DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN
Oleh : USMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benamya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ltunjukkan rujukannya. Tesis ini belurn pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tingg lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, April 2006
Usman NRP.Al5 102020I
ABSTRAK
USMAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan (BONAR MARULITUA SINAGA sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai anggota komisi pembimbing). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efesien, yang pada akhir bisa meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat, sehingga desentralisasi fiskal diharapkan bisa menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Secara urnurn, penelitian ini bertujuac untuk: (1) menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin) dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. (2) menentukan faktor-faktor penentu atau determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, dan (3) mempelajari dampak desentralisasi fiskal, terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kerniskinan. Dalam mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan, digunakan pendekatan ekonometrika yang terdiri dari 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Setiap persamaan struktural dalarn model ini diduga dengan teknik Pool Time Series-Cross Section Regression, dengan spesifikasi fixed eflect model. Studi ini menggunakan data time series tahun 1995-2003 dan data cross section dari 26 provinsi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ekonomi pada periode sebelum desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin, namun sebaliknya kelompok kaya lebih diuntungkan. Periode sesudah desentralisasi fiskal pada awalnya menguntungkan kelompok kaya, narnun tahun berikutnya menguntungkan kelompok miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi f iskal sebagian besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi determinan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perurnahan, infrastruktur, dan faktor komunitas atau wilayah. Hasil dugaan model menunjukkan, desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal terindikasi dapat menciptakan pemerataan distribusi pendapatan, namun pengaruhnya belum terbukti nyata secara statistik. Desentralisasi fiskal juga dapat mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefesien negatif dan nyata. Hasil simulasi menunjukkan, dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah untuk Sektor Pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka panjang, pengeluaran pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan adalah sektor yang hams diprioritaskan. Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Distribusi Pendapatan, Kemiskinan, Indeks Gini, Data Panel.
ABSTRACT
USMAN. The Impact of Fiscal Decentralization on Income Distribution and Poverty Level (EQNAR MARULITUA SINAGA as Chairman and HERMANTO SIREGAR as Member of the Advisory Committee). The goal of Fiscal Decentralization is to create a better, effective, and efficient public service system, which will increase the welfare and community independency. The expected end result will be the creation of better income distribution and lower poverty level. Generally, this study aims to: (1) analyze the economic growth of the poor and non-poor, prior and afterward the application of fiscal decentralization, (2) determine the determinants factor of poverty, prior and afterward the application of fiscal decentralization, and (3) study the impact of fiscal decentralization on income distribution and poverty level. Econometric approach with a simultaneous equation model that consists of 17 structural equations and 7 identity equations is used to analyze the impact of fiscal decentralization on income distribution and poverty level. Each structural equation in the model is estimated using the Pool Time Series-Cross Section Regression technique, with fixed effect model specification. The study used time series data from 1995 to 2003 and 26 provinces-cross section data in Indonesia. T h s study found that the economic policy prior to fiscal decentralization period was not a pro-poor policy. On the beginning of fiscal decentralization period, it was still not pro-poor policy, but afterwards it became pro-poor policy. Generally, there was not any change in the determinants of poverty between pre and post period. Agriculture, education, health, housing, infiastmcture, and community were the determinant sectors of poverty. The result of the model estimation shows that the fiscal decentralization has a positive impact on fiscal and economic performance. Fiscal decentralization is indicated could create better income distribution, but it was not sigmficant. Fiscal decentralization could also lower poverty level. The result of simulation shows that in the short term period, government expenditure on agriculture can improve better income distribution and lower poverty level. In long term, government expenditure on Education and Health must be given priority. Key words: Fiscal Decentralization, income distribution, poverty, Gini index, Panel Data.
O Hak Cipta Milik Usman, Tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagan atau seluruhnya dalarn bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKLNAN
Oleh:
USMAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pads Program Studi Ilmu Ekono~niPertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANZAN BOGOR 2006
Judul Penelitian
: DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN Nama Mahasiswa
: Usman
Nomor Pokok
: A151020201
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, I. Komisi Pembimbing
Prof Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Ketua
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
A ! Prof Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,
Tanggal Ujian: 4 April 2006
fnda Manuwoto, M. Sc.
Tanggal Lulus: 0 1 J U N 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan tanggal 4 Agustus 1975, di Bogor, Jawa Barat, dari pasangan Abdurahrnan dan Lely Aliah. Penulis anak keempat dari empat bersaudara. Saat ini penulis sudah berkeluarga dengan istri tercinta Dewi Wijayanti, dan telah dikaruniai dua orang putra-putri tersayang bernama Daniyaf, Husna dan Abyan Miladi Ahmad. Pada tahun 1999 penulis lulus dari pcndidikan sarjana di jurusan Statistika, Fakultas Matematika clan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasqana Institut Pertanian Bogor. Penillis bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sejak tahun 1999. Tidak kurang dari 20 kegiatan penelitian telah penulis ikuti yang beberapa diantaranya telah diterbitkan dalam Working Paper LPEM maupun Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, salah satunya berjudul Analisa Peringkat Penanggulangan Kemishnan KabupatenKota. Vol. 49 (no.4) hal: 423-45 1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tema yang dipilih untuk karya ilmiah ini adalah "Dampak Desentrulisusi Fiskul Terhudup Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemisktnan".
Karya ilmiah ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat dampak pelaksanaan dssentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pecdapatan dan tingkat kemiskinan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan ini, untuk itu diharapkan ada masukan dari pembaca. Harapan penulis karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, atas kritik dan saran yang membangun penulis ucapkan terima kasih. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang berperan aktif dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini. Tesis ini dapat selesai berkat bantuan serta dukungan juga dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis rnengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) sebagai lembaga dimana penulis bekerja dan berkarya, yang telah memberikan bantuan Dana SDM selama penulis menjalankan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan melalui program Hibah Pasca untuk mendukung berbagai penelitian akademis di berbagai perguruan tinggi sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Penulis ucapkan juga terimakasih dan penghargaannya kepada Riyanto, Ahmad Avenzora, dan Bintoro Seto yang telah membantu melengkapi data yang diperlukan untuk karya ilmiah ini. Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih dan penghargaannya kepada Jossy Moeis, Uka Wikarya, Khoirunurrofik, Sumedi, dan rekan-rekan S2 Jurusan Ekonomi Pertanian yang tidak mungkin bisa disebutkan satu persatu, yang telah mendukung serta menjadi teman diskusi yang baik sehingga karya ilmiah ini menjadi seinpurna. Secara khusus, penulis sampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua (Abdurrahman dan Lely Aliah), Istri (Dewi Wijayanti), dan kedua putra putri tercinta (Daniyah Husna dan Abyan Milacfi Ahmad) yang telah mendukung dengan penuh ikhlas semenjak penulis menjalankan pendidikan hingga selesainya karya ilmiah ini.
Bogor, April 2006
Penulis
DAFTAR IS1
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
XI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv DAFTAR LAMPJRAN............................................................................ xiv
.
I
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian..................................................................1 1.2. Perulnusan Masalah ............................................................................. 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................-6
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 7
.
I1
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8
2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal.......................................... 8 2.2 Keuangan Pemerintah Daerah .............................................................9 2.3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulangan Kerniskinan ..... 10 2.4 Diskusi Tentang Kerniskinan ............................................................. 11
2.5
.
111
2.4.1
Pengertian dan Indikator Ke~niskinan.................................. 11
2.4.2
Kerniskinan Relatif dan Absolut ......................................... 1 4
2.4.3
Ukwan Kerniskinan dan Ketimpangan................................ 15
2.4.4
Detcrminan Kerniskinan ...................................................... -18
Tinjauan Studi Terdahulu .................................................................. 19
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................... 26 3.1
Penerllnaan Peinerintah Daerah ......................................................... 28
3.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah ........................................................ 28 3.3 Pendapatan d a l Pengeluaran Agregat Daerah ................................... 30 IV
.
METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 33 4.1
Analisis Deskripsi ..............................................................................33
4.2 Analisis Determinan Kerniskinan ...................................................... 34
4.3 Poverty Growth Analysis...................................................................35 4.4 Perhitungan Tingkat Kemiskinan ...................................................... 36
4.5 Perhltungan Tingkat Ketimpangan.................................................... 37 4.6 Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan ......................................... 37 4.6.1
Spesifikasi Model ................................................................. 38
4.6.2
Metode Estimasi Model ....................................................... 44
4.6.3
Validasi Model ..................................................................... 47
4.6.4
Simulasi Model .................................................................... 48
4.7 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 49
.
V
GAMBARAN UMUM DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL ................................................................. 51
5.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi.............................................5 1 5.2 Keadaan Infhstruktur ....................................................................... -55 5.3 Perkembangan Tingkat Kerniskinan di Indonesia .............................59
5.4 Kinerja Fiskal Daerah ........................................................................ 64
VL
5.4.1
Penerimaan Daerah ............................................................. -64
5.4.2
Pengeluaran Daerah ............................................................. 67
ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DETEWINAN KEMISKINAN ......................................................................................... 70
6.1.1
Pertumbuhan Kerniskinan Sebelum Desentralisasi Fiskal ...70
6.1.2
Perturnbuhan Kemiskinan Sesudah Desentralisasi Fiskal ....73
6.2 Analisis Determinan Kernislunan ...................................................... 77
VII
.
6.2.1
Karakteristik Rumah Tangga dan Individu .......................... 80
6.2.2
Faktor Komunitas ................................................................. 86
6.2.3
~arakteristikWilayah .......................................................... 91
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ......................................94 7.1 Blok Fiskal Daerah ............................................................................94
7.2 Blok Pengeluaran Agregat ................................................................. 98 7.3 Blok Distribusi Pendapatan dan Ketniskinan .................................. 101
VIII. DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT ICEMISKINAN ..... :03
8.1 Validasi Model ................................................................................103 8.2
Darnpak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perubahan Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan ......................................... 1 14 8.2.1
Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian ........................ 116
8.2.2
Peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan clan Kesehatan ..........................................................................1 2 1
8.2.3
Peningkatan Pengeluaran Sektor Perurnahan dan Kesejahteraan .................................................................... 1 2 7
8.2.4
Peningkatan Dana Alokasi Umum ..................................... 133
8.2.5
Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ................ 140
8.2.6
Kombinasi Peningkatan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak................................................................1 4 5
8.3 Rekapitulasi Dampak Desentralisasi Fiskal ....................................150
IX. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................157 9.1 Kesimpulan ......................................................................................
157
9.2 Saran ..........................................................................................
160
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
165
DAFTAR TABEL
1. Jenis Data dan Surnbernya ............................................................................. 50 2 . Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi. Tahun 1993.2003 ............................53 3 . Beberapa indikator infi-astruktur Daerah. Tahun 1996. 1999. dan 2002........ 59
4 . Indeks Kemiskinan Sebelum Desentralisasi dan Sesudah Desentralisasi Berdasarkan Pulau-Pulau Besar di Indonesia. Tahun 1995-2003..................61 5. Perkembangan Indeks Gini Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Berdasarkan PuIau Besar di Indonesia. Tahun 1995-2003............................ 62 6 . Penerimaan Pemerintah Daerah KabupatenKota dan Provinsi di Indonesia. Tahun 1995 .2003............................................................... 64 7. Beberapa Sumber Penerimam Pemerintah Daerah KabupatenIKota dan Provinsi di Indonesia Berdasar-kanPulau. Tahun 1995-1997 dan Tahun 200 1-2003 .................................................................................... 66 8 . Pengeluaran Pemerintah Daerah KabupatenfKota dan Provinsi di Indonesia. Tahun 1995-2003 ..................................................................... 68
9 . Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Indonesia. Tahun 1994 - 2003...........74 10. Laju Pertumbuhan Inflasi. Konsumsi Riil,dan Upah Riil di Indonesia. Tahun 1997-2002 .........................................................................................
83
11. Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999 ....... 92 12. Hasil Estimasi Model Deterrninan Kemiskinan Indonesia Tahun 2002 ........93 13. Hasil Pendugaan Persarnaan Blok Fiskal Daerah . Sisi Penerimaan ............95
14. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Fiskal Daerah . Sisi Pengeluaran ........... 98
15. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Pengeluaran Agregat ............................. 100 16. Hasil Pendugaan Persarnaan Blok Distribusi Pendapatan dan Kerniskinan.......................................................................................
101
17. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Tingkat Nasional. Kawasan Barat Indonesia. dan Kawasan Tirnur Indonesia.......................... 106
18. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Pulau-pulau Besar di Indonesia..................................................................................................
112
19. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT
Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran .................. 117 20. Hasil Sllnulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 118 2 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan ................... 119 22. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatar, EPERT Sebesar 50 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan.....................................................................................
121
23. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 20 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran ................. 122 24. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 20 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi ............................................ 123 25. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 25 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan .................. 125 26. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 20 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan.....................................................................................
126
27. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran .................. 128 28. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 129 29. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan ..............
130
30. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Perseii Terhadap Distribusi Pendapatan clan Tingkat Kemiskinan................................................................................. 132 3 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah .................................... 135 32. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 137
33. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah ........................................................................ 139 34. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah .................................... 141 35. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 143
36. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah ........................................................................ 144 37. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen
Terhadap Kinerja Fiskal Daerah ..................................................................
147
38. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen
Terhadap Kinerja J3konomi Daerah .............................................................148 39. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK Sebesar 30 persen Terhadap Distribusi
Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah ............................................. 150 40. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT,
EPODK, dan EPRMH Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah, Distribusi Pendapatan, dan Tingkat Kerniskinan.. ..................................................... 152 41. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU, BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Kineja Ekonomi Daerah ................. 153 42. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU,
BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Distribusi Pendapatan .....................154 43. PDRB per Kapita Menurut Pulau-pulau Besar di Indonesia, Tahun 1999 - 2003 ......................................................................................
xiii
156
DAFTAR GAMBAR
Nornor
Halaman
1. Kurva Lorenz Untuk Pengeluaran ................................................................. 17
2. Kerangka Pemikiran Analisis Deseotralisasi Fiskal ....................................... 27 3. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tahun 1980.2003 ............ 52
4. Jumlah Pendutiuk Miskin di Indonesia Tahun 1976 . 2004 ........................... 60 5. Pertumbuhan PengelKonsurnsi Sebelum dan Menjelang ........................................................................................ Desentralisasi Fiskal 75
6. Perturnbuhan Pengeluaran Konsurnsi Sesudah desentralisasi Fiskal .............76 7. Distribusi Pendapatan Kuznets ..................................................................... 155
DAFTAR LAiMPIRAN
Halaman Nomor 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Mislun di Indonesia Tahun 1976-2004 .................................................................... 170 2 . Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi. Tahun 1999-2004 .........................................................................................
171
3. Program SAS Estimasi Model Determinan Kemiskinan Indonesia
Tahun 1999 ............................................................................................. 172 4 . Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999...... 176 5. Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 2002 ...... 178
6. Program SAS Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan ............. 180 7. Hasil Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ...........................181 8. Program SAS Sirnulasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan.............. 185 9. Hasil Validasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ............................202 10. Contoh Hasil Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) Sebesar 10 persen .........................................................................................
206
11. Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Nasional. KBI dan KT1 ................ 207 12. Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Pulau-pulau Besar di Indonesia ................................................................................................ 208
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Bela kang Penelitian
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 teIa11 membawa perubahan-perubahan dalarn negeri Indonesia di dalam ha1 kebijakan politik dan ekonomi. Kewenangan pemeri2ta.h pusat yang terlalu besar dan adanya ketirnpangan pembangunan ekonomi antar daerah dianggap sebagai penyebab lemahnya ketahanan ekonomi Indonesia. Tuntutan untuk mengurangi kewenangan
yang sentralistik semakin besar setel*
terjadinya pergantian kepemimpinan
nasional dengan mundurnya Soeharto. Akhirnya tuntutan desentralisasi inipun mulai diakomodasi setelah pelaksanaan pemilu era reformasi tahun 1999 yaitu dengan dikeluarkannya undang-undang mengenai otonomi daerah. Secara garis besar konsep desentralisasi dapat dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Ketiganya saling terkait satu sama lain, dan seharusnya dilaksanakan secara bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti misalnya penbgkatan kualitas pelayanan publik, tidak terbengkalai (Simanjuntak, 2001). Penelitian ini akan memfokuskan kepada salah satu bagian dari desentralisasi yaitu desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pem'3~taha.n daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun anggaran 2001. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan untuk pengambilan
keputusan di bidang fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Dalain ha1 ini desentraiisasi fiskal dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintahan daerah sebagai penyedia barang dan jasa pelayanan kepada masyarakat (publrc goods;). Penyerahan kewenangan dibidang fiskal pada dasarnya merupakan inti daripada desentralisasi. Melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu menurut McCulloch dan Suharnoko (2003), salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam desentralisasi adalah bahwa pemerintah daerah hams lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, tingkat kemiskinannya masih relatif tinggi dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakankebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita secara khusus peduli dengan kerniskinan, maka hal terpenting dan menjadi kunci adalah melihat bagaimana dampak desentralisasi pada distribusi sumber daya di dalam wilayah tersebut (intra-regionzl), dan bukan pada efesiensi alokasi surnber daya antar wilayah (inter-regional). Bardhan (2002) dalam McCtdloch dan Suharnoko (2003) mengatakan kelemahan lain yang dimiliki negara-negara berkembang adalah mengenai mekanisme informasi dan pengawasan. Oleh karena itu perhatian lebih besar rnengenai mekanisme informasi dan pengawasan harus diarahkan pada pelayanan dan mekanisme akuntabilitas publik. Tanpa adanya mekanisme transparansi dan pengawasan maka desentralisasi tidak akan efektif memperbaiki keadaan ekonomi
d a d karena d i m u n m a n surnberdaya hanya terdistribusi pada segelintir orang saja yang dekat dengan kekuasaan. Terdapat keuntungan dan kerugian dari desentralisasi baik dalarn jangka pendek maupun dalarn jangka panjang. Dalam jangka pendek, menurut Bardhan dan Mookhorjee (2000) desentralisasi dapat menolong orang miskin melalui mekanisme keputusan pengeluaran publik (publik expenditure) karena menjadi lebih dekat antara pengambil keputusan dengan objek. Sedangkan dari sisi kerugiannya adalah pada saat keberadaan orang miskin tidak diakomodir dalam kebijakan pemerintah daerah. Padahal salah satu karakter di banyak negara berkembang adalah para pejabatnya memiliki orientasi kebijakan yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Dalam jangka panjang, desentralisasi akan membuat isu akuntabilitas menjadi sebuah kompetisi dimana setiap wilayah akan saling membandingkan satu terhadap yang lain. Artinya desentralisasi akan menciptakan atau memajukan kompetisi kebijakan melalui atwan hukum yang lebih transparan untuk mengatur pergerakan kapital ataupun orang. Sementara itu kerugiannya adalah desentralisasi berpotensi msnghambat pembangunan jangka panjang karena eksploitasi terhadap sumberdaya yang tidak disertai konsep pembangunan berkelanjutan. Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2001, yang berarti hingga saat ini desentralisasi fiskal sudah berjalan selama leblh dari tiga tahun. Meskipun masih berumur muda dan secara pelaksanaannya desentralisasi fiskal ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan, namun waktu selama tiga tahun sudah memungkmkan bagi kita untuk melakukan evaluasi jangka pendek yaitu sejauhmana dampak desentralisasi fiskal terhadap kemajuan daerah
khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih tergolong tniskin.
1.2. Perurnusan Masalah
Kebijakan pemerintah daerah yang memihak masyarakat miskin adalah tergantung pada praktek bagaimana penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang memasukkan suara dari kepentingan masyarakat miskin. Berdasarkan definisi ini, menurut BPK dan SMERU (2001) dalam Jasmina (2001) setidaknya ada tiga a s ~ e kyang harm diperhatikan daerah dalam menyusun anggaran, yaitu: 1.
Aspek Penyusunan Anggaran. Dalam
aspek
penyusunan
anggaran,
mekanisme
yang
dapat
dipertimbangkan adalah sistem "anggaran partisipatif' atau "anggaran yang berorientasi pada kepentingan rakyat miskin" . Sistem ini dapat &lakukan dengan membuka akses politik terhadap keikutsertaan semua kelompok masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan. Dengan melibatkan masyarakat miskin secara langsung, pemda dapat mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Untuk menjalankan sistem ini pemda dan DPRD perlu melakukan dialog dan konsultasi dengan berbagai
kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin. 2.
Aspek Penerimaan Daerah. Aspek ini melihat sisi penerimaan anggaran yang memihak kepada orang miskin. Bagian penerimaan daerah yang dapat disusun tanpa merugikan masyarakat miskin adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengingat sumber PAD bersentuhan langsung dengan masyarakat terutarna pajak dan
retribusi daerah. Ciri kebijakan anggaran ymg memihak orang miskin antara lain: a. Pemda tidak memungut pajak dan retribusi yang secara langsung membebani orang m i s w misalnya dibebaskan membayar biaya pengobatan di puskesmas, bebas pemungutan biaya KTP, dan lain-lain. b. Hasil produksi pertanian, perikanan, peternakan, industri rurnah tangga dan industri kecil yang diproduksi kelompok masyarakat miskin sebaiknya tidak dikenakan pajak d m retribusi.
c. Pemda metnbuat kebijakan pmgutan daerah yang bersifat progresif, yakni membebankan tarif khusus (lebih murah) terhadap masyarakat miskln. 3.
Aspek Pembelanjaan Daerah. Dengan jurnlah anggaran pembangunan pemerintah daerah umumnya relatif terbatas. Pengeluaran pembangunan yang memihak orang rniskin adalah anggaran yang manfaatnya diberikan pada bidang-bidang yang pro miskin, seperti peildidikan dasar, kesehatan, sanitasi, air berslh, dan infi-astruktur. Anggaran yang dialokasikan dalarn bidang ini seharusnya berbanding lwus dengan jurnlah orang rniskin atau bobot pennasalahan kerniskinan yang dihadapi daerah.
Dalam penelitian ini, analisis yang dilakukan dibatasi hanya pada aspek ke dua dan ke tiga. Aspek pembelanjaan daerah digunakan untuk melihat efektivitas anggaran dalam menanggulangi kerniskinan. Program atau kebijakan pemerintah daerah dapat dikatakan berorientasi kepada masyarakat mislun jika program-
program tersebut memprioritaskan sektor-sektor yang mernang sesuai dengan faktor-faktor yang meccermlnkan kondisi masyarakat miskin. Selain dari itu aspek penerimaan dan aspek pengeluaran secara bersama-sama akan digmakan untuk melihat pennasalahan utama dalam penelitian ini yaitu mengevaluasi sejauhmana dampak desentralisasi fiskal pada perubahan jumlah kemiskinan dan distribusi pendapatan. Dalam menjawab permasalahan utama di atas maka fokus penelitian ini diamhkan pada beberapa pertanyaan mendmr yaitu : (1) bagaimana menentukan faktor-faktor penentu (determinan) kemiskinan, (2) seberapa besar pertumbuhan ekonomi masyarakat miskin dibandingkan masyarakat tidak miskin sebelum dilakukan desentralisasi dan sesudah desentralisasi diterapkan, dan (3) apakah desentralisasi fiskal cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah kemiskinan dan distribusi pendapatan.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian adalah : 1
Menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin) dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelurn dan sesudah desentrahsasi fiskal diterapkan.
2
Menentukan faktor-faktor penentu atau determinan kemislunan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal diterapkan.
3
Mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan disbibusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peinerintah baik
pusat maupun daerah dalam rangka mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal
yang selama tiga tahun sudah berjalan khususnya dalam hubungannya dengan upaya meningkatkan kesejallteraan masyarakat rniskin dan distribusi pendapatan.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Lingicup penelitian adalah sebagai berrkut : 1
Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di seluruh Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 308 kotahbupaten (berdasarkan kategori tahun 1996), yang selanjutnya diagregasikan pada tingkat provinsi.
2
Analisis terhadap provinsi dan kabupatenkota yang baru terbentuk masih digabungkan dengan penmaan daerah sebelumnya. Dengan dernikian daerah yang menjadi unit observasi dalam penelitian ini terdiri dari 26 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalarn, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalitnantan Selatan, Kalimantan Tirnur, Sulawei Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selitan, Sulawesi Tengggara, Maluku, dan Papua.
3
Kerniskinan dalam studi ini didefinisikan sebagai keiidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar 2 100 kalloranghari.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Gagasan otonomi daerah yang kini berkembang bukan merupakan ha1 yang
baru. Kenyataan ketimpangan pusat-daerah yang selama ini terjadi hanya merupakan pemicu lahirnya gagasan otonomi daerzh. Menurut Tim Lapera (2001)
dalam Riyanto (2003), secara mum terdapat dua kecenderungan hubungan antara pusat dan daerah yaitu hubungan sentralistik dan hubungan yang desentralistik (otonomi). Pemikiran otonomi daerah didasarkn kepada htik atas kenyataan bahwa pemusatan lebih memberikan keuntungan kepada pusat dan tidak secara otomatis membawa kernanfaatan bagi daerah. Secara prinsip hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan rakyat mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Oleh karena itu otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat clan hubungan antara pusat clan daerah, tetapi juga menyangkut hubungan antara penyelenggara kekuasaan dengan rakyat. Berbeda dengan otonomi daerah yang pernah diselenggarakar, pada waktu sebelumnya, otonomi daerah sejak tahun 2001 yang merupakan tuntutan reformasi diberi makna sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 22 Tahun 1999). Dinyatakan pula bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemeratm dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Singkatnya pemberlakuan otonomi daerah,
memberikan ruang
(kewenangan) kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan dan program sesuai dengan potersi daerahnya masing-masing. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab oleh pemerintah daerah serta melibatkan masyarakat setempat sangat mengurangi kesenjangan yang semakin lebar di segala bidang. Telah disebutkan sebelumnya penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada dasarnya merupakan inti dari desentralisasi atau otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah terutama desentralisasi fiskal akan mempenganh anggaran daerah yang tercermin dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
2.2
Keuaugau Pemerintah Daerah Masalah besar dalam keuangan daerah (regional) adalah menyangkut upaya
mendapatkan uang maupun pembelanjaannya. Artinya, tentang bagaimana sumber pendanaan digali dan didistribusikan, dan siapa yang menentukannya. Berkaitan dengan aspek penerimaan daerah, Davey (1983) membedakan sumber-sumber keuangan daerah ke dalam beberapa sumber yaitu (1) alokasi dari pemerintah pusat, (2) bantuan pusat (grant) dengan berbagai jenisnya, (3) bagi hasil pajak (tax sharing), (4) pinjarnan (borrowing), (5) penyertaan modal yaitu investasi pemerintah pusat pada suatu pemerintah regional, (6) perpajakan, dan (7) retribusi. Sedangkan dari segi pengeluaran jenisnya dapat dibedakan ke dalam (1) pengeluaran rutin, dan (2) pengeluaran pembangunan atau investasi.
2 3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulsngan Kerniskinan Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula lewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara p r o ~ fmengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakm menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efesian, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat.
Oleh
karena
itu
upaya
penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perurnusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan accountable dalam menjalankan "goodgovernance". Sekarang pemerintah daerah
tidak lagi sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat menciptakan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penaggulangan kemiskinan adalah : 1.
DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block Grant,
sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut seseuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain
kini pemerintah daerah dapat betindak lebih tanggap dan pro-aktif dalam
penanggulangan kemiskinan tanpa hams menunggu instmksi dari pemerintah diatasnya (provinsi atah pusat). Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin. Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah. 2.
Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklirn usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka infestor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal
untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan, dan muah. 3.
Daerah yang kaya dengan sumber daya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembanguuan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatankegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun.
2.4
Diskusi Tentang Kemiskinan
2.4.1 Pengertian dan Indikator Kemiskinan
Salah satu kunci dalam perumusan strategi penanggulangan kemiskinan adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemislunan dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Indikator kemiskinan menjadi dasar
penentwn kelompok sasaran (targettmg), pemantauan kemajuan dan kinerja (performance mdlcator) penanggulangan kemiskinan. Namun sebelum kita berbicara kerniskinan ada baiknya kita memahami dulu apa itu kesejahteraan. Ada banyak defkisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau "well being" (World Bank, 2002). Misalnya kita dapat mengatakan kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara urnurn;
seseorang dikatakan mampu (memiliki
kemarnpuan ekonomi yang lebih baik) jika dia memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumberdaya yang dmilikinya (kekayaan). Atau kita dapat berpikir tentang kernampuan untuk memperoleh jenis barang-barang tertentu (misalnya makanan dm perurnahan). Seseorang yang h a n g mampu untuk andil dalam masyarakat munglun memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah atau lebih rentan terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi dalam konteks ini kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan memenuhi kebutuhan komoditas secara umum, atau dalam arti kurangnya kemampuan untuk andilherfungsi dalam masyarakat. Dengan demikian kerniskinan merupakan masalah yang bersifat multidemensi szhingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dimensi kemiskinan mencakup empat ha1 pokok, yaitu kutangnya kesempatan (lack of opportunry), rendahnya kemampuan (low capabrlitres), kurangnya jaminan (lowlevel security), dan ketidakberdayaan (low capacity or empowerment). Kerniskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan.
Langkah yang diperlukan selanjutnya dalam perumusan
strategi
~znanggulangankemiskinan adalah menerjemahkan berbagai konsep kemiskinan ke dalam berbagai indikator. Dari segi manajemen publlk, suatu indikator dibedakan menjadi indlkator masukan (inputs), indikator proses (process), indikator keluaran (outputs), indkator hasil (outcomes), indikator manfaat (beneJit), dan indikator dampak (impact). Dengan memperhatikan konsep kemiskinan yang berlaku, indikator kemiskinan dibedakan menurut kelompok indikator kebutuhan dasar, indikator pendapatan, indikator kemampuan dasar dan termasuk penguasaan asset, akses pelayanan publik, dan partisitapi dalam pengambilan keputusan.
Indikator kebutuhan dasar. Indikator kemiskinan yang termasuk dalam kelompok kebutuhan dasar ini antara lain adalah indikator pendidikan (angka buta huruf, tingkat perdidikan tertinggi), indikator kesehatan dan gizi (angka kematian bayi, angka kematian ibu, angka harapan hidup, dan angka kecukupan gizi), dan indikator lain yang relevan.
Indikiitor pendapatan. Indikator pendapatan yang sering dipakai untuk mengukur kemiskinan adalah indeks kemiskinan absolut (headcount index) yang dihitung berdasarkan garais kerniskinan. Indikator pendapatan juga dapat digunakan untuk mengukur indeks kedalaman kemiskinan (povery gap index) clan
indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Data dasar yang digunakan untuk mengukur indeks kemiskinan absolut, indeks kedalaman dan indeks
keparahan kemiskinan adalah data pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Data pengeluaran sebagai proxy bagi data pendapatan. Hal ini dilakukan karena
kesulitan dalam mengumpulkan data pendapatan secara akurat. Data rumah tangga tersebut dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik melalui SUSENAS.
Indikator kemampuan dasar. Indikator kemarnpuan dasar merupakan gabungan dari indikator pendapatan dan indikator kebutuhan dasar ditambah dengan indikator penguasaan asset berupa modal, lahan, prasarana, dan lingkungan, serta tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan indikator lain yang relevan.
2.4.2 Kerniskinan Relatif dan Absolut
Terkadang kita tertarik untuk menekankan perhatian kita khusus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20% atau 40% dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan atau pzngeluaran, kelompok ini merupakan penduduk ymg relatif miskin. Bila mendefinisikan cara ini maka tidak dapat disangkal bahwa "orang miskin selalu hadir bersama kita". Ukuran atau d e ~ s i tersebut sering membantu h t a untuk menentukan program sasaran yang ditujukan untuk
membantu penduduk miskin.
Mendefinisikan kelompok miskin
menggunakan cara seperti ini disebut dengan kerniskinan relatif. Dalam praktek negara kaya memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi daripada negara rniskin. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi kecuali Amenka Serikat, dimana garis kemiskinannya tidak berubah selama hampir empat dekade. Uni Eropa umurnnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan perkapita di bawah 50% dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan juga meningkat.
Kemiskinan absolut di sisi yang lain, merupakan kemiskinan yang didefinisikan jika seseorang berada pada garis kemiskinan absolut "tetapltidak berubah" dalam ha1 standar hidup. Garis kemiskinan Arnerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkm dapat dibandingkan dengan angka kemiskinan stau dekade yang lalu. Ada masalah konseptual penting yang muncul ketika bekerja dengan garis kemiskinan absolut, yang muncul dari isu apa yang dimaksud dengan ~ s t k d ahidup". r
2.4.3 Ukuran Kemiskinan dan Ketimpangan.
Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlab ukuran agregat kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia telah mengembangkan ukuran kerniskinan (povew measures), diantaranya yang terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster, Greer clan Thorbecke (1984) dalam Ikhsan (1999). Tokoh-tokoh ini telah mempelopori usaha-usaha untuk memperbadci iudeks kemiskinan yang konsisten menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut :
dengan, n
= jumlah
penduduk; Yi= pendapatanlpengeluaran perkapita penduduk
miskin ke-i ; z = garis kemiskinan.
FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika a+; akan menjadi Poverty Gap Index (PGI) jika a=l;Poverty Severity Index atau Square Poverty Gap (SPgap)jika a=2.
Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersamasama (Ikhsan, 1999). HCI menggambarkan berapa persentase dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang miskin yang menjelaskan tingkat keparahan.
Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatadpengeluaran. Umumnya
ha1 ini memerlukan iFformasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya) maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, dilain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan didehsikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenagi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran ketirnpangan dapat dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsurnsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel kontinyu lainnya. Kadang-kadang kita lebih tertarik mengukur ketimpangan daripada kemiskinan semata. Cara yang paling sederhana dimulai dengan membagi penduduk menjadi lima bagian dari kelompok termiskin hingga kelompok terkaya, dan melaporkan tingkat atau proporsi pendapatan (pengeluaran) yang
diterima oleh setiap kelompok. Ukuran ketimpangan lain yang urnum digunakan adalah : 1.
Koefisien Ketimpangan Gini. Ukuran ketimpangan tunggal yang paling luas digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio). Koefisien Gini didadan pada kurva Lorenz, sebuah kurva fiekuensi kurnulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam yang mewakili pemerataan. Untuk membentuk koefisien Gini, gambarlah
grafik presentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) pada sumbu horisontal, dan presentase kumulatif pengeluaran (pendapatan ) pada surnbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Gms diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien gini didefhisikan sebagai A/(A+B).
100 m
80
3
d
al
p
60
al
P
*tii
-
z
z
3
40
20 0 0
20
40
60
80
% kurnulatif penduduk
Gambar 1. Kurva Lorenz Untuk Pengeluaran
100
Misalkan
sebuah titik pada swnbu X, dan yi sebuah titik pada sumbu Y.
Maka:
Kisaran nilai Gini
: OrGiniS 1
Pengertian nilai : 0, berarti pemerataan sempurna. 1, berarti ketimpangan sempuaa. 2.
Rasio Dispersi Desil (Decil Dispersion Ratio). Ukuran lain yang sederhana dan luas digunakan adalah rasio dispersi desil, yang menyajikan rasio rata-rata konsumsi dari pendapatan 10% peduduk terkaya dibagi dengan rata-rata konsumsi dari pendapatan 10% penduduk termiskin, atau rasio ini dapat juga untuk persenti1 yang lain. Rasio desil dapat langsung diinterpretasi dengan mengatakan pendapatan 10%tertinggi (kaya) sebagai perkalian dari pendapatan mereka yang berada di desil terendah (miskin). Meslupun demikian ukuran tersebut mengabaikan informasi tentang pendapatan dari golongan meilengah pada distribusi pendaoatan, dan bahkan tidak menggunakan mformasi distribusi pendapatan dalam desil tertinggi dan terendah itu sendiri. Pengukwan distibusi pendapatan pada penelitian ini adalah menggunakan
koefisien ketimpangan Gini yang selanjutkan disebut Indeks Gini.
2.4.4 Determinan Kerniskinan
Deteminan kemiskinan adalah fakor-faktor atau karakteristik yang menentukan seseorang dapat menjadi miskin. Secara ringkas faktor-faktor penentu kernisban dapat digolongkan pada beberapa karakteristik yaitu menurut wilayah,
komunitas, karakteristik rumah tangga, dan karakteristik individu (world Bank, 2002). Karakteristik menurut wilayah secara urnum tingkat kemiskinan tinggi terjadi pada wilayah dengan ciri-ciri sebagai berikut : terpencil secara geografis, surnberdaya yang rendah, curah hujan rendah, dan kondisi iklim yang tidak ramah. Pada tingkat komunitas, inftastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Indikator pembangunan infi-astruktur yang s e ~ digunakan g dalam pemodelan ekonometrik mencakup akses terhadap jalan aspal, ada tidaknya akses terhadap listrik, kedekatan terhadap pasar bebas, tersedianya sekolah dan klinik, dan jarak ke pusat administrasi. Indikator lain dari karakteristik tingkat komunitas mencakup pem5angunan sumberdaya manusia, akses yang sama terhadap pekerjaan, mobilisasi sosial dan keterwalalan (representasi), dan distribusi lahan pertanian. Penelitain terbaru telah menekankan kepada pentingya jaringan dan institusi sosial, serta modal sosial (social capital) dalam masyarakat. Beberapa karakteristik penting menurut kelwga dan individu mencakup
struktur umur anggota rumahtangga, pendidikan, jender kepala rumah tangga, dan tingkat partisipasi angkatan kerja.
2.5
Tinjauan Studi Terdahulu Studi mengenai desentralisasi fiskal sudah banyak dilakukan baik menurut
wilayah maupun menurut aspek yang diteliti. Studi desentralisasi fiskal dengan
cakupan wilayah agregasi nasional (Indonesia) atau provinsi, serta aspek yang diteliti adalah perekonomian daerah dan pemerataan antar daerah pernah dilakukan oleh Brodjonegoro, dkk (2001), Riyanto (2003), Pardede (2005), Saefudin (2005), Sumedi (2005), dan Pakasi (2005). Studi desentralisasi fiskal
dengan cakupan wilayah agregasi nasional dan aspek yang diteliti mengenai kerniskinan pernah dilakukan oleh Yudhoyono (2004) dan Nanga (2006). Brodjonegoro, dkk (2001), mencoba menyusun model ekonornetrika desentralisasi khususnya mengenai dana alokasi badi hasil surnber daya alam dan DAU dalam kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Pengembangan model ekonometrika ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan bagi hasi sumber daya lalam dan alokasi DAU terhadap kesenjangan antar daerah dan merumuskan format alokasi surnber daya alam dan DAU yang mampu m e n d h g proses pengwangan kesenjangan pendapatan antar daerah. Model analisis yang dibangun menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembagian penerimaan negara melalui konsep bagi hasil menimbulkan kesenjangan antar daerah. , sedangkan kebijakan alokasi DAU mampu memperkecil kesenjangan antar daerah. Riyanto (2003), melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah dan pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan membangun model hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuaflgan daerah menggunakan model ekonometnka. Setiap persamaan dalam model kemusian diestimasi dengan teknik pooled time series - cross section regression. Disamping itu melakukan studi kasus untuk menelaah proses perencanaan di daerah setelah desentralisasi fiskal diberlakukan. Penelitian in menemukan bahwa dana perimbangan amg rnerupakan transfer dari pemerintah pusat ke daerah secara signiaan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi dana perimbangan tersebut tidak berdampak secara signifikan dalarn
peningkatan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh masih besarnya belanja ruth dalam komponen APBD, kualitas sumberdaya rnanusia yang rendah dan tidak efesiennya birokrasi pemerintah, kelembagaan pemerintah yang lemah, serta tidak efesiennya proses perencanaan pembangunan daerah karena derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan masih rendah. Selanjutnya hasil simulasi model ekonometrika untuk analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pemerataan pembangunan wilayah diperoleh informasi bahwa dana perimbangan dapat meri~perbaikipemerataan pembangunan antar wilayah, walaupun secara aktual pemerataan pembangunan wilayah pada tahun 2001 belum membaik. Pemerataan pembangunan wilayah tersebut akan lebih baik jika formula untuk mengalokasikan Dana Alokasi Umum diterapkan secara konsisten dengan megurangi peranan faktor penyeimbang (faktor politik). Pardede (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari
hasil
simulasi yang dilakukan, Pardede menemukan bahwa peningkatan Bagi hasil Pajak dan Bukan Pajak serta upah berdampak negatif terhadap perekonomian (PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh positif terhadap Inflasi. Sementara itu peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi berdampak positif terhadap terhadap perekonomian (PDRB), kesempatan keja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh negatif terhadap Inflasi. Sedangkan peningkatan DAU dan Pembangunan Mi-astruktur secara umum berdampak positif terhadap perekonomian dan kesempatan kerja, sebaliknya berdampak negatif terhadap Inflasi dan distribusi pendapatan.
