DISAIN KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK ATAS INDUSTRI LOW COST & GREEN CAR (LCGC) DI INDONESIA Penulis Pertama Penulis Kedua Program Studi
: Lusi Khairani Putri : Gunadi : Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK
Penelitian ini membahas disain kebijakan insentif pajak atas industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia dengan latar belakang penelitian berupa tingginya konsumsi energi dan Emisi Gas Rumah Kaca oleh sektor transportasi. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan, yaitu bentuk kebijakan insentif pajak yang dibutuhkan untuk mendorong industri LCGC di Indonesia dan manfaat yang akan diperoleh dengan diberikannya insentif pajak atas industri LCGC. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah kebijakan insentif pajak berupa pembebasan Bea Masuk dan PPN atas importasi Incompletely Knocked Down (IKD) komponen LCGC akan menurunkan biaya produksi LCGC. Selain itu, insentif pajak berupa pembebasan PPnBM atas penyerahan LCGC akan menurunkan harga jual LCGC sehingga mampu terjangkau oleh daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Peningkatan daya beli masyarakat ini akan meningkatkan permintaan yang berdampak pada meningkatnya penawaran dan kapasitas produksi industri LCGC. Manfaat yang akan diperoleh dengan berkembangnya industri LCGC adalah mengurangi konsumsi BBM dan emisi GRK dengan penggunaan LCGC, perluasan pasar domestik kendaraan bermotor dalam negeri, mendorong pertumbuhan industri komponen dalam negeri, serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Kata Kunci: Incompletely Knocked Down; Insentif Pajak; Low Cost & Green Car ABSTRACT This study discusses tax incentive policy design of Low Cost & Green Car (LCGC) Industry in Indonesia with research backgrounds are high energy consumption and GHG emissions by transportation sector. The research raises two issues, namely tax incentive which is required by LCGC industry and the benefits to be derived by the tax incentives being given to LCGC industry. This study used a qualitative approach with data collection techniques are literature review and depth-interviews. The results of this study are tax incentive exemption from import duty and VAT on importation incompletely Knocked Down (IKD) of component of LCGC will reduce production cost. In addition, tax incentives in the form of exemption upon submission PPnBM will make LCGC prices become lower so that can be afforded by the middle class. Increase of purchasing power will increase demand which impact on the increasing supply and production capacity of LCGC industry. These tax incentives will reduce fuel consumption and emission of transportation sector, expanding domestic market of motor vehicles in the Indonesia, advancing domestic automotive component industry, as well as increasing employment creation. Keywords: Incompletely Knocked Down, Tax Incentive, Low Cost & Green Car
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
1.
Pendahuluan / Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang telah menjadikan energi sebagai
penggerak utama perekonomian nasional. Energi juga merupakan salah satu faktor ekonomi yang sangat berpengaruh dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) (Siahaan, 150). Tingkat konsumsi energi Indonesia pun terus mengalami pertumbuhan mengikuti permintaan berbagai sektor pembangunan, khususnya industri dan transportasi. Pertumbuhan konsumsi energi Indonesia ini bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi energi dunia yang berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), dalam beberapa tahun terakhir rata-rata pertumbuhan konsumsi energi Indonesia mencapai 7% (persen) per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi energi dunia hanya 2,6% (persen) per tahun (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Potensi” 6). Tingkat konsumsi energi Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan pada tahun 2010, yaitu sebesar 15,16% (persen). Konsumsi energi pada tahun 2010 ini didominasi oleh konsumsi atas Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 363,52 juta BOE (Barrel of Oil Equivalent), biomassa sebesar 288,44 juta BOE, dan batu bara sebesar 136,54 juta BOE (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Handbook viii). Adapun konsumsi atas BBM ini didominasi oleh sektor transportasi sebesar 67,82% (persen) dari total konsumsi BBM Nasional pada tahun 2010. Peningkatan konsumsi BBM oleh sektor transportasi tidak terlepas dari pengaruh jumlah kendaraan bermotor di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat tajam, serta adanya dominasi kendaraan pribadi, khususnya mobil pribadi yang tidak efisien merupakan faktor lainnya yang menyebabkan tingginya konsumsi BBM oleh sektor transportasi. Dari total 88% (persen) BBM yang dikonsumsi oleh sektor transportasi jalan raya (darat), mobil pribadi menyerap BBM terbesar, yaitu sebesar 39% (persen), diikuti kendaraan umum sebesar 36% (persen), sepeda motor sebesar 15% (persen), dan bus sebesar 10% (persen) (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 6). Tingginya tingkat konsumsi BBM oleh sektor transportasi juga akan memberikan dampak negatif yang semakin besar terhadap lingkungan, khususnya terkait pencemaran udara. Berbagai studi yang dilaksanakan di berbagai negara menunjukkan bahwa transportasi merupakan sumber utama pencemaran udara (Boediningsih, 132). Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa transportasi merupakan salah satu faktor terbesar penyumbang emisi Gas Rumah Kaca yang harus dikurangi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) (Purwanto, 4).
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Secara umum, kegiatan transportasi tercatat menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 4,18% (persen) yang didominasi oleh transportasi jalan raya (Sitorus, 1607). Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK, Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disebut GRK adalah “gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah”, sedangkan “tingkat emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu satu tahun”. Dengan demikian, tingkat emisi GRK Nasional adalah besaran gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah, yang lepas ke atmosfer di wilayah Indonesia setiap tahunnya. Berdasarkan Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK, tingkat emisi GRK dari sektor transportasi menempati urutan ketiga dari tingkat emisi GRK Nasional yang ingin dikurangi. Jumlahnya yaitu sebesar 0,038 Giga Ton CO2e (karbondioksida ekuivalen) atau sebesar 4,95% (persen) dari total emisi GRK Nasional yang ingin dikurangi. Sejalan dengan mobil pribadi yang mengkonsumsi BBM paling besar, mobil pribadi juga merupakan penyumbang emisi GRK terbesar dari sektor transportasi (Dewan Nasional Perubahan Iklim, 15). Peningkatan Emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor transportasi akan menurunkan kualitas udara. Polutan yang terdapat di udara dalam kadar yang cukup tinggi akan menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan, seperti masalah penurunan tingkat kecerdasan anak-anak, masalah pernafasan, jantung dan lain-lain (Saepudin, 31). Kondisi ini akan berdampak pada semakin meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan. Pada tahun 2002 Indonesia menanggung kerugian sekitar US$400 juta per tahun dalam bentuk kehilangan produktifitas dan biaya kesehatan. Apabila tidak ada upaya pencegahan polusi udara ini maka pada tahun 2015 diperkirakan pengeluaran biaya kesehatan akan meningkat menjadi sekitar US$450 juta (Syahril, 43). Untuk mengatasi borosnya konsumsi BBM dan emisi GRK sebagaimana yang telah dipaparkan, upaya diversifikasi dan konservasi energi sangat dibutuhkan, khususnya di bidang transportasi. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN): “Diversifikasi energi adalah penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi dalam rangka optimalisasi penyediaan energi, sedangkan konservasi energi adalah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan”.
