TUGAS AKHIR – MN091387
STUDI KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA
IQBAL S. HARISTIANTO NRP. 4109 100 039 Ir. Triwilaswandio WP, M.Sc. Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T, M.T JURUSAN TEKNIK PERKAPALAN Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014
i
FINAL PROJECT – MN091387
A STUDY OF FISCAL POLICY FOR DEVELOPMENT OF SHIP COMPONENT INDUSTRIES IN INDONESIA
IQBAL S. HARISTIANTO NRP. 4109 100 039
Ir. Triwilaswandio WP, M.Sc. Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T, M.T DEPARTMENT OF NAVAL ARCHITECTURE & SHIPBUILDING ENGINEERING Faculty of Marine Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2014
iii
STUDI KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA Nama Mahasiswa NRP Jurusan / Fakultas Dosen Pembimbing
: : : :
Iqbal S. Haristianto 4109 100 039 Teknik Perkapalan / Teknologi Kelautan Ir. Triwilaswandio W.P, M.Sc Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T, M.T
ABSTRAK Industri komponen kapal di Indonesia belum berkembang, sehingga mempengaruhi tingginya harga kapal yang dibangun pada galangan kapal di Indonesia. Untuk mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia dibutuhkan peran pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan fiskal. Tujuan tugas akhir ini adalah untuk melakukan studi tentang kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal. Pertama, dilakukan identifikasi kondisi industri komponen kapal di Indonesia pada saat ini. Pada tahun 2013 terdapat 69 industri komponen kapal dan ditemukan masih sedikitnya jenis variasi produk komponen kapal yang mampu diproduksi oleh industri komponen kapal di Indonesia. Kedua, diformulasikan kebijakan fiskal dengan mengadopsi kebijakan fiskal yang pernah diterapkan pada industri kendaraan bermotor dan kemudian diimplementasikan pada industri komponen kapal. Kebijakan fiskal tersebut adalah “Pengurangan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Knocked Down (CKD)”, “Penambahan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Built Up (CBU)”, dan “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi, Barang, dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia”. Ketiga, dilakukan analisa implikasi kebijakan fiskal yang telah dirumuskan dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia. Salah satu kebijakan fiskal yang telah dirumuskan, diperkirakan dapat memberikan implikasi keringanan biaya pajak rata-rata senilai 19.96% bagi industri komponen kapal ketika berinvestasi mendirikan perusahaan dan ketika perusahaan komponen kapal beroperasi rata-rata mendapatkan keringanan biaya pajak senilai 23.84%. Pengurangan biaya pajak tersebut diharapkan dapat menarik investor untuk mendirikan perusahaan komponen kapal di Indonesia.
Kata kunci:Kebijakan Fiskal, Industri Komponen Kapal, Pajak, Bea Masuk, Investasi
xv
A STUDY OF FISCAL POLICY FOR DEVELOPMENT OF SHIP COMPONENT INDUSTRIES IN INDONESIA Author : Iqbal S. Haristianto ID No. : 4109 100 039 Dept. / Faculty : Naval Architecture & Shipbuilding Engineering / Marine Technology Supervisors : Ir. Triwilaswandio W.P, M.Sc. Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T, M.T
ABSTRACT Ship component industries in Indonesia was not developed. As a result, high price of ships is incurred by shipyards in Indonesia. The development of ship component industries in Indonesia needs a role of government by issueing a fiscal policies. The purpose of this final project is to conduct a study on fiscal policies for development of ship component industries in Indonesia. Firstly, identification of the existing condition of the ship component industries in Indonesia was conducted. It was noted that in 2013 there were only 69 industries of ship component in Indonesia. Secondly, the formulation of fiscal policies was performed by adoption of fiscal policies that presently applied to the automotive industries and then adapted to be implemented on the ship component industries. Those fiscal policies were "Reduction of Import Duty Tax for Ship Components in The Condition of Completely Knocked Down(CKD)", "The Addition of Import Duty Tax for Ship Components in The Condition of Completely Built Up (CBU)", and "Import Duties Borne by Government (BMDTP) for The Import of Production Facilities, Goods, and Materials to Make Ship Component in Indonesia". Thirdly, the analysis of implications from fiscal policies that has been formulated for development of ship component industries in Indonesia was performed. The proposed fiscal policies is predicted to have implications of tax reduction of 19.96 % when the establishment of new component industry. When the company is in operation, a tax reduction for the import of raw materials is about 23.84%. Reduction in tax expense is expected to attract investors to establish the ship component industries in Indonesia.
Key words: Fiscal Policy, Ship Componen Industry, Tax, Impor Duties, Investment
xvii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan berkah, rahmat, rizki, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “Studi Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal di Indonesia” sebagai persyaratan untuk menyelesaikan studi strata satu (S-1) dan memperoleh gelar Sarjana Teknik Perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tidak lupa, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat, keluarga, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Selama pelaksanaan dan pengerjaan Tugas Akhir ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan, arahan, bantuan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang berperan dalam penelitian Tugas Akhir ini, antara lain : 1. Bapak Ir. Triwilaswandio W.P, M.Sc. dan Ibu Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T, M.T. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir. Terima kasih atas waktu, bimbingan, arahan, petunjuk, motivasi, dan kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam pengerjaan penelitian tugas akhir ini sehingga dapat terselesaikan. 2. Bapak Dhaniarso Aditomo, S.E., Ak., M.M., M.Ak. selaku Kepala Sub Bidang Teknis Kepabeanan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Terima kasih atas pencerdasan mengenai kebijakan fiskal dalam usaha pengembangan suatu industri. 3. Bapak Immanuel T. Hamonangan Silitonga selaku Kepala Subdirektorat Program, Evaluasi, dan Pelaporan Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Terima kasih atas waktunya dalam menjelaskan kondisi kekinian dari industri perkapalan di Indonesia. 4. Bapak Tjahjono Rusdianto selaku Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO). Terima kasih atas wawasan dan ilmunya mengenai pengembangan indutri perkapalan di Indonesia. 5. Bapak Prof.Ir. Raden Sjarief Widjaja, Ph.D selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Bapak Novirwan S. Said selaku managing director PT.Palka Sarana Utama. Terima kasih atas arahannya dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia.
xi
6. Bapak Budhiarto S. selaku Direktur Utama dan Bapak Subagio Direktur Human Resource Development dan Administrasi Umum PT.Teknik Tadakara Sumberkarya. Terima kasih atas kesempatannya dalam penjelasan mengenai industri pembuatan papan hubung utama (switchboard) untuk kelautan dan industri. 7. Bapak Gunawan Sinaga beserta staf Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Terima kasih atas diskusinya mengenai perpajakan kebijakan fiskal di Indonesia. 8. Bapak Sungkono, Bapak Sanyoto Widagdo, dan staf Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Terima kasih atas data-data yang sangat membantu dalam pengerjaan tugas akhir ini. 9. Bapak Ir. Heri Supomo, M.Sc. selaku kepala program studi Industri Perkapalan Jurusan Teknik Perkapalan ITS. 10. Bapak Prof. Ir. Achmad Zubaydi, M.Eng, Ph.D. selaku dosen wali. Terimakasih atas bimbingan dan arahan Bapak selama penulis menuntut ilmu di Jurusan Teknik Perkapalan ITS ini. Jasa-jasa Bapak, akan selalu dikenang penulis hingga akhir hayat. 11. Bapak Mohammad Sholikhan Arif, S.T, atas kesabaran dan kebaikannya dalam membantu penulis. Do’a penulis, semoga Bapak selalu diberikan kesehatan, kesuksesan, dan rizki yang berlimpah. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Pada akhirnya, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, 04 Januari 2014 Penulis
Iqbal S. Haristianto NRP. 4109 100 039
xiii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................ v LEMBAR REVISI.................................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ix ABSTRAK ............................................................................................................................... xv ABSTRACT ........................................................................................................................... xvii DAFTAR ISI ........................................................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR............................................................................................................. xxiv DAFTAR TABEL ................................................................................................................. xxvi BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1 I.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1 I.2 Perumusan Masalah ................................................................................................... 4 I.3 Batasan Masalah ........................................................................................................ 4 I.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 4 I.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 4 I.6 Hipotesis Penelitian ................................................................................................... 5 I.7 Sistematika Penulisan ................................................................................................ 5 BAB II STUDI LITERATUR ................................................................................................. 7 II.1 Identifikasi Komponen Penyusun Kapal ....................................................................... 7 II.2 Kelompok dalam Komponen Kapal............................................................................... 8 II.2.1 Pengecoran ....................................................................................................... 9 II.2.2 Permesinan ....................................................................................................... 9 II.2.3 Perakitan......................................................................................................... 10 II.2.4 Rangkaian Elektrik ......................................................................................... 10 II.3 Investasi ....................................................................................................................... 10 II.4 Kebijakan Publik ..................................................................................................... 12 II.5 Kebijakan Fiskal...................................................................................................... 14 II.6 Peraturan Perpajakan Sektor Perindustrian Indonesia ............................................ 16 II.6.1 Pajak Pertambahan Nilai (PPn) ...................................................................... 17 II.6.2 Pajak Penghasilan (PPh) ................................................................................ 23 II.6.3 Bea Masuk...................................................................................................... 30 II.6.4 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) .................................................................. 31 II.6.5 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) .............................. 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................................... 41 III.1 Metodologi Penelitian .............................................................................................. 41 III.2 Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir .................................................................... 44 III.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................................................... 46 BAB IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI GALANGAN KAPAL, INDUSTRI KOMPONEN KAPAL, DAN INDUSTRI KENDARAAN BERMOTOR DI INDONESIA ............................................................................................................ 47 IV.1 Industri Galangan Kapal Nasional ........................................................................... 47 IV.2 Industri Komponen Kapal di Indonesia ................................................................... 52 IV.3 Industri Kendaraan Bermotor................................................................................... 59 IV.3.1 Gambaran Umum Industri Kendaraan Bermotor di Indonesia .................... 59 IV.3.2 Industri Komponen Kendaraan Bermotor di Indonesia ............................... 60 IV.3.3 Insentif Fiskal Industri Kendaraan Bermotor ............................................... 64
xix
V.1 V.2
V.3
BAB VI
VI.1
VI.2 VI.3
BAB VII VII.1 VII.2
BAB V................ KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA................................................................. 71 Pemerintah Sebagai Pemeran Penentu dalam Pengembangan Perindustrian di Indonesia .................................................................................................................. 71 Kebijakan Fiskal Bagi Perindustrian Indonesia ....................................................... 72 V.2.1 Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh).............................. 74 V.2.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang Dibebaskan ......................................... 75 V.2.3 Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) ............................................. 77 Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal di Indonesia ... 78 V.3.1 Kebijakan Pengurangan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Knocked Down (CKD) .................................... 80 V.3.2 Kebijakan Penambahan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Built Up (CBU) ............................................... 82 V.3.3 Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk Industri Komponen Kapal ......................................................................................... 83 BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH (BMDTP) SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA ........................................................................................ 85 Tinjauan Studi Biaya Investasi dan Biaya Operasional Industri Komponen Kapal di Indonesia .................................................................................................................. 85 VI.1.1 Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik ................................. 86 VI.1.2 Industri Generator Set .................................................................................. 93 VI.1.3 Industri Lampu dan Saklar ........................................................................... 98 VI.1.4 Industri Kabel ............................................................................................. 103 VI.1.5 Industri Baling-Baling Kapal ..................................................................... 108 VI.1.6 Industri Katup dan Jangkar Kapal .............................................................. 118 VI.1.7 Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal ................................................ 127 Rekapitulasi Pengeluaran Biaya Pajak Industri Komponen Kapal ........................ 145 Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia ................... 147 VI.3.1 Biaya Investasi dan Operasional yang Pada Perusahaan Komponen Kapal Atas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) ............... 149 VI.3.2 Rekapitulasi Pengeluaran Biaya Pajak Pada Industri Komponen Kapal Setelah Mendapatkan Fasilitas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) ................................................................................ 177 VI.3.3 Jumlah Pajak yang Menjadi Pemasukan Pemerintah Atas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) ................................................ 178 VI.3.4 Rekapitulasi Jumlah Pajak yang Menjadi Pemasukan Pemerintah Atas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) ........................ 183 KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................. 185 Kesimpulan ............................................................................................................ 185 Saran ...................................................................................................................... 187
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN UCAPAN TERIMA KASIH BIOGRAFI PENULIS
xxi
DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 Proses Kebijakan ............................................................................................... 13 Gambar II.2 Peraturan Perpajakan saat Investasi Industri ..................................................... 16 Gambar II.3 Peraturan Perpajakan saat Operasional Industri ................................................ 17 Gambar IV.1 Perkembangan Armada Perkapalan Nasional Setelah Pelaksanaan Asas Cabotage................................................................................................................................... 49 Gambar IV.2 Grafik Perkembangan Kapasitas Terpasang Galangan Kapal Nasional Pasca Pelaksanaan Asas Cabotage ..................................................................................................... 51 Gambar IV.3 Pertumbuhan Jumlah Industri Komponen Kapal di Indonesia ........................ 58 Gambar IV.4 Sasaran Produksi Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat di Indonesia .... 60 Gambar IV.5 Kebijakan Fiskal pada Industri Otomotif ......................................................... 66 Gambar IV.6 Buku Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2012............................................... 67 Gambar V.1 Kebijakan Fiskal Bagi Perindustrian Indonesia ................................................. 74 Gambar V.2 Skema Rumusan Kebijakan Fiskal Demi Menarik Investor Industri Komponen Kapal ........................................................................................................................................ 80 Gambar V.3 Skema Kebijakan Fiskal Berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk Industri Komponen Kapal .............................................................................................. 83 Gambar VI.1 Main Switch Board (MSB) pada Tug Boat ...................................................... 86 Gambar VI.2 Panel Emergency Switch Board (ESB) pada Tug Boat .................................... 88 Gambar VI.3 Fixed Pitch Propeller ..................................................................................... 108 Gambar VI.4 Jenis-Jenis Jangkar ......................................................................................... 118 Gambar VI.5 Gate Valve ...................................................................................................... 119 Gambar VI.6 Davit Launched Liferaft ................................................................................. 127 Gambar VI.7 Throw Over Board Liferaft ............................................................................ 128 Gambar VI.8 Container Liferaft........................................................................................... 135 Gambar VI.9 Busa Steriofoam ............................................................................................. 137 Gambar VI.10 Polyvinyl Chloride ....................................................................................... 138 Gambar VI.11 Lifebuoys ...................................................................................................... 138
xxiv
DAFTAR TABEL Tabel IV.1 Pengalaman Galangan Kapal Nasional dalam Pembangunan Kapal Baru Hingga Tahun 2013 .............................................................................................................................. 48 Tabel IV.2 Penjabaran Kapasitas Terpasang pada Galangan di Tahun 2013 untuk Reparasi dan Bangunan Baru Berdasarkan Kelas Fasilitas .................................................................... 51 Tabel V.1 Kandungan Bahan Baku Impor Pada Industri Komponen Kapal........................... 81 Tabel V.2 Perusahaan Distributor Komponen Kapal di Indonesia ......................................... 81 Tabel VI.1 Komponen Main Switch Board (MSB) ................................................................ 87 Tabel VI.2 Komponen Panel Listrik ....................................................................................... 88 Tabel VI.3 Biaya Investasi Industri Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik ................. 89 Tabel VI.4 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik ...................................................................................................................... 90 Tabel VI.5 Biaya Operasional Industri Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik ............ 91 Tabel VI.6 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik ............................................................................................................................. 92 Tabel VI.7 Komponen Generator Set ..................................................................................... 93 Tabel VI.8 Biaya Investasi Industri Generator Set ................................................................. 93 Tabel VI.9 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Generator Set ............... 95 Tabel VI.10 Biaya Operasional Industri Generator Set .......................................................... 95 Tabel VI.11 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Generator Set ............................ 97 Tabel VI.12 Komponen Lampu .............................................................................................. 98 Tabel VI.13 Komponen Saklar ............................................................................................... 99 Tabel VI.14 Biaya Investasi Industri Lampu dan Saklar ........................................................ 99 Tabel VI.15 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Lampu dan Saklar .... 100 Tabel VI.16 Biaya Operasional Industri Lampu dan Saklar ................................................. 101 Tabel VI.17 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Lampu dan Saklar ................... 102 Tabel VI.18 Komponen Kabel .............................................................................................. 103 Tabel VI.19 Biaya Investasi Industri Kabel .......................................................................... 103 Tabel VI.20 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Kabel ........................ 105 Tabel VI.21 Biaya Operasional Industri Kabel ..................................................................... 105 Tabel VI.22 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Kabel ....................................... 107 Tabel VI.23 Komposisi kimia dan mechanical properties dari C955 .................................. 110 Tabel VI.24 Machinability dan physical properties dari C955............................................. 111 Tabel VI.25 Fabrication practices dan thermal properties dari C955 ................................. 111 Tabel VI.26 Biaya Investasi Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Baling-Baling Kapal ................................................................................................................................................ 112 Tabel VI.27 Biaya Investasi Industri Baling-Baling Kapal .................................................. 113 Tabel VI.28 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Baling-Baling Kapal 114 Tabel VI.29 Biaya Operasional Industri Baling-Baling Kapal ............................................. 115 Tabel VI.30 Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze ........................... 117 Tabel VI.31 Mechanical Properties Material ASTM A148 dan ASTM A216 ..................... 120 Tabel VI.32 Biaya Investasi Tanah dan Bangunan Industri Katup dan Jangkar Kapal ........ 121 Tabel VI.33 Biaya Investasi Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Katup dan Jangkar Kapal ...................................................................................................................................... 121 Tabel VI.34 Biaya Investasi Industri Katup dan Jangkar Kapal ........................................... 122 Tabel VI.35 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Katup dan Jangkar Kapal ................................................................................................................................................ 123 xxvi
Tabel VI.36 Biaya Operasional Industri Katup dan Jangkar Kapal ...................................... 124 Tabel VI.37 Biaya Pajak Pengadaan Material Cast Steel ..................................................... 126 Tabel VI.38 Katalog Produk Infltable Liferaft...................................................................... 128 Tabel VI.39 Katalog Produk Life Jacket ............................................................................... 136 Tabel VI.40 Biaya Investasi Tanah dan Bangunan Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal ................................................................................................................................................ 139 Tabel VI.41 Biaya Investasi Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal ................................................................................................................ 139 Tabel VI.42 Biaya Investasi Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal ............................. 140 Tabel VI.43 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal ................................................................................................................ 141 Tabel VI.44 Biaya Operasional Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal ........................ 142 Tabel VI.45 Biaya Pajak Pengadaan Bahan Baku Perlengkapan Keselamatan Kapal ......... 144 Tabel VI.46 Total Pajak Masing-Masing Industri Ketika Melakukan Investasi .................. 145 Tabel VI.47 Total Biaya Investasi untuk Masing-Masing Industri....................................... 145 Tabel VI.48 Total Pajak Masing-Masing Industri Ketika Melakukan Proses Operasional .. 146 Tabel VI.49 Total Biaya Operasional Pertahun untuk Masing-Masing Industri .................. 146 Tabel VI.50 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Setelah Mendapatkan BMDTP.................................................................. 150 Tabel VI.51 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Main Switch Board (MSB) dan Panel Setelah Mendapatkan BMDTP .................................................................................... 151 Tabel VI.52 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP ................................ 152 Tabel VI.53 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Genset Setelah Mendapatkan BMDTP ........................................................................................................... 154 Tabel VI.54 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Genset Setelah Mendapatkan BMDTP .................................................................................................................................. 155 Tabel VI.55 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Genset Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP........................................................................................ 156 Tabel VI.56 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Lampu dan Saklar Setelah Mendapatkan BMDTP .............................................................................................. 158 Tabel VI.57 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Lampu dan Saklar Setelah Mendapatkan BMDTP ........................................................................................................... 159 Tabel VI.58 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Lampu dan Saklar Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP ............................................................. 160 Tabel VI.59 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Kabel Setelah Mendapatkan BMDTP ........................................................................................................... 162 Tabel VI.60 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Kabel Setelah Mendapatkan BMDTP .................................................................................................................................. 163 Tabel VI.61 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Kabel Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP........................................................................................ 164 Tabel VI.62 Biaya Pajak Peralatan dan Mesin Industri Baling-Baling Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP ........................................................................................................... 166 Tabel VI.63 Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze Setelah Mendapatkan BMDTP ........................................................................................................... 168 Tabel VI.64 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Baling-Baling Kapal Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP ............................................................. 168 Tabel VI.65 Biaya Pajak Peralatan dan Mesin Industri Katup dan Jangkar Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP ........................................................................................................... 170 xxviii
Tabel VI.66 Biaya Pajak Pengadaan Material Cast Steel ..................................................... 172 Tabel VI.67 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Katup dan Jangkar Kapal Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP ............................................................. 172 Tabel VI.68 Biaya Pajak Peralatan dan Mesin Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP .............................................................................................. 174 Tabel VI.69 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Perlengkapan Keselamatan Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP .............................................................................................. 175 Tabel VI.70 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP ............................. 176 Tabel VI.71 Perbandingan Biaya Pajak Ketika Berinvestasi Saat Sebelum dan Sedudah Mendapatkan Fasilitas BMDTP ............................................................................................. 177 Tabel VI.72 Perbandingan Biaya Pajak Ketika Beroperasional Saat Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Fasilitas BMDTP ............................................................................................. 177 Tabel VI.73 Penjabaran Pajak yang Masih Tetap Menjadi Pemasukan Pemerintah Ketika Perusahaan yang Berinvestasi Setelah Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Diberlakukan ........................................................................................................ 183 Tabel VI.74 Penjabaran Pajak yang Masih Tetap Menjadi Pemasukan Pemerintah Ketika Perusahaan yang Beroperasional Setelah Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Diberlakukan ........................................................................................................ 184
xxx
DAFTAR ISI LAMPIRAN 1. Industri komponen kapal di Indonesia tahun 2013 2. Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapakali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 4. Peraturan Menteri Keuangan No.175/PMK.011/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain 5. Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.175/PMK.011/2013 6. Peraturan Menteri Keuangan No.213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor 7. Undang-Undang No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah 8. Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan 9. Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 10. Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan 11. Peraturan Menteri Keuangan No.52/PMK.011/2013 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kendaraan Bermotor untuk Tahun Anggaran 2013
12. Peraturan Menteri Keuangan No.88/PMK.011/2010 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor 13. Road Map Pengembangan Industri Perkapalan Nasional
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Sejak diberlakukannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005
tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, jumlah armada kapal nasional dapat mulai tumbuh dan berkembang. Dapat dilihat dari meningkatnya jumlah kapal yang berbendera Indonesia yang beroperasi di perairan Indonesia Dengan banyaknya jumlah kapal yang beroperasi di perarian Indonesia maka dibutuhkan juga tempat yang dapat menawarkan fasilitas untuk perawatan, perbaikan, serta pembuatan kapal-kapal tersebut. Galangan kapal adalah tempat yang dapat memberikan tawaran fasilitas tersebut. Dengan bertumbuhnya jumlah kapal yang beroperasi di perairan Indonesia, diharapkan dapat berkembang pula galangan-galangan kapal nasional yang ada di Indonesia. Hanya saja pada kenyataannya galangan kapal di Indonesia sampai saat ini masih belum mampu untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Ada beberapa hal yang menyebabkan terhambatnya perkembangan dari galangan kapal nasional tersebut, diantaranya adalah; dukungan dari dunia perbankan di Indonesia yang masih amat sangat dirasa kurang, kemudian masih kurangnya dukungan dari pihak Kepelabuhan Indonesia untuk mendapatkan area yang strategis dan dengan harga yang ekonomis untuk lokasi fasilitas galangan yang strategis, dan masih terlalu bergantungnya akan kebutuhan material dan komponen kapal dari luar negeri. Hampir dalam setiap kegiatan perawatan, perbaikan, dan pembangunan kapal yang terjadi di galangan-galangan kapal nasional membutuhkan proses pengadaan bahan baku dan komponen kapal dari luar negeri. Hal ini dikarenakan industri komponen kapal di Indonesia belum berkembang. Ada banyak faktor yang menyebabkan belum berkembangnya industri komponen kapal di Indonesia. Salah satunya adalah penyebab dari efek domino dari industri galangan kapal nasional yang menjadi konsumen atau pembeli dari komponen kapal itu sendiri yang masih belum berkembang.
1
Pengaruh dari galangan kapal nasional yang melakukan proses impor secara berkelanjutan telah menghambat dan mengancam perkembangan industri galangan kapal nasional itu sendiri dan juga bagi industri komponen kapal di Indonesia. Untuk menjamin kepentingan nasional dari perdagangan luar negeri yang tidak terhindarkan, maka terhadap perdagangan luar negeri diberlakukan fungsi kepabeanan yang meliputi segala urusan, kegiatan, dan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan atas lalu lintas barang dan tugas pemungutan keuangan negara yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang. Impor-impor terhadap bahan baku dan komponen kapal tersebut tentunya terkait dengan kepabeanan. Salah satu fungsi kepabeanan yang terkait dengan impor bahan baku dan komponen kapal ini adalah sebagai pencegahan dari pemasukan atau pengeluaran bahan dan barang-barang yang tidak sesuai dengan kebijakan untuk melindungi pertumbuhan dan pengembangan industri dalam negeri. Dalam usahanya untuk melindungi pertumbuhan dan pengembangan dunia maritim di Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian keuangan mengeluarkan kebijakan fiskal mengenai tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen) untuk impor kapal bagi perusahaan pelayaran yang dilakukan sampai saat ini, sementara untuk impor bahan baku dan komponen kapal bagi industri galangan kapal nasional dibebankan tarifnya berkisar 5-15%. Cukup jelas dampak yang diberikan dari penetapan tarif tersebut menyebabkan galangan kapal nasional menjadi tidak kompetitif. Karena dengan kondisi dimana galangan kapal nasional masih bergantung dengan bahan baku dan komponen kapal yang berasal dari impor, tarif yang menjadi tanggungan kapal memberikan pengaruh pada tingginya nilai harga penjualan kapal. Dengan demikian, dapat dikatakan fungsi kepabeanan yang melindungi pertumbuhan dan pengembangan dunia maritim di Indonesia masih belum maksimal. Dalam kondisi seperti ini salah satu solusi yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan dalam pertumbuhan dan pengembangan dunia maritim di Indonesia adalah dengan cara mengurangi, dan kemudian berusaha meminimalisir industri galangan kapal nasional melakukan impor dalam proses pengadaan bahan baku dan komponen kapal. Karena dengan melakukan hal tersebut yaitu ketika perusahaan galangan kapal tidak melakukan impor melainkan melakukan proses pemesanan dan pembelian bahan baku dan komponen kapal dari produsen industri komponen kapal di wilayah Indonesia maka galangan kapal tersebut dapat mengurangi pengeluaran dari beban pajak yang menjadi tanggungan dari perusahaan galangan kapal yang dikarenakan melakukan transaksi impor. Selain itu masih 2
banyak keuntungan lain yang dapat didapatkan oleh perusahaan galangan kapal dengan melakukan proses pengadaan bahan baku dan komponen penyusun kapal dari produsen industri komponen kapal di wilayah Indonesia. Hanya
saja
dunia
maritim
di
Indonesia
dalam
usaha
pertumbuhan
dan
pengembangannya mengalami hambatan, dikarenakan mendapati kondisi dimana solusi untuk mengurangi, dan kemudian berusaha meminimalisir industri galangan kapal nasional melakukan impor belum dapat dijalankan. Alasan utama yang menjadi penyebab kondisi tersebut adalah karena jenis produk komponen dari produsen komponen kapal di Indonesia masih belum variatif ditambah masih minimnya jumlah produsen komponen kapal di Indonesia. Oleh karena itu sebagai salah satu pihak yang memiliki peran kunci dalam pengembangan suatu industri yaitu Pemerintah Indonesia melalui jajaran kementeriannya diharapkan dapat memberikan perhatian dan melakukan tindakan nyata untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengembangan industri komponen ini. Bentuk
tindakan
nyata
yang
dapat
dilakukan
pemerintah
adalah
dengan
memberlakukan atau mengeluarkan perangkat kebijakan. Dimana bentuk kebijakan yang dapat dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat meringankan jumlah pajak yang menjadi tanggungan perusahaan. Sehingga perusahaan dapat memiliki nilai pengurangan pada biaya yang dikeluarkan ketika investasi dan operasional. Nilai pengurangan inilah yang nantinya akan dilihat oleh pengusaha atau investor sebagai keuntungan dan peluang bisnis untuk mendirikan industri komponen kapal di Indonesia. Dengan semakin banyaknya investor yang mendirikan industri komponen kapal di Indonesia, maka akan semakin besar pula kesempatan berkembangnya industri komponen kapal di Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, sebagai calon sarjana, maka penulis mencoba melakukan studi mengenai kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia dengan cara mencari gagasan awal dalam perumusan kebijakan yang dapat memberikan keuntungan bagi industri komponen kapal dan Pemerintah Indonesia.
3
I.2
Perumusan Masalah Masalah yang akan dicari penyelesaiannya dalam tugas akhir ini adalah sebagai
berikut : 1. Bagaimana kondisi kekinian dari industri komponen kapal di Indonesia hingga tahun 2013? 2. Perumusan kebijakan fiskal seperti apa yang dapat mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia?
I.3
Batasan Masalah Untuk mempermudah dalam pelaksanaan penulisan tugas akhir ini dan menghindari
meluasnya pembahasanan maka dalam penelitian ini diberikan batasan pada beberapa hal, yaitu: 1. Survey dilakukan pada galangan-galangan kapal dan industri komponen kapal di wilayah Pulau Jawa. 2. Selama penelitian, faktor eksternal (kondisi perekonomian, politik, dan sosial) diasumsikan dalam keadaan stabil.
I.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan tugas akhir ini berdasarkan permasalahan di atas adalah:
1. Mendeskripsikan kondisi kekinian dari industri komponen kapal di Indonesia hingga tahun 2013. 2. Merumuskan kebijakan fiskal yang dapat mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia.
I.5
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada para pembaca dan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kebijakan fiskal. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah dan praktisi industri maritim sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan publik demi pengembangan industri komponen kapal pada khususnya dan industri maritim di Indonesia pada umumnya. 4
I.6
Hipotesis Penelitian Dengan tersusunnya suatu ide awal dari rumusan kebijakan fiskal maka dapat
mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia serta memberikan pengaruh positif bagi Pemerintah Republik Indonesia serta industri maritim nasional.
I.7
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tujuh bab yang
masing-masing bab terbagi menjadi sub-bab, hal ini dilakukan agar dapat mencapai suatu pembahasan atas permasalahan lebih mendalam dan mudah diikuti oleh setiap pihak yang ingin mendapatkan informasi dan pemahaman mengenai studi kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia. Secara garis besar, tugas akhir ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB 1
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis, dan sistematika penulisan.
BAB 2
STUDI LITERATUR Bab ini memaparkan uraian atas dasar-dasar konseptual atau teoritis yang menjadi pedoman dan acuan dalam penelitian ini.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini seperti teknik pengumpulan data, proses identifikasi permasalahan, analisa penerapan kebijakan fiskal, dan penyajian hasil penelitian
BAB 4
GAMBARAN UMUM INDUSTRI GALANGAN KAPAL, INDUSTRI KOMPONEN KAPAL, DAN INDUSTRI KENDARAAN BERMOTOR DI INDONESIA Pada bab ini akan digambarkan secara umum kondisi kekinian dari industri galangan kapal, industri komponen kapal, kendaraan bermotor di Indonesia.
5
BAB 5
KEBIJAKAN
FISKAL
DALAM
PENGEMBANGAN
INDUSTRI
KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA Pada bab ini akan menjelaskan mengenai peran dari pemerintah sebagai pihak penentu dalam pengembangan perindustrian di Indonesia. Dan juga akan paparkan kebijakan fiskal yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia. BAB 6
BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH (BMDTP) SEBAGAI KEBIJAKAN
FISKAL
DALAM
PENGEMBANGAN
INDUSTRI
KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA Bab ini menjabarkan implikasi dari perumusan BMDTP terhadap biaya investasi dan biaya operasional yang ditanggung perusahaan komponen kapal. Dan juga terhadap pemerintah dapat dilihat implikasinya, dengan cara melihat pemasukan yang tetap didapat oleh pemerintah dari pajak-pajak yang tetap masih berlaku. BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini terdiri dari kesimpulan yang merupakan rangkuman dari analisis bab-bab sebelumnya dan saran yang ditujukan sebagai pemecahan masalah dari hasil penelitian yang dilakukan.
6
BAB II STUDI LITERATUR
II.1
Identifikasi Komponen Penyusun Kapal Kapal merupakan suatu konstruksi terapung yang tersusun atas beberapa komponen
penyusun kapal. Dan pengertian komponen kapal adalah bagian penyusun kapal yang berfungsi untuk menunjang pengoperasian kapal. Komponen tersebut mencakup material mentah, material setengah jadi, material siap pakai dan barang pelengkap. (Soejitno: 1997) 1. Material mentah atau barang belum jadi (raw material). Adalah material yang digunakan dalam prosesp produksi yang didapat dari: alam, supplier penghasil bahan baku. Contohnya besi sekrap atau lembaran-lembaran besi untuk pengecoran, gelondongan kayu dan lain sebagainya. 2. Material setengah jadi atau barang dalam proses. Adalah material yang belum berupa barang jadi dan memerlukan proses lebih lanjut untuk menjadi barang jadi yang dijual ke konsumen. Contohnya lembaran pelat, profil untuk konstruksi, pipa dan sebagainya. 3. Barang jadi (purcashed part). Adalah bahan yang didapatkan dari perusahaan lain yang dapat digabugkan dengan bahan lain tanpa melalui proses produksi sebelumnya (tidak mengalami perubahan dalam operasi). Contohnya mesin utama, mesin bantu, propeller, pompa dan sebagainya. 4. Bahan-bahan pembantu atau barang perlengkapan (supplies material) Adalah material yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya produksi tetapi tidak merupakan bagian atau komponen dari barang jadi. Contohnya: oksigen, asitilen, elektrode, cat dan sebagainya. Dari material-material tersebut diatas kemudian diproses menjadi kapal atau lebih umum proses perubahan menjadi benda terapung baik bangunan baru maupun reparasi. Dalam industri perkapalan material langsung dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu (Soejitno, 1997): 1. Material pokok Adalah material yang digunakan dalam proses produksi antara lain pelat, pipa, profil, kayu, bahan poros, cat dan lain-lain. 7
2. Suku cadang Adalah material yang melengkapi produksi dan tidak mengalami perubahan antara lain katup-katup, pintu, jendela dan lain-lain. 3. Material bantu Adalah material yang membantu terselesainya proses produksi dan mengalami perubahan antara lain elektrode las, asitilen, lpg, oksigen dan lain-lain. Komponen kapal juga memiliki pengertian lain yaitu bagian-bagian pada kapal yang mempunyai fungsi utama bukan sebagai kekuatan konstruksi, tetapi berguna untuk menunjang pengoperasian kapal dan tidak berubah selama proses produksi. Setiap kapal mempunyai karakteristik komponen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan tipe kapal itu sendiri. Karakteristik komponen kapal tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut (Soejitno, 1997): a. Perlengkapan lambung b. Akomodasi c. Ventilasi d. Alat penolong dan pemadam kebakaran e. Mesin utama, motor bantu, pompa f. Instalasi listrik g. Peralatan navigasi dan alat komunikasi Komponen ini sebagian besar tidak dibuat digalangan. Untuk membuatnya memerlukan teknologi yang bervariasi, mulai dari teknologi yang sederhana hingga teknologi tinggi. untuk memudahkan dalam manajamen material maka komponen-komponen kapal ini dikelompokkan dan diberi kode-kode tertentu. Sedangkan untuk memudahkan pemesanan dan menjamin kualitas telah disusun standarisasi untuk komponen-komponen kapal antara lain JIS dan ASTM, ada pula standarisasi yang berasal dari dalam negeri, yaitu SNI.
II.2
Kelompok dalam Komponen Kapal Apabila ditinjau dari proses pembuatannya, komponen-komponen kapal dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama (Soejitno, 1997)yaitu: 1. Pengecoran 2. Permesinan 3. Perakitan 8
4. Rangkaian Elektrik Berikut akan diuraikan masing-masing dari kelompok tersebut. II.2.1 Pengecoran Teknologi ini banyak digunakan untuk membuat komponen kapal baik dalam bentuk jadi maupun setengah jadi sebagai sub komponen kapal. Proses pengecoran meliputi: pembuatan cetakan, persiapan dan peleburan logam, penuangan logam cair ke dalam cetakan, pembersihan coran dan proses daur ulang pasir cetakan. Produk pengecoran disebut coran atau benda cor. Berat coran itu sendiri berbeda, mulai dari beberapa ratus gram sampai beberapa ton dengan komposisi yang berbeda dan hampir semua logam atau paduan dapat dilebur dan dicor. Proses pengecoran secara garis besar dapat dibedakan dalam proses pengecoran dan proses pencetakan. Pada proses pengecoran tidak digunakan tekanan sewaktu mengisi rongga cetakan, sedang pada proses pencetakan logam cair ditekan agar mengisi rongga cetakan. Karena pengisian logam berbeda, cetakanpun berbeda, sehingga pada proses pencetakan cetakan umumnya dibuat dari logam. Pada proses pencetakan biasanya dibuat dari pasir meskipun ada kalanya digunakan pula plaster, lempung, keramik atau bahan tahan api lainnya Contoh komponen hasil pengecoran: jangkar, rantai jangkar, fairlead, propeller, bolard, chock, katup, bingkai jendela kedap air, dan lain sebagainya II.2.2 Permesinan Permesinan pada kapal terdiri dari 2 kelompok bagian yaitu: a. Mesin utama Adalah mesin yang digunakan sebagai tenaga penggerak kapal. b. Mesin bantu Adalah seluruh mesin yang ada dikapal kecuali mesin utama dan boiler, termasuk pipa-pipa dan fitting, yang mempunyai fungsi sebagai berikut: •
Memasok kebutuhan mesin utama dan boiler, sirkulasi air, pelumasan, pengatur panas, pendinginan, kondensor, kompresor udara, penghisap bahan bakar, pemindah dan perawatan.
