LAPORAN AKHIR Evaluasi Pelaksanaan Program‐program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
DIREKTORAT PENGEMBANGAN WILAYAH DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL JALAN TAMAN SUROPATI NO. 2 JAKARTA
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
LAPORAN AKHIR EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM-PROGRAM PENGURANGAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES, MA PENANGGUNG JAWAB Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D TIM PENYUSUN Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D Awan Setiawan, SE, MM, ME Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP Supriyadi, S.Si, MTP Rudi Alfian, SE Septaliana Dewi Prananingtyas, SE Anang Budi Gunawan, SE TIM AHLI Ani Tetiani, SP, M.Si Ivanovich Agusta, SP, M.Si TIM PENDUKUNG Anna Astuti, SE Eni Arni Sapto Mulyono Tri Supriyana, ST Setya Rusdianto, S.Si Selenia Ediyani P., ST Vini Irawati, ST
Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke : Direktorat Pengembangan Wilayah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat 10310 Telp/Fax. (021) 3193 4195
ii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Ringkasan Eksekutif
Kegiatan evaluasi pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah ini bertujuan untuk: 1. Menginventarisasi hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP tahun 2007 dan RPJMN (tahun 2006-2007) 2. Melakukan
penilaian
terhadap
efektivitas
pelaksanaan
program-program
pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP 2007 dan RPJMN 2004-2009. 3. Melakukan kaji ulang terhadap kebijakan dan program yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Posisi Indonesia pada saat ini pastilah sudah melewati titik tertinggi ketimpangan pembangunan wilayah, serta berada pada level GNP yang sudah tergolong tinggi. Dengan penghitungan indeks Gini berbasis pengeluaran rumahtangga, maka titik tertinggi dialami sesaat sebelum Perang Dunia II atau pada masa perang hampir usai. Jika dihitung ulang berbasis pendapatan, kirangnya hasilnya tidak akan berbeda jauh. Bagi pihak yang mendasarkan titik tertinggi pada saat pergeseran ekonomi dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri, maka titik ketimpangan tertinggi di sekitar tahun 1990 –sayangnya sesudah itu justru muncul sedikit kenaikan ketimpangan sampai tertuju krisis moneter. Pihak lain yang mendasarkan pada peningkatan massif pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi akan meletakkan titik tersebut di sekitar akhir tahun 1960-an –namun kenyataannya segera pada awal dekade 1970-an ketimpangan meningkat. iii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 1. GNP dan Indeks Gini di Indonesia, 1820-2008 -0.4
Gini Desa Gini Kota Gini Indonesia
-0.6
-0.8
-1.0
-1.2
-1.4
-1.6
-1.8
95 58 70 6 8 12 64 3 5 40 56 1 0 09 45 3 2 93 35 1 5 34 32 7 7 56 31 8 6 47 29 5 0 58 27 3 5 08 24 5 7 36 21 4 7 63 19 2 1 86 13 3 4 30 10 9 12 93 4 39 78 1 46 64 0 61 57 9 77 50
GNP
Gambar 2. GNP dan CVw Indonesia, 1969-2002 0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6 CVw Dengan Tambang CVw Tanpa Tambang
-0.8
146200
295296
705895
727541
GNP
Gambar 3.
Kejadian Sejarah dan Gini Pedesaan, Perkotaan, dan Indonesia 18802008
iv Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Keterangan: Penghitungan berbasis pengeluaran rumahtangga
Titik penjajahan
tertinggi (atau
ketimpangan
persis
di
awal
wilayah
Indonesia
kemerdekaan),
berlangsung
dan
lebih
pada
disebabkan
masa oleh
komersialisasi pertanian daripada pergeseran menuju manufaktur (kecuali perkebunan dipandang sebagai industri dalam bidang pertanian). Ketimpangan tidak berlangsung statis, melainkan senantiasa berfluktuasi. Namun melalui pengaitan dengan GNP sejak 1820 hingga 2008, ternyata amplitudi dalam fluktuasi tersebut cenderung datar pada saat GNP memasuki tahap III, yaitu peningkatan pesat. Dari sejarah GNP di Indonesia, tahap I ditunjukkan oleh GNP rendah rendah (sekitar US $ 18 ribu-35 ribu) dan naik secara gradual. Pada tahap II GNP berfluktuasi (GNP sekitar US $ 35 ribu- 1.040 ribu). Baru ada tahap III GNP melesat (GNP di atas Rp 1.040 ribu). Pada posisi sekarang, yang lebih dibutuhkan ialah menjaga demokratisasi, karena faktor inilah yang mampu menahan negara untuk tidak jatuh kembali ke dalam ketimpangan wilayah yang meningkat pesat. Secara beruntung Indonesia mengalami demokratisasi melalui reformasi sejak 1998. Bagaimanapun debat tentang, apakah Indonesia tergolong negara konvergen (merata) atau divergen (timpang), patut diperhatikan. Penghitungan indeks Gini berbasis pengeluaran senantiasa berkisar pada angka di bawah 0,4, sehingga v Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Indonesia sudah masuk ke dalam klub negara konvergen sejak 1951, dan tidak pernah keluar dari saat itu. Pada tahun ini Indonesia masuk ke dalam 30 negara paling konvergen di dunia. Akan tetapi penghitungan dengan angka pendapatan, mengeluarkan data yang kurang valid di Jakarta, atau membandingkan kontribusi pendapatan 10 persen warga terkaya, ternyata secara konsisten menunjukkan ketimpangan wilayah di Indonesia. Berbasis penelitian yang dilangsungkan, maupun hasil yang sudah dipublikasikan di waktu lampau, kini dapat dirumuskan isu-isu strategis ketimpangan pembangunan wilayah, yaitu: 1. Fluktuasi ketimpangan wilayah dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia: a. Ketimpangan meningkat pada saat GNP rendah b. Hubungan dengan GNP per kapita berfluktuasi pada saat GNP level sedang c. GNP tinggi mengurangi fluktuasi ketimpangan pembangunan wilayah 2. Ketimpangan kependudukan: a. Ketimpangan jumlah dan kepadatan penduduk Jawa dan Luar Jawa b. Pemusatan penduduk miskin dan penganggur di Jawa c. Peningkatan ketimpangan kelompok umur muda dan tua, padahal piramida penduduk menua 3. Ketimpangan wilayah Barat dan Timur Indonesia: a. Ketidakjelasan wilayah lapangan yang dedifinisikan sebagai kawasan Timur dan Barat b. Paradoks luas wilayah dan kepadatan penduduk c. Ketimpangan ekonomi: prasarana, sektor produksi, kemiskinan d. Ketimpangan sosial: pendidikan, kesehatan e. Ketimpangan di-dalam-wilayah, baik di Barat (memusat ke Jakarta) maupun Timur (secara lebih lemah memusat ke Sulawesi Selatan) 4. Ketimpangan kabupaten/kota dan provinsi: a. Ketimpangan antar provinsi lebih rendah daripada ketimpangan dalam provinsi b. Orientasi ke dalam kabupaten/kota dibandingkan kerjasama antar wilayah 5. Ketimpangan perkotaan, pedesaan, wilayah terpencil dan perbatasan: vi Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
a. Ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan b. Ketimpangan di dalam perkotaan dan pedesaan c. Perkotaan
lebih
mudah
mencapai
puncak
ketimpangan
tertinggi,
sedangkan pedesaan lebih mudah mencapai tingkat pemerataan tertinggi d. Wilayah terpencil belum memprsktekkan ekonomi uang e. Wilayah perbatasan rawan terhadap separatisme 6. Ketimpangan ekonomi, industri dan kemiskinan: a. Dilema konsentrasi lokasi industri di Jawa b. Agglomerasi terpusat di Jakarta c. Pengaruh jaringan sosial (irasionalitas) dalam industrialisasi d. Ketimpangan upah industri dan pertanian serta sektor informal e. Ketimpangan jumlah dan persentase orang miskin antar wilayah 7. Ketimpangan pendidikan: a. Ketimpangan prasarana pendidikan di perkotaan dan pedesaan b. Kontribusi pendidikan terhadap ketimpangan pembangunan wilayah tergolong tinggi c. Kontribusi pendidikan terhadap ketimpangan semakin tinggi di perkotaan 8. Ketimpangan kesehatan: a. Ketimpangan dalam kematian anak dan bayi b. Ketimpangan akses prasarana dan kelembagaan kesehatan 9. Ketimpangan budaya: a. Ketimpangan antar suku bangsa b. Keterasingan suku bangsa c. Konflik berbasis budaya (suku, agama, ras, golongan)
vii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar. Jaringan Hubungan Politik dan Ekonomi Nusantara Pra Kolonial
Perumusan
strategi,
kebijakan
dan
program
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah perlu didasarkan pada konteks yang tepat, karena kebijakan yang positif di suatu wilayah belum tentu cocok untuk wilayah lainnya. Konteks yang ditemukan mempengaruhi kebijakan ini berupa: 1. Ketimpangan global 2. Diskursus donor untuk pembangunan nasional 3. Indonesia sebagai wilayah pasca kolonial 4. Wilayah Indonesia luas dan berupa kepulauan (perlu disampaikan, ternyata laut dan sungai menjadi penghubung warga antar pulau sejak masa pra kolonial, sebagaimana terekam dari wilayah kekuasaan kerajaan maupun perdagangan melintasi pulau-pulau) 5. Pandangan statis terhadap suku, agama, ras dan golongan (perlu disampaikan bahwa hubungan erat budaya dan wilayah disusun oleh Belanda dalam melalui mekanisme hukum adat dan indologi, sehingga mudah digunakan sebagai bahan konflik dan pemecah belah bangsa Indonesia) 6. Krisis moneter 7. Otonomi daerah Selanjutnya dipelajari faktor-faktor penunjang dan penghambat ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia, sejak masa pra kolonial, masa kolonialisme Belanda, masa pendudukan Jepang, masa awal kemerdekaan, masa pembangunan, krisis moneter, hingga masa otonomi daerah. viii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Dari kajian historis diketahui bahwa paradigma modernisasi diaplikasikan pada keseluruhan masa bersejarah, kecuali pada awal kemerdekaan di mana paradigma ketergantungan
dipraktekkan.
Teori-teori
dalam
paradigma
modernisasi
yang
digunakan mencakup export-base, central-place, neo-classic development, growth pole dan enterpreneurship. Sedangkan teori polarisasi dipraktekkan melalui paradigma ketergantungan. Kebijakan yang sudah meningkatkan ketimpangan mencakup: 1. Ekonomi a. Revolusi Hijau tanpa pengaman bagi buruh tani b. Pemusatan kegiatan ekonomi di Jakarta c. Konsentrasi pembangunan industri d. Deregulasi ekonomi e. Pembagian keuangan pusat dan daerah menguntungkan wilayah bisnis atau kaya SDA 2. Kependudukan a. Larangan migrasi lintas pulau zaman Jepang 3. Politik a. Pengembangan kerajaan dan pelabuhan b. Upeti c. Pemusatan kegiatan politik di Jakarta d. Pembatasan pihak luar dalam aspek politik di daerah e. Orientasi kebijakan ke dalam pemerintahan daerah, bukan kerjasama antar pemerintahan daerah f. Pembagian keuangan pusat-daerah didasarkan kontribusi daerah dalam GDP g. Pungutan meningkat terhadap pihak luar yang melakukan kegiatan di dalam daerah h. Alokasi dana lebih besar ke Jawa daripada ke luar Jawa 4. Pendidikan a. Pembatasan pihak luar dalam aspek pendidikan b. Korupsi mengakibatkan penurunan dana pendidikan c. Pendirian sekolah unggulan swasta ix Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
d. Pendidikan tinggi dan pencetak tenaga trampil 5. Kesehatan a. Pendirian sarana kesehatan swasta yang mahal 6. Budaya a. Penguatan lembaga adat Adapun kebijakan yang sudah menurunkan ketimpangan mencakup: 1. Infrastruktur: a. Pembangunan pedesaan dan pertanian b. Politik etis untuk pribumi (terutama irigasi) 7. Ekonomi a. Pengembangan perkebunan ke Sumatera dan Kalimantan b. Politik etis untuk pribumi (terutama kredit) c. Pendirian industri ke luar Jawa d. Nasionalisasi e. Program Benteng (wiraswasta) f. Stabilisasi ekonomi g. Stabilisasi harga pangan h. Industrialisasi pedesaan i. Program khusus penanggulangan kemiskinan j. Jaring pengaman sosial k. DAK 8. Kependudukan a. Pembagian lahan perkebunan untuk petani b. Transmigrasi c. Asuransi tenaga kerja 9. Politik a. Desentralisasi dan daerah otonom b. Inpres 10. Pendidikan a. Wajib Belajar b. Pembangunan prasarana pendidikan di seluruh wilayah negara
x Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
11. Kesehatan a. Pembangunan prasarana kesehatan di seluruh wilayah negara b. Pembangunan prasarana air bersih, persampahan, dan sanitasi c. Pembangunan klinik ibu dan anak d. Asuransi kesehatan untuk orang miskin 12. Budaya a. Program KAT (komunitas adat terasing) Selama tahun 2007 program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah yang dilaksanakan mencakup: 1. Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh 2. Program Pengembangan Wilayah Tertinggal 3. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan 4. Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antar Kota 5. Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah 6. Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan 7. Program Penataan Ruang 8. Program Pengelolaan Pertanahan Adapun program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah yang tidak terdokumentasikan meliputi: 1. Program Pengembangan Ekonomi Lokal 2. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan 3. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah 4. Program Peningkatan Kerjasama Internasional 5. Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 6. Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 7. Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan 8. Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup 9. Program Pengendalian banjir dan pengamanan pantai 10. Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan NKRI 11. Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepolisian 12. Program Penetapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplomasi Indonesia xi Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
13. Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 14. Program Pengembangan Bela Negara 7.1.
Rekomendasi Paradigma dan Teori untuk Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia Barangkali tidak sepenuhnya tepat merekomendasikan paradigma pembangunan
wilayah, karena paradigma merupakan filosofi bangsa yang sudah diterima secara apriori. Seandainya tetap dibutuhkan untuk merekomendasikan paradigma, maka diusulkan paradigma pembangunan berbasis manusia (people-centered development). Dalam khasanah pembangunan internasional, paradigma ini lebih nyata dipegang oleh United Nation Development Program (UNDP). Pilihan atas paradigma ini diasarkan kebutuhan untuk memngurangi ketimpangan wilayah dengan menghargai kepandaian dan kebijaksanaan masyarakat lokal. Adapun teori yang diajukan ialah cumulative causation dari Myrdal. Teori ini memahami kemungkinan tertariknya sumberdaya wilayah tertinggal ke wilayah maju. Oleh karena meyakini potensi kemampuan di wilayah (yang dinamakan tertinggal), maka teori ini menyarankan pendirian kota atau industri di wilayah yang lebih tertinggal. Kiranya pendapat ini sesuai dengan kondisi wiayah tertinggal, terpencil dan perbatasan di Indonesia. Paradigma modernisasi tidak diusulkan karena justru memandang ketimpangan sebagai syarat perlu untuk memunculkan perbedaan harga dan barang langka, lalu diperdagangkan, memunculkan keuntungan, dan akhirnya akumulasi kemakmuran di suatu wilayah. Ketimpangan diyakini bergerak menurun dengan sendirinya ketika pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Sayangnya hal ini tidak selalu terjadi, bahkan ketimpangan global terus meningkat sejak abad ke 16 (awal merkantilisme), atau setidaknya angka-angka global menunjukkan ketimpangan dimulai pada pertengahan abad ke 19 (Revolusi Industri). Di Indonesia pertumbuhan ekonomi (terakhir setelah krisis moneter) selalu meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah. Paradigma ketergantungan pernah dipraktekkan di Indonesia, namun hal itu membutuhkan pergeseran kenegaraan yang kuat menuju sosialisme, diperkirakan pergeseran
tersebut
sulit
dilakukan
(krisis
xii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
moneter,
misalnya,
menggerakkan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
perubahan sampai taraf “reformasi’, tidak sampai ke taraf perubahan menuju sosialisme). 7.2.
Rekomendasi Metodologi Ketimpangan pembangunan di suatu wilayah hampir selalu menjadi perdebatan.
Dengan pengukuran dan data yang berbeda ternyata diperoleh hasil yang berbeda, bahkan berlawanan. Oleh sebab itu rekomendasi metodologi menjadi penting: 1. Diusulkan untuk menggali atau mengekstrapolasi data dalam jangka waktu yang sangat panjang. Hal ini didasarkan kaidah bahwa ketimpangan berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, yang memiliki keragaan jangka sangat panjang. 2. Diusulkan untuk memperoleh data pada unit analisis individu (data Susenas pada unit analisis rumahtangga), sehingga ketimpangan dapat diketahui lebih detil. Keuntungannya, rekomendasi kebijakan juga bisa dirumuskan lebih sesuai dengan jenis pemanfaatnya. Unit analisis individu dapat ditambahkan pada kuesiner Susenas yang ada. 3. Diperlukan
penelitian
perihal
kecocokan
metode
bagi
ketimpangan
pembangunan wilayah di Indonesia. Diperlukan pengetahuan perihal simpangan dari tiap metode ketika digunakan di Indonesia. 4. Analisis ketimpangan perlu didekomposisi pada tingkat provinsi dan kabupaten (kabupaten sumber ketimpangan lebih besar), perkotaan dan pedesaan (perkotaan menyumbang ketimpangan lebih besar), perbedaan tingkat umur, pendidikan, akses kesehatan, dan kategori budaya. Dekomposisi lainnya perlu dicoba untuk memperluas isu ketimpangan. 5. Analisis perlu didasarkan pada suatu angka dasar, sehingga angka lainnya merupakan perbandingan dari benchmark tersebut. Angka pada tingkat harga yang berlaku menghasilkan perbandingan yang berfluktuasi. Angka dasar hendaknya tidak jauh dari waktu rata-rata dalam suatu data time series. Contohnya
data
yang
dimundurkan
menggunakan angka dasar seabad lalu.
xiii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
hingga
dua
abad
lalu
sebaiknya
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
7.3.
Rekomendasi Strategi Berkaca dari Program Agropolitan yang meloncat dari paradigma konseptual
pembangunan berpusat pada manusia, namun dipraktekkan dalam paradigma modernisasi,
maka
rekomendasi
strategi
di
sini
dipilah
menurut
paradigma
pembangunan yang berpusat manusia dan modernisasi. Tabel. Strategi Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia Penguatan kapasitas lokalitas dan warga lokal Desentralisasi kekuasaan dan keuangan Industri dan kota didirikan di wilayah tertinggal Kolaborasi antar pihak Pemerintah melindungi potensi ekonomi dan sosial (pendidikan, kesehatan) masyarakat dari tarikan wilayah yang lebih maju Pendirian organisasi agar masyarakat memiliki kekuatan tawar menawar Kelompok-kelompok ekonomi dikembangkan secara bersama-sama
7.4.
Paradigma Modernisasi Efisiensi maksimal dalam menggerakkan barang manusia lintas wilayah Desentralisasi terkonsentrasi (growth pole) Industri dan kota didirikan di wilayah maju Penguatan daya saing antar pihak Pemerintah menyediakan prasarana pendukung Warga masyarakat merupakan potensi buruh yang diarahkan menuju full employment Warga lokal yang mampu diarahkan menjadi wiraswastawan
Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan juga disajikan menurut paradigma yang berbeda.
Tabel. Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia Industrialisasi pedesaan Pemberdayaan/pendidikan petani dan warga desa Pemberdayaan/pendidikan kelompok miskin Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah untuk meningkatkan potensi dan kemampuan potensial daerah Pengembangan kelembagaan lokal untuk pendidikan dan kesehatan Pendampingan masyarakat terasing untuk mengenal ekonomi uang Kolaborasi dengan pihak swasta untuk pengembangan kesehatan dan pendidikan Kolaborasi pekerjaan formal dan informal dalam mengahasilkan produk bersama Kolaborasi masyarakat lintas wilayah berbasis sejarah integrasi perdagangan dan politik Transmigrasi swakarsa
Paradigma Modernisasi Hierarki lokasi dari penyuplai bahan mentah, lokasi untuk manufaktur, dan lokasi jasa Pembangunan infrastruktur pedesaan Pengurangan kemiskinan Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah berbasis SDA dan kumulasi bisnis daerah Penyediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan Memasukkan masyarakat terasing dalam komunitas yang sudah mengenal ekonomi uang Deregulasi pendidikan dan kesehatan untuk memudahkan swasta berperan serta Pengembangan mekanisme sub kontrak antara pekerjaan formal dan informal Pengembangan forum komunikasi atau tim teknis kerjasama antar wilayah Transmigrasi oleh pemerintah atau swakarsa
xiv Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
7.5.
Rekomendasi Program Rekomendasi program menurut paradigma yang berbeda disajikan di bawah.
Tabel. Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia
Paradigma Modernisasi
Industrialisasi pedesaan: Pengembagan ketrampilan warga desa Pengembangan lembaga perkreditan Pengembangan pemasaran Pengembangan industri berbasis sumberdaya lokal
Hierarki lokasi dari penyuplai bahan mentah, lokasi untuk manufaktur, dan lokasi jasa Pengembangan pusat pertumbuhan menurut komoditas utama yang dihasilkan (keunggulan komparatif) Pengembangan kota menengah untuk menerima hasil produksi orde yang lebih rendah Pengembangan pasar internasional di kota besar
Pemberdayaan/pendidikan petani dan warga desa
Pembangunan infrastruktur pedesaan Pembangunan infrastruktur ekonomi melalui pola swadaya, KSO atau kontraktor Pembangunan pasar Pembangunan permukiman
Pemberdayaan/pendidikan kelompok miskin
Pengurangan kemiskinan
Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah untuk meningkatkan potensi dan kemampuan potensial daerah
Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah berbasis SDA dan kumulasi bisnis daerah
Pengembangan kelembagaan lokal untuk pendidikan dan kesehatan
Penyediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan
Kursus tani secara partisipatif Pengembangan benih/bibit lokal Pngembangan perkreditan Pengembangan pemasaran Pembangunan infrastruktur pendukung
Pengembangan BLT dengan kompensasi Kursus kepada kelompok miskin dengan Pengajuan dan persaingan proposal kegiatan kompensasi dana Pengembangan kelompok usaha di kalangan orang miskin Pengembangan kredit di antara orang miskin
Penelitian potensi daerah dan struktur Pengembangan penghitungan yang memberikan kepemimpinan lokal manfaat pemerataan paling besar Pengembangan lembaga partisipatif pengelola Pengembangan wilayah cepat tumbuh dan daerah strategis Pendampingan kelembagaan
Pengembangan kurikulum lokal Pengembangan kewiraswastaan Pengembangan dan pendidikan tentang pengobatan lokal
Pengembangan infrastruktur pendidikan kesehatan Penyediaan tenaga trampil dalam bidang pendidikan dan kesehatan
Pendampingan masyarakat terasing untuk mengenal ekonomi uang
Memasukkan masyarakat terasing dalam komunitas yang sudah mengenal ekonomi uang
Pendidikan dinamika masyarakat terasing Pengembangan kelompok usaha bersama Kolaborasi dengan pengusaha besar dan menengah
Pemukiman untuk masyarakat terasing Penyediaan prasarana dan sarana pemukiman masyarakat terasing
Kolaborasi dengan pihak swasta untuk pengembangan kesehatan dan pendidikan
Deregulasi pendidikan dan kesehatan untuk memudahkan swasta berperan serta
Penyusunan
kompensasi
swasta
dan
untuk Pengurangan subsidi pendidikan dan kesehatan
xv Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Paradigma Modernisasi Berpusat pada Manusia penyediaan layanan pendidikan kesehatan Deregulasi untuk usaha pendidikan dan kesehatan murah Pengembangan asuransi sosial pendidikan dan kesehatan
Kolaborasi pekerjaan formal dan informal Pengembangan mekanisme sub kontrak dalam mengahasilkan produk bersama antara pekerjaan formal dan informal Penelitian pola kolaborasi sektor formal dan Pengembangan industri rumahan sebagai informal pemasok usaha industri besar Pengembangan kelompok usaha informal Pengembangan pola bapak-anak angka Penguatan landasan hukum bagi kelompok informal Perumusan kepemilikan usaha bersama di masa depan
Kolaborasi masyarakat lintas wilayah Pengembangan forum komunikasi atau tim berbasis sejarah integrasi perdagangan teknis kerjasama antar wilayah dan politik Pengembangan forum untuk mengelola Penelitian deliniasi wilayah integrasi permasalahan kerjasama antar wilayah perdagangan dan politik lokal Pengembagan MoU dan kerjasama usaha Pengembangan kelembagaan untuk antar wilayah mengelola kerjasama antar wilayah Pengembagan kewiraswastaan lokal Transmigrasi swakarsa Transmigrasi oleh pemerintah atau Penyediaan fasilitas mobilitas untuk swakarsa transmigran swakarsa Kolaborasi transmigrasi dengan usaha swasta
Penyusunan lokasi transmigrasi Pengelolaan transmigrasi spontan, swakarsa, dan terpogram
xvi Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Kata Pengantar Penerapan
penganggaran
berbasis
kinerja
ditujukan
untuk
mendukung
perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan hasil yang diharapkan. Kegiatan evaluasi pelaksanaan program – program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP 2007 bertujuan untuk pelaksanaan program – program
pengurangan
ketimpangan
pembangunan
wilayah,
menginventarisasi
pelaksanaan program – program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil-hasil yang dicapai dari pelaksanaan program, permasalahan yang dihadapi, dan tindak lanjut yang diperlukan dalam pelaksanaan program, serta untuk mengetahui pencapaian indikator kinerja program dan sasaran RKP 2007. Dari kegiatan evaluasi ini, diharapkan dapat diperoleh rekomendasi untuk penyusunan kebijakan dan program, khususnya yang terkait dengan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, pada tahuntahun selanjutnya. Namun, seperti kata pepatah “tidak ada gading yang tak retak”, tentu laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan komentar, masukan, saran dan kritik yang membangun. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada mitra kerja, baik di pusat maupun daerah, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat.
Jakarta,
Desember 2008
Direktur Pengembangan Wilayah
xvii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Daftar Isi
Halaman Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran
xvi xvii xx xxii xxiv
1. Pendahuluan ....................................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Tujuan ......................................................................................... 1.3. Sasaran ....................................................................................... 1.4. Keluaran ...................................................................................... 1.5. Ruang Lingkup ............................................................................. 1.6. Isi Laporan ...................................................................................
I-1 I-1 I-3 I-4 I-4 I-5 I-6
2. Isu-isu Strategis Ketimpangan Pembangunan Wilayah ..................... 2.1. Apakah Masalah Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia Benar-benar Terjadi ...................................................................... 2.2. Ketimpangan Pembangunan Wilayah sebagai Masalah Krusial .......... 2.3. Isu-isu Strategis ........................................................................... 2.3.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Fluktuasi Ketimpangan Wilayah ......................................................................... 2.3.2. Ketimpangan Kependudukan: Paradoks Jawa dan Piramida Menua ............................................................. 2.3.3. Ketimpangan Wilayah Barat dan Timur Indonesia ............ 2.3.4. Ketimpangan Kabupaten/Kota dan Provinsi ...................... 2.3.5. Ketimpangan Perkotaan dan Pedesaan ............................ 2.3.6. Ketimpangan Ekonomi, Industri dan Kemiskinan .............. 2.3.7. Ketimpangan Pendidikan ................................................ 2.3.8. Ketimpangan Kesehatan ................................................. 2.3.9. Ketimpangan Budaya ..................................................... 2.4. Kebutuhan Kebijakan Pemerintah ..................................................
II-1
xviii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
II-1 II-7 II-9 II-15 II-20 II-26 II-29 II-30 II-38 II-48 II-51 II-54 II-56
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah 3. Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............................................................................................... 3.1. Konteks Kebijakan ........................................................................ 3.2. Ketimpangan Global ...................................................................... 3.3. Diskursus Donor untuk Pembangunan Nasional ............................... 3.4. Wilayah Pasca Kolonial .................................................................. 3.5. Wilayah Luas dan Kepulauan ......................................................... 3.6. Pandangan Statis terhadap Suku, Agama, Ras, Golongan ................ 3.7. Krisis Moneter .............................................................................. 3.8. Otonomi Daerah ...........................................................................
III-1 III-1 III-7 III-14 III-18 III-20 III-26 III-29 III-32
4. Sejarah Ketimpangan Wilayah di Indonesia ...................................... 4.1. Kejadian Sejarah dan Faktor Ketimpangan ...................................... 4.2. Pra-Kolonial: Sebelum Abad XVI .................................................... 4.3. Kolonialisme Belanda: Abad XVI-1942 ............................................ 4.4. Pendudukan Jepang: 1942-1945 .................................................... 4.5. Awal Kemerdekaan: 1945-1966 ..................................................... 4.6. Pembangunan: 1967-1983 ............................................................ 4.7. Pembangunan: 1984-1996 ............................................................ 4.8. Krisis Moneter: 1997-1999 ............................................................ 4.9. Otonomi Daerah: 2000-2008 .........................................................
IV-1 IV-1 IV-7 IV-10 IV-20 IV-21 IV-35 IV-40 IV-44 IV-45
5. Evaluasi Paradigma dan Teori Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah untuk Indonesia ........................................... 5.1. Revolusi Paradigma dan Teori Ketimpangan Wilayah ....................... 5.2. Paradigma Modernisasi ................................................................. 5.2.1. Pendekatan Kaitan Budaya dan Geografi: Kewiraswastaan 5.2.2. Pendekatan Dualisme: Produksi Bi-Modal, Dualisme Regional ..................................................................... 5.2.3. Pendekatan Wilayah Pertumbuhan: “Neo-Classic Development”, “Growth Poles”, “Central Places” .............. 5.2.4. Pendekatan Sirkular: Model U Terbalik ........................... 5.3. Paradigma Ketergantungan: Polarisasi ........................................... 5.4. Paradigma Pembangunan Berbasis Manusia .................................... 5.4.1. Sebab-Akibat Kumulatif .................................................. 5.4.2. Agropolitan ................................................................... 5.5. Aplikasi Paradigma dan Teori dalam Sejarah Pembangunan Wilayah di Indonesia ................................................................................. 6. Evaluasi Kebijakan dan Program Pengurangan Ketimpangan Wilayah ........................................................................................ 6.1. Evaluasi Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Wilayah ................... 6.2. Inpres .......................................................................................... 6.3. Pembangunan Pedesaan ............................................................... 6.4. Program Khusus Penanggulangan Kemiskinan ................................ 6.5. Transmigrasi ................................................................................ 6.6. Desentralisasi ............................................................................... 6.7. Pencapaian Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007 ........................ 6.8. Penanggulangan Ketimpangan Wilayah di Daerah ........................... 6.8.1. Provinsi Kalimantan Selatan ............................................ 6.8.2. Provinsi Sulawesi Selatan ...............................................
xix Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
V-1 V-1 V-10 V-10 V-12 V-14 V-15 V-18 V-19 V-19 V-23 V-24
VI-1 VI-1 VI-6 VI-7 VI-8 VI-9 VI-14 VI-15 VI-28 VI-28 VI-34
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
7. Kesimpulan dan Rekomendasi Strategi, Kebijakan dan Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah 7.1. Kesimpulan 7.2. Rekomendasi Paradigma dan Teori untuk Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia 7.3. Rekomendasi Metodologi 7.4. Rekomendasi Strategi 7.5. Rekomendasi Kebijakan 7.6. Rekomendasi Program
xx Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
VII-1 VII-1 VII-8 VII-9 VII-10 VII-11 VII-11
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Daftar Tabel
Nomor 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 3.9. 3.10. 3.11.
4.1. 4.2.
Halaman Tiga Puluh Besar Negara dengan Pemerataan Tertinggi, 2006 .......... Isu-isu Strategis Ketimpangan Pembangunan Wilayah ..................... Dimensi Ketimpangan Kawasan Barat dan Timur Indonesia ............. Indeks Gini berbasis Pengeluaran menurut Provinsi di Indonesia. 1993-2002 ................................................................................... Dimensi Ketimpangan Perkotaan dan Pedesaan .............................. Jumlah Desa di Indonesia menurut Monetisasi Pertanian, 2006 ........ Industri, Transportasi dan Agglomerasi di Indonesia, 1996 .............. Tingkat Imperfeksi Institusional pada Paruh Terakhir Abad ke 20 ..... Dekomposisi Ketimpangan menurut Karakteristik Sosial dan Ekonomi di Indonesia, 1996-1999 ................................................................ Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 1976-2007 .... Faktor Penyumbang Ketimpangan Wilayah di Indonesia, 1997 ......... Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ........................................................................................ Ketimpangan Wilayah Global menurut Pendapatan Per Kapita Tahun 2002 ............................................................................................ Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Negara Maju dibandingkan Negara Pinggiran, 1820-1998 ............................ Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Per Kapita dibandingkan USA, 1820-1998 ....................................................... Keuangan dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 (‘000 gulden) ......... Rasio Perdagangan Antar Pulau dan Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 1914-1939 ($ 000.000) dan 1955 (Rp 000.000) ..... Jumlah Desa di Indonesia menurut Keragaman Etnis, 2006 ............. Hubungan Perkotaan, Pedesaan dan Keragaman Etnis menurut Jumlah Desa, 2006 ....................................................................... Indeks Gini dan Theil-T Selama Krisis Moneter di Indonesia, 19961999 ............................................................................................ Perubahan Gini pada Golongan Miskin Indonesia Selama Krisis Moneter, 1996-1999 ..................................................................... Tingkat Eksploitasi Ekonomi Provinsi-provinsi di Indonesia Tahun 1996 dan 2002 ............................................................................. Sejarah Ketimpangan Wilayah di Indonesia ..................................... Perdagangan Antar Pulau ke Jawa menurut Komoditas Tertentu (Jutaan Gulden), 1915-1939 ..........................................................
xxi Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
II-3 II-11 II-27 II-30 II-35 II-36 II-38 II-40 II-41 II-47 II-51
III-3 III-8 III-9 III-9 III-19 III-20 III-28 III-29 III-30 III-31 III-34 IV-2 IV-17
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah 4.3. 4.4. 4.5. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
6.1. 6.2. 6.3. 6.4.
7.1. 7.2. 7.3.
Perdagangan Antar Pulau dari Jawa menurut Komoditas Tertentu (Jutaan Gulden), 1915-1939 .......................................................... GDP per Kapita di tingkat Propinsi, 1971-2002 (Harga Dasar 1983 dalam rupiah) ............................................................................... Indeks Gini menurut Provinsi di Indonesia, 1993-2002 ..................... Perbedaan Paradigma Modernisasi, Ketergantungan dan Pembangunan Berpusat Manusia dalam Teori Pembangunan Wilayah Paradigma dan Pendekatan Teori-teori Pengurangan Ketimpangan Wilayah ........................................................................................ Asumsi-asumsi Teori Agropolitan ................................................... Paradigma dan Teori Pembangunan Wilayah di Indonesia dari Masa Pra Kolonial sampai Masa Kini ........................................................
IV-17 IV-36 IV-42
V-6 V-8 V-24 V-28
Pengaruh Kebijakan terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah Persentase Belanja Pemerintah untuk Program Penanggulangan Kemiskinan ................................................................................... Model Perkembangan Desentralisasi ............................................... Tingkat Pembangunan Wilayah di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan menurut Pembangunan yang Berpusat pada Manusia, 2006
VI-29
Strategi Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............. Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah .......... Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............
VII-10 VII-11 VII-11
xxii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
VI-3 VI-9 VI-14
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Daftar Gambar
Nomor
Halaman
1.1.
Ruang Lingkup Kegiatan .........................................................
I-8
2.1. 2.2.
Kelompok Negara-negara Konvergen .......................................... Indeks Gini Desa, Kota dan Indonesia menurut Tingkat Pengeluaran Rumahtangga, 1920-2002 ................................... Sumbangan Lapisan Teratas terhadap Pendapatan di Indonesia (%), 1920-2004 ..................................................................... GNP Indonesia, 1820-2008 .............................................................. GNP dan GNP Per Kapita di Indonesia, 1820-2008 ............................ GNP dan Indeks Gini di Indonesia, 1820-2008 .................................. GNP dan CVw Indonesia, 1969-2002 ................................................ Ketimpangan Penduduk Dunia, 2005 ............................................... Kepadatan Penduduk Indonesia, 1930 ............................................. Kepadatan Penduduk Indonesia, 2005 ............................................. Jumlah Orang Miskin menurut Provinsi di Indonesia, 2007 ................. Jumlah Penganggur Terbuka menurut Provinsi di Indonesia, 2007 ..... Ketimpangan Pengeluaran menurut Golongan Umur di Jakarta dan Jawa Barat, 1992-2003 ................................................................... Ketimpangan Pengeluaran menurut Golongan Umur di Jawa Tengah, 1992-2003 ..................................................................................... Dekomposisi Ketimpangan Antar dan Dalam Provinsi, 1990-1999 ....... Provinsi Kaya Sumberdaya Alam di Indonesia, 2006 .......................... GNP dan Gini Wilayah Perkotaan di Indonesia, 1920-2008 ................. GNP dan Gini Wilayah Pedesaan di Indonesia, 1920-2008 ................. Letak Industri di Indonesia, 1996 .................................................... Pengaruh Sumber Pendapatan terhadap Ketimpangan Wilayah di Indonesia, 1996 ............................................................................. Pertumbuhan Lapangan Kerja di Indonesia, 1960-2005 ..................... Reit Pertumbuhan Tahunan GDP, “Capital Stock”, Lapangan Pekerjaan, dan Lama Bersekolah di Indonesia, 1960-2005 ................. Sumbangan Pendapatan Buruh terhadap GDP Indonesia, 1971-2005 Hubungan Kemiskinan, Indeks Gini dan Pendapatan per Kapita di Indonesia, 1960-2001 ..................................................................... Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, 1976-2007 ................................ Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1976-2007 ....................... Sebaran Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, 2005 ................... Perkembangan Lama Bersekolah per Orang di Indonesia, 1960-2005 Persentase Penduduk Melek Huruf di Indonesia, 2006 ....................... Angka Harapan Hidup tiap Provinsi di Indonesia, 2007 ......................
II-4
2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15. 2.16. 2.17. 2.18. 2.19. 2.20. 2.21. 2.22. 2.23. 2.24. 2.25. 2.26. 2.27. 2.28. 2.29. 2.30.
xxiii Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
II-4 II-7 II-15 II-18 II-19 II-19 II-20 II-21 II-21 II-23 II-24 II-25 II-25 II-31 II-31 II-32 II-33 II-38 II-42 II-42 II-43 II-44 II-46 II-47 II-48 II-49 II-50 II-50 II-52
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah 2.31. 2.32. 2.33. 2.34.
Reit Kematian Bayi tiap Provinsi di Indonesia, 2007 .......................... Reit Fertilitas Total tiap Provinsi di Indonesia, 2007 .......................... Lokasi Etnis Dominan di Indonesia, 2003 ......................................... Lokasi Agama Dominan di Indonesia, 2005 ......................................
II-52 II-53 II-55 II-55
3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6.
CV Ketimpangan Global Antara Asia dan Afrika, 1960-2004 ............... CV Ketimpangan Global (GDP per Kapita), 1820-2001 ....................... Kontribusi Donor di Dunia, 2008 ...................................................... Perubahan Sektoral Bantuan Luar Negeri di Dunia, 2004 ................... Wilayah Indonesia .......................................................................... Jaringan Hubungan Politik dan Ekonomi Nusantara Pra Kolonial .........
III-9 III-12 III-14 III-15 III-21 III-25
4.1.
Kejadian Sejarah dan GNP per Kapita Indonesia (US$ 1990), 18202008 ............................................................................................. Kejadian Sejarah dan Gini Pedesaan, Perkotaan, dan Indonesia 18802008 ............................................................................................ Kejadian Sejarah dan CVw Indonesia 1971-2001 .............................. Perahu Kora-kora di Relief Candi Borobudur ..................................... Perdagangan Kerajaan Aceh Awal Abad XVII .................................... Posisi Jawa bagi Perdagangan VOC Akhir Abad Ke 18 ....................... Negara Republik Indonesia Serikat .................................................. Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia menurut Deviasi Standard (Memperhitungkan Migas), 1976-2005 ............................... Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia menurut Deviasi Standard (Tidak Memperhitungkan Migas), 1976-2005 ...................... Dekomposisi Ketimpangan Antar dan Dalam Provinsi di Indonesia, 1990-1999 .....................................................................................
4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 4.10
IV-2 IV-2 IV-3 IV-8 IV-10 IV-11 IV-32 IV-38 IV-38 IV-43
5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
Revolusi Paradigma Ilmiah............................................................... Hipotesis Kuznets U-Terbalik ........................................................... Model Backwash dan Spread Effects ................................................ Model Cumulative Causation ............................................................
V-3 V-16 V-21 V-22
6.1.
Perubahan Indeks Gini Provinsi di Indonesia, 1993-2002 (basis pengeluaran rumahtangga) ............................................................. Jumlah Penduduk Indonesia menurut Provinsi, 2007 ......................... PDRB Indonesia menurut Provinsi, 2006 .......................................... PDRB per Kapita Indonesia menurut Provinsi, 2006 ........................... Persentase Penduduk Miskin Indonesia menurut Provinsi, 2007 ......... Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Menurut Provinsi, 2005 ...... Reit Kematian Bayi di Indonesia menurut Provinsi, 2007 ............
V-30 V-30 V-31 V-31 V-32 V-33 V-33
6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6. 6.7.
xxiv Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Daftar Lampiran
Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Halaman Perbaikan Kerangka Acuan Kerja Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............................................................................... Metodologi ........................................................................... Data-data Ketimpangan Indonesia Tahun 1880-2008 .............. Data-data Ekonomi dan Kependudukan Indonesia Tahun 12008 .................................................................................... Data-data Sosial Indonesia Tahun 1960-2006 ......................... Data-data Budaya Indonesia Tahun 2000 ............................... Data-data Ketimpangan dan Ekonomi Antar Provinsi ............... Data-data Sosial Antar Provinsi .............................................. Efektivitas Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ...............................................................................
xxv Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
LAMPIRAN 1-1 LAMPIRAN 2-1 LAMPIRAN 3-1 LAMPIRAN 4-1 LAMPIRAN 5-1 LAMPIRAN 6-1 LAMPIRAN 7-1 LAMPIRAN 8-1 LAMPIRAN 9-1
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
1 Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Ketimpangan
pembangunan
antarwilayah
atau
kesenjangan
terjadi
terutama antara perdesaan dan perkotaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara kawasan hinterland dengan kawasan perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada juga diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya terutama sumber daya manusia dan sumber daya alam antara daerah yang satu dengan yang lain, serta kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik
dalam
proses
perencanaan
maupun
pengambilan
keputusan
belum
mengimplementasikan pada keberpihakan pada pemerataan pembangunan. Walaupun keberpihakan akan pengurangan kesenjangan lebih-lebih pemerataan pembangunan akhir-akhir ini mulai kentara namun hasil dari usaha itu belum dapat dirasakan hasilnya. Di samping itu masih terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan antarkotakota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Wilayah strategis dan cepat tumbuh seharusnya berkembang dan mampu menjadi pendorong percepatan pembangunan bagi wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan, namun dalam kenyataannya masih menghadapi banyak I1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
kendala dalam berbagai aspek seperti infrastruktur, SDM, kelembagaan, maupun akses terhadap input produksi dan pasar. Sementara itu kota-kota nasional yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan disekitarnya, khususnya wilayah perdesaan, justru memberikan dampak yang merugikan (backwash
effects) terhadap keberhasilan pengentasan kesenjangan
itu sendiri. Hal ini
disebabkan masih begitu banyak daerah tertinggal yang harus ditangani, dimana sebagian diantaranya lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Sementara itu, permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Selain itu, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah. Pemerintah
telah
melakukan
berbagai
upaya
untuk
mengurangi
ketimpangan pembangunan antarwilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan baik yang berbentuk kerangka regulasi maupun kerangka anggaran. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2007, pemerintah melakukan kebijakan dan program untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah. Program-program tersebut antara lain Program Pengembangan Wilayah
Strategis
dan
Cepat
Tumbuh,
Program
Pengembangan
Wilayah
Tertinggal, Program Pengembangan Wilayah Perbatasan, Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antarkota, Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah, Program Pengendalian Pembangunan Kota-kota Besar dan Metropolitan, Program Penataan Ruang Nasional, dan Program Pengelolaan Pertanahan. Dengan diterapkannya anggaran berbasis kinerja, maka perlu dilakukan evaluasi kinerja terhadap pelaksanaan program dan kegiatan yang telah dilakukan. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
I2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
dinyatakan
bahwa
pimpinan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
kementerian/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah harus melakukan evaluasi
kinerja
pelaksanaan
rencana
pembangunan
kementerian/lembaga
/satuan kerja perangkat daerah pada tahun sebelumnya. Direktorat Pengembangan Wilayah mempunyai tugas melaksanakan analisis kebijakan pengembangan antar wilayah dan penyiapan data dan informasi wilayah, analisis dan informasi kewilayahan di Sumatera, Jawa, dan Bali, serta analisis dan informasi kewilayahan di Kalimantan, Sulawesi, dan Kawasan Timur Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Pengembangan Wilayah menyelenggarakan fungsi pemantauan, evaluasi, dan penilaian kinerja atas pelaksanaan rencana, kebijakan, dan program pengembangan wilayah dan antar wilayah. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Direktorat Pengembangan Wilayah memiliki tugas untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan RKP 2007, khususnya pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Selain
evaluasi
terhadap
pelaksanaan
RKP
2007,
dengan
telah
terlaksananya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20042009 sampai dengan tengah periode perencanaan, Direktorat Pengembangan Wilayah juga memiliki tugas untuk melakukan evaluasi (mid term review) terhadap pelaksanaan RPJMN 2004-2009, khususnya Bidang Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. 1.2.
Tujuan Kegiatan
evaluasi
pelaksanaan
program-program
pengurangan
ketimpangan pembangunan wilayah ini bertujuan untuk: 1. Menginventarisasi hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP tahun 2007 dan RPJMN (tahun 20062007) 2. Melakukan penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP 2007 dan RPJMN 2004-2009.
I3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
3. Melakukan kaji ulang terhadap kebijakan dan program yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. 1.3.
Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan evaluasi pelaksanaan program-
program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah ini adalah: 1. Teridentifikasinya hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP tahun 2007 dan RPJMN (tahun 20062007); 2. Teridentifikasinya efektivitas pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP 2007 dan RPJMN 20042009. Pencapaian sasaran tersebut bermanfaat secara langsung bagi Bappenas, khususnya bagi unit kerja terkait, sebagai bahan penyusunan kebijakan dan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah pada tahuntahun selanjutnya. Selain itu, pencapaian sasaran tersebut juga bermanfaat secara tidak langsung bagi pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga untuk penyempurnaan
pelaksanaan
program-program
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah, baik di tingkat pusat maupun daerah, pada tahun-tahun selanjutnya. 1.4.
Keluaran Keluaran dari pelaksanaan kegiatan evaluasi pelaksanaan program-program
pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah adalah sebagai berikut: 1. Tersedianya rekomendasi bagi penyusunan RKP, khususnya kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, pada dua tahun yang akan datang; 2. Tersedianya rekomendasi bagi penyempurnaan pelaksanaan kebijakan dan program RPJMN 2004-2009, khususnya bidang pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, pada tahun-tahun selanjutnya;
I4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
3. Tersusunnya Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. 1.5.
Ruang Lingkup Ruang lingkup telah dijabarkan dalam Gambar 1.1. Secara ringkas ruang
lingkup kegiatan ini sebagai berikut: 1. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) Evaluasi Pelaksanaan Programprogram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah; 2. Pengumpulan data sekunder melalui tinjauan pustaka serta tinjauan dokumen perencanaan; 3. Pengumpulan data primer melalui penyebaran kuesioner, FGD, Lokakarya, serta kunjungan lapangan, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan; 4. Inventarisasi dan analisis data dan informasi yang diperoleh; 5. Penyusunan Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. 1.6.
Isi Laporan Laporan in meliputi Ringkasan Eksekutif diikuti bab-bab dalam laporan
sebagai berikut: 1. Pendahuluan, sebagaimana telah diketahui, berisi latar belakang, tujuan, sasaran, keluaran dan ruang lingkup pekerjaan ini. 2. Isu-isu Strategis Ketimpangan Pembangunan Wilayah. Relatif belum terdapat kesepahaman, apakah di Indonesia terdapat masalah ketimpangan wilayah ataukah tidak demikian. Oleh sebab itu pembahasan perihal fakta-fakta
I5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 1.1. Ruang Lingkup Kegiatan
I6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penunjuk ketimpangan wilayah menjadi penting. Fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan ini menjadi landasan penyusunan isu-isu strategis yang layak ditangani
dalam
kebijakan
penanggulangan
ketimpangan
pembangunan
wilayah. Disadari bahwa pembangunan wilayah memiliki dimensi lokalitas yang tinggi, sehingga sangat dibutuhkan landasan faktual pada level kemasyarakatan hingga terendah, sebelum pada akhirnya dirumuskan suatu kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Isu-isu strategis mencakup fluktuasi ketimpangan wilayah dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, ketimpangan kependudukan, ketimpangan wilayah Barat dan Timur Indonesia, ketimpangan kabupaten/kota dan provinsi, ketimpangan perkotaan, pedesaan, wilayah terpencil dan perbatasan, ketimpangan ekonomi, industri, dan kemiskinan,
ketimpangan
pendidikan,
ketimpangan
kesehatan,
dan
ketimpangan budaya. 3. Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. Suatu kebijakan tidak bekerja dalam suatu ruang kosong atau bersifat simulasi, melainkan berjalan di atas panggung konteks tertentu. Konteks menentukan rentang peluang hingga batasan kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Konteks kebijakan tersebut mencakup ketimpangan global, diskursus donor untuk pembangunan nasional, wilayah pasca kolonial, wilayah luas dan kepulauan, pandangan statis terhadap suku, agama, ras dan golongan, krisis moneter, dan otonomi daerah. 4. Sejarah Ketimpangan Wilayah di Indonesia. Untuk menyusun kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah yang sangat kuat, dibutuhkan pengetahuan perihal isu strategis di atas, dan kejadiannya dalam lintasan sejarah panjang ketimpangan wilayah di Indonesia. Data-data mutakhir perihal sejarah ekonomi telah mampu menunjukkan gambaran sejarah ketimpangan wilayah di Indonesia sejak masa pra kolonial hingga tahun ini. Sejarah ketimpangan wilayah memberikan pelajaran perihal penyebab dan upaya penanggulangan ketimpangan yang telah dilakukan dalam masa yang lebih panjang, yaitu masa pra kolonial (sebelum abad XVII), kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, masa awal kemerdekaan, masa pembangunan I7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
tahun 1967-1983, masa pembangunan tahun 1984-1996, krisis moneter, dan masa otonomi daerah 2000-2008. 5.
Evaluasi
Paradigma
dan
Teori
Pengurangan
Ketimpangan
Pembangunan Wilayah untuk Indonesia. Perbedaan cara pandang hingga cara penyelesaian terhadap ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia dapat diperdalam melalui telaah paradigm dan teori yang digunakan. Lebih jauh lagi pengetahuan paradigmatik dan teoretis mempermudah untuk menyusun kerangka kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah secara konsisten. Ditemukan bahwa paradigma modernisasi digunakan sejak masa pra kolonial hingga masa kini. Hanya pada awal kemerdekaan diaplikasikan paradigma ketergantungan. Adapun teori pengembangan wilayah yang digunakan dalam paradigma modernisasi mencakup export-base, central place,
neo-classic
development,
growth
poles,
dan
kewiraswastaan.
Adapun
paradigma ketergantungan menggunakan teori polarisasi. 6. Evaluasi Kebijakan dan Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. Pelajaran dapat diambil dari kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Pokok-pokok hasil yang ada dapat menjadi bahan penyusunan rekomendasi kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Suatu rumusan kebijakan penguat dan kebijakan untuk memperlemah ketimpangan pembangunan wilayah disajikan, diikuti hasil pelaksanaan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah di pusat dan daerah. 7. Rekomendasi Strategi, Kebijakan dan Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. Pada akhirnya pekerjaan ini menghasilkan rincian rekomendasi kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, dengan mempertimbangkan isu strategis, konteks, pilihan paradigma dan teori, serta dimensi waktu perencanaan pembangunan. Lampiran 1, berisi perbaikan kerangka acuan kerja. Lampiran 2, membahas aspek positif dan negatif dari setiap metode analisis ketimpangan pembangunan wilayah yang pernah digunakan di Indonesia. Di I8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
antaranya dibahas bias Jawa dalam pengurangan ketimpangan wilayah yang diboboti jumlah penduduk, maupun Jakarta dalam menggali data ekstrim penduduk terkaya. Lampiran 3, berisi hasil olahan ketimpangan wilayah di Indonesia menurut beragam metode yang digunakan. Data yang ada diurutkan sejak tahun 1820 Masehi hingga tahun 2008. Lampiran 4, berisi data perekonomian Indonesia berupa ekstrapolasi jumlah penduduk sejak tahun 1 Masehi hingga 2008, GNP dan GNP per kapita sejak 1820, dan data ekonomi lain sejak awal 1900-an. Lampiran 5, berisi data sosial, yaitu perkembangan pendidikan sejak tahun 1960-an. Lampiran 6, berisi susunan etnis dominan menurut provinsi sebagai hasil olahan Sensus Penduduk 2000. Ini merupakan data terakhir yang ada di Indonesia. Lampiran 7, berisi perbandingan antar provinsi di Indonesia dalam ukuranukuran ketimpangan wilayah, data kependudukan dan ekonomi. Lampiran 8, berisi perbandingan antar provinsi di Indonesia dalam aspek pendidikan dan kesehatan Lampiran 9, berisi rincian Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) 2007 dan hasil kegiatan
yang
sudah
dilaksanakan
dalam
pembangunan wilayah.
I9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
pengurangan
ketimpangan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
I10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2 Isu-isu Strategis Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2.1.
Apakah
Masalah
Ketimpangan
Pembangunan
Wilayah
di
Indonesia Benar-benar Terjadi? Pada saat ini muncul proposal untuk memandang pembangunan dengan sudut pandang baru (Asian Development Bank, 2007; Bank Dunia, 2009), yaitu menekankan dimensi kewilayahan atau geografi ekonomi. Dalam cara pandang baru ini, suatu kebijakan pembangunan yang membawa hasil “bagus” pada suatu wilayah belum tentu selalu meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada wilayah lainnya. Di samping itu, arus besar (mainstream) pembangunan ini menilai konsentrasi wilayah yang maju sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi dinilai tidak perlu dihindarkan, namun perlu selalu diwaspadai berkembangnya ketimpangan pembangunan wilayah. Kondisi terakhir inilah yang senantiasa tidak diharapkan, atau menjadi masalah utama pembangunan. Usulan pendekatan geografi ekonomi dalam pembangunan masa kini tidaklah mengherankan, karena sejak dekade 1970-an, bahkan mulai tiga abad lalu, ketimpangan global semakin nyata. Di samping itu, ketimpangan juga makin menguat di kelompok negara-megara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, di samping di negara-negara terbelakang. Proposal global untuk menengok ulang ketimpangan pembangunan wilayah mencakup ketimpangan antar-negara, dan ketimpangan di-dalam-negara itu sendiri. II1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Secara umum pemisahan analitis antara distribusi dan efisiensi alokasi – yang biasa dikenal sebagai tangan-yang-tidak-kelihatan menurut Adam Smith— tidak bisa lagi dipertahankan. Sebaliknya dunia menghadapi informasi dan pasar yang tidak sempurna, dan hal semacam ini menambah kompleksitas analisis untuk penyusunan kebijakan. Selama ini kebijakan pertumbuhan ekonomi mau tidak mau selalu mengandung analisis distribusi ekonomi, dan dalam dekade terakhir hal
ini
direspons
dengan
peningkatan
pesat
pengukuran
ketimpangan
pembangunan wilayah di-dalam-negara. Sudah banyak pemerintah yang berupaya menggali pengetahuan tentang posisi negaranya masing-masing, serta mencari jawaban sejauhmana kontribusi ketimpangan wilayah di dalam negaranya mempengaruhi ketimpangan global, atau hubungan sebaliknya. Bersamaan dengan itu telah tersusun data-data secara sistematis dalam jangka amat panjang, yang menunjukkan bahwa ketimpangan wilayah global sejak permulaan tahun Masehi. Perhatian
pemerintah
Indonesia
sendiri
terhadap
ketimpangan
pembangunan wilayah telah muncul secara formal sejak tiga dekade lalu, saat Presiden
Soeharto
menyampaikan
pidato
kenegaraan
di
depan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Agustus 1978. Mulai saat itulah prioritas pembangunan bergeser dengan lebih memperhatikan aspek pemerataan. Pemerintah Indonesia berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang tinggi, namun selalu menjaga agar pertumbuhan tersebut tidak meningkatkan ketimpangan wilayah (Asra, 2000). Dengan memakai konvensi dunia bahwa batas ketimpangan terletak pada indeks Gini 0,40, dan batas pertumbuhan tinggi pada 5 persen per tahun, maka Indonesia tergolong ke dalam negara dengan pertumbuhan yang tinggi (rata-rata sekitar 7 persen per tahun) tanpa mengakibatkan ketimpangan (indeks Gini tidak beranjak dari sekitar 0,30) sejak 1970-an –dengan selingan krisis moneter pada tahun 1997-1999.
II2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 2.1. Tiga Puluh Besar Negara dengan Pemerataan Tertinggi, 2006 Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Negara Slovakia Belarusia Hungaria Denmark Jepang Swedia Republik Ceko Finlandia Norwegia Bulgaria Luxemburg Italia Slovenia Belgia Mesir Rwanda Kroasia Ukraina Jerman Austria Romania Pakistan Kanada Korea Selatan Polandia Indonesia Latvia Lithuania Spanyol Belanda
Indeks Gini 19,5 21,7 24,4 24,7 24,9 25,0 25,4 25,6 25,8 26,4 26,9 27,3 28,4 28,7 28,9 28,9 29,0 29,0 30,0 31,0 31,1 31,2 31,5 31,6 31,6 31,7 32,4 32,4 32,5 32,6
20% Terendah 11,9 11,4 10,0 9,6 10,6 9,6 10,3 10,0 9,7 10,1 9,4 8,7 9,1 8,3 9,8 9,7 8,8 8,8 8,2 6,9 8,0 9,5 7,5 7,5 7,8 9,0 7,6 7,8 7,5 7,3
20% Tertinggi 31,4 33,3 34,4 34,5 35,7 34,5 35,9 35,8 35,8 36,8 36,5 36,3 37,7 37,3 39,0 39,1 38,0 37,8 38,5 38,0 39,5 41,1 39,3 39,3 39,7 41,1 40,3 40,3 40,3 40,1
Sumber: Yusuf (2006) Dengan kata lain, dinilai tidak muncul masalah ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia. Sebaliknya Indonesia tergolong ke dalam 30 besar negara dengan pemerataan tertinggi (Tabel 2.1), bahkan sudah masuk dalam golongan negara-negara konvergen atau merata sejak tahun 1951, serta belum pernah keluar dari golongan tersebut (Gambar 2.1). Secara
analitis
para
pendukung
pembangunan
arus
utama
selalu
menunjukkan berlakunya hipotesis Kuznets dalam kenyataan, termasuk untuk Indonesia. Dengan menggunakan indikator dari angka-angka indeks Gini, puncak ketimpangan pembangunan wilayah Indonesia dinilai telah tercapai pada tahun 1970-an (Leeuwen dan Foldvari, Tt), kemudian dapat diharapkan di masa II3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
mendatang ketimpangan wilayah senantiasa menurun atau rendah (Gambar 2.2). Gambar 2.1. Kelompok Negara-negara Konvergen, 1820-2001
Sumber: Foldvari (Tt). Gambar 2.2. Indeks Gini Pedesaan, Perkotaan dan Indonesia menurut Tingkat Pengeluaran Rumahtangga, 1920-2002 Gini Desa
0.6
Gini Kota Gini Indonesia
0.5
0.4
0.3
0.2
2007
2004
1998
2001
1995
1992
1989
1986
1983
1980
1977
1974
1971
1968
1965
1962
1959
1956
1953
1950
1947
1944
1941
1938
1935
1932
1929
1926
1923
1920
0.1
Tahun
II4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Apakah pernyataan bahwa Indonesia berada di luar masalah ketimpangan pembangunan wilayah di atas sudah benar adanya? Sayangnya, pengukuran ketimpangan wilayah yang ada pada saat ini memang masih bersifat ambigu, dan belum terdapat konsensus umum tentang posisi Indonesia (Bhattacharya, 2007; Cameron, 2003). Peningkatan indeks Gini bahkan mungkin tidak menjadi masalah serius jika lapisan bawah juga turut mengalami peningkatan standard kehidupan (Asra, 2000). Akan tetapi muncul persoalan ketimpangan –bahkan pada indeks Gini yang stagnan di bawah 0,4 selama berpuluh tahun seperti di Indonesia— berupa psikologi ketidakadilan yang dirasakan warganegara karena merasakan kesenjangan ketika membanding posisi dirinya dari lapisan masyarakat teratas sebagai benchmark. Ambiguitas ukuran ketimpangan juga selalu muncul karena kelemahan data-data
penyusunnya,
sekalipun
data
tersebut
diolah
dengan
rumus
ketimpangan pembangunan wilayah yang sama. Pengukuran dengan indeks Gini di atas, misalnya, dapat pula menunjukkan ketimpangan di Indonesia, berupa pergeseran indeks Gini di atas angka 0,4. Pertama, peningkatan angka indeks Gini diperoleh
sebagai
konsekuensi
dari
dikeluarkannya
“faktor
Jakarta”
dari
pengukuran ketimpangan wilayah (Yusuf, 2006). Kedua, sebagai konsekuensi dari pengukuran berbasis pendapatan (Asra, 2000; Cameron, 2003). Oleh karena survai Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional) sulit menjangkau
rumahtangga-rumahtangga yang
berpenghasilan
paling
tinggi
maupun paling rendah (Cameron, 2003), maka pada wilayah tersebut angka ketimpangan bersifat under-estimation terhadap kenyataan ketimpangan yang terjadi. Susenas juga sulit menjangkau pengeluaran (expenditure) kelompok paling kaya, contohnya di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Data-data pencilan ini memang dapat merusak penghitungan berbasis rataan seperti indeks Gini (Foldvari, Tt). Setelah “faktor Jakarta” dihilangkan, angka indeks Gini Indonesia melesat di atas ambang pemerataan wilayah, dan mungkin hal ini lebih sesuai dengan kenyataan karena didukung oleh mutu data yang menjadi lebih tepat pula. Dengan perhitungan baru, pada tahun 2002 indeks Gini meningkat dari 0,33 menjadi 0,42.
II5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Peningkatan angka juga mencolok ketika basis pengukuran indeks Gini diubah dari ukuran pengeluaran/expenditure (yang biasa dirilis oleh Badan Pusat Statistik/BPS) menjadi pendapatan (income) rumahtangga. Tanpa kegiatan menabung
dan
menggambarkan
mendapat pendapatan
kredit, lapisan
pendekatan miskin
pengeluaran
(Agusta,
2005),
lebih
tepat
sedangkan
pendekatan pendapatan lebih mampu menggambarkan lapisan atas (Cameron, 2003). Ternyata pengukuran indeks Gini dengan menggunakan data pendapatan menghasilkan angka di atas 0,4 sejak dekade 1970-an (Arsa, 2000), misalnya pada titik-titik tahun 1976, 1977, 1978, dan 1982 terukur indeks Gini sebesar 0,47; 0,50; 0,47, dan 0,44. Ketimpangan juga terlihat nyata ketika secara khusus memperhatikan kontribusi lapisan terkaya terhadap pendapatan warganegara. Informasi lapisan terkaya diperoleh dari data pajak dan survai rumahtangga. Ternyata lapisan 10 persen terkaya menyumbang sampai hampir 40 persen pendapatan rumahtangga Indonesia (Gambar 2.3). Jika berpegang pada kesalahan sistematis Susenas yang tidak mengambil sampel dari segelintir lapisan teratas, maka bisa diperkirakan bahwa kenyataan ketimpangan di lapangan bisa lebih dari besar dari perhitungan ini. Dibandingkan dengan negara lain, elite Indonesia memiliki kontribusi pendapatan lebih tinggi daripada India dan Jepang (Leigh dan Eng, 2008). Sampai di sini terlihat bahwa dengan mengeluarkan “faktor Jakarta” dan menggunakan basis data pendapatan, maka posisi Indonesia bergeser menjadi negara yang bermasalah dalam ketimpangan pembangunan wilayah. Ketimpangan semakin nyata ketika memperhitungkan dominasi lapisan terkaya di Indonesia terhadap pendapatan rumahtangga di Indonesia. Barangkali suatu pertanyaan penguji apakah ketimpangan wilayah terjadi di Indonesia bisa diajukan: jika dihadapkan pada dilema distribusi proyek pembangunan untuk meningkatkan laju perekonomian (Said dan Widyanti, 2001), akanlah diletakkan di lokasi yang belum maju (misalnya Nusa Tenggara Timur) sehingga mengurangi ketimpangan didalam-negara namun tidak signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, atau meletakkan proyek ke Jawa (terutama di sekitar Jakarta) yang akan
II6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
meningkatkan
pertumbuhan
nasional
secara
berarti
namun
sekaligus
memperlebar ketimpangan di-dalam-negara. Gambar 2.3. Sumbangan Lapisan Teratas terhadap Pendapatan di Indonesia (%), 1920-2004 Top 10%
40
Top 5% Top 1% Top 0.5% Top 0.1% Top 0.05% Top 0.01%
30
20
10
0 05 20
00 20 95 19
90 19
85 19
80 19
75 19
70 19
65 19
60 19
55 19
50 19
45 19
40 19
35 19
30 19
25 19
20 19
Tahun
2.2.
Ketimpangan Pembangunan Wilayah sebagai Masalah Krusial Sesungguhnya masalah ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia
semakin krusial pada saat ini. Perlu dicatat bahwa peningkatan gradual ketimpangan pembangunan wilayah pada awal dekade 1990-an mempermudah krisis moneter ke Indonesia, sekaligus mempersulit pemulihan menuju tingkat perekonomian sebelum krisis, dan mempermudah konflik sosial maupun konflik berbasis ketimpangan etnis (Akita, Lukman, Yamada, 1999; Hill, 2006; Hill, Resosudarmo, Vidyattama, 2008). Lepasnya Provinsi Timor Timur dari Indonesia telah memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya menjaga pemerataan pembangunan wilayah. II7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sebelum terlepas, pada awal dekade 1990-an tersebut Timor Timur tergolong provinsi yang bermasalah dalam ketimpangan wilayah, bahkan menduduki tingkat ketimpangan tertinggi, mencapai indeks Gini 0,40 dari perhitungan berbasis pengeluaran rumahtangga ! (Akita, Lukman, Yamada, 1999). Serupa dengan itu, perpecahan negara besar Uni Soviet dan Yugoslavia pasca Perang Dingin membawa gelombang keinginan untuk memerdekakan diri dan membentuk negara baru (Hill, 2006). Sementara itu, hingga kini kampanye calon kepala daerah maupun pimpinan negara semakin intensif menggunakan isu pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, baik dalam dimensi ekonomi, sosial, budaya, maupun kesehatan (Nordholt dan Klinken, 2007). Kampanye diarahkan agar warganegara menjatuhkan pilihan kepada pemimpin yang mampu mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah, kemiskinan lokal maupun nasional. Pola ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia semakin terkuak setelah studi sejarah ekonomi berlangsung secara massif. Kini ketimpangan global bisa ditelusuri sampai awal tahun masehi, dan ketimpangan di Indonesia terekam hingga awal abad ke 19 (Maddison, 2003; Leigh dan Eng, 2008; Leeuwen dan Foldvari,
Tt).
Informasi
sejarah
menunjukkan
bahwa
ketimpangan
telah
berlangsung sejak lama dan bersifat struktural, terutama sebagai konsekuensi dari kolonialisme sejak abad ke 17. Studi ketimpangan pembangunan wilayah Indonesia lainnya tertuju pada dekomposisi untuk menunjukkan dimensi ketimpangan yang beragam. Dari studistudi ini ditemukan faktor penyulut ketimpangan, di antaranya distribusi upah, dan kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, wilayah perkotaan-pedesaan, maupun wilayah kabupaten/kota. Secara praktis tantangan terbaru ketimpangan pembangunan wilayah saat ini terkait erat dengan desentralisasi dan pemekaran wilayah. Meskipun desentralisasi dipandang sebagai kebijakan yang tepat untuk menanggulangi ketimpangan wilayah, namun prosesnya yang sangat cepat (dalam satu tahun telah muncul wilayah otonom sebanyak lebih dari 300 kabupaten/kota) dan desakan untuk membagi kekuasaan sebanyak-banyaknya untuk daerah telah meningkatkan peluang perpecahan wilayah (Hill, 2006; Hill, Resosudarmo, II8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Vidyattama, 2008; Nordholt dan Klinken, 2007). Kasus pecahnya perang saudara mengiringi desentralisasi tiba-tiba yang meluas sempat terjadi di Etiopia pada awal 1980an (Cohen dan Peterson, 1999). Sementara itu, belum terlihat peningkatan kesejahteraan pada wilayah-wilayah pemekaran, bahkan muncul kasus-kasus di mana wilayah pemekaran baru lebih berupa kantong kemiskinan dan posisinya masih di bawah wilayah induk (Bappenas, 2007). Yang lebih diuntungkan dari pemekaran wilayah ternyata lapisan atas yang kemudian menjadi pejabat wilayah baru tersebut (Aragon, 2007; Erman, 2007; Roth, 2007; Timmer, 2007) --dan yang merugi akibat kegagalan usulan pemekaran wilayah ternyata juga lapisan atas di daerah (Vel, 2007). Sampai pada titik pijak saat ini, tidak salah untuk menyatakan bahwa masalah ketimpangan pembangunan wilayah masih akan menghantui Indonesia di masa mendatang –juga di semua negara termasuk negara maju. Munculnya kasus ketimpangan berkali-kali dalam sejarah Indonesia –yang akan dibahas lebih mendalam dalam tulisan-tulisan berikutnya—menunjukkan tetap terbukanya kemungkinan
terjadinya
peningkatan
ketimpangan
pembangunan
wilayah
Indonesia di masa mendatang. 2.3.
Isu-isu Strategis Isu
strategis
merupakan
topik
permasalahan
penting
yang
akan
ditanggulangi. Alur pemikiran ini menjadikan isu strategis sebagai patokan awal menuju perumusan kebijakan pembangunan. Isu strategis memiliki ciri aktual dan sedang menjadi pusat perhatian banyak pihak. Isu strategis juga bersifat penting sehingga mendesak untuk ditindaklanjuti dalam praktek kebijakan. Isu tersebut hendaknya juga memiliki relevansi yang tinggi, dan sesuai dengan kebutuhan pemerintah, swasta dan masyarakat. Upaya pembangunan yang diarahkan oleh isu strategis memiliki potensi untuk menghasilkan dampak positif, sehingga mampu membantu penyelesaian masalah pemerintah, swasta dan masyarakat. Isu strategis hendaknya juga memiliki kesesuaian dengan visi dan misi pembangunan yang sedang dijalankan. Isu strategis juga bersifat inklusif, sehingga pemerintah, swasta dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam
II9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penanganan isu tersebut. Akhirnya, isu strategis hendaknya juga bersifat sensitif sehingga sejauh mungkin penanganannya aman dari dampak sampingan. Isu-isu strategis ketimpangan pembangunan wilayah meliputi upaya mengarahkan
pertumbuhan
ekonomi
untuk
mengurangi
ketimpangan
pembangunan wilayah, ketimpangan dalam bidang kependudukan, ketimpangan antara wilayah Barat dan Timur Indonesia, ketimpangan antara wilayah kabupaten/kota dan provinsi (Tabel 2.2). Isu strategis lainnya ialah ketimpangan perkotaan, pedesaan dan wilayah terpencil, ketimpangan dalam sektor ekonomi, industri dan terkait dengan kemiskinan. Tidak luput pula isu ketimpangan pendidikan, ketimpangan kesehatan, dan ketimpangan budaya. Sebelumnya perlu terlebih dahulu dicatat, bahwa berbagai upaya untuk menunjukkan ketimpangan wilayah berdimensi gender belum pernah membawa hasil yang signifikan (Alisjahbana, et.al., 2003; Bhattacharya, 2007; Amiti dan Cameron, 2004). Ketimpangan gender dalam upah dan pengelolaan rumahtangga tidak sampai menciptakan hubungan nyata dengan ketimpangan wilayah. Memang data nasional yang bisa digunakan hanya sampai pada unit analisis rumahtangga, padahal proporsi wanita kepala rumahtangga (WKRT) terlalu sedikit dibandingkan pria. Perbedaan lain antara laki-laki dan perempuan juga sulit diperoleh karena tidak digali unit analisis individual.
II10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Tabel 2.2. Isu-isu Strategis Ketimpangan Pembangunan Wilayah Isu Strategis
Materi Isu
Fluktuasi ketimpangan wilayah dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia
Ketimpangan meningkat pada saat GNP rendah Hubungan dengan GNP per kapita berfluktuasi pada saat GNP level sedang GNP tinggi mengurangi fluktuasi ketimpangan pembangunan wilayah Ketimpangan jumlah dan kepadatan penduduk Jawa dan Luar Jawa Pemusatan penduduk miskin dan penganggur di Jawa Peningkatan ketimpangan kelompok umur muda dan tua, padahal piramida penduduk menua
Ketimpangan kependudukan
Ketimpangan wilayah Barat dan Timur Indonesia
Sumber Masalah Komersialisasi petani kecil dan perkebunan Ketiadaan penguasaan teknologi transportasi dan komunikasi
Kolonialisme membutuhkan dan memanfaatkan pendudukan melimpah untuk industri padat karya Pemusatan perekonomian di Jawa-Bali Kesulitan kelompok umur muda meningkatkan produktivitas dan mengakumulasi kekayaan Ketidakjelasan wilayah lapangan Pemusatan perekonomian di yang dedifinisikan sebagai Jawa-Bali kawasan Timur dan Barat Orientasi pada produktivitas Paradoks luas wilayah dan ekonomi nasional daripada kepadatan penduduk wilayah Ketimpangan ekonomi: Keeratan hubungan Jakart prasarana, sektor produksi, dan pasar internasional kemiskinan Ketimpangan sosial: pendidikan, kesehatan Ketimpangan di-dalam-wilayah,
II11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Kebijakan Penanggulangan Masalah Industrialisasi Peningkatan ekspor
Peluang Perbaikan Kebijakan Industrialisasi pedesaan Jaring pengaman ekonomi pada level GNP sedang
Transmigrasi Penyebaran wilayah industry ke luar Jawa (manfaat bagi penduduk luar Jawa) Pendirian industri di Jawa (manfaat bagi mayoritas orang miskin dan pengangguran di Jawa)
Transmigrasi terkait produksi pertanian Perluasan kesempatan kerja untuk tenaga kerja muda Asuransi tenaga kerja Kemudahan promosi karier
Amiti dan Cameron (2003); Direktorat Kewilayahan I (2007); Hondai (2006)
Penyebaran wilayah industri Pembobotan yang mempermudah warga di kawasan Timur mengakses beasiswa
Penyebaran industri di wilayah lebih terbelakang Memudahkan pasar internasional masuk ke wilayah di luar Jakarta, baik di Barat maupun Timur
Direktorat Kewilayahan I (2007)
Sumber Data Bhattacharya (2007); Leuween dan Foldvari (Tt)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Isu Strategis
Ketimpangan kabupaten/kota dan provinsi
Ketimpangan perkotaan, pedesaan, wilayah terpencil dan perbatasan
Materi Isu baik di Barat (memusat ke Jakarta) maupun Timur (secara lebih lemah memusat ke Sulawesi Selatan) Ketimpangan antar provinsi lebih rendah daripada ketimpangan dalam provinsi Orientasi ke dalam kabupaten/kota dibandingkan kerjasama antar wilayah Ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan Ketimpangan di dalam perkotaan dan pedesaan Perkotaan lebih mudah mencapai puncak ketimpangan tertinggi, sedangkan pedesaan lebih mudah mencapai tingkat pemerataan tertinggi Wilayah terpencil belum memprsktekkan ekonomi uang Wilayah perbatasan rawan terhadap separatisme
Ketimpangan ekonomi, industri dan kemiskinan
Dilema konsentrasi lokasi industri di Jawa Agglomerasi terpusat di Jakarta Pengaruh jaringan sosial
Sumber Masalah
Kebijakan Penanggulangan Masalah
Peluang Perbaikan Kebijakan
2008
Sumber Data
Aset sumberdaya alam Konsentrasi penempatan industri
Pembangunan pedesaan Pembangunan pertanian
Pembangunan berbasis kelompok dan individu
Alisjahbana, et.al. (2003); Islam (2003)
Pertumbuhan wilayah perkotaan Konsentrasi industri di perkotaan Peningkatan harga komoditas pertanian meningkatkan ketimpangan petani kaya dibandingkan petani miskin Upah tenaga pertanian stagnan, sementara upah kerah putih di perkotaan meningkat Migrasi dari pedesaan ke perkotaan Peningkatan kesempatan kerja non pertanian Mayoritas penduduk miskin dan pengangguran terdapat di Jawa Pentingnya pengaruh akses
Stabilisasi ekonomi Stabilisasi harga pangan Pembangunan infrastruktur pedesaan dan perkotaan Industri di Jawa dibangun di desa-desa tempat penduduk miskin tinggal
Program pengenalan ekonomi uang oleh pemerintah ke wilayah terpencil
Alisjahbana, et.al. (2003); Cameron (2003)
Industrialisme di Jawa menanggulangi kemiskinan namun meningkatkan ketimpangan pembangunan
Kebijakan perihal kompetisi ekonomi agar lebih adil dan fair Kebijakan untuk
Alisjahbana, et.al. (2003), Amiti dan Cameron (2004); Bhattacharya (2007)
II12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Isu Strategis
Materi Isu (irasionalitas) dalam industrialisasi Ketimpangan upah industri dan pertanian serta sektor informal Ketimpangan jumlah dan persentase orang miskin antar wilayah
Ketimpangan pendidikan
Ketimpangan kesehatan
Ketimpangan prasarana pendidikan di perkotaan dan pedesaan Kontribusi pendidikan terhadap ketimpangan pembangunan wilayah tergolong tinggi Kontribusi pendidikan terhadap ketimpangan semakin tinggi di perkotaan Ketimpangan dalam kematian anak dan bayi Ketimpangan akses prasarana dan kelembagaan kesehatan
Sumber Masalah sumberdaya dan pasar terhadap industrialisme Kecenderungan industrialisasi membutuhkan tenaga trampil Pertumbuhan lapangan pekerjaan cenderung flat sejak 1980-an Modal sosial sekaligus menjadi sumber KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) Agglomerasi terpusat di Jawa dan cenderung membutuhkan tenaga kerja trampil Pembangunan sarana pendidikan terpusat di perkotaan dan Jawa-Bali Kekurangan akses prasarana air bersih, persampahan, dan sanitasi Perbedaan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi Sarana kesehatan yang dikelola swasta jauh lebih mahal dan terpusat di perkotaan
II13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Kebijakan Penanggulangan Masalah wilayah Pengembangan pusat kegiatan ekonomi nasional dan daerah Peningkatan kebebasan berorganisasi bagi buruh Peningkatan prasarana dan sarana transportasi Peningkatan tahun bersekolah
Peluang Perbaikan Kebijakan membuka akses ekonomi dan sosial
2008
Sumber Data
Inpres pendidikan dasar Kejar Paket A, B, C.
Asuransi pendidikan sejak tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi
Alisjahbana, et.al. (2003); Islam (2003)
Pembangunan prasarana air bersih, persampahan, dan sanitasi Pembangunan klinik ibu dan anak Asuransi kesehatan untuk orang miskin
Peningkatan partisipasi dan koordinasi dengan penyedia sarana kesehatan swasta
Adair (2004)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Isu Strategis
Materi Isu
Ketimpangan budaya
Ketimpangan antar suku bangsa Keterasingan suku bangsa Konflik berbasis budaya (suku, agama, ras, golongan)
Sumber Masalah Ketimpangan akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan
II14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Kebijakan Penanggulangan Masalah Inpres sekolah Program KAT (komunitas adat terasing)
Peluang Perbaikan Kebijakan Pembangunan ke luar Jawa dan Bali
2008
Sumber Data Islam (2003), Suryadarma, et.al. (2006); Suryadinata, Arifin, dan Ananta (2003)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2.3.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Fluktuasi Ketimpangan Wilayah Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan wilayah belum definitif, terutama pada tingkat global. Terdapat kasus di mana hubungan keduanya positif, namun kasus lainnya menunjukkan hubungan negatif, dan pada kasus berikut tidak muncul hubungan antar keduanya (Bhattacharya, 2007; Leuween dan Foldvari, Tt). Ketiadaan konsensus menandakan perlunya melihat hubungan kedua variabel ini pada tataran regional, atau sesuai dengan kasus per kasus di daerah. Gambar 2.4. GNP Indonesia, 1870-2008 ê
ê
ê
7 50 0 00
ê ê
ê
ê
GNP
ê
5 00 0 00 ê ê
ê
ê
ê
2 50 0 00 ê ê
ê
ê
ê
0
ê
ê
ê
ê
ê
1 90 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 95 0
ê
ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0
Tahun
Pertumbuhan Indonesia dalam jangka panjang tersaji pada Gambar 2.4. Jika dipotong dari tahun 1900 hingga 1997, Pendapatan Nasional Kotor/Gross National Product (GNP) Indonesia tumbuh rata-rata 3,3 persen per tahun. Sementara itu GNP per kapita tumbuh sekitar 1,7 persen. Angka-angka ini mungkin menunjukkan tingkat pertumbuhan yang rendah, namun kenyataannya tingkat pertumbuhan Indonesia tersebut dicapai dalam waktu sekitar 100 tahun, padahal, sebagai perbandingan, di Eropa tingkat pertumbuhan ini dicapai dalam waktu 400 tahun.
II15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Hingga tahun 1970 pertanian merupakan sektor ekonomi nasional yang paling penting. Dalam periode tersebut, kontribusi pertanian hanya turun pada tahun 1900-1930, karena peningkatan komersialisasi secara gradual pada petani kecil dan perkebunan swasta mendorong pertumbuhan lapangan pekerjaan di luar pertanian. Sektor industri mulai berkembang sejak akhir 1930-an (Leuween dan Foldvari, Tt). Kontribusi industri terutama disumbang oleh pertumbuhan output manufaktur, yang didorong oleh kebijakan penggantian industrialisasi import. Sektor industri terus tumbuh pada dekade 1950-an dan 1960-an. Penurunan perekonomian nasional pada periode ini terutama disebabkan oleh turunnya pertumbuhan pertanian. Selama periode 1940-1967 pertumbuhan angkatan kerja dan capital stock menjelaskan rendahnya pertumbuhan GNP. Pertumbuhan ini ditandai masuknya tenaga kerja dan modal investasi untuk rekonstruksi dan pegembangan barang modal. Hanya setelah dekade 1960-an pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat drastis. Secara konsisten kontribusi sektor industri meningkat sementara kontribusi sektor pertanian menurun. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi pada masa itu terutama didorong oleh industrialisasi, terutama oleh industriindustri substitusi import, dan setelah dekade 1980-an oleh industri yang berorientasi eksport. Selama periode 1967-1997 ekspansi angkatan kerja dan
capital stock menjelaskan sekitar 60 persen pertumbuhan GNP. Hal ini sekaligus menunjukkan sekitar 40 persen penggunaan tenaga kerja dan modal yang tersedia secara produktif. Volume ekspor meningkat rata-rata sekitar 5 persen per tahun pada periode 1900-1930, dan menjadi rata-rata 7 persen per tahun pada periode sesudah 1967. Kontribusi langsung pertumbuhan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar 40 persen pada tahun 1900-1930, lalu turun menjadi rata-rata 25 persen pada tahun 1967-1997. Dengan memperhitungkan backward linkages dari produksi eksport, maka total kontribusi ekspor lebih dari 50 persen pada periode 1900-1930, namun turun menjadi 30 persen pada periode berikutnya. Selama tahun 1930-1967 kontribusi eksport terhadap GNP jatuh paling rendah. II16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Nilai ekspor pada tahun 1900-1930 tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, karena sebagian besar pendapatan hasil eksport digunakan untuk membiayai perdagangan import. Pendapatan ekspor juga digunakan untuk membayar layanan perkapalan dan kredit. Secara struktural nilai barter menurun dari tahun 1914 sampai 1972, yang menunjukkan penurunan nilai eksport secara relatif terhadap nilai import. Adapun permintaan domestik terhadap pertumbuhan ekonomi –mencakup konsumsi dan formasi modal negara maupun swasta—cukup signifikan pada periode 1967-1997 dibandingkan 1900-1930. Pengeluaran negara mencapai ratarata 10 persen dari GNP pada periode 1900-1929, dan berlipat dua pada periode 1968-1997. Pembentukan modal rata-rata 21 persen dari GNP selama periode 1968-1997. Dengan merentang pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang (1820-2007) dapat ditangkap bahwa pada saat GNP rendah (sekitar US $ 18 ribu-35 ribu) ternyata tidak mampu meningkatkan GNP per kapita secara berarti (Gambar 2.5). Pada tahap berikutnya muncul lonjakan GNP, namun diikuti oleh ketidakteraturan dalam pemerataan pendapatan (GNP sekitar US $ 35 ribu- 1.040 ribu). Tahap ini tampaknya merupakan tahapan transisi. Baru pada tahap berikutnya muncul lonjakan pada GNP dan GNP per kapita (GNP di atas Rp 1.040 ribu). Dibandingkan dengan GNP per kapita, penghitungan dengan indeks Gini memberikan keterangan ketimpangan pembangunan wilayah secara lebih nyata (Gambar 2.6). Pada saat hubungan antara GNP dan GNP per kapita berfluktuasi di
masa
transisi
perkembangan
perekonomian,
ketimpangan
mula-mula
meningkat kemudian menurun. Pada periode lonjakan GNP, lagi-lagi ketimpangan meningkat lalu turun kembali. Kejadian ini tidak hanya muncul sekali, melainkan minimal dua kali dalam lonjakan yang besar. Penting untuk diperhatikan bahwa amplitudo lonjakan tersebut mengecil, yang menandakan puncak-puncak kenaikan dan penurunan ketimpangan semakin mendatar.
II17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.5. GNP dan GNP per Kapita di Indonesia, 1820-2008 8.5
GNP per Kapita
8.0
7.5
7.0
6.5
60 77 73 1 0 61 65 1 2 63 52 3 2 93 35 8 6 47 29 38 03 23 8 4 27 16 9 8 40 10 9 3 17 10 6 31 89 3 28 83 9 67 74 9 09 68 1 46 64 0 61 57 2 21 51 7 64 45 0 18 40 3 82 33 4 90 30 9 09 28 6 31 25 78
58
81
6 24
7 21
9 92 18
4 20
GNP Transforms: natural log
Jika dicek ulang dengan ukuran ketimpangan koefisien variasi (CVw), terutama pada periode peningkatan GNP secara pesat, ternyata dengan memperhitungkan nilai bahan tambang terjadi fluktuasi ketimpangan wilayah (Tabel 2.7). Akan tetapi jika bahan tambang dikeluarkan dari perhitungan, muncullah garis yang lebih tegas menunjukkan peningkatan ketimpangan pembangunan wilayah, walaupun dengan laju yang semakin menurun. Segenap
informasi
tersebut
menunjukkan
adanya
harapan
untuk
menurunkan ketimpangan pembangunan wilayah dalam jangka panjang, terutama dengan mempertahankan GNP pada level yang tinggi (maksudnya bukan reit pertumbuhan
GNP).
