dapat melakukan simulasi kebijakan yang bersifat mikro dan melihat dampaknya terhadap semua pasar, sebelum kebijakan ditetapkan.
38
Terdapat pula studi yang dilakukan oleh Asra (2000), dimana melakukan dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut sektor (desa-kota). Beberapa diantara temuan penting dari studi tersebut adalah bahwa: (1) penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty
reduction)
di
Indonesia;
(2)
elastisitas
kemiskinan
terhadap
"distributionally neutral growth" untuk ketiga ukuran FGT (headcount index, poverty gap index, dan distributionally sensitive index) di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi; dan (3) hasil dari simulasi dekomposisi menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan kerja dan perbaikan peluang kerja di perkotaan (urban) memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan agregat. Berikutnya, Booth (2000) dalam penelitiannya yang bertujuan mengkaji mengenai kemiskinan dan pemerataan pendapatan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai head count ratio Indonesia masih di atas Malaysia dan Thailand, namun di bawah Philipina pada akhir tahun 1980-an. Pernyataan Booth tersebut memperkuat dugaan bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan menjadi hal penting untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dengan catatan program-program pembangunan lebih diarahkan tidak hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga kebutuhan spesifik bagi penduduk miskin. Lofgren (2001) melakukan studi di perekonomian Malawi. Tujuan dari studi adalah untuk melihat dampak goncangan eksternal (luar negeri) terhadap pengurangan kemiskinan. Penelitian ini juga melihat potret perekonomian Malawi dengan menggunakan model keseimbangan umum. Simulasi yang dilakukan adalah bagaimana dampak kebijakan dari pengaruh luar (external shock) terhadap pengurangan kemiskinan. Untuk tujuan tersebut Lofgren menggunakan Model CGE Malawi, data yang digunakan adalah Social Accounting Matrix (SAM) 1998. Keuntungan utama dengan menggunakan pendekatan modeling ini bahwa model CGE tersebut terintegrasi secara lengkap untuk analisis perubahan pada tingkat
39
mikro dan makro, termasuk cakupan kebijakan pemerintah yang cukup luas. Model ini melakukan disaggregasi berdasarkan kelompok rumahtangga, yang bertujuan untuk menilai dampak perubahan distribusi di dalam ekonomi. Simulasi yang dilakukan dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, yang terkait dengan shock eksternal, yaitu meneliti dampak perubahan dalam nilai tukar rill, dan harga minyak tanah dan harga tembakau dunia dan Kedua, kebijakan yang diarahkan untuk domestik yang terkait dengan pengurangan kemiskinan, yaitu pekerjaan umum dan land reform. Studi yang dilakukan oleh Fane dan Warr (2002), yang menggunakan model CGE, menelaah bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa semakin besar pertumbuhan meningkatkan returns terhadap faktor yang merupakan sumber pendapatan paling penting bagi kaum miskin (the poor) daripada yang bukanpenduduk miskin (the non-poor), maka semakin besar kemungkinan untuk menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Perbedaan sumber pertumbuhan mempengaruhi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan dengan cara yang berbeda, karena mereka dipengaruhi oleh pendapatan faktor (factor returns) yang berbeda, dan karena orang miskin dan bukan miskin memiliki faktor dengan proporsi yang berbeda. Studi yang dilakukan Musjeri (2002) tentang lapangan kerja dan kemiskinan di Bangladesh mengupas tentang pentingnya program pembangunan infrastruktur perdesaan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Bangladesh merupakan negara dengan pendapatan per kapita rendah (sekitar $ 370 pada tahun2001), dimana satu dari tiga orang penduduknya hidup dibawah garis kemiskinan ($ 1 per hari). Bangladesh juga merupakan negara dengan surplus tenaga kerja yang besar. Tingkat pertumbuhan negaranya tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada. Bertahun-tahun lamanya pemerintah Bangladesh berupaya menciptakan lapangan kerja untuk menyerap kelebihan tenaga kerja tersebut
melalui
program-program
pekerjaan
publik
maupun
program
pembangunan infrastruktur berbasis tenaga kerja. Progam-program ini terbukti mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin dan bahkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Bangladesh melalui infrastruktur-infrastruktur
40
yang dibangun tersebut. Bangladesh merupakan negara yang didominasi oleh perekonomian
perdesaan,
sehingga
untuk
mempercepat
pertumbuhan
ekonominya, pemerintah lebih memfokuskan pada pembangunan desa sebagai prioritas. Studi yang dilakukan oleh Balisacan, et al. (2003) menemukan antara lain bahwa (1) kesejahteraan penduduk miskin yang diukur dengan pendapatan dari kaum miskin dipengaruhi secara nyata oleh pertumbuhan ekonomi, (2) faktor lain yang berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan penduduk miskin adalah modal manusia (yang diukur dengan lama bersekolah), term of trade, infrastruktur (road) dan akses terhadap teknologi, (3) mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya dengan
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi
semata,
namun
harus
mempertimbangkan berbagai "redistributing-mediating an institutional factors that matters" jika tujuan adalah mempercepat pengurangan kemiskinan secara berkelanjutan. Berikutnya Savard (2003) melakukan studi tentang kemiskinan dan distribusi pendapatan, dengan mengembangkan model CGE-representative household (CGE-RH) yang dianggap tidak memberikan perubahan distribusi antar kelompok, sehingga penulis memodifikasi dalam bentuk analisis multi-household CGE (CGE-IMH). Tulisannya mencoba mengusulkan antara model rumahtangga dan model CGE, dengan memperkenalkan bi-directional yang saling berhubungan dan oleh karena itu akan diperoleh solusi yang convergen antara kedua model. Tambahan spesifikasi model yang dikembangkan adalah dengan memasukkan jenis pekerjaan dengan kategori qualified, unqualified dan unemployed. Klasifikasi pekerja tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak suatu kebijakan akan mempengaruhi pekerja sehingga akan mempengaruhi distribusi pendapatan pekerja karena adanya perubahan upah yang flexible. Simulasi kebijakan yang dilakukan sebagai eksperimen adalah pengurangan tarif impor sebesar 50 persen dan peningkatan upah pekerja kelompok qualified sebesar 20 persen. Dari kedua simulasi diketahi bahwa skenario pertama, menyebabkan penurunan batas kemiskinan (poverty threshold) sebesar -2.84 yang dihasilkan dari pengurangan harga pasar barang sehingga merubah konsumsi kebutuhan dasar dan batas kemiskinan. Pada simulasi kedua dengan peningkatan upah
41
sebesar 20 persen di sektor qualified menyebabkan permintaan tenaga kerja disektor qualifed menurun, sehingga para pekerja disektor tersebut akan memilih untuk menawarkan tenaganya di sektor unqualified, meskipun upah di sektor unqualified juga mengalami penurunan upah nominal sebesar 9.08 persen, selainnya lebih menyukai menganggur sebesar 7.30 persen. Damuri dan Perdana (2003), melakukan penelitian dengan mencari nilai secara kuantitatif pengukuran dampak kebijakan fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan dengan menggunakan model CGE WAYANG untuk Perekonomian Indonesia. Hasil yang diperoleh ditemukan bahwa skenario untuk ekspansi fiskal secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan dan kemiskinan. Ekspansi fiskal terutama bermanfaat bagi rumahtangga perkotaan dan rumahtangga perdesaan non-labour, umumnya terhadap segmen masyarakat yang paling kaya. Hal ini disebabkan karena, pertama, faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh segmen ini membuat mereka menuai paling banyak memperoleh keuntungan dari ekspansi fiskal tersebut. Kedua, rumahtangga ini paling sedikit terpengaruh oleh peningkatan harga dalam kaitan denganstruktur konsumsi mereka. Yang terakhir, ditemukan bahwa, dalam terminologi riil, sistem perpajakan Indonesia beban pajak rumahtangga orang miskin lebih besar dari pada orang-orang kaya. Penelitian yang dilakukan Yudhoyono (2004), yang menganalisis kebijakan fiskal dan pembangunan pertanian perdesaan terhadap pengangguran dan kemiskinan dengan menggunakan model makro ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy reformasi. Di daerah perkotaan, kemiskinan dipengaruhi oleh pengeluaran infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi dan dummy desentralisasi. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan suatu kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan. Angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran pemerintah untuk prasarana memberikan pengaruh positif
42
bagi pengurangan pengangguran di Indonesia. Setelah penerapan desentralisasi atau otonomi daerah, keadaan penyerapan tenaga kerja semakin memburuk. Menurut Calderon dan Serven (2004) dalam studinya ingin menunjukkan dampak pengembangan infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Studi ini menggunakan panel data dari 121 negara-negara pada periode
tahun
1960-2000.
Hasilnya
menyimpulkan
bahwa;
Pertama,
pembangunan infrastruktur yang sesuai memberikan pengaruh positif kepada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kedua, kualitas dan kuantitas infrastruktur yang buruk berdampak negatif pada pemerataan (equality) pendapatan. Hasil ini signifikan tidak hanya secara statistik tapi juga ekonomi. Contohnya hampir semua
negara
Amerika
Latin
yang
memperbaiki
infrastruktur
dengan
mempertimbangkan kualitas dan kuantitas dalam jangka panjang mengalami pertumbuhan antara 1.1 sampai 4.8 persen per tahun. Hasil temuan Cororaton dan Cockburn (2004) dengan simulasi penurunan tingkat tarif antara tahun 1994 sampai 2000 pada umumnya menurunkan kemiskinan. Meskipun demikian, penurunan tersebut jauh lebih besar di daerah perdesaan dibanding dengan daerah perkotaan, dimana diketahui di daerah perkotaan memiliki kemiskinan yang paling rendah sedangkan di daerah perdesaan memiliki kemiskinan yang paling tinggi. Dampaknya terhadap distribusi diperoleh dari sebagian besar dari pengaruh realokasi pengurangan tarif yang mendukung sektor non-food manufacturing. Pemotongan tarif terendah dari biaya produksi domestik menimbulkan depresiasi nilai tukar. Karena sektor nonfood manufacturing mendominasi barang ekspor dalam kaitan dengan pangsa ekspor dan intensitas ekspor, maka pengaruh keseimbangan umum dalam pengurangan tarif akan menarik sumberdaya ke arah tersebut, yang akan menghasilkan harga faktor lebih tinggi di dalam sektor tersebut. Hal penting lainnnya yang mempengaruhi penurunan kemiskinan akibat dari penurunan tarif tersebut adalah terjadinya penurunan harga konsumen. Faktanya, semua penurunan harga konsumen adalah secara signifikan dan lebih besar dari pada total peningkatan dalam pendapatan rumahtangga. Oktaviani, et al. (2005) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan terhadap ekonomi Indonesia dan distribusi
43
pendapatan, dimana penelitan ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah seperti pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan transfer pemerintah ke rumahtangga terhadap distribusi pendapatan, pertumbuhan ekonomi dan sektoral. Model ekonomi keseimbangan umum (Computable General Equilibrium) digunakan sebagai alat dalam menganalisis dampak perubahan kebijakan dengan menggunakan data Tabel input-output, Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan parameter-parameter elastisitas yang diperoleh dari berbagai penelitian sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa GDP Riil dan peubah ekonomi makro lainnya akan lebih baik jika pengeluaran pemerintah diberikan secara langsung kepada keluarga miskin dibandingkan pemerintah meningkatkan pengeluaran di sektor pendidikan. Transfer pemerintah langsung ke rumahtangga miskin lebih berdampak positif terhadap keragaaan ekonomi makro dan sektoral, meskipun share pengeluaran pendidikan sangat kecil di masing-masing kelompok rumahtangga. Dalam kajian ini disarankan kepada pemerintah melakukan transfer langsung pada program yang akan dijalankan, dengan asumsi minimisasi kebocoran-kebocoran dari kebijakan tersebut. Nanga (2006) mengkaji dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan makro-ekonometrika dengan metode 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuk seperti bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena
kenaikan
transfer
fiskal
cenderung
mangakibatkan
peningkatan
ketimpangan pendapatan, sementara kemiskinan memiliki hubungan yang positif dan elastis terhadap perubahan dalam ketimpangan pendapatan. Selain itu ditemukan bahwa peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah pengangguran di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena penyerapan jumlah tenaga kerja di Indonesia mempunyai hubungan yang positif dan responsif (elastis) dengan perubahan PDRB. Keefektifan pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan per kapita) dalam mengurangi kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh
44
derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Ketika pendapatan per kapita meningkat, maka meningkat pula derajat keti mpangan pendapatan. Oleh karena efek ketimpangan pendapatan dalam meningkatkan kemiskinan jauh lebih kuat dibandingkan dengan efek pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan, maka sebagai dampak bersihnya kemiskinan akan semakin memperburuk. Studi yang dilakukan Oktaviani et al. (2006) yang bertujuan untuk menganalisis dampak pengurangan subsidi minyak dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan melalui suatu peningkatan penawaran tenaga kerja administrator dan manager/professional. Dalam kajian ini digunakan computabel general equilibrium model sebagai suatu pendekatan, dengan tujuan untuk menangkap dampak makro dan mikroekonomi variabel. Simulasi yang dilakukan adalah, pertama penurunan subsidi bahan bakar minyak sebesar 29 persen dan peningkatan penawaran tenaga kerja administrator sebesar 2.73 persen, dan kedua, penurunan subsidi bahan bakar minyak sebesar 29 persen dan peningkatan penawaran tenaga kerja manager/ professional sebesar 12.83 persen. Hasil kedua simulasi menunjukkan bahwa GDP riil mengalami peningkatan tetapi Indonesia akan mengalami ketergantungan impor dalam jangka panjang. Seluruh skenario memberikan dampak yang positif terhadap upah nominal tenaga kerja, tetapi tidak secara otomatis meningkatkan daya beli mereka. Kebijakan tersebut tidak cukup untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
pengeluaran
rumahtangga
tanpa
meningkatkan penawaran tenaga kerja terdidik atau skilled (administrator, dan manager/professional). Hasil penelitian Sitepu (2007) yang bertujuan untuk menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan rumahtangga terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan metode analisis model Ekonometrika, Model CGE, Metode Beta Distribusi Function dan Metode Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Data I-O Nasional Tahun 2003, SNSE tahun 2003 dan SUSENAS tahun 2002 digunakan dalam penelitian. Simulasi yang dilakukan adalah (1) investasi sumberdaya manusia untuk sektor pendidikan dan kesehatan, dan (2) transfer pendapatan kepada kelompok rumahtangga perdesaan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
45
rumahtangga
yang diikuti
oleh adanya
penurunan
tingkat
kemiskinan
rumahtangga. Investasi sumber daya manusia dapat mengurangi defisit anggaran pemerintah dan ketimpangan distribusi pendapatan khususnya kelompok rumahtangga buruh tani dan pengusaha pertanian, sedangkan dampak transfer pendapatan rumahtangga perdesaan relatif kecil mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan defisit anggaran pemerintah. Kebijakan fiskal tidak efektif memperbaiki kinerja sektor pertanian dan agroindustri di Indonesia. Hal ini dinyatakan oleh Darsono (2008) yang bertujuan mengkaji kinerja sektor pertanian dan agroindustri dalam perekonomian agregat, mengkaji hubungan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian dengan agroindustri dan mengkaji instrumen kebijakan fiskal yang efektif me mpengaruhi kinerja sektor pertanian. Penelitian ini menggunakan data sekunder deret waktu tiga bulanan, mulai tahun 1970:1 sampai 2005:4 dengan metode analisis yang digunakan adalah metode Vector Error Correction Model (VECM). Selanjutnya, Haryono (2008) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian (agroindustri) terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah Tabel Input-Output tahun 2003 dan Social Accounting Matrix (SAM) tahun 2003, dan data SUSENAS tahun 2002. Model analisis yang digunakan adalah model CGE recursive dynamic dan menganalisis insiden kemiskinan dengan indeks kemiskinan FGT. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap output yang dihasilkan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan terhadap sektoral, maka hampir seluruh sektoral mengalami peningkatan output. Dampak peningkatan produktivitas agroindustri terhadap kinerja makro ekonomi adalah positif yang ditunjukkan oleh meningkatnya PDB riil. Dampak peningkatan produktivitas agroindustri terhadap pengurangan tingkat kemiskinan di perdesaan dengan arah positif, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan bawah.
46
Efektifitas stimulus fiskal yang dilaksanakan di China dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan output untuk kegiatan bidang infrastruktur dilakukan dalam penelitian He et al. (2009). Teknik analisis yang digunakan adalah gabungan analisis pengganda Input-Output (I-O) dan model Dynamic Stochastic General Equilibrium (DSGE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa stimulus fiskal di China dapat meningkatkan output dan menyerap tenaga kerja, namun efektifitasnya bergantung pada pola dan distribusi belanja sektoral. Penyerapan tenaga kerja pada sektor non-pertanian tidak dapat secara langsung terwujud. Hal ini dikarenakan tenaga kerja membutuhkan waktu dan transisi untuk menyesuaikan keterampilan yang diperlukan untuk berpindah dari satu sektor ke sektor yang lainnya. Dengan demikian, perlu dilakukan pelatihan bagi tenaga kerja untuk membekali keterampilan yang sesuai dengan jenis pekerjaan baru yang tercipta akibat stimulus fiskal tersebut. Di samping itu, dampak dan efektivitas kebijakan fiskal juga bergantung kepada iklim usaha, rejim nilai tukar, tingkat keterbukaan ekonomi negara dan faktor lainnya.
47
III. KERANGKA TEORI 3.1. Model Pertumbuhan Ekonomi Model pertumbuhan ini, dalam teorinya sebagai model pembangunan dua sektor. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Lewis (1954). Menurut Lewis, terdapat dikotomi dalam masyarakat terutama di negara-negara terbelakang yaitu adanya dua sektor yang hidup berdampingan, yaitu sektor capital intensive (industri) dan sektor labor intensive (pertanian). Pada prinsipnya, model pembangunan dua sektor ini menitikberatkan pada mekanisme transformasi struktur ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non-primer, khususnya sektor industri dan jasa. Berkenaan dengan hal ini, maka industrialiasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktur ekonomi dari perekonomian subsisten ke perekonomian modern. Teori Lewis (1954) mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua sektor: (1) sektor tradisional yaitu sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampung transfer tenaga kerja dari sektor tradisional. Pada sektor tradisional di perdesaan, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka akan terjadi kelebihan supplai (over supply) tenaga kerja yang dapat ditransfer ke sektor industri. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output sektor pertanian. Hal ini berarti produk marginal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol, dimana dengan berkurangnya tenaga kerja, maka output sektor pertanian tidak akan berkurang. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tingkat upah tanaga kerja di sektor pertanian juga akan rendah. Adapun hubungan antara jumlah tenaga kerja, tingkat upah dan jumlah output di sektor pertanian dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut: ............................................................................. (3.1) ........................................................................................ (3.2)
48
.................................................................................... (3.3) ..................................................................................... (3.4) Dimana: berdasarkan persamaan (3.1) adalah permintaan tenaga kerja (
) yang merupakan fungsi negatif dari tingkat upah (
jumlah output sektor pertanian ( kerja (
) dan fungsi positif dari
). Persamaan (3.2) adalah penawaran tenaga
) yang merupakan fungsi dari tingkat upah (
). Selanjutnya, pada
persamaan (3.3) mencerminkan keseimbangan di pasar tenaga kerja (labor market) yang menghasilkan suatu tingkat upah dan jumlah tenaga kerja keseimbangan. Adapun pada persamaan (3.4) adalah fungsi produksi di sektor pertanian ( (
) yang merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja yang digunakan
). Nilai produk marjinal sama dengan nol, artinya fungsi produksi di sektor
pertanian seperti diilustrasikan pada persamaan (3.4) sudah berada pada skala kenaikan hasil yang semakin berkurang (diminishing return to scale), dimana setiap penambahan jumlah tenaga kerja justru akan menurunkan jumlah output yang dihasilkan. Pengurangan jumlah tenaga kerja tidak akan menurunkan jumlah output di sektor pertanian. Hal inilah yang akan mendorong tingkat upah tenaga kerja di sektor pertanian menjadi sangat rendah. Di lain pihak, sektor industri di perkotaan yang mengalami kekurangan tenaga kerja berada pada skala kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to scale), dimana produk marjinal tenaga kerja positif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat upah tenaga kerja di sektor industri relatif tinggi. Adapun perbedaan tingkat upah tenaga kerja pada kedua sektor ini akan menarik banyak tenaga kerja untuk berpindah (migrasi) dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Asumsi bahwa persediaan tenaga kerja di sektor pertanian tidak terbatas, maka sektor industri dapat berkembang dengan menarik tenaga kerja secara tidak terbatas dari sektor pertanian. Tenaga kerja bersedia pindah ke sektor industri karena mereka dapat menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan upah subsisten di sektor pertanian. Produktivitas marginal tenaga kerja di sektor industri lebih tinggi dari upah yang mereka terima, sehingga mengakibatkan terbentuknya surplus sektor industri. Surplus sektor industri dari selisih upah ini diinvestasikan kembali semuanya dan tingkat upah disektor industri diasumsikan
49
konstan serta jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian. Oleh karena itu, laju dari proses transfer tenaga kerja tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor industri. Pada tingkat upah sektor industri yang kontan, kurva penawaran tenaga kerja perdesaan dianggap elastis sempurna. Sektor industri akan terus menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian sampai pada titik dimana tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja sektor industri. Pada akhirnya rasio tenaga kerja-kapital (capital labor ratio) naik dan penawaran tenaga kerja di sektor perta nian tidak lagi elastis sempurna. Karena dalam model Lewis diasumsikan bahwa surplus sektor industri dari selisih upah diinvestasikan kembali seluruhnya, maka kurva produk marginal tenaga kerja akan bergeser ke kanan. Proses ini dapat digambarkan sebagai pergeseran kurva penawaran tenaga kerja atau produktivitas marginal ke kanan pada sektor industri pada tingkat upah yang lebih tinggi daripada upah subsisten di sektor pertanian, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.
Y P4 P3 P2
P1
Q1
W
Q2
Q3 Q4 W
S
S
O
N1 N2 N3 N4
X
Jumlah Tenaga Kerja Sumber: Jhingan (2000) Gambar 1. Model Pertumbuhan Dua Sektor
50
dimana: OX adalah jumlah tenaga kerja, OY adalah upah dan produk marginal, OW adalah upah sektor industri, OS adalah upah subsisten pertanian, dan WW adalah kurva penawaran tenaga kerja. Pada Gambar 1 di atas mengilustrasikan bahwa pada penggunaan tenaga kerja ON1, produktivitas marginal P1Q1 dan total output OP1Q1N1. Upah yang diterima tenaga kerja OWQ1N1 dan surplus sektor industri adalah WP 1Q 1. Surplus sektor industri memungkinkan adanya penambahan tenaga kerja hingga ON 4. Akibatnya, produktivitas marginal meningkat ke P 4Q4, total output OP 4Q4N4, upah OWQ4N4 dan surplus sektor industri sebesar WP4Q4. Proses pertumbuhan seperti diuraikan di atas disebut pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dari sektor industri dan perluasan kesempatan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja perdesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian tradisional dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian, ketika tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope negatif. Transformasi struktur perekonomian akan terjadi dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian yang tradisional menjadi perekonomian yang didominasi oleh sektor industri yang modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output dari sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan tingkat investasi di sektor modern (non-pertanian) dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa para pemilik modal yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Terakhir, tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan, dimana jumlahnya tidak ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor nonpertanian melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian.
51
3.2. Teori Pertumbuhan Keynesian Teori business cycle yang menekankan pentingnya ketidakstabilan permintaan agregat sebagai penyebab terjadinya fluktuasi ekonomimakro adalah teori Keynesian, baik Traditional Keynesian maupun New Keynesian. Teori Traditional Keynesian, dikembangkan dengan asumsi terdapatnya hambatan (barriers) pada penyesuaian segera (instantaneous adjustment) dari harga dan upah nominal. Kesulitan penyesuaian ini menyebabkan perubahan dalam permintaan agregat terhadap barang pada tingkat harga tertentu. Perubahan ini selanjutnya berpengaruh terhadap jumlah barang yang dihasilkan. Hal ini akan menyebabkan terjadi gangguan moneter dan berpengaruh pula terhadap permintaan tenaga kerja dan output. 3.2.1. Teori Pertumbuhan Keynesian Tradisional Model Traditional Keynesian disimpulkan dengan dua kurva output harga yakni kurva permintaan agregat (AD) dan kurva penavvaran agregat (AS). Kurva AD merupakan gambaran ekonomi dari sisi permintaan. Kurva ini diturunkan dari kurva output-suku bunga yakni kurva IS-LM. Kurva LM menunjukkan hubungan antaraoutput dan suku bunga yang menunjukkan kondisi keseimbangan di pasar uang pada tingkat harga tertentu. Secara sederhana yang dimo ksud dengan uang adalah high-powered money-currency dan reserves yang dikeluarkan oleh pemerintah. Permintaan untuk keseimbangan uang rill (real money balance) merupakan fungsi menurun (decreasing function) dari suku bunga nominal.Hal ini disebabkan karena high powered money tidak membayar suku bunga nominal, sebagai biaya opportunity dari memilikinya.Selanjutnya volume transaksi akan semakin besar dengan semakin besarnya output. Adapun permintaan untuk keseimbangan uang riil merupakan fungsi meningkat (increasing) dari output. Hal ini dapat dituliskan pada persamaan (3.5) adalah: M/P=L(i,Y),L <0,Ly>0 ...................................................................... (3.5) Turunan pertama terhadap Y dari pers. (3.5) menghasilkan:
i y
LM
Ly Li
0, ..............................................................................
(3.6)
52
dimana Li dan Ly adalah turunan parsial dari L(*) dan
i y
LM
merupakan
i y
sepanjang kurva LM. Peningkatan elastisitas permintaan uang terhadap pendapatan(income elasticity of money demand) dan penurunan elastisitas suku bunga (interest elasticity) dalam nilai absolut menyebabkan kurva LM lebih tinggi (steeper). Secara implisit, model IS-LM memperlakukan seluruh asset kecuali uang, bersubstitusi sempurna (Romer, 2006). Kurva IS menuniukkan hubungan output-sukubunga. Pengeluaran riil berhubungan positif dengan pendapatan riil dan pengeluaran pemerintah. Sebaliknya berhubungan negatif dengan suku bunga nil dan pajak. E = E(Y,i – 7r e,G,T) G<E l. <1, E. n,
0, E y. <0.................................................
(3.7)
dimana Л2adalah ekspektasi inflasi, G adalah pengeluaran pemerintah, dan T adalah pajak. Pengaruh negatif dari suku bunga terhadap rencana pengeluaran bekerja melalui keputusan investasi perusahaan can keputusan pembelian konsumen terhadap barang. Rencana pengeluaran diasumsikan meningkat lebih kecil dari pendapatan, sehingga jika 0 <E <1, maka besarnya nilai E adalah: E = C ( Y – T ) + 1 ( i – Л2) + G ........................................................
(3.8)
dimana C adalah konsumsi dan I adalah investasi. Asumsi bahwa suku bunga riil mempengaruhi konsumsi dan pendapatan mempengaruhi investasi tidak realistik. Jika Ricardian equivalence dipegang, maka pajak tidak berpengaruh terhadap permintaan. Hal ini secara umum menjadi dasar memhuat asumsi bahwa pendapatan dan pajak mempunyai pengaruh yang sama dan berlawanan terhadap pengeluaran (Romer, 2006). Jika semua output yang dihasilkan perusahaan dibeli oleh konsumen, maka pengeluaran aktual sama dengan output ekonomi Y sehingga dalam keadaan ekuilibrium, rencana dan pengeluaran aktual harus sama, keadaan ini dapat dituliskan : E = Y ................................................................................
(3.9)
dengan memasukkan persamaan (3.8) ke dalam persamaan (3.9) dihasilkan : Y = E(Y,i—Л2 ,G.T)........................................................... (3.10)
53
Peningkatan suku bunga akan menggeser kurva rencana pengeluaran ke bawah kari enaena E menurun dalarn (i-Л2), sehinggapengurangan ti ngkat pendapatan pada rencana dan pengeluaran aktual adalah sama. Turunan pertama dari persamaan (3.10) adalah:
i y
IS
E1 2 1 EY
................................................................... (3.11)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa kurva IS lebih landai jika E1 , 2
atau Ey lebih besar. Semakin besar pergeseran garis rencana pengeluaran ke bawah, semakin besar outputturun. Dengan cara yang sama, semakin tinggi garis rencana pengeluaran, semakin besar outputturun dalam merespon pergeseran ke bawah garis rencana pengeluaran untuk mencapai titik dimana rencana dan pengeluaran aktual mencapai keseimbangan dan semakin besar turunnya output.Pengaruh yang terakhir ini dikenal dengan sebutan multiplier. Karena nilai E bergantung pada nilai Y, maka penurunan Y mernbutuhkan keseimbangan baru dari E dan Y yang lebih besar dari jumlah turunnya F pada Y tetap. Perpotongan antara kurva IS dan LM menunjukkan nilai i dan Y pada konc'isi keseimbangan di pasar uang. Aktual maupun rencana pengeluaran adalah sama
untuk
P,Лe,
ti ngkat
G
da n
T
tetap.
Pe ningka tan
harga
me ngura ngipenawaran keseimbangan uang riil (real money balance). Pada tingkat pendapatan tetap, semakin tinggi harga, semakin tinggi pula suku bunga yang dibutuhkan agar tercapai keseimbangan di pasar uang. Kurva LM selanjutnya bergeser ke atas sehingga mengakibatkan i meningkat dan Y turun. Tingkat output pada titik perpotongan kurva IS dan LM merupakan fungsi menurun dari tingkat harga. Hal ini ditunjukkan oleh kurva permintaan agregat. Slope kurva AD adalah turunan pertama dari persamaan(3.7) dan persamaan (3.11) :
M Li i 2 P P
Y P i y
AD
AD
Ey
AD
Y P
Lr
AD
Y P
AD "
E1 e
............................................................. (3.12)
i P
AD
................................................... (3.13)
M / P2 ...................................................... (3.14) [(1 E y ) Li / E i e ] L y
54
Dari persamaan di atas dapat dilihat secara nyata (unambiguous) berarah negatif. Hal ini selanjutnya akan menentukan kemiringan (slope) kurva AD. Ada beberapa kelemahan teori business cycle yang dikemukakan oleh Traditional Keynesian yakni: (1) asumsi harga dan upah tetap, (2) tidak ada perbedaan analisis jangka pendek (short-run) dan jangka panjang (long-run), dan (3)mengabaikan uang sebagai sunIber ketidakstabilan permintaan agregat (Hall,1990). 3.2.2. Teori Pertumbuhan Keynesian Baru Dalam teori New Keynesian (NK) beberapa kelemahan teori Traditional Keynesian telah disempumakan. NK telah memasukkan teori klasik (supply side) dan teori-teori monetarist dalam teorinya. Guncangan pada sisi penawaran menurut teori NK juga merupakan penyebab fluktuasi yang panting. Guncangan dari sisi penawaran menyebabkan perusahaan menggeser kurva biaya marginal. Pergeseran ini mengakibatkan terjadinya perubahan kurva penawaran agregat jangka pendek dan jangka panjang pada arah yang sama. Selain guncangan dari sisi penawaran, ketidakstabilan moneter dan pengaruh guncangan terhadap permintaan uang dalam model NK juga dipandang sebagai sumber fluktuasi ekonomi makro yang penting. Sama seperti model monetarist, NK juga percaya pada Natural Rate Hypothesis. Dalam Natural Rate Hypothesis pertumbuhan output jangka panjang ditentukan oleh faktor-faktor riil yakni teknologi, pertumbuhan penawaran tenaga kerja, tingkat investasi, dan pengaturan kelembagaan. Dalam jangka pendek, yang mempengaruhi output dan tenaga kerja adalah perubahan permintaan agregat. Perubahan ini terjadi karena adanya salah ekspektasi pelaku ekonomi terhadap harga-harga. Dalam teori NK harga input dan output diasumsikan fleksibel dalam jangka panjang namun kurang fleksibel dalam jangka pendek. Ketidakfleksibelan yang disebut rigiditas ini menyebabkan fluktuasi variabel riil dalam jangka pendek rigiditas harga terjadi karena adanya insentif swasta, seperti biaya menu dan harga mark-up. Yang dimaksud dengan biaya menu adalah biaya tetap yang terjadi karena adanya penyesuaian terhadap harga no minal. Adanya penyesuaian ini menyebabkan terhambatnya harga-harga untuk benar-benar fleksibel dalam jangka pendek. Akibat tidak fleksibelnya harga output dalam jangka pendek,
55
guncangan positif terhadap permintaan agregat misalnya guncangan moneter, dapat menyebabkan harga output meningkat lebih rendah dibandingkan dengan perubahan dalam permintaan agregat. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan terjadinya fluktuasi ekonomi. Mankiw (2007) berpendapat bahwa business cycle merupakan hasil dari kegagalan pasar dalam skala besar. Kegagalan ini terjadi karena adanya rigiditas dalam pasar barang dan jasa. Menurut NK, upah nominal juga rigid dalam jangka pendek karena adanya kontrak upah. Ketika terjadi peningkatan harga output, sementara upah nominal tetap (rigid) akan menyebabkan upah rill turun. Hal ini menyebabkan perusahaan mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja untuk memproduksi output yang lebih besar. Karena itu guncangan terhadap permintaan agregat, termasuk permintaan agregat nominal dapat menyebabkan fluktuasi variabel riil dalam jangka pendek. Romer
(2006)
menyimpulkan
terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi perilaku siklikal dari sisi penerimaan maupun dari sisi biaya. Dari sisi penerimaan faktor yang mempengaruhi perilaku siklikal antara lain dampak dari luasnya pasar (thick market effects), informasi yang tidak sempuma, dan pasar modal yang tidak sempuma. Ketiga hal ini menjadi penghambat perusahaan untuk menaikkan harga ketika terjadi resesi. Dan sisi biaya, faktor ya ng me mpe nga r uhi perilaku siklikal adalah eksternalitas l ua s nya pa sa r (thick market externalities), ekonomi aglomerasi, dan tidak sempumanya pasar modal. Semua faktor ini akan menyebabkan biaya menjadi lebih tinggi selama resesi. Model NK menggunakan asumsi pasar tidak sempurna, yakni adanya hambatan (barriers) saat terjadinya penyesuaian harga dan upah. Dalam struktur pasar yang tidak sempurna, misalnya pasar monopolistik, sifat alamiah MC muncul dalam business cycle ketika terjadi fase ekspansi. Perubahan output akibat kemajuan teknologi akan menyebabkan perubahan MC. Hal ini menyebabkan harus dilakukan penyesuaian. Asumsi ketidaksempumaan kompetisi yang secara eksplisit dimasukkan di dalam model menyebabkan timbulnya berbagai kemungkinan guncangan dari sisi permintaan. Di samping guncangan teknologi, guncangan terhadap pertumbuhan moneter, guncangan pada permintaan agregat, guncangan
56
pengeluaran pemerintah den mark-up, guncangan jumlah differensiasi barang yang diproduksikan di pasar juga digunakan di dalam model dalam berbagai studi NK (Siregar, 2002). Rotemberg dan Woodford (1995) selanjutnya mengembangkan model multi guncangan dari sisi permintaan terhadap ekonomi. Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam modelnya, yakni: (1) ekonomi terdiri dari perusahaan yang berkompetisi secara monopolistik dalam pasar (monopolistic competition in product markets) dan rumahtangga yang hidup tanpa batas (identically infinitely lived households), (2) koefisien teknologi tetap (fixed-coeffocient technology) untuk input material dan mark-up untuk setiap perusahaan adalah konstan, (3) asumsi pasar yang tidak sempurna yang mempunyai implikasi pentingnya kekuatan pasar (market power), dan (4) asumsi increasing returns, yang kehadirannya dibuat dengan memasukkan input tetap (fixed input) ke dalam fungsi pertambahan nilai (value added function) agregat. Implikasi dari struktur pasar yang tidak sempurna adalah, hasil alokasi menjadi tidak pareto optimal. Hal ini menyebabkan kondisi ekuilibrium tidak dapat dicapai. Untuk mengatasi masalah ini, Rotemberg dan Woodford (1995) menggunakan karakterisasi ekuilibrium persamaan Euler. Pengaruh mark-up pada fluktuasi ekonomimakro berasal dan diberlakukannya berbagai tingkat kemampuan substitusi dari berbagai barang yang berbeda. Inovasi yang membawa perbedaan ini bervariasi berdasarkan elastisitas permintaan perusahaan. Variasi ini selanjutnya menyebabkan mark-up berubah sepanjang waktu. Dalam hal tenaga kerja (employment), variasi mark-up berimplikasi pada pergeseran permintaan tenaga kerja. Hal ini menyebabka n guncangan pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi fluktuasi ekonomi makro melalui suplai jumlah jam kerja. Ada beberapa kritik penting terhadap teori NK, yakni penggunaan agen representatif, yang menyebabkan terjadinya Fallacy of Composition. Fallacy of Composition ini mengakibatkan kebijakan harga yang assimetrik pada tingkat perusahaan, tetapi tidak berimplikasi assimetrik pada level agregat dan sebaliknya (Romer, 2006). Model NK selanjutnya cenderung memiliki kekurangan dalam konsistensi internal. Hal ini mungkin disebabkan karena
57
model NK sering menolak beberapa dasar ekonomimikro, misalnya aksioma bahwa individual bersifat rasional dan optimis. Menurut Romer (2006), karena teori Keynesian tidak didasari oleh fondasi ekonomi mikro, maka tidak mungkin dilakukan analisis kesejahterean. Sebagai reaksi kemudian muncul berbagai teori yang coba memberikan landasan ekonomi mikro untuk model Keynesian. Model-model ini disebut sebagai model ekuilibria ganda(models of multiple equilibria), misalnya Diamond (1984) dan Howit (1985) yang mengembangkan Search Theories.Teori ini menganalisis bagaimana rumahtangga dan perusahaan bennteraksi. Teori ini juga menganalisis adanya eksternalitas perdagangan (trading externality) untuk menilai apakah individual disewa atau ingin disewa. Eksternalitas perdagangan adalah interaksi non-harga (non-price interaction) antar agen yang tidak dapat dihilangkan dengan fleksibilitas harga. Kemudian Woglom (1982), Blanchard Kiyotaki (1986), dan Rowe (1987), marigembangkan model kurvakinked demand (kinked demand curves model). Model equilibrium ganda lainnya juga telah dikembangkan dengan menggunakan istilah seperti eksternalitas, informasi tidak sempurna, missing markets, nonconvexity, moral hazard, kekuatan pasar (market power) dan yang lainnya. Model-model
ini
menambah
khasanah
penelitian
business
cycle
dan
menunjukkan banyaknya faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya fluktuasi ekonomi agregat. 3.3. Dampak Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal terdiri atas dua instrumen utama, (1) kebijakan pajak dan (2) pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2007; Turnovsky, 1981), tetapi, kebijakan apapun itu dapat secara
langsung
mempengaruhi
komponen-komponen
permintaan secara menyeluruh jatuh pada kebijakanini. Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi
jalannya
perekonomian
dengan
maksud
agar
keadaan
perekonomian tidak terlalu menyirapang dari keadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Mankiw (2007) mendefinisikan bahwa kebijakan
58
fiskal sebagai "the government's choice regarding levels of spending and taxation". Kebijakan fiskal seringkali disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation junction), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods) atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat (private goods) dan barang sosial (social goods) dan kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Fungsi stabilisasi untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, yang berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran. Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi swasta (I) dan netekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output (Y) dalam keseimbangan makro: Y=C + I+G + (X-M) .............................................................. (3.15) 3.3.1. Dampak Kebijakan Fiskal pada Jalur Keynesian Dalil Keynes selama masa kekacauan ekonomi, kebijakan moneter seperti menurunkanbunga ternyata tidak efektif. Permintaan secara agregat bisa meningkat dengan cepat hanya dengan pengukuran kebijakan fiskal (Romer, 2006). Berdasarkan model makroekonomi Keynes, kas pemerintah merupakan bagian yang sangat penting untuk mengontrol permintaan agregat. Jika ekonomi berada di bawah tingkat full employment, permintaan agregat bisa ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan/atau dengan mengurangi tingkat pajak. Menurut Keynes, pemerintah memiliki peranan penting untuk mempromosikan permintaan agregat terhadap pemenuhan tingkat full employment. Masalah paling inti pada kebanyakan negara yang ekonominya sedang berkembang adalah tingginya pengangguran dan tingkat inflasi, dan defisit neraca
59
berjalan atau external imbalance. Untuk mengatasi masalah-masalahtersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangatlah dibutuhkan, tapi kebijakan perluasan untuk
meningkatkan
pertumbuhan
memiliki
kelemahan
terkait
dengan
ketidakseimbangan antara tingginya pertumbuhan permintaan dan kapasitas persediaan dalam ekonomi. Ini akan berdampak pada neraca eksternal yang merupakan sebuah peningkatan impor dan penurunan ekspor, sebagaimana permintaan yang berlebihan akan menghasilkan inflasi yang tinggi. Sebagaimana akibat dari situasi ini, ekonomi bisa saja kehilangan dayasaingnya yang pada akhirnya memperburuk external imbalance. Walaupun hal tersebut dapatdicapai untuk meningkatkan employment level tetapi hal tersebut bermasalah dalam hal memperburuk neraca berjalan dan neraca pembayaran (BOP). Pertentangan antara keseimbangan eksternal dan internal mengharuskan sebuah kebijakan fiskal yang efektif dan memiliki dampak negatif yang minim. Menurut sejarah, negara-negara berkembang mengandalkan perluasan kebijakan fiskal untuk mencapai sebuah pertumbuhan ekonomi. Model Fleming-Mundell (M-F) dari model IS-LM standar yang menggunakan pendekatan Keynesians dapat menjelaskan fenomena historis tersebut. Asumsi yang digunakan dalam Model Fleming-Mundell bahwa Model Neraca Pembayaran (BOP) adalah: (1) nilai upah danharga tetap, (2) permintaan agregat berhubungan dengan pengeluaran pemerintah secarapositif (G) dan output asing (Yf), dan nilai tukar (e) secara negatif berhubungan dengan tingkatsuku bunga domestik (rd), (3) permintaan uang adalah fungsi negatif dari tingkat suku bungadunia (r*) dan fungsi positif tingkat pendapatan domestik, (4) persediaan uang secara negatif dipengaruhi oleh perbedaan tingkat nilai tukar (e) dan nilai tukar yang telah ditentukan (e*),(5) nilai dagang ditentukan oleh tingkat output domestik (Yd) dan tingkat output asing (Yf),dan (6) neraca model ditentukan oleh perbedaan di antara tingkat suku bunga asing dan domestik (Husain dan Chowdhury, 2001). Tingkat arus modal ditentukan oleh perbedaan tingkat sensifitas suku bunga antara rdan r*, yang memiliki peranan penting dalam model M-F. Asumsi model M-F ini dimana tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia (r*), sehingga secara matematis ditulis r = r*. Adapun
60
keseimbangan makro perekonomian terbuka sebagaimana persamaan (3.15) sebagai keseimbangan di pasar barang: Y=C + I+G + (X-M) .......................................................................... (3.16) dimana: Xa dalah ekspor, dan M menunjukkan impor. Variabel konsumsi (C) tergantung pada disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (3.29) dapat ditulis seperti pada persamaan (3.16) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS. Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) ........................................... (3.17) Adapun keseimbangan di pasar uang dapat dijelaskan bahwa permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan: M/P=L(r*,Y)....................................................................... (3.18) Keseimbangan pasar barang, pasar uang dan BOP menurut model Mundell-Fleming, dapat dijelaskan melalui dua persamaan berikut: Y
= C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) .................................... (3.19)
M/P = L(r*Y) ................................................................................... (3.20) Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal (G dan T), kebijakan moneter (M), tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y) dan nilai tukar (e). Secara grafis, pengaruh kebijakan fiskal pada jalur Keynesian diuraikan sebagai berikut: 3.3.1.1. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Tertutup Pandangan Keynesian menjelaskan bahwa kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi
61
kurva
LM
yang cenderung landai. Dari
sisi suplai, Keynesian juga
mengasumsikan bahwa kurva AS adalah horizontal atau cenderung landai. Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi berada
pada
kondisi
unemployment
tinggi, sehingga
perusahaan dapat
memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku. Dengan kondisi demikian upah diasumsikan tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak sempurna (0
62
Sumber: Mankiw (2007); Sukirno (2005); Darsono (2008) Gambar 2. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian
63
Karena asumsi imperfect informations (0
64
tujuan tertentu adalah instrumen yang akan memberikan efektivitas maksimum. Secara historis negara-negara berkembang sangat menggantungkan kebijakan ekspansi fiskal dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi. Model MundellFleming dengan model standard IS-LM melalui pendekatan Keynesian dapat menjelaskan keadaan historis tersebut. Berdasarkan persamaan (3.19) dan (3.20) maka Model Mundell-Fleming (M-F) diasumsikan dengan memasukkan Balance of Payment/BOP sehingga diperoleh asumsi bahwa; (1) upah nominal dan harga fixed, (2) permintaan agregat berhubungan positif terhadap pengeluaran pemerintah (G), output luar negeri (Yf), dan nilai tukar (e) berhubungan negatif dengan tingkat suku bunga domestik (rd), (3) permintaan uang merupakan fungsi negatif dari tingkat suku bunga dunia (r*) dan fungsi positif terhadap tingkat pendapatan domestik, (4) suplai uang secara negatif dipengaruhi oleh deviasi antara nilai tukar (e) dan target nilai tukar tertentu (e*), dan (5) nilai perdagangan ditentukan oleh tingkat output domestik (Yd) dan tingkat output luar negeri (Yf), serta (6) capital account ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga domestik dan luar negeri (Husain and Chowdhury, 2001). Derajad mobilitas kapital yang ditentukan melalui sensiti vitas perbedaan suku bunga (r dan r*) mempunyai peranan penting dalam model MundellFleming (M-F), adapun sebagai berikut: Y
=C(Y -T) + l(r*) + G(D) + NX(e) ..................................... (3.21)
M/P =f(r*,Y) ...................................................................................... (3.22) BOP =f(Yf,Y, ER, r,r*) ........................................................... (3.23) Persamaan (3.23) menunjukkan kurva BOP atau BOP=0 untuk berbagai kombinasi pendapatan domestik (Y) dan tingkat suku bunga domestik (r). Dalam hal ini pengeluaran pemerintah (G), nilai tukar (e) dan pendapatan dari luar negeri (Yf) merupakan variabel shifter positif. Slope BOP menunjukkan derajad mobilitas kapital. Jika kurva BOP vertikal artinya tidak ada mobilitas kapital. Sebaliknya pada waktu mobilitas kapital sempurna, slope cenderung tak hingga/horisontal. Kurva BOP horizontal berimplikasi bahwa ada sedikit perbedaan antara tingkat suku bunga domestik dan asing yang akan mendorong adanya aliran kapital.
65
Efektivitas kebijakan fiskal dalam perekonomian terbuka pada model MF tergantung dari derajad mobilitas kapital dan kondisi exchange rate. Untuk negara-negara di Asia Timur (termasuk Indonesia), meskipun dalam kondisi perekonomian terbuka, tidak banyak menarik investasi asing, berarti slope BOP sangat curam atau mendekati vertikal, yang menunjukkan terbatasnya mobilitas kapital. 3.3.2. Dampak Pengeluaran Pemerintah Hubungan antara konsumsi pemerintah dan budget-nya dapat dilihat dengan memperhatikan neraca keuangan sektor publik, yang biasa disebut dengan government’s public sector, maka persamaannya dapat ditulis sebagai berikut: (
)
................................................................ (3.24)
dimana T adalah pendapatan pajak, Cg adalah konsumsi pemerintah, Ig adalah investasi pemerintah, Bgp adalah pinjaman pemerintah dari sektor swasta, πH adalah perubahanpersediaan tingginya kekuatan uang, dan Bgf pinjaman pemerintah dari sektor asing. Sisi kiri dari persamaan (3.24) menunjukkan defisit fiskal sementara di sisi kanan persamaan menunjukkan sumber pendanaan. Jika pemerintah ingin meningkatkan pengeluarannya, maka pendanaan harus dilakuakan dengan meningkatkan pendapatan pajak tanpa mempengaruhi defisit fiskal. Tingkat konsumsi pemerintah ditentukan oleh pendapatannya dan pembiyaan di luar hanya untuk defisit budget. Untuk mengatasi defisit budget, pemerintah harus menginisisasi hal-hal berikut: (a) meminjam dari sektor swasta, (b) money creation, (c) pinjaman luar negeri, (d) pengurangan simpanan devisa, (e) privatisasi, dan (f) akumulasi area. Untuk menutup defisit biasanya pemerinta melakukan dengan kombinasi antara berbagai sumber pendapatan tersebut. Secara alternatif, melihat posisi fiskal pemerintah adalah dengan memperhatikan keseimbangan simpanan-investasi. Secara matematis, hal ini digambarkana pada persamaan (3.25) sebagai persamaan the economy’s saving-investment balance, yang dituliskan sebagai berikut: (
)
(
)
........................................................ (3.25)
66
dimana T adalah pendapatan pajak, Cg adalah konsumsi pemerintah, Ig adalah investasipemerintah, Sp adalah simpanan swasta, Ip adalah investasi swasta, M adalah import, X adalah ekspor, dan (M-X) adalah defisit neraca berjalan eksternal. Melalui pendekatan ini, maka persamaan (3.25) menunjukkanbahwa defisit fiskal sama dengan total kesenjangan simpanan-investasi dari sektor sektor swastadan defisit neraca berjalan eksternal. Dengan melakukan kombinasi antara persamaan (3.28) dan (3.29) maka diperoleh persamaan berikut ini: ............................................................................ (3.26) ........................................................................................... (3.27)
Dimana Bpf adalah pinjaman dari sektor asing dan swasta. Adapun untuk persamaan (3.26) menyatakan bahwa surplus simpanan sektor swasta sama dengan pinjaman pemerintah ditambah dengan kasnya kemudian dikurangi dengan hutang luar negeri. Berikutnya, persamaan (3.27) menyatakan defisit neraca berjalan eksternal dibiayai oleh pinjaman pemerintah kepada asing dan pinjaman pemerintah kepada sektor swasta. Sumber pinjaman asing adalah simpanan asing. Dengan melakukan substitusi antara persamaan (3.24) dan (3.25) ke dalam persamaan (3.26) untuk mendapatkan persamaan (3.27). 3.3.3. Pengeluaran Pemerintah Untuk Sektoral Selain klasifikasi anggaran ke dalam belanja rutin dan pengeluaran pembangunan (klasifikasi ekonomi), yang lebih lazim dan dikenal sesuai dengan klasifikasi internasional adalah klasifikasi berdasarkan sektoral. Sampai saat ini, secara sektoral APBN mengklasifikasikan belanja negara ke dalam 20 sektor. Sementara itu, IMF melalui format GFS (Government Finance Statistic) terbaru telah mengembangkan konsep klasifikasi belanja negara. Tujuan konsep tersebut untuk membantu menunjukkan sifat, komposisi dan dampa k dari penerimaan, hibah, pengeluaran, pinjaman bersih, pembiayaan dan utang, serta transaksi keuangan pemerintah yang dikelompokkan berdasarkan jenis kegiatannya. Dalam kaitannya dengan belanja negara, di dalam konsep GFS, pengeluaran pemerintah (pusat) diklasifikasikan berdasarkan sifat ekonomi dan berdasarkan fungsi. Secara ekonomis, pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran lancar (rutin) dan pengeluaran modal (pembangunan). Dalam hal ini, pembagian sektor-
67
sektor ekonomi dititikberatkan pada bagaimana seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu negara dapat dibagi menurut bagian-bagiannya, dan sejauhmana pembagian tersebut sesuai dengan struktur ekonomi yang diterapkan di negara yang bersangkutan.
Secara
fungsional,
pengeluaran
(dan
pinjaman
bersih)
dikelompokkan sesuai dengan tujuan pokok atau fungsi untuk sektor mana mereka dibentuk, apakah untuk pertahanan, pendidikan, pertanian, dan lain sebagainya. 3.3.4. Pengaruh Subsidi Pemerintah Definisi subsidi merupakan pembayaran dari pemerintrah kepada perusahaan atau rumahtangga untuk mencapai tujuan tertentu yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk memproduksi atau mengkonsumsi produk dalam jumlah yang lebih besar atau dengan harga yang lebih murah. Tujuan utama subsidi adalah untuk menurunkan harga barang atau untuk meningkatkan jumlah output (Spencer dan Amos, 1993). Menurut Suparmoko (2004), bahwa subsidi atau transfer pembayaran adalah kurang lebih merupakan pengeluaran pemerintah yang juga dikenal sebagai pajak negatif dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan dari penerima subsidi atau konsumen menyadari peningkatan pendapatan riil jika mereka mengkonsumsi barang-barang yang disubsidi. Ada dua jenis subsidi pemerintah transfer dalam bentuk tunai dan subsidi. Transfer tunai diberikan kepada konsumen sebagai pendapatan tambahan pendapatan atau jika uang ini diberikan kepada produsen, maka diharapkan harga produk bisa lebih rendah. Subsidi adalah dimana penerima mendapatkan barang tertentu tanpa harus membayarnya (Handoko dan Patriadi, 2005). Subsidi dalam bentuk pengeluaran pemerintah adalah untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan harga yang terjangkau. Juga, subsidi diberikan kepada produsen untuk memproduksi kebutuhan dasar dalam bentuk barang dengan jumlah yangcukup dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Subsidi ditujukan untuk menstabilkan ekonomi, khususnya stabilitas harga. Subsidi diharapkan menjaga bahan mentah yang adauntuk siap pakai dan harganya terjangkau (Nota Keuangan dan APBN, 2010).
68
Harga Produk
S
P1 P
D1
D
0
Jumlah Produk
Q1
Q
(a) Harga Produk
S
S1 P P1 D
0
Q
Q1 (b)
Jumlah Produk
Sumber: Nicholson (2002) Gambar 3. Dampak Subsidi Terhadap Penawaran dan Permintaan
69
Di banyak negara berkembang, subsidi sangatlah penting untuk meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan (Norton, 2004). Subsidi adalah cara yang efisien atau transfer pembayaran dari pemerintah kepada masyarakat sebagai bentuk dari redistribusi kesejahteraan. Redistribusi kesejahteraan adalah dasar dari subsidi. Efek dari subsidi pemerintah terhadap penawaran dan permintaan dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Pengaruh elastisitas pada kurva penawaran dan permintaan ditunjukkan pada Gambar 3. Jika kurva permintaan tidak elastis secara sempurna, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3(a) menunjukkan bahwa subsidi akan menggeser kurva penawaran dari S menjadi S1. Jumlah pada keseimbangan hasilnya sama saja, tetapi harga akan meningkat. Jika permintaan mempunyai elastisitas sempurna, maka kurva penawaran bergeser ke kanan dari S menjadi S 1 yang akan meningkatkan output keseimbangan dari Q menjadi Q1 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3(b). Berdasarkan Gambar 3(c) bahwa pengaruh subsidi merupakan peningkatan jumlah keseimbangan pada harga yang sama. Artinya, jika kurva penawaran elastis secara sempurna, maka subsidi akan meningkatkan jumlah keseimbangan. Kebijakan subsidi pemerintah selalu berhubungan dengan barang dan jasa yang memiliki eksternalitas positif. Pada saat pengaruh negatif dari subsidi menciptakan alokasi yang tidak efektif karena konsumen mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan (boros). Di samping itu, hal ini dikarenakan harga lebih rendah dibandingkan opportunity cost-nya, maka ada kemungkinan bagi produsen untuk menjadi tidak efektif dalam menggunakan sumber daya untuk memproduksi barang-barang yang disubsidi (Spencer dan Amos, 1993). Subsidi yang tidak transparan dan tidak ditargetkan dengan baik bisa saja menyebabkan distorsi harga, inefesiensi, dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak (Basri, 2002).
70
Harga Produk
Harga Produk
D
Harga Produk S
S
S1
S1
P
S
P P
D
P1
(a) 0
S1
P1
(b) Q
Jumlah Produk
0
Q
D
(c) Q1
Jumlah Produk
0
Sumber: Nicholson (2002) Gambar 4. Pengaruh Subsidi Terhadap Elastisitas Sempurna dan Tidak Sempurna
Q
Q1
Jumlah Produk
71
3.4. Konsep Model Keseimbangan Umum Analisis model keseimbangan umum adalah analisis atau studi ekonomi yang mempelajari bagaimana kondisi penawaran dan permintaan berinteraksi dalam berbagai pasar secara simultan (Kusumanto, 1990). Pembuktian Walras mengenai adanya titik keseimbangan umum itu dilakukan dengan menggunakan matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand tidak tergantung pada fungsi lainnya. Formula ini dapat dituliskan dalam persamaan (3.40) berikut: ∑
............................................................................................... (3.28)
dimana: EDi (P) = excess demand untuk barang i; Pi= harga untuk barang i. Persamaan di atas adalah Hukum Walras, yang berarti bahwa total excess demand maupun total excess supply terjadi pada seluruh jenis barang atau komoditiyang diproduksi (Nicholson, 1995). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yang diminta di pasar, sedangkan harga-harga (dalam hal ini harga relative) diketahui pada saat pasar ke1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yang ke k akan ada keseimbangan juga sama dengan nilai satu. K. Arrow dan G. Debreu (1954) mensyaratkan adanya keseimbangan umum apabila perekonoian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana tidak terdapat indivisibilitas dan tidak terdapat skala pengembalian yang meningkat (increasing return to scale). Jadi perekonomian yang tidak kompetitif sempurna, titik keseimbangan umum tidak selalu ada (Sudarsono, 1995). Menurut Dixon, Parmenter, Powell dan Wilcoxon (1992) menyatakan model ekonomi keseimbangan umum melihat ekonomi sebagai suatu sistem. Pada model ini terdapat keterkaitan antara pelaku ekonomi, yaitu antara industri, rumahtangga, investor, pemerintah, importir dan exportir, dan antara pasar komoditi yang berbeda. Seluruh pasar yang ada dalam keadaan keseimbangan dan mempunyai struktur yang spesifik untuk mencapai keseimbangan. Secara umum model CGE memuat persamaan-persamaan, variabelvariabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, bentuk-bentuk fungsi dari persamaan.
Sistem persamaan yang dibentuk oleh subsistem-subsistem
persamaan yang secara umum meliputi produksi, pasar tenaga kerja, faktor
72
remunerasi, pendapatan disposible income, kelembagaan rumahtangga dan pemerintah, tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet dan de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk model CGE dikelompokkan ke dalam blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor impor, blok investasi dan blok keseimbangan pasar. Selanjutnya Sadoulet dan Janvry (1995) mengemukakan bahwa dengan sistem persamaan yang komprehensif, model CGE memiliki keunggulan dalam mengungkapkan dampak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara keseluruhan dari suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu, model tersebut telah digunakan untuk mensimulasi dampak sosial ekonomi dari sebuah skenario yang luas yang mencakup beberapa hal. Aplikasi model ekonomi keseimbangan umum telah dilakukan untuk menganalisis dampak dari kebijakan pemerintah. Buehrer and Mauro (1995) mengemukakan bahwa model aplikasi ekonomi keseimbangan umum dapat digunakan untuk mensimulasi dampak dari kebijaksanaan perdagangan
dan
dampak perubahan ekonomi dari berbagai paket kebijaksanaan pemerintah. Penggunaan model aplikasi ekonomi keseimbangan umum tidak hanya pada model perdagangan internasional tetapi juga pada perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya dan perubahan transisi dari ekonomi pasar (Yeah et al., 1994). Model tersebut dapat menganalisis sensitivitas dari alokasi sumberdaya karena adanya perubahan dari sektor eksternal sementara analisis keseimbangan parsial mengasumsikan sumberdaya bersifat tetap. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan meliputi parameter elastisitas dan input-output data, sehingga model CGE merupakan alat analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. Adapun anggaran pemerintah dalam keadaan berimbang, sehingga tabungan yang berasal dari surplus atau hutang karena defisit keduanya dapat dihitung. Tetapi perilaku mereka tidak terlepas dari mekanisme penawaran dan permintaan yang diasumsikan tidak terdistorsi. Pada setiap pasar, dalam model CGE, penentuan harga ditentukan oleh mekanisme pasar dimana harga bersifat
73
harga relatif yang mencerminkan harga konsumen secara aggregate dan homogen di seluruh transaksi dalam pasar bersangkutan. Penggunaan aturan standar model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar dapat diilustrasikan seperti dalam Gambar 14 yang diadopsi dari Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), seperti yang dikutip oleh Sadoulet dan Janvry (1995). Gambar 13mengilustrasikan bahwa kondisi keseimbangan di berbagai pasar yang dicerminkan oleh keempat kuadran. Diasumsikan bahwa seluruh faktor produksi digunakan secara penuh (fully employed), tingkat produksi agregat ditunjukkan oleh kurva kemungkinan produksi frontier yang terletak pada kuadran IV, yang mencerminkan kemungkinan transformasi antar tujuan ekspor (E) dan tujuan pasar domestik (D). Berdasarkan Gambar 5 bahwa barang yang diekspor (E) digunakan untuk mendapatkan barang impor-M melalui transaksi perdagangan di pasar pertukaran luar negeri (foreign exchange market) yang dicerminkan di kuadran I, dimana hubungan di antara kedua barang tersebut menghasilkan neraca perdagangan (balance of trade). Barang produksi domestik yang tidak diekspor (D) dijual di pasar domestik yang dilukiskan pada kuadran III. Berkorespondensi dengan ketiga kuadran tersebut di atas, tingkat konsumsi frontier di kuadran II dipasok dari kombinasi barang domestik (D) dan impor (M). Pada kuadran I diasumsikan tidak ada foreign capital inflow dan harga ekspor maupun impor adalah sama yang dilukiskan oleh lereng garis balance of trade sebesar satu. Pada kuadran II, kecuraman kurva utilitas merupakan fungsi dari tingkat konsumsi frontier pada titik C dan harga relatif keseimbangan P d/PM. Sedangkan pada sisi produksi di kuadran IV yang berkaitan dengan tingkat produksi sebesar P, dimana kecuraman slope kurva kemungkinan produksi frontier ditentukan oleh harga relatif barang ekspor dan domestik P E/Pd. Selanjutnya, solusi keseimbangan ekonomi makro dalam model ini dapat diamati pada kuadran II yang menunjukkan perilaku permintaan konsumen, yaitu tingkat utilitas tertentu pada saat konsumsi sebesar C dan tingkat produksi sebesar P. Suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar saling terkait satu dengan yang lainnya, sehingga perubahan pada satu pasar akan berpengaruh pada pasar lainnya. Keseimbangan umum akan tercapai bila permintaan dan penawaran
74
pada masing-masing pasar berada dalam keseimbangan. Di dalam sistem pasar persaingan sempurna semua pelaku antar pelaku ekonomi dilakukan melalui pasar. Perilaku pelaku-pelaku ekonomi ditentukan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Setiap pelaku, baik bertindak sebagai pembeli maupun sebagai penjual, tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga yang berlaku di pasar. Keseimbangan umum di dalam sistem multi pasar tercapai jika keputusan yang dibuat pembeli-pembeli dan penjual-penjual saling bersesuaian pada tingkat harga tertentu dan berlaku secara simultan di setiap pasar. M
II
Balance of Trade (BOT)
Utilitas
I
C’ C
D
Kemungkinan Produksi Frontier Q=Q(E,D)
Pd/PM Konsumsi frontier C=C(M,D)
E
P P’
III
Pasar Domestik
PE/Pd D
IV
Sumber : Sadoulet and de Junvry (1998) Gambar 5. Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE dimana: M adalah komoditas impor, E sebagai komoditas ekspor, D merupakan komoditas domestik, C adalah tingkat konsumsi frontier, P menunjukkan tingkat produksi frontier, PE/Pd adalah harga ekspor relatif terhadap harga domestik dan Pd/PMmerupakan harga domestik relatif terhadap harga impor. Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian dimana semua pasarnya berada dalam keseimbangan disebut dengan pendekatan keseimbangan umum. Pada model keseimbangan umum terdapat sekumpulan
75
fungsi permintaan dan penawaran yang mancakup pasar komoditi maupun faktor produksi (Horison, 1997). Di samping itu, di dalam model keseimbangan umum juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku di dalam perekonomian. Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras (Nicholson, 2002). Walras menyatakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan yang lainnya.
Keseimbangan pasar
dapat dijelaskan dengan
konsep
Excess
Demand(ED). Adapun ED di pasar j dapat didefinisikan sebagai berikut: I
I
i 1
i 1
z j ( p) x ij ( p, p.e i ) e ij ; j = 1, 2, 3, …. , n ............................. (3.29)
Keseimbangan umum tercapai bila ED memenuhi hukum Walras yang menyatakan bahwa Nilai dari ED agregat selalu nol pada semua vektor harga. Artinya bahwa pada suatu saat akan terdapat sebuah vektor harga-harga yang dapat menyeimbangkan tingkat permintaan dan penawaran di tiap pasar komoditas sehingga didapatkan hasil derivasi hukum Walras, sebagai berikut: Dianggap bahwa kendala pendapatan = pengeluaran, sehingga mempunyai implikasi pada persamaan (3.30) berikut: px = pemenjadi p(x-e) = 0 ................................................................................. (3.30) ED di setiap pasar dengan permintaan x i ( p, p.e' ) : n
p
j
j 1
{x ij ( p, p.e i ) e ij } 0 ................................................................ (3.31)
ED bagi setiap pelaku di setiap pasar: I
n
p i 1
j 1
n
j
{x ij ( p, p.e i ) e ij } 0 ................................................................... (3.32) I
p {x j 1
j
i 1
i j
I ( p, p.e i ) e ij } 0 .................................................. i 1
(3.33)
Dengan mengganti faktor kedua pada persamaan (3.44) dengan persamaan (3.45) maka diperoleh persamaan Hukum Walras sebagai berikut: n
p j 1
j
z j ( p) 0 ............................................................................... (3.34)
76
Hukum Walras memiliki implikasi yang cukup penting. Pada kasus dua komoditi, ED pada satu pasar harus diimbangi oleh ES (Excess Supply) pada pasar yang lainnya. Hukum Walras pada kasus ini diformulasikan sebagai p 1z1(p) = p2z2(p). Jika z1(p)>0 berarti terdapat ED di pasar 1, maka harus terdapat ES z2(p)<0 di pasar 2. Jika di pasar 1 terjadi keseimbangan z1(p) = 0 maka otomatis di pasar 2 terdapat pula keseimbangan z2(p) = 0. Konsep ini berlaku juga untuk kasus multi pasar (n pasar). Lebih
lanjut
Walras
(1951)
berpendapat
bahwa
tingkat
harga
keseimbangan (equilibrium) ini dapat dicapai melalui proses tatonement, dimana proses in bekerja sebagai penggerak dalam menurunkan harga pada pasar yang mengalami excess supply dan menaikkan harga pasar yang mengalami excess demand sampai terjadi harga keseimbangan. Pada model keseimbangan umum Walras, perilaku dari semua pengambil keputusan di dalam sistem ekonomi dinyatakan melalui suatu himpunan persamaan yang terbagi ke dalam dua himpunan bagian, masing-masing menggambarkan permintaan terhadap berbagai komoditi dan penawaran terhadap faktor-faktor input yang dimilikinya. Perilaku produsen juga digambarkan melalui sistem persamaan yang terbagi atas dua sub himpunan bagian yaitu yang menggambarkan jumlah komoditi yang dihasilkan dan yang menggambarkan permintaan terhadap setiap faktor input yang diperlukan dalam proses produksi. Karakteristik yang penting dari sistem persamaan model Walras ini adalah sifatnya yang simultan antar persamaan. Aktivitas pelaku-pelaku ekonomi dalam model Walras dilaksanakan melalui pasar-pasar komoditi dan faktor. Pada setiap pasar terdapat tiga jenis fungsi persamaan yaitu fungsi permintaan, fungsi penawaran dan persamaan market clearing. Pada setiap pasar komoditi, jumlah fungsi permintaan sama dengan jumlah konsumen dan jumlah fungsi penawaran sama dengan jumlah perusahaan yang memproduksi komoditi. Pada setiap pasar faktor, jumlah fungsi permintaan sama dengan jumlah perusahaan dikalikan dengan jumlah komoditi yang diproduksi. Jumlah fungsi penawaran sama dengan jumlah konsumen (rumahtangga) yang memiliki faktor produksi. Kesamaan jumlah antara variabel yang tidak diketahui (harga dan kuantitas komoditi dan faktor) dengan jumlah persamaan bebas tidak menjamin
77
penyelesaian terhadap sistem persamaan Walras. Supaya sistem persamaan dapat diselesaikan, maka diperlukan suatu harga numeraire
dimana semua harga
lainnya dinyatakan sebagai rasio terhadap numeraire tersebut.Eksistensi keseimbangan umum sama sekali tidak tergantung pada kesamaan antara jumlah variabel yang tidak diketahui dengan jumlah persamaan independent. Pembuktian tentang eksistensi keseimbangan umum sangat sulit. Arrow dan Debreu (1954) dalam Ratnawati (1996) membuktikan bahwa keseimbangan umum terjadi pada kasus persaingan sempurna. Kondisi keseimbangan umum akan tercapai ketika perekonomian diasumsikan berada pada kondisi pasar persaingan sempurna (PPS), dimana tidak ada skala pengembalian yang meningkat (increasing return to scale) (Sudarsono, 1995). Lebih lanjut Gilig dan Carl (2002) menyatakan bahwa selain asumís tersebut ada beberapa asumsi mendasar lain dari model keseimbangan umum, yaitu pada pasar komoditi dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawaran, pada tingkat harga keseimbangan bahwa keuntungan perusahaan adalah nol, penerimaan pemerintah sama dengan pengeluaran pemerintah dan pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluaran rumahtangga. 3.4.1. Keseimbangan Produksi Menurut Nicholson (2002) berpendapat mengenai teori produksi yaitu bahwa produsen berada dalam keseimbangan bila MRTS LK = w 1/w2 di mana w1 adalah harga faktor L dan w 2 harga faktor K. Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditi yang berbeda, yaitu x1 dan x2 keseimbangan simultan yang terjadi bisa dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk x 1 dan x2 tercapai pada saat isoquant x1 bersinggungan dengan isoquant x2 pada berbagai tingkat output. Titik-titik singgung tersebut membentuk kurva yang disebut contract curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai: 1 2 MRTS LK MRTS LK
w1 ............................................................... (3.35) w2
dimana: MRTS adalah slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan keseimbangan umum di sektor produksi, yang tercapai pada saat MRTS untuk
78
semua jenis output adalah sama. Jika harga faktor diketahui maka jumlah output x1 dan x2 yang harus diproduksi agar keuntungan maksimum tercapai, dapat ditentukan. X1
P1
X14 X13
P2 P3
X12
P4
X11
O
X21
X22
X23
X24
X2
Sumber : Nicholson (2002) Gambar 6. Production Posibility Curve Tingkat output x1 dan x2 yang diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang x 1 dan x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p 1 dan p 2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan, dibutuhkan konsep Production Posibility Curve (PPC). PPC di derivasi dari CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi x 1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi yang dapat dilihat pada Gambar 6. Tiap titik efisiensi produksi pada Edgeworth Box menjadi sebuah titik pada kurva PPF (Production Possibility Frontier). Kemiringan (slope) yang negatif pada kurva PPF adalah Rate of Product Transformation (RPT). RPT dari dua buah output sama dengan slope kurva PPF yang negatif.
