STUDI KEBIJAKAN FISKAL UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA
ADHITYA WARDHANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Studi Kebijakan Fiskal untuk Mengatasi Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Adhitya Wardhana NIM H162080021
RINGKASAN ADHITYA WARDHANA. Studi Kebijakan Fiskal untuk Mengatasi Ketimpangan Pendapatan antar Wilayah di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA, HERMANTO SIREGAR dan KODRAT WIBOWO. Ketimpangan pendapatan antar wilayah mengalami peningkatan di tahun 2001-2010. Akibatnya daerah miskin belum dapat meningkatkan belanja modal sehingga dampak belanja modal terhadap PDRB perkapita belum terjadi secara optimal. Oleh karena itu diperlukan peningkatan belanja modal dari daerah miskin, baik yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak maksimal terhadap PDRB perkapita. Ketimpangan pendapatan yang terus meningkat memperbesar gap pendapatan antara daerah kaya dan miskin. Kemudian adanya kebijakan hold harmless semakin memperburuk ketimpangan antar daerah. Dalam era desentralisasi fiskal, pemberian DAU berperan untuk mengurangi gap antara daerah kaya dan daerah miskin. Tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis ketimpangan antar wilayah dan merumuskan kebijakan fiskal untuk mengatasinya. Sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal, PDRB perkapita dan ketimpangan antar wilayah. Tujuan khusus lainnya yaitu mengkaji alternatif formula DAU untuk memperkuat perannya sebagai equalization grants. Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu metode regresi panel dengan rentan periode 2001-2010. Hasil ini dilengkapi dengan korelasi antara DAU aktual, DAU revisi dan DAU Shah (2012) dengan PDRB perkapita. Analisis juga dilengkapi penghitungan ketimpangan horizontal melalui indeks Williamson. Penelitian ini, menemukan ketimpangan antar wilayah semakin memburuk meskipun ada perbaikan setelah kebijakan hold harmless dihapuskan. Berdasarkan hasil estimasi pada model persamaan belanja modal, faktor yang dapat meningkatkan belanja modal adalah peningkatan PAD, DAU dan DAK serta penghapusan kebijakan hold harmless. Sementara dari model persamaan PDRB perkapita, penelitian ini menemukan peningkatan belanja modal, investasi, penghapusan hold harmless, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Dampak belanja modal terhadap PDRB di daerah kaya lebih efektif karena alokasi belanja yang relatif besar dibandingkan daerah miskin maka dari itu pemberian DAU dan DAK pada daerah miskin dapat meningkatkan kapasitas belanja. Berdasarkan hasil estimasi pada model ketimpangan pendapatan, faktor yang dapat menurunkan ketimpangan pendapatan adalah peningkatan DAU, DAK, infrastruktur jalan, kebijakan penghapusan hold harmless, infrastruktur (panjang jalan), dan pengendalian penduduk. Penelitian ini juga menemukan bahwa penghapusan kebijakan hold harmless semakin memperkuat peranan DAU dalam menurunkan ketimpangan antar wilayah. Dari penemuan ini, perlunya reformulasi formula DAU sehingga dapat menurunkan ketimpangan pendapatan serta DAU yang adil untuk semua daerah dapat tercapai. Formula DAU alternatif berdasarkan revisi UU No 33/2004 dan formula Shah (2012) dapat memberikan alokasi DAU yang lebih adil dan menurunkan ketimpangan antar wilayah. Kata Kunci : belanja modal, DAU, ketimpangan pendapatan
SUMMARY ADHITYA WARDHANA. The Study of Fiscal Policy to Overcome Regional Inequalty in Indonesia. Supervised by BAMBANG JUANDA, HERMANTO SIREGAR and KODRAT WIBOWO. In the past decade Indonesia has witnessed an increase in regional income inequality. The inequality causes government capital expenditure in poor regions has an effect that is far from optimal to regional GDP. To maximize this, we argue the need to increase the capital expenditure by regional government in poor regions. An increase in income inequality induces an income gap between rich and poor regions. The installment of hold harmless rule adds to an increase in regional inequality. In decentralization era, General Allocation Fund (also known as Dana Alokasi Umum (DAU)), has primary function to minimize the gap between rich and poor regions. The general objective of this study is to analyze regional inequality and find some fiscal policy that could be used to address the inequality issue. In specific, this study analyzes the determinants of regional government capital goods, regional GDP and regional inequality. In addition to that, this study also aims to find an alternative formula for the DAU to strengthen its function as equalization grants. We use panel data regression at the provincial level that spans between 2001-2010 to find the determinants of regional government capital goods, regional GDP and regional inequality. In addition to panel data regression, we also use correlation analysis between actual DAU, revision DAU and Shah’s DAU (2012) with regional GDP per capita to infer which of the formula could serve DAU true purpose. For the horizontal inequality, this study calculates Williamson Index. We find that in the last decade Indonesia has witnessed a worsening regional inequality despite the improvement made by the removal of the hold harmless rule. Based on the panel estimation, the determinants for regional government capital expenditure are increase in PAD, DAU, DAK and the removal of the hold harmless rule. While in the other model, we find that increased in regional government’s capital expenditure, investment, the removal of hold harmless rule, and population has positive effect to regional GDP per capita. Finding that the effect of capital expenditure to regional GDP in rich regions reiterates the need to increase poor regions government expenditure capacity by allocating more DAU and DAK. The determinants for decreasing inequality are increased in DAU, DAK, the removal of hold harmless, infrastructure and population control. Lastly, this study finds that the removal of hold harmless rule could reinforce DAU primary purpose to reduce regional income inequality. On the alternative formula, this study advocates the use of the revisional DAU formula based UU. No. 33/2004 and Shah’s (2012) DAU formula. Keyword : DAU, inequality, local capital expenditure,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI KEBIJAKAN FISKAL UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA
ADHITYA WARDHANA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Yusman Syaukat MEc Dr. Ir. Setia Hadi MS
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Rusli Ghalib Dr. Ir. Slamet Sutomo
Judul Disertasi Nama NIM
:
Studi Kebijakan Fiskal Untuk Mengatasi Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia : Adhitya Wardhana : H162080021
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Ketua
Prof Dr Ir Hermanto Siregar,MEc Anggota
Dr Kodrat Wibowo, SE Anggota
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian : 5 Juli 2013
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Melalui penelitian ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MSc dan Bapak Dr. Kodrat Wibowo, SE selaku anggota komisi pembimbing; atas bimbingan arahan dan motivasinya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya sekali lagi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Ibu Dr. Eka Intan sekretaris Program Studi PWD beserta jajarannya atas arahan dan motivasinya. Kepala Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan : Dr. Kodrat Wibowo SE, dan Prof. Dr. Armida S Alisjahbana telah memberikan dorongan dan motivasi kepada peneliti. Ir Rubaman Surawinata dan Setyati Rubaman yang tiada hentinya mendukung peneliti untuk terus menjadi yang terbaik. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ira Nuraeni SE, Raqi Raichan Rubaman dan Rafa Raditya Rubaman dengan penuh kesabaran dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi kepada peneliti. Keluarga Alm. Ajang Sukarsa yang tiada hentinya membantu peneliti. Keluarga Arifin Ramdhani, SE, ME memberikan dorongan moril kepada peneliti. Rido Cahya Mulyawan yang selaku mendorong dan mendukung penuh secara motivasi dan materil kepada peneliti. Arief Bustaman, SE, MIB memberikan dukungan penuh kepada penulis Viktor Firmana SE, MSi, terima kasih atas bantuannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. A Kemal Hidayat, Dr Arief Ramayandi, Dr Bagdja Muljarijadi, memberikan dukungan penuh kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala dukungannya kepada Rifa Utama, SE, ME, Wawan Gunawan SE, Tito Dimas Pradono SE, MSi, Achmad Maulana, SE, Mdev, Dr. A Faudzan, Dr. Yayan, Dr Panca Bagja, Firman Nurzain, SE, Edi Rahayu, SE, Isvan Taufik, MT, dan Kel. Suhartono. Penulis mengucapkan terima kasih kepada FEB UNPAD dan DIKTI atas perhatiannya. Demikian juga kepada teman-teman PWD 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyadari penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikannya Bogor, Juli 2013 Adhitya Wardhana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan (Novelty) 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Distribusi Pendapatan Belanja Modal Produk Domestik Regional Bruto Sumber Penerimaan Daerah Transfer Pusat ke Daerah Dana Alokasi Umum Sebagai Equalization Grants Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU Saat ini dan DAU Revisi Investasi Penduduk Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian 3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Rancangan Penelitian Metode Pengujian Pengujian Masalah Regresi 4 GAMBARAN UMUM KEUANGAN DAERAH, INVESTASI INFRASTRUKTUR DAN PDRB PERKAPITA DI INDONESIA Gambaran Umum Penerimaan Daerah Provinsi di Indonesia Gambaran Umum Belanja Modal Provinsi di Indonesia Gambaran Umum Investasi dan Infrastruktur Provinsi di Indonesia Gambaran PDRB perkapita Provinsi di Indonesia
xiii xiv 1 1 8 9 9 10 11 11 11 12 13 14 17 18 19 20 21 22 28 31 33 33 34 34 40 42 47 47 48 51 54
xi
5 FENOMENA KETIMPANGAN PEREKONOMIAN ANTAR DAERAH DI INDONESIA
57
Kondisi Keuangan Daerah Provinsi di Indonesia Kondisi Investasi, Infrastruktur, Jumlah Penduduk dan PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia Ketimpangan Pendapatan Provinsi di Indonesia Tahun 2001-2010 6 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELANJA MODAL, PDRB PERKAPITA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI INDONESIA Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Provinsi di Indonesia Pembahasan Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Provinsi di Indonesia Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi PDRB perkapita Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB perkapita Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Simulasi Perhitungan DAU Hasil Perhitungan Formula Alternatif DAU Versi Shah (2012) Kota/Kabupaten di Indonesia Hasil Simulasi DAU Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU aktual Tahun 2010 dan DAU Revisi Tahun 2010 Penghapusan PDRB perkapita dalam Kebutuhan Fiskal pada Simulasi Perhitungan Formula DAU
57 67
Hasil Perhitungan Formula Alternatif DAU berdasarkan Ukuran Disparitas Implikasi Kebijakan : Sebuah Sintesa 7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan Rekomendasi Rekomendasi untuk Penelitian Lanjut DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN RIWAYAT HIDUP
xii
73 75
75 77
81 84 89 91 96 97 99 101 102 103 1 105 105 105 106 107 113 140 141
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Distribusi PDRB per pulau di Indonesia tahun 2006-2010 Gini rasio provinsi di Indonesia tahun 2008-2010 Provinsi yang memiliki belanja modal terbesar tahun 2001-2010 (jutaan) Lima provinsi dengan kontribusi investasi tertinggi terhadap PDRB perkapita 2001-2006 (dalam persen) Lima provinsi dengan kontribusi investasi tertinggi terhadap PDRB perkapita 2007-2010 (dalam persen) Provinsi terbesar dalam pembangunan panjang jalan beraspal kondisi baik tahun 2001-2006 Provinsi terbesar dalam pembangunan panjang jalan beraspal kondisi baik tahun 2007-2010 Perkembangan rata-rata PAD lima tahunan provinsi di Indonesia (dalam jutaan) DAK total dan DAK bidang infrastruktur jalan rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam juta) Jumlah penerima DAK provinsi, kabupaten, kota dan kabupaten dan kota di Indonesia tahun 2003-2010 Koefisien variasi dari DAU dan DAK provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 Kontribusi dana transfer pusat terhadap belanja modal provinsi di Indonesia tahun 2008-2010 (dalam persen) Kondisi panjang jalan beraspal kondisi baik provinsi di Indonesia rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (km2) Jumlah penduduk provinsi di Indonesia rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam juta) Koefisien variasi dari PDRB perkapita, investasi dan infrastruktur jalan tahun 2001-2010
16 Ketimpangan pendapatan tertinggi dan terendah sepuluh provinsi 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2 3 50 51 52 53 53 58 62 63 64 66 69 71 73 74
di Indonesia Tahun 2001-2010 (dalam indeks) Uji Haussman persamaan belanja modal Persamaan belanja modal provinsi di Indonesia Hasil coefficient correlation persamaan belanja modal provinsi di Indonesia Durbin Watson test persamaan belanja modal Uji Haussman persamaan PDRB perkapita Hasil Estimasi PDRB perkapita provinsi di Indonesia Hasil coefficient correlation persamaan PDRB perkapita provinsi di Indonesia Observasi nilai residual persamaan PDRB perkapita Uji Haussman persamaan ketimpangan pendapatan
xiii
75 76 76 77 81 82 83 83 85
26 Hasil estimasi persamaan ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia 27 Hasil coefficient correlation persamaan ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia 28 Durbin Watson test persamaan ketimpangan pendapatan 29 Jumlah penerima dau hasil formula Shah (2012) pada klaster kota dan kabupaten berdasarkan kelompok (dalam juta) 30 Korelasi perhitungan alternatif DAU Shah (2012), DAU aktual dan DAU revisi dengan PDRB perkapita 31 Indeks Williamson dengan alternatif DAU Shah (2012), DAU revisi dan DAU aktual : pemerintah kota dan kabupaten
90 90 91 98 101 103
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Box plot PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2005-2010 Korelasi belanja modal dengan PAD dan DAU daerah kaya dan miskin di Indonesia tahun 2010 (dalam persen) Korelasi belanja modal dengan DAK daerah kaya dan miskin di Indonesia tahun 2010 (dalam persen) Korelasi PDRB perkapita dengan belanja modal, investasi dan infrastruktur di Indonesia tahun 2010 (dalam persen) Korelasi PDRB perkapita tahun sebelumnya dengan DAU dan DBH di Indonesia tahun 2010 Korelasi PDRB perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAK di Indonesia tahun 2010 Proses penetapan variabel dan rumus DAU Kerangka pemikiran Tahapan Model Empiris (Juanda, 2009)
10 Kontribusi total PAD, DAU dan DAK terhadap total penerimaan daerah di provinsi Indonesia tahun 2001-2010 (dalam persen) 11 Perkembangan belanja modal seluruh provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 (dalam jutaan) 12 Panjang jalan beraspal kondisi baik seluruh provinsi di Indonesia tahun 20012010
1 4 5 6 7 7 16 30 38 48 49 54
13 PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2001-2005 (dalam juta)
55
14 PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2007-2010 (dalam juta)
56
xiv
15 Jumlah DAU provinsi rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam jutaan) 16 Scatter plot korelasi antara kapasitas fiskal dan DAU provinsi di Indonesia
60 61
17 Kontribusi belanja modal terhadap investasi provinsi di Indonesia rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 18 Scatter plot korelasi provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi dan kapasitas fiskal rendah terhadap belanja modal di Indonesia tahun 2010
65
19 Pembentukan modal tetap bruto rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 20062010 provinsi di Indonesia (jutaan)
68
Rata-rata PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2001-2005 dan tahun 20 2006-2010 (dalam juta) Distribusi peneriman DAU perhitungan Shah (2012) pada klaster kota 21 kelompok berpenduduk 500-1 juta orang 22 Distribusi peneriman DAU perhitungan Shah (2012) pada klaster kabupaten pada kuartil satu
72
xv
65
99 99
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dengan adanya era otonomi, pemerintah daerah diberi wewenang lebih luas untuk mengalokasikan belanjanya. Salah satu implementasi otonomi daerah adalah memberikan dana transfer kepada pemerintah daerah dari pemerintah pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK digunakan untuk menyeimbangkan kapasitas fiskal daerah. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah akan diberikan dana transfer pusat (DAU dan DAK) relatif lebih besar. Namun sejauh ini ketimpangan pendapatan antar provinsi setiap tahunnya semakin timpang. Berdasarkan data periode tahun 2005-2010, ketimpangan antar provinsi terus mengalami peningkatan. Gambar dibawah ini memperlihatkan perbedaan PDRB perkapita yang lebih besar untuk provinsi yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Semakin besarnya biaya hidup karena adanya inflasi, kurang memadainya sarana infrastruktur, tingginya beban ketergantungan akan membuat ketimpangan antar daerah ini semakin besar. Selain itu, terdapat kecenderungan perbedaan potensi sumber penerimaan di setiap provinsi dapat memicu peningkatan ketimpangan pendapatan.
Sumber : BPS pusat tahun 2005-2010 (diolah)
Gambar 1 Boxplot PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2005-2010 Pada gambar boxplot diatas, terlihat ketimpangan antar daerah atau provinsi semakin besar dalam setiap tahunnya. Menurut Nazara (2010), ketimpangan antar daerah diawali dari distribusi spasial sumber daya pembangunan yang mengikuti sebaran kegiatan ekonomi dan penduduk. Akibat kegiatan ekonomi tidak merata maka alokasi sumber daya ekonomi untuk
2
pembangunan juga tidak merata. Ketidakmerataan tersebut menguatkan penyebaran kegiatan ekonomi di daerah-daerah tertentu saja. Pemerataan pembangunan daerah tidaklah dimaksudkan sekedar menyamakan proporsi pendapatan setiap daerah, dengan kata lain pemerataan dapat dilihat berdasarkan kebutuhan yang ingin dicapai oleh masing-masing daerah. Setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga diperlukan usaha yang berbeda untuk mencapai kebutuhan tersebut. Ketidakmerataan pendapatan antar daerah berasal dari perbedaan sumber daya. Pada gambar boxplot memperlihatkan provinsi Kalimantan Timur dan Riau memiliki nilai PDRB perkapita diatas provinsi lain. PDRB yang termasuk minyak dan gas, membuat PDRB perkapita provinsi Kalimantan Timur dan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Peningkatan penduduk juga merupakan salah satu penyebab ketimpangan pendapatan antar daerah semakin buruk. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk tanpa dibarengi peningkatan PDRB yang lebih besar maka nilai PDRB perkapita suatu daerah akan semakin rendah.
Tabel 1 Distribusi PDRB per pulau di Indonesia tahun 2006-2010 Pulau 2006 2007 2008 2009
2010
Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
16.67 61.05 2.77 8.57 4.68 1.74
17.19 60.25 2.71 9.04 4.33 1.67
17.15 60.54 2.70 8.85 4.38 1.66
16.88 60.88 2.71 8.75 4.50 1.59
16.71 60.92 2.77 8.63 4.59 1.76
Sumber : BPS pusat tahun 2006-2010 (diolah)
Ketimpangan pendapatan dapat juga dilihat dari perbedaan nilai PDRB. Dilihat pada tabel 1, tidak ada perubahan yang signifikan dari penyebaran PDB Indonesia berdasarkan klaster pulau. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan pulau dengan nilai PDRB tertinggi, bahkan nilai kontribusi PDRB pulau Jawa terhadap nasional dalam setiap tahunnya sudah mencapai 60%. Pulau diluar Sumatera dan Jawa mempunyai nilai proporsi PDRB yang relatif rendah. Nazara (2010) menjelaskan bahwa pulau Jawa dan Sumatera masih mendominasi distribusi PDB di Indonesia. Sedangkan pulau di luar Jawa dan Sumatera tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerataan antar daerah tidak diarahkan agar setiap provinsi memiliki pendapatan yang sama, tetapi bagaimana setiap provinsi dapat memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Di satu sisi provinsi di luar Jawa memiliki sumber daya alam melimpah namun belum dapat meningkatkan outputnya akibat tidak dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Hanya sebagian provinsi yang sudah memanfaatkan sumber daya alamnya seperti Kalimantan Timur dan Riau. Ketimpangan antar wilayah dapat dilihat juga dari koefisien gini rasio. Berdasarkan data tahun 2008-2010, koefisien gini rasio provinsi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Koefisien gini rasio memperlihatkan
3
ketimpangan pendapatan masyarakat pada suatu daerah, semakin besar nilai koefisien gini rasio maka ketimpangan pendapatan masyarakat di daerah tersebut semakin timpang. Berdasarkan data dari BPS secara individu terlihat adanya perbedaan pendapatan antar propinsi yang terus meningkat dalam setiap tahunnya. Perkembangan gini rasio yang kian meningkat, membuat ketimpangan pendapatan masyarakat semakin besar. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat belum memberikan perubahan cukup signifikan dalam penurunan ketimpangan perekonomian. Terlihat dari gini rasio seperti provinsi DIY dan Banten mempunyai gini rasio yang cukup besar pada tahun 2010. Meskipun pulau Jawa mendominasi PDB Indonesia namun masih terdapat ketimpangan cukup besar yang terjadi antar provinsi di pulau Jawa. Provinsi NTB, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua memiliki gini rasio terbesar sepanjang tahun 2010. Ketimpangan pendapatan yang sangat besar membuat ketimpangan pendapatan antar individu yang begitu tajam. Tabel 2 Gini rasio provinsi di Indonesia tahun 2008-2010 Gini Rasio Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Kep. Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali
2008 0,27 0,31 0,29 0,31 0,30 0,28 0,30 0,26 0,33 0,35 0,33 0,35 0,34 0,31 0,36 0,33 0,30
2009 0,29 0,32 0,30 0,33 0,29 0,27 0,31 0,29 0,30 0,35 0,36 0,36 0,37 0,32 0,38 0,33 0,31
Gini Rasio 2010 0.30 0.35 0.33 0,33 0,29 0.30 0.34 0,30 0,37 0,36 0,36 0,36 0,42 0,34 0,41 0,34 0,37
Provinsi NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Papua Papua Barat
2008 0,33 0,34 0,31 0,29 0,33 0,34 0,28 0,34 0,33 0,36 0,31 0,33 0,31 0,33 0,40 0,31
2009 0,35 0,36 0,32 0,29 0,35 0,38 0,31 0,35 0,34 0,39 0,30 0,36 0,31 0,33 0,38 0,35
2010 0,40 0,38 0,37 0,30 0,37 0,37 0,37 0,43 0,37 0,40 0,36 0,42 0,33 0,34 0,41 0,38
Sumber : BPS Pusat (2010)
Untuk mengurangi ketimpangan, perlu upaya mendorong daerah-daerah miskin untuk meningkatkan PDRB perkapita karena peningkatan PDRB perkapita diharapkan dapat menurunkan ketimpangan antar daerah. Salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah dan meningkatkan PDRB perkapita yaitu dengan cara meningkatkan belanja modal pada daerah miskin. Peningkatan belanja modal akan mendorong peningkatan PDRB perkapita. Setelah diberi keleluasaan mengelola keuangan, seharusnya daerah mampu meningkatkan belanja modal. Peningkatan belanja modal pada dasarnya tergantung pada besaran penerimaan daerah yang bersumber dari PAD dan dana
4
transfer pusat (DAU, DBH dan DAK). Daerah yang mampu menggali sumber ekonomi potensial maka daerah tersebut dapat meningkatkan nilai PAD. Karenanya daerah kaya cenderung mempunyai nilai PAD yang lebih besar dibandingkan daerah miskin. Selama ini tidak terdapat definisi daerah kaya dan daerah miskin, maka dalam penelitian ini untuk menentukan daerah kaya dan miskin menggunakan perhitungan median dari PDRB perkapita. Provinsi yang berada di bawah nilai median PDRB perkapita maka diasumsikan sebagai daerah miskin. Peningkatan PAD didapat dari peningkatan potensi objek pajak. Daerah yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki maka daerah tersebut tidak sulit mendapatkan sumber-sumber peningkatan PAD. Dukungan pemerintah pusat untuk meningkatkan pembangunan daerah dengan cara memberikan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan transfer pusat ke daerah dalam bentuk hibah, penggunaan DAU ditetapkan sendiri oleh daerah. Tujuan DAU yaitu menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sehingga daerah kurang mampu akan mendapat alokasi DAU yang relatif besar. Setiap daerah akan mempunyai kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang berbeda, maka peranan DAU menjadi penting untuk mencukupi kebutuhan fiskal disetiap daerah agar celah fiskal tidak terlalu besar. DAU digunakan oleh daerah untuk meningkatkan pembangunan daerahnya yang disalurkan melalui belanja modal. Belanja modal merupakan elemen penting dalam meningkatkan pembangunan. Belanja modal yang besar maka diharapkan dapat mempercepat penurunan ketimpangan pendapatan. Gambar 2 dibawah ini, memperlihatkan korelasi positif antara PAD, DAU dengan belanja modal berdasarkan daerah yang kaya dan miskin. Hasil dari korelasi ini memperlihatkan PAD dan DAU dapat meningkatkan belanja modal. Pada gambar 2 memperlihatkan daerah kaya dan daerah miskin yang diproksikan dengan provinsi ternyata masih membutuhkan transfer pusat yang sebanding dengan kebutuhan belanja modal.
Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah) Ket. p : daerah miskin dan r : daerah kaya, berdasarkan dari perhitungan median pada PDRB perkapita
Gambar 2 Korelasi belanja modal dengan PAD dan DAU daerah kaya dan miskin di Indonesia tahun 2010 (dalam persen)
5
Kemudian terdapat DAK yang digunakan untuk keperluan daerah dan prioritas nasional. DAK lebih fokus terhadap pembiayaan infrastruktur daerah. Dana transfer pusat DAK akan menambah besaran belanja modal daerah dan alokasi DAK ini diharapkan dapat meningkatkan PDRB perkapita. Gambar 3 memperlihatkan hasil korelasi DAK dengan belanja modal pada daerah kaya dan daerah miskin dimana ditunjukkan bahwa DAK berkorelasi positif dengan belanja modal. Berdasarkan hasil korelasi DAK ini, diindikasikan bahwa dengan meningkatkan jumlah DAK maka akan berdampak terhadap penambahan jumlah belanja modal.
Scatterplot of Belanja_Modal(r) vs DAK(r), Belanja_Modal(p) vs DAK(p) 11.5 16
12.0 12.5 13.0 13.5 Belanja_Modal(r)*DAK(r)
11.0
11.5
12.0
12.5
Belanja_Modal(p)*DAK(p)
16
15
15
14
14
13
13
12
12
11.5
12.0
12.5
13.0
13.5
11.0
11.5
12.0
12.5
Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah) Ket. p : daerah miskin dan r : daerah kaya, berdasarkan dari perhitungan median pada PDRB perkapita
Gambar 3 Korelasi belanja modal dengan DAK daerah kaya dan miskin di Indonesia tahun 2010 (dalam persen) Setelah melihat mekanisme umum dari penerimaan daerah terhadap belanja modal maka diharapkan belanja modal daerah akan lebih maksimal dalam meningkatkan pertumbuhan output perkapita. Agar belanja modal berjalan efektif dalam meningkatkan pembangunan daerah maka besaran belanja modal dapat disalurkan dalam bentuk perluasan investasi dan peningkatan infrastruktur. Dilihat dari gambar 4, korelasi PDRB perkapita dengan belanja modal, investasi dan infrastruktur memiliki hubungan positif. Daerah miskin memiliki kapasitas fiskal yang lebih rendah dibandingkan daerah kaya sehingga menyebabkan belanja modal akan lebih rendah. Perlunya dana transfer dari pusat selain untuk menyeimbangkan keuangan daerah juga untuk meningkatkan PDRB perkapita. Mungkin saja alokasi anggaran di daerah masih rendah sehingga belum cukup mampu untuk meningkatkan PDRB perkapita.
6
Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)
Gambar 4 Korelasi PDRB perkapita dengan belanja modal, investasi dan infrastruktur di Indonesia tahun 2010 (dalam persen) Kebijakan fiskal merupakan salah satu upaya untuk menurunkan ketimpangan perekonomian antar daerah. Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui instrumen fiskal seperti DAU dan DAK. DAU adalah instrumen fiskal untuk mengatasi horizontal imbalance dan bertujuan untuk pemerataaan kemampuan keuangan antar daerah. Sedangkan DAK memiliki peranan penting terhadap penurunan ketimpangan karena berdampak langsung terhadap infrastruktur daerah. Dari kedua instrumen fiskal ini diharapkan akan mengurangi ketimpangan antar daerah. Perkembangan alokasi DAU dan DAK terlihat dari aktifitas ekonomi daerah dan pendapatan perkapita tahun sebelumnya. Karenanya penentuan besaran DAU dan DAK ditentukan oleh perkembangan pendapatan perkapita tahun sebelumnya. Gambar 5 memperlihatkan tren positif korelasi antara PDRB perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAU dan DBH. Peningkatan DAU memperlihatkan daerah membutuhkan dana tersebut untuk kepentingan daerah. Seharusnya daerah dengan pendapatan perkapita yang tinggi tidak diberikan DAU yang besar, tetapi berdasarkan kebijakan hold harmless dimana DAU dalam setiap tahunnya minimal sama dengan tahun sebelumnya maka daerah dengan pendapatan perkapita tinggi tetap menerima transfer DAU yang besar. Formula DAU yang ada belum memberikan penurunan ketimpangan antar daerah sehingga perlu ditinjau kembali. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan bagian dari dana perimbangan yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Gambar 5 memperlihatkan DBH memiliki hubungan positif dengan PDRB perkapita dua tahun sebelumnya. Ketergantungan daerah terhadap DBH cukup besar untuk meningkatkan PDRB perkapita. Peranan dana perimbangan baik DAU dan DBH karenanya masih diharapkan oleh pemerintah daerah dalam rangka menyeimbangkan keuangan daerah dan pencapaian target pembangunan.
7
Scatterplot of PDRB_Kapita_t-2 vs DAU, DBH1 0
300000
900000
1000000 1200000
1200000
DAU
400000000
PDRB_Kapita_t-2
600000
1400000
1600000
DBH1
400000000
300000000
300000000
200000000
200000000
100000000
100000000
0
0 0
300000
600000
900000
1000000 1200000
1200000
1400000
1600000
Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)
Gambar 5 Korelasi PDRB perkapita tahun sebelumnya dengan DAU dan DBH di Indonesia tahun 2010 DAK yang diberikan sesuai dengan kebutuhan daerah dan prioritas nasional. Gambar 6, memperlihatkan hubungan tren positif antara PDRB perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAK. Pemberian DAK terhadap daerah disesuaikan dengan hasil PDRB perkapita dua tahun sebelumnya agar DAK yang disalurkan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. DAK lebih ditekankan terhadap pembangunan infrastruktur untuk mendukung aktifitas perekonomian daerah. Keberadaan DAK memberikan peranan sangat penting untuk peningkatan infrastruktur di daerah yang diharapkan dapat meningkatkan PDRB perkapita.
Scatterplot of PDRB_kat-2 vs DAK 900000 800000
PDRB_kat-2
700000 600000 500000 400000 300000 200000 10000000
20000000
30000000 40000000 DA K
50000000
60000000
Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)
Gambar 6 Korelasi PDRB perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAK di Indonesia tahun 2010
8
Peningkatan ketimpangan pendapatan antar daerah membuat pemerintah pusat harus menetapkan kebijakan yang dapat mengatasi ketimpangan pendapatan. Peranan penerimaan daerah seperti PAD, DAU dan DAK menjadi sumber penerimaan belanja modal untuk menurunkan ketimpangan. Berarti ketimpangan pendapatan dapat diturunkan melalui kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah. Penelitian ini akan mengambarkan indikatorindikator yang paling mempengaruhi peningkatan belanja modal, PDRB perkapita, dan penurunan ketimpangan pendapatan. Pemberian DAU kepada daerah selama ini belum menunjukkan dampak pada penurunan ketimpangan pendapatan antar daerah. Formula DAU yang sudah diperhitungkan sebelumnya ternyata masih banyak kelemahan, oleh karena itu pemerintah pusat berusaha membangun formula DAU yang paling tepat. Penelitian ini akan mencoba pula perhitungan alternatif formula DAU yang tepat untuk menutupi celah fiskal dan penurunan ketimpangan antar daerah dengan lebih baik.
Perumusan Masalah Ketimpangan pendapatan antar wilayah mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya. Terutama daerah miskin belum dapat meningkatkan belanja modal sehingga untuk meningkatkan PDRB perkapita belum optimal. Rendahnya penerimaan daerah akan berdampak terhadap besaran belanja modal. Perlu melakukan suatu kebijakan fiskal melalui instrumen fiskal seperti peningkatan PAD, DAU dan DAK. Akibat potensi PAD belum tergali optimal sehingga upaya untuk menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah belum teratasi. DAU sebagai salah satu alat instrumen fiskal untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah yang ternyata selama ini justru ketimpangan pendapatan antar daerah selalu meningkat (Gambar 1). Penelitian Adi (2008) menjelaskan bahwa DAU terkadang digunakan oleh daerah untuk pengeluaran rutin dan sedikit sekali digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan transfer pusat untuk kebutuhan fiskal daerah. Kemudian adanya kebijakan hold harmless sampai tahun 2008 ternyata tidak mencerminkan penurunan ketimpangan. Kebijakan hold harmless mengatur pemberian DAU kepada daerah agar DAU tidak lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Kebijakan hold harmless berdampak bagi daerah yang berpendapatan besar akan tetap mendapat DAU dan tidak lebih kecil dalam alokasi DAU dari tahun sebelumnya. Dari aturan tersebut, membuat konsep DAU tidak berjalan dengan baik dan tidak mengurangi ketimpangan pendapatan. Daerah miskin memiliki kendala dalam besaran belanja modal, sehingga untuk meningkatkan PDRB perkapita belum maksimal. Daerah miskin dalam meningkatkan sumber potensial yang dijadikan objek pajak masih relatif rendah. Dibutuhkan peningkatan belanja modal dari daerah miskin yang langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap PDRB perkapita. Peningkatan belanja modal tersebut bergantung terhadap penerimaan daerah. Ketimpangan pendapatan yang terus berkembang menjadikan jarak perbedaan pendapatan antara daerah kaya dan miskin semakin besar. Peranan DAU untuk daerah miskin selama ini memberikan pengaruh yang relatif rendah terhadap ketimpangan pendapatan. Agar DAU dapat menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah
9
memerlukan DAU yang adil untuk semua daerah. Transfer DAU yang tidak adil menjadi lebih parah semenjak diberlakukan kebijakan hold harmless. Setelah hold harmless dihapuskan, pola penentuan pemberian DAU diharapkan bisa menjadi lebih baik. Dengan fakta bahwa dana transfer pusat berupa DAU yang diberikan kepada pemerintah daerah masih mengalami peningkatan, diperlukan perhitungan DAU yang dapat memeratakan kapasitas keuangan daerah dan menurunkan ketimpangan pendapatan. Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan maka penelitian ini akan melihat seberapa besar faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal dan PDRB perkapita serta ketimpangan pendapatan antar wilayah. Penelitian ini akan mencoba pula alternatif kebijakan fiskal melalui perhitungan alternatif formula DAU. Berdasarkan hasil uraian diatas maka perumusan masalah dapat diindentifikasikan sebagai berikut : 1. Seberapa besar pengaruh PAD, karakteristik daerah, DAU, kebijakan hold harmless, dan DAK infrastruktur terhadap belanja modal? Seberapa besar pengaruh belanja modal, karakteristik daerah, investasi, 2. kebijakan hold harmless, infrastruktur, dan jumlah penduduk terhadap PDRB perkapita? 3. Apakah kebijakan fiskal melalui instrumen dana transfer yaitu DAU dan DAK infrastruktur dan faktor lainnya seperti karakteristik daerah, kebijakan hold harmless, infrastruktur, dan jumlah penduduk dapat menurunkan ketimpangan antar daerah dan apakah ada alternatif kebijakan fiskal yang lebih baik untuk kedepan (untuk menurunkan ketimpangan)?
Tujuan Penelitian Ketimpangan antar wilayah yang kian meningkat dalam setiap tahunnya terutama ketimpangan pendapatan antar daerah. Berdasarkan kondisi tersebut maka tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis ketimpangan antar wilayah dan merumuskan kebijakan fiskal untuk mengatasinya. Peranan belanja modal dapat ditentukan dari besaran penerimaan daerah untuk meningkatkan PDRB perkapita. Peningkatan PDRB perkapita untuk daerah miskin diharapkan dapat menurunkan ketimpangan. Tujuan khusus penelitian ini yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal, PDRB perkapita dan ketimpangan antar wilayah. Tujuan khusus lainnya yaitu mengkaji alternatif formula DAU untuk memperkuat perannya sebagai equalization grants.
Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian Manfaat penelitian ini dijadikan sebagai bagian dari rekomendasi untuk menurunkan ketimpangan antar daerah di Indonesia. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bagian rekomendasi dan acuan revisi UU No 33/2004 tentang tentang perimbangan keuangan antar pusat dan daerah dapat melalui reformulasi DAU. Penelitian ini akan terkonsentrasi terhadap studi ketimpangan di Indonesia, dengan ruang lingkup penelitian yaitu lingkup 32 Provinsi di Indonesia dengan periode tahun 2001-2010. Untuk mendapatkan alternatif kebijakan maka penelitian ini akan melakukan simulasi perhitungan DAU benchmark Shah
10
(2012), DAU aktual tahun 2010 dan DAU revisi tahun 2010 menggunakan data kabupaten dan kota di Indonesia.
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dalam penelitian ini yaitu melakukan perhitungan alternatif formula DAU yang dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan revisi Undang-Undang No 33/2004 tentang perimbangan keuangan antar pusat dan daerah melalui perhitungan alternatif formula DAU.
11
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisis populasi yang berada dibawah garis kemiskinan. Pada umumnya, ukuran dan indikator yang mengukur tingkat distribusi pendapatan tidak tergantung pada rata-rata distribusi. Terkadang ukuran distribusi pendapatan dipertimbangkan lemah dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan. Masalah utama dari distribusi pendapatan di suatu daerah adalah ketidakmerataan pendapatan antar kelompok masyarakat pada daerah tersebut. Oleh karena itu sering disebut tingkat ketidakmerataan atau kesenjangan (Todaro, 2000). Ketidakmerataan distribusi pendapatan tersebut diakibatkan banyak hal terutama: 1.
2.
Adanya perbedaan kepemilikan faktor-faktor produksi terutama stok modal (capital stock) antar kelompok masyarakat. Berdasarkan teori Neo-Klasik menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan berasal dari kepemilikan faktor capital stock ini. Namun kondisi seperti ini dapat diperbaiki oleh upaya pelimpahan dari pendapatan pemilik modal yang berlebih kepada pihak yang kekurangan. Mekanisme seperti ini tidak berjalan maka teori Keynesian mengandalkan peranan pemerintah dalam melakukan subsidi pada pihak yang kekurangan. Hal ini diperlukan pula kebijakan pemerintah dalam upaya redistribusi pendapatan Ketidaksempurnaan mekanime pasar (Market Failure) yang menyebabkan tidak terjadinya mekanisme persaingan sempurna. Tidak berjalannya mekanisme persaingan ini karena: (i) perbedaan kepemilikan faktor produksi (sebagaimana telah dijelaskan); (ii) timpangnya akses informasi; (iii) intervensi pemerintah; serta (iv) keterkaitan antara pelaku ekonomi dengan pihak pemerintah yang kemudian mendistorsi pasar (biasnya kebijakan pemerintah dalam satu kebijakan tentang perlindungan industri tertentu misalnya.
Distribusi Pendapatan Daerah Adanya perbedaan kepemilikan dalam hal sumber daya alam akibat dari perubahan distribusi antar daerah. Indeks yang sering digunakan untuk distribusi antar daerah ini adalah Indeks Williamson. Rumus yang digunakan dalam Indeks Williamson ini adalah sebagai berikut:
Y Y * f 2
W
i
Y*
i
/ N
12
Dimana: W = Indeks Williamson Y = i PDRB/Kapita pada propinsi i Y* = PDRB/Kapita nasional fi = penduduk propinsi i N = Jumlah total penduduk nasional Hasil dari Indeks Williamson ini menggambarkan 2 hal yaitu: 1. Disparitas ekonomi antar daerah menjadi berkurang setelah terjadi peningkatan laju perekonomian nasional 2. Disparitas pendapatan antar daerah di negara berkembang menjadi lebih tinggi dibandingkan negara maju. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa hal yaitu: a. Migrasi tenaga kerja b. Migrasi modal (capital) c. Keterkaitan antar daerah d. Kebijakan ekonomi Belanja Modal Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa belanja modal adalah pengeluaran untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai nilai manfaat lebih satu tahun untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Pada umumnya belanja modal dapat dibagi menjadi lima kategori, yaitu: 1) Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah untuk pengeluaran dalam memperoleh hak atas tanah yang siap pakai. 2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja modal yang berupa pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin, serta inventaris kantor dan dapat dimanfaatkan lebih dari 12 bulan dengan kondisi siap pakai. 3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja modal gedung dan bangunan merupakan pengeluaran perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang dpaat menambah kapasitas dan bangunan tersebut dalam kondisi siap pakai. 4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan untuk pengeluaran perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5) Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja modal fisik lainnya termasuk didalamnya berupa pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengeluaran fisik lainnya yang bukan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan. Kategori belanja ini adalah belanja modal seperti kontrak sewa beli,
13
pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana berupa belanja modal ke dalam APBD. Pemerintah daerah akan mengalokasikan dana tersebut berdasarkan kebutuhan daerah untuk keperluan sarana dan prasarana yang dimanfaatkan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan fasilitas publik. Peningkatan belanja modal diharapkan dapat menjadi faktor pendorong dan menimbulkan investasi baru di daerah. Kemudian peningkatan belanja modal dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan konsep PDB (Produk Domestik Bruto) pada tingkat daerah. PDRB dapat dikatakan sebagai hasil interaksi kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi pada suatu wilayah tertentu (negara, propinsi, kabupaten/kota). PDRB dapat dijadikan indikator kinerja ekonomi suatu daerah. Nilai PDRB mencerminkan besaran aktivitas ekonomi daerah tersebut. Perhitungan PDRB mencakup barang/jasa akhir, yaitu barangbarang yang siap dikonsumsi. Untuk barang setengah jadi tidak termasuk perhitungan. PDRB dapat dihitung berdasarkan nilai tambah (value added). Perhitungan PDRB hanya termasuk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri pada tahun berlaku. Perhitungan PDRB terbagi menjadi harga tahun berlaku disebut dengan PDRB nominal. Perhitungan PDRB nominal ini didalam perhitungannya masih terdapat unsur inflasi. Sedangkan perhitungan PDRB yang menghilangkan unsur inflasi yaitu PDRB atas harga konstan. PDRB atas harga konstan merupakan PDRB yang mempelihatkan output sebenarnya. Pendekatan PDRB dapat melalui pendekatan produksi dan pengeluaran. Pendekatan produksi adalah penjumlahan nilai produksi akhir dari aktivitas perekonomian suatu daerah. Agar tidak terjadi penghitungan ganda (double counting), maka dilakukan cara menghitung nilai tambah dari suatu produk, mulai dari produk mentah hingga produk (barang) jadi.. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach) merupakan penjumlahan dari rumah tangga konsumsi (Masyarakat), rumah tangga Pemerintah, rumah tangga perusahaan (Swasta) dan rumah tangga luar negeri. PDRB perkapita merupakan perbandingan PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita memperlihatkan pendapatan rata-rata masyarakat pada suatu wilayah/daerah. PDRB perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan pada suatu wilayah atau daerah.
