KAJIAN KONTRAK MIGAS NON COST RECOVERY
TUGAS AKHIR
Oleh: AULIA NUGRAHA SAPUTRA NIM 12202035
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2008
KAJIAN KONTRAK MIGAS NON COST RECOVERY
TUGAS AKHIR
Oleh: AULIA NUGRAHA SAPUTRA NIM 12202035
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Disetujui oleh: Dosen Pembimbing Tugas Akhir, Tanggal……………………………..
(Dr. Ir. Arsegianto)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta petunjuk dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik dan sekaligus mengakhiri
masa studi penulis di Program Studi Teknik Perminyakan
Institut Teknologi Bandung. Pengerjaan dan penulisan Tugas Akhir ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, pengarahan, dan motivasi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak dan Ibu penulis tercinta, yang selalu ada di saat penulis membutuhkan mereka. Di saat penulis merasa telah begitu dalam mengecewakan mereka, ternyata mereka masih menaruh harapan dan kepercayaan kepada penulis. Ini yang selalu memotivasi penulis untuk senantiasa berusaha memberi yang terbaik kepada mereka, 2. Athia, Anggie, Adipraja dan Ambar Fitra Lugina tercinta yang senantiasa memberi dukungan moril pada penulis untuk tidak pernah menyerah dan selalu berusaha bangkit dari keterpurukan, 3. Abah Dr. Ir. Sudjati Rachmat, DEA, sebagai Dosen Wali penulis yang senantiasa membimbing penulis dalam banyak hal, dan selalu memacu penulis untuk tidak menyerah, 4. Bapak Dr. Ir. Taufan Marhaendrajana. M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknik Perminyakan ITB yang selalu tersenyum ramah kepada penulis, 5. Bapak Dr. Ir. Arsegianto selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberi masukan, dan dorongan selama penulis menyelesaikan Tugas Akhir, 6. Mas Ir. Bambang Yasmadi, M.T. selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak dari waktunya untuk senantiasa memberi petunjuk, motivasi, dan dengan sabar membimbing penulis hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik, 7. Seluruh staf pengajar di Program Studi Teknik Perminyakan yang telah membagi ilmu dan pengalaman-pengalaman kepada penulis, 8. Pak Oman, Pak Paryono, Pak Acep, Pak Haryanta, Teh Yuti, Bu Tuti, serta seluruh pegawai Tata Usaha Program Studi Teknik Perminyakan yang telah
membantu administrasi penulis tanpa kenal lelah dan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di ITB, 9. Nashir, Kay, Ranov, Gilang, Hida, Riza, Mardhani, Masun, Yuyus, Cheppy, Lay, Budi, Adit, Hida, Mahatir, Moelyadi, Dani, Dimas dan semua teman seperjuangan penulis yang selalu menjadi teman yang baik yang mendorong penulis untuk maju, membantu penulis dalam tiap kesulitan penulis, baik dalam belajar, dalam bermain, dalam begadang, maupun dalam hal lainnya, 10. Semua anggota Genk TMB, tanpa maen bola dan gaul dengan mereka, penulis pastinya tidak bisa menyelesaikan kuliah di ITB ini, 11. Pemain-pemain WE yang tidak kenal lelah menjadi tempat penyaluran dari stress dan kesuntukkan penulis, (ayo kita buktikan walau begadang maen WE kita tetap bisa lulus!), 12. Aasep, Teh Iyah, Pak Uha, Pak Satpam, dan orang-orang rumah yang tidak lepas dari keseharian penulis, 13. Rekan-rekan 2002 lain yang terlebih dulu meninggalkan kampus dan juga rekan-rekan adik angkatan penulis di Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan PATRA ITB yang masih menyempatkan diri untuk kenal dengan penulis, Penulis menyadari bahwa hasil penulisan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan Tugas Akhir ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir penulis ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi setiap pembaca.
Bandung, Juli 2008 Penulis,
Aulia Nugraha Saputra
KAJIAN KONTRAK MIGAS NON COST RECOVERY Study of Non Cost Recovery Contract for Oil and Gas Oleh : Aulia Nugraha Saputra*
Sari Minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam tidak terbarukan yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain merupakan sumber utama devisa negara, minyak dan gas bumi merupakan pemasok utama kebutuhan energi dan bahan baku industri di Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya migas harus dapat memberi manfaat sebesar - besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia adalah menyerahkan investasi kepada pihak swasta yang disebut sebagai Kontraktor. Pertanggungjawaban Kontraktor kepada Pemerintah Indonesia diatur dalam sebuah kontrak kerja sama. Saat ini, model kontrak yang digunakan di Indonesia adalah Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Salah satu komponen dalam PSC adalah cost recovery. Cost recovery adalah seluruh biaya operasi yang dikeluarkan oleh Kontraktor yang akan diganti oleh Pemerintah setelah produksi berjalan. Dalam perkembangannya, penerapan cost recovery pada PSC mendapatkan kritikan yang cukup tajam dari publik karena dianggap dapat berpotensi mengurangi penerimaan negara. Sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut diusulkan sebuah model PSC Non Cost Recovery, yaitu dengan menghilangkan komponen cost recovery pada kontrak PSC dengan share yang disesuaikan sehingga tetap menarik bagi Kontraktor. Prosentase sharing profit yang diperoleh dari model usulan ini adalah 53.77% untuk Pemerintah dan 43.23% untuk Kontraktor. Kontrak PSC Non Cost Recovery memberikan dampak positif terhadap efisiensi dari operasi perminyakan, karena biaya yang ditanggung Kontraktor tidak diganti oleh pemerintah. Apabila Kontraktor bisa melakukan efisiensi dengan baik, NPV yang didapat akan lebih tinggi daripada apabila menggunakan model PSC Standar. Model PSC Non Cost Recovery baik untuk digunakan sebagai perpanjangan kontrak, karena infrastruktur produksi sudah menjadi milik Negara, dan Kontraktor hanya melakukan pemeliharaan saja. Kata kunci: cost recovery, non cost recovery, NPV, PSC
Abstract Oil and gas are non renewable natural resources which play important role to Indonesia’s economics. Besides being a main source of devizen for our country, oil and gas are also the major supplier of domestic energy needs and industry material in Indonesia. Thus, oil and gas resource management has to give maximum benefit for Indonesian prosperity. Policy that is made by Indonesian Government is to open investment for private sector, which is known as Contractor. Contractor responsibility to Indonesian Government is arranged in a contract of cooperation. At this time, contract model that is used in Indonesia is a Production Sharing Contract (PSC). One of the components in PSC is cost recovery. Cost recovery is all of expenses that will be paid back by Government after production. The implementation of cost recovery in PSC gets quite sharp criticism from public because cost recovery can potentially lessen the National Income. As an alternative to overcome that problem, this paper proposed a model of Non Cost Recovery PSC, which eliminates cost recovery from PSC contract, and also adjusts profit sharing to make the contract remains attractive for Contractors. Percentage of profit sharing from the model proposed is 53.77% for Government and 43.23% for Contractor. This Non Cost Recovery PSC contract model gives a good improvement on efficiency of petroleum operations, because all of Contractor’s expenses will not be recovered by the Government. If the Contractor can improve their efficiency, the Contractor’s NPV will be higher than when they use the Standard PSC model. Non Cost Recovery PSC model is best used as a contract renewal, because the production infrastructures have become the property of Indonesia, and the Contractor only have to do maintenance for the infrastructures. Keywords: cost recovery, non cost recovery, NPV, PSC *
Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB.
Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam tidak terbarukan yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain merupakan sumber utama devisa negara, minyak dan gas bumi merupakan pemasok utama kebutuhan energi dan bahan baku industri di Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya migas harus dapat memberi manfaat sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia adalah menyerahkan investasi kepada swasta yang mayoritas adalah perusahaan asing. Pihak swasta ini disebut sebagai Kontraktor. Pertanggungjawaban Kontraktor kepada Pemerintah Indonesia diatur dalam sebuah kontrak kerja sama. Sebelum tahun 1960, kontrak yang digunakan ini adalah Kontrak Konsesi, yaitu Kontraktor mempunyai kewenangan penuh dan minyak yang dihasilkan juga sepenuhnya dimiliki oleh Kontraktor, dan Pemerintah mendapatkan royalty atas minyak yang dihasilkan. Berdasarkan Undang - Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 Jo. Undang - Undang No. 8 Tahun 1971, model kontrak Minyak dan Gas Bumi yang digunakan di Indonesia adalah Kontrak Bagi Hasil atau Production sharing contract (PSC). Pada Kontrak PSC ini terdapat istilah cost recovery. Cost recovery adalah seluruh biaya operasi yang dikeluarkan oleh Kontraktor yang akan diganti oleh Negara setelah produksi berjalan. Dalam perkembangannya dewasa ini penerapan cost recovery yang besarannya 100% tersebut mendapatkan kritikan yang cukup tajam dari publik karena dianggap dapat berpotensi mengurangi penerimaan negara, sehingga penerapan cost recovery dalam kontrak kerja sama PSC perlu dikaji kembali. Salah satu alternatif bentuk kontrak kerja sama PSC untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah kontrak kerja sama PSC Non Cost Recovery, yaitu dengan menghilangkan penerapan cost recovery pada kontrak PSC. Model kontrak kerja sama ini boleh diterapkan di Indonesia karena menurut Undang - Undang No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi pasal 1 ayat 19, selain bentuk Kontrak Bagi Hasil, dapat pula digunakan bentuk Kontrak Kerja Sama lain yang lebih menguntungkan bagi Negara.
2
Sistem kontrak PSC Non Cost Recovery ini dibuat dengan memodifikasi sistem PSC yang berlaku namun tetap memperhitungkan aspek keekonomian bagi Kontraktor dan Pemerintah. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan melakukan kajian terhadap model kontrak kerjasama PSC Non Cost Recovery dan juga memberi masukan dan pertimbangan kepada penentu kebijakan energi di Indonesia untuk menerapkan model kontrak ini dalam rangka peningkatkan efisiensi dalam pengusahaan migas di Indonesia 1.3. Sumber Data Data - data lapangan yang akan dipergunakan dalam analisis keekonomian model kontrak PSC Non Cost Recovery ini sebagian adalah data hipotetik dan data lainnya disesuaikan dengan peraturan Pemerintah di sektor migas saat ini.
II. TINJAUAN KONTRAK KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA 2.1. Sistem Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil (PSC) Sistem Production sharing contract (PSC) merupakan pengganti dari sistem Kontrak Karya (Contract of Work) yang tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Manajemen perusahaan dan kegiatan operasi minyak dan gas bumi pada sistem PSC berada di tangan Pemerintah. 2.2. Sejarah Perkembangan Kontrak Bagi Hasil Dalam perkembangannya, kontrak bagi hasil yang dimulai pada tahun 1965 telah banyak mengalami perubahan. Perubahan - perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan situasi dunia perminyakan yang selalu berubah. Secara umum perubahan tersebut dikelompokkan dalam 3 generasi, yaitu: 2.2.1. PSC Periode I (Tahun 1964 - 1975) 1. 2.
Manajemen operasi dipegang oleh Pertamina. KPS menanggung resiko eksplorasi. Bila ditemukan hidrokarbon maka penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% per tahun dari jumlah pendapatan minyak yang dihasilkan tersebut.
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
3.
4.
5. 6. 7.
Pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi dengan persentase 65% / 35% untuk keuntungan negara. Kontraktor wajib menyerahkan 25% dari bagiannya kepada Pemerintah sebagai DMO dengan menerima fee US $ 0,20/bbl. Kredit investasi sebesar 20%. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh Kontraktor menjadi milik Pertamina. Sebesar 10% dari interest Kontraktor ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia setelah lapangan minyak tersebut dinyatakan komersial.