79
RPT (of x for y) slope of production possibility frontier
RPT (of x for y)
dy (along O x O y ) dx
Adapun diagram kotak Edgeworth pada kasus dua komoditi dan dua faktor produksi dapat dilihat pada Gambar 7. OX2 X41
X3 2
X1 4
P4
X23
X23
P3 X32 K
P2 X14 X41 P1
OX1
L
Sumber: Nicholson (2002) Gambar 7. Diagram Kotak Edgeworthpada Kasus Dua Komoditi dan Dua Faktor Produksi RPT juga menunjukkan bagaimana barang x dapat dipertukaran secara teknis terhadap barang y, dengan tetap menggunakan input produksi yang tersedia secara efisien. Bentuk kurva PPF sebenarnya juga menunjukka n peningkataan Rate of Product Transformation (RPT). Selain itu, RPT sama dengan rasio antara marginal cost produksi barang x (MCx) terhadap marginal cost barang y (MCy). Berdasarkan definisi berikut:
dx1 dx1 ; 0 .................................................................. (3.36) dx2 dx 2 p Secara matematis dapat dibuktikan bahwa MRPT12 1 , berdasarkan definisi: p2 MRPT12
80
MC1
dC1 dC 2 , MC 2 .................................................................. (3.37) dx1 dx 2
sehingga:
MC1 dC1 dx 2 ............................................................... (3.38) . MC 2 dC 2 dx1
dimana :MC adalah biaya marginal (marginal cost), dan C adalah biaya total (total cost). Dengan menggunakan diferensiasi total persamaan (3.37) dan (3.38), maka diperoleh persamaan (3.39) berikut ini: dC1 w1 (dL1 ) w2 (dK1 ) ; dC21 w1 (dL2 ) w2 (dK 2 ) ..................... (3.39)
dimana: dL1 dL2 dan dK1 dK 2
dC1 1 , maka diperoleh: dC 2 MC1 dx 2 MRPT12 .................................................................... (3.40) MC 2 dx1 Dengan
demikian,
pada
pasar
persaingan
sempurna
dengan
mensubstitusikan persamaan (3.39) ke persamaan (3.40) mempunyai persamaan umum keseimbangan produksi adalah: Jika MC1 p1 dan MC2 p2 , maka MRPT12
p1 ......................... (3.41) p2
3.4.2. Keseimbangan Konsumsi Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen maka kita harus mengetahui konsep tingkat pertukaran marginal atau marginal rate of substution (MRS), dimana MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap koansumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang kedua barang yang akan dikonsumsinya, secara matematis dijelaskan di bawah ini. Jika diketahui fungsi kepuasan:U=f(X)dengan kendala pendapatan (I), sehingga didapatkan optimalisasinya adalah: Max U f ( x1 , x2 ) ........................................................................... (3.42)
dimana kendala: p1 x1 p2 x2 I
f ( x1 , x2 ) ( I p1 x1 p2 x2 )
81
MU 1 MU 1 p1 0 atau x1 p1 MU 2 MU 2 p 2 0 atau x2 p2
I p1 x1 p1 x1 0 MU 1 p 1 ........................................................................................ (3.43) MU 2 p 2 Pada fungsi utilitasnya U f ( x1 , x2 ) ,
dU
U U dx1 dx2 0 x1 x2
MU1 .dx1 MU 2 .dx2 0
MU 1 dx 2 MRS12 ...................................................................... (3.44) MU 2 dx1 Dari persamaan (3.55) dan (3.56) terbukti bahwa:
MRS12
p1 p2
..................................................................................
(3.45)
3.4.3. Keseimbangan Produksi dan Konsumsi Pareto optimum pada produksi dan sektor konsumsi mengimplikasikan bahwa marginal rate of transformation product harus sama dengan marginal rate of substitution untuk semua konsumen. Secara matematis dapat dituliskan kondisi keseimbangan produksi dan konsumsi pada persamaan (3.46) berikut: ⁄ ................................... (3.46) MRPT menunjukkan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain dan MRS juga menunjukkan sejauh mana konsumen ingin mempertukarkan suatu komoditi dengan komoditi lainnya. Kesimbangan terjadi jika rencana produksi sesuai dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan produksi dan konsumsi ini adalah bahwa kombinasi output q 1 dan q2 harus optimal baik dari sudut produsen maupun
82
konsumen. Oleh karena itu, keseimbangan secara keseluruhan harus terpenuhi dengan adanya keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi yang dilakukan melalui mekanisme harga pasar persaingan sempurna. Secara grafis keseimbangan produksi dan konsumsi akan tercapai pada terpenuhinya tiga kondisi yakni: (1)
, (2)
, dan (3)
.
MRS (x for y)
dy (along T) RPT (x for y) dx
(3.47)
Dengan menggunakan prinsip alokasi sumber daya berdasarkan Pareto Efficiency, maka tingkat pertukaran (trade-off) dari dua buah barang akan sama untuk semua pelaku ekonomi (economic agents). Dalam pasar persaingan sempurna, rasio harga dari dua buah barang merupakan tingkat pertukaran (tradeoff) dari para pelaku ekonomi yang dapat disesuaikan. Karena untuk semua pelaku ekonomi berlaku harga yang sama, maka tingkat pertukaran (trade-off) barangnya juga akan sama, sehingga alokasi yang efisien dapat tercapai. Inilah yang disebut dengan First Theorem of Welfare Economics. Efisiensi dalam produksi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain; (1) Minimisasi biaya dari perusahaan akan tercapai pada saat RTS dari dua input produksinya (q1 dan q2) terhadap rasio harga dari input produksi (yang kompetitif), (2) Profit maksimum akan diperoleh dari tiap tambahan satu unit input (misalkan l) hingga titik dimana marginal contribution (kontribusi marjinal) terhadap revenue-nya sama dengan marginal cost dari tiap penggunaan input produksi (misalkan w) tersebut atau pada saat : p xfl = w. Dan hal ini pun berlaku untuk setiap perusahaan dalam pasar tersebut, dan pada pasar tenaga kerja (labour market) yang kompetitif berlaku : pxfl1 = w = pxfl2
atau fl1 = fl2.
Berdasarkan Gambar 8 mengilustrasikan rasio harga awal perusahaan akan memproduksi q11 dan q 12. Kendala anggaran masyarakat ditunjukkan oleh garis C. Dengan kendala anggaran tersebut, maka individu meminta q 1 sebesar q12 dan q2 sebesar q22. Pada titik keseimbangan E 2 rasio harga Pq 1/Pq2 sama besarnya dengan rasio MUq1/MUq 2 sehingga konsumen mencapai utilitas maksimum. Pada titik keseimbangan tersebut (E2) belum tercapai keseimbangan produksi dan konsumsi karena terdapat kelebihan perintaan barang q 1 sebesar (q12- q11) dan kelebihan
83
penawaran barang q2 sebesar (q22–q 21). Kelebihan permintaan pada q 1 Mengakibatkan harga naik, pada P 1 naik, sedangkan kelebihan penawaran q 2 menyebabkan turunnya harga, pada P2 turun. Bekerjanya mekanisme pasar tersebut akan menggerakan rasio harga Pq 1/Pq 2 naik akibatnya kurva C bergeser ke kurva ke kurva C*. Pada tingkat harga tersebut, kendala anggaran masyarakat naik di garis anggaran C* tersebut, menyebabkan jumlah barang q 1yang diminta menjadi q1* dan jumlah barang q 2 yang diminta menjadi q2* . Dalam kondisi tersebut, tidak terjadinya kelebihan permintaan maupun kelebihan penawaran menyebabkan titik keseimbangan berada pada titik E *. q2 C
C*
Slope
P
q21
E1
q2* q22
ESlope 2
E*
U2 C q11
q1*
U*
q1 2
q1
U1 P
O
Sumber : Nicholson (2002) Gambar 8. Keseimbangan Produksi dan Konsumsi 3.4.4. Keunggulan dan Keterbatasan Model CGE Setiap model
mempunyai
keunggulan dan keterbatasan. Adapun
keunggulan dan keterbatasan model keseimbangan
umum jika dibandingkan
dengan model keseimbangan parsial adalah, bahwa model CGE sudah memasukkan semua transaksi antara pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar produksi maupun di pasar komoditi. Dengan demikian dampak dari
84
statu kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja ekonomi baik secara makro maupun sektoral (Horison, 1997). Apabila
dibandingkan dengan
model
Input-Output (I-O),
model
keseimbangan umum sudah memasukkan kemungkinan substitusí antar faktor produksi, sehingga jika terjadi perubahan harga relatif suatu faktor produksi. Produsen merubah komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah. Pada model Input-Output substitusi antar faktor produksi tidak dapat dimungkinkan. Selain itu, pada model Input-Output dampak dari suatu kebijakan hanya dapat dianalisis di tingkat industri, sedangkan pada model keseimbangan umum kebijakan dapat dianalisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan diantara golongan rumahtangga, distribusi pendapatan diantara faktor produksi primer, neraca perdagangan dan sebagainya (Horison, 1997). Wobst (2001) menyatakan bahwa model kesimbangan umum harga sudah dimasukkan sebagai variable endogen, sedangkan pada model Input-Output harga sebagai variable eksogen. Dibandingkan dengan model Social Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), model keseimbangan umum sudah memasukkan persamaan non-liniear. Selain itu, pada model keseimbangan umum harga sudah dimasukkan sebagai variable endogen. Pada tabel SAM dimana sistem persamaan yang digunakan adalah persamaan liniear dengan anggapan model Leontief. Substansi antara faktor tidak dimungkinkan seperti pada model Input-Output. Pada model SAM bahwa harga merupakan variabel eksogen. Perbedaan yang cukup mendasar lain pada model SAM diasumsikan penawaran komoditi dan faktor produksi elastisitas sempurna sedangkan pada model keseimbangan umum diasumsikan adanya pembatasan supplai (Bautista et al., 1999). Apabila dibandingkan dengan model makro ekonometrika bahwa model keseimbangan umum dapat mengacu pada tahun tertentu (particular benchmark year) sedangkan pada model makro ekonometrika data yang digunakan merupakan data deret waktu (time series) yang tidak dapat diaplikasikan pada tahun tertentu. Di samping itu, dengan model keseimbangan umum hubungan antara makro ekonomi dan mikro ekonomi dapat diketahui, sementara pada model makro ekonometrika bahwa analisis dan dampak dilakukan di tingkat makro saja.
85
Meskipun pendekatan model keseimbangan umum memiliki keunggulan seperti yang telah diuraikan tersebut di atas, tetapi model keseimbangan umum pun mempunyai keterbatasan, antara lain: (1) adanya ketergantungan model keseimbangan pada parameter-parameter benchmark yang dikalibrasi. Hal ini dikarenakan tidak dapat mengestimasi parameter-parameter tersebut, sehingga untuk parameter-parameter tertentu biasanya diambil dari hasil-hasil penelitian terdahulu. Dengan demikian, permasalahan yang biasa terjadi adalah data tersebut di negara-negara berkembang tidak tersedia, (2) model keseimbangan umum terlalu kompleks dan terlalu banyak asumsi yang digunakan, (3) tidak memasukkan faktor lingkungan ke dalam model, sehingga dampak eksternalitas menjadi tidak dapat terukur dan (4) adanya solusi yang sangat sensitif terhadap spesifikasi closure dimana pemilihan dan adopsi beberapa elastisitas dan parameter harus sangat hati-hati. 3.6. Kerangka Pemikiran Adanya ketimpangan (gap) dalam distribusi pendapatan, pengangguran yang mengakibatkan kemiskinan, terutama kemiskinan di perdesaan, merupakan persoalan yang krusial bagi setiap negara, sehingga pemerintah pada setiap negara berusaha untuk mengurangi persoalan tersebut melalui intrumen fiskal pemerintah. Skema instrumen fiskal yang terkait dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi penawaran. Apabila dilihat dari sisi penerimaan, ternyata anggaran pemerintah dalam pembiayaan publik dihasilkan dari dua sumber, yaitu domestik dan pinjaman luar negeri. Penerimaan dari dalam negeri diperoleh dari pajak pendapatan, pajak penjualan dan pajak produksi, sedangkan dari luar negeri, berupa pinjaman dalam berbagai bentuk. Sedangkan dari sisi pengeluaran, penurunan kemiskinan, penurunan pengangguran dan redistribusi pendapatan diimplementasikan melalui tiga instrumen alokasi anggaran pemerintah, yaitu berupa: (1) subsidi langsung atau subsidi individu berupa transfer kepada rumahtangga berpendapatan rendah, (2) subsidi harga, subsidi yang dialokasikan untuk komoditi yang digunakan oleh rumahtangga menjadi lebih murah terutama untuk kebutuhan pokok, dan (3) pengeluaran langsung pemerintah terhadap pelayanan publik dan infrastruktur,
86
terkait dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah. Pada kenyataannya, mereka adalah masyarakat perdesaan yang bekerja sebagai petani. Secara ringkas dijelaskan kerangka pemikiran kajian ini pada Gambar 9. Faktor Eksternal: Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Global, Perubahan Harga Minyak dan Pangan Dunia
Ekspor-Impor
Investasi
Gangguan Terhadap Ekonomi Nasional
Perubahan Asumsi Makroekonomi dalam APBN
Daya Beli/ Konsumsi
Kebijakan Fiskal
Penghematan Bayar Pajak Subsidi Pert dan Non-Pert
Kemiskinan Belanja Infrastruktur
Dampak Makroekonomi, Sektor dan Tenaga Kerja
Implikasi Kebijakan
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan dan Perkotaan Tingkat Kemiskinan Perdesaan dan Perkotaan
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak kebijakan fiskal merupakan salah satu strategi pemerintah dalam meredam dampak negatif krisis ekonomi global, seperti adanya keterlambatan pertumbuhan ekonomi global, perubahan harga minyak dan pangan dunia serta berbagai gejolak ekonomi global lainnya, terhadap kinerja perekonomian nasional. Kebijakan tersebut berimplikasi terhadap hasil analisis tersebut yang dihubungkan kembali dengan tujuan kebijakan perubahan asumsi makroekonomi dalam APBN melalui penerapan kebijakan fiskal, yang salah satunya melalui kebijakan subsidi.
87
TABEL IO 2008 (70 sektor) TABEL IO 2008 (66 sektor)
TABEL SNSE 2008 (24 sektor, 8 RT) DISAGREGASI RT
DISAGREGASI SEKTOR MAPPING IO KE SNSE
DATA DASAR (70 sektor)
PROSEDUR Model WAYANG
CEK KONSISTENSI DAN KESEIMBANGAN
Tidak
Tidak Time Series 1984-2011
AS=AD
PURE PROFIT=0
SALES=COST GTAPv8
Ya
Survey Literature
DATA DASAR MODEL CGE-FISAGR (70 SEKTOR)
Estimasi Elastisitas dan Nilai Parameter
Nota Keuangan dan APBN dan APBN-P 2012
Nilai Shock
Subsidi Sektor Pertanian
Dampak terhadap Makroekonomi
AGREGASI DATA DASAR MODEL CGE-FISAGR 70 KE 40 SEKTOR
Model WAYANG
SIMULASI DAMPAK KEBIJAKAN
Dampak terhadap Tenaga Kerja Pedesaan dan Perkotaan
Dampak terhadap Distribusi Pendapatan RT Pedesaan dan Perkotaan
Susenas (data kor dan modul) Juli 2008
poverty indicence poverty gap
Kemiskinan RT Pedesaan dan Perkotaan
Beta Distribution Function Foster-Greer-Thorbacke
poverty severity
Gambar 10. Kerangka Operasional Penelitian
88
3.7. Kerangka Operasional Kerangka operasional dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 10 Dalam upaya menjawab tujuan penelitian, digunakan model CGE. Data yang digunakan data sekunder berupa Tabel I-O tahun 2008 dan SNSE tahun 2008 serta SUSENAS 2008. Data yang terkumpul, baik yang berasal dari hasil perkiraan atau hasil studi sebelumnya, yang dianggap relevan dengan penelitian yang dapat divalidasi dan diuji konsistensinya. Begitu data diurutkan, maka simulasi kebijakan fiskal akan selesai. Simulasi yang dilakukan adalah melakukan shock kebijakan pada berbagai kebijakan subsidi baik di sektor pertanian dan non-pertanian. Hasil dari simulasi ini akan dievaluasi dan dianalisis terkait dengan kinerja makro ekonomi dan mikro. Kondisi makro akan dianalisis pada perubahan pendapatan domestik bruto (GDP) riil, tingkat inflasi, neraca perdagangan, konsumsi rumahtangga, tingkat pengangguran/penyerapan tenaga kerja, sedangkan kondisi mikro ekonomi akan dilihat dari sisi jumlah output, penyerapan jumlah tenaga kerja dan formasi harga di tingkat sektoral, pendapatan, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan perdesaan. Pada Gambar 10 menunjukkan konsep, desain dan kerangka operasional dalam penelitian ini.
89
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data utama yang digunakan untuk mengkonstruksi data dasar model CGE yang digunakan dalam penelitian adalah data Tabel Input Output (I-O) dan Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Penelitian ini menggunakan kedua data pokok tersbut yang terbaru pada tingkat nasional yaitu Tabel I-O tahun 2008, SNSE tahun 2008 dan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2008. Data dasar tersebut merupakan data update yang dimaksudkan agar model yang dibangun dapat mengakomodasi berbagai perubahan perekonomian Indonesia yang berlangsung secara dinamis saat ini. Data pendukung lainnya yang diperlukan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat bunga, penghimpunan dana dan alokasi kredit perbankan, kurs valuta asing, investasi, stok modal, tenaga kerja, tingkat upah, tingkat subsidi TDL dan BBM, serta perkembangan harga pangan dunia. Data tersebut dikumpulkan dalam bentuk runut waktu (time series) sesuai periode yang dibutuhkan dan diperoleh dari sumber data yang sudah publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Asian Development Bank (ADB), Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan instansi/lembaga terkait lainnya. Selain data tersebut di atas, untuk mengkonstruksi data dasar dan model diperlukan nilai koefisien elastisitas dan beberapa parameter lainnya. Besaranbesaran ini diupayakan untuk diestimasi dari data runtut waktu yang tersedia atau dikalkulasi dalam model seperti pangsa input antara domestik yang digunakan oleh berbagai industri. Apabila ditemukan masalah keterbatasan data runtut waktu, maka nilai elastisitas dan parameter tersebut akan diambil dari berbagai hasil penelitian terdahulu yang menggunakan metode ekonometrika dengan data terbaru, baik yang merupakan kasus Indonesia maupun negara lain yang mempunyai karakteristik sektor/industri dan keragaan makro ekonomi yang mendekati kondisi perekonomian Indonesia. Sebagian besar data me ngenai nilai koefisien dan parameter pada penelitian ini menggunakan nilai-nilai dari hasil penelitian terdahulu yang relevan.
90
Adapun penyusunan data dasar dimulai dengan pemilihan aggregasi data seperti untuk jumlah komoditi, industri, rumahtangga dan asal komoditas baik impor ataupun domestik, jumlah dan tipe tenaga kerja dan faktor produksi. Ada beberapa langkah dalam menghasilkan data dasar yang memenuhi persyaratan untuk sebuah model CGE. Penyusunan data dasar diawali dengan melakukan pemodelan, yang memperhatikan agregasi dalam pengumpulan data seperti jumlah komoditas, industri dan rumahtangga. 4.2. Metode Pengolahan Data Program GEMPACK adalah program yang dibangun oleh the IMPACT Project, Monash University, dimana program untuk memecahka n persoalanpersoalan dalam model ekonomi keseimbangan umum (CGE). Selain itu, program tersebut akan digunakan untuk mengkonstruksi, memodifikasi dan mengolah data dasar berasal dari Tabel I-O Nasional Tahun 2008 dan SNSE Nasional Tahun 2008. Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah model WAYANG (Wittwerr, 1999) bersifat static comparative. Data dasar yang digunakan dikontruksi dan memodifikasi mengikuti langkah-langkah dan cara-cara pengolahan seperti pada model WAYANG (Wittwar, 1999). Kontruksi data dasar tersebut, kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan data dan model yang akan disusun. Setelah data disusun, matrik data tersebut diolah. Dengan mengidentifikasi persamaan yang digunakan, pemilihan peubah eksogenous, perubahan pada peubah e ksogenous dan metode pengolahan maka program ini dapat menghasilkan perubahan peubah endogenous dalam bentuk perubahan persentase baik pada peubah makro maupun peubah ekonomi sektoral sehingga dapat diidentifikasi dan dianalisis. Setelah data diolah, kemudian dilakukan analisa dengan melakukan perubahan guncangan (shock) stimulus kebijakan fiskal pada sektor pertanian sebagai skenario kebijakan. Skenario kebijakan yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan (shock) pada stimulus kebijakan fiskal yang berasal dari adanya stimulus kebijakan fiskal pada sektor pertanian. Proses pengolahan data seluruhnya dilakukan dengan menggunakan program komputer, yakni program komputasi Microsoft Excell dan GEMPACK. Program Microsoft Excel digunakan untuk menyediakan dalam membangun data dasar. Program GEMPACK
91
digunakan baik dalam penyusunan dan transformasi model maupun membangun data dasar. Dalam pemodelan, program GEMPACK akan mentransformasikan sistem persamaan yang ada ke dalam sistem persamaan yang dapat dibaca oleh program komputer dengan menggunakan program Lahey Fortrand Compiler. Setelah program dibaca dan dapat diolah dengan menggunakan matriks data yang diinginkan, maka solusi dari sistem persamaan akan diubah kembali oleh program, sehingga akan memudahkan untuk dapat dibaca. 4.3. Metode Analisis Untuk mengkaji dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap kinerja ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan maka model Computable General Equilibrium digunakan sebagai alat analisis utama. Model CGE tersebut bersifat statis komparatif, digunakan untuk menjawab tujuan penelitian dengan membangun, memodifikasi dan menggabungkan model dasar yang berasal dari model CGE berdasarkan ORANI-F (Horridge et al., 1993) dan model WAYANG (Wittwar, 1999). Unsur dinamis dalam model CGE ini ditunjukkan oleh adanya akumulasi kapital dan pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun. Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi dari model CGE tersebut yang selanjutnya model ini dinamakan model CGE-FISKAL INDONESIA (CGEFISINDO). Model tersebut menjadi metode dan sekaligus alat analisis untuk mengkaji dampak kebijakan fiskal baik di sektor pertanian dan non pertanian terhadap kinerja ekonomi makro, tenaga kerja, jumlah output dan harga, distribusi pendapatan dan kemiskinan di perdesaan dan di perkotaan. Hal ini dapat dilihat dalam persamaan program GEMPACK pada Lampiran 1. 4.4. Struktur Model Sistem notasi yang digunakan dalam model ini pararel dengan sistem yang terdapat dalam model ORANI-F (Horridge, et al. 1993) dan WAYANG (Wittwer, 1999). Notasi tersebut sudah dibangun oleh pemodel ORANI agar dapat efisien digunakan dan mudah diinterpretasikan. Secara umum pemodel CGE berbasis ORANI yang telah menuliskan semua persamaan dalam bentuk persentase. Dalam merespon kebutuhan ini, software GEMPACK didesain untuk menjalankan persamaan-persamaan CGE yang secara otomatis menyajikan semua hasilnya
92
dalam persentase. Oleh karena itu, pemodel tidak menuliskan kembali prosedur untuk menghitung hasil simulasi dalam nilai persen dengan membandingkan hasilnya dengan keseimbangan yang dijadikan benchmark. Namun demikian, agar transparan dan sudah menjadi konvensi umum, persamaan yang digunakan dalam model dituliskan dalam format aljabar untuk memudahkan dalam memamhmi bagaimana model beroperasi. 4.4.1. Spesifikasi Umum Struktur
teoritis
yang digunakan dalam model
pada
umumnya
mengandung sistem persamaan non-linear tentang permintaan tenaga kerja, permintaan terhadap input primer, permintaan terhadap input antara, permintaan terhadap input gabungan (composite), komposit output dari suatu industri, permintaan terhadap barang modal (investment goods), permintaan rumahtangga, ekspor
dan
permintaan
akhir
lainnya,
margin
permintaan,
persamaan
keseimbangan pasar, harga di tingkat pembeli dan pajak tak langsung. Solusi terhadap sistem persamaan dinamik membutuhkan pemograman prosedur dan rutin yang kompleks. Walaupun rutin trial and error terkadang dapat mencapai global optimum, cara tersebut tidak efisien, membutuhkan waktu yang lama, dan peluang keberhasilannya relatif kecil. Dengan kata lain, output yang dihasilkan lebih banyak dalam bentuk local optimum. Selain itu, ukuran matriks yang besar biasanya menjadi karakteristik model CGE dan menyebabkan kesulitan dalam penetapan kombinasi initial value. Pada model yang dibangun dalam menganalisis perubahan stimulus kebijakan fiskal di Indonesia, jumlah kombinasi ini bisa mencapai jutaan titik sehingga tidak praktis untuk dilakukan. Sebagai gantinya, prosedur solusi model ditentukan dengan melakukan linearisasi setiap persamaan yaitu dengan cara menyatakan semua variable dalam bentuk pertumbuhannya (percentage change). Akan tetapi ini berarti bahwa functional form yang dilibatkan hanya terbatas pada bentuk fungsi Cobb-Douglas. Dengan demikian, model ini hanya berlaku atau sesuai dengan realitas apabila fungsi produksi, konsumsi dan fungsi-fungsi lainnya secara alami mampu direpresentasikan dengan fungsi Cobb-Douglas. Fungsi ini telah banyak diaplikasikan dalam berbagai penelitian dan secara umum yang mampu
93
menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Oleh karena itu, pemakaiannya dalam model tidaklah mengurangi (secara signifikan) kemampuan model ini dalam melakukan reflekasi fenomena ekonomi yang sudah terjadi maupun prediksi apa yang akan terjadi jika kondisi lingkungan berubah. Karena tujuan utama model adalah memberikan fasilitas simulasi tentang efek perubahan stimulus kebijakan fiskal di sektor yang berhubungan dengan sektor pertanian, maka disagregasi sektor yang berhubungan dengan pangan dilakukan klasifikasi dengan lebih terperinci sesuai kebutuhan tujuan penelitian. Selain itu, untuk setiap jenis komoditi, mekanisme supply dan demand-nya dirancang secara spesifik sesuai dengan karakteristik industri yang bersangkutan. Karena itu formasi harga bagi setiap jenis barang juga akan berbeda. Penawaran ditentukan oleh teknologi produksi dengan menggunakan empat faktor primer yaitu: tanah, tenaga kerja, modal, dan kelompok biaya lainnya.
Tenaga kerja dibagi menjadi dua kelompok yaitu tenaga kerja di
pedesaan dan di kota dimana jenis faktor lainnya didisagregasikan menjadi 10 kategori rumahtangga. Salah satu asumsi penting dalam CGE yaitu menyangkut mobilitas faktor produksi. Jika faktor produksi tersebut bersifat mobilitas antar industri maka perbedaan harga faktor antar industri mencerminkan perbedaan dalam tingkat pajak dan subsidi. Dengan kata lain jika tingkat pajak dan subsidi adalah sama, maka harga faktor produksi juga akan sama. Jika faktor produksi bersifat spesifik (hanya bisa dipakai oleh satu jenis industri tertentu) maka secara otomatis harganya-pun akan berbeda-beda. Asumsi mobilitas faktor sangat krusial karena dua hal. Pertama, setiap industri dapat menentukan jumlah produksi berdasarkan jumlah sumberdaya yang tersedia. Kedua, faktor dapat dialihkan pada aktivitas produksi lain yang lebih menguntungkan. 4.4.2. Sistem Persamaan Sistem persamaan yang dipergunakan dalam penelitian ini mengikuti adalah model ORANI-F (Horridge 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwarr, 1999). Secara umum penulisan model ini dalam istilah perubahan persentase. Seperti pada umumnya model CGE lain, model yang digunakan dalam
94
penelitian ini berasumsi bahwa seluruh industri beroperasi pada pasar dengan kondisi pasar persaingan sempurna (competitive market) baik di pasar input maupun di pasar output. Kondisi ini berimplikasi bahwa tidak ada sektor atau rumahtangga yang dapat mengatur pasar. Oleh karena itu, seluruh komponen sektor dalam perekonomian diasumsikan sebagai penerima harga (price taker). Pada tingkat output, harga-harga dibayar oleh konsumen sama dengan marginal cost dari memproduksi barang. Hal yang sama, dimana input dibayar sesuai dengan nilai produk marginalnya (value marginal productivity). Sebagai tambahan bahwa persamaan permintaan dan penawaran untuk pelaku swasta diturunkan dari prosedur optimasi. Mengacu pada model WAYANG (Wittwarr, 1999) bersifat statik komparatif, maka sistem persamaan dalam model CGE disusun ke dalam 14 blok persamaan. Berikut dijelaskan masing-masing blok persamaan dalam model yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Permintaan tenaga kerja 2. Permintaan faktor primer 3. Permintaan input antara 4. Permintaan komposit faktor primer dan input antara 5. Komposit komoditi dari output suatu industri 6. Permintaan barang untuk investasi 7. Permintaan rumahtangga 8. Ekspor dan permintaan akhir lainnya 9. Permintaan margin 10. Harga barang di tingkat pembeli 11. Kondisi keseimbangan pasar 12. Pajak tak langsung 13. GDP dari sisi pendapatan dan pengeluaran 14. Keseimbangan perdagangan dan agregat lainnya 4.4.2.1. Struktur Produksi Struktur produksi dari suatu industri dalam model WAYANG yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 12 pada setiap proses produksi, industri dapat memproduksi beberapa komoditi. Industri menggunakan
95
input primer dan input antara. Setiap input antara dapat diperoleh baik dari pasar domestik maupun impor. Faktor primer yang digunakan adalah tenaga kerja, tanah dan modal. Meningikuti model INDOF (Oktaviani, 2011) dalam menyederhanakan asumsi kunci model produksi ini dibuat dalam beberapa tahap (multi-stage) yakni berupa asumsi dasar yang harus diperhatikan adalah: (1) pemisahan antara input dan output (separable), (2) tahapan berjenjang dan (3) struktur hierarki berdasarkan constant elasticity of substitution (transformation) kecuali tahapan kombinasi barang-barang antara (intermediate goods) dan agregat faktor primer (primary factors) dengan menggunakan fungsi teknologi Leontief (fixed proportions technology). Fungsi produksi tersebut didefinisikan sebagai berikut: F(input, output) = 0 dan dapat dituliskan kembali seperti: G(input) = X1TOT = H(outputs) dimana X1TOT adalah sebuah indeks atau aktivitas industri. Dengan menggunakan asumsi separabilitas di dalam input-output atau separabilitas dalam fungsi transformasi, maka dapat diartikan bahwa kombinasi produksi dari produkproduk yang dihasilkan suatu industri tidak secara langsung dihubungkan dengan kombinas penggunaan input tertentu, tetapi hanya melalui indeks dari aktivitas industri (Blackorby, et al., 1978). Selanjutnya pada tingkat aktivitas industri tertentu, keputusan untuk menentukan kombinasi produk apa yang akan dihasilkan terpisah dari atau tidak tergantung pada keputusan dalam menentukan kombinasi input yang digunakan. Secara khusus, harga input tidak berpengaruh pada kombinas output kecuali pada tingkat aktivitas industri. Demikian juga halnya dengan harga output tidak berpengaruh pada kombinasi input kecuali melalui pengaruhnya pada tingkat aktivitas industri. Jadi fungsi permintaan dan penawaran pada tingkat aktivitasi industri hanya terdiri dari harga input atau harga produk, atau kedua-duanya. Kondisi ini merupakan penyederhanaan secara empiris, dimana fungsi transpormasi H(outputs) diasumsikan hanya memiliki satu tahap, fungsi G(inputs) ditentukan sebagai sebuah rumpun yang secara hirarki memiliki percabangan sampai pada tiga tahap. Hal ini merupakan pemisahan dan penyederhanaan lebih
96
jauh dari fungsi permintaan. Permintaan input pada setiap level tertentu dapat diekspresikan sebagai fungsi dari harga input dan tidak diekspresikan sebagai fungsi harga input pada level hirarkis yang lebih rendah (Oktaviani, 2011). Pada Gambar 11 tersebut dijelaskan bahwa permintaan tenaga kerja untuk memproduksi input primer dapat dinyatakan sebagai fungsi dari harga tenaga kerja, lahan dan modal tanpa menjelaskan secara eksplisit harga dari setiap jenis pekerja tersebut. Produk yang dihasilkan industri dipasarkan ke pasar domestik dan ekspor. Alokasi produk secara optimal untuk penawaran domestik dan ekspor ditentukan oleh fungsi constant elasticity of transformation (CET). Proses produksi pada tingkat perusahaan diasumsikan mengikuti fungsi produksi Leontief (fixed proportions) yang menunjukkan tidak memungkinkan terjadinya substitusi diantara input antara, faktor-faktor produksi primer dan biaya lainnya. Input antara tersebut berasal dari barang domestik dan impor, yang satu dengan yang lainnya diasumsikan dapat saling bersubstitusi secara terbatas mengikuti fungsi constant elasticity of substitution (CES) sebagaimana diasumsikan sebagai fungsi Armington. Permintaan perusahaan terhadap seluruh faktor primer juga diasumsikan mengikuti fungsi CES. Hal yang sama juga berlaku terhadap permintaan kelompok tenaga
kerja. Asumsi ini juga
memperhatikan kemungkinan adanya substitusi terbatas baik antar-seluruh input primer maupun antar jenis-jenis input primer tenaga kerja. Dari struktur produksi tersebut dapat diturunkan secara langsung mengenai permintaan terhadap faktor primer dan input antara. Permintaan faktor primer ditentukan berdasarkan fungsi produksi sedangkan permintaan input antara bersifat proporsional terhadap suatu jenis output.Fungsi produksi yang digunakan memiliki sifat constant elasticity of substitution (CES) yang hanya menggunakan tiga parameter yaitu skala, distribusi dan elastisitas. Fungsi CES secara umum dapat dirumuskan:
y A bx1 g (1 b) x2 g
v / g
.....................................................
(4.1)
dimana y adalah output, A adalah parameter efisiensi, g adalah parameter substitusi, x1 dan x2 adalah input 1 dan input 2 dan
adalah parameter elastisitas.
Dari persamaan tersebut, Beattie and Taylor (1985) mengklasifikasikan tiga parameter yaitu: parameter skala (v), parameter distribusi (v+g) and parameter
97
elastisitas (
1 ). Homogenitas dari fungsi tersebut tergantung pada 1 g
parameter skala.
Ketergantungan antar industri ditentukan oleh parameter
distribusi dan kesamaan dalam komposisi faktor. Prinsip aktivitas pada beberapa industri adalah merubah input menjadi output. Di dalam model ini hubungan antara input dan output dibentuk oleh sebuah nested fungsi produksi CES-Leontief pada setiap sektor produksi. Struktur fungsi produksi sama untuk semua sektor. Model diasumsikan bahwa input-input produksi dibagi kepada dua kategori, yaitu faktor primer komposit (labor dan kapital) dan barang-barang antara. Sumber barang-barang antara dapat berasal dari barang antara yang diproduksi domestik dan impor. Gambar 11 menjelaskan tahap pertama (the lower nest), dimana industri mempunyai dua masalah optimalisasi yang berbeda, yaitu (1) memilih kombinasi pada faktor primer (labor dan kapital), dan (2) pilihannya pada barang-barang intermediate komposit untuk mengoptimalkan efisiensi biaya. Pada tahap berikutnya, yaitu tahap kedua (the top nest), dimana setiap industri meminimalkan biaya produksinya oleh pilihan tingkat yang paling efisien pada faktor-faktor primer komposit, yang seringkali disebut nilai tambah, dan barang antara komposit dengan menggunakan fungsi produksi Leontief. Fungsi produksi nested CES-Leontief berperan penting dalam transaksi dengan hambatan input-input. Dengan set tersebut, industri mempunyai suatu masalah pembagian optimalisasi antara minimisasi biaya untuk faktor primer komposit dan minimisasi biaya untuk barang-barang antara. Gambar 11 berikut menggambarkan masalah optimalisasi pada setiap industri dalam struktur produksi sedangkan Gambar 12 menunjukkan struktur produksi model yang digunakan.
98
XTOTi,d
Fungsi Produksi Leontief dengan faktor primer komposit dan barang antara komposit sebagai input
top nest Agregator CES dengan barang-barang antara sebagai input
Agregator CES dengan kapital dan labor (faktor primer) sebagai input the lower nest
Barang Antara Impor
Barang Antara yang Diproduksi Secara Domestik
Capital
Tenaga Kerja
Gambar 11. Masalah Optimalisasi untuk Industri 4.4.5.2. Permintaan Tenaga Kerja Persamaan persentase perubahan pada bentuk variabel untuk fungsi permintaan tenaga kerja berdasarkan jenis tenaga kerja menurut lokasi (perkotaan dan pedesaan) dengan fungsi penganggregasi CES dengan nilai upah setiap lokasi adalah sebagai berikut: (
) ........................
(4.2)
dimana: x1labiol adalah permintaan tenaga kerja pada jenis pekerjaan dan lokasi (pedesaan dan perkotaan), x1labio_l adalah permintaan tenaga kerja pada setiap jenis pekerjaan dan lokasi, σ1LABi adalah fungsi agregator CES, p1labiol adalah upah tenaga kerja pada semua jenis pekerjaan danlokasiterhadap komposit tenaga kerja menurut jenis pekerjaannya, dan p1labio_l adalah harga pada setiap jenis pekerjaan di perkotaan dan pedesaan terhadap komposit tenaga kerja menurut jenis pekerjaannya.
99
Barang 1
Barang
X1TOT1
X1TOT2
--hingga--
Barang ke-i X1TOTi
CET 1OUTi
Tingkat Aktivitas Industri j
Leontief
Barang 1 X1i_s
Barang C Xci_s
Input Primer X1PRIMi
"Biaya Lain" X1OCTi
CES 11
CES 1c
CES 1PRIMi
Tenaga Kerja Barang Domestik1 X1"dom"i
Barang Impor 1
Baranga Domestik C
Barang Impor C
X1"imp"i
Xc"dom"i
Xc"imp"i
Lahan
X1LABi_o
Kapital X1CAPi
X1LNDi CES 1LAB i
Urban
Rural
X1LABi1
X1LABi2
Sumber: Silva dan Horridge (1996), Oktaviani (2000) (dimodifikasi) Gambar 12. Struktur Produksi
100
Permintaan tenaga kerja terhadap setiap jenis pekerjaan menurut lokasi adalah proporsi permintaan semua tenaga kerja di setiap lokasi pedesaan dan perkotaan dan ketergantungan pada upahrelatif setiap jenis pekerjaan tenaga kerja per lokasi terhadap upah rata-rata tenaga kerja pada setiap jenis pekerjaan tersebut. Fungsi permitaan tenaga kerja pada jenis pekerjaan diturunkan dari minimalisasi jumlah biaya tenaga kerja menurut lokasi pekerjaan dengan kendala fungsi pengagregasi CES tenaga kerja lokasi pekerjaan. Kedua parameter fungsi pengagregasi CES tersebut berdampak terhadap permintaan jumlah tenaga kerjanya. Parameter S1LABio tidak muncul secara eksplisit pada persamaan permintaan, hal ini berdampak pada bobot yang digunakan dalam perhitungan variabel upah rata-rata tertimbang. Adapun formula upahyang dihadapi oleh setiapjenis pekerjaan terhadap kompositnya adalah: ∑ (
)
..........................................................
(4.3)
dimana: V1LABio_l merupakan rata-rata upah tenaga kerja yang dihadapi oleh suatu jenis pekerjaan terkait dengan upah individu pada setiap lokasi sebagai sebuah indeks, dan V1LABioladalah rata-rata upah tenaga kerja yang dihadapi oleh setiap pekerja terkait dengan upah perorangan setiap lokasi sebagai sebuah indeks. Selanjutnya, permintaan tenaga kerja oleh lokasi dapat diturunkan sebagai berikut: (
|
........................ (4.4)
dimana: X1LABi_l adalah permintaan tenaga kerja oleh jenis pekerjaandanlokasi, CES LLOC sebagai fungsi CES, X1LABioladalah elastisitas substitusi berdasarkan lokasi, S1LABil(S1LABil=V1LABil/ V1LABi_l) merupakan nilai share berdasarkan lokasi terhadap upah total yang dibayar. Selanjutnya untuk persamaan persentase perubahan pada bentuk variabel untuk fungsi permintaan tenaga kerja di industri i pada setiap industri menurut jenis pekerjaan dengan fungsi penganggregasi CES nilai upah setiap jenis pekerjaan adalah sebagai berikut: (
) ..........................
(4.5)
101
dimana: x1labio adalah permintaan tenaga kerja pada industri i menurut lokasi, x1labi_l adalah permintaan tenaga kerja pada indsutri i, σ1LABi adalah fungsi agregator CES, p1labil adalah upah tenaga kerja pada indusri i pada setiap lokasi terhadap komposit tenaga kerja di industri i, dan p1labi_o adalah upah pada setiap industri i pada setiap lokasi terhadap komposit tenaga kerja di indsutri i. Permintaan tenaga kerja terhadap setiap industri i menurut lokasi adalah proporsi permintaan semua tenaga kerja di setiap jenis pekerjaan dan adanya ketergantungan pada upah relatif setiap industri ipada jenis pekerjaan terhadap upah rata-rata pada setiap industri i tersebut. Fungsi permintaan tenaga kerja industri i diturunkan dari minimalisasi jumlah biaya tenaga kerja menurut jenis pekerjaan dengan kendala fungsi pengagregasi CES menurut jenis pekerjaan. Adapun formula upah oleh setiap industri terhadap kompositnya adalah: ∑ (
)
..........................................................
(4.6)
dimana: V1LABi_l merupakan rata-rata upah tenaga kerja pada suatu industri i dengan upah individu pada setiap jenis pekerjaan, dan V1LABil adalah rata-rata upah tenaga kerja yang dihadapi oleh industri i terkait dengan upah perorangan setiap jenis pekerjaan. Selanjutnya, permintaan tenaga kerja oleh suatu industri pada setiap jenis pekerjaan dapat diturunkan sebagai berikut: (
|
....................... (4.7)
dimana:X1LABi_l adalah permintaan tenaga kerja oleh industri i pada semua jenis pekerjaan, CES LLOC sebagai fungsi agregator CES, X1LABil adalah elastisitas substitusi menurut lokasi setiap industri i, S1LABil(S1LABil=V1LABil/V1LABi_l) merupakan nilai share berdasarkan lokasi terhadap upah total yang dibayar oleh industri i. 4.4.5.3. Permintaan Input Primer Permintaan akan masing-masing faktor diturunkan dari total permintaan seluruh faktor yang dipakai dalam suatu industri (X1PRIMi) dan dipengaruhi oleh harga relatif suatu faktor. Total permintaan seluruh faktor diperoleh dengan cara minimisasi total biaya faktor. Dengan formulasi ini perubahan harga relatif akan
102
mempengaruhi komposisi penggunaan seluruh faktor, dimana faktor yang lebih murah akan dipakai lebih banyak. Turunnya tingkat suku bunga, akan menyebabkan penggunaan modal secara intensif sehingga industri menjadi bersifat lebih capital intensive. Dimana persamaan permintaan input primer pada model ini adalah: X1LABi_ol X 1CAPi X 1 LNDi 1PRIM ; S1LABi _ ol ; (4.8) X 1PRIM i CES , , A1LABi _ ol A 1CAPi A 1 LNDi S1CAP ; S1LND i i
dimana: X1PRIMiadalah permintaan input primer oleh industri i; X1CAPi adalah permintaan kapital industri i, X1LNDi adalah permintaan lahan industri i, A1LABi_oladalah produktivitas tenaga kerja industri i semua jenis pekerjaan dan lokasi, A1CAPi
i_o adalah
produktivitas kapital industri i, A1LNDi adalah
produktivitas lahan untuk industri i, σ1PRIMi sebagai elastisitas substitusi antarfaktor primer industri i, S1LABi_ol adalah nilai share pada semua jenis pekerjaan dan lokasi terhadap upah total yang dibayarkan oleh industri i, S1CAPi adalah nilai share pada kapital oleh industri i, dan S1LNDi adalah nilai share pada lahan oleh industri i. 4.4.5.4. Permintaan Input Antara Dalam model ini asumsi yang digunakan oleh Armington (1969) dipertahankan yaitu bahwa impor merupakan subtitusi tidak sempurna bagi komoditi domestik. Dengan demikian, penurunan harga impor akan memperbesar permintaan impor dan menurunkan permintaan barang domestik. Akan tetapi, tidak seluruh komoditi domestik dapat digantikan oleh impor. Dalam pemakaian input antara, suatu industri melakukan minimasi biaya total berdasarkan fungsi produksi CES adalah sebagai berikut: X1 X1ci_s CES csi 1c ; S1csi ; c COM,i IND ........................... (4.9) sSRC A1 csi
dimana:X1ci_s adalah permintaan input antara pada setiap komoditisetiap industri pada semua sumber, X1csi adalah ermintaan input antara pada setiap komoditisetiap industri pada setiap sumber, A1csi adalah produktivitas input antara pada setiap komoditi, setiap industri dan setiap sumber, 1c sebagai elastisitas
103
substitusi input antara berdasarkan komoditi, S1csi adalah nilai pangsa input antara pada setiap komoditi, setiap industri dan setiap sumber. Berdasarkan formula tersebut, permintaan suatu input antara tergantung pada kuantatitas komposit komoditi dan harga relatif dari input tersebut. Harga komposit komoditi ditentukan berdasarkan biaya tertimbang dengan divisia index. 4.4.5.5. Permintaan Komposit Input Antara dan Komposit Faktor Primer Dari sisi input, komposit komoditi, komposit faktor primer dan faktor yang termasuk kategori biaya lain-lain digabungkan ke dalam suatu fungsi produksi Leontief untuk menentukan tingkat produksi dari suatu industri dengan fungsi:
X1TOTi
X1ci_s X1PRIM i X1OCTi 1 , MIN MIN , i IND (4.10) A1TOTi cCOM A1ci_s A1PRIM i A1OCTi
dimana:X1TOTi adalah permintaan input gabungan industri i,
A1TOTiadalah
produktivitas input gabungan industri i, A1ci_s sebagai produktivitas input antara pada setiap komoditi, setiap industri pada semua sumber, A1PRIMi sebagai produktivitas input primer industri i, X1OCTi merupakan permintaan input biaya lain industri i, dan A1OCTi adalah produktivitas input industri i. Berdasarkan formula ini, permintaan terhadap seluruh input tersebut bersifat proporsional terhadap tingkat produksi. Persentase perubahan permintaan input akan sama dengan laju perubahan output, kecuali terjadi perubahan teknologi. Rasio yang menentukan kombinasi input merupakan parameter dari fungsi produksi Leontief.
Bersama-sama harga input, rasio ini menentukan
pangsa biaya dari suatu kegiatan produksi. 4.4.5.6. Komposit Output Dari Suatu Industri Komposisi komoditi yang diproduksi oleh suatu industri ditentukan berdasarkan prinsip maksimisasi penerimaan untuk setiap tingkat produksi dengan teknologi CES: X1TOTi CET (Q1ci 1OUTi ; S _ MAKE ci ) ...................................... (4.11) cCOM
dimana: X1TOTi adalah komposit output industri i, 1OUTi adalah elastisitas transformasi pada industri i, dan S_MAKEciadalah share produksi total komoditi c
104
pada komoditi i. Dari fungsi maksimisasi tersebut, transformasi antar komoditi akan mengarah pada komoditi yang harga relatifnya meningkat. Berikutnya, harga rata-rata yang diterima oleh suatu industri merupakan harga tertimbang berdasarkan pangsa dalam penerimaan. 4.4.5.7. Permintaan Barang yang Dipergunakan dalam Investasi Pembentukan investasi dan barang modal ditampilkan dalam Gambar 13. Sebagaimana halnya barang konsumsi, proses pembentukan barang modal bersifat multi tingkatan (multi-stage), dengan karekterisasi proses fungsi CES dalam tingkat awal dan fungsi Leontief pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tahap awal penggunaan barang impor dan domestik ditentukan minimisasi biaya dengan fungsi produksi CES untuk suatu tingkat output tertentu dapat dirumuskan secara spesifik sebagai berikut:
X1ci_s CES ( sSRC
X 1csi 1c ; S1csi )c COM , i IND ................................ (4.12) A1csi
dimana:X2ci_s adalah permintaan barang kapital setiap komoditi, setiap industri pada semua sumber, X2csiadalah permintaan barang kapital setiap komoditi, setiap industri pada setiap sumber, A2csisebagai produktivitas barang kapital setiap komoditi, setiap industri pada setiap sumber, 2c sebagai elastisitas Armington pada setiap komoditi, dan S2csiadalah share nilai barang kapital setiap komoditi, setiap industri pada setiap sumber.Pada tahap berikutnya, dilakukan minimisasi fungsi biaya Leontief yang dirumuskan sebagai berikut: X2TOTi
dimana:X2TOTi
X 2ci _ s 1 MIN ( ), i IND ...................................... (4.13) c COM A2TOT1 A2c1 _ s
sebagai permintaan total barang kapital pada industri i, dan
A2TOTi adalah produktivitas total barang kapital pada industri i.
105
Barang Kapital
Leontief
Barang 1 X21i_s
--hingga--
Barang C X2ci_s
CES 2c
CES 21
Barang Dometik 1 X2 1"dom"i
Barang Impor 2 X21"imp"i
Barang Domestik C X2c"dom"i
Barang Impor C X2c"imp"i
Sumber: Silva dan Horridge, 1996 Gambar 13. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal 4.4.5.8. Permintaan Rumahtangga Berdasarkan asumsi teori neoklasik, sektor rumahtangga diasumsikan penetapan harga tertentu dan komoditi yang dikonsumsi untuk memaksimumkan fungsi kepuasan dengan kendala pengeluaran agregat. Salah satu tujuan penelitian ini unutk melihat distribusi kesejahteraan dan struktur pendapatan maka penelitian pengagregasian kelompok rumha tangga adalah sangat penting. Pada penelitian ini, terdapat 8 tipe kategori rumahtangga yang digunakan menurut SNSE Nasional tahun 2008 kemudian didisagregasi menjadi 16 kategori rumahtangga sesuai dengan kondisi di bawah garis kemiskinan dan sebaliknya. Pada model CGE yang digunakan dalam penelitian ini, asumsi standar yang seringkali digunakan adalah asumsi Armington. Asumsi ini berimplikasi bahwa substitusi tidak sempurna membedakan harga di negara-negara yang berbeda (Plassmann, 2004). Manfaat besar menggunakan asumsi Armington
106
adalah harga-harga faktor input tidak mobil yang berbeda dengan wilayah. Jika pasar kompetitif, maka berbeda pada harga input yang menunjukkan adanya perbedaan pada harga output. Asumsi elastisitas Armington menjelaskan suatu penjelasan intuitif mengenai mengapa konsumen tidak dapat membeli output secara eksklusif dari wilayah tertentu dengan harga terendah. Pola masalah optimalisasi untuk rumahtangga sama dengan pola masalah optimalisasi untuk industri dimana komoditas yang diminta rumahtangga berasal dari beberapa wilayah domestik seperti halnya impor. Ketika fungsi utilitas rumahtangga dibagi ke dalam berupa barang, rumahtangga dapat menyelesaika optimalisasinya menurut fungsi utilitas CES, di mana permintaan setiap komoditi spesifik dianggap komposit baik untuk produk domestik maupun impor. Gambar 14 mengilustrasikan masalah optimalisasi rumahtangga. Dalam model ini, blok permintaan rumahtangga secara dasar mengikuti permintaan rumahtangga model WAYANG (Wittwer, 1999). Adapun fungsi utilitas konsumen pada ilustrasi sebagai berikut:
Max Utility
top nest
Fungsi Agregasi CES untuk komoditi
Fungsi Agregasi CES untuk komoditi
the lower nest
Komoditi Impor C1
Komoditi yang diproduksi di komoditi C1
Komoditi yang diproduksi di komoditi CN
Gambar 14. Masalah Optimalisasi pada Rumahtangga
Komoditi Impor CN
107
Rumahtangga dianggap sebagai konsumen tunggal yang memaksimumkan kepuasan (utility). Adapun fungsi kepuasan konsumen dapat dilihat pada Gambar 15. Pada tingkatan yang paling tinggi bahwa pilihan konsumen diantara berbagai jenis komoditas berdasarkan pada fungsi liniear expenditures demand system (LES). Selanjutnya, pada tingkat kedua konsumen mengkombinasikan barangbarang dari berbagai sumber (domestik dan impor) berdasarkan mekanisme CES.
Utilitas Rumahtangga
Leontief
Barang 1 X31i_s
--hingga--
Barang C X3ci_s
CES 3c
CES 31
Barang Dometik 1 X31"dom"i
Barang Impor 2 X3 1"imp"i
Barang Domestik C X3c"dom"i
Barang Impor C X3c"imp"i
Sumber: Silva dan Horridge (1999) Gambar 15. Spesifikasi Konsumsi Rumahtangga Pada fungsi LES diasumsikan bahwa pengeluaran untuk barang i merupakan fungsi linear dari pendapatan dan harga seluruh barang. Sistem pesamaan seperti ini diturunkan dari fungsi utilitas agreggat dari Stone-Geary adalah: TOTALUTILITY = Pc X3LUXc
S3LUXc
............................................ (4.14)
108
dimana: TOTALUTILITY adalah utilitas rumahtangga, X3LUXc merupakan komposit agregat dari barang-barang mewah,S3LUXcsebagai share agregat dari barang-barang mewah. Dengan fungsi seperti persamaan (4.15) di atas, total utilitas diperoleh dari konsumsi tingkat subsisten. Jadi konsumsi barang mewah dapat dirumuskan menjadi persamaan (4.15), seperti: X3LUXc = X3c_s - X3SUBc ......................................................... dimana:X3LUXc
(4.15)
adalahagregat dari konsumsi barang mewah, dan X3SUBc
sebagai konsumsi subsisten. Adapun untuk setiap rumahtangga fungsi utilitasnya dirumuskan dengan membagi terhadap jumlah barang yang diminta menghasilkan persamaan (4.16): UTILITY = TOTALUTILITY/ Q = I/Q * Pc X3LUXcS3LUXc............................................... (4.16) Sedangkan share pengeluaran bagi setiap barang ditentukan dengan melihat persamaan (4.17): P3C_S * X3LUXC = Pc X3LUXc* V3LUX_C ........................................ (4.17) dimana:V3LUX_C adalah pengeluaran total atas semua barang mewah. 4.4.5.9. Ekspor dan Permintaan Akhir Lainnya Dalam model CGE yang dipakai, ekspor dibagi menjadi dua kategori yaitu tradisional dan non-tradisional sehingga spesifikasi fungsi bagi masing-masing grup dapat dibuat berbeda. Respon ekspor tradisional terhadap harga internasional dirumuskan sebagai berikut: X4c = F4Q c [P4c/PHI/ P4c]EXP_ELASTc ...................................... (4.18) dimana:X4c adalah volume ekspor tradisional menurut komoditi, dan P4c adalah harga komoditi dalam rupiah, PHI adalah nilai tukar rupiah per US$, EXP_ELASTc shifter.
adalah harga komoditi dalam rupiah, dan F4c sebagai demand
109
Bagi kelompok non tradisional, volume ekspor ditentukan dalam persamaan (4.19) menjadi: X4c = S4Q_”NTRAD” * X4_”NTRAD” ............................................ (4.19) dimana:X4c
merupakan volume ekspor non-tradisional berdasarkan komoditi,
S4Q_”NTRAD”adalah rasio ekspor komoditi c pada total ekspor non-tradisional, dan X4_”NTRAD”merupakan volume ekspor seluruh komoditi non tradisional. 4.4.5.10. Permintaan Barang Margin Penggunaan komoditi atau barang baik oleh produsen maupun konsumen pada umumnya memerlukan pelayanan jasa selanjutnya. Jenis jasa lanjutan ini dalam fungsi CES, LES dan Leontief belum dispesifikasi. Jenis jasa ini disebut barang margin dan contohnya adalah transportasi dan telekomunikasi.Jumlah barang margin yang dipergunakan oleh setiap agen diasumsikan sebagai suatu proporsi terhadap produksi dan konsumsi. Sebagai contoh, permintaan barang margin oleh suatu industri dapat dirumuskan sebagai berikut: X1MARcsim = A1MARcsim * X1csi ................................................. (4.20) dimana:X1MARcsim
adalah permintaan barang margin setiap komoditi, setiap
komoditi pada setiap sumber, A1MARcsim merupakan
produktivitas
barang
margin setiap komoditi, setiap komoditi pada setiap sumber (konstanta). Meskipun A1MARcsim adalah konstanta, tetapi ratio yang berlaku di masing-masing industri berbeda, tergantung dari data dasar yang digunakan. Oleh karena itu, dalam simulasi penelitian ini, dapat pula ditambahkan sebagai variable 'demand shifter'.
4.4.5.11. Harga Barang di Tingkat Pembeli Suatu komoditas margin dapat dimasukkan ke dalam produksi barang lain baik sebagai barang antara maupun sebagai suatu margin. Input margin menimbulkan biaya yang harus dibayar oleh pengguna. Biaya tersebut akan meningkatkan harga di tingkat pengguna. Harga ditingkat pengguna akhir sebagai harga pembeli (purchaser price). Untuk komoditi domestik harga ditingkat
110
pembeli merupakan penjumlahan dari harga dasar komoditi dengan biaya margin dan pajak. Barang margin dapat diperlakukan sebagai barang antara atau margin. Penggunaan barang ini sebagai input berarti menambah struktur ongkos produksi. Adapun harga barang di tingkat pembeli dirumuskan pada persamaan (4.21) berikut ini: P1SELcin_s = P1BASICci_s + CSTMRGci_s + TAXci_s .............. (4.21) dimana:P1SELci_s sebagai harga di tingkat pembeli pada semua komoditi, P1BASICci_s sebagai harga dasar pada semua komoditi, CSTMRGci_s adalah biaya margin, dan TAXci_s sebagai pajak bersih. 4.4.5.12. Keseimbangan Pasar Model CGE ini memerlukan banyak kondisi keseimbangan pasar yang memuat hubungan antara harga dan jumlah komoditas, faktor dan input antara. Pada prinsipnya, kondisi keseimbangan merupakan titik pertemuan antara penawaran dan permintaan
untuk berbagai
komoditas. Karena
jumlah
persamaannya begitu banyak, maka ditampilkan disini hanya sebagai salah contohnya saja. Dengan demikian, salah satu contoh kondisi keseimbangan kuantitas suatu faktor produksi secara agregat dapat dirumuskan sebagai berikut:
x1 fac _ i
1 V 1FAC i x1 faci .......................................... (4.22) V 1FAC _ i iIND
dimana :V1FAC_i adalah total pembayaran atas faktor, dan V1FACi merupakan pembayaran atas faktor oleh industri i.
4.4.5.13. Pajak Tak Langsung Pajak penjualan dinyatakan dalam bentuk ad-valorem tax dan masingmasing jenis komoditi yang dibedakan atas sumber dan jenis penggunaannya memiliki rate pajak yang berbeda-beda. Bentuk umum nilai pajak dari suatu komoditi yang diproduksi secara domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: T1csi = F0TAXc_s * F1TAX_csi ........................................................ (4.23)
111
dimana:T1csi adalah nilai pajak dari suatu komoditas yang diproduksi domestik, dan F0TAXc_s dan F1TAX_csi sebagai variabel shifter. Dari persamaan (4.24), maka penerimaan pajak dirumuskan sebagai: Tax revenue = Tax rate * Value of product before tax = (Power of tax - 1) * Value of product before tax .................. (4.24) Adapun derivasi nilai pajak dari persamaan (4.24) dapat disederhanakan sebagai fungsi dari nilai produksi barang konsumsi pada persamaan (4.25) berikut ini, yaitu: V1TAX_csi = Scsi (T1csi - 1) * V1BAS_csi = Scsi (T1csi - 1) *(P0cs * X1csi )................................................................. (4.25) 4.4.5.14. GDP dari Sisi Pendapatan dan Pengeluaran GDP
nominal
dinyatakan
berdasarkan
sisi
pendapatan
seperti
disajikanpada persamaan (4.26), yaitu: GDP nominal =
Pendapatan dari lahan + Pendapatan dari kapital + Pendapatan dari tenaga kerja + Pendapatan impor lain + Pendapatan dari pajak tidak langsung ........... (4.26)
Sedangkan GDP nominal berdasarkan sisi pengeluaran deiperlihatkan pada persamaan (4.27) berikut : GDP nominal = Konsumsi rumahtangga + investasi + pengeluaran pemerintah + net ekspor (ekspor-impor) .......... (4.27) 4.4.5.15. Neraca Perdagangan dan Aggregat Lainnya Balance of trade dalam satuan mata uang domestik, dapat dirumuskan pada persamaan (4.28) berikut: BTRD = V4TOT –V0CIF_c .................................................................. (4.28) dimana:BTRD adalah Balance of trade, V4TOT
adalah Nilai ekspor total,
V0CIF_csebagai nilai total impor. Untuk mengekspresikan balance of trade relative terhadap gross domestic product,V0GDPEXP, maka didapatkan persamaan (4.29): BTRD/V0GDPEXP= V4TOT/V0GDPEXP –V0CIF_c /V0GDPEX ... (4.29) dimana:V0GDPEXP
adalah GDP dari sisi pengeluaran.
112
4.5. Elastisitas dan Parameter Lainnya Model CGE membutuhkan data elastisitas dan parameter-parameter perilaku lainnya. Elastisitas yang digunakan dalam model ini adalah elasisitas Armington, elastisitas substitusi untuk tenaga kerja, elastisitas substitusi untuk faktor primer, elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas pengeluaran. Paramater lainnya yang diperlukan juga adalah parameter yang berhubungan dengan investasi. Idealnya, parameter-parameter tersebut diestimasi dari pengolahan data time series dengan menggunakan alat analisis ekonometrika. Namun demikian, secara relatif upaya yang ditujukan untuk hal mendasar tersebut bagi Indonesia, sebagian terkait dengan keterbatasan ketersediaan data time series yang baik (Oktaviani, 2000). Meskipun demikian, beberapa parameter yang datanya tidak ditemukan di lapangan, nilai elastistias dan parameternya diperoleh dari berbagai studi terdahulu, baik studi yang dilakukan di Indonesia maupun yang dilakukan di negara lain yang kemudian diaplikasikan dengan logis untuk kasus Indonesia. 4.6. Klasifikasi Kelompok Rumahtangga Rumahtangga dikelompokkan berdasarkan pengelompokkan rumahtangga pada SNSE 2008, yaitu menjadi delapan kelompok rumahtangga berdasarkan tipe lokasi dan jenis pekerjaan utama menurut SUSENAS tahun 2008. Adapun kelompok rumahtangga tersebut menjadi kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian (agriculture), di sektor non-pertanian di perdesaan (rural) dan di perkotaan (urban). Selanjutnya, sesuai dengan tujuan penelitian dan fakta empiris, bahwa kebijakan fiskal diberikan pemerintah berupa subsidi bertujuan untuk mengurangi jumlah kemiskinan di tingkat rumahtangga sasaran. Artinya kelompok rumahtangga yang miskin menjadi prioritas dan sasaran utama dalam kebijakan tersebut. Oleh karena itu, setiap kelompok rumahtangga dipecah terdiri dari miskin (poor) dan tidak miskin (no poor), sehingga jumlah kelompok rumahtangga menjadi 16 kelompok rumahtangga. Empat
kelompok rumahtangga
yang bekerja
(agriculture) tersebut adalah: 1.
Pertanian 1 adalah buruh pertanian miskin
2.
Pertanian 2 adalah buruh pertanian tidak miskin
di
sektor
pertanian
113
3.
Pertanian 3 adalah pengusaha pertanian miskin
4.
Pertanian 4 adalah pengusaha pertanian tidak miskin Enam kelompok rumahtangga yang di perdesaan (rural) adalah:
5.
Perdesaan 1 adalah rumahtangga bukan pertanian, berpendapatan rendah, dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang miskin
6.
Perdesaan 2 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang tidak miskin
7.
Perdesaan 3 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yaitu rumahtangga yang meliputi Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang miskin
8.
Perdesaan 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yaitu rumahtangga yang meliputi Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang tidak miskin
9.
Perdesaan 5 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang miskin
10. Perdesaan 6 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang tidak miskin Enam kelompok rumahtangga yang berada di perkotaan (urban) adalah: 11. Perkotaan 1 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang miskin 12. Perkotaan 2 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata
114
Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang tidak miskin 13. Perkotaan 3 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, yaitu rumahtangga yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang miskin 14. Perkotaan 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, yaitu rumahtangga yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang tidak miskin 15. Perkotaan 5 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang miskin 16. Perkotaan 6 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang tidak miskin 4.7. Agregasi Input Primer Input primer yang digunakan dalam model CGE ini meliputi tenaga kerja, lahan dan kapital. Tenaga kerja diklasifikasikan atas tenaga kerja di perkotaan (urban) dan di perdesaan (rural). Klasifikasi tenaga kerja tersebut digunakan dalam penelitian ini mengikuti kategorisasi yang terdapat dalam SNSE tahun 2008, dimana berdasarkan kelompok besar tenaga kerja di perdesaan dan di perkotaan, yang mengagregasikan tenaga kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Adapun input primer lainnya baik lahan maupun modal/kapital tidak dilakukan disagregasi lagi. 4.8. Penentuan Closure Dalam model CGE, secara spesifik mempunyai variabel yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persamaannya, sehingga untuk menutup kekurangan perlu diseimbangkan agar model yang dipergunakan dapat dipecahkan dimana selisih pada variabel mengharuskan adanya variabel eksogen. Horridge, et al (1993) menyatakan bahwa terdapat beberapa variabel yang bisa dijadikan variabel
115
eksogen secara umum, dimana variabel tersebut tidak mempunyai persamaan sesuai variabel tersebut. Beberapa variabel eksogen tersebut diantaranya; perubahan teknologi, pajak, variabel shifter, luas lahan, stok modal industri, harga impor, rata-rata pengembalian modal, perubahan inventori, dan perubahan kurs. Susunan penentuan closure sangat mempengaruhi hasil simulasi. Beberapa jenis closure yang dimasukkan dalam model CGE menunjukkan kepentingannya terhadap tujuan penelitian dan bersifat fleksibel. Oleh karena itu, sangat penting untuk menunjukkan variabel-variabel yang akan di-shock dan dilakukan simulasi sebagai variabel eksogennya. Selain itu, closure yang digunakan harus dilihat apakah digunakan untuk jangka panjang atau jangka pendek. Dalam model CGE, jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variable endogen. Umumnya jumlah variable lebih banyak daripada jumlah persamaan. Oleh karena itu diperlukan jumlah variabel eksogen untuk menutupnya (close). Dengan demikian, untuk menyeimbangkan jumlah variabel endogen dan persamaannya harus sama, maka membutuhkan apa yang disebut ‘closure’. Pada model WAYANG (Wittwer, 1999) yang digunakan dalam penelitian ini, telah dimodifikasi dengan mempunyai lebih banyak jumlah variabelnya daripada persamaannya. Variabel dalam model ini dibedakan menjadi variable yang dijelaskan dalam model dan variabel eksogen yang nilainya ditentukan di luar
model.
Pilihan
tertentu
sesuai
dengan
tujuan
penelitian
dengan
mendefinisikannya menjadi variabel eksogen disebut sebagai closure atau penutup model. Dalam penentuan closure
ini dapat secara bebas dilakukan dengan
ketentuan bahwa jumlah variabel endogen harus sama dengan jumlah persamaan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa masing-masing persamaan hanya mampu menjelaskan satu variabel. Analisis yang digunakan pada model CGE WAYANG dalam penelitian ini merefleksikan jangka waktu yang dibutuhkan terjadinya proses penyesuaian berbagai peubah ekonomi untuk mencapai kondisi keseimbangan yang baru (new equilibrium). Pada penelitian ini analisis jangka waktu yang digunakan adalah jangka pendek (short run) dan jangka panjang (long run). Masing-masing jenis analisis ini didasari oleh asumsi yang berbeda. Terdapat dua asumsi dasar pada analisis jangka pendek, yaitu pertama, stok kapital dianggap tetap (fixed), hal ini
116
didasari anggapan bahwa investasi barang modal membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat memengaruhi perekonomian. Shock yang terjadi tidak dapat secara langsung menambah stok kapital. Kedua, adanya kekakuan dalam pasar tenaga kerja (rigidities in the labor market), pada kondisi ini upah riil dianggap tetap. Menurut Horridge (2001), durasi jangka pendek tidak dapat dinyatakan secara eksplisit, tetapi umumnya sekitar satu sampai tiga tahun. Analisis jangka panjang didasarkan pada asumsi bahwa (1) telah terjadi penyesuaian pada stok kapital dan (2) upah riil juga telah mengalami penyesuaian akibat adanya guncangan dalam perekonomian. Analisis pada model CGE WAYANG dalam penelitian ini belum memasukkan unsur dinamis (waktu), sehingga disebut sebagai model komparatif statik
(Oktaviani
2008).