14
Sumber Penerimaan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah meliputi Pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber pendanaan tersebut merupakan sumber penerimaan daerah yang terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD adalah penjumlahan nilai dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan yang didalamnya adalah bagian laba yang diperoleh dari perusahaan milik daerah, serta lain-lain PAD yang sah. Setiap daerah berusaha untuk mengoptimalkan penerimaan PAD agar dapat membiayai kebutuhan pembangunan. Peningkatan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah berakibat terjadinya peningkatan alokasi belanja modal. Ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat dapat diukur dari nilai perbandingan jumlah transfer dana perimbangan. Semakin tinggi dana perimbangan maka semakin besar tingkat ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggaran belanja modal. Dana transfer dari pemerintah pusat bersumber dari pendapatan APBN. Dana transfer pemerintah pusat dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). DAU merupakan dana transfer yang bersumber dari pendapatan APBN bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam mendanai kebutuhan pelaksanaan desentralisasi. Besarnya DAU ditentukan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah berdasarkan besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) dan potensi daerah (fiscal capacity). Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh DAU relatif besar (Juanda, Sidik dan Qibthiyah, 2013). Rumusan DAU sebaiknya atas formula sederhana, mudah dipahami dan dihitung oleh daerah bila data tersedia. Selain itu perhitungan yang dibuat harus logis dan memenuhi kaidah prinsip teori serta harus konsisten. Formula alokasi DAU harus memiliki data dari variabel penentu DAU di setiap daerah dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula, celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kondisi keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan kebutuhan fiskalnya dan kapasitas fiskal. Sedangkan alokasi dasar adalah kebutuhan dana daerah untuk membayar gaji dan tunjangnan PNS. Secara umum formulasi dasar dari DAU kesuatu daerah adalah sebagai berikut (Brojonegoro dan Pakpahan, 2002): DAU = AD + CF dimana, DAU = Dana Alokasi Umum, AD = Alokasi Dasar CF = Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
15
Operasionalisasi perhitungan DAU, baik untuk tingkat popinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, didasarkan atas perumusan umum sebagai berikut:
DAU Prop( i )
CF Prop( i )
CF Prop
DAU Kab/Kota( i )
x Alokasi DAU Prop
CF Kab/Kota( i )
CF Kab/Kota
x Alokasi DAU Kab/Kota
Sedangkan penetapan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah diperoleh melalui perumusan sebagai berikut:
α1 Indeks jumlah penduduk α Indeks luas wilayah 2 α Indeks kemahalan konstruksi Kebutuhan Fiskal = TBDR x 3 α 4 Indeks pembanguna n manusia α 5 Indeks PDRB per kapita dimana: TBDR = Total Belanja Daerah Rata-rata =
i
B. Pegawai B.Barang B.Modal Jmlh Prop atau Kab/Kota
= Bobot masing-masing indeks yang didapat dari hasil uji ekonometrika
Indeks Jumlah Penduduk ( i )
Indeks Luas Wilayah ( i )
Jumlah penduduk daerah
(i)
Jumlah penduduk secara nasional
Luas wilayah daerah
(i)
Luas wilayah secara nasional
Indeks Kemahalan Konstruksi Wilayah ( i )
Indeks Pemb Manusia Wilayah ( i )
Indeks kemahalan konstruksi daerah
(i)
Rata - rata indeks kemahalan secara nasional
Indeks Pemb Manusia daerah
(i)
Rata - rata indeks Pemb Manusia nasional
16
Indeks PDRB per kapita Wilayah ( i )
PDRB per kapita daerah
(i)
Rata - rata PDRB per kapita nasional
Kapasitas fiskal daerah merupakan fungsi penerimaan potensial daerah yang berasal dari sumber-sumber resmi yang telah ditetapkan oleh undangundang. Adapun perhitungan kapasitas fiskal daerah dapat dirumuskan : Kapasitas Fiskal = PAD + DBH Kapasitas Fiskal Daerah Fungsi dari :
Kemajuan ekonomi (PDRB) SDA
Variabel Potensi : PAD dan DBH
AMANAT UU
MODEL DAU
No. 33/2004 KEBUTUHAN FISKAL DAERAH, fungsi dari:
Pelayanan Publik Jumlah Penduduk Luas Wilayah Keadaan Geografi IPM Kemajuan Ekonomi
VARIABEL KEBUTUHAN
Pelayanan Publik Jumlah Penduduk Luas Wilayah Indeks Harga Konstruksi IPM PDRB/kapita
Gambar 7 Proses penetapan variabel dan rumus DAU DAK adalah dana transfer dari pendapatan APBN yang dialokasikan yang bertujuan untuk mendanai berbagai kegiatan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Kegiatan pembangunan yang didanai oleh DAK diarahkan pada berbagai kegiatan yang bersifat penyediaan infrastruktur publik antara lain di pengadaan infrastruktur di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi serta pengadaan prasarana publik lainnya. Daerah yang menerima DAK diwajibkan menyediakan dana pendamping minimal sebesar 10% dari nilai DAK yang diterima, sehingga peningkatan DAK akan mendorong peningkatan alokasi belanja modal pada APBD (Kementerian Keuangan, DJPK, 2013). Dana Bagi Hasil (DBH) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan formula tertentu dengan
17
memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana bagi hasil dapat dibedakan kedalam dua hal, yaitu: Dana bagi hasil Pajak (yang terdiri atas dana bagi hasil PBB, BPHTB, dan dana bagi hasil wajib pajak orang dan perorangan dalam negeri/PPh nomor 21, 25, dan 29). Dana bagi hasil sumber daya alam (yang berasal dari hasil kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi). Transfer Pusat ke Daerah Pada umumnya pemerintah pusat menguasai sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Oleh karena itu pemerintah daerah hanya menerima sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau mempunyai wewenang dalam memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan daerah relatif kurang signifikan. Kurangnya sumber penerimaan daerah terhadap kewajibannya akan membutuhkan transfer dana dari pemerintah pusat. Di berbagai negara, kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, dan bergantung pada kondisi daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan tingginya intensitas kegiatan ekonomi. Hal ini semua telah berimplikasi kepada besar kecil-nya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan (Simanjuntak, 2002). Pada aspek lainnya, terdapat daerah yang memiliki variasi dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan publik yang dilihat dari penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Selain itu terdapat daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai (Simanjuntak, 2002). Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar namun memiliki sarana dan prasana sudah lengkap. Hal seperti ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dari daerahdaerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) akan menghasilkan indikator dari kesenjangan atau celah (gap) fiskal dari masing-masing daerah, yang nantinya dapat ditutupi oleh transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan transfer dari pemerintah pusat dalam konteks ini adalah kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Karenanya daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu. Berbagai hal dalam mengatasi persoalan daerah yang memiliki standar pelayanan berasal dari penyebaran atau melimpahnya efek pelayanan publik ke luar daerah yurisdiksi (externalitas). Dalam melakukan stabilisasi daerah maka pemerintah menggunakan dana transfer untuk mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat (Simanjuntak, 2002).
18
Dana Alokasi Umum sebagai Equalization Grants DAU merupakan transfer bersifat umum dengan jumlahnya yang sangat signifikan. Penggunaan DAU menjadi wewenang daerah maka DAU dilihat berdasarkan respons pemerintah daerah untuk mendapatkan bagian dan kontrol yang lebih besar terhadap keuangan negara. DAU menjadi sumber penerimaan penting untuk pemerintah daerah. Oleh karena itu, dengan DAU persoalan ketimpangan antara pusat dan daerah dapat teratasi. Tujuan DAU sebagai dana untuk mengatasi ketimpangan. Pencapaian tujuan DAU ini seharusnya benarbenar menjadi fokus dari DAU di masa depan (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002). Kondisi keuangan daerah di Indonesia masih mencerminkan ketimpangan atau ketidakmerataan. Hal ini dapat dilihat dari PAD hasil pajak dan sumber daya alam. Penerimaan daerah lain seperti bagi hasil pajak seperti PBB, BPHTB dan PPh pribadi lebih menguntungkan untuk daerah yang sudah maju. Sedangkan kondisi nyata daerah di Indonesia yang mempunyai sumber daya alam melimpah hanya sebagian kecil saja. Penentuan DAU di setiap daerah didasarkan dari celah fiskal yang sesungguhnya sudah tepat. Hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara menghitung kebutuhan belanja daerah dan kapasitas keuangan daerah yang sesuai. Persoalan ini memerlukan kajian yang mendalam dan mengarah terhadap fungsi atau urusan yang menjadi tanggung jawab daerah. Setiap fungsi akan menjadi beban untuk daerah yang diharapkan dapat mencapai standar tertentu (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002). Selanjutnya perlu dilihat sejauhmana daerah mampu membiayai pelaksanaan dari urusan daerah tersebut. Kemampuan pembiayaan urusan daerah bersumber dari penerimaan dari masing-masing daerah. Selisih dari penerimaan tersebut dapat ditutupi oleh DAU. Cara termudah untuk menghitung celah fiskal dalam jangka pendek adalah menghitung selisih antara belanja aktual dengan pendapatan aktual. Namun metode perhitungan ini masih menjadi persoalan yang cukup serius. Perhitungan celah fiskal ini mungkin akan semakin besar dan sulit dipenuhi oleh pusat (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002). Struktur APBN sangat ketat, dimana penggunaan anggaran hanya diperuntukan untuk satu tahun anggaran. Terlebih lagi adanya kewajiban untuk membayar bunga dan cicilan pokok hutang, serta subsidi yang besar, sehingga belanja transfer ke daerah diragukan mampu menutupi kekurangan dana di seluruh daerah. Selain itu, belanja dan pendapatan aktual belum tentu mencerminkan kondisi kebutuhan dan kapasitas daerah yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan metode, model, dan ketersediaan data yang terbatas serta kemungkinan lainnya, yaitu bagi daerah yang memiliki PAD tinggi yang mencerminkan daerah tersebut mampu menghimpun secara maksimal pendapatan pajak atau memiliki tax effort yang sangat baik justru diberikan dana yang sangat rendah. Sebenarnya dengan adanya DAU, kebijakan desentralisasi fiskal relatif menjadi lebih baik, namun masih sangat terbuka untuk memperbaiki formula DAU tersebut. Perbaikan formulasi DAU terutama diarahkan pada pengukuran kebutuhan dan kapasitas fiscal daerah. Diperlukannya kajian atau riset untuk menghitung kebutuhan dan kapasitas fiskal yang mendekati kondisi daerah sebenarnya. Persoalan lainnya yaitu dengan adanya syarat hold harmless yang
19
mempertimbangkan alokasi DAU yang tidak boleh kurang dibandingkan tahun sebelumnya. Syarat hold harmless ini sebaiknya dihilangkan karena tidak mencerminkan tujuan DAU. Tujuan DAU yang sebenarnya adalah pemerataan kapasitas atau kemampuan fiskal, dimana daerah-daerah yang kaya harus menerima DAU yang kecil, bahkan ekstrimnya tidak sama sekali menerima DAU. Formula DAU dalam perhitungannya dapat saja dipisahkan berdasarkan kota dan kabupaten. Dengan pemisahan formula DAU berdasarkan kota dan kabupaten yang memiliki tanggung jawab relatif berbeda, maka diharapkan dapat menghasilkan formula yang lebih baik (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002). Pada praktiknya banyak negara yang menunjukkan pola perhitungan tidak seragam untuk transfer pusat ke daerah. Banyak hal yang dapat mempengaruhi transfer dana pusat kepada daerah seperti kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Berkaitan dengan itu dimungkinkan adanya satu patokan yang dapat diikuti dan tidak terlalu merumitkan model yang telah digunakan, tetapi tetap fokus terhadap model tersebut (Bird, 1993). Jika tujuan DAU adalah pemerataan kemampuan fiskal maka kemampuan dan kebutuhan fiskal daerah lah yang harus diukur. Masalah kecanggihan desain dari model merupakan masalah kedua. Sejauh ini masih banyak faktor-faktor yang belum dimasukkan dalam desain transfer DAU (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002).
Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU Saat Ini dan DAU Revisi DAU selain dibentuk dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal juga memasukkan alokasi dasar yang didapat dari pembayaran gaji pegawai negeri sipil daerah baik di provinsi dan kabupaten/kota. Adanya alokasi dasar membuat kesenjangan fiskal diantara kapasitas dan kebutuhan fiscal makin parah. Alokasi dasar direspon pemerintah daerah untuk menambah jumlah pegawai negeri. Berbagai kelemahan yang ada di alternatif formula DAU belum mampu memenuhi upaya penurunan ketimpangan pendapatan antar daerah dan penutupan celah fiskal. Mengacu pada revisi Undang-Undang No 33 tahun 2004, maka alokasi dasar dan PDRB perkapita dihilangkan dari kebutuhan fiskal. Perhitungan formula DAU versi Shah (2012) dilakukan dengan menghitung rasio celah fiskal dengan jumlah penduduk dan tidak mempertimbangkan besaran PDRB perkapita. karena telah diakomodasi dalam perhitungan kapasitas fiskal. Persamaan DAU menurut Shah (2012) adalah sbb: DAU Shah (2012) = Kebutuhan fiskal perkapita – Kapasitas fiskal perkapita… (1) Kapasitas fiskal dijadikan bobot dalam rasio agregat PAD dan DBH SDA dengan basis penerimaan terkait. Penggunaan data basis dari sumber penerimaan untuk pajak (PDRB non migas) dan penerimaan daerah dari SDA (PDRB migas). Perhitungan kebutuhan fiskal alternatif DAU versi Shah (2012) dilakukan dengan pembobotan pada kelompok pelayanan dasar berdasarkan agregat rasio belanja pemerintah daerah. Untuk potensi pengeluaran setiap jenis pelayanan adalah rasio agregat dari total realisasi pengeluaran untuk setiap unit yang diproksikan dengan penerima manfaat.
20
Perhitungan formula DAU selama ini menggunakan penjumlahan alokasi dasar dan celah fiskal. Celah fiskal dalam formula DAU saat ini dilihat dari selisih total kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Perhitungan DAU saat ini : DAU aktual = Alokasi dasar + Celah Fiskal… (2) Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal… (3) Dalam formula DAU aktual masih terdapat PDRB perkapita di dalam kebutuhan fiskal, selain indikator pelayanan publik, jumlah penduduk, dan indeks kemahalan kontruksi. Perhitungan kapasitas fiskal formula DAU aktual hanya menjumlahkan PAD dan DBH. Kapasitas fiskal berdasarkan data realisasi dan sumber penerimaan tidak seluruhnya dimasukkan ke dalam kapasitas fiskal. Untuk perhitungan DAU revisi hanya menghapuskan alokasi dasar dan PDRB perkapita di dalam kebutuhan fiskal. Persamaan dari perhitungan formula DAU revisi : DAU revisi = Kebutuhan fiskal – Kapasitas fiskal… (4) Kapasitas = PAD + DBH SDA………………………(5)
Investasi Investasi merupakan perubahan tingkat modal dalam perekonomian dengan sebagian dari pendapatan ditabungkan dan dipergunakan untuk aktivitas peningkatan output produksi. Investasi dilakukan untuk pembelian barang modal dan kelengkapan produksi yang nantinya dapat menambah kemampuan memproduksi dari barang-barang dan jasa yang dibutuhkan dalam akitvitas ekonomi. Investasi dibedakan menjadi investasi publik (public investment) yaitu investasi atau penanaman modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat. Dalam penelitian ini investasi diproksikan dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB). PMTB berdasarkan PDRB menurut penggunaannya yaitu pengeluaran barang modal yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi (PDRB Jawa Barat Menurut Pengunaannya 20032005). PMTB secara rinci terdiri dari : 1.
Penambahan bersih dari produsen dengan asset berwujud yang dapat digunakan kembali. Penggunaannya tersebut memiliki umur satu tahun atau lebih dan bukan untuk keperluan militer. 2. Pengeluaran dari peningkatan dan perubahan barang modal yang dapat memperpanjang umur barang tersebut atau diharapkan dapat meningkatkan produktivitas. 3. Pengeluaran atas reklamasi tanah dan perbaikannya, pengembangan dan perluasan fisik seperti perkebunan, pertambangan, hutan, lahan pertanian dan perikanan. 4. Peningkatan ternak untuk mendapatkan outputnya seperti susu, bulu dan ternak potong Perhitungan PMTB didasarkan dari pengeluaran untuk pembelian barang modal oleh masing-masing lapangan usaha. Pembentukan modal tetap menurut lapangan usaha mencakup sembilan sektor, yaitu :
21
1). 2). 3). 4). 5). 6). 7). 8). 9).
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa. Barang modal yang mencakup PMTB diantaranya bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, bangunan lain seperti jalan dan bandara, serta mesin dan peralatan. Pengeluaran barang modal di bidang militer tidak termasuk dalam PMTB melainkan termasuk konsumsi pemerintah. Definisi barang modal yaitu barang yang dimanfaatkan untuk berproduksi dan masa umur pemakaian satu tahun atau lebih. Investasi pemerintah akan menciptakan infrastruktur sosial seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit, universitas negeri yang bertujuan mempertinggi pertumbuhan produktivitas masyarakat (PDRB Jawa Barat Menurut Pengunaannya 2003-2005).
Penduduk Kependudukan terkadang menjadi permasalahan negara berkembang akibat laju pertambahan penduduk yang sangat tinggi namun tidak dibarengi oleh. penciptaan kesempatan kerja yang cukup. Pertumbuhan penduduk dapat menimbulkan permasalahan seperti struktur umur muda, pengangguran yang tinggi, dan urbanisasi. Struktur usia muda berawal dari adanya tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat di negara berkembang dan mengakibatkan proporsi penduduk usia muda dan non produktif bertambah tinggi, sehingga anggota keluarga menjadi lebih besar, dengan kata lain tingkat ketergantungan (dependency ratio) menjadi lebih tinggi (Todaro, 2010). Beban tanggungan adalah perbandingan antara penduduk berumur 0-14 tahun dan diatas 65 tahun (non produktif) dengan penduduk yang berusia 15-64 tahun. Tingginya jumlah penduduk usia muda tingginya angka kelahiran menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan ekonomi. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa sebagian dari pendapatan yang diperoleh, dan sebenarnya harus ditabung untuk kemudian diinvestasikan bagi pembangunan ekonomi, terpaksa harus dikeluarkan untuk keperluan konsumsi (Todaro, 2010). Teori Perangkap Malthus Berdasarkan Todaro (2010), peningkatan populasi seperti peningkatan secara geometrik (1,2,4,6,8,..., dst) dan ketersedian pangan seperti perhitungan aritmatika (1,2,3,4,.., dst). Penyediaan pangan tidak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Hal ini karena lahan yang semakin sempit akibat banyaknya penduduk sehingga menurut Malthus berlaku hukum hasil lebih yang berkurang (the law diminishing return). Solusi yang dilakukan oleh Malthus
22
adalah bahwa masyarakat harus berusaha untuk memperbesar dan membatasi jumlah keturunan. Menurut Malthus, negara berpenghasilan rendah tidak akan mampu meningkatkan pendapatan per kapitanya di atas tingkat pendapatan per kapita subsisten terkecuali mereka melakukan usaha yang bersifat preventif terhadap pertumbuhan penduduk. Berbagai kritik terhadap teori Malthus diantaranya: 1. Model Malthus tidak melihat dampak kemajuan teknologi yang sangat pesat dan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. 2. Pengaruh tingkat pertumbuhan jumlah penduduk secara nasional terhadap tingkat pendapatan perkapita tidak dibuktikan secara empiris. Justru sebaliknya, pendapatan perkapita-lah yang menjadi faktor penentu utama pada pertumbuhan penduduk. 3. Model Malthus terfokus pada ekonomi mikro dari pembuatan keputusan individual dan tingkat kehidupan menjadi faktor penentu utama dari keputusan keluarga apakah akan mempunyai anggota keluarga lebih banyak atau lebih sedikit. Teori Migrasi Todaro Menurut Todaro (2010), perkembangan migrasi diakibatkan adanya perbedaan antara pendapatan yang diharapkan dan yang terjadi di desa dan kota. Model migrasi dari Todaro memiliki 4 karakteristik utama yaitu : a) Migrasi dirangsang oleh pertimbangan ekonomis yang rasional. b) Migrasi tergantung pada perbedaan upah riil yang diharapkan. c) Perbedaan tersebut ditentukan oleh interaksi antara dua variabel yaitu perbedaan upah perdesaan-perkotaaan yang terjadi dengan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan di sektor perkotaan. d) Memperoleh pekerjaan di perkotaan berhubungan terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan. Tingkat migrasi melebihi tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di perkotaan dapat saja terjadi. Tingginya tingkat pengangguran di perkotaan merupakan hal yang tidak terelakkan disebabkan adanya ketidakseimbangan antara kesempatan-kesempatan ekonomi di perkotaan dan di perdesaan. Kondisi ini sering terjadi di negara-negara berkembang.
Penelitian Terdahulu Analisis dalam studi ini mengacu kepada penelitian-penelitian terdahulu. Adanya desentralisasi fiskal membuat daerah lebih mandiri dan juga leluasa dalam mengelola keuangannya. Dengan desentralisasi fiskal maka daerah dapat menentukan sendiri arah pembangunan yang diinginkan. Beberapa penelitian mengenai desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan ketimpangan. Penelitian Aritenang (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal telah mengubah pengaturan fiskal dengan memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk pengelolaan keuangannya. Disebutkan pula bahwa pembangunan Indonesia menuju ke arah pertumbuhan konvergensi dimana daerah miskin mencoba mengejar ketertinggalannya dari daerah kaya. Desentralisasi fiskal telah membuat
23
pertumbuhan ekonomi tumbuh positif. Indikator fiskal yang terdiri dari pengeluaran pemerintah, dana transfer dan penerimaan daerah terbukti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketimpangan. Penelitian Akai dan Sakata (2005), menggunakan data cross section di Amerika Serikat dan membuktikan bahwa desentralisasi fiskal berhubungan terbalik dengan ketimpangan regional dan karenanya desentralisasi fiskal dianggap sebagai alat komitmen daerah untuk menurunkan ketimpangan. Penelitian Sasana (2008) menjelaskan pengaruh desentralisasi fiskal yang memiliki efek positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal diharapkan dapat berfungsi dan dapat meningkatkan kapasitas fiskal. Selanjutnya penelitian yang menjelaskan pentingnya desentralisasi fiskal dilakukan juga oleh Lessmann (2006) yang dilakukan di 17 negara OECD tahun 1980-2001. Lessmann membuktikan bahwa desentralisasi fiskal akan mengarah pada penyediaan publik menjadi lebih baik terutama dalam hal peningkatan infrastruktur sehingga desentralisasi fiskal akan berdampak pada penurunan ketimpangan pendapatan. Penelitian Norris dan Era (2006) di Meksiko menjelaskan adanya desentralisasi telah membuat daerah lebih leluasa mengelola keuangannya namun akan mengakibatkan ketidakstabilan fiskal apabila pengelolaan tersebut disalahgunakan sehingga perlu adanya upaya menjaga agar proses desentralisasi dapat berjalan dengan baik. Penelitian Zhang dan Zou (1998), menyatakan desentralisasi fiskal dapat dilaksanakan dengan baik apabila kelembagaan disuatu daerah berjalan dengan baik. Kelembangaan suatu daerah yang baik akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih baik. Dinyatakan juga bahwa proses desentralisasi fiskal dapat berjalan apabila hubungan antara penerimaan daerah terhadap belanja pembangunan berjalan dengan baik dan berpengaruh positif. Belanja modal merupakan salah satu faktor penentu untuk peningkatan pembangunan daerah melalui PDRB perkapita. Besaran belanja modal dipengaruhi oleh penerimaan daerah, baik PAD maupun dana transfer pusat. Besaran belanja modal dapat ditentukan oleh besaran PAD dan PAD ini menjadikan daerah lebih mandiri dalam mengelola keuangan daerah. Peningkatan PAD sendiri dapat dilakukan dengan menggali potensi pajak daerah yang lebih produktif. Beberapa penelitian tentang pajak yang dapat meningkatkan sumber belanja daerah diantaranya penelitian dari Tannewald dan Cowan (1997) yang menjelaskan bahwa ketimpangan dapat dilihat dari peranan fiskal di setiap negara bagian. Hal yang dapat dilihat dalam penelitian ini, yaitu dengan melihat indeks kapasitas fiskal dan indeks kebutuhan fiskal terhadap tax effort. Kedua indeks tersebut akan memperlihatkan negara bagian mana saja yang memiliki potensi fiskal yang paling besar. Kemudian penelitian ini melihat pula bagaimana pemerintah negara bagian mengupayakan pajaknya (tax effort) yang dihubungkan dengan indeks kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Indeks kapasitas fiskal berkorelasi positif dengan upaya pajak karena dengan peningkatan upaya pajak seharusnya dapat meningkatkan kapasitas fiskal, sedangkan indeks kebutuhan fiskal berkorelasi negatif. Penelitian selanjutnya dari Tannewald (1999) mencoba menganalisa hubungan antara indeks kapasitas fiskal dengan indeks kebutuhan fiskal yang disebut sebagai comfort index terhadap upaya pajak (tax effort). Berdasarkan hasil
24
penelitian Tannewald (1999) dinyatakan bahwa semakin besar comfort index maka akan semakin tinggi upaya pajak (tax effort). Jadi setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal besar akan cenderung meningkatkan upaya pajaknya. Bird, Martinez-Vaguez, dan Togler (2008) menjelaskan bagaimana faktor peningkatan upaya pajak (tax effort) adalah penting dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di negara berkembang dan negara maju. Perkembangan rasio pajak bukanlah suatu ukuran yang cukup baik tanpa adanya peningkatan upaya pajak. Sebagai upaya meningkatkan pajak negara-negara tersebut akan berusaha mencari sumber-sumber yang dapat meningkatkan objek pajak. Penelitian Bird, Martinez-Vaguez, dan Togler (2008) lebih lanjut memperlihatkan bahwa upaya pajak (tax effort) dipengaruhi oleh PDB perkapita, populasi, rasio ekspor dengan impor, kontribusi non sektor pertanian, tingkat korupsi, dan variabel dummy. Selanjutnya penelitian dari Vazquez dan Martinez (2001) menjelaskan sistem pajak Meksiko yang belum mampu menghasilkan lebih dari 10% hingga 11% dari penerimaan pajak yang terkait dengan PDB. Perlu dilihat faktor-faktor apa saja yang dapat menjelaskan peningkatan pajak ketika upaya pajak yang rendah. Penelitian Mello dan Barenstein (2001) menjelaskan tingginya hasil penerimaan pajak berhubungan dengan pola penerimaan keuangan antara pusat dan daerah melalui proses desentralisasi fiskal. Semakin tinggi pendapatan daerah maka semakin bertambah nilai dari belanja modal. Penelitian ini menggunakan sampel 78 negara. Penelitian Mello dan Barenstein (2001) lebih lanjut menjelaskan adanya kecenderungan dimana dana perimbangan seperti DBH-lah yang dapat mendorong peningkatan belanja modal. Penelitian Kotheburger (2002) menunjukkan bahwa pajak dapat ditingkatkan dengan cara memberikan insentif dan retribusi. Karenanya perlu dilakukan evaluasi mengenai potensi ekonomi disetiap daerah. Penelitian Bird, Vazquez dan Torgler (2006) menjelaskan bahwa pemerintah hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pajak untuk mengetahui bagaimana cara mendorong peningkatan pajak melalui upaya pajak sehingga daerah akan lebih mandiri. Penelitian Dahlby dan Waren, (2003), Dahlby dan Wilson (1994), serta Davoodi dan Grigorian (2006) mencari cara mengoptimalkan tax effort. Cara mengoptimalkan tax effort tersebut akan berdampak terhadap peningkatan PAD. Pemerataan akan tercapai dengan cara meningkatkan tax effort sehingga disparitas horizontal antar daerah dapat teratasi. Penelitian mereka memperlihatkan ukuran upaya pajak dapat dijadikan sebagai ukuran kapasitas fiskal. Penelitian Lledo, Schneider dan Moore (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa kegagalan pajak umum terjadi di setiap negara. Besarnya penduduk yang bekerja di sektor informal mengakibatkan nilai penerimaan pajak menjadi kecil sehingga pungutan pajak tidak efisien. Perlunya peningkatan PAD yang tidak mengandalkan terus dana transfer adalah ciri upaya suatu daerah dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, karena faktor penentu daerah untuk lebih maju dan berkembang dengan lebih baik adalah dengan peningkatan PAD. Namun masih terjadi ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana transfer. Penelitian Agustina (2009) memperlihatkan pengaruh PAD yang relatif kecil terhadap penerimaan daerah akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lemah. Implikasinya adalah bahwa ketergantungan terhadap dana transfer diakibatkan oleh kebutuhan belanja yang belum mampu
25
ditutupi oleh PAD. Sehingga diperlukan upaya pajak untuk meningkatkan PAD yang diharapkan nantinya dapat menutupi belanja daerah yang diperlukan. Penelitian Adi (2008) menjelaskan ketergantungan terhadap dana transfer masih sangat tinggi di daerah-daerah negara Indonesia. Penelitiannya menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari transfer pemerintah pusat terhadap upaya pajak daerah, sehingga pemerintah daerah tidak mengoptimalkan pendapatan lokal tetapi lebih berharap kepada transfer pemerintah pusat dalam jumlah besar. Penelitian Wibowo (2008), menganalisis hubugan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia dengan estimasi panel fixed effect. Hasil penelitiannya menjelaskan peranan desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Adanya desentralisasi fiskal memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan sebelum diberlakukannya desentralisasi. Adanya hubungan negatif antara PAD dengan pertumbuhan ekonomi mengindikasikan adanya kebutuhan untuk memonitor peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang kurang efektif penerapannya. Selain dipengaruhi oleh PAD, belanja modal juga dipengaruhi oleh dana perimbangan lainnya seperti DAU, DAK, dan DBH. Terdapat banyak penelitian yang membahas peran dana perimbangan dalam mempengaruhi belanja modal, diantaranya adalah penelitian Prakosa (2008) yang selain meneliti PAD juga menganalisis fenomena alokasi DAU yang mayoritas digunakan untuk belanja tidak langsung seperti belanja pegawai. Adanya suatu kesalahpahaman bahwa penggunaan DAU adalah untuk mengisi belanja modal dalam rangka menurunkan ketimpangan horizontal. Selain itu terdapat penelitian yang melihat peranan DAK, seperti penelitian dari Kajian Akademis Grand Design Desentralisasi Fiskal (GDDF 2010) yang menjelaskan bahwa peranan DAK yang belum efektif dikarenakan belum jelasnya arah penggunaan dan pemanfaatannya. Diindikasikan pula bahwa peranan DAK terhadap belanja modal tidak begitu besar. Terdapat pula penelitian yang menjelaskan pengaruh belanja yang dapat mempengaruhi pertumbuhan output, diantaranya penelitian Devarajaan dan Swaroop (1996) di 43 negara-negara berkembang selama 20 tahun yang menjelaskan hubungan positif dan signifikan antara pengeluaran publik dengan pertumbuhan output. Penelitian Babalola, Sikiru, Umaru dan Aminu (2010) menganalisis dampak kebijakan fiskal pada pertumbuhan di negara Nigeria, dengan menggunakan data 1977-2009. Penelitian mereka menjelaskan bahwa pengeluaran atau belanja yang produktif dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, implikasinya memang terlihat adanya pengaruh positif dari pengeluaran modal terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Holzner (2010) menjelaskan belanja pemerintah berdampak positif dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Jin, Jing dan Zou (2005) menjelaskan belanja daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Data panel belanja modal di 30 provinsi di Cina menunjukkan kecenderungan terjadinya divergen pertumbuhan ekonomi. Sehingga disimpilkan bahwa pada era desentralisasi fiskal, setiap daerah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya masing-masing yang akhirnya lebih mengarah kepada divergensi. Penelitian Lessmann (2006) dengan menggunakan data panel untuk 17 negara OECD 1980-200, menjelaskan desentralisasi mengarah pada penyediaan layanan publik yang optimal dan peningkatan
26
pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian Lessmann menyatakan bahwa daerah miskin tidak memiliki kelemahan akibat desentralisasi, justru sebaliknya. Besaran belanja modal dapat mempengaruhi peranan investasi dan infrastruktur dalam pembangunan. Peningkatan output perkapita yang didapat dari kontribusi investasi dan infrastruktur merupakan sumbangan dari peranan belanja modal. Terdapat beberapa penelitian mengenai investasi dan infrastruktur yang berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi atau output perkapita diantaranya adalah penelitian Fedderke, Perkins dan Luiz (2006) yang menjelaskan pengaruh perkembangan investasi pada setiap wilayah akan mempercepat PDRB perkapita. Alokasi belanja modal yang besar dalam suatu wilayah akan berdampak terhadap perluasan investasi yang akhirnya berimbas terhadap pertumbuhan PDRB perkapita. Penelitian Barro dan Martin (1995) selanjutnya menyatakan bahwa perluasan investasi dapat meningkatkan pertumbuhan secara jangka panjang, tetapi dampak investasi tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek karena membutuhkan suatu proses. Selanjutnya penelitian Straub, Vellutini dan Walters (2008) menjelaskan investasi yang mengarah ke infrastruktur telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia Timur. Dengan menggunakan data cross section dan model regresi, Straub, Vellutini dan Walters menjelaskan adanya pengaruh signifikan dari infrastruktur terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Calderon dan Serven (2005) dengan menggunakan regresi panel data pada 100 negara dalam periode 1960-2000, membahas mengenai bukti evaluasi dari dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Hasil dari penelitian ini ialah bahwa pertumbuhan secara positif dipengaruhi oleh aset infrastruktur dan ketimpangan pendapatan mengalami penurunan akibat tingginya kuantitas dan kualitas infrastruktur. Kedua hasil ini menyarankan bahwa pembangunan infrastruktur secara efektif dapat memerangi kemiskinan. Penelitian Canning dan Pedroni (2004) menggunakan data panel pada tahun 1950-1992, menjelaskan secara jangka panjang bahwa infrastruktur akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur listrik dan jalan akan mengoptimalkan aktifitas ekonomi dan dapat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian sebelumnya dari Canning (1999) menggunakan panel data, menjelaskan bahwa investasi pada peningkatan infrastruktur fisik maupun SDM dapat berimbas terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, infrastruktur listrik dan jaringan transportasi produktifitas dalam pembangunan wilayah. Penelitian Nurudeen, Abu, Usma, dan Abdullah (2010) menjelaskan fenomena Nigeria sebagai negara miskin dimana pemerintah harus meningkatkan belanja modal, recurrent expenditure termasuk pengeluaran untuk pendidikan. Penelitian ini memastikan bahwa belanja modal harus dikelola dengan baik. Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam pengembangan transportasi dan komunikasi untuk menciptakan lingkungan usaha bisnis yang kondusif. Pemerintah juga harus meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Josaphat dan Morrissey (2000) di Tanzania selama periode 1965-1996 menjelaskan bahwa belanja pembangunan untuk investasi pemerintah memiliki dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk investasi swasta memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Diperlukan
27
upaya pemerintah untuk mengerakkan investasi yang mengarah kepada peningkatan aktifitas ekonomi untuk mendukung pelaku usaha dalam hal ini swasta dalam berinvestasi. Selain pengaruh investasi dan infrastruktur, hal lainnya yang harus dievaluasi dalam perkembangan ekonomi atau output perkapita dapat dilihat dari pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk terutama pada usia non produktif akan menjadi masalah untuk negara bila tidak dibarengi oleh upaya memperluas lapangan kerja. Perluasan lapangan kerja akan memberikan peningkatan pendapatan yang dapat menopang atau membiayai penduduk pada usia non produktif. Penelitian Trang dan Hieu (2011 yang mengacu pada model Solow menjelaskan bahwa dengan asumsi modal adalah konstan maka akan terjadi kenaikan jumlah penduduk dan menurunkan modal per tenaga kerja. Penurunan modal per tenaga kerja ini akan mengakibatkan pertumbuhan output berkurang dan membuat ketimpangan pendapatan makin buruk. Penelitian Dahan (1998) serta Marchionni dan Gasparini (2003), menjelaskan tanpa membatasi tingkat tingkat kelahiran maka akan terjadi transisi kependudukan dan mengakibatkan penurunan distribusi pendapatan. Kondisi ini dapat diatasi apabila jumlah penduduk dibarengi oleh peningkatan potensi kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi sendiri dapat menjadi penyebab ketimpangan pendapatan antar daerah. Daerah yang kaya akan terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan daerah miskin mencoba meningkatkan pertumbuhan ekonomi meraka namun masih jauh tertinggal oleh daerah kaya. Hal seperti sudah diteliti oleh Nazara (2010) yang dijelaskan pada pendahuluan (bab satu), bahwa daerah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhannya, namun setiap daerah akan memiliki perbedaan kebutuhan daerahnya. Secara otomatis, pembangunan setiap daerah yang terjadi akan berbeda sehingga menimbulkan kesenjangan. Ketimpangan pendapatan dapat diatasi melalui kebijakan fiskal yang dilakukan oleh instrumen fiskal seperti DAU dan DAK. Penelitian Swastyardi (2008) menjelaskan bahwa dengan menutupi celah fiskal maka alokasi DAU dapat mengurangi ketimpangan dan menyeimbangkan keuangan antar daerah. Karenanya pemberian alokasi DAU kepada daerah akan memberikan dampak penurunan pada ketimpangan pendapatan. Dana Alokasi Umum sangat tepat diberikan kepada daerah karena memperhitungkan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal pemerintah daerah sebagai determinannya. Namun masih banyak kelemahan dalam perhitungan formula DAU yang berlaku saat ini berdasarkan UU No. 33/2004, sehingga diperlukan alternatif perhitungan DAU untuk dapat lebih mengurangi tingkat ketimpangan. Penelitian Juanda, Sidik, dan Qibthiyah (2013), melakukan perhitungan formula DAU dengan mengacu pada metode yang dikembangkan Shah (2012) secara klaster. Hasil perhitungan formula DAU tersebut akan dikorelasikan dengan PDRB perkapita, untuk melihat hasil yang sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004, dimana dengan PDRB perkapita yang tinggi maka daerah akan mendapatkan DAU relatif kecil. Penelitian Panggabean A, Mahi, Panggabean M, dan Brodjonegoro (1999) menentukan pembagian DAU dengan pola klaster agar besaran DAU tidak condong ke Indonesia bagian barat. Selain alokasi DAU, terdapat pula DAK yang difokuskan terhadap infrastruktur untuk menurunkan ketimpangan antar daerah. Penelitian yang
28
mencoba memformulasikan ulang penentuan yang layak untuk DAK dilakukan oleh Wibowo, Muljarijadi, dan Rinaldi (2011). Selain itu dapat dilihat Kajian Akademis Penyusunan Mekanisme DAK untuk Pembiayaan SPM (2013), mencoba membuat alternatif terbaik DAK untuk mendukung infrastruktur daerah. Kemudian pengaruh jumlah penduduk berakibat pada tingginya ketimpangan pendapatan antar daerah, salah satunya diteliti oleh Thorbecke dan Charumilind (2002) dengan kesimpulan bahwa perubahan jumlah penduduk akan mengarah pada perubahan output perkapita. Penurunan ketimpangan pendapatan sering dilakukan oleh berbagai negara dengan menggunakan kebijakan fiskal. Berbagai macam kebijakan fiskal yang ditempuh oleh suatu negara. Studi oleh Bouton, Gassner dan Verardi (2008) meneliti ketimpangan pendapatan sebelum dan sesudah dikenakan pajak dan retribusi. Kebijakan perluasan basis pajak dapat meningkatkan belanja modal yang diharapkan berdampak terhadap penurunan ketimpangan pendapatan. Bouton, Gassner dan Verardi menyimpulkan peningkatan 10% untuk belanja modal akan memberikan dampak penurunan ketimpangan sebesar 3%. Implikasi kebijakan dalam penelitian mereka yaitu agar membuat aturan yang mengarahkan tanggung jawab pemerintah dalam mengelola keuangan. Penelitian Vehorn (2008), mensyaratkan sistem pajak langsung setelah pemerintah memberikan belanja modal. Vehorn (2008) lebih jauh menjelaskan juga peran pemerintah dalam mengawasi wilayahnya agar sistem pajak langsung dapat diterapkan dengan baik. Selanjutnya, penelitian Rayp dan Sijpe (2007) menjelaskan pentingnya penerapan budget yang efisien untuk kepentingan publik. Rekomendasi yang dihasilkan adalah pentingnya memiliki kebijakan untuk tidak menghamburkan dana yang tidak relevan dengan program pembangunan. Gallo dan Sagales (2011) meneliti tentang kebijakan meningkatkan belanja publik yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi setiap wilayah serta dapat mendorong penurunan ketimpangan. Kebijakan dapat dibuat dari masing-masing wilayah dikarenakan kebijakan yang diambil dari pusat belum tentu cocok dengan karakteristik daerah. Penelitian Qiao, Vaquez, dan Xu (2007) merekomendasikan kebijakan dengan cara memprioritaskan salah satu dari penurunan ketimpangan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian mereka dijelaskan adanya trade off antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi sehingga diperlukan dana baru untuk percepatan pembangunan. Kebijakan lain yang dapat diambil yaitu menggali sumber daya yang berpotensi untuk pembangunan daerah.
Kerangka Pemikiran Pada era otonomi daerah, setiap pemerintah daerah mengelola keuangan mereka untuk meningkatkan aktifitas perekonomian daerah. Setiap daerah karenanya akan meningkatkan PDRB Perkapita. Terjadinya peningkatan PDRB Perkapita harus bersumber dari penerimaan daerah seperti PAD dan dana perimbangan. Nanga dalam Adi (2008) merekomendasikan perlunya kesiapan daerah dalam era otonomi daerah untuk mengelola keuangan mereka melalui pemanfaatan potensi sumber daya. Tannewald dan Cowan (1997) menjelaskan upaya pajak untuk menutupi gap antara kebutuhan fiscal dan kapasitas fiskal. Menurut Tannewald (1999), bahwa peningkatan pajak dapat memberikan
29
peningkatan kapasitas fiskal sehingga akan memberikan dampak terhadap pengeluaran daerah. Selain dari PAD, pemerintah pusat mengeluarkan alokasi dana perimbangan (DAU, DAK dan DBH) untuk memberikan kontribusi besar terhadap belanja daerah. Menurut Brodjonegoro (2001), pemerintah pusat memberikan dana transfer kepada daerah untuk pemerataan keuangan antar daerah melalui DAU dan DAK. Pemerintah pusat memberikan dana tersebut agar pemerintah daerah lebih responsif untuk meningkatkan pembangunannya melalui belanja daerah. Perkembangan penerimaan daerah akan dijadikan sebagai modal dalam belanja daerah. Adapun belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung dimana belanja tidak langsung dikhususkan untuk pemenuhan kepentingan aparat daerah seperti gaji PNS, pembelian alat kantor dan pembuatan gedung-gedung pemerintah daerah. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang terkait dengan program kegiatan dan dapat dirasakan oleh masyarakat seperti pembuatan sarana infrastruktur publik (jalan raya, jembatan, sekolah dan puskesmas), pembelian alat-alat yang mendukung kebutuhan publik. Besaran belanja modal dapat digunakan untuk keperluan dan kepentingan peningkatan investasi, infrastruktur dan pengaruhnya terhadap peningkatan indikator makro ekonomi daerah seperti aspek SDM, kependudukan, tenaga kerja, sektor-sektor ekonomi dan aspek regional. Kemudian belanja modal melalui peningkatan investasi dan infrastruktur diindikasikan berdampak terhadap peningkatan PDRB perkapita daerah. Peningkatan PDRB perkapita daerah berkecenderungan dapat menurunkan ketimpangan (Nazara (2010)). Terjadinya kesenjangan atau ketimpangan pendapatan daerah berawal dari peningkatan PDRB perkapita setiap daerah yang berbeda akibat aktifitas ekonomi dan sumber daya alam yang berbeda pula. Pemerintah pusat melalui kebijakan fiskal akan memberikan dana perimbangan yang diharapkan dapat menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Dalam menurunkan ketimpangan dilakukan berbagai alternatif kebijakan fiskal yang dapat memeratakan keuangan daerah dengan disertai pemenuhan standar pelayanan minimum. Penelitian ini akan membuat alternatif kebijakan melalui simulasi perhitungan DAU. Dengan menggunakan alternatif perhitungan formula DAU maka diharapkan diperolehnya alternatif kebijakan fiskal dalam menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Belanja modal dapat ditingkatkan apabila sumber penerimaan daerah mengalami peningkatan. Peningkatan penerimaan daerah seperti PAD, DAU dan DAK ditenggarai sebagai stimulus fiskal untuk meningkatkan belanja modal daerah yang diharapkan dapat berdampak terhadap peningkatan PDRB perkapita. DAU sebagai dana transfer pusat ke daerah untuk mencapai ekualisasi setiap daerah. Selama ini DAU cukup berperan tetapi masih banyak kelemahan sehingga untuk mencapai ekualisasi belum sepenuh terealisasi. Perlu melakukan perhitungan formula DAU kembali dengan berbagai alternatif agar belanja modal yang dikeluarkan lebih efektif terutama bagi daerah miskin. Alternatif formula DAU dalam penelitian ini akan mencoba menghitung formula (i) DAU Shah (2012), (ii) DAU revisi dengan acuan Undang-Undang No 33 tahun 2004, dan (iii) meninjau DAU aktual. Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013) menyatakan bahwa formula DAU yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan daerah karena fungsi dari pemberian
30
DAU untuk pemerataan keuangan antar daerah. Ketika diberlakukan aturan hold harmless, tujuan DAU untuk menurunkan ketimpangan antar daerah tidak terjadi. Syarat hold harmless, tidak akan mengurangi disparitas antar daerah melainkan penambahan kesenjangan antar daerah. Pemberian DAU kepada daerah dialokasikan berdasarkan perhitungan yang memperhatikan kebutuhan daerah. Besaran DAU kepada daerah ditentukan dari besar atau kecilnya celah fiskal yaitu dengan menghitung selisih kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Untuk daerah yang potensi kapasitas fiskalnya rendah dan kebutuhan fiskal yang relatif tinggi maka akan diberi alokasi DAU yang relatif besar. Alternatif perhitungan formula DAU, diharapkan dapat memenuhi celah fiskal yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah.
