DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR PROPINSI DI INDONESIA
OLEH HALIDA FATIMAH H14103042
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR PROPINSI DI INDONESIA
Oleh Halida Fatimah H14103042
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Halida Fatimah
Nomor Registrasi Pokok : H14103042 Program Studi
: Ekonomi Pembangunan
Judul Skripsi
: Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S, D.E.A. NIP: 131 404 217
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP: 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2007
Halida Fatimah H14103042
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Halida Fatimah, lahir pada tanggal 15 Mei 1985 di Bogor. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Ayahanda Dedi Supriadi dan Ibunda Tini. Penulis mengawali jenjang pendidikannya dari sekolah dasar. Pada tahun 1991 di SDN Ciluar 1 yang dilanjutkan ke SLTP Negeri 15 Bogor pada tahun 1997. Tahun 2000 penulis melanjutkan studinya ke SMU Negeri 6 Bogor hingga lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dibeberapa lembaga intra dan ekstra kampus. Lembaga intra kampus yang diikuti, yaitu: HIPOTESA sebagai staff departemen kewirausahaan (2004-2005), FORMASI sebagai staff Syiar dan Dakwah (2004-2005), Rohis Ekbang 40 sebagai bendahara (2004-2006), DPM FEM sebagai staff administrasi dan keuangan (2004-2006) dan sebagai bendahara umum (2005-2006), BEM FEM sebagai Sekretaris Kabinet (2006-2007). Lembaga ekstra kampus yang diikuti yaitu: Ikatan Alumni Masjid At-Tarbiyah (ILMA) (2005-2007), Paguyuban Pemuda-pemudi Jl. Sukaraja (2007). Penulispun aktif diberbagai kepanitiaan intra dan ekstra kampus. Disamping kelembagaan dan kepanitiaan yang diikuti, penulispun aktif sebagai tenaga pengajar dilembaga pendidikan formal dan nonformal serta menjadi tenaga pengajar privat secara mandiri.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim... Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh...
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh makhluk. Semoga Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi junjungan, Muhammad shallahu alaihi wa sallam, beserta keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Amin. Skripsi ini berjudul “Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia”. Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut, karena melihat fenomena ketimpangan antar propinsi juga melihat pada kebijakan yang diharapkan dapat meminimalisir ketimpangan yang terjadi yaitu kebijakan desentralisasi fiskal yang secara keseluruhan berada pada kerangka Otonomi Daerah yang sedang dilaksanakan. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu, setulus hati penulis sampaikan terima kasih atas segala bantuan baik materi ataupun non materi walaupun itu hanya sekedar pesan singkat menanyakan perkembangan penelitian. Terucap terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Mama dan Papa atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, juga kepercayaan besar yang diberikan kepada penulis hingga detik ini, serta doa yang tiada henti terucap untuk kami putra-putrinya. 2. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas transfer ilmu dan bimbingan yang diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 3. Ir. Wiwiek Rindayanti M.Si, selaku dosen penguji utama. Terima kasih atas saran
serta masukan demi perbaikan skripsi ini, serta atas
bimbingannya selama penulis menempuh studinya di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Widyastutik, S.E, M. Si, selaku wakil komisi pendidikan. Terima kasih atas saran tata cara penulisan skripsi ini. 5. Seluruh staff di Departemen Ilmu Ekonomi serta Fakultas Ekonomi dan Manajemen. 6. Teh Mila, A’Ndi, A’Mpik serta adikku Adan. Terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan juga kepercayaannya. 7. Ponakan-ponakanku sayang, atas keceriaan dan canda tawanya, sehingga di saat penulis letih, penulis menjadi semangat lagi. 8. Keluarga besar penulis di Ciluar, tak terhitung pelajaran yang penulis dapat ambil dari mereka. 9. Sahabat-sahabatku, Salwa, Salsabila, Salma, Syifa, Aisyah, Nurhasanah, Maisan, Latifah, dan Nurdiah. Jazakumullah ukhti-ku untuk persahabatan dan ukhuwah yang indah ini. 10. Teman-teman terbaik yang mengisi hari-hari selama menempuh kehidupan perkuliahan, Ndeph, Iie_chan, Mashita dan Ani. 11. Teman-temanku di IE 40: teman seperjuanganku (Nadia, Eka, Amel), komtiku (Aga_Aryadilaga), Imas, Ely, Cen2 dan yang lainnya. Terima kasih atas moment-moment kebersamaan yang telah dilalui. 12. Ikhwahfillah yang mengenal penulis. Jazakumullah atas ukhuwah, taujihnya, dan penjagaan yang diberikan selama ini kepada penulis. 13. Guru-guruku yang telah mengantarkanku hingga ketingkat jenjang pendidikan tinggi ini. Terima kasih untuk transfer ilmu-ilmunya. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh... Bogor, September 2007
Halida Fatimah H14103042
RINGKASAN
HALIDA FATIMAH. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia (dibimbing oleh Didin S. Damanhuri). Sebagai suatu negara dengan ribuan pulau, perbedaan karakteristik wilayah adalah konsekuensi logis yang tidak dapat dihindari Indonesia. Karena karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga suatu keniscayaan bila pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam. Ketidakseragaman ini berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada gilirannya mengakibatkan beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lainnya tumbuh lambat. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan maupun hasilnya, yakni pendapatan antar daerah. Meskipun ketimpangan itu sendiri adalah suatu keniscayaan dalam proses pembangunan, namun ketimpangan yang semakin melebar harus dihindari. Ketimpangan yang semakin lebar akan melahirkan berbagai ketidakpuasan. Disamping itu, dengan sistem pemerintahan pada masa pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistis, tentu saja menambah ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat, dan hal ini tercermin pada gerakan pemisahan diri/separatisme dan tuntutan reformasi di tahun 1998. Untuk menjaga integrasi nasional atas tuntutan daerah, maka pemerintahan Habibie mengeluarkan satu paket kebijakan tentang Otonomi Daerah berupa UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kecenderungan perkembangan ketimpangan pendapatan yang terjadi antar propinsi di Indonesia pada masa sebelum dan setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan. Mengetahui dampak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia serta mengetahui peranan transfer fiskal sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Pada penelitian ini, untuk melihat kecenderungan ketimpangan pendapatan antar propinsi akan digunakan alat analisis Indeks Williamson dengan PDRB harga konstan 1993 sebagai ukuran atas pendapatan tiap propinsi. Selanjutnya, untuk melihat dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap tingkat ketimpangan pendapatan akan digunakan model ekonometrika yakni regresi berganda. Kurun waktu analisis ini yaitu dari tahun 1993 sampai 2004. Hasil penelitian menunjukkan Indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB konstan 1993 berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi terkecuali pada tahun 1998-1999 yang berada pada kondisi ketimpangan yang sedang. Jika mengeluarkan sektor migas dalam perhitungan, maka terlihat adanya kondisi ketimpangan yang tinggi dari tahun 1993-1997. Dimulai dari masa krisis (1998) sampai masa diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal (2004) ketimpangan berada pada kondisi yang sedang.
Sedangkan indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB harga berlaku – baik dengan atau tanpa sektor migas – berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi. Lebih lanjut, dari hasil estimasi terhadap model yang digunakan. Desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Pada masa kebijakan desentralisasi fiskal (2001-2004), tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia lebih baik daripada sebelum kebijakan ini dilaksanakan (1993-2000). Sementara itu, ketimpangan transfer fiskal berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap ketimpangan pendapatan. Adanya peningkatan dana transfer akan meningkatkan ketimpangan transfer yang pada akhirnya akan berdampak terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Ketimpangan PAD berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap ketimpangan pendapatan. Adanya peningkatan PAD akan menurunkan ketimpangan PAD yang pada akhirnya akan berdampak terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Masih tingginya tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia, mengindikasikan masih belum cukup upaya-upaya pemerintah dalam menekan tingkat ketimpangan yang terjadi selama ini. Diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam lagi sehingga arah kebijakan untuk mengatasi masalah ketimpangan ini bisa tepat sasaran. Tidak terbuktinya transfer fiskal dalam menurunkan tingkat ketimpangan transfer fiskal, maka perlu ditinjau ulang tentang pola transfer yang selama ini digunakan (formula). Disamping itu, tetap perlu adanya fungsi pengawasan dari pemerintah pusat tentang penggunaan anggaran daerah terlebih terkait adanya penyimpanan DAU di SBI. Kedua hal ini diduga sebagai faktor yang cukup kuat mengapa tujuan transfer fiskal tersebut tidak tercapai. Melihat peranan PAD dalam membentuk tingkat kemandirian fiskal pemerintah daerah serta peranannya dalam menekan tingkat ketimpangan yang terjadi. Maka pemerintah daerah harus secara bijak dan arif dalam menggali sumber-sumber PAD ini, jangan sampai gagasan ”autonomy” terdistorsi menjadi pendekatan ”automoney”. Sehingga dapat menimbulkan inefisiensi dalam iklim investasi pemerintah setempat, yaitu dengan diterbitkanya berbagai perda tentang pajak dan retribusi.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xii
I. PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
9
2.1. Pengertian dan Konsep Desentralisasi Fiskal ...................................
9
2.2. Transfer Keuangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah...........
13
2.3. Pengertian dan Konsep Ketimpangan ...............................................
19
2.4. Penelitian Terdahulu .........................................................................
21
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................
27
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................
27
3.1.1. Pendapatan Domestik Regional Bruto ......................................
27
3.1.2. Pengukuran Ketimpangan .........................................................
31
3.1.3. Analisis Model Regresi .............................................................
35
3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual.......................................................
37
IV. METODOLOGI PENELITIAN..............................................................
43
4.1. Kasus dan Unit Data .........................................................................
43
4.2. Jenis dan Sumber Data ......................................................................
44
4.3. Metode Analisis ................................................................................
44
4.3.1. Mengukur Perkembangan Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi .............................................................................
45
4.3.2. Mengukur Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia
46
V. GAMBARAN UMUM KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH ........
48
5.1. Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia...................
48
5.2. Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi ............................................
54
5.2.1. Peranan Belanja Pemerintah Daerah dalam Perekonomian Daerah .......................................................................................
54
5.2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ................................................
58
5.2.3. Transfer Fiskal ..........................................................................
61
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
67
6.1. Perkembangan Ketimpangan Pendapatan Antar Propinsi di Indonesia .......................................................................................
67
6.2. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia......................
72
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
81
7.1. Kesimpulan .......................................................................................
81
7.2. Saran..................................................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
84
LAMPIRAN
Iman dan Taqwa adalah sebaik – baik bekal dalam kehidupan Sabar adalah sebuah kemestian demi meraih cita – cita Keikhlasan akan senantiasa memperlancar jalannya Manusia hanya mampu berencana dan berusaha Namun, . . . Allah jualah Yang Maha memiliki segala keputusan . . .
Teruntuk Mama dan Papa tercinta
xi
DAFTAR TABEL
Nomor 2.1
Halaman Proporsi Bagi Hasil Pajak dari Sumber Daya Alam Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 (dalam persen)...................................................................................
17
2.2
Indeks Ketimpangan Pendapatan Peneliti Terdahulu .......................
23
4.1
Data dan Sumber Perolehannya ........................................................
44
5.1
PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku dan Kostan 1993 (dalam miliar rupiah) ........................................................................
49
5.2
Indeks Pembanguanan Manusia tiap Propinsi di Indonesia..............
51
5.3
Persentase Penduduk Miskin tiap Propinsi di Indonesia ..................
52
5.4
Jumlah Penduduk Miskin Menurut Daerah di Indonesia (dalam juta jiwa) ...............................................................................
53
Rasio Belanja Pemerintah Daerah terhadap PDRB Tiap Propinsi di Indonesia (dalam persen) ..............................................................
55
Rasio PAD terhadap Pendapatan Total Tiap Propinsi di Indonesia (dalam persen)...................................................................................
59
5.7
PAD Perkapita Tiap Propinsi di Indonesia (dalam rupiah)...............
60
5.8
Rasio Transfer terhadap Pendapatan Total Tiap Propinsi di Indonesia (dalam persen) ..............................................................
62
5.9
Transfer Perkapita Tiap Propinsi di Indonesia (dalam rupiah) .........
63
6.1
Nilai Indeks Williamson untuk Indikator Penadapatan antar Propinsi di Indonesia (1993 - 2004).........................................
67
6.2
Hasil Estimasi terhadap Variabel Terikat CVw................................
72
6.3
Nilai Indeks Ketimpangan PAD tiap Propinsi di Indonsia ...............
74
6.4
Nilai Indeks Ketimpangan Transfer Fiskal tiap Propinsi di Indonesia .......................................................................................
76
5.5 5.6
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1
Bentuk Desentralisasi........................................................................
11
3.1
Kurva Lorenz ....................................................................................
32
3.2
Bagan Alur Pendekatan Studi ...........................................................
42
5.1
Proporsi Belanja Pembangunan dan Belanja Rutin Pemerintah tiap Propinsi di Indonesia (1993-2004).............................................
56
Rasio Transfer dan PAD terhadap Pendapatan Total Rata-rata tiap Propinsi di Indonesia (1993-2004) .............................
65
5.3
Transfer perkapita dan PAD perkapita (dalam ribu rupiah) .............
65
6.1
Perkembangan Ketimpangan Pendapatan atas Dasar Harga Konstan 1993 .........................................................................
69
Perkembangan Ketimpangan Pembangunan atas Dasar Harga Berlaku ...................................................................................
71
5.2
6.2
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebagai suatu negara dengan ribuan pulau, perbedaan karakteristik
wilayah adalah konsekuensi logis yang tidak dapat dihindari Indonesia. Karena karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga suatu keniscayaan bila pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam. Ketidakseragaman ini berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh, yang pada gilirannya mengakibatkan beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lainnya tumbuh lambat. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan maupun hasilnya, yakni pendapatan antar daerah. Ketimpangan antar wilayah di Indonesia yang sering menjadi sorotan utama yaitu ketimpangan antara Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Dari hasil survey BPS (1998) diketahui bahwa total penanaman modal asing di Indonesia, 51 persen diinvestasikan di Pulau Jawa, 31 persen di Sumatera dan Kalimantan, dan 10 persen sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya. Tentu saja keadaan ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Jawa lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa. Kemudian dalam hal alokasi dana juga terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara Jawa dengan di luar Jawa.
2
Lima propinsi di Jawa memperoleh alokasi dana sebesar 37,4 persen anggaran pada Repelita III lebih besar dari yang diterima oleh propinsi di kawasan timur Indonesia yang terdiri dari 14 propinsi hanya memperoleh 32,7 persen dari anggaran, bahkan sampai PELITA V pengalokasian tidak begitu berubah, dimana lima propinsi di Jawa menerima 30 persen dan kawasan timur Indonesia memperoleh 39,9 persen.1 Pada hakekatnya, kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara-negara sedang berkembang (NSB), tidak terkecuali di Indonesia.
2
“Ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut terpelihara dalam proses pertumbuhannya”. 3 Karenanya, tidaklah mengherankan ketimpangan itu pastinya selalu ada, baik itu di negara miskin, negara sedang berkembang, bahkan negara maju sekalipun. Hanya saja yang membedakan dari semua itu adalah seberapa besar tingkat ketimpangan yang terjadi pada masing-masing negara tersebut. Meskipun ketimpangan itu sendiri adalah suatu keniscayaan dalam proses pembangunan, khususnya pada tahap-tahap awal pembangunan, namun ketimpangan yang semakin melebar harus dihindari. Ketimpangan yang semakin lebar akan melahirkan berbagai ketidakpuasan, yang jika terus terakumulasi dapat 1
2
3
Herlinda Nifia. 2004. Efek Pemberlakuan Otonomi Daerah Terhadap Perbaikan Pelayanan Publik: Analisis Keuangan Daerah [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB. Hal. 2. Tulus T.H. Tambunan. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal. 82. Gigih Supriyantoro. 2005. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten-Kota di Propinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB. Hal. 2.