•
Menjaga agar kapal tetap stabil dan kering sistem bilga dan ballast.
•
Memasok kebutuhan-kebutuhan lokal air tawar, air garam, sanitasi, sistem pembuangan, sistem pendingin, pemanas dan ventilasi.
9
•
Mendukung daya utama untuk propulsi dan maneuver shafting, steering gear, stabilizer, propeller.
•
Memasok untuk daya elektrik dan penerangan sistem uap dan mesin diesel.
•
Menambatkan kapal dan menangani muatan windlass, capstan, winches, pompa muatan minyak.
•
Menjamin keselamatan deteksi kebakaran dan kerusakan, mesin sekoci dan gear peluncur, pintu kedap air.
Contoh komponen permesinan : cargo winch, steering gear, mooring winch. II.2.3 Perakitan Perakitan adalah proses dimana berbagai macam parts atau material digabungkan satu sama lain untuk membentuk sebuah produk rakitan yang lengkap. Hubungan atau ikatan disini dapat dilakukan dengan jalan pengelingan (rivetting), penggunaan mur baut (screwing), ikatan paksa (force fitting), sambungan pasak, pengelasan (welding), dan lain- lain. Contoh komponen perakitan : Side scuttle, lampu navigasi, pintu kedap. II.2.4 Rangkaian Elektrik Jumlah dan ukuran komponen kapal listrik menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, terutama pada ruang kontrol mesin, penanganan muatan, dan sistem navigasi. Perlengkapan elektrik di kapal terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Produk Jadi Contohnya seperti kabel listrik, lampu penerangan, alat-alat pengaman, alat-alat navigasi, alat-alat komunikasi, dan lain-lain. 2. Produk Rakitan. Contohnya seperti generator motor, panel utama (Main Switch Board/MSB).
II.3
Investasi Investasi memiliki beberapa pengertian diantaranya adalah sebagai berikut :
Investasi menurut Kertonegoro (1999) “Investasi merupakan wahana dimana dana ditempatkan dengan harapan akan dapat memeliharaatau memperoleh nilai dan memberikan penghasilan yang meningkat ataureturn yang positif”.
10
Sedangkan menurut Handaru (1998) “investasi dapat diartikan sebagai penanaman modal, baik langsung maupun tidak langsung, yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan tertentu sebagaihasil penanaman modal tersebut”. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa keputusan investasi melibatkan tiga unsur pokok, yaitu : a. Keuntungan yang akan diperoleh. Suatu proyek dimulai dari penanaman investasi yang dilanjutkan dengan pengembangan investasi tersebut dalam periode tertentu. b. Pengorbanan saat ini untuk memperoleh manfaat dimasa yang akan datang. c. Dalam jangka panjang (umur proyek). Kegiatan investasi telah direncanakan dan dilaksanakan dalam bentuk kesatuan dan jangka waktu tertentu. Proses yang dimaksud diatas terdapat proses perencanaan, maka perencanaan yang dimaksudkan adalah perhitungan akan untung atau rugi, perhitungan akan jangka waktu pengembaliannya dan perhitungan kelayakan, dimana proses-proses tersebut dilakukan dengan cara mengadakan studi kelayakan proyek. Menurut Husnan, dan Suwarsono, (1994) “yang dimaksud dengan studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi) dilaksanakan dengan berhasil”. Keberhasilan ini dapat ditafsirkan dalam arti terbatas yaitu keberhasilan dalam arti manfaat ekonomis (biasanya dipergunakan oleh pihak swasta) dan keberhasilan dalam artian yang lebih luas yaitu manfaatnya bagi masyarakat. Sedangkan karakteristik dasar dari suatu proyek (investasi) adalah investasi (proyek) umumnya memerlukan pengeluaran saat ini untuk memperoleh manfaat dimasa yang akan datang. Tujuan dari pada diadakannya suatu studi kelayakan adalah untuk menghindari keterlanjuran penanaman modal yang tertalu besar untuk kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan. Biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan studi kelayakan ini relatif kecil dibandingkan dengan resiko kegagalan suatu investasi dalam jumlah yang besar. Aspek-aspek studi kelayakan bisnis: aspek pasar, aspek teknis, aspek yuridis, aspek finansial, aspek management. 11
II.4
Kebijakan Publik Kebijakan publik terdiri dari dua kata, kebijakan (policy) dan publik (public).
Kebijakan adalah suatu keputusan yang ditentukan oleh yang berwenang. Publik adalah sekelompok orang yang terikat dengan suatu isu tertentu. Secara sederhana dapat diakatan kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Dimana strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan (Nugroho, 2012). Kebijakan Publik merupakan rangkaian yang pilihan yang saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan Publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, dan bukan semakin menjerumuskan dalam ketergantungan. Untuk memahami berbagai definisi kebijakan publik, terdapat beberapa konsep yang termuat dalam kebijakan publik seperti yang dijabarkan oleh Young dan Quinn: 1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik atau tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintahan yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukannya. 2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berusaha merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang dimasyarakat. 3. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal,melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. 4. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahhkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu. 12
5. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah – langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh badan pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah. Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang cenderung stabil dan mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam menangani masalah atau urusan. Kebijakan tidak lahir dengan sendirinya, tetapi memerlukan proses yang tidak sederhana. Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahapan perumusan masalah, implementasi dan evaluasi kebijakan. Tahapan dari proses kebijakan publik digambarkan sebagai berikut menurut Nugroho:
Sumber: Nugroho, 2012
Gambar II.1 Proses Kebijakan Gambar 2.1 menjelaskan kebijakan dimulai dari adanya isu atau permasalahan yang menyangkut kepentingan publik sebagai input. Rumusan masalah tersebut mengarahkan pemerintah untuk memformulasi kebijakan dan implementasinya sebagai proses. Sebagai output dari proses kebijakan dilakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Evaluasi kinerja kebijakan dilakukan untuk menilai apakah kebijakan tersebut sesuai dengan sasaran atau dengan kata lain berhasil menyelesaikan isu atau permasalahan publik yang dijelaskan dalam analisis kebijakan. Menurut Dunn dalam Winarno (2007), tahap- tahap dalam menyusun kebijakan publik adalah sebagai berikut:
13
a. Tahap Penyusunan Agenda, pada tahap ini pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan beberapa masalah yang dipilih untuk dirumuskan oleh para perumus kebijakan dalam suatu agenda publik. b. Tahap Penyusunan Kebjiakan, pada tahap ini masalah yang telah dipilih menjadi agenda publik didefinisikan untuk kemudian diambil suatu kebijakan untuk penyelesaiannya. c. Tahap Adopsi Kebijakan, setelah disusun atau dirumuskan kebijakan, salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari golongan mayoritas. d. Tahap Implementasi Kebijakan, kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah publik tadi diimplementasikan. Pada implementasi ini, berbagai kepentingan akan terlibat dalam mendukung dan menentang kebijakan tersebut. e. Tahap Penilaian Kebijakan, pada tahap ini kebijakan telah dijalankan dan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah dibuat mampu memecahkan masalah.
II.5
Kebijakan Fiskal Berdasarkan pengertian kebijakan publik, fiskal dan moneter merupakan bidang yang
menjadi instrumen penting pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok yaitu penerimaan dan pengeluaran. Bisa diartikan kebijakan fiskal itu sendiri adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah pengeluaran dan pemasukan pemerintah. Dimana pengeluaran pemerintah atau belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah. Instrumen pajak yang ada pada peraturan perpajakan di Indonesia cukup beragam. Pengenaan jenis dan jumlah pajak akan tergantung dari beberapa faktor, seperti subjek pajak, objek pajak, kegiatan yang dikenai pajak, dan sebagainya. Pengertian dan tujuan kebijakan fiskal dalam arti luas menurut Mansury, kebijakan fiskal merupakan kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Kebijakan fiskal dalam arti sempit yang biasa disebut kebijakan pajak, adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang dijadikan 14
dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana tata cara pembayaran pajak yang terhutang (Mansury, 1999). Penggunaan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan dan secara makro diuraikan atas anjuran-anjuran yang diberikan oleh mempunyai tiga tujuan utama menurut Richard Bird (1992): 1. Untuk menjamin bahwa laju pertumbuhan perekonomian yang sebenarnya menyamai laju pertumbuhan potensial, dengan mempertahankan kesempatan kerja penuh. 2. Untuk mencapai suatu tingkat harga stabil yang wajar. 3. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan potensial, lalu mungkin tanpa merintangi tujuantujuan lain dari masyarakat yang hendak dicapai Tujuan tertentu yang ingin dicapai negara melalui kebijakan fiskal memiliki beberapa tujuan pokok, yakni: peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran; distribusi penghasilan yang adil; dan stabilitas. Pada dasarnya kebijakan fiskal terbagi menjadi dua, yaitu kebijakan ekspansif yang berarti menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto. Lalu, kebijakan fiskal kontraktif, yaitu suatu kebijakan dengan menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Namun secara teoritis dikenal empat jenis kebijakan fiskal, yaitu (Rahayu, 2010): 1. Pembiayaan Fungsional Pengeluaran pemerintah, pajak, dan pinjaman dipertimbangkan secara terpisah. Di satu sisi pengeluaran pemerintah ditetapkan dengan memperhatikan akibat-akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kesempatan kerja. Di sisi lainnya, pengenaan pajak bukan digunakan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi digunakan untuk mengatur kegiatan dan produktivitas sektor swasta. 2. Pendekatan Anggaran Terkendali Dalam konsep ini, pengeluaran pemerintah, penarikan pajak, dan pinjaman ditujukan untuk mencapai kestabilan ekonomi. Berdasarkan konsep ini, hubungan langsung antara pengeluaran pemerintah dan penarikan pajak selalu dijaga. Kemudian untuk menghindarkan atau memperkecil ketidakstabilan ekonomi selalu diadakan penyesuaian dalam anggaran, sehingga pada suatu saat anggaran dapat dibuat defisit atau surplus disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. 3. Stabilitas Anggaran 15
Pengeluaran pemerintah lebih ditekankan pada asas manfaat dan biaya relatif dari berbagai paket program. Berdasarkan stabilisasi perekonomian yang otomatis, pengeluaran pemerintah ditentukan berdasarkan perkiraan manfaat dan biaya relatif dari berbagai macam program.Sedangkan pengenaan pajak ditentukan untuk menimbulkan surplus pada periode kesempatan kerja penuh. 4. Pendekatan Anggaran Belanja Berimbang Cara yang diberikan dalam hal ini adalah anggaran yang disesuaikan dengan keadaan. Tujuannya adalah tercapainya anggaran berimbang dalam jangka panjang. Dengan kata lain, konsep anggaran berdasarkan pendekatan anggaran belanja berimbang menekankan kepada keharusan keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran. Pendekatan ini selalu mempertahankan anggaran belanja yang seimbang.
II.6
Peraturan Perpajakan Sektor Perindustrian Indonesia Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Pengadaan Impor untuk Peralatan dan Fasilitas Industri
Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pajak Pertambahan Nilai (PPn)
Bea Masuk
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Sumber: Diolah oleh peneliti
Gambar II.2 Peraturan Perpajakan saat Investasi Industri Pada sektor perindustrian terdapat instrumen-instrumen pajak yang menjadi tanggungan suatu perusahaan industri. Pada gambar diatas terlihat instrumen-instrumen pajak yang dikenakan kepada pengusaha yang melakukan investasi industri.
16
Pengadaan Impor untuk Bahan Baku dan Material Penyusun Komponen
Tanah dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Pertambahan Nilai (PPn)
Bea Masuk
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Sumber: Diolah oleh peneliti
Gambar II.3 Peraturan Perpajakan saat Operasional Industri Terlihat dari tabel di atas, kondisinya tidak hanya ketika proses investasi industri terdapat pajak-pajak yang menjadi tanggungan investor pendiri perusahaan industri. Tetapi ketika perusahaan sudah beroperasional, tiap tahunnya juga akan ada nilai pajak yang dikenakan dan menjadi tanggungan industri tersebut. Untuk detailnya pada sub-bab di bawah ini akan dijelaskan ketentuan-ketentuan pada masing-masing instrument pajak. Dan juga akan dijelaskan rumus yang menjadi perhitungan untuk mengetahui nilai pajak yang menjadi tanggungan industri. II.6.1 Pajak Pertambahan Nilai (PPn) Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPn) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPn. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPn termasuk dalam kategori: pajak objektif, pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan pajak tidak langsung. Menurut pakar PPn, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPn sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPn, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPn atas konsumsi barang atau jasa tersebut. Objek untuk PPn, yaitu: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak;
17
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Untuk barang kena pajak yang tidak dikenakan PPn, adalah: a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Dan jasa kena pajak yang tidak dikenakan PPn, adalah: a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b. jasa di bidang pelayanan sosial; c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e. jasa di bidang keagamaan; f. jasa di bidang pendidikan; g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; j. jasa di bidang tenaga kerja; k. jasa di bidang perhotelan; l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum 18
tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama. Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah. Di samping sebagai pajak objektif, PPn di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barangbarang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPn pada area itu bersifat sementara yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang PPn, ditegaskan bahwa PPn adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPn juga termasuk Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPn ke Kas Negara dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPn, pemikul beban pembayaran PPn dan penanggungjawab penyetoran PPn ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti pungutan atas PPn terutang, ketika menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima BKP atau JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPn yang dipungut dalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPn terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan 19
Pajak Langsung seperti PPh, dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara. Saat ini, PPn memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPn pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPn, diantaranya dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggungjawab. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mencabut status pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat lebih sadar, peduli serta mendukung target penerimaan pajak demi kelangsungan pembangunan nasional dan penyelenggaraan negara. Yang menjadi dasar hukum dalam PPn adalah: a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
20
e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003. f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. Tarif untuk PPn sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu: a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen). Dan untuk cara menghitung nilai dari PPn, adalah: 1. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak. 2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. 3. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. 4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. 5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
21
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. 8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 9. Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk: •
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
•
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
•
perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
•
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
•
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
•
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5); 22
•
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
•
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
•
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
10. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Pada intinya Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPn, yaitu sebesar 10%. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPn di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Untuk perincian perhitungan PPn yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif PPn (%) Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
II.6.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh subjek pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan. Subjek pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. 23
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. Subjek Pajak Penghasilan dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: •
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
•
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria pembentukannya berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
pembiayaannya
bersumber dari APBN atau APBD, penerimaannya dimasukan dalam anggaran pusat atau daerah, pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. •
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri adalah: •
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
•
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat 24
menerima atau memperoleh panghasilan dari
Indonesia bukan
dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Pada prinsipnya Pasal 4 UU Pajak Penghasilan (PPh) mengatur bahwa atas semua penghasilan merupakan objek Pajak Penghasilan kecuali ditetapkan lain oleh UU PPh bukan sebagai objek pajak, karena: 1. UU Pajak Penghasilan (PPh) menganut pengertian penghasilan yang seluasluasnya dengan nama dan dalam bentuk apapun. Hal ini sejalan dengan prinsip substance over form yang dianut UU PPh. Artinya, dalam penghitungan pajak hakikat ekonomis yang sebenarnya lebih diutamakan dibandingkan nama atau istilah yang diberikan atas penghasilan tersebut. 2. Jenis penghasilan sangat banyak dan luas dan akan semakin berkembang sesuai dengan kemajuan ekonomi sehingga tidak mungkin dapat memberikan jenis penghasilan yang menjadi objek pajak secara spesifik dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, antara lain: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh, termasuk : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh. 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha. 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk: •
keuntungan karena penglihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
•
keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
•
keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha; 25
peleburan,
pemekaran,
•
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Permenkeu No.245/PMK.03/2008), sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
•
keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruhhak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian uang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang meneritkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Pengetian deviden termasuk pula: •
pembagian laba, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
•
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
•
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
•
pembagian laba dalam bentuk saham;
•
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
•
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
•
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika 26
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; •
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penembusan tanda-tanda laba tersebut;
•
bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
•
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
•
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
•
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
8. Royalti, royalti yang dimaksud adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan: •
hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merk dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
•
hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
•
informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi. 27
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah. 18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara perpajakan (UU No.6 Tahun 1983 sttd UU No.28 Tahun 2007) 19. Surplus Bank Indonesia. Macam-macam Pajak Penghasilan yang diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan antara lain: 1. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) adalah pajak penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. 2. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang bersifat final, dikenakan atas penghasilan antara lain: •
Bunga deposito, tabungan, bunga obligasi, bunga simpanan anggota koperasi
•
Hadiah undian
•
Penghasilan dari transaksi saham
•
Pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/ atau bangunan
3. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. 4. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh: •
Bendahara yang memungut pajak sehubungan dengan Pembayaran atas penyerahan barang.
•
Badan-badan tertentu yang memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
•
Wajib Pajak badan tertentu yang memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif PPh pasal 22 atas impor: a. Bila importir memiliki API (Angka Pengenal Impor) 28
PPh pasal 22 impor = 2,5% x nilai impor b. Bila importir tidak memiliki API PPh pasal 22 impor = 7,5% x nilai impor c. Dan lain-lain. 5. Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pemotongan pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atas penghasilan: •
Dividen, bunga, royalty serta
•
hadiah, penghargaan bonus, dan sejenisnya
•
sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta
•
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,dan jasa lain.
6. Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah pajak penghasilan yang dibayar di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama. 7. Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak dalam tahun berjalan. 8. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah pemotongan pajak kepada Wajib Pajak luar negeri atas penghasilan dividen, bunga, royalty, imbalan sehubungan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun, premi swap, keungtungan karena pembebasan utang, yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. 9. Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Pada penelitian ini perhitungan PPh menggunakan PPh pasal 22. Karena pada proses investasi dan operasional, proses pengadaan fasilitas dan bahan baku penyusun komponen kapalnya berasal dari impor. Dan pada penelitian ini juga, dikondisikan perusahaan komponen kapalnya sudah terdaftar atau memiliki Angka Pengenal Impor (API). Oleh karena itu berikut ini akan dirincikan rumus perhitungannya. PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean
= Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)
Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
29
Tarif PPh
= 2,5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
II.6.3 Bea Masuk Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Sebagai salah satu jenis pajak berdasar asas domisili. Bea masuk menggunakan sistem tarif advalorum yang besarnya diatur oleh Menteri Keuangan dan dicantumkan dalam Harmonized System. Importir bertanggung jawab atas Bea Masuk barang yang diimpornya melalui sistim menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang (self assessment). Barang yang diimpor ke Indonesia wajib membayar bea masuk sebelum dikeluarkan dari kawasan pabean, kecuali dalam beberapa hal tertentu yang diatur dalam undang-undang. Yang menjadi dasar hukum bea masuk adalah: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612), sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 3. Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1993 tentang Pengesahan International Convention on the Harmonized Commodity Description and Coding System beserta Protokolnya; 4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; 5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Untuk penghitungan bea masuk didasarkan pada ketentuan tentang klasifikasi barang dan besarnya tarif bea masuk atas barang impor. Sehingga jenis dan kondisi barang impor akan sangat memengaruhi pengenaan bea masuknya. Bea masuk atas 30
barang impor dihitung dari unsur harga barang (Cost), unsur asuransi (Insurance) dan biaya angkut (Freight) yang dikonversi dalam satuan kurs Rupiah dengan nilai tukar yang berlaku pada hari dihitungnya bea masuk tersebut. Hasil perhitungan dari ketiga unsur tersebut disebut Nilai Pabean yang selanjutnya besarnya bea masuk akan didapatnya dengan dikalikan besaran bea masuk. Perhitungan rumusnya, adalah: Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Lihat Buku Tarif Kepabeanan 2012
II.6.4 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. Yang menjadi dasar hukum dalam pajak bumi dan bangunan adalah: 1. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 2. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan. 3. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
31
4. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. 5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan. 6. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004. 7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate. Objek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB adalah tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB adalah orang pribadi atau badan yang menikmati, memanfaatkan atau memiliki obyek pajak berupa tanah dan atau bangunan tersebut (Pemilik atau Penyewa). Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Apabila wajib pajak PBB tidak melunasi pembayaran PBB sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan maka wajib pajak dapat dikenai sanksi denda administrasi sebesar 2% perbulan maksimal selama 24 bulan berturut-turut atau total denda administrasi sebesar 48%. Media pemberitahuan pajak yang terutang melewati batas waktu yang terlah ditetapkan adalah dengan Surat Tagihan Pajak (STP). Jika dalam waktu 30 hari setelah STP terbit belum ada pembayaran dari WP, maka dapat diterbitkan Surat Paksa (SP) sesuai dengan pasal 13. Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). NJKP ditetapkan sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) (jika NJOP kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP 32
senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Rumus perhitungannya adalah: PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12,000,000
II.6.5 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Bumi, air dan kekayaan alam yang terandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Disamping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sendiri adalah pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Yang menjadi dasar hukum dalam peraturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah 33
dan Bangunan. Dan juga Keputusan Menteri Keuangan Nomor 630/KMK.04/1997 tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Terdapat penjelasan untuk istilah-istilah penting dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, diantaranya adalah: 1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. 3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. 5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang. 8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar. 34
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar; Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar; Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak. 12. Putusan Banding adalah Putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak. Kemudian yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik meninggal dunia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak 35
atas Tanah dan Bangunan objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi: a. Pemindahan hak karena: 1. Jual beli 2. Tukar Menukar 3. Hibah 4. Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. 5. Waris. 6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut. 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang. 8. Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang. 9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut. 10. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung. 11. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut. 12. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan 36
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama. 13. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. b. Pemberian hak baru karena: 1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak. 2. Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud hak atas tanah berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah: a. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah. b. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundangundangan yang berlaku. c. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. d. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan 37
tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. f. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Dasar pengenaan pajak adalah NPOP (Nilai Perolehan Obyek Pajak). NPOP untuk berbagai jenis perolehan objek pajak ditentukan sebagai berikut : a. Jual Beli adalah Harga Transaksi. b. Tukar Menukar adalah Nilai pasar. c. Hibah adalah Nilai Pasar. d. Hibah wasiat adalah Nilai Pasar. e. Waris adalah Nilai Pasar. f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar. g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar. Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP PBB Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal sebesar 5 %. Dan Nilai Pokok Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hak perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling banyak Rp. 300.000.000,Besarnya Pajak terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 5% dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPTKP 38
adalah NPOP – NPOPTKP apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinnya transaksi, atau bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pajaknya adalah NJOP PBB. BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif BPHTB = NPOPKP x Tarif Atau bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan : BPHTB = (NJOP – NPOPTKP) x Tarif BPHTB = NPOPKP x Tarif
39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi atau metode penelitian merupakan keseluruhan proses berpikir yang dimulai dari menemukan permasalahan, kemudian peneliti menjabarkannya dalam suatu kerangka tertentu, serta mengumpulkan data bagi pengujian empiris untuk mendapatkan penjelasan dalam penarikan kesimpulan atas gejala sosial yang diteliti. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
III.1
Metodologi Penelitian Proses pengerjaan tugas akhir ini dilakukan secara sistematis berdasarkan urutan kerja
yang dilakukan oleh penulis. Proses dan langkah – langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Studi Literatur Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dasar – dasar teori meliputi identifikasi komponen kapal, kelompok dalam komponen kapal, teori investai, kebijakan publik, kebijakan fiskal, dan peraturan perpajakan sektor perindustrian Indonesia.
2.
Pengambilan Data Kondisi Kekinian Industri Galangan Kapal, Komponen, dan Peraturan Perpajakan di Indonesia. Pada pengerjaan tugas akhir ini, objek penelitian adalah industri komponen kapal di Indonesia. Dimana kondisi industri galangan dan komponen kapal dibutuhkan untuk mengetahui latar belakang permasalahan. Dan dari peraturan perpajakan diperlukan untuk mengetahui instrumen pajak yang bisa mengembangkan industri komponen kapal.
3.
Pengumpulan Data Sumber data yang diambil dalam melakukan penilitian adalah meliputi dua sumber data yaitu : •
Data Primer Data Primer didapatkan dengan melakukan survei langsung ke galangan kapal, industri komponen kapal, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Data ynag dibutuhkan 41
yaitu data kondisi kekinian industri galangan kapal dan industri komponen kapal di Indonesia, sekaligus peraturan perpajakan yang berlaku di sektor perindustrian Indonesia. Data yang dibutuhkan meliputi jumlah industri galangan dan komponen kapal, kapasitas produksi industri galangan kapal, komponen kapal yang mampu diproduksi di Indonesia, dan biaya investasi dan operasional industri komponen kapal. •
Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari studi literatur maupun penerapan teori – teori yang diperoleh dari berbagai macam literatur yang digunakan untuk mendukung data primer dan tetap berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan.
4.
Identifikasi Industri Galangan Kapal, Industri Komponen Kapal, dan Industri Kendaraan Bermotor di Indonesia Dengan mengidentifikasi kondisi dari industri galangan kapal maka dapa ditemukan permasalahan yang memberikan efek yang saling berkaitan kepada industri komponen kapal di Indonesia. Dari identifikasi industri komponen kapal di Indonesia, maka akan diketahui permasalahan dari belum majunya industri ini, Kemudian dari mengidentifikasi industri kendaraan bermotor, maka dapat diketahui bagaimana industri kendaraan bermotor dapat berkembang pesat di Indonesia. Walaupun industri kendaraan bermotor dan industri perkapalan adalah dua jenis industri yang tidak mungkin disamakan, harapannya ada solusi yang sudah dikembangkan di industri kendaraan bermotor yang kemudian dapat disesuaikan dan diterapkan pada industri perkapalan pada umumnya dan industri komponen kapal pada khususnya.
5.
Perumusan Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal di Indonesia Perumusan kebijakan fiskal dimulai dengan menjelaskan pentingnya peran pemerintah dalam mengembangkan suatu industri di Indonesia. Kemudian dari beberapa jenis kebijakan publik yang dapat diaplikasikan, peneliti memilih untuk mencoba merumuskan kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal. Dengan dasar untuk menarik investor untuk berinvestasi mendirikan industri komponen kapal di Indonesia.
6.
Analisa Penerapan Kebijakan Fiskal Berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) pada Industri Komponen Kapal di Indonesia. 42
Dengan kebijakan fiskal berupa BMDTP yang diterapkan pada industri komponen kapal, yang kemudian dapat dilihat implikasinya. Implikasi yang akan dijabarkan berupa keuntungan dari penurunan biaya pajak ketika investasi dan operasional di industri. Yang kemudian dapat dilihat juga implikasi kebijakan BMDTP terhadap pemerintah, dimana terlihat sejumlah pajak yang akan tetap didapat pemerintah walaupun nilai pajak Bea Masuk dihilangkan. 7.
Kesimpulan Meliputi seluruh rangkuman hasil akhir dari seluruh penelitian yang dilakukan.
43
III.2
Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir
Tahap Pendahuluan
1.
2. 3.
1. 2.
1. 2.
Mulai
Latar Belakang Masalah : Tumbuhnya armada pelayaran di Indonesia tidak diikuti dengan meningkatnya kemajuan dari industri galangan kapal nasional. Industri komponen kapal di Indonesia yang masih kurang berkembang. Belum maksimalnya dukungan pemerintah melalui kebijakan fiskal yang pernah diterapkan.
1. 2. 3. 4.
Studi Literatur : Identifikasi Komponen Kapal Klasifikasi Industri Komponen Kapal Investasi Kebijakan Fiskal
1. 2. 3.
Studi Lapangan : Identifikasi Industri Galangan Identifikasi Industri Komponen Kapal Proses Produksi Komponen Kapal
Rumusan Masalah : Bagaimana kondisi kekinian dari industri komponen kapal di Indonesia hingga tahun 2013? Perumusan kebijakan fiskal seperti apa yang dapat mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia?
Tujuan Penelitian : Mendeskripsikan kondisi kekinian dari industri komponen kapal di Indonesia hingga tahun 2013. Merumuskan kebijakan fiskal yang dapat mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia.
A
44
Tahap Pengumpulan Data
1. 2. 3.
A
Pengumpulan Data dari Galangan Kapal : Data Jumlah Pembangunan Kapal Pertahun Data Jumlah Perbaikan Kapal Pertahun Data Breakdown Komponen Kapal
Pengumpulan Data dari Industri Komponen Kapal : 1. Data Jumlah Biaya Investasi Industri Komponen Kapal 2. Data Jumlah Biaya Operasional Industri Komponen Kapal
Pengumpulan Data dari Asosiasi dan/atau Institusi Pemerintah : 1. Data Jumlah Kapal yang Aktif Berlayar di Perairan Indonesia Pertahun 2. Data Jumlah Industri Komponen Kapal di Indonesia Pertahun 3. Road Map Pengembangan Industri Komponen Kapal di Indonesia
Kebijakan Pemerintah yang Pernah dan/atau Tengah Berlaku di Industri Maritim Indonesia : 1. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 2. Peraturan Perpajakan bagi Industri di Indonesia
Tahap Analisa dan Pengolahan Data Pehitungan Biaya Investasi dan Operasional Perusahaan Komponen Kapal
Analisa Peraturan Perpajakan untuk Industri Komponen Kapal
Penjabaran Pajak Industri Komponen Kapal Sebelum Mendapatakan Fasilitas Kebijakan Fiskal
Identifikasi Industri Galangan Kapal, Industri Komponen Kapal, dan Industri Kendaraan Bermotor di Indonesia
Perumusan Kebijakan Fiskal
Pensimulasian Rumusan Kebijakan Fiskal pada Industri Komponen Kapal di Indonesia
Tahap Kesimpulan Pendeskripsian Kondisi Kekinian dari Industri Komponen Kapal di Indonesia Hingga Tahun 2013
Rumusan Kebijakan Fiskal yang Dapat Mengembangkan Industri Komponen Kapal di Indonesia.
Selesai
45
III.3
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode
kualitatif, di mana data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Penjelasan atas ketiga teknik pengumpulan data tersebut yaitu sebagai berikut. a. Studi Kepustakaan Penelitian ini didukung oleh data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu keterangan yang diperoleh dari kepustakaan, seperti undang-undang dan peraturan perpajakan, buku, laporan, artikel, dan penelusuran di internet.. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah studi data statistik dan data yang didapatkan dari badan/lembaga terkait, serta berbagai tinjauan pustaka yang menjadi acuan dari penelitian-penelitian sebelumnya. b. Studi Lapangan Proses pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survey ke beberapa tempat berbeda. Tempat-tempat yang dituju adalah galangan kapal di Surabaya dan Jakarta, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan industri komponen. Dimana data-data yang dibutuhkan adalah data-data identifikasi industri komponen kapal di Indonesia, data bahan baku atau penyusun komponen kapal, data biaya investasi dan operasional industri komponen kapal. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode meliputi: •
Wawancara Yaitu dengan mengumpulkan data melalui tanya jawab secara langsung dengan bagian yang terkait dengan rumusan masalah.
•
Dokumentasi Yaitu metode pengumpulan data yang berupa dokumen. Dokumen tersebut berupa data kondisi kekinian industri galangan kapal dan komponen kapal di Indonesia. Dan juga data-data dari peraturan perpajakan yang tengah berlaku untuk perindustrian saat ini.
•
Observasi Metode ini dilakuakan dsengan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti berdasarkan fakta yang ada di lapangan.
46
BAB IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI GALANGAN KAPAL, INDUSTRI KOMPONEN KAPAL, DAN INDUSTRI KENDARAAN BERMOTOR DI INDONESIA
IV.1
Industri Galangan Kapal Nasional Industri galangan kapal bagi bangsa Indonesia merupakan suatu industri yang sangat
penting dimana negara kita adalah negara kepulauan dan sebagian besar luas wilayahnya adalah lautan. Industri galangan kapal yang merupakan bagian dari sektor dunia maritim mempunyai peran yang sangat luas dan kompleks. Keberadaan industri ini sangat dibutuhkan oleh banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dilihat dari kiprahnya industri galangan kapal ini juga mempunyai fungsi sebagai sasaran pendukung dari beberapa sektor pemerintahan yang ada, berikut ini beberapa sektor yang didukung oleh keberadaan industri galangan kapal di Indonesia yaitu antara lain : •
Sektor Perhubungan
•
Sektor Kelautan
•
Sektor Pariwisata
•
Sektor Pertambangan dan Energi
•
Sektor Industri
•
Sektor Pertahanan dan Keamanan Negara
•
Ekspor Industri galangan kapal di Indonesia dilihat dari uraian diatas mempunyai peranan yang
sangat penting dan sangat strategis, hal itu tampak dalam fungsinya sebagai pembuat kapal untuk sarana eksplorasi dan transportasi laut, sungai dan danau serta sebagai bagian dari sistem pertahanan dan keamanan negara. Berbagai peran dan fungsi diatas akan menuju kesatu titik tujuan yaitu pendayagunaan sumber kelautan. Pendayagunaan sumber kelautan harus kita manfaatkan sebaik mungkin dan kita jaga dari berbagai macam ancaman yang akan mengusik keberadaanya.
47
Tabel IV.1 Pengalaman Galangan Kapal Nasional dalam Pembangunan Kapal Baru Hingga Tahun 2013 No. Jenis Kapal Kapasitas 1
Kapal Curah (Bulk Carrier)
50.000 DWT
2
Kapal Trailer (Ferry Ro-Ro)
19.000 GT
3
Kapal Tanker (Oil Tanker)
30.000 DWT, 17.500 DWT, 6.500 DWT, 3.500 DWT
4
LPG Carrier
5.000 CUFT
5
Kapal Penumpang
500 Orang
6
Kapal Keruk (Bucket)
12.000 Ton
7
Kapal Keruk (Trailing Suction Hopper
1.000 m3
Dredger) 8
Kapal Barang (General Cargo)
3.6500 DWT
9
Kapal Container
1.6500 TEU’S
10
Kapal Tunda (Ocean Going Tug Boat)
11
Landing Platform Dock
12
Kapal Penyebrangan (Ferry)
13
Kapal Perintis
14
Kapal Ikan
15
Kapal Pesiar dan Olahraga
16
Kapal Patroli (FPB-57 dan FPB-28)
17
Kapal Perang Corvet
7500 HP
5000 BRT
300 GT
1200 DWT, 750 DWT, 500 DWT, 350 DWT
Sumber: Kementerian Perindustrian 2013
Industri galangan kapal diharapkan mampu memproduksi berbagai jenis kapal yang difungsikan untuk proses pendayagunaan sumber kelautan. Pendayagunaan sumber kelautan tersebut terbagi menjadi dua yaitu sumber daya laut dan permukaan, serta dasar laut dan lapisan dibawahnya. Untuk pemanfaatan sumber daya laut dan permukaan seperti penangkapan ikan galangan kapal memiliki peran sebagai pembuat kapal ikan. Kegiatan dasar laut seperti pengeboran juga membutuhkan peran dari industri galangan kapal. Selain itu, mengingat karakteristik industri perkapalan yang padat modal, padat karya, dan padat teknologi, serta luasnya keterkaitan pada industri lain maka pengembangan yang dilakukan pada industri perkapalan akan berdampak positif pada sektor-sektor industri dan perekonomian lainnya, 48
termasuk pengembangan keunggulan sumber daya manusia. Peran-peran yang ada pada industri galangan kapal nasional tersebut nantinya akan menuju kepada proses kemajuan dalam pembangunan nasional Bangsa Indonesia. Ditinjau dari rangkaian proses produksi atau pembangunan suatu kapal, industri galangan kapal termasuk dalam kategori industri hilir. Oleh karena itu industri ini sangat tergantung pada industri penunjangnya. Industri penunjang yang dimaksud ini diantaranya adalah industri bahan baku dan penolong (pelat, profil, pipa, kawat las, dll), industri permesinan (mesin utama, mesin bantu, mesin pembangkit listrik, pompa-pompa, dll), industri komponen (peralatan komunikasi dan navigasi, instalasi listrik, perlengkapan keselamatan kapal, dll). Kemampuan industri perkapalan di Indonesia dewasa ini terus menerus ditingkatkan melalui penguasan teknologi produksi, pengawasan mutu, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kemampuan rancang bangun dan perekayasaan kapal. Hal ini diperuntukan dalam memenuhi kebutuhan sarana transportasi dalam negeri dan peningkatan kemampuan ekspor negara. Salah satu usaha pemerintah untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi Indonesia adalah dengan diterbitkannya Inpres No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inti Inpres adalah penerapan asas cabotage secara konsisten yang diperkuat Undang-Undang No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengharuskan angkutan laut dalam negeri menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dimiliki oleh perusahaan Indonesia dan diawaki oleh awak kapal berkebangsaan Indonesia.
Sumber: Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) 2013
Gambar IV.1 Perkembangan Armada Perkapalan Nasional Setelah Pelaksanaan Asas Cabotage 49
Berdasarkan grafik di atas pada posisi bulan februari 2013 total armada perkapalan nasional sebanyak 12.004 unit kapal (17,047 juta GT), bila dibandingkan dengan bulan Maret 2005 yang total armadanya sebanyak 6.041 unit kapal (5,67 juta GT) maka terjadi peningkatan jumlah armada sebanyak 5.963 unit kapal (98,70 %). Pelonjakan jumlah armada nasional telah membuka pangsa pasar sangat besar bagi industri perkapalan, baik untuk perbaikan dan perawatan, maupun pembangunan kapal baru dalam rangka penambahan armada atau menggantikan armada yang sudah tidak ekonomis. Seperti yang diperkirakan oleh INSA (Indonesia National Shipowners Association), kebutuhan perawatan kapal per tahunnya mencapai sekitar 17 juta GT dan kebutuhan bangunan baru mencapai 700 sampai dengan 1.000 unit kapal atau setara dengan sekitar 1 juta GT. Mengingat kewajiban-kewajiban perawatan yang harus dipenuhi oleh armada pelayaran nasional agar dapat terus beroperasi dan tidak dapat ditundanya kebutuhan kapal baru maka jika peluang pasar yang besar ini tidak segera diantisipasi oleh industri perkapalan nasional, tidak mustahil permintaan ini akan mengalir ke galangan-galangan kapal di luar negeri. Apalagi mengingat pesatnya perkembangan industri perkapalan di kawasan ASEAN dan ASIA yang menawarkan kecepatan produksi, harga dan mutu yang sangat bersaing. Pada satu sisi, pertumbuhan pasar perkapalan ini ternyata belum diimbangi oleh perkembangan industri perkapalan nasional, baik dari segi kapasitas terpasang, ketepatan waktu penyerahan kapal, mutu pekerjaan dan biaya produksi. Pada saat ini, galangan yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 260 dengan total kapasitas terpasang untuk melakukan pekerjaan perawatan/perbaikan sekitar sebesar 12,1 juta DWT dan 936 ribu DWT untuk bangunan baru. Tingkat pemanfaatan kapasitas galangan kapal nasional saat ini adalah 85 persen untuk perawatan, dan hanya kurang dari 35 persen untuk bangunan baru.
