Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Kebijakan pembangunan tidak dilaksanakan di atas “kertas kosong”, melainkan dimasukkan ke dalam konteks kesejarahan lokal yang sudah sudah terlebih dahulu ada (Agusta dan Tetiani, 2001). Dapat diibaratkan bahwa konteks kebijakan menjadi semacam “panggung” tempat kebijakan dan program pembangunan “beraksi”. Pada beberapa aspek memang konteks dapat dipengaruhi,
namun
secara
keseluruhan
justru
konteks
itulah
yang
mempengaruhi jalannya pembangunan. Dengan adanya konteks sebagai variabel antara, maka suatu kebijakan yang berhasil di suatu wilayah tertentu belum tentu mendapatkan hasil serupa di wilayah lainnya (World Bank, 2009). Dalam upaya merumuskan kebijakan pembangunan wilayah, konteks menjadi semakin bermakna. Pembangunan wilayah memiliki ciri lokalitas yang kuat sejak dari perumusan masalah, pengembangan alternatif pemecahan, konstruksi teoretis, hingga pengambilan kebijakan (Higgins dan Savoie, 2005). Konsekuensinya penerapan teori ilmu pembangunan wilayah perlu seksama, terutama untuk menyesuaikan dengan sejarah lokal yang sudah lebih dahulu tumbuh. Tidak ada teori yang dinyatakan benar atau salah, melainkan perumusan kebijakan diarahkan untuk mencari peluang-peluang kesesuaian teori dengan praktek. Jika teori tersebut tidak sepenuh cocok, maka mungkin digabung dengan teori lain, atau sama sekali tidak digunakan. 62
Oleh karena itu pengetahuan akan konteks kebijakan sangat penting, karena konteks menjadi struktur terdalam yang mempengaruhi dampak dari suatu
kebijakan
pengurangan
ketimpangan
wilayah.
Ada
baiknya
memperlakukan konteks kebijakan seperti halnya aksioma pembangunan. Dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk menihilkan kekuatan kebijakan dalam mengubah konteks itu sendiri –misalnya mengubah konteks yang dipandang merugikan—namun disadari bahwa pengubahan suatu konteks pembangunan membutuhkan kekuatan kebijakan yang sangat besar. Sikap yang bisa dibangun terhadap temuan-temuan konteks kebijakan dapat berupa menjadikannya peluang untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan wilayah, atau dilihat sebagai tantangan yang mendorong peningkatan ketimpangan pembangunan wilayah. Pembangunan hampir selalu ibarat mengisi separuh gelas dengan air, apakah akan dipandang sebagai gelas setengah isi atau justru setengah kosong (Chambers, 1987). Perumusan tantangan dan peluang inilah yang dibangun pada bab ini. Konteks untuk
merumuskan
kebijakan
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah berada pada lingkup global hingga nasional (Tabel 13). Konteks global mencakup kecenderungan ketimpangan global sejak beratus tahun lampau hingga masa kini. Konteks lainnya ialah pengembangan narasi besar
berupa
tema-tema
pembangunan
yang
digunakan
donor
untuk
memusatkan perhatian pada aspek pembangunan tertentu. Akhir-akhir ini aspek pengembangan wilayah –yang dinamai pula sebagai geografi ekonomi— menempati posisi utama di kalangan lembaga donor penting bagi Indonesia, yaitu World Bank (2009) dan Asian Development Bank (2007). Dapat diperkirakan bahwa tema tersebut masih akan bertahan selama beberapa waktu ke depan –sebagaimana biasanya program donor dimulai dari penerbitan laporan pembangunan bertema khusus. Adapun konteks nasional dimulai dari aspek kesejarahan. Pengalaman sebagai negara yang terjajah memiliki konsekuensi mendalam terhadap pola
63
Tabel 13. Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Konteks Ketimpangan global
Diskursus donor untuk pembangunan nasional
Wilayah pasca kolonial
Wilayah luas dan kepulauan
Materi Konteks Dampak jangka panjang dari Revolusi Industri atau kapitalisme global Ketimpangan antar-negara dan di-dalam-negara Globalisasi pasar Perusahaan multinasional dan post fordisme Kerusakan dan pencemaran lingkungan Tema bantuan sebagai pengikat pembangunan lebih ditentukan oleh donor terbesar di dunia Pembangunan wilayah perlu dikaitkan dengan penguatan sektor produksi, infrastruktur dan bantuan sosial Hubungan dengan bekas penjajah Dampak perang kemerdekaan dan penyatuan bangsa Integrasi wilayah bekas penjajahan Keragaman dimensi ketimpangan wilayah Ketersebaran wilayah Keterpencilan wilayah Laut sebagai penghubung antar pulau
Level Global
Global, internasion al
Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah Kualitas pemerintah (tidak korup) Demokrasi dan lokasi negara disekitar negara lain yang konvergen berguna untuk mempertahankan konvergensi wilayah
Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah Penguatan ketimpangan wilayah internasional berabad-abad Pemerintah korup cenderung mengurangi dana pendidikan
Penyaluran lebih spesifik untuk jenis pemanfaat tertentu. Bantuan pada saat krisis ekonomi
Sumber Data Alam (2006); Foldvari (Tt); Milanovic, Lindert dan Williamson (2008)
Tidak ada hubungan langsung donasi dan pengurangan ketimpangan wilayah Deregulasi ekonomi menghadapi krisis moneter yang diusulkan donor menambah ketimpangan Kelembagaan yang korup menjadikan bantuan luar negeri justru meningkatkan ketimpangan Internasional, Sentimen kesatuan/ integritas bangsa Ketimpangan Jawa-Luar Jawa nasional berbasis kesamaan sejarah Dualisme ekonomi yang Adopsi inovasi lebih murah dan cepat menguatkan lapisan atas namun menahan kemajuan lapisan bawah
Alisjahbana, et.al. (2003); Easterly dan Pfutze (2008); (Calderon, Chong, Gradstein, 2006).
Nasional, Regional
Dick-Read (2008); Direktorat Kewilayahan I (2007); Lombard (1995)
Sejarah perdagangan dan hubungan politik antar wilayah sejak pra kolonial menunjukkan laut sebagai prasarana transportasi penting Perahu asli Indonesia telah mampu mengitari Indonesia sejak pra
Pembangunan yang berorientasi kepada daratan memandang kepulauan sebagai sumber masalah
Dick (1988, 2002); Elson (1988); Zanden (2002, Tt)
64
Konteks
Pandangan statis terhadap suku, agama, ras, golongan
Krisis moneter
Otonomi daerah
Materi Konteks Kesatuan antar pulau telah terjadi sejak pra kolonial Penguatan identitas dan sentimen berbasis budaya Pengeratan kaitan identitas suku, agama, ras dan golongan dengan wilayah Krisis moneter menurunkan pembangunan ekonomi dan pendapatan Krisis moneter menurunkan ketimpangan wilayah, namun meningkatkan ketimpangan di antara kelompok miskin Krisis moneter menurunkan kekuatan pemerintah di hadapan rakyat dan swasta Big bang autonomy Inward looking dalam wilayah Kebutuhan data lokal lebih detil dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan infrastruktur
Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah kolonial
Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah
Nasional, Regional
Penguatan nasionalisme imajiner (kesatuan tanah air, bahasa, dan bangsa dalam Sumpah Pemuda) Wilayah lebih maju dihuni oleh beragam suku, agama, ras, dan golongan
Gouda (2007); Haar (1983); Hidayah (1997); Nordholt dan Klinken (2008)
Nasional, Regional
Pengurangan pendapatan/ pengeluaran buruh di perkotaan menurunkan ketimpangan antar wilayah Program penanggulangan kemiskinan dan jaring pengaman sosial
Penguatan lembaga adat dan hukum adat Konflik berbasis suku, agama, ras, golongan Pembatasan politis dan ekonomis berbasis suku, agama, ras, golongan Deregulasi ekonomi menguatkan lapisan tertinggi di Indonesia pasca krisis Upaya menggerakkan perekonomian kembali kemungkinan besar meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah
Nasional, Regional
Mempermudah akses ekonomi, pendidikan, kesehatan melalui peningkatan jumlah prasarana dan sarana, serta mendekatkan jarak dengan warganegara. Departemen kesehatan di tingkat pusat beralih peran dari penentu menjadi pengawas kebijakan Bagian terbesar dana pembangunan kesehatan dialirkan melalui DAU, padahal Pemda tidak selalu memprioritas pembangunan kesahatan di daerah
Kapasitas teknis aparat Pemda untuk mengelola fasilitas kesehatan tergolong lemah Orientasi ke dalam wilayah otonom sendiri, bukan bekerjasama dengan wilayah lain
Adair (2004); Mubyarto (2005); Nordholt dan Klinken (2008); Tadjoeddin (2007); The (1993); Wignyosoebroto (2004)
Level
Sumber Data
Hill (2006); Said dan Widyanti (2001)
65
ketimpangan pembangunan wilayah. Bagaimanapun penjajah telah memilih untuk mengembangkan wilayah tertentu dan membiarkan wilayah lainnya terbelakang. Warisan ketimpangan itulah yang diperoleh negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II. Konteks nasional lainnya bagi Indonesia berupa keluasan wilayah negara, sebagian besar berupa lautan, dengan belasan ribu pulau tersebar di dalamnya. Menurut cara pandang kontinental, konteks ini mengakibatkan wilayah Indonesia tersebar (Hill, 2006; World Bank, 2009). Akan tetapi kesejarahan bahari nusantara tidak memandang lautan sebagai masalah, melainkan perahu terbaik pada masanya mampu menghubungkan pulau-pulau di nusantara (Dick-Read, 2008; Lombard, 1995). Konteks lainnya berupa keragaman suku bangsa. Meskipun jumlah terbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar sepuluh buah, namun secara keseluruhan jumlah suku bangsa mencapai lebih dari 600 buah (Hidayah, 1997; Suryadinata, Arifin, Ananta, 2003). Sentimen suku seringkali digunakan dalam kompetisi antar warganegara, termasuk akhirnya menyulut konflik (Nordholt dan Klinken, 2007). Konteks masa kini bagi pembangunan wilayah di Indonesia berupa krisis moneter. Sebenarnya krisis moneter telah terjadi berkali-kali di Indonesia, dan hampir selalu diawali oleh peningkatan ketimpangan wilayah. Misalnya krisis terjadi selama dekade 1970-an, 1929 (dikenal sebagai malaise), krisis moneter dimulai tahun 1997, dan kini berpeluang mengalami efek resesi global. Konteks penting lain dalam pembangunan wilayah Indonesia ialah desentralisasi secara massif sejak tahun 2001. Perjalanan desentralisasi sendiri berlangsung amat panjang, setidak mulai tahun 1903, dan mengalami beragam versi. Pada versi masa kini, daerah otonom berdiri pada tingkat kabupaten dan desa. Kecepatan desentralisasi, diikuti pemekaran wilayah, sementara luas areal desentralisasi tergolong kecil (dibandingkan provinsi) menghasilkan masalah lanjutan berupa koordinasi pembangunan dan kerjasama antar wilayah.