Saefudin (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fisical terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provini Riau. Saefbdin menemukan bahwa dari evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi peningkatan, dimana dana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi terbesar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukkan alokasi (proporsi) pengeluaran rutin meningkat lebih tinggidaripadi alokasi pengeluaran pembangunan. P e n m a n alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukkan oleh penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian dan pelayanan sosial urnurn. Kenaikan kebijakan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pandapatan, p e n m a n kesenjangan antar daerah. Secara umum Eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal dan Legislatif sebagai fimgsi anggaran dan kontrol Pemda belum dapat menjalankan ketentuan UU No. 22 d m UU No. 25 Tahun 1999 dan kinerja dengan baik. Secara adrninistrasi dan ekonomi Pemda belum mampu memberikan pelayanan publik dengan baik. Indikator utamanya adalah belumadanya perubahan mendasar terhadap pelayanan publik, dernikian halnya dengan kinerja administrasi (keuangan), pengelolaan pembanguntin dan kelenbagaan daerah. Sumedi (2005), melakukan penelitian mengenai darnpak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja sektor pertauian. Pada cakupan wilayah, Sumedi menyoroti dampak kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat. Analisis dampak kebijakan desentrlisasi fiskal terhadap kesenjangan antar kabupatenkota di Jawa Barat dibedakan atas daerah (kabupatedkota) dengan
basis industri dan pertanian. Indiktor yang digunakan adalah kontribusi PDRB sektoral. Daerah pertanian adalah kabupatenlkota yang memiliki pangsa PDRB sektor pertanian relatif besar yaitu lebih dari 10 persen. Jika pangsa PDRB sektor pertanian b a n g dari 10 persen, masuk dalam kategori daerah industri. Diantara temuan-temuan yang diperolehnya, diketahui bahwa pemngkatan DAU berdampak pada peningkatan kesenjangan antar kabupatenlkota baik di daerah berbasis pertanian maupun industri sehingga pada tingkat Provinsi Jawa Barat juga mengalami peningkatan kesenjangan antar daerah. Hasil ini bertolak belakang dengan tujuan pemberian DAU yang salah satunya adalah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah justru berdampak sebalhya. Sumedi mengatakan ha1 ini disebabkan karena alokasi DAU yang belum proporsional berdasarkan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki daerah namun mash sangat dominan menggunakan faktor penyeimbang. Pakasi (2005) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Pakasi adalah pertama, setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah didomhasi oleh penerimaan DAU terhadap Fiscal Available dan pengelwan rutin terhzdap Fiscal Need Kedua, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun kecil pengaruhnya terhadap perekonomian daerah. Ketiga, darnpak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sedangkan dampak investasi baik domestik maupun asing lebih besar terhadap perekonomian daerah. Dan keempat, realokasi anggaran rutin ke anggaran sektor yang terkait dengan masyarakat seperti infrastruktur, kesejahteraan sosial, dan
pendidikan, dapat meningkatkan kinerja perekonornian daerah yang selanjutnya berdampak meningkatkan kinerja fiskal daerah. Yudhoyono (2004), melakukan penelitian yang secara umum bertujuan menganalisis dampak penerapan kebijakan fiskal, terutama pengeluaran pemerintah, terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini Yudhoyono menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri atas 22 persamaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model ini diduga dengan persamaan 2SLS. Hasil pendugaan parameter kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan. Hasil dugaan model menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian, khususnya PDB dan kerniskianan. Kondisi ekonomi-politik yang ditimbulkan oleh rejim pemerintahan orde baru cenderung menumnkan PDB pertanian dan non-pertanain. Akibatkan kemiskinan dperdesaan dan perkotaan cenderung meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infiastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Selain itu, studi Yudhoyono menemukan bahwa untuk men,p-angi kemiskinan, khususnya diperdesaan, diperlukan polic?, mix antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan pertanian dan kebijakan upah. Nanga (2005), melakukan studi mengenai dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Nanga menyatakan bahwa kemiskinan mash merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang era-dengan pertumbuhan ekonomi dan distibusi pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui
trasfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan dampak terhadap kemiskinan di Indonesia. Secara urnurn, tujuan studi yang dilakukan Nanga adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhai kemiskinan dan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan yang dibangun terdiri dari enam blok persamaan yaitu: fiskal, output, tenaga kerja, pengeluaran pekapita, distribusi pendapatan, dan Kemiskinan. Hasil studi Nanga menunjukkan bahwa transfer fiskal di Indonesia rnemiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, dan kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan. Persarnaan penelitian kali ini dengan dua penelitian terakhir adalah dari aspek yang diteliti yaitu mengenai kemiskinan. Namun dalam penelitian ini cakupan wilayah tidak saja dilihat secara agregat nasional namun didisagregasi berdasarkan kawasan dan pulau-pulau besar. Berdasarkan kawasan dibedakan menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), sedangkan yang dimaksud pulau-pulau besar adalah Pulau Sumatera, Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua). Metode estirnasi yang digunakan adalah dengan teknik pool time series section regression seperti yang dilakukan Riyanto.
-
cross
Konsep desentralisasi yang diajukan melalui UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 serta perangkat peraturan yang mendukungnya memberikan keleluasaan yang sangat besar terutama kepada tingkat kabupatenkota dalam menjalankan b g s i pelayanan kepada masyarakat daerah setempat. Undang-undang No. 22/1999 telah menggaris bawahi bahwa kabupatenkota akan memiliki 11 h g s i pelayanan utama yang wajib dilaksanakan di daerah, antara lain: pendidikan, kesehatan, pekerjaan mum, transportasi, dan lain-lain (Jasmina, 200 1). Kewenangan daerah dalam hal pelaksanaan tugas desentralisasi sangat luas, hal ini tercermin dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang diatur dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam tinjauan ekonomi publik, APBD merupakan instrumen untuk menyelenggarakan aktifitas kepemerintahan dan pengadaan barang publik seperti jalan, jembatan, pertahanan dan keamanan, serta jasa-jasa pemerintahan lainnya. APBD merupakan belanja pub&
(public expenditure) yang berfbngsi untuk mengatasi kegagalan pasar
(marketfailure) dalam penyediaan barang dan jasa publik (Stiglitz, 2000).
Oleh karena itu dalam teori keuangan publik disebutkan bahwa fungsi pemerintah terdiri dari h g s i alokasi, stabiliszsi dan distibusi. Berkaitan ciengan fungsi alokasi, pemerintah ikut serta dalam perekonomian dengan melakukan
alokasi anggaran yang tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, fbngsi distribusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan dari upaya tersebut yang tercerrnin dalam alokasi pengeluaran pemerintah (lihat Gambar 2).
Pengelm
~
SektorPatanian
~
Sekt. Pendidilcan
Sek Perurnahan dan Kesejahteraan
dan Kesehatan
1
Sektorhhya
/
I Kinexja Ekonomi Daerah i
1
PEMJRUNAN PEMERATAAN TINGKAT ( DISTRIBUSI KEMISKINAN / PENDAPATAN
-
I Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Desentralisasi Fiskal
3.1
Penerimaan Pernerintah Daerah Menurut ketentuan UU No. 25 tahun 1999, sumber penerimaan daerah
dalarn pelaksanaan desentralisasi adalah ; (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah dan (4) Lain-lain penerimaan. Selanjutnya surnber PAD terdiri dari : (1) hasil pajak daerah, (2) hasil retribusi daerah, (3) hasil perusahaan rnilik daerah daerah hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan (4) Lain-lain PAD. Sedangkan dana perimbangan berasal dari : (1) bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dm Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA) ; (2) Dana Alokasi Umum (DAU) ;dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
3.2
Pengeluaran Pemerintah Daerah
Secara garis besar ada 2 jenis pengeluaran daerah yaitu: (1) Pengeluaran Rutin dan (2) Pengeluaran Pembangunan. Sebagian besar pengeluaran rutin bisa dik&akan bersifht konsumtif Sedangkan seluruh pengeluaran pembangunan bersifat investasi. Anggaran pengeluaran pembangunan pemerintah daerah dalarn APBD terdiri dari 20 sektor pengeluaran pembangunan yang kemudian dipecah menjadi beberapa sub sektor, program dan proyek. Dari sektor-sektor pengeluaran pembangunan tersebut secara garis besar dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu ; pertarna, pengeluaran untuk sektor ekonomi pertanian yang terdiri dari : (1) sektor pertanian dan kehutanan, serta (2) sektor sumberdaya air dan irigasi ; kedua, pengeluaran untuk sektor ekonomi non pertanian yang terdiri dari : (1) sektor industri, (2) sektor tenaga kerja, (3) sektor perdagangan,
pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi, (4) sektor transportasi, (5) sektor pertambangan dan energi, (6) sektor pariwisata dan telekomunikasi daerah, (7) sektor pembangunan dan pemukiman, (8) sektor perumahan dan pemukiman, serta (9) sektor ihnu pengetahuan den energi. Ketiga, pengeluaran untuk sektor sosial dan pelayanan umum yang terdiri dari : (1) sektor lingkungan hidup dan tata ruang, (2) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan YME, pemuda clan olah raga,
(3) sektor kependudukan dan keluarga sejahtera, (4) sektor kesehatan, kesejahtmm sosial, peranan wanita, anak dan remaja, (5) sektor agama, (6) sektor hukum, (7) sektor aparatus pemerintah dan pengawasan, (8) sektor polink, penerangan, komunikasi dan media masa, serta (9) sektor kearnanan clan ketertiban urnurn. Disisi lain kita melihat bahwa pada sebagian sektor pengeluaran tersebut sebenarnya terdapat sektor-sektor yang didalamnya bersentuhan langsung dengan masyarakat kelas ekonomi bawah atau masyarakat miskin. Dengan kata lain dari sisi kemampuan ekonomi masyarakat, pengeluaran pembangunan dapzt digolongkan menjadi: (I) program pembangunan berhubungan dengan masyarakat miskin, dan (2) program pembangunan yang bersifat umum. Dengan demikian kita bisa beranggapan jika pemerintah daerah memberikan anggaran cukup besar bagi sektor ini maka masyarakat miskin akan memperoleh manfaat yang relatif lebih besar. Oleh karena itu dari 20 sektor tersebut, perlu diidentiaasi beberapa sektor yang diperkirakan berhubungan langsung dengan program penanggulangan kerniskinan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan LPEM-UI (2001), ada sekitar 10 sektor pengeluaran pembangunan
yang berhubungan dengan penganggulangan masyarakat miskin, yaitu: (1) sektor pertanian dan kehutman, (2) sektor transportasi, (3) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,pemuda dan olah raga, (4) sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja, (5) sektor perurnahan dan pemukinan, (6) sektor industri, (7) sektor sumberdaya air dan irigasi, (8) sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi, (9) sektor pembangunan daerah dan pemukirnan, serta (10) sektor kependudukan dan keluarga sejahtera. Gkhirnya
dengan
diketahuinya
sektor-sektor pembangunan
yang
berhubungan masyarakat miskin, kita dapat mengevaluasi seberapa besar manfgat yang diterima masyarakat miskin relatif terhadap masyarakat tidak miskin setelah penerapan desentralisasi. Apabila program pembmgunannya lebih diarahkan pada pemberdayaan masyarakat miskin maka ha1 ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (progressif) di pihak masyarakat miskin dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak miskin. Tinjauan terhadap kedua ha1 di atas
- yaitu mengevaluasi besar manfaat
yang diterima masyarakat miskin relatif terhadap masyarakat tidak miskin serta mengevaluasi pertumbuhan kedua kelompok masyarakat tersebut
-
sangat
diperlukan untuk melihat adanya indikasi kebexpihakan pada masyarakat miskin.
3.3
Pendapatan dan Pengeluaran Agregat Daerah
Dalam terminologi makroekonomi pendapatan suatu negara atau wilayah yang menganut sistem ekonomi terbuka dapat diukur dari sisi pendapatan (Y) maupun pengeluaran agregat (AE) dengan mengkuti identitas sebagai berikut
(Manluw, 2000):
Y=AE;
sementara AE adalah : AE=C+G+I+(X-M) dimana, Y
= agregat pendapatan
AE
= agregat pengeluaran
C
= konsumsi untuk rumah tangga
I
= pengeluaran investasi
G
= pengeluaran pemerintah
X
= ekspor ke luar daerah
M
= impor dari luar daerah
Pengeluaran pemerintah (G) seperti disebutkan sebelurnnya terdiri dari pengeluaran rutin (GR) dan pengeluaran pembangunan (GP). Jika diuraikan lebih rinci identitas di atas menjadi : AE=c+(GR+GP)tI+(X-M) Terlihat bahwa pengeluaran pemerintah yang terdiri dari GR & GP akan mendorong pengeluaran agregat (AE). Penambahan AE pada dirannya akan mendorong pendapatan agregat masyarakat (Y), artinya tingkat kerniskinan akan berkurang. Keberhasilan desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan kemiskinan bukan saja pada penurunan tingkat kemiskinan, namun juga harus diikuti oleh penurunan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, artinya hams ada pemerataan distribusi pendapatan. Pemerataan distribusi pendapatan dapat dicapai melalui dua pendekatan yaitu dari sisi penerimaan daerah dan pengeluaran daerah.
Pada sisi penerimaan daerah dapat dilakukan melalui pendekatan kebijakan pungutan daerah yang bersifat progressif, yakm membebankan tarif khusus (lebih murah) terhadap masyarakat miskin. Hal ini bisa dilaksanakan diantaranya pemda tidak memungut pajak dan retribusi yang secara langsung membebani orang miskin, misalnya dibebaskan membayar biaya pengobatan dipuskesrnas, bebas pernungutan biaya KTP, dan lain-lain. Selain itu hasil produksi pertanian, perkanan, peternakan, industri rumah tangga dan industri kecil yang diproduksi kelompok masyarakat miskin sebaiknya tidak dikenakan pajak dan retribusi. Pada sisi pengeluaran daerah dapat dilakukan melalui pendekatan mengalokasikan anggaran lebih besar pada bidang-bidangpro rniskin seperti telah dijelaskan sebelumnya. Selain dari itu melalui pemberian subsidi seperti beras miskin (raskin), kartu sehat dan lain-lain.
IV. METODOLOGI PENELITLAN
4.1
Analisis Deskripsi
Sebagai langkah awal dalam melakukan analisis yang behubungan dengan desentralisasi fiskal, distribusi pendapatan, dan kemiskinan, akan dijelaskan deskripsi mengenai gambaran umum kondisi daerah baik sebelum maupun sesudah desentmlisasi fiskal. Gambaran umum terhadap kondisi daerah yang dimaksud meliputi kondisi sosial ekonomi, keuangan daerah, indeks kemiskinan, indeks ketimpangan, dan in£i-astruktur daerah. Kondisi sosial ekonomi meliputi PDRB, daya beli masyarakat, dan tingkat pendidikan. Sementara data keuangan daerah antara lain meliputi PAD, Bagi Hasil Pajak & Non Pajak, dan DAU. Indeks kemiskinan yang sering digunakan meliputi Headcount Index (HCI),
Poverty Gap Index (PGI), dan Squares Povery Gap Index (SPGap). Penentuan nilai indeks-indeks ini didasarkan pada suatu garis kemiskinan tertentu. Perbedaan metode perhitungan garis kerniskinan dapat menyebabkan perbedaan pada nilai indeks kemiskinan. Saat ini di Indonesia selain BPS, inetode perhitungan garis kerniskinan dilakukan pula oleh lembaga lain diantaranya Bank Dunia dan LPEMUI. Namun demikian dalam penelitian ini akan digunakan garis kemiskinan BPS yaitu kebutuhan dasar minimum 2 100 kal/org/hari. Mengikuti definisi Bank Dunia, infiastruktur mencakup jasa-jasa publik dari pemerintaWBUMN seperti sanitasi, listrik, komunikasi dan persediaan air ataupun dari pekerjaan publik seperti jalan, irigasi dan sistem drainase. Infiastt-uktur yang terkait dengan sumberdaya manusia mencakup kesehatan, pendidikan, dan nutrisi.
4.2
Analisis Determinan Kerniskinan Analisis tentang variabel-variabel yang berhubungan dengan kemiskinan
atau determinan kemiskinan untuk menjawab tujum pertama dapat dilakukan dengan menggunakan Model Logit. Model Logit seperti disebutkan sebelumnya adalah model regresi dimana variabel bebasnya bersifat kualitatif, misalnya bentuk variabel biner (dua kategori) seperti miskin dan tidak miskin, miskin diberi nilai 1 sedangkan tidak miskin adalah 0. Dimana seseorang dikategorikan miskin yai'tu jika ia memillki pendapatan perkapita per hari di bawah garis kemiskinan yang ditentukan setara dengan konsumsi minimum terpenuhinya kebutuhan dasar
2 100 kalori/orang/hari. Dalam analisis determinan kemiskinan banyak peneliti lebih suka menggunakan model ini karma lebih membantu bagi analisis penentuan sasaran
untuk menganalisis kekuatan variabel bebas (penjelas) dalam memprediksi yang digunakan untuk maksud mengujian. Model Logit didasarkan pada h g s i peluang logistik kurnulatif yang dispesitikasikan sebagai berikut (Gaspersz, 1992) :
e
-
bilangan dasar logaritma nabual (In) sebesar 2.7 1828128
Pi= peluang bahwa suatu obyek pengamatan ke-i akan tergolong ke dalam kategori miskin berdasarkan nilai tertentu dari variabel bebas 4. Sementara variabel bebasnya (Xj) adalah faktor-faktor determinan seperti : 1. Karakteristik wilayah
2. Faktor komunitas
3. Karakteristik rurnah tangga, dan 4. Karakteristik individu.
Melalui proses penurunan terhadap fungsi peluang logistik kumulatif, maka dapat dibangun model logit untuk keperluan pendugaan secara empmk, sebagai berikut :
dimana
ri
didefinisikan sebagai fkequensi pengamatan (kategori rumah tangga
miskin) dalam kelas ke-i. Persamaan ini merupakan persamaan linier dalam parameter, sehmgga dapat diduga menggunakan metode kuadrat terkecil atau maximum likelihood.
4.3
Poverty Growth Analysis Kebijakan pembangunan pemerintah daerah yang memihak masyarakat
miskin akan berdampak pertumbuhan pendapatan (pengeluaran) masyarakat miskin relatif lebih cepat atau leblh tinggi dibandingkan rnasyarakat kaya. Untuk melihat apakah memang hal ini terjadi di era desentralisasi maka perlu dilakukan analisis pertumbuhan pendapatan (pengelwan)
terhadap masing-masing
kelompok masyarakat tersebut, analisis ini dapat menggunakan poverty growth analysis seperti yang pemah dilakukan Hyun Hwa Son (2003).
Secara sederhana poverty growth analysis ini dapat dilakukan dengan mendasarkan pada bentuk visual dari kurva pertumbuhan kerniskinan atau poverty growth curve yang tidak lain adalah kurva perturnbuhan pendapatan (pengeluaran)
dari masing-masing kelompok masyarakat. Poverty growth curve dapat dengan mudah dihitung atau dibuat jika kita mengetahui share desil atau kuantil dan rata-
rata dari pendapatan (pengeluaran) untuk dua periode tertentu. Pertumbuhan dikatakan memihak masyarakat rniskin (pro-poor) jika bentuk kurva menurun atau pada desil bawah (kelompok miskin) lebih tinggi dari desil atas (kelompok kaya). Sedangkan pertumbuhan dikatakan tidak memihak masyarakat miskin (not pro-poor) jika sebaliknya.
4.4 Perhitungan Tingkat Kerniskinan
Tingkat kemiskinan atau Head Count Index (HCI) yaitu persentase jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dihitung dari data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data SUSENAS merupakan data hasil survey yang dilakukan BPS pada setiap tahun terhadap sekitar dua ratus ribu
rumah tangga di seluruh provinsi di Indonesia. Meskipun SUSENAS merupakan data sampel, namun dapat digunakan untuk menduga suatu parameter populasi karena dalam data tersebut telah dimasukkan nilai pembobot baik untuk rumah tangga maupun individu penduduk. Dalam menduga tingkat kemiskinan, informasi yang dibutuhkan adalah ;
(I) garis kemiskinan untuk setiap provinsi yang dibagi menurut desa dan kota, (2) total pengeluaran makanan d m non makanan perbulan perkapita, dan (3) pembobot individu penduduk. Data tingkat kemiskinan yang akan dipakai
dalam penelitian ini adalah data yang sudah dihitung dan dipublikasikan oleh BPS. Kendala yang dihadapi adalah data tingkat kemiskinan sebelurn tahun 1999
dipublikasikan 3 tahun sekali, sementara data yang digunakan dalam analisis dari tahun 1995 sampai dengan 2003. Untuk kepentingan itu data yang tersedia dari BPS hanya tahun 1993, 1996, 1999,2000,2001,2002, dan 2003. Oleh karena itu dilakukan interpolasi untuk mendapatkan data tingkat kemiskinan tahun 1995,
1997, dan 1998.
4.5
Perhitungan Tingkat Ketimpangan
Ukurm ketimpangan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Gini (Gini Ratio). Seperti halnya dalam perhitungan tingkat kemiskinan, Koefisien Gini juga dihitung menggunakan data SUSENAS. Informasi yang dibutuhkan dalam perhitungan koefisien Gini ini adalah ; (1) pengeluaran pebulan perkapita (sebagai pendekatan pendapatan) yang dibagi kedalam beberapa kelompok atau interval tertentu, (2) jumlah penduduk untuk setiap kdompok pengeluaran tersebut, dan (3) jumlah pengeluaran untuk setiap kelompok pengeluaran. Sebelum melakukan perhitungan koefisien Gini, terlebih dahulu dihitung persentase kumulatif penduduk clan persentase kumulatif pengeluaran. Dengan menganggap yang pertama adalah sebagai xi dan yang kedua adalah sebagai yi ,
maka Koefisien Gini dihitung menggunakan rumus (World Bank Institut, 2002) : Gini = 1-
2
(XI- xi-1)(Y, + y,-1
i=l
dimana i adalah bmyaknya kelompok pengeluaran. Koefisien Gini ini dihitung
untuk setiap provinsi sehingga pada tahun tertentu kita akan memiliki 26 Koefisien Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan di setiap provinsi.
4.6
Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan
Analisis dengan menggunakan model ekonoinetrika ini diawali dengan spesifikasi model, metode estimasi model, serta validasi model. Model desentralisasi fiskal dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi d m kajian
empiris yang relevan yang diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah yang sederhana dan jelas serta dapat menangkap hubungmya terhadap upaya menanggulangi kemiskinan.
4.6.1 Spesifikasi Model
Model merupakan sirnplifikasi dari dunia nyata, dimana setiap kegiatan
dalarn perekonomian yang akan dianalisis terangkum dalam model tersebut. Model ini disebut Model Hubungan Fiskal d m Kerniskinan. Model disusun dalam sistem persamaan silmultan yang dibagi dalam 3 blok persamaan simultan yaitu Blok Fiskal Daerah, Blok Pennintaan Agregat Daerah, dan Blok Distribusi Pendapatan dan Kerniskinan Daerah. Secara keseluruhan, model ini dibangun oleh 25 persamaan yang terdiri dari 17 persamaan perilaku dan 8 persamaan identitas,
dengan variabel endogen sebanyak 25 variabel dan variabel predetermined sebanyak 42 variabel. Model Hubungan Fiskal dan Kemislunan tersebut secara rinci dirurnuskan sebagai berikut :
I.
Blok ~iskal- Penerimaan Daerah
1. Pajak Daerah
]=I
Hipotesis : a10, a1 1, a12, a13 > 0; 2. Pendapatan Asli Daerah
3. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)
a34*(DFKhi*lNV.)
+
2d,, + Ul j=l
Hipotesis : a30, a31, a32, a.33, a34 > 0; 4. Kapasitas Fiskal
5. Dana Alokasi Umum DAU = a50 + aSl*(KAPFKL/POP)+ a52*DFKL + a53*(DFKL*Pr))+
Hipotesis : a50, a52, a53 > 0; a51< 0; 6. Dana Perimbangan
11. Blok Fiskal-Pengeluaran Daerah
7. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Sektor Pertanian 25
C d , + uls j=1
Hipotesis : a70, a71, a72, a73, a74 > 0; 8. Pengeluarzn Pembangunan Pemerintah Daerah Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Hipotesis : a80, a81, a82, a83 > 0;
\
9. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Sektor Perumahan dan
Kesejahteraan
Hipotesis : a90, a91, a92 > 0; 0 < a93 < 1;
10. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerafi Sektor Lainnya 25
z d , + Ul~it
Hipotesis : a100, a101, a102, a103 > 0; 11. Pengeluaran Rutin 25
a1 l3*LEXR1+ x d ,
+ UIAt
j=1
Hipotesis : a1 10, a1 11, a1 12, a1 14 > 0; 0 < a1 13 < 1; 12. Total Pengeluaran Pembangunan
13. Total Pengeluaran Pemerintah Daerah
111. Blok Permintaan Agregat Daerah
14. Konsumsi Rumah Tangga
Hipotesis : a140, a141, a142, a143 > 0; 0 < a144 < 1; 15. Konsumsi Swasta CONSW it = a150 + a151*PDRBit+ a15 2 * D F a t + a153*LCONSWit-1 /=I
Hipotesis : a150, a151, a152 > 0; 0 < a153 < 1; 16. Investasi 25
C d , +us ~ = 1
Hipotesis : a160, a161 > 0; a162 < 0; 0 < a163 < 1;
17. Ekspor 25
Xi*=a170 +a171*ERit+ a172*IHKit+ a173*PDRBit+ x d , .I =1
Hipotesis : a170, a171, a173 > 0; a172 < 0;
j=1
Hipotesis : a180, a182 > 0; a181 < 0; 19. Total Konsumsi CONSit= CONRTit+ CONSWit 20. Pengeluaran Pemerintah daerah
2 1. Pro&
Domestjk Regional Bruto
IV. Blok Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
22. Distribusi Pendapatan - Indeks Gini
j=1
Hipotesis : a220, a222 > 0; a221 < 0; 0 < a223 < 1; 23. Headcount Index (Persentasejumlah orang miskin)
/=1
Hipotesis : a230, a232 > 0; a23 1, a233 < 0; 24. Poverty Gap Index
+ U1it
Hipotesis : a240, a241, a242 < 0; 0 < a243 < 1; 25. Square Poverty Gap Index 25
P2 = a250 + a25 1*PIit + a252*DCRSit+ a253*LP2it + C d , + UZjit ]=I
Hipotesis : a250, a251 > 0; a252 < 1; 0 < a253 < I;
Kelerangan Variabel dalam Model: I
=
menyatakan unit daerah (provinsi)
t
=
menyatakan unit waktu (tahun)
U
=
menyatakan komponen random (error)
=
Dummy variabel untuk setiap unit daerah (provinsi) ke-i dimana
2 j=l
dv
d,,=l jika i
=j
dan 0 selainnya. Provinsi Papua (i=26) sebagai
kategari dasar, sehinggajumlah variabel dummy sebanyak 25. CONkT
=
Konsumsi rumah tangga (Juta RPlthn)
CONSW
=
Konsumsi swata (Juta RP/thn)
CONS
=
Konsumsi (Juta RPIthn)
Ern
=
Pengeluaran rutin (Juta RP/thn)
EXP
=
Pengeluaran pembangunan (Juta RPlthn)
EPERT
=
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan irigasi (Juta
RPIthn)
EPDDK
=
Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan (Juta RP/thn)
EPRMH
=
Pengeluaran pembangunan sektor perumahan dan kesejahteraan (Juta RPIthn)
EXTOT
=
Total pengeluaran daerah (Juta RPithn)
GIN1
=
Gini Index / indeks ketimpangan
GOVT
=
Pengaluaran pemerintah (Juta RPIthn)
INV
=
INVESTASI (Juta RPIthn)
PO
=
Headcount Index / persentase jurnlah orang miskin (%)
P1
=
Poverty Gap Index/gap pendapatan orang miskin dengan garis kerniskinan (%)
=
Square Poverty Gap Indexlpersebaran pendapatan orang rniskin (%)
PAJ
=
Pajak asli daerah (Juta RPIthn)
PDRB
=
Produk Domestik Regional Bruto(Juta RPItb)
PAD
=
Pendapatan asli daerah (Juta RPIthn)
DFKL
=
Variabel dummy untuk desentralisasi fiskal, 0 untuk sebelum dan 1 untuk sesudah ada deentralisasi fiskal.
DAPER
=
Dana perimbangan (Juta RPithn)
DIFGK
=
Garis Kerniskinan (GK) provinsi dikurangi GK nasional
ER
=
Nilai tukar rupiah terhadap US Dollar (Juta RP/USD)
IR
=
Suku bunga kredit (Ydthn)
IHK
=
Indeks Harga Konsumen
LCONRT
=
Lag konsurnsi rumah tangga (Juta RPIthn)
LCONSW
=
Lag konsumsi swasta(thn)
LINV
=
Lag Investasi (Juta RPIthn)
LGINI
=
Lag Indeks Giii (%)
LPI
=
Lag poverty gap index (%)
LP2
=
Lag Squares Poverty Gap Index (%)
POP
=
Populasi (jiwa)
4.6.2 Metode Estimasi Model
Model persamaan simultan pada urnllmnya diduga dengan metode OLS (OrdinaryLeast Squares) atau sering disebut sebagai ILS (Indirec Least Squares),
2SLS (Two-Stage Least Squares), atau juga 3SLS (Three-Stage Least Squares). Jenis-jenis metode estimasi ini baik digunakan jika data yang digunakan dalam bentuk time series atau cross section, namun tidak untuk data time series-cross section atau sering disebut panel data. Data yang digunakan dalam model
hubungan fiskal dan kerniskinan ini adalah dalam bentuk panel data. Oleh sebab itu metode estimasi untuk data bentuk panel adalah metode estimasi panel data
melalui tekmk pool time series - cross section regression. Menurut Baltagi dalam Gujarati (2003) beberapa keuntungan menggunakan teknik panel data adalah : 1.
Selama panel data berkubungan dengan individu-individu, perusahaan, wilayah, dan lain-lain, dalam pengamatan beberapa waktu, maka disana terdapat keheterogenan antar individu. Dengan menggunakan teknik
.-
estimasi panel data maka keheterogenan antar individu tersebut dapat dikendalikan. 2.
Panel data memberikan informasi yang lebih banyak, mengurangi kolenieritas diantara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efesien.
3.
Panel data dapat lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur effect yang tidak bisa dideteksi oleh model data cross section atau model data time series.
4.
Panel data sangat sesuai untuk rnempelajari dan menguji perilaku model yang lebih kompleks dibandingkan model data cross section atau model data time series.
5.
Panel data dapat metninimalisir bias yang disebabkan hasil agregasi data individual ke dalam agregasi yang lebih tinggi. Berbeda dengan model regressi yang biasanya diestimasi dengan teknik
kuadrat terkecil, kebanyakan estimasi regressi panel data mengasumsikan uitZpi+vitdimana pi merupakan unobservable individual spesific eflect. Berkenaan dengan spesifikasi pi ada dua model untuk panel data yaitu fixed eflect dan random efect. Spesifikasi .fixed elfict digunakan jika kita menerapkan model
tersebut hanya untuk cross-sectional unit yang tercakup dalam studi kita. Sementara spesifikasi random effect digunakan jika cross sectional unit yang digunakan dalam studi merupakan sample yang diambil dari populasi yang besar (Greene, 2000). Dalam penelitian ini karena unit amatan adalah provinsi dan semua provinsi menjadi sample cross sectional unit, maka metode estimasi yang akan digunakan adalah spesifikasi fixed effect model. Fixed eflect model adalah merupakan penerapan model regressi linear dimana bentuk interceptnya berbedabeda untuk setiap unit individu ke-i (Verbeek, 2000). Secara umum modelnya dapat ditulis sebagai berikut:
ylt =
+ ~jrP+
zIID ( 0 , ~ :)
dimana seperti biasanya diasumsikan semua x,: adalah bebas tidak berkorelasi dengan
E,, . Model
di atas dapat juga ditulis dengan memasukkan variabel dummy
untuk setiap unit individu ke-i, seperti berikut :
dimana, i
=
unit cross section
t
=
unit waktu
yi, = variabel respon pada unit cross section ke-i dan waktu ice-t
a, = koefisien untuk variabel dummy dii dv = varianbel dummy bernilai 1 jika i=j, dan 0 untuk selainnya
p = koefisien untuk variabel-variabel penjelas x;?= variabel-variabel penjelas pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t E, =
variabel galat pada unit cross sectionke-i dan waktu ke-t.
Metode esimasi untuk untuk P dalam model variabel dummy di atas adalah dikenal dengan least squares dummy variable (LSDV) estimator. Esthasi untuk
p dapat pula diperoleh dari regressi bentuk deviasi dari rata-rata individu. Model transfomasi ini ditulis sebagai berikut :
7;= a, + z,;p+ E, dimana
7,= T - ' x r
yit
dan juga sama untuk variabel rata-rata yang lain.
Konsekuensinya model dapat ditulis sebagai berikut :
Metode estimasi untuk / dari model transfonnasi ini disebut within esiinzator atau fixed eflect estimator, dimana ha1 ini identik dengan metode LSDV sebagaimana
dijelaskan di atas. Lebih jelasnya estimasi tersebut dapat dituliskan seperti berikut:
4.63 Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi
kebijakan, maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model, keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat dilihat menggunakan beberapa kriteria statistik, yaitu : RMSE (Root Mean Squares Error), RMSPE (Root Mean Squares Percent Error) dan Theil's inequality coefficient (U). Untuk mellhat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R~ (koefisien determinasi). Makin kecil RMSE, RMSPE, U, serta makin besar R~ maka model semakin valid untuk disirnulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, iika U = 0, maka pendugaan model sempurna. Seballknyajika U = 1, maka pendugaan model naif. Nilai statistik tersebut dapat diperoleh d e ~ g a nrumus berikut :
dimana ,
Yst
=
nilai simulasi dasar
Yat
=
nilai pengamatan aktual
T
=
jumlah periode pengamatan
RMSE
=
Root Mean Squares Error
RMSPE
=
Root Mean Squares Percent Error
U
=
Theil's inequality coefficient
R~(koefesien determinasi) diperoleh dari rumus:
dimana,
4.6.4
Yf
= variabel
?I2
= variabel endogen predicted.
endogen aktual
Siulasi Model Untuk mengetahui dampak dm kebijakan desentralisasi fiskal terhadap
tingkat kerniskinan dan distribusi pendapatan maka dilakukan e n m skenario simulasi, yaitu tiga skenario dari sisi pengeluaran pemerintah daerah dan tiga skenario dari sisi penerimaan pemerintah daerah. Dari sisi pengeluaran, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan adanya kenaikan pada pengeluaran Sektor Pertanian (EPERT), pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan (EPDDK), serta pengeluaran Sektor Perurnahan dan kesejahteraan (EPRMH). Dari sisi penerimaan, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan adanya kenaikan pada DAU, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK), serta kombinasi DAU dan BHPJK. Besar kenaikan pada masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario 1, EPERT meningkat 5G 2ersen 2. Skenario 2, EPDDK meningkat 20 persen, dan 3. Skenario 3, EPRMH meningkat 60 persen. 4. Skenario 4. DAU meningkat 10 persen
5. Skenario 5, BHPJK meningkat 30 persen
6. Skenario 6, kombinasi skenario 4 dan 5
Aiasan pemilihan besaran kenaikan di atas adalah melalui pertimbangan sebagai berikut: pada sisi pengeluaran, diperoleh data bahwa secara rata-rata kenaikan pengeluaran pemerintah untuk Sektor Pendidikan dan Kesehatan adalah 22 persen dan untuk mempei-mudah analisis dipilih skenario kenaikan sebesar 20
persen (dilakukan pembulatan). Agar dalam analisis pada sisi pengeluaran ini bisa diperbandingkan maka secara nilai kenaikannya harus sama dengan pengeluaran Sektor Pertanian dan Sektor Perurnahan dan Kesejahteraan. Oleh karena itu dipilih skenario kenaikan 50 persen untuk EPERT dan 60 persen untuk EPRMH, dimana secara nilai kenaikannya relatif szma dengan 20 persen kenaikan EPDDK. Pada sisi penerimm, diperoleh data bahwa secara rata-rata kenaikan DAU dari tahun 2002 ke 2003 adalah 7 persen (hampir 10 persen) sehingga untuk mempermudah analisis, skenario kenaikan dipilih 10 persen (dilakukan pembulatan). Besaran kenaikan BHPJK adalah atas pertimbangan agar dalam analisis bisa dilakukan perbandmgan maka besaran secara nilai antara BHPJK dan DAU adalah hams sama, dimana dalarn ha1 ini secara nilai kenaikan 10 persen DAU sama dengan 30 persen kenaikan BHPJK.
4.7
Jenis dan Sumber Data Jenis data. Untuk menjawab tujuan pertama digunakan data deret waktu
tahunan (Tahun 1994 s.d tahun 2003), tujuan kedua menggunakan data cross section individu rurnah tangga (tahun 1999 dan tahun 2002) dan tujuan ketiga
menggunakan data panel dengan unit cross section adalah 26 provinsi dan deret waktu dari tahun 1995 sarnpai dengan tahun 2003. Berupa data sekunder yang diambil dari: Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Potensi Desa
(PODES), Anggaran Pendapatan clan Belanja Daerah (APBD), Statistik Ekonomi Indonesia (SEKI), dan Produk Donlestik Regional Bruto (PDRB). Sumber data. Data yang digunakan dalarn penelitian bersurnber dari Badan
Pusat Statistlk (BPS), Bank Indonesia (BI), dan Departemen Keuangan (Depkeu). Adapun jenis data dan sumbernya secara rinci dapat di lihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Jenis Data dan Sumbenya No. Data 1 Pendapatan perkapita
Tahun 1994 - 2003
Sumber Diolah dari
V. GAMBARAN UMUM DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL Dalarn menelaah sejauhrnana darnpak desentralisasi fiskal, adalah sangat penting untuk terlebih dahulu menelaah kondisi obyektif daerah menjelang otonorni daerah. Sebagairnana kita ketahui dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebijakan Otonomi Daerah yang ditandai oleh keluarnya UU No. 2211999 dan UU No. 2511999 mulai efektif diberlakukan pada tahun 2001. Sebelum itu Indonesia masih menganut sistem sentralistik dirnana semua kebijakan dan kewenangan lebih banyak diatur oleh peinerintah pusat. Oleh karena kebijakan desentralisasi baru berumur tiga tahun lebih maka ha~pirbisa dipastikan pembahan signifrkan terhadap perekonomian Indonesia belum terlihat. Nanun dernikian rentang waktu tiga tahun sudah cukup untuk mehhat potensi pembahan apakah akan lebih baik ataukah sebaliknya menjadi lebih buruk.
5.1
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Jlka kita tinjau perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun
1980 sampai dengan tahun 2003 memang cukup fluktuatif (Gambar 3). Pada era sebelum desentralisasi, sejak tahun 1986 sarnpai tahun 1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil antara 7 persen sampai 10 persen. Sementara pada tahun 1980 sampai tahun 1985 terlihat belum stabil. Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot tajam hingga mencapai -13 persen di tahun 1998.
L-
Tahun
Gambar 3. Perkembangan Pertumbuhan Ekonorni Indonesia, Tahun 1980-2003
Tahun 1999 perekonomian Indonesia mulai menunjukkan perbadcan atau peningkatan terlebih lagi tahun 2000. Pada tahun 2001 yang merupakan awal pemberlakuan kebijakan desentralisasi, perekonomian Indonesia mulai stabil kembali sampai tahun 2003 dengan pertumbuhan rata-rata 3 persen. Gambaran umum perkembangan pertumbuhan Indonesia secara nasional tidak cuhup untuk menilai adanya indikasi dampak dari desentralisasi. Kita harus melihat
perkembangan
pertumbuhan
ekonomi
sampai
pada
tingkat
kota/kabupaten. Dari situ kita dapat melihat distribusi pertumbuhan ekonomi di masing-masing kotafkabupaten. Jika pertumbuhan ekonomi terdistribusi secara merata dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi satu kotalkabupaten relatif tidak berbeda dengan kotafkabupaten lainnya maka ha1 ini dapat memberikan indlkasi bahwa kebijakan desentralisasi berpotensi memiliki dampak positif. Hal ini dikarenakan tujuan dari desentralisasi ialah diantaranya pemerataan dan keadilan.
Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi, Tahun 1993-2003 ( %> 1
TAHUN
7
Isurnatera Utara
kjsumatera Barat
Sumatera Selatan
'~ampw
D K I Jakarta ~arat Jawa Tengah
--
iD I Yogyakarta
,Nu= Tenggara Barat !Nu= Tenggara Timw
,KalimantanSelatan I
!KalimadanTim= ISulawesi Utara +
'Sulawesi Tengah -
Sulawesi Selatan
1 1 --
8.28 1 8 . 3 1
.-- .- - ---.
.Sula~vesiTenggara
7.37
I
1 I
Rataan
Stdev
1.59
/
3.05
/
Sumber : Badan Pusat Statist&
2.12
/
--
2.83
1.53
f
4.61
. .
I
5.88 111.91
.
.. ...-
7.19
I
4.28
1
1
6.26 -- .. 5.39
. .
6.49
I
-1.89
4.1
1
49:
4.89
.----.
2.55 15.27
I
.65
1
1
4.0 -5.33 -- - -- -5.32 -5.78
..-- -. . ..-.-
6.01
I
-3.96
5.80
3.65
(
2.11
4.17
1
4.46 --- --1.10
.
1.50
1
.