50
Kapasitas Terpasang Galangan Kapal Nasional (DWT) 12.150.000 6,000,000
400,000
936,000
2005
2013
Reparasi
Bangunan baru
Sumber: Kementerian Perindustrian2013
Gambar IV.2 Grafik Perkembangan Kapasitas Terpasang Galangan Kapal Nasional Pasca Pelaksanaan Asas Cabotage
Tabel IV.2 Penjabaran Kapasitas Terpasang pada Galangan di Tahun 2013 untuk Reparasi dan Bangunan Baru Berdasarkan Kelas Fasilitas Fasilitas untuk Reparasi No.
Kelas Fasilitas (DWT)
Jumlah
Kapasitas Terpasang/Th
Fasilitas untuk Bangunan Baru Jumlah
Kapasitas Terpasang/Th
(unit)
(GT)
(DWT)
(unit)
(GT)
(DWT)
1
< 500
121
480,000
720,000
99
23,000
34,500
2
501 – 1.000
45
495,000
742,500
27
19,000
28,500
3
1.001 – 3.000
25
455,000
682,500
10
15,500
23,250
4
3.001 – 5.000
6
400,000
600,000
14
61,500
92,250
5
5.001 – 10.000
9
1,170,000
1,755,000
17
116,000
174,000
6
10.001 – 50.000
8
1,980,000
2,970,000
8
264,000
396,000
7
50.001 – 100.000
3
1,920,000
2,880,000
3
75,000
112,500
8
>100.000
1
1,200,000
1,800,000
1
50,000
75,000
8,188,000
12,150,000
179
624,000
936,000
JUMLAH 218 Sumber: Kementerian Perindustrian 2013
Beberapa fasilitas produksi untuk bangunan kapal baru, juga digunakan untuk perbaikan kapal (docking repair) seperti : graving dock di PT. PAL, PT. Dumas, PT. Dok Kodja Bahari, PT. Janata Marina Indah, PT. ASL Shipyard Indonesia, PT. Samudera Marine Indonesia dan PT. Waruna Nusa Sentana. Jenis fasilitas produksi seperti slipway, floating dock, graving dock, 51
shiplift, airbag untuk reparasi. Sedangkan fasilitas building berth , airbag serta graving dock untuk bangunan kapal baru. Rendahnya tingkat pemanfaatan untuk bangunan baru, terutama disebabkan kurang bersaingnya galangan dalam negeri dibandingkan galangan luar negeri dari segi harga, kecepatan produksi, dan mutu pekerjaan. Selain itu, juga masih kurangnya keberpihakan pemerintah kepada industri perkapalan nasional, seperti perpajakan dan bea masuk komponen impor, standarisasi komponen kapal, serta dorongan terhadap industri pendukung dalam negeri.
IV.2
Industri Komponen Kapal di Indonesia Sektor industri bagi sebuah negara merupakan bagian terpenting dari proses
pembangunan. Negara padat seperti Indonesia yang memiliki potensi jumlah penduduk yang besar, sangat memerlukan keberadaan industri. Hal itu terkait dengan penyerapan dan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Iklim industri akan berkembang seiring dengan keberadaan kondisi daerah yang aman dan kondusif. Kehadiran industri berskala besar sangat dinantikan oleh banyak pihak. Industri skala besar akan banyak menyerap tenaga kerja dan akan menumbuhkan sektor industri menengah. Industri menengah ini nantinya dapat menjadi sektor-sektor riil yang menunjang keberadaan industri besar. Sehingga diharapkan akan menuju ke arah hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara industri menengah dengan industri besar tersebut. Di Indonesia, kondisi saat ini belum sepenuhnya tercapai. Berdirinya industri-industri besar seperti galangan kapal, industri pesawat terbang, industri otomotif, dan industri perkeretaapian tidak didukung dengan basic industries yang kuat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas [Indrajit dkk., 1993]. Keberadaan industri penunjang di Indonesia saat ini sangat penting untuk mendukung kelangsungan produksi dari masing-masing industri besar. Berkembangnya iklim investasi di bidang industri juga dapat ditentukan oleh keberadaan industri penunjang ini. Korea Selatan merupakan contoh negara industri yang berkembang sangat pesat akibat keberadaan industri penunjang. Kebutuhan material atau komponen produksi industri besar akan mudah diperoleh dari keberadaan industri penunjang yang sangat variatif. Saling keterkaitan ini nantinya akan membawa dampak kemajuan bagi perkembangan iklim industri di negara tersebut. 52
Industri perkapalan dalam proses produksinya tidak secara serta merta memproduksi kapal beserta bagian-bagian dan komponen-komponennya, hal itu terlihat bahwa industri perkapalan hanya melakukan proses pembentukkan dan perakitan dari berbagai macam komponen serta peralatan dan perlengkapan penyusunnya. Berbagai macam jenis komponen penyusun itu dihasilkan oleh berbagai industri penunjang yang berbasis di bidang maritim. Seperti kondisi sekarang ini yang terjadi pada dunia industri galangan kapal dan industri komponen kapal, bahwasannya kebanyakan industri yang memproduksi komponen kapal hanya merupakan industri sampingan (side product) disamping produk-produk yang utama. Hal tersebut terjadi dikarenakan salah satu penyebabnya adalah pasar untuk permintaan produkproduk komponen kapal belum banyak dan juga belum stabil. Tetapi mengingat dengan diterbitkannya Inpres No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inti Inpres adalah penerapan asas cabotage secara konsisten yang diperkuat Undang-Undang No 17 tahun 2008 tentang pelayaran, adalah bagian dari bukti nyata kepedulian pemerintah. Maka dengan meningkatnya perkembangan dari industri pelayaran diharapkan dapat menciptakan pasar permintaan komponen-komponen yang tinggi dan juga stabil. Pertumbuhan dan perkembangan sektor industri strategis di Indonesia mulai gencar dicanangkan saat era Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia dari tahun 1978 sampai tahun 1998. Program Bangsa Indonesia untuk mencapai tinggal landas dicanangkan pada saat itu, percepatan-percepatan dilakukan untuk mempercepat proses tersebut. Kondisi Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai kesempatan melangkah lebih maju lagi untuk dapat bersaing dengan negara maju lainnya. Kondisi pembangunan pada sektor industri strategis menjadi program dalam prioritas utama. Industri perkapalan dan penerbangan merupakan salah satu industri strategis yang dituntut untuk dapat tumbuh dan berkembang sampai di tingkat persaingan dunia internasional. Untuk mendukung keberadaan industri strstegis tersebut, dibangun dan dikembangkanlah berbagai industri-industri prnunjang bagi industri strategis tersebut dengan status Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Industri penunjang tersebut Antara lain:
PT. Barata Indonesia (Persero) PT. Barata Indonesia (Persero) sudah berdiri sejak tahun 1971. Pada awal beridirnya PT.
Barata Indonesia (Persero) adalah penggabungan dari dua perusahaan Belanda, yaitu NV. Braat 53
Machine Fabriek (1901) dan Machine Fabriek & Werf NV. Molen Fliet (1920). Perusahaan yang berlokasi di Gresik ini memiliki lini bisnis di sektor foundry, EPC (Equipment Construction and Procurement) di industri agro dan pembangkit listrik, dan industrial equipment and component manufacturing untuk industri argo, pembangkit listrik, minyak dan gas, pembangunan jalanan, perlengkapan irigasi, dan komponen perkapalan. Untuk komponen perkapalan sendiri PT. Barata Indonesia (Persero) memproduksi komponen-komponen perkapalan berbasis cor, deck machinery, dan baling-baling kapal.
PT. Boma Bisma Indra (Persero) Tidak berbeda jauh dengan PT. Barata Indonesia (Persero), PT. Boma Bisma Indra
(Persero) juga mulai berdiri sejak tahun 1971. PT. Boma Bisma Indra (Persero) juga merupakan hasil peleburan dari tiga perusahaan, yaitu PN. Boma, PN. Bisma, PN. Indra. Dan ketiganya adalah hasil pengambil alihan pemerintah Republik Indonesia dari perusahaan Belanda yang bernama NV-De Bromo, NV-De Industrie, NV-De Vulkan. PT. Boma Bisma Indra (Persero) memiliki pusat produksi di wilayah Surabaya. Dengan fokus produk seperti power generator, pressure vessel, perlengkapan industri, dan pompa. Dan untuk komponen kapal, PT. Boma Bisma Indra (Persero) mampu memproduksi deck machinery dan boiler.
PT. Krakatau Steel (Persero) Tbk. Sebagai satu-satunya perusahaan besar milik negara yang menjadi pemasok utama untuk
pelat dan profile kapal, PT. Krakatau Steel (Persero) Tbk. dimulai di suatu masa pada 1960, Presiden Soekarno mencanangkan Proyek Besi Baja Trikora untuk meletakkan dasar industri nasional yang tangguh. Sepuluh tahun kemudian tepatnya 31 Agustus 1970, berdirilah PT Krakatau Steel (Persero) yang memanfaatkan kembali peralatan-peralatan dari proyek itu yang berbentuk pabrik kawat baja, pabrik baja tulangan dan pabrik baja profil. ada 1977, Presiden Suharto meresmikan mulai beroperasinya produsen baja terbesar di Indonesia itu. Perkembangan Krakatau Steel sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industri baja berlangsung cukup maju. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, Perseroan sudah menambah berbagai fasilitas produksi seperti Pabrik Besi Spons, Pabrik Billet Baja, Pabrik Batang Kawat, serta fasilitas infrastruktur berupa pusat pembangkit listrik, Pusat Penjernihan Air, pelabuhan khusus Cigading dan sistem telekomunikasi. Dengan perkembangan ini, PT Krakatau Steel (Persero) menjadi satu-satunya perusahaan baja yang terpadu di Indonesia.
54
Tidak berhenti di sana, Perseroan terus mengembangkan produksi berbagai jenis baja untuk bermacam keperluan, seperti baja lembaran panas, baja lembaran dingin dan batang kawat. Saat ini, Krakatau Steel memiliki kapasitas produksi baja kasar sebesar 2,45 juta ton per tahun untuk mendukung produksi baja tersebut. Dan dengan sepuluh anak perusahaan Krakatau Steel sanggup mendiversifiasi usahanya pada usaha-usaha penunjang yang menghasilkan berbagai produk baja bernilai tambah tinggi (seperti pipa spiral, pipa ERW, baja tulangan, baja profil), meyediakan industri utilitas (air bersih, tenaga listrik), industri infrastruktur (pelabuhan, kawasan industri), industri jasa teknik (konstruksi, rekayasa), teknologi informasi, serta menyediakan layanan kesehatan (rumah sakit). Produk- produk baja Krakatau Steel ini tak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan baja nasional, tetapi juga dipasarkan secara internasional. Kemampuan teknis Krakatau Steel yang tinggi sudah diakui menurut standar internasional sejak dahulu kala. Bahkan pada 1973 Perseroan sudah memperoleh Sertifiat ASTM A252 dan AWWA C200, serta pada 1977 memperoleh Sertifiat API 5L untuk produksi pipa spiral. Sertifiat ISO 9001 diperoleh PT Krakatau Steel (Persero) pada 1993 dan telah ditingkatkan menjadi ISO 9001:2000 pada 2003. Sementara itu, SGS internasional memberikan Sertifiat ISO 14001 pada 1997 atas komitmen Perseroan pada kesadaran lingkungan dan keselamatan kerja. Pada 10 November 2010, di tengah kondisi pasar yang masih bergejolak, PT Krakatau Steel (Persero) berhasil menjadi perusahaan terbuka dengan melaksanakan penawaran umum perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2011, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. membukukan pendapatan bersih sebesar Rp17,9 triliun dan laba bersih Rp1,02 triliun. Pada tahun 2011, Perseroan dan anak perusahaan dengan aset senilai Rp21,5 triliun memiliki 8.023 orang karyawan
PT. Pindad (Persero) Pada periode tahun 1808-1850 berdiri bengkel peralatan militer bernama Artilleriee
Constructie Winkle (ACW) dan Pyrotekniesche Werkplaats (PW) berfungsi mengadakan persediaan dan pemeliharaan alat-alat perkakas senjata dan memperbaiki senjata-senjata yang rusak, sementara PW berfungsi membuat dan memperbaiki munisi atau mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan bahan peledak untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Laut Belanda.
55
Pada periode tahun 1923-1932, bengkel-bengkel yang ada di Surabaya dan lain-lain dipindahkan ke Bandung dan digabung menjadi satu dengan nama Artilerie Inrichtingen (AI). Tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang dan kemudian ACW berganti nama menjadi Dai Ichi Kozo (DIK). Pada tahun 1947 DIK berganti nama menjadi Leger Productie Bedrijven (LPB). Pada tanggal 29 April 1950 pemerintah Belanda menyerahkan LPB kepada pemerintah RIS dan berganti nama menjadi Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM). Tahun 1958 PSM berganti menjadi Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat kemudian berubah nama menjadi PINDAD dan pada tahun 1983 status PINDAD berubah menjadi BUMN. Pada tahun 1989, bersama dengan 9 Persero lain, PT. PINDAD (Persero) berada dibawah pembinaan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Tahun 1998 BPIS dibubarkan, seluruh perseroan yang berada di bawah pembinaannya menjadi anak perusahaan PT. Pakarya Industri (Persero). Tahun 1999 PT. Pakarya Industri (Persero) berubah nama menjadi PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (Persero), yang kemudian dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 52 tahun 2002. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 41 tahun 2003, PT. Pindad (Persero) berada di bawah kewenangan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. PT. Pindad (Persero) dalam melaksanakan kegiatan usahanya mampu memproduksi komponen-komponen yang dibutuhkan oleh industri galangan kapal, dan komponen-kemponen yang dimaksud contohnya seperti crane, windlass, winch, tangga akomodasi, towing hook, hydraulic steering gear, dan perlengkapan kapal lainnya. Tidak hanya mampu memproduksi komponen-komponen kapal, PT. Pindad (Persero) juga mencakup bidang lainnya, seperti: a. Manufaktur : 1. Produk senjata dan munisi, 2. Produk kendaraan khusus, 3. Produk piroteknik, bahan pendorong dan bahan peledak (militer dan komersial.), 4. Produk konversi energi, 5. Produk komponen, sarana dan prasarana dalam bidang transportasi, 6. Produk mesin industri dan peralatan industrial, 7. Produk mekanikal, elektrikal, optikal dan opto elektronik.
56
b. Jasa : 1. Perekayasaan sistem industrial, 2. Pemeliharaan produk/ peralatan industri, 3. Pengujian mutu dan kalibrasi, 4. Konstruksi, 5. Pemesinan, 6. Heat dan Surface Treatment, 7. Peledakan. c. Perdagangan : Melaksanakan pemasaran, penjualan dan distribusi produk dan jasa tersebut termasuk produksi pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri. d. Produk dan jasa lainnya dalam rangka memanfaatkan sisa kapasitas yang telah dimiliki Perusahaan. Dari keempat contoh perusahaan penunjang tersebut direncanakan dapat memasok kebutuhan komponen beserta material bahan baku penyusun dari produk yang dihasilkan oleh industri strategis. Dan tujuan lain dari didirikan dan dikembangkannya industri penunjang ini adalah untuk mengurangi ketergantungan industri-industri strategis yang ada di Indonesia terhadap material impor sebagai ketersediaan bahan baku dalam proses produksinya. Pada industri perkapalan, peranan dari industri penunjang sangat dibutuhkan untuk ikut turut serta dalam kegiatan pengembangan industri galangan kapal. Ketersediaan material bahan baku dan komponen-komponen yang dibutuhkan dalam proses produksi merupakan salah satu hal yang utama bagi kehidupan industri galangan kapal. Dengan terpenuhinya tujuan-tujuan tersebut, diharapkan industri galangan kapal sebagai salah satu industri strategis atau industri yang diberi dukungan penuh oleh industri penunjang, dapat lebih maju dan berkembang menjadi industri unggulan yang berkualitas di kancah internasional. Begitupun sebaliknya, seiring dengan perkembangan industri galangan kapal maka akan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan industri komponen kapal di Indonesia, karena industri galangan kapal mengkonsumsi komponen-komponen yang dihasilkan oleh industri penunjang atau industri komponen kapal
57
Ironisnya kondisi tersebut pada akhirnya tidak dapat berjalan semestinya akibat banyaknya hambatan dan permasalahan yang timbul, tetapi tidak pernah ada penyelesaian yang matang Bisa terlihat dari pertumbuhan jumlah industri komponen kapal sejak tahun 2010 hingga tahun 2013.
. Sumber: Kementerian Perindustrian 2013
Gambar IV.3 Pertumbuhan Jumlah Industri Komponen Kapal di Indonesia Pada gambar di atas terlihat penurunan jumlah industri komponen kapal dari tahun 2010 ke tahun 2011. Dan kemudian jumlahnya tidak ada perubahan, walaupun sudah tiga tahun lamanya. Industri-industri komponen kapal di Indonesia pada tahun 2013 yang berjumlah 69 perusahaan, komposisinya adalah: 1. Industri Komponen Listrik (Main Switch Board (MSB), panel, dll) = 19 industri 2. Industri Konstruksi Kapal (profil, pelat, dll) = 10 industri 3. Industri Cat Kapal = 8 industri 4. Industri Cathodic Protection = 6 industri 5. Industri Peralatan Radio dan Navigasi Kapal = 4 industri 6. Lain-lain (crane, windlass, dll) = 13 industri Industri komponen kapal di Indonesia bisa dikatakan masih dalam kondisi yang belum berkembang. Hal ini terlihat dari jumlah industri komponen kapal yang masih sedikit ditambah masih belum banyaknya variasi komponen kapal yang mampu diproduksi di Indonesia.
58
IV.3
Industri Kendaraan Bermotor IV.3.1 Gambaran Umum Industri Kendaraan Bermotor di Indonesia Industri kendaraan bermotor atau otomotif telah dikembangkan selama lebih dari 30 tahun dan telah turut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perekonomian nasional. Pengembangan industri kendaraan bermotor perlu untuk terus dilakukan karena industri kendaraan bermotor memiliki keterkaitan yang luas dengan sektor ekonomi lainnya dan juga memiliki potensi pasar dalam negeri yang cukup besar. Dalam rangka pengembangan industri kendaraan bermotor, telah disusun roadmap. Dalam roadmap Industri Kendaraan Bermotor yang disusun oleh Kementerian Perindustrian disebutkan bahwa pengembangan industri otomotif ke depan akan diarahkan pada pengembangan kendaraan sedan kecil, kendaraan niaga, sepeda motor, dan komponen kendaraan bermotor dengan penekanan pada kendaraan ramah lingkungan dan hemat energi. Dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan maka strategi yang akan dilakukan adalah memperkuat basis produksi kendaraan niaga, kendaraan penumpang kecil, dan sepeda motor serta meningkatkan kemampuan teknologi produk dan manufaktur industri komponen kendaraan bermotor. Dalam jangka menengah, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi kendaraan bermotor roda empat mencapai 1.250.000 unit. Jumlah produksi tersebut diperoleh jika diasumsikan pertumbuhan rata-rata per tahun adalah 10%. Berdasarkan data dari ASEAN Automotive Federation (AAF), sampai dengan akhir 2012, produksi kendaraan bermotor roda empat di Indonesia telah mencapai 1,065 juta unit. Produksi tahun 2012 tersebut mengalami peningkatan 27% jika dibandingkan dengan produksi tahun 2011 yang sebesar 837 ribu unit. Jika dibandingkan dengan target produksi yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian sebagaimana terlihat pada tabel di bawah, maka produksi tahun 2012 jauh melampaui target yang ditetapkan. Target produksi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
59
Sumber: Kementerian Perindustrian 2013
Gambar IV.4 Sasaran Produksi Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat di Indonesia Sampai dengan akhir 2012, produksi kendaraan bermotor roda empat di Indonesia telah
melebihi target yang ditetapkan. Namun pencapaian target produksi haruslah
diimbangi dengan pendalaman struktur industri. Selain sasaran kuantitatif, Kementerian Perindustrian juga membuat sasaran kualitatif. Sasaran kualitatif yaitu sasaran yang berfokus pada tahapan pengembangan industri. Sasaran kualitatif dibuat berdasarkan pengelompokkan jenis kendaraan, kandungan lokal, dan penguasaan teknologi. Pada jangka menengah, diharapkan Indonesia sudah mulai membuat sendiri desain kendaraan bermotor roda empat jenis MPV dan truk kecil yang diproduksinya serta mampu memproduksi komponen utama seperti transmisi. Selama ini riset dan desain kendaraan bermotor yang dijual Indonesia khususnya merek Jepang masih dilakukan di Thailand.
IV.3.2 Industri Komponen Kendaraan Bermotor di Indonesia Industri
komponen
otomotif di
Indonesia
berkembang
seiring
dengan
perkembangan industri otomotif. Variasi produk yang dihasilkan dalam industri ini sangat luas dan beragam, mulai dari komponen mesin hingga komponen badan kendaraan bermotor bahkan termasuk asesoris kendaraan tersebut. Pemain dalam industri ini adalah pabrikan yang terdiri pabrikan besar hingga pabrikan dalam skala industri rumah tangga selain itu terdapat pedagang besar hingga pedagang eceran yang skalanya kecil. Masingmasing pebisnis tersebut mempunyai segmen pasar sendiri-sendiri sehingga walaupun 60
terdapat pemain besar dan pemain kecil namun mereka masih bisa beroperasi sendirisendiri. Bahan baku dalam industri ini sangat bervariasi, termasuk besi baja dan campuran besi baja dengan bermacam komposisi, alumunium, perak, tembaga, bahan-bahan untuk cetakan, karet dan olahan karet, dan berbagai macam variasi dan komposisi busa dan kertas untuk pembuatan penyaring (filter). Bahan baku tersebut merupakan hasil produksi dalam negeri dan impor dari pemasok di luar negeri, dimana mayoritas bersumber dari negara negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan dan Cina, tergantung dari permintaan kualitas dan kuantitasnya. Pada komponen tertentu bahan baku harus diimpor karena bahan baku yang tersedia di Indonesia tidak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan minimum untuk pembuatan komponen kendaraan tersebut. Kualitas bahan baku biasanya membedakan hasil akhir produk komponen tersebut, apakah produksinya akan digunakan untuk memenuhi pabrikan perakitan kendaraan (OEM) sehingga membutuhkan spesifikasi yang tinggi atau untuk memenuhi produksi sendiri yang dipasarkan dengan merek sendiri atau untuk memenuhi kebutuhan pemasar lain sehingga dari pabrikan dijual tanpa merek. Selain itu apakah komponen tersebut merupakan komponen utama atau komponen aksesori sehingga spesifikasi bahan baku menjadi berbeda pula. Pabrikan alat cetak (mold) komponen kendaraan tentu mempunyai peranan yang penting dalam industri ini, baik alat cetak dari baja atau alat cetak dari bahan plastik. Dalam berpoduksi mereka menerima spesifikasi dari perusahaan-perusahaan komponen otomotif yang dalam proses produksinya melakukan penempaan (forging), pencetakan (casting), pengepresan (stamping) dan lainnya. Bahan baku dari pabrikan ini lebih banyak dipenuhi dari impor daripada dipenuhi oleh produsen dalam negeri karena dibutuhkan kekuatan dan kemudahan dalam membentuk alat cetak. Pabrikan komponen di Indonesia menerima pesanan pembuatan komponen kendaraan dari pabrikan perakitan kendaraan bermotor berserta spesifikasi teknis yang harus dipenuhi didalam produk tersebut. Produsen komponen otomotif selalu hanya fokus pada satu jenis komponen walaupun variasi dari komponen tersebut cukup banyak, misalnya produsen aki kendaraan bermotor maka mereka hanya fokus pada teknologi pembuatan aki dalam berbagai ukuran dan tipe. Mereka tidak akan membuat komponen diluar kemampuan teknis yang dimilikinya. Pabrikan komponen ini bisa digolongkan menjadi dua, yaitu: 61
1. Produksi yang berbasiskan pada proses. Pada produksi ini, perusahaan mempunyai teknologi dan mesin-mesin untuk melakukan proses produksi dalam menghasilkan produk. Misalnya perusahaan yang mempunyai teknologi proses cetak dengan alumunium (aluminum casting) maka perusahaan ini bisa menghasilkan berbagai macam produk komponen otomotif yang dibentuk melalui proses tersebut, seperti tutup blok mesin dari alumunium atau velg dari alumunium. Jika perusahaan tersebut menguasi proses injeksi plastik maka perusahaan tersebut mempunyai mesin injeksi plastik walaupun kemampuan injeksi mesinnya tidak pada semua tonase injeksi tapi perusahaan tersebut mampu memproduksi komponen seperti tutup kaca spion dari plastik, tempat duduk dari plastik bahkan perusahaan ini juga mampu memproduksi tidak sebatas komponen kendaraan tetapi semua produk yang menggunakan plastik dan prosesnya menggunakan injeksi, seperti plastik untuk printer dan monitor komputer. 2. Produksi yang berbasiskan pada produk. Perusahaan ini mempunyai teknologi dan mesin-mesin untuk membuat sebuah produk, misalnya seperti produk peredam kejut. Perusahaan ini akan memproduksi berbagai variasi dari peredam kejut baik untuk kendaraan roda empat maupun kendaraan roda dua atau produk-produk lain yang teknologinya menggunakan teknologi peredam kejut seperti penyangga pintu bagasi kendaraan. Perusahaan ini tidak akan memproduksi produk lain selain menggunakan teknologi peredam kejut. Pabrikan komponen ini tidak bisa terlepas dari prinsipalnya yang menguasi teknologi pembuatan komponen dan merek untuk komponen tersebut sesuai dengan merek kendaraannya. Pabrikan tersebut kebanyakan joint venture dengan pabrikanpabrikan dari Jepang dimana di negaranya sendiri pabrikan tersebut masih saling terkait dengan perusahaan perakitan kendaraan bermotor (keretsu) sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk memenuhi perusahaan perakitan kendaraan bermotor yang saling terkait tersebut. Pasar dari industri komponen dalam negeri dipenuhi oleh produsen dalam negeri dan impor. Komponen impor terjadi karena produsen domestik tidak mampu membuatnya dengan berbagai alasannya, misal teknologinya tidak dimiliki atau jika dibuat maka secara skala ekonominya tidak terpenuhi yang berdampak pada harga jual yang terlalu mahal. Importir dari komponen ini dilakukan oleh agen tunggal pemegang 62
merek maupun importir umum yang memasarkan dengan merek lain. Pertumbuhan industri komponen otomotif didorong oleh industri otomotif itu sendiri, baik sebagai pasokan komponen untuk perakitan kendaraan baru maupun komponen untuk layanan purna jual kendaraan. Sebagai Original Equipment Manufacturer (OEM) atau pemasok perakitan kendaraan bermotor tentu harus dipikirkan lokasi yang mudah diakses oleh dan ke pelanggan karena untuk mengurangi biaya transportasi dan biaya penyimpanan persediaan. Industri otomotif sudah banyak yang menganut sistem JIT (Just in Time) sehingga komponen kendaraan harus bisa dikirim ke lokasi perakitan kendaraan tepat waktu karena bisa berdampak pada berhentinya proses produksi yang dilakukan perusahaan perakitan kendaraan bermotor. Layanan purna jual kendaraan bermotor tentu membutuhkan suku cadang pengganti sesuai dengan umur dari masing-masing komponen. Kendaraan bermotor yang pada dasarnya merupakan alat transportasi maka penyediaan suku cadangnya juga harus tersebar sesuai dengan sebaran kendaraan bermotor itu sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan tentang logistik sehingga distribusi suku cadang tersebut dapat berjalan dengan baik. Adanya persaingan dengan komponen otomotif yang diimpor oleh importir umum maka menuntut para produsen komponen harus bisa beroperasi lebih efisien lagi jika ingin memenangkan persaingan. Populasi kendaraan di Indonesia hingga tahun 2007 diperkirakan sekitar 22 juta untuk sepeda motor (AISI) dan 7,5 juta untuk mobil pribadi (GAIKINDO) menunjukkan pasar komponen otomotif yang sangat besar. Pasar yang sangat besar tersebut harus bisa dilihat sebagai peluang untuk bisa tumbuh bagi industri komponen otomotif, terlebih jika komponen yang diproduksi termasuk komponen yang penggantiannya tidak bisa ditunda, seperti penggantian aki mobil yang sudah tidak bisa menyimpan listrik atau ban pada kendaraan yang sudah aus atau robek, karena kendaraan tidak bisa digunakan jika komponen tersebut belum diganti. Terdapat juga komponen-komponen kendaraan bermotor yang rutin harus diganti sesuai dengan umur pakai komponen tersebut, seperti oli mesin dan penyaring oli, dimana kedua komponen tersebut jika tidak rutin diganti akan berdampak pada kerusakan pada mesin kendaraan. Komponen-komponen jenis tersebut merupakan komponen rutin akan dibeli oleh pemakai akhir yang secara total nilainya sangat besar jika mampu menguasai pasarnya.
63
Dalam memasarkan komponen otomotif juga harus melakukan edukasi terhadap pelanggan, walaupun keputusan untuk membeli suku cadang kendaraan ada ditangan pemilik kendaaraan tapi pelanggan sebenarnya sangat dipengaruhi oleh seorang mekanik kendaraan bermotor. Pelanggan cenderung mengikuti apa yang dikatakan oleh mekanik yang mereka percayai karena minimnya pengetahuan tentang kendaraan bermotor atau mereka akan memakai produk pengganti dengan merek yang sama dengan komponen yang sudah terpasang pada kendaraannya. Pelaku bisnis dalam industri otomotif dunia pada saat ini saling bergabung dan melakukan strategi global dalam hal pemasarannya. Mereka tidak lagi memadang batasbatas negara namun sudah menuju ke pendekatan pasar regional untuk mencapai efisiensi untuk memenangkan persaingan. Kemudahan dalam mendistribusikan kendaraan dari satu negara ke negara lain tentu sangat menarik buat para pebisnis bidang otomotif ini. Mereka akan mencari lokasi perakitan kendaraan yang menguntungkan buatnya, baik dari segi kebijakan pemerintah yang berupa insentif terhadap perpajakan dan tersedianya sarana dan prasarana produksi yang memadai. Lingkup regional Asean para pebisnis bidang otomotif melakukan pemusatan perakitan kendaraan di Thailand. Toyota telah melakukan pengembangan regional, dimana untuk mobil penumpang mereka memusatkan produksinya di Thailand untuk dipasarkan dikawasan regional dan untuk perakitan yang di Indonesia hanya untuk kendaraan niaga saja. Siaran pers CEO Nissan Motor menyebutkan “Thailand menawarkan kesempatan yang sangat besar buat Nissan. Terdapat potensi untuk tumbuh dan merupakan basis yang bagus untuk melakukan ekspansi terhadap eksistensi di regional ini”. Dampak langsung dari pemusatan produksi tersebut terhadap industri komponen adalah para prinsipal akan melakukan pemusatan produksi juga untuk mendekatkan dengan pelanggannya untuk segmen OEM. Pasar after market tentu akan dilayani dengan mendistribusikan hasil produksinya ke seluruh regional tersebut tanpa harus membangun fasilitas pabrik dimasing-masing negara.
IV.3.3 Insentif Fiskal Industri Kendaraan Bermotor Dalam rangka menghadapi perjanjian perdagangan bebas regional dan juga dalam menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Frost & Sullivan mengidentifikasi 7 variabel yang diperlukan dalam menghadapi persaingan pada industri otomotif. Salah 64
satu variabel yaitu dukungan pemerintah dalam bentuk insentif perpajakan. Menurut riset BCG, Indonesia tidak memiliki skema insentif yang memadai bagi industri otomotif. Riset Information Handling Services (IHS) juga menyatakan bahwa Indonesia tidak memberikan insentif khusus bagi industri otomotif sejak tahun 1999. Pada periode sebelum 1997, Indonesia menerapkan kebijakan perlindungan industri kendaraan bermotor dengan menerapkan bea masuk yang tinggi bagi impor kendaraan bermotor dalam keadaan utuh (Completely Build Up/CBU). Di samping itu, dalam rangka meningkatkan industri komponen dalam negeri, pemerintah juga memberikan insentif berupa pengurangan bea masuk terhadap impor kendaraan bermotor berdasarkan pencapaian tingkat kandungan lokal. Insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia cenderung berfokus pada pengurangan bea masuk bagi impor barang modal. Pemberian insentif bagi impor barang modal dan komponen hanya mendorong industri kendaraan bermotor untuk berkompetisi di dalam negeri dengan kendaraan impor. Sedangkan bagi industri kendaraan bermotor yang berorientasi ekspor yang memanfaatkan kawasan berikat atau fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), secara relatif tidak mendapatkan tambahan insentif fiskal. Sebaliknya, Malaysia dan Thailand banyak memberikan insentif perpajakan selain insentif pengurangan bea masuk impor barang modal dan komponen. Malaysia memberikan fasilitas bebas pajak selama sepuluh tahun bagi industri yang memproduksi barang-barang yang termasuk dalam kategori “critical and high value-added parts and components”. Kelompok produk yang termasuk dalam kategori tersebut diantaranya adalah transmission system dan brake system. Contoh lain adalah insentif pengurangan pajak penghasilan bagi industri yang berorientasi ekspor jika kandungan lokal produk yang diekspornya melebihi tingkat tertentu. Thailand juga memberikan insentif pengurangan pajak penghasilan selain insentif pengurangan bea masuk impor barang modal dan komponen. Kegiatan riset dan pengembangan diberikan insentif pajak penghasilan selama tiga tahun. Di samping itu, Thailand juga memberikan insentif perpajakan yang dikaitkan dengan lokasi pabrik dari pusat kota Bangkok. Semakin jauh dari kota Bangkok, insentif yang diberikan juga semakin besar. Insentif terbaru yang diberikan yaitu pengecualian dari pajak penghasilan bagi produsen yang memproduksi kendaraan bermotor ramah lingkungan (eco-car).
65
Kurangnya insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia jika dibandingkan dengan insentif yang diberikan oleh Thailand dan Malaysia menyebabkan terjadinya relokasi industri otomotif dari Indonesia ke negara lain. Salah satu relokasi yang cukup besar adalah industri kendaraan bermotor kategori sedan dengan silinder kurang dari 1500 cc. Pada tahun 1990 an, terdapat hampir 10 merek yang dilakukan perakitannya di Indonesia namun pada tahun 2010 hanya tinggal satu merek yang pada tahun 2011 juga memutuskan untuk keluar dari Indonesia. Saat ini tidak ada lagi pabrik perakitan sedan dengan silinder kurang dari 1500 cc.
Kebijakan Fiskal di Industri Otomotif
PMK No.213/PMK.011/2011 Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor
PMK No.107/PMK.011/2011 BMDTP Bahan Baku Komponen Kendaraan Bermotor 2011
PMK No.07/PMK.011/2010 BMDTP Bahan Baku Komponen Kendaraan Bermotor 2010
PMK No.88/PMK.011/2010 Penetapan Tarif Bea Masuk untuk Kendaraan Bermotor Incompletely Knocked Down (IKD)
PMK No.27/PMK.011/2009 BMDTP Bahan Baku Komponen Kendaraan Bermotor 2009
PMK No.140/PMK.011/2008 BMDTP Bahan Baku Komponen Kendaraan Bermotor 2008 Sumber: Diolah oleh Peneliti
Gambar IV.5 Kebijakan Fiskal pada Industri Otomotif Pada gambar diatas terdapat PMK No.213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor, dimana 66
pada salah satu isi dari kebijakan tersebut adalah mengatur besarnya biaya pajak bea masuk untuk impor kendaraan bermotor. Usaha pemerintah dalam mengembangkan industri otomotif dapat terlihat pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia. Sebagai produk hukum dari PMK No.213/PMK.011/2011, Buku Tarif Kepabeanan Indonesia memberikan perbedaan beban tarif untuk kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan Completely Build Up (CBU) dan Completely Knocked Down (CKD). Pengertian CBU itu sendiri adalah kendaraan baik roda dua maupun roda empat yang didatangkan atau diimpor ke Indonesia dalam keadaan utuh berupa mobil atau motor. Contoh mobil yang diimpor secara utuh adalah Porsche, mobil ini termasuk dalam CBU karena tidak adanya industri yang memproduksi mobil dengan merek tersebut oleh karena itu mobil tersebut masuk ke Indonesia sudah dalam wujud mobil utuh. Untuk motor contohnya motor Harley Davidson. Kemudian untuk pengertian CKD adalah suatu kendaraan baik roda dua maupun roda empat yang didatangkan ke Indonesia dalam keadaan terurai, dengan komponen yang lengkap dan dirakit di Indonesia. Sebagai contoh misalnya Astra Honda Motor (AHM) yang mendatangkan motor Scoopy dari Thailand secara terurai, kemudian dirakit kembali di pabrik AHM di Jakarta. Agar bisa dikatakan CKD kendaraan roda empat setidaknya harus mengandung 4 komponen utama, yakni mesin, transmisi, bodi/sasis, dan garden. Sedangkan untuk roda dua juga harus mengandung empat komponen utama juga yakni mesin, roda, rangka, dan kemudi.