66
Ketimpangan Global Peningkatan ketimpangan antar negara telah berlangsung dalam jangka waktu lama, yaitu sejak revolusi industri abad ke 19 (menurut paradigma modernisasi), atau sejak perkembangan kapitalisme global abad ke 17 (menurut paradigma ketergantungan) (Foldvari, Tt). Bersamaan dengan itu muncul pula ketimpangan wilayah di-dalam-negara yang bersangkutan. Perkembangan ini membutuhkan pemahaman lebih lanjut, apa sajakah faktor untuk memasuki atau keluar dari kelompok negara-negara yang merata atau konvergen. Revolusi industri memberikan efek difusi sehingga dapat melebar ke seluruh dunia. Dimulai dari Inggris pada akhir abad ke 18, kemudian menyebar ke Amerika Utara dan Eropa daratan pada abad ke 19. Sejak itu industrialisme menyebar ke Eropa Selatan dan Asia Timur, dan usai Perang Dunia II menyentuh wilayah Asia daratan. Pada level internasional saat ini telah dikenal wilayah yang maju di belahan bumi Utara Utara, yang timpang dari wilayah tertinggal di belahan Selatan (McMichael, 2004; Perrons, 2004). Indonesia sendiri tergolong ke dalam negara Selatan. Pemisahan formal antara negara miskin dari negara maju
dimulai
sejak
dekade
1970-an,
ketika
negara-negara
miskin
menggabungkan diri dalam kelompok G-77 sedangkan negara kaya dalam kelompok
G-7.
Pengelompokan
semacam
ini
masih
dirasakan
dalam
perdebatan-perdebatan pada forum internasional, misalnya sidang WTO (World
Trade
Organization)
dan
PBB
(Persatuan
Bangsa-Bangsa).
Perbedaan
kepentingan di antara kedua kelompok negara dapat didasarkan pada perbedaan kepentingan produsen dan konsumen kemajuan teknis manusia. Suatu paradoks muncul, karena hampir seluruh penduduk tinggal di negara
berpendapatan
rendah
(40,2%)
–sebagaimana
Indonesia—dan
menengah sebesar 44,2% (terutama menengah bawah sebesar 38,9%). Akan tetapi ketimpangan wilayah justru terjadi antara negara-negara tersebut dengan negara terkaya saat ini (USA), yaitu mencapai 17,2 kali lipat pada
67
negara berpendapatan rendah, dan 6,2 kali lipat pada negara berpendapatan menengah (Tabel 14). Tabel 14. Ketimpangan Wilayah Global menurut Pendapatan Per Kapita Tahun 2002 Pengukuran
LICs
MICs
LMICs
HMICs
HICs (minus USA)
HICs
Pendapatan per kapita 2.040 5.630 5.130 9.220 24.390 27.590 (US $ .000) Rasio dibandingkan USA 17,2 6,2 6,8 3,8 1,4 1,3 Penduduk 40,2 44,2 38,9 5,3 10,9 15,6 (% dari penduduk dunia) Keterangan: LICs= negara-negara berpendapatan rendah. MICs = negara-negara berpendapatan menengah, terdiri atas LMICs (negara-negara berpendapatan menengah ke bawah) dan HMICs (negara-negara berpendapatan menengah ke atas). HCIs = negara-negara berpendapatan tinggi. Sumber: Alam, 2006
Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah sebelum Revolusi Industri (periode
1750-1850)?
Sebagaimana
perdebatan
tentang
kapan
awal
ketimpangan global di atas, di sinipun masih muncul dua pendapat. Pada kelompok yang memandang ketimpangan dimulai pada masa Revolusi Industri, sebelum abad ke 19 dipandang tidak terdapat tanda-tanda ketimpangan wilayah lintas negara (Alam, 2006). Ketika digunakan beragam ukuran, mencakup produktivitas pertanian, upah riil, urbanisasi dan perdagangan, ternyata tidak muncul ketimpangan antara Eropa Barat dan belahan dunia lainnya pada awal Revolusi Industri. Sebaliknya pada masa itu wilayah China tergolong yang paling maju, dan hanya bisa ditandingi oleh Inggris yang saat itu menjadi negara termaju di Eropa. Jika menggunakan ukuran pendapatan per kapita, ketimpangan wilayah global muncul sejalan dengan penggunaan energi batu bara selama Revolusi Industri 1750-1850. Energi batu bara memungkinkan pertumbuhan dari yang sebelumnya terbatas pada energi tanaman pertanian. Temuan energi baru ini hanya berkembang di Barat. Temuan tersebut sekaligus digunakan untuk menguatkan ekonomi dan militer, sehingga negara-negara industri di Eropa meninggalkan negara-negara lainnya. Hal ini terlihat ketika ukuran ketimpangan
68
tersebut ialah pendapatan per kapita. Lihat Tabel 15, Tabel 16, dan Gambar 35. Tabel 15. Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Negara Maju dibandingkan Negara Pinggiran, 1820-1998 Wilayah
1820 USA 2,1 Eropa Barat 2,2 Sumber: Alam, 2006
1870 4,1 3,5
1913 6,3 4,4
1950 8,9 4,7
1973 7,9 6,0
1990 8,3 6,3
1998 8,9 6,1
Tabel 16. Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Per Kapita dibandingkan USA, 1820-1998 Wilayah Eropa Barat Eropa Timur Bekas Uni Sovyet Amerika Latin Asia Timur & Jepang Asia Barat Afrika Sumber: Alam, 2006
1820 1,0 2,0 1,8 1,9
1870 1,2 2,8 2,6 3,5
1913 1,5 3,5 3,6 3,5
1950 2,1 4,5 3,4 3,7
1973 1,4 3,3 2,8 3,7
1990 1,5 4,3 3,4 4,6
1998 1,5 5,0 7,0 4,7
2,2
4,5
8,3
16,3
15,9
11,4
9,3
2,3 3,0
4,4 5,5
7,8 9,1
5,1 11,2
3,5 12,2
4,7 16,8
5,1 20,0
Gambar 35. CV Ketimpangan Global Antara Asia dan Afrika, 1960-2004
Sumber: Easterly (2006)
69
Adapun pihak lain berhipotesis bahwa ketimpangan antar negara pun sudah muncul jauh sebelum Revolusi Industri berlangsung (Milanovic, Lindert dan Williamson, 2008). Kelompok ini memandang ketimpangan di masa kuno tersebut tidak jauh berbeda dari ketimpangan pada masa kini. Sebagai tambahan, ketimpangan di-dalam-negara antara masa kuno dan masa kini lebih besar daripada ketimpangan antar-negara antara masa kuno dan masa kini.