Tabel 2 adalah data pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tahun 1993 sampai tahun 2003. Sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan, yaitu hingga tahun 1996 rata-rata pertumbu1'1an ekonomi provinsi di atas 7 persen, dengan variasi pertumbuhan yang dapat digambarkan oleh ndai standar deviasi berhuutturut adalah 1.59,3.05, d m 2.12.
Menjelang desentralisasi dilaksanakan pertumbuhan ekonomi di semua provinsi mengdami p e n m a n . Dari tahun 1997 sampai tahun 1999 perturnbuhannya berturut-turut 4.65 persen, -6.41 persen, dan -1.89 persen, tapi di
tahm 2000 meningkat lagi menjadi 4.28 persen. P e n m a n ini lebih disebabkan oIeh knsis ekonorni yang melanda hampir seluruh kawasan Asia Tenggara. Variasi pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, di setiap provinsi mulai mengalami ketidakstabilan yang dipicu berbagai sebab. Selain disebabkan oleh krisis ekonomi tadi, juga disebabkan oleh kondisi politik nasional serta ketidaksiapan politik, ekonomi dan sosial di masing-masing provinsi. Terlihat pada tahun 2000 meskipun pertumbuhan mulai meningkat namun perbedam pertumbuhan ekonomi antar daerah cukup besar. Hal ini memperlihatkan bahwa menjelang desentralisasi persoalan yang dlhadapi adalah ketimpangan perturnbuhan ekonomi antar daerah yang cukup besar. Sejak tahun 2001 dimana kebijakan desentralisasi mulai diterapkan perekonomian di setiap provinsi tampak mulai stabil dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 4 persen. Ketimpangan pertumbuhan antar provinsi pun mulai membaik dengan semakin menurunnya nilai standar deviasi dari tahun 2001
sampai tahun 2003, yaitu secara berturut-turut nilainya acialah adalah 2.15, 1SO, dan 1.10. Melihat perkembangan pertumbuhan antar provinsi serta ketimpangan pertumbuhanaya sejak sebelum densentralisasi dan sesudah desentralisasi,tampak bahwa ada suatu indikasi yang membaik sejak diterapkannya desentralisasi. Hal ini terutama ditandai oleh semakin kecilnya jarak ketimpangan pertumbuhan antar provinsi.
5.2
Kadaan Infrastruktur Infiastruktur merupakan salali satu hal penting yang harus diperhatikan
dalam pelaksanaan pernbangunan. Beberapa inhtruktur dasar yang penting adalah keadaan jalan, akses sambungan listrik, dan bangunan sekolah seperti
untuk Sekolah Dasar (SD). Jalan merupakan inftastsuktur penting dalam memudahkan mobilitas manusia dan barang. Dengan tersedianya jalan utama yang beraspal maupun beton sudah terbukti dapat menambahan kemakmuran bagi rakyat di daerah yang dilintasinya. Dalam ha1 ekonomi misalnya, pasokan kebutuhan sehati-hari akan mudah diperoleh. Demikian juga produk-produk yang dihasilkan daerah seperti hasil-hasil pertanian menjadi mudah untuk dipasarkan. Akses sambungan listrik juga menjadi ha1 penting karena berdampak pa&
sosial ekonomi. Listtik dapat menciptakan efesiensi, dari penelitian yang pernah dilakukan LPEM diketahui bahwa peningkatan akses listrik kepada keluarga miskin akan mengurangi biaya energi hingga 4 kali lipat yang memungkmkan keluarga miskin dapat menggunakan tabungan ini untuk belanja rumah tangga lainnya seperti untuk memperbaiki status gizi tumah tangga atau pendidikan yang pada m
y
a akan memungkdcan kelompok ini keluar dari perangkap
kemiskinan. Oleh karena itu listrik ini dapat menentukan tingkat kemiskinan, dimana bagi daerah yang memilrki akses terhadap listrik tingkat kemiskinannya lebih rendah dibandingkan yang tidak. Bangunan sekolah merupakan infkastruktur penting dan sudah menjadi kebutuhan dasar bagi suatu daerah. Membangun suatu daerah memerlukan manusia-manusia yang handal d m ha1 itu hanya bisa diperoleh melalui penguasaan terhadap iimu pengetahuan. Sebetulnya masih banyak lagi infi-astruktur penting lain yang hams diperhatikan dalam membangun suatu daerah.
Dari ketiga jenis infi.astruktur dasar tersebut diperoleh data bahwa rata-rata hanya 55 persen desa-desa di setiap povinsi yang memiliki jalan utarna beraspal atau beton (lihat Tabel 3). Hal ini cukup memprihatinkan karena ini berarti hanya setengah dari wilayah Indonesia yang dapat diakses dengan ba&. Jika dilihat datanya berdasarkan pulau, maka Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah dengan keadaan infiastruktur jalan yang paling baik dimana lebih dari 70 persen desadesa di wilayah ini memiliki jalan utama beraspal atau beton. Namun demikian keadaannya dari tahun ke tahun cenderung menurun atau berkurang. Di tahun 1996 keadaannya mash 78 persen, namun di tahun 1999 dan tahun 2002 menjadi 75 persen dan 72.5 persen.
Pulau Sumatera dan Sulawesi keadaannya relatif sama yaitu rata-rata 55 persen. Terlihat dari tahun 1996 ke tahun 1999 mengalami penurunan namun di tahun 2002 kembali ada perbaikan atau penambahan menjadi 59 persen. Sementara itu Pulau Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua adalah wilayah yang paling rendah keadaan infiastruktur jalannya yaitu 50 persen atau
hanya setengah wilayahnya yang terakses jalan dengan b&
padahal Pulau
Kalimantan dan Papua memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Hal ini menggambarkan betapa kebiljakan pembangunan Indonesia selama ini yang sentralistik menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. Pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di wilayah barat, sementara wilayah timur h a n g mendapat perhatian yang serius. Pada infiastruktur listrik, jurnlah rumah tangga yang merniliki akses terhadap listrik dari tahun ke tahun ssmakin meningkat, namun demikian persentasenya masih terbilang rendah. Tahun 1996 persentase jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik PLN adalah 44.22 persen, di tahun 1999 meningkat menjadi 54.69 persen, dan tahun 2002 kembali meningkat menjadi 56.42 persen. Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang paling rendah persentasenya, tahun 1996 hanya 19.43 persen rumah tangga saja yang menggunakan listrik PLN, tahun 1999 meningkat menjadi 24.43 persen, dan tahun 2002 kembali meningkat menjadi 25.54 persen. Ini berarti berdasarkan data tera!!r
tahun 2002 hanya seperempat rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang menggunakan listrik PLN. Sementara itu provinsi yang persentase jumIah rumah tangganya paling banyak memiliki akses terhadap listnk adalah Provinsi DKI Jakarta. Hampir seluruh
rumah tangga di provinsi ini telah
menggunakan listrik PLN, yaitu sebesar 98 persen. Jika dilihat berdasarkan pulau, gambarannya hampir sama dengan keadaan infiastrukturjalan. Pulau Jawa dan Bali tetap merupakan pulau yang paling besar persentasenya, dan data tahun 1996, tahun 1999, dan tahun 2002 nilainya berturut-turut sebesar 64.42 persen, 78.98 persen, clan 77.73 persen. Pulau
Surnatera clan Sulawesi keadaannya hampir sama, namun berbeda dengan infiastruktur jalan karena untuk infiastruktur listrik kedua pulau in1 keadaannya lebih b u d dibandingkan Pulau Kalimantan. Meskipun demikian dari ketiga pulau ini terlihat adanya kecendemgan persentase yang semakin meningkat. Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua tetap menjadi kepulauan yang paling tertinggal keadaan infi-astrukturnya, termasuk infiastruktur listrik. Tahun 19% hanya 29 persen dari total rumah tangga di kepulauan ini yang menggunakan listrik PLN. Tahun 1999 ada peningkatan menjadi 37 persen, namun sampai tahun 2002 keadaan ini cenderung tidak berubah. Pada infiastruktur bangunan Sekolah Dasar (SD), secara rata-rata sudah mencapai 92 persen desa-desa diseluruh Indonesia telah memiliki Sekolah Dasar.
Bahkan Pulau Jawa dan Bali sudah mencapai 99 persen, sementara yang relatif rendah dibandingkan yang lain adalah Pulau Sumatera (lihat Tabel 3). Sedangkan Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang biasanya merupakan wilayah yang paling tertinggal ternyata dalam ha1 infiastmktur bangunan SD menunjukkan keadaan yang relatif lebih baik dibandingkan Pulau Surnatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun demikian tetap harus menjadi perhatian karena ada kecendemgan keadaannya semakin memburuk. Terlihat dari data yang a&, dimana untuk tahun 1996 masih sebesar 91.53 persen, namun tahun 1999 turun menjadi 89.86 persen, dan di tahun 2002 kembali lagi turun menjadi 88.34 persen. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya perawatan terhadap bangunan-bangunan yang sudah ada selama ini sehingga pada akhmya tidak terawat dan roboh. Secara umum dari pembahasan keadaan infrastruktur di atas terlihat bahwa
selarna ini ada ketimpangan pembangunan inbtruktur. Pembangunan lebih banyak terfokus di wilayah Indonesia bagian barat, sementara itu wilayah bagian
tiniur kurang mendapat perhatian. Era desentralisasi diharapkan dapat mengatasi ha1 ini, namun dari data tahun 2002 dimana usia desentralisasi baru satu tahun sejak diterapkan kebijakan ini temyata belum memperlihatkan perubahan yang signifikan.
Tabel 3. Beberapa indikator infiastruktur Daerah, Tahun 1996, 1999, dan 2002. ("h)
Sumber : Diolah dari Podes tahun 1996,1999, dan 2002.
5.3 Perkembangan Tingkat Kerniskinan di Indonesia Jumlah penduduk mislun di Indonesia mengalami p e n m a n yang cukup besar semenjak awal pemerintahan orde baru hingga akhir tahun 1996. Di tahun 1976 jumlah penduduk miskin di Indonesia sangat tinggi yaitu me~capai40 persen atau 54 juta orang, dirnana 10juta orang diantaranya merupakan penduduk
kota sedangkan sisanya adalah penduduk desa. Di akhir tahun 1996 penduduk miskin mampu dikurangi lebih dari setengahnya sehingga menjadi 22.5 juta orang. Penurunan ini cukup menggembirakan dan diindikasikan bahwa ini merupakan buah dari pembangunan ekonorni selama era Soeharto yang dinilai tepat.
Pernyataan ini tidak terbukti karena ternyata pembangunan ekonomi yang dilakukan di era Soeharto ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global, akumulasi kapital hanya dimiliki oleh segelintir orang yang dekat dengan pemegang kekuasaan, kebijakan yang sentralistik menyebabkan ketimpangan pembanguna.n antar daerah, selain itu sektor-sektor yang seharusnya menjadi fundamental ekonomi Indonesia tidak di bangun sebagaimana mestinya. Krisis ekonomi yang terjadi di pertengahan tahun 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia kembali tepuruk, nilai rupiah terhadap dollar Arnerika Senkat melemah tajam, hutang pemerintah maupun swasta meningkat dua hingga tiga kali lipat, pemutusan tenaga kerja terjadi secara besar-besaran, akibatnya jurnlah penduduk miskin tahun 1999 kembali bertambah menjadi 23.43 persen dan dari sisi jumlah ini menyamai keadaannya di tahun 1978 sebesar 48 juta orang (Gambar 4). Selengkapnya perkembangan tingkat kerniskinan Indonesia dari tahun 1976 sampai tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran 1.
I
1976
1978
1981
1-
4987
1990
1933
19%
1%
2000
2301
2332
2W3
axW
Tahun
I
I
I
Gambar 4. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976 - 2004 Demikianlah tantangan yang dihadapi bangsa ini menjelang diterapkannya desentralisasi. Upaya yang sungguh-sungguh sangat diperlukan agar pengalaman
masa lalu dalam mengelola negara ini tidak terulang lagi. Tahun 2000 angka kemiskinan 19.14 persen, kemudian di tahun 2001 kembali turun menjad 18.41 persen demikian pula tahun-tahun berikutnya tern menurun berturut-turut hingga tahun 2004 adalah 18.20 persen, 17.42 persen, dan 16.66 persen. Meskipun angka ini menurun namun belum bisa kita simpulkan bahwa ini merupakan dampak dari diterapkannya kebijakan desentralisasi. Banyak ha1 yang mempengaruhi perubahan ini misalnya kemungkinan karena stabilitas ekonomi makro yang mulai membaik. Perkembangan tingkat kemiskinan Indonesia sebelum desentralisasi, menjelang desentralisasi, dan sesudah desentralisasi berdasarkan pulau-pulau besar dapat dilihat pada Tabel 4. Sebelum desentralisasi dilaksanakan terlihat bahwa tingkat kemiskinan (PO) di Pulau Jawa-Bali paling rendah dibandingkan pulau-pulau lainnya. Sementara Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua adalah kawasan dengan tingkat kemiskinan (PO) paling tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan pembangunan di era kebijakan yang sentralistik.
Tabel 4. Indeks Kerniskinan Sebelum Desentralisasi clan Sesudah Desentralisasi Berdasarkn Pulau-Pulau Besar di Indonesia, Tahun 1995-2003
/
PULAU
1
Th. 1995 - 1997
20.53
1
Th 1998 - 2000
1
Th 2001 - 2003
0.89 I
Sumber : Data dan Informasi Kemisl nan, BPS.
I
I
I
I
1
Pada saat krisis ekonomi yaitu menjelang pelaksanaan desentralisasi tingkat kemiskinan semakin bertambah di semua pulau di Indonesia. Namun sesudah desentralisasi dilaksanakan tingkat kerniskinan kembali menurun, bahkan Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan NT-Maluku-Papua tingkat kemiskinannya secara ratarata lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum desentralisasi. Perkembangan Indeks Gini yang menggambarkan tingkat ketirnpangan distribusi pendapatan (pengeluaran) dapat dilihat pada Tabel 5. Berbeda dengan tingkat kemiskinan, pada indeks Gini Pulau Jawa-Bali merupakan pulau dengan tingkat ketimpangan paling tinggi, artinya distribusi pendapatan diantara penduduk di pulau ini cenderung tidak merata dan lebih banyak dinikmati oleh penduduk berpendapatan tinggi. Sesl1da.h desentralisasi indeks Gini mengalami penurunan di semua pulau di Indonesia.
Tabel 5. Perkembangan Indeks Gini Sebelum dan Sesudah Desentralisasj Berdasarkan Pulau Besar di Indonesia, Tahun 1995-2003
I
PULAU
I
I
TAHUN
4.Sulawesi
0.30
0.28
0.28
5 .Nt-Maluku-Papua
0.3 1
0.29
0.29
Sumber : Diolah dari data Susenas Tahun 1995-2003, BPS.
Lebih jelas lagi mengenai perkembangan angka kemiskinan berdasarkan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel Larnpiran 2 memperlihatkan perkembangan jurnlah dan persentase penduduk miskin menurut provinsi dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004. DKI Jakarta merupakan provinsi yang
memiliki angka kemiskinan paling rendah, demikian pula Provinsi Bali. Kedua provinsi ini memiliki angka kemiskinan di bawah 10 persen pada enam tahun terakhir dan bahkan untuk DKI Jakarta masih di bawah 5 persen. Hal ini dikarenakan kedua provinsi ini memiliki lklim ekonomi yang relatif cukup balk. Sebagaimana luta ketahui DKI Jakarta merupakan Ibu Kota negara sehingga kegiatan ekonomi lebih maju dibandingkan daerah lain. Infiastruktur yang terbangun dengan baik membuat penduduknya memiliki akses terhadap kegiatankegiatan ekonomi. Lain halnya dengan Provinsi Bali, meskipun berada jauh dari pusat ibu kota negara namun provinsi atau pulau ini memiliki kelebihan panorama alam dan budayanya yang indah clan m e n d sehingga menjadi pusat tujuan
wisata baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini menjadikan iklim ekonomi di Bali cukup baik, setiap penduduknya memiliki kesempatan dan peluang untuk meningkatkan kejahteraannya seperti melalui sektor perdagangan dm jasa-jasa. Berbeda dengan kedua provinsi di atas, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara T i m , Maluku, dm Papua adalah empat provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi. Dalam enam tahun terakhir tingkat kemishan dari keempat provinsi ini selalu berada di atas 25 persen. Di tahun 2004 tingkat kemiskinan empat provinsi kawasan Indonesia Tirnur ini berturut-turut adalah 25.38 persen, 27.86 persen, 32.13 persen, clan 38.69 persen. Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa wilayah ini merupakan wilayah dengan kondisi infiastruktur terburuk akibatnya penduduk tidak memiliki akses dan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi.
5.4 Kinerja Fiskal Daerah 5.4.1 Penerimaan Daerah
Melihat pengaturan dalam UU No. 25/1999, maka ada tiga sumber penerimaan d a d yang sangat relevan untuk dikaji yaitu penerimaan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan sumber daya alam (BHP & SDA), serta dana alokasi
umum (DAU) clan dana alokasi khusus (DAK). Tabel 6 memperlihatkan besar ketiga sumber penerimaan di atas yang dibagi berdasarkan tiga periode yaitu p i o d e sebelum krisis ekonomi, periode pada saat krisis ekonomi, dan periode setelah implementasi kebijakan desentralisasi fiskal. Terlihat bahwa terdapat peningkatan yang cukup signifikan dari total penerimaan diterah pada periode setelah implementasi kebijakan desentralisasi fiskal dibandingkan periode sebelum itu. Secara akumulasi pada periode sebel~~m krisis (1995-1997) total penerimaan yang diterima seluruh kabupaten d m provinsi adalah sebesar 54.12 Triliun rupiah. Nilai ini turun pada periode saat krisis ekonomi dan kembah meningkat sesudah desentrahsasi fiskal yaitu dari 42.72 Triliun rupiah menjadi 100.11 triliun rupiah.
Tabel 6. Penerimaan Pemerintah Daerah kkbupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia, Tahun 1995 - 2003.
1
Sumber Penerimaan
IPendapatan Asli Daerah IDana Bagi Pajak & SDA Dana Alokasi Umurn Penerimaan Lain /~otal Penerimaan
Nilai (Triliun)
Pangsa (%)
1995-1997 1998-20002001-2003 1995-1997 1998-2000 2001-2003 13.80 15.40 8.51 19.94 25.49 15.38 7.21 13.32 20.56 6.38 14.93 20.54 38.22 61.76 20.69 40.90 61.69 17.46 22.97 2.39 12.43 24.23 2.39 10.35 100.00 100.11 54.12 100.00 100.00 42.70
Sumber: Diolah dari data APBD KabupatenKota dan Provinsi, BPS. Tahun 1995-2003
Peningkatan penerimaan yaug besar ini tidak lain adalah disebabkan meningkatnya sumber penerimaan daerah dari dana bagi hasil pajak dan SDA serta dana alokasi umum (DAU). Secara proporsi terlihat kedua sumber penerimaan ini menyumbang kurang lebih 82 persen total penerimaan. Setelah kebijakan desentralisasi fiskal ini pemerintah pusat juga memberikan kewenangau kepada daerah untuk mengatur pendapatan asli daerahnya sehingga daerah bersemangat melakukan pungutan yang lebih besar. Hal ini paling tidak terlihat dari meningkatnya penerimaan d a e d dari PAD pada periode desentralisasi fiskal menjadi 15.40 Triliun meskipun secara proporsi hanya menyumbang 15 persen dari total penerimaan. Sumber-sumber penerimaan yang dirniliki selama ini tidak memungk~nkan daerah, terutama bagi kabupaten dan kota, yang menjadi titik berat pelaksanaan otonomi, untuk bisa memproleh pendapatan sendiri yang signifikan. Namun dalam situasi dewasa ini yang sarat dengan eforia demokrasi, maka n q a k n y a perbaikan (peningkatan) dari sumber-sumber pendapatan daerah sudah tidak dapat ditawar lagi. Setiap daerah saat ini sudah mulai berpacu meningkatkan PAD, ha1 ini bisa terlihat dari porsi penerimaannya untuk setiap daerah (lihat Tabel 7). Kecuali Pulau Jawa-Bali, hampir seluruh daerah di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara-Maluku-Papua melakukan peningkatan PADnya satu hingga tiga persen setelah otonomi diterapkan. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi dan sumber daya alam yang besar merupakan keberkahan tersendiri sebab setelah era desentralisasi bagian daerah dari bagi hasil pajak dan sumber daya alam (BHP&SDA) cukup besar. Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah contoh pulau yang memililu kantung-
kantung sumberdaya alam cukup besar sehingga tidak heran jika porsi penerimaan daerah di kedua pulau ini meningkat. Di Pulau Sumatera, sebelum desentralisasi BHP&SDA meyumbangkan 25 persen dari total penerimaan dan meningkat menjadi 39 persen sesudah desentralisasi. PAD dan BHP&SDA memberikan potensi timbulnya ketidakmerataan antar daerah. Potensi pajak daerah yang tidak merata dan distribusi sumber daya alam yang sangat berbeda, menuntut adanya satu sumber signifikan yang paling tidak bisa mengurangi ketimpangan horisontal tersebut. Untuk menjawab persoalan ini maka diberikanlah DAU. Terlihat dalam tabel adanya peningkatan sumbangan penerimaan dari DAU yang relatif tinggi untuk Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dibandingkan daerah-daerah di pulau lainnya. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada sumber penerimaan dari DA K.
Tabel 7. Beberapa Sumber Penerimaafl Pemerintah Daerah KabupatenlKota dan Provinsi di Indonesia Berdasarkan Pulau, Tahun 1995-1997dan Tahun 200 1-2003 Tahun 1995-1997
BHP
100.00
IO0.00
I
DAU
100.00
I
DAK
lo
100.00
100.00
(%o)
Tahun 200 1-2003
100.00
100.00 100.00
Sumber: Diolah dari lata APBD Kabupaten Kota dan Provinsi, BPS. Tahun 1995-2003
5.4.2 Pengeiuaran Daerah
Pembahasan sisi pengeluaran tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Sebab, esensi dari pebpahan kewenangan dan sumber keuangan kepada daerah sesungguhnya adalah peningkatan (kual~tas)pelayanan masyarakat. Ini hanya bisa dicapai apabila pemanfaatan dana-dana tersebut oleh pemerintah adalah s e d d a n rupa sehingga benar-benar terarah untuk pelayanan publik yang optimal. Dengan dermkian proses penganggaran memegang peran peting di sini. Terkait dengan kerniskinan, jika pemerintah daerah mempunyai niat baik dalam pengentasan kemislunan maka sudah barang tentu pengeluaran-pengeluaran yang dianggarkan hams berpihak pada masyarakat miskin. Dari hasil stud yang dilakukan ada beberapa sektor yang berpihak pada masyarakat miskin, yaitu sektor pertanian meliputi sektor pertanian dan kehutanan serta sektor sumberdaya air dan irigasi; sektor pendidikan dan kesehatan ymg meliputi sektor pendidrkan, kebudayaan, kepercayaan terhadap Tuhan YME, pemuda dan olahraga, serta sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, paranan wanita, anak dan remaja; dan sektor perumahan dan kesejahtraa.n yang meliputi sektor kependudukan dan keluarga sejahtera, sektor perumahan dan pemukinan, serta sektor tenaga kerja. Tabel 8 memperlihatkan keragaan perkembangan pengeluaran pemerintah daerah kabupatenkota dan provinsi dalam tiga periode. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Secara akumulasi pengeluaran rutin selama periode sebelum krisis adalah sebesar 32.70 Triliun, kemudian turun pada saat periode krisis ekonomi menjadi 27.90 Triliun, namun na& kembah secara signifikan selama periode desentralisasi fiskal menjadi 70.55
Triliun rupiah. Pola yang sama juga terjadi untuk pengelwan pembangunan dimana nilainya turun di saat krisis ekonomi dan naik kembali selama periode desentralisasi namun dengan nilai yang lebih kecil. Yang menarik untuk diperhatikan adalah secara proporsional ternyata pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar dipemtukan bagi pengeluaran rutin dimana nilainya 60 persen ke atas, bahkan proporsinya terus bertambah seiring berjalannya waktu. Pada periode sebelum krisis proporsinya sekitar 60 persen, kemudian meningkat menjadi sekitar 65 persen di era krisis Gan meningkat kembali menjadi sekitar 66 persen pada periode desentralisasi. Hal sebalhya terjadi untuk pengeluaran pembangunan.
Tabel 8. Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indones~a,Tahun 1995-2003
Pengeluaran Pengeluaran Rutin lPtmgeluaran Pembangunan
/ - Sektor Pertanian
//1-
Sektor Pendidikan dm Kesehatan Sektor Perumahandan kesejahteraan Sektor Lainnya
Total Pengeluaran
Pangsa(%) -
Nilai (Triliun)
Jenis
/
1
1
1995-
1998-
2001-
1995-
1998-
2001-
1997
2000
2003
1997
2000
2003
32.70
1
27.90
1
70.55
59.86
1
64.83
1
65.72
1
1.26
1 / 1
3.22
1
2.92
1 1
3.00
21.92 1.35 3.24
1
15.14
2.46
/ 1.08 1 1.17 1 16.25 1 10.25 54.62
43.04
1
36.81
7.25 2.26 24.09 107.36
1 1
1
(
/
40.14 2.47 5.93 1.98 29.76 100.00
1
1 1
35.17
5.73 2.71 23.82 100.00
/
1
34.28
6.75 2.11 22.43 100.00
Sumber:Diolah dari data APBD Kabupatenffita dan Provinsi, BPS. Tahun 1995-2003
Lebih jauh mengenai pengeluaran pembangunan, terlihat ada ha1 yang cukup menggembirakan di sektor-sektor yang berpihak pada masyarakat miskin. Di sektor pertanian akumulasi pengeluaran selama periode sebelum krisis sebesar
kurang lebih 1.35 Triliun. Pada periode krisis terjadi penurunan sedlkrt menjadi
1.26 Trilliun, narnun meningkat kmbali pada periode desentralisasi manjadi 3.22
Triliun rupiah. Secara proporsiond nilainya meningkat terns meskipun secara absolut di era krisis tejadi penurunan. Di sektor pendidikan dan kesehatan semi sektor penunahm dm kesejahteraan jika dibandingkan antara periode sebelum krisis dan periode desentralisasi, maka baik secara absolut maupun proporsional nilainya meningkat. Meskipun perubahan peningkatan anggaran ini belum begitu besar, namun mudah-mudahan ini ini menjadi indikasi yang baik bahwa pemerintah daerah mulai memperhatikan masyarakat miskin dan diharapkan ke depan nilainya bisa ditingkatkan lagi.
VI.
ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DETERMINAN KEMISKINAN
6.1 Pertumbuhan Kemiskinan Analisis pertumbuhan kerniskinan atau Poverv Gmwth Analysis adalah dat analisis untuk membandingkan pertumbuhan pendapatan (pengeluaran) kelompok masyarakat miskin relatif terhadap kelompok masyarakat kaya. Kurva pertumbdm kemiskinan dayat dengan mudah kita hitung jika kita mengetahui desil atau kuantd penduduk dan rata-rata pendapatannya (pengeluarannya) untuk dua periode. Sumber data untuk Indonesia dapat diperoleh dari Survey Sosial dan Ekonomi Nasionkl (Susenas) Kor yang selalu dilakukan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Susenas Kor mengbimpun informasi dari unit amatan rumah tangga dimana banyaknya unit amatan mencakup lebih dari 200 ribu rumah tangga, survey dilakukan di seluruh Indonesia hingga tingkatan kabupaten.
Dalam studi ini data Susenas Kor yang digunakan adalah dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003. Data tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 untuk menunjukkan kondisi sebelum desentralisasi fiskal sedangkau data tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 untuk menunjukkan kondisi sesudah desentralisasi fiskal. Data yang diperoleh merupakan data harga berlaku yang selanjutnya dilakukan penyesuaian menjadi harga dasar tahun 1993 menggunakan nilai dellator PDB pengeluaran konsurnsi rumah tangga. Hasil yang diperoleh adalah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 9.
6.1.1 Pertumbuhan Kemiskinan Sebelum Desentralisasi Fiskal Kondisi sebelum desentralisasi fiskal bisa dibagi menjadi tiga kondisi yaitu sebelum h s i s (1994-1996), setelah krisis (1996-1998), dan menjelang
desentralisasi fiskal (1998-2000). Grafik pertumbuhan kerniskinan untuk ketiga kondisi ini diperlihatkan dalam Gambar 5. Pada periode tahun 1994-1996 yang merupakan gambaran ekonomi Indonesia sebelum krisis terllhat pertumbuhan pendapatan untuk kelompok bawah relatif lebih kecil dibandingkan kelompok atasnya. Pertumbuhan pendapatan 10% rumah tangga terbawah adalah sebesar 14.20 persen, sernentara itu untuk 20 persen rumah tangga terbawah meningkat menjadi 14.22 persen yang berarti ada peningkatan rata-rata pendapatan sebesar 0.02 persen. Pada kelompok 30 persen
rumah tangga berhtnya kembali meningkat menjadi 14.39 persen atau ada lagi peningkatan rata-rata pendapatan sebesar 0.17 persen. D d a n seterusnya setiap ditambahkan 10 persen kelompok nnnah tangga berikutnya terlihat ada peningkatan rata-rata pendapatan di atas 0 persen, sampai akhirnya untuk seluruh
rumah tangga (100 persen) pertumbuhan rata-rata pendapatan adalah 17.30 persen.
Dari gambaran ini terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya kelompok pendapatan masyarakat maka pertumbuhan rata-rata pendapatannya pun semakin meningkat. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa selama periode tahun 199419% kebijzkan ekonomi Indonesia tidak memihak orang miskin. Kelompok lebih kaya memiliki pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lebih miskin. Hal ini jika dibiarkan maka lambat atau cepat akan terjadi kesenjangan ekonomi dimana orang kaya akan semakin kaya sementara itu orang miskin relatif tidak banyak perubahan dalam ekonominya. Selanjutnya pada periode tahun 1996-1998 kita ketahui merupakan periode krisis ekonomi. Meskipun gejala !crisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara
sudah dimulai tahun 1996 namun dampaknya pada perekonomian Indonesia mulai dtrasakan pada pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998. Grafik pertumbuhan kerniskinan memperlihatkan adanya p e n m a n yang cukup besar pada pendapatan masyarakat. Pada periode ini tidak banya!! ha1 yang bisa dilakukan pemerintah untuk menangkal dampak krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara ini. Seluruh kelompok pendapatan masyarakat mengalami penurunan dimana secara rata-rata penurunan pendapatan ini sebesar 36.96 persen selama periode tahun 1996-1995. Jika dilihat menurut kelompok pendapatan ternyata yang mengalami penurunan relatif paling besar adalah kelompok rumah tangga 10 persen terbawah dan 10 persen teratas. Hal ini bisa dilihat dari nilai perubahan pertumbuhannya. Jika dibandingkan kelompok 20 persen terbawah, kelompok 10 persen terbawah penurunannya lebih tinggi 1.03 persen. Pada kelompok 10 persen teratas penurunannya bisa dilihat dari perbedaan nilai pertumbuhan kelompok 90 persen dengan 100 persen dimana terlihat penurunannya 2.60 persen lebih tinggi. Krisis ekonomi ternyata memang menyebabkan penurunan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya terutama kelompok paling miskin, ini dikarenakan sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas dan kondisi perekonomian yang menurun sementara dilain pihak terjadi inflasi yang sangat tinggi. Pa& kelompok kaya yang terjadi adalah mereka mengalami kehilangan pekerjaan maupun penghasilan akibat banyaknya perusahaan-perusahaan yang gulung tikar. Periode tahun 1998-2000 Indonesia mulai melakukan pembenahan dan menggulirkan program-program bantuan kepada masyarakat terutama kelas bawah dan menengah. Program tersebut diantaranya bantuan pangan yang disebut
program R a s h (beras miskin), program padat karya, dan program JPS (Jaring Pengamanan Sosial). Hasilnya memang cukup menggembirakan bisa membantu terpenuhinya kebutuhan meskipun terbatas. Setidaknya ini tercermin dalam grafik perturnbuhan kerniskinan. Bentuk grafik yang menurun m e n c e a n kelompok rumah tangga pendapatan rendah memiliki pertumbuhan relatif lebih tinggi dibandingkan yang kaya.
6.12 Pertumbuhan Kerniskinan Sesudah Desentralisasi Fiskal Periode tahun 2001-2003 merupakan periode sesudah desentralisasi fiskal. Pertumbuhan kemiskinan pada tahun awal diterapkan desentdisasi fiskal memperlihatkan kebijakan yang tidak memihak pada kemiskinan. Dalam Gambar 6 terliha: kurva pertumbuhan kemiskinan tahm 2001-2002 memiliki tren
meningkat seiring dengan meningkatnya rata-rata pendapatan. Jrka kita mengamati apa yang terjadi selama tahun 2001 dan 2002 maka memang pada periode tersebut program-program bantuan yang diguhkan pemerintah pusat untuk membantu penduduk miskin dan menengah pasca krisis sudah mulai dihentikan. Danadana transfer dari pernerintah pusat mulai dialihkan pada pemerintah daerah melalui program desentralisasi fiskal, sernentara itu pemerintah daerah belum siap dengan penggunaan danadana tersebut.
Perekonomian Indonesia pada periode ini sudah relatif stabil. Pelaku-pelaku ekonomi sudah rnulai banglut, perusahaan industri dan rumah tangga mulai berjalan dengan normal. Pekerja tetap sudah bisa meningkatkan pendapatan perkapitanya namun sementara itu pekerja-pekerja tidak tetap yang merupakan kelas pendapatan bawah tidak mengalami perbaikan dan bahkan menurun ahbat bantuan-bantuan yang sudah dikurangi.
Periode tahun selanjutnya yaitu tahun 2002-2003 sudah mulai menunjukkan adanya indikasi perubahan dimana kurva pertumbuhan kemiskinan cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kelompok pendapatan masyarakat. Narnun demikian selama periode ini belum bisa dikatakan adanya keberpihakan pada penduduk miskin karena jika & p e r h a w nilai pertumbuhan 10 persen dan 20 persen penduduk terbawah bukan merupakan nilai pertumbuhan tertinggi, padahal kita ketahui bahwa 20 persen penduduk terbawah ini merupakan penduduk miskin Indonesia.
Tabel 9. Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Indonesia, Tahun 1994 - 2003 Persentil 94-96
96-98
Periode Tahun 98-00
33.47 -33.16 10 14.20 30.60 -32.19 20 14.22 29.33 -32.00 30 14.39 28.44 -32.05 14.69 40 27.67 -32.26 50 14.98 26.96 -32.56 60 15.26 26.12 70 -32.98 15-43 25.06 -33.55 15.57 80 23.49 90 15.85 -34.37 20.46 100 17.30 -36.97 Surnber: Susenas Kor Tahun 1994 sld 2003, BPS.
01-02
02-03
12.40 12.80 13.06 13.44 13.93 14.52 15.23 16.20 17.73 22.21
4.56 4.93 5.14 5.08 4.93 4.65 4.21 3.57 2.52 -0.71
Sementara itu menarik untuk diperhatrkan perubahan kurva pertumbuhan
kemiskinan pada persentase penduduk di atas 30 persen. Di sini terllhat pertumbuhan rata-rata pendapatan semakm menurun dengan meningkatnya kelompok pendapatan masyarakat. Dalam ha1 ini ada indikasi pertumbuhan pendapatan kelompok menengah lebih tinggi dari kelompok kaya. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih dalam untuk mengetahui penyebab terjadinya ha1 demikian.
40
-
-
It--,-
30.
*----+--,-=,
)---
-A----&---
f
-
-5
-
--- -A----&-
20
--4-----*
-
A
A
A
A
v
v
v
7
50
60
70
eo
--
-+ ;
--
4
10. --4--94-96
o*
s
10
I
20
30
40
90
G -10.-
FL
-20.
m - - . - - - - m - - - - - - - . - - - - - - - . - -- - --- - - - - m-- - - -- - ----m -------m--.-..-m---w-.
-30
-
-40 -50
-
-
-- -
-
-- --
-m---.-.-
-
-
I
Persentil -
Ga~nbar5. Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi di Indonesia Sebelum d m Menjelang Desentralisasi Fiskal
-
Persentil
Ga~nbar6. Pertumbuhan Pengeluaran Konstunsi di Indonesia Sesudah Desentralisasi Fiskal
1
6.2 Anatisis Determinan Kerniskinan
Untuk menelaah kebijakan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan, perlu terlebih dahulu diperhatikan faktor-f&or yang mencenninkan kondisi kemiskinan. Kebijakan pemda yang berorientasi pada program pengentasan kemiskinan diharapkan dapat sesuai dengan faktor-faktor yang mencermhkan kondisi masyarakat miskin. Dalam stu& analisis d e t d a n kemiskinan atau faktor-faktor yang mempengaruhl kondisi kemiskinan terdiri dari analisis faktor-faktor yang mencerminkan kemiskinan m a h tangga. Variabel bebas yang digunakan adalah status kemiskinan nunah tangga Indonesia menurut metode baku (pendekatan kebutuhan dasar). Variabel bebas ini disusun dalam bentuk nilai diskrit, untuk rumah tangga miskin diberikan nilai 1 dan sebdhya, untuk rumah tangga tidak miskin diberi nilai 0. Data yang digunakan &ah
data SUSENAS tahun 1999 dan PODES tahun 2000 untuk
menganalisis daterminan kemiskinan tahun 1999 (sebelum desentralisasi), serta
data SUSENAS tahun 2002 clan P O D S tahun 2003 untuk menganalisis determinan kemiskinan tahun 2002 (sesudah desentralisasi). Untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi masyarakat miskin dari sisi rumah tangga, secara umum variabel independen yang dianalisis dikategorikan menjadi karakteristik rumah tangga, karakteristik individu, faktor komunitas, dan karakteristik wilayah. Karakteristik rumah tangga dan individu mencakup modal non fisik seperti sumber daya manusia (SDM) dan pekerjaan, serta modal fisik produlaf yang dimiliki rumah tangga.
Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruh kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan
pendapatan. Dalam hal ini, variabel tersebut terdiri dari jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kernunman keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi. Untuk menangkap ha1 ini dimasukkan variabel pendidikan kepala keluarga dan jumlah tahun bersekolah seluruh anggota rumah tangga. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, dimana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan nunah tangga. Komponen terakhir dalam k d e r i s t i k rumah tangga dan individu adalah variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, nunah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisk terpaksa menerirna pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempuuyai alternatif
untuk berusaha sendiri. Kategori selanjutnya yang tidak kurang penting adalah faktor komunitas. Komponen dari faktor komunitas dian-ya
yang paling utama adalah
inf?astruktur untuk memperoleh akses ekonomi. Keadaau infiastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu rnemudahkan investor untuk melakukan investasi di
daerah yang bersangkutan. Bebaapa contoh infr-astruktur yang penting adalah saluran irigasi, akses listrik, kondisi jalan utama transportasi, lembaga keuangan, dan industxi. Kategori t e r m adalah karakteristik wilayah. Karakteristik masyarakat yang hidup di wilayah pantai tentu berbeda dengan masyarakat yang hidup di wilayah daratan. Perbedaan karakteristik inilah yang kemudian men&
untuk
dipelajari apakah juga memiliki perbedaan pada tingkat kesejahteraannya. Daftar variabel independen dalam analisis ini adalah sebagai berikut:
I. Kamkteristik rumah tangga dan Individu : 1.
Jumlah tahun bersekolah dari seluruh anggota keluarga (YRSCH)
2.
Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga (HDEDU)
3.
Jumlah anggota rumah tangga (ART)
4.
Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (JARTKRJ)
5.
Kepala keluarga bekerja (EMPLOY)
6.
Kepala rumah tangga adalah pekeja pertanian (KRJTANI)
7.
Kepala rumah tangga adalah buruh pertanian pangan (BRHTANI)
8.
Luas lantai perkapita (LANTAICP)
9.
Sumber air, mata air terbuka (SBRAIR)
10. Luas lahan perranian (LHNTANI) 11. Variabel Faktor Komunitas :
1.
List& tidak ada (NOELEC)
2.
Transportasi utama melalui darat (JLNDRT)
3.
Jalan dapat dilalui kendaraan bermotor (BMOTOR)
4.
Terdapat lembaga keuangan (LBGKEU)
5.
Terdapat industri (INDUST)
6.
Terdapat Irigasi (IRIG)
7.
Terdapat Galian C (GALIAN)
111. Variabel Karakterisktik Wilayah : 1.
Tinggal di daerah pantai (PANTAI)
2.
Tinggal di daerah dataran (DATARAN)
3.
Tinggal di daerah pegunungan
Analisis determinan kemiskinan dalam studi ini sebagaimana disebutkan di atas dilakukan untuk tahm 1999 dan tahun 2002. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada perubahan karakteristjk variabel determinan kemiskinan periode sebelum kebijakan desentralisasi fiskal dan sesudah desentralisasi fiskal. Proses perhitungan menggunakan Program SAS dapat dihhat pada Lampiran 3, sedangkan hasil perhitungan keduanya dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12 atau Lampiran 4 dan 5. Data yang hgunakan untuk tahun 1999 adalah sebanyak 126.485 rumah tangga, sedangkan tahun 2002 adalah sebanyak 175.244 m a h
tangga, keduanya bersumber dari data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS. Hasil analisis dengan Model Logit setidaknya memperlihatkan beberapa hal, sebagaimana yang akan dijelaskan berdasarkan karakteristik rumah tangga dan individu, faktor komunitas, dan karakteristik wilayah.