Pada
model
ini
analisis
dilakukan
dengan
membandingkan perbedaan nilai peubah tertentu pada waktu yang akan datang (T), dengan atau tanpa adanya kebijakan (shock) pada peubah eksogen. Semua persamaan ataupun peubah pada model menunjukkan keadaan perekonomian pada periode yang akan datang. Karena dalam penelitian ini menggunakan model CGE bersifat statik komparatif, maka closure yang dipakai dibedakan ke dalam jangka pendek dan jangka panjang. Closure jangka pendek dengan jangka panjang, perbedaannya adalah adalah dalam faktor market closure. Di sini, kapital bersifat spesifik, artinya tidak bisa bergerak (immobile) atau berpindah antar sektor.
Kapital
menjadi input tetap untuk setiap industri. Hal ini dilakukan dengan membuat variable permintaan kapital di semua industri yang eksogenus. Selain itu untuk pasar tenaga kerja, jumlah tenaga kerja aggregate (supply) bisa berubah. Hal ini dilakukan dengan membuat variable supply tenaga kerja menjadi endogenous, dan membuat harga tenaga kerja sebagai variabel eksogen. Dengan kata lain diasumsikan ada nominal wage rigidity di dalam perekonomian. Secara lebih jelas closure jangka pendek dapat diilustrasikan pada Gambar 16. Secara program Gempack dapat dilhat pada Lampiran 2.
117
Tingkat Tingkat Pengembalian Pengembalian Modal Modal
Upah Riil
Tenaga Tenaga Kerja Kerja
PDB PDB
Perubahan Teknis Penggunaan Faktor Produksi
=
Konsumsi Rumah Tangga
+
Investasi Investasi
+
Stok Kapital
Konsumsi Pemerintah
+
Neraca Neraca Perdagangan Perdagangan
Keterangan: Eksogen
Endogen Endogen
Sumber: Horridge, et al. (2001) (dimodifikasi)
Gambar 16. Closure Jangka Pendek pada Model CGE yang Digunakan Selain jangka pendek, dalam penelitian ini closure yang digunakan juga dengan jangka panjang. Jangka panjang diasumsikan dalam closure pada penelitian ini adalah bahwa stok kapital sudah dapat diataur dari model, upah riil , perubaham teksnis penggunaan faktor produksi dan tingkat pngendaian modal. Dalam closure jangka panjang, supply of factor of production untuk semua faktor (tenaga kerja, modal dan lahan) yaitu variable adalah exogenous (artinya fullyemployed), dan faktor produksi tersebut boleh bergerak atau berpindah antar sektor. Untuk itu harga faktor sama untuk semua sektor. Adapun closure jangka panjang yang mempengaruhi perubahan terhadap perekonomian dan rumahtangga perdesaan dalam jangka panjang. Adapun closure dalam model CGE penelitian ini disajikan secara jelas pada Gambar 17. Untuk closure jangka panjang melakukan swap dari beberapa variable eksogenus pada closure jangka pendek, yang secara program dapat dilihat pada Lampiran 3.
118
Tingkat Pengembalian Modal
Upah Riil
Perubahan Teknis Penggunaan Faktor Produksi
Tenaga Kerja
PDB
Keterangan:
=
Konsumsi RT
Eksogen
+
Investasi
+
Konsumsi Pemerintah
Stok Kapital
+
Neraca Perdagangan
Endogen
Sumber: Horridge, et al. (2001) (dimodifikasi)
Gambar 17. Closure Jangka Panjang pada Model CGE yang Digunakan Hubungan antar peubah ekonomi makro dapat diubah-ubah sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan demikian posisi peubah sebagai peubah pengaruh atau yang dipengaruhi dapat disesuaikan dengan kebijakan ekonomi makro apa yang akan kita lihat pengaruhnya. Misalnya, kita dapat melihat dampak dari perubahan nilai tukar rupiah terhadap peubah ekonomi makro lainnya. Nilai tukar dapat mempengaruhi besarnya nilai ekspor dan impor yang kemudian akan merubah penggunaan faktor produksi impor, investasi, produksi dan PDB riil. 4.9. Analisis Kemiskinan Untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal berupa subsidi pemerintah terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence) digunakan indeks kemiskinan FGT (Foster-Greer-Thorbecke). Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumahtangga dari analisis simulasi kebijakan digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT dengan menggunakan data SUSENAS 2008 Panel Modul Konsumsi dan Kor. Meskipun menggunakan analisis ini di luar model, namun pada dasarnya analisis kemiskinan ini tetap mengacu pada kerangka SNSE, karena; (1) kelompok rumahtangga pada model CGE disusun bersumber dari data
119
SUSENAS, dan (2) penggolongan rumahtangga pada data SUSENAS dibangun mengikuti klasifikasi rumahtangga yang terdapat dalam SNSE. Dengan menyelaraskan pengelompokkan rumahtangga pada SUSENAS dan model CGE yang digunakan maka akan diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model CGE. Berdasarkan data
SUSENAS
2008
dapat dibentuk struktur
dan
pengelompokan rumahtangga berdasarkan data yang tersedia, yaitu; (1) lapangan usaha, (2) status kedudukan pekerjaan utama, (3) tipe lokasi perdesaan dan perkotaan. Selanjutnya, untuk mengukur pendapatan rumahtangga dihitung dari sisi pengeluaran, yaitu menggunakan data; (1) rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pangan sebulan, (2) rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk non-pangan sebulan, (3) rata-rata pengeluaran rumahtangga sebulan dan (4) jumlah anggota rumahtangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumahtangga sebulan yang dirasiokan dengan jumlah anggota rumahtangga sehingga menghasilkan rata-rata pendapatan rumahtangga per bulan per kapita. Dengan menggunakan garis kemiskinan (GK) yang telah ditetapkan oleh BPS untuk tahun 2008, di perdesaan sebesar Rp 161 831 per bulan per kapita, di perkotaan sebesar Rp 204 869 per bulan per kapita, dan di perkotaan dan di perdesaan sebesar Rp 185 636 per bulan per kapita maka dapat diketahui jumlah rumahtangga yang miskin dan tidak miskin dari setiap kelompok rumahtangga, jika berada pada posisi di bawah GK. Selanjutnya, data tersebut digunakan sebagai dasar (base) untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumahtangga hasil dari simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah disimulasi. Selanjutnya, dapat dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dengan menggunakan perangkat lunak STATA 11.2. Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumahtangga berdasarkan golongan rumahtangga (yang diproksi dari rata-rata pengeluaran rumahtangga per bulan), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu menjadi rata-rata pengeluaran per bulan per kapita. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT proverty index didasarkan pada pengeluaran masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin.
120
Terdapat dua pendekatan dalam menghitung pendapata n masing-masing individu sebagai dasar penghitungan kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Perhitungan dengan pendekatan ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut jenis kelamin, golongan umur, dan skala ekonomi dalam konsumsi. Kedua, berdasarkan skala ekuivalensi atau Equivalence Scale (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumahtangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekuivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria kecukupan energi kalori, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin (LIPI, 2004). Dengan demikian, perhitungan
pendapatan
masing-masing
individu
dengan
menggunakan
pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang masih belum akurat. Konsep ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi untuk anak dengan populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan, dimana menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7 populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70 persen dari kebutuhan konsumsi orang dewasa (Susilawati, 2007). Dalam menggunakan pembobot dalam menentukan pendapatan per kapita, terdapat beberapa kajian di Australia menggunakan nilai pembobot untuk anak berkisar 0.3 sampai 0.7 (Whiteford, 1985). Demikian pula beberapa negara telah menghitung dan menerapkan skala ekivalensi dalam menghasilkan ukuran kemiskinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan Peninsula nilainya berkisar 0.9 (BPS, 2005b). Dengan angka ekivalensi mendekati satu, implikasinya skala ekivalen akan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui pendapatan (pengeluaran) per kapita. Untuk menghitung nilai ES, berdasarkan economic of scale (e) yang nilainya ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumahtangga dewasa. Nilai e berkisar 0-1. Jika e meningkat, maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada skala ekonomi maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumahtangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negara
121
Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES sehingga Whiteford (1985) menyatakan tidak ada suatu metoda menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu lebih baik dibanding metoda penghitungan ES yang lain. Meskipun penghitungan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat, penghitungan ukuran kemiskinan di Indonesia selama ini belum menerapkan skala ekivalensi karena belum dilakukan penelitian untuk menentukan besaran skala ekivalensi yang dapat mewakili Indonesia. Penelitian ini menggunakan metoda penghitungan ES yang dikembangkan oleh Cockburn (2001) yang telah diterapkan untuk mengkaji angka kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut: ESi = 1 + 0.7 (Zi-1-Ki) + 0.5 Ki ........................................................ (4.40) dimana; i = indeks rumahtangga, Z = jumlah anggota rumahtangga dan K = jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan skala ekonomi dan umur, maka kepala rumahtangga diperhitungkan 1, anggota rumahtangga dewasa lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diperhitungkan 0.5. Formula yang sama telah digunakan oleh Oktaviani et al. (2005) untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemiskinan, Astuti (2005), Sitepu (2007) dan Haryono (2008) untuk menghitung perubahan angka kemiskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu, serta Susilowati (2007) untuk mengkaji dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Formula Foster-GreerThorbecke (FGT) poverty index dinyatakan sebagai berikut (Cockburn, 2001): (
∑
(
(
................................................ (4.41)
dimana : α bernilai 0, z sebagai garis kemiskinan sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z – yi)/z , dimana Gi = 0 pada saat yi > z., yi adalah rata-rata pengeluaran per kapita individu ke-i sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z, q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n = jumlah penduduk.
122
Mengenai nilai α terdapat tiga macam besaran, yaitu: 1. Nilai α = 0, P0 menyatakan head count index (HCI) atau indeks kemiskinan merupakan proporsi populasi yang berada di bawah garis kemiskinan (GK). Dengan kata lain, nilai HCI tersebut adalah persentase penduduk yang berada dibawah GK. Formula (4.42) di atas akan menjadi: (
∑
(
atau
................................................... (4.42)
Contohnya apabila terdapat sebanyak 15 persen populasi termasuk ke dalam kelompok miskin, maka P0 = 0.15. 2. Nilai α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio atau indeks kedalaman kemiskinan dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Hal ini mengartikan bahwa merupakan
ukuran
rata-rata
kesenjangan
pengeluaran
masing-masing
penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari GK. Formula (4.33) menjadi: ∑
(
(
........................................................................ (4.43)
Contohnya apabila besaran P1 = 0.1, artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 10 persen. Adapun ∑
(
adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan (poverty gap)
yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Nilai α = 2, Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan. Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan
pendapatan
atau
distribusi
pendapatan
populasi
miskin
(distributionally sensitive index) atau Indeks Keparahan Kemiskinan. Indeks ini memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Ukuran ini dinamakan rasio
“keparahan” kemiskinan (poverty severity). Formula (4.44) menjadi:
123
(
∑
(
................................................................. (4.44)
Pengukuran kemiskinan dengan FGT poverty index dapat digunakan juga apabila populasi rumahtangga dipisahkan (disaggregated) menurut kelompok (subgroup) populasi, sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui. Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi delapan kelompok, maka profil kemiskinan digambarkan melalui Pj untuk j = 1, 2, ..., 16 adalah: (
∑
(
........................................................... (4.45)
Adapun kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelompok, diformulasikan sebagai: ∑
.......................................................................... (4.36)
dimana: Pj menyatakan ukuran kemiskinan untuk kelompok ke-j, dimana j = 1, 2,...,16; Nj adalah jumlah populasi kelompok j,
adalah rata-rata pengeluaran
individu i yang berada pada kelompok j, i sebagai individu1, 2, .... , nj yang berada dalam kelompok j. 4.10. Simulasi Kebijakan Terdapat empat simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini. Keempat simulasi kebijakan tersebut adalah: 1. Simulasi 1 (SIM1): Dalam kurun waktu 2006–2012, realisasi subsidi pupuk yang disalurkan melalui BUMN produsen pupuk (PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Kaltim, dan PT Pupuk Iskandar Muda), dan bantuan langsung pupuk (BLP) dalam rangka mendukung program revitalisasi pertanian mengalami kenaikan. Pemberian pupuk bersubsidi ini dilakukan melalui Industri gas dan kemudian kepada produsen pupuk. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pertanian berusaha untuk mempermudah kebutuhan petani dalam membeli pupuk dengan menyediakan pupuk bersubsidi. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 87/Permentan/SR.130/12/2011 tanggal 9 Desember 2011 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2012. Peraturan tersebut ditetapkan bahwa
124
harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi per Kg tahun 2012 meningkat dari tahun 2011 untuk jenis pupuk organik dan anorganik meningkat rata-rata 26.75 persen. 2. Simulasi 2 (SIM2): Dalam upaya memberikan dukungan terhadap program revitalisasi pertanian, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk subsidi benih. Pemberian subsidi benih tersebut ditujukan untuk menyediakan benih padi, jagung, dan kedelai dengan harga yang terjangkau oleh para petani. Benih juga merupakan sarana produksi penting yang penggunaannya perlu terus didorong agar petani menggunakan benih unggul dalam usahataninya. Salah satu insentif bagi petani agar menggunakan benih unggul adalah dengan memberikan subsidi benih unggul, benih subsidi langsung maupun tidak langsung. Subsidi tidak langsung seperti yang telah berjalan selama ini yaitu melalui subsidi harga terhadap produksi benih yang dihasilkan oleh BUMN benih PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani. Besaran nilai subsidi benih berdasarkan perubahan harga subsidi pada APBN tahun 2012 terhadap APBN tahun 2011. Untuk subsidi benih jagung baik hibrida maupun kompositnya sebesar 30.86 persen, untuk benih padi sebesar 18.89 persen dan untuk benih kedelai sebesar 21.05 persen. 3. Simulasi 3 (SIM3): Alokasi anggaran subsidi pangan dalam RAPBN-P tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp 20.926,3 miliar, yang berarti naik Rp 5.319,2 miliar, atau 34,1 persen dari pagu alokasi anggaran subsidi pangan yang ditetapkan dalam APBN tahun 2012 sebesar Rp15.607,1 miliar. Lebih tingginya perkiraan subsidi pangan bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBN 2012 tersebut, berkaitan dengan tambahan durasi pemberian raskin dari semula 12 bulan, menjadi 14 bulan. Penambahan durasi raskin tersebut merupakan salah satu bentuk kompensasi pengurangan subsidi BBM tahun 2012 untuk masyarakat miskin, masyarakat hampir miskin, dan rentan serta sebagai bagian dari program ketahanan pangan (stabilisasi harga beras). Perubahan tersebut berkaitan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, pada tanggal 27 Februari 2012. Tambahan
125
subsidi pangan juga disebabkan oleh kenaikan harga pokok beras Perum Bulog dari semula Rp 6.558,00/kg menjadi Rp 7.500,00/kg atau rata-rata 14.36 persen. 4. Simulasi 4 (SIM4): Melakukan simulasi gabungan dari SIM1, SIM2 dan SIM3 secara serentak. Variabel eksogen yang digunakan untuk memberikan guncangan (shock) pada closure setiap simulasi. Pertama, pada simulasi kebijakan subsidi pupuk (SIM1), variable eksogen yang dilakukan guncangan pada model adalah pada salestax terhadap intermediate shifter yang berdimensi komoditas dan industri (f0tax1 (c,i)). Simulasi kedua (SIM2), kebijakan subsidi benih, dimana variabel eksogen yang diberikan guncangan pada model adalah sama dengan pada simulasi pertama, karena subsidi pupuk maupun subsidi benih mempunyai mekanisme yang sama, dimana subsidi input tersebut diberikan melalui produsen pupuk/benih di tingkat industri (BUMN). Simulasi ketiga (SIM3), variabel eksogen yang dilakukan guncangan pada model adalah pada salestax terhadap household shifter yang berdimensi komoditas dan rumahtangga (f0tax (c,h)) dimana rumahtangga terpilih adalah rumahtangga yang berkategori miskin. Hal ini dikarenakan subsidi pangan sebagai subsidi output yang diberikan hanya untuk sasaran rumahtangga yang miskin. Selanjutnya, simulasi 4 (SIM4), merupakan simulasi gabungan dari simulasi-simulasi sebelumnya, yaitu SIM1, SIM2 dan SIM3 secara bersama-sama. Detail mengenai mekasnime variabel, dimensi, dan nilai shock secara lebih jelas dalam melakukan simulasi pada closure dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Variabel Eksogen, Dimensi dan Besaran Nilai Shock yang Digunakan dalam Melakukan Simulasi No. Simulasi 1. 2.
3. 4.
SIM1 SIM2
SIM3 SIM4
Dimensi
Kebijakan Subsidi
Variabel Eksogen
Pupuk Benih: 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung Pangan Gabungan
f0tax1 (c,i)
Komoditas/ Sektor Gas
f0tax1 (c,i) f0tax1 (c,i) f0tax1 (c,i) f0tax_s(c,h) Gabungan
Padi Kedelai Jagung Beras Gabungan
Industri
Rumah tangga
Pupuk Padi Kedelai Jagung Gabungan
HH miskin Gabungan
Nilai Shock (persen) 26.75 18.69 21.05 30.86 14.36 Gabungan
126
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. MEMBANGUN DATA DASAR UNTUK MODEL KESEIMBANGAN UMUM INDONESIA Membangun data dasar model keseimbangan umum dalam penelitian ini janis data utama yang digunakan adalah Tabel Input-Output Nasional dan Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi Nasional. Tabel I-O Nasional yang digunakan adalah Tabel Input-Output Nasional Tahun 2008. Selain itu, untuk membangun data dasar, data juga dilengkapi jenis data lain yaitu Sistem Neraca Sosial Ekonomi atau Social Accounting Matrix Nasional Tahun 2008 dan Sensus Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2008 yang bersumber dari BPS. Diperlukan pula berbagai jenis data lainnya, seperti nilai elastisitas, investasi, produk domestik bruto dan lainnya berasal dari hasil estimasi yang dilakukan peneliti berdasarkan data time series, dan sumber lain seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data pendukung lainnya yang diperlukan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat bunga, penghimpunan dana dan alokasi kredit perbankan, kurs valuta asing, investasi, stok modal, tenaga kerja, tingkat upah, tingkat subsidi TDL dan BBM, serta perkembangan harga pangan dunia. Data tersebut dikumpulkan dalam bentuk runut waktu (time series) sesuai periode yang dibutuhkan dan diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI) seperti Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan instansi/lembaga lainnya. Data-data tersebut juga digunakan untuk mendapatkan besaran shock (simulasi historis, dekomposisi dan kebijakan). Selain data tersebut di atas, untuk mengkonstruksi database dan model diperlukan nilai koefisien elastisitas dan beberapa parameter lainnya. Besaranbesaran ini diupayakan untuk diestimasi dari data runut waktu yang tersedia atau dikalkulasi dalam model seperti pangsa input antara domestik yang digunakan oleh berbagai industri. Apabila ditemukan masalah keterbatasan data runut waktu, maka nilai elastisitas dan parameter tersebut akan diambil dari berbagai hasil penelitian terdahulu yang menggunakan metode ekonometrika dengan data terbaru, baik yang merupakan kasus Indonesia maupun negara lain yang
128
mempunyai karakteristik sektor/industri dan keragaan makro ekonomi mendekati kondisi perekonomian Indonesia. Ada beberapa tahap untuk menghasilkan data dasar yang memenuhi syarat-syarat model keseimbangan umum. Kontruksi data dasar tersebut diawali dengan pemodelan untuk menyusun agregasi data seperti jumlah komoditi, industri, rumah tangga dan sumber komoditi yang dimasukkan secara ekplisit di dalam model yang dibangun. Selain itu, memasukkan jumlah dan tipe tenaga kerja serta faktor-faktor produksi lainnya. Selanjutnya, untuk menyesuaikan agregasi yang digunakan dalam penelitian harus dilakukan penyesuaian dalam model yang digunakan berdasarkan Tabel I-O dan SNSE yang tersedia untuk dilakukan pemetaan yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data lain yang diperlukan dalam model yaitu dengan memasukkan beberapa paremeter, elastisitas dan indek lainnya. Dengan demikian, pada bab ini menjelaskan bagaimana membangun data dasar model yang digunakan dalam penelitian ini. 5.1. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 Di Indonesia, Tabel I-O mulai dikenal pada akhir Pelita I. Lembaga yang pertama kali menyusun Tabel I-O Nasional Tahun 1969 oleh Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Keterbatasan data yang tersedia penyusunan Tabel I-O menggunakan metode tidak langsung. Kemudian setelah itu, Biro Pusat Statistik bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Institute of Develoving Economics menyusun Tabel I-O dengan menggunakan metode langsung tahun 1971. Sejek itu, BPS menyusun Tabel I-O Nasional secara berkala setiap lima tahun sekali dan hingga kini telah disusun Tabel I-O Nasional untuk Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2008. Tabel I-O Nasional Tahun 2008 yang dipublikasikan oleh BPS tersbut terdiri dari dua sub grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar tersebut terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis diperoleh dari tabel dasar dengan
129
memasukkan tabel koefisien input, matrik kebalikan total atas dasar harga produsen, matrik kebalikan domestik atas dasar harga produsen. Berdasarkan jumlah sektor perekonomian yang tercakup dalam Tabel I-O Nasional tahun 2008, BPS mengeluarkan tabel dari jumlah komoditi atau sektor sebanyak 66 sektor. Semakin banyak jumlah sektor yang terdapat pada Tabel I-O maka semakin lebih rinci informasi-informasi yang akan diperoleh dikarenakan sektor-sektor tersebut diagregatkan. Tabel I-O tahun 2008 dengan jumlah 66 sektor yang tersedia dilakukan disagregasi menjadi 70 (66 sektor plus 4 sektor tambahan) sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Ketiga sektor tambahan tersebut adalah sektor kedelai dan kacang-kacangan menjadi kedelai dan tanaman kacang-kacangan, pupuk dan pestisida menjadi pupuk sendiri dan demikian pula pestisida, serta sektor listrik gas dan air dipecah menjadi sektor listrik, gas dan air yang masing-masing dijadikan sektor secara terpisah. Selanjutnya, dari Tabel I-O 70 sektor tersebut, dilakukan agregasi kembali menjadi 40 sektor sesuai dengan kebutuhan penelitian yang berdasarkan nilai share dan keterkaitan yang kuat terhadap sektor yang dianalisis. 5.1.1. Struktur Input-Output Struktur yang lebih rinci dari data dasar Input-Output untuk model Indonesia
mengikuti
model
WAYANG
(Wittwer,
1999).
Gambar
18
menunjukkan data dasar yang terdiri matrik absorpsi, gabungan antara matrik produk dan matrik pajak impor. Kolom pada matrik absorpsi menunjukkan enam kelompok pelaku ekonomi, produsen domestik dan investor pada masing-masing sektor i, satu rumah tangga yang representatif, kumpulan dari pembeli ekspor, sektor pemerintah yang berhubungan dengan jenis permintaan lain dan perubahan pada inventori atau persediaan. Semua jumlah aliran matrik dinilai dalam rupiah. Berdasarkan Gambar 18 pula dapat menjelaskan bahwa baris pada matrik menujukkan sumber pembelian yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dari setiap kolom. Adapun baris meliputi aliran dasar, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditi domestik dan impor yang digunakan oleh sektorsektor lain sebagai suatu input atau formasi modal. Sebagai contoh, V1 BAS
130
berarti kolom pertama dan baris pertama dari matrik absorpsi merupakan nilai dari jumlah permintaan dasar komoditi c, dari sumber s oleh sektor i untuk produksi pada saat ini. Aliran dasar pada kolom ketiga menunjukkan komoditi-komoditi yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Adapun aliran data dasar pada kolom keempat, kelima dan keenam menunjukkan nilai dari komoditi ekspor yang dikonsumsi oleh pemerintah dan berturut-turut menambah/mengurangi inventori.
Ukuran Aliran Bahan Baku Margin
Pajak Tenaga Kerja
CxS CxSxM CxS O
I
Matrik Penyerapan 3 4 Rumah Ekspor Tangga 1 1
1
6 Perubahan Inventori 1
V1BAS
V2BAS
V3BAS
V4BAS
V5BAS
V6BAS
V1MAR
V2MAR
V3MAR
V4MAR
V5MAR
n/a
V1TAX
V2TAX
V3TAX
V4TAX
V5TAX
n/a
1
2
Produsen
Investor
I
V1LAB
Modal
1
V1CAP
Tanah
1
V1LND
Biaya Lain
1
V1OCT
Ukuran C
Matrik Produksi Bersama I MAKE
5 Others
Dimana : C = Jumlah komoditas I = Jumlah industri S = Asal komoditas, 1 dom, 2 impor O = Jumlah tipe tenaga kerja M = Jumlah komoditas sebagai margin H = Jumlah rumah tangga
Ukuran C
Pajak Impor 1 V0TAR
Sumber: Horidge, et al. (1998) dan Oktaviani (2000) Gambar 18. Alur Data Dasar Model WAYANG
131
Alur margin dari baris kedua adalah biaya marjin komoditi yang digunakan oleh produsen, investor, rumah tangga, pemerintah dan biaya marjin komoditi ekspor. Pajak dimasukkan ke dalam matrik pada baris ketiga yang menunjukkan bahwa pajak-pajak komoditi seperti yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumah tangga dan pemerintah dan terakhir adalah pajak ekspor. Kemudian untuk baris tenaga kerja, modal, lahan dan biaya-biaya lain menjelaskan adanya penggunaan faktor primer masing-masing sektor pada kolom pertama
mengindikasikan bahwa pengembalian pada
faktor-faktor input
digunakan pada setiap sektor. Selain itu, dua matrik terakhir yaitu matrik gabungan yang berasal dari matrik produksi dan matrik pajak impor. Matrik gabungan dari matrik produksi ini menunjukkan adanya komposisi komoditi dari output setaip sektor. Studi ini mengasumsikan bahwa suatu sektor hanya memproduksi suatu komoditi. Matrik pajak menunjukkan adanya pembayaran pajak impor setiap komoditi yang diimpor oleh setiap sektor. 5.1.2. Agregasi Sektor Penelitian Penelitian ini mengagregasikan sektor menjadi 40 sektor dari 70 sektor pada Tabel I-O tahun 2008. Studi utama dalam penelitian ini menganalis dampak kebijakan fiscal pada sektor pertanian terutama pada subsidi pupuk, subsidi benih dan pangan terhadap ekonomi, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, dari 70 sektor yang dianggap sudah mewakili keseluruhan sektor pada Tabel I-O Nasional tahun 2008 diagregasi pemetaan menjadi 40 sektor sesuai dengan tujuan penelitian. Secara lebih mendetail mengenai agregasi sektor dalam penelitian disajikan pada Tabel 7.
132
Tabel 7. Agregasi Sektor dari 70 Sektor Menjadi 40 Sektor pada Tabel InputOutput 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Padi Kedelai Tanaman Kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa Swit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil tanaman serat Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan
No. 1 2 4 3 4 5 6 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 9 9 10
25.
Penambangan batu bara dan bijih logam
12
26.
Penambangan minyak, gas dan panas bumi
11
27.
Penambangan dan penggalian lainnya
12
29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Industri pengolahan dan pengawetan makanan Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenisnya Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok
36.
Industri pemintalan
16
37.
Industri tekstil, pakaian dan kulit
16
38.
Industri bambu, kayu dan rotan
17
28.
Agregasi 40 Sektor untuk Penelitian Padi Kedelai Tanaman umbi-umbian dan kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Peternakan dan hasil-hasilnya Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Kehutanan Perikanan Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya
14
Industri makanan minuman tembakau
14 15 14 14 14 14 14
Industri makanan minuman tembakau Industri penggilingan padi/Beras Industri makanan minuman tembakau Industri makanan minuman tembakau Industri makanan minuman tembakau Industri makanan minuman tembakau Industri makanan minuman tembakau Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya
40. 41.
Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri Pupuk Industri Pestisida
42.
Industri kimia
21
43.
Pengilangan minyak bumi
13
39.
.
Klasifikasi 70 Sektor
18
Industri pulp dan kertas
19 20
Industri Pupuk Industri Pestisida Industri kimia, karet dan barang dari karet Pengilangan minyak bumi
133
Tabel 7. (Lanjutan) No. Klasifikasi 70 Sektor
No. Agregasi 40 Sektor untuk Penelitian
44
21
Industri kimia, karet dan barang karet
26
Industri barang lainnya
22 23 23 24
25
Industri semen Industri Logam dasar besi dan baja Industri Logam dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya
26
Industri barang lainnya
27 28 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 40 39 40 40 40
Listrik dan Air Bersih Gas Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Kereta Api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Jasa Lainnya Jasa pemerintah Jasa Lainnya Jasa Lainnya Jasa Lainnya
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral bukan logam Indutri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik Gas Air Bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Usaha bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tak jelas batasannya
25
Sumber: Tabel IO, 2008 (diolah)
5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2008 Selain Tabel I-O, BPS secara periodik juga mengeluarkan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Nasional. Tabel SNSE tersebut menyediakan informasi mengenai keadaan transaksi mengenai sosial-ekonomi makro Indonesia, yang tidak hanya meliputi informasi Tabel I-O tetapi juga memberikan informasi mengenai distribusi pendapatan untuk semua
faktor
produksi,
pendapatan
rumah
tangga, dan pola dari pengeluaran rumah tangga (BPS, 2008). Oleh karena itu, jika
dibandingkan dengan Tabel
I-O, Tabel
SNSE tidak
hanya
mengidentifikasi struktur produksi tetapi juga bermanfaat dalam menjelaskan distribusi, lapangan kerja, dan akumulasi modal (Jemio dan Jansen, 1993). Pada
134
Tabel SNSE, kolom-kolom menunjukkan pendapatan yang diperoleh dari masingmasing faktor produksi, institusi, sektor produksi, dan sektor lainnya, sementara itu baris-baris menunjukkan sisi pengeluaran dari klasifikasi sektor ini. Penyederhanaan dari SAM dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel SNSE Nasional tahun 2008 dikeluarkan dalam tiga kelompok sektoral, yaitu versi 13 x 13 sektor, 37 x 37 sektor dan 105 x 105 sektor. Tabel SNSE yang terakhir dipublikasikan adalah tahun 2008 dimana sumber tersebut dapat menyajikan data sebagai suatu sumber data primer. Pengelompokan sektor produksi pada Tabel SNSE tersebut berbeda dengan pengelompokan pada Tabel IO yang dipublikasikan dan dari strukur sektor-sektor yang khusus untuk penelitian ini. Tabel SNSE Nasional 2008 tersebut hanya digunakan untuk data pelengkap Tabel I-O tahun 2008 dalam membangun data dasar. Dengan demikian, untuk menggabungkan data dari Tabel SNSE dan Tabel I-O tersebut, diperlukan pengelompokkan (agregasi)
antarsektor-sektor
keduanya.
Pengelompokkan
(mapping) antara SNSE dan IO tersebut disajikan pada Tabel 9. 5.3. Klasifikasi Rumah Tangga Model yang digunakan adalah gabungan model WAYANG (Witwarr, et al, 1999). Model tersebut berupa model statik komparatif digunakan karena setiap model memiliki keterbatasan terutama dalam menggunakan asumsi dampak pada jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam model WAYANG (Witwarr, et al, 1999) yang digunakan dalam penelitian ini mengklasifikasikan pengelompokkan rumah tangga menjadi 16 kategori. Hal ini dilakukan menurut klasifikasi atau penggolongan pada SNSE 2008 yang berjumlah 8 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari kelompok miskin dan tidak miskin.
135
Tabel 8. Struktur Tabel SNSE Secara Sederhana
P E N E R I M A A N
1
2
Faktor Produksi
Institusi termasuk Rumah Tangga
PENGELUARAN 3 Aktivitas Produksi
4 Neraca Lainnya Neraca Modal Luar Negeri
Distribusi Pendapatan Faktor
Faktor Produksi
2
Institusi termasuk Rumah Tangga
3
Aktivitas Produksi
Permintaan Barang dan Jasa Institusi
Neraca Modal
Tabungan Institusi
Luar Negeri
Impor Barang dan Jasa Institusi
Aktivitas Produksi Impor Barang
Impor pada Barang Investasi
Pengeluaran Institusi
Output Kotor
Aggregate Investasi
Transfer, Pajak dan Subsidi Permintaan antar Industri
Total Penerimaan Faktor Produksi
1
Distribusi Pendapatan terhadap RT dan Institusi Lainnya
5
Formasi Modal
Penerimaan Institusi dari Luar Negeri
Pendapatan Institusi
Ekspor
Pendapatan Kotor Tabungan Agregat
4
5
Total
Sumber: Thorbecke (1985)
Pengeluaran Faktor Produksi
Total Pengeluaran dari Luar Negeri Total Penerimaan dari Luar Negeri
Tabel 9. Aggregasi Sektor dari Tabel Input-Output 2008 dan SNSE 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor dalam Penelitian Padi Kedelai Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya Pengilangan minyak bumi Industri makanan minuman tembakau Industri penggilingan padi/Beras Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya Industri pulp dan kertas Industri Pupuk Industri Pestisida Industri kimia, karet dan barang dari karet Industri semen Industri Logam dasar besi dan baja Industri Logam dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Gas Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Kereta Api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Jasa pemerintah Jasa Lainnya
Sumber: Tabel IO, 2008 dan SNSE, 2008 (diolah)
Mapping Sektor IO Ke SNSE 1 1 1 1 1 1 2 3 4 5 6 6 12 7,8 8 9 10 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 13 13 14 15 16 18 18 19 19 20 19 21 23 17,22,24
139
Selanjutnya, kelompok rumahtangga tersebut adalah kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian dan buka pertanian. Rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian terdiri dari rumahtangga di perdesaan (rural) dan rumah tangga di perkotaan (urban). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian, khususnya kebijakan subsidi pangan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di tingkat rumahtangga sasaran. Artinya kelompok rumah tangga yang miskin menjadi prioritas dan sasaran utama dalam kebijakan subsidi pangan tersebut. Namun, untuk kebijakan subsidi input tidak demikian, namun melalui industri produsen. Setiap kelompok rumahtangga tersebut dipecah yang terdiri dari rumahtangga miskin (poor) dan rumahtangga tidak miskin (no poor), sehingga kelompok rumah tangga menjadi 16 kelompok. Kelompok rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian (agricultural) dibagi ke dalam 4 kategori adalah: 1.
Pertanian 1 adalah buruh pertanian miskin
2.
Pertanian 2 adalah buruh pertanian tidak miskin
3.
Pertanian 3 adalah pengusaha pertanian miskin
4.
Pertanian 4 adalah pengusaha pertanian tidak miskin Kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang berada
di perdesaan (rural) dibagi ke dalam 6 kategori adalah: 5.
Perdesaan 1 adalah rumahtangga bukan pertanian, berpendapatan rendah, dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang miskin
6.
Perdesaan 2 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang tidak miskin
7.
Perdesaan 3 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yaitu rumahtangga yang meliputi Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang miskin
140
8.
Perdesaan 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yaitu rumahtangga yang meliputi Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang tidak miskin
9.
Perdesaan 5 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang miskin
10. Perdesaan 6 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perdesaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang tidak miskin Kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang berada di perkotaan (urban) dibagi ke dalam 6 kategori adalah: 11. Perkotaan 1 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang miskin 12. Perkotaan 2 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar yang tidak miskin 13. Perkotaan 3 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, yaitu rumahtangga yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang miskin 14. Perkotaan 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, yaitu rumahtangga yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yang tidak miskin 15. Perkotaan 5 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang miskin
141
16. Perkotaan 6 adalah rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi dan tinggal di perkotaan yaitu pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas yang tidak miskin. 5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja Model keseimbangan umum Indonesia yang digunakan membutuhkan informasi mengenai pengeluaran tenaga kerja oleh tiap-tiap industri pada masingmasing terdiri dari dua klasifikasi tenaga kerja yang berdasarkan lokasi tenaga kerja yaitu tenaga kerja di perdesaan dan di perkotaan. Biaya upah yang dihitung pada Tabel I-O Indonesia didasarkan pada industri, tetapi tidak memisahkan yang berkaitan dengan pekerjaan. Data yang tersedia yaitu komposisi tenaga kerja menurut pekerjaannya. Pada SAM tahun 2008, biaya upah untuk masing-masing tenaga kerja berdasarkan pada 40 sektor untuk model keseimbangan umum Indonesia yang didapatkan dari SAM dengan menggunakan pengelompokkan tenaga kerja antar sektor pada SAM dan 40 sektor Tabel I-O. Pembagian proporsi tenaga kerja yang digunakan untuk mengalokasikan pembayaran upah untuk setiap industri pada tahun 2008 berdasarkan jenis pekerjaan di lokasi yang didasarkan pada tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan. Upah kedua tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Pembayaran Upah Setiap Industri Berdasarkan Jenis Pekerjaan (Rp Miliar) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Sektor Padi Kedelai Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya Pengilangan minyak bumi Industri makanan minuman tembakau Industri penggilingan padi/Beras Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki
Perkotaan 19 565.73 518.84 6 918.22 3 721.76 26 878.59 158.01 37 162.78 35 755.23 6 596.04 17 566.71 6 799.54
Perdesaan 2 299.82 60.99 813.19 437.47 3 159.40 18.57 4 300.74 7 646.29 2 260.23 8 884.56 20 533.77
13 972.01
42 193.76
20 437.13 30 220.67 4 013.37 9 543.21
40 820.42 43 157.07 6 550.92 26 387.54
142
Tabel 10. (Lanjutan) (Rp Miliar) No. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor Industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya Industri pulp dan kertas Industri Pupuk Industri Pestisida Industri kimia, karet dan barang dari karet Industri semen Industri Logam dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Gas Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Kereta Api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Jasa pemerintah Jasa Lainnya
Perkotaan 10 603.50 3 897.26 3 481.10 520.48 15 974.66 1 376.95 2 440.50 13 217.75 24 186.28 4 150.03 2 368.76 5 776.32 75 383.35 50 799.73 14 712.75 550.99 15 830.15 3 001.09 3 493.90 2 948.91 8 180.44 8 289.51 41 773.17 52 436.27
Perdesaan 9 751.89 11 855.07 6 953.04 1 039.58 31 907.24 2 750.28 4 874.57 26 400.68 48 308.85 8 289.13 6 812.67 16 612.96 92 472.55 100 538.90 38 919.39 1 031.71 29 641.46 5 619.45 6 542.21 8 593.47 21 743.43 43 450.14 97 209.14 170 186.02
Sumber : Tabel I-O, 2008 dan SAM, 2008 (diolah)
5.5. Pendapatan atas Tanah dan Modal Model keseimbangan umum Indonesia membutuhkan informasi mengenai pendapatan atas lahan dan modal secara individual. Di dalam Tabel I-O hanya menyediakan kombinasi pendapatan atas dua faktor tersebut oleh industri yang diperoleh dari jumlah surplus operasi kotor (sektor 202) dan biaya depresiasi (sektor 203) pada Tabel I-O Nasional 2008 yang terdiri dari 66 sektor). Beberapa metode telah dilakukan untuk memisahkan total surplus operasi kotor dan depresiasi yang dikembalikan pada lahan dan modal. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, didapatkan bahwa untuk komoditi berbasiskan pertanian, porsi pendapatan atas tanah lebih besar daripada pendapatan atas modal. Informasi mengenai pembagian pendapatan atas lahan dan modal tersedia pada SAM. Pada matriks tersebut, faktor produksi selain tenaga kerja terdiri dari lahan, perumahan dan modal lainya di daerah pedesaaan dan modal-modal lainnya di sekitar perkotaan, modal swasta, modal pemerintah dan
143
modal asing. Proporsi lahan dapat dihitung sebagai biaya lahan melebihi total biaya faktor produksi selain biaya tenaga kerja. Selain itu, pengelompokkan industri antara SAM dan Tabel I-O berdasarkan asumsi bahwa industri-industri yang terakhir memiliki proporsi yang sama dengan industri pada SAM. Tabel 11. Pendapatan atas Lahan dan Modal, Tahun 2008 (Rp Miliar) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor
Lahan Modal Variabel Modal Tetap Padi 98 222.82 0.00 55 124.85 Kedelai 2 986.87 0.00 1 676.30 Jagung 46 466.76 0.00 26 078.19 Tanaman umbi-umbian dan kacangan 27 426.08 0.00 15 392.13 Sayur-sayuran dan buah-buahan 120 574.90 0.00 67 669.33 Tanaman makanan lainnya 1 240.12 0.00 695.98 Tanaman perkebunan 71 132.31 0.00 40 280.34 Peternakan dan hasil-hasilnya 76 872.15 0.00 60 405.63 Kehutanan 26 542.84 0.00 15 800.56 Perikanan 97 996.67 0.00 26 182.27 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 0.00 8 588.06 263 195.25 Pertambangan batubara, biji logam penggalian 0.00 91 600.47 103 857.05 Pengilangan minyak bumi 0.00 137 666.17 134 501.45 Industri makanan minuman tembakau 0.00 50 632.45 105 881.52 Industri penggilingan padi/Beras 0.00 17 999.84 24 033.48 Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki 0.00 41 250.29 32 138.03 Industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya 0.00 8 342.22 42868 Industri pulp dan kertas 0.00 5 215.58 31 106.45 Industri Pupuk 0.00 7 306.71 9 458.56 Industri Pestisida 0.00 1 092.46 1 414.19 Industri kimia, karet dan barang dari karet 0.00 50 185.28 38 392.13 Industri semen 0.00 5 033.66 4 686.16 Industri Logam dasar besi dan baja 0.00 11 006.83 10 240.59 Industri barang dari logam 0.00 36 198.34 31 875.67 Industri aat angkutan, mesin dan peralatan 0.00 81 838.72 76 927.31 Industri barang lainnya 0.00 10 998.18 9 530.49 Gas 0.00 38 791.38 45 124.33 Listrik dan Air Bersih 0.00 14 452.09 65 941.96 Bangunan 0.00 35 241.98 160 801.96 Perdagangan 0.00 18 132.48 344 354.13 Hotel dan Restoran 0.00 15 671.43 75 931.59 Angkutan Kereta Api 0.00 819.08 92.13 Angkutan darat 0.00 10 999.83 52 488.79 Angkutan air 0.00 5 874.01 9 214.45 Angkutan udara 0.00 8 892.54 1 790.22 Jasa Penunjang Angkutan 0.00 3 508.93 1 3429.8 Komunikasi 0.00 44 805.13 72 961.77 Lembaga keuangan 0.00 20 074.72 104 016.44 Jasa pemerintah 0.00 7 565.41 1 1179.1 Jasa Lainnya 0.00 66 412.92 230 123.84
Sumber : Tabel I-O, 2008 dan SNSE, 2008 (diolah)
144
Proporsi lahan dan modal tahun 2009 yang diperoleh dari SAM diasumsikan untuk diaplikasikan pada tahun 2008 dan digunakan untuk mengalokasikan pendapatan gabungan tahun 2008 pada kedua faktor tersebut. Pembayaran modal dan lahan dihitung untuk tahun 2008 disajikan pada Tabel 11. 5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak Data yang diperlukan untuk suatu model keseimbangan umum, dimana meliputi pajak pendapatan, pada komoditi untuk sumber dan pengguna. Tetapi, belum ada data-data pajak di Indonesia yang lengkap dikeluarkan. Meskipun demikian, sudah beberapa data ada yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia dalam laporannya. Sistem pajak di Indonesia termasuk pajak pendapatan, pajak pertambahan nilai (ppn) untuk penjualan barang mewah, pajak impor, pajak ekspor, bea cukai, pajak lainnya, dan pajak atas tanah dan bangunan (Kemenkeu, 2009). Komposisi pajak dan pendapatan pemerintah pada Tabel 12. Table 12. Pendapatan Domestik Pemerintah, Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tipe Penerimaan Domestik Penerimaan Migas Penerimaan Non-Migas Pajak Pendapatan Pajak pertambahan nilai barang Pajak Impor Bea Cukai Pajak Ekspor Pajak Bangunan dan Lahan Lainnya Non-Pajak dan Penerimaan Minyak
2008 (Miliar Rupiah) 211 617.0 12 846.0 327 497.7 209 647.4 22 763.8 512 521.8 13 578.3 25 354.3 3 034.4 29 088.4
Pangsa (%) 15.47 0.94 23.94 15.33 1.66 37.47 0.99 1.85 0.22 2.13
Sumber: Kementerian Keuangan, 2009
Pajak merupakan sumber pendapatan yang penting penngkatannya bagi pemerintah Indonesia. Akibat jatuhnya harga minyak dan gas, pendapatan minyak dan gas sebagai sebagai bagian dari pendapatan pemerintah dimana secara signifikan memberikan kontribusinya sebesar 15.47 persen pada tahun 2008. Pendapatan non migas, pajak pendapatan dan PPN barang dan jasa yang merupakan porsi terbesar dimana kontribusinya secara signifikan sebesar 82.40 persen pada tahun 2008.
145
Komoditi yang berdasarkan nilai perpajakan diperlukan untuk data dasar. Data dasar ini harus diturunkan dari industri yang berdasarkan nilai perpajakan pada Tabel I-O. Alokasi pajak tidak langsung yang dibebankan pada industri komoditi tersebut didasarkan pada informasi mengenai komposisi komoditi dari output industri dalam pembuatan matriks. Berdasarkan asumsi yang digunakan adalah bahwa satu industri hanya memproduksi satu komoditi, sehingga pajak berbasiskan industri sama dengan pajak berbasiskan komoditi. Pembayaran pajak tidak langsung dan permintaan komoditi oleh konsumen dihitung dari perkiraan matriks pajak dan nilai pasar oleh setiap konsumen. Asumsinya tarif dan pajak tidak langsung yang dialokasikan atas pembelian komoditi oleh seluruh konsumen adalah sama. Suatu tarif pajak domestik tidak langsung atas komoditi c dapat dihitung sebagai berikut :
DomTaxRc
DomTaxc Salesc
c COM .................................................. (5.1)
dimana: DomTaxc = penagihan pajak tidak langsung pada komoditi.
Sales c
= total pembelian komoditi c oleh semua konsumen.
Total pembelian ditentukan dengan menjumlahkan pembelian komoditi yang berlaku untuk semua konsumen dalam matriks absorpsi. Penarikan pajak domestik tidak langsung dari setiap konsumen oleh komoditinya dapat diperkirakan dari : k
k
Tax Re vcis VBAS cis * DomTaxRc ;
c COM,i IND, k USER,s DOM
........................................ (5.2)
dimana: k
VBAScis = Nilai dasar komoditi domestik c (dinilai pada harga produsen) oleh konsumen k seperti yang ditunjukkan pada Tabel I-O. Untuk komoditi impor, pajak penjualan impor umum pada komoditi c dapat dihitung berdasarkan :
Im pTaxRc
Im pTaxc Vimpc
.................................................................... (5.3)
146
dimana : Im pTax = Pajak penjualan impor atas komoditi c
Vimpc
= Total nilai dasar impor barang atas semua konsumen
Pendapatan pajak impor dari tiap-tiap konsumen dapat diperkirakan dengan : k k Im pTax Re vcis * Im pTaxRc VBAScis
............................................. (5.4)
c COM,i IND, k USER,s IMP 5.7. Elastisitas dan Parameter Lain Model keseimbangan umum Indonesia yang dibangun menunjukkan bahwa parameter elastisitas dan berbagai ciri dari parameter dapat dilihat secara spesifik. Adapun parameter elastisitas yang
digunakan pada model tersebut
adalah elastisitas Armington, elastisitas substitusi untuk tenaga kerja, elastisitas substitusi untuk faktor primer, elastisitas ekspor dan elastisitas permintaan pengeluaran. Parameter lain yang berhubungan dengan investasi. Idealnya, parameter-parameter
pada
model
Indonesia
dapat
diperkirakan
secara
ekonometrik dengan menggunakan data time series. Ada beberapa usaha yang sudah tersedia pada unit yang penting bagi Indonesia, dimana didapatkan data time series yang baik. Tidak ada studi pendahuluan pada penelitian ini untuk memperkirakan parameter secara ekonometrik, hanya saja disesuaikan dengan studi model keseimbangan umum produktivitas Indonesia. Meskipun studi keseimbangan umum sudah ada, tetapi studi ini mengandalkan parameter pertama yang diperkirakan dari negara lain menjadi acuan dapat digunakan dalam model. 5.7.1. Elastisitas Armington Menurut Armington bahwa produksi barang domestik dan barang impor merupakan barang yang bersubstitusi secara tidak sempurna. Skala subtitusi tersebut dapat diukur oleh elastisitas Armington yang muncul. Armington mengembangkan teori mengenai permintaan barang dalam aktivitas perdagangan internasional. Dalam teorinya, Armington memperkenalkan asumsi bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional dibedakan berdasarkan lokasi produksinya (differentiation of product). Artinya, dalam suatu negara setiap industri hanya menghasilkan satu produk dan produk ini berbeda dari produk
147
industri yang sama dari negara lain. Dari sisi konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling bersubstitusi (Lloyd dan Zhang, 2005). Elastisitas substitusi tenaga kerja diperoleh dari hasil estimasi variabelvariabel ekonomi terkait dengan tenaga kerja di sektor pertanian, industri dan jasa-jasa terhadap GDP masing-masing sektor tersebut. Metode estimasi menggunakan regresi berganda dengan data time series periode tahun 1984-2011 (lihat pada Lampiran 5). Secara lebih detail mengenasi hasil estimasi elastisitas tenaga kerja tersebut diperlihatkan pada Lampiran 5. Tingkat substitusi diantara barang yang dihasilkan oleh industri domestik dan industri di negara lain besifat tidak sempurna (imperfect of substitution) (Kapuscinski dan Warr, 1999). Derajat substitusi diantara kedua barang tersebut selanjutnya dikenal secara luas sebagai elastisitas substitusi Armington atau disingkat elastisitas Armington. Elastisitas Armington pada model WAYANG mendefenisikan data permintaan barang-barang domestik dan barang-barang impor. Untuk kepentingan updating model WAYANG dalam penelitian ini, elastisitas Armington seluruhnya mengadaptasi data pada model GTAP (Global Trade Analysis Project) versi 8 Tahun 2010 dengan melakukan penyesuaian klasifikasi sektor dan industri 40 sektor. Seluruh data elastisitas Armington yang digunakan pada updating model yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Parameter Elastisitas yang Digunakan pada Model (persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sektor Padi Kedelai Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian Pengilangan minyak bumi
5.10 2.70 2.50 2.70 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50
Substit usi TK*) 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.60
Substitu si Input Primer 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Permint aan Ekspor -9.98 -9.98 -4.99 -5.39 -4.99 -4.87 -3.86 -2.24 -2.24 -2.24 -2.24
1.30
0.60
0.50
-4.00
3.40
0.60
0.50
-4.62
Arming -ton
148
Tabel 13. (Lanjutan) No.
Sektor
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Industri makanan minuman tembakau Industri penggilingan padi/Beras Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya Industri pulp dan kertas Industri Pupuk Industri Pestisida Industri kimia, karet dan barang dari karet Industri semen Industri Logam dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Gas Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Kereta Api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Jasa pemerintah Jasa Lainnya
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
(%) Permint aan Ekspor -2.23 -2.57 -5.19 -5.76 -2.23 -8.89 -7.26 -7.70 -6.01 -5.50 -7.42
1.30 11.20 3.40 3.30 2.00 1.90 3.80 3.70 3.40 3.00 3.30
Substit usi TK*) 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
Substitu si Input Primer 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
3.30
0.60
0.50
-6.49
2.10 3.80 3.80 3.80 4.10 4.30 3.80 10.00 10.00 1.90 1.90 1.90 1.90 1.90 1.90
0.60 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28
0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
-4.09 -7.42 -7.42 -7.42 -7.42 -8.53 -7.42 -5.60 -5.58 -3.78 -3.78 -3.78 -3.77 -3.79 -3.80
Arming -ton
Sumber: GTAP v 8, 2010 Keterangan: *)Estimasi menggunakan time series periode Tahun 1984-2011
5.7.2. Elastisitas Substitusi Elastisitas substitusi menunjukkan respon input pada setiap sektor akibat adanya perubahan harga inputnya. Elastisitas substitusi yang dipergunakan pada model CGE adalah fungsi produksi CES, dimana faktor primer disubstitusi sesamanya dengan elastisitas substitusi yang konstan, nilai yang sama untuk semua faktor yang berpasangan. Nilai elastisitas akan menyebabkan respon dari input pada setiap sektor karena adanya perubahan pada harga biaya. Faktor primer pada model WAYANG yang digunakan terdiri atas tanah, tenaga kerja dan modal. Penggunaan ketiga faktor ini dalam proses produksi diasumsikan mengikuti fungsi produksi CES. Dengan fungsi produksi ini, antara satu faktor dan faktor lainnya saling bersubstitusi dengan koefisien elastisitas substitusi yang konstan
149
dan nilainya sama untuk seluruh pasangan faktor. Besarnya nilai elastisitas ini akan menentukan responsivitas penggunaan input pada setiap sektor apabila terjadi perubahan biaya relatif suatu faktor terhadap faktor lainnya. Pada sebagian besar studi, koefisien elastisitas faktor primer difokuskan pada dua input yaitu tenaga kerja dan stok modal. Hal ini disebabkan oleh dominannya kedua input tersebut dalam proses produksi pada hampir seluruh aktivitas ekonomi. Penggunaan faktor produksi lahan hanya dominan pada aktivitas produksi pertanian. Pada studi ini, elastisitas input primer juga difokuskan pada input tenaga kerja dan stok modal. Untuk mengestimasi koefisien elastisitas kedua input ini diperlukan data tenaga kerja beserta tingkat upah dan data stok modal beserta sewa modal yang terperinci per komoditas. Keterbatasan ketersediaan data seperti ini menjadi kendala dalam melakukan estimasi elastisitas substitusi input primer di Indonesia. Dengan pola pertanian yang tidak terspesialisasi, sangat sulit memisahkan tenaga kerja per komoditi atau kelompok komoditi. Pada satu tahun tertentu seorang petani dapat bekerja dalam menghasilkan lebih dari satu jenis komoditi pertanian. Kesulitan yang sama juga ditemukan untuk data stok kapital tetap beserta nilai sewanya. Hal ini mengingat aktivitas pertanian umumnya dilakukan dalam skala kecil. Selanjutnya pada updating model dalam penelitian ini, nilai-nilai elastisitas substitusi faktor primer menggunakan data pada model Global Trade Analysis Project (GTAP). Penyesuaian klasifikasi sektor dan industri menjadi 40 sektor dilakukan untuk menyesuaikan dengan data dasar Tabel Input Output dan SNSE tahun terbaru, yaitu Tahun 2008. Model Indonesia juga mengikuti elastisitas substitusi antara 2 (dua) tipe dari pekerjaan yakni tenaga kerja di perkotaan yang terdidik dari operator, administrator dan tenaga profesional, sedangkan tenaga kerja di perdesaan juga demikain. Hal ini sepertinya belum ada penelitian yang telah dibuat untuk memperkirakan elastisitas substitusi antara pekerjaan di Indonesia. Dengan demikian, nilai parameter tersebut didapatkan untuk elastisitas subsitusi tenaga kerja adalah dengan melakukan estimasi di masing-masing sektor dengan menggunakan data time series pada periode tahun 1984-2011. Hasil estimasi dapat dilihat pada Lampiran 5.
150
5.7.3. Elastisitas Permintaan Ekspor Seperti halnya kita ketahui, Indonesia merupakan negara kecil pada pasar dunia. Dengan asumsi ini, didapatkan bahwa elastisitas permintaan ekspor yang diperkirakan menjadi tinggi, berimplikasi terhadap ekspor Indonesia yang tidak berpengaruh terhadap harga dunia. Pada penelitian Elastisitas permintaan ekspor menunjukkan respon permintaan komoditas ekspor terhadap perubahan harganya di pasar dunia. Berdasarkan konsep ini, permintaan ekspor (yang dinyatakan dalam ton) pada studi ini dianggap sebagai fungsi dari harga ekspor (dalam US$ per ton) tanpa memperhatikan variabel-variabel lainnya yang kemungkinan juga berpengaruh terhadap permintaan ekspor berbagai produk seperti tingkat pendapatan masyarakat di negara partner dagang utama Indonesia. Pada penelitian ini, nilai-nilai elastisitas permintaan ekspor untuk 40 sektor mengadaptasi data pada database pada GTAP (Global Trade Analysis Project). Karena adanya perbedaan klasifikasi sektor, maka dilakukan penyesuaian klasifikasi sektor dan industri menjadi 40 sektor. Nilai parameter tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 13. 5.7.4. Elastisitas Pengeluaran Nilai parameter elastisitas pengeluaran dibutuhkan untuk menghitung marginal budget share pada rumah tangga. Pada studi di Papua New Guinea (Vincent et al., 1990) menggunakan nilai studi Indonesia oleh Deaton and Case (1988) yaitu elastisitas pengeluarannya. Model yang digunakan adalah model WAYANG (Wittwar, 2002) dimana rumah tangga terdiri dari 16 kelompok rumah tangga sesuai dengan kelompok rumah tangga yang dikategorikan pada SAM Nasional 2008, maka elatisitas pengeluaran rumah tangga dalam studi ini pun disesuaikan dengan model yang digunakan. Nilai elastisitas pengeluaran rumah tangga pada model keseimbangan umum ini dapat dilihat pada Tabel 14. Fungsi nilai elastisitas pengeluaran diukur untuk membuat pangsa pembobot Engel sama dengan 0.995, hal ini untuk memenuhi keterbatasan utilitas maksimum (Dixon et al., 1992). Perhitungan dari persyaratan ini diikuti oleh Thompson et al., (1990) dan Buetre (1996). Langkah pertama adalah dengan menghitung budget share untuk setiap komoditi:
151
S3c _ s
X3c _ s
(5.5)
X3
c_s
c COM
dimana :
S3c _ s Budget share untuk setiap komoditi X3c _ s Nilai pembelian tiap komoditi dari semua sumber Adapun agregasi Engel dapat dihitung berdasarkan formula:
T (S3c _ s c )
(5.6)
c
dimana: T = Agregasi Engel
c = Elastisitas pengeluaran untuk komoditi c Jika skala pertama dari agregasi Engel tidak sama dengan satu, kemudian skala kedua diharuskan
membuat agregasi Engel sama dengan satu, dengan
menggunakan rumus di bawah ini :
*c
c
(5.7)
T
Langkah selanjutnya untuk mengukur kembali agregasi Engel dengan pertimbangan elastisitas pengeluaran ( c ), untuk mendapatkan jumlah dari *
agregasi Engel sama dengan satu. Akhirnya, pangsa biaya marjinal dari rumah tangga ( S3LUXc ) dapat dihitung sebagai berikut :
S3LUXc S3c _s c
*
(5.8)
Elastisitas pengeluaran menunjukkan respon pengeluaran rumah tangga terhadap konsumsi berbagai jenis komoditi atas perubahan tingkat pendapatannya. Secara toritis pola hubungan antara tingkat pendapatan dan pengeluaran konsumsi rumah tangga dipresentasikan oleh Hukum Engel yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga akan diikuti oleh peningkatan pengeluaran konsumsi. Namun proporsi pengeluaran konsumsi untuk produk pangan cendrung menurun, sementara proporsi pengeluaran untuk konsumsi produk non-pangan cendrung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga. Berdasarkan konsep ini, rumah tangga yang tingkat penghasilannya relatif rendah pola konsumsinya akan dicirikan oleh proporsi pengeluaran untuk produk pangan yang lebih besar sehingga permintaan pangan pada kelompok rumah tangga ini
152
Tabel 14. Parameter Pengeluaran Rumah Tangga pada Model (persen) No
Sektor
1. 2. 3.
Padi Kedelai Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buahbuahan Tanaman makanan lainnya Tanaman perkebunan Peternakan dan hasilhasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya Pengilangan minyak bumi Industri makanan minuman tembakau Industri penggilingan padi/Beras Industri Tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya Industri pulp dan kertas Industri Pupuk Industri Pestisida
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
agr1
agr2
agr3
agr4
rural1
Rural2
rural3
rural4
rural5
rural6
urban1
urban2
urban3
urban4
urban5
urban6
1.77 1.77 1.77
0.86 0.86 0.86
1.94 1.94 1.94
0.94 0.94 0.94
1.83 1.83 1.83
0.89 0.89 0.89
1.85 1.85 1.85
0.90 0.90 0.90
1.98 1.98 1.98
0.96 0.96 0.96
1.84 1.84 1.84
0.69 0.69 0.69
1.80 1.80 1.80
0.68 0.68 0.68
1.78 1.78 1.78
0.67 0.67 0.67
1.77
0.86
1.94
0.94
1.83
0.89
1.85
0.90
1.98
0.96
1.84
0.69
1.80
0.68
1.78
0.67
1.77 1.77 1.77
0.86 0.86 0.86
1.94 1.94 1.94
0.94 0.94 0.94
1.83 1.83 1.83
0.89 0.89 0.89
1.85 1.85 1.85
0.90 0.90 0.90
1.98 1.98 1.98
0.96 0.96 0.96
1.84 1.84 1.84
0.69 0.69 0.69
1.80 1.80 1.80
0.68 0.68 0.68
1.78 1.78 1.78
0.67 0.67 0.67
1.77 1.77 1.77
0.86 0.54 0.99
1.94 1.08 1.08
0.94 0.59 0.59
1.83 1.02 1.02
0.89 0.55 0.55
1.85 1.04 1.04
0.90 0.56 0.56
1.98 1.11 1.11
0.96 0.60 0.60
1.84 1.06 1.06
0.69 0.94 0.94
1.80 1.03 1.03
0.68 0.92 0.92
1.78 1.02 1.02
0.67 0.91 1.02
0.54
1.11
0.59
1.21
0.55
1.15
0.56
1.16
0.60
1.24
0.94
1.24
0.92
1.03
0.91
1.02
0.54 0.54
1.11 1.11
0.59 0.59
1.21 1.21
0.55 0.55
1.15 1.15
0.56 0.56
1.16 1.16
0.60 0.60
1.24 1.24
0.94 0.94
1.24 1.24
0.92 0.92
1.03 1.03
0.91 0.91
1.02 1.02
0.69
1.11
0.76
1.21
0.71
1.15
0.72
1.16
0.77
1.24
0.94
1.24
0.92
1.21
0.91
1.20
0.69
1.11
0.76
1.21
0.71
1.15
0.72
1.16
0.77
1.24
0.94
1.24
0.92
1.21
0.91
1.20
0.66
1.11
1.21
1.21
0.69
1.15
0.72
1.16
0.77
1.24
0.83
1.24
0.81
1.21
0.80
1.20
0.66 0.66 0.66 0.66
1.11 1.11 1.11 1.11
0.73 0.73 0.73 0.73
1.21 1.21 1.21 1.21
0.69 0.69 0.69 0.69
1.15 1.15 1.15 1.15
0.70 0.70 0.70 0.70
1.37 1.37 1.37 1.37
0.74 0.74 0.74 0.74
1.06 1.06 1.06 1.06
0.66 0.66 0.66 0.66
1.24 1.24 1.24 1.24
0.64 0.64 0.64 0.64
1.21 1.21 1.21 1.21
0.64 0.64 0.64 0.64
1.20 1.20 1.20 1.20
153
Tabel 14. (Lanjutan) (persen) No 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor Industri kimia, karet dan barang dari karet Industri semen Industri Logam dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Gas Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Kereta Api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Jasa pemerintah Jasa Lainnya
Sumber: Susenas, 2008
agr1
agr2
agr3
agr4
rural1
Rural2
rural3
rural4
rural5
rural6
urban1
urban2
urban3
urban4
urban5
urban6
0.66 0.66
1.11 1.11
0.73 0.73
1.21 1.21
0.69 0.69
1.15 1.15
0.70 0.70
1.37 1.37
0.74 0.74
1.06 1.06
0.66 0.66
1.24 1.24
0.64 0.64
1.21 1.21
0.64 0.64
1.20 1.20
0.66 0.66
1.11 1.11
0.73 0.73
1.21 1.21
0.69 0.69
1.15 1.15
0.70 0.70
1.37 1.37
0.74 0.74
1.06 1.06
0.66 0.66
1.24 1.24
0.64 0.64
1.21 1.21
0.64 0.64
1.20 1.20
0.66 0.66 0.54 0.54 0.69 0.95 0.95 0.97 0.97 0.95 0.95 0.95 0.95 0.66 0.99 0.99
1.11 1.11 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.01
0.73 0.73 0.59 0.59 0.76 0.76 0.76 0.76 0.76 0.76 0.76 0.76 0.76 0.73 0.73 0.73
1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.43 1.07 1.07 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.09 1.10
0.69 0.69 0.55 0.55 0.71 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.69 0.69 0.69
1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.35 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.03 1.04
0.70 0.70 0.56 0.56 0.72 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.70 0.70 0.70
1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.02 1.02 1.02 1.02 1.02 1.02 1.02 1.04 1.05
0.74 0.74 0.60 0.60 0.77 0.77 0.77 0.77 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74
1.06 1.06 1.06 1.06 1.06 1.06 1.46 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.11 1.11 1.12
0.66 0.66 0.94 0.94 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.66 0.66 0.66
1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.29 1.05 1.05 1.05 1.29 1.29 1.29 1.29 1.37 1.37 1.05
0.64 0.64 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.73 0.73 0.73 0.73 0.73 0.73 0.64 0.64 0.64
1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.34 1.34 1.03
0.64 0.64 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.73 0.73 0.73 0.73 0.73 0.73 0.64 0.64 0.64
1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.25 1.02 1.02 1.02 1.25 1.25 1.25 1.25 1.33 1.33 1.02
154
akan bersifat relatif elastis. Sebaliknya, pada kelompok rumah tangga yang berpenghasilan lebih tinggi, justru permintaan produk non pangan yang akan bersifat relatif lebih elastis. Estimasi koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga secara terperinci untuk keseluruhan kelompok rumah tangga terhadap berbagai jenis komoditas yang dikonsumsi, membutuhkan data dan informasi yang sangat banyak dan waktu yang cukup lama. Atas dasar pertimbanga n tersebut, maka pada penelitian ini tidak dilakukan pengestimasian koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga. Untuk memenuhi keperluan penyusunan data dasar model, koefisien elastisitas pengeluaran diambil dari data SUSENAS tahun 2008. 5.7.5. Parameter Investasi Nilai parameter investasi
(BETA_Ri) menunjukkan adanya hubungan
antara tingkat pengembalian modal dengan modal di setiap industri. Nilai parameter investasi yang dugunakan dalam model studi ini tidak ada data yang bisa didapat pada parameter investasi Indonesia. Oleh karena itu, nilai parameter investasi sebesar 5.00, dimana nilai tersebut berasal dari model ORANI-F pada perekonomian Australia (Horridge, et al., 1993). 5.7.6. Rasio Investasi Modal Nilai rasio investasi modal pada model ORANI-F (Horridge, 1997) didapatkan 0.70, dimana pada model Filipina (Buetre, 1996) mengasumsikan menjadi 0.13. Sedangkan untuk studi ini nilai rasio yang digunakan menjadi 0.15 pada studi saat ini. Dengan menggunakan angka 0.15 sebagai parameter investasi, dimana persentase perubahan dari GDP riil dan investasi hampir sama dengan perubahan aktualnya. 5.7.7. Elastisitas Investasi Secara teoritis suatu fungsi investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah suku bunga, risiko usaha, infrastruktur, kebijakan pemerintah, kepastian hukum dan factor-faktor non ekonomi lainnya. Akan tetapi di Indonesia belum ada penelitian mengenai seberapa besar pengaruh dari ketiga fa ktor
155
tersebut terhadap investasi, sekaligus besaran elastisitasnya. Nilai investasi ini mengadaptasi dari model INDOF (Oktaviani, 2000). 5.7.8. Parameter Lainnya Selain data untuk mengestimasi koefisien elastisitas, juga diperlukan data untuk mengukur beberapa parameter lainnya. Parameter-parameter tersebut terdiri parameter rasio antara kapital dan investasi, tingkat depresiasi faktor, dan tingkat pengembalian modal bersih. Seluruh parameter mengikuti besaran nilai yang digunakan di dalam model INDOF (Oktaviani, 2000). 5.8. Prosedur Komputasi Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Indonesia Terdapat beberapa prosedur untuk membangun data dasar model keseimbangan umum yang digunakan yaitu mengikuti prosedur yang terdapat pada model INDOF (Oktaviani, 2000) yang sudah dilakukan modifikasi dan tujuan penelitian. Penyusunan data dasar pada model CGE yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat tahap yaitu: 5.8.1. Tahap 1: Membangun Data Dasar Tahun 2008 Tahap pertama adalah membangun rawdata untuk data dasar model yang digunakan yaitu membangun atau menyusun dalam excel document (.xls) file dan kemudian diformat ke dalam bentuk comma delimited (.csv) atau text (.txt) file. Kemudian file-file .csv tersebut diberikan ukuran matrik statement, tipe matrik, file nama header dan nama file yang dibuat tersebut. Adapun matrik-matrik yang dibuat dalam bentuk file .csv atau .txt adalah sebagai berikut: 1.
Tabel IO Indonesia versi terbaru (tahun 2008), yaitu tabel transaksi total dan domestik. Untuk memperoleh tabel transaksi impor dilakukan dengan cara mengurangkan tabel transaksi total dengan tabel transaksi domestik. Selanjutnya ketiga tabel yang dihitung berdasarkan harga di tingkat produsen dan disimpan pada file excel (xls).
2.
Menghapus baris jumlah input antara dan nilai tambah kotor yang terdapat pada ketiga tabel di atas. Dihapuskannya baris ini adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda pada nilai input.
156
3.