Extraction
ratio
(sejauhmana
potensi
ketimpangan
menjelma
menjadi
ketimpangan yang sesungguhnya) di masa kuno lebih tinggi daripada masa kini. Indikasi yang ditangkap ialah, di masa lalu tingkah elite, kelembagaan dan kebijakan yang dijalankan begitu kuat, represif dan ekstraktif lapisan bawah. Dengan meyakini kurva Kuznets, kelompok ini menggambarkan bahwa ketimpangan di masa kuno meningkat begitu suatu negara hendak memasuki pertumbuhan
ekonomi
modern.
menurunkan
extraction
ratio,
Selanjutnya sehingga
orientasi
ketimpangan
kepada
ekonomi
berangsur-angsur
menurun. Negara-negara di wilayah Asia ternyata hampit selama mengalami tingkat ketimpangan yang rendah. Rendahnya ketimpangan juga hampir selalu dialami negara yang berpenduduk besar. Tampaknya terjadi korelasi positif antara pembesaran penduduk dan penurunan ketimpangan. Untuk kasus Indonesia, misalnya, telah lama dikenal “kemiskinan berbagi”, di mana rezeki yang diperoleh, meskipun jumlahnya sedikit,
berupaya dibagikan kepada
tetangga sekitarnya. Pada aspek produksi muncul gejala “involusi pertanian”, di mana faktor produksi yang dimiliki (terutama tanah) dikelola secara bersamasama, bahkan sampai pada taraf jumlah orang yang sangat banyak (Geertz, 1983). Pengaruh warga terkaya (satu persen warga terkaya) untuk menciptakan ketimpangan, ternyata tidak signifikan pada masa kuno. Pengaruh mereka baru signifikan pada masa kini. Pada masa kuno elite kecil ini hanya sedikit lebih kaya daripada warga secara keseluruhan (Milanovic, Lindert dan Williamson, 2008). Setelah globalisasi pasar sejak pertengahan dekade 1980-an, ternyata ketimpangan di semua wilayah di luar USA dan Eropa Barat ternyata cenderung 70
meningkat (Kanbur dan Venables, 2005). Antara tahun 1990 dan 1998 ketimpangan di Eropa Timur meningkat dari 4,3 menjadi 5,0 kali lipat dibandingkan pendapatan USA. Di negara-negara bekas Uni Sovyet meningkat dari 3,4 menjadi 7,0 kali lipat. Di Amerika Latin dari 4,6 menjadi 4,7. Di Asia Barat dari 4,7 menjadi 5,1 kali lipat (Tabel 16) Di Asia Timur sendiri ketimpangan meningkat manakala Jepang dikeluarkan dari kelompok tersebut. Tabel tersebut justru menunjukkan ketimpangan yang melonjak di Afrika setelah globalisasi, yaitu dari 12,2 pada tahun 1973, melonjak menjadi 16,8 pada tahun 1990, hingga menjadi 20,0 kali lipat pada tahun 1998. Pada masa kini penyebab ketimpangan global lebih didominasi oleh dinamika negara maju, yang meninggalkan negara-negara terbelakang (Smeeding, 2002). Dalam melihat kategori negara menurut ketimpangan wilayah, maka muncul kelompok negara-negara konvergen (relatif merata) dan divergen (relatif tidak merata). Untuk masuk ke dalam kelompok konvergen, suatu negara membutuhkan rata-rata pertumbuhan lebih tinggi daripada negara termaju di kelompok konvergen tersebut. Aspek lainnya ialah memiliki tingkat pendapatan yang tinggi, setidaknya 80 persen dibandingkan negara termaju pada periode 1820-1870, atau 60 persen pada periode setelah tahun 1974. Negara yang paling maju berada pada posisi terdepan dalam kelompok konvergen, yaitu Inggris sebelum tahun 1814 dan Amerika Serikat sesudahnya. Negara termaju tersebut memiliki reit pertumbuhan ekonomi konstan pada angka 2 persen. Proses konvergensi dalam kelompok ini terjadi ketika negaranegara anggotanya berangsur-angsur mengikuti reit pertumbuhan negara yang memimpin tersebut. Terdapat dua faktor untuk memasuki atau keluar dari kelompok konvergen, yaitu pola spasial dan faktor kelembagaan. Jumlah negara yang masuk ke dalam kelompok konvergen melonjak pada periode tahun 1871-1913 dan 1951-1973. Masa-masa itu banyak negara merdeka. Indonesia sendiri telah masuk ke dalam kelompok konvergen ini sejak tahun 1951, dan terus bertahan di sana sampai kini. Pada masa sesudah tahun 1973 semakin melonjak negara-negara yang keluar dari kelompok konvergen. Hal ini menandai ketimpangan global yang semakin meningkat (Gambar 36).
71
Gambar 36. CV Ketimpangan Global (GDP per Kapita), 1820-2001
Sumber: Foldvari (Tt) Jika dihitung menurut jumlah penduduk yang mendiami negara, maka peningkatan terjadi sepanjang tahun 1870-1913 dan sesudah tahun 1973. Masuknya Cina dan India pada periode terakhir turut mempengaruhi jumlah penduduk yang masuk ke dalam kelompok
konvergen. Pada awal abad ini
sudah lebih dari 65 persen penduduk berdiam di negara-negara konvergen. Mengingat kurva logaritma menuju angka 100 persen, maka dapat diperkirakan bahwa jika konvergensi ini berlanjut, konvergensi akan terjadi pada abad ke 22 (sekitar tahun 2108 atau 2116). Faktor penting untuk masuk ke dalam kelompok konvergen ialah kualitas pemerintah. Pemerintah yang korup cenderung mengurangi dana pendidikan, padahal pendidikan menjadi penghubung antara proses pengembangan kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM). Pada dasarnya memang tidak ada halangan yang tetap untuk memasuki kelompok negara konvergen ini. Faktor yang mengakibatkan suatu negara keluar dari kelompok konvergen
di
antaranya
akibat
sejarah
penjajahan
di
negara
yang
bersangkutan. 72
Menjadi negara demokratis tidak merupakan faktor penentu untuk masuk ke dalam kelompok konvergen, namun demokrasi menjadi faktor penting untuk tetap bertahan dalam kelompok konvergen ini. Faktor lainnya ialah posisi negara tersebut di sekitar negara konvergen lainnya. Faktor yang semula diperkirakan penting namun ternyata tidak mempengaruhi masuk dan keluar kelompok konvergen ialah sistem politik, termasuk komunisme. Penghitungan semacam ini memang masih mengandung kelemahan, terutama terkait dengan variabel pembobotnya. Dengan pembobot jumlah penduduk, sementara dua pertiga penduduk tinggal di Cina dan India, maka kedua negara tersebut mempengaruhi angka ketimpangan global. Penghilangan “faktor Cina dan India” menghasilkan nilai ketimpangan global yang tetap tinggi (Sengupta, Tt). Lebih jauh lagi, peningkatan ketimpangan dalam negara Cina dan India juga sedang meningkat, namun peningkatan ketimpangan dalam negeri ini tidak tercermin dalam ukuran ketimpangan antar negara. Hal penting lain yang perlu dicermati ialah, perkembangan pasar – sebetulnya
bersamaan
dengan
kolonialisme—meningkatkan
ketimpangan
global. Pada masa kini, posisi-posisi tersebut berubah menjadi sebagai negara produsen dan negara pasaran. Dalam konteks Perang Dingin, Negara-negara Asia Timur yang berhadapan dengan negara-negara komunis (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) mendapatkan dukungan ekonomi yang kuat dari Amerika Serikat. Hal ini memungkinkan negara-negara tersebut mengurangi tingkat ketimpangan dengan negara di Eropa dan Amerika Serikat. Kini Perang Dingin sudah selesai, sementara negara-negara tersebut sudah berkembang lebih pesat lagi. Diskursus Donor untuk Pembangunan Nasional Salah
satu
sumber
konsentrasi
pembangunan
di
negara-negara
tertinggal ialah tema bantuan yang dimotori lembaga donor dan negara maju untuk mengarahkan kegunaan dana tersebut. Sebetulnya jumlah donor tergolong sangat banyak, dan tidak sebanding dengan bantuan luar negeri yang 73
