Analisis Formulasi Kebijakan Perluasan Objek Pajak Restoran Di Kota Depok Clara Wiwit Saptianti dan Achmad Lutfi Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Abstrak Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan formulasi kebijakan perluasan objek pajak restoran dan menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Pemerintah Depok dalam proses implementasi. Peneliti mengambil usaha warteg sebagai contoh perluasan objek pajak restoran. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data kualitatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa formulasi Perda sudah melewati tahap-tahap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2010. Dalam proses implementasinya, Pemerintah Depok baru sampai pada tahap pendataan karena mengalami berbagai hambatan antara lain pengusaha warteg yang tidak antusias dengan informasi yang diberikan oleh pemerintah, jumlah tenaga pendataan yang kurang, serta masih banyak warteg yang tidak memiliki ijin usaha. Sebaiknya pemerintah Depok menambah jumlah petugas pendataan dan memberikan informasi mengenai pajak restoran terlebih dahulu kepada pelaku usaha dan konsumen jasa warteg. Kata Kunci : Pajak Restoran, Pajak Daerah, Formulasi Perda Abstract The study was conducted to describe the formulation of policies aimed at expanding restaurant tax objects and analyze the barriers faced by the Government in the implementation process Depok. Researchers took as an example of the expansion of the business object warteg restaurant tax. The study was conducted with a qualitative approach and qualitative data collection. The survey results revealed that the formulation of legislation has passed the stages in accordance with Government Regulation No. 16 of 2010. In the process of implementation, the Government of Depok still in data collection stage due to various constraints such as a lack of enthusiasm warteg entrepreneurs with the information provided by the government, the less amount of employee data collection, and many warteg who do not have a business license. Depok government should increase the number of personnel data and provide information on prior restaurant tax to businesses and consumers warteg services. Keywords: Restaurant Tax, Local Tax, Policy Formulation
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Pemerintah khususnya pemerintah daerah Depok dituntut untuk selalu berpikir kreatif untuk menggali potensi-potensi dalam rangka meningkatkan potensi penerimaan daerah. Dalam menggali sumber penerimaan daerah, pemerintah akan melihat potensi-potensi yang terdapat di lapangan dan dirasa bahwa potensi tersebut benar-benar dapat meningkatkan PAD. Jika potensi tersebut akan memberikan kontribusi bagi daerah dan dapat meningkatkan PAD, maka pemerintah dapat membuat penetapan pajak baru atau melakukan perluasan objek pajak atas potensi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kota Depok mengeluarkan kebijakan untuk mengenakan pajak atas usaha warung dalam rangka perluasan objek pajak restoran. Dalam peraturan daerah juga diberikan batasan mengenai omzet usaha yang dapat dikenakan pajak, yaitu lebih besar dari Rp 120.000.000,-/tahun atau Rp 10.000.000,-/bulan. Pengenaan atas usaha warung tersebut dilakukan dengan harapan tidak ada warga negara yang luput dari membayar pajak, terlebih selama pihak tersebut melakukan aktivitas bisnis atau usaha. Salah satu warung yang termasuk dalam kategori warung adalah warung tegal atau yang biasanya disebut dengan warteg. Pemerintah daerah Kota Depok tidak begitu saja menjadikan usaha warteg sebagai salah satu objek pajak restoran hanya karena tuntutan penambahan penerimaan daerah. Pemerintah daerah Kota Depok memiliki dasar hukum untuk menjadikan usaha warteg sebagai objek pajak restoran yaitu Perda No 7 Tahun 2010. Dalam Perda No 7 Tahun 2010, warteg ini dapat dikatakan masuk ke dalam kategori restoran. Perda No 7 Tahun 2010 mengatakan bahwa restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering. Berdasarkan definisi tersebut, maka warteg masuk ke dalam kategori restoran, dan dapat dijadikan objek pajak restoran. Jika usaha warteg dikenakan pajak, maka penerimaan yang didapat dari pengenaan pajak restoran atas usaha warteg akan menjadi tambahan pendapatan atau penghasilan bagi pemerintah daerah. Penerimaan pajak restoran atas usaha warteg dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan berbagai program, fungsi, dan tugas yang dipikulnya. Di Indonesia, dua tingkat pemerintah daerah yang teratas memiliki wewenang
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
mengenakan pajak, meskipun jumlah penerimaan total dari pajak daerah tidak besar, hanya 2,5% dari seluruh penerimaan pajak nasional. (Devas, 1989) Di Kota Depok sendiri tidak atau belum ada keluhan yang signifikan mengenai perluasan pajak restoran tersebut, namun, tetap saja kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kota Depok tersebut mendapat pertentangan dari banyak pihak, seperti masyarakat, akademisi, maupun koperasi warteg. Wacana mengenai pengenaan pajak atas usaha warteg ini lebih terangkat ke perrmukaan dan menimbulkan pro-kontra pada awal tahun 2010, dan sejak itu terjadi beberapa pertimbangan kebijakan antara pemerintah dengan pihak-pihak yang kurang menyetujui kebijakan untuk menjadikan omzet usaha warteg sebagai objek pajak.