Sumber: Diolah oleh Peneliti
Gambar IV.6 Buku Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2012 67
Pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia, pemerintah memberikan pembebanan pajak bea masuk yang lebih besar untuk impor kendaraan bermotor dan komponennya yang diimpor dalam keadaan CBU. Sedangkan untuk kendaraan bermotor dan komponennya yang diimpor dalam keadaan CKD mendapatkan beban pajak bea masuk yang lebih ringan. Hal ini dimaksudkan agar jumlah kendaraan bermotor dan komponennya yang diimpor ke Indonesia dalam keadaan CBU dapat lebih berkurang. Dan kemudian memberikan pilihan kepada investor otomotif untuk berinvestasi mendirikan industri otomotifnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan kendaraan bermotor dan komponennya yang diimpor dalam keadaan CKD akan membutuhkan industri untuk merakit kendaraan bermotor dan komponen kendaraan bermotor di Indonesia. Pada PMK No.88/PMK.011/2010 dijelaskan pembebanan tarif pajak bea masuk untuk kendaraan bermotor dan komponen kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan Incompletely Knock Down (IKD) lebih ringan dibandingkan
komponen
kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan CKD. Pengertian IKD adalah mobil atau motor yang didatangkan dari luar negeri ke Indonesia (impor) dengan keadaan terurai dan tidak utuh. Jadi komponen utama dan pendukung untuk menjadi satu kendaraan tidak lengkap. Hal tersebut terjadi biasanya karena komponen yang tidak disertakan dalam impor sudah bisa diproduksi lokal jadi tidak perlu impor komponen tersbut. Sebagai contoh, Toyota Avanza diproduksi oleh Toyota Astra Motor (TAM), untuk sasis dan bodi TAM membuatnya sendiri sementara mesin dan beberapa komponennya masih impor dari Jepang. Dan Avanza tersebut dapat dikatakan produk IKD. Maksud dengan dikeluarkannya PMK No.88/PMK.011/2010 ini adalah untuk mendorong industri kendaraan bermotor di Indonesia dapat lebih mengikut sertakan produk komponen kendaraan bermotor yang sudah dapat diproduksi di Indonesia. Sehingga dari kebijakan ini akan sangat membantu dalam mengembangkan industri komponen lokal. Dan untuk kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Bahan Baku Penyusun Komponen Kendaraan Bermotor memiliki tujuan agar dapat menarik investor industri komponen kendaraan bermotor untuk mendirikan industrinya di Indonesia. Karena dengan dikeluarkannya BMDTP ini, maka bea masuk untuk bahan baku penyusun komponen kendaraan yang impor yang menjadi tanggungan perusahaan 68
komponen akan tidak dikenakan tarif biaya. Sehingga dapat mengurangi biaya produksi komponen kendaraan bermotor. Nilai pengurangan inilah yang nantinya akan dilihat oleh investor sebagai keuntungan dan peluang bisnis untuk mendirikan industri komponen kendaraan bernotor di Indonesia.
69
BAB V KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA
V.1
Pemerintah Sebagai Pemeran Penentu dalam Pengembangan Perindustrian di Indonesia Dunia maritim di Indonesia dalam usaha pertumbuhan dan pengembangannya mengalami
hambatan, dikarenakan mendapati kondisi dimana solusi untuk mengurangi, dan kemudian berusaha meminimalisir industri galangan kapal nasional melakukan impor belum dapat dijalankan. Alasan utama yang menjadi penyebab kondisi tersebut adalah karena jenis produk komponen dari produsen komponen kapal di Indonesia masih belum variatif ditambah masih minimnya jumlah produsen komponen kapal di Indonesia. Oleh karena itu sebagai salah satu pihak yang memiliki peran kunci dalam pengembangan suatu industri yaitu Pemerintah Indonesia melalui jajaran kementeriannya diharapkan dapat memberikan perhatian dan melakukan tindakan nyata untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengembangan industri komponen kapal ini. Dalam melaksanakan proses pembangunan industri, keadaan tersebut merupakan kenyataan yang harus dihadapi serta harus menjadi pertimbangan yang menentukan dalam kebijakan yang akan dikeluarkan. Atas dasar pemikiran tersebut kebijakan dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia harus dapat menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia dan mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus strategi pengembangan industri di masa depan adalah mengembangkan daya saing sektor industri yang berkelanjutan di pasar domestik dan internasional. Peningkatan kekuatan kompetitif industri-industri tertentu yang terutama mempengaruhi perekonomian nasional ditentukan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang kemudian diterapkan pada level perusahaan. Oleh karena itu menjadi sangat vital bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dan mengembangkan kebijakan
yang menyangkut pembentukan
kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan kompetitif. Kesadaran baru bahwa 71
kemampuan berkompetisi perusahaan di era globalisasi lebih merupakan masalah strategis yang terorganisir di mana pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan bahkan pemimpin bagi industriindustri negaranya masing-masing dan hanya sedikit yang merupakan sumbangan dari produk itu sendiri yang saat ini sudah tidak mengenal batas negara dalam proses produksinya. Oleh karena itu, kebijakan industri dapat berlaku sebagai mekanisme vital yang secara permanen mengubah terminologi kompetisi internasional dan mengubah struktur pasar. Kebijakan industri itu sendiri seharusnya bukan hanya merupakan tanggung jawab Departemen Perdagangan dan Industri semata, tetapi menyangkut lintas departemen dan lintas sektoral. Departemen-departemen di negara-negara maju saat ini bukan lagi hanya sekedar bertindak sebagai regulator saja tetapi juga menjadi fasilitator, dinamisator bahkan kreatorkreator bagi pengembangan perindustrian nasional pada umumnya dan bagi pengembangan industri komponen kapal pada khususnya.
V.2
Kebijakan Fiskal Bagi Perindustrian Indonesia Pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan memiliki tugas untuk menjaga
stabilitas perekonomian dengan menggunakan perangkat kebijakan. Pemerintah memiliki tugas untuk membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi. Perangkat kebijakan yang digunakan salah satunya dapat berupa kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal itu sendiri adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah pengeluaran dan pemasukan pemerintah. Dimana pengeluaran pemerintah atau belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah. Instrumen pajak yang ada pada peraturan perpajakan di Indonesia cukup beragam. Pengenaan jenis dan jumlah pajak akan tergantung dari beberapa faktor, seperti subjek pajak, objek pajak, kegiatan yang dikenai pajak, dan sebagainya. Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Ketentuan mengenai penanaman modal diatur didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 72
tentang Penanaman Modal. Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Negeri, badan usaha Negeri, dan/atau pemerintah Negeri yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Kegiatan usaha usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan dan batasan kepemilikan modal Negeri atas bidang usaha perusahaan diatur didalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 Tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, peneliti mencoba untuk merumuskan kebijakan fiskal dengan acuan pada pasal 18 tentang fasilitas penanaman modal. Dimana pada pasal 18 undang-undang tersebut disebutkan bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal atau investor dapat berupa: 1. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertcntu tcrhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. 2. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. 3. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk kepcrluan pmduksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu. 4. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. 5. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan 6. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. Dari fasilitas tersebut kemudian dapat dijadikan acuan untuk merumuskan kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal. Dimana pada gambar di bawah ini akan dijabarkan acuan awal skema kebijakan fiskalnya.
73
Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal di Indonesia
Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh)
Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan PPh
Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan (PPn)
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Bahan Baku atau Bahan Penolong untuk Keperluan Produksi
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor
PPn 0%
Atas Impor Barang Modal, Mesin, atau Peralatan untuk Keperluan Produksi
Bea Masuk 0%
PPh 0%
Sumber: Diolah oleh Peneliti
Gambar V.1 Kebijakan Fiskal Bagi Perindustrian Indonesia V.2.1 Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Salah satu produk kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah dalam usaha mengembangkan Perindustrian Indonesia adalah dengan mengeluarkan kebijakan dengan instrumen pajak penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh subjek pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan. Bagi para investor yang menginginkan menanamkan modal di Indonesia, maka pada tahun 2011 pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Pada peraturan tersebut, para investor mendapatkan hak berupa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu. Dengan syarat dan ketentuannya adalah: 1. Merupakan industri pionir, seperti; industri logam dasar, industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, industri permesinan, industri di bidang sumberdaya terbarukan, dan industri peralatan komunikasi. 2. Mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
74
3. Menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana yang dimaksud pada poin nomor 2 (dua), dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal. 4. Harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini. Pembebasan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun pajak dan paling singkat 5 (lima) tahun pajak, terhitung sejak tahun pajak dimulainya produksi komersial. Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud, Wajib Pajak diberikan pengurangan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak penghasilan terutang selama 2 (dua) tahun pajak. Memang menjadi suatu kesempatan yang cukup besar bagi pihak investor, karena dengan pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan akan dapat mengurangi jumlah biaya investasi dan juga biaya operasional nantinya. Sehingga dari kebijakan ini, perusahaan yang didirikan oleh investor tersebut sudah cukup jelas akan mendapatkan keuntungan. Hanya saja bagi industri komponen kapal, kebijakan ini belum bisa dirasakan dampak keuntungannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari industri komponen kapal tidak dapat memperoleh kesempatan dari kebijakan ini. Penyebabnya adalah karena tidak banyaknya industri komponen kapal yang masuk dalam kategori golongan industri pionir dan juga ditambahnya syarat minimal dalam penanaman modal atau biaya investasi awal yang sejumlah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Padahal kenyataannya kebanyakan industri komponen kapal tidak memiliki nilai investasi hingga setinggi itu. V.2.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang Dibebaskan Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) adalah salah satu fasilitas dari Departemen Keuangan/Ditjen Bea Cukai untuk meningkatkan ekpor non migas. Definisi yang dapat dipahami dari berbagai peraturan yang ada bahwa Kemudahan Impor Tujuan 75
Ekspor (KITE) adalah pemberian pembebasan dan/atau pengembalian Bea Masuk (BM) dan/atau Cukai serta pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tidak dipungut atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Dimana pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.011/2011 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 580/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana Kemudahan Impor Tujuan Ekspor dan Pengawasannya, disebutkan fasilitas perpajakan yang didapatkan adalah: 1. Terhadap barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain di Perusahaan dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan serta PPN dan PPnBM tidak dipungut. 2. Terhadap barang dan/atau bahan asal impor dan/atau hasil produksi dari Kawasan Berikat untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang telah dibayar BM dan/atau Cukainya dan telah diekspor dapat diberikan Pengembalian. 3. Terhadap hasil produksi yang bahan bakunya berasal dari impor yang diserahkan ke Kawasan Berikat untuk diproses lebih lanjut dapat diberikan Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut. 4. Pembebasan dan/atau pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) dikecualikan terhadap bahan bakar, minyak pelumas dan barang modal. 5. Terhadap hasil produksi dari Perusahaan yang bahan bakunya berasal dari impor dapat dijual ke Dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) setelah ada realisasi ekspor dan/atau penyerahan ke Kawasan Berikat. 6. Terhadap hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, hasil produksi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang bahan bakunya berasal dari impor oleh Perusahaan dapat dijual ke DPIL atau dimusnahkan. Fasilitas-fasilitas perpajakan yang diberikan oleh kebijakan KITE jelas dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha industri. Karena dari kebijakan ini para pengusaha industri yang melakukan impor dapat mengurangi pengeluaran pembiayaan. Tetapi yang perlu digaribawahi dari kebijakan ini adalah adanya syarat produk yang nantinya harus diekspor ke luar negeri. Dimana kondisinya bagi industri komponen kapal di Indonesia yang sejauh ini masih belum bisa bersaing di pasar global secara 76
maksimal. Selain itu untuk pasar permintaan dari komponen kapal adalah masih tinggi untuk dalam negeri. Yang pada akhirnya produk dari komponen kapal bisa dipastikan masih sedikit yang akan diekspor ke luar negeri. Oleh karena itu dapat disimpulkan bagi industri komponen kapal bahwa kebijakan KITE ini belum bisa dirasakan dampak keuntungannya. V.2.3 Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Kebijakan fiskal berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) adalah kebijakan yang membebaskan secara keseluruhan atas bea masuk yang dipungut sehingga pentarifannya menjadi 0%. Hal ini dikarenakan biaya bea masuk tersebut ditanggung pemerintah. Bea masuk yang berarti pungutan negara atau pajak yang dikenakan terhadap barang impor, sehingga dapat dikatakan pajak bea masuk muncul ketika ada proses pengadaan barang dengan cara impor. Dalam suatu perusahaan industri bukan hal yang asing lagi jika dalam proses produksi ataupun pembangunan awal perusahaan industri tersebut melakukan proses impor. Ada beberapa alasan yang menjadi pilihan suatu perusahaan industri ketika melakukan proses impor. Diantaranya seperti faktor kualitas barang, ketersedian barang, waktu pengiriman barang, dan harga dari barang itu sendiri. Akan menjadi suatu hal yang sangat memberatkan jika suatu perusahaan industri berada dalam kondisi dimana mereka terpaksa harus melakukan proses impor dalam jumlah banyak dan juga dilakukan secara berkelanjutan. Tentunya perusahaan industri tersebut akan sulit untuk dapat berkembang, karena dari proses impor tersebut mereka harus menanggung biaya pajak yang pastinya tidak kecil jumlahnya. Dan pada industri komponen kapal di Indonesia, dimana kondisinya bahan baku dan material penyusun komponen kapal masih belum banyak yang dapat ditemukan di Indonesia. Kalaupun ada, bahan baku dan material penyusun tersebut tidak dapat memenuhi syarat dan juga jumlah kebutuhan dari permintaan industri komponen kapal. Sehingga pada kondisi ini, industri komponen kapal harus berada dalam kondisi yang lebih memberikan keutamaan pada bahan baku dan material penyusun komponen kapal impor. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2013 kebijakan BMDTP ini selalu dikeluarkan setiap tahunnya. Hanya saja fasilitas BMDTP ini tidak dapat dirasakan oleh semua perindustrian di Indonesia, hanya industri pada sektor-sektor tertentu yang disebutkan oleh pemerintah saja yang berhak mendapatkan fasilitas ini. Dan industri komponen kapal adalah salah satu industri yang masih belum beruntung mendapatkan fasilitas 77
BMDTP ini. Oleh karena itu dengan perumusan kebijakan fiskal yang berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk industri komponen kapal di Indonesia ini diharapkan dapat menunjukan bahwa dalam usaha pengembangan suatu industri, industri komponen kapal di Indonesia juga berhak mendapatkan fasilitas BMDTP.
V.3
Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal di Indonesia Investasi adalah penanaman modal untuk biasanya berjangka panjang dengan harapan
mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang sebagai kompensasi secara profesional atas penundaan konsumsi, dampak inflasi dan resiko yang ditanggung. Keputusan investasi dapat dilakukan individu, dari investasi tersebut yang dapat berupa capital gain/loss dan yield. Alasan seorang investor melakukan investasi adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang serta untuk menghindari merosotnya nilai kekayaan yang dimiliki. Adapun dasar keputusan investasi menurut Tandelilin (2005) terdiri dari: 1. Return Alasan utama orang berinvestasi adalah untuk memperoleh keuntungan. Dalam manajemen investasi tingkat keuntungan investasi disebut sebagai return. Suatu hal yang sangat wajar jika investor menuntut tingkat return tertentu atas dana yang telah diinvestasikannya. Return yang diharapkan investor dari investasi yang dilakukannya merupakan kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan resiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi. 2. Risk Korelasi langsung antara pengembalian dengan resiko, yaitu: semakin tinggi pengembalian, semakin tinggi resiko. Oleh karena itu, investor harus menjaga tingkat resiko dengan pengembalian yang seimbang. 3. The Time Factor Jangka waktu adalah hal penting dari definisi investasi. Investor dapat menanamkan modalnya pada jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang. Pemilihan jangka waktu investasi sebenarnya merupakan suatu hal penting yang menunjukkan ekspektasi atau harapan dari investor. Investor selalu menyeleksi jangka waktu dan pengembalian yang bisa memenuhi ekspektasi dari pertimbangan pengembalian dan resiko.
78
Dari ketiga poin tersebut kemudian dapat ditemukan garis merah yang menghubungkan ketiganya yaitu biaya, baik untuk biaya investasi maupun biaya operasional. Karena dari biaya investasi akan terlihat ukuran untuk modal awal yang dibutuhkan untuk memulai investasi. Kemudian dari biaya operasional juga akan dapat terlihat pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap melakukan proses produksi. Sehingga menentukan target dari nilai yang harus didapatkan untuk pemasukan. Yang kemudian dari nilai pemasukan akan diketahui lamanya waktu dari pengembalian modal beserta mengetahui keuntungan yang bisa didapatnya. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat mengurangi jumlah pajak yang menjadi tanggungan perusahaan. Sehingga perusahaan dapat memiliki nilai pengurangan pada biaya yang dikeluarkan ketika investasi dan operasional. Pada penelitian mengenai perumusan kebijakan fiskal ini, dimana salah satu tujuan penelitiannya adalah untuk merumuskan kebijakan fiskal sehingga dapat mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia. Maka peneliti mencoba mencari solusi dari permasalahan pada industri komponen kapal, dimana realita saat ini jenis produk komponen dari produsen komponen kapal di Indonesia masih belum variatif dan ditambah masih minimnya jumlah produsen komponen kapal yang ada di Indonesia. Dengan latar belakang masalah ini, akan menjadi sangat dibutuhkan kebijakan fiskal yang dapat menarik perhatian para investor untuk mau mendirikan dan mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia.
79
Menarik Investor Industri Komponen Kapal
Menjaga Pasar Persaingan Komponen Kapal
Mengurangi Biaya Investasi dan Biaya Operasional
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk Industri Komponen Kapal
Kebijakan Completely Knock Down (CKD) untuk Impor Komponen Kapal
Kebijakan Completely Built Up (CBU) untuk Impor Komponen Kapal
Tarif Pajak Bea Masuk 0%
Mengurangi Tarif Pajak Bea Masuk Impor Komponen Kapal
Menambah Tarif Pajak Bea Masuk Impor Komponen Kapal
Sumber: Diolah oleh Peneliti Gambar V.2 Skema Rumusan Kebijakan Fiskal Demi Menarik Investor Industri Komponen Kapal V.3.1 Kebijakan Pengurangan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Knocked Down (CKD) Pada industri kendaraan bermotor, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa pengurangan biaya pajak atas bea masuk untuk kendaraan bermotor dan komponenya dalam keadaan Completely Knocked Down (CKD). Untuk penerapan pada industri komponen kapal, pemerintah juga dapat mengadaptasi kebijakan tersebut. Pengertian CKD adalah suatu komponen kapal yang didatangkan ke Indonesia dalam keadaan terurai, dengan komponen yang lengkap dan dirakit di Indonesia. Sebagai contoh misalnya pada industri main switch board (MSB) dan panel listrik yang mendatangkan bahan baku penyusunnya secara impor. Atau pada industri mesin utama (main engine) kapal yang membutuhkan bahan baku penyusunnya seperti piston, connecting rod, klep, dan lain-lain secara impor. Setelah bahan baku-bahan baku tersebut didatangkan secara impor, baru kemudian dirakit menjadi komponen kapal utuh pada pabrik di Indonesia. Pemerintah dapat mengurangi tarif bea masuk untuk impor komponen kapal dalam keadaan CKD. Dimana ketika komponen kapal tersebut didatangkan ke wilayah 80
Indonesia dalam keadaan yang terurai dengan komponen yang lengkap maka tarif bea masuk untuk komponen kapal tersebut dapat dikurangi. Sehingga bila dibandingkan dengan komponen kapal yang didatangkan ke wilayah Indonesia dalam keadaan utuh atau Completely Built Up (CBU), maka tarif bea masuk untuk komponen kapal yang dalam keadaaan CKD ini lebih rendah. Tabel V.1 Kandungan Bahan Baku Impor Pada Industri Komponen Kapal Kandungan Impor
No.
Industri Komponen Kapal
1
Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik
84%
2
Industri Generator Set
100%
3
Industri Lampu dan Saklar
75%
4
Industri Kabel
100%
5
Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
93%
(%)
Sumber: Diolah oleh peneliti
Pada tabel di atas terlihat masih tingginya nilai kandungan impor untuk bahan baku penyusun komponen kapal. Tingginya kandungan impor tersebut dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah: 1. Bahan baku penyusun belum diproduksi di dalam negeri. 2. Bahan baku penyusun sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan. 3. Bahan baku penyusun sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri. Tabel V.2 Perusahaan Distributor Komponen Kapal di Indonesia No.
Komponen Kapal
Produsen Komponen
Perusahaan Distributor
1
Navigasi
Furuno
PT.Palka Sarana Utama
2
Komunikasi
Furuno
PT.Palka Sarana Utama
3
Main Engine
Caterpillar: Cat
PT.Trakindo Utama
4
Generator Set
Yanmar
PT.Semeru Teknik
5
Lampu
Golight
PT.Semeru Teknik
6
Kabel
Yangzhou Yuanyang Marine Cable
PT.Semeru Teknik
7
Liferaft
RFD Beaufort
PT.Surya Segara
8
Lifejacket
Stearns
PT.Sedaya Mitra Sejahtera
9
Lifebuoy
Datrex
PT.Dunia Saftindo
Sumber: Diolah oleh peneliti
81
Pada tabel di atas adalah contoh beberapa supplier atau distributor dari komponen kapal di Indonesia. Dengan mengaplikasikan kebijakan ini pada industri komponen kapal, diharapkan dapat merangsang perusahaan supplier komponen kapal untuk merubah usahanya menjadi tidak sekedar distributor tetapi menjadi perusahaan industri yang merakit dan memproduksi sendiri komponen kapal. Karena komponen kapal yang diimpor dalam CKD akan membutuhkan industri atau tempat yang dapat merakit komponen kapal tersebut. V.3.2 Kebijakan Penambahan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Built Up (CBU) Demi menjaga industri komponen nasional dalam pasar persaingan produk komponen kapal, pemerintah dapat memberikan perlindungan kepada industri yang sudah mampu memproduksi komponen kapal di Indonesia. Bentuk perlindungannya dapat berupa menambah tarif pajak bea masuk untuk komponen kapal yang diimpor dalam keadaan utuh atau CBU dan produk komponen kapal tersebut sudah mampu diproduksi di Indonesia. Pengertian CBU itu sendiri adalah komponen kapal yang didatangkan atau diimpor ke Indonesia dalam keadaan komponen utuh atau siap pakai. Contoh komponen kapal yang diimpor secara utuh adalah lampu, mesin utama (main engine) kapal, perlengkapan keselamatan kapal, dan lain-lain. Penyebab komponen-komponen kapal yang telah disebutkan dikategorikan kedalam CBU adalah karena tidak adanya industri yang memproduksi komponen-komponen tersebut di Indonesia, oleh karena itu komponen-komponen kapal tersebut masuk ke Indonesia sudah dalam wujud komponen utuh. Dengan mengeluarkan kebijakan ini, harapanya galangan kapal atau para konsumen dari industri komponen kapal ini akan lebih memilih produk komponen kapal yang sudah dapat diproduksi di Indonesia karena dengan pertimbangan beban biaya pajak yang lebih besar ketika melakukan pengadaan komponen kapal dari luar negeri. Bagi para investor industri komponen kapal, dengan diberlakukannya kebijakan ini maka akan terdapat peluang yang menjanjikan ketika mendirikan industri komponen kapal di Indonesia. Karena dari kebijakan ini, industri komponen kapal di Indonesia akan
82
mendapatkan kesempatan besar dari tingginya permintaan kebutuhan komponen kapal di Indonesia. V.3.3 Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk Industri Komponen Kapal Mengacu dengan kebijakan fiskal pada industri kendaraan bermotor di Indonesia, dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Barang dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kendaraan Bermotor. Maka pemerintah juga dapat mengadaptasi kebijakan tersebut untuk industri komponen kapal di Indonesia. Dengan menyesuaikan kebijakan tersebut pada industri komponen kapal sehingga memunculkan kebijakan fiskal berupa “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi, Barang, dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia”. Pada gambar di bawah ini adalah rumusan skema kebijakan fiskal berupa BMDTP untuk industri komponen kapal.
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Guna Pembuatan Komponen Kapal
Atas Barang dan Bahan
Atas Impor Fasilitas Produksi Fasilitas Bea Masuk 0%
Meringankan Biaya Produksi
Meringankan Biaya Invetasi
Menarik Perhatian Investor Komponen Kapal
Sumber: Diolah oleh Peneliti Gambar V.3 Skema Kebijakan Fiskal Berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk Industri Komponen Kapal 83
Kebijakan BMDTP untuk industri komponen kapal ini adalah kebijakan yang paling mendasar dalam usaha menarik pengusaha atau investor komponen kapal, karena dari kebijakan tersebut dapat memberikan pengaruh langsung bagi investor industri komponen kapal. Dimana dari kebijakan BMDTP ini dapat memberikan pengaruh pada peringanan biaya investasi dan operasional industri komponen kapal. Nilai peringanan inilah yang nantinya akan dilihat oleh investor sebagai keuntungan dan peluang bisnis untuk mendirikan industri komponen kapal di Indonesia. Dengan semakin banyaknya investor yang mendirikan industri komponen kapal di Indonesia, maka akan semakin besar pula kesempatan berkembangnya industri komponen kapal di Indonesia.
84
BAB VI BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH (BMDTP) SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA VI.1
Tinjauan Studi Biaya Investasi dan Biaya Operasional Industri Komponen Kapal di Indonesia Dalam pengembangan dunia maritim Indonesia, sudah sedikit banyak kontribusi
penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh pihak akademisi. Di segmen perkapalan, penemuan inovasi dalam rekayasa desain kapal, peningkatan efisiensi teknologi produksi baik ketika pembangunan maupun perbaikan kapal, dan pemaksimalan kemampuan armada pelayaran di Indonesia hanyalah segelintir bentuk nyata dari buah pikir para peneliti. Pada industri komponen kapal sendiri juga sudah ada penelitian-penelitian mengenai pengembangan industri tersebut di Indonesia. Karena suatu hal yang tidak dipungkiri lagi ketika mendapatkan fakta bahwa industri komponen kapal di Indonesia masih berada dalam kondisi yang jauh dari ekspektasi para praktisi industri perkapalan di Indonesia. Oleh karena itu akan menjadi suatu pencerahan yang amat sangat dinanti oleh para praktisi industri perkapalan di Indonesia jika dari peneliti di pihak akademisi dapat mampu menghasilkan suatu buah pikiran yang dapat menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia. Jurusan Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember adalah jurusan yang dituntut dapat mampu memberikan peran dan fungsi nyata dalam pengembangan industri perkapalan pada umumnya dan di industri komponen kapal pada khususnya. Sehingga sudah ada beberapa penelitian dengan topik pembahasan dari permasalahan-permasalahan di industri komponen kapal di Indonesia yang telah berhasil diselesaikan. Data dari hasil penelitianpenelitian seperti evaluasi kebutuhan komponen kapal di Indonesia, kemampuan produksi suatu industri komponen kapal, dan biaya investasi serta operasional dari industri tersebutlah yang akan menjadi salah satu acuan dasar dalam penelitian mengenai “Studi Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal”. Penelitian pertama adalah penelitian yang telah diselesaikan oleh Anggun Bayu Aji dengan judul “Analisa Kebutuhan Industri Komponen 85
Kelistrikan Kapal Secara Nasional”. Penelitian kedua adalah penelitian milik Mokhammad Faizal Riza dengan judul “Analisa Teknis dan Ekonomis Pembangunan Industri Manufaktur Baling-Baling Kapal”. Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Lilik Mutiatul Khoiro dengan judul “Analisa Teknis dan Ekonomis Pengembangan Industri Penunjang Komponen Kapal Berbasis Cor di Indonesia”. Dan penelitian yang keempat adalah penelitian milik Aris Kurniawan dengan judul “Analisis Teknis dan Ekonomis Pembangunan Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal”.
VI.1.1 Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik A. Material Bahan Baku Penyusun Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik
Sumber: www.marineelectricals.com
Gambar VI.1 Main Switch Board (MSB) pada Tug Boat
Main Switch Board (MSB) atau papan penghubung induk adalah suatu unit sistem listrik kapal yang biasanya dipasang di ruang kontrol, dimana arus listrik dari setiap generator di ruang kontrol didistribusikan keseluruh bagian kapal melalui papan-papan distribusi. Fungsi dari MSB adalah sebagai saklar utama untuk peralatan listrik yang mempunyai tegangan 380 V, terutama starter pompa–pompa di engine room. Secara lengkap komponen yang terdapat pada MSB dapat dilihat pada tabel berikut ini
86
No.
Tabel VI.1 Komponen Main Switch Board (MSB) Jenis Komponen
Keterangan
1
Air Circuit Breaker (ACB)
Merlyn Gerin
Impor
2
Ampere Meter, Volt Meter
Deif
Impor
3
Lampu Indikator
Merlyn Gerin
Impor
4
Casing Steel
Nn
Lokal
5
Circuit Breaker
Terasaki
Impor
6
Bush Bar
Lokal
Lokal
7
Moulded case circuit breakers (MCCBs)
ABB or Schneider
Impor
8
Sekring (Fuse)
Weidd Moeller
Impor
9
Switch
K&N
Impor
10
Soket (Stop Kontak)
Legranet
Impor
11
Engsel, Sekrup, Baut pengunci
Local
Lokal
12
Wire Duct
KSS – Taiwan
Impor
13
Contactors & Thermal over-load relays
ABB or Schneider
Impor
14
Instruments & gauges
Deif
Impor
15
Voltage transformers
Moeller
Impor
16
Current transformers
Moeller
Impor
17
Auxiliary relays
Idec
Impor
18
Control fuses
Woehner
Impor
19
Terminal blocks
Phoenix
Impor
20
Change-over switches
Kraus & Naimer
Impor
Sumber: PT. Teknik Tadakara Sumberkarya
Panel listrik adalah suatu susunan peralatan listrik/komponen listrik yang dirangkai atau disusun sedemikian rupa didalam suatu papan control (board) sehingga saling berkaitan dan membentuk fungsi sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Ada beberapa jenis kotak panel yang biasa digunakan dalam instalasi listrik kapal, yaitu sebagai berikut: a. Panel pembagi, panel hubung b. Kotak hubung untuk penerangan di koridor dalam c. Panel dari mesin d. Kotak hubung e. Kotak pengaman (pelindung)
87
Sumber: www.marineelectricals.com
Gambar VI.2 Panel Emergency Switch Board (ESB) pada Tug Boat Tidak berbeda jauh dengan MSB, panel listrik juga tersusun dari beberapa komponen. Secara lengkap komponen yang terdapat pada panel listrik dapat dilihat pada tabel berikut ini : No.
Tabel VI.2 Komponen Panel Listrik Jenis Komponen
Keterangan
1
Circuit Breaker
Terasaki
Impor
2
Bushbar
Local
Lokal
3
Lampu Indikator
Merlyn Gerin
Impor
4
Engsel, Sekrup, Baut pengunci
Local
Lokal
5
Sekring
Weidd Moeller
Impor
6
Cable Glan
Yamanaka
Impor
7
Wire Duct
KSS – Taiwan
Impor
8
Moulded case circuit breakers (MCCBs)
ABB or Schneider
Impor
9
Contactors & Thermal over-load relays
ABB or Schneider
Impor
10
Instruments & gauges
Deif
Impor
11
Terminal blocks
Phoenix
Impor
12
Change-over switches
Kraus & Naimer
Impor
13
Push buttons/ signal lamps
Moeller
Impor
Sumber: PT. Teknik Tadakara Sumberkarya
88
B. Perhitungan Biaya Investasi, Operasional, dan Pajak Pada Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.3 Biaya Investasi Industri Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak
No. 1
2 3
Jenis Biaya
Jumlah
Biaya langsung a. Tanah dan Bangunan
Rp.
3.094.550.000
b. Peralatan bengkel mekanik
Rp.
356.000.000
c. Peralatan bengkel elektrik
Rp.
170.000.000
d. Peralatan bengkel cat
Rp.
130.000.000
e. Fasilitas lain-lain
Rp.
389.500.000
Total biaya langsung
Rp.
4.140.050.000
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% dari total biaya langsung)
Rp.
414.005.000
Total biaya pembangunan
Rp.
4.554.055.000
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
455.405.500
Biaya Total
Rp.
5.009.460.500
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (3.094.550.000 – 60.000.000) x 5% = Rp151.727.500 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor.
89
Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.4 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik
No.
Jenis Biaya
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Peralatan bengkel mekanik
Rp17.800.000
Rp37.380.000
Rp9.345.000
Rp64.525.000
2
Peralatan bengkel elektrik
Rp8.500.000
Rp17.850.000
Rp4.462.500
Rp30.812.500
3
Peralatan bengkel cat
Rp6.500.000
Rp13.650.000
Rp3.412.500
Rp23.562.500
4
Fasilitas lain-lain
Rp19.475.000
Rp40.897.500
Rp10.224.375
Rp70.596.875
Jumlah Total
Rp189.496.875
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp5.009.460.500 + Rp151.727.500 + Rp189.496.875 = Rp5.350.684.875 Sehingga total biaya investasi industri main switchboard (MSB) dan panel listrik adalah Rp5.350.684.875 (lima miliar tiga ratus lima puluh tujuh juta enam ratus delapan puluh empat ribu delapan ratus tujuh puluh lima rupiah). 90
B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak Tabel VI.5 Biaya Operasional Industri Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik No.
Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
360.000.000
2
Material bahan baku
Rp.
306.000.000
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
25.200.000
4
Peralatan produksi
Rp.
5.400.000
5
Rumah tangga
Rp.
23.400.000
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
150.000.000
Rp.
870.000.000
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB
= 0.5% x [40% x (Rp3.094.550.000 – Rp12.000.000)] = Rp6.165.100
Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) 91
ini
peneliti
menyetarakan
PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk Tarif PPh
= Tanggungan pajak akibat proses impor =
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.6 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Main Switchboard (MSB) dan Panel Listrik Jenis Biaya (Per-tahun)
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp15.300.000
Rp32.130.000
Rp8.032.500
Rp55.462.500
B.6 Pehitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + PBB + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp870.000.000 + Rp6.165.100 + Rp55.462.500 = Rp931.627.600 Sehingga total biaya operasional industri main switchboard (MSB) dan panel listrik adalah Rp931.627.600,00 (sembilan ratus tiga puluh satu juta enam ratus dua puluh tujuh ribu enam ratus rupiah).
92
VI.1.2 Industri Generator Set A. Material Bahan Baku Penyusun Generator Set Generator set ini fungsinya adalah sebagai sumber atau pembangkit tenaga listrik pada sebuah kapal. Generator set ini cukup penting peranannya. karena seluruh daya kebutuhan listrik pada kapal dipasok dari generator set. Secara lengkap komponen yang terdapat pada Generator dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel VI.7 Komponen Generator Set
No.
Jenis Komponen
Keterangan
1
Stator
Penerima Daya
Impor
2
Rotor
Kumparan
Impor
3
Exiter
Medan Penguat
Impor
4
Rotating Diode
Medan Magnet Induksi
Impor
5
AVR (Automatic Voltage Regulator)
Regulator Voltase
Impor
6
Casing
Steel
Impor
Sumber: PT.Trakindo Utama
B. Perhitungan Biaya Investasi. Operasional. dan Pajak Pada Industri Generator Set B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.8 Biaya Investasi Industri Generator Set Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak
No. 1
2 3
Jenis Biaya
Jumlah
Biaya langsung a. Tanah dan Bangunan
Rp.
4.028.000.000
b. Peralatan bengkel mekanik
Rp.
356.000.000
c. Peralatan bengkel elektrik
Rp.
170.000.000
d. Peralatan bengkel cat
Rp.
130.000.000
e. Fasilitas lain-lain
Rp.
384.500.000
Total biaya langsung
Rp.
5.068.500.000
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% dari total biaya langsung)
Rp.
135.380.000
Total biaya pembangunan
Rp.
5.575.350.000
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
557.535.000
Biaya Total
Rp.
6.132.885.000
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
93
= (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (4.028.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp198.400.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
94
No. 1 2
Tabel VI.9 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Generator Set Jenis Biaya
Peralatan bengkel mekanik Peralatan bengkel elektrik
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Rp17.800.000
Rp37.380.000
Rp9.345.000
Rp64.525.000
Rp8.500.000
Rp17.850.000
Rp4.462.500
Rp30.812.500
3
Peralatan bengkel cat
Rp6.500.000
Rp13.650.000
Rp3.412.500
Rp23.562.500
4
Fasilitas lain-lain
Rp19.225.000
Rp40.372.500
Rp10.093.125
Rp69.690.625 Rp188.590.625
Jumlah Total
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp6.132.885.000 + Rp198.400.000 + Rp188.590.625 = Rp6.519.875.625 Sehingga total biaya investasi industri generator set adalah Rp6.519.875.625 (enam miliar lima ratus sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu enam ratus dua puluh lima rupiah). B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak Tabel VI.10 Biaya Operasional Industri Generator Set No.
Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
350.000.000
2
Material bahan baku
Rp.
277.100.000
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
22.820.000
4
Peralatan produksi
Rp.
4.890.000
5
Rumah tangga
Rp.
21.190.000
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
150.000.000
Rp.
826.000.000
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB = 0.5% x [40% x (Rp4.028.000.000 – Rp12.000.000)] = Rp8.032.000 Keterangan: Tarif PBB = 0.5% 95
NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk Tarif PPh
= Tanggungan pajak akibat proses impor =
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
96
Tabel VI.11 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Generator Set
Jenis Biaya (Per-tahun)
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp15.980.000
Rp33.558.000
Rp8.389.500
Rp57.927.500
B.6 Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + PBB + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp746.000.000 + Rp8.032.000 + Rp57.927.500 = Rp811.959.500 Sehingga total biaya operasional industri generator set adalah Rp811.959.500,00 (delapan ratus sebelas juta sembilan ratus lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah).
97
VI.1.3 Industri Lampu dan Saklar A. Material Bahan Baku Penyusun Lampu dan Saklar Secara umum. lampu dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: •
Lampu pijar Cahaya lampu pijar dihasilkan dengan menyebarkan arus listrik melewati kawat. Dalam kawat akan menghasilkan panas dan cahaya sebagai perubahan dari energi listrik. Pada umumnya. sebagai kawat pijar digunakan kawat wolfram yang memiliki titik lebur 3655 K. Semakin tinggi kawat pijar wolfram. flux cahaya yang dihasilkan juga semakin tinggi.