cenderung sedikit (dibandingkan jumlah negara tertinggal). Konsentrasi tema pembangunan oleh dimungkinkan dari negara dan donor yang memberikan kontribusi terbesar dalam bantuan luar negeri, di antaranya Amerika Serikat, Komisi Eropa, IDA (International Development Agency), Perancis, Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, Kanada dan Swedia (Gambar 37). Gambar 37. Kontribusi Donor di Dunia, 2008
Sumber: Easterly dan Pfutze (2008) Pada awal 1970-an tema besar pembangunan global didominasi oleh pengembangan pangan dan bantuan komoditas, sektor produksi, dan infrastruktur (Gambar 38). Pada masa kini tema bantuan luar negeri telah sangat beragam. Sektor pangan telah menurun kontribusinya, namun sektor produksi dan infrastruktur tetap besar. Tema lain yang membesar secara berati ialah bantuan sosial. Terlihat tidak adanya tema bantuan untuk secara khusus untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. Namun setelah mempelajari isu-isu strategis di depan, dapat diduga bahwa bantuan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah terdapat dalam sektor 74
bantuan sosial, infrastruktur, sektor produksi, serta tema pemerintahan, civil society dan perdamaian. Gambar 38. Perubahan Sektoral Bantuan Luar Negeri di Dunia, 2004
Sumber: Easterly dan Pfutze (2008) Di Indonesia, pembangunan nasional yang didukung dengan bantuan donor asing meningkat pesat sejak 1970-an. Salah satu aspek penting pembangunan
melalui
kerjasama
dengan
donor
ialah
perluasan
level
pembangunan, tidak saja pada tingkat regional, namun selalu memiliki dimensi nasional hingga internasional. Di pihak lain, level penanganan yang luas cenderung menggeneralisasi wilayah yang lebih luas, yang sebetulnya bertentangan dengan kaidah lokalitas dalam pembangunan wilayah. Sebagaimana tema pembangunan global, pola bantuan pembangunan di Indonesia juga disusun dalam suatu diskursus atau tema besar. Sejak tahun 1970-an pembangunan dilaksanakan dalam diskursus pertumbuhan (growth). Pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan elite baru dalam bidang ekonomi. Adapun dampak negatif yang timbul berupa munculnya kemiskinan dan peningkatan warga yang tidak memiliki tanah. Dengan kata lain, tumbuh kesenjangan ekonomi antar penduduk dan antar wilayah. 75
Perubahan diskursus oleh donor berlangsung pada akhir 1980-an, dan mulai diterapkan di Indonesia pada dekade 1990-an. Pembangunan kini diarahkan kepada lapisan miskin agar mampu bekerja dan mencapai full
employment. Pembangunan juga diarahkan kepada wilayah-wilayah tertinggal. Diskursus pembangunan saat ini membuka peluang yang lebar untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. Dari hasil studi tentang bantuan luar negeri, ternyata pertumbuhan ekonomi tetap dibutuhkan (Esterly, 2001). Kritik acap kali muncul karena menekankan ukuran Produk Domestik Bruto (GDP) per kapita atau pendapatan per kapita, untuk mengukur kesuksesan ekonomi. Akan tetapi indikator ini tetap diacuhkan
karena
mampu
memperbaiki
kehidupan
orang
miskin
dan
mengurangi proporsi orang miskin. Indikator ini juga menunjukkan orang kaya mampu membeli lebih banyak makanan, meningkatkan belanja kesehatan, dan sebagainya. Dalam mempraktekkan pandangan tersebut, pelaku pembangunan telah berusaha meningkatkan standard kehidupan penduduk di wilayah tropis agar sejajar dengan penduduk di Eropa dan Amerika Utara. Hal ini dilakukan melalui layanan utang luar negeri (di Indonesia dikenal sebagai BLN atau Bantuan Luar Negeri), investasi pada mesin, pengembagan pendidikan, pengontrolan pertumbuhan penduduk, dan mensyaratkan reformasi dalam perolehan utang luar negeri tersebut. Landasan kebijakan lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan International Monetary Fund atau IMF) ialah model HaroldDomar. Model ini memastikan bahwa belanja investasi akan menentukan pertumbuhan dalam GDP. Bersama dengan visi tinggal landas dari Rostow, ditemukanlah kesenjangan investasi di negara-negara miskin. Oleh sebab itu donor perlu memberikan utang untuk menutupi kesenjangan antara tingkat investasi dan tabungan nasional, agar target pertumbuhan terpenuhi dan tercapai era tinggal landas. Akan tetapi, kenyataannya utang luar negeri tidak selalu meningkatkan investasi, dan konsekuensinya tidak muncul pertumbuhan. Kegagalan ini mungkin bukanlah disebabkan oleh teknokrat sendiri, namun terletak pada kesalahan dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi ke dalam proyek 76
pembangunan. Kesalahan tersebut tertuju pada ketidakacuhan terhadap prinsip responsif terhadap insentif, baik pada pihak swasta, aparat pemerintah, maupun aparat donor itu sendiri. Tiada insentif dalam utang luar negeri tersebut, untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini merupakan tugas penciptaan kelembagaan ekonomi yang responsif terjadap bantuan luar negeri (Calderon, Chong, Gradstein, 2006). Dalam hal investasi fisik, kesalahan pemberian manfaat disebabkan tidak ada insentif untuk mengembangkan mesin-mesin atau teknologi. Dalam hal pendidikan, peningkatan derajat pendidikan di negara-negara Sub Sahara tidak juga menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Kesalahannya terletak pada upaya investasi fisik dalam bentuk gedung sekolah dan peralatan lain. Yang diperlukan ialah insentif perorangan sehingga orang yang menempuh pendidikan merasakan insentif tersebut. Hal yang sama juga berlaku pada kebijakan kependudukan, penyesuaian utang dan pemotongan utang. Kesalahan kebijakan dalam bidang-bidang ini ialah tidak mempraktekkan kebutuhan insentif dari tiap orang yang terlibat. Pengurangan jumlah penduduk, misalnya, tidak langsung berakibat pada peningkatan pendapatn per kapita. Dalam diskursus yang
dikembangkan oleh donor pada saat ini,
desentralisasi diarahkan untuk membuka pasar di daerah maupun pasar di tingkat nasional. Desentralisasi juga diarahkan untuk meningkatkan peran swasta dan masyarakat dalam perekonomian di daerah. Sebetulnya usulan yang dikemukakan donor sehubungan dengan ketimpangan pembangunan wilayah ialah agar membuka wilayah tersebut bagi pasar. Keterbukaan terhadap pasar dipandang sebagai pengungkit utama pertumbuhan suatu wilayah, untuk mengejar dan sejajar dengan wilayah lain yang sudah maju terlebih dahulu. Sayangnya pendapat teoretis semacam ini hampir tidak pernah terwujud dalam pembangunan wilayah (Higgins dan Savoie, 2005). Justru yang diperlukan selalu regulasi untuk memastikan keuntungan mengalir pada wilayah yang lebih tertinggal. Diskursus donor untuk pembangunan saat ini memberikan pelajaran,
pertama, terbukanya peluang pelaksanaan pembangunan untuk pengurangan 77
