FORMULASI KEBIJAKAN COST RECOVERY ATAS PAJAK TIDAK LANGSUNG PADA INDUSTRI HULU MIGAS Winna Putri Meirita1 dan Inayati2 1. 2.
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Berangkat dari fenomena pajak tidak langsung, khususnya PBB, belakangan ini, skripsi ini berfokus pada proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung yang tercantum dalam salah satu pasal Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Proses formulasi mencakup latar belakang, tujuan, alternatif kebijakan, aktor yang terlibat, tahapan, serta faktor pendukung dan penghambat. Sebelum diundangkannya peraturan ini, pajak tidak langsung tersebut dibebankan kepada pemerintah atau dikenal dengan klausa assume and discharge. Namun untuk kontrak-kontrak yang ditandatangani setelah pengundangan peraturan ini, pajak tidak langsung tersebut masuk ke dalam mekanisme cost recovery. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Metode pengumpulan data terutama dilakukan melalui wawancara mendalam dengan key informants. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebaiknya dibuat perbaikan atau revisi terkait kebijakan ini melalui peraturan turunan atau ditingkatkan hierarkinya menjadi undang-undang pajak migas. Tentunya hal tersebut harus dilakukan melalui proses formulasi kebijakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan konsep perpajakan. Kata kunci: Assume and discharge; cost recovery; formulasi kebijakan; industri hulu migas; pajak tidak langsung
The Formulation of Cost Recovery Policy towards Indirect Taxes in Upstream Oil and Gas Industry Abstract Started from the phenomenon of indirect taxes, particularly the Land and Building Tax, recently, this undergraduate thesis aims to analyze the process of cost recovery policy formulation over indirect taxes listed in one article of Government Regulation Number 79 Year 2010. The formulation process includes background, objectives, policy alternatives, the actor involved, the stages, as well as supporting and inhibiting factors. Before this regulation promulgated, indirect taxes be borne by the Government or known as assume and discharge. However, for contracts signed after the promulgation of this regulation, the indirect taxes go into the cost recovery mechanism. This research is qualitative descriptive interpretive. The data were collected mainly by means of in-depth interviews with key informants. The results of the research suggested that revisions should be made related to this policy through regulatory hierarchy into a derivative or enhanced oil and gas tax law. Surely, this must be done through the process of policy formulation based on existing law and the concept of taxation. Keywords: Assume and discharge; cost recovery; indirect tax; policy formulation; upstream oil and gas industry
Pendahuluan Peran sektor minyak dan gas bumi, selanjutnya disebut migas, dalam pembangunan nasional memiliki rekam jejak yang nyata. Industri hulu migas memberikan kontribusi untuk
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
negara melalui sejumlah keberhasilan, antara lain meningkatkan kapasitas nasional, mempertahankan ketahanan energi nasional, meningkatkan alokasi gas domestik untuk memberikan dampak berantai terhadap ekonomi nasional, dan memaksimalisasi penerimaan negara hingga melebihi target yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dari sektor migas tetap menjadi andalan dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, termasuk dari sektor perpajakannya. Sejalan dengan perkembangan penerimaan Pajak Penghasilan sektor migas yang fluktuatif, secara keseluruhan jumlah cadangan migas Indonesia cenderung menurun. Penurunan jumlah cadangan migas dipengaruhi oleh turunnya kegiatan eksplorasi akibat tidak tercapainya komitmen eksplorasi oleh kontraktor sehingga penemuan cadangan tidak dapat mengimbangi pengurasan produksi atau dengan kata lain laju produksi lebih tinggi dibandingkan laju penemuan cadangan baru. Terkait produksi, minyak bumi pun cenderung turun dari tahun ke tahun. Penurunan produksi tersebut disebabkan antara lain karena mundurnya jadwal produksi awal beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), selanjutnya disebut kontraktor, penurunan produksi alamiah, dan permasalahan teknis operasional. Adapun produksi gas bumi meningkat cenderung stabil. Kenaikan produksi tersebut antara lain dikarenakan mulai berproduksinya beberapa lapangan gas baru dan optimalisasi produk. Namun secara keseluruhan produksi migas terus mengalami penurunan akibat usia sumur-sumur produksi yang sudah tua sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan suplai migas domestik. Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional, pemerintah menetapkan empat program prioritas terkait migas tahun 2013, yaitu peningkatan produksi migas, konversi BBM ke bahan bakar gas, pengendalian penggunaan BBM bersubsidi, dan insentif eksplorasi migas (Amindoni 1). Hal ini juga ditegaskan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional yang selanjutnya disebut Inpres 2/2012. Pada penghujung akhir tahun 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, selanjutnya disebut PP 79/2010, yang mengubah total pola pengenaan pajak tidak langsung. Beban pajak tidak langsung dapat dilimpahkan ke depan berupa forward shifting ataupun ke belakang dengan backward shifting, serta sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain (Rosdiana, Irianto, dan Putranti, 2011: 47—8). Sebelum peraturan ini diberlakukan, pemerintah menanggung dan membebaskan pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mekanisme ini dikenal dengan assume
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
and discharge. Tetapi setelah berlakunya PP 79/2010, klausa assume and discharge tidak ada lagi. Pengenaan pajak tidak langsung tidak lagi ditanggung pemerintah, melainkan kontraktor wajib membayar pajak tidak langsung tersebut untuk kemudian dibebankan sebagai biaya dan masuk ke salah satu unsur cost recovery seperti yang tercermin pada penjelasan PP 79/2010 angka I huruf c. PBB menjadi salah satu jenis pajak tidak langsung yang dikeluhkan oleh kontraktor sebagai implikasi dari berlakunya PP 79/2010. Penelitian ini berangkat dari fenomena pajak migas yang terjadi belakangan ini. Timbulnya persoalan mengenai pajak tidak langsung tersebut bermula dari terbitnya PP 79/2010 atau yang dikenal dengan PP Cost Recovery. Berdasarkan latar belakang masalah yang disampaikan, disertai data dan fakta yang ada, terdapat ketertarikan untuk mengkaji lebih dalam mengenai “Formulasi Kebijakan Cost Recovery Atas Pajak Tidak Langsung Pada Industri Hulu Migas”. Kebijakan publik didefinisikan sebagai sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Dwijowijoto, 2003: 4). Alur pada penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasikan masalah yang terjadi belakangan ini antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama migas. Kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung dianggap tidak sejalan dengan keinginan untuk meningkatkan produksi migas nasional. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini dianalisis mengenai formulasi kebijakan tersebut yang meliputi latar belakang, tujuan, alternatif kebijakan, aktor, tahapan, serta faktor pendukung dan penghambat. Penelitian ini memberikan gambaran bagaimana kebijakan tersebut dihasilkan, termasuk kontestasi kepentingan yang berlangsung
di
dalamnya
sehingga
menimbulkan
berbagai
masalah
dalam
pengimplementasiannya saat ini. Salah satu tahapan kebijakan publik adalah formulasi kebijakan. Seperti yang Marifa kutip dari Osborne dan Gaebler, “policy-making is the spearhead of government—it defines where the entire nation is going and how it plans to get there”. Proses ini adalah proses yang dinamis. Pemerintah harus dapat membaca trends, merespons situasi, menganalisis dengan cepat pilihan yang tersedia dan membuat formulasi kebijakan yang pantas (2005: 248—58). Penelitian ini melihat dinamika yang terjadi ke belakang pada saat formulasi kebijakan ini dirumuskan, yaitu sekitar tahun 2006 sampai akhirnya diundangkan tanggal 20 Desember tahun 2010.
