EVALUASI KEBIJAKAN PEMBERIAN INSENTIF PAJAK PENGHASILAN PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA Pretty Wulandari, Titi Muswati Putranti Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Abstract This research discusses the income tax incentives to investments in palm oil processing industry. This study is a qualitative research. The research concludes that the background providing incentives tax in order to encourage increased investment for the downsteram of palm oil processing industry. A number of obstacles ranging from business considerations and factors tax or other causes of non-tax Income Tax facilities are not attractive to investors. Researchers gave recommendations that facility income tax is more effective and applicable, such as decrease the threshold value of investment, retaining the CPO export tax rate, improvement infrastructure, and ease of land acquisition and licensing. Keywords: Palm Oil Processing Industry, Income Tax Incentives, Policy Evaluation, Investment.
Pendahuluan Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit peringkat pertama di dunia juga menghasilkan kelapa sawit yang berbentuk minyak mentah sawit (Crude Palm Oil & Crude Palm Kernel Oil) yang terbesar di dunia. Tidaklah heran, jika kelapa sawit pun menjadi salah satu primadona tanaman perkebunan yang berperan sebagai salah satu penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Industri kelapa sawit merupakan industri yang berbasis kepada sumber daya alam. CPO dan CPKO di Indonesia telah menghasilkan produksi lebih dari 25 juta ton pada tahun 2011, sementara pada tahun 2012 Indonesia menghasilkan sekitar 29,4juta ton yang terdiri dari Produksi CPO (Crude Palm Oil) sekitar 25,8 Juta Ton dan CPKO (Crude Palm Kernel Oil) sekitar 3,6 Juta ton, dan pada tahun 2020 ditargetkan agar produksi minyak sawit akan mencapai 40 juta ton. Produksi Crude Palm Oil (CPO) yang telah membawa Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia Pertumbuhan penggunaan minyak sawit mentah (CPO) dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya tren pemanfaatan CPO yang selama ini digunakan oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku industri turunan CPO yang antara lain industri pangan (antara lain minyak goreng, margarin, shortening, 1
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
CBS, Vegetable Ghee) dan industri non pangan yaitu oleokimia (antara lain fatty acids, fatty alcohol, dan glycerin) dan biodiesel serta pharmasi (kosmetik). Kurangnya pemanfaatan CPO di dalam negeri jika dibandingkan dengan lebih banyaknya jumlah CPO yang diekspor, dikarenakan sub sektor perkebunan menghadapi permasalahan dengan pengolahan hasil, dimana produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Saat ini, nilai tambah tersebut banyak dinikmati oleh industri pengolahan hasil (industri hilir) yang berada di luar negeri. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Ekspor produk mentah CPO dan CPKO mengakibatkan nilai tambah produk hilir kelapa sawit dinikmati oleh negara tujuan ekspor antara lain China, India, Uni Eropa, dan Malaysia. Hal tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri kelapa sawit secara terintegratif atau biasa disebut dengan agro industri agar CPO tidak semata-mata diekpor ke negara lain dan bisa diolah di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008, tentang Kebijakan Industri Nasional, industri pengolahan kelapa sawit (turunan MSM) merupakan salah satu prioritas untuk dikembangkan dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi, Tabel 1.1 Peraturan Pendukung Hilirisasi Industri Periode
Kegiatan/Peraturan Pendukung Hilirisasi Industri
Awal tahun 2010
Penerbitan Permenperin Nomor 13 /2010 tentang Roadmap Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit Nasional Pertengahan Pencanangan Lokus Klaster IHKS di 3 (Tiga) Daerah yaitu Sumatera Utara, tahun 2010 Riau, dan Kaltim oleh Menko Perekonomian dan Menperin September 2010 Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/2011 Tentang Restrukturisasi Bea Keluar CPO dan Produk Turunannya dan disempurnakan melalui PMK 75/2012. Akhir 2011 Penerbitan PMK 130/2011 tentang Tax Holiday dan PP 52 tahun 2011 tentang Tax Allowance; untuk bidang usaha Industri Hilir Kelapa Sawit. Sumber: Kementerian Perindustrian
Seperti yang telah dipaparkan dalam tabel 1.2 bahwa pada akhir 2011, maka pemerintah Indonesia diwakili dengan Kementerian Keuangan mengeluarkan suatu kebijakan untuk menarik lebih banyak investasi ke sektor industri pengolahan hasil perkebunan, terutama industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia, yaitu diterbitkannya peraturan mengenai fasilitas pajak penghasilan. Pemberian insentif pajak kepada investor 2
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
dilakukan dengan argumen bahwa negara hanya akan menderita sedikit kerugian dalam jangka pendek akibat berkurangnya pendapatan Negara dari penerimaan pajak, namun negara akan mendapatkan keuntungan besar dalam jangka panjang. Pemberian insentif pajak bertujuan untuk menarik para investor baik investor lokal maupun asing agar mau menanamkan modalnya pada sektor industri pengolahan kelapa sawit. Investasi tersebut diharapkan menjadi langkah awal dalam mendorong pengembangan industri turunan kelapa sawit menjadi sektor perekonomian yang mandiri, tangguh, handal, berkelanjutan, serta mampu merebut peluang pasar domestik yang terus tumbuh, tercipta hilirisasi produk kelapa sawit dan mendorong agar diperoleh devisa bagi negara dan mengurangi impor produk olahan kelapa sawit. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan panduan bagi penanam modal dalam negeri maupun asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kebijakan fasilitas perpajakan bagi penanaman modal juga telah diatur dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia yaitu pada Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan pada penanaman modal di bidang usaha tertentu atau di daerah tertentu. Bidang usaha tertentu atau daerah tertentu yang mendapat insentif pajak berupa fasilitas PPh kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu atau di Daerah Tertentu; Peraturan Pemerintah PP Nomor 62 Tahun 2008 tentang “Perubahan Pertama atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007”; dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang “Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007” yang diterbitkan pada tanggal 22 Desember 2011. Tabel 1.2 Peraturan Insentif Pajak Penghasilan Pada Industri Penggolahan Kelapa Sawit Tax Holiday PMK No. 130/PMK.011/ 2011