ketimpangan wilayah, sejalan dengan diskursus pembangunan untuk lapisan terbawah dan daerah tertinggal. Kedua, diperlukan kebijakan yang bisa memadukan kepentingan pasar global hingga kepentingan masyarakat lokal dalam pengurangan ketimpangan wilayah. Wilayah Pasca Kolonial Khusus pada di negara-negara Selatan, konteks global lain yang berperan ialah status sebagai bekas wilayah kolonialisme dari negara-negara maju saat ini (Hatta, 2002; Hoogvelt, 1997). Kolonialisme merupakan salah satu dampak negatif dari Revolusi Industri, di mana negara kolonial produsen hasil industri, sedangkan negara jajahan menjadi konsumen tersebut. Pada saat yang bersamaan sumberdaya alam atau non-industrial dari negara jajahan diambil dengan harga murah atau dengan paksa. Tabel 17. Hasil Keuangan dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 (‘000 gulden) Budidaya Kopi Tebu Nila Cochenille Kulit Manis Lada Teh Tembakau Jumlah
1840-1849 + 64.827 - 4,082 + 15.562 + 499 - 323 + 191 - 2,181 - 95 + 74.398
1850-1854 + 77.540 + 3.385 + 6.759 + 445 + 47 + 205 - 1.841 -5 + 86.535
1855-1859 + 105.599 + 33.705 + 5.855 - 44 - 206 + 203 - 2.449 ‘- 61 + 142.603
Sumber: Elson, 1988 Selama periode kolonialisme, Indonesia kehilangan momentum untuk tinggal landas atau berdiri sejajar dengan negara-negara maju saat ini (Geertz, 1986; Elson, 1988) (Tabel 17). Sementara negara Belanda melakukan transformasi struktural dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri, negara ekonomi jajahan Indonesia ditahan untuk tetap pada dominasi sektor pertanian (Zanden, 2002). Nilai tambah yang sangat tinggi akibat Tanam Paksa 18201870 diambil sepenuhnya oleh negara kolonial Belanda. Peningkatan pesat dalam
perdagangan
pertanian
komoditas
ekspor
tidak
meningkatkan 78
Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Product/GNP) selama proses produksi tersebut dilangsungkan dalam bentuk kerja paksa –bukan transaksi antara buruh bebas dan majikannya (Zanden, Tt). Bahkan selama peningkatan GNP pada dekade 1920-an, ternyata standard kehidupan penduduk pribumi Indonesia tidak beranjak jauh dari seabad sebelumnya. Kolonialisme juga menguatkan sentimen kesukuan dan ras, terutama dengan membedakan wilayah berdasarkan suku dan ras, bahkan dalam satu kota sekalipun seperti di Jakarta. Suku yang satu juga dapat menjadi tentara kolonial untuk memerangi suku lain, misalnya warga Maluku menjadi tentara kolonial untuk memerangi pejuang Aceh. Beberapa suku bangsa mendapatkan keuntungan kolonialisme lebih tinggi daripada suku bangsa lainnya –misalnya warga di Manado—sehingga sempat menyulitkan upaya persatuan nasional (Gouda, 2007). Pembedaan ras menguatkan sentimen orang kulit putih di atas orang kulit berwarna. Sempat muncul pandangan bahwa pribumi bersifat buas dan galak (seusai Perang Pangeran Diponegoro), lalu pribumi dipandang malas (setelah Tanam Paksa). Di samping akibat negatif yang sangat mendalam di atas, kolonialisme secara tidak disengaja menguatkan kesatuan wilayah Indonesia. Di Jakarta pemerintah jajahan mengontrol politik seluruh wilayah, dari Aceh hingga Papua. Kontrol ini secara tidak sengaja menghasilkan kesatuan politik (Anderson, 2002). Upaya negara kolonial untuk membatasi perdagangan pribumi dengan bangsa lain ke luar negeri akhirnya mengubah transaksi perdagangan antar pulau dalam wilayah Indonesia (Dick, 1988, 2002) (Tabel 18). Kesatuan secara simbolik tercapai ketika bahasa pergaulan ditetapkan menjadi bahasa seluruh bangsa Indonesia. Kesatuan bahasa memungkinan keeratan budaya untuk mengatasi keragaman suku bangsa. Dalam kaitan khusus dengan ketimpangan pembangunan wilayah perlu diperhatikan kecenderungan negara-negara bekas jajahan untuk menurunkan ketimpangan atau meningkatkan pemerataan wilayah (Foldvari, Tt). Ciri dualistik
ekonomi
menghalangi
yang
kemajuan
memang ekonomi
sengaja pribumi
diciptakan dapat
penjajah
bereinkarnasi
untuk menjadi
79
pembatasan elite kepada lapisan bawah setelah masa kemerdekaan (Thee, ed., 2005). Tabel 18.
Rasio Perdagangan Antar Pulau dan Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 1914-1939 ($ 000.000) dan 1955 (Rp 000.000)
Tahun 1914 1921 1929 1939 1955
Perdagangan Antar Pulau 62 247 310 211 10.400
Perdagangan Luar Negeri 1114 2440 2593 1291 17.973
Rasio (%) 5 10 12 17 58
Sumber: Dick, 1988 Pelajaran penting Indonesia sebagai wilayah pasca kolonial meliputi,
pertama, pengalaman kolonial telah menghilangkan peluang Indonesia untuk menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara Utara saat ini. Kedua, kolonialisme menguatkan sentimen berdasarkan suku bangsa dan rasial. Ketimpangan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara formal dikaitkan dengan perbedaan suku bangsa. Ketiga, kolonialisme memberi arah untuk menyatukan wilayah Indonesia terutama dalam dimensi politik, ekonomi dan kebahasaan. Wilayah Luas dan Kepulauan Indonesia memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang antara benua Asia dan Australia. Luas laut sekitar 7,9 juta km2 (81% wilayah) dan daratan seluas 1,86 juta km2 (19% wilayah) (Gambar 39). Sebagian besar –sekitar dua pertiga—wilayah nasional terdiri atas lautan. Sebanyak 17.504 pulau besar dan kecil menyembul dari lautan di antara Samudera Indonesia dan Samudera Atlantik. Sebanyak 7.870 pulau sudah bernama, dan 9.634 pulau tidak bernama. Di Kawasan Timur Indonesia terdapat lebih banyak pulau bernama, yaitu sebanyak 4.882, yang tersebar di Pulau Sulawesi sebanyak 1.096 pulau, Pulau Papua sebanyak 1.257 pulau, wilayah Maluku 866 pulau, Nusa Tenggara sebanyak 934 pulau, dan di Pulau Kalimantan sebanyak 669 pulau. Sedangkan 80
jumlah pulau bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.048 pulau, yang tersebar di Pulau Sumatera sebanyak 2.544 pulau dan Pulau Jawa dan Bali sebanyak 504 pulau (Direktorat Kewilayahan I, 2007). Gambar 39. Wilayah Indonesia
Penyebaran pulau yang belum bernama di Kawasan Timur Indonesia sebanyak 6.234 pulau yang tersebar di Pulau Papua sebanyak 1.286 pulau, Pulau Maluku sebanyak 2.030 pulau, Pulau Nusa Tenggara 1.122 pulau, Sulawesi sebanyak 1.404 pulau, dan Kalimantan 392 pulau. Penyebaran pulau belum bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.400 pulau dengan sebaran di Pulau Sumatera 2.733 pulau dan 667 pulau di Jawa-Bali. Adapun untuk menghubungkan pulau-pulau besar dan kecil dibutuhkan transportasi air. Ibukota Negara sendiri berada di wilayah Barat. Wilayah yang luas melewati batasan-batasan alamiah dalam hal iklim, tetumbuhan, hewan, dan geologi. Wilayah yang sangat luas tersebut hingga kini belum sepenuhnya ditangani pembangunan. Di samping itu pembatasan oleh alam –misalnya gelombang yang tinggi pada bulan-bulan tertentu—masih memberikan konsekuensi pada keberadaan suku-suku terpencil. Namun demikian tetap diingat, bahwa bagi masyarakat lokal mungkin pembatas
81
alamiah telah dianggulangi sehingga bisa menghubungkan masyarakat antar pulau di Indonesia. Bagian Barat kepulauan ditempati pulau besar Sumatera dan sejumlah pulau kecil di sekelilingnya (Wertheim, 1999). Di antara Sumatera dan Semenanjung Malaya terdapat Selat Malaka, sebuah rute perdagangan penting antara Timur Tengah dan Timur Jauh. Sebelum masuk ke dalam wilayah Indonesia, hubungan perdagangan antara Sumatera dan Malaya terjalin erat. Iklim tropis di Sumatera sangat basah, dan sulit membedakan musim hujan dan kemarau
sebagaimana
di
kawasan
Selatan
pulau-pulau
di
Indonesia.