Indikator Makro : Demografi SDM Tenaga Kerja Sektor Ekonomi Regional
Pemerintah Daerah (i)
Pengeluaran Daerah (i)
Penerimaan Daerah (i)
PAD & Dana Perimbangan
Instrumen Kebijakan Fiskal Formulasi DAU
Belanja tdk Langsung : Bel. Pegawai Bel. Subsidi Bel. Bantuan Keuangan
Belanja Langsung : Bel. Modal Bel. Pegawai Bel. Brg dan Jasa
Investasi Kebijakan Hold Harmless (2001-2008) Output Daerah (i) (PDRB perkapita) Kebijakan Menurunkan Ketimpangan : Instrumen Desentralisasi Fiskal (DAU dan DAK) Perkembangan Ketimpangan di Indonesia
Gambar 8 Kerangka pemikiran
Infrastruktur : Jalan, Listrik dan Irigasi
31
Hipotesis Penelitian Ketimpangan pendapatan antar wilayah yang terus meningkat telah mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih optimal dalam menurunkan ketimpangan pendapatan. Terlihat pada boxplot di latar belakang, bahwa ketimpangan pendapatan dari sisi PDRB perkapita terus mengalami ketimpangan antar provinsi. Begitu juga dengan rasio gini dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan. Perkembangan ketimpangan pendapatan ini dapat diatasi dengan meningkatkan belanja modal. Besaran belanja modal dipengaruhi oleh penerimaan daerah, artinya besaran penerimaan daerah dapat mempengaruhi terhadap peningkatan belanja modal. Besaran belanja modal tersebut akan mendorong pembiayaan investasi maupun infrastruktur dan akhirnya berimbas terhadap peningkatan PDRB perkapita. Oleh karena itu belanja modal seharusnya dapat mempengaruhi terhadap peningkatan PDRB perkapita. Setelah melihat hubungan belanja modal dengan PDRB perkapita setidaknya setiap daerah, terutama daerah miskin dapat mengejar ketertinggalannya atau dapat memenuhi kebutuhannya. Peningkatan PDRB perkapita disetiap daerah setidaknya dapat mengurangi ketimpangan perekonomian. Melalui instrumen fiskal seperti DAU dan DAK diharapkan ketimpangan pendapatan akan berkurang. Kebijakan hold harmless yang pernah diterapkan ternyata malah meningkatkan ketimpangan pendapatan. Setelah kebijakan hold harmless dihapuskan maka pemberian DAU dan DAK diharapkan dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan menjadi lebih rendah. Berbagai alternatif kebijakan melalui instrumen fiskal untuk mengurangi ketimpangan telah banyak diusulkan. Namun masih saja ketimpangan terus meningkat setelah adanya instrumen fiskal tersebut. Hal ini dimungkinkan karena dalam perhitungan formula DAU misalnya masih belum dapat menurunkan ketimpangan antar daerah (formula DAU yang existing dirasakan belum cukup efektif untuk memeratakan keuangan daerah. Berdasarkan hipotesis secara umum ini, maka hipotesis penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut : 1. PAD diduga berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal provinsi di Indonesia 2. PAD daerah kaya diduga berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal provinsi di Indonesia. 3. DAU diduga berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal provinsi di Indonesia 4. Aturan hold harmless diduga berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal provinsi di Indonesia. 5. DAU saat berlaku aturan hold harmless diduga berpengaruh negatif signifikan terhadap belanja modal provinsi di Indonesia. 6. DAK infrastruktur jalan diduga berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal provinsi di Indonesia. 7. Belanja modal diduga berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia. 8. Belanja modal daerah kaya diduga berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita di Indonesia.
32
9. Investasi diduga berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia. 10. Aturan hold harmless diduga berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia. 11. Infrastruktur diduga berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia. 12. Jumlah penduduk diduga berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia. 13. DAU diduga berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia. 14. DAU daerah kaya diduga berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia. 15. DAK infrastruktur jalan diduga berpengaruh negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia 16. Aturan hold harmless diduga berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia. 17. Infrastruktur diduga berpengaruh negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia. 18. Jumlah penduduk diduga berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia. 19. Berbagai alternatif perhitungan formula DAU diduga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia dibandingkan DAU existing.
33
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data penelitian merupakan data sekunder yang telah dipublikasikan di Indonesia. Adapun data yang dicari berupa data provinsi sebanyak 32 provinsi di Indonesia. Data yang digunakan diantaranya : PAD merupakan penerimaan daerah yang tidak termasuk dana transfer pusat atau dana perimbangan. Data PAD didapat dari penjumlahan data pajak, retribusi hasil kekayaan daerah yang dipisahkan dan pendapatan lain yang sah. Data PAD didapat dari APBD setiap provinsi/kabupaten/kota di Indonesia yang bersumber dari Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK). DAU merupakan dana yang bersumber dari APBN dialokasikan untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan menurunkan ketimpangan horizontal. Perhitungan DAU yaitu penjumlahan alokasi dasar ditambah dengan celah fiskal. Data alokasi dasar didapat dari jumlah gaji pegawai negeri sipil disetiap daerah. Gaji pegawai negeri sipil terdiri dari gaji pokok, tunjangan keluarga dan jabatan, tunjangan beras dan tunjangan pajak. Celah fiskal adalah selisih kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Indikator kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, indeks kemahalan kontruksi, PDRB perkapita dan IPM yang semua indikator tersebut bersumber dari BPS. Indikator kebutuhan fiskal lainnya yaitu luas wilayah bersumber dari Kementerian Dalam Negeri. Kapasitas fiskal dihitung dari penjumlahan PAD dan Dana Bagi Hasil SDA bersumber dari kementerian teknis, Dana Bagi Hasil Pajak didapat dari Ditjen Pajak. Data realisasi DAU dapat diambil dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK). DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN untuk membantu membiayai kebutuhan khusus yang menjadi prioritas nasional. Dalam penelitian ini DAK yang digunakan berdasarkan kegiatan yang terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan infrastruktur dan DAK total. Data DAK didapat dari Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK). Belanja modal merupakan bagian pos dari belanja langsung yang terkait dengan program pembangunan. Belanja modal digunakan untuk menganggarkan belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaatnya lebih dari 12 (duabelas) bulan. Data didapat dari APBD provinsi/kabupaten/kota bersumber dari DJPK. PDRB perkapita merupakan proksi dari kesejahteraan dengan melihat perbandingan PDRB dengan jumlah penduduk. Adapun data PDRB perkapita didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Badan Pusat Statistik, investasi yang diproksikan dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yaitu pengeluaran barang modal yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi. Barang modal yang mencakup PMTB diantaranya bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, bangunan lain seperti jalan dan bandara, serta mesin dan peralatan. Pengeluaran barang modal di bidang militer tidak termasuk dalam PMTB melainkan termasuk konsumsi pemerintah. Data PMTB bersumber dari Badan Pusat Statistik.
34
Infrastruktur ekonomi yang merupakan asset fisik dalam menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan konsumsi final meliputi public utility (energi listrik,air minum, telekomunikasi dan sanitasi), public works (jalan, saluran irigasi,drainase dan bendungan) serta faktor transportasi (jalan kereta api, lapangan terbangan dan angkutan pelabuhan). Dalam penelitian menggunakan data panjang jalan beraspal kondisi baik yang didapat dari Badan Pusat Statistik. Dari data keseluruhan variabel yang diestimasi pada penelitian mengunakan periode tahun 2001-2010. Dengan periode penelitian tersebut maka akan dilakukan berbagai percobaan dalam mengestimasi yang sesuai dengan asumsiasumsi statistik. Penduduk merupakan orang yang menetap di suatu daerah tertentu secara jangka panjang, umumnya dilihat dari pertumbuhan penduduk dimana pertumbuhan tersebut merupakan keadaan yang dinamis antara jumlah penduduk yang bertambah dan jumlah penduduk yang berkurang. Data populasi didapat dari Badan Pusat Statistik dengan data penduduk dimulai dari tahun 2001-2010. Ketimpangan pendapatan antar daerah merupakan perbedaan distribusi pendapatan daerah atau perbedaa jarak pendapatan antar daerah. Indeks yang digunakan untuk menghitung ketimpangan antar daerah yaitu indeks Williamson. Indeks ini bersumber dari Badan Pusat Statistik yang dimulai dari tahun 20012010.
Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dijelaskan secara deskriptif. Penjelasan deskriptif dari hasil estimasi pada persamaan belanja modal, persamaan PDRB perkapita dan persamaan ketimpangan pendapatan. Penelitian ini juga akan menghitung alternatif formula DAU dan dijelaskan secara deskriptif. Analisis penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Rancangan Penelitian Rancangan Penelitian dalam Regresi Penelitian dirancang dengan menganalisis pengaruh PAD, karakteristik daerah, DAU, kebijakan hold harmless, DAU dan DAK infrastruktur terhadap belanja modal. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan estimasi pengaruh belanja modal, karakteristik daerah, investasi, kebijakan hold harmless, infrastruktur (panjang jalan beraspal kondisi baik) dan jumlah penduduk terhadap PDRB perkapita. Terakhir, estimasi dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan, yaitu dengan cara mengestimasi pengaruh variabel DAU, karakteristik daerah, DAK infrastruktur, kebijakan hold harmless, infrastruktur jalan dan jumlah penduduk terhadap ketimpangan pendapatan. Alat analisis untuk penelitian ini menggunakan model panel regresi dengan periode tahun 2001-2010.
35
Persamaan belanja modal : BM= f(PAD, KARAKTERISTIK DAERAH, DAU, KEBIJAKAN HOLD HARMLESS, DAK INFRASTRUKTUR) DAK infrastruktur yang dicoba pengaruhnya dalam penelitian ini adalah infrastruktur jalan, kesehatan dan pendidikan. Spesifikasi model awal: LNBMit= α0 + α1 LNPADit + α2DKAYAit+ α3DKAYA*LNPADit+ α4LNDAUit α5DHHit+ α6DHH *LNDAUit + α7LNDAKit +et Keterangan : BMit : Belanja Modal daerah i pada tahun t (juta rupiah) PADit : Pendapatan Asli Daerah didaerah i pada tahun t (juta rupiah) DAUit: Dana Alokasi Umum (juta rupiah) DAKit: Dana Alokasi Khusus infrastruktur (juta rupiah) DKAYAit = 1 untuk daerah kaya; DKAYA = 0 untuk daerah miskin DHHit: Dummy kebijakan hold harmless sebelum tahun 2009 = 1 i: Provinsi ke i t : tahun ke t
Persamaan PDRB perkapita : PDRB PERKAPITA= f( BELANJA MODAL, KARAKTERISTIK DAERAH, INVESTASI, KEBIJAKAN HOLD HARMLESS, INFRASTRUKTUR, PENDUDUK)
Spesifikasi model awal : LnPDRBKAPit= β0 + β1 LnBMit + β2 DKAYAit+ β3DKAYA*LnBMit + β4 DHHit + β5 LnINVit + β6LnJLNit+ β7LnPOPit +et Keterangan : PDRBKAPit: PDRB Perkapita daerah i pada tahun t (juta rupiah) INVit: Investasi didaerah i pada tahun t (juta rupiah) BMit: Belanja Modal daerah i pada tahun t (juta rupiah) JLNit : Panjang jalan beraspal kondisi baik DKAYAit = 1 untuk daerah kaya; DKAYA = 0 untuk daerah miskin DHHit: Dummy kebijakan hold harmless sebelum tahun 2009 = 1 POPit : Penduduk daerah i pada tahun t i: Provinsi ke i, t : tahun ke t
36
Persamaan ketimpangan pendapatan : IW=f(DAU, KARAKTERISTIK DAERAH, DAK INFRASTRUKTUR, KEBIJAKAN HOLD HARMLESS, INFRASTRUKTUR, PENDUDUK ) DAK infrastruktur yang dicoba pengaruhnya dalam penelitian ini adalah infrastruktur jalan, kesehatan dan pendidikan. Spesifikasi model awal: IWit= γ0 + γ1 LnDAUit + γ2DKAYAit+ γ3DKAYA*LNDAUit+γ4LNDAKit +γ5LNDHHit+ γ6LNJLNit + γ7LnPOPit + et Keterangan : IWit : Ketimpangan (Indeks Williamson) daerah i pada tahun t DAUit : Dana Alokasi Umum daerah i pada tahun t (juta rupiah) DAKit: Dana Alokasi Khusus infratruktur daerah i pada tahun t (juta rupiah) POPit : jumlah penduduk daerah i pada tahun t DKAYAit = 1 untuk daerah kaya; DKAYA = 0 untuk daerah miskin DHHit: Dummy kebijakan hold harmless sebelum tahun 2009 = 1 JLNit: infrastruktur jalan daerah i pada tahun t i: Provinsi ke i, t : tahun ke t Natural logaritma yang digunakan dalam ketiga persamaan tersebut, dimaksudkan untuk melihat elastisitas dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Untuk mencari model terbaik, terlebih dahulu dilakukan berbagai tahapan. Pertama-tama model yang dikaji diasumsikan terspesifikasi dengan benar. Model yang diasumsikan terspesifikasi dengan benar membuat pendugaan dan pengujian model relatif jadi jelas. Dalam realita kita tidak pernah tahu bahwa spesifikasi model yang dikaji pasti benar. Peneliti mengkaji lebih dari satu kemungkinan spesifikasi model dan mencari model yang terbaik. Dalam membuat model diharapkan unsur-unsur ketidakteraturan Y akan tercakup dalam dugaan atau dapat dijelaskan oleh nilai-nilai dari variabel (X1,X2…..,Xn). Oleh karena itu, komponen sisaan diusahakan menjadi relatif kecil dibandingkan komponen dugaannya. Menurut Juanda (2009), komponen error paling sedikit terdiri dari 4 komponen yaitu : 1. Kesalahan pengukuran dan proksi dari peubah respons Y maupun peubah penjelas X1, X2,...., dan Xn. 2. Asumsi bentuk fungsi f yang salah. Mungkin ada bentuk fungsi lainnya yang lebih cocok, linear maupun non-linear. 3. Omitted variabels. Peubah (variable) yang seharusnya dimasukkan ke dalam model, dikeluarkan karena alasan-alasan tertentu (misalnya penyederhanaan, atau data sulit diperoleh dan lain-lain). 4. Pengaruh faktor-faktor lain yang belum terpikirkan atau tidak dapat diramalkan.
37
Tahapan untuk menguji hipotesis dapat dijelaskan pada Gambar 9. Hipotesis-hipotesis utama yang akan diuji (H) dan diformulasikan ke dalam koefisien-koefisien parameter (β) sehingga dapat diuji secara statistik. Setiap penyusunan model ekonomi terdapat beberapa asumsi yang dapat mendasarinya. Asumsi-asumsi tentang error diperlakukan sebagai auxiliary hipotheses (Juanda, 2009). Sebelum melakukan pengujian hipotesis utama (H) terlebih dahulu menguji asumsi-asumsi tentang error yang mendasari model ekonometrik tersebut (Ai). Dalam melakukan pengujian asumsi dapat melalui pengkajian pola ε. Jika ε berpola sistematik terhadap Y tidak dimodelkan secara eksplisit melalui fungsi f dan pemilihan variabel penjelas (X1, X2…Xn). Paling sedikit terdapat satu komponen sistematik dalam komponen ε yang belum diungkapkan dalam f(X1, X2…Xn). Prosedur pemodelan memerlukan pertimbangan statistik yang digunakan untuk mengidentifikasi perlunya spesifikasi ulang dalam model. Sedangkan teori ekonomi digunakan untuk membantu arah re-spesifikasi model. Hal yang harus dipahami yaitu hasil statistik –uji menunjukkan hipotesis utama ditolak maka hal ini belum cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa hipotesis ini benar-benar ditolak, karena kerangka pengujian tersebut tergantung dari cara bagaimana dapat menformulasikan hipotesis tersebut ke dalam koefisien parameter. Jadi kurang layak kalau menyimpulkan penolakan hipotesis pada pengujian pertama terhadap hipotesis tersebut. Akan tetapi jika hipotesis tetap juga ditolak, paling tidak pada pengujian kedua terhadap hipotesis tersebut, maka barangkali tidak ada alternatif lain untuk menolak hipotesis tersebut. Demikian tahapan pemodelan ekonomi secara umum dengan menggunakan analisis regresi. Tahapan melakukan atau mencari model terbaik dapat dilihat pada Gambar 9 untuk mendapatkan model yang terbaik (Juanda, 2009).
38
Main Hypotheses (H)
Auxiliary Hypotheses (Ai)
Deduction
Data on Silent Variables
Prediction
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Testable form of the Theory Y = Xβ + error Residual consistent With White Noise Errors
Residual consistent With White Noise Errors
Test Main Hypotheses
Main Hypotheses Rejected
Main Hypotheses Accepted
Can not Test This Particular Spesification of The Main Hypotheses
Gambar 9 Tahapan Model Empiris (Juanda, 2009)
Rancangan Penelitian dalam Simulasi Perhitungan DAU Formulasi DAU yang berlaku selama ini tidak terlepas dari kekurangan, sehingga perlu secara terus-menerus dievaluasi dan disempurnakan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai alternatif formulasi DAU yang lebih mencerminkan keadilan untuk seluruh daerah di Indonesia. DAU yang lebih adil dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakatnya Studi ini mencoba untuk memberikan alternatif lain dalam perhitungan DAU berdasarkan acuan studi yang telah ada baik berupa teori kebijakan publik yang berlaku universal maupun berdasarkan studi-studi empiris tentang praktikpraktik terbaik (best practices) terkait desantralisasi fiskal (Juanda, Sidik dan Qibthiyah, 2013). Alternatif formula DAU yang dihitung dalam studi ini yaitu
39
DAU aktual tahun 2010, DAU revisi dan DAU Shah (2012). Perhitungan DAU aktual adalah : DAU Aktual = Alokasi dasar + Celah Fiskal Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal Kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, pelayanan publik, indeks kemahalan kontruksi, IPM dan PDRB perkapita Kemampuan fiskal terdiri dari : penjumlahan PAD dan DBH SDA Kemudian perhitungan DAU revisi yaitu dengan menghilangkan alokasi dasar dan PDRB perkapita. Alokasi dasar merupakan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Penghapusan alokasi dasar dikarenakan banyak daerah kaya yang menambah jumlah pegawai negeri sipil. Penambahan tersebut membuat daerah kaya semakin besar mendapatkan DAU. Adanya alokasi dasar merespon daerah untuk menambah jumlah pegawai negeri yang belum tentu efektif. Menghilangkan PDRB perkapita dalam kebutuhan fiskal, dikarenakan PDRB perkapita tidak mencerminkan kebutuhan fiskal. Seharusnya PDRB perkapita lebih mencerminkan kesejahteraan masyarakat suatu daerah. DAU revisi = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal Ket: - Variabel pembentuk Kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, pelayanan publik, indeks kemahalan kontruksi, IPM - Variabel pembentuk Kemampuan fiskal terdiri dari : penjumlahan PAD dan DBH SDA Alternatif formulasi DAU yang ketiga yaitu perhitungan DAU versi Shah (2012). Perhitungan DAU versi Shah (2012) membagi perhitungan dalam dua kelompok klaster yaitu klaster kota dan kabupaten dengan asumsi bahwa karakteristik kemampuan keuangan dan kebutuhan fiskal daerah untuk kedua kelompok klaster tersebut sangat beragam. Klaster kota diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk, sementara untuk kabupaten berdasarkan luas wilayah. Perbedaan klasifikasi ini, dikarenakan kota di Indonesia pada umumnya memiliki jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan kabupaten. di sisi lain, kabupaten pada umumnya memiliki luas wilayah yang lebih besar dibandingkan kota. Kategori klaster kota dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1).kota berpenduduk lebih dari 1 juta dinotasikan C1; 2) kota berpenduduk antara 500,000 -1,000,000 dinotasikan C2; 3) kota berpenduduk antara 100,000 – 500,000 dinotasikan C3; 4) kota berpenduduk 100,000 dinotasikan sebagai C4. Sementara untuk Kategorisasi Klaster kabupaten adalah sebagai berikut: 1) Kabupaten dengan luas area 1336.2 dinotasikan D1, 2)Kabupaten dengan luas area 2648.4 dinotasikan D2, 3) Kabupaten dengan luas area 5309.5 dinotasikan D3, dan 4) Kabupaten dengan luas area 44071 dinotasikan sebagai D4. Studi ini mengacu kepada revisi UU No 33 Tahun 2004, dengan melakukan perbaikan yang ada mencakup penghapusan alokasi dasar dan penghapusan variabel PDRB perkapita dalam perhitungan kebutuhan fiskal, karena PDRB perkapita lebih cocok untuk dimasukkan ke dalam perhitungan kapasitas fiskal (Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013)). Perhitungan formula DAU alternatif versi Shah (2012) yang akan dianalisis yaitu :
40
DAU = Kebutuhan fiskal perkapita – Kapasitas fiskal perkapita Simulasi DAU dilakukan dalam tiga skenario yang dikorelasikan dengan PDRB perkapita dengan tujuan untuk melihat korelasi tererat perhitungan alternatif DAU dengan PDRB perkapita. Nilai koefisien negatif dari korelasi tersebut mencerminkan bahwa daerah yang mempunyai PDRB perkapita relatif besar akan mendapatkan DAU yang relatif kecil. Berdarkan ketiga simulasi perhitungan DAU tersebut, diharapkan akan terpilih alternative perhitungan DAU yang lebih ideal debandingkan dengan formulsi DAU yang berlaku sampai dengan saat ini. Dalam studi ini, diperhitungkan pula aspek ketimpangan horizontal yang diwakili dengan simulasi DAU yang dikaitkan dengan indeks Williamson sebagai proksi ketimpangan antar daerah. Nilai indeks Williamson yang rendah mengindikasikan bahwa kemampuan keuangan antar daerah lebih merata atau dengan kata lain ketimpangan antar daerah rendah. Studi ini terdiri dari data panel yang digunakan pada simulasi alternatif formula DAU dengan menghapuskan alokasi dasar dan PDRB perkapita dalam perhitungan kebutuhan fiskal, sehingga formulanya menjadi sebagai berikut:
Metode Pengujian Metode pengujian dilakukan untuk menguji hasil dari estimasi belanja modal, PDRB perkapita dan ketimpangan pendapatan. Adapun metode pengujian akan dijelaskan oleh uji t, uji f dan koefisien determinasi (R-Squared). Uji t Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen pada tingkat signifikansi tertentu. Pengujian ini dilakukan dengan asumsi bahwa variabelvariabel lain tidak berubah. Menurut Gujarati (2009), dalam uji t-statistik ada 2 jenis kriteria pengujian, diantaranya: Pengujian dua arah (two tail test) Pengujian dua arah digunakan ketika kita tidak memiliki dasar teori yang kuat mengenai bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengujian satu arah (one tail test) Pengujian satu arah digunakan ketika kita memiliki dasar teori yang kuat mengenai bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pada penelitian ini dilakukan uji t dua arah (two tail test) dengan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis dari uji ini adalah : H0 : = 0, Variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependennya. H1 : 0, Variabel independen mempengaruhi variabel dependennya. Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai t-stat dengan nilai t-tabelnya pada tingkat signifikansi tertentu. Nilai t-stat didapat dengan formula sebagai berikut:
41
t
*
2 2 *
se( 2 )
dimana:
2
: nilai estimasi parameter β2
*
2
: nilai β2 dalam hipotesis H0 *
se( 2 ) : standard error β2
Kriteria Pengujian : Jika: (t-tabel) (t-stat) (t-tabel), maka hipotesis nol tidak dapat ditolak Jika: t-stat < -(t-tabel) atau t-stat > t-tabel, maka hipotesis nol ditolak Uji F Uji F-statistik dilakukan untuk menguji signifikansi pengaruh variabelvariabel independen terhadap variabel dependen dalam model. Hipotesis dari uji ini adalah : H0 : β0 = β1 = β2 = β3 = 0, variabel-variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. H1 : Minimal ada satu βi 0, atau minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variable dependennya. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai F-hitung dengan nilai F-tabel dengan tingkat signifikansi tertentu. Hasil pengujian akan menunjukkan kesimpulan sebagai berikut : H0 diterima jika F-stat < F tabel H0 ditolak jika F-stat > F-tabel Dengan demikian hasil uji F yang signifikan akan menunjukkan bahwa minimal satu dari variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependennya. Uji F-stat ini merupakan uji signifikansi satu arah ( Gujarati, 2009). Koefisien Determinasi (R2) Merupakan suatu nilai atau bilangan yang dinyatakan dalam bentuk persen, untuk menunjukkan besarnya presentase variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh oleh variasi di variabel independennya. Koefisien determinasi R2 diperoleh dengan rumus:
42
2
RSS ui R2 1 1 TSS (Yi Y ) 2
Dimana RSS (residual sum of squares) adalah nilai total penjumlahan kuadrat dari variasi Y yang dijelaskan oleh variabel residual. Sedangkan TSS (total sum of squares) adalah total penjumlahan kuadrat dari variasi Y yang dijelaskan oleh nilai rata-ratanya. Besarnya nilai R2 adalah 0 < R2 < 1, dimana semakin mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen, demikian sebaliknya.Pada penelitian ini juga akan digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan dengan jumlah variabel dan jumlah observasinya (adjusted R2), karena lebih menggambarkan tentang kemampuan yang sebenarnya dari variabelvariabel independennya untuk menjelaskan variabel tak bebasnya (Gujarati, 2009). Pengujian Masalah Regresi Uji Multikolinearitas Masalah multikolinier ialah situasi dimana terjadinya korelasi antara satu atau lebih variabel independen dengan variabel independen lainnya. Bila terjadi multikonlinier sempurna dalam model maka dapat mengakibatkan koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standar error koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Jika berdasarkan hasil uji t-statistik ternyata variabelvariabel independen yang digunakan semuanya signifikan secara parsial dengan R2 yang tinggi maka dapat dikatakan bahwa model dalam penelitian ini tidak terdapat masalah mulitikolinear atau bebas dari multikolinieritas. Selain dengan cara sederhana seperti telah diterangkan sebelumnya, cara lain untuk mendekteksi adanya multikolinier adalah dengan melihat apakah nilai koefisien korelasi antar variabel independennya lebih besar dari 0,80, maka dapat dikatakan terjadi masalah multikolinieritas pada taraf yang serius (Gujarati, 2009). Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi dilakukan untuk mendeteksi ada atau tidaknya serial korelasi dari error term yang terdapat dalam suatu model regresi. Gejala serial korelasi dalam konteks time series terjadi bila error term pada suatu periode tertentu berpengaruh kepada error term periode waktu berikutnya, atau dengan kata lain jika error term dari periode waktu berlainan saling berkorelasi. Metode umum yang digunakan untuk menguji serial korelasi ini yaitu dengan menggunakan uji Durbin-Watson atau dengan uji Breusch Godfrey LM Test. Beberapa uji stasistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin Watson (DW) atau uji dengan Run Test. Uji DW hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation), dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantara variabel independen.
43
Untuk mengetahui keberadaan autokorelasi dapat juga dengan mengunakan koefisien autokovarians dan autoregresi (Gujarati, 2009).
Estimasi OLS pada Keberadaan Autokorelasi Pada model regresi dua variabel untuk menjelaskan ide dasar yang dilibatkan, yaitu, Yt= βt + β2Xt + ut. Untuk membuat perkembangan, diperlukan mengasumsikan mekanisme yang menghasilkan ut, berhubung E(utut+s) ≠ 0(s ≠ 0) adalah asumsi yang terlalu umum untuk digunakan dalam praktik. Sebagai titik awal, atau pendekatan pertama, dapat mengasumsikan bahwa faktor gangguan atau faktor kesalahan dihasilkan dari mekanisme berikut ini. Ut = pu1 – 1 + ɛt – 1 < p < 1 (1) Dimana p (=rho) biasa disebut koefisien autokovarians dan dimana ɛ1 adalah faktor gangguan stokastik sedemikian sehingga ia memenuhi asumsi OLS standar, yaitu E(ɛ1) = 0
Var(ɛ1) = σɛ2 Cov (ɛp ɛ1-s) = 0
(2) s≠0
Dalam literatur tektik, sebuah faktor kesalahan dengan sifat tersebut disebut white noise error term. Apa yang ditetapkan oleh persamaan (1) adalah nilai dari faktor gangguan pada periode t sama dengan p dikali nilainya pada periode sebelumnya ditambah sebuah faktor kesalahan acak yang murni (Gujarati, 2009). Skema atau model (1) dikenal sebagai skema Markov’s first-order autoregressive, atau cukup skema autoregresif tingkat satu, biasanya didenotasikan sebagai AR(1). Nama autoregressive karena persamaan (1) dapat diinterpretasikan sebagai regresi dari ut terhadap dirinya dari satu periode sebelumnya. Hal ini merupakan first-order karena ut dan nilai , masa lalunya yang persis satu periode ke belakang dilibatkan : yaitu lag yang maksimal adalah 1. Jika modelnya ut = p1ut-1 + p2ut-2 + ɛp akan menjadi AR(2), atau skema second-order autoregressive, dan seterusnya. dimana p, koefisien autokovarian pada persamaan (1), dapat pula diinterpretasikan sebagai koefisien autokolerasi tingkat satu, atau lebih tepatnya, koefisien autokolerasi pada lag 1. Dengan skema AR(1), dapat ditunjukan bahwa : Var(u1) = E (ut2) =
(3)
Cov (u1,ut-5) = E (u1,ut-5) =
(4)
Cor (u1,ut-5) =
(5)
44
Di mana cov (u1,ut-5) adalah kovarians di antara faktor-faktor kesalahan yang beranjak s periode dan cor (u1,ut-5) adalah kolerasi di antara faktor-faktor kesalahan yang beranjak s periode. Perhatikan, oleh karena sifat simetris dari kovarians dan kolerasi, maka kita ketahui bahwa cov (u1,ut-5) = cov (u1,ut-5) dan cor (u1,ut-5) = cor (u1,ut-5) (Gujarati, 2009). Oleh karena p adalah sebuah konstanta antara -1 dan +1, persamaan (3) menunjukan bahwa di bawah skema AR(1), varians dari ut masih bersifat homoskedastik, tetapi ut berkolerasi dengan (1) nilai masa lalunya yang persis pada periode sebelumnya dan (2) nilai-nilai masa lalunya pada beberapa periode sebelumnya. Penting untuk diperhatikan bahwa |p| < 1, yaitu niai absolut dari p adalah kurang dari satu. Jika, misalnya, psama dengan satu, varians dan kovarians yang ditampilakan di atas tidak terdefinisi. Jika |p|<1, kita katakana bahwa proses AR(1) yang diberikan pada persamaan (12.2.1) bersifat stasioner, artinya,rerata, varians, dan kovarians dari ut tidak berubah sepanjang waktu. Jika |p| kurang dari satu, maka jelas dari persamaan (12.2.4) kita ketahui bahwa nilai dari kovarians (Gujarati, 2009).
Periode Sebelumnya (Lagi) Pada sebuah regresi time series dari pengeluaran konsumsi terhadapat pendapatan, bukan hal yang aneh untuk menemukan bahwa pengeluaran konsumsi pada periode sekarang (berjalan) bergantung, dari sekian banyak hal, pada pengeluaran konsumsi dalam periode sebelumnya. Sehingga, Konsumsit = β1 + β2 Pendapatant + β3 Konsumsit-1 + ut (6) Regresi seperti persamaan (6) juga dikenal sebagai autoregresi (autoregression) Karena salah satu variable penjelasnya nilai masa lalu dari variable dependen. (Kita akan mempelajari model-model semacam itu pada Bab 17.), faktor kesalahan yang dihasilkan akan merefleksikan sebuah pola yang sistematis karena pengaruh dari konsumsi masa lalu terhadap konsumsi sekarang (Gujarati, 2009). Uji Heterokedastisitas Pengujian White Heteroskedasticity dilakukan untuk mendeteksi apakah varians dari setiap unsur error term memiliki nilai yang konstan. Apabila terdapat heteroskedastisitas antara setiap observasi, berarti varians dari error terms tersebut tidak sama. Akibat dari adanya heteroskedastisitas ini adalah parameter yang dihasilkan dari regresi meskipun tetap tak bias dan konsisten tetapi parameter tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil ataupun sampel besar (Gujarati, 2009).
45
Metode Formal dalam Uji Heterokedastisitas Uji Park Uji Park merumuskan metode grafis dengan ,menyarankan bahwa adalah sebagian fui dari variabel penjelas X, bentuk dari fungsi yang dia sarankan adalah 1
= Atau ln
+ β ln
= ln
+ v1
Di mana v1 adalah faktor gangguan stokastik. Oleh karena umumnya tidak diketahui, Park menyarankan untuk menggunakan sebagai suatu “perwakilan” dan melakukan regresi sebagai berikut. ln
+ β In
= ln
= α + β ln
+
+
Jika β secara statistik signifikan, maka heteroskedesitas terjadi pada data.Jika tidak signifikan, kita dapat menerima asumsi heteroskedasitas.Uji Park merupakan prosedur dua tahap.Pada tahap pertama, kita lakukan regresi OLS dengan mengabaikan heteroskedasitas.Kita dapatkan dari regresi ini, dan kemudian pada tahap kedua kita melakukan regresi (Gujarati, 2009). Menarik secara empiris, uji Park memiliki beberapa masalah.Goldfeld dan Quandt beragumen bahwa faktor kesalahan v1 mungkin tidak memenuhi asumsiasumsi OLS dan munkin bersifat heteroskedastik. Meskipun demikian sebagai metode ekpolarasi yang kasar, seseorang dapat menggunakan uji Park (Gujarati, 2009).
Uji Glejser Uji Glejser mirip dengan uji Park, setelah memperoleh residual ûi d: regresi OLS, Glejser menyarankan untuk meregresi nilai absolut ûi terhadap variabel X nya diperkirakan berasosiasi dekat dengan . Menurut Gujarati (2009), Glejser menggunakan bentuk fungsional berikut ini : |ûi|= β1 + β2 Xi + vi |ûi|= β1 + β2√
I
+ vi
|ûi|= β1 + β2 + vi |ûi|= β1 + β2
√
+ vi
46
|ûi|= √ |ûi|= √
+ vi + vi
Dimana viadalah faktor kesalahan. Dalam ruang lingkup empiris atau praktis, kita menggunakan pendekatan Glejser. Akan tetapi, Goldfeld dan Quandt menekankan bahwa faktor kesalahan vi memiliki beberapa problem, yaitu nilai ekspektasinya tidak nol. Ia berkolerasi secara berseri, dan ironisnya, ia heteroskedastik (Gujarati, 2009). Kesulitan lain pada dengan metode Glejser adalah model seperti |ûi|= √
+ vi
dan |ûi|= √
+ vi
Tidak linear dalam parameter dan oleh karenanya tidak dapat diestimasi menggunakan prosedur OLS biasa. Glejser telah menemukan bahwa untuk sampel yang besar empat model pertama memberikan hasil yang secara umum memuaskan dalam mendeteksi heteroskedastisitas sebagai masalah praktis, oleh karenanya, teknik Glejser dapat digunakan untuk sampel besar dan mungkin dapat digunakan pada sampel kecil hanya sebagai alat kualitatif untuk mempelajari sesuatu mengenai heteroskedastisitas (Gujarati, 2009).
47
4 GAMBARAN UMUM KEUANGAN DAERAH, INVESTASI, INFRASTRUKTUR DAN PDRB PERKAPITA DI INDONESIA Bab ini menjelaskan kondisi keuangan daerah, investasi, infrastruktur dan PDRB perkapita daerah-daerah di Indonesia. Penjelasan keuangan daerah terbagi menjadi dua bagian yaitu penerimaan daerah dan belanja daerah.
Gambaran Umum Penerimaan Daerah Provinsi di Indonesia Berdasarkan data historis, komponen PAD merupakan kontributor terbesar dalam total penerimaan seluruh provinsi di Indonesia. Kontribusi total PAD terhadap penerimaan daerah lebih dari 50% dalam setiap tahunnya. Kondisi ini mencerminkan umumnya provinsi di Indonesia sudah berada pada taraf yang mandiri dan mampu mencari sumber-sumber penerimaan daerahnya diluar transfer dari pusat ke daerah. Kontribusi total PAD pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 masing-masing sebesar 51.65% dan 55%. Pada tahun 2003 dan tahun 2004, nilai kontribusi total PAD terhadap total penerimaan daerah melonjak diatas 60%. Selanjutnya pada tahun 2009, kontribusi total PAD sudah diatas 90% terhadap penerimaan daerah. Sedangkan kontribusi total DAU terhadap total penerimaan daerah mengalami penurunan. Pada awal desentralisasi, pemberian DAU terhadap daerah sangat besar sebagai stimulus fiskal. Kontribusi total DAU terhadap total penerimaan daerah di Indonesia mencapai 47.28% dan tahun berikutnya mengalami penurunan. Kontribusi total DAU mengalami peningkatan dari tahun 2009 ke tahun 2010. Penambahan daerah otonom membuat kontribusi DAU terhadap total penerimaan daerah mengalami peningkatan. Umumnya kontribusi total DAU terhadap total penerimaan provinsi di Indonesia mengalami penurunan. Penurunan tersebut didasarkan adanya peningkatan kapasitas fiskal daerah secara umum. Besaran DAU diberikan ketika suatu daerah memiliki kapasitas fiskal rendah maka akan diberikan DAU yang relatif besar. Berdasarkan runtun waktu 2001-2010, kondisi DAU mengalami penurunan dan diindikasikan daerah di Indonesia umumnya sudah mengalami peningkatan kapasitas fiskal. Berikutnya kondisi DAK yang dikhususkan kepada kebutuhan daerah dan prioritas nasional. Kontribusi total DAK terhadap total penerimaan daerah tidak sebesar DAU. Daerah membutuhkan infrastruktur untuk meningkatkan fasilitas publik yang sebenarnya dapat melalui DAK. Namun perkembangan DAK yang terjadi belum cukup mampu memenuhi kebutuhan daerah akibat pengeluaran atau biaya yang cukup besar untuk membangun infrastruktur daerah. Perkembangan dana transfer berupa DAU dan DAK masih berfluktuasi. Perkembangan fluktuasi tersebut diindikasikan kondisi keuangan daerah di Indonesia belum stabil sehingga masih memerlukan dana transfer dari pusat. Berkembangnya situasi politik yang ada di daerah dan bersifat persaingan kekuasaan wilayah menimbulkan perkembangan pemekaran daerah yang berdampak terhadap penambahan jumlah dana transfer pusat. Perkembangan kontribusi PAD, DAU dan DAK terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Dalam kurun waktu sepuluh tahuan di era
48
desentralisasi, pemerintah daerah cenderung dapat mengelola keuangan secara mandiri dan berupaya untuk meningkatkan PAD dalam setiap tahunnya. Berdasarkan gambar dibawah ini, perkembangan PAD yang cukup signifikan di era desentralisasi. Kontribusi DAU yang terus mengalami penurunan merupakan hasil evaluasi yang cukup baik karena terjadi penurunan ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat.
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00
PAD
50,00
DAU
40,00
DAK
30,00 20,00 10,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : APBD provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 (diolah kembali)
Gambar 10 Kontribusi total PAD, DAU dan DAK terhadap total penerimaan daerah di provinsi Indonesia tahun 2001-2010 (dalam persen) Pada gambar diatas terlihat dinamika pada sumber penerimaan daerah dalam kurun waktu 10 tahun. Peningkatan total PAD merupakan pencapaian daerah-daerah dalam menggali potensi ekonomi. Penurunan alokasi DAU mencerminkan kapasitas fiskal di daerah semakin membaik.
Gambaran Umum Belanja Modal Provinsi di Indonesia Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk kepentingan investasi dan infrastruktur dalam bentuk asset fisik. Penggunaan asset fisik dapat digunakan lebih dari 12 bulan. Belanja modal adalah pengeluaran pemerintah daerah yang terkait dengan program pembangunan atau termasuk dalam belanja langsung. Keberhasilan daerah dalam meningkatkan pembangunan, satu diantaranya melalui peningkatan kontribusi belanja modal. Dalam tiga tahun terakhir ini, perkembangan belanja modal mengalami peningkatan. Pertumbuhan positif terhadap belanja modal diharapkan berdampak terhadap peningkatan investasi dan
49
infrastruktur. Dinamika belanja modal dapat dilihat pada gambar belanja modal dibawah ini.