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan untuk mengamati, mengumpulkan informasi, dan menganalisis hasil penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini berusaha memahami fenomena kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung pada industri hulu migas di Indonesia. Terlihat adanya beberapa permasalahan sehingga diperlukan kajian terhadap kebijakan tersebut. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Fenomena ini berangkat dari permasalahan tentang cost recovery atas pajak tidak langsung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Dilihat dari segi manfaatnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni tanpa disponsori pihak manapun, yaitu penelitian yang manfaatnya dirasakan untuk waktu yang lama. Dalam penelitian ini, terdapat kebebasan untuk menentukan permasalahan yang diteliti. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini masuk ke dalam kategori penelitian cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu sejak Bulan Oktober 2013 sampai dengan Bulan Juni 2014 dan tidak dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk melakukan perbandingan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data secara kualitatif melalui wawancara mendalam dengan pendekatan pedoman wawancara umum dan studi literatur. Wawancara mendalam dilakukan terhadap pihak-pihak yang dianggap terkait dalam permasalahan ini atau disebut juga dengan key informants, diantaranya adalah Direktorat Jenderal Pajak, Indonesian Petroleum Association, Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, dan akademisi. Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur yang ada seperti buku, jurnal, artikel, dan sumber-sumber tertulis lainnya. Setelah data dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah kegiatan pengolahan data yang meliputi mengedit data dan mengkode data. Setelah langkah tersebut, berikutnya data dianalisis dan diinterpretasikan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis Latar Belakang Formulasi Kebijakan Cost Recovery atas Pajak Tidak Langsung Ketika pemerintah merumuskan suatu kebijakan, tentunya terdapat berbagai hal yang melatarbelakangi diterbitkannya kebijakan tersebut. Kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung didasari oleh beberapa hal. Latar belakang yang pertama adalah sebagai salah satu
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
bentuk implementasi terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut UU 10/2004, Pasal 39 disebutkan bahwa peraturan pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan undang-undang. Dasar hukum yang pertama adalah amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, selanjutnya disebut UU 22/2001, yang menandai perubahan mendasar dalam industri migas nasional. Dalam UU 22/2001 Pasal 3 huruf e disebutkan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi adalah untuk meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional. Selanjutnya, dalam Pasal 31 tentang Penerimaan Negara ayat 1 juga dinyatakan pada bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang melaksanakan kegiatan usaha hulu migas wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ketentuan pajak tidak langsung ini berawal dari undang-undang tersebut bahwa kontraktor wajib membayar penerimaan negara yang berasal dari pajak maupun bukan pajak. Pajak dan PNBP tersebut dirinci dalam ayat 2 dan ayat 3, yaitu pajak terdiri dari pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai, serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Adapun PNBP meliputi bagian negara, pungutan negara berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus. Setelah berlakunya PP 79/2010, pajak tidak langsung tersebut masuk ke dalam mekanisme cost recovery sehingga sesuai dengan skema Production Sharing Contract (PSC), pemerintah dan kontraktor menanggung bersama atas pajak tidak langsung tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa jenis-jenis penerimaan negara tersebut harus dipisah antara pajak dan bukan pajak. Dengan memisahkan kedua jenis penerimaan negara tersebut, artinya sudah sesuai dengan amanat UU 22/2001 sehingga tidak ada lagi bagian pemerintah yang digunakan untuk membayar PNBP karena sebelumnya masih terdapat unsur pajak di dalam PNBP. Kedua, latar belakang formulasi kebijakan ini adalah karena dilandasi oleh UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 31 D. Dasar hukum yang terakhir adalah karena diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 yang selanjutnya disebut UU 41/2008. Disebutkan dalam UU 41/2008 Pasal 4 bahwa PNBP terdiri dari penerimaan SDA, bagian pemerintah atas laba BUMN, PNBP lainnya, dan pendapatan BLU.
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan
di
atas,
ketiga
undang-undang
tersebut