Pada
level
yang
tinggi
ini
fluktuasi
ketimpangan
pembangunan wilayah dapat kian menurun (bandingkan dengan pengalaman serupa negara maju di Eropa dalam Ezcurra dan Rapún (2006)). Kenyataan adanya fluktuasi ketimpangan tersebut menunjukkan perbedaan dari kurva Kuznets yang menggambar hanya satu kurva U-terbalik untuk menunjukkan ketimpangan. Dalam kasus Indonesia, ketimpangan masih mungkin terjadi berulang kali sejalan dengan peningkatan perekonomian.
II18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.6. GNP dan Indeks Gini di Indonesia, 1820-2008 Gini Desa
-0.4
Gini Kota Gini Indonesia -0.6
-0.8
-1.0
-1.2
-1.4
-1.6
-1.8 95 58 70 6 8 12 64 3 5 40 56 1 0 09 45 3 2 93 35 1 5 34 32 7 7 56 31 8 6 47 29 5 0 58 27 3 5 08 24 5 7 36 21 4 7 63 19 2 1 86 13 3 4 30 10 9 12 93 4 39 78 1 46 64 0 61 57 9 77 50
GNP Transforms: natural log
Gambar 2.7. GNP dan CVw Indonesia, 1969-2002 CVw Dengan Tambang
0.4
CVw Tanpa Tambang 0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8 146200
295296
705895
727541
GNP Transforms: natural log
II19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2.3.2. Ketimpangan Kependudukan: Paradoks Jawa dan Piramida Menua Penduduk menempati posisi penting dalam pengukuran ketimpangan pembangunan wilayah. Penduduk sering digunakan sebagai pembobot ukuranukuran
ketimpangan
pembangunan
wilayah.
Konsekuensinya,
wilayah
berpenduduk besar memiliki kontribusi lebih besar untuk mendinamiskan tingkat ketimpangan wilayah secara keseluruhan (Sengupta, Tt). Pada tataran global Cina dan India merupakan dua negara yang memiliki jumlah sekaligus kepadatan penduduk terbesar, hampir sekitar dua pertiga penduduk dunia (Gambar 2.8). Baru-baru ini kedua negara tersebut tergolong ke dalam wilayah yang konvergen. Oleh karena keduanya ditempati mayoritas penduduk di dunia, maka perhitungan akhir tersebut segera menggeser dunia yang timpang menjadi merata –namun perlu dicatat petunjuk meningkatnya ketimpangan di-dalam-negara Cina dan India. Gambar 2.8. Ketimpangan Penduduk Dunia, 2005
Sumber: World Bank (2008) Salah satu wilayah terpadat di dunia terlihat ada di Jawa, sebagai bagian dari Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah penduduk di Indonesia mencapai 219,2 juta jiwa, terdiri atas 59,9 juta rumahtangga. Selama periode 2000-2005 laju pertumbuhan penduduk rata-rata tahunan sebesar 1,34%. Laju pertumbuhan II20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penduduk tertinggi di Provinsi Riau, sedangkan yang terendah di Provinsi Jawa Tengah. Gambar 2.9. Kepadatan Penduduk Indonesia, 1930
Sumber: Levang (2003) Gambar 2.10. Kepadatan Penduduk Indonesia, 2005
Sumber: Departemen Kesehatan (2008) Ketimpangan penduduk yang tidak berubah sejak pemusatan perkebunan dan politik Hindia Belanda di Jawa, ialah mayoritas penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal wilayahnya hanya seluas 6,6% dari Indonesia (Gambar 2.9). Menurut Sensus Penduduk 2000 Jawa Barat memiliki persentase tertinggi dari II21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penduduk Indonesia, yaitu 17,36% atau 35,7 juta jiwa (Suryadinata, Arifin dan Ananta,
2003).
Jika
penduduknya
digabung
dengan
penduduk
Banten
persentasenya menjadi 21,29%. Jawa Timur merupakan provinsi kedua tertinggi dengan 16,89% atau 34,8 juta jiwa, diikuti Jawa Tengah 15,17% atau 31,2 juta jiwa. Kepadatan penduduk di Jawa mencapai 1.002 jiwa/km2. Tingkat kepadatan ini tergolong rapat. Bahkan di DKI kepadatan penduduk berlipat-lipat pada tingkat 13.102 jiwa/km2. Lihat Gambar 2.10. Namun demikian, karena penurunan fertilitas terjadi relatif lebih cepat, maka persentase penduduk di Jawa menurun dari 63,83% pada tahun 1971, menurun menjadi 60,12% tahun 2000, dan menjadi 59,9% tahun 2005. Sumatera Utara merupakan provinsi di luar Jawa yang paling banyak penduduknya, dengan 11,6 juta jiwa menurut Sensus Penduduk 2000. Di bagian Timur Indonesia, Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak, mencapai 8,1 juta jiwa. Terfokus pada jumlah dan kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Jawa, pemerintah melaksanakan program transmigrasi (Levang, 2003). Terdapat beragam tipe transmigrasi, seperti transmigrasi spontan, transmigrasi sambil membangun perkebunan, transmigrasi lokal. Pada masa kolonial Belanda transmigrasi dijalankan sebagai salah satu perwujudan politik etis. Kebijakan lainnya diarahkan untuk mengalihkan pendirian industri keluar Jawa. Hal ini sudah berlangsung sejak dekade 1950-an (Thee, ed., 2005). Namun demikian, dilihat secara lebih mendalam memunculkan paradoks Pulau Jawa. Sejak masa kolonial Belanda Jawa selain menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, juga menjadi pusat perindustrian (perkebunan). Di pulau inilah terdapat persediaan tenaga kerja yang melimpah dan mereka dalam keadaan miskin. Kelimpahan calon buruh ini mempermudah pendirian industri berbasis upah rendah. Kondisi semacam ini masih berlangsung hingga saat ini (Gambar 2.11 dan Gambar 2.12). Konsekuensinya, pemusatan industri di Jawa berpotensi untuk mengurangi kemiskinan lebih banyak sembari menyediakan lapangan pekerjaan bagi wilayah dengan penganggur terbuka terbesar ini. Akan tetapi kebijakan ini sekaligus meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah.
II22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.11. Jumlah Orang Miskin menurut Provinsi di Indonesia, 2007 Jumlah orang miskin 2007 (x 1000)
ê
ê
ê
6 00 0
ê ê
ê
ê
ê
4 00 0
ê ê
ê
ê
ê
2 00 0
ê ê
ê
ê
ê
êê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê ê
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Ja mbi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jaka rta Ja wa Barat Ja wa Tengah DI Yog yakarta Ja wa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0
Provinsi
Kebijakan lainnya ialah meletakkan industri-industri penting sejak 1950-an keluar Jawa. Diharapkan industri-industri besar tersebut mampu menciptakan titik-titik pertumbuhan di wilayah yang bersangkutan. Di samping paradoks jumlah dan kepadatan di Jawa, aspek demografis lain yang
turut
menyulut
ketimppanganpembangunan
wilayah
ialah
piramida
penduduk yang kian menua. Reit pertumbuhan penduduk di antara Sensus Penduduk 1980-1990 sebesar 1,97 persen, lalu menurun menjadi 1,49 persen antara 1990-2000. Pada periode yang sama angka harapan hidup meningkat. Penduduk usia produktif pada 15-64 tahun meningkat dari semula 55,8 persen tahun 1980, menjadi 59,6 persen pada tahun 1990, dan 65,0 persen pada tahun 2000. Begitu pula penduduk berusia tua (berusia 65 tahun atas) meningkat dari 3,3 persen pada tahun 1980 menjadi 4,5 persen tahun 2000.
II23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ê ê
ê ê
2 00 0 00 0 ê ê ê ê ê
1 50 0 00 0 ê ê ê ê ê
1 00 0 00 0 ê ê ê ê ê
5 00 0 00 ê ê ê ê ê
0
êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Ja mbi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jaka rta Ja wa Barat Ja wa Tengah DI Yog yakarta Ja wa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Jumlah penga ngguran terbuka Agt 2007
Gambar 2.12. Jumlah Penganggur Terbuka menurut Provinsi di Indonesia,
Provinsi
Dari studi kasus di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah (Hondai, 2006) diketahui bahwa struktur umur penduduk cenderung meningkatkan ketimpangan wilayah, jika diukur dengan indeks Gini. Ketimpangan meningkat secara gradual dari umur sekitar 23 tahun sampai sekitar 55 tahun. Ketimpangan selanjutnya menetap sampai sekitar umur 75 tahun. Ketimpangan antara umur 24-35 tahun tidak jauh berbeda dari kondisi pada kelompok umur 23 tahun. Ketimpangan pada umur 30-50 tahun meningkat sangat cepat dibandingkan kelompok umur sebelumnya. Lihat Gambar 2.13 dan Gambar 2.14. Berkaitan dengan penemuan tersebut, perlu dipertimbangkan perubahan struktur demografi di Indonesia sejak 1980-an. Reit pertumbuhan penduduk menurun sedangkan angka harapan hidup meningkat, sehingga struktur umur penduduk semakin tua. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka tekanan terhadap ketimpangan wilayah nasional semakin kuat.
II24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.13. Ketimpangan Pengeluaran menurut Golongan Umur di Jakarta dan Jawa Barat, 1992-2003
Sumber: Hondai (2006) Gambar 2.14. Ketimpangan Pengeluaran menurut Golongan Umur di Jawa Tengah, 1992-2003
Sumber: Hondai (2006) Kebijakan untuk mengatasi ketimpangan struktur umur demikian belum dirumuskan secara definitif. Namun demikian dapat diusulkan kebijakan yang memudahkan penduduk usia muda mendapatkan pekerjaan dan meniti karier dalam pekerjaan tersebut.
II25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2.3.3. Ketimpangan Wilayah Barat dan Timur Indonesia Diskursus ketimpangan wilayah Barat dan Timur Indonesia sudah menjadi konvensi, namun selalu sulit untuk dinyatakan secara operasional. Wilayah manakah yang tergolong Barat dan manakah yang tergolong Timur? Sebagian analisis memasukkan Kalimantan –terdiri atas 4 provinsi termasuk salah satu provinsi terkaya—ke dalam wilayah Barat, sementara analis lainnya meletakkan di wilayah Timur. Di samping itu, pusat-pusat perdagangan dan misi keagamaan semasa kolonial biasanya juga menjadi enklave kemajuan, walaupun berada di bagian Timur, misalnya Manado, Minahasa, Maluku, termasuk juga Kalimantan Tengah –lokasi tempat ibukota Republik Indonesia direncanakan dipindahkan. Sebagian wilayah yang enggan untuk turut merdeka bersama pada tanggal 17 Agustus 1945 terletak di kantong-kantong kemakmuran kolonialisme di bagian Timur. Dalam aspek ekonomi, ketimpangan wilayah Barat dan Timur tidak muncul dalam kolonialisme sampai abad ke 19 atau masa VOC (Vereneeging Oost-
Indische Compagny). Selama pemerintahan Presiden Soekarno ketimpangan semacam itupun lebih dipahami antara Jawa dan Luar Jawa. Akan tetapi pembangunan pesat sejak dekade 1970-an berpusat di Jawa. Perkembangan ekonomi berikutnya melebar ke Pulau Sumatera yang berdekatan dengan Jawa, terutama Jakarta (Soesastro, 1996) –perlu dicatat perkembangan perekonomian melintasi Selat Sunda ke Lampung sebenarnya sudah dilaksanakan sejak abad ke 16 oleh Kesultanan Banten (Untoro, 2007). Pada dekade 1980-an perkembangan ekonomi di Jawa dan Sumatera telah meninggalkan wilayah lain di Timur Indonesia. Hal semacam inilah yang menciptakan dimensi ketimpangan Barat dan Timur Indonesia. Lihat Tabel 2.3. Tabel 2.3. Dimensi Ketimpangan Kawasan Barat dan Timur Indonesia Pembanding Luas wilayah (2005) Jumlah Pulau (2005) Kepadatan penduduk (2005) Jumlah penduduk perkotaan (urbanisasi) (2005) PDRB tanpa migas (2005) PMDN (2005)
Kawasan Barat Indonesia 581.442 km2 (31,25%) 6.448 305 jiwa/km2 177.466 ribu jiwa (51,94%)
Kawasan Timur Indonesia 1.278.947 km2 (68,75%) 11.056 31 jiwa/km2 41.739 ribu jiwa (32,82%)
Rp 2.011 T (85%) 177 proyek senilai Rp 39.568 M
Rp 354 T (15%) 41 proyek senilai 11.010 M
II26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah PMA (2005) Produksi pertanian (2005)
Produksi peternakan (2004) Produksi perikanan (2002) Wilayah kehutanan (2006) Penduduk bekerja (2006) Status pekerjaan pembeda (2005) Persentase penduduk miskin (2005) Persalinan menurut t enaga penolong (2005) Angka Melek Huruf (2005) Akses jalan nasional (2004) Akses jalan provinsi (2004) Akses listrik (2004) Akses transportasi (2004) Bongkar-Muat Angkutan Laut (2004) Jumlah desa dengan sarana telepon (2005) Jumlah desa yang sulit menjangkau prasarana kesehatan (2005) Sumber mata air yang mendominasi (2005)
1.516 proyek senilai US $ 12.193 Mendominasi beras, bawang merah, bawang daun, kentang, kubis, petsai, wortel, mangga, durian, jeruk, pepaya, salak, pisang Mendominasi sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, domba, ayam kampung, ayam petelur, ayam pedaging, itik Mendominasi perikanan laut, tambak, kolam, karamba, sawah 31.571 ribu Ha 77.932.595 orang (89,21%) Pekerja/buruh/karyawan (28,8%), pekerja bebas (buruh tani, 5,9%) dan tidak bebas di pertanian (4,8%) 16%
142 proyek senilai US $ 1.386
Bidan (49-77%), dokter (6-32%)
Dukun tradisional (12-51%), famili (2,2-31%) 75-99% 18.419,15 km, laju pertumbuhan 8,20%/tahun 16.216,67 km, laju pertumbuhan (-6,00 %/tahun 9.306,41 GWh (7,74%) 3.884,2 kendaraan bermotor
86-98% 16.209,68 km, laju pertumbuhan 7,68 %/tahun 23.908,35 km, laju pertumbuhan (-1,24)%/tahun 110.937,89 GWh (92,26%) 26.884,9 kendaraan bermotor, mendominasi mobil penumpang, bis, truk, sepeda motor Bongkar 155.203 ribu ton, Muat 137.644 ribu ton 19.452 desa (41,39%)
Mendominasi kuda, babi
Mendominasi perairan umum 105.797 ribu Ha 17.244.507 orang (91,12%) Berusaha dengan dibantu anggota rumahtangga (28,7%), pekerja tak dibayar (25,9%) 19%
Bongkar 73.074 ribu ton, Muat 141.278 ribu ton 16.099 desa (70,14%)
5.499 desa (11,70%)
7.541 desa (32,85%)
Pompa, sumur
Mata air, air hujan, sungai
Sumber: Direktorat Kewilayahan I (2007) Paradoks ketimpangan ini muncul akibat ketimpangan peran dan perolehan kue pembangunan masing-masing kawasan tersebut. Kawasan Timur memiliki merupakan wilayah yang luas, termasuk dalam hal jumlah pulau. Keluasan wilayah ini berkonsekuensi pada keluasan skala dan dampak pembangunan wilayah. Pada tahun 2005 total luas kawasan Timur Indonesia sekitar 1,28 juta km2 atau dua kali lipat luas wilayah Kawasan Barat Indonesia (0,6 juta km2). II27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Namun tingkat kepadatan penduduk di Kawasan Barat telah mencapai 304 jiwa/km2 atau hampir sepuluh kali lipat dari kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia (31 jiwa/km2). Kawasan Timur mendominasi wilayah kehutanan. Hutan merupakan aspek ekologi penting, tidak hanya di tingkat nasional namun juga untuk kepentingan warga dunia. Kelestarian hutan di Kawasan Timur Indonesia memiliki aspek strategis dalam pembangunan berkelanjutan atau berbasis lingkungan hidup. Sebagian
besar
hutan
berada
di
Kawasan
Timur.
Jumlah
keseluruhan
hutanmencapai 105.797 ribu Ha. Terdapat 24.831 ribu Ha kawasan hutan lindung, 17.610 ribu Ha kawasan suaka alam dan pelestarian lingkungan, 18.157 ribu Ha kawasan hutan produksi terbatas, 27.847 ribu Ha kawasan hutan produksi tetap, 17.352 ribu Ha kawasan hutan yang dapat dikonversi. Meskipun memiliki peran penting di atas, akan tetapi Kawasan Timur Indonesia mendapatkan hasil pembangunan lebih rendah. Sarana produksi sebagaimana diindikasikan oleh ketersediaan infrastruktur ekonomi berjumlah minimal, misalnya pada infrastruktur listrik dan transportasi. Konsekuensinya penanaman modal dalam dan luar negeri di wilayah ini lebih rendah daripada Kawasan Barat Indonesia. Akhirnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah ini lebih rendah daripada Kawasan Barat. Sejalan dengan itu, warga sendiri akhirnya tertuju kepada pekerjaan dominan di luar sektor formal. Jenis pekerjaan semacam ini tidak memiliki nilai tambah yang besar. Tanpa sentuhan yang intensif dengan pasar, maka asset maupun keuntungan sulit meningkat. Memang selama krisis moneter sempat teruji bahwa justru kelonggarannya dari ekonomi pasar memungkinkan partisipan jenis pekerjaan ini terhindar dari krisis (Mubyarto, 2005). Hasil peternakan didominasi kuda dan babi. Akan tetapi kedua ternak besar ini jarang diunggulkan di tingkat nasional. Sedangkan hasil perikanan didominasi dari perairan umum. Lingkungan yang tidak dikelola secara intensif ini membutuhkan kelestarian alam. Hal ini bisa dibandingkan dari tambak yang bisa senantiasa diisi hara dari luar. Akhirnya akumulasi dari rendahnya akses infrastruktur ekonomi berkonsekuensi pada rendahnya akses kesehatan dan sanitasi, dan hal ini menghasilkan ketimpangan sosial lebih lanjut. II28 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Akhirnya, masih perlu dicermati ketimpangan di-dalam-wilayah Barat itu sendiri. Ekonomi Indonesia berkembang pada klaster-klaster ekonomi regional, terutama di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan (Hill, Resosudarno, Vidyattama, 2008). Lokasi tersebut sepintas terlihat tersebar, namun perkembangan ekonomi wilayah lebih didorong oleh keeratan hubungannya dengan pasar internasional. Dalam konteks demikian kota Jakarta menduduki peranan terpenting lagi. Jakata juga menjadi pusat agglomerasi di Indonesia. 2.3.4. Ketimpangan Kabupaten/Kota dan Provinsi Analisis
ketimpangan
di-dalam
negeri
untuk
Indonesia
biasanya
dilaksanakan pada tingkat provinsi. Hasil yang muncul lebih menunjukkan ketimpangan antar wilayah provinsi. Sayangnya, setelah melakukan dekomposisi komponen ketimpangan pembangunan wilayah, ternyata kontribusi provinsi tergolong rendah, bahkan ada kalanya tidak signifikan terhadap ketimpangan secara keseluruhan (Alisjahbana,
et.al., 2003). Secara umum hampir secara konsisten ditemui bahwa ketimpangan antar provinsi ternyata lebih rendah daripada ketimpangan di dalam provinsi itu sendiri (Tabel 2.4 dan Gambar 2.15). Kontribusi kabupaten/kota terhadap ketimpangan wilayah pada tahun terpilih 1990, 1993 dan 1996 sebesar 86,54 persen, 84,92 persen, dan 79,11 persen, sedangkan kontribusi provinsi sebesar 13,46 persen, 15,08 persen dan 20,89 persen (Islam, 2003). Sumber ketimpangan itu sendiri lebih banyak disebabkan oleh perbedaan sumberdaya alam yang dimiliki,
serta
penempatan
lokasi
industri.
Gambar
2.16
menunjukkan
konsentrasi sumberdaya alam penting di empat provinsi di Indonesia. Tabel 2.4. Indeks Gini berbasis Pengeluaran menurut Provinsi di Indonesia. 1993-2002 Propinsi Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung
1993 0,293 0,295 0,305 0,266 0,242 0,296 0,281 0,264
1996 0,259 0,301 0,278 0,300 0,246 0,300 0,273 0,276
1999 0,240 0,254 0,256 0,224 0,240 0,260 0,254 0,288
II29 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2002 ― 0,288 0,268 0,292 0,260 0,291 0,253 0,254
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Propinsi Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Irian Jaya Indonesia
1993 ― 0,326 0,299 0,295 0,331 0,318 ― 0,315 0,274 0,254 0,302 0,259 0,274 0,313 0,291 0,286 0,273 0,272
1996 ― 0,363 0,356 0,291 0,353 0,311 ― 0,309 0,286 0,296 0,300 0,271 0,292 0,318 0,344 0,302 0,323 0,311
1999 ― 0,317 0,286 0,246 0,337 0,291 ― 0,270 0,261 0,267 0,271 0,237 0,264 0,277 0,272 0,286 0,296 0,276
0,300 0,370 0,335
0,269 0,386 0,335
0,241 0,360 0,308
2002 0,247 0,322 0,289 0,284 0,367 0,311 0,330 0,298 0,266 0,292 0,301 0,245 0,292 0,304 0,270 0,283 0,301 0,270 0,241 ― ― 0,329
Sumber: Hondai (2006) 2.3.5. Ketimpangan Perkotaan dan Pedesaan Salah satu sumber ketimpangan penting di Indonesia berasal dari ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Isu ketimpangan ini menyumbang sebesar 8 persen dari kondisi ketimpangan di Indonesia pada tahun 1997 (Alisjahbana, et.al., 2003; Amiti dan Cameron, 2004). Walaupun terlihat kecil, namun ketimpangan lokasi lainnya baru muncul setelah ketimpangan pedesaan-perkotaan ini terjadi. Tidak salah menyatakan ketimpangan perkotaan dan pedesaan sebagai syarat perlu menuju munculnya isu ketimpangan lainnya.
II30 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.15. Dekomposisi Ketimpangan Antar dan Dalam Provinsi, 1990-1999
Sumber: Islam (2003) Gambar 2.16. Provinsi Kaya Sumberdaya Alam di Indonesia, 2006
Ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan disebabkan oleh stagnasi upah pekerja pertanian di pedesaan, padahal upah golongan kerah putih atau manajerial di perkotaan terus meningkat
(Alisjahbana, et.al., 2003).
Memang jumlah dan persentase orang yang bekerja di pedesaan lebih tinggi, namun jenis pekerjaan yang dominan berupa pekerjaan domestik yang tidak dibayar, buruhtani, atau wirausaha dengan mengeksploitasi diri sendiri. Upaya perolehan akses kepada kesempatan kerja dan ekonomi formal terhalang oleh tingkat pendidikan formal yang lebih rendah. Kumulasi dari ketimpangan ekonomi II31 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ini berimbas pada ketimpangan akses terhadap fasilitas kesehatan. Kebijakan subsidi ternyata juga lebih dinikmati oleh lapisan atas di perkotaan. Ketimpangan ini semakin menguat sebagai konsekuensi migrasi dari pedesaan ke perkotaan. Pada saat ini juga muncul kecenderungan pergeseran ke arah permintaan tenaga trampil dibandingkan tenaga tidak trampil, terutama di wilayah yang lebih maju (Bhattacharya, 2007). Teknologi mengandung bias dalam meningkatkan permintaan akan tenaga trampil. Pergeseran permintaan ini menjadi sumber ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antara ekonomi industri dan pertanian. Gambar 2.17. GNP dan Gini Wilayah Perkotaan di Indonesia, 1920-2008 ê
ê
ê
ê
0 ,50
ê ê
ê
Gini Kota
ê
ê
0 ,40
ê ê
ê
ê
ê
0 ,30
ê ê
ê
ê
ê
0 ,20
ê ê
ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0 00
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
4 00 0 00
ê
ê
ê
6 00 0 00
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
8 00 0 00
GNP
Dengan membanding Gambar 2.17 dan Gambar 2.18, yang terjadi pada saat GNP sudah tinggi, terlihat wilayah perkotaan Indonesia lebih mudah mencapai puncak ketimpangan tertinggi, sedangkan wilayah pedesaan lebih mudah mencapai tingkat pemerataan tertinggi. Setelah fluktuasi ketimpangan terjadi, wilayah pedesaan relatif lebih merata daripada wilayah perkotaan. Jika dicermati di ujung kanan kurva, maka dapat diperkirakan peluang munculnya ketimpangan wilayah di masa mendatang (saat GNP semakin tinggi lagi), meskipun mungkin dengan fluktuasi yang lebih rendah.
II32 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.18. GNP dan Gini Wilayah Pedesaan di Indonesia, 1920-2008 ê
0 ,5
ê ê
ê
ê
ê
Gini Desa
0 ,4
ê ê
ê
ê
ê
0 ,3
ê ê
ê
ê
ê
0 ,2
ê ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0 00
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
4 00 0 00
ê
ê
ê
6 00 0 00
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
8 00 0 00
GNP
Dalam konteks pembangunan pedesaan di Indonesia, UU 32/2004 mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. Dalam hal bagian terakhir dari definisi tersebut, perlu dicatat bahwa masih terdapat desa di wilayah perkotaan. Data faktual wilayah di Indonesia tercantum dalam statistika potensi desa. Podes 2003 menyuguhkan 56.838 desa di wilayah pedesaan (83 persen dari keseluruhan 68.813 desa/kelurahan). Pada Podes 2006 yang lebih mutakhir jumlahnya meningkat menjadi 57.666 desa (tetap berposisi 82 persen dari 69.956 desa/kelurahan). Menarik membandingkannya dengan peningkatan luas desa, dari 162.332.665,6 hektare (rata-rata 2.856 hektare/desa) menjadi 182.819.735 hektare (rata-rata 3.170 hektare/desa). Penambahan jumlah berikut luas desa menunjukkan bahwa desa baru lebih banyak dibangun pada tanah yang sebelumnya tidak dihuni, misalnya wilayah hutan. Sayang ini sekaligus mengindikasikan peningkatan tekanan penduduk terhadap lingkungan, untuk kemudian dieksploitasi menjadi desa. II33 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Di satu sisi kemiskinan absolut di pedesaan menurun. Indikasinya penurunan rumahtangga pra sejahtera dan sejahtera I dari 14.559.004 rumahtangga
(47
persen
dari
total
rumahtangga)
menjadi
12.530.206
rumahtangga (39 persen). Namun jika memakai garis ambang kemiskinan masyarakat desa pada angka 35 persen rumahtangga pra sejahtera dan sejahtera I, persoalan kemiskinan sebetulnya masih menghantui desa. Lebih banyak desa berada di atas ambang batas kemiskinan tersebut. Infrastruktur desa untuk kegiatan ekonomi relatif lengkap. Listrik menyala di 91 persen desa, 63 persen desa memiliki infrastruktur air bersih yang memadai. Jalan aspal dinikmati 51 persen desa, sedangkan jalan yang diperkeras batu dan kerikil tersedia di 30 persen desa lainnya. Televisi bisa ditonton di 63 persen desa. Tantangan aspek ekonomi ialah membuat bangunan pasar bagi 10 persen desa yang kini membutuhkannya. Kekurangan muncul pada infrastruktur sosial. Kayu bakar masih digunakan mayoritas penduduk di 77 persen desa. Pengelolaan sampah sekedar dibuang ke lobang atau dibakar pada 67 persen desa, bahkan 46 persen desa tidak memiliki tempat buang air besar. Masih 4 persen desa dengan penduduk yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Rumah kumuh terdapat di 7 persen desa. Masih ada desa tidak memiliki SD, bahkan 11 persen desa tidak mampu menyelenggarakan Posyandu. Tidak heran 34 persen desa belum dijamah bidan. Jumlah penduduk desa kini 127.435.933 jiwa, meningkat dari 125.291.758 jiwa tahun 2003. Namun sumber penghasilan sebagian besar penduduk desa tetap di pertanian, yang mendominasi 56.372 desa (98 persen). Rumahtangga pertanian meningkat tipis dari 26.080.186 jiwa menjadi 26.677.687 jiwa, namun persentasinya menurun dari 85 persen menjadi 82 persen. Yang mengenaskan, buruh tani meningkat dari sekitar 14.485.660 jiwa menjadi 17.504.561 jiwa. Bersamaan dengan itu, luas lahan sawah meningkat dari 10.473.190,8 hektare menjadi 12.443.833. Namun manakala diukur menurut rumahtangga tani hanya ditemukan peningkatan tipis dari 0,4 hektare/petani menjadi 0,5 hektare/petani, bahkan nilainya tetap pada posisi 0,7 hektare/buruh tani. Indikasi tersebut menunjukkan munculnya kesenjangan pada masyarakat tani sendiri. Yang menyedihkan, desa-desa pertanian dicirikan sekaligus dengan II34 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
kekurangan infrastruktur dasar, seperti jalan, air bersih, tempat sampah, perumahan kumuh. Secara terinci perbandingan pedesaan dan perkotaan tersaji pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Dimensi Ketimpangan Perkotaan dan Pedesaan Pembanding Orang bekerja (2006) Dominasi jenis pekerjaan (2005) Pekerja anak (2004) Persalinan menurut tenaga penolong (2004) Dominasi jenjang pendidikan
Perkotaan 37,9 juta jiwa (86,5%) Berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain, pekerja/ buruh/ karyawan, pekerja bebas di luar pertanian 107,8 ribu jiwa (1,3%) Bidan (68%), dokter (17%)
Pedesaan 57,3 juta jiwa (92,0%) Berusaha dengan dibantu anggota rumahtangga, pekerja bebas di pertanian, pekerja tak dibayar 565,7 ribu jiwa (4,5%) Dukun tradisional (36%)
SLTA (27%), sarjana (3,6%)
Tidak sekolah (11%), tidak tamat SD (26%), tamat SD (38%)
Sumber: Direktorat Kewilayahan I (2007) Sementara wilayah industri dan jasa hampir seluruhnya komersial, wilayah dengan penghasilan utama penduduk pertanian pada level nasional ternyata didominasi oleh ekonomi campuran (pada 41.112 desa atau 70,5%) (Tabel 2.6). Wilayah yang sepenuhnya komersial baru mencapai 20,9%(12.226 desa), sebaliknya wilayah yang sepenuhnya subsisten mencapai 8,5%(4.952 desa). Jika menggunakan patokan umum di atas 33% untuk menyebut komersialisasi wilayah, ternyata belum ada wilayah pulau besar di Indonesia yang komersial sepenuhnya. Pulau Sumatera hampir komersial (32,5%). Di bawahnya terdapay Sulawesi (28,8 persen) dan Kalimantan (26,0 persen). Sebaliknya, kesenjangan di dalam wilayah sendiri dalam aspek monetisasi pertanian (dengan perhitungan persentase komersial dikurangi persentase subsisten) terlihat lebih jelas terutama di Sumatera (25 persen) dan Sulawesi (24,5 persen). Namun sebaliknya di Papua (-14 persen) dan Nusa Tenggara (-8 persen) wilayah subsistensi lebih tinggi daripada wilayah komersial.
II35 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 2.6. Jumlah Desa di Indonesia menurut Monetisasi Pertanian, 2006 Wilayah Jawa Bali Kalimantan Maluku Nusa Tenggara Papua Sulawesi Sumatera
Subsisten (Diskonsumsi Sendiri)
Komersial (Dijual)
1.098 5 818 15 76 5 592 18 703 26 288 4 1.377 7 4.952 8
2.018 9 1.330 26 281 19 333 10 327 12 1977 28 5960 32 12.226 20
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Jumlah %
Campuran (Dikonsumsi dan Dijual) 17520 84 2965 57 1070 74 2327 71 1646 61 4591 66 10.993 59 41112 70
Total 20636 100 5113 100 1427 100 3252 100 2676 100 6856 100 18330 100 58290 100
Sumber: Potensi Desa 2006 Salah satu konsekuensi wilayah yang sangat luas dan berupa kepulauan di Indonesia ialah peluang timbulnya wilayah terpencil. Dalam proses pembangunan wilayah terpencil sempat muncul sebagai wilayah yang lain (Others), yaitu selain kelurahan
dan
desa.
Penghuni
wilayah
terpencil
berupa
suku
terasing.
Konsekuensi dari pe-Lain-an ini ialah ketiadaan akses pembangunan, karena pembangunan hanya dilangsungkan di kelurahan dan di desa. Pembangunan untuk suku terasing mulai muncul pada dekade 1980-an, namun tetap diarahkan untuk membentuk suatu desa, bukan menyilakan bentuk kemasyarakatan sendiri. Wilayah terpencil memiliki ciri khas dalam berhubungan dengan wilayah lain yang lebih maju secara ekonomis. Wilayah yang telah terjangkau pembangunan sekaligus telah mengenal ekonomi uang (monetisasi) (Tabel 2.6). Pembangunan suatu wilayah yang lebih maju dapat turut memberikan efek kemajuan pada wilayah lain yang sama-sama mengenal ekonomi uang. Akan tetapi wilayah terpencil justru langsung memperoleh masalah ketika berhubungan dengan wilayah lain yang lebih maju secara ekonomi. Keterbukaan transportasi, misalnya, justru dapat dipandang sebagai penghilang proteksi alamiah bagi wilayah terpencil. Hal ini memungkinkan sumberdaya di wilayah terpencil dialihkan
II36 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ke wilayah lain yang lebih maju (backwash effect). Proses semacam ini jelas membutuhkan kebijakan pembangunan wilayah secara khusus. Indikasi wilayah terpencil di Indonesia muncul pada desa-desa di tengah hutan atau di tepi hutan. Sebagian desa di bagian lembah juga sering terpencil. Pada saat ini jumlah desa pesisir
8.267 desa (13,2 %), desa lembah/DAS
berjumlah 4.909 desa (7,8 %), desa lereng/punggung bukit berjumlah 14.217 desa (22,7 %), dan desa dataran berjumlah 35.202 desa (56,2 %). Di antara desa-desa tersebut terdapat desa di dalam hutan sebanyak 2.799 desa (4,5 %) dan desa di tepi hutan sebesar 15.360 desa (24,5 %). Wilayah perbatasan memiliki arti penting terutama dalam menguji kesatuan negara Republik Indonesia. Meskipun Provinsi Riau dan Kalimantan Timur memiliki sumberdaya alam yang sangat tinggi, separatisme tidak muncul di sana. Ciri wilayah dari upaya separatisme selalu terpadat di daerah-daerah perbatasan, seperti Timor Timur hingga akhirnya merdeka pada tahun 1999, dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) serta Papua selama dekade 1990-an hingga awal 2000an. Pembedaan wilayah perkotaan, pedesaan, terpencil dan perbatasan lebih banyak tercakup dalam penyediaan infrastruktur. Oleh sebab itu kebijakan penting di wilayah semacam ini ialah menambah infrastruktur perkotaan, seperti jalan, dermaga, prasarana telekomunikasi, sanitasi, dan sebagainya. 2.3.6. Ketimpangan Ekonomi, Industri dan Kemiskinan Kebijakan pengembangan wilayah yang berbasiskan pertumbuhan ekonomi telah memberikan fasilitas yang sangat besar bagi industri. Di Indonesia hal ini terjadi terutama muncul di Jawa. Subsidi dalam bentuk pemotongan pajak maupun penyediaan infrastruktur telah meningkatkan ketimpangan wilayah industri daripada pertanian. Hal semacam ini akhirnya menciptakan hubungan tautologis atau saling berkaitan antara peningkatan infrastruktur dan industri. Lihat Gambar 2.19 dan Tabel 2.7.
II37 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.19. Letak Industri di Indonesia, 1996
Tabel 2.7. Industri, Transportasi dan Agglomerasi di Indonesia, 1996 Sektor Industri
Sensitif terhadap Transportasi
Efek Agglomerasi
Garmen
Tinggi
Rendah
Karet dan plastik
Tinggi
Tinggi
Produk kayu
Sedang
Tinggi
Makanan dan minuman
Sedang
Rendah
Bahan kulit
Rendah
Sedang
Komputer di kantor
Rendah
Tinggi
Sumber: Amiti dan Cameron (2004) Jika dibandingkan dengan India, pertumbuhan industri di sana tidak memberikan efek ketimpangan yang lebar, karena industri-industri tersebar di seluruh negara (Sengupta, Tt). Akan tetapi di Indonesia industri terkumpul di bagian Barat. Tanpa penyebaran industri terlebih dahulu, pembangunan industri memiliki resiko meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah. Di Indonesia, manfaat pautan vertikal (vertikal linkages) bersifat sangat lokal (Amiti dan Cameron, 2004). Perusahaan bisa mendapatkan manfaat dari pautan vertikal ini selama mereka tidak berada pada posisi pinggiran. Hanya sekitar 10 persen manfaat akses pasar yang menyebar di atas 108 km, dan hanya 10 persen yang menyebar sampai 262 km. Perusahaan yang berlokasi di luar Jawa berada pada jarak yang terlalu jauh untuk mendapatkan manfaat agglomerasi industri dari Jawa. II38 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Manfaat agglomerasi yang muncul dari pautan vertikal dan lokalitas yang tinggi menjelaskan keputusan yang diambil untuk meletakkan industri di wilayah yang memiliki buruh murah, yaitu di Jawa –dan untungnya Jawa juga menjadi tempat tinggal terbanyak penduduk miskin sekaligus pengangguran. Hal ini juga menggarisbawahi
kesulitan
pemerintah
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi pada daerah-daerah terpencil dan tertinggal, terutama di luar Jawa. Perkembangan ekonomi di Indonesia tidak bisa diletakkan hanya pada basis rasionalitas. Kenyataannya ekonomi tidak sepenuhnya bisa dijalankan, atau suatu pasar kompetisi tidak dijalankan secara penuh (Mubyarto, 2005). Sebaliknya hubungan atau jaringan sosial menjadi salah satu aspek penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (Tabel 2.8). Pada satu sisi, hal ini membuka peluang kolusi dan nepotisme, sebaliknya di sisi lain jaringan sosial menjadi modal sosial yang bisa digunakan untuk membantu dan memproteksi lapisan bawah dalam perekonomian nasional. Di samping lokasi, muncul pula penyebab ketimpangan yang berasal dari manusia pendukung industri. Faktor sosial dan ekonomi yang berpengaruh terhadap ketimpangan terutama tercakup dalam tingkat pendidikan, tipe pekerjaan, dan sektor pekerjaan. Faktor-faktor ini menyumbang 18-27 persen dari ketimpangan yang ada (Alisjahbana, et.al., 2003). Jenis pekerjaan juga menyumbang lebih banyak ketimpangan dibandingkan dengan sektor pekerjaan (Tabel 2.9). Tabel 2.8. Tingkat Imperfeksi Institusional pada Paruh Terakhir Abad ke 20
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Negara Hongkong Singapura Jepang Taiwan Thailand Korea Selatan Malaysia Indonesia Filipina Cina Vietnam Laos Kamboja Myanmar Korea Utara
Total Imperfeksi Institusional 1,0 1,5 2,0 3,0 3,5 4,0 4,0 5,0 5,5 8,0 9,0 9,0 9,0 9,5 10,0
Sumber: Mubyarto (2005) II39 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sebagian besar sumber ketimpangan pendapatan di Indonesia bersumber dari upah dan gaji, mencapai 43 persen (Gambar 2.20). Sumber ketimpangan lainnya berasal dari pemberian. Terlihat bahwa sumber pendapatan dari bidang pertanian dan di pedesaan tidak terlalu kuat untuk menimbulkan ketimpangan (7 persen untuk pendapatan pertanian dan 19 persen untuk pendapatan di luar usahatani). Perbedaan kepemilikan aset juga berpengaruh penting dalam menciptakan ketimpangan di Indonesia. Pengaruhnya mencapai 35 persen. Kepemilikan aset semakin penting di pedesaan yang mencapai kontribusi 45 persen. Di perkotaan kepemilikan aset menyumbang sebesar 33 persen bagi ketimpangan di Indonesia. Menguatnya kontribusi upah dan gaji terhadap ketimpangan pembangunan wilayah diindikasikan oleh meningkatnya kesempatan kerja formal dalam jangka panjang (Gambar 2.21). Kesempatan kerja tersebut semakin nyata sejak dekade 1980-an. Pada dekade ini memang industrialisasi semakin massif, dan mulai menggantikan peran pertanian. Tabel 2.9. Dekomposisi Ketimpangan menurut Karakteristik Sosial dan Ekonomi di Indonesia, 1996-1999 1996 Kelompok
Indeks
Gender
Pendidikan
Pekerjaan
1999
Total
Dalam kelompok
GE(-1)
0,23
0,23
100,00
0,00
0,00
0,25
0,25
100,00
0,00
0,00
GE(0)
0,22
0,22
100,00
0,00
0,00
0,24
0,24
100,00
0,00
0,00
GE(1)
0,26
0,26
100,00
0,00
0,00
0,28
0,28
100,00
0,00
0,00
A(0.5)
0,11
0,11
100,00
0,00
0,00
0,12
0,12
100,00
0,00
0,00
A(1)
0,20
0,20
100,00
0,00
0,00
0,21
0,21
100,00
0,00
0,00
A(2)
0,32
0,32
100,00
0,00
0,00
0,33
0,33
100,00
0,00
0,00
GE(-1)
0,24
0,18
75,00
0,06
25,00
0,25
0,20
80,00
0,05
20,00
GE(0)
0,22
0,16
72,70
0,06
27,30
0,24
0,19
79,20
0,05
20,80
GE(1)
0,27
0,20
74,10
0,07
25,90
0,29
0,23
79,30
0,06
20,70
A(0.5)
0,12
0,09
75,00
0,03
25,00
0,12
0,10
83,30
0,02
16,70
A(1)
0,21
0,16
76,20
0,05
23,80
0,22
0,18
81,80
0,04
18,20
A(2)
0,33
0,26
78,80
0,07
21,20
0,36
0,29
80,60
0,07
19,40
GE(-1)
0,23
0,17
73,90
0,06
26,10
0,25
0,20
80,00
0,05
20,00
GE(0)
0,22
0,16
72,70
0,06
27,30
0,23
0,18
78,30
0,05
21,70
GE(1)
0,26
0,20
76,90
0,06
23,10
0,29
0,23
79,30
0,06
20,70
A(0.5)
0,11
0,09
81,80
0,02
18,20
0,12
0,10
83,30
0,02
16,70
%
Antar Kelompok
II40 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
%
Total
Dalam kelompok
%
Antar Kelompok
%
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sektor ekonomi
A(1)
0,20
0,16
80,00
0,04
20,00
0,22
0,18
81,80
0,04
18,20
A(2)
0,32
0,26
81,30
0,06
18,80
0,35
0,29
82,90
0,06
17,10
GE(-1)
0,23
0,18
78,30
0,05
21,70
0,24
0,20
83,30
0,04
16,70
GE(0)
0,22
0,17
77,30
0,05
22,70
0,23
0,19
82,60
0,04
17,40
GE(1)
0,27
0,22
81,50
0,05
18,50
0,28
0,24
85,70
0,04
14,30
A(0.5)
0,11
0,09
81,80
0,02
18,20
0,12
0,10
83,30
0,02
16,70
A(1)
0,20
0,17
85,00
0,03
15,00
0,21
0,18
85,70
0,03
14,30
A(2)
0,32
0,27
84,40
0,05
15,60
0,34
0,29
85,30
0,05
14,70
Keterangan: GE(a) = kelas menurut Generalized Entropy, untuk a = -1, 0, 1, 2. A(e) = kelas menurut Atkinson, untuk e = 0,5, 1, 2. Sumber: Alisjahbana, et.al. (2003).
Gambar 2.20.
Pengaruh Sumber Pendapatan terhadap Ketimpangan Wilayah di Indonesia, 1996
II41 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.21. Pertumbuhan Lapangan Kerja di Indonesia, 1960-2005 ê
1 00 0 00 ,0 0ê ê
Lapangan Kerja (X1000)
ê
ê
ê
8 00 0 0,0 0
ê ê
ê
ê
ê
6 00 0 0,0 0ê ê
ê
ê
ê
4 00 0 0,0 0ê ê
ê
ê
ê
ê
ê
1 96 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 97 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 98 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 99 0
ê
ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0
Tahun
Gambar 2.22. Reit Pertumbuhan Tahunan GDP, “Capital Stock”, Lapangan Pekerjaan, dan Lama Bersekolah di Indonesia, 1960-2005 % reit pertumbuhan tahunan GDP
15
% reit pertumbuhan tahunan capital stock % reit pertumbuhan tahunan lapangan kerja
10
% reit pertumbuhan tahunan lama sekolah (x 0,11) 5
0
-5
-10
-15 08 20
05 20
II42 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
02 20
99 19
96 19
93 19
90 19
87 19
84 19
81 19
78 19
75 19
72 19
69 19
66 19
63 19
60 19
Tahun
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sejalan dengan penguatan industrialisme, reit pertumbuhan tahunan
capital stock menunjukkan peningkatan (Gambar 2.22). Peningkatan reit semakin dipacu oleh kebijakan-kebijakan deregulasi. Sayang tenaga pertumbuhan
capital stock melemah pada awal 1990-an. Selain itu, sejak awal 1980-an industrialisme tidak didukung oleh peningkatan reit pertumbuhan tahunan lapangan kerja, bahkan sejak awal 1990-an reit tersebut menurun. Krisis moneter telah menurunkan capital stock secara drastis, namun reit pertumbuhan lapangan pekerjaan justru relatif stabil. Sayangnya ketika capital
stock mulai pulih sejak awal 2000-an, justru reit pertumbuhan lapangan pekerjaan mulai menuju pola flat dan cenderung menurun.
Sumbangan pendapatan buruh terhadap GDP
Gambar 2.23. Sumbangan Pendapatan Buruh terhadap GDP Indonesia, 19712005
ê
ê
0 ,50
ê
ê
ê
ê
ê
0 ,40
ê
ê
ê
ê
ê
0 ,30
ê
ê
ê
ê
1 96 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 97 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 98 0
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
1 99 0
ê
ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0
Tahun
Dominasi pendapatan buruh terhadap GDP sudah pernah terjadi berkali-kali sebelum pergeseran struktur perekonomian dari pertanian ke industri terjadi sekitar tahun 1990 (Gambar 2.23). Peningkatan sumbangan buruh sejalan dengan peningkatan reit pertumbuhan GDP di satu pihak, dan reit pertumbuhan
capital stock di lain pihak. Segera setelah krisis moneter –yang diikuti oleh II43 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pemecatan
secara
besar-besaran—sumbangan
pendapatan
buruh
hampir
mendekati titik nadir. Peningkatan capital stock akhir-akhir ini telah meningkatkan kembali sumbangan buruh terhadap GDP. Perkembangan sumbangan buruh ini menunjukkan arah industrialisme di Indonesia, yang cenderung menunjukkan peningkatan, namun diselingi deindustrialisasi pada waktu-waktu tertentu. Rata-rata upah industri tidak tergantung dari posisi perusahaan di Jawa atau luar Jawa, melainkan upah cenderung lebih besar pada klaster industri (Amiti dan Cameron, 2004). Akses ke pasar merupakan pembentuk komponen upah terbesar, mencapai 26,6 persen, diikuti keberadaan supplier sebesar 21,8 persen, dan akhirnya ketersediaan tenaga kerja sebesar 11,9 persen. Akses suplai sangat penting untuk industri sepanjang tahun. Adapun akses pasar menunjukkan kecenderungan semakin penting bagi industri –dan dengan demikian menurunkan pentingnya lokalitas industri. Perusahaan-perusahaan yang memiliki akses suplai dan pasar yang bagus dapat memberikan upah 20 persen lebih tinggi daripada perusahaan
lain
yang
memiliki
akses
buruk.
Sayangnya
temuan
ini
mengimplikasikan kembali pentingnya Jakarta, yang memiliki jaringan akses dan pasar lebih bagus di dalam dan ke luar negeri. Kencenderungan lain yang perlu diperhatikan ialah pergeseran ke arah permintaan tenaga trampil dibandingkan tenaga tidak trampil, terutama di wilayah yang lebih maju (Bhattacharya, 2007). Untuk Indonesia, misalnya, indikasinya sudah muncul sejak 1980-an ketika reit pertumbuhan lapangan kerja cenderung mendatar. Teknologi mengandung bias dalam meningkatkan permintaan akan tenaga trampil. Pergeseran permintaan ini menjadi sumber ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antara ekonomi industri dan pertanian. Konsekuensi berikutnya, kesenjangan upah antara kerja formal dan informal cenderung meningkat (Bhattacharya, 2007). Perubahan upah pada sektor formal hanya memiliki sedikit efek pada perkembangan kesenjangan ini atau pada proporsi terhadap keseluruhan perekonomian perkotaan. Perubahan teknologi yang bias terhadap tenaga kerja trampil hanya memiliki efek kecil pada upah di pedesaan, namun perkembangan ini telah menurunkan upah pada sektor informal. Selanjutnya hal ini telah meningkatkan kontribusi upah sektor formal sambil mengurangi efek migrasi. II44 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Arah perubahan angka indeks Gini yang meningkat lalu menurun berkalikali, sebagian tergantung pada tingkat krusial kesenjangan antara upah formal dan informal. Ketimpangan ini dipengaruhi oleh tingkat efisiensi, kekuasaan, kebijakan pemerintah, tekanan serikat buruh, bias teknologi, dan sebagainya. Dalam hal ini, ekspansi migran ke sektor informal juga memegang peranan penting dalam menurunkan ketimpangan tersebut. Kaitan antara pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan penanggulangan kemiskinan menguat sejak Presiden Soeharto menyampaikannya dalam pidato kenegaraan di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bulan Agustus 1992 (Asra, 2000). Selama tahun 1969-1997 pendapatan per kapita meningkat empat kali lipat. Bersamaan dengan itu angka kemiskinan absolut menurun, dari 54,2 juta jiwa (40,1 persen) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta jiwa (11,3 persen) pada tahun 1996 (Gambar 2.24). Gambar 2.24. Hubungan Kemiskinan, Indeks Gini dan Pendapatan per Kapita di Indonesia, 1960-2001
Berdasarkan data statistik kemiskinan (Tabel 2.10), terlihat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan (Gambar 2.25). Kenyataan ini menjelaskan penurunan ketimpangan saat pembangunan diarahkan ke wilayah pedesaan. Peningkatan jumlah penduduk II45 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
miskin tertinggi (baik pedesaan maupun perkotaan) selama periode tahun 19762007, terjadi pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis moneter setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto. Tabel 2.10. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 1976-2007 No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996* 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Penduduk Miskin Pedesaan Juta Jiwa % 44,2 40,4 38,9 33,4 32,8 28,4 31,3 26,5 25,7 21,6 20,3 17,4 17,8 15,1 17,2 13,7 24,59 19,78 31,9 25,72 32,33 26,03 26,4 22,38 29,3 24,84 25,1 21,1 25,1 20,23 24,8 20,11 22,7 19,98 24,81 21,81 23,61 20,37
Perkotaan Juta Jiwa % 10 38,8 8,3 30,8 9,5 29 9,3 28,1 9,3 23,1 9,7 20,1 9,4 16,8 8,7 13,4 9,42 13,39 17,6 21,92 15,64 19,41 12,3 14,60 8,6 9,76 13,3 14,46 12,2 13,57 11,4 12,13 12,4 11,68 14,49 13,47 13,56 12,52
Perkotaan + Pedesaan Juta Jiwa % 54,2 40,1 47,2 33,3 42,3 28,6 40,6 26,9 35 21,6 30 17,4 27,2 15,1 25,9 13,7 34,01 17,47 49,50 24,23 47,97 23,43 38,7 19,14 37,9 18,41 38,4 18,2 37,3 17,42 36,1 16,66 35,1 15,97 39,3 17,75 37,17 16,58
* = Mulai dilakukan perubahan dalam metode penghitungan.
Gambar 2.25. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, 1976-2007 Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
60
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa) Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
50
40
30
20
10
0
II46 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
08 20
06 20
04 20
02 20
8
00 20
6
4
2
0
9 19
9 19
9 19
9 19
8
6
9 19
8 19
4
2
8 19
8 19
0
8 19
8
6
8 19
7 19
7 19
Tahun
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Hal yang serupa juga terlihat jelas jika dibandingkan berdasarkan persentase penduduk miskin antara pedesaan dan perkotaan. Penduduk miskin di Indonesia sebagian besar berada di pedesaan. Pada tahun 1980, 1981, 1984, 1987 dan 1990 (lihat kembali Tabel 2.7) persentase penduduk miskin di perkotaan lebih besar (selisihnya antara satu sampai tiga persen) daripada persentase penduduk miskin di pedesaan. Hal disebabkan migrasi penduduk miskin pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di perkotaan. Akan dari tahun 1993-2007 persentase penduduk miskin lebih besar di pedesaan dari pada di perkotaan (lihat Gambar 2.26). Gambar 2.26. Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1976-2007 % orang miskin kota % orang miskin desa % orang miskin total 40
30
20
10
08 20
06 20
02 20
04 20
00 20
98 19
96 19
94 19
92 19
90 19
88 19
84 19
86 19
82 19
80 19
78 19
76 19
Tahun
2.3.7. Ketimpangan Pendidikan Sebelum membahas lebih lanjut ketimpangan dalam bidang sosial, perlu disampaikan
ketimpangan
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM/Human
Development Index=HDI). Ketimpangan IM dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan (Gambar 2.27). Berlainan dari dominasi Jawa dalam pertumbuhan II47 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ekonomi, ternyata IPM yang tinggi lebih banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Daerah yang masih relatif tertinggal berada di Nusa Tenggara dan Papua. Gambar 2.27. Sebaran Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, 2005
Sumber: Departemen Kesehatan (2008) Dalam bidang pendidikan, lama bersekolah formal telah meningkat dengan pesat, terutama sejak dekade 1980-an (Gambar 2.28). kondisi yang relatif tetap pada tingkat tinggi juga berlangsung dalam peningkatan angka melek huruf (Gambar 2.29). Perbedaan dalam tingkat pendidikan (jika diukur dengan lama bersekolah) menyumbang hingga 23 persen terhadap ketimpangan di Indonesia (Alisjahbana,
et. al., 2003). Ketimpangan pendidikan semakin nyata di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Kontribusi tingkat pendidikan terhadap ketimpangan di perkotaan mencapai 29 persen, sementara di pedesaan pada tingkat 24 persen (Tabel 2.11). Dengan membangun prasarana pendidikan SD untuk 1.000 murid, rata-rata tahun sekolah tahunan meningkat antara 0,12 sampai dengan 0,19 tahun (Islam, 2003). Jika lulusan sekolah ini bekerja, maka akan meningkatkan pendapatan mereka 1,5 sampai dengan 2,7 persen.
II48 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.28. Perkembangan Lama Bersekolah per Orang di Indonesia, 19602005 ê
6 ,0
ê ê
Tahun Bers ekolah per orang
ê ê ê
5 ,0
ê ê ê
ê ê
4 ,0
ê ê ê ê ê
3 ,0
ê ê ê ê ê
2 ,0
ê ê ê ê ê
ê
ê
1 96 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 97 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 98 0
ê
ê
ê
ê
ê
1 99 0
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0
Tahun Gambar 2.29. Persentase Penduduk Melek Huruf di Indonesia, 2006
Sumber: Departemen Kesehatan (2008)
II49 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 2.11. Faktor Penyumbang Ketimpangan Wilayah di Indonesia, 1997 Faktor Kependudukan Pendidikan Pengalaman Faktor kependudukan lain Pemilikan aset Lokasi Perkotaan-pedesaan Provinsi Total
Pendapatan per kapita Total Perkotaan Pedesaan 47,55 58,98 47,06 26,28 27,58 29,86 2,62 3,57 2,34 18,65 27,84 14,87 37,45 37,41 47,33 15,03 3,61 5,64 9,93 5,10 3,61 5,64 100,00 100,00 100,00
Sumber: Alisjahbana, et.al. (2003)
Pengeluaran per kapita Total Perkotaan Pedesaan 42,99 53,01 43,42 23,45 29,43 23,94 0,10 -0,14 0,23 19,44 23,72 19,25 35,21 33,13 44,58 21,80 13,86 11,91 8,44 13,36 13,86 11,98 100,00 100,00 100,00
2.3.8. Ketimpangan Kesehatan Di samping mengandung komponen pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia juga mengandung komponen kesehatan. Angka harapan hidup pada tahun 2007 sebesar 69,09, tahun dan diperkirakan terus meningkat menjadi 70,45 tahun pada tahun 2012. Dengan memakai patokan angka harapan hidup 60 tahun, ternyata di semua provinsi tingkat ini sudah tercapai (Gambar 2.30). Provinsi Nusa Tenggara Barat masih berada dalam batas angka patokan ini, diikuti Provinsi Kalimantan Selatan dan Banten. Angka harapan hidup tersebut relatif sejalan dengan angka reit kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR). IMR yang sangat tinggi (di atas 40) masih dialami di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2.31). Beberapa provinsi belum mencapai IMR yang diharapkan (pada angka 30), yaitu NAD, Banten, NTT, Kalsel, Gorontalo, Sulteng, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Selebuhnya sudah mencapai tingkat IMR yang diharapkan (di bawah 30). Untuk menguatkan angka Indeks Pembangunan Manusia, pernah diusulkan dengan memperhatikan angka Reit Fertilitas Total (Total Fertility Reit/TFR). Lazimnya nilai TFR sejalan dengan nilai IPM (atau sebelumnya berupa Indeks Mutu Hidup/IMH (Sajogyo, 2006)). Struktur kependudukan Indonesia di masa depan kiranya masih terus berkembang dengan umur muda dominan (Gambar 2.32). Hanya sedikit provinsi yang cenderung akan menghadapi piramida II50 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
IMR 2007 Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Angka Harapan Hidup 2006
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penduduk yang semakin menua. Suatu revolusi kependudukan untuk menuju TFR
bernilai 1 tampaknya masih sulit terwujud.
Gambar 2.30. Angka Harapan Hidup tiap Provinsi di Indonesia, 2007 7 5,0
5 0,0
2 5,0
0 ,0 ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê
êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê
Provinsi
Gambar 2.31. Reit Kematian Bayi tiap Provinsi di Indonesia, 2007
ê
4 0,0 0
3 0,0 0
2 0,0 0
1 0,0 0 ê ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê ê
Provinsi
II51 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.32. Reit Fertilitas Total tiap Provinsi di Indonesia, 2007 ê ê ê ê
2 ,50
ê ê ê ê ê
2 ,00
ê
TFR 2007
ê ê ê ê
1 ,50
ê ê ê ê ê
1 ,00
ê ê ê ê ê
0 ,50
ê ê ê ê ê
Bali Banten Bengkulu DI Yog yakarta DKI Jaka rta Gorontalo Ja mbi Ja wa Barat Ja wa Tengah Ja wa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau Lampung Maluku Maluku Utara Nanggroe Aceh Darussalam Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara
êê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê êêê êê êêê êêê
Provinsi
Isu ketimpangan dalam bidang kesehatan meliputi ketimpangan dalam tingkat kematian bayi dan anak, di mana wilayah yang lebih mengota memiliki angka kematian anak dan bayi yang lebih rendah daripada wilayah yang lebih ke pedesaan. Hal ini berkaitan dengan akses yang lebih mudah bagi masyarakat perkotaan. Faktor resiko tingkat kematian bayi dan anak meliputi kesulitan akses prasarana air bersih, persampahan, dan sanitasi (Adair, 2004). Kemudahan dan efektivitas prasarana ini mampu menurunkan tingkat kematian bayi dan anak. Pengembangan klinik untuk ibu dan anak mampu menurunkan resiko hingga 15 persen. Menggunakan tenaga kesehatan yang terlatih juga mampu menurunkan resiko kematian tersebut. Faktor lainnya ialah ketimpangan sosial-ekonomi, terutama perbedaan tingkat pendidikan. Tingkat kematian bayi di wilayah urban, apalagi di pusat perkotaan, jauh lebih rendah daripada di wilayah pinggiran.
II52 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2.3.9. Ketimpangan Budaya Sejarah suku bangsa di Indonesia melintasi pengentalan identitas semasa kolonial. Melalui perumusan hukum adat, maka suku bangsa didefinisikan secara obyektif, baik menurut perbedaan tempat tinggal, bahasa, adat, sistem ekonomi, sosial dan politik, dan sebagainya (Nordholt dan Klinken, 2007). Penjajah menguatkan identitas kesukuan dalam rangka mempermudah adu domba antar suku. Identitas obyek suku tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Dalam sensus penduduk maupun sensus wilayah, kesukuan turut ditanyakan, dan dapat dijawab secara definitif. Hal ini menunjukkan obyektifikasi suku bangsa masih menjadi hal penting. Sebagai perbandingan, suku bangsa Indonesia sebetulnya bisa jadi sangat cair. Suku terbangun dari perkawinan dengan suku lain, bahkan antar ras. Informasi yang diperoleh dari migrasi purba masyarakat Indonesia menunjukkan perkawinan antar suku dan ras. Ketika halangan transportasi, komunikasi, sosial, ekonomi dan budaya menghilang, mungkin saja perkawinan antar budaya semakin meningkat, sehingga obyektivikasi kesukuan memudar. Akan tetapi hal tersebut belum berlangsung di Indonesia. Ketimpangan antar suku tidak dipecahkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto (Islam, 2003; Nordholt dan Klinken, 2007). Hal ini ditunjukkan oleh konflik berbasis budaya yang segera mencuat setelah Presiden Soeharto mundur. Di Indonesia suku bangsa yang dominan (berjumlah jauh lebih banyak daripada suku bangsa lain) hanya sekitar sepuluh buah, di antaranya Batak, Melayu, Minang, Jawa, Sunda, Bali, Makassar, Bugis, Cina (Suryadinata, Arifin, Ananta, 2003) (Lampiran 6: Data-data Budaya Indonesia Tahun 2000). Wilayah yang didiami secara mayoritas oleh suku bangsa dominan ternyata tidaklah luas, dan cenderung di wilayah Barat Indonesia (Gambar 2.33). Berlainan dari itu, hampir seluruh wilayah di Indonesia didiami oleh mayoritas penganut agama yang sama. Perkecualian muncul di Maluku, di mana proporsi penganut agama Islam dan Kristen setara –dan konflik agama berkepanjang muncul di sana (Gambar 2.34).
II53 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 2.33. Lokasi Etnis Dominan di Indonesia, 2003
Gambar 2.34. Lokasi Agama Dominan di Indonesia, 2005
Ketimpangan pendidikan SD pada tingkat suku bangsa menunjukkan, bahwa suku Jawa dan Melayu memiliki reit tertinggi pada tahun 2004 (Suryadarma, et.al., 2006). Sebaliknya suku Bugis dan Cina memiliki reit yang lebih rendah sedikit. Etnis Cina mengalami penurunan reit bersekolah, sementara Bugis mengalami peningkatan. Pada tingkat SLTP, persentase tertinggi dipegang suku Jawa dan Cina (Tabel 2.12). Secara umum suku Melayu, Jawa dan Bugis memiliki rata-rata tahun sekolah yang mirip, namun lebih rendah daripada etnis Cina (3,1 tahun lebih tinggi dari Bugis dan 2,7 tahun lebih tinggi dari Melayu). II54 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 2.12. Ketimpangan Budaya Indonesia, 2004 Pembanding % Pendidikan SD 2004 % Pendidikan SLTP 2004 % Pendidikan SLTA 2004 Rasio Gini pendapatan 2004 Rasio Gini pengeluaran 2004 Rasio pendapatan per populasi 2004 Rasio pengeluaran per populasi 2004
Melayu 93,1 64,2 43,2 0,36 0,30 1,08 1,15
Jawa 93,6 70,4 47,3 0,43 0,35 0,97 0,96
Bugis 91,3 60,6 40,3 0,41 0,34 1,22 1,21
Cina 91,7 71,1 61,3 0,37 0,35 2,72 3,03
Dalam aspek kesehatan etnis Cina memiliki tingkat kematian yang lebih rendah daripada etnis lainnya. Adapun reit kematian tertinggi dialami oleh etnis Jawa. Dari segi ketimpangan pendapatan, suku Melayu memiliki ketimpangan terendah sedangkan suku Jawa memiliki ketimpangan tertinggi. Ketimpangan tersebut meningkat pada suku Jawa, Melayu dan Cina, namun relatif menurun pada suku Bugis. 2.4.
Kebutuhan Kebijakan Pemerintah Pembangunan
wilayah,
dan
di
dalamnya
terdapat
aspek
penting
pengurangan ketimpangan wilayah, membutuhkan kebijakan-kebijakan yang tepat dari pemerintah. Hubungan yang terjadi di dalam satu wilayah tidak sekedar berupa
hubungan
produksi,
konsumsi
dan
distribusi,
melainkan
turut
menggunakan kaidah-kaidah hubungan kelembagaan. Pada titik inilah kebijakan pemerintah berperan penting untuk menjaga agar ketimpangan wilayah tidak terjadi atau terjadi dalam level yang rendah. Dalam konteks ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia saat ini, peran pemerintah menjadi sangat penting. Sebagian besar pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi pada banyak daerah juga tergantung kepada pengeluaran yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut. Untuk pemecahan beragam masalah di atas juga selalu berkaitan dengan peran pemerintah. Tidak salah untuk menyatakan bahwa pemerintah memiliki peran penting untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah.
II55 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sementara itu globalisasi –terutama dalam bentuk pasar global— memberikan efek menurunnya pengaruh struktur negara dalam perekonomian. Semakin terkait perekonomian suatu negara dengan pasar global, maka peluang untuk meningkatkan perekonomian nasional turut meningkat, atau sebaliknya dapat turut jatuh seiring dengan resesi dunia. Bersamaan dengan pasar global, muncul pula desakan untuk liberalisasi pemerintahan (McMichael, 2003), sehingga mengaburkan batas-batas negara. Kebijakan pengurangan ketimpangan daerah semakin penting untuk Indonesia, karena dengan wilayah yang begitu luas maka kebijakan pembangunan wilayah dapat memberikan hasil yang berbeda sesuai dengan perbedaan wilayah yang ada. Hal ini telah dicontohkan dari perbedaan respons wilayah Jawa dan Luar Jawa terhadap krisis moneter (Hill, 2000). Subsidi terhadap industri yang hampir seluruhnya berada di Jawa akhirnya memusatkan subsidi justru pada wilayah yang memiliki output ekonomi tertinggi. Sebetulnya hingga akhir masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda telah berupaya mengurangi ketimpangan antar wilayah di Indonesia. Kebijakan fiskal yang dijalankan bahkan lebih terstruktur untuk mengatasi ketimpangan wilayah, jika dibandingkan koloni lainnya di Asia (Booth, 1988). Akan tetapi upaya pemerintah
Hindia
Belanda
tidak
mencukupi
untuk
mendapatkan
hasil
pangurangan ketimpangan wilayah. Sejarah semacam itu masih berlanjut, hingga pada akhir dekade 1990-an kebijakan pemerintah justru tidak menunjang upaya pengurangan ketimpangan wilayah
(Barro,
2005a,
2005b).
Perilaku
korupsi
menurunkan
efektivitas
pembangunan wilayah. Lebih jauh lagi, dibutuhkan evaluasi yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah lainnya yang tidak ditujukan untuk pembangunan wilayah, namun tetap memiliki efek meningkatkan ketimpangan wilayah. Pajak dan pungutan kendaraan bermotor, misalnya, menurunkan laju perpindahan kendaraan antar wilayah (The Asia Foundation, 2008). Ketidakmerataan sambungan telepon juga menghalangi integrasi ekonomi dan modal sosial warganegara Indonesia. Adapun swasta lebih tertuju kepada wilayah-wilayah yang memiliki nilai elastisitas ekonomi yang tinggi (Barro, 2005a, 2005b). Wilayah-wilayah ini II56 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
terdapat di perkotaan, lebih terpusat di Jawa. Elastisitas yang tinggi menunjukkan wilayah tersebut lebih cocok untuk dijadikan lokasi investasi. Akan tetapi tingkat elastisitas tersebut didorong oleh infrastruktur yang terlebih dahulu lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa pelengkapan infrastruktur di wilayah lain berpeluang meningkatkan elastisitas ekonomi wilayah pula. Dengan kata lain, swasta yang hanya tumbuh di wilayah berelastisitas tinggi tidak menyumbang banyak bagi pengurangan ketimpangan wilayah. Kaidah untuk menentukan manakah yang lebih berperan antara pemerintah dan swasta (pasar) dapat disajikan sebagai berikut: 1. Perhatian diarahkan kepada faktor pergerakan yang melintasi wilayah. Jika faktor tidak bergerak secara bebas antar wilayah sebagai akibat dari regulasi atau transportasi dan komunikasi yang tidak mencukupi, hal ini menunjukkan pasar tidak berfungsi dengan baik. Ketimpangan pendapatan dengan demikian merupakan akibat dari pasar yang tersegmentasi, bukan akibat dari mekanisme pasar. 2. Perhatian terhadap kebijakan pemerintah. Jika buruh dan modal bergerak secara bebas lintas wilayah
dan pendapatan wilayah melebar, hal ini
mungkin akibat dari kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar. Jika pemerintah tidak mengimplementasikan kebijakan pembangunan wilayah, maka ketimpangan wilayah merupakan akibat dari mekanisme pasar. 3. Perhatian diarahkan kepada kebijakan yang berpotensi meningkatkan ketimpangan
wilayah.
Jika
kebijakan
diarahkan
untuk
melawan
ketimpangan wilayah, namun ketimpangan tersebut masih muncul, berarti mekanisme pasar yang menyebabkan ketimpangan tersebut, jauh melebihi kemampuan pemerintah. Jika kebijakan tidak diarahkan secara khusus bagi pengurangan ketimpangan wilayah, maka penyebabnya bisa akibat dari kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar. Peran swasta sudah tergolong tinggi dalam penyediaan sarana kesehatan dan pendidikan, terutama di wilayah perkotaan. Namun demikian biaya untuk mengakses sarana ini tergolong mahal, sehingga sulit dijangkau oleh lapisan masyarakat bawah. Pengeluaran untuk kesehatan berada di luar kemampuan
II57 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penduduk untuk menanggungnya, dan jumlahnya mencapai sekitar 72 persen dari total pengeluaran untuk kesehatan.
II58 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
3 Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
3.1.
Konteks Kebijakan Kebijakan pembangunan tidak dilaksanakan di atas “kertas kosong”,
melainkan dimasukkan ke dalam konteks kesejarahan lokal yang sudah sudah terlebih dahulu ada (Agusta dan Tetiani, 2001). Dapat diibaratkan bahwa konteks kebijakan menjadi semacam “panggung” tempat kebijakan dan program pembangunan
“beraksi”.
Pada
beberapa
aspek
memang
konteks
dapat
dipengaruhi, namun secara keseluruhan justru konteks itulah yang mempengaruhi jalannya pembangunan. Dengan adanya konteks sebagai variabel antara, maka suatu kebijakan yang berhasil di suatu wilayah tertentu belum tentu mendapatkan hasil serupa di wilayah lainnya (World Bank, 2009). Dalam upaya merumuskan kebijakan pembangunan wilayah, konteks menjadi semakin bermakna. Pembangunan wilayah memiliki ciri lokalitas yang kuat sejak dari perumusan masalah, pengembangan alternatif pemecahan, konstruksi teoretis, hingga pengambilan kebijakan (Higgins dan Savoie, 2005). Konsekuensinya penerapan teori ilmu pembangunan wilayah perlu seksama, terutama untuk menyesuaikan dengan sejarah lokal yang sudah lebih dahulu tumbuh. Tidak ada teori yang dinyatakan benar atau salah, melainkan perumusan kebijakan diarahkan untuk mencari peluang-peluang kesesuaian teori dengan
III1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
praktek. Jika teori tersebut tidak sepenuh cocok, maka mungkin digabung dengan teori lain, atau sama sekali tidak digunakan. Oleh karena itu pengetahuan akan konteks kebijakan sangat penting, karena konteks menjadi struktur terdalam yang mempengaruhi dampak dari suatu kebijakan pengurangan ketimpangan wilayah. Ada baiknya memperlakukan konteks kebijakan seperti halnya aksioma pembangunan. Dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk menihilkan kekuatan kebijakan dalam mengubah konteks itu sendiri –misalnya mengubah konteks yang dipandang merugikan—namun disadari bahwa pengubahan suatu konteks pembangunan membutuhkan kekuatan kebijakan yang sangat besar. Sikap yang bisa dibangun terhadap temuan-temuan konteks kebijakan dapat berupa menjadikannya peluang untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan
wilayah,
atau
dilihat sebagai
tantangan yang
mendorong
peningkatan ketimpangan pembangunan wilayah. Pembangunan hampir selalu ibarat mengisi separuh gelas dengan air, apakah akan dipandang sebagai gelas setengah isi atau justru setengah kosong (Chambers, 1987). Perumusan tantangan dan peluang inilah yang dibangun pada bab ini. Konteks
untuk
merumuskan
kebijakan
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah berada pada lingkup global hingga nasional (Tabel 3.1). Konteks global mencakup kecenderungan ketimpangan global sejak beratus tahun lampau hingga masa kini. Konteks lainnya ialah pengembangan narasi besar berupa tema-tema pembangunan yang digunakan donor untuk memusatkan perhatian
pada
aspek
pembangunan
tertentu.
Akhir-akhir
ini
aspek
pengembangan wilayah –yang dinamai pula sebagai geografi ekonomi— menempati posisi utama di kalangan lembaga donor penting bagi Indonesia, yaitu World Bank (2009) dan Asian Development Bank (2007). Dapat diperkirakan bahwa tema tersebut masih akan bertahan selama beberapa waktu ke depan – sebagaimana
biasanya
program
donor
dimulai
dari
penerbitan
laporan
pembangunan bertema khusus. Adapun konteks nasional dimulai dari aspek kesejarahan. Pengalaman sebagai negara yang terjajah memiliki konsekuensi mendalam terhadap pola
III2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Tabel 3.1. Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Konteks Ketimpangan global
Diskursus donor untuk pembangunan nasional
Wilayah pasca kolonial
Wilayah luas dan kepulauan
Materi Konteks Dampak jangka panjang dari Revolusi Industri atau kapitalisme global Ketimpangan antar-negara dan di-dalam-negara Globalisasi pasar Perusahaan multinasional dan post fordisme Kerusakan dan pencemaran lingkungan Tema bantuan sebagai pengikat pembangunan lebih ditentukan oleh donor terbesar di dunia Pembangunan wilayah perlu dikaitkan dengan penguatan sektor produksi, infrastruktur dan bantuan sosial Hubungan dengan bekas penjajah Dampak perang kemerdekaan dan penyatuan bangsa Integrasi wilayah bekas penjajahan Keragaman dimensi ketimpangan wilayah Ketersebaran wilayah Keterpencilan wilayah
Level Global
Global, internasion al
Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah Kualitas pemerintah (tidak korup) Demokrasi dan lokasi negara disekitar negara lain yang konvergen berguna untuk mempertahankan konvergensi wilayah
Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah Penguatan ketimpangan wilayah internasional berabad-abad Pemerintah korup cenderung mengurangi dana pendidikan
Alam (2006); Foldvari (Tt); Milanovic, Lindert dan Williamson (2008)
Tidak ada hubungan langsung donasi dan pengurangan ketimpangan wilayah Deregulasi ekonomi menghadapi krisis moneter yang diusulkan donor menambah ketimpangan Kelembagaan yang korup menjadikan bantuan luar negeri justru meningkatkan ketimpangan Internasional, Sentimen kesatuan/ integritas bangsa Ketimpangan Jawa-Luar Jawa nasional berbasis kesamaan sejarah Dualisme ekonomi yang Adopsi inovasi lebih murah dan cepat menguatkan lapisan atas namun menahan kemajuan lapisan bawah
Alisjahbana, et.al. (2003); Easterly dan Pfutze (2008); (Calderon, Chong, Gradstein, 2006).
Nasional, Regional
Dick-Read (2008); Direktorat Kewilayahan I (2007); Lombard
III3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Penyaluran lebih spesifik untuk jenis pemanfaat tertentu. Bantuan pada saat krisis ekonomi
Sumber Data
Sejarah perdagangan dan hubungan politik antar wilayah sejak pra kolonial menunjukkan laut sebagai prasarana transportasi penting
Pembangunan yang berorientasi kepada daratan memandang kepulauan sebagai sumber masalah
Dick (1988, 2002); Elson (1988); Zanden (2002, Tt)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Konteks
Pandangan statis terhadap suku, agama, ras, golongan
Krisis moneter
Otonomi daerah
Materi Konteks Laut sebagai penghubung antar pulau Kesatuan antar pulau telah terjadi sejak pra kolonial Penguatan identitas dan sentimen berbasis budaya Pengeratan kaitan identitas suku, agama, ras dan golongan dengan wilayah Krisis moneter menurunkan pembangunan ekonomi dan pendapatan Krisis moneter menurunkan ketimpangan wilayah, namun meningkatkan ketimpangan di antara kelompok miskin Krisis moneter menurunkan kekuatan pemerintah di hadapan rakyat dan swasta Big bang autonomy Inward looking dalam wilayah Kebutuhan data lokal lebih detil dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan infrastruktur
2008
Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah Perahu asli Indonesia telah mampu mengitari Indonesia sejak pra kolonial
Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah
Nasional, Regional
Penguatan nasionalisme imajiner (kesatuan tanah air, bahasa, dan bangsa dalam Sumpah Pemuda) Wilayah lebih maju dihuni oleh beragam suku, agama, ras, dan golongan
Gouda (2007); Haar (1983); Hidayah (1997); Nordholt dan Klinken (2008)
Nasional, Regional
Pengurangan pendapatan/ pengeluaran buruh di perkotaan menurunkan ketimpangan antar wilayah Program penanggulangan kemiskinan dan jaring pengaman sosial
Penguatan lembaga adat dan hukum adat Konflik berbasis suku, agama, ras, golongan Pembatasan politis dan ekonomis berbasis suku, agama, ras, golongan Deregulasi ekonomi menguatkan lapisan tertinggi di Indonesia pasca krisis Upaya menggerakkan perekonomian kembali kemungkinan besar meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah
Nasional, Regional
Mempermudah akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan karena peningkatan jumlah prasarana dan sarana terbangun, serta semakin dekat jaraknya dengan warganegara. Departemen kesehatan di tingkat pusat beralih peran dari penentu pelaksanaan kebijakan menjadi pengawas
Kapasitas teknis aparat Pemda untuk mengelola fasilitas kesehatan tergolong lemah Orientasi ke dalam wilayah otonom sendiri, bukan bekerjasama dengan wilayah lain
Adair (2004); Mubyarto (2005); Nordholt dan Klinken (2008); Tadjoeddin (2007); The (1993); Wignyosoebroto (2004)
Level
III4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sumber Data (1995)
Hill (2006); Said dan Widyanti (2001)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Konteks
Materi Konteks
Level
III5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah Bagain terbesar dana pembangunan kesehatan dialirkan melalui DAU, padahal Pemda tidak selalu memprioritas pembangunan kesahatan di daerah
Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah
2008
Sumber Data
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ketimpangan pembangunan wilayah. Bagaimanapun penjajah telah memilih untuk mengembangkan wilayah tertentu dan membiarkan wilayah lainnya terbelakang. Warisan ketimpangan itulah yang diperoleh negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II. Konteks nasional lainnya bagi Indonesia berupa keluasan wilayah negara, sebagian besar berupa lautan, dengan belasan ribu pulau tersebar di dalamnya. Menurut cara pandang kontinental, konteks ini mengakibatkan wilayah Indonesia tersebar (Hill, 2006; World Bank, 2009). Akan tetapi kesejarahan bahari nusantara tidak memandang lautan sebagai masalah, melainkan perahu terbaik pada masanya mampu menghubungkan pulau-pulau di nusantara (Dick-Read, 2008; Lombard, 1995). Konteks lainnya berupa keragaman suku bangsa. Meskipun jumlah terbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar sepuluh buah, namun secara keseluruhan jumlah suku bangsa mencapai lebih dari 600 buah (Hidayah, 1997; Suryadinata, Arifin, Ananta, 2003). Sentimen suku seringkali digunakan dalam kompetisi antar warganegara, termasuk akhirnya menyulut konflik (Nordholt dan Klinken, 2007). Konteks masa kini bagi pembangunan wilayah di Indonesia berupa krisis moneter. Sebenarnya krisis moneter telah terjadi berkali-kali di Indonesia, dan hampir selalu diawali oleh peningkatan ketimpangan wilayah. Misalnya krisis terjadi selama dekade 1970-an, 1929 (dikenal sebagai malaise), krisis moneter dimulai tahun 1997, dan kini berpeluang mengalami efek resesi global. Konteks penting lain dalam pembangunan wilayah Indonesia ialah desentralisasi secara massif sejak tahun 2001. Perjalanan desentralisasi sendiri berlangsung amat panjang, setidak mulai tahun 1903, dan mengalami beragam versi. Pada versi masa kini, daerah otonom berdiri pada tingkat kabupaten dan desa. Kecepatan desentralisasi, diikuti pemekaran wilayah, sementara luas areal desentralisasi tergolong kecil (dibandingkan provinsi) menghasilkan masalah lanjutan berupa koordinasi pembangunan dan kerjasama antar wilayah. 3.2.
Ketimpangan Global Peningkatan ketimpangan antar negara telah berlangsung dalam jangka
waktu lama, yaitu sejak revolusi industri abad ke 19 (menurut paradigma III6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
modernisasi), atau sejak perkembangan kapitalisme global abad ke 17 (menurut paradigma ketergantungan) (Foldvari, Tt). Bersamaan dengan itu muncul pula ketimpangan wilayah di-dalam-negara yang bersangkutan. Perkembangan ini membutuhkan pemahaman lebih lanjut, apa sajakah faktor untuk memasuki atau keluar dari kelompok negara-negara yang merata atau konvergen. Revolusi industri memberikan efek difusi sehingga dapat melebar ke seluruh dunia. Dimulai dari Inggris pada akhir abad ke 18, kemudian menyebar ke Amerika Utara dan Eropa daratan pada abad ke 19. Sejak itu industrialisme menyebar ke Eropa Selatan dan Asia Timur, dan usai Perang Dunia II menyentuh wilayah Asia daratan. Pada level internasional saat ini telah dikenal wilayah yang maju di belahan bumi Utara Utara, yang timpang dari wilayah tertinggal di belahan Selatan (McMichael, 2004; Perrons, 2004). Indonesia sendiri tergolong ke dalam negara Selatan. Pemisahan formal antara negara miskin dari negara maju dimulai sejak dekade 1970-an, ketika negara-negara miskin menggabungkan diri dalam kelompok G-77 sedangkan negara kaya dalam kelompok G-7. Pengelompokan semacam ini masih dirasakan dalam perdebatan-perdebatan pada forum internasional, misalnya sidang WTO (World Trade Organization) dan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Perbedaan kepentingan di antara kedua kelompok negara dapat didasarkan pada perbedaan kepentingan produsen dan konsumen kemajuan teknis manusia. Suatu paradoks muncul, karena hampir seluruh penduduk tinggal di negara berpendapatan rendah (40,2%) –sebagaimana Indonesia—dan menengah sebesar 44,2% (terutama menengah bawah sebesar 38,9%). Akan tetapi ketimpangan wilayah justru terjadi antara negara-negara tersebut dengan negara terkaya saat ini (USA), yaitu mencapai 17,2 kali lipat pada negara berpendapatan rendah, dan 6,2 kali lipat pada negara berpendapatan menengah (Tabel 3.2).
III7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 3.2. Ketimpangan Wilayah Global menurut Pendapatan Per Kapita Tahun 2002 Pengukuran
LICs
MICs
LMICs
HMICs
HICs (minus USA)
HICs
Pendapatan per kapita 2.040 5.630 5.130 9.220 24.390 27.590 (US $ .000) Rasio dibandingkan USA 17,2 6,2 6,8 3,8 1,4 1,3 Penduduk 40,2 44,2 38,9 5,3 10,9 15,6 (% dari penduduk dunia) Keterangan: LICs= negara-negara berpendapatan rendah. MICs = negara-negara berpendapatan menengah, terdiri atas LMICs (negara-negara berpendapatan menengah ke bawah) dan HMICs (negara-negara berpendapatan menengah ke atas). HCIs = negara-negara berpendapatan tinggi. Sumber: Alam, 2006
Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah sebelum Revolusi Industri (periode 1750-1850)? Sebagaimana perdebatan tentang kapan awal ketimpangan global di atas, di sinipun masih muncul dua pendapat. Pada kelompok yang memandang ketimpangan dimulai pada masa Revolusi Industri, sebelum abad ke 19 dipandang tidak terdapat tanda-tanda ketimpangan wilayah lintas negara (Alam, 2006). Ketika digunakan beragam ukuran, mencakup produktivitas pertanian, upah riil, urbanisasi dan perdagangan, ternyata tidak muncul ketimpangan antara Eropa Barat dan belahan dunia lainnya pada awal Revolusi Industri. Sebaliknya pada masa itu wilayah China tergolong yang paling maju, dan hanya bisa ditandingi oleh Inggris yang saat itu menjadi negara termaju di Eropa. Jika menggunakan ukuran pendapatan per kapita, ketimpangan wilayah global muncul sejalan dengan penggunaan energi batu bara selama Revolusi Industri 1750-1850. Energi batu bara memungkinkan pertumbuhan dari yang sebelumnya terbatas pada energi tanaman pertanian. Temuan energi baru ini hanya berkembang di Barat. Temuan tersebut sekaligus digunakan untuk menguatkan ekonomi dan militer, sehingga negara-negara industri di Eropa meninggalkan negara-negara lainnya. Hal ini terlihat ketika ukuran ketimpangan tersebut ialah pendapatan per kapita. Lihat Tabel 3.3, Tabel 3.4, dan Gambar 3.1.
III8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 3.3. Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Negara Maju dibandingkan Negara Pinggiran, 1820-1998 Wilayah
1820 USA 2,1 Eropa Barat 2,2 Sumber: Alam, 2006
1870 4,1 3,5
1913 6,3 4,4
1950 8,9 4,7
1973 7,9 6,0
1990 8,3 6,3
1998 8,9 6,1
Tabel 3.4. Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Per Kapita dibandingkan USA, 1820-1998 Wilayah Eropa Barat Eropa Timur Bekas Uni Sovyet Amerika Latin Asia Timur & Jepang Asia Barat Afrika Sumber: Alam, 2006
1820 1,0 2,0 1,8 1,9
1870 1,2 2,8 2,6 3,5
1913 1,5 3,5 3,6 3,5
1950 2,1 4,5 3,4 3,7
1973 1,4 3,3 2,8 3,7
1990 1,5 4,3 3,4 4,6
1998 1,5 5,0 7,0 4,7
2,2
4,5
8,3
16,3
15,9
11,4
9,3
2,3 3,0
4,4 5,5
7,8 9,1
5,1 11,2
3,5 12,2
4,7 16,8
5,1 20,0
Gambar 3.1. CV Ketimpangan Global Antara Asia dan Afrika, 1960-2004
Sumber: Easterly (2006) Adapun pihak lain berhipotesis bahwa ketimpangan antar negara pun sudah muncul jauh sebelum Revolusi Industri berlangsung (Milanovic, Lindert dan Williamson, 2008). Kelompok ini memandang ketimpangan di masa kuno tersebut tidak jauh berbeda dari ketimpangan pada masa kini. Sebagai tambahan, ketimpangan di-dalam-negara antara masa kuno dan masa kini lebih besar III9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
daripada ketimpangan antar-negara antara masa kuno dan masa kini. Extraction
ratio (sejauhmana potensi ketimpangan menjelma menjadi ketimpangan yang sesungguhnya) di masa kuno lebih tinggi daripada masa kini. Indikasi yang ditangkap ialah, di masa lalu tingkah elite, kelembagaan dan
kebijakan yang
dijalankan begitu kuat, represif dan ekstraktif lapisan bawah. Dengan meyakini kurva Kuznets, kelompok ini menggambarkan bahwa ketimpangan di masa kuno meningkat begitu suatu negara hendak memasuki pertumbuhan ekonomi modern. Selanjutnya orientasi kepada ekonomi menurunkan extraction ratio, sehingga ketimpangan berangsur-angsur menurun. Negara-negara di wilayah Asia ternyata hampit selama mengalami tingkat ketimpangan yang rendah. Rendahnya ketimpangan juga hampir selalu dialami negara yang berpenduduk besar. Tampaknya terjadi korelasi positif antara pembesaran penduduk dan penurunan ketimpangan. Untuk kasus Indonesia, misalnya, telah lama dikenal “kemiskinan berbagi”, di mana rezeki yang diperoleh, meskipun jumlahnya sedikit,
berupaya dibagikan kepada tetangga sekitarnya.