30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000
Belanja modal
10.000.000 5.000.000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : APBD provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 (diolah kembali)
Gambar 11 Perkembangan belanja modal seluruh provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 (dalam jutaan) Tabel 3 memperlihatkan provinsi di Pulau Jawa merupakan provinsi terbesar terhadap perkembangan belanja modal. Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat mendominasi nilai belanja modal tertinggi di provinsiprovinsi yang ada di Indonesia. Provinsi di Pulau Jawa memiliki belanja modal yang cukup besar sampai akhir tahun 2006. Penurunan belanja modal di Pulau Jawa dapat diakibatkan dari sumber-sumber potensial yang menurun dan pertambahan jumlah penduduk. Selain provinsi di Pulau Jawa, provinsi di Pulau Sumatera memiliki perkembangan belanja modal cukup besar. Provinsi NAD, Sulawesi Selatan, Riau, Bangka Belitung merupakan provinsi di Pulau Sumatera yang memiliki belanja modal yang relatif besar. Pulau Kalimantan dan Sulawesi yang mendominasi peningkatan belanja modal, seperti provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Provinsi Bali dan Papua termasuk provinsi yang mempunyai belanja modal cukup besar.
50
Tabel 3 Provinsi yang memiliki belanja modal terbesar tahun 2001-2010 (jutaan) Provinsi Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Riau Kalimantan Timur Provinsi Jawa Timur NAD Papua Sumatera Barat Riau Provinsi NAD Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Riau Provinsi Bangka Belitung Bali Sulawesi Selatan Riau Sumatera Selatan Provinsi Bangka Belitung NAD Bali Sulawesi Selatan Riau
2001 1,638,272 1,134,878 947,990 927,725 761,115
Provinsi
2003 3,306,559
Provinsi
2,633,032 2,632,073 2,282,058 1,780,941 2005 4,110,688 1,787,771 1,593,581 1,117,547 774,868 2007 4,251,314 2,049,414 1,518,303 1,508,725 984,280 2009 4,816,603 3,696,304 1,863,422 1,199,489 1,119,394
Jawa Timur Papua Jawa Tengah Riau Jawa Barat Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Riau NAD Provinsi Bangka Belitung Jawa Tengah Bali Riau Sumatera Selatan Provinsi
2002 2,472,416 1,498,153 1,391,880 1,354,333 1,339,462 2004 4,110,687 1,671,133 1025598 718002 627573 2006 4,209,281 1,835,769 1,432,964 1,358,205 745,496 2008
NAD Bangka Belitung Bali Riau Sulawesi Selatan
2,609,726 2,581,600 1,654,359 1,195,266 1,049,192
Provinsi
2010 5,243,147 3,267,911 1,653,970 1,404,550 1,238,747
Bangka Belitung NAD Bali Sulawesi Selatan Riau
Sumber : APBD provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 (diolah kembali)
Perkembangan belanja modal provinsi-provinsi yang ada di Indonesia merupakan upaya pemerintah daerah yang berkeinginan memperluas investasi maupun infrastruktur. Tolak ukur peningkatan belanja modal didapat dari perkembangan penerimaan daerah. Semakin besar penerimaan daerah seharusnya akan berdampak terhadap peningkatan belanja modal. Provinsi di Pulau Jawa cenderung memiliki potensi ekonomi yang cukup besar sehingga penerimaan daerah akan bertambah dan meningkatkan belanja modalnya. Adanya ibu kota yang berada di Pulau Jawa menjadikan imbas yang positif untuk provinsi lainnya yang ada di Pulau Jawa. Provinsi diluar Jawa mendapatkan penerimaan daerah berasal dari sektor migas. Provinsi Kalimantan
51
Timur, Riau dan Bangka Belitung merupakan provinsi yang kaya akan sektor migas, sehingga diindikasikan penerimaan daerah yang didapat bersumber dari sektor migas. Gambaran Umum Investasi dan Infrastruktur Provinsi di Indonesia Perkembangan investasi dan infrastruktur menjadi harapan daerah untuk meningkatkan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi daerah akan menjadi lambat apabila peningkatan investasi dan infrastruktur yang sangat rendah. Perbedaan potensi ekonomi yang ada di Indonesia memberikan perbedaan dalam perluasan investasi dan infrastruktur daerah. Pemerintah daerah mengeluarkan belanjanya melalui investasi yang biasa dikenal dengan penanaman modal tetap bruto (PMTB). PMTB merupakan belanja modal pemerintah diluar konsumsi pemerintah dan dapat digunakan lebih dari 12 bulan. Konsumsi pemerintah yang merupakan pengeluaran berupa keperluan militer. Setiap daerah akan berusaha meningkatkan investasinya untuk meningkatkan output perkapita. Tabel 4. Provinsi dengan kontribusi investasi tertinggi terhadap PDRB perkapita 2001-2006 (dalam persen) Provinsi Jawa Barat Banten Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Barat Provinsi Jawa Barat Banten Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Barat Provinsi Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera Barat
2001 Provinsi 6.08 Jawa Barat 5.55 Banten 4.58 Jawa Tengah 4.51 Jawa Timur 2.89 Sumatera Barat 2003 Provinsi 8.00 Jawa Barat 7.57 Banten 6.13 Jawa Tengah 5.92 Jawa Timur 5.09 Sumatera Barat 2005 Provinsi 9.52 Jawa Barat 9.20 Banten 7.44 DI Jogjakarta 7.33 Jawa Timur 6.98 Jawa Tengah
2002 6.89 6.62 5.87 5.40 4.03 2004 8.78 8.43 6.79 6.76 6.08 2006 10.16 9.94 7.94 7.85 7.80
Sumber : BPS provinsi di Indonesia tahun 2001-2006 (diolah kembali)
Dinamika investasi daerah dalam meningkatkan PDRB perkapita dapat dilihat dari kontribusi total investasi daerah terhadap PDRB perkapita. Provinsi di Pulau Jawa mendominasi peranan investasi terhadap PDRB perkapita. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki kontribusi investasi terbesar terhadap PDRB perkapita selama tahun 2001-2009. Kemudian Provinsi Banten
52
memiliki kontribusi investasi terbesar terhadap PDRB perkapita setelah Provinsi Jawa Barat. Tabel 4 dan tabel 5 memperlihatkan provinsi tertinggi dalam kontribusi investasi terhadap PDRB perkapita, Provinsi Jawa Barat terus mengalami peningkatan kontribusi investasi. Hanya ada satu provinsi di luar pulau Jawa yang berkontribusi terhadap PDRB perkapita yaitu Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jogjakarta, menjadi satu bagian dari provinsi diluar Provinsi Jawa Barat yang memiliki besaran kontribusi investasi terbesar terhadap PDRB perkapita. Nilai kontribusi investasi tertinggi terhadap PDRB perkapita berada di Provinsi Banten pada tahun 2010 dengan nilai kontribusi sebesar 12.35%. Dapat diindikasikan provinsi Banten telah melakukan investasi yang cukup besar untuk peningkatan PDRB perkapita. Tabel 5. Provinsi dengan kontribusi investasi tertinggi terhadap PDRB perkapita 2007-2010 (dalam persen) Provinsi Jawa Barat Banten DI Jogjakarta Sumatera Barat Jawa Timur Provinsi Jawa Barat Banten DI Jogjakarta Sumatera Barat Jawa Timur
2007 Provinsi 10.69 Jawa Barat 10.57 Banten 9.15 DI Jogjakarta 8.52 Sumatera Barat 8.31 Jawa Timur 2009 Provinsi 11.88 Banten 11.86 DI Jogjakarta 11.33 Jawa Barat 9.91 Sumatera Barat 9.22 Jawa Timur
2008 11.20 11.18 10.24 9.13 8.75 2010 12.35 12.31 12.31 10.50 9.52
Sumber : BPS provinsi di Indonesia tahun 2007-2010 (diolah kembali)
Infrastruktur daerah sebagai sarana untuk menjalankan roda perekonomian daerah. Infrastruktur dibangun untuk mendukung aktifitas perekonomian daerah. Penelitian ini dimana infrastruktur diproksikan dengan panjang jalan beraspal kondisi baik. Berdasarkan peringkat provinsi, Provinsi Papua merupakan provinsi yang membangun infrastruktur jalan tertinggi dibandingkan provinsi lain. Luas wilayah yang besar membuat pemerintah Provinsi Papua meningkatkan infrastruktur jalan untuk kepentingan aksesbilitas pada tahun 2001-2002. Provinsi Papua memerlukan sarana infrastruktur jalan karena masih banyak daerah yang terbatas dalam infrastruktur jalan. Berbeda dengan Provinsi Jawa Barat ketika meningkatkan infrastruktur jalan karena adanya dorongan aktifitas perekonomian yang menuntut perluasan infrastruktur untuk ditingkatkan. Sedangkan NAD dan Sumatera Utara diakibatkan adanya bencana alam yang melanda kedua provinsi tersebut sehingga memerlukan pembangunan panjang jalan kondisi baik. Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi yang tertinggi dalam pembangunan infrastruktur jalan di tahun 2004. Provinsi NAD pada tahun 2005 mengalami peningkatan infrastruktur jalan.
53
Tabel 6. Provinsi terbesar dalam pembangunan panjang jalan beraspal kondisi baik tahun 2001-2006 Provinsi
2001
Provinsi
2002
Provinsi
2003
Papua
1,702
Papua
1,862
Papua
2,069
Sulteng
1,536
Sulteng
1,547
Jatim
1,899
Sulsel
1,526
Jatim
1,547
Kalteng
1,708
Sulut
1,299
Sulsel
1,526
Sulsel
1,670
NTT
1,244
Jateng
1,393
Sulteng
1,553
Provinsi
2004
Provinsi
2005
Provinsi
2006
Jabar
9,585
NAD
3,631
Sumut
2,095
Papua
2,061
Papua
2,061
Sulteng
1,622
Sulteng
1,593
Jatim
1,899
Sulsel
1,576
Sulsel
1,546
Kalteng
1,708
Jambi
1,543
NTT
1,310
Sumut 1,306 Sulsel 1,670 Sumber : BPS provinsi di Indonesia tahun 2001-2006 (diolah kembali)
Pada tahun 2007-2010, Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi tertinggi dalam pembangunan panjang jalan beraspal. Periode 2007-2010, provinsi di Pulau Sumatera mengalami peningkatan pada panjang jalan beraspal. Hal ini dapat diakibatkan dari perdagangan antar wilayah yang mendorong untuk meningkatkan panjang jalan beraspal dengan kondisi baik. Perkembangan panjang jalan yang terus meningkat di Pulau Sumatera dalam setiap tahunnya. Terlihat pada tabel dibawah ini, Provinsi NAD, Jambi, Sumatera Barat dan Sumatera Utara berusaha untuk meningkatkan panjang jalan beraspal kondisi baik. Tabel 7. Provinsi terbesar dalam pembangunan panjang jalan beraspal kondisi baik tahun 2007-2010 Provinsi
2007
Provinsi
2008
Sumut
2,884
Sumut
3,674
Jambi
2,219
Jambi
2,896
Sulteng
1,755
NAD
2,524
Kalteng
1,715
Kalbar
2,037
Kalbar
1,575
Sulteng
1,888
Provinsi
2009
Provinsi
2010
Sumut
4,463
Sumut
5,252
NAD
3,723
NAD
4,921
Jambi
3,573
Jambi
4,249
Kalbar
2,498
Kalbar
2,960
Sumbar 2,155 Sumbar Sumber : BPS provinsi di Indonesia tahun 2007-2010 (diolah kembali)
2,662
Provinsi di Indonesia menunjukkan grafik meningkat yang dilihat dari perkembangan panjang jalan beraspal kondisi baik. Pemerintah daerah umumnya
54
terus memperluas infrastruktur daerah untuk kebutuhan daerah. Bagi daerah atau provinsi yang memiliki luas wilayah cukup besar maka memerlukan panjang jalan yang sesuai dengan luas wilayah tersebut. Kerjasama perdagangan antar wilayah menjadi dorongan setiap daerah untuk meningkatkan panjang jalan beraspal kondisi baik. Peningkatan panjang jalan kondisi baik menjadi kebutuhan daerah dalam menjalin kerjasama, akses maupun informasi.
50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS tahun 2001-2010 (diolah kembali)
Gambar 12 Panjang jalan beraspal kondisi baik seluruh provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 Gambaran Umum PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia PDRB perkapita adalah ukuran kesejahteraan masyarakat suatu wilayah yang dilihat dari perbandingan PDRB dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk tanpa dibarengi peningkatan PDRB maka kesejahteraan tersebut akan menurun. Terdapat hal yang menarik dalam perkembangan PDRB perkapita, seperti Provinsi Papua yang memiliki PDRB perkapita yang cukup tinggi dibandingkan provinsi lain. Perkembangan tahun 2001-2005, terlihat Papua menjadi provinsi tertinggi pada PDRB perkapita, peningkatan tersebut dapat diakibatkan dari rendahnya jumlah penduduk Provinsi Papua dibandingkan provinsi lain. Perkembangan PDRB perkapita di Papua belum tentu mencirikan kesejahteraan masyarakat lebih besar, melainkan dari beberapa perusahaan yang meningkatkan output dan hanya sebagian masyarakat saja mengalami peningkatan kesejahteraan. Kepualaun Riau menjadi satu diantara provinsi lainnya yang mengalami peningkatan PDRB perkapita. Dengan mengandalkan sumber daya alam, maka PDRB perkapita Kepulauan Riau selau meningkat. Provinsi Kalimantan Timur menjadi provinsi yang memiliki PDRB perkapita terbesar setelah provinsi Papua. Sektor unggulan pada migas membuat PDRB perkapita Provinsi Kalimantan Timur mengalami kenaikan dalam setiap tahunnya.
55
2001
Papua Barat
Gorontalo
Banten
2003 Papua
Nusa Tenggara…
Bali
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Kalimantan…
Kalimantan Barat
DI Jogjakarta
Jawa Barat
Bengkulu
Jambi
Sumatera Barat
2002 Nanggroe Aceh…
45.000.000 40.000.000 35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 -
2004 2005
Sumber : BPS provinsi di Indonesia tahun 2001-2005 (diolah kembali)
Gambar 13 PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2001-2005 (dalam juta) Berdasarkan tahun 2006-2010, PDRB perkapita provinsi Kalimantan Timur terus meningkat. Walaupun Provinsi Papua masih yang terbesar dalam PDRB perkapita tetapi perkembangan PDRB perkapita terjadi penurunan. Kepulauan Riau menunjukkan grafik yang meningkat dalam setiap tahunnya. Provinsi Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau diindikasikan dapat memaksimalkan potensi unggulannya sehingga dapat memacu pertumbuhan PDRB perkapita. 35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 -
2006
Papua Barat
Gorontalo
Banten
2008 Papua
Nusa Tenggara…
Bali
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Kalimantan…
Kalimantan Barat
DI Jogjakarta
Jawa Barat
Bengkulu
Jambi
Sumatera Barat
NAD
2007
2009 2010
Sumber : BPS provinsi di Indonesia tahun 2006-2010 (diolah kembali)
Gambar 14 PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2007-2010 (dalam juta) . Provinsi di Pulau Jawa berusaha untuk meningkatkan outputnya tetapi dengan kondisi penduduk yang terus bertambah menghasilkan PDRB perkapita yang relatif rendah. Beberapa provinsi yang mempunyai sumber daya potensial yang cukup rendah sehingga mengakibatkan nilai PDRB perkapita yang sangat rendah. Provinsi NTT dan NTB merupakan provinsi yang memiliki PDRB perkapita yang cukup rendah dibandingkan provinsi lain. Kedua provinsi ini
56
dalam mengali potensi ekonomi masih relatif rendah. Rendahnya potensi ekonomi di kedua provinsi tersebut dikarenakan investasi dan infrastruktur belum sepenuhnya dapat mendukung perekonomian di Provinsi NTT dan NTB. Berbagai dinamika yang terjadi pada PDRB perkapita provinsi di Indonesia, terkadang adanya peningkatan PDRB perkapita akibat jumlah penduduk yang sangat rendah di wilayah tersebut sehingga tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan sebenarnya. Terdapat provinsi yang selalu meningkatkan output dalam jumlah besar namun pertambahan penduduk yang terus meningkat lebih dari peningkatan outputnya, maka PDRB perkapita tidak menjadi besar. Kondisi PDRB perkapita seperti ini, tanpa kebijakan pemerataan dapat menimbulkan disparitas.
57
5 FENOMENA KETIMPANGAN PEREKONOMIAN ANTAR DAERAH DI INDONESIA
Bab ini menjelaskan kondisi ketimpangan perekonomian Indonesia. Ketimpangan perekonomian dapat diakibatkan oleh kondisi keuangan daerah, investasi, infrastruktur, aspek demografi, PDRB perkapita dan ketimpangan pendapatan. Disamping itu, bab ini juga menjelaskan fenomena perekonomian Indonesia. Kondisi Keuangan Daerah Provinsi di Indonesia Kondisi keuangan yang dijelaskan pada bab ini adalah dari sisi penerimaan daerah dan belanja daerah. Penerimaan daerah dapat dilihat dari perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan daerah yang berasal dari DAU dan DAK merupakan dana transfer pusat untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan menurunkan ketimpangan antar daerah. Adapun belanja daerah pada bab ini akan memfokuskan pada belanja modal. Belanja modal merupakan belanja pemerintah berupa aset fisik yang dapat digunakan lebih dari dua belas bulan. PAD merupakan sumber penerimaan daerah yang berasal dari penjumlahan hasil pajak, retribusi dan pendapatan lain yang sah. PAD dapat dikatakan sebagai hasil usaha pemerintah daerah dalam menggali potensi ekonomi yang dapat dijadikan objek pajak. Peningkatan PAD mencirikan pemerintah daerah lebih mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Rata-rata PAD terbesar pada tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 terjadi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Penerima PAD terbesar di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Adapun provinsi di Pulau Sumatera yang memiliki PAD cukup tinggi yaitu Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan. Sementara itu di Pulau Kalimantan dan Sulawesi hanya provinsi Kalimatan Timur dan Sulawesi Selatan yang memiliki PAD cukup besar. Pada tahun 2001-2005, rata-rata PAD provinsi Jawa Timur sebesar Rp.2,325,915 dan tahun 2006-2010, Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan dengan rata-rata Rp. 5,259,421. Pada periode yang sama, Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah pun secara rata-rata mengalami peningkatan PAD secara signifikan. Sebagai pusat perekonomian Indonesia, daerah yang berada di Pulau Jawa sudah selayaknya dapat mengali sumber-sumber potensial lebih baik dibandingkan daerah di luar Pulau Jawa. Kemampuan menggali potensi keuangan daerah di provinsi yang ada di Pulau Jawa ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai sehingga aktifitas dan kegiatan usaha berjalan dengan baik. Selain itu dukungan input pembangunan seperti kualitas SDM yang cukup baik membuat kegiatan ekonomi terus berkembang dan memacu peningkatan objek pajak di daerah-daerah yang berada Pulau Jawa. Perkembangan PAD setiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 8. Di lain pihak, provinsi diluar Jawa dan Sumatera belum dapat menggali potensi ekonomi secara optimal. Prasarana yang tidak mendukung menyebabkan kesulitan dalam mengoptimalkan potensi ekonomi. Banyak provinsi yang masih
58
memikirkan pembangunan sarana dan prasarana untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Kondisi seperti ini membuat beberapa daerah tidak terkonsentrasi untuk menggali sumber daya yang berpotensi. Tabel 8. Perkembangan rata-rata PAD lima tahunan provinsi di Indonesia (dalam jutaan) Rata-Rata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat Sumber : APBD Provinsi di Indonesia (olahan data)
2001-2005 90,254 892,382 291,770 588,460 218,919 398,454 74,283 330,455 2,275,763 1,575,427 271,145 2,325,915 207,043 92,411 302,936 573,425 129,724 100,718 442,044 72,901 468,221 133,644 96,671 38,434 127,907 14,983 629,426 87,110 30,634 -
2005-2010 663,657 2,490,432 722,518 1,359,398 535,138 1,031,435 282,564 833,955 5,203,672 3,609,626 588,700 5,259,421 551,113 351,167 929,202 1,919,533 307,165 261,971 1,159,146 225,045 1,035,368 398,830 233,075 123,806 333,500 63,547 1,617,437 241,017 90,893 1,399,048 31,545,600 40,928,236
59
Pemerintah pusat mengeluarkan beberapa kebijakan yang dapat menutupi kekurangan sarana dan prasarana yang ada didaerah. Kebijakan fiskal diimplementasikan berupa pemberian dana transfer ke daerah yang bertujuan untuk menutupi sebagian kekurangan infrastruktur daerah yang tidak dapat dibangun oleh daerah. Namun demikian masih banyak daerah yang mendapatkan dana transfer dari pusat tidak menggunakannya untuk kepentingan pembangunan daerah melainkan untuk kepentingan belanja tidak langsung seperti belanja rutin. Kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yaitu masalah ketimpangan antar daerah. Kesiapan daerah dalam memasuki otonomi daerah masih belum merata, terutama dalam hal kemandirian mengelola keuangan dan meningkatkan pembangunan. Untuk mengatasi persoalan ini maka pemerintah pusat memberikan bantuan berupa dana transfer kepada pemerintah daerah. Salah satu dana transfer pusat yang berfungsi menyeimbangkan keuangan daerah yaitu dengan pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan antar daerah dengan cara menutupi celah fiskal daerah. Daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dengan jumlah yang relatif besar, sedangkan daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi maka akan mendapatkan DAU dalam jumlah kecil. DAU setiap provinsi secara rata-rata pada tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan besaran DAU tersebut akibat kebutuhan fiskal yang cukup tinggi,salah satunya karena peningkatan PAD belum mampu menutupi kebutuhan fiskal sehingga daerah masih memerlukan stimulus fiskal. Gambar14 dapat dilihat bahwa Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur masih masih membutuhkan DAU yang cukup besar walaupun ketiga provinsi ini mempunyai PAD cukup besar. Berdasarkan jumlah DAU rata-rata tahun 2001-2005, provinsi di Pulau Jawa masih mendominasi jumlah DAU yang cukup besar dibandingkan provinsi lain. Sudah sewajarnya jika provinsi yang memiliki kemampuan fiskal tinggi mendapatkan jumlah DAU relatif rendah. Selain Pulau Jawa, Provinsi Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan memiliki jumlah DAU cukup besar. Padahal ketiga provinsi ini sebenarnya mempunyai nilai PAD yang cukup besar. Hal ini terjadi salah satunya karena berdasarkan hasil perkembangan rata-rata DAU tahun 2001-2005, ternyata formula DAU masih banyak kelemahan. Salah satu kelemahan DAU adalah alokasi dasar yang cukup besar dalam formula DAU. Alokasi dasar merupakan jumlah gaji pegawai negeri sipil yang masuk dalam belanja pegawai maka daerah yang memiliki jumlah PNS besar membuat alokasi dasar semakin besar. Tingginya alokasi dasar menjadikan tujuan DAU untuk menutupi celah fiskal tidak tercapai. Penelitian Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013) menjelaskan formula DAU tergerus oleh alokasi dasar seperti belanja pegawai sehingga pemberian DAU menjadi kurang adil. Adanya DAU merespon pemerintah daerah untuk menambah jumlah PNS yang belum tentu menjadikan tindakan efisien.
60
2001-2005 Nanggroe Aceh… Sumatera Barat Jambi Bengkulu Jawa Barat DI Jogjakarta Kalimantan Barat Kalimantan… Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Bali Nusa Tenggara… Papua Banten Gorontalo Papua Barat
1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 -
2006-2010
Sumber : APBD Provinsi di Indonesia (olahan data)
Gambar 15 Jumlah DAU provinsi rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam jutaan) Berdasarkan penjelasan DAU diatas adanya alokasi dasar dalam formula DAU membuktikan tujuan DAU untuk menurunkan ketimpangan antar daerah tidak tercapai. Besaran DAU berawal dengan berlakunya kebijakan hold harmless menetapkan pemberian DAU minimal sama dengan tahun sebelumnya. Kebijakan hold harmless tersebut menjadikan daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi akan mendapatkan DAU yang besar. Adanya aturan hold harmless membuat pendapatan antar daerah semakin timpang. Kebijakan hold harmless tersebut tidak dapat memperbaiki ketimpangan antar daerah melainkan dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Kebijakan hold harmless sudah dihapuskan pada tahun 2009, setidaknya peran DAU menjadi lebih kuat dalam menutupi kebutuhan daerah dan diharapkan tujuan DAU tercapai. Berdasarkan gambar scatter plot, terdapat hal yang menarik dari korelasi kapasitas fiskal dengan DAU secara rata-rata. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan Dana Bagi Hasil SDA. Diawal tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, kapasitas fiskal berkorelasi positif dengan DAU. Korelasi tersebut membuat daerah yang kapasitas fiskalnya tinggi masih mendapatkan DAU yang besar, korelasi ini mencerminkan tujuan DAU tidak tercapai. Namun setelah tahun 2005, hubungan antara kapasitas fiskal dengan DAU secara rata-rata berkorelasi negatif yang berarti pemberian DAU sesuai dengan tujuannya. Berdasarkan hasil dari korelasi tersebut, diharapkan pemberian DAU dapat menutupi celah fiskal dan ketimpangan pendapatan antar daerah dapat dikurangi.
61
Scatterplot of Kap_Fiskal _ vs DAU_th 01-05, Kap_Fiskal_t vs DAU_th 06 0
Kap_Fiskal _th 01-05*DAU_th 01-05
250000
500000
750000 1000000
Kap_Fiskal_th 06-10*DAU_th 06-10
40000000
30000000
r=0.664
r=-0.038
20000000
10000000
0 0
150000
300000
450000
600000
Sumber : olahan data
Gambar 16 Scatter plot korelasi antara kapasitas fiskal dan DAU provinsi di Indonesia Sumber penerimaan daerah selain DAU yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN dan diberikan kepada daerah berdasarkan prioritas nasional dan kebutuhan daerah. DAK berperan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur daerah. Bab ini akan menjelaskan perkembangan DAK total dan DAK infrastruktur jalan. DAK infrastruktur jalan untuk mengetahui kondisi eksisting infrastruktur yang ada di setiap provinsi. Dilihat dari rata-rata lima tahun, DAK total dan DAK infrastruktur jalan berusaha untuk memberikan dana yang sesuai dengan kepentingan infrastruktur daerah. Hal ini dapat dilihat dari provinsi seperti Maluku, Maluku Utara, NTB, Papua dan Sulawesi Tenggara merupakan provinsi yang mendapatkan DAK relatif besar. Secara rata-rata DAK mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya. Peranan DAK menjadi sangat penting untuk pembangunan infrastruktur daerah. Hal yang harus diperhatikan dari DAK yaitu kesesuaian pemberian DAK terhadap kebutuhan daerah dan prioritas nasional. Oleh karena itu, perlu mengevaluasi kembali DAK kepada daerah agar sesuai dengan kebutuhannya.
62
Tabel 9. DAK total dan DAK bidang infrastruktur jalan rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam juta) Tahun DAK Total
2001-2005
Tahun
2006-2010
DAK Infra Jalan
2001-2005
2006-2010
NAD
225,974
227,898
NAD
250,000
633,768
Sumatera Utara
113,154
33,711
Sumatera Utara
480,000
672,954
Sumatera Barat
94,000
87,575
Sumatera Barat
470,000
547,622
0
44,737
Riau
460,000
460,880
Jambi
148,000
88,968
Jambi
740,000
703,730
Sumatera Selatan
166,000
47,486
Sumatera Selatan
830,000
362,842
Bengkulu
124,000
92,760
Bengkulu
620,000
785,806
Lampung
92,000
98,436
Lampung
460,000
727,650
Jawa Barat
0
77,141
Jawa Barat
0
3,808
Jawa Tengah
0
73,868
Jawa Tengah
0
340,624
DI Jogjakarta
11,0000
59,147
DI Jogjakarta
550,000
490,190
0
111,867
Jawa Timur
0
370,128
Kalimantan Barat
172,000
121,426
Kalimantan Barat
860,000
938,732
Kalimantan Tengah
179,088
144,950
Kalimantan Tengah
690,000
551,290
Kalimantan Selatan
114000
111,753
Kalimantan Selatan
570,000
546,526
0
67,286
Kalimantan Timur
0
415,106
Riau
Jawa Timur
Kalimantan Timur Sulawesi Utara
134,000
91,036
Sulawesi Utara
670,000
667,870
Sulawesi Tengah
572,150
127,596
Sulawesi Tengah
720,000
877,014
Sulawesi Selatan
68,000
128,751
Sulawesi Selatan
340,000
544,814
Sulawesi Tenggara
138,000
106,087
Sulawesi Tenggara
690,000
867,892
Bali
102,000
63,680
Bali
510,000
491,272
Nusa Tenggara Barat
170,000
123,959
Nusa Tenggara Barat
850,000
854,868
Nusa Tenggara Timur
120,000
145,366
Nusa Tenggara Timur
60,000
705,878
Maluku
172,000
138,220
Maluku
860,000
823,514
Papua
730,000
1,737,826
Maluku Utara
480,000
758,378
Papua
301,953,588
83,417
Maluku Utara
96,000
125,736
Banten
56,000
63,515
Banten
280,000
274,748
118,000
60,202
Bangka Belitung
590,000
567,774
Gorontalo
Bangka Belitung Gorontalo
96,000
72,218
Kepulauan Riau
0
249,060
Papua Barat
0
100,971,220
Sulawesi Barat
0
247,088
480,000
550,442
Kepulauan Riau
0
249,060
Papua Barat
0
0
Sulawesi Barat
0
426,376
Sumber : APBD provinsi (diolah)
DAK lebih banyak diterima oleh kabupaten di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, prioritas nasional pada umumnya difokuskan kepada pembangunan infrastruktur yang ada di kabupaten. Kabupaten di Indonesia pada umumnya memiliki luas wilayah yang cukup besar dibandingkan kota, sehingga memerlukan dukungan infrastruktur yang cukup besar. Berdasarkan tabel penerima DAK, memperlihatkan lebih dari 200 kabupaten mendapatkan DAK dalam setiap tahunnya. DAK yang diserap oleh kota tidak sebesar kabupaten,
63
karena diindikasikan kota memiliki infrastruktur memadai dibandingkan kabupaten. Tabel dibawah ini memperlihatkan kabupaten di Indonesia cenderung mempunyai ketimpangan pendapatan lebih besar dibandingkan kota. Untuk mengurangi ketimpangan pendapatan tersebut, pemerintah pusat memberikan DAK yang lebih besar kepada kabupaten di Indonesia. Adanya ketimpangan pendapatan yang cukup besar antara kota dan kabupaten menyebabkan DAK lebih banyak diserap oleh kabupaten. Berdasarkan skala provinsi, jumlah penerima DAK mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya. Pada tahun 2008 terdapat 24 provinsi penerima DAK. Jumlah tahun berikutnya menjadi 28 provinsi. Tahun 2010, penerima DAK mengalami peningkatan menjadi 32 provinsi. Jumlah penerima DAK di kota tidak sebesar di kabupaten. Penerima DAK mayoritas berada di kabupaten sehingga ketimpangan antar daerah cenderung lebih besar di kabupaten meskipun tidak begitu subtansial. Tabel 10. Jumlah penerima DAK provinsi, kabupaten, kota dan kabupaten dan kota di Indonesia tahun 2003-2010
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Provinsi 24 2
24 28 32
Jumlah Penerima Kabupaten Kota Kabupaten dan Kota 265 65 330 283 71 354 305 72 377 348 86 434 348 86 434 363 88 451 386 91 477 398 93 491
Sumber : Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK), Bappenas (2011)
Berdasarkan perkembangan dana transfer pusat (DAU dan DAK), ternyata daerah masih memerlukan kedua dana transfer pusat tersebut. Peningkatan dana transfer menunjukkan besarnya kebutuhan daerah dalam meningkatkan pembangunan. Hanya sebagian kecil daerah mampu mengandalkan potensi PAD sebagai ciri keberhasilan otonomi daerah. Pada saat yang bersamaan, pemberian DAU ternyata belum dapat menurunkan ketimpangan antar daerah. Dilihat dari nilai koefisien variasi DAU yang berfluktuasi sehingga dapat diindikasikan pemberian DAU belum dapat menurunkan kesenjangan antar daerah. DAK yang merupakan dana transfer pusat untuk mendukung infrastruktur daerah ternyata belum dapat menurunkan disparitas pendapatan antar daerah. Hasil koefisien variasi dari DAK menunjukkan pertambahan nilai variasi dalam kurun sepuluh tahun. Sebenarnya peranan DAK dapat dirasakan oleh pemerintah daerah, hanya anggaran DAK tidak sebesar DAU sehingga DAK yang diterima oleh daerah belum mampu memenuhi kebutuhan infrastruktur daerah.
64
Tabel 11. Koefisien variasi dari DAU dan DAK provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 Nilai Koefisien Variasi Tahun DAU DAK 2001 0.709 15.860 2002 0.703 16.070 2003 0.706 15.907 2004 0.705 15.929 2005 0.704 15.953 2006 0.707 15.978 2007 0.706 16.002 2008 0.709 16.022 2009 0.708 16.045 2010 0.706 16.070 Sumber : APBD provinsi (diolah)
Perkembangan penerimaan daerah akan berdampak terhadap belanja daerah. Belanja modal digunakan untuk kepentingan perluasan investasi, infrastruktur maupun pembangunan daerah. Besaran belanja modal ditentukan dari besaran penerimaan daerah. Terkadang penerimaan daerah tidak memprioritaskan terhadap belanja modal melainkan dapat diserap oleh belanja tidak langsung seperti pengeluaran rutin. Jumlah pos belanja tidak langsung lebih banyak dibandingkan dengan belanja langsung, berbagai kemungkinan yang menyebabkan penerimaan daerah semacam PAD, DAU dan DAK lebih banyak digunakan oleh pos yang ada di belanja tidak langsung. Kondisi seperti ini membuat pembangunan daerah berjalan lambat. Kontribusi belanja modal terhadap investasi yang diproksikan dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) masih mengalami kesenjangan yang cukup signifikan. Daerah dengan PAD rendah, memiliki kontribusi belanja modal terhadap investasi yang rendah. Kontribusi belanja modal terhadap investasi terbesar berada di provinsi Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung dan Aceh. Sedangkan provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur memperlihatkan kontribusi belanja modal terhadap investasi yang relatif rendah. Kontribusi penerimaan daerah bukan untuk kepentingan belanja modal melainkan belanja langsung (pengeluaran rutin). Tingginya jumlah PNS membuat belanja pegawai menjadi lebih besar sehingga mendorong penerimaan daerah untuk membiayai belanja pegawai. Banyaknya pos belanja tidak langsung membuat penerimaan daerah seperti PAD tergerus untuk membiayai pos tersebut. Provinsi di Pulau Jawa dapat diindikasikan memiliki penerimaan daerah yang cukup besar namun juga memiliki pengeluaran yang cukup besar, baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung. Kontribusi belanja langsung terhadap investasi secara rata-rata ditingkat provinsi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
65
2001-2005 Nanggroe Aceh… Sumatera Barat Jambi Bengkulu Jawa Barat DI Jogjakarta Kalimantan… Kalimantan… Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Bali Nusa Tenggara… Papua Banten Gorontalo Papua Barat
1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
2006-2010
Sumber : BPS (diolah)
Gambar
17 Kontribusi belanja modal terhadap investasi provinsi di Indonesia rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010.
Rendahnya kontribusi belanja modal terhadap pembangunan terjadi pada daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi. Penentuan daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan rendah dihitung dengan mengunakan median dari kapasitas fiskal. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi seharusnya dapat menyerap belanja modal lebih besar. Berdasarkan scatter plot pada Gambar 16, untuk daerah dengan kapasitas fiskal tinggi, diperoleh gambaran bahwa ternyata daerah kapasitas fiskal berkorelasi negatif dengan belanja modal. Scatterplot of KFT vs BM DT, KFR vs BM DR
0 KFT*BM DT
25000000
15
00
00
0 30
00
0 00
45
00
00
0 60
00
00
0
KFR*BM DR 1100000 1000000
20000000
900000 800000
r=-0.247
15000000
700000 600000
10000000
500000 400000
5000000
r=0.172
300000 200000
0
0 0 15
00
00
0 30
00
00
0 45
00
00
0 60
00
00
Sumber : APBD provinsi (diolah) Keterangan : KFT : daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, KFR : daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah, BMDT : belanja modal pada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi, BMDR : belanja modal pada daerah yang mempunyai kapasitas rendah.
Gambar 18 Scatter plot korelasi provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi dan kapasitas fiskal rendah terhadap belanja modal di Indonesia tahun 2010
66
Gambaran berbeda diperloleh pada daerah dengan kapasitas fiskal rendah, dimana kapasitas fiskal berkorelasi positif dengan belanja modal. Provinsi yang memiliki kapasitas fiskal rendah ternyata dapat meningkatkan belanja modal. Daerah yang kapasitas fiskal tinggi lebih banyak diserap oleh kepentingan belanja langsung atau pengeluaran rutin. Seharusnya semakin besar kapasitas fiskal maka peluang untuk meningkatkan belanja modal semakin besar, umumnya pemerintah daerah lebih banyak digunakan untuk pos belanja langsung, seperti menambah jumlah PNS yang pada akhirnya belanja pegawai semakin membesar. Kondisi ini akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Penentuan besaran belanja modal selain dari kapasitas fiskal dapat juga dari kontribusi dana transfer pusat. Besaran dana transfer pusat ini idealnya lebih diserap oleh belanja modal. Namun kontribusi dana transfer pusat menjadi sangat kecil untuk belanja modal. Dapat dilihat pada tabel kontribusi dana transfer, tidak ada yang melebihi 10% dana transfer tersebut untuk keperluan belanja modal. Hasil kontribusi ini, memperlihatkan dana transfer belum mampu untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.
Tabel 12. Kontribusi dana transfer pusat terhadap belanja modal provinsi di Indonesia tahun 2008-2010 (dalam persen) Tahun Provinsi
Tahun
2008
2009
2010
Provinsi
2008
2009
2010
NAD
0.35
0.27
0.28
Sulawesi Utara
4.43
3.18
4.81
Sumatera Utara
1.26
1.08
1.37
Sulawesi Tengah
6.07
3.36
5.62
Sumatera Barat
2.42
1.40
1.47
Sulawesi Selatan
1.29
0.88
1.03
Riau
0.17
0.15
0.23
Sulawesi Tenggara
4.18
1.80
2.95
Jambi
1.27
1.06
1.48
Bali
0.21
0.01
0.06
Sumatera Selatan
0.61
0.79
0.73
5.75
2.32
4.91
Bengkulu
1.90
1.96
4.44
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
5.09
2.97
4.71
Lampung
3.82
2.69
2.13
Maluku
4.68
2.18
6.66
Jawa Barat
2.67
2.72
7.40
Papua
3.38
1.62
2.34
Jawa Tengah
1.86
2.50
1.80
Maluku Utara
2.26
0.67
0.87
DI Jogjakarta
2.25
2.04
2.27
Banten
1.61
0.77
0.88
Jawa Timur
1.17
1.11
2.34
Bangka Belitung
0.09
0.00
0.02
Kalimantan Barat
3.52
2.24
3.30
Gorontalo
1.00
0.53
0.59
Kalimantan Tengah
6.43
1.93
3.90
Kepulauan Riau
4.19
1.64
1.46
Kalimantan Selatan
6.58
2.49
3.42
Papua Barat
7.95
1.47
0.83
4.14
6.29
Sulawesi Barat
3.61
4.49
1.37
Kalimantan Timur 2.94 Sumber : APBD provinsi (diolah)
67
Gambaran ini mengindikasikan dana transfer lebih banyak digunakan pada belanja yang tidak terkait terhadap program pembangunan. Dana transfer pusat mayoritas lebih terserap untuk keperluan belanja tidak langsung. Dapat dicontohkan pada alokasi dasar yang ada di formula DAU. Adanya alokasi dasar membuat tujuan DAU untuk menutupi celah fiskal menjadi tidak efektif. Jika alokasi dasar terus mengalami peningkatan maka DAU lebih dimanfaatkan untuk keperluan belanja tidak langsung.
Kondisi Investasi, Infrastruktur, Jumlah Penduduk dan PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia Perkembangan investasi, infrastruktur dan jumlah penduduk perlu diamati sebagai salah satu penentu perkembangan PDRB perkapita. Investasi yang diproksikan dengan PMTB merupakan pengeluaran belanja modal yang bukan konsumsi pemerintah dijadikan sebagai aset fisik untuk kepentingan aktifitas perekonomian daerah secara jangka panjang. Perkembangan investasi yang cukup besar mayoritas terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera. Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jogjakarta dan Jawa Tengah merupakan provinsi yang mempunyai perluasan investasi terbesar dibandingkan provinsi lainnya. Pulau Sumatera seperti provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sudah melakukan investasi yang cukup besar. Pulau Kalimantan yang memiliki perkembangan investasi cukup tinggi yaitu Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Tingginya investasi pada provinsi ini diakibatkan oleh permintaan output yang terus meningkat. Pemerintah daerah mengeluarkan belanja modal melalui perluasan investasi untuk memenuhi kebutuhan daerah dan menjalankan aktifitas ekonomi. Besaran investasi daerah merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan. Dilihat secara rata-rata tahun 2006-2010 perkembangan investasi lebih meningkat dibandingkan rata-rata investasi tahun 2001-2005. Peningkatan investasi pada tahun 2006-2010, dikarenakan kebutuhan daerah yang sangat besar untuk mendorong pembangunan daerah menjadi lebih baik. Perkembangan rata-rata investasi dapat dilihat pada gambar pembentukan modal tetap bruto.
68
2001-2005 Nanggroe… Sumatera… Jambi Bengkulu Jawa Barat DI Jogjakarta Kalimantan… Kalimantan… Sulawesi… Sulawesi… Bali Nusa… Papua Banten Gorontalo Papua Barat
100.000.000 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000 -
2005-2010
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 19 Pembentukan modal tetap bruto rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 provinsi di Indonesia (jutaan) Perluasan investasi dilakukan untuk meningkatkan infrastruktur daerah. Infrastruktur merupakan suatu alat untuk meningkatkan pertumbuhan output daerah. Adanya infrastruktur membuat interaksi antar daerah semakin besar. Infrastruktur yang diproksikan dengan panjang jalan beraspal kondisi baik perbedaan di setiap daerah. Panjang jalan beraspal kondisi baik mengindikasikan daerah tersebut sudah memberikan pelayanan publik lebih baik. Semakin baik kondisi jalan maka daerah tersebut telah mempermudah masyarakat untuk beraktifitas dan aksesbilitas semakin tinggi. Daerah yang mengalami peningkatan panjang jalan beraspal kondisi baik setiap tahunnya, diindikasikan memiliki aktifitas perekonomian yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Pembangunan infrastruktur memiliki kaitan dengan luas wilayah daerah. Semakin luas wilayah cenderung semakin besar untuk melakukan pembangunan infrastruktur dimana daerah dengan luas wilayah besar memerlukan infrastruktur jalan lebih baik. Sebagai contoh, Provinsi Papua dengan luas wilayah terbesar membuat infrastruktur lebih diutamakan. Namun demikian terdapat suatu dilema terutama pada provinsi yang memiliki wilayah luas. Provinsi Papua misalnya, berdasarkan Tabel 13 panjang jalan terdapat penurunan panjang jalan beraspal kondisi baik.