6.2.1 Karakteristik Rumah Tangga dan Individu Karakteristrk rumah tangga dan individu seperti disebutkan di atas adalah mencakup modal fisik dan non fisik. Modal fisik adalah seperti luas lantai
perkapita dan kepemdikan lahan. Modal non fisik mencakup keadaan sumber daya manusia dan jenis pekejam. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah seperti jumlah anggota rumah tangga dan tingkat pendidikan keluarga. Pada Tabel 11 dan Tabel 12 terlihat hahwa dari aspek ekonomi, tanda estimasi parameter untuk tahun 1999 (sebelum desentralisasi) hampir seluruhnya sesuai dengan hipotesis, hanya satu variabel yang tidak sesuai hipotesis yaitu variabel JARTKRJ Cjumlah anggota keluarga yang bekerja). Sedangkan untuk
tahun 2002 (sesudah desentralisasi) seluruhnya telah sesuai dengan hipotesis. Dari sisi uji statist&, baik di tahun 1999 maupun 2002 seluruhnya nyata secara statistik. Variabel-variabel yang estimasi parameternya bertanda negatif di tahun 1999 dan tidak berubah di tahun 2002 adalah YRSCH (jumlah tahun bersekolah), HDEDU (pendidikan tertinggi kepala keluarga), EMPLOY (kepala keluarga bekerja), dan LANTAICP (luas lantai perkapita). Sedangkan yang bertanda positif adalah ART Cjumlah anggota rumah tangga), KRJTANI (kepala keluarga bekerja di Bidang Pertanian), BRHTANI (kepala keluarga sebagai buruh tani),
dan SBRAIR (sumber mata air terbuka). Variabel cukup penting pada kategori karakteristik nunah tangga d m individu adalah tingkat pendidikan karena ini akan menjadi modal sumber daya manusia. Variabel yang mewakili tingkat pendidikan adalah YRSCH yaitu jumlah
tahun bersekolah dari seluruh anggota keluarga dan HDEDU yaitu pendidikan tertinggi kepala rumah tangga. Nilai estimasi parameter kedua variabel ini seperti disebutkan di atas sangat nyata dengan arah atau tanda yang negatif, artinya pendidikan memegang peranan penting dalam keluarga agar bisa keluar dari kerniskinan. S e m h tinggi pendidikan kepala keluarga dan atau semakin tinggi
rata-rata pendidikan seluruh anggota rumah tangga semakin kecil peluang nunah tangga tersebut untuk masuk menjadi kategori miskin. Selain itu jenis pekerjaan kepala rumah tangga j u g secara nyata dapat membedakan peluang tingkat kerniskinan rumah tangga. Terhht dalam tabel bahwa ada perbedaan antara rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai atau karyawan umum dengan pegawai atau karyawan di bidang pertanian. Bagi kepala keluarga dengan status pegawai atau karyawan umum dapat mengurangi resiko kerniskinan, sementara itu jika kita lihat secara khusus terhadap pegawai atau karyawan di bidang pertanian secara umum temyata masih mermllki reslko masuk ke dalam kategori miskin. Demikian juga jika kita melihat lebih khusus lagi terhadap kepala keluarp yang memiliki pekerjaan sebagai buruh pertanian pangan. Bahkan jika dibandingkan nilai Odds Ratio nya pekerjaan sebagai buruh pertanian pangan lebih beresiko miskin. Nilai Odds Ratio pegawai bidang pertanian secara wnum di tahun 1999 adalah 1.24, sedangkan untuk buruh pertanian pangan adalah 1.72. Ini artinya peluang miskin pegawai bidang pertanian 1.24 kali pegawai di luar bidang pertanian (lebih tinggi 24 persen), sementara itu buruh pertanian pangan memiliki peluang miskin 1.72 kali pegawai bukan buruh perkmian (lebih tkggi 72 persen). Dilihat dari nilai Marginal Eflect, terlihat Vitiabel BRHTANI lebih besar dari Variabel KRJTANI yaitu masingmasing 0.091 dan 0.036. Di tahun 2002 buruh pertanian pangan tetap memililu resiko miskin lebih tinggi dibandingkan pegawai pertanian. Yang menarik untuk diperhatikan pada modal non fisik ini adalah Variabel
JARTKRJ yaitu banyaknya jumlah anggota keluagra yang bekerja. Di tahun 1999 tanda estimasi parameter untuk variabel ini adalah negatif, namun kemudian
berubah menjadi positif di tahun 2002. Aninya di tahun 1999 dengan semalun bertambahnya nggota keluarga yang bekerja, dapat menambah peluang menjadi miskin. Namun di tahun 2002 justru sebaliknya, yaitu mengurangi peluang rumah tangga tersebut menjadi miskin. Hal ini Menurut analisis penulis, di tahun 1999 kondisinya lebih disebabkan faktor kirisis ekonomi dimana pada saat itu terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan inflasi sangat tinggi s e h g g a upah
ril menurun. Akibatnya baik pengan-
maupun pekerja memiliki posisi yang
sama yaitu kesejahteraan yang menurun seperti yang diperlihatkan oleh data dalam Tabel 10.
Tabel 10. Laju Pertumbuhan Idlasi, Konsumsi Rii1,dan Upah Riil di Indonesia, Tahun 1997-2002
(%) .,
Sumber: Bank Dunia, Gold Development Report.
Modal fisik m a h tangga ternyata cukup menentukan status kerniskinan. Variabel LANTAICP (luas lantai perkapita) adalah alat identifikasi awal untuk menilai kepemilikan modal fisik rumah tangga. Terlihat luas lantai perkapita secara nyata menentukan suatu nunah tangga masuk kategori miskin atau tidak. Semakin besar luas lantai perkapita, semalun kecil suatu rumah tangga masuk dalam kategori rniskm. Selain luas lantai perkapita, modal fisik yang lain adalah
Variabel LHNTANI (Kepemilikan Lahan Pertanim). Sebagaimana luas lantai perkapita, kepemilikan lahan pertanian juga secara nyata menentukan suatu rumah tangga masuk kategori miskin atau tidak. Rumah tangga yang memiliki lahan pertanian, peluangnya menjadi miskin akan berkurang dengan Marginal Eflect sebesar -0.060 di tahun 1999 dan -0.01 1 di tahun 2002. Perlu diketahui bahwa rumah tangga yang memiliki lahan pertanian disini belum tentu memillki pekerjaan utama pertanian. Kenyataan di lapangan pada saat ini lahan-lahan pertanian yang ada di pedesaan ternyata sudah ddcuasai atau diniliki orang-orang kaya yang tmggal diperkotaan. Petani-petani yang mengerjakan sawah atau ladang sesungguhnya mereka hanya buruh, sedangkan pemilik lahannya sendiri berprofesi bukan sebagai petani. Modal fisik lainnya adalah sarana akses terhadap air bersih juga dapat menjadi penentu kerniskinan, seperti Variabel SBRAIR (sumber air minum yang masih bersumber dari mata air tak terlindung). Dari hasil estimasi terlihat rumah tangga yang menggunakan air dari sumber mata air terbuka, peluangnya menjadi miskin semakin besar. Dilihat dari besaran Marginal Eflect, di tahun 1999 nilai Marginal EHect terbesar diperlihatkan oleh Variable BRHTANI yang besarnya 0.091, artinya jika suatu kepala rumah tangga pekerjaannya adalah sebagai buruh tani maka akan menambah peluang masuk kategori miskin sebesar 0.091 atau 9.1 persen. Nilai
Marginal Eflect tiga terbesar selanjutnya berturut-turut adalah variable ART
Cjumlah anggota rumah tangga), SBRAIR (sumber mata air terbuka), dan KRJTANI (kepala keluarga bekerja dibidang pertanian). Marginal Eflect variabel
ART sebesar 0.091, artinya apabila ada tambahan satu anggota rumah tangga (variable lain diasumsikan tetap) maka peluang masuk kategori miskin bertambah
0.091 atau 9.1 persen. Marginal Efect SBRAIR sebesar 0.044 artinya apabila kepala keluarga menjadi buruh tani maka peluang masuk kategori miskin bertambah sebesar 0.044 atau 4.4 persen. Sedangkan Marginal EHect untuk Variabel KRJTANI adalah 0.036 atau 3.6 persen. Di tahun 2002 unrtan dai Marginal Eflect dari yang terbesar relatif sama dengan urutan di tahun 1999, yang berbeda adalah urutan kedua di tahun 1999 menjadi urutan pertama di tahun 2002. Secara berturut-turut variabel-variabel tersebut dengan nilai Marginal Efect dari yang terbesar adalah ART (0.078), BRHTANI (0.052), SBRAIR (0.034), dan KRJTANI (0.028). Jika diperkhkan Variable BRHTANI dan KRJTANI adalah variable-variabel yang berhubungan dengan Sektor Pertanian, Variabel ART adalah berhubungan dengan Sektor kesejahtaaan Keluarga, dan SBRAIR berhubungan dengan sanitasi atau Sektor Kesehatan. Variabel-variabel di atas adalah variabel yang memberikan nilai Marginal
Eflect positif, artinya menambah peluang menjadi miskin. Disamping variabelvariabel tersebut, sesungguhnya ada variabel-variabel yang memberikan nilai Marginal Efect negatif yaitu yang mengurangi peluang menjadi miskin. Tiga
variabel terbesar baik di tahun 1999 maupun tahun 2002 adalah EMPLOY, LHNTANI, dm YRSCH. Jika diperhatikan lebih seksama variable EMPLOY atau
status kepala keluarga yang bekerja sesungguhnya memberikan nilai Marginal
Effect yang relatif besar baik di tahun 1999 maupun tahun 2002 yaitu masingmasing -0.025 dan -0.037, artinya peluang masuk ke dalam kategori miskin akan berkurang sebesar 2 sampai 4 persen jika kepala keluarga bekerja. Kita ketahui bahwa pekerjaan sangat berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia, dan
sumber daya manusia berkaitan erat dengan tingkat pendidkin. Oleh karena itu Sektor Pendidikan juga harus menjadi perhatian pemerintah daerah jika ingin mengurangi tingkat kerniskinan. Dari gambaran anahsis di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka . . pembangunan daerah yang berorientasi pada pengentasan kemrslunan maka bagi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah hendaknya memperhatikan sektorsektor dasar ymg bersentuhan dengan masyarakat ekonomi bawah atau masyarakat miskin. Sektor-sektor tersebut adalah Sektor Pertanian, Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan Keluarga.
6.2.2 Faktor Komunitas
Kategori berikutnya adalah faktor komunitas dimana yang termasuk pada kategori ini adalah berbagai sarana h b s t n h u . Dari hasil estimasi diperlihatkan bahwa dari aspek uji statistik, ada satu variabel yang tidak nyata pada mfnyata 5 persen baik di tahun 1999 rnaupun tahun 2002. Di tahun 1959, variabel yang tidak nyata adalah LBGKEU (terdapatnya lembaga keuangan), sedangkan di tahun 2002 variabel yang tidak nyata adalah BMOTOR Cjalan dapat dilalui kendaraan bermotor). Dari aspek ekonomi, di tahun 1999 (sebelum desentralisasi), ada empat variabel dari tujuh variabel yang memiliki tanda estimasi parameter sudah sesuai dengan hipotesis, sedangkan di tahun 2002 (sesudah desentmlisasi) hanya satu variabel dari tujuh variabel yang sudah sesuai dengan hipotesis. Di tahun 1999, variabel-variabel yang estimasi parameternya sudah sesuai hipotesis dan secara statist& terllhat nyata adalah NOELEC (rumah tangga tidak memiliki listrik), JLN-DRT (transportasi utama melalui darat), BMOTOR (Jalan dapat dilalui kendaraan bermotor), dan INDUST (terdapat industri). Di tahun 2002 variabel-
variabel yang sesuai hipotesis adalah NOELEC. Oleh karena itu jika diperbandingkan hasil estimasi antara tahun 1999 dan tahun 2002, terdapat beberapa ha1 yang menarik untuk diperhatikan. Pertama, adanya variabel yang sudah sesuai hipotesis d m nyata baik di tahun 1999 maupun tahun 2002; kedua, adanya variabel yang secara uji statistik mengalami perubahan signifikansi; ketiga, adanya variabel yang secara aspek ekonorni mengalami perubahan tanda atau arah nilai estimasi parameter; keempat, adanya variabel yang mengalami perubahan signifikansi dan sekaligus tanda atau arah nilai estimasi parameternya;
dan kelima, adanya variabel yang tidak mengalami perubahan signifikami ataupun tanda nilai estimasi pararnetemya, namun tidak sesuai dengan hpotesis. Variabel yang sudah sesuai hipotesis dan nyata baik di tahun 1999 maupun 2002 adalah Variabel NOELEC yaitu tidak memiliki hstrik. Akses terhadap listnk ternyata dapat menentukan resiko kemiskinan, dari hasil estimasi ternyata rumah tangga yang tidak memiliki akses pada listrik dapat menambah resiko kemiskinan. Nilai Odds Ratio variabel NOELEC di tahun 1999 adalah 1.75, artinya peluang m i s h rumah tangga yang tidak memililu akses listrik 1.75 kali rumah tangga yang memiliki akses list&, sedangkan di tahun 2002 nilainya sedikit menurun =enjadi 1.56 kalinya. Variabel yang mengalami perubahan signifikansi adalah Variabel LBGKEU. Di tahun 1999, variabel ini tidak nyata namun di tahun 2002 menjadi
nyata. Adanya perubahan signifikansi secara statistik bisa dakibatkan adanya perbedaan jumlah rumah tangga (sample) yang dipakai dalam kedua model logit tersebut dimana untuk tahun 2002 jumlah sample yang digunakan lebih besar dibandingkan tahun 1999. Secara teori semakin besar sample suatu variabel akan
cendemg semakin kecil nilai variasinya sehingga akan cenderung semakin besar kemunglunan estimasi parameternya relatif jauh dari nilai no1 secara statistik.
Selain itu penyebab lainnya bisa dikarenakan memmg ada perubahan kamkteristik pada variabel tersebut antara periode sebelum dan periode sesudah desentdsasi fiskal. Estimasi parameter Variabel LBGKEU di tahun 1999 tidak nyata, namun di tahun 2002 menjadi nyata. Ini artinya, di tahun 1999 lembaga keuangan tidak
berpengaruh nyata pada status kemiskinac nunah tangga, namun di tahun 2002 menjadi nyata dimana lembaga keuangan tidak mengwangi peluang miskm tetapi justru memmbah peluang miskin. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa keberadaan lembaga keuangan diharapkan dapat mengurangi jumlah kemiskinan melalui fungsinya yang antara lain memberikan program kredit usaha. Dengan program ini masyarakat dapat mengajukan permohonan kredit untuk usaha sehingga dapat menambah penclapatan dari usahanya tersebut. Kenyataan yang ada ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, masyarakat ekonomi bawah pada umumnya tidak memiliki asset yang dapat digunakan sebagai jaminan perninjaman yang dipersyaratkan bank atau lembaga keuangan lainnya. Program kredit tanpa agunan pun kerapkali tidak berhasil karena kekhawatiran tidak mampu melakukan pengembalian kredit plus bunga yang dtetapkan. Oleh karena itulah lembaga keuangan tidak secara signifikanmenentukan status kemiskinan di
tahun 1999 dn bahkan di tahun 2002 lembaga keuangan ini terlihat dapat menambah peluang menjadi miskin. Dua variabel yang berbeda tanda estimasi parameter di tahun 1999 dan 2002 yaitu JLNDRT (transportasi utama melalui darat) clan INDUST (terdapat industri). Estimasi parameter variabel JLNDRT tidak mengalami perubahan signifikansi
namun demikian terjadi perubahan tanda atau arah dimana untuk tahun 1999 memiliki arah yang negatif dan nyata, namun tahun 2002 berubah arah menjadi positif dan nyata. Hal h i mengandung arti bahwa di tahun 1999 rumah tangga yang tinggal di daerah yang transportasi utamanya melalui darat secara nyata dapat megurangi peluang keluarganya menjadi miskin, sedangkan di tahun 2002
rumah tangga yang tinggal di daerah yang transportasinya melalui darat secara nyata dapat menambah peluang keluarga tersebut menjab miskm. Perubahan kondisi seperti ini bisa diakibaekan karena adanya perubahan infi-astrukturjalan sebagai faktor utama transportasi di darat. Secara teoritis investasi dalam hfi-astruktur transportasi dapat mendorong peningkatan produktifitas dan kesejahteraan penduduk melalui perbaikan aksesibilitas pasar dan penurunan biaya transportasi. Hal ini dapat dicapai karena lebih mudahnya membuka hubungan antam produsen clan konsumen serta distribusinya ke pasar. Pada akhimya ha1 ini akan memberi sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin.
Temuan empiris yang d i l W a n oleh lembaga penelitian tiga perguruan tinggi besar di Indonesia yaitu LPEM-FEUI, PSP-IPB, dm PSEKP-UGM menghasilkan temuan di
2000 sepanjang 140.000 km jalan (48 persen dari
total panjang jalan) telah mengalami rusak berat, termasuk jalan utama ekonomi seperti Pantura di Jawa dan Lintas Timur di Sumatera. Sepanjang 8.798 km jalan nasional dan provinsi dalam kondisi mengenaskan. Kerusakan jalan daerah mencapai 134.443 h.Sementara biaya pemeliharaan relatif rendah, sehingga pekerjaan pemeliharaan menumpuk yang menyebabkan di tahun 2001, panjang kerusakan jalan nasional dan provinsi meningkat dua kali lipat dibanding tahun
2000 yaitu mencapai 16.740 lan, sementarajalan daerah mencapai sekitar 150.000 km. Terlepas Gari tidak cukupnya dana APBN, faktor penyebab kerusakan lain
adalah tidak adanya kepedulian dalam memelihara aset publik. Diperburuk lagi manajemen desentralisasi fiskal melalui DAU dalam bentuk ban-
block grand
kepada daerah dan dihilangkamya dana Inpres untuk jalan daerah dan pemeliharaannya tidak jelas. Oleh karena itulah bertambahnya peluang kemiskinan di tahun 2002 salah satunya diakibatkan memburuknya inErastruktur jalan di tahun 2002 dibandingkan tahun 1999 seperti temuan model logit di atas.
Jika dilihat berdasarkan jalw lalu lintas yang dapat dilalui kendaraan bermotor (BMOTOR), terlihat bahwa variabel ini mengalami perubahan perubahan tanda maupun signifikansi. Di tahun 1999 masyarakat yang tinggal di daerah yang dapat llalui kendaraan bermotor dapat mengurangi
resiko
kemiskinan. Namun pada tahun 2002 jalan-jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor tidak berpengaaruh pada perubahan status kerniskinan bawlcan cenderung memperburuk tingkat kerniskinan. Temuan ini semakin memperkuat temuan empixis bahwa sesungguhnya keadaan infiastrukur jalan setelah periode desentralisasi fiskal tidak ada perbaikan yang dilakukan. Hal ini membuktikan bahwa akses transportasi menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena akan memudahkan mobilitas barang maupun manusia dari dan ke daerah bersangkutan termasuk memudahkan masuknya investasi. Yang cukup memprihatinkan adalah pada infias-
irigasi (IRIG)
dimana rumah tangga yang daerahnya dilalui irigasi justru penduduknya memiliki peluang masuk kategori miskin lebih besar. Variabel IRIG baik di tahun 1999 maupun tahun 2002 tidak sesuai dengan hipotesis. Nilai estimasi parameter
Variabel IRIG adala. positif. Hal ini mengindikasikan bahwa idhstruktur irigasi belum mampu meningkatkan produktivitas pertanian sehingga tidak dapat meningkatkan taraf kesejahteraan penduduk sekitarnya.
6.23 Karakteristik Wilayah Terakhir yang diperoleh dari hail studi ini adalah pentingnya memperhatikan faktor wilayah. Variabel karakteristik wilayah yang dikaji adalah dari segi topografi yang dibedakan menjad daerah pantai, daerah dataran, dan daerah pegunungan. Arah estimasi parameter c!ummy variable PANTAI dan DATARAN temyata negatif baik di tahun 1999 maupun tahun 2002. Dari signiaansinya daerah pantai sangat nyata, sedangkan daerah dataran di tahun 1999 tidak nyata tetapi di tahun 2002 sangat nyata pada taraf 5 persen. Daerah
pegunungan ternyata memiliki resiko kemiskinan yang lebih tinggi dibanhgkan daerah pantai dan dataran. Hal ini dapat dilihat dari nilai Odds Ratio yang kurang dari satu yaitu masing-masing di tahun 1999 adalah 0.86 dan 0.98, sedangkan di tahun 2002 masing-masing adalah 0.73 dan C.92. Daerah pantai ternyata memiliki resiko kemiskinan relatif p a h g rendah dibandingkan daerah dataran, ini terlihat dari nilai Marginal Effect yang relatif lebih besar pengurangannya. Alokasi anggaran pengentasan kemiskinan yang mempertimbangkan letak geografis akan
lebih memberikan kebijakan yang tepat sasaran.
Tabel 1 1. Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999 (Variabel Respon: I , jika miskin; 0, jika tidak miskin) Variabel
1
1999 (n Pr > ChiSq
Estimate
'1
'
'
Karakteristik Rumah Tangga dan Individu Jml.Tahun Bersekolah (YRSCH) Pendidikan Tertinggi KK (H-DEDU) Jml. Anggota Keluarga (ART) Jm;. Art yang Bekerja (JARTKRJ) KK Bekerja, 1=ya, W d k (EMPLOY) KK kerja Bidang Pertanian, I-ya,
KK sbg Buruh Tani, l=ya, O=tdk (BRflTANI) Luas Lantai per Kapita (LANTAICP) Luas Lahan Pertanian (LHNTANI) Sumber air mata air terbuka, 1=ya, O=tdk (SBAIR)
Faktor Komunitas Tidak Merniliki Listrik, 1 7 % O=tdk (NOELEC) Transportasi Utama Melalui Darat, I =ya, O=tdk (JLNDRT) , Jalan Dapat Dilalui Kend.Bermotor, 1 I=ya, O=tdk (BMOTOR) Terdpt Lembg. Keuangan (LBGKEU) Terdapa! Industri, 1=ya, O=tdk (INDUST) Terdapat Irigari, I =ya, O=tdk (WG)
1
~
Terdapat Galian C , 1=ya, O=tdk
(GALIAN)
Karakteristik Wilayah Wilayah Pantai, l=ya, 0-dk (PANTAI) Wilayah Daratan, 1=ya, O-tdk (DATARAN)
Intercept
1
-2.3317
1
0.0001
;umber: diolah dari Susenas Kor dan Podes tah~m1999
Tabel 12. Hasil Estimasi Model Detenninan Kerniskinan Indonesia Tahun 2002 (Variabel Respon: 1,jika miskin; 0. jika tidak iniskin)
I
.
I
Variabel
2002 (n Pr > ChiSa
Estimate
i
KanlMeristik Rumah Tangga dan Individu Jml.Tahun Bersekolah (YRSCH) Pendidikan Tertinggi KK (HDEDU) Jml. Anggota Keluarga (ART) Jml . Art yang Bekerja (JARTKRJ) KK Bekerja, l=ya, M d k (EMPLOY) KK kerja Bidang Pertanian, 1 7 % O=tdk (KRJTANI) KK sbg Buruh Tani, l=ya, M d k (BRHTANI) Luas Lantai per Kapita (LANTAICP) Luas Lahan Pertanian (LHNTANI) Sumber air mata air terbuka, 1=ya, O=tdk (SBAIR)
Odds Ratio
0.958 0.966 1.891 0.916 0.736 1.253 1.527 0.987 0.911 1.326
Faktor Komunitas Tidak Memiliki Listrik, 1=ya, M d k (NOELEC) Transportasi Utama Melalui Darat, I =ya, O=tdk (JLNDRT) Jalan Dapat Dilalui Kend.Bermotor, 1 7 %O=tdk CBMOTOR) Terdpt Lembg. Keuangan (LBGKEU) Terdapat Industri, 1=ya, O=tdk (INDUST) Terdapat hgari, 1 ?a, wdk (ING) Terdapat Galian C, 1=ya, O=tdk
1.561 1.773 1.032 1.242 1.087 1.326
(GALIAN)
1.185
Karakteristik Wilayah Wilayah Pantai, 1 7 % O=tdk (PANTN) Wilayah Daratan, 1 7 % O=tdk (DATARAN)
0.733
I Intercept
0.923
1
-3.7486
1
0.0001
Sumber: diolah dari Susenas Kor dan Podes tahun 1999
Marginal Effect
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH Setelah dilakukan respesifikasi terhadap Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan, diperloleh 25 persamaan yang terdiri dari 17 persamaan perilah dan 8 persamaan identitas. Hasil estimasi model dengan mengguuakan teknik pool time series
-
cross section regression menunjukkan m r - f s k t o r yang
berpengaruh terhadap kinerja fiskal d m perekonomian daerah. Keragaan umwn hasil estimasi model hubungan fiskal clan kemiskinan yang terdiri dari 3 blok persamaan secara keseluruhan menunjukkan hasil yang baik. Nilai koefisien determinasi (R2)masing-masing persamaan perilaku dalam model sebagian besar berkisar antara 0.70-0.97. Selain kriteria statistik (R2)tersebut, hasii analisis menunjukkan semua variabel penjelas memiliki tanda yang sesuai hipotesis clan teori. Proses estimasi serta hasilnya secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6
dan Lampiran 7. Faktor-hktor yang berpengaruh terhadap kineja fiskal d m perekonomian daerah dalam kaitannya dengan desentdsasi fiskal dan perubahan tingkat kemiskinan disajikan berdasarkan pembagian blok berikut ini:
7.1
Blok Fiskal Daerah
Kinerja fiskal daerah secara garis besar dapat dilihat dari penerimaan d m pengeluaran. Penerimaan daerah antara lain dari Penerimaan Asli Daerah (PAD) seperti Pajak Daerah, Retribusi, d m Penerimaan Laba BUMD. Penerimaan lain adalah clan Dana Perimbangan seperti Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Sumber
Daya Alam), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tabel 13 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan daerah. Dalam studi ini tidak semua variabel di atas dikaji secara mendalam terkait faktor-faktor yang diduga mempengardmya. Variabel-variabel yang dikaji dalam studi ini yaitu Pajak daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, serta Dana Aokasi Umum. Faktor-faktor yang mempengaruh Pajak Daerah adalah potensi ekonomi daerah yang diproksi oleh PDRB,perkembangan dunia usaha yang diproksi oleh perkembangan investasi, serta dummy desentralisasi fiskal. Dilihat dari aspek ekonomi tanda estimasi parameter sudah sesuai dengan hipotesis. Seluruh variabel-variabel di atas berpengaruh positif terhadap pajak daerah, artinya semakin besar potensi ekonomi yang dimiliki daerah dan semakin berkembang dunia usaha disana maka akan semakin besar penerimaan daerah yang bersumber
dari pajak. Terlihat juga temyata implementasi kebijakan desentralisasi fiskal menyebabkan pemerintah daerah meningkatkan penerimaannya dari pajak. Secara statistik ketiga variabel ini berpengaruh nyata pada taraf 5 persen.
Tabel 13. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Fiskal Daerah - Sisi Penerimaan Variabel Endogen
Variabel Penjelas
Parameter Elastisitas Estimasi JgkPendek JgkPanjang
Prob-P
R-Square
0.0001 0.0001 0.0213
0.7067
0.0004 0.0494 0.0613 0.0001
0.4902
0.5700 0.0001 0.0853
0.8317
Pajak Daerah
PDRB Investasi DES.FISKAL
0.0181 0.0169 13088915
2.6306
Bagi Hasil Pajak & Bkn Pjk
Investasi Populasi Des.Fiskal DFKL*INV
0.0310 37.5743 52486914 0.0313
0.9050 2.0074
DAU
0.6570
0.2747
Kap.Fiskal PER KAPITA -180868 DES.FISKAL 427768941 DFKL*PO 6726718
-0.0226 0.09%
-
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dipengaruhi secara positif oleh investasi, populasi, serta dummy desentralisasi fiskal. Populasi menunjukkan respons ymg elastis terhadap meningkatnya penerimaan daerah dari Bagi Hasil Pajak clan Bukan Pajak. Perkembangan investasi nyata menunjukkan pengaruh yang positif meskipun memililu respons yang tidak elastis. Dana Alokasi Umum dipengasuhi oleh Kapasitas Fiskal per Kapita, Dummy Desentmlisasi Fiskal, serta Persentase Jumlah Orang Miskin (PO). Secara ekonomi tanda koefisien sudah sesuai dengan hipotesis. Kapasitas Fiskal menunjukkan pen@
yang negatif terhadap Dana Alokasi Umum. Kapasitas Fiskal
mencerminkan kemampuafl daerah untuk menglumpun penerimaan yang murni berasal dari suberdaya daerah itu sendiri. Semakin tinggi Kapasitas Fiskal suatu daerah menyebabkan semakin kecil penerimaan daerah dari DAU. Hal ini sesuai dengan konsep yaitu DAU diberikan dalam rangka pemerataan antar daerah. Terlihat juga bahwa Dummy Desentralisasi Fiskal menunjukkan pengaruh positif
dan nyata terhadap DAU artinya ada perbedaan yang nyata penerimaan daerah dari DAU sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
Variabel lain yaitu
Persentase Jumlah Orang Miskin (PO) juga menunjukkan pengaruh positif dan nyata terhadap DAU. Persentase jumlah orang miskin mencerminkan tingkat kebutuhan daerah dan DAU dibuat agar setiap daerah bisa membiayai setiap kebutuhan dasar di wilayahnya artinya semakin tinggi Persentase Jumlah Orang Miskin akan Semakin tinggi DAU. Hasil pendugaan persamaan blok fiskal daerah sisi pengeluaran dapat dilihat pada Tabel 14 Pengeluaran pemerintah daerah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran Pembangunan dalam kaitannya dengan
usaha pengentasan kerniskinan diketahui yang berhcbungan dengan Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan dan Kesehatan, serta Sektor Perumahan clan Kesejahteraan. Sektor Pertanian dipen-
secara positif dan nyata oleh
Pengeluaran Pembangunan, Populasi, Dana Perimbangan, dan Dummy Desentrahsasi Fiskal. Keempat variabel tersebut memberrkan respon yang tidak elastis dimana Populasi menunjukkan respon yang paling besar. Pengeluaran Sektor Pertanian menunjukkan adanya perbedam yang nyata antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, ha1 ini dapat dilihat dm koefesien Dummy Desentdisasi Fiskal yang positif dan nyata Sektor Pendidikan dan Kesehatan dipen-
secara positif oleh
Pengeluaran Pembangunan, Dana Perimbangan, dan Dummy Desentralisasi Fiskal. Namun demikian Dana Perimbangan tidak begitu nyata berpengaruh, artinya meningkatnya Dana Perimbangaa baru berpotensi meningkatkan pengelman Sektor Pendidikan dan Kesehatan, dimana pengaruhnya belum nyata. Sektor Perumahan dan Kesejahteraan dpengaruhi secara positif oleh Pengeluaran Pembangunan, besar Populasi, d m Lag Sektor Perumahan dan Kesejahteraan itu sendiri. Populasi memberikan pengaruh sangat nyata d a . respons yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pengeluaran Pembanpan Sektor Lainnya sangat dipengambi oleh
Investasi dan kondisi krisis. Investasi mempengarubi secara positif d m nyata meskipun responnya tidak elastis. Sedangkan kondisi krisis mempengaruhi secara negatif clan nyata serta dengan respon yang juga tidak elastis. Faktor utama yang mempengaruhi Pengelwan Rutin adalah besamya penerimaan daerah yang berasal dari Penerimaan Asli Daerah d m Dana
Perimbangan. Keduanya berpengad positif dan sangat nyata. Terhhat juga dm variabel Dummy Desentralisasi Fiskal bahwa ada peningkatan yang nyata antara pengeluaran rutin sebelum desentrhsasi
fiskal
dibandingkan
sesudah
desentralisasi fiskal.
Tabel 14. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Fiskal Daerah - Sisi Pengeluaran Parameter Elastisitas Estimasi Jgk Pendek JgkPanjang
Prob-P
R-Square
Pengeluaran Pemb. Populasi Dana Perimbangan Desentralisasi Fiskal
0.0438 2.1436 0.0171 2952041
0.5555 0.6718 0.4675
0.0001 0.0483 0.0001 0.0797
0.698
Sektor Pglm Pembangunan Pendidikm Dana Perimbangan & Kesehatan Des. Fiskal
0.1928 0.0046 8358385
1.0994 0.0564
0.0001 0.5583 0.0572
0.4965
0.0569
0.9328
0.9593
0.0001
0.4244
3.1751 0.0277
1.2846
1.3212
0.0096 0.5382
0.6522 0.0059 - 164%202
0.9523 0.1 166
Pengeluaran PAD 0.8036 0.5570 Rutin Dana Perimbangan Desentralisasi Fiskal 75098909 LAG 0.1151
0.2310 0.6762
Variabel Endogen Sektor Pertanian
Sektor Pemmhan
Variabel Penjelas
Pglrnpembangunan
-
&
Kesejahteraan Populasi LAG Sektor Lainnya
7.2
Pglrn Pembangunan Investasi Krisis
0.2611 0.7641
0.0001 0.0001 0.0001
0.5122
0.0001 0.0001 0.0011 0.0086
0.8607
Blok Pengeluaran Agregat Persamaan pengeluaran agregat terdiri dari persamaan Konsumsi Rumah
Tangga, Konsumsi Swasta, Investasi, Ekspor dan Impor. Konsumsi Rumah Tagga d i p e n g d secara positif dan nyata oleh potensi ekonomi daerah yang diproksi
dengan PDRB, Populasi, Pengeluaran Rutin pemerintah daerah, dan Lag Konsumsi Rmah Tangga itu sendiri. Keempat variabel tersebut mernberikan respon yang tidak elastis dimana Populasi yang memberikan respon terbesar ba& jangka pendek maupunjangka panjang (lihat Tabel 15). Konsumsi Swasta dipengaruhl secara positif dan nyata oleh PDRB, Dummy Desentralisasi Fiskal, dan Lag Konsumsi Swasta. Ketiganya memberikan respon yang tidak elastis dimana PDRB yang memberikan respon terbesar baik jangka pendek maupun jangka panjang. Terlihat adanya peningkatan yang nyata pada Konsumsi Swasta setelah adanya desentralisasi fiskal dibandingkan sebelum desentmlisasi fiskal, ha1 ini dapat dilihat dari koefisien Dummy Desentralisasi Fiskal yang positif dan nyata. Investasi dipengaruhi oleh PDRB, Pajak, dan Lag Investasi. Potensi ekonomi daerah yang diproksi dengan PDRB berpengaruh positif d m nyata artinya semakin besar potensi ekonomi daerah akan semakin besar invesksi di
daerah tersebut. Sebaliknya desentralisasi fiskal yang &ti
oleh peningkatan
pajak berpengaruR negatif dan nyata artinya semakin besar pungutan pajaknya akan mengurangi nilai investasi yang ada di d a d . Hal ini memberikan informasi bahwa daerah hendalcnya tidak perlu menglumpun pajak yang berlebihan karena justru akan mengurangi masuknya investasi baik jangka pendek maupun jangka panjag. Nilai Ekspor sangat d i p e n g m oleh Nilai Tukar, Indeks Harga Konsumen, dan PDRB. Nilai Tukar berpengaruh positif dan nyata, artinya sernalcin besar nilai tukar rupiah terhadap dollar atau nilai rupiah melemah terhadap nilai dollar akan semakin besar nilai ekspor. Secara ekonomi dengan melemahnya nilai rupiah
terhadap nilai dollar maka daya saing produk Indonesia semakin baik sehingga merangsang semakin besarnya ekspor. Sebaliknya Indeks Harga Konsumen berpengaruh negatif dan nyata. Secara ekonomi dengan meningkatnya IHK berati terjadi inflasi dirnana harga produk menjadi tinggi, daya saing semakin rendah akibatnya nilai ekspor menurun.
Tabel 15. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Pengeluaran Agregat Variabel
Variabel
Endogen
Penjelas
0.7495 0.8979 0.0519
0.8144 0.9757 0.0564
0.0001 0.0001 0.0034 0.0317
0.9735
0.0029 24664686 0.0764
0.3528
0.3819
0.0116 0.0001 0.2667
0.9735
0.3168 -7.1332 0.28 84
1.1849 -0.0756
1.6653 -0.1063
0.0001 0.0001 0.0001
0.9438
0.1588 -0.2467 1.3871
0.0160 0.0036 0.0001
0.8763
PDRB
180391 -9929030 0.6805
IHK Ttl. Konsumsi
-2598712 0.3144
-0.08 11 0.4329
0.1695 0.0001
0.9572
Konsurnsi Swata
PDRB Des..Fiskal LAG
Investasi
PDRB DFKL*Pajak LAG
Impor
Prob-P R-Squarr:
0.3970 971.10 0.7806 0.0797
PDRB Konsumsi Rmh Tangga Populasi P g h Rutin LAG
Ekspor
Parameter Elastisitas Estimasi Jgk Pendek Jgk Panjang
Nilai Tukar
-
-
-
Nilai Impor dipengaruhi oleh Indeks Harga Konsumen dan Total Konsurnsi baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi swasta. Indeks Harga Konsumen berpengaruh positif dan nyata pada taraf alpha 20 persen. Sedangkan Total Konsumsi berpengaruh positif dan nyata. Total Konsurnsi mencemmkan kebutuhan daerah datau dalam negeri, semakin tinggi kebutuhan dalam negeri
semakin tinggi nilai irnpor dikarenakan pasokan dari dalam negeri masih belum mencukupi. Selengkapnya mengenai dugaan parameter, elastisitas, dan koefesien determinasi ( R ~model ) dapat dilihat pada Tabel.
7.3
Blok Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
Distribusi pendapatan digambarkan oleh indeks Gini, faktor-faktor yang mempengadmya adalah konsumsi rumah tangga per kapita, faktor desentralisasi fiskal, dan lag sebelumnya. Salahsatu fokus studi ini adalah mempelajari pengaruh implementasi desentralisasi fiskal dengan distribusi pendapatan. Temuan men&
dari studi ini adalah bahwa penerapan desentralisasi fiskal cenderung memberikan nilai Indeks Gini menurun artinya distribusi pendapatan cenderung semakin merata. Namun demikian jika dilihat dari pengujian estimasi parameternya tidak nyata (lihat Tabel 16). Hal ini memberikan informasi bahwa implementasi desentralisasi fiskal berpotensi mengurangi kesenjangan pendapatan meskipun hingga saat ini belum terbukti berpengaruh nyata.
Tabel 16. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan Variabel Endogen Gini
PO
P1 I
P2
Variabel Penjelas Kons. per lapita
Des. Fiskal LAG Kons. per kapita DIFGK DAU per kapita Krisis PO Krisis LAG P1 Krisis LAG
Parameter Estimasi -0.000025 -0.0004 0.2831 -0.0048 0.0001 -0.0461 4.657 1 0.2203 0.4733 0.2194 0.4390 -0.1083 0.0060
Elastisitas Jgk.Pendek -0.0898
-0.2334 0.0121 -0. I685 1.1350
1.4120
Prob-P R-Square
Jgk.Panjang 0.0246 -0.1253 0.8720 0.0001 0.1265 0.1213 0.0001 0.0001 0.0001 1.4540 0.0168 0.0001 0.0001 1.4205 0.0021 0.7681
0.6708
0.8176
0.7617
0.7268
Fokus lain dari studi ini adalah mempelajari ciampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap indeks kemiskinan. Komponen desentralisasi fiskal yang salahsatunya dtujukan untuk program penanggulangan kerniskinan adalah dana alokasi umum (DAU). Berdasarkan model terhhat bahwa penambahan DAU per kapita dapat mengurangi jumlah orang miskin (PO). Hal dapat dilihat dari estimasi parameter yang bertanda negatif dan uji estimasi parameter juga terlihat nyata. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa implementasi desentralisasi fiskal melalui DAU nya dapat mengurangijumlah kemiskinan.
VIII. DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN Kebijakan desentralisasi memiliki tujuan diantaranya menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif dan efesien, yang pada akhimya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Dari sudut pandang tersebut kebijakan-kebijakan yang terlahir dari penerapan desentralisasi fiskal sesungguhnya berpotensi terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kerniskinan. Bahkan telah dijelaskan sebelumuya bahwa dalam formula pembagim dana alokasi umum (DAU) juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin. Sebelum melakukan simulasi terlebih dahulu dilakukan validasi model
untuk mengetahui daya prediksi model. Model dikatakan cukup valid digumkan untuk simulasi kebijakan apabila memenuh keseluruhan atau minimal salah satu kriteria berikut: nilai Root Mean Squares Percent E m r (RMSPE) di bawah 100 persen, Theil's inequality (U Theil's) mendekati 0,serta koefesien Determinasi
(R~) mendekati 1.