Tax Allowance PP No. 1 tahun 2007
Bidang Usaha Tertentu (Lampiran I): Industri Kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian : Industri Oleokimia, Industri Bioenergi, Industri Biotube
PP No. 62 tahun 2008
Bidang Usaha Tertentu (Lampiran I): Industri Kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian : Industri Oleokimia, Industri Bioenergi, Industri Biotube
3
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
(sambungan) Bidang Usaha Tertentu Dan Daerah Tertentu (Lampiran II): Industri Pangan: 1. Industri Margarin 2. Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit 3. Industri Minyak Makan dan Lemak Nabati Hewani Lainnya Industri Non-pangan: Industri Kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian : Industri Oleokimia, Industri Bioenergi, Industri Biotube
PP No. 52 tahun 2011
Sumber: diolah sendiri oleh peneliti
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011, pemerintah memperluas sektor usaha yang dapat memperoleh fasilitas PPh, dari sebelumnya hanya 38 sektor usaha menjadi 129 sektor. Sektor industri pengolahan kelapa sawit pun juga mendapatkan perluasan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tersebut sektor industri pengolahan kelapa sawit mendapatkan penambahan bidang usaha yang masuk ke dalam daftar penerima fasilitas pajak penghasilan (Tax Allowance) ini, yaitu bidang usaha industri margarine, industri minyak goreng kelapa sawit, dan industri minyak makan dan lemak nabati dan hewani lainnya. Selain itu, industri pengolahan kelapa sawit juga termasuk ke dalam salah satu industri pionir yang tertera di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday). Industri pengolahan kelapa sawit masuk ke dalam industri bidang sumberdaya terbarukan. Sehingga industri pengolahan kelapa sawit berhak menikmati Tax Holiday ataupun Tax Allowance apabila telah memenuhi kriteria. Di sisi pemerintah, tentu ingin agar investor industri pengolahan kelapa sawit untuk berinvestasi dan dapat memanfaatkan fasilitas PPh tersebut. Namun, menurut Bambang Dradjat selaku peneliti di GAPKI di sisi pelaku usaha, adanya fasilitas PPh tersebut cukup menarik, namun banyaknya
kriteria
yang
harus
dipenuhi
membuat
banyak
investor
yang
mempertimbangkannya kembali. Perlu dipahami bahwa kebijakan fiskal dibuat tidak hanya mengenai penerimaan negara, namun juga untuk menjamin dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, menjaga kestabilan ekonomi, mendorong investasi dan memperluas kesempatan kerja dengan menggunakan instrument perpajakan. Berdasarkan latar belakang yang telah 4
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
diuraikan sebelumnya, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah latar belakang pemberian insentif pajak penghasilan kepada penanaman modal bidang usaha industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia? 2) Apa sajakah faktor penghambat dalam pemberian insentif pajak penghasilan yang dapat meningkatkan pengembangan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia? 3) Bagaimanakah alternatif kebijakan insentif pajak penghasilan pada industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia? Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan latar belakang pemerintah atas pemberian insentif PPh pada penanaman modal di bidang usaha industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia, mendeskripsikan faktor penghambat yang didapatkan oleh investor maupun pemerintah dari adanya pemberian insentif PPh yang dapat meningkatkan pengembangan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia dan mendeskripsikan rekomendasi atas kebijakan pemberian insentif PPh kepada industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia Tinjauan Teoritis Evaluasi Kebijakan Publik. Menurut Anderson seperti yang dikutip Winarno secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan dampak (Winarno, 2007, h. 226). Untuk menjalankan tugas tersebut, suatu evaluasi kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan, yakni spesifikasi (specification), pengukuran (measurement), analisis, dan rekomendasi. Kegiatan spesifikasi meliputi identifikasi tujuan atau kriteria seperti apa kebijakan tersebut akan dievaluasi. Kriteria-kriteria inilah yang dipakai untuk menilai manfaat program kebijakan, pengukuran menyangkut aktivitas pengumpulan informasi yang relevan untuk objek evaluasi, penggunaan informasi yang telah terkumpul kemudian digunakan sebagai bahan analisis dalam menyusun kesimpulan. Pada akhirnya, dapat membuat suatu rekomendasi mengenai apa yang harus dilakukan di masa yang akan datang (Winarno, 2007, h. 227). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa arti penting evaluasi dalam kebijakan publik ialah untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan dalam meraih dampak yang diinginkan sehingga hal tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan di masa yang akan datang.