Menghapus nilai total permintaan antara, total permintaan akhir, total permintaan, total impor, margin perdagangan besar, margin perdagangan kecil, biaya transportasi dan margi n perdagangan total dan biaya trasportasi total pada kolom yang terdapat pada Tabel I-O (tabel total, domestik dan impor). Dihapuskannya nilai yang terdapat pada matrik permintaan adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda. Sedangkan dihapuskannya nilai matrik margin dikarenakan nilai-nilai yang terdapat pada matrik tersebut bernilai nol.
4.
Mengkonversi semua matrik tersebut (total, domestic dan impor) ke dalam file .csv agar bisa dibaca oleh program MODHAR. File-file tersebut kemudian diberi nama.
5.
Matrik Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008, dimana nama file diberikan sesuai dengan yang terdapat pada Table Input-Output, yaitu 70t08.csv untuk matrik Tabel Input-Output Total, 70d08.csv untuk matrik Tabel Input-Output Domestik dan 70m08.csv untuk matrik Tabel Input-Output Impor.
6.
Kemudian .txt file tersebut dipetakan (mapping) atau diagregasikan dari Tabel Input-Output ke SNSE atau SAM. Adapun nama file tersebut adalah iosmmap.txt
7.
Agregasi tenaga kerja dari SNSE menjadi dua tipe tenaga kerja yaitu tenaga kerja di perdesaan (rural labour) dan perkotaan (urban labour).
8.
Pengagregasian rumah tangga didasarkan pada tipe rumah tangga SNSE.
9.
Share konsumsi (consumption share) berdasarkan rumah tangga dihitung dari SNSE atau SAM. File tersebut dinamakan .hhsh,csv.
10. Share modal (capital share) berdasarkan industri pertanian yang dihitung dari SNSE atau SAM. File tersebut dinamakan cash.csv. 11. Share lahan (land share) berdasarkan industri pertanian yang dihitung dari SNSE atau SAM. File tersebut dinamakan lnsh.csv. 12. Share variabel modal (capital share) dihitung dari SNSE atau SAM. File tersebut dinamakan vcsh.scv. Share antara kapital tidak tetap (variabel) dan tetap (fixed) ditentukan dari data dasar model WAYANG dan hasil mapping terakhir.
157
13. Share kapital tetap (fixed capital) menurut industri non-pertanian yang dihitung sama dengan File .vcsh. File matrik tersebut dinamakan fcsh.csv. 14. Share tenaga kerja terdidik (skilled labour) berdasarkan industri dihitung dari SAM atau SNSE. Kemudian industri pada SAM tersebut dimapping dengan industri pada table Input-Output. File tersebut dinamakan dengan slsh.csv 15. Share tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labour) berdasarkan industri dihitung dari SAM atau SNSE, dimana cara perhitungannya sama dengan perhitungan share untuk tenaga kerja terdidik. File dinamakan ulsh.scv. 16. Share modal (capital share) berdasarkan rumah tangga dihitung dari SAM atau SNSE. Adapun file tersebut dinamakan hcsh.csv. 17. Share lahan (land share) berdasarkan rumah tangga dihitung dari SAM atau SNSE. Adapun file tersebut dinamakan hlns.csv. 18. Transfer pemerintah dari dan ke rumah tangga (government transfer to and from household) yang dihitung dari SNSE. File dinamakan hhgo.csv 19. Share tenaga kerja berdasarkan tipe rumah tangga (labor share by type of household) dihitung dari SAM atau SNSE. File ini dinamakan hlbs.csv. 20. Share regional terhadap output nasional (region share of national output) yang ditentukan dari data dasar WAYANG dan disesuaikan dengan data pengagregasian. File tersebut dinamakan rgia.csv. 21. Share industri pengolahan berdasarkan region (manufacturing share by region) diadopsi dari data dasar model WAYANG. File dinamakan mans.csv. 22. Share pertambangan berdasarkan region (mining share by region) didapatkan dari dasar data model WAYANG. Adapun file tersebut didapatkan berasal dari data model WAYANG. Kemudian file tersebut dinamakan mins.scv. 23. Share makanan berdasarkan region (food share by region) didapatkan dari data dasar model WAYANG. File tersebut dinamakan food.csv. 24. Elastisitas pengeluaran setiap komoditi dan rumah tangga (expenditure elasticities by each commodity and household) yang didapatkan dari data dasar model WAYANG dengan melakukan penyesuaian pada agregasi komoditas. File tersebut dinamakan expn.scv
158
70m08.csv 70d08.csv
Rawlab.csv 70t08csv
Iosmmap.tx t
Rawhh.csv
MODHAR EXE
MODRAW.INP
Others csv files
MODRAW.LOG
USE00.HAR
DGSCALE.INP
DGSCALE. LOG
DAGG.EXE
USE00S.HAR
Keterangan: Header Array File
Program
Text File
Sumber: Oktaviani (2000) Gambar 19 Tahap 1: Membangun Data Dasar (Rawdata) Adapun hasil dari tahap ini yakni file yang diharapkan berupa use08.har and use08s.har (setelah file use08.har dibagi dengan 1000). File-file yang telah dihasilkan tersebut terdiri dari semua basis file .har yang dibutuhkan untuk
159
membangun matrik .har pada model keseimbangan umum tersebut. File-file tersebut juga terdiri dari matrik total, domestic dan impor, matrik agregasi tenaga kerja dan rumah tangga dan matrik mapping dari Tabel Input-Output ke SAM. Secara lebih jelas data dasar yang dibangun pada tahap pertama dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 19. 5.8.2. Tahap 2: Membuat File Tablo Setelah tahap tersebut di atas selesai, kemudian dilakukan penyusunan untuk tahap kedua yaitu membangun file tablo (.tab). File tersebut digunakan untuk mengolah data yang sudah dibangun dalam bentuk .har yaitu: 1.
Dengan menambahkan beberapa statement yang ditambahkan dari tablo sebelumnya ada bebarapa statement yang ditambahkan yaitu statement ekspor berdasarkan region dimana sebagai penyeimbang dari data dasar dengan membuat pembobot pada file data dasar yang telah dibangun sebelumnya.
2.
File tablo yang digunakan dalam membangun datadasar produktivitas yaitu Convindo.tab. Melalui file batch tersebut, yaitu dengan mempergunakan file doconv.bat. File tablo tersebut dapat dilanjutkan untuk membuat bentuk file .axs dan .axt.
3.
Kemudian file Use08s.har, file Way66.har and Supp08.har secara bersamasama dapat dibangun dengan menggunakan program MODHAR melalui pengguaan doconv.bat. Adapun diagram alur untuk membangun data dasar tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 20.
5.8.3. Tahap 3: Mengagregasi Data Dasar Tahap berikutnya adalah tahap mengagregasi data dasar sesuai dengan keperluan penelitian. Aggregasi dimulai dari file WAY70.har dan SUPP08.har. Kemudian file DAGSUPP.HAR dihasilkan menggunakan program MODHAR, dimana
mengkombinasikan
antara
SUPP00.HAR,
MODSUPP.INP
dan
DAGMAP.TXT (mengklasifikasikan dari 70 sektor menjadi 40 sektor). File DAGSUPP.HAR tersebut kemudian dengan menggunakan program DAGG mengolah instruksi agregasi dari file-file input seperti untuk file agregasi komoditi, yaitu file DGCOM40.INP, agregasi industri yaitu file DGIND40.INP dan aggregasi margin yaitu file DGMAR40.INP. Kemudian program DAGG
160
mengolah proses tersebut dan menghasilkan file WAY40.HAR. File yang dihasilkan tersebut sebagai data dasar model yang digunakan untuk melakukan simulasi. Secara lebih jelas dan lengkap diperlihatkan pada Gambar 21.
CONVINDO.TAB
CONVINDO.STI
TABLO. EXE
CONVINDO.FOR
USE00S.HAR
TABCONV.LOG
CONVINDO.AXS CONVINDO.AXT
CONVINDO.INP
CONVINDO.DIS
CONVIN DO.EXE
\GP51\LT G.BAT
WAY70.HAR
SUPP08.HAR
Keterangan: Header Array File
Text File Program
Sumber: Oktaviani (2000) Gambar 20 Tahap 2: Membuat Input File Tablo
SUM08.HAR
161
dari data subdirectory
WAY70.HAR
SUPP08.HAR
DAGMAP.TXT
MODSUPP. INP
MODHAR. EXE
DAGG. EXE
DGCOM40.INP
TEM1.HAR
DAGSUPP.HAR
DAGG. EXE
DGIND40.INP
TEM2.HAR
DAGG. EXE
DGMAR40.INP
WAY40.HAR
DAGG. EXE
Keterangan: Header Array File
Program
WAY40.STI
Text File
WAY40.HAR
Sumber: Oktaviani (2000) Gambar 21 Tahap 3: Mengagregasi Data Dasar
162
5.8.4. Tahap 4: Pengujian Keseimbangan Data Dasar Pada tahap dua di atas telah dihasilkan tiga file har yaitu way70.har, supp08.har dan sum08.har. Pada file way70.har sektornya masih terdiri dari 70 sektor yang merupakan hasil disagregasi Tabel I-O Tahun 2008. Sektor ini selanjutnya dipetakan kembali (mapping) menjadi 40 sektor sesuai dengan kebutuhan penelitian. Namun sebelum mapping dilakukan, terlebih dahulu dipastikan bahwa database yang dihasilkan dari tahap kedua tersebut telah memenuhi persyaratan keseimbangan umum. Keseimbangan pada tingkat sektor ditunjukkan oleh kesamaan total nilai input dan total penjualan pada masingmasing industri (Dixon et al., 1991), sementara pada tigkat agregat keseimbangan tersebut ditunjukkan oleh kesamaan nilai PDB dari sisi pengeluaran dan sisi pendapatan. Berdasarkan konsep keseimbangan tersebut, suatu data dasar dikatakan seimbang apabila, pertama PDB agregat sisi pengeluaran sama dengan PDB sisi pendapatan, dan kedua total biaya sama dengan total nilai penjualan sehingga keuntungan setiap sektor atau industri menjadi nol (Warr, 1998). Nilai PDB sisi pengeluaran dan sisi pendapatan serta nilai total penjualan dan biaya pada setiap industri yang dihasilkan dari proses pengolahan pada tahap kedua dapat dilihat pada file supp08.har. Pada file tersebut nilai PDB sisi pengeluaran yang merupakan penjumlahan dari komponen pengeluaran setiap pelaku ekonomi yaitu konsumsi rumahtangga, investasi swasta, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih adalah sebesar Rp 5 302 176.45 milyar (lihat pada Tabel 15). Tabel 15. Nilai PDB Indonesia Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan, Tahun 2008 (Rp Miliar) Jenis Pengeluaran 1 Konsumsi 2 Investasi 3 Pengeluaran Pemerintah 4 Perubahan Stok 5 Ekspor 6 Impor TOTAL
Nilai 3 195 808.00 1 405 455.38 416 866.69 103 375.14 1 487 237.88 -1 306 566.63 5 302 176.45
Jenis Pendapatan Faktor Produksi 1 Tanah 2 Tenaga Kerja 3 Kapital 4 Subsidi 5 Pajak Tidak Langsung
Sumber: Tabel I-O, 2008 dan SNSE, 2008 (diolah)
Nilai 569 461.56 1 606 250.25 3 018 608.75 -199 630.17 307 486.06 5 302 176.45
163
Pada Tabel 15, nampak bahwa nilai PDB dari sisi pengeluaran sama besarnya dengan nilai PDB sisi pendapatan yang merupakan penjumlahan dari pendapatan yang diperoleh pemilik faktor produksi tanah, tenaga kerja, kapital, subsidi dan pembayaran pajak tidak langsung. Dengan demikian data dasar yang telah dihasilkan untuk 70 sektor atau industri telah memenuhi persyaratan keseimbangan pada tingkat agregat. Selain nilai PDB, pada file supp08.har juga dapat diperoleh nilai penjualan setiap sektor. Nilai penjualan tersebut merupakan penjumlahan dari komponenkomponen penjualan masing-masing sektor sebagai barang antara dan investasi, penjualan ke rumahtangga, luar negeri (ekspor), dan pemerintah, serta penjualan sebagai margin perdagangan dan transportasi. Nilai penjualan masing-masing sektor tersebut disajikan pada Tabel 16. Nilai total penjualan (SALE) setiap sektor harus sama dengan dengan biaya (COST) yang dikeluarkan setiap sektor (Tabel 16). Total biaya pada setiap sektor merupakan penjumlahan dari komponen-komponennya yang meliputi pembelian barang antara domestik, barang antara impor, pengeluaran untuk marjin, pembayaran pajak tidak langsung, biaya tenaga kerja (upah), biaya kapital (bunga), sewa tanah, dan pembayaran pajak kegiatan produksi (pajak pertambahan nilai). Secara lebih lengkap bahwa jumlah biaya masing-masing sektor pada Tabel 16. Kesamaan nilai penjualan dan biaya produksi pada setiap sektor berimplikasi pada tingkat keuntungan mendekati nol di semua sektor seperti yang disyaratkan pasar persaingan sempurna dan merupakan asumsi dasar model CGE yang dikonstruksi dan digunakan dalam penelitian ini. Setelah data dasar 70 sektor mencapai syarai keseimbangan, baik pada tingkat agregat maupun sektoral, maka proses pengolahan data dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu proses pemetaan data dasar 70 sektor menjadi 40 sektor. Apabila diperhatikan prosedur pemetaan data dasar tersebut seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 18, yang pada bagian terakhir dari prosedur tersebut dihasilkan file way40Aggr.har. File tersebut memuat 55 komponen dalam data dasar, yang terdiri dari 40 sektor seperti disajikan pada Tabel 17. Data dasat way40Aggr.har tersebut merupakan data dasar terakhir yang digunakan dalam analisis untuk menjawab penelitian ini dan dilanjutkan dalam simulasi kebijakan.
164
Tabel 16. Nilai Penjualan Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2008 (Rp Miliar) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Sektor Padi Kedelai Tanaman Kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa Swit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil tanaman serat Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan Penambangan batu bara dan bijih logam Penambangan minyak, gas dan panas bumi
Intermediat 164 955.58 2 898.87 6 153.86 37 635.19 10 750.31 52 115.14 1 065.21 34 693.37 10 116.73 10 962.57 76 716.63 3 362.14 3 997.91 843.68 2 662.78 480.14 7 704.75 19 245.58 56 024.32 29 978.17 52 035.59 38 219.21 5 818.46 72 227.52 116 071.70 193 574.22
Investasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.13 0.00 212.35 0.00 241.53 684.41 0.00 186.64 12.35 42.06 0.00 63.38 0.00 734.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 959.03
Rumah Tangga 0.00 2 314.10 4 912.48 39 345.47 19 896.95 133 021.64 724.95 0.00 62.97 7 769.61 0.00 717.08 643.67 128.98 2.40 0.00 909.43 2 306.94 19 802.64 51 922.35 61 829.71 1 965.59 3 172.84 111 657.42 0.00 0.00
Ekspor 0.03 13.69 29.06 180.37 78.16 293.95 62.67 95.02 0.69 269.18 297.57 0.00 6 599.86 22.78 230.31 43.98 10 635.77 153.77 416.57 8.75 0.27 113.47 286.79 2 829.29 106 018.77 128 371.01
Pengeluaran Pemerintah 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Perubahan Stok 3 027.26 -559.49 -1 187.70 -2 947.47 -1 756.96 -5 957.08 -98.38 806.61 112.53 -597.22 -699.62 -151.17 -725.61 -2.38 -14.01 188.08 111.71 78.64 -1 879.24 378.91 -6 638.52 2 228.71 476.91 -4 587.98 34 082.01 32 988.91
Margin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 167 982.88 4 667.17 9 907.69 74 213.55 28 968.46 179 478.80 1 754.45 35 807.35 10 292.92 18 645.67 76 998.99 3 928.05 10 702.48 1 005.41 2 923.54 712.21 19 425.03 21 784.93 75 098.95 82 288.17 107 227.05 42 526.98 9 755.00 182 126.25 256 172.47 355 893.16
165
Tabel 16. (Lanjutan) (Rp Miliar) No. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Sektor Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan dan pengawetan makanan Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenisnya Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Industri pemintalan Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri Pupuk Industri Pestisida Industri kimia Pengilangan minyak bumi Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral bukan logam Indutri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain belum digolongkan dmnapun
Intermediat 79 824.30 35 717.27 57 065.65 54 748.93 39 845.31 12 982.11 76 489.67 3 830.46 6 854.91 21 963.39 70 764.66 97 821.37 89 917.22 37 570.57 5 617.34 188 448.16 242 165.84 93 895.77 36 366.69 34 082.78 38 630.86 7 499.01 162 191.41 176 610.05 80 560.78 8 083.28
Investasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 163.76 137.43 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 81.59 0.00 0.00 0.00 6784.08 53892.48 22030.79 1492.50
Rumah Tangga 1 041.89 80 892.44 18 150.75 196 761.11 59 146.16 9 172.76 82 670.07 12 666.33 63 898.74 430.18 86 102.06 33 058.05 15 121.87 667.43 99.79 62 114.59 28 631.15 58 947.83 5 261.05 0.00 0.00 0.00 17 990.64 112 887.41 106 856.70 10 159.10
Ekspor 886.97 18 458.40 130 005.41 186.52 3 035.00 254.07 8 989.89 245.78 2 466.13 16 788.23 84 960.01 37 445.20 40 187.33 2 529.68 378.22 55 631.78 172 772.44 73 797.29 5 151.53 699.33 12 918.42 54 335.86 20 985.38 91 661.55 39 209.54 13 467.42
Pengeluaran Pemerintah 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Perubahan Stok -50.01 -3 369.51 -10 497.73 -14 568.06 350.98 129.62 2 064.92 -749.79 401.64 -496.66 12 302.34 4 143.84 140.29 1 843.39 275.61 -26 808.92 -37 644.29 357.94 3 633.53 568.41 807.64 4 117.46 20 041.41 36 314.02 3 449.21 -3 675.48
Margin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 81 703.16 131 698.61 194 724.08 237 128.48 102 377.45 22 538.56 170 214.55 15 992.78 73 621.42 38 685.14 254 292.81 172 605.88 145 366.70 42 611.07 6 370.97 279 385.63 405 925.13 226 998.84 50 494.39 35 350.51 52 356.92 65 952.32 227 992.94 471 365.50 252 107.00 29 526.83
166
Tabel 16. (Lanjutan) (Rp Miliar) No. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70.
Sektor Listrik Gas Air Bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Usaha bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tak jelas batasannya
Sumber: Tabel I-O, 2008 dan SNSE, 2008 (diolah)
Intermediate 50 026.94 23 757.82 7 907.40 98 557.68 416 581.50 61 755.11 2 045.38 136 182.61 24 131.77 25 368.70 33 439.37 82 676.75 211 570.52 176 308.31 11 723.49 21 300.98 152 017.06 995.53
Investasi 0.00 0.00 0.00 1 129 076.88 37 695.22 0.00 24.46 6 799.61 1 654.78 207.11 1 154.02 0.00 0.00 2 391.87 0.00 0.00 15 436.50 0.00
Rumah Tangga 22 864.36 10 858.30 3 614.00 0.00 373 736.38 229 981.89 3 788.42 101 736.52 13 820.12 36 014.24 6 938.68 87 583.94 53 737.73 97 040.24 13 466.76 128 324.56 113 168.15 2 774.96
Ekspor 0.00 0.00 0.00 0.00 147 750.80 38 535.21 294.86 19 815.24 34 080.04 7 996.81 8 783.72 19 081.33 3 754.16 13 645.29 4 148.40 13 345.48 4 837.15 39.25
Pengeluaran Pemerintah 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 245 948.36 165 875.11 0.00 0.00
Perubahan Stok 0.00 0.00 0.00 0.00 3 638.22 0.00 3.87 524.90 267.97 36.08 85.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Margin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 72 891.30 34 616.11 11 521.40 1 227 634.38 979 402.13 330 272.22 6 156.99 265 058.88 73 954.67 69 622.95 50 400.84 189 342.02 269 062.41 289 385.72 275 287.03 328 846.13 285 458.84 3 809.74
167
Tabel 17. Nilai Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2008 (Rp Miliar) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Sektor Padi Kedelai Tanaman Kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian dan kacangan Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa Swit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil tanaman serat Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan Penambangan batu bara dan bijih logam Penambangan minyak, gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya
IntDom
IntImp
34 698.17 814.74 1 729.56 15 537.79 3 537.74 19 264.15 267.58 11 780.26 2 642.63 4 545.25 26 462.50 2 009.54 3 949.26 145.87 504.02 106.31 5 908.38 5 252.58 25 706.88 48 408.78 53 465.92 9 116.47 1 916.90 44 747.03 61 384.66 35 713.89 18 122.59
7 863.77 130.83 277.73 2 001.47 257.03 2 889.12 2.32 420.71 523.48 377.71 7 385.86 90.82 116.03 10.67 11.27 4.00 134.74 4.64 690.19 7.68 4 916.63 801.36 122.87 3 104.70 4 375.90 19 684.31 532.45
Margin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
IndTax 764.48 15.48 32.86 248.58 48.47 356.76 2.48 134.69 51.35 59.23 621.41 20.52 45.87 1.79 4.64 1.81 58.11 58.09 380.75 549.21 1 219.49 161.88 28.72 568.07 1 572.57 1 378.37 264.21
Lab 21 865.56 579.83 1 230.89 7 731.41 2 928.34 30 037.99 176.59 12 173.40 2 441.19 2 683.27 13 456.63 744.50 1 679.83 304.66 518.75 88.57 2 158.13 5 214.59 12 432.01 9 840.71 21 128.79 7 110.59 1 745.68 26 451.26 32 741.56 27 333.30 23 424.21
Cap 5 176.50 156.44 333.23 2 448.35 1 110.45 6 354.72 64.37 2 093.41 858.07 2 034.44 5 388.30 195.99 909.46 99.55 348.40 93.82 2 068.82 2 085.39 3 758.50 2 458.79 2 774.56 3 834.36 898.30 9 355.14 156 096.81 271 782.31 39 358.71
Lnd 98 222.82 2 986.87 6 340.67 46 466.76 21 085.41 120 574.90 1 240.12 9 203.88 3 775.19 8 944.75 23 683.30 865.67 4 001.02 441.86 1 535.46 416.69 9 095.85 9 168.64 32 129.60 21 021.95 23 720.60 21 501.30 5 041.54 97 996.67 0.00 0.00 0.00
ProdTax -608.42 -17.02 -37.25 -220.84 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 -96.73 1.00 1.00 1.00
Total 167 982.88 4 667.17 9 907.68 74 213.52 28 968.44 179 478.65 1 754.45 35 807.35 10 292.92 18 645.66 76 998.99 3 928.04 10 702.47 1 005.41 2 923.54 712.21 19 425.03 21 784.93 75 098.94 82 288.12 107 226.99 42 526.98 9 755.00 182 126.14 256 172.51 355 893.18 81 703.17
168
Tabel 17. (Lanjutan) (Rp Miliar) No.
Sektor
IntDom
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Industri pengolahan dan pengawetan makanan Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenisnya Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Industri pemintalan Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri Pupuk Industri Pestisida Industri kimia Pengilangan minyak bumi Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral nonlogam Indutri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain yang belum digolongkan Listrik Gas Air Bersih Bangunan
90 223.43 125 444.25 182 428.20 49 539.11 16 357.06 105 587.32 10 313.82 32 970.64 15 807.58 133 531.27 90 097.84 73 563.76 23 277.17 3 480.27 129 599.31 85 085.87 122 672.60 20 922.66 19 421.15 23 722.03 45 440.17 77 654.02 205 982.56 91 326.11 14 987.11 62 886.39 5 056.47 1 682.96 643 203.38
IntImp
Margin
1 036.70 522.50 61.33 21 143.53 237.94 8 501.31 551.46 7 971.56 9 344.84 17 917.76 8 679.93 17 121.49 4 030.67 602.64 64 799.95 82 155.37 38 499.57 4 812.31 1 354.77 13 786.78 3 136.18 38 014.31 119 256.62 54 038.23 4 674.91 6 341.20 509.88 169.70 128 166.45
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
IndTax 1 301.76 1 274.99 2 041.15 2 285.40 275.37 1 787.59 259.67 3 689.95 2 013.84 5 043.52 2 262.48 2 607.07 1 295.40 193.68 7 721.10 3 175.98 6 632.43 866.45 727.55 1 836.94 1 824.69 4 632.20 15 215.02 6 392.55 789.92 1 634.04 131.39 43.73 20 963.98
Lab 10 541.11 23 538.74 10 564.29 9 417.45 1 957.18 17 141.02 2 024.19 8 758.06 2 526.81 33 403.95 20 355.38 15 752.33 10 434.14 1 560.05 26 487.03 61 257.55 21 394.87 8 692.50 4 127.23 2 225.74 5 089.33 39 618.42 38 499.41 33 995.72 3 746.67 28 514.82 2 292.78 763.11 167 855.91
Cap 28 594.51 43 942.57 42 032.31 19 990.90 3 710.00 37 196.21 2 842.62 20 230.15 8 991.07 64 395.25 51 209.23 36 321.03 16 764.27 2 505.65 50 777.16 272 166.63 37 798.26 15 199.47 9 718.82 10 784.44 10 460.97 68 073.00 92 410.75 66 353.29 5 327.20 83 914.70 6 746.61 2 245.50 267 443.88
Lnd 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
ProdTax 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 -13 190.56 -1 971.33 1.00 -97 916.21 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 -75 783.77 -6 092.83 -2 027.90 1.00
Total 131 698.50 194 724.05 237 128.28 102 377.39 22 538.55 170 214.46 15 992.77 73 621.36 38 685.13 254 292.74 172 605.86 145 366.67 42 611.08 6 370.97 279 385.56 405 925.18 226 998.73 50 494.39 35 350.51 52 356.93 65 952.34 227 992.95 471 365.36 252 106.89 29 526.82 107 507.38 8 644.28 2 877.11 1 227 634.59
169
Tabel 17. (Lanjutan) (Rp Miliar) No. 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Sektor Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Usaha bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tak jelas batasannya
IntDom 417 205.97 179 465.08 4 052.44 134 677.59 35 984.75 30 874.13 18 145.28 37 059.25 85 323.47 73 858.43 100 306.52 141 119.08 106 398.91 1 729.58
Sumber: Tabel I-O, 2008 dan SNSE, 2008 (diolah)
IntImp 41 424.86 1 589.00 228.23 19 377.57 14 218.06 17 129.67 3 468.65 4 250.33 7 060.56 12 718.10 15 327.06 7 924.71 35 611.71 0.08
Margin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
IndTax 6 945.80 3 982.73 70.83 2 043.38 892.86 900.26 305.80 491.58 847.52 1 834.08 1 926.57 2 285.02 4 878.97 23.10
Lab 151 338.63 53 632.14 1 582.70 45 471.62 8 620.54 10 036.11 11 542.38 29 923.87 51 739.65 33 569.51 138 982.31 133 851.31 54 672.48 528.99
Cap 362 485.59 91 602.02 910.21 63 487.62 15 087.45 10 681.73 16 937.73 117 765.89 124 090.16 167 404.52 18 743.51 43 664.89 83 936.38 1 526.99
Lnd 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
ProdTax 1.00 1.00 -687.42 1.00 -849.00 1.00 1.00 -149.00 1.00 1.00 1.00 1.00 -39.70 1.00
Total 979 401.85 330 271.97 6 156.99 265 058.78 73 954.66 69 622.91 50 400.83 189 341.93 269 062.35 289 385.64 275 286.97 328 846.01 285 458.76 3 809.74
170
Tabel 18. Komponen Data Dasar 40 sektor yang Digunakan dalam Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55.
Header 0TAR 1ARM 1CAG 1CAP 1LND 1OCT CAPS SLAB P028 2ARM 3ARM SCET LAND P018 1REG 2REG 4REG 5REG 1BAS 2BAS 2BS_ 2TOT 3BAS 4BAS 5BAS 6BAS 1MAR 2MAR 3MAR 4MAR 5MAR 1TAX 2TAX 2TX_ 3TAX 4TAX 5TAX 1LAB MAKE XPEL ELWG EMPR ETOT EXNT P021 TRNL YBYK ALP2 ALPH GOHH HINC TRAN CAPA CAPN PINC
Dimensi COM COM AGIND KAP*N_AGIND IND IND HH*N_AGIND IND IND COM COM IND AGIND*HH COM IND*REG IND*REG COM*REG COM*REG COM*SRC*IND COM*SRC*IND COM*SRC IND COM*SRC*HH COM COM*SRC COM*SRC COM*SRC*IND*MAR COM*SRC*IND*MAR COM*SRC*MAR*HH COM*MAR COM*SRC*MAR COM*SRC*IND COM*SRC*IND COM*SRC COM*SRC*HH COM COM*SRC IND*OCC COM*IND COM*HH 1 1 1 1 HH IND1 IND1 N_AGRIFAC*N_AGRIFAC*AGND1 AGRIFAC*AGRIFAC*AGN1 HH*TYPE HH*OCC TYPE HH HH HH
Total 22 766 136 54 923 2 963 754 569 462 -199 702 2 107 557 15.4 20 136 136 0 569 461 -800 69 69 62.2 62.2 5 200 711 1 378 153 1 378 153 1 405 455 3 100 909 1 460 607 415 978 209 140 0 0 0 0 0 134 998 27 303 27 303 94 899 26 631 889 1 606 250 10 330 397 662 0.5 0.983 0.995 -2 -88.6 0 9.95 0 0 284 107 12 672 181 284 107 54 923 856 197 27247
Desksripsi V0TAR(Com) SIGMA1(Com) Capital rentals V1CAPN(RNANL:NAI) Land rentals Other cost tickets Fixed cap owned by hh non agr SIGMA1LAB (IND) SIGMA1PRIM (IND) SIGMA2(COM) SIGMA3(COM) SIGMA1OUT Household land rental by ind Export demand elas Region output share Region investment shares Region export shares Region other shares Intermediate Basic Investment Basic Investment Basic Investment (by Ind) Households Basic Exports Basic Government Basic Inventory Basic Intermediate Margins Investment Margins Households Margins Exports Margins Government Margins Intermediate Tax Investment Tax Investment Tax Households Tax Exports Tax Government Tax Labour Multiproduct Matrix Expenditure Elasticities Elasticity of wage to emloyment (Actual/trend) employment initial average Engel non-tradisioanl export elastisitas Frisch LES parameter TRNL investment/capital ratio BETA_N BETA_A Gov Trans household HINC(HH:OCC) Gov Trans foreign MMAN(HH) Mobile cap owned by hh non agr Personal Income Tax Collection
171
5.9. Prosedur Melakukan Simulasi Kebijakan Tahap terakhir adalah melakukan simulasi kebijakan. Apabila data dasar sudah dilakukan pengujian konsistensi dalam hal pemenuhan keseimbangan, maka dapat dilakukan simulasi kebijakan. Simulasi kebijakan yang dilakukan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, dan dilakukan setelah disesuaikan dengan model yang digunakan. Model keseimbangan umum memerlukan beberapa spesifikasi yang dibuat untuk melakukan simulasi kebijakan untuk menghasilkan hasil simulasi yang diharapkan. Terdapat beberapa aspek penting dari model keseimbangan umum yang diperlukan untuk menghasilkan file solusi, sebagai hasil solusi dari pendekatan keseimbagan umum ini. Menghasilkan file solusi diperlukan input statement yaitu (1) Data dasar (.har), (2) Model (.tab), (3) Closure (.cmf), (4) Metode pemecahan (Styled Johansen Method), (5) Besaran nilai shock dan (6) File output atau solusi (Sl4). Proses untuk menghasilkan file pemecahan atau solusi secara jelas ditunjukkan pada Gambar 22. Prosedur pengolahan komputerisasi dengan cara memasukan input statement yang terdiri dari data dasar yang digunakan adalah file .har, model adalah model WAYANG.tab, closure adalah file .cmf . Metode pemecahan adalah Styled Johansen Method untuk jangka pendek, dan Metode Gragg 2 4 6 untuk jangka panjang. Selanjutnya shock yang dilakukan pada variabel power tax yang dinegatifkan nilainya, sehingga menjadi subsidi. Untuk kebijakan subsidi input, yaitu pada pupuk dan benih, dishock adalah variable eksogen f0taxi (IND), dan untuk subsidi output, yaitu pada pangan, yang dishock adalah variable eksogen f0tax (COM, HH) dengan file pemecahannya adalah file.sl4. Program GEMPACK dapat menerjemahkan file TABLO ke dalam program yang lebih spesifik untuk menghasilkan solusi dan meliniearisasi antara data dasar dengan model seperti yang tercantum dalam file command (Horrison and Person, 1994). Proses menyesuaikan antara model ke dalam data dasar diopersikan menggunakan program MODHAR dan file.har. Kemudian input statement berupa data dasar dan command file berupa closure baik jangka pendek maupun jangka panjang tersebut di operasikan atau di running menggunakan program GEMSIM
172
sehingga otomatis berjalan proses menghasilkan pemecahan yang spesifik menjadi program file solution berupa .sl4 seperti yang diharapkan. Pemberian nama dalam file .sl4 sangat tergantng pada kebutuhan dan tujuan penelitian.
WAYANG.STI
WAYANG.TAB
MODHAR. EXE
WAY40.HAR
GEMSIM EXE
SIM SR/LR.CMF
FILE.SL4
Keterangan:
Gambar 16. Simulasi Kebijakan untuk Menghasikan File Solution Header Array File
Program
Text File
Solusi
Gambar 22 Prosedur Menghasilakn File Solusi Spesifik pada Model Sejalan dengan proses mapping sektor tersebut, di sisi lain dilakukan penyesuaian tablo dari 70 sektor menjadi 40 sektor. Apabila tablo yang telah disesuaikan sudah maching dengan database way40Aggr.har, maka proses
173
pengolahan data dapat dilanjutkan ke tahap terakhir dari keseluruhan proses dan prosedur yang telah dilalui sejak tahap pertama. Tahap terakhir dimaks ud adalah simulasi kebijakan. Simulasi kebijakan yang dilakukan dikaji dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro dan pendapatan rumahtangga. Perubahan tingkat pendapatan rumahtangga yang dihasilkan dari model CGE tersebut dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode FGT poverty index yang bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kemiskinan rumahtangga. Secara lebih mendetail mengenai hal ini dapat dilihat pada prosedur analisis kemiskinannya.
174
Halaman ini sengaja dikosongkan
175
VI. DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKONOMI, TENAGA KERJA, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Dalam bagian ini, dijelaskan mengenai dampak simulasi kebijakan fiskal pada sektor pertanian untuk kebijakan subsidi pupuk (simulasi 1), subsidi benih (simulasi 2), subsidi pangan (simulasi 3) dan simulasi secara bersamaan antara simulasi 1, 2 dan 3 (simulasi 4). Analisis dampak simulasi dalam bab ini dilakukan pada setiap simulasi. Hasil simulasi dampak ini selanjutnya akan dibahas
untuk
melihat
kinerja
sektoral
dan
makroekonomi.
Variabel
makroekonomi yang dievaluasi adalah perubahan Produk Domestik Bruto (PDB), indeks harga konsumen, neraca perdagangan, output aggregat, tenaga kerja aggregat, tingkat investasi dan konsumsi rumahtangga. Kemudian untuk menganalisis dampaknya terhadap kinerja variabel mikroekonomi antara lain digambarkan oleh perubahan tingkat output sektoral, harga output sektoral, permintaan tenaga kerja sektoral, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan rumahtangga. Penelitian ini menggunakan closure untuk simulasi kebijakan dengan memberikan shock pada peubah eksogen f0tax1(c,i) atau general sales tax shifter to intermediate untuk simulasi 1 dan 2, sedangkan untuk simulasi 3 pada peubah eksogen f0tax(c,h) atau general sales tax shifter to household untuk masingmasing sektor dengan diberikan guncangan variabel dalam penelitian ini sesuai dengan kondisi kebijakan fiskal pada sektor pertanian. Besaran nilai simulasi kebijakan berdasarkan APBN tahun 2012 dan APBN-P tahun 2012 terhadap satu tahun sebelumnya, berdasarkan perubahan besaran nilai subsidi yang dialokasikan pemerintah baik untuk subsidi pupuk, subsidi benih maupun subsidi pangan. Untuk subsidi pupuk dan benih, besaran nilai shock berdasarkan perubahan alokasi subsidi akibat adanya kenaikan harga eceran terendah pupuk dan benih. Demikian halnya untuk subsidi pangan, besaran nilai shock yang salah satunya berdasarkan adanya kenaikan harga beras yang disubsidi. Besaran nilai tersebut selanjutnya digunakan sebagai guncangan (shock) dalam melakukan simulasi, sebagaimana disajikan pada Bab 4 sub bab 4.9.
176
Analisis dampak kebijakan pada semua simulasi dibedakan menurut 4 tahapan analisis. Pertama, analisis dampak terhadap ekonomi dilakukan analisis; (1) terhadap output dan harga output menurut sektoral, (2) terhadap ekonomi makro. Kedua, analisis dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap penyerapan tenaga kerja baik di perdesaan maupun di perkotaan. Ketiga, untuk analisis dampak terhadap distribusi pendapatan dilakukan menurut rumahtangga di perdesaan dan perkotaan. Terakhir, keempat, dampak kebijakan terhadap kemiskinan dianalisis dengan berdasarkan kategorisasi; insiden kemiskinan, kedalaman kemiskinan dan kecuraman kemiskinan jangka pendek dan panjang terhadap rumahtangga miskin. Khusus, untuk analisis terhadap kemiskinan ini dibahas pada Bab VII. Analisis pada keempat tahapan analisis tersebut, selanjutnya dibedakan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, akan dianalisis dampak secara umum kebijakan terhadap masing-masing sektor (komoditas) yang dibagi ke dalam empat sektor besar yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri dan jasa, namun yang dianalisis hanya terhadap sektor pertanian, industri dan jasa menurut komoditas. Hal ini dilakukan menurut pola dan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages). Bagian kedua akan dianalisis menurut klasifikasi sektor tersebut yang berkategori terbesar dan terkecil nilai dampaknya kecuali terhadap sektor pertambangan dan penggalian. Ketiga, karena model keseimbangan umum yang digunakan dalam penelitian ini bersifat statik komparatif, yang dibedakan menjadi jangka pendek dan panjang. 6.1. Dampak Ke bijakan Subsidi Pupuk Terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan 6.1.1. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kinerja Sektoral Secara teori, kebijakan subsidi pupuk sebagai kebijakan subsidi input atau sarana produksi suatu sektor akan diikuti oleh peningkatan output pada sektor yang bersangkutan dan sektor lainnya yang terkait baik ke depan maupun ke belakang. Hal ini berarti adanya kebijakan subsidi pupuk menggeser kurva penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya peningkatan produktivitas. Di sektor pertanian, subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap penggunaan pupuk oleh
177
pelaku pertanian di level produsen pertanian, khususnya pelaku tanaman pangan, dan pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan produktivitas padi yang kemudian dampak ikutan, berikutnya, terhadap peningkatan produksi beras. Hal ini senada dengan hasil kajian Syafa’at et al. (2006), Hutagaol et al. (2009), PSEKP (2009), dan World Bank (2009b), bahwa kebijakan subsidi pupuk dinilai berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan petani terutama untuk tanaman pangan. Berdasarkan Tabel 19, nampak bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap output dibedakan ke dalam jangka pendek dan panjang menurut komoditas. Pada jangka pendek, dampak yang dirasakan secara langsung kebijakan subsidi pupuk terhadap output yang paling besar pada sektor pertanian terkena dampaknya adalah komoditas tanaman perkebunan meningkat (0.973 persen), sedangkan yang paling rendah adalah komoditas perikanan menurun (0.004 persen). Dampak pada jangka panjang, baik yang terbesar maupun terkecil mengikuti dampak jangka pendeknya, yaitu pada komoditas tanaman perkebunan (1.307 persen), sedangkan paling kecil dampaknya yang dirasakan oleh komoditas perikanan yakni mengalami peningkatan (0.140 persen). Adapun untuk komoditas padi, sebagai salah satu komoditas sasaran dari kebijakan ini, berada di posisi kelima terbesar baik untuk dampak jangka pendek maupun panjangnya. Sementara, dampak pada jangka pendek dan jangka panjang masing-masing secara berturut-turut adalah (0.176 persen) dan (0.317 persen). Dampak yang dirasakan pada komoditas pertanian lainnya, baik untuk tanaman pangan maupun untuk bukan tanaman pangan. Komoditas tanaman pangan selain padi, pada jangka pendek seperti komoditas kedelai (0.227 persen), jagung (0.209 persen), tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan (0.131 persen), sayur-sayuran dan buah-buahan (0.108 persen), dan tanaman pangan lainnya (0.600 persen) berdampak positif, sedangkan pada jangka panjangnya untuk komoditas kedelai (0.335 persen), jagung (0.339 persen), tanaman umbiumbian dan kacang-kacangan (0.242 persen), sayur-sayuran dan buah-buahan (0.269 persen), dan tanaman makanan lainnya (0.674 persen) juga berdampak positif. Adapun untuk komoditas bukan tanaman pangan seperti peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.011 persen) dan kehutanan negatif (0.008 persen) pada
178
jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang, komoditas peternakan dan hasilhasilnya (0.388 persen) dan kehutanan (0.140 persen). Secara umum semua komoditas pada sektor pertanian, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap output pada jangka pendek dan jangka panjang mengalami kenaikan, kecuali untuk komoditas perikanan dan kehutanan yang bernilai negatif pada jangka pendek. Dampak pada jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan jangka pendek, disebabkan oleh adanya perbedaan asumsi pada variabel harga, upah tenaga kerja, dan biaya produksi. Pada jangka pendek variabel harga dan upah tenaga kerja lebih kaku dibandingkan jangka panjang, sedangkan untuk variabel biaya produksi, dalam jangka panjang dianggap tidak terdapat biaya tetap. Berdasarkan Tabel 19, juga memperlihatkan bahwa peningkatan output pada sektor pertanian mengakibatkan supply meningkat, akibatnya harga output menurun. Penurunan harga output tersebut diduga oleh karena turunnya harga faktor primer kompositnya. Penurunan harga tersebut terjadi pada jangka pendek dan panjang. Harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami penurunan pula dalam jangka panjang. Penurunan harga jangka panjang sejalan dengan naiknya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha. Bila dicermati lebih jauh peningkatan output, penurunan harga output dalam jangka pendek dan panjang adalah merupakan dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan subsidi pupuk. Resultan dari dampak kebijakan subsidi pupuk tersebut mendorong pada meningkatnya pendapatan atau keuntungan usaha tani sebagai pengguna input. Dampak berikutnya adalah dampak terhadap industri yang terkait dengan sektor pertanian, khususnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Adanya kebijakan subsidi pupuk pada sektor industri sebagai leading sector pada perekonomian Indonesia, ditandai dengan adanya dominasi kontribusi sektor tersebut terhadap penciptaan nilai tambah nasional. Analisis yang dilakukan untuk industri ini dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu industri pengolahan hasil pertanian dan bukan pertanian. Dampak kebijakan tersebut yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat produktivitas dan efisiensi sektor industri.
179
Peningkatan produktivitas dan efisiensi mendorong peningkatan output domestik dan menurunkan harga output maupun harga faktor primer komposit (Tabel 19). Tabel 19. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Output dan Harga Output Menurut Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No.
Komoditas
Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batubara, biji logam dan galian lain 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/ beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri pupuk 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Output Jangka Jangka Pendek Panjang
Harga Output Jangka Jangka Pendek Panjang
0.176 0.227 0.209 0.131 0.108 0.600 0.973 0.011 -0.002 -0.004
0.317 0.355 0.339 0.242 0.269 0.674 1.307 0.252 0.338 0.140
-1.328 -0.290 -1.363 -0.384 -0.466 -0.516 -0.479 -0.023 0.026 -0.028
-1.350 -0.272 -1.208 -0.270 -0.491 -0.440 -0.515 -0.325 0.424 -0.182
0.000 -0.111 -0.072
0.071 0.105 0.113
0.065 0.018 0.113
0.078 0.020 0.253
0.019 0.180 -0.159 -0.004 -0.007 9.676 0.206 0.012 -0.004 -0.044 -0.030 -0.052 -0.025
0.219 0.316 0.389 0.307 0.263 10.565 0.593 0.342 0.482 0.260 0.431 0.282 0.353
-0.120 -0.828 0.016 0.043 0.035 -11.268 0.243 0.008 0.085 0.052 0.066 0.046 0.064
-0.298 -0.860 -0.032 0.066 -0.103 -10.435 0.122 -0.091 0.110 0.045 -0.041 -0.047 -0.078
-0.027 0.027 0.003 -0.003 0.008 -0.028 -0.006 -0.065 -0.034 -0.020 -0.019 0.018 -0.001 -0.006
0.206 0.206 0.500 0.249 0.291 0.195 0.258 0.352 0.234 0.347 0.171 0.285 0.157 0.263
-0.120 0.252 0.050 0.033 -0.050 0.104 0.046 0.035 0.059 0.039 0.115 0.112 0.010 0.010
-0.298 0.328 0.002 -0.177 -0.339 -0.229 -0.285 -0.055 -0.159 -0.227 0.136 -0.071 -0.836 -0.400
180
Jumlah output pada industri pupuk, mengalami peningkatan yang cukup tinggi akibat adanya stimulasi permintaan jumlah pupuk dan biaya produksi yang menurun akibat adanya subsidi dari komoditas gas, baik pada jangka pendek (9.676 persen) maupun jangka panjang (10.555 persen). Naiknya jumlah output industri pupuk tersebut akibat oleh subsidi pada input produksi pupuk diikuti oleh kenaikan permintaan gas, baik pada jangka pendek (0.027 persen) maupun jangka panjang (0.206 persen) secara berurutan. Secara umum, seluruh komoditas pada sektor industri pengolahan ini tumbuh positif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Industri yang mengalami pertumbuhan output terbesar dalam jangka pendek adalah industri pupuk itu sendiri. Temuan ini diduga bahwa kebijakan subsidi pupuk mendorong produksi naik dan harga turun pada jangka pendek dan jangka panjang. Peningkatan output di sektor industri ini menunjukkan pentingnya peran subsidi pupuk dalam menunjang peningkatan kapasitas produksi pada sektor industri pengolahan. Dampak kebijakan subsidi pupuk ternyata menstimulus untuk menigkatkan jumlah produksi pada industri pupuk sendiri, yang kemudian berdampak pada output sektor pertanian sebagai input antara untuk sektor industri lainnya sebagai sektor pengguna. Pada sektor industri, secara umum memberikan dampak positif terhadap output yang diproduksinya. Secara teori, semakin meningkat jumlah produksi maka berbanding terbalik dengan harganya. Turunnya harga output pada sektor pertanian khususnya pada komoditas tanaman pangan dan tanaman bukan pangan sebagai output antara yang digunakan menjadi input untuk sektor industri. Turunnya tingkat harga di tingkat input maka jumlah permintaannya semakin meningkat, sehingga produktivitas dan efisiensi di industri semakin meningkat pula, terutama terhadap outputnya. Resultan ini kemungkinan disebabkan perusahan semakin meningkat dalam mengurangi biaya produksinya. Dengan demikian, kebijakan subsidi pupuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor industri pengolahan baik berbasis tanaman pangan maupun bukan tanaman pangan. Bila dilihat keterkaitan antar sektor, maka tingginya peningkatan output industri pupuk merefleksikan permintaan terhadap output pada komoditas tersebut
181
tinggi akibat meningkatnya konsumsinya. Peningkatan konsumsi di tingkat rumahtangga dalam jangka pendek didorong oleh peningkatan pendapatan akibat penyerapan tenaga kerja dan dalam jangka panjang disebabkan oleh semakin fleksibiltas pada upah riil. Komoditas pada industri pupuk tersebut yang mengalami peningkatan output yang relatif tinggi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan output subsektor industri ini dipicu oleh meningkatnya permintaan pupuk untuk pengusahaan di sektor pertanian. Peningkatan harga
komoditas pertanian di pasar dunia
mengakibatkan
pengusahaan bidang pertanian menjadi semakin atraktif. Petani dan pelaku dalam input primer bidang pertanian semakin tertarik untuk menginvestasikan modalnya di sektor ini, akibatnya permintaan terhadap pupuk semakin meningkat pula. Secara teoritis peningkatan penawaran akan menyebabkan output meningkat dan harga output turun. Peningkatan output di sektor industri pengolahan ini mengakibatkan harga outputnya menurun pula, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Komoditas yang outputnya naik paling besar akibat kebijakan ini dalam jangka pendek adalah pada industri penggilingan padi/beras meningkat (0.180 persen) dan (0.316 persen) pada jangka panjang, diikuti oleh industri makanan dan minuman naik (0.019 persen) dan (0.219 persen) pada jangka panjang, sedangkan terkecil adalah industri tekstil, barang kulit dan alas kaki turun (-0.159 persen) pada jangka pendek. Harga output pada industri pupuk turun sebagai respon dari kenaikan outputnya, baik jangka pendek (11.268 persen) maupun jangka panjang (10.435 persen). Temuan ini menjelaskan bahwa subsidi pupuk pada tingkat harga subsidi pupuk menurunkan harganya, secara teori memperkuat bahwa kenaikan output akan menurunkan harga output komoditas tersebut. Hal ini juga terjadi pada industri pengolahan hasil-hasil pertanian, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau turun (0.120 persen) jangka pendek, dan turun (0.298 persen) pada jangka panjang, dan pada industri penggilingan padi/beras mampu mendorong harga semakin murah (0.828 persen) pada jangka pendek, dan (0.860 persen) pada jangka panjang. Temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat harga pada industri tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inputnya yang secara tidak langsung
182
disebabkan oleh penggunaan pupuk di level petani. Penyediaan dan aksesibilitas yang mudah untuk pupuk bersubsidi dan berkualitas akan menyebabkan biaya produksi dan harga produk menurun. Harga output tetap mengalami penurunan dalam jangka panjang, tetapi dengan besaran persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan jangka pendek. Diduga hal ini dikarenakan pada jangka panjang semua biaya produksi, termasuk harga input dianggap biaya variabel. Artinya fleksibilitas harga pada jangka panjang lebih besar dibandingkan jangka pendek. Dampak berikutnya adalah dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor jasa yang merupakan sektor pengguna sekaligus sebagai sektor tersier dalam perekonomian. Secara teori, sektor jasa merupakan sektor dalam ekonomi yang keberadaannya bisa disebabkan oleh sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dengan pertanian dan industri/ manufaktur secara fisik (tangible) maupun tidak (intangible). Sektor jasa yang mempunyai keterkaitan langsung sebagai pengguna dari output sektor pertanian dan industri dalam penelitian ini adalah komoditas perdagangan dan sektor hotel dan restoran sebagai tangible sectors, sedangkan komoditas lainnya sebagai intangible sectors. Kebijakan subsidi pupuk berdampak terhadap kenaikan output dalam jangka pendek pada sektor jasa yang terbesar adalah sektor jasa tangible yaitu pada komoditas perdagangan naik (0.008 persen) pada jangka pendek dan naik (0.291 persen) pada jangka panjang. Sektor hotel dan restoran turun (0.028 persen) pada jangka pendek dan jangka panjang (0.195 persen). Adapun sektor gas, sebagai intermediate good bagi industri pupuk, adanya kebijakan ini ternyata menngkatkan dan yang paling terkecil adalah pada komoditas hotel dan restoran (0.058 persen). Sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran menjadi sektor antara yang menghubungkan konsumen dengan produsen. Penciptaan output di sektor perdagangan dinyatakan dalam bentuk margin, yang merepresentasikan kuantitas transaksi dalam perekonomian. Meskipun secara tidak langsung kebijakan subsidi pupuk tidak mempengaruhi komoditas tersebut, namun memungkinkan berkembangnya arus
dan transaksi perdagangan. Sektor
perdagangan, hotel dan restoran memiliki keterkaitan yang erat dengan output
183
antara bagi para pengguna pupuk terutama di sektor pertanian dan industri pengolahan. Kedua komoditas tersebut, berdampak pula terhadap harga outputnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, komoditas terbesar yang terkena dampaknya adalah sektor perdagangan dimana harga output menurun (-0.050 persen) sedangkan jangka panjang (-0.339 persen) dan terkecil pada sektor hotel dan restoran, pada jangka pendek naik (0.104 persen) dan jangka panjang (-0.229 persen). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan harga output tersebut diduga oleh karena turunnya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami peningkatan pula dalam jangka panjang. Peningkatan jangka panjang tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya
mampu mendorong untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha di sektor jasa . Kebijakan fiskal untuk subsidi pupuk yang dilaksanakan pemerintah ini, terhadap sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang atau dikatakan sebagai sektor pioneer, maka akan mendorong bertumbuhnya usaha pada sektor jasa-jasa lainnya seperti komoditas jasa angkutan. Kendala transportasi yang merupakan sarana vital dalam usaha perdagangan dan perhotelan menjadi faktor penting dalam mendistribusikan pupuk bersubsidi hingga sampai ke pengguna yang dalam hal ini adalah rumahtangga. Kondisi ini memicu peningkatan output sektor ini dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Arus lalu lintas barang dan jasa yang semakin lancar dan dalam jumlah yang semakin besar, memungkinkan terciptanya skala usaha yang makin besar. Skala usaha yang besar, secara teoritis, mampu menciptakan penghematan (economic of scale) yang berdampak pada peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Efisiensi dan produktivitas yang tercipta menjadi pemicu bagi perusahaan
untuk
meningkatkan
kapasitas
produksinya.
Dampak
dari
meningkatnya efisiensi dan produktivitas mengakibatkan harga output komoditas perdagangan dan komoditas hotel dan restoran ini semakin menurun, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Turunnya harga dalam jangka pendek lebih disebabkan oleh turunnya harga faktor primer komposit karena harga faktor
184
produksi yang lebih rigid. Seiring peningkatan upah riil, maka dalam jangka panjang harga faktor primer komposit kembali mengalami peningkatan. Kegiatan ekonomi di sektor jasa-jasa lainnya yang bersifat intangible meliputi komoditas-komoditas selain sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran. Secara umum, dengan adanya kebijakan subsidi pupuk berdampak pada meningkatnya output pada sektor-sektor jasa yang intangible tersebut. Kebijakan subsidi pupuk meskipun secara tidak langsung mempengaruhi sektor-sektor jasa tersebut, namun mampu mendorong terhadap output meningkat pada komoditas komunikasi (0.018 persen) sebagai komoditas terbesar yang terkena dampaknya pada jangka pendek dan jangka panjang naik (0.285 persen). Untuk komoditas angkutan baik angkutan darat maupun angkutan air, masing-masing sebesar (0.065) dan (-0.034 persen) pada jangka pendek sebagai komoditas terkecil yang terkena dampaknya sedangkan untuk jangka panjang naik (0.325 persen) dan naik (0.234 persen). Kedua komoditas tersebut menurunkan harga outputnya pada jangka panjang yang masing-masing (-0.055) dan (-0.159 persen), secara berurutan. Hal tersebut diduga oleh turunnya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami kenaikan. Hal ini juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah riilnya dan penggunaan teknologi supaya mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha.
Perekonomian diharapkan dapat berjalan secara efisien, sehingga
produktivitas dapat meningkat seiring perbaikan pelaksanaan dari adanya kebijakan subsidi pupuk ini. 6.1.2. Dampak Ke bijakan Subsidi Pupuk Terhadap Permintaan Tenaga Kerja Di Perdesaan dan Perkotaan Sektoral Kesempatan kerja pada dasarnya mencerminkan jumlah permintaan tenaga kerja oleh berbagai sektor ekonomi. Besarnya jumlah tenaga kerja yang diserap oleh berbagai sektor ekonomi terebut ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Dalam model CGE yang digunakan, jumlah permintaan dan penawaran tenaga kerja menentukan tingkat harga keseimbangan tenaga kerja dalam perekonomian. Tingkat harga keseimbangan tenaga kerja merupakan
185
tingkat upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja oleh sektor produksi yang menggunakannya. Adanya kebijakan subsidi pupuk mendorong penurunan biaya produksi dan efisiensi sektor pengguna. Kondisi ini dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (Fedderke dan Bogetic, 2006). Peningkatan produktivitas akan mendorong peningkatan output, penurunan permintaan impor, penurunan harga faktor primer komposit dan harga output sektoral. Salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas produksi (output) dilakukan dengan cara menambah tenaga kerja atau menambah modal. Analisis dampak kebijakan subsidi pupuk pada bagian ini akan melihat pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja secara sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan. Permintaan tenaga kerja mencerminkan dayaserap usaha terhadap tenaga kerja dimana permintaan faktor primer komposit mencerminkan permintaan sektor produksi (industri) terhadap gabungan modal dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, besaran permintaan modal untuk meningkatkan kapasitas produksi oleh suatu sektor produksi. Kebijakan subsidi pupuk, secara umum, menyebabkan sektor-sektor produksi, khususnya sektor pertanian, meningkatkan jumlah produksinya dengan cara menambah tenaga kerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara keseluruhan menurut sektoral yang permintaan tenaga kerjanya meningkat paling besar dalam jangka pendek adalah komoditas industri pupuk (14.890 persen) dan meningkat dengan besaran terkecil adalah komoditas industri barang lainnya (0.001 persen). Kedua komoditas tersebut merupakan sektor yang permintaan tenaga kerjanya paling sensitif (elastis) terhadap kebijakan subsidi pupuk yang dilakukan pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya respons sektor tersebut terhadap permintaan tenaga kerja. Peningkatan output masingmasing sektor ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan permintaan tenaga kerjanya. Beberapa komoditas justru mengurangi permintaan tenaga kerja baik di perkotaan maupun di perdesaan menyesuaikan dengan kapasitas produksi dan mempertahankan tingkat keuntungan yang wajar, adapun yang menurun terbesar adalah tenaga kerja pada komoditas padi (-0.574 persen) dan menurun terkecil adalah komoditas perikanan (-0.017 persen) pada jangka pendek. Penurunan
186
permintaan tenaga kerja ini terkait dengan efisiensi yang tercipta akibat turunnya biaya produksi dan distribusi pupuk sebagai dampak kebijakan subsidi pupuk. Penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan di perkotaan pada jangka pendek mempunyai nilai perubahan yang sama pada semua sektor/komoditas, sebaliknya untuk jangka panjang memiliki perbedaan untuk penyerapan tenaga kerja di semua sektor/komoditas. Adanya pola yang tidak teratur antara peningkatan output dengan penyerapan tenaga kerja mengindikasikan adanya keragaman karakteristik struktur produksi antar sektor. Sektor yang peningkatan outputnya diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksinya. Di sisi lain, peningkatan output suatu sektor justru diikuti dengan turunnya penyerapan tenaga kerjanya. Terkait penjelasan tersebut, di perdesaan dan di perkotaan mempunyai besaran perubahan permintaan tenaga kerja yang sama, adapun komoditas lainnya yang dalam jangka pendek, jumlah permintaan tenaga kerjanya menurun diantaranya di sektor komoditas tanaman pangan adalah komoditas jagung (0.550 persen), komoditas tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan (-0.072 persen), komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan (-0.140 persen). Untuk jangka panjang di perdesaan pada semua komoditas sektor pertanian mengalami peningkatan permintaan tenaga kerja, yang mempunyai nilai terbesar pada komoditas tanaman perkebunan (1.723 persen) dan padi (0.275 persen) yang terkecil, sedangkan di perkotaan peningkatan permintaan tenaga kerja terbesar adalah komoditas tanaman perkebunan (1.740 persen) dan terkecil komoditas padi (0.292 persen). Semakin meningkatnya permintaan tenaga kerja pada komoditas tersebut lebih disebabkan oleh sifat sektornya yang cenderung bersifat capital intensive terutama komoditas yang ketergantungan terhadap pupuk tinggi. Hal ini dikarenakan pupuk dianggap sebagai teknologi yang lebih modern dan meningkatkan efisiensi perusahaan. Hasil di atas menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap penyerapan tenaga kerja dapat terjadi melalui peningkatan produktivitas ekonomi sektoral.
187
Tabel 20. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No.
Sektor/Komoditas
Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batubara, biji logam dan galian lain 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/Beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri pupuk 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Perdesaan Jangka Jangka Pendek Panjang
Perkotaan Jangka Jangka Pendek Panjang
-0.574 0.076 -0.550 -0.072 -0.140 0.323 0.672 0.047 0.021 -0.017
0.275 0.939 0.390 0.826 0.732 1.163 1.723 0.802 1.359 0.767
-0.574 0.076 -0.550 -0.072 -0.140 0.323 0.672 0.047 0.021 -0.017
0.292 0.956 0.406 0.843 0.749 1.179 1.740 0.818 1.376 0.784
0.035 -0.105 -0.026
0.823 0.837 0.930
0.035 -0.105 -0.026
0.875 0.889 0.982
0.091 0.418 -0.153 0.031 0.017 14.890 0.372 0.086 0.069 0.014 0.023 -0.005 0.029
0.834 1.258 1.116 1.070 0.897 17.663 1.342 1.016 1.315 1.046 1.116 0.984 0.990
0.091 0.418 -0.153 0.031 0.017 14.890 0.372 0.086 0.069 0.014 0.023 -0.005 0.029
0.886 1.310 1.168 1.122 0.949 17.724 1.394 1.068 1.367 1.098 1.167 1.035 1.041
0.033 0.033 0.036 0.005 0.047 0.018 0.016 -0.051 0.027 -0.006 0.044 0.083 0.006 0.033
0.975 0.975 1.252 0.864 0.850 0.569 0.702 1.018 0.767 0.904 0.995 0.996 0.210 0.975
0.033 0.033 0.036 0.005 0.047 0.018 0.016 -0.051 0.027 -0.006 0.044 0.083 0.006 0.033
0.999 0.999 1.276 0.888 0.874 0.593 0.726 1.042 0.791 0.928 1.019 1.021 0.234 0.999
188
Peningkatan skala usaha pada setiap sektor dalam merespons kebijakan subsidi pupuk tersebut dapat dilakukan dengan menambah penggunaan input primer, seperti tenaga kerja, tanah dan modal. Hal ini bergantung kepada struktur produksi masing-masing sektor. Input primer dalam model CGE yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan bahwa dapat saling bersubstitusi secara terbatas yang dispesifikasikan dalam fungsi agregator CES antara ketiga input primer tersebut. Dengan spesifikasi ini, peningkatan produksi dapat disertai dengan peningkatan atau penurunan penyerapan tenaga kerja, demikian juga penggunaan input lainnya. Sektor/komoditas yang permintaan faktor inputnya bersifat padat modal, maka peningkatan produksi dilakukan dengan cara mengurangi jumlah permintaan tenaga kerja dan menambah permintaan modal atau faktor primer kompositnya. Secara lebih detail dapat dijelaskan pada Tabel 20. Kebijakan subsidi pupuk berdampak terhadap permintaan tenaga kerja di perdesaan dan di perkotaan yang bekerja di sektor pertanian, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Upaya penambahan kapasitas produksi, pada kelompok komoditas tanaman pangan mengakibatkan meningkatnya jumlah output yang diperoleh dengan menambah tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, khususnya komoditas tanaman pangan dalam jangka pendek yang terbesar kenaikannya adalah sektor tanaman makanan lainnya (0.323 persen), sedangkan yang terkecil adalah sektor kedelai (0.076 persen) dimana keduanya mempunyai nilai yang sama, baik komoditasnya maupun besarannya untuk di perdesaan dan di perkotaan. Selanjutnya, dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah komoditas tanaman makanan lainnya (1.163 persen) di perdesaan dan pada komoditas yang sama (1.179 persen) di perkotaan. Temuan ini diduga bahwa di perdesaan penyerapan tenaga kerja lebih elastis dibandingkan di perkotaan untuk setiap komoditas di sektor pertanian. Penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan di perkotaan terutama yang bekerja pada sektor berbasis komoditas pangan, selain pembukaan lahan dalam perluasaan usaha komoditas tanaman pangan membutuhkan tambahan tenaga kerja dan modal yang lebih besar. Hal tersebut berdampak pada peningkatan supply yang selanjutnya menurunkan harga komoditas. Seiring meningkatnya
189
produktivitas dan penurunan harga dalam jangka panjang, maka demand akan meningkat. Peningkatan demand direspons dengan penambahan faktor primer komposit yang lebih besar daripada tenaga kerja yang akhirnya meningkatkan permintaan tenaga kerja. Artinya, jumlah tenaga kerja yang diserap untuk kebutuhan sektor tersebut naik akibat adanya kebutuhan produksi yang naik dari adanya kenaikan permintaan. Selain pada sektor pertanian, kebijakan subsidi pupuk berdampak meningkatkan permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan yang bekerja berdampak terhadap sektor industri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penambahan kapasitas produksinya kelompok komoditas industri pengolahan mengakibatkan peningkatan outputnya diperoleh dengan menambah tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja di sektor industri baik yang terkategori industri pengolahan hasil-hasil sektor pertanian maupun bukan pertanian, khususnya komoditas pada industri pengolahan dalam jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya, adapun yang terbesar kenaikannya adalah komoditas industri pengolahan beras (0.418 persen), sedangkan yang terkecil adalah komoditas makanan, minuman dan tembakau (0.091 persen). Dampak pada jangka panjangnya adalah komoditas tertinggi yaitu penyerapan tenaga kerja pada industri penggilingan padi/beras (1.258 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (1.310 persen) di perkotaan. Hal ini diduga bahwa di perdesaan penyerapan tenaga kerja lebih elastis dibandingkan di perkotaan untuk setiap komoditas di sektor industri khususnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Dampak yang terjadi pada sektor industri pengolahan bukan pertanian, permintaan tenaga kerja pada jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya, adapun yang terbesar kenaikannya adalah komoditas industri pupuk (14.890 persen), sedangkan yang terkecil adalah komoditas industri logam besi dan baja (0.001 persen). Dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah industri pengolahan padi/beras (17.663 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (17.742 persen) di perkotaan dan yang terendah adalah komoditas industri makanan minuman dan tembakau (0.834 persen) pada jangka
190
pendek dan (0.886 persen) pada jangka panjang. Hal ini diduga bahwa di perdesaan penyerapan tenaga kerja lebih elastis dibandingkan di perkotaan untuk setiap komoditas di sektor industri pengolahan padi/beras maupun komoditas di industri makanan minuman dan temabakau. Kemungkinan pada jangka panjang upah riil tenaga kerja mengalami penurunan yang sama untuk semua sektor. Selanjutnya, selain pada sektor pertanian dan industri termasuk industri pengolahan, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan juga terhadap sektor jasa-jasa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penambahan kapasitas produksi pada komoditas sektor jasa-jasa tersebut mengakibatkan peningkatan output yang diperoleh dengan menambah tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja di sektor jasa-jasa baik untuk komoditas jasa yang langsung terkait sebagai input perantara dengan sektor pertanian maupun industri pengolahan. Sektor tersier yang mempunyai linkage langsung dengan pupuk, adalah sektor industri gas yakni sebagai input antara bagi industri pupuk. Dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah listrik dan air bersih (0.033 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (0.999) di perkotaan sedangkan yang terkecil adalah sektor lembaga keuangan (0.083 persen) pada jangka pendek dan jangka panjang (0.996 persen). Hal ini diduga bahwa di perkotaan penyerapan tenaga kerja sektor jasajasa lebih elastis terhadap upah riil tenaga kerja dibandingkan di perdesaan untuk setiap komoditas. Besaran nilai upah riil di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan di perkotaan terutama yang bekerja pada komoditas-komoditas jasa yang tidak langsung berkaitan, pembukaan lahan dan perluasaan usaha sektor jasa-jasa membutuhkan tambahan tenaga kerja dan modal yang lebih besar. Hal tersebut berdampak pada peningkatan supply yang selanjutnya menurunkan harga komoditas nya. Seiring meningkatnya produktivitas dan penurunan harga dalam jangka panjang, maka demand akan meningkat. Peningkatan demand direspon dengan penambahan faktor primer komposit yang lebih besar daripada tenaga kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan tenaga kerja di kedua wilayah tersebut.
191
Adanya pola perubahan penyerapan tenaga kerja tersebut di atas, di lihat dampak terhadap struktur tenaga kerja sektoral/komoditas bernilai positif. Terjadinya penurunan penyerapan tenaga kerja pada beberapa sektor/komoditas yang terjadi, mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur tenaga kerja yang berada di perdesaan ke perkotaan. Hal ini mencerminkan adanya perubahan proses produksi yang mengarah pada keinginan untuk mengakomodir tuntutan peningkatan efisiensi dan daya saing pada sebagian besar sektor terutama sektor yang berbasis pada padat karya, yang diperlihatkan tenaga kerja yang berada di perdesaan. 6.1.3. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Indikator Ekonomi Makro Dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kinerja makroekonomi tercermin dari variabel-variabel yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat dihitung dari dua sisi, yaitu dari sisi pengeluaran dan sisi pendapatan. Dari sisi pengeluaran data makroekonomi yang digunakan meliputi konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor bersih (ekspor minus impor). Adapun dari sisi pendapatan, data makroekonomi terdiri dari pendapatan dari lahan (return to land), tingkat pengembalian modal (return to capital) dan upah gaji. Closure makroekonomi model CGE yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 19 dan Gambar 20. Pengeluaran pemerintah merupakan peubah yang mempengaruhi (exogenous variables), sedangkan peubah-peubah konsumsi rumahtangga, investasi dan neraca perdagangan adalah peubah yang dipengaruhi (endogenous variables). Variabel-variabel ini mempengaruhi tingkat PDB riil dari sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, pengembalian modal (return to capital) adalah variabel eksogen yang nilainya ditentukan oleh modal dunia di pasar internasional. Pada penelitian ini diasumsikan Indonesia sebagai negara kecil yang nilai elastisitas penawaran modalnya lebih elastis dibandingkan dengan modal di pasar internasional. Selanjutnya, dalam jangka pendek tingkat upah riil merupakan variabel endogen yang besarannya dipengaruhi oleh tingkat pengembalian modal.