8.1
Validasi Model Hasil validasi model desentralisasi fiskal untuk rata-rata nasional, Kawasan
Barat Indonesia, dan Kawasan Timur Indonesia dapat dilihat pada Tabel 17 atau Lampiran 9. Secara Nasional terlihat nilai RMSPE sebagian besar di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, dan Koefesien Detenninasi ( R ~ ) sebagian besar berkisar antara 0.70 sampai 0.97. Hal ini menunjukkan bahwa daya prediksi dari model sudah cukup baik sehingga simulasi kebijzkan sudah layak
untuk dilakukan. Dari sisi penerimaan daerah persamaan DAU ataupun Dana
Perimbangan rnenunjukkan hasil yang cukup baik dimana RMSPE masing-masing 68.23 persen dan 45.55 persen, indeks U Theil's masing-masing 0.16 dan 0.14, dm R~ masing-masing 0.83 dan 0.84. Dari sisi pengeluaran bisa dilihat
persamaan Total Pengelwan Pemerintah Daerah (EXTOT) yang menunjukkan RMSPE sebesar 60.92 persen, indeks U Theil's sebesar 0.15, dan R2 sebesar 0.82. Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentasikan oleh PDRB. Terhhat persamaan PDRB memberikan nilai RMSPE sebesar 54.32 persen, indeks U Theil's sebesar 0.10, dan R~sebesar 0.94. Perlu diperhat&an juga dalam validasi ini adalah persamaan Indeks Gini dan indeks kerniskinan PO. Indeks Gini menggambarkan pemerataan distribusi pendapatan, persamaan ini memberikan nilai RMSPE sebesar 6.34 persen, Indeks U Theil's sebesar 0.03, dan R2 sebesar 0.69 persen. persamaan PO (persentase jumlah orang miskin) memberikan nilai RMSPE sebesar 3 1.35 persen, Indeks U Theil's sebesar 0.10, dan R2sebesar 0.82. Untuk Kawasan Barat Indonesia terhhat nilai RMSPE sebagian besar di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, dan Koefesien Determinasi (R2) sebagian besar berkisar antara 0.65 sampai 0.97. Hal ini menunjukkan bahwa daya prediksi dari model sudah cukup baik sehingga simulasi kebijakan sudah layak untuk dilakukan. Dari sisi penerimaan daerah dapat diperhatikan persamaan DAU dan Dana Perimbangan (DAPER). Keduanya rnenunjukkan perfoma yang cukup baik dimana RMSPE masing-masing 59.12 persen dan 44.17 persen, indeks U Theil's masing-masing 0.16 dan 0.14, dan R2 keduanya 0.83. Dari sisi pengeluaran bisa dilihat persamaan Total Pengeluaran
Pemerintah Daerah (EXTOT) yang menunjukkan RMSPE yang tidak terlalu besar yaitu 52.60 persen, indeks U Theil's sebesar 0.15, dan R~ sebesar 0.81. Total
Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentaslkan oleh PDRB.
Terlbt persamaan PDRB memberikan nilai RMSPE yang tidak terlalu besar yaitu 41.85 persen, indeks U Theil's sebesar 0.10, dan R' sebesar 0.93. Perlu diperhatikan juga dalam validasi ini adalah persamaan Indeks Gini dan indeks kerniskinan PO. Persamaan Gini memberikan nilai RMSPE sebesar 6.18 persen, Indeks U Theil's sebesar 0.03, dan R2 sebesar '3.67. Persamaan PO (persentasejumlah orang miskin) memberikan nilai RMSPE sebesar 35.91 persen, Indeks U Theil's sebesar 0.12, clan R~ sebesar 0.66. Pada Kawasan Timu. Indonesia terlihat d a i RMSPE sebagian besar di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, sedangkan Koefesien Determinasi (R2) cukup bervariasi sebagian di atas 50 persen dan sebagian yang lain masih di bawah 50 persen. Meskipun R~ b a n g memperlhatkan performa yang ctikup bak namun dengan kriteria RMSPE dan U Theil's yang masih cukup baik menunjukkan bahwa daya prediksi dan model masih layak untuk simulasi kebijakan. Dari sisi penerimaan daerah dapat diperhatikan persamaan DAU dan Dana Perirnbangan PAPER). Keduanya menunjukkan perfoma yang cukup baik dimana RMSPE masing-masing 85.17 persen dan 48.42 persen, indeks U Thei17smasing-masing 0.15 dan 0.11, dan R~ masing-masing 0.85 persen dan 0.86 persen.
Tabel 17. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Tingkat Nasional, Kawasan Barat Indonesia, dan Kawasan Timur Indonesia
Dari sisi pengeluaran bisa dilihat persamaan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah (EXTOT) yang menunjukkan RMSPE sebesar 74.96 persen, indeks U Theil's sebesar 0.16, dm R~ sebesar 0.75 persen. Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentaslkan oleh PDRB. Terlihat persamaan PDRB memberikan d a i R2 yang kecil yaitu sebesar 0.21 persen, namun demikian RMSPE masih di bawah 100 persen yaitu sebesar 92.80 persen dan indeks U Theil's mendekati 0 yaitu sebesar 0.35. Perlu d i p e r h a h juga dalam vahdasi ini addah persamaan Indeks Gini dan indeks kerniskinan PO. Persamaan Gini memberikan nilai RMSPE yang =gat
kecil
sebesar 8.22 persen, Indeks U Theil's yang mendekati 0 yaitu sebesar 0.04, dan R* yang tidak terlalu jelek sebesar 0.60 persen. Persamaan PO (persentase jumlah orang miskin) memberikan nilai RMSPE yang tidak terlalu besar yaitu 19.62 persen, Indeks U Thei17smendekati 0 yaitu 0.07, dan R2mendekati 1 yaitu sebesar 0.83 persen. Xasil validasi model desentralisasi fiskal berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 18. Pembagian menjadi 5 pulau besar yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantiin, Pulau Sulawesi, dan Pulacl Nusa Tenggam-Maluku-Papua. Pada Pulau Sumatera talihat nilai RMSPE sebagian besar di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, sedangkan Koefesien Determinasi ( R ~ )cukup bervariasi sebagian di atas 50 persen dan sebagian yang lain masih di bawah 50 persen. Meskipun R~h a n g memperlihatkan performa yang cukup baik namun dengan kriteria RMSPE dm U Theil's yang masih cukup baik, ha1 ini menunjukkan bahwa daya prediksi dari
model masih layak untuk simulasi kebijakan. Dari sisi penerimaan daerah dapat diperhatdcan persamaan DAU dan Dana Perimbangan (DAPER). Keduanya menunjukkan perfoma yang cukup baik dimana RMSPE relatif kecil masingmasing 64.50 persen dan 52.48 gersen, indeks U Theil's mendekati 0 masingmasing 0.13 dan 0.18, dan R2 rnasing-masing 0.87 persen dm 0.70 persen. Dari sisi pengeluaran bisa dilihat persamaan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah
(EXTOT) yang menunjukkan RMSPE relatif kecil (64.89 persen), indeks U Theil's mendekati 0 (0.22), sedangkan R2 kurang begitu baik (0.58). Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentasikan oleh PDRB. Terlihat permaan PDRB memberikan nilai RMSPE yang kecil (41.23 persen), indeks U Theil's mendekati 0 (0.IS), serta R2 relatif mendekati 1 (0.76 persen). Perlu diperhatikan juga dalam validasi ini adalah persamaan Indeks Gzni dan indeks kerniskinan PO. Persamaan Gini mernperlihatkan R~yang kecil, jauh
dari 1 (0.29) namun membexikan nilai RMSPE yang sangat kecil (7.08 persen), dan Indeks U Theil's yang mendekati 0 (0.03). Demikian juga persamaan PO (persentase jumlah orang miskin) memberikan nilai R2 yang masih jauh dari 1 (0.43), namun RMSPE tidak terlalu besar yaitu 29.05 persen, dan Indeks U Theil's mendekati 0 yaitu 0.13. Pada Pulau Jawa-Bali terlihat nilai RMSPE hampir seluruhnya di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, demikian juga Koefesien Determinasi (R2) hampir seluruhnya mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa daya prediksi dari model sudah valid untuk simulasi kebijakan. Dari sisi penerimaan daerah dapat diperhatikan persamaan DAU dan Dana Perimbangan
(DAPER). Persamaan DAU menunjukkan perfoma yang cukup baik dimana W S P E relatif kecil (59.38 persen), indeks U Theil's mendekati 0 (0.17), dan R2
yang mendekati 1 (0.79). Persamaan Dana Perimbangan juga sangat b a k terlihat
dari nilai RMSPE yang relatif kecil(36.18 persen), Indeks U Theil;s mendekati 1 (0.12), dan R* mendekati 1 (0.85). Dari sisi pengeluaran bisa dilihat persamaan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah (EXTOT) yang menunjukkan RMSPE relatif kecl (39.21 persen), Indeks U Theil's mendekati 0 (0.12)' dan It2 mendekati 1 (0.82). Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentasikan oleh PDRB. Terlihat persamaan PDRB memberikan nilai RMSPE yang kecil (40.47 persen), indeks U Theil's mendekati 0 (0.09)' serh It2 relatif mendekati 1 (0.90). Perlu diperhatikan juga dalam validasi ini adalah persamaan Indeks Gini dan indeks kerniskinan PO. Persamaan Gini mernperlihatkan R~ yang tidak terlalu jelek dan masih di atas 0.50 (0.66)' nilai RMSPE yang sangat kecil(6.04 persen),
d a . Indeks U Theil's yang mendekati 0 (0.03). Pemmaan PO (persentase jumlah orang miskin) memberikan nilai RMSPE tidak terlalu besar (49.74 persen), dan Indeks U Theil's mendekati 0 (0-lo), clan R2 yang mendekati 1 (0.82). Pada Pulau Ka1imanta.n terlihat nilai RMSPE hampir seluruhnya di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, namun demikian Koefesien Deteminasi ( R ~masih ) rnenunjukkan perfoma yang h a n g baik dimana sebagian di atas 0.5 dan sebagian yang lain masih di bawah 0.5. Hal ini menunjukkan bahwa keeratan arah antara nilai aktual dangan yang disimulasikan model mash kurang ba& namun daya prediksi dari model masih valid untuk simulasi kebijakan karena masih memenuhi kriteria RMSPE dan U Theil's. Dari sisi
penerimaan daerah dapat d i p e r h a b persamaan DAU dan Dana Perimbanm (DAPER). Persamaan DAU menunjukkan pedoma yang cukup b&
dimana
RMSPE relatif kecil(45.87 persen), indeks U Theil's mendekati 0 (0.14), dan R~ yang mendekati 1 (0.93). Persamaan Dana Perimbangan juga masih cukup bsuk, terlihat dari nilai RMSPE yang relatif kecil (36.30 persen), Indeks U Theil's mendekati 1 (0.19)' dm R~tidak terlalu kecll (0.63). Dari sisi pengeluaran bisa dilihat permaan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah (EXTOT) meskipun R~ di bawah 0.5 (0.48) namun RMSPE relatif kecil (42.84 persen) dm Indeks U Theil's mendekati 0 (0.24). Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentasikan oleh PDRB. Terlihat persamaan PDRB mernbean
nilai RMSPE yang masih cir. bawah
100 persen (60.76)' indeks U Theil's mendekati 0 (0.23), serta R~ relatif terlalu buruk 1 (0.68). Perlu d i p e r h a h juga dalam validasi ini adalah persamaan hdeks Gini dan indeks kernislunan PO. Persamaan Gini memperlihatkan R2 yang tidak terlalu buruk dan masih di atas 0.50 (0.51)' nilai RMSPE yang sangat kecil (7.48 persen), dan Indeks U Theil's yang mendekati 0 (0.04). Persamaan PO (persentase jumlah orang miskin) memberikan nil& RMSPE relatif kecil (27.92 persen), dan Indeks U 'fheil's mendekati 0 (0.13)' dan R~yang tidak terlalu buruk (0.64). Pada Pulau Sulawesi terlihat d a i RMSPE cukup bervariasi ada di bawah 100 persen namun ada pula yang di atas 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0,Koefesien Determinasi (R2) mas& menunjukkan hasil yang kurang
baik b a n a sebagian di atas 0.5 dan sebagian yang lain mash & bawah 0.5. Hal ini menunjukkan bahwa keeratan arah antara mlai aktual dangan yang
disimulasikan model masih kurang badc, namun daya prediksi dari model mas& valid sehingga simuiasi kebijakan mas& bisa dilakukan karena masih memenuhi kriteria U Theil's yang mendekati 0. Jika kita lihat lebih rinci, dari sisi penerimaan daerah dapat diperhatikan persamaan DAU dan Dana Perimbangan (DAPER). Persamaan DAU mmunjukkan hasil yang tidak terlalu buruk dimana meskipm RMSPE di atas 100 persen (111-92 persen), namun Indeks U Theil's mendekati 0 (0.18)' clan R~yang relatif mendekati 1 (0.78). Persamaan Dana Perimbangan juga mash cukup bak, terlihat dari nilai RMSPE yang relatif kecil (63.42 persen), Indeks U Theil's mendekati 1 (0. 15)' dan R2mendekati 1 (0.80).
Dari sisi pengeluaran bisa dilihat persamaan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah (EXTOT)juga menunjukkan perfoma yang cukup baik, RMSPE di bawah 100 persen {94.45%), Indeks U Theil's mendekati 0 (0.17)' dan R2 mendekati 1 (0.78). Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsurnsi agregat yang direpresentaskan oleh PDRB. Terlihat persamaan PDRB memberikan nilai RMSPE yang di atas 100
persen (106.84%) dan R~ yang cukup kecil (0.43), namun demikian indeks U Theil's masih cukup baik mendekati 0 (0.28). Perlu diperhatikan juga dalam validasi ini ada!ah persamaan Indeks Gmi dan indeks kerniskinan PO. Persamaan Gini memperlihatkan R ' yang kurang baik jauh dari 1 (0.03) namun nilai RMSPE dan U Theil's yang masih sangat baik masing-masing sebesar 7.27 persen dan 0.04.
Tabel 18. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Pulau-pulau Besar di Indonesia
Persamaan PO (persentase jumlah orang miskin) membenkan nilai RMSPE relatif kecil (24.84%), dan Indeks U Theil's mendekati 0 (0.1 1)' dan R2 yang tidak terlalu buruk (0.62). Pada Pulau Nusa Tenggara-Maluku-Papua nilai RMSPE sebagian besar rnasih di bawah 100 persen, indeks U Theil's seluruhnya mendekati 0, Koefesien Determinasi (R2)masih menunjukkan perfoma yang h a n g baik dimana sebagian di atas 0.5 dan sebagian yang lain masih di bawah 0.5. Hal ini menunjukkan bahwa keeratan arah antara nilai aktual dangan yang disimulasikan model masih kurang bark, narnun &ya prediksi dari model masih valid sehingga simulasi kebijakan masih bisa dilakukan karena masih memenuhi kriteria U Theil's yang mendekati 0. Jika kita lihat lebih rinci, dari sisi penerimaan daerah dapat diperhatikan persarnaan DAU dan Dana Perimbangan (DAPER). Persamaan DAU menunjukkan hasil yang cukup baik dimana nilai RMSPE cukup kecil(44.46%), Indeks U Theil's mendekati 0 (0.12), dan
IZ2yang relatif mendekati 1 (0.90). Persamaan Dana Perimbangan juga mash sangat balk, terlihat dari nilai RMSPE yang relatif kecil (25.92%), Indeks U Theil's mendekati 1 (0.09), dan R~ mendekati 1 (0.92). Dari sisi pengelua[,ran bisa dilihat persarnaan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah (EXTOT) yang juga menunjukkan hasil yang cukup baik, RMSPE di b a d 100 persen (48.00%), Indeks U Theil's mendekati 0 (0.15), dan R~ mendekati 1 (0.75). Total Pengeluaran Pemerintah berdampak pada total pengeluaran konsumsi agregat yang direpresentasikan oleh PDRB. Terlihat persamaan PDRB memberikan nilai R~ yang sangat buruk namun demikian RMSPE dan U Theil's mash cukup baik masing-masing 94.05 persen dan
0.48. Perhatlkan juga persamaan Indeks Gini dan indeks kerniskinan PO. Persamaan Gini memperllhatkan nilai RMSPE dan U Theil's yang masih sangat balk masingmasing sebesar 9.17 persen dan 0.04, dernikian juga R~ mendekati 1 yaitu sebesar 0.74. Persamaan PO (persentase jumlah orang miskin) memberikan nilai RMSPE relatif kecil(13.84%), Indeks U Theil's mendekati 0 (0.06), dan R~yang tidak terlalu buruk (0.70). Dari uraian penjelasan hasil validasi model di atas, dapat disimpulkan bahwa Mode! Hubungan Fiskal dan Kemiskinan yang dibangun sudah cukup baik dan layak untuk digunakan dalam simulasi. Proses simulasi menggunakan Program SAS yzng dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 8, dan contoh output SAS hasil simulasi peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 10 persen pada Lampiran 10, sedangkan nilai dasar variabel-variabel endogen dapat dilihat pada Lampiran 1 1 dan Lampiran 12.
8.2
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perubahan Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Analisis dampak dilakukan dengan simulasi sesuai tujuan studi yang ketiga
yaitu mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan perubahan tingkat kerniskinan. Ada enam skenario simulasi yang dilakukan, sedangkan analisis simulasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu analisis simulasi berdasarkan rata-rata Nasional, Kawasan Barat Indonesia (KBI) versus Kawasan Timur Indonesia KTI), dan berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia. Adapun keenam skenario simulasi tersebut adalah sebagai berikut:
I.
Skenario 1. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (EPERT) meningkat 50 persen.
2.
Skenario 2. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pendidikan dan Kesehatan (EPDDK) meningkat 20 persen.
3.
Skenario 3. Pengeluaran Pembangunan Sektor Penunahan dan Kesejahteraan (EPRMH) meningkat 60 persen.
4.
Skenario 4. Dana Alokasi Umurn @AU) meningkat 10 persen.
5.
Skenario 5. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (RHPJK) meningkat 30 persen.
6.
Skenario 6. Kombinasi peningkatan DAU dan BHPJK.
Dari enarn skenario simulasi di atas secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu simulasi pada sisi pengeluaran dan sisi penerimaan. Pada sisi pengeluaran dipilih simulasi pengaruh peningkatan anggaran pengeluaran pembangunan yang memihak orang miskin yaitu Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan dan Kesehatan, serta Sektor Perurnahan dan Kesejahteraan. Pernilihan besar peningkatan dalam simulasi didasarkan pada rata-rata peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan pada setiap provinsi antara tahun 2002 dan 2003 yang besarnya lebih dari 20 persen (lebih kurang 22 persen). Sementara itu peningkatan 20 persen di Sektor Pendidikan adalah sebanding dengm 50 persen peningkatan Sektor Pertanizn dan 60 persen Sektor Perumahan dam Kesejahteraan. Dengan melakukan simulasi pada masing-masing sektor tersebut dapat diketahui sektor mana yang pengaruhnya paling besar terhadap pemerataan distribusi pendapatan dan menurunkan tingkat kemiskinan. Pada sisi penerimaan dipilih sirnulasi pengaruh peningkatan Dana Alokasi Umurn @AU) dan B a g Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK). Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya kedua sumber penerirnaan ini menyumbang sekitar 80 persen total penerimaan daerah dimana 60 persen dari DAU dan 20 persen dan BHPJK sehingga pengaruhnya akan sangat besar terhadap perekomian daerah, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Pemilihan simulasi DAU sebesar 10 persen didasarkan pada rata-rata peningkatan DAU pada setiap provinsi antara tahun 2002
dan tahun 2003 yang besarnya hampir 10 persen (lebih kurang 7 persen). Sementara itu meskipun dari sisi persentase peningkatan BHPJK adalah 60 persen, namun secara nilai adalah sama. Hasil enam skenario sirnulasi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal, kinerja ekonomi, dan khususnya terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 19 sarnpai Tabel 39.
8.21 Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian Sektor pemian
merupakan sektor yang h a m mendapatkan perhatian serius
pemerintah daerah karena pembangunan di sektor ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada umurnnya bekerja Q sektor prtanian. Selain itu myoritas panduduk miskin Indonesia adalah berada di sektor pertmian sehingga meningkatkan pembangunan di sektor ini sekaligus merupakan program penanggulangan kemislunan. Dari hasil simulasi peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 50 persen berdampak positif terhadap lunerja fiskal dan kinerja ekonomi daerah, selain itu berdampak pada pemerataan distribusi pendapatan dan p e n m a n tingkat kemiskinan. Pada kinerja fiskal terjadi peningkatan Total Pengeluaran Pemerintah secara rata-rata nasional sebesar 4.64 persen (lihat Tabel 19).
Peningkatan ini berasal dan peningkatan Total Pengeluaran Pembangunan dan Total Pengeluaran Rutin masing-masing sebesar 33.98 persen dan 0.74 persen. Berdasarkan kawasan KBI d m KTI, 'Total Pengeluaran Pemerintah meningkat rnasing-masing sebesar 12.96 persen dan 15.15 persen. Sementara itu Total Pengeluaran Pembangunan dan Pengeluaran Rutin untuk KBI masing-masing sebesar 33.2 1 persen
dan 0.71 persen, sedangkan untuk KT1 masing-masing 28.83 persen dan 0.89 persen. Tabel 19. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan EPERT Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja ~ G k aDaerah l - Sisi Pengeluaran VARIABEL Pglrn. Sekt. Pertanian Pglm. Sekt. Pendidikan dan keshtn Pglm. Sekt. Permhn dan Kesjhtrn Pglrn. Sekt. Lainnya Total Pglm. Pembangunan Total Pglm. Rutin Total Pglm. Pemerintah
Kawasan Ba at Indonesia SLTh4 JW-BL KAL KBI 50.00 41.23 37.27 38.17 39.11 1.17 17.27
50.00 32.14 27.20 28.74 30.02 0.43 10.46
50.00 33.23 31.57 23.89 26.80 1.00 12.40
50.00 36.02 31.57 31.73 33.21 0.71 12.96
Kawasan Timur Ind.
Rataan
SUL LAIN KT1 Nasional 50.00 50.00 51.70 41.18 38.69 33.03 36.20 41.01 39.74 40.88 0.62 1.15 13.90 16.80
50.00 43.85 33.62 36.92 38.83 0.89 15.15
50.00 37.06 31.87 32.45 33.98 0.74 13.25
Meningkatnya Total Pengeluaran Pemerintah memacu perekonomian daerah yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi daerah terrnasuk investasi d m ekspor. Nilai konsumsi yang paling tinggi adalah Konsumsi Pemerintah diikuti Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Swasta secara rata-rata nasional masing-masing
meningkat sebesar 7.83 persen, 1.20 persen, dan 0.55 persen (lihat Tabel 20). Nilai Investasi dan Ekspor rata-rata meningkat masing-masing sebesar 1.47 persen dan 2.15 persen. Peningkatan Investasi tertinggi adalah Pulau Lainnya (4.66%), Pulau Sumatera (2.24%), Pulau Kalimantan (2.07%), Pulau Jawa-Bali (0.92%), dan yang terendah Pulau Sulawesi (0.87%).
Peningkatan Ekspor tertinggi adalah Pulau
Lainnya (9.29%) diikuti Pulau Sumatera (3.58%), Pulau Sulawesi (3.22%~)~ Pulau Kalimantan (2.19%), dan yang terendah Pulau Jaw-Bali (1.17%). Nilai Impor juga mengalami peningkatan menyusul meningkatnya konsurnsi daerah narnun peningkatannya masih lebih kecil dari peningkatan ekspor. Secara rata-rata peningkatan Impor adalah sebesar 0.52 persen dimana peningkatan terbesar ada di Pulau Lainnya sebesar 2.00 persen clan peningkatan terkecil ada di Pulau Jaw-Bali. Tabel 20. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan EPERT Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah
1
(%)
VARIABEL
an Timur Ind.
ran Barat Indones
Nasional
KBI SUL
Konsumsi RT Konsumsi Swasta Konsumsi RT dan Swasta Konsumsi Pemerintah Investasi Ekspor Impor PDRB
1.09 7.70 1.37 2.19 1.93 0.47 3.38 2.42
0.86 6.89 0.87 3.22 0.59 2.73
11.49
2.00
2.15 0.52 2.64
Secara keseluruhan dampak peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap kinerja perekonomian daerah dapat dillhat dari persentase penigkatan nilai PDRB. Terlihat secara rata-rata PDRB meningkat sebesar 2.64 persen dimana peningkatan tertinggi adz 1 Pulau Lainnya yang mencapai 9.10 persen diikuti yang kedua dan ketiga adalah Pulau Sumatera sebesar 3.90 persen dan Pulau Kalimantan sebesar 3.38 persen, selanjutnya Pulau Sulawesi sebesar 2.73 persen dan yang terendah peningkatannya adalah Pulau Jawa-Bali hanya sebesar 1.55 persen. Produk Domestik Regional Bruto yang meningkat pada akhirnya kembali berdarnpak pada peningkatan fiskal daerah, selain itu berdampak pada pemerataan
distribusi pendapatan dan p e n m a n tingkat kerniskinan. Pada sisi fiskal meningkatnya PDRB meningkatkan nilai Pajak Daerah yaitu secara rata-rata meningkat sebesar 2.88 persen dimana untuk KBI dan KT1 masing-masing meningkat sebesar 2.5 1 persen dan 9.94 persen (lihat Tabel 2 1). Tabel 2 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan VARIABEL
Pajak Daerah Pendptn Asli Daerah Bagi Hasil Pajak dan SDA Kapasitas Fiskal Dana Alokasi Umum Dana Perimbangan
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI 5.79 4.00 2.76 3.21 -0.34 0.59
1.25 0.90 1.00 0.93 0.05 0.23
6.77 4.20 2.07 2.60 -0.75 0.45
2.51 1.77 2.05 1.90 -0.17 0.39
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1 6.27 3.42 4.42 3.87 -0.30 0.24
15.49 8.13 6.57 7.12 -0.65 0.53
9.94 5.53 5.32 5.41 -0.54 0.37
(96) Rataan Nasional 2.88 2.01 2.36 2.17 -0.23 0.39
Jika menurut Pulau Besar yang meningkat paling tinggi adalah Pulau Lainnya yang mencapai 15.49 persen dan yang terendah adalah Pu:au Jawa-Bali sebesar 1.25 persen, sementara untuk Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masing-masing meningkat sebesar 5.79 persen, 6.77 persen, dan 6.27 persen. Pajak Asli Daerah menyumbang pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dirnana secara rata-rata peningkatan PAD adalah sebesar 2.01 persen. Untuk kawasan KT1 peningkatan PAD mencapai 5.53 persen sementara KBI hanya 1.77 persen dirnana jika dillhat dari pulau yang tertinggi adalah Pulau Lainnya sebesar 8.13 persen dan yang terendah adalah Pulau Jawa-Bali yaitu sebesar 0.90 persen. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
(BHPJK) pun ikut meningkat yaitu rata-rata sebesar 2.36 persen. Kawasan KBI meningkat sebesar 2.05 persen sedangkan KT1 meningkat 5.32 persen. Berdasarkan pulau-pulau besar dari yang mengalami peningkatan paling tinggi berturut-turut
adalah Pulau Lainnya (6.57%), Pulau Sulawesi (4.42%), Pulau Sumatera (2.76%), Puiau Kalimantan (2.07%), dan Pulau Jawa-Bali (1.00%). Meningkatnya PAD d m BHPJK menyebabkan Kapasitas Fiskal daerah meningkat rata-rata sebesar 2.17 persen. Variasi peningkatan Kapasitas Fiskal ini secara proporsional mengkuti variasi peningkatan PAD dan BHPJK karena Kapasitas Fiskal merupakan penjumlahan dari keduanya. Kapasitas Fiskal merupakan salah satu variabel yang diperhatikan pemerintah pusat dalam memberikan Dana Alokasi Umurn. Semakin besar Kapasitas Fiskal daerah akan semakin besar kernampuan daeraR untuk membiayai kebutuhannya sendiri dan implikasinya Dana Alokasi Umum akan dikurangi. Akibatnya terlihat dari hasil simulasi dimana DAU menurun mta-mta -0.23 persen, dirnana untuk kawasan KBI menurun sebesar -0.17 persen dan KT1 menurun sebesar -0.54 persen. Seluruh pulau besar mengalami penurunan DAU kecuali Pulau Jawa-Bali. Penurunan terbesar ada di Pulau Kalimantan (-0.75%) dan penunman terkecil ada di Pulau Sulawesi (-0.30%). Khusus
untuk Pulau Jawa-Bali nilai DAU tidak mengalami p e n m a n ha1 ini karena peningkatan Kapasitas Fiskal di Pulau ini relatif kecil dan terlihat bahwa peningkatannya adalah yang paling rendah dibandingkan pulau-pulau besar lainnya. Pada sisi distribusi pendapatan dan iingkat kerniskinan terjadi perubahan penurunan indeks. Indeks Gini turun rata-rata -0.18 persen dimana penurunan KT1 lebih tinggi dari KBI. Penurunan kawasan KT1 sebesar -0.20 persen sedangkan KBI sebesar -0.17 persen (lrhat Tabel 30). Pulau yang mengalami persentase penurunan paling tinggi adalah Pulau Lainnya sebesar -0.34 persen dan yang terendah Pulau Sulawesi sebesar -0.03 persen.
Indeks kemiskinan PO, P1, dan P2 rata-rata menurun sebesar -0.38 persen,
-
0.43 persen, dan -0.61 persen. Berbeda dengan Indeks Gini, penurunan indeks kemiskinan di kawasan KBI lebih tinggi dibandingkan KTI. P e n m a n indeks kemiskinan YO, PI, dan P2 untuk kawasan KBI berturut-turut adalah -0.43 persen, 0.53 persen, dan -0.81 persen, sedangkan untuk kawasan KT1 lebih kecil yaitu berturut-turut -0.28 persen, -0.27 persen, dm -0.33 persen. Pulau yang mengalami penurunan indeks kemiskinan paling besar adalah Pulau Kalirnantan masing-masing
untuk PO, P1, dan P2 berturut -0.72 persen, -0.82 persen, dan -1.25 persen. Tabel 22. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan EPERT Sebesar 50 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan VARIABEL
Indeks Gini Headcount Index (PO) Poverty Gap Index (PI) Square Poverty Gap Index (P2)
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI -0.17 -0.12 -0.27 -0.17 -0.41 -0.45 -0.72 -0.43 -0.53 -0.58 -0.82 -0.53
-0.03 -0.0001 -0.0002
-0.34 -0.40 -0.36
-0.20 -0.28 -0.27
-0.85
-0.0003
-0.44
-0.33
-0.92
-1.25
-0.81
f%) ., Rataan Nasional -0.18 -0.38 -0.43 -0.61
8.2.2 Peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Selain sektor pertanian, sektor pendidlkan dan kesehatan juga merupakan sektor yang harus mendapatkan perhatian pemerintah daerah karena pembangunan di sektor ini dapat membantu program penanggulangan kernislunan. Dari hasil simulasi peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan sebesar 20 persen berdampak positif terhadap h ej a fiskal, lunerja ekonomi daerah, dan khususnya pada pemerataan distribusi pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Pada
kinerja fiskal terjadi peningkatan Total Pengeluaran Pemerintah secara rata-rata nasional sebesar 2.80 persen. Peningkatan ini berasal dari peningkatan Total Pengeluaran Pembangunan dan Total Pengeluaran Rutin masing-masing sebesar 6.80 persen dan 0.39 persen. Berdasarkan kawasan KBI dan KTI, Total Pengeluaran Pemerintah meningkat masing-masing sebesar 2.42 persen clan 5.21 persen. Sementara itu Total Pengeluaran Pembangunan dan Pengeluaran Rutin untuk KBI masing-masing sebesar 5.83 persen dan 0.36 persen, sedangkan untuk KT1 masingmasing 12.83 persen dan 0.57 persen (lihat Tabel 23). Tabel 23. Hasil Sirnulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 20 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran VARIABEL
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAC KBI
Pglm. Sekt. Pertanian 3.78 Pglrn. Sekt. Pendidikan 20.00 dan keshtn Pglrn. Sekt. Permhn dan Kesjhtrn 6.74 Pglrn. Sekt. Lainnya 6.98 TotalPglrn. Pembangunan 7.07 Total Pglm. Rutin 0.66 Total Pglm. Pemerintah 3.38
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1
Rataan Nasional
2.98
4.82
3.46
6.50
6.09
7.73
4.04
20.00
20.00
20.00
20.00
20.00
20.00
20.00
4.39 4.71 4.84 0.14 1.73
7.42 5.69 6.30 0.67 3.16
5.54 5.65 5.83 0.36 2.42
10.88 10.17 11.18 0.31 4.00
9.17 11.50 11.35 0.78 4.94
11.17 12.31 12.89 0.57 5.21
6.38 6.56 6.80 0.39 2.80
Meningkatnya Total Pengeluaran Pemerintah memacu perekonomian daerah yang clitandai dengan meningkatnya konsumsi daerah termasuk investasi dan ekspor. Nilai konsumsi yang paling tinggi adalah Konsumsi Pemerintah diikuti Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Swasta secara rata-rata nasional masing-masing meningkat sebesar 1.65 persen, 0.76 persen, dan 0.35 persen. Nilai Investasi dan Ekspor rata-rata meningkat masing-masing sebesar 0.97 oersen clan 1.36 persen.
Peningkatan Investasi tertinggi adalah Pulau Lainnya (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) sebesar 3-67, diikuti Pulau Kalimantan (1.55%), Pulau Sumatera (1.44%), Pulau Jawa-Bali (0.58%), dan yang terendah Pulau Sulawesi (0.08%). Peningkatan Ekspor tertinggi adalah Pulau Lainnya (6.81%) diikuti Pulau Surnatera (2.31%), Pulau Kalimantan (1.62%), Pulau Jawa-Bali (0.67%), dan yang terendah Pulau Sulawesi (0.42%). Nilai Impor juga mengalami peningkatan menyusul meningkatnya konsumsi daerah namun peningkatannya mash lebih kecil dari peningkatan ekspor. Secara rata-rata peningkatan Impor adalah sebesar 0.33 persen dimana peningkatan terbesar ada di Pulau Lainnya sebesar 1.46 persen dan peningkatan terkecil ada di Pulau Sulawesi. Secara keseluruhan darnpak peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan terhadap kinerja perekonomian daerah dapat dilihat dari persentase penigkatan nilai PDRB (lihat Tabel 24).
Tabel 24. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 20 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi --
VARIABEL
Konsumsi RT Konsumsi Sw~sta Konsumsi RT dan Swasta Konsumsi Pemerintah Investasi Ekspor Impor PDRB
-
-
-
-
-
-
-
(%)
Kawasan Barat Indonesia SLTM JW-BL KAL KBI
Kawasan Timur Ind. Ratm SUL LAIN KT1 Nasional
1.29 0.62 1.28 2.08 1.44 2.31 0.70 2.02
0.14 0.04 0.13 1.98 0.08 0.42 0.09 0.58
0.35 0.17 0.34 0.98 0.58 0.67 0.14 0.71
1.93 0.68 1.90 2.04 1.55 1.62 0.57 2.12
0.69 0.32 0.68 1.44 0.90 1.21 0.29 1.22
3.66 1.73 3.63 3.38 3.67 6.81 1.46 5.74
1.72 0.69 2.70 2.97 1.95 4.22 0.86 3.16
0.76 0.35 0.75 1.65 0.97 1.36 0.33 1.36
Terlihat secara rata-rata PDRB meningkat sebesar 1.36 persen dimana
peningkatan tertinggi ada di Pulau Lainnya yang mencapai 5.74 persen diikuti yang kedua dan ketiga adalah Pulau Kalimantan sebesar 2.12 persen dan Pulau Sumatera sebesar 2.02 persen, selanjutnya Pulau Jawa-Bali sebesar 0.71 persen dan yang terendah peningkatannya adalah Pulau Sulawesi hanya sebesar 0.58 persen. Produk Domestlk Regional Bruto yang meningkat pada akhirnya kembali berdampak pada peningkatan fish1 daerah, selain itu berdampak pada pemerataan distribusi pendapatan dan p e n m a n tingkat kemiskinan. Pada sisi fiskal meningkatnya PDRB meningkatkan nilai Pajak Daerah yaitu secara rata-rata meningkat sebesar 1.18 persen dirnana untuk KBI dan KT1 masingmasing meningkat sebesar 0.95 persen dan 5.48 persen (lihat Tabel 25). Jika menurut Pulau Besar yang meningkat paling tinggi adalah Pulau Lainnya yang mencapai 8.70 persen dan yang terendah adalah Pulau Jawa-Bali sebesar 0.32 persen, sementara untuk Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi maing-masing meningkat sebesar 2.43 persen, 3.71 persen, dan 2.68 persen. Pajak Asli Daerah menyumbang pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana secara rata-rata peningkatan PAD adalah sebesar 0.82 persen. Untuk kawasan KT1 peningkatan PAD mencapai 3.05 persen sementara KBI hanya 0.67 persen dmana jika dilihat dari pulau yang tertinggi adalah Pulau Lainnya sebesar 4.57 persen dan yang terendah adalah Pulau Jawa-Bali yaitu sebesar 0.23 persen. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) pun lkut meningkat yaitu rata-rata sebesar 1.76 persen. Kawasan KBI meningkat sebesar 1.47 persen sedangkan KT1 meningkat 4.47 persen. Berdasarkan pulau-pulau besar dari yang mengalami peningkatan paling tinggi berturut-turut adalah Pulau Lainnya (5.60%), Pulau Sulawesi (3.28%), Pulau Sumatera (2.17%), Pulau Kalimantan ( 1.78%), dan
Pulau Jawa-Bali (0.35%). Meningkatnya PAD dan BKPJK menyebabkan Kapasitas Fiskal daeaah meningkat rata-rata sebesar 1.27 persen. Variasi peningkatan Kapasitas Fiskal ini secara proporsional mengikuti variasi peningkatan PAD dm BHPJK karena Kapasitas Fiskal merupakan penjurnlahan dari keduanya. Kapasitas Fiskal merupakan salah satu variabel yang diperhatikan pemerintah pusat dalarn memberikan Dana Alokasi Umurn. Semalun besar Kapasitas Fiskal daerah akan semakin besar kemarnpuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri dan implikasinya Dana Alokasi Umum akan dikurangi.
Tabel 25. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 25 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan Kawasan Barat Indo lesia SUM JW-BL KAL KBI Pajak Daerah Pendptn Asli Daerah Bagi Hasil Pajak dan SDA Kapasitas Fiskal Dana Alokasi Umum Dana Perimbangan
1.99 -0.27 0.46
0.27 0.06 0.11
1.91 -0.63 0.39
I I
(%)
Kawasan Timur Ind. SUL I LAIN I KT1
Nasional 1.18 0.82 1.76 1.27 -0.18 0.28
Akibatnya terlihat dari hasil simulasi DAU menurun rata-rata -0.18 persen, dimana untuk kawasan KBI menurun sebesar -0.13 persen dan KT1 menunrn sebesar -0.45 persen. Seluruh pulau besar mengalami penurunan DAU kecuali Pulau Jawa-
Bali. Penurunan terbesar ada di Pulau Kalimantan (-0.63%) dan penurunan terkecil ada di Pulau Sulawesi (-0.23%). Khusus untuk Pulau Jawa-Bali nilai DAU tidak mengalami penunman ha1 ini karena peningkatan Kapasitas Fiskal di Pulau ini relatif
kecil dan terlihat bahwa peningkatannya adalah yang paling rendah dibandingkan pulau-pulau besar lainnya. Pada sisi distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan terjadi perubahan penurunan indeks. Indeks Gini turun rata-rata -0.12 persen dirnana penurunan KT1 lebih tinggi dari KBI. Penurunan kawasan KT1 sebesar -0.14 persen, sedangkan KBI sebesar -0.11 persen (llhat Tabel 26). Pulau yang mengalami persentase penurunan paling tinggi adalah Pulau Lainnya sebesar -0.25 persen dan yang terendah Pulau Jawa-Bali sebesar -0.08 persen, sementara itu satu-satunya pulau yang tidak mengalami penurunan Indeks Gini adalah Pulau Sulawesi. Tabel 26. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK Sebesar 20 Persen Terhadap Distribusi Pendapatm dan Tingkat Kerniskinan f%)
VARIABEL
Indeks Gini Headcount Index (PO) Poverty Gap Index (PI) Square Poverty Gap Index (P2)
Rataan Kawasan Timur Ind. Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI SUL LAIN KT1 Nasional -0.12 -0.10 -0.08 -0.19 -0.11 0.02 -0.25 -0.14 -0.23 -0.32 -0.47 -0.26 0.10 -0.28 -0.17 -0.23 -0.29 -0.42 -0.54 -0.33 0.11 -0.26 -0.16 -0.27
-0.47
-0.67
-0.81 -0.50 0.17
-0.31
-0.20
-0.38
Indeks Gini di Pulau Sulawesi justru mengalami peningkatan sebesar 0.02 persen. Peningkatan Indeks Gini ini lebih disebabkan adanya penurunan DAU, meskipun ada peningkatan konsumsi rumah tangga namun peningkatannya relatif kecil sehingga tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin. Tidak hanya Indeks Gini yang mengalami peningkatan namun di Pulau Sulawesi indeks kemiskinan juga megalami peningkatan yang berarti tingkat kemiskinan semakin tinggi. Sebagaimana Indeks Gini, peningkatan indeks kemiskinan juga lebih
disebabkan menurunnya DAU sedangkan meningkatnya Konsumsi Rurnah Tangga yang merupakan proksi tingkat pendapatan masih relatif kecil sehingga tidak dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Selain Pulau Sulawesi, indeks kemiskinan mengalami penurunan, indeks PO, P 1, dan P2 rata-rata menurun sebesar 0.23 persen, -0.27 persen, dan -0.38 persen. Berbeda dengan Indeks Gini, p e n m a n indeks kemiskinan di kamsan KBI leblh tinggi dibandingkan KTI. P e n m a n indeks kemiskinan PO, PI, dan P2 untuk kawasan KBI berturut-turut adalah -0.26 persen, -0.33 persen, dan -0.50 persen, sedangkan untuk k a m KT1 lebih kecil yaitu berturut-turut -0.17 persen, -0.16 persen, dan -0.20 persen. Pulau yang mengalami penurunan indeks kerniskinan paling besar adalah Pulau Kalimantan masing-masing untuk PO, P1, dan P2 berturut -0.47 persen, -0.54 persen, dan -0.81 persen.