1.2 Permasalahan
Usaha warung dalam hal ini warteg yang diangkat sebagai salah satu contoh kategori warung pada awalnya tidak dikenakan pajak, namun akhirnya pemerintah daerah Depok menerbitkan Perda No.7 Tahun 2010 untuk mengenakan pajak restoran terhadap usaha warung makan salah satunya adalah warteg dengan batasan omzet tertentu. Bagi pengusaha warteg, penetapan pajak restoran sebesar 10% dari omzet usaha warteg ini dirasa memberatkan atau membebani mereka. Beberapa alasan mengapa pengusaha warteg tidak setuju usaha warteg dikenakan pajak, antara lain: a.
Warteg merupakan usaha kecil, yang dijalankan oleh rakyat kecil Hal ini diungkapkan oleh pengusaha warteg Shinta Kukusan Teknik : “ Masa orang kecil seperti kami juga dikenain pajak mba? Ngerti pajak aja ngga. Untung aja ngga seberapa.” Hal serupa juga diungkapkan oleh pengusaha warteg Sasari : “ Warung kecil begini mah ga usah ajalah. Ngga ngerti juga.”
b.
Dengan ditetapkannya pajak restoran atas usaha warteg, maka pengusaha warteg harus meningkatkan harga makanan dan minuman yang dijajakannya. Meningkatnya harga ini dirasa akan memberatkan kosumen. Hal ini diungkapkan oleh pengusaha Warteg Sasari : “ Berarti saya harus naikin harga makanannya dong yah? Kasian lah neng yang beli kan mahasiswa.”
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah : 1.
Bagaimanakah formulasi kebijakan Perda Kota Depok No.7 Tahun 2010 mengenai pajak restoran dan kaitannya dengan perluasan objek pajak restoran?
2.
Apakah faktor-faktor penghambat dalam proses implementasi Perda Kota Depok No.7 Tahun 2010 mengenai perluasan objek pajak restoran terhadap usaha warteg dengan batasan omzet tertentu?
I.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis adalah : 1.
Untuk mendeskripsikan formulasi kebijakan Perda Kota Depok No 7 Tahun 2010 mengenai pajak restoran, serta keterkaitannya dengan perluasan objek pajak restoran.
2.
Untuk menganalisis hambatan dalam proses implementasi Perda Kota Depok No 7 Tahun 2010 mengenai perluasan objek pajak restoran terhadap usaha warteg dengan omzet tertentu.
2. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling terkait satu sama lain oleh seorang atau sekelompok aktor politik yang berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih dan cara-cara pencapaiannya dimana keputusan-keputusan tersebut masih terdapat dalam batas kekuasaannya (Jenkins, 1978, hal.15)
2.2 Pajak Daerah Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik (Lesmana, 1992, hal. 42).
2.3 Tax Base Ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hancock, yaitu : 1. Wealth (Kekayaan)
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
Pajak yang diperkenalkan pertama kali adalah pajak kekayaan. Hal ini disebabkan karena kekayaan lebih mudah untuk dikenakan pajakd aripada penghasilan. Pajak atas kekayaan juga dapat menggantikan pajak atas penghasilan pasif dan capital gain dan ini sangat efektif sebagai dasar pengenaan pajak dilihat dari kemampuan membayar. Pajak kekayaan ini adalah pajak atas aset yang dimiliki seseorang atau badan. 2. Income (Penghasilan) Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan. Pajak penghasilan yang komprehensif harus sesuai dengan jumlah yang dapat dikonsumsi seorang individu tanpa mengurangi nilai dari kesejahteraan individu tersebut. 3. Expenditure (Pengeluaran) Pajak dengan dasar pengenaan pengeluaran dikenakan hanya pada saat Wajib Pajak membelanjakan uangnya (Hancock, 1994, hal. 62)
2.4. Tax Threshold Tax threshold ini adalah pembatasan nilai penjualan yang dapat digunakan dalam meminimalkan beban pajak bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Pembentukan ambang batas pemajakan ini berpotensi untuk menghilangkan pajak bagi yang berpenghasilan rendah sehingga dia mendapatkan penghasilan bersih tanpa dipotong pajak. Thuronyi menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari penentuan batas minimal, yaitu : a. Actual turnover of taxable suppliles over a defined period. Realisasi nilai peredaran atau omzet kena pajak selama periode tertentu. b. Estimated turnover over a defined period. Estimasi atau perkiraan nilai peredaran atau omzet yang harus digunakan pada periode tertentu. Ada tiga hal yang mendasari nilai peredaran tersebut, yaitu : a. The test may be based on past periods (when actual turnover can be used). Nilai peredaran usaha atau omzet berdasarkan atas periode sebelumnya. b. Future periods (when estimates must be used). Nilai peredaran usaha atau omzet berdasarkan atas masa periode mendatang, c. A period such as the current calendar year, which is both past and future. Nilai peredaran usaha atau omzet berdasarkan atas masa periode saat ini, masa lalu maupun masa mendatang.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
3. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena permasalahan penelitian perlu untuk dieksplorasi. Peneliti ingin menggambarkan atau menjelaskan secara mendalam mengenai formulasi dan evaluasi Perda Kota Depok No 7 Tahun 2010 mengenai pajak restoran yang terkait dengan perluasan objek pajak restoran atas usaha warteg dengan omzet tertentu. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengembangkan suatu teori yang dapat mendukung penelitian ini.