3
menimbulkan keresahan yang berujung pada berbagai macam konflik. Konflik itu bisa terjadi antar masyarakat, antar daerah, atau masyarakat dengan pemerintah maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sejarah Indonesia sendiri diwarnai dengan adanya persoalan kesenjangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Manifestasi ketidakpuasan itu seringkali membahayakan integritas bangsa, karena diwujudkan dalam gagasan dan gerakan pemisahan wilayah atau separatisme. Maka sejarah mencatat apa yang dikenal dengan pemberontakan PRRI/PERMESTA dan Republik Maluku Selatan (RMS). Pada masa pemerintahan Orde Baru, proses pembangunan dilaksanakan secara sentralistis. Pemerintah pusat menempatkan dirinya sebagai penggerak utama dalam upaya akselerasi pembangunan diseluruh pelosok tanah air. Berbagai kebijakan pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utamanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sentralisasi berbagai keputusan pada pemerintah pusat semakin memperbesar inefisiensi, karena banyak proyek-proyek yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh daerah. Studi yang dilakukan Kenneth Davey terhadap pemerintahan Indonesia menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan kenapa pemerintah Indonesia
cenderung
pembangunannya.
4
bersifat
sentralistik
dalam
menjalankan
proses
Pertama, kekhawatiran mengenai persatuan nasional dan
kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah yang mau tidak mau muncul 4
Kenneth Davey. 1989. Hubungan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam Nick Devas (Ed), Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. UI-Press, Jakarta. Hal. 181.
4
dari keadaan yang kurang stabil di awal setelah kemerdekaan. Kedua, masalah memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumberdaya antar daerah. Ketiga, pemerintah pusat ingin memegang kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Disamping
perbedaan
karakteristik
wilayah
yang
menyebabkan
kesenjangan antar propinsi di Indonesia, kebijakan yang bersifat sentralistik ini pun turut memperparah kesenjangan yang sudah ada. Akibat dari ini semua adalah rasa kekecewaan yang tinggi dari masyarakat daerah terlebih masyarakat luar Pulau Jawa terhadap pemerintah pusat. Sejak runtuhnya rezim orde baru, semangat untuk otonomi daerah dan desentralisasi kembali menguat, terlebih untuk daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini banyak dilakukan dengan tuntutan untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Timor-Timur, Aceh dan Papua. Untuk menjaga integrasi nasional terhadap kondisi ini serta menjawab atas tuntutan
masyarakat
daerah,
maka
pada
masa
pemerintahan
Habibie
dikeluarkanlah satu paket kebijakan tentang Otonomi Daerah berupa UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Kedua undang-undang ini kemudian diamandemen menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004. Dengan berlakunya UU. No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang mengatur kebijakan pemerintahan daerah dan desentralisasi fiskal sebagai awal dimulainya
5
suatu era baru penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih otonom, membuka satu harapan baru untuk memecahkan masalah ketimpangan yang terjadi selama ini.
1.2
Perumusan Masalah Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada
Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Masalah perimbangan keuangan pusat-daerah merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam memperoleh keuangan dari daerah telah memicu ketegangan antara pusat dan daerah. Banyak kekecewaan yang dirasakan oleh daerah dan manifestasi ketidakpuasan itu seringkali membahayakan integritas bangsa karena diwujudkan ke dalam gagasan dan gerakan pemisahan wilayah atau separatisme. Pergolakan daerah-daerah untuk menuntut keadilan terhadap pemerintah pusat ini dapat dilihat dari tuntutan daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam seperti Aceh, Papua, Riau, dan Kalimantan Timur yang selama pemerintahan Soeharto tidak menikmati kekayaan yang dimilikinya. Bahkan secara terangterangan masyarakat Aceh dan Papua menuntut merdeka dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6
Untuk menjaga integrasi nasional atas tuntutan masyarakat daerah, maka pada saat pemerintahan Habibie dikeluarkanlah satu paket kebijakan tentang Otonomi Daerah berupa UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Bahkan untuk menjawab tuntutan Aceh dan Papua terdapat Undang-undang tersendiri, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Aceh dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dengan berlakunya UU. No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang mengatur kebijakan pemerintahan daerah dan desentralisasi fiskal sebagai awal dimulainya suatu era baru penyelenggaraan pemerintah daerah lebih otonom, membuka satu harapan baru untuk memecahkan masalah ketimpangan yang terjadi selama ini. Walaupun pada hakekatnya disadari bahwa kemampuan setiap daerah dalam melaksanakan fungsi otonominya tidak sama satu dengan yang lainnya. Di satu pihak, beberapa daerah tergolong daerah yang beruntung karena memiliki sumbersumber penerimaan yang kaya, baik yang berasal dari pajak dan retribusi daerah maupun yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak (SDA). Di lain pihak, banyak daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang jauh dari memadai, yang mengakibatkan daerah-daerah semacam ini mengalami kesulitan dalam pembiayaan pelaksaanaan desentralisasi dan pelaksanaan otonomi daerahnya. Melihat keanekaragaman penyebaran sumberdaya alam seperti tersebut diatas, maka dalam UU No.25 th 1999 telah diperhitungkan pula kemungkinan tentang kondisi tersebut yakni dengan diadakannya Dana Alokasi Umum (DAU).
7
DAU ini memiliki ciri berupa dana blok (block grant) dan dialokasikan ke daerah dengan tujuan agar masyarakat di seluruh Indonesia memiliki kualitas atas pelayanan jasa dan fasilitas publik yang sama (Equalization Principle). Menurut ketentuan yang berlaku pada UU No.25 1999, maka alokasi DAU ini ditentukan dengan mempertimbangkan sisi kebutuhan (Fiscal Needs) dan sisi kemampuan fiskal (Fiscal Capacity). Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat, maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana kecenderungan perkembangan ketimpangan pendapatan yang terjadi antar propinsi di Indonesia pada masa sebelum dan setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan? 2. Apakah kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia? 3. Apakah
transfer fiskal sebagai salah satu instrumen dalam mengurangi
ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia memberikan dampak positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah di buat,
maka tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1. Mengetahui kecenderungan perkembangan ketimpangan pendapatan yang terjadi antar propinsi di Indonesia pada masa sebelum dan setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan.
8
2. Mengetahui dampak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia. 3. Mengetahui dampak pemberian transfer fiskal terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kecukupan upaya-upaya untuk melakukan pemerataan antar daerah dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal. 2. Sebagai suatu kasus, isu, metodologi maupun temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rangka otonomi daerah, dalam hal ini kebijakan desentralisasi fiskal sebagai instrumen pemerataan. 3. Bagi masyarakat umum diharapkan menjadi sebuah wacana untuk melihat keefektifan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini kebijakan desentralisasi fiskal. 4. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya dengan topik penelitian yang serupa, yaitu terkait masalah ketimpangan dan desentralisasi fiskal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian dan Konsep Desentralisasi Fiskal Lahirnya kebijakan otonomi daerah yang ditandai dengan diundangkannya
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul dengan kebijakan desentralisasi fiskal dengan landasan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tidak terlepas dari tuntutan reformasi yang bergulir beberapa tahun sebelumnya, dimana puncak tuntutan reformasi tersebut terjadi pada tahun 1998. Dalam mendefinisikan desentralisasi, beberapa ahli menggunakan pandangan dan perspektifnya masing-masing. Parson (1961) dalam Hidayat (2004) mendefinisikan desentralisasi sebagai: “sharing of the govermental power by a central ruling group with other groups, each having autority within a specific area of the state”.5 Pada bagian lain, Smith (1985) dalam Hidayat (2004) merumuskan definisi desentralisasi berdasarkan perspektif politik, yakni: “the transfer of power from top level to lower level, in a territorial hierarchy, wich could be one of goverment within a state, or offices within a large organisation”.6
5
6
Syarif Hidayat. 2004. Desentralisasi: Tinjauan Literatur Tentang Konsep Dasar, Pengalaman Negara Lain, dan Dinamika Kebijakan di Indonesia, dalam Hari Susanto (penyunting), Otonomi Daerah: Teori dan Kenyataan Empiris. PPE-LIPI, Jakarta. Hal. 6. Ibid.
10
Sementara itu Hidayat (2004) sendiri menyatakan bahwa: “konsep desentralisasi lebih banyak bicara tentang mekanisme pengaturan relasi kekuasaan dan wewenang dalam struktur pemerintahan”.7 Lebih jauh, terkait dengan desentralisasi yang sedang dilaksanakan oleh Indonesia, Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI, Machfud Sidik menyatakan desentralisasi sebagai: “sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara,
khususnya dalam rangka
memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis”.8 Undang-undang No. 22 tahun 1999 menyebutkan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, menurut UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999, desentralisasi diwujudkan sebagai berikut:
7
8
Ibid. Hal.1. Machfud Sidik. 2002. Kebijakan, Implementasi, dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dalam seminar nasional Menciptakan Good Governance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Yogyakarta. 20 April 2002. Hal. 1.
11
Bentuk Desentralisasi
Urusan/Pekerjaan
Desentralisasi
Fiskal
Dekonsentrasi Otonomi prinsipnya gubernur/provinsi demokrasi, adil wakil pusat, wilayah merata menurut administratif potensi: - secara luas, nyata, pembantuan tugas bertanggung jawab dan biaya oleh pusat, - kemandirian daerah dan kepala kab/kota desa - peranan DPRD - dasar konstitusi negara PAD dan PKPD Sistem pembiayaan pemerintah dalam rangka Negara Kesatuan RI yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sumber: Elmi (2002) Gambar 2.1 Bentuk Desentralisasi
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Dalam melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka Pemerintah Daerah harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Belajar dari pengalaman internasional, pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu harus dibiayai oleh pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri. Namun, secara pasti dapat dikatakan bahwa apabila semakin maju industri suatu negara maka pelaksanaan demokrasi akan semakin baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang semakin demokratis akan tercermin dalam pelaksanaan otonomi daerah yang semakin besar. Pelaksanaan otonomi yang semakin besar tersebut dari aspek
12
keuangan tercermin dari expenditure ratio yang cenderung semakin besar. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dalam suatu negara tidak selalu harus diukur dari besarnya peranan PAD untuk membiayai seluruh aktivitas pemerintahan daerah. Boediono, sebagai menteri keuangan di tahun 2002, menyebutkan bahwa: Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia lebih ditekankan pada aspek pengeluaran atau belanja dengan memperbesar porsi di daerah. Hal ini memiliki berbagai alasan yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan, yaitu kondisi antar daerah yang sangat heterogen, antara lain dapat dilihat dari jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, kondisi geografis, kondisi dan potensi perekonomian daerah.9 Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:10 a. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement; b. SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat; c. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Adapun tujuan dari kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN, yaitu untuk : 1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro. 9
10
Boediono. 2002. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara dalam Rangka Pelaksanaan Azas Desentralisasi Fiskal, disampaikan pada Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional Tahun 2002, Jakarta. 11 Februari 2002. Hal. 5. Machfud Sidik. Op Cit. Hal. 5.
13
2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang dilakukan dengan memperbesar taxing power Daerah. 3. Mengkoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar Daerah dalam kemampuan keuangannya, dimana relatif masih sangat bervariasi kemampuan keuangan antar Daerah. 4. Berkurangnya tingkat ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. 5. Akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah Daerah. 6. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 7. Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik.
2.2
Transfer Keuangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Transfer dana dari pusat merupakan sumber penerimaan yang amat
dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Simanjuntak, mengemukakan bahwa: ”satu alasan utama mengapa peran dana transfer dari pusat sedemikian pentingnya untuk pemerintahan daerah adalah untuk menjaga atau menjamin tercapainya standar pelayanan publik
14
minimum”.
11
Lebih jauh ia menyatakan tujuan utama dari transfer dana
pemerintah pusat adalah untuk:12 1. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal 2. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horisontal 3. Menginternalisasikan atau memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat (biaya) kepada daerah yang menerima limpahan manfaat (yang menimbulkan biaya) tersebut. Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah, sistem transfer di Indonesia sendiri secara umum terbagi atas tiga jenis, yaitu (1) subsidi (bertujuan untuk mencukupi kebutuhan rutin daerah), (2) bantuan (bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan, baik yang bersifat umum maupun khusus), (3) DIP (Daftar Isian Proyek). Kedua jenis pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan (intergovermental grants) sebab menjadi bagian dari pemerintah daerah. Sedangkan DIP diklasifikasikan sebagai ’in-kind allocation’, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah.13 Perjalanan sejarah sistem transfer fiskal pusat ke daerah diawali dengan era sebelum Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Instruksi Presiden (INPRES). Sampai dengan diundangkannya UU No 32 Tahun 1956, tentang Perimbangan 11
Robert A. Simanjuntak. 2002. Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara, dalam Machfud Sidik, dkk (Ed), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal. 23.
12
Ibid. Hal. 27.
13
Rakasasa Mahi dan Andriansyah. 2002. Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah, dalam Machfud Sidik, dkk (Ed), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal. 1.
15
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sistem subsidi yang dipakai adalah sistem ”sluit post” , yaitu suatu bentuk subsidi yang memberikan tunjangan sebesar selisih antara besarnya rencana penerimaan yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Namun demikian, dalam prakteknya yang dijalankan bukanlah sistem ”sluit post” murni. Pemberian tunjangan pada daerah sangat tergantung pada kebijaksanaan sepihak pemerintah pusat, yang sebagian besar berdasarkan pertimbangan politis. Berdasarkan UU No 32 tahun 1956, secara konseptual pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah diterjemahkan kedalam 3 (tiga) hal utama, yaitu: 1. penyerahan sumber pendapatan negara kepada pemerintah daerah 2. pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak negara kepada pemerintah daerah 3. memberikan ganjaran, subsidi dan sumbangan kepada pemerintah daerah Sejak tahun 1965, seiring dengan perubahan dalam dunia politik di Indonesia, tidak terdapat lagi pola pembagian pajak negara kepada daerah yang ditetapkan dengan PP. Pola ini digantikan dengan suatu pola kebijakan yang memberikan subsidi kepada daerah yang didasarkan pada perhitungan besarnya jumlah pengeluaran untuk gaji pegawai daerah otonom atau yang disebut sebagai subsidi perimbangan keuangan yang dikenal sebagai Subsidi Daerah Otonom (SDO). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna membantu menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan.
16
Berbeda dengan SDO yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah daerah, bantuan INPRES, yang diberikan atas Instruksi Presiden (INPRES), diberikan untuk membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Dasar pemberian bantuan tersebut adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Salah satu tujuan utama dari INPRES adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam pembangunan, dan distribusi hasil-hasil pembangunan. Bentuk transfer fiskal yang hanya berlaku satu tahun lebih (tahun 1999/2000 dan tahun 2000) yaitu Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD). Pada dasarnya DRD dan DPD tidak mempunyai perbedaan yang prinsip dengan pola SDO dan INPRES. Alasan utama perubahan ini dalah karena sejalan dengan tuntutan Otonomi Daerah, pemerintah pusat ingin menunjukkan secara jelas dalam APBN besaran dana yang di daerahkan, selain memperbesar pula alokasi dana yang di daerahkan. Setelah di berlakukannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah yaitu UU No 22 tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999, maka pola transfer pusat-daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk Dana Perimbangan, yang terdiri atas Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak yaitu bagian daerah yang berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam. Berdasarkan ketentuan baru tersebut, maka terjadi suatu mekanisme bagi-hasil atas berbagai penerimaan yang berasal dari sumber daya alam (Tabel 2.1). Ketentuan tentang bagi-hasil sumber
17
daya alam ini disambut secara antusias maupun dengan penuh kekhawatiran oleh berbagai daerah di Indonesia. Bagi daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka bagihasil ini memberikan “porsi” yang relatif lebih besar dari porsi yang mereka terima dalam sistem bagi-hasil yang berlaku selama ini. Tabel 2.1.