8.23 Peningkatan Pengeluaran Sektor Perumahan dan Kesejahteraan Selain sektor pertanian dan sektor pendidikan dan kesehatan, sektor yang juga harus mendapatkan perhatian pemerintah daerah adalah sektor Perumahan dan Kesejahteraan karena pembangunan di sektor ini dapat membantu program penanggulangan kemiskinan. Dari hasil simulasi peningkatan Pengeluaran Sektor Perumahan dan Kesejaheteraan sebesar 60 persen berdampak positif terhadap kinerja fiskal, kinerja ekonorni daerah, clan khususnya pada pemerataan distribusi pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Pada h erja fiskal sisi pengeluaran terjadi '
peningkatan Total Pengeluaran Pemerintah secara rata-rata nasional sebesar 10.55 persen. Peningkatan ini berasal dari peningkatan Total Pengeluaran Pembangunan
dan Total Pengeluaian Rutin masing-masing sebesar 26.93 persen dan 0.65 persen (lihat Tabel 27). Berdasarkan kawasan KBI dan KTI, Total Pengeluaran Pemerintah meningkat masing-masing sebesar 10.03 persen dan 13.77 persen. Sementara itu Total Pengeluaran Pembangunan dan Pengeluaran Rutin untuk KBI masing-masing sebesar 25.60 persen dan 0.62 persen, sedangkan untuk KT1 masing-masing 35.26 persen dan 0.82 persen. Tabel 27. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja FiskaI - Sisi Pengeluaran
(%I
VARIABEL Pglrn. Sekt. Pertanian Pglm. Sekt. Pendidikan dan keshtn Pglm. Sekt. Permhn dan Kesjhtm Pglrn. Sekt. Lainnya Total Pglrn. Pembangunan Total Pglrn. Rutin Total Pglm. Pemerintah
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI 13.58
15.93
15.78
14.83
27.68
28.04
26.35
27.77
60.00 25.65 26.25 0.96 11.69
60.00 25.10 26.19 0.39 9.14
60.00 60.00 18.95 24.49 21.25 25.60 0.89 0.62 9.89 10.03
qzqsi+q Kawasan Timur Ind.
Meningkatnya Total Pengeluaran Pemerintah memacu perekonomian daerah yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi daerah tennasuk investasi dan ekspor. Nilai konsumsi yang paling tinggi adalah Konsumsi Pemerintah diikuti Konsumsi Rumah Tangga clan Konsumsi Swasta secara rata-rata nasional masing-masing
meningkat sebesar 6.23 persen, 1.09 persen, dan 0.50 persen (lihat Tabel 28). Nilai Investasi dan Ekspor rat.-rata meningkat masing-masing sebesar 1.37 persen dan 1.94 persen. Peningkatan Investasi tertinggi adalah Pulau Lainnya (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) sebesar 4.42, d i h t i Pulau Sumatera (1.91%), Pulau Kalimantan
(1.81%), Pulau Jawa-Bali (0.96%), dan Pulau Sulawesi (0.25%). Peningkatan Ekspor tertinggi adalah Pulau Lainnya (8.83%) diikuti Pulau Sumatera (3.07%), Pulau Sulawesi (2.38%), Pulau Kalimantan (2.04%), dan yang terendah Pulau Jawa-Bali (1.10%). Nilai Impor juga mengalami peningkatan menyusul meningkatnya konsumsi daerah narnun peningkatannya mash lebih kecil dari peningkatan ekspor. Secara ratarata peningkatan Impor adalah sebesar 0.47 persen dimana peningkatan terbesar ada di Pulau Lainnya sebesar 1.90 persen dan peningkatan terkecil adalah Pulau JawaBali sebesar 0.24 persen. Tabel 28. Hail Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Ekonorni Daerah ('Yo)
I
VARIABEL
onsumsi Swasta onsumsi RT dan Swasta onsumsi Pemerintah Investasi
b
kspor
Kawasan Timur Ind.
Kawasan Baiat Indonesia KBI SUM JW-BL KAL
SUL LAIN KT1
1.72 0.83 1.71 7.19 1.91 3.07 0.93 3.14
0.64 0.24 0.64 5.36 0.25 2.38 0.44 1.97
0.57 0.27 0.56 5.18 0.96 1.10 0.24 1.45
2.43 0.86 2.40 6.41 1.81 2.04 0.72 3.01
0.99 0.46 0.98 5.96 1.29 1.73 0.42 2.10
4.75 2.24 4.71 9.98 4.42 8.83 1.90 8.46
2.45 0.98 2.42 7.86 2.44 6.02 1.23 5.12
Rataan Nasional 1.09 0.50 1.08 6.23 1.37 1.94 0.47 2.3 1
Secara keseiuruhan dampak peningkatan Pengeluaran Sektor Perumahan dan Kexjahteraan terhadap kinerja perekonomian daerah dapat dilihat dari persentase peningkatan nilai PDRB seperti pada Tabel 29. Terlihat secara rata-rata PDRB meningkat sebesar 1.34 persen dimana peningkatan tertinggi ada di Pulau Lainnya yang mencapai 5.59 persen dilkuti yang kedua dan ketiga adalah Pulau Kalirnantan sebesar 2.01 persen dan Pulau Sumatera sebesar 1.97 persen, selanjutnya Pulau JawaBali sebesar 0.75 persen dan yang terendah peningkatannya adalah Pulau Sulawesi
hanya sebesar 0.37 persen. Produk Domestik Regional Bruto yang meningkat pada a h r n y a kembali berdampak pada peningkatan fiskal daerah, selain itu berdampak pada pemerataan distribusi pendapatan dan penurunan tingkat kerniskinan. Pada sisi fiskal meningkatnya PDRB meningkatkan nilai Pajak Daerah yaitu secara rata-rata meningkat sebesar 2.45 persen dirnana untuk KBI dan KT1 masingmasing meningkat sebesar 2.10 persen dan 9.13 persen (lihat Tabel 29). Jika menunlt Pulau Besar yang meningkat paling tinggi adalah Pulau Lainnya yang mencapai 14.18 persen dan yang terendah adalah Pulau Jawa-Bali sebesar 1.15 persen, sementara untuk Pulau Sumatera, Kalimantan, clan Sulawesi masing-masing meningkat sebesar 4.43 persen, 5.81 persen, dan 4.91 persen. Tabel 29. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerirnaan VARIABEL
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1 5.81 2.10 4.91 14.18 9.13 5.08 7.44 3.61 1.48 2.68 6.39 5.23 2.00 1.88 4.12 6.76 5.17 2.40 1.67 3.33 -0.74 -0.16 -0.32 -0.64 -0.56 0.50 0.35 0.42 0.36 0.20
Kawasan Barat Indonesia
SUM JW-BL KAL KBI Pajak Daerah Pendptn Asli Daerah BagiHasii Pajakdan SDA Kapasitas Fiskal Dana Alokasi Umum Dana Perimbangan
4.43 3.06 2.52 2.71 -0.31 , 0.54 ,
1.15 0.83 0.88 0.85 0.05 0.21
Rataan Nasional 2.45 1.71 2.20 1.94 -0.23 0.36
Pajak Asli Dsrerah menyurnbang pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana secara rata-raia peningkatan PAD adalah sebesar 1.71 persen. Untuk kawasan KT1 peningkatan PAD mencapai 5.08 persen sementara KBI hanya 1.48 persen dimana jika dilihat dari pulau yang tertinggi adalah Pulau Lainnya sebesar 7.44 persen dm yang terendah adalah Pulau Jawa-Bali yaitu sebesar 0.83 persen. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) pun lkut meningkat yaitu rata-raia sebesar 2.20 persen.
Kawasan KBI meningkat sebesar 1.88 persen sedangkan KT1 meningkat 5.23 persen. Berdasarkan pulau-pulau besar dari yang mengalami peningkatan dan yang paling tinggi berturut-turut adalah Pulau Lainnya (6.39%), Pulau Sulawesi (4.12%), Pulau Sumatera (2.52%), Pulau Kalimantan (2.00%), dan Pulau Jawa-Bali (0.88%). Meningkatnya PAD dan BHPJK menyebabkan Kapasitas Fiskal daerah meningkat rata-rata sebesar 1.94 persen. Variasi peningkatan Kapasitas Fiskal ini secara proporsional mengikuti variasi peningkatan PAD dan BHPJK karena Kapasitas Fiskal merupakan penjumlahan dari keduanya. Kapasitas Fiskal merupakan salah satu variabel yang diperhatikan pemerintah pusat dalam memberikan Dana Alokasi Umum. Semakin besar Kapasitas Fiskal daerah akan semakin besar kemarnpuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri dan implikasinya Dana Alokasi Umum akan dikurangi. Akibatnya terllhat dari hasil simulasi dimana DAU menurun rata-rata -0.23 persen, dimana untuk kawasan KBI menurun sebesar -0.16 persen dan KT1 menurun sebesar -0.56 persen. Seluruh pulau besar mengalami penurunan DAU kecuali Pulau Jawa-Bali. Penurunan terbesar ada di Pulau Kalimantan (-0.74%) dan pefiurunan terkecil ada di Pulau Sulawesi (-0.32%). Khusus
untuk Pulau Jawa-Bali nilai DAU tidak mengalami penurunan ha1 ini karena peningkatan Kapasitas Fiskal di Pulau ini relatif kecil dan terlihat bahwa peningkatannya adalah yang paling rendah dibandingkan pulau-pulau besar lainnya. Pada sisi distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan terjadi perubahan penurunan indeks. Indeks Gini turun rata-rata -0.16 persen dimana penurunan KT1 leblh tinggi dari KBI. Penurunan kawasan KT1 sebesar -0.19 persen sedangkan KBI sebesar -0.15 persen (lihat Tabel 30). Pulau yang mengalami persentase penurunan
paling tinggi adalah Pulau Lainnya sebesar -0.33 persen clan yang terendah Pulau Sulawesi sebesar -0.01 persen. sementara itu satu-satunya pulau yang tidak mengalami penurunan Indeks Gini adalah Pulau Sulawesi. Indeks Gini di Pulau Sulawesijustru mengalami peningkatan sebesar 0.02 persen. Peningkatan Indeks Gini ini lebih disebabkan adanya penurunan DAU, meskipun ada peningkatan konsumsi
rumah tangga namun peningkatannya relatif kecil sehingga tidak marnpu mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin. Tidak hanya Indeks Gini yang mengalami peningkatan namun DI Pulau Sulawesi indeks kemiskinan megalami peningkatan, yang berarti tingkat kemiskinan semakin tinggi. Meningkatnya indeks kerniskinan ini disebabkan peningkatan Konsurnsi Rumah Tangga bang merupakan proksi tingkat pendapatan) masih relatif kecil dibandingkan penurunan DAU sehingga tidak dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Selain Sulawesi, inde-ks kemiskinan mengalami penurunan. Indeks PO, P1, dan P2 rata-rata menurun sebesar -0.34 persen, -0.39 persen, dan -0.55 persen. Tabel 30. Hasil Sirnulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH Sebesar 60 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan VARIABEL Indeks Gini Headcount Index (PO) Poverty Gap Index (Pl) Square Poverty Gap Index (P2)
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI -0.15 -0.12 -0.24 -0.15 -0.34 -0.47 -0.61 -0.38 -0.44 -0.70 -0.47 -0.62
-0.01 0.05 0.06
-0.33 -0.38 -0.35
-0.19 -0.26 -0.25
-0.16 -0.34 -0.39
-0.70
0.09
-0.42
-0.31
-0.55
-0.97
-1.07
-0.72
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KTI
Rataan Nasional
Berbeda dengan Indeks Gini, penurunan indeks kemiskinan di kawasan KBI
lebih tinggi dibandingkan KTI. Penurunan indeks kemiskinan PO, PI, dan P2 untuk kawasan KBI berturut-turut adalah -0.38 persen, -0.47 persen, dan -0.72 persen, sedangkan untuk kawasan KT1 lebih kecil yaitu berturut-turut -0.26 persen, -0.25 persen, dan -0.31 persen. Pulau yang mengalami penurunan indeks kemiskinan paling besar adalah Pulau Kalimantan masing-masing untuk PO, PI, dan P2 berturut -0.61 persen, -0.70 persen, dan -1.07 persen.
8.2.4 Peningkatan Dana Alokasi Umum Peningkatan Dana Alokasi Umwn sebesar 10 persen berdampak positif terhadap kinerja fiskal daerah baik sisi penerimaan maupun pengeluaran. Dari sisi penerimaan meningkatnya DAU 10 persen secara nasional meningkatkan Dana Perimbangan sebesar 6.95 persen, jika menurut kawasan terlihat peningkatan terbesar adalah KT1 yaitu 7.81 persen sedangkan di KBI meningkat 6.79 persen. Jika dilihat menurut pulau, di kawasan KT1 peningkatan Dana Perimbangan terbesar ada di Pulau Sulawesi (9.05%), sedangkan di kawasan KBI yang terbesar adalah di Pulau Sumatera (7.01%). Disini terlihat bahwa meslupun secara persentase kenaikan DAU sama namun secara nilai absolutnya daerah kawasan timur relatif lebih besar sebab DAU dipermtukan agar terjadi pemerataan pembm-gunan dimana daerah yang h a n g memiliki potensi dipacu lebih cepat dengan memberikan dana DAU ini relatif leblh besar. Selanjutnya peningkatan penerirnaan daerah alubat DAU ini direspon oieh pemerintah daerah dengan meningkatkan anggaran untuk pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Secara rata-rata nasional
peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebih tinggi dibandingkan Pengeluaran Rutin yaitu masing-masing 6.18 persen dan 5.36 persen. Demikian pula dilihat dari sisi kawasan KBI dan KTI, peningkatan Pengeluaran Pembangunan leblh tinggi dibandingkan Pengeluaran Rutin. Di kawasan KBI Pengeluaran Pembangunan rneningkat sebesar 6.09 persen sedangkan Pengeluaran Rutin meningkat sebesar 5.16 persen. Untuk kawasan KT1 pengeluaran Pembangunan meningkat sebesar 6.73 persen sedangkan Pengeluaran Rutin meningkat sebesar 6.57 persen. Jika dilihat berdasarkan pulau peningkatannya cukup bervariasi dimana untuk KBI hanya di Pulau Jawa-Bali yang memperlihatkan pola peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebih besar dari Pegeluaran Rutin sementara untuk Pulau Surnatera dan Pulau Kalimantan adalah sebaliknya yaitu bahwa Pengeluaran Rutin mash cukup utama dibandingkan Pengeluaran Pembangunan. Untuk KT1 peningkatan Pengeluaran Pembagunan yang lebih tinggi dari Pengeluaran Rutin terjadi di Pulau Sulawesi yaitu masing-masing sebesar 7.68 persen dan 6.60 persen. Pada Pengeluaran Pembangunan lebih rinci bisa dilihat persentase kenaikan berdasarkan sektor-sektor yang dianggap pro kemiskinan. Secara rata-rata nasional peningkatan tertinggi adalah pada Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan sebesar 7.10 persen, dilkuti peningkatan yang lebih rendah berturut-turut Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 6.66 persen, Pengeluaran Sektor Lainnya sebesar 5.93 persen, dan yang paling rendah adalah
Pengeluaran Sektor Perurnahan dan
Kesejahteraan sebesar 5.80 persen (lihat Tabel 3 1 ). Dillhat dari sisi kawasan baik KBI maupun KT1 memiliki pola yang sama dimana untuk KBI Pengeluaran Sektor Pertanian adalah sebesar 6.44 persen dan
untuk KT1 adalah sebesar 8.08 persen, sedangkan untuk Pengeluaran sektor Perurnahan dan Kesejahteraan yang merupakan peningkatan terendah, di KBI sebesar 5.79 persen dan di KT1 sebesar 5.82 persen. Jika dilihat berdasarkan pulau pola
peningkatan relatif sama dengan rata-rata nasional, KBI dan KTI, hanya Pulau Kalimantan yang menunjukkan perbedaan dimana peningkatan tertinggi ada pada Sektor Pertanian yaitu sebesar 6.47 persen, diikuti pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan sebesar 6.06 persen,Sektor Perurnahan dan kesejahteraan sebesar 5.46 persen, dan yang terkecil pengeluaran Sektor Lainnya sebesar 4.13 persen. Tabel 3 1. Hasil Sirnulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah VARIABEL Pajak Daerah Pendptn Asli Daerah Bagi Hasil Pajak dan SDA Kapasitas Fiskal Dana Alokasi Umum Dana Perimbangan Pglm. Sekt. Pertanian Pglrn. Sekt. Pendidikan dan keshtn Pglrn. Sekt. Permhn dan Kesjhtm Pglm. Sekt. Lainnya Total Pglrn. Pembangunan Total Pglrn. Rutin Total Pglm. Pemerintah
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1
I%(
Rataan Nasional
7.51 5.18 0.99 2.49 10.00 7.01 5.63
2.68 1.94 0.73 1.56 10.00 6.95 7.24
9.11 5.65 0.72 1.94 10.00 5.76 6.47
3.97 2.80 0.85 1.89 10.00 6.79 6.44
1.27 0.69 0.33 0.53 10.00 9.05 9.49
17.83 9.36 1.90 4.54 10.00 6.51 5.91
8.95 4.98 1.28 2.83 10.00 7.81 8.06
4.22 2.93 0.89 1.96 10.00 6.95 6.66
6.53
7.51
6.06
6.95
10.70
6.17
8.08
7.10
5.61 5.77 5.89 6.33 6.14
6.07 6.48 6.70 4.51 5.25
5.46 4.13 4.63 5.60 5.17
5.79 5.86 6.09 5.16 5.51
7.48 6.88 7.68 6.60 6.97
4.67 5.77 5.78 6.05 5.94
5.82 6.33 6.73 6.57 6.63
5.80 5.93 6.18 5.36 5.67 -
Peningkatan pada pengeluaran pemerintah baik Pengeluaran Pembangunan maupun Pengeluaran Rutin akibat peningkatan DAU selanjutnya berdampak positif pada kineja perekonomian daerah. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai
Konsumsi Rurnah Tangga, Konsumsi Swasta, Konsumsi Pemerintah, Investasi, Ekspor dan Impor (Iihat Tabel 32). Konsumsi Rumah Tangga secara rata-rata nasional meningkat 1.09 persen, peningkatan terbesar adalah di kawasan KT1 yaitu sebesar 2.21 persen sementara KBI adalah sebesar 1.01 persea Dilihat dari pulau, Pulau Lainnya seperti Papua dan Maluku meningkat paling tinggi yaitu 4.00 persen, selanjutnya diikuti yang lebih rendah berturut-turut adalah Kalimantan (2.24%), Sumatera (1.65%), Sulawesi (0.85%), dan yang paling rendah Jam-Bali (0.65%). Konsumsi Swasta secara rata-rata nasional meningkat 0.38 persen d W a untuk KBI meningkat sebesar 0.36 persen dan KT1 meningkat sebesar 0.64 persen. Peningkatan terbesar ada di Pulau Lainnya yaitu sebesar 1.54 persen dan yang terkecil di Pulau Sulawesi sebesar 0.09 persen. Konsumsi Pemerintah mengalami peningkatan paling tinggi yaitu 3.35 persen, di KT1 peningkatannya mencapai 3.79 persen sedangkan di KBI 3.27 persen. Berdasarkan Pulau peningkatan Konsumsi Pemerintah dari yang paling tinggi berturut-turut adalah Pulau Lainnya (4.07%), Sumatera (3.78%), Sulawesi (3.45%), Kalimantan (3.3596), dan Jawa-Bali (2.98%). Investasi juga mengalami peJlingkatan namun relatif kecil 0.5 persen secara rata-rata nasional, bahkan untuk kawasan KT1 justru menurun sebesar -0.65 persen dan khususnya h i disebabkan penurunan investasi yang terjadi di Pulau Sulawesi yaitu sebesar - 1.75 persen. Sernentara untuk kawasan KBI masih mengalami peningkatan sebesar 0.58 persen, peningkatan terbesar ada di Pulau Jam-Bali sebesar 0.66 persen sedangkan Sumatera dan Kalimantan masing-masing adalah 0.62 persen dan 0.34 persen. Terlihat bahwa Jawa dan Bali masih mempunyai daya tarik untuk berinvestasi tapi tidak demikian untuk
Pulau Sulawesi. Nilai Impor ikut meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat namun masih leblh kecil dari peningkatan Ekspor yaitu 0.47 persen. Dernikian pula yang terjadi menurut kawasan maupun pulau-pulau besar, semuanya memperlihatkan peningkatan impor yang leblh rendah dari peningkatan ekspor. Hal ini menunjukkan ha1 yang positif bagi daerah karena net ekspor masih bernilai positif. Dampak positif terhadap perekonomian direpresentasikan oleh peningkatan nilai PDRB dimana akibat peningkatan DAU sebesar 10% secara rata-rata nasional
PDRB meningkat 1.59 persen dimana secara kawasan KT1 menunjukkan peningkatan lebih tinggi yaitu 2.71 persen sementara KBI 1.51 persen. Pulau yang pengalami peningkatan PDRB paling tinggi adalah Pulau Lainnya 4.69 persen selanjutnya berturut-turut dari yang tertinggi kedua adalah Sumatera (2.13%), Kalirnantan (1.96%), Jawa-Bali (1.15%), dan yang terendah Sulawesi 0.82 persen. Tabel 32. Hasil Sirnulasi Dam& Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah (%I ., VARIABEL Konsumsi RT Konsumsi Swasta KonsumsiRTdanSwasta Konsumsi Pemerintah Inve-i Ekspor Impor PDRB
,
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAZ. KBI
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1
1.65 0.63 1.63 3.78 0.62 2.35 0.89 2.13
0.85 0.09 0.84 3.45 -1.75 0.93 0.58 0.82
0.65 0.23 0.65 2.98 0.66 0.94 0.27 1.15
2.24 0.65 2.21 3.35 0.34 1.54 0.66 1.96
1.01 0.36 1.00 3.27 0.58 1.37 0.43 1.51
4.00 1.54 3.96 4.07 0.07 6.09 1.59 4.69
2.21 0.64 2.19 3.79 -0.65 3.91 1.11 2.71
Rataan Nasional 1.09 0.38 1.08 3.35 0.50 1.50 0.47 1.59
Hasil simulasi dampak peningkatan DAU terhadap PDRB ini tidak jauh berbeda dari beberapa hasil studi yang dilakukan peneliti lain sebelumnya. Saefudin (2005) dalam studinya terhadap Provinsi Riau, menunjukkan bahwa peningkatan
DAU sebesar 20% mengakibatkan peningkatan PDRB sebesar 5.9 persen. Dengan asumsi bahwa hubungannya adaIah linier maka peningkatan DAU sebesar 10 persen, PDRB Provinsi Riau meningkat sebesar 2.8 persen atau kurang dari 3 persen. Sfudi lain yang dilakukan oleh Pardede (2005) terhadap Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa peningkatan DAU sebesar 10 persen, meningkatkan PDRB sebesar 4 persen. Provinsi Sumatera dan Riau merupakan provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera. Oleh karena itu secara keselunrhslsl rata-ratapertumbuhan PDRB provinsiprovinsi di Pulau Surnatera akibat peningkatan DAU sebesar 10 persen, dipastikan tidak akan lebih dari 3 persen. Surnedi (2005) dalam studinya menemukan bahwa untuk daerah Provinsi Jawa Barat bang mewakili provinsi di Pulau Jawa), peningkatan DAU dan DAK sebesar 20 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 1.23 persen. Sementara itu Pakasi (2005) yang melakukan studi di Provinsi Surnatera Utara (yang mewakili Pulau Sulawesi), melakukan sirnulasi kenaikan DAU sebesar 10 persen terhadap lima kabupatenlkota di provinsi tersebut dm hasilnya menunjukkan bahwa dampaknya terhadap perturnbuhan PDRB cukup bervariasi namun tidak lebih dari I persen. Distribusi pendapatan semakin merata dan tingkat kerniskinan semakin rendah dengan semakin membaiknya perekonomian, ha1 ini ditandai dengan penurunan nilai Indeks Gini dan indeks kemiskinan (lihat Tabel 33). Penunutan nilai Indeks Gini mengandung arti distribusi pendapatan ataupun sumberdaya semakin merata diantara penduduk, penurunan nilai PO berarti persentase jurnlah orang rniskin semakin menurun, p e n m a n nilai P 1 berarti rata-rata gap antara pendapatan orang mislun dan
garis kemiskinan semakin berkurang, dan penurunan nilai P2 berarti ketimpangan distribusi pendapatan antar orang rniskin semakin kecil. Secara rata-rata nasional Indeks Gini menurun -0.17 persen dimana KBI sebesar -0.16 persen dan KT1 sebesar -0.18 persen. Pulau yang mengalami penurunan Indeks Gini terbesar adalah Pulau Lainnya sebesar -0.27 persen, selanjutnya berturut-turut yang lebih rendah adalah Pulau Kalimantan
(-0.23%),
Sumatera (-0.15%),
Jam-Bali (-0.15%),
dan
Sulawesi (-0.05). Tabel 33. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 Persen Terhadap ~istxibusipenclapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah (%)
VARIABEL
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI -0.15 -0.15 -0.23 -0.16 -2.86 -2.16 -4.29 -2.63 -3.71 -2.84 -4.92 -3.24
Indeks Gini HeadcountIndex(P0) PovertyGapIndex(P1) Square Poverty Gap Index (P2) -5.92
-4.47
-7.47
-5.02
Rataan Kawasan Timur Ind. KT1 Nasional LAIN -0.17 -0.05 -0.27 -0.18 -2.62 -2.85 -1.84 -2.60 -2.97 -3.42 -1.67 -2.50
SUL
-4.94
-2.03
-3.06
-4.19
Indeks kerniskinan menurun baik Headcount Index (PO), Poverty Gap Index (Pl), maupun Square Poverty Gap Index (P2). Secara nasional penurunan ketiga indeks kerniskinan tersebut adalah berturut-turut -2.62 persen, -2.97 persen, dan -4.19 persen. Berbeda dengan variabel sebeumnya penurunan indeks kemiskinan yang lebih besar adalah di kawasan KBI yaitu -2.63 persen (PO), -3.24 peren (PI), -5.02 persen (P2). Sementara di kawasan KT1 penurunannya adalah -2.60 persen (PO), -2.50 persen (PI), dan -3.06 persen (P2). Pulau yang mengalami penurunan indeks kemislunan dari yang terbesar berturut-turut adalah Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Lainnya, dan Jawa-Bali.
8.2.5
Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Tidak seperti halnya peningkatan DAU, peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) sebesar 30 persen tidak semuanya berdampak positif terhadap kinerja fiskal. Dari sisi penerimaan meningkatnya BHPJK 10 persen secara nasional justru menurunkan penerimaan DAU sebesar -0.52 persen, dernihan pula untuk kawasan KBI dan KTI, serta seluruh pulau juga mengalami p e n m a n (lihat Tabel 34). Penurunan ini disebabkan adanya peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga ada pengurangan DAU.
Hal ini mengakibatkan Dana Perim5angan
rneningkat sebesar 4.87 persen, dirnana peningkatan untuk kawasan KBI sebesar 5.15 persen dan KT1 sebesar 3.36 persen. Jika dilihat menurut pulau, peningkatan Dana Perimbangan terbesar ada di Pulau Kalimantan (9.05%), berikutya adalah di Pulau Sumatera (6.30%). Selanjutnya peningkatan penerimaan daerah akibat BHPJK ini direspon oleh pemerintah daerah dengan rneningkatkan anggaran untuk pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan kecuali di Pulau Sulawesi. S e w a rata-rata nasional peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebih tinggi dibandingkan Pengeluaran Rutin yaitu masing-masing 4.45 persen dan 3.87 persen. Demiluan pula untuk kawasan KBI, peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebih tinggi dibanciingkan Pengeluaran Rutin, namun sebal~knyauntuk kawasan KTI. Di kawasan KBI Pengeluaran Pembangunan meningkat sebesar 5.44 persen sedangkan Pengeluaran Rutin meningkat sebesar 4.27 persen. Untuk kawasan KT1 Pengeluaran Pembangunan meningkat dan Pengeluaran Rutin meningkat masing-masing sebesar 4.27 persen dan 2.90 persen. Jika dilihat berdasarkan pulau ternyata seluruhya
memperlihatkan pola peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebih besar dari
Pengeluaran Rutin. Penunman ini diakibatkan p e n m a n DAU sementara peningkatan BHPJK 10 persen belum bisa menutupi kebutuhan yang ada karena nilai Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Pulau Sulawesi paling rendah diantara pulau-pulau lainnya. P e n m a n DAU inilah yang mengakibatkan p e n m a n pada ktnerja fiskal dan kinerja ekonomi daerah yang pada akhirnya distribusi pendapatan tidak merata clan indeks kemiskinan semakin meningkat.
Persentase kenaikan berdasarkan sektor-sektor yang dianggap pro kemiskinan, secara rata-rata nasional yang mengalami peningkatan tertinggi adalah Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan sebesar 5.10 persen, diikuti peningkatan yang lebih rendah berturut-turut Pengeluaran Sektor Pertanian 4.73 persen, Pengeluaran Sektor Lainnya sebesar 4.27 persen, dan yang paling rendah adalah Pengeluaran Sektor Perumahan dan Kesejahteraan sebesar 4.17 persen (lihat Tabel 34).
Tabel 34. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah (0x7
VARIABEL
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI Pajak Daerah 3.24 0.54 5.86 1.37 Pendptn Asli Daerah 2.24 0.39 3.63 0.96 Bagi Hasil Pajak dan SDA 30.00 30.00 30.00 30.00 Kapasitas Fiskal 15.91 6.55 20.80 11.01 Dana Alokasi Umum -0.67 -0.04 -2.19 -0.46 Dana Perimbangan 3.82 6.30 9.05 5.15 Pglm. Sekt. Pertanian 5.53 10.97 5.35 4.42 Pglrn. Sekt. Pendidikan dan keshtn 6.85 4.90 10.88 6.15 Pglm. Sekt. Perrnhn dan Kesjhtrn 5.93 9.87 5.17 3.99 Pglm. Sekt. Lainnya 6.16 7.54 5.28 4.31 Total Pglm. Pembangunan 4.40 6.22 8.38 5.44 Total Pglm. Rutin 8.02. 3.62 2.25 5.27 l~otalPglm. Pemerintah 5.67 2.98 8.18 4.30
1
1
1
1
1
Kawasan Timur Ind. Rataan SUL LAIN KT1 Nasional 2.38 8.30 5.05 3.64 1.13 4.36 2.81 2.53 30.00 30.00 30.00 30.00 13.38 17.57 18.05 12.32 -0.52 -0.91 -0.88 -0.52 2.54 2.95 3.36 4.87 2.69 3.72 4.28 4.73 3.07 4.82 5.10 5.03 2.15 3.74 3.70 4.17 1.98 4.79 4.14 4.27 2.21 4.63 4.27 4.45 1.97 2.75 2.90 3.87 2.05 3.49 ( 3.42 4.09
1
Narnun pola peningkatan seperti ini lebih dipengaruhi oleh pola yang terjadi di
Pulau Jaw-Bali sementara untuk pulau-pulau lainnya memilllo pola yang berbedabeda. Secara umum Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan mash merupakan sektor yang mengalami peningkatan tertinggi di semua pulau kecuali Pulau Kalirnantan. Lebih rinci lagi pola peningkatan di masing-masing kawasan maupun pulau dapat dilihat pada tabel di atas. Peningkatan pengeluaran pemerintah baik Pengeluaran Pembangunan maupun Pengeluaran Rutin yang diakibatkan peningkatan BHPJK 30 persen, selanjutnya berdampak positif pada kinerja perekonomian daerah. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai Konsumsi Rumah Tangga, Konsumsi Swasta, Konsumsi Pemerintah, Investasi, Ekspor dan Impor (lihat Tabel 35). Terlihat Konsumsi Rurnah Tangga adalah yang mengalami penirlgkatan paling tinggi dibandingkan konsumi swasta dan pemerintah baik secara rata-rata nasional, kawasan maupun pulau. Secara rata-rata nasional Konsurnsi Rurnah Tangga meningkat 0.95 persen, peningkatan terbesar adalah di kawasan KT1 yaitu sebesar 1.90 persen sementara KBI sebesar 0.95 persen. Dilihat dari pulau, Pulau Lainnya seperti Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku meningkat paling tinggi yaitu 4.00 persen, diikuti Kalirnantan (2.24%), Sumatera (1.65%), Pulau Sulawesi (0.85%), dan Jawa-Bali (0.65%). Konsurnsi Swasta secara rata-rata nasional ineningkat 0.35 persen dimana untuk KBI meningkat sebesar 0.37 persen dan KT1 meningkat sebesar 0.67 persen.
Peningkatan terbesar ada di Pulau Lainnya sebesar
1.70 persen diikuti
Kalimantan (0.88%), Sumatera (0.72%), Jawa-Bali (0.19%), dan Pulau Sulawesi (0.02%). Konsumsi Pemerintah mengalami peningkatan 2.41 persen, di KBI peningkatannya sebesar 2.56 persen sedangkan di KT1 sebesar 1.95 persen.
Berdasarkan Pulau peningkatan Konsurnsi Pemerintah dari yang paling tinggi berturut-huut adalah Pulau Kalimantan (5.30%), Swnatera (3.49%), Lainnya (2.39%), Jawa-Bali (1.69%), dan Sulawesi (1.02%). Investasi di seluruh pulau mengalami peningkatan kecuali Pulau Sulawesi. Pulau Sumatera mengalarni peningkatan investasi 1.49 persen, di Pulau Kalimantan
meningkat 1-65 persen,
Pulau Lainnya mengalami peningkatan 3.55 persen. Tabel 35. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah (%\
VARIABEL Konsumsi RT Konsumsi Swasta Konsumsi RT dan Swasta Konsumsi Pemerintah Investasi Ekspor Impor PDRB
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI 1.76 0.72 1.74 3.49 1.49 2.67 0.95 2.49
0.48 0.19 0.47 1.69 0.73 0.77 0.20 0.91
3.07 0.88 3.03 5.30 1.65 2.09 0.91 3.04
0.95 0.37 0.95 2.56 1.01 1.41 0.41 1.55
Kawasan Ti
lur Ind.
KT1 1.90 0.67 1.88 1.95 1.73 4.09 0.95 2.93
Nilai Ekspor meningkat secara rata-rata nasional sebesar 1.37 persen, secara kawasan KBI dan KT1 meningkat masing-masing 1.4 1 persen dan 4.09 persen. Nilai Impor juga ikut meningkat seiring dengan meningkatnya daya beli masyamkat namun mash lebih kecil dari peningkatan Ekspor. Secara rata-rata nasional nilai impor meningkat sebesar 0.41 persen, secara kawasan KBI dan KT1 peningkatannya masing-masing 0.41 persen dan 0.95 persen. Demhan pula yang terjadi menurut pulau-pulau besar, semuanya memperlihatkan peningkatan impor yang lebih rendah dari peningkatan ekspor. Hal ini menunjukkan ha1 yang positif bagi daerah karena net ekspor masih bernilai positif.
Nilai PDRB yang merupakan representasi dari variabel-variabel ekonomi di atas secara rata-rata nasional meningkat 1.37 persen dirnana secara kawasan KT1 menunjukkan peningkatan leblh tinggi yaitu 2.93 persen sementara KBI meningkat 1.55 persen. Pulau yang pengalami peningkatan PDRB paling tinggi adalah Pulau Lainnya 5.53 persen diikuti bertumt-turut oleh Pulau Kalimantan (3.04%), Sumatera (2.49%), Jaw-Bali (0.9 1%), dan Pulau Sulawesi (0.24%). Secara rata-rata nasional Indeks Gini menurun -0.14 persen dimana KBI sebesar -0.16 persen dan KT1 sebesar -0.15 persen (lihat Tabel 36). Pulau yang mengalami penurunan Indeks Gini terbesar adalah Pulau Kalimantan sebesar -0.32 persen, selanjutnya berturut-turut yang lebih rendah adalah Pulau Lainnya (-0.28%), Sumatera (-0.14%), dan Jaw-Bali (-0.1 I%), sementara Sulawesi meningkat (0.02%). Kecuali Pulau Sulawesi, Indeks kemiskinan menurun baik Headcount Index (PO), Poverty Gap Index (PI), maupun Square Poverty Gap Index (P2).
Tabel 36. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Daerah (Yo)
I
VARZABEL
Kawasan Barat Indc lesia
Kawasan Timur Ind. 1 i,AIN 1 KT1
S U M JW-BL KAL KBI SUL Indeks Gini Headcount Index (PO) Poverty Gap Index (P1) Square Poverty Gap Index (P2)
-0.14 -0.25 -0.32 -0.52
-0.11 -0.39 -0.51 -0.80
Rataan Nasional
-0.32 -0.47 -0.54 -0.82
Secara nasional penurunan ketiga indeks kemiskinan tersebut adalah berturutturut -0.18 persen, -0.21 persen, dan -0.29 persen. Pulau yang mengalami penurunan indeks kemiskinan terbesar adalah Pulau Jawa-Bali dengan besaran penurunan untuk
PO, PI, dan P2 berturut-turut sebesar -0.33 persen, -0.51 persen, dan -0.80 persen. Selengkapnya penurunan Indeks kernislunan Pulau Kalirnantan, Sumatera, Sulawesi, dan Lainnya dapat dilihat pada Tabel 36.
8.2.6 Kom binasi Peningkatan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Dana Alokasi Umum @AU) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) secara bersarna-sama ditingkatkan masing-masing sebesar 10 persen dan 30 perser,. Sebagaimana simulasi terhadap masing-masing variabel, peningkatan DAU dan
BHPJK secara bersarna-sama juga berdampak positif terhadap kinerja fiskal daerah baik sisi penerimaan maupun pengeluaran bahkan dampaknya lebih besar. Dari sisi penerimaan meningkatnya DAU dan BHPJK ini secara nasional meningkatkan Dana Perimbangan sebesar 11.94 persen, jlka menurut kawasan terllhat peningkatan terbesar adalah KBI yaitu 12.02 persen sedangkan di KT1 meningkat 11.56 persen (lihat Tabel 37). Jika dilihat menurut pulau, di kawasan KB! peningkatan Dana Perimbangan terbesar ada di Pulau Kalimantan (15.53%), sedangkan di kawasan KBI yang terbesar adalah di Pulau Sulawesi (1 1.91%). Peningkatan penerimaan daerah akibat lneningkatnya DAU dan BHPJK ini direspon oleh pernerintah daerah dengan meningkatkan anggaran untuk pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Secara rata-rata nasional peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebh tinggi dibandingkan Pengeluaran Rutin yaitu masing-masing 10.31 persen dan 8.95 persen. Demlkian pula dillhat dari sisi
kawasan KBI dan KTI, peningkatan Pengeluaran Pembangunan lebih tinggi dibandingkan Pengeluaran Rutin. Di kawasan KBI Pengeluaran Pembangunan
meningkat sebesar 10.25 persen sedangkan Pengeluaran Rutin meningkat sebesar 8.82 persen. Untuk kawasan KT1 pengeluaran Pembangunan meningkat sebesar 10.72
persen sedangkan Pengeluaran Rutin meningkat sebesar 9.76 persen. Jika dilihat berdasarkan pulau hanya di Pulau Kalimantan yang memperlihatkan pola peningkatan seballknya yatiu Pengeluaran Pembangunan lebih kecil dari Pegeluaran Rutin. Pada Pengeluaran Pembangunan lebih rinci bisa dilihat persentare kenaikan berdasarkan sektor-sektor yang dianggap pro kemiskinan (lihat Tabel 37). Secara
rata-rata nasional peningkatan tertinggi A l a h pada Pengeluaran Sektor Pendidikan
dan Kesehatan sebesar 11.86 persen dan peningkatan terendah adalah untuk pengeluaran Sektor Penunahan dan Kesejahteraan sebesar 9.68 persen, sementara Pengeluaran Sektor Pertanian mempakan m t a n kedua dengan peningkatan sebesar 11.27 persen, dan urutan ketiga adalah Pengeluaran Sektor Lainnya yang meningkat sebesar 9.87 persen. Dilihat dari sisi kawasan untuk KBI maupun KT1 memiliki pola yang sama dirnana mtuk KBI Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan adalah sebesar 7.48 persen dan untuk KT1 adalah sebesar 9.68 persen, dimtan kedua yaitu
Pengeluaran Sektor Pertanian di KBI dan KT1 masing-masing meningkat sebesar 1 1.10 persen dan 12.37 persen. Sedangkan Fengeluaran sektor Perumahan dan Kesejahteraan yang merupakan peningkatan terendah, di KBI dan KT1 masingmasing meningkat sebesar 9.74 persen dan 9.28 persen. Jika dilihat berdasarkan pulau pola peningkatan relatif sama dengan rata-rata nasional, KBI dan KTI, hanya Pulau Kalimantan yang menunjukkan perbedaan dirnana peningkatan tertinggi ada pada Sektor Pertanian yaitu sebesar 17.03 persen, dllkuti pengeluaran Sektor Pendidikan
dan Kesehatan sebesar 15.63 persen, Sektor Perumahan clan kesejahteraan sebesar 14.05 persen, dan yang terkecil Pengeluaran Sektor Lainnya sebesar 10.59 persen.