mengamanatkan untuk membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur cost recovery dan perlakuan perpajakan di bidang hulu migas. Selanjutnya, RPP ini resmi menjadi PP 79/2010 yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disebut PerMen 22/2008. PerMen 22/2008 berisi poin-poin negative list, yaitu biaya-biaya yang tidak boleh dibebankan ke dalam penghasilan kontraktor. Melalui PP 79/2010, negative list ini bertambah yang sebelumnya berjumlah tujuh belas poin di dalam PerMen 22/2008 menjadi dua puluh empat poin yang tercantum dalam PP 79/2010. PerMen 22/2008 juga menjadi acuan terbitnya PP 79/2010. Awal mula terbitnya PerMen 22/2008 didasarkan pada temuan audit BPK tentang cost recovery tahun 2008 yang tidak semestinya dibayarkan oleh BP Migas (sekarang SKK Migas) kepada kontraktor. Sebelum diberlakukannya PP 79/2010, pemeriksaan cost recovery dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas nama pemerintah dan BP Migas. Setiap formulasi kebijakan publik harus memiliki seperangkat tujuan tertentu yang hendak dicapai. Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya dalam proses formulasi, harus dilakukan penetapan tujuan secara jelas dan tegas. Kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung memiliki tujuan diantaranya untuk meningkatkan penerimaan negara. Dari sisi pemerintah hendaknya dalam proses penyusunan kebijakan sektor migas menjamin penerimaan negara selama masa proyek itu sendiri. Kegiatan hulu migas memiliki rantai bisnis panjang yang hasilnya baru terlihat beberapa tahun kemudian. Dapat dipahami bahwa upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak menjadi salah satu perangkat kebijakan fiskal oleh negara yang sedang dalam tahap pembangunan seperti Indonesia. Selanjutnya, kenaikan penerimaan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah sebagai modal pertumbuhan investasi. Terkait revenue productivity, menurut Neumark sebagaimana yang dikutip oleh Nurmantu, prinsip ini menyangkut dua hal, yakni the principle of adequacy yang menyatakan bahwa sistem perpajakan nasional seharusnya dapat menjamin penerimaan negara untuk membiayai belanja negara dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dan kemakmuran rakyat. Kedua, the principle of adaptability yang menyatakan bahwa hendaknya sistem perpajakan bersifat cukup fleksibel untuk menghasilkan penerimaan tambahan bagi negara apabila terjadi kebutuhan-kebutuhan mendadak negara seperti adanya bencana alam nasional, tanpa menimbulkan kegoncangan dalam bidang ekonomi rakyat (2005: 91—2). Namun hendaknya ketika kebijakan ini diterapkan, harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
dikenakan kepada kontraktor tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sangat berorientasi kepada asas tersebut karena memang fungsi pajak yang paling utama adalah sebagai sumber pendapatan negara. Pemerintah membutuhkan jaminan bahwa penerimaan negara yang berasal dari pajak tersebut stabil sehingga memenuhi kebutuhan belanja negara. Selain untuk mengamankan penerimaan negara, kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud adalah untuk mengatur secara operasional kegiatan industri hulu migas karena PSC tidak cukup jelas untuk mengatur hal tersebut. Dalam rangka terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, kejelasan ketentuan peraturan perundang-undangan sangat diperlukan oleh kontraktor untuk memudahkan pengadministrasiannya. Namun di lain sisi, pemerintah dianggap terlalu menggunakan
kewenangannya
secara
berlebihan
untuk
mengatur
regulasi
demi
memaksimalisasi penerimaan dari sektor migas. Bagi kontraktor, sebuah kebijakan diharapkan memberikan keuntungan, transparan, dapat diprediksi, stabil, dan tentunya berdasarkan standar praktik internasional sehingga keputusan investasi dapat dibuat secara rasional. Negara memang memiliki peran fiskal sehubungan dengan formulasi kebijakan perpajakan pada sektor migas. Sebagai The Sovereign Tax Power, negara sebagai pemilik kuasa pertambangan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sektor migas telah berkontribusi terhadap penerimaan pajak negara layaknya industri lain (Nellor, 1995: 237). Selain untuk penerimaan negara dan kepastian hukum, tujuan formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung adalah kesesuaian prinsip uniformity principle dalam perpajakan. Menurut prinsip ini, pajak yang sudah ditetapkan harus dibayar terlebih dahulu. Setelah kontraktor berproduksi, pajak ini dianggap sebagai biaya yang dapat dikembalikan. Alternatif kebijakan digunakan untuk untuk mengidentifikasi kemungkinankemungkinan yang muncul. Alternatif kebijakan ini dirumuskan sebagai solusi permasalahan yang nantinya dapat diaplikasikan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Alternatif kebijakan ditentukan berdasarkan mana yang paling berpeluang mencapai sasaran masalah yang dihadapi. Proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung tidak memiliki alternatif kebijakan lain sampai akhirnya dipilih untuk meniadakan klausa assume and discharge. Sebenarnya dari industri mengharapkan alternatif kebijakan lainnya jika assume and discharge tidak lagi diberlakukan. Namun yang terjadi adalah assume and discharge tidak lagi diberlakukan, tetapi tidak diberikan insentif sehingga syarat dan ketentuannya menjadi buruk. Insentif dapat digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk memengaruhi perilaku investor yang berhubungan dengan kegiatan operasi bisnis hulu migas.