3.2 Jenis Penelitian a. Berdasarkan Tujuan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari jenis penelitian deskriptif adalah membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Tujuan penelitian tentu saja harus sejalan dan konsisten dengan rumusan masalah penelitian. Apa yang dinyatakan dalam rumusan masalah penelitian juga perlu dinyatakan sebagai tujuan dari sesuatu penelitian hanya saja formulasinya bisa berbeda (Creswell, 1994, hal. 101).
b. Berdasarkan Dimensi Waktu Penelitian ini termasuk dalam cross sectional research, karena dilakukan pada satu waktu tertentu, pada saat melaksanakan praktek lapangan, walaupun dalam prakteknya penelitian tersebut berlangsung selama beberapa minggu atau bulan untuk menyelesaikan proses penelitian ini. c. Berdasarkan Manfaat Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian murni, karena penelitian dilakukan atas dasar keingintahuan peneliti terhadap suatu hasil aktivitas yang ada dalam masyarakat (Nazir, 1988, hal. 29). Aktivitas tersebut adalah formulasi dan evaluasi Perda Kota Depok No 7 Tahun 2010 mengenai pajak restoran terkait dengan perluasan objek pajak restoran atas usaha warteg dengan omzet tertentu. Dalam penelitian murni, peneliti dapat secara bebas memilih permasalahan dan siapa subjek penelitiannya.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
Penelitian murni adalah permasalahan dan subjek penelitian dipilih berdasarkan kebebasan, penelitian dinilai oleh norma pengetahuan yang bersifat absolut dan memiliki standar ilmu pengetahuan yang tinggi, dan tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi kepada ilmu pengetahuan yang ada. Penelitian murni lebih banyak digunakan di lingkungan akademik dan biasanya dilakukan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian mengenai implementasi Perda Kota Depok No. 7 Tahun 2010 tentang pajak restoran (studi terhadap perluasan objek pajak restoran di Kota Depok) dilakukan dalam kerangka akademis dan lebih ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan peneliti. 3.3. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan mencari data yang tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kerja mencari bahan di perpustakaan merupakan hal yang tak dapat dihindarkan oleh seorang peneliti. Ada kalanya, perumusan masalah dan studi keputusan dapat dikerjakan secara bersamaan (Nazir, 1988, hal. 47). b. Studi Lapangan Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara). Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian (Nazir, 1988, hal. 234). Peneliti akan menggunakan pertanyaan terbuka dan melakukan interview secara bertahap dengan menggunakan alat perekam. Peneliti tidak membatasi pilihan jawaban narasumber, sehingga narasumber dalam penelitian ini dapat menjawab secara leluasa dan lengkap sesuai dengan pendapatnya. Wawancara mendalam ini dilakukan kepada pihak-pihak yang kompeten dan berkaitan dengan formulasi dan implementasi Perda No 7 Tahun 2010 terkait pengenaan pajak restoran terhadap usaha warteg dengan omzet tertentu di Kota Depok. c. Narasumber Cara memperoleh data kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur pada key informant. Wawancara dilakukan kepada beberapa informan yang memiliki beberapa kriteria, yaitu:
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
The informant is totally familiar with the culture and is in position to witness significant events makes a good informant.
Pemberi informasi harus benar-benar mengetahui budaya dan keadaan lingkungan yang akan diteliti. Pemberi informasi atau informan merupakan staff atau kepala bagian yang bekerja di suatu institusi dalam jangka waktu yang lama sehingga benar-benar paham bagaimana budaya dan lingkungan kerjanya.
The individual is currently involved in the field.
Informan merupakan pihak yang benar-benar turun langsung menghadapi masalah-masalah yang terjadi terutama dengan masalah yang diangkat oleh peneliti, sehingga informan benarbenar paham mengenai masalah yang terjadi di lapangan.
The person can spend time with the researcher.
Di suatu institusi yang akan diteliti pasti banyak pihak yang dapat dijadikan informan oleh peneliti, namun tidak semua pihak tersebut mempunyai waktu luang untuk dijadikan informan karena faktor kesibukan. Informan yang dicari adalah informan yang bersedia meluangkan waktunya untuk peneliti, karena pencarian informasi akan membutuhkan waktu yang relatif lama.
Non analytic individuals make better informants. A non-analytic informant is familiar with and uses native folk theory or pragmatic common sense.
