IX.
9.1.
IMPLIKASI KEBIJAKAN BAGI PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT INDONESIA
Industri Sawit Indonesia Indonesia menetapkan kebijakan pada industri kelapa sawit dan
memberlakukan pajak ekspor dengan ketentuan yang berubah-ubah. Tujuan pengenaan pajak ekspor ini adalah untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng domestik. Namun yang terjadi kebijakan ini tidak dapat mengatasi hal tersebut, justru yang ada harga minyak goreng domestik tetap mengalami naik turun. Sejak terjadi krisis ekonomi tahun 1998, pasokan minyak sawit dalam negeri mengalami kelangkaan sehingga harga minyak goreng melambung tinggi akibat pesatnya ekspor minyak sawit ke luar negeri.
9.1.1.
Pengembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia Menurut Masrul E.H (2006), mengatakan bahwa Indonesia memiliki
potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri kelapa sawit dibandingkan dengan negara lain. Dilihat dari potensi luas lahan yang tersedia di Indonesia yang sesuai untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit, Indonesia dinilai berpotensi memperluas areal kelapa sawitnya hingga lima kali lipat dari luas areal yang dimilikinya sekarang. Sedangkan Malaysia sebagai kompetitor dalam memproduksi CPO tidak memiliki potensi sebesar Indonesia. Selain itu, daerah yang memiliki potensi yang tinggi di sektor tersebut di Indonesia, untuk pulau Sumatera terdapat di provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, untuk pulau Kalimantan terdapat di Kalimantan Barat,
299
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dan daerah lain yang memiliki potensi tinggi juga terdapat di Papua. Potensi lahan untuk kelapa sawit diperkirakan seluas 31 juta hektar dimana baru terpakai sekitar 5,447 juta hektar. Dengan pengembangan potensi lahan disektor industri kelapa sawit maka dapat memberi pengaruh pada pengurangan tingkat kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan juga pendapatan negara. Melihat perkembangan kelapa sawit yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bahwa kelapa sawit termasuk salah satu komoditi andalan bagi masa depan Indonesia. Pentingnya komoditi ini terlihat dari usaha pembangunan yang dilakukan secara terus menerus pada sektor industri ini. Kegiatan investasi terus berlangsung sehingga mendorong perluasan luas lahan. Pada tahun 2008 luas areal sawit menghasilkan seluas 4,5 juta hektar. Dilihat dari segi konsumsi, sebagian produksi CPO Indonesia digunakan untuk konsumsi dalam negeri pada industri minyak goreng, industri oleochemical, industri margarine, dan industri sabun. Namun, industri dengan konsumsi CPO terbesar di Indonesia, dilakukan oleh industri minyak goreng. Konsumsi total CPO dan PKO di Indonesia diperkirakan mencapai 6,3 juta ton pada tahun 2008. Sebenarnya, sangat banyak produk turunan yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit, seperti ban, emulsifier, kertas, makanan dan minuman, personal care, kaca film, bahan peledak, sampai pada bahan bakar. Terlihat dari banyaknya pemanfaatan yang dilakukan dengan mengolah kelapa sawit ini, maka dapat menyebabkan peningkatan permintaan pada komoditi ini.