Pada aspek produksi muncul gejala “involusi pertanian”, di mana faktor produksi yang dimiliki (terutama tanah) dikelola secara bersama-sama, bahkan sampai pada taraf jumlah orang yang sangat banyak (Geertz, 1983). Pengaruh warga terkaya (satu persen warga terkaya) untuk menciptakan ketimpangan, ternyata tidak signifikan pada masa kuno. Pengaruh mereka baru signifikan pada masa kini. Pada masa kuno elite kecil ini hanya sedikit lebih kaya daripada warga secara keseluruhan (Milanovic, Lindert dan Williamson, 2008). Setelah globalisasi pasar sejak pertengahan dekade 1980-an, ternyata ketimpangan di semua wilayah di luar USA dan Eropa Barat ternyata cenderung meningkat (Kanbur dan Venables, 2005). Antara tahun 1990 dan 1998 ketimpangan di Eropa Timur meningkat dari 4,3 menjadi 5,0 kali lipat dibandingkan pendapatan USA. Di negara-negara bekas Uni Sovyet meningkat dari 3,4 menjadi 7,0 kali lipat. Di Amerika Latin dari 4,6 menjadi 4,7. Di Asia Barat dari 4,7 menjadi 5,1 kali lipat (Tabel 3.4) Di Asia Timur sendiri ketimpangan meningkat manakala Jepang dikeluarkan dari kelompok tersebut. Tabel tersebut justru menunjukkan ketimpangan yang melonjak di Afrika setelah globalisasi, yaitu dari 12,2 pada tahun 1973, melonjak menjadi 16,8 pada tahun 1990, hingga III10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menjadi 20,0 kali lipat pada tahun 1998. Pada masa kini penyebab ketimpangan global lebih didominasi oleh dinamika negara maju, yang meninggalkan negaranegara terbelakang (Smeeding, 2002). Dalam melihat kategori negara menurut ketimpangan wilayah, maka muncul kelompok negara-negara konvergen (relatif merata) dan divergen (relatif tidak merata). Untuk masuk ke dalam kelompok konvergen, suatu negara membutuhkan rata-rata pertumbuhan lebih tinggi daripada negara termaju di kelompok konvergen tersebut. Aspek lainnya ialah memiliki tingkat pendapatan yang tinggi, setidaknya 80 persen dibandingkan negara termaju pada periode 1820-1870, atau 60 persen pada periode setelah tahun 1974. Negara yang paling maju berada pada posisi terdepan dalam kelompok konvergen, yaitu Inggris sebelum tahun 1814 dan Amerika Serikat sesudahnya. Negara termaju tersebut memiliki reit pertumbuhan ekonomi konstan pada angka 2 persen. Proses konvergensi dalam kelompok ini terjadi ketika negara-negara anggotanya
berangsur-angsur
mengikuti
reit
pertumbuhan
negara
yang
memimpin tersebut. Terdapat dua faktor untuk memasuki atau keluar dari kelompok konvergen, yaitu pola spasial dan faktor kelembagaan. Jumlah negara yang masuk ke dalam kelompok konvergen melonjak pada periode tahun 1871-1913 dan 1951-1973. Masa-masa itu banyak negara merdeka. Indonesia sendiri telah masuk ke dalam kelompok konvergen ini sejak tahun 1951, dan terus bertahan di sana sampai kini. Pada masa sesudah tahun 1973 semakin melonjak negara-negara yang keluar dari kelompok konvergen. Hal ini menandai ketimpangan global yang semakin meningkat (Gambar 3.2).
III11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 3.2. CV Ketimpangan Global (GDP per Kapita), 1820-2001
Sumber: Foldvari (Tt) Jika dihitung menurut jumlah penduduk yang mendiami negara, maka peningkatan terjadi sepanjang tahun 1870-1913 dan sesudah tahun 1973. Masuknya Cina dan India pada periode terakhir turut mempengaruhi jumlah penduduk yang masuk ke dalam kelompok konvergen. Pada awal abad ini sudah lebih dari 65 persen penduduk berdiam di negara-negara konvergen. Mengingat kurva logaritma menuju angka 100 persen, maka dapat diperkirakan bahwa jika konvergensi ini berlanjut, konvergensi akan terjadi pada abad ke 22 (sekitar tahun 2108 atau 2116). Faktor penting untuk masuk ke dalam kelompok konvergen ialah kualitas pemerintah. Pemerintah yang korup cenderung mengurangi dana pendidikan, padahal
pendidikan
menjadi
penghubung
antara
proses
pengembangan
kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM). Pada dasarnya memang tidak ada halangan yang tetap untuk memasuki kelompok negara konvergen ini. Faktor yang mengakibatkan suatu negara keluar dari kelompok konvergen di antaranya akibat sejarah penjajahan di negara yang bersangkutan.
III12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Menjadi negara demokratis tidak merupakan faktor penentu untuk masuk ke dalam kelompok konvergen, namun demokrasi menjadi faktor penting untuk tetap bertahan dalam kelompok konvergen ini. Faktor lainnya ialah posisi negara tersebut di sekitar negara konvergen lainnya. Faktor
yang
semula
diperkirakan
penting
namun
ternyata
tidak
mempengaruhi masuk dan keluar kelompok konvergen ialah sistem politik, termasuk komunisme. Penghitungan semacam ini memang masih mengandung kelemahan, terutama terkait dengan variabel pembobotnya. Dengan pembobot jumlah penduduk, sementara dua pertiga penduduk tinggal di Cina dan India, maka kedua negara tersebut mempengaruhi angka ketimpangan global. Penghilangan “faktor Cina dan India” menghasilkan nilai ketimpangan global yang tetap tinggi (Sengupta, Tt). Lebih jauh lagi, peningkatan ketimpangan dalam negara Cina dan India juga sedang meningkat, namun peningkatan ketimpangan dalam negeri ini tidak tercermin dalam ukuran ketimpangan antar negara. Hal penting lain yang perlu dicermati ialah, perkembangan pasar – sebetulnya bersamaan dengan kolonialisme—meningkatkan ketimpangan global. Pada masa kini, posisi-posisi tersebut berubah menjadi sebagai negara produsen dan negara pasaran. Dalam konteks Perang Dingin, Negara-negara Asia Timur yang berhadapan dengan negara-negara komunis (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) mendapatkan dukungan ekonomi yang kuat dari Amerika Serikat. Hal ini memungkinkan negara-negara tersebut mengurangi tingkat ketimpangan dengan negara di Eropa dan Amerika Serikat. Kini Perang Dingin sudah selesai, sementara negara-negara tersebut sudah berkembang lebih pesat lagi. 3.3.
Diskursus Donor untuk Pembangunan Nasional Salah satu sumber konsentrasi pembangunan di negara-negara tertinggal
ialah tema bantuan yang dimotori lembaga donor dan negara maju untuk mengarahkan kegunaan dana tersebut. Sebetulnya jumlah donor tergolong sangat banyak, dan tidak sebanding dengan bantuan luar negeri yang cenderung sedikit (dibandingkan jumlah negara tertinggal). Konsentrasi tema pembangunan oleh dimungkinkan dari negara dan donor yang memberikan kontribusi terbesar dalam III13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
bantuan luar negeri, di antaranya Amerika Serikat, Komisi Eropa, IDA (International Development Agency), Perancis, Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, Kanada dan Swedia (Gambar 3.3). Gambar 3.3. Kontribusi Donor di Dunia, 2008
Sumber: Easterly dan Pfutze (2008) Pada awal 1970-an tema besar pembangunan global didominasi oleh pengembangan pangan dan bantuan komoditas, sektor produksi, dan infrastruktur (Gambar 3.4). Pada masa kini tema bantuan luar negeri telah sangat beragam. Sektor pangan telah menurun kontribusinya, namun sektor produksi dan infrastruktur tetap besar. Tema lain yang membesar secara berati ialah bantuan sosial. Terlihat tidak adanya tema bantuan untuk secara khusus untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. Namun setelah mempelajari isu-isu strategis di depan, dapat diduga bahwa bantuan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah terdapat dalam sektor bantuan sosial, infrastruktur, sektor produksi, serta tema pemerintahan, civil society dan perdamaian.
III14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 3.4. Perubahan Sektoral Bantuan Luar Negeri di Dunia, 2004
Sumber: Easterly dan Pfutze (2008) Di Indonesia, pembangunan nasional yang didukung dengan bantuan donor asing meningkat pesat sejak 1970-an. Salah satu aspek penting pembangunan melalui kerjasama dengan donor ialah perluasan level pembangunan, tidak saja pada
tingkat
internasional.
regional, Di
pihak
namun lain,
selalu level
memiliki
dimensi
penanganan
yang
nasional luas
hingga
cenderung
menggeneralisasi wilayah yang lebih luas, yang sebetulnya bertentangan dengan kaidah lokalitas dalam pembangunan wilayah. Sebagaimana tema pembangunan global, pola bantuan pembangunan di Indonesia juga disusun dalam suatu diskursus atau tema besar. Sejak tahun 1970-an pembangunan dilaksanakan dalam diskursus pertumbuhan (growth). Pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan elite baru dalam bidang ekonomi. Adapun dampak negatif yang timbul berupa munculnya kemiskinan dan peningkatan warga yang tidak memiliki tanah. Dengan kata lain, tumbuh kesenjangan ekonomi antar penduduk dan antar wilayah. Perubahan diskursus oleh donor berlangsung pada akhir 1980-an, dan mulai diterapkan di Indonesia pada dekade 1990-an. Pembangunan kini diarahkan kepada lapisan miskin agar mampu bekerja dan mencapai full employment. III15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pembangunan juga diarahkan kepada wilayah-wilayah tertinggal. Diskursus pembangunan saat ini membuka peluang yang lebar untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. Dari hasil studi tentang bantuan luar negeri, ternyata pertumbuhan ekonomi tetap dibutuhkan (Esterly, 2001). Kritik acap kali muncul karena menekankan ukuran Produk Domestik Bruto (GDP) per kapita atau pendapatan per kapita, untuk mengukur kesuksesan ekonomi. Akan tetapi indikator ini tetap diacuhkan karena mampu memperbaiki kehidupan orang miskin dan mengurangi proporsi orang miskin. Indikator ini juga menunjukkan orang kaya mampu membeli
lebih
banyak
makanan,
meningkatkan
belanja
kesehatan,
dan
sebagainya. Dalam mempraktekkan pandangan tersebut, pelaku pembangunan telah berusaha meningkatkan standard kehidupan penduduk di wilayah tropis agar sejajar dengan penduduk di Eropa dan Amerika Utara. Hal ini dilakukan melalui layanan utang luar negeri (di Indonesia dikenal sebagai BLN atau Bantuan Luar Negeri),
investasi
pada
mesin,
pengembagan
pendidikan,
pengontrolan
pertumbuhan penduduk, dan mensyaratkan reformasi dalam perolehan utang luar negeri tersebut. Landasan kebijakan lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan International Monetary Fund atau IMF) ialah model Harold-Domar. Model ini memastikan bahwa belanja investasi akan menentukan pertumbuhan dalam GDP. Bersama dengan visi tinggal landas dari Rostow, ditemukanlah kesenjangan investasi di negara-negara miskin. Oleh sebab itu donor perlu memberikan utang untuk menutupi kesenjangan antara tingkat investasi dan tabungan nasional, agar target pertumbuhan terpenuhi dan tercapai era tinggal landas. Akan tetapi, kenyataannya utang luar negeri tidak selalu meningkatkan investasi, dan konsekuensinya tidak muncul pertumbuhan. Kegagalan ini mungkin bukanlah disebabkan oleh teknokrat sendiri, namun terletak pada kesalahan dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi ke dalam proyek pembangunan. Kesalahan tersebut tertuju pada ketidakacuhan terhadap prinsip responsif terhadap insentif, baik pada pihak swasta, aparat pemerintah, maupun aparat donor itu sendiri. Tiada insentif dalam utang luar negeri tersebut, untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini merupakan tugas III16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penciptaan kelembagaan ekonomi yang responsif terjadap bantuan luar negeri (Calderon, Chong, Gradstein, 2006). Dalam hal investasi fisik, kesalahan pemberian manfaat disebabkan tidak ada insentif untuk mengembangkan mesin-mesin atau teknologi. Dalam hal pendidikan, peningkatan derajat pendidikan di negara-negara Sub Sahara tidak juga menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Kesalahannya terletak pada upaya investasi fisik dalam bentuk gedung sekolah dan peralatan lain. Yang diperlukan ialah insentif perorangan sehingga orang yang menempuh pendidikan merasakan insentif tersebut. Hal yang sama juga berlaku pada kebijakan kependudukan, penyesuaian utang dan pemotongan utang. Kesalahan kebijakan dalam bidang-bidang ini ialah tidak
mempraktekkan
kebutuhan
insentif
dari
tiap
orang
yang
terlibat.
Pengurangan jumlah penduduk, misalnya, tidak langsung berakibat pada peningkatan pendapatn per kapita. Dalam diskursus yang
dikembangkan oleh donor pada saat ini,
desentralisasi diarahkan untuk membuka pasar di daerah maupun pasar di tingkat nasional. Desentralisasi juga diarahkan untuk meningkatkan peran swasta dan masyarakat dalam perekonomian di daerah. Sebetulnya
usulan
yang
dikemukakan
donor
sehubungan
dengan
ketimpangan pembangunan wilayah ialah agar membuka wilayah tersebut bagi pasar. Keterbukaan terhadap pasar dipandang sebagai pengungkit utama pertumbuhan suatu wilayah, untuk mengejar dan sejajar dengan wilayah lain yang sudah maju terlebih dahulu. Sayangnya pendapat teoretis semacam ini hampir tidak pernah terwujud dalam pembangunan wilayah (Higgins dan Savoie, 2005). Justru yang diperlukan selalu regulasi untuk memastikan keuntungan mengalir pada wilayah yang lebih tertinggal. Diskursus donor untuk pembangunan saat ini memberikan pelajaran,
pertama, terbukanya peluang pelaksanaan pembangunan untuk pengurangan ketimpangan wilayah, sejalan dengan diskursus pembangunan untuk lapisan terbawah dan daerah tertinggal. Kedua, diperlukan kebijakan yang bisa memadukan kepentingan pasar global hingga kepentingan masyarakat lokal dalam pengurangan ketimpangan wilayah. III17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
3.4.
Wilayah Pasca Kolonial Khusus pada di negara-negara Selatan, konteks global lain yang berperan
ialah status sebagai bekas wilayah kolonialisme dari negara-negara maju saat ini (Hatta, 2002; Hoogvelt, 1997). Kolonialisme merupakan salah satu dampak negatif dari Revolusi Industri, di mana negara kolonial produsen hasil industri, sedangkan negara jajahan menjadi konsumen tersebut. Pada saat yang bersamaan sumberdaya alam atau non-industrial dari negara jajahan diambil dengan harga murah atau dengan paksa. Selama periode kolonialisme, Indonesia kehilangan momentum untuk tinggal landas atau berdiri sejajar dengan negara-negara maju saat ini (Geertz, 1986; Elson, 1988) (Tabel 3.5). Sementara negara Belanda melakukan transformasi struktural dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri, negara ekonomi jajahan Indonesia ditahan untuk tetap pada dominasi sektor pertanian (Zanden, 2002). Nilai tambah yang sangat tinggi akibat Tanam Paksa 1820-1870 diambil sepenuhnya oleh negara kolonial Belanda. Peningkatan pesat dalam perdagangan pertanian komoditas ekspor tidak meningkatkan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Product/GNP) selama proses produksi tersebut dilangsungkan dalam bentuk kerja paksa –bukan transaksi antara buruh bebas dan majikannya (Zanden, Tt). Bahkan selama peningkatan GNP pada dekade 1920-an, ternyata standard kehidupan penduduk pribumi Indonesia tidak beranjak jauh dari seabad sebelumnya. Tabel 3.5. Hasil Keuangan dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 (‘000 gulden) Budidaya Kopi Tebu Nila Cochenille Kulit Manis Lada Teh Tembakau Jumlah
1840-1849 + 64.827 - 4,082 + 15.562 + 499 - 323 + 191 - 2,181 - 95 + 74.398
Sumber: Elson, 1988
III18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
1850-1854 + 77.540 + 3.385 + 6.759 + 445 + 47 + 205 - 1.841 -5 + 86.535
1855-1859 + 105.599 + 33.705 + 5.855 - 44 - 206 + 203 - 2.449 ‘- 61 + 142.603
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Kolonialisme juga menguatkan sentimen kesukuan dan ras, terutama dengan membedakan wilayah berdasarkan suku dan ras, bahkan dalam satu kota sekalipun seperti di Jakarta. Suku yang satu juga dapat menjadi tentara kolonial untuk memerangi suku lain, misalnya warga Maluku menjadi tentara kolonial untuk
memerangi
pejuang
Aceh.
Beberapa
suku
bangsa
mendapatkan
keuntungan kolonialisme lebih tinggi daripada suku bangsa lainnya –misalnya warga di Manado—sehingga sempat menyulitkan upaya persatuan nasional (Gouda, 2007). Pembedaan ras menguatkan sentimen orang kulit putih di atas orang kulit berwarna. Sempat muncul pandangan bahwa pribumi bersifat buas dan galak (seusai Perang Pangeran Diponegoro), lalu pribumi dipandang malas (setelah Tanam Paksa). Di samping akibat negatif yang sangat mendalam di atas, kolonialisme secara tidak disengaja menguatkan kesatuan wilayah Indonesia. Di Jakarta pemerintah jajahan mengontrol politik seluruh wilayah, dari Aceh hingga Papua. Kontrol ini secara tidak sengaja menghasilkan kesatuan politik (Anderson, 2002). Upaya negara kolonial untuk membatasi perdagangan pribumi dengan bangsa lain ke luar negeri akhirnya mengubah transaksi perdagangan antar pulau dalam wilayah Indonesia (Dick, 1988, 2002) (Tabel 3.6). Kesatuan secara simbolik tercapai ketika bahasa pergaulan ditetapkan menjadi bahasa seluruh bangsa Indonesia. Kesatuan bahasa memungkinan keeratan budaya untuk mengatasi keragaman suku bangsa. Tabel 3.6. Tahun 1914 1921 1929 1939 1955
Rasio Perdagangan Antar Pulau dan Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 1914-1939 ($ 000.000) dan 1955 (Rp 000.000) Perdagangan Antar Pulau 62 247 310 211 10.400
Perdagangan Luar Negeri 1114 2440 2593 1291 17.973
Rasio (%) 5 10 12 17 58
Sumber: Dick, 1988 Dalam kaitan khusus dengan ketimpangan pembangunan wilayah perlu diperhatikan kecenderungan negara-negara bekas jajahan untuk menurunkan ketimpangan atau meningkatkan pemerataan wilayah (Foldvari, Tt). Ciri dualistik III19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ekonomi yang memang sengaja diciptakan penjajah untuk menghalangi kemajuan ekonomi pribumi dapat bereinkarnasi menjadi pembatasan elite kepada lapisan bawah setelah masa kemerdekaan (Thee, ed., 2005). Pelajaran penting Indonesia sebagai wilayah pasca kolonial meliputi,
pertama, pengalaman kolonial telah menghilangkan peluang Indonesia untuk menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara Utara saat ini. Kedua, kolonialisme menguatkan sentimen berdasarkan suku bangsa dan rasial. Ketimpangan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara formal dikaitkan dengan perbedaan suku bangsa. Ketiga, kolonialisme memberi arah untuk menyatukan wilayah Indonesia terutama dalam dimensi politik, ekonomi dan kebahasaan. 3.5.
Wilayah Luas dan Kepulauan Indonesia memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang
antara benua Asia dan Australia. Luas laut sekitar 7,9 juta km2 (81% wilayah) dan daratan seluas 1,86 juta km2 (19% wilayah) (Gambar 3.5). Sebagian besar – sekitar dua pertiga—wilayah nasional terdiri atas lautan. Sebanyak 17.504 pulau besar dan kecil menyembul dari lautan di antara Samudera Indonesia dan Samudera Atlantik. Sebanyak 7.870 pulau sudah bernama, dan 9.634 pulau tidak bernama. Gambar 3.5. Wilayah Indonesia
III20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Di Kawasan Timur Indonesia terdapat lebih banyak pulau bernama, yaitu sebanyak 4.882, yang tersebar di Pulau Sulawesi sebanyak 1.096 pulau, Pulau Papua sebanyak 1.257 pulau, wilayah Maluku 866 pulau, Nusa Tenggara sebanyak 934 pulau, dan di Pulau Kalimantan sebanyak 669 pulau. Sedangkan jumlah pulau bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.048 pulau, yang tersebar di Pulau Sumatera sebanyak 2.544 pulau dan Pulau Jawa dan Bali sebanyak 504 pulau (Direktorat Kewilayahan I, 2007). Penyebaran pulau yang belum bernama di Kawasan Timur Indonesia sebanyak 6.234 pulau yang tersebar di Pulau Papua sebanyak 1.286 pulau, Pulau Maluku sebanyak 2.030 pulau, Pulau Nusa Tenggara 1.122 pulau, Sulawesi sebanyak 1.404 pulau, dan Kalimantan 392 pulau. Penyebaran pulau belum bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.400 pulau dengan sebaran di Pulau Sumatera 2.733 pulau dan 667 pulau di Jawa-Bali. Adapun untuk menghubungkan pulau-pulau besar dan kecil dibutuhkan transportasi air. Ibukota Negara sendiri berada di wilayah Barat. Wilayah yang luas melewati batasan-batasan alamiah dalam hal iklim, tetumbuhan, hewan, dan geologi. Wilayah yang sangat luas tersebut hingga kini belum sepenuhnya ditangani pembangunan. Di samping itu pembatasan oleh alam –misalnya gelombang yang tinggi pada bulan-bulan tertentu—masih memberikan konsekuensi pada keberadaan suku-suku terpencil. Namun demikian tetap diingat, bahwa bagi masyarakat lokal mungkin pembatas alamiah telah dianggulangi sehingga bisa menghubungkan masyarakat antar pulau di Indonesia. Bagian Barat kepulauan ditempati pulau besar Sumatera dan sejumlah pulau kecil di sekelilingnya (Wertheim, 1999). Di antara Sumatera dan Semenanjung Malaya terdapat Selat Malaka, sebuah rute perdagangan penting antara Timur Tengah dan Timur Jauh. Sebelum masuk ke dalam wilayah Indonesia, hubungan perdagangan antara Sumatera dan Malaya terjalin erat. Iklim tropis di Sumatera sangat basah, dan sulit membedakan musim hujan dan kemarau sebagaimana di kawasan Selatan pulau-pulau di Indonesia. Penanaman tanaman pertanian pada wilayah kecil di dekat pantai atau di pegunungan menjadikan Sumatera wilayah
III21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pertanian penting setelah Jawa. Pulau-pulau kecil di sebelah Selatan Sumatera menghasilkan perkebunan lada dan pertambangan timah. Adapun Selat Karimata menyambung sebelah Timur Pulau Sumatera dengan Pulau Kalimantan. Perladangan berpindah banyak dipraktekkan di sini, dan pada beberapa bagian pulau menghasilkan kekurusan sumber hara tanaman. Hal ini ditandai oleh padang ilalang yang meluas. Di bagian Tenggara Kalimantan telah sejak lama dikembangkan penanaman padi intensif di atas tanah berlumpur. Kota-kota semula berkembang di sini, di mana Banjarmasin menjadi kota pelabuhan penting. Pulau yang menghasilkan output ekonomi terbesar masih Jawa. Sejak pemerintahan Hindia Belanda pulau ini menjadi pusat pemerintahan. Di sebagian besar pulau Jawa hutan telah menyusut. Penanaman padi tidak hanya dipraktekkan di lembah-lembah sungai yang berkumpur, namun juga berbentuk teras-teras di pegunungan. Sawah juga digunakan untuk penanaman selain padi, misalnya perkebunan tebu dan hortikultura. Di sebelah Timur Jawa terdapat rangkaian pulau-pulau kecil Bali dan Nusa Tenggara. Akibat pengaruh iklim benua Australia, di sini dirasakan perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Pulau Bali menunjukkan penanaman padi sawah yang intensif sebagaimana di Jawa. Namun di bagian Timur pulau ini tidak ditanami secara intensif. Semakin ke Timur, pulau-pulau tidak ditanami secara intensif. Pertanian berpindah dan peternakan menjadi penting untuk Pulaupulau Sumbawa, Sumba dan Timor, serta pulau-pulau kecil sekelilingnya. Laut Flores menghubungkan kepulauan ini dengan pulau besar Sulawesi di atasnya. Pulau yang berbentuk seperti bintang laut ini memiliki jumlah gunung berapi yang banyak. Akan tetapi campur tangan manusia dalam pertanian pulau ini sempat meningkatkan resiko kelongsoran tanah, misalnya di sekitar Tana Toraja. Kelompok kepulauan di sebelah Timur ialah Maluku, yang menjadi tujuan pertama kedatangan pedagang Eropa. Pulau ini menghasilkan banyak rempahrempah yang sejak lama diperdagangkan di Eropa. Paling Timur terdapat Pulau Papua, di mana sagu didapatkan pada wilayah luas di sekitar pantai. Dengan topografi berbukit-bukit yang masih sulit dilewati manusia, III22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
tidak mengherankan tumbuh beragamn kebudayaan yang lebih banyak daripada di tempat lain di Indonesia. Minimal 400 suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda (dari sekitar 600 suku bangsa se-Indonesia) menghuni pulau ini. Luas lahan sawah sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Bali sebesar 45,34 persen dan Pulau Sumatera sebesar 30,64 persen. Luas lahan pekarangan terbesar terdapat di Pulau Jawa dan Bali sebesar 37,04 persen, Pulau Sumatera sebesar 36,05 persen, Pulau Kalimantan sebesar 16,67 persen, dan Pulau Sulawesi sebesar 9,32 persen. Persentase lahan tegal/kebun/huma terbesar yaitu di Pulau Sumatera (36,05 persen) dan Pulau Jawa-Bali (27,70 persen), Pulau Kalimantan sebesar 21,63 persen, dan Pulau Sulawesi sebesar 14,63 persen. Luas lahan penggembalaan/padang ramput paling besar terdapat di Pulau Kalimantan sebesar 39,23 persen dan P. Jawa-Bali sebesar 26,68 persen. Lahan rawa paling luas terdapat di P. Kalimantan sebesar 55,35 persen dan Pulau Sumatera 40,26 persen. Lahan tambak/kolam hampir merata untuk semua pulau, yaitu Pulau Sulawesi 26,68 persen, Pulau Jawa-Bali sebesar 26,59 persen, Pulau Sumatera sebesar 24,83 persen dan Pulau Kalimantan sebesar 21,73 persen. Lahan yang tidak diusahakan paling besar terdapat di Pulau Kalimantan (42,20 persen) dan Pulau Sumatera 33,44 persen. Persentase luas lahan tanaman kayukayuan/hutan rakyat paling besar di Pulau Sumatera (42,10 persen) dan Pulau Kalimantan (33,44 persen). Sedangkan lahan perkebunan paling besar di Pulau Sumatera (51,39 persen) dan Pulau Kalimantan (8,77 persen). Penting untuk disampaikan perbedaan cara pandang terhadap kepulauan Indonesia. Para penjajah, yang seringkali berasal dari Eropa daratan, memandang laut sebagai pemisah antar pulau. Pandangan semacam ini masih muncul saat ini, dengan mendefinisikan Indonesia sebagai negara dengan wilayah yang terpencarpencar (World Bank, 2009). Akan tetapi, sesungguhnya masyarakat asli di Indonesia telah sangat lama menjadikan laut sebagai sarana transportasi penting yang menghubungkan antar pulau. Berdiamnya penduduk di sekitar Sulawesi, Maluku dan Papua sejak zaman purba, di mana pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh laut yang dalam, menunjukkan tingginya pengetahuan perihal perkapalan (Dick-Read, 2008). Migrasi purba tersebut terus berlanjut sampai ke kepulauan Pasifik dan Australia. III23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pada masa yang lebih baru, perahu-perahu milik orang Indonesia tergolong paling besar dan paling laju, sehingga pedagang dari Cina, Campa da, negara lain di Asia menyewanya dari pemilik kapal Indonesia (Dick-Read, 2008; Lombard, 1995). Lebih jauh lagi, penaklukan antar kerajaan di Indonesia juga menunjukkan pengelolaan laut sebagai sarana transportasi (Gambar 3.6). Kesultanan Banten, misalnya, memiliki koloni di Lampung, yang berada di seberang Selat Sunda. Koloni ini digunakan untuk membuang tahanan berat, serta sumber upeti komoditas pertanian mewah pada masanya. Kesultanan Makassar juga memiliki koloni di wilayah Nusa Tenggara, yaitu Kerajaan Bima, serta sebagian koloni di Kalimantan Selatan. Pengelolaan koloni ini tentunya mengharuskan Makassar menguasai laut Jawa serta palung Sulawesi. Tercatat pula penyerangan Patiunus dengan menggunakan kapal-kapal besar ke Malaka, maupun penyerangan Sultan Agung lewat darat dan laut ke Batavia. Gambar 3.6. Jaringan Hubungan Politik dan Ekonomi Nusantara Pra Kolonial
Perhubungan lewat laut yang dilakukan sejak masa pra kolonial menunjukkan pola-pola tertentu, yang masih berlangsung sampai saat ini. Ketika pelayaran penjajah Belanda berhenti, pelayaran swasta nasional menggantikan III24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
jalur-jalur hubungan antar pulau yang telah terbangun sejak dulu. Ujung Sumatera telah lama menjalin hubungan dagang dengan Malaka dan Kalimantan Timur. Sedangkan Ujung Selatan Sumatera menjalin hubungan dengan Jawa. Jawa bagian Tengah dan Timur menjalin hubungan dengan Kalimantan Tengah. Sebagaimana diungkapkan di depan, Makassar menjalin hubungan dengan Nusa Tenggara, Bali dan Kalimantan bagian Selatan dan Timur. Adapun kerajaankerajaan di Maluku Utara telah menguasai wilayah di Papua, Sulawesi bagian Utara dan Timur, hingga Kalimantan bagian Timur Laut. Perbedaan cara pandang kolonialis dengan penduduk asli menunjukkan peluang untuk melihat keluasan wilayah dan bentuk kepulauan sebagai sumber perpecahan (yang dikuatkan dengan politik devide et impera), atau sumber kesatuan (berbasis perdagangan dan politik antar pulau). 3.6.
Pandangan Statis terhadap Suku, Agama, Ras, Golongan Terdapat lebih 600 suku-suku bangsa besar dan kecil di Indonesia
(Hidayah, 1997). Masing-masing suku bangsa mengembangkan kebudayaan yang khas, sebagai tanggapan terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan yang mendalam antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya terutama ditunjukkan oleh perbedaan bahasa. Keragaman suku bangsa juga muncul dalam satu pulau, terutama di pulau-pulau besar. Melihat keberagaman suku bangsa tersebut, sebagian ahli pernah meringkaskannya menjadi Indonesia dalam di Jawa, dan Indonesia luar di luar Jawa (Geertz, 1983). Indonesia dalam mendasarkan diri pada ekonomi padi sawah yang subsisten, padat tenaga kerja, intensitas tinggi, tinggal menetap dalam suatu desa. Indonesia luar dicirikan oleh ekonomi perladangan berpindah, intensitas
penanaman
rendah,
ditanam
terutama
tanaman
keras
untuk
perdagangan. Ahli lainnya (Koentjaraningrat, 1971) membagi suku bangsa menurut perekonomian, organisasi sosial, kedatangan orang asing. Suku bangsa yang paling tertinggal melaksanakan perekonomian berburu dan meramu di hutan, organisasi sosial sederhana, dan kedatangan orang asing biasanya tokoh agama dari Belanda. Suku bangsa yang lebih maju menanam di ladang, berpindah atau III25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menetap dengan struktur sosial sederhana, dan kenal dengan bangsa Barat, orang Islam, atau orang Hindu dan Budha. Suku bangsa yang lebih maju lagi menanam tanaman di sawah, tinggal dalam suatu desa yang terorganisir, serta mendapatkan banyak pengaruh luar. Selanjutnya tumbuh masyarakat kota, baik di kota kecil maupun besar. Identitas statis atas suku, agama, ras dan golongan memiliki akar kuat dalam upaya-upaya penaklukan oleh kolonialis Belanda. Indologi (ilmu tentang masyarakat primbumi di nusantara) dan hukum adat menjadi pendorong penting penguatan identitas ini. Aspek perekonomian dikaitkan secara erat dengan ras, dengan membagi secara hierarkis ras Eropa, ras Asia dan ras pribumi. Kekuatan ekonomi Jepang dihargai, dan warganegara Jepang di Indonesia digolongkan ke dalam ras Eropa. Ras Eropa memiliki privilese dalam aspek ekonomi, politik, hingga akses kelas utama atas infrastruktur di negeri ini. Ras Asia lebih berperan sebagai perantara ekonomi, biasanya diisi oleh warga Cina dan Arab. Ras pribumi menduduki posisi paling rendah, dan tidak memiliki kekuasaan. Penting dicatat bahwa perkawainan antar ras dinilai buruk –ini tanda lain dari upaya menjaga identitas ras. Golongan Indo (hasil perkawinan ras Eropa dan pribumi) tidak memiliki posisi pasti dalam hierarki sosial, politik dan ekonomi penjajahan. Tidak mengherankan golongan indo sering jatuh dalam kemiskinan (Gouda, 2007). Penguatan identitas budaya berlangsung dengan mengaitkannya terhadap lokasi tempat tinggal. Dengan cara ini wilayah di Indonesia memiliki kaitan budaya yang kuat –yang tetap terekam hingga kini dalam pembatasan calon kepala daerah hingga konflik lokal atas dasar kepemilikan budaya (Nordholt dan Klinken, 2008). Semula kolonial Belanda membagi daerah di Indonesia menurut wilayah hukum adat. Konsep daerah hukum adat (rechtskring) diusulkan ahli hukum pada zaman kolonial, Van Vollenhoven, pada tahun 1918 (Haar, 1983). Daerah hukum adat merupakan kesatuan geografi kultural, berdasarkan dua kriteria pokok, yaitu “kultur” (aturan-aturan adat) dan lingkungan geografis. Yang dimaksud hukum adat, atau “kultur”, atau aturan adat, mencakup aturan pribumi yang menyangkut kehidupan masyarakat dan pemerintahan dusun/desa (rechtsgemeenschap), tentang
tanah
(rechten
op grond), tentang kehidupan ekonomi rakyat
(schuldenrecht), dan tentang hubungan kekeluargaan (verwantschapsrecht). Di III26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Indonesia terdapat daerah-daerah hukum adat berupa Aceh, Gayo, Alas, Batak, Minangkabau, Sumatera Selatan, Daerah Melayu, Bangka Belitung, Borneo, Minahasa, Gorontalo, Daerah Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulaun Ternate, Ambon Maluku, Nieuw Guinea, Kepulauan Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, Yogya dan Surakarta, serta Jawa Barat. Walupun upaya penyederhanaan telah membuka telaahan mengenai sikapsikap khas suku, agama, ras dan golongan di Indonesia, namun disadari bahwa dalam satu wilayah pembangunan, misalnya dalam suatu pulau, hampir selalu muncul peluang keragaman suku bangsa (lihat misalnya Antoh, 2007), yang memiliki ciri-ciri khas lebih banyak dan mendalam daripada ringkasan para ahli. Tabel 3.7. Jumlah Desa di Indonesia menurut Keragaman Etnis, 2006 Wilayah Jawa Bali Kalimantan Maluku Nusa Tenggara Papua Sulawesi Sumatera
Absolut % Absolut % Absolut % Absolut % Absolut % Absolut % Absolut %
Total %
Penghuni Banyak Etnis Penghuni Satu Etnis Total 13.435 12.302 25.737 52 48 100 4.869 1.315 6.184 79 21 100 1.146 508 1.654 69 31 100 2.227 1.331 3.558 63 37 100 1.482 1.857 3.339 44 56 100 6.258 1.962 8.220 76 24 100 14.236 7.029 21.265 67 33 100 43.653 26.304 69.957 62 38 100
Sumber: Potensi Desa 2006 Sebagaimana telah ditunjukkan di muka, perbedaan kesukubangsaan pernah dikuatkan oleh penjajah Belanda, dan dilemahkan dalam Sumpah Pemuda. Sejarah demikian menunjukkan aspek keberlanjutan hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Pola hubungan tersebut seharusnya bersifat dinamis, bukan statis. Akan tetapi ciri statis dalam kategorisasi budaya ini masih kuat (Tabel 3.7). Desa yang dihuni hanya oleh satu etnis mencapai 37,6 persen (lebih besar daripada patokan 33%). Dari patokan tersebut, wilayah yang memiliki dimensi etnis kuat
III27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
mencakup Jawa dan Bali (47,8 persen), Nusa Tenggara (37,4 persen), Papua (55,6 persen), dan Sumatera (33,1 persen). Konteks
semacam
kecenderungan pembangunan
ini
menjadi
kosmopolitanisme wilayah,
terutama
bersifat
yang
negatif,
rendah
dalam
dimensi
ketika
dengan
muncul
ketimpangan
ketimpangan
perkotaan-
pedesaan (Tabel 3.8). Wilayah yang lebih maju (diindikasikan sebagai perkotaan) memiliki
keragaman
etnis,
sebaliknya
wilayah
yang
lebih
terbelakang
(diindikasikan sebagai pedesaan) dihuni etnis yang seragam. Tabel 3.8. Hubungan Perkotaan, Pedesaan dan Keragaman Etnis menurut Jumlah Desa, 2006 Wilayah Perkotaan Pedesaan
Penghuni Banyak Etnis Absolut
2.688
12.274
78
22
100
33.972
23.588
57.560
59
41
100
43.558
26.276
69.834
62
38
100
%
Total
Total
9.586
% Absolut
Penghuni Satu Etnis
%
Pelajaran yang bisa diambil dari keragaman suku bangsa ialah, pertama, potensi
peningkatan
kualitas
ketimpangan
wilayah
dapat
muncul
ketika
ketimpangan tersebut sekaligus mereflesikan suku bangsa yang berbeda-beda.
Kedua, terdapat peluang perbedaan cara pandang atau kebudayaan dalam suatu wilayah pembangunan. Konsekuensinya pembangunan selalu berupa kompromi di antara budaya-budaya yang berbeda-beda. 3.7.
Krisis Moneter Krisis pembangunan terbesar yang dialami Indonesia saat ini ialah krisis
moneter yang dimulai pada akhir tahun 1997. Krisis tersebut telah menurunkan posisi Indonesia, dari sebelumnya menjadi salah satu tenaga ekonomi Asia Timur untuk menurunkan ketimpangan wilayah global, menjadi salah satu Negara miskin sesudah krisis. Sebagaimana pada akhir abad ke 19 Indonesia gagal tinggal landas akibat keuntungan Tanam Paksa mengalir ke Negeri Belanda, kini pada akhir abad ke 20 Indonesia juga gagal tinggal landas akibat krisis moneter. III28 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 3.9. Indeks Gini dan Theil-T Selama Krisis Moneter di Indonesia, 19961999 Wilayah Jawa – Bali Sumatra Kalimantan Sulawesi Lainnya Wilayah Jawa – Bali Sumatra Kalimantan Sulawesi Lainnya
Kota 0.3895 0.3074 0.3020 0.3239 0.3357 Kota 0.2925 0.1724 0.1640 0.1858 0.1946
1. Gini Coefficient Pebruari 1996 Desa K+D 0.2887 0.3835 0.2604 0.3048 0.2666 0.2774 0.2928 0.3010 0.2590 0.3207 2. Theil-T Index Pebruari 1996 Desa K+D 0.1628 0.2601 0.1301 0.1618 0.1312 0.1558 0.1621 0.1799 0.1204 0.1927
Kota 0.3461 0.2829 0.2723 0.3020 0.2944
Pebruari 1999 Desa 0.2493 0.2436 0.2347 0.2754 0.2594
K+D 0.3344 0.2738 0.2629 0.2989 0.2856
Kota 0.2250 0.1391 0.1318 0.1642 0.1493
Pebruari 1999 Desa 0.1189 0.1036 0.0958 0.1405 0.1180
K+D 0.2182 0.1332 0.1228 0.1642 0.1415
Sumber: Said dan Widyanti, 2001 Secara keseluruhan ketimpangan menurun selama krisis moneter (Tabel 3.9). Di Jawa dan Bali ketimpangan menurun pada wilayah kota dan desa, akan tetapi di Sulawesi Selatan hanya turun di perkotaan (Hill, 2006; Said dan Widyanti, 2001). Akan tetapi ketimpangan di antara lapisan miskin sendiri meningkat, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Tabel 3.10). Kejadian ini menunjukkan hubungan
erat
antara
pengalaman
kemiskinan
dengan
ketimpangan
pembangunan wilayah. Kejadian ini juga disebabkan oleh masuknya golongan yang semua di atas garis kemiskinan namun selama krisis moneter terperosok ke bawah garis kemiskinan. Krisis moneter yang diikuti inflasi tinggi segera meningkatkan kemiskinan. Inflasi berlangsung pada komponen makanan dan non makanan, tapi tidak termasuk upah kerja. Kemiskinan yang terjadi tersebut bersifat sementara, dan segera menurun setelah inflasi dapat diatasi. Penurunan secara cepat ini didorong oleh kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga barang, serta mengeluarkan program jaring pengaman sosial.
III29 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 3.10. Perubahan Gini pada Golongan Miskin Indonesia Selama Krisis Moneter, 1996-1999 Wilayah Jawa – Bali Sumatra Kalimantan Sulawesi Lainnya
1996 0.0768 0.0887 0.0795 0.0918 0.1015
Kota 1999 % Perubahan 0.0788 2.63 0.0967 9.08 0.0789 -0.79 0.0824 -10.27 0.1009 -0.55
1996 0.0819 0.0784 0.0694 0.0933 0.1077
Desa 1999 % Perubahan 0.0865 5.66 0.0848 8.11 0.0864 24.46 0.0931 -0.19 0.1228 13.95
Sumber: Said dan Widyanti, 2001 Krisis moneter juga menurunkan peran pemerintah, militer dan polisi untuk menjaga keamanan maupun kesatuan bangsa. Hal ini terefleksikan oleh konflik antar wilayah dan gerakan separatisme. Dimensi-dimensi krisis moneter tersebut telah mengurangi efektivitas kebijakan pengurangan ketimpangan wilayah (Shankar dan Shah, 2001; Tadjoeddin, 2003; Tadjoeddin, Suharyo, Mishra, 2001). Pemulihan krisis moneter di luar Jawa lebih cepat daripada wilayah di Jawa (McCulloh, 2008). Pada satu sisi hal ini menunjukkan monetisasi (kebudayaan uang atau pasar) di Jawa lebih tinggi, dan terutama didorong oleh industri dan konsumsi massal. Sebagian industri yang terpengaruh krisis moneter memiliki pautan alat dan modal produksi dengan pasar global. Adapun kebangkitan wilayah luar Jawa sempat diramalkan oleh Geertz (1983), sebagai konsekuensi pertanian non-sawah, yang turut meningkat sejalan dengan peningkatan karga komoditas tanaman keras. Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman krisis moneter ialah, pertama, tetap terbuka kemungkinan kegagalan dalam suatu pembangunan, misalnya terjadi krisis moneter. Kedua, perekonomian yang didasarkan pada sumberdaya di dalam negeri memiliki kekuatan bertahan yang lebih kuat ketika muncul krisis ekonomi. 3.8.
Otonomi Daerah Otonomi daerah sebagai salah satu proses desentralisasi di Indonesia
mengemukakan kabupaten/kota dan desa sebagai wilayah-wilayah otonom. Pada negara yang sangat luas dan terdiri atas pulau-pulau dalam lautan yang lebar,
III30 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
desentralisasi menjadi konsekuensi logis. Diharapkan desentralisasi mampu menumbuhkan wilayah-wilayah yang semula lebih tertinggal. Desakan
untuk
melakukan
desentralisasi
telah
terjadi
sejak
masa
penjajahan Hindia Belanda pada awal abad ke 20 (The, 1993; Wignjosoebroto, 2004). Desentralisasi tidak sepenuhnya berlangsung, bahkan muncul penyatuan beberapa wilayah sempit untuk memudahkan penarikan pajak. Federalisasi juga sempat muncul pada tahun 1950. Bentuk Negara federal berubah menjadi sentralisasi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959 (Anderson, 1999). Desentralisasi secara massif baru berlangsung pada tahun 2000, setelah setahun sebelumnya disahkan perundang-undangan mengenai otonomi daerah. Pada saat ini terdapat empat jenis regulasi otonomi daerah. Pertama, dua undang-undang desentralisasi yang dikeluarkan pada tahun 1999 (UU 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU 25/1999 tentang pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah). Kedua, dua UU otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam/NAD (UU 18/2001) dan Papua (UU 22/2001), yang memberikan otonomi lebih besar pada dua provinsi didiami oleh kelompok separatis. Ketiga, revisi UU desentralisasi sebelumnya menjadi UU 32/2004 dan UU 33/2004. Dalam UU yang baru pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung. Keempat, UU 11/2006 tentang hukum pemerintahan di NAD, sebagai tindak lanjut dari pertemuan pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Pada negara yang tidak melembagakan pengawasan (check and balance), maka kombinasi rente sumberdaya alam dan sistem demokratis dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengawasan yang akuntabel diperlukan pada negara Indonesia yang sudah lebih demokratis sejak reformasi 1997 dapat menahan peningkatan ketimpangan pembangunan wilayah. UU otonomi khusus tepat untuk menahan separatisme di NAD dan Papua. Sedangkan dua provinsi lain yang sama-sama memiliki sumberdaya alam yang besar –Riau dan Kalimantan Timur—memandang UU desentralisasi sudah cukup memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Tadjoeddin , 2007).
III31 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Agenda tersembunyi dari level desentralisasi pada tingkat kabupaten/kota (bukan pada tingkat provinsi) ialah untuk menghindari kongsi antar daerah yang membentuk koalisi besar dan lepas dari kesatuan negara Indonesia (Islam, 2003). Otonomi daerah telah menurunkan derajat eksploitasi ekonomi antar daerah. Dengan demikian lebih banyak output ekonomi yang dinikmati oleh warga di daerah itu sendiri (Tabel 3.11). Dalam era otonomi daerah diketahui bahwa komponen dana dari Pusat jauh lebih banyak daripada pendapatan asli daerah yang dipungut. Hal ini menunjukkan kekuataan pemerintah Pusat lebih besar daripada pemerintah daerah (Nordholt dan Klinken, 2008). Sayangnya desentralisasi juga diikuti dengan pemekaran wilayah dan konflik pemilihan kepala daerah. Pembatasan kepala daerah juga terjadi untuk menyaring warga asli. Bersamaan dengan itu, semakin meningkat orientasi ke dalam wilayah, dan menyurutkan kerjasama antar daerah. Dengan kata lain, identitas suku, agama, ras dan golongan kembali meningkat dan digunakan secara praktis dalam aspek politik dan ekonomi di daerah. Desentralisasi dapat meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah atau minimal tidak mengurangi ketimpangan tersebut, karena kapasitas teknis aparat Pemda masih lemah dalam mengelola prasarana dan sarana pendidikan maupun kesehatan (Adair, 2004). Dalam proses desentralisasi aparat Pemda perlu mengelola dana yang relatif jauh lebih besar. Prioritas pembangunan daerah bisa jadi berbeda daripada prioritas pembangunan menurut Pemerintah Pusat, terutama ketika dana dialirkan melalui mekanisme DAU (Dana Alokasi Umum). Klinik untuk ibu dan anak tidak mengalami pertambahan pembangunan, bahkan kelembagaan kesehatan di tingkat lokal menurun akibat prioritas pembangunan daerah tidak diarahkan kepada pembangunan kesehatan, padahal sekitar 80 persen dana kesehatan dialirkan melalui DAU (Adair, 2004).
III32 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 3.11. Tingkat Eksploitasi Ekonomi Provinsi-provinsi di Indonesia Tahun 1996 dan 2002 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DIY Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Indonesia
Populasi 2002
HDI 2002
PDRB per kapita 2002 (Rp 000)
4.022.140 11.891.742 4.289.647 5.285.460 2.479.469 7.167.970 913.869 1.640.597 6.862.338 8.379.069 36.914.883 8.529.799 31.691.866 3.156.229 35.148.579 3.217.150 4.167.293 1.947.263 3.054.129 2.566.125 2.043.742 855.057 2.269.260 8.244.890 1.915.326 4.127.519 3.924.871 1.271.083 796.447 2.218.360 210.992.171
66,0 68,8 67,5 69,1 67,1 66,0 65,4 66,2 65,8 75,6 65,8 66,6 66,3 70,8 64,1 67,5 62,9 69,1 64,3 70,0 71,3 64,1 64,4 65,3 64,1 57,8 60,3 66,5 65,8 60,1 65,8
8.784 7.379 6.772 12.570 5.484 6.796 7.901 3.752 4.056 30.236 5.767 6.762 4.921 5.284 6.443 6.831 5.151 7.039 6.726 34.772 5.441 2.624 4.898 4.412 4.152 3.802 2.201 2.924 2.688 9.803 7.597
Sumber: Mubyarto (2005)
III33 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Pengeluaran Konsumsi per kapita 2002 (Rp 000) na 2.312 2.702 3.073 2.236 2.005 2.689 1.822 1.777 5.779 2.509 3.123 2.072 2.783 2.240 3.608 2.233 2.468 2.540 3.418 2.649 1.533 2.050 2.036 1.937 1.810 1.556 na na na 2.476
Index Eksploitasi
1996
2002
81 68 59 84 54 67 na 53 55 78 55 na 62 58 69 66 68 73 65 89 62 na 54 55 52 48 46 63 na 82 64
na 69 60 76 59 70 66 49 56 81 56 54 58 47 65 47 57 65 62 90 51 42 58 54 53 52 29 na na na 59
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
4 Sejarah Ketimpangan Wilayah di Indonesia
4.1.
Kejadian Sejarah dan Faktor Ketimpangan Dalam pembahasan sejarah hendak dikemukakan perspektif jangka
panjang ketimpangan wilayah di Indonesia. Penyusunan data time-series (hingga saat ini tidak muncul perdebatan berarti perihal ekstrapolasi data Indonesia ke abad 19) telah memperlebar cakrawala ketimpangan wilayah Indonesia. Dengan mengetahui tahun-tahun perubahan (ketimpangan meningkat atau menurun), kemudian menggali kejadian sejarah yang trelevan pada masa itu, maka dapat dirumuskan faktor-faktor penyebab peningkatan maupun penurunan ketimpangan wilayah.
Sebagian
sejarah
ekonomi
berulang
kembali,
dan
bagian
lain
menjelaskan kekhasan wilayah Indonesia dri negara lain. Temuan faktor-faktor tersebut sangat penting untuk menguatkan perumusan kebijakan pengurangan ketimpangan wilayah. Pendapatan per kapita (diindikasikan oleh GNP per kapita. GNP=Gross
National Product=Produk Nasional Kotor) pernah secara kritis menunjukkan eksploitasi terhadap pribumi, ketika dibandingkan dengan GNP yang tinggi semasa penjajahan Belanda. Oleh sebab itu ukuran akan dilihat kembali. Dengan adanya data-data terbaru, maka analisis bisa dilakukan menurut jangka waktu yang panjang. IV1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 4.1. Kejadian Sejarah dan GNP per Kapita Indonesia (US$ 1990), 1820-2008
Gambar 4.2. Kejadian Sejarah dan Gini Pedesaan, Perkotaan, dan Indonesia 1880-2008
Keterangan: Penghitungan berbasis pengeluaran rumahtangga
IV2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 4.3. Kejadian Sejarah dan CVw Indonesia 1971-2001
Ketika
dihubungkan
dnegan
kejadian-kejadian
ekonomi
dan
politik
(Gambar 4.1), perkembangan GNP per kapita cenderung meningkat ketika rangsangan
eknomi
ditambahkan,
misalnya
dengan
kemudahan
modal,
deregulasi. Adapun penurunannya sejalan dengan pengurangan kesempatan bekerja dan berusaha, misalnya karena konflik dan peperangan, serta krisis ekonomi dan resesi. Ketika pendapatan per kapita didukung oleh penguatan sektor non pertanian, sejak 1920-an peningkatan ini turut meningkatkan ketimpangan wilayah. Hal serupa juga terjadi pada waktu industrialisasi awal 1970-an dan awal 1980-an (Gambar 4.2). Ketika pergeseran struktur ekonomi terjadi pada sekitar tahun 1990-an, ketimpangan berada pada titik puncak (Gambar 4.4). namun demikian, jika dilihat dalam kurun waktu yang lebih lama, puncak ketimpangan terjadi justru di sekitar Perang Dunia II, dan setelah itu masih muncul fluktuasi peningkatan dan penurunan ketimpangan wilayah.
IV3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Tabel 4.1. Sejarah Ketimpangan Wilayah di Indonesia Periode
Fakta Ketimpangan
Sumber Ketimpangan
Pra Kolonial: sebelum Abad XVII
Ketimpangan antara kerajaan, pelabuhan besar, dan kampung
Peperangan antar pelabuhan besar Upeti dari wilayah terbelakang ke wilayah yang lebih maju
Kolonialisme Belanda: Abad XVII – 1942
Ketimpangan upah tenaga tidak trampil dan tenaga trampil Ketimpangan rasial Ketimpangan pedesaan dan perkotaan Ketimpangan Jawa (Jakarta) dan Luar Jawa
Pendudukan Jepang: 1942-1945
Ketimpangan Jawa (Jakarta) dan Luar Jawa
Peningkatan kegiatan komersial pertanian dan non pertanian Peningkatan ekstensifikasi, produksi dan sewa pertanian Pemusatan kegiatan politik dan ekonomi di Jawa Pergeseran butuh tani menjadi buruh industri Keputusan memusatkan kegiatan politik dan ekonomi di Jakarta
Awal Kemerdekaan: 1945-1966
Ketimpangan rasial Ketimpangan Jawa dan Luar Jawa Otonomi buatan Belanda kepada negara boneka untuk menciptakan ketimpangan
Penguasaan sumberdaya produksi dan keuangan oleh Belanda Alokasi dana pembangunan di
IV4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sumber Pengurangan Kebijakan Penanggulangan Ketimpangan Masalah Hubungan pasokan Tanah perdikan (otonom) dagangan pelabuhan besar dan kecil Hubungan pasokan dagangan pedalaman dan pantai Perdagangan antar pulau Penyebaran perkebunan ke Politik etis untuk pribumi (terutama Sumatera dan kredit, irigasi) penambangan ke Desentralisasi dan daerah otonom Kalimantan Perdagangan antar pulau Malaise, namun tidak diikuti devaluasi, melainkan menekan ekonomi rakyat
Perang membatasi distribusi barang dan jasa Pemerintahan tertinggi tentara Jepang di Sumatera Pemulihan alat produksi Pemulihan perdagangan antar pulau Perang Revolusi Peningkatan produktivitas pertanian menurunkan
Sumber Data Disk-Read (2008); Lombard (1995, 2006); Reid (1988)
Dick (1988); Lombard (1995); The (1993); Zanden (2002)
Pembagian lahan perkebunan untuk petani
Thee (1993); Kurasawa (1993)
Nasionalisasi Program Benteng (wiraswasta) Pendirian industri ke luar Jawa UU 22/48 tentang desentralisasi
Easterly (2002); Thee (1993)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Periode
Pembangunan: 1967-1983
Pembangunan: 1984-1996
Fakta Ketimpangan dengan negara Republik Indonesia Ketimpangan perkotaan dan pedesaan Ketimpangan perkotaan dan pedesaan Ketimpangan provinsi kaya SDA dan provinsi lainnya Ketimpangan provinsi pusat bisnis dan provinsi lainnya
Indeks-indeks ketimpangan berangsur meningkat Peningkatan ketimpangan di Jawa Peningkatan ketimpangan dalam provinsi (lintas kabupaten/kota): L-indeks tahun 1990 ke 1993 sebesar 0,193 dan 0,203 Peningkatan ketimpangan kotadesa Peningkatan ketimpangan di perkotaan Peningkatan ketimpangan muncul pada kelompok umur 23-55 tahun
Sumber Ketimpangan Jawa
Oil boom, terutama di provinsi penghasil migas Konsentrasi industri di wilayah perkotaan Peningkatan wilayah urban seperti di sekitar Jakarta, Surabaya, Medan Program pertanian lebih dinikmati petani kaya Aset sumberdaya alam yang berbeda Konsentrasi penempatan industri Upah tenaga pertanian stagnan, sementara upah kerah putih di perkotaan meningkat Migrasi dari desa ke kota Perubahan struktur populasi yang semakin tua Kebijakan subsidi yang dinikmati lapisan atas Pembangunan bandar
IV5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sumber Pengurangan Ketimpangan ketimpangan desa dari kota Pengusiran tenaga kerja orang asing Peningkatan infrastruktur di pedesaan Harga pangan stabil dan murah Penurunan upah riil tenaga trampil dan di perkotaan Penggunaan buruh murah untuk industri berorientasi eksport Perluasan kesempatan kerja pertanian Perubahan anggaran konsumsi kelompok umur yang sama Adopsi teknologi pertanian oleh petani kecil Perluasan kesempatan kerja di luar pertanian di pedesaan Kedekatan lapangan kerja dengan tempat tinggal penduduk desa
Kebijakan Penanggulangan Masalah
2008
Sumber Data
Stabilisasi ekonomi Stabilisasi harga pangan Inpres Pembangunan pedesaan dan pertanian
Alisjahbana, et.al. (2003); Hill, Resosudarmo dan Vidyattama, (2008); Resosudarmo dan Vidyattama, (2006); Sakamoto, (2007)
Inpres Pembangunan pedesaan Program khusus penanggulangan kemiskinan
Alisjahbana, et.al. (2003); Cameron (2003); Hill, Resosudarmo dan Vidyattama, (2008); Hondai (2006), Islam (2003); Resosudarmo dan Vidyattama, (2008); Resosudarmo dan Vidyattama, (2006); Sakamoto, (2007); Suryahadi (2007)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Periode Krisis Moneter: 19971999
Fakta Ketimpangan Ketimpangan antar kabupaten (dalam provinsi) meningkat Ketimpangan desa-kota (kontribusi 22% terhadap ketimpangan) Krisis moneter meningkatkan ketimpangan di antara kelompok miskin
Otonomi Daerah: 2000-2008
Indeks Gini tidak turun secara signifikan, melainkan sempak naik mejadi 0,36 selama otonomi daerah Inward looking dalam wilayah dan kesulitan kerjasama antar wilayah Pembatasan kepada ihak luar dalam aspek ekonomi dan politik Pengaruh konsentrasi ekonomi di Jawa terhadap ekonomi nasional Pemekaran wilayah untuk perebutan SDA lokal Ketimpangan antar kabupaten/kota
Sumber Ketimpangan udara baru Deregulasi ekonomi dinikmati lapisan tertinggi di Indonesia pasca krisis Upaya menggerakkan perekonomian meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah Pembagian keuangan pusat-daerah didasarkan kontribusi daerah dalam GDP Pungutan meningkat terhadap pihak luar yang melakukan kegiatan di dalam daerah DAK tidak sepenuhnya diterima dan dilaksanakan Alokasi dana lebih besar ke Jawa daripada ke luar Jawa
IV6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sumber Pengurangan Ketimpangan
Kebijakan Penanggulangan Masalah
2008
Sumber Data
Krisis melanda perkotaan lebih kuat, terutama buruh yang dipecat. Wilayah pedesaan mengalami peningkatan harga komoditas pertanian.
Program khusus penanggulangan kemiskinan
Alisjahbana, et.al. (2003); Hill (2006); Said dan Widyanti (2001)
Pemerataan akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan
DAK Program khusus penanggulangan kemiskinan
Adair (2004);Azwardi (2007); Bappenas (2007); Mubyarto (2005)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
4.2.
Pra-Kolonial: Sebelum Abad XVI Sejak masa pra kolonial hubungan antara politik dan ekonomi sangat erat
di Indonesia. Berbeda dari kaisar dan raja di Asia dan benua lain, raja-raja di Indonesia
memandang
pelabuhan
yang
ramai
sebagai
kekuatan
dan
kecemerlangan penguasa lokal. Oleh sebab itu pelabuhan menjadi tujuan dan perebutan penting di antara penguasa yang kuat. Kekuatan dalam komersialitas ini secara alamiah menjadikan penguasa tersebut sebagai pemimpin di wilayahnya (Reid, 1988). Perlu dicatat bahwa perang lazim terjadi di antara penguasa pusat-pusat perdagangan yang bersaing. Sebaliknya hubungan harmonis muncul antara pelabuhan besar dan kecil, serta wilayah pedalaman dan pantai. Orang bisa berpindah-pindah tanpa negara. Penduduk pedalaman membawa hasil hutan dan menukarkannya dengan barang perdagangan lainnya. Pemberian upeti kepada raja merupakan salah satu bentuk hubungan dengan luar negeri. Hubungan antar pulau di Indonesia juga didorong oleh perdagangan bawang mewah (sebagai catatan, satu kilogram lada dan cengkeh setara dengan satu kilogram emas di pasar Eropa). Dalam epos Ramayana di India, sekitar 200 tahun SM, cengkeh telah dikenal sebagai obat. Pada sekitar tahun 70 SM cengkeh secara teratur diperdagangkan di Eropa oleh orang-orang Arab. Meskipun literatur tentang cengkeh sudah ditemui dalam kepustakaan Cina periode Han (220-206 SM), hingga akhir abad ke 12 cengkeh masih merupakan barang mewah yang tidak diketahui pasti sumbernya. Cengkeh sampai ke Malaka karena dibawa pedagang dari Jawa. Para pedagang Jawa itu sendiri mendapatkannya dari orang Hitu dan Banda. Pedagang Hitu dan Banda inilah yang mengambil cengkeh langsung dari tempatnya di Maluku Utara. Pada masa itu armada laut Nusantara tetap diakui sebagai yang terbaik (Gambar 4.4). Di samping kekuatan menjalankan jasa pengangkutan laut, para pelaut tersebut juga menjalankan peran sebagai bajak laut. Yang terkuat di antara bajak laut itu kemudian mendirikan kedatuan hingga kerajaan di sepanjang pesisir kepulauan
Nusantara.
Jaminan
keamanan
di
wilayah
kekuasaan
itu
memungkinkan pelabuhan, pasar dan kegiatan perdagangan berlangsung semakin marak. Penguasa lokal menarik pajak atas pedagang, juga menguasai petani di IV7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pedalaman, namun kegiatan utama sebagai bajak laut tetap dilaksanakan. Pada dasarnya penguasa tidak memiliki hubungan erat dengan perdagangan. Penjaga tol di pelabuhan atau penarik pajak diserahkan kepada orang di luar kerajaan. Gambar 4.4. Perahu Kora-kora di Relief Candi Borobudur
Alat angkut yang membawa pedagang dan komoditasnya ke pasar beragam jenis. Dengan jalur sungai pedagang menggunakan perahu. Di darat, dengan
komoditas
yang
terbatas,
pedagang
cukup
memikulnya
atau
menggendongnya dan pedati yang ditarik kerbau atau sapi digunakan untuk mengangkut dagangan dalam jumlah besar. Penduduk Jawa pada masa itu menggunakan potongan emas dan perak untuk digunakan sebagai mata uang. Mata uang lain dari campuran perak, tembaga dan timah dipotong seperti dadu dan diberi cap. Sebagai perbandingan, enam puluh biji mata uang ini senilai dengan satu tail emas. Mata uang ini dikenal para pedagang sebagai uang Jawa. Mata uang alternatif lain yang digunakan di pasar berasal dari Cina. Pada masa Majapahit ini biasa dinamakan pisis. IV8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Berbeda dari pola penguasa pagan, Hindu, dan Budha, yang menarik jarak dengan perdagangan, masuknya pengaruh Islam yang dibawa oleh saudagar direspons penguasa lokal dengan membangun hubungan yang lebih akrab dengan pedagang (Simbolon, 1995). Perdagangan berlangsung dengan bebas, sementara kerajaan melindunginya dan memungut pajak. Bersamaan
dengan
menurunnya
pengaruh
Majapahit,
pelabuhan-
pelabuhan yang berada di bawah kerajaan Islam menguat, yaitu Tuban, Sidayu, lasem, Brondong, Canggu, gresik, Surabaya, Demak, Jepara (Kartodirdjo dan Suryo, 1994). Pelabuhan ini memiliki hubungan dagang dengan kota-kota di Timur, seperti Ternate, Tidore, dan Makassar. Adapun ke Utara terjalin perdagangan dengan Palembang, Aceh dan Malaka. Pada masa Islam perdagangan antar pulau di Indonesia sudah berjalan lancar. Para pedagang dari pulau-pulau dari wilayah Timur membawa komoditas perkebunan seperti cengkeh, pala dan bunga pala. Dari Jawa dibawa pulang beras. Oleh para pedagang, komoditas perkebunan dan beras tersebut dibawa ke pelabuhan Malaka untuk dipertukarkan dengan tekstil India dan barang-barang dari Cina. Jalur pelayaran membentang dari Selat Malaka, melewati pesisir Jawa bagian Utara, ke kepulauan Nusa Tenggara, lalu ke Banda dan akhirnya ke Maluku. Bunga pala dan pala di Banda lebih banyak diambil dari kebun dan bukan dari hutan. Demikian pula cengkeh di bagian Maluku lainnya. Tidak mengherankan kepulauan Maluku juga dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah. Kerajaan Aceh, yang tidak pernah dijajah hingga awal abad ke 20, misalnya, terus mengembangkan perdagangan di antara pulau-pulau di Nusantara (sampai ke Maluku), hingga ke negeri “bawah angin” (Thailand dan Cina), “atas angin” (India), bahkan sampai ke Selat Hormuz, Mekah dan Konstantinopel (Gambar 4.5). Jaringan perdagangan dan politik ini menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Pada kerajaan yang kuat, integrasi tidak hanya bersifat ekonomis, meliankan juga politis.
IV9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 4.5. Perdagangan Kerajaan Aceh Awal Abad XVII
4.3.
Kolonialisme Belanda: Abad XVI-1942 Pada awal masuknya bangsa Eropa, para pedagang semakin bergairah
karena harga komoditas nusantara semakin tinggi. Harga cengkeh, lada dan pala, misalnya, meningkat sekitar dua kali lipat. Akibatnya tak terhindarkan, persaingan pun
semakin
ketat.
Persaingan
untuk
memperoleh
komoditas
tersebut
berlangsung di antara pedagang Eropa sendiri, maupun dengan pedagang dari Indonesia. Persaingan ini mengarah pada tujuan untuk mendapatkan kekuasaan monopoli perdagangan komoditas-komoditas yang menguntungkan. Persaingan dimenangkan oleh pedagang yang sekaligus mempraktekkan manajemen modern dan penggunaan kekuatan militer. Pedagang dari Timur kalah dalam ‘manajemen’ perdagangan dibandingkan dengan pengusaha-pengusaha Eropa yang memang kerap melakukan kerjasama perdagangan dengan para raja ataupun orang kaya lokal. Kesultanan kerapkali menghadapi konflik dari dalam selama masa suksesi. Akhirnya, untuk menguasai kesultanan secara mutlak sekaligus mengalihkan monopoli perdagangan di daerah tersebut, pedagang Belanda
yang
sudah
unggul
secara
militer
dari
pedagang
Eropa
lainnya
menggunakan strategi baru yaitu membantu raja-raja yang lemah dalam menumpas pemberontakan. Di antara pedagang Eropa tersebut, Belanda mampu memenangkan persaingan perdagangan tersebut. IV10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Salah satu aspek penting dalam menangani pengembangan wilayah di Indonesia ialah menyadari ketimpangan sosial dan ekonomi antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Sebagian peneliti memandangnya sebagai fenomena baru pada awal abad ke 20, atau terbentuk sejak awal periode tanam paksa tahun 1930-an (Geertz, 1982). Akan tetapi ketimpangan tersebut sesungguhnya sudah mulai terbentuk sejak akhir abad ke 16 (Dick, 1988). Penjajahan Belanda mula-mula berupa perdagangan rempah di Indonesia bagian Timur. Upaya monopoli Belanda yang ditentang para raja diikuti dengan perang di banyak wilayah. Kemenangan Belanda diikuti dengan penutupan bandar di Sulawesi dan Maluku. Untuk seterusnya komoditas perkebunan dan barang lain dihasilkan di Jawa. Sejak itulah kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa menguat (Gambar 4.6). Gambar 4.6. Posisi Jawa bagi Perdagangan VOC Akhir Abad Ke 18
Pengelolaan terhadap tanah jajahan dipengaruhi oleh politik di negera induk. Ketika Belanda ditaklukkan oleh Perancis, maka gubernur jenderal di nusantara dipegang oleh Daendels, yang dipilih oleh Kaisar Perancis. Begitu pula
IV11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
saat Belanda jatuh ke tangan Inggris, gubernur jenderal dipegang oleh Raffles, mewakili Kerajaan Inggris. Setelah menerima kembali kendali atas Indonesia dari Inggris, sejak 1816 pemerintahan penjajahan Hindia Belanda menggali informasi perekonomian lebih detil, dalam rangka memungut pajak produksi. Perdagangan ekspor dimonopoli oleh pemerintah Hindia Belanda, dan diberlakukan pajak ekspor kepada pihak lain yang melakukannya. Sampai tahun 1840 pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda tidak meningkat pesat, terutama karena produksi bahan pangan terganggu oleh Tanam Paksa. Perlu diingat bahwa pada periode yang sama justru produksi komoditas pertanian ekspor meningkat pesat. Setelah dilakukan perubahan sistem, produksi pangan kembali meningkat serta perdagangan pangan meningkatkan kontribusi dalam GNP. Setelah 1850 perekonomian modern semakin menguat. Sebagian besar kontribusi Pendapatan Domestik Kotor (Gross Domestic Product/GDP) saat itu berasal dari masuknya komoditas ke dalam pasar dan perdagangan modern. Di sekitar 1970-an GNP Jawa sudah melebihi negeri Belanda. Namun pendapatan per kapita di Jawa masih lebih rendah. Pada tahun 1815 /1817 nilainya 14 persen dari Negeri Belanda. Inflasi dan pertumbuhan riil telah meningkatkan pendapatan per kapita di Jawa mencapai 37 persen dari level negeri Belanda (Zanden, 2002). Sebenarnya peningkatan riil nilai GDP di Jawa melonjak lebih tinggi dibandingkan dengan negeri Belanda. Selama tahun 1815/1817 hingga 1870 GDP di
Jawa
meningkat
215
persen,
sedangkan
negeri
Belanda
mengalami
peningkatan 170 persen. Akan tetapi jumlah penduduk di Jawa meningkat 150 persen dibandingkan dengan peningkatan penduduk negeri Belanda sebesar 70 persen. Konsekuensinya ketimpangan ekonomi antara Jawa dan negeri Belanda membesar. Upah riil di Jawa meningkat selama tahun 1820-1850 meningkat. Pada tahun 1820 upah riil di Jawa sekitar seper empat daripada di Negeri Belanda. Pada tahun 1870 upah riil di Jawa tersebut telah meningkat menjadi 90 persen. Pekerja trampil (biasanya bekerja di perkapalan Hindia Belanda) mendapatkan upah riil lebih tinggi daripada pekerja trampil serupa di Negeri Belanda. Terlihat IV12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
bahwa sementara perbandingan antara Jawa dan Belanda dalam hal GDP per kapita menunjukkan ketimpangan, namun dalam hal upah riil pekerja tidak demikian. Untuk mengelola nusantara secara birokratis, dirumuskan landasan ketatanegaraan pemerintahan Hindia Belanda dalam Reglement op het Beleid der
Regering van Nederlandsch-Indie (S 1855/2). Menurut peraturan ini Hindia Belanda merupakan wilayah yang diperintah secara sentralistis. Peraturan tersebut menutup peluang desentralisasi, dan hubungan dengan daerah dilakukan melalui mekanisme dekonsentrasi (The, 1993). Lingkungan jabatan dikenal sebagai daerah administratif. Untuk Jawa, misalnya, reglement terbagi atas daerah-daerah administratif gewest (kemudian disebut residentie) yang masingmasing terbagi atas afdeeling, district dan onderdistrict. Pemerintah kolonial juga melakukan sentralisasi perekonomian dengan memonopoli sarana perkapalan untuk eksport maupun perdagangan antar pulau. Jika pada masa tanam paksa kredit untuk perkebunan besar diperoleh dari pemerintah kolonial, Sejak 1870 kredit tersebut hanya dapat diperoleh dari kreditor swasta dari Negeri Belanda. Sekalipun demikian, perekonomian yang kurang berkembang di dalam negeri Hindia Belanda --karena cukup dengan merkantilisme--tidak membutuhkan kredit dalam jumlah besar, sehingga suatu bank yang sangat besar tidak pernah benar-benar berdiri pada masa ini. Kekosongan kredit besar ini diisi oleh kreditor kecil-kecilan, contohnya mendring atau
pelepas
uang.
Merekalah
orang-orang
yang
menjadi
kaya
dalam
perekonomian demikian. Di sebagian besar wilayah Jawa pada akhir abad ke 19 kesejahteraan rakyat menurun drastis sebagai dampak dari penurunan harga gula internasional. Jumlah penduduk di kota di Belanda mencapai sekitar 30 persen pada tahun 1800, sedangkan di Jawa hanya sepuluh persen pada tahun 1850, bahkan turun menjadi 3-4 persen pada tahun 1890. Kenyataan ini mendorong pemerintah kolonial untuk mengenalkan politik etis. Program politik ini secara normatif hendak meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun tidak pernah terlaksana. Walaupun demikian, kegiatannya sempat memberi dampak pada rakyat, terutama irigasi dan kredit rakyat. IV13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Perubahan baru muncul di awal abad ke 20, setelah sebelumnya muncul desakan golongan swasta untuk turut menikmati sumberdaya di daerah-daerah di Indonesia. Di pusat kerajaan Belanda juga menguat politik etis yang mendesak untuk memberikan hak-hak khusus bagi pribumi Indonesia. Program politik ini secara normatif hendak meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun tidak pernah terlaksana. Walaupun demikian, kegiatannya sempat memberi dampak pada rakyat, terutama irigasi dan kredit rakyat. Puncak
dari
tuntutan
tersebut
ialah
terbentuknya
Wet houdende
Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (S 1903/329). Terdapat tiga pasal baru (pasal 68a, 68b, dan 68c) yang memungkinkan pembentukan gewest atau bagian dari gewest yang memiliki keuangan sendiri untuk mendanai kegiatan di daerah. Permusyawaratan keuangan dilakukan dalam raad (dewan legislatif). Decentralisatie
Wet
tersebut
dilaksanakan
lebih
lanjut
dengan
Decentralisatiebesluit (S 1905/137) dan Locale Raadenordonantie (S 1905/181). Daerah yang mendanai kegiatannya sendiri tersebut dinamakan Locaal Ressort, dan dewan dinamai Locale Raad (Dewan Daerah). Dewan inipun dapat dibedakan sebagai Gewestelijke Raad (dewan untuk gewest) dan Plaatselijke Raad (dewan untuk bagian dari gewest). Dari peraturan ini lahirlah antara lain Gemeente Batavia (S1905/204) dan Gewest Bantam (S 1909/133) atau bagian dari gewest
Cultuurgebied der Oostkust van Sumatra (S 1909/181). Setelah 1905 banyak penanaman modal asing ke dalam perkebunan, dan mencapai titik berlebihan pada tahun 1920-an. Pada tahun 1913 investasi Belanda mencapai 56 persen, disusul Inggris 19 persen, Perancis 11 persen, Amerika Serikat 8 persen, Jepang 2 persen, dan sisanya 4 persen dari negara-negara lain. Jumlah dan jenis tanaman perkebunan meningkat pesat, bersamaan dengan kenaikan harga pertanian ekspor. Ketika modal swasta mulai masuk pada awal abad ke 20, perlahan-lahan wilayah Sumatera mulai didatangi untuk dijadikan perkebunan. Kemakmuran wilayah perkebunan tersebut ditandai oleh masuknya buruh migran dari Jawa dan Cina. Sesudah Perang Dunia I (1914-1915) muncul tekanan internasional dan di dalam negeri untuk memberikan wewenang yang lebih luas dan transfer IV14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
keuangan yang lebih banyak ke daerah. Tekanan ini direspons dengan pembentukan Volksraad pada tahun 1917 (S 1917/114), dan pemberian wewenang yang lebih besar untuk pejabat pemerintahan umum dari bangsa Indonesia (Inlandsche bestuurambtenaaren) menurut S 1918/674. Akhirnya pada tahun 1922 peluang desentralisasi dimunculkan dalam Wet
op de Bestuurshervorming (S 1922/216). Penduduk asli yang mampu bertanggung jawab dalam pemerintahan serta mendapatkan pengalaman politik dapat menyelenggarakan pemerintahan bebas nyata dalam ikatan Kerajaan Belanda. Ketentuan Bestuurshervorming (S 1922/216) diatur lebih lanjut dalam
Provincie-ordonantie (S 1924/78), Regenstchapsordonantie (S 1924/79), dan Stadsgemeente-ordonantie (S 1926/365). Dari peraturan-peraturan ini muncullah wilayah yang dapat mengurus rumahtangganya sendiri, misalnya Provincie West Java (S 1925/378), Regenstschap Batavia (S 1925/382) dan Stadsgemeente Meester Cornelis (S 1926/367). Pembentukan daerah otonom diikuti dengan penghapusan berbagai locaal ressort terdahulu. Di luar Jawa dan Madura – keadaannya dipandang berbeda—ditetapkan Groepsgemeenschapordonantie (S 1937/464)
dan
pembentukan
Stadsgemeente-ordonantie Groepsgemeenschap
Buitengewestenschap.
Minangkabau
(S
Misalnya
1938/132)
dan
Stadsgemeente Makassar (S 1938/718). Di dalam daerah-daerah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut masih terdapat daerah-daerah otonom berupa persekutuan masyarakat asli Indonesia, contohnya desa, huta, kuria, marga, nagari. Persekutuan tersebut diperbolehkan memiliki pemerintahannya sendiri, yang kemudian diatur dalam Gemeente-ordonantie (S 1906/83) untuk Pulau Jawa dan Madura, dan Inlandsche Gemeente-ordonantie Buitengewesten untuk wilayah lainnya 30 tahun kemudian (S 1938/490). Dimungkinkan pula penggabungan, pemecahan,
pembentukan
baru
atau
kerjasama
di
antara
persekutuan-
persekutuan tersebut sebagaimana tercantum dalam Bijblad 9308 dan Hoogere Inlandsche Verbanden-ordonnantie Buitengewesten (S 1931/507). Inlandsche gemeente selanjutnya diperbarui menjadi Desa-ordonantie (S 1941/356). Akan tetapi peraturan terakhir ini ditetapkan hanya setahun sebelum Perang Dunia
IV15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Kedua (1942-1945), dan ketika perang muncul akhirnya peraturan tidak sempat dilaksanakan. Ada pula daerah yang tidak dikuasasi secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang selama kolonialisme terikat kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan tersebut dapat melangsungkan pemerintahannya sendiri, sedangkan kontrak politik berisi kesediaan mengakui kekuasaan Belanda (kontrak jangka pendek) atau menjadi bagia Kerajaan Belanda (kontrak jangka panjang). Posisi zelf-bestuurende
landschappen jangka pendek ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Zelfbestuursregelen (S 1938/529). Nilai ekspor dari Jawa ke Luar Jawa antara tahun 1915-1929 tumbuh sangat pesat dalam angkutan rokok putih dan cerutu, mobil dan suku cadangnya (Dick, 1988). Lihat Tabel 4.2. Ekspor yang tumbuh kurang pesat ialah hasil minyak bumi (terutama minyak tanah), gula dan tekstil. Mungkin karena proteksi alamiah setelah Perang Dunia I, perdagangan besi dan baja meningkat sampai tahun 1920, lalu menurun. Tabel 4.2.
Perdagangan Antar Pulau ke Jawa menurut Komoditas Tertentu (Jutaan Gulden)
Dari Jawa ke Luar Jawa Tekstil Cerutu/Rokok Putih Bahan pangan Mobil dan Suku Cadang Barang Besi/Baja Gula Beras Hasil Minyak Bumi Lain-lain Jumlah
1915
1920
1929
1939
11,7
20,1
26,8
21,6
0,5
2,1
24,4
20,2
2,1
5,1
5,3
4,0
0,7
3,2
14,1
5,1
2,4 3,5 3,3
17,8 6,4 11,5
8,8 13,1 4,4
5,4 6,3 12,4
1,0
1,3
4,4
6,0
na na
na na
73,6 167,4
56,7 137,6
Sumber: Dick (1988)
IV16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 4.3. Perdagangan Antar Pulau dari Jawa menurut Komoditas Tertentu (Jutaan Gulden) Dari Luar Jawa ke Jawa Batu bara Hasil Minyak Bumi Semen Kopra Kopi Rotan Timah Ikan
1915
1920
1929
1939
na
175,0
547,0
562,0
8,4
80,6
154,2
262,4
3,0 10,7 11,7 2,9 na na
71,0 33,7 13,8 3,8 10,3 17,6
278,0 16,2 12,6 2,0 15,1 31,6
553,9 63,4 21,0 15,8 13,8 43,9
Sumber: Dick (1988) Berkenaan dengan angkutan dari Luar Jawa ke Jawa, hanya terdapat kenaikan kecil untuk mengangkut barang-barang yang diperoleh jauh dari pelabuhan (Tabel 4.3). Sejumlah besar lada dan kopi diangkut dari Lampung ke Jakarta, biji timah diangkut dari Bangka dan Belitung ke Jakarta, damar dan rotan dari Kalimantan Barat ke Jakarta dan Surabaya, serta kopi dari Nusa Tenggara ke Surabaya. Selama Perang Dunia I perdagangan kopra antar pulau meningkat, karena sebelumnya pengolahan minyak kelapa berlangsung di Jerman. Akan tetapi setelah perang dan pabrik di Jerman beroperasi kembali, kopra diekspor sehingga pengusaha primbumi kehilangan bahan baku. Sebelum tahun 1930-an ketimpangan meningkat karena produksi pertanian meningkat dengan digunakannya lahan-lahan kosong untuk ditanami komoditas ekspor. Tindakan ini meningkatkan harga sewa lahan dibandingkan upah buruh. Dengan kata lain, sumberdaya yang memiliki produktivitas rendah digunakan untuk tujuan produktivitas perkotaan yang tinggi. Transisi ini seharusnya berhubungan dengan peningkatan ketimpangan, sampai pada titik ketika mayoritas tenaga kerja telah masuk ke dalam sektor modern. Akan tetapi di Indonesia peningkatan ketimpangan berlangsung bersamaan dengan pergeseran bahan pertanian yang semua digunakan untuk keperluan domestik kemudian diperdagangkan untuk eksport. Gini pendapatan pribumi pada tahun 1880 sebesar 0,32, sedangkan pada orang Cina 0,63 dan pada orang Eropa 0,61. Hampir setengah abad berikutnya,
IV17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pada tahun 1925, dengan menghitung pajak yang dibayarkan, terlihat bahwa Gini pribumi 0,37, orang Cina 0,53, dan orang Eropa 0,51. Diawali
tanda-tanda
penurunan
harga
sebagian
besar
komoditas
perkebunan sejak pertengahan 1920-an, depresi ekonomi benar-benar terjadi sejak 24 Oktober 1929. Krisis juga didorong oleh mekanisasi pertanian di negaranegara maju, rasionalisasi industri terutama di Amerika Serikat, serta spekulasi Wall Street dan bursa saham di London. Untuk menanggulangi krisis ini Inggris melepaskan mata uang pound sterling dari standard emas pada tanggal 20 September 1931. Langkah ini diikuti negara persemakmuran lain, India dan Australia, disusul negara-negara Skandinavia dan Jepang. Belanda justru menempuh jalan berlawanan, mempertahankan standard emas dan tidak mendevaluasi gulden. Konsekuensinya harga komoditas berikut pendapatan Hindia Belanda menurun. Sebaliknya biaya produksi, termasuk upah, tidak serta merta menurun. Untuk mengatasinya, pemerintah Hindia Belanda lebih memilih kebijakan penekanan ke dalam, seperti menurunkan upah, mengadakan pajak-pajak baru, dan menurunkan pelbagai tarif. Ketimpangan perkotaan dan pedesaan meningkat pada dekade 1930-an, sebagaimana diindikasikan oleh indeks Gini dari 0,009 menjadi 0,14. Kesempatan kerja pertanian mencapai 76 persen dari total kesempatan kerja yang ada pada tahun 1900, dan tetapi pada angka 74 persen pada tahun 1940. Ini menandakan ketiadaan pergeseran buruh dari pertanian ke industri. Produktivitas buruh (diindikasikan
oleh
GDP
per
kapita)
dalam
bidang
pertanian
menurun
dibandingkan dalam bidang jasa dan industri, yaitu dari 25,2 persen pada tahun 1900 menjadi 18,3 persen pada tahun 1830. Perkembangan ekonomi menuju sektor perkotaan, sejalan dengan upaya ekspor komoditas pertanian. Pengeluaran swasta di sektor perkotaan meningkat dari 34 persen pada tahun 1932 menjadi 43 persen pada tahun 1939. Kontribusi komoditas ekspor pertanian terhadap GDP meningkat dari 22,5 persen pada tahun 1900 menjadi 24 persen pada tahun 1930. Ekonomi Indonesia melaju lebih tinggi daripada peningkatan penduduk selama periode 1900-1930 (dan nanti juga terulang kembali pada periode 19671997). Adapun pertumbuhan ekonomi selama periode 1931-1966 berfluktuasi. IV18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Malaise pada tahun 1929 menurunkan pertumbuhan secara nyata, dan baru pulih kembali pada tahun 1941. Setahun berikutnya pertumbuhan ekonomi jatuh kembali sebagai konsekuensi dari Perang Dunia II. Pemulihan ekonomi berlangsung pada akhir 1940-an hingga awal 1950-an. Sayang perkembangan ini dilanjutkan dengan stagnasi ekonomi, bahkan kemudian menjadi negatif pada dekade 1960-an. Pembangunan ekonomi Indonesia mempergunakan transportasi untuk memindahkan barang dan orang. Pengembangan transportasi dan telekomunikasi membentuk jaringan antar wilayah, mula-mula Jawa, kemudian menyebar keluar Jawa. Peningkatan transportasi tidak berlangsung secara kontinyu. Selama masa pendudukan Jepang peralatan transportasi digunakan untuk keperluan perang oleh Jepang, dengan konsekuensi hilangnya peralatan tersebut. Transportasi juga stagnan pada dekade 1950-1960-an. Setelah masa itu kegiatan transportasi berlangsung lebih lancar. 4.4.