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Untuk dapat menerapkan kebijakan jangka pendek yang akan mampu membantu mengurangi konsumsi BBM dan emisi GRK di bidang transportasi maka tentunya kebijakan yang diterapkan harus dapat diaplikasikan secara cepat dan tepat. Kebijakan ini harus ditujukan langsung kepada masyarakat pengguna mobil pribadi yang didominasi oleh masyarakat kelas menengah. Kementerian perindustrian pada saat ini telah merancang program Low Cost & Green Car (LCGC), yaitu mobil murah ramah lingkungan dengan beberapa tipe yang prototype-nya telah dipamerkan pada Indonesia International Motor Show 2012, antara lain Toyota Agya sebagai produk LCGC dari Toyota Motor Corporation (TMC) dan Daihatsu Ayla sebagai produk LCGC dari Daihatsu Motor Corporation (DMC). LCGC ini akan dijual dengan harga tidak lebih dari Rp100 juta dengan spesifikasi compact-city car, kapasitas silinder kurang dari 1200cc dan konsumsi bahan bakar yang efisien, yaitu untuk 20 km/Liter. Dengan demikian, program LCGC yang saat ini sedang dirancang untuk segera diluncurkan oleh kementerian perindustrian sebagai suatu bentuk kebijakan sektor industri untuk mendukung efisiensi energi dan pengurangan emisi GRK oleh sektor transportasi merupakan kebijakan jangka pendek yang paling memungkinkan untuk diaplikasikan oleh pemerintah pada saat ini. Peran pemerintah tentunya sangat dibutuhkan agar produsen LCGC mampu memproduksi LCGC dengan biaya produksi yang rendah, serta memasarkan produknya dengan harga jual maksimal Rp100 juta seperti yang telah dipersyaratkan oleh Kementerian Perindustrian. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang KEN, “pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksana konservasi energi”. Dengan demikian, LCGC sebagai produk industri yang berkonsep konservasi energi tentunya layak untuk memperoleh kemudahan dan insentif tersebut. Menurut Ketua Gabungan Industri dan Kendaraan Bermotor (Gaikindo), Jongkie D Sugiarto, “…sampai saat ini harga jual untuk satu unit LCGC masih di atas 100 juta. Kalau pemerintah tidak mendukung dengan insentif pajak, akan sangat sulit bagi industri untuk memproduksi LCGC secara massal dengan ketentuan harga jual maksimal Rp100 juta.” (Wiyanto, 10). Pada saat ini terdapat tiga regulasi yang telah mengatur mengenai insentif untuk industri kendaraan bermotor yang dapat dimanfaatkan oleh industri LCGC. Namun, belum terdapat peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pemberian insentif pajak untuk industri LCGC. Sehubungan dengan belum adanya kebijakan insentif pajak atas industri LCGC maka penelitian yang berjudul “Disain Kebijakan Insentif Pajak Atas Industri Low Cost & Green
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Car (LCGC) di Indonesia” ini akan mengkaji secara mendalam untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa kebijakan insentif pajak yang dibutuhkan untuk mendorong industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia? 2. Apa saja manfaat yang diperoleh dengan adanya pemberian insentif pajak atas industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia?
Adapun tujuan dari penelitian dengan judul “Disain Kebijakan Insentif Pajak Atas Industri Low Cost & Green Car di Indonesia” ini adalah : 1. Menganalisis kebijakan insentif pajak yang dibutuhkan untuk mendorong industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia. 2. Menganalisis manfaat yang diperoleh dengan adanya pemberian insentif pajak atas industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia.
2.
Tinjauan Teoretis
2.1. Secara ilmiah, kebijakan terdiri dari unsur-unsur esensil, yaitu tujuan (goal), proposal (plans), program, keputusan, dan efek sebagaimana dikemukakan oleh Laswell dan Kaplan, “a projected program of goals, values and practices” (Rahayu, 89). Adapun Friedrich yang dikutip oleh Thoha (107) mengatakan, “It is essential for the policy concept that there be a goal, objevtive, or purpose”. 2.2. Mansury yang dikutip oleh Rosdiana (84) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal dalam arti yang luas adalah kebijakan untuk memengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. 2.3. Fungsi pajak sebagai instrumen ketenagakerjaan dapat dilihat dari keberpihakan pemerintah terhadap masalah ketenagakerjaan yang kerap kali didukung dengan kebijakan-kebijakan lain yang terkait, antara lain kebijakan pajak. Telah banyak negara yang mengimplementasikan kebijakan pajak sebagai instrumen untuk mendorong ketersediaan lapangan pekerjaan, antara lain dengan memberikan berbagai insentif pajak (Rosdiana, 51). 2.4. Menurut Chalk (3), beberapa alasan rasional pemberian insentif usaha dalam bentuk insentif pajak, yaitu: a. Industrial policy
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Dengan adanya pemberian insentif usaha berupa insentif pajak maka diharapkan para pelaku industri berminat untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan dan selanjutnya dapat menjadi katalis dalam memajukan industri dalam negeri. b. The transfer of proprietary knowledge or technology Dengan adanya pemberian insentif usaha berupa insentif pajak yang nantinya akan menghadirkan para investor yang memiliki skala industri besar ke dalam negeri maka diharapkan pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh para investor tersebut dapat dimanfaatkan oleh para investor lokal, pemerintah, dan juga masyarakat melalui proses alih teknologi sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi semakin maju. c. Employment objectives Diharapkan dengan adanya pemberian insentif usaha berupa insentif pajak yang dapat mengajak para investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara maka akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat, terutama apabila investasi tersebut merupakan investasi yang menyerap banyak tenaga kerja. d. Economic diversification Dengan masuknya para investor baru maka diharapkan dapat menimbulkan diversifikasi ekonomi bagi negara tersebut sehingga sektor-sektor industri baru dapat tumbuh lebih banyak. 