5
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Pajak Penghasilan. Dalam hal pengklasifikasiannya pajak penghasilan di Indonesia tergolong sebagai pajak subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan keadaan Wajib Pajak oleh karena itu dalam menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya atau yang disebut dengan istilah gaya pikul (ability to pay). Besarnya gaya pikul (ability to pay) seseorang tidak hanya berdasarkan faktor penghasilan, konsumsi atau kekayaan, tetapi juga oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, seperti status Wajib Pajak (lajang atau kawin) atau jumlah tanggungan Wajib Pajak (Brotodiharjo, 1993, h. 74). Sementara itu, Nurmantu, mengelompokkan penghasilan ke dalam empat kelompok, yaitu: 1) Penghasilan dari pekerjaan atau employment income yang dapat dibedakan lagi antara labour income yakni penghasilan yang diterima atau diperoleh karyawan atau buruh seperti gaji dan upah dan professional income yakni penghasilan yang diterima atau diperoleh kaum profesional seperti dokter, konsultan, ahli hukum, konsultan seperti honorarium dan fee. 2) Penghasilan yang berasal dari usaha atau business income, misalnya penghasilan dari suatu usaha rumah tangga, dari perseroan dan bentuk usaha lainnya. 3) Penghasilan yang berasal dari modal atau capital income misalnya menerima atau memperoleh bunga, dividen, royalti dan sewa. 4) Penghasilan lain-lain atau other income misalnya menerima hadiah, penghargaan (Nurmantu, 2005, h. 117). Insentif Pajak. Pemberian insentif pajak merupakan suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu pilihan dalam merumuskan kebijakan tersebut harus dipertimbangkan dengan bijak. Segi positif adanya insentif pajak adalah kemampuan insentif pajak sebagai perangsang terhadap investor untuk menanamkan modal sehingga dengan banyaknya investasi yang masuk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat (Easson, 2004, h. 64). Menurut Thuronyi, jenis insentif pajak secara umum adalah: tax holiday, investment allowance and tax credit, timing differences, dan reduced tax rates (Thuronyi, 1998, h. 4): 1) Tax Holiday. insentif pajak yang diberikan melalui pembebasan dari PPh Badan dan/atau pengurangan tarif pajak atas CIT, dengan diberikan dalam periode waktu yang terbatas dan hanya untuk perusahaan yang baru didirikan. 2) Investment Allowance. bentuk insentif pajak yang didasarkan pada besarnya investasi. Tax allowance berarti mengurangi penghasilan kena pajak perusahaan, sedangkan Tax Credit secara langsung mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
6
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
3) Accelerated Depreciation (Timing Differences). Bentuk umumnya adalah penyusutan dibebankan dalam periode waktu yang lebih pendek dari umur ekonomis aktif tersebut atau melalui pembebanan khusus di periode khusus di periode pertama. 4) Reduced Tax Rates. Umum diterapkan atas penghasilan dari sumber tertentu atau kepada perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu. Seringkali dalam membuat definisi atas penghasilan dan perusahaan tertentu yang berhak mendapatkan insentif menimbulkan peluang untuk dimanipulasi.Untuk mencegah dimanipulasi. Biasanya dibuat aturan hukum yang ketat, sehingga justru mengurangi efektifitas dari insentif tersebut (Chua, 1995, h. 167). Investasi Menurut Fitzgerald seperti yang dikutip oleh Salim dan Sutrisno mengartikan investasi adalah “Aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa yang akan datang” (Salim dan Sutrisno, 2008, h. 32). Menurut Easson, penanaman modal tidak langsung adalah penanaman modal yang berbentuk kepemilikan sekuritas seperti saham dan obligasi dan bersifat pasif. Sedangkan, investasi langsung menurut Easson memiliki ciri yang bertolak belakang, yaitu merupakan investasi yang bersifat aktif dan ikut serta secara langsung dalam kegiatan bisnis yang dijalankan. Penanaman modal langsung dapat dibedakan berdasarkan sumber pembiayaan (modalnya), penanaman modal langsung dalam negeri atau dikenal dengan istilah domestic foreign investment (DDI) dan penanaman modal langsung asing atau dikenal dengan istilah foreign direct investment (FDI) (Easson, 2004, h. 9). Investor asing seringkali menganggap pajak bukanlah pertimbangan utama dalam keputusan berinvestasi. Karena faktor lain seperti kebijakan makro ekonomi dan fiskal yang konsekuen dan stabil, kestabilan politik yang terjaga, Aspek fisik, keuangan, infrastruktur hukum dan kelembagaan yang memadai, Efektif, administrasi publik yang transparan dan akuntabel dan faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan investor (Easson dan Zolt, 2002, h. 9). Namun, pengusaha memberi catatan bahwa dalam memilih antara negara-negara di wilayah atau regional yang sama, maka pajak dapat menjadi suatu pertimbangan penting.