Pendudukan Jepang: 1942-1945 Pada awal penjajahan ibukota dipindahkan ke Singapura. Pemusatan ini
memungkinkan arus pengiriman minyak, karet dan timah dari Sumatera mudah dilakukan. Akan tetapi perjalanan melintasi laut mengandung banyak resiko, sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Bukit Tinggi, lalu ke Riau. Semasa perang orang-orang Indonesia sendiri tidak bisa melakukan perjalanan antara Jawa dan Sumatera. Namun karena perdagangan yang sah sulit dilakukan, akhirnya di Selat Malaka sering terjadi penyelundupan yang riskan. Pejabat Jepang mudah disuap oleh pedagang di masa itu. Desentralisasi selama kolonialisme Belanda tersebut berakhir setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 (Thee, 1993). Selama Perang Dunia II ini pemerintahan militer Jepang menguasai wilayah-wilayah yang ditaklukkannya. Aturan dalam KP Nomor Istimewa (Maret 1943) membentuk tiga daerah pemerintahan, yaitu pemerintahan militer angkatan darat berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan Madura, pemerintahan militer angkatan darat berkedudukan di Bukittinggi untuk Sumatera, dan pemerintahan IV19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
angkatan laut berkedudukan di Makassar untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Selama pendudukan Jepang pemerintahan tertinggi dijabat Gunsereikan (panglima besar balatentara Jepang). Di bawahnya terdapat Gunseikan (pembesar pemerintah balatentara Jepang). Menurut ketetapan Gunseikan 1942/27, Jawa dibagi dalam Syuu (setara residentie), di bawahnya terdapat Ken (setara
regenstschap) dan Si (setara stadsgemeente). Dimungkinkan pula pembentukan Tokubetu Si, yaitu kota yang sangat penting dalam lapangan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Ternyata hanya Jakarta yang dipilih menjadi daerah luar biasa ini. Sementara itu, provincie pada masa Hindia Belanda dihilangkan. Dengan berhentinya perdagangan luar negeri dan tuntutan militer Jepang secara besar-besaran, terjadi perubahan drastis dalam pasokan dan permintaan barang maupun komoditas. Bahan makanan sangat dibutuhkan sehingga produksinya ditingkatkan, sedangkan produksi tanaman keras –yang sebelumnya untuk ekspor—dibatasi. Untuk memperlancar pengumpulan hasil produksi, diawasi dengan ketat pula pemasaran dan distribusi komoditas. Ketimpangan wilayah selama masa pendudukan Jepang mungkin menurun, karena kondisi perang pada saat itu. Perang telah menurunkan ketimpangan di perkotaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan pendapatan pertanian di pedesaan, sementara sektor perkotaan tidak berjalan selama perang. 4.5.
Awal Kemerdekaan: 1945-1966 Meskipun Belanda turut mengalami kerugian akibat Perang Dunia II,
sehingga sulit untuk menegakkan kolonialisme kembali, ternyata hasrat untuk merebut kembali Indonesia berikut modal yang ditanamkan tidak begitu saja pudar. Ekonomi Indonesia masih didominasi perusahaan milik Belanda, sehingga terkait erat dengan keuangan Kerajaan Belanda pula. Dalam kenyataan, lima perusahaan dagang besar yakni Jacobsen & Van den Berg, Internatio, Borsumij, Lindeteves dan Geo Wehry masih menikmati praktek monopoli. Penghasilan dari Indonesia berjumlah 15 persen dari total pendapatan nasional Belanda dalam periode tahun 1925 sampai 1934. Pendapatan tersebut diperoleh dari keuntungan perusahaan, deviden, uang sewa, pensiun, perdagangan, jasa dan barang-barang IV20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
kolonial. Tidak mengherankan, jika kehilangan kontrol ekonomi kolonial maka pendapatan nasional Belanda akan sangat berkurang. Selain itu, di antara Perang Dunia Pertama dan Kedua ekonomi nusantara juga menjadi sumber pendapatan dolar yang mencolok bagi Belanda. Sumbangan terbesar diperoleh dari ekspor karet ke Amerika Serikat. Surplus dolar dari Indonesia menjadi penopang utama bagi ekonomi Belanda untuk mampu menahan defisit dolar substansial antara tahun 1921-1940. Kontrol atas sumber ekspor penghasil dolar menjadi penting, terkait dengan harapan bantuan dolar secara besar-besaran melalui Marshall Plan. Sesuai dengan kesepakatan perjanjian Indonesia-Belanda yang dicapai dalam Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada talum 1949, kepentingankepentingan ekonomi Belanda terus mendapat jaminan menyusul pengakuan kemerdekaan Indonesia, sebagian besar sektor modern Indonesia yang ditaksir bertanggung jawab sekitar 25 persen Gross Domestic Product (GDP) Indonesia dan sekitar 10 persen total lapangan kerja, masih dimiliki dan dikontrol oleh Belanda. Lagipula, banyak posisi pegawai negeri Indonesia sebagian besar masih diduduki orang-orang Belanda yang berjumlah sekitar 6.000 orang pada awal talum 1950-an. Gubernur dan mayoritas Dewan Direktur Bank Jawa –sebagai bank sirkulasi yang berfungsi sebagai bank sentral selama era kolonial, kini menjadi Bank Indonesia—masih dijabat orang Belanda, seperti juga Direktorat Dewan Pengendali Pertukaran Asing. Ketika kekuasaan akhirnya dialihkan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir tahun 1949, Indonesia diwajibkan mengambil alih bukan hanya ekonomi yang hancur di mana hasil perkapita di bawah tingkat tahun 1940, tetapi juga hutang publik sebesar f 1,13 miliar. Namun sebenarnya tantangan ekonomi utama di awal kemerdekaan ialah memulihkan kembali kapasitas dan hasil produksi menjadi seperti tingkat-tingkat sebelum perang. Permasalahan yang menghadang perkebunan baik di Jawa maupun Sumatera jauh lebih serius. Pada tahun 1948 hasil gula di Jawa mulai bergerak mencapai 75 ribu ton, yang sebetulnya tetap lebih rendah daripada produksi sebesar 1,46 juta ton pada tahun 1937. Meskipun para pejabat Belanda mengungkapkan optimisme bahwa industri dapat dihidupkan kembali setidaknya di daerah-daerah yang dikontrol Belanda seperti Delta Brantas di Jawa Timur, IV21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
permasalahan yang timbul sudah berat. Banyak pabrik menderita kehancuran baik di tangan Jepang maupun tentara republik dan intimidasi terhadap petani untuk menyewakan tanah kepada pabrik-pabrik dengan harga sewa yang tidak menguntungkan jauh berkurang. Belanda berharap banyak pada tebu yang ditanam petani, tetapi sedikit petani yang tertarik menanam tebu ketika kebutuhan pangan mereka sudah tertekan. Selama awal tahun 1950-an terjadi perdebatan politik perihal langkahlangkah untuk menghilangkan kepentingan Belanda, sehingga dapat dibangun sebuah ekonomi nasional Indonesia. Sebagian aparat pemerintah mengusulkan pembongkaran kepentingan ekonomi Belanda tersebut dilakukan secara bertahap untuk mencegah gangguan ekonomi yang lebih serius. Sedangkan sebagian besar pemimpin nasional mengusulkan langkah yang lebih cepat tanpa menghiraukan ongkos jangka pendek dislokasi ekonomi dan untuk penggantian unit usaha negara maupun koperasi. Untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan kegiatan ekonomi yang penting di bawah kontrol nasional, pada tahun 1950 pemerintah memperkenalkan Program Benteng yang memberikan izin-izin dan kredit impor kepada importir pribumi. Hal ini membuahkan hasil pada pertengahan tahun 1950-an. Sekitar 70 persen perdagangan impor Indonesia ditangani oleh para pengusaha Indonesia. Program Benteng terfokus pada pengamanan kontrol nasional atas perdagangan impor. Sektor ini bukan hanya paling rentan terhadap kontrol negara melalui alokasi izin impor tetapi juga hampir dapat dimasuki oleh para calon pengusaha Indonesia. Hal ini karena jumlah modal dan sumber-sumber daya perusahaan yang diperlukan relatif kecil dibandingkan kegiatan-kegiatan lain seperti manufaktur. Diharapkan bahwa melalui perdagangan impor ini para pengusaha pribumi Indonesia lambat laun akan mampu mengakumulasi modal yang cukup untuk masuk ke sektor-sektor lain. Dihadapkan pada struktur ekonomi kolonial yang berlanjut, para perumus kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah untuk mengambil bagianbagian penting ekonomi di bawah pemilikan dan kontrol nasional. Sebagai contoh, pada tahun 1953 Bank Jawa dinasionalisasi dan dinamai ulang Bank Indonesia, IV22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
sementara itu transportasi udara domestik yang sebelumnya ditangan Maskapai Penerbangan
Kerajaan
Hindia-Belanda
(KNILM)
dipindahkan
ke
Maskapai
Penerbangan Garuda (GIA), perusahaan penerbangan nasional Indonesia yang baru yang dibangun secara kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Maskapai Penerbangan Kerajaan Belanda (KLM), yang di dalamnya kedua pihak mempunyai kekuasaan yang sama dengan kontrol manajerial dipercayakan kepada KLM untuk periode 10 tahun. Dalam tindakan yang sama, jalan-jalan kereta api di Jawa juga fasilitas umum seperti perusahaan gas dan listrik diletakkan di bawah kontrol langsung pemerintah Indonesia. Pembentukan pemerintahan daerah pada awal kemerdekaan mengandung makna penting. Suasana awal kemerdekaan meluapkan hasrat untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan, yang terwujud dalam upaya membentuk daerah-daerah yang berdaulat dan menyatu dalam negara Republik Indonesia. Di samping itu, pembentukan daerah otonom juga diarahkan untuk menangkal
upaya
Belanda
untuk
menguasai
kembali
Indonesia,
serta
menunjukkan kepada masyarakat di dunia bahwa Indonesia bersifat demokratis dan mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Kemerdekaan diikuti dengan semangat untuk turut berpartisipasi dalam mempertahankan Indonesia. Hanya sehari setelah penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membentuk Panitia Kecil yang bertugas menyusun rencana terhadap hal-hal yang perlu mendapat perhatian segera dari pemerintah. Keesokan harinya Panitia Kecil mengusulkan empat isu, yaitu urusan rakyat, hal pemerintahan daerah, pimpinan kepolisian dan tentara kebangsaan (The, 1993). Usulan dibahas dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945. untuk sementara daerah Indonesia terbagi atas delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Tiap provinsi dibagi menjadi karesidenan yang dipimpin residen. Gubernur dan residen dibantu oleh (Komite Nasional di Daerah (KND). Untuk sementara waktu kedudukan kooti semasa Jepang dan kota (gementee/stadsgementee) diteruskan. Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) terbentuk, semua IV23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
kekuasaan negara dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Hasil rapat PPKI tanggal 23 Agustus 1945 memuat pembentukan Komite Nasional di pusat dan Komite Nasional di Daerah (KND), yang berusaha untuk menyatakan kemauan rakyat Indonesia untuk merdeka, mempersatukan rakyat Indonesia, menjaga keselamatan umum, serta membantu pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan umum. Keputusan PPKI diikuti dengan pembentukan KND di tingkat provinsi, karesidenan, regentschap, dan kota. Di sebagian daerah, seperti Jakarta, bahkan dibentuk komite sampai tingkat kawedanan dan desa. Semula komite nasional di pusat dan daerah turut serta menjalankan pemerintahan, seperti menjalankan perintah presiden dan kepala daerah, memberikan surat keterangan perjalanan, dan surat ijin lain. Keadaan ini berubah setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Sebelum terbentuknya MPR dan DPR, maka KNP diserahi tugas legislatif untuk menyusun garis-garis besar haluan negara. Adapun pekerjaan sehar-hari KNP diserahkan kepada badan pekerja yang dipilih di antara anggota KNP. Atas usulan badan pekerja KNP (30 November 1945), ditetapkanlah UU 1/1945 pada tanggal 23 November 1945. KND diadakan di karesidenan, kota berotonomi, kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri. KND bersama Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) dan kepala daerah
mengatur
rumahtangga
daerahnya
masing-masing,
asalkan
tidak
bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dibentuk badan eksekutif di antara 5 anggota KND untuk menjalan pemerintahan sehari-hari di daerah bersama dengan kepala daerah. Dalam perjalannya terdapat persoalan karena KND mengambil alih pemerintah daerah dan polisi, sekaligus melemahkan kedua insitusi tersebut. Oleh sebab itu Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan penjelasan atas pasal-pasal dalam UU 1/1945, yang secara keseluruhan membatasi peran KND dalam bidang legislasi saja. KND dibatasi hanya dibentuk di tingkat karesidenan, kota dan kabupaten saja. KND berubah sifatnya menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah
IV24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
(BPRD) yang diketuai kepala daerah. Akan tetapi kepala daerah tidak menjadi anggota komite tersebut, sehingga tidak memiliki suara di dalamnya. Wewenang BPRD selaku badan legislatif meliputi: 1. kemerdekaan menyusun peraturan untuk kepentingan daerah (otonomi). 2. pertolongan kepada pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan yang ditetapkan
oleh
pemerintahan
tersebut
(medebewind
dan
self-
government). 3. membuat peraturan tentang hal-hal yang diperintahkan UU umum, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah atasan tersebut. Otonomi yang tercantum dalam UU 1/1945 ini lebih luas daripada pada masa penjajahan Hindia Belanda, karena di sini pemerintah daerah hanya dibatasi oleh peraturan yang sudah disusun pemerintah pusat. Dalam tugas pemerintahan sehari-hari, Badan Eksekutif KND menjalankan kegiatan bestuur. Adapun dalam menjalankan tugas medebewind, Badan Eksekutif dan kepala daerah bertanggung jawab kepada KND. Kemerdekaan turut membawa angin demokratisasi ke wilayah kesultanan di Yogyakarta dan Pakualaman. Oleh karena kesibukan pemerintah pusat, mulamula keduanya menyatakan diri sebagai daerah istimewa dalam negara Republik Indonesia,
dan
bertanggung
jawab
kepada
presiden.
Keduanya
juga
mengeluarkan amanat tentang BPRD sebagai badan legislatif untuk seluruh Daerah
Yogyakarta.
Kedua
kesultanan
tersebut
menyatu
dalam
satu
pemerintaahan daerah. Keadaan-keadaan khusus ini dikuatkan melalui peraturan daerah dalam bentuk Maklumat 18/1946. Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta sebagai susunan pemerintahan daerah sesuai dengan UU 17/1947, menempatkan kedudukan kota tersebut langsung di bawah Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan pemindahan ibukota negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta sejak 4 Januari 1946. Akan tetapi Pemerintah DI Yogyakarta enggan melepaskan lebih dari 20 urusan pemerintahan ke Haminte-Kota, sehingga timbul kesulitan dalam menjalankan pemerintahan kota ini. Persoalan ini mendesak Haminte Kota mengeluarkan mosi kepada pemerintah pusat agar UU 17/1947 ditinjau ulang. Oleh karena mosi pada bulan September 1947 tersebut tidak ditanggapi, pada IV25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
bulan Maret 1948 dikeluarkan kembali mosi agar Haminte-Kota Yogyakarta menjadi bagian dari DI Yogyakarta kembali. Berbeda dari Yogyakarta, untuk daerah Surakarta pemerintah pusat memegang
peranan
penting.
Di
wilayah
tersebut
terjadi
penentangan
pembentukan daerah zelfbestuurende landschappen. Akhirnya dalam Penpem No. 16/SD tahun 1946 dibentuk Daerah Surakarta sebagai karesidenan langsung di bawah
pimpinan
pemerintah
pusat.
Tindakan
ini
berarti
membekukan
pemerintahan kesunanan dan mangkunegaran sampai batas diaturnya melalui UU. Kota ini kemudian dijaikan Haminte-Kota, dan menjadi kota otonom pertama pada awal kemerdekaan Indonesia tersebut. Sementara itu, diselenggarakan BPRD untuk menampung aspirasi demokrasi masyarakat Surakarta. Berhubung dengan suasana perang kemerdekaan dan perhubungan yang sulit dengan pemerintah pusat, penyelenggaraan desentralisasi di Sumatera menempuh jalur yang berbeda. Semula Provinsi Sumatera merupakan daerah administratif.
Semangat
nasionalisme
pada
awal
kemerdekaan
kemudian
diwujudkan dalam bentuk Maklumat Gubernur Sumatera tanggal 12 April 1946 No. 8/MGS, yang serupa dengan UU 1/1945. Perbedaannya terletak pada pendirian DPRD pada tingkat provinsi, karesidenan dan kota. Maklumat ini diperlukan, karena sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 1, wilayah operasional UU 1/1945 hanya untuk Jawa dan Madura. Sebelumnya sempat terbentuk daerah-daerah otonom di Sumatera berdasarkan UU 1/1945. PP 8/1947 menegaskan otonomi provinsi sebagaimana tercantum dalam Maklumat Gubernur di atas. Dinyatakan pula bahwa kabupaten juga menjadi daerah otonom, sekalipun otonomi provinsi lebih besar. Urusan yang biasa dipegang oleh departemen di Jawa, akhirnya dipegang oleh Gubernur Sumatera. Gubernur juga dapat bertindak sebagaimana pemerintah pusat di Sumatera. Wewenang yang luas ini terus berlangsung sampai keluarnya UU 10/1948 yang membagi Pulau Sumatera menjadi tiga provinsi. Sejak saat itu wewenang gubernur Sumatera dialihkan kepada Komisariat Pemerintah Pusat (Kompempus) di Sumatera. Kompempus bertindak sebagai wakil pemerintah pusat dan semua departemen di Sumatera. Pembentukan pemerintah daerah dipersiapkan oleh lembaga ini. Kompempus menyerahkan urusan dan pajak tertentu kepada IV26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
provinsi, menetapkan susunan kantor dan pegawai provinsi, mengatur BPRD dan badan eksekutif KND, serta membubarkan karesidenan-karesidenan di Sumatera. Sebagaimana
diungkapkan
ringkas
sebelumnya,
setelah
Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda dengan dibantu Sekutu berniat menjajah kembali. Hasrat kolonial ini didasari perjanjian tertanggal 24 Agustus 1945 antara Kerajaan Belanda dan Inggris, bahwa wilayah Hindia Belanda akan dialihkan dari kekuasaan Jepang yang kalah perang kepada pemerintah militer Sekutu sebagai pemernangnya. Pemerintahan militer ini akan dibantu pegawai sipil dari Belanda, yaitu NICA (Netherlands Indies Civil Affairs). Di samping berkali-kali agresi militer dan upaya memperpanjang kelanjutan ekonomi kolonial, Belanda akhirnya aktif menguatkan aspek politis dengan pembentukan negara-negara boneka sebagai daerah-daerah otonom. Wilayah Timur Indonesia semula jatuh ke tangan Belanda, yaitu Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Juga telah tercakup di antaranya beberapa kota di Jawa dan Sumatera (Riau, Bangka, Belitung). Tindakan desentralisasi pertama yang dilakukan Belanda ialah menetapkan
Voorloopige Voorzieningen met betrekking tot de Bestuursvoering in de Gewesten Borneo en de Groote Oost (S 1946/17). Peraturan ini membuka kemungkinan pembentukan daerah otonom yang pada azasnya tunduk pada perundanganundangan
Hindia
Belanda
sebelum
perang.
Kebijakan
diarahkan
kepada
pembentuk pemerintahan yang lebih demokratis, kerjasama antar daerah, dan otonomi yang lebih besar. Pemerintahan lokal yang belum terbentuk selama masa kolonialisme kemudian diangkat menjadi daerah otonom setingkat dengan kerajaan sebelumnya. Daerah yang tidak memiliki kekuatan untuk membentuk wilayah otonom dibentuk menjadi grup daerah otonom. Dengan kata lain, desentralisasi
yang
dilakukan
Belanda
tidak
menyamaratakan
bentuk
pemerintahan daerah, melainkan disesuaikan dengan pemerintahan tradisional yang sudah berjalan sebelumnya. Upaya Belanda sampai pada perundingan Linggajati pada tanggal 25 Maret 1947, di mana kedua negara bersepakat membentuk Negara Indonesia Serikat yang terdiri atas Negara RI, Negara Borneo, dan Negara Timur Besar. Untuk memenuhi perjanjian ini pemerintah RI menetapkan Penpem 2/1947 yang IV27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menghapuskan jabatan gubernur di Provinsi Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nuas Tenggara. Oleh karena tidak puas atas hasil perundingan Linggajati, Belanda melancarkan agresi militer pertama pada tanggal 21 Juli 1947. Kekuatan militer Belanda mampu menduduki wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, sebagian Jawa Tengah, dan di Sumatera meliputi Kota Palembang, Padang, Medan dan wilayah sekitarnya. Setelah militer Belanda mundur pada tahun 1947, otoritas pemerintah Indonesia dalam Kabinet Sjahrir memusatkan perhatian pada perbaikan material, perdagangan antar pulau kembali marak. Sementara perdagangan produk perkebunan di Sumatera Timur cenderung menitikberatkan konflik politik dan etnis antar kelompok pribumi republik yang bersaing, di Palembang perdagangan melayani secara lebih baik kepentingan republik yang murni. Palembang melakukan perdagangan penting dengan kelompok Cina di Singapura. Selanjutnya golongan Cina menjadi aktor penting perdagangan Indonesia. Sementara itu, agresi militer pertama mengarah pada perundingan Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Untuk menguatkan kedudukannya, Belanda mengeluarkan dua keputusan pada bulan Agustus 1948 (S 179/1948) berupa ordonansi tentang pengaturan sementara pemerintahan kabupaten-kabupaten. Peraturan ini memungkinkan Belanda untuk membentuk pemerintahan daerah, dengan pegawai yang dipilih oleh Belanda. Keuangan untuk penyelenggaran pemerintahan juga disediakan oleh Belanda. Desentralisasi tidak dilaksanakan secara masif oleh Belanda di Sumatera. Pada tahun 1948 dikeluarkan Ordonnantie Tijdelijke Voorzieningen Bestuur
Stadsgemeenten Sumatra en Borneo (S 196/1948). Isi peraturan serupa dengan Jawa, namun tidak berlaku untuk negara Sumatera Timur. Di Sumatera hanya sempat
dibangun
tiga
neo-landschappen
dan
dibangun
kembali
dua
stadsgemeente. Jelaslah kini, selain melaksanakan perang kemerdekaan secara fisik, pemerintah juga menghadapi siasat politik pemerintah Hindia Belanda yang ingin kembali
memerintah
Indonesia
dan
memperkuat
kedudukannya
melalui
pembentukan berbagai satuan kenegaraan lengkap dengan dewan perwakilan. IV28 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tidak mengherankan pemerintahan Kabinet Sjahrir II sejak Maret 1946 mengeluarkan program menyusun pemerintahan pusat dan daerah yang demokratis. Pada periode pemerintahan ini dikeluarkan UU 22/1948 yang berisi ketunggalan bentuk pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Persamaan perlakuan juga dilaksanakan untuk seluruh wilayah. Desentralisasi merata ke seluruh tanah air, dengan hanya bentuk daerah otonom yang ada di wilayah Indonesia. Hal ini juga berlaku untuk wilayah kerajaan di masa lampau. Tidak ada bentuk daerah lainnya lagi. Pemerintah daerah sepenuhnya dipilih oleh rakyat. Hierarki pemerintahan daerah yang semula tidak kurang dari lima tingkatan kini diubah menjadi hanya tiga tingkatan (provinsi, kabupaten, desa). UU
22/1948
memiliki
kelemahan
dalam
pelaksanaannya.
Bentuk
pemerintah daerah yang seragam tidak sepenuhnya cocok di luar Jawa. Bentuk ini memang mengadopsi pemerintahan daerah yang sudah berkembang di Jawa. Dalam masa revolusi, sulit pula mengharapkan bimbingan dari level birokrasi yang lebih atas kepada yang lebih bawah, karena keduanya sering kali juga sama-sama baru dibentuk. Ternyata Belanda tetap menekan dari aspek politis dengan menguatkan negara-negara
boneka,
serta
menyerang
ibukota
Republik
Indonesia
di
Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1948. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan. Akan tetapi sebelum hal ini terjadi, mandat telah dialihkan kepada Menteri Kemakmuran Sjafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada tanggal 22 Desember 1948 itu juga. Sejarah otonomi Sumatera sebelumnya memang memungkinkan pembentukan pemerintah darurat di sana. Sebelum desentralisasi menjadi mapan oleh Kompempus, perang melawan Belanda telah menekan pembentukan pemerintahan militer di berbagai daerah di Sumatera. Selama berlangsung pemerintahan darurat, daerah-daerah di sana dibina oleh penguasa militer dan PDRI. Adapun gubernur dan kompempus mendampingi proses pembinaan ini. Setelah PDRI dihapuskan, pembinaan pemerintahan daerah dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri yang mendapat tugas dari Presiden Soekarno untuk membina pemerintahan daerah.
IV29 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sementara itu, menjelang agresi militer kedua, telah ditetapkan PP 47/1948 tertanggal 12 Oktober 1947, di mana sebagian jawatan pekerjaan umum mengenai urusan jalan, gas listrik, dan air minum pada daerah otonom Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten dalam Karesidenan Surakarta diawasi oleh angkatan perang. Setelah Belanda menyetujui pengembalian pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 1 Mei 1949 Presiden Soekarno menugaskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Menteri Negara Koordinator Keamanan (MNKK) untuk menerima kembali kekuasaan atas DIY dari pihak Belanda, dan mengurus penyerahannya kembali kepada pemerintah RI. Pada tanggal 14 Juni 1949 MNKK menetapkan Maklumat No. S/4 tentang pembagian kerja antara badan pemeirntah RI di Pusat dan Daerah. Kementerian dan jawatan pemerintah RI di DIY bertugas menerima penyerahan kekuasaan dari Belanda. Pemerintah daerah bertugas membantu menjalankan rencana yang disusun kementerian dan jawatan. Dikecualikan dari urusan tersebut untuk dikelola pemerintah pusat ialah urusan luar negeri, pertahanan, kehakiman, kejaksaan, perumahan/gedung negara, hubungan dengan wilayah RI di luar DIY, penerangan ke luar negeri, dan urusan keuangan. Perjuangan
gerilya
bangsa
Indonesia
dan
dukungan
masyarakat
internasional mendesak Belanda untuk menyelenggarakan perundingan RoemRoyen pada tanggal 7 Mei 1949. Selanjutnya pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden, Wakil Presiden dan menteri-menteri yang turut ditawan telah dikembalikan ke Yogyakarta.
Seminggu
kemudian
Pemerintah
Darurat
RI
di
Sumatera
menyerahkan mandatnya. Langkah berikutnya ialah menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949 (Kahin, 1995). Perjanjian ini menyetujui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) di mana Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagiannya, pemulihan kedaulatan Indonesia dari Kerajaan Belanda, dan pembentukan kerjasamam Uni Indonesia Belanda (Gambar 4.7). Konstitusi RIS menjamin daerah otonom dan daerah yang bersifat istimewa (disebut swa praja). Akan tetapi pengaturan mengenai desentralisasi ini diserahkan sepenuhnya kepada negara bagian masing-masing. Pemerintah pusat RIS tidak memiliki wewenang untuk campur tanngan dalam desentralisasi ini. IV30 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Setelah kedaulatan Indonesia dipulihkan dan tawanan politik yang dipenjarakan oleh Belanda dibebaskan, mulailah timbul gerakan untuk menghapuskan negara federal ciptaan Belanda. Gerakan ini berujung pada pembubaran RIS dan pembentukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gambar 4.7. Negara Republik Indonesia Serikat
Menjelang terbentuknya negara kesatuan tersebut, pemerintah negara Republik Indonesia dengan cepat membentuk daerah-daerah otonom sesuai dengan UU 22/1948. Wilayah RI dengan daerah yang dipulihkan di Jawa dan Sumatera dibentuk menjadi berbagai provinsi, kabupaten, kota besar dan kota kecil. PPPUU 5/1950 menetapkan wilayah yang meliputi Karesidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli dibentuk menjadi Provinsi Sumatera Utara. UU 2/1950 menetapkan Provinsi Jawa Timur sebagai daerah otonom. UU 10/1950 menetapkan pembentukan Provinsi Jateng, sedangkan UU 16/1950 menetapkan haminte-kota Yogyakarta menjadi Kota Besar Yogyakarta. Adapun pembentukan DPRD sementara dan dewan pemerintahan didasarkan pada PP 39/1950. Peraturan ini menimbulkan banyak tentangan dari rakyat, karena anggota DPRD sementara ditunjuk oleh partai, bukan oleh rakyat pemilihnya. Sebagian dari partai tersebut juga tidak terdapat di wilayah pemilihan. Untuk menjamin kelangsungan daerah-daerah di wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) setelah NKRI terbentuk, maka pemerintah Negara NIT menetapkan UU pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur (UU SIT 55/1950). Sebagian IV31 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
UU ini sama dengan UU 22/1948, sementara sebagian lainnya benar-benar berbeda. UU SIT 44/1950 mengenal pula tiga tingkatan daerah, namun dengan nama daerah, daerah bagian, dan daerah anak bagian. Terdapat 13 daerah, sementara Kota Makassar sebagaiu ibukota masih di bawah langsung pemerintah federal. Meskipun tidak pernah ditetapkan secara resmi, namun daerah bagian dan daerah anak bagian muncul sebagai kelanjutan dari satu atau kelompok pemerintahan adat yang sudah ada. Daerah istimewa atau swapraja tidak muncul dalam peraturan ini, namun wilayah ini sama-sama tergolong sebagai daerah. Sebenarnya wilayah-wilayah pemerintahan di wilayah NIT tidak besar dan sulit mandiri. Pemerintahan otonom juga lebih mengakomodasi kepentingan elite tradisional
daripada
aspirasi
rakyat.
Bahwa
wilayah-wilayah
ini
tetap
dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda dikarenakan terkandung maksud untuk melaksanakan politik memecah belah dan menguasai kapan saja diperlukan. Oleh karena ekonomi kolonial yang dibenci dipandang sebagai ekonomi kapitalis, maka pemimpin bangsa Indonesia saat itu lebih tertarik terhadap ekonomi
sosialis.
Terdapat
kecurigaan
yang
berkembang
luas
terhadap
kapitalisme liberal, persaingan bebas (tidak terkendali) dan perusahaan swasta (terutama swasta asing). Namun sampai tahun 1950-an para pemimpin bukanlah sosialis atau Marxis doktriner. Sosialisme dipandang lebih sesuai dengan keindonesiaan, sehingga dipandang memecahkan dominasi sektor modern yang sebelumnya dikuasai oleh modal asing (terutama Belanda dan Cina). Tujuannya jelas, namun tidak ada konsensus tentang cara pencapaiannya, apakah melalui nasionalisasi atau cara lainnya. Sosialisme yang sesuai dengan Indonesia saat itu ialah nasionalisme ekonomi. Hendak diambil alih fungsi-fungsi pengelolaan perusahaan dan faktor ekonomi lainnya, lalu dikelola oleh negara. Rencana Pembangunan tahun 19561960 sempat disusun oleh Biro Perencanaan Nasional, namun tidak bisa dilaksanakan karena pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara. Sebaliknya inflasi mulai meningkat.
IV32 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Setelah kemerdekaan, ketimpangan di perkotaan kembali meningkat lebih tinggi daripada di pedesaan. Setelah perang usai, jumlah pekerja pertanian yang bergeser ke industri dan jasa meningkat, sehingga produktivitas pertanian meningkat. Peningkatan ini menurunkan posisi petani kaya pada tahun 1950-an, sehingga ketimpangan perkotaan dan pedesaan menurun. Pengusiran orang Eropa pada dekade 1950-an turut menyumbang penurunan ketimpangan antara ras Eropa dan pribumi. Ekonomi yang terhambat dan ketidakpastian politik diakhiri dengan Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959. Setahun berikutnya Dewan Perancang Nasional menyusun Rencana Delapan Tahun. Akan tetapi inflasi tetap melambung. Hingga akhir pemerintahan Presiden Soekarno pertumbuhan ekonomi hanya 2,1 persen, yang masih lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk sebesar 2,6 persen. Perkembangan ekonomi wilayah juga tidak beranjak jauh (Easterly, 2002), sebaliknya perekonomian semakin terpuruk dalam pasar gelap premium untuk barang dan mata uang asing. 4.6.
Pembangunan: 1967-1983 Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat sejak akhir 1960-an terutama
berasal dari peningkatan permintaan akan bahan mentah dari Indonesia (Asra, 2000). Bersamaan itu muncul kebijakan untuk membuka pintu perdagangan lebih luas sehingga modal luar negeri yang ditanamkan ke Indonesia juga meningkat. Pada akhir tahun 1960-an pemerintah melaksanakan kebijakan stabilisasi moneter dan ekonomi secara umum. Meskipun hubungan antara kebijakan stabilisasi ini dengan pengurangan ketimpangan wilayah belum juga jelas, namun pada kebijakan tersebut telah membuat ketimpangan di dalam wilayah perkotaan lebih rendah daripada di pedesaan (Alisjahbana, et.al., 2003). Kiranya inflasi yang melangit sampai pertengahan dekade 1960-an telah menurunkan daya beli pekerja di perkotaan. Kebijakan stabilisasi telah meningkatkan kemampuan masyarakat perkortaan. Sebaliknya, stabilisasi harga komoditas pertanian lebih dinikmati oleh petani kaya di pedesaan, dan posisinya semakin meninggalkan petani miskin dan buruh tani. Penggunaan tenaga kerja murah untuk produksi
IV33 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
yang berorientasi eksport sejak dekade 1970-an turut menyumbang penurunan ketimpangan. Selanjutnya ketimpangan wilayah dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia dapat dikaitkan dengan lonjakan harga minyak dan gas bumi (migas) pada periode pembangunan tahun 1973-1983 (Tabel 4.4).
Boom minyak ini
digunakan untuk membangun infrastruktur besar di Indonesia, yang selanjutnya menjadi basis bagi pembangunan pada masa-masa berikutnya. Selama dekade 1970-an pendapatan per kapita warganegara Indonesia meningkat dari US $ 40 menjadi US $ 490. Ketimpangan wilayah dalam periode ini ternyata meningkat. Selain konsekuensi dari boom minyak di atas, penyebab lainnya ialah konsentrasi industri di wilayah perkotaan (Gambar 4.8 dan Gambar 4.9). Semakin jelas ketimpangan antara wilayah Barat dan wilayah Timur Indonesia, serta antara kota dan desa (Alisjahbana, et.al., 2003; Sakamoto, 2007).
IV34 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 4.4. GDP per Kapita di tingkat Propinsi (menurut Harga Dasar 1983 dalam rupiah) 1971
Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Riau BangkaBelitung Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Lampung Bengkulu Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
GDP per Kapita
1972-1983 Rata-rata Pertumbuhan Tahunan
1983
GDP per Kapita
1984-1996 Rata-rata Pertumbuhan Tahunan
1996
GDP per Kapita
2008
1997-2002 Rata-rata Pertumbuhan Tahunan
2002 GDP per Kapita
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
224.9
224.9
15.01%c
10.87%c
1,204.8a
776.0a
3.09%d
3.94%d
1,788.4a
1,282.4a
–3.78%d
–2.00%d
1,418.8a
1,136.1a
371.0a
354.5a
0.32%d
0.23%d
385.3
364.5
6.29%c
6.54%
851.6
830.1
0.64%
0.86%
885.0
873.7
1,544.4a n.a.
387.6a n.a.
6.15%c n.a.
1.44%d n.a.
3,161.4a n.a.
460.2a n.a.
–0.41%d n.a.
8.42%c n.a.
2,996.5a n.a.
1,316.1a n.a.
–1.51%d n.a.
0.45% n.a.
2,734.6a 1,390.4a
1,352.1a 1,190.4a
208.8
208.5
4.14%
4.08%
339.8
337.0
4.98%
4.49%
639.1
596.7
2.26%c
2.49%c
731.0
691.8
350.96 497.1a
344.1 419.4a
–0.61%d 2.57%
–1.41%d 1.67%
326.2 674.1a
290.2 511.6a
3.84% 2.65%d
4.41% 3.44%c
532.4 947.2
508.6 794.1
2.63%c –2.36%d
1.48% –1.98%d
622.0 820.9
555.6 704.4
214.4 212.0 576.6a n.a. 204.0 172.7b
214.4 208.8 576.6a n.a. 203.9 171.6b
–0.86%d 2.90% 5.86%c n.a. 4.44% 3.93%
–0.88%d 2.98% 5.86%c n.a. 2.83% 3.95%
193.4b 298.9 1,142.4a n.a. 343.6 274.3
192.8b 297.1 1,142.4a n.a. 285.1 273.1
6.83%c 3.23%d 5.89% n.a. 5.54% 6.36%c
6.68%c 3.02%d 5.89% n.a. 6.62%c 6.29%
456.7b 452.0b 2,404.6a n.a. 692.4 611.1
447.2b 437.6b 2,404.6a n.a. 656.0 603.4
1.93% 0.01% 1.33% n.a. –3.98%d –0.24%
1.69%c 0.02% 1.33% n.a. –3.97%d –0.28%
512.2 452.1b 2,603.8a 726.0 542.8 602.5
494.5 438.1b 2,603.8a 725.1 514.5 593.3
176.7b
176.2
3.56%
3.54%
268.9b
267.5
5.92%
5.85%
567.9
560.2
–0.70%
–0.66%
544.5
538.3
206.4 236.1
206.0 236.1
4.65% 2.57%
4.62% 2.54%
356.0 320.0
354.1 319.2
5.95%c 5.89%
5.86% 5.81%
754.9 673.8
742.9 664.7
–0.76% 0.14%
–0.82% 0.11%
721.0 679.5
707.0 669.3
272.3
272.3
4.35%
4.30%
453.6
451.2
3.93%
3.72%d
748.6
725.4
–1.18%
–0.95%d
697.0
684.9
258.6
249.8
3.91%
3.65%
410.0
384.0
5.00%
4.64%
773.0
692.2
2.01%
0.48%
870.9
712.4
IV35 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
1971 Propinsi
GDP per Kapita Dengan Tambang
Tanpa Tambang
1972-1983 Rata-rata Pertumbuhan Tahunan Dengan Tambang
Kalimantan 639.3a 604.8a 13.75%c Timur Sulawesi 285.9 285.3 0.32%d Utara Gorontalo n.a. n.a. n.a. Sulawesi 131.7b 131.7b 5.58% Tengah Sulawesi 185.5 183.5 3.55% Selatan Sulawesi 232.1 148.8b 1.74%d Tenggara Bali 237.7 236.3 3.23% Nusa 122.1b 122.1b 3.18% Tenggara Barat Nusa 110.8b 110.8b 3.73% Tenggara Timur Maluku 249.0 247.6 1.90% Maluku n.a. n.a. n.a. Utara Papua 231.3 227.4 9.29%c Mean 313.6 259.7 3.64% SD 276.8 121.8 0.89% CVw 0.882 0.469 0.244 Keterangan: a=tergolong 5 propinsi dengan GDP per d=tergolong 5 propinsi dengan pertumbuhan terlambat Sumber: Resosudarmo dan Vidyattama (2006)
1983 GDP per Kapita
1984-1996 Rata-rata Pertumbuhan Tahunan
1996 GDP per Kapita
2008
1997-2002 Rata-rata Pertumbuhan Tahunan
2002 GDP per Kapita
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
Dengan Tambang
Tanpa Tambang
4.67%c
3,000.2a
1,045.6a
1.24%d
6.83%c
3,520.9a
2,467.4a
2.77%c
2.07%c
4,147.7a
2,790.3a
0.30%d
296.9
295.7
5.44%
5.07%
591.8
562.1
4.25%c
3.95%c
759.7
709.1
n.a. 5.38%c
n.a. 252.6b
n.a. 247.0b
n.a. 4.82%
n.a. 4.76%
n.a. 465.8b
n.a. 452.3b
n.a. 0.84%
n.a. 0.90%
535.9 489.6
514.9 477.3
3.41%
282.0
274.4
5.72*
5.64%
581.0
559.7
1.47%
1.31%
634.1
605.33
4.66%c
285.4
257.1b
4.08%
4.64%
480.1
463.4
0.56%
0.61%
496.5
480.6
3.28% 3.03%
348.0 177.8b
348.0 174.8b
7.42%c 5.10%
7.36%c 4.99%
882.5 339.7b
875.8a 329.1b
0.34% 5.66%c
0.34% 0.29%
900.4 472.6b
894.0 334.8b
3.70%
172.1b
171.4b
4.78%
4.67%
315.6b
310.2b
2.14%
2.24%c
358.5b
354.2b
1.61% n.a.
312.0 n.a.
299.9 n.a.
4.82% n.a.
4.63% n.a.
575.4 n.a.
539.9 n.a.
–3.96%d n.a.
–3.08%d n.a.
451.5b 469.4b
447.5b 442.7b
3.19% 671.8 331.4 3.27% 613.5 390.4 0.81% 755.2 235.6 0.154 1.231 0.603 kapita tertinggi, b=tergolong 5 propinsi
IV36 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
3.57% 3.16%d 1,059.7a 496.2 1.53% –0.17% 1,160.6 4.96% 5.26% 950.1 781.5 0.62% 0.39% 947.7 0.75% 0.68% 797.9 532.0 1.01% 0.66% 810.4 0.151 0.130 0.840 0.681 1.611 1.697 0.855 dengan GDP per kapita terendah, c=tergolong 5 propinsi dengan pertumbuhan tercepat,
491.2 790.9 561.0 0.709
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia menurut Gambar 4.8. Deviasi Standard (Memperhitungkan Migas), 1976-2005
Sumber : Sakamoto (2007). Gambar 4.9. Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia menurut Deviasi Standard (Tidak Memperhitungkan Migas), 1976-2005
Sumber : Sakamoto (2007) Setelah pembangunan dilangsungkan pada dekade 1970-an, ketimpangan di
perkotaan
berangsur
meningkat,
sementara
di
pedesaan
menurun.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan ternyata tidak mengalir secara merata bagi pekerja di perkotaan, sehingga mengakibatkan ketimpangan di wilayah ini. Sementara itu, pada masa ini belum muncul program yang sengaja ditargetkan untuk orang miskin, namun kebijakan stabilisasi harga pangan berhasil dimanfaatkan oleh orang miskin. Hasilnya antara lain berupa penurunan ketimpangan di pedesaan. Periode ini bahkan menunjukkan penurunan kemiskinan yang tercepat, terutama pada periode tahun 1976-1981 yang mencapai 13 persen. Sebelum tahun 1980an persentase kemiskinan di perkotaan lebih rendah daripada di pedesaan, namun sesudahnya muncul gerak yang terbalik. Sekali lagi hal ini
IV37 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menunjukkan ketepatan alokasi pendapatan negara dari boom minyak untuk mendanai pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan. Pada tahun 1971 pendapatan per kapita propinsi di Jawa umumnya lebih rendah daripada di luar Jawa, kecuali pada beberapa propinsi di Sulawesi dan Nusa Tenggara (Resosudarmo dan Vidyattama, 2006). Selama tahun 1972-1983 terdapat lima propinsi yang berkembang paling pesat, yaitu Kalimantan Timur, Nanggrow Aceh Darussalam, Papua, Riau dan Jakarta. Sebenarnya jika tidak memperhitungkan keluaran dari migas, pertumbuhan pendapatan per kapita di Kaltim, NAD, Papua dan Riau menjadi rendah secara signifikan. Pada awal Repelita rata-rata pengeluaran rumahtangga di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa. Pengeluaran penduduk di perkotaan juga lebih tinggi daripada di pedesaan. Perkotaan di luar Jawa menduduki posisi tertinggi, sementara
pedesaan
di
Jawa
menduduki
tingkat
pengeluaran
terendah.
Kemiskinan penduduk desa di Jawa terus berlangsung sampai kini. Perubahan muncul di perkotaan Jawa sejak akhir 1960-an. Selama tahun 1964/1965 hingga 1976 perkotaan di Jawa tumbuh lebih cepat karena menjadi pusat industri manufaktur. Pertumbuhan perkotaan ini sudah setara dengan pertumbuhan seluruh perkotaan di luar Jawa pada tahun 1976, kemudian pada tahun 1987 sudah tidak berbeda lagi pengeluaran rumahtangga per bulan di sleuruh luar Jawa dengan perkotaan Jawa. Perkembangan serupa juga muncul antara desa di Jawa dan luar Jawa. Sampai tahun 1976 pengeluaran rumahtangga di pedesaan luar Jawa masih lebih tinggi daripada di Jawa. Penurunan ketimpangan di pedesaan disumbang oleh Revolusi Hijau yang terkonsentrasi di wilayah persawahan Jawa, dan meluasnya kesempatan kerja di luar pertanian. Barang tambang penting di propinsi-propinsi Kaltim, NAD dan Riau, serta tambang mineral penting di Papua. Di Jakarta pertumbuhan industri menjadi motor utama. Selama periode ini Propinsi Jambi dan Lampung memiliki pertumbuhan negatif, karena –sesuai dengan rumus PDRB dibagi jumlah penduduk—di kedua propinsi tersebut terdapat transmigran dalam jumlah besar. Adapun kebijakan pada periode ini yang menurunkan ketimpangan pembangunan wilayah ialah stabilisasi moneter, stabilisasi harga pangan, IV38 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pembangunan pedesaan, transfer dana ke daerah melalui dana Instruksi Presiden (Inpres). Pembangunan pedesaan meningkatkan daya beli petani. Adapun Inpres merupakan dana grant yang diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pemda), agar Pemda mampu mendanai pembangunan infrastruktur dan pembangunan sosial di daerah. 4.7.
Pembangunan: 1984-1996 Periode tahun 1984-1996 ditandai ketika perubahan landasan ekonomi
berlangsung dalam bentuk liberalisasi perdagangan, investasi dan keuangan. Pertumbuhan ekonomi secara umum melambat. Dalam kondisi demikian kontribusi sektor manufaktur dalam menyediakan kesempatan kerja masih tinggi, bahkan mulai melampaui sektor pertanian. Pada tahun 1983 kontribusi sektor manufaktur terhadap GNP baru 13 persen, kemudian meningkat menjadi 22 persen pada tahun 1991. Pertumbuhan pertanian sendiri melambat. Reit pertumbuhan pendapatan sawah perhektar telah menurun (dari 14,4 persen pada Pelita I dan II menjadi , dan sejak akhir 1980-an reit pertumbuhan kesempatan kerja dalam bidang pertanian telah jatuh (Asra, 2000). Kebijakan ekonomi dilakukan untuk meningkatkan kontribusi sumberdaya non migas. Ketimpangan pembangunan wilayah selama periode ini menurun, jika migas dipertimbangkan. Akan tetapi jika migas dikeluarkan dari perhitungan, maka ketimpangan pembangunan wilayah tetap tinggi. Aspek lainnya yang penting ialah perubahan struktur perekonomian, di mana industri telah tumbuh sejajar dengan pertanian. Sementara itu, sektor tertier semakin menurun. Dalam pada itu migrasi dari pekerja sektor pertanian ke manufaktur di desa dan kota mendorong pertumbuhan ekonomi. Migrasi ini dimungkinkan oleh peningkatan kesempatan kerja dalam bidang manufaktur, peningkatan upah industri dan bangunan, serta peningkatan prasarana transportasi. Rasio upah tenaga kerja terlatih dan tidak terlatih meningkat 4,9 persen dalam tahun 19861992 (Suryahadi, 2001). Penduduk di kota meningkat dari semula 21,9 persen pada tahun 1981, menjadi 31,0 persen pada tahun 1990, kemudian menjadi 37,4 persen pada tahun 1996.
IV39 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Ketimpangan di perkotaan mula-mula konstan, kemudian meningkat sebagai konsekuensi dari peningkatan manufaktur sejak tahun 1987 (Cameron, 2003). Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan ketimpangan di desa secara cepat pula, sehingga penghitungan ketimpangan di tingkat nasional sulit menangkap fenomena ini. Penurunan ketimpangan di desa disebabkan oleh adopsi teknologi pertanian secara cepat oleh petani kecil, serta tumbuhnya kesempatan kerja di luar pertanian. Faktor penting lainnya ialah kedekatan lokasi warga desa dengan lapangan kerja non pertanian tersebut. Sebagian besar industri dipusatkan di Jawa, yang menjadi tempat tinggal sebagian besar orang miskin di Indonesia. Dinamika warga desa Jawa mempengaruhi penurunan ketimpangan nasional. Keragaman pertumbuhan dalam periode ini tidak berbeda nyata di antara propinsi. Hal ini menunjukkan pertumbuhan per propinsi mendekati rata-rata pertumbuhan nasional. Inilah yang menunjukkan penurunan ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia selama periode tersebut. Selama periode ini pertumbuhan rata-rata pendapatan per kapita tertinggi terjadi di Propinsi Bali. Peningkatan reit pertumbuhan Bali ialah pembangunan bandar udara internasional Ngurah Rai. Propinsi lain yang bertumbuh cepat ialah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Propinsi-propinsi yang bertumbuh lebih cepat pada periode ini disebabkan oleh pertumbuhan cepat industri yang menyerap tenaga kerja dan berorientasi ekspor. Di sebagian Jawa dan Sumatera, pertumbuhan juga disebabkan oleh peningkatan infrastruktur, diiringi peningkatan kualitas hidup manusia. Sumut dan Lampung bahkan sebelumnya tergolong memiliki reit pertumbuhan rendah. Sedangkan NAD, Riau dan Kaltim yang sebelumnya tumbuh dengan cepat, pada periode ini justru tergolong wilayah yang tumbuh paling lambat. Faktor demografi yang berpengaruh terhadap peningkatan ketimpangan wilayah ialah struktur umur penduduk. Dalam kasus di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagaimana disampaikan pada bab sebelumnya, ketimpangan meningkat secara gradual dari umur sekitar 23 tahun sampai sekitar 55 tahun, di
IV40 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
mana ketimpangan pada umur 30-50 tahun meningkat sangat cepat dibandingkan kelompok umur sebelumnya. Tabel 4.5. Indeks Gini menurut Provinsi di Indonesia Propinsi Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Irian Jaya Indonesia
1993 0,293 0,295 0,305 0,266 0,242 0,296 0,281 0,264 ― 0,326 0,299 0,295 0,331 0,318 ― 0,315 0,274 0,254 0,302 0,259 0,274 0,313 0,291 0,286 0,273 0,272
1996 0,259 0,301 0,278 0,300 0,246 0,300 0,273 0,276 ― 0,363 0,356 0,291 0,353 0,311 ― 0,309 0,286 0,296 0,300 0,271 0,292 0,318 0,344 0,302 0,323 0,311
1999 0,240 0,254 0,256 0,224 0,240 0,260 0,254 0,288 ― 0,317 0,286 0,246 0,337 0,291 ― 0,270 0,261 0,267 0,271 0,237 0,264 0,277 0,272 0,286 0,296 0,276
0,300 0,370 0,335
0,269 0,386 0,335
0,241 0,360 0,308
2002 ― 0,288 0,268 0,292 0,260 0,291 0,253 0,254 0,247 0,322 0,289 0,284 0,367 0,311 0,330 0,298 0,266 0,292 0,301 0,245 0,292 0,304 0,270 0,283 0,301 0,270 0,241 ― ― 0,329
Sumber: Hondai (2006) Ketimpangan antar provinsi ternyata lebih rendah daripada ketimpangan di dalam provinsi itu sendiri (Tabel 4.5 dan Gambar 4.10). Ketimpangan antar provinsi meningkat secara gradual pada periode ini, dengan jarak perbedaan ratarata pengeluaran penduduk mencapai 13,5-21,0 persen. Namun demikian, ketimpangan wilayah di Indonesia lebih banyak dikontribusikan oleh ketimpangan antar kabupaten/kota (ketimpangan dalam provinsi) dibandingkan ketimpangan antar provinsi. Kontribusi kabupaten/kota terhadap ketimpangan wilayah pada tahun terpilih 1990, 1993 dan 1996 sebesar 86,54 persen, 84,92 persen, dan IV41 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
79,11 persen, sedangkan kontribusi provinsi sebesar 13,46 persen, 15,08 persen dan 20,89 persen. Ketika ketimpangan antar provinsi meningkat, justru ketimpangan antar kabupaten/kota menurun, dan hal ini mempengaruhi penurunan sedikit pada ketimpangan wilayah di Indonesia (Islam, 2003). Ketimpangan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan sumberdaya alam yang dimiliki, serta penempatan lokasi industri. Gambar 4.10. Dekomposisi Ketimpangan Indonesia, 1990-1999
Antar
dan
Dalam
Provinsi
di
Sumber: Islam (2003) Ketimpangan juga menguat antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Hal ini disebabkan oleh stagnasi upah pekerja pertanian di pedesaan, padahal upah golongan kerah putih atau manajerial di perkotaan terus meningkat. Kebijakan subsidi ternyata juga lebih dinikmati oleh lapisan atas di perkotaan. Ketimpangan ini semakin menguat sebagai konsekuensi migrasi dari desa ke kota. Kemiskinan di perkotaan turun lebih cepat selama tahun 1981 sampai 1990, dari semula 28 persen menjadi 17 persen. Penurunan ini lebih banyak disebabkan oleh rata-rata konsumsi yang lebih tinggi. Distribusi konsumsi ini berubah pada awal 1990-an, yang ditunjukkan oleh sedikit peningkatan ketimpangan.
IV42 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Namun demikian peningkatan ketimpangan semakin meluas di perkotaan. Pada tahun 1987 ketimpangan di perkotaan ini menjadi faktor dominan yang mengakibatkan ketimpangan di seluruh Indonesia (kontribusi 37 persen). Kontribusi ini terus meningkat hingga 45 persen pada tahun 1993 (Cameron, 2003). Ketimpangan antar provinsi semakin menurun pada periode ini. Akan tetapi karena industri terkonsentrasi di Jawa, dapat diperkirakan bahwa di masa mendatang ketimpangan semakin meningkat. Meskipun industrialisasi di Jawa mampu menurunkan ketimpangan dengan luar Jawa, namun hal ini sekaligus meningkatkan ketimpangan di Jawa itu sendiri. Pada tahun 1993 rata-rata pengeluaran di kota dua kali lipat dibandingkan di desa, padahal pada tahun 1960-an ketimpangan tersebut hanya 1,4 kali lipat. Program pemerintah yang mampu mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah pada periode ini mencakup program khusus penanggulangan kemiskinan sejak awal dekade 1990-an, sejalan dengan tema pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan pemerataan. Selama tahun anggaran 1995/1995 sampai 1997/1998 pemerintah membelanjakan sekitar 0,1 persen hingga 0,3 persen dari GDP untuk program-program penanggulangan kemiskinan. 4.8.
Krisis Moneter: 1997-1999 Periode tahun 1997-1999 merupakan krisis moneter di Indonesia. Krisis
tersebut, diikuti kerusuhan sosial yang merajalela, menurunkan rata-rata tahunan per kapita di Maluku, NAD, Jawa Barat, Sumut, Jatim, Kalimantan Tengah, Di Yogyakarta,
Jateng
dan
Riau.
Sebetulnya
beberapa
propinsi
mengalami
pertumbuhan ekonomi, namun langsung turun akibat masuknya migran yang mengalami pemutusan hubungan kerja dari Jakarta. Misalnya Propinsi Riau, Jateng, DI Yogyakarta dam Kalteng. Dalam laju tersebut, sebaliknya, Jakarta yang sebenarnya mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, namun kini mengalami perpindahan penduduk keluar, akhirnya secara netto mendapatkan pertumbuhan pendapatan per kapita yang positif. Selama masa krisis moneter ketimpangan antar wilayah menurun drastis. Krisis melanda perkotaan lebih kuat, terutama pada pekerja yang dipecat. Adapun IV43 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
wilayah pedesaan mengalami peningkatan harga komoditas pertanian. Walaupun demikian,
ketimpangan
di
dalam
wilayah
semakin
meningkat,
terutama
disumbang oleh ketimpangan antar kabupaten. Meskipun secara umum ketimpangan antar provinsi menurun –dan ini sudah
berlangsung
sejak
awal
1990-an,
namun
ketimpangan
antar
kabupaten/kota dalam provinsi justru meningkat (Alisjahbana, et.al., 2003; Islam, 2003). Hal ini disebabkan kabupaten/kota mendapatkan keuntungan berlebih dari pembagian hasil eksploitasi sumberdaya alam di wilayahnya. Selam
periode
penanggulangan
krisis
kemiskinan.
moneter, Impak
pemerintah pertumbuhan
mengeluarkan terhadap
program
pengurangan
kemiskinan di Indonesia memiliki dimensi kewilayahan. Di pedesaan Jawa dan Bali kebijakan ini lebih responsif untuk mengurangi kemiskinan, daripada di Sumatera dan Sulawesi, dan paling tidak responsif di pedalaman Kalimantan, Maluku dan Papua (Friedmann, 2005). Pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan deregulasi. Kebijakan ini, diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat, kembali menyulut peningkatan ketimpangan pembangunan wilayah (Alisjahbana, et.al., 2003).
4.9.
Otonomi Daerah: 2000-2008 Selama periode ini krisis ekonomi masing membayangi, dan muncul
kebijakan desentralisasi sejak tahun 1999 yang efektif dilaksanakan sejak tahun 2000. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah secara massif dan dalam waktu singkat mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jika mleihat data-data yang ada, selama periode delapan tahun otonomi daerah tidak ada tanda-tanda penurunan ketimpangan pembangunan daerah secara berarti. Sebagian pengamat masih menunggu dampak positif desentralisasi, karena meyakini bahwa kebijakan ini hanya akan menghasilkan manfaat dalam jangka panjang (Hill, Resosudarmo, Vidyattama, 2008). Desentralisasi, yang diikuti oleh pemilihan presiden dan kepala daerah langsung oleh rakyat, jelas menguatkan demokrasi secara nyata. Pada tataran IV44 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
global, di negara yang sebelumnya konvergen, demokratisasi berguna untuk menjaga agar ketimpangan pembangunan wilayah tetap pada tataran rendah. Hal demikian mungkin cocok untuk kasus Indonesia, jika diperhitungkan dari indeks Gini berbasis pengeluaran rumahtangga. Namun pada beberapa tahun terakhirpun perlu diwaspadai, bahwa indeks Gini Indonesia sudah mendekati angka pembatas kovergensi 0,4. Dari tahun 2002 sampai 2008 indeks Gini berturut-turut 0,33; 0,32; 0,32; 0,33; 0,36; 0,36; 0,34. Terdapat
beberapa
indikasi
yang
meningkatkan
ketimpangan
pembangunan wilayah: 1. Pembagian keuangan negara untuk daerah mempertimbangkan kontribusi daerah dalam GDP, sehingga daerah yang memiliki sumberdaya alam maupun sumber ekonomi lain yang tinggi akan memperoleh pembagian keuangan yang lebih besar. Di Indonesia empat provinsi dengan sumberdaya alam tertinggi ialah NAD, Riau, Kaltim, Papua. 2. Lebih dalam lagi, ketimpangan akan semakin nyata antar kabupaten yang menempati eksplorasi sumberdaya alam, atau yang didiami oleh industri yang kuat, misalnya Bengkalis. 3. Di samping itu, dana bagi hasil juga lebih menguntungkan daerah-daerah yang sejak lama menjadi sentra bisnis ( 4. Kerjasama
antar
wilayah
belum
terjalin
secara
kuat,
sebaliknya
pembangunan daerah lebih berorientasi kepada kepentingan daerah sendiri. 5. Pungutan
tinggi
yang
menghambat
laju
migrasi
antar
daerah
mengakibatkan distribusi barang dan jasa semakin terpusat di daerahdaerah tertentu. 6. Pembatasan juga diberlakukan kepada daerah lain, baik dalam aspek ekonomi (tarif bea masuk) maupun politik (mengutamakan “putra daerah” dalam jabatan birokrasi dan politis). 7. Penyerahan Dana Alokasi Umum (DAU) yang sesungguhnya berisi kebutuhan program seluruh departemen, ternyata tidak selalu diarahkan untuk mengatasi isu-isu strategis ketimpangan pembangunan wilayah. Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk IV45 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil 8. Bersumber dari konsentrasi perekonomian di Jawa, maka pengurangan dana bagi hasil maupun pengurangan pengeluaran dari Jawa akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional (Azwardi, 2007). Namun jika pertumbuhan Jawa tetap didukung oleh alokasi sumberdaya ekonomi, maka ketimpangan antar wilayah tidak kunjung melemah. 9. Berkaitan dengan itu, desentralisasi fiskal semakin menguatkan wilayah yang Beberapa daerah, bagaimanapun, telah memberikan program pemerataan akses kepada produksi ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Pemerataan akses berpeluang untuk menurunkan ketimpangan di dalam daerah yang bersangkutan. Persoalan lain terkait dengan otonomi daerah ialah pemekaran wilayah, berupa terbentuk kabupaten atau provinsi baru. Belum terdapat konvensi, apakah pemekaran merugikan daerah dan warga tempat tinggalnya (studi Bappenas, 2007), ataukah sebaliknya menguntungkannya (studi PKP2A I, 2004). Tampaknya manfaat atas wilayah pemekaran diperoleh jika semakin mendekati kekayaan SDA (Roth, 2008). Sayangnya, kembali lagi, begitu mendapatkan hak pengelolaan SDA maka tidak bersedia berbagi dengan kabupaten lain di sekitarnya. Oleh sebab itu, penahan pemekaran daerah biasanya ialah provinsi atau kabupaten induk yang sebelumnya menguasai SDA tersebut. Untuk
mengatasi
peluang
ketimpangan
pembangunan
wilayah,
dikembangkan distribusi DAK (Dana Alokasi Khusus), terutama untuk menjaga pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan pengurangan ketimpangan. Sayangnya tidak semua pemerintah daerah mencairkan DAK, yang menunjukkan bahwa kegiatan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah tidak dijalankan secara penuh. Program lainnya diselenggarakan pada tingkat nasional, dengan arahan kepada pengembangan wilayah strategis. Program semacam ini seringkali dilaksanakan atas kerjasama pemerintah pusat dan donor asing.
IV46 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
5 Evaluasi Paradigma dan Teori Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah untuk Indonesia
5.1.
Revolusi Paradigma dan Teori Ketimpangan Wilayah Dalam konteks teoretis, pengetahuan tentang paradigma berguna untuk
menunjukkan area yang sahih tempat teori tersebut bisa digunakan dan diakumulasikan. Setiap paradigma memiliki aturan main sendiri, yang menentukan manakah sebab (atau masalah) dan akibatnya (dampaknya). Konsekuensinya tiap paradigma memberikan alternatif kebijakan sebagai penyelesaian masalah secara khusus, yang berbeda dari paradigma lainnya. Kesalahan penggunaan teori pada paradigma yang berbeda mengakibatkan kebijakan pembangunan wilayah gagal dilaksanakan, tidak memiliki pilihan untuk dilaksanakan, atau minimal penyelesaian masalah ketimpangan tidak sesuai dengan kaidah teori tersebut. Hal ini pernah terjadi dalam Program Agropolitan (Agusta, 2008). Teori agropolitan yang digunakan dalam program tersebut berada dalam paradigma pembangunan berbasis manusia. Dalam paradigma ini diyakini adanya potensi untuk berkembang pada masing-masing wilayah. Oleh sebab itu wilayah tertinggal tidak dimaknai sebagai wilayah yang kekurangan bahan-bahan V1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pembangunan, melainkan dimaknai sebagai ruang yang sudah memiliki potensi namun di dalamnya belum dikembangkan sepenuhnya. Hubungan antara wilayah maju dan tertinggal harmonis, di mana pasar dikontrol agar tidak menghasilkan kerugian bagi wilayah yang lebih tertinggal. Di
Indonesia
kesalahan
paradigmatik
muncul
ketika
agropolitan
dikembangkan dalam paradigma modernisasi. Gabungan antara teori kutub pertumbuhan dan pembangunan berimbang digunakan untuk mempraktekkan agropolitan bagi pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Persoalam muncul karena teori kutub pertumbuhan mengandalkan multiplier effect dan difusi hasil pembangunan, padahal dampak yang dihasilkan tidak menyebar atau hanya berupa tetesan ke bawah. Adapun teori pembangunan berimbang membutuhkan kondisi awal di mana kesenjangan ekonomi dan sosial relatif rendah, yang berarti tiap anggota masyarakat memiliki akses yang seimbang terhadap sumberdaya produktif. Kondisi awal inilah yang tidak muncul dalam wilayah Indonesia saat ini, bahkan inilah masalah yang hendak dipecahkan. Sebagai pengaruh dari paradigma
modernisasi,
alat-alat
kebijakan
dipandang
netral
dan
akan
menguntungkan semua anggota masyarakat, padahal dalam kenyataan orientasi kemodernan lebih mudah ditangkap oleh penduduk lapisan atas. Akibatnya pembangunan wilayah semacam ini berpeluang menciptakan ketimpangan baru, yang lebih dekat bagi masyarakat perdesaan karena lapisan-lapisan sosial itu berada dalam desa yang sama. Kontradiksi kebijakan lainnya juga ditunjukkan dengan perdebatan, di mana Departemen Pertanian cenderung membutuhkan proteksi
komoditas
unggulan
wilayah,
namun
Departemen
Perdagangan
cenderung membiarkan petani langsung berhubungan dengan pasar bebas. Paradigma dapat dimakai sebagai kepercayaan yang paling dasar, yang menghasilkan konsekuensi dalam cara seseorang merasakan, berpikir dan bertindak. Pengembangan teori mengandaikan dua level ilmu pengetahuan (Kuhn, 2002). Pada tahap teori normal terjadi akumulasi teori, asalkan berada pada ranah filosofi ilmu pengetahuan yang sama. Misalnya, akumulasi teori Kuznets oleh Williamson hanya tumbuh di dalam paradigma yang sama, yaitu paradigma modernisasi.
V2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Akan tetapi ada level berikutnya yang diantisipasi oleh pandangan revolusi paradigma. Pada tahap ini teori baru mengambil sudut pandang yang benar-benar berbeda dari teori lama, sedemikian hingga teori lama tidak bisa digunakan bersama-sama dengan teori baru tersebut. Teori yang lebih baru tersebut berdiri sendiri, berbeda secara nyata dari teori-teori lama. Contohnya paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia memandang tiap manusuia atau masyarakat memiliki potensi untuk berkembang. Dari dasar pandangan ini Myrdal memandang pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang lebih maju dapat menyerap potensi dari wilayah yang lebih terbelakang. Untuk mengurangi dampak negatif ini, lokasi pengembangan baru justru diletakkan di wilayah-wilayah tertinggal. Pilihan ini dimungkinkan, karena pembangunan yang berpusat pada manusia mengakui potensi masyarakat tertinggal untuk mengembangkan wilayahnya sendiri. Paradigma modernisasi akan menentang keputusan ini, karena pemilihan
kepada
wilayah
terbelakang
tidak
memungkinkan
produktivitas
maksimal atau tidak efisien untuk menumbuhkan wilayah. Proses revolusi ilmiah dimulai dari kondisi pra-paradigma (Kuhn, 2002). Pada tahap ini temuan-temuan fakta, yang banyak sekalipun, tidak bisa disusun secara
sistematis,
karena
tidak
memiliki
panduan
metateoretis
untuk
mengurutkannya menjadi teori yang bermakna (Gambar 5.1). Gambar 5.1. Revolusi Paradigma Ilmiah
Baru setelah bisa didefinisikan secara sistematis menurut ontologi, epistemologi dan aksiologi dari teori tersebut, maka temuan fakta menjadi bermakna untuk disusun menjadi teori. Kondisi menuju ilmu normal ini menunjukkan tanda awal konstruksi suatu paradigma. Paradigma ini akan memberikan rekomendasi tentang data mana yang perlu diambil dari lapangan, serta proses penyusunannya menjadi urutan atau sistematika yang bermakna. Dengan adanya paradigma ini, proses pengumpulan fakta atau informasi menjadi V3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
terarah, sehingga tidak perlu mengumpulkan terlalu banyak fakta atau informasi melainkan cukup ragam fakta atau informasi yang bisa dijelaskan oleh paradigma ini. Dalam perkembangannya, akan muncul anomali-anomali faktual atau analitis dari paradigma yang dibangun. Walaupun menggunakan teori yang sudah sesuai dengan paradigma tersebut, namun ternyata menghasilkan temuan empiris yang melenceng dari rancangan paradigma teoretis yang dianut. Terhadap anomali ini, mungkin kelompok penganut paradigma yang sama akan meluaskan susunan teori dalam paradigma itu untuk mencakup temuan baru yang berbeda ini. Tindakan lainnya, mungkin juga mereka menganggap temuan itu tidak perlu dibahas untuk kepentingan paradigma mereka. Yang terakhir, mungkin mereka memandang anomali temuan ini penting, sehingga membutuhkan suatu cara pandang baru dalam memandang realitas. Cara pandang yang terakhir terhadap anomali itulah yang menghasilkan
krisis pada paradigma lama. Krisis ini ditandai oleh semakin meningkatnya anomali-anomali tersebut. Akhirnya anomali itu tidak lagi dipandang sebagai pengecualian,
melainkan
melahirkan
suatu
cara
pandangan
ontologis,
metodologis, dan aksiologis baru terhadap realitas serupa. Inilah wujud dari
revolusi ilmiah. Suatu pandangan atas pembangunan desa mengalami perubahan. Berbeda dari konsep awal paradigma teori ilmu alam yang selalu berisi satu paradigma dominan (Kuhn, 2002), dalam ilmu sosial dapat muncul beragam paradigma pada masa yang sama, tanpa ada yang mendominasi secara mutlak. Untuk menerangkan hal ini, dapat dinyatakan bahwa pola revolusi ilmiah yang hanya menghasilkan satu paradigma dominan hanya dimungkinkan melalui metodologi positivisme, dan hal ini dilakukan oleh ilmu pengetahuan alam sampai akhir abad ke 19. Seandainya paradigma dalam ilmu sosial juga hanya berupa positivisme, maka ada peluang hanya satu paradigma dominan yang dihasilkan dari suatu revolusi ilmiah. Positivisme terlalu dekat dengan data empiris, sehingga kejatuhan maupun pembangunan kembali paradigma baru dipermudah melalui uji korespondensi teori langsung dengan faktanya. Akan tetapi, manakala basis ilmiah bukan lagi korespondensi melainkan refleksi yang lebih abstrak, interpretatif, dan partisipatif, terbukalah jalan untuk memunculkan beragam paradigma secara V4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
bersamaan. Ragam ini diturunkan dari bermacam-macam interpretasi atas suatu hal yang dikaji. Kritik berikutnya perlu diajukan terhadap ciri ketidakmungkinan untuk saling kritik antar paradigma, yang diajukan Kuhn (2002). Menurutnya, teori ilmu pengetahuan tidak bisa dipahami maupun diukur dengan paradigma yang berbeda, karena keduanya memandang obyek pengetahuan secara berbeda pula. Pemikiran demikian memiliki kelemahan karena berpeluang untuk jatuh ke dalam relativisme teoretis maupun metodologis. Dalam interpretasi yang lebih kritis, hal ini bisa digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk menekan pihak lain dalam mengkritik kekuasan hegemoninya. Dalam praktek ternyata tindakan saling menilai ini biasa dilakukan para ahli menurut kaidah yang dipandang rasional. Sebagai bagian dari teori pembangunan, teori-teori pembangunan wilayah berkembang
menurut
ketergantungan
paradigma
(dependency
yang
and
berbeda-beda:
underdevelopment
modernisasi,
theories),
dan
pembangunan berbasis manusia (people-centered development, alternative
development, participatory) (Tabel 5.1). Paradigma modernisasi muncul sejak dekade 1950-an. Diasumsikan bahwa hubungan suatu wilayah pinggiran (periphery) yang lebih miskin dengan wilayahwilayah pusat yang lebih maju akan mengakibatkan kemajuan dari wilayah pinggiran tersebut. Wilayah pinggiran diuntungkan oleh hubungan dengan pusat, sehingga jika muncul masalah dalam pola hubungan pusat-pinggiran ini, cenderung digali permasalahan yang muncul dari wilayah pinggiran. Tabel 5.1.
Pembeda
Perbedaan Paradigma Pembangunan Berpusat Wilayah Paradigma Modernisasi
Modernisasi, Ketergantungan dan Manusia dalam Teori Pembangunan Paradigma Ketergantungan
Sumber masalah ketimpangan
Produktivitas tidak maksimal
Hubungan dengan wilayah lebih maju
Sumber penyelesaian ketimpangan Peran pemerintah
Integrasi dengan pasar
Melepaskan hubungan dari wilayah yang lebih maju Utama, melalui keputusan politik untuk kemandirian Industrialisasi dipimpin oleh pemerintah
Diarahkan untuk menyediakan prasarana yang mengurangi biaya jarak
V5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia Ketiadaan akses ke wilayah yang lebih tertinggal Aktualisasi maksimal dari potensi warga di wilayah tertinggal Melindungi masyarakat lokal untuk mengembangkan diri Pembangunan diarahkan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Peran swasta
Peran masyarakat
Teori
Kebijakan diarahkan untuk memudahkan transfer informasi dan berlakunya ekonomi pasar Utama, berperan untuk menjaga efisiensi maksimal dalam produksi dan distribusi barang maupun jasa Masyarakat sebagai sumber tenaga kerja dan pasar bagi produk yang dihasilkan Kewiraswastaan, Bi-Modal Production, dualisme regional, Growth Poles, Central Place, Model U terbalik
Kelemahan
utama
dari
berbasis sumberdaya yang tersedia pada masyarakat lokal Swasta yang kuat dipandang akan menunggangi pemerintah
Pendirian kelompokkelompok lokal yang terdiri dari warga lokal untuk melakukan usaha bersama
Pembagian kerja dalam masyarakat diarahkan sesuai dengan potensi masing-masing Polarisasi sosial, sosialisme
Utama, melalui pemberdayaan dan partisipasi
teori-teori
Sebab-akibat kumulatif dan sirkular, Agropolitan
berparadigma
modernisasi
ialah
ketiadaan gejala difusi inovasi secara signifikan dari wilayah pusat ke wilayah pinggiran/hinterland/periferi (Agusta, 2008). Sebaliknya muncul kasus-kasus dimana wilayah pinggiran mengalami penyedotan sumberdaya alam maupun manusia oleh wilayah pusat (backwash effect, meskipun ini konsep dari paradigma lainnya). Di samping itu paradigma ini sulit menggali akar permasalahan pembangunan yang berasal dari hubungan antara wilayah pinggiran dan wilayah pusat. Kiranya hal ini terkait dengan asumsi yang mendasarinya, di mana akar permasalahan dipandang berasal dari dalam wilayah sendiri. Kelemahan-kelemahan dari teori-teori pembangunan di atas kemudian dikritik oleh teori-teori pembangunan generasi kedua, yang biasa disebut sebagai teori-teori ketergantungan. Paradigma ini berkembang dan menguat pada dekade 1960-an. Sebagai reaksi atas generasi pertama di atas, maka teori-teori pembangunan wilayah yang dikembangkan di sini berada pada arah yang berlawanan. Di dalamnya justru hubungan antara wilayah tertinggal/periferi dengan wilayah maju akan merugikannya. Jika di lapangan ditemukan wilayah periferi
yang
hubungannya
makin
terbelakang,
dengan
pihak-pihak
kesalahannya di
luar
ditimpakan
dirinya.
kepada
Paradigma
pola
berupaya
melepaskan diri dari hubungan dengan wiayah-wilayah yang lebih maju. Sebagai V6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
gantinya, penganut paradigma ini berupaya mengembangkan hubungan di antara wilayah-wilayah yang terbelakang, dalam rangka memperkuat diri menghadapi wilayah yang lebih maju. Kelemahan dari teori-teori keterbelakangan ialah cirinya yang statis, sehingga sulit menjelaskan kemajuan wilayah terpencil setelah mendapatkan sentuhan program pembangunan wilayah. Jumlah desa tertinggal di Indonesia, misalnya, jika diukur dengan ukuran yang sama akan menunjukkan penurunan jumlah absolute, dari sekitar 12 ribu pada periode 2003-2005 menjadi sekitar 10,5 ribu pada tahun 2006 (Agusta, 2005, 2008). Kelemahan lain teori ketergantungan ialah bergerak dalam ranah yang abstrak dan melintasi negara. Sifat demikian menyulitkannya untuk diterapkan dalam pembangunan nasional (dalam satu negara), apalagi di tingkat daerah dan komunitas. Upaya
untuk
mendapatkan
alternatif
pembangunan
menghasilkan
paradigma pembangunan berbasis manusia (people-centered development) sejak dekade 1970-an. Paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia merumuskan kondisi akhir pembangunan pada saat seluruh anggota masyarakat maupun kelompok mampu merealisasikan potensi-potensi mereka. Perubahan sosial
akan
dilakukan
melalui
praktek
pemberdayaan.
Oleh
karena
itu
pembangunan berperan sebagai proses pemberdayaan individu dan kelompok. Pembangunan
akan
dijalankan
melalui
individu-individu
maupun
gerakan
masyarakat. Di samping dimensi paradigmatik di atas, pembahasan perihal teori-teori ketimpangan pembangunan wilayah juga perlu mempertimbangkan beragam pendekatan. Lihat Tabel 5.2. Pendekatan sebagai basis asumsi atas realitas dan rasionalitas permasalahan dapat tumbuh dalam paradigma yang berbeda, sehingga memiliki implikasi teoretis yang berbeda pula. Pendekatan teori-teori ketimpangan wilayah mencakup pendekatan budaya dan geografi, pendekatan sebab-akibat sirkular atau kumulatif, pendekatan kutub pertumbuhan, dan pendekatan dualisme.
V7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 5.2. Paradigma dan Pendekatan Teori-teori Pengurangan Ketimpangan Wilayah Perspektif Modernisasi Kaitan Budaya dan Geografi Dualisme Wilayah Pertumbuhan
Sebab-Akibat Sirkular atau Kumulatif
Paradigma Ketergantungan
Pembangunan Berbasis Manusia
Kewiraswastaan Bi-Modal Production, dualisme regional Growth Poles, Central Place, Neo-classic Development, ExportBase Model U terbalik
Polarisasi Agropolitan
Sebab-akibat kumulatif
Dalam pendekatan budaya dan geografi, dipandang terdapat hubungan antara lingkungan dan kebudayaan. Lingkungan mungkin menentukan masyarakat untuk bermatapencaharian sebagai nelayan, pertanian, dan sebagainya. Akan tetapi kebudayaan bisa berbeda-beda, sehingga dalam wilayah tersebut ada masyarakat yang masih menjadi wilayah pedesaan atau menjadi urban, sehingga hubungan dengan lingkungan semakin kompleks. Kemajuan wilayah diyakini tidak terutama disebabkan oleh kekayaan alamiah suatu wilayah, melainkan tergantung dari sejauhmana semangat kewiraswastaan tumbuh dalam wilayah yang bersangkutan. Yang dipandang sebagai penentu kemajuan wilayah mencakup kewiraswastaan, ketrampilan manajerial, ilmiah dan teknis, etika kerja pendukung, pekerja yang berdisiplin dan loyal. Kewiraswastaan didefinisikan sebagai kapasitas untuk memperkenalkan teknologi dan produk baru, untuk mengembangkan sumberdaya
baru,
mengembangkan
organisasi
bisnis
dan
manajemen,
kemampuan untuk menghidupkan inovasi di seluruh bidang. Pendekatan-pendekatan berikutnya didasarkan pada argumen, bahwa pasar bebas –di dalam dan untuk dirinya sendiri—tidak bisa memastikan adanya pertumbuhan secara berkelanjutan atau kesetimbangan dinamis baik menurut waktu maupun ruang. Sebaliknya, pasar dipandang selalu menghasilkan ketidaksetimbangan,
ketidaksamaan,
pembangunan
yang
merugikan,
dan
meningkatkan ketimpangan antar wilayah maupun kelompok sosial. Keberhasilan perspektif-perspektif ini tergantung dari pembahasan wilayah di tingkat daerah
V8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
atau di bawah level nasional. Jawaban hamper tidak bisa digeneralisasikan pada tingkat nasional. Dalam pendekatan dualism, ekonomi nasional terbagi atas dua sector, yaitua sektor modern dan sektor tradisional. Pembagian ini dapat disandingkan antara sector formal dan informal, antara sector industri dan sektor pertanian. Kondisi semacam ini terutama berlangsung pada masa colonial, dan secara jarang juga terjadi pada neo-kolonialisme masa kini. Pendekatan wilayah pertumbuhan populer digunakan di negara-negara sedang berkembang pada akhir 1960-an hingga dekade 1970-an. Industri diharuskan atau dirangsang untuk tumbuh di perkotaan pada wilayah tertinggal. Infrastruktur dibangun disertai insentif atau regulasi untuk investasi swasta. Selanjutnya dicari efek penyebaran kesejahteraan dari wilayah yang lebih maju ke wilayah yang lebih tertinggal. Paradigma
teori-teori
ketimpangan
wilayah
juga
terpengaruh
oleh
pembedaan dalam ilmu ekonomi, antara penganut paradigma kesetimbangan (equilibrium)
dan
penganut
paradigm
ketidaksetimbangan
(unequilibrium).
Penganut kesetimbangan terkait dengan paradigma modernisasi di atas. Sementara penganut unequilibrium masuk ke dalam paradigm ketergantungan atau pembangunan berbasis manusia.
5.2.
Paradigma Modernisasi
5.2.1. Pendekatan Kaitan Budaya dan Geografi: Kewiraswastaan Studi enterprener (enterpreneur) pertama kali dilaksanakan pada abad ke 16 di Perancis (Martinelli, 1994). Pada saat itu enterprener dimaknai sebagai orang yang bisa mempekerjaan tentara bayaran bagi keamanan suatu kota atau pangeran-pangeran. Baru pada abad ke 18 konsep enterprener diterapkan dalam bidang ekonomi. Itupun dengan definisi kepada aktor ekonomi yang mengambil kontrak untuk melakukan pekerjaan umum, atau mengenalkan teknologi pertanian baru kepada suatu masyarakat, atau mengambil resiko usaha dalam pendirian industri. Pembahasan secara teoretis baru muncul pada Cantillon dan Turgot, yang menekankan keinginan untuk menerima resiko dan ketidakpastian V9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
yang inheren di dalam kegiatan ekonomi. Adam Smith masih menerima definisi ini, tanpa pengembangan lebih jauh. Namun John Stuart Mill membedakan antara fungsi enterprener dari kapitalis. Baru Joseph Schumpeter yang yang mengidentifikasi ciri inovatif dalam enterprener, sehingga memberika ciri baru dinamisme pada enteprener. Pertumbuhan ekonomi dan keuntungan pada suatu wilayah dipengaruhi oleh kewiraswastaan dan inovasi teknologi (Schumpeter, 2002). Namun demikian, terdapat kecenderungan sejarah bahwa wiraswasta individual digantikan oleh kelas baru administrasi industri. Dalam bidang ekonomi masa kini (Martinelli, 1994), jasa enterprener diasumsikan bersifat elastis. Diasumsikan pula, bahwa ketiadaan enterprener merupakan hasil dari kesalahan kondisi pasar serta kekurangan insentif ekonomi. Pada saat ini studi tentang entreprener telah berkembang mencakup pendekatan sosiopsikologis, konteks penyimpangan sosial dan marjinalitas etnis, basis budaya, konteks struktural, pendekatan ekonomi, dan pendekatan situasional. Pendekatan sosiopsikologis memandang bahwa enterprener ekonomis selalu bertindak sesuai dengan sifat-sifatnya sendiri. Mereka tidak memperhatikan sistem, melainkan memasuki pasar sesuai dengan nalurinya. Sejak kecil mereka disosialisasikan untuk menyukai kemajuan, baik melalui cerita maupun interaksi kelompok kecil. Sayangnya dalam masyarakatnya sendiri mereka relatif terpencil, terutama pada masyarakat yang tidak memberi nilai tinggi kepada kemajuan dan perubahan. Dalam pendekatan konteks penyimpangan sosial dan marjinalitas etnis, enterprener dipandang muncul pada kelompok marjinal, para migran, maupun yang selama ini tertekan di tengah masyarakatnya. Mereka mengembangkan sikap terbuka untuk kemajuan dan kreatif untuk mempertahankan diri. Sekalipun status sosial mereka marjinal, namun dalam keterpencilan tersebut mereka justru secara tidak langsung diarahkan untuk mengembangkan kemampuan spesifik dalam
bidang
bisnis.
Di
dalam
kelompok
enterprener
sendiri,
mereka
mengembangkan trust (saling percaya) di antara mereka. Pendekatan berbasis budaya terfokus kepada tekanan budaya, adat dan agama untuk mengembangkan rasionalitas ekonomi. Pendekatan ini juga V10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menganalisis sosialisasi dalam keluarga. Pandangan ekonomis instrumental untuk menarik keuntungan itu, telah menjadi kesadaran dari pelaku-pelakunya. Pendekatan konteks struktural menekankan hubungan sosial, terutama hubungan industrial atau hubungan produksi lainnya, baik berupa konflik maupun kerjasama, antara pemerintah, sektor usaha dan masyarakat, yang menghasilkan pola-pola enterprener tertentu. Pola hubungan produksi ini
juga menandai
dinamisme enterprener. Dalam pendekatan ekonomi, enterprener dipandang memiliki sikap yang sudah pasti, rasional, selalu berupaya menarik keuntungan setinggi-tingginya, dalam rangka menghadapi pasar yang tidak bisa diaturnya atau diprediksikannya. Di sini tidak ada teori tentang aktor, karena semua faktor enterpener berada di luar dirinya, atau dikelola oleh sistem yang netral. Dalam pendekatan situasional, enterprener dipandang sebagai manusia individual, yang berupaya meningkatkan peluang keuntungan dari suatu kondisi riil, serta berupaya supaya keuntungan itu tidak jatuh kepada pihak lain. Pilihanpilihan tindakan rasional tersebut tergantung dari situasi yang ada, baik yang obyektif maupun yang dipikirkan oleh enterprener. Untuk kasus Indonesia, enterprener biasanya terdapat pada kelompok masyarakat yang jelas batas-batasnya, karena mereka bersifat homogen (Geertz, 1989; Mu’tasim dan Mulkhan, 1998; Sobary, 1995). Kelompok enterprener ini biasanya merupakan kristalisasi dari golongan tradisional yang lebih besar, sudah sejak lama memiliki status di luar desa, dan memiliki orientasi antar tempat (migrasi). Adapun golongan induk tersebut sedang mengalami perubahan radikal di wilayahnya. Di bidang ideologi, kelompok ini memandang dirinya sebagai wahana utama untuk penyempurnaan agama dan moral, di tengah kondisi masyarakat desa yang tidak berdisiplin, bodoh, dan tidak acuh. Inovasi dan masalah inovasi lebih bersifat organisasi daripada masalah teknis. Peran enterprener di sini ialah menyesuaikan aset yang semula diatur secara tradisional/adat untuk digunakan dalam tujuan-tujuan baru ekonomi modern.