2.5. Supply-Side Policies adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja pasar dengan cara meningkatkan kapasitas ekonomi untuk memproduksi sehingga kurva penawaran akan naik. Supply-Side Policies dapat digunakan untuk mengurangi ketidaksempurnaan pasar. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kapasitas produksi sehingga bisa membuka tenaga kerja. Dalam Supply-Side Policies, penawaran menjadi pangkal tolak kebijakan dengan teori yang lebih dikenal dengan Hukum Say (Say’s Law), bahwa setiap penawaran dengan sendirinya akan menciptakan permintaan (Rosdiana, 86). 2.6. Insentif untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Tait (49) adalah dalam bentuk pengenaan tarif nol persen (zero rating) dan pembebasan pajak (Tax Exemption). Zero rate dalam PPN berarti pengusaha secara penuh dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar sehingga secara murni bebas dari PPN, sedangkan dalam PPnBM tidak dikenal istilah pengkreditan sehingga jenis insentif ini tidak dapat diberlakukan untuk PPnBM. Exemption dalam PPN berarti pengusaha yang mendapatkan fasilitas
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
pembebasan atas penyerahan barang atau jasanya tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar pada waktu pembelian barang atau jasa sebagai Pajak Masukan, sedangkan exemption dalam PPnBM menyebabkan biaya yang dibutuhkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh barang tersebut menjadi lebih rendah. Dengan demikian, jenis insentif yang berlaku untuk PPnBM hanya berupa pembebasan PPnBM. 2.7. Pembebasan Bea Masuk merupakan bentuk insentif yang diberikan oleh pemerintah di bidang kepabeanan. Skema pembebasan Bea Masuk sebenarmya bertujuan untuk mendorong ekspor, terutama barang-barang impor yang menunjang industri dan manufaktur. Secara fisik, impor menyatu dengan produk yang dihasilkan untuk tujuan ekspor. Dengan demikian, pembebasan Bea Masuk mempunyai latar belakang untuk mendapatkan keuntungan atas importasi barang dan/atau bahan yang dilakukan (Surono dan Muhammad, 11).
3.
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Berdasarkan tujuan, manfaat, dimensi waktu, dan teknik pengumpulan data, penelitian ini merupakan jenis penelitian eksploratif-deskriptif, murni, cross-sectional, serta menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yang berlangsung mulai dari saat pengumpulan sampai dengan setelah selesai pengumpulan data. Wawancara mendalam dilakukan peneliti kepada beberapa informan yang dianggap potensial sebagai sumber informasi, yaitu dari pihak Kementerian Perindustrian, Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), PT. Toyota Astra Motor, dan pihak akademisi yang juga menjadi site penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya terbatas untuk menganalisis permasalahan pemborosan konsumsi energi dan pencemaran lingkungan oleh sektor transportasi sehingga tidak berfokus untuk mengatasi permasalahan kemacetan yang mungkin ditimbulkan dengan diterapkannya kebijakan insentif pajak atas industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia.
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
4.
Pembahasan Secara ilmiah, kebijakan terdiri dari unsur-unsur esensil, yaitu tujuan (goal), proposal
(plans), program, keputusan, dan efek sebagaimana dikemukakan oleh Laswell dan Kaplan, “a projected program of goals, values and practices” (Rahayu, 89). Berikut akan diuraikan analisis mengenai proposal (plans) berupa kebijakan insentif pajak yang dibutuhkan untuk mendorong program LCGC sehingga mampu menghasilkan kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan dengan biaya produksi yang rendah. 4.1 Kebijakan Insentif Pajak Untuk Mendorong Industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia 4.1.1 Analisis Insentif Pajak berupa Pembebasan Bea Masuk dan PPN Atas Impor Incompletely Knocked Down Komponen Low Cost & Green Car (LCGC) Pada saat ini ketergantungan industri perakitan kendaraan bermotor terhadap komponen impor masih sangat tinggi, yaitu mencapai 80%. Hal ini disebabkan masih kurangnya komponen yang dihasilkan di dalam negeri yang mampu memenuhi spesifikasi dan jumlah yang dibutuhkan oleh industri perakitan kendaraan bermotor, khususnya untuk komponen OEM (Original Equipment for Manufacturing). Melalui program LCGC, diharapkan industri kendaraan bermotor dalam negeri tidak lagi hanya semata-mata mengimpor mobil utuh dari luar negeri, bahkan tidak lagi hanya sekedar merakit di dalam negeri. Mutu komponen kendaraan bermotor yang dihasilkan di dalam negeri diharapkan akan mengalami peningkatan dengan tingginya permintaan dari produsen LCGC akan komponen dalam negeri berkaitan dengan persyaratan Local Content yang diajukan Kementerian Perindustrian terhadap produsen LCGC. Ketentuan untuk melokalisasi komponen yang digunakan dalam LCGC secara bertahap dalam jangka waktu 5 tahun yang diajukan oleh Kementerian Perindustrian tentunya harus diimbangi dengan kebijakan pajak yang tepat. Dalam hal ini, pembebasan Bea Masuk dan PPN atas importasi komponen yang digunakan pada tahun-tahun awal produksi LCGC sangat dibutuhkan oleh produsen LCGC berkaitan dengan belum tersedianya jumlah dan spesifikasi yang memadai dari komponen kendaraan bermotor di dalam negeri. Jika tidak diberikan pembebasan Bea Masuk dan PPN atas importasi komponen LCGC maka biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi LCGC akan semakin mahal sehingga tujuan awal untuk menawarkan LCGC pada pasar kendaraan bermotor untuk masyarakat kelas menengah menjadi tidak tercapai. Selain itu, jika tetap harus menunggu industri komponen dalam negeri menghasilkan komponen-komponen yang selama ini belum mencukupi spesifikasi dan jumlahnya, tentunya akan dibutuhkan waktu yang cukup lama berkaitan dengan peningkatan
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