Informan tidak terpaku dengan suatu analisis maupun teori-teori yang ada. Informan memberikan informasi berdasarkan fakta yang ada dengan sebenar-benarnya, sehingga tidak menimbulkan bias. 3.4 Batasan Penelitian Penelitian ini terbatas hanya terhadap formulasi dan faktor penghambat proses implementasi Perda Kota Depok No.7 Tahun 2010 mengenai perluasan objek pajak restoran atas usaha warung. Dalam penelitian ini warteg yang diambil sebagai salah satu contoh warung. Penelitian tidak membahas jauh mengenai proses implementasi karena implementasi baru sampai pada tahap pendataan. Evaluasi juga dibahas hanya mengenai kebijakannya saja bukan evaluasi implementasinya. Pembatasan penelitian ini dilakukan untuk mempersempit dan memfokuskan bahasan penelitian.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
4. PEMBAHASAN 4.1 Latar Belakang Perluasan Objek Pajak Restoran Atas Usaha Warung (Warung Tegal) Pemerintah daerah pada hakekatnya memiliki tujuan dan target dalam menjalankan aktifitas pemerintahannya. Untuk mencapai tujuan-tujuan serta target tersebut, pemerintah daerah membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mampu menopang dan mendorong agar hasil yang diinginkannya tercapai. Berdasarkan Undang-Undang No 28 Tahun 2009, Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak baru selain yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang. Dengan adanya penambahan kewenangan pemungutan pajak daerah Kabupaten/Kota tersebut, diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar. Namun Undang-Undang juga memberikan batasan kepada daerah dalam membuat kebijakan, seperti penentuan tarif maksimum, dan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak baru. Hal tersebut bertujuan dalam hal memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pemerintah daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat dengan harapan bahwa pemerintah daerah dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Meskipun otonomi daerah telah berjalan, dimana pemerintah pusat telah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan yang berada di wilayahnya, namun hingga kini masih banyak daerah yang bergantung pada pemerintah pusat terutama untuk urusan keuangan. Hal ini terjadi karena penerimaan dari PAD belum memadai atau menutupi dana pengeluaran daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Depok menggali lagi potensi-potensi pajak yang ada, yang diharapkan dapat meningkatkan PAD Depok. Dengan kewenangan yang diberikan tersebut, maka Pemerintah Depok melakukan perubahan atas Perda No 02 Tahun 2002 menjadi Perda No 7 Tahun 2010 dalam hal ini mengenai pajak restoran. Pemerintah Daerah Depok melakukan perluasan objek pajak restoran hingga ke warung, dimana warteg termasuk dalam kategori warung tersebut jika memiliki omzet diatas Rp 10.000.000,-/bulan salah satunya atas dasar meningkatkan PAD. Kebijakan perluasan objek pajak restoran yang diatur dalam Perda No 7 Tahun 2010 memang tidak ada dalam Perda No 02 Tahun 2002, hal tersebut memang diperbolehkan berdasar amanat UU No 28 Tahun 2009 tentang pajak restoran. Dengan kebijakan yang diatur dalam undang-undang ini, potensi-potensi pajak diharapkan dapat meningkatkan pendapatan
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
daerah dan memberikan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar. Dalam hal ini apabila fungsi budgetair meningkat maka penerimaan daerah juga akan meningkat, serta kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah juga meningkat. Peningkatan kontribusi pajak daerah inilah yang dapat dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat. Pajak daerah selain sebagai instrumen yang terkait fungsi penerimaan (budgetair), juga berfungsi sebagai sarana bagi pemerintah daerah dalam rangka mencapai tujuantujuannya. Terkait konsep pajak daerah, maka pajak daerah dari awal memang diarahkan dalam mengatur ketertiban umum. Untuk pajak restoran, jika dilihat dari fungsi regulerendnya memiliki esensi dalam mengatur ketertiban pemenuhan kewajiban perpajakan daerah. Perluasan objek pajak restoran hingga ke warung (warteg) dan rumah makan dengan omzet diatas Rp 10.000.000,-/bulan ini diharapkan agar pihak-pihak yang melakukan usaha bertanggung jawab kepada pemerintah. 4.2 Formulasi Perda No. 7 Tahun 2010 Tentang Pajak Restoran Terkait Perluasan Objek Pajak Restoran Dalam perumusan kebijakan perluasan objek pajak restoran hingga ke usaha warung yang tertuang dalam Perda No 7 Tahun 2010, mempunyai rangkaian dan proses yang dimulai dari identifikasi masalah hingga penyusunan rancangan desain kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini peneliti akan mencoba mengkaji rangkaian proses perumusan kebijakan tersebut dan membaginya dalam dua (2) tahap : Tahap I 1. DPPKA Kota Depok mengusulkan melakukan perluasan objek pajak restoran Kebijakan perluasan objek pajak restoran ini berawal dari usulan atau inisiatif dari DPPKA Kota Depok. DPPKA melihat bahwa masih banyak potensi-potensi penerimaan daerah yang berasal dari sektor restoran dengan omzet yang besar namun belum terjamah oleh Pemerintah Kota Depok. Sektor restoran tersebut mencakup restoran besar dengan omzet tinggi namun tidak membayar pajak hingga ke warung-warung makan. Warung-warung makan yang selama ini belum dianggap oleh Pemerintah Depok ternyata memiliki omzet yang cukup besar. Berarti masih sangat banyak potensial loss dari sektor pajak restoran, yang