V11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
5.2.2. Pendekatan Dualisme: Produksi Bi-Modal, Dualisme Regional Pendekatan dualism bermula dari pemikiran Boeke di Indonesia. Arti penting teori-teori J.H. Boeke ialah penggunaannya yang luas dalam menganalisis pembangunan maupun industrialisasi di negara miskin dan kaya –tidak sekedar wilayah Indonesia, Asia Tenggara, atau Asia. Dalam konteks teori-teori pembangunan, bahkan teori dualisme ekonomi dipandang sebagai landasan pertama bagi munculnya teori-teori modernisasi. Untuk Indonesia sendiri menjadi penting, karena kasus Indonesialah yang mendasari pembentukan teori-teori tersebut. Masyarakat dualistik sebagaimana diutarakan oleh JH Boeke (1953) ditandai oleh perbenturan antara sistem sosial import dan sistem sosial lokal yang bersifat berlainan. Selama ini yang sangat banyak dilihat pada sistem sosial import ialah kapitalisme tinggi. Sesungguhnya sistem sosial tersebut bisa saja sosialisme atau komunisme, atau campuran semuanya. Menurut Higgins (1968), karakteristik yang sebaiknya dilihat dalam masyarakat dualistik ialah suatu kebutuhan yang terbatas pada masyarakat lokal, yang berkebalikan dari kebutuhan yang tidak terbatas sebagaimana dianut dalam masyarakat Barat. Oleh sebab itu, ketika menghadapi krisis maka masyarakat tradisional tidak bisa segera mengatasinya, karena tidak memiliki ambisi ekonomis yang tinggi (Purwanto, 2002). Dalam masyarakat dualistik, indikator makro pertumbuhan ekonomi bisa jadi tidak merefleksikan perkembangan kesejahteraan, ketika distribusi kesejahteraan tersebut tidak merata. Pembangunan infrastruktur, misalnya, tidak selalu meningkatkan pendapatan masyarakat (Saeed, 1999). Pembangunan untuk penduduk miskin bisa teralokasikan kepada penduduk kaya. Dengan kata lain, upaya memecahkan dualisme ekonomi tergantung kepada kemampuan lapisan bawah dalam mengakses infrastruktur diikuti inovasi lain, untuk mengembangkan diri. Ketimpangan desa dan kota muncul ketika penggunaan dan perolehan keuntungan dari prasarana desa lebih ditujukan untuk kepentingan pihak lain di luar desa. Sejak masa penjajahan Belanda prasarana desa dibangun juga oleh pemerintah jajahan dan pengusaha asing, namun dalam rangka memindahkan sumberdaya lokal desa menuju luar daerah, bahkan hingga ke negara lain yang V12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menjadi
tujuan
perdagangan
sumberdaya
lokal
tersebut
(Pelzer,
1985).
Contohnya, pengembangan prasarana perdesaan dalam rangka memenuhi kebutuhan agroindustri maupun industri pertambangan memang membuka peluang pengembangan ekonomi desa yang bersangkutan, tetapi secara nyata sumberdaya alam diambil dari dalam desa, dengan keuntungan ekonomi terbesar dimiliki oleh pihak asing (Higgins, 1963). Warga desa, juga bersama buruh pendatang, hanya memiliki peluang berusaha dan bekerja yang rendah dibandingkan pengusaha asing. Mereka tidak bisa memasuki ekonomi modern. Di sinilah tumbuh dualisme ekonomi, yaitu sementara pihak penjajah dan pegusaha asing mengakumulasi modal dalam ekonomi modern yang berdasarkan uang atau komersialisasi, tetapi masyarakat desa beserta buruh pendatang dibatasi ke dalam bentuk ekonomi pra kapitalis atau kurang komersial yang lebih didasarkan pada hubungan-hubungan sosial (Boeke, 1993; Geertz, 1989; Mubyarto, 2000). Kegagalan warga desa untuk memanfaatkan peluang tinggal landas sebagai akibat dari pembangunan prasarana menjadi berbahaya, karena momentum biasanya serupa membutuhkan waktu satu generasi (Geertz, 1983) 5.2.3. Pendekatan Wilayah Pertumbuhan: “Neo-Classic Development”, “Growth Poles”, “Central Places” Pendekatan neoklasik tentang pertumbuhan yang memberi inspirasi bagi paradigma modernisasi menyatakan, bahwa negara atau wilayah yang memiliki kesamaan teknologi produksi, sumberdaya alam, preferensi waktu konsumsi, rasio tabungan dan penduduk yang memadai, cenderung untuk konvergen pada GNP tertentu. Wilayah yang semula memiliki standard hidup rendah dan rasio kapital/buruh yang rendah akan tumbuh lebih cepat selama masa transisi, sampai pada posisi yang sama dengan wilayah yang lebih maju, lalu pertumbuhan melambat. Teori ini memandang disparitas regional sebagai fungsi dari kekurangan integrasi pasar dan kekurangan fasilitas infrastruktur. Konsep yang dikedepankan ialah hubungan antar wilayah melalui pembangunan infrastruktur. Oleh sebab itu program pembangunan mencakup infrastruktur fisik, kelembagaan dan personal. Target intervensi program mencakup wilayah yang berbeda dalam pendapatan V13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
daerah. Instrumen untuk mendukung program tersebut mencakup pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, serta pelatihan dan penyampaian informasi program. Teori export-base menganut pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan fungsi dari permintaan eksternal. Oleh karena itu konsep pembangunan terfokus kepada promosi sektor-sektor yang memungkinkan untuk pengembangan ekspor. Area intervensi program demikian terpusat pada strategi promosi sektoral tersebut. Program tertuju kepada pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dilaksanakan melalui kredit, subsidi kepada sektor strategis, promosi investasi di wilayah tersebut, pembangunan infrastruktur, serta pengembangan kewirausahaan. Teori pusat pertumbuhan (growth pole theory) memandang lokasi industri sebagai fungsi dari cabang penting industri tersebut. Wilayah semacam inilah yang akan mampu mengembangkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Tidak mengherankan bahwa konsep yang dikemukakan adalah pengembangan industri di wilayah tertinggal. Intervensi diarahkan kepada lokasi industri. Tujuan intervensi ialah menciptakan hubungan antar wilayah yang memiliki perbedaan reit pertumbuhan. Instrumen program mencakup subsidi, pengembangan wilayah industri, serta penyediaan akses modal kerja langsung dari pemerintah. Dalam teori central place, lokasi pusat layanan merupakan fungsi dari kapasitas yang dibutuhkan wilayah tersebut dan sekitarnya, serta biaya transportasi penggunanya. Pengembangan wilayah di sini diarahkan kepada perencanaan lokasi yang cocok untuk fungsi tersebut. Pemerintah biasa melakukan intervensi melalui pengembangan lembaga pemerintahan dan swasta. Tujuan khusus yang hendak dicapai ialah peningkatan suplai dan biaya lembaga pemerintahan,
serta
menyetarakan
suplai
proyek
pembangunan
dengan
pelayanan yang dihasilkannya. Proyek yang dikembangkan berupa penyesuaian anggaran pemerintah, pembangunan infrastruktur ekonomi dan bangunan fisik lainnya.
V14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
5.2.4. Pendekatan Sirkular: Model U Terbalik Untuk memperhitungkan ketimpangan pembangunan wilayah, Kuznets mengemukakan
hipotesis
berupa
model
U-terbalik
(Bhattacharya,
2007).
Ketimpangan pendapatan mula-mula meningkat kemudian menurun sejalan dengan peningkatan pembangunan (Gambar 5.2). Model ini berjalan karena pada awal tahap pembangunan banyak penduduk bekerja di sektor pertanian yang memiliki pendapatan per kapita rendah serta hidup pada masyarakat yang tidak timpang. Pendapatan terdistribusi lebih merata di pedesaan daripada di perkotaan. Begitu penduduk mulai bermigrasi ke perkotaan yang memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi, maka ketimpangan secara keseluruhan meningkat. Pada tahapan akhir pembangunan, tekanan terhadap ketimpangan ini diatasi dengan penurunan ketimpangan di-dalam masyarakat perkotaan sendiri. Anak-anak migran sudah mulai beradaptasi dengan kehidupan wilayah perkotaan, politik lapisan bawah perkotaan berkembang untuk meminta perundangan-undangan yang lebih adil dan mendukung keberadaan mereka. Gambar 5.2. Hipotesis Kuznets U-Terbalik
V15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sampai saat ini masih muncul kelemahan dalam menerapkan hipotesis Kuznets di lapangan. Data distribusi pendapatan dalam jangka waktu yang panjang seringkali tidak diperoleh di negara-negara yang sedang berkembang. Ketiadaan data ini dimanipulasi dengan membandingkan perekonomian lintas wilayah pada waktu yang bersamaan, dengan menganalogikan wilayah tertinggal sebagai titik “masa lalu” sedangkan wilayah maju sebagai titik “masa depan”. Pendekatan ini dipraktekkan dengan membandingkan pendapatan per kapita lintas negara. Pendekatan lainnya berupaya menguji ketimpangan di-dalamwilayah meskipun dengan jangka waktu yang pendek, kemudian melihat apakah ketimpangan relatif muncul pada negara tertinggal dan menurun pada negara yang lebih maju. Bagaimanapun pilihan data yang berbeda dapat menghasil kurva U, U-terbalik, atau bentuk-bentuk yang berbeda. Kedua pendekatan di atas ternyata banyak menunjukkan peningkatan ketimpangan sejalan dengan peningkatan pertumbuhan wilayah. Tidak muncul kecenderungan
ketimpangan
yang
konsisten
pada
awal
sampai
akhir
pembangunan. Negara-negara maju juga mengalami ketimpangan. Sedangkan upaya mencari kurva Kuznets pada kasus negara-negara Amerika Latin yang memiliki ketimpangan tinggi serta pertumbuhan ekonomi sedang, ternyata telah menghilangkan
perbedaan
sejarah
pada
masing-masing
negara
tersebut.
Ketimpangan yang terus muncul pada saat ini dipandang sebagai konsekuensi dari pengembangan teknologi yang meminta lebih banyak tenaga trampil daripada yang tidak trampil. Pada saat ini ukuran ketimpangan wilayah banyak menggunakan ide-ide dari Williamson (1965), yang mendasarkan diri pada teori Kuznets di atas. Pada dasarnya Williamsons menggunakan kaidah statistika tentang nilai tengah, yaitu koefisien variasi (CV). Untuk mengaitkannya dengan kewilayahan, maka koefisiensi variasi tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk (CVs). Perhitungan ini menggunakan model persamaan umum. Williamson memandang masalah pembangunan wilayah di negara sedang berkembang ialah peningkatan jumlah penduduk yang sangat besar, sehingga hasil-hasil pertumbuhan ekonomi bisa “digerogoti”. Analisis diarahkan untuk mengisolasi faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi tersebut. Diyakini, V16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
setelah pola pertumbuhan tersebut diketahui, maka kebijakan yang sesuai dengan realitas kewilayahan bisa dikembangkan. Pembangunan
perkotaan
dalam
jangka
panjang
tergantung
dari
produktivitas yang dikembangkan. Namun dalam jangka pendek produktivitas tersebut akan ditahan oleh peningkatan kebutuhan perumahan, ketrampilan tenaga kerja, lahan perkotaan. Pertumbuhan perkotaan dipengaruhi oleh sembilan faktor, yaitu: 1. Perubahan harga dalam industri 2. Perubahan produktivitas industri 3. Perubahan harga dalam pertanian 4. Perubahan produktivitas pertanian 5. Pertumbuhan angkatan kerja 6. Akumulasi kapital dalam industri manufaktur 7. Akumulasi kesediaan rumah di perkotaan untuk orang miskin 8. Akumulasi kesediaan rumah di perdesaan untuk orang miskin 9. ketrampilan Selanjutnya Williamson mengemukakan teorinya, bahwa kecenderungan ketimpangan wilayah berbentuk kurva U. Pada awal pembangunan, ketimpangan wilayah cenderung meningkat. Pada perkembangan pembangunan berikutnya mulailah terjadi penurunan ketimpangan wilayah. Terhadap teori tersebut, masih menjadi pertanyaan, pertama, pada tingkat pembangunan berapakah terjadi pembalikan kecenderungan ketimpangan wilayah tersebut. Untuk kasus negara-negara Eropa, setelah mencapai pendapatan per kapita € 14.200,00 (sekitar Rp 205.900.000,00 per kapitas per tahun) ketimpangan wilayah terlihat menurun (Ezcurra dan Rapún, 2006). Akan tetapi penurunan tersebut sudah bisa terjadi di Indonesia sejak tahun 1983 dalam tingkatan kesejahteraan yang lebih rendah, yaitu Rp 614.000,00 per kapita per tahun atau Rp 390.000,00 per kapita per tahun tanpa memperhitungkan pendapatan dari minyak dan gas bumi (Resosudarmo dan Vidyattama, 2006).
Kedua, apakah setelah titik balik kurva U tersebut dicapai kemudian penurunan ketimpangan wilayah berjalan secara stabil. Pada kasus negara-negara Eropa di atas (Ezcurra dan Rapún, 2006), ternyata hal tersebut tidak terjadi. V17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Masih terjadi peningkatan ketimpangan wilayah pada saat perkembangan lanjutan. Untuk kasus Indonesia, sejak tahun 1993 ketimpangan pembangunan wilayah kembali meningkat (Resosudarmo dan Vidyattama, 2006). 5.3.
Paradigma Ketergantungan: Polarisasi Teori polarisasi menunjukkan, bahwa disparitas regional muncul sebagai
akibat dari efek keluar sebagai hasil hubungan antara wilayah terbelakang ke/dan wilayah maju. Konsentrasi investasi pada wilayah maju menghasilkan polarisasi pembangunan, karena pertumbuhan bergerak di wilayah perkotaan. Secara paralel kekuatan hinterland secara menjadi menurun Pengembangan wilayah didasarkan konsep hubungan ekonomi lokal yang terintegrasi, serta seleksi pola hubungan antar wilayah. Intervensi dilakukan dalam bentuk strategi promosi sektoral, serta pemilihan teknologi yang cocok dengan wilayah setempat. Program menjadi persiapan langsung untuk mengatasi kemiskinan, penurunan resiko kepada produsen, serta peningkatan kemandirian setempat. Program pembangunan ini terlaksana melalui pengembangan dan inovasi
teknologi
tepat
guna,
pengembangan
akses
kredit
dan
subsidi,
pembangunan infrastruktur transportasi lokal, berikut sistem informasi lokal. 5.4.
Paradigma Pembangunan Berbasis Manusia
5.4.1. Sebab-Akibat Kumulatif Gunnar Myrdal mengkritik teori-teori modernisasi yang didasarkan pada prinsip persamaan matematis (equilibrium). Kaidah persamaan ini memuat harmoni kepentingan antar pihak, laissez faire, dan perdagangan bebas (free
trade). Kritik diarahkan pada asumsi bahwa aspek-aspek lainnya diasumsikan konstan,
padahal
aspek-aspek
tersebut
juga
berubah
sesuai
dengan
perkembangan ekonomi (Fujita, 2004). Aspek-aspek tersebut terutama berupa hubungan sosial dan politik. Myrdal mencatat bahwa perubahan cenderung bersifat
divergen,
bukan
ke
arah
equilibrium. Proses ini menghasilkan
ketimpangan antar wilayah. Myrdal mengembangkan model di luar persamaan umum, dan dikenal sebagai cumulative causation. Dalam analisis pembangunan wilayah, perlu V18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
dipegang asumsi tentang hubungan saling kunci (interlocking) dan saling ketergantungan secara sirkular (circular inter-dependent) dengan akumulasi penyebab. Teori untuk pembangunan tidak hanya diarahkan pada produksi yang berisikan suplai dan demand, namun juga mencakup pembahasan tentang institusi dan politik. Etika politik yang dikembangkan di sini ialah persamaan (equality). Di sini dilihat kecenderungan ekonomi wilayah untuk menjauhi model persamaan umum ketika suatu gangguan besar di suatu wilayah muncul. Permainan kekuasaan pasar cenderung meningkatkan ketimpangan antar wilayah. Jika pasar tidak dipengaruhi, maka fasilitas secara akumulatif akan mengumpul pada wilayah yang kian bertumbuh tinggi, sehingga meninggalkan wilayah tertinggal serta menjadi enklave di antara wilayah miskin lainnya. Myrdal mengembangkan konsep backwash effect sebagai mekanisme divergensi wilayah, dan konsep spread effect sebagai mekanisme konvergensi wilayah (Fujita, 2004). Besarnya backwash effect yang lebih besar daripada
spread effect akan menyebabkan ketimpangan antardaerah. Dalam proses backwash effect terjadi migrasi warga dan modal keluar desa menuju perkotaan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih unggul. Adapun spread effects menggambarkan
bagaimana
wilayah
periferi
menyuplai
dinamika
pusat
pembangunan. Spread effect disebabkan oleh meningkatnya market share dari produk pertanian dan akan merangsang ke arah kemajuan teknik. Mekanisme ini menjadikan free trade dan migrasi yang meluas menjadi merugikan wilayah periferi. Meskipun konsep spread effect bersifat sekunder dibandingkan backwash
effect, teori cumulative causation tidak menolak peluang konvergensi antar wilayah. Adanya konsep spread effect membedakan teori ini dari teori ketergantungan yang sepenuhnya menolaknya. Pada sirkulasi kumulatif migrasi dan kesempatan kerja, migrasi pekerja muda ke pusat pertumbuhan menjadikan angkatan kerja yang tersedia di periferi menua (Gambar 5.3). Kondisi ini membuat kegiatan-kegiatan ekonomi yang baru semakin tidak menarik. Hal ini mengakibatkan peningkatan kesenjangan antara wilayah pusat dan periferi. Pada sirkulasi kumulatif jasa dan infrastruktur, muncul kondisi pengurangan investasi dan pekerjaan baru di wilayah periferi. Hal ini V19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
mengakibatkan pasar lokal melemah, dan daya beli warga menurun. Efek selanjutnya ialah penurunan jasa-jasa lokal yang tersedia. Hal-hal tersebut meningkatkan kesenjangan wilayan pusat dan periferi. Dalam sirkulasi kumulatif investasi modal, modal yang semula tersedia di wilayah periferi tertarik ke pusat. Akibatnya muncul kesenjangan investasi di wilayah periferi. Keadaan ini menghambat pertumbuhan di wilayah periferi. Hal-hal inilah yang meningkatkan kesenjangan wilayah pusat dan periferi. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, wilayah periferi
terkena
dampak
negatif,
yaitu
menjadi
sulit
untuk
memenuhi
kebutuhannya sendiri. Gambar 5.3. Model Backwash dan Spread Effects.
Selanjutnya dalam teori cumulative causation pendirian industri baru menghasilkan
multiplier
effect
maupun
peningkatan
kesempatan
untuk
menemukan hal baru (invensi) dan inovasi dari temuan yang ada (Gambar 5.4). Multiplier effect tidak berlangsung selamanya, melainkan akhirnya sampai pada batas baru jumlah penduduk yang bisa diakomodasi oleh perkembangan ekonomi yang ada. Pertambahan populasi lebih lanjut mendesak kebutuhan akan industri baru atau industri lebih lanjut. Adapun peningkatan kesempatan untuk menemukan hal baru maupun inovasi menghasilkan temuan-temuan baru yang V20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
cocok doterapkan di wilayah tersebut. Temuan baru ini merangsang penumbuhan industri baru atau industri lanjut, atau tepatnya menghasilkan lingkaran ekspansi baru (cumulative causation). Proses semacam ini tidak berlangsung secara alamiah, sebagaimana dinyatakan oleh teori pusat pertumbuhan. Myrdal memandang penting politik dalam rangka mengarahkan cumulative causation untuk memenuhi kebutuhan warga di wilayah periferi. Gambar 5.4. Model Cumulative Causation
Dari studinya, Myrdal menemukan bahwa negara yang lebih miskin biasanya memiliki ketimpangan pembangunan wilayah lebih tinggi daripada negara yang lebih kaya. Ketimpangan wilayah tersebut meningkat pada negara yang lebih miskin daripada di negara yang lebih kaya. Negara dengan wilayah yang lebih luas juga cenderung memiliki keadaan ketimpangan pembangunan wilayah yang lebih besar. Ekonomi pasar bekerja pada wilayah yang lebih maju, namun sulit untuk bekerja dan memberikan manfaat kepada warga di wilayah terbelakang. Teori ini menjadi peringatan yang relevan bagi pembangunan Indonesia. Negara ini bersifat luas dan saat ini tergolong tertinggal. Ketimpangan wilayah pada garis besarnya tidak pernah turun lagi sejak pertengahan 1980-an. Di antara
V21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
ketimpangan tersebut masih terdapat sekitar 5.000 desa di mana warganya tidak terbiasa menggunakan ekonomi uang untuk mempertukarkan barang dan jasa. Etika persamaan dalam politik Indonesia bisa ditelaah dari rumusan Pancasila, di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tercantum dalam salah satu silanya. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno politik diarahkan kepada sosialisme, sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto tujuan akhir pembangunan ialah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Sampai kinipun keadilan menjadi salah satu landasan etika politik di Indonesia. Oleh sebab itu Myrdal menyarankan untuk membangun perkotaam justru di wilayah terpencil, dalam rangka menarik sumberdaya lebih banyak. Setelah kota baru itu terbentuk, pembangunan wilayah baru juga diarahkan kepada wilayah terpencil lainnya. Hal ini akan membuat penyebaran kutub-kutub pertumbuhan justru di antara wilayah terbelakang. Selanjutnya pola hubungan sosial lokal memungkinkan manfaat dari kota-kota kecil tersebut tersebar secara merata di wilayah yang lebih miskin. 5.4.2. Agropolitan Pertumbuhan ekonomi juga menghasilkan marjinalisasi, ketergantungan dan pengasingan. Oleh sebab itu dibutuhkan pembangunan mandiri untuk menghasilkan integrasi massa, kepercayaan diri, dan mobilisasi kreatif. Konsep pembangunan yang dikemukakan berupa hubungan pertanian dan industri padat tenaga kerja, serta berorientasi kebutuhan lokal. Program mencakup kegiatan delineasi wilayah, penyusunan produk unggulan, pengembangan industri yang cocok dengan wilayah setempat, serta meningkatkan permintaan (demand) ekonomi masyarakat lokal. Program dikembangkan dalam wilayah desa, kecamatan, kabupaten/kota, bahkan lintas kabupaten/kota tersebut. Proyek mencakup
kebijakan
ekonomi
lokal
yang
mendukung
potensi
lokalitas,
pengembangan teknologi lokal, serta pemanfaatan sumberdaya lokal. Di dalam teori agropolitan muncul asumsi-asumsi yang menunjukkan upaya-upaya kemandirian lokal, dan mengatasi hubungan yang eksploitatif dengan wilayah-wilayah yang lebih maju. Hal ini dinyatakan antara lain dalam asumsi-asumsi teori agropolitan (Tabel 5.3), ialah: V22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
1. akses ke lahan pertanian dan air 2. desentralisasi politik (pusat pengambilan keputusan) 3. kebijakan nasional yang beralih menuju diversifikasi produk pertanian 4. dijalankan secara demokratis, melalui strategi dari bawah (bottom up), partisipatif, serta mempertimbangkan konteks lokal. Tabel 5.3. Asumsi-asumsi Teori Agropolitan Lahan Air Diversifikasi komoditas
Desentralisasi Sel 1 Sel 3 Sel 5
Demokrasi Sel 2 Sel 4 Sel 6
Sumber: Agusta (2008) Tabel tersebut menunjukkan perlunya akses masyarakat desa terhadap sumberdaya lahan, air, dan komoditas usahatani. Tidak boleh dilupakan, bahwa akses terhadap sumberdaya tersebut dilaksanakan secara desentralistis dan demokratis. Dapat dikatakan di sini, bahwa aspek yang penting diperhatikan mencakup adanya orientasi proses (yaitu desentralisasi dan demokrasi), serta orentasi hasil (lahan, air, diversifikasi komoditas). Yang menarik ialah pengembangan teori agropolitan pada akhir 1990-an (Douglass, 1998; Friedmann, 1992) juga mengikuti paradigma generasi ketiga berbasis globalisasi ini. Perkembangan teori agropolitan selanjutnya juga didasarkan pada konsep-konsep jaringan. Implikasi penting dari perkembangan ini ialah muncul kebutuhan akan hubungan antar wilayah. Di sini arti klaster desadesa agropolitan menjadi lebih bermakna. Salah satu perbedaan penting dari teori agropolitan pada tahun 1970-an ialah, pada teori akhir 1990-an kota di wilayah perdesaan bukan lagi dipandang sebagai pusat pertumbuhan, melainkan sebagai wilayah yang berfungsi untuk mengurus hal-hal di luar pertanian dan fungsi politis-administratif. Pengetahuan lokal diejawantahkan dalam perencanaan lokal. Selanjutnya wilayah setingkat kabupaten/kota dipandang sebagai wilayah ideal untuk menerapkan teori ini.
V23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
5.5.
Aplikasi Paradigma dan Teori dalam Sejarah Pembangunan Wilayah di Indonesia Pembangunan wilayah tidak bisa serta merta menggunakan teori ilmiah,
sejauh teori tersebut berhasrat untuk menerangkan mekanisme kewilayahan secara universal, atau biasa dikenal sebagai grand narrative atau grand theory. Sebaliknya, disadari bahwa realitas di lapangan tidak pernah sama dengan penyederhanaan teoritis. Kaidah ini dapat diringkas sebagai berikut (Higgins dan Savoie, 2005): 1. Seluruh masyarakat tinggal di tempat khusus. Tiap-tiap kebudayaan dikembangkan menurut lokasi yang khusus tersebut. 2. Wilayah yang dimaksud di atas hampir selalu bermakna pada level di bawah nasional. Mungkin negara dengan luas yang kecil dan penduduk homogeny dapat mengembangkan pembangunan wilayah secara nasional, namun untuk negara seluas dan sekompleks Indonesia pembangunan wilayah lebih masuk akal dilaksanakan berbeda untuk daerah yang berbeda pula. 3. Kepentingan ekonomi dan sosial pada suatu masyarakat di wilayah tertentu terkait dengan sektor dan struktur ekonomi dominan di wilayah tersebut. Melalui kesamaan ekonomi dominan ini masyarakat berangsur-angsur memiliki kepentingan yang sama 4. Sementara itu loyalitas masyarakat berkembang dan terkait dengan wilayah yang ditempatinya. Keluarga, teman, kelembagaan yang diikuti, iklim, dan sebagainya membangkitkan perasaan memiliki dan bertingkah laku secara khas. Akibatnya mobilitas spasial baru bisa dilakukan secara bebas –tanpa biaya berlebih, tanpa rasa tidak enak—jika transportasi tidak membebani, dan di wilayah baru tersebut juga tersedia rumah, tempat ibadah, rumah sakit, sekolah dan sebagainya yang setara. 5. Hampir seluruh masyarakat tidak berfikir “kesejahteraan” pada tingkat negara. Mereka lebih mempertimbangkan kesejahteraan secara pribadi, dalam keluarga, pertemanan, maupun komunitas kecil sekampung atau sedesa. Oleh sebab itu kesejahteraan sosial –termasuk untuk mengurangi ketimpangan wilayah—perlu mempertimbangkan kriteria wilayah daerah atau di bawah nasional. V24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
6. Akibat-akibat dari “kegagalan pasar” dan “kegagalan pemerintah” saling terkait, dengan hasil yang jelas, yaitu pasar tidak bekerja dengan baik. Oleh sebab itu permasalahan wilayah tidak bisa dipecahkan secara universal, melainkan harus dipecahkan pada lokasi tempat wilayah tersebut muncul, secara ad hoc, dengan ukuran yang paling tepat untuk wilayah yang bersangkutan. 7. Suatu harmoni kepentingan biasanya sangat terbatas pada tingkat negara. Jika petani diuntungkan, misalnya dengan harga pertanian yang tinggi, kemungkinan besar industriawan dan konsumen dirugikan. 8. Konflik kepentingan tersebut memiliki arti kewilayahan, karena selalu muncul secara bersama (overlapping) dualisme atau pluralisme teknologi, maupun konflik dualisme atau pluralisme wilayah. Kemiskinan, misalnya, mengumpul pada wilayah yang pedesaan dan pertanian, sementara kekayaan muncul di perkotaan dan wilayah industrial. Akibatnya kebijakan yang dibutuhkan bukanlah sektoral melainkan kewilayahan. 9. Muncul
pula
secara
bersama
(overlapping)
penyesuaian
struktural
(structural adjustment) dan pembangunan wilayah. Suatu perubahan dalam produk yang dihasilkan, perubahan sosial dan ekonomi, serta struktur pekerjaan akan mengakibatkan migrasi penduduk menuju wilayah baru tersebut. 10. Tidak ada bukti gerakan umum menuju “kesetimbangan” dalam ekonomi pasar
bebas,
baik
menurut
kesetimbangan
regional
maupun
“kesetimbangan” dengan full employment tanpa terjadi inflasi. Dengan demikian desain kebijakan untuk memastikan performa yang ekonomi nasional yang tinggi membutuhkan pemahaman atas perilaku ekonomi daerah pembentuknya, serta formulasi kebijakan pada masing-masing daerah tersebut. Posisi demikian tidak berarti menafikan teori. Justru teori dibutuhkan untuk menerangi data dan informasi lapangan yang tidak pernah lengkap. Yang dibutuhkan dalam pembangunan wilayah ialah teori yang sangat dekat dengan lapangan. Atau –jika memungkinkan—mengembangkan teori menurut lokalitas masing-masing. Kajian menggunakan wilayah (ruang) sebagai unit dasar analisis, melakukan studi terhadap masyarakat dalam titik-titik wilayah, menentukan pihak V25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
yang berperan di dalamnya, tujuan perilaku mereka, bagaimana mereka akan meraih kemajuan, dan akhirnya membangun model untuk menjelaskan hal-hal tersebut. Dalam bagian ini analisis aplikasi paradigma dan teori pembangunan wilayah hingga masa pra kolonial tetap menggunakan ragam teori yang ada hingga saat ini (Tabel 5.4). Disadari bahwa teori tersebut belum muncul pada satu waktu tertentu (misalnya masa penjajahan, apalagi pra kolonial), namun bisa digunakan untuk menilai kebijakan dan tindakan yang dilakukan untuk menciptakan konvergensi atau divergensi pada masanya. Sebenarnya pola analisis semacam ini sudah mulai sering dilakukan pada akhir-akhir ini (misalnya Dick, 1988; Eng, 2006; World Bank, 2009; Zanden, 2002, Tt) Kecuali pada awal kemerdekaan, ternyata sejarah Indonesia lebih didominasi
oleh
memungkinkan
paradigma
modernisasi.
pembentukan
nilai
Cara
barang
pandang dan
jasa
modernisasi tertentu,
memperdagangkannya, terutama setelah digunakannya mata uang tertentu. Dan yang lebih penting untuk elite ialah memungkinkan akumulasi kekayaan untuk membentuk kekuasaan politik. Di masa pra kolonial, pilihan ini memungkinkan pembentukan kerajaankerajaan besar. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomis dalam negara sendiri, kebijakan kerajaan didasarkan pada teori export base. Pilihan-pilihan akan lokasi kerajaan, termasuk pilihan kerajaan lain manakah yang akan dikuasai lewat peperangan maupun perkawinan, serta perompakan kepada siapakah dilakukan, dengan mudah didasarkan pada teori ini. Konsekuensinya tumbuh ketimpangan antara bangsawan dan rakyat. Sebagian bangsawan yang kuat dapat meminta wilayah otonom (perdikan), dan dengan memobilisasi penduduk di dalamnya maka wilayah perdikan tersebut bisa lebih maju daripada wilayah lainnya. Di masa lampau masih banyak asset dimiliki secara komunal, seperti sawah, kebun, rumah. Pengelolaan asset komunal mengandaikan penggunakan kelembagaan berbagi di antara sesama warga. Hal ini menciptakan konvergensi di-dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan penggunaan sumberdaya
V26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Tabel 5.4. Paradigma dan Teori Pembangunan Wilayah di Indonesia dari Masa Pra Kolonial sampai Masa Kini
Pra Kolonial: sebelum Abad XVII
Kebijakan yang Meningkatkan Ketimpangan Pengembangan kerajaan dan pelabuhan Upeti
Kebijakan yang Menurunkan Ketimpangan Tanah perdikan (otonom)
Kolonialisme Belanda: Abad XVII – 1942
Pemusatan kegiatan ekonomi dan politik di Jakarta
Pendudukan Jepang: 19421945
Larangan migrasi lintas pulau Pemusatan kegiatan ekonomi dan politik di Jakarta Konsentrasi pembangunan di Jawa
Periode
Awal Kemerdekaan: 1945-1967
Paradigma Kebijakan
Teori Pendukung Kebijakan
Kelemahan Aplikasi Teori (divergensi)
Kelebihan Aplikasi Teori (konvergensi)
Modernisasi
Export base (barang mewah rempahrempah)
Pengembangan hierarki wilayah menurut aspekpolitik dan ekonomi Perbudakan dan upeti menciptakan ketimpangan bagsawan-rakyat
Pengembangan perkebunan ke Sumatera dan Kalimantan Politik etis untuk pribumi (terutama kredit, irigasi) Desentralisasi dan daerah otonom
Modernisasi
Central place (kebun, pabrik), export base (perkebunan), neoklasik development (monopoli, tanam paksa, perkebunan)
Pembagian lahan perkebunan untuk petani
Modernisasi
Central place (Jawa atau Sumatera)
Ditambah variabel penjajahan, aplikasi teori menghasilkan regional dualism Ketimpangan nusantara-Belanda karena keuntungan ekspor untuk Belanda Ketimpangan rasial Penguatan regional dualism
Ditambah variabel kekuatan angkatan bersenjata/ laut bisa mengintegrasikan politik dan ekonomi banyak wilayah (Sriwijaya, Majapahit) Sumberdaya alam komunal melembagakan perilaku berbagi Perkebunan dan industri di lokasi padat penduduk dan buruh murah Diversifikasi ekonomi di sekitar perkebunan Jawa Wiraswastawan pribumi mulai tumbuh Peningkatan asset untuk warga sekitar perkebunan
Nasionalisasi Program Benteng (wiraswasta)
Ketergantung an
Polarisasi (aspek: kewiraswastaan, pilihan lokasi industri)
Regional dualism antara wilayah industrial dan
V27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Peningkatan asset industri bagi negara Penguatan secara
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Periode
Kebijakan yang Meningkatkan Ketimpangan
Kebijakan yang Menurunkan Ketimpangan Pendirian industri ke luar Jawa UU 22/48 tentang desentralisasi
Paradigma Kebijakan
Pembangunan 1967-1983
Konsentrasi pembangunan industri Revolusi Hijau tanpa pengaman bagi buruh tani
Transmigrasi Stabilisasi ekonomi Stabilisasi harga pangan Inpres Pembangunan pedesaan dan pertanian
Modernisasi
Pembangunan 1984-1996
Konsentrasi pembangunan industri Deregulasi ekonomi
Transmigrasi Inpres Pembangunan pedesaan Program khusus penanggulangan kemiskinan
Modernisasi
Krisis Moneter 1997-1999
Konsentrasi pembangunan industri Deregulasi ekonomi
Program khusus penanggulangan kemiskinan
Modernisasi
V28 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Teori Pendukung Kebijakan
Central place (industri, bisnis, teknologi pertanian), export base (SDA mentah), neoclassic development (peningkatan komersialitas pertanian, perkebunan, industri) Export base (SDA mentah, hasil industri), growth poles (wilayah maju di daerah), neoclassic development (deregulasi sektor riil dan perbankan, konglomerasi), kewiraswastaan (industri kecil, menengah dan besar) Export base (nilai rupiah ekspor meningkat karena devaluasi), neo-
2008
Kelemahan Aplikasi Teori (divergensi)
Kelebihan Aplikasi Teori (konvergensi)
sekitarnya, Jawa-Luar Jawa Perang kemerdekaan dan pemberontakan daerah menyulitkan konsistensi aplikasi teori pembangunan Penguatan ketimpangan antara perkotaan-pedesaan Ketimpangan di-dalam perkotaan Ketimpangan Jakarta dan daerah
formal dan de fakto negara kesatuan
Konvergensi di-dalam pedesaan, karena lokasi industri mudah dicapai warga desa
Ketimpangan di-dalam provinsi Ketimpangan perkotaan-pedesaan Ketimpangan Jawa (Jakarta)-Luar Jawa
Prasarana dan sarana pedesaan Konvergensi di-dalam pedesaan, karena lokasi industri mudah dicapai warga desa
Penguatan modal mengakibatkan ketimpangan lapisan teratas dan orang
Penurunan belanja semua lapisan membuat konvergensi antar
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Periode
Otonomi Daerah 2000-2008
Kebijakan yang Meningkatkan Ketimpangan
Deregulasi ekonomi Pembagian keuangan pusat dan daerah menguntungkan wilayah bisnis atau kaya SDA Pembatasan pihak luar dalam aspek politik, ekonomi, dan sosial
Kebijakan yang Menurunkan Ketimpangan
DAK Program khusus penanggulangan kemiskinan Transmigrasi
V29 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Paradigma Kebijakan
Modernisasi
2008
Teori Pendukung Kebijakan
Kelemahan Aplikasi Teori (divergensi)
Kelebihan Aplikasi Teori (konvergensi)
classic development (tuntutan LoI dengan IMF untuk membuka pasar dalam negeri), growth poles (tuntutan reformasi membangun daerah), kewiraswastaan (privatisasi BUMN, deregulasi, pelemahan represi sektor informal) Export base (bahan setengah jadi), central place (desa maju), neo- classic development (deregulasi, harga komoditas disamakan dengan pasar global), growth poles (tuntutan reformasi membangun daerah), kewiraswastaan (kredit program, industri kreatif)
miskin pasca krisis
wilayah dan di-dalam wialyah Perluasan ruang usaha sektor informal di perkotaan Demokrasi meminta alokasi multiplier kewilayahan
Penguasaan SDA untuk daerah sendiri Ketimpangan antar kabupaten/kota Kolusi wiraswastawan dan pemerintah atau legislatif Pengurangan subsidi menjatuhkan daya beli lapisan bawah padahal lapisan atas tidak terlalu terpengaruh
Demokrasi meminta alokasi multiplier kewilayahan Di sebagian daerah terjadi peningkatan akses prasarana serta sarana sosial dan ekonomi
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
yang lebih kuat, kerajaan juga bisa mengintegrasikan wilayah lain ke dalam negaranya, bahkan mengintegrasikan antar pulau. Pada bab awal ditunjukkan hubungan politik dan dagang antar pulau, seperti antara Maluku Utara dengan Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Papua. Pada
periode
berikutnya
penjajah
Belanda
memperkuat
dimensi
kapitalisme, mula-mula dengan memonopoli perdagangan (baik lewat kontrak, perjanjian
maupun
agresi
militer),
hingga
mengembangkan
perkebunan.
Landasan teori yang digunakan ialah neo-classic development. Tanaman dan kegiatan yang semula tidak bernilai ekonomi kini ditarik menuju perekonomian pasar, baik lewat tanam paksa, perdagangan, maupun agroindustri. Untuk menetapkan lokasi perkebunan (hingga mayoritas terpilih Jawa yang banyak penduduknya),
teori
central
place
mempermudah
pilihan.
Adapun
hasil
perkebunan sepenuhnya diekspor. Teori export base diterapkan dengan memilih komoditas yang laku di pasaran Eropa untuk ditanam di Indonesia. Kelemahan aplikasi teori pembangunan wilayah disebabkan diletakkan di atas konteks kolonialisme. Keuntungan perdagangan tidak kembali ke bumi Indonesia, melainkan disetor ke negara induk Belanda. Proses produksi dan hubungan kemasyarakatan juga diwarnai oleh ketimpangan rasial. Tidak mengherankan hal ini berujung pada regional-dualism yang meningkatkan ketimpangan wilayah. Tanpa diharapkan, difusi inovasi sempat berlangsung di antara segelintir pribumi, sehingga mereka bisa tumbuh menjadi pengusaha besar, misalnya dalam industri batik, gula dan pabrik rokok pada awal abad ke 20. Komersialisasi pertanian dan perkebunan pada dekade 1920-an membuka usaha non pertanian, sehingga muncullah diversifikasi usaha terutama di Jawa. Adapun sebagian besar penduduk
miskin
di
pedesaan
mendapatkan
pekerjaan
dari
pembukaan
perkebunan-perkebunan besar (meskipun sebagian dengan cara pemaksaan). Ketika Jepang menggantikan Belanda dan menguasai Indonesia, sebagian besar hubungan antar wilayah di nusantara terganggu. Pemerintahan militer Jepang memusatkan kegiatan ekonomi dan politik di Jawa, kemudian ke Bukittinggi.
Berbasis
teori
central place, pilihan ini disesuaikan dengan
kelengkapan sarana dan prasarana perkotaan serta hubungannya dengan wilayah V30 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
jajahan Jepang lainnya di Asia. Tidak mengherankan pemusatan kegiatan di Jawa dan Sumatera menguatkan regional dualism yang telah diciptakan Belanda sebelumnya. Hanya pada awal kemerdekaan paradigma pembangunan wilayah bergeser kepada ketergantungan. Pilihan semacam ini tidaklah sulit ditebak, karena lazimnya bangsa-bangsa yang baru saja merdeka menghendaki kemandirian dan melepaskan diri dari negara penjajah. Pilihan sosialisme menjadi relevan, dan dalam khasanah pembangunan wilayah diwakili oleh polarisasi. Aplikasi yang nyata dari teori ini ialah nasionalisasi cabang-cabang perekonomian penting, yang pada awal kemerdekaan masih dimonopoli oleh Belanda, seperti perbankan, perkebunan, perkapalan, penerbangan, perdagangan. Nasionalisasi telah meningkatkan asset produksi bagi negara. Penggalangan kesatuan
untuk
menentang
penjajah,
dan
berakhir
dengan
penerimaan
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1950, telah menguatkan integrasi bangsa Indonesia dan menciptakan konvergensi wilayah. Namun selanjutnya legislatif didominasi kelompok Jawa yang mengarahkan sebagian alokasi pembangunan di Jawa (Thee, 2005). Tak pelak lagi hal ini menimbulkan dualisme regional kembali antara Jawa dan luar Jawa. Upaya pemerintah untuk menanggulanginya dengan UU desentralisasi 22/1948 maupun penempatan industri Sumatera dan Kalimantan tidak berarti banyak. Menarik
untuk
dicatat,
bahwa
paradigma
ketergantungan
dicoba
diaplikasikan pula dalam aspek pengembangan kewiraswastaan (dengan program Benteng) dan pilihan lokasi industri (pabrik pupuk di sekitar Palembang). Menurut pelaku kebijakan saat itu, pilihan-pilihan ini lebih didasarkan pada upaya cobacoba, bukan ddidasarkan landasan teori yang kuat. Namun kenyataannya memang teori polarisasi belum banyak dikembangkan untuk sampai pada analisis kewiraswastaan dan industrialisasi. Pergeseran paradigma ke arah modernisasi kembali terjadi pada periode pembangunan. Teori neo-classic development segera terlihat etika bahan-bahan mentah mulai diperdagangkan. Teori export base menjelaskan pilihan bahan mentah yang diusahakan, yaitu yang memiliki permintaan eksport. Teori ini juga
V31 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
menjelaskan penyusunan UU penanaman modal asing dalam pertambangan dan kehutanan justru pada awal pemerintahan Presiden Soeharto. Bahan mentah yang bernilai tinggi saat itu ialah minyak bumi, bahan tambang dan perkebunan. Keuntungan berlipat dari perdagangan ini sebagian digunakan untuk menunjang Revolusi Hijau dan menambah infrastruktur di pedesaan.
Tidak
mengherankan
koonvergensi
di-dalam
pedesaan
segera
terwujud. Namun bersamaan dengan itu teori central place mengonsentrasikan industri di Jakarta atau Jawa. Wilayah ini telah memiliki infrastruktur transportasi dan telekomunikasi memadai, dan langsung berhubungan dengan kegiatan eksport. Konsekuensinya muncul ketimpangan antara jawa dan luar Jawa, serta antara perkotaan dan pedesaan. Sejak 1980-an boom minyak bumi berakhir, dan pemerintah mengambil keputusan untuk meningkatkan pendapatan dari industri. Teori neo-classic
development
dapat
menjelaskan
beragam
regulasi
perekonomian
yang
dikeluarkan pada pertangahan dan akhir 1980-an. Menurut teori ini stagnasi perekonomian
disebabkan
hambatan
dalam
berhubungan
dengan
pasar.
Pemecahannya tentu saja membuka jalur ke arah pasar kembali. Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Program/SAP) dijalankan untuk mempererat
hubungan
dengan
pasar
terbuka.
Peningkatan
industri
dan
perdagangan membutuhkan wiraswastawan, dan kebutuhan ini menerangkan penggunaan teori kewiraswastaan dalam periode ini. Industri yang dikembagkan diutamakan yang berorientasi eksport, sebagaimana diarahkan oleh teori export
base. Teori central place juga menjelaskan pilihan lokasi industri di sekitar Jawa. Teori ini juga menerangkan pembangunan kawasan khusus untuk pertumbuhan ekonomi di Batam. Dalam suasana terpusat, upaya pembangunan daerah dilakukan melalui konsentrasi pertumbuhan di daerah, seperti di kota-kota besar di luar Jawa, atau wilayah lain yang dipandang maju. Teori yang menerangi tindakan ini ialah teori pusat pertumbuhan. Penempatan industri di pedesaan atau di kota-kota yang mudah dijangkau dengan perjalanan pulang pergi dalam sehari (komutasi) akhirnya menurunkan ketimpangan
di-dalam
pedesaan.
Penurunan
ini
V32 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
juga
diperkuat
dengan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pembangunan infarstruktur di pedesaan, sehingga mempermudah perpindahan penduduk dan barang di sana. Akan tetapi industri di perkotaan turut meningkatkan upah buruh di perkotaan. Tidak mengherankan hal ini berkonsekuensi pada peningkatan ketimpangan perkotaan dan pedesaan, serta antara Jawa dan Luar Jawa. Gangguan serius terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia muncul dalam bentuk krisis moneter. Pada satu sisi, hubungan dengan IMF dan lembaga donor internasional berimplikasi pada desakan untuk membuka pasar dalam negeri, membuka akses terhadap modal perusahaan negara, dan aspek deregulasi lain. Teori neo-classic development menerangi tindakan ini. Hubungan ekonomi yang terjadi ialah antara pemerintah atau pengusaha di dalam dan di luar negeri. Kegiatan ekspor dan impor ini menjadi penting, sebagaimana ditunjukkan dalam teori export base. Perluasan pasar membuka akses kepada wiraswastawan, terutama yang sudah memiliki modal besar atau tergolong lapisan terkaya, untuk turut mengambil peran dalam pembangunan dan perekonomian nasional. Inlah yang berangsur meningkatkan ketimpangan segera setelah krisis moneter. Di pihak lain, reformasi yang mengiringi krisis moneter ini berimplikasi pada tuntutan untuk membangun daerah. Sebagaimana periode sebelumnya, tuntutan ini diakomodir dengan membangun segelintir pusat-pusat pertumbuhan di daerah. Teori kutub pertumbuhan menjelaskan pilihan pemerintah ini. Pada periode ini konvergensi terjadi terutama karena hampir seluruh warganegara menurunkan tingkat belanja. Untuk mengatasi pemecatan industri secara besar-besaran, pada saat itu juga dibuka ruang untuk usaha sektor informal di perkotaan. Hal-hal ini turut menekan ketimpangan wilayah. Tuntutan demokrasi dalam reformasi tidak berhenti sampai di situ, melainkan terus berlanjut hingga munculnya desentralisasi secara massif, bagi 400-an kabupaten/kota dalam waktu hanya setahun atau dua tahun. Di sebagian daerah, pemda mengupayakan fasilitas kesehatan dan pendidikan secara gratis. Hal ini meningkatkan akses bagi lapisan terbawah, dan berujung pada pengurangan ketimpangan wilayah. Tuntutan reformasi di daerah juga sempat mendesak untuk mendapatkan porsi hasil pembangunan lebih banyak lagi.
V33 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Akan
tetapi
pada
lain
pemerintah
tetap
menjalankan
paradigma
modernisasi. Deregulasi dan penyamaan harga komoditas di dalam negeri dengan harga pasaran global menunjukkan digunakannya teori neo-classic development. Tumbuhnya kota-kota enklave di daerah terkait dengan aplikasi teori kutub pertumbuhan.
V34 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
6 Evaluasi Kebijakan dan Program Pengurangan Ketimpangan Wilayah
6.1.
Evaluasi Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Wilayah Pencarian hubungan langsung antara kebijakan pengurangan ketimpangan
wilayah dan hasilnya (berupa ketimpangan yang menurun) masih tergolong sulit dilakukan. Kesulitan ini serupa dengan kesulitan evaluasi program lainnya, yaitu menentukan sampai sejauhmana suatu kebijakan mempengaruhi fakta di lapangan (Alisjahbana, et.al., 2003). Untuk kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, kesulitan lainnya berkaitan dengan dampak suatu kebijakan yang berjangka menengah atau bahkan berjangka panjang, misalnya mencari hubungan antara desentralisasi sejak tahun 2000 dengan pengurangan ketimpangan (Hill, Resosudarmo, Vidyattama, 2008). Ibarat mengamati bintang, suatu tingkat ketimpangan wilayah pada saat ini sebenarnya merupakan hasil dari kebijakan di masa lalu. Dimensi menghubungkan
berjangka
panjang
ketimpangan
sudah
wilayah
terlihat dengan
dalam
pemikiran
pertumbuhan
yang
ekonomi,
sebagaimana dihipotesiskan oleh Kuznets. Puncak ketimpangan diramalkan tercapai pada saar pergeseran struktur ekonomi dari pertanian menunju industri. Meskipun Indonesia sudah memasuki perekonomian global sejak pra kolonial, dan kapitalisme dikenal minimal sejak abad ke 17, namun pergeseran struktur ekonomi tersebut baru muncul pada tahun 1990-an. VI1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Perubahan ketimpangan wilayah yang mendadak biasanya justru muncul pada saat krisis atau konflik. Resesi pada dekade 1880-an dan awal 1980-an membatasi
pengeluaran
rumahtangga,
sehingga
ketimpangan
pendapatan
menurun. Hal serupa bisa diperkirakan terjadi pada resesi masa kini yang dimulai pada akhir 2008. Krisis moneter pada tahun 1929 (malaise) dan 1998 juga langsung menurunkan ketimpangan wilayah. Yang menarik, masa sebelum krisis ini justru ditandai oleh peningkatan ketimpangan secara gradual, sebagaimana terjadi pada pertengahan 1920-an dan awal 1990-an. Sebelum resesi kali ini, indeks Gini Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun 2004 sampai tahun 2007, sebelum akhirnya turun pada tahun 2008, yaitu 0,32. 0,33, 0,36, 0,36, dan kini 0,34. Langkah yang dilakukan untuk menunjukkan dampak dari suatu kebijakan ialah menunggu perubahan tingkat ketimpangan pembangunan wilayah, apakah meningkat atau menurun. Selanjutnya digali susunan sebab akibat yang runtut untuk menjelaskannya (misalnya kerap dilakukan oelh Booth). Kalaupun hal tersebut belum tercapai atau tidak terlihat (karena ketiadaan data) maka bisa diperkirakan potensinya bagi penurunan atau peningkatan pembangunan wilayah (Milanovic, Lindert, Williamson, 2008). Untuk menilai hal ini tentu terlebih dahulu dibutuhkan pengetahuan tentang dampak kebijakan-kebijakan yang pernah dilakukan. Perlu disampaikan kembali, kaidah pembangunan wilayah membuat analisis lebih tepat berlaku untuk wilayah yang sempit atau khusus, dalam hal ini ialah pengalaman di dalam Indonesia sendiri. Dari hasil pembahasan sebelumnya, telah diketahui beragam kebijakan yang diletakkan di Indonesia dari masa ke masa (Tabel 6.1). Tentu saja masih banyak kebijakan lain, namun sebagian bersifat ambigu (misalnya pemekaran dapat meningkatkan atau menurunkan ketimpangan antara wilayah induk dan pemekarannya, pemusatan industri dan Revolusi Hijau di Jawa meningkatkan ketimpangan antar provinsi namun mengurangi kemiskinan di pedesaan Jawa
VI2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Tabel 6.1. Pengaruh Kebijakan terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah Aspek Kebijakan Infrastruktur
Kebijakan yang Sudah Meningkatkan Ketimpangan
Ekonomi
Revolusi Hijau tanpa pengaman bagi buruh tani Pemusatan kegiatan ekonomi di Jakarta Konsentrasi pembangunan industri Deregulasi ekonomi Pembagian keuangan pusat dan daerah menguntungkan wilayah bisnis atau kaya SDA
Kependudukan
Larangan migrasi lintas pulau zaman Jepang
Politik
Pengembangan kerajaan dan pelabuhan Upeti Pemusatan kegiatan politik di Jakarta Pembatasan pihak luar dalam aspek politik di daerah Orientasi kebijakan ke dalam pemerintahan daerah, bukan kerjasama antar pemerintahan daerah Pembagian keuangan pusat-daerah didasarkan kontribusi daerah dalam GDP Pungutan meningkat terhadap pihak luar yang
VI3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Kebijakan yang Sudah Menurunkan Ketimpangan Pembangunan pedesaan dan pertanian Politik etis untuk pribumi (terutama irigasi) Pengembangan perkebunan ke Sumatera dan Kalimantan Politik etis untuk pribumi (terutama kredit) Pendirian industri ke luar Jawa Nasionalisasi Program Benteng (wiraswasta) Stabilisasi ekonomi Stabilisasi harga pangan Industrialisasi pedesaan Program khusus penanggulangan kemiskinan Jaring pengaman sosial DAK Pembagian lahan perkebunan untuk petani Transmigrasi Asuransi tenaga kerja Desentralisasi dan daerah otonom terutama menurut UU 22/1948 Inpres
Potensi Kebijakan Baru yang Menurunkan Ketimpangan Penguatan transportasi laut dan sungai Pendirian mass-rapid transport, terutama berbasis kereta api dan angkutan air Adopsi inovasi teknik-teknik industrial baru Peningkatan upah tenaga kerja pertanian
Pelonggaran hambatan migrasi lintas suku, agama, ras, golongan Perluasan kesempatan kerja untuk tenaga kerja muda Kelembagaan pemerintahan yang tidak korup mampu menurunkan ketimpangan wilayah
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Aspek Kebijakan
Kesehatan
Kebijakan yang Sudah Meningkatkan Ketimpangan melakukan kegiatan di dalam daerah Alokasi dana lebih besar ke Jawa daripada ke luar Jawa Pembatasan pihak luar dalam aspek pendidikan Korupsi mengakibatkan penurunan dana pendidikan Pendirian sekolah unggulan swasta Pendidikan tinggi dan pencetak tenaga trampil Pendirian sarana kesehatan swasta yang mahal
Budaya
Penguatan lembaga adat
Pendidikan
VI4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Kebijakan yang Sudah Menurunkan Ketimpangan
2008
Potensi Kebijakan Baru yang Menurunkan Ketimpangan
Wajib Belajar Pembangunan prasarana pendidikan di seluruh wilayah negara
Pengurangan korupsi pemerintahan meningkatkan dana pendidikan
Pembangunan prasarana kesehatan di seluruh wilayah negara Pembangunan prasarana air bersih, persampahan, dan sanitasi Pembangunan klinik ibu dan anak Asuransi kesehatan untuk orang miskin Program KAT (komunitas adat terasing)
Peningkatan partisipasi dan koordinasi dengan penyedia sarana kesehatan swasta
Pendidikan tentang pembauran budaya
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
sehingga menurunkan ketimpangan pengeluaran rumahtangga), sementara kebijakan lainnya belum diteliti secara mendalam. Dalam aspek ekonomi, terlihat bahwa kebijakan yang berbasiskan neo-
classic
development
cenderung
meningkatkan
ketimpangan.
Sebetulnya
ketimpangan antar wilayah justru diharapkan dalam pendekatan ini, karena akan menjadi faktor penentu harga yang memungkinkan transaksi barang dan jasa lintas wilayah. Akan tetapi Kuznets menyajikan hipotesis, bahwa setelah pergeseran struktur ekonomi selayaknya ketimpangan tersebut menurun. Di Indonesia puncak ketimpangan sudah pernah terjadi pada awal dekade 1940-an. Penurunan tajam ketimpangan sudah pernah terjadi pada akhir 1960-an. Pergeseran struktur ekonomi terjadi pada tahun 1990-an. Oleh sebab itu, jika menggunakan teori ini, seharusnya tidak muncul lagi ketimpangan pembangunan wilayah. Dengan kata lain, jika deregulasi ekonomi meningkatkan pertumbuhan sekaligus ketimpangan ekonomi maka perlu dipertimbangkan untuk menggunakan cara lain atau menggabungkan dengan cara lain. Upaya pemerintah untuk menyamakan harga BBM (bahan bakar minyak) dalam negeri dengan harga internasional pada tahun 2005, misalnya, hendak diikuti dengan pembagian dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sejenisnya, namun hasilnya tetap meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah. Kenyataan ini menunjukkan perlunya
perubahan
kebijakan
yang
lebih
mendasar,
misalnya
dengan
mengetatkan pertumbuhan ekonomi sebelum 1990-an (Thee, 2005). Program alternatif lainnya mungkin pemberdayaan masyarakat yang sejak lama teruji menanggulangi kemiskinan (Alisjahbana, et.al., 2003; Sajogyo, 2006), namun efektivitasnya terhadap goncangan ekonomi belum terukur. Pengetahuan yang sudah memadai juga tertuju pada aspek politik. Pengetahuan ini seharusnya menjadi titik pijak pemerintah untuk bertindak, justru karena berada dalam ruang lingkup tugas pemerintah sendiri. Barangkali persoalannya terkait dengan kepentingan pemerintah sendiri, yang masih mendapatkan manfaat dari kebijakan politis tersebut.
VI5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sebetulnya hasil dari ekonomi neo-klasik setelah pergeseran ekonomi dan aspek politikdi atas justru kian menguatkan ketimpangan pembangunan wilayah. Kedua hal ini juga bersifat paradoks, karena lazimnya peningkatan peran pasar diikuti oleh penurunan peran pemerintah, dan sebaliknya. Paradoks ini mungkin bisa diterangkan oleh kolusi (jaringan pengikat) antara pasar dan pemerintahan. Oleh sebab itu, sudah perubahan pasar yang lebih memperhatikan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah perlu disertai dengan kontrol kepada pemerintah (untuk saat ini terutama kepada pemerintah daerah yang memegang kendali isu-isu program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. 6.1.
Inpres Dana Instruksi Presiden (Inpres) merupakan dana grant yang diserahkan
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pemda), agar Pemda mampu mendanai pembangunan infrastruktur dan pembangunan sosial di daerah. Inpres mencakup Inpres Dati I untuk pemerintah provinsi, Inpres Dati II yang disusun menurut ukuran proyek pembangunan per kapita, serta Inpres Desa berupa dana pembangunan untuk desa. Program Inpres memiliki kelebihan dalam bentuk kegiatan padat karya (terutama di pada program infrastruktur pedesaan), menyetabilkan pendapatan warga desa pada masa-masa paceklik, memeratakan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia, serta bersifat desentralistik (Alisjahbana, et.al., 2003). Dana Inpres diarahkan untuk pembangunan sumberdaya manusia, yang diwujudkan dalam pembangunan gedung sekolah dan fasilitas kesehatan. Peningkatan sumberdaya manusia –terutama di wilayah pedesaan dan terpencil— memungkinkan mereka secara mandiri meningkatkan pendapatan. Proses demikian dapat dinilai sebagai peningkatan factor price pada kelompok lemah. Sampai pertengahan 1980-an belum ditemukan kaitan yang erat antara program Inpres dengan peningkatan kesejahteraan orang miskin. Hubungan ini baru nyata pada dekade 1990-an, terutama melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT). Suatu impak jangka panjang dari Inpres tampaknya disebabkan oleh desain program untuk meningkatkan sumbderdaya manusia, yang memang senantiasa bersifat jangka panjang. VI6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
6.2.
Pembangunan Pedesaan Selama periode 1976-1996 Indonesia mengalami peningkatan rata-rata
konsumsi per kapita, diiringi dengan pengurangan kemiskinan absolut. Namun demikian ketimpangan antar wilayah tidak berubah banyak. Pengurangan kemiskinan
di
tingkat
nasional
dipengaruhi
oleh
pertumbuhan
ekonomi,
pembangunan di wilayah pedesaan, pergeseran angkatan kerja dan peningkatan peluang bekerja di perkotaan. Dari sejarah ekonomi Indonesia, wilayah pedesaan lebih mudah mencapai tingkat pemerataan tertinggi, dan setalah tahun 1990-an wilayah pedesaan relatif lebih merata daripada wilayah perkotaan. Stabilisasi harga komoditas pertanian lebih dinikmati oleh petani kaya di pedesaan, dan posisinya semakin meninggalkan petani miskin dan buruh tani. Kebijakan ini juga meningkatkan jumlah buruh tani di pedesaan (Alisjahbana et.al., 2003; Sajogyo, 2006). Namun demikian penggunaan tenaga kerja murah untuk
produksi
yang
berorientasi
eksport
sejak
dekade
1970-an
turut
menyumbang penurunan ketimpangan di pedesaan. Pembangunan di pedesaan dimungkinkan dengan disebarkannya dana Inpres desa sejak 1970-an. Pembangunan pedesaan tersebut telah meningkatkan daya beli petani. Sebelum tahun 1980an persentase kemiskinan di perkotaan lebih rendah daripada di pedesaan, namun sesudahnya muncul gerak yang terbalik. Sampai tahun 1976 pengeluaran rumahtangga di pedesaan luar Jawa masih lebih tinggi daripada di Jawa. Penurunan ketimpangan di pedesaan disumbang oleh Revolusi Hijau yang terkonsentrasi di wilayah persawahan Jawa, dan meluasnya kesempatan kerja di luar pertanian. Perbaikan ini dimungkinkan karena jumlah orang miskin dan penganggur terbuka terbesar di pedesaan Jawa –kondisi yang sudah terjadi sejak akhir penjajahan Belanda. Selama krisis moneter wilayah pedesaan mengalami peningkatan harga komoditas. Bersamaan dengan masuknya migran dari kota yang dipecat dari industri, maka pengeluaran rumahtangga dikurangi. Hal ini menurunkan ketimpangan wilayah di-dalam pedesaan. Selain itu, pemulihan dari krisis moneter telah cepat berlangsung di pedesaan Jawa dan Bali. Di sini kebijakan VI7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
penanggulangan kemiskinan lebih responsif untuk mengurangi kemiskinan, daripada di Sumatera dan Sulawesi, dan paling tidak responsif di pedalaman Kalimantan, Maluku dan Papua (Friedmann, 2005). 6.3.
Program Khusus Penanggulangan Kemiskinan Program khusus untuk penanggulangan kemiskinan muncul dalam Repelita
VI. Periode ini tergolong ke dalam Pola Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PPJT II). Secara formal, program khusus kemiskinan di dilatarbelakangi oleh pelambatan laju penurunan kemiskinan, yang terutama dipandang berasal dari golongan miskin yang hidup di kantong-kantong kemiskinan. Untuk menyentuh orang-orang termiskin tersebut, program pemerintah yang utama ialah Inpres Desa Tertinggal. Selama
tahun
1994/1995
hingga
1997/1998
pemerintah
telah
membelanjakan anggaran sebesar 0,1 – 0,3 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Kategori program penanggulangan kemiskinan dapat dibagi menjadi dua bagian umum, yaitu program yang memberikan manfaat langsung dan program untuk penciptaan lapangan pekerjaan (Alisjahbana, et.al., 2003). Program yang memberikan manfaat langsung meliputi bidang kesehatan dan gizi (mencakup 9,7 persen dari keseluruhan belanja untuk penanggulangan kemiskinan) dan pendidikan (13,2 persen). Program peningkatan lapangan kerja meliputi Program IDT yang mendominasi (29,9 persen), program infrastruktur pedesaan dan perkotaan (22 persen) dan kredit program (25,3 persen). Dengan membanding antar tahun terlihat arah program penanggulangan kemiskinan semakin menuju kepada program-program yang memberikan manfaat langsung, terutama di sekitar masa krisis moneter. Di antara program-program tersebut, efektivitas tertinggi diperoleh dari program kesehatand an nutrisi (Alisjahbana, 2003).
VI8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 6.2. Persentase Belanja Pemerintah untuk Program Penanggulangan Kemiskinan Pola Penyampaian Transfer dana Manfaat Langsung Subsidi beras (OPK) Kesehatan dan Makanan Pendidikan Penciptaan Lapangan Kerja IDT (Inpres Desa Tertinggal) PPK (Program Pengembangan Kecamatan) P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) PDM-DKE Infrastruktur pedesaan dan perkotaan Padat karya Kredit program Lainnya Total
1994/95– 1998/99– 1997/98 1999/2000 0 0 22,8 66,2 0 41,5 9,7 13,3 13,2 11,4 77,2 33,8 29,9 0 0 3,4 0 0,3 0 22 0 25,3 0 100
8,8 6,7 5,3 5,8 3,4 100
1,9 52,4 21,6 17,6 13,2 45,6 0 5,1 4,9
1994/95– 2000 0,5 57,9 32 13,9 12,1 41,6 3,4 3,4 1,4
4,2 7,7 4 16,3 3,5 100
6,7 8,7 4,4 10,5 3 100
2000
Sumber: Alisjahbana, et.al., 2003 6.4.
Transmigrasi Beberapa perubahan konseptual telah terjadi dalam orientasi program
transmigrasi sejak permulaan program itu pada tahun 1905 (Hardjono, 2002). Pada tahun itu pemerintah kolonial Belanda untuk pertama kali mulai menyelenggarakan program yang dinamakan kolonisasi. Tujuan kolonisasi adalah mengurangi tekanan demografis di beberapa daerah yang penduduknya padat sekali dengan mendirikan “koloni-koloni” di lokasi di luar Jawa sebagai pemukiman baru untuk petani miskin. Lokasi yang dipilih adalah tempat-tempat di mana ada tanah yang kosong dan cocok untuk pertanian persawahan. Kebijaksanaan yang sama dilanjutkan sesudah tahun 1950 dengan nama transmigrasi. Selama tahun 1950-an sampai dengan tahun 1965 hanya terdapat satu tujuan, yaitu untuk mengurangi jumlah penduduk di Pulau Jawa secepat mungkin. Karena pendekatan tersebut, target-target yang tinggi ditetapkan untuk jumlah keluarga yang harus dipindahkan tiap tahun. Asumsi pemerintah adalah, bahwa para transmigran akan menanam padi di pemukiman baru dengan cara tradisional seperti di Jawa. Akan tetapi, pemerintah tidak pernah memikirkan kecocokan lahan dan ketersediaan air untuk persawahan di lokasi yang baru. VI9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pembinaan dan penyuluhan mengenai cara bercocok tanam juga tidak disediakan (Hardjono, 1977). Sebagai akibat dari target yang semakin meninggi dan rencana pola penggunaan lahan yang kurang realistis, kemiskinan menjadi ciri utama dari rumahtangga transmigran di kebanyakan proyek transmigrasi. Dalam Repelita I (1969-1974) transmigrasi dilihat sebagai salah satu unsur pembangunan daerah (Repelita I Buku IIC). Pendekatan secara demografis kemudian dilepas dan pendirian proyek transmigrasi sebaliknya dipandang sebagai
land settlement yang memungkinkan pembukaan tanah pertanian baru. Program transmigrasi diinterpretasikan sebagai cara untuk mengembangkan sumberdaya lahan di daerah yang penduduknya langka (Repelita I Buku II C). Sejajar dengan konsep ini adalah harapan bahwa pemukiman baru dapat menjadi growth poles yang mempercepat pengembangan wilayah di daerah tersebut. Meskipun konsep ini menarik secara teoretis, ada kritikus yang merasa tidak yakin akan pelaksanaannya. Tema utama Repelita II (1974-1979) adalah penciptaan kesempatan kerja. Dalam hal program transmigrasi, tujuan ini diartikan sebagai penyerapan lebih banyak lagi orang di sektor pertanian melalui land settlement, atau dengan perkataan lain, ekstensifikasi pertanian dengan menempatan lebih banyak transmigran. Demi kepentingan pengembangan sumberdaya lahan yang sesuai dengan keadaan geografis di daerah transmigrasi serta untuk menjamin peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga transmigran, pola penggunaan tanah di pemukiman transmigrasi diubah dalam Repelita II. Dasar ekonomi di pemukiman transmigrasi bukan sawah beririgasi lagi, akan tetapi tanaman keras seperti karet. Supaya para transmigran dapat mengembangkan tanaman keras dan juga tanaman pangan seperti jagung untuk konsumsi rumahtangga sendiri, alokasi lahan dibesarkan dari dua hektar menjadi empat atau lima hektar (Repelita II Buku II). Selain itu, luas areal proyek juga dibesarkan sehingga satu pemukiman dapat menampung 5.000 kepala keluarga. Setiap pemukiman akan terdiri dari sepuluh unit desa dengan 500 KK per unit, sehingga terdapat economies of scale dalam persiapan lahan pemukiman transmigrasi. Dari sepuluh unit desa, satu unit diharapkan berkembang dengan cepat dan menjadi pusat kegiatan ekonomi di pemukiman tersebut. VI10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Meskipun pola ini menjanjikan land settlement yang berhasil baik, dengan mulainya Repelita III (1979-84) pendekatan demografis yang menjadi ciri khas program transmigrasi selama tahun 1950-an dihidupkan kembali. Meskipun target yang ditetapkan untuk transmigrasi selama periode Repelita III ini adalah 500.000 kepala keluarga transmigran (2,5 juta jiwa), pemerintah merasa jumlah ini masih kurang dibandingkan dengan desakan untuk mengurangi jumlah penduduk di Jawa (Repelita III Buku II, 304). Selama Repelita III pemerataan disebut sebagai tujuan dari seluruh kebijaksanaan dan kegiatan pemerintah. Transmigrasi kemudian diinterpretasikan dalam kerangka GBHN 1978, di mana pemindahan penduduk secara berencana merupakan strategi untuk menjamin pembangunan yang merata di seluruh Indonesia. Di tahun 1978 terdapat kebijaksanaan baru dalam hal menangani permintaan penduduk setempat yang juga memohon manfaat seperti pangan, tanah dan masukan pertanian (benih, pupuk, dll.) sesuai dengan yang diberi kepada para transmigran. Sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1978, 10 persen dari areal proyek transmigrasi harus disediakan untuk penduduk lokal. Karena pihak instansi transmigrasi menemukan kesulitan dalam mengidentifikasi lahan untuk pemukiman baru, dan juga karena target-target transmigrasi dinaikkan tiap tahun, luas usaha tani per kepala keluarga dikurangi lagi dari empat-lima hektar menjadi dua hektar. Dua hektar tersebut terdiri dari tiga bagian: 0,25 hektar untuk pekarangan dalam keadaan siap tanam, satu hektar (yang disebutkan Lahan I) yang sudah dibuka (tanpa pohon) untuk tanaman pangan dan 0,75 hektar (Lahan II) yang belum dibuka untuk tanaman keras. Lahan I harus dekat rumah/pekarangan para transmigran, sedangkan lokasi Lahan II tidak boleh lebih dari dua kilometer dari rumah (Hardjono, 1986:36). Dengan diumumkannya hasil Sensus Penduduk tahun 1980, di mana jumlah penduduk Jawa (91,6 juta jiwa) merupakan 62 persen dari jumlah 147,5 juta jiwa seluruh penduduk Indonesia, orientasi demografis diperkuat lagi.
Hal ini
mengakibatkan konsep land settlement tidak diungkit-ungkit lagi. Kuantitas diberi prioritas sebelum kualitas dalam perencanaan dan penyelenggaraan transmigrasi selama Repelita III, dengan akibat para transmigran ditempatkan di lahan apapun yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk pemukiman baru, meskipun lokasiVI11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
lokasi tersebut sama sekali tidak cocok untuk pemukiman pertanian karena tanahnya tidak subur atau topografinya berbukit-bukit. Studi-studi perencanaan sering dilaksanakan secara cepat dan kurang mendalam, sedangkan persiapan pemukiman sering tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh instansi transmigrasi sendiri. Di banyak tempat para pemukim mendapat Lahan I yang belum dibuka dan Lahan II yang lokasinya lebih dari tiga kilometer dari rumah pemukim. Malah di beberapa pemukiman Lahan II belum dibagi sama sekali. Pada bulan Desember 1985, 31 persen dari areal Lahan II di 921 unit desa yang masih dalam pembinaan instansi transmigrasi belum diberikan kepada para transmigran. Para pemukim tidak dapat menghasilkan makanan yang cukup untuk keperluan rumah tangga dan juga tidak bisa mulai menanam karet atau tanaman keras lain, yang berakibat mereka tidak bisa memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga. Kekurangan-kekurangan ini dalam pelaksanaan program transmigrasi diakui secara terus terang oleh pemerintah (Repelita III Buku II, 381-383). Keadaan ekonomi di banyak proyek amat buruk, sehingga sebuah Program Pengembangan Tahap Kedua (Second Stage Development Program) dimulai di tahun-tahun terakhir 1980-an untuk merehabilitasi sejumlah unit desa yang didirikan pada Repelita III (Hardjono, 1988). Akan tetapi, meskipun banyak pemukiman transmigrasi tidak mencapai tingkat kemakmuran yang memuaskan, target yang lebih tinggi lagi, yaitu 750.000 kepala keluarga (3,75 juta jiwa) ditetapkan untuk pemindahan transmigran selama Repelita IV (1984-1989). Dengan menetapkan target demografis yang tinggi untuk transmigrasi umum, asumsi pemerintah adalah, bahwa buruh tani dan petani gurem, asal diberi tanah, akan menjadi petani yang makmur. Menurut pemikiran ini, dua hektar tanah dengan hak milik bisa menjamin sumber nafkah yang baik. Memang terdapat banyak daerah transmigrasi yang berhasil, yakni dalam arti adanya sumber kehidupan yang lebih tinggi daripada sebelumnya di Jawa. Akan tetapi, banyak juga daerah transmigrasi yang kurang berhasil, yang malah sesungguhnya dapat dianggap sebagai gagal total. Dalam kasus-kasus seperti itu, para transmigran biasanya di cap sebagai “pemalas”. Dalam kenyataan, keadaan geografis di daerah penempatan tidak mendukung land settlement seperti direncanakan oleh para pembuat kebijaksanaan di tingkat nasional. Perbedaan VI12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
yang tajam antara konsep dan kenyataan dapat dilihat dari pengalaman para transmigran di dua desa yang dibahas di atas. Di kebanyakan daerah penempatan transmigran, program transmigrasi merupakan usaha untuk menggunakan lahan yang marjinal. Dalam keadaan seperti itu, lebih banyak perhatian pemerintah harus diarahkan kepada perkembangan pertanian di pemukiman dan prasarana yang mendukung secara jangka panjang. Implikasi dari istilah land settlement adalah pemindahan calon pemukim ke lahan yang tidak digunakan secara optimal, agar supaya lahan itu dapat dimanfaatkan
dan
para
pemukim
mendapat
sumber
penghidupan
yang
sustainable dalam jangka panjang. Land settlement, dalam hal ini transmigrasi, boleh saja dianggap sebagai salah satu bentuk reforma agrarian yang mampu menurunkan ketimpangan pembangunan wilayah, asal beberapa syarat dipenuhi: 1
Land settlement harus memberi tanah pertanian dengan hak milik kepada kaum tuna kisma dan petani gurem yang tanah usaha tani ukurannya kecil sekali.
2
Land settlement harus menjamin pendapatan rumah tangga para pemukim yang lebih tinggi daripada pendapatannya di tempat asalnya.
3
Land settlement harus memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam secara sustainable.
6.5.
Desentralisasi Telah diungkapkan di banyak tempat di muka, bahwa pengaruh
desentralisasi terhadap pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah belum terlihat nyata. Namun demikian hal ini mungkin berkaitan dengan peluang penampakan hasil yang lebih akan lebih panjang. Desentralisasi mungkin tidak selayaknya terwujud secara mendadak. Di samping perlu memperhitungkan kesatuan negara dan bangsa sehingga membutuhkan saling hubungan dengan pemerintah pusat, juga penambahan peranan dilangsungkan secara bertahap.
VI13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 6.3. Model Perkembangan Desentralisasi (ANALITIS) PERANAN
MONOPOLI (Sentralisasi)
PLURALISME (Desentralisasi)
I. Monopoli Kelembagaan II. Pluralisme Kelembagaan
Pusat (SPASIAL) STRUKTUR Daerah
III. Monopoli Kelembagaan Terdistribusi
IV. Pluralisme Kelembagaan
Dalam kasus desentralisasi kota-kota di Meksiko, misalnya, dapat diambil pelajaran bahwa desentralisasi berlangsung mulus karena mula-mula masih muncul kelembagaan pusat yang memonopoli koordinasi dan kerjasama antar wilayah tersebut. Baru setelah tiap daerah terbiasa dan mampu melembagakan kerjasama ini, maka muncul pluralisme peranan (Tabel 6.3). Meskipun Etiopia gagal melaksanakan desentralisasi, dan sebaliknya menghasilkan anarki serta konflik berkepanjangan, namun satu pelajaran juga berhasil ditangkap. Pemerintahan pusat di Etiopia langsung meletakkan peranan pada pemerintah daerah, sehingga langsung menimbulkan gairah untuk mementingkan diri sendiri dan melupakan daerah lain dalam wilayah negara tersebut. Dari sini muncul pelajaran untuk menyusun kerjasama wilayah/spasial antara pusat dan daerah. Dalam
aspek
pembagian
keuangan
pusat
dan
daerah,
dampak
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi melalui berbagai mekanisme transmisi, di antaranya dana bagi hasil pajak (DBHP), bagi hasil sumber daya alam (DBHSDA), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dana bagi hasil PBB BPHTB dan PPh menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang negatip. Hanya daerah-daerah pusat industri dan jasa yang diuntungkan dengan kebijakan ini. Dana bagi hasil SDA (DBSDA) juga menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang negatip. Hanya daerah kaya SDA (Riau, dan Kaltim) yang paling menikmati pertumbuhan ekonomi positip. Di samping itu kebijakan bagi hasil SDA memperburuk kesenjangan pendapatan antardaerah. Dana Alokasi Umum (DAU) berfungsi sebagai pemerata fiskal daerah juga merupakan faktor yang paling VI14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kebijakan DAU sangat efektif dalam mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah. Dampak
desentralisasi
fiskal
terhadap
kesenjangan
pendapatan
antardaerah lebih terasa di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini ditunjukkan dengan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di KTI dan berada diatas rata-rata nasional. Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling rendah pertumbuhan ekonominya dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal. 6.6.
Pencapaian Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007 Sasaran pembangunan tahun 2007 untuk pengurangan ketimpangan
wilayah adalah: 1. Tertatanya kelembagaan yang berwenang melakukan pengelolaan dan pembangunan wilayah perbatasan serta pulau-pulau kecil terluar di tingkat pusat, provinsi, serta di 20 kabupaten perbatasan dari 44 kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan wilayah negara lain, dengan prioritas awal pada penataan kelembagaan di tingkat pusat dan provinsi serta beberapa kabupaten di wilayah Kalimantan, NTT dan Papua. 2. Tertatanya garis batas (demarkasi dan deliniasi) negara di 20 kabupaten perbatasan dari 44 kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga. 3. Meningkatnya sarana dan prasarana kapabeanan, keimigrasian, karantina, dan kualitas keamanan (CIQS) di 20 kabupaten perbatasan dari 44 kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga, dengan prioritas awal pada wilayah provinsi dan kabupaten di Kalimantan, NTT dan Papua, dan di wilayah yang memiliki pulau-pulau kecil terluar. 4. Meningkatnya pelayanan sosial dasar dan kegiatan ekonomi berbasis potensi lokal di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil serta wilayah terisolir yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai termasuk transportasi, komunikasi, dan informasi, dengan prioritas awal pada wilayah perbatasan di Kalimantan, NTT dan Papua.
VI15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
5. Terwujudnya percepatan pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil, serta wilayah terisolir. 6. Tersusunnya dan terlaksananya kebijakan dan strategi pengembangan wilayah yang terintegrasi antara wilayah strategis dan cepat tumbuh, wilayah perbatasan, dan wilayah tertinggal, terutama dalam meningkatkan peran aktif dunia usaha dalam pengembangan wilayah. 7. Meningkatnya kualitas dan kemandirian sumberdaya pemerintah daerah dan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh di daerah secara berkesinambungan. 8. Terwujudnya percepatan pembangunan infrastruktur wilayah dan infrastruktur ekonomi untuk mempercepat pembangunan kawasan strategis dan cepat tumbuh yang mendorong pengembangan kawasan perbatasan dan tertinggal di sekitarnya. 9. Memantapkan pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung perwujudan sistem kota-kota nasional. 10. Meningkatkan kapasitas kelembagaan, pengelolaan dan pembiayaan dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan perkotaan, terutama dalam manajemen pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur) dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. 11. Terwujudnya penegakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai kebijakan strategi spasial dari program-program sektoral. 12. Terwujudnya kelembagaan penataan ruang yang mampu menyelesaikan dan mengantisipasi terjadinya konflik pemanfaatan ruang. 13. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah masyarakat melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah serta penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang berkeadilan dan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah. 14. Bertambahnya akses masyarakat perdesaan terhadap pemilikan sertifikat serta struktur penguasaan tanah yang mendukung perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Arah kebijakan pembangunan tahun 2007 untuk pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah untuk wilayah perbatasan dan terisolir adalah: (1) VI16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pengelolaan dan pembangunan wilayah perbatasan serta pulau-pulau kecil terluar, dengan fokus pada: (a) Penegasan dan penataan batas negara di darat dan di laut termasuk di sekitar pulau-pulau kecil terluar; (b) Peningkatan kerjasama bilateral di bidang politik, hukum, dan keamanan dengan negara tetangga; (c) Penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar; dan (d) Pemihakan kebijakan pembangunan untuk percepatan pembangunan wilayah perbatasan dan pulaupulau kecil terluar; (2) Percepatan pembangunan wilayah terisolir, dengan fokus pada: (a) Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi di daerah terisolir; dan (b) Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan sosial dasar di daerah terisolir. Untuk wilayah strategis dan cepat tumbuh arah kebijakannya meliputi: (1) Penyusunan kajian, kebijakan, standar, dan rencana tindak termasuk konsepkonsep strategis pengembangan wilayah; (2) Pembangunan dan fasilitasi penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi pendukung kawasan unggulan; (3) Peningkatan peran pemerintah daerah sebagai perencana dan pengelola pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh melalui peningkatan kualitas SDM pemerintah daerah dalam: (a) pengembangan kelembagaan pengelolaan kawasan unggulan; (b) peningkatan kerjasama antarwilayah, antarsektor, dan antarpelaku untuk pengembangan kawasan; (c) pengembangan sistem insentif untuk mendorong pengembangan kawasan; (d) pengembangan sistem data dan informasi untuk pengembangan daya saing kawasan. Bidang perkotaan arah kebijakannya adalah: (1) Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi; (2) Menyusun
dan
menyiapkan
struktur
perkotaan
Indonesia
dalam
usaha
memantapkan peran serta fungsi kota untuk mendukung pengembangan kotakota secara hirarkis dan memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi antar kota yang sinergis dan saling mendukung; (3) Peningkatan kapasitas SDM, pembiayaan serta kelembagaan pusat dan daerah dalam pengelolaan pembangunan perkotaan. Untuk penataan ruang arah kebijakannya adalah Percepatan penyelesaian berbagai peraturan pelaksanaan revisi UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan penyusunan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang di daerah, VI17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
serta peningkatan kapasitas kelembagaan yang mampu melaksanakan koordinasi dan membentuk kesepakatan dan kerjasama antarsektor dan antarwilayah dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan bidang pertanahan adalah Pengembangan sistem pendaftaran tanah yang dapat mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah serta menata Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) yang berkeadilan dan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah. Permasalahan kesenjangan dalam pembangunan masih didominasi oleh permasalahan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan dan wilayah tertinggal terhadap sarana dan prasarana sosial ekonomi. Berdasarkan data kemiskinan (BPS, 2007), persentase penduduk miskin tertinggi berada di Provinsi Papua sebesar 40,79 persen, dan terendah berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar 4,61 persen. Kesenjangan antar wilayah dalam pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi masih sangat besar. Penduduk di Provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah 10,6 tahun, sedangkan penduduk di Sulawesi Barat baru mencapai 6,0 tahun (BPS, 2005). Di bidang kesehatan, diindikasikan dari sebagian besar provinsi di Indonesia Bagian Timur, terutama di Provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi Barat, dimana masih banyak wilayah yang kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Sementara itu, permasalahan kesenjangan akses terhadap sumber air minum (BPS,2006) masih tinggi, di mana hanya 31,7 persen penduduk di Maluku yang kesulitan air minum, namun sebanyak 66,1 persen penduduk kesulitan akses air minum di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Untuk sanitasi layak (BPS,2006), hanya 6,2 persen peduduk DKI yang kesulitan akses, sedangkan di NTB sebanyak 53,8 persen penduduk yang masih kesulitan akses sanitasi layak. Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Di lain pihak kawasan perkotaan mengalami pertumbuhan penduduk yang relatif sangat cepat karena urbanisasi. Urbanisasi sendiri sebenarnya merupakan gejala normal dalam VI18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
tahapan pembangunan suatu negara. Urbanisasi di selain disumbangkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota serta pertumbuhan penduduk alami, juga disumbangkan oleh terjadinya reklasifikasi wilayah-wilayah yang semula tergolong perdesaan (rural) menjadi wilayah perkotaan (urban) sebagai akibat dari pembangunan dan proses agglomerasi. Pada tahun 2007 secara administratif jumlah kota di Indonesia adalah sebanyak 95 kota. Terjadi penambahan jumlah kota yang cukup besar yaitu sebanyak 31 kota (semula 64 kota) pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2007 akibat pembentukan kota-kota baru sebagai daerah otonom baru. Selama tahun 2007 program-program yang dilaksanakan mencakup: 1. Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh 2. Program Pengembangan Wilayah Tertinggal 3. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan 4. Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antar Kota 5. Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah 6. Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan 7. Program Penataan Ruang 8. Program Pengelolaan Pertanahan Adapun program yang tidak terdokumentasikan meliputi: 1. Program Pengembangan Ekonomi Lokal 2. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan 3. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah 4. Program Peningkatan Kerjasama Internasional 5. Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 6. Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 7. Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan 8. Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup 9. Program Pengendalian banjir dan pengamanan pantai 10. Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan NKRI 11. Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepolisian
VI19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
12. Program Penetapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplomasi Indonesia 13. Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 14. Program Pengembangan Bela Negara Rincian pencapaian tiap program tersaji dalam Lampiran 9. Efektivitas Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Pada tahun 2007 telah dilakukan usaha-usaha untuk pengendalian kota besar dan metropolitan, upaya-upaya yang dilakukan pada tahun 2007 adalah peningkatan kapasitas aparat daerah dalam pengelolaan wilayah metropolitan, pembinaan pengembangan kinerja perkotaan, penyusunan konsep pengembalian fungsi kawasan permukiman di metropolitan melalui peremajaan di 16 kota, serta penyusunan rencana pengembangan kawasan permukiman di kota besar. Untuk mengembangkan kota kecil menengah, kegiatan yang dilakukan pada tahun 2007 adalah fasilitasi pengembangan perkotaan, peningkatan fungsi kawasan perkotaan dan perdesaan, penyusunan petunjuk teknis peningkatan kualitas permukiman perkotaan dan petunjuk penyusunan rencana induk sistem pengembangan perkotaan, serta advisory/pendampingan Penyusunan PJM infrastruktur kota. Sedangkan, untuk mengembangkan keterkaitan pembangunan antar kota, antara lain: pengkajian dan sosialisasi konsep manajemen dan koordinasi pelayanan lintas kota, pembinaan penataan kota, fasilitasi kerja sama antar pemerintah kota, penyusunan profil kota dalam peran dan fungsi hirarki kota, pengembangan aset manajemen perkotaan, dan pelaksanaan proyek reformasi pembangunan sektor perkotaan/Urban Sector Development Refom Project (USDRP). Pencapaian pada tahun 2007 di bidang penataan ruang, diantaranya: (1) Penyelenggaraan forum koordinasi penataan ruang di tingkat nasional melalui Rapat Kerja Nasional BKTRN, yang diadakan di Provinsi Kepulauan Riau; (2) Pengesahan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang menggantikan UU No. 24/1992, dan (3) tersusunnya data dan peta dasar rupa bumi untuk mendukung penyusunan rencana tata ruang. Untuk penyelenggaraan pengelolaan pertanahan, dalam tahun 2007 telah dilakukan kegiatan-kegiatan antara lain penyelesaian masalah dan sengketa pertanahan melalui penyusunan standarisasi penanganan sengketa/masalah, kerjasama dengan pihak terkait serta peningkatan VI20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
dan penguatan hak-hak masyarakat atas tanah melalui penertiban dan peningkatan hak atas tanah, sertifikasi Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), pendaftaran tanah sistematik, redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan kegiatan pembangunan pertanahan lainnya. Dalam realisasi penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah, telah dilaksanakan subsidi APBN bagi 830.000 bidang tanah, pelaksanaan swadaya masyarakat sebanyak 2.116.365 bidang, pembuatan peta dasar pendaftaran tanah 250.000 Ha dan pemasangan Kerangka Dasar Kadastar Nasional sebanyak 500 titik. Di samping itu, telah dilakukan juga pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui pelaksanaan konsolidasi dan redistribusi tanah sebanyak 40.000 bidang, inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) terpadu di 60 desa/kelurahan sebanyak 40.000 bidang, dan inventarisasi tanah terlantar sebanyak 1.000 bidang. Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan pertanahan yang efisien ditingkatkan
upaya
penertiban
dan
pendayagunaan
tanah
terlantar,
mengupayakan penegakan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah, serta membangun dan mengembangkan pengelolaan data dan informasi pertanahan yang mencakup penyusunan data tanah-tanah aset negara, inventarisasi lokasi pulau-pulau kecil, pendataan, pemetaan dasar, penggunaan dan pemanfaatan data dan informasi bersama, pengembangan inventarisasi dan pemetaan penggunaan dan kemampuan tanah detail dengan mengembangkan Sistem Informasi Geografi Penatagunaan Tanah. Selain itu, dengan adanya pemekaran di berbagai wilayah Kabupaten dan Kota telah dilaksanakan pembentukan kantor wilayah dan kantor pertanahan BPN di lokasi pemekaran dan peningkatan kerjasama intensif antara instansi pemerintah yang ditunjang oleh pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan dan pelatihan tenaga pertanahan. Dalam konteks pengembangan kawasan yang terintegrasi, Kawasan Strategis dan Cepat Tumbuh diarahkan untuk menjadi pusat pertumbuhan yang dapat mempercepat pembangunan daerah tertinggal di sekitarnya, baik akibat letak geografis yang berada di perbatasan/pulau terdepan, kondisi pasca konflik, maupun pasca bencana. Dukungan dan keberpihakan kebijakan pada percepatan pembangunan
daerah
tertinggal
ditandai
VI21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
dengan
diformulasikan
dan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
diimplementasikannya berbagai konsep pengembangan kawasan, di antaranya melalui Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Industri, Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone), Kawasan Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus. Sepanjang tahun 2007, peningkatan kinerja pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh telah dilakukan melalui fasilitasi dan koordinasi intensif dalam hal: (1) Pengembangan KAPET sebagai konsep kawasan yang diperuntukan secara khusus bagi percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), telah berkembang dari hanya 4 lokasi pada tahun 2005 menjadi 14 lokas i(13 provinsi di KTI dan 1 provinsi NAD di KBI) pada tahun 2008; (2) Terkait dengan FTZ, telah terlaksananya penyusunan berbagai peraturan, di antaranya: 1) PP tentang hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Otorita Batam sebagai tindak lanjut dari UU nomor 21 Tahun 1999 tentang pembentukan Kota Otonom Batam; 2) PP nomor 1 Tahun 2007 tentang perubahan atas UU nomor 36 Tahun 2000 untuk mempermudah pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; 3) PP nomor 46,47,48 Tahun 2007 tentang penetapan Batam-Bintan-Karimun sebagai Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas; (4) Dimulai dengan kajian pengembangan Free Trade Zone (FTZ) pada beberapa kawasan andalan di Indonesia pada tahun 2005, kini beberapa kawasan telah meningkatkan perannya menjadi Kawasan Ekonomi Khusus, yang melibatkan beberapa kawasan FTZ, yakni Batam-Bintan-Karimun. Setelah terlaksananya proses kajian berbagai aspek penting dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pembentukan Tim Nasional KEKI, kini sedang dirampungkan RUU tentang KEK dan beberapa PP turunannya; serta (5) Kerja Sama Ekonomi Sub Regional (KESR) yang menjadi model kerjasama di daerah perbatasanpun kian diperluas agenda kerjanya. Dalam pelaksanaannya, terdapat kendala dan permasalahan dalam pengembangan Kawasan Strategis dan Cepat tumbuh; yang disebabkan antara lain: 1) Rendahnya dukungan kebijakan dan komitmen pembiayaan pemerintah daerah bagi pengembangan kawasan strategis di daerahnya, dalam konteks sistem keterkaitan antara kawasan strategis dan cepat tumbuh dengan daerah tertinggal di sekitarnya; 2) Tidak sinerginya kebijakan penyediaan infrastruktur VI22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pendukung yang membuka akses antara pusat pertumbuhan wilayah atau pasar dengan wilayah pendukung produksi di sekitarnya; (3) Lambatnya pengembangan sistem kelembagaan dan manajemen pengelolaan pengembangan kawasan yang terpadu yang mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk yang dikembangkannya; 4) Belum berkembangnya sistem informasi dan database yang dapat memberikan akses pada informasi keunggulan kawasan, produk, pasar, teknologi dan sistem insentif lainnya; serta (5) Belum terbangunnya sinergi lintas sektor dan lintas pemerintah daerah dalam membangun daya saing kawasan untuk meningkatkan investasi wilayah melalui perbaikan pelayanan umum, pengembangan sistem insentif dan peraturan perundangan terkait. Di daerah tertinggal hingga tahun 2007, pembangunan telah menghasilkan kemajuan yang cukup berarti. Hasil evaluasi pembangunan d aerah tertinggal menunjukkan bahwa sebanyak 14,07 persen kabupaten dari 199 kabupaten yang pada awal pelaksanaan RPJM Nasional dikategorikan sebagai daerah tertinggal, pada tahun 2007 telah dapat dikategorikan sebagai daerah maju yang akan lepas dari
ketertinggalan.