1.
2.
3. 4.
5.
2.2.2. PSC Periode II (Tahun 1976 - 1988) 1.
2.
3.
4.
5.
Batasan cost recovery ditiadakan dan capital expenditure dapat diperoleh kembali melalui depresiasi dalam waktu 7 tahun menggunakan sistem double declining balance dan non capital cost termasuk intangible cost, dapat diexpense. Produksi setelah dipotong biaya operasi : a. Minyak : 65,91% untuk Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor. b. Gas : 31,82% untuk Pertamina, 68,18% untuk Kontraktor. Berdasarkan pembayaran pajak sebesar 45% pajak pendapatan dan 20% pajak deviden yang menghasilkan 85% dan 15%, bagi keuntungan Pemerintah dan Kontraktor untuk minyak, sedangkan untuk gas 70% dan 30%. Berdasarkan UU Pajak 1984 maka untuk tetap menghasilkan equity split 85% dan 15%, maka pembagian pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi 71,15% bagian Pemerintah dan 28,85% bagian Kontraktor untuk minyak dan 42,31% bagian Pemerintah dan 57,69% bagian Kontraktor untuk gas. Untuk new field, KPS diberi investment credit terhadap capital expenditures yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi sebesar 20%. Untuk kontrak yang diperpanjang atau kontrak baru, domestic market obligation (DMO) crude setelah 5 tahun pertama ditetapkan dengan nilai US $ 0,20/bbl. Kontraktor mendapat insentif : • Harga ekspor penuh untuk DMO setelah lima tahun pertama produksi. • Insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi.
2.2.3. PSC Periode III (Tahun 1988 Sekarang)
6.
Pemberian investment credit, dengan syarat bahwa Pemerintah harus memperoleh 49% dari pendapatan kotor tidak berlaku lagi. Pendapatan komersialitas, jaminan minimum 25% dari pendapatan kotor untuk Pemerintah tidak diperlukan. Harga DMO 10% dari harga ekspor setelah selesai 60 bulan pertama. Penyisihan minyak pertama, 20% dari produksi disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi kemudian dibagi antara Pertamina dan Kontraktor. Pembagian Produksi Daerah Frontier • Sampai dengan 50 MBOPD = 80/20 • 50 - 150 MBOPD = 85/15 • 150 MBOPD = 90/10 Tatacara perizinan disederhanakan.
2.2.4. PSC Periode III (Tahun 1989 Sekarang) Lanjutan
1.
2.
3.
4. 5.
6. 7.
Paket Insentif 22 Februari 1989 : Pembagian untuk lapangan marjinal dan tertiary EOR pada wilayah konvensional 80/20 dan wilayah frointer 75/25. Pembagian untuk produksi di daerah PreTeritary dan laut dalam pembagian tambahan untuk produksi frointer (lihat 1). Investment Credit untuk laut dalam sebesar 110% untuk minyak dan 55% untuk gas. Perpanjangan masa eksplorasi 6 tahun menjadi 1 x 14 tahun. Harga gas diorientasikan pada komersialitas untuk pengembangan lapangan. Akses data tidak terbatas pada lahan yang ditenderkan. Perolehan data lapangan dilakukan oleh Pertamina dan terbuka bagi Kontraktor.
2.3. Elemen – Elemen Dalam Kontrak Bagi Hasil Dalam kontrak bagi hasil terdapat beberapa elemen yang digunakan dalam perhitungan indikator keekonomian suatu proyek. 2.3.1. Investasi Capital dan Non Capital Kontraktor melakukan investasi berupa capital dan juga non capital. Istilah capital dan non capital digunakan untuk mendefinisikan nilai suatu barang atau modal sebagai fungsi dari waktu. Barang - barang yang digolongkan sebagai capital adalah barang - barang yang dianggap memiliki pengurangan nilai atau depresiasi terhadap waktu, sedangkan barang barang non capital dianggap tidak memiliki nilai depresiasi. Istilah barang / aset capital
Paket Insentif 31 Agustus 1988 :
Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
3
didefinisikan sebagai nilai uang dari suatu modal (asset) yang tangible, hal ini meliputi bangunan - bangunan, peralatan pemboran dan produksi, mesin - mesin, fasilitas produksi konstruksi dan alat transportasi yang mengalami depresiasi nilai karena pemakaian. Sedangkan istilah barang non capital adalah modal yang meliputi semua tipe dari material, biaya - biaya operasi dan pemeliharaaan. Tidak ada nilai yang dapat ditetapkan pada saat pemeriksaan dan modal tidak mengalami depresiasi terhadap waktu. Penggolongan suatu barang apakah termasuk capital atau non capital bersifat tidak pasti, tergantung pada perjanjian yang dilakukan. 2.3.2. Depresiasi Suatu barang atau modal capital akan mengalami pengurangan nilai karena waktu atau pemakaian. Faktor - faktor yang harus diperhitungkan dalam menghitung periode depresiasi dari suatu barang atau modal adalah biaya awal (initial cost), harga / biaya yang dapat diperoleh (recoverable cost) pada waktu barang - barang selesai atau tak dapat dipakai lagi dan lama waktu pemakaian. Beberapa metode depresiasi yang sering dipakai adalah straight line, declining balance, dan double declining balance with cross over dan write off, yang mempergunakan kombinasi dari metode double declining balance dan straight line. • Metode Straight Line Pada metode ini depresiasi dihitung dengan menganggap penurunan nilai barang tiap tahunnya dianggap konstan dari awal tahun sampai akhir periode depresiasi. Secara matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut : Investasi (1) Depresiasi = Waktu Depresiasi
• Metode Declining Balance Pada metode ini depresiasi dihitung dengan menganggap penurunan nilai barang tidak sama dari tahun ke tahun. Pada awal penurunan nilai barang lebih besar dibanding pada tahun berikutnya. Secara matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut : 1 (2) ( Depresiasi ) = ( Investasi − Depresiasi ) i
T
i −1
dimana : (subscript) i = waktu perhitungan T = lama waktu depresiasi
• Metode Double Declining Balance Metode ini hampir sama dengan metode declining balance, hanya saja nilai suatu
4