7
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Metode Penelitian Teknik Pengumpulan Data. Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini termasuk kedalam penelitian kualitatif dengan menggunakan studi lapangan (Field Research) dan studi kepustakaan (Library Research) sebagai instrumen pengumpulan
data. Dalam memperoleh data peneliti melakukan studi lapangan dimana peneliti mengamati langsung subjek dan objek yang diteliti. Selain mengamati peneliti juga melakukan interaksi langsung dengan melakukan wawancara mendalam (in depth interview) kepada pihak-pihak yang kompeten dalam bidangnya termasuk pihak yang mengetahui kondisi lapangan secara langsung guna mendapatkan data primer. Dalam wawancara menggunakan pedoman wawancara kemudian peneliti mengajukan pertanyaan terbuka yang akan dikembangkan saat proses wawancara berlangsung, dan informan bebas menjawab sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Sedangkan studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder sebagai penunjang data primer yang diperoleh dari proses wawancara mendalam. Studi kepustakaan dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi melalui buku, penelusuran data di internet, penelitian-penelitian terdahulu, perundang-undangan dan literatur lainnya. Teknik Analisis Data. Teknik analisis data digunakan untuk mengolah data yang ditemukan peneliti pada saat penelitian yang kemudian dapat disimpulkan dalam suatu hasil penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif. Data yang diperoleh penulis dari hasil wawancara mendalam dan informasiinformasi yang ditemukan dilapangan akan menjadi dasar penulis dalam menganalisis penelitian ini. Namun peneliti akan mereduksi data yang diperoleh baik dari lapangan maupun dari literatur, sehingga hanya data yang berkaitan dengan penelitian yang digunakan Informan Penelitian. Informan atau narasumber yang peneliti wawancarai dalam penelitian ini antara lain Kepala Bidang Penerimaan dan Pengeluaran Negara, Deputi Urusan Fiskal Kemenko Perekonomian, Kepala Sub Bidang Evaluasi Penerimaan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Kebijakan Fiskal, Staff Direktorat Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Bidang Stadarisasi dan Teknologi Direktorat IHHP Kementerian Perindustrian, Kepala Seksi Pertanian, Peternakan, Perkebunan Pariwisata dan Prasarana, Sub Direktorat Fasilitas Sektor Primer dan Tersier,
8
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Direktorat Pelayanan Fasilitas Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal, Akademisi, dan Peneliti di Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pertimbangan Pemerintah dalam Pemberian Insentif Fiskal Berdasarkan Kebijakan Industri Nasional sesuai Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 dan Roadmap Pengembangan Klaster Industri Prioritas, bahwa perlunya insentif fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan investasi yang sehat dan berdaya saing di Indonesia. Dalam rangka mendorong peningkatan investasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan khususnya di bidang ekonomi diantaranya dengan mengeluarkan kebijakan mengenai penanaman modal seperti yang tertera pada UU No. 25 Tahun 2007. Namun, sebelum pemerintah menetapkan bentuk kebijakan pemberian insentif fiskal bagi penanaman modal, pemerintah terlebih dahulu menetapkan arah kebijakan dasar penanaman modal yang ketentuannya diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal. RUPM telah mengatur kerangka logis pemberian insentif fiskal, yang dijelaskan lebih lanjut pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Logis Pemberian Insentif Fiskal Sumber :Badan Koordinasi Penanaman Modal
9
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Berdasarkan gambar 4.1, pemberian insentif fiskal bagi penanaman modal didasarkan antara lain pada pertimbangan eksternal dan internal, kriteria kegiatan penanaman modal, dan kriteria klasifikasi wilayah, yang nantinya akan menghasilkan prinsip dasar pengajuan, dan membentuk pola umum pemberian insentif. Kerangka logis penetapan, pemberian fasilitas dan kemudahan insentif terdapat pada lampiran Perpres No. 16 Tahun 2012. Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah terutama lembaga dan sektor terkait dengan investasi, untuk memberikan insentif fiskal melalui fasilitas perpajakan. Insentif fiskal diberikan terutama pada kegiatan penanaman modal yang berlokasi di wilayah tertinggal dan sedang berkembang agar terjadi persebaran dan pemerataan penanaman modal di seluruh Indonesia.. Dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dikatakan bahwa selama ini Pulau Jawa masih menjadi wilayah tertinggi dalam penyerapan modal. Pulau Jawa menyerap realisasi investasi sebesar 53,3% dari total investasi PMA-PMDN yakni sekitar Rp 123 Triliun selama periode Januari-September 2012. Oleh karena itu, insentif fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan ini didorong untuk diberikan kepada bidang-bidang usaha tertentu yang dianggap strategis dan untuk diberikan kepada daerah-daerah tertentu untuk mendorong kemajuan dan pengembangan daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Insentif fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan yang diberikan dapat berbentuk Tax Holiday maupun Tax Allowance. Berdasarkan kerangka logis pemberian insentif pajak yang tertera pada Gambar 4.1, industri pengolahan kelapa sawit secara sektor dan proyek memang berhak memanfaatkan kedua fasilitas perpajakan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah menyediakan dua pilihan fasilitas PPh Badan berupa Tax Holiday dan Tax Allowance, yang masing-masing diatur dalam PMK 130/2011 dan PP 52/2011. Namun, pemilihan insentif PPh untuk dipilih antara Tax Holiday dan Tax Allowance didasarkan pada beberapa pertimbangan dari adanya kebijakan insentif PPh tersebut. Latar Belakang Pemilihan Industri Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Penerima Insentif Pajak Penghasilan Adanya penambahan sektor bidang-bidang usaha dan daerah-daerah tertentu tersebut mengikut kebutuhan pengembangan investasi dan harus dikembangkan mengikuti kondisi industri-industri di Indonesia.