•
Lampu Tabung Gas Lampu tabung gas terdiri dari tabung berbagai bentuk yang diisi dengan gas dan pada masing – masing ujung terdapat sebuah elektroda. Fungsi gas adalah untuk menyala lampu. Sedangkan gas yang digunakan adalah gas mulia seperti neon dan argon.
Secara lengkap komponen yang terdapat pada lampu dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel VI.12 Komponen Lampu No.
Jenis Komponen
Keterangan
1
Fluorescent Lamp
18/36 W
Lokal
2
Light Sources
T26
Impor
3
Casing / Enclosur
Steel
Impor
4
Six Cable Inlet Holes
ø max 16 mm
Impor
Sumber: Survei Galangan Kapal. 2013
Saklar merupakan peralatan listrik yang digunakan untuk memutuskan dan menghubungkan aliran listrik. Untuk penggunaanya di kapal terdapat jenis – jenis saklar yang secara umum dapat digunakan. yaitu : nonwatertight snap switch. watertight type small switch. small toggle switch. rotary switch. unit switch. Secara lengkap komponen yang terdapat pada saklar dapat dilihat pada tabel berikut ini:
98
Tabel VI.13 Komponen Saklar No.
Jenis Komponen
Keterangan
1
Ebonit
Untuk saklar kabin
2
Panel Resin
Paling banyak dipakai
Impor
Untuk ruang mesin 3
Brass
dan ruang terbuka
Impor
Kuningan
Impor
Sumber: Survei Galangan Kapal. 2013
B. Perhitungan Biaya Investasi. Operasional. dan Pajak Pada Industri Lampu dan Saklar B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.14 Biaya Investasi Industri Lampu dan Saklar Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak
No. 1
2 3
Jenis Biaya
Jumlah
Biaya langsung a. Bangunan
Rp.
2.852.000.000
b. Peralatan bengkel mekanik
Rp.
223.000.000
c. Peralatan bengkel elektrik
Rp.
74.000.000
d. Peralatan bengkel cat
Rp.
65.000.000
e. Fasilitas lain-lain
Rp.
298.500.000
Total biaya langsung
Rp.
3.512.500.000
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% biaya langsung)
Rp.
351.250.000
Total biaya pembangunan
Rp.
3.863.750.000
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
386.375.000
Biaya Total
Rp.
4.250.125.000
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (2.852.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp139.600.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk 99
Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.15 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Lampu dan Saklar
No.
Jenis Biaya
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Peralatan bengkel mekanik
Rp11.150.000
Rp23.415.000
Rp5.853.750
Rp40.418.750
2
Peralatan bengkel elektrik
Rp3.700.000
Rp7.770.000
Rp1.942.500
Rp13.412.500
3
Peralatan bengkel cat
Rp3.250.000
Rp6.825.000
Rp1.706.250
Rp11.781.250
4
Fasilitas lain-lain
Rp14.925.000
Rp31.342.500
Rp7.835.625
Rp54.103.125
Jumlah Total
Rp119.715.625
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri 100
= Rp4.250.125.000 + Rp139.600.000 + Rp119.715.625 = Rp4.509.440.625 Sehingga total biaya investasi industri lampu dan saklar adalah Rp4.509.440.625 (empat miliar lima ratus sembilan juta empat ratus empat puluh ribu enam ratus dua puluh lima rupiah). B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak Tabel VI.16 Biaya Operasional Industri Lampu dan Saklar No.
Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
240.000.000
2
Material bahan baku
Rp.
267.750.000
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
22.050.000
4
Peralatan produksi
Rp.
4.725.000
5
Rumah tangga
Rp.
20.475.000
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
150.000.000
Rp.
705.000.000
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB = 0.5% x [40% x (2.852.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp5.680.000 Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim 101
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk Tarif PPh
= Tanggungan pajak akibat proses impor =
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.17 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Lampu dan Saklar
Jenis Biaya (Per-tahun)
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp13.387.500
Rp28.113.750
Rp7.028.438
Rp48.529.688
B.6 Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + PBB + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp705.000.000 + Rp5.680.000 + Rp48.529.688 = Rp759.209.688 Sehingga
total
biaya
operasional
industri
lampu
dan
saklar
adalah
Rp759.209.688,00 (tujuh ratus lima puluh sembilan juta dua ratus sembilan ribu enam ratus delapan puluh delapan rupiah).
102
VI.1.4 Industri Kabel A. Material Bahan Baku Penyusun Kabel Kabel pada kapal memiliki fungsi sebagai penghantar daya listrik pada umumnya terbuat dari bahan tembaga atau aluminium. Tembaga yang dugunakan sebagai penghantar umumnya tembaga elektrolisis dengan kemurnian sekurang – kurangnya 99.9%. Kabel dengan bahan aluminium juga harus aluminium murni sekurang – kurangnya 99.5%. Sebagai bahan isolasi yang paling banyak digunakan adalah bahan PVC. Secara lengkap komponen yang terdapat pada kabel dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel VI.18 Komponen Kabel
No.
Jenis Komponen
Keterangan
1
Isolator
PVC
Impor
2
Stranded
Lilitan tembaga
Impor
3
EPR (Lapisan Pertama)
Lapisan Pelindung
Impor
4
Steel Wire Braided
Anyaman Kabel
Impor
5
Cover
PVC
Impor
Sumber: Survei Galangan Kapal. 2013
B. Perhitungan Biaya Investasi. Operasional. dan Pajak Pada Industri Kabel B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.19 Biaya Investasi Industri Kabel Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak
No. 1
2 3
Jenis Biaya
Jumlah
Biaya langsung a. Bangunan
Rp.
1.323.000.000
b. Peralatan bengkel perakitan
Rp.
340.000.000
c. Peralatan bengkel pelapisan
Rp.
170.000.000
d. Fasilitas lain-lain
Rp.
384.500.000
Total biaya langsung
Rp.
2.217.500.000
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% biaya langsung)
Rp.
221.750.000
Total biaya pembangunan
Rp.
2.439.250.000
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
243.925.000
Biaya Total
Rp.
2.683.175.000
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
103
= (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (1.323.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp63.150.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
104
Tabel VI.20 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Kabel No. 1 2 3
Jenis Biaya Peralatan bengkel perakitan Peralatan bengkel pelapisan Fasilitas lain-lain
Bea Masuk
PPn
PPh
Rp66.150.000 Rp17.000.000 Rp8.500.000 Jumlah Total
Rp138.915.000 Rp35.700.000 Rp17.850.000
Rp34.728.750 Rp8.925.000 Rp4.462.500
Bea Masuk+PPn+PPh Rp239.793.750 Rp61.625.000 Rp30.812.500 Rp332.231.250
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp2.683.175.000 + Rp63.150.000 + Rp332.231.250 = Rp3.078.556.250 Sehingga total biaya investasi industri box lampu dan saklar adalah Rp3.078.556.250 (tiga miliar seratus empat puluh delapan juta dua ratus empat puluh enam ribu delapan ratus tujuh puluh lima rupiah). B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak No.
Tabel VI.21 Biaya Operasional Industri Kabel Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
240.000.000
2
Material bahan baku
Rp.
201.450.000
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
16.590.000
4
Peralatan produksi
Rp.
3.555.000
5
Rumah tangga
Rp.
15.405.000
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
60.000.000
Rp.
537.000.000
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB = 0.5% x [40% x (1.323.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp2.622.000 Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan 105
NJOPTKP = Rp12.000.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk Tarif PPh
= Tanggungan pajak akibat proses impor =
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
106
Tabel VI.22 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Kabel
Jenis Biaya (Per-tahun)
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp10.072.500
Rp21.152.250
Rp5.288.063
Rp36.512.813
B.6 Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + PBB + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp537.000.000 + Rp2.622.000 + Rp36.512.813 = Rp576.134.813 Sehingga total biaya operasional industri kabel adalah Rp576.134.813,00 (lima ratus tujuh puluh enam juta seratus tiga puluh empat ribu delapan ratus tiga belas rupiah).
107
VI.1.5 Industri Baling-Baling Kapal A. Material Bahan Baku Penyusun Baling-Baling Kapal Perencanaan produk baling-baling kapal yang akan diproduksi antara lain menentukan tipe. diameter dan jumlah blade baling-baling. Hal tersebut harus direncanakan untuk menentukan peralatan yang sesuai dengan kebutuhan permintaan baling-baling kapal yang akan diproduksi dan teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi. Perencanaan baling-baling kapal yang akan diproduksi juga mengacu pada analisis permintaan untuk pasar yang akan dimasuki. Baling kapal yang akan diproduksi adalah tipe fixed pitch propeller. Kelebihan baling-baling tipe ini adalah mudah dalam proses manufakturnya. desain baling-baling kapal untuk satu jenis kondisi. tidak ada batasan untuk bentuk dan luas blade. mempunyai ukuran hub relatif kecil. Selain itu sebagian besar kapal yang beroperasi di Indonesia sebagian besar bertipe fixed pitch propeller.
Sumber: www.nauticexpo.com
Gambar VI.3 Fixed Pitch Propeller
Diameter baling-baling kapal merupakan fungsi dari tinggi sarat kapal. Pada umumnya diameter baling-baling kapal berkisar antar 0.65 – 0.7 tinggi sarat kapal. Dalam penelitian ini direncanakan diameter baling-baling kapal adalah antara satu hingga tiga meter dengan empat blade. Sehingga untuk menentukan berat baling-
108
baling menggunakan persamaan berat pada Propeller Handbook (Gerr. 2001) adalah sebagai berikut. Diameter minimum
: 1 m = 39.37 in
Diameter maksimum
: 3 m = 118.11 in
Fungsi perhitungan berat : Wgt = 0.00323 x D 3.05.............................(4.1) Dimana : Wgt = Weight propeller in pounds D
= Diameter of propeller in inches
Sehingga dari persamaan (4.1) didapatkan : Wgt max = 6755.84 lb = 3377.921 kg. dan Wgt min = 236.843 lb = 118.4213 Kg Jadi berat baling-baling kapal direncanakan antara 118 – 3377 kg. Untuk menentukan ukuran dan berat mould direncanakan mould berbentuk tabung dengan diameter minimum 3 meter. tinggi mould 0.3D. diameter hub center 0.2D dan massa jenis sand-foundry adalah 1600 kg/m3. Sehingga didapatkan berat mould adalah 10173.6 kg. Berat mould digunakan untuk menentukan kapasitas sand mixer yang akan digunakan dalam proses produksi. Untuk mendapatkan hasil casting yang baik. maka material yang digunakan harus mempunyai karakteristik casting yang baik. Material untuk casting lebih dipilih menggunakan ingot daripada scrap karena mempunyai komposisi kimia yang tepat. bersih. dan lebih mudah dipindahkan. Akan tetapi jika terdapat material scrap dengan kondisi baik (propeller bekas. rusak. atau patah) dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk proses produksi baling-baling kapal yang baru. Scrap tersebut harus bebas dari minyak. kotoran. cat. besi. baja. dan bahan campuran lainnya untuk menjaga kemurnian komposisi kimia material aslinya. Selain itu scrap yang digunakan tidak boleh terlalu tipis karena potensi loss selama peleburan lebih besar. Jenis bahan mentah yang akan digunakan pada proses produksi baling-baling kapal adalah material jenis bronze alloy. Karena material tersebut dipilih berdasarkan ketahan terhadap korosi air laut. baik akibat pemakaian. tabrakan. dan korosi yang diakibatkan kavitasi. Selain itu material yang dipilih harus mempunyai machinability. repairability. dan weldability yang baik untuk memudahkan dalam proses produksi. perawatan dan reparasi. Material yang digunakan untuk proses produksi baling baling
109
kapal adalah bronze ingot dengan kandungan materialnya adalah Manganese Bronze (C865 alloy) dan Ni-Al Bronze (C955 alloy). Ni-Al Bronze atau yang dikenal dengan Nickel Alumunium Bronze mempunyai komposisi kimia dan mechanical properties seperti ditunjukkan pada tabel di bawah. Dari tabel tersebut. kandungan Nickel adalah 3.0-5.5. Pada level nickel tersebut digunakan karena merupakan kondisi best corrosion resistence. tetapi weldability-nya rendah. Tabel VI.23 Komposisi kimia dan mechanical properties dari C955
Paduan Nickel-Alumunium bronze mempunyai proof stress dan impact strength yang lebih tinggi daripada high-tensile brass. Corrosion fatigue resistance di air laut dua kali lebih tinggi dari high-tensile brass sehingga dimungkinkan untuk desain dengan stress tinggi dan pengurangan ketebalan blade baling-baling. Dari sisi kuat tarik. sebagian besar alloy mempunyai kuat tarik yang rendah. Kuat tarik material tersebut akan meningkat jika dilakukan heat treatment. Selain itu. C955 mempunyai machinability dan physical properties seperti ditunjukkan pada tabel di bawah. Melting point pada material tersebut pada suhu 1038°C. Jadi temperatur tersebut harus mampu dicapai oleh induction furnace untuk melebur bronze ingot (solid) hingga benar-benar mencair untuk kemudian dituangkan ke pouring ladle.
110
Tabel VI.24 Machinability dan physical properties dari C955
Tabel VI.25 Fabrication practices dan thermal properties dari C955
Tabel Fabrication practices dan thermal properties dari C955 menunjukkan karakteristik penggunaan C955 pada proses fabrikasi. Material tersebut tidak direkomendasikan untuk oxyacetylene welding. Tetapi material tersebut baik untuk Gas Shielded Arc Welding. Coated Metal Arc Welding. dan soldering. Temperatur untuk heat treatment berkisar antara 872-914°C. Harga Ni-Al Bronze (USD 3.90/lb) lebih mahal daripada Manganese Bronze (USD 2.90/lb) dikarenakan karakteristiknya yang lebih tahan terhadap korosi dan machinability rating yang lebih tinggi. Sehingga direncanakan material yang dipilih untuk proses produksi baling-baling kapal adalah Ni-Al Bronze (C955 alloy). Semua 111
material alloy tersebut disupplai oleh California Metal-X Inc dengan minimum pengiriman 20 ton dengan ukuran kontainer TEU. B. Perhitungan Biaya Investasi. Operasional. dan Pajak Pada Baling-Baling Kapal B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.26 Biaya Investasi Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Baling-Baling Kapal AREA/ SHOP
SAND PLANT
PATTERN MAKING SHOP
Activity
Sand Treatment. Reclamation. and Sand Storage
PATTERN MAKING
INSPECTION AREA
Sand mixing & Sand reclamation plant Miscellaneous Equipmnet
Local Supply
Payloader
ZL50G Wheel Loader
CNC Woodworking Machine
G1325W
Induction Furnace
Pouring
Pouring system/Ladles
Machining
CNC Milling & Turning
Propeller balancing Measurement Dimension
Dynamic Balancing Machine Measurement Recording Instrument
Propeller handling
Overhead Traveling Crane
Material handling
Fork car transportation
Tensile test
Universal Testing Machine
HANDLING
Matallurgy LAB
Model Spartan 220A mixer with 2 pumps. Gamma 15HL. and Package
Melting MELTING SHOP
FINISHING SHOP
Equipment
1250kw VIP Power Trak Connected to (1) 3000Kg and 5000Kg Dura Line Furnace L023-410-40D4 Pouring Ladle. 4 ton Bronze Capacity DMG-Deckel Maho DMC 340 FD
Manufacturer
Price (Rp)
Omega Foundry Machinery Ltd
Rp1.759.719.593
Local Supplier (UK Standard Price) Jinan QINOGN Machinery JI NAN GRACE MACHINERY EQUIPMENT CO.. LTD.
Rp1.887.383.280 Rp400.185.000
Rp78.427.367
Inductotherm Ltd
Rp2.445.575.000
TeeMark Corp
Rp138.855.302
DMG MORISEIKI
Rp26.492.622.500
HE-6K-NS grade 2.5
Precibalance
Rp393.070.600
Hale Propeller MRI-HP120
Propeller Dynamics P/L
Rp1.105.684.476
PT. INDOTARA PERSADA
Rp400.000.000
single hoist. kapasitas 5 ton. span 11 meter. lifting height 6 meter CPCD40FR Diesel Powered Forklift Truck HT-8503-100 kN
112
Jinan QINOGN Machinery PT. OSTENCO PROMITRA
Rp99.601.600 Rp262.343.500
JAYA Alloy analysis Sand Strength Test. Sand and Mold Analysis Prediction and Analysis of Vessel Speed and Performance Propeller Desain (2D/3D) and CAD/CAM
Sand LAB
DESIGN Office
X-ray Flourescene Spectrometer Sand Laboratory Instrumentation
EDX3600B
Spectrolab System Ltd
Rp517.572.600
Sand Testing Equipment Set
Simpson Technologies Corporation
Rp345.804.305
Navcad Software
Navcad (single user)
HydroComp. Inc.
Rp57.760.035
PropCad Software
PropCad (single user)
HydroComp. Inc.
Rp47.088.435
Jumlah
Rp36.431.693.593
Tabel VI.27 Biaya Investasi Industri Baling-Baling Kapal Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak
No.
Jenis
Jumlah
1
Tanah dan bangunan
Rp.
2.980.000.000
2
Peralatan. mesin. dan fasilitas Lain-lain
Rp.
36.431.693.593
3
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% dari total biaya langsung)
Rp.
3.941.169.359
Total biaya pembangunan
Rp.
43.352.862.952
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
4.335.286.295
Biaya Total
Rp.
47.688.149.248
4
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (2.980.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp146.000.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman 113
Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.28 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Baling-Baling Kapal AREA/ SHOP
SAND PLANT
PATTERN MAKING SHOP MELTING SHOP FINISHING SHOP INSPECTION AREA
Equipment Sand mixing & Sand reclamation plant Miscellaneous Equipmnet Payloader CNC Woodworking Machine Induction Furnace Pouring system/Ladles CNC Milling & Turning Dynamic Balancing Machine
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Rp87.985.979.65
Rp184.770.557
Rp46.192.639
Rp318.949.176
Rp94.369.164.00
Rp198.175.244
Rp49.543.811
Rp342.088.220
Rp20.009.250.00
Rp42.019.425
Rp10.504.856
Rp72.533.531
Rp3.921.368.35
Rp8.234.874
Rp2.058.718
Rp14.214.960
Rp122.278.750.00
Rp256.785.375
Rp64.196.344
Rp443.260.469
Rp6.942.765.10
Rp14.579.807
Rp3.644.952
Rp25.167.523
Rp1.324.631.125.00
Rp2.781.725.363
Rp695.431.341
Rp4.801.787.828
Rp19.653.530.00
Rp41.272.413
Rp10.318.103
Rp71.244.046
114
HANDLING
Matallurgy LAB
Sand LAB DESIGN Office
Measurement Recording Instrument Overhead Traveling Crane Fork car transportation Universal Testing Machine X-ray Flourescene Spectrometer Sand Laboratory Instrumentation Navcad Software PropCad Software
Rp55.284.223.80
Rp116.096.870
Rp29.024.217
Rp200.405.311
Rp20.000.000.00
Rp42.000.000
Rp10.500.000
Rp72.500.000
Rp4.980.080.00
Rp10.458.168
Rp2.614.542
Rp18.052.790
Rp13.117.175.00
Rp27.546.068
Rp6.886.517
Rp47.549.759
Rp25.878.630.00
Rp54.345.123
Rp13.586.281
Rp93.810.034
Rp17.290.215.25
Rp36.309.452
Rp9.077.363
Rp62.677.030
Rp2.888.001.75
Rp6.064.804
Rp1.516.201
Rp10.469.006
Rp2.354.421.75
Rp4.944.286
Rp1.236.071
Rp8.534.779
Jumlah
Rp6.603.244.464
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp47.688.149.248 + Rp146.000.000 + Rp6.603.244.464 = Rp54.437.393.711 Sehingga
total
biaya
investasi
industri
baling-baling
kapal
adalah
Rp54.437.393.711 (lima puluh empat miliar empat ratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu tujuh ratus sebelas rupiah). B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak Tabel VI.29 Biaya Operasional Industri Baling-Baling Kapal
No.
Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
225.000.000
2
Material nickel-alumunium bronze
Rp.
9.199.660.329
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
757.619.086
4
Peralatan produksi
Rp.
162.346.947
5
Rumah tangga
Rp.
703.503.437
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
1.149.885.833
Rp.
12.198.015.632
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 115
PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB = 0.5% x [40% x (Rp2.980.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp5.936.000 Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 2. Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Pos tarif dan pembebanan menurut Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012 adalah: 7502.10.00.00. besar bea masuk = 5%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
116
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.30 Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze
Jenis Biaya (Per-tahun)
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Nickel-Alumunium Bronze
Rp459.983.016
Rp965.964.335
Rp241.491.084
Rp1.667.438.435
B.6 Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak =
Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze
= Rp12.198.015.632 + Rp5.936.000 + Rp1.667.438.435 = Rp13.871.390.066 Sehingga
total
biaya
operasional
industri
baling-baling
kapal
adalah
Rp13.871.390.066,00 (tiga belas miliar delapan ratus tujuh puluh satu juta tiga ratus sembilan puluh enam puluh enam rupiah).
117
VI.1.6 Industri Katup dan Jangkar Kapal A. Material Bahan Baku Penyusun Katup dan Jangkar Kapal Perencanaan jangkar dan katup atau valve yang akan diproduksi antara lain penentuan tipe. dimensi (berat untuk jangkar dan ukuran/size untuk valve). dan jenis bahan baku yang akan digunakan. Ketiga item tersebut harus direncanakan terlebih dahulu untuk menentukan peralatan yang sesuai dengan kebutuhan permintaan jangkar dan valve kapal yang akan diproduksi dan teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi. Perencanaan jangkar dan valve kapal yang diproduksi juga mengacu pada analisis permintaan untuk pasar yang akan dimasuki.
Sumber: www.blueoceantackle.com
Gambar VI.4 Jenis-Jenis Jangkar
Jangkar yang akan diproduksi adalah tipe jangkar stockless. Kelebihan jangkar tipe ini adalah mudah dalam proses pembuatannya. desain jangkar untuk satu jenis kondisi. sebagain besar kapal di Indonesia terutama untuk pelayaran antar pulau menggunakan jangkar tipe ini. Untuk berat. tersedia mulai dari 250 kg – 2500 kg. Sedangkan untuk valve yang akan diproduksi adalah tipe gate valve. Dengan tekanan mulai dari 5 – 15K dengan dimensi mulai dari 20”- 40”.
118
Sumber: www.clowvalve.com
Gambar VI.5 Gate Valve Pemilihan material/bahan baku merupakan faktor penting dalam proses pengecoran logam. Bahan baku yang tepat akan menghasilkan produk coran sesuai dengan keinginan. Ingot merupakan material tepat untuk digunakan dalam proses pengecoran karena mempunyai komposisi kimia yang tepat. bersih dan mudah dipindahkan. Selain ingot. juga terdapat scrap. Material ini lebih banyak digunakan oleh industri pengecoran yang kapasitasnya kecil. Dibandingakn dengan ingot. kandungan yang terdapat dalam scrap terkadang tidak sesuai dengan permintaan. Untuk penggunaan scrap. sebaiknya dipilih scrap dengan kondisi fisik yang bersih. tidak terdapat minyak. cat. besi. baja dan bahan campuran lainnya untuk menjaga kemurnian komposisi kimia material aslinya.Scrap yang digunakan tidak boleh terlalu tipis karena potensi loss selama peleburan lebih besar.Dari segi harga. scrap jauh lebih murah jika dibandingkan dengan ingot. Jenis material/ bahan baku yang akan digunakan pada proses produksi jangkar dan adalah material jenis baja karbon rendah (baja cor). Pemilihan material ini sesuai dengan sifat dari bahan tersebut dan jenis produk yang akan diproduksi. Baja cor memiliki sifat tahan panas. kuat dan cocok untuk valve dengan ukuran-ukuran yang kecil. Selain itu. material ini juga mempunyai sifat machinability.
119
repairability. dan weld ability yang baik untuk proses produksi. perawatan dan reparasi. Baja cor digolongkan dalam baja karbon dan baja paduan. Coran baja karbon adalah paduan besi dan karbon dan digolongkan menjadi tiga macam yaitu baja karbon rendah. baja karbon sedang dan baja karbon tinggi. Kadar karbon dalam baja mempengaruhi karakteristik baja terhadap las (weldability) dan kekerasannya (toughness). Baja paduan merupakan baja cor yang ditambah unsur-unsur paduan seperti mangan. krom. molidenum atau nikel. Penambahan unsur ini dimaksudkan untuk memberikan sifat-sifat khusus seperti tahan aus. tahan asam dan tahan korosi. Baja cor A148dan A 216merupakan material yang memiliki kandungan karbon antara 0.2 % - 0.3%. Kandungan karbon dalam baja cor berpengaruh terhadap kemampuan las dari benda cor. Semakin tinggi kandungan karbon semakin sulit untuk dilas. Sehingga dipilih baja cor dengan kandungan karbon rendah. Tabel VI.31 Mechanical Properties Material ASTM A148 dan ASTM A216 Chemical Components (%)
Old Steel Grade
C
Mn
Si
A148
90-60
0.28
1.2
A216
WCB
0.3
1
Material
P
S
max
max
-
0.05
0.06
-
0.6
0.04
0.045
0.5
Ni
Physical Properties (Min) Cr
Mo
-
-
0.5
0.2
σb
σs
ᵟ
ψ
/MPa
/ Mpa
(%)
(%)
620
415
20
40
485
250
22
35
Seperti terlihat dalam tabel 5.1. kandungan carbon pada baja cor A148 0.28% dan 0.3% untuk A216. Pada kadar karbon sekian. material ini memiliki sifat weldability
dan toughness yang tinggi sehingga mudah untuk dilas dan
direparasi.Dan untuk memproduksi gate valve yang digunakan untuk liquid dengan suhu ≤400°C harus memiliki kadar karbon tidak boleh melebihi dari 0.3%. Material yang akan digunakan dalam produksi valve dan jangkar kapal adalah jenis baja cor (cast steel). Pemilihan material ini berdasarkan syarat yang harus dipenuhi oleh material yang akan digunakan untuk memproduksi jangkar dan valve yaitu weldability. toughness. mechinability. dan repairability. Jenis baja cor yang digunakan untuk membuat jangkar adalah baja cor A148. Sedangkan material yang 120
akan digunakan untuk memproduksi valve adalah baja cor A216. Material ini nantinya akan disupplay oleh STADLER STAHLGUSS dengan miinimum pengiriman 20 ton dengan ukuran kontainer TEU. B. Perhitungan Biaya Investasi. Operasional. dan Pajak Pada Industri Katup dan Jangkar Kapal B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.32 Biaya Investasi Tanah dan Bangunan Industri Katup dan Jangkar Kapal Tanah dan Bangunan No 1 2 3
Jenis
Harga/Satuan
Total
M
2
Rp
2.200.000
Rp
143.000.000
M
2
Rp
2.200.000
Rp
143.000.000
M
2
Rp
2.200.000
Rp
158.400.000
72
M
2
Rp
2.200.000
Rp
158.400.000
50
M2
Rp
2.200.000
Rp
220.000.00
Valve inspection area
50
M
2
Rp
2.200.000
Rp
220.000.00
Packaging area
100
M2
Rp
2.200.000
Rp
220.000.000
2
Rp
2.200.000
Rp
110.000.000
wax room
65
shell room
65
melting room
72
4
Finishing shop
5
Inspection area Anchor inspection area
7
Satuan
8
Metallurgi area
50
M
10
Storage area (10%)
100
M2
Rp
2.200.000
Rp
220.000.000
11
Shipping/receiving area (5%)
100
M2
Rp
2.200.000
Rp
220.000.000
12
Office (2.5%)
72
M2
Rp
2.200.000
Rp
158.400.000
13
Design office (2.5%)
72
M2
Rp
2.200.000
Rp
158.400.000
M
2
Rp
2.200.000
Rp
17.600.000
M
2
Rp
2.200.000
Rp
143.000.000
M
2
Rp
2.200.000
Rp
19.800.000
M
2
Rp
2.200.000
Rp 1.870.000.000
14 15 16
Musholla
8
Parkir area
65
Pantry
9 Total
850
Tabel VI.33 Biaya Investasi Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Katup dan Jangkar Kapal AREA/ SHOP Wax room Foundry
Finishing
Activity
Equipment
Price (Rp)
Wax injection equipment
Rp
1.964.703.600
slurry mixer system
Rp
121.278.000
burnied system
Rp
96.628.000
foundry gravity casting
Rp
2.083.615.200
Shakeout machine
Rp
1.870.935.000
removal pattern
water blasting
Rp
22.678.000
cleaning casting
high speed friction saw
Rp
3.529.880
making pattern melting and pouring
121
inspection area
Anchor inspection
Tape measure (roll meter)
Rp
72.000
Hanging Crane Scale
Rp
30.300.584
Copper Hammer Wooden Handle
Rp
2.399.040
Pressure Valve Test
Rp
393.118.200
Fluid Valve test
Rp
97.448.352
Product handling
Overhead Traveling Crane
Rp
400.000.000
Material handling
Fork car transportation
Rp
110.432.000
Tensile test
Universal Testing Machine
Rp
290.870.000
Alloy analysis
X-ray Flourescene Spectrometer
Rp
573.852.000
Rp
8.061.859.856
valve inspection
HANDLING Matallurgy LAB
Total
Tabel VI.34 Biaya Investasi Industri Katup dan Jangkar Kapal Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak No.
Jenis
Jumlah
1
Tanah dan bangunan
Rp.
1.870.000.000
2
Peralatan. mesin. dan fasilitas lain-lain
Rp.
8.497.459.856
3
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% dari total biaya langsung)
Rp.
1.036.745.986
Total biaya pembangunan
Rp.
11.404.205.842
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
1.140.420.584
Biaya Total
Rp.
12.544.626.426
4
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 3. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (1.870.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp90.500.000 4. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman 122
Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.35 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Katup dan Jangkar Kapal
AREA/ SHOP
Wax room Foundry Finishing
Inspection Area
Handling
Equipment
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Rp98.235.180
Rp206.293.878
Rp51.573.470
Rp356.102.528
Rp6.063.900
Rp12.734.190
Rp3.183.548
Rp21.981.638
burnied system foundry gravity casting Shakeout machine water blasting
Rp4.831.400 Rp104.180.760 Rp93.546.750 Rp1.133.900
Rp10.145.940 Rp218.779.596 Rp196.448.175 Rp2.381.190
Rp2.536.485 Rp54.694.899 Rp49.112.044 Rp595.298
Rp17.513.825 Rp377.655.255 Rp339.106.969 Rp4.110.388
high speed friction saw Tape measure (roll meter) Hanging Crane Scale Copper Hammer Wooden Handle Pressure Valve Test Fluid Valve test Overhead Traveling Crane
Rp176.494
Rp370.637
Rp92.659
Rp639.791
Rp3.600
Rp7.560
Rp1.890
Rp13.050
Rp1.515.029
Rp3.181.561
Rp795.390
Rp5.491.981
Rp119.952
Rp251.899
Rp62.975
Rp434.826
Rp19.655.910 Rp4.872.417
Rp41.277.411 Rp10.232.077
Rp10.319.353 Rp2.558.019
Rp71.252.674 Rp17.662.514
Rp20.000.000
Rp42.000.000
Rp10.500.000
Rp72.500.000
Wax injection equipment slurry mixer system
123
Matallurgy Lab.
Fork car transportation Universal Testing Machine X-ray Flourescene Spectrometer
Rp5.521.600
Rp11.595.360
Rp2.898.840
Rp20.015.800
Rp14.543.500
Rp30.541.350
Rp7.635.338
Rp52.720.188
Rp28.692.600
Rp60.254.460
Rp15.063.615
Rp104.010.675
Jumlah
Rp1.461.212.099
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp12.544.626.426 + Rp90.500.000 + Rp1.461.212.099 = Rp14.096.338.525 Sehingga total biaya investasi industri katup dan jangkar kapal adalah Rp14.096.338.525 (empat belas miliar sembilan puluh enam juta tiga ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima rupiah). B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak Tabel VI.36 Biaya Operasional Industri Katup dan Jangkar Kapal No.
Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
206.000.000
2
Material cast steel
Rp.
1.580.325.298
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
130.144.436
4
Peralatan produksi
Rp.
27.888.093
5
Rumah tangga
Rp.
120.848.405
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
139.976.534
Rp.
2.205.182.767
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB = 0.5% x [40% x (Rp1.870.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp3.716.000 Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 124
4. Pajak Pengadaan Material Cast Steel Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Pos tarif dan pembebanan menurut Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012 adalah: 7206.90.00.00. besar bea masuk = 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk Tarif PPh
= Tanggungan pajak akibat proses impor =
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
125
Tabel VI.37 Biaya Pajak Pengadaan Material Cast Steel
Jenis Biaya (Per-tahun) Material Cast Steel
Bea Masuk 0
PPn Rp158.032.530
PPh Rp39.508.132
Bea Masuk+PPn+PPh Rp197.540.662
B.6 Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak =
Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze
= Rp2.205.182.767 + Rp3.716.000 + Rp197.540.662 = Rp2.406.439.429 Sehingga total biaya operasional industri katup dan jangkar kapal adalah Rp2.406.439.429,00 (dua miliar empat ratus enam juta empat ratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus dua puluh sembilan rupiah).
126
VI.1.7 Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal A. Material Bahan Baku Penyusun Perlengkapan Keselamatan Kapal Perencanaan produk dari perlengkapan keselamatan kapal yang akan diproduksi antara lain menentukan jenis. tipe. dan kapasitas dari liferaft. life jacket dan lifebuoys. Hal tersebut harus direncanakan untuk menentukan peralatan yang sesuai dengan kebutuhan perlengkapan keselamatan yang akan dihasilkan dan teknologi yang akan digunakan dalam perakitan produk.
Inflatable Liferaft Tipe dari liferaft dibagi berdasarkan kemasan. Dalam dunia perkapalan secara
umum ada 2 macam tipe liferaft. Berikut tipe dari liferaft : 1. SOLAS A PACK Tipe ini digunakan untuk kapal yang menjalani rute overseas selain itu tipe ini juga digunakan oleh RIG. 2. SOLAS B PACK Tipe ini digunakan untuk kapal yang menjalani rute pendek seperti Kapal Ferry dan Kapal Pesiar. Untuk jenis dari liferaft dibagi berdasarkan cara pelepasan ke laut. Berdasarkan jenis liferaft dibagi menjadi dua jenis. sebagai berikut : 1. Davit Launched Liferaft ini biasanya digunakan untuk kapal-kapal Penumpang. jenis ini sangat jarang dipakai untuk kapal jenis lain atau RIG.
Sumber: www.nauticexpo.com
Gambar VI.6 Davit Launched Liferaft
2. Throw Over Board 127
Jenis ini biasanya digunakan oleh kapal-kapal Tanker. Peti Kemas/Container dan RIG.