69
Tabel 13. Kondisi panjang jalan beraspal kondisi baik provinsi di Indonesia ratarata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (km2) Tahun Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Jogjakarta Jawa Timur Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim
Tahun
2001-2005 2006-2010 1499 1228 859 879 462 1007 750 851 1925 1249 172 1510 716 1205 861 950
2524 3674 1647 1497 2896 1857 740 777 1323 1355 165 1612 2037 1080 750 858
Provinsi Sulut Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Papua Maluku Utara Banten Babel Gorontalo Kepri Papua Barat Sulbar
2001-2005 2006-2010 999 1564 1587 514 406 541 1188 336 1951 213 69 528 331 210 0 0
873 1888 1292 922 597 507 1171 774 1177 498 485 552 605 265 276 426376
Sumber : BPS (diolah)
Proses pengembangan infrastruktur jalan harus dibarengi dengan pemeliharaan jalan tersebut. Peningkatan infrastruktur bergantung dari biaya yang dikeluarkan untuk berinvestasi. Hal yang menarik dalam perkembangan infrastruktur jalan ini, seperti Provinsi Jawa Barat yang tidak seluas wilayah Provinsi Papua tetapi rata-rata perkembangan infrastruktur jalan tidak jauh berbeda dengan Provinsi Papua. Provinsi Jawa Barat memperluas panjang jalan sebagai akses untuk aktifitas perekonomian menjadi lebih baik, sedangkan Provinsi Papua untuk mencapai standar pelayanan minimum. Dua hal yang berbeda dari kedua provinsi ini maka dapat menimbulkan disparitas antar daerah. Disamping perkembangan investasi dan infrastruktur, perlu juga dikaji perkembangan jumlah penduduk dan PDRB perkapita. Ketika penduduk bertambah pada suatu daerah maka daerah tersebut berpeluang untuk mendapatkan kualitas SDM. Pertambahan penduduk dalam suatu daerah dapat saja menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tersebut apabila dalam suatu daerah mayoritas penduduk usia non produktif lebih besar dibandingkan penduduk usia produktif. Begitu juga sebaliknya dengan penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk usia non produktif, maka daerah tersebut lebih produktif. Arus migrasi dengan adanya otonomi daerah diharapkan menjadi tidak begitu besar, karena daerah dapat bersaing dalam perekomian. Sebelum otonomi daerah, arus migrasi yang cukup besar mengakibatkan Pulau Jawa menjadi daerah terpadat di Indonesia. Ketika era desentralisasi ternyata Pulau Jawa masih mengalami pertambahan penduduk. Dilihat rata-rata jumlah penduduk, Provinsi
70
Jawa Timur dan Jawa Barat mengalami peningkatan dalam jumlah penduduk secara signifikan. Namun demikian karena jumlah pertambahan penduduk masih jauh lebih kecil daripada pertambahan output perekonomian, maka pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Dengan sendirinya, aktifitas perekonomian yang tinggi mengakibatkan arus migrasi semakin besar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Jawa, akan menimbulkan ketimpangan pendapatan antar provinsi di Indonesia. Tabel 14 memberikan gambaran mengenai perkembangan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2001-2010. Berdasarkan kualitas SDM yang dimilikinya, provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa memiliki penduduk usia produktif dan berkualitas. Namun demikian, pertambahan migrasi terus menerus ke Pulau Jawa dapat berpotensi pada tingginya penduduk usia non produktif yang lebih besar sehingga beban ketergantungan sangat tinggi. Tidak dapat dipungkiri, daerah yang memiliki aktifitas perekonomian tinggi akan menarik bagi para migran yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan memadai sehingga kemiskinan pun berpotensi meningkat. Demikian arus migrasi yang besar mengakibatkan kemiskinan semakin bertambah. Hal di atas menjelaskan mengapa provinsi-provinsi di Pulau Jawa mempunyai tingkat kemiskinan relatif lebih besar dibandingkan provinsi lain. Terkadang penduduk migran tidak memikirkan resiko yang dihadapi ketika memutuskan mencari pekerjaan di Pulau Jawa. Para pekerja di Pulau Jawa akan mendapatkan upah lebih besar dibandingkan provinsi lain namun daya beli di Pulau Jawa lebih besar pula, sehingga penerimaan pendapatan bersih pekerja menjadi relatif kecil. Meskipun provinsi di Pulau Jawa memiliki pembangunan lebih baik tetapi diindikasikan ketimpangan pendapatan yang ada di Pulau Jawa lebih besar dibandingkan di provinsi lain. Provinsi lainnya diluar Pulau Jawa secara umum memiliki perkembangan jumlah penduduk yang terus bertambah.
71
Tabel 14 Jumlah penduduk provinsi di Indonesia rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam juta) Tahun Provinsi
2001-2005
Tahun 2006-2010
3,840,014
4,298,380
11,091,968
12,415,966
NAD
Provinsi
2001-2005 1,939,992
2006-2010 2,171,561
2,251,346
2,520,079
6,864,896
7,684,327
1,907,517
2,135,208
3,324,254
3,721,056
3,844,972
4,303,929
4,001,852
4,479,535
1,310,224
1,466,620
2,420,835
2,709,799
886,939
992,809
9,084,100
10,168,429
1,045,181
1,169,940
888,714
994,796
1,434,673
1,605,924
649,703
727,255
989,949
1,108,115
Sulut
Sumut
Sulteng 4,141,189
4,635,504
Sumbar
Sulsel 4,731,969
5,296,803
Riau
Sultra 2,642,025
2,957,391
Jambi
Bali 6,365,601
7,125,434
Sumsel
NTB 1,465,735
1,640,693
Bengkulu
NTT 6,500,605
7,276,553
Lampung
Maluku 36,785,018
41,175,881
Jabar
Papua 27,667,674
30,970,240
Jateng
Malut 2,954,073
3,306,688
DIY
Banten 32,020,062
35,842,153
Jatim
Babel 3,755,919
4,204,246
Kalbar
Gorontalo 1,890,004
2,115,605
Kalteng
Kepri 3,098,573
3,468,436
Kalsel 3,035,798 Kaltim Sumber : BPS (diolah)
Papua Barat 3,398,168 Sulbar
Berdasarkan gambar PDRB perkapita rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010, ternyata provinsi di Pulau Jawa tidak mendominasi PDRB perkapita terbesar. Pertambahan jumlah penduduk di Pulau Jawa mengakibatkan PDRB perkapita menjadi lebih kecil. Provinsi Kalimantan Timur dan Riau dengan mengandalkan migas, memiliki tingkat PDRB perkapita lebih besar dibandingkan provinsi yang ada di Indonesia. Peningkatan penduduk tidak menjamin akan meningkatkan PDRB perkapita. Provinsi NAD yang memiliki jumlah penduduk rendah, memiliki PDRB yang cukup besar dibandingkan Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Provinsi Papua yang memiliki PDRB perkapita lebih besar dibandingkan provinsi lain, dikarenakan jumlah penduduk yang sedikit maka terkesan Provinsi Papua lebih sejahtera dibandingkan provinsi lain. Perbedaan PDRB perkapita tersebut
72
mengindikasikan pendapatan antar daerah semakin timpang baik dilihat dari provinsi maupun dalam suatu ruang lingkup wilayah seperti kabupaten dan kota.
2001-2005 Nanggroe Aceh… Sumatera Barat Jambi Bengkulu Jawa Barat DI Jogjakarta Kalimantan Barat Kalimantan… Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Bali Nusa Tenggara… Papua Banten Gorontalo Papua Barat
35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 -
2006-2010
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 20 Rata-rata PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 20012005 dan tahun 2006-2010 (dalam juta)
Usaha yang dilakukan oleh daerah dalam menurunkan ketimpangan melalui perluasan investasi, pembangunan infrastruktur dan peningkatan PDRB perkapita, ternyata belum sepenuhnya berhasil. Hasil koefisien variasi ketiga indikator tersebut memiliki nilai variasi yang terus meningkat dalam setiap tahunnya yang berarti disparitas antar daerah belum dapat diturunkan. Nilai koefisien variasi pada PDRB perkapita dalam setiap tahun masih berfluktuatif sehingga mengarah terhadap disparitas antar daerah. Kondisi yang sama terjadi pada koefisien variasi investasi dan infrastruktur jalan memiliki pertambahan nilai koefisien variasi dalam setiap tahunnya. Perluasan investasi yang dilakukan oleh daerah belum dapat menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Begitu juga dengan dukungan infrastruktur jalan belum memperlihatkan penurunan ketimpangan antar daerah yang dilihat dari koefisien variasi yang terus bertambah dalam setiap tahunnya. Kondisi ketimpangan antar daerah yang terus bertambah, memerlukan kebijakan untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Penurunan ketimpangan antar daerah dapat dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan dengan implementasi yang baik.
73
Tabel 15. Koefisien variasi dariPDRB perkapita, investasi dan infrastruktur jalan tahun 2001-2010 Tahun Indikator
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
PDRB perkapita
0.897
0.899
0.904
0.905
0.903
0.901
0.903
0.903
0.905
0.906
Investasi
1.286
1.287
1.284
1.287
1.292
1.293
1.291
1.294
1.298
1.301
Infra (jalan)
9.743
9.755
9.765
9.778
9.792
9.805
9.819
9.833
9.847
8.616
Sumber : BPS (diolah)
Ketimpangan Pendapatan Provinsi di Indonesia Tahun 2001-2010 Pembahasan ini memfokuskan pada kondisi ketimpangan provinsi di Indonesia. Kondisi ketimpangan akan dilihat berdasarkan provinsi yang memiliki ketimpangan pendapatan tinggi dan ketimpangan rendah. Periode ketimpangan yang akan dilihat dimulai dari tahun 2001-2010. Nilai ketimpangan provinsi di Indonesia merupakan nilai dari perhitungan indeks Williamson. Indeks Williamson adalah indeks yang mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah. Ketimpangan pendapatan terbesar terjadi pada provinsi yang sudah maju. Provinsi di Pulau Jawa mendominasi ketimpangan pendapatan terbesar di Indonesia. Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi. Semakin tinggi aktifitas perekonomian suatu daerah maka daerah tersebut akan lebih timpang dibandingkan daerah lain. Tabel 16 memperlihatkan ketimpangan tertinggi terdapat pada provinsi yang memiliki kemampuan fiskal yang cukup besar. Ketimpangan pendapatan semakin besar akibat dari penambahan jumlah penduduk yang tidak dibarengi dengan peningkatan output. Ketimpangan pendapatan terendah terdapat di Provinsi Papua Barat, Maluku Utara dan Gorontalo. Ketiga provinsi ini cenderung memiliki pertumbuhan penduduk yang relatif rendah dibandingkan provinsi lain. Jarak ketimpangan pendapatan sangat besar antara provinsi yang memiliki ketimpangan pendapatan tinggi dan provinsi dengan ketimpangan rendah. Dilihat dari keseluruhan ketimpangan pendapatan ternyata dalam setiap tahunnya mengalami kenaikan. Hasil tersebut mengindikasikan kondisi disparitas di Indonesia masih relatif tinggi baik untuk provinsi yang berada di kelompok disparitas tinggi maupun disparitas rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan seperti migrasi tenaga kerja, migrasi modal, keterkaitan antar daerah dan kebijakan ekonomi (Todaro, 2010). Perpindahan tenaga kerja membuat satu diantara daerah akan kehilangan tenaga kerja. Kehilangan tenaga kerja mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi lambat. Dampak seperti ini akan memperbesar ketimpangan antar daerah. Penanaman modal pada suatu daerah akan meningkatkan aktifitas perekonomian daerah tersebut. Besarnya penanaman modal daerah itu membuat jarak ketimpangan semakin tinggi terhadap daerah lain. Kerjasama perdagangan antar daerah membuat salah satu daerah memiliki manfaat yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain, hal ini akan mengakibatkan ketidakmerataan pendapatan daerah. Belum seluruh daerah mendapatkan
74
manfaat kebijakan ekonomi dari pemerintah pusat, seperti pengaturan kawasan industri pada daerah yang mempunyai luas area besar akan berbeda dengan daerah yang tidak memiliki luas area besar. Kebijakan ekonomi tersebut membuat sebagian daerah memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi sehingga menimbulkan ketimpangan antar daerah.
Tabel 16. Ketimpangan pendapatan tertinggi dan terendah sepuluh provinsi di Indonesia tahun 2001-2010 (dalam indeks) Tahun Ketimpangan Tertinggi (Provinsi)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jabar
0.1081
0.1161
0.1148
0.1035
0.1083
0.1143
0.1187
0.1187
0.1187
0.1234
Jatim
0.1009
0.1083
0.1071
0.0966
0.1010
0.1067
0.1108
0.1108
0.1108
0.1152
Jateng
0.0938
0.1007
0.0996
0.0898
0.0939
0.0991
0.1030
0.1030
0.1030
0.1070
Sumut
0.0594
0.0637
0.0631
0.0569
0.0595
0.0628
0.0652
0.0652
0.0652
0.0678
Banten
0.0537
0.0577
0.0571
0.0515
0.0538
0.0568
0.0590
0.0590
0.0590
0.0613
Sulsel
0.0467
0.0502
0.0496
0.0447
0.0468
0.0494
0.0513
0.0513
0.0513
0.0533
Lampung
0.0455
0.0488
0.0483
0.0435
0.0455
0.0481
0.0499
0.0499
0.0499
0.0519
Sumsel
0.0450
0.0483
0.0478
0.0431
0.0450
0.0476
0.0494
0.0494
0.0494
0.0513
Riau
0.0388
0.0416
0.0412
0.0371
0.0388
0.0410
0.0426
0.0426
0.0426
0.0443
Sumbar
0.0363
0.0390
0.0385
0.0347
0.0363
0.0384
0.0398
0.0398
0.0398
0.0414
Tahun Ketimpangan Terendah (Provinsi)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sultra
0.0246
0.0264
0.0261
0.0236
0.0247
0.0260
0.0270
0.0270
0.0270
0.0281
Kalteng
0.0245
0.0263
0.0260
0.0235
0.0245
0.0259
0.0269
0.0269
0.0269
0.0280
Bengkulu
0.0216
0.0232
0.0229
0.0207
0.0216
0.0228
0.0237
0.0237
0.0237
0.0246
Kep. Riau
0.0214
0.0229
0.0227
0.0204
0.0214
0.0226
0.0234
0.0234
0.0234
0.0244
Maluku
0.0204
0.0219
0.0217
0.0195
0.0204
0.0216
0.0224
0.0224
0.0224
0.0233
Babel
0.0182
0.0196
0.0194
0.0175
0.0183
0.0193
0.0200
0.0200
0.0200
0.0208
Sulbar
0.0177
0.0190
0.0188
0.0170
0.0178
0.0188
0.0195
0.0195
0.0195
0.0202
Gorontalo
0.0168
0.0180
0.0178
0.0161
0.0168
0.0178
0.0185
0.0185
0.0185
0.0192
Malut
0.0168
0.0180
0.0178
0.0161
0.0168
0.0178
0.0184
0.0184
0.0184
0.0192
Papua Barat
0.0144
0.0154
0.0153
0.0138
0.0144
0.0152
0.0158
0.0158
0.0158
0.0164
Sumber : hasil olahan data
75
6 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELANJA MODAL, PDRB PERKAPITA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI INDONESIA
Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Provinsi di Indonesia Analisis regresi ini memperlihatkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal di Indonesia. Sebelum melakukan estimasi, terlebih dahulu melakukan pengujian Haussman untuk menentukan metode yang paling tepat dari panel data. Melalui pengujian Hausman akan terlihat metode yang paling cocok antara fixed effect dan random effect. Hasil dari uji Haussman, menjelaskan metode persamaan belanja modal di Indonesia menggunakan metode fixed effect. Terpilihnya metode fixed effect dilihat dari χ2 statistik sebesar 18.9226 yang lebih besar dari χ2 tabel yakni (chi tabel). Berikut hasil uji Haussman: Tabel 17. Uji Haussman persamaan belanja modal Pers : Belanja Modal Haussman Test Cross Section Random
Chi- Square 18.9226
Chi-Sq. d.f 4
Chi-Table 14.060
Sumber : hasil olahan data
Tabel 18 merupakan hasil estimasi persamaan belanja modal yang terbaik setelah melakukan berbagai uji asumsi klasik. Variabel independen yang mempengaruhi belanja modal diantaranya PAD, DAU, hold harmless, DAU saat diberlakukan hold harmless dan DAK infrastruktur jalan. Variabel DAK infrastruktur jalan merupakan variabel DAK infrastruktur yang terbaik dalam persamaan belanja modal. Sedangkan DAK infrastruktur kesehatan dan pendidikan belum terbukti mempengaruhi belanja modal. Berdasarkan tabel persamaan belanja modal, terlihat koefisien determinasi (R2) sebesar 0.820760 yang menunjukkan model persamaan belanja modal hanya mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 82.07% dan sisanya dijelaskan diluar model. Pengujian F stat dengan Prob (F-statistic) sebesar 0.0000, artinya variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas.
76
Tabel 18. Persamaan belanja modal provinsi di Indonesia Dependent variable: LNBMit (Robust (HAC) standard errors) Coefficient Std. Error t-ratio Const 7.02578 1.56819 4.4802 LNPADit 0.629041 0.105225 5.9781 DKAYAit -0.0185294 0.360006 -0.0515 DKAYA*LNPADit 0.00358561 0.00799689 0.4484 LNDAUit 0.236631 0.123912 1.9097 DHHit -5.95181 1.72917 -3.4420 DHH*LNDAUit -0.379298 0.130905 -2.8975 LNDAK_JLNit 0.0734158 0.0216785 3.3866 Mean dependent var Sum squared resid R-squared F(38, 281) Log-likelihood Schwarz criterion Rho
12.23626 439.0423 0.820760 33.86134 -504.6643 1234.293 -0.187714
p-value 0.00001 <0.00001 0.95899 0.65423 0.05719 0.00067 0.00406 0.00081
S.D. dependent var S.E. of regression Adjusted R-squared P-value(F) Akaike criterion Hannan-Quinn Durbin-Watson
2.771025 1.249971 0.796521 0.000000 1087.329 1146.014 2.108830
Sumber : hasil olahan data, Keterangan : ***: signifikan pada1%, **: signifikan pada 5%, *: signifikan pada 10%
Persamaan belanja modal akan dilakukan uji asumsi klasik seperti uji multikolinearitas, heterokedastisitas dan autokorelasi. Hasil uji multikolinearitas pada tabel dibawah ini, memperlihatkan nilai dari korelasi masing-masing variabel independen tidak ada yang melebihi 0.8 yang diindikasikan tidak terjadi multikolinearitas. Apabila melebihi dari 0.8 maka diindikasikan terdapat masalah multikolinearitas (Gujarati, 2009). Tabel 19 Hasil coefficient correlation persamaan belanja modal provinsi di Indonesia DAU DAK_JLN PAD
DAU 1.0000 0.2520 0.1279
DAK_JLN
PAD
1.0000 0.0026
1.0000
Sumber : hasil olahan data
Pengujian heterokedastisitas pada persamaan belanja modal menggunakan Distribution free Wald test for heteroskedasticity. Dengan p-value sebesar 0.000, maka diindikasikan pada persamaan belanja modal sudah bebas dari masalah heterokedastisitas. Pengujian autokorelasi pada persamaan ini dilakukan dengan Durbin Watson test. Nilai dari Durbin Watson statistik sebesar 2.1088, maka hasil tersebut berada di daerah H0 diterima yang diindikasikan tidak ada masalah autokorelasi. Disajikan dalam tabel 20.
77
Tabel 20 Durbin Watson test persamaan belanja modal k' = ; n = 320 dL dU 4-dU 4-dL D Stat
Nilai DW tabel dengan α = 0,05 1.697 1,841 2.159 2.303 2.108
Keterangan : k' = jumlah variabel independen tanpa intersep n = jumlah observasi Sumber : Hasil olahan data
Pembahasan Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Provinsi di Indonesia Berdasarkan hasil estimasi pada tabel persamaan belanja modal, variabel PAD mempengaruhi signifikan terhadap belanja modal. Setiap kenaikan satu persen dari PAD maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0.629041%. Dari model persamaan ini ternyata variabel PAD merupakan variabel yang paling mempengaruhi terhadap belanja modal. Peningkatan PAD mencerminkan daerah sudah mandiri dalam mengelola keuangannya. Hasil PAD memperlihatkan pemerintah daerah cukup mampu untuk membiayai belanja modal yang sudah direncanakan sebelumnya. Penelitian Adi (2008), lebih menjelaskan pentingnya mendorong PAD sebagai bukti daerah lebih mandiri dan bertanggung jawab tanpa mengandalkan besaran dari proporsi dana transfer. PAD merupakan hasil kontribusi pajak, retribusi dan pendapatan lain yang sah. Peningkatan objek pajak akan berimbas terhadap peningkatan PAD dan seharusnya akan berdampak besar terhadap peningkatan belanja modal. Peningkatan objek pajak memiliki peranan yang sangat penting apabila PAD ingin ditingkatkan dalam setiap tahunnya. Perlunya mengupayakan pajak agar PAD selalu meningkat. Upaya pajak menjadikan suatu ukuran keberhasilan daerah dalam meningkatkan PAD. Upaya pajak yang tinggi memberikan pengaruh terhadap peningkatan PAD. Hasil ini sejalan dengan penelitian Bird, Martinez-Vaguez dan Togler (2008), yaitu dengan mengupayakan pajak secara maksimum akan terdorong meningkatkan objek pajak. Pertambahan penduduk akan merespon peningkatan aktifitas ekonomi sehingga peningkatan potensi pajak akan semakin besar. Penelitian Tannewald dan Cowan (1997), menjelaskan di setiap negara sudah seharusnya untuk mengoptimalkan potensi pajak. Peningkatan potensi pajak cenderung dapat meningkatkan kapasitas fiskal. Penelitian Tannewald dan Cowan (1997) menghitung rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang disebut comfort index. Semakin besar comfort index maka akan meningkatkan upaya pajak (tax effort). Penelitian Martinez dan Vazquez (2001), menyatakan pentingnya menerapkan sistem pajak yang dapat mendorong pendapatan daerah. Pemerintah daerah perlu mengevaluasi sektor-sektor yang berpotensi agar dapat
78
meningkatkan PAD. Semakin besar sumber potensi PAD akan mendorong terhadap belanja modal menjadi lebih besar. Penelitian Kotheburger (2002). menjelaskan peningkatan pajak dapat teratasi apabila meningkatkan insentif dan retribusi. Evaluasi potensi ekonomi yang ada disetiap daerah perlu dilakukan karena terdapat perbedaan potensi pada sektor-sektor di setiap daerah. Daerah diharapkan dapat membuat langkah strategis untuk mendapatkan sumber potensial yang dapat dijadikan objek PAD. Penelitian Prakosa (2004) menjelaskan pentingnya langkah-langkah strategis menggali potensi PAD. Penyebab penurunan PAD adalah tingginya penduduk yang bekerja di sektor informal. Pemeritah daerah mengalami kesulitan dalam memungut pajak bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal. Penelitian Lledo, Schneider dan Moore (2003), menyatakan pertumbuhan tenaga kerja informal yang semakin besar akan semakin sulit mendapatkan besaran pajak. Kesulitan tersebut membuat pungutan pajak tidak menjadi lebih efisien. Diperlukan strategi pemungutan pajak terutama masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor informal. Penelitian Agustina (2010), menjelaskan setiap daerah akan terus mengevaluasi dan menggali sumber pajak yang dapat meningkatkan PAD. Dana perimbangan hanya sebagai stimulus fiskal bagi daerah dalam meningkatkan PAD melalui tax effort. Penelitian Bird, Vazquez dan Torgler (2006), menyimpulkan perlunya faktor-faktor yang mempengaruhi pajak yang dapat mendorong peningkatan pajak melalui peningkatan sektor-sektor ekonomi. Penelitian Dahlby dan Waren, (2003), Dahlby dan Wilson (1994), Davoodi dan Grigorian (2006), menjelaskan pentingnya mengoptimalkan tax effort untuk meningkatkan PAD sehingga ekualisasi tercapai dalam mengatasi disparitas horizontal antar daerah. Peranan PAD telah memberikan kontribusi terhadap belanja modal namun masih perlu ditingkatkan. Tidak semua daerah berkontribusi nyata terhadap belanja modal. Hal ini dilihat dari pengaruh PAD daerah kaya belum dapat mempengaruhi belanja modal. PAD bagi daerah kaya cenderung lebih diserap oleh keperluan belanja tidak langsung. Keperluan belanja tidak langsung seperti peningkatan jumlah PNS yang kian membesar di setiap tahunnya, sehingga gaji untuk PNS didanai oleh PAD. Daerah tidak hanya meningkatkan objek pajak saja melainkan hasil dari penerimaan PAD agar digunakan lebih efisien dan sesuai dengan pengunaannya. Variabel DAU berpengaruh nyata terhadap belanja modal, setiap kenaikan satu persen dari DAU maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0.236631%. DAU merupakan dana transfer yang berfungsi sebagai penyeimbang keuangan daerah dan menurunkan ketimpangan horizontal. DAU dapat dijadikan sebagai stimulus untuk meningkatkan belanja modal. Terutama daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah akan sulit untuk meningkatkan belanja modal. Besaran DAU ditentukan oleh perkembangan kapasitas fiskal daerah. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah maka akan diberikan DAU yang cukup besar. Pengaruh positif DAU terhadap belanja modal memperlihatkan DAU sudah lebih kuat untuk menutupi celah fiskal. Keinginan daerah untuk meningkatkan infrastruktur maupun investasi bergantung dari besaran belanja modal. Belanja modal dapat ditingkatkan melalui pemberian DAU sehingga keinginan daerah untuk meningkatkan infrastruktur dan investasi dapat diatasi oleh DAU. Hasil ini sesuai dengan penjelasan Simanjuntak
79
dan Hidayanto (2002), bahwa dana transfer berupa DAU dilakukan untuk menutupi PAD yang relatif rendah. Penelitian Abdullah dan Halim dalam Adi (2008) menjelaskan pemberian DAU memiliki pengaruh kuat terhadap belanja modal dibandingkan PAD. Pemerintah daerah berusaha untuk mempertahankan penerimaan DAU lebih besar dibandingkan mengupayakan pendapatannya sendiri. Besaran DAU yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dapat memberikan peranan besar untuk belanja modal. Menurut Wibowo, Muljarijadi dan Rinaldi (2010), alokasi dana transfer pusat berupa DAU sebesar 63% dari dana transfer lainnya. Besaran tersebut, seharusnya alokasi DAU lebih banyak diserap oleh belanja modal. Adanya kebijakan hold harmless dan DAU saat berlakunya kebijakan hold harmless berpengaruh signifikan dan tidak searah dengan belanja modal. Kebijakan hold harmless yaitu kebijakan yang mengatur pemberian DAU kepada daerah minimal sama dan tidak kurang dengan tahun lalu. Kebijakan tersebut membuat daerah kaya akan lebih besar mendapatkan DAU. Sedangkan DAU bertujuan untuk memberikan dana bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan diberi DAU yang relatif tinggi. Tujuan DAU tersebut tidak akan tercapai apabila kebijakan hold harmless diberlakukan. Hasil estimasi kedua variabel ini membuktikan bahwa dengan adanya kebijakan hold harmless menjadikan DAU tidak dapat meningkatkan belanja modal. Setelah tahun 2008 kebijakan hold harmless tidak diberlakukan lagi, membuat DAU lebih kuat mempengaruhi belanja modal. Transfer DAU masih terjadi kendala karena sering digunakan untuk kepentingan belanja tidak langsung seperti belanja pegawai. Alasan ini terlihat dari penambahan jumlah PNS pada daerah kaya yang membutuhkan biaya besar. Besarnya jumlah PNS mengakibatkan ketidakmampuan PAD untuk membiayainya, sehingga memerlukan biaya melalui DAU. Pemberian DAU membuat pemerintah daerah lebih berpikir untuk dialokasikan kepada belanja pegawai bukan untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan penurunan ketimpangan antar daerah. Kesalahan penggunaan ini menjadikan alokasi DAU digunakan untuk keperluan belanja pegawai bukan untuk belanja modal. Variabel lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap belanja modal yaitu DAK infrastruktur jalan. Setiap kenaikan 1% dari DAK infrastruktur jalan akan meningkatkan belanja modal sebesar 0.0734158%. DAK merupakan dana transfer pusat yang berfungsi untuk pembangunan infrastruktur daerah. Belanja modal digunakan untuk pembangunan daerah yang tidak terlepas dari peningkatan infrastruktur. Dana transfer pusat seperti DAK dapat digunakan oleh belanja modal untuk mencapai pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Pelayanan dasar ini dapat terealisasi melalui pencapaian standar pelayanan minimum (SPM). SPM merupakan salah satu program pemerintah pusat agar daerah dapat memenuhi pelayanan dasar pada sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. DAK yang diberikan ke daerah seharusnya dalam jumlah cukup besar untuk keperluan belanja modal, karena pengeluaran pemerintah dari belanja modal umumnya digunakan untuk peningkatan infrastruktur daerah. Hasil ini sejalan dengan kajian akademis penyusunan DAK untuk SPM (2013). Dalam kajian akademis ini menyatakan DAK dibatasi untuk belanja bersifat fisik dan menjadi lebih penting untuk perluasan infrastruktur daerah. DAK seharusnya memainkan peran strategis untuk daerah dalam
80
dinamika pembangunan infrastruktur terutama pelayanan dasar di daerah karena sesuai dengan prinsip desentralisasi. DAK lebih ditekankan untuk memenuhi standar pelayanan minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Nilai koefisien DAK merupakan nilai terendah dibandingkan dengan variabel dana transfer. Dalam model persamaan belanja modal, meskipun DAK infrastruktur jalan mempengaruhi belanja modal tetapi jumlah nominal dari DAK sendiri belum sesuai dengan kebutuhan daerah sehingga membutuhkan dana yang cukup besar. Besaran alokasi DAK tidak sebesar besaran alokasi DAU sehingga fungsi DAK belum optimal. Hasil estimasi ini sejalan dengan ADB 2011 dan Bapenas 2012 dalam kajian akademis mekanisme penyusunan DAK untuk SPM (2013). Kajian ini menjelaskan peranan DAK belum sesuai dengan yang diamanatkan dan tidak berjalan optimal. Hasil ini pun sejalan dengan kajian akademis Grand Design Desentralisasi Fiskal tahun 2010 (GDDF, 2010). Kajian ini menjelaskan persentase besaran DAK sangat jauh dibandingkan dengan DAU dan DBH. Saat ini peranan DAK belum mempertimbangkan fungsi dan manfaat untuk kepentingan pusat dan daerah. Kurang efisiennya pemerintah dalam mengalokasikan DAK sehingga mengimplementasikan DAK menjadi tidak efektif. DAK menjadi peranan penting terhadap belanja modal apabila DAK dilakukan secara jangka menengah melalui RPJMN, karena belanja modal pada umumnya digunakan untuk infrastruktur dan investasi daerah. Aplikasi DAK dilapangan seringkali tidak sesuai dengan prioritas nasional. Pemberian DAK kepada daerah ditentukan oleh pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Terlihat dari hasil penelitian ini, pemerintah daerah masih memerlukan dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer ini digunakan untuk mengantisipasi pertambahan penduduk suatu daerah yang tidak cukup didanai oleh PAD saja. Pertambahan jumlah penduduk membuat pelayanan masyarakat semakin tinggi, sehingga tidak cukup dengan mengandalkan PAD saja. Penelitian Sasana (2011), saat ini dana perimbangan memiliki peranan penting dalam belanja daerah dan daerah sangat bergantung terhadap dana transfer tersebut. Ketergantungan daerah terhadap dana transfer tersebut berawal dari peningkatan jumlah penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil estimasi dari persamaan belanja modal, memperlihatkan nilai koefisien DAU dan DAK yang relatif sangat kecil. Pemberian DAU dan DAK cenderung lebih terserap untuk belanja rutin atau belanja tidak langsung. Masih banyak daerah yang menggunakan DAU sebagian besar untuk keperluan belanja rutin bukan belanja modal. Adanya alokasi dasar pada formula DAU memacu pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah PNS agar alokasi dasar menjadi lebih besar. Alokasi dasar merupakan alokasi untuk belanja pegawai berupa gaji. Hal ini menjadikan adanya kesalahan persepsi pemerintah daerah dalam menggunakan DAU. DAU yang seharusnya untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan penurunan ketimpangan antar daerah, melainkan pemerintah daerah menggunakan DAU untuk kepentingan belanja pegawai. Penjelasan ini merupakan alasan nilai koefisien DAU yang sangat kecil mempengaruhi belanja modal. Begitu juga dengan DAK yang sebenarnya dapat dirasakan oleh pemerintah daerah untuk peningkatan infrastruktur daerah. Nilai DAK yang relatif kecil dibandingkan
81
DAU menjadikan keperluan infrastruktur daerah umumnya belum tercapai dan dapat menghambat aktifitas perekonomian daerah. Hal seperti ini menjadikan nilai koefisien DAK yang sangat rendah mempengaruhi belanja modal. Nilai koefisien DAU dan DAK yang sangat rendah membuat stimulus fiskal untuk mendorong peningkatan PAD menjadi lambat. PAD merupakan penerimaan daerah yang sangat penting dalam proses desentralisasi fiskal, tetapi dengan dana transfer pusat seperti DAU dan DAK tidak berjalan efektif maka peningkatan PAD pada umumnya akan lebih sulit untuk ditingkatkan. Peranan PAD menjadi hal yang penting bagi belanja modal sehingga perlu meningkatkan indikator yang mempengaruhi PAD seperti pajak. Menurut penelitian Wibowo (2008), menyatakan sistem pajak yang lebih terdesentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya di era desentralisasi fiskal. Peningkatan sistem pajak diupayakan untuk peningkatan belanja daerah, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi PDRB perkapita Sebelum melakukan analisis dari hasil estimasi persamaan PDRB perkapita terlebih dahulu akan dilakukan pengujian Haussman untuk menentukan metode yang paling tepat dari metode panel data. Hasil yang didapat dari uji Haussman adalah nilai dari χ2 statistik sebesar 5.9213 yang lebih besar dari χ2 tabel (chi tabel) dari tingkat kepercayaan 0.95. Hasil chi squared tersebut menyimpulkan metode fixed effect merupakan metode yang paling sesuai pada persamaan PDRB perkapita. Berikut hasil uji Haussman:
Tabel 21 Uji Haussman persamaan PDRB perkapita Pers : PDRB perkapita Haussman Test Cross Section Random
Chi- Square 5.9213
Chi-Sq. d.f 4
Chi-Table 0.710
Sumber : hasil olahan data
Terdapat perbedaan tingkat kepercayaan antara persamaan PDRB perkapita dengan persamaan belanja modal dalam uji Haussman. Untuk memastikan bahwa tidak menggunakan random effect dapat dilakukan dengan pengujian Breush–Pagan Lagrange Multiplier Test (BP). BP menggunakan distribusi chi-kuadrat dengan 1 df: dan hanya ada 1 df karena akan menguji hipotesis tunggal (Gujarati, 2009). Hasil dari BP pada tingkat kepercayaan 0.010 dimana χ2 (Chi-Square) statistik sebesar 7.21077, disimpulkan model random effect tidak tepat digunakan pada persamaan PDRB perkapita. Koefisien determinasi pada persamaan PDRB perkapita sebesar 0.200475. Hasil tersebut memperlihatkan model dapat menjelaskan variasi PDRB perkapita sebesar 20.04% dan sisanya dijelaskan diluar model persamaan PDRB perkapita. Uji F statistik pada persamaan PDRB perkapita dilihat dari Prob (F-Statistic)
82
sebesar 0.014773, yang berarti variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi secara signifikan terhadap PDRB perkapita pada tingkat kepercayaan 5%. Hasil estimasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB perkapita dapat dilihat pada tabel persamaan PDRB perkapita.
Tabel 22 Hasil estimasi PDRB perkapita provinsi di Indonesia Dependent variable: LNPDRBKAPITAit Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio Const 13.0456 0.635075 20.5419 LNBMit-1 0.0462394 0.0156523 2.9542 DKAYAit -0.549221 0.175575 -3.1281 DKAYA*LNBMit-1 0.102782 0.0363156 2.8302 DHHit -1.08481 0.407599 -2.6615 LNINVit-1 0.0470383 0.00815903 5.7652 LNJLNit 0.0416365 0.0272309 1.5290 LNPOPit 0.14862 0.0372824 3.9863 Mean dependent var Sum squared resid R-squared F(38, 248) Log-likelihood Schwarz criterion Rho
15.59783 113.6889 0.200475 1.636429 -274.3520 769.4239 -0.279296
S.D. dependent var S.E. of regression Adjusted R-squared P-value(F) Akaike criterion Hannan-Quinn Durbin-Watson
p-value <0.00001 0.00344 0.00197 0.00503 0.00829 <0.00001 0.12753 0.00009 0.705115 0.677070 0.077968 0.014773 626.7041 683.9040 2.280926
Sumber : hasil olahan data Keterangan : ***: signifikan pada1%, **: signifikan pada 5%, *: signifikan pada 10%
Masalah multikolinearitas terlihat pada tabel coefficient correlation. Hasil korelasi tersebut semua variabel independen tidak melebihi 0.8 dan mengindikasikan persamaan PDRB perkapita tidak mengandung masalah multikolinearitas (Gujarati, 2009). Pengujian heterokedasitisitas dengan menggunakan uji wald test free heterokedastisity. Hasil uji wald test memperlihatkan p-value pada Chi-square sebesar 0.0000, maka diindikasikan persaman PDRB perkapita bebas dari masalah heterokedastisitas.
Tabel 23 Hasil coefficient correlation persamaan PDRB perkapita provinsi di Indonesia BM INV JLN POP
BM 1.0000 0.5982 0.5290 0.3661
Sumber : hasil olahan data
INV
JLN
POP
1.0000 0.4504 0.5344
1.0000 0.3548
1.0000
83
Pengujian masalah autokorelasi dalam persamaan PDRB perkapita digunakan Durbin Watson test (DW test). Nilai DW statistik pada persamaan ini sebesar 2.280926. Nilai DW stat ini berada pada daerah tak tentu (no decision), maka perlu melakukan uji Run test. Pengujian Run test dapat dilakukan dengan menghitung pergerakan residual yang diperoleh dari selisih antara nilai aktual dependen terhadap nilai estimasinya.