192
Besarnya tingkat pengembalian modal dan tenaga kerja agregat akan menentukan stok kapital yang selanjutnya menentukan tingkat investasi riil. Hasil simulasi kebijakan dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kinerja ekonomi makro disajikan pada Tabel 21. Kebijakan subsidi pupuk berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan output agregat (x1prim_i) baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Pada jangka pendek peningkatan sebesar (0.076 persen) dan jangka panjang sebesar (0.348 persen). Peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran (x0gdpexp) sebesar (0.013 persen) pada jangka pendek dan (0.275 persen) pada jangka panjang. Temuan ini sejalan dengan endogenous growth theory yang menekankan bahwa produktivitas meningkat, dalam penelitian ini akibat adanya kebijakan subsidi pupuk, maka produktivitas tersebut dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Romer, 2001; Lucas, 1988). Peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran tersebut pada jangka panjang bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil (x3tot) sebesar (0.142 persen), peningkatan investasi riil (x2tot_i) sebesar (0.512 persen), peningkatan ekspor (x4tot) sebesar (0.092 persen), dan peningkatan volume impor (x0cif_c) sebesar (0.170 persen). Penomena ini sejalan dengan pendapat Domar (1947) mengenai peran ganda modal petani untuk meningkatkan produksinya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Menurut Harrod-Domar investasi/modal dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok modal dan meningkatkan kapasitas produksi, sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Ketersediaan sarana produksi seperti pupuk untuk pertanian, melalui kebijakan subsidi pupuk yang cukup dan berkualitas baik dapat mendorong turunnya biaya produksi dan semakin efisien, melalui kemudahan akses produsen terhadap sumberdaya dan kemudahan pengguna pupuk dalam mengkonsumsi yang dibutuhkannya. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil simulasi bahwa dalam jangka pendek harga investasi (p2tot_i ) meningkat (0.044 persen) dan dalam jangka panjang turun (0.014 persen). Pada jangka panjang, menurunnya harga investasi menyebabkan investor lebih tertarik menanamkan modalnya, terutama di
193
sektor-sektor produksi. Seharusnya, penanaman modal yang dilakukan oleh investor menjadi stimulus bagi sektor produksi untuk meningkatkan produksinya. Kebijakan subsidi pupuk harus tetap dilakukan untuk mengimbangi dampak depresiasi dan tingkat perkembangan perekonomian dalam jangka panjang. Kondisi ini yang menjelaskan bahwa dalam jangka panjang harga investasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jangka pendek. Selain karena pembentukan harga maupun dalam penentuan upah riil berbeda maka kecenderungan harga investasi akan semakin meningkat sehubungan dengan adanya penyeimbang pada harga konsumen (p3tot) yang semakin menurun pada jangka pendek (-0.376 persen) dan jangka panjang (-0.307 persen). Kebijakan subsidi pupuk mampu mendorong peningkatan efisiensi dan produktivitas akibat ketersediaan sarana produksi yang semakin membaik, dimana ditandai dengan jumlah output agregat meningkat dan sekaligus menurunkan tingkat harga (deflasi), baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menurun pada jangka pendek (-0.093 persen) dan jangka panjang (-0.254 persen) dimana penurunan harga jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan sarana produksi akibat penggunaan pupuk yang baik dalam jangka pendek, mampu mengurangi biaya produksi secara berarti. Kondisi ini juga berdampak pada penurunan harga yang relatif besar. Ketika semua faktor berubah secara dinamis dalam jangka panjang maka hargaharga tetap akan menurun tetapi dengan laju yang lebih lambat. Turunnya tingkat harga juga disumbang oleh semakin meningkatnya teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Peningkatan teknologi mendorong produktivitas semakin membaik. Perkembangan ini berdampak pada penurunan tingkat harga umum (deflasi). Kontribusi kebijakan subsidi pupuk ini terhadap kinerja ekonomi makro juga terlihat dari semakin efisiennya proses produksi domestik. Tingkat upah ratarata nominal yang diterima tenaga kerja dalam jangka panjang menurun (-1.468 persen). Dalam jangka panjang, penurunan tingkat upah merefleksikan turunnya produk marjinal tenaga kerja, yang disebabkan penambahan tenaga kerja untuk
194
meningkatkan produksi. Turunnya tingkat upah domestik mengakibatkan harga produk domestik yang semakin murah. Hal ini mendorong harga ekspor produk domestik (p4tot) turun dibandingkan komoditas luar negeri, yaitu turun (-0,001 persen pada jangka pendek dan (-0.080 persen) pada jangka panjang. Tenaga kerja murah dan rendahnya harga komoditas domestik, akibat kebijakan subsidi input produksi, yang mampu meningkatkan dayasaing Indonesia dalam perdagangan internasional. Semakin membaiknya dayasaing domestik ini menyebabkan indeks volume ekspor (x4tot) Indonesia meningkat (0.092 persen) pada jangka panjang. Peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi dan bertambahnya stok modal produksi dalam jangka panjang mengakibatkan ekspor meningkat lebih besar pada jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Tabel 21. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No.
Deskripsi
Variabel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
PDB riil sisi pengeluaran Neraca Perdagangan Indeks Deflator PDB Upah nominal rata-rata Indeks harga investasi Indeks harga konsumen Indeks harga ekspor Indeks volume ekspor Indeks volume impor Output Agregat value added Investasi riil agregat Konsumsi rumahtangga riil
x0gdpexp delB p0gdpexp p1lab_io p2tot_i p3tot p4tot x4tot x0cif_c x1prim_i x2tot_i x3tot
Jangka Pendek 0.013 0.014 -0.044 0.000 0.044 -0.093 -0.001 -0.092 -0.040 0.076 0.000 0.000
Jangka Panjang 0.275 0.000 -0.231 -1.468 -0.014 -0.254 -0.080 0.092 0.170 0.348 0.518 0.142
Sumber: Data diolah
Peningkatan indeks volume ekspor mampu memperbaiki kondisi neraca perdagangan (delB), yaitu meningkat (0.014 persen) pada jangka pendek. Namun, membaiknya neraca perdagangan Indonesia tersebut diikuti oleh indeks volume impor (x0cif_c) menrurun (-0.040 persen) pada jangka pendek. Kenaikan harga minyak bumi dan harga pangan dunia hingga pertengahan tahun 2008, berdampak menaikkan harga domestik. Konsekwensinya, peningkatan PDB riil dan penyerapan tenaga kerja tidak secara langsung mengakibatkan upah rata-rata nominal (p1lab_io) meningkat. Upah bersifat konstan dalam jangka pendek, tetapi
195
dalam jangka panjang akibat perbaikan sarana produksi, upah rata-rata nominal menurun (-1.468 persen). Tingkat konsumsi rumahtangga relatif konstan terutama dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang meningkat (0.142 persen). Kondisi ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek efek dari penurunan indeks harga konsumen/petani tidak dapat meningkatkan dayabeli pengguna pupuk secara langsung. Hasil ini juga mengkonfirmasi bahwa efek peningkatan pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk memerlukan jeda waktu dalam mempengaruhi belanja konsumsi rumahtangga pengguna/petani. Rumahtangga pengguna pupuk memerlukan penyesuaian untuk dapat merasakan manfaat langsung dari kebijakan tersebut. Adanya penurunan biaya produksi sebagai akibat kebijakan subsidi pupuk ini akan mendorong semakin murahnya harga komoditas. Produsen dapat memproduksi barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak dengan harga input dan harga output yang lebih rendah. Hasil ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Morrison dan Schwatz (1992) yang menyatakan bahwa ketersediaan sarana produksi yang baik mampu mengurangi biaya produksi. 6.1.4. Dampak Ke bijakan Subsidi Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang Analisis
dampak
terhadap
distribusi
pendapatan
rumahtangga
dikelompokan ke dalam enam belas kelompok rumahtangga berdasarkan lokasi, kategori miskin dan jenis pekerjaan, mengikuti pengelompokan pada SNSE 2008. Kelompok rumahtangga tersebut menjadi kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian (agriculture), di sektor non-pertanian di perdesaan (rural) dan di perkotaan (urban). Selanjutnya, sesuai dengan tujuan penelitian dan fakta empiris, bahwa kebijakan fiskal bertujuan untuk mengurangi jumlah kemiskinan di tingkat rumahtangga sasaran. Artinya kelompok rumahtangga yang miskin menjadi prioritas dan sasaran utama dalam kebijakan tersebut. Oleh karena itu, setiap kelompok rumahtangga dipecah terdiri dari miskin (poor) dan tidak miskin (no poor), sehingga rumahtangga.
jumlah
kelompok rumahtangga
menjadi
16 kelompok
196
Terdiri dari empat kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian (agriculture) adalah (1) buruh pertanian di perdesaan yang miskin, (2) buruh pertanian di perdesaan yang tidak miskin, (3) pengusaha pertanian di perdesaan yang miskin, dan (4) pengusaha pertanian di perdesaan yang tidak miskin. Selanjutnya, enam kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan (rural) adalah (1) rumahtangga bukan pertanian, berpendapatan rendah di perdesaan miskin (2) rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah di perdesaan tidak miskin, (3) bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan yang miskin, (4) bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan tidak miskin, (5) rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi di perdesaan miskin, dan (6) rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi di perdesaan tidak miskin. Kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang berada di perkotaan (urban) terdiri dari enam kelompok, yaitu; (1) rumahtangga bukan pertanian, berpendapatan rendah di perkotaan miskin (2) rumahtangga bukan pertanian berpendapatan rendah dan tinggal di perkotaan tidak miskin, (3) bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan yang miskin, (4) bukan angkatan kerja (BAK)
di
perkotaan
tidak
miskin, (5)
rumahtangga
bukan pertanian
berpendapatan tinggi di perkotaan miskin, dan (6) rumahtangga bukan pertanian berpendapatan tinggi di perkotaan tidak miskin. Kebijakan subsidi pupuk berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil rumahtangga di semua kelompok rumahtangga, baik yang bekerja pada sektor pertanian maupun di bukan pertanian, miskin dan tidak miskin, pada jangka pendek dan jangka panjang (lihat pada Tabel 22). Berdasarkan Tabel 22 tersebut, nampak bahwa kebijakan subsidi pupuk berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil untuk seluruh kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian maupun bukan pertanian, yakni rumahtangga buruh dan pengusaha pertanian baik yang miskin maupun tidak miskin. Pada jangka pendek dampak perubahan pendapatan riil rumahtangga lebih rendah dibandingkan dengan jangka panjangnya. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang perubahan pendapatan riil pada setiap golongan rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian yang tinggal di perdesaan dan perkotaan
197
semakin meningkat akibat upah riilnya juga meningkat meskipun upah nominal rata-rata menurun pada jangka panjang. Selain disebabkan oleh indeks harga konsumen yang semakin menurun, juga dikarenakan investasi riil agregat yang meningkat. Pada jangka pendek dampak positif dari kebijakan subsidi pupuk pada kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha mampu mendorong peningkatan pendapatan riil rumahtangga, masing-masing berturut-turut sebesar (0.125 persen) dan (0.252 persen). Untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berurutan adalah (0.116 persen), (0.119 persen) dan (0.116 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang berkategori miskin adalah (0.128 persen) rumahtangga berpendapatan rendah, (0.123 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan (0.124 persen) rumahtangga golongan atas. Tabel 22. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumahtangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah desa miskin Bukan pertanian golongan bawah desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Sumber: Data diolah
Jangka Pendek 0.125 0.131 0.120 0.124 0.116 0.117 0.119 0.121 0.116 0.119 0.128 0.130 0.123 0.123 0.124 0.125
Jangka Panjang 0.252 0.014 0.275 0.068 0.218 0.091 0.233 0.150 0.406 0.352 0.263 0.180 0.409 0.419 0.490 0.482
198
Analisis jangka panjang dalam CGE, merupakan akumulasi perilaku berbagai keseimbangan pasar jangka pendek. Seperti halnya dampak terhadap jangka pendek, jangka panjang juga mempunyai dampak positif dari kebijakan subsidi pupuk pada semua kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian maupun bukan pertanian dengan peningkatan yang lebih tinggi. Dampaknya untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian sebagai buruh maupun pengusaha yang termasuk katergori miski n adalah secara berturut-turut (0.252 persen) dan (0.275 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berturut-turut adalah (0.218 persen), (0.233 persen) dan (0.406 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang berkategori miskin adalah (0.263 persen) rumahtangga berpendapatan rendah, (0.409 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan (0.490 persen) pada rumahtangga golongan atas. Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa pada jangka pendek dan jangka panjang kebijakan subsidi pupuk berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga miskin, baik rumahtangga yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian yang tinggal di daerah perdesaan maupun daerah perkotaan. Peningkatan tingkat pendapatan riil pada kelompok rumahtangga berpenghasilan lebih tinggi di perdesaan dan di perkotaan yang bergolongan miskin diikuti oleh peningkatan pendapatan riil pada kelompok rumahtangga yang berpenghasilan lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang mendorong peningkatan produktivitas pertanian dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan riil rumahtangga yang semakin membaik dan meningkat. Peningkatan pendapatan riil pada rumahtangga ini menunjukkan
distribusi
pendapatan
sebagai
proksi
rumahtangga baik di perkotaan maupun di perdesaan.
dari
kesejahteraan
199
6.2. Dampak Ke bijakan Subsidi Benih Terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan 6.2.1. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Kinerja Sektoral Kebijakan subsidi benih, seperti halnya subsidi pupuk sebagai kebijakan subsidi input suatu sektor akan diikuti oleh peningkatan jumlah output pada sektor itu sendiri, yang kemudian berdampak terhadap sektor antaranya dan sektor lainnya yang terkait. Kebijakan tersebut berdampak pada pergeseran kurva penawaran ke sebelah kanan, sebagai akibat adanya peningkatan produktivitas karena oleh adanya perbaikan sarana produksi/input benih, khususnya benih yang unggul. Kebijakan subsidi benih tersebut berpengaruh terhadap penggunaan benih itu sendiri, dan pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan produktivitas komoditasnya. Pemberian subsidi benih kepada pelaku pertanian di tingkat produsen, yakni para petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dan diharapkan oleh pemerintah. Berdasarkan Tabel 23, nampak bahwa dampak kebijakan subsidi benih yang didistribusikan melalui BUMN, PT. Sang Hyang Sri dan PT. Pertani yang berupa subsidi benih unggul untuk tiga komoditas, yaitu komoditas padi, kedelai dan jagung. Dampak yang dirasakan terhadap output sektoral dibedakan dalam jangka pendek dan jangka panjang pada semua sektor, kecuali sektor pertambangan dan penggalinan. Pada jangka pendek, kebijakan subsidi benih terhadap sektor pertanian, khususnya komoditas pangan diberikan subsidi adalah jumlah output yang paling besar terkena dampaknya adalah komoditas jagung naik (1.260 persen), diikuti komoditas kedelai naik (1.220 persen) dan padi juga meningkat (0.798 persen), sedangkan untuk tanaman pangan lainnya, seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah serta tanaman pangan lainnya justru berdampak negatif terhadap output. Berikutnya, dampak pada jangka panjang, kebijakan subsidi benih ter nyata berdampak terbesar maupun terkecil juga mengikuti dampak jangka pendeknya terutama komoditas yang diberikan subsidi, yaitu pada komoditas padi naik (0.969 persen), jagung naik (1.392 persen) dan kedelai naik (1.260 persen) sedangkan paling kecil dampaknya yang dirasakan oleh komoditas tanaman makanan lainnya bertanda positif (0.043 persen). Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan
200
subsidi benih memberikan dampak positif terhadap output sektor-sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Dampak yang dirasakan pada komoditas pertanian lainnya, baik yaitu tanaman pangan maupun bukan tanaman pangan, seperti komoditas tanaman umbi-umbian dan kacangan negatif (-0.025 persen) dan sayur-sayuran dan buahbuahan negatif (-0.044 persen) pada jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang untuk komoditas tanaman umbi-umbian dan kacangan bertanda positif (0.113 persen) dan sayur-sayuran dan buah-buahan positif (0.148 persen). Pada jangka pendek komoditas bukan tanaman pangan seperti sektor peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.022 persen), kehutanan turun (-0.002 persen), dan perikanan turun (-0.013 persen) sedangkan jangka panjang pada komoditas bukan tanaman pangan seperti peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.307 persen), kehutanan naik (0.350 persen), dan perikanan naik (0.159 persen). Temuan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi benih mampu meningkatkan produktivitas pada komoditas pangan dan komoditas bukan pangan secara tidak langsung, karena kebijakan tersebut hanya untuk tiga komoditas yang disebutkan sebelumnya. Secara umum semua komoditas pada sektor pertanian yang dikenakan subsidi yaitu padi, kedelai dan jagung, maka dampak kebijakan subsidi benih terhadap output pada jangka pendek dan jangka panjang mengalami kenaikan. Dampak peningkatan terhadap output pada jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan jangka pendek. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi pada panjang lebih fleksibel, sehingga semua input menjadi input variabel. Kondisi ini membuktikan bahwa kenaikan output pada komoditas pangan yang disubsidi diikuti oleh penurunan harga outputnya baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi benih memberikan dampak negatif terhadap harga komoditas-komoditas yang dikenakan subsidi. Artinya, meningkatnya jumlah output akan diikuti dengan turunnya harga output pada komoditas-komoditas tersebut.
201
Tabel 23. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Output dan Harga Output Menurut Sektoral pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No.
Sektor
Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batu bara, biji logam penggalian 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/ beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri pupuk 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Output Jangka Jangka Pendek Panjang
Harga Output Jangka Jangka Pendek Panjang
0.798 1.220 1.260 -0.025 -0.044 -0.076 -0.085 0.022 -0.002 -0.013
0.969 1.392 1.525 0.113 0.148 0.043 0.324 0.307 0.350 0.159
-5.765 -1.595 -8.234 -0.054 -0.127 0.058 0.081 -0.239 -0.057 -0.146
-6.132 -1.738 -8.448 -0.082 -0.186 0.153 0.004 -0.632 0.220 -0.348
-0.001 -0.041 -0.046
0.081 0.231 0.177
0.012 0.006 0.112
0.025 0.004 0.265
0.070 0.820 -0.059 0.005 0.014 1.936 0.034 -0.012 -0.002 0.023 -0.013 -0.025 -0.004
0.319 0.974 0.616 0.339 0.338 2.807 0.496 0.387 0.470 0.390 0.478 0.367 0.409
-0.422 -3.752 0.003 0.015 0.018 1.486 0.191 0.020 0.045 0.035 0.028 0.015 0.030
-0.665 -4.038 -0.056 -0.044 -0.140 1.658 0.055 -0.108 0.022 0.018 -0.131 -0.107 -0.164
0.070 -0.053 -0.013 -0.001 0.006 0.049 -0.060 -0.017 0.006 -0.038 0.000 -0.030 -0.015 -0.003
0.319 0.214 0.114 0.475 0.281 0.384 0.197 0.282 0.515 0.277 0.434 0.192 0.289 0.182
-0.422 0.344 0.344 0.015 -0.006 -0.251 0.101 0.002 0.015 0.012 0.020 0.004 -0.015 -0.007
-0.665 0.424 0.424 -0.140 -0.273 -0.614 -0.307 -0.399 -0.096 -0.254 -0.298 0.003 -0.244 -1.000
202
Berdasarkan Tabel 23 juga memperlihatkan bahwa peningkatan output pada sektor pertanian, khususnya pada komoditas tanaman pangan yang diberikan subsidi benihnya mengakibatkan supply meningkat, karena selain biaya input produksi yang lebih murah dan dapat dilakukan efisiensi. Hal ini menyebabkan harga output menurun. Turunnya harga output tersebut, selain disebabkan oleh jumlah produksi yang naik, juga oleh naiknya harga faktor primer kompositnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami penurunan juga dalam jangka panjang. Penurunan harga output pada jangka panjang tersebut sejalan dengan menurunnya kebutuhan terhadap modal, upah dan penggunaan teknologi pertanian sehingga mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usahanya. Bila dicermati lebih jauh peningkatan output yang diikuti dengan penurunan harga outputnya dalam jangka pendek dan panjang adalah merupakan dampak positif dari adanya kebijakan subsidi benih tersebut. Selanjutnya, dampak kebijakan subsidi benih terhadap sektor industri. Sektor industri ini merupakan sektor yang terkena dampak kebijakan benih secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat produktivitas dan efisiensi pada sektor pertanian, khususnya komoditas padi, jagung dan kedelai. Output komoditas pada sektor industri pengolahan sebagai intermediate sector mengalami kenaikan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak pada industri pengolahan yang mengalami pertumbuhan outp ut terbesar adalah industri pupuk naik (1.936 persen) pada jangka pendek dan jangka panjang naik pula (2.807 persen), dimana sebagai industri yang mendorong input produksi dalam pengembangan benih. Hal ini dikarenakan naiknya permintaan atas pupuk untuk pengadaan benih. Dampak yang dirasakan berikutnya terhadap industri penggilingan padi/beras naik (0.820 persen) jangka pendek dan (0.974 persen) jangka panjang, industri makanan, minuman dan tembakau (0.070 persen) untuk jangka pendek dan (0.319 persen) untuk jangka panjang. Peningkatan output sektor industri ini menunjukkan pentingnya peran subsidi benih dalam menunjang peningkatan kapasitas produksi pada sektor industri pengolahan padi, kedelai dan jagung. Temuan ini menjelaskan bahwa dampak kebijakan subsidi benih menstimulus untuk menigkatkan jumlah produksi
203
pada
industri
lanjutannya
sebagai
pengguna
hasil
produksi
pertanian.
Meningkatnya output pada industri pertanian sebagai output antara yang digunakan menjadi input untuk sektor industri tesebut. Peningkatan output pada industri ikutan dari sektor pertanian, khususnya komoditas padi, jagung dan kedelai, yaitu sektor industri penggilingan padi/beras, industri makanan minuman dan tembakau, pada jangka pendek maupun jangka panjang, namun harga outputnya menurun. Temuan tersebut memberi pengertian bahwa
peningkatan output
menggeser kurva supply dan mendorong garis harga ke bawah, penuruanan harga output akibat adanya kebijakan subsidi benih yang mengurangi biaya produksi di tingkat petani. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah permintaan yang semakin meningkat, maka produktivitas dan efisiensi di industri tersebut semakin meningkat pula. Resultan ini kemungkinan disebabkan perusahan semakin meningkat untuk mengurangi biaya produksinya. Dengan demikian, kebijakan subsidi benih dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor industri pengolahan baik terutama industri pengolahan berbasis pangan. Bila dilihat keterkaitan antar-sektor, maka peningkatan output tertinggi adalah industri penggilingan padi/beras yang merefleksikan permintaan terhadap output pada komoditas ini tinggi akibat meningkat jumlah permintaanya. Peningkatan konsumsi di tingkat rumahtangga pada komoditas penggilingan padi/beras dalam jangka pendek didorong oleh peningkatan pendapatan akibat penyerapan tenaga kerja dan dalam jangka panjang disebabkan oleh meningkatnya upah riil. Peningkatan output subsektor industri ini dipicu oleh meningkatnya permintaan sarana produksi benih untuk usahatani di sektor produksi pertanian. Dampak berikutnya adalah dampak kebijakan subsidi benih terhadap sektor jasa-jasa yang merupakan sektor penunjang sekaligus sebagai sektor tersier dalam perekonomian. Sektor jasa yang mempunyai forward linkage sebagai pengguna dari output sektor pertanian dan industri pengolahan dalam penelitian ini adalah komoditas perdagangan dan sektor hotel dan restoran sebagai tangible sectors, sedangkan komoditas lainnya sebagai intangible sectors. Berdasarkan Tabel 23, bahwa kebijakan subsidi benih berdampak terhadap output dalam jangka pendek pada sektor jasa yang terbesar adalah sektor jasa
204
tangible yaitu pada komoditas perdagangan naik (0.006 persen) diikuti sektor hotel dan restoran naik (0.281 persen). Sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran
menjadi
sektor
tersier
dimana
sektor
tersebut
antara
yang
menghubungkan sisi konsumen/rumshtangga dengan produsen. Penciptaan output yang meningkat di sektor perdagangan dinyatakan dalam bentuk margin, yang merepresentasikan kuantitas transaksi dalam perekonomian. Meskipun secara tidak langsung kebijakan subsidi benih tidak mempengaruhi kedua sektor tersebut, namun kemungkinan disebabkan oleh berkembangnya arus dan transaksi perdagangan. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki keterkaitan yang erat dengan output antara bagi para pengguna benih unggul untuk meningkatkan produksi terutama di sektor pertanian dan industri pengolahan padi/beras dan industri makanan minuman dan tembakau. Kedua komoditas tersebut, berdampak menurunkan harga outputnya pada jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek, komoditas terbesar yang terkena dampaknya adalah sektor hotel dan restoran menurun (-0.251 persen) jangka pendek dan turun (-0.614 persen) jangka panjang. Sektor perdagangan harga output menurun (-0.006 persen) sedangkan jangka panjang menurun (-0.275 persen). Temuan ini menjelaskan bahwa p enurunan harga output tersebut diduga oleh
karena turunnya harga faktor primer komposit baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian, kebijakan subsidi benih ini mendorong bertumbuhnya usaha-usaha pada kedua komoditas tersebut dan juga sektor jasa-jasa lainnya seperti komoditas jasa angkutan.
6.2.2. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Tenaga Kerja Di Perdesaan dan Perkotaan Sektoral Analisis dampak kebijakan subsidi benih pada bagian ini melihat pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja secara sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan. Permintaan tenaga kerja mencerminkan dayaserap usaha terhadap tenaga kerja dimana permintaan faktor input primer komposit mencerminkan permintaan sektor produksi (industri) terhadap gabungan modal dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, besaran permintaan modal untuk meningkatkan kapasitas produksi oleh suatu sektor produksi.
205
Tabel 24. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Perdesaan dan Perkotaan Menurut Sektoral pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No.
Sektor
Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batu bara, biji logam penggalian 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri pupuk 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Perdesaan Jangka Jangka Pendek Panjang
Perkotaan Jangka Jangka Pendek Panjang
0.694 2.135 0.368 -0.048 0.109 -0.046 -0.026 0.036 -0.042 -0.071
0.078 3.114 0.516 1.035 0.923 0.994 1.227 0.925 1.376 0.853
0.694 2.135 0.368 -0.048 0.109 -0.046 -0.026 0.036 -0.042 -0.071
0.080 3.116 0.517 1.037 0.925 0.996 1.228 0.926 1.378 0.855
0.006 -0.038 -0.042
0.957 1.115 1.101
0.006 -0.038 -0.042
0.962 1.120 1.107
0.151 1.542 -0.056 0.027 0.048 2.988 0.073 0.009 0.025 0.066 0.007 -0.011 0.018
1.068 2.552 1.499 1.188 1.133 4.865 1.241 1.134 1.352 1.308 1.236 1.168 1.122
0.151 1.542 -0.056 0.027 0.048 2.988 0.073 0.009 0.025 0.066 0.007 -0.011 0.018
1.073 2.557 1.504 1.193 1.138 4.870 1.246 1.139 1.357 1.314 1.241 1.173 1.127
0.151 -0.059 -0.059 0.010 -0.013 0.114 -0.044 -0.024 0.030 -0.018 0.011 -0.030 -0.023 0.000
1.068 1.030 1.030 1.223 0.980 1.071 0.601 0.772 1.319 0.850 1.096 1.078 1.036 0.255
0.151 -0.059 -0.059 0.010 -0.013 0.114 -0.044 -0.024 0.030 -0.018 0.011 -0.030 -0.023 0.000
1.073 1.032 1.032 1.225 0.983 1.074 0.603 0.775 1.321 0.852 1.099 1.081 1.038 0.257
206
Kebijakan subsidi benih pada komoditas padi, kedelai dan jagung, akan meningkatkan jumlah produksinya dengan cara menambah tenaga kerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara keseluruhan pada sektor pertanian di perdesaan yang permintaan tenaga kerjanya terbesar dalam jangka pendek adalah komoditas kedelai (2.135 persen) dan terkecil adalah komoditas jagung (0.368 persen). Pada jangka panjang, ketiga komoditas tersebut, masingmasing adalah (3.114 persen) untuk kedelai, (0.516 persen) untuk jagung, dan (0.078 persen) komoditas padi. Ketiga komoditas tersebut merupakan komoditas yang permintaan tenaga kerjanya paling sensitif (elastis) terhadap kebijakan subsidi benih. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya respons sektor tersebut terhadap permintaan tenaga kerja. Peningkatan permintaan tenaga kerja disebabkan oleh meningkatnya output di ketiga sektor tersebut di perdesaan. Dengan pola yang sama pada ketiga komoditas tersebut, antara peningkatan output dengan penyerapan tenaga kerja mengindikasikan adanya kesamaan karakteristik struktur produksi antar sektor-sektor tersebut. Sektor yang peningkatan outputnya diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksinya. Di sisi lain, peningkatan output suatu se ktor justru diikuti dengan turunnya penyerapan tenaga kerjanya. Kondisi ini menunjukkan bahwa
masih
tingginya
kapasitas
terpasang
yang belum
dimanfaatkan pada sektor tersebut, sehingga peningkatan produksi masih dapat dilakukan dengan memaksimumkan kapasitas yang ada dan mampu menghemat dalam penggunaan tenaga kerja. Terkait penjelasan tersebut, di perdesaan dan di perkotaan mempunyai besaran perubahan permintaan tenaga kerja yang sama pada jangka pendek. Penyerapan tenaga kerja di perkotaan mempunyai pola yang hampir sama dengan di perdesaan, terutama pada tiga komoditas yang mendapatkan subsidi benih, yaitu padi, jagung dan kedelai, masing-masing sebesar naik (0.694 persen), naik (2.135 persen), dan (0.368 persen) pada jangka pendek, dan naik (0.080 persen), naik (3.116 persen), dan naik (0.517 persen) pada jangka panjang. Berdasarkan temuan tersebut, memperlihatkan bahwa penyerapan tenaga kerja di perkotaan
207
pada jangka panjang dibandingkan di perdesaan mampunyai besaran perubahan dan kenaikan yang lebih besar. Naiknya permintaan tenaga kerja pada komoditas-komoditas tersebut lebih disebabkan oleh sifat sektornya yang cenderung bersifat labor intensive dimana ketergantungan terhadap benih relatif kecil. Hal ini dikarenakan benih dianggap sebagai teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengusahaan. Hasil di atas menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi benih terhadap penyerapan tenaga kerja dapat terjadi melalui peningkatan produktivitas ekonomi sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kenaikan penyerapan tenaga kerja di perkotaan disebabkan oleh peningkatan output pada sektor tersebut. Seperti halnya pada kebijakan subsidi pupuk, adanya ekspansi usaha pada setiap sektor dalam merespon kebijakan subsidi benih dapat dilakukan dengan menambah penggunaan input primer, seperti tenaga kerja, tanah dan modal. Hal ini bergantung kepada struktur produksi masing-masing sektor. Input primer dalam model CGE yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan dapat saling bersubstitusi secara terbatas yang dispesifikasikan dalam fungsi agregator CES. Secara spesifikasi, peningkatan produksi dapat disertai dengan peningkatan atau penurunan penyerapan tenaga kerja, demikian juga penggunaan input lainnya. Sektor/komoditas yang permintaan faktor inputnya bersifat padat modal, maka peningkatan produksi dilakukan dengan cara mengurangi permintaan tenaga kerja dan menambah permintaan modal atau faktor primer kompositnya. Secara lebih detail dijelaskan Tabel 24. Selain pada sektor pertanian, kebijakan subsidi benih berdampak meningkatkan permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan yang bekerja berdampak terhadap sektor industri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang meskipun dengan nilai cukup kecil. Penambahan kapasitas produksinya kelompok komoditas industri pengolahan mengakibatkan peningkatan outputnya hal tersebut diperoleh dengan menambah tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja di sektor industri baik industri pengolahan hasilhasil sektor pertanian maupun bukan pertanian, khususnya komoditas pada industri pengolahan dalam jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya. Nilai terbesar
208
kenaikan adalah sektor industri pupuk naik (2.988 persen), sedangkan yang terkecil adalah penyerapan tenaga kerja pada sektor komoditas makanan, minuman dan tembakau (0.151 persen). Dampak pada jangka panjangnya, termasuk komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah industri pengolahan padi/beras (2.552 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (2.557 persen) di perkotaan. Hal ini diduga bahwa di perdesaan penyerapan tenaga kerja lebih elastis dibandingkan di perkotaan untuk setiap komoditas di sektor industri khususnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Dampak yang terjadi pada penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan bukan pertanian, permintaan tenaga kerja pada jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya, adapun yang terbesar kenaikannya adalah komoditas industri pupuk (2.988 persen), sedangkan yang terkecil adalah komoditas industri tekstil, barang kulit dan alas kaki turun (0.056
persen). Dampak pada jangka panjangnya,
komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah industri pupuk (4.865 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (4.870 persen) di perkotaan. Hal ini diduga bahwa di perdesaan penyerapan tenaga kerja lebih elastis dibandingkan di perkotaan terutama di sektor industri pengolahan padi/beras maupun komoditas di industri lainnya. Kemungkinan pada jangka panjang upah riil tenaga kerja mengalami penurunan yang sama untuk semua sektor. Selanjutnya, selain pada sektor pertanian dan industri, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan juga terhadap sektor jasa-jasa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak yang dirasakan pada sektor jasa-jasa dalam jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya, adapun
yang terbesar kenaikannya adalah komoditas hotel dan
restoran (0.114 persen), sedangkan yang terkecil adalah komoditas jasa pemerintah konstan. Dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja pada sektor hotel dan restoran naik (1.070 persen di perdesaan dan komoditas yang sama (1.074 persen) di perkotaan sedangkan yang terkecil adalah sektor jasa pemerintah konstan pada jangka pendek dan jangka panjang (0.255
209
persen) di pedesaan dan (0257 persen) di perkotaan. Hal ini diduga bahwa di perkotaan penyerapan tenaga kerja sektor jasa-jasa lebih elastis terhadap upah riil tenaga kerja dibandingkan di perdesaan untuk setiap komoditas meskipun perbedaan yang sangat kecil. Meskipun demikian, tetap bahwa, besaran nilai upah riil di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan. Pola perubahan penyerapan tenaga kerja tersebut di atas, berdampak positif terhadap struktur tenaga kerja sektoral/komoditas. Penurunan penyerapan tenaga kerja pada beberapa sektor/komoditas yang terjadi, mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur tenaga kerja dari tenaga kerja yang berada di perdesaan ke tenaga kerja perkotaan. Hal ini mencerminkan adanya perubahan proses produksi yang mengarah pada keinginan untuk mengakomodir tuntutan peningkatan efisiensi dan daya saing pada sebagian besar sektor terutama sektor yang berbasis pada padat karya menuju ke padat modal. 6.2.3. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Indikator Ekonomi Makro Kebijakan subsidi benih berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan output agregat (x1prim_i) baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Pada jangka pendek peningkatan konstan dan jangka panjang naik (0.3491 persen). Peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran (x0gdpexp) naik (0.003 persen) pada jangka pendek dan meningkat (0.295persen) pada jangka panjang. Temuan ini sejalan dengan endogenous growth theory yang menekankan bahwa produktivitas meningkat, dalam penelitian ini akibat adanya kebijakan subsidi benih, maka produktivitas tersebut dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Romer, 2001; Lucas, 1988). Peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran tersebut untuk jangka panjang bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil (x3tot) sebesar (0.167 persen), peningkatan investasi riil (x2tot_i) sebesar (0.491 persen), peningkatan ekspor (x4tot) sebesar (0.187 persen), dan impor (x0imp_c) meningkat (0.308 persen). Fenomena ini sejalan dengan pendapat Domar (1947) mengenai peranganda modal petani meningkatkan produksinya dalam pertumbuhan ekonomi.
210
Tabel 25. Dampak Kebijakan Subsidi Benih Terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Deskripsi Pdb riil sisi pengeluaran Neraca perdagangan Indeks deflator PDB Upah nominal rata-rata Indeks harga investasi Indeks harga konsumen Indeks harga ekspor Indeks volume ekspor Indeks volume impor Output agregat value added Investasi riil agregat Konsumsi rumahtangga riil
Variabel x0gdpexp delB p0gdpexp p1lab_io p2tot_i p3tot p4tot x4tot x0cif_c x1prim_i x2tot_i x3tot
Jangka Pendek 0.003 -0.003 -0.250 0.000 0.012 -0.423 -0.032 0.006 0.015 0.044 0.000 0.000
Jangka Panjang 0.295 0.000 -0.520 -1.705 -0.138 -0.652 -0.142 0.187 0.308 0.350 0.491 0.167
Sumber: Data diolah
Adanya ketersediaan sarana produksi seperti benih unggul untuk padi, kedelai dan jagung, melalui kebijakan subsidi benih yang cukup dan berkualitas baik dapat mendorong turunnya biaya produksi dan semakin efisien, melalui kemudahan akses produsen terhadap sumberdaya dan kemudahan pengguna pupuk dalam mengkonsumsi yang dibutuhkannya. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil simulasi bahwa dalam jangka pendek harga investasi (p2tot_i ) naik (0.012 persen) dan dalam jangka panjang turun (-0.138 persen). Naiknya harga investasi menyebabkan investor kurang tertarik menanamkan modalnya, terutama di sektorsektor produksi. Seharusnya, penanaman modal yang dilakukan oleh investor menjadi stimulus bagi sektor produksi untuk meningkatkan produksinya. Kebijakan subsidi pupuk harus tetap dilakukan untuk mengimbangi dampak depresiasi dan tingkat perkembangan perekonomian dalam jangka panjang. Kondisi ini yang menjelaskan bahwa dalam jangka panjang harga investasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jangka pendek. Selain karena struktur pasar keduanya berbeda, baik dalam pembentukan harga maupun dalam penentuan upah riil. Meskipun kecenderungan harga investasi meningkat pada jangka panjang tetapi ada penyeimbang pada indeks harga konsumen (p3tot) yang semakin menurun pada jangka pendek (-0.423 persen) dan jangka panjang (-0.652 persen). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan sarana produksi akibat penggunaa n pupuk yang baik dalam jangka pendek, mampu mengurangi biaya produksi secara berarti.
211
Kondisi ini berdampak pada penurunan harga yang relatif besar. Ketika semua faktor berubah secara dinamis dalam jangka panjang maka harga-harga tetap akan menurun tetapi dengan laju yang lebih lambat. Turunnya tingkat harga juga disumbang oleh semakin meningkatnya teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Peningkatan teknologi mendorong produktivitas semakin membaik. Perkembangan ini berdampak pada penurunan tingkat harga (deflasi). Kontribusi kebijakan subsidi benih ini terhadap kinerja ekonomi makro juga terlihat dari semakin efisiennya proses produksi domestik. Tingkat upah ratarata nominal yang diterima tenaga kerja dalam jangka pendek konstan, dan jangka panjang menurun (-1.705 persen). Dalam jangka panjang, penurunan tingkat upah merefleksikan turunnya produk marjinal tenaga kerja, disebabkan penambahan tenaga kerja untuk meningkatkan produksi. Turunnya tingkat upah rata-rata domestik mengakibatkan harga produk domestik semakin murah. Hal ini mendorong harga ekspor produk domestik (p4tot) turun dibandingkan komoditas luar negeri, yaitu turun (-0.032 persen) pada jangka pendek dan (-0.142 persen) pada jangka panjang. Tenaga kerja murah dan rendahnya harga komoditas domestik, akibat kebijakan subsidi input produksi, mampu meningkatkan dayasaing Indonesia dalam perdagangan internasional. Semakin membaiknya dayasaing domestik menyebabkan indeks volume ekspor (x4tot) Indonesia meningkat (0.006 persen) pada jangka pendek dan meningkat (0.187 persen) pada jangka panjang. Peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi dan bertambahnya stok modal produksi dalam jangka panjang mengakibatkan ekspor meningkat lebih besar jangka panjang daripada pendek. Peningkatan indeks volume ekspor tersebut belum mampu memperbaiki kondisi neraca perdagangan (delB), yaitu turun (0.003 persen) pada jangka pendek. Namun, membaiknya neraca perdagangan Indonesia tersebut diikuti oleh indeks volume impor (x0cif_c) meningkat (0.015 persen) pada jangka pendek dan turun (0.308 persen) dalam jangka panjang. Konsekwensinya, peningkatan PDB riil dan penyerapan tenaga kerja tidak secara langsung mengakibatkan upah rata-rata nominal (p1lab_io) meningkat. Upah riil yang bersifat konstan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang akibat perbaikan sarana produksi, upah ratarata nominal menurun (-1.705 persen).
212
6.2.4. Dampak Ke bijakan Subsidi Benih Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang Dampak kebijakan subsidi benih terhadap peningkatan pendapatan riil rumahtangga di semua kelompok rumahtangga adalah positif, baik bagi rumahtangga miskin yang bekerja pada sektor pertanian maupun bukan pertanian, pada jangka pendek dan jangka panjang (lihat Tabel 26). Berdasarkan Tabel 26 tersebut, nampak bahwa kebijakan subsidi pupuk berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil pada jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan jangka panjangnya. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang perubahan pendapatan riil pada setiap golongan rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian yang tinggal di perdesaan dan perkotaan semakin meningkat akibat upah riilnya juga meningkat meskipun upah nominal rata-rata menurun pada jangka panjang. Pada jangka pendek dampak positif dari kebijakan subsidi benih pada kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha mampu mendorong peningkatan pendapatan riil rumahtangga, berturut-turut sebesar (0.014 persen) dan (0.005 persen). Untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berurutan adalah (0.007persen), (0.002 persen) dan (0.002 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang berkategori miskin adalah (0.023 persen) rumahtangga berpendapatan rendah, (0.025 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan (0.031 persen) rumahtangga golongan atas. Selanjutnya, pada jangka panjang dalam pendekatan CGE, merupakan akumulasi perilaku keseimbangan pasar jangka pendek. Seperti halnya dampak terhadap jangka pendek, jangka panjang juga mempunyai dampak positif dari kebijakan subsidi pupuk pada semua kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian maupun bukan pertanian dengan peningkatan yang lebih tinggi. Kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian sebagai buruh maupu pengusaha yang termasuk katergori miskin adalah secara berturut-turut (0.474
213
persen) dan (0.519 persen). Untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berturut-turut adalah (0.481 persen), (0.497 persen) dan (0.690 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang berkategori miskin adalah (0.463 persen) rumahtangga berpendapatan rendah, (0.615 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan (0.698 persen) pada rumahtangga golongan atas. Tabel 26. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan di Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumahtangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah desa miskin Bukan pertanian golongan bawah desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Jangka Pendek 0.014 0.008 0.005 0.002 0.007 0.012 0.002 0.003 0.002 0.005 0.023 0.021 0.025 0.025 0.031 0.032
Jangka Panjang 0.474 0.221 0.519 0.295 0.481 0.340 0.497 0.403 0.690 0.628 0.463 0.377 0.615 0.626 0.698 0.689
Sumber: Data diolah
Uraian tersebut di atas memberikan pemikiran bahwa baik pada jangka pendek maupun jangka panjang kebijakan subsidi benih pada komoditas padi, jagung dan kedelai berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga miskin, baik rumahtangga yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan. Peningkatan tingkat pendapatan riil pada kelompok rumahtangga berpenghasilan lebih tinggi di perdesaan dan di perkotaan yang bergolongan miskin diikuti oleh peningkatan pendapatan riil pada kelompok rumahtangga yang berpenghasilan lebih rendah..
214
6.3. Dampak Ke bijakan Subsidi Pangan Terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan Jangka Pendek dan Panjang Seperti analisis dampak sebelumnya, tidak berbeda dengan analisis dampak kebijakan subsidi pupuk dan benih, analisis dampak pada kebijakan subsidi pangan juga dilakukan analisis terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, akan dianalisis dampak secara umum kebijakan subsidi benih terhadap masing sektor (komoditas) yang dibagi ke dalam empat sektor besar yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri dan sektor jasa-jasa, namun yang dianalisis hanya terhadap sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa-jasa menurut komoditas yang mempunyai keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan komoditas perantaranya (intemediate goods). Bagian kedua akan dianalisis menurut klasifikasi sektor kecuali dilakukan terhadap sektor pertambangan dan penggalian. Bagian
ketiga, karena model CGE bersifat statis komparatif, dalam analisis ini juga membedakan jangka pendek dan jangka panjang. 6.3.1. Dampak Ke bijakan Subsidi Pangan Terhadap Output dan Harga Output Jangka Pendek dan Panjang Berbeda dengan subsidi pupuk dan benih, kebijakan subsidi pangan sebagai kebijakan subsidi output yang bertujuan secara langsung pada tingkat konsumen/rumahtangga dalam mengakses jumlah konsumsi pangan khususnya konsumsi beras dengan harga murah. Hal ini mengakibatkan pergeseran kurva permintaan ke kanan, akibat adanya peningkatan konsumsi rumahtangga atas beras. Kebijakan subsidi pangan berdampak terhadap konsumsi sektor/komoditas beras dan mendorong dalam menstimulasi
meningkatknya produktivitas
komoditas padi yang kemudian terhadap peningkatan produtivitas padi sendiri. Akhirnya, kebijakan ini berdampak terhadap produksi output komoditas beras sebagai industri pengolahan padi dimana kebijakan tersebut sebagai kebijakan pemberian subsidi pangan kepada konsumen/rumahtangga yang merupakan salah satu kebijakan utama untuk meningkatkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi pangan yang telah lama dilakukan pemerintah melalui pemberian beras bersubsidi. Berdasarkan Tabel 27, dijelaskan mengenao dampak kebijakan subsidi pangan terhadap output dalam jangka pendek dan jangka panjang pada semua sektor, kecuali pada sektor pertambangan dan penggalian. Dampak pada jangka
215
pendek, kebijakan subsidi pangan terhadap sektor pertanian khususnya sektor tanaman pangan adalah dampak terhadap output yang terbesar terkena dampaknya pada komoditas padi meningkat (0.436 persen) sedangkan dampak yang terendah adalah terhadap komoditas tanaman pangan lainnya yang menurun (-0.014 persen). Selanjutnya, dampak pada jangka panjang, kebijakan subsidi pangan tersebut berdampak terbesar maupun terkecil juga mengikuti dampak jangka pendeknya, yaitu pada komoditas padi (0.692 persen) sedangkan paling kecil dampaknya yang dirasakan oleh komoditas tanaman pangan lainnya (0.109 persen). Temuan tersebut diduga menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pangan memberikan dampak positif terhadap output tanaman pangan, yaitu kedelai, jagung, tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buahbuahan serta tanaman makanan lainnya terutama pada jangka pendek dan jangka panjang, kecuali tanaman makanan lainnya yang turun pada jangka pendek. Dampak kebijakan subsidi pangan terhadap komoditas pertanian lainnya, terutama pada tanaman bukan pangan seperti sektor tanaman perkebunan turun (0.054 persen), peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.072 persen), kehutanan turun (-0.007 persen), dan perikanan naik (0.006 persen), sedangkan jangka panjang pada komoditas bukan pangan seperti tanaman perkebunan naik (-0.323 persen), peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.376 persen), kehutanan naik (0.322 persen). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pangan ternyata mampu meningkatkan produktivitas terhadap komoditas tanaman pangan dan komoditas bukan tanaman pangan pada jangka panjang, namun pada jangka pendek pada komoditas tidak semua komoditas pangan. Hanya saja, pada komoditas padi, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang mampu mendorong jumlah output naik yang terbesar. Dampak pada jangka panjang lebih besar dibandingkan jangka pendek, disebabkan oleh adanya perbedaan input produksi, biaya produksi, dan upah tenaga kerja pada kedua kondisi tersebut, dimana pada jangka pendek lebih kaku dibandingkan pada jangka panjang. Kondisi ini membuktikan adanya kenaikan output yang tidak diikuti secara seragam oleh penurunan harga outputnya. Dengan demikian, bahwa kebijakan subsidi pangan justru memberikan dampak positif terhadap harga komoditas-komoditas pangan maupun tanaman bukan pangan baik
216
Tabel 27. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Output dan Harga Output Menurut Sektoral pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No. Sektor Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batu bara, biji logam penggalian 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri benih 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Jangka Pendek
Output Jangka Panjang
Harga Output Jangka Jangka Pendek Panjang
0.436 0.000 0.042 0.020 0.046 -0.014 -0.054 0.072 -0.007 0.006
0.692 0.157 0.225 0.160 0.249 0.109 0.323 0.376 0.322 0.191
1.829 0.100 0.332 0.256 0.327 0.059 0.031 0.198 0.099 0.127
2.244 0.214 0.668 0.534 0.460 0.181 -0.023 -0.022 0.443 0.103
0.001 0.017 -0.024
0.085 0.296 0.200
0.000 -0.003 0.020
0.010 -0.008 0.152
-0.039 0.450 0.010 -0.019 -0.014 0.172 -0.007 -0.020 -0.001 0.007 -0.003 -0.014 -0.013
0.219 0.698 0.690 0.299 0.315 0.675 0.471 0.381 0.428 0.349 0.465 0.383 0.386
-0.028 -1.468 -0.004 -0.026 -0.021 0.195 0.072 -0.010 -0.004 -0.004 -0.013 -0.019 -0.013
-0.138 -1.773 -0.060 -0.078 -0.181 0.057 -0.082 -0.133 -0.048 -0.029 -0.183 -0.139 -0.210
-0.039 -0.045 -0.045 -0.001 0.022 0.075 -0.040 -0.023 -0.007 -0.035 -0.010 -0.028 -0.027 -0.006
0.219 0.245 0.245 0.429 0.278 0.271 0.255 0.295 0.497 0.309 0.432 0.216 0.294 0.222
0.028 0.128 0.128 -0.010 -0.053 -0.053 0.032 -0.023 -0.002 -0.011 -0.020 -0.066 -0.073 -0.003
-0.138 0.163 0.163 -0.189 -0.297 -0.223 -0.391 -0.410 -0.112 -0.273 -0.345 -0.041 -0.303 -0.998
217
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan harga output pada jangka pendek akibat adanya permintaan terhadap panganyang meningkat sehingga kurva permintaan bergeser ke kanan. Namun, dalam jangka panjang mengalami penurunan yang duga oleh karena adanya penurunan harga faktor primer komposit sebagai pembentuk harganya. Secara teori, peningkatan output pada sektor pertanian mengakibatkan supply meningkat, akibatnya harga output menurun, namun kondisinya berbeda justru sebaliknya. Berdasarkan Tabel 27 menjelaskan bahwa naiknya harga output pada jangka pendek dikarenakan naiknya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami peningkatan pula dalam jangka panjang. Peningkatan jangka panjang tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha. Bila dicermati lebih jauh peningkatan output, penurunan harga output dalam jangka pendek dan panjang adalah merupakan dampak positif dari adanya kebijakan subsidi pangan. Dampak berikutnya, adanya kebijakan subsidi pangan, dimana subsidi ini diberikan terhadap harga subsidi beras, maka kebijakna ini ternyata berdampak terhadap output pada sektor industri penggilingan padi/beras naik (0.450 persen) jangka pendek dan (0.698 persen) pada jangka panjang. Adapun terhadap sektor ikutan, sebagai sektor antara pada sektor industri pengolahan, yaitu pada sektor makanan, minuman dan tembakau terhadap outputnya turun (-0.039 persen) untuk jangka pendek dan (0.219 persen) untuk jangka panjang. Teori menjelaskan, naiknya penawaran akan menyebabkan output meningkat dan kemudian harga output tersebut akan cenderung turun. Pada penelitian ini meningkatan output di sektor industri pengolahan mengakibatkan harga output menurun, baik jangka pendek maupun jangka panjang khususnya sektor yang disubsidi. Komoditas yang harga outputnya menurun terjadi pada sektor industri penggilingan padi/beras pada jangka pendek naik (-1.468 persen) dan jangka panjang turun (-1.774 persen). Kemudian diikurti oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau baik pada jangka pendek turun (-0.028 persen)
218
dan jangka panjang turun (-0.138 persen). Hampir semua sektor industri pengolahan hasil-hasil pertanian harga outputnya mengalami penurunan. Dampak berikutnya adalah dampak kebijakan subsidi pangan terhadap sektor jasa-jasa yang merupakan sektor penunjang sekaligus sebagai sektor tersier dalam perekonomian. Dampak yang terbesar adalah sektor jasa tangible yaitu pada komoditas perdagangan (0.022 persen) dan yang paling terkecil adalah pada komoditas jasa pemerintah (-0.006 persen). Penciptaan output di sektor perdagangan dinyatakan dalam bentuk margin, yang merepresentasikan kuantitas transaksi dalam perekonomian. Meskipun secara tidak langsung kebijakan subsidi pangan tetap tidak mempengaruhi komoditas tersebut, namun memungkinkan berkembangnya arus dan transaksi perdagangan. Kedua komoditas tersebut, berdampak positif terhadap harga output pada semua sektor jasa-jasa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, komoditas terbesar yang terkena dampaknya adalah perdagangan harga output meningkat (0.022 persen) sedangkan jangka panjang positif (0.278 persen). Kemudian diikuti oleh sektor hotel dan restoran, meningkat (0.075 persen) pada jangka pendek, dan meningkat (0.271 persen) pada jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa p enurunan harga output tersebut diduga oleh karena turunnya
harga faktor primer komposit dalam jangka pendek. Naiknya dampak pada jangka panjang sejalan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya
mampu mendorong untuk
meningkatkan produktivitas. Kebijakan subsidi pangan yang dilaksanakan pemerintah ini mendorong bertumbuhnya usaha-usaha pada kedua komoditas tersebut termasuk pada sektor jasa-jasa lainnya seperti komoditas jasa angkutan. Kendala transportasi yang merupakan sarana vital dalam usaha perdagangan dan perhotelan menjadi faktor penting dalam mendistribusikan pangan bersubsidi hingga sampai ke pengguna tingkat rumahtangga yang dalam hal ini adalah rumahtangga miskin.
6.3.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang Analisis dampak kebijakan subsidi pangan pada bagian ini terhadap penyerapan tenaga kerja secara sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan
219
dapat dilihat secara jelas pada Tabel 28. Permintaan tenaga kerja mencerminkan dayaserap usaha terhadap tenaga kerja dimana permintaan faktor primer komposit mencerminkan permintaan sektor produksi terhadap gabungan modal dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, besaran permintaan modal untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor produksi. Kebijakan subsidi pangan yang berupa subsidi harga beras, berdampak pada naiknya produksi dengan cara menambah tenaga kerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara keseluruhan sektor pertanian di perdesaan yang permintaan tenaga kerja yang terbesar dalam jangka pendek adalah komoditas padi naik (1.481 persen) dan terkecil adalah komoditas tanaman perkebunan turun (-0.036 persen). Untuk jangka panjang di perdesaan kenaikan permintaan tenaga kerja terbesar pada komoditas padi (2.766 persen) terbesar dan tanaman makanan lainnya (0.977 persen) terkecil, sedangkan di perkotaan naiknya permintaan tenaga kerja terbesar adalah komoditas padi (2.836 persen) dan terkecil adalah komoditas tanaman pangan lainnya (1.046 persen). Terjadinya kenaikan permintaan tenaga kerja pada komoditas tersebut disebabkan oleh sifat sektornya yang cenderung bersifat labor intensive dimana ketergantungan terhadap benih relatif kecil. Hal ini dikarenakan benih dianggap sebagai teknologi yang lebih modern dan meningkatkan efisiensi pengusahaan. Hasil di atas menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi benih terhadap penyerapan tenaga kerja dapat terjadi melalui peningkatan produktivitas ekonomi sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan. Berdasarkan Tabel 28 dapat dipelihatkan untuk semua sektor bahwa adanya pola yang tidak teratur antara peningkatan output dengan penyerapan tenaga kerja mengindikasikan adanya keragaman karakteristik struktur produksi antar sektor. Sektor yang peningkatan outputnya diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksinya. Di sisi lain, peningkatan output suatu sektor justru diikuti dengan turunnya penyerapan tenaga kerjanya. Kondisi ini menunjukkan masih tingginya kapasitas produksi sektoral yang belum dimanfaatkan secara optimal pada sektor tersebut, sehingga peningkatan produksi masih dapat dilakukan dengan memaksimumkan kapasitas yang ada.
220
Tabel 28. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No. Sektor Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor pertambangan dan penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batu bara, biji logam penggalian 13. Pengilangan minyak bumi Sektor industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri benih 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Perdesaan Jangka Jangka Pendek Panjan
Perkotaan Jangka Jangka Pendek Panjang
1.481 0.048 0.224 0.155 0.217 0.017 -0.036 0.215 0.057 0.081
2.766 1.038 1.374 1.219 1.265 0.977 1.096 1.151 1.412 1.050
1.481 0.048 0.224 0.155 0.217 0.017 -0.036 0.215 0.057 0.081
2.836 1.107 1.444 1.288 1.335 1.046 1.165 1.221 1.482 1.119
0.001 0.016 -0.054
0.818 1.040 0.957
0.001 0.016 -0.054
1.029 1.252 1.169
-0.080 0.817 0.004 -0.054 -0.038 0.256 -0.019 -0.038 -0.012 -0.001 -0.014 -0.031 -0.027
0.728 1.856 1.423 0.960 0.906 1.355 1.040 0.955 1.116 1.068 1.049 1.020 0.922
-0.080 0.817 0.004 -0.054 -0.038 0.256 -0.019 -0.038 -0.012 -0.001 -0.014 -0.031 -0.027
0.939 2.070 1.636 1.172 1.117 1.568 1.252 1.167 1.328 1.280 1.261 1.232 1.134
-0.080 -0.087 -0.087 -0.007 0.067 0.161 -0.048 -0.048 -0.019 0.048 -0.024 -0.066 -0.071 -0.007
0.728 0.980 0.980 1.056 0.899 0.749 0.575 0.722 1.198 0.791 1.009 1.024 0.957 0.227
-0.080 -0.087 -0.087 -0.007 0.067 0.161 -0.048 -0.048 -0.019 0.048 -0.024 -0.066 -0.071 -0.007
0.939 1.080 1.080 1.156 0.999 0.848 0.674 0.821 1.298 0.890 1.108 1.124 1.056 0.326
221
Selain pada sektor pertanian, kebijakan subsidi benih berdampak pula dalam meningkatkan permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan yang bekerja di sektor industri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak yang dirasakan pada sektor antara ternyata mempunyai nilai yang cukup kecil. Penambahan kapasitas produksi kelompok komoditas pada industri pengolahan mengakibatkan naiknya jumlah output yang diproduksi dimana diperoleh dengan menambah tenaga kerja pada sektor industri tersebut. Permintaan tenaga kerja di sektor industri baik industri pengolahan hasilhasil pertanian maupun bukan pertanian, khususnya komoditas pada industri pengolahan dalam jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya. Nilai yang terbesar kenaikannya adalah komoditas industri pengolahan beras naik (0.817 persen), sedangkan yang terkecil adalah komoditas makanan, minuman dan tembakau turun (-0.080 persen). Dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah industri pengolahan beras (1.856 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (2.070 persen) di perkotaan. Selanjutnya, selain pada sektor pertanian dan industri, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan juga terhadap sektor jasa-jasa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak yang dirasakan sektor jasa-jasa dalam jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya, yang terbesar kenaikannya yaitu komoditas perdagangan meningkat (0.067 persen), dan terkecil komoditas jasa pemerintah/keuangan turun (-0.007 persen). Dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah perdagangan naik (0.899 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (0.999 persen) di perkotaan sedangkan yang terkecil adalah sektor lembaga keuangan naik (0.957 persen) pada jangka pendek dan jangka panjang naik (1.056 persen). Artinya, besaran nilai upah riil di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hal ini diduga bahwa di perkotaan penyerapan tenaga kerja sektor jasa-jasa lebih elastis terhadap upah riil tenaga kerja dibandingkan di perdesaan untuk setiap komoditas.
222
6.3.3. Dampak Ke bijakan Subsidi Pangan Terhadap Indikator Ekonomi Makro Kebijakan subsidi pupuk berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran untuk jangka pendek naik (0.001 persen), namun pada jangka panjang naik (0.302 persen). Kenaikan PDB riil tersebut dalam jangka pendek disebabkan oleh nilai tambah ouptut agregat (x1prim_i) naik (0.005 persen), volume ekspor (xocif_c) (0.009 persen) naik, dan neraca perdagangan (delB) naik (0.002 persen), sedangkan pada jangka panjang bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil (x3tot) sebesar (0.211 persen), peningkatan investasi riil (x2tot_i) sebesar (0.441 persen), naiknya ekspor (x4tot) (0.190 persen), dan impor (x0imp_c) naik (0.276 persen). Kondisi ini secara lebih detail dijelaskan pada Tabel 29. Adanya kebijakan subsidi pangan sebagai subsidi output dapat mendorong turunnya biaya produksi dan semakin efisien, melalui kemudahan konsumen pengguna pangan dalam mengkonsumsi yang dibutuhkannya. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil simulasi bahwa dalam jangka pendek harga investasi (p2tot_i ) turun (-0.011 persen) dan dalam jangka panjang turun pula (-0.179 persen). Hal ini perkuat oleh semakin rendah harga investasi menyebabkan investor sangat tertarik menanamkan modalnya, terutama di sektor-sektor produksi, dimana pada jangka pendek turun (-0.011 persen) dan jangka panjang naik (-0.179 persen). Penanaman modal yang dilakukan oleh investor menjadi stimulus bagi sektor produksi untuk meningkatkan produksinya. Kebijakan subsidi pangan harus tetap dilakukan untuk mengimbangi dampak depresiasi dan tingkat perkembangan perekonomian dalam jangka panjang. Karena subsidi output ini mempengaruhi konsumsi, maka dalam jangka panjang harga investasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jangka pendeknya meskipun menurun. Adanya kecenderungan harga investasi menurun menunjukkan bahwa peningkatan sarana produksi secara tidak langsung akibat konsumsi pangan yang baik dan terjangkau dalam jangka pendek, mampu mengurangi biaya produksi secara berarti dalm proses produksi menghasilkan outputnya.
223
Tabel 29. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan Terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Deskripsi Pdb riil sisi pengeluaran Neraca perdagangan Indeks deflator PDB Upah nominal rata-rata Indeks harga investasi Indeks harga konsumen Indeks harga ekspor Indeks volume ekspor Indeks volume impor Output agregat value added Investasi riil agregat Konsumsi rumahtangga riil
Variabel x0gdpexp delB p0gdpexp p1lab_io p2tot_i p3tot p4tot x4tot x0cif_c x1prim_i x2tot_i x3tot
Jangka Pendek 0.001 0.002 -0.181 0.000 -0.011 -0.286 -0.004 0.008 0.009 0.005 0.000 0.000
Jangka Panjang 0.303 0.000 -0.408 -1.702 -0.179 -0.437 -0.101 0.190 0.276 0.316 0.441 0.211
Sumber: Data diolah
Kontribusi kebijakan subsidi pangan ini terhadap kinerja ekonomi makro juga terlihat dari semakin efisiennya proses produksi domestik. Tingkat upah ratarata nominal yang diterima tenaga kerja dalam jangka pendek konstan, dan jangka panjang menurun (-1.702 persen). Dalam jangka panjang, penurunan tingkat upah merefleksikan turunnya produk marjinal tenaga kerja, disebabkan penambahan tenaga kerja untuk meningkatkan produksi. Turunnya tingkat upah rata-rata domestik mengakibatkan harga produk domestik semakin murah. Hal ini mendorong harga ekspor produk domestik (p4tot) turun dibandingkan komoditas luar negeri, yaitu turun (-0.004 persen) pada jangka pendek dan (-0.101 persen) pada jangka panjang. Tenaga kerja murah dan rendahnya harga komoditas domestik, akibat kebijakan subsidi output untuk konsumsi masyarakat atas pangan. Semakin membaiknya dayasaing domestik ini menyebabkan indeks volume ekspor (x4tot) nasional juga membaik (0.008 persen) pada jangka pendek dan meningkat (0.190 persen) pada jangka panjang. Peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi akibat konsumsi beras yang murah dan kualitas baik maka pada level produksi, bertambahnya stok modal produksi dalam jangka panjang mengakibatkan ekspor meningkat lebih besar pada jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Peningkatan indeks volume ekspor tersebut mampu memperbaiki kondisi neraca perdagangan (delB), yaitu naik (0.002 persen) pada jangka pendek, tetapi jangka panjang konstan. Namun, membaiknya neraca perdagangan Indonesia
224
tersebut diikuti oleh indeks volume impor (x0cif_c) meningkat (0.009 persen) pada jangka pendek, naik (0.276 persen) dalam jangka panjang. Kenaikan harga minyak bumi dan harga pangan dunia hingga pertengahan tahun 2008, berdampak menaikkan harga domestik. Konsekwensinya, peningkatan PDB riil dan penyerapan tenaga kerja tidak secara langsung mengakibatkan upah rata-rata nominal (p1lab_io) meningkat karena upah bersifat kaku dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang menurun. Namun adanya perbaikan tingkat konsumsi (0.211 persen), maka upah rata-rata nominal masyarakat menurun (-1.968 persen). 6.3.4. Dampak Ke bijakan Subsidi Pangan Terhadap Distribusi Pendapatan Kelompok Rumahtangga Miskin pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang Dampak berikutnya dapat dilihat pada Tabel 30 yaitu dampak kebijakan subsidi pangan terhadap peningkatan pendapatan riil rumahtangga di semua kelompok rumahtangga baik miskin maupun tidak miskin. adalah positif, namun di kelompok rumah tangga di perkotaan negatif, baik untuk kategori miskin golongan pendapatan atas hingga rendah. Kebijakan subsidi pangan berdampak positif terhadap redistribusi peningkatan pendapatan riil pada jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan jangka panjangnya. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang perubahan pendapatan riil pada setiap golongan rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian yang tinggal di perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, kecuali pada jangka pendek untuk rumahtangga bukan angkatan kerja di kota baik miskin dan tidak miskin dan rumahtangga golongan atas kota yang miskin dan tidak miskin menurun. Pada jangka pendek dampak positif dirasakan adanya kebijakan subsidi pangan pada kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha mampu mendorong peningkatan pendapatan riil rumahtangga, berturut-turut sebesar (0.011 persen) dan (0.028 persen). Untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berurutan adalah (0.057 persen), (0.056 persen) dan (0.054 persen). Selanjutnya, kelompok
225
rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang berkategori miskin naik adalah (0.007persen) rumahtangga berpendapatan rendah, turun (-0.018 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan turun (0.024 persen) pada rumahtangga golongan atas. Tabel 30. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumahtangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah desa miskin Bukan pertanian golongan bawah desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Jangka Pendek 0.011 0.022 0.028 0.035 0.057 0.060 0.056 0.058 0.054 0.059 0.007 0.000 -0.017 -0.018 -0.024 -0.022
Jangka Panjang 0.451 0.169 0.415 0.181 0.271 0.133 0.293 0.204 0.475 0.414 0.527 0.421 0.708 0.722 0.818 0.806
Sumber: Data diolah
Asumsi jangka panjang dalam pendekatan CGE sebagai akumulasi perilaku keseimbangan pasar jangka pendek. Seperti halnya dampak terhadap jangka pendek, jangka panjang juga mempunyai dampak positif dari kebijakan subsidi pupuk pada semua kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian maupun bukan pertanian dengan peningkatan yang lebih tinggi. Dampaknya tersebut, untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian sebagai buruh maupun sebagai pengusaha pertanian termasuk kategori miskin adalah secara berturut-turut naik (0.451 persen) dan (0.415 persen). Pada kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berturutturut naik (0.271 persen), naik (0.293 persen) dan naik (0.475 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di
226
perkotaan
yang
berkategori
miskin
naik
(0.527
persen)
rumahtangga
berpendapatan rendah, naik (0.708 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan naik (0.818 persen) pada rumahtangga golongan atas. Uraian tersebut di atas memberikan pemikiran bahwa kebijakan subsidi pangan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga miskin, baik rumahtangga yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan. Peningkatan tingkat pendapatan riil pada kelompok rumahtangga berpenghasilan lebih tinggi di perdesaan dan di perkotaan yang bergolongan miskin diikuti oleh peningkatan pendapatan riil pada kelompok rumahtangga yang berpenghasilan lebih rendah. 6.4. Dampak Ke bijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan Analisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian merupakan simulasi gabungan dari ketiga simulasi sebelumnya yang dilakukan secara serentak. Seperti analisis dampak sebelumnya, tidak berbeda dengan analisis dampak kebijakan sebelumnya, bahwa kebijakan subsidi fiskal pada sektor pertanian dilakukan analisis terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, akan dianalisis dampak secara umum kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap masing sektor (komoditas) yang dibagi ke dalam empat sektor besar yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri dan sektor jasajasa, namun yang dianalisis hanya terhadap sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa-jasa menurut komoditas yang mempunyai keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan komoditas perantaranya (intemediate goods). Bagian kedua akan dianalisis menurut klasifikasi sektor kecuali dilakukan terhadap sektor pertambangan dan penggalian. Bagian ketiga, karena model keseimbangan umum yang digunakan dalam penelitian ini bersifat statis komparatif, dalam analisis ini dibedakan menjadi jangka pendek dan jangka panjang.
227
6.4.1. Dampak Ke bijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Output dan Harga Output Sektoral Pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang Berbeda dengan fiskal pada sektor pertanian dan benih, maupun pangan kebijakan fiskal pada sektor pertanian sebagai kebijakan subsidi input dan output yang tujuannya langsung pada tingkat rumahtangga baik untuk meningkatkan produksi maupun akses konsumsi pangan.
Hal ini mengakibatkan pergeseran
kurva permintaan dan penawaran keduanya bergeser ke kanan, akibat adanya peningkatan konsumsi dan produksi oleh rumahtangga atas pangan. Kebijakan fiskal pada sektor pertaniantersebut berpengaruh terhadap penggunaan pangan dan pada akhirnya akan menstimulasi terhadap peningkatan produktivitas pertanian yang kemudian terhadap peningkatan produtivitasnya dan menghasilkan output pangan yang lebih baik dan berkualitas. Pemberian kebijakan ini kepada rumahtangga petani merupakan salah satu kebijakan ketahanan pangan nasional. Berdasarkan Tabel 31, bahwa dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian dibedakan dalam analisis dampaknya terhadap output dalam jangka pendek dan jangka panjang pada semua sektor, kecuali sektor pertambangan dan penggalian.