barang akan berkurang dua kali lebih cepat daripada metode declining balance. Secara matematis, metode ini dapat dituliskan sebagai berikut : 2 ( Depresiasi ) i = ( Investasi − Depresiasii −1 ) (3) T 2.3.3. First Trench Petroleum (FTP) Pada tahun 1987 telah terasa timbulnya gejala permasalahan dalam perjanjian Production sharing contract yang berlaku saat itu, terutama dari sudut pandang keekonomiannya. Permasalahan tersebut muncul akibat : • Tingkat pemasaran dan harga minyak bumi yang rendah dan tak menentu. • Ukuran penemuan cadangan yang semakin mengecil. • Peraturan pelaksanaan perundangan yang kemudian dikeluarkan tidak mendukung kelancaran operasi dan cenderung mengabaikan sifat strategis minyak dan gas. Dengan latar belakang permasalahan tersebut, timbul kekhawatiran akan terjadi hal - hal yang menghambat kelangsungan industri perminyakan, sehingga mempengaruhi penerimaan Indonesia dari sektor minyak dan gas bumi. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, maka dilakukan modifikasi terhadap bentuk perjanjian Production sharing contract. Konsep yang diajukan sebagai hasil modifikasi PSC adalah First Trench Petroleum (FTP). FTP adalah bagian dari minyak yang diproduksi, yang akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor sebelum dikurangi dengan cost recovery. Besar FTP ini adalah 20% dari gross revenue dan mulai diberlakukan untuk kontrak lapangan lapangan baru ataupun kontrak perpanjangan yang diadakan sejak deregulasi pada bidang perminyakan bulan Agustus 1988. Secara sistematis perhitungan FTP adalah sebagai berikut : FTP = 20% x Gross Revenue FTP Pertamina = (1 – SH) x FTP FTP Kontraktor = SH x FTP
(4) (5) (6)
2.3.4. Cost recovery
Cost recovery terdiri atas: • Non capital cost tahun tersebut. • Depresiasi capital cost tahun tersebut. • Operating cost tahun tersebut. • Unrecovered cost (uncovered operating cost tahun sebelumnya). Non capital cost merupakan operating cost yang berhubungan dengan operasi selama
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
tahun yang bersangkutan termasuk di dalamnya biaya pekerja, material, survey seismik dan intangible cost dari peralatan pemboran meliputi lumpur pemboran dan bahan kimia, bit, casing serta work over. Operating cost untuk tiap volume hidrokarbon yang dihasilkan merupakan pembagian biaya biaya yang berlangsung dengan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan. Biaya yang dapat dibayarkan pada tahun yang bersangkutan disebut Recoverable Cost (Recovery). Recovery dari Kontraktor dapat diperoleh kembali dari pendapatan kotor hasil penjualan hidrokarbon (gross revenue) pada tahun bersangkutan. Bila cost recovery Kontraktor melebihi pendapatan (gross revenue) Kontraktor, maka kekurangan tersebut dapat diperoleh pada tahun berikutnya. Kekurangan pada tahun yang bersangkutan disebut dengan carry forward, sedangkan kekurangan pada tahun sebelumnya disebut sebagai unrecovered prior year. Secara matematis, kondisi diatas dinyatakan sebagai berikut : Jika (Cost recovery + Investment Credit) > Revenue, maka Recovery = Revenue (7) Unrecovered = Cost recovery + Investment Credit – Recovery (8) Jika tidak, maka Recovery = Cost recovery + Investment Credit (9) Unrecovered = 0 (10) Elemen cost recovery, pada kajian ini, coba dihilangkan dengan mengusulkan model kontrak yang baru tanpa cost recovery. Karena cost recovery dihilangkan besarnya share untuk Kontraktor diperbesar. 2.3.5. Domestic Market Obligation (DMO) DMO merupakan kewajiban Kontraktor menyerahkan sebagian minyak yang dihasilkan kepada Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Jumlah yang diserahkan ini besarnya ditetapkan secara merata terhadap seluruh Kontraktor yang beroperasi di Indonesia dan dibatasi maksimum 25% dari minyak yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan. Minyak yang diserahkan sebagai DMO diambil dari bagian Kontraktor. Berdasarkan kontrak bagi hasil, perhitungan DMO adalah sebagai berikut : Jika (25% x Revenue x %ShareContractor ) > Contractor Share, maka DMO = Contractor Share (11) Jika tidak, maka DMO = 25% x Revenue x (12) %ShareContractor Sedangkan perolehan Kontraktor atas minyak yang dijual kepada Pemerintah dengan harga
domestik tersebut disebut dengan fee DMO. Untuk 5 tahun pertama produksi fee DMO sama dengan DMO, yang mana keadaan ini disebut five years holidays. Sedangkan untuk berikutnya 10% dari DMO. 2.3.6. Net Contractor Share
Net Contractor Share dihitung berdasarkan persamaan berikut : Jika Taxable Share > 0, maka Net Contractor Share = Taxable Income – Tax (13) Jika tidak, maka Net Contractor Share = 0 (14) 2.3.7. Cash Flow Contractor
Cash Flow Contractor dihitung dari hasil pengurangan Net Contractor Share dengan Total Cost (Capital + Non Capital + Operating cost), atau dinyatakan : Cash Flow Contractor = Net Contractor Share – Total Cost (15)
III. METODOLOGI Tahapan penyelesaian Kajian ini terdiri dari pengumpulan data - data yang dibutuhkan dan analisis. Data - data yang dibutuhkan yaitu perturan dan perundang - undangan, model PSC saat ini serta mekanisme sharing profitnya, total cadangan, produksi dan harga minyak, biaya operasi, dan lain - lain. Analisis dilakukan dengan memperhatikan 2 aspek yaitu aspek hukum dan ekonomi. Analisis aspek hukum dilakukan dengan menganalisis peraturan perundang - undangan yang berlaku yaitu UUD’45 Pasal 33 ayat 3, Undang Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, dan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan analisis aspek ekonomi dilakukan dengan menganalisis indikator indikator kelaikan suatu proyek. Indikator kelaikan proyek adalah parameter - parameter untuk dapat menilai kelayakan suatu proyek investasi secara objektif. Indikator kelaikan proyek ini secara kuantitatif dapat digunakan sebagai petunjuk atau alat eveluasi dalam mengambil keputusan mengenai kelayakan proyek. Indikator - indikator kelaikan proyek tersebut adalah:
•
Net Present Value (NPV)
NPV dapat dikatakan sebagai jumlah keuntungan bersih yang dinilai pada waktu
Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
5
sekarang yang dihitung berdasarkan suatu harga bunga (interest rate) tertentu. Dari nilai NPV dapat dinilai kelayakan suatu proyek. Apabila NPV bernilai positif, maka menunjukan proyek tersebut layak dijalankan, karena memberikan keuntungan. Namun sebaliknya jika NPV bernilai negatif, maka proyek tak layak dijalankan karena akan memberikan kerugian secara ekonomis. Apabila NPV = 0, berarti investasi tersebut menghasilkan internal rate of return yang sama besarnya dengan harga yang digunakan.