kualitas produksi dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan Research & Development oleh industri komponen dalam negeri. Padahal produsen LCGC telah melakukan investasi, perluasan lahan pabrik, mesin, dan lain-lain untuk bisa segera memproduksi LCGC secara massal. Insentif pembebasan Bea Masuk dan PPN atas importasi komponen LCGC sangat dibutuhkan untuk mengurangi biaya produksi LCGC karena insentif tersebut merupakan Supply-Side Policies. Supply-Side Policies adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja pasar dengan cara meningkatkan kapasitas ekonomi untuk memproduksi sehingga kurva penawaran akan naik. Supply-Side Policies dapat digunakan untuk mengurangi ketidaksempurnaan pasar. Dalam Supply-Side Policies, penawaran menjadi pangkal tolak kebijakan dengan teori yang lebih dikenal dengan Hukum Say (Say’s Law), bahwa setiap penawaran dengan sendirinya akan menciptakan permintaan (Rosdiana, 86). Namun pembebasan Bea Masuk dan PPN yang lebih tepat untuk diberikan terhadap industri LCGC dalam rangka mendukung pengembangan LCGC dan industri komponen dalam negeri bukan berkaitan dengan impor komponen secara lengkap, tetapi ditujukan untuk impor komponen dalam keadaan terurai tidak lengkap (Incompletely Knocked Down/IKD). Berdasarkan
Pasal
1
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
275/MPP/Kep/6/1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor, “komponen kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap adalah komponen kendaraan bermotor dalam keadaan terbongkar menjadi beberapa sub-komponen dan tidak memiliki sifat utama komponen yang bersangkutan”. Terdapat beberapa alasan diperlukannya pemberian insentif berupa pembebasan Bea Masuk dan PPN atas impor Incompletely Knocked Down komponen LCGC, yaitu sebagai berikut: a. Dengan adanya pembebasan Bea Masuk dan PPN atas impor komponen dalam keadaan terurai tidak lengkap, produsen LCGC tentu akan lebih memilih untuk mengimpor komponen dalam skema IKD yang akan dilengkapi dengan komponen dari dalam negeri sehingga biaya produksi akan semakin murah. Hal ini akan membuat LCGC mampu dipasarkan dengan harga yang terjangkau sesuai dengan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia. b. Dengan menggunakan skema IKD, komponen dari dalam negeri dapat digunakan untuk melengkapi komponen yang diimpor dalam keadaan tidak lengkap tersebut. Jika berdasarkan wawancara dengan Bapak Ardhana Wiranata yang menyebutkan bahwa PT. Toyota Astra Motor akan memproduksi sebanyak 430.000 unit, belum lagi produsen
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
LCGC yang lainnya, seperti Nissan dan Suzuki, tentunya kebutuhan akan komponen dalam negeri untuk melengkapi impor komponen IKD tersebut juga akan meningkat. Hal ini akan dapat meingkatkan kedalaman produksi komponen dalam negeri. c. Dengan adanya pembebasan Bea Masuk dan PPN atas impor komponen LCGC dalam skema IKD pada tahun-tahun awal produksi LCGC, keuntungan yang diperoleh melalui penjualan LCGC pada tahun-tahun awal produksi dapat digunakan oleh produsen LCGC untuk berinvestasi pada industri komponen dalam negeri dalam rangka memenuhi persyaratan dari Kementerian Perindustrian untuk melokalisasi komponen-komponen LCGC hingga 80% dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Investasi ini dapat digunakan untuk R&D industri komponen dalam negeri, seiring dengan terus berjalannya produksi LCGC.
4.1.2 Analisis Insentif Pajak berupa Pembebasan PPnBM Atas Penyerahan Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia Low Cost & Green Car jika diterjemahkan memiliki makna sebagai kendaraan bermotor roda empat dengan biaya produksi yang rendah dan ramah lingkungan. Namun ternyata penggunaan kata Low Cost dalam LCGC lebih dimaksudkan sebagai kendaraan dengan harga murah atau harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kendaraan bermotor dapat dibedakan atas kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (Completely Built Up/CBU) dan kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan tidak lengkap terpasang, sehingga masih membutuhkan perakitan (Completely Knocked Down/CKD). Keduanya dikenakan PPnBM dengan besaran yang sama, tetapi pelaksanaan pemungutannya berbeda. Atas impor CBU, PPnBM-nya langsung dipungut oleh Bea dan Cukai dari pihak importir pada saat kendaraan tersebut tiba di pelabuhan pabean Indonesia, sedangkan atas impor CKD tidak dikenakan PPnBM karena barang dalam keadaan belum lengkap tersebut tidak termasuk ke dalam kategori barang mewah. Pemungutan atas PPnBM-nya baru dilaksanakan apabila kendaraan bermotor tersebut sudah selesai dirakit dan siap diserahkan oleh importir kepada konsumen langsung/penyalur (Ibrahim dan Pranoto, 1992: 40). PPnBM merupakan pajak tambahan yang dikenakan di samping PPN atas impor suatu Barang Kena Pajak tertentu yang tergolong mewah atau atas penyerahan suatu Barang Kena Pajak tertentu yang tergolong mewah di dalam negeri. Pengertian umum barang mewah dalam masyarakat adalah menyangkut barang-barang yang penggunaannya bersifat kemewahan dan hanya dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi (Ibrahim dan Pranoto, 26). Pengenaan pajaknya hanya satu kali, yaitu pada saat penyerahan oleh produsen
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