Sumber: www.megaprimajaya.com
Gambar VI.7 Throw Over Board Liferaft Liferaft yang akan diproduksi adalah liferaft tipe Solas B pack. Tipe tersebut cocok untuk kapal perairan Indonesia yang melakukan pelayaran rute pendek. Dari jenis liferaft dipilih jenis Throw Over Board (TOB). Liferaft mempunyai bermacammacam ukuran dan kapasitas. dalam penelitian ini dipilih liferaft dengan ukuran dan kapasitas yang menyesuaikan dengan pasar di Indonesia. Perencanaan produk meliputi ukuran dan kapasitas serta container (pengemas liferaft) dapat dilihat pada katalog. sebagai berikut : Tabel VI.38 Katalog Produk Infltable Liferaft Container
Type
Capasity (person)
Length (mm)
Width (mm)
Height (mm)
Width (mm)
Height (mm)
Weight (kg)
Lf B-10
10
1160
560
513
2600
1400
≤ 100
Lf B-15
15
1275
610
590
3150
1600
≤ 110
Lf B-20
20
1275
610
590
3600
1800
≤ 130
Lf B-25
25
1275
680
615
4000
2000
≤ 150
Liferaft
Dari tabel di atas merupakan katalog produk inflatable liferaft yang dihasilkan dari penelitian ini. Terdapat empat jenis inflatable liferaft yang dibedakan berdasarkan kapasitas orang yang mampu ditampung. Untuk pengemasannya menggunakan container dengan dimensi panjang. lebar. dan tinggi seperti kapsul. Inflatable liferaft berbentuk round (bulat) jadi untuk dimensinya lebar (diameter) dan tinggi. Inflatable Liferaft atau sering disebut dengan Liferaft adalah salah satu alat keselamatan yang terbuat dari bahan yang elastis dengan bentuk persegi yang didalamnya terdapat peralatan yang disiapkan untuk bertahan hidup dilaut dan 128
dikemas dalam container. Liferaft sebagaimana terlihat mempunyai beragam bentuk persegi. oval. dan lingkaran dalam pembuatan liferaft telah diperhitungkan masingmasing fungsi yang ada pada liferaft. Berikut ini merupakan detail komponen dari: Eksterior dan Interior Liferaft : 1. Buoyancies Terdiri dari 2 bagian. yaitu bagian atas dan bagian bawah. yang berfungsi sebagai penopang liferaft yang diisi udara melalui botol gas CO2 cylinder. 2. Inlet Valves Merupakan tempat masuknya udara dalam buoyancies melalui inflation valves. hose dari botol gas CO2 cylinder. 3. Deflation Plug/Valve Dalam 1 unit liferaft ada 3 atau 4 buah. yaitu pada buoyancy atas. buoyancy bawah. floor dan center colum/arch. yang berfungsi sebagai pentil untuk mengisap udara. 4. Safety Relief Valve Dalam 1 unit liferaft terdapat 2 buah safety. yaitu pada buoyancy atas dan buoyancy bawah. yang berfungsi sebagai pengaman udara diakibatkan kelebihan udara dari dalam buoyancies. 5. Boarding Ramp Menempel pada buoyancy bawah bagian luar yang diisi udara. berfungsi sebagai tangga. agar penumpang/pemakai dapat masuk kedalam liferaft. 6. Boarding Ladder Terdapat pada setiap pintu liferaft. yang berfungsi sebagai tangga agar para penumpang/pemakai dapat masuk kedalam liferaft. 7. Towing Bridle/Patch Adalah sebagai pengikat ujung painter line. agar painter line tetap terikat pada liferaft juga dapat digunakan sebagai pengikat tali agar dapat ditarik. 8. Lifeline/Grabline Terdapat pada kedua bagian liferaft. luar dan dalam. yang berfungsi sebagai pegangan bagi penumpang/pemakai liferaft. 9. Outer/Inner Canopy Terdapat pada kedua bagian liferaft. luar dan dalam. yang berbentuk tenda. Berfungsi sebagai atap pelindung dari panasnya matahari dan hujan ataupun 129
dinginnya udara pada malam hari. juga dapat dipakai sebagai titik pijak pertama jika orang melompat dari kapal dalam ketinggian 4.5 meter. 10. Rectro Reflective tape Ditempel pada canopy bagian luar. sebagai pemberi tanda apabila kena pantulan cahaya lampu pada malam hari. 11. Seam and Taping Merupakan sambungan untuk menutup antara rubber dengan rubber yang terdapat pada setiap sudut liferaft. 12. Rain Water Catchment Merupakan penadah air hujan yang terpasang di samping canopy bagian atas. kemudian disalurkan langsung kedalam liferaft melalui selang. 13. Exterior/Interior Lighting System Dalam 1 unit liferaft terdapat 2 buah lampu. pada bagian luar dan dalam sebagai penerang pada malam hari. 14. Arch Deflation Valve Merupakan pentil pada tiang penopang canopy. yang berfungsi untuk mengisap udara. 15. Entrance Sleeves Merupakan resleting/kancing untuk menutup pintu liferaft. 16. Outer/Inner Floor Terdiri dari 2 bagian. lantai luar dan lantai dalam yang dapat dikembangkan dengan memakai bellow atau pump. yang berfungsi sebagai penahan dingin air laut. 17. Righting Strap Adalah tali yang berfungsi sebagai penarik pembalik liferaft apabila liferaft terbalik pada saat dikembangkan. 18. Stabilising Pockets Merupakan kantong yang berlubang dan berisi air sebagai pengatur keseimbangan liferaft dari serangan ombak. 19. Cylinder Pockets Merupakan kantong/tempat pemasangan botol gas CO2 cylinder. 20. Sea-Cell
130
Adalah battery laut. yang digunakan untuk memberi arus listrik pada exterior/interior lighting system. Battery akan berfungsi secara otomatis apabila terendam atau dicelupkan kedalam air laut. 21. Painter Lashing/Stowage Sebagai pengikat ujung painter line. agar painter line tetap terikat pada liferaft juga dapat digunakan sebagai pengikat tali agar dapat ditarik. 22. Inflation Valve. Hose Merupakan selang penghubung gas CO2 dari botol ke buoyancies. 23. Piece Connector Sebagai penghubung gas CO2 dari botol gas CO2 cylinder ke buoyancies. 24. Protection Pads Merupakan pelindung/pembungkusan operating head botol gas CO2 cylinder. 25. Gas CO2 Cylinder Merupakan suatu gas yang berfungsi sebagai udara dengan tekanan tinggi agar dapat mengembangkan liferaft secara cepat. 26. Operating Cable Merupakan kabel sebagai pemicu botol gas CO2 cylinder untuk menekan jarum agar gas CO2 dapat disalurkan kedalam liferaft. 27. Operating Head Merupakan alat pengoperasian yang dilengkapi spring. pisau dan kabel yang terpasang pada kepala botol gas CO2 cylinder. 28. Thwart Merupakan bantalan yang berisikan udara. terletak diatas floor bagian dalam liferaft sebagai pembatas (terbentang ditengah liferaft bagian dalam). 29. Center Column Fabric Merupakan tiang tegak yang diisi udara untuk dapat menopang canopy. 30. Light Battery Adalah
battery
yang
digunakan
untuk
memberikan
arus
listrik
pada
exterior/interior lighting system. Battery akan berfungsi apabila sistem tali yang disambungkan pada saklarnya tertarik pada saat liferaft mengembang. 31. Topping UP Valves Merupakan katup untuk menutup Valves/klep. yang digunakan setelah liferaft dikembangkan atau di vaccum. 32. Viewing Port 131
Merupakan jendela sebagai pengintai. 33. Aerial Sleeve Merupakan tempat berlubang pada canopy untuk mengeluarkan radar reflector. 34. Emergency Pack Merupakan tempat untuk menyimpan perlengkapan darurat. 35. Aerial Sockets Merupakan tempat untuk mengikat dan menahan tiang radar reflector. 36. Floor Reeds Merupakan lantai yang dapat dikembangkan dengan mengisi udara dengan memakai bellow/pump. 37. Rescue Line and Quoit Merupakan tali laso/tali penolong yang dilengkapi dengan gelang sebagai pegangan. 38. Knife Sheath Merupakan pisau yang berfungsi sebagai alat pemotong painter line apabila liferaft siap lepas dari kapal. 39. Sea Anchor Merupakan jangkar apung yang berfungsi sebagai penahan arus laut agar Liferaft tidak terbawa jauh meninggalkan lokasi (mempermudah pencarian). Emergency Pack Liferaft : 1. Bellow/Hand Pump Pompa tangan yang digunakan untuk menambah tekanan pada buoyancies dan floor/lantai liferaft. 2. Repair Kit Alat yang digunakan untuk menambal buoyancies dari kebocoran. 3. Leak Stopers Alat yang digunakan untuk menutup kebocoran sementara waktu yang terjadi pada buoyancies. 4. Sponge Alat ini digunakan untuk menguras air yang masuk dalam liferaft. 5. Bailers Alat ini fungsinya untuk menimba air yang masuk dalam liferaft. 6. Spare Sea – Anchor 132
Alat ini sebagai penganti sea-anchor yang terpasang pada liferaft apabila rusak karena arus air laut. 7. Torch Signaling Alat ini adalah senter dengan 2 atau 3 batteries yang digunakan untuk mengirim signal kekapal penolong atau kapal yang sedang lewat pada waktu malam hari. 8. Spare Batteries Bahan yang dipakai untuk menghidupkan lampu pada torch signaling. juga dilengkapi dengan cadangan. 9. Whistle Alat ini fungsinya hampir sama dengan torch signaling. yaitu pengiriman signal dengan menggunakan kode morse. 10. Fishing Kit Alat ini adalah pancing yang digunakan untuk mencari ikan sebagai penganti food ration. untuk mempertahankan hidup dilaut. 11. Can/Tin Opener Alat untuk membuka kaleng drinking water. 12. Paddles Alat ini adalah dayung yang digunakan untuk membantu jalannya liferaft. 13. Spare Bulb for Torch Bahan cadangan sebagai penganti bola lampu torch signaling apabila putus. 14. Drinking Vessel Alat yang digunakan sebagai tempat minum atau gelas air minum yang dilengkapi dengan tanda ukur untuk dapat membagi/jatah air minum. 15. Sea-sickness Bags Merupakan tempat/kantong muntah. 16. Signal Mirror Alat ini digunakan untuk memberikan sinyal morse kepada kapal-kapal penolong baik dari udara maupun laut dalam radius yang cukup jauh. 17. Manual Survival Book Buku tentang cara untuk bertahan hidup dilautan/petunjuk yang harus dilakukan. 18. Rescue Signal Table Adalah pedoman/petunjuk yang berisikan sinyal morse. 19. Thermal Protective Aids 133
Merupakan baju hangat yang digunakan untuk orang yang mengalami penurunan suhu akibat kedinginan. 20. Radar Reflector Alat yang digunakan untuk memantulkan kembali sinyal satelit dari sarsat dan Inmarsat. 21. Dye Marker Sebagai pewarna air laut. untuk memberikan suatu tanda pada pesawat udara atau kapal laut. 22. Food Ration Adalah makanan darurat untuk bertahan hidup dilaut. mempunyai berat 500 gram. makanan ini mempunyai masa kadaluarsa antara 3 sampai 5 tahun. dengan ketentuan 500 gram per orang. 23. Drinking Water Adalah minuman darurat yang mempunyai berat 500 ml dan mempunyai waktu kadaluarsa antara 3 sampai 5 tahun. dengan ketentuan 1.500 ml per orang. 24. Parachute Flares Alat yang digunakan untuk memberi tanda kepada kapal-kapal penolong baik dari udara maupun dari laut dengan radius yang cukup jauh. Parachute Flare mempunyai waktu kadaluarsa selama 3 tahun dan akan maksimal jika digunakan pada malam hari
.
25. Red Hand Flare Alat ini digunakan untuk memberi tanda kepada kapal-kapal penolong baik dari udara maupun dari laut yang radiusnya cukup dekat. Alat ini mempunyai masa kadaluarsa selama 3 tahun dan akan maksimal jika digunakan pada malam hari. 26. Smoke Signal Alat ini digunakan untuk memberi tanda kepada kapal-kapal penolong baik dari udara maupun dari laut dengan radius jauh maupun dekat. Alat ini mempunyai masa kadaluarsa selama 3 tahun dan akan efectif jika digunakan pada siang hari. 27. First Aid Kit Kotak obat bagi pertolongan pertama kecelakaan yang mempunyai masa kadaluarsa selama 3 tahun. 28. Anti Seasickness Tablets Obat mabuk laut yang biasanya mempunyai masa kadaluarsa antara 1 sampai dengan 3 tahun. dengan ketentuan 6 tablets per orang. 134
Setiap bahan yang diperlukan dalam pembuatan liferaft dibagi atas setiap komponen. Dalam hal ini bahan yang dibutuhkan tidak diproduksi sendiri melainkan membeli dari produsen lain. Untuk bahan utama pada bouyancies menggunakan bahan natural rubber. yang didapatkan dari pabrik karet berupa lembaran. Inner/outer canopy menggunakan polyester waterproof berupa lembaran yang dibeli dari produsen polyester. Pada gambar di bawah merupakan container (pengemas liferaft) yang tidak diproduksi melainkan dibeli dari produsen lain sesuai dengan desain yang ditentukan.
Sumber: www.viking-life.com
Gambar VI.8 Container Liferaft
Life Jacket Life jacket merupakan perangkat yang dirancang untuk membantu pemakai. baik
secara sadar atau di bawah sadar. untuk tetap mengapung dengan mulut dan hidung berada di atas permukaan air atau pada saat berada dalam air. Life jacket yang dirancang dan disetujui oleh pihak yang berwenang dalam hal ini Biro Klasifikasi Indonesia untuk digunakan oleh penumpang kapal komersial (kapal tunda. kapal penumpang. feri. kapal laut). Berdasarkan tipe life jacket dibagi menjadi 3 tipe. yaitu : 1. Tipe I Untuk perairan terbuka. jauh atau ombak tinggi. Pengunaan lepas pantai dimana penyelamatan lebih lama. 2. Tipe II Untuk umum kegiatan berperahu rekreasi diperairan tenang. perairan darat. atau di mana ada kesempatan untuk penyelamatan yang cepat. 3. Tipe III Untuk perairan tenang. perairan darat. atau di mana kesempatan untuk penyelamatan yang cepat. Digunakan dalam kegiatan khusus seperti ski air. berburu. memancing. kano. dan lain-lain. 135
Jenis untuk life jacket dibagi berdasarkan jenis pelampungnya. Jadi life jacket mempuyai 2 jenis pelampung. sebagai berikut : 1. Busa Steriofoam Merupakan bentuk sederhana. terbuat dari busa steriofoam yang dibungkus kain nilon di dalam baju pelampung. Banyak digunakan sebagai perangkat keselamatan kapal. bis air. perahu. Biasanya menggunakan warna orange agar mempermudah proses evakuasi bila terjadi bencana. Biasanya dilengkapi dengan lampu yang hidup bila baterainya terendam air serta peluit. 2. Pelampung Balon Udara Pelampung balon udara yang ditempatkan di dalam baju pelampung yang dikembangkan dengan menarik pemicu udara (tabung CO2) yang akan mengisi ruang di dalam baju pelampung dan biasanya dilengkapi dengan peniup manual bila tabung CO2 tidak berfungsi. Life jacket yang diproduksi dalam penelitian ini adalah life jacket busa steriofoam tipe I. karena tipe ini cocok untuk pasar indonesia dan penggunaannya lepas pantai. Berikut katalog dari produk life jacket: Tabel VI.39 Katalog Produk Life Jacket Code
Weight (kg)
Size (cm)
Lj-S
15-40
60-80
Lj-M
40-70
80-100
Lj-L
70-100
110-130
Katalog produk life jacket pada tabel 6.28 menunjukkan bahwa variasi produk ada tiga macam. Variasi tersebut berdasarkan pengelompokan berat badan. dengan variasi S untuk berat badan 15-40. M untuk berat badan 40-70 dan L untuk ukuran terbesar dengan berat badan antara 70-100. Untuk ukuran lingkar dada didapatkan dari menyesuaikan dengan pengelompokan dari berat badan. Life jacket merupakan baju pelampung yang digunakan secara perorangan oleh penumpang kapal komersial (kapal tunda. kapal penumpang. feri. kapal laut). Dalam pembuatan life jacket lebih mudah jika dibandingkan dengan liferaft. Proses pembuatan dilakukan secara semi otomatis. Dalam pembuatan life jacket diperlukan detail komponen produk. Berikut detail dari life jacket : 136
1. Busa Steriofoam/polyvinyl chloride Sebagai pelampung pada life jacket. 2. Back Handle Untuk mengevakuasi bagian belakang. 3. Reflective tape Menyala jika terkena cahaya lampu pada kondisi gelap berwarna silver. 4. Belt Untuk mengunci bagian depan life jacket agar tidak telepas. 5. Headrest Flap Menjaga kepala agar tetap mengapung diatas. 6. Peluit Memberikan tanda suara untuk mempermudah dalam proses evakuasi. 7. Light (lampu) Memberi tanda cahaya yang hidup ketika baterainya terendam air. Untuk bahan utama dari life jacket merupakan busa steriofoam atau sekarang sering digunakan polyvinyl chloride. Dan pembungkus dari bahan tersebut adalah kain nylon. Semua untuk bahan baku dibeli dari produsen lain.
Sumber: tokoliman.blogspot.com
Gambar VI.9 Busa Steriofoam
137
Sumber: www.ytfoam.com
Gambar VI.10 Polyvinyl Chloride
Busa streiofoam mempunyai harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan Polyvynil chloride tetapi dari kualitas untuk Polyvynil chloride lebih bagus jika dibandingkan dengan busa steriofoam. Sehingga bahan yang di gunakan adalah Polyvynil chloride.
Lifebuoys Lifebuoys adalah pelampung yang dirancang untuk dilempar kepada seseorang di
dalam air. untuk memberikan daya apung. untuk mencegah tenggelam. Beberapa lifebuoys dilengkapi dengan lampu untuk membantu penyelamatan dimalam hari. Lifebuoys berbentuk cincin atau berbentuk tapal kuda dan memiliki tali yang bisa ditarik untuk proses penyelamatan.
Sumber: www.nuovarade.com
Gambar VI.11 Lifebuoys Dipilih lifebuoys dengan bahan plastik sintetis yang dilengkapi dengan tali. Berikut detail ukuran dari produk lifebuoys : 138
•
•
Ukuran : Diameter luar
= 720 mm
Diameter dalam
= 420 mm
Tebal
= 100 mm
Panjang tali = 30 m
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan lifebuoys adalah plastik sintetis. Untuk tali menggunakan tali polyethylene. B. Perhitungan Biaya Investasi. Operasional. dan Pajak Pada Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal B.1 Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak Tabel VI.40 Biaya Investasi Tanah dan Bangunan Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Tanah dan Bangunan No
Jenis
Satuan
Harga/Satuan
Total
460
M
2
Rp2.100.000
Rp966.000.000
a.
Tanah
b.
Bangunan Workshop Area (75%)
1
Marking dan Cutting
66
M2
Rp1.700.000
Rp112.200.000
2
Assembly Area
33
M2
Rp1.700.000
Rp56.100.000
48
M
2
Rp1.700.000
Rp81.600.000
M
2
Rp1.700.000
Rp81.600.000
195
M
2
Rp1.700.000
Rp331.500.000
24
M2
Rp1.700.000
Rp40.800.000
2
Rp1.700.000
Rp40.800.000
3 4
Inspection Area Finishing Area
48
Total Workshop Area c.
Bangunan non-Workshop Area (25%)
1
Storage/Receiving area (10%)
2
Storage/Shipping area (10%)
24
M
3
Office (8%)
20
M2
Rp1.700.000
Rp34.000.000
18
M
2
Rp1.700.000
Rp30.600.000
M
2
Rp1.700.000
Rp146.200.000
4
Design Office (7%) Total non-Workshop Area
86
Total
Rp1.476.000.000
Tabel VI.41 Biaya Investasi Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal No.
Nama Peralatan dan Mesin
Unit
1
Sofware SolidWorks 3D CAD
1
2
Software AutoCAD
1
3
Notebook
4
Model
Harga/Unit ($)
Harga Total (IDR)
SolidWorks Corp.
$5.490
Rp53.434.170
Autodesk. Inc.
$4.525
Rp44.041.825
-
Rp35.424.000
Manufacturer
SolidWorks Professional Single User License AutoCAD Design Suite Standard 2013 Asus A46CMWX095D
139
ASUS
4
Automatic Cutting Machine
4
EDO-2A-08 Series Cutting Plotter
5
High Frequency Welding Machine
2
HR-15KW4AC
6
Sewing Machine
5
MEB-3200J KEYHOLE
7
Air Compressor
1
8
Cutting Foam Machine
2
9
Fork car transportation
1
10 11
Overhead Traveling Crane Other
1
260 DUQ Utility Air Compressor Vertical Foam Cutting Machines CPCD40FR Diesel Powered Forklift Truck OTC single hoist
-
Kory Automation Technology Co.. Ltd. Hangzhou Wanli Machinery & Equipment Manufacturer Co..ltd Zhejiang Jukai Sewing Si-Tech Co.. Ltd. Sullair Industrial Air Compressor Distributor
$8.754
Rp340.810.728
$18.672
Rp363.469.152
$8.147
Rp396.473.755
$5.419
Rp52.743.127
A.S. ENTERPRISES
$8.337
Rp162.288.042
Jinan QINONG Machinery
$11.200
Rp109.009.600
-
Rp400.000.000
-
Rp50.000.000
PT. Indotara Persada
-
-
Jumlah
Rp2.007.694.399
Tabel VI.42 Biaya Investasi Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Perhitungan Biaya Investasi Tanpa Pajak
No.
Jenis
Jumlah
1
Tanah dan bangunan
Rp.
1.476.000.000
2
Peralatan. mesin. dan fasilitas Lain-lain
Rp.
2.007.694.399
3
Biaya perencanaan dan pengawasan (10% dari total biaya langsung)
Rp.
348.369.440
Total biaya pembangunan
Rp.
3.832.063.839
Overhead cost (10% dari total biaya pembangunan)
Rp.
383.206.384
Biaya Total
Rp.
4.215.270.223
4
B.2 Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (1.476.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp70.800.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk 140
Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk
penelitian
ini
peneliti
menyetarakan
sebanyak 5% Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Keterangan: Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
=
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.43 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
No.
Nama Peralatan dan Mesin
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Sofware SolidWorks 3D CAD
Rp2.671.709
Rp5.610.588
Rp1.402.647
Rp9.684.943
2
Software AutoCAD
Rp2.202.091
Rp4.624.392
Rp1.156.098
Rp7.982.581
3
Automatic Cutting Machine
Rp1.771.200
Rp3.719.520
Rp929.880
Rp6.420.600
4
High Frequency Welding Machine
Rp17.040.536
Rp35.785.126
Rp8.946.282
Rp61.771.944
5
Sewing Machine
Rp18.173.458
Rp38.164.261
Rp9.541.065
Rp65.878.784
141
6
Air Compressor
Rp19.823.688
Rp41.629.744
Rp10.407.436
Rp71.860.868
7
Cutting Foam Machine
Rp2.637.156
Rp5.538.028
Rp1.384.507
Rp9.559.692
8
Fork car transportation
Rp8.114.402
Rp17.040.244
Rp4.260.061
Rp29.414.708
9
Overhead Traveling Crane
Rp5.450.480
Rp11.446.008
Rp2.861.502
Rp19.757.990
Jumlah
Rp282.332.110
B.3 Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + BPHTB + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp1.476.000.000 + Rp70.800.000 + Rp282.332.110 = Rp4.568.402.333 Sehingga total biaya investasi industri perlengkapan keselamatan kapal adalah Rp4.568.402.333 (empat miliar lima ratus enam puluh delapan juta empat ratus dua ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah). B.4 Perhitungan Biaya Operasional Tanpa Pajak Tabel VI.44 Biaya Operasional Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal No.
Jenis Biaya (Per-tahun)
Jumlah
1
Gaji pegawai
Rp.
960.000.000
2
Material bahan baku
Rp.
288.113.340
3
Energi (bahan bakar. listrik. & gas)
Rp.
23.726.981
4
Peralatan produksi
Rp.
5.084.353
5
Rumah tangga
Rp.
22.032.197
6
Perawatan dan perbaikan
Rp.
58.915.440
Rp.
1.357.872.311
Jumlah Total
B.5 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak PBB = 0.5% x [40% x (Rp1.476.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp2.928.000 Keterangan: Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan 142
NJOPTKP = Rp12.000.000 2. Pajak Pengadaan Bahan Baku Perlengkapan Keselamatan Kapal Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan: Harga Barang (Cost) = Harga dasar barang yang dibeli Asuransi (Insurance) = Biaya asuransi barang yang akan dikirim Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Tarif bea masuk atas barang impor didasari oleh jenis dan kalsifikasi barang impor. Untuk penelitian ini peneliti menyetarakan sebanyak 10%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk Tarif PPh
= Tanggungan pajak akibat proses impor =
2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
143
Tabel VI.45 Biaya Pajak Pengadaan Bahan Baku Perlengkapan Keselamatan Kapal
Jenis Biaya (Per-tahun)
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp28.811.334
Rp31.692.467
Rp7.923.117
Rp68.426.918
B.6 Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak =
Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze
= Rp1.357.872.311 + Rp2.928.000 + Rp32.412.751 = Rp1.429.227.229 Sehingga total biaya operasional industri perlengkapan keselamatan kapal adalah Rp1.429.227.229,00 (satu miliar empat ratus dua puluh sembilan juta dua ratus dua puluh tujuh ribu dua ratus dua puluh sembilan rupiah).
144
VI.2
Rekapitulasi Pengeluaran Biaya Pajak Industri Komponen Kapal Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di perindustrian Indonesia hingga tahun
2013. maka dapat diperhitungkan jumlah pengeluaran biaya pajak dari masing-masing industri. Dan berikut ini akan dijabarkan biaya pajak dari masing-masing industri tersebut. Tabel VI.46 Total Pajak Masing-Masing Industri Ketika Melakukan Investasi No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Masuk
PPn
PPh
Total Pajak
Rp151.727.500
Rp52.275.000
Rp109.777.500
Rp27.444.375
Rp341.224.375
Rp198.400.000 Rp139.600.000 Rp63.150.000 Rp146.000.000
Rp52.025.000 Rp33.025.000 Rp91.650.000 Rp1.821.584.680
Rp109.252.500 Rp69.352.500 Rp192.465.000 Rp3.825.327.827
Rp27.313.125 Rp17.338.125 Rp48.116.250 Rp956.331.957
Rp386.990.625 Rp259.315.625 Rp395.381.250 Rp6.749.244.464
Rp90.500.000
Rp403.092.993
Rp846.495.285
Rp211.623.821
Rp1.551.712.099
Rp70.800.000
Rp77.884.720
Rp163.557.912
Rp40.889.478
Rp353.132.110
Pada tabel di atas. total pajak yang dimaksud adalah jumlah pajak pada masing-masing industri. Yang nantinya total pajak dari masing-masing industri ini akan menjadi tanggungan dari para pengusaha atau investor yang akan mendirikan perusahaan industri komponen kapal. Kemudian setelah didapat nilai dari total pajak ketika proses investasi. maka nilai pajak tersebut ditambahkan dengan nilai dari biaya investasi industri. Yang jumlah total dari biaya investasi untuk masing-masing industri tersebut adalah:
No
Tabel VI.47 Total Biaya Investasi untuk Masing-Masing Industri Jenis Industri
Total Biaya Investasi
1
Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik
Rp5.350.684.875
2
Industri Generator Set
Rp6.519.875.625
3
Industri Lampu dan Saklar
Rp4.509.440.625
4
Industri Kabel
Rp3.078.556.250
5
Industri Propeller
Rp54.437.393.711
6
Industri Katup dan Jangkar Kapal
Rp14.096.338.525
7
Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Rp4.568.402.333
145
Tabel VI.48 Total Pajak Masing-Masing Industri Ketika Melakukan Proses Operasional No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Pajak Bumi Bangunan (PBB)
Bea Masuk
PPn
PPh
Total Pajak
Rp6.165.100
Rp15.300.000
Rp32.130.000
Rp8.032.500
Rp61.627.600
Rp8.032.000 Rp5.680.000 Rp2.622.000 Rp5.936.000 Rp3.716.000
Rp13.855.000 Rp13.387.500 Rp10.072.500 Rp459.983.016 Rp0
Rp29.095.500 Rp28.113.750 Rp21.152.250 Rp965.964.335 Rp158.032.530
Rp7.273.875 Rp7.028.438 Rp5.288.063 Rp241.491.084 Rp39.508.132
Rp58.256.375 Rp54.209.688 Rp39.134.813 Rp1.673.374.435 Rp201.256.662
Rp2.928.000
Rp28.811.334
Rp31.692.467
Rp7.923.117
Rp71.354.918
Pada tabel di atas. total pajak yang dimaksud adalah jumlah pajak pada masing-masing industri. Yang nantinya total pajak dari masing-masing industri ini akan menjadi tanggungan dari pengusaha komponen kapal yang melakukan proses operasional pertahunnya. Kemudian setelah didapat nilai dari total pajak ketika proses operasional. maka nilai pajak tersebut ditambahkan dengan nilai dari biaya operasional industri. Yang jumlah total dari biaya operasional pertahunnya untuk masing-masing industri tersebut adalah: Tabel VI.49 Total Biaya Operasional Pertahun untuk Masing-Masing Industri No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
146
Total Biaya Investasi Rp931.627.600 Rp884.256.375 Rp759.209.688 Rp576.134.813 Rp13.871.390.066 Rp2.406.439.429 Rp1.429.227.229
VI.3
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia Industri berperan dalam pembangunan ekonomi sebagai penggerak untuk membawa visi
transformasi dari negara sedang berkembang menuju negara industri maju. Sedangkan teknologi sangat berperan dalam penciptaan nilai tambah dan daya saing industri. Industri alat angkut termasuk salah satu industri andalan masa depan yang strategis. Daya saing industri alat angkut dapat ditingkatkan melalui kemampuan teknologi industri dan kebutuhan pasar/bisnis dalam negeri untuk menunjang pembangunan infrastruktur sektor transportasi yang dapat menciptakan nilai tambah dan kemampuan ekspor. Industri perkapalan merupakan salah satu industri strategis berbasis teknologi tinggi yang dapat dikembangkan sebagai andalan industri masa depan untuk menunjang sektor transportasi. Potensi yang dimiliki industri perkapalan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan dapat meningkatkan penerimaan negara berupa peningkatan pajak. Namun. kontribusi perkapalan terhadap penyediaan moda transportasi masih belum signifikan sehingga diperlukan peningkatan peran kapal sebagai sarana angkutan massa. Selain itu. daya saing yang rendah akibat ketergantungan impor komponen sangat besar sehingga menyebabkan tingginya harga kapal. Penyebab utama dari ketergantungan impor komponen yang tinggi adalah karena dari masih belum berkembang secara maksimalnya industri komponen kapal di Indonesia. Terlihat dari data yang terhimpun di Kementerian Perindustrian yang memaparkan masih kurangnya variasi dari produk komponen kapal yang mampu diproduksi oleh industri komponen kapal. Selain itu masih sedikitnya jumlah produsen dari industri komponen kapal di Indonesia. Sehingga masih amat sangat dibutuhkannya peran dari Pemerintah Republik Indonesia untuk dapat membantu mengembangkan industri komponen kapal ini. Berkaca dari industri otomotif atau industri kendaraan bermotor. khususnya industri komponen kendaraan bermotor. dimana pada industri tersebut sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Terlihat dari industri komponen kendaraan bermotor yang mendapatkan hak istimewa di sektor perpajakan. Yaitu dimana pada tahun 2013 industri komponen kendaraan bermotor mendapatkan fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). Dampaknya jelas dirasakan dengan mendapatkan fasilitas BMDTP. harga jual dari produk kendaraan bermotor dapat bersaing sehingga penjualan kendaraan bermotor di pasar nasional maupun yang diekspor ke pasar juga menjadi cukup tinggi.
147
BMDTP itu sendiri adalah suatu kebijakan dimana pemerintah menanggung biaya bea masuk. Bea masuk yang berarti pungutan negara atau pajak yang dikenakan terhadap barang impor. Dalam suatu perusahaan industri bukan hal yang asing lagi jika dalam proses produksi ataupun pembangunan awal perusahaan industri tersebut melakukan proses impor. Ada beberapa alasan yang menjadi pilihan suatu perusahaan industri ketika melakukan proses impor. Diantaranya seperti faktor kualitas barang. ketersedian barang. waktu pengiriman barang. dan harga dari barang itu sendiri. Akan menjadi suatu hal yang sangat memberatkan jika suatu perusahaan industri berada dalam kondisi dimana mereka terpaksa harus melakukan proses impor dalam jumlah banyak dan juga dilakukan secara berkelanjutan. Tentunya perusahaan industri tersebut akan sulit untuk dapat berkembang. karena dari proses impor tersebut mereka harus menanggung biaya pajak yang pastinya tidak kecil jumlahnya. Dan pada industri komponen kapal di Indonesia. dimana kondisinya bahan baku dan material penyusun komponen kapal masih belum banyak yang dapat ditemukan di Indonesia. Kalaupun ada. bahan baku dan material penyusun tersebut tidak dapat memenuhi syarat dan juga jumlah kebutuhan dari permintaan industri komponen kapal. Sehingga pada kondisi ini. industri komponen kapal harus berada dalam kondisi yang lebih memberikan keutamaan pada bahan baku dan material penyusun komponen kapal impor. Oleh karena itu dengan diberlakukannya kebijakan fiskal yang berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). diharapkan dapat membantu dalam perkembangan industri tersebut. Karena dengan BMDTP sudah jelas akan mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan industri ketika melakukan proses impor. Melihat dari pengembangan yang dilakukan pemerintah di industri kendaraan bermotor. khususnya pada industri komponen kendaraan bermotor. diharapkan dapat juga dilakukan hal yang demikian pada pengembangan industri komponen kapal di Indonesia. Dalam studi ini. peneliti akan menjabarkan mengenai adaptasi dari kebijakan fiskal Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) pada industri komonen kendaraan bermotor. Sehingga dapat memunculkan kebijakan fiskal berupa “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia”. Berikut ini akan dijabarkan pengaruh dari ditetapkannya kebijakan fiskal tersebut. Sehingga dapat terlihat jumlah keuntungan yang didapat oleh perusahaan komponen kapal. Dan
148
akan dapat dilihat juga jumlah pajak yang bisa diperoleh pemerintah sebagai ganti dari pertumbuhan industri komponen kapal di Indonesia. VI.3.1 Biaya Investasi dan Operasional yang Pada Perusahaan Komponen Kapal Atas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Pada sub-bab ini peneliti akan menjabarkan efek dari biaya investasi awal dan operasional untuk masing-masing industri setelah mendapatkan fasilitas BMDTP. Sehingga bisa terlihat jumlah nominal keuntungan yang didapat oleh perusahaan industri komponen kapal. 1. Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (3.094.550.000 – 60.000.000) x 5% = Rp151.727.500 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif PPn Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10% 149
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif PPh Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
No.
Tabel VI.50 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Setelah Mendapatkan BMDTP Jenis Biaya
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Peralatan bengkel mekanik
Rp356.000.000
Rp0.00
Rp35.600.000
Rp8.900.000
Rp44.500.000
2
Peralatan bengkel elektrik
Rp170.000.000
Rp0.00
Rp17.000.000
Rp4.250.000
Rp21.250.000
3
Peralatan bengkel cat
Rp130.000.000
Rp0.00
Rp13.000.000
Rp3.250.000
Rp16.250.000
4
Fasilitas lain-lain
Rp389.500.000
Rp0.00
Rp38.950.000
Rp9.737.500
Rp48.687.500
Jumlah Total
Rp130.687.500
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp5.009.460.500 + Rp151.727.500 + Rp130.687.500 = Rp5.291.875.500 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp5.291.875.500 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (Rp3.094.550.000 - Rp12.000.000)] 150
= Rp6.165.100 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif PPn Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif PPh Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
Tabel VI.51 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Main Switch Board (MSB) dan Panel Setelah Mendapatkan BMDTP
Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp30.600.000
Rp0
Rp30.600.000
Rp7.650.000
Rp38.250.000
Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp870.000.000 + Rp6.165.100 + Rp38.250.000 151
= Rp931.627.600 Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp914.415.100. Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.52 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Total Biaya Investasi
Rp5.350.684.875
Rp5.291.875.500
Rp58.809.375
Total Biaya Operasional
Rp931.627.600
Rp914.415.100
Rp17.212.500
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan medapatkan penurunan jumlah pengeluaran. Sehingga perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp58.809.375,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp17.212.500,00 untuk biaya operasional.
152
2. Industri Genset Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (4.028.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp198.400.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
153
No.
Tabel VI.53 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Genset Setelah Mendapatkan BMDTP
Jenis Biaya
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Peralatan bengkel mekanik
Rp356.000.000
Rp0
Rp35.600.000
Rp8.900.000
Rp44.500.000
2
Peralatan bengkel elektrik
Rp170.000.000
Rp0
Rp17.000.000
Rp4.250.000
Rp21.250.000
3
Peralatan bengkel cat
Rp130.000.000
Rp0
Rp13.000.000
Rp3.250.000
Rp16.250.000
4
Fasilitas lain-lain
Rp384.500.000
Rp0
Rp38.450.000
Rp9.612.500
Rp48.062.500 Rp130.062.500
Jumlah Total
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp6.132.885.000 + Rp198.400.000 + Rp130.062.500 = Rp6.461.347.500 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp6.461.347.500 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (Rp4.028.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp8.032.0000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
154
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API) Tabel VI.54 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Genset Setelah Mendapatkan BMDTP
Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp277.100.000
Rp0
Rp27.710.000
Rp6.927.500
Rp34.637.500
Pehitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp826.000.000 + Rp8.032.000 + Rp34.637.500 = Rp868.669.500 Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp868.669.500.
155
Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.55 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Genset Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Total Biaya Investasi
Rp6.519.875.625
Rp6.461.347.500
Rp58.528.125
Total Biaya Operasional
Rp884.256.375
Rp868.669.500
Rp15.586.875
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan
medapatkan
penurunan
jumlah
pengeluaran.
Sehingga
perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp58.528.125,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp15.586.875,00 untuk biaya operasional.
156
3. Industri Lampu dan Saklar Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (2.852.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp139.600.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
157
No.
Tabel VI.56 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Lampu dan Saklar Setelah Mendapatkan BMDTP Jenis Biaya
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Peralatan bengkel mekanik
Rp223.000.000
Rp0
Rp22.300.000
Rp5.575.000
Rp27.875.000
2
Peralatan bengkel elektrik
Rp74.000.000
Rp0
Rp7.400.000
Rp1.850.000
Rp9.250.000
3
Peralatan bengkel cat
Rp65.000.000
Rp0
Rp6.500.000
Rp1.625.000
Rp8.125.000
4
Fasilitas lain-lain
Rp298.500.000
Rp0
Rp29.850.000
Rp7.462.500
Rp37.312.500 Rp82.562.500
Jumlah Total
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp4.250.125.000 + Rp139.600.000 + Rp82.562.500 = Rp6.461.347.500 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp4.472.287.500 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (Rp2.852.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp5.680.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
158
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API) Tabel VI.57 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Lampu dan Saklar Setelah Mendapatkan BMDTP
Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp267.750.000
Rp0
Rp26.775.000
Rp6.693.750
Rp33.468.750
Pehitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp744.148.750 + Rp5.680.000 + Rp33.468.750 = Rp744.148.750 Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp744.148.750
159
Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.58 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Lampu dan Saklar Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Total Biaya Investasi Total Biaya Operasional
Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Rp4.509.440.625
Rp4.472.287.500
Rp37.153.125
Rp744.148.750
Rp15.060.938
Rp759.209.688
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan medapatkan penurunan jumlah pengeluaran. Sehingga perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp37.153.125,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp15.060.938,00 untuk biaya operasional.
160
4. Industri Kabel Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (1.323.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp63.150.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
161
No.
Tabel VI.59 Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri Kabel Setelah Mendapatkan BMDTP Jenis Biaya
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
1
Peralatan bengkel perakitan
Rp340.000.000
Rp0
Rp132.300.000
Rp33.075.000
Rp165.375.000
2
Peralatan bengkel pelapisan
Rp170.000.000
Rp0
Rp34.000.000
Rp8.500.000
Rp42.500.000
3
Fasilitas lain-lain
Rp384.500.000
Rp0
Rp17.000.000
Rp4.250.000
Rp21.250.000
Jumlah Total
Rp229.125.000
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp2.683.175.000 + Rp63.150.000 + Rp229.125.000 = Rp2.975.450.000 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp2.975.450.000 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (1.323.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp2.622.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman 162
Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API) Tabel VI.60 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Kabel Setelah Mendapatkan BMDTP
Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Material Bahan Baku
Rp201.450.000
Rp0
Rp20.145.000
Rp5.036.250
Rp25.181.250
Pehitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = 537.000.000 + Rp2.622.000 + Rp25.181.250 = Rp564.803.250 Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp564.803.250
163
Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.61 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Kabel Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Total Biaya Investasi
Rp3.078.556.250
Rp2.975.450.000
Rp103.106.250
Total Biaya Operasional
Rp576.134.813
Rp564.803.250
Rp11.331.563
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan
medapatkan
penurunan
jumlah
pengeluaran.
Sehingga
perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp103.106.250,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp11.331.563,00 untuk biaya operasional.