No 1 2 3 4
Proporsi Bagi Hasil Pajak dari Sumber Daya Alam Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 (dalam persen)
Jenis SDA
Minyak Gas alam Iuran tetap Royalti pertambangan umum 5 IHH 6 IHPH/PSDH 7 Perikanan Sumber: Sidik (2002)
Pusat 100 100 20 20
55 55 100
Sebelum Sesudah DATI DATI Kab/kota Pusat Propinsi Kab/kota I II lainnya 85 3 6 6 70 6 12 12 16 64 20 16 64 16 64 20 16 32 32
30 30 -
15 15 -
20 20 20
16 16 -
64 32 -
32 80
Bila didasarkan pada perhitungan bagi-hasil di atas, maka beberapa daerah yang tidak memiliki sumber daya alam sesuai dengan UU No.25 tahun 1999 akan mengalami kekhawatiran yang cukup mendalam dalam rangka melaksanakan proses desentralisasinya. Tetapi dalam UU No.25 th 1999 telah diperhitungkan pula kemungkinan tersebut, yakni dengan diadakannya Dana Alokasi Umum (DAU). DAU ini memiliki ciri berupa dana blok (block grant) dan dialokasikan ke daerah dengan tujuan agar masyarakat di seluruh Indonesia memiliki kualitas atas pelayanan jasa dan fasilitas publik yang sama (Equalization Principle). Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk melakukan alokasi DAU ini kepada daerah-daerah di Indonesia. Menurut ketentuan yang
18
berlaku pada UU No.25 1999, maka alokasi DAU ini ditentukan dengan mempertimbangkan sisi kebutuhan (Fiscal Needs) dan sisi kemampuan fiskal (Fiscal Capacity). Untuk memperoleh perkiraan kebutuhan dan kemampuan fiskal, diperlukan suatu kajian empiris. Hal ini diperlukan agar diketahui variabelvariabel apa yang dapat mewakili (proxy) bagi kebutuhan dan kemampuan fiskal, serta bobot dari variabel tersebut dalam penentuan alokasi DAU. Menurut ketentuan UU No.25/1999, maka kebutuhan wilayah otonomi daerah paling sedikit dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Menurut ketentuan ini, paling tidak sudah diperoleh 4 variabel proxy bagi kebutuhan. Sementara itu, untuk potensi ekonomi daerah, antara lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima daerah, seperti potensi industri, sumber daya alam, sumber daya manusia dan PDRB. Adapun Dana Alokasi Khusus (DAK) pada hakikatnya merupakan dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi prasarana baru, pembangunan
19
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.
2.3
Pengertian dan Konsep Ketimpangan Ketimpangan merupakan suatu fenomena yang terjadi hampir di lapisan
negara di dunia, baik itu negara miskin, negara sedang berkembang, maupun negara maju, hanya yang membedakan dari semuanya itu yaitu besaran tingkat ketimpangan tersebut, karenanya ketimpangan itu tidak mungkin dihilangkan namun hanya dapat ditekan hingga batas yang dapat ditoleransi. Myrdal (1957) dalam Jhingan (2004) menerangkan ketimpangan antar daerah dengan membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya disekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional.14 Untuk menjelaskan hal itu, Myrdal menggunakan ide spread effect dan backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Spread effect didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favorable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Backwash effect didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavorable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti. Lebih lanjut,
14
M.L. Jhingan. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, dalam D. Guritno (penerjemah). PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 211 – 216.
20
Myrdal mengemukakan ketimpangan regional terjadi akibat besarnya pengaruh backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perbedaan kemajuan wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh sehingga yang timbul adalah terjadinya ketidakmerataan antar daerah. Sehubungan dengan hal ini, muncul pendapat dan studi-studi empiris yang menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada satu posisi yang dikotonomis. Kuznets (1957) dalam Tambunan (2003) mengemukakan suatu hipotesa yang terkenal dengan sebutan “Hipotesis U terbalik”.15 Hipotesis ini dihasilkan melalui suatu kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara didunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan disektor modern lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradisional. Akan tetapi dalam jangka panjang , pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas serta mobilitas semua faktor-faktor produksi antar negara tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar negara akan cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan rata-rata-nya yang semakin tinggi di setiap negara, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan.
15
Tulus T.H. Tambunan. Op Cit. Hal. 84 – 89
21
Salah satu kajian yang menguatkan hipotesa Kuznet tersebut dilakukan oleh Williamson (1965) dalam Tambunan (2003). 16 Williamson untuk pertama kalinya
menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot
perhitungan coeffisient of variation (CV) dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi
disparitas
dalam
distribusi
pendapatan
akan
membesar
dan
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur, dan SDM. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan.
2.4
Penelitian Terdahulu Sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan
pengkajian
mengenai
pembangunan
ekonomi
regional
Indonesia
yang
memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar propinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor-pelopor dari studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, yang selanjutnya disusul oleh studi-studi yang serupa, diantaranya yang dilakukan oleh: 1. Uppal dan Handoko (1986) dalam Supriantoro (2005), menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Mereka mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi
16
Ibid. Hal. 146.
22
menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan kepada propinsi.17 2. Tadjoedin (1996) dalam Supriantoro (2005), juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama yakni menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode analisis.18 3. Tadjoedin et al,(2001) dalam Supriantoro (2005), melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga konstan 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan yang semakin meningkat.19 4. Sjafrizal (2000) dalam Tambunan (2003), menganalisis ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat (IKB) dengan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dengan memakai data PDRB untuk periode 1971-1998. Dengan menggunakan formulasi yang sama, hasil yang diperoleh menunjukkan
17
Gigih Supriyantoro. Op Cit. Hal. 32.
18
Ibid.
19
Ibid.
23
adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar propinsi di Indonesia sejak awal 1970-an.20 Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Peneliti Terdahulu
Tahun
Diluar Migas Uppal & Handoko
Tadjoedin
Tadjoedin, et al
Sjafrizal
0,396 0,406 0,415 0,483 0,462 0,4631 0,415 0,4609 0,396 0,4344 0,429 0,5240 0,417 0,4435 0,425 0,445 0,438 0,498 0,4875 0,515 0,4714 0,494 0,4600 0,474 0,4567 0,471 0,4609 0,465 0,5632 0,493 0,5385 0,484 0,5392 0,536 0,5442 0,535 0,5489 0,923 0,544 0,938 0,643 0,962 0,653 0,966 0,654 0,982 0,671 0,965 0,605 Sumber: Uppal dan Handoko (1986), Tadjoedin (1996), dan Tadjoedin, et al, (2001) dalam Supriyantoro (2005) dan Sjafrizal (2000) dalam Tambunan (2003)
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Adapun penelitian yang terkait dengan ketimpangan dan desentralisasi fiskal, diantaranya:
20
Tulus T.H. Tambunan. Op Cit. Hal. 146 – 147.
24
1. Brodjonegoro dan Pakpahan (2002), melakukan uji evaluasi kuantitatif sederhana atas alokasi DAU 2001 dengan menganalisa korelasi alokasi DAU dengan variabel-variabel yang membentuknya, yaitu variabelvariabel potensial, variabel-variabel kebutuhan, serta variabel belanja pegawai dan SDO + Inpres.
21
Alat analisa yang digunakan untuk
pemerataan fiskal antar daerah yaitu dengan bantuan Indeks Williamson. Uji korelasi menunjukkan cukup kuatnya hubungan antara alokasi DAU 2001 dengan variabel-variabel yang membentuknya untuk tingkat propinsi, sedang untuk tingkat kabupaten/kota tidak cukup kuat hubungan antara alokasi DAU 2001 dengan variabel-variabel yang membentuknya. Namun demikian, alokasi DAU 2001 untuk kabupaten/kota ternyata mampu memeratakan kemampuan fiskal antar daerah lebih baik dibandingkan alokasi untuk tingkat propinsi. 2. Riyanto (2003), melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiscal terhadap perekonomian dan pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia, dalam penelitiannya ia lebih menekankan pada penggunaan dana perimbangan. 22 Hasil estimasi dari model yang telah disusunnya menyatakan bahwa dampak dana perimbangan berpengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan APBD, namun hal ini tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian daerah. Uji ekonometrika pun 21
Bambang Brodjonegoro dan Arlen T. Pakpahan. 2002. Evaluasi atas Alokasi DAU dan Permasalahannya dalam Machfud Sidik, dkk (Ed), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal. 80 – 82.
22
Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hal. 206-211.
25
menunjukkan bahwa pengaruh dana perimbangan terhadap pemerataan pembangunan wilayah mampu memperbaiki kesenjangan yang terjadi antar wilayah, namun secara aktual pemerataan pembangunan daerah
pada
tahun 2001 masih belum membaik. 3. Suhartono (2005), dalam studinya tentang signifikansi peran transfer fiskal dalam mengurangi kesenjangan antar daerah di wilayah Jawa Bagian Barat, diperoleh hasil yang menunjukkan kecenderungan pemerataan fiskal belum dapat membawa kepada kecenderungan pemerataan pembangunan.
23
Transfer fiskal terbukti sebagai instrumen pemerataan antar daerah karena ketimpangan pembangunan terbukti memiliki kaitan yang erat dengan persoalan ketimpangan transfer. Sementara itu, dalam uji ekonometrika, variabel dummy (dalam hal ini desentralisasi fiskal) belum mampu menekan tingkat ketimpangan pembangunan maupun tingkat ketimpangan fiskal antar kabupaten/kota di wilayah Jawa Bagian Barat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: 1.
Pada penelitian ini akan di analisis peranan PAD dan transfer fiskal terhadap tingkat ketimpangan pendapatan, dimana kedua komponen ini merupakan salah satu pembentuk keuangan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal.
2.
Dalam studi ini, sebelum diberlakukannya desentralisasi fiskal, transfer fiskal merupakan penjumlahan dari dana SDO, Inpres serta dana bagi hasil.
23
Heri Suhartono. 2005. Signifikansi Peran Transfer Fiskal dalam Mengurangi Kesenjangan Antar Daerah di Wilayah Jawa Bagian Barat [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. FE-UI. Hal. 120 – 122.
26
Sedangkan setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal, transfer fiskal adalah penjumlahan dari DAU dan dana bagi hasil. 3.
Sebelum diestimasi, variabel-variabel dalam model pada penelitian ini yaitu PAD dan transfer fiskal, terlebih dahulu akan dibobot dengan jumlah penduduk, kecuali variabel dummy (dalam hal ini desentralisasi fiskal). Pembobotan ini dilakukan dengan menggunakan Indeks Williamson.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Pendapatan Domestik Regional Bruto Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran
agregat. Secara umum, prestasi tersebut dapat diukur melalui sebuah besaran dengan istilah Pendapatan Nasional. Meskipun ukuran ini bukan merupakan satusatunya ukuran untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, tapi ia cukup representatif dan sangat lazim digunakan. Rinciannya secara sektoral dapat menerangkan struktur perekonomian negara yang bersangkutan. Di samping itu, dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunan (derived measure)-nya seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Istilah ”pendapatan nasional” dapat berarti sempit dan berarti luas. Dalam arti sempit, “pendapatan nasional” adalah terjemahan langsung dari national income. Sedangkan dalam arti luas, “pendapatan nasional” dapat merujuk pada Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestik Product (GDP); atau merujuk ke Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP); Produk National Netto (PNN) atau Net National Product (NNP); atau merujuk ke Pendapatan Nasional (PN) atau National Income (NI).24 Produk Nasional Bruto (PNB) adalah penjumlahan nilai akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara. Produk Domestik Bruto (PDB)
24
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Hal. 37.
28
adalah penjumlahan nilai akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Dalam perhitungan PDB tidak dimasukkan nilai produk antara dan pendapatan warga negara bersangkutan yang berada diluar negeri, tetapi memasukkan seluruh produksi dalam negeri termasuk pendapatan yang diterima warga negara asing. PDB untuk tingkat wilayah pada sebuah negara dikenal dengan sebutan Produk Domestik Regional Domestik Bruto (PDRB). Besar kecilnya PDRB yang dapat dihasilkan oleh suatu wilayah/daerah dipengaruhi oleh besarnya sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan dan macamnya, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijaksanaan pemerintah, letak geografis serta tersedianya sarana dan prasarana. Dalam menghitung pendapatan regional, BPS (1995) memasukkan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yaang melakukan usahanya disuatu wilayah atau daerah, tanpa memperhatikan pemilik atas faktor produksi. Dengan demikian, PDRB secara keseluruhan menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa kepada faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut. Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu: a. Metode Langsung Dalam menghitung PDRB dengan metode langsung, penghitungan didasarkan sepenuhnya kepada data daerah yang terpisah dari data nasional, sehingga hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa
29
yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat diukur dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan produksi PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Unitunit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 (sebelas) sektor, yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintahan; (11) jasa-jasa. 2. Pendekatan pendapatan PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi tersebut meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto. Jumlah komponen pendapatan persektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu, PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha. 3. Pendekatan pengeluaran Menurut pendekatan ini PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik
30
bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor neto (yaitu ekspor dikurangi impor), dalam jangka waktu satu tahun. b. Metode Tidak Langsung/Alokasi Dalam
melakukan
perhitungan
PDRB
melalui
metode
tidak
langsung/alokasi penghitung dilakukan dengan cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional kedalam masing-masing kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut. Penghitungan PDRB pada suatu wilayah/daerah dengan menggunakan metode langsung atau tidak langsung/alokasi sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada dasarnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena penghitungan dengan metode langsung akan mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedangkan penghitungan dengan metode tidak langsung merupakan koreksi dan pembanding bagi data daerah. Dilihat dari penjelasan di atas, PDRB dari suatu wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian, PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data lainnya.
31
3.1.2 Pengukuran Ketimpangan Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara dikalangan penduduknya. Terdapat berbagai kriteria atau tolok ukur untuk menilai kemerataan distribusi yang dimaksud, diantaranya yaitu: 1. Kurva Lorenz Kurva Lorenz mengggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Kurva ini terletak disebuah bujur sangkar yang disisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi dasarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
32
Pendapatan (%)
100
C
80 60 40 A
20 0
B
20
40
60
80
100
Jumlah Penduduk (%) Sumber: Dumairy (1996)
Gambar 3.1 Kurva Lorenz Keterangan: titik A mencerminkan 60% penduduk berpendapatan terendah menghasilkan atau hanya memiliki 20% pendapatan nasional.