atau pada waktu pemasukan dari luar negeri oleh importir, sebesar tarif yang berlaku dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Pengertian satu kali hanya berlaku untuk barang yang belum berubah bentuk dan fungsinya sehingga apabila suatu barang mewah telah diproses menjadi barang mewah lainnya, maka atas penyerahan barang mewah yang telah diproses tersebut tetap dikenakan PPnBM. Menurut Ibrahim dan Pranoto (12), kebijakan PPnBM diarahkan untuk mencapai dua sasaran, yaitu: a. Meningkatkan peran serta kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi atau yang berkemampuan lebih besar untuk lebih berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan. b. Mendorong perkembangan industri tertentu yang perlu dibina dengan cara melindunginya dari persaingan barang impor, dengan cara menaikkan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Berkaitan dengan LCGC yang memang ditargetkan untuk mengubah pola konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah Indonesia dari kendaraan bermotor konvensional kepada kendaraan bermotor yang ramah lingkungan, pembebasan PPnBM merupakan kebijakan insentif pajak yang akan diberikan oleh pemerintah agar LCGC dapat dijual dengan harga yang terjangkau sesuai dengan daya beli masyarakat. Insentif untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Tait (1988: 49) adalah dalam bentuk pengenaan tarif nol persen (zero rating) dan pembebasan pajak (Tax Exemption). Zero rate dalam PPN berarti pengusaha secara penuh dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar sehingga secara murni bebas dari PPN, sedangkan dalam PPnBM tidak dikenal istilah pengkreditan sehingga jenis insentif ini tidak dapat diberlakukan untuk PPnBM. Exemption dalam PPN berarti pengusaha yang mendapatkan fasilitas pembebasan atas penyerahan barang atau jasanya tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar pada waktu pembelian barang atau jasa sebagai Pajak Masukan, sedangkan exemption dalam PPnBM menyebabkan biaya yang dibutuhkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh barang tersebut menjadi lebih rendah. Dengan demikian, jenis insentif yang berlaku untuk PPnBM hanya berupa pembebasan PPnBM. Menurut Musgrave dan Musgrave sebagaimana dikutip oleh Rosdiana (94), instrumen Pajak Penjualan juga dapat digunakan sebagai Supply-Side Policies, seperti kebijakan penghapusan dan penurunan tarif PPnBM. Dengan kebijakan penghapusan dan penurunan tarif PPnBM, harga barang-barang akan menjadi turun. Dengan turunnya harga, maka pengusaha akan meningkatkan produktivitasnya sehingga penawaran juga akan meningkat. Dengan demikian menurut Musgrave dan Musgrave (Rosdiana, 94), akan bermunculan pabrik-pabrik baru atau investasi baru atau kapasitas produksi yang bertambah jika
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
permintaan terus meningkat. Apabila hal ini terjadi maka akan terbuka kesempatan kerja atau lapangan kerja yang baru. Dengan adanya kebijakan insentif berupa pembebasan PPnBM maka kemampuan masyarakat untuk membeli akan meningkat. Hal ini disebabkan karena biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk memperoleh barang tersebut menjadi lebih rendah. Jika ditinjau dari tujuan produksi LCGC yang memang difokuskan untuk masyarakat kelas menengah sebagai kendaraan transisi dari pengguna kendaraan bermotor kepada kendaraan pribadi, pembebasan PPnBM dapat dinilai sebagai kebijakan yang tepat sasaran. Sesuai dengan legal character dari PPnBM yang dipungut disamping PPN untuk mengurangi regresivitas PPN, pengenaan PPnBM bukan diutamakan untuk meningkatkan penerimaan negara. Oleh karena LCGC ditujukan untuk masyarakat kelas menengah, pembebasan PPnBM menjadi tepat karena LCGC tidak dapat dikategorikan sebagai barang yang dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas, sehingga dapat digolongkan sebagai bukan barang mewah. Jika LCGC yang akan dipasarkan sebanyak 430.000 unit, tentunya negara akan kehilangan pendapatan dengan perhitungan sebagai berikut: 10% x Rp 100 juta x 430.000 unit = Rp 4.300.000.000. Namun hal ini akan disubstitusi dengan penambahan PPN yang akan diperoleh pemerintah melalui penjualan LCGC di Indonesia, sebagai berikut: 10% x Rp 100 juta x 430.000 unit = Rp 4.300.000.000. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada kehilangan pendapatan pemerintah terkait pembebasan PPnBM atas LCGC, hanya penambahan pendapatan saja yang berkurang.
4.2 Manfaat Pemberian Insentif Pajak Atas Industri Low Cost & Green Car (LCGC) di Indonesia Pembangunan transportasi berkelanjutan (sustainable transport development) adalah pembangunan transportasi yang dapat bertumbuh secara terus menerus pada masa yang akan datang, baik dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Siahaan, 2009:150). Pembangunan transportasi berkelanjutan dari aspek ekonomi harus dapat mendukung pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product), menciptakan lapangan kerja, dan ketersediaan energi dengan harga yang wajar. Pembangunan transportasi berkelanjutan dari aspek sosial harus dapat meningkatkan pemerataan pelayanan transportasi, keselamatan dan keamanan transportasi, aksesibilitas dan mobilitas masyarakat. Pembangunan transportasi berkelanjutan dari aspek
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
lingkungan harus dapat mengurangi dampak climate change, polusi udara dan air, kebisingan, dan tata guna lahan. Suatu policy dikatakan rasional jika policy tersebut amat efisien. Hal ini berati bahwa rasio antara nilai-nilai yang dicapai dan nilai-nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi kalau dibandingkan dengan alternatif-alternatif policy lainnya (Thoha, 140). Sebagai kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan, Low Cost & Green Car (LCGC) memang ditujukan untuk membantu mengurangi tingginya konsumsi BBM dan emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor transportasi sebagai bentuk pembangunan transportasi berkelanjutan dari aspek lingkungan. Namun manfaat yang akan diperoleh dengan berkembangnya industri LCGC tidak hanya terbatas pada hal tersebut. Berbagai manfaat lainnya juga akan diperoleh dengan berkembanganya industri LCGC, seperti peningkatan aksesibilitas dan mobilitas masyarakat melalui harga jual LCGC yang terjangkau sesuai dengan daya beli masyarakat menengah ke bawah sebagai mayoritas pengguna kendaraan bermotor pribadi untuk mewujudkan pembangunan transportasi berkelanjutan dari aspek sosial. Perluasan pasar domestik kendaraan bermotor dalam negeri juga akan tercapai melalui optimalisasi produksi kendaraan bermotor di Segmen A yang juga akan merangsang pertumbuhan industri komponen kendaraan bermotor dalam negeri, penyerapan tenaga kerja baik dari sisi industri kendaraan bermotor, maupun karena perluasan jasa perbengkelan, sebagai bentuk pembangunan transportasi berkelanjutan dari aspek ekonomi.