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
Analisis Aktor Formulasi Kebijakan Cost Recovery atas Pajak Tidak Langsung Proses penyusunan kebijakan publik melibatkan banyak aktor, baik negara, kelas sosial dan kelompok-kelompok ekonomi, maupun pelaku-pelaku rasional yang bertindak berdasarkan motif memperbesar keuntungan pribadi (Syeirazi, 2009: 9). Aktor yang terlibat tersebut harus memiliki pemahaman dan penguasaan permasalahan di dalam industri hulu migas. Dalam proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung terdapat beberapa pihak yang terlibat secara intensif maupun tidak. Pihak-pihak inti yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (dahulu BP Migas). Sistem perpajakan suatu negara terdiri dari tiga unsur, yakni kebijakan pajak, hukum pajak, dan administrasi perpajakan. Lembaga-lembaga (the institution) ini merupakan bagian dari administrasi perpajakan (Nurmantu: 2005, 106). DJP yang berada di bawah Kementerian Keuangan berperan dalam proses formulasi secara substansial. Untuk peraturan terkait perpajakan, hal tersebut berada di dalam domain nya DJP selaku tax authority. Dalam hal proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung, DJP merupakan prakarsa sehingga menjadi leading sector dalam proses formulasi ini. Oleh sebab itu, DJP merupakan aktor utama dalam proses formulasi kebijakan ini karena memiliki banyak berkepentingan. DJP menilai bahwa kebijakan ini perlu diatur dalam tingkat yang lebih tinggi, yaitu peraturan pemerintah. Sejak tahun dimulainya proses formulasi ini, tim dari DJP tidak mengalami perubahan, lain hal nya dengan pemangku kepentingan lain. Ditjen Migas merupakan aktor perumus penting dalam proses formulasi kebijakan ini. Berdasarkan tupoksinya, Ditjen Migas berperan dalam proses formulasi kebijakan terkait teknis kegiatan hulu migas. Dalam proses formulasi kebijakan ini, Kementerian Keuangan (DJP) juga berkonsultasi dengan kementerian teknis, yaitu Kementerian ESDM (Ditjen Migas). SKK Migas, dulu BP Migas, adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang memiliki peranan penting dalam manajemen operasional di bidang kegiatan hulu migas. Oleh sebab itu, SKK Migas juga merupakan salah satu pemangku kepentingan yang turut serta dalam proses formulasi kebijakan terkait kegiatan hulu migas. SKK Migas yang kewenangannya berada di bawah Kementerian ESDM dalam hal ini tidak terlibat banyak. Dalam UU 22/2001 Pasal 44 disebutkan bahwa fungsi BP Migas adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan hulu migas, sedangkan tugasnya adalah terkait manajemen
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
operasional kegiatan hulu migas. Dengan begitu, SKK Migas sifatnya hanya mendukung jalannya proses formulasi. Dalam kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung, BKF berperan sebagai tim pendamping yang mengiringi proses formulasi. Sebelum terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perumusan Rekomendasi Kebijakan Perpajakan, formulasi kebijakan perpajakan berada di salah satu instansi teknis terkait. Dalam formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung, keterlibatan BKF, yaitu memberikan masukan kepada DJP jika diminta, terutama terkait kebijakan. DJA dan BKF berperan sebagai aktor pendukung atau pelengkap yang tidak terlibat secara intensif pada saat proses formulasi. DJA dan BKF lebih bersikap pasif dibandingkan dengan pemangku kepentingan lainnya karena tidak memiliki andil yang cukup besar dalam proses formulasi. Sejak awal proses formulasi, Indonesian Petroleum Association (IPA) sebagai perwakilan dari pihak industri sudah terlibat. Pada saat draft formulasi ada, IPA dilibatkan dan melibatkan diri. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung berada dalam domain DJP karena terkait pajak. Pemangku kepentingan lain, seperti Ditjen Migas dan SKK Migas menyerahkan hal-hal terkait pajak kepada institusi yang berwenang, dalam hal ini DJP. Analisis Tahapan Formulasi Kebijakan Cost Recovery atas Pajak Tidak Langsung Formulasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan kebijakan publik sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan dan dievaluasi. Patton dan Savicky menggambarkan model rasional sederhana formulasi kebijakan sebagai metode standar dalam menganalisis dan merencanakan sebuah kebijakan. Model ini diawali dengan mendefinisikan masalah, menentukan kriteria evaluasi, mengidentifikasi alternatif kebijakan, mengevaluasi alternatif kebijakan, memilih kebijakan yang sesuai, dan mengimplementasikan kebijakan yang dipilih. Penyusunan suatu peraturan pemerintah, dalam hal ini formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung pada industri hulu migas harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang selanjutnya disebut UU 12/2011. Sebelum terbitnya PP 79/2010, acuan yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang selanjutnya disebut UU 10/2004. Hal ini dikarenakan pada saat proses formulasi PP 79/2010, UU 12/2011 belum diundangkan. Melalui UU 10/2004, proses formulasi peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan pemerintah diharapkan berjalan secara terencana, bertahap, terarah, dan terpadu.