yang lebih pendek. Namun indikator POT ini mempunyai kelemahan yaitu tidak memberikan gambaran apa yang akan terjadi setelah POT tercapai. Dengan kelemahan indikator ini maka POT jarang digunakan sebagai parameter utama dalam pemilihan proyek tapi hanya sebagai pertimbangan tambahan.
IV. PERBANDINGAN KONTRAK PSC STANDAR DENGAN KONTRAK PSC NON COST RECOVERY
Net Present Value dapat dinyatakan dengan: NPV = C0 +
C1 C2 +.....+ 1 + (1 + i ) (1 + i ) 2
4.1. Data yang Digunakan
dimana : C0 = nilai uang pada waktu awal (investasi pada tahun ke-0) Cn = nilai uang pada waktu n (tahun) i = interest rata - rata n = waktu (tahun)
Dalam melakukan perbandingan kontrak PSC Standar dengan kontrak PSC usulan yaitu Non Cost Recovery, diperlukan data - data produksi, data harga - harga, dan data - data lain yang disesuaikan dengan peraturan dan kondisi di Indonesia. Asumsi yang digunakan untuk project life yaitu selama 30 tahun. Untuk data laju produksi selama 30 tahun digunakan data hipotetik. Data dan asumsi - asumsi yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini.
•
Tabel 1. Data Hipotetik Laju Produksi Minyak
Cn (1 + i ) n
(16)
Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) didefinisikan sebagai harga bunga yang menyebabkan harga semua cash inflow sama besarnya dengan cash outflow bila cash flow ini didiskon untuk suatu waktu tertentu. Dengan kata lain IRR adalah tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV = 0. IRR dapat dinyatakan dengan: j
Cn
∑ (1 + IRR ) n =0
n
=0
(17)
Untuk menghitung IRR umumnya dilakukan dengan pendekatan coba - coba (trial and error) yaitu menentukan NPV pada beberapa tingkat diskon sampai diperoleh nilai NPV negatif dan positif, kemudian dilakukan interpolasi dimana NPV sama dengan nol. Kelemahan konsep IRR adalah pada kenyataan bahwa IRR tidak dapat dipakai untuk mempertimbangkan resiko secara eksplisit. IRR juga tidak memberikan informasi mengenai jumlah biaya yang terlibat dalam proyek dan berapa lama Pay Out Time akan tercapai.
•
Pay Out Time (POT)
Pay Out Time adalah lamanya jangka waktu sampai investasi kembali. Investor selalu menginginkan dana yang ditanamkan cepat kembali, yaitu proyek yang mempunyai POT
6
Year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Production (MM BBL) 5.5 5.7 5.9 6.1 6.3 6.5 6.7 6.9 7.1 7.2 7.3 7.4 7.6 8.2 9.1 9.2 9.3 9.5 9.7 9.9 10.2 9.5 9.1 8.5 8.2 8.1 7.9 7.7 7.4 6.5
Tabel 2. Data dan Asumsi yang Digunakan Recoverable reserve Price Price Excalation Operating Cost Contractor Tax FTP Investment Credit DMOI DMO fee Production‐success ratio Capital Non Capital
234.2 100 0% 10 44% 20% 16.80% 25% 10% 100% 76 31
MM BBL US$ / BBL US$ / BBL M US$ M US$
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
Depreciation (Dec. Balance) Discount Factor Project Life
5 10% 30
year year
4.2. Model Kontrak PSC Standar Model kontrak PSC Standar yang saat ini digunakan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1. Biaya - biaya yang dikeluarkan oleh Kontraktor, akan diganti oleh Pemerintah, melalui cost recovery.
12. Domestik Market Obligation (DMO) sampai tahun ke-5 = 0, sedangkan tahun ke-6 dihitung dengan rumus: Jika 25% x %ShareContractor x R / 0.56 > CS, maka DMO = CS, jika tidak, maka DMO = %25 x %ShareContractor x R / 0.56 13. DMOfee = 10% x DMO 14. Contractor Taxable Income (CTI) = CS + IC – DMO + DMOfee 15. Government Tax (GT) = %Tax x CTI 16. Net Contractor Share (NCS) = CTI – GT 17. Total Contractor Income (TCI) = NCS + Rec – IC 18. Expenditure (Exp) = Cap + NC + OC 19. Contractor Cash Flow (CCF) = TCI – Exp 20. Indonesia Take (IT) = (R – CS) + DMO – DMOfee + GT – Rec 4.3. Model Kontrak PSC Non Cost Recovery yang Diusulkan
Gambar 1. Sistem Kontrak PSC Standar Prosedur dan rumus yang digunakan dalam perhitungan cash flow adalah sebagai berikut: 1. 2.