4.2.1 Mengurangi Konsumsi BBM dan Emisi Gas Rumah Kaca oleh Mobil Pribadi di Indonesia Mengurangi penggunaan BBM merupakan salah satu yang harus diamanahkan dalam pembangunan transportasi berkelanjutan karena BBM berasal dari fosil yang tidak terbarukan (non-renewable) yang diperkirakan menurut transisi sistem energi global akan habis pada tahun 2100 (Siahaan: 2009:152). Sampat saat ini sektor transportasi masih sangat tergantung pada BBM sehingga perlu dihemat penggunaannya dan diupayakan untuk disubstitusi dengan bahan bakar alternatif, seperti BBN (Bahan Bakar Nabati), BBG (Bahan Bakar Gas), dan energi listrik. Tingginya penggunaan konsumsi BBM oleh sektor transportasi disebabkan oleh hal utama, yaitu pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang sangat pesat, terutama di kotakota besar. Hal ini terjadi karena buruknya kualitas transportasi umum sehingga masyarakat semakin berbondong-bondong membeli mobil pribadi. Tingginya keinginan masyarakat untuk
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
memiliki mobil pribadi juga dipengaruhi oleh adanya peningkatan perkapita masyarakat kelas menengah ke bawah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga mereka membutuhkan kendaraan transisi dari kendaraan roda dua kepada kendaraan roda empat. Tingginya minat masyarakat untuk memiliki mobil pribadi ini merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dibendung berkaitan dengan peningkatan daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah, selama pelayanan transportasi publik masih belum memuaskan. Kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum mampu membeli mobil pribadi pada klasifikasi harga Segmen B akan dipenuhi dengan membeli mobil-mobil tua atau mobil pribadi dengan kondisi teknologi yang masih rendah sehingga BBM yang dikonsumsi akan semakin besar dan sistem gas buang kendaraan-kendaraan tua yang masih buruk ini akan membuat emisi GRK yang dihasikan oleh sektor transportasi juga semakin tinggi. Menurut Earl R. Rolph, melalui fungsi resource reallocation, keberadaan pajak dapat mengubah perilaku konsumen, dapat mendorong kegiatan atau sebaliknya dapat menghambat kegiatan tertentu. (Nurmantu, 55). Dengan demikian, insentif pajak yang diberikan untuk mendorong industri LCGC diharapkan mampu mengalihkan pola konsumsi masyarakat kepada LCGC sebagai mobil pribadi dengan harga yang terjangkau serta hemat energi dan ramah lingkungan. Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh produsen LCGC untuk memperoleh insentif pajak yang akan diberikan. Selain hemat bahan bakar (mampu menempuh jarak 22 kilometer per liter bensin), mobil tersebut juga harus diproduksi di Indonesia. Selan itu, Local Contents-nya juga harus di atas 80% dengan harga yang terjangkau (Henricus, 2012: 91). Selain itu, LCGC harus diproduksi dengan kapasitas silinder kurang dari 1000cc. Toyota Agya sebagai produk LCGC dari PT. Toyota Astra Motor memiliki kapasitas silinder 998 cc, sedangkan Daihatsu Ayla sebagai produk LCGC dari PT. Astra Daihatsu Motor memiliki kapasitas silinder 988cc. Kedua produk LCGC ini mampu menempuh jarak 22 km per Liter Pertamax yang dikonsumsi. Tentunya LCGC jauh lebih hemat dibandingkan dengan mobil-mobil konvensional yang memiliki jarak tempuh rata-rata 8 km/Liter Premium. Jika diproduksi 430.000 unit LCGC maka akan terjadi penghematan sebagai berikut: (1/8 L – 1/22 L) x 430.000 unit = 34.204.55 L/km Oleh karena sektor transportasi mengkonsumsi BBM paling besar pada tahun 2010, berikut ditampilkan perhitungan penghematan konsumsi BBM LCGC jika dibandingkan dengan konsumsi BBM mobil pribadi konvensional pada Tahun 2010:
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Konsumsi BBM Sektor Transportasi Tahun 2010
= 227.203.000 Barrel
Konsumsi BBM Transportasi Jalan Raya Tahun 2010 = 199.938.640 Barrel (88% x 227.203.000 Barrel) Konsumsi BBM Mobil Pribadi Tahun 2010
= 77.976.069,6 Barrel
(39% x 199.938.640 Barrel) Jumlah Mobil Pribadi Tahun 2010
= 8.891.041 Unit
Konsumsi BBM/Unit Mobil Pribadi Tahun 2010
= 8,77 Barrel/Unit
(77.976.069,6 Barrel : 8.891.041 Unit) Konsumsi BBM/Unit Mobil Pribadi Tahun 2010
=1.045.760,93 Liter/Unit
(8,77 Barrel /Unit x 119.240.471 Liter) Rata-rata Jarak Tempuh Mobil Pribadi Tahun 2010
= 130.720,12 km
(1.045.760,93 Liter : 8 km/Liter) Penghematan LCGC
= 4,42 Triliun Liter
(130.720,12 km x 34.204.55 L/km)
Penghematan sebesar 4,42 Triliun Liter BBM per tahun berdasarkan perhitungan di atas hanya didasarkan atas produksi 430.000 unit LCGC yang merupakan jumlah produksi awal LCGC dari PT. Toyota Astra Motor. BBM yang dapat dihemat dengan penggunaan LCGC tentu akan semakin besar jika ditambahkan dengan LCGC yang akan diproduksi oleh ATPM kendaraan bermotor lainnya. Tentunya LCGC mejadi lebih hemat energi dibandingkan dengan mobil-mobil pribadi konvesnsional lainnya yang saat ini sudah beredar. Suatu kendaraan bermotor harus terlebih dahulu hemat energi untuk bisa diklaim sebagai kendaraan yang ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena tingkat ramah lingkungan suatu kendaraan ditentukan oleh emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut. Faktor jenis dan jumlah energi yang dikonsumsilah yang kemudian akan menentukan emisi GRK yang akan dihasilkan oleh suatu kendaraan bermotor. Kriteria suatu kendaraan untuk dapat disebut sebagai kendaraan yang ramah lingkungan juga sangat relatif. Untuk dapat memenuhi kriteria ramah lingkungan yang dipersyaratkan oleh Kementerian Perindustrian, konsumen LCGC harus menggunakan BBM jenis Pertamax agar dapat menghasilkan konsumsi BBM yang lebih hemat serta emisi GRK yang lebih rendah. Jika pemilihan jenis BBM yang akan dikonsumsi oleh pengguna LCGC diserahkan kepada masyarakat tentunya masyarakat akan lebih memilih menggunakan BBM jenis Premium yang lebih murah. Dengan demikian, dibutuhkan pengwasan oleh pemerintah agar insentif yang diberikan terhadap industri dan konsumen LCGC bisa tepat sasaran dalam membantu
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
mengurangi konsumsi BBM dan emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor trasnportasi, khususnya oleh mobil pribadi.