10
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Latar belakang dari penentuan daerah-daerah yang ditentukan pada lampiran II di PP Nomor 1 Tahun 2007 yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 62 Tahun 2008, yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 52 Tahun 2011 adalah disesuaikan dengan daerah yang sesuai dengan perkembangan atau habitat bahan baku dari bidang-bidang usaha yang ditetapkan. Latar belakang pemerintah melakukan hal ini dikarenakan investor lebih tertarik menanamkan modal di Pulau Jawa dikarenakan sudah maju dan berkembangnya infrastruktur di Pulau Jawa jika dibandingkan dengan infrastruktur, sarana dan prasarana di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, pemilihan adanya kebijakan pemberian insentif pajak penghasilan pada penanaman modal bidang industri pengolahan kelapa sawit haruslah lebih didorong untuk pengembangan daerah-daerah tertentu tersebut. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di Indonesia merupakan salah satu jawaban dalam rangka meningkatkan nilai tambah produksi kelapa sawit bagi perekonomian daerah/nasional, dan mengurangi dampak gejolak harga Crude Palm Oil (CPO) terhadap kegiatan perkebunan sawit (khususnya pendapatan petani), mengingat barang-barang
hasil
industri
hilir
diperkirakan
tidak
akan
mengalami
peningkatan/penurunan yang tajam seperti Crude Palm Oil (CPO). Hambatan dalam Pemberian Insentif Fiskal bagi Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia Pemberian insentif pajak penghasilan merupakan suatu kebijakan pemerintah yang tentunya bertujuan baik, yaitu agar dapat menarik minat investor dalam melakukan penanaman modal di sektor industri pengolahan kelapa sawit. Namun, pada kenyataannya di lapangan dijumpai hambatan-hambatan bagi pengembangan usaha industri pengolahan kelapa sawit. Hambatan-hambatan yang dijumpai dapat berupa hambatan dari segi ekonomi seperti masalah daya saing, lebih rendahnya margin industri pengolahan (hilir) dibandingkan dengan industri hulu, hambatan non-fiskal seperti infrastruktur pendukung di KEK Sei Mangkei belum tersedia dengan baik, integrasi rantai nilai industri hulu-hilir belum dirasakan, kecendrungan mengekspor bahan baku karena kontrak internasional, belum tersedianya lembaga koordinasi formal klaster IHKS, ketergantungan pada lisensi teknologi dari luar negeri dan kampanye negatif minyak sawit maupun adanya hambatan dari segi fiskal. Dari sisi pelaku usaha dalam hal ini yaitu asosiasi (GAPKI), dikatakan bahwa hambatan dari segi fiskal adalah tingginya threshold dan rumitnya proses administrasi 11
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
dan persyaratan merupakan hambatan yang dirasakan pengusaha. Adanya permasalahan administrasi dan persyaratan memang juga diakui pemerintah sebagai suatu hambatan dalam pemberian insentif pajak penghasilan pada industri pengolahan kelapa sawit. Namun pemerintah pun menganggap bahwa pemberian insentif pajak penghasilan memanglah harus selektif. Jadi harus ada timbal balik pula yang didapatkan oleh pemerintah, seperti misalnya investor yang berhak mendapatkan insentif fiskal adalah perusahaan yang mampu membangun infrastruktur di wilayah daerah lokasi investasi perusahaannya. Tujuannya adalah agar daerah disekelilingnya dapat ikut berkembang dan maju. Analisis Evaluasi Kebijakan Pemberian Insentif PPh untuk Industri Pengolahan Kelapa Sawit. Hasil dari evaluasi PP No 1 tahun 2007 bahwa sebagian besar dari 52 perusahaan yang mendapatkan fasilitas pajak penghasilan ini masih berlokasi di Pulau Jawa, selain itu mereka juga hanya melakukan pengembangan usaha semata, bukan membuka usaha baru. Menurut Kepala BKPM Muhammad Lutfi bahwa lokasi perusahaan yang masih banyak di Pulau Jawa dikarenakan masih kurangnya infrastruktur di luar jawa. Sementara evaluasi pada PP No. 62 tahun 2008 yang dievaluasi selama periode 2 tahun semenjak peraturan ini berlaku, menurut Gunawan pribadi, Kabid Kebijakan Pajak dan PNBP IImu Badan kebijakan Fiskal dikatakan bahwa kecilnya jumlah pengusaha yang merespon kebijakan yang awalnya untuk menumbuhkan investasi baru. Hal ini dikarenakan bahwa minat pengusaha yang rendah karena prosedur untuk mendapatkan fasilitas tersebut harus melalui proses yang berbelit-belit, selain itu adanya ketentuan perusahaan harus diaudit dalam jangka waktu tertentu. Hal ini menyebabkan pengusaha mempunyai resiko yang cukup tinggi sebelum mendapatkan insentif pajak penghasilan. Untuk Evaluasi PP Nomor 52 Tahun 2011 juga dievaluasi selama periode 2 tahun semenjak peraturan berlaku. Berdasarkan informasi dari Pak Amar Yasir Mustofa dari Kemenko Perekonomian, bahwa PP Nomor 52 Tahun 2011 pada tahun ini sedang dalam proses evaluasi. Sementara untuk PMK Nomor 130 Tahun 2011 tentang Tax Holiday, peraturan ini berlaku sampai dengan 3 tahun semenjak peraturan ini berlaku. Pencapaian Hasil dari Pengembangan Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia
12
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Perindustrian, hasil-hasil yang dicapai terkait pengembangan industri pengolahan kelapa sawit dari mulai tahun 20042012: a) Utilisasi Industri Minyak Goreng/Refinery dalam negeri, pada tahun 2010 hanya sekitar 45% meningkat menjadi 70% pada awal tahun 2012; b) Meningkatnya Investasi di bidang industri hilir kelapa sawit dengan total komitmen investasi hingga tahun 2014 mencapai Rp. 20 Triliun; c) Pergeseran Kinerja Ekspor dari produk Mentah CPO menjadi Produk Hilir Minyak
Sawit;
Laporan
Perkembangan
Program
Kerja
Kementerian
Perindustrian 2004-2012 37 d) Groundbreaking proyek Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy sebagai Lokus Pengembangan Klaster IHKS di KalimantanTimur; e) Beroperasinya Pabrik PKO Mill kapasitas 400 Ton/hari dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Sawit 2x3,5 MW di Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumut; Selain itu, industri pengolahan merupakan penyumbang kontribusi lapangan usaha terbesar terhadap Produk Domestik Bruto yaitu diperkirakan tahun 2012 industri pengolahan akan mampu menyumbang sebesar 23,61%. Kemudian untuk perkembangan ekspor non migas sektor pengolahan kelapa sawit semenjak tahun 2007 hingga tahun 2012, produk dari industri ini terus mengalami peningkatan ekspor. Ekspor dari produk industri pengolahan kelapa sawit memegang andil besar dalam pendapatan dari segi ekspor, yaitu karena industri ini adalah penyumbang nilai ekspor terbesar di Indonesia dari mulai tahun 2009 hingga tahun 2012, dimana pada tahun 2012 sebesar US$ 23.369,9 juta. Berdasarkan data yang diterima dari Badan Koordinasi Modal, bahwa, semenjak diberlakukannya PP No. 1 Tahun 2007 hingga PP No. 52 tahun 2011, hanya pada tahun 2007 hingga tahun 2010 perusahaan industri pengolahan kelapa sawit yang mendapatkannya hanya terdapat 15 perusahaan yang mendapatkan Tax Allowance di bidang industri pengolahan kelapa sawit, tepatnya pada industri kimia dasar organik bersumber dari hasil pertanian. Namun ketika PP Nomor 52 Tahun 2011 berlaku, tidak ada satupun perusahaan industri pengolahan kelapa sawit yang mendapatkan insentif pajak penghasilan.
13
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Minat investor yang menginginkan untuk memperoleh insentif pajak penghasilan cukup tinggi. Namun alasan investor industri pengolahan kelapa sawit untuk menanamkan modal di sektor ini bukan semata-mata dikarenakan berlakunya PMK Nomor 130 Tahun 2011 dan PP Nomor 52 Tahun 2011, tapi lebih disebabkan adanya peninggian tarif bea keluar CPO di Indonesia sebesar 7,5%-22,5% yang diatur dalam PMK Nomor 75 tahun 2011 dari tarif sebelumnya sebesar 1,5%-25% yang diatur dalam PMK Nomor 67 tahun 2010. Tahap-Tahap Evaluasi Kebijakan Insentif PPh Pada saat ini pemerintah sedang melakukan tahap revisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011. Tahap revisi dan evaluasi peraturan tentang Tax Allowance dan Tax Holiday ini dilakukan dengan melibatkan stakeholder terkait. pada tahap pertama berawal dari adanya usulan dari Kementerian Teknis yang terkait. Selain itu lembaga atau asosiasi juga ikut dilibatkan dalam pemberian usulan. Dalam hal usulan terkait dengan industri pengolahan kelapa sawit, usulannya berasal dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kemudian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) bertindak selaku Sekertariat Tim Evaluasi, dimana Kemenko Perekonomian akan menampung usulan-usulan dari kementerian teknis, dan kemudian akan membentuk 3 (tiga) tim, yang disebut dengan Tim Evaluasi. Tim Evaluasi ini terdiri dari 3 sub tim, yaitu Tim Teknis, Tim Pelaksana, dan Rakor Menteri. Tim Teknis terdiri dari seluruh instansi terkait di tingkat Eselon II, misalnya jika di Kemenkeu adalah Direktur, di Kemenko Perekonomian adalah Asisten Deputi.Tim Pelaksana terdiri dari seluruh instansi pada tingkat Eselon I, misalnya jika di Kemenko Perekonomian adalah Deputi. Kemudian Tiap sub tim akan melakukan rapat untuk menilai usulan sesuai dengan kriteria penilaian. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Perekonomian RI, kriteria penilaian tersebut antara lain: 1) Merupakan industri prioritas tinggi dalam skala nasional (Pasal 31A UU 36/2008) 2) Investasi minimal Rp 50 milyar dengan teanga kerja minimal 300 orang atau minimal Rp 100 milyar dengan tenaga kerja minimal 100 orang, kecuali ditetapkan lain pada masing-masing Kalsifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dalam lampiran perubahan PP 3) Harus ada justifikasi yang mendukung bidang usaha yang diusulkan 14
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
4) Untuk sektor industri harus memenuhi salah satu dari 10 kriteria dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008 dan lampirannya. Selain kriteria diatas, terdapat pula kriteria tambahan yang antara lain: 1) Mendukung program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2) Menunjang pembangunan infrastruktur 3) Mendorong penggunaan energi baru dan energi terbarukan Tim Teknis akan melakukan rapat untuk membahas verifikasi suatu industri, justifikasi suatu industri dan akan dilihat apakah industri yang diusulkan tersebut sesuai dengan kriteria penilaian. Hasil Rapat Tim Teknis akan dibawa ke Rapat Tim Pelaksana, untuk dikaji dan dibahas lagi. Setelah itu, hasil dari Rapat Tim Pelaksana akan dibawa ke tingkat Rapat Koordinasi (Rakor) Menteri. Pada tingkat Rakor Menteri ini akan dikaji untuk menentukan usulan dan persetujuan suatu industri tersebut akan masuk kedalam Lampiran dan batang Tubuh PP di bagian mana. Dari tahap Rakor Menteri, hasilnya akan dibawa sebagai Draft RPP dan kemudian akan mendapatkan persetujuan dari Sekertariat Negara. Jadi dapat terlihat bahwa seluruh stakeholder dilibatkan dalam proses penyusunan revisi atau evaluasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun 2011. Rekomendasi Kebijakan Insentif PPh pada Penanaman Modal di Industri Pengolahan Kelapa Sawit Rekomendasi dari kebijakan insentif pajak penghasilan untuk industri pengolahan kelapa sawit adalah penurunan threshold atas nilai investasi terutama yang berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha bahwa, perlu adanya penurunan threshold bagi industri margarine atau industri minyak makan yang memang tidak memerlukan investasi sebesar itu. Janganlah sampai ada sektor yang masuk ke dalam daftar penerima fasilitas pajak penghasilan namun di kemudian hari tidak ada yang memanfaatkan akibat tingginya threshold tersebut. Menurut peneliti bahwa kebijakan insentif PPh yang diberikan masih dapat diperbaiki dengan beberapa hal sebagai dukungannya. Perbaikan-perbaikan yang dapat dilakukan terkait dengan pembangunan dan pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit ini, berdasarkan data Kemenperin, yaitu : 1) Kebutuhan Institusi Pendukung -
Pembangunan pusat pelatihan dan penelitian kelapa sawit di Riau ; 15
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
-
Peningkatan kapasitas riset kelapa sawit di beberapa perguruan tinggi di Provinsi Riau ;
-
Peningkatan kemampuan SDM di bidang industri hilir kelapa sawit ;
2) Kebutuhan Infrastruktur Dari kajian empiris yang ada, insentif pajak memang bukan faktor nomor satu, namun infrastruktur yang paling penting, sementara pajak hanya nomor 11 (BKPM). Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian, selama ini infrastruktur disediakan oleh pihak industri sendiri karena infrastruktur seperti listrik dan pelabuhan belum dapat dipenuhi pemerintah seluruhnya. Berdasarkan data Kemenperin, pemerintah dapat melakukan sebagai berikut: -
Pembangunan dan peningkatan jaringan jalan yang meliputi : jalan tol Pekanbaru– umai, jalan lingkar provinsi Riau, jalan negara lintas timur, jalan negara lintas timur barat ;
-
Pembangunan dan peningkatan pelabuhan laut utama yang meliputi : Dumai, Kuala Enok dan Dumai ;
-
Pembangunan jaringan kereta api meliputi jalur Dumai–Pekanbaru, Rantau Prapat Duri-Dumai, Pekanbaru-Rengat-Kuala Enok, Pekanbaru-Siak-Tanjung Buton, Pekanbaru-Bangkinang-Ujung Batu-Duri, Siak-Sungai Pakning-Dumai.
-
Mencukupi pasokan listrik dan PLN kepada daerah-daerah.