Revenue (R) = Produksi x harga minyak Investment = Capital (Cap) + Non Capital (NC) 3. Depresiasi (Dep), metode yang digunakan adalah metode declining balance 4. Operating cost (OC) = Biaya produksi x produksi 5. FTP = R x 20% 6. Investment Credit (IC) = 16.8% x Cap 7. Unrecovered (UR) untuk tahun pertama adalah biaya capital pada tahun sebelumnya. Untuk tahun selanjutnya, digunakan rumus: Jika IC + Cost recovery > Recovered, maka UR = Cost recovery + IC Recovered 8. Cost recovery (CR), jika R > 0, maka CR = NC + Dep + OC + UR 9. Recovery (Rec), jika IC + CR > R – FTP maka Rec = R – FTP, jika tidak, maka Rec = IC + CR 10. Equity to be Split (ES) = R – FTP – Rec 11. Contractor Share (CS) = %ShareContractor / (1 - %Tax) x ES + %ShareContractor / (1 - %Tax) x FTP
Mengacu kepada UU No.22 Tahun 2001 maka diusulkan model kontrak PSC Non Cost Recovery yaitu model PSC yang menghilangkan komponen cost recovery dan semua biaya ditanggung oleh Kontraktor, sehingga share Kontraktor diperbesar agar tetap menarik, namun disesuaikan agar tetap menghasilkan NPV Pemerintah yang lebih menguntungkan daripada NPV Pemerintah pada model PSC Standar. Data asumsi pada Tabel 2 digunakan untuk perhitungan cash flow pada model usulan ini, kecuali Investment Credit. Investment Credit adalah insentif yang diberikan Pemerintah kepada Kontraktor sebesar persen tertentu dari besarnya capital. Pada sistem tanpa cost recovery ini, Investment Credit dihilangkan. Gambar 2 merupakan skematik dari model kontrak PSC Non Cost Recovery yang diusulkan.
Gambar 2. Sistem Kontrak PSC Non Cost Recovery
Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
7
Prosedur dan rumus yang digunakan dalam perhitungan cash flow PSC Non Cost Recovery adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
R = Produksi x harga minyak Investment = Cap + NC Dep, digunakan declining balance OP = Biaya produksi x produksi Indonesia Share (IS) = %ShareGovernment x R CS = %ShareContractor x R Cost = NC + Dep + OC Contractor Income (CI) = CS – Cost DMO sampai tahun ke-5 = 0, sedangkan tahun ke-6 dihitung dengan rumus: Jika 25% x (R – IS) / 0.56 > CI, maka DMO = CI, jika tidak, maka DMO = 25% x (R – IS) / 0.56 DMOfee = 10% x DMO CTI = CI – DMO + DMOfee GT = %Tax x CTI NCS = CTI – GT CCF = R – Cap – NC – OC – IS – DMO + DMOfee - GT IT = IS + DMO – DMOfee + GT
(ROR) Pay Out Time, year Indonesia NPV @ 10%
0.737397667
0.8722134
5,115.449957
5,119.785537
Setelah diperoleh bagi hasil yang menghasilkan ROR yang sama tersebut, dilakukan sensitivity analysis terhadap perubahan harga, biaya operasi, produksi, dan biaya investasi. Hasil selengkapnya dari sensitivity analysis dapat dilihat pada Gambar 3 sampai Gambar 18 di bawah ini.
Gambar 3. Pengaruh Perubahan Harga terhadap ROR pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
4.4. Hasil Perhitungan Kontrak PSC Standar dan PSC Non Cost Recovery Untuk memperoleh pemahaman mengenai perilaku dari tiap - tiap model kontrak, terlebih dahulu digunakan data - data hipotetik untuk menghitung cash flow dari model standar ini. Kemudian, dengan menggunakan data - data yang sama, ROR pada Non Cost Recovery disamakan dengan ROR PSC Standar, yaitu 110%, dengan mengganti - ganti besarnya share Pemerintah dan share Kontraktor. Asumsi bagi hasil PSC Standar adalah 85:15 (after tax), yaitu 85% untuk Pemerintah dan 15% untuk Kontraktor. Dengan data - data dan parameter lain yaitu pajak 44%, DMO 25% dan DMO fee 10% maka diperoleh kesebandingan share bagi hasil pada model Non Cost Recovery 56.77:43.23 (before tax), yaitu 56.77% untuk Pemerintah dan 43.23% untuk Kontraktor. NPV yang diperoleh Pemerintah pada Non Cost Recovery lebih besar dibandingkan dengan NPV Pemerintah pada PSC Standar. Hasil perbandingan indikator keekonomian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3, dan cash flow masing masing model dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 terlampir.