Pada komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari
akumulasi kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, pada jangka pendek output untuk komoditas padi meningkat (1.410 persen), kedelai naik (1.446 persen), jagung naik (1.511 persen), beras naik (1.450 persen) dan pupuk naik (11.783 persen). Pada jangka panjang, output untuk komoditas padi naik (1.577 persen), kedelai naik (1.531 persen), jagung naik (1.670 persen), beras naik (1.590 persen), dan pupuk (13.008 persen). Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian secara bersama-sama, dampak pada komoditas langsung terkena subsidi mengalami kenaikan output. Hal ini menunjukkan subsidi menggeser kurva supply ke kanan, akibat dari biaya produksi yang menurun. Analisis dampak dalam jangka pendek, kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap output, yang terbesar terkena dampaknya adalah komoditas jagung naik (1.511 persen) sedangkan yang terendah adalah komoditas kehutanan dan perikanan yang keduanya menurun (-0.011 persen). Dampak pada jangka panjang, kebijakan tersebut berdampak terbesar maupun terkecil juga mengikuti
228
Tabel 31. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Output dan Harga Output Menurut Sektoral Jangka Pendek dan Panjang (persen) No.
Sektor
Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batu bara, biji logam penggalian 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri pupuk 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Output Jangka Jangka Pendek Panjang
Harga Output Jangka Jangka Pendek Panjang
1.410 1.446 1.511 0.125 0.110 0.510 0.835 0.105 -0.011 -0.011
1.577 1.531 1.670 0.204 0.224 0.538 1.086 0.290 0.350 0.096
-5.264 -1.785 -9.265 -0.183 -0.267 -0.399 -0.367 -0.064 0.067 -0.047
-5.193 -1.971 -9.338 -0.202 -0.443 -0.331 -0.386 -0.472 0.510 -0.382
0.000 -0.135 -0.143
0.071 0.081 0.045
0.077 0.021 0.245
0.092 0.026 0.404
0.050 1.450 -0.208 -0.018 -0.006 11.783 0.232 -0.021 -0.007 -0.014 -0.045 -0.091 -0.042
0.219 1.590 0.349 0.308 0.258 13.008 0.590 0.302 0.538 0.318 0.445 0.236 0.353
-0.514 -3.113 0.015 0.033 0.032 -9.588 0.506 0.018 0.126 0.083 0.081 0.042 0.081
-0.742 -3.065 -0.037 0.089 -0.120 -8.162 0.382 -0.083 0.176 0.084 -0.012 -0.057 -0.057
0.050 -0.126 -0.126 0.001 0.031 0.018 -0.128 -0.046 -0.066 -0.107 -0.031 -0.078 -0.024 -0.010
0.219 0.077 0.077 0.561 0.203 0.237 0.049 0.193 0.355 0.120 0.329 0.084 0.223 0.090
-0.514 0.723 0.723 0.054 -0.026 -0.247 0.237 0.025 0.048 0.060 0.039 0.052 0.024 0.000
-0.742 0.787 0.787 0.059 -0.283 -0.599 -0.089 -0.330 -0.043 -0.165 -0.236 0.028 -0.215 -0.854
229
dampak jangka pendeknya, yaitu pada komoditas jagung (1.670 persen) sedangkan paling kecil dampaknya yang dirasakan oleh komoditas kehutanan (0.096 persen). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi input maupun output memberikan dampak positif terhadap output pangan maupun bukan pangan di sektor pertanian, kecuali kehutanan dan perikanan turun dalam jangka pendek. Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap komoditas pertanian lainnya, terutama pada tanaman bukan pangan seperti peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.105 persen), tanaman perkebunan naik (0.835 persen), dan perikanan turun (-0.011 persen), sedangkan pada jangka panjang pada komoditas non-pangan seperti peternakan dan hasil-hasilnya naik (0.290 persen), tanaman perkebunan naik (1.086 persen), dan perikanan naik (0.096 persen). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian mampu meningkatkan produktivitas pada komoditas pangan dan non-pangan. Selanjutnya, dampak jangka panjang lebih besar dibandingkan jangka pendek, disebabkan oleh adanya perbedaan pada kedua kondisi tersebut, diamna pada jangka pendek upah rill kaku. Kondisi ini membuktikan kenaikan output tidak diikuti oleh penurunan harga outputnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi input dan output secara bersamaan ternyata mampu memberikan dampak positif terhadap harga komoditas-komoditas pangan maupun non-pangan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Naiknya harga output pada jangka pendek akibat adanya permintaan komoditas-komoditas pangan meningkat sehingga kurva permintaan bergeser ke kanan. Demikian halnya dengan jangka panjang mengalami kenaikan yang disebabkan oleh adanya kenaikan untuk harga faktor primer komposit pembentuk harganya. Secara teori, peningkatan output pada sektor pertanian mengakibatkan supply meningkat, akibatnya harga output menurun, namun kondisinya berbeda justru sebaliknya. Berdasarkan Tabel 31 menjelaskan bahwa naiknya harga output pada jangka pendek dikarenakan naiknya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami peningkatan pula dalam jangka panjang. Peningkatan
230
jangka panjang tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha. Bila dicermati lebih jauh peningkatan output, penurunan harga output dalam jangka pendek dan panjang adalah merupakan dampak positif dari adanya kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi pupuk, benih dan pangan. Dampak berikutnya, adanya kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap sektor industri baik industri pengolahan hasil-hasil pertanian maupun bukan pertanian (lihat pada Tabel 31). Dampak kebijakan tesebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat produktivitas dan efisiensi sektoral di industri. Output seluruh komoditas pada sektor industri ini tumbuh positif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak pada industri pengolahan yang mengalami pertumbuhan output terbesar adalah industri pupuk naik (11.783 persen) pada jangka pendek dan naik (13.008 persen) pada jangka panjang, diikuti oleh industri makanan minuman dan tembakau dan industri pengolahan padi/beras masing-masing, meningkat (0.050 persen) untuk jangka pendek dan naik (0.219 persen) untuk jangka panjang, dan naik (1.450 persen) jangka pendek dan naik (0.219 persen) pada jangka panjang. Peningkatan output sektor industri ini menunjukkan pentingnya kebijakan fiskal sektor pertanian dalam menunjang peningkatan kapasitas produksi pada sektor industri pengolahan berbasis pangan menuju swasembada dan ketahanan pangan nasional, terutama pada industri penggilingan padi/beras sebagai indikatornya. Dampak berikutnya adalah dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap sektor jasa-jasa yang merupakan sektor tersier dalam perekonomian. Kebijakan tersebut berdampak terhadap output dalam jangka pendek pada sektor jasa-jasa. Hal ini terbukti dengan adanya dampak terhadap sektor penngguna output antara oleh sektor jasa tangible pada jangka pendek dan panjang yaitu sektor perdagangan, meningkat (0.031 persen) pada jangka pendek dan naik (0.203 persen) jangka panjang; pada sektor hotel dan restoran, masing-masing naik (0.018 persen) dan naik (0.237 persen). Penciptaan output pada sektor perdagangan dinyatakan dalam bentuk margin, yang merepresentasikan kuantitas transaksi dalam perekonomian.
231
Meskipun secara tidak langsung kebijakan fiskal pada sektor pertanian ini tetap tidak mempengaruhi komoditas tersebut, namun memungkinkan berkembangnya arus dan transaksi perdagangan Turunnya harga output tersebut diduga karena turunnya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami peningkatan pula dalam jangka panjang dan hanya pada sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran. 6.4.2. Dampak Ke bijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Perdesaan dan Perkotaan Seperti pada analisis-analisis dampak simulasi sebelumnya, bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian pada bagian ini terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan. Permintaan tenaga kerja mencerminkan dayaserap usaha terhadap tenaga kerja dimana permintaan faktor primer komposit mencerminkan permintaan sektor produksi terhadap gabungan modal dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, besaran permintaan modal untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor produksi. Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja pada komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari akumulasi kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, diperlihatkan bahwa pada jangka pendek penyerapan tenaga kerja di perdesaan untuk komoditas padi meningkat (0.213 persen), kedelai naik (0.259 persen), jagung turun (-0.693 persen), beras naik (2.777 persen) dan pupuk naik (18.135 persen). Pada jangka panjang, penyerapan tenaga kerja untuk komoditas padi naik (1.067 persen), kedelai naik (2.943 persen), jagung turun (-0.052 persen), beras naik (3.652 persen), dan pupuk (21.910 persen). Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian secara bersama-sama, dampak pada komoditas langsung terkena subsidi mengalami kenaikan peyerapan jumlah tenaga kerja di perdesaan Selain di perdesaan, dampak terhadap penyerapan tenaga kerja pada komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari akumulasi kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, diperlihatkan bahwa pada jangka pendek penyerapan tenaga kerja juga terjadi di perkotaan sama
232
Tabel 32. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektoral di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No. Sektor Sektor Pertanian 1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Tanaman umbi-umbian dan kacangan 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman makanan lainnya 7. Tanaman perkebunan 8. Peternakan dan hasil-hasilnya 9. Kehutanan 10. Perikanan Sektor Pertambangan dan Penggalian 11. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 12. Pertambangan batu bara, biji logam penggalian 13. Pengilangan minyak bumi Sektor Industri 14. Industri makanan minuman tembakau 15. Industri penggilingan padi/beras 16. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 17. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya 18. Industri pulp dan kertas 19. Industri pupuk 20. Industri pestisida 21. Industri kimia, karet dan barang dari karet 22. Industri semen 23. Industri logam dasar besi dan baja 24. Industri barang dari logam 25. Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 26. Industri barang lainnya Sektor Jasa-Jasa 27. Gas 28. Listrik dan air bersih 29. Bangunan 30. Perdagangan 31. Hotel dan restoran 32. Angkutan kereta api 33. Angkutan darat 34. Angkutan air 35. Angkutan udara 36. Jasa penunjang angkutan 37. Komunikasi 38. Lembaga keuangan 39. Jasa pemerintah 40. Jasa lainnya
Sumber: Data diolah
Perdesaan Jangka Jangka Pendek Panjan
Perkotaan Jangka Jangka Pendek Panjang
0.213 2.259 -0.693 0.035 -0.032 0.294 0.610 0.298 0.037 -0.007
1.067 2.943 -0.052 0.793 0.678 1.048 1.556 0.891 1.393 0.602
0.213 2.259 -0.693 0.035 -0.032 0.294 0.610 0.298 0.037 -0.007
1.106 2.982 -0.013 0.832 0.717 1.087 1.595 0.930 1.432 0.641
0.042 -0.126 -0.122
0.783 0.770 0.794
0.042 -0.126 -0.122
0.901 0.888 0.912
0.161 2.777 -0.205 0.004 0.027 18.135 0.426 0.057 0.082 0.079 0.016 -0.047 0.020
0.805 3.635 1.030 1.046 0.845 21.910 1.306 0.934 1.374 1.112 1.107 0.888 0.962
0.161 2.777 -0.205 0.004 0.027 18.135 0.426 0.057 0.082 0.079 0.016 -0.047 0.020
0.924 3.757 1.149 1.165 0.964 22.054 1.425 1.052 1.494 1.231 1.226 1.006 1.080
0.161 -0.113 -0.113 0.039 -0.075 0.000 -0.075 -0.056 -0.040 -0.039 -0.019 -0.053 -0.011 -0.002
0.805 0.757 0.757 1.367 0.704 0.720 0.407 0.562 1.015 0.636 0.854 0.821 0.828 0.118
0.161 -0.113 -0.113 0.039 -0.075 0.000 -0.075 -0.056 -0.040 -0.039 -0.019 -0.053 -0.011 -0.002
0.924 0.812 0.812 1.423 0.760 0.776 0.463 0.617 1.071 0.691 0.910 0.876 0.884 0.173
233
dengan di perdesaan, hanya saja besaran nilai dampaknya yang berbeda. Pada jangka panjang, penyerapan tenaga kerja untuk komoditas padi naik (1.106 persen), kedelai naik (2.982 persen), jagung turun (-0.013 persen), beras naik (3.757 persen), dan pupuk (22.054 persen). Kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi pupuk, benih dan pangan berdampak pada naiknya produksi dengan cara menambah jumlah tenaga kerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (lihat Tabel 33). Terkait penjelasan tersebut, di perdesaan dan di perkotaan mempunyai besaran perubahan permintaan tenaga kerja yang sama, adapun komoditas lainnya yang dalam jangka pendek permintaan tenaga kerjanya naik tertinggi di sektor pertanian adalah komoditas padi (0.213 persen) dan terendah dengan tetap positif adalah tanaman umbi-umbian dan kacangan naik (0.053 persen). Selanjutnya, untuk jangka panjang di perdesaan kenaikan permintaan tenaga kerja terbesar pada komoditas padi (1.067 persen) terbesar dan perikanan (0.062 persen) terkecil, sedangkan di perkotaan naiknya permintaan tenaga kerja terbesar dalam jangka panjangnya adalah komoditas padi (1.106 persen) dan terkecil adalah komoditas perikanan (0.641 persen). Naiknya permintaan tenaga kerja pada komoditas tersebut lebih disebabkan oleh sifat sektornya yang cenderung bersifat labor intensive dimana ketergantungan terhadap benih relatif kecil. Hal ini dikarenakan kebijakan subsidi pada pertanian dianggap sebagai teknologi yang lebih modern dan dapat meningkatkan efisiensi pengusahaan yang pada gilirannya dalam penyerapan tenaga kerja dapat terjadi melalui peningkatan produktivitas ekonomi sektoral baik di perkotaan maupun di perdesaan. Berdasarkan Tabel 33 dapat dipelihatkan bahwa pola yang tidak teratur antara peningkatan output dengan penyerapan tenaga kerja mengindikasikan adanya keragaman karakteristik struktur produksi antar sektor. Sektor yang peningkatan outputnya diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksinya. Di sisi lain, peningkatan output suatu sektor justru diikuti dengan turunnya penyerapan tenaga kerjanya. Kondisi ini menunjukkan bahwa
masih
tingginya
kapasitas
terpasang
yang belum
dimanfaatkan pada sektor tersebut, sehingga peningkatan produksi masih dapat
234
dilakukan dengan memaksimumkan kapasitas yang ada dan mampu menghemat dalam penggunaan tenaga kerja. Selain pada sektor pertanian, kebijakan fiskal pada sektor pertanian berdampak meningkatkan permintaan tenaga kerja di perdesaan dan perkotaan yang bekerja berdampak terhadap sektor industri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang meskipun dengan nilai cukup kecil. Permintaan tenaga kerja di sektor industri baik industri pengolahan hasil-hasil sektor pertanian maupun bukan pertanian, khususnya komoditas pada industri pengolahan dalam jangka pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya. Dampak yang dirasakan pada sektor jasa-jasa dalam jangka panjang baik di perkotaan maupun di perdesaan mempunyai nilai yang sama baik arah maupun besarannya, adapun yang terbesar kenaikannya adalah komoditas perdagangan naik (0.362 persen), sedangkan yang terkecil adalah listrik dan air bersih naik (0.757 persen). Selanjutnya, dampak pada jangka panjangnya, komoditas tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja adalah perdagangan naik (0.704 persen) di perdesaan dan komoditas yang sama (0.760 persen) di perkotaan sedangkan yang terkecil adalah sektor jasa pemerintah naik (0.118 persen) pada jangka pendek dan jangka panjang naik (0.173 persen). Artinya, besaran penyerapan tenaga kerja di perkotaan di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan akibat dari upah riil di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan.
6.4.3. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Indiaktor Ekonomi Makro Kebijakan fiskal pada sektor pertanian berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro dapat dilihat pada Tabel 34. Berdasarkan Tabel 34 tersebut, bahwa peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran untuk jangka pendek naik (0.017 persen) dan pada jangka panjang juga naik (0.256 persen). Kenaikan PDB riil tersebut dalam jangka pendek dibentuk oleh variabel nilai tambah agregat (x1prim_i) naik (0.125 persen) dan neraca perdagangan naik (0.013 persen) sedangkan pada jangka panjang bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil (x3tot) sebesar (0.081 persen), peningkatan investasi riil
235
(x2tot_i) sebesar (0.589 persen), naiknya ekspor (x4tot) sebesar (0.107 persen), dan impor (x0imp_c) naik (0.207 persen). Adanya kebijakan fiskal pada sektor pertanian berupa subsidi output dapat mendorong turunnya biaya produksi yang semakin efisien, melalui kemudahan konsumen pengguna pangan dalam mengkonsumsi yang dibutuhkannya. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil simulasi bahwa dalam jangka pendek harga investasi (p2tot_i ) naik (0.045 persen) dan dalam jangka panjang naik pula (0.028 persen). Naiknya harga investasi tersebut menyebabkan investor kurang tertarik menanamkan modalnya, terutama di sektor-sektor produksi. Penanaman modal yang dilakukan oleh investor menjadi stimulus bagi sektor produksi untuk meningkatkan produksinya. Kebijakan fiskal pada sektor pertanian harus tetap dilakukan untuk mengimbangi dampak depresiasi dan tingkat perkembangan perekonomian dalam jangka panjang. Karena subsidi output ini mempengaruhi konsumsi, maka dalam jangka panjang harga investasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jangka pendeknya meskipun menurun. Adanya
kecenderungan harga investasi yang naik menunjukkan bahwa
peningkatan sarana produksi secara tidak langsung akibat konsumsi beras murah dan biaya input produksi seperti pupuk dan benih yang baik dan terjangkau dalam jangka pendek, sehingga mampu mengurangi biaya produksi dalam proses produksi untuk menghasilkan outputnya. Tabel 34. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Indikator Ekonomi Makro pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang (persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Deskripsi PDB riil sisi pengeluaran Neraca perdagangan Indeks deflator PDB Upah nominal rata-rata Indeks harga investasi Indeks harga konsumen Indeks harga ekspor Indeks volume ekspor Indeks volume impor Output agregat value added Investasi riil agregat Konsumsi rumahtangga riil
Sumber: Data diolah
Variabel x0gdpexp delB p0gdpexp p1lab_io p2tot_i p3tot p4tot x4tot x0cif_c x1prim_i x2tot_i x3tot
Jangka Pendek 0.017 0.013 -0.474 0.000 0.045 -0.802 -0.037 0.079 -0.016 0.125 0.000 0.000
Jangka Panjang 0.256 0.000 -0.676 -1.457 0.028 -0.999 -0.126 0.107 0.207 0.389 0.589 0.081
236
Kontribusi kebijakan fiskal pada sektor pertanian ini terhadap kinerja ekonomi makro juga terlihat dari semakin efisiennya proses produksi domestik. Tingkat upah rata-rata nominal yang diterima tenaga kerja dalam jangka pendek konstan, dan jangka panjang menurun (-1.457 persen). Dalam jangka panjang, penurunan tingkat upah merefleksikan turunnya produk marjinal tenaga kerja, disebabkan penambahan tenaga kerja untuk meningkatkan produksi. Turunnya tingkat upah rata-rata domestik mengakibatkan harga produk domestik semakin murah. Hal ini mendorong harga ekspor produk domestik (p4tot) turun dibandingkan komoditas luar negeri, yaitu turun (-0.037 persen) pada jangka pendek dan menurun (-0.126 persen) pada jangka panjang. Tenaga kerja murah dan rendahnya harga komoditas domestik, akibat kebijakan subsidi input dan output untuk konsumsi maupun produksi masyarakat atas pangan. Semakin membaiknya dayasaing domestik ini menyebabkan indeks volume ekspor (x4tot) nasional akan meningkat (0.079 persen) pada jangka pendek dan meningkat (0.107 persen) pada jangka panjang. Peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi akibat konsumsi beras yang murah dan kualitas baik maka pada level produksi, bertambahnya stok modal produksi dalam jangka panjang mengakibatkan ekspor meningkat lebih besar pada jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Peningkatan indeks volume ekspor tersebut mampu memperbaiki kondisi neraca perdagangan (delB), yaitu naik (0.013 persen) pada jangka pendek sedangkan jangka panjang konstan. Namun, membaiknya neraca perdagangan Indonesia tersebut diikuti oleh indeks volume impor (x0cif_c) turun (-0.016 persen) pada jangka pendek, meningkat (0.207 persen) dalam jangka panjang. Konsekwensinya, peningkatan PDB riil dan penyerapan tenaga kerja tidak secara langsung mengakibatkan upah rata-rata nominal (p1lab_io) meningkat karena upah bersifat kaku dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang akibat perbaikan tingkat konsumsi sehingga upah rata-rata nominal masyarakat pun menurun (-0.676 persen).
237
6.4.4. Dampak Ke bijakan Fiskal pada Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Pada Jangka Pendek dan Jangka Panjang Dampak berikutnya dapat dilihat pada Tabel 35 yaitu dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap peningkatan pendapatan riil rumahtangga di semua kelompok rumahtangga adalah positif dengan nilai perubahan berbedabeda, namun di kelompok rumah tangga di perkotaan negatif, baik untuk kategori miskin golongan pendapatan atas hingga rendah. Berdasarkan tersebut juga nampak bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil pada jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan jangka panjangnya. Pemahaman tersebut menjelaskan bahwa dalam jangka panjang perubahan pendapatan riil pada setiap golongan rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian yang tinggal di perdesaan dan perkotaan semakin meningkat. Peningkatan tersebut akibat upah riilnya meningkat meskipun upah nominal rata-rata menurun pada jangka panjang. Tabel 35. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Perdesaan dan Perkotaan pada Jangka Pendek dan Panjang (persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumahtangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah desa miskin Bukan pertanian golongan bawah desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Sumber: Data diolah
Jangka Pendek 0.149 0.160 0.154 0.156 0.166 0.165 0.173 0.176 0.172 0.184 0.144 0.151 0.131 0.130 0.131 0.134
Jangka Panjang 0.242 0.003 0.242 0.044 0.155 0.039 0.164 0.085 0.323 0.263 0.277 0.189 0.433 0.444 0.514 0.503
238
Pada jangka pendek dampak positif dari kebijakan fiskal pada sektor pertanian pada kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha pertanian mampu mendorong peningkatan pendapatan riil rumahtangga, berturut-turut sebesar (0.149 persen) dan (0.154 persen). Untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berurutan adalah (0.166 persen), (0.173 persen) dan (0.172 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang kategori miskin meningkat, yaitu naik (0.144 persen) rumahtangga berpendapatan rendah, naik (0.131 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan naik (0.131 persen) rumahtangga golongan atas. Analisis dalam jangka panjang diasumsikan bahwa jangka panjang pendekatan
model
keseimbangan
umum merupakan akumulasi
perilaku
keseimbangan pasar jangka pendek. Seperti halnya dampak terhadap jangka pendek, jangka panjang juga mempunyai dampak positif dari kebijakan fiskal pada sektor pertanian terlihat bahwa pada semua kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian maupun bukan pertanian naik dengan peningkatan yang tinggi. Selanjutnya, dampak tersebut terjadi pada kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian sebagai buruh maupun sebagai pengusaha pertanian termasuk kategori miskin adalah secara berturut-turut naik (0.242 persen) dan (0.242 persen). Untuk kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perdesaan berkategori miskin, yaitu kelompok rumahtangga golongan bawah, bukan angkatan kerja dan golongan rumahtangga golongan atas secara berturut-turut naik (0.155 persen), naik (0.164 persen) dan naik (0.323 persen). Selanjutnya, kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian yang tinggal di perkotaan yang berkategori miskin naik (0.277 persen) rumahtangga berpendapatan rendah, naik (0.433 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja, dan naik (0.514 persen) pada rumahtangga golongan atas. Temuan tersebut memberikan pemikiran bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian baik pada jangka pendek maupun jangka panjang berdampak
239
positif terhadap redistribusi pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga miskin, baik rumahtangga yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan. Peningkatan tingkat pendapatan riil pada kelompok rumahtangga berpenghasilan lebih tinggi di perdesaan dan di perkotaan yang bergolongan miskin diikuti oleh peningkatan pendapatan riil pada kelompok rumahtangga yang berpenghasilan lebih rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan yang mengarah pada upaya peningkatan konsumsi pangan yang secara tidak langsung dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan rumahtangga yang semakin membaik pada jangka pendek dan jangka panjang.
240
Halaman ini sengaja dikosongkan
241
VII. DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP KEMISKINAN Dalam bab ini, analisis kemiskinan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index (Duclos, 2004). Distribusi pendapatan yang dihasilkan di atas selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi kemiskinan (poverty incidence) pada setiap kelompok di dalam model ekonomi keseimbangan umum. Jika rata-rata pendapatan meningkat sebesar µ, maka income setiap rumahtangga dalam kelompok juga meningkat sebesar µ. Dengan aturan ini, distribusi pendapatan secara proporsional akan berubah secara horizontal mengikuti perubahan di dalam pendapatan. Prosedur cara menghitung nilai FGT, yaitu dengan membandingkan tingkat kemiskinan yang dihasilkan pada kasus post-simulation dan presimulation melalui penggunaan ukuran Foster, Greer and Thorbecke (FGT). Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan (poverty), yaitu; (1) incidence of poverty (insiden kemiskinan), (2) depth of poverty (kedalaman kemiskinan) dan (3) severity of poverty (keparahan kemiskinan). Pertama, insiden kemiskinan (incidence of poverty) menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pendapatan per kapita (yang didekati dari pengeluaran konsumsi) di bawah garis kemiskinan. Indeksnya disebut head-count index yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. Kedua, kedalaman kemiskinan (depth of poverty) mendeskripsikan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin.
242
Ketiga, keparahan kemiskinan (severity of poverty) menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan
kemiskinan
(squared
poverty
gaps).
Indikator
ini
selain
memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Untuk menghitung ketiga indikator kemiskinan tersebut di atas, maka data pendapatan rumahtangga berdasarkan golongan rumahtangga (yang didekati dari data pengeluaran), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pendapatan masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin. Terdapat dua pendekatan untuk menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar penghitungan indikator kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi. Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau Equivalence Scales (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumahtangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekuivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori. 7.1. Karakteristik Pendapatan Kelompok Rumahtangga Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka penghitungan pendapatan masing-masing individu dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kedua yaitu skala ekivalensi (equivalence scale). Adapun garis kemiskinan (poverty line) ditetapkan berdasarkan standar BPS tahun 2008 di perdesaan sebesar Rp 161 831 per bulan per kapita, di perkotaan sebesar Rp 204 869 per bulan per kapita, dan di perkotaan plus di perdesaan sebesar Rp 185 636 per bulan per kapita maka dapat diketahui jumlah rumahtangga yang miskin dan tidak miskin dari setiap kelompok rumahtangga, apabila berada di bawah garis kemiskinan. Perhitungan sebelum melakukan analisis kemiskinan, maka data pendapatan yang diproksi dengan data pengeluaran pada SUSENAS tahun 2008
243
dipetakan kedalam 8 kelompok rumahtangga sesuai dengan pengelompokkan rumahtangga pada SNSE tahun 2008, seperti yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Masing-masing rumahtangga didisagregasi menjadi miskin dan tidak miskin berdasarkan nilai garis kemiskinan (GK) yang ditetapkan oleh BPS Tahun 2008. Karakteristik pendapatan kedelapan kelompok rumahtangga tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut Kelompok Rumahtangga No.
Kelompok Rumah Tangga
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14. 15. 16.
Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah desa miskin Bukan pertanian golongan bawah desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah dkota miskin Bukan pertanian golongan bawah dkota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Penduduk (persen) 3.00 8.80 4.04 11.69 4.97 9.71 8.74 14.00 0.39 1.35 6.61 9.78 2.59 2.32 5.09 6.92
Pendapatan (Rp 000) Rataan 163.51 291.08 156.33 280.36 227.69 225.28 221.72 228.80 180.33 240.59 217.78 230.99 211.07 238.11 195.36 243.93
Min
Mak
0.22 185.64 0.34 183.64 0.83 161.91 1.04 161.87 0.81 161.84 0.16 206.31 0.09 204.72 0.01 204.88
185.64 1504.63 183.63 1301.54 161.81 944.75 161.73 1016.19 161.83 1401.44 204.41 914.98 204.68 1029.98 204.86 1503.30
Sumber: Susenas, 2008 (Data diolah) Berdasarkan Tabel 36, nampak bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga berkisar antara Rp. 156 330 sampai Rp. 280 360, dengan rata-rata pendapatan terendah diterima oleh kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan dan rata-rata pendapatan tertinggi diterima oleh kelompok rumahtangga pengusaha pertanian di perkotaan sebesar Rp 280 360. Tingkat pendapatan minimum berkisar antara Rp. 10 000 (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan miskin) sampai Rp. 204 880 (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan tidak miskin), sedangkan tingkat pendapatan maksimum berkisar antara Rp. 161 730 (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan miskin) sampai Rp. 1 503 030 (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan tidak miskin).
244
7.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kemiskinan Data pendapatan dari sisi pengeluaran untuk pangan dan non-pangan yang diperoleh dari data SUSENAS 2008 tersebut selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi kemiskinan pada setiap kelompok rumahtangga Selanjutnya data tersebut digunakan untuk mengevaluasi insiden kemiskinan (poverty incidence) pada setiap kelompok rumahtangga, kedalaman kemiskinan (depth of poverty) dan keparahan kemiskinan (severity of poverty). Dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kemiskinan pada jangka pendek disajikan pada Tabel 37 (Lampiran 7), dan pada jangka panjang pada Tabel 38 (Lampiran 8). Tabel 37. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.2531 -0.0250 -0.0339 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2377 -0.0144 -0.0358 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2152 -0.0150 -0.0427 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2050 -0.0327 -0.0691 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3315 0.0483 0.0589 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2029 -0.0160 -0.0043 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2032 -0.0522 -0.0766 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2438 -0.0319 -0.0400 0.0000 0.0000 0.0000
Keterangan: α=0 adalah poverty indicence atau head count ratio, α=1 adalah poverty depth (poverty gap), dan α=2 adalah poverty severity
Sumber: Data diolah Pada Tabel 37 dan Tabel 38 dapat dilihat bahwa kebijakan subsidi pupuk berdampak pada penurunan indeks rasio kemiskinan (headcount index atau poverty incidence), indeks kesenjangan kemiskinan (poverty depth) dan indeks intensitas kemiskinan (poverty severity) di masing-masing kelompok rumahtangga. Dilihat berdasarkan indikator kemiskinan (headcount index, poverty depth dan poverty severity) yang paling besar mengalami penurunan di masing-masing
245
kelompok rumahtangga secara berturut-turut adalah intensitas kemiskinan, kesenjagan kemiskinan dan rasio kemiskinan. 7.2.1. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Insiden Kemiskinan Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence/ head count ratio), menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan untuk kategori rumah tangga miskin bernilai 100 persen dan kategori tidak miskin nol persen. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin benar-benar yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan. Dalam penelitian ini kemiskinan hanya terjadi pada rumah tangga miskin baik di perkotaan maupun di perdesaan dan dalam kondisi dasar maupun ketika terdapat kebijakan. Dampak kebijakan subsidi pupuk mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh kelompok rumahtangga miskin di perdesaan. Pada jangka pendek, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kemiskinan rumah tangga di perkotaan sebagian besar justru mengalami penurunan kemiskinan, kecuali pada kelompok rumahtangga miskin bukan pertanian golongan atas di perdesaan. Penurunan kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha, keduanya mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar (0.253 persen) dan (0.238 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar (0.3315 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas di perdesaan. Temuan ini selaras dengan hasil kajian Haryono (2004), bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan, memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas
garis
kemiskinan.
Dengan
demikian,
adanya
perbaikan
struktur
perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan rumah tangga miskin di perdesaan lebih besar daripada rumah tangga miskin di perkotaan.
246
Demikian pula dalam jangka panjang (lihat Tabel 38), menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh kelompok rumahtangga miskin baik di perdesaan maupun di perkotaan. Pada kelompok rumah tangga miskin di pedesaan pada kisaran (0.205 persen) dan (0.332 persen), sedangkan di perkotaan pada kisaran (0.203 persen) hingga (0.244 persen). Adapun untuk rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian sebagai buruh dan pengusaha menurunkan tingkat kemiskinan sebesar, masingmasing (0.883 persen) dan (0.892 persen). Secara umum, dalam jangka panjang menunjukkan rumahtangga di perdesaan
cenderung
lebih
tinggi
penurunan
kemiskinannya
daripada
rumahtangga miskin di perkotaan. Hal ini selain disebabkan oleh sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan, memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan, sehingga elastisitas pendapatan rumah tangga miskin di perdesaan lebih elastis terutama pada saat ada perubahan perekonomian. Tabel 38. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Sumber: Data diolah
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.8832 -0.0033 0.2531 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8916 -0.1903 -0.1422 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8978 -0.2932 -0.3654 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8849 -0.3267 -0.4288 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9208 0.0548 0.3433 0.0000 0.0000 0.0000 -0.7918 0.1502 0.4316 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8065 -0.2194 -0.2091 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8327 -0.0110 0.1536 0.0000 0.0000 0.0000
247
7.2.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kedalaman Kemiskinan Analisis berikutnya adalah dampak kebijakan subsidi pangan terhadap kedalaman kemiskinan (poverty gap/depth). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 37 dan Tabel 38. Berdasakan Tabel 37, menunjukkan bahwa dalam jangka pendek dampak kebijakan subsidi pupuk mampu menurunkan tingkat kemiskinan hampir semua kelompok rumahtangga yang miskin yang bekerja di pertanian dan non pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan. Rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian (0.025 persen) sebagai buruh dan (0.014 persen) sebagai pengusaha. Rumahtangga miskin yang bekerja di sektor bukan pertanian di pedesaan terjadi penurunan kemiskinan pada rumahtangga golongan bawah (0.015 persen) dan bukan golongan angkatan kerja (0.033 persen). Dampak pada kelompok rumahtangga
miskin di perkotaan terjadi pada semua
rumahtangga, yaitu terbesar (0.053 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan golongan kerja dan terendah di perdesaan golongan bawah (0.016 persen). Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kebijakan subsidi pupuk akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap harga pupuk bersubsidi lebih murah. Pada jangka panjang, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kedalaman kemiskinan mampu menurunkan tingkat kemiskinan hampir semua kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian baik di perdesaan dan di perkotaan, kecuali pada golongan rumah tangga golongan atas di perdesaan dan rumahtangga golongan bawah perkotaan. Penurunan kedalaman kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai buruh (0.003 persen) dan sebagai pengusaha (0.190 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan tingkat kemiskinan terbesar (0.327 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja di perdesaan sedangkan terendah di perdesaan untuk golongan atas (0.293 persen). Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan terbesar (0.219 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.011 persen) pada rumahtangga golongan atas. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut
248
yang mempunyai akses lebih besar terhadap pangan murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. 7.2.3. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Keparahan Kemiskinan Terakhir, analisis keparahan kemiskinan (severity of poverty), yang dianggap mampu selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut dibandingkan analisis sebelumnya. Hal ini secara detail dapat dilihat pada Tabel 37 dan Tabel 38. Berdasakan Tabel 37, pada jangka pendek menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk mampu menurunkan keparahan kemiskinan hampir semua kelompok rumahtangga yang miskin yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan, kecuali rumahtangga golongan atas di perdesaan. Dampak penurunan keparahan kemiskinan pada rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian (0.034 persen) sebagai buruh dan (0.036 persen) sebagai pengusaha. Rumahtangga miskin yang bekerja di sektor bukan pertanian di pedesaan terjadi penurunan kemiskinan terbesar pada rumahtangga bukan angkatan kerja (0.069 persen) dan terkecil pada rumahtangga golongan bawah (0.043 persen). Dampak pada kelompok rumahtangga miskin di perkotaan terjadi pada semua rumahtangga, yaitu terbesar (0.077 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan golongan kerja dan terendah pada rumahtangga di perdesaan golongan bawah (0.004 persen). Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kebijakan subsidi pupuk mampu mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap harga pupuk bersubsidi yang lebih murah. Pada jangka panjang, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap keparahan kemiskinan mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada golongan rumah tangga sebagai pengusaha pertanian, golongan atas perdesaan,b ukan angkatan kerja perdesaan dan perkotaan. Penurunan keparahan kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai pengusaha (0.142 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan
249
keparahan kemiskinan terbesar (0.365 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga golongan bawah di perdesaan dan (0.429 persen) bukan angkatan kerja di perdesaan. Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan (0.209 persen) hanya pada rumahtangga bukan angkatan kerja. 7.3. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kemiskinan Seperti halnya pada analisis dampak kebijakan subsidi pupuk, analisis dampak kebijakan subsidi benih mempunyai pola yang sama. Secara lebih jelas analisis dampak kebijakan subsidi benih ini dapat dilihat pada Tabel 39 dan Tabel 40. Kebijakan subsidi benih berdampak pada penurunan indeks rasio kemiskinan (headcount index atau poverty incidence), indeks kesenjangan kemiskinan (poverty depth) dan indeks intensitas kemiskinan (poverty severity) di masingmasing kelompok rumahtangga miskin. Dilihat berdasarkan indikator kemiskinan (headcount index, poverty depth dan poverty severity) yang paling besar mengalami penurunan di masing-masing kelompok rumahtangga secara berturutturut adalah intensitas kemiskinan, kesenjagan kemiskinan dan rasio kemiskinan. Analisis dampak kebijakan benih terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence/ headcount ratio) jangka pendek dan jangka panjang disajikan pada Tabel 39 (Lampiran 9) dan Tabel 40 (Lampiran 10). Berdasarkan pada Tabel 39, pada jangka pendek menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi benih terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence/ headcount ratio), menunjukkan penurunan kemiskinan terjadi pada semua rumahtangga baik bekerja pada sektor pertanian dan bukan pertanian. 7.3.1. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Insiden Kemiskinan Penurunan insiden kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha, keduanya mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar (0.422 persen) dan (0.451 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar di perdesaan (0.551 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas dan terkecil (0.456 persen) pada bukan angkatan kerja. Selanjutnya, penurunan insiden kemiskinan diperkotaaan terbesar
250
(0.315 persen) rumahtangga golongan bawah dan terkecil (0.213 persen) rumahtangga golongan atas). Pada jangka panjang (lihat Tabel 40), dampak kebijakan subsidi benih terhadap insiden kemiskinan mampu kemiskinan pada semua kelompok rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian baik di perdesaan dan di perkotaan. Penurunan insiden kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai buruh (0.959 persen) dan sebagai pengusaha (0.970 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan tingkat kemiskinan terbesar (0.984 persen) rumahtangga golongan bawah dan terendah (0.979 persen) rumahtangga golongan atas. Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan terbesar (0.913 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.880 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi benih akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap pangan murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. Tabel 39. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Sumber: Data diolah
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.4219 -0.0403 -0.0489 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4511 -0.0435 -0.0947 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5087 -0.0883 -0.1761 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4558 -0.1204 -0.2149 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5506 0.0168 0.0252 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3151 -0.0135 0.0102 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2310 -0.0580 -0.0856 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2130 -0.0290 -0.0365 0.0000 0.0000 0.0000
251
Baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, temuan ini selaras dengan hasil kajian Haryono (2004), bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan, memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya perbaikan struktur perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan rumah tangga miskin di perdesaan lebih besar daripada rumah tangga miskin di perkotaan. 7.3.2. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kedalaman Kemiskinan Analisis dampak kebijakan benih terhadap kedalaman kemiskinan (poverty gap/depth) pada jangka pendek dan jangka panjang disajikan pada Tabel 39 dan Tabel 40. Berdasarkan pada Tabel 7.4, memberikan gambaran bahwa pada jangka pendek dampak kebijakan subsidi benih terhadap kedalaman kemiskinan menunjukkan penurunan kemiskinan terjadi pada semua rumahtangga baik bekerja pada sektor pertanian dan bukan pertanian, kecuali rumahtangga bukan angkatan kerja. Penurunan kedalaman kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai bur uh maupun pengusaha, keduanya mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar (0.040 persen) dan (0.044 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar di perdesaan (0.120 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja (0.088 persen) pada golongan bawah. Selanjutnya, penurunan kedalaman kemiskinan di perkotaaan terbesar (0.058 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.014 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Selanjutnya, analisis dilakukan pada jangka panjang (lihat pada Tabel 7.5), dampak kebijakan subsidi benih terhadap kedalaman kemiskinan mampu menurunkan kemiskinan hanya pada dua
kelompok rumahtangga yaitu
rumahtangga golongan atas di perdesaan (0.088 persen) dan rumahtangga bukan angkatan kerja di perkotaan (0.103 persen). Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi benih akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi
252
kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap pangan murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. Tabel 40. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.9599 0.4697 1.3598 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9743 0.2003 0.8542 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9840 0.0179 0.3656 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9820 -0.0884 0.1482 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9797 0.6148 2.0640 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8803 0.3580 0.8785 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9128 -0.1026 0.1016 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9077 0.1414 0.4937 0.0000 0.0000 0.0000
Sumber: Data diolah
7.3.3. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Keparahan Kemiskinan Analisis keparahan kemiskinan (severity of poverty), yang dianggap mampu selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut dibandingkan analisis sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabrel 39 dan Tabel 40. Berdasakan Tabel 39, pada jangka pendek menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk mampu menurunkan keparahan kemiskinan hampir semua kelompok rumahtangga yang miskin yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan, kecuali rumahtangga golongan atas di perdesaan. Dampak penurunan kemiskinan pada rumahtangga miskin yang bekerja di sektor pertanian (0.034 persen) sebagai buruh dan (0.036 persen) sebagai pengusaha. Rumahtangga miskin yang bekerja di sektor bukan pertanian di pedesaan terjadi penurunan kemiskinan terbesar pada rumahtangga bukan angkatan kerja (0.069 persen) dan terkecil pada rumahtangga golongan bawah
253
(0.043 persen). Dampak pada kelompok rumahtangga miskin di perkotaan terjadi pada semua rumahtangga, yaitu terbesar (0.077 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan golongan kerja dan terendah pada rumahtangga di perdesaan golongan bawah (0.004 persen). Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kebijakan subsidi pupuk mampu mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap harga pupuk bersubsidi yang lebih murah. Pada jangka panjang, dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap keparahan kemiskinan mampu menurunkan tingkat kemiskinan hampir semua golongan rumah tangga, kecuali rumahtangga golongan atas di perdesaan dan rumahtangga golongan bawah di
perkotaan. Penurunan
keparahan
kemiskinan pada
rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai buruh (0.049 persen) dan pengusaha (0.945 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan keparahan kemiskinan terbesar (0.215 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja dan (0.176 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan terbesar (0.086 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.037 persen) pada rumahtangga golongan atas. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut mempunyai akses lebih besar terhadap nemih murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. 7.4. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kemiskinan Seperti halnya pada analisis dampak kebijakan subsidi pupuk dan benih, analisis dampak kebijakan subsidi pangan dalam menganalisisnya mempunyai pola yang sama. Secara lebih jelas analisis dampak kebijakan subsidi benih ini dapat dilihat pada Tabel 41 (Lampiran 11) dan Tabel 42 (Lampiran 12). Kebijakan subsidi benih berdampak pada penurunan indeks rasio kemiskinan (headcount index atau poverty incidence), indeks kesenjangan kemiskinan (poverty depth) dan indeks intensitas kemiskinan (poverty severity) di masing-masing kelompok rumahtangga miskin. Dilihat berdasarkan indikator kemiskinan (headcount index,
254
poverty depth dan poverty severity) yang paling besar mengalami penurunan di masing-masing kelompok rumahtangga secara berturut-turut adalah intensitas kemiskinan, kesenjagan kemiskinan dan rasio kemiskinan. 7.4.1. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Insiden Kemiskinan Analisis dampak kebijakan subsidi pangan terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence/ headcount ratio) jangka pendek dan jangka panjang disajikan pada Tabel 41. dan Tabel 42. Berdasarkan pada Tabel 41 nampak bahwa pada jangka pendek dampak kebijakan subsidi pangan terhadap insiden kemiskinan menunjukkan penurunan kemiskinan terjadi hampir pada semua rumahtangga baik bekerja pada sektor pertanian dan bukan pertanian, terkecuali pada rumahtangga bukan angkatan kerja di perkotaan dan rumahtangga golongan atas di perkotaan. Penurunan insiden kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha, keduanya mengalami penurunan masing-masing sebesar (0.047 persen) dan (0.094 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar di perdesaan (0.188 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas dan terkecil (0.134 persen) pada bukan angkatan kerja. Selanjutnya, penurunan insiden kemiskinan di perkotaaan hanya (0.019 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Berdasarkan Tabel 42 nampak bahwa dampak kebijakan subsidi pangan terhadap insiden kemiskinan mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada semua kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian baik di perdesaan dan di perkotaan. Penurunan insiden kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai buruh (0.587 persen) dan sebagai pengusaha (0.634 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan tingkat kemiskinan terbesar (0.786 persen) rumahtangga golongan atas dan terendah (0.649 persen) rumahtangga bukan angkatan kerja. Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan terbesar (0.424 persen) pada rumahtangga golongan bawah dan terkecil (0.399 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja.
255
Tabel 41. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.0470 -0.0069 -0.0084 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0942 -0.0079 -0.0154 0.0000 0.0000 0.0000 -0.1599 -0.0078 -0.0269 0.0000 0.0000 0.0000 -0.1340 -0.0247 -0.0478 0.0000 0.0000 0.0000 -0.1878 0.0223 0.0301 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0194 -0.0014 -0.0009 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0220 0.0249 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0464 0.0500 0.0000 0.0000 0.0000
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Sumber: Data diolah Temuan tersebut
menunjukkan bahwa
kebijakan subsidi
pangan
mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap aksesibiltas beras bersubsidi dengan harga murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. Baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan, memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya perbaikan struktur perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan rumah tangga miskin di perdesaan lebih besar daripada rumah tangga miskin di perkotaan. 7.4.2. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kedalaman Kemiskinan Analisis
dampak
kebijakan
subsidi
pangan
terhadap
kedalaman
kemiskinan (poverty gap/depth) pada jangka pendek dan jangka panjang secara lebih detail dapat disajikan pada Tabel 41 dan Tabel 42. Berdasarkan pada Tabel
256
41, memberikan gambaran bahwa pada jangka pendek dampak kebijakan subsidi pangan terhadap kedalaman kemiskinan menunjukkan penurunan kemiskinan terjadi pada hampir pada semua rumahtangga baik bekerja pada sektor pertanian dan bukan pertanian, kecuali rumahtangga bukan angkatan kerja di perdesaan, rumahtangga bukan angkatan kerja di perkotaan dan rumahtangga golongan atas di perkotaan. Tabel 42. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.5874 -0.0607 -0.0643 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6337 -0.1204 -0.2015 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6837 -0.1958 -0.3169 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6493 -0.2310 -0.3599 0.0000 0.0000 0.0000 -0.7864 0.0543 0.1319 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4240 -0.0128 0.0291 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3995 -0.0912 -0.1343 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4149 -0.0614 -0.0665 0.0000 0.0000 0.0000
Sumber: Data diolah Penurunan kedalaman kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun sebagai pengusaha, keduanya mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar (0.007 persen) dan (0.008 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar di perdesaan (0.025 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja (0.008 persen) pada golongan bawah. Selanjutnya, penurunan kedalaman kemiskinan di perkotaaan hanya (0.001 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Selanjutnya, analisis dilakukan pada jangka panjang (lihat Tabel 42, dampak kebijakan subsidi pangan terhadap kedalaman kemiskinan mampu menurunkan kemiskinan hampir pada semua kelompok rumahtangga, kecuali rumahtangga golongan atas di perdesaan. Penurunan kedalaman kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun
257
sebagai pengusaha, keduanya mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar (0.061 persen) dan (0.120 persen). Penurunan kedalaman kemiskinan terbesar di perdesaan (0.231 persen) pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja (0.196 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Selanjutnya, penurunan kedalaman kemiskinan di perkotaaan terbesar (0.091 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.013 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi pengan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap pangan harga murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. Artinya, pendapatan pada rumahtangga tersebut sangat elastis terhadap perubahan harga pangan. 7.4.3. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Keparahan Kemiskinan Analisis dampak kebijakan subsidi pangan terhadap keparahan kemiskinan (severity of poverty) dapat dilihat pada Tabrel 41 dan 42. Berdasakan Tabel 41 pada jangka pendek menunjukkan bahwa dampak kebijakan subsidi pangan mampu menurunkan keparahan kemiskinan beberapa kelompok rumahtangga yang miskin yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian baik yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan. Rumahtangga
yang diperdesaan pada
rumahtangga golongan bawah dan rumahtangga bukang angkatan kerja, sedangkan di perkotaan hanya pada rumah tangga golongan bawah. Dampak kebijakan subsidi
pangan tersebut terhadap
kemiskinan
rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian (0.008 persen) sebagai buruh dan (0.015 persen) sebagai pengusaha. Rumahtangga miskin yang bekerja di sektor bukan pertanian di pedesaan terjadi penurunan kemiskinan terbesar pada rumahtangga golongan bawah (0.023 persen) dan terkecil pada rumahtangga bukan angkatan kerja (0.048 persen). Dampak pada kelompok rumahtangga di perkotaan terjadi hanya pada rumahtangga golongan bawah (0.001 persen). Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kebijakan subsidi pangan mampu mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut
258
yang mempunyai akses lebih besar terhadap harga pupuk bersubsidi yang lebih murah. Pada jangka panjang (Tabel 42), dampak kebijakan subsidi pangan terhadap keparahan kemiskinan mampu menurunkan tingkat kemiskinan tidak semua golongan rumah tangga. Diantara rumahtangga yang turun kemiskinannya adalah rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, dan rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian pada rumahtangga golongan bawah dan bukan angkatan kerja baik di perdesaan maupun di perkotaan. Penurunan keparahan kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai buruh (0.064 persen) dan pengusaha (0.212 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan keparahan kemiskinan terbesar (0.359 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja dan (0.317 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan terbesar (0.134 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.067 persen) pada rumahtangga golongan atas. Temuan ini menunjukkan kebijakan subsidi pupuk dan subsidi pangan mempunyai golongan rumahtangga yang sama dalam mendapatkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut mempunyai akses lebih besar terhadap pangan murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya.
7.5. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan Analisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian merupakan gabungan simulasi kebijakan subsidi pupuk, benih dan pangan secara bersamaan dilakukan shock. Tidak jauh berbeda dalam menganalisis seperti analisis sebelumnya, bahwa analisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian dalam menganalisis kemiskinan mempunyai pola yang sama. Secara lebih jelas analisis dampak kebijakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 43 untuk jangka pendek dan dan Tabel 44 untuk jangka panjang.
259
7.5.1. Dampak Ke bijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Insiden Kemiskinan Analisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian (kebijakan subsidi pupuk, benih dan pangan secara bersama-sama) terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence/ head count ratio) jangka pendek dan jangka panjang disajikan pada Tabel 43 (Lampiran 13) dan Tabel 44 (Lampiran 14). Pada jangka pendek, seperti tercantum pada Tabel 43, nampak bahwa dampak kebijakan tersebut terhadap insiden kemiskinan menunjukkan penurunan kemiskinan terjadi hampir pada semua rumahtangga baik bekerja pada sektor pertanian dan bukan pertanian dengan nilai penurunan yang tinggi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Tabel 43. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Perubahan (persen) α=0 α=1 α=2 -0.5747 -0.0485 -0.0536 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5851 -0.0952 -0.1701 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6309 -0.1559 -0.2702 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5985 -0.1983 -0.3217 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6961 -0.0105 0.0277 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4433 -0.0116 0.0346 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3659 -0.0869 -0.1271 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3723 -0.0524 -0.0594 0.0000 0.0000 0.0000
Sumber: Data diolah Penurunan insiden kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha secara berurutan sebesar (0.575 persen) dan (0.585 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar di perdesaan (0.696 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas dan terkecil (0.599 persen) pada bukan angkatan kerja. Selanjutnya, penurunan insiden kemiskinan di perkotaaan terbesar (0.372 persen) pada rumahtangga golongan atas dan terkecil (0.366 persen) pada rumahtagga bukan angkatan kerja. Penurunan kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan
260
diperkotaan. Hal ini diduga bahwa rumahtangga miskin di perdesaan memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Analisis jangka panjangnya dapat dilihat pada Tabel 44. Nampak bahwa dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap insiden kemiskinan mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada semua kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian baik di perdesaan dan di perkotaan. Penurunan insiden kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sebagai buruh (0.982 persen) dan sebagai pengusaha (0.992 persen). Pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perdesaan penurunan tingkat kemiskinan terbesar (0.995 persen) rumahtangga golongan bawah dan terendah (0.991 persen) rumahtangga golongan atas. Selanjutnya pada rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian di perkotaan penurunan terbesar (0.973 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan terkecil (0.935 persen) pada rumahtangga bawah. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap aksesibiltas beras bersubsidi dengan harga murah di bandingkan kelompok rumah tangga yang lainnya. Baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan, memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. 7.5.2. Dampak Ke bijakan Fiskal Kedalaman Kemiskinan
pada
Sektor
Pertanian
terhadap
Analisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap kedalaman kemiskinan (poverty gap/depth) pada jangka pendek dan jangka panjang disajikan pada Tabel 43 dan Tabel 44. Menurut Tabel 43 menggambarkan pada jangka pendek dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap
261
kedalaman kemiskinan menurunkan kemiskinan pada semua rumahtangga baik bekerja pada sektor pertanian dan bukan pertanian. Penurunan kedalaman kemiskinan pada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun sebagai pengusaha, keduanya mengalami penurunan yaitu masingmasing sebesar (0.049 persen) dan (0.095 persen). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar di perdesaan (0.198 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga bukan angkatan kerja (0.156 persen) pada golongan bawah. Selanjutnya, penurunan kedalaman kemiskinan di perkotaaan terbesar (0.087 persen) pada rumahtangga bukan angkatan kerja dan (0.012 persen) pada rumahtangga golongan bawah. Jika dilihat pada besaran nilai penurunan ternyata rumah tangga di perdesaan yang bekerja di sektor bukan pertanian mengalami penurunan yang paling tinggi dibandingkan yang bekerja di pertanian dan bukan pertanian perkotaan. Hal ini mengindikasikan di perdesaan rumahtangga memiliki tingkat pendapatan pangan dan bukan pangan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan . Selanjutnya, analisis dilakukan pada jangka panjang (lihat Tabel 44), dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap kedalaman kemiskinan tidak
mampu
menurunkan
kemiskinan
hampir
pada
semua
kelompok
rumahtangga, justru sebaliknya. Temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi fiskal pada sektor pertanian tidak mendatangkan manfaat ya ng lebih besar bagi kelompok rumahtangga miskin baik yang mempunyai akses lebih ataupun tidak terhadap pupuk, benih dan pangan yang harganya murah. Artinya, pendapatan pada rumahtangga tersebut sangat inelastis terhadap perubahan kebijakan fiskal pada sektor pertanian. 7.5.3. Dampak Ke bijakan Fiskal Keparahan Kemiskinan
pada
Sektor
Pertanian
terhadap
Analisis dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap keparahan kemiskinan (severity of poverty) dapat dilihat pada Tabrel 43 dan Tabel 44. Berdasakan Tabel 43 menjelaskan bahwa dampak pada jangka pendek menunjukkan bahwa dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian mampu menurunkan keparahan kemiskinan hanya pada beberapa kelompok rumahtangga
262
yang bekerja di sektor pertanian baik buruh (0.054 persen) dan pengusaha (0.171 persen). Tabel 44. Dampak Kebijakan Fiskal pada Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.9820 1.0759 2.7801 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9923 1.3811 3.4705 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9954 0.6913 1.7586 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9947 0.4127 1.1598 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9908 1.7622 4.1051 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9356 0.6612 1.5385 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9731 0.3849 1.1865 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9638 0.5551 1.4215 0.0000 0.0000 0.0000
Sumber: Data diolah Rumahtangga bukan pertanian di perdesaan terjadi penurunan keparahan kemiskinan pada rumahtangga golongan bawah (0.270 persen) dan bukan angkatan kerja (0.322 persen), sedangkan di perkotaan pada rumahtangga bukan angkatan kerja (0.127 persen) dan rumahtangga golongan atas (0.059 persen). Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kebijakan tersebut hanya mampu mendatangkan manfaat bagi kelompok rumahtangga tersebut yang mempunyai akses lebih besar terhadap harga pupuk, benih dan pangan bersubsidi yang harganya lebih murah. Pada jangka panjang, dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap keparahan kemiskinan tidak mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada semua golongan rumahtangga. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi fiskal pada sektor pertanian tidak mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga miskin baik yang mempunyai akses lebih ataupun tidak terhadap pupuk, benih dan pangan yang harganya murah. Artinya, pendapatan pada rumahtangga tersebut sangat inelastis terhadap perubahan kebijakan fiskal pada sektor pertanian.
263
263
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terutama hasil simulasi kebijakan yang dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sesuai dengan perumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.
Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap: a. Kinerja ekonomi makro positif dengan peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran untuk jangka pendek dan pada jangka panjang meningkat. Peningkatan PDB riil tersebut dalam jangka pendek dibentuk oleh variabel nilai tambah agregat meningkat dan neraca perdagangan meningkat sedangkan pada jangka panjang bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil, peningkatan investasi riil, kenaikan indeks volume ekspor, dan kenaikan indeks volume impor. b. Kinerja ekonomi sekoral, dilihat dari aspek output komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari akumulasi kebijakan ini, pada jangka pendek untuk komoditas padi meningkat, kedelai naik, jagung naik, beras naik dan komoditas pupuk naik. Pada jangka panjang, output untuk komoditas padi naik, kedelai naik, jagung naik, komoditas beras naik, dan pupuk. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian secara bersama-sama, terhadap komoditi yang langsung disubsidi mengalami kenaikan output. Hal ini menunjukkan kebijakan subsidi menggeser kurva penawaran ke kanan, akibat dari biaya produksi yang menurun. c. Kinerja ekonomi sekoral, dilihat dari aspek harga output komoditaskomoditas yang terkena dampak langsung dari adanya kebijakan ini, pada jangka pendek harga output sektor padi menurun, sektor kedelai turun, jagung turun, sektor beras menurun dan industri pupuk turun. Pada jangka panjang, harga output untuk komoditas padi turun, komoditas kedelai turun, komoditas jagung turun, komoditas beras turun, dan industri pupuk. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian secara bersama-sama, terhadap komoditi yang langsung disubsidi
264
mengalami penurunan harga output. Hal ini menunjukkan kebijakan subsidi menggeser kurva penawaran ke kanan, akibat dari harga komposit primernya menurun, output yang meningkat dan biaya produksi yang menurun. 2.
Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja yaitu: a. Di perdesaan pada komoditas yang terkena dampak langsung dari kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, diperlihatkan bahwa pada jangka pendek penyerapan tenaga kerja di perdesaan untuk komoditas padi meningkat, kedelai naik, jagung turun, beras naik dan pupuk naik. Pada jangka panjang, penyerapan tenaga kerja untuk komoditas padi naik, kedelai naik, jagung turun, beras naik, dan pupuk. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor pertanian secara bersama-sama, dampak pada komoditas langsung terkena subsidi mengalami kenaikan peyerapan jumlah tenaga kerja di perdesaan. b. Selain di perdesaan, dampak terhadap penyerapan tenaga kerja di perkotaan pada komoditas-komoditas yang terkena dampak langsung dari akumulasi kebijakan ini, seperti komoditas padi, kedelai, jagung, beras dan industri pupuk, diperlihatkan bahwa pada jangka pendek penyerapan tenaga kerja juga terjadi di perkotaan sama dengan di perdesaan, hanya saja besaran perubahan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Pada jangka panjang, penyerapan tenaga kerja untuk komoditas padi naik, kedelai naik, jagung turun, beras naik, dan pupuk juga meningkat.
3.
Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap redistribusi pendapatan riil rumahtangga baik miskin maupun tidak miskin di semua kelompok rumahtangga adalah positif meskipun nilai perubahan berbedabeda, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Besaran perubahan distribusi pendapatan riil pada jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan jangka panjangnya. Apabila dilihat dari pendekatan kuartil, ternyata distribusi pendapatan yang dicapai mayoritas cenderung terjadi pada rumahtangga yang berpendapatan tinggi atau kelas atas yang sebanyak 20
265
persen. Hal ini berarti distribusi pendapatan dengan adanya kebijakan tersebut relatif rendah. 4.
Dampak kebijakan fiskal pada sektor pertanian terhadap penurunan kemiskinan, dengan mekanisme harga sebagai kunci dalam persaingan sempurna, maka kemiskinan dapat: a. Dilihat dari indeks insiden kemiskinan (poverty incidence), pada jangka pendek maupun jangka panjang menurunkan tingkat kemiskinan terjadi pada semua kategori rumahtangga miskin baik yang bekerja pada sektor pertanian maupun di sektor bukan pertanian. b. Dilihat dari indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap/depth) pada jangka pendek, menurunkan jarak/kedalaman kemiskinan terjadi pada semua kategori rumahtangga miskin baik yang bekerja pada sektor pertanian maupun di sektor bukan pertanian. Tetapi, pada jangka panjang sudah tidak mampu menurunkan kemiskinan pada rumahtangga pada kategori manapun. c. Dilihat dari indeks keparahan kemiskinan (severity of poverty) pada jangka pendek dapat menurunkan keparahan kemiskinan rumahtangga miskin yang bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh maupun pengusaha, dan terhadap beberapa kelompok rumahtangga yang bekerja di sektor bukan pertanian, yaitu pada rumahtangga perdesaan golongan bawah miskin, bukan angkatan kerja perdesaan miskin, bukan angkatan kerja perkotaan miskin, dan golongan atas perkotaan miskin. Pada jangka panjang, sudah tidak mampu menurunkan kemiskinan. d. Dilihat dari sisi makro ekonomi bahwa penurunan kemiskinan sangat memerlukan pertumbuhan ekonomi (growth). Pendekatan kekuatan persaingan sempurna mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang membaik tidak dapat dipisahkan dengan penurunan kemiskinan sehingga dalam upaya mengurangi kemiskinan, indikator pertumbuhan ekonomi yang membaik menjadi syarat penting yang harus dipenuhi.
266
8.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan di atas, maka implikasi kebijakan yang disarankan adalah: 1.
Kebijakan fiskal pada sektor pertanian masih diperlukan terutama untuk kelompok rumahtangga miskin di sektor pertanian dan bukan pertanian yang termasuk kelompok rumahtangga berpendapatan rendah baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hal ini disebabkan kelompok rumahtangga tersebut sebagai kelompok rumahtangga yang memiliki keterbatasan daya beli dan akses baik untuk produksi maupun konsumsi.
2.
Pemerintah masih perlu mempertahankan kebijakan fiskal pada sektor pertanian yang berupa subsidi input maupun output yang diiringi dengan dinaikkan besaran nilai subsidi, perbaikan manajemen distribusi, prasarana, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Besaran nilai subsidi yang optimal diharapkan sebesar 15 persen dari keseluruhan total anggaran subsidi yang dialokasikan untuk seluruh sektor. Hal ini dikarenakan hasil temuan menunjukkan secara eksplisit, bahwa dampak kesejahteraan (welfare effect) lebih besar daripada dampak biaya subsidi (cost effect) terhadap masyarakat pada tingkat rumahtangga.
3.
Upaya meningkatkan efektifitas kebijakan fiskal terhadap penyerapan tenaga kerja maka pemerintah perlu melakukan perbaikan pasar tenaga kerja baik tenaga kerja yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme pasar persaingan sempurna dalam penentuan harga atau upah tenaga kerja. Intervensi pemerintah yang perlu dilakukan terlebih dahulu perlu melihat bahwa pasar tenaga kerja berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Diharapkan akan mendorong kenaikan
permintaan
tenaga
kerja
dan
meningkatnya
pendapatan
rumahtangga melalui naiknya upah terutama kategori miskin di perkotaan dan di perdesaan. 4.
Mengingat kebijakan fiskal pada sektor pertanian masih cukup efektif dalam meningkatkan distribusi pendapatan riil rumahtangga sebagai proksi kesejahteraan rumahtangga maka pemerintah perlu mempertahankan dan meningkatkan efektifitas kebijakan tersebut. Salah satu yang harus dilakukan
267
pemerintah dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja baik di perdesaan dan di perkotaan melalui; (1) penciptaan lapangan kerja baru yang bersifat labor intesive di perkotaan dan perdesaan, dan (2) melalui perbaikan mekanisme/sistem penentuan besaran upah riil tenaga kerja baik di perkotaan maupun di perdesaan. 5.
Pengurangan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi besaran persentasenya, diperlukan capaian target pertumbuhan ekonomi melalui kombinasi kebijakan mikro-makroekonomi (MicMac-Policy). Misalnya, dengan kombinasikan kebijakan fiskal pada sektor pertanian dan kebijakan program-program masyarakat/rumahtangga yang berorientasi pada peningkatan produktivitas rumahtangga target (miskin) di tingkat mikro sebagai pelaku produksi dan konsumsi,
seperti
melalui
program-program
pendampingan
dan
pengembangan usaha pertanian baik di perdesaan dan perkotaan. Intervensi pemerintah harus terlebih dahulu mengetahuio mekanisme pasar persaingan sebagai asumsinya kemudian melakukan perubahan dan memperbaiki pertumbuhan yang akan dicapai untuk menurunkan kemiskinan. Diharapkan kebijakan tersebut menjadi instrumen ekonomi yang mampu mendorong penurunan kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. 8.3. Saran Penelitian Lanjutan Berdasarkan implikasi kebijakan, maka penelitian lanjutan disarankan: 1.
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model yang bersifat statik komparatif, maka penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menggunakan model keseimbangan umum yang bersifat dinamik. Hal ini agar dapat merespon dan mensimplifikasi dinamika perubahan waktu secara empiris dan mampu memprediksi untuk jangka waktu tertentu. Di samping itu, perlu juga dilakukan dengan mengestimasi sendiri berbagai parameter/elastisitas yang digunakan dalam model.
2.
Untuk penelitian berikutnya, perlu memasukan blok persamaan mobilitas lahan karena dalam sistem produksi, khususnya model bersifat dinamik, penggunaan input primer lahan, memerlukan lahan yang mobil dalam rangka merespon terhadap perubahan waktu.
268
3.
Untuk meningkatkan akurasi hasil penelitian, sebaiknya dalam penelitian berikutnya dalam melakukan analisis dampak kebijakan fiskal, khususnya kebijakan subsidi input perlu memasukan input tersebut, misalnya pupuk dan benih sebagai input primer pada sistem produksi model yang sejajar dengan input primer lahan, modal dan tanaga kerja.
269
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, A. 2000. Impact of Agriculture Trade and Subsidy Policy on the Macroeconomy, Distribution and Environment in Indonesia: A Strategy for Future Industrial Development. The Developing Economics. 38(4): 547-571. Abimanyu, A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal Di Indonesia: Aplikasi Model Makro-Modfi dan CGE Indorani. Jurnal Ekonomi Indonesia ISEI 1:1-35. ADB. 2010. Asian Development Outlook 2010. Asian Development Bank, Bangkok. Agenor, P.R., D.H.C. Chen and M. Grimm. 2003. Linking Representative Household Model with Household Surveys for Poverty Analysis: A Compariton of Alternative Methodologies. The World Bank and Department of Economics, Yale University, New Heaven. Al-Amin, C. Siwarand A. Hamid. 2005. Impacts Of External Price Shocks On Malaysian Macro Economy-AnApplied General Equilibrium Analysis.Economic Analysis Working Papers, 7(10):1-24. Alesina, A. 2001. The Political Economy of the Budget Surplus in the United States. The Journal of Economic Perspectives, 14(3): 3-19. Alesina, A., S. Ardagna, R. Perotti, and F. Schianterelli. 2002. Fiscal Policy, Profit and Investment. The American Economic Review, 92(3): 571-589. Alfirman, L. dan E. Subianto. 2006. Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causalitu and Vector Autoregression. Jurnal Keuangan Publik, 4(1): 2566. Arifin, B. 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia: Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi. Erlangga, Jakarta. Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Armengol, A.C.and M.O. Jackson (2004). Social Networks in Determining Employment and Wages: Patterns, Dynamics, and Inequality. Journal of Economic Growth, 1: 75-93. Arndt, C., H.T. Jansen and F. Tarp. 1998. Structural Characteristics of the Economy of Mozambique: SAM Based Analysis. Download from http:// www.econ.ku.dk/derg/papers/article/pdf. [15 Desember 2010].
270
Arrow, K.J. and Debreu, G. 1954. Existence of an Equilibrium for a Competitive Economy. Econometrica, 22: 265-290. Asnawi. 2004. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asra, A. 2000. Poverty and Inequality in Indonesia: Estimates, Decomposition, and Key Issues. Journal of the Asia Pasific Economy, 5(2): 91-111. Atkinson, A.B and J.E. Stiglizt. 1976. The Structure of Indirect Taxation and Economic Efficiency. Journal of Public Economics, 1: 97-119. Bacchetta, P. and E.V. Wincoop . 2000. Does Exchange-Rate Satbility Increase Trade and Welfare?. The American Economic Review, 90(5): 1093-1109. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. 2011. Kebijakan Fiskal Mendukung Pertanian Serta Kondisi yang Mempengaruhinya. Pada Kuliah Umum Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. 24 Februari 2011, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik, Jakarta.
Statistik Indonesia Tahun 2010. Badan Pusat
Balisacan, A.M., E.M. Pernia, dan A.Asra. 2003. Revisiting Growth and Poverty Reduction: What Do Subnational Data Show?. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(3): 329-351. Bappenas. 2002. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan: Sebuah Gagasan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Bappenas. 2007. Laporan Akhir Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia. Direktorat Keuangan Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Battharai, K. 2007. Input–Output and General Equilibrium Modelsfor Hull and Humber Region in England.International Atlantic Economic Society Journal, 35(1): 473-490. Bautista, R.M., S. Robinson and M. El-Said. 1999. Alternative Industrial Development Path for Indonesia: SAM and CGE Analysis. International Food Policy Research Institute, Washington DC. Blanchard, O.J. and N. Kiyotaki. 1986. Monopolistic Competition and the Effects of Aggregate Demand. American Economic Review, American Economic Association, 77(4): 647-66 Booth, A. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1): 73-104.