164
5. Industri Baling-Baling Kapal Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (2.980.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp146.000.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pabrik Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal Importir (API)
165
Tabel VI.62 Biaya Pajak Peralatan dan Mesin Industri Baling-Baling Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP AREA/ SHOP
SAND PLANT
PATTERN MAKING SHOP MELTING SHOP FINISHING SHOP INSPECTION AREA
HANDLING
Matallurgy LAB
Sand LAB DESIGN Office
Equipment Sand mixing & Sand reclamation plant Miscellaneous Equipmnet Payloader CNC Woodworking Machine Induction Furnace Pouring system/Ladles CNC Milling & Turning Dynamic Balancing Machine Measurement Recording Instrument Overhead Traveling Crane Fork car transportation Universal Testing Machine X-ray Flourescene Spectrometer Sand Laboratory Instrumentation Navcad Software PropCad Software
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Rp1.759.719.593
Rp0
Rp175.971.959
Rp43.992.990
Rp219.964.949
Rp1.887.383.280
Rp0
Rp188.738.328
Rp47.184.582
Rp235.922.910
Rp400.185.000
Rp0
Rp40.018.500
Rp10.004.625
Rp50.023.125
Rp78.427.367
Rp0
Rp7.842.737
Rp1.960.684
Rp9.803.421
Rp2.445.575.000
Rp0
Rp244.557.500
Rp61.139.375
Rp305.696.875
Rp138.855.302
Rp0
Rp13.885.530
Rp3.471.383
Rp17.356.913
Rp26.492.622.500
Rp0
Rp2.649.262.250
Rp662.315.563
Rp3.311.577.813
Rp393.070.600
Rp0
Rp39.307.060
Rp9.826.765
Rp49.133.825
Rp1.105.684.476
Rp0
Rp110.568.448
Rp27.642.112
Rp138.210.560
Rp400.000.000
Rp0
Rp40.000.000
Rp10.000.000
Rp50.000.000
Rp99.601.600
Rp0
Rp9.960.160
Rp2.490.040
Rp12.450.200
Rp262.343.500
Rp0
Rp26.234.350
Rp6.558.588
Rp32.792.938
Rp517.572.600
Rp0
Rp51.757.260
Rp12.939.315
Rp64.696.575
Rp345.804.305
Rp0
Rp34.580.431
Rp8.645.108
Rp43.225.538
Rp57.760.035
Rp0
Rp5.776.004
Rp1.444.001
Rp7.220.004
Rp47.088.435
Rp0
Rp4.708.844
Rp1.177.211
Rp5.886.054
Jumlah
Rp4.553.961.699
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pabrik = Rp47.688.149.248 + Rp146.000.000 + Rp4.553.961.699 = Rp52.388.110.947 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp52.388.110.947 166
Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (Rp2.980.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp5.936.000 2. Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor 167
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API) Tabel VI.63 Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze Setelah Mendapatkan BMDTP Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Material Nickel-Alumunium Bronze
Rp9.199.660.329
Bea
PPn
PPh
Rp919.966.033
Rp229.991.508
Masuk Rp0
Bea
Masuk+PPn+PPh Rp1.149.957.541
Pehitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Nickel-Alumunium Bronze = Rp12.198.015.632 + Rp5.936.000 + Rp1.149.957.541 = Rp13.353.909.173 Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp13.353.909.173 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.64 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Baling-Baling Kapal Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Total Biaya Investasi
Rp54.437.393.711
Rp52.388.110.947
Rp2.049.282.765
Total Biaya Operasional
Rp13.871.390.066
Rp13.353.909.173
Rp517.480.893
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan
medapatkan
penurunan
jumlah
pengeluaran.
Sehingga
perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp2.049.282.765,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp517.480.893,00 untuk biaya operasional.
168
6. Industri Katup dan Jangkar Kapal Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (1.870.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp90.500.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pabrik Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API)
169
AREA/ SHOP
Tabel VI.65 Biaya Pajak Peralatan dan Mesin Industri Katup dan Jangkar Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP
Wax room Foundry Finishing
Inspection Area
Handling Matallurgy Lab.
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
PPn+Bea Masuk+PPh
Rp1.964.703.600
Rp0
Rp196.470.360
Rp49.117.590
Rp245.587.950
Rp121.278.000
Rp0
Rp12.127.800
Rp3.031.950
Rp15.159.750
burnied system foundry gravity casting Shakeout machine water blasting
Rp96.628.000 Rp2.083.615.200 Rp1.870.935.000 Rp22.678.000
Rp0 Rp0 Rp0 Rp0
Rp9.662.800 Rp208.361.520 Rp187.093.500 Rp2.267.800
Rp2.415.700 Rp52.090.380 Rp46.773.375 Rp566.950
Rp12.078.500 Rp260.451.900 Rp233.866.875 Rp2.834.750
high speed friction saw Tape measure (roll meter) Hanging Crane Scale Copper Hammer Wooden Handle Pressure Valve Test Fluid Valve test Overhead Traveling Crane Fork car transportation Universal Testing Machine X-ray Flourescene Spectrometer
Rp3.529.880
Rp0
Rp352.988
Rp88.247
Rp441.235
Rp72.000
Rp0
Rp7.200
Rp1.800
Rp9.000
Rp30.300.584
Rp0
Rp3.030.058
Rp757.515
Rp3.787.573
Rp2.399.040
Rp0
Rp239.904
Rp59.976
Rp299.880
Rp393.118.200 Rp97.448.352
Rp0 Rp0
Rp39.311.820 Rp9.744.835
Rp9.827.955 Rp2.436.209
Rp49.139.775 Rp12.181.044
Rp400.000.000
Rp0
Rp40.000.000
Rp10.000.000
Rp50.000.000
Rp110.432.000
Rp0
Rp11.043.200
Rp2.760.800
Rp13.804.000
Rp290.870.000
Rp0
Rp29.087.000
Rp7.271.750
Rp36.358.750
Rp573.852.000
Rp0
Rp57.385.200
Rp14.346.300
Rp71.731.500
Equipment Wax injection equipment slurry mixer system
Jumlah
Rp1.007.732.482
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pabrik = Rp12.544.626.426 + Rp90.500.000 + Rp1.007.732.482 = Rp13.642.858.908 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp13.642.858.908 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)] 170
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (Rp1.870.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp3.716.000 2. Pajak Pengadaan Material Cast Steel Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Pos tarif dan pembebanan menurut Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012 adalah: 7206.90.00.00. besar bea masuk = 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API)
171
Tabel VI.66 Biaya Pajak Pengadaan Material Cast Steel Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Material Cast Steel
Rp1.580.325.298
Bea
PPn
PPh
Bea Masuk+PPn+PPh
Rp158.032.530
Rp39.508.132
Rp197.540.662
Masuk Rp0
Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Cast Steel = Rp2.205.182.767 + Rp3.716.000 + Rp197.540.662 = Rp2.406.439.429 Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp2.406.439.429 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.67 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Katup dan Jangkar Kapal Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Total Biaya Investasi
Rp14.096.338.525
Rp13.642.858.908
Rp453.479.617
Total Biaya Operasional
Rp2.406.439.429
Rp2.406.439.429
Rp0
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan
medapatkan
penurunan
jumlah
pengeluaran.
Sehingga
perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp453.479.617,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp0,00 untuk biaya operasional. Untuk biaya operasional. perusahaan tidak mendapatkan keuntungan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Pos tarif dan pembebanan menurut Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012 nomor 7206.90.00.00. untuk pengadaan material cast steel secara impor memang tidak dikenakan tanggungan biaya bea masuk.
172
7. Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Perhitungan Biaya Pajak Investasi: 1. Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) x Tarif = (1.476.000.000 – 60.000.000) x 5% = Rp70.800.000 2. Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pabrik Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API)
173
Tabel VI.68 Biaya Pajak Peralatan dan Mesin Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP No. 1 2 3 4
Nama Peralatan dan Mesin Sofware SolidWorks 3D CAD Software AutoCAD Automatic Cutting Machine High Frequency Welding Machine
Nilai Pabean
Bea Masuk
PPn
PPh
PPn+Bea Masuk+PPh
Rp53.434.170
Rp0
Rp5.343.417
Rp1.335.854
Rp6.679.271
Rp44.041.825
Rp0
Rp4.404.183
Rp1.101.046
Rp5.505.228
Rp35.424.000
Rp0
Rp3.542.400
Rp885.600
Rp4.428.000
Rp340.810.728
Rp0
Rp34.081.073
Rp8.520.268
Rp42.601.341
5
Sewing Machine
Rp363.469.152
Rp0
Rp36.346.915
Rp9.086.729
Rp45.433.644
6
Air Compressor Cutting Foam Machine Fork car transportation Overhead Traveling Crane
Rp396.473.755
Rp0
Rp39.647.376
Rp9.911.844
Rp49.559.219
Rp52.743.127
Rp0
Rp5.274.313
Rp1.318.578
Rp6.592.891
Rp162.288.042
Rp0
Rp16.228.804
Rp4.057.201
Rp20.286.005
Rp109.009.600
Rp0
Rp10.900.960
Rp2.725.240
Rp13.626.200
Jumlah
Rp194.711.800
7 8 9
Perhitungan Biaya Investasi Ditambah Pajak = Biaya Investasi + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pabrik = Rp1.476.000.000 + Rp70.800.000 + Rp194.711.800 = Rp4.480.782.023 Sehingga total biaya investasi setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp4.480.782.023 Perhitungan Biaya Pajak Operasional: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB = Tarif PBB (%) x Nilai Jual Kena Pajak Keterangan : Tarif PBB = 0.5% NJKP
= 40% x [Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)]
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = Rp12.000.000 PBB = 0.5% x [40% x (Rp1.476.000.000 - Rp12.000.000)] = Rp2.928.000 2. Pajak Pengadaan Material Bahan Baku 174
Bea Masuk Bea Masuk = [Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight)] x Tarif Bea Masuk Keterangan : Harga Barang (Cost)
= Harga dasar barang yang dibeli
Asuransi (Insurance)
= Biaya asuransi barang yang akan dikirim
Pengiriman (Freight) = Biaya pengiriman Tarif Bea Masuk
= Mendapatkan fasilitas BMDTP. sehingga tarif 0%
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) PPn = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPn
= 10%
Pajak Penghasilan (PPh) PPh = [Nilai Pabean + Bea Masuk] x Tarif Nilai Pabean = Harga Barang (Cost) + Asuransi (Insurance) + Biaya Pengirman (Freight) Bea Masuk
= Tanggungan pajak akibat proses impor
Tarif PPh
= 2.5% karena perusahaan memiliki Angka Pengenal
Importir (API) Tabel VI.69 Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku Perlengkapan Keselamatan Kapal Setelah Mendapatkan BMDTP Jenis Biaya (Per-tahun)
Nilai Pabean
Material Bahan Baku
Rp288.113.340
Bea
PPn
PPh
PPn+Bea Masuk+PPh
Rp28.811.334
Rp7.202.834
Rp36.014.168
Masuk Rp0
Perhitungan Biaya Operasional Ditambah Pajak = Biaya Operasional + Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Cast Steel = Rp1.357.872.311 + Rp2.928.000 + Rp36.014.168 = Rp1.396.814.479 175
Sehingga total biaya operasional setelah mendapatkan BMDTP adalah Rp1.396.814.479 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Kebijakan BMDTP Akibat kebijakan BMDTP. telah terjadi perbedaan dari jumlah nominal uang yang harus dikeluarkan perusahaan ketika melakukan investasi dan melakukan proses operasional. Tabel VI.70 Perbandingan Biaya Investasi dan Operasional Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal Ketika Sebelum dan Setelah Mendapatkan BMDTP Sebelum BMDTP
Setelah BMDTP
Keuntungan Perusahaan
Total Biaya Investasi
Rp4.568.402.333
Rp4.480.782.023
Rp87.620.310
Total Biaya Operasional
Rp1.429.227.229
Rp1.396.814.479
Rp32.412.751
Dari tabel di atas bisa terlihat setelah mendapatkan kebijakan BMDTP. perusahaan medapatkan penurunan jumlah pengeluaran. Sehingga perusahaan dapat melakukan penghematan sejumlah Rp87.620.310,00 untuk biaya invesrtasi. dan sejumlah Rp32.412.751,00 untuk biaya operasional.
176
VI.3.2 Rekapitulasi Pengeluaran Biaya Pajak Pada Industri Komponen Kapal Setelah
Mendapatkan
Fasilitas
Kebijakan
Bea
Masuk
Ditanggung
Pemerintah (BMDTP) Tabel VI.71 Perbandingan Biaya Pajak Ketika Berinvestasi Saat Sebelum dan Sedudah Mendapatkan Fasilitas BMDTP No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Box Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Pajak Sebelum BMDTP
Pajak Sesudah BMDTP
Pengurangan Biaya (Rp)
Pengurangan Biaya (%)
Rp341.224.375
Rp282.415.000
Rp58.809.375
17.23%
Rp386.990.625 Rp259.315.625 Rp395.381.250 Rp6.749.244.464 Rp1.551.712.099
Rp328.462.500 Rp222.162.500 Rp292.275.000 Rp4.699.961.699 Rp1.098.232.482
Rp58.528.125 Rp37.153.125 Rp103.106.250 Rp2.049.282.765 Rp453.479.617
15.12% 14.33% 26.08% 30.36% 29.22%
Rp353.132.110
Rp265.511.800
Rp87.620.310
24.81%
Dapat terlihat pada tabel di atas. setelah diberlakukannya kebijakan fiskal berupa “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia” maka ketujuh industri komponen kapal yang diteliti mendapatkan keuntungan dari pengurangan pajak rata-rata 19.96%. Tabel VI.72 Perbandingan Biaya Pajak Ketika Beroperasional Saat Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Fasilitas BMDTP No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Box Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Pajak Sebelum BMDTP
Pajak Sesudah BMDTP
Pengurangan Biaya (Rp)
Pengurangan Biaya (%)
Rp61.627.600
Rp44.415.100
Rp17.212.500
27.93%
Rp58.256.375 Rp54.209.688 Rp39.134.813 Rp1.673.374.435 Rp201.256.662
Rp42.669.500 Rp39.148.750 Rp27.803.250 Rp1.155.893.541 Rp201.256.662
Rp15.586.875 Rp15.060.938 Rp11.331.563 Rp517.480.893 Rp0
26.76% 27.78% 28.96% 30.92% 0.00%
Rp71.354.918
Rp38.942.168
Rp32.412.751
45.42%
Dapat terlihat pada tabel di atas. setelah diberlakukannya kebijakan fiskal berupa “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia” maka ketujuh industri komponen kapal yang diteliti mendapatkan keuntungan dari pengurangan pajak rata-rata 23.84%.
177
VI.3.3 Jumlah Pajak yang Menjadi Pemasukan Pemerintah Atas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Seperti yang sudah diketahui. kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) adalah kebijakan yang membebaskan secara keseluruhan atas bea masuk yang dipungut sehingga pentarifannya menjadi 0%. Dengan dikeluarkannya kebijakan BMDTP untuk industri komponen kapal ini. pemerintah berharap dapat membantu dalam usaha pengembangan industri yang bersangkutan. Karena dengan kebijakan pembebasan bea masuk dapat memberikan pengaruh terhadap pengurangan biaya yang menjadi tanggungan perusahaan-perusahaan industri komponen kapal. Dan dengan pengurangan biaya tersebut diharapkan juga dapat menarik para pengusaha atau investor industri komponen kapal. Sehingga para investor tersebut mau mendirikan dan mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia. Hanya saja terdapat pendapat yang menjadi keraguan pemerintah dengan dikeluarkannya kebijakan BMDTP ini. Karena dengan membebaskan secara keseluruhan atas bea masuk sama saja dengan mengurangi pendapatan yang seharusnya didapatkan oleh pemerintah. Tetapi di satu sisi yang berbeda. dengan dikeluarkannya kebijakan BMDTP ini dapat memberikan peluang untuk memunculkan industri-industri komponen kapal yang memang belum ada di Indonesia. Sehingga dengan munculnya industriindustri yang baru ini nantinya dapat memberikan tambahan pemasukan dari pajak-pajak lainnya selain pajak dari bea masuk. Oleh karena latar belakang tersebut peneliti akan menjabarkan seberapa besar jumlah nominal dari pajak yang dapat dihasilkan sehingga dapat menambah pemasukan bagi pemerintah. Berikut ini akan dirincikan perhitungan pajak yang dihasilkan oleh industri komponen kapal ketika suatu investor melakukan investasi pembangunan perusahaan komponen kapal dan ketika perusahaan tersebut melakukan proses operasional. 1. Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp151.727.500 + Rp130.687.500 = Rp282.415.000
178
Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp282.415.000,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp6.165.100 + Rp38.250.000 = Rp44.415.100 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp44.415.100,00 2. Industri Generator Set 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp198.400.000 + Rp130.062.500 = Rp328.462.500 Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp328.462.500,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp8.032.000 + Rp34.637.500 = Rp42.669.500 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp42.669.500,00 3. Industri Lampu dan Saklar 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri 179
= Rp139.600.000 + Rp82.562.500 = Rp222.162.500 Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp222.162.500,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp5.680.000 + Rp33.468.750 = Rp39.148.750 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp39.148.750,00 4. Industri Kabel 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp63.150.000 + Rp229.125.000 = Rp292.275.000 Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp292.275.000,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp2.622.000 + Rp25.181.250 = Rp27.803.250 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp27.803.250,00 5. Industri Propeller 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi 180
= Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp146.000.000 + Rp4.553.961.699 = Rp4.699.961.699 Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp4.699.961.699,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp5.936.000 + Rp1.149.957.541 = Rp1.155.893.541 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp1.155.893.541,00 6. Industri Katup dan Jangkar Kapal 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp90.500.000 + Rp1.007.732.482 = Rp1.098.232.482 Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp1.098.232.482,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp3.716.000 + Rp197.540.662 = Rp201.256.662 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp201.256.662,00
181
7. Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal 1. Kontribusi Pajak Ketika Investasi = Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) + Biaya Pajak Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Industri = Rp70.800.000 + Rp194.711.800 = Rp265.511.800 Ketika perusahaan melakukan investasi dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp265.511.800,00 2. Kontribusi Pajak Ketika Proses Operasional = Biaya Pajak Bumi dan Bangunan + Biaya Pajak Pengadaan Material Bahan Baku = Rp2.928.000 + Rp36.014.168 = Rp38.942.168 Ketika perusahaan melakukan proses operasional dan mendapatkan kebijakan BMDTP. maka jumlah pajak yang bisa tetap menjadi pemasukan bagi pemerintah adalah Rp38.942.168,00
182
VI.3.4 Rekapitulasi Jumlah Pajak yang Menjadi Pemasukan Pemerintah Atas Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Tabel VI.73 Penjabaran Pajak yang Masih Tetap Menjadi Pemasukan Pemerintah Ketika Perusahaan yang Berinvestasi Setelah Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Diberlakukan No
1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
PPn
PPh
Total Pajak
Rp151.727.500
Rp109.777.500
Rp27.444.375
Rp282.415.000
Rp198.400.000 Rp139.600.000 Rp63.150.000 Rp146.000.000 Rp90.500.000 Rp70.800.000
Rp109.252.500 Rp69.352.500 Rp192.465.000 Rp3.825.327.827 Rp846.495.285 Rp163.557.912
Rp27.313.125 Rp17.338.125 Rp48.116.250 Rp956.331.957 Rp211.623.821 Rp40.889.478
Rp328.462.500 Rp222.162.500 Rp292.275.000 Rp4.699.961.699 Rp1.098.232.482 Rp265.511.800
Pada tabel diatas dapat jelas terlihat jumlah total pemasukan yang didapat pemerintah dari masing-masing industri. walaupun pemerintah mengeluarkan kebijakan BMDTP dalam pengembangan industri komponen kapal. Ketika ada dalam satu kali proses pendirian perusahaan baru dari investor komponen kapal maka pemerintah akan tetap
dapat
pemasukan
tertinggi
dari
industri
propeller
dengan
jumlah
Rp4.699.961.699,00 dan terendah dari industri lampu dan saklar dengan jumlah Rp222.162.500,00.
183
Tabel VI.74 Penjabaran Pajak yang Masih Tetap Menjadi Pemasukan Pemerintah Ketika Perusahaan yang Beroperasional Setelah Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Diberlakukan No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Industri Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik Industri Generator Set Industri Box Lampu dan Saklar Industri Kabel Industri Propeller Industri Katup dan Jangkar Kapal Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal
Pajak Bumi Bangunan (PBB)
PPn
PPh
Total Pajak
Rp6.165.100
Rp32.130.000
Rp8.032.500
Rp44.415.100
Rp8.032.000 Rp5.680.000 Rp2.622.000 Rp5.936.000 Rp3.716.000 Rp2.928.000
Rp29.095.500 Rp28.113.750 Rp21.152.250 Rp965.964.335 Rp158.032.530 Rp31.692.467
Rp7.273.875 Rp7.028.438 Rp5.288.063 Rp241.491.084 Rp39.508.132 Rp7.923.117
Rp42.669.500 Rp39.148.750 Rp27.803.250 Rp1.155.893.541 Rp201.256.662 Rp38.942.168
Pada tabel diatas dapat jelas terlihat jumlah total pemasukan yang didapat pemerintah dari masing-masing industri. walaupun pemerintah mengeluarkan kebijakan BMDTP dalam pengembangan industri komponen kapal. Ketika ada dalam satu tahun perusahaan beroperasi maka pemerintah akan tetap dapat pemasukan tertinggi dari industri propeller dengan jumlah Rp1.155.893.541,00 dan terendah dari industri lampu dan saklar dengan jumlah Rp27.803.250,00.
184
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. maka kesimpulan yang diperoleh peneliti sebagai berikut: a) Jumlah industri komponen kapal di Indonesia pada tahun 2013 berjumlah 69 perusahaan. b) Komposisi ndustri-industri komponen kapal di Indonesia pada tahun 2013 adalah: 1. Industri Komponen Listrik (main switch board. panel. dll) = 19 industri 2. Industri Konstruksi Kapal (profil. pelat. dll) = 10 industri 3. Industri Cat Kapal = 8 industri 4. Industri Cathodic Protection = 6 industri 5. Industri Peralatan Radio dan Navigasi Kapal = 4 industri 6. Lain-lain (crane. windlass. dll) = 13 industri c) Industri komponen kapal di Indonesia bisa dikatakan masih dalam kondisi yang belum berkembang. Hal ini terlihat dari jumlah industri komponen kapal yang masih sedikit ditambah masih belum banyaknya variasi komponen kapal yang mampu diproduksi di Indonesia. d) Melihat kondisi kekinian dari industri komponen kapal di Indonesia yang masih jauh dari yang diharapkan. maka peneliti mencoba memberikan penawaran solusi yang bisa diberikan pemerintah dengan bantuan kebijakan fiskal berupa: 1. Pengurangan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Knocked Down (CKD). 2. Penambahan Tarif Bea Masuk untuk Impor Komponen Kapal dalam Keadaan Completely Built Up (CBU). 3. Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia.
185
e) Dengan diberlakukannya kebijakan fiskal “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia” didapati pengaruh berupa peringanan biaya pengeluaran yang menjadi tanggungan masing-masing industri komponen kapal. Jumlah peringanan biaya tersebut yaitu: A. Ketika investasi pendirian industri: 1. Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik = 15.32% 2. Industri Generator Electric Set = 13.44% 3. Industri Lampu dan Saklar = 12.74% 4. Industri Kabel = 23.18% 5. Industri Propeller = 26.99% 6. Industri Katup dan Jangkar Kapal = 25.98% 7. Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal = 22.06% B. Ketika pembayaran biaya operasional pertahun: 1. Industri Main Switch Board (MSB) dan Panel Listrik = 24.83% 2. Industri Generator Electric Set = 23.78% 3. Industri Lampu dan Saklar = 24.70% 4. Industri Kabel = 25.74% 5. Industri Propeller = 27.49% 6. Industri Katup dan Jangkar Kapal = 0.00% 7. Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal = 40.38% Sehingga implikasi keringanan biaya pajak rata-rata senilai 19.96% bagi industri komponen kapal ketika berinvestasi mendirikan perusahaan dan ketika perusahaan komponen kapal beroperasi rata-rata mendapatkan keringanan biaya pajak senilai 23.84%. 8. Dari penelitian ini yang dimaksudkan dari “Kebijakan Fiskal dalam Pengembangan Industri Komponen Kapal” adalah dengan menawarkan diberlakukannya kebijakan fiskal yang berupa “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi. Barang. dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia”. Karena dengan kebijakan fiskal tersebut dapat memberikan keringanan biaya yang berupa pengurangan biaya ketika investasi pendirian perusahaan dan biaya ketika operasional industri komponen kapal. 9. Dengan pengurangan biaya yang diberikan pemerintah. maka diharapkan dapat lebih menarik para pengusaha atau investor untuk mau mendirikan perusahaan komponen kapal di 186
Indonesia. Sehingga nantinya jumlah industri komponen kapal dapat meningkat dan juga kemampuan produksi komponen kapal di Indonesia juga dapat lebih bervariasi dan lebih beragam jenisnya.
VII.2 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. saran peneliti yang dapat dijadikan masukan untuk kebijakan fiskal dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia adalah: 1. Sebaiknya pemerintah mulai memberikan perhatian dan fokusnya untuk mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia. Karena dengan mengembangkan industri komponen kapal di Indonesia diharapkan dapat menekan angka impor yang biasa dilakukan oleh industri galangan kapal di Indonesia. 2. Dari penelitian ini. peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk dapat mempertimbangkan kebijakan fiskal berupa “Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas Impor Fasilitas Produksi, Barang, dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kapal di Indonesia”. 3. Untuk penelitian berikutnya diharapkan dapat meneliti variabel lain dalam pajak sehingga bisa saja ditemukan cara yang lebih efektif dalam pengembangan industri komponen kapal di Indonesia.
187
DAFTAR PUSTAKA Buku Easson, Alex., (2004), Tax Incentives for Foreign Direct Investment. Kluwer Tax International, New York. Handaru, Sri Yuliati. (1996). Manajemen Portofoilio dan Analisis Investasi. Andi. Yogyakarta Hasan, Iqbal. (2002), Pokok-Pokok Materi Metedologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Ind, Jakarta. Kertonegoro, Sentanoe. (1995).
Analisa dan Manajemen: Investasi. PT.Sumber Bahagia.
Jakarta. Mankiw, N. G., (2006), Pengantar Ekonomi Makro, Edisi Ketiga, Salemba Empat, Jakarta. Mankiw, N. G., (2007), Principles of Economics, Fourth Edition, Thomson South-Western, USA. Nugroho, R.. (2012), Public Policy, Edisi Keempat, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta. Nurmantu, Safri, (2003), Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta. Purwito, M. Ali., (2006), Kepabeanan: Konsep dan Aplikasi, Samudra Ilmu, Jakarta. Simanjutak, T. H., & Mukhlis. I., (2012), Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi, Raih Asa Sukses, Depok. Soejitno, (1997), Teknik Produksi Kapal, Catatan Kuliah, Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS, Surabaya. Tandelilin, Eduardus. (2005). Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta. Tangkilisan, H. N. S., (2003), Implementasi Kebijakan Publik: Transformasi Pikiran George Edwards, Lukman Offset & Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta.
Karya Akademis Aji, A. B., (2010). Analisa Kebutuhan Industri Komponen Kelistrikan Kapal Secara Nasional. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya. Christiadi, A. (1996). Analisis Teknis dan Ekonomis Komponen-Komponen Kapal yang Dapat Dibuat oleh Industri Kecil. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya.
189
Febryanti, F. T., (2012). Implementasi Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan Guna Perbaikan dan/atau Pemeliharaan Pesawat Terbang di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Soekarno Hatta. Skripsi. Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal FISIP UI. Depok. Khoiro, M. K., (2013). Analisa Teknis dan Ekonomis Pengembangan Industri Penunjang Komponen Kapal Berbasis Cor di Indonesia. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya. Kurniawan, A., (2013). Analisis Teknis dan Ekonomis Pembangunan Industri Perlengkapan Keselamatan Kapal. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya. Pramono, R. D., (2007). Studi Evaluasi dan Pengembangan Industri Penunjang Dok dan Galangan Kapal di Tegal Ditinjau dari Aspek Teknis dan Ekonomis. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya. Riza, M. F., (2012). Analisa Teknis dan Ekonomis Pembangunan Industri Manufaktur BalingBaling Kapal. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya. Sudewo, A., (2004). Studi Pengaruh Komponen Lokal pada Industri Penunjang terhadap Peningkatan Daya Saing Industri Galangan Kapal Nasional. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS. Surabaya.
Undang-Undang dan Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahaan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomot 175/PMK.011/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain 190
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.03/2011 tentang Penyesuaian Besarnya Nilau Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 52/PMK.011/2013 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kendaraan Bermotor untuk Tahun Anggaran 2013 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 15/PMK.011/2011 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 580/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana Kemudahan Impor Tujuan Ekspor
191
1. INDUSTRI KOMPONEN KAPAL DI INDONESIA TAHUN 2013
No.
DATA INDUSTRI KOMPONEN KAPAL TAHUN 2013 Nama Perusahaan Alamat Telepon/Fax. T. 022-7312073; F. 022-7301222
Jenis Produk Crane, Windlass, Winchess, dan Peralatan Kapal Lainnya
1
PT. Pindad
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 517 Bandung - Jawa Barat 40284
2
PT. Inti General Jaya Steel
Jl. İmam Bonjol No. 202 Tuğu, Semarang - Jawa Tengah
3
PT. Gunawan Dianjaya Steel
Jl. Margomulyo No. 29A, Tandes Surabaya - Jawa Timur.
T. 031-7490598; F. 031-7490581, 7481939
Ship Plate
4
PT. Hanil Jaya Metal Works
Jl. Brigjend Katamso, Desa Janti, Waru Sidoarjo - Jawa Timur
T. 031-8533500, 8533601
Profile
5
PT. Djatim Taman Steel
Jl. Raya Taman Sepanjang Sidoarjo - Jawa Timur 61257
T. 031-7881139; F. 031-7882987
Profile
-
Profile
6
PT. Timur Megah Steel
Jl. Embong Kenongo No. 60 Surabaya - Jawa Timur 60271
T. 0315316395,5321764, 5341658,5355411; Bolt&Nut F. 0315344606,5325470
7
PT. New Simo Mulyo
Jl. Simo Kalangan No. 95-K Surabaya - Jawa Timur
T. 031-7493000
8
PT. Barata Indonesia
Jl. VeteranNo. 241, Gresik - Jawa T. 031-3990555; Timur 61123 F. 031-3990666
9
PT. Indonesia Magma Chain
10 PT. Ungaran Multi Engineering
Jl. Raya Semarang Purvrodadi Demak - Jawa Tengah 59566 Jl. Jend. Gatot Subroto No. 179 Ungaran, Semarang - Jawa Tengah
Bolt&Nut
T. 024-6735626; F. 024-6735630
Rudder Horn, Rudder Frame, Anchor, Bollards Rantai bahari dan industri
T. 024-6921539
Deck Machinery
T. 0313530513,3530514 Fax. 031-3531686
Deck Macinery, Pressure Vessel Boiler
11 PT. Boma Bisma Indra
Jl. KH. Mas Mansyur No. 229 Surabaya - Jawa Timur 60162
12 PT. Teknik Tadakara Sumberkarya
T. 031Jl. Margomulyo No. 44 Block G7490052,7490064, Switchboard & 12A Asemrowo - Surabaya 60183 7490069; Panel Distribution F. 031-7490052
13 PT. Otessa Perkasa
Jl. Basuki Rahman - Surabaya
-
Switchboard & Panel Distribution
14 PT. Gunung Gahapi Sakti
Jl. Medan - Belawan Km. 10 Medan 20242, Sumatera Utara
T. 0616851400,6851333; Profile Alumunium F. 061Extruders 6851682,6851163, 6851380
15 PT. Industri Baja Growth Sumatera
Jl. YosSudarso Km. 10 Kawasan Industri Medan,20242 Sumatera Utara
T. 061-6851989 F. 0616851474,6855779
Jl. Industri No. 5 Cilegon, Banten
T. 0254391485,393515,38 Profile 5224,372080; F. 0254-392183
16 PT. Krakatau Wajatama
Profile
T. 0254392159,392003; F. 0254-372246
17 PT. Krakatau Steel
Jl. Industri No. 5 Cilegon, Banten 42435
18 PT. Kawah Sakti
Jl. Jend. A. Yani III No. 10 Medan T. 061-4559139 Sumatera Utara
Welding Electrode
19 PT. Katlini Utama
Jl. Kartini Utama Raya, Selindung Baru, Pangkalpinang - Bangka
Cathodic Protection
20 PT. Rantai Laut
Jl. Jend A Yani No 40-42, Medan
T. 061-4537909; F. 061-4512090
21 PT. İndisi
Jl. Gatot Subroto No. 105, Bandung
T. 022- 586.65; F. 022-570.96
22 PT. Inti
Jl. Moh. Toha No. 77, Bandung
T. 022-471.532; F. 022-472.444
23 PT. LEN Industri (Persero)
Jl.Soekarno Hatta #442 Bandung Jawa Barat Indonesia 40254
T. 022-5202682; F. 022-5202695
24 PT. Loka Metal
Jl. Semper Kebantenan No. 59-60 Cilincing - Jakarta Utara
-
25 PT. Bakrie Pipe Industries
Wisma Bakrie Bldg, Jl. HR Rasuna Said Kav B-1, Kuningan – Jakarta
-
Steel Pipe
-
Steel Pipe
-
Paint
-
Paint
-
Paint
-
Paint
-
Paint
-
Paint
-
Paint
-
Paint
-
Cathodic Protection
-
Cathodic Protection
-
Cathodic Protection
26 PT. Bumi Kaya Steel Industries
27 PT. Chugoku Paints Indonesia 28 PT. Hempel Indonesia 29 PT. Danapaints Indonesia 30 PT. Bina Adidaya 31 PT. ICI Paint Indonesia 32 PT. Sigma Utama 33 PT. Indonesia Toyo Paint 34 PT. Pacific Paint 35 PT. Indocast Fransasia Sejahtera 36 PT. Southern Tristar 37 PT. Incore Pratama
Jakarta Industrial Estate, Jl. Pulogadung 1 Kav. 2-Jakarta Timur Mid Plaza I Building 8th Floor Jl. Jend. Sudirman Kav. 10-11 Jakarta Pusat Jl. Sultan Agung Km 27 Pondok Ungu – Bekasi Jl. Pemuda Pulogadung Jakarta Timur Jl. Yos Sudarso Kav 85, Sunter Jaya - Jakarta Utara Jl. Jakarta Bogor Km 35.8 Cimanggis – Bogor Jl. Raya Lanbouw No. 1 Cibinong Bogor Jl. HR rasuna Said Kav C-5 Kuningan - Jakarta Selatan Jl. Industri I No. 1, RE Martadinata Tanjung Priok - Jakarta Utara Jl. Raya Narogong Km 26.5 Cileungsi - Bogor JI. Jababekalll-HBIC/17-J Kawasan Industri Jababeka I, Cibitung -Bekasi 17520 Jl. Kali Besar Timur II No. 15 A, Jakarta
-
Ship Plate
Fire Fighting Life Jacket Radio & Navigation Equipment Radio & Navigation Equipment Radio & Navigation Equipment Metal Scrap and Foundry Industry
38 PT. Altrindoyasa Niagatama
Gateway Building Lt. 5, Jl. Letjen S. Parman Kav. 91, Slipi, Jakarta
-
Cathodic Protection
39 PT. Kartini Utama
Jl. Pasir Putih I No. 1, Ancol Timur, Jakarta,
-
Cathodic Protection
40 PT. Chubb Safes Indonesia
Jl. Bali Kawasan Industri MM 2100 BIT-6/1, Cibitung - Bekasi 17520
-
Fire Fighting
41 PT. Indolok Bakti Utama
-
Fire Fighting Life Jacket
42
-
Fire Fighting
-
Life Boat
-
Life Boat
-
Life Boat
43 44 45
Plaza 89 bldg 3rd Floor Jl. HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan Narogong-Cileungsi km 19.5 PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk Cileungsi -Bogor 16820 Jl. H. Samaphudi 17 Tanjung Priok PT. Adhi Guna Shipyard - Jakarta Jl. Sindang Laut No. 101 Cilincing PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari Jakarta 14110 Jl. Pelita 1 Pel. Nusantara, Tj. PT. Marspec Priok, Jakarta Utara
T. 021-6295271, Jl. Gunung Sahari No. 21, Jakarta 6006131; Pusat 10720 F. 021-6284055 Jl. Raya Bekasi Km 22, Cakung Jakarta Timur 13910 Jl. Raya Jakarta Bogor Km 50, Desa Cijujung, Kedunghalang Bogor
Generator Set
Jl. Raya Cilandak KKO, Cilandak Jakarta Selatan 12560
-
Generator Set
-
Generator Set
-
Generator Set
-
Propeller
-
Pump
-
Pump
-
Pump
-
Pump Panel Distribution
-
Switchboard & Panel Distribution
-
Switchboard & Panel Distribution from Wood
59 PT. Nobi Putra Angkasa
Jakarta Industrial Estate Pulogadung Block FF No. 5, Jl. Pulo Buaran Raya Kav 3, Pulogadung - Jakarta Timur 13920
-
Switchboard & Panel Distribution
60 PT. Uni Makmur Elektrika
Jl. Kayu Manis 10, Cimekar Cibinong 16971
-
Switchboard & Panel Distribution
46 PT. Wisnu Trading Coy 47 PT. United Traktör Indonesia, Tbk 48 PT. A. Vain Kaick Indonesia
49 PT. Trakindo Utama 50 PT. Tatung Electric Indonesia 51 PT. Hartech Prima Listrindo 52 PT. Tesco Marine
53 PT. Bumi Cahaya Unggul
54 PT. Ebara Indonesia
55 PT. Grundfor Pompa
56 PT. Guna Elektro 57 PT. Siemens Indonesia
58 PT. Ungaran Mu Iti Engineering
Jl. Daan Mogot Km 18, Batu çeper - Tangerang 15122 Jl. KH Hasyim Ashari No. 86, Jakarta Pusat Jl. KH samanhudi No. 3, Jakarta Pusat 10710 Jakarta Industrial Estate Pulogadung, Jl. Rawa Kepiting No. 3, Pulogadung - Jakarta Timur Jl. Raya Jakarta Bogor Km 32, Cimanggis – Bogor Jakarta Industrial Estate Pulogadung Block III No. 1-CC, Jl. Rawa Sumur III Pulogadung Jakarta Timur 13930 Jl. Arjuna Utara No. 50, Duri Kepa Jakarta Barat Siemens Business Park Bldg, Jl. Letjen MT Haryono Kav 58-60, Jakarta Selatan The Dharmawangsa Square Building 3rd Fllor, Jl. Darmawangsa Kav V - Jakarta selatan 12160
Life Jacket
Generator Set
61 PT. Schneider Indonesia
Jl. RA Kartini No. 26 Ventura Building Lt. 7, Cilandak – Jakarta
-
Switchboard & Panel Distribution
62 PT. Unindo
Jl. Raya Bekasi Timur Km. 17
-
Switchboard & Panel Distribution
-
Panel Distribution
-
Radio & Navigation Equipment
-
Cable
63 PT. Indokomas Buana Perkasa
64 PT. Dharma Dwitunggal Utama
65 PT. Jembo Cable Company
66 PT. Sucaco 67 PT. GT Kabel Indonesia.Tbk 68 PT. IKI Indah Kabel
69 PT. Sumi Indo Kabel Tbk.
Jl. Rawa Gelam İV/4, Pulo Gadung, Jakarta Jl. Raya Pejuangan Prisma Kedoya Plaza Bl A/17-19, Kebon Jeruk, Kebon Jeruk - Jakarta 11530 Jl. Tangki Sekolah No. 30, Jakarta, Telp: 021-6298107 Pabrik : Jl. Dumpit Jatake, Desa Gondosari Jatiuwung, Tangerang
Jl. Kebon Sirih No. 71, Jakarta, Telp: 021-3100525 Pabrik : Jl. Daan Mogot Km. 16, Jakarta JL.Raya Bekasi KM.23,1, Cakung, T. 021-4601733; Jakarta Timur F. 021-4601738 Head Office : Komp. Glodok Plaza F.101-102. Jl. Mangga Besar I, Jakarta T. 021-649 7931 Factory : Jl. Raya Tangerang Serang Km. 7,8, Ds. Pasir Jaya, Tangerang T. 021-5922404, Jl. Gatot Subroto Km. 7.8 Ds. 5928066; Pasir Jaya, Kec. Jatiuwung, F. 021-5922576, Tangerang - 15135, Indonesia 5901469
Cable Cable
Cable
Cable
2. UNDANG-UNDANG NO.42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
3. PERATURAN PEMERINTAH NO.1 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPAKALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
4. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO.175/PMK.011/2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN
MENTERI KEUANGAN
REPUeUK INOONESIA'
SAUNAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA ' NOMOR
175/PMK .011/2013
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BlOANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BlOANG LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a . bahwa ketentuan , mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Metlteri Keuangan Nomor 146/PMK.Oll/2013; b. bahwa memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian khususnya di bidang impor, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya pemungutan Pajak Penghasilan Pasa! -22 atas impor barang-barang tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.Oll/2013; c. bahwa berdasarkan pertimb.angan sebagaimana dimaksud da!am huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan ten tang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pernungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain; Mengingat
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Paj9.k Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nemer 146/PMK.Oll/2013;
2, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.Oll/2011 tentang Penetapan Sis tern Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Irnpor;
5. LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO.175/PMK.011/2013
6. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO.213/PMK.011/2011 TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR
MENTEFl1 KEUA~AN F1EPUBUK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLlK INDONESIA NOMOR 213/PMK.Oll/2011 TENTANG
PENETAPAN SISTEM KLASIFlKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF SEA MASUK ATAS BARANG IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERl KEUANGAN Menimbang
: a.
bahwa berdasarkan Amandemen Kelima Harmonized Sys"tem (HSJ dan Revisi Kcdua ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN), serta untuk memenuhi kebutuhan P?nye:suaian sistem klasifikasi barang nasional, perlu dl1akukan pcrubahan ·tcrhadap sistcm klasifikasi barang yang akan mulai diberlakykan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2012;
b.
bahwa sehubungan dengan pcrubahan terhadap sistem klasifikasi barang ~ebagaimana dimaksud pada huruf a, perJu ditetapkan kembali pembebanan tarif bea masuk atas barang impor;
c.
bahwa berdasarkan pertimbang~n sebagaimana dimaksud dalam huruJ a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanao Tarif Bea Masuk At~s Barang Impor;
·
Mengingat
REPU~LlK INDONESI~,
.