300
Tingginya permintaan minyak sawit pada pasar internasional, akan mempengaruhi tingkat harga kelapa sawit dunia. Tentunya harga kelapa sawit dunia, khususnya harga CPO dunia dapat memotivasi para produsen untuk meningkatkan produksinya dan mengekspor kelebihan produksinya tersebut ke luar negeri. Jika Indonesia dapat mengelola industri kelapa sawit tersebut dengan baik pada pasar domestik maupun pasar internasional maka akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi Indonesia. Namun, yang terjadi adalah tingginya harga CPO dunia justru menuai masalah dalam negeri. Gejolak harga minyak goreng domestik selalu dikaitkan dengan jumlah suplai CPO yang ada di dalam negeri. Sejak tahun 1998, harga minyak goreng mengalami peningkatan. Penyebabnya adalah tingkat penawaran dalam negeri yang selalu lebih sedikit dan tidak cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, harga CPO domestik menjadi mahal dan mengakibatkan harga minyak goreng juga menjadi mahal. Selain itu, dengan sedikitnya jumlah bahan baku yang tersedia maka semakin sedikit juga minyak goreng yang dihasilkan. Hal inilah yang mengakibatkan harga minyak goreng semakin mahal. Berdasarkan
keadaan
tersebut,
mendorong
pemerintah
untuk
menerapkan salah satu kebijakan andalannya yang diberlakukan sejak tahun 1990-an, yaitu pungutan ekspor yang terlanjur dikenal dengan pajak ekspor. Tujuan pemerintah terdengar heroik, yaitu mendorong kestabilan harga minyak goreng dalam negeri agar konsumen tidak menderita akibat lonjakan harga minyak goreng tersebut. Menurut peneliti, pemerintah memberlakukan
301
hal tersebut hanyalah melindungi rapor dari kinerjanya selama ini, yaitu agar tidak terjadi inflasi dalam negeri. Selain itu, kebijakan ekspor ini ternyata tidak menunjukkan keefektifannya dalam menghadapi harga minyak goreng. Harga minyak goreng tetap saja tinggi. Hal ini terjadi karena ada dugaan terjadinya perilaku kolusif dalam industri ini yang mempengaruhi pembentukan harga minyak goreng tersebut, sehingga membuat kebijakan pemerintah tidak efektif. Tentunya perilaku kolusif tersebut terbentuk akibat struktur pasar yang terdapat dalam industri kelapa sawit. Sebagaimana diketahui, terbentuknya perilaku yang kolusif tersebut guna mendapatkan keuntungan yang besar. Keuntungan tersebut bisa diraih dengan cara menguasai pangsa pasar yang ada. Oleh karena itu, perilaku kolusif merupakan salah satu cara yang dapat mencegah persaingan dan bersama-sama mendapatkan pangsa pasar yang besar sehingga memperoleh keuntungan yang besar. Namun, semua tergantung pada struktur pasar yang terbentuk pada industri kelapa sawit tersebut. Perlu diketahui, dalam membahas mengenai struktur suatu pasar, maka kita tidak terlepas dari pembicaraan mengenai konsentrasi pasar yang sebenarnya merupakan elemen internal dari struktur pasar tersebut (Sheperd, 1985). Selain tingkat konsentrasi, elemen pengatur struktur pasar adalah entry barriers atau hambatan masuk. Menurut teori Industri, struktur pasar atau struktur industri ini akhirnya akan mempengaruhi kinerja suatu industri melalui perilaku industri tersebut. Selain itu, isu-isu lain yang muncul dalam industri ini beberapa tahun belakangan adalah
meningkatnya
perkembangan industri hilir,
yaitu
302
mengolah CPO untuk dijadikan barang setengah jadi ataupun barang jadi untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk diekspor. Selain itu, meskipun Indonesia bersama Malaysia sama-sama merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar, namun Indonesia tidak berlaku sebagai market leader melainkan market follower.
9.1.2.
Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia Kelapa sawit memiliki nama latin Elaeis Guineensis yang merupakan
tanaman asli dari Afrika Barat. Awalnya tanaman ini merupakan tanaman hias yang berada di Kebun Raya Bogor. Dengan alasan tanaman ini merupakan jenis tanaman palma, maka Indonesia menamakannya sebagai Kelapa Sawit. Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia pada awalnya banyak diusahakan oleh perusahaan milik negara dan swasta. Sejak tahun 1980-an perkembangannya menjadi sangat cepat karena adanya kebijakan pola inti plasma yang dikembangkan oleh pemerintah. Pada tahun 1990-an perkebunan swasta dan perkebunan rakyat memiliki perkembangan yang tinggi namun dalam pengelolaannya masih banyak mengabaikan masalah produktivitas, lingkungan dan kesehatan konsumen terutama minyak sawit dari perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan negara tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2005 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 5,6 juta hektar, atau
mengalami
peningkatan sebesar lima kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1990.