Sementara
sebanyak
85,93
persen
lainnya
masih
dikategorikan sebagai daerah yang masih tertinggal dengan tingkat ketertinggalan yang bervariasi, yaitu 26,63 persen dikategorikan tertinggal, 28,64 persen dikategorikan agak tertinggal, 25,12 persen dikategorikan sangat tertinggal, dan 5,52 persen lainnya dikategorikan sangat parah ketertinggalannya. Permasalahan dalam pembangunan daerah tertinggal adalah : (1) Masih lemahnya
koordinasi,
sinergi,
dan
kerjasama
diantara
pelaku-pelaku
pengembangan kawasan perbatasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dan antar sektor dalam upaya mengembangkan potensi lokal unggulan; (2) Masih minimnya ketersediaan pelayanan sosial dasar di kawasan perbatasan dan daerah tertinggal; (3) Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi; (4) Belum optimalnya integrasi pembangunan daerah tertinggal dengan pusat pertumbuhan secara sistemik sebagai satu kesatuan pengembangan ekonomi wilayah; (5) Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah; (7) Belum
VI23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar wilayah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan daerah tertinggal. Pada tahun 2007 berbagai Kementerian dan Lembaga terkait di tingkat pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah terkait telah melaksanakan program dan kegiatan sektoral maupun lintas sektoral dalam pembangunan kawasan perbatasan negara dan pulau-pulau kecil terluar. Terdapat tiga aspek yang menjadi perhatian utama dalam penanganan kawasan perbatasan negara dan pulau-pulau kecil terluar : (l) Aspek penataan dan penetapan batas negara serta pelayanan exit-entry point, hasil-hasil kegiatan yang dicapai yaitu : (i) terlaksananya kajian, survei, dan pemetaan untuk mendukung penetapan batas darat dan laut; (ii) terlaksananya pembangunan tugu batas darat di beberapa titik di kawasan perbatasan Kalimantan, Papua, dan NTT; (iii) Terbangunnya tugu, gapura, prasasti, dan tanda-tanda penegasan kedaulatan NKRI lainnya di kawasan perbatasan darat dan 7 pulau kecil terluar; (v) Terlaksananya upaya-upaya diplomasi untuk mempercepat penetapan batas negara; (vi) Terlaksananya pertemuan dan perundingan teknis dalam rangka penyelesaian permasalahan penetapan batas darat dan laut dengan PNG, RDTL, Malaysia, Singapura, dan Filipina; (vi) Terlaksananya pembangunan PLB/PPLB di Kab. Bengkayang, Kab. Sambas, Kab. Natuna, Kab. Boven Digoel, Kab. Pegunungan Bintang, dan Bengkalis; (2) Aspek politik, hukum dan keamanan, hasil-hasil kegiatan yang dicapai yaitu : (i) Terlaksananya pembangunan pos perbatasan darat, (ii) Terlaksananya operasi pengamanan di kawasan perbatasan darat dan laut; (3) Terlaksananya
pengamanan
kawasan
hutan;
serta
(4)
Terlaksananya
pembangunan fasilitas TNI matra darat, matra laut, dan matra udara untuk mendukung pengamanan kawasan perbatasan; (5) Terlaksananya kegiatan bakti sosial, penyuluhan, dan sosialisasi bela negara bagi masyarakat di kawasan perbatasan; (6 ) Terlaksananya pengembangan materiil dan fasilitas kepolisian, termasuk pos polisi dan pos polmas di pulau-pulau kecil terluar berpenghuni; (3) Aspek sosial dan ekonomi, hasil-hasil kegiatan yang dicapai yaitu : (i) Terlaksananya penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan umum serta pelayanan masyarakat di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar prioritas; (ii) penyusunan
produk-produk
penataan
ruang
VI24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
kawasan
perbatasan;
(iii)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Terlaksananya transmigrasi
penyiapan serta
permukiman,
pemberdayaan
perpindahan,
masyarakat
binaan;
dan
penempatan
(iv)
Terlaksananya
pelaksanaan koordinasi lintas sektoral di 4 wilayah perbatasan; (v) Terlaksananya penelitian dan penerapan teknologi tepat guna; (vi) Terlaksananya upaya pemberdayaan KUKM; (vii) Terlaksananya bantuan sarana bagi pengembangan industri kecil dan menengah; (viii) Terlaksananya upaya perlindungan pekerja mandiri
di
sektor
informal,
bantuan
kesejahteraan
sosial
permanen,
pemberdayaan fakir miskin, dan pemberdayaan KAT; (ix) Terlaksananya kerjasama
bilateral
di
bidang
ekonomi
dengan
negara
tetangga;
(x)
Terlaksananya pembangunan/peningkatan pelabuhan, sarana bantu navigasi pelayaran, subsidi operasi angkutan laut perintis, dan pembukaan jalur transportasi
laut
baru
menuju
pulau
kecil
terluar;
(xi)
Terlaksananya
pembangunan terminal antar lintas batas dan subsidi operasi angkutan penyeberangan perintis; (xii) Terlaksananya pembangunan/peningkatan bandara udara di kawasan perbatasan serta subsidi operasi angkutan udara perintis; (xiii) Terlaksananya pembangunan/peningkatan/rehabilitasi jalan dan jembatan, serta prasarana air minum di beberapa kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar; (xiv) Terlaksananya program aksi desa mandiri pangan serta pemberdayaan masyarakat perdesaan di kawasan perbatasan; (xv) Terlaksananya PSO pos, pengembangan sarana penerima siaran, telekomunikasi dan teknologi informatika di kawasan perbatasan; (xvi) Terlaksananya program wajib belajar 9 tahun, pendidikan
menengah,
pendidikan
non
formal,
dan
PMTK;
serta
(xvii)
pembangunan pasar dan marketing poin. Permasalahan dalam pembangunan kawasan perbatasan negara dan pulaupulau kecil terluar adalah: (1) Beberapa segmen garis batas yang berbatasan langsung dengan negara lain belum disepakati; (2) Belum meratanya tingkat kesejahteraan di kawasan perbatasan; (3) Lunturnya nasionalisme masyarakat di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar yang tingkat kesejahteraannya masih rendah; (4) Masih terbatasnya ketersediaan pelayanan sosial dasar di beberapa kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar; (5) Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi; (6) Belum optimalnya koordinasi, sinergi,
VI25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
dan kerjasama di antara pelaku-pelaku pengembangan kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar. Dalam rangka mendukung upaya pembangunan kawasan khusus daerah tertinggal, kebijakan bidang transmigrasi diperlukan, khususnya dalam menangani isu-isu kesenjangan antar wilayah, seperti penyebaran dan penataan penduduk yang tidak merata di wilayah nasional, belum meratanya peluang usaha dan kesempatan kerja, belum meratanya penyediaan prasarana dan sarana wilayah, belum optimalnya pengembangan potensi lokal, serta diperlukannya pemukiman kembali
penduduk
akibat
konflik
horisontal
dan
bencana
alam.
Target
penempatan transmigran 2005-2009 adalah 82.000 KK (66% di wilayah tertinggal dan perbatasan; 34 % di wilayah cepat tumbuh). Pada tahun 2005-2008 baru tercapai 52% (42.572 KK) dari total target. Permasalahan yang dihadapi dalam bidang transmigrasi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah adalah: (1) kebijakan transmigrasi dengan UU 15/1997 dan PP 2/1999, belum memenuhi potensi dan kebutuhan lokal dalam khususnya perspektif daerah, partisipasi masyarakat, dan integrasi sosial; (2) pembangunan kawasan belum mengaitkan kawasan transmigrasi dengan wilayah sekitar, menghambat proses produksi-distribusi; (3) peranan Pemda dan partisipasi masyarakat kurang, dan belum didukung kelembagaan dan fasilitasi Pemda; (4) kurangnya peran lokal dan orientasi karakteristik lokal menyebabkan kerawanan konflik sosial; (5) masih terbatasnya prasarana dan sarana fisik dan ekonomi, dan belum optimalnya kerjasama antar wilayah maupun antar negara di wilayah strategis dan cepat tumbuh; (6) masih rendahnya akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik dikarenakan terbatasnya akses transportasi; (7) masih rendahnya kepadatan penduduk di wilayah tertinggal; (8) arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang masih berorientasi “inward looking" sehingga kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan dan terpencil lebih rendah dibandingkan warga negara tetangga.
VI26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
6.7.
Penanggulangan Ketimpangan Wilayah di Daerah
6.7.1. Provinsi Kalimantan Selatan Program nasional pengurangan ketimpangan pembangunan wiayah yang dilaksanakan
di
Kalimantan
Selatan
pada
tahun
2007
ialah
Program
Pengembangan Wilayah Tertinggal, bagian transmigrasi. Kegiatannya berupa fasilitasi perpindahan penduduk 110 KK ke Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan untuk mendukung penanganan korban bencana gempa bumi di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Ketipampangan di Kalimantan Selatan, jika digunakan skoring desa menurut paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia, ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang berarti (Tabel 6.4). Di sana Banjarmasin tetap menjadi pusat pembangunan. Secara keseluruhan posisi pembanguan wilayah di Kalsel agak rendah, dengan hampir separuh kabupaten/kota pada peringkat menengah-bawah. Posisi yang serupa juga muncul di Sulawesi Selatan. Bahkan ibukota provinsi di sanapun belum tergolong pada posisi maju. Dalam hal pengalaman ketimpangan pengeluaran rumahtangga, posisi Kalsel saat ini lebih merata dibandingkan Sulsel. Yang menarik, posisi Kalsel sekaran ini lebih tinggi daripada masa sebelum krisis moneter. Sebaliknya Sulsel mengalami
peningkatan
pada
saat
krisis
moneter
(karena
mendapatkan
keuntungan besar dari ekspor kakao) dan kini mulai menurun (Gambar 6.1). Dalam aspek ekonomi, meskipun Kalsel memiliki penduduk lebih tinggi, namun GDRP di wilayah tersebut lebih tinggi daripada Sulsel (Gambar 6.2, Gambar 6.3). Dihitung dengan GDRP per kapita pun tetap menunjukkan bahwa Kalsel berposisi lebih tinggi daripada Sulsel (Gambar 6.4). Bersamaan dengan itu, ternyata persentase penduduk miskin di Sulsel lebih tinggi daripada di Kalsel (Gambar 6.5). Indikasi-indikasi ini memang menunjukkan peluang ketimpangan di dalam provinsi yang lebih tinggi pada Sulsel dibandingkan Kalsel.
VI27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 6.4. Tingkat Pembangunan Wilayah di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan menurut Pembangunan yang Berpusat pada Manusia, 2006. Provinsi Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan
Kabupaten/Kota Tanah Laut Kotabaru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Banjarmasin Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkajene Kepulauan Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Polewali Mamasa Majene Mamuju Luwu Utara Mamasa Mamuju Utara Luwu Timur Ujung Pandang
Rataan Skor Desa 176 166 164 162 163 170 172 164 170 172 160 188 154 173 163 171 184 170 171 170 170 170 166 179 165 175 180 166 167 166 162 168 162 151 149 163 161 172
Ranking Indonesia 254 169 147 126 143 198 225 145 208 223 101 357 70 231 132 211 324 209 214 206 207 196 167 277 163 248 294 173 181 168 130 184 124 54 49 135 119 224
Keterangan Menengah atas Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah atas Menengah atas Menengah bawah Menengah atas Menengah atas Menengah bawah Maju Menengah bawah Menengah atas Menengah bawah Menengah atas Menengah atas Menengah atas Menengah atas Menengah atas Menengah atas Menengah atas Menengah bawah Menengah atas Menengah bawah Menengah atas Menengah atas Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah bawah Menengah atas
Keterangan: Dalam data potensi desa 2006 di atas, data provinsi Sulawesi Selatan belum dipisahkan dari Provinsi Sulawesi Barat.
VI28 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Bali
ê
ê
I Jakarta DK
DIYogyakarta
êê êêê
ê
orontalo G bi Jam
êê êê êêê
aTengah Jaw aTimur Jaw
ê
êê êêê
KalimantanSelatan
antanBarat Kalim
ê
aBarat Jaw
ê
Banten Bengkulu
ê
ê
KalimantanTengah antanTimur Kalim
ê
êê êêê
iau KepulauanR
Kep. BangkaBelitung
ê
êê êê êêê
Provinsi
VI29 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
êê êêê
ê
PapuaBarat Riau
êê êêê
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara
êê êê êêê
tara ateraU Sum
ê
tara Sulawesi U
ê
Sulawesi Selatan
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Indeks Gini 0.40
ateraBarat Sum SumateraSelatan
ê
Sulawesi Barat
ê
Papua
NusaTenggaraTimur
tara alukuU M NanggroeAcehDarussalam NusaTenggaraBarat
Lampung Maluku
Penduduk2007
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 6.1. Perubahan Indeks Gini Provinsi di Indonesia, 1993-2002 (basis pengeluaran rumahtangga) Indeks Gini 1993
Indeks Gini 1996
Indeks Gini 1999
Indeks Gini 2002
0.35
0.30
0.25
0.20
Provinsi
Gambar 6.2. Jumlah Penduduk Indonesia menurut Provinsi, 2007
4 00 0 00 0 0ê
ê
ê
ê
3 00 0 00 0 0ê ê
ê
ê
ê
2 00 0 00 0 0ê ê
ê
ê
ê
1 00 0 00 0 0ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
êê ê
PDRB/kapita2006(Hargakonstan2000)
0
êê
ê
ê
ê
êê êêê
ê
êê êê êêê
ê
ê ê ê êê
ê
ê
ê
êê êêê
ê
VI30 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
êê êê êê ê
ê
Provinsi
êê êê ê
ê
ê
ê
êê êêê
ê
ê
MalukuUtara PapuaBarat Papua
êê êê êêê êê êêê ê
ê
êê êê êêê êêê ê
Papua
Gorontalo
ê
Sulawesi Barat Maluku
êê êêê
Sulawesi Selatan
ê
Sulawesi Utara
ê
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara
ê
Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat
KalimantanBarat
êê êêê
KalimantanTengah KalimantanSelatan KalimantanTimur
ê
Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan
êê êê êêê
Banten Bali
ê
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
JawaTengah DIYogyakarta JawaTimur
êê êê ê
NusaTenggaraBarat NusaTenggaraTimur
ê
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
ê
Jawa Timur Banten
ê
JawaBarat
Bengkulu Lampung Kep. BangkaBelitung KepulauanRiau DKI Jakarta
êê êêê
Jawa Tengah DIYogyakarta
SumateraSelatan ê
DKI Jakarta Jawa Barat
êê êê êêê
SumateraBarat Riau bi Jam
ê
Lampung Kep. BangkaBelitung Kepulauan Riau
êêêê
Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu
4 00 0 00 0 0 NanggroeAcehDarussalam SumateraUtara
0
NanggroeAcehDarussalam Sumatera Utara Sumatera Barat
PDRB2006(Hargakonstan2000)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 6.3. PDRB Indonesia menurut Provinsi, 2006 3 00 0 00 0 00ê
ê
ê
ê
ê
2 00 0 00 0 00ê ê
ê
ê
ê
1 00 0 00 0 00ê ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
Provinsi
Gambar 6.4. PDRB per Kapita Indonesia menurut Provinsi, 2006
ê
ê
6 00 0 00 0 0ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
2 00 0 00 0 0ê ê
ê
ê
ê
ê
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 6.5. Persentase Penduduk Miskin Indonesia menurut Provinsi, 2007 ê
4 0,0
ê ê
ê
iskin2007 %orangm
ê
ê
3 0,0
ê ê
ê
ê
ê
2 0,0
ê ê
ê
ê
ê
1 0,0
ê ê
ê
ê
ê
tara SumateraU
ê ê ê êê
SumateraSelatan
ê
tara Sulawesi U SumateraBarat
Sulawesi Tengah
ê
ê
Sulawesi Tenggara
Riau
êê êêê
ê
Sulawesi Barat Sulawesi Selatan
êê êê êêê
ê
Papua PapuaBarat
êê êêê
NusaTenggaraBarat
ê
NusaTenggaraTimur
ê
ê
Maluku
êê êê ê
tara MalukuU NanggroeAcehDarussalam
ê
Lampung
KalimantanTimur
êê êê êêê
Kep. BangkaBelitung iau KepulauanR
aTimur Jaw
ê
KalimantanSelatan KalimantanTengah
êê êêê
ê
KalimantanBarat
ê
bi Jam
ê
aBarat Jaw aTengah Jaw
orontalo G
Bengkulu
êê êêê
ê
DIYogyakarta I Jakarta DK
Bali Banten
êê êê êêê
Provinsi
Dalam aspek pembangunan sosial ternyata Kalsel dan Sulsel telah berada pada posisi yang kuat, yaitu di atas angka IPM 70 (Gambar 6.4). Angka pembangunan manusia ini terutama disumbang oleh tingkat pendidikan yang tinggi pada kedua provinsi tersebut. Angka harapan hidup pada kedua provinsi juga sudah menunjukkan tingkat yang tinggi. Akan tetapi angka Reit Kematian Bayi (Infant Mortality Rate/IMR) menunjukkan tingkat yang tinggi, dengan angka lebih tinggi pada Sulsel (Gambar 6.5). Angka ini menunjukkan lemahnya prasarana, sarana dan kelembagaan kesehatan di kedua provinsi tersebut. Pengembangan kesehatan pada kedua provinsi tersebut, terutama diarahkan untuk ibu mengandung dan menyusui, persalinan dan balita, mungkin mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di sana.
VI31 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
ê
ê
êê êêê
Provinsi
VI32 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas DIYogyakarta DKI Jakarta
JawaBarat JawaTengah
bi Jam
Gorontalo
JawaTimur KalimantanBarat KalimantanSelatan KalimantanTengah KalimantanTimur Kep. BangkaBelitung KepulauanRiau Maluku
Lampung
ê
êê êê êêê
Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah
Papua PapuaBarat
NusaTenggaraTimur
MalukuUtara NanggroeAcehDarussalam NusaTenggaraBarat
êê êê êêê ê
ê
êê êêê
ê
ê
Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara SumateraBarat
êê êêê ê
ê
ê
êê êêê
PapuaBarat Papua
ê
ê
tara MalukuU
êê êêê
êê êêê
Maluku
ê
ê
orontalo G Sulawesi Barat
êê êê êêê
ê
Sulawesi Selatan
ê
ê
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara
êê êêê
êê êêê
tara Sulawesi U
ê
ê
KalimantanTimur
ê
êê êê êêê
KalimantanBarat KalimantanTengah KalimantanSelatan
ê
ê
Bali NusaTenggaraBarat NusaTenggaraTimur
êê êêê
êê êêê
Banten
ê
ê
DIYogyakarta aTimur Jaw
êêê
ê
aBarat Jaw
1 0,0 0 ê
aTengah Jaw
2 0,0 0 êê êêê
iau KepulauanR I Jakarta DK
3 0,0 0 ê
Lampung Kep. BangkaBelitung
4 0,0 0 êêê êê êêê
SumateraSelatan Bengkulu
0
bi Jam
ê
êê êêê
SumateraSelatan SumateraUtara
25
SumateraBarat Riau
50
Bali Banten Bengkulu
HDI 2005 75
tara SumateraU
NanggroeAcehDarussalam
R2007 IM
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 6.6. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Menurut Provinsi, 2005 ê ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê
Provinsi
Gambar 6.7. Reit Kematian Bayi di Indonesia menurut Provinsi, 2007
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
êê ê
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
6.7.2. Provinsi Sulawesi Selatan Hasil-hasil
pembangunan
untuk
pengurangan
ketimpangan
wilayah
terdokumentasikan di Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003-2008, telah dicanangkan ”Sulawesi Selatan menjadi lebih maju dan terkemuka dalam penerapan otonomi yang berorientasi pada kepemerintahan yang baik” sebagai Visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk mewujudkan visi tersebut telah dirumuskan 5 Misi, yaitu; (1) Mendorong peningkatan pendidikan dan pengamalan nilai-nilai agama dan budaya dalam segala aspek kehidupan; (2) Menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan daya saing usaha swasta dan masyarakat; (3) Menata kelembagaan pemerintah menjadi lebih terpercaya, efisien dan efektif; (4) Mendorong pemerintah kabupaten/kota dalam memfasilitasi kelembagaan masyarakat menjadi lebih mandiri; dan (5) Mendorong pengembangan peran Wilayah Sulawesi Selatan secara lebih efektif sebagai Pusat Pelayanan Kawasan Timur Indonesia. Selanjutnya berdasarkan visi dan misi tersebut ditetapkan Pokok-Pokok Kebijakan yang meliputi (1) Peningkatan Kualitas Hidup Manusia, (2) Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah, (3) Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, serta (4) Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat. Ke-empat pokok kebijakan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam program-program
pembangunan
yang
kemudian
menjadi
acuan
dalam
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Kebijakan Umum APBD. Dalam aspek keuangan, realisasi Pendapatan Daerah sepanjang tahun 2003-2006 mengalami peningkatan signifikan yakni dari Rp. 863,8 milyar lebih pada tahun 2003 menjadi Rp. 1,480 trilyun lebih pada tahun 2006 atau tumbuh 19,66 persen per tahun dengan realisasi rata-rata 109,94 persen pertahun. Khusus tahun 2007, direncanakan sebesar Rp. 1,607 Trilyun lebih dan realisasi hingga triwulan II sebesar Rp. 848,29 milyar lebih atau 52,77 persen. Pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga mengalami peningkatan signifikan dari Rp. 445,6 milyar lebih pada tahun 2003 menjadi Rp. 775,5 milyar lebih pada tahun 2006, atau tumbuh 20,28 persen per tahun, dengan realisasi rata-rata VI33 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
112,37 persen per tahun. Khusus tahun 2007 direncanakan sebesar Rp. 805 milyar lebih hingga triwulan II telah direalisir sebesar Rp. 485,38 milyar lebih atau 60,27 persen. Mengenai realisasi Dana Perimbangan, yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak serta Dana Alokasi Umum, mencapai Rp. 403,4 milyar lebih pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp. 677,8 milyar lebih pada tahun 2006 atau tumbuh 18,88 persen per tahun dengan realisasi rata-rata 107,66 persen pertahun, dan hingga triwulan II tahun 2007 telah direalisir Rp. 362,91 milyar lebih dari target sebesar Rp. 758,01 milyar lebih atau 47,88 persen. Adapun rincian realisasi Dana Perimbangan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak, meningkat dari Rp. 101,9 milyar lebih pada tahun 2003 menjadi Rp. 168,3 milyar lebih pada tahun 2006, atau tumbuh 18,20 persen per tahun, sementara pada tahun 2007 hingga triwulan II baru direalisir sebesar Rp.13,19 milyar lebih dari target sebesar Rp. 158,50 milyar lebih. 2. Dana Alokasi Umum, meningkat dari Rp. 298,1 milyar lebih pada tahun 2003 menjadi Rp. 509,5 milyar lebih pada tahun 2006, atau tumbuh 19,56 persen per tahun, dan hingga triwulan II tahun 2007, dari target sebesar Rp. 599,50 milyar lebih, telah terealisir sebesar
Rp. 349,71 milyar lebih atau 58,33
persen. Urusan wajib yang dilaksanakan selama tahun 2003-2006 meliputi 15 (lima belas) urusan yaitu, Pertama adalah Urusan Pendidikan, program yang dilaksanakan berkaitan dengan urusan ini adalah Program Peningkatan Kualitas Relevansi dan Pemerataan Pendidikan, dengan kinerja rata-rata selama periode 2003-2006 sebesar 88,82 persen dengan kategori Sangat Baik. Memperhatikan kinerja kegiatan tahun 2007 yang dapat dicapai hingga triwulan II, maka diperkirakan kinerja kegiatan program ini pada akhir tahun 2007 sebesar 89,07 persen, sehingga kinerja rata-rata yang dapat dicapai selama tahun 2003 hingga akhir tahun 2007 sebesar 88,87 persen dengan kategori Sangat Baik. Kegiatan yang menonjol dalam program ini antara lain Pengembangan Sekolah Unggulan dan Peningkatan Manajemen Sekolah Unggulan, Pelatihan Guru,
Pengadaan Buku Pelajaran Pokok, Bantuan Peralatan Laboratorium,
VI34 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pengembangan Perpustakaan Umum Sistem Multimedia, maupun kegiatan belajar mengajar pada Akper Angingmamiri. Berkaitan dengan pengembangan sekolah unggulan, oleh Departemen Pendidikan Nasional dinilai sebagai suatu sistem pendidikan dan proses pembelajaran yang baik dan diadopsi untuk dijadikan model secara nasional. Urusan kedua yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah Urusan Kesehatan, dan program yang terkait dengan urusan ini adalah Program Peningkatan Derajat Kesehatan dan Gizi, dengan kinerja rata-rata yang dicapai selama periode tahun 2003-2006 sebesar 84,88 persen dengan kategori Baik. Memperhatikan kinerja kegiatan tahun 2007 yang dapat dicapai hingga triwulan II, maka diperkirakan kinerja kegiatan program ini pada tahun 2007 dapat dicapai 89,79 persen, sehingga kinerja rata-rata selama tahun 2003 hingga selesainya pelaksanaan kegiatan tahun 2007 sebesar 85,86 persen dengan kategori Sangat Baik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam periode pelaksanaan program ini
telah
ditetapkan
standar
pelayanan
medik,
akreditasi
rumah
sakit,
pembangunan pusat pelayanan kesehatan khusus seperti stroke centre dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba di Kompleks Rumah Sakit Dadi Makassar,
sertifikasi
alat
kesehatan,
disamping
Pengadaan
Obat-Obatan,
Pengadaan Makanan dan Minuman Pasien, Pengadaan Alat-Alat Laboratorium, Pengadaan Alat-Alat Kedokteran, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Pemerintah, sedangkan berkaitan dengan upaya penyehatan lingkungan permukiman telah dilaksanakan beberapa kegiatan antara lain ; pelayanan air bersih dan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan dan perdesaan yang dilakukan oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman. Ketiga, adalah Urusan Pekerjaan Umum. Program yang dilaksanakan berkaitan dengan urusan ini adalah Pengembangan Sarana dan Prasarana Wilayah, yang sebagian besar kegiatannya dilaksanakan oleh Dinas Prasarana Wilayah, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Dinas Tata Ruang dan Permukiman serta Dinas Perhubungan. Beberapa kegiatan utama yang dilaksanakan melalui program ini selama periode 2003-2007 antara lain; Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi yang menjadi kewenangan provinsi, Pemeliharaan Jalan dan VI35 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Jembatan, Pemeliharaan Berkala dan periodik Jalan, Pembangunan
Jalan dan
Jembatan, Pengadaan Aspal, Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut dan Pengembangan Bandar Udara. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut, maka kinerja rata-rata program ini selama periode tahun 2003-2006 sebesar 87,86 persen dengan kategori Sangat Baik. Dengan memperhatikan kinerja kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga triwulan II, maka capaian kinerja program ini hingga triwulan IV diperkirakan sebesar 90,40 persen, dengan demikian diperkirakan kinerja rata-rata selama tahun 2003-2007 sebesar 88,37 persen dengan kategori Sangat Baik. Selanjutnya Permukiman.
yang
Program
keempat yang
adalah
dilaksanakan
Urusan
Penataan
berkaitan
urusan
Ruang ini
dan
adalah
“Pengembangan Tata Ruang” dengan capaian kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2006 sebesar 84,01 persen dengan kategori Baik, namun jika capaian kinerja kegiatan tahun 2007 hingga triwulan II diperhatikan, maka diharapkan pada akhir tahun 2007 kinerja kegiatan yang dapat dicapai sebesar 97,78 persen, dan berdasarkan capaian tersebut, maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 86,76 persen dengan kategori Sangat Baik. Kegiatan utama yang telah dilaksanakan melalui program ini sepanjang periode tahun 2003-2007 antara lain; Review RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota, Sosialisasi RTRW Provinsi, Penyusunan Rencana Penataan Ruang, Pemanfaatan Bangunan Gedung dan Rumah Dinas termasuk didalamnya Pembangunan Gedung Olah Raga Sudiang dan Pembangunan Gedung Tower DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang pembangunannya telah diselesaikan pada tahun 2006. Disamping itu, terdapat pula kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan yakni Preservasi Kawasan Hijau Mamminasata, serta Penilaian Rencana Perubahan Fungsi dan Status Kawasan Hutan. Kelima, Urusan Perencanaan Pembangunan, program yang dilaksanakan berkaitan dengan urusan ini adalah ”Program Pengembangan Perencanaan”. Dalam periode pelaksanaan sepanjang tahun 2003-2006 rata-rata kinerja yang dapat dicapai sebesar 88,15 persen dengan kategori Sangat Baik. Apabila pelaksanaan kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II dicermati, maka VI36 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
diharapkan pada akhir tahun, kinerja kegiatan program ini dapat dicapai 92,34 persen, dan berdasarkan capaian kinerja di akhir tahun tersebut, maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 88,98 persen dengan kategori Sangat Baik. Urusan keenam adalah Urusan Lingkungan Hidup, dan berkaitan dengan urusan ini telah dilaksanakan ”Program Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kelautan Yang Berkelanjutan”. Secara umum program ini sebagian besar dilaksanakan oleh Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Kehutanan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, dengan capaian kinerja ratarata dalam periode tahun 2003-2006 sebesar 85,34 persen dengan kategori Sangat Baik. Memperhatikan kinerja kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II, maka diharapkan kinerja kegiatan hingga akhir tahun 2007 sebesar 94,54 persen, dan berdasarkan hal tersebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 87,18 persen dengan kategori Sangat Baik. Urusan Sosial merupakan urusan ketujuh dan program yang dilaksanakan adalah ”Peningkatan Kesejahteraan Sosial” dengan capaian kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2006 sebesar 81,22 persen dan dikategorikan Baik, namun dengan memperhatikan kinerja kegiatan tahun 2007 dapat dicapai hingga triwulan II, maka diperkirakan kinerja kegiatan program ini pada tahun 2007 dapat dicapai sebesar 90,65 persen, sehingga kinerja rata-rata yang dapat dicapai selama tahun 2003 hingga selesainya pelaksanaan kegiatan tahun 2007 sebesar 83,11 persen dengan kategori Baik. Berkaitan dengan maksud penetapan program tersebut, maka dalam tahun 2003-2007 telah dilaksanakan berbagai kegiatan antara lain; Pembinaan Kesejahteraan Sosial, Pelayanan Sosial, Penanggulangan dan Pencegahan Anak Nakal Korban Narkoba (ANKN) dan HIV, AIDS, Penanggulangan Bencana Tanggap Darurat, Pemberdayaan Orsos dan LSM, Karang Taruna, Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM), maupun Pembinaan Sumbangan Sosial. Urusan kedelapan adalah Ketenagakerjaan dan berkaitan dengan urusan ini telah dilaksanakan ”Program Pengembangan Ketenagakerjaan” yang dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan capaian kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2006 sebesar 83,85 persen dengan kategori Baik. VI37 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Dengan memperhatikan kinerja kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II, maka capaian kinerja program hingga triwulan IV diperkirakan sebesar 88,53 persen, dengan demikian diperkirakan kinerja rata-rata tahun 2003-2007 sebesar 84,78 persen dengan kategori Baik. Sepanjang tahun 2003-2007, terdapat beberapa kegiatan utama yang dilaksanakan berkaitan dengan program ini antara lain; pelatihan produktivitas, sertifikasi K3, perluasan kesempatan kerja, pengembangan perencanaan dan pengawasan ketenagakerjaan, pengadaan sarana dan fasilitasi asrama pekerja, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan pelaksanaan kegiatan dewan produktivitas. Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah merupakan urusan kesembilan, dalam kaitan urusan ini telah dilaksanakan ”Program Pemantapan Ekonomi Kerakyatan”, yang sebagian besar dilaksanakan oleh Dinas Koperasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Peternakan, Dinas Pertambangan dan Energi serta Biro Bina Perekonomian dan Pembangunan, dengan capaian kinerja ratarata selama periode tahun 2003-2006 sebesar 86,58 persen dengan kategori Sangat Baik, namun jika capaian kinerja kegiatan tahun 2007 hingga triwulan II diperhatikan, maka diharapkan pada akhir tahun 2007 kinerja kegiatan dapat dicapai sebesar 86,48 persen, dan berdasarkan capaian tersebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 86,56 persen dengan kategori Sangat Baik Kegiatan-Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam mendukung program ini sepanjang tahun 2003-2007 antara lain ; Penanggulangan krisis KUT dan pemberdayaan ekonomi rakyat, Penguatan Kemampuan Lembaga Usaha Ekonomi Keluarga dan Masyarakat, Pengembangan modal usaha dan pengembangan KUKM, Pelatihan Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Masyarakat serta Usaha Ekonomi Masyarakat, Gerakan Pembangunan dan Penanggulangan Masyarakat Miskin, meliputi
Gerbang Emas, Gerbang Taskin, GONG, dan GOS
serta Ketahanan Bahan Bakar Minyak (BBM). Berkaitan dengan urusan Penanaman Modal
yang merupakan urusan
kesepuluh, maka telah dilaksanakan dua program yakni; (1) Program Pemantapan Struktur Ekonomi Daerah dengan capaian kinerja rata-rata selama tahun 2003VI38 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2006 sebesar 86,64 persen dengan kategori Sangat Baik. Apabila pelaksanaan kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II dicermati, maka diharapkan pada akhir tahun, kinerja kegiatan program ini dapat dicapai sebesar 84,29 persen, dan berdasarkan capaian kinerja di akhir tahun tersebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 86,17 persen dengan kategori Sangat Baik. Untuk pelaksanaan program tersebut, maka selama periode tahun 20032007 telah dilaksanakan beberapa kegiatan antara lain; koordinasi pemantauan peningkatan fungsi dan peran sarana perekonomian, pengembangan usaha baru BUMD, penyusunan strategi pengembangan antar kawasan andalan, serta koordinasi dan fasilitasi lembaga ekonomi di Sulawesi Selatan. Secara umum kegiatan pada program ini dilaksanakan oleh Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah serta Biro Bina Perekonomian dan Pembangunan; (2) Program Penguatan Integrasi Ekonomi Pulau Sulawesi, dengan capaian kinerja rata-rata sepanjang tahun 2003-2006 dapat dicapai sebesar 82,50 persen dengan kategori Baik. Memperhatikan kinerja kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II, maka diharapkan kinerja kegiatan hingga akhir tahun 2007 sebesar 85,14 persen, dan berdasarkan hal tersebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 83,03 persen dengan kategori Baik. Dalam tahun 2003-2007, telah dilaksanakan beberapa kegiatan utama seperti; pematauan dan koordinasi perdagangan antar pulau, kerjasama regional (BIMP-EAGA, AIDA, IMT), koordinasi perdagangan antar pulau dan fasilitasi jaringan distribusi pemasaran, kerjasama pemerintah daerah dan lembaga swasta dalam dan luar negeri, pengembangan kerjasama pembangunan wilayah, serta pengembangan konsultasi dan koordinasi kerjasama ekonomi, Ketigabelas, merupakan Urusan Pemerintahan Umum yang dilaksanakan melalui ”Program Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah”, dengan capaian kinerja selama tahun 2003-2006 dicapai rata-rata sebesar 87,19 persen dengan kategori Sangat Baik. Apabila pelaksanaan kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II dicermati, maka diharapkan pada akhir tahun kinerja kegiatan pada program ini sebesar 90,03 persen, dan berdasarkan capaian kinerja di akhir tahun
VI39 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
tersebut, maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 87,76 persen dengan kategori Sangat Baik. Kegiatan-kegiatan yang menonjol dalam mendukung program ini sepanjang tahun 2003-2007 antara lain; Operasional dan Penatausahaan Biro pada Lingkup Sekretariat Daerah, Pendidikan dan Pelatihan baik fungsional maupun struktural, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, Penyusunan LKPJ, Penanganan administrasi PAW anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, Peningkatan Kinerja Aparatur, Fasilitasi Pemilihan Kepala Daerah maupun pengadaan sarana dan prasarana perkantoran. Salah satu keberhasilan dalam pelaksanaan program ini adalah dengan ditetapkannya Naskah Kesepakatan Kerjasama
antara BPK dengan DPRD
Kabupaten/Kota se Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Kepada DPRD. Urusan Pemberdayaan Masyarakat merupakan urusan wajib keempatbelas, yang dilaksanakan melalui dua program yakni ; (1) Program Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat dengan kinerja sepanjang tahun 2003-2006 rata-rata yang dicapai sebesar 85,99 persen dengan kategori Sangat Baik. Memperhatikan kinerja kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II, maka diharapkan kinerja kegiatan hingga akhir tahun 2007 sebesar 88,93 persen, dan berdasarkan hal tesebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 86,58 persen dengan kategori Sangat Baik. Sepanjang tahun 2003-2007 beberapa kegiatan yang menonjol yang telah dilakukan
melalui
program
ini
antara
lain;
Pengembangan
Pasar
Desa
Percontohan, Pembinaan Program Pengembangan Masyarakat (PPK), Pembinaan Peran serta Swasta dan masyarakat, Pembinaan administrasi desa/kelurahan, Kerjasama
asuransi
desa/kelurahan,
jiwa
Penerapan
bersama
Bumi
manajemen
Putra
bagi
aparat/perangkat
partisipatif
bagi
pengururs
LPM,
Pembinaan Kelembagaan Nelayan dan Petani Ikan, Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat, Pembinaan PKK, Pengembangan kemitraan swasta dan organisasi masyarakat, Fasilitasi pemberdayaan Ormas/LSM, Perlombaan Desa/Kelurahan, serta Pengembangan dan Pembinaan Kelembagaan P3A dan P3AT.
VI40 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Program Pemberdayaan Perempuan dengan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2006, sebesar 84,73 persen dengan kategori Baik, namun dengan memperhatikan kinerja kegiatan tahun 2007 hingga triwulan II, maka diperkirakan kinerja kegiatan program ini pada tahun 2007 sebesar 88,33 persen, sehingga kinerja rata-rata selama tahun 2003 hingga selesainya pelaksanaan kegiatan tahun 2007 sebesar 85,45 persen dengan kategori Sangat Baik. Pertama, Urusan Pertanian, program yang dilaksanakan berkaitan dengan urusan ini adalah ”Pemantapan Ketahanan Pangan” dengan capaian kinerja ratarata selama periode tahun 2003-2006 sebesar 85,22 persen dengan kategori Sangat Baik, namun jika capaian kinerja kegiatan tahun 2007 hingga triwulan II diperhatikan, maka diharapkan pada akhir tahun 2007 kinerja yang dapat dicapai 84,16 persen, dan berdasarkan capaian tersebut maka diperkirakan kinerja ratarata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 85,01 persen dengan kategori Sangat Baik. Kegiatan-kegiatan yang menonjol yang telah dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2003-2007 antara lain; Fasilitasi Dewan Ketahanan Pangan Daerah, Koordinasi Pengelolaan Mutu Pangan dan Gizi, Pemantauan ketersediaan pangan antar waktu dan tempat, pemantauan perkembangan harga pangan, perbanyakan benih, pemberantasan penyakit tanaman dan ternak, Perbaikan mutu hasil produksi, Pengawasan penerapan pestisida dan pupuk, Pengembangan ternak, Pengembangan kawasan agropolitan,
Apresiasi Pemetaan Kerawanan Pangan,
Apresiasi Mutu dan Keamanan Pangan, Revitalisasi Penyuluhan Pertanian, Penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM), maupun Pengembangan Varitas Padi Tipe Baru. Kedua adalah Urusan Perindustrian. Berkaitan urusan ini telah dilaksanakan Program ”Peningkatan Daya Saing Produk Unggulan”, dengan capaian kinerja rata-rata selama tahun 2003-2006 sebesar 84,28 persen dengan kategori Baik. Apabila pelaksanaan kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II dicermati, maka diharapkan pada akhir tahun, kinerja kegiatan pada program ini dapat dicapai sebesar 87,05 persen, dan berdasarkan capaian kinerja tersebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 84,83 persen dengan kategori Baik. VI41 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Dalam periode tahun 2003-2007 terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan melalui program ini antara lain; Peningkatan Daya Saing Produk Sulsel, Pengembangan Budi Daya Perikanan, Pengadaan alat Laboratorium dan Sarana BPSMB, Pengendalian hama, Temu Usaha, Peningkatan kualitas pelaku ekspor, Sinkronisasi uji banding laboratorium Kalibrasi/pengujian, Pengembangan Pusat promosi dagang dan industri serta Pembangunan Gedung Celebes Convention
Centre (CCC). Ketiga,
Urusan
Ketransmigrasian
dilaksanakan
melalui
”Program
Kependudukan” yang dilaksanakan oleh Biro Bina Dekonsentrasi dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Capaian kinerja rata-rata program ini sepanjang pelaksanaan kegiatan program ini dalam tahun 2003-2006 sebesar 84,06 persen dengan kategori Baik. Memperhatikan kinerja kegiatan pada tahun 2007 hingga triwulan II, maka diharapkan kinerja kegiatan hingga akhir tahun 2007 sebesar 87,35 persen, dan berdasarkan hal tersebut maka diperkirakan kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 84,72 persen dengan kategori Baik. Dalam periode tahun 2003-2007 terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan melalui program ini antara lain; Bimbingan Teknis penyelenggaraan administrasi
kependudukan,
Identifikasi/pendataan
mobilitas
penduduk,
Penyusunan buku profil kependudukan, Penguatan kelembagaan dan sistem administrasi
kependudukan,
Pengembangan
Sistem
Informasi
Administrasi
Kependudukan (SIAK), Pembinaan Kependudukan dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Bidang Administrasi Informasi Kependudukan, serta Rapat Regional Administrasi Kependudukan Wilayah Timur. Khusus Pokok Kebijakan Peningkatan Kualitas Hidup Manusia, yang didukung oleh Program; Peningkatan Kualitas, Relevansi dan Pemerataan Pendidikan; Peningkatan Penghayatan Agama; Peningkatan Derajat Kesehatan dan Gizi; Pengembangan Budaya dan Kesenian; Pengembangan Ketenagakerjaan; Pengendalian Penduduk; Peningkatan Kesejahteraan Sosial; Pembinaan Olah Raga; Pemberdayaan Perempuan; dan Kepemudaan, dengan kinerja yang berhasil dicapai selama periode tahun 2003-2006 sebesar 84,56 persen dengan kategori Baik. Memperhatikan kinerja yang berhasil dicapai kegiatan-kegiatan pada program kebijakan ini hingga triwulan II tahun 2007, maka diharapkan kinerja VI42 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
hingga triwulan IV sebesar 89,53 persen, sehingga kinerja rata-rata pokok kebijakan ini selama tahun 2003-2007 diperkirakan sebesar 85,55 persen dengan kategori Sangat Baik. Pokok Kebijakan Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah didukung oleh program; Peningkatan Daya Saing Produk Unggulan; Pemantapan Ekonomi Kerakyatan; Pemantapan Ketahanan Pangan; Pemantapan Struktur Ekonomi Daerah; Penguatan Integrasi Ekonomi Pulau Sulawesi; Penataan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam/Kelautan yang berkelanjutan; dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Wilayah; serta Program Pengembangan Tata Ruang. Kinerja yang berhasil dicapai pokok kebijakan ini selama periode tahun 2003-2006
sebesar
86,65
persen
dengan
kategori
Sangat
Baik,
dan
memperhatikan kinerja kegiatan pada pokok kebijakan ini hingga triwulan II tahun 2007, maka diperkirakan kinerja kegiatan pada program ini pada akhir tahun dapat dicapai sebesar 88,86 persen, sehingga kinerja rata-rata selama tahun 2003 hingga selesainya pelaksanaan kegiatan tahun 2007 sebesar 87,10 persen dengan kategori Sangat Baik. Pokok
Kebijakan
Peningkatan
Kualitas
Lingkungan
Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, didukung Program Penataan Sistem Legislasi Daerah; Peningkatan Kondisi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Program Peningkatan Kualitas Materi dan Penyebaran Informasi, dengan kinerja rata-rata yang berhasil dicapai selama periode tahun 2003-2006 sebesar 86,80 persen dengan kategori Sangat Baik. Dengan memperhatikan kinerja hingga triwulan II tahun 2007, diperkirakan kinerja hingga triwulan IV sebesar 87,53 persen, sehingga rata-rata kinerja pokok kebijakan ini selama periode tahun 20032007 sebesar 86,95 persen dengan kategori Sangat Baik. Pokok Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat didukung Program Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah; Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat; Penelitian Pengkajian dan Pengembangan, serta Program Pengembangan Perencanaan, dengan kinerja yang berhasil dicapai selama periode tahun 2003-2006 sebesar 87,61 persen dan dikategorikan Sangat Baik. Memperhatikan kinerja yang berhasil dicapai hingga triwulan II tahun 2007, maka diharapkan kinerja hingga triwulan IV sebesar 90,49 persen, sehingga VI43 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
kinerja rata-rata pokok kebijakan ini selama tahun 2003-2007 diperkirakan sebesar 88,19 persen dengan kategori Sangat Baik. Berdasarkan
capaian
kinerja
kegiatan
pada
pokok-pokok
kebijakan
tersebut, maka diperoleh gambaran rata-rata kinerja Renstra Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selama periode tahun 2003-2006 sebesar 86,46 persen dengan kategori Sangat Baik, namun dengan memperhatikan kinerja kegiatan hingga triwulan II tahun 2007, maka pada akhir tahun kinerja yang dapat dicapai diperkirakan sebesar 89,68 persen, sehingga kinerja rata-rata selama periode tahun 2003-2007 sebesar 87,10 persen dengan kategori Sangat Baik. Capaian kinerja tersebut rata-rata berkategori sangat baik, kecuali beberapa kegiatan yang capaian kinerjanya kurang memadai disebabkan belum optimalnya pemanfaatan output masing-masing kegiatan. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang memberi peluang bagi setiap daerah untuk melakukan kerjasama, baik antar Daerah (Kabupaten/Kota), antara Daerah dengan lembaga/badan di luar negeri, maupun antara Daerah dengan pihak swasta, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah mengupayakan Pengembangan Kerjasama Pembangunan Wilayah. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan berkaitan upaya tersebut antara lain; Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKSPMM)
dengan
maksud
untuk
menangani
pembangunan
Kawasan
Metropolitan Mamminasata, walaupun lembaga ini belum mampu mengakomodir keseluruhan kegiatan dalam rangka mewujudkan interkoneksitas pembangunan lintas kabupaten/kota dalam wilayah Metropolitan Mamminasata. Disamping itu, telah pula dilaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya seperti Pra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional se Sulawesi untuk membahas hasil evaluasi usulan kebersamaan regional Sulawesi tahun 2006 maupun usulan kebersamaan tahun 2007. Selain kerjasama dalam skala regional, maka berkaitan dengan kerjasama antar Kabupaten/Kota juga telah dilakukan pembahasan Konsep Perencanaan Kerjasama Antar Daerah dalam rangka pengembangan kawasan andalan dan kerjasama penanganan DAS terpadu di Sulawesi Selatan. Demikian pula telah difasilitasi Pembentukan Regional Manajemen Andalan Kawasan Selatan Sulawesi Selatan (AKSESS) yang meliputi VI44 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Kabupaten
Bantaeng,
Bulukumba,
Jeneponto,
Selayar
dan
Sinjai,
untuk
meningkatkan dan mengembangkan komunikasi, koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan
antar daerah dan
pemanfaatan serta pemasaran potensi atau produk daerah; serta Pelaksanaan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang meliputi bidang Pertanian, Perikanan dan kelautan, Peternakan, Pertambangan dan Energi, Perindutrian dan Perdagangan, Perhubungan, dan Sosial budaya. Menyangkut penyelenggaraan Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor
32 Tahun 2004,
Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, serta adanya dukungan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1720/SJ, tanggal 13
Juli 2005, Perihal Kerjasama Daerah, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah menyikapi melalui beberapa bentuk kerjasama yakni; Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Provinsi Westren Cape, Afrika Selatan
dalam bentuk Sister Province untuk memajukan
mengembangkan kerjasama yang saling
menguntungkan
dan
dalam bidang
Kebudayaan, Pendidikan dan Pelatihan, Pariwisata, Perdagangan dan Industri. Disamping itu, telah dilakukan revitalisasi kerjasama ekonomi BIMP-EAGA yang tertuang dalam roadmap untuk mendorong beberapa sasaran strategis antara lain; mempromosikan perdagangan, investasi, dan pariwisata intra dan ekstra EAGA di sektor terpilih; mengkoordinasikan manajemen sumberdaya alam bagi kelanjutan pembangunan dari sub wilayah; mengkoordinasikan rencana dan implementasi serta dukungan infrastruktur untuk integrasi ekonomi, dengan partisipasi aktif dari sektor swasta; dan memperkuat struktur institusional dan mekanisme BIMP-EAGA bagi implementasi yang efektif dari roadmap dan rencana aksi EAGA. Pada tanggal 7 Maret 2007 telah pula ditandatangani kerjasama dengan Departemen Komunikasi dan Informasi dalam hal pengelolaan Website E-UKM dan Transaksi Elektronik, perpustakaan Digital, maupun layanan Internet pada warung masyarakat informasi Indonesia (Warung MASIF).
VI45 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tentang penanganan batas wilayah, yang tidak hanya meliputi penanganan batas-batas kabupaten/kota, tetapi juga dimaksudkan untuk mengakomodir pembinaan Daerah Otonom Baru berupa : fasilitasi pemekaran daerah, penyerahan Personil, Peralatan dan Pembiayaan serta Dokumen (P3D).
Untuk
menangani batas wilayah ini telah dibentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah yang terdiri dari unsur Biro Bina Otonomi Daerah, Biro Bina Dekonsentrasi, Biro Hukum dan Organisasi, Biro Perlengkapan, Badan Kesatuan Bangsa, Badan Pertanahan, Kanwil Ditjen Pajak, dan Topografi Kodam VII Wirabuana. Pada tahun 2003 telah dilakukan fasilitasi penegasan batas Kabupaten Enrekang-Sidrap, Sidrap-Tator, Sidrap-Pinrang,
Luwu-Polmas, Bone-Barru, dan
Bone-Pangkep. Tahun 2004, fasilitasi penegasan batas Kabupaten EnrekangSidrap, Enrekang-Tator, Bone-Pangkep, Luwu-Sidrap, dan Pangkep-Maros. Tahun 2005, fasilitasi penegasan batas Kabupaten Bone-Pangkep, Bone-Barru, BoneSoppeng, Tator-Enrekang, Sidrap-Luwu, Sidrap-Enrekang, Sidrap-Pinrang, SidrapSoppeng, dan Sidrap-Parepare. Pada tahun 2006, telah dilakukan fasilitasi penegasan batas Kabupaten Luwu Utara-Luwu Timur, Luwu Utara-Tator, SelayarBulukumba, Selayar-Pangkep, Pangkep-Maros, Bone-Barru, Sidrap-Parepare, Sidrap-Enrekang, Sidrap-Wajo, Sidrap-Luwu, Sidrap-Pinrang, Soppeng-Bone, Bulukumba-Bantaeng dan Bulukumba-Sinjai. Disamping itu telah dilakukan pembinaan pada Daerah Otonomi Baru yaitu kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo, dan pada tahun 2007 dilakukan fasilitasi batas kabupaten Bulukumba-Sinjai, Pangkep-Barru, Pinrang-Sidrap, Pinrang-Enrekang, PinrangTator, Selayar-Pangkep, Selayar-Bulukumba, Sidrap-Wajo, Enrekang-Sidrap, dan Luwu Utara-Tana Toraja. Tentang penanganan batas antar provinsi telah dilakukan pembuatan, pemasangan dan pengukuran pilar batas utama antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 28 pilar tipe A sepanjang 55 km (ruas pegunungan Rerende), serta pengukuran, pembuatan, dan pemasangan pilar batas utama antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 30 pilar tipe A sepanjang 65 km (ruas Buntu Padang Karoba-Biring Mengkilo).
VI46 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Berkaitan dengan pengelolaan kawasan khusus, maka sekali lagi saya sampaikan bahwa hingga saat ini
Sulawesi Selatan belum memiliki Kawasan
Khusus, yang ada saat ini hanyalah Kawasan Tertentu yang sifatnya strategis nasional seperti Tana Toraja sebagai kawasan periwisata, sementara Kawasan Metropolitan Mamminasata masih dalam tahap pengusulan untuk dijadikan Kawasan tertentu, mengingat Pembentukan Kawasan Tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Terdapat beberapa indikator pembangunan yang menunjukkan Sulawesi Selatan lebih maju, yakni jumlah Investasi, nilai Ekspor, Pendapatan per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Indikator pembangunan yang menunjukkan kemajuan yang telah dicapai Sulawesi Selatan, antara lain investasi selama periode 2003-2006 telah meningkat rata-rata 9,03 persen dari Rp. 8,07 trilyun pada tahun 2003 menjadi Rp. 10,46 triliun pada tahun 2006. Jumlah investasi tersebut meliputi investasi yang dilakukan pemerintah 44,9 persen, baik pusat maupun daerah, dan investasi yang dilakukan oleh swasta 55,1 persen, baik yang menggunakan fasilitas PMA/PMDN maupun yang tidak menggunakan fasilitas. Khusus untuk tahun 2007 total investasi diperkirakan meningkat menjadi Rp. 11,42 trilyun lebih. Sejalan dengan perkembangan investasi seperti yang saya kemukakan di atas, kinerja ekspor Sulawesi Selatan secara wilayah juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dimana nilai ekspor kita pada tahun 2003 sebesar Rp. 8,5 trilyun lebih, meningkat rata-rata sebesar 38,52 persen per tahun menjadi Rp. 22,6 trilyun lebih pada tahun 2006. Pada sisi lain, nilai impor kita meskipun terjadi peningkatan yang signifikan, namun jumlahnya jauh lebih kecil bila dibandingkan nilai ekspor selama periode yang sama dimana nilai impor pada tahun 2003 sebesar Rp. 7,6 trilyun lebih meningkat rata-rata 34,96 persen menjadi Rp. 18,7 trilyun lebih pada tahun 2006. Dengan demikian, surplus neraca perdagangan meningkat sangat signifikan yaitu sebesar 63,44 persen yaitu dari Rp. 890 milyar lebih pada tahun 2003 menjadi Rp. 3,88 trilyun lebih pada tahun 2006. Surplus neraca perdagangan tersebut pada dasarnya hanya sebagai sasaran antara, yang lebih penting adalah sejauh mana dampaknya pada VI47 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
peningkatan pendapatan masyarakat diukur dari pertumbuhan ekonomi (PDRB). Berdasarkan data BPS, angka pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan pada periode tahun 2003-2006 mencapai rata-rata 6,01 persen per tahun dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, pendapatan per kapita juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni dari Rp. 5,34 juta pada tahun 2003 meningkat menjadi
Rp. 7,98 juta pada tahun 2006 atau
meningkat sebesar 10,56 persen per tahun. Selanjutnya, sebagai indikator penting karena mengandung unsur ekonomi dan sosial maka saya laporkan pula tingkat perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan selama lima tahun terakhir. Walaupun kita mengalami penurunan peringkat dibanding dengan provinsi lain di Indonesia, namun kita mampu memperbaiki angka IPM kita dari 65,3 pada tahun 2002 menjadi 68,1 pada tahun 2006, dengan memperhatikan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan daya beli masyarakat yang terus mengalami peningkatan dalam periode tersebut saya optimis bahwa peringkat Sulawesi Selatan akan mengalami perbaikan pada tahun-tahun mendatang, Insya Allah. Selain indikator yang menunjukkan Sulawesi Selatan lebih maju dibanding sebelumnya, juga terdapat beberapa indikator yang menujukkan Sulawesi Selatan secara relatif terkemuka dibanding Provinsi lainnya Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pendapatan Asli Daerah meningkat rata-rata 20,28
persen per tahun selama periode 2003-2006, telah
menempatkan Sulawesi Selatan pada posisi ke 12 di atas Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau yang memiliki sumberdaya alam khususnya tambang yang cukup potensial sebagai sumber PAD.
Selanjutnya dilihat dari segi belanja ternyata
posisi relatif Sulawesi Selatan berada pada posisi 11 dibanding provinsi lain. Selanjutnya dilihat dari perkembangan ekspor non migas menurut provinsi, ternyata posisi relatif nilai ekspor Sulawesi Selatan meningkat dari ranking ke 11 menjadi ranking ke 10 dari 33 Provinsi. Dengan kinerja ekspor yang semakin membaik melalui mekanisme ekonomi, telah mendorong kemajuan ekonomi wilayah yang diukur dari pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat VI48 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
telah menyebabkan posisi
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Sulawesi Selatan bergeser dari ranking ke 17
menjadi ranking Ketujuh di
Indonesia. Sejalan dengan kemajuan di bidang ekonomi yang membuat posisi Sulawesi Selatan untuk beberapa indikator menjadi lebih baik,
maju dan
terkemuka secara tidak langsung berdampak pada membaiknya indikator sosial dimana Angka Harapan Hidup meningkat dari 68,6 menjadi 68,7 tahun, meskipun posisi relatif menurun dari ranking Kedelapan menjadi ranking ke 12. Hal yang sama
juga terjadi pada Indeks Pembangunan Manusia, kendatipun posisi
relatifnya menurun dari ranking 21 menjadi ranking ke 23, namun dari segi perkembangannya meningkat cukup signifikan yakni dari 65,3 pada tahun 2002 naik menjadi 68,1 pada tahun 2005 dan berdasarkan hal itu serta memperhatikan upaya-upaya peningkatan kualitas manusia yang kita telah lakukan, maka pada tahun 2006 Pemerintah Pusat memberikan penghargaan sebagai provinsi terbaik I dalam hal Prakarsa Pembangunan Manusia.
VI49 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
7 Kesimpulan dan Rekomendasi Strategi, Kebijakan dan Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
7.1.
Kesimpulan Posisi Indonesia pada saat ini pastilah sudah melewati titik tertinggi
ketimpangan pembangunan wilayah, serta berada pada level GNP yang sudah tergolong tinggi. Dengan penghitungan indeks Gini berbasis pengeluaran rumahtangga, maka titik tertinggi dialami sesaat sebelum Perang Dunia II atau pada masa perang hampir usai. Jika dihitung ulang berbasis pendapatan, kirangnya hasilnya tidak akan berbeda jauh. Bagi pihak yang mendasarkan titik tertinggi pada saat pergeseran ekonomi dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri, maka titik ketimpangan tertinggi di sekitar tahun 1990 –sayangnya sesudah itu justru muncul sedikit kenaikan ketimpangan sampai tertuju krisis moneter. Pihak lain yang mendasarkan pada peningkatan massif pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi akan meletakkan titik tersebut di sekitar akhir tahun 1960-an –namun kenyataannya segera pada awal dekade 1970-an ketimpangan meningkat.
VII1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Titik tertinggi ketimpangan wilayah Indonesia berlangsung pada masa penjajahan (atau persis di awal kemerdekaan), dan lebih disebabkan oleh komersialisasi pertanian daripada pergeseran menuju manufaktur (kecuali perkebunan dipandang sebagai industri dalam bidang pertanian). Ketimpangan tidak berlangsung statis, melainkan senantiasa berfluktuasi. Namun melalui pengaitan dengan GNP sejak 1820 hingga 2008, ternyata amplitudi dalam fluktuasi tersebut cenderung datar pada saat GNP memasuki tahap III, yaitu peningkatan pesat. Dari sejarah GNP di Indonesia, tahap I ditunjukkan oleh GNP rendah rendah (sekitar US $ 18 ribu-35 ribu) dan naik secara gradual. Pada tahap II GNP berfluktuasi (GNP sekitar US $ 35 ribu- 1.040 ribu). Baru ada tahap III GNP melesat (GNP di atas Rp 1.040 ribu). Pada posisi sekarang, yang lebih dibutuhkan ialah menjaga demokratisasi, karena faktor inilah yang mampu menahan negara untuk tidak jatuh kembali ke dalam ketimpangan wilayah yang meningkat pesat. Secara beruntung Indonesia mengalami demokratisasi melalui reformasi sejak 1998. Bagaimanapun
debat
tentang,
apakah
Indonesia
tergolong
negara
konvergen (merata) atau divergen (timpang), patut diperhatikan. Penghitungan indeks Gini berbasis pengeluaran senantiasa berkisar pada angka di bawah 0,4, sehingga Indonesia sudah masuk ke dalam klub negara konvergen sejak 1951, dan tidak pernah keluar dari saat itu. Pada tahun ini Indonesia masuk ke dalam 30 negara paling konvergen di dunia. Akan tetapi penghitungan dengan angka pendapatan, mengeluarkan data yang kurang valid di Jakarta, atau membandingkan kontribusi pendapatan 10 persen warga terkaya, ternyata secara konsisten menunjukkan ketimpangan wilayah di Indonesia. Berbasis penelitian yang dilangsungkan, maupun hasil yang sudah dipublikasikan di waktu lampau, kini dapat dirumuskan isu-isu strategis ketimpangan pembangunan wilayah, yaitu: 1. Fluktuasi ketimpangan wilayah dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia: a. Ketimpangan meningkat pada saat GNP rendah b. Hubungan dengan GNP per kapita berfluktuasi pada saat GNP level sedang c. GNP tinggi mengurangi fluktuasi ketimpangan pembangunan wilayah VII2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2. Ketimpangan kependudukan: a. Ketimpangan jumlah dan kepadatan penduduk Jawa dan Luar Jawa b. Pemusatan penduduk miskin dan penganggur di Jawa c. Peningkatan ketimpangan kelompok umur muda dan tua, padahal piramida penduduk menua 3. Ketimpangan wilayah Barat dan Timur Indonesia: a. Ketidakjelasan wilayah lapangan yang dedifinisikan sebagai kawasan Timur dan Barat b. Paradoks luas wilayah dan kepadatan penduduk c. Ketimpangan ekonomi: prasarana, sektor produksi, kemiskinan d. Ketimpangan sosial: pendidikan, kesehatan e. Ketimpangan di-dalam-wilayah, baik di Barat (memusat ke Jakarta) maupun Timur (secara lebih lemah memusat ke Sulawesi Selatan) 4. Ketimpangan kabupaten/kota dan provinsi: a. Ketimpangan antar provinsi lebih rendah daripada ketimpangan dalam provinsi b. Orientasi ke dalam kabupaten/kota dibandingkan kerjasama antar wilayah 5. Ketimpangan perkotaan, pedesaan, wilayah terpencil dan perbatasan: a. Ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan b. Ketimpangan di dalam perkotaan dan pedesaan c. Perkotaan lebih mudah mencapai puncak ketimpangan tertinggi, sedangkan pedesaan lebih mudah mencapai tingkat pemerataan tertinggi d. Wilayah terpencil belum memprsktekkan ekonomi uang e. Wilayah perbatasan rawan terhadap separatisme 6. Ketimpangan ekonomi, industri dan kemiskinan: a. Dilema konsentrasi lokasi industri di Jawa b. Agglomerasi terpusat di Jakarta c. Pengaruh jaringan sosial (irasionalitas) dalam industrialisasi d. Ketimpangan upah industri dan pertanian serta sektor informal e. Ketimpangan jumlah dan persentase orang miskin antar wilayah VII3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
7. Ketimpangan pendidikan: a. Ketimpangan prasarana pendidikan di perkotaan dan pedesaan b. Kontribusi pendidikan terhadap ketimpangan pembangunan wilayah tergolong tinggi c. Kontribusi pendidikan terhadap ketimpangan semakin tinggi di perkotaan 8. Ketimpangan kesehatan: a. Ketimpangan dalam kematian anak dan bayi b. Ketimpangan akses prasarana dan kelembagaan kesehatan 9. Ketimpangan budaya: a. Ketimpangan antar suku bangsa b. Keterasingan suku bangsa c. Konflik berbasis budaya (suku, agama, ras, golongan) Perumusan strategi, kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah perlu didasarkan pada konteks yang tepat, karena kebijakan yang positif di suatu wilayah belum tentu cocok untuk wilayah lainnya. Konteks yang ditemukan mempengaruhi kebijakan ini berupa: 1. Ketimpangan global 2. Diskursus donor untuk pembangunan nasional 3. Indonesia sebagai wilayah pasca kolonial 4. Wilayah Indonesia luas dan berupa kepulauan (perlu disampaikan, ternyata laut dan sungai menjadi penghubung warga antar pulau sejak masa pra kolonial, sebagaimana terekam dari wilayah kekuasaan kerajaan maupun perdagangan melintasi pulau-pulau) 5. Pandangan statis terhadap suku, agama, ras dan golongan (perlu disampaikan bahwa hubungan erat budaya dan wilayah disusun oleh Belanda dalam melalui mekanisme hukum adat dan indologi, sehingga mudah digunakan sebagai bahan konflik dan pemecah belah bangsa Indonesia) 6. Krisis moneter 7. Otonomi daerah
VII4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Selanjutnya
dipelajari
faktor-faktor
penunjang
dan
penghambat
ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia, sejak masa pra kolonial, masa kolonialisme Belanda, masa pendudukan Jepang, masa awal kemerdekaan, masa pembangunan, krisis moneter, hingga masa otonomi daerah. Dari kajian historis diketahui bahwa paradigma modernisasi diaplikasikan pada keseluruhan masa bersejarah, kecuali pada awal kemerdekaan di mana paradigma
ketergantungan
dipraktekkan.
Teori-teori
dalam
paradigma
modernisasi yang digunakan mencakup export-base, central-place, neo-classic
development, growth pole dan enterpreneurship. Sedangkan teori polarisasi dipraktekkan melalui paradigma ketergantungan. Kebijakan yang sudah meningkatkan ketimpangan mencakup: 1. Ekonomi a. Revolusi Hijau tanpa pengaman bagi buruh tani b. Pemusatan kegiatan ekonomi di Jakarta c. Konsentrasi pembangunan industri d. Deregulasi ekonomi e. Pembagian keuangan pusat dan daerah menguntungkan wilayah bisnis atau kaya SDA 2. Kependudukan a. Larangan migrasi lintas pulau zaman Jepang 3. Politik a. Pengembangan kerajaan dan pelabuhan b. Upeti c. Pemusatan kegiatan politik di Jakarta d. Pembatasan pihak luar dalam aspek politik di daerah e. Orientasi kebijakan ke dalam pemerintahan daerah, bukan kerjasama antar pemerintahan daerah f. Pembagian keuangan pusat-daerah didasarkan kontribusi daerah dalam GDP g. Pungutan meningkat terhadap pihak luar yang melakukan kegiatan di dalam daerah h. Alokasi dana lebih besar ke Jawa daripada ke luar Jawa VII5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
4. Pendidikan a. Pembatasan pihak luar dalam aspek pendidikan b. Korupsi mengakibatkan penurunan dana pendidikan c. Pendirian sekolah unggulan swasta d. Pendidikan tinggi dan pencetak tenaga trampil 5. Kesehatan a. Pendirian sarana kesehatan swasta yang mahal 6. Budaya a. Penguatan lembaga adat Adapun kebijakan yang sudah menurunkan ketimpangan mencakup: 1. Infrastruktur: a. Pembangunan pedesaan dan pertanian b. Politik etis untuk pribumi (terutama irigasi) 7. Ekonomi a. Pengembangan perkebunan ke Sumatera dan Kalimantan b. Politik etis untuk pribumi (terutama kredit) c. Pendirian industri ke luar Jawa d. Nasionalisasi e. Program Benteng (wiraswasta) f. Stabilisasi ekonomi g. Stabilisasi harga pangan h. Industrialisasi pedesaan i. Program khusus penanggulangan kemiskinan j. Jaring pengaman sosial k. DAK 8. Kependudukan a. Pembagian lahan perkebunan untuk petani b. Transmigrasi c. Asuransi tenaga kerja 9. Politik a. Desentralisasi dan daerah otonom b. Inpres VII6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
10. Pendidikan a. Wajib Belajar b. Pembangunan prasarana pendidikan di seluruh wilayah negara 11. Kesehatan a. Pembangunan prasarana kesehatan di seluruh wilayah negara b. Pembangunan prasarana air bersih, persampahan, dan sanitasi c. Pembangunan klinik ibu dan anak d. Asuransi kesehatan untuk orang miskin 12. Budaya a. Program KAT (komunitas adat terasing) Selama
tahun
2007
program-program
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah yang dilaksanakan mencakup: 1. Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh 2. Program Pengembangan Wilayah Tertinggal 3. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan 4. Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antar Kota 5. Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah 6. Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan 7. Program Penataan Ruang 8. Program Pengelolaan Pertanahan Adapun program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah yang tidak terdokumentasikan meliputi: 1. Program Pengembangan Ekonomi Lokal 2. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan 3. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah 4. Program Peningkatan Kerjasama Internasional 5. Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 6. Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 7. Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan 8. Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup 9. Program Pengendalian banjir dan pengamanan pantai VII7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
10. Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan NKRI 11. Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepolisian 12. Program Penetapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplomasi Indonesia 13. Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 14. Program Pengembangan Bela Negara 7.2.
Rekomendasi
Paradigma
dan
Teori
untuk
Pengurangan
Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Indonesia Barangkali
tidak
sepenuhnya
tepat
merekomendasikan
paradigma
pembangunan wilayah, karena paradigma merupakan filosofi bangsa yang sudah diterima secara apriori. Seandainya tetap dibutuhkan untuk merekomendasikan paradigma, maka diusulkan paradigma pembangunan berbasis manusia (people-
centered development). Dalam khasanah pembangunan internasional, paradigma ini lebih nyata dipegang oleh United Nation Development Program (UNDP). Pilihan atas paradigma ini diasarkan kebutuhan untuk memngurangi ketimpangan wilayah dengan menghargai kepandaian dan kebijaksanaan masyarakat lokal. Adapun teori yang diajukan ialah cumulative causation dari Myrdal. Teori ini memahami kemungkinan tertariknya sumberdaya wilayah tertinggal ke wilayah maju. Oleh karena meyakini potensi kemampuan di wilayah (yang dinamakan tertinggal), maka teori ini menyarankan pendirian kota atau industri di wilayah yang lebih tertinggal. Kiranya pendapat ini sesuai dengan kondisi wiayah tertinggal, terpencil dan perbatasan di Indonesia. Paradigma
modernisasi
tidak
diusulkan
karena
justru
memandang
ketimpangan sebagai syarat perlu untuk memunculkan perbedaan harga dan barang langka, lalu diperdagangkan, memunculkan keuntungan, dan akhirnya akumulasi kemakmuran di suatu wilayah. Ketimpangan diyakini bergerak menurun dengan sendirinya ketika pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Sayangnya hal ini tidak selalu terjadi, bahkan ketimpangan global terus meningkat sejak abad ke 16 (awal
merkantilisme),
atau
setidaknya
angka-angka
global
menunjukkan
ketimpangan dimulai pada pertengahan abad ke 19 (Revolusi Industri). Di
VII8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Indonesia pertumbuhan ekonomi (terakhir setelah krisis moneter) selalu meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah. Paradigma ketergantungan pernah dipraktekkan di Indonesia, namun hal itu membutuhkan pergeseran kenegaraan yang kuat menuju sosialisme, diperkirakan pergeseran tersebut sulit dilakukan (krisis moneter, misalnya, menggerakkan perubahan sampai taraf “reformasi’, tidak sampai ke taraf perubahan menuju sosialisme). 7.3.
Rekomendasi Metodologi Ketimpangan pembangunan di suatu wilayah hampir selalu menjadi
perdebatan. Dengan pengukuran dan data yang berbeda ternyata diperoleh hasil yang berbeda, bahkan berlawanan. Oleh sebab itu rekomendasi metodologi menjadi penting: 1. Diusulkan untuk menggali atau mengekstrapolasi data dalam jangka waktu yang sangat panjang. Hal ini didasarkan kaidah bahwa ketimpangan berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, yang memiliki keragaan jangka sangat panjang. 2. Diusulkan untuk memperoleh data pada unit analisis individu (data Susenas pada unit analisis rumahtangga), sehingga ketimpangan dapat diketahui lebih detil. Keuntungannya, rekomendasi kebijakan juga bisa dirumuskan lebih sesuai dengan jenis pemanfaatnya. Unit analisis individu dapat ditambahkan pada kuesiner Susenas yang ada. 3. Diperlukan
penelitian
perihal
kecocokan
metode
bagi
ketimpangan
pembangunan wilayah di Indonesia. Diperlukan pengetahuan perihal simpangan dari tiap metode ketika digunakan di Indonesia. 4. Analisis ketimpangan perlu didekomposisi pada tingkat provinsi dan kabupaten (kabupaten sumber ketimpangan lebih besar), perkotaan dan pedesaan (perkotaan menyumbang ketimpangan lebih besar), perbedaan tingkat umur, pendidikan, akses kesehatan, dan kategori budaya. Dekomposisi lainnya perlu dicoba untuk memperluas isu ketimpangan. 5. Analisis perlu didasarkan pada suatu angka dasar, sehingga angka lainnya merupakan perbandingan dari benchmark tersebut. Angka pada tingkat VII9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
harga yang berlaku menghasilkan perbandingan yang berfluktuasi. Angka dasar hendaknya tidak jauh dari waktu rata-rata dalam suatu data time series. Contohnya data yang dimundurkan hingga dua abad lalu sebaiknya menggunakan angka dasar seabad lalu. 7.4.
Rekomendasi Strategi Berkaca
dari
Program
Agropolitan
yang
meloncat
dari
paradigma
konseptual pembangunan berpusat pada manusia, namun dipraktekkan dalam paradigma modernisasi, maka rekomendasi strategi di sini dipilah menurut paradigma pembangunan yang berpusat manusia dan modernisasi (Tabel 7.1). Tabel 7.1. Strategi Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia Penguatan kapasitas lokalitas dan warga lokal Desentralisasi kekuasaan dan keuangan Industri dan kota didirikan di wilayah tertinggal Kolaborasi antar pihak Pemerintah melindungi potensi ekonomi dan sosial (pendidikan, kesehatan) masyarakat dari tarikan wilayah yang lebih maju Pendirian organisasi agar masyarakat memiliki kekuatan tawar menawar Kelompok-kelompok ekonomi dikembangkan secara bersama-sama
7.5.
Paradigma Modernisasi Efisiensi maksimal dalam menggerakkan barang manusia lintas wilayah Desentralisasi terkonsentrasi (growth pole) Industri dan kota didirikan di wilayah maju Penguatan daya saing antar pihak Pemerintah menyediakan prasarana pendukung Warga masyarakat merupakan potensi buruh yang diarahkan menuju full employment Warga lokal yang mampu diarahkan menjadi wiraswastawan
Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan juga disajikan menurut paradigma yang berbeda
(Tabel 7.2). Tabel 7.2. Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia Industrialisasi pedesaan Pemberdayaan/pendidikan petani dan warga desa Pemberdayaan/pendidikan kelompok miskin Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah untuk meningkatkan potensi dan kemampuan potensial daerah
Paradigma Modernisasi Hierarki lokasi dari penyuplai bahan mentah, lokasi untuk manufaktur, dan lokasi jasa Pembangunan infrastruktur pedesaan Pengurangan kemiskinan Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah berbasis SDA dan kumulasi bisnis daerah Penyediaan
VII10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
infrastruktur
pendidikan
dan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Pengembangan kelembagaan lokal pendidikan dan kesehatan Pendampingan masyarakat terasing mengenal ekonomi uang
untuk untuk
Kolaborasi dengan pihak swasta untuk pengembangan kesehatan dan pendidikan Kolaborasi pekerjaan formal dan informal dalam mengahasilkan produk bersama Kolaborasi masyarakat lintas wilayah berbasis sejarah integrasi perdagangan dan politik Transmigrasi swakarsa
7.6.
kesehatan Memasukkan masyarakat terasing dalam komunitas yang sudah mengenal ekonomi uang Deregulasi pendidikan dan kesehatan untuk memudahkan swasta berperan serta Pengembangan mekanisme sub kontrak antara pekerjaan formal dan informal Pengembangan forum komunikasi atau tim teknis kerjasama antar wilayah Transmigrasi oleh pemerintah atau swakarsa
Rekomendasi Program Rekomendasi program menurut paradigma yang berbeda disajikan di
bawah (Tabel 7.3). Tabel 7.3. Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia
Industrialisasi pedesaan: Pengembagan ketrampilan warga desa Pengembangan lembaga perkreditan Pengembangan pemasaran Pengembangan industri berbasis sumberdaya lokal
Paradigma Modernisasi
Hierarki lokasi dari penyuplai bahan mentah, lokasi untuk manufaktur, dan lokasi jasa Pengembangan pusat pertumbuhan menurut komoditas utama yang dihasilkan (keunggulan komparatif) Pengembangan kota menengah untuk menerima hasil produksi orde yang lebih rendah Pengembangan pasar internasional di kota besar
Pemberdayaan/pendidikan petani dan warga desa
Pembangunan infrastruktur pedesaan Pembangunan infrastruktur ekonomi melalui pola swadaya, KSO atau kontraktor Pembangunan pasar Pembangunan permukiman
Pemberdayaan/pendidikan kelompok miskin
Pengurangan kemiskinan
Kursus tani secara partisipatif Pengembangan benih/bibit lokal Pngembangan perkreditan Pengembangan pemasaran Pembangunan infrastruktur pendukung
Kursus kepada kelompok miskin dengan kompensasi dana Pengembangan kelompok usaha di kalangan orang miskin Pengembangan kredit di antara orang miskin
Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah untuk meningkatkan potensi dan kemampuan potensial daerah Penelitian potensi daerah dan struktur kepemimpinan lokal
Pengembangan BLT dengan kompensasi Pengajuan dan persaingan proposal kegiatan
Alokasi kekuasaan dan keuangan ke daerah berbasis SDA dan kumulasi bisnis daerah
Pengembangan penghitungan yang memberikan manfaat pemerataan paling besar
VII11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Manusia Pengembangan lembaga partisipatif pengelola daerah Pendampingan kelembagaan
Paradigma Modernisasi Pengembangan wilayah cepat tumbuh dan strategis
Pengembangan kelembagaan lokal untuk pendidikan dan kesehatan
Penyediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan
Pengembangan kurikulum lokal Pengembangan kewiraswastaan Pengembangan dan pendidikan tentang pengobatan lokal
Pengembangan infrastruktur pendidikan dan kesehatan Penyediaan tenaga trampil dalam bidang pendidikan dan kesehatan
Pendampingan masyarakat terasing untuk mengenal ekonomi uang
Memasukkan masyarakat terasing dalam komunitas yang sudah mengenal ekonomi uang
Pendidikan dinamika masyarakat terasing Pengembangan kelompok usaha bersama Kolaborasi dengan pengusaha besar dan menengah
Pemukiman untuk masyarakat terasing Penyediaan prasarana dan sarana pemukiman masyarakat terasing
Kolaborasi dengan pihak swasta untuk pengembangan kesehatan dan pendidikan
Deregulasi pendidikan dan kesehatan untuk memudahkan swasta berperan serta
Penyusunan kompensasi swasta untuk penyediaan layanan pendidikan kesehatan murah Pengembangan asuransi sosial pendidikan dan kesehatan
Pengurangan subsidi pendidikan dan kesehatan Deregulasi untuk usaha pendidikan dan kesehatan
Kolaborasi pekerjaan formal dan informal dalam mengahasilkan produk bersama
Pengembangan mekanisme sub kontrak antara pekerjaan formal dan informal Pengembangan industri rumahan sebagai pemasok usaha industri besar Pengembangan pola bapak-anak angka
Penelitian pola kolaborasi sektor formal dan informal Pengembangan kelompok usaha informal Penguatan landasan hukum bagi kelompok informal Perumusan kepemilikan usaha bersama di masa depan
Kolaborasi masyarakat lintas wilayah Pengembangan forum komunikasi atau tim berbasis sejarah integrasi perdagangan teknis kerjasama antar wilayah dan politik Pengembangan forum untuk mengelola Penelitian deliniasi wilayah integrasi permasalahan kerjasama antar wilayah perdagangan dan politik lokal Pengembagan MoU dan kerjasama usaha Pengembangan kelembagaan untuk antar wilayah mengelola kerjasama antar wilayah Pengembagan kewiraswastaan lokal Transmigrasi swakarsa Transmigrasi oleh pemerintah atau Penyediaan fasilitas mobilitas untuk swakarsa transmigran swakarsa Kolaborasi transmigrasi dengan usaha swasta
Penyusunan lokasi transmigrasi Pengelolaan transmigrasi spontan, swakarsa, dan terpogram
VII12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Daftar Pustaka
Adair, T. 2004. Child Mortality in Indonesia’s Mega-Urban Regions: Measurement, Analysis of Differentials, and Policy Implications. Makalah disampaikan pada 12th Biennal Conference of the Australian Population Association bertema Population and Society: Issues, Research, Policy di Canberra, 1517 September 2004. Agusta, I. 2005a. Data Kemiskinan dan Survei In: Kompas, 29 November 2005. Agusta, I. 2005b. Desa Tertinggal dan Subsidi BBM. In: Kompas, April 9, 2005 Agusta, I. 2008a. Lompatan Paradigmatik Program Agropolitan di Indonesia: Dari
Paradigma Pembangunan Berbasis Manusia menuju Paradigma Modernisasi. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Riset dan
Kebijakan Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, 20-21 Agustus 2008 Agusta, I. 2008b. Perumusan Desa Tertinggal yang Berpusat pada Potensi Masyarakat dan Wilayah. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, 20-21 Agustus 2008 Agusta, I., A. Tetiani. 2001. Asumsi Pemberdayaan Masyarakat, In: Pikiran Rakyat, 31 Juli 2001. Akita, T., R.A. Lukman, Y. Yamada. 1999. Inequality in the Distribution of
Household Expenditures in Indonesia: A Theil Decomposition Analysis. In:
The Developing Economies, Vol. 37 No. 2, June. Alam, M.S. 2006. Global Disparities Since 1800: Trends and Regional Patterns. In: Journal of World-Systems Research Vol. 12 No. 2, July 2006 Alisjahbana, A.S, A.A. Yusuf, Chotib, M. Yasin, T.B. Suprobo. 2003. Understanding the Determinants and Consequences of Income Inequality in Indonesia. Perbaikan makalah yang dipresentasikan pada “Bangkok Conference on Comparative Analysis of East Asian Income Inequalities” . National Institute for Development Administration (NIDA), Thailand and the Friedrich Naumann Foundation, 26 – 28 Januari 2003. Amiti, M., L. Cameron. 2004. Economic Geography and Wages: The Case of Indonesia. IMF Working Paper WP/04/79, May 2004. Anderson, BR’OG. 1999. Indonesian Nationalism Today and in the Future. In: Indonesia No. 67, April 1999.