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
diharapkan dengan adanya usulan memperluas objek pajak restoran hingga ke usaha warung ini dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah dari potensial loss tersebut. 2. DPPKA membuat naskah akademik Naskah akademik untuk melakukan perubahan atas Perda yang sebelumnya yaitu Perda No 2 Tahun 2002 mengenai pajak daerah. Naskah akademik disusun oleh pihak DPPKA bersama dengan akademisi yang mempunyai pemahaman mengenai pajak daerah. Dalam
penyusunan
naskah
akademik,
dikajilah
mengenai
peluang-peluang
untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah dan kemungkinan-kemungkinan dampak yang terjadi jika dilakukan perubahan atas Perda tersebut. (Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2010, Pasal 81) 3. DPPKA menyusun draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DPPKA menyusun draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) untuk mengganti peraturan daerah yang sebelumnya. 4. DPPKA menyampaikan surat ke DPRD Depok DPPKA menyampaikan surat yang berisi penyampaian usulan melakukan perluasan objek pajak beserta Raperda yang akan dibahas oleh pihak DPRD. Tahap II 1. DPRD menyampaikan surat dalam Badan Legislatif DPRD Depok menyampaikan surat dari DPPKA dalam Badan Legislatif (Banleg) untuk dilihat dan dilakukan pembahasan awal apakah Rancangan Pajak Daerah (Raperda) tersebut masuk atau tidak ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). 2. Raperda diserahkan ke DPRD kembali dan dirapatkan dalam Badan Musyawarah (Bamus) Setelah Raperda diserahkan ke DPRD, langkah yang dilakukan DPRD selanjutnya adalah merapatkan Raperda tersebut dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk diparipurnakan bahwa DPPKA telah menyampaikan Raperda ke DPRD. Kemudian Bamus menjadwalkan rapat paripurna untuk menyampaikan Raperda yang diajukan oleh DPPKA tersebut. 3. DPRD melakukan rapat paripurna Dalam Paripurna pertama, sebelum membentuk Pansus dibahas terlebih dahulu ada berapa Raperda yang diterima oleh DPRD untuk dibahas. Misalnya saja ada 15 Raperda yang diserahkan oleh pemerintah Depok kepada DPRD untuk dibahas. Dari 15 Raperda tersebut kemudian DPRD membaginya ke dalam 3 Pansus, jadi setiap pansus membahas 5 Raperda.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
Pansus sendiri merupakan perwakilan dari masing-masing fraksi. Jumlah anggota Pansus tergantung jumlah anggota fraksi tersebut di DPRD. Di satu pansus ada yang mendapat bagian 2-4 tempat sesuai jumlah anggota fraksi. Pembahasan mengenai Raperda mengenai pajak daerah diserah tugaskan kepada Pansus 1. 4. Paripurna Kedua Paripurna kedua yaitu menyampaikan dan menetapkan anggota-anggota Pansus. Untuk Pansus 1 sendiri beranggotakan atas 13 orang yang berasal dari beberapa fraksi yang ada di DPRD. Setelah anggota Pansus ditetapkan, kemudian dilakukan penentuan ketua, wakil ketua dan sekretaris Pansus. Untuk Pansus 1 yang dipilih sebagai ketua Pansus adalah Dra. Hj. Siti Nurjanah, wakil ketua Pansus H. Ardja Djunaedi dan yang menjadi sekretaris adalah T.Farida Rachmayanti. Setelah ketua, wakil, dan sekretaris Pansus terpilih kemudian dilanjutkan dengan menentukan jadwal diskusi internal, public hearing, kajian ke daerah lain dan menentukan pembahasan awal. Paripurna kedua ini masih bersifat internal DPRD saja, sehingga DPPKA belum ikut dalam paripurna tersebut. 5. Pembahasan Awal Dalam pembahasan awal ini, DPRD turut mengundang Dinas yang memberi usulan atau Raperda tersebut yaitu DPPKA untuk memberikan paparan usulan yang diajukan. Masing-masing anggota Pansus diberikan kajian akademis serta copy Raperda dengan Perda yang lama untuk jadi bahan perbandingan oleh DPPKA. Kemudian pihak DPPKA memaparkan usulan-usulan yang diajukan kepada DPRD mengenai perubahan Perda yang sebelumnya. Ketika pemaparan usulan selesai, kemudian anggota Pansus bersama dengan pihak DPPKA membahas satu persatu usulan yang dipaparkan tersebut. Dalam pembahasan awal ini juga tidak hanya membahas mengenai usulan baru tetapi juga membahas Raperda secara keseluruhan, pasal demi pasal. Dalam pembahasan awal tersebut, Pansus juga meminta kajian ke daerah lain yang sudah pernah menetapkan atau menerapkan usulan tersebut atau melakukan konsultasi ke kementrian. Dalam pembahasan awal, mengenai pajak restoran dilakukan pembahasan mengenai tarif pajak restoran, perluasan objek pajak restoran, dan omzet yang yang menjadi batasan pengenaan pajak restoran. Untuk tarif sendiri tidak ada perubahan dari Perda yang sebelumnya yaitu 10%. Tarif 10% itu sendiri bersifat given dari Undang-Undang No 28 Tahun 2009 yang menentukan bahwa tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