303
Perkebunan kelapa sawit Indonesia terdapat di Pulau Sumatera, terutama di Riau dan Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Perkembangan luas areal Perkebunan Kelapa Sawit dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 80. Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Ha Tahun 2000-2005 No. 1 2 3 4 5
Pulau Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Papua Jumlah
2000 3.162.045 18.654 809.020 120.253 48.105 4.158.077
2001 3.630.432 20.331 880.913 131.443 50.137 4.713.256
2002 3.898.442 23.234 975.186 143.398 52.817 5.075.057
2003 4.031.855 23.456 969.635 145.735 68.490 5.239.171
2004 4.185.364 24.713 1.005.049 151.046 76.485 5.442.657
2005 4.266.721 25.388 1.018.620 153.818 80.949 5.597.718
Sumber : Profil Kelapa Sawit Indonesia, Dirbun 2005.
Dari Tabel 80 dapat diketahui, perkebunan kelapa sawit banyak berada di Pulau Sumatera, di mana pada tahun 2005 luas areal perkebunan di Sumatera mencapai 4,27 juta hektar. Dengan kata lain, pulau Sumatera memiliki 77% luas areal perkebunan dari total keseluruhan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebelum tahun 1976 sistem pengembangan industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan dalam kebijakan pemerintah. Di di Indonesia, dua pemilik perkebunan terbesar adalah milik negara 67% dan milik swasta 33 % dengan areal terbesar ada di Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Lampung, perluasan areal sawit adalah melalui rehabilitasi dan pengembangan perkebunan milik pemerintah dan konversi tanaman karet dengan kelapa sawit. Sedangkan di Malaysia, luas areal tanaman kelapa sawit umumnya dimiliki oleh pemerintah dan swasta, perluasan areal
304
tanaman dilakukan dengan penanaman kembali areal tanam karet dengan tanaman kelapa sawit karena sudah tidak tersedianya lahan baru. Pada tahun 1980-an, di Indonesia mulai dilakukan pengembangan perkebunan rakyat dan memberi hasil yang signifikan, tahun 1994 telah dicapai pertumbuhan luas perkebunan rakyat terbesar menjadi 26,2% dan naik menjadi 31,7% dari produksi total Nasional Indonesia pada tahun 2000an.
Pengembangan
perkebunan
rakyat
ini
meliputi
pengembangan
perkebunan di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Penyumbang terbesar areal perkebunan sawit di Indonesia tahun 2000 adalah perusahaan swasta dengan kontribusi sebesar 50,5 % luas areal sawit Nasional.
Dari tahun ketahun pertumbuhan luas kebun milik
swasta semakin besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan kebun rakyat dan milik pemerintah. Hal ini mencerminkan keseriusan pemerintah untuk mendorong peran swasta dengan memberikan berbagai insentif berupa kemudahan mendapatkan pinjaman dan insentif bunga pinjaman bagi pengembang, pembukaan lahan dan pembangunan pabrik kelapa sawit baru. (Casson,1999) Pada awalnya industri sawit Indonesia dan Malaysia sama-sama sebagai pegambil harga,
namun selama dua dekade terakhir terdapat
temuan yang unik yaitu pertumbuhan luas areal perkebunan sawit Malaysia rata-rata 6,2% per tahun dan pertumbuhan rata-rata penjualan minyak sawit per tahun
yaitu 13,4 %
dan
angka ini termasuk
besar. Terbukti dari
Perencanaan Pembangunan Pertanian ke-9 Malaysia, program revitalisasi pertanian
dijadikan
sebagai
mesin
pertumbuhan
ekonomi
negara,
305
menekankan penggunaan teknologi moderen untuk memproduksi spesies bibit unggul, meningkatkan hasil pertanian, meningkatkan akses pasar, mempromosikan usahatani yang baik dan menguntungkan.