271
Braum dan L. Greenwood. 2007. Pemerintahan Di Asia Makin Menjauhi Petani: Pemberantasan Kemiskinan Makin Sulit. Kompas. 10 Agustus 2007:9, Jakarta. Buehrer, T and F.D. Mauro. 1995. Computable General Equilibrium Model as Tools for Policy Analysis in Developing Countries: Some Basic Principles and an Empirical Application. Banca D’talia, Rome. Calderon, C. and L. Serven. 2004. The Impact of Infrastr uctur Development on Growth and Income Distribution. Downloaded from http:// www.bcentralcl.eng/stdpub/studies/workingpaper/htm/270.htm.[02 Agustus 2009]. Callan, T., B. Nolan, C. Keane, and J.R. Walsh. 2010. Inequality and the Crisis: The DistributionalImpact of Tax Increases and Welfare andPublic Sector Pay Cuts. The Economic and Social Review, 41(4): 461–471. Chambers, R.G. and J. Quiggin. 2005. Output Price Subsidie in a Stochastic World. American Journal of Agricultural Economics, 87(7): 501-508. Cho, G., I.M. Seheldon, and S. McCorriston. 2002. Exchange Rate Uncertainty and Trade. American Journal of Agricultural Economics, 84(4): 931-942. Cockburn, J. 2001. Trade Liberalization and Poverty in Nepal: A Computable General Equilibrium Microsimilation Analysis. Centre for Study of African Economies/CSAE, Nuffield College (Oxford University) and CREFA, Canada: Universite Laval. Quebec. Cororaton, C. and J. Cockburn. 2004. Trade Reform and Poverty in the Phillipines: A Computabel General Equilibrium Microsimulation Analysis. International Development Research Centre, IDRC. Phillipine Institut for Development Studies, Phillipine. Corsetti, G., M. Andre and M. Gernot. 2009. Fiscal Stimulus with Spending Reversal. Working Paper. IMF. Damuri, Y.R. and A.A. Perdana. 2003. The Impact of Fiscal Policy on Income Distribution and Poverty: A CGE Approach for Infonesia. Centre for Strategic and International Studies. CSIS Working Papers Series, Jakarta. Darsono. 2008. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Dengan Penekanan Pada Agroindustri Di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Darwis, V dan A.R. Nurmanaf. 2001. Pengentasan Kemiskinan: Upaya yang Telah Dilakukan dan Rencana Waktu Mendatang. Forum Agro Ekonomi, 19(1): 55-67.
272
Decaluwé, B., A. Patry, L. Savard, and E. Thorbecke. 1999b.Poverty Analysis Within a GeneralEquilibrium Framework, Working paper 99-06, CRÉFA, Universite Laval. Decaluwé, B., A. Patry and L. Savard. 1998. Income Distribution, Poverty Measures and Trade Shocks: A Computable General Equilibrium Model of a Archetype Developing Country. Departement d’ ́ conomique. Universite Laval. Decaluwé, B., J.C. Dumont and L. Savard. 1999a. Measuring Poverty and Inequality in a Computable General Equilibrium Model, Working paper 99-20, CREFA, Universite Laval. Deininger, K and L. Squire. 1998. New Ways of Looking at Old Issues: Inequality and Growth. Journal of Development Economics, 56(2): 259-287. Devarajan, S. and D.S. Go. 1994. The Simplest Dynamic General Equilibrium Model of on Open Economy. World Bank, Washington, DC. Devarajan, S. and D.S. Go. with F.M. Charlier, A. Dabalen, W. R. Easterly, H. Fofack, J. A. Izquierdo, and L. Koryukin.2002. A Macroeconomic Framework for Poverty Reduction Strategy Paperswith an application to Zambia. World Bank, Washington, DC. Devarajan, S. and J.D. Lewis. 1991. Structural Adjustment and Economic Reformin Indonesia: Model-based policies versus rules of thumb. In Reforming Economic Systems in Developing Countries,edited by D. Perkins and M. Roemer. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Devarajan, S., J. D. Lewis, and S. Robinson. 1990. Policy Lessons from TradeFocused, Two-sector Models . Journal of Policy Modeling, 12(4): 625-57 Dirgantoro, M.A. 2010. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perubahan Struktur Output dan Tenaga Kerja Di Provinsi Jawa Barat.Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dixon, P.B., B.R. Parmenter, A.A. Powell and P.J. Wilcoxen. 1992. Notes and Problems in Applied General Equilibrium Economics. North-Holland, Amsterdam. Dixon, P.B., B.R. Parmenter, J. Sutton,and D.P. Vincent. 1982. ORANI: A Multisectoral Model of the Australian Economy. North Holland, Amsterdam. Doré, D. 1993. Land Tenure and the Economics of Rural Transformation: A Study of Strategies to Relieve Land Pressure and Poverty in the Communal Areas of Zimbabwe. Doctoral Dissertation: Oxford University.
273
Duncan, A. and M. Weeks. 1997. Behavioural Tax Microsimulation with Finite Hours Choices. European Economic Review, 41(3-5): 617-626. Estache, A., J. Francois, and L. Savard. 2007. Impact of Infrastructure Sppending in Mali: A CGE Modelling Approach. GREDI Working Paper 07-24. Fan, S.and X.Zhang. 2002. Production and Productivity Growth in Chinese Agriculture: New Nation and Regional Measures. Economic Development and Cultural Change, 50(4): 819-838. Fan, S., P.Hazell and S. Thorat. 1999. Linkages between Government Spending, Growth and Poverty in Rural India. Research Report 110. International Food Policy Institute, Washington DC. Fane, G and P. Warr. 2002. How Economic Growth Reduces Poverty: A General Equilibrium Analysis for Indonesia. Discussion Paper No.2002/19. United Nations University/ WIDER. Australian National University, Australia. Foster, J., J. Greer, and E. Thorbecke. 1984. A Class a Decomposable Poverty Measures. Econometrica, 52(3): 761-766. Francois, J.F., B.J. Mcdonald and H.Nordström, 1997. Liberalization and Capital Accumulation in the GTAP Model, GTAP Technical Paper No.7, Centre for Global Trade Analysis, Purdue University, Purdue. Fugile, K.O. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture of year 1961-2000. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(2): 209 -225. Fukuchi, T dan S. Tukunaga. 1999. Simulation Analysis of Exchange Rate Dynamics: The Case of Indonesia. The Developing Economics, 37(1): 3538. Gillig, DandB.A. McCarl. 2002. Note on Formulating and Solving Computable General Equilibrium Model with GAMS.Lecturing Material for Department of Agricultural EconomicsTexas A&M University. Hall, V.B. and D. Rae. 1998. Fiscal Expantion, Monetary Policy, Interest Rate Risk Premia, and Wage Reactions. Economic Modelling, 15: 621-640. Handoko, R dan Patriadi, P. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi Non-BBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 9(4): 42-64. Haryono, D. 2008. Dampak Industrialisasi Pertanian Terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Pedesaan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hayami, Y dan V. Ruttan. 1985. Agricultural Development: Revised and Expanded Edition. Johns Hopkins University, New York.
274
He, D., Z. Zhiwei and Z. Wenlang. 2009. How Much will be the Effect of China’s Fiscal Stimulus Package on Output and Employment. Hongkong: HMA Working Paper 05. Herjanto, E. 2003. Dampak Kebijakan Perdagangan Luar Negeri terhadap Kinerja Sektor Agroindustri Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hicks, J. 1957. A Rehabilitation of “Classical” Economics?. Economic Journal, 67: 278-289 Horison, G. 1997. Computabel General Equilibrium Models. Downloaded from http:// www.mobidk.dk.bt./-mobi-cge.htm [06 November 2009]. Horridge, J., B.R. Parmenterand K.R. Pearson. 1993. ORANI-F: A General Equilibrium Model of the Australian Economy. JournalEconomic and Financial Computing, 3: 71-140. Horridge, J. 2002. ORANIGRD: a Recursive Dynamic version of ORANIG. Downloaded fromhttp:// www.monash.edu.au/policy/oranigrd[06 November 2003]. Howitt, P. 1985. Transaction Costs in the Theory of Unemployment. American Economic Review, 75(1): 88-100. Hulu, W. 1995. Topologi Model Komputasi Keseimbangan Umum. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 85(1):55-95. Hussain, A. and A. Chowdhury. 2001. Open-Economy Macroeconomic for Developing Countries. Edward Elger, Cheltenham, Northampton. Hutahean, P., Purwiyanto, A. Hadiyanto, Askolani, dan S.L. Rahayu. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Fiskal. Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan RI, Jakarta. James, S. And C. Nobes. 1992. The Economics of Taxation. Fourth Edition. Prentice Hall International, United Kingdom. Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Justianto, A. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Karp, L. 2007. Income Distribution and the Allocation of Public Agricultural Investment in Developing Countries. Background Paper for 2008, World Development Report 1-17, University of California, Berkeley.
275
Karras, G. 2011. Exchange-Rate Regimes and the Effectiveness of Fiscal Policy. Journal of Economic Integration, 26(1): 29-44. Kementerian Keuangan RI. 2009. Mengatasi Dampak Krisis Global melalui Program Stumulasi APBN 2009. Jakarta: Depkeu. Kniesner, T.J and J.P. Ziliak. 2002. Tax Reform and Automatic Stabilization. The American Economic Review, 92(3): 590-612. Koundouri, P., C. Naouges, and V. Tzouvelekas. 2006. Technology Adaption Under Production Uncertainty: Theory and Application to Irrigation Technology. American Journal of Agricultural Economics, 88(3): 657670. Krishna, P. and D. Mitra. 1998. Trade Liberalization, Market Discipline and Productivity Growth. New Evidence from India. Journal of Development Economics, 56(2): 447-462. Kuznet, S. 1966. Modern Economic Growth: Rate, Structure and Spread. Yale University Press, New Heaven. Leamer, E.E. 1988. The Sensitivity of International Comparisons of Capital Stock Measures to Different “Real” Exchange Rates. The American Economic Review, 78(2): 479-483. Lewis, B.D. 2005. Indonesian Local Government Spending, Taxing and Saving: An Explanation of Pre and Post-decentralization Fiscal Outcomes. Asian Economic Journal, 19(3): 291-317. Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. Manchaster School of Economic and Social Studies, 22:139-191. Lofgren, H. 2001. External Shock and Domestic Poverty Allevation: Simulation with CGE Model of Malawi. TMD Discussion Paper No.71. Trade and Macroeconomics Division. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Lucas, R.E. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22(1): 3-42. Mahi, R. 2002. Strategi Pembiayaan Pelayanan Publik Era Otonomi Daerah: Pengalaman Internasional dan Indonesia. Analisis CSIS, 31(4): 422-435. Maipita, I., M.D. Jantan, N.A.A. Rajak. 2010. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi dan Angka Kemiskinan di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 12(4): 421-456. Mangkuprawira, S. 2000. Analisis Perilaku Pasar Kerja di Wilayah Jawa dan Bali. Mimbar Sosek, 23(1): 60-78.
276
Mankiw, N.G. 2007. Teori Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Marcellino, M. 2006. Some Styled Facts on Non-Sistematic Fiscal Policy in the Euro Area. Journal of Macroeconmics, 28(2): 39-59. Martin, Wand P.G.Warr. 1993. Explaining the Relative Declaine of Agriculture: A Supply-Side Analysis for Indonesia. The World Bank Economic Review, 7(3): 381-401. Mai, Y, X. Peng, P.B. Dixon, and M.T. Rimmer. 2009. The Effect of Facilitating the Flow of Rural Workers to Urban Employment in China. The Centre of Policy Studies (CoPS), Monash University. Meier, G.M. and R.E. Baldwin. 1973. Economic Development : Theory, History, Policy. Oxford University Press, New York. Mirrless, J.A. 1976. An Exploration in the Theory of Optimum Income Taxation. Review of Economic Studies, 38: 175-208. Mountford, A. and H. Uhlig. 2005. What are the Effects of the Fiscal Policy Shock?, SFB 649 Discussion Paper 2005-039, Hambold University. Musgrave, R.A. 1989. Fublic Finance in Theory and Practice. McGraw -Hill, Singapore. Musjeri, M.K. 2002. Bangladesh: Bringing Poverty Focus in Rural Infrastructur Development. Discussion Paper November 2002: Issue in Employment and Povery. Recovery and Reconstuction Department International Labour Office, Genewa. Muslim, A. 2002. Structural Adjusment in Agriculture in Asia and The Pasific: Indonesia. Asian Productivity Organization, Tokyo. Myles, G.D. 1997. Public Economic. Cambridge University Press, Cambridge. Nanga, M. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, W. 2002. Teori Ekonomi Mikro: Prinsip dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nolan, B. 2009. Income Inequality and Public Policy. The Economic and Social Review, 40(4): 489-510.
277
Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy: Concept and Experiences. Food and Agricultural Organization and Jhon Wiley and Sons Ltd. West Sussex. Nugoroho, H.J. 2010. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oktaviani, R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalization on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector. Ph.D Thesis. The SydneyUniversity, Sydney. Oktaviani, R. 2001. Implication of APEC Trade Liberalization and Other Changes for Indonesia Economy, Quarterly Review of the Indonesian Economy. Bisnis dan Ekonomi Politik, 4(1): 2-43. Oktaviani, R. dan Sahara. 2005b. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Sektor Pertanian, Agroindustri dan Rumah Tangga Pertanian di Indonesia. Working Paper Series No. IWP/001/2005. Intercafe, Bogor. Oktaviani, R., E. Puspitawati dan Sahara. 2005a. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Sektor Pendidikan Terhadap Ekonomi Indonesia dan Distribusi Pendapatan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, 6(1) April. Oktaviani, R., Sahara dan E. Puspitawati. 2006. The Impact of Increasing Skilled Labor Supply on Indonesian Economy and Income Distribution. Indonesian Economic Journal, 1: 61-87. Oktaviani, R. 2011. Model Ekonomi Keseimbangan Umum. Teori dan Aplikasinya di Indonesia. PT. Penerbit IPB Press. Pakpahan, A. 2004. Mengapa Kita Tertinggal? Karena Kita Lalai Akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat. Dalam Rekonsiliasi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian: Beberapa Pandangan Kritis Menyongsong Masa Depan. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Jakarta. Paula, D.L., P. Siegel and G. Pompelli.1999. Economic Growth with Endogenous Human Capital and Income Inequality. Agricultural Experiment Station. Intitute of Agricultural, University of Tannessee. Priyarsono, D.S., A. Daryanto, dan L. Herlina. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Agroekonomika, (35)1:37-48. PSE UGM, LPEM FEUI, dan PSP IPB. 2004. Pertanian, Transformasi Struktural Tenaga Kerja dan Pembangunan Pedesaan di Indonesia. PSE Universitas Gadjah Mada, LPEM-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, PSP Institut Pertanian Bogor, Bogor.
278
Ramos, X., and O.R. Sagales. 2008. Long-Term Effects of Fiscal Policy on the Size and Distribution of the Pie in UK. Fiscal Studies, 29(3): 387-411. Ratnawati, A. 1996. Kebijakan Penurunan Tarif Impor dan Pajak Ekspor, Kinerja Perekonomian, Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ratnawati, A. dan T.W. Boediarso. 2009. Dukungan Kebijakan Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Menghadapi Krisis Ekonomi Global. di dalam: Oktaviani et al., editor. Orange Book: Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Global. Bogor: IPB Press, hlm: 3-37. Ravallion, M. 2001. Poverty Comparisons. The World Bank, Washington DC. Riadi, M. 2010. Dampak Kebijakan Stimulus Fiskal Bidang Infrastruktur Padatkarya Terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Romer, D. 2006. Advanced Macroeconomics. Third Edition. McGraw-Hill, Singapore. Rowe, N. 1987. An extreme Keynesian Macro-economic Model with Formal Micro-foundations.Canadian Journal of Economics, 20(2): 306–20. Rozelle, S. And J.F.M.Swinnen. 2004. Success and Failure of Reform: Insights from the Transition o Agriculture. Journal of Economic Literature, 42: 404-456. Sadoulet, E. and A. de Janvry. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Jhon Hopkins University Press, London. Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sastrosunarto, H. 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Savard, L. 2003. Poverty and Income Distribution in A CGE-Household Sequential Model. International Development Research Centre, IDRCDakkar, Senegal. Sayogyo. 1971. Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Di Daerah Istimewa Yogyakarta 1984-1987. Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Download dari: http://202.259.18.43/jsi/2lch.htm. [17 September 2010]
279
Schumpeter, J. A. 1911. The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle. Transaction Publishers. Downloaded fromhttp://www.newworldencyclopedia.org/ entry/Joseph_ Schumpeter [12 Januari 2010] Scrimgeour, F.G. and Pasour, F.C,1996. A Public Choice Perspective on Agricultural Policy Reform: Implications of the New Zealand experience. AJAE, 1996 :257-267 Silva, A.K. and M. Horridge. 1996. Economies of Scale and Imperfect Competition in an Applied General Equilibrium Model of the Australian Economy. Working Paper No OP-84. Centre of Policy Studies and the Impact Project, Monash University, Melbourne. Simatupang, P., D.K.S. Sandra, M. Syukur, E. Basuno, S. Mardianto, K. Kariyasa, dan M. Maulana. 2004. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian: Respon Terhadap Isu Aktual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam Pembanguan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H. 2002. Empirical Evaluation of Rival Theories of the Business Cycle: Application of Structural VAR Models to New Zealand Economy. Ph.D Thesis. Lincoln University, Canterbury. Siregar, H. 2008. Penguatan Ketahanan Pangan, Pengembangan Bio Energi: Bagaimana Menghindari Trade off-nya? Seminar Perhipunan Ekonomi Pertanian Indonesia. 7 Mei 2008, Jakarta. Sitepu, R.K. 2007. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendaftaran Terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Spencer, M.H.andO.M. Amos. 1993. Contemporary Macroeconomics. Worth Press, New York. Subiyantini, M. 2000. Model Keseimbangan Umum Terapan: Suatu Alternatif Alat Analisis Kebijakan. Jurnal KEBI, 3(4):1-9. Subiyantoro, H. dan S. Riphat. 2004. Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas. Sudarsono, 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Sudiyono. 1985. Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan Permintaan Agregatif. Liberty, Yogyakarta.
280
Sukirno, S. 2005. Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dan Klasik hingga Keynessian Baru. Rajawali Press, Jakarta. Sumedi dan Supadi. 2004. Kemiskinan di Indonesia: Suatu Fenomena Ekonomi. Icaserd Working Paper No.21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suparmoko, M. 2004. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik. Edisi Kelima. BPFE, Yogyakarta. Susanto, R.D. 2005. Swasembada Pangan dan Kemiskinan Pedesaan. Paper Mata Kuliah Perencanaan dan Pertumbuhan Ekonomi, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susilowati, S.H. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto, dan Khudori. 2005. Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional: Argumen Teoritis, Faktual dan Startegi Kebijakan. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Tambunan, T.H.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tambunan, T.T.H.2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tanninen, H. 1999. Income Inequality, Government Expenditure and Growth. Applied Economics, 31: 17-37. Tanuwijaya, E., and V. Jep. 2007. Macroeconomic Developments of the Indonesian Economy with Special Reference to Financial Crisis and Policy Conduct. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 22(3): 243-267. Taufikurohman, M.R. 2004. Dampak Peningkatan Produktivitas Pangan terhadap Kinerja Sektoral dan Ekonomi Makro Indonesia: Analisis Ekonomi Keseimbangan Umum. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
281
Todaro, M.P.and S.C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan. Penerbit Erlangga. Turnovsky, S.J. 1981. Macroeconomic Analysis and Stabilization Policy. Cambridge University Press, Cambridge. Vazquez, J.M. 2004. The Impact of Fiscal Policy on The Poor: Fiscal Incidence Analysis. ISP Working Paper 1-10, Georgia State University, Georgia. Wibisono, Y. 2005. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Empiris Antar Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5(2): 91-120. Wittwarr, G. 1999.WAYANG: a General Equilibrium Model Adapted for the Indonesian Economy. Edition prepared for ACIAR Project no 9449. CIES, University of Adelaide (in association with RSPAS, ANU, CASER, Bogor, and CSIS, Jakarta). Wobst, P. 2001. Structural Adjusment and Intersectoral Shifts in Tanzania: A Computable General Equilibrium Analisis. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington, D.C. Woglom, G. 1982. Underemployment Equilibrium with Rational Expectations. QuarterlyJournal of Economics, 97(1): 89–107. World Bank. 2006. World Development Indicators. The World Bank, Washington DC. Xu, Y. 1994. Trade Liberalization in China: a CGE Model with Lewis’ Rural Surplus Labor. China Economic Review, 5(2): 205-219. Yeah, K.L., J.F. Yanagida and H. Yamauchi. 1994. Evaluation of External Market Effects and Government Intervention in Malaysia’s Agricultural Sector: A Computable General Equilibrium Framework.Agricultural Economics, 11:237-56. Yeyati, E.L. and Sturzenegger. 2003. To Flat or to Fix: Evidence on the Impact of Exchange Rate Regimes on Growth. The American Economic Review, 93(4):1173-1193. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yudhoyono, S.B. dan Harniati (2004). Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi? Brighten Press, Bogor.
282
Yusdja, Y.E., E. Basuno, M. Ariani dan T.B. Purwantini.2003. Kebijakan Sistem Usaha Pertanian dan Program Kemiskinan dalam Mendukung Pengentasan Kemiskinan Petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Zhang, X. and S. Fan. 2004. How Productive is Infrastructure?: A New Approach and Evidence from Rural India. American Journal of Agricultural Economics, 86(2): 492-50.
285
Lampiran 1. Input File Model WAYANG Modifikasi yang Digunakan dalam Penelitian !---------------------------------------------------------------------- ! ! TABLO Input file for the WAYANG02 model at July 2012: 40 sectors ! ! Modified for Dissertation by M. RIZAL TAUFIKUROHMAN as ! ! Static Comparative Model ! !----------------------------------------------------------------------! ! Excerpt 1 of TABLO input file: ! ! Definitions of sets ! Set COM # Commodities # (Padi, Kedelai, Jagung, UmbiKacang, SayurBuah, TanMakLain, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, OilGas, BtbaraLgm, KilangMnyk, MakMinTem, Beras, TPT, BambuKayuRtn, PulpKrts, Pupuk, Pestisida, KimiaKaret, Semen, LgmBsBj, BrgLgm, MsnAngktn, IndLain, Gas, ListrikAir, Bangunan, Perdagangan, RestHotel, KeretaApi, AngkDarat, AngkAir, AngkUdara, JsAngktn, Komunikasi, Keuangan, JsPemerintah, JsLain); SRC # Source of commodities # (dom,imp); IND # Industries #\ (Padi, Kedelai, Jagung, UmbiKacang, SayurBuah, TanMakLain, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, OilGas, BtbaraLgm, KilangMnyk, MakMinTem, Beras, TPT, BambuKayuRtn, PulpKrts, Pupuk, Pestisida, KimiaKaret, Semen, LgmBsBj, BrgLgm, MsnAngktn, IndLain, Gas, ListrikAir, Bangunan, Perdagangan, RestHotel, KeretaApi, AngkDarat, AngkAir, AngkUdara, JsAngktn, Komunikasi, Keuangan, JsPemerintah, JsLain);
! s !
OCC # Occupation types # (rural,urban); MAR !(Trade, Transport); m ! (Bangunan, Perdagangan, RestHotel, AngkDarat, AngkAir, AngkUdara,JsAngktn, Komunikasi, Keuangan, JsLain);
! o !
Subset MAR is subset of COM; Set NONMAR # Non-margin commodities # = COM - MAR;
! n !
Set TRADEXP # Traditional exports # (Perkebunan, BtbaraLgm, OilGas, TPT); Subset TRADEXP is subset of COM; Set NTRADEXP # Nontraditional Export Commodities # = COM - TRADEXP; Set EXOGINV # Exogenous investment industries # (Bangunan, Perdagangan, RestHotel, AngkDarat, AngkAir, AngkUdara,JsAngktn, Komunikasi, Keuangan, JsLain); Subset EXOGINV is Subset of IND; Set ENDOGINV # 'endogenous' investment industries # = IND - EXOGINV; SET HH #household types# (rural1-rural10, urban1-urban6); SET AGRIFAC # Agricultural factors #(rural,varcap,land,fert) ; SET N_AGRIFAC # Non-agricultural factors # (labcomp, fixcap, varcap) ; SET FACNF # All factors except fertiliser # (rural,urban,fixcap,varcap,land); SET KAP # Types of capital #(fixcap ,varcap ) ; SET AGFACNF #Agri. factors excluding fertiliser# (rural,varcap,land); Set AGIND (Padi, Kedelai, Jagung, UmbiKacang, SayurBuah, TanMakLain, Perkebunan,Peternakan, Kehutanan, Perikanan);
286
Lampiran 1. (Lanjutan) SET FERTIL (Pupuk); SUBSET AGFACNF IS SUBSET OF AGRIFAC; AGFACNF IS SUBSET OF FACNF; KAP IS SUBSET OF FACNF; OCC IS SUBSET OF FACNF; AGIND IS SUBSET OF IND; FERTIL IS SUBSET OF COM; KAP IS SUBSET OF N_AGRIFAC; SET N_AGIND = IND - AGIND; SET NONFERT = COM - FERTIL; ! Excerpt 2 of TABLO input file: ! ! Variables relating to commodity flows ! Variable ! Basic Demands for commodities (excluding margin demands) ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x1(c,s,i) # Intermediate basic demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x2(c,s,i) # Investment basic demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) x3(c,s,h) # Household basic demands #; (all,c,COM) x4(c) # Export basic demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC) x5(c,s) # Government basic demands #; (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) delx6(c,s) # Inventories demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)
p0(c,s)
# Basic prices by commodity and source #;
! Technical or Taste Change Variables affecting Basic Demands ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) a1(c,s,i) # Intermediate basic tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) a2(c,s,i) # Investment basic tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC) a3(c,s) # Household basic taste change #; (all,c,COM)(all,s,SRC) f5(c,s) # Government demand shift #; ! Margin Usage on Basic Flows ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x1mar(c,s,i,m)# (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x2mar(c,s,i,m)# (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) x3mar(c,s,m,h) (all,c,COM)(all,m,MAR) x4mar(c,m) # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) x5mar(c,s,m) #
Intermediate margin demands #; Investment margin demands #; # Household margin demands #; Export margin demands #; Government margin demands #;
! Technical Change in Margins Usage ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) a1mar(c,s,i,m) # Intermediate margin tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) a2mar(c,s,i,m) # Investment margin tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) a3mar(c,s,m) # Household margin tech change #; (all,c,COM)(all,m,MAR) a4mar(c,m) # Export margin tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) a5mar(c,s,m) # Governmnt margin tech change #; ! Powers of Commodity Taxes on Basic Flows ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t1(c,s,i) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t2(c,s,i) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) t3(c,s,h) (all,c,COM) t4(c) (all,c,COM)(all,s,SRC) t5(c,s)
# Power of tax on intermediate #; # Power of tax on investment #; # Power of tax on household #; # Power of tax on export #; # Power of tax on government #;
287
Lampiran 1. (Lanjutan) ! Purchaser's Prices (including margins and taxes) ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) p1(c,s,i)# Purchaser's price, intermediate #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) p2(c,s,i)# Purchaser's price, investment #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) p3(c,s,h) # Purchaser's price, household #; (all,c,COM) p4(c) # Purchaser's price, exports rupiah#; (all,c,COM)(all,s,SRC) p5(c,s) # Purchaser's price, government #; ! Excerpt 3 of TABLO input file: ! ! Variables for primary-factor flows, commodity supplies and import duties ! ! Variables relating to usage of labour, occupation o, in industry i ! (all,i,IND)(all,o,OCC) x1lab(i,o) # Employment by industry and occupation #; (all,i,IND)(all,o,OCC) p1lab(i,o) # Wages by industry and occupation #; !(all,i,IND) a1lab_o(i) # Labor augmenting technical change #; (all,i,IND)(all,o,OCC) f1lab(i,o) # Wage shift variable #;! ! Variables relating to usage of fixed capital in industry i ! (all,i,IND) x1cap(i) # Current capital stock #; (all,i,IND) p1cap(i) # Rental price of capital #; !(all,i,IND) a1cap(i) # Capital augmenting technical change #;! ! Variables relating to usage of land ! (all,i,AGIND) x1lnd(i) # Use of land #; (all,i,AGIND) p1lnd(i) # Rental price of land #; !(all,i,IND) a1lnd(i) # Land augmenting technical change #;! ! Variables relating to "Other Costs" ! (all,i,IND) x1oct(i) # Demand for "other cost" tickets #; (all,i,IND) p1oct(i) # Price of "other cost" tickets #; (all,i,IND) a1oct(i) # "other cost" ticket augmenting techncal change#; (all,i,IND) f1oct(i) # Shift in price of "other cost" tickets #; ! Variables relating to (all,c,COM)(all,i,IND) (all,c,COM) (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)
commodity supplies, import duties and stocks ! q1(c,i) # Output by commodity and industry #; t0imp(c) # Power of tariff #; fx6(c,s)
# Shifter on rule for stocks #;
! Excerpt 4 of TABLO input file: ! ! Variables describing composite commodities ! ! Demands for import/domestic commodity composites ! (all,c,COM)(all,i,IND) x1_s(c,i) # Intermediate use of imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,i,IND) x2_s(c,i) # Investment use of imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) x3_s(c,h) # Household use of imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) x3lux(c,h) # Household - supernumerary demands #; (all,c,COM)(all,h,HH) x3sub(c,h) # Household - subsistence demands #; ! Effective Prices of import/domestic commodity composites ! (all,c,COM)(all,i,IND) p1_s(c,i) # Price, intermediate imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,i,IND) p2_s(c,i) # Price, investment imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) p3_s(c,h) # Price, household imp/dom composite #; ! Technical or Taste Change Variables (all,c,COM)(all,i,IND) a1_s(c,i) # (all,c,COM)(all,i,IND) a2_s(c,i) # (all,c,COM)(all,h,HH) a3_s(c,h) # (all,c,COM)(all,h,HH) a3lux(c,h) # (all,c,COM)(all,h,HH) a3sub(c,h) #
for import/domestic composites ! Tech change, int'mdiate imp/dom composite #; Tech change, investment imp/dom composite #; Taste change, h'hold imp/dom composite #; Taste change, supernumerary demands #; Taste change, subsistence demands #;
288
Lampiran 1. (Lanjutan) ! Excerpt 5 of TABLO input file: ! ! Miscellaneous vector variables ! Variable (all,i,IND) (all,i,IND) (all,i,IND) (all,i,IND) (all,c,COM)
a1prim(i) a1tot(i) a2tot(i) employ(i) f0tax_s(c)
# # # # #
All factor augmenting technical change #; All input augmenting technical change #; Neutral technical change - investment #; Employment by industry #; General sales tax shifter #;
!***MODIFIED****! (all,i,IND) f0taxi(i) #sales tax to Intermediate Good shifter#; (all,c,COM) (all,h,HH) f0tax(c,h) #sales tax to HH shifter#; !***MODIFIED****! (all,o,OCC) f1lab_i_x(o) # Skill-specific labour shifter #; !(all,i,IND) f1lab_o(i) # Industry-specific wage shifter #;! (all,c,COM) f4p(c) # Price (upward) shift in export demand schedule # ; (all,c,COM) f4q(c) # Quantity (right) shift in export demands #; (All,c,COM) p0com(c) # Output price of locally-produced commodity #; (all,c,COM) p0dom(c) # Basic price of domestic goods = p0(c,"dom") #; (all,c,COM) p0imp(c) # Basic price of imported goods = p0(c,"imp") #; (all,i,IND) p1lab_o(i) # Price of labour composite #; (all,o,OCC) p1lab_i(o) # Price of labour for each skill #; (all,i,IND) p1prim(i) # Effective price of primary factor composite #; (all,i,IND) p1tot(i) # Average input/output price #; (all,i,IND) p2tot(i) # Cost of unit of capital #; (All,c,COM) pe(c) # Basic price of export commodity #; (all,c,COM) pf0cif(c) # C.I.F. foreign currency import prices #; (all,c,COM) x0com(c) # Output of commodities #; (all,c,COM) x0dom(c) # Output of commodities for local market #; (all,c,COM) x0imp(c) # Total supplies of imported goods #; (all,o,OCC) x1lab_i(o) # Employment by occupation #; (all,o,OCC)(all,h,HH) x1lab_i_h(o,h) # Household labour supply #; (all,i,IND) x1lab_o(i) # Effective labour input #; (all,i,IND) x1prim(i) # Primary factor composite #; (all,i,IND) x1tot(i) # Activity level or value-added #; (all,i,IND) x2tot(i) # Investment by using industry #; ! Excerpt 6 of TABLO input file: ! ! Scalar or macro variables ! Variable (change) delB # %(Balance of trade)/GDP #; !employ_i # Aggregate employment: wage bill weights #;! !f1lab_io # Overall wage shifter #;! f1tax_csi # Uniform % change in powers of taxes on intermediate usage #; f2tax_csi # Uniform % change in powers of taxes on investment #; f3tax_cs # Uniform % change in powers of taxes on household usage #; f3tot # Ratio, consumption/income #; (all,h,HH)f3tot_h(h)# Ratio, consumption/income by hh#; f4p_ntrad # Upward demand shift, non-traditional export aggregate #; f4q_ntrad # Right demand shift, non-traditional export aggregate #; f4tax_ntrad # Uniform % change in powers of taxes on nontradtnl exports #; f4tax_trad # Uniform % change in powers of taxes on tradtnl exports # ; f5tax_cs # Uniform % change in powers of taxes on government usage #; f5tot # Overall shift term for government demands #; f5tot2 # Ratio between f5tot and x3tot #;
289
Lampiran 1. (Lanjutan) p0cif_c # Imports price index, C.I.F., rupiah #; p0gdpexp # GDP price index, expenditure side #; p0imp_c # Duty-paid imports price index, rupiah #; p0realdev # Real devaluation #; p0toft # Terms of trade #; p1cap_i # Average capital rental #; p1lab_io # Average nominal wage #; p2tot_i # Aggregate investment price index #; p3tot # Consumer price index #; p4_ntrad # Price, non-traditional export aggregate #; p4tot # Exports price index #; p5tot # Government price index #; p6tot # Inventories price index #; phi # Exchange rate, rupiah/$world #; (all,h,HH)q(h) # Number of households #; realwage # Average real wage #; (all,h,HH)utility(h) # Utility per household #; w0cif_c # C.I.F. rupiah value of imports #; w0gdpexp # Nominal GDP from expenditure side #; w0gdpinc # Nominal GDP from income side #; w0imp_c # Value of imports plus duty #; w0tar_c # Aggregate tariff revenue #; w0tax_csi # Aggregate revenue from all indirect taxes #; w1cap_i # Aggregate payments to capital #; w1lab_io # Aggregate payments to labour #; w1lnd_i # Aggregate payments to land #; w1oct_i # Aggregate "other cost" ticket payments #; w1tax_csi # Aggregate revenue from indirect taxes on intermediate #; w2tax_csi # Aggregate revenue from indirect taxes on investment #; w2tot_i # Aggregate nominal investment #; (all,h,HH)w3lux(h)# Total nominal supernumerary household expenditure # ; w3tax_cs # Aggregate revenue from indirect taxes on households #; (all,h,HH)w3tot_hh(h)# Nominal total consumption, each household #; (all,h,HH)x3tot_hh(h)# Nominal total consumption, each household #; (all,h,HH)p3tot_hh(h)# Nominal total consumption, each household #; w3tot # Nominal total household consumption #; w4tax_c # Aggregate revenue from indirect taxes on export #; w4tot # rupiah border value of exports #; w5tax_cs # Aggregate revenue from indirect taxes on government #; w5tot # Aggregate nominal value of government demands #; w6tot # Aggregate nominal value of inventories #; x0cif_c # Import volume index, C.I.F. weights #; x0gdpexp # Real GDP from expenditure side #; x0imp_c # Import volume index, duty-paid weights #; x1cap_i # Aggregate capital stock, rental weights #; x1prim_i # Aggregate output: value-added weights #; x2tot_i # Aggregate real investment expenditure #; x3tot # Real household consumption #; x4_ntrad # Quantity, non-traditional export aggregate #; x4tot # Export volume index #; x5tot # Aggregate real government demands #; x6tot # Aggregate real inventories #; ! Excerpt 7 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to basic commodity flows ! File
MDATA
# Data file #;
290
Lampiran 1. (Lanjutan) Coefficient ! Basic Flows of Commodities! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1BAS(c,s,i) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2BAS(c,s,i) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3BAS(c,s,h) (all,c,COM) V4BAS(c) (all,c,COM)(all,s,SRC) V5BAS(c,s) (all,c,COM)(all,s,SRC) V6BAS(c,s) Read V1BAS from file MDATA header "1BAS"; V2BAS from file MDATA header "2BAS"; V3BAS from file MDATA header "3BAS"; V4BAS from file MDATA header "4BAS"; V5BAS from file MDATA header "5BAS"; V6BAS from file MDATA header "6BAS"; Update (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1BAS(c,s,i) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2BAS(c,s,i) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3BAS(c,s,h) (all,c,COM) V4BAS(c) (all,c,COM)(all,s,SRC) V5BAS(c,s)
# Intermediate basic flows #; # Investment basic flows #; # Household basic flows #; # Export basic flows #; # Government basic flows #; # Inventories basic flows #;
= p0(c,s)*x1(c,s,i); = p0(c,s)*x2(c,s,i); = p0(c,s)*x3(c,s,h); = pe(c)*x4(c); = p0(c,s)*x5(c,s);
Coefficient (all,c,COM)(all,s,SRC) LEVP0(c,s) # Levels basic prices #; Formula (Initial) (all,c,COM)(all,s,SRC) LEVP0(c,s) = 1; ! arbitrary setting ! Update (all,c,COM)(all,s,SRC) LEVP0(c,s) = p0(c,s); (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) V6BAS(c,s) = V6BAS(c,s)*p0(c,s)/100 + LEVP0(c,s)*delx6(c,s); Coefficient ! Margin Flows! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V1MAR(c,s,i,m) # Intermediate margins #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V2MAR(c,s,i,m) # Investment margins #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) V3MAR(c,s,m,h) # Households margins #; (all,c,COM)(all,m,MAR) V4MAR(c,m) # Export margins #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) V5MAR(c,s,m) # Government margins #; Read V1MAR from file MDATA header "1MAR"; V2MAR from file MDATA header "2MAR"; V3MAR from file MDATA header "3MAR"; V4MAR from file MDATA header "4MAR"; V5MAR from file MDATA header "5MAR"; Update (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V1MAR(c,s,i,m) = p0dom(m)*x1mar(c,s,i,m); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V2MAR(c,s,i,m) = p0dom(m)*x2mar(c,s,i,m); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) V3MAR(c,s,m,h) = p0dom(m)*x3mar(c,s,m,h); (all,c,COM)(all,m,MAR) V4MAR(c,m) = p0dom(m)*x4mar(c,m); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) V5MAR(c,s,m) = p0dom(m)*x5mar(c,s,m);
291
Lampiran 1. (Lanjutan) ! Excerpt 8 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to commodity taxes ! Coefficient ! Taxes on Basic Flows! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1TAX(c,s,i) # Taxes on intermediate #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2TAX(c,s,i) # Taxes on investment #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3TAX(c,s,h) # Taxes on households #; (all,c,COM) V4TAX(c) # Taxes on export #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5TAX(c,s) # Taxes on government #; Read V1TAX from file MDATA header "1TAX"; V2TAX from file MDATA header "2TAX"; V3TAX from file MDATA header "3TAX"; V4TAX from file MDATA header "4TAX"; V5TAX from file MDATA header "5TAX"; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1TAX(c,s,i) = V1TAX(c,s,i)* [x1(c,s,i) + p0(c,s)]/100 + [V1BAS(c,s,i)+V1TAX(c,s,i)]*t1(c,s,i)/100; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2TAX(c,s,i) = V2TAX(c,s,i)* [x2(c,s,i) + p0(c,s)]/100 + [V2BAS(c,s,i)+V2TAX(c,s,i)]*t2(c,s,i)/100; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3TAX(c,s,h) = V3TAX(c,s,h)* [x3(c,s,h) + p0(c,s)]/100 + [V3BAS(c,s,h)+V3TAX(c,s,h)]*t3(c,s,h)/100; Update (change) (all,c,COM) V4TAX(c) = V4TAX(c)* [x4(c) + pe(c)]/100 + [V4BAS(c)+V4TAX(c)]*t4(c)/100; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) V5TAX(c,s) = V5TAX(c,s)*[x5(c,s) + p0(c,s)]/100 + [V5BAS(c,s)+V5TAX(c,s)]*t5(c,s)/100; ! Excerpt 9 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to primary-factor flows ! Coefficient ! Primary Factor and Other Industry costs! (all,k,KAP)(all,i,N_AGIND) V1CAPN(k,i) # Capital rentals by mobility #; (all,i,AGIND) V1CAPA (i) # Capital rentals, agri. #; (all,i,IND) V1CAP(i) # Capital rentals #; (all,i,IND)(all,o,OCC) V1LAB(i,o) # Wage bill matrix #; (all,i,IND) V1LND(i) # Land rentals #; (all,i,IND) V1OCT(i) # Other cost tickets #; Read V1CAPN from file MDATA header "1CAP"; V1CAPA from file MDATA header "1CAG"; V1LAB from file MDATA header "1LAB"; V1LND from file MDATA header "1LND"; V1OCT from file MDATA header "1OCT"; Update !(all,i,IND) V1CAP(i) = p1cap(i)*x1cap(i);! (all,i,IND)(all,o,OCC) V1LAB(i,o) = p1lab(i,o)*x1lab(i,o); (all,i,AGIND) V1LND(i) = p1lnd(i)*x1lnd(i); (all,i,IND) V1OCT(i) = p1oct(i)*x1oct(i); ! Excerpt 10 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to commodity outputs and import duties ! Coefficient (all,c,COM)(all,i,IND) MAKE(c,i) # Multiproduction matrix #; Read MAKE from file MDATA header "MAKE"; Update (all,c,COM)(all,i,IND) MAKE(c,i)= p0com(c)*q1(c,i);
292
Lampiran 1. (Lanjutan) Coefficient (all,c,COM) V0TAR(c) # Tariff revenue #; Read V0TAR from file MDATA header "0TAR"; Coefficient (all,c,COM) V0IMP(c) # Total basic-value imports of good c #; ! V0IMP(c) is needed to update V0TAR: it is declared now and defined later ! Update (change) (all,c,COM) V0TAR(c) = V0TAR(c)*[x0imp(c)+pf0cif(c)+phi]/100 + V0IMP(c)*t0imp(c)/100; ! Excerpt 11 of TABLO input file: ! ! Aggregates and shares of flows at purchasers' prices ! Coefficient ! Flows at Purchasers prices ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1PUR(c,s,i) # Intermediate purch. value #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2PUR(c,s,i) # Investment purch. value #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3PUR(c,s,h) # Households purch. value #; (all,c,COM) V4PUR(c) # Export purch. value #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5PUR(c,s) # Government purch. value #; Formula (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1PUR(c,s,i) = V1BAS(c,s,i) + V1TAX(c,s,i) + sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m) }; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2PUR(c,s,i) = V2BAS(c,s,i) + V2TAX(c,s,i) + sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m) }; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3PUR(c,s,h) = V3BAS(c,s,h) + V3TAX(c,s,h) + sum{m,MAR,V3MAR(c,s,m,h) }; (all,c,COM) V4PUR(c) = V4BAS(c) + V4TAX(c) + sum{m,MAR, V4MAR(c,m) }; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5PUR(c,s) = V5BAS(c,s) + V5TAX(c,s) + sum{m,MAR, V5MAR(c,s,m) }; Coefficient ! Flows at Purchaser's prices: Domestic + Imported Totals ! (all,c,COM)(all,i,IND) V1PUR_S(c,i) # Dom+imp intermediate purch. value #; (all,c,COM)(all,i,IND) V2PUR_S(c,i) # Dom+imp investment purch. value #; (all,c,COM) V1PUR_SI(c) # Dom+imp intermediate purch. value #; (all,c,COM) V2PUR_SI(c) # Dom+imp investment purch. value #; (all,c,COM)(all,h,HH) V3PUR_S(c,h) # Dom+imp households purch. value #; Formula (all,c,COM)(all,i,IND) V1PUR_S(c,i) = sum{s,SRC, V1PUR(c,s,i) }; (all,c,COM)(all,i,IND) V2PUR_S(c,i) = sum{s,SRC, V2PUR(c,s,i) }; (all,c,COM) V1PUR_SI(c) = sum{i,IND, V1PUR_S(c,i) }; (all,c,COM) V2PUR_SI(c) = sum{i,IND, V2PUR_S(c,i) }; (all,c,COM)(all,h,HH) V3PUR_S(c,h) = sum{s,SRC,V3PUR(c,s,h)}; Coefficient ! Source Shares in Flows at Purchaser's prices ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S1(c,s,i) # Intermediate source shares #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S2(c,s,i) # Investment source shares #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) S3(c,s,h) # Households source shares #; Zerodivide Default 0.5; Formula (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S1(c,s,i) = V1PUR(c,s,i) / V1PUR_S(c,i); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S2(c,s,i) = V2PUR(c,s,i) / V2PUR_S(c,i); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) S3(c,s,h) = V3PUR(c,s,h)/V3PUR_S(c,h); Zerodivide Off; ! Excerpt 12 of TABLO input file: ! ! Cost and usage aggregates ! Coefficient ! Industry-Specific Cost Totals ! (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)V1FAC(f,i)# Total factor input to ind. i, agri.#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)V1FACO(f,i) # Total factor input non-agri. #; (all,i,IND) V1LAB_O(i) # Total labour bill in industry i #;
293
Lampiran 1. (Lanjutan) (all,i,IND) V1PRIM(i) # Total factor input to industry i#; (all,i,IND) V1TOT(i) # Total cost of industry i #; (all,i,IND) V2TOT(i) # Total capital created for industry i #; (all,o,OCC) V1LAB_I(o) # Total wages, occupation o #; Formula (all,i,IND) V1LAB_O(i) = sum{o,OCC, V1LAB(i,o) }; (all,i,AGIND) V1CAP(i) = V1CAPA(i); (all,i,AGIND) V1FAC("rural",i) = V1LAB_O(i); (all,i,AGIND) V1FAC("varcap",i) = V1CAPA(i); (all,i,AGIND) V1FAC("fert",i) =V1PUR_S("Pupuk",i); (all,i,AGIND) V1FAC("land",i) =V1LND(i); (all,i,N_AGIND)V1CAP(i) = sum{k,KAP,V1CAPN(k,i) }; (all,k,KAP)(all,i,N_AGIND) V1FACO(k,i) = V1CAPN(k,i); (all,i,N_AGIND) V1FACO("labcomp",i) =V1LAB_O(i); (all,i,AGIND) V1PRIM(i) = sum{f,AGRIFAC,V1FAC(f,i)}; (all,i,N_AGIND) V1PRIM(i) = sum{f,N_AGRIFAC,V1FACO(f,i)}; (all,i,AGIND)V1TOT(i) = V1PRIM(i) + V1OCT(i) + sum{c,NONFERT,V1PUR_S(c,i) }; (all,i,N_AGIND)V1TOT(i) = V1PRIM(i) + V1OCT(i) + sum{c,COM, V1PUR_S(c,i) }; (all,i,IND) V2TOT(i) = sum{c,COM, V2PUR_S(c,i) }; (all,o,OCC) V1LAB_I(o) = sum{i,IND, V1LAB(i,o) }; Coefficient (all,c,COM) MARSALES(c) # Total usage for margins purposes #; Formula (all,m,MAR) MARSALES(m) = sum{c,COM, V4MAR(c,m) + sum{s,SRC,sum{h,HH,V3MAR(c,s,m,h)} + V5MAR(c,s,m) + sum{i,IND, V1MAR(c,s,i,m) + V2MAR(c,s,i,m) }}}; Formula (all,n,NONMAR) MARSALES(n) = 0.0; Coefficient (all,c,COM) DOMSALES(c) # Total sales to local market #; Formula (all,c,COM) DOMSALES(c) = sum{i,IND, V1BAS(c,"dom",i) + V2BAS(c,"dom",i) } + sum(h,HH,V3BAS(c,"dom",h)) + V5BAS(c,"dom") + V6BAS(c,"dom") +MARSALES(c); Coefficient (all,c,COM) SALES(c) # Total sales of domestic commodities #; Formula (all,c,COM) SALES(c) = DOMSALES(c) + V4BAS(c); ! Coefficient (all,c,COM) V0IMP(c) # Total basic-value imports of good c #; ! ! above had to be declared prior to V0TAR update statement! Formula (all,c,COM) V0IMP(c) = sum{i,IND, V1BAS(c,"imp",i) + V2BAS(c,"imp",i) } + sum{h,HH,V3BAS(c,"imp",h)} + V5BAS(c,"imp") + V6BAS(c,"imp"); Coefficient (all,c,COM) V0CIF(c) # Total ex-duty imports of good c #; Formula (all,c,COM) V0CIF(c) = V0IMP(c) - V0TAR(c); ! Excerpt 13 of TABLO input file: ! ! Income-Side Components of GDP ! Coefficient V1TAX_CSI V2TAX_CSI V3TAX_CS V4TAX_C V5TAX_CS V0TAR_C V0TAX_CSI
! # # # # # # #
Total Total Total Total Total Total Total Total
indirect tax revenues ! intermediate tax revenue #; investment tax revenue #; households tax revenue #; export tax revenue #; government tax revenue #; tariff revenue #; indirect tax revenue #;
294
Lampiran 1. (Lanjutan) Formula V1TAX_CSI V2TAX_CSI V3TAX_CS V4TAX_C V5TAX_CS V0TAR_C V0TAX_CSI Coefficient V1CAP_I V1LAB_IO V1LND_I V1OCT_I V1PRIM_I V0GDPINC Formula V1CAP_I V1LAB_IO V1LND_I V1OCT_I V1PRIM_I V0GDPINC
= = = = = = =
sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{c,COM, sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{c,COM, V1TAX_CSI + V2TAX_CSI
sum{i,IND, V1TAX(c,s,i) }}}; sum{i,IND, V2TAX(c,s,i) }}}; sum{h,HH, V3TAX(c,s,h) }}}; V4TAX(c) }; V5TAX(c,s) }}; V0TAR(c) }; + V3TAX_CS + V4TAX_C + V5TAX_CS + V0TAR_C;
! # # # # # #
All-Industry Factor Cost Aggregates ! Total payments to capital #; Total payments to labour #; Total payments to land #; Total other cost ticket payments #; Total primary factor payments#; Nominal GDP from income side #;
= = = = = =
sum{i,IND, sum{i,IND, sum{i,IND, sum{i,IND, V1LAB_IO + V1PRIM_I +
V1CAP(i) }; V1LAB_O(i) }; V1LND(i) }; V1OCT(i) }; V1CAP_I + V1LND_I; V1OCT_I + V0TAX_CSI;
! Excerpt 14 of TABLO input file: ! ! Expenditure-side components of GDP ! Coefficient ! Expenditure Aggregates at Purchaser's Prices ! V0CIF_C # Total rupiah import costs, excluding tariffs #; V0IMP_C # Total basic-value imports (includes tariffs) #; V2TOT_I # Total investment usage #; (all,h,HH)V3TOT_HH(h) # Total purchases by each households #; V3TOT # Total purchases by households #; V4TOT # Total export earnings #; V5TOT # Total value of government demands #; V6TOT # Total value of inventories #; V0GDPEXP # Nominal GDP from expenditure side #; Formula V0CIF_C = sum{c,COM, V0CIF(c) }; V0IMP_C = sum{c,COM, V0IMP(c) }; V2TOT_I = sum{i,IND, V2TOT(i) }; (all,h,HH)V3TOT_HH(h) = sum{c,COM, V3PUR_S(c,h) }; V3TOT = sum(h,HH,V3TOT_HH(h)); V4TOT = sum{c,COM, V4PUR(c) }; V5TOT = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5PUR(c,s) }}; V6TOT = sum{c,COM, sum{s,SRC, V6BAS(c,s) }}; V0GDPEXP = V3TOT + V2TOT_I + V5TOT + V6TOT + V4TOT - V0CIF_C; Coefficient TINY # Small number to prevent singular matrix #; Formula TINY = 0.000000000001; ! Excerpt 15 of TABLO input file: ! ! Occupational composition of labour demand ! !$ Problem: for each industry i, minimize labour cost ! !$ sum{o,OCC, P1LAB(i,o)*X1LAB(i,o) } ! !$ such that X1LAB_O(i) = CES( All,o,OCC: X1LAB(i,o) ) !
295
Lampiran 1. (Lanjutan) Coefficient (all,i,IND) SIGMA1LAB(i) # CES substitution between occupation types #; Read SIGMA1LAB from file MDATA header "SLAB"; Equation E_x1lab # Demand for labour by industry and occupation group # (all,i,IND)(all,o,OCC) x1lab(i,o) = x1lab_o(i) - SIGMA1LAB(i)*[p1lab(i,o) - p1lab_o(i)]; Equation E_p1lab_o # Price to each industry of labour composite # (all,i,IND) [TINY+V1LAB_O(i)]*p1lab_o(i) = sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*p1lab(i,o) }; ! Excerpt 16 of TABLO input file: ! ! Excerpt 16A: Primary factor proportions ! !Translog unit cost function. This is outlined in appendix G of WAYANG document downloaded from CIES site. It is used to preserve a matrix of factor demand elasticities without the restrictions of CRESH or CDE. See p. 133-141 of the Black Book.! Variable (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)x1fac(f,i) # Primary factor demands, agriculture #; (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)p1fac(f,i) # Primary factor prices, agriculture #; (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)a1fac(f,i) # Primary factor tech. change, agri. #; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)a1faco(f,i)# Prim. factor tech. change, other #; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)x1faco(f,i) # Primary factor demands, other #; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)p1faco(f,i) # Primary factor price, other #; Coefficient (all,f,AGRIFAC) (all,i,AGIND) V1FACSH(f,i) #Agri. ind. factor share#; (all,f,AGRIFAC)(all,v,AGRIFAC)(all,i,AGIND) SHR_FAC(f,v,i)#Agri. industry modified factor share (for translog)#; (all,f,AGRIFAC)(all,v,AGRIFAC)(all,i,AGIND) BETA_A(f,v,i)#Factor demand elasticities, agri.#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND) V1FACSH_N(f,i) #Non-ag ind. factor share#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,v,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND) SHR_FAC_N(f,v,i)#Non-ag. ind. modified factor share (for translog)# ; (all,f,N_AGRIFAC)(all,v,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND) BETA_N(f,v,i)#Factor demand elasticities, non-ag.#; Read BETA_A from file MDATA header "ALPH"; BETA_N from file MDATA header "ALP2"; Zerodivide Default 0.33; Formula !calculate the modified cost shares, appendix G, equation G.17! (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)V1FACSH(f,i)=V1FAC(f,i)/sum{g,AGRIFAC,V1FAC(g,i)}; (all,f,N_AGRIFAC) (all,i,N_AGIND)V1FACSH_N(f,i)= V1FACO(f,i)/sum{g,N_AGRIFAC,V1FACO(g,i)}; Zerodivide Default 0.25; Formula (all,f,AGRIFAC)(all,v,AGRIFAC)(all,i,AGIND)SHR_FAC(f,v,i)= V1FACSH(v,i) + BETA_A(f,v,i)/V1FACSH(f,i); (all,f,N_AGRIFAC)(all,v,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)SHR_FAC_N(f,v,i)= V1FACSH_N(v,i) + BETA_N(f,v,i)/V1FACSH_N(f,i); Zerodivide off; Coefficient (all,i,IND)SIGMA1PRIM(i); (all,i,IND)TRNL(i); (all,i,IND)CESFORM(i); Read TRNL from file MDATA header "TRNL"; Formula (all,i,IND)SIGMA1PRIM(i)=0.5; !CES alternative! (all,i,IND)CESFORM(i) = 1 - TRNL(i); !if TRNL =0, CES functional form!
296
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_x1fac # Primary factor demands, agriculture # ! equation G.16! (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)x1fac(f,i) - a1fac(f,i)= x1prim(i) - TRNL(i)*[p1fac(f,i) - Sum{v,AGRIFAC,SHR_FAC(f,v,i)*p1fac(v,i)}] - TRNL(i)*[a1fac(f,i) - Sum{v,AGRIFAC,SHR_FAC(f,v,i)*a1fac(v,i)}] - CESFORM(i)*SIGMA1PRIM(i)*[p1fac(f,i) + a1fac(f,i) -p1prim(i)] ; Equation E_x1faco # Primary factor demands, non-agriculture # ! equation G.16! (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)x1faco(f,i) - a1faco(f,i)= x1prim(i)-TRNL(i)*[p1faco(f,i) - Sum{v,N_AGRIFAC,SHR_FAC_N(f,v,i)*p1faco(v,i)}] -TRNL(i)*[a1faco(f,i) - Sum{v,N_AGRIFAC,SHR_FAC_N(f,v,i)*a1faco(v,i)}] - CESFORM(i)*SIGMA1PRIM(i)*[p1faco(f,i) + a1faco(f,i) -p1prim(i)] ; !Excerpt 16B: household supply and prices of primary factors! !WAYANG2 factor market modifications! Variable (all,i,AGIND)(all,h,HH) x1lndi_hh(i,h)# Household supply of land, agri.#; p1cap_ag # National variable capital rental, agri. #; p1cap_nagv # National variable capital rental, non-ag. #; (all,h,hh) w1cap_v(h) # Returns to variable capital by household #; (all,h,hh) w1cap_f(h) # Returns to fixed capital by household #; (all,h,hh) x1cap_vah(h) # variable capital by household, agri. #; (all,h,hh) x1cap_vnh(h) # variable capital by household, non-agri. #; x1cap_ag # variable capital, agriculture #; x1cap_nag # variable capital, non-ag. #; (all,i,N_AGIND)x1cap_f(i) # fixed capital, non-ag. #; (all,i,N_AGIND)(all,h,hh)x1cap_f_hh(i,h) # fixed capital by h'hold, non-ag. #; Coefficient (all,h,hh)(all,f,occ) (all,i,AGIND)(all,h,HH)
HINC(h,f) # household factor income #; LANDS(i,h) #Household land rentals by industry#;
Read HINC from file MDATA header "HINC"; LANDS from file mdata Header "LAND"; Update (all,i,AGIND)(all,h,HH) LANDS(i,h) = p1fac("land",i)*x1lndi_hh(i,h); (all,i,AGIND) V1CAPA(i) = p1fac("varcap",i)*x1fac("varcap",i); (all,k,KAP)(all,i,N_AGIND)V1CAPN(k,i)= p1faco(k,i)*x1faco(k,i); Equation E_p1lab_i # Supply of labour # (all,o,OCC)sum{h,HH,HINC(h,o)}* x1lab_i(o) = sum{h,HH,HINC(h,o)*[x1lab_i_h(o,h)+f1lab_i_x(o)]}; Equation E_p1lab # Flexible setting of money wages # (all,i,IND)(all,o,OCC) p1lab(i,o)= p1lab_i(o);!p3tot + f1lab_io;! Equation E_p1lnd # supply of land # (all,i,AGIND)V1LND(i)*x1lnd(i) = Sum{h,HH, LANDS(i,h)*x1lndi_hh(i,h)}; Equation E_p1capA # Price of variable + fixed capital, non-agri. # (all,i,N_AGIND)V1CAP(i)*p1cap(i) = sum{k,KAP, V1CAPN(k,i)*p1faco(k,i)}; Equation E_p1primA # Effective price term for factor demand equations, ag. # (all,i,AGIND) V1PRIM(i)*p1prim(i) = sum{f,AGRIFAC,V1FAC(f,i)*[p1fac(f,i) + a1fac(f,i)]};
297
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_p1primN # Effective price term for factor demand equations, N_AG # (all,i,N_AGIND) V1PRIM(i)*p1prim(i) = sum{f,N_AGRIFAC,V1FACO(f,i)*[p1faco(f,i) + a1faco(f,i)]}; !Excerpt 16C: Matching factor p and x to E_x1fac and E_x1faco! !This block deleted if using CES form! Equation E_p1facLB # Industry demands for effective labour # (all,i,AGIND) p1lab_o(i)= p1fac("rural",i); Equation E_x1lab_oA # Effective labour input, agriculture # (all,i,AGIND) x1lab_o(i)= x1fac("rural",i); Equation E_p1facF # Price of fertiliser in agri.# (all,i,AGIND) p1fac("fert",i) = p1_s ("Pupuk",i); Equation E_p1capB # Price of variable capital, agri. # (all,i,AGIND)p1cap(i) = p1fac("varcap",i); Equation E_x1lnd # Industry demands for land # (all,i,AGIND) x1lnd(i) = x1fac("land",i); Equation E_p1facL # Price of land in agri. (all,i,AGIND)p1lnd(i) = p1fac("land",i);
#
Equation E_p1facK # Equalise price of capital in agri. (all,i,AGIND)p1fac("varcap",i)=p1cap_ag ;
#
Equation E_x1lab_oB # Industry demands for effective labour # (all,i,N_AGIND) x1lab_o(i) = x1faco("labcomp",i); Equation E_p1facoLC # Price to each industry of labour composite # (all,i,N_AGIND)p1faco("labcomp",i) = p1lab_o(i) ; Equation E_p1facoKN # Price of variable capital in non-ag # (all,i,N_AGIND)p1faco("varcap",i)=p1cap_nagv; Equation E_p1facoFC # supply of fixed capital by household # (all,i,N_AGIND)x1cap_f(i) = x1faco("fixcap",i); !Excerpt 16D: household supply coefficents! Coefficient !(all,f,OCC) (all,i,IND)PRIM(f,i) # factor income by industry #; ! (all,h,HH)(all,i,N_AGIND)FIXEDK(h,i) #Household supplies of fixed capital#; (all,h,HH) MMA(h) # Household supplies of agri variable capital#; (all,h,HH) MMN(h)# Household supplies of non-agri variable capital#; Read ! PRIM from file MDATA header "PRIM";! FIXEDK from file mdata Header "CAPS"; MMA from file mdata Header "CAPA"; MMN from file mdata Header "CAPN"; Update !(all,o,OCC)(all,i,N_AGIND)PRIM(o,i) = x1lab(i,o)*p1lab(i,o);! (all,h,hh) (all,o,OCC) HINC(h,o) = x1lab_i_h(o,h)*p1lab_i(o)*f1lab_i_x(o); (all,h,HH)(all,i,N_AGIND)FIXEDK(h,i) = p1faco("fixcap",i)*x1cap_f_hh(i,h); (all,h,HH) MMA(h) = p1cap_ag * x1cap_vah(h); (all,h,HH) MMN(h) = p1cap_nagv * x1cap_vnh(h);
298
Lampiran 1. (Lanjutan) !Excerpt 16E: Market clearing of household factors! Equation E_x1cap_f # supply of fixed capital by household # (all,i,N_AGIND)sum{h,HH,FIXEDK(h,i)}*x1cap_f(i) = sum{h,HH,FIXEDK(h,i)*x1cap_f_hh(i,h)}; Equation E_p1cap_ag # market clearing, variable capital, agriculture sum{i,AGIND,V1CAP(i)}*x1cap_ag = sum{i,AGIND,V1CAP(i)*x1cap(i)};
#
Equation E_x1cap_ag # household supply of variable capital, ag.# sum{h,HH,MMA(h)}*x1cap_ag = sum{h,HH,MMA(h)*x1cap_vah(h)}; Equation E_p1cap_nagv # variable capital, non-ag. # sum{h,HH,MMN(h)}*x1cap_nag = sum{h,HH,MMN(h)*x1cap_vnh(h)}; Equation E_x1cap_nag # market clearing for variable capital, non-ag. # sum{i,N_AGIND,V1CAPN("varcap",i)}*x1cap_nag = sum{i,N_AGIND,V1CAPN("varcap",i)*x1faco("varcap",i)}; Equation E_x1capA # agri. industry capital, variable # (all,i,AGIND)x1cap(i)=x1fac("varcap",i); Equation E_x1capN # non-agri. industry capital, fixed + variable # (all,i,N_AGIND)V1CAP(i)*x1cap(i) = sum{k,KAP, V1CAPN(k,i)*x1faco(k,i)}; !Summing returns to household factors! Equation E_w1cap_v # Returns to variable capital by household # (all,h,HH)[MMA(h)+MMN(h)]*w1cap_v(h) = MMA(h)* [p1cap_ag + x1cap_vah(h)] + MMN(h) * [p1cap_nagv + x1cap_vnh(h)]; Equation E_w1cap_f # Returns to fixed capital by household # (all,h,HH)sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)}*w1cap_f(h) = sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)*[p1faco("fixcap",i) + x1cap_f_hh(i,h)]}; ! Excerpt 17 of TABLO input file: ! ! Import/domestic composition of intermediate demands ! !$ X1_S(c,i) = CES( All,s,SRC: X1(c,s,i)/A1(c,s,i) ) ! Coefficient (all,c,COM) SIGMA1(c) # Armington elasticities: intermediate #; Read SIGMA1 from file MDATA header "1ARM"; Equation E_x1 # Source-specific commodity demands # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x1(c,s,i)-a1(c,s,i) = x1_s(c,i) - SIGMA1(c)*[p1(c,s,i)+a1(c,s,i) - p1_s(c,i)]; Equation E_p1_s # Effective price of commodity composite # (all,c,COM)(all,i,IND) p1_s(c,i) = sum{s,SRC, S1(c,s,i)*[p1(c,s,i) + a1(c,s,i)] }; ! Excerpt 18 of TABLO input file: ! ! Top nest of industry input demands ! !$ X1TOT(i) = MIN( All,c,COM: X1_S(c,i)/[A1_S(c,s,i)*A1TOT(i)], !$ X1PRIM(i)/[A1PRIM(i)*A1TOT(i)], !$ X1OCT(i)/[A1OCT(i)*A1TOT(i)] ) !
! !