2. Indeks Gini Gini atau lengkapnya Corrado Gini merumuskan suatu ukuran untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan personal secara agregatif yang diterima diatas tingkat tertentu. Hasil temuannya sering disebut sebagai gini coeffisient atau indeks gini. Koefisien gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, yang menjelaskan kadar kemerataan pendapatan. Koefisien yang semakin mendekati 0 berarti distribusi pendapatan semakin merata, sebaliknya koefisien yang semakin mendekati 1 berarti distribusi pendapatan semakin timpang. Angka rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz, yaitu perbandingan luas area yang terletak diantara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area segitiga OBC. Semakin melegkung kurva Lorenz, akan semakin luas yang dibagi rasio Gini-nya akan semakin besar,
33
menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin timpang. Koefisien Gini juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus: n
G = 1 − ∑ ( X i +1 − X i )(Yi + Yi +1 )
(1)
1
dimana: G = Koefisien Gini Xi = Proporsi kumulatif rumah tangga dalam kelas-i Yi = Proporsi kumulatif pendapatan dalam kelas-i Todaro (1981) dalam Sya’dullah (1999) memberikan batasan, bahwa negaranegara yang ketimpangannya tinggi, maka koefisien Gini-nya terletak antara 0,5-0,7. Sedang negara-negara yang ketimpangannya relatif rendah (merata), koefisien Gini-nya terletak antara 0,2-0,35.25
3. Kriteria Bank Dunia Bank Dunia yang bekerjasama dengan Institute of Development Studies menentukan kriteria tentang penggolongan distribusi pendapatan, apakah dalam keadaan ketimpangan yang parah, sedang, atau ringan. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa:26
25
26
Makmun Sya’dullah. 1999. Dampak Pengalokasian DIP dan Inpres terhadap Distribusi Pendapatan, dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. JEP VII (1). PEP – LIPI. Hal. 61. Mudrajat Kuncoro. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP-APNYKPN,Yogyakarta. Hal. 58.
34
a. Jika 40 persen penduduk suatu negara berpendapatan terendah memperoleh sekitar kurang 12 persen jumlah pendapatan negara tersebut maka hal ini termasuk kedalam ketimpangan yang tinggi. b. Kelompok kedua adalah 40 persen dari jumlah penduduk yang berpendapatan terendah, tetapi hanya menerima antara 12-17 persen dari seluruh pendapatan negara. Golongan ini masih dapat dikatakan sebagai keadaan dengan ketimpangan yang sedang. c. Jika golongan penduduk yang 40 persen tersebut memperoleh lebih dari 17 persen dari total pendapatan negaranya, maka tingkat ketimpangannya termasuk rendah.
4. Indeks Williamson Indeks Williamson ini diperkenalkan oleh Jeffry G Williamson (1965), penghitungan nilai ini didasarkan pada coeffisient of variation (CV) dan Williamson memodifikasi perhitungan ini dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk wilayah.27 Berbeda halnya dengan gini coeffisient yang menghitung nilai distribusi pendapatan seluruh rumah tangga dalam suatu daerah atau negara, indeks Williamson ini dapat melihat besarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah dalam sebuah wilayah. Semakin besar angka indeks Williamson ini maka semakin besar pula tingkat ketimpangan yang terjadi. Indeks ini dapat dihitung dengan rumus:
27
Tulus T.H. Tambunan. Op Cit. Hal. 84 – 89
35
∑ (Y
i
CVw =
−Y ) . 2
i
fi n
Y
(2)
dimana: CVw
= Indeks ketimpangan pendapatan wilayah
fi
= Jumlah penduduk di propinsi i
n
= Jumlah penduduk nasional
Yi
= Pendapatan perkapita di propinsi i
Y
= Rata-rata pendapatan perkapita untuk seluruh propinsi
Batasan tingkat ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan ukuran ini, yaitu:28 a. Nilai indeks > 1, terjadi ketimpangan yang maksimum b. Nilai indeks 0,7 – 1 , terjadi ketimpangan yang tinggi c. Nilai indeks 0,4 – 0,6 , terjadi ketimpangan yang sedang d. Nilai indeks < 0,3 , terjadi ketimpangan yang rendah
3.1.3
Analisis Model Regresi Analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel
(variabel terikat) pada satu atau lebih variabel lain (variabel bebas) dengan maksud menaksir dan atau meramalkan nilai rata-rata hitung atau rata-rata (populasi) variabel terikat. Hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas tersebut dapat dimodelkan secara matematik, sehingga dapat meramal atau 28
Thomas Nugroho. 2004. Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat (Studi Kasus Di Kabupaten Karawang Subang – Garut Ciamis) [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hal. 52.
36
menduga nilai variabel terikat jika diketahui variabel bebasnya. Dalam hal ini yang digunakan adalah model regresi berganda. Persamaan regresi berganda adalah persamaan regresi yang melibatkan dua atau lebih variabel dalam analisa. Tujuannya adalah untuk menghitung parameter-parameter estimasi dan untuk melihat apakah variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat dan memiliki pengaruh kepadanya. Variabel yang akan diestimasi adalah variabel terikat, sedangkan variabel-variabel yang mempengaruhi adalah variabel bebas. Adapun bentuk umum dari model regresi berganda ini yaitu:
Y = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X 2 + ... + β n X n + ε Dimana: Y
= variabel terikat
Xn
= variabel bebas (n = 1, 2, 3, ..., n)
β0
= intercept
βn
= parameter yang diduga (n = 1, 2, 3, ..., n)
ε
= error Terdapat beberapa kriteria untuk menghasilkan model yang baik, yaitu
model yang digunakan harus nonautokorelasi, homoskedastisitas, dan tidak mengandung multikolinearitas.
37
3.2
Kerangka Pemikiran Konseptual Keberhasilan ekonomi suatu negara biasanya diukur dari tingginya angka
pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun demikian, terdapat satu ukuran yang lebih representatif dalam melihat keberhasilan ekonomi suatu negara ini, yaitu dilihat dari segi kesejahteraan masyarakatnya dan hal ini dapat dilihat melalui dimensi pemerataan (equality). Pembangunan yang semata-mata mengejar pertumbuhan
diyakini
akan
menghasilkan
berbagai
kesenjangan
dalam
kesejahteraan golongan masyarakat (antara golongan kaya dan golongan miskin) maupun dalam bentuk kesenjangan antar daerah atau ketimpangan wilayah.
Dua dari tiga masalah pembangunan jangka panjang di Indonesia adalah bersangkutan dengan masalah ketimpangan atau kesenjangan, yaitu ketimpangan pada perimbangan kekuatan diantara golongan-golongan masyarakat dan ketidakseimbangan ekonomi antar daerah. Satu masalah lainnya adalah persoalan lapangan kerja produktif dan pengangguran.29 Maka dapat dipahami jika masalah ketimpangan atau kesenjangan antar daerah selalu menjadi salah satu isu utama dalam pembangunan daerah di Indonesia.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu diangggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.30 Pada awal pemerintahan Orde Baru, para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang terpusatkan hanya di Pulau Jawa saja, khususnya Jakarta dan 29
Heri Suhartono. Op Cit. Hal. 2.
30
Tulus T.H. Tambunan, Op Cit, Hal. 10.
38
sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut efek “tetesan kebawah”. Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode Orde Baru strategi pembangunan ekonomi lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dimulai pada Repelita I, strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan substitusi impor. Industri-industri tersebut diantaranya: industri yang memproses bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri yang padat karya, industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, kertas dan tekstil.31 Dampak Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Pada awal Repelita I (1969), PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun pada harga berlaku atau 4,8 triliun pada harga konstan. Pada tahun 1990 menjadi 188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan dan selama periode 1969-1990, laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata pertahun di atas 7 %. Kesuksesan pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mampu memecahkan kemiskinan. Tercatat sampai awal tahun 1990 jumlah penduduk miskin sebanyak 27,2 juta jiwa dengan proporsi 75 % berada di tingkat desa. Sementara itu tingkat ketimpangan yang terjadipun cenderung terus meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan
31
Ibid.
39
tersebut, maka orientasi kebijakan pemerintah selanjutnya menjadi pertumbuhan dengan pemerataan.
Yang menjadi persoalan lebih substansial di balik seluruh prestasi yang terekam secara statistik adalah terletak pada bahwa baik proses pertumbuhan, distribusi apalagi transformasi yang terjadi berada jauh tertekan dari yang seharusnya dapat dicapai. Hal ini disebabkan apa yang sering dikenal sebagai adanya distorsi: distorsi pasar, distorsi ekonomi dan distorsi ekonomi secara luas.32 Adanya berbagai distorsi yang dilakukan, berujung pada daya saing yang rendah serta ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya yang memiliki start yang relatif sama, seperti Malaysia. Disamping adanya distorsi tersebut, “terjadi pula misalokasi dalam proses pembangunan yang mengakibatkan tak terjadinya industrialisasi yang menjawab kebutuhan employment, dangkalnya penguasaan teknologi
dan struktur industri serta struktur ekonomi secara
keseluruhan”.33 Adanya krisis mata uang yang melanda Asia, ternyata Indonesia-lah yang mengalami posisi paling parah setelah tiga hingga enam bulan semenjak awal krisis.34 Tercatat tingkat depresiasi rupiah yang dialami Indonesia adalah paling parah (sekitar 300 persen) dibandingkan dengan negara-negara lain yang terkena
32
Didin S. Damanhuri. 1999. PJP I, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Pembangunan dalam Pilar-pilar Reformasi Ekonomi-Politik, Upaya Memahami Krisis Ekonomi dan Menyongsong Indonesia Baru . CIDES dan Pustaka Hidayah, Jakarta. Hal.13.
33
Ibid. Hal. 15.
34
Krisis yang melanda Asia ini dimulai dengan pengakuan Spekulan-Soros yang tak puas akibat diterimanya Myanmar menjadi anggota ASEAN, lantas ia menggoncang Thailand yang merembet ke Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura dan belakangan menohok Korea Selatan bahkan juga Jepang (Damanhuri, 1999: 21). Sekitar Mei 1997 bank sentral Thailand menyerahkan sepenuhnya nilai tukar Baht pada mekanisme pasar, akibatnya nilai Baht terdepresiasi sekitar 15 persen sampai 20 persen hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 Baht per dolar AS.
40
krisis. “Dalam konteks ini berarti memang membuktikan fundamental ekonomi serta politik secara konprehensif, posisi Indonesia berada paling lemah diantara delapan NIB (Negara Industri Baru) yang sebelumnya sering disebut sebagai negara-negara yang mengalami “keajaiban Asia” (Asian miracle)”.35 Ketidakmampuan Indonesia dalam menerima gejolak krisis tersebut, ditambah dengan kekecewaan yang dirasakan masyarakat atas ketidakadilan dalam proses pembangunan dan hasil-hasilnya, memunculkan semangat reformasi terutama dikalangan pemuda. Sekitar akhir bulan Mei 1998, gedung DPR-MPR diduduki oleh ribuan mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto dan adanya tuntutan reformasi di segala bidang. Salah satu tuntutan reformasi tersebut yaitu tuntutan terhadap pemerintahan daerah yang lebih otonom. Untuk menjaga integrasi nasional atas tuntutan masyarakat tersebut juga merespon tuntutan akan keadilan daerah setelah lengsernya Soeharto, maka pada saat pemerintahan Habibie dikeluarkanlah satu paket kebijakan tentang Otonomi Daerah. Kebijakan ini terangkum dalam satu paket undang-undang, yakni UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Dengan berlakunya UU. No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang mengatur kebijakan pemerintahan daerah dan desentralisasi fiskal sebagai awal dimulainya suatu era baru penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih otonom, membuka satu harapan baru untuk memecahkan masalah ketimpangan yang terjadi selama ini.
35
Didin S. Damanhuri. Op Cit. Hal 17.
41
Untuk melengkapi kerangka pemikiran konseptual dalam studi ini, maka dapat dilihat pula bagan alur pendekatan studi ini (Gambar 3.2). Pada bagan alur tersebut, penulis memulai dari adanya kebijakan reformasi pembangunan berupa Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah ini tercantum secara utuh dalam UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Kedua undang-undang ini selanjutnya diamandemen menjadi UU no. 32 dan no. 33 tahun 2004. Adanya perbedaan karakteristik wilayah memunculkan ketimpangan pendapatan antar wilayah. Salah satu tujuan dikeluarkannya UU No. 25/1999 tersebut yaitu untuk meminimalisir ketimpangan, yaitu melalui sumber-sumber pembiayaan, diantaranya PAD dan transfer fiskal. Ujung dari semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tentunya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Karenanya, dalam studi ini penulis ingin mengetahui dampak dari dikeluarkannya kebijakan pemerintah yakni berupa desentralisasi fiskal. Apakah mampu mensejahterakan masyarakatnya dengan cara menekan ketimpangan antar wilayah?
42
Kebijakan Reformasi Pembangunan
OTONOMI DAERAH
Revenue Power
Revenue Sharing
UU No. 22 th. 1999 (diamandemen: UU No. 32 th. 2004) tentang Pemerintah Daerah
UU No. 25 th. 1999 (diamandemen: UU No. 33 th. 2004) tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat Daerah
PAD Pajak Retribusi BUMD
Pinjaman Daerah
Dana Perimbangan DAU BHP/BHBP DAK
OLS, Regresi Berganda
Perbedaan Karakteristik Wilayah KETIMPANGAN PENDAPATAN
Sumber Daya Alam Sumber Daya Manusia
Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah
Kesejahteraan Masyarakat
= Wilayah Analisis
Gambar 3.2 Bagan Alur Pendekatan Studi
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Kasus dan Unit Data Waktu amatan penelitian ini yaitu dimulai dari tahun 1993 sampai dengan
tahun 2004. Penelitian ini mengambil studi wilayah pada tingkatan nasional yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan unit amatan pada tingkatan propinsi. Untuk keperluan analisis jumlah propinsi tidak akan mengikuti jumlah propinsi yang baru yaitu sebanyak 33 propinsi, melainkan akan menggunakan propinsi sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah yaitu sebanyak 26 propinsi dengan memasukkan propinsi baru pada propinsi lamanya. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data pada propinsi baru yang nantinya akan membuat hasil penelitian ini menjadi bias. Dengan demikian, unit daerah yang diamati meliputi: (1) Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD); (2) Propinsi Sumatra Utara; (3) Propinsi Sumatra Barat; (4) Propinsi Riau (termasuk propinsi Kepulauan Riau didalamnya); (5) Propinsi Jambi; (6) Propinsi Sumatra Selatan (termasuk propinsi Bangka Belitung didalamnya); (7) Propinsi Bengkulu; (8) Propinsi Lampung; (9) Propinsi DKI Jakarta; (10) Propinsi Jawa Barat (termasuk propinsi Banten didalamnya); (11) Propinsi Jawa Tengah; (12) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY); (13) Propinsi Jawa Timur; (14) Propinsi Bali; (15) Propinsi Nusa Tenggara Barat; (16) Propinsi Nusa Tenggara Timur; (17) Propinsi Kalimantan Barat; (18) Propinsi Kalimantan Tengah; (19) Propinsi Kalimantan Selatan; (20) Propinsi Kalimantan Timur; (21) Propinsi Sulawesi Utara (termasuk propinsi Gorontalo didalamnya); (22) Propinsi Sulawesi Selatan; (23) Propinsi Sulawesi Tengah (termasuk propinsi Sulawesi Barat didalamnya); (24) Propinsi
44
Sulawesi Tenggara; (25) Propinsi Maluku (termasuk propinsi Maluku Utara didalamnya); (26) Propinsi Papua (termasuk propinsi Irian Jaya Barat didalamnya)
4.2
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini peranan data sekunder cukup dominan, baik dalam
bentuk laporan-laporan maupun data statistik. Beberapa data kuantitatif yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat seperti yang tercantum dalam tabel 4.1 berikut sumber perolehan datanya. Tabel 4.1. Data dan Sumber Perolehannya No Data 1 PDRB masing-masing propinsi 2 APBD masing-masing propinsi 3 PDB Indonesia 4 Jumlah penduduk Indonesia 5 Jumlah penduduk masing-masing propinsi
4.3
Sumber BPS BPS BPS BPS BPS
Metode Analisis Untuk mengkaji perkembangan tingkat ketimpangan pendapatan antar
propinsi akan digunakan alat bantu indeks Williamson (CVw), adapun untuk mengkaji dampak desentralisasi fiskal terhadap tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia akan dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika, yakni regresi berganda.