9.1.3. Kinerja Industri Kelapa Sawit Indonesia Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam industri kelapa sawit ini sebenarnya lebih dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung di Industri kelapa sawit. Terlebih lagi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur pasar yang terbentuk oleh Industri ini berdasarkan pengamatan tingkat struktur pasar yang terbentuk, maka industri ini tergolong oligopoli. Seperti yang telah dikemukakan oleh Bain, bahwa semakin mengarah ke oligopoli semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh. Penulis mencoba menjelaskan pernyataan yang dikemukakan oleh Bain dengan membandingkan pergerakan keuntungan dengan tingkat konsentrasi. Di mana, PCM digunakan sebagai proksi dari keuntungan tersebut dan CR4 sebagai tingkat konsentrasi industri kelapa sawit semestinya bergerak searah, malah sebaliknya, semakin tinggi keuntungan tapi konsentrasi semakin negatif, berarti terjadi distorsi pasar yaitu kuatnya pengaruh kartel dari pembeli minyak sawit di Indonesia . Secara rata-rata pergerakan PCM dengan CR4 memiliki hubungan yang negatif antara tahun 1990 dengan 1993, tingkat konsentrasi mengalami penurunan yang awalnya mencapai 85% menjadi 63%, begitu juga antara tahun 1995 dengan 1999, terjadi peningkatan konsentrasi dari 57% menjadi 69%. Hingga pada tahun 2000, tingkat konsentrasi mencapai tingkat 72%.
306
Dari hasil regresi dapat dikatakan bahwa CR4 mempengaruhi PCM secara positif dengan koefisien sebesar 0.602. Artinya, teori yang dikemukakan oleh Bain berlaku pada industri kelapa sawit Indonesia. Semakin
besar
tingkat
konsentrasi
yang
terbentuk
mempengaruhi
keuntungan suatu perusahaan akibat market sharenya yang tinggi, sehingga hal ini membuat PCM dipengaruhi CR4, namun tidak signifikan. Menurut pemikiran penulis, masalah struktur pasar tidak selamanya menjadi masalah bagi industri. Jika suatu industri menunjukkan adanya keuntungan yang besar didalamnya, maka hal ini justru akan menarik para pemain baru untuk ikut masuk ke dalam industri tersebut. Apalagi, didukung dengan pasar kelapa sawit yang terus mengalami pengembangan dengan adanya tingkat permintaan yang meningkat serta tingkat produksi yang juga meningkat. Akibatnya banyak pemain baru yang tertarik untuk melakukan bisnis ini. Akhirnya, struktur pasar yang tadinya hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan
menjadi
semakin
berkurang
dan
menimbulkan
adanya
persaingan dalam pasar. Tingginya tingkat konsentrasi juga tetap bisa terjadi, namun yang berada pada CR4 ini merupakan perusahaanperusahaan yang berganti-ganti akibat kehebatan dan keunggulannya dalam berproduksi dan penggunaan teknologinya. Berarti peningkatan tingkat konsentrasi sebenarnya juga bisa membuat struktur pasar menciptakan adanya persaingan di dalam industri tersebut. Penulis beranggapan tingkat konsentrasi yang tinggi bukan berarti tingkat kompetisi antara pesaing hilang selama tidak ada hambatan masuk.
307
Oleh sebab itu, jika tingkat yang semakin tinggi mendorong terciptanya iklim persaingan di industri kelapa sawit, maka seharusnya keuntungan yang dirasakan akan menurun seiring peningkatan tingkat konsentrasi tersebut akibat adanya persaingan. Selain itu, kondisi ini akan membuat pasar menjadi lebih seimbang akibat menurunnya kecenderungan monopoli. Namun, berhubung industri kelapa sawit menunjukkan adanya arah yang positif antara PCM dengan CR4, maka perilaku yang diduga kuat terdapat perilaku kolusi di dalam negeri adalah benar yaitu pada tingkat pembeli (buyers market) di antara para pesaing di industri ini.