4.2.2
Perluasan Pasar Domestik Kendaraan Bermotor Dalam Negeri Menurut Chalk (3), alasan rasional dibutuhkannya pemberian insentif usaha dalam
bentuk insentif pajak adalah untuk Industrial Policy, yaitu dengan adanya pemberian insentif usaha berupa insentif pajak maka diharapkan industri di negara yang bersangkutan akan berkembang. Pada tahun 2012, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 6,2%. Meskipun mengalami penurunan dari tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata negara ASEAN, yaitu sebesar 5,7%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik tersebut salah satunya ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang cukup besar, khususnya oleh masyarakat kelas menengah Indonesia (Bank Indonesia, 57). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini bersumber dari konsumsi makanan dan nonmakanan. Peningkatan konsumsi non-makanan terjadi pada kelompok perlengkapan rumah tangga, peralatan informasi dan komunikasi, suku cadang dan barang lainnya. Peningkatan juga terjadi pada penjualan mobil yang melampaui angka tertinggi secara historis, yaitu satu juta unit yang mengalami pertumbuhan sebesar 24%. Tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini tentunya didukung oleh peningkatan daya beli masyarakat yang bersumber dari peningkatan penghasilan perkapita yang mencapai 3.563 dolar AS pada tahun 2012. Peningkatan pendapatan terutama dinikmati oleh kelompok kelas menengah (middle income) yang terus meningkat dalam jumlah dan porsi. Kelas menengah dengan tingkat konsumsi yang tinggi inilah yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia (Bank Indonesia, 50). Adanya peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah ini juga memberikan dampak positif terhadap penjualan kendaraan bermotor roda empat di Indonesia yang pada tahun 2012 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 12%. Penjualan mobil baru di Indonesia hingga November 2012 juga telah mencapai 1.026.602 unit yang merupakan rekor tertinggi penjualan kendaraan bermotor di Indonesia (Gaikindo, Domestic Auto Production By Category JanuaryDecember 2012). Hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah yang mampu membeli kendaraan bermotor roda empat. Namun peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda empat di Indonesia ini ternyata baru berfokus pada Segmen B dan Segmen C, sedangkan Segmen A belum dioptimalisasi. Secara umum, kendaraan bermotor terbagi ke dalam tiga segmen, yaitu Segmen A, Segmen B, dan Segmen
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
C. Pembagian berdasarkan segmen ini didasarkan atas harga jual kendaraan bermotor yang beredar di pasaran. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia tentunya diperlukan kendaraan bermotor dengan harga yang terjangkau untuk memfasilitasi potensi market di kelas mengah ke bawah dan sebagai transisi dari pengguna kendaraan bermotor roda dua ke roda empat. Meningkatnya kebutuhan masyarakat kelas menengah akan kendaraan bermotor roda empat pada Segmen A ini tentunya harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Jika tidak didukung dengan perluasan pasar domestik kendaraan bermotor roda empat pada Segmen A oleh industri kendaraan bermotor dalam negeri, tentunya kebutuhan ini akan disuplai oleh kendaraan bermotor dari luar negeri, khususnya oleh kendaraan bermotor dari China dan India yang telah berhasil mengembangkan produksi kendaraan bermotor roda empat pada Segmen A. Dengan dikembangkannya produksi kendaraan bermotor roda empat pada Segmen A melalui industri LCGC, pasar kendaraan bermotor domestik pun diharapkan akan menjadi semakin besar. Dengan pasar domestik yang lebih besar maka cost yang dibutuhkan untuk memproduksi kendaraan bermotor juga akan semakin rendah.
4.2.3
Mendorong Pertumbuhan Industri Komponen Kendaraan Bermotor Dalam Negeri Pada saat ini kegiatan utama industri otomotif di Indonesia masih berfokus kepada
perakitan kendaraan bermotor. Industri perakitan kendaraan bermotor ini berawal dari adanya keharusan untuk merakit mobil yang diimpor dari luar negeri yang melarang adanya impor mobil dalam bentuk CBU (Completely Built Up). Kemudian pada tahun 1976 muncul ketentuan untuk menggunakan komponen lokal pada industri perakitan kendaraan bermotor di Indonesia yang bertujuan untuk memajukan industri komponen dalam negeri. Pada saat ini terdapat sekitar 250 perusahaan industri komponen yang memproduksi berbagai jenis komponen, mulai dari komponen universal sampai kepada komponen utama seperti engine dan transmisi (Kementerian Perindustrian, 61). Pada dasarnya industri komponen kendaraan bermotor telah mampu membuat hampir seluruh komponen universal. Namun demikian, jumlah dan jenis komponen universal yang diproduksi di dalam negeri bervariasi antar tipe dan merk kendaraan. Penggunaan komponen lokal sangat tergantung pada kebijakan perusahaan prinsipal. Suatu tipe kendaraan tertentu dari merk tertentu telah menggunakan sejumlah komponen universal yang dibuat di
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Indonesia. Namun komponen universal tersebut belum tentu digunakan pada kendaraan yang lain atau merk lain. Untuk dapat memproduksi kendaraan bermotor dengan harga produksi yang rendah sehingga mampu dijual dengan harga yang terjangkau sesuai dengan daya beli masyarakat, komponen-komponen dari kendaraan bermotor tersebut harus dibuat di dalam negeri. Perkembangan segmen baru dalam pasar kendaraan bermotor domestik tentunya akan mampu merangsang
industri
supplier-nya,
yaitu
industri
komponen
kendaraan
bermotor.