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
Perumusan kebijakan publik merupakan proses transformasi input menjadi output. Tahapan formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung dimulai dengan mendefinisikan masalah menggunakan model rasional sederhana. Model ini dilakukan sebagai metode untuk menganalisis dan merencanakan sebuah kebijakan publik. Hal ini diawali karena terdapat masalah tertentu yang dianggap penting sehingga harus dicari pemecahan masalah terbaik. Proses formulasi kebijakan ini merupakan proses dinamis yang membutuhkan waktu empat tahun sampai peraturan pemerintah ini dilegitimasikan. Proses formulasi kebijakan ini beriringan dengan proses pengajuan amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Setelah proses formulasi kebijakan ini berjalan sejak tahun 2006, kemudian pada tahun 2008 DPR mengkritisi kenaikan cost recovery yang mempengaruhi penerimaan negara dari sektor migas. Kritikan itu muncul ketika Sri Mulyani Indrawati, selaku Menteri Keuangan saat itu, menyampaikan Nota Keuangan ke DPR untuk selanjutnya menjadi bahan dalam perumusan UU 41/2008. Desakan itu juga datang dari masyarakat umum karena tren cost recovery yang semakin meningkat, tapi tidak dimbangi oleh produksi lifting yang justru semakin menurun. Dalam rentang tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, isu cost recovery sempat ramai dibicarakan di media masa. Penyusunan model juga merupakan salah satu tahapan dalam proses formulasi. Model dapat dituangkan menjadi flow chart atau diagram. Terkait pajak tidak langsung juga dibuat model perhitungan untuk memudahkan dalam memilih alternatif kebijakan yang harus dipilih. Tahapan yang dilalui dalam proses formulasi ini adalah diawali dengan pembuatan draft awal. Kemudian draft tersebut disirkulasikan ke pihak asosiasi, yaitu IPA. Setelah itu, draft tersebut di-review dan diberi tanggapan, serta diadakan diskusi-diskusi secara resmi maupun tidak resmi yang dilakukan secara intensif. PP 79/2010 pun berangkat dari dua draft peraturan. Pertama adalah draft tentang pengelolaan migas yang digarap oleh Kementerian ESDM, sedangkan yang kedua adalah draft tentang perlakuan pajak penghasilan yang digarap oleh Kementerian Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Ketika kedua draft tersebut di-review oleh Sesneg, muncul usulan untuk menggabungkan kedua draft tersebut menjadi satu peraturan pemerintah. Pada akhirnya terdapat kesepakatan antara kedua kementerian, yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM untuk menggabungkan substansi peraturan. Setelah proses kesepakatan antara kementerian teknis, dilakukan pengesahan yang melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, dan Presiden. Disebutkan dalam UU 10/2004 Pasal 1 ayat 5 bahwa peraturan pemerintah adalah peraturan perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
mestinya. Oleh karena kebijakan ini bukan merupakan undang-undang, hanya berupa peraturan pemerintah, maka pengesahannya pun tidak sampai pada DPR. Proses formulasi PP 79/2010 dimulai sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Produk hukum ini telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan mulai berlaku efektif pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 20 Desember 2010. Pada hasil akhirnya, PP 79/2010 terlihat didominasi oleh unsur pajaknya karena pada saat itu, DJP menyiapkan bahan lebih banyak dibandingkan dengan pemangku kepentingan lain. DJP memasukkan sebanyak mungkin unsur perpajakan di dalamnya. Oleh karena pada saat proses formulasi PP 79/2010 ini masih mengacu pada UU 10/2004, maka naskah akademik tidak dibutuhkan. Kewajiban adanya naskah akademik diatur setelah PP 79/2010 ini terbit, yaitu melalui UU 12/2011. PP 79/2010 menjadi gerbang masuk DJP untuk mengatur perpajakan migas. Sebelumnya, tidak pernah ada pengaturan perpajakan migas secara khusus karena pajak tersebut dianggap sesuatu komponen kecil. Melalui kebijakan ini, diupayakan penambahan bobot kekuasaan kepada DJP. Hal tersebut disebabkan oleh adanya tuntutan tertentu yang ditujukan kepada DJP terkait penerimaan pajak dari sektor migas. Sejak awal proses formulasi, pihak industri yang diwakili oleh IPA tidak setuju dengan perubahan pola pengenaan pajak tidak langsung dari assume and discharge