9.1.4. Industri Hilir dan Diferensiasi Produk Menurut penulis, kinerja industri kelapa sawit Indonesia dapat lebih tinggi lagi. Indonesia termasuk pemasok CPO terbesar di dunia. Di sisi Industri hulu, Indonesia bisa menciptakan produksi kelapa sawit dengan jumlah yang beragam dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, perluasan lahan yang dilakukan Indonesia serta peningkatan jumlah produksi menunjukkan adanya pengembangan di sektor hulunya. Namun, tidak diikuti dengan sektor hilir yang tidak mengalami perkembangan yang nyata. Sebagian besar CPO domestik, yaitu sebesar 79% digunakan untuk industri minyak goreng. Sedangkan Indonesia mengekspor sebagian besar volume CPOnya ke pasar internasional. Seharusnya, Indonesia mengembangkan industri hilirnya juga agar dapat menciptakan nilai tambah dari CPO yang dihasilkan di sektor hulu. Untuk lebih jelas dapat dilihat perbandingan nilai ekspor minyak sawit Malaysia dan produk turunannya dengan nilai ekspor
308
Minyak sawit dan produk turunan Indonesia pada Gambar 21 dan Gambar 22.
- Ekspor CPO $ USD ribu
Gambar 21. Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Produk turunan Indonesia Tahun 1990-2007 dalam $ USD ribu. Dari Grafik 20
dapat dilihat bahwa nilai ekspor minyak sawit dan
produk turunan Indonesia dari tahun 1980 terus menunjukkan kenaikan dari $ USD 2 540 juta menjadi nilai ekspor $ USD 9 045 juta pada tahun 2007. Sebagai pembanding, nilai ekspor minyak sawit dan produk turunan sawit Malaysia lebih dari dua kali lipat dari nilai ekspor minyak sawit dan produk turunan sawit Indonesia yaitu $ USD 3.2 juta pada tahun 1997 naik menjadi $ USD 21.1 juta pada tahun 2008.
309
- Ekspor CPO $ USD ribu
Gambar 22. Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Produk turunan Malaysia Tahun 1990-2007 dalam $ USD ribu.
Menurut teori ekonomi industri oleh Martin, (1993), keuntungan bisa ditingkatkan dengan melakukan diferensiasi produk. Oleh sebab itu, seharusnya penggunaan CPO tidak hanya digunakan untuk minyak goreng. Namun lebih dikembangkan lagi ke sektor lain, seperti sabun, biofuel, kosmetik, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Malaysia, negara ini tidak sepenuhnya mengekspor hasil CPO ke luar negeri, melainkan sebagian besar diolah menjadi bahan jadi untuk kebutuhan domestik maupun untuk diekspor. Sehingga, hal ini jugalah yang membuat Malaysia tidak mengalami gejolak harga minyak goreng dalam negerinya seperti apa yang dialami oleh Indonesia.
310
Malaysia dalam mengembangkan industri hilirnya dengan mengolah produk
hulunya
menjadi
bernilai
tinggi,
membuat
negeri
jiran
ini
meningkatkan keuntungan industri kelapa sawitnya. Selain itu, tingkat produksi real Malaysia bisa tetap lebih tinggi ketimbang Indonesia yang memiliki lahan lebih melimpah dan tenaga kerja yang banyak adalah tingkat produktivitas Malaysia yang berjumlah 3,21 ton/tahun dengan 422 pabrik pengolahan. Sedangkan Indonesia tingkat produktivitasnya hanya sebesar 2,5 ton CPO/tahun dengan 323 pabrik pengolahan. Perbedaan itu juga yang membuat Malaysia dapat menggunakan 87% kapasitas terpasang pabrik yang mencapai 86 juta ton TBS/tahun, sedangkan Indonesia 65 ton TBS/tahun.
9.2.
Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia Banyak
Penulis
di
Indonesia
berpendapat
bahwa
pola
fikir
pengembangan industri sawit di Indonesia adalah menganut pemikiran NewHarvard Tradition dari Carlton dan Perlof (2001), dimana ada dua pendekatan model dalam studi pasar; pertama,
pendekatan struktur,
perilaku dan kinerja (structure, conduct and performance-SCP), model ini biasa digunakan untuk mendeskripsikan pasar. Pendekatan model SCP New-Harvard Tradition, dimana masingmasing komponen saling berinteraktif, misalnya kinerja pasar tergantung pada perilaku pasar, perilaku tergantung pada struktur pasar yaitu faktor yang menentukan persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada kondisi dasar yaitu permintaan dan produksi meliputi elastisitas permintaan,
311
barang pengganti, musim, tingkat pertumbuhan ekonomi, lokasi, jumlah order, metode perbelanjaan dan teknologi, bahan baku, keseragaman produk, ketahanan barang, Sebaliknya
kondisi
dasar
lokasi,
skala ekonomi dan skop ekonomi.