Penanaman tanaman pertanian pada wilayah kecil di dekat pantai atau di pegunungan menjadikan Sumatera wilayah pertanian penting setelah Jawa. Pulau-pulau kecil di sebelah Selatan Sumatera menghasilkan perkebunan lada dan pertambangan timah. Adapun Selat Karimata menyambung sebelah Timur Pulau Sumatera dengan Pulau Kalimantan. Perladangan berpindah banyak dipraktekkan di sini, dan pada beberapa bagian pulau menghasilkan kekurusan sumber hara tanaman. Hal ini ditandai oleh padang ilalang yang meluas. Di bagian Tenggara Kalimantan telah sejak lama dikembangkan penanaman padi intensif di atas tanah berlumpur. Kota-kota semula berkembang di sini, di mana Banjarmasin menjadi kota pelabuhan penting. Pulau yang menghasilkan output ekonomi terbesar masih Jawa. Sejak pemerintahan Hindia Belanda pulau ini menjadi pusat pemerintahan. Di sebagian besar pulau Jawa hutan telah menyusut. Penanaman padi tidak hanya dipraktekkan di lembah-lembah sungai yang berkumpur, namun juga berbentuk teras-teras di pegunungan. Sawah juga digunakan untuk penanaman selain padi, misalnya perkebunan tebu dan hortikultura. Di sebelah Timur Jawa terdapat rangkaian pulau-pulau kecil Bali dan Nusa Tenggara. Akibat pengaruh iklim benua Australia, di sini dirasakan perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Pulau Bali menunjukkan penanaman padi sawah yang intensif sebagaimana di Jawa. Namun di bagian Timur pulau ini tidak ditanami secara intensif. Semakin ke Timur, pulau-pulau tidak ditanami secara intensif. Pertanian berpindah dan peternakan menjadi 82
penting untuk Pulau-pulau Sumbawa, Sumba dan Timor, serta pulau-pulau kecil sekelilingnya. Laut Flores menghubungkan kepulauan ini dengan pulau besar Sulawesi di atasnya. Pulau yang berbentuk seperti bintang laut ini memiliki jumlah gunung berapi yang banyak. Akan tetapi campur tangan manusia dalam pertanian pulau ini sempat meningkatkan resiko kelongsoran tanah, misalnya di sekitar Tana Toraja. Kelompok kepulauan di sebelah Timur ialah Maluku, yang menjadi tujuan pertama kedatangan pedagang Eropa. Pulau ini menghasilkan banyak rempahrempah yang sejak lama diperdagangkan di Eropa. Paling Timur terdapat Pulau Papua, di mana sagu didapatkan pada wilayah luas di sekitar pantai. Dengan topografi berbukit-bukit yang masih sulit dilewati manusia, tidak mengherankan tumbuh beragamn kebudayaan yang lebih banyak daripada di tempat lain di Indonesia. Minimal 400 suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda (dari sekitar 600 suku bangsa se-Indonesia) menghuni pulau ini. Luas lahan sawah sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Bali sebesar 45,34 persen dan Pulau Sumatera sebesar 30,64 persen. Luas lahan pekarangan terbesar terdapat di Pulau Jawa dan Bali sebesar 37,04 persen, Pulau Sumatera sebesar 36,05 persen, Pulau Kalimantan sebesar 16,67 persen, dan Pulau Sulawesi sebesar 9,32 persen. Persentase lahan tegal/kebun/huma terbesar yaitu di Pulau Sumatera (36,05 persen) dan Pulau Jawa-Bali (27,70 persen), Pulau Kalimantan sebesar 21,63 persen, dan Pulau Sulawesi sebesar 14,63 persen. Luas lahan penggembalaan/padang ramput paling besar terdapat di Pulau Kalimantan sebesar 39,23 persen dan P. Jawa-Bali sebesar 26,68 persen. Lahan rawa paling luas terdapat di P. Kalimantan sebesar 55,35 persen dan Pulau Sumatera 40,26 persen. Lahan tambak/kolam hampir merata untuk semua pulau, yaitu Pulau Sulawesi 26,68 persen, Pulau Jawa-Bali sebesar 26,59 persen, Pulau Sumatera sebesar 24,83 persen dan Pulau Kalimantan sebesar 21,73 persen. Lahan yang tidak diusahakan paling besar terdapat di Pulau Kalimantan (42,20 persen) dan Pulau Sumatera 33,44 persen. Persentase luas 83
lahan tanaman kayu-kayuan/hutan rakyat paling besar di Pulau Sumatera (42,10 persen) dan Pulau Kalimantan (33,44 persen). Sedangkan lahan perkebunan paling besar di Pulau Sumatera (51,39 persen) dan Pulau Kalimantan (8,77 persen). Penting untuk disampaikan perbedaan cara pandang terhadap kepulauan Indonesia. Para penjajah, yang seringkali berasal dari Eropa daratan, memandang laut sebagai pemisah antar pulau. Pandangan semacam ini masih muncul saat ini, dengan mendefinisikan Indonesia sebagai negara dengan wilayah yang terpencar-pencar (World Bank, 2009). Akan tetapi, sesungguhnya masyarakat asli di Indonesia telah sangat lama
menjadikan
laut
sebagai
sarana
transportasi
penting
yang
menghubungkan antar pulau. Berdiamnya penduduk di sekitar Sulawesi, Maluku dan Papua sejak zaman purba, di mana pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh laut yang dalam, menunjukkan tingginya pengetahuan perihal perkapalan (Dick-Read, 2008). Migrasi purba tersebut terus berlanjut sampai ke kepulauan Pasifik dan Australia. Gambar 40. Jaringan Hubungan Politik dan Ekonomi Nusantara Pra Kolonial
84
Pada masa yang lebih baru, perahu-perahu milik orang Indonesia tergolong paling besar dan paling laju, sehingga pedagang dari Cina, Campa da, negara lain di Asia menyewanya dari pemilik kapal Indonesia (Dick-Read, 2008; Lombard, 1995). Lebih jauh lagi, penaklukan antar kerajaan di Indonesia juga menunjukkan pengelolaan laut sebagai sarana transportasi (Gambar 40). Kesultanan Banten, misalnya, memiliki koloni di Lampung, yang berada di seberang Selat Sunda. Koloni ini digunakan untuk membuang tahanan berat, serta sumber upeti komoditas pertanian mewah pada masanya. Kesultanan Makassar juga memiliki koloni di wilayah Nusa Tenggara, yaitu Kerajaan Bima, serta sebagian koloni di Kalimantan Selatan. Pengelolaan koloni ini tentunya mengharuskan Makassar menguasai laut Jawa serta palung Sulawesi. Tercatat pula penyerangan Patiunus dengan menggunakan kapal-kapal besar ke Malaka, maupun penyerangan Sultan Agung lewat darat dan laut ke Batavia. Perhubungan lewat laut yang dilakukan sejak masa pra kolonial menunjukkan pola-pola tertentu, yang masih berlangsung sampai saat ini. Ketika pelayaran penjajah Belanda berhenti, pelayaran swasta nasional menggantikan jalur-jalur hubungan antar pulau yang telah terbangun sejak dulu. Ujung Sumatera telah lama menjalin hubungan dagang dengan Malaka dan Kalimantan Timur. Sedangkan Ujung Selatan Sumatera menjalin hubungan dengan Jawa. Jawa bagian Tengah dan Timur menjalin hubungan dengan Kalimantan Tengah. Sebagaimana diungkapkan di depan, Makassar menjalin hubungan dengan Nusa Tenggara, Bali dan Kalimantan bagian Selatan dan Timur. Adapun kerajaan-kerajaan di Maluku Utara telah menguasai wilayah di Papua, Sulawesi bagian Utara dan Timur, hingga Kalimantan bagian Timur Laut. Perbedaan cara pandang kolonialis dengan penduduk asli menunjukkan peluang untuk melihat keluasan wilayah dan bentuk kepulauan sebagai sumber perpecahan (yang dikuatkan dengan politik devide et impera), atau sumber kesatuan (berbasis perdagangan dan politik antar pulau).