Daftar Pustaka 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
BR’OG. 2002. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Terjemahan dari Imagined Communities: Reflection on the
Anderson,
Origin and Spread of Nationalism, Second Ed. Yogyakarta: Insist. Anonimous. 2007. Removing Regional Disparity in Infrastructure Development: A Probe into the Proposed 2008 Budget. In: Policy Insights: Senate Economic Planning Office, November 2007. Antoh, D. 2007. Rekonstruksi dan Transformasi Nasionalisme Papua. Jakarta: Sinar Harapan. Aragon, L.V. 2007. Persaingan Elit di Sulawesi Tengah, In: H.S. Nordholt, G.v. Klinken, eds. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Asian Development Bank. 2007. Key Indicators 2007, Volume 38. Manila: Asian Development Bank. Asra, A. 2000. Poverty and Inequality in Indonesia: Estimates, Decomposition, and Key Issues. In: Journal of the Asia Pacific Economy Vol. 5 No. 1-2 Azwardi. 2007. The Impact of Fiscal Decentralization on Interregional Economic Performance in Indonesia. Makalah disampaikan dalam seminar Fiscal Decentralization, 12 Desember 2007, di Wisma Makara, Kampus UI – Depok Badan Pusat Statistik. 2008. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik Bappenas, 2007. Studi Evaluasi Pemekaran Wilayah. Jakarta: Bappenas. Bhattacharya, P.C. 2007. Informal Sector, Income Inequality and Economic Development. Discussion Paper 2007/09, Centre for Economic Reform and Transformation, School of Management and Languages, Heriot-Watt University, Edinburgh. Brown, G.K. 2005. Horizontal Inequalitues, Ethnic Separatism and Violent Conflict: The Case of Aceh, Indonesia. Occasional Paper 2005/28 Human Development Report Office. Calderon, M.C., A. Chong, M.Gradstein. 2006. Foreign Aid, Income Inequality, and Poverty. Working Paper No. 547, Inter American Deveopment Bank. Cameron, L. 2003. Growth with or Without Equality? The Distributional Impact of Indonesian Development. In: Asian-Pacific Economic Literature. Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Cohen, J.M., S.B. Peterson. 1999. Administrative Decentralization: Strategies for Developing Countries. West Hartford, Connecticut: Kumarian Pr. Departemen Kesehatan. 2008. Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan. Dick, H.W. 1988. Perdagangan Antar Pulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Munculnya Suatu Perekonomian Nasional. In: A. Booth, W.J. O’Malley, A. Weidemann, eds. Sejarah Ekonomi Indonesia. Dick, H.W. 2002. Munculnya Ekonomi Nasional, 1808-1990. In: J.T. Lindblad, ed. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Direktur Jenderal Penataan Ruang. 2003. Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia: Tinjauan Teoretis dan Praktis. Makalah disampaikan pada Studium General Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta, 1 September 2003.
Daftar Pustaka 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Douglass, M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkage: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. TWPR Vol. 20 No. 1. Eng, P.v.d. 2006. Accounting for Indonesia’s Economic Growth: Recent Past and Near Future. Makalah disampaikan pada Seminar on World Economic Performance: Past, Present and Future, Long Term Performance and Prospects of Australia and Major Asian Economies, memperingati Angus Maddison’s 80th birthday di University of Queensland, Brisbane, 5-6 Desember 2006. Ernawi, I.S. 2007. Peran Penataan Ruang dalam Dimensi Nasional dan Wilayah Perkotaan sebagai Piranti dalam Pemilihan Kebijakan Investasi Jalan. Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Teknik Jalan ke-8 HPJI, di Jakarta, 4 September 2007. Easterly, W. 2002. The Elusive Quest for Growth: Economists’ Adventures and Misadventures in the Tropics. London: MIT Pr. Ezcurra, R., M. Rapun. Regional Diparities and National Development Revisited : The Case of Western Europe. In: European Urban and Regional Studies Vol. 13 No. 4. Firdaus, M. 2008. Dynamic Analysis of Regional Convergence in Indonesia. Working Paper No. 05/A/III/2008. Bogor: Department of Economics, Bogor Agricultural Univ. Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell. Friedmann, J. 2005. How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality and Growth in Indonesia, 98-99. In: R. Kanbur, . J. Venables (eds). Spatial Inequality and Development. Oxford: Oxford University Press. Foldvari, P. Tt. Global Income Distribution and Convergence 1800-2000. Makalah tidak diterbitkan. Fujita, N. 2004. Gunnar Myrdal’s Theory of Cumulative Causation Revisited. Economic Research Center Discussion Paper No. 147, April 2004. Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Terjemahan. Jakarta: Bhratara. Geertz, C. 1986. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Pr. Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 19001942. Terjemahan. Jakarta: Serambi. Hardjono, J. 1977. Transmigration in Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Hardjono, J. 1988. The Indonesian Transmigration Program in Historical Perspectives, In: International Migration, Vol. 26 No. 4. Hardjono, J. 2002. Transmigrasi sebagai “Land Settlement”, In: E. Suhendar, et.al. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi (Bandung: Akatiga), Hatta, M. 2001. Mohammad Hatta Bicara Marxis. Jakarta: Melibas Hatta, M. 2002. Pengantar ke Jalan Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Gunung Agung. Hidayah, Z. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Daftar Pustaka 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Higgins, B., D.J. Savoie. 2005. Regional Development Theories and Their Application. New Brunswick: Transaction. Hill, H. 2006. The Indonesian Economy a Decade after the Crisis (and Some Phillipine Parallels). Makalah di sampaikan pada Panel Discussion on Growth, Development, and Institutions 44th Philippine Economic Society Annual Meeting, 21-22 November 2006, Bangko Sentral ng Pilipinas Assembly Hall Hill, H., B. Resosudarmo, Y. Vidyattama. 2008. Indonesia’s Changing Economic Geography. CCAS Working Paper No. 12, April 2008. Hondai, S. 2006. Changes in Population Structure and HouseholdConsumption Inequality in Jakarta-West Java and Central Java. Working Paper Vol. 2006 No. 11. The International Centre for the Study of East Asian Development, Kitakyushu, Jepang. Hoogvelt, A. 1997. Globalisation and the Postcolonial World. Houndmills: Macmillan. House of Commons. 2003. Reducing Regional Diparities in Prosperity. London: The Stationary Office. Islam, I. 2003. Dealing with Spatial Dimensions of Inequality In Indonesia: Towards A Social Accord. Makalah disajikan dalam Second Inequality and Pro-poor Growth Spring Conference on the theme of ‘How Important is Horizontal Inequality’? ,World Bank, Washington D.C: 9-10 Juni 2003 Jacobs, J.P.A.M., J-P Smits. 2006. Historical Time Series Analysis An Introduction and Some Application. Makalah Faculty of Economics, University of Groningen and N.W. Posthumus Institute, May 2006. Direktorat Kewilayahan I. 2007. Pembangunan Daerah dalam Angka. Jakarta: Bappenas. Kahin, GCT. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terjemahan oleh N.B. Soemanto. Jakarta: Sinar Harapan. Kanbur, R., A.J. Venables. 2005. Rising Spatial Disparities and Development. Policy Brief No. 3, 2005. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kurasawa A. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo Leeuwen, B.v., Foldvari, P. Tt. The Development of inequality and poverty in Indonesia, 1932-1999. Makalah tidak diterbitkan. Leigh, A., P.v.d. Eng. 2008. Inequality in Indonesia: What can We Learn from Top Incomes? In: Journal of Public Economics doi. 10.1016/j.jpubeco.2008.09.005 Levang, P. 2003. Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: KPG. Lombard, D. 1995. Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, Jilid 1. Jakarta: Gramedia. Lombard, D. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sulatan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG. Maddison, A. 2003. The World Economy: Historical Statistics. Paris: OECD. McCulloh, N. 2008. Endowments, Location or Luck? Evaluationg the Determinants of Sub-National Growth in Decentralized Indonesia. Economic Governance Index (EGI) The Asia Foundation. Daftar Pustaka 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
McMichael, P, 2004, Development and Social Change, A Global Perspective, Third Ed. Thousand Oaks, CA: Pine Forge Pr. Milanovic, B., P.H. Lindert, J.G. Williamson. 2008. Ancient Inequality.Makalah tidak diterbitkan. Mubyarto. 2005. A Development Manifesto: The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat During the Monetary Crisis. Jakarta: Kompas. Nordholt, H.S., G.v. Klinken. 2007. Pendahuluan, In: H.S. Nordholt, G.v. Klinken, eds. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. PKP2A I. 2004. Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pemekaran Wilayah: Studi Kasus Kabupaten Tasikmalaya. Bandung: Lembaga Administrasi Negara. Reid, A.J.S. 1988. Mata Rantai Perak, Mata Rantai Baja: Politik Pemaksaan atas Geografi, 1865-1965. In: J.T. Lindbland, ed. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Resosudarmo, B.P, Y. Vidyattama. 2006. Regional Income Disparity in Indonesia: A Panel Data Analysis. In: ASEAN Economic Bulletin, Vol. 23 No. 1. Roth, D. 2008. Gubernur Banyak, Provinsi Tidak Ada: Berebut Provinsi di Daerah Luwu-Tana Toraja di Sulawesi Selatan In: H.S. Nordholt, G.v. Klinken, eds. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Said, A., W.D. Widyanti. 2001. The Impact Of Economic Crisis on Poverty and Inequality in Indonesia. Makalah disampaikan dalam Symposium on Poverty Analysis and Data Initiative (PADI), Manila, Philippines,30 April-3 May 2001. Sakamoto, H. 2007. The Dynamics of Inter-Provincial Income Distribution in Indonesia. Working Paper Vol. 2007-25. Kitakyushu: The International Centre for the Study of East Asian Development. Sengupta, R. Tt. Poverty and Inequality in the New World: Moving Forward or
Backward? A Critique of ‘Globalization, Poverty and Inequality since 1980’ by David Dollar. Makalah tidak diterbitkan. Shankar, R, A. Syah. 2001. Bridging the Economic Divide within Nations: A Scorecard on the Performance of Regional Development Policies in Reducing Regional Income Disparities. World Bank Policy Research
Working Paper No. 2717. Simbolon, PT. 1995. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas Smeeding, T. 2002. Globalization, Inequality and Rich Countries of G-20: Evidence from the Luxembourg Income Study (LIS). Working Paper No. 320, Juli 2002, Luxembourg Income Study. Suryadarma, D., W. Widyanti, A. Suryahadi, S. Sumarto. 2006. From Acces to Income: Regional and Ethnic Inequality in Indonesia. Smeru Working Paper, May 2006. Suryadinata, L., E.N. Arifin, A.Ananta. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik. Jakarta: LP3ES. Suryahadi, A. 2001. Globalization and Wage Inequality in Indonesia: A CGE Analysis. East West Center Working Paper No. 26, May 2001. Tadjoeddin, M.Z. 2003. Aspiration to Inequality: Regional Disparity and CentreRegional Conflicts in Indonesia. Makalah disampaikan pada UNU/WIDER Project Conference on Spatial Inequality in Asia, Tokyo, 28-29 Maret 2003. Daftar Pustaka 5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tadjoeddin, M.Z. 2007. A Future Resource Curse in Indonesia: The Political Economy of Natural Resources, Conflict and Development. Crise Working Paper No. 35, October, 2007 Tadjoeddin, M.Z., W.I. Suharyo, S. Mishra. 2001. Aspirasi terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia. UNSFIR Working Paper No. 01/01-I. The Asia Foundation. 2008. Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi dan Pungutan Jalan di Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation. The Liang Gie. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan daerah di negara Republik Indonesia, Jilid I, Edisi Kedua (Diperlengkap). Yogyakarta: Liberty. Thee Kian Wie, ed. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Kompas. Timmer, J. 2007. Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua, In: H.S. Nordholt, G.v. Klinken, eds. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Togo, K. 2001. A Brief Survey on Regional Convergence in East Asian Economies. Musashi University Working Paper No. 5. Untoro, H.O. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi Ekonomi. Jakarta: Komunitas Bambu. Vel, J. 2003. Kampanye Pemekaran Sumba Barat, In: H.S. Nordholt, G.v. Klinken, eds. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi. Terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Wignjosoebroto, S. 2004. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang: Bayumedia. Waluyo, J. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia. Makalah
disampaikan pada seminar Fiscal Decentralization, 12 Desember 2007, di Wisma Makara, Kampus UI – Depok. Williamson, J.G. 1965. Regional Inequality and the Process of National Development: a Description of Patterns’. In: Economic Development and Cultural Change No. 13. World Bank. 2009. World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography. Washington, DC: World Bank. Yusuf, A.A. 2006. On the re-assessment of inequality in Indonesia: household survey or national account? Makalah disampaikan pada the 8th IRSA International Conference, 18-19 August, 2006, Malang, Indonesia. Zanden, J.L.v. 2002. Rich and Poor before the Industrial Revolution: A Comparison between Java and The Netherlands at the Beginning of the 19th Century. Makalah disampaikan pada The XIIIth World Economic History Congress, Buenos Aires, July 2002 Zanden, J.L.v. Tt. Economic Growth in Java 1815-1939: The Reconstruction of The Historical National Accounts of A Colonial Economy. Makalah tidak diterbitkan.
Daftar Pustaka 6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Lampiran 1. Perbaikan Kerangka Acuan Kerja Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah 1. Latar Belakang Ketimpangan pembangunan antarwilayah atau kesenjangan terjadi terutama antara perdesaan dan perkotaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara kawasan
hinterland dengan kawasan perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada juga diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya terutama sumber daya manusia dan sumber daya alam antara daerah yang satu dengan yang lain, serta kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan belum mengimplementasikan pada keberpihakan pada pemerataan pembangunan. Walaupun keberpihakan akan pengurangan kesenjangan lebih-lebih pemerataan pembangunan akhir-akhir ini mulai kentara namun hasil dari usaha itu belum dapat dirasakan hasilnya. Di samping itu masih terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan antarkota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Wilayah strategis dan cepat tumbuh seharusnya berkembang dan mampu menjadi pendorong
percepatan
pembangunan
bagi
wilayah
tertinggal
dan
wilayah
perbatasan, namun dalam kenyataannya masih menghadapi banyak kendala dalam berbagai aspek seperti infrastruktur, SDM, kelembagaan, maupun akses terhadap input produksi dan pasar. Sementara itu kota-kota nasional yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan disekitarnya, khususnya wilayah perdesaan, justru
memberikan
dampak
yang
merugikan
(backwash
effects)
terhadap
keberhasilan pengentasan kesenjangan itu sendiri. Hal ini disebabkan masih begitu banyak daerah tertinggal yang harus ditangani, dimana sebagian diantaranya lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Sementara itu, permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari Lampiran 1 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pembangunan negara. Selain itu, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya
banyak
yang
tidak
berpenghuni
atau
sangat
sedikit
jumlah
penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan baik yang berbentuk kerangka regulasi maupun kerangka anggaran. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2007, pemerintah melakukan kebijakan dan program untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah. Programprogram tersebut antara lain Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh, Program Pengembangan Wilayah Tertinggal, Program Pengembangan Wilayah Perbatasan, Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antarkota, Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah, Program Pengendalian Pembangunan Kota-kota Besar dan Metropolitan, Program Penataan Ruang Nasional, dan Program Pengelolaan Pertanahan. Dengan diterapkannya anggaran berbasis kinerja, maka perlu dilakukan evaluasi kinerja terhadap pelaksanaan program dan kegiatan yang telah dilakukan. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional
dinyatakan
bahwa
pimpinan
kementerian/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah harus melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan kementerian/lembaga /satuan kerja perangkat daerah pada tahun sebelumnya. Direktorat Pengembangan Wilayah mempunyai tugas melaksanakan analisis kebijakan pengembangan antar wilayah dan penyiapan data dan informasi wilayah, analisis dan informasi kewilayahan di Sumatera, Jawa, dan Bali, serta analisis dan informasi kewilayahan di Kalimantan, Sulawesi, dan Kawasan Timur Indonesia. Dalam
melaksanakan
tugas
tersebut,
Direktorat
Pengembangan
Wilayah
menyelenggarakan fungsi pemantauan, evaluasi, dan penilaian kinerja atas pelaksanaan rencana, kebijakan, dan program pengembangan wilayah dan antar wilayah. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Direktorat Pengembangan Wilayah Lampiran 1 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
memiliki tugas untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan RKP 2007, khususnya pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Selain evaluasi terhadap pelaksanaan RKP 2007, dengan telah terlaksananya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 sampai dengan tengah periode perencanaan, Direktorat Pengembangan Wilayah juga memiliki tugas untuk melakukan evaluasi (mid term review) terhadap pelaksanaan RPJMN 2004-2009, khususnya Bidang Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. 2. Tujuan Kegiatan evaluasi pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah ini bertujuan untuk: 1. Menginventarisasi hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP tahun 2007 dan RPJMN (tahun 2006-2007) 2. Menyusun metodologi dan indikator evaluasi kebijakan, strategi dan program penanggulangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan 3. Melakukan penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP 2007 dan RPJMN 2004-2009. 3. Melakukan
kaji
ulang
terhadap
kebijakan
dan
program
yang
telah
dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya . 3. Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan evaluasi pelaksanaan programprogram pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah ini adalah: 1. Teridentifikasinya hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP tahun 2007 dan RPJMN (tahun 2006-2007); Lampiran 1 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2. Teridentifikasinya efektivitas pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam RKP 2007 dan RPJMN 2004-2009. 3. Tersusunnya metodologi dan indikator evaluasi kebijakan, strategi dan program penanggulangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan Pencapaian sasaran tersebut bermanfaat secara langsung bagi Bappenas, khususnya bagi unit kerja terkait, sebagai bahan penyusunan kebijakan dan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah pada tahuntahun selanjutnya. Selain itu, pencapaian sasaran tersebut juga bermanfaat secara tidak
langsung
penyempurnaan
bagi
pemerintah
pelaksanaan
daerah
dan
program-program
Kementerian/Lembaga pengurangan
untuk
ketimpangan
pembangunan wilayah, baik di tingkat pusat maupun daerah, pada tahun-tahun selanjutnya. 4. Keluaran Keluaran dari pelaksanaan kegiatan evaluasi pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah adalah sebagai berikut: 1. Tersedianya rekomendasi bagi penyusunan RKP, khususnya kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, pada dua tahun yang akan datang; 2. Tersedianya rekomendasi bagi penyempurnaan pelaksanaan kebijakan dan program RPJMN 2004-2009, khususnya bidang pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, pada tahun-tahun selanjutnya; 3. Tersedianya metodologi dan indikator evaluasi kebijakan, strategi dan program penanggulangan ketimpangan pembangunan wilayah dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan 4. Tersusunnya Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. 5. Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan ini sebagai berikut: Lampiran 1 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
1. Penyusunan dan perbaikan Kerangka Acuan Kerja (KAK) Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah, meliputi perbaikan tujuan, sasaran, keluaran, dan metodologi 2. Pengumpulan data sekunder melalui tinjauan pustaka terhadap teori dan konsep ketimpangan pembangunan wilayah, tinjauan dokumen perencanaan, legalitas, kebijakan, strategi, dan program pengurangan ketimpangan pembangunan
wilayah,
serta
pengumpulan
data
statistika
tentang
ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan 3. Penyusunan desain dan pengumpulan data primer melalui instrumen kuesioner, diskusi kelompok, lokakarya, serta kunjungan lapangan ke Povinsi Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan 4. Inventarisasi, editing, entri, pengolahan dan analisis data dan informasi secara kuantitatif dan kualitatif, diikuti lokakarya hasil kegiatan 5. Penyusunan Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program-program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. 6. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam kegiatan evaluasi pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif yang digunakan mencakup pengukuran ketimpangan antar wilayah dan di dalam wilayah. Metode tersebut mencakup : 1. perbandingan pendapatan rata-rata wilayah per penduduk 2. perbandingan produktivitas wilayah per penduduk 3. quality of life count atau perbandingan akses infrastruktur dasar 4. koefisien variasi (CV) atau yang terboboti oleh penduduk menurut Williamson 5. Theil Index. Kemudian digali hierarki relevansi metode tersebut bagi pengukuran ketimpangan wilayah di Indonesia. Lampiran 1 5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Metode kualitatif dilaksanakan dengan menggunakan: 1. SWOT untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam pelaksanaan program-program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. 2. Analisis efektivitas untuk membandingkan hasil dan dampak dari pelaksanaan program terhadap sasaran program yang terdapat dalam RKP 2007 dan RPJMN 2004-2009. Untuk melaksanakan studi lapangan, maka pelru disusun: 1. Desain studi lapangan 2. Penyusunan variabel dan indikator 3. Penyusunan instrumen kuantitatif (kuesioner) dan kualitatif (pedoman pertanyaan dalam wawancara mendalam atau diskusi kelompok, serta analisis dokumen terhadap dokumen perencanaan serta bahan-bahan terkait lainnya). 4. Rancangan pengolahan dan analisis data lapangan 7. Organisasi Pelaksana Kegiatan ini dilaksanakan oleh Direktorat Pengembangan Wilayah dengan melibatkan staf perencana lintas direktorat di Bappenas dan tenaga ahli yang berkompeten
dibidang
evaluasi
dan
monitoring
khususnya
pengurangan
ketimpangan pembangunan wilayah. Kegiatan akan meliputi Penanggung Jawab, Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan (TPRK), Diskusi Kelompok Terfokus (FGD), Tenaga pendukung, Tenaga ahli dalam bidang Evaluasi Pelaksanaan Program Pembangunan (Monitoring). 8. Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan di atas diharapkan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) bulan dalam periode tahun anggaran 2008, dilaksanakan secara swakelola pada bulan Februari sampai dengan November 2008. No
Kegiatan
1
2
3
4
5
6
Bulan 7
Lampiran 1 6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
8
9
10
11
12
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
1. 2. 3. 4. 5. 4.
Persiapan Rapat Diskusi Pengumpulan data sekunder Kunjungan Lapangan Pengolahan dan analisis data Penyusunan Laporan
9. Rancangan Anggaran Biaya Pembiayaan pelaksanaan kegiatan ini dibebankan pada Daftar Isian Proyek Pembangunan (DIPA) tahun anggaran 2008, dengan anggaran sebesar Rp. 300.000.000,-. (Tiga Ratus Juta Rupiah)
Lampiran 1 7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Lampiran 2. Metodologi Analisis
pembangunan
wilayah
merupakan
praktek
transdisiplin
keilmuan. Di antaranya ekonomi, geografi, ilmu politik, juga sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu fisik seperti geologi dan klimatologi. Analisis dimulai dari pengamatan, lalu penyusunan hipotesis yang berisi hubungan kausal untuk menjelaskan fenomena lapangan, kemudian melakukan uji hipotesis, lalu melaksanakan generalisasi hipotesis, dan berakhir dengan penyimpulan untuk menyusun kebijakan. Analisis regional memiliki perhatian terhadap keruangan yang tidak bisa dijelaskan semata-mata dari biaya transportasi, sumberdaya, dan struktur kelas (Higgins dan Savoie, 2005). Kajian juga diarahkan terhadap: 1. Multiplier spasial. Kejadian di suatu wilayah memiliki dampak terhadap kejadian di wilayah lainnya, dan hal ini tidak bisa dijelaskan semata-mata dari tekanan pasar atau perjuangan kelas. Politik, sosial dan budaya, serta aspek fisik memainkan peranan pula. 2. Ruang dan waktu. Hubungan ruang dan waktu lebih dari urusan biaya transportasi, namun mencakup pula komunikasi, kontak personal, biaya bunga, dan sebagainya. 3. Hubungan keruangan terhadap berlangsungnya difusi pengetahuan dan informasi serta eksternalitas. 4. Polarisasi dan sebab-akibat kumulatif (cumulative causation). Pengenalan terhadap heterogenitas wilayah mengarah pada kesimpulan bahwa polarisasi dan sebab-akibat kumulatif bergerak menjauhi kesetimbangan. Gerakan ini lebih kuat daripada penyesuaian secara cepat dan lancar menuju titik kesetimbangan. 5. Kemunculan bersama (overlapping) heterogenitas spasial, struktur pekerjaan, ketimpangan sosial dan budaya, serta tindakan dan ungkapan politik muncul dalam suatu wilayah yang khas. Dengan mempertimbagkan aspek-aspek di atas, analisis wilayah masuk ke dalam lapangan kajian populasi dan perilakunya, dalam hubungannya Lampiran 2 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
dengan lingkungan fisik tempatnya bertindak. Tidak mengherankan metodemetode ketimpangan wilayah tersaji menurut kajian atas ketimpangan populasi, dan kajian atas kemajuan wilayah. Evaluasi kinerja lazim diarahkan pada input atau output suatu kegiatan. Evaluasi terhadap manfaat diarahkan kepada outcome dari kegiatan.Sedangkan Evaluasi terhadap dampak terarah kepada impaknya (Gambar 1). Gambar 1. Evaluasi Program dan Kegiatan
Untuk analisis input dan output dapat dilaksanakan begitu pekerjaan dimulai atau saat pekerjaan selesai. Akan tetapi untuk menganalisis outcome atau dampak diperlukan periode tertentu agar kegiatan pengembangan wilayah terlebih dahulu memberikan hasilnya kepada pemanfaat. Hipotesis ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kerangka
Waktu
Evaluasi
Manfaat
dan
Dampak
Program
Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Program/Intervensi
1 th
3 th
INFRASTRUKTUR DAN EKONOMI Ekonomi mikro (rumahtangga, perusahaan)
Lampiran 2 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
5 th
6-25 th
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Ekonomi makro (komunitas, desa, kabupaten/kota, provinsi, nasional, kawasan) Infrastruktur Teknologi STRUKTUR SOSIAL Modal sosial (kerukunan, gotong royong, kelompok) Organisasi politik/ pemerintahan Organisasi pendidikan SUPRASTRUKTUR Aturan administratif Aturan untuk sehari-hari Pandangan/ nilai-nilai baru Keterangan: Warna merah untuk evaluasi manfaat, warna hijau untuk evaluasi dampak
Adapun isi dari manfaat atau dampak yang dievaluasi dapat berujud infrastruktur atau ekonomi, struktur sosial, atau suprastruktur (aturan dan budaya). Sesuai dengan perbedaan jangka waktu fakta yang bisa dievaluasi, maka isi evaluasi manfaat dan dampak bisa dibedakan (Tabel 2). Adapun analisis terhadap ketimpangan dapat dilakukan dengan terarah pada ketimpangan antar wilayah, ketimpangan di dalam wiayah. Alat analisis untuk masing-masing ketimpangan ini berbeda (Tabel 3). 1. Metode Berorientasi kepada Populasi Metode pengukuran ketimpangan wilayah menurut populasi yang menempatinya meliputi:
Tabel 2. Isi Evaluasi Manfaat dan Dampak Pengurangan Ketimpangan Wilayah Program/Intervensi
Outcome
Impak
INFRASTRUKTUR DAN EKONOMI Ekonomi mikro
Produk, produktivitas
Pendapatan
Ekonomi makro
Pajak, retribusi
PDRB
Lampiran 2 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Infrastruktur
Produk rumahtangga/ perusahaan, pajak, retribusi
PDRB
Teknologi
Produk rumahtangga/ perusahaan, pajak, retribusi
PDRB
Modal sosial
Kegiatan gotong royong dan tolong menolong
Tidak ada konflik
Organisasi politik/ pemerintahan
Jumlah pengguna hak pilih
Organisasi pendidikan
Jumlah partisipan/ lulusan sekolah
STRUKTUR SOSIAL
SUPRASTRUKTUR Aturan administratif
Jumlah pengguna aturan
Pegawai dan lembaga eksis
Aturan untuk sehari-hari
Jumlah pengguna aturan
Kemunculan tokoh dan lembaga penjaga aturan
Pandangan/ nilai-nilai baru
Kelompok pengguna nilai baru
Kemunculan tokoh dan lembaga penjaga aturan
Tabel 3. Analisis Ketimpangan Di-Dalam dan Antar Wilayah Ketimpangan Dalam Wilayah
Ketimpangan Antar Wilayah
Basis Rumahtangga/ Individu
Indeks Gini, indeks Theil, Indeks L
indeks Gini terboboti, MMR, indeks kualitas hidup, indeks eksploitasi ekonomi
Basis wilayah
CV
CVw, indeks desa tertinggal, indeks eksploitasi ekonomi
1. Indeks Gini Ide dasar dari perhitungan koefisien Gini berasal dari kurva Lorenz. Dalam Indeks Gini, nilai 0 berarti merata sempurna dan nilai 1 berarti sempurna tidak merata. Formula Indeks Gini sebagai berikut:
G = 1 - (Pi - Pi-1) (Yi + Yi-1) Di mana: G = Indeks Gini Pi = Kumulatif penduduk di group i Yi = Kumulatif pendapatan di grup i Lampiran 2 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2. Indeks Theil dan L Seandainya penduduk dikelompokkan secara eksklusif menurut propinsi dan kabupaten, maka indeks Theil dan L didefinisikan sebagai:
Dimana: Yij = Total pendapatan di propinsi i, grup j Y = Total pendapatan untuk Indonesia (S S Yij) = Rata-rata pendapatan di propinsi i, grup j = Rata-rata pendapatan untuk Indonesia nij = penduduk di propinsi i, grup j n = Total penduduk Indonesia (S S nij) Indeks Theil dan L bisa didekomposisi menjadi komponen dalam wilayah dan antar wilayah sebagai berikut: Ketimpangan total = Ketimpangan dalam wilayah + ketimpangan antar wilayah
Di mana
Lampiran 2 5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Yi adalah pendapatan total di propinsi, Y adalah rata-rata pendapatan di propinsi i, dan ni adalah jumlah penduduk di propinsi i. Tw dan Lw adalah komponen dalam wilayah dari indeks Theil dan L dan didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang komponen dalam grup Ti dan Li, penimbangnya adalah proporsi pendapatan untuk Theil dan proporsi penduduk untuk L. TB dan LB adalah komponen antar wilayah dari indeks Theil dan L, yang murni mengukur ketimpangan karena perbedaan rataan pendapatan antar propinsi. 3. Indeks Kualitas Hidup Mengikuti
komposit
variabel
dalam
Indeks
Mutu
Hidup,
maka
ketersediaan fasilitas di suatu lokasi dapat disusun dalam suatu indeks kualitas hidup. 2. Metode Berorientasi kepada Wilayah Adapun metode pengukuran ketimpangan menurut keadaan wilayah yang bersangkutan meliputi: 1. Rasio Maksimum-Minimum (MMR) Perbandingan antara GDRP pada tertinggi terhadap GDRP pada wilayah terendah menghasilkan selang ketimpangan pembangunan wilayah. Jika nilainya rendah (mendekati 1) maka berarti ketimpangan pembangunan wilayah sangat rendah dan pendapatan lintas wilayah hamper setara. Akan tetapi jika nilai yang dihasilkan tinggi, maka muncul permasalahan interpretasi. Ketinggian nilai ini bisa menunjukkan variasi distribusi yang substansial, atau sekedar munculnya pencilan data (outlier). GDRP tertinggi MMR =
GDRP terendah
2. CVw (CV Williamson)
Lampiran 2 6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Formula ini pada dasarnya sama dengan coefficient of variation (CV) biasa dimana standar deviasi dibagi dengan rataan. Williamson (1965) memperkenalkan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk, yang disebut CVw.. Formulanya adalah sebagai berikut:
Dimana:
CVw = Weighted coefficient of variation ni = Penduduk di daerah i n = Penduduk total = PDRB perkapita di daerah i = Rata-rata PDRB perkapita untuk semua daerah Pembobotan CV dengan GDP menghasilkan perhitungan yang lebih kuat atau nilai ketimpangan yang lebih tinggi daripada pembobotan dengan jumlah penduduk. 4. Indeks Desa Tertinggal Ketertinggalan wilayah dapat ditunjukkan oleh kekurangan prasaran dan sarana dasar, serta kelembagaan pendukung di bidang ekonomi dan sosial. 3. Mempertimbangkan Ketimpangan Populasi dan Wilayah Upaya untuk menyatukan pengukuran ketimpangan wilayah berbasis kondisi populasi dan kondisi wilayah dapat berupa pengukuran indeks eksploitasi ekonomi. Mubyarto (2005) melakukan estimasi eksploitasi ekonomi dengan cara membandingkan GDRP per kapita dengan anggaran konsumsi penduduk. Dengan mengasumsikan bahwa sebagian besar penduduk tidak Lampiran 2 7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
memiliki tabungan, maka ketimpangan antara GDRP perkapita dan konsumsi per kapita menunjukkan adanya surplus yang dinikmati kapitalis di luar wilayah tersebut. Indeks Eksploitasi = 1 –
Konsumsi per kapita GDRP per kapita
x 100%
4. Lokasi, Waktu dan Rencana Kerja Kegiatan ini dilaksanakan di Jakarta, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Kegiatan di Jakarta mencakup: 1. Perbaikan KAK 2. Pengumpulan literatur teoretis 3. Kajian literatur tentang ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia 4. Kajian kebijakan yang terkait dengan ketimpangan wilayah di Indonesia 5. Analisis dokumen perencanaan dan peraturan perundangan yang berhubungan dengan ketimpangan pembangunan wilayah 6. Penyusunan desain survai, indikator, dan instrumen 7. Pengumpulan data statistika nasional dan lokal 8. Pengolahan dan analisis data 9. Penyusunan rekomendasi kebijakan, strategi dan program 10. Lokakarya hasil kegiatan 11. Penulisan laporan Kegiatan di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan mencakup: 1. Pengujian dan pengambilan data statistika 2. Pengambilan data primer dari wawancara mendalam dan diskusi kelompok Waktu pelaksanaan pekerjaan ini selama 10 bulan. Dalam periode waktu tersebut hendak dilaksanakan: 1. Penyusunan dan perbaikan KAK. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini mencakup: a. Perbaikan tujuan kegiatan, agar lebih mampu memberikan masukan dalam penyusunan RKL tahun 2009 Lampiran 2 8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
b. Perbaikan sasaran, mengikuti perbaikan tujuan sehingga KAK tetap konsisten c. Perbaikan keluaran. Sesuai dengan perbaikan sasaran, maka keluaran dari kegiatan ini perlu disesuaikan d. Perbaikan metodologi. Terdapat beragam metode pengukuran ketimpangan
pembangunan
wilayah
dan
penyusunan
rekomendasi program. Untuk menampung pengetahuan tersebut, serta mengujinya agar relevan dengan pembangunan wilayah di Indonesia, maka metodologi dalam KAK perlu diperbaiki. 2. Pengumpulan data sekunder, meliputi: a. Kajian literatur teori ketimpangan pembangunan wilayah b. Kajian
literatur
yang
membahas
analisis
ketimpangan
pembangunan wilayah di Indonesia c. Kajian
dokumen
perencanaan
dan
peraturan
perundang-
undangan, dalam rangka mendapatkan dasar bagi penyusunan strategi, kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia d. Pengumpulan data statistika di tingkat nasional maupun daerah e. Penyusunan konsep operasional untuk mengukur ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia 3. Pengumpulan data primer meliputi: a. Pengembangan desain kajian lapangan, meliputi perumusan teori dan kebijakan yang digunakan, yang terkait dengan metode kajian lapangan b. Pengembangan variabel ketimpangan pembangunan wilayah, yang sejalan dengan teori, kebijakan maupun data eksisting yang tersedia c. Penurunan variabel menjadi indikator yang bisa digali di lapangan d. Indikator-indikator tersebut kemudian disusun menjadi instrumen penggalian data lapangan, yang meliputi kuesioner, pedoman
Lampiran 2 9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
pertanyaan wawancara mendalam, dan pedoman pertanyaan untuk diskusi kelompok. e. Pengambilan data primer, yang meliputi: wawancara mendalam dan diskusi kelompok 4. Pengolahan dan analisis data, meliputi kegiatan: a. Editing data-data yang masuk, baik untuk menghilangkan kesalahan manusiawi, maupun untuk mengetahui kelemahan serta kelebihan jenis data yang diperoleh b. Entri data-data tersebut ke dalam template pengolahan data. c. Pengolahan data meliputi pengkodean untuk data-data kualitatif, maupun
running rumus-rumus untuk analisis ketimpangan
pembangunan wilayah d. Analisis data. Analisis data digunakan untuk menguji teori, konsep, kebijakan, hingga program ketimpangan pembangunan wilayah, agar relevan dengan keadaan Indonesia e. Selanjutnya dilakukan analisis kebijakan, terutama dengan SWOT dan AHP, untuk merumuskan rekomendasi strategi, kebijakan dan program pembangunan di masa mendatang 5. Penyusunan Laporan, meliputi: a. Laporan Pendahuluan b. Laporan Bulanan c. Laporan Antara d. Draft Laporan Akhir e. Laporan Akhir Jadwal pelaksanaan pekerjaan disajikan pada Tabel 4. 5. Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan terkait dengan teknik pengukuran ketimpangan pembangunan wilayah yang digunakan. Lihat Tabel 5. Sebagian kajian kebijakan, ada baiknya menggunakan beragam data dari beragam institusi yang mengeluarkannya, sehingga dapat digali pencekan mutu masing-masing data yang dikumpulkan. Lampiran 2 10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Data yang dikumpulkan dalam kegiatan ini mencakup: 1. Dokumen perencanaan untuk pengurangan ketimpangan wilayah di tingkat nasional dan daerah 2. Dokumen kebijakan dan strategi pengurangan ketimpangan wilayah di tingkat nasional dan daerah 3. Data statistika: a. GDRP b. Output ekonomi c. Investasi Data pengeluaran rumahtangga yang dikumpulkan dari Susenas lebih rendah sampai sekitar 50 persen daripada penghitungan pendapatan nasional. Selain itu, rumahtangga di kedua ekor kerangka sampling kelihatannya tidak terepresentasi dalam Susenas. a. Pengeluaran penduduk per wilayah b. Produktivitas (output tiap pekerja) c. Populasi d. Angkatan kerja e. Penduduk bekerja f. Penduduk tidak bekerja g. Reit pengangguran h. TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) i. Jaminan sosial j. Indikator peminggiran sosial k. Kualifikasi pendidikan l. Kesehatan
Lampiran 2 11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan No
Kegiatan
1.
Persiapan: a. Perbaikan KAK: tujuan b. Perbaikan KAK: sasaran c. Perbaikan KAK: keluaran d. Perbaikan KAK: metodologi Rapat Diskusi Pengumpulan data sekunder: a. Kajian teori b. Kajian laporan tentang Indonesia c. Kajian dokumen perencanaan dan peraturan perundangundangan d. Pengumpulan data statistika e. Penyusunan konsep operasional Kunjungan Lapangan: a. Pengembangan desain kajian lapangan b. Pengembangan variabel c. Penurunan indikator d. Penyusunan instrumen e. Pengambilan data primer Pengolahan dan analisis data: a. Editing data b. Entri data c. Pengolahan data d. Analisis data e. Analisis kebijakan dan program Penyusunan Laporan: a. Laporan Pendahuluan b. Laporan Bulanan c. Laporan Antara d. Draft Laporan Akhir e. Laporan Akhir
2. 3.
4.
5.
4.
1
2
3
4
5
6
Bulan 7
Lampiran 2 12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
8
9
10
11
12
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tabel 5.
Jenis Data dan Jenis Pengukuran Ketimpangan Pembangunan Wilayah Jenis Data
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
2008
MMR
Indeks Gini
Indeks Theil
Metode Kuantitatif Indeks Indeks CVw Kualitas L Hidup
Dokumen perencanaan Dokumen strategi, kebijakan, program GDRP Output ekonomi Investasi Pengeluaran penduduk per wilayah Produktivitas (output tiap pekerja) Populasi Angkatan kerja Penduduk bekerja Penduduk tidak bekerja Reit pengangguran TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) Jaminan sosial Indikator peminggiran sosial Kualifikasi pendidikan Kesehatan Kepemilikan rumah Jumlah rumah didirikan di atas tanah yang sebelumnya digunakan atau tempat sampah Kriminalitas Emisi gas rumah kaca Polusi udara Kualitas sungai Transportasi Informasi riset dan pengembangan Informasi kebudayaan dan olah raga
Lampiran 2 13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Metode Kualitatif Indeks Desa Tertinggal
Indeks Eksploitasi Ekonomi
Analisis dokumen
Diskusi kelompok
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
d. Kepemilikan rumah e. Jumlah rumah yang didirikan di atas tanah yang sebelumnya digunakan atau tempat sampah f. Kriminalitas g. Emisi gas rumah kaca h. Polusi udara i. Kualitas sungai j. Transportasi 4. Informasi
tentang
riset
dan
pengembangan.
Kegiatan
riset
dan
pengembangan dalam suatu wilayah meningkatkan aktivitas ekonomi secara langsung, meningkatkan kapasitas penduduk lokal, dan memudahkan sektor swasta untuk tumbuh 5. Informasi tentang kebudayaan dan olah raga (turisme, nilai kesenangan dalam infrastruktur, imej wilayah). Dalam pembangunan regional data ini dibutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan diri regional, meningkatkan imej regional, dan meningkatkan massa kritis. 6. Teknik Pengumpulan Data Primer a. Analisis Dokumen Berbagai perubahan di lapangan tercatat secara dinamis, baik melalui administrasi pelaporan maupun perbaikan isi aturan main pembangunan daerah tertinggal. Selain itu terdapat aturan tertulis dan tidak tertulis mengenai pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal. Metode yang diperlukan haruslah peka dokumen, yang bisa diperoleh dari metode wacana. Data-data dokumen yang dikompilasikan mencakup: 1. Dokumen perencanaan pembangunan: RPJMD, Restrada, Renstra SKPD, rencana pembangunan tahunan, rencana tata ruang, dan sebagainya 2. Dokumen
program-program
pengurangan
ketimpangan
pembangunan
wilayah 3. Dokumen
evaluasi
kebijakan,
strategi
dan
ketimpangan pembangunan wilayah Lampiran 2 14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
program
pengurangan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Catatan yang bersumber dari registrasi aparat pemerintah maupun pengelola program dapat mengandung biasa dalam keakuratan pencatatan, yang disebabkan oleh tarikan kelembaman, kelalaian aparat dalam mencatat kejadian, serta manipulasi data (Kristyanto, 1984; Lipton dan Moore, 1980). Kelembaman berkaitan dengan honor yang terlalu rendah bagi aparat pemerintah untuk mencatat kejadian secara kontinyu, sehingga muncul sifat apriori mengenai kuantitas berbagai benda fisik di wilayahnya. Manipulasi terjadi untuk memanfaatkan bagi kepentingan aparat pemerintah sendiri, misalnya dalam memperbesar perolehan dana proyek. Dalam analisis wacana, bias-bias tersebut dicari dalam rangka memahami data lapangan secara lebih tepat. Dalam hal ini bias digunakan sebagai alasan atas terciptanya suatu data. Dalam analisis wacana dipelajari bagaimana orang memakai bahasa untuk saling berkomunikasi (Brown dan Yule, 1996). Dalam pekerjaan kali ini bahasa terutama penting dalam berbagai aturan normatif pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Evaluasi terhadap wacana semacam ini berujud analisis wacana
(discourse analysis)
yang
berupa
interpretasi
dan
kritik
terhadap
pandangan-pandangan yang menyusun wacana tersebut maupun interpretasi berbagai stake holder dalam mempraktekkan wacana tersebut. Dengan demikian evaluasi wacana normatif ini didasarkan kepada logika program yang abstrak serta praktek-praktek proyek dalam mengkongkritkannya. Analisis juga dilakukan terhadap susunan kalimat dalam aturan normatif tersebut. b. “Focus Group Discussion” FGD (Focus Group Discussion) menjadi sangat penting untuk menggali alasan dan
proses
penyusunan
strategi
dan
kebijakan
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah. FGD juga menjadi salah satu alat triangulasi (pengecekan kebenaran) dari hasil analisis sebelum Konsultan berangkat ke lapangan. Sekalipun tujuan utamanya untuk memberikan penjelasan terhadap draft program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah serta penggalian proses dan alasan pilihan kebijakan dan strategi pembangunan prasarana dan sarana di tiap daerah kasus, tidak boleh dilupakan peluang munculnya topik-topik baru di lapangan Lampiran 2 15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
dapat saja sangat penting dan bermakna. FGD kali ini dilaksanakan dalam rangka menggali pengalaman, gagasan, dan sejauh mungkin untuk suatu
generalisasi
informasi Untuk memastikan bahwa FGD berlangsung secara tepat, maka diperlukan kesamaan perspektif mengenai diskusi semacam ini, yaitu: 1. Diskusi bertujuan atau bertema tertentu 2. Peserta: 4-12 orang. Tujuannya untuk menjaga adanya peluang untuk bertukar pendapat yang beragam 3. Diberlakukan seri kelompok diskusi; jika diperlukan bisa dibedakan antara kelompok pemerintah, swasta dan masyarakat 4. Peserta relatif homogen, yaitu sama strata sosial untuk setiap kelompok diskusi. 5. Data yang dicari ialah pengalaman dan persepsi peserta terhadap proses dan alasan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah 6. Dilakukan secara kualitatif, yaitu lebih mengedepankan pandangan dari dalam peserta sendiri. Kesimpulan dari FGD bersifat induktif atau berbasis jawaban dari peserta, bukan teori yang diacu terlebih dahulu 7. Diskusi terfokus: studi mendalam terhadap topik di atas. 8. Diskusi difasilitasi oleh seorang moderator dan minimal seorang asisten. Kelebihan FGD: 1. Prosedur riset berorientasi kepada masyarakat, sehingga memungkinkan untuk menggali informasi sesuai apa yang dialami masyarakat (yang mungkin kelak menjadi pemanfaat suatu program). 2. Memungkinkan moderator untuk probing (penggalian gagasan), sehingga mampu mendalami fakta-fakta yang keluar selama diskusi. 3. Relatif berbiaya rendah, daripada tinggal berlama-lama di desa. 4. Memungkinkan hasil yang cepat, yaitu hanya sekitar 1-2 jam selama diskusi berlangsung. 5. Meningkatkan jumlah responden/informan dalam studi kualitatif, misalnya menjadi sekitar sepuluh orang untuk setiap diskusi. Kelemahan FGD:
Lampiran 2 16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
1. Kontrol terhadap suatu kelompok diskusi lebih rendah, jika dibandingkan wawancara individual. 2. Lebih sulit untuk dianalisis terutama ketika muncul berbagai pendapat dari peserta. 3. Membutuhkan pewawancara (moderator) yang dilatih secara hati-hati, agar mampu berempati kepada peserta maupun menggali kemungkinan peluang terhadap gagasan lain yang berkaitan dengan topik diskusi. 4. Mengandung beragam informasi, yang tidak seluruhnya terarah 5. Perancangan lebih sulit, meliputi undangan, rancangan tempat, logistik. 6. Mengharuskan dilakukan dalam lingkungan yang kondusif untuk berbincangbincang c. Proposal Penyusunan Potensi Desa Data Podes dipilih karena inilah satu-satunya data yang berurusan dengan wilayah/tata ruang dengan basis desa/ kelurahan. Penyusunan suatu model indikasi paling tepat diawali dengan analisis per pemodelan, baru kemudian diikuti dengan penyusunan model, eksekusi model, dan validasi model (Wu dan Sun, 2005). Dalam pekerjaan ini digunakan program komputer kuantitatif SAS. Perlu disampaikan bahwa penggunaan program komputer yang berbeda mungkin menghasilkan angka rincian yang berbeda, sekalipun kesimpulan umum/akhir yang diambil bisa tetap sama. Oleh karena sebagian (besar) data Podes 2006 berujud data ordinal, maka ditempuh prosedur logistik. Di sini digunakan model cumulative logit, dan skoring dioptimasi dengan metode Fisher. Model ini memiliki keleluasaan yang besar, karena tidak terikat oleh asumsi jumlah data yang besar dan sebaran data secara normal. Dengan kata lain, data Podes 2006 layak untuk dianalisis lebih lanjut. Prosedur yang dilakukan berupa menyusun variabel dependen membentuk data ordinal. Indikator keragaan pembangunan masa kini berupa penanggulangan kemiskinan dapat disusun dari proporsi jumlah keluarga miskin (Pra-KS dan KS-1) per total keluarga di desa yang bersangkutan. Hasilnya berupa data interval, yang kemudian disusun menurut desil menjadi 10 bagian ordinal.
Lampiran 2 17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Selanjutnya dilakukan analisis efek (analysis of effects) diikuti analisis estimasi pada masing-masing calon indikator. Di sini terjadi proses (running) berupa satu indikator independen (turunan variabel bebas) dicari kaitannya dengan indikator terikat (turunan variabel terikat). Setelah ditemukan satu indikator, kemudian
running dilakukan pada indikator selanjutnya. Demikian proses ini berlangsung sampai akhir running kepada calon indikator Podes 2006 yang ada. Indikator sebelumnya juga diseleksi untuk menghindari penghitungan ganda yang bisa terjadi pada penggunaan indikator yang sebenarnya komposit, meskipun terlihat sebagai indikator mandiri. Wilayah perdesaan atau perkotaan, misalnya, menurut definisi operasional juga mencakup mata pencaharian utama penduduk, fasilitas wilayah pada aspek infrastruktur, kelembagaan dan politik. Jika indikator komposit ini digunakan, maka akan menghasilkan penghitungan ganda manakala indikator lain (yang sebetulnya mengisinya) turut dihitung (Tabel 6). Hasil penghitungan skor pada desa-desa yang terdapat dalam basis data Potensi Desa 2006 ialah •
Skor maksimum desa: 224
•
Skor minimum desa: 93
•
Skor rata-rata desa: 168
•
Standard deviasi nasional: 19 Jika diuraikan dalam bentuk grafik, maka akan terlihat (Gambar 2) bahwa
desa-desa di Indonesia cenderung ke arah kondisi yang maju. Hal ini terlihat pada ekor yang menjulur ke kiri. Berdasarkan hasil analisis di atas, maka kelompok perdesaan dapat digolongkan menjadi: –
Desa maju, skor >187
–
Desa menengah-atas, skor 169-187
–
Desa menengah-bawah, skor 148-168
–
Tertinggal, skor < 148
Lampiran 2 18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Gambar 1. Sebaran Desa di Indonesia menurut Tingkat Kemajuan, 2006 1600 1400 1200 1000 800
Frequency
600 400 200 0 93
110
103
124
117
138
131
152
145
166
159
180
173
194
187
208
201
222
215
Skor Desa
7. Metode Analisis Kebijakan a. Analisis Efektivitas Program Analisis efektivitas program berupa perbandingan antara sasaran, hasil atau impak yang diharapkan dari suatu program, dengan kenyataan yang ditemui di lapangan maupun dalam data sekunder. Desain program akanm enentukan evaluasi atas efektivitas secara berbeda-beda. Analisis efektivitas prpgram juga bisa diterapkan dalam bentuk analisis kinerja anggaran. Dalam hal ini disusun atau digali terlebih dahulu standard layanan minimal untuk suatu jenis program, kemudian dibandingkan antara rencana dan realisasi program b. Analisis Data Lintas Waktu Analisis lintas waktu (time series) secara klasik dapat dibagi menurut analisis kecenderungan (trend), siklus (cycle), musim (season), dan komponen yang tidak runtut (irregular component). Untuk menganalisis data time series dapat digunakan prinsip Granger, bahwa analisis (non) kausalitas berupa tes untuk mencari jawaban apakah ada variabel yang bisa digunakan untuk menjelaskan variabel lain di masa lalu. Lampiran 2 19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Tabel 6. Indikator Desa Tertinggal Berbasis Potensi Masyarakat dan Wilayah No. Kon sep 1
2
3
Konsep Kesiapan Pembangun an
Transportasi
Komunikasi
No. Vari abel 1
2
3 4
5 4
Energi
6
7
Variabel Lembaga pembangunan
Prasarana transportasi
Indikator Ketua LPMD Gotong royong membantu pembangunan
Ada Tidak ada
9 1
v707
Prasarana jalan dan sungai
Aspal/ beton Sungai untuk transportasi, jalan diperkeras (kerikil, batu) Jalan tanah Lainya Ada Tidak ada
4 3
v506b6, v901b1
Ada
7
< 5 km > 5 km
2 1
Bisa Tidak bisa
7 3
Penerangan jalan utama desa
Ada Tidak ada
6 4
Penggunaan bahan bakar oleh sebagian besar penduduk
LPG Minyak tanah Kayu bakar Lainnya
5 4 2 1
Jasa Pos
kantor pos, kantor pos pembantu, rumah pos, pos keliling
Akses bahan bakar
Sumber Podes 2006 v1301k2
8 2
telpon umum, wartel
Akses listrik
Angka Skor
Ada Tidak ada
Telepon untuk umum
Televisi
Skor
Penerimaan program TV
Lampiran 2 20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2 1 6 4
v905, v906 (diolah) v908a, v909 v908b v908b v910a, b(110),c,d v502a
v503
Departemen/ Lembaga Terkait Depdagri Depdagri, Depsos
Implikasi Kebutuhan
Faktor Penga li
Tim Pelaksana Kegiatan (TPK)
Desa
Pembentukan kelompok (untuk pelaksanaan kegiatan)
RT
Pengembangan jalan dan dermaga Pembangunan jalan
Desa
Pembangunan telpon umum
Desa
Pembangunan rumah pos
Keca matan
Pembangunan transmisi TV
Keca matan
Pembangunan penerangan jalan utama
Desa
Pembangunan jaringan distribusi
Desa
Dep PU
PT Pos Indonesia, Menkominfo, Dep PU TVRI, Menkominfo, Dep PU PLN, MenEM, Dep PU Pertamina, MenEM, Dep PU
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No. Kon sep
Konsep
No. Vari abel
Variabel
Indikator
Skor
Angka Skor
Sumber Podes 2006
Departemen/ Lembaga Terkait
2008
Implikasi Kebutuhan
Faktor Penga li
minyak tanah 5
6
Perkreditan
Pendidikan
8
9 10
11
7
Kesehatan
12
Ragam lembaga keuangan
Akses pendidikan dasar Akses pendidikan menengah pertama Akses pendidikan menengah atas Akses sarana kesehatan
Keberadaan SD Jarak ke SLTP/sederajat
Jarak ke SLTA/SMK
Posyandu Polindes Puskesmas/Pustu
13
14
Akses tenaga kesehatan
Wabah
Akses dokter, mantri, bidan, dukun
Wabah penyakit setahun
Bank umum/kantor pegadaian/BPS Koperasi/Lembaga Keuangan Mikro Informal Tidak ada
5
Ada Tidak ada
8 2
v601bk2-3
< 5 km > 5 km
7 3
v601ck4
< 5 km > 5 km
6 4
v601dk4 + v601ek4
Depdiknas, Dep PU
Ada Tidak ada
9 1
v603hk2
Depkes, Depsos
Ada Tidak ada
6 4
v602ik2
Ada Tidak ada
7 3
v602dk2, v602ek2
Depkes, Dep PU
Dokter Mantri kesehatan/bidan Dukun Tidak ada
4 3 2 1
v604a-d2
Depkes
Tidak ada
8
v607
Lampiran 2 21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
4
v1119/112 2 v1121
Depkeu
1
Pembangunan lembaga keuangan mikro
Desa
Depdiknas, Dep PU
Pembangunan SD
Desa
Depdiknas, Dep PU
Pembangunan SMP
Keca matan
Pembangunan SLTA/SMK
Keca matan
Pembangunan Posyandu
RT
Pembangunan Polindes
Desa
Pembangunan Pustu
Keca matan
Distribusi bidan/mantri kesehatan
Desa
Depkes, Dep PU
Depkes
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No. Kon sep
No. Vari abel
Konsep
15
Variabel
Indikator
8
Pertanian
17
18 9
Manufaktur
19
20
10
Perdaganga n
21
Angka Skor
Sumber Podes 2006 (jawaban dibalik) v504
penyakit
terakhir
Ada
2
Kesehatan lingkungan
Akses tempat buang sampah
Tempat sampah/ lubang/ dibakar Sungai Lainnya Jamban sendiri Jamban bersama/ umum Bukan jamban
7 2 1 6 3 1
v505
PAM/air kemasan/pompa listrik/ sumur/ mata air Sungai/ danau/ air hujan/ lainnya Ada sawah berpengairan Ada sawah tidak berpengairan dan tidak diusahakan, padahal ada sungai Ada Tidak ada
8
v608a
Akses tempat buang air besar
16
Skor
Air minum
Irigasi
Sumber air minum
Sungai untuk irigasi
Industri pertanian
Perusahaan pertanian
Lingkungan industri
Keberadaan lingkungan industri
Ragam industri
Ragam perdagangan
Industri besar, sedang, kecil, RT
Pasar swalayan, pasar, pertokoan
Departemen/ Lembaga Terkait
Faktor Penga li Desa
Depkes, Dep PU Pembangunan tempat sampah
RT
Pembangunan jamban umum
RT
Pembangunan instalasi air minum
RT
Pembangunan jaringan irigasi tersier
Desa
Pembangunan industri kecil/RT
RT
Pembangunan kawasan industri kecil
Desa
Pembangunan industri kecil/RT
RT
Depkes, Dep PU
PDAM, Dep PU, Depkes
7 3
v1002a v1002 (bc), v506a
Deptan, Dep PU
9 1
v1101a-f
Kawasan industri Sentra industri/LIK/ PIK Tidak ada
5 4 1
v1103 v1104
Deptan, Depperin, Dep PU Depperin, Dep PU
Industri besar/ sedang
6
Industri kecil/RT Tidak ada
3 1
v1106, v1107 v1108a-h
Pasar swalayan Kelompok pertokoan/ pasar dengan bangunan permanen
4 3
Lampiran 2 22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Implikasi Kebutuhan Distribusi bidan/mantri
2
v1113 v1110a, v1111a
2008
Depperin, Dep PU
Depperdag, Dep PU
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No. Kon sep
11
12
No. Vari abel
Konsep
Kegiatan sosial
22
Perumahan
23
24 13
Lingkungan
25 26
14
Keamanan
27
Variabel
Fasilitas perlindungan sosial Perumahan di bawah tegangan tinggi Perumahan kumuh Pencemaran lingkungan hidup Kerawanan bencana
Perkelahian massal
Pasar tanpa bangunan permanen/ jarak pasar < 5 km Jarak pasar > 5 km
2
Sumber Podes 2006 v1112
1
b1111b
Panti asuhan, wreda/jompo, cacat/YPAC, bina remaja, rehabilitasi anak, rehabilitasi WTS Keluarga di bawah jaringan tegangan tinggi
Ada kegiatan Tidak ada kegiatan
9 1
v704a(16)k2
Tidak ada Ada
6 4
v508a (jawaban dibalik)
PLN, Dep Energi, Dep PU
Keberadaan perumahan kumuh
Tidak ada Ada
6 4
Depsos, Dep PU
Pencemaran air, tanah, udara
Tidak ada Ada
9 1
Bencana alam dalam 3 tahun terakhir yang menyebabkan kerugian/kerusakan dalam aspek tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa bumi, gempa bumi disertai tsunami, kebakaran, pembakaran hutan/ sawah/ ladang, dll Perkelahian massal 1 tahun terakhir
Tidak ada Ada
8 2
v509b (jawaban dibalik) v510a-c (jawaban dibalik) v513a-h (jawaban dibalik)
Tidak ada
7
Kepolisian
Ada, diselesaikan damai
2
v1202a (jawaban dibalik) v1203c
Indikator
Skor
Lampiran 2 23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Angka Skor
Departemen/ Lembaga Terkait
2008
Implikasi Kebutuhan
Faktor Penga li
Pembangunan pasar
Keca matan
Pembangunan fasilitas perlindungan sosial
Desa
Pembangunan rumah sederhana
Keluar ga
Pembangunan rumah sederhana
Keluar ga
Pembangunan lingkungan hidup
Desa
Bangunan penahan bencana
Desa
Menneg LH Depsos, Dep PU
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No. Kon sep
Konsep
No. Vari abel
28
15
Demokrasi
29 30
31
Variabel
Kejahatan
Perwakilan rakyat Organisasi kemasyarakat an
Toleransi
Indikator
Skor
Angka Skor
Ada, tidak terselesaikan
1
Kejahatan 1 tahun terakhir
Tidak ada Ada
6 4
Keberadaan BPD
Ada Tidak ada Ada kegiatan LSM Ada kegiatan yayasan/ kelompok/ persatuan kematian/ majelis taklim/ kelompok pengajian/ kelompok kebaktian Tidak ada
8 2 5 3
Ya Tidak
6 4
Keberadaan ormas
Etnis di desa lebih dari satu
Lampiran 2 24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sumber Podes 2006 v1203c
Departemen/ Lembaga Terkait
Implikasi Kebutuhan Pembentukan kelompok (untuk dialog)
v1204a(111) (jawaban dibalik) v302
Kepolisian
v704bk2
Depdagri, Depsos
Faktor Penga li Desa
Pembentukan kelompok (untuk pengamanan)
Desa
Pembentukan BPD
Desa
Pembentukan kelompok (untuk kerjasama warga)
Desa
Pembentukan kelompok (untuk dialog)
Desa
Depdagri
1 v710
2008
Depdagri, Depsos
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Arah perubahan antar berbagai variabel dalam bentuk data time series dapat digali melalui penyusunan grafik logaritma (Jacobs dan Smits, 2006). Adapun untuk mengetahui perubahan kejadian di masa lampau dari data time series tersebut dapat digunakan analisis perbedaan (difference). Analisis lebih lanjut diarahkan untuk mencari interpretasi dari grafik logaritma. Kejadian-kejadian penting dapa digali dari indikasi perubahan data saat ini dibanding masa sebelumnya dalam grafik difference. c. Analisis SWOT Evaluasi
terhadap
program
dan
strategi
pengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah juga dapat dilakukan dengan menggunakan matrik SWOT dimana strategi pembangunan didasarkan pada kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Dalam menyusun perencanaan yang strategis diperlukan identifikasi terhadap faktor-faktor strategis pembangunan dalam kondisi yang ada saat ini sehingga analisis SWOT penting untuk dilakukan. Adapun matrik SWOT yang digunakan untuk menganalisis dan menyusun
faktor-faktor
strategis
bagi
program
ppengurangan
ketimpangan
pembangunan wilayah dilihat pada Tabel 7. Dari tabel diketahui bahwa matrik SWOT mengembangkan empat tipe strategi yaitu: 1. Strategi S-O (strength-opportunity) yaitu strategi yang menggunakan kekuatan internal program untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah 2. Strategi W-O (weakness-opportunity) yaitu strategi yang bertujuan untuk memperbaiki
atau
memperkecil
kelemahan
internal
program
untuk
mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. 3. Strategi S-T (strength-threat) yaitu strategi yang menggunakan kekuatan internal program untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal program untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah
Lampiran 2 25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
4. Strategi W-T (weakness-threat) yaitu strategi yang digunakan untuk mengurangi kelemahan internal program dan menghindari ancaman eksternal program untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. Tabel 7. Matrik SWOT INTERNAL EKSTERNAL Opportunity (O) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal Threat (T) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
Strength (S) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal STRATEGI S-O Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI S-T Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Weakness (W) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal STRATEGI W-O Ciptakan strategi untuk meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI W-T Ciptakan strategi untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
8. Pelaporan Pelaporan yang diselenggarakan mencakup: 1. Laporan Pendahuluan Penyerahan: bulan pertama Isi: a. Perbaikan KAK b. Landasan legal c. Landasan konseptual dan teoretis d. Fakta ketimpangan pembangunan wilayah e. Metodologi f. Rencana kerja 2. Laporan Bulanan Penyerahan: bulan pertama Isi: a. Kemajuan kegiatan satu bulan terakhir b. Rencana kegiatan bulan berikutnya 3. Laporan Antara Penyerahan: bulan keenam Isi: Lampiran 2 26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
a. Hasil pengumpulan dan pengolahan data statistika b. Desain survai lapangan c. Penyusunan instrument survai 4. Draft Laporan Akhir Penyerahan: bulan kesembilan Isi: a. Hasil evaluasi efektivitas Program RKP 2007 b. Rekomendasi RKP 2009, RPJM, RPJ 5. Laporan Akhir Penyerahan: bulan kesepuluh Isi: a. Perbaikan Draft Laporan Akhir Finalisasi Draft Laporan Akhir
Lampiran 2 27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Lampiran 3. Data-data Ketimpangan Indonesia Tahun 1880-2008 Tahun 1880 1881 1882 1883 1884 1885 1886 1887 1888 1889 1890 1891 1892 1893 1894 1895 1896 1897 1898 1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1911
CVw Dengan Tambang
CVw Tanpa Tambang
Gini Desa
Gini Kota
Gini Indonesia
40% Terbawah Desa
40% Terbawah Kota
0,39
Lampiran 3 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
40% Terbawah Total
Top 10%
Top 5%
Top 1%
Top 0.5%
Top 0.1%
Top 0.05%
Top 0.01%
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934 1935 1936 1937 1938 1939 1940 1941 1942 1943 1944 1945
CVw Dengan Tambang
CVw Tanpa Tambang
Gini Desa
Gini Kota
Gini Indonesia
40% Terbawah Desa
40% Terbawah Kota
40% Terbawah Total
Top 10%
Top 5%
Top 1%
30,57 32,62 32,83 31,82
11,82 14,28 14,81 14,42 14,19 15,00 15,52 16,38 16,71 16,64 20,03 21,13 21,55 21,51
0,23
0,30
0,37
0,32
0,52
0,57
0,56
19,80 19,87 0,60
0,53
0,59
Lampiran 3 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Top 0.5%
6,92 10,08 11,53 11,99 11,62 11,42 12,08 12,41 13,04 13,31 13,08 15,65 16,57 17,01 17,02 15,82 15,99 14,64 15,84 15,83
Top 0.1%
3,70 5,54 5,35 5,69 5,67 5,65 5,97 5,98 6,14 6,32 5,87 6,77 7,02 7,18 7,22 6,81 6,93 6,56 7,24 7,03
2008
Top 0.05%
2,73 4,15 3,72 4,04 4,06 4,01 4,30 4,24 4,30 4,45 4,02 4,53 4,62 4,68 4,69 4,45 4,52 4,38 4,90 4,68
Top 0.01%
1,39 2,21 1,69 1,93 1,97 1,91 2,04 1,94 1,93 1,92 1,67 1,78 1,74 1,72 1,68 1,60 1,63 1,69 2,00 1,83
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun 1946 1947 1948 1949 1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979
CVw Dengan Tambang
CVw Tanpa Tambang
Gini Desa
Gini Kota
Gini Indonesia
0,51
0,50
0,54
0,46
0,47
0,51
40% Terbawah Desa
40% Terbawah Kota
40% Terbawah Total
0,39
0,882
0,35
19,56
19,48
18,62
0,469
0,17 0,31
0,32 0,35
0,29 0,34
21,22
19,56
19,56
0,34
0,38
0,38
19,88
17,4
18,13
Lampiran 3 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Top 10%
Top 5%
Top 1%
Top 0.5%
Top 0.1%
2008
Top 0.05%
Top 0.01%
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
CVw Dengan Tambang
1,231
0,84
0,855
CVw Tanpa Tambang
Gini Desa
Gini Kota
Gini Indonesia
0,31 0,29
0,36 0,33
0,34 0,33
40% Terbawah Desa
40% Terbawah Kota
21,16 22,81
18,66 20,83
40% Terbawah Total
Top 10%
Top 0.5%
Top 0.1%
2008
Top 5%
Top 1%
Top 0.05%
Top 0.01%
32,64
20,85
7,17
4,60
1,80
1,21
0,58
19,55 20,44
0,603
0,681 0,66
0,709
0,28 0,19
0,32 0,20
0,33 0,24
22,35
20,63
20,75
0,26
0,32
0,32
24,3
21,48
20,87
36,48
24,12
7,99
4,68
1,23
0,61
0,28
0,25
0,34
0,32
24,41
19,67
21,31
36,11
23,16
8,05
5,28
1,61
0,95
0,35
0,26
0,33
0,34
25,12
20,48
20,34
39,94
26,07
9,10
5,85
2,04
1,33
0,38
0,27
0,36
0,36
23,24
19,03
20,28
39,37
25,30
9,69
6,59
2,06
1,38
0,37
0,24
0,32
0,31
36,22 37,47 38,45 39,53 36,38 34,58 34,76
24,92 26,39 27,25 28,42 23,40 24,36 22,03
12,42 13,65 13,82 15,52 10,47 9,76 8,46
9,87 10,86 11,11 12,63 7,93 7,26 5,89
5,93 6,20 6,94 5,26 4,05 3,59 2,12
4,93 4,68 5,29 3,20 3,21 2,54 1,29
2,17 1,87 2,25 1,35 1,58 0,91 0,47
0,33 0,32 0,32 0,33 0,36 0,36 0,34
Sumber: Leigh dan Eng (2008), Leuween dan Foldvari (Tt)
Lampiran 3 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
20,92 20,57 20,8 20,25
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Lampiran 4. Data-data Ekonomi dan Kependudukan Indonesia Tahun 1-2008
Tahun
Penduduk (x 1.000)
1
2.800
1000
5.200
1500
10.700
1600
11.700
1700 1820 1821 1822 1823 1824 1825 1826 1827 1828 1829 1830 1831 1832 1833 1834 1835 1836 1837 1838
GNP (US$, data dasar 1990)
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
6.046
565
13.100
7.598
580
17.927 18.076 18.226 18.377 18.530 18.684 18.839 18.996 19.154 19.313 19.473 19.635 19.798 19.962 20.128 20.296 20.464 20.634 20.806
10.970
612
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
Lampiran 4 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
Lapangan Kerja (X1000)
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
TFP
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun
Penduduk (x 1.000)
1839 1840 1841 1842 1843 1844 1845 1846 1847 1848 1849 1850 1851 1852 1853 1854 1855 1856 1857 1858 1859 1860 1861 1862 1863 1864 1865 1866 1867 1868
20.978 21.153 21.328 21.506 21.684 21.864 22.046 22.229 22.414 22.600 22.788 22.977 23.243 23.512 23.784 24.059 24.338 24.619 24.904 25.192 25.484 25.779 26.077 26.379 26.684 26.993 27.305 27.621 27.941 28.264
GNP (US$, data dasar 1990)
14.633
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
637
Lampiran 4 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
Lapangan Kerja (X1000)
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
2008
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
TFP
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun
Penduduk (x 1.000)
1869 1870 1871 1872 1873 1874 1875 1876 1877 1878 1879 1880 1881 1882 1883 1884 1885 1886 1887 1888 1889 1890 1891 1892 1893 1894 1895 1896 1897 1898
28.591 28.922 29.463 30.060 30.555 30.962 31.197 31.394 31.740 32.035 32.293 32.876 33.213 33.394 33.816 34.162 34.790 35.402 35.898 36.345 36.662 37.579 37.792 38.288 38.263 38.782 39.476 39.936 40.620 41.316
GNP (US$, data dasar 1990)
18.929 19.021 19.158 19.660 20.162 20.481 21.028 21.302 21.028 21.439 21.758 23.218 22.443 22.214 24.495 24.815 24.678 24.951 25.179 25.316 24.815 25.362 26.411 27.187 27.643 28.281 28.099 28.509 28.874
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
654 646 637 643 651 657 670 671 656 664 662 699 672 657 717 713 697 695 693 691 660 671 690 711 713 716 704 702 699
Lampiran 4 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
Lapangan Kerja (X1000)
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
2008
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
TFP
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun
Penduduk (x 1.000)
1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928
42.025 42.746 43.275 43.810 44.352 44.901 45.457 45.993 46.535 47.085 47.642 48.206 48.778 49.358 49.934 50.517 51.108 51.705 52.083 52.334 53.027 53.723 54.367 55.020 55.683 56.354 57.036 57.727 58.429 59.140
GNP (US$, data dasar 1990)
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
30.608 31.748 31.352 30.904 32.637 33.314 33.823 34.869 35.698 35.800 37.659 40.180 42.442 42.818 45.152 45.076 45.647 46.350 46.513 47.597 51.402 50.779 51.212 52.033 52.858 55.683 57.610 60.781 64.989 68.099
728 743 724 705 736 742 744 758 767 760 790 834 870 867 904 892 893 896 893 909 969 945 942 946 949 988 1.010 1.053 1.112 1.151
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
Lampiran 4 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
Lapangan Kerja (X1000)
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
2008
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
TFP
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun
Penduduk (x 1.000)
1929 1930 1931 1932 1933 1934 1935 1936 1937 1938 1939 1940 1941 1942 1943 1944 1945 1946 1947 1948 1949 1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958
59.863 60.596 61.496 62.400 63.314 64.246 65.192 66.154 67.136 68.131 69.145 70.175 71.316 72.475 73.314 73.565 73.332 74.132 75.146 76.289 77.654 79.043 80.525 82.052 83.611 85.196 86.807 88.456 90.124 91.821
GNP (US$, data dasar 1990)
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
70.015 70.525 65.218 64.461 64.035 64.400 66.674 71.517 78.485 80.044 80.861 86.682 89.316
1.170 1.164 1.061 1.033 1.011 1.002 1.023 1.081 1.169 1.175 1.169 1.235 1.252
61.872 66.358 71.304 74.679 78.394 83.283 85.571 86.700 92.631 89.293
797 840 885 910 938 978 986 980 1.028 972
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
Lampiran 4 5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
Lapangan Kerja (X1000)
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
2008
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
TFP
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun
Penduduk (x 1.000)
GNP (US$, data dasar 1990)
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988
93.565 95.254 97.085 99.028 101.009 103.031 105.093 107.197 109.343 111.532 113.765 116.044 118.368 121.282 124.271 127.201 130.297 133.297 136.725 140.062 143.485 146.995 150.134 153.343 156.623 159.975 163.403 166.312 169.276 172.294
93.129 97.082 103.446 103.332 99.371 103.043 104.070 104.089 101.739 111.662 125.408 138.612 146.200 162.748 186.900 196.374 196.374 213.675 230.338 240.853 253.961 275.805 294.768 283.922 295.296 315.677 323.451 342.452 359.323 379.917
995 1.019 1.066 1.043 984 1.000 990 971 930 1.001 1.102 1.194 1.235 1.342 1.504 1.544 1.507 1.603 1.685 1.720 1.770 1.876 1.963 1.852 1.885 1.973 1.979 2.059 2.123 2.205
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
4522
2849
10
44,2
54,2
38,8
40,4
40,1
4969
2981
8,3
38,9
47,2
30,8
33,4
33,3
6831 9777
4449 5877
9,5 9,3
32,8 31,3
42,3 40,6
29,0 28,1
28,4 26,5
28,6 26,9
13731
7746
9,3
25,7
35
23,1
21,2
21,6
17381
10294
9,7
20,3
30
20,1
16,1
17,4
Lampiran 4 6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
201729 211594 213249 204692 211704 214125 216123 211841 234102 262505 289556 306102 339775 388839 403867 403132 440898 474478 498220 523661 569993 603877 582523 601351 643954 661993 702617 739212 783522
196748 202989 207657 208975 211770 214793 219273 220522 226003 232569 242084 258509 276491 294930 314852 334791 354948 379037 407735 435857 470549 507749 550790 606389 650870 697082 751478 811924 884869
Lapangan Kerja (X1000)
32709 33456 34225 35016 35834 36672 37534 38430 39318 40279 41261 42377 43523 44486 45726 47000 48310 49657 51041 52421 54294 56238 58254 60347 62519 64774 67114 69543
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
0,45 0,517 0,467 0,373 0,393 0,469 0,507 0,541 0,475 0,382 0,382 0,425 0,389 0,397 0,444 0,524 0,51 0,528
2008
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
4,06 4,89 0,78 -4,01 3,43 1,14 0,93 -1,98 10,51 12,13 10,3 5,71 11 14,44 3,86 -0,18 9,37 7,62 5 5,11 8,85 5,94 -3,54 3,23 7,08 2,8 6,14 5,21 5,99
0,75 3,17 2,3 0,63 1,34 1,43 2,09 0,57 2,49 2,91 4,09 6,79 6,96 6,67 6,75 6,33 6,02 6,79 7,57 6,9 7,96 7,91 8,48 10,09 7,34 7,1 7,8 8,04 8,98
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
2,29 2,3 2,31 2,34 2,34 2,35 2,39 2,31 2,45 2,44 2,7 2,7 2,21 2,79 2,79 2,79 2,79 2,79 2,7 3,57 3,58 3,59 3,59 3,6 3,61 3,61 3,62
TFP
0,7 6,08 9,51 -1,3 -5,24 4,71 2,68 -0,19 -0,04 2,72 -0,49 -10,14 -4,51 1,05 -2,94 0,29 -0,8 -0,37
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Tahun
Penduduk (x 1.000)
GNP (US$, data dasar 1990)
GNP per Kapita (US$, data dasar 1990)
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
175.369 178.500 181.628 184.816 188.066 191.378 194.755 197.003
414.090 450.901 474.421 526.321 564.053 606.949 656.101 705.895
2.361 2.526 2.612 2.848 2.999 3.171 3.369 3.583
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
199.278 201.580 203.909 206.265 208.648 211.060 214.497 215.967 218.465 220.991
737.760 639.032 641.286 672.114 697.849 727.541 763.899 801.266 846.644 893.379
3.702 3.170 3.145 3.258 3.345 3.447 3.561 3.710 3.875 4.043
2007 2008
223.547 226.134
940.114 986.849
4.205 4.364
garis kemiskinan kota
garis kemiskinan desa
Jumlah orang miskin kota (juta jiwa)
Jumlah orang miskin desa (juta jiwa)
Jumlah orang miskin total (juta jiwa)
% orang miskin kota
% orang miskin desa
% orang miskin total
20614
13295
9,4
17,8
27,2
16,8
14,3
15,1
20614
18244
8,7
17,2
25,9
13,4
13,8
13,7
38246
31366
9,6
24,9
34,5
13,4
19,8
17,5
42032 96959
72780 74272
174290
130584
17,6 15,6 12,3 8,6 13,3 12,3 11,37 12,4 14,49
31,9 32,3 26,4 29,3 25,1 25,1 24,78 22,7 24,83
49,5 47,9 38,7 37,9 38,4 37,4 36,15 35,1 39,3
21,9 19,4 14,6 9,8 14,5 13,6 12,1 11,7 13,5
25,7 26,0 22,4 24,8 21,1 20,2 20,1 19,9 21,8
24,2 23,4 19,1 18,4 18,2 17,4 16,7 15,9 17,8
187942
146837
13,56
23,61
37,17
12,5
20,4
16,6
Sumber: BPS (2008), Eng (2006), Leuween dan Foldvari (Tt), Maddison (2003)
Lampiran 4 7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
% reit pertumb uhan tahunan GDP
% reit pertumb uhan tahunan capital stock
% reit pertu mbuh an tahun an lapan gan kerja
TFP
GDP harga berlaku x 2000
NonResidential Capital Stock (x 2000)
Lapangan Kerja (X1000)
Sumban gan pendapa tan buruh terhada p GDP
855043 932355 980988 1088305 1166327 1255025 1356565 1459622
975158 1095494 1234740 1375866 1525889 1702812 1911772 2147396
72064 74396 76137 77928 79768 81660 83311 85003
0,487 0,47 0,475 0,496 0,491 0,525 0,513 0,451
9,13 9,04 5,22 10,94 7,17 7,6 8,09 7,6
10,2 12,34 12,71 11,43 10,9 11,59 12,27 12,32
3,63 3,24 2,34 2,35 2,36 2,37 2,02 2,03
1,95 0,83 -2,73 3,84 0,3 0,69 0,92 -0,22
1525511 1321365 1326026 1389771 1442985 1504381 1579559 1656826 1749951 1846655
2393230 2489026 2542998 2619245 2704387 2794828 2881249 2999732 3140084
86738 88517 90342 92528 93818 95738 97689 99665 101652
0,401 0,284 0,455 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469 0,469
4,51 -13,38 0,35 4,81 3,83 4,25 5 4,89 5,62
11,45 4 2,17 3 3,25 3,34 3,09 4,11 4,68
2,04 2,05 2,06 2,42 1,39 2,05 2,04 2,02 1,99 0,4
-3,28 -16,92 -1,9 1,96 1,34 1,43 2,32 1,68 2,13
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram 2008 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Lampiran 5. Data-data Sosial Indonesia Tahun 1960-2006 Tahun 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun Bersekolah per orang 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 1,9 2 2,1 2,2 2,3 2,3 2,4 2,4 2,5 2,6 2,7 2,8 2,9 3 3,2 3,3 3,4 3,6 3,7 3,9 4 4,2 4,3 4,4 4,5 4,7 4,8 5 5,1 5,2 5,4 5,5 5,7 5,8 5,9 6 6 6,1 7,5
% reit pertumbuhan tahunan lama sekolah (x 0,11) 0,62 0,63 0,62 0,64 0,66 0,6 0,57 0,56 0,5 0,5 0,48 0,42 0,32 0,25 0,29 0,3 0,32 0,36 0,4 0,43 0,45 0,49 0,48 0,47 0,46 0,43 0,47 0,43 0,4 0,36 0,33 0,34 0,34 0,32 0,32 0,31 0,32 0,3 0,3 0,29 0,26 0,24 0,18 0,17 0,16 0,15
Sumber: Eng (2006)
Lampiran 5 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Lampiran 6. Data-data Budaya Indonesia Tahun 2000 (Sumber: Suryadinata, Arifin, Ananta, 2003) Suku Bangsa di Sumatera Tahun 2000 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Suku Bangsa Abung Bunga Mayang Aceh Alas Banjar Banten Batak Betawi Bugis Gayo Lut Gayo Luwes Jawa Kerinci Komering Lainnya Lembak Madura Melayu Mentawai Minangkabau Musi Banyuasin Nias, Kono Niha Peminggir Pepadun Rejang Serawai Simeulue Singkil Sunda Tionghoa SUMATERA
NAD
Total
%
871.944 67.424 1.726 1.321 39.146 291 316 117.509 81.172 274.926
50,33 3,89 0,10 0,08 2,26 0,02 0,02 6,78 4,69 15,87
164.478
Sumut Total
%
111.886 48.495 4.827.264 51.119 3.665
0,97 0,42 41,79 0,44 0,03
3.753.947
9,49
471 18.811
Sumbar Total %
Riau Total
%
Jambi Total %
Sumsel Total
%
187.656 672
4,42 0,02 0,00
179.380 1.932 347.450 3.941 107.648
32,49
176.023
4,15
1.190.015
25,05
664.931 254.125
27,64 10,56
1.118.487
9,68
27.097
0,64
329.817
6,94
230.854
9,60
389.467 1.965.462
5,68 28,67
0,03
2.649 566.139
0,02 4,90
0,11 37,74
1.854 910.832
0,08 37,87
9.248 2.142.523
0,13 31,25
306.550
2,65
0,01 0,51 1,28 88,35
5.338 1.792.558
1,09
370 21.654 54.419 3.747.343
534.854
11,26
131.609
5,47
64.215 213.918
0,94 3,12
731.620
6,33
42.803 44.153 5.936
2,47 2,55 0,34
30.756
0,27
1.732.427
100,00
11.552.577
100,00
10.993 15.029 4.241.256
0,26 0,35 100,00
80.282 176.853 4.750.068
Lampiran 6 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Bengkulu Total %
Lampung Total % 85.342 1,28
Babel Total %
3,78 0,04 7,31 0,08 2,27
83.458 973
3,47 0,04
921 15.925
0,01 0,23
122 468
0,01 0,03
353 166.113
0,01 2,50
185 279
0,02 0,03
1.601 62.185
0,07 2,59
7.927 26.785
0,12 0,39
1.188 3.196
0,08 0,20
7.451 16.471
0,11 0,25
1.043 24.162
0,12 2,69
1.851.589
27,01
348.505
22,31
4.113.731
61,89
52.314
5,82
278.766 77.241 1.857 123.868
17,85 4,95 0,12 7,93
663.026
9,97
49.628
5,52
6.208 236.292
0,09 3,55
9.985 646.194
1,11 71,89
66.861
4,28
61.480
0,92
3.047
0,34
426.723 280.247
6,42 4,22
8.316 103.736 898.889
0,93 11,54 100,00
1,69 3,72 100,00
333.635 279.154
21,36 17,87
62.956
2,62
168.278
2,45
46.991
3,01
583.453
8,78
2.405.378
100,00
6.856.258
100,00
1.561.852
100,00
6.646.890
100,00
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Suku Bangsa di Jawa dan Bali Tahun 2000 No
Suku Bangsa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Arab Bali Baliaga Banjar Banten Batak Bawean, Boyan Betawi Bugis Cirebon Jawa Lainnya Madura Melayu Minangkabau Sasak Sunda Tengger Tionghoa Using-Osing JAWA BALI
DKI Jakarta Total %
Jabar Total
%
Jateng Total % 10.751 0,03
DIY Total
%
3.076
0,10
7.977 20.582 300.562
0,10 0,25 3,61
5.923 64.487 275.230
0,02 0,18 0,77
2.919 421 15.721
0,01 0,00 0,05
2.639 156 7.890
0,08 0,01 0,25
2.301.587 49.426
27,65 0,59
0,02 0,01
2.018 2.208
0,06 0,07
35,16 6,48 0,57 1,62 3,18
5,33 0,04 5,30 11,04 2,60 0,05
7.538 2.930
2.927.340 539.529 47.055 134.477 264.639
1.901.930 15.119 1.890.102 3.939.465 928.826 17.914 168.999
0,47
30.287.197 74.943 14.166 5.932 5.750
97,96 0,24 0,05 0,02 0,02
3.020.157 36.769 2.739 10.706 3.504
1.271.531
15,27
26.297.124
73,73
323.207
1,05
460.002
5,53
163.255
0,46
165.531
8.324.707
100
35.668.374
100
30.917.006
Jatim Total 22.747
% 0,07
15.397 689
0,04 0,00
60.703 7.151 16.313
0,17 0,02 0,05
96,82 1,18 0,09 0,34 0,11
27.344.974 439.527 6.281.058
78,68 1,26 18,07
5.670
0,02
17.593
0,56
0,54
9.942
0,32
100
3.119.397
100
39.945 33.886 190.968 297.372 34.756.400
0,11 0,10 0,55 0,86 100
Lampiran 6 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Banten Total %
Bali Total
%
2.794.793 19.791 290 295
88,85 0,63 0,01 0,01
2.188 3.785.925 75.521
0,03 46,86 0,93
777.403 5.597
9,62 0,07
703 6.596
0,02 0,21
986.146 399.072 3.719 58.060 65.281
12,20 4,94 0,05 0,72 0,81
1.830.973
22,66
214.598 38.489 18.593 16.698 1.470 16.430 5.992
6,82 1,22 0,59 0,53 0,05 0,52 0,19
90.053
1,11
10.630
0,34
8.079.938
100
3.145.368
100
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Suku Bangsa di Nusa Tenggara Tahun 2000 No
Suku Bangsa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Atoni Metto Bali Banjar Banten Belu, Teto Betawi Bima Bugis Dawan Dompu Donggo Jawa Lainnya Lamaholot, Lamahot, Lamkolo Lio Madura Manggarai Minangkabau Rote, Roti Sasak Sumba, Humba, Tau Humba Sumbawa, Semawa Sunda NUSA TENGGARA
NTB Total
%
99.321 872 204
2,59 0,02 0,01
631 513.055 19.450
0,02 13,40 0,51
90.635 38.050 56.340 91.041
2,37 0,99 1,47 2,38
1.787
0,05
997
0,03
2.594.629
67,75
319.423 3.470 3.829.905
8,34 0,09 100,00
NTT Total 568.445
% 14,95
121 109 197.302 309
0,00 0,00 5,19 0,01
14.297 236.242
0,38 6,21
30.795 1.121.433 206.488 170.949 947 566.428 1.366 185.316
0,81 29,49 5,43 4,50 0,02 14,89 0,04 4,87
501.345
13,18
1.103 3.802.995
0,03 100,00
Lampiran 6 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Suku Bangsa di Kalimantan Tahun 2000 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Suku Bangsa Bakumpai Banjar Banten Betawi Bugis Bukat, Buket, Ukit, Bukut Darat Dayak Kenyah Dayak Sampit Jawa Katingan Kendayan, Kenayan Kutai Lainnya Maanyan Madura Mandar Melayu Minangkabau Ngaju Pasir Pesaguan Sambas Sunda Tionghoa Toraja KALIMANTAN
Kalbar Total
%
24.117 1.454 1.849 120.846
0,65 0,04 0,05 3,24
275.914
7,39
341.173
9,14
292.390
7,83
1.161.601
31,12
203.612
5,46
280.107 7.493
7,50 0,20
178.933 444.929 45.064 352.937
4,79 11,92 1,21 9,46
3.732.419
100
Kalteng Total 135.297 435.758 477 864 3.994
% 7,51 24,20 0,03 0,05 0,22
172.252 325.160 60.171
9,57 18,06 3,34
204.372 50.505 62.228 652 324.504
Kalsel Total % 20.609 0,69 2.271.586 76,34 196 0,01 1.113 0,04 73.037 2,45 35.838 1,20
Kaltim Total
%
340.381 294 1.928 445.820
13,94 0,01 0,08 18,26
49.705
2,04
391.030
13,14
721.351
29,55
11,35 2,80 3,46
96.867
3,26
224.859 481.449
9,21 19,72
36.334 29.322
1,22 0,99
30.181
1,24
0,04 18,02
989
0,03
4.585
0,19
54.162
2,22
24.479
1,36
18.519
0,62
38.941
1,59
1.800.713
100
2.975.440
100
47.877 2.441.533
1,96 100
Lampiran 6 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Suku Bangsa di Sulawesi Tahun 2000 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Suku Bangsa Antinggola Bajau, Bajao, Bajo, Bayo Bali Banggai, Mian Banggai Banjar Banten Betawi Bolaang Mongondow Bugis Buol Buton, Butung, Butong Duri Gebe, Gebi Gorontalo/Huldanalo Jawa Kaili Lainnya Luwu Madura Makassar Mandar Minahasa Minangkabau Muna, Tomuna Saluan Sangir Selayar Sunda Talaud Tolaki, Laki-laki, Lolaki
Sulut Total %
518 0,03 133 0,01 350 0,02 223.546 11,33 11.666 0,59
Sulteng Total % 88.449 118.556 2.978 37 319
Sulsel Total %
4,40 5,89 0,15 0,00 0,02
289.494 14,39 91.034 4,53
3.657 244 4.065
0,05 0,00 0,05
3.266.440 42,18
Sultra Total %
Gorontalo Total % 4.681 0,56 3.172 0,38
37.540 41.886
2,11 2,36
268 38 241
0,02 0,00 0,01
35 8 22
0,00 0,00 0,00
341.742 19,24
2.442
0,29
414.530 23,34 121.688 146.694 44.192
7,44 2,24
76.940 3,83 166.013 8,25 412.281 20,50
252.143 12,78 472
0,02
654.720 33,19 697 0,04
2.147
0,11
212.273
2,74
596.369 7,70 318.134 4,11 5.788 0,07 1.932.187 24,95 475.505 6,14
672.949 33,46 1.502 0,07 77.151
1,57
4.294
0,06
93.183 8.145
1,20 0,11
124.686
7,02
236.804 13,33 981
0,06
508 0,03 267.722 15,07
0,08 4,05
11.450
34.329
4,14
48
0,01
4.489 60
0,54 0,01
5.999
0,72
792
0,10
3,84
390.811 19,81 1.494 79.818
2.903 0,35 750.541 90,43 20.427 2,46
0,57
Lampiran 6 5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
20.112
1,13
289.220 16,28
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Suku Bangsa
31 Tonsawang 32 Tonteboan 33 Toraja SULAWESI
Sulut Total % 30.941 1,57 134.543 6,82 1.972.738
100
Sulteng Total %
2.011.300
100
Sulsel Total % 702.951 7.744.923
Lampiran 6 6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
9,08 100
Sultra Total %
1.776.278
100
Gorontalo Total %
829.948
100
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Suku Bangsa di Maluku dan Papua Tahun 2000 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Suku Bangsa Ambon Aru Banjar Banten Betawi Biak Numfor, Mafoorsch, Noe Bugis Buton, Butung, Butong Dani, Ndani Ekagi, Ekari Galela Halmahera Jawa Kei Lainnya Laloda, Loloda Lani Madura Makian Minangkabau Morotai Ngalum Saparua Seram Sula Sunda Yali Yamdena MALUKU-PAPUA
Maluku Total % 120.969 10,53 48.261 4,20 185 0,02 138 0,01 198 0,02
Malut Total % 68 180 145
0,01 0,03 0,02
10.406 0,91 121.579 10,59
8.568 42.122
1,28 6,30
53.552 4,66 125.954 10,97 477.220 41,56 749
0,07
276
0,02
68.194 78.955
52.639 26.018 21.211
7,87 3,89 3,17
358.241 19.323
53,56 2,89
634 60.985 335 13.968
0,09 9,12 0,05 2,09
Papua Total % 365 1.589 2.091 126.070 59.604
0,02 0,09 0,12 7,43 3,51
120.745 66.823
7,12 3,94
211.663 12,48 902.953 53,24 85.685 2.595
5,05 0,15
1.308
0,08
46.130
2,72
17.053 51.258
1,01 3,02
1.695.932
100
5,94 6,88
2.338
0,20
63.282 1.118
39.320 1.148.294
3,42 100
668.837
9,46 0,17 100
Lampiran 6 7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Lampiran 7. Data-data Ketimpangan dan Ekonomi Antar Provinsi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan
Indeks Gini 1993
Indeks Gini 1996
Indeks Gini 1999
0,29
0,26
0,24
0,30 0,31 0,27 0,24
0,30 0,28 0,30 0,25
0,25 0,26 0,22 0,24
0,30
0,30
0,28 0,26
0,27 0,28
PDRB Harga Berlaku 2006
PDRB 2006 (Harga konstan 2000)
PDRB/ kapita 2006 (Harga konstan 2000)
Jumlah orang miskin 2007 (x 1000)
% orang miskin 2007
Jumlah pengang guran terbuka Agt 2007
% Pengang guran Terbuka Agt 2007
Indeks Gini 2006
Pertumbuhan Ekonomi 2007
0,31
-2,21
73543051
37158869
18057349
1.084
26,7
171.424
9,84
0,31 0,32 0,32 0,31
0,29 0,30 0,31 0,29
6,94 6,32 3,41 6,64
160033720 53029588 167068189 26061774
93330108 30949945 83370867 13363621
12657397 11448154 35078808 9712623
1.768 529 575 282
13,9 11,9 11,2 10,3
571.334 217.305 207.138 76.090
10,1 10,31 9,79 6,22
0,26
0,29
0,31
5,84
95929140
52215287
13902992
1.331
19,2
314.814
9,34
0,27 0,29
0,29 0,28
0,31 0,36
0,29 0,31
6,03 5,28
11397004 48747919
6610626 30847023
7268141 6759667
371 1.661
22,1 22,2
32.956 269.132
4,68 7,58
0,25
0,24
0,26
0,31
0,27
4,37
15856661
9009891
14753470
95
9,6
37.681
6,49
0,32 0,30 0,27 0,35 0,28 0,31 0,27
0,37 0,30 0,28 0,38 0,30 0,30 0,27
0,34 0,41 0,35 0,31 0,41 0,34 0,43 0,32
0,35 0,40 0,34 0,30 0,37 0,32 0,33 0,32
7,01 6,39 6,41 5,59 4,2 6,05 6,02 5,92
46216076 501584808 473556758 281996709 29415951 470627494 97867273 37388485
32441003 312700303 257535975 150682655 17535354 271238561 61317509 22184679
34544700 55960349 11943839 8763269 8680516 12861333 10610241 10895398
148 406 5.457 6.556 633 7.154 886 229
10,3 4,6 13,6 20,4 19 20 9,1 6,6
53.077 552.380 2.386.214 1.360.219 115.200 1.366.503 632.762 77.577
9,01 12,57 13,08 7,7 6,1 6,79 15,75 3,77
Indeks Gini 2002
Indeks Gini 2003
Indeks Gini 2004
0,28
0,28
0,29 0,27 0,29 0,26
0,27 0,27 0,30 0,24
0,27 0,29 0,30 0,24
0,26
0,29
0,25
0,25 0,29
0,25 0,25
Indeks Gini 2005
0,33 0,30 0,30 0,33 0,32
0,36 0,36 0,29 0,35 0,31
0,32 0,29 0,25 0,34 0,29
0,32
0,31
0,27
0,32 0,29 0,28 0,37 0,31 0,33 0,30
0,27
0,29
0,26
0,27
0,28
0,28
0,33
0,32
3,52
37712574
24769576
9157483
1.119
25
135.264
6,48
0,25
0,30
0,27
0,29
0,26
0,29
0,34
0,34
5,06
24450903
14853726
12618167
1.164
27,5
77.725
3,72
0,30
0,30
0,27
0,30
0,29
0,30
0,32
0,30
6,02
34469229
24274645
10302287
584
12,9
138.796
6,47
0,26
0,27
0,24
0,25
0,24
0,26
0,27
0,26
6,06
198579232
96585471
67627041
210
9,4
52.015
5,11
0,27
0,29
0,26
0,29
0,29
0,29
0,32
0,32
6,01
21503697
13529641
9952462
234
7
131.935
7,62
Lampiran 7 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Provinsi
Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2008
PDRB Harga Berlaku 2006
PDRB 2006 (Harga konstan 2000)
PDRB/ kapita 2006 (Harga konstan 2000)
Jumlah orang miskin 2007 (x 1000)
% orang miskin 2007
Jumlah pengang guran terbuka Agt 2007
% Pengang guran Terbuka Agt 2007
Indeks Gini 1993
Indeks Gini 1996
Indeks Gini 1999
Indeks Gini 2002
Indeks Gini 2003
Indeks Gini 2004
Indeks Gini 2005
Indeks Gini 2006
Pertumbuhan Ekonomi 2007
0,31
0,32
0,28
0,30
0,31
0,34
0,35
0,35
2,74
19331706
12688550
8228366
325
11
149.796
12,07
0,29
0,34
0,27
0,27
0,30
0,26
0,32
0,29
6,42
60902824
38867679
7982347
250
11,4
127.996
12,35
0,29
0,30
0,29
0,28
0,26
0,29
0,31
0,34
7,99
15270351
8643330
7628241
557
22,4
99.219
8,39
0,27
0,31
0,28
0,27
0,26
0,28
0,32
0,32
7,96
4062285
2175815
4314951
1.083
14,1
372.714
11,25
0,27
0,32
0,30
0,30
0,27
0,28
0,32
0,31
6,29
5124813
3338754
5168283
465
21,3
61.162
6,4
0,24
0,30
0,31
0,36
0,32 0,31 0,29 0,29 0,29 0,36
7,51 7,56 5,62 5,88 6,81 3,93
28408435 16729571 5079837 2818417 8945540 46892057
15526812 10266159 3440114 2359483 5548901 18388879
6672867 3841356 3996615 3066296 12994588 23761847
242 190 405 110 267 793
27,4 19 31,1 12 39,3 40,8
27.973 25.634 67.421 23.983 28.029 49.674
7,16 5,45 12,2 6,05 9,46 5,01
0,30
0,27
0,24
0,24 0,28
0,25 0,27
0,29 0,32
0,37
0,39
0,36
0,34
0,32
0,41
Sumber: BPS (2008), Direktorat Kewilayahan I (2007)
Lampiran 7 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Lampiran 8. Data-data Sosial Antar Provinsi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan
HDI 2005
Penduduk 2007
69 72 71,2 73,6 71 70,2 71,1 68,8 70,7 72,2 76,1 69,9 69,8 73,5 68,4 68,8 69,8 62,4 63,6 66,2 73,2 67,4 72,9 74,2 68,5 68,1 67,5
4223800 12834400 4697800 5071000 2742200 7020000 1616700 7289800 1106700 1392900 9064600 40329100 32380300 3434500 36895600 9423400 3479800 4292500 4448900 4178500 2028300 3396700 3024800 2186800 2396200 7700300 2031500
TFR 2007
NRR 2007
2,41 2,476 2,46 2,36 2,297 2,207 2,212 2,277 2,2 2,36 1,542 2,199 2,022 1,388 1,668 2,29 1,688 2,48 2,866 2,465 2,229 2,179 2,24 1,913 2,339 2,291 2,667
Lampiran 8 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
1,18 1,245 1,225 1,174 1,108 1,082 1,08 1,104 1,081 1,18 0,785 1,051 0,995 0,667 0,796 1,075 0,841 1,208 1,439 1,228 1,093 1,031 1,102 0,936 1,14 1,117 1,353
IMR 2007 31,94 22,98 26,45 22,07 26,97 25,18 28,68 25,14 26,02 20,57 10,95 27,22 21,12 11,42 24,79 31,28 15,49 43,51 31,31 27,43 22,62 33,94 19,75 13,81 34,89 27,52 29,23
Angka Harapan Hidup 2006 68,3 68,9 68,5 70,8 68,5 68,8 68,9 68,5 68,3 69,6 72,6 67,4 70,8 73 68,6 64,3 70,5 60,9 66,5 66 70,8 62,4 70,4 71,8 65,6 69,2 67
% Melahirkan dg Tenaga Kesehatan 2006 Akhir 76,4 84,53 87,05 76,26 65,72 76,62 76,46 68,22 79,73 89,12 97,57 62,6 79,31 94,78 81,13 64,9 95,64 62,48 43,39 61,19 60,59 71,78 81 79,72 58,41 62,93 47,26
APS (7-12) 98,88 98,19 97,71 97,68 97,20 96,84 98,10 97,77 96,26 97,78 98,46 97,64 98,47 99,35 98,22 97,36 98,27 96,75 94,00 96,53 98,33 96,36 97,51 97,37 97,12 95,08 97,04
Angka Melek Huruf L 15+ Th 2006 96,26 98,05 97,23 98,26 97,15 98,04 96,55 95,87 96,87 96,8 99,07 96,97 92,71 92,34 92,06 97,04 92 84,82 88,97 93,27 97,52 96,31 97,25 99,08 96,26 88,32 93,56
Angka Melek Huruf P 15+ Th 2006 92,38 95,19 94,62 96,18 92,25 95,12 90,79 89,57 92,71 93,76 97,41 92,84 83,86 80,7 82,41 92,94 79,52 73,55 84,14 84,59 95,11 91,55 93,55 98,89 93,31 83,3 86,32
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Provinsi Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
HDI 2005
Penduduk 2007
67,5 65,7 69,2 67 64,8 62,1
960300 1016700 1302000 944300 716000 2015600
TFR 2007
NRR 2007
2,273 2,289 2,714 2,657 2,722 2,689
Sumber: BPS (2008), Direktorat Kewilayahan I (2007).