Tabel 24 Observasi nilai residual persamaan PDRB perkapita 0.243
-0.784
1.957
0.145
0.135
-0.055
-0.382
0.636
-0.058
-1.008
-0.515
0.094
0.164
-0.652
-0.268
-0.034
0.122
-0.207
-0.312
1.027
0.046
0.072
-0.587
-0.154
0.033
-0.512
0.007
-0.165
1.205
0.393
-0.416
-0.236
1.407
-0.281
0.351
-0.138
0.984
2.120
0.221
-0.045
-0.183
-0.143
-1.061
-0.456
-0.255
-0.387
0.717
-0.145
0.102
-0.333
-0.444
1.081
-0.647
-0.045
-0.233 -0.211
-0.181
-0.424
1.107
-0.886
0.140
0.015
-0.996
-0.097
-0.340
-0.448
-0.072
0.064
0.212
-0.902
-0.250
-0.625
0.704
0.554
-0.833
1.345
-0.215
0.093
-0.655
-0.282
-0.125
1.247
-0.872
-0.789
-0.306
0.032
-0.236
0.059
-0.208
-0.789
-0.149
-1.164
-0.587
-0.412
1.417
-0.234
-0.321
0.564
0.264
0.145
-0.279
0.985
-0.218
-0.035
-0.040
-0.165
-0.648
-0.218
0.797
-0.312
-0.528
-0.291
-0.990
-0.142
-0.550
-0.186
0.213
-0.240
-0.020
0.086
1.183
-0.670
0.523
-0.098
0.192
-0.863
-0.343
0.032
-0.225
-0.174
0.823
-0.685
0.099
-0.643
-0.612
0.975
-0.997
1.719
-0.443
1.350
-0.225
-0.062
-0.125
0.246
0.093
-0.189
-0.201
-0.172
1.158
-0.899
-0.434
-0.079
0.176
-0.371
0.172
1.589
-0.203
-0.470
-0.212
-0.863
-0.123
-0.931
-0.226
0.076
0.032
-0.222
-0.016
-0.179
-0.371
0.574
0.021
0.235
-0.735
-0.156
1.407
0.116
-0.384
-0.326
0.119
-0.674
0.358
0.957
-0.819
1.834
0.153
0.176
0.219
0.361
-0.402
0.032
-0.187
-0.111
-0.109
1.295
-0.699
-0.392
0.069
0.478
-0.522
-0.593
1.503
-0.215
-0.260
0.960
-0.744
0.066
-0.831
0.017
1.448
-0.070
-0.249
-0.103
-0.084
-0.136
-0.123
0.198
0.331
-0.605
0.251
0.203
-0.033
-0.756
-0.337
0.203
-0.426
0.307
0.154
-0.780
1.751
-0.211
0.052
-0.235
-0.814
-0.277
0.168
0.083
-0.159
0.114
1.348
-0.568
-0.833
-0.168
-0.338
2.258
0.187
1.630
0.021
-0.292
0.883
0.089
0.181
-0.589
-0.224
0.954
-0.505
-0.309
0.053
0.058
-0.180
-0.135
0.872
0.469
1.652
0.238
0.128
0.221
-0.787
-0.067
0.412
-0.457
0.241
-0.092
1.082
-0.531
-0.274
0.014
0.464
-0.585
-0.523
1.699
0.000
-0.156
-0.125
-1.024
0.049
-0.759
-0.142
Sumber : hasil olahan data
Melihat tabel observasi nilai residual, maka dapat ditentukan nilai residual positif, nilai residual negatif, jumlah run dan jumlah observasi. Untuk mengetahui nilai-nilai tersebut dapat dilihat berikut ini: N = 287 N1 = 116 Dimana :
, n = 127 ,N2 = 171
84
N1 N2 n N
= jumlah nilai residual yang positif = nilai residual negatif = jumlah atau banyaknya run = jumlah observasi (N1 + N2)
Dalam uji Run test, untuk H0 akan diterima dengan tingkat kepercayaan 5% apabila nilai hitung yang diperoleh berada pada rentang : E(n) – t tabel S(n) n E(n) + t tabel S(n) Pengujian Run test pada tingkat signifikansi 5% berada pada 8 < 127 < 268, yang berarti tidak ada autokorelasi pada persamaan PDRB perkapita. Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB perkapita Model persamaan PDRB perkapita ini, memperlihatkan variabel independen belanja modal tahun sebelumnya, belanja modal daerah kaya tahun sebelumnya, hold harmless, investasi tahun sebelumnya dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Belanja modal mempengaruhi nyata terhadap PDRB perkapita, setiap kenaikan satu persen dari belanja modal tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0.0462394%. Berdasarkan modal persamaan ini ternyata belanja modal tidak berdampak langsung mempengaruhi PDRB perkapita. Peningkatan PDRB perkapita saat ini merupakan hasil kontribusi belanja modal tahun sebelumnya. Peningkatan belanja modal akan mendorong peningkatan investasi dan infrastruktur yang dapat memacu pertumbuhan PDRB perkapita. Penerimaan daerah yang rendah menyebabkan belanja modal tidak dapat berdampak secara langsung terhadap PDRB perkapita. Belanja modal merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan daerah dalam meningkatkan PDRB perkapita. Perkembangan belanja modal setiap provinsi mengalami perbedaan, dimana perbedaan tersebut berasal dari perbedaan penerimaan daerah. Selanjutnya variabel belanja modal daerah kaya tahun sebelumnya mempengaruhi signifikan terhadap PDRB perkapita. Setiap kenaikan satu persen dari belanja modal daerah kaya tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0.102782%. Nilai dari koefisien belanja modal daerah kaya lebih besar pengaruhnya dibandingkan belanja modal secara keseluruhan. Daerah kaya memiliki penerimaan daerah yang lebih besar dibandingkan daerah miskin. Provinsi yang memiliki sektor migas dan aktifitas ekonomi tinggi diindikasikan provinsi tersebut memiliki belanja modal cukup tinggi. Tingginya sumber penerimaan di daerah kaya akan lebih cepat mendorong PDRB perkapita. Belanja modal yang efektif akan memberikan kontribusi besar terhadap pelayanan dasar masyarakat baik berupa infrastruktur maupun investasi. Kurang efektifnya belanja modal membuat perkembangan investasi dan infrastruktur menjadi terhambat sehingga tidak akan secara langsung mempengaruhi PDRB perkapita. Belanja modal yang produktif berdampak terhadap peningkatan produktifitas output. Pentingnya belanja modal yang cukup besar untuk digunakan kebutuhan investasi dan infrastruktur, diungkapkan oleh penelitian Babalola,
85
Sikiru, Umaru dan Aminu (2010). Penelitiannya menjelaskan pengeluaran modal berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, apabila pengeluaran digunakan secara produktif maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Devarajan, Swaroop dan Zou (1996), bahwa pengeluaran pemerintah dilakukan secara produktif akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan suatu wilayah. Peneltian Holzner (2010), menjelaskan peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan dampak positif terhadap pemerataan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Belanja modal dapat saja tidak mempengaruhi PDRB perkapita, apabila kurang efisiennya belanja modal untuk kebutuhan investasi. Penjelasan tersebut mengacu terhadap penelitian Josaphat dan Morissey (2000), menyatakan pengeluaran produktif berupa modal berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Kurang efisiennya belanja pembangunan untuk investasi sehingga tidak menaikkan pertumbuhan ekonomi. Penjelasan ini diperkuat oleh penelitian Devarajan, Swaroop dan Zou (1996) yang menjelaskan negara-negara berkembang sering kali pengeluaran pembangunan tidak dilakukan secara efektif dan salah sasaran dalam pembangunan. Belanja modal yang kurang efektif mengakibatkan efek kurang baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel hold harmless berpengaruh negatif dengan PDRB perkapita. Saat kebijakan hold harmless diberlakukan mengakibatkan turunnya PDRB perkapita. Berlakunya kebijakan hold harmless membuat alokasi dana tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, sehingga pengeluaran pemerintah baik berupa investasi dan pembangunan infrastruktur tidak berdampak positif terhadap PDRB perkapita terutama daerah miskin. Ketika kebijakan hold harmless diberlakukan membuat perluasan investasi menjadi tidak efisien dan tidak berjalan efektif. Ketidakmerataan tersebut akan mengurangi pertumbuhan PDRB perkapita. Menghapuskan kebijakan hold harmless akan lebih baik dalam pemerataan pendapatan antar daerah. Selanjutnya variabel investasi tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Setiap kenaikan 1% dari investasi tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0.0470383%. Peranan investasi untuk meningkatkan PDRB perkapita membutuhkan suatu proses sehingga tidak berdampak langsung terhadap PDRB perkapita. Ketika pemerintah daerah melakukan perluasan investasi maka pemerintah daerah akan merencanakan berapa lama investasi mulai dimanfaatkan. Investasi yang diproksikan dengan PMTB cenderung dilakukan untuk penggunaan jangka panjang. Jadi peningkatan investasi tidak akan langsung dinikmati pada tahun sekarang melainkan dapat dimanfaatkan pada tahun yang akan datang, Penelitian Barro dan Martin (1995), dalam meningkatkan investasi melalui penyediaan dan perluasan investasi dapat dilakukan secara jangka panjang. Peneltian Nurudeen, Abu, Usma dan Abdullahl (2010), pemerintah harus meningkatkan investasi dengan mengembangkan transportasi dan komunikasi yang diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang baik. Peningkatan investasi daerah umumnya untuk peningkatan sarana dan prasana input pembangunan seperti bandara, jembatan, mesin dan peralatan. Peningkatan investasi berupa fisik umumnya tidak berdampak langsung terhadap output perkapita atau baru dirasakan di kemudian hari. Jika pemerintah melakukan investasi saat ini maka hasil investasi akan dimanfaatkan pada tahun
86
mendatang dengan konsekuensi pemerintah pusat dan daerah mengurangi konsumsinya. Penambahan investasi daerah akan mempercepat peningkatan PDRB perkapita. Penjelasan Solow dalam Mankiw (2003) menyatakan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan investasi sehingga dapat memperpanjang umur depresiasi. Pemerintah daerah lebih cepat memperluas investasi maka mempercepat peningkatan PDRB perkapita. Hasil ini sesuai dengan penelitian Fedderke, Perkins dan Luiz (2006), menyatakan pertumbuhan cepat PDRB perkapita ditentukan dengan perkembangan investasi disetiap wilayah. Peningkatan belanja modal dalam jumlah besar akan mendorong terhadap perluasan investasi. Alokasi belanja modal yang besar akan memberikan perluasan investasi yang besar pula. Belanja modal dapat dialokasikan dalam berbagai bentuk fisik yang diharapkan bentuk fisik tersebut menjadikan investasi baru yang dapat dimanfaatkan oleh publik dan swasta. Menurut Todaro (2010), menyatakan akumulasi modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Akumulasi modal dapat memberikan jenis investasi baru baik dari pemerintah maupun swasta untuk ditanamkan dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan peningkatan modal sumber daya. Penjelasan Mankiw (2003), menyatakan alokasi modal digunakan untuk meningkatkan investasi fisik maupun modal manusia karena sebagai faktor penentu keberhasilan pertumbuhan output. Model persamaan PDRB perkapita terdapat variabel infrastruktur yang tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Hasil estimasi ini cenderung besaran belanja modal belum dapat membiayai kebutuhan infrastruktur. Kondisi seperti ini memperlihatkan penerimaan daerah sebagai sumber belanja modal masih terlalu jauh untuk membiayai infrastruktur. Penerimaan daerah yang didalamnya terdapat dana transfer pusat tidak berjalan efektif. Meskipun pemberian dana transfer sudah melalui perhitungan, namun pada prakteknya dilapangan tidak berjalan efektif. Hal ini terlihat dari infrastruktur yang tidak mempengaruhi signifikan terhadap PDRB perkapita. Infrastruktur yang diproksikan panjang jalan beraspal kondisi baik seharusnya dapat meningkatkan aksesbilitas antar daerah untuk meningkatkan perekonomiannya. Pembangunan infrastruktur melalui panjang jalan beraspal belum cukup meningkatkan PDRB perkapita. Masih banyak infrastruktur yang lain dan lebih sesuai kebutuhan daerah selain menggunakan panjang jalan beraspal kondisi baik. Peranan infrastruktur merupakan elemen penting dalam pembangunan daerah. Tanpa infrastruktur yang berkualitas maka perkembangan PDRB perkapita akan menurun. Berdasarkan penelitian Straub, Vellutini dan Walters (2008), yang menjelaskan pentingnya daerah melakukan investasi di bidang infrastruktur dan dijadikan korelasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi. Aksesibilitas sangat dirasakan pada negara Asia dalam mendukung produktifitas di negaranya. Penelitian Straub, Vellutini dan Walters (2008), dukungan infrastruktur pada negara seperti Philipina, Thailand dan Indonesia didapat dari telepon dan jalan. Kedua infrastruktur tersebut memberikan kontribusi terhadap produktifitas tenaga kerja. Penelitian dari Calderon dan Serven (2005) yang menyatakan peranan infrastruktur memberikan dampak yang positif terhadap aspek kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Penelitian Canning (1999), Canning dan Pedroni (2004), menjelaskan pengaruh signifikan infrastruktur terhadap output wilayah. Penelitian mereka menjelaskan pengaruh
87
infrastruktur baik itu telepon maupun jalan sangat dirasakan manfaatnya oleh tenaga kerja untuk meningkatkan produktifitas. Peningkatan pertumbuhan output daerah diperlukan infrastruktur yang memadai baik fisik maupun non fisik dengan cara mendorong akumulasi modal melalui belanja pemerintah. Peningkatan infrastruktur dimungkinkan tidak berdampak secara langsung terhadap pertumbuhan output, dikarenakan infrastruktur membutuhkan suatu proses jangka panjang. Peranan belanja modal menjadi suatu yang sangat penting untuk kebutuhan infrastruktur. Belanja modal yang tidak efektif akan menurunkan kualitas infrastruktur, maka pemerintah daerah diharapkan lebih jeli membelanjakan modalnya yang sesuai dengan kepentingan daerah. Penjelasan ini sesuai dengan penelitian Romer (2006), alokasi modal memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap output perkapita dengan cara mengalokasikan modal untuk infrastruktur fisik dan modal manusia. Penelitian Nurudeen, Abu, Usma dan Abdullahl (2010), menjelaskan perlunya pemerintah meningkatkan belanja modal termasuk pengeluaran pendidikan, serta memastikan bahwa dana yang dimaksudkan untuk pengembangan sektor yang dituju dan dikelola dengan baik. Dampak belanja modal sangat dipengaruhi oleh penerimaan daerah, ketika penerimaan daerah lebih banyak digunakan untuk keperluan belanja tidak langsung maka belanja modal akan sedikit untuk membiayai infrastruktur daerah. Rendahnya belanja modal dalam membiayai infrastruktur daerah maka pengaruh infrastruktur terhadap PDRB perkapita akan berjalan lambat. Variabel jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap PDRB perkapita. Setiap kenaikan satu persen dari jumlah penduduk maka akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0.14862%. Penduduk merupakan investasi pembangunan manusia, penambahan jumlah penduduk diharapkan akan sebanding dengan peningkatan kualitas SDM. Penduduk usia produktif dapat meningkatkan pembangunan suatu daerah. Indonesia merupakan salah satu penduduk terpadat di dunia, dilihat dari sisi positifnya negara Indonesia seharusnya tidak sulit mendapatkan input produksi yang berkualitas. Peningkatan penduduk diharapkan dapat meningkatkan input tenaga kerja dan daerah yang memiliki tingginya supply tenaga kerja maka besarnya jumlah penduduk akan memenuhi supply tenaga kerja tersebut. Hal yang harus diantisipasi adalah ketika pertumbuhan penduduk usia non produktif semakin besar dan terbatasnya lapangan kerja. Tingginya penduduk usia non produktif menjadikan beban ketergantungan pada penduduk usia produktif. Beban ketergantungan yang tinggi mengakibatkan biaya yang cukup besar untuk menafkahi penduduk usia non produktif. Beban ketergantungan ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM akan berdampak terhadap peningkatan produktifitas tenaga kerja. Peningkatan produktifitas tenaga kerja memacu pertumbuhan PDRB perkapita. Aspek pendidikan dan kesehatan merupakan kunci keberhasilan pembangunan manusia. Pendidikan dan kesehatan yang merata dan terpenuhi oleh masyarakat maka daerah tersebut mendapatkan penduduk yang berkualitas. Penduduk yang berkualitas harus dibarengi dengan besaran lapangan kerja. Jika tidak dibarengi dengan peningkatan lapangan kerja maka akan menimbulkan tingkat pengangguran terdidik yang cukup besar. Peningkatan jumlah penduduk harus dibarengi dengan perluasan lapangan kerja di setiap daerah. Daerah yang sulit memperluas lapangan kerja maka
88
diindikasikan kesejahteraan masyarakat akan menurun. Penjelasan ini diungkapkan penelitian dari Trang dan Hieu (2011), berdasarkan konsep pertumbuhan ekonomi Solow bahwa kenaikan jumlah penduduk akan menurunkan modal per tenaga kerja. Penurunan modal per tenaga kerja akan mengurangi pertumbuhan output. Hal yang harus diwaspadai dari penambahan jumlah penduduk yaitu ketika lapangan kerja tidak dapat menampung jumlah penduduk usia produktif maka akan menurunkan distribusi pendapatan perkapita. Menurut Dahan (1998), Marchionni dan Gasparini, (2003), tanpa menghambat tingkat kelahiran dimana suatu wilayah akan mengalami suatu transisi kependudukan. Transisi kependudukan menyebabkan perubahan dari penurunan distribusi pendapatan. Namun kondisi ini tidak menjadi masalah besar apabila jumlah penduduk dijadikan sebagai peningkatan potensi kualitas SDM. Hasil estimasi persamaan PDRB perkapita memperlihatkan belanja modal mempengaruhi signifikan terhadap PDRB perkapita. Peranan belanja modal terhadap peningkatan investasi menjadi syarat perlu untuk pembangunan. Perkembangan investasi daerah memberikan dampak terhadap PDRB perkapita. Era desentralisasi fiskal membuat daerah lebih mandiri untuk merencanakan pembangunannya. Adanya desentralisasi, pemerintah daerah dituntut untuk mengetahui kebutuhannya. Menurut penelitian Aritenang (2009), adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi di era desentralisasi fiskal. Dampak densetralisasi fiskal membuat pemerintah daerah bertanggung jawab dan lebih mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya. Pengurangan ketimpangan dapat dilakukan melalui peningkatan PDRB perkapita. Provinsi di Indonesia memiliki perbedaan dalam PDRB perkapita sehingga menimbulkan perbedaan daerah kaya dan daerah miskin. Mengurangi ketimpangan pendapatan tersebut diperlukan peningkatan pembangunan terhadap daerah miskin dengan cara peningkatan PDRB perkapita. Namun peningkatan PDRB perkapita daerah miskin tersebut seiring dengan peningkatan PDRB perkapita membuat ketimpangan pendapatan terus terjadi. Peranan desentralisasi fiskal dan pengaturan keuangan daerah sangat menentukan perkembangan PDRB perkapita daerah miskin. Dana perimbangan berupa transfer pusat (DAU dan DAK) menjadi penentu peningkatan PDRB perkapita daerah miskin. Pemberian DAU yang adil seperti kapasitas fiskal atau PDRB perkapita yang rendah pada suatu daerah akan diberikan DAU yang relatif besar dapat berjalan efektif maka tidak terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan antar daerah akan terus terjadi tetapi bagaimana ketimpangan pendapatan tersebut dapat diturunkan. Penurunan ketimpangan antar daerah dapat dilakukan dengan cara dana transfer pusat seperti DAU dan DAK dapat memenuhi kebutuhan daerah. Apabila DAU dan DAK sebagai sumber belanja modal daerah dapat memenuhi kebutuhan daerah maka diharapkan ketimpangan pendapatan antar daerah akan semakin berkurang. Menurut Nazara (2010), ketimpangan pendapatan antar daerah akan terus terjadi tetapi bagaimana ketimpangan pendapatan antar daerah tersebut dapat dikurangi. Daerah hanya menginginkan kebutuhan daerahnya dapat ditutupi oleh penerimaan daerah dan setidaknya dengan memenuhi kebutuhan daerah tersebut ketimpangan pendapatan akan berkurang. Adanya DAU dan DAK, membuat daerah lebih leluasa untuk menggali potensi PAD karena DAU dan DAK sebagai stimulus fiskal daerah.
89
Di era desentralisasi ini, kesenjangan pendapatan dipengaruhi dari perkembangan pertumbuhan output perkapita. Alasan ini dilihat dari perbedaan daerah kaya dan miskin. Daerah kaya terus mengalami peningkatan terhadap output perkapita sedang daerah miskin berjalan lambat mengakibatkan kesenjangan pendapatan antar daerah. Terkadang terjadi kesalahan persepsi bahwa dengan desentralisasi fiskal mengakibatkan ketimpangan pendapatan semakin besar. Padahal di era desentralisasi ini pemerintah daerah lebih leluasa menentukan kebutuhannya dan kapasitas fiskal, sehingga dapat mengejar ketinggalan dari daerah yang sudah maju. Penelitian Rodriguez dan Ezcurra (2009), menjelaskan keberhasilan di era desentralisasi fiskal ditentukan oleh pemerintah daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Penurunan ketimpangan pendapatan bergantung dari peningkatan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Apabila daerah sudah memaksimalkan sumber daya yang ada maka tidak terlihat daerah kaya lebih baik dibandingkan dengan daerah miskin karena memiliki manfaat yang sama. Penelitian Zhang dan Zou (1998), Jing dan Zou (2005), menyatakan melalui peranan kelembagaan daerah yang terintegrasi tidak akan terjadi kontradiksi adanya desentralisasi fiskal tersebut. Melalui kelembagaan yang terintegrasi maka belanja publik akan lebih terarah untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah akan berupaya menggali potensi sumber daya yang berbasis lokal untuk mengejar daerah-daerah yang sudah maju. Analisis ini sejalan dengan penelitian Riyanto dan Siregar (2005), menyatakan perlunya pemerintah daerah lebih meningkatkan kinerja. Desentralisasi fiskal menjadikan pemerintah daerah lebih mandiri dan leluasa dalam pengelolaan keuangannya. Penelitian Lessman (2006), menyatakan dengan adanya desentralisasi fiskal akan meningkatkan pelayanan publik dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Model persamaan ketimpangan pendapatan, terlebih dahulu akan dilakukan uji Hausman. Uji Haussman dilakukan untuk menentukan metode yang paling cocok antara fixed effect dan random effect. Metode yang terpilih dari uji Haussman adalah metode fixed effect. Metode fixed effect yang paling cocok dalam persamaan ini didasarkan dari nilai probabilitas yang kurang dari 0,05 dan χ2 statistik sebesar 28.5907 yang lebih besar dari χ2 tabel yakni (chi tabel ). Hasil uji Haussman dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Uji Haussman persamaan ketimpangan pendapatan Pers : ketimpangan pendapatan Haussman Test Cross Section Random Sumber : hasil olahan data
Chi- Square 28.5907
Chi-Sq. d.f 7
Chi Table 14.0607
90
Berdasarkan hasil estimasi persamaan ketimpangan pendapatan akan terlihat nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0.926774, dimana model ketimpangan pendapatan hanya mampu menjelaskan 92.67% dan sisanya dijelaskan diluar model ketimpangan pendapatan. Untuk pengujian F statistik, terlihat dari p-value uji F sebesar 0.0000, artinya variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi nyata terhadap ketimpangan pendapatan. Tabel 26 Hasil estimasi persamaan ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia Dependent variable: IWit (Robust (HAC) standard errors) Coefficient Std. Error t-ratio Const -0.318453 0.0196779 -16.1833 LNDAUit -0.000235404 0.000108115 -2.1774 DKAYAit 0.00658417 0.00251703 2.6159 DKAYA*LNDAUit 7.13272e-05 5.03261e-05 1.4173 LNDAKJLNit -0.000438652 0.000197429 -2.2218 DHHit 0.00888365 0.00239283 3.7126 LNJLNit -0.000817737 0.000339245 -2.4105 LNPOPit 0.023743 0.00123225 19.2680 Mean dependent var 0.039441 S.D. dependent var Sum squared resid 0.013779 S.E. of regression R-squared 0.926774 Adjusted R-squared F(38, 280) 93.25731 P-value(F) Log-likelihood 1150.302 Akaike criterion Schwarz criterion -2075.762 Hannan-Quinn Rho -0.070103 Durbin-Watson
p-value <0.00001 0.03029 0.00938 0.15751 0.02709 0.00025 0.01658 <0.00001 0.024326 0.007015 0.916836 0.000000 -2222.605 -2163.961 1.899044
Sumber : hasil olahan data Keterangan : ***: signifikan pada1%, **: signifikan pada 5%, *: signifikan pada 10%
Pada tabel persamaan ketimpangan pendapatan memperlihatkan variabel DAU, DAK infrastruktur jalan, kebijakan hold harmless, infrastruktur panjang jalan berkondisi baik dan jumlah penduduk. Variabel DAK infrastruktur jalan ternyata dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Sedangkan DAK infrastruktur kesehatan dan pendidikan belum terbukti mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Uji multikolinearitas menggunakan coefficient correlation. Hasil dari pengujian ini tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam persamaan ketimpangan pendapatan. Pada tabel coefficient correlation, nilai korelasi variabel independen tidak ada yang melebihi 0.8 dan dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinieritas (Gujarati, 2009). Tabel 27 Hasil coefficient correlation persamaan ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia DAU DAK_JLN JLN POP
DAU 1.0000 0.2520 0.0415 0.3758
Sumber : hasil olahan data
DAK_JLN
JLN
POP
1.0000 0.0714 -0.0735
1.0000 0.0698
1.0000
91
Pengujian heterokedastisitas dari persamaan ketimpangan pendapatan dengan menggunakan Distribution free Wald test for heteroskedasticity. Hasil yang didapat dengan p-value sebesar 0.000, maka diindikasikan pada persamaan ketimpangan pendapatan bebas dari masalah heterokedastisitas. Pengujian autokorelasi dengan menggunakan Durbin Watson test. Nilai dari Durbin Watson sebesar 1.899, maka hasil tersebut berada pada daerah H0 diterima yang diindikasikan tidak ada masalah autokorelasi.
Tabel 28 Durbin Watson test persamaan ketimpangan pendapatan k' = ; n = 320 dL dU 4-dU 4-dL D Stat
Nilai DW tabel dengan α = 0,05 1.697 1,841 2.159 2.303 1.899
Keterangan : k' = jumlah variabel independen tanpa intersep n = jumlah observasi Sumber : Hasil olahan data
Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan dapat diturunkan melalui berbagai instrumen kebijakan fiskal. Instrumen kebijakan fiskal untuk menurunkan ketimpangan pendapatan diantaranya melalui DAU dan DAK. penurunan ketimpangan pendapatan dapat juga melalui peranan infrastruktur, semakin besar peranan infrastruktur diharapkan dapat menurunkan ketimpangan daerah. Beberapa indikator yang dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan seperti pertambahan jumlah penduduk. Hasil dari estimasi ketimpangan pendapatan menghasilkan nilai koefisien dari DAU, DAK infrastruktur jalan, infrastruktur dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. DAU berpengaruh nyata terhadap ketimpangan pendapatan, setiap kenaikan satu persen dari DAU maka akan menurunkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.000235404%. DAU merupakan dana transfer pusat berupa hibah untuk menyeimbangkan keuangan daerah. Transfer pusat berupa DAU dapat mengurangi ketimpangan pendapatan apabila daerah mengalokasikan untuk belanja modal. DAU digunakan untuk menutupi celah fiskal yang ada di daerah, dengan berkurangnya celah fiskal berdampak terhadap penurunan ketimpangan pendapatan antar daerah. Analisis ini mengacu penelitian Swastyardi (2008), dalam penelitiannya menjelaskan pemberian DAU digunakan untuk menutupi celah fiskal agar keuangan daerah menjadi lebih seimbang dan dapat
92
meningkatkan pelayanan publik. DAU dilakukan untuk menyeimbangkan keuangan antar daerah dan ketimpangan horizontal. Besaran DAU bergantung dari perkembangan celah fiskal. Celah fiskal merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Setiap daerah memiliki perbedaan dalam kebutuhan fiskal maupun kapasitas fiskal. Ketika kebutuhan fiskal tinggi maka transfer DAU pada daerah tersebut relatif lebih besar. Semakin besar kebutuhan fiskal daerah maka celah fiskal akan semakin tinggi. Ketimpangan pendapatan antar daerah semakin besar apabila DAU tidak dapat menutupi celah fiskal. Hasil ini sejalan dengan Penelitian Martinez, Vaquez, Jorge dan Boex dalam Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013), adanya ekualisasi kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal untuk mengukur celah fiskal banyak dilakukan di negara maju maupun negara berkembang. DAU merupakan bagian dari dana perimbangan yang digunakan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah. DAU diberikan kepada daerah sangat tepat karena memperhitungkan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal pemerintah daerah. Besaran DAU dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dengan asumsi daerah menggunakan alokasi DAU untuk keperluan belanja modal bukan belanja rutin. Permasalahan ketimpangan fiskal antar pusat dan daerah sebagian besar dapat diatasi oleh DAU. Ketimpangan pendapatan terjadi dari kondisi keuangan daerah yang mencirikan ketidakmerataan. Ketidakmerataan tersebut dapat dilihat dari PAD, bagi hasil pajak dan sumber daya alam. Perkembangan PAD, bagi hasil pajak dan sumber daya alam menunjukkan perbedaan daerah kaya dan daerah miskin. Perbedaan penerimaan daerah ini dapat diatasi oleh pemberian DAU. Menurut Simanjuntak (2002), ketidakmerataan merupakan kondisi objektif keuangan daerah di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari PAD, bagi hasil pajak dan sumber daya alam. Bagi hasil pajak menguntungkan daerah-daerah yang perekonomiannya sudah maju. Sedangkan sumber daya alam membuat beberapa daerah menjadi kaya mendadak. Idealnya permasalahan ketidakmerataan ini teratasi oleh DAU. Nilai koefisien DAU yang rendah membuat peranan DAU untuk mempengaruhi penurunan ketimpangan relatif kecil. Hal ini dapat disebabkan formula DAU memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan formula DAU terlihat dari alokasi dasar yang digunakan untuk belanja pegawai berupa gaji PNS. Adanya alokasi dasar dalam formula DAU membuat pemerintah daerah terdorong untuk menambah jumlah PNS. Persepsi pemerintah daerah ketika diberi DAU cenderung digunakan untuk keperluan gaji pegawai negeri. Sebenarnya DAU untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan menurunkan disparitas antar daerah. Pemerintah daerah akan merespon peningkatan alokasi dasar akibat pemerintah daerah ingin menambah jumlah pegawai negeri. Variabel DAK infrastruktur jalan berpengaruh nyata terhadap ketimpangan pendapatan. Setiap kenaikan satu persen dari DAK infrastruktur jalan akan menurunkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.000438652%. Transfer DAK yang diberikan kepada daerah dapat mengurangi disparitas antar daerah apabila pemerintah daerah sudah melakukan pencapaian standar pelayanan minimum. Standar pelayanan minimum (SPM) adalah peningkatan mutu pelayanan dasar yang menjadi urusan wajib daerah yang berhak diperoleh warga secara minimal. Penjelasan DAK ini sejalan dengan kajian akademis Mekanisme Penyusunan DAK untuk SPM. DAK dalam kajian ini dapat dijelasakan dengan
93
mendorong pencapaian standar pelayanan minimum yang menjadi prioritas nasional. Pencapaian standar pelayanan minimum tersebut secara tidak langsung akan mempersiapkan sarana infrastruktur fisik maupun infrastruktur manusia menjadi lebih baik. Pemberian DAK harus sesuai dengan prioritas nasional dan kebutuhan daerah. Melihat nilai koefisien DAK infrastruktur jalan yang relatif kecil, diindikasikan rendahnya pengaruh DAK infrastruktur jalan dalam menurunkan ketimpangan pendapatan. Pemerintah pusat belum mampu membiayai infrastruktur jalan yang memakan biaya cukup besar. Ketidakmampuan tersebut membuat pemerintah daerah cukup sulit untuk mewujudkan SPM. Nilai koefisien DAK yang relatif rendah disebabkan dari beberapa hal diantaranya; Pertama, kurang efisiennya pemerintah daerah dalam mengalokasikan DAK untuk kepentingan infrastruktur. Penelitian Wibowo, Muljarijadi, Rinaldi (2011), menjelaskan tidak tercapainya dampak DAK yang diinginkan bukan berakibat dari kecilnya jumlah DAK melainkan kurang efisiennya alokasi DAK yang ada didaerah. Kedua, tata kelola pemerintah daerah tidak berjalan efektif dalam mengimplementasikan DAK. Perlunya mensinergikan antar DAK yang menjadi prioritas nasional dan juga kebutuhan pemerintah daerah di bidang infrastruktur dalam rencana kerja tahunan. Ketiga, alokasi DAK yang begitu rendah dibandingkan DAU sehingga biaya infrastruktur yang sangat besar seperti peningkatan pembangunan jalan tidak dapat terpenuhi oleh daerah. Menurut laporan GDDF (2010), bahwa peranan DAK masih dikatakan rendah dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal. Pada tahun 2010, nilai DAK hanya 6.6% dari total dana transfer dan relatif nilainya masih dibawah DAU. Variabel kebijakan hold harmless mempengaruhi nyata terhadap ketimpangan pendapatan. Nilai koefisien hold harmless, memperlihatkan berlakunya aturan tersebut membuat ketimpangan semakin tinggi. Setelah kebijakan hold harmless dihapuskan pada tahun 2008, membuat peranan DAU lebih kuat dalam menurunkan ketimpangan pendapatan. Saat diberlakukan kebijakan hold harmless, daerah kaya masih mendapatkan DAU yang minimal sama dengan tahun sebelumnya dan membuat tujuan DAU tidak tercapai. Pemberian DAU disesuaikan dengan kapasitas fiskal daerah, dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan diberikan DAU relatif besar. Dihapuskannya kebijakan hold harmless maka daerah-daerah kaya siap menerima kenyataan memperoleh DAU yang kecil. Menurut Simanjuntak (2002), syarat hold harmless sebaiknya dihilangkan secara bertahap. Bahkan daerah-daerah kaya harus bersedia tidak mendapatkan alokasi DAU sama sekali. Sebenarnya dengan desentralisasi fiskal ketimpangan pendapatan dapat diturunkan. Penurunan ketimpangan pendapatan melalui pemberian dana transfer pusat yang efektif. Pembangunan wilayah akan lebih merata apabila formula DAU dapat diterapkan secara konsisten dan mencapai formula DAU yang lebih adil. Menurut Riyanto dan Siregar (2005), menjelaskan desentralisasi fiskal melalui dana perimbangan dapat memperbaiki pemerataan pembangunan antar wilayah, meskipun secara aktual pemerataan pembangunan wilayah belum baik sejak tahun 2001. Pemerataan pembangunan wilayah akan lebih baik apabila formula untuk DAU diterapkan secara konsisten. Variabel infrastruktur jalan berpengaruh nyata terhadap ketimpangan pendapatan. Setiap kenaikan 1% dari infrastruktur jalan maka akan berdampak
94
terhadap penurunan ketimpangan pendapatan sebesar 0.000817737%. Variabel infrastruktur yang diproksikan dengan panjang jalan beraspal kondisi baik merupakan aksesbilitas yang sangat penting untuk kegiatan ekonomi. Infrastruktur jalan yang baik akan mempermudah akses dalam kegiatan produksi antar daerah. Kegiatan produksi tersebut akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan daerah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sutarsono (2012), menjelaskan infrastruktur jalan dapat meningkatkan akses yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Peningkatan infrastruktur jalan akan meningkatkan output dan ekonomi tumbuh. Pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur yang memadai sesuai dengan kebutuhan daerah. Manfaat peningkatan infrastruktur akan dirasakan secara jangka panjang meskipun tidak langsung berdampak terhadap penurunan ketimpangan pendapatan. Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu syarat untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Peningkatan infrastruktur harus didukung dengan akumulasi modal yang cukup besar. Sarana infrastruktur yang memadai akan mendorong daerah untuk mempercepat penurunan ketimpangan pendapatan. Penjelasan ini sejalan dengan penelitian Canning (1999), Canning dan Pedroni (2004), menjelaskan infrastruktur jalan harus memadai dan tidak berdampak langsung terhadap perekonomian. Perlunya akumulasi modal yang cukup besar untuk mendorong ekonomi tumbuh disetiap wilayah. Dengan mendorong pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah setidaknya akan mengurangi ketimpangan antar daerah. Kualitas infrastruktur yang baik akan menunjang aktifitas perekonomian daerah dan kuantitas infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan daerah yang dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Penjelasan infrastruktur ini mengacu pada penelitian Calderon dan Serven (2005), menjelaskan peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur akan menurunkan ketimpangan pendapatan. Variabel jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Kenaikan 1% dari jumlah penduduk maka akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.023743%. Ketimpangan pendapatan daerah dapat terjadi apabila dalam suatu daerah memiliki jumlah penduduk usia non produktif yang cukup besar. Tingginya penduduk usia non produktif dalam suatu daerah akan menambah beban ketergantungan bagi penduduk usia produktif. Kemudian arus migrasi dapat menimbulkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Timbulnya migrasi dikarenakan penduduk mencari kesempatan kerja dan mendapatkan upah di daerah yang lebih maju. Daerah yang sudah maju lebih banyak mendapatkan penduduk usia kerja yang produktif sehingga pertumbuhan ekonominya akan lebih cepat. Sedangkan daerah miskin pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat akibat penduduk usia kerja yang produktif terserap ke daerah maju. Hal ini akan menimbulkan ketimpangan pendapatan yang semakin membesar. Terkadang penduduk tidak menyadari adanya lapangan kerja baru dan upah lebih tinggi akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Biaya hidup yang semakin tinggi pada daerah yang sudah maju menjadikan kebutuhan tidak mencukupi. Arus migrasi ini secara perlahan-lahan akan meningkatkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Penjelasan ini sejalan dengan Todaro (2010), terdapat anggapan yang tidak realistis bahwa upah nyata didaerah maju
95
lebih baik dan kesempatan kerja lebih terbuka. Kenyataannya daerah maju seperti perkotaan lebih banyak tingkat pengangguran dibandingkan perdesaan. Peningkatan penduduk tanpa dibarengi dengan perluasan lapangan kerja mengakibatkan penduduk akan menurunkan modal tenaga kerja. Penjelasan ini mengacu dari hasil penelitian Trang dan Hieu (2011), dengan menggunakan pertumbuhan Solow yang mengasumsikan jumlah penduduk akan menurunkan modal per tenaga kerja. Pertumbuhan output perkapita akan terus menurun seiring jumlah penduduk yang terus bertambah. Penelitian Thorbecke dan Charumilind (2002), menjelaskan perubahan jumlah penduduk berdampak terhadap perubahan output perkapita suatu daerah. Pertumbuhan penduduk akan mendorong terjadinya perbedaan output perkapita antar daerah. Dampak tersebut memperlihatkan perbedaan yang cukup tajam dalam pendapatan perkapita daerah sehingga akan menimbulkan ketimpangan pendapatan. Rendahnya nilai koefisien DAU dan DAK memperlihatkan pengaruh DAU dan DAK sangat kecil untuk menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Hasil tersebut mengindikasikan DAU yang diberikan kepada daerah tidak berjalan efektif. DAU yang seharusnya digunakan untuk menurunkan ketimpangan antar daerah ternyata masih banyak daerah menggunakan DAU untuk kepentingan belanja tidak langsung seperti belanja pegawai. DAU sebagai equalization grant tidak akan terjadi apabila DAU digunakan untuk belanja pegawai. Kesalahan persepsi yang terjadi pemerintah daerah dalam menggunakan DAU. DAU yang fokus untuk penurunan ketimpangan antar daerah melainkan digunakan untuk keperluan belanja rutin atau belanja pegawai. Selain itu, formula DAU yang dibuat selama ini belum dirasakan oleh adil oleh daerah maka akan berdampak terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah. Adanya alokasi dasar dalam formula DAU menjadikan suatu dorongan pemerintah daerah untuk menambah jumlah PNS yang sebetulnya belum tentu berjalan efektif. Walaupun setelah dihilangkan kebijakan hold harmless, DAU lebih kuat untuk menurunkan ketimpangan pendapatan tetapi belum sepenuhnya daerah sudah merasakan pemberian DAU tersebut dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Perlunya perbaikan formula DAU yang lebih adil untuk menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Formula DAU yang adil yaitu formula yang dapat menutupi celah fiskal yang sesuai dengan fungsi DAU. Melalui perbaikan formula DAU diindikasikan daerah kaya tidak akan mendapatkan DAU. Daerah yang sudah memiliki kapasitas fiskal yang besar atau celah fiskal yang rendah maka daerah tersebut tidak akan mendapatkan besaran DAU. Simanjuntak (2002), daerah kaya seperti DKI harus bersiap tidak akan mendapatkan DAU karena sudah memiliki kapasitas fiskal yang cukup besar. Kemudian pengaruh DAK yang rendah terhadap penurunan ketimpangan pendapatan, diindikasikan DAK yang diberikan kepada daerah belum sesuai dengan kebutuhan daerah. Hal seperti ini membuat fungsi DAK tidak berjalan baik. Kecenderungan daerah dalam menggunakan DAK tidak sesuai dengan kebutuhan daerah yang mengakibatkan fungsi DAK untuk mendorong infrastruktur tidak berjalan efektif. Penggunaan DAK tidak sesuai dengan fungsinya yaitu meningkatkan infrastruktur menjadikan peranan DAK terhadap penurunan ketimpangan menjadi berkurang. Perlu meningkatkan jumlah DAK agar infrastruktur daerah dapat terpenuhi karena selama ini jumlah DAK masih relatif rendah dibandingkan DAU.
96
Simulasi Perhitungan Formula DAU Analisis ini memfokuskan perbaikan formula DAU yang diharapkan dapat meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan daerah. Analisis perhitungan formula DAU ini setidaknya dapat menjadi bagian dari acuan revisi UU No 33 Tahun 2004. Dengan melakukan perhitungan DAU akan memperlihatkan formula alternatif DAU benchmark Shah (2012) sesuai dengan asumsi dan tujuan DAU. Analisis hasil simulasi DAU akan memberikan informasi dari korelasi antara DAU dengan PDRB perkapita sebagai alat analisis. korelasi antara DAU dengan PDRB perkapita berhubungan negatif, karena hasil negatif tersebut sesuai dengan tujuan DAU dan revisi UU No 33 Tahun 2004 yaitu daerah yang mempunyai nilai PDRB perkapita tinggi akan mendapatkan DAU yang relatif kecil. Menurut Shah (2012) terdapat beberapa formula alternatif DAU yang dapat mengurangi kelemahan formula yang saat ini digunakan. Pengembangan formula tidak hanya didasarkan dengan perhitungan keseluruhan celah fiskal dengan perbaikan perhitungan kapasitas dan kebutuhan fiskal, melainkan ekualisasi berdasarkan celah fiskal. Formulasi DAU versi Shah (2012) yang dijelaskan dalam penelitian ini dibagi menjadi klaster kabupaten dan klaster kota. Pengklasteran kota berdasarkan jumlah penduduk yang terdiri dari : 1) Kota berpenduduk lebih dari 1 juta dinotasikan C1; 2) Kota berpenduduk antara 500,000-1,000,000 dinotasikan C2; 3) Kota berpenduduk antara 100,000 – 500,000 dinotasikan C3; 4) Kota berpenduduk 100,000 dinotasikan C4. Pembagian klaster pada Kabupaten berdasarkan luas wilayah dengan menggunakan kuartil, adapun hasil perhitungan kuartil dari klaster Kabupaten sebagai berikut : 1. Kabupaten kuartil 1 dengan luas area 1336.2 dinotasikan D1 2. Kabupaten kuartil 2 dengan luas area 2648.4 dinotasikan D2 3. Kabupaten kuartil 3 dengan luas area 5309.5 dinotasikan D3 4. Kabupaten kuartil 4 dengan luas area 44071 dinotasikan D4 Analisis ini akan menginformasikan formula alternatif DAU Shah (2012). Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan hasil korelasi dari simulasi alternatif perhitungan formula DAU Shah (2012), DAU aktual pada tahun 2010 dan formula DAU revisi (menghapuskan alokasi dasar dan PDRB perkapita dalam kebutuhan fiskal) dengan PDRB perkapita. Selain itu perhitungan alternatif DAU dilakukan untuk mengetahui alternatif formula DAU yang dapat menurunkan ketimpangan antar daerah melalui perhitungan DAU Shah (2012), DAU aktual pada tahun 2010 dan formula DAU revisi ke dalam perhitungan indeks Williamson.
97
Hasil Perhitungan Formula Alternatif DAU Versi Shah (2012) Kota/Kabupaten di Indonesia Usaha menurunkan ketimpangan antar daerah, pemerintah pusat memberikan dana transfer berupa Dana Alokasi Umum. Melihat kondisi eksisting DAU, ternyata DAU masih banyak kelemahan terutama dalam formula. Kelemahan tersebut membuat tujuan DAU untuk menurunkan ketimpangan antar daerah menjadi bias. Masih terdapat daerah yang kapasitas fiskal tinggi diberi DAU yang relatif besar. Formula DAU yang terdiri dari penjumlahan alokasi dasar dengan celah fiskal (kebutuhan fiskal – kapasitas fiskal). Alokasi dasar merupakan belanja pegawai berupa gaji. Semakin besar jumlah PNS maka alokasi dasar semakin besar sehingga DAU yang diterima relatif besar. Hal ini akan membuat tidak adil untuk daerah yang memiliki jumlah PNS rendah karena akan mendapatkan DAU lebih rendah. Diperlukan alternatif perhitungan DAU yang diharapkan dapat menutupi celah fiskal dan penurunan ketimpangan antar daerah. Perhitungan formula alternatif DAU Shah (2012) mencoba untuk menutupi kelemahan DAU dengan menghapuskan alokasi dasar. Formula alternatif DAU versi Shah menghitung celah fiskal dengan cara menghitung kapasitas fiskal perkapita dan kebutuhan fiskal perkapita. Hasil perhitungan formula DAU Shah (2012), penerima DAU terbesar pada klaster kota berpenduduk 100 ribu– 500 ribu. Jumlah total DAU pada kelompok berpenduduk 100 ribu-500 ribu sebesar Rp. 75,835,039,115. Sebanyak 56 kota yang menerima DAU pada kelompok 100 ribu-500 ribu dan tiga kota tidak mendapatkan DAU. Perhitungan formula DAU Shah (2012) lebih banyak diserap oleh kelompok berpenduduk 100 ribu–500 ribu. DAU diserap juga oleh klaster kota dengan kelompok berpenduduk 500 ribu-1 juta orang. Jumlah yang diterima DAU untuk kelompok berpenduduk 500 ribu-1 juta orang sebesar Rp 18,525,611,224. Kedua klaster kota ini diindikasikan memiliki kebutuhan fiskal yang cukup tinggi. Sedangkan untuk klaster kota berpenduduk kurang dari 100 ribu dan lebih dari 1 juta orang diindikasikan cukup mampu memenuhi kapasitas fiskal dibandingkan kedua kelompok penerima DAU terbesar. Penerima DAU terbesar di klaster kabupaten, terdapat di kelompok kuartil satu. Sebanyak 98 kabupaten di kuartil satu mendapatkan DAU. Terdapat dua kabupaten pada kuartil satu yang tidak mendapatkan DAU. Kebutuhan fiskal yang cukup besar terdapat kabupaten kuartil satu, sehingga DAU banyak diserap oleh kabupaten kelompok kuartil satu. Jumlah penerima DAU di kabupaten kuartil dua sebanyak 97 kabupaten, kabupaten kuartil tiga sebanyak 95 kabupaten dan kabupaten kuartil empat sebanyak 96 kabupaten. Penerima DAU terendah terdapat di kabupaten kuartil empat. Kabupaten pada kelompok kuartil empat cenderung memiliki kapasitas fiskal lebih baik dibandingkan kabupaten kelompok lain. Ada hal yang menarik dari perhitungan DAU Shah (2012) yaitu kabupaten kelompok kuartil tiga memiliki nilai DAU yang paling besar dibandingkan kelompok kuartil lainnya. Nilai DAU besar ini disebabkan kabupaten yang berada di kuartil tiga memiliki luas area yang paling besar sehingga berdampak terhadap besarnya transfer DAU. Semakin luas area suatu daerah semakin besar biaya untuk membangun administrasi, pelayanan publik maupun infrastruktur maka diwajarkan apabila DAU yang diterima akan lebih besar.