85
Pandangan Statis terhadap Suku, Agama, Ras, Golongan Terdapat lebih 600 suku-suku bangsa besar dan kecil di Indonesia (Hidayah, 1997). Masing-masing suku bangsa mengembangkan kebudayaan yang khas, sebagai tanggapan terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan yang mendalam antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya terutama ditunjukkan oleh perbedaan bahasa. Keragaman suku bangsa juga muncul dalam satu pulau, terutama di pulau-pulau besar. Melihat keberagaman suku bangsa tersebut, sebagian ahli pernah meringkaskannya menjadi Indonesia dalam di Jawa, dan Indonesia luar di luar Jawa (Geertz, 1983). Indonesia dalam mendasarkan diri pada ekonomi padi sawah yang subsisten, padat tenaga kerja, intensitas tinggi, tinggal menetap dalam suatu desa. Indonesia luar dicirikan oleh ekonomi perladangan berpindah, intensitas penanaman rendah, ditanam terutama tanaman keras untuk perdagangan. Ahli lainnya (Koentjaraningrat, 1971) membagi suku bangsa menurut perekonomian, organisasi sosial, kedatangan orang asing. Suku bangsa yang paling tertinggal melaksanakan perekonomian berburu dan meramu di hutan, organisasi sosial sederhana, dan kedatangan orang asing biasanya tokoh agama dari Belanda. Suku bangsa yang lebih maju menanam di ladang, berpindah atau menetap dengan struktur sosial sederhana, dan kenal dengan bangsa Barat, orang Islam, atau orang Hindu dan Budha. Suku bangsa yang lebih maju lagi menanam tanaman di sawah, tinggal dalam suatu desa yang terorganisir, serta mendapatkan banyak pengaruh luar. Selanjutnya tumbuh masyarakat kota, baik di kota kecil maupun besar. Identitas statis atas suku, agama, ras dan golongan memiliki akar kuat dalam upaya-upaya penaklukan oleh kolonialis Belanda. Indologi (ilmu tentang masyarakat primbumi di nusantara) dan hukum adat menjadi pendorong penting penguatan identitas ini. Aspek perekonomian dikaitkan secara erat dengan ras, dengan membagi secara hierarkis ras Eropa, ras Asia dan ras pribumi. Kekuatan ekonomi Jepang dihargai, dan warganegara Jepang di Indonesia digolongkan ke dalam ras Eropa. Ras Eropa memiliki privilese dalam 86
aspek ekonomi, politik, hingga akses kelas utama atas infrastruktur di negeri ini. Ras Asia lebih berperan sebagai perantara ekonomi, biasanya diisi oleh warga Cina dan Arab. Ras pribumi menduduki posisi paling rendah, dan tidak memiliki kekuasaan. Penting dicatat bahwa perkawainan antar ras dinilai buruk –ini tanda lain dari upaya menjaga identitas ras. Golongan Indo (hasil perkawinan ras Eropa dan pribumi) tidak memiliki posisi pasti dalam hierarki sosial, politik dan ekonomi penjajahan. Tidak mengherankan golongan indo sering jatuh dalam kemiskinan (Gouda, 2007). Penguatan
identitas
budaya
berlangsung
dengan
mengaitkannya
terhadap lokasi tempat tinggal. Dengan cara ini wilayah di Indonesia memiliki kaitan budaya yang kuat –yang tetap terekam hingga kini dalam pembatasan calon kepala daerah hingga konflik lokal atas dasar kepemilikan budaya (Nordholt dan Klinken, 2008). Semula kolonial Belanda membagi daerah di Indonesia menurut wilayah hukum adat. Konsep daerah hukum adat (rechtskring) diusulkan ahli hukum pada zaman kolonial, Van Vollenhoven, pada tahun 1918 (Haar, 1983). Daerah hukum adat merupakan kesatuan geografi kultural, berdasarkan dua kriteria pokok, yaitu “kultur” (aturan-aturan adat) dan lingkungan geografis. Yang dimaksud hukum adat, atau “kultur”, atau aturan adat, mencakup aturan pribumi yang menyangkut kehidupan masyarakat dan pemerintahan dusun/desa (rechtsgemeenschap), tentang tanah (rechten op
grond), tentang kehidupan ekonomi rakyat (schuldenrecht), dan tentang hubungan kekeluargaan (verwantschapsrecht). Di Indonesia terdapat daerahdaerah hukum adat berupa Aceh, Gayo, Alas, Batak, Minangkabau, Sumatera Selatan, Daerah Melayu, Bangka Belitung, Borneo, Minahasa, Gorontalo, Daerah Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulaun Ternate, Ambon Maluku, Nieuw Guinea, Kepulauan Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, Yogya dan Surakarta, serta Jawa Barat. Walupun upaya penyederhanaan telah membuka telaahan mengenai sikap-sikap khas suku, agama, ras dan golongan di Indonesia, namun disadari bahwa dalam satu wilayah pembangunan, misalnya dalam suatu pulau, hampir selalu muncul peluang keragaman suku bangsa (lihat misalnya Antoh, 2007),
87
yang memiliki ciri-ciri khas lebih banyak dan mendalam daripada ringkasan para ahli. Tabel 19. Jumlah Desa di Indonesia menurut Keragaman Etnis, 2006 Wilayah Absolut % Absolut % Absolut % Absolut % Absolut % Absolut % Absolut %
Jawa Bali Kalimantan Maluku Nusa Tenggara Papua Sulawesi Sumatera Total %
Penghuni Banyak Etnis Penghuni Satu Etnis Total 13.435 12.302 25.737 52 48 100 4.869 1.315 6.184 79 21 100 1.146 508 1.654 69 31 100 2.227 1.331 3.558 63 37 100 1.482 1.857 3.339 44 56 100 6.258 1.962 8.220 76 24 100 14.236 7.029 21.265 67 33 100 43.653 26.304 69.957 62 38 100
Sumber: Potensi Desa 2006 Sebagaimana telah ditunjukkan di muka, perbedaan kesukubangsaan pernah dikuatkan oleh penjajah Belanda, dan dilemahkan dalam Sumpah Pemuda. Sejarah demikian menunjukkan aspek keberlanjutan hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Pola hubungan tersebut seharusnya bersifat dinamis, bukan statis. Akan tetapi ciri statis dalam kategorisasi budaya ini masih kuat (Tabel 19). Desa yang dihuni hanya oleh satu etnis mencapai 37,6 persen (lebih besar daripada patokan 33%). Dari patokan tersebut, wilayah yang memiliki dimensi etnis kuat mencakup Jawa dan Bali (47,8 persen), Nusa Tenggara (37,4 persen), Papua (55,6 persen), dan Sumatera (33,1 persen). Konteks kecenderungan
semacam
ini
menjadi
kosmopolitanisme
yang
bersifat
negatif,
rendah
ketika
dengan
muncul
ketimpangan
pembangunan wilayah, terutama dalam dimensi ketimpangan perkotaanpedesaan (Tabel 20). Wilayah yang lebih maju (diindikasikan sebagai perkotaan)
memiliki
keragaman
etnis,
sebaliknya
wilayah
yang
lebih
terbelakang (diindikasikan sebagai pedesaan) dihuni etnis yang seragam.
88
Tabel 20.
Hubungan Perkotaan, Pedesaan dan Keragaman Etnis menurut Jumlah Desa, 2006
Wilayah
Penghuni Banyak Etnis Absolut
Perkotaan
% Absolut
Pedesaan
%
Total %
Penghuni Satu Etnis
Total
9.586
2.688
12.274
78
22
100
33.972
23.588
57.560
59
41
100
43.558
26.276
69.834
62
38
100
Pelajaran yang bisa diambil dari keragaman suku bangsa ialah, pertama, potensi peningkatan kualitas ketimpangan wilayah dapat muncul ketika ketimpangan tersebut sekaligus mereflesikan suku bangsa yang berbeda-beda.
Kedua, terdapat peluang perbedaan cara pandang atau kebudayaan dalam suatu wilayah pembangunan. Konsekuensinya pembangunan selalu berupa kompromi di antara budaya-budaya yang berbeda-beda. Krisis Moneter Krisis pembangunan terbesar yang dialami Indonesia saat ini ialah krisis moneter yang dimulai pada akhir tahun 1997. Krisis tersebut telah menurunkan posisi Indonesia, dari sebelumnya menjadi salah satu tenaga ekonomi Asia Timur untuk menurunkan ketimpangan wilayah global, menjadi salah satu Negara miskin sesudah krisis. Sebagaimana pada akhir abad ke 19 Indonesia gagal tinggal landas akibat keuntungan Tanam Paksa mengalir ke Negeri Belanda, kini pada akhir abad ke 20 Indonesia juga gagal tinggal landas akibat krisis moneter. Secara keseluruhan ketimpangan menurun selama krisis moneter (Tabel 21). Di Jawa dan Bali ketimpangan menurun pada wilayah kota dan desa, akan tetapi di Sulawesi Selatan hanya turun di perkotaan (Hill, 2006; Said dan Widyanti, 2001). Akan tetapi ketimpangan di antara lapisan miskin sendiri meningkat, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Tabel 22). Kejadian ini menunjukkan hubungan
erat
antara
pengalaman
kemiskinan
dengan
ketimpangan 89
pembangunan wilayah. Kejadian ini juga disebabkan oleh masuknya golongan yang semua di atas garis kemiskinan namun selama krisis moneter terperosok ke bawah garis kemiskinan. Tabel 21.
Wilayah Jawa – Bali Sumatra Kalimantan Sulawesi Lainnya Wilayah Jawa – Bali Sumatra Kalimantan Sulawesi Lainnya
Indeks Gini dan Theil-T Selama Krisis Moneter di Indonesia, 19961999 Kota 0.3895 0.3074 0.3020 0.3239 0.3357 Kota 0.2925 0.1724 0.1640 0.1858 0.1946
1. Gini Coefficient Pebruari 1996 Desa K+D 0.2887 0.3835 0.2604 0.3048 0.2666 0.2774 0.2928 0.3010 0.2590 0.3207 2. Theil-T Index Pebruari 1996 Desa K+D 0.1628 0.2601 0.1301 0.1618 0.1312 0.1558 0.1621 0.1799 0.1204 0.1927
Sumber: Said dan Widyanti, 2001 Tabel 22. Wilayah Jawa – Bali Sumatra Kalimantan Sulawesi Lainnya
Pebruari 1999 Desa 0.2493 0.2436 0.2347 0.2754 0.2594
K+D 0.3344 0.2738 0.2629 0.2989 0.2856
Kota 0.2250 0.1391 0.1318 0.1642 0.1493
Pebruari 1999 Desa 0.1189 0.1036 0.0958 0.1405 0.1180
K+D 0.2182 0.1332 0.1228 0.1642 0.1415
Perubahan Gini pada Golongan Miskin Indonesia Selama Krisis Moneter, 1996-1999 1996 0.0768 0.0887 0.0795 0.0918 0.1015
Kota 1999 % Perubahan 0.0788 2.63 0.0967 9.08 0.0789 -0.79 0.0824 -10.27 0.1009 -0.55
Sumber: Said dan Widyanti, 2001 Krisis
Kota 0.3461 0.2829 0.2723 0.3020 0.2944
moneter
yang
diikuti
1996 0.0819 0.0784 0.0694 0.0933 0.1077
inflasi
Desa 1999 % Perubahan 0.0865 5.66 0.0848 8.11 0.0864 24.46 0.0931 -0.19 0.1228 13.95
tinggi
segera
meningkatkan
kemiskinan. Inflasi berlangsung pada komponen makanan dan non makanan, tapi tidak termasuk upah kerja. Kemiskinan yang terjadi tersebut bersifat sementara, dan segera menurun setelah inflasi dapat diatasi. Penurunan secara cepat ini didorong oleh kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga barang, serta mengeluarkan program jaring pengaman sosial.