mempengaruhi
struktur
pasar,
struktur
mempangaruhi perilaku dan perilaku mempengaruhi kinerja,
ketiga
komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Lebih lanjut menurut Carlton dan Perlof (2000), ketiga komponen yaitu struktur, perilaku, kinerja dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan atau menurunkan kesejahteraan produsen dan konsumen. Beberapa tindakan pemerintah berkaitan dengan aturan (regulation) yaitu;
anti monopoli,
pembatasan masuk atau keluar pasar, pemberlakuan pajak atau subsidi, insentif investasi,
insentif tenaga kerja dan kebijakan ekonomi makro.
Menurut Gambar 16. Menurut penulis, paradigma SCP dari Carlton dan Perlof (2000) dari mazhab New Harvard Tradition memiliki kelemahan untuk diterapkan pada Industri Sawit di Indonesia,
terutama adanya dominasi luas perkebunan
rakyat yang semakin besar pada akhir-akhir ini. Pada tahun 2009 luas kebun rakyat telah mencapai 3,3 juta Ha (47%) dari luas total kebun sawit Indonesia. Perkebunan rakyat memerlukan bimbingan dan pengelolaan dari pemerintah Indonesia agar memenuhi syarat dalam perdagangan global, memenuhi syarat mutu kesehatan konsumen, ramah lingkungan, jika tidak, Industri Sawit Indonesia hanya sebagai pemasok bahan baku CPO yang memiliki nilai tambah yang rendah pada Industri di negara lain.
312
9.3.
Strategi Pengembangan Teknologi Pengembangan teknologi pada industri sawit Indonesia disponsori
oleh Pemerintah, Perusahaan Swasta, Balai Besar Penelitian Sawit dan beberapa Perguruan Tinggi dan Balai Penelitian milik Perusahaan Swasta. Semua badan penelitian bekerja sendiri-sendiri dan belum terkoordinir dengan baik, hal yang sangat penting yang terabaikan selama ini adalah sistem insentif yang tidak mendorong peneliti dan ilmuwan meneliti dengan baik sehingga banyak dari hasil penelitian hanya sebagai pajangan pada perpustakaan di masing-masing instansi, dan diperlukan pengembangan sistem baru agar teknologi dapat benar-benar berkembang menjadi syarat dasar dalam menjawab tantangan perdagangan global dimasa datang. Di sisi lain, ada puluhan ribu sarjana yang menuntut ilmu dan menjadi ahli diberbagai bidang teknologi yang bekerja di nagara maju dan tidak bersedia kembali ke Indonesia untuk mengembangkan teknologi karena tidak ada jaminan kehidupan yang layak dan penghargaan terhadap mereka, semestinya ada satu badan pengelola yang diprakarsai pemerintah yang mampu menghimpun peneliti dan hasil penelitian untuk mengebangkan teknologi dengan memberi sistem insentif yang layak, dan penghargaan bagi para ahli dibidang teknologi pengembangan industri sawit di Indonesia. Bercermin pada keberhasilan pengembangan teknologi di industri Kelapa Sawit Malaysia (PORIM), Badan Minyak Sawit Malaysia (MPOB), dimana peneliti secara keseluruhan mendapatkan nilai insentif sebesar RM 13 per
ton ekspor sawit Malaysia ke luar negeri, dan juga masing-
masing perusahaan melakukan pengembangan teknologi, manajemen
313
profesional,
upaya peningkatan kesejahteraan petani,
mekanisasi
pertanian, teknologi bidang pemupukan, mekanisasi pemanenan dan bidang lain dari usaha tani kelapa sawit. Penerapan teknologi moderen semakin diperluas pada berbagai bidang seperti pada prosesing, pengilangan minyak sawit, penyimpanan dan pemasaran dan pada proses produksi pertanian, penyediaan data, tehnik mesin, keamanan usaha, riset dan penyuluhan.