98
Tabel 29 Jumlah penerima DAU hasil formula Shah (2012) pada klaster kota dan kabupaten berdasarkan kelompok (dalam juta) JUMLAH PENERIMA
JUMLAH DAU
RATA-RATA
TIDAK MENERIMA
C1
10
15,132,341,226
1,513,234,123
0
C2
16
18,525,611,224
1,157,850,701
0
C3
56
75,835,039,115
1,404,352,576
3
C4
11
17,247,641,150
1,567,967,377
0
TOTAL KOTA
93
126,740,632,715
5,643,404,778
3
D1
98
138,946,217,516
1,417,818,546
2
D2
97
129,603,609,660
1,336,119,687
3
D3
95
150,569,197,880
1,584,938,925
3
D4 96 133,724,252,239 TOTAL KABUPATEN 386 552,843,277,295 Sumber : hasil perhitungan formula dau acuan Shah (2012)
1,392,960,961
4
5,731,838,119
12
KLASTER
Distribusi alokasi transfer DAU dari kelompok 100 ribu – 500 ribu orang cenderung lebih seragam. Hanya ada beberapa kota yang menerima DAU diatas rata-rata seperti kota Subulusalam. Selain kota Subulusalam terdapat beberapa kota yang menerima DAU diatas diatas rata-rata yaitu kota Sabang, Solok, Padang Panjang dan Pariaman. Kota yang berada diatas rata-rata penerima DAU, diindikasikan kebutuhan fiskal yang relatif tinggi dibandingkan kota yang lainnya. Klaster kota dengan kelompok 100 ribu - 500 ribu, rata-rata mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. 5000 4000 3000 2000 1000 0 0
10
20
30
40
50
60
Sumber : hasil formula DAU acuan Shah (2012)
Gambar 21 Distribusi peneriman DAU perhitungan Shah (2012) pada klaster kota kelompok berpenduduk 100-500 ribu orang
99
Beberapa kabupaten di kuartil satu yang mendapatkan DAU diatas ratarata. Kabupaten Mamberamo Raya yang menerima DAU diatas rata-rata kabupaten pada kuartil satu. Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten penerima DAU diatas rata-rata kabupaten lainnya. Ketiga kabupaten ini cenderung memiliki kebutuhan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya. Selain itu ketiga kabupaten ini memperlihatkan ketergantungan dana transfer pusat berupa DAU yang sangat tinggi. Pemberian DAU di kabupaten kuartil satu pada gambar dibawah ini, memperlihatkan sebaran yang lebih merata. Perhitungan formula DAU sepenuhnya untuk menutupi celah fiskal yang dapat memperbaiki alokasi transfer antar daerah dengan kondisi kebutuhan fiskal yang relatif tinggi. Formula DAU Shah (2012), menjadi salah satu bagian untuk perbaikan dan evaluasi melalui pendekatan pengukuran kebutuhan fiskal perkapita dan kapasitas fiskal perkapita.
12000 10000 8000 6000
Series1
4000 2000 0 0
20
40
60
80
100
120
Sumber : hasil formula DAU acuan Shah (2012)
Gambar 22 Distribusi peneriman DAU perhitungan Shah (2012) pada klaster kabupaten pada kuartil satu Hasil Simulasi DAU Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU aktual Tahun 2010 dan DAU Revisi Tahun 2010 Formula DAU masih banyak kelemahan terutama dalam penentuan indikator pembentuk formula DAU. Perlunya alternatif formula yang dapat menyempurnakan formula DAU agar pemberian DAU kepada daerah sesuai dengan tujuan DAU. Penelitian ini memaparkan alternatif kebijakan untuk mengurangi ketimpangan yang dilihat dari formula DAU. Perhitungan formula DAU tersebut melalui hasil simulasi perhitungan versi Shah (2012), DAU aktual tahun 2010 dan DAU revisi yang menghapuskan alokasi dasar dan menghilangkan PDRB perkapita dari kebutuhan fiskal. Ketiga formula ini akan dikorelasikan dengan PDRB perkapita. Hasil korelasi paling erat didapat dari perhitungan alternatif formula DAU versi Shah (2012). Perhitungan formula DAU versi Shah (2012) menjadi formula DAU yang terbaik untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan menurunkan ketimpangan. Hasil simulasi ini sesuai dengan penelitian Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013), yang menjelaskan alternatif perhitungan
100
simulasi DAU secara keseluruhan merupakan simulasi perhitungan DAU versi Shah (2012) yang terbaik. Penelitian Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013), menyatakan hasil simulasi DAU Shah (2012) sesuai dengan konsep DAU dimana daerah dengan PDRB perkapita relatif rendah akan memperoleh DAU yang lebih besar. Berdasarkan klaster kabupaten, formula DAU Shah (2012) merupakan korelasi paling erat dengan PDRB perkapita dibandingkan perhitungan DAU aktual dan DAU revisi. Berdasarkan hasil korelasi secara terpisah (kabupaten dan kota), formula alternatif DAU Shah menjadi alternatif terbaik dalam perhitungan DAU. Dilihat dari luas area pada klaster kabupaten, korelasi DAU Shah (2012), secara umum menghasilkan korelasi yang paling erat terhadap PDRB perkapita dibandingkan formula DAU yang lain. Korelasi paling erat dengan PDRB perkapita yaitu perhitungan DAU Shah di kuartil empat dan kuartil dua. Formula DAU Shah pada kuartil empat yaitu klaster dengan luas area 44071km2. Luas area yang cukup besar akan memiliki kebutuhan fiskal yang cukup besar, oleh karena itu akan diberikan DAU yang relatif besar dibandingkan dengan kuartil lain. Sebanyak 96 Kabupaten pada kuartil empat memiliki korelasi yang paling erat antara DAU Shah (2012) dengan PDRB perkapita. Diindikasikan kabupaten di kuartil empat umumnya memiliki PDRB perkapita yang rendah dibandingkan kuartil lainnya. Selain itu kabupaten pada kuartil empat mempunyai celah fiskal atau kebutuhan fiskal yang relatif tinggi dibandingkan kuartil lain. Disamping kuartil empat yang paling erat korelasinya dengan PDRB perkapita, terdapat kabupaten di kuartil dua yang memiliki korelasi cukup erat terhadap PDRB perkapita. Kabupaten pada kuartil dua cenderung memiliki PDRB perkapita yang cukup rendah dibandingkan kabupaten lainnya. Selanjutnya untuk klaster kota yang paling erat korelasinya dengan PDRB perkapita yaitu klaster dua dan klaster empat. Kota pada klaster dua merupakan kota yang berpenduduk 500 ribu – 1 juta. Klaster empat adalah kota yang berpenduduk 100 ribu. Kedua klaster kota ini, cenderung memiliki PDRB perkapita yang cukup rendah dibandingkan kota lain. Bagi kota klaster dua akibat tinggi jumlah penduduk tanpa dibarengi peningkatan output membuat PDRB perkapita menjadi rendah. Rendahnya PDRB perkapita pada klaster dua membuat pemberian DAU menjadi lebih besar. Klaster empat dengan penduduk kota sebanyak 100 ribu, diindikasikan klaster empat pada umumnya tidak memiliki sumber daya manusia yang produktif sehingga PDRB perkapita menjadi rendah. Kota pada klaster empat diindikasikan memiliki penduduk usia non produktif yang lebih besar dibandingkan klaster kota lainnya. Tinggi usia penduduk non produktif mengakibatkan beban ketergantungan yang cukup besar di klaster empat. Masih terjadi hasil korelasi yang positif dalam perhitungan DAU yang aktual dan DAU revisi. Hal ini memperlihatkan daerah yang memiliki PDRB perkapita tinggi masih diberikan DAU yang cukup besar. Hasil korelasi tersebut tidak mencerminkan pemberian DAU yang lebih adil, karena daerah yang diberikan DAU relatif besar akibat dari PDRB perkapita yang rendah. Perhitungan formula DAU aktual dan revisi berdasarkan korelasi memperlihatkan kedua formula tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan DAU.
101
Tabel 30 Korelasi perhitungan alternatif DAU Shah (2012), DAU aktual dan DAU revisi dengan PDRB perkapita PDRB Perkapita Tahun 2010 (Hasil Penelitian) DAU Aktual
DAU Revisi
PDRB Perkapita Tahun 2012 (Juanda, Sidik, Qibhtiyah)
KLASTER
Shah
Shah
DAU Aktual
DAU Revisi
D1(AREA)
-0.2680
-0.0595
-0.0449
-0.2602
0.0524
-0.2210
D2
-0.3026
-0.0727
0.0494
-0.2720
-0.1052
-0.0168
D3
-0.1682
0.0078
-0.0905
-0.1741
-0.1056
-0.2750
D4
-0.4076
-0.0841
-0.0250
-0.2464
-0.0462
-0.3843
C1 (POP)
-0.2783
-0.0396
0.5756
-0.6066
0.2377
-0.4718
C2
-0.6957
-0.0188
0.3130
-0.8637
-0.2956
-0.4509
C3
-0.3969
0.0500
-0.1340
-0.8626
-0.4071
-0.6878
C4
-0.6639
0.0943
0.2893
-0.9578
0.1243
-0.7506
TOTAL KAB
-0.1551
-0.0461
-0.0312
-0.1755
0.0107
-0.0169
TOTAL KOTA
-0.3781
-0.0390
-0.0680
-0.3535
-0.1623
-0.2494
TOTAL
-0.1854
-0.0391
-0.0552
-0.1991
-0.0210
-0.0433
Sumber : olahan data
Korelasi antara DAU aktual (2010) dengan PDRB perkapita memiliki korelasi lebih rendah dibandingkan dengan formula alternatif simulasi DAU lainnya. Selama ini formula DAU aktual belum memenuhi fungsinya karena dalam setiap tahunnya lebih banyak diserap oleh belanja tidak langsung terutama belanja pegawai, sebenarnya pengangkatan dan pemindahan pegawai tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Hasil korelasi formula DAU revisi dengan PDRB perkapita, memiliki korelasi lebih erat dibandingkan korelasi DAU aktual dengan PDRB perkapita. DAU revisi ini membuktikan alokasi dasar tidak dimasukkan dalam perhitungan DAU. Kondisi DAU saat ini, lebih digunakan untuk daerah sendiri saja tidak menghubungkan nilai DAU relatif dengan daerah lain, sehingga fungsi DAU tidak tercapai. Adanya alokasi dasar akan berdampak untuk menambah jumlah pegawai negeri dan belum tentu menjadi efisien. Alokasi dasar akan memberikan insentif bagi daerah sehingga akan berdampak terhadap peningkatan jumlah pegawai negeri bukan untuk meningkatkan pembangunan. Penghapusan PDRB perkapita dalam Kebutuhan Fiskal pada Simulasi Perhitungan Formula DAU Variabel PDRB perkapita pada perhitungan DAU saat ini dijadikan sebagai proksi kebutuhan fiskal. Padahal PDRB perkapita merupakan gambaran kesejahteraan masyarakat.Sesuai dengan penjelasan Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013), menyatakan PDRB perkapita seharusnya digunakan untuk proksi kapasitas fiskal bukan menjadi proksi kebutuhan fiskal. Selama ini kapasitas fiskal hanya memasukkan PAD dan DBH tidak memasukkan PDRB perkapita. Seharusnya perhitungan kapasitas fiskal selain memasukkan PAD dan DBH juga memasukkan PDRB perkapita. Menggabungkan PDRB perkapita dalam kapasitas fiskal akan lebih realistis terhadap kondisi daerah yang sebenarnya. Menghapuskan variabel PDRB perkapita dalam kebutuhan fiskal, dapat
102
digantikan dengan indikator kemiskinan seperti jumlah penduduk miskin, garis kemiskinan maupun beban ketergantungan. Penelitian Panggabean A, Mahi, Panggabean M dan Brodjonegoro (1999), menjelaskan kebutuhan fiskal dapat dirasakan apabila bobot luas wilayah dan proporsi penduduk miskin terhadap total penduduk dimasukkan dalam kebutuhan fiskal, karena faktor penyebab daerah memenuhi kebutuhan fiskal berasal dari besaran penduduk miskin. Kebutuhan fiskal sebaiknya diestimasi dengan memperhatikan kondisi standar pelayanan minimum dengan melihat aspek pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Variabel IPM merupakan salah contoh pertimbangan kebutuhan fiskal tanpa memperhatikan standar pelayanan minimum (SPM). Melihat standar pelayanan minimum setidaknya akan lebih realistis dan transparan terhadap kondisi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Berdasarkan dari penelitian Juanda, Sidik dan Qibthiyah (2013), bahwa kondisi kebutuhan fiskal saat ini seharusnya diestimasi dengan memperhatikan kondisi SPM seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar dan tidak berpangku terus dengan hasil indikator global. Variabel IPM hanya menggambarkan garis besar kualitas SDM saja tanpa melihat secara detail indikator-indikator yang mempengaruhi kualitas SDM. Sebaiknya perhitungan kebutuhan fiskal mempertimbangkan variasi kondisi antar daerah seperti aspek demografi, letak geografis dan ukuran daerah. Apabila terdapat perbedaan kondisi antar daerah maka formula kebutuhan fiskal dapat menggunakan klaster daerah seperti kabupaten dan kota yang didasarkan dari jumlah penduduk, luas daerah dan kebutuhan daerah. Penelitian dari Panggabean A, Mahi, Pangabean M dan Brodjonegoro (1999), menjelaskan potensi ekonomi dalam penentuan tinggi dan rendahnya potensi suatu daerah dengan melakukan pembagian kelas. Pembagian kelas dapat dilihat menurut kebutuhan daerah. Banyak hal yang harus disempurnakan dalam menghitung dan memasukkan variabel yang relevan ke dalam fomula DAU yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Hasil Perhitungan Formula Alternatif DAU berdasarkan Ukuran Disparitas Menggunakan Indeks Williamson Sub bab ini, memberikan informasi hasil perhitungan DAU yang diukur dengan indeks Williamson. Indeks Williamson digunakan untuk mengukur disparitas antar daerah. Perhitungan alternatif formula DAU ini, dimasukkan ke dalam perhitungan indeks Williamson. Tujuannya untuk mendapatkan hasil terbaik dari formula alternatif DAU yang dapat menurunkan ketimpangan antar daerah. Formula alternatif DAU yang dimasukkan dalam perhitungan indeks Williamson yaitu formula alternatif DAU Shah (2012), DAU revisi dan DAU aktual. Ketiga perhitungan formula DAU ini akan terlihat nilai formula terendah dalam perhitungan ketimpangan antar daerah. Informasi penurunan disparitas dilihat dari ukuran disparitas kota, kabupaten dan keseluruhan kota dan kabupaten. Maksud dalam perhitungan ini adalah ekualisasi antar daerah dengan membandingkan dari formula alternatif DAU untuk menurunkan disparitas fiskal. Semakin rendah nilai perhitungan disparitas maka pemberian alokasi DAU semakin merata.
103
Tabel 31 Indeks Williamson dengan alternatif DAU Shah (2012), DAU revisi dan DAU aktual : pemerintah kota dan kabupaten PEMERINTAH DAERAH KOTA KABUPATEN TOTAL KOTA DAN KABUPATEN
DAU SHAH (2012)
DAU REVISI
DAU AKTUAL
0.04 0.08
0.14 0.27
0.17 0.33
0.09
0.41
0.50
Sumber : hasil olahan data tahun 2010
Berdasarkan tabel indeks Williamson, menunjukkan hasil yang berbeda dari ketiga perhitungan alternatif DAU. Total penerimaan DAU dari ketiga model formula DAU menunjukkan pola yang berbeda. Nilai indeks Williamson dari total kota dan kabupaten untuk formulasi DAU Shah (2012) merupakan nilai terendah dibandingkan DAU revisi dan DAU aktual. Nilai terendah tersebut mengindikasikan formula alternatif DAU Shah (2012) lebih mampu memeratakan kemampuan fiskal pemerintah daerah dibandingkan perhitungan DAU revisi dan DAU aktual. Hasil formula alternatif DAU Shah ini diperkuat dengan perhitungan disparitas berdasarkan klaster kota dan kabupaten. Formula alternatif DAU Shah (2012) dari klaster kota dan kabupaten merupakan nilai terendah dalam perhitungan disparitas. Hasil ukuran disparitas ini, klaster kota dan kabupaten dalam penutupan celah fiskal lebih sesuai dengan menggunakan alternatif formula DAU Shah (2012). Membandingkan DAU revisi dengan DAU aktual dalam menurunkan ketimpangan antar daerah ternyata lebih cocok menggunakan DAU revisi, karena nilai disparitas DAU revisi lebih rendah dibandingkan DAU aktual. Dalam hasil perhitungan indeks Williamson ini, transfer DAU aktual diindikasikan tidak dapat meningkatkan ekualisasi dan tidak menurunkan disparitas antar daerah.. Formula alternatif DAU Shah (2012) cenderung dapat menurunkan disparitas dibandingkan dengan formula DAU revisi dan DAU aktual. Hasil ini membuktikan dengan menghapuskan alokasi dasar dan PDRB perkapita, membuat disparitas antar daerah mengalami penurunan.
Implikasi Kebijakan : Sebuah Sintesa Instrumen fiskal melalui komponen DAU dan DAK sudah lama dilakukan namun masih perlu perbaikan untuk menjadi lebih sempurna. DAU dan DAK yang sudah dilakukan oleh pemerintah pusat masih menimbulkan ketimpangan pendapatan meskipun peranan kedua komponen tersebut sangat penting. Selain mengandalkan DAU dan DAK, pemerintah pusat dapat memberikan suatu penghargaan kepada daerah yang memiliki prestasi dalam menurunkan ketimpangan pendapatan dengan klasifikasi yang ditentukan sebelumnya. Penghargaan terhadap daerah ini agar dapat mendorong daerah lainnya untuk menurunkan ketimpangan pendapatan.
104
Berbagai kebijakan untuk menurunkan ketimpangan yang sudah dilakukan penelitian sebelumnya seperti penelitian dari Bouton, Gassner dan Verardi (2008). Hasil penelitiannya terdapat implikasi kebijakan yang memberikan tanggung jawab besar kepada pembuat kebijakan untuk menilai daerah-daerah yang dapat menurunkan ketimpangan. Pemberian DAU dan DAK sesuai dengan kebutuhan daerah agar tetap dipertahankan. Dana transfer tersebut, diharapkan pemerintah pusat dalam pemberiannya sesuai dengan kebutuhan daerah. Alokasi dana transfer tidak harus sama melainkan disesuaikan dengan kondisi daerah. Penjelasan ini diungkapkan juga oleh Gallo dan Sagales (2011) yang menyatakan pemberian dana dari pusat tidak akan selalu sama dalam setiap wilayah. Pemberian dana dari pemerintah pusat disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Selama ini di Indonesia mencoba mencari model terbaik atau reformulasi model untuk mengurangi ketimpangan. Perlunya pemerintah pusat untuk mengawasi langsung agar model yang digunakan benar-benar diterapkan dengan baik oleh pemerintah daerah. Perlunya penerapan yang benar oleh daerah diungkapkan oleh Vehorn (2008). Penelitiannya menjelaskan keseriusan pemerintah mereformasi pajak per unit yang diharapkan dapat meningkatkan potensi ekonomi dan dapat dijadikan objek pajak. Reformasi ini terus diawasi ini oleh pemerintah pusat agar lebih serius diterapkan. Setelah memberikan dana transfer kepada pemerintah daerah maka pemerintah pusat diharapkan dapat meninjau hasil dari dana transfer tersebut. Pemerintah diharapkan dapat mendistribusikan sumber daya yang ada didaerah. Pendistribusian sumber daya tersebut agar dimanfaatkan secara efisien sehingga dapat memacu perekonomian menjadi tumbuh. Pemerintah diharapkan dapat menambah dana baru untuk percepatan pembangunan. Menurut Qiao, Martinez, Vaquex, Xu (2007), pemerintah daerah diharapkan untuk memikirkan terlebih dahulu antara meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau menurunkan ketimpangan. Adanya trade off tersebut, pemerintah diharapkan untuk fokus terhadap pemanfaatan sumber daya dari hasil belanja yang sudah dikeluarkan dan disertai dengan penambahan dana baru. Pemerintah pusat diharapkan meninjau hasil dana transfer untuk menciptakan efisien anggaran yang ada didaerah. Penelitian Rayp dan Sijpe (2007), perlunya langkah-langkah yang efisien dalam pengeluaran. Langkah efisien dapat terjadi apabila pengeluaran pemerintah diserap oleh sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Penjelasan implikasi kebijakan diatas merupakan implikasi kebijakan yang sudah dilakukan dari beberapa penelitian pada kasus beberapa negara. Berdasarkan hasil studi ketimpangan ini, untuk menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah diperlukan meningkatkan belanja modal pada daerah miskin. Peningkatan belanja modal yang dilakukan oleh daerah miskin untuk meningkatkan PDRB perkapita. Agar belanja modal lebih besar maka perlu meningkatkan PAD dan dana transfer seperti DAU dan DAK. Alokasi DAU diberikan kepada daerah untuk menurunkan ketimpangan antar daerah. Perlunya DAU yang lebih adil dan dapat menurunkan disparitas antar daerah, oleh karena itu pemerintah pusat diharapkan merevisi DAU melalui perbaikan formula DAU.
105
7. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan Ketimpangan antar wilayah pada tahun 2001-2010 semakin memburuk walaupun ada perbaikan setelah kebijakan hold harmless dihapuskan pada tahun 2009. Kebijakan desentralisasi fiskal melalui instrumen DAU belum optimal mengurangi ketimpangan antar wilayah dikarenakan alokasi penerimaan DAU yang belum adil kepada daerah. Selain dari penerimaan DAU (belum adil), kebijakan fiskal atau alokasi belanja di daerah belum optimal untuk mengurangi kemiskinan sehingga pembangunan daerah belum nyata. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan belanja modal, faktor yang dapat meningkatkan belanja modal adalah peningkatan PAD, DAU dan DAK serta penghapusan kebijakan hold harmless. Namun PAD merupakan variabel yang paling mempengaruhi terhadap belanja modal dibandingkan dengan variabel lainnya. Oleh karena itu daerah perlu mendorong peningkatan PAD sehingga daerah lebih mandiri dan akhirnya dapat menetapkan alokasi belanja lebih optimal. Hasil dari model persamaan PDRB perkapita menyimpulkan peningkatan belanja modal, investasi serta penghapusan kebijakan hold harmless, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap peningkatan PDRB perkapita. Belanja modal di daerah kaya lebih besar karena lebih efektif dengan alokasi belanja yang relatif besar dibandingkan daerah miskin. Belanja modal daerah miskin dapat ditingkatkan jika sumber penerimaan juga meningkat, misalnya melalui DAU dan DAK. Peningkatan DAU, DAK infrastruktur jalan, kebijakan penghapusan hold harmless, infrastruktur (panjang jalan), dan pengendalian penduduk dapat menurunkan ketimpangan antar wilayah. Penghapusan kebijakan hold harmless semakin memperkuat peranan DAU dalam menurunkan ketimpangan antar wilayah. Formula DAU alternatif berdasarkan revisi UU No 33/2004 dan formula Shah (2012) dapat memberikan alokasi DAU yang lebih adil dan menurunkan ketimpangan antar wilayah.
Rekomendasi 1. Formula DAU versi Shah (2012) dapat diterapkan dalam jangka panjang karena dinamika politik tidak menginginkan perubahan yang drastis. 2. Formula DAU berdasarkan revisi UU N0 33/2004 dapat diterapkan karena telah menghilangkan alokasi dasar dan PDRB perkapita sebagai faktor penentu DAU. 3. Kemandirian daerah (peningkatan PAD) diperlukan untuk keberlanjutan pembangunan daerah maupun nasional.
106
Rekomendasi untuk Penelitian Lanjutan
1. Dilihat dari hasil penelitian, hal yang penting dalam meningkatkan belanja modal bersumber dari peningkatan penerimaan daerah. Peningkatan belanja modal akan meningkatkan investasi dan infrastruktur sehingga akan berdampak terhadap PDRB perkapita. Perlunya infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Oleh karena itu pemerintah dapat memberikan dana untuk percepatan pembangunan daerah. DAK merupakan satu diantara dana perimbangan yang mengfokuskan terhadap infrastruktur daerah. Rendahnya nilai DAK membuat kebutuhan daerah dalam infrastruktur belum mencukupi. Perlunya penelitian lebih lanjut yang difokuskan terhadap perhitungan DAK agar mendorong pencapaian SPM 2. Peningkatan investasi daerah dapat dilakukan dengan meningkatkan alokasi belanja modal yang cukup besar. Belanja modal sangat bergantung dari kemampuan keuangan daerah. Perlu penelitian lebih lanjut bagaimana meningkatkan kemampuan keuangan agar dapat meningkatkan investasi daerah. 3. Pertumbuhan belanja modal daerah yang relatif rendah akan berdampak terhadap rendahnya investasi daerah, terutama investasi yang mengarah kepada perluasan infrastruktur. Perluasan infrastruktur dapat tercapai dengan kondisi kemampuan keuangan daerah yang cukup. Jika tidak mampu mendanai infrastruktur maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman atau obligasi. Sebelum melakukan pinjaman maka perlu penelitian lebih lanjut mengenai pinjaman daerah agar pemerintah daerah mengenal konsekuensi, risiko dan manfaat ketika mendapatkan pinjaman.
107
DAFTAR PUSTAKA Adi P, 2008, Relevansi Transfer Pemerintah Pusat Terhadap Upaya Pajak, The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya Agustina N 2010, Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008 [Tesis]. Bogor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aritenang A F , 2009, “The Impact of Government Budget shifts to Regional Disparities in Indonesia: Before and After Decentralisation”.Munich Personal RePEc Archive Akai N, Sakata M 2005 Decentralization, Commitment and Regional Inequality: Evience From State-level Cross-sectional Data for the US. CIRJE Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, berbagai edisi Bappenas, 2011, Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK), White Paper Barro, J, R Sala i Martin X, 1995, Economic Growth, Singapore, Mcgraw Hill Book Co. Bouton, Gassner dan Verrardi, 2008, “Redistributing Income under Fiscal Vertical Imbalance”, European Journal of Political Economy 24 (2008) Bird, R. M., J. Martinez-Vasquez dan Torgler B, 2006. “Societal Institutions and Tax Effort in Developing Countries”: J. Alm and J. Martinez-Vazquez (eds.), The Challenge of Tax Reform in the GlobalEconomy. SpringerVerlag. Bird R M, Martinez-Vaguez dan Torgler B, 2008,”Tax Effort in Develooping Countries and High Income Countries”, Economic Analysis & Policy, Vol 38 No.1, March 2008 Bland, Robert dan Nunn, 1992. “ The Impact of Capital Spending on Municipal Operating Budget”. Public Budgeting & Finance (Summer): 32-47 Brojonegoro B, Pakpahan A T, 2002, “Evaluasi atas Alokasi DAU 2001 dan Permasalahannya; Dana Alokasi Umum, Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah”, LPEM-UI, Jakarta. Brodjonegoro B. 2005, “Three years of fiscal decentralization in Indonesia: its impacts on regional economic development and fiscal sustainability”, Department of Economics, University of Indonesia Canning, D. (1999), “Infrastructure’s Contribution to Aggregate Output”, Policy ResearchWorking Paper Series 2246, The World Bank.
108
Calderón, C., Servén L 2005. “The effects of infrastructure development on growth and income distribution”, World Bank Policy Research Working Paper 3643. World Bank, Washington, D.C. Canning, Pedroni 2004, “The Effect of Infrastructure on Long Run Economic Growth”, World Bank Policy Research Working Paper. World Bank, Washington D.C. Dahan M, 1998, “Demographic Transition, Income Distribution, and Economic Growth”, Journal of Economic Growth, 3: 29–52 (March 1998) Dahlby B, Warren N, 2003,”Fiscal Incentive Effects of the Australian Equalisation System” The Economic Record, Vol. 79, No. 247, December. Dalhby, Wilson, 1994, “Fiscal Capacity, Tax Effort and Equalization Grant”, The Canadian Journal Economies, Vol 27, No 3, August 1994 Davoodi H R, Grigorian D A, 2006, “ Tax Potensial Versus Tax Effort, A Cross Country Analysis of Armenia’s Stubbornly Low Tax Collection” International Monetary Fund (IMF) Davoodi, Hamid dan Heng fu Zhu, 1998. “Fiscal Decentralization and Economic Growth” : A Cross Country Study. Journal of Urban Economics 43:244257 Devkota. K L. 2010, ”Impact of Fiscal Decentralization on Economic Growth of Nepal”. Devarajaan, Swaroop, Zou, 1996, “The Composition of Public Expenditure and Economic Growth” Journal of Monetary Economics,313-344 Fedderke, J. W., Perkins P, Luiz J. M., 2006. “Infrastructural investment in longrun economic growth: South Africa 1875-2001”, World Development, vol. 34, No. 6; pp. 1037-1059. Gallo, Sagales, 2011, “Economic Growth and Inequality : The Role of Fiscal Policies,” Australian Economic Papers (2011) Gujarati, D N, 2009. Basic Econometrics 5th Edition. McGraw-Hill. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia 2030, TADF, Kementerian Keuangan R I, 2010 Holzner M, 2010 ,“ Inequality, Growth and Public Spending in Central, East dan Southeast Europe”The Wiiw Balkan Observatory, Working Paper Series 087, October 2010 Jin, Jing, dan Zou, 2005. “Fiscal Decentralization, Revenue and Expenditure Assignments, and Growth in China”. Journal of Asian Economics 16 : 1047-1064
109
Josaphat, Morrissey, 2000, “Government spending and Economic Growth in Tanzania 1965 – 1996”, Centre for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham. Juanda, 2009, Ekonometrika, Permodelan dan Pendugaan, IPB Press, 2009 Juanda, Sidik dan Qibthiyyah, 2013, Kajian Akademis : Reformulasi DAU Untuk Memperkuat Peran Sebagai Equalization Grant, Tim Asistensi Kementerian Keuangan RI, Bidang Desentralisasi Fiskal, 2013 Kementrian Keuangan, 2013, DJPK Direktorat Dana Perimbangan, Pemyusunan Mekanismen Dana Alokasi Khusus untuk Pembiayaan Standar Pelayanan Minimum Kothenburger. 2002, “Tax Competition and Fiscal Equalization”, International Tax and Public Finance 2002 Laporan Grand Design DesentralisasiFiskal, 2011, Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal, Kementerian Keuangan R I, 2011 Lessmann C. 2006. “Fiscal decentralization and regional disparity”: a panel data approach OECD countries. Working Paper. Ifo Institute for Economic Reseach, Germany Lledo, V. A. Schneider dan Moore M. 2003. “Pro-poor Tax Reform in Latin America”: A Critical Survey and Policy Recommendations, IDS, Sussex, March. Marchionni, Gasparini, 2003, “ Tracing Out the Effects of Demographic Changes on the Income Distribution: The Case of Greater Buenos Aires 19802000 “,CEDLAS - Universidad Nacional de La Plata Marko K, 2002, “Tax Competition and Fiscal Equalization” International Tax and Public Finance Martinez, Vazquez, dan Mc Nab R M 2003,“Fiscal Decentralization and Economic Growth”’ (Vol. 31, pp. 1597-1616). Great Britain: World Development. Martinez-Vazquez. 2001, “Mexico: An Evaluation of the Main Features of the Tax System”, International Studies Program Working Paper 01-12, Atlanta, Georgia, Andrew Young School of Policy Studies, November. Martinez-Vazquez, Jorge, dan Boex, 2005, “ Designing Intergovernmental Equalization Transfer with Imperfect Data” ISP, Working Paper, Georgia State University Mello, L. Barenstein M 2001, “Fiscal Decentralization and Governance: A Cross-Country Analysis”,IMF Working Paper WP/01/71.
110
Nazara S. 2010. Pemerataan Antardaerah sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia. N. Gregory Mankiw,2003, Macroeconomics, Fifth Edition, Pearson Addision Wesley Boston Nurudeen, Usma dan Abdullahl. (2010). Government Expenditure And Economic Growth In Nigeria.Aston Journal, Business and Economic journal Volume 2010, BEJ-4. Norris D, Era, 2006. “The Challenge of Fiscal Decentralization in Transition Countries”,Comparative Economic Studies 48 : 100-131 Oyakale A, Adeoti A dan Ogunnupe O.T . 2004. “Sources of Income Inequality and Poverty in Rural and Urban Nigeria”. Department of Agricultural Economic. University of Ibadan(ABSTRAK gabisadicopy) Panggabean A, Mahi, Panggabean M, Brodjonegoro, Lap. Akhir Distribusi Dana Alokasi Umum : Konsep dan Formula DAU, Jakarta Oktober 1999 PDRB Jawa Barat Menurut Penggunaan Tahun 2003-2005 PP No. 55/2005 Tentang Dana Perimbangan Kementerian Keuangan R I Qiao, Martinez, Vaquex dan Xu, 2007, “ The Trade off between Growth and Equity in Decentralization Policy : China Experience” : Journal of Development Economic (2007) Raychaudhuri A, Prabir De. 2010, “Trade, Infrastructure and Income Inequality in Selected Asian Countries: An Empirical Analysis”, Asia-Pacific Research and Training Network on Trade Working Paper Series, No 82, August 2010 Rayp, Sijpe, 2007, “Measuring and Explaining Government Eficiency in Developing Countries”, Journal of Development Studies (2007) Riyanto, Siregar, 2005, “Dampak Dana Perimbangan Terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar Wilayah” Jurnal Kebijakan Ekonomi Vo.1 No.1 Rodriguez A, Ezcurra R, 2009, “Does Decentralization Matter for Regional Disparities?” ESRC, Department for Business, Enterprise and Regulatory Reform Rodriguez dan Kroijer R 2009. “Fiscal Decentralization and economic growth in central dan eastern Europe”. LSE’ Europe in Question’ Discussion Paper Series. The London School of Economic and Political Science Romer, 2006, “ Advanced Macroeconomics third Edition” McGraw-Hill, 2006
111
Sacchi, Salloti, 2011, “Income inequality, regional disparities,and fiscal decentralization in industrialized countries” Workshop on Regional and Urban Economics: Inequality and Regional Growth and Cohesion, 2011 Sasana H 2008, “Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah”, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang Seetanah, Ramessur, Rojid, (2009), “ Does Infrastructure Alleviates Poverty in Developing Countries” International journal of applied econometrics and quantitative studies. Shah A, 2007, “Local Governance in Developing Countries”, World Bank Shah A, Boadway R, 2007. “Intergovernmental Fiscal Transfers”, World Bank Shah A, 2012, “Public Services and Expenditure Need Equalization: Reflections on the Principles and the Indonesian and Worldwide Comparative Practices”August 31, 2012 Simanjuntak R A, 2002, ” Transfer Pusat Ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara ; Dana Alokasi Umum, Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah”, LPEM-UI, Jakarta. Simanjuntak R A, Hidayanto D, 2002, “ Dana Alokasi Umum di Masa Depan ; Dana Alokasi Umum, Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah”, LPEM-UI, Jakarta. Skira M. 2006,“Fiscal Decentralization and Poverty”.Andrew Young School of Policy Studies. Georgia State University Steiner. S 2005. “Decentralization and Poverty Reduction: A Conceptual Framework for the Economic Impact”. Working Paper Global and Area Studies. German Overseas Institute Straub, 2008, “Infrastructure and Development: A Critical Appraisal of the Macro Level Literature “,Policy Research Working Paper, World Bank in East Asia and Pacific Sustainable Department, April 2008 Straub, Vellutini dan Walters, 2008, “Infrastructure and Economic Growth in East Asia”, Policy Research Working Paper, World Bank in East Asia and Pacific Sustainable Department, April 2008 Sutarsono, 2012. “Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”, Thesis, IPB, 2012 Swastyardi D, 2008, “Regional Inequality Indonesia : Is the General Allocation Fund likely to have an impact?”, Graduate School of Development Studies, Institute of Social Studies, Netherland Tannewald R, 1999 ”Fiscal Disparity Among the State Revisited”, New England Economic Review, July 1999
112
Tannewald R, Cowan J (1997), ”Fiscal Capacity, Fiscal Needs and Fiscal Comfort among U.S. State: New Evidence”, Oxford Journal Sept. 1997. Thorbecke, Charumilind, 2002, “Economic Inequality and Sosioeconomic Impact” World Development Vol. 30, No. 9, pp. 1477–1495, 2002 Todaro M P, 2010, Economic Development, 11 th eds, Pearson Addision Wesley Boston Trang, Hieu, 2011, “Effects of Population growth on Economic Growth in Asian Developing countries, Thesis Bachelors Economic”, Malarden University, February 2011 UU No. 33/2004 Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Kementerian Keuangan R I Widhiyanto I, 2008, “Fiscal Desentralization and Indonesia Regional Income Disparity” Jurnal Keuangan Publik Wibowo
P,
2008,“Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan ekonomi Daerah”, Jurnal Keuangan Publik
Wibowo, Muljarijadi, Rinaldi, 2011, “Allocation Mechanism Of Equalization Fund In Indonesia: Current Condition And Alternative Proposals Of Specific Grant In Sub National Level”, Working Paper in Economic and Development Studies, 2011 Vehorn, 2008, “ Fiscal adjustment in Developing Countries Through Tax Administration Reform”, JEL Clasification H36 (2008) Zhang T, Zou H, 1998, "Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China," Journal of Public Economics 67(2), Zhang T, Heng-fu, 2001, “The Growth impact of Intersectoral and intergovernmental Allocation of Public Expenditure: with Application to China and India”, China Economic Review 12: 58-81.
113
LAMPIRAN Melakukan berbagai percobaan untuk mengestimasi persamaan Belanja Modal Pooled OLS, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnbm Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio p-value Const 2.62276 0.826016 3.1752 0.00165 *** Lndau 0.136145 0.0752585 1.8090 0.07140 * Dkaya 0.253163 0.196591 1.2878 0.19878 Dkaya*lndau -0.0238733 0.0104768 -2.2787 0.02336 ** Dhh 0.0606307 0.0211629 2.8650 0.00445 *** Lnpad 0.650339 0.0677001 9.6062 <0.00001 *** lndak_jln 0.00419464 0.0166423 0.2520 0.80117 1.
Mean dependent var 12.23626 S.D. dependent var 2.771025 Sum squared resid 639.4074 S.E. of regression 1.429278 R-squared 0.738961 Adjusted R-squared 0.733957 F(6, 313) 147.6754 P-value(F) 3.55e-88 Log-likelihood -564.8157 Akaike criterion 1143.631 Schwarz criterion 1170.010 Hannan-Quinn 1154.165 Rho 0.039411 Durbin-Watson 1.764068 Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 0 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnbm Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio p-value Const 7.02578 1.56819 4.4802 0.00001 *** Lnpad 0.629041 0.105225 5.9781 <0.00001 *** Dkaya -0.0185294 0.360006 -0.0515 0.95899 Dkaya*lnpad 0.00358561 0.00799689 0.4484 0.65423 Lndau 0.236631 0.123912 1.9097 0.05719 * Dhh -5.95181 1.72917 -3.4420 0.00067 *** Dhh*lndau -0.379298 0.130905 -2.8975 0.00406 *** lndak_jln 0.0734158 0.0216785 3.3866 0.00081 *** Mean dependent var 12.23626 S.D. dependent var Sum squared resid 439.0423 S.E. of regression R-squared 0.820760 Adjusted R-squared F(38, 281) 33.86134 P-value(F) Log-likelihood -504.6643 Akaike criterion Schwarz criterion 1234.293 Hannan-Quinn Rho -0.187714 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
2.771025 1.249971 0.796521 8.60e-84 1087.329 1146.014 2.108830
114
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnbm
Const Lnpad Dkaya Dkaya*lnpad Lndau Dhh lndak_jln
Coefficient 2.4186 0.720288 0.0162069 0.00466787 0.100628 -0.89741 0.0955932
Std. Error 0.801824 0.0380116 0.660838 0.0129904 0.0290994 0.889343 0.0236357
t-ratio 3.0164 18.9491 0.0245 0.3593 3.4581 -1.0091 4.0444
p-value 0.00279 <0.00001 0.98045 0.71962 0.00063 0.31381 0.00007
Mean dependent var 12.23626 S.D. dependent var Sum squared resid 514.0165 S.E. of regression R-squared 0.790152 Adjusted R-squared F(37, 282) 28.69804 P-value(F) Log-likelihood -529.8898 Akaike criterion Schwarz criterion 1278.976 Hannan-Quinn Rho -0.171739 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnbm
Const Lnpad Dkaya Dkaya*lnpad Lndau Dhh lndak_jln Lndbh
Coefficient 2.27319 0.660641 0.00571817 -0.00120571 0.0669464 -0.708853 0.0950994 0.108731
Std. Error 0.786754 0.0408357 0.647552 0.0128354 0.03004 0.87306 0.0231607 0.0305149
t-ratio 2.8893 16.1780 0.0088 -0.0939 2.2286 -0.8119 4.1061 3.5632
*** ***
*** ***
2.771025 1.350094 0.762618 3.37e-75 1135.780 1192.961 2.144622
p-value 0.00416 <0.00001 0.99296 0.92523 0.02663 0.41753 0.00005 0.00043
*** ***
** *** ***
Mean dependent var 12.23626 S.D. dependent var 2.771025 Sum squared resid 491.7955 S.E. of regression 1.322937 R-squared 0.799223 Adjusted R-squared 0.772072 F(38, 281) 29.43594 P-value(F) 4.49e-77 Log-likelihood -522.8190 Akaike criterion 1123.638 Schwarz criterion 1270.603 Hannan-Quinn 1182.324 Rho -0.194531 Durbin-Watson 2.200592 Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl)DHH = Dummy Hold Harmless
115
Const Lnpad Dwil dwil_lnpad Lndau dhh1 dhh1_lndau lndak_jln Lndbh
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnbm Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio 6.5799 1.64408 4.0022 0.605624 0.100054 6.0530 -0.0211426 0.344742 -0.0613 0.000643463 0.0086407 0.0745 0.208311 0.133294 1.5628 -5.44767 1.8232 -2.9880 -0.348764 0.136153 -2.5616 0.0749465 0.0215614 3.4760 0.0560778 0.0437777 1.2810
p-value 0.00008 <0.00001 0.95114 0.94069 0.11923 0.00306 0.01094 0.00059 0.20127
Mean dependent var 12.23626 S.D. dependent var Sum squared resid 433.6175 S.E. of regression R-squared 0.822975 Adjusted R-squared F(39, 280) 33.37680 P-value(F) Log-likelihood -502.6750 Akaike criterion Schwarz criterion 1236.083 Hannan-Quinn Rho -0.196270 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ***
*** ** ***
2.771025 1.244441 0.798318 9.30e-84 1085.350 1145.541 2.140711
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnbm
Const Lnpad Dkaya Dkaya*lnpad Lndau Dhh lndak_jln Lndbh
Coefficient 2.53584 0.57538 -0.961808 0.0791061 0.198862 0.0868469 0.0559263 0.00789469
Std. Error 0.487486 0.0375586 0.84082 0.0485923 0.0275238 0.0461238 0.0258611 0.0301392
t-ratio 5.2019 15.3195 -1.1439 1.6280 7.2251 1.8829 2.1626 0.2619
p-value <0.00001 <0.00001 0.25364 0.10465 <0.00001 0.06075 0.03142 0.79356
Mean dependent var 11.69909 S.D. dependent var Sum squared resid 649.2844 S.E. of regression R-squared 0.854401 Adjusted R-squared F(38, 281) 43.39351 P-value(F) Log-likelihood -567.2683 Akaike criterion Schwarz criterion 1359.501 Hannan-Quinn Rho 0.099878 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 0 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ***
*** * **
3.738887 1.520073 0.834711 3.65e-96 1212.537 1271.222 1.691222
116
Dependent Variable: LNBM Variable C LNPAD DUM DKAYA_LNPAD LNDBH LNDAU R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
5.204240 0.193986 0.172739 2.57E-09 0.507038 2.97E-07
0.529199 0.064752 0.086072 1.55E-09 0.033179 1.64E-07
9.834183 2.995853 2.006920 1.662480 15.28174 1.813846
0.0000 0.0032 0.0466 0.0985 0.0000 0.0717
0.770654 0.762905 0.461188 31.47880 -96.26840 99.46236 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.77554 0.947147 1.328161 1.446484 1.376223 1.779333
Dependent Variable: LNBM Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU DUMMY DKAYA_LNDAU LNPAD LNDBH
16.55743 0.098196 0.781996 -2.043795 1.733895 -0.569531
2.870635 0.277351 0.131455 0.766900 0.818734 0.511924
5.767865 0.354051 5.948768 -2.665009 2.117776 -1.112531
0.0000 0.7238 0.0000 0.0086 0.0360 0.2678
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.256300 0.229740 0.778188 84.78069 -167.4867 9.649613 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.72216 0.886678 2.376530 2.499144 2.426351 1.894611
Dependent Variable: LNBM Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDBH DUMMY DKAYA_LNDBH LNPAD LNDAU
3.222744 0.509898 0.179052 1.02E-08 -0.033325 0.276845
1.128670 0.051863 0.090493 5.09E-09 0.047885 0.091912
2.855346 9.831641 1.978631 2.008965 -0.695929 3.012069
0.0050 0.0000 0.0498 0.0465 0.4876 0.0031
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.718113 0.707973 0.479033 31.89671 -95.96435 70.82100 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.71585 0.886449 1.406405 1.529580 1.456455 1.679228
117
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable C LOG(DAU?) LOG(APDAU?) LOG(TE?) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient 11,50011 0,243444 0,175378 0,410779 0,156511 0,13804 0,334126 8,473536 0,000033
Std. Error t-Statistic 1,507712 7,627523 0,094104 2,586962 0,064358 2,725024 0,163589 2,511043 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob. 0 0,0107 0,0073 0,0132 2,328247 0,373745 15,29471 1,279232
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(DAU?) LOG(TE?) LOG( P_DAU?) LOG( JP?)