90
Krisis moneter juga menurunkan peran pemerintah, militer dan polisi untuk menjaga keamanan maupun kesatuan bangsa. Hal ini terefleksikan oleh konflik antar wilayah dan gerakan separatisme. Dimensi-dimensi krisis moneter tersebut telah mengurangi efektivitas kebijakan pengurangan ketimpangan wilayah (Shankar dan Shah, 2001; Tadjoeddin, 2003; Tadjoeddin, Suharyo, Mishra, 2001). Pemulihan krisis moneter di luar Jawa lebih cepat daripada wilayah di Jawa (McCulloh, 2008). Pada satu sisi hal ini menunjukkan monetisasi (kebudayaan uang atau pasar) di Jawa lebih tinggi, dan terutama didorong oleh industri dan konsumsi massal. Sebagian industri yang terpengaruh krisis moneter memiliki pautan alat dan modal produksi dengan pasar global. Adapun kebangkitan wilayah luar Jawa sempat diramalkan oleh Geertz (1983), sebagai konsekuensi pertanian non-sawah, yang turut meningkat sejalan dengan peningkatan karga komoditas tanaman keras. Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman krisis moneter ialah,
pertama, tetap terbuka kemungkinan kegagalan dalam suatu pembangunan, misalnya terjadi krisis moneter. Kedua, perekonomian yang didasarkan pada sumberdaya di dalam negeri memiliki kekuatan bertahan yang lebih kuat ketika muncul krisis ekonomi. Otonomi Daerah Otonomi daerah sebagai salah satu proses desentralisasi di Indonesia mengemukakan kabupaten/kota dan desa sebagai wilayah-wilayah otonom. Pada negara yang sangat luas dan terdiri atas pulau-pulau dalam lautan yang lebar, desentralisasi menjadi konsekuensi logis. Diharapkan desentralisasi mampu menumbuhkan wilayah-wilayah yang semula lebih tertinggal. Desakan untuk melakukan desentralisasi telah terjadi sejak masa penjajahan Hindia Belanda pada awal abad ke 20 (The, 1993; Wignjosoebroto, 2004). Desentralisasi tidak sepenuhnya berlangsung, bahkan muncul penyatuan beberapa wilayah sempit untuk memudahkan penarikan pajak. Federalisasi juga sempat muncul pada tahun 1950. Bentuk Negara federal berubah menjadi 91
sentralisasi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959 (Anderson, 1999). Desentralisasi secara massif baru berlangsung pada tahun 2000, setelah setahun sebelumnya disahkan perundang-undangan mengenai otonomi daerah. Pada saat ini terdapat empat jenis regulasi otonomi daerah. Pertama, dua undang-undang desentralisasi yang dikeluarkan pada tahun 1999 (UU 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU 25/1999 tentang pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah). Kedua, dua UU otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam/NAD (UU 18/2001) dan Papua (UU 22/2001), yang memberikan otonomi lebih besar pada dua provinsi didiami oleh kelompok separatis. Ketiga, revisi UU desentralisasi sebelumnya menjadi UU 32/2004 dan UU 33/2004. Dalam UU yang baru pemilihan kepala daerah dilaksanakan
secara
langsung.
Keempat, UU 11/2006 tentang hukum
pemerintahan di NAD, sebagai tindak lanjut dari pertemuan pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Pada negara yang tidak melembagakan pengawasan (check and
balance), maka kombinasi rente sumberdaya alam dan sistem demokratis dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengawasan yang akuntabel diperlukan pada negara Indonesia yang sudah lebih
demokratis
sejak
reformasi
1997
dapat
menahan
peningkatan
ketimpangan pembangunan wilayah. UU otonomi khusus tepat untuk menahan separatisme di NAD dan Papua. Sedangkan dua provinsi lain yang sama-sama memiliki sumberdaya alam yang besar –Riau dan Kalimantan Timur—memandang UU desentralisasi sudah cukup memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Tadjoeddin , 2007). Agenda
tersembunyi
dari
level
desentralisasi
pada
tingkat
kabupaten/kota (bukan pada tingkat provinsi) ialah untuk menghindari kongsi antar daerah yang membentuk koalisi besar dan lepas dari kesatuan negara Indonesia (Islam, 2003). Otonomi daerah telah menurunkan derajat eksploitasi ekonomi antar daerah. Dengan demikian lebih banyak output ekonomi yang dinikmati oleh warga di daerah itu sendiri (Tabel 23). 92
Tabel 23.
Tingkat Eksploitasi Ekonomi Provinsi-provinsi di Indonesia Tahun 1996 dan 2002
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DIY Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Indonesia
Populasi 2002
HDI 2002
PDRB per kapita 2002 (Rp 000)
4.022.140 11.891.742 4.289.647 5.285.460 2.479.469 7.167.970 913.869 1.640.597 6.862.338 8.379.069 36.914.883 8.529.799 31.691.866 3.156.229 35.148.579 3.217.150 4.167.293 1.947.263 3.054.129 2.566.125 2.043.742 855.057 2.269.260 8.244.890 1.915.326 4.127.519 3.924.871 1.271.083 796.447 2.218.360 210.992.171
66,0 68,8 67,5 69,1 67,1 66,0 65,4 66,2 65,8 75,6 65,8 66,6 66,3 70,8 64,1 67,5 62,9 69,1 64,3 70,0 71,3 64,1 64,4 65,3 64,1 57,8 60,3 66,5 65,8 60,1 65,8
8.784 7.379 6.772 12.570 5.484 6.796 7.901 3.752 4.056 30.236 5.767 6.762 4.921 5.284 6.443 6.831 5.151 7.039 6.726 34.772 5.441 2.624 4.898 4.412 4.152 3.802 2.201 2.924 2.688 9.803 7.597
Pengeluaran Konsumsi per kapita 2002 (Rp 000) na 2.312 2.702 3.073 2.236 2.005 2.689 1.822 1.777 5.779 2.509 3.123 2.072 2.783 2.240 3.608 2.233 2.468 2.540 3.418 2.649 1.533 2.050 2.036 1.937 1.810 1.556 na na na 2.476
Index Eksploitasi 1996
2002
81 68 59 84 54 67 na 53 55 78 55 na 62 58 69 66 68 73 65 89 62 na 54 55 52 48 46 63 na 82 64
na 69 60 76 59 70 66 49 56 81 56 54 58 47 65 47 57 65 62 90 51 42 58 54 53 52 29 na na na 59
Sumber: Mubyarto (2005) Dalam era otonomi daerah diketahui bahwa komponen dana dari Pusat jauh lebih banyak daripada pendapatan asli daerah yang dipungut. Hal ini menunjukkan kekuataan pemerintah Pusat lebih besar daripada pemerintah daerah (Nordholt dan Klinken, 2008). Sayangnya desentralisasi juga diikuti dengan pemekaran wilayah dan konflik pemilihan kepala daerah. Pembatasan kepala daerah juga terjadi untuk menyaring warga asli. Bersamaan dengan itu, semakin meningkat orientasi ke dalam wilayah, dan menyurutkan kerjasama antar daerah. Dengan kata lain, 93
identitas suku, agama, ras dan golongan kembali meningkat dan digunakan secara praktis dalam aspek politik dan ekonomi di daerah. Desentralisasi dapat meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah atau minimal tidak mengurangi ketimpangan tersebut, karena kapasitas teknis aparat Pemda masih lemah dalam mengelola prasarana dan sarana pendidikan maupun kesehatan (Adair, 2004). Dalam proses desentralisasi aparat Pemda perlu mengelola dana yang relatif jauh lebih besar. Prioritas pembangunan daerah bisa jadi berbeda daripada prioritas pembangunan menurut Pemerintah Pusat, terutama ketika dana dialirkan melalui mekanisme DAU (Dana Alokasi Umum).
Klinik
untuk
ibu
dan
anak
tidak
mengalami
pertambahan
pembangunan, bahkan kelembagaan kesehatan di tingkat lokal menurun akibat prioritas
pembangunan
daerah
tidak
diarahkan
kepada
pembangunan
kesehatan, padahal sekitar 80 persen dana kesehatan dialirkan melalui DAU (Adair, 2004).
94