Gambar 4. Pengaruh Perubahan Harga terhadap NPV Contractor pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 5. Pengaruh Perubahan Harga terhadap NPV Government pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Tabel 3. Perbandingan Indikator Keekonomian Indikator Contractor NPV @ 10% Rate of Return
8
PSC STANDAR
NON COST RECOVERY
738.749073
734.413493
110%
110%
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
Gambar 6. Pengaruh Perubahan Harga terhadap POT pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 10. Pengaruh Perubahan Total Produksi terhadap POT pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 7. Pengaruh Perubahan Total Produksi terhadap ROR pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 11. Pengaruh Perubahan Operating cost terhadap ROR pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 8. Pengaruh Perubahan Total Produksi terhadap NPV Contractor pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 12. Pengaruh Perubahan Operating cost terhadap NPV Contractor pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 9. Pengaruh Perubahan Total Produksi terhadap NPV Government pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 13. Pengaruh Perubahan Operating cost terhadap NPV Government pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
9
Gambar 14. Pengaruh Perubahan Operating cost terhadap POT pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 18. Pengaruh Perubahan Jumlah Investasi terhadap POT pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery 4.5. Analisis 4.5.1. Aspek Hukum
Gambar 15. Pengaruh Perubahan Jumlah Investasi terhadap ROR pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 16. Pengaruh Perubahan Jumlah Investasi terhadap NPV Contractor pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Gambar 17. Pengaruh Perubahan Jumlah Investasi terhadap NPV Government pada Model PSC Standar dan Non Cost Recovery
Sebelum menganalisa keekonomian dari model PSC Non Cost Recovery, perlu dilakukan analisa terhadap aspek hukum terlebih dahulu. Dasar hukum dari model kontrak yang diusulkan ini adalah Undang - Undang Nomor 22 Tahun 2001 pasal 1 ayat 19. Pada Undang Undang tersebut disebutkan bahwa kontrak yang digunakan di Indonesia adalah kontrak PSC atau kontrak lainnya lebih menguntungkan bagi negara. Salah satu indikator keekonomian adalah NPV, karena NPV Pemerintah pada model Non Cost Recovery ini lebih besar dibandingkan pada PSC Standar. Dapat dikatakan, dengan menggunakan model PSC Non Cost Recovery Pemerintah lebih untung daripada ketika menggunakan model PSC Standar, tanpa memperhitungkan sensitivity analysis dapat disimpulkan sementara bahwa model yang diusulkan ini dapat digunakan di Indonesia. Selanjutnya, pada pasal 14, disebutkan bahwa jangka waktu Kontrak Kerja Sama dilaksanakan paling lama 30 tahun. Pada pasal 6 dikatakan bahwa kepemilikan sumber daya alam tetap berada di tangan pemerintah, dan pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana (BP Migas), modal dan resiko seluruhnya ditanggung Kontraktor. Pada model PSC Non Cost Recovery yang diusulkan, kedua hal ini telah sesuai dengan peraturan tersebut. Adapun diusulkan perhitungan DMO baru yang dilakukan dengan ketentuan DMO sampai tahun ke-5 = 0, sedangkan tahun ke-6 dihitung dengan ketentuan jika 25% x (R – IS) / 0.56 > CI, maka DMO = CI, namun jika tidak, maka DMO = 25% x (R – IS) / 0.56. Ini dilakukan untuk menyesuaikan sharing profit pada PSC Non Cost Recovery. Hal – hal lain yang tidak disebutkan di atas, disesuaikan pula dengan aturan – aturan yang berlaku pada UU No.22 Tahun 2001 Tentang
10
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
Migas dan PP No.35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas yang saat ini berlaku. 4.5.2. Aspek Keekonomian Berdasarkan hasil perbandingan awal antara model PSC Standar dengan model usulan, yaitu PSC Non Cost Recovery, terlihat bahwa pada ROR yang sama, NPV Kontraktor pada model usulan, lebih kecil dibandingkan model PSC Standar, berbanding terbalik dengan NPV Pemerintah. Hal ini dikarenakan pengaturan bagi hasil sedemikian rupa agar dapat menghasilkan NPV Pemerintah yang lebih tinggi, namun tetap menarik untuk Kontraktor. Hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa grafik ROR terhadap perubahan harga, produksi, biaya investasi, dan biaya operasi model Non Cost Recovery selalu lebih tajam dibandingkan dengan model PSC Standar, ini dipengaruhi oleh adanya unsur cost recovery yang menyebabkan stabilitas ROR lebih terjaga, karena biaya yang dikeluarkan diganti melalui cost recovery, sedangkan pada model usulan, tidak ada pergantian biaya. Grafik NPV Kontraktor pada PSC Standar lebih landai daripada pada model usulan. Ini artinya, perubahan pada harga, total produksi, operating cost, dan investasi berpengaruh lebih besar pada model usulan dibandingkan pada PSC Standar. Hal ini bagi Kontraktor dapat dikatakan buruk, tetapi dapat pula dikatakan baik. Dikatakan buruk karena terjadi ketidakstabilan pada pendapatan Kontraktor. Sedangkan dikatakan baik karena apabila terjadi perubahan, Kontraktor dapat saja memperoleh peningkatan NPV yang lebih tinggi dibandingkan pada model PSC Standar. Sebagai contoh, apabila harga minyak naik, Kontraktor pada model usulan dapat memperoleh NPV lebih tinggi dibandingkan pada model PSC Standar. Begitu pula apabila Kontraktor menghemat operating cost, yaitu menekan biaya operasi, Kontraktor pada model usulan ini akan memperoleh kenaikan NPV yang lebih signifikan dibandingkan apabila Kontraktor pada model PSC Standar melakukan penghematan. Hal tersebut yang dapat menjadi daya tarik bagi Kontraktor untuk berinvesasi di Indonesia. Namun di sisi lain, terlihat bahwa grafik NPV Pemerintah model usulan lebih landai daripada model PSC Standar, ini dikarenakan pada suatu sistem bagi hasil, jika ada pihak yang memperoleh penambahan, maka tentunya pihak lain akan mengalami pengurangan. Bila diibaratkan membagi sepotong kue, tentunya apabila ada yang memperoleh bagian lebih
besar, pasti ada yang memperoleh bagian lebih kecil. Meskipun begitu, kondisi seperti ini tetap dapat dikatakan menguntungkan bagi Pemerintah, karena artinya Kontraktor akan berusaha untuk lebih efisien dalam segala kegiatan mereka. Hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap NPV Pemerintah, tetapi ini dapat mempermudah Pemerintah dalam melakukan pengawasan, sehingga iklim usaha di Indonesia lebih sehat dan kemungkinan terjadinya penyelewengan - penyelewengan biaya dapat dihindari. 4.5.3. Implikasi Kontrak PSC Non Cost Recovery pada BP Migas Sejak ditetapkannya UU No.22 tahun 2001 tentang Migas dan PP No.42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Productions Sharing yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BPMIGAS. Tugas BP migas antara lain: 1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk penyiapan dan penawaran WK serta KKS 2. Menandatangani Kontrak Kerja Sama 3. Mengkaji dan menyampaikan POD lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu WK kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; 4. Memberikan persetujuan POD berikutnya 5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran 6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan KKS 7. Menunjuk penjual Migas bagian negara Dengan diberlakukannya kontrak PSC Non Cost Recovery tentunya berimplikasi pada tugas BP migas. Akan terjadi pengurangan porsi dari tugas BP migas menjadi lebih ringan. BP migas hanya mengawasi produksi baik itu naik atau turunnya produksi, dalam arti BP migas tetap harus mengawasi dan mengetahui besarnya produksi di lapangan yang dikelola Kontraktor, sehingga diharapkan pembagian keuntungan dapat berlangsung sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Selain itu, BP migas juga mengawasi masuknya penerimaan negara dari pajak migas. Berkaitan dengan poin ke-5 dari tugas BP Migas di atas, dengan berlakunya kontrak model usulan ini, BP migas tidak lagi mengawasi pengeluaran yang dilakukan oleh Kontraktor. Sebagai efek dari pengurangan porsi kerja ini, selain harus disusun ulangnya kelembagaan dan pembagian tugas dari divisi divisi pada BP Migas, dana yang dialokasikan
Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
11
Pemerintah untuk operasional BP migas pun dapat dirampingkan sedemikian rupa. Dengan demikian, Pemerintah dapat mengalokasikan dana tersebut untuk hal – hal penting lainnya. Sehingga efisiensi dana pengeluaran APBN lebih baik dan semakin memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia.