Lampiran 8 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
1,086 1,115 1,329 1,27 1,319 1,288
IMR 2007 31,03 27,52 31,79 34,39 31,76 30,84
Angka Harapan Hidup 2006 65,6 67 66,6 64,8 67,3 67,3
% Melahirkan dg Tenaga Kesehatan 2006 Akhir 52,57 35,93 46,11 37,35 56,35 58,73
APS (7-12) 93,39 94,02 97,55 97,35 90,94 80,38
Angka Melek Huruf L 15+ Th 2006 95,47 88,73 97,14 96,44 91,23 73,61
2008
Angka Melek Huruf P 15+ Th 2006 95,93 83,21 95,88 92,37 85,86 64,12
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
2008
Lampiran 9. Efektivitas Program Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 1.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan pengembangan kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh, khususnya kawasan yang memiliki produk unggulan; 2. Peningkatan penyediaan prasarana dan sarana; 3. Pemberdayaan kemampuan pemerintah daerah untuk membangun kawasankawasan unggulan dan klasterklaster industri, agroindustri, yang berdaya saing di lokasilokasi strategis di Luar Jawa; 4. Peningkatan kerja sama antar pemerintah daerah melalui sistem jejaring kerja (networking) yang saling menguntungkan. Kerja sama ini sangat bermanfaat sebagai sarana saling berbagi pengalaman (sharing of experiences), saling berbagi manfaat (sharing of benefits), maupun saling berbagi dalam memikul tanggung jawab pembiayaan pembangunan (sharing of burdens) terutama untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana dan
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyiapan kajian, kebijakan, standar, dan rencana tindak termasuk konsep-konsep strategis kawasan/permodelan dalam pembangunan wilayah strategis dan cepat tumbuh. 2. Penyediaan dan pengelolaan infrastruktur, fasilitasi sarana prasarana permukiman, dan sarana dan prasarana ekonomi pendukung kawasan unggulan. 3. Peningkatan kualitas SDM pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan kawasan dan klaster unggulan. 4. Peningkatan kerjasama antarwilayah, antarpelaku, dan antarsektor. 5. Fasilitasi Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan masyarakat dalam: - pengembangan sistem informasi dan database kawasan dan produk unggulan. - pengembangan kelembagaan pengelolaan usaha. - fasilitasi forum sosialisasi,
Sasaran Program a. Tersusunnya analisa kajian, strategi, termasuk Jakstra, permodelan dan rencana tindak pengembangan kawasan, pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh prioritas. b. Tersedianya dan terkelolanya prasarana dan sarana wilayah; terfasilitasinya pengerahan, penempatan, dan pengelolaan sarana prasarana transmigrasi, serta terkoordinasikannya percepatan pembangunan infrastruktur pendukung wilayah. c. Meningkatnya kualitas pemerintah daerah sebagai penyusun perencanaan dan pengelolaan pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh di daerah, serta terlaksananya pembinaan dan fasilitasi pendampingan dalam penetapan kebijakan yang berpihak iklim investasi. d. Terwujudnya jejaring kerjasama baik antarwilayah, antarpelaku, dan antar sektor, melalui forum-forum kerjasama lintas pelaku, lintas sektor, dan lintas wilayah.
Lampiran 9 1 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana Kemenko Perekonomian, Depnakertrans, Depdagri
Hasil Pelaksanaan a.
tersusunnya panduan kebijakan, pedoman, mekanisme perencanaan, serta indikator evaluasi pembangunan terpadu pengembangan kawasan b. terlaksanakannya fasilitasi pemerintah daerah dalam penyusunan konsep dan rencana pengembangan kawasan serta pembentukan sistem kelembagaan bagi pengembangan kawasan andalan dan kawasan tertentu.
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
2.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM prasarana ekonomi yang menuntut skala ekonomi (scale of economy) tertentu sehingga tidak efisien untuk dibangun di masing-masing daerah; 5. Pemberdayaan pemerintah daerah untuk memfasilitasi masyarakat dalam kegiatankegiatan yang terkait dengan kegiatan/ program pengembangan wilayah.
Program Pengembangan Wilayah Tertinggal
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 promosi, partisipasi pelaku usaha dan masyarakat. - Peningkatan fasilitasi pemberdayaan masyarakat.
Program Pengembangan Kawasan Tertinggal
Kegiatan-kegiatan pokok: Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pembiayaan pembangunan, a. Penyusunan kebijakan insentif khususnya untuk pendanaan melalui DAK dan pembangunan sarana dan skema pendanaan khusus bagi prasarana ekonomi di pembangunan wilayah terisolir wilayah-wilayah tertinggal b. Penyediaan sarana dan melalui, antara lain, prasarana pendidikan dan penerapan berbagai skim kesehatan pembiayaan pembangunan c. Pembangunan prasarana dan seperti: sarana di daerah terisolir untuk a. pemberian prioritas dana membuka akses ke pusat alokasi khusus (DAK), pertumbuhan ekonomi lokal,
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan
e. Terlaksananya fasilitasi : - Tersedianya informasi dan database pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh - Terwujudnya fasilitasi, bantuan teknis, dan pendampingan pengelolaan kelembagaan pengembangan KAPET dan pemantauan pengembangan kawasan andalan percontohan. - Terlaksananya kegiatan partisipasi, promosi, dan fasilitasi pada lokasi percontohan. - Terlaksananya fasilitasi pemberdayaan masyarakat di kawasan transmigrasi. a.
b.
c.
Lampiran 9 2 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Tersusunnya kebijakan insentif pendanaan dan peningkatan sarana prasarana ekonomi sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap percepatan pembangunan di wilayah terisolir Terwujudnya dan meningkatnya kualitas SDM di wilayah terisolir yang tersebar di seluruh nusantara Terbangunnya sarana dan
Kemeneg PDT, Depdagri, Dep. PU, Depnakertrans, BAKOSURTANAL
Hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah tertinggal pada tahun 2007 sampai tahun 2008 adalah: (a) terlaksanakannya sarana dan prasarana perintis seperti transportasi laut, udara, dan darat untuk menunjang pengembangan ekonomi dan sosial masyarakat daerah tertinggal dan terisolir; (b) terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam pelaksanaan Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) (pada tahun 2007 terbangun di 2.289 desa tertinggal dan tahun 2008 terbangun di 2.060 desa tertinggal); (c) terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM b. skema public service obligation (PSO) dan keperintisan untuk transportasi, c. penerapan universal service obligation (USO) untuk telekomunikasi, d. program listrik masuk desa 2. Peningkatan kapasitas (capacity building) terhadap masyarakat, aparatur pemerintah, kelembagaan, dan keuangan daerah. Selain dari pada itu, upaya percepatan pembangunan SDM sangat diperlukan melalui : a. pengembangan sarana dan prasarana sosial terutama bidang pendidikan dan kesehatan; b. memfasilitasi pendampingan untuk peningkatan produktivitas masyarakat
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 melalui Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)
Sasaran Program prasarana perhubungan yang memadai dan memutus masyarakat dari keterisolasian
Program Pengembangan Wilayah Tertinggal Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pengembangan kawasan transmigrasi di wilayah terisolir
a.
3. Pemberdayaan komunitas adat terpencil untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan beradaptasi dengan kehidupan masyarakat yang lebih kompetitif;
Lampiran 9 3 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Terbangunnya WPT dan LPT di wilayah terisolir yang dapat mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan mendukung pusat-pusat pertumbuhan yang ada.
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan pelaksanaan pembangunan dan pengoperasian infrastruktur telekomunikasi melalui program universal service obligation (USO); (d) terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam penyediaan infrastruktur listrik perdesaan, serta infrastruktur sosial dan ekonomi yang meliputi pengadaan PLTS (yang diwujudkan melalui instrumen P2IPDT KPDT tahun 2007 terbangun 6.202 unit model tersebar dan 19 unit model terpusat untuk 163 desa sasaran serta pada tahun 2008 terbangun 17.409 unit model tersebar dan 53 unit model terpusat dengan sebaran di 409 desa sasaran), pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (yang diwujudkan melalui instrumen P2IPDT KPDT pada tahun 2007 terbangun 7 unit (175 Kw) di 7 desa sasaran dan pada tahun 2008 terbangun 26 unit (650 Kw) yang tersebar di 26 desa sasaran), pembangunan gardu dan pemasangan jaringan JTM dan JTR; (e) Pemberian subsidi operasional transportasi perintis baik darat, laut maupun udara serta pemberian public service obligation (PSO) untuk angkutan kelas ekonomi perkerataapian dan angkutan laut dalam negeri; (f) Terdapat 28 kabupaten yang berpotensi lepas sejak tahun 2007 dari status tertinggal menjadi daerah yang relatif maju dalam skala nasional dan diharapkan sebanyak 12 kabupaten pada tahun 2008 berpotensi menjadi daerah yang relatif maju; (g) Terlaksananya operasionalisasi 3 (tiga) RTR Kabupaten/Kota kawasan tertinggal dan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
4. Pembentukan pengelompokan permukiman untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan pelayanan umum, terutama untuk wilayah-wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah dan tersebar melalui kegiatan transmigrasi lokal 5. Peningkatan akses petani, nelayan, transmigran dan pengusaha kecil menengah kepada sumber-sumber permodalan. 6. Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah tertinggal dengan wilayahwilayah cepat tumbuh dan strategis terutama melalui pembangunan sistem jaringan transportasi yang menghubungkan antar wilayah, antar pulau, maupun antar moda transpotasi, khususnya untuk wilayahwilayah Papua dan Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara
Lampiran 9 4 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan sinkronisasi program pengembangan infrastruktur di 2 (dua) kawasan tertinggal; (h) diterbitkannya Surat Edaran tentang Pedoman Pengelolaan Pembangunan wilayah Perbatasan, tentang pengelolaan pembangunan wilayah tertinggal, tentang pembangunan Kawasan Andalan dan Strategis, dan tentang Kerjasama Wilayah; (i) tersusunnya profil kabupaten tertinggal pada 21 Kabupaten, (j) tersusunnya pedoman pengelolaan pengembangan prasarana dasar daerah; (k) telah dilaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui program Penanggulangan Pengangguran yang dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1.096.345 orang, melalui kegiatan: Padat Karya Pembangunan Infrastruktur/Produktif di beberapa kabupaten/kota, daerah tertinggal, dan lokasi musibah bencana alam serta kantong-kantong kemiskinan, yang menyerap tenaga kerja sebanyak 153.920 tenaga kerja; (l) telah dicanangkan paradigma baru penyelenggaraan transmigrasi nasional sebagai bagian pelaksanaan program mengatasi kemiskinan dan pengangguran secara berkesinambungan. Penyelenggaraan transmigrasi didukung oleh Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh, Program Pengembangan Wilayah Tertinggal, serta Program Pengembangan Wilayah Perbatasan melalui Penyelenggaraan Transmigrasi; serta (m) mendorong terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan membangun sebanyak 54 UPT di Kawasan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan Tertinggal. Kegiatan ini sebagai upaya mengurangi kesenjangan antarwilayah yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi di bidang ketahanan nasional. Di bidang transmigrasi telah dicapai: (a) dalam rangka Pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di kawasan transmigrasi, beberapa hasil yang dicapai adalah: (1) telah ditetapkan sebanyak 13 kawasan tersebar di 13 kabupaten dan 7 provinsi sampai dengan tahun 2008; (2) pada tahun 2007 telah dilaksanakan transmigrasi paradigma baru melalui pembangunan dan pengembangan KTM di 4 kawasan yaitu Kawasan Mesuji Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, dan 3 di Provinsi Sumatera Selatan, masing-masing di Kawasan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kawasan Telang, Kabupaten Banyuasin dan Kawasan Parit, Kabupaten Ogan Ilir; serta (3) mempersiapkan pembangunan dan pengembangan KTM di 4 kawasan yaitu Kawasan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, Kawasan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, Kawasan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat dan Kawasan Topoyo, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat; (b) Dalam upaya penempatan transmigran baru, beberapa hasil yang telah dicapai antara lain: (1) dari tahun 2007 sampai dengan bulan Juni 2008, telah ditempatkan transmigran sebanyak 8.924 Kepala Keluarga (KK), serta tersedianya perumahan sebanyak 8.924 unit
Lampiran 9 5 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan bagi penduduk miskin dan penganggur; (2) telah dibukanya areal produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan seluas 17,848 Hektar siap olah dan siap tanam yang diperuntukan bagi 8.924 KK; (3) telah dibukanya isolasi daerah melalui pembangunan jalan poros/penghubung sepanjang 164,08 Km, jalan desa sepanjang 223,19 Km, jembatan semi permanen sepanjang 273 meter, pembangunan rumah transmigran dan jamban keluarga 8.222 unit, pembangunan sarana air bersih sumur gali 2.535 unit dan perpipaan 28 meter, pembangunan fasilitas umum masing-masing rumah ibadah 46 unit, gudang 28 buah, puskesmas pembantu 28 unit, balai desa 30 unit, gedung SD 29 unit, rumah petugas 29 unit, kantor UPT 32 unit; (4) fasilitasi perolehan aset produksi berupa tempat tinggal, tempat bekerja, dan peluang berusaha bagi 8.924 KK penganggur dan penduduk miskin; serta (5) fasilitasi perpindahan penduduk 110 KK ke Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan untuk mendukung penanganan korban bencana gempa bumi di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta; (c) dalam upaya pembinaan dan pengembangan masyarakat transmigran dan kawasan transmigrasi, beberapa hasil yang telah dicapai antara lain: (1) pembinaan dan pemberdayaan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) sejumlah 78.807 KK di 382 UPT; (2) telah dibina dan diberdayakannya masyarakat dan kawasan transmigrasi melalui fasilitasi bidang sosial budaya dan kelembagaan; (3)
Lampiran 9 6 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi melalui bantuan sarana produksi pertanian untuk 22.124 KK di 94 UPT, pembinaan Balai Mandiri Terpadu Transmigrasi di 21 unit BMT dan padat karya produktif di 3 UPT, pengembangan kemandirian energi melalui pengembangan tanaman jarak di 4 provinsi/13 UPT; (4) telah dilakukannya kerjasama antardaerah dalam rangka penyelenggaraan transmigrasi; (5) telah dikembangkannya sarana dan prasarana pemukiman transmigrasi antara lain perbaikan dan pengembangan pembangunan gedung fasilitas umum di 197 UPT, rehabilitasi sarana air bersih standar dan non standar, pembangunan SAB baru sebanyak 28 unit/28 UPT, pembangunan dan rehabilitasi gedung SD 42 unit/42 UPT, perbaikan saluran drainase di 5 UPT, rehabilitasi jalan penghubung/poros di 8 UPT dengan panjang total 23,85 km, pembangunan jalan baru di 1 UPT sepanjang 1,2 km, rehabilitasi dan peningkatan jembatan di 59 UPT dengan panjang total 1.348 m, pembangunan jembatan baru di 7 UPT sepanjang 200 m, padat karya produktif rehabilitasi sarana dan prasarana di 44 UPT; (6) telah dilaksanakannya rehabilitasi sarana dan prasarana permukiman, bantuan modal usaha dan sarana produksi di 5 kabupaten Provinsi Maluku Utara dan 5 kabupaten di Provinsi Maluku, dalam rangka pelaksanaan Inpres Nomor 6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Maluku Utara; (7) telah dilaksanakannya rehabilitasi rumah transmigran sebanyak 616
Lampiran 9 7 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
3.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penguatan pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui: a. peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi; b. peningkatan kapasitas SDM; c. pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan; d. peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pengembangan kawasan transmigrasi di wilayah perbatasan b. Pengembangan sektor-sektor unggulan berbasis sumberdaya lokal di wilayah perbatasan
2. Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil melalui, antara lain melalui penerapan
a. Penyusunan kebijakan insentif pendanaan melalui mekanisme DAK dan skema pendanaan khusus bagi pembangunan wilayah perbatasan dan pulaupulau kecil terluar
Sasaran Program
a. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga b. Tersusunnya kebijakan insentif dan peningkatan sarana prasarana ekonomi sebagai perwujudan keberpihakan pemerintah terhadap percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. c. Terjaganya keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; d. Meningkatnya survei dan pemetaan batas wilayah administrasi dan internasional di darat dan laut e. Menurunnya kegiatan ilegal dan terjaminnya kondisi keamanan serta penegakan hukum di wilayah perbatasan f. Terciptanya kerjasama bilateral yang erat dan saling menguntungkan di segala
Lampiran 9 8 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Kemeneg PDT, Depdagri, Dep. PU, Depnakertrans, BAKOSURTANAL
2008
Hasil Pelaksanaan unit, dalam rangka revitalisasi kawasan pengembangan lahan gambut; serta (8) telah ditingkatkannya kesejahteraan transmigran yang ditandai dengan terpilihnya transmigran teladan tingkat nasional. (a) aspek penegasan dan penataan batas negara, meliputi terlaksananya : (1) deliniasi antara batas darat RI dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL); (2) koordinasi dan pertemuan ke- 30 Joint Indonesia-Malaysia On Survei and Demarcation ; (3) penanganan masalah sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat perbatasan RI-Malaysia ditangani oleh SOSEKMALINDO; (4) penanganan permasalahan perbatasan negara di 5 kabupaten; (5) pembangunan check point batas negara di 3 kabupaten; (6) pembangunan gapura batas negara di 4 kabupaten; (7) pembuatan tugu NKRI di 9 pulau kecil terluar dan 2 kabupaten/kota; (8) perundingan dan pertemuan teknis untuk pembahasan penetapan batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Timor Leste; (9) perundingan dan pertemuan teknis untuk pembahasan penatapan batas darat antara Indonesia dengan Malaysia dan Timor Leste; (10) pembangunan simbol kedaulatan negara (gapura/prasasti) di kawasan perbatasan dan pulau terluar; (11) penegasan batas RI-RDTL, meliputi : pilar batas wilayah sebanyak 20 pilar, peta batas wilayah skala 1:2.500 sebanyak 32 NLP, peta garis batas wilayah sepanjang 50 km di 12 lokasi, pemasangan border
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Program/ Kegiatan Pokok RPJM berbagai skim pembiayaan pembangunan seperti: a. Pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), b. Public service obligation (PSO) dan keperintisan untuk transportasi, c. Penerapan universal service obligation (USO) untuk telekomunikasi, d. Program listrik masuk desa
No
3.
Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan tanda-tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional;
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
a. Penegasan status hukum segmen-segmen batas darat dan laut (Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial dan Batas Landas Kontinen) yang belum jelas dan belum disepakati melalui upaya perundingan dengan prioritas batas wilayah negara antara RI dengan antara perbatasan RIMalaysia, RI-Timor Leste, dan RI-PNG b. Penataan tanda-tanda fisik dan patok perbatasan di wilayah perbatasan dengan prioritas wilayah perbatasan RIMalaysia, RI-Timor Leste dan RI-PNG, dan di pulau-pulau kecil terluar beserta sosialisasinya c. Penetapan garis batas antarnegara di darat dan laut
Lampiran 9 9 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program bidang antara kedua negara
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan sign post (BSP) di 50 lokasi; (12) penegasan batas RIMalaysia di Pulau Kalimantan, meliputi dihasilkannya koordinat Common Border Reference Frame (CBRF), kajian outstanding border problem, Basis data peta batas wilayah 303 NLP ; (13) penegasan batas RI-PNG, meliputi : dihasilkannya koordinat CBRF sebanyak 14 pilar, koordinat titik GPS perbatasan sebanyak 5 titik; (14) foto udara pulau-pulau kecil terluar skala 1:10.000 sebanyak 13 pulau; (15) peta prognosis dan kajian zona tambahan sebanyak 64 NLP; (16) laporan survei kelayakan batas maritim LKI sebelah selatan; (17) pemeliharaan dan perbaikan tugu batas (Investigation, Refixation, and Maintenace) di kawasan perbatasan; dan (18) sosialisasi batas negara kepada pemerintah daerah. (b) aspek pembiayaan pembangunan, meliputi terlaksananya : (1) subsidi operasi angkutan penyeberangan, angkutan laut, dan angkutan udara perintis; (2) pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) yang telah memasukkan daerah di perbatasan ke dalam kriteria perhitungan alokasi DAK. (c) aspek penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah, meliputi: (1) terlaksananya koordinasi lintas sektoral penanganan wilayah perbatasan di 6 kabupaten perbatasan; (2) pengadaan sarana prasarana pemerintahan umum di Kabupaten/Kota perbatasan melalui tugas pembantuan; (3) tersusunnya instrumen pengenmbangan wilayah perbatasan; (4)
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Program/ Kegiatan Pokok RPJM Peningkatan kerja sama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan perdagangan manusia (trafficking person). Namun demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan;
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 a. Penyediaan sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB) termasuk peningkatan layanan kapabeanan, keimigrasian, karantina, dan keamanan (CIQS) dengan prioritas wilayah perbatasan RIMalaysia di Kalimantan dan RITimor Leste di NTT dan RIPNG di Papua
5.
Peningkatan kemampuan kerja sama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara;
a. Peningkatan kerjasama bilateral bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan keamanan melalui forum kerjasama antara dua negara (GBC IndonesiaMalaysia, JBC Indonesia-PNG, JBC Indonesia-Timor Leste, dan SOSEK MALINDO)
6.
Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat; dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundangundangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.
No 4.
Lampiran 9 10 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan tersusunnya konsep pedoman umum pengelolaan pembangunan daerah di wilayah perbatasan bagi provinsi dan kabupaten/kota perbatasan; dan (5) terfasilitasinya perencanaan pembangunan daerah di wilayah perbatasan. (d) aspek peningkatan kapasitas masyarakat, meliputi : (1) pengembangan dan pembinaan Pendidikan SD; (2) subsidi rintisan sekolah layanan khusus di perbatasan; (3) pembangunan SMK daerah perbatasan; (4) perintisan SMK berasrama di daerah perbatasan; (5) terlaksananya pemberdayaan KAT di 2 kabupaten perbatasan; (6) terwujudnya program pemanfaatan Iptek pada masyarakat terpencil. (e) aspek pengembangan sarana dan prasarana perekonomian, meliputi: (1) tersusunnya naskah akademis Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perbatasan Negara (KASABA, Kepulauan Riau, SangiheTalaud, Maluku Tenggara Barat, NTTTimor Leste, Papua-PNG, NAD-Sumut, Maluku Utara, dan Australia); (2) tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perbatasan Negara; (3) tersusunnya Kebijakan KPE di perbatasan negara, 2 Rencana Terpadu Program pemanfaatan Ruang KPE, serta 2 Rencana Tata Ruang Kawasan Pengembangan Ekonomi di perbatasan; (4) tersusunnya 1 Rencana Tata Ruang Terpadu di Pulau- Pulau Kecil terluar, 7
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan Rencana Detail Tata Ruang di Kawasan Perbatasan; 5 Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan; (5) sinkronisasi program pengembangan infrastruktur di 9 kawasan perbatasan; (6) sinkronisasi program pengembangan infrastruktur perkotaan dan perdesaan, jalan, sumberdaya air, dan kawasa strategis nasional perbatasan; (7) terbangunnya terminal lintas batas negara di 3 kabupaten perbatasan; (8) terbangunnya pelabuhan di 5 kabupaten perbatasan; (9) pengembangan lapangan udara perintis di 11 kabupaten perbatasan; (10) pembukaan 1 rute jalur transportasi kapal PELNI ke kawasan perbatasan; (11) pengembangan kawasan perumahan khusus di 2 kabupaten; (12) terbangunnya outlet ekspor di 6 kabupaten perbatasan; (13) terbangunnya pasar perbatasan di 4 kabupaten perbatasan; (14) pengembangan sarana dan prasarana siaran di daerah perbatasan dan daerah terpencil sebanyak 51 kabupaten; (15) terbangunnya permukiman transmigrasi dan ditempatkannya transmigran sebanyak 1486 KK (2007) dan 1325 KK (2008), serta terlaksananya pemberdayaan masyarakat binaan sebanyak 5069 KK (2007) dan 5104 KK (2008) di kabupaten perbatasan; (16) pembinaan sentra-sentra produksi di daerah terisolir dan tertinggal; (17) penyediaan sarana dan prasarana di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar di 4 kabupaten; (18) bantuan sosial di 17 kabupaten dalam rangka
Lampiran 9 11 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
4.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antar Kota
Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antar Kota
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penetapan dan pemantapan peran dan fungsi kota-kota secara hirarkis dalam kerangka ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ dan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pengembangan sistem perkotaan nasional melalui penyusunan profil dan tipologi kota. b. Mengidentifikasi simpul-simpul
Sasaran Program
a.
b.
Lampiran 9 12 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Tersusunnya profil dan tipologi kota untuk skala nasional. Teridentifikasi simpul-simpul pengembangan wilayah dan tersusunnya strategi penyediaan sarana-prasana untuk memperlancar koleksi dan distribusi barang dan jasa.
Instansi Pelaksana
Dep. PU, Depdagri
2008
Hasil Pelaksanaan pemberdayaan dan pengembangan ekonomi lokal (2007) dan di 26 Kabupaten Perbatasan dengan kebijakan Green Devolepment On Disparities Area (2008); dan (f) aspek pertahanan, keamanan, serta exitentry point, meliputi terlaksananya: (1) terlaksananya pembangunan PLB, pengadaan sarana prasarana PLB, serta mobilitas pelayanan umum pemerintahan di 10 kabupaten; (2) Terlaksananya rencana peresmian PLB Internasional Skouw-Wutung RI-PNG di Provinsi Papua; (3) terbitnya Permendagri No.18 Tahun 2007 tentang Standarisasi Sarana, Prasarana dan Prosedur Pelayanan Lintas Batas Antar Negara; (4) terlaksananya pengamanan kawasan hutan perbatasan; (5) terlaksananya pembangunan pos polisi dan pos TNI di perbatasan; (6) terlaksananya pelaksanaan patroli pengamanan perbatasan; (7) terlaksananya bakti sosial dan penyuluhan bagi masyarakat perbatasan; dan (8) Terlaksananya sosialisasi bela negara bagi masyarakat perbatasan. (a) mengoptimalkan peningkatan kerjasama antarpemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan; (b) meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelayanan publik, pengelolaan lingkungan perkotaan, pengembangan kemitraan dengan swasta dan peningkatan kapasitas ekonomi perkotaan; (c) mendorong pengembangan dan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
2.
3.
5.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM ‘sistem pembangunan perkotaan nasional’; Peningkatan penyediaan jaringan transportasi wilayah yang menghubungkan antar kota-kota secara hirarkis untuk memperlancar koleksi c. dan distribusi barang dan jasa antara lain melalui penyelesaian dan peningkatan pembangunan trans Kalimantan dan trans Sulawesi; Pembentukan forum kerja sama antar pemerintah kota untuk merumuskan kerja sama pembangunan, khususnya: (a) pembangunan industri pengolahan yang saling menunjang satu sama lain dalam suatu mata-rantai industri di masing-masing kota secara hirarkis sesuai dengan tipologi kota; (b) pembangunan infrastruktur yang mempersyaratkan ‘scale of economy’ tertentu; (c) pelestarian sumber daya air dan banjir yang memerlukan keterpaduan pengelolaan, contoh JabodetabekBopunjur.
Program Pengembangan Kotakota Kecil dan Menengah
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 pusat-pengembangan nasional di luar Jawa beserta jaringanjaringan serta fungsi-fungsi atau peran-peran simpulsimpul yang menghubungkan antar kota-kota Memfasilitasi kerjasama antar pemerintah kota dalam merumuskan kerjasama pembangunan dalam mendukung efisiensi pengelolaan kota dan mengurangi kesenjangan wilayah.
Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah
Sasaran Program c.
Terbentuknya jaringan infrastruktur dan lingkungan yang terpadu antar kota.
a.
Teridentifikasinya fungsi dan peran ekonomi kota kecil dan menengah.
Lampiran 9 13 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan revitalisasi sistem kelembagaan ekonomi perkotaan; (d) optimalisasi penataan lingkungan kawasan perkotaan metropolitan, besar, menengah dan kecil; (e) meningkatkan kerjasama antarpemerintah kabupaten/kota dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan; (f) mendorong percepatan pengentasan kemiskinan dan penataan kawasan kumuh di perkotaan; (g) mendorong inovasi daerah (best practices) dalam mengatasi berbagai permasalahan perkotaan; (h) mendorong kerjasama pertukaran best practices di bidang perkotaan antardaerah kota/kabupaten/provinsi; (i) memfasilitasi kerjasama pembangunan perkotaan bertetangga; (j) memfasilitasi kerja sama sister city; serta (k) mendukung pembaharuan tata pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan investasi prioritas di sektor perkotaan di daerah melalui proyek reformasi pembangunan sektor perkotaan.
Dep. PU, Depdagri
(a) penyiapan strategi pengembangan kota/kabupaten berbasis RTR Kabupaten/Kota dan RPJM Daerah;
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penguatan pengembangan kegiatan industri dan perdagangan di kota-kota menengah terutama kegiatan industri yang memproses lebih lanjut input antara yang dihasilkan kota-kota kecil di wilayah pengaruhnya, melalui: (a) peningkatan fungsi pasar regional; (b) pengembangan sentra-sentra industri pengolahan regional; (c) peningkatan fungsi pelabuhan dan terminal regional sebagai ‘outlet’ pemasaran hasil-hasil produksi wilayah; (d) peningkatan jaringan transportasi wilayah yang menghubungkan antara kotakota menengah dan kecil; 2. Peningkatan pertumbuhan industri kecil di kota-kota kecil, khususnya industri yang mengolah hasil pertanian (agroindustry) dari wilayahwilayah perdesaan, melalui: (a) pengembangan sentrasentra industri kecil dengan menggunakan teknologi tepat guna; (b) peningkatan fungsi pasar lokal; (c) peningkatan prasarana dan sarana transportasi yang menghubungkan kota-kota kecil dengan wilayah-wilayah
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Kegiatan-kegiatan pokok: a. Identifikasi fungsi dan peran ekonomi kota dalam mendorong pengembangan kota kecil dan menengah.
Sasaran Program b. Terlaksananya penyiapan pengembangan pelayanan infrastruktur di kota terpilih; c. Tersusunnya kerangka struktur sarana-prasarana yang meliputi kebutuhan dan prasaranan sesuai dengan RTR. d. Meningkatnya kapasitas aparatur Pemerintah di Kota Kecil dan Menengah. e. Meningkatnya kualitas kapasitas kelembagaan di kota kecil dan menengah. f. Meningkatnya kemampuan pemerintah kota dalam mengembangkan ekonomi perkotaan.
a. Penyiapan dan pengembangan pelayanan infrastruktur pada kota menengah dan kecil; b. Penyusunan kerangka struktur prasarana dan sarana perkotaan dalam lingkup nasional.
Lampiran 9 14 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan (b) penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) yang bersifat multisektor, multi-tahun dan multipendanaan sebagai penjabaran RPJM daerah; (c) peningkatan kemampuan/ profesionalisme aparat Pemda (provinsi/ kabupaten/ kota).
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 3.
4.
5.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM perdesaan; Penyiapan dan pemantapan infrastruktur sosial dasar perkotaan di kota-kota kecil dan menengah untuk dapat melayani fungsi internal dan eksternal kotanya, terutama wilayah-wilayah yang masuk dalam satuan wilayah pengembangan ekonomi;
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 a. Peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan di kota kecil dan menengah.
Pemberdayaan kemampuan: (a) profesionalisme aparatur dalam pengelolaan dan peningkatan produktivitas kota; (b) kewirausahaan dan manajemen pengusaha kecil dan menengah dalam meningkatkan kegiatan usaha, termasuk penerapan ‘good corporate governance’; (c) masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan-kebijakan publik perkotaan di kota-kota kecil dan menengah;
a.
Penyempurnaan kelembagaan melalui reformasi dan restrukturisasi kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip ‘good urban governance’ dalam pengelolaan perkotaan kota-kota kecil dan menengah
a. Peningkatan kemampuan pemerintah kota dalam pengembangan ekonomi perkotaan.
b.
Peningkatan kapasitas kelembagaan di kota kecil dan menengah. Pengembangan NSPM pengelolaan kota kecil menengah untuk mendukung percepatan pembangunan kota kecil menengah
Lampiran 9 15 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Program/ Kegiatan Pokok RPJM dalam rangka meningkatkan fungsi pelayanan publik;
No
6.
6.
Pemberdayaan kemampuan pemerintah kota dalam memobilisasi dana pembangunan melalui: (a) peningkatan kemitraan dengan swasta dan masyarakat; (b) pinjaman langsung dari bank komersial dan pemerintah pusat; (c) penerbitan obligasi daerah (municipal bond); (d) ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi;
7.
Pemberdayaan kemampuan pengusaha kecil dan menengah, melalui: (a) pemberian akses permodalan; (b) pengembangan informasi pasar bagi produk-produk lokal; (c) pemberian bantuan teknologi tepat guna.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan
Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan
a.
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penerapan ‘land use and growth management’ yang menekankan pada ‘infill development’, dengan intensitas bangunan vertikal
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pengembangan NSPM pengelolaan kota besar dan metropolitan yang mengarah pada pembangunan kota yang berkelanjutan.
b.
c.
Lampiran 9 16 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Teridentifikasinya tingkat primasi kota-kota di Indonesia Meningkatnya kualitas lingkungan perkotaan sesuai dengan standar layak huni di kawasan terpilih; Meningkatnya fungsi kawasan kota yang sudah
Instansi Pelaksana
Dep. PU, Depdagri
2008
Hasil Pelaksanaan
(a) terlaksananya fasilitasi dan pembangunan fisik urban renewal di 6 kota; (b) tersusunnya Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan; (c) tersusunnya RTR Kawasan Metropolitan Mebidang (Medan-Binjai-Deli-Serdang) Tahap II dan Kawasan Metropolitan Palembang Tahap II;
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
2.
3.
4.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM yang cukup tinggi, serta membatasi ‘suburban sprawl,’ termasuk upaya pencegahan konversi lahan pertanian produktif disertai dengan penerapan ’zoning regulation.’ secara tegas, adil dan demokratis di kota-kota metropolitan; Peningkatan peran dan fungsi kota-kota satelit, termasuk kota baru supaya menjadi self sustained city, sehingga dapat mengurangi ketergantungan penggunanaan sarana, prasarana, dan utilitas pada kota inti; Pengembalian fungsi-fungsi kawasan kota lama (downtown areas), yang saat ini kondisinya cenderung kumuh, tidak teratur, dan menjadi kota mati pada malam hari, dengan melakukan peremajaan kembali (redevelopment) dan revitalisasi (revitalization) kawasan tersebut, termasuk upaya pelestarian (preservation) gedunggedung bersejarah; Pemanfaatan aset-aset tidur milik negara di pusat-pusat kota dengan memanfaatkannya untuk
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
d. e. a. Identifikasi tingkat primasi kota di Indonesia.
f.
a. Peningkatan lingkungan perkotaan untuk menciptakan kawasan perkotaan yang layak huni; b. Pengembalian fungsi kawasan kota pada kawasan perkotaan yang mengalami penurunan fungsi.
a. Penyusunan kerangka manajemen asset perkotaan.
Lampiran 9 17 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
mengalami penurunan kualitas terutama di wilayah kota tua. Tersusunnya pedoman dan kerangka manajemen asset perkotaan. Terlaksananya kerjasama pembangunan antar kota untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan perkotaan. Meningkatnya kualitas kapasitas kelembagaan; aparatur dan pembiayaan kota besar dan metropolitan.
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan (d) terlaksananya bantuan teknis Penyusunan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) Kawasan Heritage, Public Space dan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surakarta; (e) terlaksananya konsultasi publik Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan KEDUNGSEPUR dan Kawasan Metropolitan GERBANGKERTOSUSILA; (f) terlaksananya fasilitasi penguatan kelembagaan Metropolitan Mamminasata; (g) tersusunnya rencana pengembangan kawasan strategis di Kota Balikpapan dan Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur; (h) terlaksananya bantuan teknis penyusunan RTR Kawasan Metropolitan ManadoBitung, Provinsi Sulawesi Utara; (i) pemutakhiran Basis Data Perkotaan Wilayah Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua; (j) meningkatnya Penataan Ruang Kawasan Metropolitan Mebidang (Medan-Binjai- Deli Serdang); (k) terlaksananya bantuan teknis pelaksanaan penataan ruang Kota Yogyakarta Provinsi DIY, Kota Gresik Provinsi Jawa Timur, dan Kota Kendari Provinsi Sulawesi Utara; (l) terlaksananya Pengembangan Sistem Perkotaan Jayapura, Sentani dan Arso di Provinsi Papua; (m) terlaksananya Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota-kota di Pulau Papua, Maluku dan Maluku Utara; (n) terlaksananya Studi Pengembangan sistem perkotaan di Kawasan TernateTidore Kepulauan Sofifi-Jailolo; (o) tersusunnya evaluasi pola persebaran
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
5.
6.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM bangunan pemerintah, masyarakat dan swasta, melalui skema BOO dan BOT; dan penerapan pajak progresif bagi lahan-lahan tidur milik perorangan maupun perusahaan di kawasan-kawasan produktif; Peningkatan kerjasama pembangunan antar kota inti dan kota-kota satelit di wilayah metropolitan, baik pada tahap perencanaan, pembiayaan, pembangunan, maupun pemeliharaan, terutama dalam pembangunan sarana, prasarana, dan utilitas perkotaan, khususnya yang mempersyaratkan adanya keterpaduan dan skala ekonomi (scale of economy) tertentu, sehingga tidak efisien untuk dibangun di masing-masing daerah, sebagai contoh: (a) pembangunan pelayanan transportasi antar moda dan antar wilayah, termasuk angkutan transportasi massal; (b) pembangunan tempat pembuangan sampah; (c) penyediaan air minum; (d) prasarana pengendalian banjir; Peningkatan
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan sarana dan prasarana perkotaan di 5 ibukota provinsi di Pulau Papua dan Maluku.
a. Mendorong kerjasama antar sektor dan antar wilayah dalam pembangunan wilayah perkotaan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan perkotaan.
a. Peningkatan kapasitas
Lampiran 9 18 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Program/ Kegiatan Pokok RPJM penyelenggaraan pembangunan perkotaan dalam kerangka tatapemerintahan yang baik (good urban governance); dan peningkatan kemitraan dengan pihak swasta dan masyarakat, terutama kegiatan-kegiatan pelayanan publik yang layak secara komersial (commercially viable), melalui kontrak, pemberian konsesi dsb;
No
7.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 kelembagaan, pengelolaan dan pembiayaan untuk kota besar dan metropolitan.
Pembentukan ‘Dewan Pengelolaan Tata Ruang Wilayah Metropolitan’ yang anggotanya terdiri dari unsur dunia usaha, masyarakat, pemerintah daerah terkait, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Tugas Pokok dan Fungsi dewan ini adalah: (a) menjaga konsistensi pemanfaatan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota dengan RTRW Provinsi, termasuk dengan RTRW Nasional; (b) mengevaluasi dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah terkait, terutama untuk menganalisa implikasi negatif terhadap usulan pembangunan proyek-proyek
Lampiran 9 19 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
7.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM besar di kawasan perkotaan, seperti usulan pembangunan Mall, Hypermarket, Mass Rapid Transit, dan memberikan rekomendasi persyaratan teknis tertentu jika proyek tersebut diijinkan untuk dibangun; (c) memberikan rekomendasi mengenai upaya-upaya peningkatan pelayanan publik perkotaan.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Program Penataan Ruang
Program Penataan Ruang
a.
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pelaksanaan sosialisasi RTRWN dan RTRW-Pulau kepada Pemerintah Kota/ Kabupaten dan stakeholder terkait, dan pembangunan kesepakatan untuk implementasi RTRWN dan RTRW-Pulau; 2. Penyempurnaan dan penyerasian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (termasuk ruang udara) dan penyusunan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya beserta berbagai pedoman teknis; 3. Peninjauan kembali dan pendayagunaan rencana tata ruang, terutama di kawasan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Operasionalisasi dan sinkronisasi RTRWN dan RTR Pulau dengan RTRW di bawahnya.
b.
a.
b.
a.
Penyusunan dan Sosialisasi UU tentang perubahan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Penyusunan peraturan pelaksanaan UU tentang perubahan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Penyusunan, peninjauan kembali dan pendayagunaan rencana tata ruang di kawasan
Lampiran 9 20 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Terwujudnya penegakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai kebijakan strategi spasial dari program-program sektoral; Terwujudnya kelembagaan penataan ruang yang mampu menyelesaikan dan mengantisipasi terjadinya konflik pemanfaatan ruang.
Instansi Pelaksana
Dep. PU, Depdagri, DKP, LAPAN, BAKOSURTANAL
2008
Hasil Pelaksanaan
(a) lahirnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1992; (b) terselenggaranya Forum Koordinasi Penataan Ruang di Tingkat Nasional dan Regional melalui Rapat Kerja Nasional BKTRN yang bertujuan meningkatkan koordinasi penataan ruang di tingkat nasional; (c) tersusunnya 5 NSPM pengendalian pemanfaatan ruang sebagai acuan dalam pelaksanaan penegakan penataan ruang dalam pembangunan; (d) implementasi zoning regulation sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang; (e) disepakatinya RPP tentang RTRWN pengganti PP No. 47 Tahun 1997 dan tersusunnya 7 Draf Naskah Akademik Rencana Tata Ruang Pulau meliputi Pulau Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
4.
5.
8.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM prioritas pembangunan nasional untuk menjamin keterpaduan pembangunan antar wilayah dan antar sektor; Pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjamin kesesuaian rencana dengan pelaksanaan, penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan keseimbangan pembangunan antar fungsi;
Pemantapan koordinasi dan konsultasi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar lembaga eksekutif dan legislatif, serta dengan lembaga dan organisasi masyarakat yang terkait dalam kegiatan penataan ruang di tingkat nasional dan daerah.
Program Pengelolaan Pertanahan Kegiatan-kegiatan pokok:
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 strategis nasional; b. Penyediaan peta dasar rupabumi, tata ruang dan basis datanya. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) pengendalian pemanfaatan ruang yang tanggap terhadap bencana, antara lain: mekanisme insentif-disinsentif, kerjasama pemanfaatan ruang antar daerah, pelaksanaan zoning regulation; b. Penyusunan pedoman penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. a. Penguatan koordinasi dalam rangka mendukung upaya pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan daerah; b. Penguatan kelembagaan penataan ruang di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang tanggap terhadap bencana, mampu menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang, dan mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang; c. Peningkatan koordinasi penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Program Pengelolaan Pertanahan Kegiatan-kegiatan pokok:
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan Tenggara, dan Papua; (f) penyusunan revisi Keppres No. 62 Tahun 2000 tentang Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional; (g) Tersusunnya Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Mamminasata dan terbentuknya Badan Kerja sama Pembangunan Metropolitan Maminasata (BKPSMM); (h) terlaksananya peningkatan manajemen pengendalian pemanfaatan ruang di 32 provinsi dalam rangka pemantauan evaluasi penataan ruang daerah; (i) tersusunnya data dan peta dasar rupa bumi untuk mendukung penyusunan rencana tata ruang; (j) ditetapkannya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (k) ditingkatkannya efisiensi penataan ruang dan sumber daya kelautan berdasarkan daya dukung lingkungan melalui penataan ruang yang partisipatif.
a.
a. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah
Lampiran 9 21 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
BPN
(a) dalam upaya meningkatkan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 1.
2.
3.
4.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Pembangunan sistem pendaftaran tanah yang efisien dan transparan, termasuk pembuatan peta dasar dalam rangka percepatan pendaftaran tanah; Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum, dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan kepentingan rakyat; Peningkatan kualitas dan kapasitas kelembagaan dan SDM pertanahan di pusat dan daerah dalam rangka pelaksanaan penataan dan pelayanan pertanahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan tata ruang wilayah; Penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui sinkronisasi peraturanperaturan perundangan
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 a. Percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah;
a. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
a. Peningkatan kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah
a. Penyusunan dan revisi peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan b. Penegakan hukum pertanahan dalam rangka pengendalian dan penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan. a. Pengembangan sistem informasi pertanahan nasional dalam
Lampiran 9 22 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program masyarakat melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah serta penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang berkeadilan dan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan pemanfaatan secara menyeluruh di Indonesia dalam rangka pemerataan hakhak masyarakat atas tanah dilakukan kegiatankegiatan, antara lain, (1) pelaksanaan konsolidasi tanah (di luar DKI) sebanyak 2.216 bidang tanah; (2) pelaksanaan redistribusi tanah sebanyak 28.990 bidang tanah; (3) penginventarisasian penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) 367.966 bidang; (4) penginventarisasian tanah terlantar sebanyak 1.000 bidang tanah; (5) pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di 5 kab/kota; (b) dalam upaya meningkatkan pelayanan penetapan hak tanah dan pendaftaran tanah secara menyeluruh di Indonesia untuk penguatan hak-hak masyarakat atas tanah, dilakukan kegiatan pendaftaran tanah dengan hasil sebagai berikut (1) sertifikasi tanah (Prona, Land Management and Policy Development Project/LMPDP) sebanyak 910.260 bidang, program khusus transmigrasi dan UKM sebanyak 30.679 bidang; (2) peta dasar pendaftaran tanah (foto udara) sebesar 250.000 Ha; serta (3) pemasangan kerangka dasar kadastral nasional (KDKN) di 500 titik orde 3.
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Program/ Kegiatan Pokok RPJM pertanahan;
No
5.
9.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 rangka peningkatan pelayanan pertanahan.
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
Pengembangan sistem informasi pertanahan nasional yang handal dan mendukung terlaksananya prinsip-prinsip good governance dalam rangka peningkatan koordinasi, pelayanan dan pengelolaan pertanahan.
Program Pengembangan Ekonomi Lokal
Program Pengembangan Ekonomi Lokal
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan yang strategis dan potensial, terutama kawasankawasan di luar pulau JawaBali; 2. Peningkatan pengembangan usaha agribisnis yang meliputi mata rantai subsektor hulu (pasokan input), on farm (budidaya), hilir (pengolahan), dan jasa penunjang; 3. Pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan terutama bagi angkatan kerja muda perdesaan; 4. Pengembangan jaringan kerjasama usaha; 5. Peningkatan peran perempuan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif di perdesaan;
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Fasilitasi pengembangan diversifikasi ekonomi perdesaan, antara lain melalui penyediaan informasi peluang usaha dan informasi pasar di bidang industri, termasuk industri kerajinan, dan jasa berskala mikro, kecil dan menengah. b. Penyelenggaraan diseminasi teknologi tepat guna. c. Pembangunan prasarana dan sarana kawasan agropolitan. d. Pembangunan prasarana dan sarana di daerah terisolir untuk membuka akses ke pusat pertumbuhan ekonomi lokal, melalui Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT)
a. Meningkatnya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa berbasis sumber daya lokal. b. Meningkatnya sinergi dan keterkaitan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. c. Terbangunnya kawasan produksi berbasis pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, HTI, industri pengolahan di daerah terisolir
Lampiran 9 23 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Dep. PU, Depdagri, Kemeneg PDT
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM 6. Peningkatan pelayanan lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan mikro, kepada pelaku usaha di perdesaan.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
10. Program Peningkatan Keberdayaan Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan Masyarakat Kegiatan-kegiatan pokok: Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyuluhan dan pelatihan a. Pembangunan prasarana dan keterampilan usaha bagi sarana di daerah terisolir untuk masyarakat perdesaan; membuka akses ke pusat 2. Reformasi agraria untuk pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan akses melalui Percepatan masyarakat pada lahan dan Pembangunan Sosial Ekonomi pengelolaan sumber daya alam; Daerah Tertinggal (P2SEDT) 3. Penyederhanaan sertifikasi tanah di kawasan perdesaan; 4. Peningkatan akses masyarakat perdesaan pada informasi; 5. Pengembangan lembaga perlindungan petani dan pelaku usaha ekonomi di perdesaan; 6. Penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat, seperti paguyuban petani, koperasi, lembaga adat dalam menyuarakan aspirasi masyarakat; 7. Pemantapan kelembagaan pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan perdesaan dengan prinsipprinsip tata pemerintahan yang baik;
Sasaran Program
a. Tersedianya energi/listrik yang berkesinambungan di daerah terisolir dengan menggunakan EBT b. Tersebarluaskannya pembangkit listrik di perdesaan terisolir sebagai upaya pemerataan pembangunan c. Meningkatnya taraf hidup masyarakat di perdesaan melalui penyediaan energi dan listrik d. Meningkatnya kapasitas masyarakat melalui pembinaan manajemen pengelolaan/koperasi usaha kelistrikan/energi dalam program keenergian/kelistrikan perdesaan
Lampiran 9 24 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Depdagri, Dep. PU, Kemeneg PDT
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
11.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM 8. Peningkatan partisipasi masyarakat perdesaan, terutama kaum perempuan dan masyarakat miskin dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan perdesaan; 9. Pengembangan kelembagaan untuk difusi teknologi ke kawasan perdesaan, terutama teknologi tepat guna dan ramah lingkungan; 10. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam memfasilitasi dan mengkoordinasikan peran stakeholder dalam pembangunan kawasan perdesaan; 11. Penyempurnaan manajemen dan sistem pembiayaan daerah untuk mendukung pembangunan kawasan perdesaan; dan 12. Pemantapan kerjasama dan koordinasi antar pemerintah daerah lintas wilayah administrasi.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Perdesaan Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pembangunan prasarana dan sarana di daerah terisolir untuk membuka akses ke pusat
Sasaran Program
a. b.
Lampiran 9 25 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Tersedianya infrastruktur perdesaan di desa terisolir Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam akses infrastruktur perdesaan
Instansi Pelaksana
Kemeneg PDT
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
12.
13.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 pertumbuhan ekonomi lokal, melalui Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT)
Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi; 2. Identifikasi, perencanaan, fasilitasi, dan pelaksanaan kegiatan fungsi strategis yang perlu dikerjasamakan; 3. Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk memfasilitasi dan menyelesaikan perselisihan antar daerah di wilayahnya; serta 4. Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan dengan Pemerintah Pusat.
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan kerjasama antar pemerintah daerah pada bidang ekonomi dan hukum di wilayah perbatasan
Program Peningkatan Kerjasama Internasional
Program Peningkatan Kerjasama Internasional
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a. Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah di kawasan perbatasan
Depdagri
a. Meningkatnya koordinasi teknis perundingan batas internasional dan pertemuan
BAKOSURTANAL
Lampiran 9 26 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
14.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pemantapan kerjasama internasional di bidang ekonomi, perdagangan, sosial dan budaya serta bagi pencapaian tujuan pembangunan sosial ekonomi yang disepakati secara internasional termasuk Millenium Development Goals (MDGs);
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyelenggaraan perundingan tentang batas negara b. Penyelenggaraan pertemuan teknis internasional bidang kebumian
Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penelitian dan pengembangan bioteknologi dalam pertanian, peternakan, kesehatan; teknologi kelautan; energi baru dan terbarukan, termasuk nuklir; teknologi informasi; teknologi dirgantara dan antariksa; teknologi transportasi; teknologi pertahanan; teknologi air bersih; teknologi elektronika; sistem informasi spasial; mitigasi bencana; dan litbang bidang tematis lainnya;
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Litbang Penyelenggaraan bidang geodesi dan geometika b. Litbang Penyelenggaraan survei dan pemetaan dasar Matra Darat, Laut dan Udara c. Litbang Penyelenggaraan Pemetaan dan kajian batas wilayah d. Litbang penyelenggaraan Sistem Jaringan dan Standarisasi Data Spasial e. Forum Komunikasi Penelitian Geomatika f. Pengembangan Sarana dan Prasarana Penelitian dan Geometika.
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
teknis di bidang kebumian dengan organisasi internasional yang bernaung dibawah PBB
a. b.
a. Litbang penyelenggaraan Inventarisasi dan Evaluasi
Lampiran 9 27 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Meningkatnya kegiatan litbang geodesi dan geomatika Meningkatkan kegiatan litbang penyelenggaraan inventarisasi dan evaluasi SDA matra darat dan laut
BAKOSURTANAL
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 2.
15.
16.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Penelitian dan pengembangan untuk peningkatan pemahaman terhadap fenomena alam, karakteristik ekosistem daratan dan perairan serta keragaman sumberdaya alam baik sumberdaya hayati maupun non-hayati, di darat dan di laut
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Sumberdaya Alam matra darat dan laut
Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pemanfaatan peta dan informasi spasial untuk penetapan batas antar negara dan antar daerah.
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pendayagunaan Peta dan Penyebaran Informasi Spasial untuk Beragam Keperluan
Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara efisien, dan lestari berbasis masyarakat;
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyediaan data dasar kelautan untuk peningkatan pengelolaan dan pengembangan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan bertanggungjawab a. Peningkatan pengelolaan batas wilayah laut dan pulau-pulau terdepan/terluar
2. Percepatan penyelesaian kesepakatan dan batas wilayah laut dengan negara
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a. Meningkatnya ketersediaan Atlas Sumberdaya, lingkungan dan publik beserta basis datanya, serta Atlas Indonesia
BAKOSURTANAL
a.
DKP, BAKOSURTANAL
b. c.
d.
Lampiran 9 28 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Meningkatnya cakupan peta dasar kelautan (Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional) Meningkatnya cakupan peta tematik wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil Meningkatnya inventarisasi data dan informasi SDA dan LH kelautan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota Terkelolanya batas wilayah dan sumber daya kelautan dan pulau-pulau
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
17.
18.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM tetangga, khususnya dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste;
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
terdepan/terluar
Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyusunan data sumber daya alam baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulau-pulau kecil; 2. Penyusunan neraca sumber daya alam nasional dan neraca lingkungan hidup
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pembinaan Infrastruktur Data Spasial Nasional b. Pengkajian Wilayah dan Deskripsi Geografi
Program Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai
Program Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai
Kegiatan-kegiatan pokok:
Kegiatan-kegiatan pokok:
a. Inventarisasi dan Evaluasi Data dan Informasi serta Penyusunan Neraca SDA dan LH
a. Meningkatnya ketersediaan data dasar perpetaan, jaring kontrol horisontal dan vertikal, dan pengelolaan stasiun tetap Global Positioning System (GPS) guna pemantauan geodetik dan geodinamika bumi b. Tersusunnya kajian wilayah dan deskripsi geografi SDA dan LH c. Meningkatnya inventarisasi data dan informasi serta cakupan peta tematik matra darat serta basis datanya guna mendukung penetapan dan pemeliharaan titik-titik dasar (base point) di 92 pulau-pulau kecil terluar dengan pembangunan rambu/menara suar di pulaupulau kecil terluar yang tidak berpenghuni d. Tersusunnya neraca SDA dan LH
BAKOSURTANAL
a. Dipertahankannya keberadaan Pulau Karang Nipah sebagai titik terluar wilayah NKRI yang sangat
Dep. PU
Lampiran 9 29 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
19.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM 1. Pembangunan prasarana pengendali banjir dan pengamanan pantai terutama pada daerah-daerah rawan bencana banjir dan abrasi air laut pada wilayah strategis, daerah tertinggal, serta pulaupulau terluar di daerah perbatasan antara lain di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Bengkulu, Jawa, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan NKRI
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 a. Penetapan dan pemeliharaan titik-titik dasar (base point) di 92 pulau-pulau kecil terluar dengan penyelamatan Pulau Karang Nipah
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Antisipasi dan pelaksanaan operasi militer atau non militer terhadap gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI terutama gerakan separatisme bersenjata yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pembangunan pos lintas batas (PLB) baru pada jalur-jalur lintas batas tradisional dan peningkatan kualitas PLB yang telah ada dengan prioritas wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan, RI-Timor Leste di NTT, dan RI-PNG di Papua b. Pembangunan fasilitas pos-pos permanen pengamanan perbatasan dengan prioritas di wilayah perbatasan RIMalaysia, RI-Timor Leste dan RI-PNG c. Operasi keamanan di wilayah perbatasan
Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan NKRI
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
berpengaruh terhadap luas laut teritorial
a. Terlaksananya pembangunan pos lintas batas (PLB) dengan prioritas di wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan, RI-Timor Leste di NTT, dan RI-PNG di Papua
Lampiran 9 30 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Deplu, Dephan
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 20.
21.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepolisian
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepolisian
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan fungsi prasarana dan sarana Polri untuk mendukung tugas-tugas kepolisian 2. Pemeliharaan prasarana dan sarana Polri
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pembangunan Mapolres, Pos Polisi, Rumdin Pos Polisi, dan pengadaan materiil pendukung pos Polisi Perbatasan
Program Pemantapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplomasi Indonesia
Program Pemantapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplomasi Indonesia
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pelaksanaan diplomasi perbatasan yang terkoordinasi dengan baik dalam rangka menjaga keutuhan wilayah darat, laut dan udara Indonesia
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penegasan status hukum segmen-segmen batas darat dan laut (Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial dan Batas Landas Kontinen) yang belum jelas dan belum disepakati melalui upaya perundingan dengan prioritas batas wilayah negara antara RI dengan antara perbatasan RIMalaysia, RI-Timor Leste, dan RI-PNG b. Peningkatan kerjasama bilateral bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan keamanan melalui forum GBC IndonesiaMalaysia, JBC Indonesia-PNG, JBC Indonesia-Timor Leste, dan JWG Indonesia-Filipina, dan SOSEK MALINDO
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a. Meningkatnya prasarana dan sarana Polri untuk peningkatan keamanan di wilayah perbatasan
Polri
a. Tercapainya kesepakatan batas wilayah negara antara RI dengan antara perbatasan RI-Malaysia, RI-Timor Leste, dan RI-PNG
Deplu
Lampiran 9 31 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 22.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pengamanan daerah perbatasan Indonesia dengan mengupayakan keamanan lintas batas di wilayah perbatasan negara, dan mengupayakan keamanan di wilayah-wilayah pulau-pulau terluar perbatasan negara.
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Operasi keamanan di wilayah perbatasan
23. Program Pengembangan Bela Negara Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan kekuatan ketiga komponen pertahanan negara dengan didukung oleh kemampuan SDM Nasional, kemampuan SDA/SDB Nasional, dan kemampuan sarana dan prasarana Nasional yang memadai 24.
Program Pengembangan Bela Negara Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan kerjasama bilateral bidang politik, hukum, dan keamanan melalui forum GBC Indonesia-Malaysia, JBC Indonesia-PNG, JBC IndonesiaTimor Leste, dan JWG Indonesia-Filipina
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a. Meningkatnya keamanan di wilayah perbatasan
Polri
a. Meningkatnya pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan RI
Dephan
Program Kerjasama Keamanan dan a. Meningkatnya pertahanan dan Ketertiban keamanan di wilayah perbatasan RI Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan kerjasama bilateral bidang politik, hukum, dan keamanan melalui forum GBC Indonesia-Malaysia, JBC Indonesia-PNG, JBC Indonesia-
Lampiran 9 32 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Polri
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
25.
26.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Timor Leste, dan JWG Indonesia-Filipina
Program Rehabilitasi/ Pemeliharaan Jalan dan Jembatan
Program Rehabilitasi/ Pemeliharaan Jalan dan Jembatan
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan provinsi 196.441 km; dan 2. Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan kabupaten/kota sepanjang 721.696 km. Program Peningkatan/Pembangunan Jalan dan jembatan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Rehabilitasi/ pemeliharaan jembatan sepanjang 205,9 ribu meter pada jalan nasional terutama pada lintas strategis di Sumatra dan Jawa
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan ruas arteri primer sepanjang 12.321 km dan 26.579 m jembatan merupakan jalur utama perekonomian serta ruas-ruas strategis penghubung lintaslintas tersebut; 2. Penanganan jalan sepanjang 1.800 km pada daerah perbatasan dengan negara tetangga; 3. Penanganan jalan sepanjang 3.750 km untuk kawasan terisolir, wilayah KAPET, serta akses ke kawasan pedesaan,
Program Peningkatan/ Pembangunan Jalan dan Jembatan Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan jalan nasional sepanjang 2.739 kilometer Lintas Utara dan Selatan Jawa dan Lintas Timur dan Barat Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua; serta pada wilayah perbatasan di Papua, Kalimantan. pembangunan jembatan di ruas jalan startegis seperti di Sumatra Barat (Kelokk 9), Kapuas II Kalbar, Rumpiang di Kalsel, Srandakan di Yogya, Suramadu di Jawa Timur. b. Penanganan jalan dan jembatan di wilayah perbatasan
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a. Terpeliharanya jalan nasional sepanjang 34.039 kilometer. b. Terpeliharanya jembatan sepanjang 205,9 ribu meter pada jalan nasional.
Dep. PU
a. Meningkatnya jalan nasional sepanjang 2.739 kilometer pada lintas stratgis di Jawa, Sumatra, dan beberapa pulau lain. b. Terbangunnya jalan nasional non tol sepanjang 1.370 kilometer lintas strategis di Jawa, Sumatra, dan beberapa pulau lain. c. Terbangunnya 5,17 ribu meter jembatan pada jalan nasional. d. Terbitnya peraturan pelaksanaan UU No. 38/2004 tentang Jalan
Dep. PU
Lampiran 9 33 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
27.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM kawasan terisolir termasuk pulau kecil, dan sepanjang pesisir; dan
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 seperti Papua, Kalbar, Kaltim, dan NTT; c. Penanganan jalan di wilayah terisolir; dan penanganan jalan di wilayah rawan bencana dan akibat kerusuhan sosial. d. Peningkatan dan penyediaan jalan dan jembatan untuk meningkatkan aksesibilitas
Program Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana
Program Peningkatan Pelayanan Sarana dan Prasarana Ketenagalistrikan
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pembangunan pembangkit serta jaringan transmisi dan distribusi termasuk pembangunan listrik perdesaan 2. Penyusunan kebijakan pendanaan pembangunan termasuk penyesuaian tarif, diversifikasi dan konservasi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik, serta pengurangan losses terutama pada sisi transmisi dan distribusi baik yang teknis maupun non teknis 3. Peningkatan pembangunan listrik perdesaan yang diarahkan terutama untuk ekstensifikasi dan intensifikasi jaringan listrik perdesaan melalui pembangunan sarana
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan dan penyediaan prasarana dan sarana dasar listrik/listrik perdesaan b. Penerapan skim kewajiban layanan listrik pedesaan untuk mempercepat pembangunan sarana dan prasarana di wilayah perbatasan dengan memperhatikan budaya setempat c. Program listrik masuk desa
Sasaran Program
a. Tersedianya prasarana dan sarana dasar listrik di perdesaan di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, serta wilayah terisolir
Lampiran 9 34 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Dep. ESDM
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
28.
29.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM penyediaan tenaga listrik di daerah perdesaan dan daerah yang belum berkembang.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya
Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya
Kegiatan-kegiatan pokok: 2. Pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, Komunitas Adat Terpencil dan PMKS lainnya, melalui peningkatan usaha ekonomi produktif (UEP) dan Usaha kesejahteraan sosial (UKS) serta kelompok usaha bersama (KUBE) 3. Pengembangan Geographic Information System (GIS) bagi pemetaan dan pemberdayaan KAT dan PMKS.
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pemberdayaan masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. b. Peningkatan Akses Komunitas Adat Terpencil (KAT) terhadap pelayanan sosial dan ekonomi serta terhadap wilayah di sekitarnya
Program Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara
Program Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan desentralisasi fiskal dalam rangka penyempurnaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui penyusunan dan perumusan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyusunan kebijakan insentif pendanaan melalui DAK bagi pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar b. Penyusunan kebijakan insentif pendanaan melalui DAK bagi pembangunan wilayah terisolir
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a. Meningkatnya akses Komunitas Adat Terpencil (KAT) terhadap pelayanan sosial dan ekonomi serta terhadap wilayah di sekitarnya
Kemeneg PDT
a. Tersusunnya kebijakan insentif pendanaan bagi pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, serta wilayah terisolir
Depkeu
Lampiran 9 35 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
2.
30.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM kebijakan dalam penetapan DAU, DAK, Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak termasuk dana reboisasi. Menyusun dan merumuskan kebijakan pelaksanaan dekonsentrasi pertanggungjawaban, pemantauan dan evaluasi, serta pengalihan/pergeseran secara bertahap dari sebagian anggaran kementerian/lembaga yang digunakan untuk membiayai urusan daerah menjadi DAK
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 c. Penyusunan pedoman pendanaan pembangunan infrastruktur yang mendukung pengembangan ekonomi di wilayah terisolir
Program Pengembangan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana pos dan Telematika
Program Pengembangan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana pos dan Telematika
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyusunan mekanisme dan besarn bantuan pemerintah dalam rangka pelaksanaan program PSO/USO pos dan telematika 2. Pembangunan baru fasilitas telekomunikasi sekurangkurangnya 16 juta sambungan telepon tetap, 25 juta sambungan bergerak, dan 43 ribu sambungan di daerah perbatasan.
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penerapan Universal service Obligation (USO) untuk telekomunikasi b. Peningkatan dan penyediaan prasarana dan sarana dasar komunikasi
Sasaran Program
a. Meningkatnya prasarana dan sarana dasar komunikasi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, serta wilayah terisolir
Lampiran 9 36 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Depkominfo
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No 31.
32.
33.
34.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM Program Pembangunan Transportasi Laut
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 Program Pembangunan Prasarana Transportasi Laut
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pelayanan angkutan laut perintis di 15 provinsi
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pelayanan pelayaran perintis dengan Skema Public Service Obligation (PSO)
Program Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Angkutan LLAJ
Program Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Angkutan LLAJ
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyediaan pelayanan angkutan perintis (bis perintis) terutama bagi masyarakat di wilayah yang masih terisolasi dan daerah terpencil
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pelayanan bus perintis dengan Skema Public Service Obligation (PSO)
Program Pembangunan Prasarana dan Sarana ASDP
Program Pembangunan Prasarana dan Sarana ASDP
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pembangunan dermaga sungai, danau dan penyeberangan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pelayanan transportasi penyeberangan perintis dengan Skema Public Service Obligation (PSO)
Program Pembangunan Transportasi Udara
Program Pembangunan Prasarana Transportasi Udara
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pelayanan angkutan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Pelayanan penerbangan
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a.
Meningkatnya pelayanan pelayaran perintis di wilayah terisolir
Dephub
a.
Meningkatnya pelayanan bus perintis di wilayah terisolir
Dephub
a.
Meningkatnya pelayanan transportasi penyeberangan perintis di wilayah terisolir
Dephub
a.
Meningkatnya pelayanan penerbangan perintis di wilayah terisolir
Dephub
Lampiran 9 37 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
35.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM penerbangan perintis di 15 provinsi
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007 perintis dengan Skema Public Service Obligation (PSO)
Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku
Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Operasi dan pemeliharaan serta rehabilitasi saluran pembawa dan prasarana air baku lainnya; 2. Pembangunan prasarana pengambilan dan saluran pembawa air baku terutama pada kawasan-kawasan dengan tingkat kebutuhan air baku tinggi di wilayah strategis dan daerah tertinggal antara lain di Lampung, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung; 3. Pembangunan sumur-sumur air tanah dengan memperhatikan prinsip-prinsip conjuctive use pada daerahdaerah rawan air, pulau-pulau kecil, dan daerah tertinggal; 4. Sinkronisasi kegiatan antara penyediaan air baku dengan kegiatan pengolahan dan distribusi; 5. Pembangunan prasarana air baku dengan memprioritaskan pemanfaatan air tanah pada
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan dan penyediaan prasarana dan sarana dasar air bersih
Sasaran Program
a. Tersedianya prasarana dan sarana dasar air bersih di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar
Lampiran 9 38 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Dep. PU
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
36.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM daerah-daerah yang tercemar air laut pada daerah bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian wilayah Sumatera Utara.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas termasuk pembangunan unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran dan peralatan peraga pendidikan, yang disertai dengan penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan secara lebih merata, bermutu, tepat lokasi, terutama untuk daerah perdesaan, wilayah terpencil dan kepulauan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak termasuk yang berada diwilayah konflik dan bencana alam, serta penyediaan biaya operasional pendidikan secara memadai, dan/atau subsidi/hibah dalam bentuk block grant atau imbal swadaya bagi satuan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan b. Penyediaan bantuan operasional sekolah dan beasiswa bagi siswa miskin c. Pembangunan asrama murid dan mess guru d. Penyediaan buku pelajaran
Sasaran Program
a. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan di wilayah terisolir
Lampiran 9 39 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Depdiknas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
37.
Program/ Kegiatan Pokok RPJM pendidikan dasar untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan; 2. Penyediaan materi pendidikan, media pengajaran dan teknologi pendidikan termasuk peralatan peraga pendidikan, buku pelajaran, buku bacaan dan buku ilmu pengetahuan dan teknologi serta materi pelajaran yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi termasuk internet dan alam sekitar guna meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan rasio pelayanan pendidik dan tenaga kependidikan melalui pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan termasuk tutor pendidikan non formal purna waktu secara lebih adil didasarkan pada ketepatan kualifikasi, jumlah, kompetensi dan lokasi; 2. Peningkatan kualitas layanan
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru
Sasaran Program
a.
Lampiran 9 40 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Meningkatnya kualitas dan kesejahteraan guru di wilayah terisolir
Instansi Pelaksana
Depdiknas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM pendidik dengan melakukan pendidikan dan latihan agar memiliki kualifikasi minimun dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, pengembangan sistem standarisasi dan sertifikasi profesi pendidik, dan penerapan standar profesionalisme dan sistem pemantauan kinerja pendidik dan tenaga kependidikan yang berbasis kinerja kelas, sekolah atau satuan pendidikan lainnya.
38. Program Pendidikan Menengah Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan termasuk pembangunan USB, RKB, laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran dan peralatan peraga pendidikan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak termasuk yang berada diwilayah konflik dan bencana alam, yang disertai dengan penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan secara lebih merata, bermutu, tepat lokasi, serta penyediaan biaya operasional pendidikan dan/atau subsidi/hibah dalam
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Pendidikan Menengah Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan b. Penyediaan bantuan operasional sekolah dan beasiswa bagi siswa miskin c. Penyediaan buku pelajaran
Sasaran Program
a. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan di wilayah terisolir
Lampiran 9 41 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Instansi Pelaksana
Depdiknas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM bentuk block grant atau imbal swadaya bagi satuan pendidikan menengah untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan termasuk subsidi atau beasiswa bagi peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan peserta didik yang berprestasi. 2. Penyediaan materi pendidikan, media pengajaran dan teknologi pendidikan termasuk peralatan peraga pendidikan, buku pelajaran, buku bacaan dan buku ilmu pengetahuan dan teknologi serta materi pelajaran yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi termasuk internet dan alam sekitar guna meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. 3. Penyediaan layanan pendidikan baik umum mapun kejuruan bagi siswa SMA/SMK/MA sesuai dengan kebutuhan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi atau untuk bekerja melalui penyediaan tambahan fasilitas dan program antara (bridging program) pada sekolah/madrasah yang ada dan/atau melalui kerjasama antarsatuan pendidikan baik formal maupun nonformal, dan
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Lampiran 9 42 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM mengembangkan sekolah/madrasah dengan standar nasional dan internasional secara bertahap. 4. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan menengah baik formal maupan non formal untuk menampung kebutuhan penduduk miskin, dan penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan, terpencil dan kepulauan.
39. Program Pendidikan Non Formal Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan intensifikasi perluasan akses dan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara tanpa diskriminasi gender baik di perkotaan maupun perdesaan. 40. Program Upaya Kesehatan Masyarakat Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya; 2. Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya;
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Program Pendidikan Non Formal
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
a.
Terselenggaranya pendidikan keaksaraan fungsional di wilayah terisolir
Depdiknas
Program Upaya Kesehatan Masyarakat
a.
Depkes
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan b. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin c. Penyediaan tenaga kesehatan
b.
Tersedianya sarana dan prasarana, serta tenaga kesehatan di wilayah terisolir Tersedianya pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin
Kegiatan-kegiatan pokok: a. Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional
Lampiran 9 43 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
2008
Hasil Pelaksanaan
Evaluasi Pelaksanaan ProgramProgram Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah No
Program/ Kegiatan Pokok RPJM 3. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial; 4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar; 5. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.
Program/ Kegiatan Pokok RKP 2007
Lampiran 9 44 Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas
Sasaran Program
Instansi Pelaksana
2008
Hasil Pelaksanaan