45
4.3.1
Mengukur Perkembangan Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi Untuk
mengukur
perkembangan
ketimpangan
pendapatan
dapat
menggunakan beberapa ukuran diantaranya Indeks Gini, Kriteria World Bank, Indeks Williamson. Dari ukuran-ukuran tersebut maka ukuran yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan Indeks Williamson. Hal ini dikarenakan rumusan ini sudah dikenal luas kegunaannya untuk mengukur ketimpangan antar wilayah. Rumus umum dari Indeks Williamson ini, yaitu:
∑ (Y
i
CVw =
−Y ) . 2
i
fi n
Y
dimana: CVw
= Indeks ketimpangan antar wilayah
fi
= Jumlah penduduk di propinsi i
n
= Jumlah penduduk nasional
Yi
= Pendapatan perkapita di propinsi i
Y
= Rata-rata pendapatan perkapita untuk seluruh propinsi
Batasan tingkat ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan ukuran ini, yaitu: a. Nilai indeks > 1, terjadi ketimpangan yang maksimum b. Nilai indeks 0,7 – 1 , terjadi ketimpangan yang tinggi c. Nilai indeks 0,4 – 0,6 , terjadi ketimpangan yang sedang d. Nilai indeks < 0,3 , terjadi ketimpangan yang rendah
46
4.3.2
Mengukur Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia Dalam melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap tingkat ketimpangan
pendapatan antar propinsi di Indonesia, maka akan digunakan model ekonometrika, yakni metode analisis regresi berganda. Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penelitian Suhartono (2005), yaitu:36 CVw = β 0 + β1 PAD + β 3TF + β 4 DF + ε t
Keterangan: CVw = Indeks Ketimpangan Pendapatan PAD
= Indeks Ketimpangan PAD
TF
= Indeks Ketimpangan Transfer Fiskal
DF
= Variabel dummy, desentralisasi fiskal
β0
= Intercept
βn
= Parameter yang diduga (n = 1, 2, 3, ...)
εt
= error Pada model tersebut diharapkan ketimpangan PAD dan ketimpangan fiskal
memberikan dampak yang positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Dummy desentralisasi fiskal dalam model ini diharapkan pula dapat meminimalisir ketimpangan pendapatan, sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya kebijakan ini.
36
Heri Suhartono. Op Cit. Hal. 83 .
47
Pengujian atas model tersebut di atas dilakukan dengan kriteria statistik dan ekonometrika. Pengujian kriteria statistik dilakukan dengan: uji koefisien determinasi (R2), uji t (uji parsial), dan uji F (uji serempak). Sedangkan uji ekonometrika
yaitu
terpenuhinya
model
yang
bersifat
nonautokorelasi,
homoskedastisitas dan tidak mengandung gejala multikolinearitas.37
37
Uji koeffisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variabel bebas dapat menjelaskan variasi variabel terikat. Uji secara parsial dilihat dari nilai probabilitas t-stat-nya, sedangkan untuk uji secara serempak, yakni dengan melihat nilai probabilitas F-stat-nya. Kedua probabilitas uji ini dibandingkan dengan taraf nyata. Jika nilai probabilitas kedua uji ini lebih kecil dari taraf nyata, maka variabel-variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya. Selanjutnya, uji autokorelasi dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squred dari Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, sedangkan uji heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squred White Heteroskedasticity Test. Kedua probabilitas uji ini dibandingkan dengan taraf nyata. Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata, maka model yang digunakan bersifat nonautokorelasi dan homoskedastisitas. Untuk melihat model tidak mengandung gejala multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai correlation matriks-nya. Model terbebas dari gejala ini, jika tidak ada korelasi antar varibel bebas yang melebihi |0,8|.
V. GAMBARAN UMUM KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
5.1
Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia Perkembangan Perekonomian Indonesia dapat dilihat antara lain dari
aspek pertumbuhan ekonomi. Dari tahun
1994 sampai dengan 1996 laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil yaitu sekitar 6 persen. Namun mulai tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan bahkan mencapai nilai yang negatif di tahun 1998 yaitu -13,13 persen. Pertumbuhan ekonomi yang rendah ini tidak lain disebabkan karena ketidakmampuan Indonesia dalam menghadapi krisis yang melanda Asia pada pertengahan 1997 silam. Krisis ekonomi yang melanda Asia ini justru menjadi krisis multidimensi di Indonesia, tidak hanya krisis ekonomi maupun moneter, tapi juga krisis ini menjalar hampir kesemua bidang, baik politik, sosial, bahkan krisis ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Setelah mengalami kontraksi yang besar pada tahun 1998, perekonomian Indonesia perlahan mulai bangkit lagi. Pada tahun 1999 perekonomian tumbuh sekitar 0,79 persen; tahun 2000 4,92 persen; tahun 2001 3,4 persen; tahun 2002 3,66 persen; tahun 2003 4,61 persen dan tahun 2004 sebesar 4,86 persen. Kemampuan Indonesia untuk dapat meningkatkan kembali pertumbuhannya pasca krisis ini tidak lain disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Bahkan sampai tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh tingkat konsumsi masyarakat dan bukannya investasi.
49
Peningkatan pertumbuhan ini memberikan harapan bagi bangsa Indonesia untuk segera keluar dari krisis multidimensi tersebut, walaupun pertumbuhan masih di bawah target yang diinginkan yaitu sebesar 5 persen. Namun demikian, hal ini memperlihatkan tanda-tanda ke arah pemulihan ekonomi yang diharapkan. Selanjutnya, perekonomian Indonesia dapat dilihat dari nilai PDB-nya. Dalam hal ini dilihat dari nilai PDB berdasarkan harga berlaku dan nilai PDB berdasarkan harga konstan 1993, seperti dapat dibaca pada Tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1. PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku dan Kostan 1993 (dalam miliar rupiah) Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: BPS, 2004.
Harga Berlaku 329.775,8 382.219,9 454.514,2 532.567,5 627.695,9 955.753,9 1,099.731,8 1.264.918,7 1.467.655,5 1.619.062,0 1.794.663,9 2.032.825,4
Harga Konstan 1993 296.861,4 320.652,5 350.290,2 378.871,2 398.675,7 341.992,6 345.419,2 363.758,8 379.020,4 397.056,4 417.822,7 440.862,9
Pada tabel 5.1 terlihat adanya perbedaan nilai PDB atas harga berlaku dan konstan 1993 yang cukup tinggi. Berdasarkan harga berlaku, nilai PDB tiap tahunnya terus mengalami peningkatan bahkan pada masa krisis melanda Indonesia, nilai PDB ini terus saja meningkat. Untuk PDB atas dasar harga konstan 1993, terlihat pada tahun 1993 sampai tahun 1997 nilai PDB terus mengalami peningkatan, namun pada saat krisis melanda (1998) nilai PDB ini tidak dapat bertahan apalagi sampai terus meningkat seperti halnya PDB harga berlaku, ia bahkan menurun sebanyak 57 triliun lebih walaupun setelahnya
50
kembali meningkat secara perlahan. Hal ini menandakan bahwa perekonomian Indonesia tidak mampu menghadapi gejolak krisis yang melanda Asia yang akhirnya merambat juga ke Indonesia. Keberhasilan dari pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara tidak hanya dilihat dari angka pertumbuhan ekonominya yang tinggi maupun besarnya PDB yang diperolehnya. Keberhasilan yang sebenarnya dari pembangunan sebuah negara dan yang merupakan tujuan akhir dari bernegara yaitu kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu indikator yang paling dekat dalam merepresentasikan tingkat kesejahteraan ini yaitu dapat dilihat dari pembangunan manusianya, dalam hal ini indeks pembangunan manusia (IPM). Pada Tabel 5.2 dapat dilihat sebanyak 5 propinsi ditahun 1996 IPM-nya sama dengan IPM Indonesia secara keseluruhan, bahkan 11 propinsi memiliki IPM yang lebih tinggi dari IPM Indonesia dan Jakarta sebagai ibu kota negara menduduki peringkat nomor 1. Setelah setahun Indonesia dilanda krisis (1999) IPM Indonesia mengalami penurunan dan ini tentu saja diikuti oleh penurunan IPM untuk masing-masing propinsi. Penurunan IPM propinsi ini tidak terlalu buruk, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah propinsi yang nilai IPM-nya di atas IPM Indonesia yakni menjadi 15 propinsi. Kondisi IPM yang menurun ini dapat ditingkatkan lagi setelah empat tahun krisis melanda Indonesia (2002) dan sekali lagi, ibu kota negara memiliki nilai IPM diperingkat nomor satu.
51
Tabel 5.2. Indeks Pembangunan Manusia tiap Propinsi di Indonesia Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Papua Indonesia Sumber: BPS, 2004.
Dibalik
1996 69 71 69 71 69 68 68 68 76 68 67 72 66 64 71 66 71 72 66 66 66 70 57 61 68 60 68
kemampuan
Indeks Pembangunan Manusia 1999 65,3 66,6 65,8 67,3 65,4 63,9 64,8 63,0 72,5 64,6 64,6 68,7 61,8 60,6 66,7 62,2 67,8 67,1 62,8 63,6 62,9 65,7 54,2 60,4 67,2 58,8 64,3
Indonesia
dalam
2002 66,0 68,8 67,5 69,1 67,1 66,0 66,2 65,8 75,6 65,8 66,3 70,8 64,1 62,9 69,1 64,3 69,9 71,3 64,4 65,3 64,1 67,5 57,8 60,3 66,5 60,1 65,8
mengembalikan
tingkat
kesejahteraan masyarakatnya pasca krisis, justru indikator lain menunjukkan adanya penurunan taraf kesejahteraan sejak tahun 1997, yang dapat dikaitkan sebagai dampak dari krisis yang dialami Indonesia. Contoh mengenai dampak negatif krisis terhadap perkembangan taraf kesejahteraan lainnya yaitu angka pengangguran terbuka naik dari 912.000 jiwa menjadi 10.251.000 jiwa untuk tahun 2002 dan 2004.
52
Lebih jauh, sampai dengan tahun 2005 dan 2006 angka pengangguran terbuka ini terus saja meningkat, yakni 10.854.254 jiwa (2005) menjadi 11.104.693 jiwa (2006). Angka ini jauh lebih rendah dari angka jenis pengangguran yang lainnya, yakni jumlah setengah pengangguran. Untuk tahun yang sama jumlah setengah pengangguran, yaitu 29.642.127 jiwa (2005) menjadi 29.924.630 (2006). Tabel 5.3. Persentase Penduduk Miskin tiap Propinsi di Indonesia Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Papua Sumber: BPS, 2004.
2002 29,83 15,84 11,57 13,61 13,18 22,32 22,70 24,05 3,42 13,38 23,06 20,14 21,91 15,46 11,88 8,51 12,20 11,22 24,89 15,88 24,22 6,89 27,76 30,74 34,78 41,80
Persentase Penduduk Miskin 2003 29,76 15,89 11,24 13,52 12,74 21,54 22,63 22,43 3,42 12,90 21,78 19,86 20,93 14,79 11,37 8,16 12,15 9,01 23,04 15,85 22,84 7,34 26,34 28,63 32,85 39,03
2004 28,47 14,93 10,46 13,12 12,45 20,92 22,39 22,22 3,18 12,10 21,11 19,14 20,08 13,91 10,44 7,19 11,57 8,94 21,69 14,90 21,90 6,85 25,38 27,86 32,13 38,69
Untuk melihat indikasi lain dari taraf kesejahteraan dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin (Tabel 5.3). Sampai dengan tahun 2004, jumlah penduduk miskin per propinsi yang memiliki persentase tertinggi pada tahun 2002
53
terdapat di propinsi Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, yakni rata-rata di atas 30 persen. Dibandingkan pada tahun 2002, persentase penduduk miskin pada tahun 2004 di semua propinsi mengalami penurunan. Pada tahun 2004 ini terdapat empat propinsi yang masih dapat digolongkan sebagai propinsi dengan persentase penduduk miskinnya relatif besar, yaitu lebih dari 27 persen. Keempat propinsi tersebut yaitu: Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh. Selanjutnya, perkembangan jumlah penduduk miskin untuk tingkat nasional dapat dilihat pada Tabel 5.4. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Tabel
5.4.
Jumlah Penduduk (dalam juta jiwa)
Tahun 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: BPS, 2006.
Kota 9,42 17,60 15,64 12,30 8,60 13,30 12,20 11,40 12,40
Miskin
Desa 24,59 31,90 32,33 26,40 29,30 25,10 25,20 24,80 22,70
Menurut
Daerah
di
Indonesia
Kota + Desa 34,01 49,50 47,97 38,70 37,90 38,40 37,30 36,10 35,10
Sementara itu, sampai dengan bulan Maret 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 39,05 juta (17,75 persen). Jika dibandingkan
54
dengan jumlah penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta jiwa (15,97 persen), jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 3,95 juta jiwa. 5.2
Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi
5.2.1
Peranan Belanja Pemerintah Daerah dalam Perekonomian Daerah Studi ini mempelajari hubungan antara keuangan daerah dengan
perkembangan perekonomian daerah. Oleh sebab itu, terlebih dahulu akan dilihat sejauh mana kontribusi keuangan pemerintah daerah dalam output perekonomian daerah, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh rasio belanja pemerintah daerah terhadap PDRB. Berdasarkan angka rasio ini, dapat dikatakan bahwa secara umum kontribusi pengeluaran atau belanja pemerintah daerah ada pada kisaran angka yang relatif kecil (Tabel 5.5). Sampai dengan tahun 2001, rasio belanja rata-rata daerah propinsi terus mengalami kenaikan. Kenaikan ini sangat signifikan yakni rata-rata untuk tiaptiap propinsi pada periode 1998-2000 mengalami peningkatan dua kali lipatnya dibandingkan pada periode 1993-1997. Kita ketahui bahwa pada periode ini bisa dikatakan Indonesia berada pada kondisi yang tidak stabil setelah krisis yang melanda tahun 1998 dan rata-rata PDRB tiap propinsi pada periode ini mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya, yang menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis yaitu tingkat konsumsi pemerintah dan masyarakat yang tinggi.
55
Tabel 5.5. Rasio Belanja Pemerintah Daerah terhadap PDRB Tiap Propinsi di Indonesia (dalam persen) Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Rata-rata
1993-1997 2,97 3,78 2,52 1,75 4,83 2,32 6,76 2,92 4,89 3,06 4,61 6,04 3,63 2,62 4,12 6,57 3,71 7,79 5,88 1,70 6,03 14,22 3,22 8,06 4,39 5,44 4,76
1998-2000 7,84 7,89 6,15 4,40 11,40 5,28 16,81 7,13 13,93 6,54 9,79 12,59 7,62 6,74 8,96 14,58 7,39 16,70 11,50 4,36 11,21 25,95 6,75 19,40 15,35 10,83 10,66
2001 14,97 12,82 11,12 8,05 19,91 9,46 30,32 12,81 25,08 9,66 15,61 20,87 12,24 12,64 14,07 26,07 13,61 29,53 20,09 8,27 17,78 42,56 12,11 34,70 32,38 21,99 18,80
2002 16,58 4,55 6,61 9,04 12,12 7,27 12,52 8,46 16,66 4,81 5,90 10,23 5,82 11,08 8,02 15,40 6,38 8,66 7,83 9,84 13,60 11,14 6,95 14,71 23,83 24,05 10,85
2003 21,54 5,81 7,72 9,78 15,91 8,88 17,61 9,91 18,09 6,17 6,72 12,18 6,29 9,35 9,24 17,31 7,33 10,72 8,39 12,18 14,05 14,27 8,23 18,43 30,27 25,05 12,75
2004 33,55 6,58 8,80 11,07 19,03 10,44 18,80 11,49 18,63 6,75 6,81 14,05 6,66 10,30 9,47 18,14 8,44 11,46 8,90 12,12 14,23 15,47 9,39 17,59 29,88 36,01 14,39
Sumber: data BPS, diolah.