Perkembangan industri komponen kendaraan bermotor ini dapat diprediksi dengan adanya persyaratan yang diajukan oleh Kementerian Perindustrian. Produsen LCGC yang akan mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian sebagai yang berhak menerima insentif pajak yang disediakan oleh pemerintah harus mampu melokalisasi komponen yang digunakan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Proses lokalisasi komponen kendaraan bermotor ini dapat dilakukan secara bertahap. Pada suatu produk kendaraan bermotor, komponen dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu komponen OEM (Original Equipment Manufacturer), komponen asli (Genuine Parts) dan komponen AM (After Market). Untuk komponen OEM biasanya diproduksi khusus untuk memenuhi perakitan kendaraan bermotor dengan spesifikasi dan persyaratan mutu yang ditentukan oleh ATPM. Komponen utama yang dibuat langsung oleh ATPM ini berupa Power Train, seperti mesin, transmisi, dan axle. Hal ini disebabkan karena komponen Power Train tersebut sangat berkaitan dengan performansi dari merk dan jenis mobil yang diproduksi. Adapun komponen lain di luar dari komponen Power Train tersebut dapat dibuat oleh perusahaan lain di luar ATPM yang bersangkutan, baik perusahaan lokal maupun perusahaan joint venture. Dengan meningkatnya kebutuhan akan komponen kendaraan bermotor dalam negeri, kualitas dari komponen kendaraan bermotor tersebut juga akan meningkat. Hal ini disebabkan karena komponen kendaraan bermotor yang akan dijual sebagai spare-parts di pasaran, hanya akan laku jika telah digunakan oleh pabrik mobil (Original Equipment for Manufacturing/OEM). Dengan diproduksi di dalam negeri, komponen kendaraan bermotor akan menjadi lebih murah sehingga biaya produksi kendaraan bermotor juga dapat ditekan.
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
5.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah dipaparkan
maka simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: a. Kebijakan insentif pajak berupa pembebasan Bea Masuk dan PPN atas importasi Incompletely Knocked Down (IKD) komponen LCGC akan menurunkan biaya produksi LCGC dan dapat mendorong pertumbuhan industri komponen kendaraan bermotor di dalam negeri. Selain itu, insentif pajak berupa pembebasan PPnBM atas penyerahan LCGC akan menurunkan harga jual LCGC sehingga mampu terjangkau oleh daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Peningkatan daya beli masyarakat ini akan meningkatkan permintaan yang berdampak pada meningkatnya penawaran dan kapasitas produksi industri LCGC. b. Manfaat yang akan diperoleh dengan berkembangnya industri LCGC adalah mengurangi konsumsi BBM dan emisi GRK dengan penggunaan LCGC, perluasan pasar domestik kendaraan bermotor dalam negeri, mendorong pertumbuhan industri komponen dalam negeri, serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
6.
Saran Saran yang dapat diberikan terkait hasil penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Dibutuhkan insentif pajak berupa berupa pembebasan Bea Masuk dan PPN atas importasi Incompletely Knocked Down (IKD) komponen LCGC dan pembebasan PPnBM atas penyerahan LCGC untuk menurunkan biaya produksi LCGC dan meningkatkan kapasitas produksi industri LCGC. b. Dibutuhkan pengembangan teknologi agar LCGC tidak lagi mengkonsumsi BBM, tetapi menggunakan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sehingga lebih hemat energi dan ramah lingkungan.
7.
Kepustakaan
Ibrahim, Saaduddin dan Pranoto K. Pajak Penjualan Barang Mewah: Sebelum dan Sesudah Deregulasi. Jakarta: Jaya Prasada, 1992. Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan: Edisi 2. Jakarta: Granit, 2003. Purwanto. Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Sektor Transportasi). Jakarta: LIPI Press, 2008. Rahayu, Siti Kurnia. Perpajakan Indonesia: Konsep dan Aspek Formal. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013
Surono dan Jafar, Mohamad. Fasilitas Kepabeanan. Jakarta: LPPK Widya Bakti, 2009. Tait, Alan A. Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington D.C.: International Monetary Fund, 1988. Boediningsih, Widyawati. “Dampak Kepadatan Lalu Lintas terhadap Polusi Udara Kota Surabaya.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya: 20 (2011): 119 – 138. Chalk, Nigel A. “Tax Incentives in The Philippines: A Regional Perspective.” IMF Working Paper. (2001). Saepudin, Aep dan Tri Admono. “Kajian Pencemaran Udara Akibat Emisi Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta”. Jurnal Ilmiah Teknologi Indonesia Vol. 28 No.2 (2005): 29 – 39. Siahaan, L. Denny. “Kajian Penghematan Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Transportasi Jalan dalam Perspektif Pembangunan Transportasi Berkelanjutan”. Jurnal Ilmiah Indonesia Vol. 21 No.1 (2009): 150 – 163. Sitorus, Panal. “Penanggulangan Pencemaran Udara dari Transportasi Darat”. Jurnal Ilmiah Indonesia Vol. 20 No.11 (2008): 1606 – 1616. Syahril S., B.P. Resosudarmo, H.S. Tomo. “Study on Air Quality in Jakarta, Indonesia: Future Trends, Health Impacts, Economic Value and Policy Options, Indonesia”. (2002). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2011). Upaya Penghematan Konsumsi BBM Sektor Transportasi, Jakarta. Bank Indonesia. (2013). Kajian Stabilitas Keuangan No. 20. Jakarta: Penerbit Bank Indonesia. -------------. (2012). Laporan Perekonomian Indonesia 2012. Jakarta: Penerbit Bank Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim. (2010). Peluang dan Kebijakan Pengurangan Emisi: Sektor Transportasi, Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2012). 2012: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM. Kementerian Perindustrian. (2007). Perkembangan Daya Saing Industri Otomotif, Elektronika, Peralatan Listrik dan Alat Berat. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian. Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. -------------. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). -------------. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 275/MPP/Kep/6/1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor. Henricus, Hans. “Si Cepat Mengharap Insentif”. Majalah Detik Edisi 44, I Oktober 2012. 15 Juni 2013. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. “Potensi Energi Baru Terbarukan Indonesia Cukup Untuk 100 Tahun”. 23 November 2012. 24 November 2012
. Wiyanto. “Gaikindo Ragukan Produksi Mobil Listrik Massal.” Inilah.com 18 Januari 2013. 22 Januari 2013 < http://www.inilah.com/news/>.
Disain Kebijakan ..., Lusi Khairani Putri, FISIP UI, 2013