menjadi cost recovery. Pada akhirnya yang terjadi adalah masukan dari IPA tidak terakomodasi dalam PP 79/2010. Implikasi pajak tidak langsung yang ramai dibicarakan sekarang salah satunya disebabkan oleh pada saat formulasi kebijakan itu berlangsung, kebanyakan pemangku kepentingan tidak memberikan perhatian penuh. Pajak tidak langsung tidak menjadi fokus utama pada saat formulasinya. Pada saat pembahasan, terdapat hal-hal lain yang menjadi fokus utama selain pajak tidak langsung ini sehingga poin PBB dan/atau PPN tidak terlalu terlihat. Ternyata ketika kebijakan ini diberlakukan, menimbulkan masalah dalam pengimplementasiannya. Hal ini disebabkan oleh karena dalam proses formulasinya tidak mengkaji setiap poin dalam peraturan tersebut dengan baik. Kebijakan pajak tidak langsung, seperti PBB dan PPN tidak dapat diatur secara mendetil di dalam PP 79/2010 karena pajakpajak tersebut sudah diamanatkan dalam undang-undang tersendiri. Dengan kata lain, hal tersebut di luar kemampuan PP 79/2010 itu sendiri. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Formulasi Kebijakan Cost Recovery atas Pajak Tidak Langsung Dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dalam proses formulasi kebijakan publik, ditemukan berbagai peluang dan hambatan yang ada. Faktor pendukung dalam proses
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung dalam PP 79/2010 adalah karena diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, faktor lainnya adalah para pemangku kepentingan memiliki niat sama untuk menciptakan suasana industri migas yang kondusif di Indonesia. Kebijakan ini pun didukung oleh Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak yang menjabat pada saat itu. Proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung dalam PP 79/2010 tidak terlepas dari berbagai faktor penghambat. Sebagai contoh, benturan kepentingan antar pemangku kepentingan, perbedaan pemahaman alur bisnis industri hulu migas, dan suasana nyaman yang telah dirasakan oleh pelaku industri migas sejak lama. Maksud formulasi PP 79/2010 adalah untuk membuat suatu sistem perpajakan migas yang sempurna. Namun terlalu lambannya proses formulasi tersebut pada akhirnya hanya memformalkan praktek-praktek yang sudah terjadi dalam proses bisnis industri hulu migas sesuai dengan kaidah kelaziman yang ada. Dalam suatu proses formulasi kebijakan, dimungkinkan bahwa model kebijakan tersebut dapat disesuaikan dengan prinsip praktek yang lazim. Sebelumnya, konsep skema bagi hasil migas tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi dengan terbitnya PP 79/2010, skema ini menjadi jelas. Adapun faktor penghambat yang kedua disebabkan oleh perbedaan pemahaman antar pemangku kepentingan. Terkait zona nyaman yang dirasakan oleh kontraktor, hal ini karena format kontrak hampir tidak pernah berubah dari jaman dulu hingga sekarang sehingga sulit bagi industri untuk menerima perubahan ketentuan di luar kontrak tersebut. Dapat dipahami bahwa sulit untuk mendesain suatu kebijakan optimal yang dapat masuk ke semua kegiatan migas di semua negara. Hal ini disebabkan oleh setiap negara memiliki perbedaan bentang alam dan risiko kegiatan eksplorasi dan pengembangan yang berbeda-beda. Hambatanhambatan tersebut di atas menyebabkan proses formulasi kebijakan ini menjadi lamban. Faktor yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan pajak, tidak hanya sekedar masalah perpajakan. Namun dimungkinkan terdapat dimensi politis di dalam aktivitas yang terjadi. Komponen politis dalam proses perumusan kebijakan publik dapat timbul karena didasarkan oleh dorongan dari sekelompok kepentingan khusus atau konstituen. Unsur politis dalam proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung dapat terjadi ketika mengoleksi informasi, analisis informasi, pengembangan alternatif kebijakan, advokasi, membangun koalisi, kompromi, dan negosiasi. Dapat dipahami bahwa salah satu kekhasan industri hulu migas adalah ketidakpastian dari sisi politis. Ketidakpastian tersebut diantaranya disebabkan oleh risiko dan stabilitas negara yang bersangkutan. Padahal dalam menyusun
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
suatu kebijakan untuk sektor pertambangan migas penting untuk memperhatikan stabilitas makroekonomi yang terprediksi dan cenderung stabil.