Mengenai perluasan objek pajak restoran, DPPKA mengusulkan untuk memperluas objek pajak hingga ke rumah makan seperti warung padang, warteg, dan semua jenis warung yang menjajakan makanan dengan syarat bahwa warung makan tersebut mempunyai omzet yang cukup besar. Usulan tersebut berdasarkan perkiraan potensi pajak untuk meningkatkan PAD Depok tahun 2011 yang berasal dari warung makan tersebut. DPPKA mengganggap bahwa warung makan dengan omzet besar sebagai potensial loss. Oleh karena itu, diharapkan dengan dikenakannya warung makan dengan omzet yang cukup besar tersebut maka PAD Depok bisa meningkat, dan mengurangi potensial loss dari sektor pajak restoran. Selain memperluas objek pajak restoran, pembahasan awal juga membahas mengenai potensial loss yang berasal dari restoran-restoran besar. Hingga saat ini, masih banyak restoran-restoran besar yang belum terdaftar sebagai WP maupun belum membayarkan pajaknya dengan benar. Selain melihat adanya potensi peningkatan PAD, usulan memperluas objek pajak restoran juga berdasarkan pertimbangan untuk mengikuti Undang-Undang yang berlaku yaitu Undang-Undang No 28 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2009 pasal 37 dikatakan bahwa objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Undang-undang tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit apa saja yang masuk dalam kategori restoran. Oleh karena itu pemerintah daerah dapat mengenakan pajak restoran kepada usaha apapun yang bergerak di bidang kuliner. Pemerintah daerah memang dapat membuat peraturan daerah baru tetapi harus selalu mengacu atau mengikuti peraturan-peraturan di atasnya, namun Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menentukan nominalnya. Dalam pasal 37 Undang-Undang No 28 Tahun 2009, diatur juga mengenai yang tidak termasuk objek pajak restoran. Yang tidak termasuk objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Batasan tertentu itulah yang juga dibahas dalam pembahasan awal. Dalam pembahasan awal tersebut ada 2 pilihan omzet yang menjadi batasan kena pajak, yaitu Rp 5.000.000,- dan Rp 10.000.000,- per bulan. Dalam penentuan batasan omzet ini, terjadi perdebatan alot antara pihak yang setuju dengan Rp 5.000.000,/bulan dan pihak yang setuju dengan Rp 10.000.000,-/bulan. Dalam menentukan batasan kena pajak restoran antara Rp 5.000.000,- dan Rp 10.000.000,- tersebut akhirnya ditentukan dengan cara voting karena perdebatan yang alot dan
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
tidak kunjung ada kata sepakat. Hasil voting menunjukkan bahwa lebih dari 8 orang yang setuju menetapkan Rp 10.000.000,-/bulan sebagai batasan tidak kena pajak. Jadi usaha warung makan yang memiliki omzet diatas Rp 10.000.000,-/bulan dapat dikenakan pajak restoran. Dalam pembahasan awal, pihak DPPKA tidak memaparkan mengenai rencana teknis pemungutan dan masih belum memiliki data base target perluasan objek pajak. Hal ini tidak menjadi masalah bagi pihak DPRD karena hal tersebut bukan merupakan suatu keharusan. Data base dan teknik pemungutan bisa dilakukan ketika Perda sudah diundangkan. Perda ini sebenarnya bertujuan agar DPPKA mulai bergerak untuk melakukan pendataan. Mengenai teknis pemungutan bisa diputuskan ketika DPPKA sudah memiliki data base. Perda ini dibentuk sebagai payung hukum jika DPPKA sudah siap untuk menerapkan perluasan objek pajak hingga ke usaha warung dengan omzet diatas Rp 10.000.000,-. 6. Pembahasan Akhir Dalam pembahasan akhir, pihak DPPKA dipanggil kembali oleh Pansus 1. Pembahasan akhir adalah hasil dari perubahan atau persetujuan oleh Pansus 1 atas Raperda usulan DPPKA. Jika DPPKA juga sudah sepakat dengan pendapat Pansus 1, maka Pansus 1 mengembalikan Raperda yang sudah ada perubahan dan pengembangannya tersebut ke DPPKA untuk ditindak lanjuti ke bagian hukum. Bagian hukum sendiri adalah bagian yang mengerti mengenai peraturan perundang-undangan, seperti tata bahasa pembuatan perundangundangan termasuk peraturan daerah. 7. Draft Perda diserahkan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat Raperda yang sudah disempurnakan dan sudah berbentuk draft Perda diserahkan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Menteri Dalam Negri dan Kementrian Keuangan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Menteri Dalam Negri dan Kementrian Keuangan sebagai pihak yang mengevaluasi draft Perda. Jika menurut ketiga pihak tersebut ada muatan draft Perda yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan di atasnya, maka draft Perda tersebut dapat dikoreksi dan dilakukan perubahan. Untuk draft Perda mengenai pajak daerah yang diajukan Kota Depok tersebut sudah dievaluasi dan hanya ada koreksi sedikit mengenai tata bahasa tetapi tidak merubah muatan Perda. 8. Draft Perda diparipurnakan kembali Draft Perda yang sudah disetujui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Gubernur), Mendagri dan Kementrian Keuangan kemudian diparipurnakan kembali. Paripurna tersebut merupakan persetujuan pengundangan Perda dari semua pihak sekaligus pembubaran pansus,
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
kemudian Perda tinggal diberikan nomor. Perda Kota Depok mengenai pajak restoran mendapatkan nomor dan disahkan menjadi Perda Kota Depok No 7 Tahun 2010 mengenai Pajak Restoran.