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Lembaran Negara RepubUk Indonesia Tahun 1994 Nomar 57, Tambahan Lembamn N~gara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 'l'ahun · 1995 tentang · Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara RepubUk Indonesia Nomor 3612), sebagaimana telah diu bah dengan · Undang-Undang Nomor 17. 'fahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nom.or 93, 'I'ambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
7. UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri dan untuk menampung penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang di bidang perolehan hak atas tanah dan bangunan, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama tahun 1999; 2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688); 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3739); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) yang diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3739) diubah sebagai berikut.: 1.
Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan: 1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. 3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. 5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang. 8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
9.
10.
11.
12. 13. 2.
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar; Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar; Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak. Putusan Banding adalah Putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. (2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: 1. jual beli; 2. tukar-menukar; 3. hibah; 4. hibah wasiat; 5. waris; 6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; 7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8. penunjukan pembeli dalam lelang; 9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10. penggabungan usaha; 11. peleburan usaha; 12. pemekaran usaha; 13. hadiah. b. pemberian hak baru karena: 1. kelanjutan pelepasan hak; 2. di luar pelepasan hak. (3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah susun; f. hak pengelolaan."
3.
Ketentuan Pasal 3 ayat ( 1) dan ayat (2) diubah sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang pribadi atau badan karena wakaf; f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. (2) Objek pajak yang diperoleh karena warisf hibah wasiatf dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah."
4.
Ketentuan Pasal 6 ayat (2) ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. (2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam hal: a. jual beli adalah harga transaksi; b. tukar-menukar adalah nilai pasar; c. hibah adalah nilai pasar; d. hibah wasiat adalah nilai pasar; e. waris adalah nilai pasar; t f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k. penggabungan usaha adalah nilaj pasar; l. peleburan usaha adalah nilai pasar; m. pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. hadiah adalah nilai pasar; o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang. (3) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. (4) Apabila Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan oleh Menteri."
5.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah, wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau , bangunan untuk : a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan; e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang; h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan; j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; o. hadiah adalah sejak tangal dibuat dan ditandatanganinya akta. (2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan."
7.
Ketentuan Pasal 10 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut : Pasal 10 (1) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. (2) Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau BankBadan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. (3) Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri."
8.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat , keputusan tersebut. 1. (3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
9.
Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejaktanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.D
10. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut.: Pasal 20 (1) Atas permohonan Wdjib Pajak, pengurangan pajakyang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena: a. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, atau b. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau c. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan. (2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagairnana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. 11. Ketentuan Pasal 23 diubah dan diahtara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% ( delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan. (1a)Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata. (2) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah propinsi yang bersangkutan dan 80% ( delapan puluh persen) untuk pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. (3) Tata cara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.. 12. Ketentuan Pasal 24 diubah dan diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut.: Pasal 24 (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. (2) Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. (2a)Pejabatyang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3) Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan." 13. Ketentuan Pasal 26 diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), diantara ayat (3)dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), dan ayat (4) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut.: Pasal 26 (1) Pejabat PembuatAkta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan. (2a)Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3a)Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 14. Diantara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 2 (dua) pasal yaitu Pasal 27A dan Pasal 27B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 27A Terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 27B Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undangundang, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini." Pasal II Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan atas Undang-undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan". Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 130
8. UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
9. UNDANG-UNDANG NO.25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
10. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO.130/PMK.011/2011 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 130/PMK.011/2011 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang
:
a.
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dalam rangka penanaman modal;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4993);
3.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
5.
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Menetapkan
:
MEMUTUSKAN: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2.
Undang-Undang Penanaman Modal adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3.
Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 2
(1) Kepada Wajib Pajak badan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
(2) Pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial.
(3) Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 (dua) Tahun Pajak.
(4) Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 3
(1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
merupakan Industri Pionir;
b.
mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
c.
menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan
d.
harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) (2) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:
a.
Industri logam dasar;
b.
Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
c.
Industri permesinan;
d.
Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau
e.
Industri peralatan komunikasi.
(3) Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat menetapkan Industri Pionir yang diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, selain cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang memenuhi persyaratan:
a.
telah merealisasikan seluruh penanaman modalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
b.
telah berproduksi secara komersial.
(5) Saat dimulainya berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang tata caranya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
(1) Untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(2) Dalam rangka pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal setelah berkoordinasi dengan menteri terkait, menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan fotokopi:
a.
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b.
surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang dilengkapi dengan rinciannya; dan
c.
bukti penempatan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c.
(3) Penyampaian usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan uraian penelitian mengenai hal-hal sebagai berikut:
a.
ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi;
b.
penyerapan tenaga kerja domestik;
c.
kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai Industri pionir;
d.
rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret; dan
e.
adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili.
(4) Tax sparing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e adalah pengakuan pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan dari Indonesia dalam penghitungan Pajak Penghasilan di negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan.
Pasal 5
(1) Atas usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang disampaikan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk membantu melakukan penelitian dan verifikasi dengan mempertimbangkan dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional.
(2) Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri Keuangan.
(3) Dalam melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
(4) Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada Menteri Keuangan disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai jangka waktu pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan/atau ayat (4).
(5) Pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan diputuskan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan setelah berkonsultasi dengan Presiden Republik Indonesia.
(6) Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(7) Dalam hal Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan tersebut kepada Wajib Pajak dengan tembusan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 6
(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan harus menyampaikan laporan secara berkala kepada Direktur Jenderal Pajak dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a.
laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c; dan
b.
laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit.
(2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7
(1) Fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dicabut, dalam hal Wajib Pajak:
a.
tidak memenuhi ketentuan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a; dan/atau
b.
tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(2) Pencabutan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat mengusulkan kepada komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan guna menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pencabutan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, dalam hal:
a.
realisasi penanaman modal Wajib Pajak tidak sesuai dengan rencana penanaman modal dalam surat persetujuan penanaman modal baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; dan/atau
b.
Wajib Pajak yang diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan:
1)
tidak memenuhi ketentuan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a; dan/atau
2)
tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
Pasal 8
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari kegiatan usaha yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan, tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak selama periode pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau Pasal 2 ayat (4);
b.
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 9
(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan, tidak dapat memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini, tidak dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 10
Usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini, harus diajukan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam jangka waktu selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 11
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,
Diundangkan di Jakarta
ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO
pada tanggal 15 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 503
11. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO.52/PMK.011/2013 TENTANG BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN GUNA PEMBUATAN KOMPONEN KENDARAAN BERMOTOR UNTUK TAHUN ANGGARAN 2013
MENTERI KEtJANGAN REPUOlIK INDONE SIA
SAUNAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52/PMK . Oll/2013 TENTANG BEA MASUK DlTANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN
QUNA PEMBUATAN KOMPONEN KENDARAAN BERMOTOR UNTUK TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
a.
bahwa dalam rangka memenuhi penyediaan barang dan/stau jass guna kepentingan umum dan meningkatkan daya saing industri pembuatan komponen kendaraan bermotor di da!am negeri, perlu memberikan insentir fiska! berupa Bea Masuk Ditanggung Pcmerintah atas impor barang dan bahan oleh industri pembuatan komponen kendaraan bermotor;
b. bahwa terhadap impor barang dan bahan untuk industri pembuatan komponen kendaraan bermolor te!ah memcnuhi kriteria peni!aian dan ketentuan barang dan bahan untuk dapat diberikan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.Oll/2013 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Memproduksi Sarang Dan/ Atau Jasa Guna Kepentingan Umum Dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tabun Anggaran 2013; c.
bahwa dalam raI)gka pemberian Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas impor barang dan bahan untuk industri pembuatan komponen kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud da!am huruf b. telah ditetapkan pagu anggaran untuk pemberian Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2013;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan hurur c, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.Oll/2013 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas lmpor Barang Dan Bahan Untuk Memproduksi Barang Dan/ Atau Jasa Guna Kepentingan Umum Dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tahun Anggaran 2013, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan ten tang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Sarang Dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kendaraan Bermotor Untuk Tahun Anggaran 2013;
12. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO.88/PMK.011/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.010/2006 TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/PMICOll/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN . NOMOR 110jPMK010j2006 TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER! KEUANGAN, Menimbang
a.
bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110jPMK010j2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tari£ Bea Masuk Atas Barang Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233j PMKOllj 2008, telah ditetapkan sistem klasifikasi barang dan pembebanan' tarif bea masuk atas barang impor termasuk penetapan posj sub pos (heading/sub heading) untuk kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap dan komponen kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap;
b. bahwa untuk meningkatkan qaya saing industri kendaraan bermotor serta mendorong peningkatan penggunaan kandungan lokal untuk industri kendaraan bermotor, perIu dilakukan perubahan sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk atas impor kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (Incompletely Knock Down jIKD) dan komponen kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (Incompletely Knock Down jIKD);
Mengingat
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huru£ b,. serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1l0jPMK010j2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor;
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
2.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612),
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
-2-
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 3.
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
4.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1l0/PMK010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/ PMK011 / 2008; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 1l0/PMK010/2006 TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1l0/PMK.010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor sebagairnana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.Oll/2008 diubah sebagai berikut: 1.
Mengubah sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk pada Pas 98.01, Pas 98.02, dan Pas 98.03 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomer 1l0/PMK010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor sebagairnana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomer 233/PMKOll/2008, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
2.
Menetapkan catatan pada Pos 98.01, Pas 98.02, dan Pas 98.03 sebagaimana dimaksud pada angka 1, menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
3.
Pas 98.01, Pos 98.02, dan Pas 98.03, sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 adalah BAB 98 sesuai dengan petunjuk pelaksanaan penggunaan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2007 (BTBMI2007).
. .
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
-3-
Pasal II Peraturan Menteri Keuangan ini diundangkan.
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam' Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2010 MENTERI KEUANGAN tid.
SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 21 April 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd. PATRIALISAKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 198 Salinan sesuai dengan aslinya, Kepala Biro Umum . u.b. Bagian T.U. D
LAMPIRANI PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 88/PMK.Oll/2010 TENTANG PERUBAHAN KEfIGA ATAS PBRATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 110/PMK010/2006 TENTANG PENETAPAN SlSfEM KLASIFIKASI BARANG DAN PBMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
-4-
NO
POS/SUB POSt HEADING/SUB HEADING
URAJAN BARANG
12\
(1 )
13\
DESCRIPTION OF GOODS
%BEAMASUKI %IMPORT DUTY
(4\
(5)
98.01
Kendaraan bermotor dalam keadaan terbongkar tidak lengkap.
Incompletely knocked down motor vehicles.
9801.10
-Kendaraan bermotor untuk pengangkutan or.ang
MMotor vehicles for the transport of persons of heading 87.30: -Sedan with cylinder ~pacity not exceeding 1,500 cc -Motor vehiGles other than sedan with two wheel drive (4x2) system -Motor vehicles other than .sedan with four wheel drive (4x4) system wi~h cylinder capacity not exceeding 1SOO co
9801.10.10.00 2
9801.10.20.00
3
9801.10.30.00
9801.20 4 5
9801.20.10.00 9801.20.20.00
6
9801.20.30.00 9801.30
7 8
9801.30.10.00 9801.30.20.00
9
9801.30.30.00 98.02
10
9802. 1O. 00. 00
11 12
980220.00.00 9802.30.00.00
13
9803.00.00.00
dad pas 87.03: ~-Sedan dengan kapasitas silinder tidak melebihi 1.500 cc -Kendaraan bermotor seisin sedan dengan sistem gardan tllnggal (4x2) --Kendaraan bermotor selain sedan dengan sistcm gandar ganda (4x4) dengan kapasitas silinder tidak melebihi 1500 cc -K~ndaraan bermotor untllk pengangkutan barang
dari pos 87.04: ..:.Dengan massa total tidak melebihi 5 ton --Dengan massa total melebihi 5 ton tetapi tidak melebihi 24 ton --Deogan massa total inelebihi 24 ton -Kendaraan bermotor uotuk mcngangkut penumpang Icbih dari 10 orang dari pos 87.02 : -Dengan massa total tidak melebihi 5 ton -Dengan massa total melebihi 5 ton tetapi tidak melebihi 24 ton ~~Dengan massa total melebihi 24 ton
-Motor vehicles for the transport of goods of heading 87.04 : -or a gross vehi.c1e weight not exeeding 5 t -or a gross vehicle weight exceeding 5 t but not exceeding 24 t -Of a gross vehicle weight exceeding 24 t -Motor vehicles for the transport of more than 10 persons of heading 87.02 : -Of agross vehicle weight not exceeding 5 t -Of agross vehicle weight exceeding 5 t but not exceeding 24 t -or agross vehicle weight exceeding 24 t
Komponen kendaraan bermotor dslsm keadaan terbongkar tidak lengkap. -Mesin piston pembakaran dalam bolak balik putaran stall cetus api atau mesin piston pembakaran dalam nyala kompresi (disell semi discI) MGear box -Poras penggerak
Components of incompletely knocked down motor vehicles. MRotary internal combustion piston engine or reciprocating sparkMignition combustion piston engine or compressionMignition piston engine (die,ell,emi diesel) -Gear boxes ·DriveMaxles
Blank untuk komponen kendaraan bermotor, terbuat dari 101lBn1 tidak mulia
Blank for motor vehicles component, made from base metal
MENTER! KEUANGAN Salinan sesuai dengan aslinya, Kepala Biro Umum
ttd.
u.b.
BagianT.U, OO~?n1e
SRI MULYANI INDRAWATI
7,5% 7,5% 7,5%
7,5% 0% 0%
7,5% 0%
0%
2,5%
2,5% 2,5% 5%
..
PERATURAN
MENTER!
LAMPIRANII KEUANGAN
NOMOR88/PMK.Oll/2010
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 110/PMKOlO/2006 TENTANG SISfEM KLASlFIKASI PENETAPAN BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG lMPOR MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
-5-
Catatan Pos 98.01, Pos 98.02, dan Pos 98.03 BTBMI 2007 (Bab 98 sesuai petunjuk peIakBanaan penggunaan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2007fBTBMI 2007)
1. Terhadap Pos 98.01, Pos 98.02, dan Pos 98.03 BTBMI 2007 tidak berlaku: a. Ketentuan Umum Untuk Menginterpretasi Harmonized System (KUMHS); dan b. Catatan yang ditetapkan untuk Pos Indonesia.
O1.oi
sampai dengan Pos 97.06 Buku Tarif Bea Masuk
2. Untuk keperluan Pos 98.01, Pos 98.02, dan Pos 98.03 BTBMI 2007 berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Industri Perakitan dan Industri Komponen adalah pemsahaan industri perakitan kendaraan bermotor dan perusahaan industri komponen kendaraan bermotor sebagaimana ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian. b. Kendaraan bermotor adalah kendaraanbermotor untuk pengangkutan orang dari Pas 87.02 dan Pos 87.03, kendaraan bermotor untuk pengangkutan barang dati Pos 87.04, dan kendaraan bermotor roda dua dan roda tiga dari Pos 87.11 berdasarkan Harmonized System (HS) dan ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) sebagaimana dimaksud dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2007. 3. Pos 98.01, Pos 98.02, dan Pos 98.03, hanya meliputi kendaraan bermotor atau komponen kendaraan bermotor yang diimpor oleh Industri Perakitan dan atau Industri Komponen. Kendaraan bermotor atau komponen kendaraan bermotor yang diimpor oleh selain Industri Perakitan dan atau Industri Komponen, dikiasifikasikan pada pos tarif rnasing-masing berdasarkan Harmonized System (HS) dan ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) sebagairnana dimaksud dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2007. 4. Terhadap Pos 98.01 berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Kendaraan bermotor dalam keadaan temrai tidak Iengkap (Incompletely Knocked Down/IKD) adalah kendaraan bermotor dalam keadaan terbongkar menjadi bagian-bagian yang tidak lengkap dan tidak memiliki sifat utama kendaraan yang bersangkutan. b. Tingkat keteruraian kendaraan berInotor terurai tidak lengkap (Incompletely Knocked Down/IKD) diatur oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian.
5. Terhadap Pos 98.02 berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Komponen kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (Incompletely Knocked Down/IKD) adalah komponen keridaraan bermotor dalam keadaan terbongkar menjadi beberapa sub-komponen dan tidak memiliki sifat utama komponen kendaraan yang bersangkutan. b. Tingkat keteruraian komponen kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (Incompletely Knocked Down/IKD) diatur oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian.
'.
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
-6-
6. Blanlc sebagairnana dimaksud dalarn Pos 98.03 adalah barang yang tidak disiapkan untuk penggunaan langsung, rnemiliki bentuk rnendekati barang jadi atau bagian dari baraI).g jadi tersebut, dan hanya digunakan untuk diproses lebih lanjut rnenjadi barang jadi atau bagian dari . barang jadi tersebut.
MENTERI KEUANGAN Salinan sesuai dengan aslinya, KepalaBiro Umurn u.b. Kep a agian 1:U. Degtf~~er
ttd. SRIMULY~NIINDRAWATI
.
.
13. ROAD MAP PENGEMBANGAN INDUSTRI PERKAPALAN NASIONAL
1/21/2014
LOGO
Direktorat Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan Direktorat Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi
Daftar Isi Potensi Industri Perkapalan Saat ini Prospek Pengembangan Sasaran Pengembangan Strategi Kebijakan Indikator Pencapaian Sasaran & Implementasi
Program dan Rencana Aksi
1
1/21/2014
Potensi Industri Perkapalan Kondisi Geografis Negara Kepulauan : ± 17.500 pulau dengan panjang garis pantai 80.000 km Kapal berperan penting sebagai infrastruktur transportasi dalam konektifitas antar pulau
Galangan Kapal Jumlah Industri Galangan Kapal ± 250 Perusahaan Kapasitas Produksi Bangunan Baru : ± 750,000 DWT Reparasi : ± 10,000,000 DWT Kemampuan Fasilitas Bangunan Baru : s/d 50,000 DWT Reparasi : s/d 150,000 DWT (Graving Dock)
Kemampuan Industri Dapat membangun s/d kapasitas 1,500 DWT (± 80% dari total jumlah galangan) Dapat membangun di atas kapasitas 10,000 DWT, 6 perusahaan galangan Potensi industri perkapalan nasional cukup besar, namun daya saingnya masih perlu ditingkatkan. Dukungan Industri komponen dalam negeri masih lemah
Lokasi Galangan Kapal Tersebar diseluruh wilayah Indonesia, dan terkonsentrasi di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Batam
1
Prospek Pengembangan 1
Kebutuhan Penggantian Armada Kapal Yang Sudah Tua Jumlah Armada Kapal Nasional
Distribusi Jenis dan Usia Kapal
10.919
12000 10000
4.878 Unit
6.041
8000
(80,75 %)
6000 4000 2000 0
Maret 2005
2
Peb 2012
Terjadi peningkatan jumlah armada kapal nasional sebesar 4.878 unit kapal atau 80,75% Pasca INPRES 5/2005 (Penerapan Asas Cabotage). Jumlah armada belum termasuk kapal non konvensi (NCV) dan kapal ikan, sebesar lebih dari 3.000 kapal.
2
1/21/2014
Prospek Pengembangan 2
Kebutuhan Kapal Untuk Mendukung Kegiatan Ekplorasi MIGAS s/d 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis Kapal
Jumlah
AHT / AHTS Flat Top Barge Crew Boat DSV FSO/FPSO/MOPU Hopper Barge Tug Boat / Terminal Tug / Harbour Tug Sea Truck / Speed Boat / Fifi Sea Truck LCT Multipurpose Vessel / Utility Vessel Oil Barge / Tanker PSV / Supply vessel Accomodation Barge / Accomodation Work Barge / Crane Barge Others (RIV, mooring vessel, support vessel, scv, dll)
29 23 66 5 25 14 78 144 45 18 15 10 7 47
Total
526 3
Prospek Pengembangan 3
Pembangunan Armada Kapal Baru PT. Pertamina (Persero) s/d 2015
No
Kapal
Jumlah
Tipe
Rencana Pengadaan
1
3,5K dwlt
7 unit
Product oil tanker – Small 1
2013/2015(D/N)
2
17,5K dwlt
7 unit
Product oil tanker – General Purpose
2011/2013(D/N)
3
30K dwlt
3 unit
Product/Black oil tanker – Medium Range
2013/2015(D/N)
4
85K dwlt
2 unit
Crude oil tanker – Aframax size
2012/2013(L/N)
5
260K dwlt
1 unit
Crude oil tanker – VLCC size
2011/2012(L/N)
6
3,5K dwlt
2 unit
Bunkering service – Small 1
2011/2012(D/N)
7
4,0K dwlt
2 unit
Lube base carrier – Small 1
2011/2012(D/N)
8
5,0 cum
1 unit
LPG carrier – Small 2
2011/2012(L/N)
4
Sumber : Pertamina
3
1/21/2014
Sasaran Pengembangan Jangka Menengah (2012 – 2015) Meningkatnya kemampuan industri perkapalan/galangan kapal nasional dalam pembangunan kapal sampai dengan ukuran kapasitas 85.000 DWT. Bertambahnya jumlah fasilitas dock untuk perbaikan kapal sampai dengan ukuran 150.000 DWT. Meningkatnya daya saing industri perkapalan/galangan kapal nasional (delivery time maupun docking days semakin pendek, kualitas meningkat dan harga bersaing). Tumbuhnya industri bahan baku dan komponen kapal tertentu untuk mensupply kebutuhan komponen kapal dalam negeri.
Jangka Panjang (2015 – 2025) Meningkatnya kemampuan industri perkapalan/galangan kapal nasional dalam pembangunan kapal dan perbaikan kapal sampai dengan kapasitas 300.000 DWT (World class industry) Meningkatnya kemampuan industri perkapalan/galangan kapal nasional dalam membangun kapal untuk berbagai jenis dan spesifikasi khusus seperti Korvet, Frigate, Cruise Ship, LPG Carrier,LNG Carrier dan kapal khusus lainnya Berkembangnya industri bahan baku dan komponen kapal tertentu untuk mensupply kebutuhan komponen kapal dalam negeri dan ekspor. Kemampuan penguasaan desain dan rekayasa kapal nasional semakin meningkat untuk memperkuat struktur Industri perkapalan 5 nasional.
Strategi dan Kebijakan
Mengamankan dan mengoptimalkan pemanfaatan pasar dalam negeri sebagai base load untuk pengembangan industri perkapalan.
Mengembangkan industri pendukung di dalam negeri (industri bahan baku dan komponen kapal).
Mengembangkan pusat peningkatan keterampilan SDM.
Peningkatan penguasaan teknologi, rancang bangun dan perekayasaan melalui pengembangan PDRKN/NaSDEC (Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional/National Ship Design and Engineering Center).
Mengembangkan Kawasan Khusus Industri Galangan Kapal untuk menarik investor asing dan lokal.
Perbaikan iklim usaha (pajak, suku bunga, tata niaga).
Mendorong kerjasama dengan luar negeri.
6
4
1/21/2014
Indikator Pencapaian Sasaran dan Implementasi Indikator
2012 s/d 2015
2015 s/d 2020
2015 s/d 2025
Kapasitas Fasilitas Produksi :
A
Kapal Baru (dwt)
85.000
300.000
300.000
Reparasi (dwt)
150.000
300.000
300.000
1.500.000
2.000.000
Kapasitas Produksi & Kemampuan Produksi :
B
Bangunan Baru (dwt/tahun)
1.000.000
Reparasi (dwt/tahun) Jenis kapal Yang Diproduksi
12.000.000
15.000.000
Tanker berbagai jenis dan ukuran s/d 85.000 dwt Passenger ship s/d 1000 pax Kapal Alutsista (LCT, LPD,FPB, Korvet)
Tanker berbagai jenis dan ukuran s/d 300.000 dwt Cruise ship 1000 pax Kapal Lautsista (LCT, LPD,FPB, Korvet, Frigate)
20.000.000 Tanker berbagai jenis dan ukuran s/d 400.000 dwt Cruise ship 2000 pax Kapal Alutsista (LCT, LPD,FPB, Korvet, Frigate, Sub Marine
7
Indikator Pencapaian Sasaran dan Implementasi Indikator C
2012 s/d 2015
2015 s/d 2020
2015 s/d 2025
Industri Bahan Baku dan Komponen Tumbuh dan Berkembang Dalam Negeri : Material
Pelat s/d ketebalan 25 mm
Pelat s/d ketebalan 30 mm
Pelat s/d ketebalan 35 mm
Deck Machineries & Equipment
Crane, Windlass, Winch, anchor and mooring roops, (semua jenis dan ukuran)
Crane, Windlass, Winch, anchor and mooring roops, (semua jenis dan ukuran)
Crane, Windlass, Winch, anchor and mooring roops, (semua jenis dan ukuran)
Machinery Equipment
Main Engine s/d 500 HP, Generator, Boiler, Oil Purifier, Steering Gear, Shafting and Propeller
Main Engine s/d 7000 HP, Generator, Boiler, oil Purifier, Shafting and Propeller
Main Engine s/d 15.000, Generator, Boiler, oil Purifier, Shafting and Propeller
Electrical, navigation and communication
Main Switch Board, radar
Main Switch Board, radar, GPS, radio communication
Main Switch Board, radar, GPS, radio communication
Safety Equipment
Lifeboat, Life Jacket, Life raft, Lifeboy, Fire fighting Equipment
Lifeboat, Life Jacket, Life raft, Lifeboy, Fire fighting Equipment
Lifeboat, Life Jacket, Life raft, Lifeboy, Fire fighting Equipment
8
5
1/21/2014
Indikator Pencapaian Sasaran dan Implementasi Indikator D
2012 s/d 2015
2015 s/d 2020
2015 s/d 2025
Pengembangan SDM dan Penguasaan Teknologi (R&D) Desain Kapal
Modifikasi desain orang lain untuk melahirkan produk baru
• Modifikasi desain orang lain untuk melahirkan produk baru • Pengembangan desain sendiri untuk melahirkan produk baru.
• Pengembangan desain sendiri untuk melahirkan produk baru. • Riset dasar Industrial, menciptakan desain kapal masa depan.
Sistem Pembangunan
Block System
FOBS (Full Outfitting Block System)
FOBS (Full Outfitting Block System)
Infrastruktur Desain
Kelembagaan NasDEC terbentuk
NaSDEC mampu mensuplai kebutuhan desain galangan kapal nasional
NaSDEC menjadi organisasi mandiri
Infrastruktur Pengembangan SDM
• Pembangunan pusatpusat pelatihan SDM khusus bidang Maritim • Fasilitsasi standar kompetensi SDM bidang perkapalan
• Pemberdayaan dan penguatan pusat pusat pelatihan SDM bidang maritim • Penerapan standar kompetensi SDM bidang perkapalan
• Pemberdayaan dan penguatan pusat pusat pelatihan SDM bidang maritim • Penerapan standar kompetensi SDM bidang perkapalan
9
Program dan Rencana Aksi Program A
Peningkatan Kapasitas & Kemampuan Produksi
2012 - 2015 • Mendorong restrukturisasi industri perkapalan melalui modernisasi mesin/peralatan produksi yang sudah berusia tua • Mendorong investasi/perluasan pengembangan industri galangan kapal dengan fasilitas produksi untuk kapal baru sampai dengan kapasitas 85.000 DWT • Mendorong perbaikan/ penyempurnaan iklim usaha • Mendorong penggunaan kapal produksi dalam negeri (kapal pesanan pemerintah , BUMN dan BUMD) • Mengembangkan kawasan khusus industri perkapalan/ galangan kapal • Mendorong kerjasama dengan luar negeri (antar pemerintah dan antar perusahaan)
2015 - 2020
2020 - 2025
• Mendorong investasi/perluasan pengembangan industri galangan kapal dengan fasilitas produksi untuk kapal baru sampai dengan kapasitas 85.000 DWT
• Mendorong investasi/perluasan pengembangan industri galangan kapal dengan fasilitas produksi untuk kapal baru sampai dengan kapasitas 85.000 DWT
• Mendorong perbaikan/ penyempurnaan iklim usaha
• Mendorong perbaikan/ penyempurnaan iklim usaha
• Meningkatkan penggunaan kapal produksi dalam negeri (kapal pesanan pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta)
• Meningkatkan penggunaan kapal produksi dalam negeri (kapal pesanan pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta)
• Memperkuat kawasan khusus industri perkapalan/ galangan kapal
• Memperkuat kawasan khusus industri perkapalan/ galangan kapal
• Meningkatkan kerjasama dengan luar negeri (antar pemerintah dan antar perusahaan)
• Meningkatkan kerjasama dengan luar negeri (antar pemerintah dan antar perusahaan)
10
6
1/21/2014
Program dan Rencana Aksi Program B Pengembangan Industri Bahan Baku dan Komponen
2012 - 2015
2015 - 2020
2020 - 2025
• Mondorong standarisasi kapal yang beroperasi di Indonesia
• Mondorong standarisasi kapal yang beroperasi di Indonesia
• Mondorong standarisasi kapal yang beroperasi di Indonesia
• Meningkatkan kapasitas dan kemampuan supply industri komponen yang sudah ada
• Meningkatkan kapasitas dan kemampuan supply industri komponen yang sudah ada
• Meningkatkan kapasitas dan kemampuan supply industri komponen yang sudah ada
• Melakukan standarisasi produk komponen (SNI)
• Melakukan standarisasi produk komponen (SNI)
• Mengembangkan infrastruktur pendukung pengembanagn industri komponen (lab uji komponen, lembaga sertifikasi dan akreditasi)
• Mengembangkan infrastruktur pendukung pengembanagn industri komponen (lab uji komponen, lembaga sertifikasi dan akreditasi)
• Mendorong pemberian insentif fiskal untuk mendukung industri komponen
• Mendorong pemberian insentif fiskal untuk mendukung industri komponen
• Mendorong R&D untuk komponen-komponen tertentu
• Mendorong R&D untuk komponen-komponen tertentu
• Melakukan standarisasi produk komponen (SNI) • Mengembangkan infrastruktur pendukung pengembanagn industri komponen (lab uji komponen, lembaga sertifikasi dan akreditasi) • Mendorong pemberian insentif fiskal untuk mendukung industri komponen • Mendorong R&D untuk komponen-komponen tertentu
11
Program dan Rencana Aksi Program C
Pengembangan SDM dan Penguasaan Teknologi (R&D)
2012 - 2015 • Mengembangkan pusat pendidikan dan pelatihan keterampilan SDM perkapalan. • Meningkatkan kualitas dan keterampilan SDM bidang perkapalan • Mengembangkan standarisasi kompetensi keahlian SDM dibidang perkapalan. • Memperkuat kelembagaan dan mendorong pemberdayaan Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (PDRKN) / National Ship Design and Engineering Centre (NaSDEC) • Meningkatkan kerjasama luar negeri dalam rangka tranfer teknologi.
2015 - 2020
2020 - 2025
• Memberdayakan pusat pendidikan dan pelatihan keterampilan SDM perkapalan yang sudah ada.
• Memperkuat pusat pendidikan dan pelatihan keterampilan SDM perkapalan yang sudah ada.
• Pengembangan lembaga uji kompetensi tenaga kerja bidang maritim
• Memperkuat lembaga uji kompetensi tenaga kerja bidang maritim
• Pengembangan lembaga setifikasi profesi tenaga kerja bidang maritim
• Memperkuat lembaga setifikasi profesi tenaga kerja bidang maritim
• Memberdayakan Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (PDRKN) / National Ship Design and Engineering Centre (NaSDEC)
• Memberdayakan Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (PDRKN) / National Ship Design and Engineering Centre (NaSDEC)
• Meningkatkan kerjasama luar negeri dalam rangka tranfer teknologi.
• Meningkatkan kerjasama luar negeri dalam rangka tranfer teknologi.
12
7
1/21/2014
Program dan Rencana Aksi Program D Kegiatan Pendukung
2012 - 2015 • Mengembangkan klaster industri perkapalan • Mendorong pengembangan public ship financing/skema pembiayaan pembangunan dan reparasi kapal. • Penyusunan kajian kebutuhan insentif fiskal dan moneter industri perkapalan nasional.
2015 - 2020
2020 - 2025
• Penguatan klaster industri perkapalan
• Penguatan klaster industri perkapalan
• Fasilitasi penerapan public ship financing/skema pembiayaan pembangunan dan reparasi kapal.
• Fasilitasi penerapan public ship financing/skema pembiayaan pembangunan dan reparasi kapal.
• Fasilitasi pemberian insentif fiskal dan moneter.
• Fasilitasi pemberian insentif fiskal dan moneter.
• Penguatan kemitraan dan kelembagaan industri perkapalan.
• Penguatan kemitraan dan kelembagaan industri perkapalan.
• Pengembangan kemitraan dan kelembagaan industri perkapalan.
13
Kementerian Perindustrian Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta Selatan 12950 Website : www.kemenperin.go.id Telp./Fax. : 021-5255509 Ext. 4011
8
BIOGRAFI PENULIS Penulis memiliki nama lengkap Iqbal S. Haristianto. Penulis yang lahir di Jakarta tanggal 15 Juli 1991 merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis antara lain SD Islam Al-Azhar 09 Kemang Pratama Bekasi, SMP Islam Al-Azhar 09 Kemang Pratama Bekasi, SMA Islam Al-Azhar 04 Kemang Pratama Bekasi, dan terakhir pada tahun 2009 di Jurusan Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di organisasi mahasiswa seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Maritime Challenge ITS dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FTK. Penulis juga secara aktif menduduki posisi vital dalam kegiatan mahasiswa, seperti pada kegiatan Temu Alumni Akbar FTK Tahun 2011 sebagai ketua acara dan pada kegiatan Semarak Mahasiswa Perkapalan (SAMPAN) 6 ITS sebagai ketua umum. Di akhir masa perkuliahan, penulis sempat tergabung sebagai junior engineer di National Ship Design and Engineering Center (NaSDEC). Untuk informasi lebih lanjut mengenai tugas akhir ini, penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected]
197