Kondisi ini tidak jauh berubah pada tahun 2001 yakni masih tetap meningkat dua kali lipatnya dibandingkan periode 1998-2000. Pada tahun ini merupakan momentum awal bagi pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan bagi masyarakatnya secara luas, yang mana pada tahun ini merupakan awal diterapkannya paket kebijakan Undang-undang tentang Otonomi Daerah. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemerintahan yang mandiri untuk pertama kalinya, wajar bila pada saat mengambil keputusan masih memerlukan
56
adaptasi dengan ”status” pemerintah daerah yang baru ini, terlebih terkait masalah anggaran. Lebih dari tiga dekade, pemerintah daerah terbiasa menerima ”instruksi” dari pusat. Sementara
itu
jika
dilihat
dari
komponennya,
terlihat
adanya
kecenderungan semakin mengecilnya proporsi belanja pembangunan untuk ratarata tiap propinsi di Indonesia. Hal ini terlihat secara jelas pada gambar 5.1 yang menunjukkan perkembangan proporsi belanja pembangunan dan belanja rutin untuk angka rata-rata tiap propinsi di Indonesia. 90,00
%
80,00 70,00 60,00 50,00
rutin
40,00
pembangunan
30,00 20,00 10,00 0,00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sumber: data BPS, diolah Gambar 5.1. Proporsi Belanja Pembangunan dan Belanja Rutin Pemerintah tiap Propinsi di Indonesia (1993-2004)
Sampai dengan tahun 2000, proporsi belanja pembangunan untuk rata-rata tiap propinsi mengalami peningkatan yang diiringi dengan penurunan terhadap belanja rutinnya. Terhitung dari tahun 2001, dimana merupakan tahun awal pengimplementasian otonomi daerah, sampai dengan tahun 2004, keadaan justru berbalik. Belanja pembangunan untuk rata-rata setiap propinsi mengalami
57
penurunan yang cukup signifikan diiringi dengan peningkatan secara tajam pada belanja rutinnya. Ironis sekali, ketika semangat otonomi daerah yaitu sebagai sarana untuk pelayanan publik yang lebih baik, justru proporsi belanja pembangunan menurun secara drastis. Proporsi belanja pembangunan yang menurun ini diduga karena terdapat anggaran daerah berupa DAU yang disimpan dalam bentuk SBI. DAU yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan daerah justru oleh pemda disimpan dalam SBI. Pemda beralasan atas penyimpanan anggarannya dalam bentuk SBI karena mereka merasakan memiliki surplus anggaran. Namun demikian, yang menjadi masalah saat ini adalah pemda yang bersangkutan sebenarnya tidak mengalami surplus anggaran, yang banyak terjadi sekarang justru keterlambatan penggunaan anggaran. Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan: sebenarnya pemerintah daerah bisa saja menempatkan surplus anggarannya ke instrumen yang dianggap aman, baik melalui perbankan atau SBI maupun pasar modal. Yang jadi masalah kalau sebenarnya tidak ada anggaran. Ini akan menimbulkan ironi, di satu sisi mungkin program pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sangat dibutuhkan, tapi di sisi lain anggaran yang ada tidak dipakai38 Tercatat sampai dengan April 2007 sebanyak Rp. 90 triliun anggaran Pemda disimpan di SBI, yaitu sebanyak 25 persen SBI yang tersimpan di bank sentral adalah milik BPD. Dengan adanya pemarkiran DAU di SBI ini, tentu saja menghambat proses pembangunan daerah.
38
www.suarakarya-online.com/news.html?id=178218- 15k -
58
5.2.2
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan parameter yang paling
sederhana dan gamblang untuk menggambarkan tingkat kemandirian suatu daerah dipandang dari aspek keuangan atau pembiayaan. Oleh karena itu upaya untuk terus meningkatkan PAD tampaknya menjadi salah satu sasaran penting bagi semua daerah. Bahkan pada era otonomi ini banyak sekali daerah-daerah yang seakan-akan terobsesi untuk meningkatkan PAD setinggi-tingginya, sehingga gagasan ”autonomy” seringkali terdistorsi menjadi pendekatan ”automoney”. Maka daerah-daerah berlomba memacu pendapatannya dengan secara ”jor-joran” menerbitkan berbagai perda tentang pajak dan retribusi daerah. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah PAD yang tinggi dapat meningkatkan kinerja pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Secara empirik peranan PAD dalam pendapatan tiap propinsi di Indonesia terlihat cukup dominan (Tabel 5.6). Secara rata-rata, rasio PAD terhadap pendapatan total pemerintah daerah propinsi tertinggi yaitu pada tahun 2004 (41,62 persen). Sudah barang tentu pada masa itupun terdapat daerah-daerah yang memiliki tingkat pencapaian yang lebih kecil. Yang menarik dari data tersebut adalah terlihat lima propinsi di Pulau Jawa memiliki angka rasio yang tinggi hingga tahun 2004, yakni Jakarta, Jabar, Jateng, DIY dan Jatim, ditambah dua propinsi lainnya, Bali dan Sumatra Utara.
59
Tabel 5.6. Rasio PAD terhadap Pendapatan Total Tiap Propinsi di Indonesia (dalam persen) Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Rata-rata
1993-1997 16,40 23,90 35,60 32,70 23,20 29,60 17,50 32,40 61,00 29,40 16,80 21,80 27,00 49,30 20,00 17,00 19,80 6,10 20,30 25,40 21,60 8,80 36,00 11,50 11,20 7,40 23,91
1998-2000 17,00 38,10 27,10 25,20 20,60 20,10 14,00 27,70 46,60 44,20 39,10 32,50 55,00 56,90 18,30 13,20 21,40 7,30 20,20 16,20 19,50 17,20 27,50 9,40 8,80 6,80 25,00
2001 9,50 39,70 30,00 18,80 29,30 24,50 16,10 27,00
40,10 49,00 43,00 32,80 49,50 51,30 18,50 12,10 27,20 9,20 28,20 10,80 21,10 24,10 32,20 14,10 4,20 7,60 25,77
2002 6,10 59,70 44,20 30,10 39,10 36,50 20,80 41,90 53,20 57,40 57,70 44,60 65,30 68,80 29,80 22,30 38,60 20,60 42,60 23,50 22,00 28,90 49,30 19,80 6,60 3,70 35,89
2003 5,40 64,30 48,80 33,00 41,30 41,10 22,50 43,80 52,70 63,60 63,40 49,70 67,50 60,80 30,40 22,70 37,40 21,50 49,30 25,50 25,10 26,90 51,60 22,60 9,30 4,20 36,44
2004 8,80 68,30 54,80 33,60 44,00 42,90 29,80 49,90 55,70 68,00 64,70 53,80 72,40 69,40 36,00 26,50 42,70 22,90 54,70 27,90 27,60 29,70 55,00 25,30 11,10 6,60 41,62
Sumber: data BPS, diolah.
Satu lagi yang menarik dari data tersebut
yaitu rasio PAD terhadap
pendapatan propinsi yang masih saja di bawah 10 persen sampai tahun 2004 untuk Propinsi Aceh dan Papua. Hal ini diduga karena otonomi khusus terhadap kedua propinsi ini. Otonomi Khusus Propinsi Aceh, dengan diterbitkannya UU Nomor 18 Tahun 2001, dimana disebutkan bahwa 70 persen dari bagi hasil minyak bumi dan gas alam menjadi milik pemerintah Propinsi Aceh. Otonomi Khusus Papua, dengan diterbitkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 yang
60
menyebutkan 2 persen dari total DAU nasional ditambah dengan 70 persen bagi hasil minyak bumi dan gas alam menjadi milik pemerintah Propinsi Papua. Jadi, tidaklah mengherankan bila pendapatan total dikedua propinsi tersebut didominasi oleh adanya transfer bagi hasil sumber daya alam dari pemerintah pusat (dalam hal ini minyak bumi dan gas alam), bukannya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tabel 5.7. PAD Perkapita Tiap Propinsi di Indonesia (dalam rupiah) 19931997 9.903 Aceh 13.547 Sumut 11.886 Sumbar 23.504 Riau 11.186 Jambi 9.494 Sumsel 10.558 Bengkulu 7.112 Lampung 167.846 Jakarta 1.250 Jabar 8.970 Jateng 15.491 DIY 12.230 Jatim 26.510 Bali NTB 5.524 NTT 5.553 Kalbar 7.989 Kalteng 8.174 Kalsel 13.832 Kaltim 29.486 Sulut 8.882 Sulteng 8.653 Sulsel 9.972 Sultra 6.638 Maluku 6.091 Papua 9.619 Sumber: data BPS, diolah. Propinsi
19982000 9.025 16.420 14.436 29.521 14.043 8.662 11.989 8.908 199.980 11.298 11.210 19.886 16.473 59.798 9.005 5.873 12.950 10.477 19.114 33.173 11.379 14.038 11.852 8.250 6.713 14.448
2001
2002
2003
2004
11.772 36.511 33.171 61.303 35.728 24.398 21.832 22.032 434.008 32.006 26.751 45.477 37.763 126.877 17.227 10.781 28.568 18.615 43.578 78.558 30.096 26.281 25.530 16.509 9.438 29.805
22.275 51.671 49.719 95.026 60.355 43.110 27.740 34.538 538.190 43.824 39.212 63.623 51.127 144.783 25.331 20.805 40.435 35.466 69.416 180.871 40.943 36.871 39.433 24.862 13.561 31.559
24.549 76.602 63.150 118.489 87.686 66.719 45.487 44.287 611.575 59.341 46.530 82.081 60.688 114.061 32.528 23.159 50.260 48.443 87.470 223.457 51.702 45.506 54.259 40.777 26.211 40.484
48.688 94.133 82.830 136.644 109.153 79.866 68.062 58.432 736.948 77.069 57.578 107.862 78.594 164.922 41.762 29.883 65.999 60.346 113.128 255.518 60.638 54.741 67.563 47.901 35.729 64.782
Sementara itu jika dilihat dalam bentuk PAD perkapita (Tabel 5.7), maka terhitung sejak tahun diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah (2001) terlihat adanya peningkatan yang signifikan. Rata-rata PAD perkapita tiap
61
propinsi naik dua kali lipat. Sampai dengan tahun 2004, ibu kota negara menduduki peringkat pertama disusul oleh Kaltim, Bali, dan Riau. Yang menarik dari data ini adalah ketika rasio PAD terhadap pendapatan total didominasi oleh lima propinsi di Jawa, justru hanya propinsi DKI saja yang memiliki PAD perkapita tinggi, sementara empat propinsi lainnya (Jabar, Jateng, DIY, Jatim) memiliki nilai PAD perkapita yang relatif
kecil. Kondisi ini diduga karena
sumber-sumber penerimaan dari PAD di wilayah DKI jauh lebih besar dari keempat propinsi tersebut, terlebih dari komponen penerimaan pajaknya.
5.2.3
Transfer Fiskal Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (selanjutnya disebut
transfer) di Indonesia merupakan sumber utama pembiayaan pemerintah daerah, baik untuk pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, daerah-daerah di Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap transfer. Kebijakan desentralisasi fiskal, sedikit banyak juga mengandung harapan akan berkurangnya ketergantungan daerah terhadap pembiayaan dari pusat. Untuk tiap-tiap propinsi di Indonesia, sebagaimana diungkapkan tadi, masih menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan terhadap transfer. Tabel 5.8 terlihat sebagian besar propinsi-propinsi tersebut sangat tergantung pada tranfer dari pemerintah pusat, terlebih pada periode 1993-1997 dimana semua propinsi pembentukan pendapatan daerahnya di atas 50 persen (kecuali Jakarta dan Bali) dengan rata-ratanya 70,57 persen. Tapi pada periode 1998-2000, tingkat
62
ketergantungan ini relatif menurun. Terhitung sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal, 1 Januari 2001, tingkat ketergantungan terhadap transfer ini terus menurun sampai dengan tahun 2004. Tabel 5.8. Rasio Transfer terhadap Pendapatan Total Tiap Propinsi di Indonesia (dalam persen) Propinsi 1993-1997 78,80 Aceh 73,50 Sumut 57,20 Sumbar 51,60 Riau 68,00 Jambi 60,50 Sumsel 77,60 Bengkulu 63,00 Lampung 27,00 Jakarta 66,00 Jabar 76,70 Jateng 73,70 DIY 68,10 Jatim Bali 39,40 NTB 74,70 NTT 75,40 Kalbar 74,50 Kalteng 88,20 Kalsel 74,10 Kaltim 61,20 Sulut 76,40 Sulteng 89,90 Sulsel 56,40 Sultra 117,10 Maluku 82,80 Papua 83,00 Rata-rata 70,57 Sumber: data BPS, diolah.
1998-2000 81,70 52,80 65,00 61,80 72,60 67,10 80,70 67,90 39,60 50,90 54,70 60,90 34,00 30,80 70,20 82,90 70,70 87,40 74,80 78,60 79,20 78,90 62,10 84,50 79,80 89,20 67,65
2001 71,50 36,80 55,80 75,30 59,80 40,00 78,50 60,40 40,50 38,80 39,70 26,20 24,60 24,50 63,30 47,40 58,20 61,30 56,00 84,30 34,20 61,80 52,00 55,50 47,10 69,40 52,42
2002 46,30 37,50 48,80 61,40 60,90 62,90 79,20 58,10 43,90 36,10 33,30 53,60 27,10 31,20 70,20 72,10 61,40 79,40 55,40 68,30 78,00 71,10 50,70 78,90 87,70 27,80 56,97
2003
2004
40,30 34,00 48,10 57,60 53,70 55,90 72,60 55,50 45,10 32,90 30,50 44,00 24,00 36,80 65,80 73,70 62,70 74,50 48,50 66,40 73,00 73,70 46,30 72,90 84,20 27,40
53,40 30,80 43,30 57,90 54,70 55,50 68,00 47,50 44,10 31,80 27,40 43,90 21,80 29,40 62,30 71,60 55,90 71,00 45,30 72,10 69,20 68,20 43,60 71,00 80,10 23,50
53,85
51,67
Namun demikian, kondisi ini berbeda pada saat dana transfer tersebut dihitung berdasarkan transfer perkapitanya. Terlihat pada Tabel 5.9, terjadi kecenderungan yang terus meningkat, terlebih pada masa kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan (2001 – 2004). Kondisi ini terjadi hampir disemua propinsi. Disadari memang bahwa komponen utama pembiayaan pemerintah daerah yaitu
63
dari dana transfer pemerintah daerah. Tercatat sebanyak lebih dari 60 persen pembiayaan pemerintah daerah bersumber dari dana transfer pemerintah pusat. Tabel 5.9. Transfer Perkapita Tiap Propinsi di Indonesia (dalam rupiah) Propinsi 1993-1997 47.119 Aceh 40.550 Sumut 18.603 Sumbar 36.528 Riau 31.922 Jambi 18.957 Sumsel 45.427 Bengkulu 13.301 Lampung 73.741 Jakarta 24.549 Jabar 33.256 Jateng 51.653 DIY 29.953 Jatim 19.994 Bali NTB 19.856 NTT 24.633 Kalbar 32.086 Kalteng 116.861 Kalsel 52.454 Kaltim 71.076 Sulut 31.529 Sulteng 86.923 Sulsel 15.016 Sultra 69.022 Maluku 44.819 Papua 105.231 Sumber: data BPS, diolah.