-13,6944 0,303215 0,304438 0,199235 1,570862
22,83483 0,16181 0,23547 0,086384 1,462298
-0,59972 1,873898 1,292892 2,306381 1,074242
0,5503 0,0645 0,1996 0,0236 0,2858
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,889281 0,846594 0,35539 10,48307 -25,1748 20,83271 0
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13,04824 0,90737 1,003014 1,786363 1,321009 1,842785
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PAD?) DBH?(-1) LOG(DAU?)
-1,74129 0,373641 0,293851 0,451781
2,624662 0,102793 0,109917 0,207917
-0,66343 3,634907 2,6734 2,172888
0,5084 0,0004 0,0086 0,0319
R-squared
0,778785
Mean dependent var
12,8423
Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,717556 0,520011 30,28606 -92,0701 12,71921 0
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0,978468 1,723196 2,383154 1,991366 1,776137
118
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PAD?) DBH?(-1) LOG(DAU?)
-1,51581 0,320669 0,256662 0,360324
2,573153 0,101915 0,106204 0,207154
-0,58909 3,146439 2,416691 1,7394
0,557 0,0021 0,0173 0,0847
DENS?
0,008239
0,002231
3,693433
0,0003
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic
0,791595 0,731514 0,506999 28,53236 -87,7754 13,1755
Prob(F-statistic)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12,8423 0,978468 1,677436 2,358018 1,953986 1,843172
0
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PAD?) LOG(DBH?(-1)) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
6,351574 0,059404 0,830927 0,125057 0,040908
4,630984 0,087484 1,705051 0,113685 0,118444
1,371539 0,679023 0,487333 1,10003 0,345381
0,1744 0,4992 0,6275 0,2749 0,7308
DENS?
0,005352
0,002358
2,269435
0,0262
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic
0,878315 0,825695 0,367291 9,982794 -24,9263 16,69156
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
13,06372 0,879742 1,082734 1,907064 1,416906 2,10543
0
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PAD?) DBH?(-1) LOG(DAU?) DENS?
0,970823 0,034159 0,060074 0,042107 0,000853
6,58868 4,672777 2,746678 2,567949 4,279339
0 0 0,0071 0,0116 0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
6,396442 0,159615 0,165004 0,108128 0,003651 0,95423
Mean dependent var
22,52732
0,940542 0,376978 69,71155 0
S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
15,11137 15,20605 1,946239
119
Dependent Variable: BM? Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PAD? DBH? DAU? DENS?
-20,5892 -0,15825 2,722652 1,937709 -0,04618
3,976423 0,420496 0,306872 0,348028 0,006407
-5,17782 -0,37633 8,872286 5,567678 -7,20796
0 0,7074 0 0 0
R-squared
0,652499
Mean dependent var
1,376215
Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,552319 1,864034 6,513247 0
S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2,836364 385,6829 1,598596
Dependent Variable: BM? Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PAD? DBH? DAU? DENS? D?
-44,8076 0,525173 4,057761 0,547506 -0,00897 -2,91127
5,330212 0,343129 0,386247 0,355195 0,008307 0,263262
-8,40634 1,530543 10,50561 1,541426 -1,07988 -11,0585
0 0,1288 0 0,1261 0,2826 0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,748795 0,673433 1,42652 9,936031 0
Dependent Variable: LOG(BM?) Variable Coefficient
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Std. Error
t-Statistic
1,29268 2,516033 223,8454 2,547687
Prob.
C LOG(DBH?) LOG(PAD?) DAU? DENS?
8,651177 1,359908 -0,02413 0,071202 0,004892
2,300467 0,776725 0,052522 0,042573 0,002778
3,760619 1,750824 -0,45935 1,672476 1,760968
0,0003 0,0839 0,6472 0,0984 0,0821
D? AR(1)
0,070513 0,140799
0,091082 0,113249
0,774172 1,243272
0,4411 0,2174
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0,981133 0,973013 0,280515
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
18,71004 13,93426 6,21639
F-statistic Prob(F-statistic)
120,8274 0
Durbin-Watson stat
2,254663
120
Dependent Variable: LNBM Method: Least Squares Sample: 1 320 Included observations: 320 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU DDaerah DKaya*LNDAU Dholdharmless LNPAD LNDBH LNDAKT
2.671420 0.083090 -0.198204 -0.013044 -0.659499 0.602668 0.137111 0.026005
0.518105 0.042162 0.574378 0.047083 0.197871 0.035279 0.029710 0.015003
5.156138 1.970713 -0.345075 -0.277044 -3.332976 17.08300 4.614915 1.733282
0.0000 0.0496 0.7303 0.7819 0.0010 0.0000 0.0000 0.0840
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.760168 0.754787 1.372184 587.4616 -551.2587 141.2726 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.23626 2.771025 3.495367 3.589575 3.532986 1.963117
Dependent Variable: LNBM Method: Least Squares Date: 05/03/13 Time: 23:55 Sample: 1 320 Included observations: 320 Newey-West HAC Standard Errors & Covariance (lag truncation=5) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU DDaerah DKaya*LNDAU Dholdharmless DHH_LNDAKT LNPAD LNDBH
2.344431 0.088654 -0.169142 -0.016025 0.533613 0.000144 0.611642 0.127160
1.195527 0.070694 0.972477 0.078793 0.190753 0.001459 0.079504 0.048028
1.961002 1.254046 -0.173929 -0.203379 2.797408 0.098858 7.693212 2.647621
0.0508 0.2108 0.8620 0.8390 0.0055 0.9213 0.0000 0.0085
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.758379 0.752958 1.377292 591.8429 -552.4476 139.8968 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.23626 2.771025 3.502797 3.597005 3.540416 1.960720
121
Dependent Variable: LNBM Method: Least Squares Date: 05/04/13 Time: 00:23 Sample (adjusted): 3 320 Included observations: 318 after adjustments Newey-West HAC Standard Errors & Covariance (lag truncation=5) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU DDaerah DKaya*LNDAU Dholdharmless DHH_LNDAKT(-2) LNPAD(-1) LNDAKT1(-2) LNDBH(-1)
5.076736 0.304984 -1.383768 0.127680 0.068687 0.000166 0.263320 0.004908 0.027017
1.793354 0.170663 2.020018 0.161042 0.264438 0.003761 0.060139 0.020542 0.025555
2.830861 1.787055 -0.685028 0.792841 0.259748 0.044228 4.378483 0.238918 1.057214
0.0049 0.0749 0.4938 0.4285 0.7952 0.9648 0.0000 0.8113 0.2912
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.484523 0.471177 2.020697 1261.714 -670.3523 36.30557 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.23053 2.778728 4.272656 4.379129 4.315182 1.960337
2. Melakukan berbagai percobaan untuk mengestimasi persamaan PDRB
Perkapita
Const lnbmit-1 Dkayait Dkaya*lnbmit-1 Dhhit lninvit-1 lnjlnit lnpopit
Pooled OLS, using 224 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio 13.0456 0.635075 20.5419 0.0462394 0.0156523 2.9542 -0.549221 0.175575 -3.1281 0.102782 0.0363156 2.8302 -1.08481 0.407599 -2.6615 0.0470383 0.00815903 5.7652 0.0416365 0.0272309 1.5290 0.14862 0.0372824 3.9863
p-value <0.00001 0.00344 0.00197 0.00503 0.00829 <0.00001 0.12753 0.00009
Mean dependent var 15.59783 S.D. dependent var Sum squared resid 113.6889 S.E. of regression R-squared 0.200475 Adjusted R-squared F(38, 248) 1.636429 P-value(F) Log-likelihood -274.3520 Akaike criterion Schwarz criterion 769.4239 Hannan-Quinn Rho -0.279296 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 0 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** *** *** *** *** *** ***
0.705115 0.677070 0.077968 0.014773 626.7041 683.9040 2.280926
122
Const Lninv(t-1) Dkaya Dkaya*lninv(t-1) Lnbm(t-2) Dhh Dhh*lnbm(t-2) Lnjln(t-1) Lnpop(t-1)
Pooled OLS, using 256 observations Included 32 cross-sectional units Time-series length = 8 Dependent variable: lnpdrbkapita Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio 17.4101 0.381183 45.6739 0.06986 0.00906437 7.7071 -0.206438 0.0660043 -3.1276 0.00636755 0.00504733 1.2616 -0.00816202 0.0122727 -0.6651 0.01942 0.0105525 1.8403 0.00012317 0.00110167 0.1118 -0.0505453 0.0350798 -1.4409 -0.157476 0.0254605 -6.1851
p-value <0.00001 <0.00001 0.00197 0.20829 0.50664 0.06692 0.91107 0.15089 <0.00001
Mean dependent var 15.58728 S.D. dependent var Sum squared resid 105.1537 S.E. of regression R-squared 0.166338 Adjusted R-squared F(8, 247) 6.160407 P-value(F) Log-likelihood -249.3596 Akaike criterion Schwarz criterion 548.6259 Hannan-Quinn Rho -0.247870 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 0 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
Const Lnbm Dkaya*lnbm Lninv(t-2) Dhh*lninv(t-2) Lnjln Lnpop(t-1)
*
***
0.703311 0.652475 0.139337 2.99e-07 516.7193 529.5520 2.214196
Fixed-effects, using 256 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio p-value 15.465 0.5836 26.4993 <0.00001 0.0115984 0.0283749 0.4088 0.68312 0.04254 0.00771462 5.5142 <0.00001 0.0382506 0.00848258 4.5093 0.00001 -0.041102 0.00998587 -4.1160 0.00005 0.0780427 0.0387112 2.0160 0.04502 -0.0626022 0.0475481 -1.3166 0.18935
Mean dependent var 15.58728 S.D. dependent var Sum squared resid 90.40432 S.E. of regression R-squared 0.283272 Adjusted R-squared F(37, 218) 2.328643 P-value(F) Log-likelihood -230.0149 Akaike criterion Schwarz criterion 670.7466 Hannan-Quinn Rho -0.342188 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** *** ***
*** *** *** *** **
0.703311 0.643971 0.161625 0.000089 536.0299 590.2125 2.426416
123
Const Lninv Dkaya*lninv Dhh Lnbm(t-2) Lnjln Lnpop(t-1)
Fixed-effects, using 256 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio 16.6402 0.526498 31.6053 0.0188939 0.00933296 2.0244 0.0253129 0.00376172 6.7291 -0.647889 0.13454 -4.8156 0.00495344 0.00824168 0.6010 0.0627865 0.0315597 1.9895 -0.101953 0.0405404 -2.5148
p-value <0.00001 0.04415 <0.00001 <0.00001 0.54845 0.04790 0.01263
Mean dependent var 15.58728 S.D. dependent var Sum squared resid 94.70201 S.E. of regression R-squared 0.249199 Adjusted R-squared F(37, 218) 1.955586 P-value(F) Log-likelihood -235.9597 Akaike criterion Schwarz criterion 682.6361 Hannan-Quinn Rho -0.395746 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
Const Lnbm Dkaya*lnbm Lninv(t-2) Dhh Dhh*lninv_2 Lnjln Lnpop(t-1)
Fixed-effects, using 256 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio 16.0456 0.602148 26.6473 0.0137822 0.0289465 0.4761 0.0423865 0.00764542 5.5440 0.031139 0.0109833 2.8351 -0.650138 0.269793 -2.4098 -0.0314921 0.0111549 -2.8232 0.0671623 0.0445028 1.5092 -0.0677267 0.0463863 -1.4601
** **
0.703311 0.659100 0.121770 0.001687 547.9193 602.1019 2.513272
p-value <0.00001 0.63446 <0.00001 0.00501 0.01680 0.00520 0.13271 0.14572
Mean dependent var 15.58728 S.D. dependent var Sum squared resid 89.92235 S.E. of regression R-squared 0.287093 Adjusted R-squared F(38, 217) 2.299667 P-value(F) Log-likelihood -229.3307 Akaike criterion Schwarz criterion 674.9233 Hannan-Quinn Rho -0.350223 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ** *** ***
*** *** *** ** ***
0.703311 0.643730 0.162252 0.000099 536.6614 592.2698 2.443289
124
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita
Const Lnbm Dkaya Dkaya*lnbm Dhh Lninv Lnjln Lnpop
Coefficient 13.7306 -0.0212579 0.241625 0.0416017 -0.0622756 0.0199514 0.0576101 0.0735414
Std. Error 0.757464 0.0199907 0.311774 0.00639776 0.434385 0.0118886 0.0258218 0.0463939
t-ratio 18.1271 -1.0634 0.7750 6.5025 -0.1434 1.6782 2.2311 1.5852
p-value <0.00001 0.28852 0.43899 <0.00001 0.88610 0.09442 0.02647 0.11406
Mean dependent var 15.58645 S.D. dependent var Sum squared resid 114.1048 S.E. of regression R-squared 0.276258 Adjusted R-squared F(38, 281) 2.822631 P-value(F) Log-likelihood -289.0677 Akaike criterion Schwarz criterion 803.0999 Hannan-Quinn Rho -0.291955 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
***
*** * **
0.703015 0.637234 0.178386 5.54e-07 656.1354 714.8211 2.387584
Fixed-effects, using 288 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita
Const Lnbm Dkaya Dkaya*lnbm Dhh Lninv Lnjln Lnpop(t-1)
Coefficient 16.2027 -0.0200473 -0.17162 0.0429733 0.00156778 0.0280941 0.05465 -0.0876048
Std. Error 0.821049 0.0214143 0.485075 0.0069615 0.496021 0.0126683 0.0271404 0.0474072
t-ratio 19.7341 -0.9362 -0.3538 6.1730 0.0032 2.2177 2.0136 -1.8479
p-value <0.00001 0.35010 0.72379 <0.00001 0.99748 0.02748 0.04513 0.06580
Mean dependent var 15.59704 S.D. dependent var Sum squared resid 102.7185 S.E. of regression R-squared 0.277886 Adjusted R-squared F(38, 249) 2.521609 P-value(F) Log-likelihood -260.1949 Akaike criterion Schwarz criterion 741.2453 Hannan-Quinn Rho -0.344406 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
***
*** ** ** *
0.704013 0.642281 0.167684 0.000011 598.3899 655.6377 2.443289
125
Fixed-effects, using 288 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita
Const Lnbm(t-1) Dkaya Dkaya*lnbm(t-1) Dhh Lninv Lnjln Lnpop(t-1)
Coefficient 16.8885 0.00159316 -0.437497 -0.00240408 -0.0259639 0.0286658 0.0940559 -0.138028
Std. Error 0.885661 0.0198302 0.519396 0.0072678 0.521391 0.0114489 0.0283938 0.0526101
t-ratio 19.0688 0.0803 -0.8423 -0.3308 -0.0498 2.5038 3.3125 -2.6236
p-value <0.00001 0.93603 0.40042 0.74108 0.96032 0.01293 0.00106 0.00924
Mean dependent var 15.59704 S.D. dependent var Sum squared resid 118.4050 S.E. of regression R-squared 0.167611 Adjusted R-squared F(38, 249) 1.319444 P-value(F) Log-likelihood -280.6599 Akaike criterion Schwarz criterion 782.1753 Hannan-Quinn Rho -0.330859 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
***
** *** ***
0.704013 0.689581 0.040579 0.110951 639.3198 696.5677 2.353665
Fixed-effects, using 288 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: lnpdrbkapita
Const Lnbm(t-1) Dwil dwil_lnbm(t-1) Dhh Lninv(t-1) Lnjln Lnpop(t-1)
Coefficient 17.959 -0.064786 -0.520766 0.00223793 0.0857499 0.0813289 0.100286 -0.213234
Std. Error 0.846953 0.0215758 0.48653 0.00681954 0.476676 0.0125302 0.0255679 0.0505691
t-ratio 21.2042 -3.0027 -1.0704 0.3282 0.1799 6.4906 3.9224 -4.2167
p-value <0.00001 0.00295 0.28549 0.74306 0.85738 <0.00001 0.00011 0.00003
Mean dependent var 15.59704 S.D. dependent var Sum squared resid 103.8207 S.E. of regression R-squared 0.270138 Adjusted R-squared F(38, 249) 2.425278 P-value(F) Log-likelihood -261.7318 Akaike criterion Schwarz criterion 744.3190 Hannan-Quinn Rho -0.314343 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ***
*** *** ***
0.704013 0.645717 0.158754 0.000026 601.4636 658.7114 2.349824
126
Dependent Variable: LNPDRBKAP Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNINV(-1) DUMMY DKAYA_LNINV(-1) LNBM LNJL
-4.118395 0.093526 0.423365 1.32E-10 0.316744 0.100331
0.595518 0.020977 0.062985 3.50E-11 0.042206 0.226925
-6.915647 4.458522 6.721650 3.780745 7.504735 0.442130
0.0000 0.0000 0.0000 0.0002 0.0000 0.6592
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.784914 0.776379 0.291004 10.67010 -21.28637 91.96251 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.925388 0.615379 0.413430 0.544466 0.466677 1.860271
Dependent Variable: LNPDRBKAP Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNBM DUMMY DKAYA_LNBM LNINV LNJL
-1.739734 0.192437 0.321295 1.66E-08 0.057332 -0.006007
0.623630 0.038444 0.059577 2.82E-09 0.023942 0.221413
-2.789688 5.005595 5.392915 5.881974 2.394633 -0.027130
0.0060 0.0000 0.0000 0.0000 0.0180 0.9784
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.767935 0.759403 0.291563 11.56123 -23.40920 90.00831 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.934113 0.594411 0.414214 0.539108 0.464966 1.649721
Dependent Variable: LOG(PDBKAP?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(BM?) LOG(JL?) LOG(INV?) AHH?
-4,337 -0,00841 0,035746 0,358491 0,002797
0,176716 0,004562 0,011866 0,012163 0,001114
-24,5422 -1,84331 3,012598 29,47424 2,511258
0 0,0689 0,0034 0 0,014
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,999897 0,999857 0,035698 25138,59 0
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
5,95762 5,969592 0,105773 1,563391
127
Dependent Variable: LOG(PDBKAP?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(INV?) LOG(BM?) LOG(JL?) IPM? DENS?
-3,10003 0,138492 -0,00725 0,039185 0,03379 0,000567
0,370085 0,03763 0,010085 0,018884 0,00725 0,000338
-8,37654 3,680331 -0,71912 2,075081 4,660548 1,677158
0 0,0004 0,4736 0,0404 0 0,0964
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,997525 0,996762 0,033754 0,121911 297,1818 1307,033 0
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1,935089 0,593204 -3,73308 -3,02203 -3,44413 1,183457
Dependent Variable: LOG(PDBKAP?) Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(DAU?) TE? LOG(APDAU?)
0,762496 0,084023 4,040312 0,02882
0,184034 0,01441 1,159031 0,012023
4,143238 5,830857 3,485939 2,397
0,0001 0 0,0007 0,0178
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,991999 0,990253 0,058861 0,491972 263,6545 567,9472 0
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Dependent Variable: LOG(PDBKAP?) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(BM?) LOG(INV?) LOG(PEND?) DENS? LM? LOG(TK?) LOG(INFRA?) IPM?
-3,9905 0,011947 0,170379 0,009371 0,00033 0,040035 0,082837 0,052286 0,016135
0,407514 0,002432 0,016744 0,002265 8,38E-05 0,009524 0,029595 0,024599 0,002932
-9,7923 4,912167 10,17531 4,137003 3,938778 4,203572 2,798975 2,125524 5,502586
0,0000 0,0000 0,0000 0,0001 0,0001 0,0001 0,0061 0,0358 0,0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,999861 0,999815 0,035695 21572,05 0
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1,912607 0,596187 -2,6627 -2,08172 -2,42702 0,946567
5,80991 4,868177 0,137603 1,677917
128
Dependent Variable: PDBKAP? Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C BM? INV? PEND? DENS? LM? TK? INFRA? IPM?
-21,3834 -0,01333 -0,4469 0,045092 0,001784 0,516302 -0,69229 0,232612 0,336788
1,582475 0,006308 0,374537 0,054991 0,000972 0,157035 0,486906 0,084503 0,027203
-13,5126 -2,11286 -1,19322 0,819982 1,836051 3,287825 -1,42181 2,752714 12,38062
0 0,0369 0,2354 0,414 0,0691 0,0014 0,158 0,0069 0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,998989 0,998652 0,433067 2964,397 0
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Dependent Variable: LOG(PDBKAP?) Variable Coefficient C LOG(BM?) LOG(INV?) LOG(PEND?) DENS? LM? LOG(TK?) LOG(INFRA?) IPM? D?
-3,6854 0,010462 0,151425 0,009637 0,000322 0,041565 0,091413 0,048389 0,014627 0,007294
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,999726 0,999632 0,035428 10558,91 0
Std. Error 0,460183 0,002788 0,01964 0,002389 9,65E-05 0,012104 0,033055 0,026246 0,004344 0,003396
t-Statistic -8,00856 3,752914 7,710006 4,033467 3,341126 3,434049 2,765505 1,843693 3,367119 2,147788
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
23,49867 16,58008 20,25507 1,268211
Prob. 0,0000 0,0003 0,0000 0,0001 0,0011 0,0008 0,0067 0,0680 0,0011 0,0340 5,414045 4,540326 0,134301 1,575469
129
Dependent Variable: PDBKAP? Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C BM? INV? PEND? DENS? LM? TK? INFRA? IPM?
-20,5197 -0,01282 -0,32787 0,046206 0,001101 0,689195 -0,51292 0,263042 0,304704
2,236113 0,007611 0,388523 0,056695 0,000969 0,181784 0,577758 0,086175 0,038246
-9,1765 -1,68448 -0,84388 0,814986 1,135715 3,791285 -0,88778 3,052409 7,966958
0,0000 0,0950 0,4006 0,4169 0,2586 0,0002 0,3766 0,0029 0,0000
D?
0,044158
0,049794
0,886819
0,3772
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,999072 0,998752 0,400491 3114,475 0
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
20,19608 13,9573 17,16203 1,244772
3. Melakukan berbagai percobaan untuk mengestimasi persamaan Ketimpangan
Pendapatan
Const Lndau(t-2) Dkaya Dhh Lndakt(t-1) Dhh*lndakt(t-1) Lnpop
Pooled OLS, using 256 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio -1.50546 0.122498 -12.2897 0.00138681 0.00060734 2.2834 -0.00855007 0.00894531 -0.9558 -0.0022269 0.00149903 -1.4856 0.0025345 0.000891412 2.8432 -0.000244388 5.7752e-05 -4.2317 0.110751 0.00797371 13.8895
p-value <0.00001 0.02325 0.34009 0.13866 0.00484 0.00003 <0.00001
Mean dependent var 0.182047 S.D. dependent var Sum squared resid 0.486714 S.E. of regression R-squared 0.867347 Adjusted R-squared F(6, 249) 271.3455 P-value(F) Log-likelihood 438.7045 Akaike criterion Schwarz criterion -838.5928 Hannan-Quinn Rho 0.340428 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 0 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** **
*** *** ***
0.119952 0.044212 0.864150 3.6e-106 -863.4090 -853.4280 1.178844
130
Model 20: Pooled OLS, using 287 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw Coefficient Const 0.2439 Lndau(t-1) -0.000399262 Dkaya 0.0484197 Dkaya*lndau(t-1) -0.00108163 Dhh 0.0883782 Dhh*lndakjln(t-1) 0.000709264 Lnpop -0.00922729
Std. Error 0.0966206 0.00199086 0.0129844 0.00106356 0.0141899 0.000243849 0.00643265
t-ratio 2.5243 -0.2005 3.7291 -1.0170 6.2283 2.9086 -1.4344
p-value 0.01215 0.84120 0.00023 0.31003 <0.00001 0.00392 0.15256
Mean dependent var 0.185539 S.D. dependent var Sum squared resid 3.279646 S.E. of regression R-squared 0.198771 Adjusted R-squared F(6, 280) 11.57719 P-value(F) Log-likelihood 234.4603 Akaike criterion Schwarz criterion -429.3042 Hannan-Quinn Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
Const Lndau Dkaya Dkaya*lndau Lndakjln Dhh Lnjln Lnpop
Fixed Effect, Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw Robust (HAC) standard errors Coefficient Std. Error t-ratio -0.318453 0.0196779 -16.1833 -0.000235404 0.000108115 -2.1774 0.00658417 0.00251703 2.6159 7.13272e-05 5.03261e-05 1.4173 -0.000438652 0.000197429 -2.2218 0.00888365 0.00239283 3.7126 -0.000817737 0.000339245 -2.4105 0.023743 0.00123225 19.2680
*** *** ***
0.119633 0.108227 0.181602 1.41e-11 -454.9206 -444.6540
p-value <0.00001 0.03029 0.00938 0.15751 0.02709 0.00025 0.01658 <0.00001
Mean dependent var 0.039441 S.D. dependent var Sum squared resid 0.013779 S.E. of regression R-squared 0.926774 Adjusted R-squared F(38, 280) 93.25731 P-value(F) Log-likelihood 1150.302 Akaike criterion Schwarz criterion -2075.762 Hannan-Quinn Rho -0.070103 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
**
*** ** *** ** *** ** ***
0.024326 0.007015 0.916836 6.2e-137 -2222.605 -2163.961 1.899044
131
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw
Const Lndau Dkaya Dkaya*lndau Lndakt Dhh Lnpdrbkapita
Coefficient 0.0194424 0.000853421 0.000513937 0.00054308 -0.00111244 -0.0282346 0.00196194
Std. Error 0.0335687 0.000407941 0.0108107 0.000239826 0.000356039 0.0145139 0.00198267
t-ratio 0.5792 2.0920 0.0475 2.2645 -3.1245 -1.9454 0.9895
p-value 0.56293 0.03733 0.96212 0.02430 0.00197 0.05273 0.32324
Mean dependent var 0.039653 S.D. dependent var Sum squared resid 0.137775 S.E. of regression R-squared 0.285172 Adjusted R-squared F(37, 282) 3.040550 P-value(F) Log-likelihood 786.0126 Akaike criterion Schwarz criterion -1352.829 Hannan-Quinn Rho 0.182060 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
** ** *** *
0.024580 0.022103 0.191382 9.47e-08 -1496.025 -1438.844 1.431515
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw
Const Lndau Dkaya Dkaya* ndau Lndakt Dhh Lnpdrbkapita Densitas
Coefficient 0.0262735 0.000534423 0.00182769 0.000982437 -0.000573611 -0.022953 0.000452563 5.01112e-05
Std. Error 0.0229896 0.000279909 0.00740308 0.000166047 0.000245652 0.00994289 0.00136027 2.79949e-06
t-ratio 1.1428 1.9093 0.2469 5.9166 -2.3351 -2.3085 0.3327 17.9001
p-value 0.25408 0.05725 0.80518 <0.00001 0.02024 0.02170 0.73961 <0.00001
Mean dependent var 0.039653 S.D. dependent var Sum squared resid 0.064373 S.E. of regression R-squared 0.666010 Adjusted R-squared F(38, 281) 14.74583 P-value(F) Log-likelihood 907.7614 Akaike criterion Schwarz criterion -1590.558 Hannan-Quinn Rho -0.248083 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
* *** ** ** ***
0.024580 0.015136 0.620844 1.97e-47 -1737.523 -1678.837 2.232570
132
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Time-series length = 10 Dependent variable: iw
Const Lndau Dkaya Dkaya*lndau Dhh lndak_jln Lnpop
Coefficient -0.318985 -0.000324664 0.0061471 2.51142e-05 0.01059 -0.000485222 0.0234683
Std. Error 0.00859025 0.000132019 0.0034861 7.22134e-05 0.00477058 0.000125603 0.000477114
t-ratio -37.1334 -2.4592 1.7633 0.3478 2.2199 -3.8631 49.1881
p-value <0.00001 0.01452 0.07893 0.72827 0.02722 0.00014 <0.00001
Mean dependent var 0.039653 S.D. dependent var Sum squared resid 0.014305 S.E. of regression R-squared 0.925782 Adjusted R-squared F(37, 282) 95.07111 P-value(F) Log-likelihood 1148.419 Akaike criterion Schwarz criterion -2077.642 Hannan-Quinn Rho -0.022262 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ** * ** *** ***
0.024580 0.007122 0.916044 1.2e-137 -2220.838 -2163.657 1.800282
Fixed-effects, using 288 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw
Const Lndau Dkaya Dkaya*lndau Dhh lndak_jln(t-1) Lnpop
Coefficient -0.330464 -0.000369193 0.0103313 4.3087e-05 0.0144912 4.27936e-05 0.023797
Std. Error 0.00932873 0.000139897 0.00545432 7.89276e-05 0.00523243 0.000137555 0.000512319
t-ratio -35.4243 -2.6390 1.8942 0.5459 2.7695 0.3111 46.4495
p-value <0.00001 0.00884 0.05936 0.58562 0.00604 0.75598 <0.00001
Mean dependent var 0.039789 S.D. dependent var Sum squared resid 0.012997 S.E. of regression R-squared 0.926081 Adjusted R-squared F(37, 250) 84.65114 P-value(F) Log-likelihood 1032.215 Akaike criterion Schwarz criterion -1849.237 Hannan-Quinn Rho -0.106084 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** *** * *** ***
0.024751 0.007210 0.915141 1.2e-120 -1988.429 -1932.649 1.967873
133
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw
Const Lndau Dkaya Dkaya*lndau Dhh Lndakes Lnpop
Coefficient -0.326453 -0.000382037 0.00554428 4.23729e-05 0.0144372 -0.000346236 0.0237511
Std. Error 0.00850364 0.000132868 0.00353502 7.31102e-05 0.00473853 0.000143421 0.000480173
t-ratio -38.3898 -2.8753 1.5684 0.5796 3.0468 -2.4141 49.4635
p-value <0.00001 0.00434 0.11791 0.56266 0.00253 0.01641 <0.00001
Mean dependent var 0.039653 S.D. dependent var Sum squared resid 0.014757 S.E. of regression R-squared 0.923437 Adjusted R-squared F(37, 282) 91.92528 P-value(F) Log-likelihood 1143.441 Akaike criterion Schwarz criterion -2067.686 Hannan-Quinn Rho -0.046329 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ***
*** ** ***
0.024580 0.007234 0.913391 9.1e-136 -2210.882 -2153.701 1.863517
Fixed-effects, using 320 observations Included 32 cross-sectional units Dependent variable: iw
Const Lndau Dkaya Dkaya*lndau Dhh Lndakes lndak_jln Lnpop
Coefficient -0.319175 -0.000311434 0.00639939 1.42883e-05 0.0106669 -0.000328168 -0.000475353 0.0235018
Std. Error 0.00852319 0.000131104 0.00346041 7.17955e-05 0.00473324 0.000140178 0.000124688 0.000473584
t-ratio -37.4478 -2.3755 1.8493 0.1990 2.2536 -2.3411 -3.8123 49.6254
p-value <0.00001 0.01820 0.06546 0.84240 0.02499 0.01993 0.00017 <0.00001
Mean dependent var 0.039653 S.D. dependent var Sum squared resid 0.014031 S.E. of regression R-squared 0.927202 Adjusted R-squared F(38, 281) 94.18427 P-value(F) Log-likelihood 1151.509 Akaike criterion Schwarz criterion -2078.054 Hannan-Quinn Rho -0.040505 Durbin-Watson Dummy Hold Harmless sebelum tahun 2009 = 1 (Software : Gretl) DHH = Dummy Hold Harmless
*** ** * ** ** *** ***
0.024580 0.007066 0.917358 7.9e-138 -2225.019 -2166.333 1.828806
134
Dependent Variable: IW Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU DUMMY DKAYA_LNDAU LNDAK DENS(-1)
3.199783 -0.170431 0.255189 -0.105726 -0.125879 7.58E-05
1.012625 0.066510 0.029696 0.146979 0.065997 4.44E-05
3.159891 -2.562489 8.593416 -0.719323 -1.907359 1.707363
0.0023 0.0126 0.0000 0.4744 0.0606 0.0923
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.595017 0.565671 0.124508 1.069654 52.96035 20.27552 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.786763 0.188924 -1.252276 -1.066877 -1.178248 1.484012
Dependent Variable: IW Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDBH DUMMY DKAYA_LNDBH LNDAU LNDAK DENS
-0.899871 0.003635 0.182933 -0.028068 0.102114 -0.017863 0.000387
0.450657 0.033571 0.307930 0.051629 0.035674 0.026645 5.34E-05
-1.996798 0.108284 0.594073 -0.543643 2.862419 -0.670385 7.239120
0.0493 0.9140 0.5542 0.5882 0.0054 0.5046 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.492176 0.453607 0.152892 1.846704 43.13192 12.76095 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.366435 0.206839 -0.840277 -0.640505 -0.759878 2.108400
135
Dependent Variable: IW Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU DUMMY DKAYA_LNDAU LNDBH LNDAK DENS
3.902510 0.246939 0.024819 -1.029539 0.210649 -0.026471 0.000359
6.777903 0.084601 0.035941 1.442531 0.269239 0.028080 5.67E-05
0.575769 2.918873 0.690554 -0.713704 0.782388 -0.942689 6.334733
0.5665 0.0047 0.4920 0.4777 0.4365 0.3489 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.490149 0.448810 0.155060 1.779225 39.70597 11.85674 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.376584 0.208857 -0.807555 -0.600627 -0.724533 2.175336
Dependent Variable: IW? Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(DBH?) LOG(DAK?) DAU? AR(1)
0,015825 -0,006256 -0,000536 0,000144 1,018054
0,009961 0,001284 7,29E-05 8,78E-05 0,004795
1,588633 -4,872248 -7,358729 1,641344 212,3192
0,1164 0 0 0,105 0
R-squared
0,998307
Mean dependent var
0,062397
Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,998216 0,000991 10909,29 0
S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,02782 7,26E-05 2,631249
Dependent Variable: IW? Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(DBH?) LOG(DAK?) DAU? LOG(JP?) AR(1)
-0,066408 -0,006276 -0,000547 0,000144 0,006766 1,026699
0,084264 0,001256 7,16E-05 8,78E-05 0,006707 0,014472
-0,788099 -4,997426 -7,634789 1,63679 1,0088 70,94313
0,4332 0 0 0,106 0,3164 0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,998319 0,998204 0,000995 8670,64 0
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,062392 0,027613 7,22E-05 2,653938
136
Dependent Variable: IW? Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DBH? DAK? DAU? JP?
-0,054136 -0,0005 -7,29E-10 0,000106 2,05E-09
0,189211 0,000119 1,17E-09 0,0001 1,29E-09
-0,286115 -4,212218 -0,620618 1,053052 1,588122
0,7756 0,0001 0,5368 0,2958 0,1166
AR(1)
1,006042
0,014114
71,28142
0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0,998091 0,997961 0,001012 7634,95
Prob(F-statistic)
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,054819 0,009202 7,48E-05 2,747267
0
Dependent Variable: IW? Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(DBH?) LOG(DAK?) LOG(DAU?) LOG(JP?) D?
-0,016918 -0,004609 -0,000448 5,03E-05 0,001739 -0,000534
0,166785 0,001438 0,000117 9,42E-05 0,014478 0,000175
-0,101436 -3,205302 -3,830713 0,534476 0,120141 -3,059311
0,9195 0,0020 0,0003 0,5947 0,9047 0,0031
AR(1)
1,019108
0,015578
65,41959
0,0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0,998258 0,998112 0,000945 6874,942
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
Dependent Variable: IW? Variable
0,056598 0,012363 6,43E-05 2,867638
0
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DBH? DAK? DAU? JP?
0,029496 0,000677 -1,17E-10 1,81E-05 2,52E-09
0,01072 0,00032 2,14E-09 0,000142 2,13E-10
2,751462 2,111971 -0,054547 0,127248 11,8094
0,0072 0,0375 0,9566 0,899 0,0000
D? AR(1)
-0,00158 0,944024
0,000348 0,034438
-4,537669 27,41256
0,0000 0,0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0,998221 0,998099 0,001307
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion
0,04767 0,029989 -10,37075
Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,00015 499,6105 8228,748 0
Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-10,18257 -10,29471 1,5804
137
Dependent Variable: IW? Variable
Coefficient
C LOG(DBH?) LOG(DAK?) INT? LOG(JP?) AR(1)
-0,046494 -0,004152 -0,000365 -1,25E-09 0,00424 1,023154
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Std. Error 0,118794 0,001634 6,32E-05 3,25E-10 0,009792 0,013791
0,998423 0,998315 0,000914 9243,866 0
t-Statistic -0,391379 -2,540893 -5,779253 -3,829514 0,433036 74,18821
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob. 0,6967 0,0132 0 0,0003 0,6663 0 0,060071 0,033074 6,10E-05 3,012998
Dependent Variable: IW Method: Least Squares Date: 04/23/13 Time: 23:54 Sample (adjusted): 3 320 Included observations: 317 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU(-2) DDaerah DKaya*LNDAU(-2) Dholdharmless LNDAKJLN DENS
0.016882 0.000592 0.015476 -0.000769 0.004676 -0.000348 5.37E-05
0.003375 0.000268 0.001878 0.000151 0.002615 0.000194 2.66E-06
5.002733 2.205723 8.239702 -5.100630 1.788051 -1.791614 20.17028
0.0000 0.0281 0.0000 0.0000 0.0747 0.0742 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.616994 0.609581 0.015230 0.071910 880.2082 83.23122 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.039393 0.024375 -5.509200 -5.426196 -5.476044 1.864636
138
Dependent Variable: IW Method: Least Squares Date: 04/27/13 Time: 21:36 Sample (adjusted): 2 300 Included observations: 298 after adjustments Newey-West HAC Standard Errors & Covariance (lag truncation=5) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.2957
0.016067
-18.40349
0
LNDAU(-1)
-0.00083
0.000249
-3.357255
0.0009
DDaerah
0.000265
0.000713
0.372408
0.7099
DKaya*LNDAU(-1)
-0.00025
4.74E-05
-5.295337
0
Dholdharmless
0.000971
0.001896
0.51213
0.6089
LNDAKJLN
-0.00022
0.000119
-1.872093
0.0622
LNPOP
0.023062
0.000971
23.74472
0
R-squared
0.914605
Mean dependent var
0.039979
Adjusted R-squared
0.912845
S.D. dependent var
0.024909
S.E. of regression
0.007354
Akaike info criterion
-6.96402
Sum squared resid
0.015736
Schwarz criterion
-6.87718
Log likelihood
1044.639
Hannan-Quinn criter.
-6.92926
F-statistic
519.4509
Durbin-Watson stat
1.971912
Prob(F-statistic)
0
139
Dependent Variable: IW Method: Least Squares Included observations: 298 after adjustments Newey-West HAC Standard Errors & Covariance (lag truncation=5) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.29359
0.016058
-18.28299
0
LNDAU(-1)
-0.001
0.00025
-4.006441
0.0001
DDaerah
0.000211
0.000707
0.298934
0.7652
DKaya*LNDAU(-1)
-0.00023
5.11E-05
-4.448445
0
Dholdharmless
0.001833
0.001959
0.935935
0.3501
LNDAKJLN
-0.00021
0.000119
-1.795581
0.0736
LNDAKKES
-0.00024
9.47E-05
-2.512049
0.0125
LNPOP
0.023058
0.000969
23.80667
0
R-squared
0.915616
Mean dependent var
0.039979
Adjusted R-squared
0.913579
S.D. dependent var
0.024909
S.E. of regression
0.007323
Akaike info criterion
-6.96922
Sum squared resid
0.01555
Schwarz criterion
-6.86997
Log likelihood
1046.414
Hannan-Quinn criter.
-6.92949
F-statistic
449.5256
Durbin-Watson stat
1.982297
Prob(F-statistic)
0
140
DAFTAR SINGKATAN BM
= Belanja modal
DAU = Dana Alokasi Umum DAK = Dana Alokasi Khusus DBH = Dana Bagi Hasil DHH = Dummy Hold Harmless GDDF = Grand Design Desentralisasi Fiskal IW
= Indeks Williamson
JLN
= Infrastruktur Jalan
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto PAD = Pendapatan Asli Daerah POP
= Populasi/Jumlah Penduduk
SPM = Standar Pelayanan Minimum
141
RIWAYAT HIDUP Adhitya Wardhana, lahir di Bandung pada tanggal 29 September 1975. Putra bungsu dari pasangan Rubaman Surawinata dan Setyati. Penulis menikah dengan Ira Nuraeni dan memiliki dua putra. Putra pertama bernama Raqi Raichan Rubaman dan putra kedua bernama Rafa Raditya Rubaman. Penulis bersekolah di SMAN 22 Bandung lulus tahun 1994. Penulis menyandang gelar sarjana ekonomi di Universitas Padjadjaran pada tahun 1999 dan menyandang gelar Master of Sains di Universitas Padjadjaran pada tahun 2004. Penulis mengikuti program Doktor di program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB pada tahun 2008. Penulis sampai sekarang sebagai staf pengajar Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Selain mengajar penulis menjadi peneliti di LP3E Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Penulis pernah menjadi Kepala Divisi Pelatihan di LP3E FE UNPAD pada tahun 2006-2009. Penulis pernah membantu Sekolah Komando Angkatan Darat (SESKOAD) menjadi Dosen Non Organik tahun 2004-2005.