Tabel 37. Hasil Sirnulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah VARIABEL
Pajak Daerah Pendptn Asli Daerah Bagi Hasil Pajak dan SDA Kapasitas Fiskal Dana Alokasi Umum Dana Perimbangan Pglrn. Sekt. Pertanian Pglm. Sekt. Pendidikan dan keshtn Pglm. Sekt. Permhn dan Kesjhtrn Pglm. Sekt. Lainnya Total Pglm. Pembangunan Total Pglm. Rutin Total Pglm. Pemerintah
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1
9.67 6.67 30.00 17.50 10.00 13.40 10.37
3.45 2.50 30.00 7.99 10.00 10.64 10.88
14.59 9.05 30.00 22.14 10.00 15.53 17.03
5.27 4.73 3.72 2.58 30.00 30.00 12.48 14.17 10.00 10.00 12.02 11.91 11.10 13.14
23.07 12.11 30.00 20.32 10.00 9.76 9.05
13.82 7.69 30.00 20.09 10.00 11.56 12.37
11.68
11.12
15.63
11.71
15.55
9.60
12.81
10.00 10.23 10.49 11.54 11.10
8.97 9.56 9.90 6.76 7.82
14.05 9.74 10.59 9.82 11.92 10.25 14.17 8.82 13.18 9.36
10.95 10.17 11.24 8.91 9.70
7.29 9.04 9.02 8.89 8.94
9.28 10.16 10.72 9.76 10.12
Dengan meningkatnya pengeluaran pemerintah baik Pengeluaran Pembangunan maupun Pengeluaran Rutin akibat peningkatan DAU dan BHPJK, selanjutnya berdampak positif pa& kinerja perekonomian daerah. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai Konsumsi Rumah Tangga, Konsumsi Swasta, Konsumsi Pemerintah, Investasi, Ekspor dan Impor (lihat Tabel 38). Konsumsi Rumah Tangga secara rata-rata nasional meningkat 1.48 persen, peningkatan terbesar adaIah di kawasan KT1 yaitu sebesar 2.93 persen sementara KBI adalah sebesar 1.37 persen. Dilihat dari pulau, Pulau Lainnya seperti NTT, Papua, dan Maluku meningkat paling tinggi yaitu 4.83 persen, selanjutnya diikuti yang Iebih rendah berturut-turut adalah
Kalimantan (3.63%), Sumatera (2.24%), Sulawesi (1.33%), dan yang paling rendah Jawa-Bali (0.84%). Konsumsi Swasta secara rata-rata nasional meningkat 0.48 persen dimana untuk KBI meningkat sebesar 0.45 persen dan KT1 meningkat sebesar 0.80 persen. Peningkatan terbesar ada di Pulau Lainnya yaitu sebesar 1.76 persen dan yang terkecil di Pulau Sulawesi sebesar 0.20 persen, sementara Kalimantan7Sumatera, dan Jawa-Bali masing-masing 0.90 persen, 0.78 persen, dan 0.28 persen. Konsurnsi Pemerintah mengalami peningkatan paling tinggi yaitu 5.59 persen, di KT1 peningkatannya mencapai 5.78 persen sedangkan di KBI 5.56 persen. Peningkatan Konsumsi Pemerintah berdasarkan Pulau dari yang paling tinggi berturut-turut adalah Pulau Kalimantan (8.53%), Sumatera (6.83%), Lainnya (6.12%), Sulawesi (4.8I%), dan Jam-Bali (4.44%). Tabel 38. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ('?
Konsumsi RT Konsumsi Swasta Konsumsi RT dan Swasta Konsumsi Pem~rintah Investasi Ekspor
/Impor
Kawasan Timur Ind. SUL LAIN KT1 1.33 4.83 2.93 0.20 1.76 0.80
Kawasan Barat lndonesia SUM JW-BL KAL KBI 2.24 0.84 3.63 1.37 0.78 0.28 0.90 0.45
VARIABEL
2.22 6.83 0.43 12.88 1.21
I
(
0.84 4.44 0.83 1.14 0.35
1
3.58 8.53 0.34 2.14 1.07
/
1.36 5.56 0.66 1.70 0.58
1
1.31 4.81 -0.88 1.97 0.90
/
4.78 6.12 0.72 6.95 1.92
/
2.89 5.78 0.15 4.89 1.46
Rataan Nasional 1.48 0.48
/
1.46 5.59 0.63 1.86 0.64
Investasi juga mengalami peningkatan namun relatif kecil secara rata-rata nasional adalah 0.63 persen, untuk kawasan KBI meningkat sebesar 0.66 persen. Sementara untuk kawasan KBI peningkatannya sebesar 0.54 persen, peningkatan
terbesar ada di Pulau Jawa-Bali sebesar 0.83 persen sedangkan Sumatera dan Kalimantan masing-masing adalah 0.43 persen dan 0.34 persen. Terllhat bahwa Jawa dan Bali masih mempunyai daya tarik untuk berinvestasi, ha1 ini terlihat dari nilai peningkatan Investasi pulau ini dibanding pulau-pulau lainnya. Nilai Impor k u t meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat yaitu sebesar 0.64 persen namun peningkatan ini masih lebih kecil dari peningkatan Ekspor. Demikian pula yang terjadi menurut kawasan maupun pulau-pulau besar, semuanya memperlihatkan peningkatan impor yang lebih rendah dari peningkatan ekspor. Hal ini menunjukka2 sinyal positif bagi daerah karena net ekspor masih bernilai positif. Dampak positif terhadap perekonomian direpresentaskan oleh peningkatan nilai PDRB dimana akibat peningkatan DAU dan BHPJK ini secara rata-rata nasional PDRB meningkat 2.16 persen dimana secara kawasan KBI masih menunjukkan peningkatan lebih tinggi yaitu 2.03 persen sementara KT1 3.89 persen. Di kawasan KT1 pulau yang pengalami peningkatan PDRB paling tinggi adalah Pulau Lainnya 5.90 persen, sedangkar~untuk kawasan KBI yang mengalami peningkatan tertinggi adalah Pulau Kalimantan sebesar 3.19 persen. Distribusi pendapatan semakin merata dan tingkat kerniskinan semakin rendah dengan semakin membaiknya perekonomian, ha1 ini ditandai dengan penurunan nilai Indeks Gini dan indeks kemislunan. Secara rata-rata nasional Indeks Gini menurun 0.23 persen dimana KBI sebesar -0.23 persen dan KT1 sebesar -0.24 persen ( l h t Tabel 39). Di KBI Pulau yang mengalarni penurunan Indeks Gini terbesar adalah Pulau Kalimantan sebesar -0.39 persen, sedangkan untuk kawasan KT1 yang terbesar adalah Pulau Lainnya sebesar -0.34 persen.
Indeks kerniskinan menurun baik Headcount Index (PO), Poverty Gap Index (PI), maupun Square Poverty Gap Index (P2). Secara nasional penurunan ketiga indeks kerniskinan tersebut adalah berturut-turut -2.78 persen, -3.16 persen, dan 4.45 persen. Headcount Indes (PO) untuk KBI maupun KT1 masing-masing sebesar -
2.8 1 persen dan -2.73 persen. Untuk kawasan KBI penurunan tertinggi ada di Pulau Kalimantan sebesar -4.33 persen, sementara Pulau Sumatera dan Jawa-Bali masingmasing menurun -3.00 persn dan -2.28 persen. Untuk kawasan KT1 p e n m a n terbesar ada di Pulau Sulawesi yaitu sebesar -2.93 persen. Tabel 39. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peninglcatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK Sebesar 30 persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah (%l ., VARIABEL
Indeks Gini Headcount Index (PO) Poverty Gap Index (P 1) Square Poverty Gap Index (P2)
Kawasan Barat Indonesia SUM JW-BL KAL KBI -0.18 -0.39-0.23 -0.21 -3.00 -2.28 -4.83 -2.81 -3.89 -2.99 -5.55 -3.47 -4.71 -8.43 -5.36 -6.22
Kawasan Timur Ind. Rataan SUL LAIN KT1 Nasional -0.08 -0.34 -0.24 -0.23 -2.93 -1.94 -2.73 -2.78 -3.52 -1.76 -2.62 -3.16 -5.08 -2.14 -3.21 -4.45
8 3 Rekapitulasi Dampak Desentralisasi Fiskal
Secara garis besar dampak desentralisasi fiskal dapat dijelaskan berdasarkan
dua sisi kebijakan yaitu : (1) sisi pengeluaran dan (2) sisi penerimaan. Pada sisi pengeluaran dapat dilihat darnpak peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (EPERT), Pengeluaran Pembangunan Sektor Pendidikan dan Kesehatan (EPDDK), dan Pengeluaran Pembangunan Sektor Perumahan dan Kesejahtem (EPRMH) terhadap kinerja ekonomi, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan.
(EPRMH) terhadap kinerja ekonomi, dstribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa yang memberikan dampak positif paling tinggi terhadap kinerja ekonomi baik secara rata-rata nasional maupun di masingmasing pulau besar adalah EPERT kemudian diikuti EPRMH dan selanjutnya
EPDDK.
Secara rata-rata nasional dampak peningkatan EPERT, EPRMH, dan
EPDDK terhadap tingkat perubahan PDRB berturut-turut adalah 2.64 persen, 2.3 1 persen, dan 1.36 persen (lihat Tabel 40). Dampak pengeluaran pembangunan terhadap kinerja ekonomi diikuti oleh dampak terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Seperti halnya terhadap PDRB, EPERT memberikan dampak paling besar terhadap p e n m a n Indeks Gini dan indeks kemiskinan diikuti EPRMH dan EPDDK. Akibat peningkatan EPERT, secara rata-rata nasional Indeks Gini menurun sebesar -0.18 persen, indeks kemisikinan PO, PI, dan P2 berturut-turut m e n m sebesar -0.38 persen, -0.43 persen, dan -0.61 persen. Temyata dari sisi pengeluaran, Sektor Pertanian merupakan sektor yang memberikan dampak paling besar dalam menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan juga p e n m a n tingkat kemiskinan. Sektor selanjutnya adalah Sektor Perurnahan dan Kesejahteraan dan terakhir adalah Sektor Penddikan dan Kesehatan. Disini Sektor Pendidikan dan Kesehatan memberikan dampak paling kecil &ban&ngkan dua sektor lainnya, ha1 ini dikarenakan sektor ini tidak memberikan dampak langsung akan tetapi dampaknya jangka panjang. Pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas surnberdaya manusia di masa yang akan datang sehingga pada akhimya dapat mengeluarkan masyarakat dari jeratan kemiskinan.
Tabel 40. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT, EPDDK, dan EPRMH Terhadap Kinexja Ekonomi Daerah, Distribusi Pendapatan, dan Tingkat Kemislunan Variabel
Nasional PDRB (Milyar Rp.) Indeks Gini Headcount Index, PO (%) Poverty Gap Index, PI(%) Squares Poverty Gap Index, P2 (%) Sumatera PDRB (M~lyarRp.) Indeks Gini Headcount Index, PO (%) Poverty Gap Index, PI(%) Squares Poverty Gap Index, P2 (%) Jawa-Bali PDRB (h4ilyar Rp.) Indeks Gini Headcount Index, PO (%) Poverty Gap Index, PI (%) Squares Poverty Gap Index, P2 (%) Kalimantan PDRB (Milyar Rp.) Indeks Gini Headcount Index, PO (%) Poverty Gap Index, P 1 (%) Squares Poverty Gap Index, P2 (%) Sulawesi PDRB (Milyar Rp.) Indeks Gini Headcount Index, PO (Oh) Poverty Gap Index, P 1 (%) Squares Poverty Gap Index, P2 (%) Lainnya PDRB (Milyar Rp.) Indeks Gini Headcount Index, PO (Oh) Poverty Gap Index, PI(%) Squares Poverty Gap Index, P2 (%)
Nilai Dasar
EPERT
Skenario EPDDK
16 033 0.2857 21.35 4.15 1.29
2.64 -0.18 -0.38 -0.43 -0.61
1.36 -0.12 -0.23 -0.27 -0.38
2.3 1 -0.16 -0.34 -0.39 -0.55
11 494 0.2678 18.95 3.22 0.88
3.90 -0.17 -0.41 -0.53 -0.85
2.02 -0.10 -0.23 -0.29 -0.47
3.14 -0.15 -0.34 -0.44 -0.70
41 237 0.3066 16.23 2.73 0.76
1.55 -0.12 -0.45 -0.58 -0.92
0.71 -0.08 -0.32 -0.42 -0.67
1.45 -0.12 -0.47 -0.62 -0.97
10 161 0.2826 16.02 3.07 0.89
3.38 -0.27 -0.72 -0.82 -1.25
2.12 -0.19 -0.47 -0.54 -0.81
3.01 -0.24 -0.61 -0.70 -1.07
4 513 0.2851
2.73 -0.03
0.58 0.02
1.97 -0.01
22.39
0.00
0.10
0.05
4.12 1.25
0.00 0 00
0.11 0.17
0.06 0.09
4 699 0.2935 38.13 9.23 3.34
9.10 -0.34 -0.40 -0.36 -0.44
5.74 -0.25 -0.28 -0.26 -0.3 1
8.46 -0.33 -0.38 -0.35 -0.42
EPRMH
Oleh karena itu Sektor Pendidikan dan Kesehatan tetap harm menjadi prioritas pembangunan daerah dalam rangka program penanggulangan kemishnan jangka panjang. Pada sisi penerimaan dapat dilihat dampak peningkatan DAU, BHPJK, atau keduanya terhadap kinerja ekonomi, distribusi pendapatan, dan tingkat kemishnan. Dampak peningkatan DAU terhadap Kinerja ekonomi yang direpresentasikan oleh PDRB secara rata-rata nasional meningkat 1.59 persea, sedangkan akibat peningkatan BHPJK meningkat sebesar 1.37 persen (lihat Tabel 4 1). Terlihat bahwa secara nasional dampak DAU terhadap kinerja ekonomi lebih tinggi dibandingkan BHPJK. Namun jika dilihat berdasarkan pulau terlihat nilainya cukup bervariasi. Dampak positif DAU terhadap kinerja ekonomi lebih tinggi dibandingkan BHPJK hanya terjadi di Pulau Jzwa-Bali dan Sulawesi. Sementara itu ha1 sebaliknya untuk Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Lainnya (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) dimana BHPJK memberi darnpak positif lebih tinggi dibandingkan DAU. Tabel 4 1. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU, BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah
Variabel Nasional Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Lainnya
Nilai Dasar (Milya.) 16 033 11 494 41 237 10 161 4 513 4 699
DAU
Skenario (%) BHPJK
DAUBHPJK
1.59 2.13 1.15 1.96 0.82 4.69
1.37 2.49 0.91 3.04 0.24 5.53
2.16 2.83 1.49 3.19 1.74 5.90
Sebagaimana kita ketahui pulau-pulau seperti Sumatera, Kalimantan, dan Lainnya (terutama Papua) memiliki sumberdaya alam yang sangat besar, oleh karena itu dari hasil simulasi ini nampak bahwa BHPJK terbukti sangat membantu
pertumbuhan ekonomi bagi daerah dimana sumber daya alam tersebut dihasilkan. Sementara untuk Pulau Jawa-Bali dan Sulawesi yang tidak memiliki sumberdaya alam cukup besar justru DAU yang memberikan dampak relatif besar terhadap kinerja ekonomi. Hal ini sesuai dengan tujuan kebijakan transfer dimana DAU diperuntukkan memberi pemerataan antar daerah dengan memberikan subsidi yang lebih besar bagi daerah yang tidak memiliki potensi daerah yang besar. Meningkatnya DAU, BHPJK, dan atau sekaligus keduanya menyebabkan penurunan Indeks Gini, artinya distribusi pendapatan s e w merata. S e m ratarata nasional meningkatnya DAU yang diikuti meningkatnya BHPJK menyebabkan Indeks Gini menurun -0.23 persen (lihat Tabel 42). Persentase perubahan Indeks Gini jika dilihat berdasarkan pulau secara berurutan dari yang mengalami penurunan paling tinggi adalah Pulau Kalimantan (-0.39%), Pulau Lainnya (-0.34%), Pulau Sumatera (-0.2 1%), Pulau Jawa-Bali (-0.18%), dan Pulau Sulawesi (-0.08%). Tabel 42. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU, BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Distribusi Pendapatan
DAU
Skenario (%) BHPJK
DAU + BHPJK
-0.17 -0.15 -0.15 -0.23 -0.05 -0.27
-0.14 -0.14 -0.11 -0.32 0.02 -0.28
-0.23 -0.21 -0.18 -0.39 -0.08 -0.34
Nilai Variabel Nasional Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Lainnya
Dasar 0.2857 0.2678 0.3066 0.2826 0.285 1 0.2935
Teori Kunets mengenai distribusi pendapatan mengatakan bahwa terdapat hubungan antara distribusi pendapatan dengan tingkat pendapatan. Secara ringkas,
teori tersebut menyatakan bahwa ketidakmerataan akan semakin meningkat pada saat
pndapatan masyarakat masih rendah, serta pada tingkat pendapatan tertentu ketidakmerataan akan semakm menurun. Maka kerangka teori Kuznets tentang hubungan ketidakrnerataan dan pendapatan masyarakat dapat ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini:
Koetisien A Gini
b
PDRB per Kapita
Gambar 7. Distribusi Pendapatan Kuznets
Dengan menghitung rata-rata PDRB perkapita di setiap pulau-pulau besar sebagai pendugaan terhadap tingkat pendapatan masyarakat maka dapat dillhat bahwa h i 1 penelitian ini mengikuti teori Kuznets tersebut (lihat Tabel 43). Terllhat PDRB perkapita yang relatif tinggi adalah Pulau Papua dan Pulau Kalimantan diikuti secara berturut-turut Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, dan paling kecil adalah Pulau Sulawesi. Oleh karena itu p e n m a n Indeks Gini cukup tinggi adalah di Pulau Kalimantan dan Pulau Laimya (khususnya Papua), sedangkan yang terendah adalah di Pulau Sulawesi. Semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita semakin besar p e n m a n Indeks Gini.
Meningkatnya DAU dan BHPJK juga menyebakan menurunnya Indeks Kemiskinan. DAU memberikan dampak penurunan yang lebih besar terhadap Indeks Kemiskinan dibandingkan BHPJK baik secara rata-rata nasional maupun berdasarkan pulau-pulau besar. DAU didisain untuk menutupi kebutuhan belanja daerah yang diantaranya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu semakin besar DAU haruslah lebih mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat terutama yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga taraf hldupnya meningkat dan tingkat kerniskinan menurun. Tabel 43. PDRB per Kapita Menurut Pulau-pulau Besar di Indonesia, Tahun 1999 - 2003 (000 Rp)
Sumber: PDRB Provinsi, BPS. Tahun 1999-2004.
IX.KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
Kesimpulan
Hasil dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. a. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi leblh menguntungkan kelompok
masyarakat ekonomi atas. b. Pada saat h s i s semua kelompok mengalami keterpurukan, terutama 10 persen kelompok termiskin dan 10 persen kelompok terkaya. c. Setelah krisis dan menjelang desentralisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai membaik dan disertai program-program jaring pengaman sosial memberikan keuntungan pada kelompok masyarakat pendapatan rendah. d. Setelah desentralisasi fiskal, kebijakan ekonomi pada awalnya terlihat jelas leblh menguntungkan kelompok masyarakat ekonomi atas, narnun pada tahun berikutnya sudah terlihat adanya indikasi mulai menguntungkan kelompok masyarakat ekonomi bawah 2. a. Terdapat beberapa variabel yang mengalami perubahan dm tahun 1999 ke
tahun 2002, salah satunya adalah transportasi melalui darat, dimana untuk tahun 1999 daerah yang teransportasi utamanya melalui darat dapat mengurangi peluang penduduknya menjadi miskin, namun di tahun 2002 justru dapat menarnbah peluang miskin. Hal ini membuktikan bahwa setelah desentralisasi fiskal belurn terlihat adanya perbaikan dalam infrastruktur, terutarna jalan.
b. Pada faktor karakteristik rumah tangga dan individu, sumberdaya manusia
merupakan variabel penting terutama dalam ha1 pendidikan dan jenis pekerjaan. Bidang usaha pertanian merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian karena lebih beresiko tergolong kelompok miskin. c. Faktor komunitas infrastruktur juga menjadi penting, dalarn ha1 ini diantaranya adalah irigasi pertanian, akses listrik, dan jalan utarna yang bisa dilalui kendaraan bermotor. d. Dari analisis determinan ini diperoleh kesimpulan bahwa sektor-szktor yang bersentuhan dengan masyarakat ekonomi bawah atau masyarakat miskin adalah Sektor Pertanian, Pendidlkan, Kesehatan, Perurnahan, dan I n f i w . 3. a. Desentralisasi fiskal memiliki arah positif dengan kinerja fiskal dan
perekonomian, artinya desentralisasi fiskal meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian. Desentralisasi fiskal memiliki arah negatif terhadap distribusi pendapatan, tetapi secara statistik pengaruhnya tidak nyata. Hal ini mengandung arti bahwa desentralisasi fiskal menyebabkan distribusi pendapatan seinakin merata namun ini baru sebatas indrkasi karena belum terbukti nyata. Sementara itu desentralisasi fiskal memilki arah negatif terhadap Indeks Kemiskinan dengan pengaruh yang nyata. Menurunnya Indeks Kerniskinan mengandung arti semakin kecil tingkat kerniskinan seperti menurunnya persentase jumlah orang m i s h semakin kecilnya gap antara ratarata pendapatan penduduk rniskin dan garis kerniskinan, serta semakin kecilnya variasi pendapatan diantara penduduk miskin. Perubahan Indeks Kemiskinan
ini diperlihatkan oleh variabel-variabel Headcount Index (PO), Poverty Gap Index (PI), dan Square Poverty Gap Index (P2). b. Hasil simulasi model pada sisi pengeluaran pemerintah, menunjukkan beberap infomasi menarik. Peningkatan tiga jenis pengeluaran pemerintah yaitu pada Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan dan Kesehatan, serta Sektor Perurnahan
dan Kesejahteraan, berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan, dan p e n m a n tingkat kerniskinan. Dari ketiga pengeluaran pemerintah unfuk sektor pengeluaran tersebut, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk Sektor Pertanian adalah yang memberikan pengaruh paling besar. Hal ini dimungkinkan karena sektor pertanian niemiliki linkages (keterkaitan) yang besar terhadap sektor lain baik di bagian hulu maupun bagian hilir. Pada bagian hulk sektor pertanian dapat menyerap tenaga kerja yang bznyak. Pada bagian hilir, hasil pertanian banyak dipergunakan sebagai input antara diberbagai macam industri. Pengeluaran pemerintah untuk Sektor Pendidikan dan Kesehatan adalah yang paling kecil pengaruhnya. Hal ini dikarenakan pendidikan dan kesehatan hanya bisa dirasakan pengaruhnya pada jangka panjang. Pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan sumbardaya manusia di masa yang akan datang, yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan rnelepaskannya dar~jeratan kemislunan.
c. Berdasarkan hasil simulasi dari model pada sisi peningkatan penerirnaan daerah, diperoleh informasi yang menarik. Peningkatan penerirnaan daerah untuk Dana AIokasi Umum (DAU) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan kinerja ekonomi. Pada
kinerja fiskal, kenaikan BHPJK secara rata-rata nasional maupun berdasarkan pulau-pulau besar meningkatkan Pengeluaran Pembangunan dan Pengeluaran Rutin, dimana secara proporsi Pengeluaran Pembangunan relatif lebih tinggi dibandingkan Pengeluaran Rutin. Hal ini berbeda dengan DAU dimana secara proporsi, Pengeluaran Rutin Iebih tinggi
dibandingkan Pengeluaran
Pembangunan seperti yang terlihat di Pulau Sumatera, Pulau Kalkantan, dan Pulau Lainnya (NTT, Maluku, dan Papua). Pada Pengeluaran Pembangunan sendiri, Pengeluaran Sektor Pendidlkan dan Kesehatan mengalami proporsi peningkatan paling tinggi, diikuti Sektor Pertanian, Selctor Lain-lain, dan yang paling rendah Sektor Perurnahan dan Kesejahteraan. Pada kinerja ekonomi, di Pulau Jawa-Bali dan Sulawsi dampak DAU lebih besar dibandingkan BHPJK. Sedangkan di tiga pulau besar lainnya, dampak BHPJK lebih besar dari DAU. Sebagaimana dlketahui Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, dan Pulau Lainnya (khususnya Papua) adalah pulau-pulau yang memiliki sumber daya alam yang relatif besar, sehingga untuk ketiga pulau ini Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak lebih efektif dibandingkan Dana Alokasi Umum.
9.2
Saran
1.
Kebijakan ekonomi era
desentralisasi fiskal berpotensi membenkan
perturnbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat ekonomi atas. Hal ini dikarenakan dalam era desentralisasi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran hams memasukkan suara dari kepentingan masyarakat daerah yang pada urnurnnya
masih tergolong masyarakat ekonomi bawah. Mekanisme yang hams dilaksanakan adalah sistem 'Perencanaan Anggaran Partisipatif. Hal ini sejalan dengan rekomendasi yang dikemukakan oleh Riyanto dan Siregar (2005). Selama ini sudah sering dikemukakan dan dilakukan perencanaan partisipatif, namun secara riil proses ini maslh belurn mempresentasikan tingkat partisipasi masyasakat. Oleh karena itu agar sistem ini bisa berjalan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) perlu melakukan dialog dan konsultasi dengan berbagai kelompok nmyarakat, terutarna kelompok masyarakat rniskin. Bekerjasama dengan lembaga-lembaga independen atau universitas dalarn rangka memfasilitasi agar proses perencanaan anggaran yang partisipatif ini berjalan dengan balk dan terjadi kontrol yang efektif. Dengan demikian masyarakat ekonomi b a d terutama masyarakat yang tergolong rniskin di daerah lebih bisa merasakan manfaat dari kebijakan ekonomi yang disusun
pemerintah
daerah
karena
mempertirnbangkan
parbsipasi
masyarakatnya. 2.
Pos anggaran untuk pengeluaran yang sangat erat kaitanya dengan kemislunan atau menjadi faktor penentu (determinan) solusi penanggulangan kerniskinan adalah Sektor Pertanian, Sektor Pendidkan, Sektor Kesehatan, Sektor Perurnahan dan Kesejahteraan Keluarga, serta Infrastrutur. Banyaknya pos anggaran pengeluaran yang begitu banyak h m dibenahr menjadi perrnasalah tersendiri bagi pemerintah daerah mengingat terbatasnya pemerimaan. Hal yang bisa dilakukan adalah membuat prioritas pembangunan jangka pendek dan jangka panjang.
3.
Dalam jangka pendek, prioritas utama adalah Sektor Pertanian karena terbukti efektif meningkatkan kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan, dan pengurangan tingkat kerniskinan. Pemerintah daerah hams meningkatkan anggaran Sektor Pertanian diantaranya untuk pengembangan teknologi pertanian, program pelatihan untuk meningkatkan sumberdaya petani, program kredit lunak usaha tani, program pendampingan, dan membuka kemudahan terhadap akses pasar melalui penghapusan retribusi dan atau pembukaan lahan untuk dijadikan p a r - p a r sentra produk pedesaan.
4.
Dalam jangka panjang, prioritas utama adalah pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan. Pemerintah daerah harus meningkatkan anggaran Sektor Pendidikan secara bertahap hingga mencapai minimal 20 persen dari total anggaran seperti yang diamanahkan undang-undang. Anggaran ini dipenmtukan bagi peningkatan kesejahteraan guru, biaya operasional sekolah terkait kegiatan belajar mengajar diantaranya seperti pengadaan buku pelajaran dan alat peraga, serta pembebasan biaya spp bagi siswa. Pada bidang kesehatan peningkatan anggaran diperlukan untuk program peningkatan kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskm, program penyuluhan rnisalnya sosialisasi gerakan 'Keberslhan adalah Sebagian dari Iman' atau ' Menjaga Kebersihan Rumah Berarti Menjaga Kesehatan Keluarga', dan lainlain.
5.
Anggaran bagi Infrastruktur juga hams ditingkatkan, infiastruktur harus menjadi komplemen untuk mencapai kedua tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Infrastruktur yang perlu dipnoritaskan di daerah adalah pembangunan
dan perbaikan irigasi, jalan, serta pembangunan jaringan listrik PLN hingga daerah terisolir. 6.
Pembagian DAU yang selama ini dilakukan pemerintah pusat salah satunya mempertimbangkan tingkat kemiskinan di daerah, untuk masa yang akan datang perlu dipertimbangkan bahwa bobot tingkat kemiskinan dalam pembagian DAU lebih ditingkatkan, namun dengan suatu persyaratan yang diatur dalam undang-undang bahwa penggunaannya hams bisa diarahkan dalam pemerataan distribusi pendapatan khususnya bagi peningkatan kesejahterxin masyarakat miskin. Dalam menjamin terlaksananya kebijakan ini perlu adanya le~nbagaindependen yang mengontrol dan mengevaluasi kebijakan ekonomi pemerintah daerah tersebut. Hasil evaluasi ini akan digunakan untuk membuat suatu peringkat daerah kabupatenlkota berdasarkan keberhasilannya dalam penanggulangan kemiskinan yang diumumkan kepada publik setiap tahun. Pada era demokrasi saat ini dimana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, metode ini diharapkan bisa mernacu setiap pemerintah daerah berlomba-lomba membuat kebijakan pcpuler ini di mata publik, sehrngga mereka (para kepala pemerintah daerah) bisa dipertimbangkan kembali oleh masyarakatnya agar terpiIih kembali pada masa pemerintahan yang akan ciatang.
7.
Sebagai kalangan akademisi, proses desentralisasi fiskal hams terus dievaluasi. Studi ini merupakan salah satu sumbangan untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang selarna tiga tahun telah menjalankan desentralisasi fiskal. Studi lain untuk memperdalam temuan dalam studi ini perlu dilakukan dimasa yang akan datang, terutama jika kajian dilengkapi dengan studi
lapangan baik dengan cara observasi maupun wawancara. Pengaruh infrastruktur dan komunitas lain terhadap kemiskinan yang tidak terlalu banyak dibahas dalam penelitian ini akan menjadi topik menarik jika penelitian dilakukan dengan metode survey.
DAFTAR PUSTAKA
Bardan, P. and D. Mookhorjee. 2000. Decentralizing Anti Poverty Program Delivery In Developing Countries. Workingpaper . Univertisity of California, Berkley. Bidani, B. and M. Ravallion. 1993. A Regional Proverty Profile for Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 29(3) : 37-68. Badan Pusat Statistik. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan. Badan Pusat Statistlk, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2004. Data dan Informasi Kemiskinan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Brojonegoro, B., A. Hendranata dan Riatu. 200 1. Model Ekonometrika Desentralisi: Analisis Darnpak Alokasi SDA dan DAU terhadap Pemerataan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Davey, K. J. 2000. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Fozzard, A.M. Holmes, J. Klugman and K. Withen. 2001. Public Spending for Poverty Reduction. The World Bank, Washington DC. Friedman, J. 2002. How Responsive is Poverty Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality, and Growth in Indonesia, 1984-1999. The World Bank, Washington DC. Gaspersz, V. 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. TARSITO, Bandung. Greene, W. 2000. Economic Analysis, Fourth Edition. Practice Hall, New York. Hyun Hwa Son. 2003. A Note on Meassuring Pro-Poor Growth. The World Bank, Washington DC.
Ikhsan, M. 1999. The Disaggregation of Indonesian Poverty : Policy and analysis. PbD. Dissertation. University of Illinois, Urbana. Jasmina, T., A. Bayhaqi, L. Trialdi dan Usman. 2001. Analisa Peringkat Penanggulangan Kemiskinan KabupatenKota. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 49 (4) : 423-45 1 .
Kakwani, N. 1993. Poverty and Economic Agrowth with Application to Cote D'Ivoire. Review of Income and Wealth Series, 39(2). Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of Econometric Methods. Fourth Edition. Harper and Row Publisher, London. LPEM. 2002. Desentralisasi Fiskal dan Implikasinya Terhadap Perbankan. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. LPEM. 2002. Studi Terhadap Status dan Kebutuhan Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Studi Kasus Sumatera Utara). Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Lembaga Penyelidikan Ekbnorni dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. LPEM. 2002. Studi Terhadap Status dan Kebutuhan Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasi Desentraiisasi dan Otonomi Daerah (Studi Kasus Jawa Tengah). Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyamkat, Universitas Indonesia, Jakarta. LPEM. 2002. Studi Terhadap Status dan Kebutuhan Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Studi Kasus Kalimantan Barat). Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. LPEM. 2002. Studi Terhadap Status dan Kebutuhan Pemerintah Daerah dalarn Mengimplementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Studi Kasus Sulawesi Selatan). Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. LPEM. 2002. Studi Terhadap Status dan Kebutuhan Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Studi Kasus Nusa Tenggara Timur). Laporan Penelitian (tidak dipublikcikan). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Mahi, R. B. dan Adriansyah, 2002. Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah. Working Paper. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Mankiw, G. N. 2000. Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Pubblisher, Inc., New York. McCullock, N. and B. Suharnoko. 2003. Desentralization and Poverty in Indonesia. WorkingPaper. World Bank Office, Jakarta. Pakasi, C. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Kabupaten
dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pardede, R. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor (tidak dipubldcasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rao, M. G. and N. Singh. 1998. Intergovernmental Transfers: Rationale, Design and Indian Experience. Research School of Pasific and Asian Studies, Australian National University. Canberra. Ranis, G. dan F. Stewart. 1994. Decentralization In Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 30 (3) : 4 1-72. Ravallion, M. and B. Bidani. 1994. How Rabust Is a Poverty Profile?. The World Bank Economic Review, 8 (1) : 75-102. The Bank, Washington, D.C. Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia. Tesis Magister Sains (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. kyanto, dan H. Siregar. 2005. Dampak Dana Perimbangan Terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antanvilayah. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 1 (1) : 3758. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Saefudin. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Kelembagaan di Provinsi Riau. Tesis Magister Sains (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian. Tesis Magister Sains (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sirnanjuntak, R. 2001. Impleme~tasiDesentralisasi Fiskal : Problema, Prospek, dan Kebijakan. Working Paper. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Simanjuntak, R. 2001. Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal dan Optimalisasi Potensi - PAD. Working Paper. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, . Universitas Indonesia, Jakarta. .
Stiglitz, J. E. 2000. Econometrics of The Publlk Sector. Third Edition. W. W. Norton & Company, New York.
Tim LPEM-PSEKP-PSP. 2004. Sintesis Hasil Penelitian : Studi Dampak Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.
Tim LPEM-PSEKP-PSP. 2004. Studi Dampak Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Infi-astruktux dm Pengentasan Kemiskinan. Laporan Penelitian. Lernbaga Penyelidikan Ekonomi dan M a s y k t , Universitas Indonesia, Jakarta.Badan Pusat Statistik. 2002. Data dan Informasi Kemislunan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modem Economics. John Wiley & Sons. Chichester. World Bank. 1993. Indonesia Public Expenditure, Price and the Poor. World Bank Report, No. 11293-IND. Walle, D. 200 1. Public Spending and The Poor : What We Know, What We Need To Know. Policy Research Departement, World Bank, Washington D.C.. World Bank Institute. 2002. Dasardasar Analisis Kemiskinan. Edisi Terjemahan. Badan Pusat Statistlk, Jakarta. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Perkmian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 . Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976-2004 Tahun 1976 1978 1981 1984 1987 1990 1993 1996
",
2002 2003 2004
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) Kota Indonesia Desa
Persentase Penduduk Miskin Kota
Desa
Indonesi
10.0 8.3 9.3 9.3 9.7 9.4 8.7 7.2
38.79 30.84 28.08 23.14 20.14 16.75 13.45 9.71 19.41 14.60 9.79 14.46 13.57 12.13
40.37 33.38 26.49 21.18 16.14 14.33 13.79 12.30 26.03 22.38 24.84 21.10 20.23 20.1 1
40.08 33.31 26.85 21.64 17.42 15.08 13.67 11.34 23.43 19.14 18.4 1 18.20 17.42 16.66
11.4
44.2 38.9 31.3 25.7 20.3 17.8 17.2 15.3
54.2 47.2 40.6 35.0 30.0 27.2 25.9 22.5
25.1 25.1 24.8
38.4 37.4 36.2
(%I
,,
':: i!'