3) Pembebasan Lahan dan Perizinan Daerah 4) Kebutuhan Regulasi dan Insentif -
Konsistensi peraturan dan perundangan Pemerintah Pusat sebagai jaminan bagi investor;
-
Insentif untuk pendirian industri hilir sawit baru dan relokasi yang telah ada ke lokasi klaster ;
-
Memberikan kemudahan bagi investor untuk mendapatkan bahan baku pendukung industri hilir kelapa sawit melalui fleksibilitas tarif dan kemudahan impor ;
-
Mengefektifkan lembaga promosi dan tenaga pemasaran nuntuk meningkatkan pangsa pasar produk industri hilir kelapa sawit ke pasar internasional ;
-
Pengaturan kuota penggunaan CPO lingkup nasional dan PKS sebagai jaminan pasokan CPO bagi industri hilir kelapa sawit
-
Pembenahan birokrasi yang berbelit
-
Tax sparing dalam pemanfaatan Tax Holiday 16
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Hambatan seperti tax sparing tersebut memang seharusnya diatasi sendiri oleh pemerintah
karena
aturan
mengenai
tax
sparing
sebenarnya
harus
dinegosiasikan di perjanjian penghindaran pajak berganda antarnegara. Hal tersebut tidak mungkin diatur sendiri oleh investor. Namun, saat ini persyaratan Tax sparing sudah bukan lagi menjadi syarat mutlak sehingga saat ini investor dapat mengajukan pemanfaatan tanpat adanya ketentuan Tax sparing untuk sementara waktu sebelum dikeluarkannya revisi peraturan. 5) Kebutuhan Fasilitas Umum dan Settlement Facility Untuk mendukung pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit diperlukan pengembangan fasilitas umum dan Settlement Facility. Fasilitas umum yang perlu dikembangkan adalah pengolahan air bersih, penanganan limbah industri, rumah sakit, training center, lembaga promosi dan pemasaran bersama. Settlement Facility yang perlu dipersiapkan juga adalah pemukiman bagi tenaga kerja Industri Hilir Kelapa sawit di lokasi klaster. Simpulan dan Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan sesuai dengan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka simpulan yang diperoleh antara lain latar belakang pemberian fasilitas PPh ini ialah dalam rangka mendukung hilirisasi dan pengembangan industri baru, pemerintah ingin mendorong adanya investasi industri pengolahan kelapa sawit. Justifikasi pemerintah mengusulkan adanya penambahan 3 sektor bidang usaha industri pengolahan kelapa sawit sebagai bidang usaha yang layak diberikan fasilitas PPh karena bidang usaha ini merupakan bidang usaha prioritas tinggi, banyak menyerap tenaga kerja, serta dapat meningkatkan nilai tambah, sehingga mengurangi impor produk olahan kelapa sawit. Kemudian, hambatan dari segi non-fiskal seperti masalah daya saing dan infrastruktur. Hambatan dari sisi fiskal adalah rumitnya prosedur dan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi. Selain itu, tingginya threshold yang dirasakan bagi industri margarine dan minyak makan. Kemudian untuk rekomendasi, peneliti merekomendasikan agar kebiijakan fasilitas PPh menjadi lebih efektif dan aplikatif dan dapat dinikmati investor yaitu penurunan threshold atas nilai investasinya, pembenahan infrastruktur, pembenahan birokrasi yang berbelit belit, maupun kemudahan dalam pembebasan lahan dan perizinan daerah
17
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013
Saran yang diberikan antara lain agar kebijakan tersebut lebih efektif dan aplikatif, sebaiknya jangan berikan syarat yang terlalu tinggi, serta mudahkan prosedurnya serta tetap berlakukan disinsentif fiskal berupa peninggian tarif bea keluar. Kemudian untuk meningkatkan investasi usaha industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia selain memberikan insentif berupa fasilitas PPh, pemerintah mutlak perlu melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan non-pajak yang menghambat investasi tersebut. Selain itu, masalah kepastian hukum, kesulitan memperoleh pinjaman perbankan, kesulitan mencari lahan, birokrasi perizinan usaha yang tidak efisien, buruknya infrastruktur, serta sarana transportasi selama ini tidak memadai lebih diperhatikan dan dipermudah agar dapat menarik investor. Kepustakaan Buku : Brotodihardjo, R. Santoso. (1991). Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung: PT Eresco Chua, Dale. (1995). Tax Policy Handbook,edited by Parthasarathi Shome. Washington DC : IMF Easson, Alex. (2004). Tax Incentives for Foreign Direct Investment. The Hague: Kluwer Law International Nurmantu, Safri. (2003). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit 2003 Thuronyi, Victor. (1998). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: IMF Salim, HS dan Budi Sutrisno.(2008). Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Well, Jr., Louis T, et al. (2001). Using Tax Incentives to Compete for Foreign Investment (Are They Worth the Cost?). Washington DC: The International Financial Corporation and the World Bank. Winarno, Budi. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo Makalah, seminar, konferensi, dan sejenisnya : Direktorat Industri Hasil Hutan Dan Perkebunan. (2013, Februari 7-9). Rapat Koordinasi Dan Sinkronisasi Penyusunan Program Dan Kebijakan Pengembangan Industri Agro, . http://agro.kemenperin.go.id/media/download/389/rakor_IHHP_hotel_sala k.pdf .
18
Evaluasi kebijakan..., Pretty Wulandari, FISIP UI, 2013