Equation E_x1_sA # Demands for commodity composites, non-agriculture # (all,c,COM)(all,i,N_AGIND) x1_s(c,i) - [a1_s(c,i) + a1tot(i)] = x1tot(i); Equation E_x1_sB # Demands for commodity composites, agriculture # (all,c,NONFERT)(all,i,AGIND) x1_s(c,i) - [a1_s(c,i) + a1tot(i)] = x1tot(i);
299
Lampiran 1. (Lanjutan) ! demands for fertiliser are no longer Leontief ! Equation E_x1_sC # Demands for composite fertiliser inputs, agri. production # (all,i,AGIND)x1_s("Pupuk",i) = x1fac("fert",i); !a1_s("C39fert") is a1fac("C39fert") in agricultural industries! Equation E_x1prim # Demands for primary factor composite # (all,i,IND)x1prim(i) - [a1tot(i) + a1prim(i)] = x1tot(i); Equation E_x1oct # Demands for other cost tickets # (all,i,IND) x1oct(i) - [a1oct(i) + a1tot(i)] = x1tot(i); Equation E_p1totA # Zero pure profits in production # (all,i,N_AGIND) V1TOT(i)*[p1tot(i)-a1tot(i)] = sum{c,COM, V1PUR_S(c,i) *[p1_s(c,i) + a1_s(c,i)] } + V1PRIM(i) *[p1prim(i) + a1prim(i)] + V1OCT(i) *[p1oct(i) + a1oct(i)]; Equation E_p1totB # Zero pure profits in production # (all,i,AGIND) V1TOT(i)*[p1tot(i)-a1tot(i)] = sum{c,NONFERT, V1PUR_S(c,i) *[p1_s(c,i) + a1_s(c,i)] } + V1PRIM(i) *[p1prim(i) + a1prim(i)] + V1OCT(i) *[p1oct(i) + a1oct(i)];
! Excerpt 19A of TABLO input file: ! ! Output mix of commodities ! Coefficient (all,i,IND) SIGMA1OUT(i) # CET transformation elasticities #; Read SIGMA1OUT from file MDATA header "SCET"; Equation E_q1 # Supplies of commodities by industries # (all,c,COM)(all,i,IND) q1(c,i) = x1tot(i) + SIGMA1OUT(i)*[p0com(c) - p1tot(i)]; Coefficient (all,i,IND) (all,c,COM) Formula (all,i,IND) (all,c,COM)
MAKE_C(i) # All production by industry i #; MAKE_I(c) # Total production of commodities #; MAKE_C(i) = sum{c,COM, MAKE(c,i) }; MAKE_I(c) = sum{i,IND, MAKE(c,i) };
Equation E_x1tot # Average price received by industries # (all,i,IND) MAKE_C(i)*p1tot(i) = sum{c,COM, MAKE(c,i)*p0com(c) }; Equation E_x0com # Total output of commodities # (all,c,COM) MAKE_I(c)*x0com(c) = sum{i,IND, MAKE(c,i)*q1(c,i) }; ! Excerpt 19B of TABLO input file: ! ! CET between outputs for local and export markets ! Coefficient (all, c,COM) EXPSHR(c) # share going to exports #; (all, c,COM) TAU(c) # 1/elast. of transformation, exportable/locally used #; Zerodivide Default 0.5;
300
Lampiran 1. (Lanjutan) Formula (all,c,COM) EXPSHR(c) = V4BAS(c)/SALES(c); (all,c,COM) TAU(c) = 0.0; ! if zero, p0dom = pe, and CET is nullified ! Zerodivide Off; Equation E_x0dom # supply of commodities to export market # (all,c,COM) TAU(c)*[x0dom(c) - x4(c)] = p0dom(c) - pe(c); Equation E_pe # supply of commodities to domestic market # (all,c,COM) x0com(c) = [1.0-EXPSHR(c)]*x0dom(c) + EXPSHR(c)*x4(c); Equation E_p0com # Zero pure profits in transformation # (all,c,COM) p0com(c) = [1.0-EXPSHR(c)]*p0dom(c) + EXPSHR(c)*pe(c); ! Map between vector and matrix forms of basic price variables ! Equation E_p0dom # Basic price of domestic goods = p0(c,"dom") # (all,c,COM) p0dom(c) = p0(c,"dom"); Equation E_p0imp # Basic price of imported goods = p0(c,"imp") # (all,c,COM) p0imp(c) = p0(c,"imp"); ! Excerpt 20 of TABLO input file: ! ! Investment demands ! !$ X2_S(c,i) = CES( All,s,SRC: X2(c,s,i)/A2(c,s,i) ) ! Coefficient (all,c,COM) SIGMA2(c) # Armington elasticities: investment #; Read SIGMA2 from file MDATA header "2ARM"; Equation E_x2 # Source-specific commodity demands # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x2(c,s,i)-a2(c,s,i) - x2_s(c,i) = - SIGMA2(c)*[p2(c,s,i)+a2(c,s,i) - p2_s(c,i)]; Equation E_p2_s # Effective price of commodity composite # (all,c,COM)(all,i,IND) p2_s(c,i) = sum{s,SRC, S2(c,s,i)*[p2(c,s,i)+a2(c,s,i)] }; ! Investment top nest ! !$ X2TOT(i) = MIN( All,c,COM: X2_S(c,i)/[A2_S(c,s,i)*A2TOT(i)] ) ! Equation E_x2_s # Demands for commodity composites # (all,c,COM)(all,i,IND) x2_s(c,i) - [a2_s(c,i) + a2tot(i)] = x2tot(i); Equation E_p2tot # Zero pure profits in investment # (all,i,IND) V2TOT(i)*(p2tot(i) - a2tot(i)) = sum{c,COM, V2PUR_S(c,i) *[p2_s(c,i)+a2_s(c,i)] }; ! Excerpt 21 of TABLO input file: ! ! Import/domestic composition of household demands ! !$ X3_S(c,i) = CES( All,s,SRC: X3(c,s)/A3(c,s) ) ! Coefficient (all,c,COM) SIGMA3(c) # Armington elasticities: households #; Read SIGMA3 from file MDATA header "3ARM"; Equation E_x3 # Source-specific commodity demands # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) x3(c,s,h)-a3(c,s) = x3_s(c,h) - SIGMA3(c)*[ p3(c,s,h)+a3(c,s) - p3_s(c,h) ];
301
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_p3_s # Effective price of commodity composite # (all,c,COM)(all,h,HH) p3_s(c,h) = sum{s,SRC, S3(c,s,h)*[p3(c,s,h)+a3(c,s)] }; ! Excerpt 22 of TABLO input file: ! ! Data and formulae for coefficients used in household demand equations ! Coefficient (all,h,HH)FRISCH(h) # Frisch LES 'parameter'= - (total/luxury) #; Read FRISCH from file MDATA header "P021"; Update (change) (all,h,HH)FRISCH(h) = FRISCH(h)*[w3tot_hh(h) - w3lux(h)]/100.0; Coefficient (all,c,COM)(all,h,HH) EPS(c,h) # Household expenditure elasticities #; Read EPS from file MDATA header "XPEL"; Update (change) (all,c,COM)(all,h,HH) EPS(c,h) = EPS(c,h)*[x3lux(c,h)-x3_s(c,h)+w3tot_hh(h)-w3lux(h)]/100.0; Coefficient (all,c,COM)(all,h,HH) S3_S(c,h) # Household average budget shares #; Formula (all,c,COM)(all,h,HH) S3_S(c,h) = V3PUR_S(c,h)/V3TOT_HH(h); Coefficient (all,c,COM)(all,h,HH)B3LUX(c,h) # Ratio, (supernumerary expenditure/total expenditure), by commodity # ; Formula (all,c,COM)(all,h,HH) B3LUX(c,h) = -EPS(c,h)/FRISCH(h); Coefficient(all,c,COM)(all,h,HH)S3LUX(c,h) # Marginal household budget shares #; Formula (all,c,COM)(all,h,HH)S3LUX(c,h) = EPS(c,h)*S3_S(c,h); ! Excerpt 23 of TABLO input file: ! ! Commodity composition of household demand ! Equation E_x3sub # Subsistence demand for composite commodities # (all,c,COM)(all,h,HH) x3sub(c,h) = q(h) + a3sub(c,h); Equation E_x3lux # Luxury demand for composite commodities # (all,c,COM)(all,h,HH) x3lux(c,h) + p3_s(c,h) = w3lux(h) + a3lux(c,h); Equation E_x3_s # Total household demand for composite commodities # (all,c,COM)(all,h,HH) x3_s(c,h) = B3LUX(c,h)*x3lux(c,h) + [1-B3LUX(c,h)]*x3sub(c,h); Equation E_utility # Change in utility disregarding taste change terms # (all,h,HH)utility(h) + q(h) = sum{c,COM, S3LUX(c,h)*x3lux(c,h) }; Equation E_a3lux # Default setting for luxury taste shifter # (all,c,COM)(all,h,HH)a3lux(c,h) = a3sub(c,h) - sum{k,COM,S3LUX(k,h)*a3sub(k,h)}; Equation E_a3sub # Default setting for subsistence taste shifter # (all,c,COM)(all,h,HH)a3sub(c,h) = a3_s(c,h) - sum{k,COM, S3_S(k,h)*a3_s(k,h) }; ! Excerpt 24 of TABLO input file: ! ! Export and government demands ! Coefficient V4NTRADEXP # Total non-traditional export earnings #; Formula V4NTRADEXP = sum{c,NTRADEXP, V4PUR(c)}; Coefficient (all,c,COM) EXP_ELAST(c) # Export demand elasticities: typical value -20.0 #; Read EXP_ELAST from file MDATA header "P018";
302
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_x4A # Traditional export demand functions # (all,c,TRADEXP) x4(c) - f4q(c) = EXP_ELAST(c)*[p4(c) - phi - f4p(c)]; Equation E_x4B # Non-traditional export demand functions # (all,c,NTRADEXP) x4(c) = x4_ntrad; Equation E_p4_ntrad # Average price of non-traditional exports # V4NTRADEXP*p4_ntrad = sum{c,NTRADEXP, V4PUR(c)*p4(c) }; Coefficient EXP_ELAST_NT # Non-traditional export demand elasticity #; Read EXP_ELAST_NT from file MDATA header "EXNT"; Equation E_x4_ntrad # Demand for non-traditional export aggregate # x4_ntrad - f4q_ntrad = EXP_ELAST_NT*[p4_ntrad - phi - f4p_ntrad]; Equation E_x5 # Government demands # (all,c,COM)(all,s,SRC) x5(c,s) = f5(c,s) + f5tot; Equation E_f5tot # Overall government demands shift # f5tot = x3tot + f5tot2; ! Excerpt 25 of TABLO input file: ! ! Margin demands ! Equation E_x1mar # Margins to producers # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x1mar(c,s,i,m) = x1(c,s,i) + a1mar(c,s,i,m); Equation E_x2mar # Margins to capital creators # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x2mar(c,s,i,m) = x2(c,s,i) + a2mar(c,s,i,m); Equation E_x3mar # Margins to households # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) x3mar(c,s,m,h) = x3(c,s,h) + a3mar(c,s,m); Equation E_x4mar # Margins to exports # (all,c,COM)(all,m,MAR) x4mar(c,m) = x4(c) + a4mar(c,m); Equation E_x5mar # Margins to government users # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) x5mar(c,s,m) = x5(c,s) + a5mar(c,s,m); ! Excerpt 26 of TABLO input file: ! ! The price system ! Equation E_p1 # Purchasers prices - producers # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) [V1PUR(c,s,i)+TINY]*p1(c,s,i) = [V1BAS(c,s,i)+V1TAX(c,s,i)]*[p0(c,s)+ t1(c,s,i)] + sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m)*[p0dom(m)+a1mar(c,s,i,m)] }; Equation E_p2 # Purchasers prices - capital creators # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) [V2PUR(c,s,i)+TINY]*p2(c,s,i) = [V2BAS(c,s,i)+V2TAX(c,s,i)]*[p0(c,s)+ t2(c,s,i)] + sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m)*[p0dom(m)+a2mar(c,s,i,m)] };
303
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_p3 # Purchasers prices - households # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) [V3PUR(c,s,h)+TINY]*p3(c,s,h) = [V3BAS(c,s,h)+V3TAX(c,s,h)]*[p0(c,s)+ t3(c,s,h)] + sum{m,MAR,V3MAR(c,s,m,h)*[p0dom(m)+a3mar(c,s,m)] }; Equation E_p4 # Zero pure profits in exporting # (all,c,COM) [V4PUR(c)+TINY]*p4(c) = [V4BAS(c)+V4TAX(c)]*[pe(c)+ t4(c)] + sum{m,MAR, V4MAR(c,m)*[p0dom(m)+a4mar(c,m)] }; ! note that we refer to export taxes,not subsidies ! Equation E_p5 # Zero pure profits in distribution of government # (all,c,COM)(all,s,SRC) [V5PUR(c,s)+TINY]*p5(c,s) = [V5BAS(c,s)+V5TAX(c,s)]*[p0(c,s)+ t5(c,s)] + sum{m,MAR, V5MAR(c,s,m)*[p0dom(m)+a5mar(c,s,m)] }; Equation E_p0A # Zero pure profits in importing # (all,c,COM) p0(c,"imp") = pf0cif(c) + phi + t0imp(c); ! Excerpt 27 of TABLO input file: ! ! Market clearing equations ! Equation E_p0B # Demand equals supply for non margin commodities # (all,n,NONMAR) DOMSALES(n)*x0dom(n) = sum{i,IND, V1BAS(n,"dom",i)*x1(n,"dom",i) + V2BAS(n,"dom",i)*x2(n,"dom",i) } + sum{h,HH, V3BAS(n,"dom",h)*x3(n,"dom",h)} + V5BAS(n,"dom")*x5(n,"dom") ! note exports omitted ! + 100*LEVP0(n,"dom")*delx6(n,"dom"); Equation E_p0C # Demand equals supply for margin commodities # (all,m,MAR) DOMSALES(m)*x0dom(m) = ! basic part first ! sum{i,IND, V1BAS(m,"dom",i)*x1(m,"dom",i) + V2BAS(m,"dom",i)*x2(m,"dom",i) } + sum{h,HH, V3BAS(m,"dom",h)*x3(m,"dom",h)} + V5BAS(m,"dom")*x5(m,"dom") ! note exports omitted ! + 100*LEVP0(m,"dom")*delx6(m,"dom") ! now margin part ! + sum{c,COM, V4MAR(c,m)*x4mar(c,m) ! note nesting of sum parentheses ! + sum{s,SRC,sum(h,HH, V3MAR(c,s,m,h)*x3mar(c,s,m,h)) + V5MAR(c,s,m)*x5mar(c,s,m) + sum{i,IND, V1MAR(c,s,i,m)*x1mar(c,s,i,m) + V2MAR(c,s,i,m)*x2mar(c,s,i,m) }}}; Equation E_x0imp # Import volumes # (all,c,COM) [TINY + V0IMP(c)]*x0imp(c) = sum{i,IND, V1BAS(c,"imp",i)*x1(c,"imp",i) + V2BAS(c,"imp",i)*x2(c,"imp",i) } + sum{h,HH, V3BAS(c,"imp",h)*x3(c,"imp",h)} + V5BAS(c,"imp")*x5(c,"imp") + 100*LEVP0(c,"imp")*delx6(c,"imp"); Equation E_x1lab_i # Demand equals supply for labour of each skill # (all,o,OCC) V1LAB_I(o)*x1lab_i(o) = sum{i,IND, V1LAB(i,o)*x1lab(i,o) };
304
Lampiran 1. (Lanjutan) ! Excerpt 28 of TABLO input file: ! ! Tax rate equations ! Equation E_t1 # Power of tax on sales to intermediate # !***MODIFIED****! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t1(c,s,i) = f0tax_s(c) + f1tax_csi + f0taxi(i); E_t2 # Power of tax on sales to investment # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t2(c,s,i) = f0tax_s(c) + f2tax_csi; E_t3 # Power of tax on sales to households # !***MODIFIED****! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) t3(c,s,h) = f0tax(c,h) + f3tax_cs; E_t4A # Power of tax on sales to traditional exports # (all,c,TRADEXP) t4(c) = f0tax_s(c) + f4tax_trad; E_t4B # Power of tax on sales to non-traditional exports # (all,c,NTRADEXP) t4(c) = f0tax_s(c) + f4tax_ntrad; E_t5 # Power of tax on sales to government # (all,c,COM)(all,s,SRC) t5(c,s) = f0tax_s(c) + f5tax_cs; ! Excerpt 29 of TABLO input file: ! ! Indirect tax revenue ! Equation E_w1tax_csi # Revenue from indirect taxes on flows to intermediate # [TINY + V1TAX_CSI]*w1tax_csi = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{i,IND, V1TAX(c,s,i)*[p0(c,s)+x1(c,s,i)]+[V1TAX(c,s,i)+V1BAS(c,s,i)]*t1(c,s,i) }}}; E_w2tax_csi # Revenue from indirect taxes on flows to investment # [TINY + V2TAX_CSI]*w2tax_csi = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{i,IND, V2TAX(c,s,i)*[p0(c,s)+x2(c,s,i)]+[V2TAX(c,s,i)+V2BAS(c,s,i)]*t2(c,s,i) }}}; E_w3tax_cs # Revenue from indirect taxes on flows to households # [TINY + V3TAX_CS]*w3tax_cs = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{h,HH, V3TAX(c,s,h)*[p0(c,s)+ x3(c,s,h)] + [V3TAX(c,s,h)+V3BAS(c,s,h)]*t3(c,s,h)}}}; E_w4tax_c # Revenue from indirect taxes on exports # [TINY + V4TAX_C]*w4tax_c = sum{c,COM, V4TAX(c)*[pe(c) + x4(c)] + [V4TAX(c)+ V4BAS(c)]*t4(c) }; E_w5tax_cs # Revenue from indirect taxes on flows to government # [TINY + V5TAX_CS]*w5tax_cs = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5TAX(c,s)*[p0(c,s)+ x5(c,s)] + [V5TAX(c,s)+V5BAS(c,s)]*t5(c,s) }}; E_w0tar_c # Tariff revenue # [TINY+V0TAR_C]*w0tar_c = sum{c,COM, V0TAR(c)*[pf0cif(c) + phi + x0imp(c)] + V0IMP(c)*t0imp(c) }; ! Excerpt 30 of TABLO input file: ! ! Factor incomes and GDP ! Equation E_w1lnd_i # Aggregate payments to land # V1LND_i*w1lnd_i = sum{i,AGIND, V1LND(i)*[x1lnd(i)+p1lnd(i)] }; E_w1lab_io # Aggregate payments to labour # V1LAB_IO*w1lab_io = sum{i,IND, sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*[x1lab(i,o)+p1lab(i,o)]}}; E_w1cap_i # Aggregate payments to capital # V1CAP_I*w1cap_i = sum{i,IND, V1CAP(i)*[x1cap(i)+p1cap(i)] }; E_w1oct_i # Aggregate other cost ticket payments # V1OCT_I*w1oct_i = sum{i,IND, V1OCT(i)*[x1oct(i)+p1oct(i)] };
305
Lampiran 1. (Lanjutan) E_w0tax_csi # Aggregate value of indirect taxes # V0TAX_CSI*w0tax_csi = V1TAX_CSI*w1tax_csi + V2TAX_CSI*w2tax_csi + V3TAX_CS*w3tax_cs + V4TAX_C*w4tax_c + V5TAX_CS*w5tax_cs + V0TAR_C*w0tar_c; E_w0gdpinc # Aggregate nominal GDP from income side # V0GDPINC*w0gdpinc = V1LND_I*w1lnd_i + V1CAP_I*w1cap_i + V1LAB_IO*w1lab_io + V1OCT_I*w1oct_i + V0TAX_CSI*w0tax_csi; ! Excerpt 31 of TABLO input file: ! ! GDP expenditure aggregates ! E_x2tot_i # Total real investment # V2TOT_I*x2tot_i = sum{i,IND, V2TOT(i)*x2tot(i) }; E_p2tot_i # Investment price index # V2TOT_I*p2tot_i = sum{i,IND, V2TOT(i)*p2tot(i) }; E_w2tot_i # Total nominal investment # w2tot_i = x2tot_i + p2tot_i; E_x3tot_hh # Real consumption # (all,h,HH)V3TOT_HH(h)*x3tot_hh(h)=sum{c,COM,sum{s,SRC,V3PUR(c,s,h)*x3(c,s,h)}}; E_p3tot_hh # Household price index # (all,h,HH)V3TOT_HH(h)*p3tot_hh(h)=sum{c,COM,sum{s,SRC,V3PUR(c,s,h)*p3(c,s,h)}}; E_w3tot_hh # Household budget constraint # (all,h,HH)w3tot_hh(h) = x3tot_hh(h) + p3tot_hh(h); E_x3tot # Real consumption # V3TOT*x3tot = sum{h,HH,V3TOT_HH(h)*x3tot_hh(h)}; E_p3tot # Consumer price index # V3TOT*p3tot = sum{h,HH,V3TOT_HH(h)*p3tot_hh(h)}; E_w3tot # Household budget constraint # w3tot = x3tot + p3tot; E_x4tot # Export volume V4TOT*x4tot = sum{c,COM, E_p4tot # Exports price V4TOT*p4tot = sum{c,COM, E_w4tot # rupiah border w4tot = x4tot + p4tot;
index # V4PUR(c)*x4(c) }; index, rupiah # V4PUR(c)*p4(c) }; value of exports #
E_x5tot # Aggregate real government demands # V5TOT*x5tot = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5PUR(c,s)*x5(c,s) }}; E_p5tot # Government price index # V5TOT*p5tot = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5PUR(c,s)*p5(c,s) }}; E_w5tot # Aggregate nominal value of government demands # w5tot = x5tot + p5tot; E_x6tot # Inventories volume index # V6TOT*x6tot = 100*sum{c,COM, sum{s,SRC, LEVP0(c,s)*delx6(c,s) }}; E_p6tot # Inventories price index # [TINY+V6TOT]*p6tot = sum{c,COM, sum{s,SRC, V6BAS(c,s)*p0(c,s) }}; E_w6tot # Aggregate nominal value of inventories # w6tot = x6tot + p6tot; E_x0cif_c # Import volume index, C.I.F. weights # V0CIF_C*x0cif_c = sum{c,COM, V0CIF(c)*x0imp(c) }; E_p0cif_c # Imports price index, rupiah C.I.F. # V0CIF_C*p0cif_c = sum{c,COM, V0CIF(c)*[phi+pf0cif(c)] }; E_w0cif_c # Value of imports, rupiah C.I.F. # w0cif_c = x0cif_c + p0cif_c;
306
Lampiran 1. (Lanjutan) E_x0gdpexp # Real GDP, expenditure side # V0GDPEXP*x0gdpexp = V3TOT*x3tot + V2TOT_I*x2tot_i + V5TOT*x5tot + V6TOT*x6tot + V4TOT*x4tot - V0CIF_C*x0cif_c; E_p0gdpexp # Price index for GDP, expenditure side # V0GDPEXP*p0gdpexp = V3TOT*p3tot + V2TOT_I*p2tot_i + V5TOT*p5tot + V6TOT*p6tot + V4TOT*p4tot - V0CIF_C*p0cif_c; E_w0gdpexp # Nominal GDP from expenditure side # w0gdpexp = x0gdpexp + p0gdpexp; ! Excerpt 32 of TABLO input file: ! ! Trade balance and other aggregates ! Equation E_delB # %(Balance of trade)/GDP # V0GDPEXP*delB = V4TOT*w4tot - V0CIF_C*w0cif_c -(V4TOT-V0CIF_C)*w0gdpexp; E_x0imp_c # Import volume index, duty paid weights # V0IMP_C*x0imp_c = sum{c,COM, V0IMP(c)*x0imp(c) }; E_p0imp_c # Duty paid imports price index # V0IMP_C*p0imp_c = sum{c,COM, V0IMP(c)*p0(c,"imp") }; E_w0imp_c # Value of imports (duty paid) # w0imp_c = x0imp_c + p0imp_c; E_x1cap_i # Aggregate usage of capital,rental weights # V1CAP_I*x1cap_i = sum{i,IND, V1CAP(i)*x1cap(i) }; E_p1cap_i # Average capital rental # V1CAP_I*p1cap_i = sum{i,IND, V1CAP(i)*p1cap(i) }; Equation E_employ # Employment by industry # (all,i,IND) V1LAB_O(i)*employ(i) = sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*x1lab(i,o) }; E_p1lab_io # Average nominal wage # V1LAB_IO*p1lab_io = sum{i,IND, sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*p1lab(i,o) }}; E_realwage # Average real wage # realwage = p1lab_io - p3tot; E_x1prim_i # Aggregate output: value-added weights # V1PRIM_I*x1prim_i = sum{i,IND, V1PRIM(i)*x1tot(i) }; E_p0toft # Terms of trade # p0toft = p4tot - p0cif_c; E_p0realdev # Real devaluation # p0realdev = p0cif_c - p0gdpexp; ! Excerpt 33 of TABLO input file: ! ! Investment equations ! ! Follows Section 19 of DPSV - warts and all. In particular, the ratios Q and G are treated as parameters, just as in the original ORANI implementation. Attempts to improve the theory by updating these parameters have been found to occasionally lead to perversely signed coefficients !
307
Lampiran 1. (Lanjutan) Variable (all,i,IND) (all,i,IND)
finv(i) r1cap(i) omega
# Investment shifter #; # Current rates of return on capital #; # Economy-wide "rate of return" #;
Equation E_r1cap # Definition of rates of return to capital # (all,i,IND) r1cap(i) = 2.0*(p1cap(i) - p2tot(i)); ! Note: above equation comes from DPSV equation 19.7. The value 2.0 corresponds to the DPSV ratio Q (= ratio, gross to net rate of return) and is a typical value of this ratio. ! Equation E_x2totA # Investment rule # (all,i,ENDOGINV) x2tot(i) - x1cap(i) = finv(i) + 0.33*[r1cap(i) - omega]; ! Note: above equation comes from substituting together DPSV equations 19.8-9. The value 0.33 corresponds to the DPSV ratio [1/G.Beta] and is a typical value of this ratio. ! Equation E_x2totB # Investment in exogenous industries # (all,i,EXOGINV) x2tot(i) = x2tot_i + finv(i); ! Excerpt 34 of TABLO input file: ! ! Indexing and other equations ! Equation E_p1oct # Indexing of prices of "other cost" tickets # (all,i,IND) p1oct(i) = p3tot + f1oct(i); ! assumes full indexation ! E_delx6 # possible rule for stocks # (all,c,COM)(all,s,SRC) 100*LEVP0(c,s)*delx6(c,s)=V6BAS(c,s)*x0com(c)+fx6(c,s); ! Excerpt 35 of TABLO input file: ! ! Decomposition of Fan ! Set FANCAT # parts of Fan decomposition # (LocalMarket, ImportShare, Export, Total); Variable (all,c,COM) x0loc(c) # real percent change in LOCSALES (dom+imp) #; (change)(all,c,COM)(all,f,FANCAT) fandecomp(c,f) # Fan decomposition #; Coefficient (all,c,COM) LOCSALES(c) # Total local sales of dom + imp commodity c #; (all,c,COM) INITSALES(c) # Initial volume of SALES at final prices #; Formula (all,c,COM) LOCSALES(c) = DOMSALES(c) + V0IMP(c); (initial) (all,c,COM) INITSALES(c) = SALES(c); Update (all,c,COM) INITSALES(c) = p0com(c); Equation E_x0loc # %growth in local market # (all,c,COM) LOCSALES(c)*x0loc(c) = DOMSALES(c)*x0dom(c) + V0IMP(c)*x0imp(c); Equation E_fandecompA # growth in local market effect # (all,c,COM) INITSALES(c)*fandecomp(c,"LocalMarket") = DOMSALES(c)*x0loc(c); ! The local market effect is the % change in output that would have occurred if local sales of the domestic product had followed dom+imp sales (x0loc) !
308
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_fandecompB # export effect # (all,c,COM) INITSALES(c)*fandecomp(c,"Export") = V4BAS(c)*x4(c); Equation E_fandecompC # import leakage effect - via residual # (all,c,COM) fandecomp(c,"Total") = fandecomp(c,"LocalMarket") + fandecomp(c,"ImportShare") + fandecomp(c,"Export"); Equation E_fandecompD # Fan total = x0com # (all,c,COM) INITSALES(c)*fandecomp(c,"Total") = SALES(c)*x0com(c); ! Excerpt 44 of TABLO input file: ! ! Fiscal extension ! Set TYPE
(expend, recp);! expend=govt. payments, recp=govt. receipts !
Variable (all,h,HH)(all,t,TYPE)fgov_h(h,t) # Shift in transfers: govt. -- households #; (all,t,TYPE) fgov_f(t) # Shift in transfers: govt. -- foreign #; (all,h,HH)(all,t,TYPE)gov_h(h,t) # Transfers: govt. -- households #; (all,t,TYPE) gov_f(t) # Transfers: govt. -- foreign #; (all,h,HH) w0hhtax(h) # % change in personal income tax #; (all,h,HH)w0hhinc(h) #Aggregate nominal take-home income earned by households #; (change) delbudget # Rupiah change in budget balance G-T #; w0govt_t # Aggregate government revenue#; w0govt_g # Aggregate government expenditure#; f1inc_tax # Overall income tax shifter #; Coefficient GOVTREV # Total government revenue #; GOVTEXP # Nominal total current and capital government expenditure # ; (all,i,EXOGINV)V2TOT_G(i) # Total govt. funding of capital created for i # ; (all,t,TYPE)TRANSFER_F(t) # Government transfers: payments/receipts foreign#; (all,h,HH)(all,t,TYPE)TRANSFER_H(h,t) # Govt transfers to and from h'holds#; (all,h,HH)V0HHTAX(h) # Personal income tax on all household factors #; (all,h,HH)V0HHINC(h) # Income earned by households #; Read V0HHTAX from file MDATA header "PINC"; TRANSFER_F from file MDATA header "TRAN"; TRANSFER_H from file MDATA header "GOHH"; Update (all,t,TYPE) TRANSFER_F(t) = gov_f(t); (all,h,HH)(all,t,TYPE)TRANSFER_H(h,t) = gov_h(h,t); (all,h,HH) V0HHTAX(h) = w0hhtax(h); Formula (all,i,EXOGINV)V2TOT_G(i) = sum{c,COM, V2PUR_S(c,i) }*0.3; !allocation of public investment! GOVTREV = V0TAX_CSI + sum{h,HH,V0HHTAX(h)} + TRANSFER_F("recp") +sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"recp")}; GOVTEXP = V5TOT + Sum{i,EXOGINV, V2TOT_G(i)} + TRANSFER_F("expend") +sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"expend")}; Equation E_w3lux # consumption function # (All,h,HH) w3tot_hh(h) = f3tot + f3tot_h(h) + w0hhinc(h); Equation E_w0hhtax #Aggregate nominal income tax paid by households # (all,h,HH)w0hhtax(h) = w0hhinc(h) + f1inc_tax; !Equation E_w0hhtax constrains any exogenous shifts in the income tax rate to being equal across all household factors of production. Note that take-home household income is used in the consumption function.!
309
Lampiran 1. (Lanjutan) Equation E_gov_f # Government transfers to and from foreigners # (all,t,TYPE)gov_f(t) = p3tot + fgov_f(t); Equation E_gov_h # Government transfers to and from households # (all,h,HH)(all,t,TYPE)gov_h(h,t) = p3tot + fgov_h(h,t); Formula (all,h,HH)V0HHINC(h) = sum{i,AGIND,LANDS(i,h)} + sum{o,OCC,HINC(h,o)} + MMA(h)+MMN(h) + sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)} + TRANSFER_H(h,"expend") - TRANSFER_H(h,"recp") - V0HHTAX(h); Equation E_w0hhinc #Aggregate nominal take-home income earned by households (all,h,HH)V0HHINC(h)*w0hhinc(h)= sum{i,AGIND,LANDS(i,h)*[p1lnd(i) + x1lndi_hh(i,h)]} + sum{o,OCC,HINC(h,o)*[x1lab_i_h(o,h) + p1lab_i(o) + f1lab_i_x(o)]} + [MMA(h)+MMN(h)]*w1cap_v(h) + sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)}*w1cap_f(h) + TRANSFER_H(h,"expend")*gov_h(h,"expend") TRANSFER_H(h,"recp")*gov_h(h,"recp") V0HHTAX(h)*w0hhtax(h);
#
Equation E_w0govt_t # Aggregate government revenue # GOVTREV*w0govt_t = V0TAX_CSI*w0tax_csi + sum{h,HH,V0HHTAX(h)*w0hhtax(h)} + TRANSFER_F("recp")*gov_f("recp") + sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"recp")*gov_h(h,"recp")}; Equation E_w0govt_g # Aggregate government expenditure # GOVTEXP*w0govt_g = V5TOT*w5tot + Sum{i,EXOGINV, V2TOT_G(i)*[x2tot(i) + p2tot(i)]} + TRANSFER_F("expend")*gov_f("expend") + sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"expend")*gov_h(h,"expend")}; Equation E_delbudget # Change in budget balance G-T # !increased deficit >0! 100*delbudget = GOVTEXP*w0govt_g - GOVTREV*w0govt_t ; ! Excerpt 45 of TABLO input file: ! ! Data for Checking Identities ! File (new) SUMMARY
# Summary and checking data #;
Coefficient ! coefficients for checking ! (all,i,IND) PURE_PROFITS(i) # COSTS-MAKE_C : should be zero #; (all,c,COM) LOST_GOODS(c) # SALES-MAKE_I : should be zero #; (all,h,HH) EPSTOT(h) # Average Engel elasticity: should = 1 #; Formula (all,i,IND) PURE_PROFITS(i) = V1TOT(i) - MAKE_C(i); (all,c,COM) LOST_GOODS(c) = SALES(c) - MAKE_I(c); (all,h,HH) EPSTOT(h) = sum{c,COM, S3_S(c,h)*EPS(c,h)}; Write PURE_PROFITS to file SUMMARY header "PURE" longname "COSTS-MAKE_C: should = 0"; LOST_GOODS to file SUMMARY header "LOST" longname "SALES-MAKE_I: should = 0"; EPSTOT to file SUMMARY header "ETOT" longname "Average Engel elast: should = 1"; ! Excerpt 46 of TABLO input file: ! ! Components of GDP from income and expenditure sides ! Set EXPMAC # Expenditure Aggregates # (Consumption, Investment, Government, Stocks, Exports, Imports); Coefficient (all,e,EXPMAC) EXPGDP(e) # Expenditure Aggregates #;
310
Lampiran 1. (Lanjutan) Formula EXPGDP("Consumption") = V3TOT; EXPGDP("Investment") = V2TOT_I; EXPGDP("Government") = V5TOT; EXPGDP("Stocks") = V6TOT; EXPGDP("Exports") = V4TOT; EXPGDP("Imports") = -V0CIF_C; Write EXPGDP to file SUMMARY header "EMAC" longname "Expenditure Aggregates"; Set INCMAC # Income Aggregates # (Land, Labour, Capital, OCT, IndTaxes); Coefficient (all,i,INCMAC) INCGDP(i) # Income Aggregates #; Formula INCGDP("Land") = V1LND_I; INCGDP("Labour") = V1LAB_IO; INCGDP("Capital") = V1CAP_I; INCGDP("OCT") = V1OCT_I; INCGDP("IndTaxes") = V0TAX_CSI; Write INCGDP to file SUMMARY header "IMAC" longname "Income Aggregates"; Set TAXMAC # Tax Aggregates # (Intermediate,Investment,Consumption,Exports,Government,Tariff); Coefficient (all,t,TAXMAC) TAX(t) # Tax Aggregates #; Formula TAX("Intermediate") = V1TAX_CSI; TAX("Investment") = V2TAX_CSI; TAX("Consumption") = V3TAX_CS; TAX("Exports") = V4TAX_C; TAX("Government") = V5TAX_CS; TAX("Tariff") = V0TAR_C; Write TAX to file SUMMARY header "TMAC" longname "Tax Aggregates"; ! Excerpt 47 of TABLO input file: ! ! Matrix of Industry Costs ! Set COSTCAT # Cost Categories # (IntDom, IntImp, margin, IndTax, Lab, Cap, Lnd, ProdTax); ! co ! Coefficient (all,i,IND)(all,co,COSTCAT) COSTMAT(i,co); Formula (all,i,IND) COSTMAT(i,"IntDom") = sum{c,COM, V1BAS(c,"dom",i)}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"IntImp") = sum{c,COM, V1BAS(c,"imp",i)}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"margin") = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m)}}}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"IndTax") = sum{c,COM, sum{s,SRC, V1TAX(c,s,i)}}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"Lab") =V1LAB_O(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"Cap") =V1CAP(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"Lnd") =V1LND(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"ProdTax") =V1OCT(i); Write COSTMAT to file SUMMARY header "CSTM" longname "Cost Matrix"; Formula (all,i,IND)(all,co,COSTCAT) ! convert to % shares and re-write ! COSTMAT(i,co)= 100*COSTMAT(i,co)/(TINY+V1TOT(i)); Write COSTMAT to file SUMMARY header "COSH" longname "Cost Share Matrix"; ! Excerpt 48 of TABLO input file: ! ! Matrix of domestic commodity sales with total imports ! Set ! Subscript ! SALECAT # SALE Categories # (Interm, Invest, HouseH, Export, GovGE, Stocks,margins, Total, Imports);
311
Lampiran 1. (Lanjutan) Coefficient (all,c,COM)(all,sa,SALECAT) SALEMAT(c,sa); Formula (all,c,COM) SALEMAT(c,"Interm") = sum{i,IND, V1BAS(c,"dom",i)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Invest") = sum{i,IND, V2BAS(c,"dom",i)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"HouseH") = sum{h,HH,V3BAS(c,"dom",h)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Export") = V4BAS(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"GovGE") = V5BAS(c,"dom"); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Stocks") = V6BAS(c,"dom"); (all,c,COM) SALEMAT(c,"margins") = MARSALES(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Total") = SALES(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Imports") = V0IMP(c); write SALEMAT to file SUMMARY header "SLSM" longname "Matrix of domestic commodity sales with total imports"; Formula (all,c,COM)(all,sa,SALECAT) SALEMAT(c,sa) = 100*SALEMAT(c,sa)/[TINY+SALES(c)]; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Imports")= 100*V0IMP(c)/[TINY+DOMSALES(c)+V0IMP(c)]; Write SALEMAT to file SUMMARY header "SLSH" longname "market shares for domestic goods with total import share"; ! Excerpt 49 of TABLO input file: ! ! Weight Vectors for use in aggregation and other calculations ! Write V1TOT V2TOT V1PUR_SI V2PUR_SI V3PUR_S V4PUR V1LAB_O V1CAP V1PRIM
to to to to to to to to to
file file file file file file file file file
SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY
header header header header header header header header header
"1TOT" "2TOT" "1PUR" "2PUR" "3PUR" "4PUR" "LAB1" "1CAP" "VLAD"
longname longname longname longname longname longname longname longname longname
"Industry Output"; "Investment by Industry"; "Interm.Usage by com at PP"; "Invest.Usage by com at PP"; "Consumption at Purch.Prices"; "Exports at Purchasers Prices"; "Industry Wages"; "Capital Rentals"; "Industry Factor Cost";
! Excerpt 50 of TABLO input file: ! Set SALECAT2 # SALE Categories # (Interm, Invest, HouseH, Export, GovGE, Stocks); FLOWTYPE # type of flow # (Basic, margin, Tax); Coefficient (all,c,COM)(all,f,FLOWTYPE)(all,s,SRC)(all,sa,SALECAT2) SALEMAT2(c,f,s,sa) # Basic, margin and tax components of purchasers' values #; Formula (all,c,COM)(all,f,FLOWTYPE)(all,s,SRC)(all,sa,SALECAT2) SALEMAT2(c,f,s,sa)=0; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Interm") = sum{i,IND,V1BAS(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"Interm") = sum{i,IND,V1TAX(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"Interm") = sum{i,IND, sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m) }}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Invest") = sum{i,IND,V2BAS(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"Invest") = sum{i,IND,V2TAX(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"Invest") = sum{i,IND, sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m) }}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"HouseH") = sum{h,HH,V3BAS(c,s,h)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"HouseH") = sum{h,HH,V3TAX(c,s,h)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"HouseH")= sum{m,MAR,sum(h,HH,V3MAR(c,s,m,h))};
312
Lampiran 1. (Lanjutan) (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"GovGE") = V5BAS(c,s); (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"GovGE") = V5TAX(c,s); (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"GovGE")= sum{m,MAR,V5MAR(c,s,m)}; (all,c,COM) SALEMAT2(c,"Basic","dom","Export") = V4BAS(c); (all,c,COM) SALEMAT2(c,"Tax" ,"dom","Export") = V4TAX(c); (all,c,COM) SALEMAT2(c,"margin","dom","Export")= sum{m,MAR,V4MAR(c,m)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Stocks") = V6BAS(c,s); write SALEMAT2 to file SUMMARY header "MKUP" longname "Basic, margin and tax components of purchasers' values"; Write GOVTREV to file SUMMARY header "TGOV"; GOVTEXP to file SUMMARY header "GGOV"; ! end of file !
313
Lampiran 2. Input File Closure yang Digunakan pada Jangka Pendek
! Closure Short-Run ! ! "!*!" indicates difference from longrun Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous
q f5 f4p f4q delx6 phi a3_s finv a1fac a1tot a2tot f1oct x3tot x2tot_i t0imp a1faco a1prim x5tot fgov_f fgov_h pf0cif f0tax_s f0tax f0taxi f3tot_h f3tax_cs f5tax_cs f1inc_tax p1lab_i f1tax_csi f2tax_csi f4p_ntrad f4q_ntrad x1cap_vah x1cap_vnh x1lab_i_h x1lndi_hh f4tax_trad x1cap_f_hh f4tax_ntrad
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
!HH! Number of households !COM*SRC! Government demand shift !COM! Price (upward) shift in export demand schedule !COM! Quantity (right) shift in export demands !COM*SRC! Inventories demands !*! !1! Exchange rate, rupiah/$world !COM*HH! Taste change, hhold imp/dom composite !IND! Investment shifter !AGRIFAC*AGIND! Primary factor tech. change, agri. !IND! All input augmenting technical change !IND! Neutral technical change - investment !IND! Shift in price of "other cost" tickets !1! Real household consumption !*! !1! Aggregate real investment expenditure !*! !COM! Power of tariff !N_AGRIFAC*N_AGIND! Prim. facto r tech. change, other !IND! All factor augmenting technical change !1! Aggregate real government demands !*! !TYPE! Shift in transfers: govt. -- foreign !HH*TYPE! Shift in transfers: govt. -- households !COM! C.I.F. foreign currency import prices !COM! General sales tax shifter !COM*HH! General sales tax to HH shif ter !IND! General sales tax to intermediate shifter !HH! Ratio, consumption/income by hh !1! Uniform % change in powers taxes household usage !1! Uniform % change in powers taxes government usage !1! Overall income tax shifter !OCC! Average nominal wage !*! !1! uniform % change powers of taxes intermediate usage !1! Uniform % change in powers of taxes on investment !1! Upward demand shift, non -traditional exp aggregate !1! Right demand shift, non-traditional exp aggregate !HH! variable capital by household, agri. !HH! variable capital by household, non-agri. !OCC*HH! Household labour supply !AGIND*HH! Household supply of land, agri. !1! Unif % change in powers of taxes on tradtnl exports !N_AGIND*HH! fixed capital by hhold, non -ag. !1! Uni % change in powers of taxes nontradtnl exports
Rest endogenous; cpu=yes ; ! (Optional) Reports CPU times for various stages
314
Lampiran 3. Input File Closure yang Digunakan pada Jangka Panjang ! Closure Long-Run ! ! "!*!" indicates difference from the longrun Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous Exogenous
q f5 f4p f4q delx6 phi a3_s finv a1fac a1tot a2tot f1oct x3tot x2tot_i t0imp a1faco a1prim x5tot fgov_f fgov_h pf0cif f0tax_s f0tax f0taxi f3tot_h f3tax_cs f5tax_cs f1inc_tax p1lab_i f1tax_csi f2tax_csi f4p_ntrad f4q_ntrad x1cap_vah x1cap_vnh x1lab_i_h x1lndi_hh f4tax_trad x1cap_f_hh f4tax_ntrad
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
!HH! Number of households !COM*SRC! Government demand shift !COM! Price (upward) shift in export demand schedule !COM! Quantity (right) shift in export demands !COM*SRC! Inventories demands !*! !1! Exchange rate, rupiah/$world !COM*HH! Taste change, hhold imp/dom composite !IND! Investment shifter !AGRIFAC*AGIND! Primary factor tech. change, agri. !IND! All input augmenting technical change !IND! Neutral technical change - investment !IND! Shift in price of "other cost" tickets !1! Real household consumption !*! !1! Aggregate real investment expenditure !*! !COM! Power of tariff !N_AGRIFAC*N_AGIND! Prim. factor tech. change, other !IND! All factor augmenting technical change !1! Aggregate real government demands !*! !TYPE! Shift in transfers: govt. -- foreign !HH*TYPE! Shift in transfers: govt. -- households !COM! C.I.F. foreign currency import prices !COM! General sales tax shifter !COM*HH! General sales tax to HH shifter !IND! General sales tax to intermediate shifter !HH! Ratio, consumption/income by hh !1! Uniform % change in powers taxes household usage !1! Uniform % change in powers taxes government usage !1! Overall income tax shifter !OCC! Average nominal wage !*! !1! uniform % change powers of taxes intermediate usage !1! Uniform % change in powers of taxes on investment !1! Upward demand shift, non -traditional exp aggregate !1! Right demand shift, non-traditional exp aggregate !HH! variable capital by household, agri culture !HH! variable capital by household, non-agriculture !OCC*HH! Household labour supply !AGIND*HH! Household supply of land, agri. !1! Uniform % change in powers of taxes on tradtnl exports !N_AGIND*HH! fixed capital by hhold, non -ag. !1! Uniform % change in powers of taxes on nontradtnl exports
Rest endogenous; ! swap for the long run closure ! swap delx6 = fx6; swap x3tot = f3tot; swap x2tot_i = delB; swap x5tot = f5tot2; swap p1lab_i = f1lab_i_x; cpu=yes ; ! (Optional) Reports CPU times for various stages
306
Lampiran 4. Data Estimasi Elastistitas Tenaga Kerja di Perdesaan dan Perkotaan SUMBER
ADB, BPS
ADB, BPS
ADB, BPS
ADB
ADB
ADB
ADB
ADB
TAHUN
LAGR
LIND
LSER
GDPAGR
GDPIND
GDPSER
GEXINF
GEXAGR
SATUAN
Rp Juta/Th
Rp Juta/Th
Rp Juta/Th
Rp Miliar/Th
Rp Miliar/Th
Rp Miliar/Th
Rp Miliar/Th
Rp Miliar/Th
1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
33.08 34.14 37.64 38.72 40.56 41.28 42.38 41.21 42.15 40.07 37.86 35.23 37.72 34.79 39.42 38.38 40.68 39.74 39.00 42.00 40.61 41.31 42.32 41.21 41.33 41.61 41.49 39.33
6.18 6.21 6.34 6.99 7.64 7.78 8.22 8.51 8.78 9.45 11.58 10.77 11.55 11.88 10.61 12.24 12.17 12.09 12.74 12.23 12.11 12.86 12.53 12.81 13.62 14.00 15.08 16.01
20.83 22.10 24.35 24.69 24.32 24.36 25.25 26.71 27.59 29.69 32.60 34.11 36.44 38.73 37.65 38.20 37.00 38.98 38.27 37.54 41.01 39.79 40.33 45.36 47.60 49.26 51.63 54.33
39685.99 41527.64 45877.23 46348.71 49073.00 51476.00 53056.00 54583.00 58002.00 58063.00 59291.00 61885.00 63828.00 64468.00 63609.00 64985.00 66208.90 66858.00 68018.40 70400.00 71771.64 73653.65 75601.27 77624.61 79749.97 82006.34 84375.70 86830.07
58188.93 59718.42 65247.91 66199.32 69463.04 73258.30 80838.30 89909.60 96502.80 105053.60 115910.60 127139.30 139999.10 146167.90 132795.00 135924.00 140406.37 145021.51 149864.17 154907.22 160157.22 165671.75 171450.44 177493.90 183746.37 190195.83 196962.29 202491.02
76815.35 77675.30 78284.67 86143.65 102870.96 116786.70 129367.40 142272.80 152969.20 165758.80 179439.00 194767.80 209970.90 222610.10 179972.00 178444.00 182982.90 187832.62 193017.86 198634.53 204769.94 211516.58 218883.35 227059.77 236078.18 245739.59 256326.00 262954.63
1711.40 2760.30 3721.80 4152.90 7458.40 7364.50 7034.80 8589.60 10581.40 10752.50 9837.80 9008.80 11900.10 14385.60 26181.00 24383.10 16969.60 19669.60 25830.00 15093.50 18036.10 18908.00 14952.80 17537.10 22185.30 27914.90 28668.20 52359.70
1929.00 1381.00 1063.00 2136.00 1836.00 2523.00 2848.00 2112.00 2383.00 2855.00 2812.00 2645.00 4651.00 5191.00 7062.00 17321.00 6139.00 8497.00 9445.00 12216.10 6538.50 7332.10 8345.70 7570.30 11241.80 8716.80 9004.70 17219.90
KNAKERTRAN, BPS HCAP Rasio Jumlah AK S1/Total AK 0.0034 0.0048 0.0061 0.0075 0.0089 0.0103 0.0121 0.0130 0.0144 0.0158 0.0138 0.0212 0.0195 0.0224 0.0224 0.0249 0.0240 0.0270 0.0240 0.0253 0.0255 0.0278 0.0289 0.0332 0.0424 0.0422 0.0451 0.0481
316
Lampiran 5.
Output File Estimasi Elastistitas Substitusi Tenaga Kerja di Perdesaan dan Perkotaan
Dependent Variable: LNGDPIND Method: Least Squares Date: 05/28/12 Time: 20:18 Sample: 1984 2011 Included observations: 28 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNLIND LNWAGE LNGEXINF
7.291255 0.596823 0.263135 -0.034164
0.225701 0.163699 0.042567 0.031077
32.30496 3.645857 6.181598 -1.099336
0.0000 0.0013 0.0000 0.2825
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.988215 0.986742 0.045585 0.049873 48.89655 670.8283 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
11.69484 0.395899 -3.206896 -3.016581 -3.148715 1.031184
Dependent Variable: LNGDPAGR Method: Least Squares Date: 05/28/12 Time: 20:30 Sample: 1984 2011 Included observations: 28 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNLAGR LNWAGE LNGEXAGR
7.664302 0.195178 0.210963 -0.000983
0.218718 0.065429 0.008970 0.010626
35.04196 2.983037 23.51917 -0.092517
0.0000 0.0065 0.0000 0.9271
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.991824 0.990802 0.020270 0.009861 71.58917 970.4840 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
11.03842 0.211352 -4.827798 -4.637483 -4.769617 1.364609
317
Lampiran 5.
(Lanjutan)
Dependent Variable: LNGDPSER Method: Least Squares Date: 05/28/12 Time: 20:39 Sample: 1984 2011 Included observations: 28 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNLSER LNWAGE LNGEXINF
7.307787 -0.280455 0.385617 0.087754
0.270544 0.376557 0.105444 0.068238
27.01142 -0.744789 3.657093 1.285994
0.0000 0.4636 0.0012 0.2107
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.928204 0.919229 0.107050 0.275032 24.99272 103.4261 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.01606 0.376668 -1.499480 -1.309165 -1.441299 0.526074
318
Lampiran 6. Input File Estimasi Base Dampak Kebijakan terhadap Kemiskinan *kode rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan dan desa kota menjadi 8 kelompok gen kode_hh=0 replace kode_hh=1 replace kode_hh=2 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=3 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=4 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=5 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=6 replace kode_hh=7
if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if if
b5r23==1 & b5r24==4 & b1r5==2 b5r23==1 & b5r24==1 & b1r5==2 b5r23==2 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==3 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==4 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==5 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==6 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==7 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==8 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==9 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==10 & b5r24==2 & b1r5==2 b5r23==2 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==3 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==4 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==5 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==6 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==7 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==8 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==9 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==10 & b5r24==5 & b1r5==2 b5r23==2 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==3 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==4 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==5 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==6 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==7 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==8 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==9 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==10 & b5r24==6 & b1r5==2 b5r23==2 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==3 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==4 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==5 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==6 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==7 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==8 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==9 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==10 & b5r24==3 & b1r5==2 b5r23==2 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==3 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==4 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==5 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==6 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==7 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==8 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==9 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==10 & b5r24==1 & b1r5==1 b5r23==2 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==3 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==4 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==5 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==6 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==7 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==8 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==9 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==10 & b5r24==2 & b1r5==1 b5r23==2 & b5r24==5 & b1r5==1
319
Lampiran 6. (Lanjutan) replace kode_hh=7 if b5r23==3 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==4 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==5 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==6 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==7 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==8 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==9 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==10 & b5r24==5 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==2 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==3 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==4 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==5 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==6 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==7 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==8 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==9 & b5r24==6 & b1r5==1 replace kode_hh=7 if b5r23==10 & b5r24==6& b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==2 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==3 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==4 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==5 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==6 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==7 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==8 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==9 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==10 & b5r24==3 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==2 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==3 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==4 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==5 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==6 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==7 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==8 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==9 & b5r24==4 & b1r5==1 replace kode_hh=8 if b5r23==10 & b5r24==4 & b1r5==1 codebook kode_hh codebook b1r5 codebook b5r23 codebook b5r24 drop if b5r23==0 & b5r24==0 drop if b5r23==. & b5r24==. codebook kode_hh count **Kontruksi kode rumah tangga berdasarkan kaya miskin menurut poverty line menjadi 16 kelompok, dimana nilai poverty line (GK) dibedakan di perdesaan dan perkotaan (BPS, 2008). Untuk pedesaan sebesar Rp 161.831 per bulan per kapita dan untuk perkotaan sebesar Rp 204.869 per bulan per kapita** gen kode_hh_16=0 gen GK=161831 replace GK=204869 if b1r5==1 replace kode_hh_16=1 if kode_hh==1 & xtotalperkapita< GK replace kode_hh_16=2 if kode_hh==1 & xtotalperkapita >= GK replace kode_hh_16=3 if kode_hh==2 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=4 if kode_hh==2 & xtotalperkapita >= GK replace kode_hh_16=5 if kode_hh==3 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=6 if kode_hh==3 & xtotalperkapita >= GK replace kode_hh_16=7 if kode_hh==4 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=8 if kode_hh==4 & xtotalperkapita >= GK
320
Lampiran 6. (Lanjutan) replace kode_hh_16=9 if kode_hh==5 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=10 if kode_hh==5 & xtotalperkapita >= GK replace kode_hh_16=11 if kode_hh==6 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=12 if kode_hh==6 & xtotalperkapita >= GK replace kode_hh_16=13 if kode_hh==7 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=14 if kode_hh==7 & xtotalperkapita >= GK replace kode_hh_16=15 if kode_hh==8 & xtotalperkapita < GK replace kode_hh_16=16 if kode_hh==8 & xtotalperkapita >= GK codebook kode_hh kode_hh_16 table kode_hh kode_hh_16 *menggenerate perubahan income untuk masing-masing rumah tangga akibat simulasi short run 1 gen delta_income_simsrs1=0.125 replace delta_income_simsrs1=0.131 if kode_hh_16==2 replace delta_income_simsrs1=0.120 if kode_hh_16==3 replace delta_income_simsrs1=0.124 if kode_hh_16==4 replace delta_income_simsrs1=0.116 if kode_hh_16==5 replace delta_income_simsrs1=0.117 if kode_hh_16==6 replace delta_income_simsrs1=0.119 if kode_hh_16==7 replace delta_income_simsrs1=0.121 if kode_hh_16==8 replace delta_income_simsrs1=0.116 if kode_hh_16==9 replace delta_income_simsrs1=0.119 if kode_hh_16==10 replace delta_income_simsrs1=0.128 if kode_hh_16==11 replace delta_income_simsrs1=0.130 if kode_hh_16==12 replace delta_income_simsrs1=0.123 if kode_hh_16==13 replace delta_income_simsrs1=0.123 if kode_hh_16==14 replace delta_income_simsrs1=0.124 if kode_hh_16==15 replace delta_income_simsrs1=0.125 if kode_hh_16==16 gen delta_income_simlrs1=0.252 replace delta_income_simlrs1=0.014 replace delta_income_simlrs1=0.275 replace delta_income_simlrs1=0.068 replace delta_income_simlrs1=0.218 replace delta_income_simlrs1=0.091 replace delta_income_simlrs1=0.233 replace delta_income_simlrs1=0.150 replace delta_income_simlrs1=0.406 replace delta_income_simlrs1=0.352 replace delta_income_simlrs1=0.263 replace delta_income_simlrs1=0.180 replace delta_income_simlrs1=0.409 replace delta_income_simlrs1=0.419 replace delta_income_simlrs1=0.490 replace delta_income_simlrs1=0.482
if if if if if if if if if if if if if if if
kode_hh_16==2 kode_hh_16==3 kode_hh_16==4 kode_hh_16==5 kode_hh_16==6 kode_hh_16==7 kode_hh_16==8 kode_hh_16==9 kode_hh_16==10 kode_hh_16==11 kode_hh_16==12 kode_hh_16==13 kode_hh_16==14 kode_hh_16==15 kode_hh_16==16
*generate income hasil simulasi gen income_simsrs1= xtotal+xtotal* delta_income_simsrs1 gen income_simlrs1= xtotal+xtotal* delta_income_simlrs1 *generate income per capita gen income_per_cap_base= xtotal/ b2r1 gen income_per_cap_simsrs1= income_simsrs1/ b2r1 gen income_per_cap_simlrs1= income_simlrs1/ b2r1 *menggenerate perubahan akibat adanya shock terhadap kemiskinan* *Analisis FGT nasional gen FGT1_base=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK gen FGT2_base= FGT1_base* FGT1_base
321
Lampiran 6. (Lanjutan) sum FGT1_base FGT2_base *menghitujng FGT simsrs1 gen FGT1_simsrs1=(( GK-income_per_cap_simsrs1)/ GK) if income_per_cap_simsrs1< GK gen FGT2_simsrs1= FGT1_simsrs1* FGT1_simsrs1 sum FGT1_simsrs1 FGT2_simsrs1 *menghitujng FGT simlrs1 gen FGT1_simlrs1=(( GK-income_per_cap_simlrs1)/ GK) if income_per_cap_simlrs1< GK gen FGT2_simlrs1= FGT1_simlrs1* FGT1_simlrs1 sum FGT1_simlrs1 FGT2_simlrs1 *Analisis FGT tingkat rumah tangga *menghitung FGT base untuk HH1 gen FGT1_base_HH1=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==1 gen FGT2_base_HH1= FGT1_base_HH1* FGT1_base_HH1 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==1 count if kode_hh_16==1 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==1 *menghitung FGT base untuk HH2 gen FGT1_base_HH2=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==2 gen FGT2_base_HH2= FGT1_base_HH2* FGT1_base_HH2 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==2 count if kode_hh_16==2 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==2 *menghitung FGT base untuk HH3 gen FGT1_base_HH3=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==3 gen FGT2_base_HH3= FGT1_base_HH3* FGT1_base_HH3 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==3 count if kode_hh_16==3 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==3 *menghitung FGT base untuk HH4 gen FGT1_base_HH4=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==4 gen FGT2_base_HH4= FGT1_base_HH4* FGT1_base_HH4 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==4 count if kode_hh_16==4 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==4 *menghitung FGT base untuk HH5 gen FGT1_base_HH5=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==5 gen FGT2_base_HH5= FGT1_base_HH5* FGT1_base_HH5 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==5 count if kode_hh_16==5 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==5 *menghitung FGT base untuk HH6 gen FGT1_base_HH6=((GK-income_per_cap_base)/ GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==6 gen FGT2_base_HH6= FGT1_base_HH6* FGT1_base_HH6 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==6 count if kode_hh_16==6 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==6 *menghitung FGT base untuk HH7 gen FGT1_base_HH7=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==7 gen FGT2_base_HH7= FGT1_base_HH7* FGT1_base_HH7 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==7 count if kode_hh_16==7 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==7
322
Lampiran 6. (Lanjutan) *menghitung FGT base untuk HH8 gen FGT1_base_HH8=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==8 gen FGT2_base_HH8= FGT1_base_HH8* FGT1_base_HH8 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==8 count if kode_hh_16==8 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==8 *menghitung FGT base untuk HH9 gen FGT1_base_HH9=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==9 gen FGT2_base_HH9= FGT1_base_HH9* FGT1_base_HH9 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==9 count if kode_hh_16==9 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==9 *menghitung FGT base untuk HH10 gen FGT1_base_HH10=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==10 gen FGT2_base_HH10= FGT1_base_HH10* FGT1_base_HH10 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==10 count if kode_hh_16==10 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==10 *menghitung FGT base untuk HH11 gen FGT1_base_HH11=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==11 gen FGT2_base_HH11= FGT1_base_HH11* FGT1_base_HH11 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==11 count if kode_hh_16==11 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==11 *menghitung FGT base untuk HH12 gen FGT1_base_HH12=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==12 gen FGT2_base_HH12= FGT1_base_HH12* FGT1_base_HH12 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==12 count if kode_hh_16==12 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==12 *menghitung FGT base untuk HH13 gen FGT1_base_HH13=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==13 gen FGT2_base_HH13= FGT1_base_HH13* FGT1_base_HH13 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==13 count if kode_hh_16==13 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==13 *menghitung FGT base untuk HH14 gen FGT1_base_HH14=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==14 gen FGT2_base_HH14= FGT1_base_HH14* FGT1_base_HH14 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==14 count if kode_hh_16==14 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==14 *menghitung FGT base untuk HH15 gen FGT1_base_HH15=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==15 gen FGT2_base_HH15= FGT1_base_HH15* FGT1_base_HH15 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==15 count if kode_hh_16==15 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==15
323
Lampiran 6. (Lanjutan) *menghitung FGT base untuk HH16 gen FGT1_base_HH16=((GK-income_per_cap_base)/GK) if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==16 gen FGT2_base_HH16= FGT1_base_HH16* FGT1_base_HH16 if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==16 count if kode_hh_16==16 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==16 * Menghitung nilai kemiskinan pada P0 atau α=0 count if kode_hh_16==1 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==1 count if kode_hh_16==2 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==2 count if kode_hh_16==3 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==3 count if kode_hh_16==4 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==4 count if kode_hh_16==5 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==5 count if kode_hh_16==6 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==6 count if kode_hh_16==7 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==7 count if kode_hh_16==8 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==8 count if kode_hh_16==9 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==9 count if kode_hh_16==10 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==10 count if kode_hh_16==11 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==11 count if kode_hh_16==12 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==12 count if kode_hh_16==13 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==13 count if kode_hh_16==14 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==14 count if kode_hh_16==15 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==15 count if kode_hh_16==16 count if income_per_cap_base< GK & kode_hh_16==16 *Menghitung nilai kemiskinan pada P1 dan P2 atau P0 atau α=1 dan P0 atau α=2 sum FGT1_base_HH1 FGT2_base_HH1 sum FGT1_base_HH2 FGT2_base_HH2 sum FGT1_base_HH3 FGT2_base_HH3 sum FGT1_base_HH4 FGT2_base_HH4 sum FGT1_base_HH5 FGT2_base_HH5 sum FGT1_base_HH6 FGT2_base_HH6 sum FGT1_base_HH7 FGT2_base_HH7 sum FGT1_base_HH8 FGT2_base_HH8 sum FGT1_base_HH9 FGT2_base_HH9 sum FGT1_base_HH10 FGT2_base_HH10 sum FGT1_base_HH11 FGT2_base_HH11 sum FGT1_base_HH12 FGT2_base_HH12 sum FGT1_base_HH13 FGT2_base_HH13 sum FGT1_base_HH14 FGT2_base_HH14 sum FGT1_base_HH15 FGT2_base_HH15 sum FGT1_base_HH16 FGT2_base_HH16 **end file**
Lampiran 7. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.7469 0.0000 0.7623 0.0000 0.7848 0.0000 0.7950 0.0000 0.6685 0.0000 0.7971 0.0000 0.7968 0.0000 0.7562 0.0000
Simulasi 1 α=1 0.2592 0.0000 0.2657 0.0000 0.2676 0.0000 0.2800 0.0000 0.2483 0.0000 0.3162 0.0000 0.2965 0.0000 0.2914 0.0000
α=2 0.1058 0.0000 0.1061 0.0000 0.1055 0.0000 0.1124 0.0000 0.0987 0.0000 0.1577 0.0000 0.1298 0.0000 0.1307 0.0000
Perubahan (%) α=0 α=1 -0.2531 -0.0250 0.0000 0.0000 -0.2377 -0.0144 0.0000 0.0000 -0.2152 -0.0150 0.0000 0.0000 -0.2050 -0.0327 0.0000 0.0000 -0.3315 0.0483 0.0000 0.0000 -0.2029 -0.0160 0.0000 0.0000 -0.2032 -0.0522 0.0000 0.0000 -0.2438 -0.0319 0.0000 0.0000
Keterangan: α=0 adalah poverty indicence atau head count ratio, α=1 adalah poverty depth (poverty gap), dan α=2 adalah poverty severity
α=2 -0.0339 0.0000 -0.0358 0.0000 -0.0427 0.0000 -0.0691 0.0000 0.0589 0.0000 -0.0043 0.0000 -0.0766 0.0000 -0.0400 0.0000
Lampiran 8. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.1168 0.0000 0.1084 0.0000 0.1022 0.0000 0.1151 0.0000 0.0792 0.0000 0.2082 0.0000 0.1935 0.0000 0.1673 0.0000
Simulasi 1 α=1 0.2650 0.0000 0.2182 0.0000 0.1920 0.0000 0.1949 0.0000 0.2499 0.0000 0.3697 0.0000 0.2442 0.0000 0.2977 0.0000
α=2 0.1372 0.0000 0.0944 0.0000 0.0699 0.0000 0.0690 0.0000 0.1252 0.0000 0.2267 0.0000 0.1112 0.0000 0.1571 0.0000
α=0 -0.8832 0.0000 -0.8916 0.0000 -0.8978 0.0000 -0.8849 0.0000 -0.9208 0.0000 -0.7918 0.0000 -0.8065 0.0000 -0.8327 0.0000
Perubahan (%) α=1 -0.0033 0.0000 -0.1903 0.0000 -0.2932 0.0000 -0.3267 0.0000 0.0548 0.0000 0.1502 0.0000 -0.2194 0.0000 -0.0110 0.0000
α=2 0.2531 0.0000 -0.1422 0.0000 -0.3654 0.0000 -0.4288 0.0000 0.3433 0.0000 0.4316 0.0000 -0.2091 0.0000 0.1536 0.0000
Lampiran 9. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.5781 0.0000 0.5489 0.0000 0.4913 0.0000 0.5442 0.0000 0.4494 0.0000 0.6849 0.0000 0.7690 0.0000 0.7870 0.0000
Simulasi 2 α=1 0.2551 0.0000 0.2578 0.0000 0.2477 0.0000 0.2547 0.0000 0.2408 0.0000 0.3171 0.0000 0.2947 0.0000 0.2923 0.0000
α=2 0.1042 0.0000 0.0996 0.0000 0.0908 0.0000 0.0948 0.0000 0.0956 0.0000 0.1600 0.0000 0.1286 0.0000 0.1312 0.0000
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.4219 -0.0403 -0.0489 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4511 -0.0435 -0.0947 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5087 -0.0883 -0.1761 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4558 -0.1204 -0.2149 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5506 0.0168 0.0252 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3151 -0.0135 0.0102 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2310 -0.0580 -0.0856 0.0000 0.0000 0.0000 -0.2130 -0.0290 -0.0365 0.0000 0.0000 0.0000
Lampiran 10. Dampak Kebijakan Subsidi Benih terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.0401 0.0000 0.0257 0.0000 0.0160 0.0000 0.0180 0.0000 0.0203 0.0000 0.1197 0.0000 0.0872 0.0000 0.0923 0.0000
Simulasi 2 α=1 0.3907 0.0000 0.3235 0.0000 0.2766 0.0000 0.2639 0.0000 0.3825 0.0000 0.4364 0.0000 0.2807 0.0000 0.3436 0.0000
α=2 0.2584 0.0000 0.2040 0.0000 0.1505 0.0000 0.1387 0.0000 0.2856 0.0000 0.2974 0.0000 0.1549 0.0000 0.2034 0.0000
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.9599 0.4697 1.3598 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9743 0.2003 0.8542 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9840 0.0179 0.3656 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9820 -0.0884 0.1482 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9797 0.6148 2.0640 0.0000 0.0000 0.0000 -0.8803 0.3580 0.8785 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9128 -0.1026 0.1016 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9077 0.1414 0.4937 0.0000 0.0000 0.0000
Lampiran 11. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.9530 0.0000 0.9058 0.0000 0.8401 0.0000 0.8660 0.0000 0.8122 0.0000 0.9806 0.0000 1.0000 0.0379 1.0000 0.0269
Simulasi 3 α=1 0.2640 0.0000 0.2674 0.0000 0.2696 0.0000 0.2823 0.0000 0.2421 0.0000 0.3209 0.0000 0.3197 0.0109 0.3150 0.0102
α=2 0.1086 0.0000 0.1083 0.0000 0.1072 0.0000 0.1150 0.0000 0.0960 0.0000 0.1582 0.0000 0.1441 0.0002 0.1430 0.0001
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.0470 -0.0069 -0.0084 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0942 -0.0079 -0.0154 0.0000 0.0000 0.0000 -0.1599 -0.0078 -0.0269 0.0000 0.0000 0.0000 -0.1340 -0.0247 -0.0478 0.0000 0.0000 0.0000 -0.1878 0.0223 0.0301 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0194 -0.0014 -0.0009 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0220 0.0249 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0464 0.0500 0.0000 0.0000 0.0000
Lampiran 12. Dampak Kebijakan Subsidi Pangan terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.4126 0.0000 0.3663 0.0000 0.3163 0.0000 0.3507 0.0000 0.2136 0.0000 0.5760 0.0000 0.6005 0.0000 0.5851 0.0000
Simulasi 3 α=1 0.2497 0.0000 0.2371 0.0000 0.2185 0.0000 0.2226 0.0000 0.2497 0.0000 0.3173 0.0000 0.2843 0.0000 0.2826 0.0000
α=2 0.1025 0.0000 0.0879 0.0000 0.0753 0.0000 0.0773 0.0000 0.1055 0.0000 0.1630 0.0000 0.1217 0.0000 0.1271 0.0000
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.5874 -0.0607 -0.0643 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6337 -0.1204 -0.2015 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6837 -0.1958 -0.3169 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6493 -0.2310 -0.3599 0.0000 0.0000 0.0000 -0.7864 0.0543 0.1319 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4240 -0.0128 0.0291 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3995 -0.0912 -0.1343 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4149 -0.0614 -0.0665 0.0000 0.0000 0.0000
Lampiran 13. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk, Benih dan Pangan terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Pendek No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.4253 0.0000 0.4149 0.0000 0.3691 0.0000 0.4015 0.0000 0.3039 0.0000 0.5567 0.0000 0.6341 0.0000 0.6277 0.0000
Simulasi 4 α=1 0.2529 0.0000 0.2439 0.0000 0.2294 0.0000 0.2321 0.0000 0.2344 0.0000 0.3177 0.0000 0.2856 0.0000 0.2853 0.0000
α=2 0.1036 0.0000 0.0913 0.0000 0.0804 0.0000 0.0819 0.0000 0.0958 0.0000 0.1638 0.0000 0.1227 0.0000 0.1281 0.0000
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.5747 -0.0485 -0.0536 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5851 -0.0952 -0.1701 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6309 -0.1559 -0.2702 0.0000 0.0000 0.0000 -0.5985 -0.1983 -0.3217 0.0000 0.0000 0.0000 -0.6961 -0.0105 0.0277 0.0000 0.0000 0.0000 -0.4433 -0.0116 0.0346 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3659 -0.0869 -0.1271 0.0000 0.0000 0.0000 -0.3723 -0.0524 -0.0594 0.0000 0.0000 0.0000
Lampiran 14. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk, Benih dan Pangan terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Jangka Panjang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kelompok Rumah Tangga Buruh pertanian miskin Buruh pertanian non miskin Pengusaha pertanian miskin Pengusaha pertanian non miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa miskin Bukan pertanian golongan bawah di desa non miskin Bukan angkatan kerja di desa miskin Bukan angkatan kerja di desa non miskin Bukan pertanian golongan atas di desa miskin Bukan pertanian golongan atas di desa non miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota miskin Bukan pertanian golongan bawah di kota non miskin Bukan angkatan kerja di kota miskin Bukan angkatan kerja di kota non miskin Bukan pertanian golongan atas di kota miskin Bukan pertanian golongan atas di kota non miskin
α=0 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000
Dasar α=1 0.2658 0.0000 0.2695 0.0000 0.2717 0.0000 0.2895 0.0000 0.2369 0.0000 0.3214 0.0000 0.3128 0.0000 0.3010 0.0000
α=2 0.1095 0.0000 0.1100 0.0000 0.1102 0.0000 0.1208 0.0000 0.0932 0.0000 0.1583 0.0000 0.1406 0.0000 0.1362 0.0000
α=0 0.0180 0.0000 0.0077 0.0000 0.0046 0.0000 0.0053 0.0000 0.0092 0.0000 0.0644 0.0000 0.0269 0.0000 0.0362 0.0000
Simulasi 4 α=1 0.5519 0.0000 0.6418 0.0000 0.4595 0.0000 0.4090 0.0000 0.6543 0.0000 0.5339 0.0000 0.4332 0.0000 0.4682 0.0000
α=2 0.4139 0.0000 0.4920 0.0000 0.3039 0.0000 0.2609 0.0000 0.4759 0.0000 0.4020 0.0000 0.3074 0.0000 0.3298 0.0000
Perubahan (%) α=0 α=1 α=2 -0.9820 1.0759 2.7801 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9923 1.3811 3.4705 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9954 0.6913 1.7586 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9947 0.4127 1.1598 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9908 1.7622 4.1051 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9356 0.6612 1.5385 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9731 0.3849 1.1865 0.0000 0.0000 0.0000 -0.9638 0.5551 1.4215 0.0000 0.0000 0.0000