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
Lampiran 2. Jwnlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Tahun 1999-2004 I'rovinsi
1999** Jumlah (000) 602.10 1,972.70 601.50 589.70 677.00 1,813.70 302.30 2,037.20
(%)
2000 Jumlah (,,) 595.10 1,491.80 482.50 485.60 504.90 1,338.00 249.00 2,017.80
Nangroe Aceh ~anissalarnl) 14.75 Sumatera Utara 16.74 Sumatera Barat 13.24 Riau 14.00 Jambi 26.64 Sumatera Selatan 23.53 Bmgkulu 19.79 Lampug 29.11 Bangka Belitung DKI Jakarta 379.60 3.99 416.10 Jawa Bamt 8,393.50 19.78 6,658.40 Jawa Tengah 8,755.40 28.46 6,513.61 DI Yogvakarta 789.10 26.10 1,035.80 Jawa Tirnm 10,286.30 29.47 7,845.40 Dmltcn Bali 257.80 176.80 8.53 Nusa l'cnggara I3ari1l 1,276.90 32.96 1,070.50 Nusa Tenggara Timur 1,779.00 46.73 1,425.90 Kalimantan Barat 1,016.30 26.17 1,095.00 213.70 261.80 Kalimantan Tengah 15.06 385.30 440.20 Kalinlantan Selatan 14.37 509.20 Kalimantan Tilnur 20.16 393.60 Sulawesi Utara 365.90 504.70 18.19 599.40 Sulawesi Terlgall 28.69 503.20 Sulawesi Selatan 18.32 1,198.00 1,462.00 Sulawesi Tenggara 29.51 419.20 504.90 Gorontalo2' 891.70 1,013.90 Maluku 46.14 Maluku Utara3' papua4) 54.75 970.90 1,148.70 Indonesia 23.43 38,743.71 47,974.90 Sumber: **l)iolah dari Suser~asMdul 1999, ***Diolah dari SusenasMod.ul2002 Catatan: I) Tahun 2002 Angka estimasi, karena tidak dilakukan Susenas 2) l'ahtul2002 Angka cstimasi, karer~atidak dilakukan Susenas
(%I 15.20 13.05 11.43 10.38 21.15 17.37 17.83 30.43 4.96 15.40 21.16 33.39 22.77 5.68 28.13 36.52 29.42 11.97 13.03 16.30 13.03 24.51 15.44 23.88 46.14 46.35 19.14
200 1 Jumlah (OOo) 758.60 1,359.70 643.30 491.60 480.40 1,113.80 308.50 1,674.11 127.91 247.50 5,532.30 6,856.70 767.60 7,508.30 1,424.00 248.40 1,175.51 1,317.50 728.50 215.40 357.51 349.70 213.20 530.51 1,296.30 457.50 253.00 418.80 110.10 900.80 37,867.05
(%I 19.20 11.73 15.16 10.06 19.71 16.07 21.65 24.91 13.28 3.14 15.34 22.07 24.53 21.64 17.24 7.87 30.43 33.01 19.23 11.72 11.92 14.04 10.67 25.29 16.50 25.20 29.74 34.79 14.03 41.80 18.41
2002*** Jumlah (%) (000) 1,199.90 29.83 1,883.90 15.84 4%.36 11.57 13.61 722.41 326.91 13.18 1,600.60 22.32 372.42 22.70 24.05 1,650.69 11.62 106.19 3.42 286.88 4,938.21 13.38 7,308.33 23.06 20.14 635.66 7,701.15 21.91 9.22 786.69 6.89 221.76 27.76 1,145.81 30.74 1,206.50 15.46 644.20 11.88 231.39 8.51 259.80 313.04 12.20 11.22 229.31 24.89 564.60 15.88 1,309.23 24.22 463.83 32.12 274.67 34.78 418.80 14.03 110.10 41.80 984.70 1820 38,394.04
2003 Jumlah (000) 1,254.20 1,883.60 501.10 751.30 327.30 1,397.10 344.20 1,568.00 98.20 294.10 4,899.00 6,980.00 636.80 7,578.40 855.80 246.10 1,054.80 1,166.00 583.70 207.70 259.00 328.60 191.60 509.10 1,301.80 428.40 257.70 399.90 118.80 917.00 37,339.30
-
(%)
29.76 15.89 11.24 13.52 12.74 21.54 22.69 22.63 10.06 ;.42 12.90 21.78 19.86 20.93 9.56 7.34 26.34 28.63 14.79 11.37 8.16 12.15 9.01 23.04 15.85 22.84 29.25 32.85 13.92 39.03 17.42
2004 Jumlah (%I (000) 1,157.20 28.47 1,800.10 14.93 472.40 10.46 744.40 13.12 325.10 12.45 1,379.30 20.92 345.10 22.39 1,561.70 22.22 9.07 91.80 277.10 3.18 4,654.20 12.10 6,843.80 21.11 616.20 19.14 7,312.50 20.08 779.20 8.58 6.85 231.90 1,031.60 25.38 27.86 1,152.10 558.20 13.91 10.44 194.10 7.19 231.00 318.20 11.57 8.94 192.20 486.30 21.69 14.90 1,241.50 418.40 21.90 259.10 29.01 397.60 32.13 107.80 12.42 38.69 966.80 36,146.90 16.66
3) Tahun 2002 Angka estimasi, karena tidak dilakukan Susenas 4) Tahun 2002 Angka estimasi, karena tidak dilakukan Suserlas
,
Lampiran 3. Program SAS Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999
1-' PROGRAM MENGAMBILVARIABEL-VARIABEL DARl SUSENAS DAN PODES --*I I UTK DlGUNAKAN DAIAM MODEL LOGlT KEMlSKlNAN 1999 --*I libname asd 6 0 4 'c:\database\susenas\modkorkor-1999'; libname as v8 'c:\database\susenas\rnodkorkor-1999'; libnarne dir v604 'c:\database\podesl; options obs=max ps=500 ls=240 nocenter nodate nonurnber ;
'- Mengambil beberapa variabel karakteristik RT dari ssn kor RT --; data t l ; set asd. kor99rmt; extotal=k9128; art=k2R; pcexp=extotal/art; prop=put(klrl*l,d.); kab=put(kl@l,z2.); kec=put(kl CPl.23.); des=put(klr4*l ,z3.); um=put(klr5*1 ,zl.); nks=put(klr9*1,z4.); nrt=put(klrlO*l,z2.); wpddk=wert99*a* ident;propllkabl(kecl(desl(urmllnksllnrt; 'KONDISI RT & KEPEMILIKAN PERABOTAN; if k8rl in (2' 3' '4' '5' '6') then stsrrnh=l;else stsrmh=O; if k8R in ('4' '5') then atapseng=l;else atapseitg=O; if k8R in ('6' 7')then atapijuk=l;else atapijuk=O; if k8r3 in (2' '3' '4') then dinding=l;else dinding=O; if k8r4 in ('6' 7')then lantai=l;else lantai=O; lantaicp=k86/art; i f k8r6a in ('0'5' '6' '7' '8' '9') then sbrair=l;else sbraid; if k8r9a in ('4') then rnck=l; else rnck=O; *AKSES TERHADAP ELECTRICI'P(; if k8rlO in ('3' '4' '5') then noelec=l;else noelec=O; if k8rl0 in (2') then elecnpln=l;dse elecnpln=O; 'KEPEMILIKAN ASET; if klOrl=l then temak=l; else ternak=O; lhn=KlOR4A2+KlOR4A3; if Ihn>O then Ihntani=l; else Ihntani=O;
keep prop propin kab urru urbrul ident art extotal stsrmh atapseng atapijuk dinding lantai lantaicp sbrai: rnck noelec elecnpln ternak lhntani wpddk wert99 pcexp; run; proc sort; by propin urbrul; run; 'Memasukkan GKBPS2002; data t2; set AS.gkbps1999; propin=put(prop'l ,a.); urbrul=put(urru*l,zl.); run; proc sort data=t2; by propin urbrul; run; 'Menggabungkan variabel poverty line; data trmt; merge tl(in=keyf) t2(in=key2); by propin urbrul; if keyl=key2; '-Mengisi Variabel status kerniskinan;
end; else
do; jklk=O; jkpr-0; end; keep ident yrsch hdedu usia usia2 dhdjk employ petani krjtani brhtani jartkrj jklk jkpr; run; Mengagregat data individu menjadi RT -; proc sort;by ident;run; proc means data4nd noprint; var yrsch hdedu usia usia2 dhdjk employ petani krjtani brhtani jartkrj jklkjkpr; by ident; output out=tnnt2 sum? run; proc sort;by ident;run; * Menggabungkandatadata kor data dtkor; merge trmt(in=xl) tM(in=x2); by ident; if x l d ; id=substr(ident,1.11); 'label art ='jml anggota rumah tangga' atap ='jenis atap beton, genteng, dan sirap' dindingrjenis dinding ternboK lantai ='jenis lantai terluas bukan tanah' skair='sumber air air kemasan, leding, pompa, sumur tlindung' ~~~~1istrik PLN' d2listrWlistrik non PLN' dbrang ='memili barang berharga (tv, erhiasan dll)' dlhntani='memiliki tanah pertmian' dtoko ='memiliki war~n~ltokdkedai' dbengkel='memiliki bengkel' extotal='tdal pengeiuaran per bulan' pcexp ='pengeluaran per kapita per bulan' hdedu ='pendidikan kepala rurnah tangga' dhdfarm-lap usaha kpl rt ad1 pertaniar;'dhdjk *jertis kelamin kepala ~ m a tangga' h usia ='usia kepala rumahtangga' ident -"identitas' jartkrj='jml art yang bekerja' jldk ='jml art IaMaki' jkpr ='jml art perempuan' kab ='kode kabupaten' prop ='kode provinsi' urru ='kota dan desa' misk ='I. miskin 0. bukan miskin' p c h =Sml tahun pendidikan art' wpddk ='inflate penduduk': drop -type- -kc run; proc sort, by id; run;
'Mengambil data PODES; data podes; set dir.podes99; propi=put(prop*l,z2. ); kabup=put(kab'l,d.); kecarn=put(kec*l,z3.); des=put(desael,23.); deskot=put(drh'l,zl .); id=propil(kabupllkecamlldeslldeskot;
'Akses lnfrastruktur--; if b9arla='11then jln-drt=l; else jln-dfi-0; if b9arla='2' then jln-air=l; else jln-air=O;
if b9arlb2='lathen brnotor=l; else bmotor=O; if b l lSrl='l' or bllbR='3' then Ibgkeu=l; else lbgkeu=O; if b4br13a='l' then indust-l; else indust*; if b4br17b4='7' then irig=l; else irig=O; if b4br19a>O or b4br19b>0 or b4brl9o0 or b4brl9d>O or b4br19e>0 or b4brlWO or b4br19g>0 or b4br19h>0then galian=l; else galian=O;
Geografis desa atau kelurahan-; if b3r9='11then pantai=l; else pantai=O; if b3r9='4' then dataran=l; else dataran=O; if b4br18='1' then dl-hutawl; else dl-hutan=O; if b4&18=2'then tp-hutan=l; else tp-hutan=O; keep id jln-drt j!n-air bmotor lbgkeu indust irig galian pantai dataran dl-hutan tp-hutan ; run; proc sort; by id; run; Wenggabung data kor dengan data p o d s ; data dtbase; merge dtkor(in=xl) podes(in&?); by id; a XI =XZ; run; proc logistic data=dtbase; model misk = yrsch hdedu art jartkrj ernploy lojtani brhtani lantaicp sbrair noelec lhntanijln-drt bmotor lbgkeu indust irig galian pantai dataran; weight wert99lnorm; run;
Lampiran 4. Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indgnesia Tahun 1999 The SAS System The LOGISTIC Procedure Data Set: WORK-DTBASE Response Variable: MISK Response Levels: 2 Number of Observations: 126485 Weight Variable: WERT99 Sum of Weights: 126485 Link Function: Logit Response Profile Ordered Value
MISK
Count
Total Weight
WARNING: 3319 observation(s) were deleted due to missing values for the response or explanatory variables. NOTE: Weights are normalized to the actual sample size. Model Fitting Information and Testing Global Null Hypothesis BETA=O
Criterion AIC SC -2 LOG L Score
Intercept only
Intercept and Covariates
145886.99 145896.74 145884.99
122119.30 122314.26 122079.30
Chi-square for Covariates
23805.688 with 19 DF (p=0.0001) 21364.225 with 19 DF (p=0.0001)
Analysis of Maximum Likelihood Estimates Variable INTERCPT YRSCH HDEDU ART JARTKRJ EMPLOY KRJTANI BRHTANI LANTAICP SBRAIR NOELEC LHNTANI JLN-DRT BMOTOR LBGKEU INDUST IRIG GALIAN PANTAI DATARAN
DF
Parameter Standard Estimate Error
Standardized Wald Pr > Chi-square Chi-Square Estimate
Odds Variable
Ratio
INTERCPT YRSCH
H3EDU ART
JARTICRJ EMPLOY
KRJTANI BRHTANI
LANTAICP SBRAIR NOELEC
LHNTANI JKDRT BMOTOR LBGKEU INDUST IRIG GALIAN
PANTAI DATARAN
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Concordant = 77.4% Discordant = 22.3% Tied = 0.2% (3110053356 pairs)
Somers' D = 0.551 =0.552 Gamma =0-214 Tau-a c = 0.775
Lampiran 5. Hasil Estimasi Model Determinan Kemiskinan Indonesia Tahun 2002 The SAS System The LOGISTIC Procedure Data Set: WORK-DTBASE Response Variable: MISK Response Levels: 2 Number of Observations: 150355 Weight Variable: WERT02 Sum of Weights: 150355 Link Function: Logit Response Profile Ordered Value
MISK
Count
Total Weight
WARNING: 3915 observation(s) were deleted due to missing values for the response or explanatory variables. NOTE: Weights are normalized to the actual sample size.
Model Fitting Information and Testing Global Null Hypothesis BETA=O
Criterion AIC SC -2 LOG L Score
Intercept only
Intercept and Covariates
140651.30 140661.22 140649.30
116824.16 117022.58 116784.16
Chi-square for Covariates
23865.135 with 19 DF (p=0.0001) 23623.007 with 19 DF (p=0.0001)
Analysis of Maximum Likelihood Estimates Variable INTERCPT YRSCH HDEDU ART JARTKRJ EMPLOY KRJTANI BRHTANI LANTAICP SBRAIR NOELEC LHNTANI X D R T BMOTOR LBGKEU INDUST IRIG GALIAN PANTAI DATARAN
DF
Parameter Standard Estimate Error
Standardized Wald Pr > Chi-Square Chi-Square Estimate
Odds
Variable
DF
Ratio
INTERCPT YRSCH HDEDU ART JARTKRJ EMPLOY KRJTANI BRHTANI
JANTAICP SBRAIR NOELEC
LHNTANI JLN-DRT BMOTOR LBGKEU
INDUST IRIG WILIAN PANTAI DATARAN
A s s o c i a t i o n of P r e d i c t e d P r o b a b i l i t i e s and O b s e r v e d R e s p o n s e s C o n c o r d a n t = 78.2% D i s c o r d a n t = 21.5% Tied = 0.3% (3316979064 p a i r s )
S o m e r s ' D = 0.567 Ganuna = 0.569 Tau-a = 0.166 c = 0.784
Lampiran 6. Program SAS Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan OPTION PS=500 LS=240 NOCENTER NODATE NONUMBER; LIBNAME IN 'C:\prog simulasi'; "EDEFENISI VARIABEL; *-------------------. Data dt;
set in.dthk new; *Variabel lag; LINV = LAG(1NV) ; LPRMH= LAG(EPRMH) ; LEXR = LAG(EXR) ; LGINI= LAG (GINI); LCONRT=LAG(CONRT); LCONSW=LAG(CONSW); LPO = LAG(P0); L P 1 = LAG(P1); LP2 = LAG(P2); *variabel dummy krisis dan desentralisasi; if 1994<=TAHUN<=1997 THEN DCRS=O; else DCRS=l; if 1994<=TAHUN<=2000 then DFKL=O; else DFKL=l; *variabel interaksi; = DFKL*INV; DINV DDAU = DFKL*DAU; DPO = DFKL*PO; run: PROC SORT; BY PROP TAHUN; RUN; PROC TSCSREG DATA=DT FIXONE; MODEL CONRT = PDRB POP EXR LCONRT; MODEL CONSW = PDRB DFKL LCONSW; MODEL INV = PDRB DPAJ LINV; MODEL X = ER IHK PDRB; MODEL M = IHK CONS; MODEL PAJ = PDRB INV DFKL; MODEL BHPJK = INV POP DFKL DINV; MODEL DAU = KAPFKLK DFKL DPO; MODEL EPERT= EXP POP DAPER DFKL; MODEL EPDDK= EXP DAPER DFKL; PlOCEL EPRMH= EXP POP LPRMH; MODFL EOTHR= EXP INV DCRS; MOilLi EXR= PAD DAPER LEXR DFKL; MODEL GINI = CONRTKAP DFKL LGINS; MODEL PO = CONRTKAP DIFGK DAUKAP DCRS; MODEL P1 = PO DCRS LP1; MODEL P2 = P1 DCRS LP2; 1 2 PROP TAHUN; RUN;
Lampiran 7. Hasil Estimasi Model Hubungan Fiskal clan Kerniskinan
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: C-RT Model Description FIXONE 26 9
Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
Model Variance SSE MSE RSQ
1.289320 6.321317 0.9961
DFE Root MSE
204 7.9504E8
F Test for No Fixed Effects
Numerator DF: Denominator DF:
25 204
F value: Prob.>F:
32.1932 0.0000
Parameter Estimates Variable
cs CS CS CS CS CS
cs CS cs
cs
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
CS cs CS CS 14 CS 15 CS 16 CS 17 CS 18 CS 19 CS 20 CS 21 CS 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP PDRB POP2 EXR LC-RT
Parameter Estimate
Standard Error
TforHO: Parameter=O Prob > IT1
Variable Label Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cruss Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross See Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The S.9S System TSCSREG Procedure Dependent Variable: C-SWT Model Description Estimation Mettad Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE 26 9
Model Variance 2.255317 l.lE15 0.9788
SSE MSE RSQ
DFE Root MSE
205 33166673
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 205
F value: Prob.>F:
183.7726 0.0000
Parameter Estimates Variable CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
cs
20
CS 21 CS 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP PDRB LC-SWT DFKL
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob > IT1
Variable Label Cross Cross Cross Cross Cross cross cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross cross
Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The SAS System TSCSREG Procedure
Dependent Variable: I N V Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE 26 9
Model Variance SSE MSE RSQ
3.696320 1.803318 0.9572
DFE Root MSE
205 1.342739
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 205
F value: Prob.>F:
22.0410 0.0000
?ammeter Estimates Variable DF CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS
CS cs
1 2
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 22 1
CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP PDRB DPAJ LINV
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1
1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob > I TI
Variable Label Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: X Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE 26 9
Model Variance SSE MSE RSQ
4.75320 2.317318 0.9834
DFE Root MSE
205 1.522339
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 205
Fvalue: Prob.>F:
52.6256 0.0000
Parameter Estimates Variable CS cs CS CS CS CS cs CS cs CS CS CS CS CS CS CS CS CS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 CS 19 cs 20 CS 21 CS 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP ER IHK PDRB."
Parameter Estimate
Standard Error
TforHO: Parameter=O Prob >
I TI
Variable Label cross Sec Cross Sec cross sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The SAS System TSCSFSG Procedure Dependent Variable: PAJ Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE 26 9
Model Variance 2.714317 1.324315 0.9686
SSE MSE RSQ
DFE Root MSE
205 36386116
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25
205
F value: Prob.>F:
22.2519 0.0000
Parameter Estimates Variable CS
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O
Prob > I TI
Variable Label
1 1 1 1 1 1 1 1 1 I 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross
Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec
CS CS cs CS CS CS CS CS CS CS CS CS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
cs
20
1
Cross Sec
CS 21 CS 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP PDRB INV DFKL
1
Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross sec Intercept
cs cs
cs cs CS
cs
1 1 1 1 1 1 1 1
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: BHPJK Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE 26 9
Model Variance SSE MSE RSQ
5.071318 2.486316 0.6350
DFE Root MSE
204 1.576638
F Test for No Fixed Effects DF: Numerator Denominator DF:
25 204
F value: Prob.>F:
5.4077 0.0000
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for 80: Parameter=O Prob > IT1
Variable Label
cs CS cs CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS
cross cross Cross cross Cross cross cross Cross Cross Cross Cross Cross cross cross Cross Cross cross Cross Cross Cross
CS
Cross Sec
CS CS CS CS INTERC I W POP DFKL DINV
sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec
Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross sec Intercept
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: DAU Model Description
FIXONE 26 9
Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
Model Variance SSE MSE RSQ
1.058319 5.161316 0.8235
DEE Root MSE
205 2.271738
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 205
Fvalue: Prob.>F:
25.1545 0.0000
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob > IT1
Variable Label Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross
CS CS
20 21 22 23
CS
24
cs cs
CS 25 INTERCEP mPFKLK
DFKL DPO
1 1 1 1 1 1
1 1 1 1
Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec
0.1323 Cross Sec 0.1622 Cross Sec 0.0111 Cross Sec 0.2235 Cross Sec 0.0092 Cross Sec 0.0769 Cross Sec 0.0049 Intercept 0.5700 0.0001 0.0853
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: EPERT Model Description Estimation Method N-mtbez of Cross Sections
FIXONE 26
Time Series Length
9
Mode; Variance SSE MSE RSQ
1.304316 6.392313 0.9223
DFE Root MSE
204 7995250
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 204
Fvalue: Prob.>F:
4.8598 0.0000
Parameter Estimates Variable CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS
Dl?
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
cs 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP EXP POP DAPER
1
cs
DFIU
1
1 1 1 1 1
1 1
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Paramete-0
Prob > IT1
Variable Label Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
T h e SAS S y s t e m TSCSREG P r o c e d u r e
D e p e n d e n t V a r i a b l e : EPDDK Model D e s c r i p t i o n E s t i m a t i o n Method N u m b e r of C r c s s S e c t i o n s Time S e r i e s L e n g t h
F I XONE 26 9
Model V a r i a n c e SSE MSE RSQ
9.083316 4.43314 0.9132
DFE R o o t MSE
205 21048740
F T e s t for No F i x e d E f f e c t s Numerator DF: D e n o m i n a t o r DF:
25 205
Fvalue: Prob.>F:
2.3800 0.0005
Parameter Estimates
Variable
Paruwter Estimate
Standard Error
T f o r HO: Parametes0
P r o b > I TI
Variable Label
CS
cross sec
cs
Cross Sec Cross Sec cross S e c Cross Sec Cross Sec cross S e c Cross Sec cross S e c cross S e c Cross Sec Cross Sec
1 2 3 CS CS 4 CS 5 CS 6 7 CS CS 8 CS 9 cs 1 0 11 CS CS 12 13 CS CS 14 CS 15 CS 16 CS 17 CS 18 19 CS CS 20 CS 21 CS 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP EXP DAPER D m
cross sec Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross Cross
Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec Sec
Intercept
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: EPFNH Model Description FIXONE 26 9
Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
Model Variance SSE MSE RSQ
2.323E16 1.133314 0.8099
DFE Root MSE
205 10644173
F Test for No Fixed Effects
Numerator DF: Denominator DF:
25 205
F value: Prob.>F:
Parameter Estimates Variable
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob >
I TI
Variable Label cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross cross cross Cross Cross
CS CS CS CS CS CS CS
CS CS CS
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
23 CS 24 CS 25 INTERCEP EXP POP L P W CS
sec Sec Sec sec Sec sec sec sec sec sec Sec Sec
Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross sec Cross Sec Cross Sec Cross sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
œ he SAS system
TSCSREG Procedure Dependent Variable: EOTHR Model Description FIXONE 26 9
Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
Model Variance SSE MSE RSQ
1.663317 8.07E14 0.9850
DFE Root MSE
206 28408616
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 206
Fvalue: Prob.>F:
Parameter Estimates Variable CS CS cs
cs CS CS CS CS
cs cs cs
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS 22 23 CS CS 24 CS 25 INTERCEP EXP LOTHR
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O
PI:ob > IT1
Variable Label cross sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: EXR Model Description FIXONE 26 9
Estimation Method Nunber of Cross Sections Time Series Length
Model Variance SSE MSE RSQ
2.71318 1.328316 0.9666
DFE Root MSE
204 1.152538
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 204
F value: Prob.>F:
3.5568 0.0000
Parameter Estimates Variable
cs cs cs
1 2 3 cs 4 5 cs 6 cs 7 CS CS 8 9 cs 10 CS 11 CS 12 CS CS 13 CS 14 15 CS 16 CS CS 17 CS 18 CS 19 CS 20 CS 21 CS 22 cs 23 24 CS 25 cs INTER(JEP PAD DAPER LEXR DFKL
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob > IT1
Variable Label Cross Sec Cross sec Cross sec Cross sec Cross Sec Cross sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Crcss Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The SAS System TSCSREG Proredure Dependent Variable: GIN1 Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE
26 9
Model Variance SSE MSE RSQ
0.052059 0.000254 0.7802
DFE Root MSE
205 0.015936
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 205
Fvalue: Prob.>F:
21.5414 0.0000
Parameter Estimates Variable cs
cs cs CS CS CS CS CS CS cs CS CS CS CS CS CS CS CS CS
cs cs
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
cs 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP C-RTKAP DFKL LGINI
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Frob > I TI
Variable Label Cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross cross
Sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec sec Sec Sec Sec Sec
Cross Sec
Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: PO Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
FIXONE
26 9
Model Variance SSE MSE RSQ
4011.473 19.66408 0.8541
DFE Root MSE
204 4.43442
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denominator DF:
25 204
F value: Prob.>F:
37.7449 0.0000
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob > IT1
Variable Label
CS CS cs CS CS CS CS CS CS cs CS CS CS CS CS CS CS TS CS CS CS CS
21 22
Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross
CS
23
Cross Sec
CS 24 CS 25 INTERCEP C-RT KAP DIFGK DAUKAP DCRS
Cross Sec Cross Sec Intercept
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: P1 Model Description FIXONE 26 9
Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
Model Variance SSE MSE RSQ
365.0628 1.780794 0.8644
DFE Root MSE
205 1.334464
F Test for No Fixed Effects
Numerator DF: Denominator DF:
25 205
F value: Prob.>F:
4.3777 0.0000
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimatc
Standard Error
T for HO: Variable Parameter=O Prob > [TI Late1
CS CS CS CS CS CS CS CS CS cs CS CS CS CS CS CS CS cs CS CS
Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross Cross
CS
cross Sec
CS CS cs
Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross sec Intercept
cs INTERC PO DCRS LP1
Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec Sec
The SAS System TSCSREG Procedure Dependent Variable: P2 Model Description FIXONE
Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length
26
9
Model Variance SSE MSE RSQ
DFE Root MSE
11.32399 0.055239 0.9778
205 0.23503
F Test for No Fixed Effects Numerator DF: Denaminator DF:
25 205
F value: Prob.>F:
10.3184 0.0000
Parameter Estimates Variable CS
1
cs cs
2 3 4 5 6 7 8 9 10
CS CS CS CS CS
cs cs
CS 11 12 CS CS 13 CS 14 15 CS CS 16 CS 17 CS 18 CS 19 CS 20 CS 21 CS 22 CS 23 CS 24 CS 25 INTERCEP P1 DCRS LP2
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for HO: Parameter=O Prob > I TI
Variable Label Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross S e c Cross Sec Cross Sec Cross Sec Cross Sec Intercept
Lampiran 8. Program SAS Simulasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan / * PROGRAM SIMULASI MODEL HUBUNGAN FISKAL DAN KEMISKINAN * / / * ..................................................... */ OPTION PS=500 LS=?40 NOCENTER NODATE NONUMBER; LIBNAME IN 'C:\Tes~s\Data\DataKompilasi\Run Data HK93\cek proq simulasi'; *REDEFENISI VARIABEL; Data dt; set in.dthk_new; *VARIABEL LAG; LCONRT= LAG(CONRT1; LCONSW= LAGiCONSW); LINV = LAG(INV); LEPRMH= LAG(EPRMH1; LEXR = LAG (EXR); LGINI = LAGiGINI); LP1 =LAG(PlI; LP2 = LAG( P2 I ; *varlabel dunmy krisis dan desentralisasi; if 1994<=TAHUN<=1997 THEN DCRS=O; else DCRS=l; if 1994<=TAHUN<=2000 then DFKL=O; else DFKL=l; if tahun=1994 then delete;
PROC SIMNLIN DATA=DT OUT=HASIL STATS SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS CONRT CONSW CONS GOVT INV X M PDRB PAJ PAD BHPJK KAPFKL DAPER EPERT EPDDK EPRMH EOTHR EXP EXR EXTOT GIN1 PO P1 P2; EXOGENOUS POP DFKL ER IHK OTHGOV OTHREV DAK DIFGK DCRS LCONRT LCONSW LINV LEPRMH LEXR LGINI LP1 LP2 Dll-Dl8 D31-D35 D51-D53 D61-D64 D71-D74 D81 DAU; PAWS A10 -1944172258 A1 1 0.397027 A12 971.101817 A1 3 0.780642 A1 4 0.079672 Dl11 -1932633720 Dl12 -6152621938 Dl13 -2139124841 Dl14 -6149567807 Dl15 -424722235 Dl16 -3307926036 Dl17 114768241 Dl18 -3817996201 Dl31 -3562452526 Dl32 -24128080619 Dl33 -24306756624 Dl34 -2947005074 Dl35 -20483014803 0151 -3193585669 Dl52 -2059265159 Dl53 -1721237572 Dl61 -1466660564 Dl62 142534776 Dl63 -1274370730 Dl64 -4522095172 Dl71 -731659940 Dl72 67463466 Dl73 -4742518167 0174 -94308417 0181 -132562010
A20 13721655 A21 0.002871 A22 24664686 A23 0.076360 D211 -3950396 13212 157229802 0213 28960998 D214 -49251799 0215 -16653934 0216 53823824 D217 6811793 D218 -18809994 0231 -104370017 D232 189698350 0233 767586508 13234 -60761214 D235 413877910 13251 -61861504 0252 -5511967 D253 -17362356 0261 -24929470 D262 34394431 D263 -9666687 D264 58913814 0271 47321784 0272 -10135657 D273 516293 0274 -21760184 0281 6721998
A60 -179040401 A70 249909602 A61 0.018122 A71 -180868 A62 0.016931 A72 427768941 A63 13088915 A73 6726718 0611 -9482599 D711 -160641719 0612 -214578820 D712 245513569 D613 42882221 D713 -73237237 D614 -195628170 D714 -57150511
A30 361631642 A31 0.316772 A32 -7.133204 A33 0.288444 D311 -2785010614 D312 -1651567454 13313 -2807421821 0314 -2247796094 D315 -2044054437 0316 -406726225 D317 -1871455245 D318 -375011278 D331 6909510226 D332 -12639659195 D333 -11396560386 0334 -1841356663 D335 -2592901345 D351 -5285001735 0352 -687947773 0353 -829417571 D361 -455961804 D362 -613051679 D363 -984972709 D364 -2925492567 0371 -2016945073 D372 -795729200 0373 -895959415 D374 -1094478503 0381 -1003889160
A80 A81 A82 A83 A84 D811 D812 D813
-35150270 0.031037 37.574307 52486914 0.031251 2698564 -509702700 -160789969
A40 -235813231 A41 180391 A42 -9929030 A43 0.680460 13411 -1448116341 D412 -7441050550 0413 -3567014875 D414 3843246089 0415 25595774 D416 -3518661143 D417 122649969 D418 -1255633845 0431 -7784715995 D432 -19937641721 D433 -7426709996 0434 -544195128 D435 -967035939 D451 -1076460792 D452 -860267932 D453 -306059877 D461 -1893549702 D462 -731003419 D463 -976817197 D464 6978557193 0471 -496394671 0472 9166196 D473 -3632720495 D474 172128393 D481 157369938
A90 -4925458 A91 0.043765 A92 2.143625 A93 0.017090 A94 2952041 D911 2311538 D912 -15002780 D913 -6640225
A100 A101 A102 A103 Dl011 Dl012 Dl013 Dl014
CONRT
AlO+Ail*PDRB+Al2*POP+A13*EXR+A14*LCONRT+ D11lCD11+D112*D12tD113*D13+D114*D14+D115*Dl5tDll6~Dl6+Dll7*Dl7tDll8*Dl8+ D131*D31+D132*D32+Di33*D33+D134iD34+D135~D35+Di5l*D5l+D152*D52+Dl53*D53+ Di61*D6i+D162*D62+Dl63*D63tD164*D64+D171*D7l+Di72*D72+Dl73*D73+Dl74*D74+Dl8l~D8l;
=
CONSW
=
A20tA21*PDRB+A22*DFKLtA23*LCONSWt D21i*Dli+D212*D12+D213*Dl3tD214*D14+D2l5*Dl5tD2l6*Dl6+D2l7*Dl7tD2l8*Dl8t D231*D31+D232*D32+D233*D33tD234*D34+D235*D35tD25l*D5l+D252*D52+D253*D53+ D26i*D61tD262*D62+D263*D63tD264*D64tD2?1*D7ltD272*D72+D273*D73tD274*D74tD28l*D8l;
INV
=
A30tA31*PDRBtA3Zt (DFKL*PAJ)tA33*LINVt D311*DiitD312*D12tD313*D13tD314+D315*Dl5+D3l6*Dl6+D3l7*Dl7+D3l8*Dl8+
D331*D3i+D332*D32tD333*D33+D334*D34+D335*D35+D35l*D5ltD352*D52+D353*D53+ D361'D61+D362*D62tD363*D63+D364*D64+D3ll*D7ltD372*D?2+D373*D73+D374*D74+D38l*D8l;
CONS
=
CONRT+CONSW;
GOVT
=
EXTOT+OTHGOV;
PDRB
=
CONS+GOVT+INV+X-M;
PAJ
=
A6O+A61*PDRBtA62*INV+A63*DFKLt D611*D1ltD612*D12+D613*D13+D6i4*D14+D6i5*Dl5tD6l6*Dl6tD6l7*Dl7+D6l8*Di8+ D631*D3ltD632*D32+D633*D33+D634*D34+D635*D35+D65l*D5ltD652*D52tD653*D53+ D66i+D61+D662*D62tD663*D63+D664*D64+D671*D7ltD6?2+D72+D673*D73tD674+D74+D68l*D81;
PAD
=
PAJ+OTHREV;
BHPJK
=
A80+A81iINV+A82*E'OP+A83*DFKL+A84*(DFKL*INV)+ D811*Dll+D812*D12+D813*D13+D814*D14+D815*Dl5+D8l6*Dl6tD8i7*Di7tD8lE*Di8+ D83i*D31+D832*D32+D833*D33+D834*D34+D835*D35+D85l*D5S+D852*D52tD853AD53+ D861*D61+D862*D62tD863*D63+D864*D64+D871*D7i+D872*D72tD873*D73tD874*D74tD88l*D8l;
KAPEKL= PAD+BHPJK; *DAU
A70tA71* (KAPFKL/POP)+A72*DFKL+A73* IDFKL* PO)t D711*Dll+D712*D12+D713*D13+D?l4*D14+D715*Dl5tD7l6~Dl6tD?l?*Dl7tD7l8~Dl8t D73i*D31+D732*D32+D733*D33+D734*D34+D735*D35+D75l*D5l+D752*D52+D753*D53+ D761*D6i+D762*D62tD763*D63tD764*D64+D77l*D7l+D?72*D72tD773*D73+D774*D74+D78i*D8l;
=
DAPER
=
DAU+BHPJKtDAK;
EPERT
=
A90+A91*EXPtA92*POPtA93*DAPERtA94*DFKLt D911fDlltD912*D12+D913*D13tD914*Di4tD915iDl5+D9l6*Di6tD9l7*Dl7+D9l8~Dl8+ D931*D31tD932*D32+D933*D33tD934*D34+D935*D35tD95l*D5ltD952*D52tD953*D53+ D961*D61+D962*D62tD963*D63+D964*D64+D971*D7l+D972*D72+D973*D73tD974*D74+D98l*D8l;
EPDDK
=
A100+A101*EXP+A102*DAPER+A103*DFKL+ D1O11*Dll+D1012*D12+D1O13*D13tDlOl4*Dl4+DlOI5*Dl5+DlOl6~Dl6+DlOl7~Dl7+DlO~8*Dl8+ D1031'D31tDl032*D32tD1OS3*D33tDiO34~D34tDlO35*D35tDlO5l~D5ltDlO52*D52+DlO53*D53+ D106i*D61tDi062*D62tD1063*D63+D1O64*D64+DlO7l*D7i+DlO72*D72+DlO73*D?3tDl074*D74t
Di081'D8i;
EOTHR
=
Al2OtAl21*EXP+A122*INV+Al23*DCRSi D1211*Dil+Di212*D12tD1213*D13+Di214+Dl4+Dl2l5*Dl5tDl2l6+Dl6+Dl2l7*Dl7+Dl2l8*Dl8t D123i*D31+D1232*D32+Dl233*D33tDl234*D34tDl235*D35tDl25liD5itDl252*D52+Dl253*D53t D1261*D6l+D1262*D62tD12G3*D63+D1264*DG4+Di271*D7i+Di272~D72+Dl2?3*D73+Dl274*D74+ D1281*381;
EXR
=
Al3O+Al31*PAD+Al32*DAPER+Al34*DFKLtA133*LEXRt D1311*D1l+D1312*D12+D1313*D13+D1314*D14+Dl3l5*Dl5+Dl3l6+Dl6+Dl3l7+Dl7+Dl3l8+Dl8t D1331'D31+D133?CD32tD1333*D33+D1334*D34+Dl335*D35+Dl35l*D5l+Dl352~D52+Dl353*D53+ Dl361CD61tD1362*D62+D13633D63+D1364*D64+Dl37l*D7l+Dl372*D72+Dl373*D73+Dl374~D74+ D1381*DBl;
EXP
=
EPERT+EPDDKtEPRMH+EOTHR;
EXTOT
=
EXRtEXP;
*BLOK DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN;
P?
RUN ;
=
A170+A171*P1+Al72*DCRStA173*LP2+ D1711*D11tDl712*D12iD1713*D13t~l7l4*Dl4+Dl7l5*Dl5tDl7l6+Dl6+Dl7l7*Dl7tDl7l8*Dl8+ D1731*D3l+D1732*D32+D1733*D33+D1734*D34+Dl735*D35+Dl75l~D5l+Dl752*D52tDl753*D53t D1761*D61+D1762*D62+D17637D63+D1764*D64tDl771*D7l+Dl772*D72tDl773*D73+Dl774~D74t D1781'D81;
Lampiran 9. Hasil Validasi Model Hubungan Fiskal clan Kerniskinan
The SAS System
The SIMNLIN Procedure Model Summary Model V a r i a b l e s Endogenous Exogenous Parameters Equations Number o f Statements The SAS System
66 25 42 497 24 25
The SIMNLIN Procedure Simultaneous S i m u l a t i o n Data Set Options
DATA= OUT=
DT MODEL S o l u t i o n Summary
V a r i a b l e s Solved S o l u t i o n Method CONVERGE= Maximum CC Maximum I t e r a t i o n s Total Iterations Average I t e r a t i o n s
24 NEWTON 1E-8
2.68E-13 1
234 1
Observations Processed Read Solved
234 234
V a r i a b l e s Solved F o r
CONRT CONSW CONS GOVT INV X M PDRB PAJ PAD BHPJK KAPFKL DAU DAPER EPERT EPDDK EPRW EOTHR EXP EXR EXTOT GIN1 PO P I P2
Simultaneous S i m u l a t i o n Descriptive S t a t i s t i c s
Variable CONRT CONSW CONS GOVT
IN X M PAJ PDRB PAD BHPJK KAPFKL
DAU DAPER EPERT EPDM EPRMH EOTHR EXP EXR EXTOT
GIN1 PO PI P2
N Obs
Actual Mean
S t d Dev
Predicted Mean
S t d Dev
Statistics of f i t
Variable CONRT CONSW CONS GOVT I NV X M PDRB PP+J PAD BHPJK KAPFKL DAU DAPER EPERT EPM EPRMH EOTHR EXP EXR EXTOT
GIN1 PO PI P2
Mean Error
Mean % Error
53647468 0.7012 330295 3.6799 53977762 0.6715 38! 08896 2.1390 -3.53E7 13.5239 6.8191 79397599 6.3713 16973040 0.7476 1.19E8 8453551 11 .I232 8453551 5.7802 8188173 17.1875 1664 1724 10.3124 -3546749 -15.3332 4641424 -1.0111 6.0851 1336428 9.9808 5559358 1635534 80.2261 20199341 5.3878 5.8649 28730661 93 78235 -5.5687 38108896 -3.2731 - 0.00067 0.0488 0.0535 2.8592 0.0118 8.8763 0.00517 11.5624
Mean Abs Mean Abs E r r o r % Error 5.1309E8 19092769 5.2622158 2.3829E8 7.0828E8 7 -286E8 8.4948E8 3.0828E9 33 169003 33169003 77070737 95475659 1.357E8 1.64E8 11212138 38663523 13091607 1 .1884E8 1 .7617E8 I.1446E8 2.3829E8 0.0122 3.5298 1 .I229 0.4759
10.3552 33.3136 10.4718 25.2803 62.6008 21.4629 20.561 1 35.6362 79.0960 39.9884 79.3040 52.2583 48.5716 32.8412 79.7848 133.5 180.4 91.41 12 94.4646 30.8036 46.0169 4.2600 20.5000 40.4764 64.1267
RMS Error
R E %
Error R-Square
Theil F o r e c a s t E r r o r S t a t i s t i c MSE Decomposition P r o p o r t i o n s Corr N MSE (R) Variable CONRT CONSW CONS GOVT
INV X
M PDRB PAJ PAD BHPJK KAPFKL DAU DAPER EPERT EPDDK EPRMH EOTHR EXP EXR EXTOT
GIN1 PO P1 P2
Bias
Dist
(UM)
(UD)
V a r Covar I n e q u a l i t y Coe; U1 U ('Jc)
(US)
Lampiran 10. Contoh Hasil Simulai Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) Sebesar 10 Persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous S i m u l a t i o n Descriptive S t a t i s t i c s
Variable CONRT CONSW CONS GOVT
1Nv X M PDRB PAI PAD
BHPJK KAPFKL RAPER EPERT EPDDK EPRMH EOTHR EXP EXR EXTOT
GIN1 PO P1 P2
N Obs
N
Actual Mean
Predicted Std Dev
Mean
S t d Dev
207
Lampiran 11. Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Nasional, KBI dan KT1 Nilai Dasar (Juta Rupiah) VAFUABEL
Kinerja Ekonomi Daerah Konsumsi RT Konsumsi Swasta Konsumsi RT dan Swasta Konsurnsi Pemerintah Investasi Ekspor Irnpor
PDRB Kinerja Fiskal Daerah Pa.& Daerah Pendptn Asli Daerah Bagi Hasil Pajak dan SDA Kapasitas Fiskal Dana Alokasi Umum Dana Perimbangan Pglm SeAt. Pertanian Pglm Sekt. Pendidikan dan keshtn Pglm Sekt. Permhn dan Kesjhtrn Pglm Sekt. Lainnya Total Pglm Pembangunan Total Pglm Rutin Total Pglm Pemerintah Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Daerah Indeks Gini Headcount IndexlPO (%) Poverty Gap IndexlP1 (%) Squares Poverty Gap Index/P2 (%)
Nasional KBI KT1 8483604 129 851 8613455 1 547 955 4219064 7 885979 6233255 16033199
10359260 156 067 10515327 1 770 614 5 149804 9873 179 7649607 19659317
2606411 44 686 2651097 971 397 1310039 1788446 1630662 5090317
118 083 169 602 154 086 323 688 423 407 685 052 26 210 60 907 20 901 236 402 344 420 569 874 914 294
147 850 208 726 221 960 430 686 458 024 787 976 31 071 72 926 24 333 279 052 407 381 662 082 1 069 463
26 794 47 123 82 022 129 145 298 349 486 490 15 923 36 692 13 944 146 755 213 314 349 388 562 702
0.29 21.35 4.15 1.29
0.28 19.09 3.40
0.29 28.68 6.57 2.36
0.96
Lampiran 12. Nilai Dasar Variabel EndogenMenurut Pulau-plau Besar di Indonesia
I
Nilai Dasar (Juta Rupiah)
I
I
VARIABEL
Sumatera
h.Sekt. Permhn clan Kesjhtrn
Jam-Bali
Kalirnantan
Sulawesi
Lainnya