5.3 Faktor-Faktor Penghambat Dalam Proses Implementasi Perda No.7 Tahun 2010 Tentang Pajak Restoran Terkait Perluasan Objek Pajak Restoran a. Kurangnya petugas pendataan Tenaga lapangan yang ditugaskan untuk melakukan pendataan hanya ada 8 (delapan) orang, sedangkan pendataan dilakukan secara menyeluruh di Kota Depok. Oleh karena itu, pihak DPPKA bekerjasama dengan salah satu konsultan dari Universitas Indonesia. Kerjasama tersebut ditujukan untuk melakukan pendataan secara komprehensif terhadap pelaku-pelaku usaha restoran, warung, warteg, warung nasi, dan semua pengusaha yang menjalankan usaha kuliner. b. Tidak ada antusiasme dari pengusaha warteg Ketidak antusiasan itu sendiri mungkin terjadi atas beberapa alasan, yaitu: pertama, karena mereka tidak paham dengan apa yang diinformasikan oleh pihak DPPKA sehingga pengusaha warteg menjadi “malas” mendengarkan kemudian mengabaikan informasi petugas DPPKA. Kedua, karena keberatan dengan informasi yang disampaikan. c. Proses pendataan Hambatan tersebut berawal dari adanya tuntutan DPRD untuk melakukan pendataan yang awalnya dilakukan dengan pendataan bersifat parsial kemudian berubah menjadi pendataan secara komprehensif. d. Warteg tidak memiliki ijin usaha dan lokasi yang sah Permasalahan lokasi tetap dan ijin usaha inilah yang menjadi salah satu hambatan bagi Pemerintah Depok untuk menjaring pelaku usaha warteg di Kota Depok. Bagi para pelaku usaha yang diketahui memiliki omzet di atas Rp 10.000.000,-/bulan, Pemerintah Kota Depok juga belum bisa memungut pajak restoran dari usaha tersebut, karena salah satu syarat adalah bahwa usaha tersebut harus mempunyai lokasi tetap dan ijin usaha e. Dipolitisir Pemerintah Daerah Depok memiliki tujuan yang baik dalam kebijakan perluasan objek pajak, namun karena dipolitisir akhirnya tujuan baik tersebut tertutup oleh pendapatpendapat dari pihak yang kontra dengan kebijakan tersebut, seperti kebijakan ini ada agar Pemerintah Depok mendapat keuntungan sendiri dengan memeras rakyat kecil dan sebagainya.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
f. Penolakan Dari Masyarakat Penolakan karena ketidakpercayaan terhadap Pemerintah Daerah, merasa pelaku usaha hanya “orang kecil” dan konsumen berasala dari golongan menengah ke bawah.
5.3.1 Cara-Cara Mengatasi Permasalahan Dalam Implementasi Perda No 7 Tahun 2010 Mengenai Perluasan Objek Pajak Restoran a. Penyediaan lokasi bagi pelaku usaha Pemerintah Depok berinisiatif untuk menyediakan lokasi bagi para pelaku usaha kuliner, salah satunya adalah warteg. Langkah tersebut dilakukan oleh pemerintah Depok untuk mempermudah pengawasan atas usaha kuliner yang ada di Kota Depok. Dengan adanya lokasi khusus yang disediakan oleh pemerintah, maka dapat dipastikan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi yang legal dan sah. b. Tidak memaksakan melaksanakan pemungutan sampai pemerintah benar-benar sudah siap Untuk sementara ini Pemerintah Depok lebih memfokuskan untuk mendapatkan pendapatan dari potential loss yang berasal dari restoran-restoran besar terlebih dahulu. c. Membuat klasifikasi omzet usaha Pihak DPPKA belum mempunyai data base lengkap mengenai jumlah warteg beserta perkiraan omzet-omzet warteg tersebut. Namun Pemerintah Depok sudah memiliki rencana untuk mengklasifikasi omzet usaha jika data base sudah terkumpul dengan rapi.
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka kesimpulan yang didapat oleh peneliti antara lain adalah : 1. Proses formulasi perluasan objek pajak restoran sudah melewati berbagai tahapan sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010. Namun terdapat beberapa kekurangan dalam proses pembentukan kebijakan tersebut antara lain: dalam pembahasan awal tidak ada pelaku usaha restoran maupun warung yang diundang serta pajak restoran tidak masuk dalam agenda study banding pihak DPRD. 2. Selama dua (2) tahun pengimplementasian Perda No 7 Tahun 2010 mengenai perluasan objek pajak restoran atas usaha warteg baru sampai tahap pendataan karena Pemerintah Depok mengalami berbagai hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan yang ditemui antara lain: jumlah petugas pendataan yang kurang, pelaku usaha warteg yang tidak antusias dengan informasi yang disampaikan pihak DPPKA, warteg
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
bertempat di lokasi yang tidak sah, pemiliki usaha warteg tidak memiliki ijin usaha, tidak adanya pembukuan atau pencatatan, kebijakan yang dipolitisir, dan penolakan dari masyarakat. 6. SARAN 1. Dalam penyusunan atau perumusan kebijakan publik, dalam hal ini Peraturan Daerah, penting untuk melibatkan semua pihak sehingga kebijakan dapat bersifat comprehensive dan memperkecil munculnya dampak negatif dari kebijakan tersebut. Kebijakan perluasan objek pajak restoran tidak melalui diskusi dengan pengusaha restoran maupun warung. Oleh karena itu, dalam perumusan kebijakan untuk kedepannya, penting untuk melibatkan masyarakat dengan mekanisme public hearing agar masyarakat bisa memberikan masukan maupun sanggahan terkait kebijakan tersebut, karena pada dasarnya masyarakat merupakan salah satu stakeholder dari kebijakan publik. 2. Lebih baik Pemerintah Depok menggali lagi potensial loss dari semua jenis pajak daerah di Depok terlebih dahulu dibanding memperluas objek pajak restoran namun Pemerintah belum siap untuk mengimplementasikannya. 