Simpulan Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan mengenai proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung pada industri hulu migas. Pertama, latar belakang formulasi kebijakan ini adalah menjalankan amanat UU 22/2001, UU 36/2008, UU 41/2008, dan PerMen 22/2008. Tujuan formulasi kebijakan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, memberikan kepastian hukum, dan dalam rangka prinsip kesederhanaan. Dalam proses formulasi kebijakan ini tidak ditemukan alternatif kebijakan lainnya sehingga membebankan pajak tidak langsung ke dalam mekanisme cost recovery menjadi satu-satunya pilihan. Kedua, kebijakan ini merupakan kebijakan lintas sektoral atau lintas kementerian antara Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. Aktor utama yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan ini, yaitu DJP sebagai inisiator, Ditjen Migas, dan SKK Migas. Adapun BKF dan DJA merupakan aktor pelengkap yang tidak secara intensif terlibat dalam proses formulasi. Proses formulasi kebijakan ini juga melibatkan pihak industri, yaitu IPA. Ketiga, tahapan yang dilalui dalam proses formulasi ini dijalankan berdasarkan UU 10/2004. Namun dinamika yang terjadi dalam proses formulasi kebijakan ini adalah pajak tidak langsung bukan merupakan fokus utama dalam pembahasan sehingga tidak dibahas secara mendalam, terutama tentang implikasi kebijakan yang dipilih. Terakhir, faktor pendukung dalam proses formulasi kebijakan ini adalah dukungan dari Menkeu dan Dirjen Pajak yang menjabat saat itu dan itikad baik dari seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga iklim industri hulu migas lebih kondusif. Di lain sisi, faktor penghambatnya adalah benturan kepentingan antar pihak yang terlibat, perbedaan pemahaman tentang industri hulu migas, dan zona nyaman yang sudah terlalu lama dirasakan oleh kontraktor sehingga sulit untuk diubah. Akibatnya, proses formulasi kebijakan ini berjalan lambat sampai memakan waktu empat tahun, dari tahun 2006 sampai dengan waktu penerbitannya, yaitu tanggal 20 Desember 2010.
Saran Rekomendasi yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebaiknya dilakukan perbaikan atau revisi terhadap kebijakan tersebut. Perbaikan atau revisi dapat diamanatkan melalui peraturan turunan dari PP 79/2010 atau dalam jangka panjang, ditingkatkan
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014
bentuknya menjadi sebuah undang-undang pajak migas sehingga memiliki kekuatan yang lebih mengikat. Hal tersebut sesuai dengan kelaziman internasional di dunia hulu migas bahwa peraturan perpajakan migas diatur dalam suatu undang-undang, tidak lagi peraturan pemerintah. Namun tentunya proses tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan sejalan dengan konsep perpajakan. Selain itu, sedapat mungkin mengakomodasi masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Jika dipaksakan, maka dapat menimbulkan ego sektoral atau pemaksaan kehendak dari salah satu pemangku kepentingan. Lebih jauh, hal ini dapat menyebabkan disharmoni peraturan perpajakan yang dapat mengakibatkan iklim industri hulu migas menjadi tidak kondusif.
Referensi Amindoni, Ayomi. Media Indonesia. Empat Program Tumpuan Sektor Migas. Maret 12, 2014 http://www.indii.co.id/upload_file/201302071601170.Empat Program Tumpuan Sektor Migas.pdf Dwijowijoto, Riant Nugroho. (2003). Kebijakan Publik. Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Marifa, Isna. (2005). “Institutional Transformation for Better Policy Implementation and Enforcement.” Natural Resources in Indonesia: The Economic, Political, and Environmental Challenges, Australian National University, 24-25 September 2004. Ed. Budy P. Resosudarmo. Singapore: ISEAS Publications. Nellor, David C. L. (1995). Taxation of Mineral & Petroleum Resources. Tax Policy Hand Book. Washington D.C.: IMF. Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Rosdiana, Haula, Edi Slamet Irianto, dan Titi Muswati Putranti. (2011). Teori Pajak Pertambahan Nilai: Kebijakan dan Implementasinya di Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Syeirazi, M Kholid. (2009). Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Formulasi Kebijakan..., Winna Putri Meirita, FISIP UI, 2014