1998-2000 47.113 21.695 33.746 72.990 47.774 28.899 69.860 21.549 160.463 12.442 15.283 36.115 9.713 28.557 34.614 36.922 42.282 122.856 69.337 162.049 46.229 63.452 26.556 74.339 58.909 197.752
2001 89.001 33.915 61.640 245.617 72.823 39.844 106.600 40.716 438.809 25.335 24.714 36.275 18.750 60.548 58.804 42.109 61.058 124.760 86.427 615.506 48.756 67.474 41.231 64.934 105.647 270.772
2002 168.507 32.426 54.918 193.737 93.950 74.366 105.787 47.824 444.797 27.547 22.654 76.334 21.246 65.660 59.703 67.285 64.358 136.504 90.237 525.109 145.303 90.544 40.476 98.875 180.994 235.495
2003 182.429 40.497 62.250 207.075 108.909 90.765 146.794 56.121 522.770 30.733 22.355 72.682 21.563 69.083 70.287 75.023 84.288 168.088 85.921 583.095 150.139 124.677 48.708 131.483 238.046 265.296
2004 286.068 43.264 66.474 240.940 138.394 105.324 157.929 56.398 592.333 36.563 24.618 88.318 23.827 70.729 73.488 81.983 87.863 191.177 95.087 675.514 153.959 127.657 54.389 136.740 261.646 243.557
Pada tabel tersebut terlihat tingginya transfer perkapita DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Hal ini tentu dikarenakan dana transfer bagi hasil kedua propinsi ini tinggi. Untuk DKI Jakarta, ia memiliki basis pajak yang sangat tinggi, sehingga dana bagi hasil pajak yang telah ditetapkan tentu saja sangat menguntungkan propinsi ini. Beda halnya dengan Kalimantan Timur yang memiliki bagi hasil yang tinggi dari SDA-nya.
64
Untuk melengkapi dan memperjelas gambaran peranan transfer dan PAD dalam APBD tiap propinsi di Indonesia. Dominannya peranan transfer dapat dilihat pada Gambar 5.2 dan 5.3. Dari sisi proporsi, terlihat persentase transfer mengecil sementara persentase PAD membesar, terlebih sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini menandakan pemerintah daerah cukup mampu menggali sumber-sumber pendapatan dari daerahnya sendiri untuk membiayai pembangunannya. Walaupun disadari peranan transfer fiskal ini masih dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah. Hal ini terlihat lebih jelas lagi pada
jumlah transfer perkapita. Pada Gambar 5.3 terlihat jumlah transfer
perkapita berkembang lebih pesat daripada jumlah PAD perkapita.
65
80,00 % 70,00 60,00 50,00 Transfer
40,00
PAD
30,00 20,00 10,00 0,00 1993
1995
1997
1999
2001
2003
Sumber: data BPS, diolah. Gambar 5.2. Rasio Transfer dan PAD terhadap Pendapatan Total Rata-rata tiap Propinsi di Indonesia (1993-2004)
180.000 160.000 140.000 120.000 100.000
Transfer PAD
80.000 60.000 40.000 20.000 2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
-
Sumber: data BPS, diolah. Gambar 5.3. Transfer perkápita dan PAD perkapita (dalam ribu rupiah)
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan implementasi desentralisasi fiskal dengan melihat komponen PAD dan transfer fiskal untuk masing-masing propinsi. Terlihat bahwa setelah desentralisasi fiskal ini dilaksanakan, rata-rata PAD untuk masing-masing propinsinya mengalami peningkatan, hal ini ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap pendapatan daerah serta PAD perkapita yang relatif meningkat pula. Sementara itu, kemandirian fiskal pemerintah daerahpun terlihat meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Hal ini terlihat pada rasio transfer fiskal terhadap pendapatan daerah yang menurun. Namun demikian, proporsi transfer fiskal masih dominan dalam pembentukan pendapatan daerah dibandingkan dengan PAD. Walaupun transfer fiskal masih menjadi sumber utama pembiayaan pemerintah daerah, namun hal ini diharapkan akan terjadi kemerataan pendapatan di semua propinsi dengan basis potensi lokal, sehingga membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Persoalannya adalah apakah transfer fiskal tersebut telah berdampak positif terhadap kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Pada bab ini akan menelaah dampak transfer fiskal serta PAD, dimana kedua
komponen
ini
merupakan
unsur
terpenting
dalam
pelaksanaan
desentralisasi fiskal, terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi. Karenanya, untuk menganalisis dampak tersebut akan digunakan model ekonometrika, yakni regresi berganda. Tapi sebelumnya, pada bab inipun akan
67
diuraikan hasil analisa berupa perkembangan ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia, guna menjawab salah satu tujuan penelitian ini sebagaimana tercantum pada Bab I.
6.1
Perkembangan Indonesia
Ketimpangan
Pendapatan
Antar
Propinsi
di
Perkembangan ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.1. Pada tabel tersebut disajikan hasil analisis indeks ketimpangan pendapatan dengan indikator PDRB baik itu dengan migas atau tanpa migas serta dengan harga konstan 1993 dan harga berlaku. Tabel 6.1. Nilai Indeks Williamson untuk Indikator Pendapatan antar Propinsi di Indonesia (1993 - 2004) PDRB/kapita (konstan 1993) Dengan Migas Tanpa Migas 0,6582 0,6697 1993 0,6633 0,6651 1994 0,6598 0,6652 1995 0,6634 0,6646 1996 0,6622 0,6630 1997 0,6073 0,6416 1998 0,5854 0,6262 1999 0,6214 0,6506 2000 0,6283 0,6557 2001 0,6430 0,6656 2002 2003 0,6318 0,6516 2004 0,6390 0,6551 Sumber: data BPS, diolah. Tahun
PDRB/kapita (harga berlaku) Dengan Migas Tanpa Migas 0,6511 0,6644 0,6355 0,6529 0,6394 0,6515 0,6512 0,6518 0,6662 0,6571 0,6509 0,6761 0,6630 0,6651 0,7133 0,7221 0,7346 0,7342 0,7698 0,7459 0,7620 0,7367 0,8466 0,8216
Pada Tabel 6.1 (kolom 2) secara agregat terlihat adanya penuruan indeks ketimpangan pendapatan di awal tahun penelitian (1993) dari 0,6697 menjadi 0,6551 di akhir tahun penelitian (2004). Namun, jika dilihat secara lebih rinci terlihat adanya fluktuasi angka Indeks Williamson dari tahun 1993 hingga 2004, walaupun dalam rentang yang kecil. Untuk indeks rata-rata sebelum
68
diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal (1993-2000) berada pada angka rata-rata 0,6558. Sedangkan pada masa kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan (2001-2004) rata-rata angka indeksnya sedikit meningkat, yaitu menjadi rata-rata 0,6570, terjadi peningkatan sebesar 0,0012. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antar propinsi relatif lebih tinggi di masa kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah diterapkan dibandingkan pada masa sebelumnya. Namun demikian, kondisi indeks ketimpangan yang relatif lebih rendah di masa sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan disebabkan karena adanya penurunan angka indeks di tahun 1998 dan 1999. Hal ini tentu mempengaruhi angka rata-rata tersebut. penurunan
angka
Jika dilihat lagi, maka sebetulnya sebelum adanya
indeks
tersebut,
indeks
ketimpangan
untuk
masa
diberlakukannya desentralisasi fiskal (2001-2004) jauh lebih kecil dari indeks ketimpangan pada kurun waktu 1993-1997. Jadi dapat disimpulkan, jika tidak adanya penurunan indeks ditahun 1998-1999 maka kebijakan desentralisasi fiskal dalam kerangka otonomi daerah mampu menekan tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi yang terjadi selama ini. Merujuk pada batasan ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan Indeks Williamson ini, maka secara keseluruhan angka indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB konstan 1993 berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi, yaitu hampir semua indeks berada pada kisaran angka 0,7 – 1, terkecuali pada tahun 1998-1999 yang berada pada kondisi ketimpangan yang sedang, yaitu berada pada rentang 0,4 – 0,6 .
69
0,6800 0,6600 CVw
0,6400 0,6200 0,6000 0,5800 0,5600 0,5400 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 tahun PDRB
PDRB tanpa Migas
Sumber: data BPS, diolah. Gambar 6.1. Perkembangan Ketimpangan Pendapatan atas Dasar Harga Konstan 1993
Lebih jauh, jika dilihat kecenderungan perkembangan indeksnya dengan indikator PDRB harga konstan 1993, baik dengan migas maupun tanpa migas (Gambar 6.1), maka terlihat sampai dengan tahun 1998 kedua indeks mengalami kecenderungan menurun, terlebih pada tahun 1998 dan 1999. Penjelasan yang paling masuk akal tentang penurunan angka indeks ini yaitu terkait masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Adanya krisis ekonomi membalikkan arah dari pergerakan produksi sektor tradisional ke modern menjadi sebaliknya. Fenomena terbalik ini dapat dilihat dari bangkrutnya usaha besar di perkotaan terutama di kota besar Jawa dan bangkitnya agribisnis dan sektor primer di pedesaan utamanya di luar Jawa. Tentunya pembalikan ini diikuti oleh distribusi pendapatan antara individu dalam sektor modern dan tradisional. Disamping itu, krisis ekonomi ini pun menyebabkan daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi, seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang tajam. Sedangkan propinsi-propinsi
70
yang kurang maju pada umumnya misalnya Sulawesi, adalah daerah-daerah pertanian. Sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satusatunya sektor yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini membuat perekonomian propinsi-propinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Perkembangan ketimpangan pendapatan dengan mengeluarkan sektor migas terlihat lebih rendah. Hal ini dikarenakan sebaran sumber daya alam yang ada di Indonesia tidaklah merata terlebih minyak dan gas serta barang tambang lainnya yang hanya dimiliki oleh beberapa propinsi saja seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua. Jadi, dengan mengeluarkan sektor minyak dan gas dari perhitungan ternyata menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan memasukkan sektor ini dalam perhitungan. Berdasarkan batasan ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan Indeks Williamson ini, maka dari tahun awal pengamatan sampai dengan tahun 1997 angka indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB tanpa migas (konstan 1993) berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi, yaitu hampir semua indeks berada pada kisaran angka 0,7 – 1, sedangkan dimulai dari masa krisis (1998) sampai masa diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal (2004) berada pada kodisi ketimpangan yang sedang, yaitu berada pada rentang 0,4 – 0,6 . Berbeda halnya dengan tingkat ketimpangan pendapatan dengan indikator PDRB konstan 1993 yang menunjukkan nilai indeks yang fluktuatif, untuk tingkat
71
ketimpangan pendapatan dengan indikator PDRB atas dasar harga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. 0,9000 0,8000
CVw
0,7000 0,6000 0,5000 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 tahun PDRB
PDRB tanpa Migas
Sumber: data BPS, diolah. Gambar 6.2. Perkembangan Ketimpangan Pembangunan atas Dasar Harga Berlaku
Pada Gambar 6.2 terlihat kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan antar propinsi. Pada awal tahun pengamatan (1993) sampai akhir tahun pengamatan (2004) kecenderungan ini terus saja meningkat. Hal ini dikarenakan data pendapatan yang digunakan dalam perhitungan ini berupa PDRB atas dasar berlaku. Besaran PDRB ini mengikuti harga berlaku pada tahun perhitungannya dan tentu saja tiap tahun harga cenderung berubah (inflasi tiap tahun berubah). Nilai ketimpangan pendapatan atas dasar harga berlaku dengan mengeluarkan sektor migas ternyata tidak terlalu jauh berbeda hasilnya jika sektor migas ini dimasukkan dalam perhitungan. Hal ini mengindikasikan, baik dengan memasukkan sektor migas ataupun dengan tidak memasukkannya dalam perhitungan, nilai indeks ketimpangan hasilnya tidak jauh berbeda.
72
Kembali merujuk pada batasan ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan Indeks Williamson ini, maka nilai indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB harga berlaku – baik dengan atau tanpa sektor migas – berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi, yaitu hampir semua indeks berada pada kisaran angka 0,7 – 1.
6.2
Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Propinsi di Indonesia
Tingkat
Seperti telah dikemukakan di awal, bahwa untuk mengetahui dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia maka akan digunakan model ekonometrika, yaitu regresi berganda, dengan model yang akan diestimasi adalah
CVw = β 0 + β1 PAD + β 3TF + β 4 DF + ε t Hasil estimasi terhadap model ditunjukkan dalam tabel berikut: Tabel 6.2. Hasil Estimasi terhadap Variabel Terikat CVw Variabel C PAD TF DF R-squared Adjusted R-squared Durbin Watson Stat
Koeffisien Std Error t-statistik 0.627077 0.030002 20.90091 0.035277 0.013785 2.559035 -0.059299 0.014011 -4.232348 0.037182 0.006647 5.594142 0.844499 F-statistik 0.786186 Prob F-statistik 3.216418 Prob Obs*R-squared (LM Test) Prob Obs*R-squared (White Heteroscedasticity) Keterangan : signifikan pada taraf nyata 5%
probabilitas 0.0000 0.0337 0.0029 0.0005 14.48219 0.001346 0.083215 0.342347
Hasil estimasi terhadap model yang digunakan menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini baik. Hal ini terlihat setelah dilakukan uji kriteria statistik dan uji kriteria ekonometrika. Uji kriteria statistik menunjukkan bahwa
73
ketimpangan PAD, ketimpangan fiskal dan dummy desentralisasi fiskal, baik secara serentak maupun secara parsial berpengaruh nyata terhadap ketimpangan pendapatan. Hal ini diperkuat juga oleh kemampuan ketimpangan PAD, ketimpangan fiskal dan dummy desentralisasi fiskal dalam menjelaskan variasi ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi, yakni sebesar 84,45 persen. Sementara itu uji kriteria ekonometrika menunjukkan bahwa model ini terbebas dari gangguan autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas.39
1. Ketimpangan PAD dan Ketimpangan Pendapatan Dalam undang-undang No. 25 tahun 1999 disebutkan bahwa PAD merupakan penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber-sumber tersebut meliputi: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan daerah lainnya yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah. Dalam
mengukur ketimpangan PAD maka digunakan ukuran Indeks
Williamson, dengan PAD sebagai ukuran pendapatan untuk masing-masing propinsi. Hasil dari pengukuran ini menunjukkan adanya kecenderungan yang terus menurun pada kurun waktu analisis (1993-2004), terlebih sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal (Tabel 6.4). Penurunan ketimpangan
39
Pada tabel 6.2 terlihat untuk uji secara parsial nilai probabilitas t-stat-nya lebih kecil dari taraf nyata 5%. Begitupun untuk uji secara serempak, dimana terlihat nilai probabilitas F-stat-nya yang lebih kecil dari taraf nyata 5% juga. Sementara itu, terlihat nilai Obs*R-squred (LM Test) dan Obs*R-squred ( White Heteroskedasticity), keduanya memiliki nilai probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata 5%.