mengalami kerugian adalah Kontraktor itu sendiri. 5.2. Saran 1.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 2. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
12
Untuk memperoleh ROR sebesar 110%, model usulan, yaitu PSC Non Cost Recovery, memerlukan bagi hasil 56.77:43.23 dengan share Pemerintah before tax 56.77% dan share Kontraktor 43.23%. Pada ROR yang sama (110%), diperoleh NPV Pemerintah model usulan sebesar US$ 5,119.79 juta, yaitu lebih besar daripada NPV Pemerintah model PSC Standar yang besarnya US$ 5,115.45 juta. Grafik ROR dan NPV Kontraktor yang diperoleh dari sensitivity analysis untuk model usulan lebih tajam daripada model PSC Standar. Sebaliknya NPV Pemerintah model usulan lebih landai dibandingkan NPV Pemerintah model PSC Standar. Model PSC Non Cost Recovery lebih menguntungkan dan menarik bagi Kontraktor pada saat harga dan produksi total naik. Apabila Kontraktor dapat menekan biaya operasi dan juga menghemat investasi, NPV Kontraktor pada model usulan akan lebih tinggi dibandingkan apabila menggunakan model PSC Standar. NPV Pemerintah pada model PSC Non Cost Recovery akan lebih tinggi pada saat operating cost dan jumlah investasi naik, dibandingkan dengan pada model PSC Standar. Dari sensitivity analysis, secara umum, POT pada PSC Non Cost Recovery lebih lama daripada PSC Standar, namun pada harga di atas US$ 134 / BBL nilai POT mendekati angka yang sama, begitu pula pada investasi di bawah US$ 70 dan total produksi di atas 350 MM BBL. Sensitivitas NPV Pemerintah pada model usulan terhadap perubahan harga minyak sampai pada harga di bawah US$ 110 / BBL dan juga terhadap perubahan jumlah total produksi tidak terlalu berbeda jauh dengan NPV Pemerintah pada model PSC Standar. Model PSC Non Cost Recovery dapat memberi dampak positif terhadap efisiensi dari operasi perminyakan. Karena, berkaitan dengan poin 4, apabila operating cost tidak dikontrol dengan baik, yang
3.
4.
Diharapkan studi ini dapat dilakukan lebih lanjut karena pada kajian ini belum dilakukan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan model PSC Non Cost Recovery, yaitu salah satunya adalah Libya. Kekurangan dan kelebihan dari kedua model yang dibandingkan pada kajian ini perlu dicermati lebih jauh, dengan begitu, Pemerintah dapat menentukan model kontrak seperti apa yang terbaik untuk digunakan di negara kita. Pada kondisi harga minyak stabil dan di bawah US$ 110 / BBL, Pemerintah dapat menerapkan model kontrak ini, dengan beberapa perubahan pada pembagian tugas di divisi – divisi BP Migas. Model PSC Non Cost Recovery sebaiknya digunakan sebagai perpanjangan kontrak, karena infrastruktur produksi sudah menjadi milik Negara, dan Kontraktor hanya melakukan pemeliharaan.
VI. DAFTAR SIMBOL
C0 Cn i n T
= Nilai uang pada waktu awal (investasi pada tahun ke-0) = Nilai uang pada waktu n (tahun) = interest rata - rata = waktu (tahun) = Lama waktu depresiasi
VII. DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
4. 5. 6.
7. 8.
Arsegianto: “Ekonomi Minyak dan Gas Bumi,” Diktat Kuliah Teknik Perminyakan ITB, 2000. Johnston, Daniel: “Petroleum International Fiscal”, 1994. Partowidagdo, Widjajono: “Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi,” Penerbit Program Studi Pembangunan Pasca Sarjana ITB, 2002. Peraturan Pemerintah No.35 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, 2004. Simamora, Rudi: ”Hukum Perminyakan”, 2000. Undang – Undang Republik Indonesia No.22 tentang Minyak, dan Gas Bumi, 2001. www.esdm.go.id. www.bpmigas.com.
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
Tabel 4. Cash Flow PSC Standar Aulia Nugraha Saputra, 12202035, Sem2 2007/2008
13
14
TM-FTTM-ITB Sem2 2007-2008
Tabel 5. Cash Flow PSC Non Cost Recovery