3. Membedakan perlakuan perpajakan antara restoran dengan warung. Pemungutan pajak restoran dengan sistem Self Assessment sedangkan warung dengan Official Assessment System. Jadi untuk usaha warung ditentukan jumlah pajak yang terutang oleh pemerintah. Namun pemerintah harus melakukan klasifikasi omzet terlebih dahulu. Misalnya untuk omzet >10 juta harus membayar pajak sebesar Rp 50.000/bulan. Omzet > 20 juta harus membayar Rp 100.000/bulan. 4. Pemerintah Depok sebaiknya memberikan informasi mengenai pajak restoran terlebih dahulu kepada pelaku usaha maupun konsumen warteg, menambah jumlah petugas pendataan, serta menegakkan peraturan untuk mendaftarkan usaha dan memiliki surat ijin usaha bagi pelaku usaha warteg. Hal tersebut diharapkan menjadi solusi bagi Pemerintah Depok agar proses implementasi berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
Daftar Acuan BUKU 1. Cresswell, John W. (1994). Research Design : Qualitative and Quantitative Approach. London : Sage Publication Inc 2. Devas, N. (1989). Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: UI Press. 3. Dwidjowijoto, Riant.N. (2006). Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta 4. Hancock, Dora.(1994). An Introduction to Taxation, London, Chapman & Hall 5. Ismail, Tjip, (2005). Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah 6. James, Vazques, Jorge.M, Wallace, Sally. (2004). Taxing the hard-to-tax: lessons from theory and practice. Elsevier B.V 7. Judge, A.Timothy. (2005). Perilaku Organisasi. Edisi 12. Salemba Empat 8. Lesmana, Eko, (1992). Sistem Perpajakan di Indonesia. Jakarta. Prima Kampus Grafika. 9. Nazir, Muhammad, (1999). Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. 10. Nurmantu, S. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. 11. Ripley, Randall B., Frangklin, Grace A. 1985. Policy Implementation and Bureaucracy, first edition, Chicago, Illinois: The Dorsey Press. 12. Samudra, A. A. (2005). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Hecca Publishing. 13. Samudra, A. A. (1995). Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 14. Samudra, A. A.(2003) Pulanglah Putra Daerah. Indonesia Tax Review Volume II/Edisi 30. Jakarta. 15. Siahaan, M. P. (2005). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 16. Sidik, M. (1994). Keuangan Daerah. Jakarta: Karunika 17. Soesastro, Budiman, Triaswati, Alisjahbana, Adiningsih. (2005). Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Yogyakarta. Kamisius 18. Sugianto, (2007). Pajak dan Retribusi Daerah (Pengelolaan Pemerintah Daerah dalam Aspek Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah). Cikal Sakti 19. Theodoulou, Stella Z & Kofinis, Chris. (2004). The Art Of The Game, Understanding American Public Policy Making. Thomson Learning Inc. Asia. 20. Uppal, J.S, (2003). Tax Reform in Indonesia, Gajah Mada University Press 21. Ter-Minassian, Teresa, (1997) Fiscal Federalism in Theory and Practice. External Relations Department Publication Services 22. Yoshov, Brian , (2007). Taxation ant Tax Policy Issues.. Nova Science Publishers. Inc 23. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan UndangUndang No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 24. Peraturan Daerah Nomor.02 Tahun 2002 Tentang Pajak Hotel, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Restoran dan Pajak Parkir.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013
25. Peraturan Daerah Nomor.07 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah 26. Lampiran II Pendapatan 2011 per Daerah (APBD 2011) INTERNET 27. www.dppka.depok.go.id 28. http://news.detik.com/read/2010/12/06/043303/1509510/10/3-alasan-pajak-warteg-takbisa-diterapkan 29. http://health.kompas.com/read/2010/12/09/05362488/Pajak.Warteg 30. http://politikana.com/blog/2012/02/mari-dukung-pajak-warteg.html JURNAL DAN KARYA ILMIAH 31. Lutfi, A. Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah : Suatu upaya dalam optimalisasi penerimaan PAD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi: Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, Nomor 1, Januari 2006, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia , 3-4, 2005. 32. Lutfi, A. Evolusi Penarikan Pajak Daerah di Indonesia : Suatu tinjauan peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah di Indonesia.Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi : Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, Nomor 4, Desember 2006, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006. 33. Purnamasari, Wiwit. Analisis Pengawasan Administrasi Pajak Restoran Melalui Sistem Online di Provinsi DKI Jakarta Periode Mei-November 2008, 2008. 34. Andriani, G.Dewi. Analisis Kelayakan Pengenaan Pajak Restoran Atas Objek Tertentu - Di DKI Jakarta, 2011. 35. Putro, D.Pangestu. Pengenaan Pajak Restoran Pada Warung Di Provinsi DKI Jakarta Ditinjau Dari Prinsip Ease Of Administration And Compliance, 2011. 36. Ridho, M.Angkasa. Analisis Batasan Omzet Pengecualian Objek Pajak Restoran Terhadap Pemungutan Pajak Restoran Dalam Rangka Optimalisasi Penerimaan Pajak Restoran di DKI Jakarta, 2011.
Analisis Formulasi ..., Clara Wiwit Saptianti, FISIP UI, 2013