74
PAD ini disebabkan karena penerimaan PAD untuk masing-masing propinsi terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Tabel 6.3. Nilai Indeks Ketimpangan PAD tiap Propinsi di Indonsia Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: data BPS, diolah.
Ketimpangan PAD 1,9596 1,9437 1,9673 1,8693 1,7572 1,6512 1,5930 1,8477 1,6356 1,4023 1,3487 1,2581
Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa ketimpangan PAD berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap tingkat ketimpangan pendapatan. Dengan menurunnya ketimpangan PAD ini maka akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Lebih jauh, karena penurunan ketimpangan PAD ini disebabkan oleh meningkatnya PAD yang diperoleh masing-masing pemerintah daerah. Maka hal ini pun akan berarti bahwa peningkatan PAD akan berdampak terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Jadi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan PAD untuk tiap-tiap propinsi di Indonesia membawa dampak yang positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan komponen utamanya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), merupakan sumber penerimaan penting bagi daerah disamping sumber-sumber penerimaan lainnya seperti: Dana
75
Perimbangan (DAU, DAK, dan Dana Bagi Hasil) dan Pinjaman Daerah. Peranan PAD menjadi lebih penting lagi di era otonomi ini karena pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola rumah tangganya sendiri dengan bertumpu kepada penerimaan yang berasal dari daerahnya sendiri. Karenanya wajar kalau pemerintah daerah berusaha meningkatkan penerimaan daerahnya dengan menerbitkan perda PDRD. Sayangnya, beberapa perda tersebut isinya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan telah berdampak buruk terhadap iklim investasi di daerah Namun demikian, terlepas dari penerbitan perda-perda yang inefisiensi bahkan sampai terkesan “jor-joran”. Kondisi dimana PAD yang cenderung meningkat ini sejalan dengan salah satu tujuan diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal sebagaimana tercantum pada bab II yaitu berkurangnya tingkat ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
2. Ketimpangan Transfer Fiskal dan Ketimpangan Pendapatan Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat menyalurkan dana ke daerah dalam bentuk dana hibah yang penggunaannya telah ditentukan. Dana yang paling besar adalah subsidi daerah otonom (SDO). Pengeluaran pembangunan didanai melalui sistem Inpres (Instruksi Presiden), yang merupakan dana Instruksi presiden untuk mendanai berbagai tujuan pembangunan secara spesifik, mulai dari perencanaan sampai dengan pembangunan gedung sekolah dan pasar. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah pusat mengalihkan dana untuk mengurangi kesenjangan fiskal baik secara vertikal
76
maupun horizontal seperti yang ditentukan dalam undang-undang desentralisasi. Oleh karena itu, pengalihan dana semacam ini disebut “dana perimbangan”. Dana perimbangan ini terdiri dari tiga elemen: penerimaan bagi hasil (pajak dan nonpajak), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketimpangan transfer fiskal ini diukur dari nilai Indeks Williamson, dengan menggunakan transfer fiskal sebagai ukuran pendapatan untuk masingmasing propinsi yang dibobot dengan jumlah penduduk. Hasil dari pengukuran ini menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat pada kurun waktu analisis, terlebih sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal (Tabel 6.5). Peningkatan ketimpangan transfer fiskal ini (terlebih pada masa desentralisasi fiskal) disebabkan
karena perolehan dana transfer pemerintah daerah dari
pemerintah pusat yang terus meningkat tiap tahunnya. Tabel 6.4. Nilai Indeks Ketimpangan Transfer Fiskal tiap Propinsi di Indonsia Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: data BPS, diolah.
Ketimpangan Transfer Fiskal 0,4482 0,4607 0,4765 0,5221 0,4880 0,8072 0,8009 0,8072 1,0541 0,9335 0,9442 0,9159
Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa ketimpangan transfer fiskal berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap ketimpangan pendapatan. Dengan meningkatnya ketimpangan transfer fiskal ini maka akan
77
menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Lebih jauh, karena peningkatan ketimpangan transfer fiskal ini disebabkan oleh meningkatnya dana transfer yang diperoleh pemerintah daerah. Maka hal ini pun akan berarti bahwa peningkatan dana transfer akan berdampak terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Jadi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan dana transfer untuk tiap-tiap propinsi di Indonesia membawa dampak yang positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Hal yang cukup menarik dari kondisi ini, yaitu secara tidak langsung peningkatan dana transfer ini dapat menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan, sudah sesuai dengan tujuan penelitian ini. Sebaliknya, hal yang tidak sesuai dengan tujuan desentralisasi fiskal, yakni dana transfer yang diharapkan dapat meminimalisir ketimpangan transfer fiskal justru tidak terjadi, malah cenderung meningkatkan ketimpangan transfer fiskal yang ada. Terdapat tiga argumen yang cukup kuat untuk menjelaskan kondisi ini. Pertama, transfer fiskal yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dana bagi hasil dan DAU. Jadi, kondisi ini diduga sangat erat kaitannya dengan formula pembagian dana transfer setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Bagi daerah-daerah yang kaya akan SDA tentu formula bagi hasil menguntungkan mereka, sementara daerah yang miskin akan SDA akan sangat dirugikan oleh formula bagi hasil ini. Selanjutnya formula DAU yang didesain untuk pemerataan ternyata belum mampu juga untuk meminimalisir ketimpangan fiskal yang ada. Simanjuntak dan Hidayanto menjelaskan kondisi ini karena kentalnya campur
78
tangan
politik
didalam
penentuan
formulanya.
Lebih
jelasnya
mereka
menyatakan: Kepentingan politis cenderung lebih dominan, terutama dalam tahaptahap penentuan formula. Sehingga keputusan bersifat “ad-hoc”-lah yang terjadi. Praktis, formula itu “termodifikasi” dalam proses ini, yang pada gilirannya menganggu pula sasaran pemerataan tersebut. Namun demikian, hal serupa ini sudah menjadi praktik di banyak negara berkembang dan di beberapa negara maju. Artinya, intervensi politik sudah melekat tak terpisahkan dalam hubungan keuangan pusat daerah.40 Alasan kedua yaitu adanya anggaran pemerintah daerah yang disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pemda ”memarkir” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Oleh BPD, anggaran tersebut disimpan dalam sertifikat yang diterbitkan oleh bank sentral tersebut. Ironis memang, ketika anggaran yang disimpan di SBI itu berupa DAU, karena dilain pihak kondisi fasilitas umum di daerah masih minim dan pelayanan publik tidak berjalan dengan baik justru surplus ini bukan digunakan dengan semestinya. Tercatat sampai dengan April 2007 sebanyak Rp. 90 triliun anggaran Pemda disimpan di SBI, yaitu sebanyak 25 persen SBI yang tersimpan bank sentral adalah milik BPD. Dengan adanya ”pemarkiran” DAU di SBI ini, tentu saja tidak dapat meminimalisir ketimpangan fiskal yang ada malah justru menghambat proses pembangunan daerah. Alasan
ketiga
yang
tidak
kalah
pentingnya
yaitu
ujung
dari
diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal ini pada dasarnya berada pada tingkatan pemerintah kabupaten/kota bukan pada tingkat pemerintah propinsi.
40
Robert A. Simanjuntak dan Djoko Hidayanto. 2002. Dana Alokasi Umum di Masa Depan dalam Machfud Sidik, dkk (Ed), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal.154.
79
Telah disebutkan pada Bab II (Tabel 2.1) bahwa distribusi bagi hasil SDA setelah desentralisasi ini diterapkan lebih banyak untuk pemerataan kabupaten/kota dan hanya sebagian kecil untuk pemerintah propinsi. Selain itu pengalokasian DAU sebagaimana diatur dalam UU No. 25 tahun1999 ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU tersebut dialokasikan untuk pemerintah propinsi sebesar 10 persen, sisanya 90 persen dialokasikan untuk pemerintah kabupaten/kota. Jadi jelas dengan pengalokasian seperti yang diatur pada undang-undang tersebut, transfer fiskal kurang memberikan pengaruh terhadap ketimpangan transfer fiskal antar propinsi.
3. Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Pendapatan Dummy desentralisasi fiskal digunakan untuk melihat apakah tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia lebih baik pada masa desentralisasi fiskal ataukah sebelum desentralisasi fiskal diterapkan. Dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positip dan signifikan secara statistik terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Pada masa kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan, tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia lebih baik daripada sebelum kebijakan ini diterapkan. Dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah dan Desentralisasi pada tahun 2001, pemerintah daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas dan nyata dalam mengurus rumah tangga daerahnya. Dengan status barunya, pemerintah daerah lebih leluasa untuk membuat dan melaksanakan kebijakan yang cocok untuk masyarakat dan daerahnya, karena pemerintah daerah lebih
80
mengetahui kebutuhan akan daerahnya daripada pemerintah pusat. Pelimpahan wewenang ini diikuti juga oleh pelimpahan dana transfer dan pengelolaan keuangan daerah secara mandiri. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemerintah daerah yang lebih otonom, pemerintah daerah akan memacu kondisi keuangannya dengan menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya lokalnya secara maksimal, disamping pemanfaatan dana transfer dari pemerintah pusat. Hal ini dilakukan tidak lain demi kesejahteraan daerah dan masyarakatnya.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Melihat dari masalah yang hendak di selesaikan, tujuan yang hendak
dicapai dan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1.
Indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB konstan 1993 berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi terkecuali pada tahun 1998-1999 yang berada pada kondisi ketimpangan yang sedang. Jika mengeluarkan sektor migas dalam perhitungan, maka terlihat adanya kondisi ketimpangan yang tinggi dari tahun 1993-1997. Dimulai dari masa krisis (1998) sampai masa diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal (2004) ketimpangan berada pada kondisi yang sedang. Sedangkan indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB harga berlaku – baik dengan atau tanpa sektor migas – berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi.
2.
Pada masa kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan, tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia lebih baik daripada sebelum kebijakan ini diterapkan.
3.
Adanya peningkatan dana transfer untuk tiap-tiap propinsi di Indonesia membawa dampak yang positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia.
82
4.
Adanya peningkatan PAD untuk tiap-tiap propinsi di Indonesia membawa dampak yang positif terhadap tingkat kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia.
7.2
Saran Melihat dari pendahuluan hingga kesimpulan yang telah dibuat, maka
beberapa saran yang coba direkomendasikan, yaitu: 1. Masih tingginya tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia, mengindikasikan masih belum cukup upaya-upaya pemerintah dalam menekan tingkat ketimpangan yang terjadi selama ini. Diperlukan kajiankajian yang lebih mendalam lagi sehingga arah kebijakan untuk mengatasi masalah ketimpangan ini bisa tepat sasaran. 2. Tidak terbuktinya transfer fiskal dalam menurunkan tingkat ketimpangan transfer fiskal, maka perlu ditinjau ulang tentang pola transfer yang selama ini digunakan (formula). Disamping itu, tetap perlu adanya fungsi pengawasan dari pemerintah pusat tentang penggunaan anggaran daerah terlebih terkait adanya penyimpanan DAU di SBI. Kedua hal ini diduga sebagai faktor yang cukup kuat mengapa tujuan transfer fiskal tersebut tidak tercapai. 3. Melihat peranan PAD dalam membentuk tingkat kemandirian fiskal pemerintah daerah juga dalam menekan tingkat ketimpangan yang terjadi. Maka pemerintah daerah harus secara bijak dan arif dalam menggali sumbersumber PAD ini, jangan sampai gagasan ”autonomy” terdistorsi menjadi pendekatan ”automoney”. Sehingga dapat menimbulkan inefisiensi dalam
83
iklim investasi pemerintah setempat, yaitu dengan diterbitkannya berbagai perda tentang pajak dan retribusi. 4. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melihat peranan transfer fiskal secara lebih rinci, yaitu dalam hal bagi hasil (baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil bukan pajak) dan bantuan dari pemerintah pusat dalam hal ini DAU-nya. Disamping kaitannya dengan ketimpangan pendapatan yang telah dilakukan, disarankan juga untuk melihat kaitan antara peranan transfer fiskal dengan ketimpangan fiskal. Baik itu ketimpangan vertikal (vertikal imbalance) maupun ketimpangan horisontal (horisontal imbalance).
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2000. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta. . 2000. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1993. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tingkat I, dalam berbagai tahun terbitan. BPS, Jakarta. .1993. Statistik Kesejahteraan Masyarakat, dalam berbagai tahun terbitan. BPS, Jakarta. . 1993. Produk Domestik Regional Bruto Daerah Tingkat I, dalam berbagai tahun terbitan. BPS, Jakarta. Boediono. 2002. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara dalam Rangka Pelaksanaan Azas Desentralisasi Fiskal, disampaikan pada Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional Tahun 2002. Jakarta, 11 Februari 2002. Brodjonegoro, B. dan A. T. Pakpahan. 2002. Evaluasi Atas Alokasi DAU 2001 dan Permasalahannya, dalam Sidik (editor), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Davey, K. 1989. Hubungan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam Devas (editor), Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia.UI-Press, Jakarta. Damanhuri, D.S. 1999. PJP-I, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Pembangunan dalam Pilar-pilar Reformasi Ekonomi-Politik, Upaya Memahami Krisis Ekonomi dan Menyongsong Indonesia Baru. CIDES dan Pustaka Hidayah, Jakarta. . 1999. Krisis Besar atau Turbulensi Ekonomi dalam Pilar-pilar Reformasi Ekonomi-Politik, Upaya Memahami Krisis Ekonomi dan Menyongsong Indonesia Baru. CIDES dan Pustaka Hidayah, Jakarta. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Elmi, B. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia.UI-Press, Jakarta.
85
Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar, dalam Sumarna (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Haris,
S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntanbilitas Pemerintahan Daerah. LIPI Press, Jakarta.
Hidayat, S. 2004. Desentralisasi: Tinjauan Literatur Tentang Konsep Dasar, Pengalaman Negara Lain, dan Dinamika Kebijakan di Indonesia, dalam Susanto (penyunting), Otonomi Daerah: Teori dan Kenyataan Empiris. PPE-LIPI, Jakarta. Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, dalam Guritno (penerjemah). PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kamaluddin, R. 2000. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Otonomi. Perencanaan Pembangunan, No. 20, Juli/Agustus 2000. . 2006. Sumber Keuangan Daerah dan Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah. Perencanaan Pembangunan, Edisi 04/ Tahun XI/Juli – September 2006. Kuncoro, M. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP-APN-YKPN, Yogyakarta. Mahi, R. dan Adriansyah. 2002. Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah, dalam Sidik (editor), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Nifia, H. 2004. Efek Pemberlakuan Otonomi Daerah Terhadap Perbaikan Pelayanan Publik: Analisis Keuangan Daerah [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB. Nugroho, T. 2004. Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat (Studi Kasus Di Kabupaten Karawang Subang – Garut Ciamis) [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Sidik, M. 2002. Kebijakan, Implementasi, dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dalam seminar nasional Menciptakan Good Governance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Yogyakarta, 20 April 2002.
86
Simanjuntak, R.A. 2002. Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara, dalam Sidik (editor), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Simanjuntak, R.A. dan Djoko Hidayanto. 2002. Dana Alokasi Umum di Masa Depan dalam Sidik (editor), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Suhartono, H. 2005. Signifikansi Peran Transfer Fiskal dalam Mengurangi Kesenjangan Antar Daerah di Wilayah Jawa Bagian Barat [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, FE-UI. Supriyantoro, G. 2005. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten-Kota di Propinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB. Sya’dullah, M. 1999. Dampak Pengalokasian DIP dan Inpres terhadap Distribusi Pendapatan, dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. JEP VII (1). PEP – LIPI. Tambunan, T.T.H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta.